Anda di halaman 1dari 215

BAB 1

(⭐) Votenya jangan lupa ya

Pohon Plum Hitam Raksasa

Seorang gadis jangkung sedang memanjat dahan lebat pohon plum hitam raksasa yang daunnya dihiasi bunga plum
merah, ungu, dan hitam. Dia berpindah dari cabang ke cabang dengan cepat, dan dia terlihat sangat lincah.

Di bawah, seorang gadis gemuk berkulit gelap sedang membentangkan Sarong bergaris warna-warni untuk
menerima banyak buah plum hitam yang terus-menerus dibuang oleh gadis jangkung di atas. Ketika sarongnya
sudah terisi, dia menuangkannya ke halaman sebelum menyebarkan sarongnya untuk mendapatkan buah plum hitam
lainnya. Dia berulang kali melakukan itu sampai dia mulai lelah.

Catatan: Sarong adalah rok longgar yang terdiri dari kain berwarna cerah yang dililitkan di badan; dikenakan oleh
wanita dan pria di Pasifik Selatan

"Saya rasa itu sudah cukup, Tuan Putri."

Di bawah bayangan pohon besar, seorang gadis muda bernama Prik, yang merupakan penerima buah plum hitam,
memberitahukan kepada Yang Mulia Putri Anilaphat Sawetawarit, yang terus memetik buah plum hitam seolah-olah
dia akan memetik semuanya hari ini.

"Silakan turun, sebelum orang lain melihatmu."

"Aku masih menikmatinya. Aku rasa tidak ada orang yang akan melihatku."

Dia balas berteriak dan masih melemparkan seikat buah plum besar berwarna merah kehitaman.

"Siapa bilang tidak? Di sana! Khunpra Chom sedang berjalan ke arah sini sekarang."

Prik perlu menyebut Khunpra Chom, gubernur terdekat Raja. Khunpra Chom bertugas memeriksa ketertiban seluruh
istana dan mempunyai kewenangan penuh untuk menghukum setiap kesalahan pelayan di istana Sawetawarit.

Khunpra Chom memiliki tubuh raksasa dengan kulit kasar kecokelatan, kumis penuh, dan janggut di wajahnya. Dia
terlihat sangat tangguh.

Para pelayan tidak hanya takut akan ketangguhannya, tapi sang putri juga menyadarinya Khunpra Chom sebagai
musuh utama kenakalannya.

"Putriku, tolong cepat turun! Dia hampir sampai sekarang." Prik memberitahunya dengan tergesa-gesa.

Gedebuk!!!

Ketika gadis jangkung itu jatuh ke tanah, itu benar-benar konyol.

Ketika yang tumbang adalah putri bungsu pemilik Istana Sawetawarit tempat Prik tinggal sejak lahir.

Tentu saja hal ini tidak lucu dan menggelikan....

"Ya ampun!!" Prik berteriak keras.

"Tenanglah, aku masih hidup, lututku baru saja tergores."


"Ya, Anda belum mati, tapi saya akan mati. Saya pasti akan menerima hukuman setelah ini."

Prik sangat bingung dengan postur yang canggung sehingga sang putri menganggapnya lucu.

"Menurutmu itu lucu bukan? Saya mungkin mendapat pukulan yang sangat parah dari belakang"

"Omong-omong, di mana Khunpra Chom? Kemana dia pergi?"

"Ohh ...maaf tuan putri." Sikap Prik berubah dari takut akan hukuman setelah ini menjadi sangat bingung. "Aku
berbohong padamu tentang itu..."

"Apakah kamu bercanda, Prik?" Sang putri berpura-pura serius pada Prik.

"..."

"Beraninya kamu berbohong kepadaku tentang hal ini? Kamu tahu, aku lebih takut pada Khunpra Chom daripada
ayahku."

"Yah... apa yang sudah dilakukan sudah selesai, bukan?" Meskipun dia menanggapi sang putri seperti ini, kedua
tangannya tertunduk di kaki sang putri dengan penuh cinta dan ketakutan akan kematian.

"Hah, tapi lututku berdarah. Apa kamu ingin aku memaafkan kebohonganmu?" Putri Anilaphat tersenyum saat
melihat Prik gemetar seperti burung yang baru lahir. "Jika aku kembali ke istana seperti ini, semua pelayan pasti
akan panik."

"..."

"Aku belum menyebutkan ayah, ibu, dan saudara laki-lakiku." Sang putri masih menggodanya dengan terus-
menerus menyebut nama tuan Prik.

"Saya sangat menyesal. Tolong jangan hukum saya." Ketika sang putri melihat Prik yang terus-menerus gemetar,
sang putri memutuskan untuk berhenti menindas pelayan terdekatnya.

"Atau haruskah aku pergi ke Istana Bua Chompoo untuk membalut luka lututku?" Akhirnya sang putri menemukan
jalan keluar untuk Prik.

"Itu ide cemerlang," Prik gembira.

"Makasih atas pujiannya." Putri Anil dengan sinis mencibir padanya, tapi sepertinya dia tidak menyadarinya karena
sekarang dia fokus memungut semua buah plum hitam di tanah.

"Datang dan angkat aku, jangan hanya khawatir dengan buah plum hitam..." Putri Anilaphat mengalami kesulitan
untuk mencoba mendorong dirinya dari tanah. "Kamu harus mengkhawatirkanku."

"Baik, Tuan Putri! Kenapa saya harus membawa buah-buahan dan Tuan Putri seperti ini?" kata wanita itu sambil
menghela nafas.

"Haha, aku menantangmu untuk mengangkatku tinggi-tinggi." Sang putri memerintahkan dan menertawakan
pertengkarannya seperti biasa.

Jika ada orang lain, Prik tidak akan berani menyamakan dirinya dengan sang putri karena takut dihukum atau diusir
dari istana. Hanya ketika dia bersama sang putri, Prik akan berani berdebat dengannya karena dia tahu betapa sang
putri menyukai argumen tersebut.

Namun Putri Anilaphat tidak merawat Prik sebagai pelayan melainkan sebagai sahabat, rekan, bahkan sebagai
sahabat yang tak terpisahkan.

Saat sang putri bangun setiap pagi, hal pertama yang dia cari adalah Prik. Ketika sang putri kembali dari sekolah, dia
akan buru-buru mengganti pakaiannya dan pergi menemui Prik di dapur setiap hari.
Putri Anilaphat harus memiliki Prik di sisinya agar bisa berkolaborasi melakukan hal-hal nakal setiap hari.

Misalnya seperti mencuri jajanan dari dapur, tempat makanan tersebut khusus dibuat oleh Mae Paen, sang kepala
koki. Dia sangat menghargai makanannya sehingga harus dijaga. Kerupuk nasi goreng tersebut disimpan dalam
toples yang pantas untuk dicuri oleh sang putri dan teman-temannya, yang hanya terdiri dari Prik.

Catatan: Mae adalah kata dalam bahasa Thailand yang bisa berarti ibu, ibu atau istilah kasih sayang dan rasa
hormat terhadap perempuan atau individu yang menghadirkan perempuan dan di masa lalu, orang biasanya
memanggil perempuan dengan sebutan "Mae" diikuti dengan nama mereka.

Mereka berpura-pura menjadi hantu untuk mengelabui juru masak istana dan penjaga gerbang.

Belum lagi memanjat pohon untuk mencuri buah karena sudah berkali-kali dilakukannya. Mereka hanya akan
memilih pohon-pohon besar yang mekar sempurna yang disayangi Khunpra Chom untuk keperluan tamasya Raja.

Bisa dikatakan jika sang putri mengetahui pohon mana yang menjadi kesukaan ayahnya, maka keesokan harinya
pohon tersebut akan menjadi incaran Putri Anilaphat dan Prik untuk mencuri buah tersebut.

Pohon plum hitam raksasa ini bernasib sama dengan pohon-pohon sebelumnya.

"Tolong berjalan pelan-pelan, Tuan Putri."

Prik mengantar Putri Anilaphat ke Istana Bua Chompoo yang oleh Putri diberi nama "Istana Bua Pink Lotus" karena
banyaknya teratai merah muda di kolam di depan istana.

Istana kayu dua lantai sederhana berwarna kuning ini merupakan kediaman Putri Padmika. Ia merupakan saudara
jauh namun mempunyai hubungan dekat dengan marga Sawetawarit. Ayah Putri Padmika adalah sepupu Pangeran
Sawetawarit. Ia mempunyai beberapa putra dan putri dengan banyak simpanan.

Suatu hari, Lady Klai, ibunda Raja Istana Sawetawarit yang hanya melahirkan seorang putra tunggal, terpesona
melihat kelucuan putri bungsu sepupunya, Putri Padmika. Lady Klai ingin membesarkannya seperti anak angkat
sejak dia masih kecil. Boleh dikatakan Putri Padmika tumbuh bersama Raja Istana Sawetawarit layaknya saudara
kandung.

Sejak remaja, Putri Padmika telah mengabdi pada Yang Mulia di Istana Negara. Setelah kematiannya, Putri Padmika
memutuskan untuk meninggalkan Istana Raja untuk mendirikan kediaman kecil di Istana Sawetawarit di kawasan
yang diwariskan Lady Klai kepadanya.

Putri Padmika masih lajang dan tinggal di Istana Bua bersama para pelayannya. Dua tahun lalu, ia mengadopsi
Pilantita, putri satu-satunya dari kakak laki-lakinya, Pangeran Piya... Alasannya karena Pangeran Piya terlibat dalam
kecelakaan perahu yang terbalik hingga kematiannya bersama Lady Erb yang merupakan istrinya.

Pilantita Kasidit atau Lady Pin adalah seorang gadis cantik dan berpenampilan rapi. Dia tampak agak pemalu di
bawah pengawasan ketat dan disiplin bibinya, Putri Padmika.

Pilantita terlihat lebih tenang dibandingkan gadis lain seusianya.

Apalagi dibandingkan Putri Anilaphat yang hanya satu tahun lebih muda dari Lady Pin.

"Apa yang terjadi dengan Putri Anil, Prik? Dia berjalan pincang." Pilantita sedang belajar membuat pangsit bersama
Mae Koi, juru masak di paviliun tepi sungai menyambut Prik yang mendukung Putri Anilaphat ke arahnya.

Wajah manis Lady Pin kini penuh kekhawatiran.

"Dia jatuh dari pohon Plum Raksasa," kata Prik pada Lady Pin. "Dia memanjat pohon itu seperti monyet."

"Prik!!!" Lady Pilantita berteriak dengan marah, dengan mata indahnya menatap Prik dan berkata, "Jangan terlalu
banyak menuduh sang putri."
Prik menunduk. Tatapan mata Pilantita yang manis dan penuh amarah bahkan lebih menakutkan daripada tatapan
mata tegas Putri Padmika.

"Putri Anilaphat juga. Kamu terus saja tertawa." Kali ini dia menatap Putri Anilaphat dengan tatapan marah.

"Mau bagaimana lagi aku ingin menjadi monyet seperti kata Prik," ejeknya, tapi Lady Pin tidak tertawa dan terlihat
tidak puas.

Tetap saja, Lady Pin menatap lutut Putri Anilaphat yang memar dengan prihatin.

"Aku akan membalut lukamu." Wajah Lady Pin cemberut, tapi suaranya lembut.

"Prik, bisakah kamu membawakanku peralatan medis dari dalam istana? P' Koi, tolong bawa Prik ke sana." Lady Pin
menoleh ke Mae Koi, yang menjawabnya dengan sederhana.

Catatan: P' adalah kata dalam bahasa Thailand yang berarti kakak perempuan atau laki-laki. Ini digunakan untuk
menyapa seseorang yang lebih tua dari Anda dengan hormat. Misalnya, Anda bisa mengucapkan P' Perm untuk
memanggil pria yang lebih tua bernama Perm.

"Ya, My Lady."

Pilantita melihat ke belakang Prik dan P'Koi hingga mereka memasuki istana lalu menoleh ke Putri Anilaphat
dengan mata geram.

"Sepertinya kamu terlalu nakal."

"Kok bisa? Aku hanya ingin makan buah plum hitam besar."

Saat pertama kali bertemu dan saat mereka berduaan saja, Putri Anilaphat berusaha meyakinkan Pilantita untuk
memanggilnya dengan namanya, bukan menggunakan gelar kerajaan karena 'Teman tidak boleh bicara seperti itu.'

Kemudian, tindakan tersebut dianggap sebagai tindakan bawaan.

Pada awalnya, Lady Pin, yang diajari secara ketat dalam praktik tradisional seperti bibinya, tidak dapat dengan
mudah mematuhi perintah sang putri. Namun, Putri Anilaphat terlalu keras kepala. Dia meyakinkan Lady Pin untuk
mendengarkan banyak alasannya sampai Lady Pin akhirnya menurutinya. Lady Pin merasa sulit untuk
menghilangkan gelar kerajaan. Akibatnya, percakapan kedua gadis bangsawan itu menjadi canggung.

"Aku tidak tahu lagi. Siapa yang menyuruhmu memanjat pohon itu?"

"Aku juga tidak tahu. Aku hanya tahu bahwa aku ingin berbagi buah plum denganmu."

Putri Anilaphat sambil tersenyum memperlihatkan lesung pipit yang lucu dan menggemaskan.

Lady Pin memandangi tubuh Putri Anilaphat yang ternoda dan menggelengkan kepala serta mendesah. Dia
mengulurkan tangannya untuk menghilangkan kulit kering dari kepala Putri Anilaphat.

"Kapan aku bilang aku menginginkan buah plum hitam? Kamu pasti keras kepala karena mungkin ada yang akan
memberitahumu bahwa itu adalah pohon plum hitam kesukaan raja. Dia bahkan memerintahkan Khunpra Chom
untuk merawatnya dengan baik, dan tidak membiarkan para pelayan mencuri buah plum hitam itu..."

Ucapnya dan dengan lembut mengibaskan pakaian Putri Anilaphat yang sudah dibersihkan dari debu

"Tidak ada pelayan yang berani melanggar perintahnya. Hanya putri bungsu Raja yang ingin menjadi pencuri sejak
dia masih kecil."

Putri Anilaphat tidak membantah lagi tetapi terus tertawa tanpa henti dan berpikir dengan rasa ingin tahu.

Pilantita dikabarkan bersuara lembut dan pendiam.


Mengapa dia mengeluh begitu lama tentang Putri Anilaphat kali ini? Sang putri mulai merasa sedikit menyesal.

"Putri Prik telah tiba."

Prik mengeluarkan suara. Dia membawa beberapa kotak P3K. Mae Koi tidak mengikutinya karena menurutnya
Lady Pin tidak berminat untuk terus belajar memasak bersamanya lagi.

"Putri apa?" Putri Anilaphat mengejek Prik sambil tersenyum.

"Prik sudah melewati batas, kamu pantas dipukul," ucap Lady Pin dengan nada kesal.

"Dicambuk dengan rotan akan lebih pantas," bantah Putri Anil sambil tersenyum jahat.

"Anda sangat bijaksana." Prik berpura-pura membungkuk.

"Jika kamu masih bermain, aku mungkin akan mati kehabisan darah."

Lady Pilantita memandang Putri Anilaphat lagi dengan tidak sabar, namun buru-buru mulai membersihkan luka di
lutut sang putri dengan lembut. Dia mengoleskan salep antibiotik sebelum menutupinya dengan perban putih bersih
untuk menyelesaikan langkah pertolongan pertama.

"Apakah kamu merasa lebih baik?"

Lady Pin mengangkat matanya untuk melihat Putri Anilaphat dengan prihatin, takut menyakitinya setelah
mengoleskan salep. Namun, dia mendapati pemilik wajah tanpa cela itu kini tersenyum ramah.

"Aku sudah lebih baik sekarang, setelah kamu berhenti mengeluh."

"..."

Putri Anilaphat membuat mata Lady Pin terbelalak. Jika mereka sedang berdua, Lady Pin akan mencubit lengan
Putri Anil.

"Anda sangat "bijaksana"."

"Prik!" Lady Pin melirik ke arah Prik, yang sama nakalnya dengan tuannya.

"Aku ingin makan buah plum hitam." Putri Anilaphat melihat mata Lady Pin menjadi marah dan buru-buru
memotongnya. "Prik, siapkan garam dan merica."

"Anda sangat "bijaksana"."

"Prik!!!" Lady Pin berteriak.

"Aku akan menyiapkan garam dan merica, dan beberapa buah plum hitam sekarang, Tuan Putri."

Prik berlari cepat ke dapur karena takut akan tatapan Lady Pilantita.

"Sepertinya Prik lebih takut padamu daripada aku sekarang." Putri Anilaphat bergumam.

Sang Wanita memandang wajah Putri Anilaphat dengan heran hingga dia mengetahui alasan mengapa Prik tidak
pernah takut pada tuannya.

Mungkin karena matanya yang bersinar, cerah, dan lembut. Dia belum pernah melihatnya dari orang lain. Bibirnya
yang berwarna terang selalu tersenyum tanpa sedikit pun amarah, bahkan satu kali pun.

"Karena Anil seperti ini, siapa yang takut padamu?" Lady Pin menatap Putri Anilaphat sambil menggigit bibirnya
erat-erat. "Kamu menggemaskan."
"Menggemaskan?" sang Putri mengangkat alisnya karena penasaran. "Apakah kamu memujaku?"

Putri Anilaphat tersenyum saat lesung pipitnya muncul di pipinya yang tanpa cela. Lady Pin tidak balas tersenyum
dan melihat ke arah yang berlawanan.

"Aku datang." Prik muncul dengan sepiring plum hitam yang menggugah selera dan semangkuk garam dan merica.

Ketika Putri Anilaphat melihat sepiring buah plum hitam, dia tersenyum dan mengulurkan tangannya untuk
mengambil buah plum hitam. Tiba-tiba tangannya dipukul oleh Lady Pin di depan mata Prik yang berpura-pura
tidak melihat aksi tersebut.

"Kamu harus mencuci tanganmu dulu." Lady Pilantita meraih tangan Putri Anilaphat. "Lihat, tanganmu kotor."

Putri Anilaphat sedih ketika dia melihat mata Lady Pin yang geram.

Prik menelan ludahnya saat dia memperkirakan hal ini sebelumnya.

"Prik," kata Lady Pin sambil masih menatap tajam ke arah Putri Anilaphat.

"Ya, My Lady."

"Ambil semangkuk air untuk mencuci tangan sang putri."

"Ya, My Lady." Prik menjawab dan masuk ke istana lagi. Dalam benaknya, dia mengagumi dirinya sendiri karena
telah meramalkan kejadian tersebut.

Tanpa ragu lagi, Lady Pin berani memukul Putri Anil di depan mata Prik. Namun, dia tidak berani memerintahkan
sang Putri untuk mencuci tangannya sendiri. Sebenarnya Lady Pin sendiri selalu memanjakan Putri Anilaphat!
Karma itu kemudian menjadi milik Prik, dia yang harus bolak-balik keluar masuk istana!

Kali ini Putri Anilaphat tidak tersenyum dan merajuk, berulang kali mengusap punggung tangannya yang terkena
pukulan Lady Pin. Dia terlihat sangat menyedihkan.

Lady Pilantita melihat tangan putih mulus sang putri memerah, dan tiba-tiba hatinya melemah.

Anil, apakah kamu terluka?

Lady Pin mengangkat matanya yang indah untuk menatap mata Putri Anil dan dengan lembut membelai tangannya
untuk menghiburnya sejenak.

"Rasa sakitnya hilang sejak pertama kali kamu menggosok tanganku." Putri Anil berkata sambil tersenyum. "Jika
aku dipukul dan kamu menghiburku seperti ini..."

"Kamu bisa memukulku kapan saja kamu mau..."

~Bersambung~
BAB 2

Jangan lupa buat vote (⭐) ya

Ulat

Kehidupan sehari-hari Lady Pin cukup sederhana.

Dia pergi ke sekolah dari Senin sampai Jumat. Dia bangun pagi-pagi sekali, mandi, berpakaian, menata rapi rambut
hitam panjangnya yang halus tergerai hingga ke tengah punggungnya. Setelah itu dia turun dan melihat Mae Koi
menyiapkan sarapan pagi yang biasanya berupa nasi rebus dengan topping atau masakan sederhana seperti sayur
goreng, babi goreng, atau ikan goreng.

Sebenarnya Raja meminta Lady Pin untuk bersekolah bersama Putri Anilaphat dengan mobil mewah setiap hari
karena mereka belajar di sekolah yang sama; tempat semua bangsawan belajar. Namun, bibinya tidak menyetujui
permintaan Raja karena dia yakin Lady Pin tidak seharusnya menempatkan dirinya sejajar dengan sang putri. P'
Perm ditugaskan untuk mengemudikan 'Chao Kae' satu-satunya mobil tua yang tersedia di Istana Bua.

Bibinya tidak tahu... Sering kali Putri Anilaphat berdiri untuk menumpang Chao Kae di gerbang belakang istana
untuk menumpang Lady Pin.

"Yang Mulia, mengapa Anda masuk ke dalam mobil ini? Dimana Lung Plai?"

Catatan: Lung adalah kata dalam bahasa Thailand yang berarti Paman.

Pada awalnya, P' Perm merasa sangat gugup sehingga dia tidak bisa berbuat apa-apa saat melihat Putri Anilaphat
membuka pintu mobil dan duduk di samping Lady Pin dengan wajah datar.

"Lung Plai? Aku tidak tahu. Aku menyuruhnya mengemudi tiga putaran mengelilingi Thewes sampai Thaksinawat."

"Saya tidak mengerti apa yang Anda katakan, Yang Mulia."

"Kamu hanya perlu tahu bahwa aku akan pergi ke sekolah dengan mobil ini, P'Perm. Jika Anda bertanya lagi, aku
akan memberi tahu ayahku bahwa kamu membuatku tidak senang."

Setelah apa yang dikatakan sang putri, P'Perm menghentikan keraguannya.

Sejak hari itu, setiap kali P'Perm mengemudi dan melihat Putri Anilaphat tersenyum lebar melambaikan tangannya
untuk menghentikan mobil di dekat tembok istana...

P'Perm akan menghentikan mobilnya tanpa mengeluh.


Lady Pin sendiri tidak bisa berkata lebih banyak.

Kapanpun dia hendak mengadu kepada Putri Anilaphat... saat dia melihatnya sang putri menoleh ke belakang
dengan senyum berlesung pipitnya, Lady Pin merasa sangat lemah. Dia bisa hanya memalingkan wajahnya melihat
pemandangan di luar jendela mobil.

Bagaimana Lady Pin bisa memarahinya?...

Putri Anilaphat berperilaku baik dan hanya duduk diam. Dia bahkan tidak melakukannya mengganggu,
mengganggu, atau mengganggunya.

Begitu sampai di sekolah, Putri Anilaphat langsung berlari dan menghilang ke dalam kelompok besar teman-
temannya. Lady Pin terbiasa melihat Putri Anilaphat diantara sekelompok anak perempuan dengan usia yang sama
di pagi hari sebelum kelas, saat makan siang, atau bahkan
setelah pelajaran usai.

Meski Putri Anil dikelilingi banyak teman, Lady Pilantita tetap bisa
mengenalinya dengan mudah dari kerumunan.

Seolah-olah tubuh Putri Anilaphat bersinar dan bermandikan sinar matahari.

Tidak dapat dihindari bahwa setiap kali dia membawa mobilnya untuk pergi, dia akan membawanya kembali untuk
dikembalikan.

Suatu hari, sang putri menumpang untuk pergi dan pulang. Namun, tumpangan Putri Anilaphat tidak dapat
diprediksi.

Kapan pun Putri Anil ikut dalam perjalanan ke sekolah atau kembali ke rumah, pada hari itu Lady Pin akan sangat
bahagia.

Saat Lady Pin kembali dari sekolah, rutinitas utamanya dimulai. Bibinya sering menyiapkan tugas-tugas yang
dianggap wajib dipelajari oleh para wanita istana. Tugasnya seperti mengupas maprang, mengukir buah, membuat
bunga mawar kaca, melipat pangsit, atau membuat jajanan Pang Sib. Kadang-kadang bahkan duduk mengumpulkan
karangan bunga sampai punggung terasa kaku agar bibinya dapat memiliki karangan bunga untuk pemujaan patung
Buddha di malam hari.

Catatan : Maprang adalah buah mangga kecil yang menarik, seukuran dan berbentuk telur. Daging bagian dalam
berwarna oranye terang. Bentuknya seperti jeli, lembut, dan sedikit berserat. Para wanita istana biasanya
membawanya untuk diukir dalam berbagai bentuk seperti cangkang dan disantap dengan sirup dan es sebagai
hidangan penutup favorit mereka di musim panas.

Di awal pelatihannya, bibinya sering mengajar Lady Pin sendiri. Setiap langkah prosesnya rinci, teratur, cermat, dan
teratur. Lady Pin terkadang menahan napas karena takut melakukan sesuatu yang bertentangan dengan keinginan
Putri Padmika.

Setelah bibinya menganggap keterampilan Lady Pin sudah cukup, dia mengizinkan Lady Pin berlatih bersama Mae
Koi sendirian di paviliun di depan kolam teratai dari sore hingga hari gelap.

Setiap senja, selama ini, dia selalu menantikan bertemu seseorang setiap harinya.

Orang yang selalu bermain di malam hari seringkali mengalihkan perhatiannya dengan satu atau lain cara.

Dia akan melarikan diri setelah mencuri makanan ringan dari Dapur istana utama. Dia sering menyembunyikan
lukanya karena bermain dengan kotak P3K. Terkadang dia dengan tenang mengikuti pelajaran mengukir buah, tapi
dia akan makan sambil mengukir tanpa meninggalkan sisa pekerjaan yang sudah selesai atas saran Mae Koi.

Ada beberapa kali dia membawa buku pelajaran untuk meminta bantuan Lady Pin mengerjakan pekerjaan rumah.

Sepertinya dia berpura-pura mengejek seolah-olah buku-buku itu adalah alasan bahwa Putri Anil biasa menirunya
dan membuatnya pusing dengan menjawab pertanyaan-pertanyaannya yang tak ada habisnya.

Ada suatu masa ketika Lady Pin mengalami sakit kepala yang terasa seperti demam ketika Putri Anil membawakan
pekerjaan rumah bahasa Thailand-nya untuk memintanya mengajarkan peribahasa Thailand.

"Khun Pin, apa maksudnya mendorong lesung ke atas gunung?"

Catatan: Khun adalah gelar kehormatan yang digunakan untuk menyapa atau menyebut seorang pria atau wanita
yang berstatus sosial tinggi atau seseorang yang mempunyai kedudukan terhormat. Kata ini sering digunakan untuk
menunjukkan rasa hormat dan kesopanan saat menyapa atau menyebut orang tersebut.

"Artinya melakukan sesuatu di luar kemampuanmu, Putri Anil. Itu membutuhkan banyak kesabaran."

"Haruskah kita membawa penumbuk?"

"Ae... itu tidak disebutkan di buku pelajaran."

"Lalu mengapa seseorang perlu mendorong lesung ke atas gunung agar bermakna jika Anda tidak membawa
penumbuknya?"

"..."

"Dan, jika kamu mengangkat lesung dan penumbuk, apa yang akan kamu lakukan selanjutnya? Membuat sambal
terasi?"

"..."

"Ada apa, Khun Pin? Mengapa kamu terlihat seperti akan pingsan?"

Pada hari-hari ketika Putri Anil dan teman-temannya (dan ketika bersama teman-temannya, hanya ada Prik) tidak
muncul, bahkan tidak ada tanda apa pun, Lady Pin akan selalu berpikir bahwa merupakan sebuah berkah karena
tidak ada pembuat onar yang mengalihkan perhatiannya setiap hari.
Meski terus mengatakan hal itu pada dirinya sendiri, mata Pilantita terus mencari kedua gadis itu hingga langit
berubah menjadi biru tua.

Setiap malam sebelum Lady Pin tidur, dia akan membacakan doa bersama bibinya dalam waktu yang lama di
musala, sebelum bibinya mengizinkannya tidur.

Lady Pin memiliki kamar tidur pribadinya sejak hari pertama dia memasuki Istana Bua, yang sangat dia cintai.

Ruangan itu luas, indah, dan didekorasi dengan penuh perhatian dengan perabotan feminin oleh bibinya.

Ruangan itu memberinya rasa percaya diri, bahwa memastikan kesediaan bibinya untuk menafkahinya baik lahir
maupun batin membuatnya betah, aman, dan tenteram.

Sebelum tidur, Lady Pin menyiapkan buku pelajarannya sesuai dengan jadwal besok. Setelah memeriksa ulang
apakah semuanya sudah siap...

Dia mulai menulis dalam jurnal garis kisi-kisi tebal yang tersembunyi di laci di atas meja.

Dia mengungkapkan pemikiran pribadinya, menuliskannya huruf demi huruf.

Kata demi kata...

Dia menyampaikan kisah-kisah yang berkesan dan tak terhapuskan ke dalam jurnal berjejer itu. Lady Pin merasakan
kesedihan saat menanggapi pesan-pesan tertentu, sementara senyuman muncul di wajahnya saat membaca cerita
yang menyentuh hatinya yang tersirat di jurnal.

Dia pertama kali mulai menulis jurnal ketika dia kehilangan ayah dan ibunya pada saat yang bersamaan.

Saat itu kesedihan mulai meresap jauh ke lubuk hatinya. Lady Pin menyadari bahwa kenangan yang dia miliki
tentang keluarganya perlahan-lahan hilang seiring berjalannya waktu hingga kenangan itu mengering. Bayangan
kebahagiaan keluarganya saat ini menjadi kabur sepenuhnya.

Melupakan kisah-kisah penting yang ingin kamu pertahankan, bisa lebih menyakitkan daripada mengucapkan
selamat tinggal.

Sekalipun kamu ingin mengingatnya sekali lagi, kamu tidak dapat...

Lady Pin mendedikasikan dirinya untuk mendokumentasikan semua kisah yang berkesan dan abadi dalam buku
hariannya, untuk mengingat semua kenangan, peristiwa, dan perasaan berharga sepanjang hidupnya.

Seandainya dia kehilangan seseorang atau sesuatu sekali lagi.

Dia akan bisa mengingat kembali kenangan itu dengan secarik kertas halus, setidaknya di buku hariannya sendiri....

Setiap malam... Setelah dia selesai menulis jurnal, dia bersiap untuk tidur lebih awal.

Dia akan mulai dengan bergantian antara menepuk dan menyeka kasur hingga bersih dengan tangannya seperti yang
selalu diajarkan bibinya.

Kemudian dia melantunkan doa singkat lalu sujud tiga kali di atas bantal. Selanjutnya, dia berbaring dan dengan rapi
menyelipkan selimut ke lehernya.

Sayangnya, Lady Pin bergulat dengan kesulitan tidur. Seringkali tanpa sengaja menghubungkan banyak cerita di
kepalanya, seperti kuncup tanaman ivy yang menempel di pagar.

Sampai dia bisa tertidur, hal itu cenderung berlangsung hingga larut malam.

Rutinitas harian Lady Pin tampaknya berada dalam siklus yang berkelanjutan di masa sekolahnya.
Namun meski hari Sabtu atau Minggu, Lady Pin tetap harus bangun saat fajar, karena bibinya tidak senang
melihatnya tidur sampai matahari terbit. Di akhir pekan, Lady Pin sering kali hanya mengenakan gaun kecil bermotif
bunga, terlihat cantik dan imut.

Tugas utamanya di akhir pekan adalah membantu bibinya menyiapkan makanan untuk dipersembahkan kepada para
biksu yang datang untuk menerima dana makanan di gerbang belakang istana. Setelah itu, Lady Pin akan sarapan
bersama bibinya di pagi hari.

Makan malamnya yang terlambat pada hari libur jauh lebih istimewa daripada hari sekolahnya karena bibinya secara
pribadi mengawasi masakan Mae Koi.

Setelah selesai sarapan, biasanya bibinya pergi melakukan keperluan di dalam dan di luar istana.

Untuk keperluan di dalam, bibinya bertanggung jawab memeriksa ketertiban ruang Dapur Istana Depan, terutama
saat menyambut pengunjung penting atau hari pesta baik untuk tamu dalam maupun luar. Bibinya pun dengan
sukarela menjadi kepala yang mengarahkan segalanya demi menyenangkan Raja.

Untuk urusan luar, dia bisa pergi ke pasar, pasar kain, pasar bunga, atau bertemu teman lama dari masa remajanya di
Istana Utama.

Di hari senggang seperti ini, Lady Pin biasanya menghabiskan waktunya dengan membuat jajanan seperti Pang Sib
atau Miang Lao, mengerjakan PR, atau terkadang membaca buku pelajaran di ruang baca bibinya.

Catatan: Pang Sib adalah Pangsit Thailand yang terbuat dari lembaran tipis adonan nasi atau gandum yang diberi
daging cincang dan dikukus. Miang Lao adalah camilan lezat yang dibuat dari makanan ringan yang dibungkus
dengan daun, dimakan bersama dengan saus manis dan asin.

Hari ini... selain duduk sendirian melihat pemandangan sekitar di paviliun depan kolam teratai, Lady Pin tidak ingin
melakukan apa pun.

Dia menghela nafas lama ketika dia menyadari bahwa selama periode ini... Seseorang sepertinya terdiam.

Sepertinya dia tidak melihat wajah orang itu... selama berhari-hari.

"Mengapa perhatianmu terlihat begitu terganggu, Lady Pin?"

Suara lembut yang familiar itu terdengar di telinganya, Lady Pin kemudian terkejut ketika dia menemukan bahwa
wajah Putri Anilaphat hanya berjarak sejumput dari wajahnya.

"Anil..."

Tanpa disadari, Lady Pin sebisa mungkin menjauhkan diri dari Putri Anil, seolah-olah dia takut Putri Anil
mengetahui bahwa detak jantungnya berdetak begitu cepat.

"Sejak kapan kamu datang, Anil? Aku tidak melihat adanya suara apa pun."

"Beberapa saat yang lalu. Aku duduk di sini dan menunggu beberapa saat, berharap kamu akan memperhatikanku."
Putri Anilaphat tersenyum lembut, mendorong Lady Pin untuk tersenyum sebagai tanggapan sebelum dia
menyadarinya.

"Sedikit yang aku tahu... aku terus menunggu." Putri Anil tertawa kecil sebelum mengarahkan perhatian Lady Pin ke
kotak kaca mungil di depannya, ditutupi oleh kain tipis berwarna gelap.

"Apa itu, Anil?" Alis indah Lady Pin bertanya dengan curiga sebelum matanya melebar saat Putri Anil akhirnya
membuka penutup kotak misterius itu.

"C-cacing!!!"
Lady Pin hampir tidak dapat berbicara ketika dia melihat cacing kaca hijau montok memanjat batang oleander di
dalam kotak kaca persegi panjang itu.

Terdapat koran yang diletakkan di bagian bawah kotak untuk menampung kotoran cacing. Kisi-kisi baja yang
ditutupi daun selada air hijau subur ditempatkan di atas kertas.

"Apa kamu bersenang-senang dengan ini Anil?" Lady Pin bertanya dengan tenggorokan gemetar.

"Bersenang-senang?... Aku sangat serius di sini." Mata Putri Anilaphat yang gelap namun cemerlang terlihat sangat
tegas.

"Memelihara cacing ini, apakah niatmu?" Lady Pin memiringkan kepalanya sambil melihat cacing gemuk berwarna
hijau muda merayap dari satu batang oleander ke batang lainnya dengan lamban.

"Aku memelihara kupu-kupu, bukan cacing!"

Bibirnya yang penuh dan bergelombang berkata dengan marah.

"Pada akhirnya, ulat yang gemuk dan lamban ini akan berubah menjadi kupu-kupu yang cantik."

"Itukah yang tertulis di buku pelajaran?" Lady Pin memiringkan lehernya dan melihat lagi cacing kaca di kotak
persegi dengan penuh pertimbangan.

"Ya...itu tertulis di buku pelajaran asing, buku bergambar di ruang baca ayahku." Suara Putri Anil sangat
mempesona, "tapi aku ingin tahu apakah itu benar... jadi aku pergi mengambil cacing di bawah pohon selada air Ta
Som."

"..."

"Aku juga mengambil beberapa daun selada air, oleander untuk memberinya makan." Putri Anil tampak begitu
bangga saat menceritakan bagaimana ia memberi makan cacing yang terus makan, makan, dan makan.

"Kenapa kamu tidak percaya pada buku pelajaran?"

"Bukannya aku tidak percaya pada buku pelajaran." Putri Anilaphat berkata sambil berpikir, "aku hanya ingin tahu
apakah itu benar."

"Kamu adalah gadis yang aneh"

Walaupun Lady Pin sendiri lebih tua, tingginya hanya sebahu Putri Anilaphat, namun terkadang Lady Pin tidak bisa
menahan diri ketika ada kesempatan untuk menekan Putri Anilaphat sebentar saja "tetap saja, sepertinya kamu
sangat penasaran."

Lady Pin tahu di dalam hatinya bahwa pemikiran Putri Anilaphat berbeda dari yang lain, tidak hanya dibandingkan
dengan gadis-gadis pada usia yang sama, tetapi juga tidak seperti semua orang yang dia kenal sepanjang hidupnya.
Putri Anilaphat sering mempertanyakan keingintahuannya dan menolak untuk mematuhi larangan atau aturan apa
pun sehingga dia tidak dapat menemukan alasan untuk mendukungnya.

Oleh karena itu yang dikatakan adalah kebiasaan kerajaan, kelasnya terdiri dari putri-putri yang sangat dekat
dengannya, namun tidak satupun dari mereka yang menyerupai Putri Anilaphat.

Ada putri yang sombong, menyebabkan orang lain membungkuk dan berjalan berlutut. Beberapa di antaranya sangat
rapi. Namun, tidak ada orang yang nakal dan bijaksana seperti Putri Anilaphat.

"Prik lebih penasaran dariku," Putri Anilaphat tersenyum ketika bercerita tentang teman dekatnya yang hari ini tidak
terlihat, bahkan bayangan pun tidak ada.

"Kemarin, Khunpra Chom memarahi seorang pelayan di Istana Depan karena gelisah seperti cacing tanah yang
menjadi abu... Prik bertanya-tanya bagaimana jadinya, jadi dia mengambil abunya dan menaburkannya pada cacing
tanah. Begitu Prik mengetahui maksudnya, aku akan mengetahuinya juga."

"Bicaramu kesana kemari... Anil keras kepala sekali." Lady Pin dengan lelah menghembuskan napasnya, tapi jauh di
lubuk hatinya dia menaruh kasih sayang yang begitu besar kepada orang di depannya sehingga dia tidak bisa
menahan senyum kecilnya.

"Perhatian dariku juga." Putri Anil mengulangi kata itu dengan menjentikkan lidahnya hingga membentuk bunyi 'r'
yang jelas.

"Begitukah, Lady Pin?"

Sang putri dengan polosnya tersenyum membuat dirinya terlihat lucu dan menggemaskan hingga membuat Lady Pin
bingung dan tiba-tiba mengganti topik.

"Jadi gimana?"

"Bagaimana?"

"Cacing tanah itu."

Bukannya menjawab, Putri Anil mengangkat bahu, menggeliat, dan tertawa tanpa henti.

Lady Pin tidak bisa berhenti tertawa. Tindakan Putri Anil sama sekali tidak terlihat seperti cacing tanah yang jelek
dan menjijikkan.

Itu hanya akan membuatnya menjadi lebih manis...

Mungkin karena wajah Putri Anilaphat yang menarik perhatian, alisnya yang indah dan ramping menyerupai potret
yang dibuat dengan cermat, matanya yang gelap dan ramping dan tajam bersinar dengan intens, batang hidung yang
anggun turun ke bibir merah muda bergelombangnya yang indah dan bergelombang. Kulitnya yang halus dan
bercahaya melengkapi pipinya yang kemerahan yang mudah memerah saat dia sedang bermain.

Meskipun demikian, bibinya yang tidak pernah memuji siapa pun, terkadang menyebutkan betapa cantiknya Putri
Anilaphat di mata Lady Pin, dan dia belum pernah melihat orang secantik dia.

"Apakah ada sesuatu di wajahku?"

"Apa?"

"Aku melihatmu menatapku lama sekali." Saat Lady Pin melihat Putri Anilaphat dengan penasaran mengangkat
alisnya tinggi-tinggi dan mengangkat tangannya untuk mengusap wajahnya, mau tidak mau dia harus mengganti
topik pembicaraan lagi.

"Apakah ulat ini benar-benar akan menjadi kupu-kupu?"

"Itu akan... tapi pertama-tama ia harus berubah menjadi kepompong." Putri Anil dengan ramah menyentuhnya ulat
lembut dengan jari telunjuknya.

"Setelah lepas dari kepompongnya, ia akan menjadi kupu-kupu yang cantik."

"Sulit dipercaya. Bagaimana ulat gemuk seperti itu bisa berubah menjadi kupu-kupu ringan?" Lady Pin masih
bertanya-tanya.

"Katakan saja...bolehkah aku menitipkan kotak kaca ini padamu untuk dijaga di Istana Bua?"

Wajah Lady Pin menjadi pucat, membayangkan dirinya merawat sendiri cacing peliharaan Putri Anilaphat.

"Untuk apa? Kenapa aku harus merawat ulat jelek ini!"


"Menyimpannya bersamamu adalah ide yang bagus, jadi aku bisa sering datang ke sini."

Putri Anilaphat bersinar sangat terang saat dia mengucapkan kalimat itu.

"Untuk melihat ulat itu?" Ucapan Lady Pin lemah.

"Tidak..." jawab Putri Anilaphat sambil tertawa.

"Sampai jumpa."

~Bersambung~
BAB 3

Jangan lupa tekan ⭐ ya!!

Pekan Raya Kuil

"Apakah kamu yakin Bibi Pad tidak ada di sini sore ini?"

Putri Anilaphat meminta untuk memastikan setelah mendengar Prik memberitahunya bahwa Putri Padmika akan
pergi ke pemakaman temannya di pinggiran kota malam ini.

"Pastinya seperti kematian." Kata Prik sambil tersenyum di sudut mulutnya. "Semoga dia kembali ke istana saat
larut malam."

"Tersenyum seperti itu, apa yang ada di pikiranmu, Tuan Putri?" kata Pilantita sambil menatap Putri Anilaphat
dengan hati-hati.

"Malam ini, pekan raya kuil akan diadakan di kuil belakang istana, Khun Pin." Kelap-kelip mata Putri Anilaphat
mewakili ribuan makna, "Aku ingin mengajakmu pergi ke pekan raya bersamaku."

Lady Pin membelalakkan matanya karena kagum.

Bagaimana dia... berani keluar saat senja? tidak hanya melarikan diri ke pekan raya kuil tetapi juga meninggalkan
istana setelah matahari terbenam? Pilantita bahkan tidak berani memikirkannya.

"Aku tidak berani. Ini sangat berbahaya."

"Tidak apa-apa, My Lady. Saya dan Sang Putri sering melarikan diri ke pekan raya kuil. Itu tidak berbahaya sama
sekali. Selain itu, ini sangat menyenangkan."

Prik, yang duduk di dekat lutut Lady Pin, berbicara dengan nada pelan, yang membuat Lady Pin memandangnya
sambil berpikir. Memang benar Putri Anilaphat dan yang lainnya dapat hidup tanpa batasan, karena mereka tidak
pernah dengan mudah mengikuti aturan apapun.

Tapi itu tidak berarti kelalaian itu diberikan dengan murah hati padanya...

"Ikutlah denganku, Lady Pin, tidak mudah mendapatkan kesempatan seperti ini."

Putri Anilaphat memandang Lady Pin dengan mata polosnya, Lady Pin bahkan tidak berani berbicara untuk
menolaknya karena takut hal itu akan membuatnya tertekan.

Akhirnya, ketiga gadis itu menyelinap keluar istana, berangkat dari tembok di belakang istana, mengunjungi pekan
raya kuil kecil di gang belakang istana.

Bagi Pilantita, pekan raya kuil ini sangat spektakuler, dengan gemerlap cahayanya, warna-warna cerah, dan suara
sekitar yang imersif yang dapat membuat kewalahan, membuat matanya kabur dan sulit untuk ditolak.

Toko-toko berjejer dan memenuhi kedua sisi jalan, menawarkan berbagai macam barang. Ada yang menjual jajanan,
ada pula yang menawarkan hidangan gurih seperti bihun dengan santan atau mi goreng. Yang benar-benar menarik
perhatian adalah lengkungan tarian yang memikat hati Prik, membuatnya rindu untuk bergabung dengan paman dan
bibinya di atas panggung, hingga lehernya seolah terus terjulur karena nafsu.

Satu-satunya kendala yang menghalanginya adalah perintah tegas dan alasan Putri Anilaphat dengan suara lembut,
"Prik, kamu masih sangat muda. Ada orang mabuk di atas panggung. Jika ada pedofil yang datang untuk menindas
Prik, apa yang akan kamu lakukan? Itu akan membuat frustrasi dan membuang-buang emosi."

Bagaimana bisa Prik mengabaikan kata-kata dari Yang Mulia ini? Oleh karena itu, setiap kali dia menghadiri pekan
raya kuil, Prik hanya bisa memandangi panggung tarian, sering kali membuat lehernya tegang saat melakukannya.

Bahkan jika dia tidak bisa keluar dan menari sesuai keinginannya...

Prik lebih mematuhi Putri Anilaphat daripada ayah dan ibunya, Plai dan Yuan. Meskipun Putri Anilaphat terkadang
menunjukkan kenakalan seperti anak kecil, terkadang pemikirannya tampak sangat rumit dan mendalam untuk anak
seusianya.

"Semuanya luar biasa!" Putri Anilaphat berkata dengan ramah.

"Itu benar, Yang Mulia." Prik dengan cepat menjawab.

"Ssst."

Putri Anilaphat mengangkat jari telunjuknya untuk menyentuh mulutnya, tidak ingin Prik menggunakan gelar
kerajaan di luar istana.

"Oh ya!"

Prik dengan cepat menyesuaikan kata-katanya, tapi kata-katanya tetap cukup meyakinkan.

Mendorong Lady Pilantita untuk mengerutkan kening pada Prik karena tampaknya memanfaatkan setiap
kesempatan bersama Putri Anilaphat.

Sedangkan Putri Anilaphat sangat senang Prik berbicara kepadanya seperti seorang teman.

"Nu Pin."

Catatan: Nu dalam bahasa Thailand adalah kata ganti orang ke-2 yang digunakan untuk memanggil seorang anak
perempuan atau laki-laki dan menyiratkan perasaan lembut pembicara terhadap anak tersebut, Biasanya
menggunakan Nu+nama panggilan anak tersebut misalnya Nu Anil, Nu Pin, Nu Prik. Sebenarnya Anil lebih muda
dari Pin tapi dia bertingkah lebih tua.

"Ya?"

Meskipun Lady Pin merasa kesal dengan cara Putri Anilaphat menyapanya, dia harus menjawab dengan enggan.

"Ada apa? Kenapa wajahmu cemberut?" Putri Anilaphat mengangkat alisnya tinggi-tinggi, "Apakah kamu ingin
makan permen kapas?"

"Siapa yang mau permen kapas? Aku... ah, aku hanya takut ada orang di istana yang melihat kita..."

"Jangan takut, Anil ada di sini," Putri Anilaphat mengangkat tangannya dan menepuk dadanya dengan sungguh-
sungguh, membuat Lady Pin tersenyum tak berdaya.

Lady Pin menganggap cara Putri Anilaphat menyebut dirinya dengan namanya sendiri sangat lucu dan
menggemaskan.

"Apakah kamu kepanasan, Nu Pin?"

"TIDAK."

"Kalau kamu tidak kepanasan, kenapa pipimu jadi merah?" Putri Anilaphat secara alami masih penasaran.

"Kalau begitu pasti panasnya... Hari ini panas sekali," Lady Pin dengan keras kepala membalas sebelum berpura-
pura melihat ke arah lain, seolah-olah ada banyak hal menarik.

"Saat panas, kamu harus minum minuman manis," renung Putri Anilaphat. "Ayo kita beli beberapa, Prik."

"Aku ingin air roket."

Catatan: Air roket adalah minuman ringan seperti air soda.

Prik menelan ludahnya sambil membayangkan rasa manis air roket warna-warni yang menyegarkan.

"Oke." Putri Anilaphat tersenyum seperti biasa, "Aku punya banyak uang hari ini."

"Uangmu banyak setiap hari, Nu Anil," bantah Prik.

"Hari ini lebih banyak karena aku mencurinya," kata Putri Anilaphat sambil tersenyum di sudut bibirnya.

"Apakah kamu mengambilnya dari dompet ibumu?" Prik bertanya, mempertahankan perannya yang biasa sebagai
pendamping setia tuannya.

"Dicuri dari celengan pribadiku."

Prik dengan kesal memutar matanya saat mendengar jawaban sang Putri.

"Anil senang mengklaim bahwa kamu telah mencuri sesuatu, meskipun kenyataannya, semuanya adalah milikmu
sejak awal," kata Lady Pin dengan sedikit ironi. "Anil hanya ingin diakui sebagai pencuri..."

"Apakah menurutmu begitu, Nu Pin?" kata sang Putri sambil tertawa.

"Ya."

"Kalau begitu... suatu hari nanti aku akan mencuri sesuatu dari Nu Pin, tunggu dan lihat saja."

Putri Anilaphat tersenyum lebar, membuat kedua lesung pipitnya bersinar lebih terang dari sebelumnya.

"Kamu terus saja bicara, Anil..."

Lady Pin berbisik dengan acuh tak acuh, tetapi dalam pikirannya, dia merenungkan secara mendalam tentang harta
benda apa yang benar-benar ingin diklaim oleh Putri Anilaphat sebagai miliknya, yang membuatnya berbicara
dengan cara yang menyenangkan.

Anehnya, orang yang tidak bisa berhenti memikirkan pernyataan ini lebih dari siapa pun adalah Prik Sekarang, dia
memikirkan metode untuk diam-diam memasuki kamar Lady Pin di malam hari untuk mencuri sesuatu yang telah
disebutkan oleh tuannya sebelumnya, seperti yang diharapkan dari seorang pelayan yang mematuhi keinginan
tuannya.

Namun, apa yang diinginkan Putri Anilaphat dari Lady Pin?

Mungkin celengan bundar yang gemuk.

"Nu Pin, kamu bisa memilih air berwarna roket apa pun yang kamu mau."

Putri Anilaphat berkata ketika mereka bertiga tiba di depan toko air roket dengan toples kaca persegi berisi minuman
manis berkarbonasi warna-warni yang berjejer di depannya. Warna coklat tua adalah rasa cola. Berikutnya adalah
warna gelap yang sama, yaitu Zaxi, yang rasanya agak seperti balsem. Yang ungu tua rasa anggur, yang hijau rasa
soda, dan yang merah rasa salak.

"Aku mau yang merah."

Lady Pin mengarahkan jarinya ke toples merah lalu tiba-tiba teringat apa yang bibinya selalu katakan.
"Air roket tidak ada gunanya. Itu juga menyebabkan kerusakan gigi."

Mengamati ekspresi wajah Prik dan Putri Anilaphat setelah mereka menyesap air roket Cola, dan melihat mereka
memejamkan mata dengan gembira, Lady Pin tidak dapat menahan diri untuk mencobanya sendiri.

Rasanya yang manis dan berkilau sangat menyegarkan. Lady Pin kemudian mengerti mengapa Prik terus meminta
minum air roket sejak dia masuk ke kuil.

"Ahh"

"Ahh"

Putri Anil dan Prik memejamkan mata, hampir bersamaan mengeluarkan suara aneh setelah menghabiskan air roket
Cola mereka.

"Anil, Prik, jangan lakukan itu! Kelihatannya tidak pantas."

Pada saat itu, mata Lady Pin yang biasanya manis menjadi tajam seperti ujung pisau. Namun, Putri Anilaphat dan
teman-temannya menganggapnya lucu dan dengan bercanda menirukan posisi tangan mereka setinggi pinggang,
bertingkah lucu dan rapi.

"Heh, kamu keras kepala sekali, Anil. Teruslah menyindir, dan mulai sekarang Pin tidak akan mengeluh lagi."

Lady Pin menyampaikan khotbah dengan pandangan dingin yang ditujukan kepada sang Putri. Bibirnya yang
berwarna lembut berubah menjadi ekspresi frustrasi, dan dia menggelengkan kepalanya sebentar sebelum
melangkah di depan kedua anak yang keras kepala itu, tanpa menoleh ke belakang.

"Tunggu, Nu Pin."

Wajah Putri Anilaphat menjadi pucat. Terlepas dari seberapa keras kepala atau nakalnya dia, tatapan tegas Lady Pin
tidak pernah goyah saat ini.

Putri Anilaphat tidak punya pilihan selain mengikuti di belakang sosok ramping dengan kuncir kuda yang berayun
maju mundur, kiri dan kanan.

Akhirnya, Putri Anilaphat meraih pergelangan tangan orang di depan untuk berhenti dan menunggu...

"Nu Pin, jangan terlalu marah padaku."

Putri Anilaphat khawatir melihat mata indah Lady Pin yang terlihat begitu marah.

"Aku minta maaf."

Suara Putri Anilaphat luar biasa lembut, namun sentuhan tangan rampingnya yang memegang tangan Lady Pin
bahkan lebih lembut lagi.

Dia tidak hanya menggenggam tangan Lady Pin dengan kuat tetapi juga menjabatnya seperti anak kecil yang
berpegangan pada tangan ibunya agar tetap dekat.

"Cukup, Anil. Memalukan, aku tidak terlalu marah padamu."

Lady Pilantita berjuang untuk menelan ludahnya sambil perlahan-lahan menarik tangannya dari genggaman Putri
Anilaphat.

"Hari ini panas sekali. Lihat wajahmu, Nu Pin. Merah seperti buah Jelatang."

Prik memandang Lady Pin dengan rasa ingin tahu.

"Bukankah mereka menyebutnya Ivy Gourd, Prik," sela Putri Anilaphat dengan manis.
Setelah menyadari bahwa Lady Pin mungkin tidak menghargai perilakunya yang terus-menerus lancang,

Putri Anilaphat segera menyesuaikan senyumannya...

"Itu toko permen kapas, Nu Anil, kamu mau?" Prik, yang tidak tertarik pada apa pun selain makanan, mengarahkan
jarinya ke panci pemintal permen kapas warna-warni dengan penuh semangat.

"Tentu, ambilkan satu untuk Nu Pin juga, Prik. Ini uangnya."

"Terima kasih." Prik menerima uang itu dan segera berlari ke toko permen kapas.

"Sejak kapan aku bilang ingin makan permen kapas?" Meski mengaku tidak marah, Lady Pin tetap memasang
ekspresi datarnya, membuat Putri Anilaphat tidak bisa memprediksi apa yang ada dalam pikirannya.

"Nu Pin tidak memberitahuku, tapi aku ingin kamu mencobanya." Saat ini, Putri Anil cukup pendiam, dia bahkan
tidak berani tersenyum. Dia hanya bisa berbicara sambil tersenyum, seolah dia adalah gadis yang tidak pernah
terlihat sedih seperti orang lain.

"Ini dia, Nu Anil, Nu Pin," Prik berlari kembali membawa dua batang permen kapas yang indah. "Yang biru punya
Nu Anil, yang merah jambu Nu Pin, punyaku kuning."

"Tidak ada yang mengenalku seperti kamu, Prik."

"Tidak ada. Siapa yang tahu Anil suka warna biru?" Kata Prik sambil membuka mulutnya lebar-lebar untuk
menggigit bola kapas permen sutra berwarna kuning cerah.

"Aku juga tahu, sama seperti Prik, Anil itu suka warna biru," kata Lady Pin sambil menatap Prik tanpa bisa ditebak,
"Dan aku bahkan tidak suka warna merah jambu."

"Itu tidak benar!" Putri Anilaphat dan Prik dengan keras menolak satu sama lain pada saat yang bersamaan.

"Nu Pin suka warna merah muda!"

Putri Anilaphat dan teman-temannya terus bertahan, tidak menunjukkan niat untuk menyerah.

Siapa yang bilang begitu? Lady Pin berpura-pura tidak tahu, dengan hati-hati memakan permen kapas merah muda
pucatnya dengan sikap tenang sebagai keponakan Putri Padmika.

"Sebagian besar barang Nu Pin semuanya berwarna merah muda." Kali ini Putri Anil membantah tanpa menyerah
sama sekali.

"Anil benar." Prik setuju, selalu berada di pihak tuannya.

"Menggunakan warna itu, bukan berarti aku akan menyukai warna itu." Lady Pin menyeringai gembira, matanya
berkilauan dengan binar nakal.

Terkadang menyenangkan memanipulasi kedua anak keras kepala ini.

"Lady Pin"

Suara serak yang kental menghentikan pertengkaran ketiga gadis itu seperti sihir.

Apalagi saat mereka melihat suara itu bukan sembarang orang, melainkan P'Perm, seorang sopir Istana Bua. Anak-
anak melebarkan mata sambil menahan napas.

"Kamu di sini, Lady Pin. Putri Padmika meminta saya untuk mencari Anda," P'Perm yang membungkuk hormat
sambil berbicara dengan Lady Pin. Ketika dia melirik dan melihat Putri Anilaphat, dia panik lalu membungkuk lebih
rendah dari sebelumnya hingga kepalanya hampir mengenai lutut, membuatnya terlihat sangat aneh.
"Ah, apakah kamu juga di sini, Yang Mulia?"

"Ya," kata Putri Anilaphat dengan suara tenang. "Aku mengundang Khun Pin. Jangan terlalu
mempermasalahkannya, P'Perm."

Wajah Putri Anilaphat kini terlihat lebih serius dari sebelumnya sementara Lady Pilantita menundukkan wajahnya
dan mengatupkan bibirnya erat-erat hingga membentuk garis lurus.

"Mohon ampun Yang Mulia. Aku harus membawa Lady Pin kembali ke istana sesuai perintah Putri Padmika, Yang
Mulia"

Saat ini wajah P'Perm terlihat tidak nyaman, cukup membuat Prik merasa kasihan.

"Baiklah" Putri Anilaphat akhirnya mengucapkannya setelah terdiam cukup lama.

"Ayo kita kembali bersama."

~Bersambung~
BAB 4

Jangan lupa buat (⭐) ya

Hukuman

Bagian luar Istana Bua adalah bangunan dua lantai yang tidak tampak lama maupun baru. Dicat dengan warna
kuning lembut, kontras dengan atap hijau tua dan dilengkapi jendela melengkung melingkar. Ia memancarkan
keindahan yang bermartabat, seperti pemiliknya.

Interiornya dihiasi dengan perabotan kayu sederhana berwarna coklat tua, tidak memiliki kemewahan dan desain
rumit seperti yang terlihat di Istana Depan, yang berfungsi sebagai kediaman Yang Mulia. Perbedaan ini terlihat
sejak seseorang menaiki tangga menuju atap pelana.

Ketika P'Perm membawa ketiga gadis itu ke ruang tamu penyambutan yang besar, Putri Padmika sudah duduk dan
menunggu di kursi kayu panjang berukir yang bermotif rumit.

Dia memiliki punggung lurus, rambut hitamnya diikat rapi di sanggul dengan wajah cantik cerah dengan tanda
penuaan akhir empat puluhan. Dia mengenakan gaun bertali hitam karena dia baru saja kembali dari pemakaman
temannya di pinggiran kota.

Pilantita dan Prik membungkuk hormat sebelum duduk di lantai, masing-masing menyelipkan satu kaki ke samping
saat mereka duduk di depan Putri Padmika, ekspresi mereka menunjukkan sedikit rasa takut. Sesuai dengan
kepangkatannya, Putri Anilaphat memilih duduk di kursi di samping Putri Padmika.

Bersikap tegas pada tradisi, Putri Padmika menundukkan kepalanya untuk memberi hormat kepada Putri Anilaphat
karena mengetahui bahwa dia adalah putri pemilik Istana Sawetawarit. Namun dengan perbedaan usia mereka, Putri
Anilaphat membungkuk dengan sikap hormat kepada Putri Padmika layaknya gadis lainnya.

Putri Padmika tersenyum dingin sebelum mengalihkan pandangannya ke keponakannya, Lady Pilantita, yang pada
saat itu menundukkan kepalanya dan dengan tegas menghindari kontak mata apapun.

Meski sorot mata tajam Putri Padmika tidak menunjukkan tanda-tanda kemarahan, namun hal itu membuat Prik
yang tanpa sengaja memandang ke arah Putri sebentar, cukup takut hingga menyembunyikan wajahnya ke bawah
dan hampir mengenai lututnya sendiri.

"Lady Pin"

Pilantita memperhatikan banyak keluhan bibinya yang disampaikan dengan nada pelan saat dia memanggil
namanya.

Sulit untuk merespon tanpa bibir lembutnya bergetar.

"Yang mulia"

"Kenapa kamu keluar istana pada malam hari tanpa memberitahuku?"

Putri Padmika bertanya dengan tegas, nadanya tegas tetapi ekspresinya tenang dan sulit dipahami saat dia menatap
keponakannya yang sedang berjongkok begitu rendah hingga hampir menyentuh lantai.

"Aku minta maaf, Bibi."

Lady Pin mendongak dan menatap bibinya sejenak, sebelum semakin menundukkan kepalanya.
"Ini semua salahku, Bibi."

Putri Anilaphat berkata dengan suara yang sangat tegas. Kenyataannya, ia memiliki hubungan sepupu dengan Putri
Padmika melalui garis keturunan mereka, namun karena perbedaan usia yang signifikan, Putri Anilaphat menyebut
Putri Padmika sebagai bibinya. Pasalnya, neneknya, Lady Klai, memperlakukan Putri Padmika sebagai putri
bungsunya, bahkan ayahnya memperlakukan Putri Padmika sebagai adik perempuannya.

Bagi Putri Anilaphat, Bibi Pad adalah sosok yang cantik, anggun, dan sangat dikagumi. Sebaliknya, Prik lebih takut
pada Putri Padmika daripada siapa pun karena dia menjunjung tinggi tradisi istana dengan kekhidmatan dan
ketegasan yang lebih besar daripada Raja sekalipun.

"Akulah yang memaksa Khun Pin ikut bersamaku."

"Memaksa?" Wajah Putri Padmika tiba-tiba menjadi lebih serius. "Apakah kamu mengikat tangan dan kakinya,
menyeretnya untuk pergi bersamamu? Menurutku tidak..."

"..."

"Lady Pin berjalan dengan kakinya sendiri..."

"..."

"Bukan begitu, Lady Pin?"

Saat ini, bukan hanya Lady Pilantita yang gemetar ketakutan, Prik tampak semakin ketakutan.

"Iya Bibi"

Putri Padmika terus mengamati keponakannya dengan penuh perhatian. Ia tidak ada keinginan untuk memarahi atau
membuat marah Lady Pin dengan alasan apapun karena ia sadar betul bahwa Pilantita memang rapuh seperti kaca.
Meskipun dia kehilangan ayah dan ibu di usia muda, dia selalu bersikap sesuai dengan ajaran tradisional. Jika
pernah ada kejadian yang tidak biasa terjadi, itu adalah saat ini.

"Namun, ketika Lady Pin melakukan kesalahan... aku harus menghukummu."

"..."

"Apakah kamu tahu kenapa aku harus menghukummu, Lady Pin"

"Karena aku salah."

Pilantita membalas bibinya dengan suara terisak-isak, menyalahkan dirinya sendiri karena tidak melawan.

Kemarahannya bertambah ketika dia mempertanyakan dirinya sendiri...

Meskipun dia sadar bahwa menemani Putri Anilaphat ke pekan raya kuil pada jam seperti ini pada akhirnya akan
berujung pada hukuman bibinya, seperti yang terjadi sebelumnya, apakah dia tetap memilih untuk bermain-main?

Dan ketika jawabannya adalah "ya".

Lady Pilantita sangat frustrasi pada dirinya sendiri.

"Apa kesalahanmu?"

Putri Padmika dengan tegas mengulangi perkataannya.

"Aku salah karena aku memutuskan untuk pergi ke luar istana."

Lady Pin hanya bisa memikirkan jawaban itu. Hingga saat ini, dia sendiri belum bisa memahami betapa seriusnya
kesalahannya.

"Bagaimana dengan Putri Anilaphat, menurutmu apa yang salah?"

Putri Padmika kali ini menoleh ke arah Putri Anilaphat, penasaran ingin mengetahui maksud dari sang protagonis.

"Menurutku keluar istana tidak salah."

Putri Anilaphat berbicara dengan suara tenang dan mata bersinar yang memikat pendengarnya. Namun, Lady Pin
dengan cemas melirik ke arah Putri Anilaphat, takut bibinya juga akan menegur Putri Anilaphat.

Lady Pin tidak menginginkan hasil seperti itu.

"Adalah salah jika kami tidak memberi tahu kamu sebelumnya, yang membuat kamu khawatir."

"Itu saja?"

Tanpa disadari, Putri Padmika mulai merasakan kegemaran berbincang dengan putri bungsu Raja.

"Jika masih ada tindakan yang tidak pantas lagi, tindakan tersebut akan dilakukan pada malam hari, terutama jika
hanya dilakukan oleh perempuan, itu terlalu berbahaya."

"Putri Anil sangat pintar." Putri Padmika melontarkan senyum penuh kasih sayang kepada Putri Anilaphat dengan
penuh kasih sayang, dia tidak terbiasa berdebat dengan gadis sebelumnya, karena Lady Pin penurut, terlebih lagi dia
juga pendiam.

"Tampaknya Putri Anilaphat mempunyai pemahaman yang baik dalam berpikir dewasa, jadi mengapa kamu masih
menjalaninya?"

Pertanyaan Putri Padmika bukan hanya membuat mata Putri Anilaphat terbelalak dan berbinar, namun juga
membuatnya tak bisa menahan senyumannya.

"Alasan aku masih melakukan itu adalah karena aku masih muda. Seorang anak kecil tidak bisa menghentikan
rasa penasarannya sendiri." Lesung pipi cerah di pipinya segera mencerahkan kesuraman suasana ruang tamu di
mana gadis-gadis muda sedang sujud gemetar.

"Namun, ketika aku mendengarkan kata-katamu beberapa saat yang lalu... ketika aku memikirkannya, aku mengerti
bahwa orang dewasa punya alasan untuk khawatir."

"Setelah kamu mengerti, apa pendapatmu tentang hal itu?"

Putri Padmika dengan penasaran bertanya pada Putri Anilaphat dengan penuh kasih sayang.

"Setelah berpikir, aku setuju dengan beberapa bagian dan tidak setuju dengan beberapa bagian."

"Bagian mana yang tidak kamu setujui?"

"Yang tidak aku setujui adalah... fakta bahwa dunia luar layak untuk dipelajari dan seorang anak tidak boleh merana
hanya di istana... Kamu hanya perlu memiliki orang dewasa yang menemani dan membimbing kalian berdua dengan
baik dan buruk."

Putri Padmika tak kuasa menahan senyumnya meski sedang marah pada keponakannya Lady Pin.

Putri Anilaphat berbeda dari gadis mana pun seusianya, tetapi dalam hal yang baik.

Dia anggun, cerdas, berani, dan berani berbicara.

Meskipun banyak ide yang tampaknya terlalu maju untuk dipahami oleh Putri Padmika...
Sang Raja bahkan sempat menceritakan kepada Putri Padmika tentang putri kecilnya tentang kenakalan di sekitar
istana bahwa:

"Menghukum Anil itu sulit... Karena dia berpikir seperti seorang pengacara. Kamu tidak bisa
bertukar pikiran dengannya dengan mudah."

Raja tertawa kecil ketika berbicara, matanya dipenuhi kasih sayang ketika dia menyebut Putri Anilaphat.

"Aku mungkin sudah terlalu lama mempercayakannya pada Pangeran Anan. Dia belajar di Eropa dan
mengembangkan ide-ide modern. Dia membesarkan Anil sebagai putrinya, yang mungkin telah mempengaruhi dia
menjadi seperti ini."

Raja menyebut Putri Anantawut, putra sulung pemilik Istana Burapha yang terletak di sebelah Timur Istana Raja.

Raja juga memiliki putra kedua, Pangeran Anon, yang kini belajar di Eropa, mengikuti jejak saudaranya.

Namun yang paling ia cintai dan sayangi adalah Putri Anilaphat, putri bungsu yang usianya hampir dua belas tahun
terpisah dari kakak laki-lakinya.

"Ide bagus. Ide bagus. Jika seorang anak tidak harus merana di istana, mungkin lain kali aku akan membawa Lady
Pin dan Putri Anilaphat ke pemakaman bersama." Ucap Putri Padmika sambil terkikik.

"Tidak apa-apa." Putri Anil masih tersenyum lebar meski wajahnya mulai kehilangan warna.

Siapa yang mau bermain-main di pemakaman.

Tidak ada yang menyenangkan tentang itu.

"Meski begitu, Lady Pin harus menghadapi konsekuensinya hari ini."

Meski sudah lama bertanya tentang alasan Putri Anilaphat, Putri Padmika akhirnya tetap pada keputusan awalnya.

"Iya, Bibi" Lady Pilantita menundukkan kepalanya seperti biasa.

"Aku akan memukul Lady Pin dengan tongkat tiga kali, dan satu minggu dikurung."

"Bagaimana denganku? Mata cerah Putri Anilaphat membelalak penasaran.

"Kamu tidak berada di bawah pengawasanku."

Memang benar Putri Padmika tidak boleh terlibat.

"Jika Khun Pin dihukum, aku juga harus dihukum. Aku mengundangnya."

