Anda di halaman 1dari 22

BAB III

PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI

A. Pengkajian

1. Anamnesis

Pada kasus ini, terapis melakukan anamnesis dengan menggunakan metode

autoanamnesis yaitu dengan melakukan tanya jawab secara langsung terhadap

pasien. Kegiatan anamnesis ini telah dilakukan pada tanggal 18 November

2019.

a. Identitas pasien

Identitas pasien berkaitan dengan informasi mengenai data diri pasien yang

meliputi nama, alamat, usia, jenis kelamin, pekerjaan, dan agama. Identitas pasien

yang diperoleh dari hasil anamnesis yaitu (1) nama Ny. K, (2) umur 41 tahun, (3)

jenis kelamin perempuan, (4) agama Kristen, (5) pekerjaan PNS, (6) alamat Jl. Mimika

2 Agats Bis Agats Agats Asmat Papua.

b. Keluhan utama

Keluhan utama merupakan keluhan yang mendorong pasien untuk berobat atau

mencari pertolongan. Keluhan yang didapat dari anamnesis pasien adalah pasien

merasakan nyeri pada pangkal paha kanannya.


c. Riwayat penyakit sekarang

Riwayat penyakit sekarang adalah perjalanan mengenai penyakit yang di derita

pasien saat ini. Dalam hal ini menjelaskan kronologis dari awal terjadinya penyakit

sampai riwayat pengobatan yang sudah dilakukan.

Riwayat penyakit sekarang yang telah di dapat dari hasil anamnesis

dengan pasien secara langsung adalah pada sekitar bulan April 2017 pasien

terjatuh dari jembatan kemudian pasien melakukan operasi pemasangan pen di

Jayapura. Kemudian terjadi infeksi pada daerah operasi. Pada tahun 2018 pasien

datang ke RSO untuk periksa kultur, kemudian pada Agustus 2019 pasien melakukan

operasi angkat pen, saat operasi pengangkatan pen terdapat pengapuran pada collum

femurnya dan pada 18 November 2019 pasien melakukan operasi pemasangan AMP.

d. Riwayat penyakit dahulu

Riwayat penyakit dahulu merupakan riwayat penyakit yang pernah diderita

pasien sebelumnya. Hal ini perlu diketahui karena ada beberapa penyakit yang

sekarang diderita ternyata berhubungan dengan penyakit yang diderita sebelumnya.

Riwayat penyakit dahulu yang diperoleh dari hasil anamnesis yaitu pasien pernah

melakukan tidakan operasi dan memiliki riwayat pengapuran pada collum femur

kurang lebih 1 tahun.

e. Riwayat penyakit penyerta

Riwayat penyakit penyerta merupakan penyakit yang menyertai pasien hingga

saat ini. Dari hasil anamnesis diketahui bahwa pasien memiliki riwayat alergi obat

metronidazole, dan tidak memiliki riwayat penyakit diabetes mellitus dan hipertensi.
f. Riwayat keluarga

Riwayat keluarga merupakan penyakit yang mempunyai kecenderungan

herediter atau familial atau penyakit-penyakit menular yang sering di dalam satu

keluarga ditemukan juga beberapa anggota keluarga yang menderita penyakit serupa.

Riwayat penyakit keluarga yang diperoleh dari anamnesis pasien yaitu penyakit yang

diderita pasien bukan merupakan penyakit herediter atau keturunan.

g. Riwayat pribadi

Riwayat pribadi berkaitan dengan kebiasaan yang sering dilakukan oleh pasien

seperti hobi, pekerjaan dan pola hidup yang kemudian ada hubungannya dengan

penyakit saat ini. Riwayat penyakit pribadi yang diperoleh dari hasil anamnesis yaitu

pasien merupakan seorang pegawai negeri sipil yang kesehariannya bekerja di dalam

ruangan.

h. Anamnesis sistem

Anamnesis sistem dilakukan untuk mengidentifikasi masalah pasien yang

sebelumnya belum dijelaskan, sehingga keluhan yang terlewatkan dapat ditambahkan.