Suara tegas Putri Anilaphat tanpa ragu sedikit pun, ditambah dengan raut wajahnya yang tegas dan cantik, membuat
Putri Padmika mempertimbangkan kembali hukuman yang lebih pantas.

"Bahkan jika kamu tidak menghukumku, aku dan Prik akan tinggal di Istana Bua bersama Khun Pin, tidak pergi
kemana pun selama tujuh hari tujuh malam."

Bagus sekali!

Mendengar pernyataan Putri Anilaphat, Prik memuji tuannya di dalam kepalanya.

"Kalau begitu aku akan menghukummu juga," Putri Padmika akhirnya bersuara pasrah.

"Aku sangat menghargainya" Putri Anilaphat menundukkan kepalanya sementara Lady Pin harus berusaha keras
menahan air matanya karena dia tidak ingin menyaksikan Putri Anilaphat dihukum di sampingnya.
"Aku mungkin akan mempertimbangkan kembali dan mengurung kalian berdua di ruang baca sepanjang hari besok.
Menghukum Putri Anil selama tujuh hari tujuh malam bisa membuat Raja marah besar."

"Terima kasih atas kebaikan Anda."

Anehnya, Putri Anilaphat kini tersenyum lebar dan menerima hukuman dengan puas.

Hah

Prik, yang masih berjongkok di lantai, hanya bisa sekali lagi memuji tuannya di dalam kepalanya.

Putri Anilaphat, Putri Anilaphat...

Mengapa kamu berusaha keras untuk menerima hukuman Putri Padmika?

"Kamu cukup pintar!"

~Bersambung~
BAB 5

Jangan lupa tekan (⭐) ya

Ruang Baca

Ruang baca Istana Bua cukup kecil karena berada di teras istana yang berbentuk segi lima. Teras ini dihiasi dengan
jendela besar berwarna hijau yang membentang dari lantai hingga langit-langit, menutupi kelima sisinya.

Di tengah ruangan, sebuah meja jati yang megah telah ditempatkan dengan penempatan yang disengaja,
memungkinkan cahaya indah masuk dari samping. Ruangan itu dikelilingi oleh rak buku besar, berisi buku-buku
pelajaran yang halamannya mulai menguning, memancarkan aroma nostalgia dari kertas tua yang meresap ke dalam
ruangan.

"Bibi minta kamu menyalin buku pelajaran, kenapa kamu terus menggambar, Anil?"

Lady Pin dengan tidak sabar bertanya ketika dia melirik dan melihat Putri Anilaphat lebih bersemangat menggambar
dan mencoret-coret buku daripada menyalin buku pelajaran, yang merupakan hukuman bibinya atas pelanggaran
mereka karena menyelinap ke pekan raya kuil saat senja tanpa memberi tahu siapa pun.

"Aku bosan, Khun Pin. Kenapa kamu harus menyalinnya padahal semua huruf sudah ada di buku pelajaran?"

Putri Anilaphat memandang Lady Pin dengan mata jernih di bawah sinar matahari.

"Kamu menyalinnya demi mengingat, Bibi mungkin akan memeriksanya saat kamu keluar kamar."

Lady Pin meletakkan dagunya di tangannya dengan rasa bosan, memikirkan apakah akan ada saatnya Putri Anil
akan mengikuti instruksi seseorang tanpa bertanya.

"Jika dia benar-benar ingin melihatnya, aku akan membacakan artikel di buku pelajaran untuknya, aku
menghafalnya di kepalaku." Tanpa menyelesaikannya, Putri Anilaphat mengalihkan perhatiannya kembali ke
gambar di buku catatannya.

"Nah, saat kita dihukum, aku perhatikan kamu menerima perkataan Bibi." Lady Pin ingin memenangkan hati anak
yang keras kepala ini, memberikan waktunya untuk mencoba menanyainya

"Aku berjanji untuk tidak keluar, tapi tidak menyalin buku pelajaran." Putri Anil masih tidak berniat membiarkan
Lady Pin menyusulnya.

Lady Pin hanya bisa menghela nafas ketika dia menyadari bahwa mengalahkan sang Putri akan menjadi sebuah
tantangan. Dia kemudian beralih untuk melihat buku sketsa Putri Anilaphat dan mengerutkan kening.

"Jadi, apa yang kamu gambar? Kelihatannya seperti gambar coretan."

"Aku sedang menggambar wajah Khun Pin." Putri Anil tersenyum cerah, matanya yang gelap kini bersinar terang.

Mendengar itu, Lady Pin lalu menunduk melihat gambar di buku catatan hingga ujung hidungnya hampir
menyentuh selembar kertas. Gambarnya dimulai dengan lingkaran di tengah dengan lingkaran di tengahnya
menampilkan garis bergelombang di bagian atas lingkaran menyerupai sehelai rambut. Ada dua titik kecil di dalam
file yang menyerupai mata. Di bawahnya, ada lengkungan setengah lingkaran yang menyerupai senyuman.

Melihat gambar itu lebih dekat, Lady Pin mendongak dan menatap Putri Anil dengan dingin.

"Apakah aku sejelek itu?"


Apa? Jelek? Tapi menurutku itu lucu." kata Putri Anil sambil tersenyum.

"Apakah gambar ini terlihat lucu?" bibir indahnya yang bergelombang dan berwarna terang kini berkerut karena
bias.

"Kamu manis."

Putri Anil mengarahkan pensil di tangannya ke arah Lady Pin dan menyeringai lebar, memperlihatkan lesung
pipitnya. Matanya tampak lebih cerah dari sebelumnya.

"Anil!"

Suara Lady Pin tetap khusyuk dan pelan. Mata coklatnya yang besar membawa kesan iritasi, tapi pipinya yang
cerah, dihiasi helaian rambut yang basah oleh keringat, memerah karena kemerahan.

Lady Pin menarik diri dari buku gambar sang Putri dan duduk kembali untuk bersiap menyalin buku pelajaran.
Bibirnya terkatup rapat dalam garis lurus seolah mencoba menekan sesuatu.

Sesuatu yang cepat memantul di dadanya.

Silakan...

...perlambat iramamu

"Kalau begitu aku akan menggambar ulang dengan hati-hati, agar gambarnya terlihat lucu seperti orang aslinya."
kata Putri Anilaphat dengan suara menggoda.

"Lakukan saja sesukamu, Anil." Lady Pin menatap Putri Anilaphat dengan marah tapi tersenyum kecil. "Seolah-olah
kamu akan percaya padaku jika aku melarangmu."

Setelah mendengar perkataan Lady Pin, Putri Anilaphat tidak dapat berbicara dan malah tertawa terbahak-bahak.

Lady Pin menghela nafas sekali lagi dan kemudian dengan rajin kembali fokus menyalin buku pelajaran. Dia merasa
lega saat tawa sang Putri mereda. Tampaknya anak yang keras kepala itu akan sadar dan kembali menyalin buku
pelajaran.

Di sisi lain....

"Khun Pin." Suara jernih itu membuat Lady Pin merasa gugup.

"Ya?"

"Biarkan aku menatap matamu."

"..."

Sementara Lady Pin terkejut dengan kata-kata Putri Anil, dia secara naluriah mengarahkan pandangannya ke mata
jernih Anil. Saat itulah dia melihat Putri Anilaphat memegang pensil setinggi mata dan membuat gerakan rumit,
menyerupai seorang pelukis terampil.

Wajahnya, dan pipi mulus wanita itu sesekali memerah karena alasan yang tidak diketahui. Mata coklat mudanya
yang besar, mirip dengan mata anak rusa, memiliki rasa manis dan kekuatan.
"Lady Pin memiliki mulut dan hidung yang kecil, sangat cantik dan imut, aku sangat ingin dia menjadi putriku yang
lain."

Putri Alisa, ibu Putri Anilaphat mengatakan bahwa hampir setiap kali bertemu Lady Pin Putri Anil hampir bisa
menghafalkan semua perkataan ibunya.

Terlebih lagi, hal itu tetap tertanam dalam pikirannya setiap hari.

"Di sana." Putri Anilaphat mendekatkan pensil ke wajahnya dan mengedipkan sebelah matanya sambil bercanda.
"Khun Pin, bisakah kamu tersenyum?" dia bertanya sambil tersenyum cerah.

Tanpa sadar, Lady Pin balas tersenyum, yang sepertinya dia benar-benar mendengarkan perkataan Putri Anilaphat ,
namun kenyataannya, senyuman penuh kasih sayang Lady Pin ditujukan pada orang sombong di depannya.

Setelah mengeluarkan pensil beberapa saat, Putri Anilaphat kembali membuat sketsa di buku catatannya. Sementara
itu, Lady Pin menghabiskan waktunya memandangi pipi mulus dan hidung mancung Putri Anilaphat. Putri
Anilaphat sudah cukup lama asyik dengan gambarnya.

Sampai...

"Bagaimana kalau kali ini?" Putri Anil bertanya sambil menyerahkan buku gambar itu kepada Lady Pin yang sedang
duduk sambil meletakkan tangannya di wajahnya sambil melirik ke arahnya sebentar.

"Cantik."

Akhirnya, setelah Lady Pin merenungkan gambar di buku catatan beberapa saat, dia bergumam,

"Cantik?" tanya Putri Anilaphat dengan suara yang jelas.

"Memalukan." Lady Pin mengerutkan kening lalu menjawab dengan suara yang dalam. "Mengapa kamu
menggambarkanku sebagai seorang wanita dengan kepala besar, payudara besar, dan lengan serta kaki yang lemas?"

"Apakah itu tidak mirip?" Putri Anilaphat mengangkat satu alisnya dengan rasa ingin tahu.

"Tidak sedikit pun!"

"Kalau begitu, aku akan menggambarnya lagi." Mata rampingnya melebar hampir seperti memohon, tapi Lady Pin
tidak menganggapnya seperti itu.

"Anil!" Lady Pin dengan tegas meninggikan suaranya, "Kamu tidak hanya menolak menyalin buku pelajaran, tapi
kamu juga membuatku kesal."

Kali ini, kerutan muncul di wajah Lady Pin. Dia mendorong buku gambar sang Putri dengan sikap merajuk, saat dia
menyadari sekali lagi bahwa dia tidak bisa mengendalikan Putri Anil.

"Jika kamu menggambarnya lagi, aku akan marah," mata manis Lady Pin yang seperti anak rusa tampak
mengancam.

Namun demikian...

Kalau begitu, aku akan menggambar sesuatu yang lain. Putri Anil berkata sambil terkikik tanpa peduli.

Seolah Lady Pin menatap sampai matanya terbelalak, Putri Anil tetap tidak peduli.

Bahkan saat ini, Putri Anilaphat terus mencoret-coret dan menyenandungkan lagu-lagu Natal, karena dia adalah
gadis yang tidak pernah resah atau khawatir.

"Aku tidak akan mempedulikanmu lagi."


Lady Pin berkata sambil mengangkat tangannya ke arah pelipisnya seolah-olah dia sedang sakit kepala karena anak
kecil di depannya ini.

Tampaknya hukuman bibinya yang mengurung dia dan Putri Anilaphat di sebuah ruangan kecil adalah yang paling
menyiksanya.

Saat ini, Anil sangat keras kepala.

Bahkan kebiasaan Putri Anilaphat yang gigih menggigit pensil masih menggodanya untuk mengulurkan tangan dan
bercanda mencubit pipinya hingga menangis.

"Hai!" Putri Anil tersenyum di sudut bibirnya. "Kamu bilang kamu tidak peduli, tapi kenapa kamu terus
menatapku?"

"Cih!"

Setelah dia tertangkap, Lady Pin mengatupkan bibirnya erat-erat, lalu memalingkan wajahnya untuk menghindari
tatapan Putri Anilaphat sebelum melanjutkan tugasnya menyalin buku pelajaran. Tampaknya, kali ini, dia bertekad
untuk tidak mudah mengangkat kepalanya untuk melihat orang di depannya.

Anak kecil itu mulai mengganggu konsentrasi Lady Pin lagi, seolah-olah dia diutus dari surga untuk mengganggu
penyalinan buku pelajarannya.

"Khun Pin... lihat ini." Suara manis itu meredakan kekesalan Lady Pin semudah seolah tidak pernah terjadi apa pun
sebelumnya.

Sekali lagi, Putri Anil meletakkan buku gambar itu di dekat Lady Pin, yang kemudian fokus melirik gambar itu
dengan saksama.

"Ini rumah impian Anil."

Menyebut namanya sendiri untuk menebus kesalahannya dengan Lady Pin sepertinya selalu efektif, karena setiap
kali Pilantita mendengarnya, dia tidak bisa menahan senyum tipis.

Apalagi di saat mata Putri Anilaphat menjadi cerah, dia muncul polos seperti gadis baik seperti yang lain.

Bagaimana Lady Pin bisa berhati dingin?

"Kelihatannya jauh lebih kecil dari Istana Depan, Anil." Lady Pin melihat gambar rumah kecil satu lantai yang
dikelilingi pohon pinus dan berkata dengan penuh perhatian.

"Mengapa kamu ingin tinggal di rumah kecil?"

"Menurutku nyaman, kata Putri Anil sambil tersenyum lembut.

"Tempat sempit kecil seperti itu, kita selalu terlihat jelas."

Saat dia berbicara, mata Putri Anil tidak seperti yang pernah dilihat Lady Pin sebelumnya.

Kelihatannya seperti mimpi...

Tapi sepertinya begitu serius, cukup membuat detak jantung Lady Pin kembali berdebar kencang.

"Jika aku benar-benar memiliki rumah sendiri..." Putri Anil berbicara dengan suara yang sangat lembut dan sopan.

"Aku akan memintamu untuk tinggal bersamaku."

Ripppppp
Suara pensil di tangannya yang menempel pada kertas hingga meninggalkan bekas lebar, tiba-tiba menyadarkan
Lady Pin dari lamunannya yang singkat. Dia buru-buru membuka halaman berikutnya, merasa tidak yakin tentang
apa yang harus dilakukan.

Lady Pin menanggapi ajakan Putri Anilaphat dengan diam.

Dia terus menyalin buku pelajaran dengan tenang, tangannya berkeringat, dan jantungnya berdebar kencang.

"Jika kertasnya robek...apakah Bibi akan marah?"

Putri Anilaphat bergumam pelan, mengungkapkan rasa bersalahnya karena membuat Putri Padmika marah lagi pada
Lady Pin.

Namun, kali ini, Lady Pin tidak pernah sekalipun mengangkat wajahnya dari buku pelajaran, memaksa Putri Anil
untuk tetap diam seperti anak yang keras kepala.

Setelah duduk diam dalam waktu yang lama, mata Putri Anil mulai berkedip. Dia perlahan meletakkan lengannya di
atas meja tulis untuk digunakan sebagai bantal kepalanya.

Sebelum terlalu banyak waktu berlalu, dia tertidur...

Setelah mendengar nafas berirama Putri Anilaphat

Hati Lady Pin juga sepertinya sudah tenang...

Lady Pin belum pernah berkesempatan menyaksikan Putri Anilaphat tertidur, jadi dia dengan sungguh-sungguh
menopang dirinya dan menatap tajam pemandangan langka di depannya.

Wajah cantiknya tampak kehilangan sebagian cahayanya saat tertidur. Dia memiliki bulu mata yang lurus, panjang,
indah, dan bibir kecilnya sedikit terbuka, memberinya penampilan polos. Garis rambutnya yang lembap menempel
di pipinya karena panas yang menyengat di ruang baca.

Lady Pin tersenyum...

Dia tersenyum tanpa sebab.

Dia hanya mengerti bahwa dia sekarang harus meletakkan pensil di tangannya, lalu menopang dirinya dan
memandang Putri Anil dengan tingkat keseriusan yang lebih besar dari sebelumnya.

Dan dia sepertinya tidak berniat melanjutkan penyalinan buku pelajarannya sama sekali!

~Bersambung~
BAB 6

Jangan lupa tekan (⭐) votenya ya

Kamar Tidur Khun Pin

Sementara Prik masih memikirkan cara untuk menyelinap ke kamar tidur Lady Pin untuk mencuri "sesuatu" yang
disebutkan tuannya hingga kepalanya hampir meledak tanpa pikir panjang, sebaliknya, Putri Anilaphat melakukan
tindakan yang tidak diharapkan Prik.

"Yang Mulia, Bibi Pad. Ada yang ingin aku konsultasikan."

Prik ingat dengan jelas hari ketika Putri Padmika mengunjungi Istana Depan untuk mengatur pesta penyambutan
bagi Pangeran Anon yang akan datang kembali beberapa minggu ke depan. Putri Anil memanfaatkan kesempatan ini
untuk berkonsultasi dengan Putri Padmika di hadapan Raja.

"Apa yang ingin kamu konsultasikan padaku, Putri Anil?"

"Tidak banyak, kecuali sesuatu yang nakal."

Sang Raja tertawa dan berkata sambil menatap putri bungsunya dengan penuh kasih sayang.

"Tidak sama sekali, Ayah," suara Putri Anilaphat masih nyaring seperti sebelumnya. "Aku hanya ingin tidur
bersama Khun Pin di Istana Bua."

"Ada apa? Kenapa harus menginap?" Sang Raja bertanya pada putri bungsunya dengan suara lembut penuh kasih
sayang, bukannya memaksa.

"Aku akan mengikuti ujian dalam beberapa hari. Ada banyak mata pelajaran yang aku tidak sepenuhnya mengerti.
Oleh karena itu, aku ingin Khun Pin membantu membimbing mata pelajaran yang aku tidak mengerti, Ayah. Oleh
karena itu, jika aku ingin mengulas beberapa mata pelajaran sampai larut malam lalu berjalan kembali ke Istana
Depan, menurutku itu berbahaya."

Wajah Putri Anil saat ini sangat manis. Matanya yang gelap cerah dan jernih. Mulutnya dipenuhi senyuman hingga
lesung pipitnya terlihat jelas di pipi putihnya.

Untuk menentukan peringkat orang-orang di dunia ini yang akan tertipu oleh tindakan Putri Anilaphat maka...

Tempat nomor satu pasti menjadi milik Sang Raja.

Dan yang kedua adalah Lady Pilantita.

"Kamu punya alasan, kamu benar-benar punya alasan." Sang Raja membalas putri bungsunya dengan kebaikan.
"Pad, beritahu aku... Bagaimana pendapatmu?"

Mendengar perkataannya, bagaimana bisa Putri Padmika berkata atau memberi alasan untuk menentang keinginan
Sang Raja?

"Ini adalah hal yang sangat kecil, seharusnya tidak ada masalah, Yang Mulia."

Putri Padmika menundukkan kepalanya menanggapinya dengan ekspresi pengabdian yang besar.

"Kalau begitu aku harus memintamu menyiapkan kamar tidur untuk Anil."
"Ya, Yang Mulia." Putri Padmika membungkuk lagi untuk mengakui perkataan Raja sebelum berbalik untuk
berbicara langsung dengan Putri Anilaphat.

"Istana Bua siap menyambut Putri Anilaphat kapan saja. Tolong beritahu aku hari apa kamu ingin menginap,
karena aku akan menyiapkan kamar tidur untuk kamu tanpa ada yang terlewat."

"Terimakasih atas kebaikanmu, Bibi."

Sempurna!

Prik berteriak dan berteriak dalam hati ketika dia mengetahui bahwa semuanya berjalan sesuai rencana tuannya.

Jika sulit untuk menyelinap dan mengambil, maka gunakan jalan terbuka, menipu Raja dan menggunakan gengsinya
untuk melewati semua rintangan, tidak akan ada lagi yang menghalangi dan mengganggu sang putri.

Putri Anilaphat sangat bijaksana dalam menggunakan hak istimewanya pada saat yang tepat dan Prik hanya bisa
memikirkan pujian dan penyembahan.

"Berapa hari lagi kamu berangkat, Prik?" Putri Anilaphat bertanya kepada Prik yang tak berdaya menyiapkan
pakaiannya dari sore hingga malam hari.

"Aku juga tidak tahu, Tuan Putri. Aku hanya harus berjaga-jaga."

"Satu malam sudah cukup." Putri Anilaphat yang selesai menyiapkan pakaiannya dalam waktu satu jam, berkata
untuk mengingatkan Prik yang masih menyiapkan pakaiannya, mengeluarkan dan memasukkan dari tas
kesayangannya. "Tidak ada yang berani menghabiskan lebih dari satu malam di Istana Bua."

"Tapi sejauh yang kudengar, Putri Pad bilang, sepertinya kamu bisa pergi kapan saja, kapan pun kamu mau. Itu
bukan masalah besar."

Putri Anilaphat tersenyum lebar karena dia tahu pelayan dekatnya Prik sangat bijaksana meski tidak memiliki
pendidikan yang layak seperti orang lain.

Hanya Putri Anilaphat yang meluangkan waktu bermainnya untuk mengajari Prik pelajaran di beberapa malam
sepulang sekolah. Dia hanya berharap Prik bisa membaca dan menulis dengan cukup baik agar tidak ada orang yang
membodohinya di masa depan.

Namun, Prik terlihat jauh lebih pintar dan licik.

"Tidak salah untuk mengatakan itu..." Putri Anilaphat biasanya membuang-buang waktunya untuk menjelaskan hal-
hal rumit agar Prik dapat memahaminya seperti dirinya sendiri.

Putri Anilaphat bersikeras melakukan hal ini.

Oleh karena itu, Prik lebih bijaksana dibandingkan pelayan lainnya.

"Tetapi jika kita menghabiskan banyak malam, aku perhatikan kamu takut pada bibi," suara Putri Anilaphat tetap
sangat lembut yang tidak berbeda dari setiap kali dia berbicara dengan Prik, "Benarkah?"

"Tentu saja, Tuan Putri." Bahkan saat dia menjawab, Prik masih terus menundukkan kepalanya ketakutan.

"Jika kamu takut, menginap satu malam saja sudah cukup."

"Ya, Yang Mulia." Prik cemberut, masih belum bisa memutuskan apakah akan memasukkan kain merah atau ungu
ke dalam tasnya.

"Ambil keduanya, Prik." Putri Anilaphat tersenyum bersama para pelayan dekatnya. "Kamu bisa memikirkan
warnanya besok. Tidak ada warna yang benar atau salah dan tidak seorang pun boleh memarahi siapa pun karena
balutan yang salah."
"Anda sangat pintar, Yang Mulia."

Karena Putri Anil memang seperti ini, oleh karena itu, Prik memuja di kepalanya dan menyerap niat putrinya: "apa
pun yang ingin dilakukan seseorang, lakukanlah" yang dapat diartikan bahwa di seluruh kerajaan, tidak ada yang
akan memahami Putri Anilaphat lebih dari prik.

"Ngomong-ngomong... apa yang akan kamu curi dari kamar Lady Pin malam ini?"

Prik berbisik karena dia takut ada yang bisa mendengarnya.

Putri Anil mendengarkan pertanyaan Prik dan tersenyum lalu mengangkat jari telunjuknya ke bibir dan menjawab
dengan suara lembut.

"Ini rahasia."

...........

"Apakah ini... kamar tidurmu, Khun Pin?"

Putri Anilaphat melihat sekeliling ruangan luas dan lapang yang dikelilingi banyak jendela.

Ketika dia melihat semua barang milik Lady Pin tersebar di sana-sini, Putri Anil tersenyum gembira.

"Siapa... siapa yang tidak suka warna pink?" Kata Putri Anil tertawa dengan mata berbinar-binar itu seolah sengaja
menggoda para pendengarnya.

"Anil bisa mengingat... mengingat semuanya." Lady Pin menatap dingin. "Seorang yang rewel!"

"Apakah begitu?" Sang putri masih tersenyum sambil bergerak menuju jendela besar di samping meja Lady Pin lalu
memandang pemandangan luar.

"Ada halaman yang luas di sana. Bisa dilihat dengan jelas dari sini."

Putri Anil berbicara lebih seperti bergumam pada dirinya sendiri. Angin sepoi-sepoi bertiup, meniup rambut
hitamnya, menjernihkan wajahnya yang tajam dan menarik.

"Mungkin." Suara Putri Anil terdengar sangat melamun. "Sebaiknya aku punya istana di sana."

"..."

"Jadi, kamu selalu bisa melihatku."

Kali ini seringai Putri Anil membangkitkan perasaan Lady Pin, menyebabkan dia berpaling.

"Siapa yang ingin bertemu denganmu sepanjang waktu?" Suara Lady Pin begitu lembut hingga hampir menghilang
terbawa angin.

Putri Anil tidak berkata apa-apa, hanya bereaksi dengan senyuman seperti biasa. Dia lalu berjalan duduk di kursi
depan meja Lady Pin dengan tatapan penasaran.

"Bagaimana kamu bisa belajar? ...Aku tidak melihat kamu membawa buku apa pun." Lady Pin mengeluarkan suara
tegas pada gadis kecil di depannya yang tampak licik seperti biasanya.

"Pedang ada di hati... seperti buku."

Putri Anil berpura-pura mengabaikan keberatan Lady Pin dan terus menatap benda-benda di atas meja seolah-olah
ada hal yang menarik.

"Buku di hatimu?" Alis wanita itu berkerut. Mata rusa betinanya yang bulat dan besar kini tampak berubah menjadi
harimau betina dalam sekejap mata. "Aku sudah tahu! Apa kamu benar-benar ingin belajar? Kamu hanya ingin
bermain dan bersenang-senang, itu saja."

"Aku hanya ingin bermalam di kamarmu... itu saja."

Kali ini Putri Anilaphat menoleh menatap mata Pilantita dengan tatapan yang lebih serius dari sebelumnya meski
ujung mulutnya masih dilapisi senyuman tipis.

"..."

"Setelah mengetahui hal ini, kamu tidak boleh mendesakku," kata Putri Anil sebelum kembali mengamati barang-
barang di meja Lady Pin lagi, membiarkan pendengar terus menggigit bibirnya erat-erat, bertingkah canggung.

Lady Pilantita sudah terbiasa dengan percakapan cerdik Putri Anil sehingga dia sebelumnya tidak mempersiapkan
diri untuk jawaban lugas itu.

Tanpa mengetahui bagaimana menanggapi Lady Pin hanya bisa duduk diam dan menatap Putri Anilaphat.

Meja Lady Pin berisi beberapa rak buku dan lain-lain. Semuanya tertata rapi karena pemilik ruangan sangat ketat
dan tertib.

"Apakah kamu masih menyimpan kincir angin kertas ini, Khun Pin?" Putri Anil mengacu pada kincir angin kertas
berwarna oranye terang yang disisipkan sebagai penanda buku besar di rak paling bawah.

"Kamu memberikannya kepadaku. Bagaimana aku bisa membuangnya?"

Hanya ketika Lady Pin tersenyum tipis, wajah kecilnya terlihat begitu manis dan sulit untuk mengalihkan
pandangan.

"Aku tidak akan pernah melupakannya. Saat pertama kali aku datang untuk tinggal bersama bibiku di istana, saat itu
hidupku benar-benar sepi dan hilang. Aku hanya punya kamu yang datang untuk bermain denganku."

Pilantita berbinar mengingat pertemuan pertamanya dengan Putri Anil dan teman-temannya.

"Dulu, Anil dan Prik terobsesi dengan kincir angin kertas buatan tangan, dan kamu memberikannya padaku." Lady
Pin tersenyum manis mengingat saat Putri Anil memilih memberikan kincir angin konyol untuk Prik dan dirinya
sendiri.

Kincir angin terindah, Putri Anilaphat kemudian memilih untuk memberikan kepadanya.

"Senang melihatnya lagi," ucap Putri Anil sambil tersenyum lalu melihat sekeliling seperti anak kecil yang
penasaran.

"Aku belum pernah melihatmu mengikat rambutmu dengan pita biru tua."

Putri Anil mengangguk ke arah toples kaca bening berisi banyak pita tipis hitam putih. Satu pita tebal berwarna biru
tua membuatnya menonjol.
"Um... pita itu bukan milikku." Wajah kecil Lady Pin kini memerah. Dia terus menekan bibirnya sejenak. Dia bisa
mengucapkan kalimat berikutnya. "Pita itu milikmu."

Itu sebabnya, kelihatannya sangat familiar.

"Suatu hari Anil menjatuhkannya di mobil dalam perjalanan kembali ke istana." Lady Pin memelototi Putri Anil,
takut dia akan tersinggung. "Aku mencucinya dan berpikir untuk mengembalikannya nanti."

"Apakah begitu?" Mata gelap sang putri kini bersinar terang.

"Kamu melihatku tampak seperti seorang pencuri." Bibir indah bergelombang Lady Pin kini berubah karena kesal.

"Siapa yang mengatakan begitu?" ucap Putri Anil sambil tertawa. Dia kemudian mengubah pembicaraan dengan
mengambil sebuah cerita pendek dari rak.

"Ayo mulai belajar."

Putri Anil berjalan sambil membawa dongeng ke tempat tidur lebar Lady Pin. Dia kemudian berbaring tengkurap
tanpa diundang.

"Maukah kamu tidur di sini? Bibi mengaturkan kamar tamu yang besar untukmu." Wajah Lady Pilantita berubah
warna karena tidak pikir panjang.

"Biarkan Prik tidur di kamar itu. Aku akan tidur di sini. Tempat tidurmu cukup luas."

Putri Anilaphat berbicara sambil membalik halaman demi halaman, halaman demi halaman, tidak menunjukkan
tanda-tanda mendongak untuk memperhatikan Lady Pin.

Lady Pin menghela nafas ketika dia melihat Putri Anilaphat mungkin tidak akan pernah bangun dari tempat
tidurnya. Jadi, dia duduk di lantai di samping tempat tidur.

"Kemarilah, Khun Pin. Berbaringlah di sampingku dan bacakan sebuah dongeng untukku."

Putri Anilaphat tidak hanya sekedar berbicara tetapi juga memukul-mukul kasur ke atas dan ke bawah hingga
mengundang Lady Pin untuk berbaring di sampingnya.

"Kamu sangat manja." Meskipun Lady Pin mengerutkan kening, dia tidak bisa menahan diri untuk tersenyum
setelah melihat mata memohon dari Putri Anilaphat.

Menyadari Lady Pin belum datang, Putri Anilaphat segera mengatur kasur dan bantal sampai dia melihat sesuatu,
dan tangannya terhenti.

Di bawah bantal Lady Pin ada saputangan biru yang disulam dengan huruf Inggris yang menenangkan.

Huruf itu adalah A.

"Ini sapu tangan yang kuberikan padamu untuk menghapus air mata saat Bibi marah padamu, kenapa kamu
menyimpannya di bawah bantal?"

"Aku..."

Mata Lady Pin melebar dan tanpa sadar membeku. Setelah menelan ludahnya, Pilantita menjawab dengan
bergumam.

"Aku baru saja mencuci dan melipatnya di tempat tidur... berniat mengembalikannya padamu besok." Lady Pin
menatap matanya Putri Anil yang manis. "Setelah melipatnya, aku mungkin melupakannya di bawah bantal."

Lady Pin mengulurkan tangan dan mengambil saputangan itu, buru-buru menyerahkannya kepada Putri Anil dengan
tatapan penuh rasa bersalah.
"Tidak perlu dikembalikan. Aku akan memberikannya padamu."

"Aku tidak mau itu." Lady Pin menoleh ke arah lain sebelum mengatupkan bibirnya erat-erat. Tapi dia memegang
erat saputangan nila itu di tangannya, tidak mau melepaskannya.

Meskipun kamu tidak menginginkannya, aku bersikeras." Ekspresi Putri Anil berubah sedikit muram saat
mendengar penolakan tegas Lady Pin. "Simpanlah itu sebagai kenang-kenangan. Saat kuhapus air matamu."

"..."

"Jika kamu benar-benar tidak menginginkannya, aku akan menyimpannya." Putri Anil mengulurkan tangannya
untuk menerima saputangan dari Lady Pilantita, matanya tampak lebih suram dari sebelumnya, tetapi Lady Pin
meletakkan tangan yang memegang saputangan itu di belakang punggungnya.

"Anil bilang kamu memberikannya padaku." Ekspresi Pilantita sangat keras kepala saat ini. "Aku sendiri yang akan
menyimpan saputangan ini."

"..."

"Dan aku akan menjaganya sebaik mungkin."

~Bersambung~
BAB 7

Jangan lupa buat tekan (⭐) votenya ya

Balerina

Pesta penyambutan Pangeran Anon diatur beberapa minggu sebelum kepulangannya karena Raja mengetahui bahwa
putra keduanya telah jauh dari istana, untuk belajar hukum di luar negeri selama bertahun-tahun. Oleh karena itu,
Raja ingin mengadakan penyambutan atas keagungan kehormatan.

Oleh karena itu, seluruh pengawasnya adalah para kerabat kerajaan yang pernah bekerja sama dengan para
bangsawan di Istana Raja termasuk Putri Padmika yang bertugas mengurus semua hidangan manis dan gurih dalam
perjamuan tersebut.

Setiap persiapan sudah beres, selaras dengan peraturan dan ketentuan. Menu tamu harus dipilih oleh Putri Alisa dan
setiap hidangan harus terlebih dahulu melewati kontrol memasak yang ketat dari Putri Padmika.

Oleh karena itu,... Akhir pekan lalu, dapur Istana Depan terlihat sangat meriah karena Putri Padmika telah
menugaskan para pelayan dan koki untuk menciptakan berbagai hidangan yang lezat dan nikmat dari pagi hingga
larut malam untuk dipersembahkan kepada Putri Alisa secukupnya dan dipilih.

Banyak yang sibuk, banyak yang bersenang-senang.

Ketika seseorang berdedikasi pada sesuatu, pasti ada orang yang menerima manfaat dari ketekunan itu, dalam
beberapa hal.

Dalam kasus Putri Anilaphat dan Prik, mereka menerima manfaat dari upaya Putri Padmika.

Putri Anilaphat dan teman-temannya bersenang-senang.

Bagaimana bisa kamu tidak bahagia? Untuk itu mereka bisa menikmati jajanan yang dibuatkan juru masak untuk
Putri Padmika untuk pilihan menu di pagi hari. Lalu pergi mencicipi berbagai makanan di dapur pada sore hari
seolah-olah sedang ada festival makanan.

Mereka berkeliling dapur seolah-olah tidak dapat menemukan jalan kembali ke istana selama seminggu hingga hari
penyambutan tiba.

Sore harinya, Putri Alisa dan Pangeran Anantawut berangkat menjemput Pangeran Anon di bandara. Putri Anilaphat
tidak menemani mereka karena baru pulang sekolah. Oleh karena itu, dia harus tinggal dan menunggu kakak laki-
lakinya di istana.

Tidak ada yang tahu...

Bahkan kini saatnya Putri Anil mengganti pakaiannya untuk pesta, dia masih berjongkok, dengan gembira
menyantap jajanan lezat bersama Prik di sudut ruang penyimpanan kayu bakar.

"Kamu makan seperti Chuchok... Awas, kamu bisa mati meledak." Sang putri dengan cemas memandang Prik yang
terus memakan Mu Sarong.

Catatan: Chuchok adalah satu-satunya pengemis legendaris yang memiliki banyak makanan untuk dimakan sampai
dia meninggal. Mu Sarong adalah salah satu camilan goreng khas Thailand.

"Mengapa mati dengan perut kenyang begitu buruk?" Prik mengangkat lehernya dan berdebat sambil tetap
mengunyah makanan.
"Terkadang kamu mengatakan hal-hal yang cerdas." Kata Putri Anil sambil tertawa.

"Ya ampun! Putri Anil."

Matanya terbelalak begitu mendengar suara tegas Putri Padmika dengan lantang dari belakang. Belum lagi Prik yang
tersedak Mu Sarong dengan mata terbuka lebar dan mengangkat tinjunya hingga memukul dadanya berkali-kali.
Semuanya kacau.

"Iya, Bibi" Putri Anilaphat mengusap sudut bibirnya dengan punggung telapak tangannya sebelum menoleh untuk
menerima panggilan Putri Padmika.

Dia kemudian menyadari bahwa Putri Padmika tidak datang untuk melihat tempat persembunyian Putri Anil
sendirian tetapi membawa serta Lady Pilantita, keponakannya.

"Kenapa kamu jongkok makan seperti ini? Tidak anggun! Benar-benar tidak anggun! Kamu juga, Prik yang
rakus makan seperti itu, bisa mencekikmu sampai mati."

Putri Padmika menggeleng geram sambil menatap Prik dengan dingin.

"Maafkan aku Bibi. Aku lapar sekali, aku baru pulang sekolah beberapa waktu yang lalu."

Putri Anilaphat, dalam keadaan bingung, menatap mata Putri Padmika yang berkilauan.

Sementara itu, Lady Pin dan Prik menundukkan kepala dan bergantian menelan ludah.

"Ya ampun! Tidak ada yang menyiapkan makanan ringan untuk Putri Anil, jadi dia harus datang ke sini
untuk mencari sesuatu untuk dimakan sendiri seperti ini?"

Ucap Putri Padmika dengan suara lantang penuh kuasa dan anggun, berniat agar seluruh pelayan di dapur
mendengarnya.

Semua pekerja dapur berjongkok dan tidak menatap mata Putri Padmika. Mengetahui kebenarannya, Putri Anil tidak
suka jajan di istana seperti putri lainnya, melainkan lebih suka mencuri jajan dan makan bersama Prik di samping
dapur atau di pojok ruang penyimpanan kayu bakar.

Jika ada yang menemukan sang putri, menyiapkan setumpuk makanan dan menawarkannya dengan benar di sisi
bangku, dia akan berubah pikiran dan tidak memakannya sama sekali.

Dia suka mengambilnya sendiri untuk merasa puas.

"Putri Anil, silakan naik ke istana, diam di dapur hanya akan membuatmu bau." kata Putri Padmika dengan sedikit
amarah karena pesta sudah hampir dimulai menjelang sore. Sebab ia melihat mobil Raja sudah kembali dari
menjemput Pangeran Anon dan bergerak menuju tempat parkir depan istana.

"Lady Pin" Putri Padmika berkilauan ke arah keponakannya.

"Ya, Bibi." Lady Pilantita menjawab dengan sopan seperti biasa.

"Ajak Putri Anilaphat berdandan." Putri Padmika berkata dengan suara lembut, "Penyambutan akan dimulai
beberapa jam lagi."

"Iya Bibi"
"Prik, kamu tetap di sini dan bantu, tidak perlu menemani Putri Anilaphat." Suara terkutuk Putri Padmika membuat
Prik yang berjongkok hanya menjawab dengan suara bergetar.

"Ya, Tuan Putri."

Lady Pilantita meraih pergelangan tangan Putri Anil dan menuntunnya berjalan berdampingan sepanjang koridor
menuju Istana Depan.

"Anil terus mengacau." Wajah cemberut Lady Pin sedikit cemberut ketika dia berbalik memarahi Putri Anilaphat
yang terus menatap Prik dengan cemas.

"Sedangkan Khun Pin terus mengomel," ucapnya sambil tertawa.

"Hah!"

Lady Pin hanya bisa merenung lalu terdiam, merasakan sentuhan tangan Putri Anilaphat yang berubah dari diseret
beberapa saat yang lalu menjadi menempel erat dengan menempelkan kelima jari ke jarinya dengan mulus.

Kehangatan yang terpancar di ujung jari menyebabkan wajah Lady Pin berangsur-angsur memerah. Dia perlahan
melepaskan tangan kurusnya dari genggaman Putri Anilaphat dengan kikuk.

"Hmm? Bukankah Khun Pin mau memegang tanganku?" Putri Anil mengangkat alisnya sambil tersenyum.

"Anil sudah dewasa dan bisa berjalan sendiri. Kamu tidak membutuhkan aku untuk membimbingmu. Lady Pin
menjawab dengan lembut sebelum mengerucutkan bibirnya rapat-rapat dalam garis lurus.

"Apakah begitu?" Wajah Putri Anil tampak dangkal seolah dia menyesali sesuatu. Melihat itu, Lady Pilantita tiba-
tiba mengubah topik pembicaraan.

"Apa yang akan kamu pakai hari ini?"

"Entahlah... Sepertinya ibu meminta Nom Yoi untuk menyiapkannya di ruang ganti," Putri Anil menyebutkan
pengasuh kesayangannya yang telah merawatnya sejak kecil.

Nom Yoi masih muda. Dia adalah seorang wanita berusia tiga puluhan yang belum menikah. Ketika dia ditunjuk
untuk menjadi pengasuh Putri Anil, dia baru berusia dua puluhan. Oleh karena itu, sangat memalukan jika ada orang
yang memanggilnya.

Nom Yoi di sini. Nom Yoi di sana...

Namun lama kelamaan, ia mulai terbiasa, dan dengan senang hati merawat Putri Anil yang sangat mudah dibesarkan
sebagai seorang anak dan memiliki suasana hati yang baik. Saat masih balita, Putri Anil memiliki nafsu makan yang
mudah dan tidak cengeng seperti anak pada umumnya. Hanya ketika dia sudah dewasa, dia terus melarikan diri
untuk bermain nakal di istana sampai dia terluka dan kembali untuk berobat setiap dua hari sekali.

Meski begitu, Nom Yoi tetap menjalin ikatan kasih sayang dengan Putri Anil layaknya anak kandungnya sendiri.

"Ngomong-ngomong, kamu ingin aku pakai apa?"

"Aku senang melihatmu mengenakan gaun putih." Lady Pin tersenyum kecil ketika mengingat Putri Anilaphat
mengenakan gaun malam putih halusnya yang indah pada pesta musim dingin di Istana Sawetawarit pada akhir
tahun. Tapi kamu terlihat cantik dan menawan dengan pakaian apapun."

Kalimat terakhir lebih seperti renungan bagi dirinya sendiri.

"Apa katamu?"

"Tidak ada apa-apa."


Ketika pasangan itu tiba di ruang ganti, mereka menemukan Nom Yoi sudah menunggu. Dia mempunyai sedikit
ketidaksabaran, mungkin karena waktu ganti sudah cukup lama.

"Putri Anil, cepatlah mandi. Tidak boleh terlambat lagi. Aku sudah menyiapkan pakaianmu. Yang Mulia
memilihkannya untukmu."

Nom Yoi mengarahkan jarinya ke arah gaun navy tanpa lengan yang dijahit dengan pola sederhana namun elegan.
Bagian atasnya disulam dengan benang sutra perak agar berkilau dalam cahaya. Rok bawahnya berlipit dan agak
berkibar. Gaun itu tidak sehalus boneka seperti gaun sebelumnya.

"Ibu tahu kalau Anil suka memakai pakaian berwarna gelap." Putri Anilaphat selalu menyebut namanya sendiri saat
berbicara dengan Nom Yoi. "Bagaimana dengan gaun Khun Pin?"

Kalimat terakhir beralih ke Pilantita.

"P'Koi akan membawanya." Lady Pin menjawab dengan suara yang jelas, "Bibi bermaksud mengizinkanku
mengantarmu ke sini untuk berpakaian."

"Bibi melihatku seperti berusia tiga tahun?"

"Apa yang bisa kukatakan? Seorang anak berusia empat belas tahun yang memanjat pohon dan menangkap cacing.
Bagaimana aku bisa menganggapnya lebih tua daripada anak berusia tiga tahun?"

"Benar." Putri Anilaphat menyeringai lebar, "Jadi, hari ini aku akan berdiri diam agar Khun Pin mengontrol cara
berpakaianku, apakah itu bagus?"

"Semoga kamu bisa melakukannya." Sayangnya Putri Anilaphat tidak sempat melanjutkan percakapannya dengan
Lady Pin meski setengah kata karena saat ini Nom Yoi sengaja mendorongnya menuju kamar mandi.

Lady Pilantita mengenakan gaun putih halus yang tampak menggemaskan. Saat Putri Anilaphat keluar dari kamar
mandi, wangi tubuh dan rambut halusnya sungguh mempesona, seakan berkilau dan cukup mempesona hingga
membuat Lady Pin menyipitkan mata.

Apalagi saat ia mengenakan gaun berwarna navy berwarna gelap.

Kulitnya yang putih pucat bahkan lebih ditonjolkan menjadi lebih putih dari sebelumnya...

Lady Pin dengan bingung memandang ke arah Nom Yoi yang sedang mengikat rambut Putri Anilaphat sementara di
saat yang sama rambutnya ditata oleh P'Koi.

Gadis-gadis itu menghabiskan waktu lama di kamar, tetapi ini masih dianggap masih sangat awal dari waktu
perjamuan.

Perjamuan sore hari diadakan di halaman depan istana, halaman rumput hijau dihiasi lengkungan bunga warna-
warni yang dihiasi semak-semak bundar kecil di setiap sudutnya tampak seperti replika taman bunga. Meja makan
panjang yang digunakan untuk resepsi menonjol di tengah, dikelilingi meja bundar untuk tamu yang dikelilingi
pagar lampu berwarna kuning salju di sepanjang semak-semak yang menciptakan daya tarik.

Pestanya belum dimulai. Oleh karena itu, pada ruang perjamuan di Istana Depan hanya para pemilik Istana
Sawetawarit yang berkumpul secara bertahap.

"Anil, apakah itu Anil?" Ucap Pangeran Anon dengan suara nyaring seraya menghampiri adiknya dengan gembira.

Dua gadis berdiri dan memberi hormat. Putri Anilaphat memandang Pangeran Anon sambil berpikir, hampir tidak
bisa mengingat wajah kakaknya.

Setelah mencari, dia menemukan bahwa kakak laki-lakinya mirip dengan ibu mereka. Semakin dia tersenyum,
semakin mirip dia.
"Saat aku pergi, Anil hanya setinggi siku. Sekarang, kamu mungkin setinggi bahuku."

"Aku memberinya makan dengan baik dengan susu, mentega seperti orang asing. Anil seperti putri sulungku."

Pangeran Anantawut mengejek adiknya sendiri hingga mengundang gelak tawa semua orang.

"Apakah ini Lady Pin yang diberitahukan Anil kepadaku melalui surat?"

"Iya kakak." Putri Anilaphat menjawab singkat, karena dia tidak terlalu mengenal kakak laki-lakinya.

Pangeran Anon tersenyum sopan pada Lady Pilantita, tetapi Putri Alisa, yang baru saja tiba di aula, bergegas masuk
dan memeluk Lady Pin dengan penuh kasih sayang.

"Lady Pinku sangat lucu hari ini, secantik boneka."

"Ibu, putri kecilmu sangat cantik dan manis hari ini, kenapa kamu hanya mengagumi Lady Pin?" Pangeran
Anantawut masih asyik menggoda adik kesayangannya seperti biasa.

"Ibu sangat menyukai Khun Pin, kakak. Dia hanya mengatakan bahwa dia ingin menjadinya anak. Dia tidak peduli
pada Anil." Putri Anilaphat bermain bersama kakak tertuanya.

"Anil sebenarnya bukan putriku." Putri Alisa dengan sadar melirik ke arah Putri Anil, "Nakal seperti putri monyet."

Kata Ibu seolah-olah... Kilau mata Putri Anil itu licik dan berkilau.

"Ahem, Anil..." Suara Pangeran Anantawut setengah tegas, setengah sadar, terdengar sangat kontradiktif.

"Jangan katakan apa yang kamu pikirkan!"

..........

Suasana pesta sangat membosankan karena sebagian besar tamunya adalah kerabat senior, putri atau Lady yang
memiliki pangkat setara dengan Pangeran Anon yang cocok untuknya, bergantian datang memperkenalkan diri
kepada sang pangeran, hingga ia nyaris tak bisa bernapas, nyaris mengubah penyambutannya menjadi pesta
pelemparan karangan bunga untuk mencari pasangan.

Putri Anilaphat dan Lady Pilantita dipuji secantik peri dari hampir semua tamu senior di pesta hingga mereka mulai
muak. Mereka memisahkan diri untuk mengagumi pesta di bawah tanaman ivy di samping istana.

Berbeda dengan pesta-pesta di Istana Sawetawarit sebelumnya, pada pesta kali ini lantai dansa dipersiapkan secara
modis. Kedua gadis itu menyaksikan para wanita bergantian berdansa bersama Pangeran Anantawut dan Pangeran
Anon dengan gembira.

"Khun Pin...bisakah kita berdansa?" Setelah lama melihat yang lain, Putri Anil berkata dengan suara yang jelas.

"Di sini?" Mata rusa betina besar Lady Pin melebar karena terkejut.

"Mm, aku baru belajar menari hari ini... Bisakah kamu menjadi partnerku?"

"Tentu."

Putri Anil mengulurkan tangannya lalu membungkuk menawarkan Lady Pin untuk menari. Lady Pilantita dengan
malu-malu tersenyum manis ketika tangan putih lembut Putri Anil menyentuh pinggang kurusnya dengan lembut.
Mereka berdua bergerak perlahan mengikuti irama musik, terlihat seperti balerina menari di kotak musik.

Rok lipit berwarna biru tua yang ditumpuk di atas rok putih berbulu halus, berkibar mengikuti gerakan halus, terlihat
sangat indah.

"Suatu hari nanti, jika aku tidak berada di sini bersamamu, apakah kamu akan kesepian?"

Usai menari hingga bagian terakhir lagu yang dimainkan dengan alat musik klasik, Putri Anil terus terang bertanya.

"Mm kalau kamu tidak ada di sini, tidak akan ada yang nakal padaku."

Jawab Lady Pin sambil tertawa tanpa berpikir.

"Aku bertanya apakah kamu kesepian." Mata Putri Anil lebih serius dan terlihat asing.

"Aku tidak tahu, itu belum terjadi," Lady Pin memiringkan lehernya dan berpikir, "Aku masih melihatmu di
depanku setiap hari... Aku tidak bisa membayangkan jika aku akan kesepian."

"Tapi bagiku, jika aku tidak melihatmu..."

Suaranya sangat pelan sehingga Lady Pilantita mendekat dan mendengarkan dengan penuh perhatian.

"Aku akan sangat kesepian."

~Bersambung~
BAB 8

Jangan lupa buat vote (⭐) ya

Jawabannya

Teriknya matahari musim panas menyinari dedaunan pohon Chaiyapruk, terpantul di pipi bening Lady Pilantita
yang sedang duduk di kursi besi tempa bercat putih di bawah naungan pohon besar yang melebar.

Halaman tampak dihiasi sisa-sisa bunga Chaiyapruk berwarna merah jambu pudar yang berubah menjadi hampir
putih di bawah pohon. Di pohon, bunga berwarna merah jambu dan merah tua bermekaran dengan indah di antara
dedaunan hijau, menunggu untuk berubah warna menjadi putih pucat dan terhempas, terjatuh tanpa tujuan dan
terpuruk dalam siklusnya.

"Lady Pin... kamu di sini."

Putri Padmika tampak jauh lebih rileks ketika ia duduk di kursi yang berhadapan dengan keponakannya.

"Ya."

Lady Pin menjawab bibinya sambil tersenyum kecil seperti biasanya.

"Apakah kamu mengupas Maprang?"

Putri Padmika memandangi tumpukan Maprang berkulit kuning dan mangkuk bening besar yang menampung lebih
dari separuh air di depan Lady Pin untuk beberapa saat lalu bertanya.

"Ya, Bibi."

Dia selalu menyimpan kata-katanya saat berbicara dengan bibinya.

"Sekarang...kamu pandai mengupas. Dulu aku harus memegang tanganmu untuk mengupasnya. Kita membuang
banyak Maprang sampai kamu bisa mengupasnya satu per satu.

Putri Padmika memandangi pisau ukir kuningan di telapak tangan halus Lady Pin dengan binar bangga di matanya
setelah melihat pola di permukaan Maprang yang cerah, bisa ditebak Lady Pin sedang menggoreskan pola kerang.

"Tapi kenapa kamu menyiapkan begitu banyak Maprang? Apakah kamu memakan semuanya? Hanya ada kita
berdua di Istana ini."

"Aku... hanya membuatnya untuk berjaga-jaga."

Pilantita menundukkan kepalanya, pipinya yang halus bersinar merah muda cerah bersaing dengan Maprang yang
sudah matang.

"Untuk berjaga-jaga... Begitukah?" Alis Putri Padmika terangkat tinggi karena telah meramalkan sesuatu. "Apakah
kamu berniat menyenangkan hati Putri Anil?"

Meski suara bibi terdengar halus dan tidak ada tanda-tanda kebencian, Lady Pin segera menundukkan kepalanya
tanpa berpura-pura.

"Tidak seperti itu, Bibi. Tapi kalau Putri Anil datang, aku akan punya segelas Maprang bergaris dalam sirup untuk
dipersembahkan padanya. Putri Anil sangat menyukainya."
"Tapi sepertinya dia lebih suka jajan di dekat ruang penyimpanan kayu bakar," kata Putri Padmika sambil tertawa.

"Dia sangat nakal."

Lady Pin nyengir kecil mengingat sikap berapi-api Putri Anil dan Prik saat menikmati Mu Sarong hingga bibinya
memergoki mereka.

"Seandainya Putri Anil tidak ada di sini..." Mata tajam Putri Padmika meredup merenung sejenak, dan akhirnya
berkata dengan suara pelan yang terdengar. "Kamu mungkin sangat kesepian."

"Tidak disini?" tangan yang sedang menggeser tepi Maprang tiba-tiba berhenti. "Kenapa dia tidak tinggal di sini?"

Mata coklat besar Lady Pin penuh dengan keluhan. Dia bingung dan marah.

Marah...

Tanpa tahu harus marah pada siapa atau malah terlalu menuntut pada siapapun...

"Kudengar Putri Anil harus pergi ke Eropa untuk belajar seperti kakak-kakaknya," lanjut Putri Padmika dengan
suara halus yang sulit ditebak, sambil menatap Pilantita yang kini mengatupkan bibirnya rapat-rapat dan berpikir.

"Awalnya aku mengira Raja tidak akan mengirimnya belajar ke luar negeri seperti para pangeran, karena dia adalah
putri kecil tercinta."

"..."

"Tetapi melihat Putri Anil bijaksana dan berbeda dari anak-anak lainnya, Luang Phinit, gubernur dekatnya terus
mengatakan kepada Yang Mulia betapa disayangkannya jika Putri Anil tidak pergi belajar ke luar negeri. Akhirnya,
Raja harus mengambil keputusan, karena dia tidak ingin putri bungsunya lebih rendah dari kedua pangeran itu."

"Pangeran Kedua pergi ke London pada usia delapan belas tahun. Sekarang, Putri Anil baru berusia empat belas
tahun, bukankah masih bertahun-tahun lagi?"

Mata Lady Pin tiba-tiba bersinar penuh harapan.

"Siapa yang bilang?"

"..."

"Raja sudah merencanakan kepergiannya dalam dua bulan ke depan... Dia tahu bahwa semakin awal dia pergi,
semakin baik dia dalam belajar bahasa."

Tampaknya suara Bibi Pad yang bergema dengan jelas menjadi angin sepoi-sepoi yang membuat Lady Pin tidak
dapat memahami bahkan setengah pesannya.

Pilantita fokus pada "Dua bulan ke depan," yang ada dalam pikirannya dan sulit untuk dihilangkan dengan mudah.

"Ya ampun, Khun Pin! Kamu terlihat sangat pucat, apakah kamu akan pingsan?"

Putri Padmika memandangi wajah kecil Pilantita yang pucat dan tangan kurusnya terkepal erat pada pisau ukir
kuningan. Dia kemudian begitu khawatir sehingga dia harus meletakkan tangannya untuk menyentuh lengan
keponakannya dengan sepenuh hati.

"Tidak apa-apa, Bibi..." Lady Pin hanya bisa berbicara dan terdiam.

Duduk dan istirahatlah. Tidak perlu mengupas Maprang lagi. Aku khawatir kamu akan pingsan dan terluka."

"Ya"
Lady Pin dengan sedih menatap mata khawatir bibinya sebelum segera melepaskan stripping Maprang.

Dan kemudian hanya duduk diam di sana...

Pilantita duduk dengan dua tangan di depan pangkuan, menunduk, memandang kosong dengan tubuh tak bergerak.

Melihat keponakannya, Putri Padmika semakin ketakutan.

"Lady Pin" katanya dengan suara yang sangat lembut dan menyenangkan.

"Ya."

Pilantita menjawab, sambil duduk diam, memandang sekilas seolah-olah suara manis itu keluar dari bibir patung
batu itu.

"Kenapa kamu diam saja, jangan patah semangat untuk belajar, aku akan membiarkan kamu belajar sampai
perguruan tinggi, meskipun di Thailand."

Dia sedang menguji...

Karena dia tidak bisa menebak tindakan tiba-tiba keponakannya yang murung.

"Aku tidak terbawa suasana." Kali ini Lady Pin melakukan kontak mata dengan bibinya sebelum menjawab dengan
suara serak yang hampir tidak terdengar.

"Aku mungkin merasa kepanasan."

..........

"Di cuaca panas seperti ini, menyegarkan sekali ada Maprang bergaris buatan Khun Pin."

Suara Putri Anil masih sangat nyaring. Jika di lain waktu Lady Pin ingin mendengar suara sang putri tanpa kenal
lelah.

Tapi kali ini... betapa cerahnya suara Putri Anilaphat, hati Pilantita semakin diremas oleh rasa rendah diri.

Yang bisa dia lakukan hanyalah menatap kosong ke arah Putri Anilaphat yang tersenyum bahagia ketika dia
mengambil Maprang bergaris berbentuk kerang yang dilempari batu hingga terlihat seperti cangkang yang terbuka
dan tertutup dalam mangkuk bening dengan sirup dan es untuk dimakan tanpa henti karena itu adalah camilan
favoritnya.

"Itu benar, Tuan Putri. Untuk rasa, masakan buatan Yai Pean tidak selezat buatan Lady Pin."

Prik tersanjung dengan suara lembut yang manis.

"...jika menyegarkan, silakan makan lebih banyak."

Suaranya lembut dan sedih seperti isak tangis.

"Apakah Khun Pin tidak bergabung bersamaku?"

Sekarang mata Putri Anil bersinar memohon sebelum dia menyeringai sampai lekuk imutnya terlihat dan
mengundang dengan suara yang menyenangkan karena tidak ada yang bisa menolak gerakan ini.

Namun tipuan mempesona Putri Anil tidak berhasil untuk Pilantita saat ini.

Semakin dia berpikir bahwa dia tidak akan pernah melihat senyum cerah sinar matahari dan tidak akan mendengar
setiap kata Putri Anilaphat untuk waktu yang lama.
Lady Pin merasa sangat sulit untuk bersikap normal...

"Silakan makan. Aku tidak bisa makan apapun."

Setelah mengatakan itu, Lady Pin hanya bisa menelan isak tangisnya lagi di tenggorokannya.

"Apakah kamu kepanasan?"

Pilantita sering menggelengkan kepalanya alih-alih menjawab. Saat ini, Putri Anilaphat melihat wajah Lady Pin
sepucat kertas putih.

"Sakit perut?"

Dia masih menggelengkan kepalanya dan mengerucutkan bibirnya erat-erat. Mata besar itu penuh keluhan.

"Prik!"

Putri Anilaphat semakin serius, membuat Prik segera masuk dan duduk di samping lututnya.

"Ya, Tuan Putri."

Prik menjawab dengan suara gemetar, karena dia belum pernah melihat wajah Putri Anilaphat seserius ini.

"Aku meminta sesuatu padamu."

Putri Anilaphat bertanya sambil tetap memandang ke arah Pilantita.

"Memintaku pergi ke mana, My Lady?"

Prik hanya bisa berspekulasi.

"Untuk kamu pergi ke mana pun, jauh."

Prik melebarkan matanya sebelum mengangkat kepalanya untuk fokus pada wajah lembut sang putri, yang tidak
menunjukkan tanda-tanda menggodanya seperti biasanya. Jadi, dia hanya bisa membalas dengan kesetiaan.

"Saya dengan rendah hati menerimanya, Tuan Putri."

Namun sebelum merangkak diam-diam, Prik tak lupa berbalik dan mengambil mangkuk Maprang bergarisnya
sebelum kembali membungkuk pada Putri Anil.

"Sangat bijaksana, Tuan Putri."

Tanpa dilema ini, Putri Anil pasti akan tertawa terbahak-bahak melihat kelakuan Prik, namun kini ia hanya bisa
memandangi punggung tebal Prik yang "Pergi kemana saja, jauh" sesuai perintahnya.

Ketika Prik sudah pergi, Putri Anil pindah ke kursi di sebelah Lady Pin sebelum bertanya dengan lembut dan ramah.

"Sebenarnya apa yang salah denganmu, Khun Pin? Kenapa kamu tidak menjawabku?" Putri Anil dengan jeli
mendekati wajah Lady Pin, "Matamu merah sekali, atau kamu sedang demam?"

Suatu ketika tangan Putri Anil menyentuh keningnya yang membulat.

Lady Pilantita jatuh...

Kemudian tetesan kedua, ketiga, dan tak terhitung jumlahnya menyusul. Akhirnya, mata indahnya sepenuhnya
berubah menjadi tabir air mata.

"Khun Pin..."
Tampilan berkilau cerah yang berkelap-kelip telah menghilang dari mata Putri Anil untuk pertama kalinya. Saat
melihat air mata Lady Pin, ia tidak bisa berbuat apa-apa selain mengambil saputangannya sendiri untuk menghapus
air mata gadis di depannya yang kini terlihat rapuh seperti kaca bening dengan gerak tubuh yang tak terkendali.

Karena dia masih tidak tahu mengapa Lady Pin menangis begitu banyak.

Jadi, yang bisa dia lakukan hanyalah meletakkan tangannya yang lain di tangan Lady Pin.

"Aku akan kesepian..."

Setelah kesulitan menghentikan air matanya, Lady Pilantita berbicara dengan suara serak.

"..."

Putri Anil duduk diam, mulai menyusun alasan mengapa Lady Pin menangis di kalimat terakhir.

Lady Pin tahu tentang rencanaku untuk belajar di luar negeri?

"Anil pernah bertanya padaku apakah aku akan kesepian jika kamu tidak ada"

"..."

"Aku... baru... mengetahuinya... hari ini..."

Setelah mengatakan itu, Lady Pilantita terisak-isak hingga ia melemparkan dirinya, maka Putri Anil mengulurkan
tangan dan menarik tubuh kecilnya yang rapuh ke dalam pelukannya sambil dengan lembut membelai rambut orang
yang ada di pelukannya, seolah-olah dia takut Lady Pin akan patah. Di depannya.

"Aku kesepian"

"..."

Lady Pilantita terus terisak dalam pelukan Putri Anil dengan getaran lembut.
.

"Aku tidak pernah ingin kamu pergi..."

~Bersambung~
BAB 9

Jangan lupa (⭐) votenya ya

Dalam Sekejap Mata

"Kenapa Anil harus belajar jauh dari rumah?"

Suatu saat aku berseru sambil berpura-pura membaca buku pelajaran bahasa Inggris yang tebal di ruang baca kakak
laki-laki tertua di Istana Burapha.

Di belakang orang lain, kami berdua sering menggunakan kalimat percakapan yang sederhana dan biasa saja karena
terkadang kami merasa sangat bosan dengan formalitas.

"..."

Pangeran Agung tidak langsung menjawab pertanyaan itu, tetapi dia hanya membalik-balik halaman kuning buku di
depannya dan tersenyum dengan tenang.

"Lalu kenapa kamu tidak pergi?" Dia menjawab tanpa mengalihkan pandangannya dari buku.

"Karena..." Aku tertegun.

"Mengapa?" Kali ini, kakak laki-laki tertua menutup bukunya sebelum mengangkat alisnya, malah menanyaiku.

"Karena Anil masih terlalu muda," jawabku.

Sejak hari pertama, ibu mengetahui keinginan ayah untuk menyekolahkan Aku ke Eropa. Ibu terus memohon kepada
ayahku dengan kata-kata yang diulang-ulang seperti:

"Yang Mulia, mohon berubah pikiran... Anil masih sangat muda. Aku tidak bisa menjauhkan putriku dari
pandanganku."

Berkali-kali Ibu berkata demikian, baik dengan suara yang khidmat maupun tegang hingga suara itu bergetar,
disertai isak tangis ringan, namun tidak peduli apa suara atau gerak-geriknya, tidak dapat mengubah perintah Ayah.

Jadi, aku memilih menjawab pertanyaan kakak tertuaku dengan menggunakan alasan yang dipinjam dari Ibu.

Dan menyembunyikan alasan seseorang untuk...

"Tidak pernah ingin Anil pergi" dalam pikiranku.

"Berangkat di usia muda adalah suatu keuntungan."

"Ayah juga terus mengatakan ini."

"Aku menghela nafas putus asa, karena bahkan Pangeran Agung yang selalu setuju denganku, kali ini dia setuju
dengan Ayah dan Luang Phinit."

Mulai sekarang, pastinya tidak akan ada yang bisa menentang pendidikanku...

"Jika Anil punya peluang, Anil harus memanfaatkannya."

"Kalau bukan itu yang diinginkan Anil, apakah masih disebut peluang, Kak?"
"Itu saja..." Pangeran Agung tiba-tiba tertawa, "Anil suka mengajukan pertanyaan yang berbeda dari yang lain.
Senang rasanya belajar di luar negeri."

"Suka bertanya lalu kenapa kita perlu belajar di luar negeri?" Semakin aku mendengar jawaban tak terduga dari
kakak sulungku, semakin penasaran aku memikirkan pertanyaan. "Mengapa aku tidak bisa belajar di tanah air kita?"

"Itu karena jika Anil benar-benar belajar di sini, kamu hanya bisa bertanya tanpa henti." Kakak tertua tersenyum.

"Tetapi jika Anil melanjutkan studi ke tempat lain, pertanyaanmu akan selalu terjawab."

"..."

Jawabannya membuatku terdiam dan mulai memahami sesuatu.

"Katakanlah, negara kita tidak ketinggalan, tapi masih ragu-ragu." Nada suara kakak laki-lakiku yang tertua sangat
halus.

"Takut bertanya, apalagi takut tahu jawabannya. Kalau Anil terus kuliah di sini, lama-kelamaan Anil akan
digabung."

Kakak laki-lakiku yang tertua berbicara dengan sikap yang bijaksana sambil tersenyum setiap kali aku menanyakan
pertanyaan yang tidak ada seorang pun yang mau repot-repot menjawabnya seperti biasanya.

"Karena aku terlalu mengenal Anil hingga membiarkan Anil kehilangan dirimu sendiri. Anggap saja pendidikan
anak usia dini Anil telah diteliti secara menyeluruh karena seratus satu alasan."

Dan percakapan berakhir.

Sebab aku hanya diam memikirkan tanpa ada alasan lagi untuk berdebat.

Karena itu, kakak laki-laki tertua lebih banyak mengorbankan dirinya untukku, sampai-sampai meluangkan waktu
untuk tinggal bersamaku di Inggris selama empat bulan pada awalnya, untuk memastikan semuanya sudah siap
sebelum dia kembali.

Seminggu setelah itu... Jam hidupku sibuk berputar ke departemen pemerintah, kementerian, biro, departemen untuk
berbisnis kuliah di luar negeri.

Belum lagi nongkrong hari demi hari seperti dulu, bahkan terkadang harus minta izin keluar sekolah.

Belum lagi meluangkan waktu untuk bertemu seseorang...

Seseorang yang terus menghindari wajahku. Dia bahkan berganti pakaian untuk berangkat ke sekolah pagi-pagi
sekali, karena takut aku akan berdiri di dekat tembok sambil menumpang mobil P' Perm seperti biasa.

Dan mengubah pemberhentian penjemputan dari gerbang sekolah ke tempat yang tidak diketahui.

"Anil adalah anak yang tidak pernah menderita dan berduka seperti orang lain."

Ibukulah yang pertama kali mengucapkan kalimat ini, kemudian datanglah Ayah, kakak laki-laki tertua, kakak laki-
laki atau bahkan aku sendiri yang mulai percaya bahwa kalimat tersebut ada benarnya.

Dan itu mungkin benar tanpa perubahan...


Andai saja aku tidak mendengar kata-kata isak tangis Lady Pin.

"Aku kesepian... dan aku tidak ingin Anil pergi."

Kalimat Lady Pin mempunyai kekuatan untuk menusuk lubang di hatiku, menimbulkan rasa sakit yang menusuk
hingga aku hampir terjatuh dihadapannya saat itu juga.

Namun pada saat Lady Pin masih rapuh dan siap hancur dihadapanku kapan saja, aku hanya bisa berpura-pura
menjadi kuat seperti biasanya.

Siapa yang tahu malam itu...

Seorang gadis yang tidak pernah menderita seperti yang dikatakan ibunya, terus membenamkan wajahnya di atas
bantal dan mengerang hingga air matanya hampir suling menjadi darah.

Seseorang yang tidak pernah menangis...

Saat dia menangis...

Ternyata air mata memenuhi pelupuk matanya seolah-olah ia telah membangkitkan setiap kesedihan dalam
hidupnya hingga menangis sekaligus.

Aku menangis begitu keras sehingga aku harus memegang tanganku untuk menutup mulut agar dapat menelan air
mata.

Aku tidak tahu apa yang membuatku menyesal.

Sedikit yang ku tahu...

Bahkan setelah hari itu, sepertinya Lady Pilantita berusaha menghindariku. Selain mengubah jam berangkat dan
pulang sekolah, ia juga menolak turun dan duduk di paviliun depan kolam teratai seperti biasanya.

Ada banyak hal yang harus aku selesaikan, jadi aku hanya bisa meminta Prik untuk menjaga Khun Pin dengan baik
atas namaku.

Yang lebih diam-diam lagi, aku meminta izin ayahku agar selama aku belajar jauh dari rumah, aku akan meminta
Prik untuk menjaga Khun Pin untukku.

Itu bagus untuk Prik dan Khun Pin.

Di pihak Prik , tidak ada yang berani menindasnya.

Di pihak Lady Pin, dia akan memiliki teman seperti orang lain. Prik sangat pandai memantau emosi orang. Apalagi
jika orang itu adalah tuannya, Prik akan langsung tahu apa yang harus dilakukan agar tuannya merasa hebat seolah-
olah dia punya pengikut.

Faktanya, "pengikut" tersebut dianggap sebagai satu-satunya Prik.

"Karena saya tahu Putri Anil akan pergi belajar ke luar negeri, Lady Pin terlihat sangat kesepian, My Lady."

Prik yang ternyata adalah pelayan dekat Khun Pin, membujukku begitu kami bertemu di Istana Depan.

"Lagipula, jika ada yang secara tidak sengaja menyebutkan bahwa kamu akan pergi bulan depan, air matanya akan
selalu menetes."

Prik terus berbicara sementara aku mendengarkan dengan tenang.

"Pada suatu saat, Putri Padmika secara tidak sengaja mengabarkan bahwa Putri Anil sudah menyiapkan dan
menjadwalkan tanggal keberangkatannya saat jam makan malam. Lady Pin meletakkan peralatan makannya dan
segera lari dan menangis di kamar tidurnya."

"Bagaimana kamu tahu, Prik, kalau Khun Pin sedang menyelinap dan menangis?"

"Saya mendekatkan telingaku ke pintu kamarnya."

"Cerdas, seperti biasa"

"Putri Pad memintaku, Tuan Putri. Itu sebabnya saya berani."

"Bagaimana pendengarannya?"

"Menangis begitu menyedihkan, Yang Mulia. Sungguh menyedihkan sampai-sampai saya hampir berlari untuk
meminta Anda berubah pikiran untuk tidak pergi."

"Apakah begitu?"

"Benar, My Lady. Lady Pin terisak-isak hingga hatinya terasa patah. Saya merasa kasihan, namun tidak tahu harus
berbuat apa."

"Selain itu, apakah Khun Pin menyebutkan sesuatu padamu?"

"Dia sudah beberapa kali bertanya padaku apakah Putri Anil sudah tidak ada lagi di sini, bukankah saya akan
kesepian? Bukankah saya akan merasa sedih?"

"Apa katamu?"

Pertanyaan Khun Pin begitu menggema di hatiku, bahwa aku harus mendengarkan baik-baik jawaban teman-teman
dekatku.

"Saya hanya membalas...pasti sepi, tapi semoga Anda segera kembali."

Prik yang cerah sangat menyentuh hatiku hingga aku hampir menangis lagi di depan Prik.

"Tahukah kamu berapa lama lagi waktumu, prik?"

"Anda bertanya kepadaku seperti Lady Pin. Awalnya, saya bilang dua atau tiga tahun, tapi Lady Pin bilang tidak
kurang dari tujuh tahun. Itu sebabnya saya menangis di depannya, My Lady."

"Oh, Prik tidak tahu kalau aku akan pergi sejauh itu." Aku menelan seteguk air liur ke tenggorokanku dengan keras.
Menjauh dari kehidupan seseorang dalam jangka waktu yang lama bukanlah hal yang mudah.

Khususnya dengan orang-orang yang bergaul dengan kita...

Ini sangat sulit.

"Ya, hari itu, Lady Pin harus menghiburku agar tidak menangis, dan saya kehilangan seluruh kecantikanku."

Prik berkata sambil tersenyum malu.

"Yah, entah sampai kapan putriku akan pergi, itu lebih dari separuh hidupku, My Lady."

Prik, yang masih muda di usia dua belas tahun, bergumam.

"Tidak peduli berapa lama." Hal berikutnya yang aku tahu, aku memandang Prik dengan penuh kasih sayang.
"Pada akhirnya, aku harus kembali."

"Lady Pin juga menghiburku seperti itu, My Lady."


"Jika Lady Pin menghiburmu seperti itu, dia mungkin sudah melupakan kesedihannya sekarang."

"Tidak, Yang Mulia." Prik berkata sambil mengerucutkan bibirnya, "Dia tampak semakin membosankan, karena
semakin sedikit berbicara, dia hampir tidak berbicara dengan siapa pun. Bahkan Putri Pad sendiri memperhatikan
bahwa Lady Pin jauh lebih pendiam dari sebelumnya."

"Lalu kenapa dia menghiburmu, Prik?"

"Mengetahui hal itu bukan berarti dia bisa melupakannya, Yang Mulia. Sampai saat ini, ketika aku mengikuti Lady
Pin melakukan tugas di Istana Depan, jika ada pelayan yang hanya menyebutkan bagaimana mereka perlu
menyiapkan barang-barang Putri Anil untuk pergi ke luar negeri, Lady Pin harus mengangkat kedua tangannya
untuk menutupi telinganya dan dengan cepat berjalan melewati para pelayan. Itu masih jauh dari mampu untuk
melupakannya."

"Apakah begitu?"

Itulah yang bisa kujawab Prik sebelum kembali terdiam. Pikiranku yang selama ini cemerlang langsung menjadi
tumpul dan bodoh dalam segala hal yang berhubungan dengan Lady Pilantita.

Bermula dari ketidaktahuan bagaimana cara menghibur Khun Pin dari kesedihannya.

Karena sulit untuk menghibur diriku sendiri.

Padahal takdir tidak terlalu menindas kita. Minggu sore, saat aku tidak ada urusan, janji temu yang telah aku atur
sebelumnya antara aku dan Prik berhasil.

Prik akhirnya menundaku untuk menemui Khun Pin di taman belakang Istana Bua di bawah bayang-bayang pohon
Chaiyapruk.

Wajah Khun Pin terlihat sedikit tirus, matanya yang muram tidak bersinar seperti dulu.

"Apakah kamu menghindariku?... "

"Tentu saja tidak."

Khun Pin menolak, padahal dia terus membuang muka, berpura-pura melihat kesana kemari.

Lihatlah semuanya...

Kecuali wajahku.

"Tapi aku sudah lama tidak bertemu denganmu." Aku tidak sengaja mengomel.

"Mungkin karena Anil sedang melakukan banyak tugas." Khun Pin berkata sambil melihat ke arah dedaunan dan
memainkannya dengan jari kakinya, "kamu bahkan tidak punya waktu untuk bermain, jadi bagaimana kamu bisa
melihatku?"

"Benar. Membosankan kalau aku harus menjalankan tugas. Aku sangat lelah dan malas, Khun Pin."

"Anil belum pergi jauh... aku belum bisa melihat wajahmu."

Kali ini, Khun Pin mendongak untuk menatapku, tapi saat aku benar-benar menatap matanya yang mengeluh.

Ternyata aku tidak berani melakukan kontak mata langsung dengan Lady Pin seperti biasanya.

"Sekarang aku sudah menyelesaikan semua tugasku. Khun Pin akan melihat wajahku sampai kamu bosan." Aku
tersenyum lebar, tapi Khun Pin tetap mengencangkan bibirnya.

"Siapa yang bisa bosan dengan Anil?" Setelah berkata begitu, air mata Khun Pin kembali menetes. Melihat itu, aku
hanya bisa menarik Khun Pin ke dalam pelukanku dan menepuk lembut rambutnya seperti biasa.

"Apa aku membuatmu menangis lagi? Setiap kali kau melihat wajahku, kamu selalu menangis," bisikku di telinga
Khun Pin yang terisak pelan dan tertahan.

"Meski aku tidak melihat wajahmu, bukan berarti aku tidak akan menangis."

Respon orang yang terus-menerus meringkuk wajahnya di pundakku itu serak, gemetar.

"Anil tidak membuatku menangis. Aku menangis sendiri."

"..."

Aku hanya bisa mengatupkan bibirku erat-erat saat mendengar Khun Pin menyalahkan dirinya sendiri. Dadaku
terasa sakit seperti bekas air mata basah di pundakku mengandung racun yang langsung masuk ke dalam hatiku.

Tak tahu apa yang harus kulakukan agar gadis yang menangis itu menghilangkan kesedihannya, aku lalu
mempererat pelukanku sebelum berulang kali berkata hingga isak tangisnya mereda.

"Aku akan menulis surat untukmu setiap hari, aku janji."

..........

Malam sebelum perjalanan serasa menjadi lautan air mata... Ibu, Nom Yoi dan prik.

Semua orang menangis kecuali aku.

Aku menghabiskan waktu terbaikku untuk menghibur semua orang sementara hatiku menjangkau seseorang yang
aku bahkan tidak tahu apakah masih ada air mata yang tersisa untuk menangis tadi malam.

Karena dia telah menangis selama berbulan-bulan...

Aku bangun sebelum matahari terbit untuk penerbanganku pagi-pagi sekali, dan bahkan Nom Yoi pun terkejut
melihatku sudah bersiap-siap terlebih dahulu tanpa menunggu dia mengejarku seperti sebelumnya. Nom Yoi
memujiku tanpa henti-hentinya jika aku bisa bersikap seperti ini meski aku jauh, Nom Yoi tidak perlu khawatir lagi.

Ketika saatnya tiba, dua buah mobil berwarna hitam mengkilat sudah terparkir di halaman air mancur depan istana,
karena semua orang ingin mengantarkan aku dan kakak tertuaku ke bandara bersama Ayah, Ibu dan kakak laki-
lakiku.

Ibu ingin menumpang mobilku, jadi kakak laki-laki tertuaku harus pindah untuk duduk di mobil lain bersama kakak
laki-laki dan Ayah berpikir lucu melihat Ibu rewel seperti perempuan.

Tampaknya Khunphra Chom telah merekrut seluruh pelayan istana untuk duduk dan mengantarku ke halaman air
mancur hingga terlihat sangat megah.

Termasuk Bibi Pad yang menunggu di ruang utama.

Tapi tidak ada tanda-tanda keponakannya...

Aku sudah mencarinya sejak lama. Akhirnya, dua orang yang sangat aku tunggu itu berjalan bergandengan tangan
dan bersembunyi di aula utama di samping Putri Padmika.

Khun Pin dan Prik ...

Ketika aku masuk ke dalam mobil, aku hanya bisa menurunkan kaca jendela mobil dan melambaikan tanganku ke
luar, mengirimkan senyuman selebar hatiku yang menyenangkan.

Keduanya hanya bisa balas melambai dengan canggung.


Kemudian mobil berangkat perlahan.

Namun dalam sekejap, kami dibawa keluar dari gerbang Istana Sawetawarit.

Dalam sekejap detik perpisahan...

Namun, pemandangan wajah Khun Pin melalui mata penuh air mata yang kulihat sepersekian detik saat mobil lepas
landas membekas dalam ingatanku.

Dan akan tetap begitu selamanya dan tak terhapuskan...

~Bersambung~
BAB 10

Jangan lupa (⭐) vote dulu ya

Hujan Kelabu

"My Lady, jadi kamu bersembunyi di sini? Aku sudah lama mencarimu."

Kini, Prik telah tumbuh menjadi seorang wanita muda yang anggun, berlari penuh semangat dari jauh sebelum
berhenti terengah-engah di depan Lady Pilantita yang sedang duduk di bangku di bawah Pohon Gabus di belakang
Istana Bua.

"Jangan menjulurkan lidahmu seperti itu, itu sama sekali tidak anggun. Sudah berapa kali aku bilang padamu Prik?"

Lady Pin melirik Prik dengan tatapan kesal. Meskipun Prik lebih pintar dan lincah dari pelayan lainnya, namun
perilakunya... masih kurang baik.

Namun Pilantita sudah berusaha dalam melatih Prik agar berperilaku lebih baik selama tiga tahun terakhir, sejak ia
mulai melayani Lady Pin.

"Maaf, Lady Pin."

Meski mulutnya mengujarkan penyesalan, Prik tetap mempertahankan senyuman di bibirnya.

Lady Pin menyadarinya. Dia menatap kertas terbungkus yang sedang dipegang Prik.

"Apa yang kamu pegang, Prik?" Lady Pin menatap tajam amplop coklat tebal di tangan Prik.

"Ini surat dari Putri Anil, Lady." Kata Prik sambil menyerahkan amplop itu ke tangan putih halus Lady Pin sebelum
menunjukkan senyuman licik.

"Um..."

Meski Pilantita hanya menjawab singkat, bibirnya yang cerah dan penuh selalu tersenyum. Kilauan cahaya yang
terpancar di mata besar berwarna coklat yang indah itu menunjukkan betapa bahagianya Lady Pin saat ini.

Prik sudah lama menunggu saat ini...

Ketika mengantarkan surat Putri Anilaphat kepada Lady Pin.

Lebih dari siapa pun, Prik memahami bahwa surat Putri Anil adalah penyelamat yang membantu Lady Pin
menemukan kegembiraan dalam hidup setiap kali dia menerima surat.

Memang benar hari-hari berlalu dengan mudahnya bagaikan awan putih yang melayang di langit. Selama tiga tahun
terakhir, segala sesuatu di sekitar Lady Pilantita telah berubah. Selama hampir setahun mendaftar di Fakultas Seni di
Universitas, ia mendapat banyak teman baru, baik laki-laki maupun perempuan. Dia memiliki jaringan sosial yang
berbeda dan lebih luas dari sebelumnya.

Tapi Prik masih bisa merasakan kegembiraan Lady Pin yang sebenarnya adalah membaca surat-surat Putri Anil.

Seolah-olah surat Putri Anil adalah tetesan air yang memungkinkan bibit yang layu itu terus tumbuh.

Namun, ketika surat Putri Anil tidak sampai lebih dari dua minggu, dan pada kesempatan lain tertunda lebih dari
sebulan, konsekuensinya jauh lebih besar. Di saat seperti itu Prik hampir tidak bisa menghadapi Lady Pin.
Kekhawatiran itu seakan digambarkan oleh gelembung suram di sekeliling Lady Pin. Seperti tertutup hujan kelabu...

Di luar, tampak mereda, tetapi nyatanya perasaannya sulit untuk dimengerti.

Bukan hanya Prik yang merasa seperti itu. Putri Padmika juga menyadarinya.

"Ini untukmu, Prik."

Lady Pin dengan hati-hati membuka amplop itu dan memberikan kartu pos itu pada Prik.

Prik menerima surat dari Putri Anil. Namun karena kemampuan Prik dalam membaca dan menulis kata-kata
sederhana terbatas, Putri Anil memilih mengirimkan kartu pos dengan ilustrasi gambar agar lebih mudah dipahami.

Prik juga menulis balasan pada Putri Anil dalam kalimat sederhana atau meminta saran dari Lady Pin.

Prik akan selalu mengakhiri suratnya dengan kalimat ini:

"Kapan kamu akan kembali? Aku tidak punya siapa pun yang bisa bermain denganku saat ini.

Aku selalu merindukanmu, teman baikku.

Prik... Prik..."

Prik mulai melihat kartu pos itu, di satu sisi ada gambar bangunan abu-abu yang asing baginya dan di sisi lain ada
gambar dirinya dalam versi kecil.

Seorang gadis dengan rambut sangat keriting digambar dalam bentuk hati yang besar, ditandai dengan pesan singkat
yang mudah dibaca:

"Aku rindu sekali, Prik...

Anil."

Setelah melihatnya, wajah Prik menampakkan senyum berseri-seri.

Dan seperti biasa, setelah mereka menyortir kartu pos, Lady Pilantita akan berpisah dan masuk ke kamar tidurnya
untuk membaca surat yang dikirimkan Putri Anil sendirian.

Mengunci pintunya...

Kemudian dengan cermat ia akan menyusun kartu pos dengan tanggal yamg berurutan dari kanan.

Karena selama tiga tahun Putri Anil pergi ke Inggris untuk belajar, dia rutin menulis surat kepada Lady Pin sesuai
janjinya.

"Aku berjanji akan selalu menulis surat kepada Lady Pin setiap hari."

Awalnya, Lady Pin menyangka Putri Anilaphat mengatakan itu hanya untuk menenangkan dirinya atas air matanya.
Namun seiring berjalannya waktu, Putri Anilaphat menepati janjinya.

Namun Lady Pin hanya membalas surat Putri Anil ketika dia menerima surat mingguannya, dengan kata-kata
pendek.

Dia tidak pernah berinisiatif untuk menulis surat kepada Putri Anil sebelumnya, tidak sekali pun.

Gaya penulisan surat Putri Anil tetap sama dari surat pertama hingga saat ini.

Semua menyertakan surat tulisan tangan sepanjang satu atau dua halaman. Sisanya adalah kartu pos yang tampak
seperti buku harian.
Satu foto setiap hari. Lalu, dia akan memyimpannya dalam seminggu, menulis tanggal dan mengirimnya.

Kartu pos pertama.

Minggu.

Sekarang sudah hampir musim semi. Cuacanya masih sedingin biasanya. Untunglah hari ini Minggu, jadi aku
berbaring di tempat tidur sampai matahari terbit. Makanan hari ini sesederhana biasanya, roti dan sup sayur segar.
Aku sangat merindukan makanan Nom Paen.

Sore harinya, Anil berjalan-jalan di taman. Seluruh taman ditutupi warna kuning dan oranye, karena dedaunan di
sini berubah warna, tapi sepertinya Anil berada di tempat dan waktu yang salah karena aku hanya melihat orang-
orang tua dimana-mana.

Tidak ada gadis sepertiku.

Anil.

Lady Pin tersenyum lembut sambil membelai kartu pos pertama dengan ekspresi menyesal. Kemudian dia menoleh
dan melihat di belakang kartu pos itu ada gambar taman dengan dedaunan berwarna oranye-kuning berjatuhan
ditanah. Di gambar sendiri oleh Putri Anil dengan pensil.

Kartu pos kedua.

Senin.

Hari ini aku belajar beberapa pengetahuan menarik mengenai dewa-dewa Yunani. Anil terus mengangkat tangan
dan menjawab pertanyaan profesor. Aku mendapat pujian karena menjawab semua pertanyaan degan benar.

Tapi ketika aku kembali ke kamar, aku hanya tidur dan tidur. Malam harinya aku terbangun dan sakit kepala
karena tidur di waktu yang salah. Karena merasa sedikit lelah dan tidak mau makan apa pun jadi aku minum susu
hangat dan tidur sampai pagi.

Anil.

Alisnya tiba-tiba terangkat ketika ia selesai membaca kartu pos pendek itu.

Rasanya Lady Pin ingin merobohkan tembok jarak, menembus kartu pos dan memukul lengan Anil karena tidur di
waktu yang salah dan melewatkan waktu makan. Membuat Lady Pin khawatir.

Lady Pin meluangkan waktu sejenak untuk melihat kartu pos itu berulang-ulang, lalu membaliknya ke sisi lain,
terdapat sketsa pensil patung dewi kemenangan - tanpa kepala, namun sayapnya tetap terlihat anggun dan
melambangkan kemenangan.

Kartu pos ketiga.

Selasa.

Aku punya cerita lucu yang ingin aku ceritakan padamu. Hari ini aku terpeleset dan terjatuh di lorong sekolah.
Kakiku terangkat tinggi ke udara. Temanku tertawa dan mengejekku. Terutama Emma, Dia tidak bisa berhenti
tertawa.

Untung saja Anil tidak mudah malu, meski sedikit kehilangan aura kerenku. Tapi aku tidak malu.

Anil.

Lady Pin membaca kartu pos tersebut tanpa ekspresi. Ia bahkan tidak tertawa karena lelucon yang dibanggakan Putri
Anil. Ia mengernyit dan bergumam pada kata 'Terutama Emma'.
Apalagi, ketika ia membalik kartu pos dan melihat foto seorang gadis dengan kaki terangkat, dalam gambar itu juga
ada seorang gadis kecil bernama Emma yang sedang tertawa.

Lady Pin menunduk, merasa tidak nyaman dan menggembungkan pipinya.

Kartu pos keempat.

Rabu.

Hari ini sekolah mengajakku ke festival seni di museum. Aku benar-benar menyukainya, Lady Pin.

Aku sangat ingin belajar arsitektur ketika melihatnya. Bagaimana denganmu, Lady Pin? Apa kamu suka belajar
seni? Tahun depan kami harus memilih jurusan. Jurusan apa yang harus aku pilih?

Kadang aku tertarik pada sejarah, kadang menggambar, kadang patung. Tapi sering kali aku ingin menggambar
bangunan dan mendesain rumahku sendiri, jadi aku ingin belajar Arsitektur.

Menurutmu, apa yang harus dipelajari Anil?

Anil.

Lady Pin membalikkan kartu pos yang memperlihatkan Putri Anil yang sedang bingung dan dikelilingi tanda tanya.
Ia tersenyum mesra.

Kartu pos berikutnya selalu dengan pesan singkat tetapi Lady Pin masih membacanya berkali-kali seolah sedang
menghafalnya untuk ujian akhir.

Kartu pos hari Kamis.

Hari ini mendung sepanjang hari. London suram dan membosankan. Seperti orang-orang di Istana. Bagaimana
kabar Khunpra Chom? Apakah dia masih senang menyalahkan orang lain seperti biasanya?

Anil.

Kartu pos hari Jumat.

Hari ini aku belajar musik. Anil tidak bisa memainkan alat musik apapun. Tetapi aku ingat Lady Pin memainkan
piano dengan sangat baik. Jadi apa aku harus belajar piano?

Anil.

Kartu pos Sabtu.

Aku bangun kesiangan. Hari ini aku mengunjungi perpustakaan dekat asrama. Aku menemukan buku yang kusuka
jadi aku membacanya. Setelah itu, aku kembali untuk makan steak yang lezat. Aku menyukainya.

Anil.

Setelah membaca tujuh kartu pos itu, Lady Pilantita akhirnya membuka surat yang ada didalam amplop berwarna
biru tua dengan stempel shell-lac perak.

Dari Anil.

Lady Pinku tercinta.

Khun Pin Khun Pin Khun Pin...

Bagaimana kabarnya hari ini? Kini musim hujan, hampir berakhir dan musim dingin pun dimulai.
Pastinya katak itu mungkin akan bersuara di tengah hujan. Lady Pin pernah bilang membenci ketika mereka terus
berteriak setiap malam dan membuat semua orang tidak bisa tidur. Sudah lama sekali Anil tidak mendengar suara
apapun saat hujan.

Hujan di sini sepi dan hening, sama seperti masyarakat di sini, tidak segembira katak di kampung halaman kita.

Anil sudah di sini selama hampir tiga tahun dan belum juga terbiasa. Aku suka bagaimana semua orang di sini
hanya peduli pada urusannya sendiri dan tidak ikut campur dalam urusan orang lain. Tapi kadang ihu juga
membuatku merasa kesepian.

Soal belajar, Anil sangat menyukainya. Tempat ini tidak hanya belajar melalui pembacaan pelajaran di buku, tetapi
juga memiliki cerita untuk dipelajari. Belakangan ini aku menemukan kecintaan untuk belajar.

Meskipun Anil mempunyai banyak teman, mereka semua memiliki budaya dan bahasa yang berbeda. Pada
akhirnya, sahabat terdekatku sepertinya tidak punya siapa-siapa.

Aku merindukan rumah.

Aku rindu Ayah, Ibu, dan saudara-saudaraku. Juga Prik.

Tapi orang yang paling kurindukan sampai membuatku menangis adalah Lady Pin.

Anil.

Isi suratnya hanya sampai disitu, namun Lady Pin membacanya berulang kali sebelum ia menulis beberapa kalimat
di kertas.

Surat dari Khun Pin

Anil tersayang

Di sini turun hujan setiap malam dan aku tidak bisa tidur seperti yang kamu katakan, tapi alasannya bukan karena
suara katak. Tapi sesuatu yang lain.

Yang membuatku tidak bisa tidur dengan damai.

Semua orang di sini baik-baik saja, mereka masih sibuk menyiapkan sarapan, makan siang, dan makan malam.

Kalau bibiku tidak mengijinkan aku kuliah. Aku pikir seluruh dunia ini sesempit lingkaran yang mengelilingi istana.

Tapi dunia luar begitu luas sehingga aku terkesima.

Di Inggris selalu dingin. Anil, jangan lupa untuk selalu menjaga kehangatan dan menutup diri dengan selimut tebal
dan memakai kaus kaki saat tidur.

Aku tidak ingin Anil sakit. Akan sangat sulit untuk mencari orang yang bisa menjagamu. Tinggal di sana tak
senyaman tinggal di sini.

Ketika kamu menulis bahwa kamu tidak tidur tepat waktu dan sakit kepala, aku sangat kesal mendengarnya. Aku
juga tidak menyukai kenyataan kalau kamu hanya minum susu hangat lalu tidur.

Bagaimana kalau kamu sakit maag? Anil harus selalu berhati-hati. Aku sangat khawatir.

Kamu terjatuh? Apakah kakimu memar?

Apa ada yang mengoleskan obat saat kamu terpeleset dan terjatuh?

Dan siapa Emma?


Soal belajar, aku tidak berani merekomendasikan apapun. Karena Anil adalah yang paling memahami diri sendiri.
Lakukan apa yang kamu inginkan.

Khunpra Chom, dia tetap waspada, tangguh dan licik, seperti garam yang tidak pernah berhenti terasa asin.

Soal belajar piano, aku sangat setuju. Apalagi Anil sangat pintar dan elegan, belajar piano sangat cocok untukmu.
Membayangkanmu duduk tegak di depan piano dan menggerakkan jari-jarinya yang ramping di atas tuts piano
dengan serius saja membuatku tak bisa berhenti tersenyum.

Aku menyimpan semua kartu pos harianmu. Sekarang aku punya setumpuk besar.

Jadi aku meminta bibiku dibuatkan peti besi untuk menyimpannya. Tapi jika ada yang aku suka, aku menyimpannya
di laci meja, sehingga ketika aku memikirkanmu aku akan bisa mengeluarkannya dan membacanya dengan nyaman.

Butuh waktu bertahun-tahun sebelum Anil kembali, tapi aku tidak akan pernah berhenti menandai kalender. Sampai
suatu hari Bibiku melihatnya dan marah karena terlihat sangat berantakan.

Tapi aku terus melakukannya.

Aku benar-benar sedang menanti kepulanganmu. Bagaimana aku bisa berhenti menandainya?

Aku selalu merindukan Anil.

Tepati janjimu.

Pin.

~Bersambung~
BAB 11

Jangan lupa (⭐) vote dulu ya

Istana Pinus (Matsumiya)

Lady Pin terkejut saat mengetahui bahwa pemandangan di halaman luar jendela kamarnya tiba-tiba berubah.

Rerumputan yang biasanya lebih tinggi di atas kepala seseorang, dan pohon besar maupun kecil, semuanya ditebang.

Tanah tandus berwarna coklat itu diratakan dengan road roller. Kemudian sekelompok pekerja yang entah muncul
dari mana, bergegas masuk ke wilayah itu dan memindahkan perlengkapan. Kepala-kepala manusia seolah
mengubah langit menjadi gelap.

Setiap hari, diam-diam Lady Pilantita mengamati semua perubahan dari jendela kamarnya. Mau tidak mau ia merasa
khawatir, karena dia sangat menyukai tanah tersebut.

Ia masih ingat, lima tahun lalu seseorang mengatakan akan mengambil alih lahan itu. Dia berkata tempat itu akan
dibangun sebuah istana sebagai hadiah. Agar Pilantita bisa selalu melihatnya.

Meski mungkin itu hanya sebuah lelucon yang dapat perlahan memudar dan menghilang seperti angin, seiring
dengan senyuman hari itu...

Namun Lady Pilantita menganggapnya sebagai pernyataan serius dan masih terkejut hingga saat ini.

Akhirnya Lady Pin tidak bisa menahan rasa penasarannya. Maka saat makan malam, Lady Pin bertanya kepada Putri
Padmika.

"Apa Bibi tahu, apa yang akan dibangun Yang Mulia Raja di sana?"

"Apa...?" Putri Padmika menghentikan kegiatannya, ia mengangkat kepala dan bertanya, "Menurutku Lady Pin lebih
tahu dari siapa pun."

"Mengapa Bibi mengatakan itu?" Suara manis Lady Pin bercampur kaget.

"Yang mulia Raja memerintahkan sebuah istana dibangun di halaman itu sebagai hadiah untuk Putri Anilaphat
ketika dia kembali dari kuliahnya di Inggris."

"..."

Saat dia mendengar apa yang dikatakan Bibinya... Jantung Lady Pin tiba-tiba berdebar kencang, karena dia sering
berkata pada dirinya sendiri bahwa Putri Anilaphat hanya bercanda dengannya.

Mungkin, beberapa orang memang memegang teguh perkataannya. Lady Pin mengira hanya dia yang berharap
selama ini...

Gadis itu bahkan lebih terikat pada kata-katanya sendiri daripada dirinya.

Putri Alisa bercerita kepadaku bahwa ketika dia mengunjungi Putri Anilaphat dua bulan lalu, dia bertanya kepada
sang Putri hadiah apa yang dia inginkan untuk wisudanya. Putri Anilaphat yang sedang belajar arsitektur, jadi ia
langsung memberikan rancangan istana," kata Putri Padmika penuh rasa kagum pada Putri Anilaphat.

"Sang putri berharap kalau istana ini akan dibangun dengan gaya barat disebelah istana Bua Chompoo. Dengan
dikelilingi oleh pohon pinus tinggi di keempat sisinya. Ia menamai istana tersebut Matsumiya (Istana Pinus)."
"Matsumiya..." Pilantita dengan lembut mengulangi kata-kata itu. Ingatannya kembali pada saat ia dan putri
Anilaphat dihukum menyalin buku pelajaran di ruang baca. Putri Anil menggambar sebuah rumah kecil yang
dikelilingi pohon pinus.

"Pemikiran Putri Anilaphat memang lebih istimewa dari yang lain."

"Istimewa bagaimana, Bibi?"

"Desain istananya sangat indah, tapi ini adalah rumah kayu kecil satu lantai, tidak layak menyandang status seorang
putri yang selalu dicintai Raja."

Lady Pin memandang bibinya sambil bertanya-tanya dalam hati, kenapa Putri Anilaphat membangun istana kecil.

"Mengapa kamu ingin tinggal di rumah kecil?"

"Karena menurutku akan lebih nyaman. Di tempat sekecil ini, kita selalu bisa bertemu satu sama lain."

"Awalnya kami mengira bahwa Yang Mulia akan membangun istana ini di Selatan. Karena istana Pangeran Anan
ada di Timur, Pangeran Anon di Barat. Jika Putri Anil membangun di Selatan,
maka mereka akan mengelilingi Istana Utama dengan sempurna."

"Namun, Putri Anil selalu tidak bisa ditebak, Bibi." Lady Pin menundukkan kepalanya, ia tidak mungkin memberi
tahu bibinya tentang alasan khusus Putri Anil membangun istana di halaman karena dia. Aku ingin selalu berada
dalam pandangan Lady Pin.

"Aku setuju." Putri Padmika tersenyum ramah sambil memandang keponakannya. "Kupikir Putri Anil sudah
memberitahumu tentang hal ini di suratnya. Aku tidak pernah mengira kamu harus menanyakannya sendiri
kepadaku."

"Dalam surat terbarunya, dia hanya memberi isyarat bahwa akan ada kejutan untukmu segera." Jawab Lady Pin
kepada bibinya, dengan senyum puas sambil mengulangi isi surat itu di kepalanya.

"Sebentar lagi... akan ada kejutan untuk Lady Pin. Jika saat itu tiba, ketahuilah bahwa hadiah ini datang dari hatiku
yang tulus untuk kuberikan padamu."

Seperti yang diinginkan Putri Anil. Mae Prik, kamu sudah tahu?"

Putri Padmika menoleh pada Prik yang duduk tak jauh dari meja makan dan mendengar perbincangan mereka.

"Hanya tahu sedikit, Putri Padmika. karena surat terakhir ada gambar berupa rumah kecil di sebelah Istana Bua
Chompoo." Jawab Prik dengan rendah hati.

"Kamu sangat pintar. Kamu langsung mengetahuinya setelah melihat itu."

"Bukan hanya itu."

"..."

Putri Padmika mengangkat alisnya karena bingung.

"Saya tahu karena saya bertanya langsung pada para pekerja. Mereka bilang sedang membangun istana untuk putri
bungsu Raja. Saat itulah saya mengetahui dan sangat yakin."

"Oh! Gadis ini, kukira kamu memang pintar, ternyata kamu menanyakan pada orang lain.

Mendengar Putri Padmika berkata demikian, Prik langsung menunduk karena takut.

Hubungan Putri Padmika dengan Prik memang aneh. Prik takut pada Putri Padmika lebih dari apa pun, namun
terkadang, Prik secara tidak sengaja meresponsnya dengan begitu lancar dan fasih sehingga Prik tanpa sengaja
membuat marah Putri Padmika.

Maafkan kelancangan hamba. Hamba pantas mati." Jawab Prik dengan suara gemetar."

Tapi, di luar dugaan, Putri Padmika tak marah. Tapi mengapresiasi kecerdasan Prik. Dia memandang Prik dengan
penuh kekaguman.

"Jangan mati dulu, Mae Prik. Biarkan aku membesarkanmu dan bersenang-senang. Pelayan sepertimu tidak mudah
ditemukan."

Mendengar perkataan Putri Padmika, Prik segera mengangkat kepalanya dan tersenyum seperti biasa.

"Anda baik sekali, Tuan Putri."

Setelah mengetahui tentang Istana Pinus Putri Anil dari bibinya, Pilantita menyaksikan perubahan yang terjadi di
halaman melalui jendela kamar tidurnya setiap ada kesempatan. Ia senang melihat kemajuan pembangunan sedikit
demi sedikit setiap hari.

Tidak lama setelah percakapannya dengan bibinya, Putri Padmika memerintah agar segera diadakanlah sebuah
upacara akbar. Tiang-tiang utama dipasang dan para biksu datang untuk memberkati. Mendengar hal itu, Prik sangat
senang dan berharap bisa menikmati hidangan lezat yang selalu dihidangkan tiap kali Istana Sawetwarit
mengadakan upacara besar.

Lady Pin tidak bisa menahan senyum ketika dia membayangkan jika pemilik Istana Pinus masih ada di sini
sekarang, dia akan pergi berkeliling dengan Prik dan mempermainkan Prik seperti biasa.

Bayangan Putri Anilaphat di matanya masih sama dengan foto yang ia lampirkan dalam surat terakhirnya dua tahun
lalu.

Dalam foto, Anilaphat sedang berdiri di antara sekelompok orang sambil tersenyum cerah. Dia telah meninggalkan
sifat kekanak-kanakannya dan tumbuh dewasa. Garis wajahnya tajam, mata yang cerah. Lady Pin hampir tidak bisa
mengalihkan pandangan dari bibirnya yang penuh dan dipoles dengan lipstik mahal. Ia terlihat seperti wanita
dewasa, sehingga hampir mustahil bagi Lady Pin untuk mengalihkan perhatiannya dari foto itu.

Satu-satunya yang tak berubah hanyalah lesung pipi di sudut bibir yang merupakan ciri khasnya.

Lady Pilantita menyimpan foto itu sebagai jimat dalam bingkai kayu yang disembunyikan di laci di bagian atas
lemari.

Setiap sebelum tidur, ia akan mengeluarkannya dan meletakkannya di atas tempat tidur.

Setiap malam sebelum tidur, Lady Pin akan melihat foto Putri Anil dengan mata termenung beberapa saat dan
menunggu hingga ia mengantuk hingga tidak bisa membuka matanya ia akan mengucapkan "selamat malam" pada
foto tersebut sebelum tertidur. Kemudian dia akan memasukkan foto itu ke dalam laci dan tertidur sampai subuh.

Meski ia masih penasaran dengan rupa sang putri sekarang.

Seberapa cantik wajahnya sekarang?

Namun, Lady Pin tidak berani meminta Putri Anil untuk mengirimkan foto lagi.

Jadi, dalam imajinasinya Putri Anil masihlah orang dalam foto yang telah memudar seiring berjalannya waktu.

----------

"Pin"

"..."
"Lady Pin"

"..."

"Lady Pilantita"

"Hm? Ada apa Sunee, aku duduk tepat di depanmu, kenapa kamu berteriak begitu keras?"

Lady Pilantita kaget saat dipanggil oleh Sunee. Lamunan Lady Pilantita buyar karena rengekan Sunee, sahabatnya.
Mereka sedang duduk menjahit di bawah pohon cassia ungu.

"Aku memanggilmu dari suara lembut hingga hampir berteriak, Lady Pin. Kenapa kamu sama sekali tidak
memperhatikanku?" Sunee memeluk lututnya, dengan wajah cemberut ia mengeluh, "Tanya saja pada Thanit kalau
tak percaya."

Selesai bicara, Sunee menunjuk Thanit dengan dagunya. Thanit adalah seorang pria muda dengan kulit gelap, mata
dalam dan senyum nakal di bibirnya.

"Begitukah, Thanit?" Lady Pin dengan serius menoleh untuk bertanya pada pemuda itu karena tantangan Sunee. Dia
tidak mempercayai Sunee sama sekali.

"Maaf, tapi itu benar... Thanit balas tersenyum, "Sunee sudah beberapa kali memanggilmu.

"Aku juga akan menjadi saksinya."

Chada, gadis muda yang duduk di sebelah Pilantita mengangkat tangannya dengan senang hati.

"Apa kamu memercayainya? Kalau bicara soal siapa yang paling mengkhawatirkan di sini, itu pastilah Lady Pin.

"Ya, jadi kenapa kamu memanggilku?" Wajah cantik Lady Pin nampak bingung. Ia tidak bisa menyangkal kritik
yang dilontarkan padanya.

"Aku ingin mengajakmu makan es krim. Aku tidak ada kelas siang ini, aku bosan di rumah. Kupikir Gwin akan
menjemputku sore ini. Sepertinya dia ingin mengajak kita makan es krim di kafe yang baru buka itu."

Sebelum Sunee selesai bicara, wajah Thanit menjadi pucat. Bagaimana ia tidak tahu bahwa teman baiknya ingin
menjodohkan Lady Pin dengan kakaknya Gwin? Dalam hatinya, ia tahu jelas niat Sunee yang sebenarnya pada Lady
Pin.

Selama tiga tahun terakhir ia hanya berperan sebagai 'semut merah di pohon mangga' dalam lingkaran pertemanan
mereka. Ia mungkin ditakdirkan hanya menjadi teman yang tampaknya tidak memiliki peluang untuk maju... ke
peran lain.

Catatan: Pepatah Thailand. Istilah Semut merah di pohon mangga adalah sebuah metafora (kiasan) Thailand
tentang seorang lelaki yang jatuh cinta pada perempuan di dekatnya dan menghalangi siapa pun yang
mendekatinya sampai ia menemukan kesempatan yang tepat. Karena, jika mangga matang sebelum manusia
memetiknya, maka semut merah yang akan memakan mangga tersebut. Sementara itu, jika ada yang ingin
memungutnya untuk di makan, maka semut merah juga bisa memakannya.

Sampai suatu hari seorang lelaki menyatakan perasaannya pada Lady Pin dan membuat panik seluruh universitas...

Tapi Thanit masih belum bisa seperti orang-orang itu...

Jika dia membuat pengakuan tanpa berpikir maka peluangnya untuk mempertahankan persahabatan dekat dengan
Lady Pin pasti akan hancur.

Thanit tahu, Lady Pin adalah perempuan yang sulit dijangkau.

Lelaki-lelaki yang datang untuk menggoda Lady Pin, harus pulang dengan wajah kecewa. Terlebih, Lady Pin tidak
pernah menggoda lelaki manapun.

Ia hanya menunduk dengan ekspresi menjadi serius-bahkan sedikit jijik. Ia tidak berusaha sopan saat menolak
lelaki-lelaki itu.

Tapi Thanit tidak membenci lelaki-lelaki itu, malah ia merasa kasihan. Dia bahkan memahami orang-orang
pemberani itu dan berpikir untuk mempersembahkan dupa dan lilin untuk memberi penghormatan kepada
keberanian mereka.

Siapa yang berani silahkan saja...

Pokoknya aku tidak berani...

Ia bersembunyi di balik pertemanannya dengan Lady Pin selama 3 tahun. Ia mengenal Lady Pin lebih dari siapa pun.
Selain wajahnya menawan yang dapat meluluhkan hati, mata coklatnya yang besar seperti rusa memancarkan es.
Membuat orang lain merasa hormat sekaligus takut.

Di mata Thanit, Lady Pin adalah gadis yang keras kepala dan sulit didekati.

"Lupakan saja, ayo kita ke sana."

Suara lembut Lady Pin bagaikan setetes air yang memadamkan harapan samar Thanit.

Tapi Thanit tahu kelemahan Lady Pin... ia sangat percaya pada Sunee.

"Apa kamu mengundangku dan Chada?" tanya Thanit pada Sunee ragu.

"Tentu saja. Kamu kira aku tidak bisa membalas budi?" Sunee tersenyum bahagia.

"Kedengarannya bagus, aku akan makan semua es krim di toko sampai pemiliknya menangis."

Lalu... Di sana Lady Pin hanya melamun sambil mengaduk es krim vanilanya yang sudah mulai meleleh
didepannya.

"Pin, es krimmu sudah meleleh." ucap Gwin lembut dan membangunkan Lady Pin dari Lamunan. Lady Pin hanya
tersenyum tipis tanpa mengatakan apapun.

"Kamu tidak suka es krim vanilla?" tanya Gwin lagi.

Lady Pin tidak menjawab, ia hanya memandangi es krim vanilla yang meleleh dan buah ceri besar berwarna merah
cerah. Ia sibuk memikirkan jika Putri Anilaphat datang ke sini.

Es krim rasa apa yang ingin dia makan?

Jika Pilantita harus menebak, dia menebak itu coklat, karena surat dari Putri Anil dengan jelas menyatakan
kesukaannya:

"Cokelat di sini enak sekali, Lady Pin. Tidak semanis di kampung halaman kita. Dan rasanya agak sedikit pahit.
Anil lebih menyukai rasa coklat yang manis dan pahit dibandingkan makanan penutup lainnya. Anil bisa makan
banyak sekaligus. Sampai kenyang."

"Kafe ini mungkin tidak sesuai dengan selera Lady Pin, Lain kali izinkan Thanit menyarankan kafe lain. Supaya es
krimnya tak berubah jadi genangan air seperti ini." Thanit menyeringai. Dan diam-diam menatap Gwin dengan
tatapan provokatif.

"Jangan salah Thanit, tidak ada kafe di kota ini yang membuat es krim lebih enak daripada di sini." Gwin membalas
tatapan Thanit seolah sedang mendominasi.

Ketika kedua pemuda itu melanjutkan perang dingin mereka...


Lady Pin masih memikirkan isi surat Putri Anil ketika mendengar kata 'rasa'.

"Saat musim dingin tiba, kita bisa melihat orang-orang berciuman mesra di sini. Entah itu di sudut sebuah gedung
tua, di taman yang ramai, atau di perpustakaan yang penuh dengan buku akademis. Sepertinya orang-orang di sini
bisa berciuman secara terbuka di mana saja. Anil jadi memikirkannya."

"Apakah ciuman itu manis?"

"Lady Pin, beritahu aku, apa kamu juga bertanya-tanya seperti Anil?"

"Seperti apa rasanya berciuman?"

Memikirkan kata-katanya saja,wajah Lady Pilantita langsung menghangat.

Dia hanya bisa memarahi Putri Anil di dalam hatinya. "Anil, kenapa kamu menanyakan pertanyaan yang sulit
dijawab?"

"Sepertinya kalian tidak perlu berdebat lagi."

Chada tiba-tiba menyela kedua pemuda tadi. Dia selalu mengamati wajah Lady Pin yang cantik dan manis. Kadang
ia tertegun, kadang terkikik, kadang tersipu, seperti seorang gadis yang sedang terjun ke dalam jurang bernama
cinta.

Bukan hanya sekarang... tapi sepertinya Chada telah memperhatikan bahwa Lady Pin selalu seperti itu sejak pertama
kali dia mengenalnya. Namun dalam beberapa minggu terakhir, perhatian Lady Pin tampaknya semakin parah.

"Cafe atau kedai apa pun tak akan membuat Lady Pin peduli."

Sore itu, Gwin dan Sunee mengantar Lady Pin ke gerbang istana dan pergi dengan tenang. Mereka bahkan tidak
berani mengunjungi Putri Padmika sesuai aturan.

Tapi, ceritanya menjadi lebih rumit...

"Yang mulia Kua sedang menunggu untuk menemui Anda di ruang resepsi."

Prik segera memberitahu Lady Pilantita begitu dia memasuki istana.

"Khun Kua datang lagi?"

Ada nada tidak sabar dalam suara Lady Pilantita. Di antara pemuda yang mengejarnya, hanya orang kepercayaan
Pangeran Anon, Putra bangsawan Rajawongse Kuckii yang paling sulit ditolak.

Salah satu alasannya adalah karena Khun Kua mendekati orang yang lebih tua dulu. Seperti, Pangeran Anon atau
Putri Padmika. Setelah Khun Kua mendapat ijin dari Putri Padmika, ia akan berada di ruang resepsi Istana Bua dan
menunggunya.

Sebenarnya, Lady Pilantita tak ingin bertemu dengannya. Dia akan mengabaikannya dengan cara yang sama yang
selalu dilakukannya pada semua lelaki di universitasnya.

Hari ini juga, Khun Kua menunggunya di ruang tamu namun tidak terlihat keberadaan bibinya. Mungkin Putri
Padmika harus mengatur pekerjaan di dapur.

"Halo, Lady Pin." Sapa lelaki itu sambil memberikan senyuman manis.

"Halo, Khun Kua." Lady Pin hanya tersenyum dan menjawab dengan sopan. "Sepertinya pekerjaan di atas tidak
terlalu sibuk."

"Jangan bilang begitu, Lady Pin. Aku hanya mampir membawakan makanan ringan untuk diberikan pada Putri
Padmika." Khun Kua tersenyum hingga matanya yang tajam hampir terpejam. Ia sudah terbiasa dengan perkataan
Lady Pin yang kasar.

Bagaimana mungkin dia tidak tahu...

Lady Pin hanya lembut di luar, namun sangat keras di dalam.

Betapapun cantik dan manis wajahnya, pikirannya tidak sembarangan dan mudah dibujuk seperti gadis-gadis di
istana yang ditemuinya.

"Jika Khun Kua hanya mampir untuk mengantarkan ini, maka seharusnya pergi setelah mengantarkannya." Lady Pin
berbicara dengan terus terang.

"Lady Pin, jangan terlalu jahat. Aku hanya ingin bicara sebentar. Aku akan kembali bekerja sebentar lagi. Tidak
akan lama."

Kuakiat masih tersenyum. Senyuman pemuda itu tampak begitu menawan. Prik sedang duduk disebelahnya hanya
menatapnya, menatapnya tanpa berkedip.

Khun Kua di mata Prik adalah pria yang sangat tampan. Ia bertubuh kurus, tinggi dan anggun, berkulit putih mulus
keturunan Tionghoa warisan ibunya. Wajahnya tampan dan tajam. Suaranya Indah dan menyentuh.

Tidak ada yang buruk dengan Khun Kua...

Namun, bagaimanapun juga, dia tetap belum bisa menarik perhatian Lady Pilantita sama sekali.

"Jika ingin bicara denganku, kita bicara tentang bisnismu."

"Baik, aku ingin Prik..." Ia memandang Prik, tapi tidak berani mengatakannya secara langsung.

"Prik akan ada di sini. Jika ada hal lain, hubungi P'Koi." Suara manis Lady Pin terdengar ketika menyelanya.

"Ah, baiklah."

Melihat ekspresi kecewa Khun Kua, Prik hanya bisa tersenyum lebar sambil memamerkan giginya. Niat Prik adalah
untuk menyemangati Khun Kua, namun di tampak Prik sedang mengejeknya.

Setelah itu, Prik menjalankan tugas 'pembicara' setiap kali Khun Kua menanyakan sesuatu tapi Lady Pin diam, maka
Prik langsung menjawab untuknya. Jika Khun Kua bicara ke arah masalah pribadi, maka Prik akan menyeret
pembicaraannya ke timur dan ke barat, sehingga mau tak mau lelaki itu akan membicarakan hal lain.

Namun, di saat yang sama Prik juga merasa khawatir. Ia menghitung jari-jarinya. Tujuh jari itu dilipat kembali
menjadi lima. Menyisakan dua jari.

Dua tahun! Masih ada dua tahun lagi sebelum Putri Anil kembali!

Lady Pin sangat cantik, apa yang bisa dilakukan Prik sendirian? Sebelum berangkat Putri Anil berkali-kali
memintanya untuk menjaga Lady Pin.

Prik, sambil meladeni Khun Kua ia menyiapkan surat di benaknya.

Ketika aku kembali, aku akan menulis;

"Tuan putri, aku mohon padamu untuk kembali secepat mungkin. Penundaan apapun sekarang akan terlambat.
Musuh semakin kuat dan serangan menjadi semakin sengit.

Prik Prik."

~Bersambung~
BAB 12

Jangan lupa (⭐) vote dulu ya

Pangeran Agung

Bagi orang-orang tertentu... Menunggu itu waktu yang sangat lambat dan lama, seolah-olah berlangsung selamanya.

Namun, ada juga beberapa hal yang berubah secara drastis dan sekejap mata...

Misalnya, Istana Pinus Putri Anilaphat. Ketika Lady Pilantita menandai kalender dari hari pertama, pada tahun
keenam istana tersebut baru selesai di bangun.

Di bawah kepemilikan Putri Anilaphat, Istana Pinus, meski tidak semegah milik Pangeran Anan dan Anon, istana
baru itu juga tidak sekecil seperti yang disebutkan Putri Padmika sebelumnya.

Bangunan setengah kayu bergaya Barat bercat nila dengan teras yang luas, istana ini terletak di sebidang tanah luas
yang dikelilingi oleh pohon pinus yang tinggi. Bagian belakang istana dihiasi dengan taman bunga yang indah. Di
salah satu sudut taman yang tersembunyi juga terdapat paviliun, yang digunakan untuk menikmati teh pada sore
hari.

Yang lebih istimewa, dibawah rindangnya pohon pinus, terdapat lapangan tenis yang dibangun dan ditumbuhi
rumput hijau, tidak kontras dengan batas lapangan sepak bola yang bercat putih...

"Anil memang orang yang berpikiran luas dan menyenangkan." Pangeran Anantawut datang memeriksa istana dan
bercanda dengan santai.

"Ini seperti kepribadian Anil." kata Pangeran Anon sambil tersenyum.

"Mari kita tunggu dan lihat apakah dia akan mengundang kita untuk bermain tenis di sini." kata Pangeran Pertama
sambil mengayunkan tangannya ke depan dan ke belakang seolah sedang berlatih memukul bola tenis.

"Itu mungkin lumayan sulit. Sejak aku bertemu dengannya tahun lalu, sepertinya kita berdua ada di urutan terbawah
dalam daftar tamunya." Pangeran Anon mengangkat tangannya sambil berpikir lalu ia menghela nafas.

"Dia khawatir kalau lelaki berjenggot seperti kita akan membuat anak-anak muda itu takut. Anil tumbuh jadi
perempuan yang cantik sekarang."

"Pemikiran itu menurutku tidak salah. Menurutku semakin Anil dewasa, Anil kelihatan semakin cantik.
Penampilannya mulai anggun dan elegan. Kemungkinan ia akan menemukan seorang pria yang bisa membuatnya
bahagia. Menemukan Anil seperti menemukan jarum ditumpukan jerami."

"Kamu benar." Pangeran Anon tersenyum disamping saudaranya, "Tapi aku khawatir orang Barat tidak sependapat
denganmu."

"Itu bahkan lebih mengkhawatirkan. Laki-laki asing itu bersikap lebih sembrono dibandingkan laki-laki Thailand."

"Jadi, apakah kita akan mengatur perjodohan Anil?" Pangeran Anon akhirnya mengutarakan kekhawatirannya.

"Menurut ayah, Anil masih cukup muda, dan para pangeran yang statusnya layak bagi Anil yang datang untuk
meminangnya semuanya memiliki ketidaksempurnaan. Ada yang lebih tua, ada yang kurang kaya dan ada yang
terlihat sangat tidak terawat, sepertinya tidak ada seorang pun yang bisa memenuhi persyaratan Ayah," jelas
Pangeran Pertama sambil menggelengkan kepalanya.
"Terlahir di keluarga kerajaan adalah sebuah tantangan, dan terlahir sebagai putri kerajaan bahkan lebih sulit.
Setidaknya, kita berdua bisa memilih pasangan kita tanpa terikat gelar bangsawan, tidak seperti Anil."

"Benar juga?" Mata Pangeran Pertama terlihat menjadi muram... meski hanya sesaat. Namun Pangeran Anon segera
menyadarinya.

"Sebentar lagi aku akan menikah dengan Lady Parvati. Tolonglah saudaraku, jangan mengingat masa lalu lagi."

Pangeran Agung memandangi adik laki-lakinya. Pangeran Anon tidak hanya memiliki wajah manis Putri Alisa,
tetapi juga senyum lembutnya itu berasal dari cetakan yang sama dengan ibunya.

"Aku meyakinkan diriku untuk tidak memikirkannya lagi, namun aku tetap memikirkannya, Anon. Hatiku selalu
tertuju pada Euang Fah. Tapi ikatan darah antara keluarga kita terlalu dekat. Kalau aku memaksakan untuk menikah,
meski ini akan baik untuk masa depan keturunan kami, tapi kami sudah bekerja keras dan belajar banyak ilmu,
bagaimana mungkin ada yang mengajarkan kita untuk tidak melihat prinsip moral? Apakah ini normal?"

Wajah Pangeran Anantawut tampak sedih saat menyebut Euang Fah, keponakan Putri Alisa.

Lady Euang Fah jauh lebih muda dari Pangeran Anan, dengan paras cantik dan tingkah laku manis dan lembut
seperti gadis Lanna. Sejak Pangeran Anan pertama kali melihat wajahnya saat mengikuti Putri Alisa ke Chiang Mai
untuk mengunjungi istana Bibi Dararai, bayangannya tertanam kuat dipikiran Pangeran Anan.

Catatan: Lanna adalah sebuah kerajaan dalam sejarah Thailand yang pernah menguasai Thailand Utara. Nama
negara ini berarti 'sejuta sawah' dalam bahasa Lanna. Kemudian, Lanna menjadi kerajaan Chiang Mai, negara
bagian Siam yang bergantung. Pada tahun 1892, Siam secara resmi memasukkan Chiang Mai kedalam wilayahnya.

Namun Pangeran Anantawut hanya berani memendam perasaannya di dalam hati, karena menurutnya itu hanyalah
sebuah emosi yang akan memudar seiring berjalannya waktu. Namun seiring berjalannya waktu, perasaannya
terhadap Lady Euang semakin kuat setiap kali ia berkesempatan bertemu dengannya di berbagai acara.

Meskipun tidak sering bertemu, setiap kali Lady Euang Fah menggunakan suaranya yang manis untuk
memanggilnya dengan sebutan "kakak laki-laki" hal itu luluh dan membekas di benaknya, membuat hati Pangeran
Pertama tergerak setiap saat.

"Masalah ini hanya diketahui di antara kita, Anon." Pangeran Anan tersenyum tetapi tampak lebih sedih. "Bahkan
Lady Euang pun tidak tahu, dan dia juga seharusnya tidak tahu."

"Tapi sepertinya Anil sudah tahu." Pangeran Anon tidak berani mengatakan secara langsung bahwa dia mengetahui
rahasia tersebut dari Putri Anilaphat saat pesta penyambutan kepulangannya dari Eropa enam tahun lalu.

"Dia tahu hanya dengan melihat sekilas, Anon. Dia terlalu pintar."

"Jika kamu sudah memutuskan untuk menikahi dengan Lady Parvati, maka sebaiknya kamu melupakan Lady
Euang." Pangeran Anon berbicara sembari mengingat "calon adik iparnya." Menurut penilaian Pangeran Anon,
betapapun cantik dan menawannya Lady Euang, ia tidak dapat dibandingkan dengan Lady Parvati yang baru saja
kembali dari belajar di luar negeri di Barat.

"Ya, aku tahu..." suara Pangeran Anan tiba-tiba menjadi serius dan rendah, bahkan membuat Pangeran Anon tidak
bisa bereaksi.

"Aku akan melepaskan Euang, Anon, kamu jangan khawatir."

----------

"Mengapa Istana Pinus harus selesai dibangun dua tahun sebelum Putri Anil pulang?" Prik bertanya dengan rasa
ingin tahu pada hari Lady Pin memintanya memeriksa dan membersihkan Istana Pinus. Dia tidak dapat melawan
perintah Putri Padmika.
"Lady Pin, periksalah disana. Jika ada yang salah, kita bisa memperbaikinya tepat waktu."

"Mungkin karena Raja sangat merindukan putri kecilnya. Jadi jika itu adalah keinginan Putri Anil, dia akan
mendesaknya agar hal itu diselesaikan dengan cepat dan segera."

Lady Pin sedang memikirkan jawaban atas perkantaan Prik sambil mengamati pemandangan disekitarnya.

Interior Matsumiya didekorasi dengan furnitur bergaya Barat. Aula utama tengah memiliki perapian yang terhubung
ke cerobong asap, seperti lukisan warna-warni di buku cerita dongeng yang tebal. Di depan perapian terdapat sofa
bulu bebek berwarna kuning muda berbentuk U, terlihat sangat empuk dan nyaman untuk berbaring.

Di dekat jendela di balkon terdapat sofa abu-abu dan meja bundar yang digunakan untuk membaca buku. Kamar
tidur utama berukuran sangat besar, beberapa perabotan berwarna nila sederhana dan hijau muda yang kontras
dengan seprai berwarna putih tempat tidur. Ruang tamu berukuran sepertiga kamar tidur utama yang didekorasi
dengan skema warna yang sama. Di kejauhan terdapat dapur bergaya Inggris, yang dihiasi dengan benda-benda
kecil.

Di sisi timur istana terdapat kantor bercat biru tua yang memiliki dekorasi pedesaan dan dindingnya dikelilingi rak
buku yang berisi buku-buku tebal dan bergambar.

Bahkan kamar mandinya pun bernuansa barat. Ada tanaman hijau dalam pot kayu di wastafel. Hal ini membuat Prik
penasaran dan menoleh untuk melihatnya. Kamar para pelayannya luar biasa luas, cukup untuk membuat jantung
Prik berdebar kencang saat membayangkan betapa menyenangkan jika itu akhirnya menjadi miliknya.

"Lady Pin, istana Putri Anil indah sekali." seru Prik sambil menjelajahi setiap sudut Istana Pinus.

"Setiap yang ada disini di desain sendiri oleh pemilikmu, bagaimana mungkin Prik tidak menyukainya?" Jawab
Lady Pilantita dengan suara rendah, membuat Prik hampir harus menajamkan telinganya untuk mendengarnya.

"Benar-benar jenius," kata Prik.

"Putri Anil menjadi lebih kebarat-baratan," Lady Pin merenung. "Dia jadi sangat berbeda dari yang lain."

"Kenapa dia harus menjadi seperti orang lain? Putri Anil jauh lebih pintar dari orang itu?" Prik berdebat demi
Putrinya hingga urat di lehernya melebar.

"Kamu juga sama, hanya senang menggoda dan berdebat." Lady Pilantita menatap Prik dengan mata marah, tapi
Prik masih dengan tatapan bingung.

"Entahlah, saya hanya tahu alasan saya bisa membaca dan menulis karena Putri Anil menghabiskan seluruh
waktunya bermain dan mengajariku belajar. Saya jadi pintar dan pandai karena Putri Anil mengabdikan dirinya
mengajariku lebih baik dari orang tuaku. Saya cantik karena Putri Anil selalu memuji kecantikanku, dan juga
memberiku pakaian yang indah, kipas angin dan perhiasan untuk membuatku secantik orang lain. Lady Pin, tolong
jangan menjelek-jelekkan Putri Anil. Prik akan marah sampai tidak bisa memaafkanmu."

"Prik!" Lady Pilantita hanya bisa berkata begitu dan terdiam, karena kata-kata Prik yang memuji Putri Anil terus
bergema di hatinya.

"Prik, kamu harusnya ada dipihakku. Tapi hatimu tetap membela Putri Anil. Kamu hanya menyukai Putri Anil."

Wajah Prik kelihatan seolah-olah mengabaikannya, sepertinya ia berpikiran buruk terhadap Lady Pin.

Bagaimana dengan lima atau enam tahun?

Dalam hati Prik masih ingat jelas dua belas tahun yang dihabiskannya bersama Putri Anil.

"Tolong jangan bilang Prik tidak adil, Lady Pin. Bukankah kamu lebih mencintai Putri Anil lebih dari orang lain?"
"Aku tidak akan berbicara dengan Prik lagi." Wajah Lady Pilantita tiba-tiba memerah.

"Mulai Sekarang, setiap hari Prik akan datang ke sini untuk bersih-bersih." kata Lady Pin sambil berpura-pura
melihat kesana kemari, tapi hanya ada satu hal yang tidak berani dia lihat...

Itu adalah wajah licik Prik, yang sedang menatapnya, tanpa berkedip.

"Baik, setiap hari aku akan datang ke sini untuk membersihkan tempat ini." Prik menyeringai, memamerkan gigi
putihnya yang mengkilat.

"Kita mungkin harus sering datang. Tapi Pernikahan Pangeran Pertama dijadwalkan minggu ini. Selama ini, Prik
boleh pergi ke istana Utama untuk membantu."

"Ya. Prik bisa berkeliling dapur untuk makan lagi. Tapi bagaimanapun, Prik akan meluangkan waktu untuk
membersihkan di sini setiap hari."

"Terserah kamu, Mae Prik." Lady Pin melirik Prik. Tapi Prik tidak menghiraukan tatapan mata Lady Pin yang tidak
puas. Ia berjalan cepat menuju kamar pelayan, bersiap untuk memulai bersih-bersih dari sana.

"Prik senang karena sang putri akan kembali dalam dua hari kedepan."

Lady Pilantita memandangi punggung Prik sambil berpikir sendiri.

Beberapa hari sebelum upacara pertunangan Pangeran Anantawut dan Lady Parvati, Putri Padmika memanggil
sekelompok pelayan terampil, termasuk Prik dan keponakannya Lady Pin, untuk membantu membuat karangan
bunga dalam jumlah besar yang akan digunakan untuk menghias tempat upacara di setiap sudut istana.

Catatan: Karangan bunga dan tumbuhan berbentuk lingkaran, sering digunakan dalam upacara Buddha, seperti
memberikan persembahan kepada patung Buddha atau biksu, atau sebagai hadiah berkah. Bentuknya berbeda
dengan karangan bunga Thailand. Bentuknya agak seperti lonceng.

Selagi sibuk menghias aula utama, mata Lady Pin melirik tertuju sebuah mobil mewah berwarna hitam mengkilat
milik Pangeran Anan yang melaju menuju ke halaman air mancur. Lady Pin mengangkat kepalanya dan melihat
bahwa sang pangeran tidak hanya duduk sendirian di kursi belakang, ada juga seorang gadis muda yang duduk
disebelahnya.

Lady Pin hanya melirik sekilas lalu menundukkan kepalanya dan melanjutkan membuat karangan bunga. Dia
mengira gadis yang duduk di sebelah pangeran pasti tunangannya, Lady Parvati. Dia bahkan tidak mendengar suara
berisik dari para pelayan yang duduk disekitarnya. Lady Pin hanya fokus dengan karangan bunga ditangannya.

Setelah Prik duduk di sebelahnya dan melempar karangan bunga di depannya, Lady Pilantita mengangkat matanya
ke tempat Prik memperhatikan...

Dia menemukan bahwa gadis itu bukanlah Lady Parvati melainkan seorang gadis muda berkulit putih, bertubuh
tinggi dan anggun dengan proporsi sempurna, punggung tegap dengan menonjolkan bahu rampung dan leher
jenjang. Wajah ovalnya sedikit terangkat, menonjolkan garis alisnya yang indah. Matanya yang gelap berkilau.
Batang hidung mancung yang cantik dan bibir penuh berpadu menambah daya tarik. Hingga wajah familiar itu
menatap ke arah Lady Pin, membuat jantungnya berdebar sebelum tersenyum lembut, memperlihatkan lesung pipit
menggemaskan di pipi mulusnya.
Saat itu Lady Pin benar-benar memercayai matanya...

Benar...

Ini bukan mimpi...

Orang yang berdiri di hadapannya adalah Putri Anilaphat Sawetawarit yang asli.

~Bersambung~
BAB 13

Jangan lupa (⭐) votenya dulu ya

Orang Asing

"Putri Anil kembali untuk menghadiri pernikahan Pangeran Anan dan tidak akan lama tinggal. Kamu jangan terlalu
bahagia sampai lupa diri, Prik."

Prik masih sangat bahagia tadi, ketika mendengar Putri Padmika mengucapkan kata-kata tersebut, seluruh tubuhnya
terkulai seperti bunga layu. Namun, orang yang seperti disiram sebaskom air dingin setelah mengetahui alasan Putri
Anilaphat kembali lebih awal bukan hanya Prik.

Karena saat ini, Lady Pilantita yang berada di samping hanya bisa menghela nafas, sama seperti Prik, bahunya
terkulai sedih.

"Jadi Bibi, Tuan Putri hanya akan tinggal beberapa hari saja?" Lady Pin bertanya dengan lembut.

"Ah, kudengar Putri Anil akan tinggal beberapa bulan lagi. Tepat pada saat libur kuliahnya. Liburan Anil sama
dengan liburan kuliahmu."

Mendengar bibinya mengucapkan kata "beberapa bulan", Lady Pin menghela napas lega dan tersenyum.

"Benar-benar kebetulan, Bibi. Pernikahan Pangeran Pertama dilangsungkan saat Putri Anil sedang berlibur."

"Ini bukan kebetulan, Lady Pin. Ini adalah ide Pangeran Anan. Dia ingin adiknya kembali dan menghadiri
pernikahannya, jadi dia secara khusus memilih waktu ini untuk mengadakan upacara pernikahan."

"Begitukah, Bibi? Pangeran Pertama sangat menyayangi adiknya."

"Pangeran Anan mencintai putri Anil sebagaimana ia mencintai putri sulungnya. Bahkan Raja pun menertawakan
putranya sambil berkata: "Apakah aku ayahnya Anil atau Pangeran Pertama ayahnya Anil?"

Ucap Putri Padmika sambil tersenyum.

"Pangeran Anan tidak hanya memilih tanggalnya, tapi juga mengatur segalanya untuk sang putri. Termasuk tiket
pesawat pulang pergi untuk sang putri dan mempercepat pembangunan istana, semuanya sebagai persiapan
menyambut kepulangan sang putri."

Sekarang, Lady Pin dan Prik terkejut. Baru pada saat itulah mereka mengerti kenapa Istana Matsumiya harus
dibangun dan didekorasi dua tahun lebih awal sebelum pemilik istana kembali.

"Kamu sudah tahu kalau Putri Anilaphat akan segera pulang?"

"Aku baru mendengar kabar dari Pangeran Pertama kemarin. Itu adalah hari dimana Lady Pin dan Prik pergi
membersihkan istana pinus."

"Tapi kenapa Putri Alisa tidak tahu sang putri akan kembali?" Lady Pin bertanya. Ia teringat ekspresi terkejut di
wajahnya saat Putri Alisa bergegas menuju aula utama untuk memeluk putri sore tadi, terlihat sangat bahagia.

"Anil, kenapa kamu kembali tanpa memberitahu Ibu? Kemarilah biar Ibu menciummu."

Kata Putri Alisa, tanpa menunggu jawaban Putri Anilaphat, ia memeluk erat Putri Anil dan mencium pipi serta
keningnya, seperti Putri Anil yang masih kecil. Putri Alisa menyunggingkan senyuman bahagia di bibirnya namun
matanya berkaca-kaca. Akhirnya, air mata jatuh di sekujur tubuhnya. Meskipun dia baru mengunjungi putrinya
tahun lalu, dia masih sangat merindukannya.

Lady Pilantita ingat dengan jelas bagaimana dia berdiri di sana menyaksikan pemandangan ini, sambil bertanya-
tanya apakah pemandangan di depan matanya itu nyata atau hanya mimpi...

Ia mengagumi Putri Alisa yang bisa dengan mudah menyentuh dan memiliki tubuh Putri Anilaphat... tidak seperti
dirinya yang hanya bisa melihat dari jauh.

"Alasan Putri Alisa tidak diberitahu, karena putra dan putrinya ingin memberikan surprise padanya." Suara jernih
bibinya menyadarkan Lady Pin dari lamunannya.

"Orang asing menyebutnya 'sapai' (menantu perempuan), benar kan, Tuan Putri?" Prik yang telah kembali segar dan
ceria bagaikan bunga sehabis hujan bertanya pada Putri Padmika dengan suara jernih.

"Haha, mereka menyebutnya 'sur-prais', Mae Prik." Putri Padmika membuang-buang waktu untuk mengobrol hal
menyenangkan dengan pelayan dekatnya.

"Oh, ini namanya 'surprise'. Lain kali aku akan mengatakannya dengan benar."

"Pelayan ini sangat berbakat." Putri Padmika tak kuasa menahan tawa saat melihat Prik menganggung dan berusaha
mengucapkan "surprise".

"Putri Padmika, Putri Anilaphat ingin bertemu denganmu."

Tiba-tiba seorang pelayan Istana Bua dengan cepat masuk dan bergegas memberitahu Putri Padmika.

"Apakah dia sudah datang?"

"Ya"

"Kalau begitu cepat segera undang Tuan Putri masuk, jangan biarkan Putri Anil menunggu terlalu lama."

Suara ceria bibinya seakan menyadarkan hati Lady Pilantita. Jantungnya berdetak sangat kencang hingga rasanya
ingin melompat keluar.