Anamnesis sistem diperoleh hasil yaitu : (1) Kepala dan Leher, pasien tidak merasakan

pusing dan kaku leher, (2) Kardiovaskuler, pasien tidak merasakan jantung berdebar –

debar dan nyeri dada, (3) Respirasi, pasien tidak mengeluh sesak nafas, (4)

Gastrointestinalis, pasien tidak merasakan mual dan muntah serta BAB terkontrol, (5)

Urogenitalis, BAK pasien bisa dikontrol, (6) Muskuloskeletal, pasien merasakan nyeri

dan kaku pada pangkal paha kanannya, (7) Nervorum, pasien tidak mengeluh adanya

kesemutan dan nyeri menjalar.


2. Pemeriksaan fisik

a. Tanda vital

Pemeriksaan ini meliputi (1) tekanan darah 115/87 mmHg, (2) denyut nadi

90x/menit, (3) pernapasan 18x/menit, (4) temperatur tubuh 36°, (5) tinggi badan 160

cm dan (6) berat badan 70 kg.

b. Inspeksi

Inspeksi dapat dilakukan dengan cara melihat atau mengamati pasien

secara langsung. Inspeksi bisa dilakukan saat pasien diam maupun bergerak. Hasil

inspeksi statis diperoleh hasil yaitu adanya bekas incisi pada pangkal paha kanan,

masih terpasang infus, kantong darah, kateter, dan perban pada paha kanan, kaki

kanan lebih besar dari pada kaki kiri dikarenakan adanya oedem, sedangkan hasil dari

inspeksi dinamis yaitu pasien tampak menahan nyeri ketika tungkai kanannya

digerakkan.

c. Palpasi

Palpasi dilakukan dengan cara meraba pasien yang bertujuan untuk mengetahui

adanya perbedaan suhu, pitting oedema dan juga nyeri tekan pada bagian baik sisi

yang sakit maupun yang sehat. Hasil yang diperoleh dari palpasi yaitu adanya nyeri

tekan daerah incise bagian anterior lateral hip kanan, tidak ada perbedaan suhu pada

lutut kanan dan kiri dan tidak ada pitting oedema.


d. Perkusi

Perkusi hanya dilakukan untuk kasus kardiovaskuler atau kasus lain yang

membutuhkan pemeriksaan menggunakan perkusi dan pada kasus ini tidak dilakukan

perkusi.

e. Auskultasi

Auskultasi hanya dilakukan untuk kasus kardiovaskuler atau kasus lain yang

membutuhkan pemeriksaan menggunakan auskultasi dan pada kasus ini tidak

dilakukan auskultasi.

f. Pemeriksaan gerak aktif

Pemeriksaan gerak aktif adalah pemeriksaan yang dilakukan dimana pasien

diminta menggerakkan bagian tubuhnya secara aktif mengikuti instruksi dari terapis.

Cara memeriksanya yaitu dengan memberikan instruksi kepada pasien untuk

melakukan gerakan menekuk dan meluruskan lututnya.

Pasien mampu menggerakkan hip kearah ekstensi dan abduksi hip tetapi tidak

full ROM karena masih terdapat nyeri, pasien tidak diperbolehkan fleksi hip dan

adduksi hip. Pasien mampu menggerakkan fleksi dan ekstensi knee tetapi pada

gerakan knee tidak full ROM dikarenakan nyeri, gerak ekstensi dapat full ROM dan

tidak merasa nyeri. Dorsal fleksi, plantar fleksi, inversi, dan eversi angkle dapat full

ROM tanpa adanya nyeri.


g. Pemeriksaan gerak pasif

Pemeriksaan gerak pasif adalah pemeriksaan yang dilakukan dimana gerakan

dilakukan olek terapis tanpa ada bantuan dari pasien. Gerakan dilakukansemaksimal

mungkin sampai pasien merasakan nyeri. Terapis merasakan endfeel dari gerakan

tersebut serta mengamati lingkup gerak sendinya.

Pasien dapat digerakkan ekstensi dan abduksi hip pasif tetapi tidak full ROM

disertai nyeri dan dengan endfeel elastis pada gerakan ekstensi knee pasien dapat

digerakkan full ROM dan tidak disertai nyeri sedangkan saat fleksi knee dapat

digerakkan tetapi tidak full ROM dan terdapat nyeri. Pada dorsal, plantar fleksi,

inversi dan eversi angkle dapat dilakukan full ROM dan ridak terdapat nyeri.

h. Pemeriksaan gerak isometrik

Pemeriksaan gerak isometrik adalah pemeriksaan yang dilakukan dimana

pasien melakukan gerakan dan terapis memberikan tahanan mulai dari tahanan

minimal, sedang dan maksimal.