Dia tanpa sadar menahan napas dari waktu ke waktu, tanpa berkedip menatap Putri Anilaphat yang berjalan di
belakang pelayan itu. Sang putri tinggi, anggun dan mulia, namun tak kehilangan sikapnya rendah hati dan penuh
hormat.

"Putri Padmika..." Putri Anil membungkukkan badannya kepada Putri Padmika dan tersenyum menggoda.

"Duduklah, Putri Anil. Terima kasih banyak sudah datang ke tempatku." Sambil berbicara, Putri Padmika
mengulurkan tangannya untuk membantu Putri Anilaphat duduk di kursi jati di sebelahnya.

"Ini hadiah kecil yang kubawa dari Inggris untuk Bibi." Putri Anil memberikan kepada Putri Padmika sebuah kotak
kado yang dibungkus kertas berwarna biru tua dengan diikatkan pita perak anggun di atasnya.

"Terima kasih Putri Anil, karena sudah mengingatku."

Mata Putri Padmika dipenuhi rasa kagum dan cinta terhadap Putri Anil.

"Aku minta maaf padamu karena bersikap kasar di aula utama tadi. Ibu terus memelukku dan menciumiku tanpa
henti lalu menarikku ke kamar. Jadi aku tidak punya kesempatan untuk menyapa Bibi Padmika, Lady Pin dan Prik
juga."

"Tidak apa-apa. Ibumu selalu menunggumu pulang. Wajar jika dia begitu bahagia dan bersemangat, aku mengerti."
kata Putri Padmika.
Dia lebih tahu dari siapa pun betapa sedihnya Putri Alisa selama enam tahun terakhir karena dia harus mengucapkan
selamat tinggal kepada putri kecilnya, yang dia sayangi seperti mutiara berharga.

"Apakah Putri Padmika sehat?" Putri Anilaphat tersenyum dan bertanya.

"Ah, aku sangat kuat," jawab Putri Padmika. Dia mengamati Putri Anil dengan cermat.

Sejak masih kecil, dia sangat cantik...

Kini ia semakin cantik, setiap gerak-geriknya begitu anggun dan elegan membuat Putri Padmika tak kuasa menahan
rasa takjubnya.

Setelah mengobrol sebentar, Putri Anilaphat berdiri dan bertanya dengan hormat pada Putri Padmika.

"Hari ini aku ingin meminjam Lady Pin dan Prik. Aku ingin membawa mereka ke Istana Pinus sebentar, apakah
boleh?"

Suara Putri Anil yang lembut dan merdu membuat Lady Pilantita dan Prik menggigit bibir tak mampu menahan rasa
senang di hati mereka.

"Putri Anil, kamu tidak perlu membuang waktumu untuk meminjam dariku," kata Putri Padmika sambil tersenyum,
"Bahkan jika kamu tidak meminta... aku akan tetap memberikannya padamu."

"Ahhh! (batuk-batuk)" Prik terbatuk.

"Tenggorokanmu sakit, Mae Prik?" Meski Putri Padmika sedang berbicara dengan Pirk, matanya masih tertuju pada
pipi Lady Pilantita yang memerah.

"Tidak, Tuan Putri," jawab Prik, wajahnya hampir terkubur di lutut karena ketakutan.

"Aku sudah membuat rencana. Bagaimana selama Putri Anil berada di Istana Pinus, aku ingin meminta Lady Pin
untuk mengurus kehidupan sehari-hari Putri Anil."

"Putri Padmika, Anda baik sekali."

"Lady Pin, bagaimana menurutmu?" Mata Putri Padmika tertuju padanya, Lady Pilantita benar-benar membeku.

"Aku tidak keberatan, Bibi."

"Baiklah, kalau begitu Lady Pin akan mengikuti Putri Anil dulu. Sedangkan Prik, ikuti aku dulu."

"Terima kasih Bibi."

Putri Anil mengucapkan terimakasih. Lalu, seperti biasa, ia tersenyum manis ke arah Lady Pilantita sambil
memamerkan lesung pipinya.

----------

"Lady Pin"

Putri Anilaphat mendongak dari balik koper besar itu. Di dalam koper ini ada beberapa macam hadiah. Ada
beberapa syal indah, botol parfum mahal, sekotak coklat berbagai rasa, dan sovenir lainnya."

"Ya..."

Lady Pin hanya menanggapi dengan satu kata lalu diam. Sang putri baru saja mengeluarkan sebuah koper besar dari
kamar tidur, meletakkannya di atas permadani wol di depan perapian, lalu membukanya dan mengeluarkan barang-
barangnya. Dia berbicara kepada benda-benda itu seolah-olah mereka memahami perintahnya. Baru kemudian sang
putri mengangkat kepalanya dan memanggil Lady Pin.
"Kenapa dengan matamu? Sejak memasuki istana pinus, Lady Pin menatapku seperti itu."

Putri Anil menghentikan apa yang dia lakukan. Dia menatap mata coklat jernih Lady Pilantita yang indah. Mata itu
begitu serius sehingga orang yang dia lihat harus memalingkan muka.

"Menatap seperti apa?"

"Tatapan yang menatapku seperti orang asing."

"..."

Lady Pilantita mengaku belum terbiasa dengan mata Putri Anil yang sipit, panjang dan gelap saat ini. Bahkan lebih
cerah dari sebelumnya. Jadi, ia diam saja.

"Lady Pin terlihat seperti... orang yang tidak pernah bertemu denganku sebelumnya."

"..."

"Padahal aku menulis surat kepada Lady Pin setiap hari. Aku jadi merasa sedih"

Suara lembut Putri Anilaphat dan sorot mata sedih membuat hati Lady Pilantita sakit.

"Ini hanya karena aku tidak melihat wajah Anil dalam waktu lama."

Suara Pilantita bergetar.

"Meski aku menerima surat dari Anil setiap minggu... itu hanya kata-kata diatas kertas."

Lady Pilantita mendekati Putri Anilaphat dan duduk di depannya, sehingga ia bisa menatap mata gelap sang putri.

"Anil yang ada di ingatanku masih sama dengan foto di surat yang dikirimkan Anil dua tahun lalu."

Lady Pin berkata dengan tenang. Dia menatap wajahnya dengan penuh perhatian, sangat mirip dengan wajah di foto
yang dia lihat setiap malam sebelum tidur.

Namun yang membedakan adalah Putri Anil terlihat lebih cantik dan dewasa dari pada orang di foto, memamerkan
kecantikannya dan penuh dengan semangat.

"Tapi Anil di depanku sudah tumbuh menjadi wanita dewasa, Bahkan lebih cantik dan anggun dari yang
kubayangkan."

Pilantita menelan ludahnya dengan susah payah.

"Tolong maafkan aku, karena harus mengatakan yang sebenarnya. Saat ini, Anil adalah orang asing bagiku. Anil
kecil dalam ingatanku berangsur-angsur hilang, ini masih membuatku merasa sedikit sedih."

"..."

Setelah Lady Pin selesai berbicara, suasana sekitarnya menjadi sunyi. Dia melihat wajah di depannya kini pucat dan
sedih.

Lady Pilantita ingin menarik kembali kata-kata dingin yang baru saja diucapkannya dan mengurungnya di dalam
hatinya.
Ketika dia melihat Putri Anilaphat memperlihatkan tersenyum paksa dan merasa kecewa, Lady Pin semakin
menyalahkan dalam dirinya sendiri...

"Sungguh?"

Putri Anilaphat bicara. Lalu, menundukkan kepalanya, memandang syal di tangannya. "Aku mengerti."

"Apakah Anil marah?"

Pemilik kata-kata yang membuat Putri Anil sedih sepertinya jauh lebih sedih daripada sang putri sendiri.

"Tidak marah"

Setelah sang putri selesai berbicara, dia terdiam. Matanya yang tajam menyipit dan dia hanya menatap isi koper itu.

"Aku hanya merasa bersalah."

"Bersalah untuk apa?"

Lady Pilantita secara tidak sengaja mendekati Putri Anil. Jarak mereka begitu dekat, hingga bahu mereka hampir
bersentuhan.

"Aku minta maaf karena telah mengambil Anil kecil dari Khun Pin." Ucapnya sambil tersenyum lembut.

"Aku tumbuh dewasa setiap hari dan mungkin aku bukan lagi Anil kecil seperti Khun Pin dulu... Khun Pin, maafkan
aku."

"Hentikan, Anil." Mendengar suara gemetar sang putri, hati Pilantita tenggelam. "Aku juga bukan Pin yang dulu
Anil kenal."

"Aku kira tidak." Kali ini sang putri akhirnya menatap mata Lady Pin. "Saat aku melihat Khun Pin untuk pertama
kalinya pada sore hari, aku tidak terlalu memikirkannya."

Sang putri tersenyum dengan senyuman langka yang manis sekaligus sedih.

"Aku sangat bahagia melihat Khun Pin lagi, bahkan aku tak tahu harus melakukan apa... Aku sangat bahagia hingga
aku ingin segera memelukmu."

"..."

"Entah itu Khun Pin dari masih kecil, yang sedang duduk menyalin buku atau membaca, atau Khun Pin yang tersirat
dalam surat, menurutku kamu tetap Khun Pin yang lembut dan cantik di hadapanku sekarang." Suara lembut sang
putri terdengar melamun.

"Aku mencintai semua..."

"..."

Mendengar hal itu, Pilantita membuka lebar mata coklatnya yang seperti rusa. Namun, suara langkah kaki mendekat
terdengar dari belakang, dan menyela kata-kata sang putri.

"Itu Prik." Mata Putri Anil berbinar. "Kenapa kamu bersembunyi di luar pintu? Kenapa tidak masuk ke sini? Apakah
kamu tidak masuk?"

"Apa boleh aku masuk?"

Prik hanya memperlihatkan separuh wajahnya melalui kusen pintu yang lebar, namun belum memasuki istana Pinus.

"Tentu saja, masuklah. Aku punya sesuatu untukmu."


"Sungguh?"

Suaranya dilenuhi kegembiraan. Perhatian Putri Anil terpaksa terfokus pada Prik yang sedang bergegas menuju
tuannya. Dia sekarang seperti anak anjing yang menantikan pemiliknya.

"Apakah kamu baik-baik saja Prik? Apakah kamu merindukanku?" Senyuman Putri Anil seterang sinar matahari
musim panas. "Aku sangat merindukanmu Prik."

"Aku juga merindukanmu, Tuan Putri." Air mata menggenang di matanya. "Saat Putri Anil tidak disini, hidup Prik
membosankan dan sepi."

"Aku juga sepertimu, berada di sana sendirian dan tidak berdaya." Putri Anilaphat tersenyum lembut. "Aku tidak
punya teman."

"Di seluruh dunia, hanya Putri Anil dan aku yang cocok satu sama lain." Kata Prik tersenyum bahagia.

"Benar. Ngomong-ngomong, Prik, apa kamu sekarang sudah punya pasangan?"

"Prik belum menikah, Tuan Putri."

"Benarkah?" kata Putri Anilaphat tersenyum.

"Ya..., terkadang aku juga menginginkannya, tapi kalau dipikir-pikir lagi menurutku itu tidak perlu, laki-laki terlalu
merepotkan."

Saat ini, Lady Pilantita duduk di samping memperhatikan mereka mengobrol sebentar. Prik menerima beberapa syal
berwarna cerah dan setumpuk coklat sebagai hadiah. Lalu dia segera meletakkan barang-barangnya di kamar
pelayan. Karena dia mendengar instruksi Putri Anil dengan telinganya sendiri.

"Kamar itu milik Prik."

Lingkungan sekitar tiba-tiba menjadi sunyi. Suasana keduanya menjadi hening dan mendadak canggung.

Putri Anil memandangi wajah Lady Pin yang manis dan keras kepala. Alisnya yang panjang dan halus. Pangkal
hidung lurus, bibir penuh dan berwarna pucat. Namun, mata coklat bulat besar itu tampak diwarnai ketidaksenangan.

"Khun Pin, ada apa? Kamu terlihat tidak senang." Akhirnya Putri Anil memecah kesunyian.

"Aku tidak tahu." Lady Pin membuang muka.

"Apakah Prik mengatakan sesuatu yang membuatmu kesal?" Putri Anil bertanya dengan melebarkan mata, terlihat
sangat menggemaskan.

"Jika ada yang bisa mengatakan sesuatu yang membuatku tidak senang, itu adalah Anil."

"Oh... begitukah?"

"Tidak apa-apa. Aku baik-baik saja." Lady Pin mengangkat sudut mulutnya, tampak sedikit tidak puas.

"Baiklah... tapi aku tidak ingin melihatmu cemberut."

"Apakah penting aku cemberut atau tidak?"

"Itu sangat penting..." Senyuman Putri Anilaphat seolah diliputi kekhawatiran. "Saat kamu cemberut, hatiku ikut
sakit."

Percakapan berlanjut. Ketika Lady Pin mengetahui bahwa Putri Anilaphat masih keras kepala dan emosional seperti
sebelumnya, dia merasa Anil kecilnya telah kembali.
"Aku ingin Khun Pin bisa lebih banyak tersenyum, senyummu sangat indah."

"Prik tersenyum padamu saja sudah cukup. Bukankah kalian berdua sangat merindukan satu sama lain?" Mata Lady
Pin tiba-tiba menjadi dingin, dipenuhi semacam kekuatan, membuat Putri Anilaphat sedikit takut.

"Ha... Ha... Khun Pin tidak menyukainya, kan?"

"..."

Lady Pin tidak berbicara, dia hanya ingin berdiri dan pergi, tapi Putri Anil memegang erat tangannya.

"Tunggu sebentar, Khun Pin, jangan pergi." Saat ini, tatapan memohon muncul di mata Putri Anilaphat.

"Aku sangat merindukan Prik."

"Aku tahu. Aku sudah mendengar Anil mengatakannya berkali-kali." Tangan Lady Pin terkepal dan berbicara
dengan marah.

Meskipun dia sendiri tidak mengerti... Dia juga tidak tahu persis apa yang membuatnya begitu kesal.

Apalagi saat ibu jari Putri Anil sedang mengusap-usap punggung tangannya. Pikiran Lady Pin tiba-tiba menjadi
kosong, kacau.

"Aku hanya menganggap Prik sebagai teman dekat..."

"..."

"Tapi dengan Khun Pin..."

Putri Anilaphat mencium tangan ramping Lady Pin dan meletakkannya di dadanya, lalu dia mengangkat kepalanya.
Keempat mata itu terikat dan saling memandang.

"Perasaanku lebih dari itu..."

~Bersambung~
BAB 14

Jangan lupa (⭐) vote dulu ya

Menyelidiki

"Perasaanku lebih dari itu..."

Suara lembut dan manis bergema di telinga Pilantita, seperti angin yang bertiup melalui celah di antara tebing.

Tangannya masih dipegang erat oleh Putri Anil, sambil menempel di dadanya.

Pikirannya menyuruhnya untuk segera menarik tangannya dari genggaman tangan Putri Anilaphat. Namun hatinya
mendambakan sentuhan lembut dan kehangatan dari orang di depannya.

Tubuhnya sepertinya lebih cenderung menuruti hatinya daripada pikirannya. Apalagi saat ini, tangan ramping Lady
Pin masih dipegang lembut olehnya.

"Seberapa jauh?"

Lady Pin mendekat ke arah sang putri, begitu dekat hingga dia bisa mendengar napasnya. Dia bertanya dengan
serius, sambil mengangkat kepalanya. Mata coklatnya menatap langsung pada mata gelap Putri Anilaphat

"Emm...?"

"Kamu bilang kamu sangat merindukanku... seberapa yang dimaksud dengan 'sangat'?"

Begitu kata-kata itu berakhir, suasana sekitar tiba-tiba menjadi sunyi. Putri Anilaphat menelan ludahnya, lalu
berbicara dengan lembut.

"Ini sangat, 'sangat' sehingga aku tidak tahu bagaimana menjelaskannya..."

"..."

"Aku baru menyadari... setiap malam, setiap hari menunggu Khun Pin mengirimiku surat terasa berlarut-larut,
sangat menyiksa, dan membuatku merasa hampa. Setiap kali aku menerima surat baru dari Khun Pin, meski hanya
beberapa kalimat atau isinya sangat sederhana, itu saja sudah membuatku merasa puas, dipenuhi dengan
kebahagiaan dan harapan. Setelah itu, hatiku akan mulai menghitung mundur secara perlahan, menghitung hari
sambil menunggu surat selanjutnya. Semuanya terus berputar seperti itu sepanjang lima tahun terakhir."

"..."

"Aku baru tahu... Hatiku terlalu serakah hingga ingin meringankan kerinduanku padamu melalui kata-kata di surat
Khun Pin. Aku ingin bertemu denganmu, aku ingin mendengar suaramu. Aku ingin tahu seperti apa penampilan
Khun Pin saat dewasa." Tapi aku tidak bisa melakukan apa pun selain menggunakan imajinasiku untuk
menggambarkan penampilan Khun Pin setiap malam sebelum tidur."

"..."

"Aku baru tahu itu... Aku sangat sedih dan kecewa. Karena di setiap momen penting dalam hidup Khun Pin, aku
tidak punya kesempatan untuk menjadi bagian di dalamnya, meskipun itu hari libur. Bahkan hari kamu mengadakan
upacara kelulusan. Mulai kelulusan sekolah, atau hari dimana kamu terkejut saat mengetahui kamu diterima di
Akademi seni. Khun Pin sangat bahagia. Atau tahun lalu di hari ulang tahunmu, temanmu dari universitas
berkumpul dikantin untuk merayakan ulang tahunmu. Aku belum pernah memiliki kesempatan untuk menghadiri
hari-hari penting Khun Pin."

"Anil...jangan sedih."

Meskipun Lady Pilantita tahu dia tidak bisa meringankan semua kesedihan Putri Anilaphat, dia tetap ingin
menghiburnya.

"Sebenarnya Anil selalu berada di sisiku."

"..."

"Sama seperti yang selalu dikatakan Anil kepadaku dalam surat-surat."

Tanpa sadar, Lady Pin mengangkat tangannya untuk mengusap sudut mata Putri Anilaphat, seolah ingin
menghilangkan kegelisahan di mata gelap itu.

"Aku selalu merindukan Anil..."

"..."

"Kalau begitu Khun Pin seharusnya memahamiku lebih baik dari orang lain..."

Kali ini Putri Anilaphat secara proaktif mendekati Lady Pin. Dia memegang tangannya erat-erat di depan dada dan
menatap mata orang di depannya dengan penuh kasih.

"Aku bertanya pada diriku sendiri. Apakah aku harus memikirkan seseorang sepanjang waktu..."

"..."

"Entah saat bangun... atau bermimpi."

"..."

"Jadi apakah ini bisa disebut merindukanmu?"

Setelah mengucapkan kata-kata ini dengan lembut... Putri Anilaphat dengan lembut memeluk Lady Pilantita, dengan
lembut menarik tubuh lemah itu ke dalam pelukannya, seolah takut Lady Pin akan roboh di hadapannya.

Perasaan hangat yang tak tertahankan mengalir dari tubuh ke dalam hati Lady Pin. Dia tidak mendorongnya
menjauh. Dia hanya patuh dan membenamkan wajahnya dalam pelukan hangat itu. Dia tetap diam seperti itu...
untuk waktu yang lama. Dia mencium aroma Putri Anilaphat yang manis dan memikat. Aroma itu sepertinya
memberikan efek yang luar biasa.

Terkadang, aroma itu membuat jantungnya berhenti...

Terkadang, hal itu membuat jantungnya berdetak lebih cepat...

Namun yang benar-benar membuat Lady Pin kehilangan akal sehatnya adalah ketika suara lembut terdengar di
telinganya.

"Untukku..."

"..."

"Di luar kerinduan dan semua ingatan masa lalu... Ada sebuah hasrat untuk memilikimu."

"..."

Mendengar perkataan Putri Anilaphat, Lady Pin secara refleks mendorongnya menjauh meski dia tidak mau.
Kalimat ini menusuk hatinya. Selama bertahun-tahun, dia memikirkan pertanyaan yang sama pada dirinya sendiri
seperti Putri Anilaphat. Saat ini, Lady Pin mendapat jawabannya.

Apa yang dia rasakan sebelumnya lebih dari sekedar kerinduan pada kenangan masa lalu...

Itu adalah sebuah hasrat.

"Anil... aku..."

"Khun Pin, kamu tidak perlu mengatakan apa-apa. Aku tidak membutuhkan jawabanmu. Aku hanya menjawab
pertanyaan Khun Pin. Perasaan apa yang melampaui kerinduan..."

Wajah cantik sang putri tiba-tiba tertutup lapisan kesuraman. Hal ini membuat Lady Pin tanpa sadar menghindari
tatapan matanya.

Meski senyuman cerah kembali muncul di wajah sang putri, Lady Pin tetap merasa bersalah karena baru saja
melepaskan diri dari pelukan rindu itu. Meski sudah lama, dia tidak rela.

"Mari kita lihat hadiah untuk Khun Pin..." Putri Anilaphat mengganti topik pembicaraan. Dia mengangkat tangannya
untuk mengeluarkan sebotol parfum dari kopernya dan memberikannya kepada Lady Pin.

"Aku suka aroma ini, aku tidak tahu kamu suka atau tidak..."

Ada satu kalimat yang tidak diucapkan Putri Anilaphat : "Karena aku belum pernah mencium parfum yang lebih
harum dari aroma tubuh Khun Pin." Ia hanya mengatakannya dalam hati, tidak ingin melihat ekspresi bingung Lady
Pilantita seperti tadi.

"Aku akan mencobanya."

Lady Pilantita juga berkata dalam hati. "Dari siapa kamu mencium parfum ini sehingga kamu sangat
menyukainya?"

"Hadiah lainnya adalah buku sketsa Khun Pin."

"Buku sketsa Pin?" Lady Pin mengambil buku sketsa yang sangat indah dari Putri Anilaphat dan memandangnya
dengan bingung.

"Kumpulan gambar ini mewakili jawabanku yang lebih jelas untuk mengatasi kerinduanku yang lebih baik dari kata-
kata."

Cahaya sedih melintas di mata Putri Anil, namun senyuman muncul di bibirnya, memperlihatkan lesung pipit di
pipinya.

"Aku sangat merindukan Khun Pin hingga aku harus menggambar seperti apa Khun Pin dalam imajinasiku setiap
malam sebelum tidur."

"..."

Lady Pilantita membuka buku sketsa dan melihat sketsa pensil halus dari halaman pertama hingga halaman terakhir,
matanya dipenuhi kebingungan.

Buku sketsa ini berisi sketsa-sketsa dirinya.

Segala macam penampilannya yang berbeda ketika dia masih muda.

Hanya ada sketsa dirinya di kumpulan gambar ini. Tidak ada orang lain, bahkan Putri Anil pun tidak.

"Kenapa kamu mengerutkan kening? Apakah kamu tidak menyukainya?"


"Suka... Aku hanya..."

Ketika dia memandang ke arah Lady Pin, Lady Pin sedang menundukkan kepalanya dan membuang muka. Putri
Anilaphat kemudian menghibur gadis di depannya dengan suara yang lembut dan mudah didengar.

"Buku sketsanya sudah penuh jadi aku mengembalikannya kepada pemiliknya. Khun Pin tidak perlu memikirkan
apa pun."

Tampaknya tugas penting menjaga Putri Anilaphat yang berulang kali ditugaskan oleh Bibi Pad kepada Lady Pin
hanyalah menyiapkan sarapan dan camilan malam untuk sang putri. Sedangkan untuk makan siang dan makan
malam, sang putri akan kembali ke istana Utama untuk makan malam bersama orang tuanya.

Selain itu, Putri Alisa juga mengikuti ritual adat dan juga mengatur agar putrinya menemaninya pergi mengunjungi
para tetua. Karena Putri Anilaphat baru saja kembali dari luar negeri dan akan tinggal dalam waktu lama.

----------

Meskipun perkataan Putri Anilaphat membuat Lady Pilantita hampir sulit tidur tadi malam, namun pagi ini dia tetap
bangun pagi dan menyiapkan sarapan yang lezat untuk Putri Anilaphat.

Namun kerja keras Lady Pin tidak membuahkan hasil yang diharapkan...

"Kamu makan terlalu sedikit. Anil tidak menyukainya?"

Lady Pin melihat ke piring sarapan yang berisi roti panggang, bacon goreng, telur goreng, sosis sapi, tomat dan
jamur panggang. Ada juga saus tomat dengan kacang panggang yang khusus dia bawa ke Istana Pangeran Anon dan
bertanya pada koki pangeran, yaitu Mae Chuen untuk menyiapkannya.

Lady Pin percaya bahwa Mae Chuen lebih tahu banyak tentang masakan Eropa dari orang lain. Pasalnya Pangeran
Kedua lebih menyukai makanan Eropa dibandingkan makanan pedas Thailand. Oleh karena itu, ketika dia melihat
Putri Anilaphat hanya makan kurang dari setengah dari sarapannya yang lezat, Lady Pin yang sedang sarapan
bersamanya mau tidak mau merasa sedikit khawatir.

"Atau rasanya masih kalah dengan masakan yang dimakan Anil di luar negeri?"

Tanya Lady Pilantita sambil memandang Putri Anil yang telah meletakkan pisau dan garpunya serta meminum jus
jeruknya. Mata bulatnya yang besar kini dipenuhi kekhawatiran.

"Rasanya oke. Cuma Khun Pin, aku bosan sekali dengan masakan Eropa."

Putri Anil menjawab singkat, lalu mengambil serbetnya, mengusap lembut sudut mulutnya, dan perlahan membuka
bukunya.

Selama dua hari terakhir, perasaan Lady Pin lebih jelas daripada siapa pun... Putri Anilaphat yang berusia dua puluh
tahun memancarkan kecantikan dan keanggunan melalui setiap gerak tubuhnya, terutama ketika dia selalu
tersenyum tenang...

Lady Pin harus mengakui bahwa dia bisa duduk di sana dari pagi hingga malam untuk memandangi Putri Anilaphat.

"Jadi, Anil ingin makan apa? Aku akan menyiapkannya untukmu."

"Aku mau makan bubur ditaburi banyak bawang putih goreng, ikan goreng dan rempah-rempah yang banyak."

Ketika Putri Anilaphat memesan makanan, matanya berbinar. Dia tampak sangat lapar. Hal ini membuat Lady Pin
hampir bergegas ke dapur untuk membuatkan bubur untuknya. Satu-satunya hal yang menghentikan dorongan
hatinya adalah menjaga perilaku dan sikap seorang wanita seperti yang diajarkan bibinya.

"Kalau begitu aku akan meminta P'Koi menyiapkan bubur untuk Anil."
"Lakukan besok saja. Aku ada janji dengan ibuku."

"Anil, kamu mau makan bubur babi, ayam, ikan atau bubur udang?"

"Aku ingin udang."

"Kalau camilan tengah malam? Anil ingin makan apa? Aku akan menyiapkannya."

Mata coklat Lady Pin yang bulat seperti mata rusa menatap mata gelap Putri Anil, menunggu jawabannya.

"Paeng Sib isi ikan"

Catatan : Paeng Sib adalah hidangan tradisional Thailand berbentuk seperti kue bantal atau pangsit.

"Mau dikukus atau digoreng?" Kali ini Lady Pin tidak ingin melakukan kesalahan lagi. Baginya, meski proses
menyiapkan makanan agak melelahkan tapi itu juga sangat membahagiakan. Namun Putri Anil berhenti makan
setelah hanya setengah makan, yang membuatnya merasa tidak nyaman. Seperti seorang Ibu yang anaknya menolak
minum susu.

"Kukus."

Mendengar hal itu, Lady Pin segera bersiap. Putri Anilaphat terus melihat punggung Lady Pin sampai ia
menghilang, lalu menoleh ke arah Prik yang duduk di sebelahnya dan berbicara dengan suara penuh kasih sayang.

"Prik, duduk dan makan. Khun Pin sudah pergi. Kamu mau makan apa?"

"Apa tidak apa-apa?" Prik bertanya pada sang putri sambil menjulurkan lehernya untuk melihat ke arah
menghilangnya sosok Lady Pin dengan ekspresi ketakutan.

Yang aneh adalah dibandingkan dengan tingkat status Putri Anilaphat, dia lebih takut pada Lady Pilantita.

"Tentu saja tidak apa-apa, jika Prik mau, kamu bisa memakannya," kata Putri Anilaphat sambil tersenyum.

"Kalau begitu aku tidak akan bersikap sopan lagi."

"Lady Prik, silahkan." Putri Anilaphat melambaikan tangannya dan mempersilahkan Prik duduk di kursi di
sebelahnya. Kemudian, dia mendorong piring besar di depan tamu terhormat itu dan dengan penuh pertimbangan
menukarkan sepasang pisau dan garpu baru untuknya.

"Jika itu tidak cukup, masih ada lagi." Putri Anilaphat berkata dengan lembut. Tapi Prik mengetahui niatnya.

"Apa yang ingin kamu ketahui?" Dia bertanya dengan rasa ingin tahu, menggunakan garpunya untuk mengambil
sepotong sosis sapi yang matang sempurna dan menggigitnya.

"Prik sangat pintar." Putri Anilaphat tersenyum nakal.

"Aku sama pintarnya dengan Putri Anil." Prik menjawab dengan bangga.

"Kalau begitu, beritahu aku. Siapakah semut-semut merah itu yang bersembunyi di bawah mangga? Seperti apa
rupanya?"

Setelah mendengarkan pertanyaan tuannya, Prik menggunakan garpunya untuk menusuk telur dadar setengah
matang yang belum pernah disentuh Putri Anilaphat, membiarkan kuning telur meleleh ke piring. Dia mengerutkan
kening seolah sedang berkelahi dengan seseorang.

"Ada banyak. Seperti sahabatnya yang bernama Khun Thanit. Hanya menatapnya saja aku tahu dia sedang jatuh
cinta. Atau saudara laki-laki teman baiknya, Khun Gwin. Dia selalu menjemput Lady Pin. Tapi sampai sekarang aku
masih belum berani memberitahu Putri Pad."
"Begitukah..." Alis indah Putri Anil tiba-tiba berkerut karena ketidakpuasan.

"Ada banyak teman kuliah sekelasnya yang aku tidak tahu namanya. Prik mengetahuinya karena hari itu, ketika aku
sedang duduk membaca buku dikursi dibawah pohon Douglas, aku mendengar percakapan dua teman baik Lady Pin,
Sunne dan Chada sedang berbicara."

"Lady Pin is so hot."

Putri Anilaphat bergumam.

"So hot? Tuan Putri bertanya apakah daging ini enak?" Prik menggunakan garpunya untuk mengambil beberapa
potong kacang panggang dengan saus tomat, mengunyahnya, lalu bertanya.

"Benar. Prik sangat pintar. Sudah lama aku memikirkan bagaimana mengucapkannya dalam bahasa Thailand, tapi
aku tidak bisa mengingatnya. Menjengkelkan sekali."

"Hehe, soal kecerdasan, itu tudak bisa dipungkiri."

"Tapi Prik masih melewatkan satu nama lagi." Matanya yang gelap dan tajam menyipit. "Orang yang dianggap
sebagai musuh nomor satu."

"Oh... maksudmu Khun Kua?" Prik menundukkan kepalanya, menggunakan sepotong roti untuk menyeka saus di
piring lalu memasukkannya ke dalam mulutnya, seolah meniru kebiasaan orang Barat.

"Putri, maksudmu Pangeran Kuakiat? Dia orang kepercayaan Pangeran Anon, putra Pangeran Kobkiat, sahabat baik
Putri Padmika, bukan?" Prik tersenyum, dan kini sudut mulutnya penuh dengan kuning telur.

"Ya, itu dia, dialah yang membuatku tidak bisa tidur selama beberapa hari terakhir ini."

Saat ini, Putri Anilaphat semakin kesal setelah mengetahui kehebatan Pangeran Kuakiat.

"Khun Kua sangat menghargai garis keturunannya dan pandai berpikir. Dia selalu bisa menemukan alasan untuk
mendekati Lady Pin. Dia berasal dari keluarga bangsawan, berpenampilan tampan, badannya tinggi, dan berbicara
sopan." Elegan dan lembut, dengan mata yang indah, dan ucapan yang bijaksana."

Prik berkata dalam satu tarikan napas. Saat ini dia sudah membersihkan semua makanan di piringnya.

"Prik berada di pihak siapa?" Ekspresi Putri Anil langsung berubah dingin dalam sekejap, seperti balok es.

Cantik, tapi dingin dan tak tersentuh...

"Tentu saja aku memihakmu, Tuan Putri." Prik dengan cepat menundukkan kepalanya, hingga membenturkan
dahinya ke meja makan, dan mengeluarkan suara "Brak!" begitu keras.

Dia tidak bisa menahan diri untuk mengangkat tangannya dan menggosok dahinya.

"Kalau begitu jawab aku. Khun Kua atau aku, siapa yang statusnya lebih tinggi?"

"Dalam hal ini, Sang putri jelas lebih unggul."

"Jadi, Khun Kua lebih mulia dariku...?"

"Tentu saja tidak"

"Pertanyaan selanjutnya, siapa yang terlihat lebih menawan, Khun Kua atau aku."

"Tentu saja Putri Anil. Sejak Prik lahir hingga sekarang, aku belum pernah melihat orang yang lebih menawan dari
Putri Anil. Saat aku masih kecil, semua orang bilang kamu cantik. Sekarang kamu bahkan lebih cantik dari
sebelumnya." Bagaimana bisa Khun Kua dibandingkan denganmu?"
"Benar begitu?" Putri Anilaphat menyipitkan matanya yang tajam ke arah Prik.

"Ini lebih benar dari kata benar."

"Kalau begitu berhentilah memuji penampilan Khun Kua..." Putri Anilaphat menyeringai, hanya Prik yang
mengetahui arti senyuman di wajah sang putri.

"Mematuhi."

"Jadi apakah orang-orang ini...? Apakah ada orang lain?"

Tentu saja, yang terpenting adalah Lady Pin tidak memperdulikan siapapun." Prik tersenyum, matanya dipenuhi
keyakinan.

"Bagus kalau gitu..."

Sang putri mengangkat kepalanya dengan bangga. Meski perkataan Prik membuatnya marah, dia harus mencari tahu
semua informasinya. Karena jika terlambat mengetahuinya, semuanya akan menjadi rumit dan sulit dikendalikan.

"Prik ingin menanyakan sesuatu yang penting padamu."

"Katakanlah." Sang putri mengerutkan kening lagi, bersiap menghadapi pertanyaan serius dari pelayan itu.

"Tuan putri baru saja berkata, jika tidak cukup, akan ada lagi."

"..."

"Jadi kemana aku harus pergi untuk mendapatkan lebih banyak makanan?"

----------

Cahaya di aula Istana Pinus berwarna kuning pucat yang hangat. Putri Anilaphat sedang duduk sendirian di sofa
abu-abu di depan balkon. Lady Pilantita masuk membawa sepiring camilan.

Ada sepuluh Paeng Sib di piring, orang langsung tahu niat sang koki, bahwa hidangan yang dipadukan dengan cabai
segar dan selada, tampak semakin nikmat.

Putri Anilaphat mengangkat tangannya untuk memberi isyarat kepada Lady Pin agar duduk di kursi di seberangnya.
Di tengah mereka ada meja teh. Lady Pin tidak bisa menahan diri untuk tidak melihat ke arah sang putri yang
mengenakan pakaian Eropa sederhana. Saat ini ia mengenakan kemeja berwarna biru muda tidak diselipkan dengan
kerah stand-up, lengan digulung hingga siku, dan celana pendek berwarna krem, membuatnya semakin cantik dan
menarik. Dengan posisi duduk bersila yang nyaman, Lady Pin benar-benar terpesona dengan indahnya
pemandangan di hadapannya tanpa perlu persiapan apa pun.

"Paeng Sib kelihatannya enak sekali, apakah Lady Pin membuatnya sendiri?"

"Bagaimana Anil tahu aku yang membuatnya?" Lady Pin menghela napas perlahan dan bertanya. Namun matanya
masih menatap ke luar jendela, bibirnya terkatup rapat dan hampir berdarah.

"Bentuknya cantik sekali, hanya Bibi Padmika dan Lady Pin yang cukup terampil untuk membuatnya." Kata Putri
Anil sambil tersenyum. Matanya begitu terang bahkan bintang-bintang di malam tanpa bulan pun kini redup di mata
Lady Pilantita.

"Anil selalu memuji secara berlebihan," kata Lady Pin tapi tidak bisa menahan senyumnya. Hal-hal yang
lakukannya yang mudah oleh orang lain, dia selalu mendapat pujian dari Putri Anilaphat

"Aku mengatakan yang sebenarnya, itu lebih jujur daripada kebenaran. Atau apakah Lady Pin akan mengatakan
bahwa camilan ini bukan buatanmu?" Lesung pipit menggemaskan yang terpancar di wajah Putri Anil membuat
Lady Pilantita tidak mungkin menolaknya. Dia tidak menjawab, dia tahu menjawab hanya akan menderita kerugian.
"Bisa jadi P'Koi, bisa jadi salah satu pelayan. Tapi siapapun yang melakukannya, Anil harus menghabiskan cemilan
ini malam ini. Kalau tidak, aku akan sedih."

Mata coklat besar Lady Pin memohon dengan tulus. Tampaknya Putri Anilaphat merasakan kesedihan Lady Pin
ketika dia mengabaikan sarapan yang telah disiapkan.

Apakah Putri Anil tahu? Lady Pin butuh waktu lama untuk mempersiapkannya? Usahanya begitu besar sehingga
Lady Pin harus pergi sendiri ke pasar untuk membeli bahan-bahan untuk memasak. Dia bahkan tidak percaya pada
keterampilan koki P'Koi, yang telah mengajarinya cara memasak hampir sepanjang hidupnya... setiap langkahnya
diselesaikan sendiri oleh Lady Pin.

Mulai dari menyiapkan adonan hingga menggoreng isiannya, bahannya banyak dan langkahnya rumit. Lady
Pilantita tidak melakukannya sembarangan, tetapi juga menuangkan seluruh pengalaman dan ilmu yang
diperolehnya setelah bertahun-tahun berlatih ke dalam sajian sarapan pagi ini.

"Masakan Khun Pin enak, cocok dengan seleraku..."

Meski sangat lelah, Lady Pin merasa lega sepenuhnya saat mendengar kata-kata tersebut dari Putri Anilaphat.

"Jika Anil menyukainya, makanlah lebih banyak."

Lady Pin tersenyum cerah, terlihat sangat manis, membuat Putri Anil tanpa sadar ikut tersenyum.

"Oke." Ucap Putri Anilaphat lalu menundukkan kepalanya dan melanjutkan membaca buku itu dengan penuh
perhatian. Hingga Lady Pilantita mulai merasa sedikit tertekan.

"Katanya Anil mau makan, tapi Anil sepertinya tidak mau makan."

Lady Pin tanpa sadar mengerucutkan bibirnya.

"Kalau kamu ingin aku makan, Khun Pin harus menyuapiku. Tanganku terlalu sibuk, aku harus membolak-balik
buku, aku tidak punya waktu untuk makan camilan." Putri Anilaphat tersenyum cerah.

"Hah... kamu benar-benar terlalu bangsawan, Anil." Lady Pilantita mau tidak mau menatap matanya dengan tatapan
cemberut ketika mendengar jawaban Anil tadi.

"Aku bukan seperti itu," kata sang Putri. Dia menundukkan kepalanya dan melihat huruf-huruf di dalam buku,
seolah tidak ada yang lebih menarik dari ini. "Aku terlalu fokus pada bukuku."

"Aku menghabiskan waktu siang dan malam untuk membuat sarapan ini. Jika Anil tidak memakannya, aku akan
sangat marah." Suara Lady Pin mulai bergetar. Ia sadar bahwa ia telah dikalahkan oleh sikap tenang Putri Anilaphat.

"Apakah hanya Khun Pin yang melakukannya? Bukankah P'Koi juga?"

Ini adalah pertama kalinya Lady Pin benar-benar merasa senyuman menawan Putri Anilaphat agak tidak nyaman,
memaksanya untuk mengatakan sesuatu seperti menyatakan kekalahan.

"Jika aku menyuapimu, apakah kamu akan makan?"

"Ya, aku akan makan." Putri Anilaphat berkata sambil tersenyum cerah.

"Kalau begitu aku akan memberimu makan." Ekspresi Lady Pilantita sangat bingung saat ini.

"A--."
Kini Putri Anilaphat telah membuka mulutnya lebar-lebar dan menunggu Paeng Sib. Ekspresi wajahnya yang penuh
harap membuat Lady Pin ingin mencubit tangannya, hingga membuatnya meringis kesakitan.

Namun, meski ingin menang, dia tetap menyuapi Putri Anil camilan yang dibuatnya.

"Paeng Sib ini manis sekali..."

Seperti seseorang yang tidak bisa merasakan kesakitan dan kesedihan orang lain, Putri Anilaphat berkata setengah
bercanda setengah serius. Hal ini membuat Lady Pin sedikit kesal dan memalingkan wajahnya.

Situasi terus berlanjut seperti itu.

Putri Anilaphat menolak meletakkan buku itu dan hanya mengunyah camilannya perlahan.

Tiap mulutnya kosong, detik berikutnya terisi Paeng Sib. Lagipula, Lady Pin hanya ingin memuaskan sang putri
dengan makanan yang dibuatnya.

"Khun Pin, apa yang kamu lihat?" tanya Putri Anilaphat. Ia menyadari setiap kali Lady Pin menyuapinya Paeng Sib,
dia akan langsung memalingkan wajahnya. Jadi sang putri bertanya. "Mengapa wajahmu merah sekali?"

"..."

Lady Pilantita terkejut saat mendengar pertanyaan ini. Dia bermaksud menghindari topik itu sampai semua Paeng
Sib sudah habis.

"Aku... Ah..."

"Jika Khun Pin tidak berkata apa-apa, aku tidak akan memakan sisa dua potong Paeng Sib." Sang putri tersenyum.
Dia tahu betul kelemahan Lady Pin saat ini.

"Kerah Anil..."

"..."
Putri Anilaphat mengangkat alisnya dengan bingung.

"Sangat terbuka..." Lady Pin hanya ingin menyalahkan dirinya sendiri karena mengatakannya.

"Oh, ya?" Putri Anilaphat tersenyum bangga.

"Ya." Kata Lady Pin sambil menundukkan kepalanya.

Putri Anil melihat itu dan tersenyum cerah.

Kemudian, dia mengulurkan tangan dan membuka kancing yang lainnya, memperlihatkan belahan dadanya yang
indah. Stimulasi yang intens ini membuat Lady Pin menahan napas.

"Anil! Aku bilang kerahnya terlalu terbuka, kenapa kamu membuka kancingnya lagi?"

Jantung Lady Pilantita berdegup kencang, wajahnya memerah. Namun Lady Pin tetap melirik garis yang halus,
mulus, dan indah itu.

"Apakah ini terlalu terbuka?" Putri Anil tersenyum, menundukkan kepala dan kembali membaca bukunya.

"..."

"Meski aku akan membuka kancingnya lagi, aku pikir itu masih agak tertutup."

~Bersambung~
BAB 15

Jangan lupa buat vote (⭐) ya!

Pengunjung

Pernikahan Pangeran Anantawut bisa dikatakan sangat khidmat, bahkan merupakan kehormatan bagi keluarga
Kerajaan Sawetawarit. Diawali dengan ritual percikan air di pagi hari, setiap detail dan rangkaian kecilnya
mengikuti ritual adat yang khidmat dan megah. Pemandangan ramai itu berlangsung sepanjang malam, membuat
orang terpana.

Topik pembicaraan para tamu terhormat dimulai dari Istana Sawetawarit yang besar dan mewah. Raja
memerintahkan agar istana dihias dengan indah untuk pernikahan putra sulungnya.

Juga daftar tamu yang menghadiri pesta pernikahan tersebut adalah tokoh terkenal di masyarakat kelas atas yang
datang satu demi satu.

Ada juga calon pengantin yang sangat serasi. Pangeran Anantawut sangat mulia dan tampan. Putri Parvati juga
cantik mempesona dalam balutan gaun pengantin mewah...

Namun topik yang paling menarik perhatian adalah kecantikan luar biasa Putri Anilaphat - putri bungsu Raja...

M.R Euang atau "Putri Euang", putri bungsu Pangeran Chakkham dan Putri Dararai, kali ini dia datang sendiri dari
Chiang Mai untuk menghadiri pernikahan Pangeran Anantawut. Jika dia tidak melihatnya dengan mata kepalanya
sendiri, dia mungkin akan mengira bahwa tamu-tamu yang memuji Putri Anilaphat hanyalah untuk menyenangkan
hati Raja dan Putri Alisa.

Karena dalam ingatannya, semasa kecil Putri Anilaphat muda memiliki penampilan yang cantik dan cerdas, namun
tingkah lakunya yang sangat keras kepala. Dia tidak pernah membayangkan bahwa ketika dia dewasa dia akan
menjadi sangat cantik.

Hingga Putri Euang melihat dengan mata kepalanya sendiri kehadiran Putri Anilaphat pada upacara pagi hari...

Dia menyadari bahwa orang-orang tidak melebih-lebihkan. Sebaliknya, mereka bahkan tidak bisa membayangkan
sepenuhnya kecantikan Putri Anilaphat.

Pada upacara pagi hari, Putri Anilaphat mengenakan kemeja putih dengan hiasan renda mutiara yang dipadukan
dengan gaun panjang berwarna abu-abu. Terkesan manis namun tidak kehilangan kekhidmatan dan keanggunannya.
Kesan itu sangat membekas di benak Putri Euang seharian penuh.

Hingga muncul kesan baru. Juga dari orang yang sama...

Pada upacara malamnya, Putri Anilaphat mengenakan gaun malam panjang berwarna merah bata dan lipstik yang
serasi, menambah kecantikannya yang menawan. Rasanya tak berlebihan jika berpendapat bahwa seluruh tubuh
sang putri nampak seindah lukisan. Kecantikannya kini bagai ombak lautan, melonjak di dadanya dan membuatnya
pusing seharian.

Sayangnya Putri Euang tidak terbiasa dengan perasaan yang tiba-tiba ini dan tidak punya cara untuk
menghilamgkannya.

Oleh karena itu, ia memilih pergi ke Istana Pinus untuk memberikan penghormatan kepada Putri Anilaphat pada
sore hari setelah pernikahan Pangeran Anantawut. Ia penasaran, apakah Putri Anil tidak mengenakan pakaian
khidmat itu, akankah tetap secantik gambaran yang sejak tadi malam melekat dikepalanya?
Namun, Putri Euang menyadari bahwa meski Putri Anil memakai pakaian sehari-hari seperti kemeja putih dan
celana pendek berwarna krem, gambaran tersebut tetap lebih menyentuh hatinya dibandingkan gambaran dirinya
yang mengenakan gaun merah bata atau gaun putih mutiara itu.

Saat itulah Putri Euang menyadari bahwa dia datang menemui Putri Anil, tentunya sebagai bentuk pengejaran.

"Istana Pinus terlihat seperti gambar yang sering kulihat di majalah Barat, begitu indah dan nyaman."

Kata Putri Euang yang saat ini sedang duduk di sofa abu-abu di samping jendela, menghadap Putri Anilaphat. Dia
melihat sekeliling ruang tamu istana Matsumiya, merasakan kekaguman yang tak ada habisnya.

"Apakah Putri Euang menyukainya?" Putri Anilaphat berbicara dengan suara lembut dan manis.

"Aku... suka."

Putri Euang dengan penuh perhatian menatap mata hitam Putri Anilaphat yang panjang dan sipit, lalu tersenyum
cerah.

"Meskipun istana Ayah mewah dan megah, namun terlalu khusyuk, aku tidak merasa nyaman. Rasanya tidak seperti
di rumah sendiri."

"Tetapi dari segi arsitektur, istana ayahku sangat indah dan mewah."

"Anil mempelajari arsitektur sehingga aku bisa melihat keindahan istana kayu kuno itu." Putri Euang dengan rendah
hati menundukkan kepalanya.

Catatan : Euang memanggil Anil (chao nong). Chao adalah seorang pangeran dan putri dan Nong adalah nama
untuk anak laki-laki/perempuan.

"Meski aku tidak mempelajarinya, menurutku istana itu sangat indah sekali, Khun Euang."

Kata Putri Anilaphat sambil meraih teko porselen putih di atas meja diantara mereka berdua, menuangkan secangkir
teh dan perlahan mendorongnya ke depan Putri Euang.

"Teh Inggris, aku bawa dari London. Coba saja, aku seduh sendiri."

"Kamu sopan sekali." Putri Euang mengambil secangkir teh putih, menyesapnya perlahan dan tersenyum puas. "Teh
ini enak sekali..."

"Benarkah?" Putri Anil berkata dengan senyum lembut di wajahnya.

"Atau harus kubilang, itu karena kamu yang membuatnya... jadi itu membuatnya semakin enak."

Suara Putri Euang jernih dan manis, terdengar sangat merdu. Sungguh manis sampai-sampai Putri Anilaphat tidak
bisa tidak memikirkan kakaknya.

Karena jauh di lubuk hatinya ia tahu betul bahwa kakaknya masih sangat mencintai Putri Euang. Pada pesta
pernikahan tadi malam, Putri Anilaphat memperhatikan bahwa ketika kakaknya sesekali melirik kearah Putri Euang,
ada kesedihan dan kebingungan di matanya. Dia tahu Putri Euang datang untuk memberikan selamat atas
pernikahannya. Dan menghadiri semua upacara dan pesta dari pagi hingga malam.

Namun sang kakak masih belum bisa mengambil keputusan...

Tentu bukan hal yang mudah. Sepupunya baru berusia dua puluh dua tahun, cantik dan polos, seindah bunga yang
baru mekar. Kelembutan dan pesona utaranya juga sangat memikat hati sang kakak tertua. Kerinduan itu terkadang
terlihat melalui matanya.

Putri Anilaphat memandangi wajah lonjongnya yang manis, kecantikan dan matanya yang berbinar-binar. Sinar
matahari menyinari jendela balkon Istana Matsumiya, menyinari kulit putihnya hingga berkilau.
Pada saat itu, Putri Anilaphat tiba-tiba merasa simpati pada pengantinnya, Putri Parvati.

"Putri Euang terlalu memuji..."

"Kamu mengatakan seolah-olah aku hanya memujimu untuk menenangkan orang lain. Rasa teh ini sungguh
lumayan, jadi aku bilang begitu."

Mata hitam berkilau itu bertemu dengan mata Putri Euang, dan sang putri tiba-tiba merasa malu. Dia segera
mengambil secangkir teh panas dan menyesapnya.

"Kalau begitu aku harus mencari waktu supaya bisa membuatkan teh, agar Putri Euang bisa sering meminumnya."
Kata Putri Anilaphat sambil tersenyum tipis, memperlihatkan lesung pipit di pipinya. Hal ini seolah menarik
perhatian Putri Euang. Ia menatap wajah sang putri.

Sepanjang hidupnya, Putri Euang terbiasa dengan tatapan antusias dan penuh gairah para pria. Dia tidak ingin
mendapat masalah jadi dia belajar mengabaikan tatapan itu. Dibalik sikapnya yang lemah lembut, hati Euang
sebenarnya tertutup oleh tembok tinggi yang tak seorang pun bisa memanjatnya.

Dia tidak pernah berpikir untuk bersikap lembut pada pria mana pun...

Tapi saat ini, dia sepertinya diam-diam menatap Putri Anilaphat dengan mata penuh nafsu...

Apa sebenarnya yang terjadi... Dimana letak salahnya?

Putri Euang hanya bisa terus bertanya-tanya dalam hati.

Dia hanya bisa terus-menerus mengingatkan dirinya sendiri bahwa orang yang dia lihat sekarang hanyalah kerabat
dekatnya, dan juga seseorang yang mrmiliki kedudukan yang lebih tinggi.

Yang penting, Putri Anil juga seorang perempuan seperti dirinya...

Apa yang bisa kamu harapkan... Ini tidak akan membuahkan hasil apa pun.

"Bagaimana kesehatan paman? Kata ibuku, dia sangat lemah sehingga bibi hanya bisa tinggal dan merawatnya, jadi
dia tidak bisa menghadiri pernikahan kakakku." Melihat Putri Euang terdiam, Putri Anil mengalihkan pembicaraan.

"Kondisi Ayah kurang baik. Beberapa hari sebelum pernikahan, kondisinya kembali memburuk. Ibu sangat khawatir
sehingga tidak bisa menghadiri pernikahan Pangeran Anan." Memikirkan penyakit Pangeran Chakkham, Putri
Euang tiba-tiba mengerutkan alisnya yang indah dan berbicara dengan cemas.

"Aku belum mengunjungi mereka sejak aku kembali. Aku pasti akan meluangkan waktu untuk pergi kesana."

"Jika kamu datang mengunjungi mereka, aku bisa membawamu ke Chiang Mai."

"Kalau begitu aku harus merepotkan Putri Euang." Anil tersenyum lembut. Hal ini menyebabkan Putri Euang
mengambil cangkir tehnya lagi.

"Anil, Pin membawa..."

Suara manis Lady Pilantita berhenti, begitu memasuki ruang tamu Istana Pinus. Ia melirik ke arah tamu terhormat,
Putri Euang.

Putri Anilaphat dan Euang secara bersamaan memandang ke arah Lady Pin, membuatnya sangat tidak nyaman.
Sepertinya kemunculannya yang tiba-tiba di ruang tamu saat ini adalah sesuatu yang sangat aneh.

Lady Pin berpikir. apakah dia mengganggu pembicaraan mereka berdua...

Yang lebih mengejutkannya lagi adalah Putri Euang yang cantik itu memilih menemui Putri Anilaphat sendirian di
istana Pinus dibandingkan pergi menemui bibinya, Putri Alisa. Bagaimanapun juga, Putri Alisa selalu
memanjakannya.

"Halo, Lady Pin." Setelah tertegun sejenak, Putri Euang membuka mulutnya untuk menyapa dengan senyuman di
wajahnya seperti biasa.

Dibandingkan dengan Lady Pin, Putri Euang dapat mengendalikan emosinya dan menunjukkan etika yang melekat
pada dirinya. Bahkan ia terkejut melihat Pilantita tiba-tiba muncul di ruang tamu Istana Pinus, seolah dia bisa datang
dan pergi kapan saja. Di saat yang sama, dia terkejut ketika Lady Pin memanggil Putri Anilaphat dengan begitu
akrab, seolah-olah status mereka berdua setara.

"Halo, Putri Euang." Lady Pin dengan tenang menyapa Putri Euang. Dia melirik Putri Anilaphat dengan mata yang
sangat serius.

Sapaan dingin Lady Pin terdengar sangat tidak menyenangkan, sehingga Putri Anilaphat mengangkat kepalanya
dengan bingung. Tapi dia tidak punya cukup keberanian membuka mulutnya untuk bertanya pada Lady Pin.

"Aku belum pernah melihat Istana Pinus milik Anil, jadi aku menggunakan kesempatan ini untuk berkunjung, Lady
Pin." Putri Euang mau tidak mau menjelaskan kepada Lady Pin mengapa dia datang ke istana pinus.

"Ya, Putri Euang."

Pilantita hanya menjawab satu kali dan tidak berkata apa-apa lagi. Putri Anilaphat kemudian berdiri, mengambil teh,
meletakkannya di atas meja di depan perapian di tengah ruang tamu, dan duduk di sofa berwarna krem. Dengan cara
ini, Putri Euang dapat berpindah ke sofa di sebelahnya dan duduk tanpa dia harus mengucapkan sepatah kata pun.

Putri Anilaphat duduk di tengah sofa.

Sesuai adat istiadat, kedua gadis itu harus duduk bersebelahan di sisi kiri dan kanan meja.

Meski Lady Pin masih berdiri diam dengan tenang untuk beberapa saat... Namun pada akhirnya dia tetap duduk di
samping Putri Anilaphat. Dia tidak ingin dianggap tidak sopan.

"Putri Euang, jangan lupa kita ada janji bermain tenis besok. Kalau kamu melewatkan janji itu, aku akan marah
besok." Melihat suasananya terlalu canggung, Putri Anilaphat angkat bicara.

"Um..."

"Lady Pin harus ikut juga, jangan biarkan Anil memanjat pohon itu."

"Baik"

Mendengar jawaban singkat dan ekspresi dingin Lady Pin, Putri Euang agak bingung. Meski Lady Pin bukanlah
orang yang banyak bicara, namun ia tetap berperilaku sopan kepada Putri Euang.

Mereka menjadi dekat sejak bertemu di pernikahan Pangeran Pertama. Jadi dia tidak mengerti mengapa Lady Pin
bersikap tidak senang terhadapnya.

"Aku harus pergi. Aku ada janji dengan Bibi Alisa untuk pergi ke Jalan Yaowarat malam ini."

Catatan : Jalan Yaowarat terletak di distrik Samphantawang, Bangkok, dan merupakan sumber kehidupan Pecinan
setempat semacam Chinatown.

"Jadi inilah alasan ibuku tidak memintaku datang ke rumahnya seperti biasanya. Dia tahu keponakan kesayangannya
akan pergi bermain dengannya." Putri Anilaphat tersenyum. Di satu sisi, Lady Pin hanya menundukkan kepalanya
dan memandangi permadani kulit domba di depan perapian.

"Sebenarnya, aku memintamu untuk mengantarku ke sana." Ucap Putri Euang sambil tersenyum manis.

"Kalau begitu aku pamit dulu. Sampai jumpa besok, Lady Pin." Putri Euang akhirnya berbicara kepada Lady Pin.
Lady Pin melambaikan tangan padanya.

"Iya, Putri Euang." Pilantita berbisik kepada Putri Euang.

"Putri Euang, aku akan mengantarmu ke mobil." Putri Anilaphat berdiri dan berjalan sangat dekat dengannya. Putri
Euang menyadari bahwa tinggi badannya hanya sebahu.

Detail kecil ini sekali lagi membuat jantungnya berdebar kencang.

"Tidak perlu mengantarku, Anil. Mobilnya sudah terparkir di depan pintu." Putri Euang mengangguk kecil untuk
berpamitan lalu masuk ke dalam mobil mewah yang menunggu di depan pintu Istana Pinus.

"Kalau Anil terus memandang Putri Euang seperti itu sampai dia menghilang dari pandangan, kenapa tidak pergi ke
Chinatown saja bersamanya."

Suara serak Lady Pin terdengar sangat dingin. Pada saat ini, mata coklatnya beberapa kali lebih dingin dari
suaranya...

"Siapa yang mau ke Chinatown?" kata Putri Anilaphat. Dia duduk di sebelah Lady Pin, sangat dekat dan
mendekatkan bahunya ke bahu Lady Pin. Lady Pin hanya mengerutkan keningnya. "Anil hanya ingin disini bersama
Khun Pin. Anil tidak ingin keluar dan bermain."

Suara Putri Anin seolah memohon, menyebabkan bibir Lady Pin sedikit melengkung tak terkendali. Tapi ketika ia
melihat teko di atas meja ruang tamu, ekspresinya menjadi lebih dingin dari sebelumnya.

Lady Pilantita tidak tahu kenapa dia begitu kesal dengan teko porselen putih di depannya.

Yang dia tahu, sepanjang siang tadi Prik ada di sisinya. Terlebih lagi tidak ada pelayan lain di Istana Pinus, karena
Putri Anilaphat sangat menjaga privasi.

Dalam hal ini, hanya ada satu kemungkinan, yaitu Putri Anilaphat sendiri yang menyiapkan teh untuk tamu cantik
tersebut.

Pikiran ini membuatnya gelisah dan mulai mendidih kembali.

"Benar begitu?"

Suara Lady Pin masih sangat dingin.

"Ayo kita keluar dan bersenang-senang. Anil sangat ramah. Sepertinya istana akan segera dipenuhi pengunjung."

Lady Pin melipat tangannya dan menatap perapian, terdiam cukup lama.

"Khun Pin terlalu banyak salah paham terhadap Anil." Putri Anilaphat tersenyum dan berkata. "Sekarang tamunya
hanya Putri Euang. Dia adalah sepupuku."

Dia menekankan kata sepupu. Hal ini menyebabkan ekspresi muram Lady Pin mulai menjadi lebih tenang.

"Besok akan ada lebih banyak tamu, kan?" Lady Pin mulai bergerak perlahan ke samping. Putri Anilaphat bersandar
padanya sedikit demi sedikit seolah tidak memiliki tulang.

Bukannya dia tidak ingin Putri Anil bersandar padanya.

Tetapi jika dia dekat dengannya, jantungnya akan berdetak sangat kencang hingga hampir melompat dari dadanya.

Dia juga tidak menginginkan itu...

"Yang ada hanya Pangeran Anan, Pangeran Anon, Putri Watee dan Putri Euang, tapi aku tidak tahu siapa yang akan
dibawa oleh kedua kakakku, Khun Pin."
Mendengar itu, Lady Pin kembali diliputi kekhawatiran.

Bahkan dia tidak tahu apa yang dia khawatirkan.

"Mungkin... kali ini mungkin aku akan bertemu dengan Pangeran Kua."

"..."

Suara tenang sang putri membuatnya menundukkan kepala dan menggigit bibir. Segala macam pikiran rumit
bercampur menjadi satu di dalam hatinya.

Dia tahu dia tidak punya perasaan apa pun dengan Pangeran Kua.

Tapi apakah Putri Anil mengetahui hal itu...

"Apa itu?" Putri Anil melihat Lady Pin terus menunduk sehingga dia mencoba mengalihkan topik pembicaraan.

"Aku membuatkan karangan bunga harum untuk Anil." Senyuman akhirnya muncul di wajah suramnya. "Aku ingat
Anil suka wangi melati. Sekarang, halaman belakang Istana Bua dipenuhi bunga ini, jadi aku dan Prik pergi
memetiknya dan membuat rangkaian bunga yang harum."

Tanpa sadar... Lady Pin mengangkat wajahnya dan menatap lurus ke mata Putri Anil dengan semangat. Bibir
indahnya tersenyuman malu-malu, menyebabkan sang putri tak kuasa menahan senyumannya.

"Terlihat sangat cantik." Putri Anilaphat memandangi tiga karangan bunga harum di nampan perak. Bunga-
bunganya dijalin dengan cermat menjadi sebuah karangan bunga tanpa memerlukan tali seperti jenis karangan bunga
lainnya.

"Bolehkah memakainya seperti ini?"

Putri Anilaphat tersenyum, ia mengambil karangan bunga, menaruhnya di pergelangan tangan putihnya dan dengan
main-main mengayunkannya ke atas dan ke bawah seperti seorang gadis kecil.

"Kalau Anil mau pakai, pakailah sesuka Anil" Lady Pin tersenyum manis. "Itu kuberikan untuk Anil. Anil bisa
melakukan apapun yang Anil mau."

"Benarkah, Khun Pin?"

Perkataan Lady Pin seolah menyentuh hati Putri Anilaphat, membuat senyumannya tak mampu lepas dari bibirnya.

"Mengapa rangkaian bunga di rambut Khun Pin terlihat lebih indah dibandingkan rangkaian lainnya?" Kata Anil,
tiba-tiba menghampiri Lady Pin dan mengulurkan tangan untuk menyentuh untaian bunga di rambut Lady Pin,
terlihat sangat tertarik. Hingga wajah Pilantita mulai memerah.

"Anil, jangan menggodaku lagi. Untaian bunga ini semuanya dikepang oleh aku dan Prik, sama saja, kalau kelihatan
cantik, cantik semua. Kalau jelek, jelek semua." kata Lady Pin sambil cemberut.

"Benarkah?" Kata Putri Anil sambil tersenyum. "Di mata Anil... semua yang kuinginkan ada di tubuh Khun Pin. Hal
itu saja lebih indah dari apa pun."
Dia menatapnya dengan mata berbinar dan berbicara dengan lembut. Hal ini membuat jantung Lady Pin berdebar
kencang. Apalagi saat wajah Putri Anil perlahan mendekati wajahnya.

Semakin dekat...

Hingga ujung hidung Putri Anil menyentuh pipinya dengan lembut, dan berhenti di belakang telinganya, mencium
wangi karangan bunga di rambutnya...

Pada saat ini, jantung Lady Pin hampir berhenti berdetak...

Sang putri mencium aroma bunga di rambut Lady Pin sejenak, lalu perlahan menempelkan ujung hidungnya untuk
membelai pipi Lady Pin...

Momen itu seperti berlamgsung selamanya.

Lady Pin tanpa sadar menahan napas saat mata gelap dan berkilau itu menatap tajam ke matanya dalam jarak satu
inci.

"Bunganya sangat harum." Putri Anilaphat akhirnya berbicara, suaranya manis dan lembut.

"Tapi, wajah Khun Pinlebih harum lagi..."

~Bersambung~
BAB 16

Jangan lupa buat vote (⭐) ya!

Lapangan Tenis

Saat Prik melihat pemandangan di depannya mata coklatnya yang besar sibuk melihat sekeliling. Dia tidak bisa
mempercayai matanya. Apakah ini nyata? Atau mimpi surgawi yang biasa diceritakan ibunya setiap malam untuk
menenangkannya agar tertidur ketika dia masih kecil?

Adapun Prik... Di hari yang cerah dan indah, para anggota kerajaan mengenakan pakaian olahraga yang penuh gaya.
Berlari mondar-mandir di lapangan tenis hijau di bawah langit biru. Pemandangan ini begitu indah, sehingga tampak
persis seperti surga tempat tinggal bidadari.

Pangeran Anantawutlah yang berpakaian paling serius. Dia mengenakan kemeja polo lengan panjang dan celana
putih longgar. Istrinya, Putri Parvati, mengenakan kemeja lengan pendek berwarna merah muda pucat dan rok lipit
selutut berwarna putih. Dengan ikat rambut berwarna merah, terlihat sangat cantik dan menggemaskan.

Dan pakaian Pangeran Anon jauh lebih sederhana daripada saudaranya. Ia mengenakan kemeja polo lengan panjang
dan celana pendek putih yang dipadukan dengan sepatu kets putih. Dan yang berdiri di samping pangeran kedua
adalah orang kepercayaannya, Khun Kuakiat. Dia berpakaian persis seperti pangeran kedua, mereka berdiri
bersebelahan seperti saudara kembar.

Pasangan lain yang berpenampilan serupa adalah Lady Pilantita dan Putri Euang, keduanya mengenakan kaos polo
lengan pendek dan rok lipit putih selutut, tampak anggun dan berkelas.

Satu-satunya orang yang mungkin berpakaian tidak biasa adalah majikan Prik, Putri Anilaphat. Ia mengenakan
kemeja polo lengan pendek berwarna biru muda dan celana pendek putih yang memperlihatkan kakinya yang
ramping dan seksi. Hal ini membuat Pangeran Anan dan Pangeran Anon mengerutkan kening.

Adapun Prik, hari ini dia juga sangat cantik. Ia mengenakan satu set celana panjang berwarna putih, hadiah yang
dibawakan oleh Putri Anilaphat dari Inggris.

"Prik tidak tahu cara bermain tenis." Prik ingat jelas percakapan saat menerima pakaian putih dari Putri Anil.

"Aku akan menggunakan hari liburku untuk mengajari Prik cara bermain tenis." Sang Putri tersenyum pada Prik.

"Jadi, jika Prik tidak bisa bermain tenis, Prik tidak akan bisa memakai pakaian secantik ini?" Prik cemberut,
merasa sedikit menyesal.

"Siapa bilang pakaian ini untuk bermain tenis? Ini hanya untuk Prik saat mengambil bola. Kalau Prik bisa bermain
tenis, aku akan memberi Prik rok lipit." Putri Anilaphat tersenyum dan berbicara seperti biasa.

Namun Putri Anilaphat sibuk sejak kembali dari London. Pada dasarnya tidak ada waktu untuk mengajari Prik cara
bermain tenis. Belum lagi memukul, sampai saat ini Prik bahkan belum menyentuh satu raket pun. Oleh karena itu,
saat ini Prik hanya bisa berdiri di lapangan dengan pakaian yang diberikan oleh Putri Anilaphat, mengambil bola
dilapangan dan diam-diam menjalankan tugasnya.

"Prik sangat menggemaskan hari ini."

Saat Prik memasuki lapangan, Putri Anilaphat segera berlari menghampiri, mengulurkan tangan untuk mencubit
pipinya. Prik menoleh ke kiri dan ke kanan, karena Putri Anilaphat membuatnya takut. Dia segera menoleh untuk
mencari keberadaan Lady Pilantita.
Saat dia melihat Lady Pin tidak melihat ke arahnya... Prik menghela napas lega.

Karena dia tahu lebih baik dari siapapun, bahwa sejak Putri Anilaphat kembali, mata coklat Lady Pin yang seperti
rusa betina tidak lagi sejelas sebelumnya. Setiap kali dia melihat seseorang mendekati Putri Anilaphat, matanya akan
suram... Entah pendekatan itu disengaja atau tidak.

Satu-satunya pengecualian adalah Putri Alisa...

Meski begitu, saat Putri Alisa memperlakukan Putri Anil seperti anak kecil dan mengungkapkan rasa cintanya pada
Putri Anil melalui pelukannya, Prik terkadang melihat secercah rasa cemburu di mata Lady Pin.

Jadi bagaimana Prik tidak takut dengan mata Lady Pin?

"Tiga pria dan empat wanita, bagaimana kita mengatur kompetisinya?" Prik melihat sekeliling lapangan, dengan
rasa ingin tahu menghitung dengan jarinya.

"Prik, Pangeran Anon bilang dia mengundang temannya. Tapi sampai sekarang, masih belum ada tanda-tanda
siapapun." kata Putri Anilaphat. Namun sebelum dia selesai berbicara, dia melihat seorang pemuda jangkung dan
tampan berkulit gandum dengan cepat memasuki gerbang lapangan, tersenyum dan menyapa sang putri.

"Kejutan! Putri..."

Putri Anilaphat tersenyum cerah pada anak laki-laki berkulit gelap di depannya. Saat ini, wajahnya dipenuhi dengan
kegembiraan yang tak bisa disembunyikan.

"Aku terus menebak-nebak siapa teman Pangeran Anon. Ternyata itu kamu. Kapan kamu kembali?"

"Baru beberapa hari yang lalu untuk menghadiri pernikahan Pangeran Agung." Pranot menjawab dengan gembira.

Menurut penilaian Prik... Teman Pangeran Kedua ini cukup jujur orang yang tulus, lemah lembut dan ramah.

"Pranot juga datang ke pesta pernikahan? Kenapa aku tidak melihatmu?"

"Aku terlambat, sesampai disana acaranya hampir selesai. Kakak keduamu bilang kamu diseret oleh Putri Alisa
untuk menyapa puluhan anggota keluarga kerajaan, kamu benar-benar sibuk sekali." Pranot tersenyum dan berkata
dengan ramah. Putri Anilaphat tertawa mengingat kekacauan malam itu.

Meski merupakan sahabat Pangeran Kedua, Pranot memiliki hubungan yang lebih dekat dengan Putri Anilaphat.
Pasalnya Pranot dan Putri Anilaphat sedang menempuh studi Magister Hukum di universitas yang sama. Maka
Pangeran Kedua memintanya untuk menjaga sang putri di Inggris.

Oleh karena itu, Pranot menjadi penasihat dan sahabat sang putri dan bahkan terkadang menjadi kaki tangannya.
Mereka rukun dan lambat laun Putri Anilaphat menganggap Pranot sebagai kakaknya.

"Aku sangat merindukanmu, Pranot" Putri Anilaphat tersenyum manis.

"Aku juga merindukanmu, Tuan Putri. Padahal kita baru seminggu tidak bertemu." Kata Pranot sambil tertawa.

Namun Prik yang berdiri di antara mereka berdua tidak bisa tersenyum. Dia melirik dari sudut matanya dan melihat
Lady Pilantita menatap Putri Anil dan Pranot dengan mata yang suram.

Prik sudah memperkirakan mata Lady Pin akan berubah seperti ini...

Namun yang lebih aneh menurutnya adalah Putri Euang, gadis yang selalu tersenyum, kini terlihat serius. Prik harus
meliriknya sekali lagi untuk memastikan dugaannya benar.

"Uhuk! Pranot, sudah cukup. Jangan lupa dia adikku." Begitu suara serius Pangeran Anon terdengar, senyum cerah
Pranot langsung menegang.
"Maaf, Pangeran. Aku hanya bercanda dengan Tuan Putri." Pranot dengan cepat berbalik dan membungkuk dalam-
dalam pada Pangeran Anon. Dia tidak menyadari bahwa Pangeran Anon telah berdiri lama di belakangnya.

"Itu bagus." Pangeran Anon mulai tersenyum saat melihat Pranot akhirnya sedikit bisa mengendalikan dirinya.

"Sepertinya Pangeran Kedua sangat peduli pada adiknya, tidak seperti kakak laki-laki yang lain." Melihat Pranot dan
Putri Anilaphat, Putri Parvati menggoda Pangeran Anantawut.

Pangeran Anantawut berkata sambil tersenyum. "Anon hanya berpura-pura, dia tahu Pranot melihat Anil sebagai
keponakan kecilnya, dia tidak punya niat lain." kata Pangeran Anantawut. Namun matanya yang tajam masih
menatap dingin ke arah Pranot yang masih nyengir, "Benarkan, Pranot?"

Suara Pangeran Pertama yang setengah bercanda dan setengah serius dengan jelas menunjukkan bahwa di balik
senyuman tadi... Pangeran Pertama lebih memedulikan adiknya daripada Pangeran Kedua.

"Benar, Pangeran. Aku menganggap Putri Anil sebagai keponakan kecilku. Aku hanya seorang pelayan setia."

Jawaban Pranot membuat seluruh lapangan tertawa, bahkan Prik yang entah kenapa pun tak bisa menahan tawa.
Kecuali kedua wanita itu... Saat ini, wajah mereka masih tenang, tanpa senyuman.

"Mumpung masih pagi, ayo kita mulai. Bagaimana cara membagi tim? Anon, apakah kamu sudah memikirkannya?"

"Aku sudah berpikir." Jawab Pangeran Anon kepada kakaknya, memberi isyarat kepada semua orang untuk
berkumpul di bawah pohon Cassia yang besar. Pohon Cassia besar itu tampak kokoh dan rindang, sehingga cukup
menaungi seluruh kursi di lapangan.

Pohon cassia itu kelihatannya tidak sengaja ditanam, namun nyatanya diatur dengan cermat oleh Putri Anilaphat.

"Kita harus menggabungkan pria dan wanita. Kita perlu membagi pemain kuat untuk memastikan keadilan." Melihat
semua orang sudah mengerti, Pangeran Kedua mulai membagi menjadi beberapa kelompok:

"Kakak tertua pasti satu kelompok dengan Putri Wadi, Anil satu kelompok dengan Pranot, dan Khun Kua satu
kelompok dengan Lady Pin, dan aku akan satu kelompok dengan Putri Euang."

"Tim yang bagus, Anon." Meskipun sang kakak sangat memujinya, ketika Prik melihat ekspresi yang lain, dia
melihat ada orang yang bahagia seperti Khun Kua dan Pranot, dan ada orang mengerutkan kening seperti Lady Pin
yang mengungkapkan ketidaksenangannya. Dan beberapa orang seperti Putri Euang yang penampilan tenangnya
tidak mungkin terlihat.

Hanya Putri Anilaphat yang tersenyum cerah. Prik memperhatikan sedikit kelicikan di mata tuannya, dan firasat
muncul di hatinya.

Penampilan itu sangat familiar bagi Prik... Setiap kali Putri Anilaphat mengajak Prik untuk melontarkan lelucon
kejam, menggoda para pelayan dapur atau penjaga gerbang istana yang malang, matanya juga akan berkedip seperti
ini.

Prik punya firasat, kali ini targetnya pasti Khun kua.

"Apa aturan mainnya, Anon?"

"Dua babak, babak pertama empat tim saling bertanding, pemenangnya akan melaju ke final."

"Sepertinya Anon sudah memikirkan siapa yang akan melawan siapa di pertandingan pertama? Kita harus memiliki
seseorang yang mengaturnya secara adil, jika tidak maka akan terjadi perselisihan." Pikir Pangeran Tertua.

"Biarkan Prik yang memutuskan, Pangeran Anan" ucap Putri Anil sambil tersenyum, memperlihatkan lesung pipit di
wajahnya.
Senyum Putri Anil terlihat manis sekali. Namun dalam hati Prik tahu kalau senyuman manis Putri Anilaphat tidaklah
polos dan semanis yang disangka orang...

Ada kelicikan yang tersembunyi di balik senyuman manis itu.

"Iya betul, tapi Prik harus tetap adil dan tidak boleh memihak Anil." Pangeran Anan tersenyum dan berkata. "Tapi
tidak apa-apa. Lagipula Prik tidak tahu level kita, jadi sebaiknya dia yang mengaturnya."

"Sesuai perintah, Yang Mulia Pangeran."

"Jadi di pertandingan pertama, siapa yang akan dipilih Prik untuk bermain?" Pangeran Anon bertanya pada Prik
dengan penuh semangat.

Saat ini, Prik sangat khawatir hingga tidak bisa menelan ludahnya. Karena dia tahu bahwa setiap keputusan yang
diambilnya pasti akan mempengaruhi arah Putri Anilaphat dalam pertandingan ini. Sang putri memercayai Prik dan
memberinya tugas penting tanpa meminta izin terlebih dahulu. Jadi bagaimana mungkin Prik mengecewakan sang
putri?

"Pada pertandingan pertama, Prik memilih Putri Anil dan Pranot melawan Lady Pin dan Pangeran Kua, Pangeran
Anon." Setelah mempertimbangkan dengan cermat, Prik mengambil keputusan ini.

Senuman Putri Anilaphat semakin bersinar.

Pertama, Prik tahu siapa yang ingin dihadapi sang putri... jadi dia memutuskan untuk mengatur ini sebagai
pertandingan pertama tanpa menunggu putaran berikutnya.

Kedua, jika sang putri dapat memenangkan pertandingan pertama, ia akan memiliki waktu untuk duduk dan
istirahat, memiliki kesempatan untuk mengamati lawannya di pertandingan berikutnya dan mempersiapkan
pertandingan final.

Dapat dikatakan bahwa semua yang diajarkan sang putri kepada Prik telah membuahkan hasil pada hari ini.

"Kemudian pertandingan kedua antara aku dan Putri Euang melawan kakak tertua dan Putri Wadi (Parvati). Ayo kita
lakukan." Pangeran Kedua dengan lantang mengumumkan, "Kalau begitu aku akan menjadi wasit untuk
pertandingan ini, mari kita mulai."

Mendengar itu, Putri Anilaphat hanya bisa tersenyum cerah. Dia berbalik dan melakukan tos dengan Pranot. Lalu
pergi ketengah lapangan dan menyapa Pangeran Kua dan Lady Pin.

"Kumohon Khun Kua, kasihanilah aku, jangan terlalu keras padaku."

Kata Putri Anilaphat sambil tersenyum dan mengangguk rendah hati kepada orang kepercayaan Pangeran Anon.
Meski pemuda itu sangat dekat dengan Pangeran Anon bahkan sempat mengobrol dan bercanda satu sama lain, ia
merasakan kekaguman yang tak terlukiskan pada Putri Anilaphat yang beberapa tahun lebih muda darinya.

"Aku akan melakukan yang terbaik, Tuan Putri."

Pada saat itu, Lady Pilantita mengangkat kepalanya dan menatap mata Putri Anilaphat. Lalu dia menundukkan
kepalanya lagi, tidak tahu bagaimana mengekspresikan dirinya. Dia tidak mengerti kenapa dia merasa sangat
tertekan sekarang, seolah seluruh tubuhnya tertutup kabut, padahal langit sangat cerah.

"Anil melakukan servis terlebih dahulu." Setelah melempar koin untuk menentukan hak servis, Pangeran Kedua
mengangkat tangannya untuk memberi isyarat kepada Anilaphat dan Pranot agar melakukan servis terlebih dahulu.

Kecuali Prik yang bersiap mengambil bola, selebihnya menyaksikan pertandingan di bawah naungan pohon cassia di
pinggir lapangan. Dahan pohon cassia menghalangi semua sinar matahari dan membuatnya sangat sejuk.

Putri Euang menatap tubuh tinggi dan ramping Putri Anilaphat yang berdiri di ujung lapangan bersiap untuk
melakukan servis.

Sang putri menundukkan kepalanya memandangi bola tenis yang beberapa kali memantul ke tanah, lalu
melemparkan bola tersebut tinggi-tinggi dan merentangkan tangannya untuk memukul bola tersebut dengan sekuat
tenaga. Bola terbang menuju kaki Pangeran Kua.

Bukk!

"Servis sah. Anil mencetak gol."

Pangeran Kedua dengan lantang mengumumkan skornya. Di saat yang sama, Pangeran Kua menjadi pucat karena
ketakutan akan servis kuat dan cepat Putri Anilaphat.

Dalam hatinya, ia mengaku belum punya niat serius untuk mengikuti pertandingan ini. Dia hanya ingin datang ke
sini untuk menemui Lady Pin sebentar. Bahkan semenit sebelum pertandingan dimulai, Pangeran Kua mengira ia
bisa mengalahkan lawan yang lamban dan anggun seperti Putri Anilaphat semudah mengupas pisang ke dalam
mulutnya.

Tidak disangka...

Putri Anilaphat di lapangan menjadi begitu garang dan agresif, membuat Khun Kua tak mampu mengimbanginya.

Tampaknya Putri Anilaphat menganggap permainan ini lebih serius dari yang ia kira. Jadi dia hanya bisa
menghadapinya dengan lebih serius.

Bukk!

"Servis sah. Anil mencetak gol."

Sepertinya keseriusan Khun Kua tidak berpengaruh. Kali ini servis Putri Anilaphat masih menyentuh jari kakinya
persis seperti servis pertama.

Bukk!

Bukk!

"Anil serius sekali, seperti sedang bersaing memperebutkan kejuaraan dunia." Pangeran Anantawut berbisik.

Pertandingan pertama selesai. Tim Putri Anilaphat mengakhiri pertandingan dengan tiga ace (service point) dan satu
tembakan kuat ke net untuk mengakhiri pertandingan ini.

"Apakah ini yang disebut permainan ganda? Pranot maupun Lady Pin tidak punya kesempatan untuk menyentuh
bola." Putri Parvati menambahkan sambil tersenyum bahagia.

"Kalau Anil serius, siapa yang berani bermain dengannya?" Pangeran Anantawut tersenyum, ia sangat bangga
dengan adik kesayangannya.

"Setidaknya aku tidak akan berani," kata Putri Parvati, dan pasangan itu kembali tertawa.

Putri Euang masih memperhatikan setiap gerak-gerik Putri Anilaphat.

Pertandingan selanjutnya oleh Pangeran Kua dan Lady Pin. Namun pertandingan ini masih didominasi oleh
penampilan luar biasa Putri Anilaphat. Jadi sesuai dugaan, pemenang pertandingan pertama adalah tim Putri
Anilaphat dan Pranot.

Kegagalan ini membuat Khun Kua sangat terkejut dan frustasi. Karena ia tidak mampu melawan keterampilan kejam
Putri Anilaphat.

"Beri aku handuk untuk menyeka keringat." Saat Putri Anilaphat duduk di pinggir lapangan, Putri Euang
memberinya handuk putih dengan senyuman manis dan menawan.

"Terima kasih, Putri Euang." Putri Anilaphat pun tersenyum manis ke arah Putri Euang, membuat Lady Pilantita
mengerutkan kening dan merasa tidak nyaman.

Tugas Mae Phin adalah menyediakan handuk setelah pertandingan. Para pelayan Istana Bua disuruh oleh bibinya
untuk datang kesini menyambut tamu-tamu terhormat Istana Sawetawarit.

Lady Pin tidak mengerti mengapa Putri Euang ingin mengambil pekerjaan Mae Phin. Dia sendiri yang mengambil
gulungan handuk putih dari nampan emas dan memberikannya kepada Putri Anilaphat.

Yang membuatnya semakin kesal adalah meskipun Putri Anil memilih duduk di sebelah Lady Pin, sang putri tetap
diam dari awal hingga akhir, tidak mengucapkan sepatah kata pun kepadanya.

"Kamu harus mengalahkan Pangeran Anan, Putri Euang." Mata Lady Pin terbelalak saat mendengar Putri Anilaphat
berbicara kepada Putri Euang dengan suara merdu.

"Kalau begitu aku harus berdoa agar kakakmu tidak bertarung sebaik kamu." Putri Euang pun membalas dengan
suara merdu. Lady Pin mau tidak mau melirik ke arah Putri Euang dan mendapati bahwa dia sedang tersenyum
cerah pada Putri Anilaphat.

Semakin dia melihatnya, semakin dia merasa tidak nyaman...

Jadi Lady Pin tidak punya pilihan selain membuang muka.

"Aku akan menjadi wasit pada pertandingan ini." Pranot menyatakan dengan gembira sebelum kedua pangeran di
Istana Sawetwarit memulai pertandingan mereka.

Ini akan menjadi pertarungan garis keturunan yang menarik.

Putri Anilaphat menyaksikan pertandingan tersebut dari awal sampai akhir hingga ia memperkirakan siapa yang
akan memenangkan pertandingan tersebut. Yang mengejutkannya, Putri Parvati memainkan peran yang lebih
penting dalam permainan tersebut daripada yang dia harapkan. Namun sayang, meski Pangeran Anan jauh lebih baik
dari Pangeran Anon, ia melakukan kesalahan fatal saat menangani serangan balik dari Putri Euang.

Putri Anilaphat mengerutkan kening. Dia menemukan bahwa kakak tertuanya masih mencintai gadis itu. Tenggelam
dalam rayuan terlarang tidak bisa mengendalikan dirinya.

Sebaliknya, Lady Pin tidak tertarik dengan pertandingan di depannya. Diam-diam dia menatap wajah Putri
Anilaphat dan menemukan bahwa ekspresi wajah itu menjadi sangat serius, membuatnya sedikit khawatir. Meskipun
dia masih kesal karena sang putri tidak berbicara dengannya.

Namun, Lady Pin tetap tidak ingin melihatnya sedih atau kesal tentang apa pun...

"Tim Pangeran Anon dan Putri Euang menang." Pranot menyatakan dengan keras.

Sepuluh menit setelah jeda, pertandingan final antara tim Putri Anilaphat dan Pranot serta tim Pangeran Anon dan
Putri Euang akan segera dimulai. Pangeran Anan bertugas sebagai wasit.

Meski pada pertandingan kali ini gaya bermain Putri Anilaphat jauh lebih lembut dan lambat dibandingkan saat
bermain melawan Pangeran Kua. Tapi dengan keterampilan hebat sang putri, dia akan menang dengan mudah
apapun yang terjadi.

Tidak heran, pemenang dari permainan ini adalah Putri Anilaphat dan Pranot. Namun anehnya sang putri tidak
begitu senang dengan kemenangan tersebut seperti saat ia mengalahkan Pangeran Kua di pertandingan sebelumnya.
Setelah menjabat tangan Pranot untuk mengucapkan selamat, Putri Anil langsung berjalan kembali ke tempat
duduknya di sebelah Lady Pin. Saat ini, Pangeran Kua yang sama sekali tidak menyadari apapun sedang menduduki
posisinya.
"Khun Kua..." kata Putri Anilaphat dingin.

"Yang Mulia..." jawab Khun Kua dengan hormat.

"Aku ingin duduk di sini. Silakan cari tempat duduk lain." Ekspresi tenang Putri Anilaphat membuat Khun Kua
tidak berani melawannya.

"Maafkan aku, Tuan Putri." Pangeran Kua berbicara dengan suara gemetar, lalu dengan cepat berpindah tempat
duduk.

"Minumlah..." Melihat wajah Putri Anil yang cantik berkeringat usai pertandingan tenis, Lady Pin memberikan
segelas teh melati kepada Putri Anilaphat.

"Terima kasih, Khun Pin."

Sungguh mengejutkan bahwa hanya dengan kalimat sederhana seperti itu, kekesalan Lady Pin sepanjang hari
menghilang di hatinya seperti sihir.

Kemudian, dalam situasi di mana Putri Anil sama sekali tidak menyadarinya, suasana Lady Pin tiba-tiba kembali
normal.

Karena pertandingan hari ini berakhir dengan kemenangan tim tuan rumah, Pangeran Anan berbicara kepada Putri
Anil sebagai persetujuan.

"Jika Anil bermain begitu serius, tanpa menahan diri sama sekali, aku khawatir akan sulit menemukan lawan yang
bisa menandingimu."

"Kali ini semua orang kalah dari Putri Anil, jadi lain kali mungkin tidak ada yang mau bertarung lagi dengannya.
Bukankah begitu, Pangeran Kua?" Mata Putri Anil yang gelap, panjang dan sipit menatap tajam ke arah Pangeran
Kua. Saat ini, Pangeran Kua hanya menundukkan kepalanya dengan sopan.

"Aku harus berlatih keras untuk bisa bersaing dengan Yang Mulia Putri."

"Khun Kua pasti senang, karena dia masih memiliki kesempatan untuk menyentuh bola. Kalau aku, aku hanya
memegang raket di ujung lapangan, bahkan tidak memiliki kesempatan untuk memukul bola."

Ucapan Pranot masih menimbulkan gelak tawa seluruh tim seperti biasanya. Saat itulah Mae Phin dan P'Koi
meletakkan Som Chun yang disiapkan oleh Putri Padmika di atas meja di halaman.

"Memakan Som Chun yang dibuat oleh Putri Padmika benar-benar hal yang membahagiakan."

Pangeran Anon menatap ke mangkok kristal berisi Som Chun di dalamnya. Leci segar, rambutan, dan kelengkeng
direndam dalam air gula melati dingin, di atasnya diberi sedikit jahe, bawang goreng, dan daun kuning. Sang
pangeran tidak bisa tidak mengaguminya.

"Ah, enak sekali." Pangeran Anantawut tersenyum bahagia setelah menggigit Som Chun.

"Wadi sangat menyukainya," kata Putri Parvati.

"Aku dengar Lady Pin sangat pandai membuat maprang." Kata Pangeran Anon dengan tenang setelah memakan
beberapa potong Som Chun.

"Benar, aku juga pernah mendengarnya." Pangeran tertua membenarkan perkataan adiknya.

"Terima kasih atas pujiannya, Yang Mulia." Lady Pilantita berkata lalu menundukkan kepalanya dan menatap
kakinya seperti biasa.

"Aku juga ingin mencicipi keahlianmu. Kapan kamu akan membuat Maprang lagi agar aku punya kesempatan untuk
mencobanya?" kata Khun Kua memanfaatkan kesempatan itu untuk berbicara dan menatap Lady Pin dengan
pandangan penuh harap.

"Yang Mulia Kua, tidak perlu menunggu. Aku jarang sekali membuatnya. Meskipun terkadang aku membuatkannya
untukmu, tapi jarang sekali." Lady Pin berkata dengan dingin, menyebabkan Khun Kua tidak bisa berbuat apa-apa
selain memalingkan wajahnya dengan canggung.

"Uhuk! Uhuk!" Saat mendengar Lady Pin mengatakan ini pada Pangeran Kua, Prik tersedak Som Chun yang
diberikan Putri Anil padanya.

"Makan pelan-pelan Prik. Lihat, kamu tersedak." Kata Putri Anilaphat sambil tersenyum penuh arti pada Prik.

"Ya, Tuan Putri." Prik menjawab dengan gugup. Dia melihat mata tuannya yang berbinar.

"Apa Lady Pin hanya kadang-kadang membuatkannya untukmu? Sayang sekali. Aku juga ingin makan Maprang
buatan Lady Pin. Sudah lama aku tidak makan dan aku sangat ingin memakannya." Putri Anilaphat berbicara
dengan suara merdu.

Lady Pin mengangkat kepalanya dan bertemu dengan mata Putri Anilaphat yang gelap dan cerah. Mata itu penuh
permohonan. Hal ini membuatnya secara tidak sengaja menjawab dengan suara yang lembut dan manis.

"Kalau Putri Anil ingin makan Maprang, aku akan menyiapkannya dan mengantarkannya besok pagi."

Mendengar itu, Putri Anilaphat tersenyum semakin manis ke arah Lady Pin. Sambil terus makan Som Chun, Prik
berpikir...

Ya ampun...

Ada apa dengan pasangan ini?

Yang satu licik...

Yang satu sukamenyangkal...

~Bersambung~
BAB 17

Jangan lupa buat vote (⭐) ya!

Hujan Sepanjang Waktu (Ciuman Pertama)

"Kenapa Anil mau membiarkan Prik ke Mueang Kanchanaburi bersama Bibi Padmika?"

Catatan : Mueang Kanchanaburi adalah sebuah distrik di Thailand Tengah.

Hari sudah gelap, di luar sedang hujan deras. Begitu Lady Pin memasuki Istana Pinus, dia tidak sabar untuk bertanya
pada Putri Anilaphat.

"Jadi kenapa Prik tidak boleh ikut dengan Bibi?"

Putri Anilaphat sedang duduk di sofa di depan balkon sambil membaca buku. Dia mengangkat kepalanya untuk
melihat wajah cantik Lady Pilantita yang penuh kekhawatiran.

"Um... Kalau Prik tidak ada, apa Anil tidak akan kesulitan? Prik adalah satu-satunya pelayan di Istana Pinus, Anil."
Alis Lady Pin yang panjang dan indah mengernyit, "Kalau Prik tidak ada di sini, siapa yang akan menjaga Anil?"

"Itu bukan masalah." Putri Anilaphat tersenyum dan berkata. "Sebenarnya... aku lebih suka melakukan semuanya
sendiri."

"Tetapi......"

"Khun Pin, jangan lupa bahwa aku ini belajar di luar negeri. Aku tidak punya pelayan di sana. Jadi aku sudah lama
terbiasa melakukan semuanya sendiri. Lagi pula, Prik hanya akan pergi ke pesta pernikahan seorang teman, dia akan
kembali beberapa hari kemudian. Selama ini Prik tidak pernah meninggalkan istana. Bukankah baik baginya untuk
pergi keluar dan melihat kehidupan di luar? Lihat, semua pelayan di Istana Bua sibuk dengan pekerjaannya masing-
masing. Hanya Prik yang bosan dan hanya berkeliling istana sepanjang hari. Menurutku meminta Prik menemani
Bibi Pad bukanlah ide yang buruk."

Putri Anilaphat berbicara dengan jelas dan masuk akal, pada dasarnya tidak memberikan kesempatan kepada Lady
Pin untuk menyela dan membantah. Namun bibir Lady Pin masih mengerucut, menunjukkan ketidaksetujuan.

"Aku tidak ingin orang lain yang menjagaku."

"..."

"Aku hanya ingin Khun Pin yang menjagaku..."

Putri Anilaphat berkata sambil tersenyum cerah. Lady Pin sekarang menghindari pandangannya dan memandang ke
luar jendela.

"Aku tidak bisa menemani Anil siang dan malam." Lady Pin berbisik.

"Ini tidak sulit."

"..."

"Khun Pin, menginaplah di sini bersamaku."

Mata sipit dan hitam itu berbinar, membuat Lady Pin gelisah.
Ketika Putri Anilaphat masih remaja, ia sudah sangat sulit untuk dimengerti jalan pikirannya... seiring bertambahnya
usia, dia tampaknya semakin pintar merayu.

"Apa camilan sore hari ini?" Melihat Lady Pin tidak menjawabnya, Putri Anilaphat mengubah topik pembicaraan.

"Kue scone. Beberapa hari yang lalu, aku mendengar Anil mengatakan ingin makan kue scone dengan teh hangat.
Aku segera pergi untuk meminta P'Chuen membantu membuatkannya untuk Anil."

Suara Lady Pin merdu dan ceria. Dia dengan hati-hati meletakkan beberapa kue scone kecoklatan di atas nampan
dan teko di atas meja teh.

"Kamu tahu... memiliki seseorang seperti Khun Pin dalam hidupku saja sudah cukup." Putri Anil berkata sambil
tersenyum. Lady Pin hanya melebarkan mata dan memandangnya.

"Jika itu benar......"

"..."

"Mulai sekarang, aku tidak ingin melihat..."

"..."

"Anil memandang orang lain selain aku."

"..."

Kalimat sederhana yang penuh ancaman, diiringi tatapan mata Lady Pin yang tenang namun tajam, sungguh
menakutkan. Hal ini membuat Putri Anilaphat menggigil, seolah darah di sekujur tubuhnya serasa menjadi dingin
hingga ke tulang.

Keadaan berubah, kali ini sang putri yang memalingkan muka menghindari kontak mata...

Putri Anil mengambil secangkir teh panas dan menyesapnya. Kemudian ia mengambil kue scone, memotongnya
dari tengah, dan meletakkannya di piring.

Kemudian dia mengambil pisau selai untuk mengambil selai buah dari mangkuk dan mengoleskannya di atas kue
scone. Terakhir, dia oleskan selapis selai mentega pada selai buah. Dia mengulangi ini dua kali, lalu meletakkan
scone di piring Lady Pin dan tersenyum padanya.

"Terima kasih, Anil."

Lady Pin tiba-tiba tersipu. Walaupun ia sudah terbiasa dikejar dan diperhatikan oleh banyak laki-laki, tak ada yang
bisa membuatnya merasa sehangat sekarang. Meski hanya menerima kue scone yang diolesi selai buah dan mentega.

Mungkin itu sebabnya kue scone ini enak sekali.

Dia melihat Putri Anil telah menyiapkan beberapa kue scone lagi untuknya.

Scone ini sepertinya lebih manis dari yang sebelumnya...

Tapi itu bukan karena selai buahnya.

Mereka berdua hanya duduk diam sambil makan kue scone dan minum teh, tanpa mengatakan apa-apa. Mata
mereka memandang ke arah tetesan air hujan yang jatuh di luar jendela. Sepertinya hujan yang turun di waktu yang
tidak tepat, membuat suasana sekitar terasa lebih sepi dari sebelumnya.

"Hari ini hujan seharian. Aku benar-benar tidak ingin Lady Pin kembali ke Istana Bua." Setelah minum teh sore
yang panjang berlalu, Putri Anilaphat berbicara ketika dia melihat Lady Pin bersiap berangkat untuk kembali ke
Istana Bua.
"Tapi......"

Darrr!!!

Sebelum Lady Pin menyelesaikan kata-katanya, dia mendengar suara guntur yang membuat seluruh tubuhnya
gemetar. Melihat itu, Putri Anilaphat segera mengulurkan tangan dan dengan hati-hati memeluk tubuh kurusnya ke
dalam pelukannya.

"Jangan takut, Lady Pin." Putri Anilaphat membelai lembut rambut hitam Lady Pin. Setelah beberapa saat, tubuh
Lady Pin menjadi sedikit tenang. "Ternyata Lady Pin masih takut dengan petir seperti saat masih kecil."

"..."

Lady Pilantita tidak keberatan, bahkan tidak menanggapi perkataan Putri Anilaphat. Tetapi ketika dia mendengar
guntur berikutnya, dia memeluk erat pinggang ramping Putri Anilaphat dan mendekat. Setelah guntur, hujan turun
deras. Pemandangan di luar jendela kini menjadi suram karena tertutup hujan.

"Sepertinya Lady Pin tidak akan bisa kembali untuk sementara waktu." Kata Putri Anilaphat sambil meraih tangan
Lady Pin dan duduk di sofa depan perapian, lalu dengan lembut menggenggam tangannya.

Tanpa sadar... Lady Pin mendekat sedikit ke arah Putri Anilaphat, merasakan kehangatan di tubuhnya. Suara hujan
deras yang terus menerus membuat hatinya terasa dingin.

Mungkin karena dia teringat beberapa peristiwa masa lalu yang telah berdebu dalam ingatan.

Orang tuanya meninggal di hari penuh badai dan hujan seperti ini...

Kapal itu tenggelam pada hari dimana guntur dan kilat terus menerus seperti ini...

"Aku harus kembali dan menyiapkan makan malam untuk Anil. Tapi aku harus menunggu sampai hujan reda." Lady
Pin berbicara dengan suara lemah.

"Khun Pin selalu ingin melakukan segalanya untukku." Sang putri tersenyum dan berkata: "Istirahat saja hari ini.
Jika Khun Pin lapar, aku akan membuatkan salad dan sup wortel. Kita akan memakannya dengan roti."
"Anil tahu cara membuatnya?" Mata coklat besar Lady Pin memandangnya, sedikit terkejut.

"Aku tahu, tapi hanya sekedar untuk mengisi perutku." Ucap Putri Anil sambil tersenyum, memperlihatkan lesung
pipit di pipinya. Senyumannya begitu cerah sehingga Lady Pin pun tersenyum bahagia.

"Kamu sudah tidak takut lagi dengan guntur, kan?" Suara sang putri lembut, penuh kelembutan. Namun tangannya
yang membelai punggung tangan putih ramping Lady Pin bahkan lebih lembut.

"Um... jauh lebih baik."

"Bagus kalau begitu."

"Tapi... aku masih ingin tetap seperti ini lebih lama lagi."

Ketika Lady Pin mengatakan dia 'jauh lebih baik', sang Putri hendak melepaskan tangannya dari punggung tangan
Lady Pin, tetapi Lady Pin berbicara dengan suara yang manis.

"Aku tahu."

Putri Anilaphat tersenyum seperti biasa, lalu menggerakkan tubuhnya agar keduanya semakin berdekatan.

Lady Pin secara alami menyandarkan kepalanya di bahu Putri Anil. Ketakutan dan rasa dingin yang menyelimuti
hatinya barusan tiba-tiba menghilang, seolah belum pernah muncul sebelumnya.

Lady Pin memejamkan mata dan menenangkan diri. Aroma tubuh sang putri yang dalam serta suara ritmis tetesan
air hujan yang menerpa atap bercampur menjadi satu membuatnya tertidur.

Bahkan dalam mimpinya, Lady Pin melihat dirinya terbaring di atas awan dan di kelilingi padang bunga yang
berwarna-warni dan harum. Putri Anilaphat juga berbaring di sampingnya sambil memegang tangannya erat-erat.

Ini mungkin alasan mengapa Lady Pin memiliki wajah tidur yang manis. Karena dalam mimpinya, sudut bibirnya
selalu tersenyum.

Hujan terus turun. Saat Lady Pin terbangun dari mimpinya, hari sudah gelap gulita. Dia menyadari dia sedang
bersandar pada bantal besar, bukan di bahu sang putri. Tubuhnya ditutupi dengan selimut abu-abu yang tidak terlalu
tipis, warnanya sama dengan sofa favoritnya di dekat jendela. Pemutar musik yang diletakkan di rak sebelah
perapian sedang memutar musik asing. Aroma makanan yang tercium dari dapur membuatnya merasa lapar.

Lady Pin segera berdiri dari sofa dengan ekspresi sedikit malu. Dia awalnya bertanggung jawab untuk merawat Putri
Anilaphat, tetapi dia malah tertidur dan akhirnya membiarkan Putri Anilaphat merawatnya.

"Khun Pin, apa kamu sudah bangun?" tanya Putri Anilaphat kepada Lady Pin yang masih mengantuk, "Aku sudah
menyiapkan makan malam. Khun Pin, cuci muka lalu kemari untuk makan malam."

"Maaf, Anil." Lady Pin tampak seperti akan menangis.

"Maaf untuk apa?"

"Aku ketiduran... dan menjadi beban untuk Anil." Bibir indah Lady Pin terkulai melengkung pahit.

"Beban bagaimana? Hujannya deras sekali, bagaimana aku bisa membiarkan Khun Pin berjalan kembali ke Istana
Bua? Lagipula aku bilang aku akan memasak untuk Khun Pin. Biar aku sedikit memamerkan kemampuan
memasakku."

"Baiklah."

Lady Pin hanya menjawab singkat namun mendengarkan setiap perkataan Anil. Ia berdiri, membasuh muka, dan
menata rambutnya yang berantakan agar halus dan indah seperti biasanya. Dia berada di kamar mandi untuk waktu
yang lama. Ketika dia keluar, dia melihat semuanya sudah siap di atas meja.
Ada salad di atas meja dengan selada dan dada ayam yang ditaburi saus cuka. Di sebelahnya ada semangkuk sup
wortel panas, disajikan dengan irisan roti panggang Perancis seukuran kecil-kecil. Karena takut makanan tidak
cukup, sebuah keranjang diletakkan di tengah meja, berisi segala jenis roti dan mentega tawar di dalamnya.

"Kelihatannya enak," kata Lady Pin sambil tersenyum manis pada Putri Anilaphat.

"Apakah cukup untukmu? Itu semua hanya hidangan sederhana."

"Cukup. Aku tidak makan banyak di malam hari."

Setelah mendengar ini, Putri Anilaphat hanya tersenyum, tidak berkata apa-apa lagi, dan diam-diam memakan
makan malam yang dia masak sendiri. Lady Pin terus memuji kelezatan hidangan di hadapannya. Dari kecil hingga
dewasa, Lady Pin selalu mendambakan ada seseorang yang menjaganya seperti ini.

Lihatlah Pin... Hari ini kamu datang ke sini untuk merawat Putri Anilaphat. Tapi sejak kamu memasuki gerbang
sampai sekarang, sebaliknya, sang putri selalu menjagamu. Itu sungguh memalukan.

Setelah makan malam, Lady Pin menawarkan mencuci piring untuk menghilangkan rasa bersalahnya. Meski Putri
Anilaphat bersikeras untuk membantu, namun sikap Lady Pin begitu keras kepala sehingga sang putri tidak berani
berkata apa pun.

Malam tiba namun hujan masih deras. Kalau begitu, tidak mungkin berjalan dari Istana Pinus kembali ke Istana Bua
dengan membawa payung. Atas desakan Putri Anilaphat, Lady Pin akhirnya memutuskan untuk bermalam di Istana
Pinus. Katanya, kamar tidur Istana Pinus sangat nyaman. Putri Anil bilang Prik tidak ada di sini malam ini, dia
sedikit takut pada hal-hal yang tidak terlihat. Meskipun Lady Pin belum pernah melihatnya takut pada apapun...

Seseorang takut pada hantu, tapi juga berpura-pura menjadi hantu untuk menakut-nakuti orang. Dua Orang yang
berlawanan. Mungkin tidak banyak orang di dunia ini yang bisa menemukan perempuan seperti Putri Anilaphat.

Meskipun sebenarnya Lady Pin tahu kalau dia telah jatuh ke dalam perangkap yang dibuat dengan hati-hati oleh
orang licik ini, Lady Pin tetap dengan sukarela melompat ke dalamnya.

Setelah mandi, dia mengganti piyama yang disiapkan oleh Putri Anilaphat untuknya. Lady Pin memperhatikan
cahaya redup di langit-langit yang kini menerangi seluruh ruang tamu. Putri Anilaphat juga telah selesai mandi dan
masih dengan santai menunggunya di sofa depan perapian. Cahaya kuning lembut berkedip-kedip di depan perapian,
memberikan perasaan hangat yang benar-benar berbeda dari siang hari.

"Sudah malam... Anil, kamu belum tidur?" Lady Pin berkata sambil berjalan mendekat dan duduk di sofa yang
sama. Ia duduk sangat dekat, bahunya berada di sebelah bahu sang putri.

"Jangan tidur dulu. Khun Pin sudah setuju untuk menginap bersamaku jadi aku belum mau tidur. Aku ingin bicara
dengan Khun Pin sepanjang waktu."

Mata Putri Anilaphat yang berbinar membuat Lady Pin menggigit bibirnya. Dia menundukkan kepalanya dan
menatap kakinya.

"Bicara tentang apa? Bukankah kita sudah ngobrol seharian hari ini?"

"Mari kita bicara tentang mimpi. Khun Pin tidur sepanjang hari hari ini." Putri Anil terus tertawa, sampai Lady Pin
mengangkat kepalanya sedikit denfan marah dan menatap matanya... Putri Anilaphat menjadi tenang dan tersenyum
sedikit.
"Anil, berhenti menggodaku." Matanya yang berkilat marah tiba-tiba berubah memohon seperti rusa betina. Hal ini
mengejutkan Putri Anilaphat.

"Aku tidak akan mengatakannya lagi. Lagi pula, aku masih ingin berbicara dan bermain dengan Khun Pin sebentar.
Tapi, apakah Khun Pin, sudah mengantuk?"

Saat Putri Anilaphat berbicara, dia meraih tangan Lady Pilantita dan dengan lembut mengusap punggung tangannya.
Dia berpikir...selama Lady Pin tidak keberatan.

Sang putri berhak memegang tangan kecil dan halus Lady Pin dan bermain dengannya sepanjang malam.

"Belum... Mungkin karena aku terlalu banyak tidur seperti yang dikatakan Anil." Kali ini, Lady Pin tersenyum
bahagia. "Aku tidak mengantuk sama sekali sekarang."

"Kalau begitu, mari kita duduk di sini sebentar."

"Baik." Jawab Pilantita singkat.

Matanya beralih memandang ke arah tangan Putri Anil yang diletakkan di punggung tangannya.

Dia ingin menanyakan sesuatu pada Putri Anilaphat tetapi ia tidak tahu apakah itu pantas atau tidak.

Lady Pin masih gelisah. Sambil memandangi punggung tangannya, ia bertanya pada sang putri dengan suara pelan.

"Khun Pranot adalah sahabat Pangeran Kedua, kenapa dia terlihat lebih dekat dengan Anil?"

"Hmm..." Putri Anilaphat mengangkat alisnya bingung. "Mengapa Lady Pin menanyakan hal ini?"

"Aku hanya ingin tahu... Apa sebenarnya niat Khun Pranot pada Anil?

"Pranot adalah sahabatku..." Anil berkata sambil tersenyum, "Saat aku belajar diluar negeri, kakakku Anon
memintanya untuk menjagaku. Jadi, dia sudah seperti saudara bagiku." Namun karena kepribadiannya yang ramah,
humoris dan suka bicara, dia lebih seperti sahabat daripada kakak laki-laki."

"Benarkah?"

Lady Pin memandang Putri Anil dengan tatapan mata yang tak terduga.

"Sungguh. Mana mungkin Anil berbohong pada Khun Pin?"

"Hari itu aku melihat Khun Pranot mencium Anil." Mengatakan demikian, wajah cantik Pilantita tiba-tiba menjadi
suram.

"Cium? Dimana? Kapan? Kenapa aku tidak ingat?" Putri Anilaphat membuka panik dan membuka matanya lebar-
lebar karena terkejut.

"Dia mencium punggung tangan Anil. Saat itu hari bermain tenis, Khun Pranot membawanya pulang." Lady Pin
mengerutkan kening, seolah mengingat kenangan yang tidak menyenangkan itu...

Lady Pin sendiri tidak ingin mengingatnya dengan jelas...

"Oh, itu ciuman tangan." Putri Anil tersenyum dan berkata: "Pranot suka menggodaku, mengatakan aku seorang
putri, jadi meniru etika Barat, dia mencium punggung tanganku."

"Tapi ciuman tetaplah ciuman." Suara Lady Pin sedikit bergetar.

"Siapa bilang ciuman adalah ciuman?" Putri Anilaphat pura-pura tidak mengerti. Dia mengangkat tangan Lady Pin,
dengan lembut mencium punggung tangannya dan menatapnya.
"Sebenarnya, ada banyak jenis ciuman dan banyak arti yang berbeda."

Wajah Lady Pin terasa panas seperti sedang demam. Pilihan terbaik saat ini adalah segera menarik tangannya.
Namun dia memilih diam, membiarkan tangannya bertumpu sepenuhnya pada tangan orang di depannya.

"Ini namanya ciuman tangan. Untuk menunjukkan rasa saling menghormati," kata sang Putri. Dia membungkuk dan
mencium punggung tangan Lady Pin lagi, tapi kali ini lebih lembut dari sebelumnya.

Saat Lady Pin melihat sang putri mendekat padanya, jantungnya mulai berdebar kencang. Piyama putih longgar sang
putri mulai terlepas, memperlihatkan kulit putih dan mulusnya.

Tanpa disangka... sang putri perlahan mendekatkan wajahnya ke Lady Pin, begitu dekat hingga tanpa sadar dia
menahan napas. Ketika sang putri berkedip beberapa kali, Lady Pin merasakan pipinya memerah.

Emosi menggoda seperti ini membuat Lady Pin merasakan kegembiraan luar biasa. Namun Lady Pin hanya bisa
menggigit bibirnya erat-erat, hampir mengeluarkan darah.

"Ini namanya ciuman kupu-kupu, sering digunakan untuk menggoda anak-anak." Kata Putri Anil sambil
menggunakan hidungnya untuk membelai pipi Lady Pin. Sekarang Lady Pin seperti patung, seluruh tubuhnya tidak
bisa bergerak.

Akhirnya, bibir Putri Anilaphat mendarat di bibir Lady Pin. Lalu dia berbicara dengan lembut.

"Ini namanya ciuman bibir. Bisa untuk mengungkapkan rasa cinta, atau sebagai sapaan antar teman dekat (pacar)."

Lady Pin merasa air liur di tenggorokannya terlalu kental dan tidak bisa ditelan. Meskipun dia tahu situasi yang
dihadapi begitu serius sehingga antara dia dan sang putri haus ada seseorang yang segera berdiri untuk
menghentikannya.

Namun Putri Anilaphat tidak menunjukkan tanda-tanda akan berhenti... dan Lady Pin sendiri tidak menunjukkan
tanda-tanda protes atau perlawanan.

Jadi permainan licik seseorang terus berlanjut...


Wajah cantik itu kini bergerak sedikit untuk menatap matanya. Mata gelap dan manis itu memabukkan, menatap
luruske arahnya dengan penuh cinta. Jari-jari Putri Anilaphat dengan lembut membelai bibir bawahnya seolah-olah
disihir. Hanya begitu saja Lady Pin seakan terjebak dalam pusaran hasrat, ia tak mampu melepaskan diri.

Hingga Putri Anilaphat mencium bibirnya... Dia baru sadar...

Ciuman itu begitu dalam dan penuh gairah hingga jantungnya hampir berhenti berdetak. Ujung lidah panas sang
putri menyentuh ujung lidahnya. Aroma manis masih melekat di langit-lamgit mulutnya...

Bercampur dengan pikiran yang hancur...

Bercampur dengan nafas terengah-engah...

Jantung Lady Pin hampir berhenti berdetak ketika Putri Anilaphat menarik kembali bibirnya, ia berbisik pelan di
telinganya.

"Itu disebut ciuman Prancis."

"..."

"Hanya digunakan untuk mengungkapkan hasrat kepada kekasih."

~Bersambung~
BAB 18

Jangan lupa vote (⭐) dulu ya

Hujan Masih Turun Sepanjang Waktu

Hujan masih turun tak henti-hentinya... Hari masih belum subuh, Lady Pin bersikeras berjalan kembali ke Istana
Bua di tengah hujan. Dia berkata bahwa dia harus kembali dan mengurus beberapa hal untuk menyiapkan makanan
dan minuman untuk Putri Anilaphat.

Awalnya, sang putri sangat keberatan. Namun melihat Lady Pin bersikeras untuk pergi, Putri Anilaphat tidak
menghentikannya lagi.

"Biarkan aku membawakan payung untuk mengantar Khun Pin pergi." Kata Putri Anilaphat sambil mengambil
payung hitam besar dari tempat payung di belakang pintu ruang tamu dan bersiap untuk keluar.

"Aku bisa pergi sendiri, Tidak perlu merepotkan Anil." Lady Pin menundukkan kepalanya. Bibirnya terkatup rapat
membentuk garis lurus.

Putri Anilaphat mengangkat kepalanya dan mengerutkan kening. Matanya yang berbinar cerah menatap Lady Pin
sambil berpikir. Akhirnya dia hanya menghela nafas pelan dan berhenti berdebat.

"Kalau begitu, bolehkah aku mengantarmu ke balkon?" Saat ini, suara lembut sang putri seperti bisikan gerimis.
Lady Pin secara tidak sengaja menatap mata memohon sang putri, dan untuk sesaat, dia segera menghindarinya.

"Baik."

Putri Anilaphat tersenyum lembut, namun senyumannya terlihat lelah. Kemudian, Lady Pin berjalan menuju pintu
ruang tamu yang terhubung dengan balkon. Begitu dia membuka pintu, air hujan memercik ke wajahnya. Rasa
dingin menyerbu tubuh kurus Lady Pin. Dia tidak bisa menahan diri untuk tidak mengangkat tangan dan menggosok
lengannya, mencoba menghangatkan tubuhnya.

Putri Anilaphat membuka payung dan dengan hati-hati menyerahkannya ke tangan Lady Pin. Lady Pin mengangkat
kepalanya dan menatap mata sang putri yang tajam dan khawatir. Dia menatap sejenak, lalu tanpa sadar menatap
bibirnya.

"Khun Pin, hati-hati, jangan sampai terpeleset."

"Baiklah... Anil sebaiknya segera masuk ke istana. Kalau kehujanan, aku takut Anil sakit."

"Aku ingin menunggu Khun Pin kembali ke Istana Bua dulu. Setelah kamu sampai, aku akan masuk..."

"Anil keras kepala sekali..."

"..."

Melihat Putri Anil benar-benar tidak berniat kembali duluan, Lady Pin memutuskan untuk tidak menoleh ke
belakang ke arah sang putri melainkan bergegas kembali ke Istana Bua.

Sang putri duduk di kursi kayu nila yang seolah menyatu dengan warna balkon. Dia tampak bingung melihat sosok
kurus dan cantik yang berjalan cepat di jalan yang basah karena hujan. Sesaat kemudian, sosok itu menghilang
dibalik tembok Istana Bua.

Sosok Lady Pin telah menghilang... Namun Putri Anilaphat hanya meregangkan tubuhnya, masih duduk di kursi
tanpa bergerak. Wajah cantiknya tenggelam dalam pikirannya.

Tampaknya ciuman penuh gairah tadi malam sepertinya memberikan pengaruh yang kuat pada Lady Pin...

Pikiran sang putri masih teringat ekspresi terkejut di wajahnya tadi malam saat Lady Pin menarik diri dari ciuman
itu dan meninggalkan bibir lembut Lady Pin.

"Aku mau tidur dulu."

Begitu Lady Pin tersadar, dia langsung berdiri lalu segera lari dan menghilang ke ruang tamu. Suara pintu yang
tertutup terdengar seolah-olah dengan keras menyatakan bahwa dia tidak ingin membiarkan siapapun masuk ke
dunianya.

Hingga saat ini, suara pintu ditutup itu masih terngiang-ngiang di benak Putri Anilaphat.

Pada akhirnya, dimana letak salahku?

Atau, setelah bertahun-tahun berlalu, perasaan Lady Pin yang selama ini digenggamnya seperti bola kristal ternyata
rapuh, pecah seperti gelembung sabun. Yang akan hilang tanpa bekas hanya dengan hembusan angin.

Apakah hanya Putri Anilaphat yang merasa seperti ini...

Hujan tak juga berhenti... Putri Anilaphat masih duduk disana hingga larut malam.

----------

"Putri Anil, Lady Pin meminta Phin untuk membawakan sarapan untuk sang putri."

Putri Anilaphat mengangkat alisnya bingung, bertanya-tanya mengapa yang mengantarkan sarapan hari ini adalah
Mae Phin, pelayan Istana Bua, bukan Lady Pin seperti biasanya.

"Mae Phin, di mana Khun Pin?"

Mendengar suaranya yang serius dan dingin, Mae Phin segera meletakkan nampan di meja tengah dan berlutut. Dia
belum pernah melihat ekspresi tidak sabar seperti itu di wajah Putri Anilaphat.

"Di Istana Bua, Tuan Putri."

"Mengapa bukan Lady Pin yang membawakan makanannya sendiri? Apa dia mempunyai tugas lain?"

"Tidak punya..." Mae Phin menjawab dengan jujur.

"Atau jangan-jangan Lady Pin jatuh sakit karena kehujanan?"

"Lady Pin sangat sehat. Semua hidangan ini disiapkan oleh Lady Pin sendiri untuk sang putri."

Senyuman polos Mae Phin justru melukai hati sang putri, membuatnya semakin khawatir dengan kejadian tadi
malam.

"Mae Phin, siapkan saja sarapannya di meja. Aku akan makan nanti."

"Ya, Tuan Putri"

"Terima kasih." Putri Anilaphat berkata kepada Mae Phin, tapi dia masih tampak bingung. Ia memandang ke arah
jendela hijau di kamar tidur Lady Pin.

Ketika dia melihat jendela itu... tertutup, dia menghela nafas dalam-dalam.

Mungkin suasana hati Lady Pin juga demikian.


"Lady Pin memintaku untuk menyampaikan pesannya kepada Tuan Putri. Tidak nyaman baginya untuk turun
menemui sang putri."

Suara P'Koi, pelayan pribadi Putri Padmika terdengar ragu dan tertekan, ia harus menuruti perintah Lady Pin.
Meskipun Putri Anilaphat pergi ke Istana Bua untuk menemui Lady Pin, dia tetap menolak untuk turun menemui
Putri Anilaphat tidak peduli seberapa keras P'Koi mencoba membujuknya.

"Sungguh?..."

Putri Anilaphat berusaha menekan rasa sakit yang pahit di hatinya. Hari ini, sang putri kembali ditolak oleh Lady
Pin. Dia memaksakan senyum pada P'Koi dan berbicara dengan suara yang sangat lembut.

"Terima kasih P'Koi sudah memberitahu Lady Pin. Aku akan datang menemuimu lagi nanti."

P'Koi merasa sangat tidak nyaman setelah mendengarnya. Dia merasa kasihan pada Putri Anilaphat.

Menjelang sore... Masih Mae Phin yang datang ke Istana Pinus membawa makanan ringan. Kali ini Putri Anilaphat
hanya melirik pangsit yang ada di piring, tanpa mengatakan apa pun.

Setelah Mae Phin pergi, Putri Anilaphat kembali ke balkon, duduk di kursi kayu lagi dan memandang ke luar
jendela kamar Lady Pin, seperti dia sudah menghabiskan waktu seharian melakukan ini.

Bedanya kali ini jendelanya setengah terbuka. Dia bisa melihat lampu kuning di dalam rumah memancarkan cahaya
lembut melalui tirai berwarna putih yang berkibar tertiup angin.

Namun ketika Putri Anilaphat mengangkat kepalanya, dia ingin mencoba mencari siluet Lady Pin.

Jendela itu tiba-tiba tertutup...

...Tertutup, membawa rasa dingin menyengat di hati Putri Anil, ketidakpedulian yang kejam. Perasaan menakutkan
menyelimuti hati Putri Anil, membuatnya seperti tidak memiliki harapan.

Bagi Putri Anilaphat, apa yang dilakukan Lady Pin bukan hanya sekadar menghindar...

Dia seolah mengabaikan dan membuang semua cinta yang dimiliki Putri Anil selama bertahun-tahun, benar-benar
menghilang begitu saja.

Sang putri masih menatap kosong ke arah cahaya yang datang dari celah jendela. Tetesan air hujan terus menerpa
tubuhnya yang rapuh, dia tetap tak bergerak seperti patung.

----------

Ini sudah larut malam... Putri Anilaphat masih duduk sendirian di sofa berwarna abu-abu di sebelah jendela. Dia
fokus membuat sketsa sosok gadis cantik itu di atas kertas. Sebelumnya, Putri Anil juga menggunakan cara ini untuk
menenangkan kerinduannya terhadap Lady Pin. Karena saat itu jarak mereka terlalu jauh untuk bertemu satu sama
lain.

Bahkan dalam mimpinya, ia merasa begitu dekat. Namun kenyataannya mereka dipisahkan oleh laut dan
cakrawala...

Selama ini Putri Anilaphat hanya bisa mencari bayangan Lady Pin dalam ingatannya, lalu mau tidak mau
mendeskripsikan sosok Lady Pin untuk mengungkapkan Perasaannya.

Sayangnya, lukisan tersebut hanyalah sebuah lukisan. Tidak peduli seberapa miripnya sketsa ini dengan Lady Pin...
ia tetap tidak memiliki daging dan darah, dan tidak ada perasaan apa pun saat di sentuh.

Air mata mulai jatuh lagi, seperti tetesan air hujan. Ia membasahi kertas gambar itu sehingga membuat lukisannya
menjadi buram, seolah-olah tidak pernah ada.
Putri Anilaphat hanya bisa menyeka kertas gambar yang basah itu dengan tangannya yang gemetar. Sampai
akhirnya, dia tak tahan dan menutupi wajahnya dengan kedua tangannya agar bisa menahan isak tangisnya dan
tubuhnya yang gemetar.

Sampai matahari terbit di hari baru... Air matanya mulai mengering secara bertahap.

----------

"Mae Phin."

Lady Pin sama sekali tidak senang menatap nampan sarapan hari ini, makanan di piring sepertinya tidak berkurang
sama sekali. Jadi dia memanggil Mae Phin untuk datang.

"Ya, Lady Pin."

"Apakah Mae Phin tidak mengantarkan sarapan untuk Istana Pinus? Kenapa sepertinya tidak ada yang berkurang?"
Lady Pin mengerutkan kening dan bertanya. Matanya yang besar dan bulat memperlihatkan tatapan tajam, membuat
Mae Phin tidak berani menatap matanya.

"Putri Anil menyuruhku membawa makanan ini kembali, aku tidak berani melanggar perintahnya."

"Apa Mae Phin mendengarkan apa yang dikatakan sang putri? Apa dia bilang dia ingin makan sesuatu yang lain?"
Ekspresi Lady Pin terlihat sangat tidak sabar, membuat Mae Phin semakin khawatir.

"Tuan Putri tidak mengatakan apapun."

"Atau Mae Phin, tidak mau memberitahuku?" Lady Pin bertanya.

"Sebenarnya aku bertanya, tapi sang putri hanya menggelengkan kepalanya dan tidak berkata apa-apa."

Wajah Lady Pin tiba-tiba menjadi pucat. Dia tampak bingung melihat makanan di nampan, lalu berbisik setelah
beberapa saat. Suaranya begitu pelan sehingga Mae Phin harus menajamkan telinganya untuk mendengarnya.

"Malam ini, aku akan membuatkan beberapa makanan kesukaan sang putri, seperti daging babi, lalu Mae Phin akan
membawakannya untuk Putri Anil."

"Ya, Lady Pin."

"Kalau begitu beritahu sang putri..."

"..."

"Aku akan melakukan yang terbaik."

Langit berangsur-angsur menjadi gelap, tapi Mae Phin masih berdiri di pintu belakang dapur Istana Bua sambil
memegang sepiring makanan dengan bingung. Dia tidak tahu apa yang harus dilakukan dengan sepiring daging babi
di depannya. Entah dia memakannya atau membuangnya, dia merasa kasihan pada Lady Pin. Karena Mae Pin
melihat dengan mata kepalanya sendiri betapa besarnya usaha yang dilakukan Lady Pin untuk menyiapkan
"makanan favorit" sang putri ini.

Selain itu, dia adalah orang yang jujur.

"P'Koi."
"Ya, Lady Pin."

"Mae Phin belum kembali?"

Setelah mengucapkan beberapa patah kata, sebuah suara terdengar dari dapur. Mae Phin segera berlari mendekat,
tampak ketakutan.

"Lady Pin sudah kembali?" Mae Phin menyapa tuannya dengan suara gemetar.

Awalnya Lady Pin memandang wajah Mae Phin, lalu mengalihkan perhatiannya ke daging babi di atas nampan.
Wajahnya yang penuh kesedihan membuat Mae Phin ikut sedih.

"Apakah kamu sudah memberitahu sang putri apa yang aku maksud?"

"Aku sudah mengatahannya, tapi sang putri tetap memintaku untuk membawakan makanan ini kembali."

"Apakah dia mengatakan hal lain?" Suara Lady Pin mulai bergetar. "Katanya dalam dua hari ke depan, Istana Bua
Chompoo tidak perlu mengantarkan makanan kepada sang putri. Sang putri ingin pergi ke Istana Utama untuk
tinggal selama beberapa hari."

"Uhm."

Lady Pin hanya menjawab satu kali lalu kembali ke kamarnya tanpa memakan makan malam yang telah disiapkan
oleh P'Koi. P'Koi dan Mae Phin berdiri di sana saling memandang tanpa mengetahui apa yang sedang terjadi.

Dua hari kemudian, Putri Padmika kembali ke Istana Bua dan membawa banyak makanan khas Mueang
Kanchanaburi. Lady Pin sudah beberapa hari tidak makan malam dan dia tidak bisa menolak ajakan bibinya untuk
makan malam bersamanya.

"Ada apa? Apakah semuanya baik-baik saja?"

"Semuanya baik-baik saja, Bibi."

Lady Pin hanya menjawab dengan suara rendah lalu dengan cemas terus menundukkan kepalanya untuk makan.

"Mengapa Istana Pinus begitu sepi? Apakah Putri Anil ada di Istana Utama?"

"..."

Lady Pin menggenggam erat tangan rampingnya, mata indahnya tiba-tiba merah dan bengkak. Dia terus menatap
sepiring nasi di depannya. Putri Padmika menyadari bahwa dia tidak menjawab dan ketika akan bertanya lagi, Prik
bergegas masuk ke dalam istana.

"Ada apa, Mae Prik? Kenapa kamu begitu panik?"

"Aku ingin segera menyampaikan perkataan Putri Alisa kepada Bibi Pad."

Setelah selesai bicara, Prik berlutut di samping kursi Putri Padmika.

"Ada apa? Aku berencana mengunjunginya. Ngomong-ngomong, bawakan beberapa hadiah ini untuknya."

"Dalam beberapa hari terakhir ini, Putri Anil terserang flu, jadi dia kembali ke Istana Utama. Pangeran Pertama
memanggil dokter pengobatan Barat untuk merawatnya. Dia sekarang lebih baik, tetapi masih belum sembuh total.
Tapi Putri Anil ingin kembali ke Istana Pinus, jadi ia kembali tinggal di sana. Putri Alisa meminta Prik untuk
memberitahu Putri Padmika.

Lady Pin yang mendengar perkataan Prik langsung terkesiap.

"Benarkah? Kesehatan Putri Anil selalu sangat baik, dia tidak pernah sakit. Kenapa tiba-tiba dia jatuh sakit? Apa
karena akhir-akhir ini cuaca terlalu panas, lembab, dan hujan?"

Suara Putri Padmika penuh dengan kekhawatiran dan kepedulian terhadap Putri Anilaphat. Di sisi lain, Lady Pin
yang duduk di samping, menggigit bibirnya hingga berdarah.

"Mungkin karena terkena hujan deras dan basah." Kata Prik sambil menatap Lady Pin penuh arti dengan mata coklat
tua.

Lady Pin segera meletakkan pisau dan garpunya, padahal yang ada dia baru makan sedikit dari piringnya.

"Ada apa denganmu Lady Pin? Apa kamu sudah kenyang? Kamu hanya makan beberapa suap saja."

"Aku kenyang, Bibi."

Lady Pin berusaha menahan isak tangisnya dan dengan enggan berbicara.

"Aku sedang tidak ingin makan apa pun akhir-akhir ini..."

~Bersambung~
BAB 19

Jangan lupa vote (⭐) dulu ya

Demam Tinggi dan Mengigau

Lady Pin begitu diliputi rasa cemas sehingga ia tidak sabar untuk datang keesokan harinya mengunjungi Putri
Anilaphat. Sang putri telah sakit selama tiga hari dan dia tidak tahu apa-apa tentang hal itu. Sejak mendengar kabar
tersebut, Lady Pin gelisah dan khawatir dengan kondisi Putri Anilaphat.

Saat ini, sedetik saja tidak bisa melihatnya, baginya satu detik seperti setahun.

Bagaimana dia bisa menunggu sampai besok...

Di kamar tidur, dia menjadi semakin gelisah. Ia mondar-mandir, tidak sabar dan merasa tidak aman. Seperti hamster
yang dikurung di dalam sangkar. Akhirnya Lady Pin memutuskan untuk pergi ke Istana Pinus saat tengah malam.

Tentu saja saat ini pintu utama Istana Pinus terkunci. Tapi Lady Pin adalah seseorang yang bisa keluar masuk Istana
Pinus sesuka hati, tentu dia punya caranya sendiri. Dia memilih berkeliling menuju pintu kecil yang
menghubungkan kamar pelayan dan dapur.

Ketika Lady Pin melihat jendela dapur masih terang, jadi dia mengintip ke dalam. Lady Pin melihat Prik sedang
sibuk menyiapkan sesuatu. Jadi, alih-alih langsung membuka pintu dengan kunci seperti yang direncanakan semula,
tapi dia mengetuk pintu dengan lembut.

"Apakah itu Lady Pin? Prik kaget.

"Ini aku, Prik. Menurut Prik siapa?"

Lady Pin bercanda dengan Prik, seolah dia tidak memiliki masalah di hatinya. Namun saat dia mencium aroma
interior Istana Pinus, yang sudah berhari-hari tidak dia injak, jantungnya tiba-tiba berdebar tak terkendali.

"Prik belum pernah melihat Lady Pin datang ke Istana Pinus jam segini. Makanya aku pikir..."

"Kamu pikir apa...?"

"Aku hanya mengira ada hantu yang mengetuk pintu dan ingin menculik Prik." Prik melihat sekeliling, tampak
sangat ketakutan.

"Prik berhenti bicara omong kosong." Lady Pin mengangkat kepalanya dan menatap Prik dengan kesal.

"Katakan padaku, apa yang terjadi sehingga Lady Pin datang ke Istana Pinus?"

"Aku datang untuk menjenguk Putri Anil...apa dia sudah tidur?" Mata coklat Lady Pin sedikit berbinar saat
menyebut nama orang yang beberapa hari terakhir ini menghantui pikirannya.

"Belum. Meski Putri Anil sakit, tapi dia tetap begadang membaca buku seperti biasanya. Prik sedang menyiapkan air
hangat dan handuk untuk putri membersihkan tubuhnya."

"Apakah Prik membiarkan dia membersihkan dirinya sendiri?" Suara Lady Pin merendah dan menjadi sedikit serius.

"Ya, sang putri sangat berhati-hati dengan tubuhnya. Dia tidak akan membiarkan siapa pun menyeka tubuhnya,
bahkan Putri Alisa pun tidak."
"Apakah airnya sudah siap, Prik?"

"Sudah siap, aku akan mengambilnya."

Lady Pin menyentuhkan punggung tangannya ke air di baskom besar berwarna perak dan merasakan apakah suhu
airnya sudah pas. Kemudian, dia berbicara kepada Prik dengan nada seperti memohon...

Meskipun kenyataannya itu adalah perintah, Prik pada dasarnya tidak bisa menolak.

"Kalau begitu Prik sebaiknya istirahat dulu. Biar aku sendiri yang akan memberikannya pada sang putri."

Meski ekspresi Prik agak canggung dan gelisah, dia hanya bisa dengan hormat menerima permintaan Lady Pin.

"Ya, Lady Pin."

Lady Pin memperhatikan Prik menghilang ke dalam kamar pelayan, lalu dia berbalik, mengambil baskom perak dan
handuk, lalu berjalan masuk ke kamar tidur yang pintunya sedikit terbuka. Cahaya kuning lembut menyinari celah
pintu, membuat orang menduga kalau pemilik kamar itu belum tidur.

Lady Pin dengan hati-hati membuka pintu kamar tidur yang didekorasi dengan gaya Barat, nampak luas namun
nyaman. Lampu yang diletakkan di sebelah patung Buddha memancarkan cahaya lembut. Dia melihat Putri
Anilaphat bersandar di kepala tempat tidur, membaca buku dengan wajah tanpa ekspresi. Jantungnya tiba-tiba mulai
berdetak kencang.

"Prik, taruh handuk dan air hangat di atas meja, lalu keluar. Aku tidak butuh apa-apa lagi." Putri Anilaphat berbicara
dengan tenang, tanpa mengalihkan pandangan dari buku. Lady Pin hanya bisa berdiri diam, tidak tahu harus berkata
apa.

Karena tidak mendengar jawaban Prik, Putri Anilaphat mengangkat kepalanya dengan bingung. Ketika dia
menyadari bahwa orang yang berdiri dengan bingung di depan pintu ternyata adalah Lady Pin, yang sudah berhari-
hari tidak terlihat, sang putri hanya melirik dengan mata kosong.

"Oh..."

Putri Anilaphat hanya mengucapkan satu kata, lalu menundukkan kepalanya dan fokus pada setiap kata di buku itu,
seolah-olah tidak terjadi apa-apa.

Dia seolah menganggap Lady Pin hanyalah udara kosong di hadapannya...

"..."

Kata-katanya yang singkat dan sikapnya yang dingin bagaikan sebilah pisau tajam yang menusuk hati Lady Pin.

Tebasan demi tebasan lagi dan lagi, hingga luka-luka itu menumpuk di hatinya, menjadi sebuah kehancuran.

Meskipun Lady Pin sudah siap secara mental... dia masih tidak bisa menahan rasa sakit yang tiba-tiba ini.

Lady Pin belum pernah diperlakukan sedingin ini oleh Putri Anilaphat seumur hidupnya...

Mata coklat Lady Pin basah... Namun saat ini, kekhawatiran yang meluap-luap di hatinya tetap membawanya masuk
ke dalam kamar tidur ini. Meskipun pemilik kamar tidak mengundangnya, Lady Pin tetap berjalan mendekat dan
duduk di sebelahnya.

Kali ini, sang putri mengangkat kepalanya dan menatap matanya.

Jarak mata mereka hanya beberapa jengkal. Lady Pin menemukan bahwa mata hitam dan sipit itu, yang semula
cerah dan bersinar, kini dipenuhi dengan kekecewaan dan sakit hati.

Untuk sesaat, keduanya terdiam. Lady Pin mengangkat tangannya dan dengan hati-hati menyentuh dahi Putri
Anilaphat.

"Anil, kamu demam, kamu harus istirahat yang cukup, kenapa kamu masih membaca?"

Lady Pin berbicara dengan lembut. Pada saat yang sama, ia mengambil buku berat Putri Anilaphat dan
meletakkannya di atas meja di samping patung Buddha, seolah memerintahkan dan memaksa sang putri untuk
berhenti membaca.

"Apakah Anil sudah meminum obatnya?" Mata coklat indah Lady Pin dipenuhi kekhawatiran.

"Aku sudah minum obat." Meski suara Putri Anilaphat agak serak karena sakit, tetap lembut dan merdu seperti
biasanya.

"Suhu tubuhmu masih sangat tinggi, aku akan membersihkan tubuhmu." Lady Pin menatap wajah cantiknya yang
merah karena demam.

"Tidak perlu. Aku bisa melakukannya sendiri." Matanya dingin dan tegas, tapi sikapnya ini membangkitkan amarah
di hati Lady Pin.

"Biarkan aku yang melakukannya. Lihat dirimu, Anil sudah sangat lemah, bagaimana Anil bisa memiliki kekuatan
yang tersisa?"

Dia menyentuh telinga, bahu, leher, dan lengan sang putri lagi. Lady Pin merasakan sekujur tubuh sang putri panas
seperti api, membuatnya semakin khawatir.