Pada saat melakukan gerakan hip pasien tidak mampu melawan tahanan

minimal yang diberikan oleh terapis, pada gerakan knee pasien mampu melawan

tahanan minimal yang diberikan terapis, dan pada gerakan angkle pasien dapat

melawan tahanan maksimal dan tidak terdapat nyeri.

i. Pemeriksaan kognitif, intrapersonal, interpersonal

Pemeriksaan fungsi kognitif dan intrapersonal yang akan diperiksa meliputi

komponen atensi, konsentrasi, memori, pemecahan masalah, pengambilan sikap,

integrasi belajar dan proses komprehensif. Sedangkan pemeriksaan interpersonal akan


menilai kemampuan berinteraksi dan menempatkan diri dalam bermasyarakat atau

berkelompok.

Pada pemeriksaan kognitif didapatkan hasil yaitu pasien mampu menceritakan

kronologi kejadian awal mula terjadi penyakitnya (daya ingat baik). Pada

pemeriksaan intrapersonal didapatkan hasil yaitu pasien mempunyai semangat dan

motivasi yang tinggi untuk sembuh. Sedangkan pada pemeriksaan interpersonal

didapatkan hasil yaitu pasien mampu berkomunikasi & melakukan terapi dengan

baik.

j. Pemeriksaan kemampuan fungsional dasar, kemampuan fungsional dan

lingkungan aktivitas

Pemeriksaan kemampuan fungsional bertujuan untuk mengetahui aktivitas

sehari-hari yang dapat dilakukan oleh pasien. Pemeriksaan lingkungan aktivitas

bertujuan untuk mengetahui lingkungan aktivitas pasien baik di dalam dan di luar

rumah.

Pada pemeriksaan kemampuan fungsional dasar didapatkan hasil pasien belum

mampu tidur miring, tengkurap, duduk di bed, duduk ke berdiri, berjalan secara

mandiri. Pada pemeriksaan aktivitas fungsional didapatkan hasil pasien belum mampu

melakukan aktivitas sehari-hari seperti dressing dan toileting. Sedangkan pada

pemeriksaan lingkungan aktivitas pasien terdapat wc duduk, tidak terdapat tangga,

penerangan cukup dan antar ruangan dapat dijangkau dengan mudah.

3. Pemeriksaan spesifik

a. Pemeriksaan nyeri dengan visual analogue scale (VAS)


Pemeriksaan nyeri dengan VAS adalah pengukuran derajat nyeri dengan cara

menunjuk satu titik pada garis skala nyeri (0-10 cm). Satu ujung

menunjukkan tidak nyeri dan ujung yang lain menunjukkan nyeri hebat. Panjang garis

mulai dari titik tidak nyeri sampai titik yang menunjukkan besarnya nyeri

Dari pemeriksaan yang dilakukan didapatkan hasil nyeri diam 5, nyeri gerak

8 dan nyeri tekan 6.

b. Pemeriksaan antropometri

Pemeriksaan antropometri dilakukan untuk mengetahui adanya penurunan

pembengkakan pada area paha pasca operasi pemasangan AMP. Alat yang

digunakan adalah dengan menggunakan midline. Titik ukur pemeriksaan

antropometri pada sendi hip berada pada SIAS . Dari hasil pengukuran antropometri

yang telah dilakukan diperoleh hasil yaitu :

TABEL
3.1

HASIL PENGUKURAN ANTROPOMETRI PADA SENDI HIP

Titik Acuan Dextra Sinistra

SIAS

20 cm ke distal 46 cm 45 cm

Sumber : Data Primer, 2019

Dari data diatas menunjukkan hasil bahwa selisih antara hip dextra yang

terdapat oedema dengan hip sinistra adalah sekitar 1 cm.


c. Pemeriksaan lingkup gerak sendi (LGS)

Pemeriksaan LGS dilakukan dengan cara sebagai berikut (1) posisikan pasien

terlentang dengan tungkai lurus, (2) letakkan goniometer pada trochanter mayor

untuk mengukur bagian hip dan epicondylus lateral femur untuk mengukur bagian

knee, (3) instruksikan pasien untuk menekuk lututnya sampai batas nyeri dan

kemampuan pasien. Pemeriksaan LGS didapatkan hasil sebagai berikut.