"Demam Anil sangat tinggi." Alis indah Lady Pin berkerut, wajahnya penuh kekhawatiran. Dia merasa seluruh
dunia akan runtuh di hadapannya, "Biarkan aku membersihkanmu."

"..."

Kini sepertinya ada sesuatu yang terbebani hati Putri Anilaphat membuatnya tidak mampu lagi menolak apapun. Dia
harus membiarkan Lady Pin dengan bebas mengendalikan tubuhnya. Lady Pin menggunakan handuk yang di basahi
air hangat untuk menghangatkan dahi dan wajahnya, lalu mulai menyeka wajah, leher, dan tulang selangkanya.
Sebelum dia sempat memasukkan tangan ke dalam pakaiannya, sang putri berbisik dengan lelah.

"Kenapa Lady Pin harus memperlihatkan wajahnya seperti itu?"

"..."

"Apakah ada tempat yang sulit dilihat?" Sambil berbicara, Putri Anilaphat perlahan membuka kancing baju tidurnya,
lalu melepasnya dengan hati-hati, agar Lady Pin bisa lebih mudah menyentuh tubuhnya.

"Tidak......"

Justru sebaliknya... Kulit Putri Anilaphat yang halus dan lembut sangat menarik perhatian semua orang dan
membuat orang lain tidak bisa melepaskan pandangannya. Seperti yang dilakukan Lady Pilantita sekarang.

"Jadi apakah itu juga berarti, layak untuk dilihat?"

"..."

Lady Pin tidak berkata apa-apa, hanya terus mengusap tubuh Putri Anil dengan tangan yang sedikit gemetar, mulai
dari dada hingga perut bagian bawah, pinggangnya, punggungnya, hingga akhirnya sang putri merasakan tangan
Pilantita menyentuh punggungnya.

Bagi Pilantita, membersihkan tubuhnya yang mirip patung Buddha dari batu giok ini bukanlah tugas yang mudah.
Tubuh Putri Anilaphat bagaikan karya sempurna yang diciptakan para dewa. Kulitnya yang halus dan berkilau
seolah dipenuhi semacam kekuatan sihir, terkadang membuat Lady Pin berhenti bernapas.
"Merasa lebih baik?"

Meski sangat sulit...

Pada akhirnya, Lady Pin berhasil menyelesaikan tugasnya.

Putri Anilaphat memperhatikan Lady Pin mengancingkan kancing terakhir piyamanya, lalu berbicara dengan lembut
seperti biasa.

"Um......"

"Kalau begitu Anil, cepat berbaring dan istirahat. Aku juga bersiap untuk pulang."

Meskipun Lady Pin berpamitan terlebih dahulu, mata coklat jernih indah Lady Pin mengungkapkan kerinduannya
pada orang di hadapannya.

Ketika melihat Lady Pin berbalik dan ingin kembali ke Istana Bua, sang putri menyandarkan kepalanya di bahu
kurus Lady Pin.

"Kepalaku sakit..."

Hanya dengan satu kalimat singkat, sudah membuat hati Lady Pin luluh. Dia dengan lembut menyelipkan sehelai
rambut sang putri ke belakang telinganya.

"Apakah sangat menyakitkan?" Lady Pin hanya bisa bertanya dengan cemas pada orang yang bersandar di bahu
kurusnya. "Jadi, apa yang bisa aku lakukan untuk membuat Anil merasa lebih baik?"

"Apakah Lady Pin akan tinggal dan menjagaku?" Suaranya yang serak dan memohon membuat hati Lady Pin sakit.

"Kalau begitu aku akan menemani Anil sampai Anil tertidur."

"Bisakah Anil menyandarkan kepala di pangkuan Lady Pin?"

"Selama Anil tidak menatapku seperti itu lagi... Aku bisa melakukan apa saja untuk Anil, apalagi berbaring di
pangkuanku."

Lady Pin berpikir sendiri dalam hatinya, namun dia tidak berani mengatakannya.

Dia hanya bisa diam dan tidak menjawab... Dia tahu jika dia tidak menolak, sang putri pada akhirnya akan tetap
berbaring di pangkuannya.

Saat wajah cantik itu bersandar di pangkuannya, perasaan hangat tiba-tiba muncul di hati Lady Pin...

Rasanya seperti dia memperoleh harta karun yang tidak pernah bisa dia raih dengan cara yang tidak pernah dia duga.

Lady Pin mengangkat tangannya untuk membelai lembut rambut Putri Anilaphat. Bibir merah muda pucatnya
memerah karena demam dan dia terlihat sangat lemah. Lady Pin hanya bisa menghiburnya dengan lembut.

"Kenapa Anil bisa sakit? Aku belum pernah melihat Anil sakit sebelumnya."

Nada lembut Lady Pin seperti sedang berbicara kepada seorang gadis kecil.

"Mungkin karena hujan." Suara Putri Anilaphat terdengar serak.

"Kapan?"

"Pada hari aku mengantar Lady Pin ke balkon, aku duduk di balkon hampir sepanjang hari."

"..."
Lady Pin langsung terdiam. Dia yakin Putri Anilaphat sakit karena dirinya.

"Kenapa Khun Pin tidak datang menemuiku beberapa hari terakhir ini?"

Suara Putri Anilaphat yang serak dan pecah, kembali membuat emosi Lady Pin kacau.

"Kenapa aku harus pergi menemui Anil setiap hari?"

Meski kata-katanya masih kaku, namun tangan ramping Lady Pin dengan penuh kasih sayang membelai dengan
lembut rambut Putri Anilaphat...

"Karena... aku ingin melihat Khun Pin setiap hari."

"Kenapa Anil ingin bertemu denganku setiap hari?"

"Tidak ada alasan." Putri Anilaphat berbisik dan memejamkan matanya. Karena dia demam, tubuhnya tidak
bertenaga lagi.

"Anil sepertinya mulai nakal, makanya bisa bicara sembarangan seperti itu."

"..."

"Mungkin karena selalu ada yang memanjakan Anil, makanya Anil keras kepala." Ucap Lady Pin, tak mampu
menahan diri untuk tidak mengulurkan tangan dan menyentuh bibir sang putri.

"Semua orang mencintai Anil." Lady Pin membelai kulit halus sang putri, "Semua orang mencintai dan mengagumi
Anil..."

"Tetapi masih ada seseorang yang tidak mencintaiku..." balas Putri Anilaphat.

"Siapa yang tidak mencintai Anil?"

"Lady Pin"

"..."

"Lady Pin adalah orang yang tidak pernah mencintai Anil."

Putri Anilaphat berkata dengan lembut. Ia masih memejamkan matanya. Ia tak melihat rongga mata yang merah dan
basah pemilik paha yang ia sandarkan.

"Darimana Anil tahu... Aku tidak mencintai Anil?"

Suara Lady Pin penuh kebencian dan sakit hati, bahkan orang yang berbaring di pangkuannya pun mengenalinya.

"Mungkin itu cinta...."

Suara Putri Anilaphat sangat jelas.

"Tapi bukan cinta seperti Anil."

"Seperti apa cinta Anil? Bisakah kamu memberitahuku?"

Meskipun Lady Pin tahu pertanyaan ini mungkin menempatkannya dalam situasi yang canggung, dia tetap bertanya.

"Cinta... semua pikiranku dipenuhi oleh Lady Pin." Putri Anilaphat berbicara seolah membacakan puisi untuknya.
"Setiap kali aku memikirkannya, setiap detak jantungku menjadi menyakitkan."

"..."
"Cinta... adalah keinginanku untuk dekat denganmu, melihatmu, berbicara denganmu, menyentuhmu..."

"..."

"Cemburu membabi buta dan tidak ingin ada orang yang dekat denganmu."

"..."

"Cinta terjalin dengan hasrat."

"..."

"Kalau begitu, Lady Pin..." Putri Anilaphat membuka matanya dan menatap mata kosong Lady Pin yang terdiam.

"Bagaimana kamu mencintai Anil?"

Setelah Putri Anilaphat berbicara dengan lembut, segala sesuatu di mata Pilantita tampak menjadi gelap, dia tidak
dapat melihat apa pun. Di sekelilingnya sunyi dan tidak ada suara yang terdengar. Jantungnya berdebar kencang,
napasnya lambat dan lemah seperti orang sakit.

Lady Pin hanya bisa duduk diam, berusaha mengembalikan kesadarannya.

"Kita berdua..." Lady Pin akhirnya membuka mulutnya dan berkata, Bagaimana kita bisa saling mencintai seperti
itu?"

"Pertanyaannya, bagaimana Lady Pin mencintai Anil?" Putri Anilaphat berkata dengan tenang. "Pertanyaannya
bukanlah apakah kita bisa saling mencintai atau tidak."

"..."

Lady Pin hanya bisa menggigit bibirnya. Seperti yang dia lakukan setiap kali dia menghadapi masalah sulit dan
perlu berpikir. Hanya saja masalah ini begitu sulit sehingga Lady Pin tidak tahu harus berbuat apa.

"Aku..."

"..."

"Aku tidak tahu..."

"..."

"Aku tidak tahu bagaimana aku mencintai Anil."

Setelah ditekan sekuat tenaga, pada akhirnya air mata Lady Pin tetap jatuh, jatuh menetes ke pipi lembut Putri
Anilaphat...

Putri Anilaphat mengangkat tangannya, menyeka air mata Lady Pin dengan lembut, lalu berbicara dengan suara
lembut dan manis.

"Jika ada satu orang, yang selalu muncul di benak Lady Pin setiap bangun tidur, dan selalu mengingatnya hingga
detik terakhir sebelum tertidur."

"..."
"Jika ada seseorang, ketika Lady Pin melihatnya sedih, Lady Pin akan menjadi orang yang lebih sengsara dan
tertekan daripada dia. Ketika dia acuh tak acuh, Lady Pin akan merasa gelisah. Ketika hatimu menjadi sangat
bahagia saat berdua berbicara dengan mesra."

"..."

"Jika ada seseorang, ketika dia lebih dekat dengan orang lain selain Lady Pin, itu akan membuat Lady Pin cemburu
dan patah hati."

"Jika ada orang yang membuatmu seperti itu..."

"..."

"Mungkinkah orang itu Anil?"

Mata gelap Putri Anilaphat kini menjadi serius, membuat Lady Pin tak berani berbohong.

"Aku..."

"Lady Pin..." Melihat wajah pucat Lady Pin yang penuh keraguan dan kebingungan, Putri Anilaphat segera
berbicara dengan serius.

"Pikirkan baik-baik sebelum menjawab. Anil tidak terburu-buru untuk mendapatkan jawaban."

"..."

"Kalau hari ini Anil mengatakan sesuatu yang membuat Lady Pin tidak nyaman, anggap saja Anil sedang demam
dan salah bicara."

Putri Anilaphat selesai berbicara lalu perlahan menutup matanya.

"Lady Pin, tidak perlu menganggap serius kata-kata itu..."

~Bersambung~
BAB 20

Jangan lupa vote (⭐) dulu ya

Buku Harian

Lady Pin memutuskan untuk menjaga Putri Anil yang sedang sakit sampai fajar. Dia tidak tega meninggalkan sang
putri sendirian di tempat tidur. Yang lebih penting adalah kata-katanya yang menyebabkan sang putri demam dan
terlihat sangat lemah. Ketika dia mengingat jawaban sederhananya: "Aku tidak tahu betapa aku mencintai Anil," dia
semakin menyesalinya.

Lady Pin khawatir jawabannya akan membuat Putri Anil berubah sikap terhadapnya, menjadi tidak lagi sama seperti
dulu. Ia bahkan berpikir mungkin di masa depan sosok cantik sang putri akan menghilang dari pandangannya seperti
mimpi.

Lady Pin selalu khawatir...

Sepanjang malam, ia selalu menatap wajah cantik sang putri yang tertidur. Ia terus memegangi lengan kecil sang
putri, hingga subuh sampai menolak untuk tertidur. Sesekali ia memeriksa kening Putri Anil karena khawatir sang
putri mengalami demam tinggi. Bagaimanapun, ini adalah flu, penyakit yang dapat membahayakan nyawa sang
putri.

Jika bukan karena sesuatu yang harus diselesaikan di universitas hari ini, Lady Pin mungkin akan tetap tinggal di
kamar Putri Anil. Dia tidak ingin kembali ke Istana Bua. Namun sebelum berangkat, Lady Pin memberikan instruksi
kepada Prik, memintanya untuk merawat sang putri dengan baik, menyiapkan makanan untuknya dan
mengawasinya minum obat. Lady Pin memberikan instruksi yang sangat rinci, seolah dia harus pergi dari sini
selama beberapa hari.

Setelah mendaftar untuk tahun terakhirnya di universitas, Lady Pin menolak ajakan Sunee dan Chada. Mereka ingin
mengajaknya jalan-jalan di toko dekat sekolah, membeli pakaian untuk menghabiskan waktu. Namun Lady Pin
hanya ingin segera kembali untuk melihat keadaan sang putri.

Namun ketika Lady Pin baru saja menginjakkan kaki di istana Bua, dia melihat Prik duduk di depan gerbang
menunggunya.

"Apa yang terjadi, Prik? Bukankah aku sudah menyuruhmu untuk tetap berada di sisi Putri Anil dan tidak
meninggalkan setengah langkah pun? Mengapa Prik pergi ke Istana Bua untuk duduk?"

Suara Lady Pin yang rendah dan tidak senang serta kemarahan dan kekhawatiran di wajah cantiknya saat ini
membuat Prik tidak berani menatap lurus.

"Putri Anil telah berangkat ke Chiang Mai. Dia akan tiba sore ini." Prik menekan rasa takut di hatinya dan dengan
berani menjawab pertanyaan Lady Pilantita.

"Prik buru-buru datang untuk memberitahu Lady Pin."

"Putri Anil telah berangkat ke Chiang Mai?" Mendengar Prik mengatakan itu, alis indah Lady Pin semakin
mengernyit. "Bagaimana kesehatannya? Dengan siapa dia pergi? Tadi pagi dia masih demam. Dia belum sehat
sepenuhnya."

Prik memejamkan mata, dia tidak berani menghadapi Lady Pin yang sedang marah.

"Pagi-pagi sekali, Putri Dararai menelepon untuk memberi tahu Putri Alisa bahwa Pangeran Chakkham meninggal
dunia, jadi semua ingin memanfaatkan waktu untuk datang ke Chiang Mai untuk menghadiri pemakaman Pangeran
Chakkham."

Prik selesai berbicara, menarik napas dalam-dalam, lalu melanjutkan. Dia masih memiliki hal penting untuk
dilaporkan kepada Lady Pin.

"Rencana awal Putri Alisa adalah ketika mengirim Putri Euang kembali ke Chiang Mai, dia akan membawa Putri
Anil bersamanya. Pada saat itu, akan lebih mudah untuk mengunjungi Putri Dararai dan Pangeran Chakkham
bersama-sama. Namun di luar dugaan, semuanya terjadi. Itu terjadi begitu tiba-tiba. Putri Alisa tidak bisa berbuat
apa-apa selain mengubah rencananya."

Jawaban Prik yang berturut-turut membuat Lady Pin terdiam cukup lama. Semuanya di luar dugaannya, entah itu
karena Pangeran Chakkham yang sudah lama sakit dan tiba-tiba meninggal dunia, atau karena Putri Anilaphat yang
tidak pernah memberitahunya tentang rencananya untuk mengantar Putri Euang yang cantik kembali ke Chiang Mai.

"Benarkah itu..." bisik Lady Pin, "Putri Euang pasti sangat patah hati. Dia tidak sempat bertemu ayahnya untuk yang
terakhir kali."

"Putri Euang sangat sedih. Dia menangis tersedu-sedu hingga hampir menangis darah. Tidak peduli bagaimana Putri
Alisa menghiburnya, dia tetap tidak merasa lebih baik."

Prik teringat akan penampilan Putri Euang yang lemah dan tak berdaya, nyaris tidak mampu berdiri tegak, dan
hanya bisa menghela nafas.

"Sampai Putri Anil memeluk dan menghiburnya, membantunya menghapus air matanya, Putri Euang sedikit tenang
dan berhenti menangis."

"Pelukan yang menenangkan?" Suara Lady Pin yang rendah dan dingin membuat Prik merinding mendengarnya.

"Ya, pelukannya seperti ini." Setelah selesai berbicara, Prik mengangkat tangannya dan memeluk dirinya erat.
"Kalau mengusap air mata seperti ini."

Prik memberi isyarat menyeka air mata orang di depannya dengan ibu jarinya di ruang kosong. Dia meniru setiap
detail kecil Putri Aninlaphat.

"Lembut sekali ya? Makanya Putri Euang berhenti menangis karena itu kan?" Sudut bibir Lady Pin melengkung
membentuk senyuman, namun tidak ada sedikit pun senyuman di matanya, "Setelah itu, apakah mereka berangkat
bersama?"

"Ya, Putri Alisa duduk bersama Putri Padmika di dalam mobil khusus kerajaan. Pangeran Anan dan Putri Parvati
duduk di mobil terpisah. Pangeran Anon menyetir sendiri. Putri Anil duduk di mobil Putri Euang."

"Aku tidak mengerti..." Lady Pin yang sudah kesal, ekspresinya menjadi semakin muram: "Kenapa Putri Anil tidak
naik mobil Pangeran Kedua?"

"Karena sang putri berjanji pada Putri Euang bahwa dia akan selalu memegang tangannya." Kata Prik sambil
memalingkan muka dari tatapan tajam Lady Pin. "Hari ini, Putri Euang menangis dengan sangat menyedihkan. Dia
bersikeras agar Putri Anil berada di sisinya."

"Aku mengerti." Ekspresi Lady Pin tiba-tiba menjadi tenang, membuat Prik sulit memahaminya.

"Prik, tidak perlu berkata apa-apa lagi."


"Aku tidak ingin mendengarnya."

Lady Pin menghilangkan bagian kedua kalimatnya.

Lady Pin masih belum mengerti. Kenapa dia tidak melihat dengan jelas dengan mata kepalanya sendiri cerita yang
diceritakan Prik padanya, tetapi dia tetap merasa sangat marah, bahkan geram terhadap semua orang yang terlibat
dalam masalah ini.

Dia marah atas kelemahan Putri Euang, dan ketergantungannya yang khusus pada seseorang.

Dia marah pada Pangeran Kedua. Dia justru membiarkan adiknya masuk ke mobil orang lain. Jelas dia juga harus
mengemudi jarak jauh sendirian.

Tentu saja Lady Pin paling marah terhadap Putri Anilaphat...

Kemarahan atas pelukan hangat dan sikap lembut Putri Anilaphat saat menyeka air mata bukan hanya miliknya
sendiri...

"Jika Lady Pin bilang begitu, maka Prik tidak akan mengatakannya lagi."

"Ya..."

"..."

"Apakah Prik tahu kapan sang putri akan kembali?"

Lady Pin menggigit bibirnya, terlihat sangat tidak sabar. Dan saat ini Prik hanya sedang berpikir di dalam hatinya,
baru saja ia dilarang berbicara. Namun dalam waktu kurang dari satu menit, Lady Pin berubah pikiran, begitu keras
kepala.

"Putri Anil dan Pangeran Kedua akan kembali lebih lambat dari yang lainnya, mungkin sekitar dua minggu."

"Apa itu berarti yang lain akan kembali duluan?"

"Ya." Prik menelan ludahnya dengan susah payah. "Karena sebelumnya Putri Euang berjanji akan mengajak sang
putri jalan-jalan di Chiang Mai, maka Pangeran Anon akan tinggal dan menunggu sampai sang putri kembali. Jadi
mereka berdua akan tinggal di Chiang Mai untuk sementara waktu."

"Ya..." Lady Pin agak cuek saat ini, ekspresinya membuatnya mustahil untuk dilihat. Prik harus menundukkan
kepalanya dan mulai berpikir.

"Ternyata banyak sekali janji di antara mereka berdua?"

"..."

" Mereka dekat sekali." Lady Pin merendahkan suaranya. Suara itu mengandung sarkasme.

"Sementara ini, Prik hanya akan membersihkan Istana Pinus, menunggu tuannya Prik kembali."

Lady Pin berkata dengan suara sedih, lalu kembali ke kamar tidurnya. Dia menutup pintu, duduk di depan meja buku
di samping tempat tidur, lalu hanya duduk diam karena tidak tahu harus berbuat apa.

Meski tadi malam dia menjaga Putri Anilaphat sepanjang malam, saat ini dia tidak merasa mengantuk sama sekali.
Sebaliknya, pikiran dan hatinya malah semakin sibuk.

"Jika ada seseorang, ketika dia lebih dekat dengan orang lain selain Lady Pin, maka Lady Pin akan cemburu dan
patah hati."

"Jika ada orang seperti itu..."


"Jadi orang ini, apakah itu Anil?"

Tiba-tiba, di benak Lady Pin, kata-kata Putri Anilaphat tadi malam berangsur-angsur muncul. Dia menatap laci meja
untuk waktu yang lama, lalu mengambil kunci yang disembunyikan di tempat pena, membuka kunci laci,
mengeluarkan buku harian yang tampak agak kuno, dan perlahan membalik halamannya.

Ada beberapa hal yang menarik perhatian Lady Pin. Tangan yang membalik halaman berhenti dan mulai membaca...

12 Maret,

Aku selalu tidak suka Anil dikelilingi oleh banyak orang. Anil selalu tersenyum pada semua orang.
Senyuman Anil yang begitu menggemaskan dan indah, membuatku ingin menyembunyikannya sendiri
dalam hati.

Tapi bagaimana mungkin?

Aku sangat tidak senang . Anil hanya merasa tertarik pada Putri Euang, sepupunya dari Chiang Mai. Anil
mengajaknya jalan-jalan di istana dan mengajaknya ke Istana Bua untuk sarapan. Apa Anil tidak tahu? Aku khusus
membuat hidangan sarapan itu hanya untukku dan Anil.

Tidak akan ada sisa untuk dicicipi oleh "orang lain".

Aku tahu Anil sangat menggemaskan...

Tapi bisakah Anil hanya menggemaskan saat berada di sampingku.

30 April,

Aku berusaha sekuat tenaga... namun pada akhirnya, air mataku tetap tidak terbendung dan jatuh. Aku
selalu berkata pada diriku sendiri, Anil tidak "tergila-gila" dengan teman barunya, Khun On, putri Duta
Besar, sehingga dia melupakanku. Namun saat aku mengetahui Anil memilih pergi ke villa Sawadipat untuk
menghadiri pesta ulang tahun Khun On, alih-alih berada di sisiku seperti setiap hari, ia tak bisa menahan
diri dan diam-diam berlari kembali ke kamarku dan menangis tersedu-sedu.

Bahkan sekarang, saat menulis di buku harianku, aku masih menangis.

Anil tahukah kamu, dari sore hingga malam hari, aku selalu mencari Anil...

Tapi sampai aku lelah... Aku masih belum bisa melihat sosok Anil.

Aku benar-benar marah pada Anil!

Lady Pin sepertinya sedang memikirkan sesuatu, sambil mengelus huruf-huruf di kertas tua yang agak pudar.

"Jika ada seseorang, kalau dia lebih dekat dengan orang lain selain Lady Pin, itu akan membuat Lady Pin cemburu
dan patah hati."

"..."

"Jika ada orang seperti itu..."

"..."

"Jadi, apakah orang itu Anil?"

Betapa bodohnya Lady Pin, pertanyaan ini tidak bisa diragukan lagi, jawabannya hanya ada satu, hanya ada satu,
yaitu Putri Anil.

Lady Pin tidak bisa menyembunyikan perasaannya, sejelas matahari siang. Karena... sampai saat ini, dia menghargai
Putri Anilaphat seperti dia menghargai harta miliknya.

Apalagi setelah beranjak dewasa, putri cantik itu menjadi pribadi yang menawan.

Kerinduan Lady Pin terhadapnya jauh lebih kuat dibandingkan saat dia masih kecil.

25 Desember,

Rindu.

Kapan Anil akan kembali?

Aku tidak tahan lagi menunggu selama ini.

"Jika ada satu orang, yang selalu muncul di benak Lady Pin setiap bangun tidur, dan selalu mengingatnya hingga
detik terakhir sebelum tertidur."

Jawaban atas pertanyaan ini menjadi semakin jelas. Tidak peduli halaman mana yang Lady Pin buka di buku
hariannya, halaman itu akan terkait langsung atau tidak langsung dengan Putri Anilaphat. Apalagi yang membuatnya
semakin terkejut adalah, di beberapa halaman, Lady Pin hanya menulis kata "Anil" dan "rindu", dia menulis seluruh
halaman.

Selalu merenung menunggu surat dari jauh, setiap malam, sebelum tidur, dia akan meraih dan mengambil foto Putri
Anil dan melihatnya dengan seksama. Tidak peduli bagaimana dia berusaha menghindarinya, jawaban ini yang
sebenarnya sudah lama ada di hatinya, sangatlah jelas.

"Jika ada seseorang, ketika Lady Pin melihatnya sedih, Lady Pin akan menjadi orang yang lebih sengsara dan
tertekan daripada dia. Ketika dia acuh tak acuh, Lady Pin akan merasa gelisah. ketika hatimu menjadi sangat
bahagia saat berdua berbicara dengan mesra."

Air matanya yang hampir berubah menjadi air mata darah adalah bukti paling jelas.

Mengenai hal ini, Lady Pin tidak pernah ragu. Dia menitikkan begitu banyak air mata saat Putri Anilaphat
menunjukkan sikap dinginnya. Apalagi saat sang putri menolak menerima makanan dan sarapan yang dibuatnya.

Dia selalu bersembunyi di kamarnya, menangis sendirian, lalu menjadi terbiasa, menyerap air matanya.

Adapun ketika mereka berbicara berdua, Lady Pin merasa sangat bahagia...

Bahkan jika dia berpura-pura tidak melihat atau mendengar, dia tidak bisa tidak memperhatikan bahwa setiap kali
Putri Anil mendekatinya, udara seolah selalu dipenuhi dengan kebahagiaan, seperti gelembung sabun yang
beterbangan di udara.

4 September,

Tadi malam, Anil datang ke kamarku untuk tidur.

Anil bilang, Anil ingin membangun istana di halaman, lalu aku bisa melihatmu dari jendela.

Namun aku merasa Anil hanya sekedar bicara, tidak serius sama sekali.

Meski begitu, saat ini aku masih sangat bersemangat sampai pusing rasanya...
Aku hanya tidak suka Anil melihat semua yang ada di kamarku dan bahkan menemukan beberapa hal yang
ingin aku sembunyikan.

Tapi aku sangat suka melihat wajah tidur Anil yang polos.

Bahkan ada harapan agar Anil bisa lebih sering datang dan tidur di kamarku.

Meskipun ini akan membuatku tidak bisa tidur...

Dilihat dari bagaimanapun, pertanyaan yang dibicarakan Putri Anil yang tidak masuk akal pada hari ketika dia
sedang demam tinggi tidaklah sulit untuk ditemukan jawabannya.

Yang sulit hanya menerima jawabannya...

Namun alasan yang membuat hati Lady Pin begitu kesal adalah meninggalkan jejak dimana-mana, sekilas saja
sudah bisa langsung terlihat.

Lady Pin membalik halaman pertama buku harian itu, membaca kata-kata di halaman itu lagi.

16 Oktober,

Sebenarnya, di Istana Sawetawarit, selain Bibi Pad, adik perempuan yang memiliki garis keturunan yang
sama dengan ayahku, banyak juga pangeran dan putri yang berada di Istana Utama. Meski mereka saudara
jauh, namun jika diperhatikan lebih dekat, mereka dianggap sebagai sepupuku.

Ada Pangeran Anantawut di Istana Burapha, dan ada Pangeran Anon yang sedang belajar di Inggris.

Ada juga Putri Anil.

Gadis kecil ini, satu tahun lebih muda dariku. Ia memiliki tubuh yang tinggi dan kurus, kulit yang putih, dan
wajah yang sangat ceria. Keistimewaannya adalah dia mempuntai sepasang lesung pipit di wajahnya, yang
terlihat sangat menggemaskan.

Untungnya Bibi Pad adalah putri angkat Putri Klai, sehingga ia juga dianggap sebagai saudara angkat Raja.

Para pangeran dan putri di Istana Sawetwarit juga memperlakukan Bibi Pad seperti Bibi kandungnya.

Kami juga melakukan tanggungjawab kami sebagai saudara mereka.

Kalau tidak, aku harus memanggil putri yang nakal dan suka membuat onar ini sebagai bibi, dan itu akan
sangat lucu.

Lady Pin melihat tulisan di halaman itu dan menghela nafas kebingungan. Dia menutup buku hariannya, mengingat
apa yang dikatakan Bibi Pad setahun yang lalu.

"Sejak datang ke Inggris untuk mengunjungi sang putri, Raja sangat mengkhawatirkan pernikahan sang putri."

Lady Pin sedang merangkai bunga segar di atas nampan perak, bersiap membuat karangan bunga untuk ibadah.
Saat mendengar Bibi Pad menyebut pernikahan Putri Anil, tangannya tiba-tiba berhenti.

"Mengapa Raja begitu cemas, Bibi?"

"Dia tidak bisa menemukan pria yang layak untuk putrinya. Setiap orang yang menjadi kandidat baiknya, sudah
mempunyai istri atau kekasih dan terlalu tua."

"Kalau begitu Putri Anil bisa melajang seperti Bibi Pad, kan?" Mata Lady Pin berbinar dan dia bertanya.

"Sulit sekali, Pin. Sejak kecil aku telah mengabdi pada tuanku, tidak apa-apa kalau aku tidak menikah. Tapi
Sawetawarit adalah keluarga kerajaan yang besar, kaya akan kekayaan dan status, tidak peduli bagaimana kamu
mengatakannya, Putri Anil harus punya pasangan hidup."

"..."

"Nantinya Lady Pin juga harus punya pasangan."

"..."

"Aku sudah menemukan pasangan yang cocok untukmu."

Mendengar perkataan bibinya, hati Lady Pin serasa diremas oleh tangan tak kasat mata. Malam itu, dia tidak bisa
tidur sama sekali. Sejak hari itu, setiap kali dia mengira dia telah lupa, kata-kata Bibi Pad sesekali muncul di
benaknya...

Kata-kata bibinya bagaikan jarum kecil yang tak terhitung jumlahnya, menusuk perasaannya, membuatnya
mengerti apa itu 'pengendalian diri'.

Tetapi...

Terkadang perkataannya hanyalah lapisan kabut tebal. Ketika Lady Pin tidak bisa menahan emosi di hatinya, dia
akan memilih untuk melupakannya dan menghilang di suatu sudut.

Saat ini, Lady Pin semakin teringat apa yang dikatakan Bibi Padmika.

Dia berjalan mendekat membuka jendela kamar tidur. Kemudian berdiri di samping jendela. Dengan tangan di
silangkan, memandang Istana Pinus di luar jendela. Hari ini, Istana Pinus terlihat sangat gelap dan redup, seperti
awan hujan kelabu.

Hanya karena pemilik istana itu tidak hadir.

Istana Pinus di hati Lady Pin juga menjadi suram, tanpa cahaya apapun...

Saat senja sekitar seminggu kemudian, Putri Padmika kembali ke Istana Bua. Saat ini, Lady Pin sedang berdiri di
depan gerbang, dengan hangat menantikan kedatangan Putri Padmika kembali, berharap mendengar kabar dari orang
yang dirindukannya siang dan malam.

"Apakah Lady Pin datang ke gerbang untuk menjemputku hari ini?" Ucap Putri Padmika sambil tersenyum. Dia
mengenakan gaun one-piece hitam dengan hiasan renda.

"Aku khawatir Bibi Pad lelah karena naik kereta, jadi aku datang menjemputmu." Melihat wajah Putri Padmika yang
lelah, Lady Pin sungguh mengkhawatirkan bibinya saat ini. "Apakah Putri Dararai dan Putri Euang baik-baik saja?
Apakah mereka sudah merasa lebih baik?"

"Putri Dararai jauh lebih baik. Sebelum aku pergi, aku melihat ekspresinya terlihat jauh lebih baik." Putri Padmika
tersenyum ramah pada keponakannya. "Adapun Putri Euang, awalnya baik-baik saja, tetapi ketika dia mendengar
bahwa Putri Anil harus pulang lebih awal, dia mulai merasa sedikit sedih."

"Putri Anil sudah kembali?" Mata coklat indah Lady Pin berbinar. "Bukankah dia bilang kamu ingin tinggal
seminggu lagi?"

"Pangeran Kedua mempunyai urusan mendesak yang perlu diselesaikan, itu sebabnya dia meminta sang putri untuk
kembali bersama."

"Benar begitu?" Lady Pin diam-diam menghela nafas lega dan menunjukkan senyuman.

Penantiannya akhirnya berakhir...

Setelah berpikir lebih dari seminggu, mengklarifikasi setiap hal satu per satu, saat ini, orang yang paling ingin
ditemui Lady Pin adalah Putri Anil.
Matanya beralih ke Istana Pinus, istana itu memancarkan cahaya kuning pucat. Begitu pemilik istana kembali,
tempat itu langsung menjadi terang dan ramai.

Tapi bagaimanapun juga, dia tetap bertekad untuk pergi menemui Putri Anilaphat malam ini.

Ada sesuatu yang penting yang harus ia lakukan, Lady Pin harus segera memberitahu sang putri...

~Bersambung~
BAB 21

Jangan lupa vote (⭐) ya

Pinpak

(Jepit Rambut)

Catatan : Pinpak, bab ini adalah bab berjudul sama dalam novel. Menurut penjelasan penulis, Pin merupakan jepit
rambut. Pak, berarti "setia" dalam bahasa Thailand. Oleh karena itu, secara harafiah diterjemahkan sebagai jepit
rambut setia, dan nama Inggrisnya adalah The Loyal Pin yang artinya jepit rambut emas dan perak sebagai benda
simbolis.

----------

Pintu kamar tidur terbuka cukup lebar, terlihat Putri Anilaphat mengenakan gaun panjang hitam. Saat ini dia sedang
duduk di meja di sebelah patung Buddha, sedang fokus melepas anting-antingnya.

Lady Pin menarik napas dalam-dalam, merasa sedikit gugup. Dia memutuskan untuk mengetuk pintu kayu itu, agar
pemilik kamar tahu bahwa dia ada disana.

Ketika dia melihat Putri Anilaphat berbalik dan memandangnya dengan bertanya-tanya...

Lady Pin tiba-tiba merasa sedikit sesak napas...

Sang putri memasukkan sepasang anting yang baru saja dilepasnya ke dalam kotak perhiasan yang dihias dengan
indah. Dia kemudian mengulurkan tangannya dan memberi isyarat agar Lady Pin duduk di tempat tidur, bukan
duduk di sofa panjang di ujung tempat tidur.

"Khun Pin... duduklah."

Putri Anilaphat berbicara dengan tenang, membuat orang lain sulit menebak niatnya, seolah memaksa Lady Pin
menuruti perintah sang putri tanpa syarat. Setelah itu, Putri Anilaphat mengalihkan perhatiannya dan dengan tenang
melepaskan anting-anting yang tersisa.

Lady Pin memandangi sosok cantik Putri Anilaphat melalui cermin tanpa berkedip. Putri Anil mengenakan pakaian
berwarna hitam, yang membuat kulitnya semakin putih nyaris bersinar. Bibir merahnya menonjolkan wajahnya yang
cantik cantik dan menyentuh hati.

Bagi Lady Pin... Kecantikan Putri Anilaphat terkadang seperti terangnya sinar matahari di siang hari, indah dan
murni. Namun, terkadang selembut cahaya bulan di malam hari. Begitu dalam dan menggoda.

Saat ini... kecantikan itu membuat Lady Pin Tergila-gila sampai tak mampu mengendalikan diri.

Putri Anilaphat dengan anggun melepas kalungnya yang bertahtakan batu rubi. Setelah meletakkan semua perhiasan
dengan rapi di dalam kotak perhiasan, sang putri diam-diam berjalan ke seberang Lady Pin dan duduk di tempat
tidur.

Sang putri masih tersenyum, namun senyumannya tidak lagi semanis dulu. Seolah-olah mengoleskan obat yang
pahit. Dia tampak tenang tapi terluka.

"Aku tidak menyangka akan bertemu Lady Pin malam ini."

"Jadi Anil ingin aku pergi dari sini?" Lady Pin terlihat sangat sedih.
"Tidak, aku hanya sedikit terkejut."

"Ada hal penting yang ingin kukatakan pada Anil."

Putri Anil mengangkat alisnya bingung.

"Apa?"

"..."

Namun Lady Pin tidak langsung menjawab pertanyaan Putri Anilaphat. Matanya sedikit ragu, lalu tiba-tiba
mengganti topik pembicaraan.

"Anil... demammu sudah hilang?"

Lady Pin bertanya dengan lembut, lalu mengulurkan tangan memegang tangan Putri Anilaphat yang putih dan
lembut.

"Sudah sembuh," kata Putri Anilaphat sambil mengelus lembut punggung tangan Lady Pin dengan ibu jarinya, "Aku
tidak akan mengganggu Khun Pin lagi karena demam ini."

Nada rendah menyalahkan diri sendiri dari sang putri membuat Lady Pin tidak nyaman. Dia tahu bahwa karena
diamnya malam itu, Putri Anil terjerumus ke dalam jawaban yang samar-samar. Setelah itu tidak ada lagi
kesempatan bagi mereka berdua melangkah lebih jauh dan membicarakan semuanya dengan lebih baik.

"Anil, jangan katakan itu." Tangan Lady Pin menggenggam tangan sang putri semakin erat, "Anil tahu segala
sesuatu yang berhubungan dengan Anil..."

"..."

"Tidak pernah membuatku merasa terganggu."

Saat ini mata coklat indah Pilantita terlihat sangat serius dan penuh perhatian. Tapi ketika mata sang putri yang
gelap, dan tajam kembali menatapnya, dia tidak bisa menahan diri untuk nembuang muka.

Melihat situasi ini, Putri Anilaphat tertawa terbahak-bahak dan tersenyum cerah, memperlihatkan lesung pipitnya.
Ini pertama kalinya Pilantita melihatnya setelah belakangan ini.

Dialah yang membuat senyum sang putri menghilang...

Dia pula yang membuat senyum cerah sang putri muncul kembali di wajah cantiknya.

"Sudah lama sekali sejak aku terakhir kali melihat Khun Pin." Sang putri berbicara dengan lembut, lalu dia
menyandarkan diri pada tubuh Lady Pin.

"Anil merindukanmu, Khun Pin..."

Lady Pin tidak bisa mengendalikan dirinya lagi. Ia hanya bisa tersenyum malu. Kemudian dia berpura-pura seolah
tidak terjadi apa-apa, bertingkah seperti setiap kali dia dibujuk oleh suara merdu Putri Anilaphat.

"Aku pikir Anil terpesona dengan Chiang Mai dan tidak ingin kembali ke Bangkok lagi."

Kilatan ketidakpuasan muncul di mata coklat cerah Lady Pin. Namun Putri Anilaphat hanya bisa terus berpura-pura
tersenyum, tidak mengetahui apa yang telah terjadi.

"Aku masih marah."

"Apa?"
"Anil tidak pernah memberitahuku tentang rencana pergi ke Chiang Mai." Suara manisnya terdengar seperti omelan
dan kesedihan.

"Aku sempat ingin membicarakannya sebelum aku mendengar tentang kematian Pangeran Chakkham."

"Oh, begitukah?"

"..."

"Bahkan ketika aku ingin memberitahu Khun Pin, bukankah Lady Pin selalu menghindariku?" Putri Anilaphat
mengangkat sudut mulutnya sedikit bangga, seolah-olah dia lebih unggul.

"Aku tidak tahu apakah Anil benar-benar ingin memberitahuku atau tidak. Kalau kamu mau, kamu selalu mencari
waktu yang tepat untuk memberitahuku." Lady Pin dengan keras kepala menyangkal.

"Jadi aku boleh memberitahumu sekarang?"

"..."

"Seminggu lalu, Ibu dan aku memutuskan untuk pergi ke Chiang Mai."

"Sudah terlambat, Anil!"

"Hah, begitu ya?"

Kata sang putri, senyumnya semakin cerah. Dia perlahan-lahan mendekat ke tubuh gadis yang canggung itu, hingga
keduanya saling menempel.

"Kalau begitu Khun Pin boleh menghukum Anil..."

"..."

Mata Putri Anil bagaikan api yang membara, membuat Lady Pin mau tidak mau harus mengalihkan topik
pembicaraan.

"Bagaimana kabar keluarga disana?" Lady Pin bertanya dengan hati-hati.

"Sepertinya aku belum melupakannya." Jawab Putri Anilaphat. Mau tak mau dia memikirkan anggota keluarga
Pangeran Chakkham yang sedang berduka atas kematiannya.

"Bibi Dararai sangat tegar. Seakan dia sudah mempersiapkan hatinya. Tapi sepertinya sepupuku Putri Euang masih
belum bisa melepaskannya."

"Jadi Anil pasti lelah sekali karena harus menghibur mereka terus-terusan kan?" Kata-kata Lady Pin pada akhirnya
terasa agak pahit. Pikirannya terungkap begitu jelas sehingga Putri Anil langsung menyadarinya.

"Tidak lelah, Anil malah senang sekali." Sang putri tersenyum nakal, lalu tanpa rasa takut menatap mata marah
orang di depannya.

"Benarkah?" Alis Lady Pin yang panjang dan tipis tiba-tiba mengkerutkan kening.

"Itu karena, Putri Euang adalah sepupuku. Jika bukan Anil yang menghiburnya, lalu siapa lagi?" Putri Anil masih
tersenyum yang sama.

Dia melihat wajah Lady Pin perlahan-lahan berubah.

Kemarahannya semakin jelas...

"Aku hanya berharap kalian berdua tidak saling berpelukan dan menghibur satu sama lain sepanjang waktu." Lady
Pin mengangkat kepalanya dengan angkuh dan menatap sang putri dengan tajam. Namun sang putri masih memiliki
senyuman di wajahnya.

"Kenapa di lebih-lebihkan."

"..."

"Lagi pula, Anil tidak memeluknya setelah dia tertidur."

"Apakah kalian berdua berada di ruangan yang sama?" Lady Pin terdiam lama sebelum bertanya dengan dingin pada
Putri Anilaphat.

"Benar," jawab Putri Anilaphat dengan tenang, "Lagi pula, kerabatnya saat itu banyak. Jadi Putri Euang meminta
Anil untuk menginap di kamarnya selama beberapa malam."

Jika menghitung semua istana besar dan kecil di rumah pangeran, bagaimana mungkin tidak ada cukup ruangan
untuk ditinggali seperti yang dikatakan Putri Anilaphat. Namun ketika Putri Euang dengan sedih meminta untuk
tinggal bersamanya, sulit bagi Putri Anil untuk menolaknya.

Putri Anil pun tak luput memperhatikan tingkah aneh sepupu cantiknya ini. Entah itu diam-diam menatap Putri Anil,
ketika dia tidak memperhatikan, atau kata-kata manis dengan makna tersembunyi, atau bahkan sikap mesra ketika
mereka berdua sedang bersama.

Hanya saja sang putri berpura-pura bodoh, bertingkah seolah tidak tahu apa-apa.

"..."

Wajah cantik Lady Pin tenang namun hatinya tidak. Hanya karena dia memahami pikiran Putri Euang lebih baik
dari siapapun.

Dia benar-benar kesal sampai mati...

"Apa kalian berbaring di ranjang yang sama?" Pada akhirnya, Lady Pin tetap memberanikan diri untuk bertanya.

"Tidak..." Putri Anil berkata dengan suara santai, "Putri Euang membentangkan selimut di lantai di samping tempat
tidur. Aku berkali-kali memintanya untuk tidur denganku tetapi dia menolak."

Lady Pin menggigit bibirnya, tidak tahu sudah berapa kali hal ini terjadi... Dia benci dengan keterusterangan yang
berlebihan dari putri kecil keluarga Sawetawarit ini.

"Kamu benar-benar keterlaluan."

"Lady Pin, apakah kamu cemburu pada Anil?" Kata Putri Anilaphat, ingin mengganggu gadis yang cemberut itu,
seperti biasa. Namun kali ini, Lady Pin tidak berpura-pura bodoh seperti biasanya.

"Ya..."

"..."

"Keinginanku untuk memiliki Anil sangat kuat."

"..."
"Lagipula aku seperti ini sejak dulu."

"..."

"Anil juga tahu kalau keinginanku untuk memiliki Anil sangat kuat, tapi kamu selalu pura-pura tidak tahu."

Meski alis Lady Pin masih berkerut, tatapannya menjadi sangat tenang dan penuh tekad. Putri Anilaphat bermaksud
melontarkan lelucon untuk menggoda Lady Pin dan membuatnya marah. Tapi ketika dia mendengar jawaban
langsung dari Lady Pin, dia hanya bisa menelan ludahnya.

Ini adalah pertama kalinya sang putri tidak berani menatap mata seseorang secara langsung, dan ini juga pertama
kalinya dia cepat-cepat mengubah topik pembicaraan...

"Itu benar...Aku punya sesuatu yang penting untuk diberikan kepadamu."

Putri Anilaphat berkata dengan cepat sebelum berdiri untuk mencari barang-barangnya di dalam koper yang dia
letakkan di ujung tempat tidur.

"..."

Lady Pin mengerutkan bibirnya saat mengetahui bahwa Putri Anilaphat sengaja menghindari topik Putri Euang.
Memang benar mereka adalah saudara yang sangat dekat!

Putri Anilaphat dengan cepat menemukan "hadiah" yang dia cari dan kembali ke tempat tidur dengan dua kotak
kayu berukir indah.

"Apa ini, Anil?"

"Jepit rambut. Bibi Dararai memberi Anil sepasang jepit rambut emas dan jepit rambut perak."

Putri Anilaphat membuka dua kotak kayu. Kotak pertama berisi jepit rambut berwarna perak, pada bagian atasnya
terdapat pola ukiran yang terjalin, dihiasi dengan jumbai perak, terlihat sangat anggun. Kotak kedua berisi jepit
rambut emas yang ujungnya berupa mahkota, diukir berbentuk mawar biru. Keduanya adalah jepit rambut yang
berpasangan.
Hanya dengan sekali pandang, Lady Pin tahu betapa berharganya kedua kerajinan tangan Chiang Mai ini. Mungkin
karena Putri Dararai sangat mencintai Putri Anilaphat, sehingga dia dengan murah hati memberikan kedua harta
tersebut.

"Anil berharap kita berdua bisa memiliki sepasang jepit rambut ini."

Putri Anilaphat berkata sambil tersenyum, mengambil jepit rambut emas dan menaruhnya di tangan Lady Pilantita.

"Aku tidak bisa menerima sesuatu yang begitu berharga seperti ini, Anil." Lady Pin dengan hati-hati memperhatikan
jepit rambut itu. Semakin dia melihatnya, semakin dia merasa bahwa jepit rambut itu benar-benar berharga. Dia
tidak bisa tidak mengungkapkan pikirannya.

"Kamu berani menolak hadiah dari seorang Putri?"

"Anil satu tahun lebih muda dariku, apa kamu lupa?" Lady Pin cemberut.

"Jika kita mempertimbangkan status, aku masih Bibi kecil Khun Pin, apakah kamu lupa?"

Kata Putri Anil sambil tertawa terbahak-bahak. Namun dalam perkataannya tidak ada niat untuk berkompromi atau
mengalah pada Lady Pin.

Tidak dapat dibantah. Lady Pin menggigit bibirnya. Kemudian, Putri Anilaphat mengambil jepit rambut emas dari
tangan Lady Pin dan tersenyum manis pada gadis frustasi di depannya.

"Jangan cemberut seperti itu. Anil akan memakaikannya untukmu." Setelah selesai berbicara, Putri Anilaphat duduk
di belakang Lady Pin. Saking dekatnya, membuat Lady Pin sedikit sesak.

"Lady Pin, patuh dan jangan bergerak."

Putri Anilaphat berbisik ke telinga Pilantita yang merah. Dia mengusap rambut hitam halus sepanjang pinggangnya.
Kemudian, dia mengikat rambut panjang Lady Pin menjadi sanggul lalu menggunakan jepit rambut emas itu,
membuatnya begitu cantik.

"Cantik sekali, Khun Pin."


Putri Anilaphat berseru ketika Lady Pin menoleh ke arahnya. Jumbai kuning jepit rambut emas cantik itu menjuntai
di rambut panjang Lady Pin yang indah, membingkai wajah cantiknya. Kecantikannya dan kebangsawanannya
berada di luar imajinasi sang putri.

Dengan tatapan kagum, Putri Anilaphat mengangkat tangannya membelai lembut pipi kemerahan Lady Pin.
Matanya berbinar saat ini, dipenuhi sinar cinta dan gairah yang tak bisa disembunyikan pada Lady Pin.

Yang tidak biasa adalah Lady Pin memandangnya dengan tatapan yang sama. Dia tidak lagi menghindarinya seperti
sebelumnya. Ibu jari Putri Anilaphat membelai bibir Lady Pin pelan.

"Dari sekarang..."

Sang putri menelan ludah, mencoba menekan emosi yang mengalir di hatinya, dan terus berkata dengan lembut.

"Jepit rambut ini hanya milik Khun Pin"

Air mata Lady Pin tiba-tiba mengalir. Dia memahami lebih baik dari siapa pun akan arti mendalam dari hadiah jepit
rambut Putri Anilaphat. Sekarang, di kepalanya dia mengulangi pengakuan itu berulang kali. Saat bibirnya
merasakan rasa nyaman dari belaian tangan sang putri.

Kesadarannya berangsur-angsur menjadi kabur...

Akhirnya, tanpa disadari, kata-kata yang terus muncul di kepalanya tercurah...

"Aku pernah bilang pada Anil, aku tak tahu apakah aku mencintai Anil."

"..."

"Aku berbohong."

"..."

"Sebenarnya, aku tahu pasti... Aku selalu tahu dengan jelas."

"..."

"Aku tahu betapa aku... mencintai Anil."

Lady Pin mengangkat kepalanya dan menatap tajam ke arah orang di depannya...

Sesaat kemudian, dengan hormat dia duduk bersila di depan sang putri. Lady Pin membungkuk padanya,
mengungkapkan rasa hormatnya yang setinggi-tingginya kepada Putri Anilaphat. Kemudian dia berdiri dan berjalan
mendekat, dengan malu-malu mencium pipi sang putri. Kemudian, dia perlahan-lahan mengulurkan tangannya,
memeluk erat pinggang ramping sang putri, dan membenamkan wajahnya di pelukan Putri Anilaphat.

Saat ini, sang putri sangat terkejut dan tercengang dengan apa yang terjadi di depan matanya.

Lady Pin memeluknya lebih erat dan berbicara dengan suara tegas dan tidak tergoyahkan.

"Mulai sekarang......"

"Jepit rambut ini selamanya akan menjadi milikku."

"Dan Pilantita hanya milik Putri Anilaphat seorang..."

~Bersambung~
BAB 22

Jangan lupa vote (⭐) ya

Memakaikan Jepit Rambut

Catatan : Bab ini diceritakan dari sudut pandang Putri Anilaphat.

"Dan Pilantita hanya milik Anil seorang..."

Meskipun dia hanya menggunakan kalimat yang sederhana dengan suara paling manis, tanpa perlu makna rumit
yang perlu dijelaskan. Karena otakku kosong saat itu, aku sangat sulit untuK memahaminya.

Saat ini, telingaku dipenuhi dengan suara detak jantungku sendiri. Sepertinya ada banyak sekali kupu-kupu yang
beterbangan di perutku. Akalku yang dulunya sulit untuk di goyahkan, kini kehilangan arah karena kebahagiaan ini.

Jika kalimat Lady Pin yang lalu, "Bagaimana kita bisa saling mencintai dengan cara seperti ini?" telah meracuni dan
menghancurkanku, mendorongku ke dalam jurang siksaan dan rasa sakit... Maka kini dia juga telah memberi obat
penawar yang menyembuhkanku. Ia telah mengembalikan kebahagiaanku seperti semula.

Dalam hidupku...tidak ada kata-kata yang lebih indah dan menenangkan dari kata-kata sederhana yang diucapkan
Lady Pin malam ini.

"Pilantita... Milikku?"

Dia dengan malu-malu membenamkan wajahnya di dadaku. Aku mengangkat tanganku, lalu mengangkat dagunya
dengan ujung jariku agar aku bisa menatap matanya lebih lekat lagi. Aku merasakan wajahnya memanas, seperti
sedang demam.

Mata coklat itu yang tadinya tampak bimbang dan keraguan, kini dipenuhi tekad dan keteguhan hati, tak ada lagi
keraguan yang bisa meragukannya...

"Aku... milik Anil."

"..."

"Selamanya milik Anil."

Setelah mendengar pengakuan yang penuh kasih, aku tidak bisa menahan senyum. Terutama, saat aku melihat
pancaran gairah dan cinta terlihat jelas di matanya... Aku merasakan emosi yang selama ini kupendam, tiba-tiba
terlepas dan tidak bisa kukendalikan.

"Beri tahu aku, Anil..."

"..."

"Anil milik siapa?"

Mata coklat jernih Lady Pin terlihat agak asing sekarang. Sebagian lembut dan manis, separuhnya lagi menuntut dan
keras kepala. Dia sabar menunggu dengan pantang menyerah...

Dan aku tidak tahan lagi. Aku mengulurkan tangan dan membelai pipi kemerahan orang keras kepala di depanku.
Melihatnya masih menatapku, seolah menunggu jawaban...
Aku membungkuk dan mencium keningnya dalam-dalam, berharap ciuman ini akan menjadi sumpah di antara kami.

"Sebenarnya dari awal Anil sudah menyerahkan diri pada Khun Pin..."

"..."

Lady Pin menanggapi kata-kataku dengan senyuman dan air mata. Tangan rampingnya dengan lembut membelai
pipiku, membuat jantungku kembali berdebar kencang.

Sepasang matanya yang manis seolah merayuku, mengundangku untuk mencium pipinya. Aroma pipi Lady Pin
begitu manis dan menggoda hingga membuatku terpesona. Aku membiarkan emosiku memandu tindakanku. Dan
tanpa kusadari, bibir kami sudah saling menyentuh.

Perasaan hangat dan lembut itu berhenti tiba-tiba karena dorongan yang tiba-tiba. Lady Pin tersipu dan
memalingkan wajah, tangan kecilnya masih mendorongku menjauh.

"Anil...bisakah kamu berhenti sebentar?"

"Kenapa...?"

"Aku..."

"Atau karena, Khun Pin membenci Anil...?"

"Bukan!"

"..."

"Siapa yang bisa membenci Anil?" Lady Pin mengangkat kepalanya dan berbicara dengan nada malu-malu.

"Jika tidak membenciku...lalu kenapa Khun Pin mendorong Anil menjauh?" Aku berpura-pura bertanya padanya.

"Aku hanya..."

"..."

"Aku tidak bisa bernapas."

Aku tidak bisa menahan tawa ketika aku melihat Lady Pin dengan malu menundukkan kepalanya dan menggigit
bibirnya. Lady Pin langsung memandangku dengan marah.

"Anil... Apa yang kamu tertawakan?"

"Aku tertawa karena aku sangat menyukai Khun Pin."

"..."

"Khun Pin sangat menggemaskan..."

Aku tersenyum dan berkata, lalu memeluk pinggang rampingnya, menyuruhnya duduk di pangkuanku. Wajahnya
mendekat ke bahuku. Saat ini aku dapat merasakan dengan jelas... betapa cepat detak jantung Lady Pin...

"Tidak ada yang lebih menggemaskan dari Anil," kata Lady Pin sambil membelai pipiku dengan jari telunjuknya.
Dia tampak begitu penuh kasih sayang, seolah-olah aku adalah seorang gadis kecil.

"Terutama saat Anil tersenyum..."

"..."
"Lesung pipit Anil menggemaskan sekali..."

Dia tersenyum manis dan menunduk untuk mencium pipiku, menumpahkan seluruh perasaannya.

"Aku selalu berharap..."

"..."

"Suatu hari nanti aku bisa mencium lesung pipi Anil..."

Aku tidak tahu apakah itu karena kata-kata manis Lady Pin... atau karena ciumannya yang lembut di pipiku...

Itu benar-benar membuatku mabuk dan tersesat di alam mimpi...

"Tapi Anil tidak berpikir seperti ini. Anil hanya ingin melahap Khun Pin..."

Lalu aku mencium bibirnya. Setelah dia terdiam cukup lama karena khawatir, aku menjulurkan lidahku untuk
merasakan rasa manisnya...

Ciuman ini penuh hasrat, kehangatan dan manis... Apalagi saat Lady Pin menerima ciumanku, lalu dengan penuh
perhatian memeluk bahuku, menariknya mendekat, seolah tidak ingin membiarkanku pergi. Aku semakin tenggelam
dalam ciuman ini, tidak mampu mengendalikan diriku lagi...

Saat ini aku begitu terikat, aku tidak mampu melepaskan bibirnya... Lidah hangat Lady Pin mulai menggeliat
meresponsku, membuat hatiku bergetar.

Jadi kita bisa melanjutkannya, kan?

Aku terus bertanya-tanya pada diriku sendiri, namun sebelum jawaban itu tiba, aku mulai mencium bagian belakang
telinganya dan lehernya yang jenjang.

Sebuah tangan kecil dengan lembut menyentuh bahuku. Dan orang yang duduk di pangkuanku menggigit bibirnya
dengan terkendali, membangkitkan hasrat di hatiku...

"Khun Pin... Malam ini..."

"Bolehkah Anil memilikimu...?"

Bisikku di telinga Lady Pin, lalu dengan lembut menggigit daun telinganya.
Lady Pin terdiam lama. Wajahnya yang memerah menatapku. Lalu dia menelan ludahnya dan menjawab
pertanyaanku dengan lembut dan tenang...

"Aku memang sudah jadi milik Anil..."

"..."

"Anil bisa melakukan apapun yang kamu mau."

Wajah manis Lady Pin kini menunjukkan bahwa ia telah melaui pertimbangan yang matang.

Jika memang begitu, maka aku tidak akan ragu lagi...

Dengan tangan sedikit gemetar, perlahan aku membuka kancing bajunya. Begitu tak sabar sehingga napasku
berhenti setiap kali aku berhasil membukanya. Saat jemariku menyentuh kulitnya yang lembut dan halus, aku bisa
merasakan tubuh Lady Pin terasa panas seperti sedang demam.

Aku harus menarik napas dalam-dalam dan menelan ludah...

Kemudian gerakan tangan itu berlanjut secara perlahan... hingga 2 gunung di dada Lady Pin tampak di depan
mataku.

Aku hampir berhenti bernapas...

Namun Lady Pin dengan malu-malu mengangkat tangannya untuk menutupi dadanya yang indah. Kulit halusnya
kini memerah di sekujur tubuhnya. Aku tersenyum lembut, mencoba membuatnya lebih nyaman, lalu perlahan
melepaskan tangannya, membiarkan tangannya yang menutupi dadanya terulur dan melingkari leherku.
"Anil..."

"Ya...."

"Aku malu..."

"Kenapa kamu malu... Khun Pin cantik sekali." Kataku sambil mencium lembut puncak gunung merah muda itu.
"Bisakah Khun Pin memberikannya pada Anil?"

Lady Pin dengan malu-malu membuka matanya dan menatapku, lalu ciuman penuh gairah jatuh di bibirku,
menggantikan jawabannya...

Aku mengulurkan tangan dan meraih tusuk rambut emas dari sanggulnya. Rambut hitam panjangnya tergerai di
leher putih mulusnya. Lalu aku dengan lembut mendorong bahunya, membiarkannya berbaring di atas bantal.
Mengulurkan tangan melepas gaun dan celana dalamnya, memperlihatkan tubuh langsingnya di depan mataku. Saat
ini, kain longgar itu benar-benar merusak pemandangan...

Namun, Lady Pin segera bersembunyi di bawah selimut. Rasa malunya membuatku mengerti dan tersenyum. Aku
mematikan lampu tidur, hanya menyisakan lampu kecil dengan cahaya redup, berharap dapat membantu mengurangi
kekhawatiran Lady Pin.

Setelah itu, aku pun melepas pakaianku, seluruh tubuhku menempel dengan tubuh hangat Lady Pin. Aku juga
menarik selimut tipis untuk menutupi tubuh kami berdua.

Sentuhan kulit halus orang di bawahku begitu lembut hingga membuatku bergairah.

"Khun Pin..."

"..."

"Apa kamu mencintai Anil?"

Tanyaku padanya sambil dengan lembut membelai kedua puncak Lady Pin dengan jariku. Tapi dia mengatupkan
bibirnya erat-erat dan tidak mengucapkan sepatah kata pun...

Jadi aku menggodanya dengan bibirku, lalu menghisapnya dengan penuh gairah.

Lady Pin terkejut dan memelukku erat.

Tapi masih belum ada jawaban...

Jadi...

Jariku perlahan menelusuri tubuh Lady Pin, mendesaknya untuk menjawab. Setiap kali ujung jariku membelai
tubuhnya yang panas, aku bisa merasakan dia menahan napas dan perut bagian bawahnya tanpa sadar menegang.

Namun, Lady Pin tetap diam... Dia hanya memelukku erat dan menciumi wajahku dengan lembut tapi tetap tidak
memberiku jawaban apa pun.

Aku membalas ciumannya dengan semangat... Keringat di keningnya mengalir di bulu matanya yang indah, terus
mengalir di pipi dan dagunya yang kemerahan. Aku menempatkan ciuman ringan di belakang telinga merah
mudanya dan di lehernya. Seolah menanggapi sentuhan panas ini, Lady Pin memeluk pinggangku lebih erat,
membuat tubuh kami saling menempel.

Tanganku membelai puncak indah Lady Pin, lalu menggunakan ujung lidahku yang panas untuk menjilat dan
mengisap puncak yang tegak berwarna merah muda itu, sambil menggigit dan menggoda.

Tubuh panas Lady Pin sedikit gemetar dan melengkung, tanpa sadar ia merespon sentuhan dari ujung lidahku...
Setelah puas menikmati 'stroberi manis' Lady Pin... lidahku turun ke bawah dan mulai menikmati rasa perutnya yang
rata dan mulus. Saat ini suasana menjadi sesak karena Lady Pin bernapas dengan cepat.

Aku mengangkat kepalaku untuk melihat wajahnya yang memerah. Saat ini dia menggigit bibirnya. Aku yang
dipenuhi gairah, menundukkan kepalaku lagi, dan menggunakan bibirku yang hangat untuk meluncur di kaki Lady
Pin ke bawah selimut.

Lady Pin terkejut dan cepat-cepat menyatukan kedua kakinya. Sepasang tangan kecil tak berdaya berusaha
mengangkat wajahku dan melepaskannya dari posisi tersebut.

"Tidak Anil... Tidak mungkin disana, itu bukan tempat yang tepat..."

"Kenapa kamu berkata begitu, Khun Pin...?" Aku berbicara dengan manja seperti orang mesum.

"Aku malu... Anil, berhentilah menggodaku."

"Baiklah." Ucapku sambil tersenyum, lalu menundukkan kepalaku, sambil menggoda menjilat kacang kecil merah
Lady Pin yang manis dan basah di pangkal kakinya dengan lidahku, sambil menunggunya tenang.

"Anil!"

Aku hanya mendengar suara agak kesal Lady Pin, lalu semuanya menjadi sunyi.

Lady Pin memegang erat sprei dengan satu tangan dan meremas bahuku dengan tangan lainnya. Namun rasa manis
dari Lady Pin yang sudah lama kuimpikan membuatku melupakan sejenak rasa sakitnya...

Lidahku yang panas tidak henti-hentinya masuk jauh ke dalam tubuh Lady Pin. Tubuhnya begitu panas seperti api
hingga dia gemetar karena kenikmatan... Lady Pin mengulurkan tangan untuk meraihku dan memelukku erat, seolah
dia akan tenggelam.

Dengan penuh kasih aku memeluk tubuh lembut Lady Pin. Dia terus gemetar untuk beberapa saat, lalu perlahan-
lahan menghembuskan napas dan menenangkan diri.

"Sudah kubilang jangan ciuman disana... tapi Anil tetap melakukannya." Lady Pin terus mengeluhkan
ketidakpatuhanku. "Lihat, mulut Anil kotor sekali."

Meskipun dia masih menyalahkan... Tapi saat ini jemari ramping Lady Pin sedang mengusap bibirku dengan penuh
kasih.

"Anil sudah bilang pada Khun Pin, aku ingin melahap seluruh tubuhmu," kataku sambil tersenyum, "Anil juga masih
ingin menghukummu..."

"Menghukumku?" Lady Pin mengerutkan kening karena bingung.

"Menghukum Khun Pin, karena Khun Pin tidak menjawab saat Anil tanya, "Apa Khun Pin mencintai Anil atau
tidak..." Aku memasang wajah sedih yang tidak bisa kusembunyikan.

"Semuanya telah terjadi pada titik ini......"

"..."

"Dan Anil masih belum mengerti?" Lady Pin tersenyum manis sambil menatapku dengan kasih sayang. Dia
melingkarkan lengannya di leherku, menarikku mendekat dan berbisik di telingaku.

"Kalau aku tidak mencintai Anil..."

"..."

"Aku tidak akan membiarkan Anil melakukan ini..."


"..."

"Kalau Anil masih belum mengerti... maka tolong dimengerti..."

"..."

"Aku sangat mencintai Anil..."

Bisikan serak Lady Pin terdengar merdu di telingaku, membuat hatiku dipenuhi kebahagiaan yang sulit ditemukan
dalam hidup ini...

"Tapi Anil lebih mencintai Khun Pin..."

Aku sangat percaya diri mengungkapkan cintaku. Dia tersenyum dengan senang hati menerima apa yang aku
katakan. Lalu dia menarik wajahku dan memulai ciuman yang dalam dan penuh gairah...

Aku membalas ciumannya seolah hasratku tak pernah terpuaskan. Setelah itu semua terjadi secara alami. Kini kedua
jariku menunggu menyentuh tempat basah di bawahku...

Sebelum melangkah lebih jauh...

Aku membelai dengan lembut, mendorongnya dengan perlahan...

Menyerang kota dan merebut tanah...

Masuk lebih dalam, dan lebih dalam...

Semakin cepat, dan lebih cepat lagi...

Panas, dan sesak...

Mencapai puncak kenikmatan, dan melupakan diri sendiri...

Lalu air pasangperlahan mengalir keluar.

~Bersambung~
BAB 23

Jangan lupa vote (⭐) ya

Kebahagiaan Lady Pin

"Khun Pin?"

Suara rendah Putri Anilaphat terdengar di telinga lady Pin... Saat ini Lady Pin sedang sibuk mencari pakaiannya
yang berserakan di berbagai sudut tempat tidur.

"Aku di sini."

Lady Pin belum siap saat dipeluk sang putri dari belakang, tubuh telanjangnya menempel di punggungnya yang
halus, lembut, dan mengundang. Satu tangan terulur ke depan, dengan lembut menggenggam dan memijat pucuk
dadanya. Tanpa sadar Lady Pin mengangkat kepalanya, dengan lembut membelainya, gadis itu tanpa sadar
mengangkat kepalanya, menggigit bibirnya, membiarkan sang putri memberikan ciuman manis di bahunya...

"Kenapa Khun Pin bangun pagi-pagi sekali? Ini belum subuh." kata Putri Anilaphat sambil mencium tulang belikat
Lady Pin. Namun tangan putihnya terus menjelajahi kedua puncak mulus Lady Pin, menolak untuk berhenti.

"Aku harus segera kembali ke Istana Bua dan menyiapkan sarapan untuk Anil." Ucap Lady Pin sambil mengangkat
tangannya, dengan penuh kasih sayang membelai wajah sang putri.

"Khun Pin berbicara seolah-olah aku hanya peduli pada makan dan minum." Suara mencela Putri Anilaphat
membuat Lady Pin tersenyum penuh kasih sayang...

"Aku khawatir Bibi Padmika mencariku." Lady Pin membungkuk dan mencium lembut punggung tangan sang putri,
"Anil...jangan sedih."

Sang putri dengan enggan menyandarkan kepalanya di bahu kurus Lady Pin. Dia memeluknya lebih erat, seolah
khawatir orang dengan pinggang ramping itu akan lari dan menghilang dari pandangannya...

"Tapi Anil masih ingin memeluk Khun Pin..."

Mendengar suara merdu itu... jantung Lady Pin tiba-tiba bergetar. Apalagi saat hidung cantik Putri Anil dengan
malas bergesekan dengan lekuk lehernya yang panas.

Kesadaran Lady Pin tampak semakin kacau, hingga ia tak tahu dengan jelas kemana ia akan pergi...

"Sepanjang malam, Anil memelukku..." Suara orang di dadanya agak tidak jelas. "Masih belum cukup?"

"Bahkan jika aku bisa memelukmu seumur hidupku..." Putri Anilaphat berbisik ke telinga Lady Pin yang merah.
"Menurutku aku masih merasa kurang."

"Mulut Anil manis sekali..."

Setiap perkataan Lady Pin memang benar.

Putri Anilaphat selalu menjadi orang yang pandai bicara, membuat orang merasa sangat manis. Seiring
bertambahnya usia, kata-katanya menjadi semakin manis, bahkan mengejutkan Lady Pin...

Dan setelah mereka menjalin hubungan yang lebih dekat... Setiap perkataan Putri Anil menjadi semakin menggoda,
membuat hati pendengarnya berdebar-debar dengan setiap kata yang diucapkannya.
Dan ketika bibir Putri Anil yang hangat berpadu dengan kata manisnya, maka...