TABEL

3.2

HASIL PEMERIKSAAN LGS SENDI HIP

Gerakan LGS dextra aktif LGS dextra pasif

Fleksi-ekstensi hip S= 0-0-33 S= 0-0-40

Fleksi-ekstensi knee S= 0-0-100 S= 0-0-110

Sumber : Data Primer, 2019

Dari data diatas menunjukkan hasil bahwa antara LGS fleksi-ekstensi hip

dextra aktif dan pasif terdapat selisih sekitar 7° dan fleksi-ekstensi knee dextra aktif

dan pasif terdapat selisih 10°.

d. Pemeriksaan kekuatan otot dengan manual muscle testing (MMT)

Pemeriksaan ini dilakukan dengan menggunakan manual muscle testing

(MMT) pada grup otot fleksor-ekstensor sendi hip kanan. Dari pemeriksaan

kekuatan otot pada grup otot fleksor dan esktensor hip diperoleh hasil yaitu nilai 3-

yang berarti dapat melawan gravitasi namun belum bisa full ROM.
e. Pemeriksaan kemampuan fungsional

Dalam kasus ini pemeriksaan fungsional yang digunakan adalah dengan

menggunakan skala JETTE. Dari hasil pemeriksaan didapatkan hasil yaitu :

TABEL 3.3

HASIL PEMERIKSAAN

SKALA JETTE

Item yang dinilai Kemampuan Hasil Keterangan


fungsional
Berdiri dari posisi Nyeri 3 nyeri sedang
Duduk
Kesulitan 3 sedang

Ketergantungan 2 butuh bantuan alat

Berjalan 15 meter Nyeri 4 sangat nyeri

Kesulitan 4 agak sulit

Ketergantungan 4 butuh bantuan alat


dan orang lain

Naik turun tangga 3 Nyeri 4 sangat nyeri


trap
Kesulitan 5 sangat sulit

Ketergantungan 5 tak dapat


melakukan

Sumber : Data Primer, 2019


B. Problematika Fisioterapi

Problematika fisioterapi yang muncul pada kasus post total knee replacement

adalah sebagai berikut :

1. Impairment

Impairment yang akan muncul pada kasus post operasi hemiarthroplasty

dengan AMP yaitu (1) adanya oedem di sekitar hip dextra, (2) adanya nyeri pada hip

dextra, dan (3) adanya penurunan kekuatan pada otot quadriceps dan otot hamstring

dextra, (4) adanya keterbatasan gerak pada hip dextra.

2. Functional Limitation

Dikarenakan oedem dan nyeri pasien mengalami penurunan kemampuan

fungsionalnya seperti tidur miring, terlentang ke duduk, duduk ke berdiri, kesulitan

untuk berjalan dan kesulitan untuk melakukan aktivitas dressing dan toileting.

3. Participation restriction

Pasien masih mengalami kesulitan dalam mengikuti kegiatan sosial di

masyarakat dikarenakan keterbatasan-keterbatasan dalam aktivitas.


C. TujuanFisioterapi

Terapi yang diberikan memiliki 2 tujuan yaitu tujuan jangka pendek dan tujuan

jangka panjang. Tujuan jangka pendek dari dilakukannya terapi latihan pasca operasi

antara lain menurunkan oedema, menurunkan derajat nyeri, meningkatkan lingkup

gerak sendi, dan meningkatkan kekuatan otot Sedangkan tujuan jangka panjangnya

adalah (1) melanjutkan program tujuan jangka pendek, (2) meningkatkan aktivitas

fungsional pasien agar dapat melakukan kegiatan sehari- hari dengan optimal seperti

sebelumnya.

D. Teknologi Intervensi Alternatif

Berdasarkan tujuan fisioterapi yang telah disusun intervensi fisioterapi yang

dapat diberikan pada pasien pasca operasi hemiarthroplasty dengan AMP yaitu terapi

latihan.