Pepatah "Mulut Anil manis sekali" sudah menjadi kebenaran yang tidak bisa dibantah dengan alasan apapun.

"Apakah mulutku manis...?" Putri Anilaphat mencium bibir Lady Pin dengan penuh semangat. "Mungkin Khun Pin
yang lebih tahu dari siapa pun?"

"Anil, tolong ubah apa yang baru saja kamu katakan... hanya aku yang tahu. Ini lebih tepat." Lady Pin menarik
kembali bibirnya, lalu mulai dilanda rasa kesal yang belum pernah terjadi sebelumnya.

"Hanya aku yang tahu betapa menggemaskannya Anil."

"..."

"Jika ada orang lain yang tahu..."

"..."

"Aku akan menghukum Anil dengan kejam..."

Mendengar itu, Putri Anilaphat hanya tersenyum lembut, lalu mencium Lady Pin dengan penuh kasih sayang...

Tanpa sadar... belaian lembut di puncak Lady Pin tiba-tiba berubah menjadi pijatan kasar. Berulang-ulang, hingga ia
hanya bisa menahan napasnya, merasa pusing dan seluruh tubuh gemetar. Tangannya tanpa sadar menggenggam
pergelangan tangan nakal sang putri. Setiap erangan terdengar, tubuh lembut sang putri menempel di punggungnya...

"Anil..."

Namun saat ini, Putri Anil sedang tidak ingin untuk menanggapi...

Saat ini, bibirnya dengan lembut membelai dan menjilati leher jenjang Lady Pin, seolah menikmati buah dengan
rasa yang manis. Setiap kali sang putri mengusap daun telinganya dengan hidung, Lady Pin akan menggigit
bibirnya.

"Bisakah kamu berhenti sebentar...?" Pilantita memohon dengan suara serak.

"Anil juga tahu kalau aku sedang terburu-buru..."

"Um..." Sebuah suara ceria terdengar. "Jika Khun Pin sedang terburu-buru..."

"Kalau begitu Anil akan segera menyelesaikannya."

"Anil!"

Suara Lady Pin tiba-tiba berhenti dan diam, dia hanya bisa menggigit bibirnya. Saat ini, tangan ramping sang putri
perlahan-lahan meluncur ke bawah, dengan lembut membelai dan menutupi area sensitifnya.
Tubuh indah di pelukannya terasa panas seperti sedang demam. Lady Pin tidak punya pilihan selain meraih tangan
sang putri, menggenggamnya erat-erat dan dengan lembut menggigit bibirnya. Dia tidak tahu bagaimana cara
menahan gairahnya yang meningkat. Apalagi saat sang putri sudah berada jauh di dalam tubuhnya... Sentuhannya
penuh, mula-mula bergerak masuk dan keluar secara perlahan. dan semakin lama semakin cepat ia memompa tubuh
Lady Pin, seolah-olah mendorong tubuhnya berulang kali. Membuatnya terbang kembali menuju kebahagiaan...

Lagi

Hingga seluruh tubuh Lady Pin gemetar.

Setelahnya, ia mengharapkan pelukan hangat dari Putri Anilaphat.

Putri Anilaphat memandang dengan matanya yang cerah, lalu dengan penuh gairah mencium pipi lembut dan dahi
Lady Pin dengan penuh gairah.

"Lihat...."

"..."

"Anil bisa mengatasinya dengan cepat."

"Anil!"

"Ya?"

"Kenapa kamu selalu suka membuatku marah?" Lady Pin melirik sang putri dengan tidak puas.

"Karena Lady Pin sangat lucu sekali saat sedang marah." Sang putri bersandar di bahunya dan tersenyum cerah.

"Anil, tidurlah lagi, ini masih pagi sekali." Lady Pin mengulurkan tangan, ujung jarinya membelai rambut Putri
Anilaphat, menyisirnya dengan lembut, "Kamu bekerja keras begitu lama tadi malam... Kamu masih belum
istirahat..."

"Apa maksudnya "Kamu masih kurang istirahat, Khun Pin?" Mata sipit Putri Anilaphat bersinar terang, tampak
sangat menawan di mata Lady Pin.

"Kurang istirahat, maksudnya sepanjang malam... Anil belum tidur."

Lady Pin berkata sambil mengulurkan tangan untuk membelai wajah cantik Putri Anilaphat. Padahal dia tahu jika
dia menjawab seperti itu, dia akan melompat ke jurang yang ada dihadapannya...

Tapi apakah jawaban ini bisa memuaskan Putri Anil yang cerdik?

Andai saja itu bisa ditukar dengan senyuman cerah orang di depannya dan lesung pipit yang dalam di pipinya.

Dia rela jatuh ke dalam jurang tanpa ragu dan tidak membuang waktu memikirkan hal lain.

"Anil, kamu mau makan apa hari ini?" Suara Lady Pin yang lembut dan merdu seakan sedang berdiskusi dengan
seorang gadis kecil.

"Makanan apa saja yang bisa mengisi malamku..." Putri Anilaphat tersenyum cerah.

"Anil!" Lady Pin berteriak dengan marah. Namun dia hanya bisa mengancam secara verbal orang yang memeluknya
dengan mesra. Karena dia tidak akan tega melukai gadis itu. Entah dia mencubit atau memukulnya, dia takut
melukai wajah cantiknya dan tidak tega membiarkan sang putri terluka.

Lady Pin hanya bisa menatap Putri Anilaphat yang sedang tersenyum nakal. Sesaat kemudian, gadis nakal ini
bersembunyi di balik selimut, berpura-pura patuh sambil tersenyum manis.
"Anil ingin Khun Pin membuatkan sarapan sederhana di sini, lalu kita bisa makan bersama, oke?"

"Kalau begitu, aku akan mengabulkan permintaan Anil." Lady Pin tersenyum lembut, lalu menundukkan kepalanya
dan mencium bibir sang putri dengan mesra. "Aku akan mandi dan mengganti pakaianku, setelah itu aku akan segera
kembali bersama Anil."

"Ya, Anil akan menunggumu."

Kilauan mata sipit nan gelap itu menampakkan cahaya berkilauan, membuat pipi Lady Pin memanas. Dia dengan
malu-malu mencium kedua pipi sang putri, lalu berdiri, berpakaian perlahan, dan mengucapkan selamat tinggal
kepada orang di tempat tidur. Dia sangat terikat pada orang di tempat tidur, membuatnya tidak ingin
meninggalkannya sedetik pun.

"Aku pergi."

"Cepat pergi dan cepat kembali." Senyuman sang putri masih selembut sebelumnya, namun matanya tampak jauh
lebih cerah dari sebelumnya.

Lady Pin segera mengalihkan pandangan dari orang di depannya dan segera berjalan keluar ruangan. Dia takut dia
tidak akan bisa mengendalikan dirinya dan akan kembali secara tidak sengaja...

Maka ia mungkin akan tinggal disini sepanjang hari, tidak bisa pergi kemana pun...

----------

"Selamat pagi, Khun Pin."

"Prik!"

Begitu mendengar sapaan dari Prik yang sedang berdiri di depan pintu kamar dengan senyuman di wajahnya. Lady
Pin sama sekali tidak waspada dan tertegun ketakutan.

"Apa yang kamu lakukan di sini pagi-pagi sekali?" Lady Pin meletakkan tangannya di dadanya, seolah
menenangkan jantungnya yang berdebar kencang.

"Prik mulai bekerja di istana pagi-pagi sekali. Bukankah itu normal...?" Prik mengangkat sudut bibirnya, seolah
senyumannya mengandung niat jahat.

"Tapi yang lebih aneh... apa yang Khun Pin lakukan di kamar Putri Anil pagi-pagi sekali...?"

"Aku... Um..." Suara dan ekspresi Khun Pin dipenuhi kepanikan, "Pokoknya itu bukan urusan Prik!"

"Ya..." Prik kembali tersenyum jahat, lalu menundukkan kepalanya dengan hormat dan membungkuk pada Lady
Pin.

"Aku harus pulang..." Lady Pin dengan sombongnya mengangkat kepalanya, bersiap kembali ke Istana Bua dengan
anggun bak seorang ratu. Tapi akan seperti itu, jika saat ini Prik tidak berbicara dengan nada ceria dan berkata...

"Khun Pin..."

.
.

"Sepertinya kancing baju Khun Pin salah kancingkan."

"..."

Wajah Pilantita langsung memucat, dia segera menundukkan kepalanya untuk memeriksa dirinya. Tetapi ketika dia
mengetahui bahwa semuanya berada pada posisi yang benar, tidak ada sesuatu tang aneh, dia langsung mengerutkan
keningnya, terlihat tampak marah.

"Tidak ada yang salah, Prik!" Dia menatap Prik dengan wajah marah.

"Benarkah, Khun Pin?" Prik membuka matanya lebar-lebar, pura-pura terkejut. "Jadi Prik pasti salah lihat. Lagi
pula, saat ini masih agak gelap."

"..."

Senyuman cerah Prik saat ini terlihat polos, namun mata hitam besarnya menampakkan kelicikan dan kejahatan,
membuat jantung Pilantita berdebar. Lady Pin memiliki firasat di dalam hatinya...

Mungkinkah Prik sudah tahu...

"Apakah itu Khun Pin...?" Begitu Lady Pin memasuki Istana Bua, dia mendengar Putri Padmika bertanya dengan
heran. Saat ini jantung Lady Pin terasa seperti hendak melompat keluar dari mulutnya.

Bibi belum pernah bangun sepagi ini. Tapi hari ini dia sudah ada di ruang tamu sejak dini hari. Lady Pin bertanya-
tanya, kenapa harus hari ini bukan hari lain?

"Ya... Bibi." Suara Lady Pin bergetar karena dia mulai mengkhawatirkan banyak hal.

"Kamu dari mana?" Suara Bibi Pad begitu tenang sehingga membuat orang lain mustahil bisa menebak maksud
tersembunyi dari pertanyaannya.

"Aku menginap di Istana Pinus, Bibi." Lady Pin memutuskan untuk mengatakan yang sebenarnya kepada bibinya.
"Tadi malam aku mengunjungi Putri Anil, kami berbincang lama hingga larut malam, tuan putri mengajakku
bermalam di ruang tamu."

Lady Pin diam-diam menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskannya dengan lembut.

"Begitukah..."

"Benar, Bibi."

"Bagaimanapun, Putri Anil dan Khun Pin memiliki hubungan yang cukup dekat, aku tidak bisa menyalahkanmu."

"..."

"Tapi apapun yang kamu lakukan, kamu harus lebih memperhatikan suasana hati sang putri..." Mendengar kata-kata
tersebut, jantung Lady Pin sedikit sakit, sangat menyakitkan.

"Bagaimanapun, kita hidup di bawah perlindungannya..."

Ketika dia mendengar akhir kalimat...


Hati Lady Pin seakan hancur...

"Baik."

Dengan jawaban singkat dan bodohnya... Pikiran Lady Pin seperti koloni semut yang rusak dan kacau.

Bahkan dia tidak tahu kejahatan apa yang telah dia lakukan, saat ini dia merasa sedikit bersalah.

Dia bertanya pada dirinya sendiri.

Jadi, apakah dia masih ingin terus seperti ini?

Jawabannya adalah " Ya, akan dilanjutkan."

Itu bukan karena dia keras kepala dan tidak mendengarkan ajaran bibinya...

Itu karena semuanya sudah sampai titik ini, Lady Pin tidak bisa lagi mengendalikan pikirannya.

Bahkan jika dia jatuh ke neraka dan dibakar oleh api penyucian, dia tidak akan melepaskan Putri Anilaphat yang
dicintainya.

"Khun Pin, mandilah dulu, lalu kamu harus menyiapkan sarapan untuk Putri Anil."

"Hari ini Putri Anil menyuruhku pergi ke Istana Pinus untuk menyiapkan sarapan, Bibi. Tidak apa-apa jika
menyiapkan makanan sederhana."

Jawab Pilantita sambil menatap kakinya.

"Aku sama sekali tidak memarahi Khun Pin, kenapa kamu menundukkan kepalamu seperti itu?" Melihat ekspresi
keponakannya yang tiba-tiba murung, hati Putri Padmika pun melembut. Bibi Pad menghela nafas dan berkata, "Hal
yang sama berlaku untuk menginap. Jika itu keinginan sang putri, aku tidak keberatan."

"..."

"Aku hanya tidak ingin Khun Pin mengganggu dan membuat Tuan Putri tidak nyaman."

"Kalau begitu... jika Tuan Putri mengundangku lagi malam ini..." Suara Lady Pin begitu pelan hampir sulit
terdengar, "Kalau begitu bolehkah aku menginap di istana Pinus, Bibi?"

Putri Padmika menatap keponakannya sambil berpikir sejenak. Tetapi ketika dia melihat wajah cantiknya kini pucat
dan menunjukkan ekspresi sedih, dia hanya bisa berbicara dengan lembut.

"Kalau Khun Pin ingin menginap, silahkan." Putri Padmika tersenyum dan berkata, "Aku akan baik-baik saja."

"Ya... Bibi."

Lady Pin membungkuk lalu berbalik dan berjalan menuju kamarnya. Putri Padmika menatap punggung kurus
keponakannya hingga menghilang dari pandangan.

Bibi Pad mengerutkan kening, memikirkan sesuatu.

Ada sesuatu yang membuatku merasa sangat khawatir...


~Bersambung~
BAB 24

Jangan lupa vote (⭐) ya

Diam

"Apakah ini akan baik-baik saja, Khun Pin?"

Kata Prik sambil fokus menatap Lady Pin. Mereka sedang sibuk menyiapkan berbagai bahan untuk membuat kue
coklat. Bahan-bahan itu di tumpuk tinggi di atas meja panjang di tengah dapur Istana Pinus bergaya Inggris.

"Apa yang akan baik-baik saja...?" Lady Pin menatap Prik dan bertanya balik. Saat ini, wajahnya yang cantik dan
sedikit tertekan ternodai cipratan adonan kue, terlihat sangat menggemaskan. "Juga, apa yang dianggap buruk...?"

"Nah... Khun Pin, resep ini dari buku yang di berikan Pangeran Kua beberapa bulan lalu, untuk membuat hidangan
penutup ala Barat di Istana Pinus. Ini tidak enak..." Prik menghela napas dan menggeleng lelah, "Jika Putri Anil
tahu..."

"Prik! Ssttt...!"

Meskipun dia tahu saat ini Putri Anilaphat sedang makan siang bersama Raja dan Putri Alisa di Istana Utama, tidak
berada di Istana Pinus, namun Lady Pin tetap dengan cepat meletakkan jarinya di bibir indahnya untuk memberi
isyarat, agar Prik segera tutup mulut...

"Aku tidak pandai membuat camilan ala Barat, Prik. Makanya aku harus mengikuti buku ini. Dan resep kue
coklatnya hanya ada di buku Khun Kua ini..."

"Tapi..." Mata coklat Prik yang terbakar matahari masih dipenuhi kekhawatiran, "Putri Anil tidak menyukai
Pangeran Kua..."

"Prik tidak bilang... aku juga tidak bilang." Lady Pin memandang Prik dengan tatapan memohon. Prik sendiri seolah
sedang bermimpi, tidak pernah menyangka suatu saat akan mendapat suguhan masalah sebesar itu. "Jadi, bagaimana
mungkin Putri Anil tahu?"

"..."

"Tapi... Prik masih merasa tidak enak, Khun Pin."

"Kalau begitu...Prik, terimalah ini." Lady Pin mengeluarkan sesuatu dari saku kecil gaunnya bermotif bunga dan
diam-diam meletakkannya di tangan Prik.

Ada beberapa lembar uang yang tertumpuk di sana dan tampaknya nilainya cukup besar.

"Apakah tidak apa-apa, Khun Pin?"

"Jadi, Prik tidak mau...?"

"Biarlah ini menjadi rahasia di antara kita, Khun Pin..." Melihat ekspresi ragu-ragu Lady Pin, Prik buru-buru
mengambil uang itu dari tangannya dan menyembunyikannya di ikat pinggang gaunnya, seolah-olah dia telah
melakukan ini ribuan kali.

Lady Pin kini melihat sorot mata Prik yang bersemangat dan ia hanya bisa tersenyum.

"Biarkan Prik membantu yang ini. Lalu, Khun Pin bisa menyelesaikan pembuatan kuenya sebelum Putri Anil
kembali." Prik pura-pura tidak memperhatikan ekspresi Lady Pin yang agak kesal kali ini. Dia hanya bergegas, lalu
mengambil beberapa barang dan sibuk bekerja.

Lady Pin menghela nafas. Sejak dia bertemu Prik di pintu kamar pagi tadi hingga sekarang, dia yakin kalau Prik
sudah "tahu terlalu banyak" dan dia tidak bisa berpura-pura tidak bereaksi sama sekali.

Bahkan, Prik mungkin tahu lebih banyak daripada dirinya sendiri - orang yang terlibat dalam hal ini.

Karena majikan Prik sangat licik, Prik sendiri juga sama liciknya...

----------

"Itu jariku, Anil..." Lady Pin memprotes tindakan orang di depannya dengan setengah ramah dan sekaligus
memarahi. Senyum bahagia muncul di pipi merahnya. "Ini bukan kue."

"Oh, ya?"

Putri Anilaphat menggunakan bibirnya untuk menggoda, menjilat jari Lady Pin, dan berbicara dengan suara manis.

"Aku tidak bisa mengendalikan diri..." Mata gelapnya berbinar, membuat Lady Pin tidak bisa memalingkan muka.

"Jari Lady Pin lebih enak dari pada kue." kata Putri Anilaphat sambil tersenyum.

"Anil yang bilang, kalau aku menyuapimu, kamu akan memakan kue yang kubuat..."

"..."

"Tapi sebenarnya kamu hanya ingin menggodaku saja, kan?"

Suara Lady Pin yang lincah begitu merdu membuat Putri Anilaphat tidak mungkin menolaknya. Dia tidak bisa
mengendalikan dirinya sendiri, ia meraih tangan ramping Lady Pin dan menciumnya dengan penuh gairah.

"Jangan cium, Anil... Kita ada di taman, bukan di kamar tidur." Lady Pin sedikit memarahi Putri Anil atas
tindakannya yang berani, lalu dengan hati-hati ia melirik ke paviliun teh di sudut taman bunga Istana Pinus.

"Tidak ada yang akan melihat kita, aku menyewa Prik untuk melihat di sekitar istana." Sang putri tersenyum,
sepertinya suasana hatinya sedang baik.

"Menyewa?" Lady Pin mengangkat alisnya bingung, "Anil harus menyewa Prik?"

"Benar, dengan begitu nanti Prik akan termotivasi," katanya sambil tertawa, "Beri dia uang saku, maka Prik bisa
diandalkan dan punya lebih banyak uang untuk ditabung."

Mendengar itu, Lady Pin diam-diam menghela nafas. Apa yang terjadi pagi ini menimbulkan riak di benaknya.

Lady Pin menebak-nebak dalam hatinya...

"Berapa banyak uang yang diterima Prik hari ini?"

"Um, uhuk, uhuk, uhuk!!!"

Begitu Lady Pin mendengar suara batuk Prik, dia segera menjauh dari Putri Anilaphat. Namun Putri Anilaphat
hanya melepaskan tangan Lady Pin secara perlahan lalu senyuman polos. Lady Pin tidak dia mengerti apa yang
terjadi, sambil menatapnya.

"Apakah ada sesuatu yang tersangkut di tenggorokanmu, Prik..."

"Tidak ada apa pun yang tersangkut di tenggorokanku, Tuan Putri." Prik berkata sambil tersenyum sedikit ketakutan
kepada sang putri, "Aku hanya ingin menyampaikan perkataan Mae Phin kepada Khun Pin."

"Apa yang dia katakan, Prik...? Kenapa kamu tidak membiarkan dia masuk sendiri ke sini?"

Prik tidak berani menjawab pertanyaan Lady Pin secara langsung, mungkinkah dia takut Mae Phin akan melihat
"hal-hal yang tidak boleh dilihat" yang mereka lakukan di Istana Pinus, sehingga Prik harus segera menghentikan
Mae Phin dan tidak mengizinkannya memasuki Istana Pinus.

"Prik melihat Mae Phin sangat sibuk, jadi aku menawarkan diri untuk membantunya menyampaikan pesan kepada
Khun Pin."

"Apa yang Mae Phin katakan?" Alis Lady Pin berkerut.

"Yang Mulia Kua ingin bertemu dengan Khun Pin. Ia menunggu di ruang tamu Istana Bua Chompoo." Kata Prik
sambil diam-diam melirik ke arah Putri Anilaphat. Wajah cantik itu langsung berubah serius.

"Khun Kua datang lagi..." Wajah cantik Lady Pin menunjukkan amarah, apalagi saat melihat wajah mulus Putri
Anilaphat menunjukkan ekspresi yang membuat orang tidak jadi memandangnya.

Kemarahan Lady Pin terhadap Pangeran Kua menjadi tidak terkendali.

"Prik..."

"Ya!" Prik belum pernah mendengar suara sedingin itu dari Putri Anilaphat, dan ia langsung berlutut di tanah.

"Pergilah, undang Pangeran Kua untuk datang dan minum teh bersamaku."

"Tapi... Anil," Lady Pin terlihat sangat khawatir. Hari ini dia tidak ingin bertemu siapa pun kecuali Putri Anilaphat.

Tidak perlu menyebut Pangeran Kua. Setiap kali dia melihat wajah lelaki itu, membuat Lady Pin merasa marah.

"Lakukan apa yang aku katakan..."

"Sesuai perintahmu, Tuan Putri."

Mendengar perintah tegas Putri Anilaphat, Prik harus membungkuk ke tanah, mundur, lalu berdiri dan segera berlari
menuju gerbang Istana Pinus. Lady Pin hanya bisa diam memandangi wajah tenang Putri Anilaphat yang bagaikan
patung.

----------

Putri Anilaphat mengambil cangkir tehnya, dengan tenang menyesapnya, lalu menatap dengan mata tajam ke arah
Prik yang menuntun sosok tinggi kurus berpakaian putih ke dalam paviliun teh. Pangeran Kua membungkuk hormat
kepada Putri Anilaphat. Kemudian dia menoleh ke arah Lady Pin, tersenyum padanya, dan menangkupkan tangan di
depan dada, lalu membungkuk untuk memberi salam.

"Silakan duduk, Khun Kua." Putri Anilaphat tersenyum, mengulurkan tangan padanya dan mempersilahkan
Pangeran Kua untuk duduk di kursi di seberangnya, "Khun Kua datang di waktu yang tepat, tepat pada saat
waktunya minum teh."

"Terima kasih atas undangan murah hati Anda, Yang Mulia."

Pangeran Kua duduk di hadapan Putri Anilaphat dengan agak canggung. Saat dia melihat mata gelap dan tajam
penuh tekanan itu, dia tiba-tiba merasa malu.
Bukannya Pangeran Kua tidak menyadarinya...

Putri Anilaphat cantik, jujur dan ramah, bersinar hangat kepada semua orang seperti matahari. Namun baginya...
gambaran Putri Anilaphat dalam kesannya agak suram, seperti bayangan hitam yang menutupi bayangannya di
tanah, membuatnya bertanya-tanya dan merasa tercekik dan tertekan.

Matanya selalu dalam dan dingin, menatapnya dengan rasa ingin tahu, seolah menilai dia. Sang putri selalu
tersenyum cerah dan tulus kepada orang lain tanpa syarat apapun, namun sebaliknya, dia selalu menunjukkan
senyuman misterius dan sangat formal terhadap Pangeran Kua.

"Di jam kerja..." Putri Anilaphat melirik jam tangan berlian mewah di pergelangan tangannya dan tersenyum dingin.
"Mengapa Khun Kua datang ke Istana Bua?"

"Aku hanya ingin datang ke sini dan berbicara sebentar dengan Khun Pin."

Pangeran Kua sedikit khawatir dan gelisah. Pada saat ini, telinganya yang seputih salju jelas berubah menjadi merah.
Namun ketika dia melihat senyuman dingin yang tidak berubah di wajah cantik sang putri, dia menelan ludahnya
dengan susah payah.

"Sebenarnya hari ini aku membuat janji dengan Pangeran Anon untuk pergi jalan-jalan ke Chiang Mai, tapi dia
dipanggil kembali ke Kementerian. Katanya ada beberapa pekerjaan mendesak dan penting yang menunggu dia
untuk ditangani..."

Putri Anilaphat berkata sambil berpikir, jari-jarinya yang panjang mengetuk meja teh putih secara berirama, lalu
berkata: "Sepertinya aku melihatnya pagi ini. Kakak Keduaku pergi ke Kementerian."

"Aku...."

"Yang menarik adalah, kalian berdua bekerja di Kementerian yang sama..."

Saat sang putri tersenyum dan menundukkan kepalanya, Prik, yang masih diam di sampingnya, memperhatikan
situasi, ia menarik napas dalam-dalam.

"Pangeran Kedua sepertinya sangat sibuk, ia bahkan tidak punya waktu untuk istirahat... Tapi menteri dekat
(punggawa) seperti Khun Kua punya waktu untuk berjalan-jalan..."

Putri Anilaphat memandang Pangeran Kua dengan tatapan tajam dan dingin, menyebabkan dia menundukkan
kepalanya hampir tanpa mengeluarkan suara.

"Akulah yang salah... Tuan Putri, mohon maafkan aku."

Lady Pin diam-diam memandang ke arah pemuda di depannya, dengan sedikit rasa kasihan di hatinya. Dia lebih
akrab dengan gambaran Pangeran Kua yang arogan, yang bangga dengan "kualitas luar biasa" nya, daripada
penampilan Pangeran Kua yang duduk tertindas di depan Putri Anilaphat. Ia menundukkan kepala dan mengecilkan
bahunya.

"Kenapa kamu meminta maaf kepadaku, Khun Kua?" Putri Anilaphat tersenyum dan berkata. "Kalau Khun Kua
bilang ada sesuatu yang ingin dibicarakan dengan Khun Pin..."

Sang putri berbicara dengan tenang lalu mendekatkan wajahnya ke Pangeran Kua.

"Kalau ingin mengatakan sesuatu, katakan saja... Khun Pin ada di sini."

"Tapi..." Kuakiat membelalakkan matanya. Dia tidak menyangka Putri Anilaphat akan mengatakan ini, membuatnya
tidak bisa bereaksi.

"Tapi apa......?"
"..."

"Atau mungkin kalian berdua perlu membicarakan hal ini secara pribadi?"

Kali ini, mata Anilaphat beralih ke Lady Pilantita, namun Lady Pin hanya menggelengkan kepalanya, kembali
menatapnya dengan ribuan penjelasan tersembunyi di matanya.

"Bukan seperti itu, Tuan Putri..." Khun Kua menelan ludah, "Aku hanya ingin mengundangnya ke pesta makan
malam klub yang diselenggarakan oleh Kementerian minggu depan."

"Pesta makan malam klub?" Putri Anilaphat mengangkat alisnya karena terkejut, "Itu sebuah klub. Bukankah
pasangan dansa biasanya sepasang kekasih atau suami istri?"

"Mm..." Khun Kua tertegun.

"Khun Kua, apa hubunganmu dengan Khun Pin?" Alis sang putri berkerut. "Beraninya kamu datang ke sini untuk
mengundang Khun Pin?"

"Tidak, Tuan Putri... Aku hanya berpikir dia mungkin ingin pergi ke pesta dansa."

Khun Kua hanya bisa menjawab, lalu menundukkan kepalanya, menghindari tatapan mata sang putri yang sudah
marah.

"Khun Pin, apakah kamu ingin pergi ke pesta dansa?" Putri Anilaphat berbalik dan bertanya kepada orang di
sebelahnya. Tapi saat ini Lady Pin hanya menggigit bibirnya.

"Aku tidak ingin pergi..."

"..."

"Dan aku tidak pernah bilang ingin pergi."

Jawaban Lady Pin membuat Khun Kua menjadi pucat. Hanya Prik yang masih menaruh simpati padanya saat ini.

"Apapun yang terjadi... teruslah berusaha, Khun Kua." Bibirnya yang indah dan menggoda tersenyum cerah,
memperlihatkan lesung pipit di pipinya. "Khun Pin tidak mau pergi kali ini... mungkin lain kali dia akan bersedia
dan menyetujuinya."

"..."

"Seperti yang dikatakan orang-orang tentang setetes air, batu itu akan terlihat seperti apa? Prik..." Putri Anilaphat
berbalik dan bertanya kepada orang yang duduk di sebelahnya - Prik.

"Air yang mengalir mengikis bebatuan... tidak bisa berbuat apa-apa."

"..."

"Karena sepertinya airnya akan mengering terlebih dahulu, Tuan Putri." Kemudian dia dan tuannya saling
berpandangan dan tersenyum, membuat Khun Kua merasa sangat malu.

"Jadi hanya itu yang ingin kamu bicarakan dengan Khun Pin, Khun Kua...?"

"Ya, Tuan Putri." Khun Kua hanya bisa menjawab seperti itu.

"Kalau begitu silahkan kamu di sini, makan kue dan minum teh bersamaku dan Khun Pin." Nada suara Putri
Anilaphat sangat lembut, namun Khun Kua hanya merasakan keringat dingin di telapak tangannya.

.
.

"Ternyata semua orang bersembunyi di sini..."

Saat Khun Kua sedang duduk di atas batu, suara ceria Pranot terdengar di saat yang tepat. Pemuda jangkung dan
tampan itu masuk ke paviliun teh dengan senyuman di wajahnya dan sikapnya yang akrab dan ramah.

"Hari ini hari apa...kenapa dua kereta saling bertabrakan di waktu yang sama! Mereka semua berada di tempat dan
waktu yang salah!"

Prik memikirkan hal itu di kepalanya, tapi sebagai pelayan yang baik, dia melangkah maju dan mengundang Pranot
ke paviliun teh.

"Halo Khun Pin, Khun Kua, Yang Mulia Putri..." Pranot tersenyum nakal, membungkuk dan mengulurkan
tangannya, seperti kebiasaannya menunggu menerima tangan Putri Anilaphat dan mencium tangannya.

Namun kali ini, Putri Anilaphat dengan cepat menarik tangannya dan menyembunyikannya di belakang
punggungnya.

"Tidak perlu Pranot... Ini Thailand."

Sang putri tersenyum lembut. Lalu dia diam-diam melihat wajah Lady Pin yang murung dan marah.

"Kalau begitu aku akan menunggu sampai kita kembali kesana dan aku akan melakukannya lagi."

Pranot tertawa terbahak-bahak hingga matanya menyipit. Hingga ia sama sekali tidak menyadari kemarahan di mata
Lady Pilantita.

"Angin apa yang membawamu ke sini?" Putri Anilaphat bertanya. Ia melambaikan tangannya dan mempersilakan
Pranot duduk di samping Pangeran Kuakiat yang sudah lama duduk di sana seolah sedang di salib. "Pertama, mari
kita cicipi teh dan kue yang dibuat oleh Khun Pin."

"Aku hanya merindukan sang putri jadi aku datang menemuinya sebentar." Pranot mengambil secangkir teh hangat
dan menyesapnya, lalu berbicara dengan nyaman dan gembira, berpenampilan seperti pemuda berkepribadian baik,
perkataan dan tindakannya tetap sama seperti dulu. "Beberapa hari yang lalu aku kebetulan berkunjung sekali, tapi
sang putri sudah pergi ke Chiang Mai."

Ketika Lady Pin mendengar kata-kata "merindukan" dari Pranot, wajahnya cemberut.

"Kami menghadiri pemakaman Pangeran Chakkam. Ayah Putri Euang."

"Aku juga mendengarnya. Putri Euang pasti sangat sedih." Sambil berbicara, dia mengambil sepotong kue coklat
dan menggigitnya, lalu mengacungkan jempol pada Lady Pin untuk mengungkapkan pujiannya. Tapi Lady Pin
hanya mengangguk dengan enggan sebagai jawaban.

"Kesedihan adalah hal yang normal bagi manusia. Apakah kamu suka kue ini?" Karena takut pada Lady Pin, Putri
Anilaphat sengaja menghindari topik yang berhubungan dengan Putri Euang.

"Aku menyukainya, Tuan Putri... Keterampilan memasak Khun Pin sungguh luar biasa." Senyuman cerah dan tulus
Pranot membuat Khun Kua di sebelahnya menjadi rileks.

"Keterampilan memasaknya benar-benar lumayan. Baik itu cemilan ala Thailand atau cemilan ala Barat, dia
membuatnya dengan sangat baik, Pranot." Pangeran Kua dengan bangga memuji, seolah Lady Pin adalah miliknya.
"Resep kue coklat ini mungkin dari buku yang kubawakan untukmu, kan?"

"..."
Mata Prik terbelalak mendengar perkataan Pangeran Kua. Dia tidak menyangka bahwa topik yang dibicarakannya
adalah rahasia yang telah dia dan Lady Pin coba sembunyikan sebaik mungkin. Di sisi lain, Lady Pin hanya duduk
diam, seolah perkataan Pangeran Kua hanyalah angin sepoi-sepoi yang melewati telinganya.

"Khun Kua pasti salah paham... Kue ini adalah resep yang diambil dari Mae Chuen, koki di Istana Haradi Pangeran
Anon."

Putri Anilaphat merasa sedikit kesal dan menyela pembicaraan. Meskipun menurutnya fakta bahwa Lady Pin
menggunakan resep yang ada di buku Pangeran Kua, untuk membuat kue ini hanyalah masalah kecil dan tidak perlu
dikhawatirkan. Namun pertanyaan Pangeran Kua tiba-tiba membuatnya tidak nyaman.

"Aku...." jawabnya dengan suara pelan dan penuh hormat. Rupanya hari ini bukan hari keberuntungannya, karena
apapun yang dikatakannya sepertinya salah.

"Sebenarnya, aku datang menemui sang putri karena ada sesuatu yang ingin ku katakan padamu."

Pranot yang tidak tahu apa-apa, tiba-tiba menyela.

"Ada apa, Pranot?"

"Aku ingin tahu kapan Tuan Putri akan kembali ke Inggris." Kata Pranot sambil mengambil cangkir teh dan
menyesap teh hangatnya, tidak merasakan luka bakar tapi sebaliknya, hatinya merasa sangat tidak enak.

Saat ini, wajah Lady Pin tiba-tiba sangat pucat, tanpa ada darah yang tersisa...

"Aku akan kembali bersama sang putri." Pranot masih tersenyum cerah seperti biasa. "Tuan Putri, sekolah akan
segera dimulai. Jadi apakah kita berangkat awal bulan depan?"

Putri Anilaphat memandang pemuda di depannya dan menghela nafas.

Ini adalah pertama kalinya Putri Anilaphat ingin mengangkat tangannya dan menampar mulutnya yang banyak
bicara.

Dengan begitu, lain kali Pranot harus belajar tutup mulut...

~Bersambung~
BAB 25

Jangan lupa vote (⭐) ya

Ulang Tahun

Mimpi buruk Lady Pin berlangsung hampir seminggu.

Di dalam mimpi...

Dia melihat Putri Anilaphat mengenakan gaun hitam legam bermotif salib, duduk bersila di sofa abu-abu favoritnya
di samping jendela balkon. Sementara, hujan gerimis di luar jendela seakan menyatu dengan langit kelabu yang
suram dan pekat.

Namun begitu Lady Pin duduk di seberang sofa dihadapan sang putri, tubuh langsing sang putri berangsur-angsur
memudar dan menghilang seperti kabut pagi di bawah hangatnya sinar matahari. Lady Pin mencoba mengulurkan
tangan namun hanya mampu meraih udara di depannya.

Ketika semuanya menjadi lebih jelas, hanya kekosongan yang tersisa. Gadis itu tiba-tiba berlutut putus asa di
samping sofa, membenamkan wajahnya di telapak tangannya, mulai menangis putus asa dan patah hati. Dia selalu
tiba-tiba terbangun setiap kali mimpinya datang ke sini.

Pertama kali dia bangun...

Lady Pin terbangun, membuka matanya, dan mengetahui ada tetesan keringat dingin muncul di dahinya... Dan
bantalnya selalu basah oleh air mata. Lady Pin hanya bisa mengulurkan tangan, memeluk tubuh Putri Anilaphat
yang tertidur di sampingnya, mendekat dan menariknya erat-erat, membenamkan dirinya dalam pelukan hingga tak
ada lagi jarak diantara mereka berdua.

"Khun Pin..." Setiap Lady Pin memeluk tubuh langsingnya, suara mengantuk namun lembut dan manis dari orang di
sebelahnya berbisik di telinganya. Sang putri juga akan memeluknya lebih erat lagi. "Kamu mimpi buruk?"

"Um......"

Seringkali ia hanya menjawab singkat dan lembut, lalu membenamkan wajah mungilnya di dada hangat Putri
Anilaphat, seperti bayi yang merindukan kehangatan rahim ibunya. Sang putri hanya bisa mengulurkan tangannya,
perlahan membelai rambut hitam panjang Lady Pin dan mencium kening orang yang ada di pelukannya, dengan
penuh kasih sayang. Sebelum ia tenggelam dalam mimpinya lagi.

Namun kini Lady Pin tidak bisa memejamkan mata...

Meski malam ini adalah hari yang lebih beruntung dibandingkan malam-malam sebelumnya. Beberapa hari terakhir
ini dia hanya bisa membelai ranjang kosong di sebelahnya. Karena Putri Alisa meminta Putri kecilnya untuk tinggal
di Istana Utama sepanjang hari dan juga memintanya untuk bermalam di kamar tidurnya, seperti halnya Putri
Anilaphat yang masih kecil.

Alasan Putri Alisa sebenarnya tidak sulit ditebak. Namun Lady Pin pura-pura tidak tahu dan sengaja
menghindarinya, seolah alasan tersebut adalah kutukan.

Kenyataannya, perasaan Putri Alisa tidak jauh berbeda dengannya...

Putri Alisa kini hanya ingin menghabiskan waktu sebanyak-banyaknya bersama putri kecilnya.

Setelah mendengar dari Pranot pekan lalu bahwa Putri Anilaphat akan kembali ke Inggris, Lady Pin menyadari
bahwa masa-masa bahagianya sebentar lagi akan hilang tanpa bekas. Dia bahkan tidak berani menanyakan sepatah
kata pun kepada Putri Anilaphat. Dan sang putri juga tahu betul bahwa topik ini seperti duri yang hanya akan
membuatnya semakin khawatir.

Namun kecemasan Pilantita kini telah meningkat ke tingkat yang bahkan tidak dapat dia bayangkan sendiri...

Kekhawatirannya menutupi segalanya.

Masa depan itu tidak dapat dihindari...

Tapi masa depan yang jauh masih mustahil untuk dilihat...

Tentu saja, bukan ini yang paling dikhawatirkan Lady Pin... Hanya saja dia tiba-tiba sadar, dia telah sepenuhnya
memberikan hatinya kepada Putri Anilaphat, sepenuhnya tanpa syarat apa pun. Lalu apa yang akan terjadi pada
hatinya ketika Putri Anil tidak ada di sini.

Mungkin ketakutan itu terjadi karena ia sudah terlalu lama menekan perasaan yang dalam dan kuat terhadap Putri
Anilaphat. Namun di tempat itu juga memiliki tembok tinggi yang tercipta dari prasangka sosial dan rasa terima
kasihnya yang mendalam terhadap Putri Padmika. Maka Lady Pin memutuskan untuk menghancurkan sendiri
tembok tebal dan berat itu. Segala sesuatu yang dia coba tekan seperti arus deras, begitu derasnya bahkan dia sendiri
tidak menduganya.

Lady Pin tidak pernah menyangka dia akan begitu tergila-gila pada Putri Anilaphat...

Namun keadaan telah sampai pada titik ini dan tidak dapat diubah.

Di permukaan, situasi perkembangan segala sesuatunya sangat mirip dengan perpisahan lima tahun lalu... Namun
kenyataannya, sifatnya sangat berbeda dari sebelumnya. Saat itu, Lady Pin hanya dalam keadaan "naksir" lalu
terjerumus ke dalam "cinta rahasia", yang tidak sama dengan terjerumus ke dalam jurang cinta dan hubungan yang
dalam seperti sekarang.

Lady Pin dulunya adalah wanita yang bisa hidup tanpa ciuman. Entah itu ciuman lembut seperti kupu-kupu yang
mengepakkan sayapnya... atau ciuman penuh gairah yang di penuhi rasa manis dan intens.

Dia sama sekali tidak gelisah tanpa belaian hangat dan lembut terlebih dahulu sebelum tidur.

Tapi sekarang...

Dia sangat mendambakan ciuman dan cinta yang mendalam dari Putri Anilaphat. Seolah-olah dia dilahirkan untuk
dimanjakan seperti itu. Dia belum pernah merasa begitu sepanjang hidupnya...

Dia tidak yakin apakah dia bisa hidup tanpa Putri Anil.

Lady Pin tentu saja khawatir dengan semua yang akan terjadi selanjutnya...

Namun, kekhawatiran yang berat itu untuk sementara terobati oleh suara detak jantung Putri Anilaphat yang lambat
dan stabil. Tak disangka, aroma tubuh Putri Anilaphat yang kompleks dan memesona, mampu menenangkan dan
membuat Lady Pin tertidur kembali.

Kalau saja dia bisa memejamkan mata dan tidur seperti ini...

Satu-satunya doa yang dia minta dari surga dengan hatinya adalah... Untuk tidak mengulangi mimpi yang
menyebabkan dia terbangun seperti itu lagi.

.
"Ada apa dengan kemeja putih ini, Khun Pin?"

Kata Putri Anilaphat sambil tersenyum lembut pada gadis di depannya yang dengan cemas mengancingkan kancing
terakhir di kemejanya.

"Apa aku harus mengancingkan sampai atas? Aku tidak bisa bernapas."

Pilantita cemberut, lalu mengangkat kepalanya dan melirik ke arah Putri Anilaphat, mengerutkan kening dengan
serius dan berbicara dengan lembut.

"Aku harus menutupnya......"

"Kenapa harus begitu? Panas sekali." Dia memohon dengan suara yang lembut dan indah sehingga membuat Lady
Pin tersenyum penuh kasih sayang.

"Anil selalu suka membuka kerahnya lebar-lebar agar semua orang bisa melihat semua yang ada di dalamnya..."

Saat Lady Pin berbicara, dia menggunakan tangannya untuk membelai rambut sang putri dengan lembut
menyelipkannya ke belakang. Kemudian membungkuk dan mencium kedua pipinya.

"Aku cemburu..."

"..."

"Aku tidak ingin ada yang melihatnya."

Putri Anilaphat sangat senang mendengar itu.

"Kenapa Khun Pin cemburu pada Anil? Anil tidak pernah keluar rumah, hanya menemui keluarga dan Prik."

"Siapa yang tahu? Suatu hari nanti, akan sering ada Laki-laki, bahkan perempuan juga, yang ingin datang
menemuimu." Lady Pin berkata sambil mengulurkan jarinya untuk membelai bibir sang putri dengan penuh kasih
sayang, "Bukankah kamu pergi ke Chinatown bersama ibu kemarin?"

"Siapa yang akan tertarik pada Anil?" Putri Anilaphat tersenyum manis.

"Bagaimana kamu bisa mengatakan itu..." Lady Pin memikirkan kecantikan orang di depannya, dan mau tidak mau
dia mencium berulang kali lesung pipit yang terlihat jelas di wajah Putri Anilaphat. "Anil sangat cantik..."

Setelah Lady Pin selesai berbicara, tiba-tiba Putri Anilaphat tersenyum sambil menyipitkan matanya sedikit, begitu
indah hingga membuat Lady Pin hampir tidak melihat mata gelap itu. Terlihat begitu menggemaskan hingga
membuatnya melupakan semua kekhawatirannya. Karena kehidupan di depan matanya saat ini sangat dekat dengan
gambaran yang di impikannya...

Jika dia benar-benar bisa menikahi dan tinggal bersama dengan Putri Anilaphat, akan bagus sekali.

Lady Pin ingin menyiapkan pakaian dan sarapan untuk sang putri setiap hari setelah bangun tidur, makan camilan
saat minum teh sore atau saat senja. Di malam hari, mereka mengobrol dan bercanda. Akhirnya, sebelum tertidur
larut malam, mereka akan mengalami adegan cinta yang penuh gairah dan lembut namun tanpa disengaja. Saat dia
terbangun dari mimpi buruknya, yang dia butuhkan hanyalah pelukan yang menenangkan...

Apakah keinginan Lady Pin terlalu berlebihan?

Beberapa hari yang lalu, bibinya mengizinkannya tinggal di Istana Pinus selama seminggu, sesuai dengan keinginan
Putri Anil.

.
.

"Aku sudah lama meninggalkan Khun Pin, dan ada banyak hal yang ingin kita bicarakan. Aku akan sangat senang
jika Bibi mengizinkan Khun Pin untuk sementara tinggal bersamaku di Istana Pinus."

"Selama itu tidak mengganggu Putri Anil, tidak apa-apa. Ah, aku tidak keberatan."

Lady Pin tahu bahwa Putri Anil tidak akan pernah membiarkan keinginannya lenyap begitu saja.

Putri Anil selalu tahu apa yang di inginkannya. Lebih penting lagi, sang putri akan melakukan dengan cara apa pun
untuk mencapai tujuannya... Dia selalu dapat memanfaatkan posisi, kekuasaan, dan semua kelebihan yang
dimilikinya pada waktu yang tepat.

Inilah cara Putri Anil dalam melakukan sesuatu...

Sebuah cara untuk menaklukkan sikap tradisional Putri Padmika sopan setiap saat.

----------

"Hari ini ibuku menyuruhku untuk mengajak Khun Pin pergi ke Tien Dien untuk makan siang." Sang putri
mengangkat kepalanya untuk melihat ke arah Lady Pin, "Bisakah kita pergi makan bersama?"

"Putri Alisa tidak pernah memintaku menemuinya seperti ini." Ekspresi Lady Pin kini dipenuhi kekhawatiran yang
sulit disembunyikan. "Anil, apakah kamu tahu sesuatu... Apakah ada hal istimewa yang ingin Putri Alisa sampaikan
kepadaku?"

"Anil juga tidak tahu tentang ini..." Sang putri dengan malu-malu memeluk pinggang ramping Lady Pin dan
menariknya ke dalam pelukannya. "Aku baru tahu kalau ibuku sangat menyukai Khun Pin."

"..."

"Dia sering bilang padaku, 'Aku ingin Khun Pin menjadi putri angkatku.' Anil mendengarkan kata-kata Ibu dan
menyimpannya di dalam hatiku."

"..."

"Sebenarnya orang yang paling Anil syukuri adalah keberadaan Ibu."

"..."

"Mengapa Ibu tidak menginginkan Khun Pin sebagai menantunya saat itu?"

"Anil!"

Menantu wanita? Kenapa dia begitu berani? Lady Pin tersipu malu, wajahnya memerah. Namun orang yang
memulai pembicaraan hanya tersenyum dan tidak berkata apa-apa, sampai Lady Pin dengan enggan menepuk
lengannya untuk menegurnya.

Menjelang tengah hari, Putri Anilaphat mempersilahkan Lady Pilantita menaiki mobil kerajaan. Ia tidak bisa
menolak, karena jika Lady Pin berjalan ke sana, Putri Anil juga akan berjalan bersamanya. Namun di siang hari ini
sinar matahari begitu terik sehingga Lady Pin tidak tega membiarkan sang putri berjalan bersamanya sambil
berkeringat di bawah terik matahari sampai ke Tien Dien.

"Anil nakal sekali..." Begitu pintu mobil tertutup, Lady Pin membisikan keluhannya cukup pelan hingga hanya
mereka berdua yang bisa mendengarnya. Namun orang yang dikeluhkan hanya tersenyum dan memandang
pemandangan di luar jendela mobil dengan suasana hati yang gembira.

Lady Pin teringat hari-hari ketika sang putri menunggu mobil P'Perm setiap pagi dan duduk di mobil untuk pergi ke
sekolah bersamanya.
Saat itu, putri kecil Anil hanya tersenyum dan melihat ke luar jendela seperti sekarang...

Lady Pin pernah berpikir kalau Putri Anil telah berubah... Tapi nyatanya dia tidak pernah berubah. Sebaliknya,
perasaan Lady Pin terhadap Putri Anil menjadi semakin kuat dan teguh.

Tepat sebelum pikiran Pilantita menjadi semakin kabur, Lung Plai membawa mereka ke Istana di depan.

Lady Pin menghela nafas panjang, khawatir akan terjadi sesuatu yang tidak terduga hari ini. Biasanya pada jam
seperti ini... Dia dan Prik sering memanfaatkan waktu makan siang untuk membuat camilan bersama untuk dicicipi
Putri Anilaphat dengan teh setelah dia kembali dari Tien Dien.

Di luar, dia seolah sedang menjalankan tanggung jawab yang diberikan oleh bibinya kepadanya.

Tapi kenyataannya, Lady Pin ingin menghabiskan waktu dengan membuat camilan sambil menunggu Putri Anil...

Memang benar, dia terjerumus ke dalam jurang penantian...

Tapi menunggu... adalah hal yang paling dia benci.

----------

Di atas meja makan siang di Tien Dien dipenuhi dengan meja panjang berisi makanan lezat. Hanya dengan sekali
pandang, Lady Pin langsung tahu masakan mana yang menjadi masakan khas bibinya. Saat dia melihat mata tajam
bibinya menatapnya, diam-diam dia menarik nafas dalam-dalam.

Di hari kerja seperti Senin... hanya ada para wanita di meja makan di Tien Dien. Tuan rumahnya adalah Putri Alisa.
Di sebelah kiri adalah Putri Parvati, istri Pangeran Anantawut, di sebelah Putri Parvati adalah Putri Padmika. Di
sebelah kanan Putri Alisa adalah putri kecilnya, Anil.

Dan Lady Pin...

Gadis yang disebut sebagai menantu bungsu Istana Sawetawarit oleh Putri Anilaphat.

"Khun Pinku..." Mata Putri Alisa sangat lembut. Dia berkata kepada Lady Pin, "Makanlah sedikit lagi, bibimu Pad
sengaja menyiapkan hidangan ini."

"Terima kasih banyak..."

Lady Pin mengangkat kepalanya, menatap mata Putri Alisa yang tampak lebih muda dari usia sebenarnya dan
tersenyum manis malu-malu. Saat ini, Lady Pin tiba-tiba menyadari bahwa perilaku lembut dan suara manis Putri
Anilaphat adalah warisan dari ibunya.

"Aku suka wajah mungil Khun Pin, seperti boneka, lucu sekali."

Putri Alisa tersenyum tulus, bukan hanya sekedar berbicara santai untuk menyenangkan hati gadis di hadapannya.

Semua tidak luput dari tatapan tajam Putri Padmika... dan mata Putri Anilaphat yang gelap dan sipit juga
menatapnya.

Berkat kebaikan dan kedekatan Putri Alisa, waktu makan siang jauh lebih menyenangkan dari perkiraan Lady Pin.

Anehnya setelah itu, diam-diam Putri Alisa meminta Lady Pin dan Putri Anilaphat untuk mengikutinya ke ruang
ganti pribadinya. Ia bahkan berusaha sekuat tenaga agar tidak ketahuan oleh istri Pangeran Pertama dan Putri
Padmika.

Ruang ganti Putri Alisa memiliki pintu yang menghubungkannya ke kamar tidur Putri Alisa yang luas dan
proporsional. Meski sempat membayangkan betapa luas dan megahnya ruangan itu, namun semenjak dia
menginjakkan kakinya disini, Lady Pin merasa sedikit malu karena imajinasinya jauh melebihi kenyataannya.

Nyatanya, ruang ganti Putri Alisa jauh lebih mewah dari yang ia bayangkan...

Ruangan itu besar dengan dilapisi dinding cermin di keempat sisinya. Di salah satu sisinya terpampang sofa mewah
bermotif mozaik kuning. Sepertinya ada ruang rahasia di balik tembok, yang digunakan untuk menyimpan koper dan
brankas.

Putri Alisa memberi isyarat kepada Lady Pin dan Putri Anilaphat untuk duduk di sofa dan menunggunya, lalu dia
menghilang ke dalam ruang rahasia untuk waktu yang lama.

"Ketemu!" Suara Putri Alisa terdengar sangat bersemangat membuat Lady Pin tak mampu menahan rasa
penasarannya. Detik berikutnya, terlihat Putri Alisa berjalan menuju sofa sambil memegang kotak beludru berwarna
merah tua.

"Ini perhiasan ruby favoritku." Kata Putri Alisa sambil mengulurkan tangan untuk membuka kotak perhiasan
beludru itu. "Ruby dikelilingi berlian."

Saat tutup kotak beludru dibuka sepenuhnya, perhiasan di dalamnya bersinar terang. Sebuah kalung yang dihias
dengan batu ruby besar dan dikelilingi oleh berlian yang indah, begitu indahnya hingga membuat Lady Pin
terkesima.

"Aku ingin memberikannya kepada Khun Pin." Putri Alisa tidak hanya berbicara saja. Tapi mengambil kalung ruby
yang indah di dalam kotak beludru dan dengan hati-hati meletakkannya di leher ramping Lady Pin.

"Yang mulia ini..." Lady Pin secara naluriah terbiasa menolak. Setelah dia menyadari hal itu, dia dengan tenang
duduk lagi dan membiarkan Putri Alisa memakainya seperti boneka, tanpa perlawanan apa pun.

"Manis sekali..." Putri Alisa dengan serius menatap Lady Pin dan kalung ruby yang indah itu. "Kalung ini sangat
cocok untuk Khun Pin."

"Terima kasih, yang mulia." Sudah begini, Pilantita hanya bisa menjawab seperti itu. Ia harus mengakui bahwa rasa
cinta Putri Alisa terhadapnya saat ini tidak kalah dengan apa yang dikatakan Putri Anilaphat sebelumnya. Ia
disayangi oleh orang yang sangat berkuasa di Istana Sawetawarit, dan nikmat ini datang dari Putri Alisa.

Bisa dibilang penerimaan Putri Alisa jelas lebih berharga baginya dibandingkan kalung ruby mahal ini...

"Tapi... aku masih merasa Anil sedikit banyak terlibat dalam hal ini." Begitu keduanya kembali ke Istana Pinus,
Lady Pin berkata, "Putri Alisa tidak mungkin memberiku perhiasan yang begitu berharga tanpa alasan."

Begitu keduanya membuka pintu dan memasuki kamar tidur, Lady Pin tidak bisa menahan diri untuk tidak
mengungkapkan ekspresi kecurigaan yang kuat.

"Apa yang Anil katakan pada Putri Alisa?" Lady Pin dengan lembut memeluk Putri Anilaphat, "Tolong beritahu
aku, agar aku yakin."

"Khun Pin, tolong percaya pada Anil..." Putri Anilaphat menciumnya dengan antusias, lalu berkata dengan suara
manis, "Ibu terlalu menyukai Khun Pin."
"Tapi Anil mengatakan sesuatu." Lady Pin menyandarkan wajahnya pada tubuh Putri Anil dan berbicara dengan
malu-malu. "Tidak peduli seberapa besar ia menyukaiku, tindakannya hari ini sepertinya terlalu berlebihan."

"Anil baru saja memberitahu Ibu..." Sang putri membelai rambut Lady Pin dengan penuh kasih sayang.

"Kalau ulang tahun Khun Pin akan segera tiba."

"..."

"Anil tidak memaksa atau membujuk Ibu untuk memberikan hadiah apapun kepada Khun Pin."

Lady Pin terdiam karena tidak bisa berkata apa-apa...

Alasan yang diberikan Putri Anil jauh lebih baik dari dugaannya.

Lady Pin tidak menyangka Putri Alisa begitu menyukainya.

"Anil masih ingat hari ulang tahunku?"

Lady Pin mengalihkan topik pembicaraan, dia hanya ingin memulai pembicaraan. Karena dia tahu betul bahwa Putri
Anilaphat mengingat hari ulang tahunnya lebih baik daripada dirinya sendiri.

"Tentu saja aku ingat." Senyum cerah muncul di wajah cantiknya. "Tidak berlebihan untuk mengatakan bahwa ini
adalah satu-satunya hal yang diingat Anil."

"..."

Lady Pin tidak bisa membantah hal itu. Pasalnya selama lima tahun berpisah, Putri Anilaphat selalu berusaha sekuat
tenaga untuk menelepon jarak jauh dan mengucapkan selamat ulang tahun padanya.

Aku selalu menganggap serius hari penting Lady Pin, yang membuat Lady Pin sedikit malu untuk membuka
mulutnya...

"Ulang tahunku tahun ini..." Lady Pin menggunakan jari-jarinya yang panjang untuk membelai pipi mulus Putri
Anilaphat, berkata dengan penuh harap. "Bisakah Anil bangun pagi, untuk pergi berjasa (bersedekah), merayakan
untukku?"

"Khun Pin..."

Begitu dia mendengar nada suara Putri Anil... Dada Lady Pin tiba-tiba sesak.

"Apakah tidak apa-apa kalau......"

"..."

Mendengarkan Putri Anilaphat membuka mulut... Air mata Lady Pin tidak dapat di bendung lagi.

"Mungkin aku tidak bisa menunggu ulang tahun Khun Pin." Putri Anilaphat menyeka air mata dari pipi Lady Pin
dengan jarinya merasa bersalah...

"Anil harus kembali ke Inggris..."

"..."
"Akhir minggu ini."

~Bersambung~
BAB 26

Jangan lupa vote (⭐) ya

Tunggu Aku

Part ini menggunakan sudut pandang Putri Anilaphat

"Tuan Putri bilang akan mengajari Prik bermain tenis selama liburan musim panas. Begitu Prik tahu cara bermain,
Prik bisa mengenakan rok putih seperti orang lain. Kenapa kamu kembali ke Inggris begitu cepat?"

Prik saat ini sedang duduk di samping lututku dengan wajahnya yang muram. Aku merasa sedikit bersalah. Dia
mengeluh tentang keberangkatanku kembali ke Inggris lebih awal dari perkiraannya.

"Aku tidak punya pilihan, Prik." Dengan sedih aku menjelaskan, "Pangeran Pertama masih belum sempat berbulan
madu bersama Putri Parvati, jadi dia memutuskan untuk mengantarku ke sana, lalu memanfaatkan kesempatan itu
untuk mengatur rencana perjalanan mereka sendiri."

"Bagaimana pun juga, sebaiknya tunda saja rencana itu, sampai setelah ulang tahun Khun Pin..." Prik mengatupkan
bibirnya erat-erat dan mengerutkan kening. "Mungkin alasan Lady Pin sakit saat ini karena dia sangat sedih."

Kata-kata Prik begitu lugas dan jujur, bagaikan benda berat dan tebal yang menghantam bagian belakang kepalaku.
Aku menatap pintu yang tertutup dan menghela nafas lelah.

Saat ini, pasien yang didiagnosis Prik sendiri, sedang tertidur di kamar itu.

Begitu Lady Pin mendengar kabar dari mulutku sendiri bahwa aku akan pergi, air mata jernih Lady Pin jatuh
bagaikan tetesan air hujan di langit kelabu. Lady Pin terus terisak-isak seperti seorang gadis kecil terpatri dalam
dipikiranku.

Dan sekarang, tanpa sengaja... gambaran itu tiba-tiba sering muncul, menyiksaku, meremukkan hatiku, membuatku
selalu mengangkat tangan dan mengusap dada.

Mungkin lelah karena air mata yang tak kunjung kering, tadi malam Lady Pin sakit parah.

Kulitnya yang putih dan mulus menjadi merah dan panas seperti bara api...

Dia tidak ingin makan, tidur atau berbicara dengan siapa pun.

Selain aku......

Orang yang menjadi pengecualian dalam segala hal......

Aku memberi tahu Putri Padmika tentang kondisi Lady Pin dan dia mengirim seorang dokter pengobatan Barat ke
Istana Pinus untuk memeriksa kondisinya. Setelah pemeriksaan mendetail, dokter meresepkan obat penurun demam
dan suplemen untuk Lady Pin.

Ketika Putri Padmika datang ke Istana Pinus untuk mengunjungi keponakannya, Lady Pin sedikit mengantuk karena
efek obatnya.

"Aku mohon, tolong jaga Khun Pin." Suara Bibi Pad dipenuhi kekhawatiran, "Sekeras apa pun aku berusaha
membujuknya, Khun Pin menolak kembali ke Istana Bua. Sepertinya aku harus merepotkan Putri Anil kali ini."

"Tenang saja, Bibi. Khun Pin sudah meminum obatnya. Dia hanya butuh istirahat sebentar dan dia akan merasa
lebih baik. Serahkan saja padaku."

Di balik ekspresi Lady Pin yang sangat penurut dan lembut... Nyatanya, gadis ini menyembunyikan banyak sifat
keras kepala terhadap bibinya Padmika.

----------

"Ini semua salahku... Aku selalu bersembunyi dan tidak memberi tahu Lady Pin tentang keberangkatanku ke
Inggris." Aku melihat ke luar jendela, "Aku selalu khawatir. Tapi sekarang ketika aku memberitahunya,
menyebabkan dia semakin kesal..."

"Tuan Putri sungguh menyebalkan sekali. Khun Pin telah menunggumu selama lima tahun, dan dalam waktu kurang
dari tiga bulan, Tuan Putri harus pergi lagi."

"Kali ini aku tidak akan pergi terlalu lama, hanya kurang dari dua tahun." Aku berbicara dengan lembut, tidak tahu
apakah ini untuk menghibur Pirk atau untuk menghibur diriku sendiri.

"Tetapi menunggu dua tahun itu sudah cukup lama. Bagi sebagian orang, menunggu itu sama menyakitkannya
dengan mati." Mata coklat tua Prik terus menatapku, "Sekarang, nasinya sudah menjadi bubur..... bagi Khun Pin,
penantian ini pasti akan jauh lebih sulit dari sebelumnya."

Perkataan Prik menusuk hatiku, membuatku hampir terbakar oleh secangkir teh panas yang baru saja kuambil untuk
diminum. Pada akhirnya, siapa lagi kalau bukan aku yang melatih mulut Prik dengan sangat tegas sehingga dia bisa
mengejek dengan sangat kasar.

"Prik, aku tidak membiarkanmu mengatakan kata-kata itu kepada siapapun. Ini perintahku!"

"Prik hanya mengatakan ini pada sang putri." Gadis itu membungkukkan punggungnya dalam-dalam, sampai
dahinya menyentuh lutut. "Putri Anil sangat cerdas, pasti bisa memahami niat Prik. Tapi sekarang bukan waktunya
untuk membesar-besarkan masalah ini."

Wow, sopan santun yang sempurna.

Prik pintar sekali...

"Jika aku bisa menentukan nasibku sendiri... Aku tidak akan pernah memilih meninggalkan tempat ini sejak awal,
Prik."

"..."

"Apakah menurut Prik aku punya pilihan...?"

"Mohon maafkan aku, Tuan Putri. Prik terlalu banyak bicara..." Mata Prik kali ini benar-benar berkaca-kaca.

"Aku tidak ambil hati. Selama Prik datang ke sini dan membantuku memasak bubur untuk dimakan Lady Pin, itu
saja." Aku memotongnya. Aku tidak ingin terus berbicara dengan Prik yang licik ini lagi.

"Putri yang pintar!"

Sore harinya... Prik dan aku selesai membuat bubur babi yang lezat.

Saat ini, kondisi Lady Pin jauh lebih baik.


Indahnya cahaya matahari terbenam yang menyinari jendela di samping tempat tidur, menyinari wajah cantik Lady
Pin yang pucat. Pemandangan ini sungguh seindah lukisan.

Aku membuka pintu dan masuk untuk mengunjunginya. Prik membawakan sepiring makanan untuk Lady Pin dan
menaruhnya di meja samping tempat tidur. Dia diam-diam menatap Lady Pin dengan cemas dan kemudian diam-
diam berlutut dan mundur. Dalam hatinya, Prik jelas memahami bahwa aku ingin berduaan dengan Lady Pin.......

"Khun Pin...."

"..."

"Apa kamu masih sakit kepala?"

Aku meletakkan punggung tanganku ke dahi Pilantita yang hangat. Mata coklat jernih Lady Pin menatap dalam
mataku dengan sedih. Penuh dengan rasa sakit sampai membuat hatiku bergetar, seolah-olah jatuh dari tebing
sedalam sepuluh ribu kaki.

Dia memegang tanganku erat-erat, dengan manis dan lembut meletakkannya di pipinya yang panas, seolah
memintaku untuk membelainya.

"Selama aku punya Anil di sisiku, aku akan merasa jauh lebih baik."

"Anil selalu di sini..." Mengetahui maksud tersembunyi dari perkataan Lady Pin, aku susah payah menelan rasa yang
tercekat di tenggorokanku.

"Aku belum pergi kemana-mana..."

Setelah aku selesai berbicara... Air mata Lady Pin tiba-tiba jatuh. Aku mengulurkan ujung jariku untuk menyeka air
matanya, merasa sangat sakit. Sebelumnya aku tidak pernah berpikir akan merasakan sakit sebesar ini.

"Makan buburnya...lalu minum obatnya. Anil memasaknya sendiri. Kalau Khun Pin menolak makan, Anil akan
kecewa."

"Aku akan makan..." Suara manis itu bercampur dengan isak tangis, lagi-lagi membuat hatiku sakit tanpa ampun.
"Kalau Anil menyuapiku..."

"Oke..."

"..."

"Anil tahu caranya menyuapi."

Suara serak keluar dari mulutku, dan pikiranku bergetar di dada.

Tapi, aku terbiasa untuk tidak menunjukkan kelemahanku pada siapapun...

Aku hanya terbiasa menangis saat aku sendirian...

Jadi aku hanya bisa memaksakan senyum dan mendekati Lady Pin yang sedang bersandar di bantal besar di kepala
tempat tidur.

Aku mengambil sesendok kecil bubur, meniupnya hingga benar-benar dingin, lalu dengan hati-hati menyuapkannya
ke mulut kecil Lady Pin.

"Hati-hati, ini agak panas." Saat melihat wajah kemerahan Lady Pin yang sedikit meringis, aku berkata: "Makan
dengan perlahan."

Aku mengulurkan tangan, dengan lembut membelai rambutnya yang berkeringat dan menyelipkannya ke belakang
telinganya. Setidaknya Lady Pin dengan patuh memakan seluruh mangkuk bubur yang aku masak sendiri. Yang
lebih menggemaskan lagi adalah dia dengan patuh meminum semua obatnya, membuatku tisak bisa menahan untuk
memujinya.

"Gadis yang baik..."

Sebagai hadiah untuk Lady Pin, aku memberinya senyuman manis. Lady Pin juga membalas senyumanku.

"Aku ingin menjadi gadis yang baik, Anil..." bisik Lady Pin sambil menunduk menatap tangan di lututnya. Kedua
ibu jarinya saling menempel dan berputar, menunjukkan bahwa dia secara tidak sadar sedang memikirkan sesuatu.

"Aku..."

"..."

"...tidak bermaksud membuat Anil khawatir."

Aku mengulurkan tangan dan memegang erat tangan ramping Lady Pin. Jika rasa sakit dan kesedihan yang
sesungguhnya dapat disalurkan melalui indera. Aku bersumpah akan menghilangkan semua rasa sakit Lady Pin dan
menyimpannya untuk diriku sendiri...

"Jangan bilang seperti itu, oke?" Aku mencium kening Lady Pin yang lembab dengan mesra. "Anil tahu Khun Pin
telah berusaha sangat keras..."

Air mata Lady Pin kembali jatuh. Dia mencondongkan tubuh mendekatiku, mengangkat tangannya dan perlahan
memelukku, seolah takut tubuhku akan berubah menjadi debu di pelukannya.

Dalam pelukan sunyi itu, air mata Lady Pin membasahi bahuku. Kemudian dia berbicara lagi, suaranya bergetar.

"Apakah Anil sudah makan atau minun sesuatu...?"

Ketika aku mendengar suaranya yang serak penuh perhatian dan kepedulian, menanyakan kabar orang yang sehat,
aku hampir tidak bisa menahan air mata, seakan ingin menangis sejadi-jadinya.

"Anil baru saja makan roti." Aku berusaha sekuat tenaga untuk menunjukkan senyum cerah. "Aku akan kenyang
setelah makan sisa bubur Khun Pin."

"Jadi kali ini, bolehkah aku menyuapi Anil?" Lady Pin membenamkan wajah kecilnya di dadaku dan berbisik
dengan suara yang hampir tak terdengar.

"Bagaimana bisa aku membiarkan orang sakit menyuapiku... Akan sangat memalukan jika menceritakannya pada
orang lain." Aku tertawa terbahak-bahak, aku merasa sangat menyukai Lady Pin.

"Tidak perlu memberitahu orang lain..." Wajah cantik yang baru saja keluar dari dadaku menunjukkan ekspresi tidak
puas. "Atau Anil ingin membuatku marah?"

"Bukannya aku ingin membuat Khun Pin marah..." Aku mengangkat jari Lady Pin dengan antusias
menyentuhkannya ke bibirku.

"Harus kukatakan, aku tidak berani lagi membuat Khun Pin marah."

----------

"Anil, apakah kamu sudah selesai menyiapkan semua barang-barangmu?"


Lady Pin bertanya padaku pada malam terakhirku di Istana Pinus. Dia memulihkan diri di kamar tamu sampai
malam ketiga dan kemudian pindah ke kamarku lagi.

"Semuanya sudah selesai."

"Apakah kamu sudah menyiapkan pakaian hangat untuk di pakai saat pergi ke bandara? Cuaca di sana mungkin
lebih dingin daripada di sini."

"Sudah beres..." Aku tersenyum lembut sambil melingkarkan tanganku dari belakang dan memeluk pinggang
rampingnya, ingin menciumnya. "Jangan khawatir, Khun Pin."