E. Pelaksanaan Tindakan Fisioterapi

Fisioterapi ke 1 pada tanggal 18 November 2019 :

1. Latihan gerak aktif ankle

Ankle pumping bertujuan untuk melancarkan sirkulasi darah. Posisi pasien

terlentang, lalu digerakkan ankle digerakkan dorsi fleksi secara aktif full LGS. untuk
gerak aktif ankle yaitu durasi 10 kali per sesi, frekuensi 3 sesi per terapi, 2 kali terapi

per hari.

2. Latihan gerak pasif

Latihan gerak pasif yaitu gerakan yang membutuhkan bantuan dari luar, yaitu

dengan bantuan terapis. Latihan gerak pasif bertujuan untuk mengurangi oedem,

mengurangi rasa sakit, dan meningkatkan LGS. Gerakan yang dilkukan pada sendi

panggul yaitu fleksi dan abduksi. Latihan dimulai dengan menggerakkan tungkai

sisi sehat terlebih dahulu kemudian sisi yang cidera. Pada akhir gerak, LGS

dipertahankan selama 6 detik, lalu kembali ke posisi awal. Dosis : gerakan 10x per

sesi, 3 sesi setiap latihan, istirahat antar sesi 60 detik.

3. Gerak aktif dengan bantuan

Latihan gerak aktif dengan sedikit sanggaan dari terapis, bertujuan untuk

menjaga fisiologis otot, mobilisasi sendi aktif, menigkatkan ROM dan mencegah

terjadinya kontraktur. Latihan dimulai dengan menggerakkan tungkai sisi sehat

terlebih dahulu. Pertahankan ROM pasien selama 6 detik dan lalu kembali ke

posisi semula. Dosis : gerakan 10 kali per sesi, 3 sesi setiap latihan, istirahat antar sesi

60 detik.

Latihan dilakukan dengan cara : (1) gerak fleksi sendi panggul : posisi pasien

terlentang, terapis menyangga area perpatahan dan tungkai bawah pasien, lalu

menginstuksikaan pasien untuk menekuk tungkainya sebisa mungkin, (2)


abduksi sendi panggul : posisi pasien terlentang, terapis berdiri di samping

pasien, lalu terapis menyangga paha dan tungkai bawah pasien, setelah itu pasien

diminta untuk menggerakkan tungkainya ke samping.

Fisioterapi ke 2 pada tanggal 19 November 2019 :

1. Latihan gerak aktif

Latihan gerak aktif secara mandiri tanpa bantuan dari tenaga luar, bertujuan

untuk menjaga fisiologis otot, mobilisasi sendi aktif, menigkatkan ROM dan

mencegah terjadinya kontraktur. Latihan dimulai dengan menggerakkan tungkai sisi

sehat terlebih dahulu kemudian sisi cidera. Pertahankan ROM pasien selama 6 detik

dan lalu kembali ke posisi semula. Dosis : gerakan 10 kali per sesi, 3 sesi setiap

latihan, istirahat antar sesi 60 detik.

Latihan dilakukan dengan cara : (1) gerak fleksi sendi panggul : posisi pasien

terlentang, lalu pasien diminta untuk menekuk tungkai disertai menekuk lututnya

sesuai kemampuan pasien, dengan telapak kaki masih menyentuh bed, (2) abduksi

sendi panggul : pasien pada posisi terlentang, lalu minta pasien untuk menggeserkan

tungkainya kesamping atau lateral.

2. Latihan duduk

Latihan duduk dilakukan dengan tujuan untuk melatih mobilisasi pasien dari

bed, sehingga kemampuan pasien tidak terbatas untuk melakukan mobilisasi

selanjutnya yaitu duduk di tepi bed dan mempersiapkan untuk berdiri.


Cara melakukan latihan duduk yaitu : (1) posisi pasien terlentang, tungkai lurus,

(2) pasien diminta untuk menekuk tungkai yang sehat dan kedua lengan menyangga di

belakang badan, (3) pasien diminta untuk mengangkat badannya dengan bantuan

kedua lengan di belakang dan terapis membantu dengan menyangga punggung.

(4) setelah duduk, tanyakan apakah pasien pusing, bila pusing pasien diminta untuk

menggerakkan kepalanya ke segala arah. Bila masih pusing, pasien diminta untuk

tiduran lagi dengan cara seperti saat bangkit (arah gerak balik), (5) pertahankan posisi

duduk tersebut sekitar 3-5 menit, kemudian berbaring lagi dan mengulang latihan

duduk tersebut hingga lancar.

3. Latihan duduk ditepi bed

Latihan dilakukan dengan cara : (1) posisi pasien duduk dengan tungkai lurus

kedua lengan di belakang tubuh dan menyangganya, (2) satu persatu tungkai digeser

ke luar bed, terapis dapat membantu pasien, setelah di luar bed, perlahan tungkai

diturunkan sehingga tungkai bawah menggantung, (3) setelah kedua tungkai

menggantung, pasien diminta untuk menggerak-gerakkan kedua kakinya plantar dan

doral flexi dan (4) mempertahankan posisi duduk ongkang-ongkang sekitar 3-5 menit,

kemudian kembali ke posisi duduk selonjor di bed dengan cara yang sama seperti

waktu menuju duduk ongkang-ongkang, ulangi latihan hingga lancar.


4. Latihan berdiri dengan walker

Latihan berdiri dengan walker mempersiapkan pasien sebelum melakukan

latihan berjalan dengan walker. Pelaksanaannya yaitu : (1) menyiapkan walker di

samping bed, (2) posisi awal pasien yaitu duduk ongkang-ongkang, (3) terapis

menjelaskan cara turun dari bed kemudian, (4) kedua tangan pasien memegang

walker, lalu pasien merosot turun dengan tungkai sehat dan tungkaai sisi sakit non

weight bearing, terapis memegangi pasien dari samping dan (5) mempertahankan

posisi berdiri tersebut semampu pasien, bila pasien sudah tidak mampu, pasien

dapat duduk kembali.

5. Latihan berjalan PWB dengan walker

Latihan berjalan dengan menggunakan alat bantu walker dengan metode tri

point gate, dan cara berjalannya yaitu : (1) posisi pasien berdiri dengan berpegangan

walker, (2) pasien diminta untuk mengangkat dan mengayunkan walker ke depan

lalu tungkai yang cidera maju dengan sedikit menumpu, lalu disusul oleh kaki sehat,

(3) ulangi latihan tersebut hingga pasien berjalan sesuai kemampuannya.

Fisioterapi ke 3 pada tanggal 20 November 2019 :

Mengulangi terapi latihan pada fisioterapi ke 2 seperti latihan gerak aktif, latihan

duduk, latihan duduk ditepi bed, latihan berdiri dengan walker, latihan berjalan PWB

dengan walker.
F. Edukasi dan Home Program

Untuk home program pasien diminta untuk mengulangi latihan menekuk dan

meluruskan lututnya sebanyak 2x8 hitungan, latihan mengencangkan paha sebanyak

2x8 hitungan, latihan duduk berdiri sebanyak 2x8 hitungan serta latihan berjalan

dengan walker seperti yang telah dicontohkan oleh terapis tetapi dilakukan sesuai

dengan batas kemampuan pasien. Edukasi yang diberikan kepada pasien yaitu pasien

diminta untuk tidak melakukan melakukan gerakan mendekakatkan kaki kanan ke

kaki kiri (adduksi), memutar kaki kedalam (endorotasi) dan menekuk panggul lebih

dari 90 derajat. Pasien dianjurkan untuk melakukan latihan berjalan tanpa alat

bantu dengan didampingi oleh keluarga serta pasien dianjurkan untuk tidak

melakukan kegiatan jongkok terlebih dahulu.

G. Evaluasi Hasil Terapi

Sesuai dengan tujuan fisioterapi maka hasil evaluasi yang didapat setelah

dilakukan tindakan berupa terapi latihan pada kasus post operasi hemiarthroplasty

dengan AMP adalah sebagai berikut:


1. Evaluasi derajat nyeri dengan Visual Analog Scale (VAS)

TABEL 3.4

EVALUASI NYERI

T1 T2 T3

Nyeri diam 5 4 3

Nyeri gerak 8 6 5

Nyeri tekan 6 4 4

Sumber : Data Primer, 2019

Pada evaluasi nyeri dengan VAS menunjukkan hasil antara T1, T2, hingga T3

terdapat penurunan nyeri yang signifikan.

2. Evaluasi antropometri dengan midline

TABEL 3.5
EVALUASI
ANTROPOMETRI

Titik Acuan T1 T2 T3

Dextra Sinistra Dextra Sinistra Dextra Sinistra

SIAS
20 cm ke proksimal 46cm 45cm 44cm 45cm 43cm 45cm

Sumber : Data Primer, 2019


Pada evaluasi antropometri dengan midline pada T1 sampai T3 terdapat

penurunan oedema sekitar 2-3 cm.

3. Evaluasi LGS dengan goniometer

TABEL 3.6
EVALUASI LGS

T1 T2 T3
Gerakan

LGS aktif LGS pasif LGS aktif LGS pasif LGS aktif LGS pasif

Fleksi-ekstensi S= 0-0-33 S= 0-0-40 S= 0-0-35 S= 0-0-43 S= 0-0-36 S= 0-0-44


hip

Fleksi-ekstensi S= 0-0-100 S= 0-0-110 S= 0-0-105 S= 0-0-110 S= 0-0-105 S= 0-0-110


knee

Sumber : Data Primer, 2019

Pada evaluasi LGS dengan goniometer pada T1 sampai T3 terdapat peningkatan

LGS sebanyak 0-5°.

4. Evaluasi kekuatan otot dengan MMT

Pada evaluasi kekuatan otot dengan MMT dari T1 sampai T3 ada peningkatan

otot namun tidak terlalu signifikan yang berada pada nilai 3- yang berarti dapat

melawan gravitasi namun belum bisa full ROM.


5. Evaluasi kemampuan fungsional dengan skala jette

TABEL 3.7

HASIL PEMERIKSAAN

SKALA JETTE

Item yang dinilai Kemampuan Hasil Keterangan


fungsional
Berdiri dari posisi Nyeri 2 nyeri ringan
Duduk
Kesulitan 2 Agak mudah

Ketergantungan 2 butuh bantuan alat

Berjalan 15 meter Nyeri 4 sangat nyeri

Kesulitan 4 agak sulit

Ketergantungan 4 butuh bantuan alat


dan orang lain

Naik turun tangga Nyeri 4 sangat nyeri


3 trap
Kesulitan 5 sangat sulit

Ketergantungan 5 tak dapat


melakukan

Sumber : Data Primer, 2019

Pada evaluasi kemampuan fungsional dengan skala jette didapatkan hasil ada

peningkatan pada kemampuan fungsional pasien namun tidak signifikan.


H. Pembahasan

Pasien bernama Ny. K, berjenis kelamin perempuan, umur 41 tahun dengan

diagnosis post operasi hemiarthroplasty dengan AMP. Problematika fisioterapi yang

ditemukan adalah adanya nyeri gerak dan tekan pada hip kanan, adanya oedema pada

hip kanan, adanya keterbatasan LGS sendi hip dan knee kanan, serta adanya

penurunan kekuatan otot fleksor dan ekstensor pada hip kanan.

Pada pasien ini telah diberikan tindakan fisioterapi dengan terapi latihan

sebanyak 3 kali. Dalam pelaksanaan terapi pasien dapat mengikuti intruksi dan

melakukan latihan yang diberikan terapis dengan baik karena pasien memiliki

motivasi yang tinggi untuk bisa sembuh agar dapat beraktivitas seperti sebelumnya.

Pasien juga terbuka dalam menjelaskan keadaan mengenai sakit yang dideritanya. Hal

itu memudahkan terapis dalam melakukan tindakan yang akan diberikan kepada

pasien.

Tindakan yang diberikan yaitu dengan menggunakan modalitas terapi latihan.

Terapi yang diberikan berupa latihan aktif pada angkle, latihan pasif, latihan aktif

dengan bantuan, latihan aktif, latihan berdiri dengan walker, dan latihan berjalan

PWB dengan walker.

Setelah dilakukan tindakan fisioterapi berupa terapi latihan tersebut sebanyak 3

kali didapatkan hasil adanya penurunan nyeri, oedema, peningkatan LGS dan

peningkatan kekuatan otot. Sedangkan untuk kemampuan fungsional ada peningkatan

namun tidak signifikan. Kemampuan fungsional yang belum mengalami peningkatan


bisa disebabkan karena masih adanya nyeri dan keterbatasan LGS pada sendi

hip dan knee sehingga pasien belum mampu melakukan aktivitas dengan mandiri.

Anda mungkin juga menyukai