"Bagaimana tidak khawatir?" Lady Pin mengulurkan tangan dan menyentuh lenganku, terlihat kesal. "Semakin aku
mencintaimu, semakin aku mengkhawatirkanmu..."

Mendengar hal itu, aku langsung mengencangkan pelukanku, seolah ingin menyatukan tubuh kami menjadi satu.

"Tapi Anil lebih mencintai Khun Pin." Ketika Lady Pin langsung tersenyum penuh kasih sayang setelah
mendengarku menyombongkan diri.

"Anil tidak bisa membiarkanku lebih mencintai Anil meski hanya sekali?"

"Anil hanya mengatakan yang sebenarnya."

Lady Pin berbalik, tersenyum dan mencium pipiku berulang kali seolah dia memperlakukanku seperti gadis kecil.
Lalu dia mengangkat tangannya untuk membelai bibirku dan berbicara dengan suara serak.

"Ayo tidur. Anil harus bangun pagi-pagi besok."

"Ya." Aku dengan patuh mendengarkannya.

"Bisakah kamu tidak mematikan lampu malam ini?" Ucap Lady Pin saat dia melihatku mengulurkan tangan untuk
mematikan lampu di samping tempat tidur seperti biasa.

"Malam ini aku ingin melihat wajah Anil dengan jelas."

"Um..."

Aku hanya merespon seperti itu dan setuju dengan kata-katanya, lalu berbaring di samping Lady Pin yang bergerak
berbaring di bantal yang sama denganku seperti biasanya.

Mata coklat jernih Lady Pin mendongak dan bertukar pandang denganku. Wajah cantiknya dalam cahaya kuning
lembut tampak begitu sedih hingga aku tidak bisa mengalihkan pandangan darinya. Jari-jarinya tanpa sadar
membelai wajahku, menyusuri dahiku, pelipis...kelopak mata...ujung hidung... hingga pipi, lalu di sekitar bibirku.

Lady Pin perlahan-lahan naik ke atas tubuhku, menempatkanku tepat di bawah tubuhnya. Aku tertawa ketika
mendapati si pemalu ini menguasaiku. Karena selama ini dia tidak pernah berinisiatif lebih dulu dalam adegan
percintaan di antara kami.

"Apa yang kamu tertawakan?"

Lady Pin bertanya, namun tanpa menungguku menjawab, dia terus mengecap bibirku sedikit demi sedikit dengan
lidahnya yang hangat, seperti anak kucing lapar yang meminum semangkuk susu kesukaannya.

Lidah kecil kucing itu mulai menjilati dagu, daun telinga, dan leherku dengan main-main. Hatiku berangsur-angsur
mendidih dengan setiap sentuhan Lady Pin. Aku tak kuasa mengendalikan diri, mengulurkan tangan dan membelai
bagian belakang lehernya, dengan tanganku yang lain aku menarik gaun tidurnya hingga melebihi pinggangnya, lalu
dengan penuh gairah membelai kulitnya yang halus dan panas.

Saat aku gemas dan ingin melepas celana dalamnya, Lady Pin menggunakan giginya untuk menggigit bibir
bawahku, membuatku kehilangan kekuatan, seolah mencoba menekan telapak tanganku yang nakal.

"Malam ini, Anil jangan melakukan apapun, tenang dan patuh. Kamu harus menyenangkanku."

Suara serak Lady Pin terdengar sangat arogan. Dia menanggalkan setiap lapisan pakaianku, hanya menyisakan
tubuh telanjangku tanpa sehelai benang. Dia duduk di atasku tampak rapi, tapi pakaiannya sekarang agak
berantakan, membuatnya terlihat lebih menggoda dari sebelumnya.

Mata Lady Pin terpaku pada tubuhku, dari rambut hingga kakiku. Hal ini membuat tubuhku memanas karena malu,
aku menggigit bibirku untuk mengendalikan diri.

"Tubuh Anil seindah patung batu giok," kata Lady Pin sambil menelusurkan ujung kukunya melewati celah di antara
dadaku, lalu turun ke perut bagian bawah. "Tapi tolong ingat..."

"..."

"Anil adalah milikku... Sepenuhnya..."

Tepat saat aku hampir kehabisan napas di hadapannya... Lady Pin membungkuk dan menelusuri tubuhku dengan
ujung lidahnya, meniru caraku menggodanya sebelumnya. Tapi sentuhan polosnya yang seperti anak kucing
membuat jantungku berdetak lebih cepat. Karena aku tidak bisa memprediksi kemana lidah api Lady Pin akan
mengarah.

Yang aku tahu sekarang adalah dia meninggalkan bekas di sekujur tubuhku seolah itu adalah kesenangannya. Setiap
sentuhan sensualnya membuatku nyaris kehabisan napas.

Saat bibir kecil Pilantita yang penuh nafsu menghisap puncak hasratku, tanpa sadar tubuh telanjangku bergetar. Aku
menanggapai tubuhnya dengan kedua tanganku dan memeluknya sambil memanggil namanya.

"Khun Pin..."

Lady Pin tidak bisa menjawab karena mulutnya sibuk bekerja. Dia mengangkat puncakku, mencium dan
memijatnya, seperti seorang gadis kecil yang menerima mainan favoritnya. Aku membungkukkan tubuhku untuk
menerima belaiannya, namun untuk sesaat aku tidak bisa mengendalikan diri untuk tidak mengulurkan tangan dan
menyentuh dadanya.

Cara Lady Pin menggigit bibirnya membangkitkan perasaanku yang tak tertahankan.

Apalagi sekarang, jarinya meluncur ke bawah dan mengelilingi area sensitifku yang basah dengan cara yang tidak
terduga... Saat Lady Pin menggunakan jarinya untuk membelai area sensitif itu, aku meringis dan mengejang lagi,
perasaan hangat, basah dan licin menyelimuti tangannya... Getaran itu terus datang, hingga aku harus
melengkungkan pinggulku untuk merasakan sentuhan basah itu.

Saat jari ramping Lady Pin dengan canggung meluncur ke dalam tubuhku, tanpa sengaja tanganku mencengkeram
sprei dengan erat. Perasaan yang sedikit menyakitkan saat pertama kali aku mengalaminya. Terkadang pelan,
kadang cepat, membuatku sesekali menahan napas. Tak lama kemudian, rasa berat dan panas di tubuh seakan
terbebas, terbang ke ketinggian mencapai puncak yang belum pernah dicapai sebelumnya.

Lady Pin berbaring di atasku sambil memeluk tubuhku yang gemetar karena bahagia. Gadis itu terus membisikkan
cintanya ke telingaku, lalu mencium lembut bibirku.

"Aku meninggalkan bekas di sekujur tubuh Anil."

"..."

"Agar saat Anil pergi ke Inggris, Anil tidak bisa keluar dan bermain dengan orang lain." Lady Pin berkata sambil
dengan penuh kasih sayang membelai batang hidungku dengan jarinya.
"Khun Pin terlalu banyak salah paham pada Anil." Kataku dan mengambil alih Lady Pin. "Selain Khun Pin, Anil
tidak punya orang lain..."

"..."

"Tapi itu berasal dari alasan yang sama dengan Khun Pin." Aku mengulurkan tangan dan membuka kancing pakaian
Lady Pin yang menarik perhatian.

"Kali ini, bolehkah Anil meninggalkan bekas di tubuh Khun Pin?"

----------

Semalaman aku yang setengah terjaga, aku memutuskan untuk duduk diam di samping tempat tidur. Karena hari
masih gelap, aku hanya bisa duduk setenang mungkin, takut membangunkan orang di sebelahku yang semalaman
menangis tanpa suara.

Namun, begitu aku menggerakkan tubuhku, Lady Pin langsung menyadarinya.

"Anil... bangun pagi sekali, tidur lebih lama lagi."

Tubuh hangat itu duduk dan memelukku erat dari belakang. Tubuh telanjangnya menempel di punggungku hingga
dadanya terasa sedikit hangat.

"Anil tidak bisa tidur...jadi aku bangun dan mencuci muka." Tanganku membelai lengannya yang memelukku.

"Tidak bisakah kamu tetap di sini?"

"..."

"Aku..." Lengan Lady Pin melingkari pinggangku dengan erat. "Aku tidak ingin Anil pergi kemana pun..."

Saat Lady Pin pertama kali mengucapkan apa yang ada di lubuk hatinya, aku bisa merasakan sesuatu yang hangat
dan basah mengalir di punggungku.

Malam ini, tak terhitung berapa kali Lady Pin menangis...

"Khun Pin..."

"..."

"Anil akan segera kembali..." Aku berbalik dan segera memeluk tubuh hangat itu, "Anil janji..."

"Aku sangat khawatir..." Jari Lady Pin membelai bekas merah yang ia tinggalkan di dadaku, merasa sedih
semangatnya sudah habis terbakar. "Jadi, mungkinkah Anil akan memiliki orang lain untuk menggantikanku...?

"..."

"Anil sangat mempesona."

"..."

"Apakah kamu ingat bahwa kamu telah menyerahkan dirimu kepadaku?"

"Tentu saja aku ingat dengan jelas..."

Setelah mengatakan itu, aku tidak bisa mengendalikan diriku dan membenamkan wajahku di leher putih lembut
Lady Pin, "Selama sisa hidupku..."

"..."
"Selain Khun Pin, tidak akan ada orang lain."

Setelah berbicara, aku mencium bahu kurus Lady Pin. Belaian lembut tubuh mulusnya serta air matanya
membangkitkan hasratku untuk menghiburnya lagi dengan cinta yang lembut.

Namun di babak percintaan ini, reaksi Lady Pin sangat berbeda dari sebelumnya.

Ciuman yang penuh air mata...

Erangan yang bercampur isak tangis...

Juga tubuh kami yang gemetar karena menangis...

Pelukan dan belaiannya penuh hasrat seolah takut tubuhku akan hilang di depan matanya.

Aku ingat setiap gerak-gerik Lady Pin. Ketika aku menyadari bahwa Lady Pin telah mencapai puncak kebahagiaan,
aku membungkuk untuk memeluknya erat, lalu dengan lembut membelai rambut hitam panjangnya sambil
menundukkan kepalaku dan mencium sudut matanya yang berlinang air mata, untuk menenangkannya.

"Anil akan segera kembali..."

Aku membisikkan kalimat pendek ke telinga Lady Pin.

Tapi aku menganggapnya sebagai sebuah janji.

"Khun Pin,tolong tunggulah aku..."

~Bersambung~
BAB SPESIAL 1

Jangan lupa vote (⭐) ya

Kincir Angin Kertas

[1]

Malam itu... Aku berdiri di sana, mengamati asap abu-abu gelap yang mengepul dari cerobong asap yang menjulang
tinggi, sambil menangis tanpa suara. Di tengah kebisingan dan hiruk pikuk orang asing di sekitarku, aku hanya
merasakan hangatnya pelukan bibiku yang menenangkan...

Aku menyadari bahwa aku tidak sendirian dalam perjuangan ini. Bibiku, yang juga merupakan adik perempuan
ayahku, tanpa ragu-ragu menawarkan diri untuk mengadopsiku, orang yang telah kehilangan kedua orang tuanya
juga.

Namun kenyataannya, kekosongan akibat hilangnya sesuatu yang penting secara tiba-tiba masih ada, tidak ada yang
bisa mengisinya.

Saat aku melangkah ke Istana Sawetawarit pada hari pertama, aku merasa sangat aneh. Meskipun setiap kata yang di
ucapkan Raja menyampaikan sambutannya kepadaku, aku tetap merasa seperti aku hanyalah seseorang yang
terpaksa tinggal disini sendiri.

Bibiku menyiapkan kamar tidur pribadi yang luas dan didekorasi dengan mewah untukku, memberiku kesempatan
untuk belajar di sekolah menengah bergengsi di istana, dan memberiku cinta dan perhatian. Mengajariku
keterampilan dasar dan etika yang diperlukan untuk menjadi seorang wanita anggun. Dia memberiku keyakinan
penuh dan membuatku menerima semua ini dengan senang hati...

Namun perasaan hampa itu masih membekas di lubuk hatiku, seolah sudah menjadi bagian dari diriku.

Aku selalu hidup dalam kehampaan seperti ini...

Hingga suatu hari, aku bertemu dengan seorang "gadis kecil" yang belum pernah kutemui sebelumnya...

...Putri Anilaphat Sawetawarit

Aku pernah mendengar nama putri kecil Raja ini. Dia adalah putri Raja yang paling dicintai dan dimanjakan. Aku
mendengarnya sekilas karena penasaran. Sebab, sejak zaman dahulu hingga sekarang, pangeran dan bangsawan
selalu lebih menyukai anak laki-laki daripada anak perempuan.

Kemudian, pada hari aku berkesempatan bertemu Putri Anilaphat di Istana Bua, semua keraguanku langsung hilang.

Karena putri kecil yang kulihat ini, begitu cantik hingga tampak seindah patung yang di pahat oleh dewa. Sang putri
lebih tinggi dan lebih kurus dari anak-anak lain seusianya. Kulitnya halus dan mulus, seperti sepotong batu giok
yang diukir dengan terampil. Alis lancip yang indah pada wajahnya yang menawan sangat menarik perhatian. Mata
oval gelap berbinar cerah. Pangkal hidungnya tinggi, lurus dan lancip. Bibirnya cerah, penuh, bergelombang lembut
dan indah seolah dilukis.

Gadis cantik ini sedang asyik bermain origami bersama Prik, pelayan di Istana depan.

Naluriku memberitahuku bahwa gadis ini adalah Putri Anilaphat... Gadis kecilku.

.
.

"Halo, namaku Anil. Siapa namamu?"

Sang putri melihatku berdiri di sana menatapnya untuk waktu yang lama, jadi dia bertanya padaku dengan suara
yang keras dan jelas.

"Namaku Pilantita." Aku menjawab dengan suara rendah, tidak percaya diri sama sekali. "Nama panggilanku adalah
Pin."

"Aaaa..." Matanya yang gelap bersinar lebih cerah, sepertinya dia sangat tertarik padaku. "Khun Pin, apakah kamu
sekarang tinggal di Istana Bua bersama Bibi Pad?"

"Ya."

"Bolehkah aku memanggilmu Khun Pin?"

Putri Anilaphat tersenyum, dengan lesung pipit yang muncul di pipi, terlihat sangat cantik dan menawan.

"...Oke, kamu bisa memanggilku apa saja." Aku menundukkan kepalaku dan melihat jari kakiku.

"Berapa umur Khun Pin?"

"Tiga belas tahun."

"Umurku dua belas tahun..." Wajah cantik itu sedikit tertekan saat ini. "Bolehkah aku memanggilmu kakak? Karena
umur kita terpaut satu tahun."

Aku tertawa, merasa orang di depanku sangat menggemaskan.

"Santai saja."

"Kalau begitu aku akan memanggilmu Khun Pin seperti biasa." Senyuman cerah di wajahnya seolah-olah matahari
kedua sedang terbit di depan mataku saat ini. "Karena aku ingin menjadi teman Khun Pin, bukan saudara
perempuan."

Dia masih belum tahu... Sebenarnya, dia bukan hanya saudara perempuannya,

Dia juga berperan sebagai Bibi kecilku...

"Khun Pin, apakah kamu kenal Prik?" Sang putri menunjuk gadis berkulit gelap dan rambut keriting. Dia tersenyum
lebar dan menungguku untuk menyapanya.

"Pin, ini Khun Prik. Dan Khun Prik, ini Pin."

"Hah...?"

Aku terdiam di tempat karena bingung. Prik terus melirik hingga dia memahami maksud tuannya sebelum dengan
enggan menjawab.

"Ya Tuhan!"

"Oh maaf, aku akan mengatakannya lagi." Sang putri tersenyum bahagia. "Prik, ini Khun Pin. Khun Pin, ini Prik."

"Halo, Khun Prik."

Aku segera menyapa Prik karena aku takut putri kecil ini akan melakukan hal lain.
"Tidak, tidak, tidak, tidak mungkin seperti ini. Kalau Khun Pin menyapa Prik seperti ini, kepala Prik pasti akan
digigit kutu."

Catatan : Pepatah Thailand เหาจะกินหัว (chay bisa kepala), atau เหาจะขึนหัว (kutu tumbuh di kepala), digunakan
untuk menggambarkan perilaku yang tidak sesuai dengan status seseorang, bertindak seperti seseorang yang
berstatus lebih tinggi. Perilaku ini sering dianggap sial. Atau ungkapan dalam bahasa Thailand yamg dapat
diartikan sebagai "Kehilangan Nyawa".

"Jika Prik takut di gigit kutu..."

Putri kecil itu secara berirama mengetuk lembut ujung rambutnya dengan jari-jarinya, ekspresinya serius seolah
sedang memikirkan sesuatu.

"Kalau begitu Prik harus belajar mencuci rambut setiap hari..."

Mendengar ini, aku harus menggigit bibir untuk menahan tawa. Di saat yang sama, Prik mengangkat tangannya
untuk menggaruk rambutnya hingga berantakan, terlihat sangat sedih.

Anehnya, kekosongan dalam diriku...

Seperti diisi dengan sesuatu yang hilang dariku...

Meskipun ini adalah hal kecil untuk dikatakan, tapi...

Yang aku tahu sekarang adalah...

Bibi kecilku sangat baik.

[2]

"Khun Pin?"

Di asal suara panggilan itu, sang putri kecil sedang sibuk melipat kincir angin kertas warna-warni bersama pelayan
kecilnya Prik.

"Ya."

Jawabku sambil membawakan beberapa makanan ringan seperti Krathong Thong untuk sang putri. Putri Anilaphat
sama sekali tidak tertarik makanan penutup seperti Prik yang sedang menatap Krathong Thong di nampan, menatap
tajam, terus menerus menelan ludah, bahkan menjulurkan lidah untuk menjilat bibir.

Catatan : Krathong thong adalah hidangan pemutup Thailand. Hidangan ini berbentuk seperti lentera. Kulit
luarnya terbuat dari campuran gandum, telur bebek, dan santan, lalu dimasukkan ke dalam cetakan berbentuk
lentera, lalu diisi ayam, wortel, dan kentang yang sudah dibumbui dan dimasak.

"Khun Pin, menurutmu kincir angin warna apa yang paling indah?"

"Mungkin yang oranye..."

Aku berpikir sejenak lalu menjawab. Kincir angin berwarna merah muda buatan Prik ini selain bengkok dan tidak
rata, juga terdapat noda lem di bagian tengahnya. Kincir angin biru buatan sang putri berukuran sebesar bunga
matahari, bukan jenis kincir angin biasa yang dipasang di atas sedotan.
Yang paling terlihat baik mungkin adalah kincir angin yang oranye. Sang putri dengan hati-hati mendekorasi
beberapa detail agar terlihat lebih indah dari kincir angin lain yang pernah dibuatnya.

"Yang Mulia Putri," kata Prik sambil menelan ludahnya dalam jumlah besar. "Yang Mulia Putri, bisakah Anda
meletakkan kincir anginnya sebentar dan makan Krathong Thong terlebih dahulu?"

"Apakah Prik lapar?" Mata hitamnya masih bersinar dengan cahaya yang belum pernah kulihat sebelumnya. "Kalau
begitu Prik sebaiknya makan dulu."

"Apakah boleh?"

Prik berbalik dan menatap mataku yang agak kesal. Meski tidak mengatakannya secara langsung, Prik tetap mudah
memahaminya.

"Tidak peduli bagaimana kamu mengatakannya, kita tetap harus membiarkan sang putri makan dulu, kan." kata Prik
tak berdaya.

"Oke." Putri Anil tersenyum dan berkata. "Apakah ini buatan Bibi Pad, Khun Pin?"

"Hidangan ini dibuat olehku." Aku menundukkan kepalaku dengan malu dan menjawab: "P'Koi mengajariku cara
membuatnya."

"Benarkah?" Putri Anilaphat masih tersenyum dan berkata: "Kalau begitu kamu juga harus makan lebih banyak."

"Jika rasanya kurang enak, aku minta maaf sebelumnya."

"Khun Pin, makanlah bersamaku."

Putri Anilaphat berkata sambil mengangkat tangannya untuk memberi isyarat agar aku duduk di hadapannya. Aku
belum pernah menerima sambutan yang begitu ramah, aku tidak terbiasa dan berdiri di sana dengan bingung.

"Krathong Thong akan terasa lebih enak jika Khun Pin juga duduk dan memakannya bersamaku."

Aku langsung tertawa begitu mendengar perkataan Putri Anil. Sebelumnya, meskipun aku pernah mendengar rumor
bahwa putri bungsu Istana Sawetwarit itu sangat nakal, ternyata dia memperlakukan semua orang dengan sangat
ramah. Ia berbicara kepada semua orang dengan lemah lembut dan penuh kasih sayang, bahkan ketika dia berbicara
dengan pelayannya sendiri.

"Kalau Tuan Putri sudah bilang begitu, bagaimana aku bisa menolaknya?"

Aku duduk di hadapan Putri Anilaphat. Jelas sekali bahwa sang putri tidak hanya bersikap sopan. Pada saat ini sang
putri dengan sangat murah hati memberikan beberapa potong Krathong Thong kepadaku dan Prik.

Aku tersenyum dan diam-diam mencicipi Krathong Thong yang kubuat sendiri. Di sisi lain, Prik yang suka makan,
sedang mengunyah dengan mulut besar membuatku tak kuasa menahan diri untuk tidak mengangkat jari telunjukku
untuk menegur anak itu di depan Putri Anilaphat.

"Makan pelan-pelan, Prik." Sang putri segera menyadari sikapku dan segera memperingatkan Prik, seolah dia ingin
menyenangkanku, "Hati-hati jangan tersedak."

"Aw, bwaik... Tuwan Pwutwi"

Prik menjawab tapi mulutnya masih penuh dengan Krathong Thong.

Setelah menghabiskan camilannya, Putri Anilaphat dengan semangat membuat kincir oranyenya. Tidak butuh waktu
lama untuk menyelesaikan kincir angin oranye. Putri Anil dengan bangga tersenyum, lalu meniupnya dengan
kencang, membuat kincir angin itu berputar mengikuti angin.

Ketika aku melihat kincir angin berwarna oranye berputar secepat dan sekuat yang diperkirakan, Putri Anil
membawa kincir angin tersebut di hadapanku.

"Ini untukmu."

"Oh, apakah ini hadiah untukku?"

"Um..."

Kata Putri Anilaphat sambil mendekatkan wajahnya ke wajahku. Wajah cantiknya dari dekat lebih cantik dari ribuan
wajah cantik yang pernah kulihat di dunia ini. Matanya menjadi semakin mempesona, seperti bintang terang di
malam gelap tanpa bulan.

"Tapi aku tidak memainkan kincir angin." kataku keberatan.

"Kamu tidak perlu memainkannya, simpan saja." Putri Anilaphat tersenyum manis. "Selama Khun Pin
menyimpannya, aku akan sangat bahagia."

"...."

"Kalau Khun Pin menerima kincir anginku, berarti Khun Pin bersedia menjadi temanku."

Putri Anilaphat berkata sambil mengangkat kincir angin begitu tinggi sehingga aku harus mengangkat kepalaku
untuk melihat...

Kertas oranye terang yang dilipat di sudutnya tampak seperti bunga yang berputar-putar. Berlatar belakang langit
biru tak berawan, tampak secantik lukisan karya seniman.

"Terima kasih, Yang Mulia Putri."

Aku mengulurkan tangan dan menerima kincir kertas oranye itu, sebuah emosi muncul di hatiku yang belum pernah
aku rasakan sebelumnya.

"Jika aku ingin meminta sesuatu pada Khun Pin..."

"...."

"Maukah kamu memberikannya padaku?"

Saat ini, mata sang putri berbinar-binar, membuatku tidak berani mengatakan apa pun yang bertentangan dengan
keinginannya.

"Jika aku bisa melakukannya... maka aku akan melakukan yang terbaik. Aku mengangkat wajahku dan menatap
dala-dalam dengan penuh kasih sayang pada wajah yang tersenyum di depanku.

"Kalau begitu baiklah." Putri Anilaphat berkata sambil tersenyum.

"Apa yang baik?"

"Aku yakin Khun Pin bisa jadi aku bilang "baiklah". Karena aku hanya ingin meminta Khun Pin untuk tidak
menggunakan kata-kata kerajaan saat kita sendirian, itu saja."

"Kenapa... aku tidak mengerti."

"Aku ingin berbicara dengan Khun Pin seperti seorang teman tanpa menggunakan kata-kata kerajaan yang rumit
itu."

Putri Anilaphat berkata "teman".

Aku belum pernah punya "teman" sebelumnya.


"Kenapa......"

"Karena teman tidak menggunakan bahasa kerajaan..."

"...."

"Sekarang Khun Pin adalah sahabatku...."

[3]

"Kenapa Anil selalu nakal?" Mau tidak mau aku mengeluh saat melihat luka merah baru di lutut putih Anil. "Sudah
berapa kali kubilang jangan memanjat pohon lagi?"

"Terakhir kali, Khun Pin tidak mengizinkanku memanjat Pohon Hujan Emas (Cassia Fistula). Aku sudah mengikuti
setiap kata dengan serius."

"Aku bilang semua pohon besar, bukan hanya Pohon Hujan Emas." Mendengar perkataan Putri Anilaphat, aku
mengerutkan kening dan merasa sedikit kesal. "Jangan bilang kali ini Anil jatuh dari Pohon Almond, Anil tidak
salah."

"Sungguh?" Anil berkata sambil tersenyum lembut. "Aku tidak bermaksud begitu. Kumohon Khun Pin jangan
marah?"

"...."

"Kumohon..."

Sepertinya setiap kali aku melihat mata gelap yang dengan cahaya memohon, tidak peduli betapa kesalnya aku, tiba-
tiba dia akan tersenyum. Apalagi jika dia tersenyum hingga memperlihatkan lesung pipinya yang paling aku suka.

Tidak peduli apa, pada akhirnya aku akan kalah dari Anil...

"Aku tidak marah, aku tidak marah lagi." Aku tidak bisa berbuat apa-apa selain menghindari tatapan matanya,
berpura-pura menjadi dokter profesional dan merawat luka Anil. "Lain kali kalau Anil terluka lagi, aku berjanji tidak
akan peduli lagi sama sekali."

"Maksudmu, jika aku masih terluka...." Anil tersenyum nakal. "Khun Pin tidak akan menjagaku lagi, kan?"

"Um..."

Aku yakin dengan nada seriusku, tapi aku tetap menundukkan kepalaku, berusaha menghindari kontak mata dengan
gadis yang tersenyum nakal itu.

"Tapi Anil tahu...." Dia sering menyebut dirinya dengan nama depannya. Dia biasa melakukan ini setiap kali dia
ingin memohon belas kasihan. "Khun Pin tidak akan sekejam itu."

"Tunggu dan lihat saja nanti." Melihat Anil begitu keras kepala, aku dengan angkuh mengangkat kepalaku. "Mari
kita lihat apakah Anil bisa mengalahkanku..."

[4]

Sayangnya, setelah aku mengucapkan kata-kata perintah itu kepada Anil, dia terus memanjat segala jenis pohon
besar dan kecil "tanpa henti". Hanya dengan mendengar pohon mana yang paling disukai raja, Putri Anilaphat akan
segera memanjatnya hampir setiap saat.

Bagi Anil terus mencari masalah mungkin bukan hal langka. Tak heran jika Anil terus menjadi nakal dan nakal.

Tapi pernyataanku bahwa aku tidak lagi peduli pada Anil sepertinya agak tidak realistis...
...karena aku tidak tega melihat putri kecil kesakitan setiap kali dia terjatuh dari pohon.

"Kali ini sepertinya kamu terluka parah." Aku mengerutkan kening. "Itu berdarah."

Aku mengatakan itu ketika aku mengetahui bahwa Putri Anilaphat jatuh dari pohon horoskop yang sedang mekar
sempurna di Istana Bua.

"Karena bunga itu mekar dengan sangat indah." Senyuman sang putri sangat menggemaskan. "Jadi aku ingin
memilih cabang pohon horoskop yang besar sebagai hadiah untuk Khun Pin."

"Mengapa kamu ingin memberiku hadiah?"

Anil berdiri, mendekatiku dan berbicara dengan jelas.

"Apakah kamu memerlukan alasan?"

"...Um."

"Anil hanya berpikir kalau Khun Pin cocok dengan warna pink dan ungu." Mata gelapnya berbinar terang. "Apakah
Khun Pin tidak menyukai bunga? Di Sore hari, kudengar Khun Pin bilang ingin sebatang cabang bunga horoskop
yang belum layu ke dalam vas."

Mendengar kata-kata polos Anil, aku mengangkat alisku dan perlahan melirik ke arah buket besar bunga horoskop.
Di antara bunga berwarna ungu kemerah-merahan dan dihiasi bintik-bintik putih.

"Kalau ini penyebab Anil terluka, maka aku tidak menyukainya lagi."

Ini pertama kalinya aku tidak ragu untuk mengutarakan pikiranku tanpa berpikir. Saat aku menyadarinya, aku
melihat wajah cantik Anil tiba-tiba memerah. Dan wajahku tiba-tiba menjadi panas tanpa alasan yang jelas.

"Tapi, aku masih berharap Khun Pin menyukai buket bunga horoskop ini." Anil tersenyum lembut, "Aku sudah
terluka seperti ini, tapi Khun Pin masih tidak menyukainya sama sekali?"

"..."

"Aku hanya ingin melihat senyum Khun Pin."

Mendengar permintaan Anil, aliran air hangat datang entah dari mana dan mengalir ke hatiku. Seperti lahar panas
yang meletus, dengan cepat menyebar ke seluruh daratan yang kering dan retak.

Jika aku tidak menghitung Bibi Padmika... Anil adalah orang pertama yamg peduli padaku, meski dengan cara yang
tidak kuduga.

"Kalau begitu anggap saja buket bunga ini sebagai pengecualian..." Aku tersenyum pada Anil. "Aku akan
menaruhnya di vas di kamar tidur dan melihatnya dari pagi hingga malam."

Anil mendengarnya dan tersenyum manis padaku. Baru setelah dia mendengar kalimat berikutnya dia dengan
enggan menarik senyumnya.

"Tapi...."

"Umm...?"

"Setelah itu, Anil sama sekali tidak boleh memanjat pohon untuk memberimu bunga lagi."

"......Mengapa?"

Gadis itu memiringkan kepalanya, berpura-pura penasaran, memaksaku mengucapkan kalimat berikutnya.
"Karena aku tidak ingin Anil terluka lagi..."

"Karena aku akan sangat khawatir."

~Bersambung~
BAB SPESIAL 2

Jangan lupa tekan Vote (⭐) dulu ya☺

Sensitif... Diabaikan

[1]

Sore ini cuaca panas dan lembab. Namun aku dan P'Koi tetap memilih duduk dan mengupas buah Maprang di teras
Istana Bua, dan bersiap membuatkan sirup Maprang untuk Bibi Pad. Tiba-tiba, aku mendapati diriku sibuk mencari
siluet seseorang. Karena biasanya, seseorang dan pelayannya sering berkeliaran di sekitar paviliun tepi sungai. Entah
kebetulan atau disengaja.

Tapi hari ini, aku bahkan tidak melihat siluet kedua orang itu...

"Kudengar hari ini Putri Dararai, adik perempuan Putri Alisa, datang ke istana untuk menjenguk adiknya." P'Koi
tiba-tiba mengatakan ini, "Dia datang bersama putri satu-satunya, Putri Euang fah, Lady."

"Aku tahu?" Aku pura-pura menjawab P'Koi, seolah tidak tertarik ikut campur urusan kepala istana, "Kenapa P'Koi
tiba-tiba menyebutkan hal ini?"

"Sepertinya kamu sedang mencari Putri Anil."

"Apakah aku menunjukkan diriku sejelas itu?" Aku mengangkat alisku, sedikit tidak yakin dengan sikapku.

"Ya, Khun Pin." Kata P'Koi sambil tersenyum ramah sekali.

"Leher Khun Pin terlalu panjang."

Wajahku tiba-tiba terasa panas, aku mengerucutkan bibir dan berpura-pura membuang muka melihat sekeliling,
tidak berani menatap langsung ke mata P'Koi.

"Jadi, apakah Putri Anil juga harus menginap untuk menyambut kerabatnya? Sehingga dia tidak berkeliaran di
Istana Bua seperti biasanya?"

Rasa ingin tahuku mengambil alih, mengalahkan rasa gengsiku... Jadi aku putuskan untuk bertanya langsung pada
P'Koi.

"Ya, Khun Pin." Bibi Koi menjawab perkataanku, dan gerakan tangannya masih terus mengupas mapram. "Putri
Euang fah adalah sepupu terdekat Putri Anil. Putri Dararai juga sangat menyayangi Putri Anil. Jadi setiap memasuki
istana, Putri Euang fah selalu mencari Putri Anilaphat, Lady."

"Sepertinya semua orang menyukai Putri Anil, P'Koi."

Entah kenapa aku tertawa tanpa alasan saat memikirkan senyuman yang secerah matahari Bibi kecilku, Putri
Anilaphat.

"Ya, Putri Anil lincah dan ceria, jadi tentu saja semua orang menyukainya."

Setelah mendengar perkataan P'Koi, aku tersenyum dan menundukkan kepala lalu melanjutkan mengupas Maprang.

"Putri Euang fah... apa dia sudah dewasa?"

Setelah hening beberapa saat, aku bertanya pada P'Koi.


"Yang mulia Euang telah berubah menjadi gadis dewasa. Dia sangat cantik, apalagi saat ia mengenakan pakaian
Lanna. Dia memiliki kulit putih, wajah halus, sikap sopan dan sangat anggun."

Tanpa sadar aku mengangguk menanggapi P'Koi tetapi tidak fokus pada itu.

"Khun Pin juga sangat cantik, sangat rapi dan menawan."

"Benarkah?"

Aku pura-pura mengangkat alis karena terkejut. P'Koi pasti takut aku sedih jadi dia segera memujiku.

"Itu benar, Khun Pin." P'Koi mengangguk seolah khawatir aku tidak akan mempercayainya.

"Antara Putri Euang dan Putri Anil, siapa yang lebih cantik?"

"Oh, dibandingkan dengan Putri Anil, sulit untuk mengatakannya. Dia memiliki kecantikan yang berbeda. Putri Anil
secantik patung. Dia tinggi dan anggun, dengan kulit halus dan wajah yang indah berkilau seperti lukisan, Hanya
saja ia terlalu nakal, Khun Pin."

"Sepertinya dua wanita cantik yang dibicarakan P'Koi sedang berjalan berdampingan di sana."

Sulit untuk mengatakan bahwa aku melihatnya secara kebetulan. Karena mataku selalu tertuju pada jalan yang biasa
di lalui Putri Anil ketika datang ke Istana Bua.

Saat menyaksikannya dengan mata kepala sendiri, gadis muda yang tak henti-hentinya dipuji oleh P'Koi itu berjalan
berdampingan dengan Putri Anilaphat, bertingkah seolah-olah mereka berdua saudara sedarah.

Aku terdiam sejenak...

Pemandangan di depan mataku seindah karya seni seniman yang berbakat.

Sangat cantik... tapi menjengkelkan.

Putri Euang adalah seorang gadis muda langsing. Meski hari ini dia tidak memakai pakaian Lanna seperti yang
dipuji P'Koi, kecantikannya tetap menonjol dalam balutan gaun modern yang manis. Menonjolkan penampilan yang
luar biasa.

Aku mengerutkan kening begitu aku melihat Putri Anil yang berjalan di sampingnya tersenyum ke arahku dari jauh.

Cih!

Siapa yang ingin tersenyum dengan Anil?

[2]

"Khun Pin, Mae Koi, apakah kalian berdua mengupas Maprang?" Anil menyapa dengan suara cerah begitu dia
melangkah ke teras Istana Bua, "Apakah ada yang bisa ku makan dengan Putri Euang?"

Aku melirik ke arah pemilik suara itu, sebelum melihat ke arah gadis yang berdiri tepat di sampingnya. Semakin aku
melihat, semakin aku menyadari betapa cantiknya Putri Euang fah di luar imajinasiku. Wajahnya sangat indah, mata
coklatnya yang besar dan bulat berkilau. Bibirnya yang cerah dan penuh sangat proposional dengan hidungnya yang
kecil.

"Ada Chor Muang, Tuan Putri." P'Koi dengan cepat menanggapi Anil. "Aku akan segera membawakannya padamu
sekarang, Tuan Putri."

Catatan : Chor Muang adalah pangsit berbentuk seperti bunga. Namanya secara harfiah diterjemahkan dalam
bahasa Thailand sebagai "Bunga Ungu". Kulit luarnya dari tepung beras dan air melati, isian dalamnya berupa
daging babi, kacang tanah tumbuk, wortel, bawang putih, bumbu dapur, lalu digulung menjadi bola, ditekan
menjadi bentuk bunga menggunakan cetakan tembaga. Warna ungu pada keraknya tercipta dari bunga telang.
Selain berwarna ungu, chor muang juga ada yang berwarna biru atau putih.

"Tidak perlu terburu-buru, P'Koi." Aku memotongnya, suaraku sangat dingin bahkan aku bisa merasakannya, "Hati-
hati jangan sampai jatuh nanti kepalamu terbentur."

"Baik, Khun Pin."

P'Koi berbalik dan buru-buru pergi ke dapur utama Istana Bua.

"Khun Pin, Anil ingin memperkenalkan Putri Euang padamu."

Anil mendekatkan wajahnya, matanya terbuka lebar, tampak mendominasi. Tapi entah kenapa karena beberapa
alasan suasana hatiku tidak sama dengan apa yang aku rasakan bersama Anil sebelumnya.

"Iya..." jawabku singkat.

"Ini keponakan ibuku, Khun Euang, juga dikenal sebagai Putri Euang fah." Anil menunjuk Putri Euang fah sambil
tersenyum. "Khun Euang, ini Lady Pilantita, keponakan Bibi Pad."

"Halo, adik perempuan."

Catatan : Di sini versi bahasa Inggris langsung menulis Chao, sedangkan Chao Nong diterjemahkan sebagai Sister.

Putri Euang tidak hanya memiliki paras yang cantik, namun suara Putri Euang juga sangat merdu.

"Halo, Khun Euang."

Aku mengangkat tanganku untuk menyapa, berpikir kalau Putri Euang pasti lebih tua dariku. Penampilannya saat ini
tidak berbeda dengan wanita dewasa. Berbeda denganku dan Anil, kami masih dalam tahap pertumbuhan dari gadis
remaja menjadi gadis dewasa.

"Aku membawa Putri Euang ke Istana Bua karena terus bilang padanya bahwa camilan di Istana Bua adalah
favoritku.

Anil terus berbicara tetapi aku tidak mendengarkan seperti biasanya.

"Benarkah..." Suaraku terdengar sangat tenang.

"Benar." Gadis jangkung itu masih tersenyum cerah, tanpa sadar memperlihatkan lesung pipitnya.

"Lebih dari itu. Anil terus memuji Istana Bua dan mengatakan kalau camilan di Istana Bua lezat sekali."

"Itu benar."

Jawab Prik tegas. Aku terkejut saat mengetahui bahwa aku telah sepenuhnya mengabaikan keberadaan Prik.

"Jika enak, makanlah lebih banyak."

"...."

"Sayang sekali aku tidak membuat banyak," mau tak mau aku berbicara ketika melihat senyum menyebalkan itu,
"Aku tidak tahu kalau sang putri akan datang... apalagi dia membawa tamu."

"Kalau begitu aku akan pergi ke Istana Bua setiap hari."

"Jadi, kamu akan pergi kemana saja?" aku berbasa-basi bertanya.

"Aku akan mengajak Putri Euang berjalan-jalan di istana."


Putri Anilaphat tersenyum dan berkata, tapi dia tidak tahu kalau suasana hatiku sudah seperti awan gelap. Saat itu,
P'Koi membawakan sepiring Chor Muang. Prik segera berlari untuk membantu, dan pada saat yang sama menjilat
bibirnya dengan lidahnya, membuatku memelototinya dengan marah.

"Aku minta maaf." Prik menciutkan lehernya, memperlihatkan senyuman nakal, "Prik tidak bisa menahannya,
perutku keroncongan karena lapar."

"Kelihatannya enak sekali. Aku ingin memakannya juga, Khun Pin."

"Benar, sepupu." Kata Putri Euang fah sambil tersenyum manis pada Anil, "Semua ini dibuat oleh Khun Pin, kan?"

"P'Koi dan aku membuatnya bersama." Aku dengan angkuh mengangkat daguku.

"Silakan makan lebih banyak, Khun Euang."

"Ya, sepupuku Anil."

Suara merdu Putri Euang bagaikan lagu pengantar tidur yang mudah membuat orang jatuh hati. Jika pemandangan
di depan mataku yang membuatku sedikit tidak nyaman dan sedikit mengerutkan kening, aku mungkin akan tersihir
ke dalamnya.

Putri Euang dengan hati-hati membagi Chor Muang menjadi empat bagian menggunakan garpu kecil. Kemudian
dibelah sebagian, meniupnya pelan-pelan untuk mendinginkan dan didekatkannya ke mulut Anil dengan begitu
lembut hingga menarik perhatianku.

"Panas sekali... Makanlah pelan-pelan, sepupu."

[3]

Putri Euang dan Anil telah kembali ke istana depan, namun suasana suram masih membekas di hatiku, seperti uap
tebal bercampur di udara panas dan lembab sebelum turun hujan.

Untungnya, aku kembali ke kamarku sebentar.

Sayangnya, aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan dengan pikiranku yang kacau.

Entah kenapa, aku tidak sebahagia dulu saat melihat Anil dengan gembira menyantap camilan yang kubuat seperti
biasa.

Tak hanya itu, saat aku melihat Anil tersenyum pada Putri Euang fah, aku semakin risih, seolah-olah seluruh dunia
hanya milik Anil dan Putri Euang, hanya mereka berdua.

Akhirnya, aku mengeluarkan buku harianku dan menuangkan sebagian emosiku ke dalamnya. Karena aku
menganggap buku harianku itu sebagai teman dekatku, dia akan selalu mendengarkan ceritaku tanpa syarat, cerita
baik maupun buruk.

12 Maret

Aku selalu tidak suka Anil dikelilingi oleh banyak orang. Anil selalu tersenyum pada semua orang.
Senyuman Anil yang menggemaskan sekaligus indah, membuatku ingin menyembunyikannya sendiri.

Tapi bagaimana mungkin?

Aku sangat tidak senang. Anil hanya merasa tertarik pada Putri Eaung, sepupunya dari Chiang Mai. Anil
mengajaknya jalan-jalan di istana dan mengajaknya ke Istana Bua untuk makan cemilan. Apa Anil tidak
tahu? Aku khusus membuat camilan itu hanya untukku dan Anil.
Tidak akan ada sisa untuk dicicipi oleh orang lain. Aku tahu Anil sangat menggemaskan...

Tapi bisakah Anil hanya menggemaskan saat berada disampingku?

Aku baru saja menulis ini dan kemudian menutup buku harian itu, tidak tahu harus berbuat apa lagi.

Aku tidak menyalahkan Putri Anilaphat atas masalah itu.

Aku hanya menyalahkan diri sendiri karena kehilangan kendali atas emosiku.

[4]

Di sekolah, orang yang selalu berada di sisi Anil bukanlah Prik yang kukenal, melainkan Putri Alisara, putri kedua
Duta Besar Inggris. Ia mempunyai paras yang cantik bagaikan bintang terkenal tang dikejar siswa laki-laki di
sekolahnya.

Dimanapun Anil berada... disitu pasti ada Lady On, seolah-olah mereka adalah bayangan satu sama lain.

Jika ada yang bertanya padaku apakah aku sudah terbiasa dengan hal itu...

Ya, aku sudah terbiasa.

Jika ada yang bertanya kepadaku apakah aku menyukainya...

Aku tidak menyukainya.

Aku tidak menyukainya, apalagi semester ini. Setiap hari ketika aku pergi ke kantin untuk makan siang, aku sering
melihat Anil dikelilingi sekelompok orang. Namun hanya ada satu orang di samping Anil, itu adalah Lady On.

Teman-teman Anil sering duduk meja di bawah pohon kenari yang rindang. Saat mereka duduk bersama, Anil lebih
seperti pendengar, sangat pendiam. Dia selalu menunjukkan senyuman cerah dan menampilkan seluruh bakatnya di
hadapan banyak orang, selalu menonjol, membuat banyak orang memperhatikannya. Bagaikan matahari kedua yang
dikelilingi oleh satelit-satelit dengan berbagai ukuran.

Sementara itu, aku dan teman baikku Wilaiporn sering memilih meja di sudut, di pojok yang hampir tidak
terjangkau sinar matahari. Aku selalu memilih untuk duduk di sisi dimana aku bisa melihat Anil. Seringkali aku
terkejut dengan perilaku ku sendiri. Namun pada akhirnya aku memutuskan untuk mengikuti kata hatiku.

Aku selalu merasa canggung setiap kali Anil memperhatikanku dan memilih untuk mengangkat tangan dan
melambai sambil tersenyum cerah. Karena di saatseperti itu teman-teman Anil, termasuk Lady On, menatapku
dengan tatapan terkejut. Jadi aku selalu pura-pura tidak memperhatikan Anil menyapaku.

Tapi meski aku berpura-pura mengabaikan Anil...

Aku juga tidak ingin Anil pulang sekolah bersama Lady On setiap hari dalam seminggu.

Aku selalu menunggu Anil, berharap punya waktu bersamanya untuk menaiki "Chao Kae" kembali ke istana.
Sekarang selama beberapa hari berturut-turut, aku melihat Anil mengundang Lady On untuk naik kereta kerajaan
untuk kembali ke istana, yang membuatku sangat tidak senang. Aku bertahan dari senin sampai jum'at tapi Anil
tetap memilih pulang bersama Lady On seperti ini setiap hari...

Namun setiap sore, Anil tetap pergi ke Istana Bua seperti biasa.

Kecuali hari ini... akhir pekan ini.

Meski aku berusaha sekuat tenaga untuk menjulurkan leher, aku tetap tidak bisa melihat siapa pun, hanya Prik yang
mencari-cari cemilan seperti biasa. Aku hanya bisa menanyakan keadaan Anil darinya. Prik bercerita kalau Anil
menghadiri pesta ulang tahun Lady On dan akan menginap semalam di rumah Lady On.
Mendengarkan Prik berbicara, ekspresiku tetap tenang seperti sebelumnya, tapi di dalam hatiku aku merasa resah.
Jadi malam ini, aku berbicara dengan buku harianku.

30 April

Aku berusaha sekuat tenaga... namun pada akhirnya, air mataku tetap tidak dapat dibendung dan jatuh.
Aku terus berkata pada diriku sendiri, Anil tidak "tergila-gila" dengan teman barumu, Lady On - putri Duta
Besar, hingga dia melupakanmu.

Namun saat aku mengetahui Anil memilih pergi ke vila Sawadipat untuk menghadiri pesta ulang tahun Lady
On, alih-alih berada di sisiku seperti setiap hari, aku tak kuasa menahan diri dan diam-diam berlari kembali
ke kamarku dan menangis tersedu-sedu.

Bahkan sekarang, saat menulis di buku harianku, aku masih menangis.

Anil, tahukah kamu, dari sore hingga malam hari, aku selalu mencari Anil...

Tapi sampai aku lelah. Aku tetap tidak melihat sosok Anil.

Aku benar-benar marah pada Anil!

Sambil menutup buku harian, aku terus bertanya-tanya pada diriku sendiri.

Kenapa segala sesuatuyang berhubungan dengan Anil... begitu penting bagiku?

~Bersambung~
BAB SPESIAL 3

Jangan lupa tekan Vote (⭐) dulu ya☺

Surat Cinta

[1]

Setiap pagi sebelum kelas di mulai, aku selalu melihat Anil berdiri disana... tepat di sudut aula serbaguna yang luas,
dikelilingi oleh sekelompok orang. Mataku selalu bisa menemukan Anil dengan tepat, seolah pancaran sinar
matahari pagi yang keemasan hanya menyinari senyum cerahnya. Ketidakadilan visual ini sungguh luar biasa,
namun aku tidak pernah terpikir untuk menemukan jawabannya...

...Kenapa selalu hanya ada Anil di mataku?

"Putri Anil manis sekali, Khun Pin." Suatu pagi, saat aku diam-diam mengamati tubuh tinggi Anil dalam waktu
lama, teman sekelasku Wilaiporn, putri seorang baron kaya raya, tiba-tiba berbisik di telingaku, "Bukankah dia akan
lebih manis jika mengenakan pakaian biasa di istana?"

"Yah..." Aku sedikit menjauh dari Wilaiporn, lalu menjawabnya dengan suara yang sangat pelan hingga aku hampir
tidak bisa mendengarnya. Dalam benakku, aku teringat sebulan yang lalu, di pesta merayakan kembalinya Pangeran
Tertua, Anil mengenakan gaun putih berkibar, "itu dia... lumayan menggemaskan..."

"Lihat! Aku sudah menduganya! Lain kali aku harus mencari kesempatan mengunjungi Khun Pin di istana. Siapa
tahu aku akan mendapat kesempatan melihat sang putri mengenakan pakaian selain seragam sekolah." Wilaiporn
tersenyum begitu cerah sehingga aku merasa kesal padanya, "Apakah kamu demam, Khun Pin? Lihat wajahmu,
merah sekali."

Setelah mendengar Wilaiporn, tanpa sadar aku menyentuh pipiku dengan punggung tangan dan menyadari wajahku
terasa panas seperti sedang demam. Aku tahu, aku tidak merasa sakit atau tidak nyaman. Tapi entah apa penyebab
wajahku yang panas dan detak jantungku yang berdebar cepat ini.

"Mungkin aku kena sengatan matahari. Hari ini terlalu panas. Ayo bersiap ke kelas Wilai. Sudah hampir waktunya."

Aku menyela percakapan konyol ini lalu melirik ke sudut tempat Anil berdiri. Aku melihat gadis jangkung itu
kembali menatapku. Anil meletakkan tangannya di bahuku untuk menyapaku sebagai salam dan memberiku
senyuman manis, memamerkan lesung pipit yang dalam di kedua pipinya. Entah kenapa... Aku menanggapi Anil
dengan seringai dan tatapan dingin. Sementara itu, Wilaiporn masih asyik dengan ceritanya.

"Lihat! Pipi Khun Pin kembali memerah, sekarang bahkan lebih merah dari sebelumnya."

"Sudah kubilang aku baik-baik saja, Wilai. Jangan ganggu aku lagi."

[2]

"Khun Pin, seseorang memintaku untuk memberimu surat ini."

Suatu hari, sebelum kelas bahasa Inggris dimulai, Wilaiporn datang dan memberikan aku sebuah amplop coklat
muda, dengan hati-hati dan curiga. Aku memandang dengan bingung pada surat yang tak dikenal, yang diberikan
oleh Wilaipron kepadaku, tanpa ada niat untuk mengambilnya.

"Surat ini dari siapa? Apa aku tidak boleh menolaknya?"

"Tidak bisa, Khun Pin. Ini surat yang ditulis kakakku, dia memintaku untuk memberikannya padamu."
Sayangnya, meja kami bersebelahan, sehingga membuatku sulit untuk mengabaikan percakapan dengan teman
dekatku ini. Karena selain berpura-pura fokus pada papan tulis di depanku, aku tidak tahu harus berbuat apa lagi.
Wilaiporn dengan keras kepala meletakkan surat itu di mejaku dan melanjutkan pembicaraan.

"Kenapa aku harus menerima surat dari kakakmu, Wilai? Aku bahkan tidak mengenalnya."

"Karena Khun Pin tidak mengenalnya, P'Wilai harus menulis surat untuk memperkenalkan dirinya."

"Kenapa kakakmu harus mengenalku? Dia bahkan bukan saudaraku."

Ekspresi wajahku menjadi jengkel karena aku sangat tidak menyukai tindakan sahabatku yang berbeda dari biasanya
itu. Alasan aku berteman lama dengan Wilaiporn adalah karena dia adalah orang yang baik dan tidak seperti aku, dia
tidak pendiam sama sekali. Wilaiporn tidak pernah menyampuri atau memaksaku seperti ini sebelumnya. Oleh
karena itu, aku merasa kecewa dengan desakannya.

"Walaupun dia bukan saudara Khun Pin, dia adalah kakak kedua dari sahabatmu. Bisakah kamu menghargainya?
Tolong kenali dia sedikit. Jika kamu tidak menyukainya, lupakan saja. Sesederhana itu."

"Tidak, tidak. Wilai, jangan katakan ini padaku lagi, kalau tidak aku akan sangat marah."

Untungnya, segera setelah aku selesai bicara, guru Samorn masuk ke dalam kelas, menyelamatkanku saat ini. Aku
menggunakan ujung jariku untuk menggeser surat itu menjauh dari mejaku. Wilaiporn tampak sangat kecewa dan
wajahnya tampak tertekan.

Pokoknya... Sepanjang sore ini sepertinya aku harus menanggung perasaan tidak enak akibat surat itu, sampai
P'Perm datang menjemputku dengan "Chao Kae" miliknya dan mengantarku pulang.

Jika ada sesuatu yang bisa membuatku merasa lebih baik, itu adalah putri kecil yang datang dan menungguku pulang
bersama. Dalam hal ini aku tidak bisa menyangkalnya. Begitu aku membuka pintu mobil, aku melihat Anil
bersandar di mobil dengan senyuman di wajahnya.

"Kenapa kamu hari ini duduk di 'Chao Kae' ini? Kenapa kamu tidak naik mobil kerajaan bersama Khun On untuk
pulang ke istana setiap hari seperti minggu lalu?"

Aku tidak bisa mengendalikan diri dan bertanya pada Anil dengan marah begitu aku membuka mulut.

"Minggu lalu aku tidak punya pilihan lain, karena mobil yang datang menjemput Khun On sore itu ada masalah, jadi
aku harus meminta Luang Plai untuk mengantarnya pulang. Jujur saja, Anil ingin duduk di 'Chao Kae' bersama
Khun Pin setiap hari.

"Anil tidak perlu menjelaskan." Yang mengejutkanku adalah aku terus marah pada Anil, "Singkatnya, Akulah yang
selalu menunggu Anil siang dan malam."

"Itu tidak benar." Sang putri mendekat dan tersenyum manis ke arahku, "Setidaknya hari ini aku sudah lama
menunggu Khun Pin."

"Sssttt..."

Aku cemberut dengan marah dan berbalik, tidak melihat lagi ke arah orang yang duduk di sebelahku. Sementara itu,
P'Perm mulai mengemudikan sesuai tugasnya, menyalakan mobil tanpa menghiraukan pembicaraan antara aku dan
Anil. Dalam perjalanan pulang ke Istana Sawetawarit, aku hanya melihat ke luar jendela. Aku tahu putri kecil itu
menatap wajahku tanpa bergeming.

Aku begitu yakin, karena aku bisa melihat wajah cantiknya dari sudut mataku.

Dan, seperti biasa, dia menggunakan ujung jarinya dengan main-main untuk menyentuh ujung jariku seperti biasa.

Namun waktu kami di dalam mobil berlalu dengan cepat, seolah sekolah dan Istana Sawetawarit berada di satu
tembok yang sama. Tepat setelah itu, P'Perm membawa kami ke depan istana. Namun Anil tanpa berpikir panjang,
ia melambaikan tangannya dan menyuruh P'Perm terus mengemudi.

"Bawa aku ke Istana Bua."

Setelah selesai berbicara, senyuman licik muncul di wajahnya yang kukenal. Aku menyilangkan tanganku di depan
dada dan dengan dingin menatap ke arah putri kecil itu, meskipun dalam hati aku sangat bahagia. Karena aku tahu
jika Anil meminta P'Perm untuk membawanya ke Istana Bua, dia akan tinggal di sana sampai matahari terbenam
seperti biasa.

"Bisakah Khun Pin membantuku mengerjakan pekerjaan rumahku hari ini?"

Aku hanya bisa tersenyum saat dia memohon dengan suaranya yang manis, dan senyuman cerah di wajah kecilnya,
aku tidak bisa menahan senyum. Aku benar-benar lupa aku masih memainkan peran mengabaikan orang di depanku.

"Mata pelajaran apa?"

"Pelajaran apa pun boleh."

"...Anil!"

"Mata pelajaran mana yang lebih baik?" Anil mengetuk pelipisnya dengan jari telunjuknya, tersenyum cerah, terlihat
sangat menggemaskan. "Matematika tidak apa-apa, kan?"

"Apa Anil meremehkanku?"

Kataku sambil membawa tasku dan Anil berjalan menuju paviliun tepi sungai Istana Bua. Pada saat ini, begitu P'Koi
melihat sang putri turun dari mobil "Chao Kae", dia segera membawakan makanan untuk Anil.

"Terima kasih, Mae Koi."

Anil memandangi khao rang na tang di piring dan mengucapkan rasa terima kasihnya kepada Bibi Koi dengan cara
yang manis dan ramah seperti biasa.

Catatan : Khao Rang Na Tang, nama Inggris Nataing berasal dari bahasa Khmer. Ini adalah saus kari babi merah
ala Kamboja dan Thailand. Hal ini sering disajikan dengan kue beras goreng.

Anil dari dulu selalu seperti itu...

Lebih tepatnya, ia selalu memancarkan pesonanya kepada siapa pun tanpa membeda-bedakan, ibarat tetesan air
hujan yang membasahi lahan kering di musim kemarau.

Aku suka... Sekaligus tidak suka kepribadian Anil ini.

"Orang pintar ingin orang yang kurang pintar mengajari mereka soal matematika?"

Saat kami berdua sendirian di paviliun di tepi sungai yang sejuk, aku menyilangkan tangan di depan dada. Putri
kecil itu sepertinya tidak takut dengan sikapku yang dingin dan serius, dia masih memiliki senyuman di wajahnya.
Dia mengeluarkan buku catatan dari tasnya, lalu membukanya dan meletakkannya di depanku, seolah menanyakan
apa yang aku butuhkan.

"Bolehkah aku meminjam pensilmu? Aku menjatuhkannya di kelas."

"Kalau begitu Anil, lihat di tasku. Ada tempat pensil di dalamnya."

Kataku sambil menyerahkan tas sekolah tebal itu kepada putri kecil. Sayangnya, Anil terlalu nakal. Di luar dugaan,
dia tidak hanya mencari kotak pensil.

"Ada sebuah surat di tas Khun Pin."


Anil memegang surat yang familiar di depan mataku. Saat ini, aku merasa seperti ada yang menuangkan minyak
mendidih ke kepalaku dari ujung kepala sampai ujung kaki. Satu-satunya hal yang terpikir olehku adalah Wilaiporn
diam-diam memasukkan surat kakaknya ke dalam tasku tanpa persetujuanku.

"Ya......"

Aku hanya menjawab singkat, lalu terdiam seperti orang bisu.

"Surat apa ini?" Mata gelap Anil bersinar dengan cahaya tajam yang belum pernah kulihat sebelumnya. "Sepertinya
surat cinta..."

"...."

Setelah mendengar ini, aku terdiam. Butuh beberapa saat sebelum aku bisa berbicara lagi.

"Anil berbicara seolah-olah sering menerima surat cinta."

"Terkadang aku juga mendapatkannya beberapa kali." Mata Anil berbinar-binar, seolah menggoda, "Tapi bukan
berarti aku merasa senang."

"Dari siapa kamu mendapatkannya?"

Aku bertanya dengan serius. Hatiku bergetar mendengar jawaban polos dari orang di hadapanku. Aku tidak dapat
menjelaskan mengapa aku merasa sangat sedih dan cemas.

"Dari kakak kelas, adik kelas, teman-teman. Ada juga yang dikirim dari anak laki-laki dari sekolah lain."

"...."

"Aku hanya membacanya sekali lalu merobeknya. Aku tidak menyimpannya karena akan menggangguku."

"...."

"Tapi Khun Pin sebaliknya, menyimpan surat ini ke dalam tasnya seperti harta karun."

"...."

Saat aku melihat mata Anil menjadi lebih gelap dari yang kubayangkan, hatiku tiba-tiba terasa sakit.

"Aku tidak menyimpannya. Seseorang memasukkannya ke dalam tasku tanpa persetujuanku."

"Khun Pin sudah membacanya tapi kamu tidak menyukainya, jadi kamu tidak ingin menyimpannya?"

"Tidak... aku bahkan tidak repot-repot membuka dan membacanya."

"Jadi bolehkah aku membacakannya untuk Khun Pin?"

"Terserah Anil mau berbuat apa saja. Menurutku surat ini tidak penting."

"Jadi, Khun Pin mengizinkanku membacanya sedikit?"

"Baiklah......"

Aku menyetujuinya karena menurutku isi surat itu tidak lebih penting dari keinginan Anil. Jika Anil punya
keinginan, bukankah tugasku untuk memenuhi keinginannya?

Tapi kenapa aku berpikir seperti itu... Aku tidak bisa memberikan jawaban pada diriku sendiri.

Anil menatap tajam amplop coklat di hadapannya, lama sekali hingga tiba-tiba aku menahan napas.
"Aku tidak berani membacanya..." kata Anil sambil menggunakan jarinya untuk mendorong surat itu ke hadapanku
lalu menoleh dengan mata berbinar, "Karena ini surat pribadi Khun Pin."

"Kalau begitu bisakah kita merobeknya saja?" Dengan tenang aku mengambil surat itu dan merobeknya menjadi
beberapa bagian di depan putri kecil itu tanpa ragu sedikit pun, "Aku tidak ingin tahu apa isi surat itu."

"Kamu benar, Khun Pin."

Melihat senyuman Anil membuatku senang karena aku telah mengambil pilihan yang tepat.

"Kamu berhak memilih untuk hanya membaca surat-surat yang ingin kamu baca."

[3]

"Ada surat lagi, Khun Pin."

Saat istirahat makan siang, Wilaiporn yang masih bekerja sebagai mak comblang memberiku sebuah amplop coklat.
Namun kali ini aku belajar untuk menolak secara langsung dan tegas, dengan mengambil surat sahabatku dan
merobeknya menjadi empat bagian di hadapannya.

Saat Wilaiporn melihat tindakanku yang bisa dibilang "tidak sopan", matanya membelalak kaget. Tapi aku tetap
dengan marah mengacungkan jempol pada sahabatku, lalu berbalik, mengambil sisa surat itu, dan dengan marah
meletakkannya di depan Wilaiporn.

"Khun Pin, bagaimana kamu bisa begitu kejam?"

"Jika aku tidak melakukan itu, Wilai diam-diam akan memasukkan surat itu ke dalam tasku tanpa memberitahuku."

Aku cemberut, tampak tidak puas.

"Ah... Khun Pin, aku benar-benar minta maaf." Wilaiporn berkata sambil mengulurkan tangan untuk mengayunkan
lenganku, seperti seorang gadis kecil yang meminta permen kepada ibunya, "Aku tidak memikirkannya lebih dulu.
Aku hanya ingin cinta pertama kakakku sesuai keinginannya."

"Aku tidak suka digoda, didesak, dan dipaksa seperti ini." Mendengar jawaban Wilaiporn, aku mengepalkan
tanganku. "Lagipula, aku tidak suka bertemu orang yang belum pernah kutemui sebelumnya. Apakah Wilai mengerti
maksudku?"

"Aku paham sekarang, Khun Pin. Bisakah kamu berhenti marah padaku? Aku akan bilang pada kakakku untuk
berhenti mendekati Khun Pin seperti ini. Ayo kita berbaikan ya?"

"Kecuali Wilai berjanji kepadaku untuk tidak melakukan hal ini lagi, kalau tidak aku tidak akan mendapatkan
kedamaian seumur hidupku."

Aku dengan marah menyilangkan tangan di depan dada. Meski aku mulai melunak saat melihat ekspresi bersalah di
wajah sahabatku Wilaiporn.

"Aku berjanji..." Wilaiporn sedikit takut sekarang, namun masih memiliki keberanian untuk mengulurkan jari
kelingkingnya di hadapanku. "Ayo berbaikan."

"Baiklah."

Aku mengulurkan tangan dan dengan lembut menyentuh jari kelingking temanku. Tak disangka, saat ini ada
keributan dari adik kelas di meja belakangku. Aku mengikuti pandangan mereka dan melihat kebelakang,
menemukan bahwa semua orang sedang menatap seorang gadis kecil cantik.

Dia berjalan menuju meja panjang di seberang kafetaria, lalu menyerahkan surat kepada Anil yang sedang duduk di
sana. Padahal Anil dikelilingi teman-temannya, termasuk Lady On.
Meskipun putri kecil itu mengangkat alisnya karena terkejut, dia tetap dengan baik hati mengulurkan tangan untuk
menerima surat itu dan memberikan senyuman nyaman kepada gadis pemberani itu.

Saat kami mengamati dengan seksama apa yang terjadi di depan mata kami, Wilaiporn dan aku untuk sementara
melupakan perasaan tidak menyenangkan yang terjadi di antara kami. Namun di balik penampilan luarku yang
tenang, aku menyadari bahwa hatiku patah, dan hanya menyisakan kekosongan di dadaku yang belum pernah terjadi
sebelumnya.

Apalagi setelah mendengar percakapan gadis cantik dan pemberani itu kembali ke mejanya...

Telingaku tiba-tiba berdenging dengan suara mendengung, seolah-olah banyak batu besar yang menekannya.

"Kamu sangat pemberani, Mae Pallin."

"Itu dia... Teman-teman sang putri semua duduk di sana. Beraninya kamu memberikan surat itu kepada Putri Anil?
Pallin benar-benar parah."

"Sebenarnya ini saat yang tepat." Sebuah suara manis terdengar, mungkin suara Pallin. Nada suaranya penuh
percaya diri. "Kudengar sang putri sangat baik. Dia tidak akan berani menolak menerima surat di depan banyak
orang. Itu akan membuatku malu."

"Ah..."

Tampaknya anak ini tidak selugu kelihatannya. Aku tanpa sadar mengangkat bahuku dan mengeluarkan tawa
mengejek dari tenggorokanku sampai Wilaiporn harus bertanya padaku.

"Ada apa Khun Pin?" Dia bertanya dengan suara rendah, "Tapi apakah kita benar-benar berdamai?"

"Bisa dibilang begitu."

"...."

"Tetapi jika Wilai melakukan itu lagi, aku akan benar-benar memutuskan hubungan kita."

[4]

"Apakah ada yang ingin Anil sampaikan padaku hari ini?"

Aku memanfaatkan waktu Anil yang memohon padaku untuk mengajarinya di paviliun yang sejuk di tepi sungai
Istana Bua, untuk menanyakan masalah yang selama ini kupikirkan sepanjang sore. Hal ini hampir membuatku tidak
bisa berkonsentrasi belajar seperti biasanya.

"Ada banyak hal." Anil masih memiliki senyum yang sama di wajahnya. "Hari ini Anil memenangkan kompetisi
saat kelas olahraga, dan guru Wimon memarahi Pimonpan karena tidur saat kelas sains..."

"Aku ingin mendengar lebih banyak tentang apa yang terjadi di kantin..."

Aku mengangkat tanganku dan menyilangkannya di depan dada, menyela Anil dengan suara serak dan tegas.

"Mm....."

Kali ini Anil memiringkan kepalanya dengan bingung, matanya yang gelap dan sipit sedikit melebar, terlihat sangat
menggemaskan.

"Khun Pin ingin tahu apa makan siang Anil hari ini?"

"Bukan..." Saat aku menyadari kalau dia mulai bercanda, alisku tiba-tiba berkerut. "Aku ingin tahu tentang surat
itu."
Aku akhirnya langsung ke topik utama.

"Ah..." Anil mengangguk dengan nyaman, lalu mulai mencari amplop merah muda manis di tas sekolahnya, "Khun
Pin sedang membicarakan tentang surat yang diberikan gadis kelas dua itu padaku saat istirahat makan siang di
kantin hari ini?"

"Hm..." Alisku semakin berkerut, "Kira-kira berapa surat cinta yang diterima Anil setiap hari?"

"Anil menerima dua surat hari ini," jawab Anil, lalu menelan ludah di depan mataku, "Kadang beberapa hari tidak
ada surat sama sekali."

"Benarkah?"

Lenganku semakin menegang.

"Em..."

Entah kenapa, saat mendengar jawaban polos orang di hadapanku, aku merasa kesal.

"Apakah kamu sudah membaca dua surat ini?"

"Belum, aku tidak punya waktu." Putri kecil itu masih menatapku dengan mata polos. "Apakah Khun Pin ingin
membacanya?"

Sekarang giliranku untuk menelan ludah. Aku terjebak dalam dilema dalam pikiranku dan mengalami pertarungan
sengit dengan pikiranku.

"Apa Anil mengizinkanku untuk membacanya? Bukankah ini privasi?"

Aku bertanya dengan ragu-ragu.

"Aku tidak punya rahasia apa pun dengan Khun Pin." Gadis itu tersenyum, "Khun Pin bisa mengetahui segalanya
tentangku."

"Jadi bisakah aku membaca surat Pallin sebentar?"

"Tentu saja."

Anil dengan patuh menyerahkan amplop merah muda itu seperti anak baik. Aku menyeringai tanpa berpikir, tanpa
menutupinya, tapi tetap dengan cepat mengulurkan tangan dan mengambil surat itu.

Aku ragu apakah akan membaca surat di tanganku atau tidak. Pada akhirnya, rasa ingin tahukulah yang menang.
Surat berwarna merah muda yang indah ini dibuka dan dibaca olehku, orang yang tidak ada hubungannya dengan
surat ini.

"Tuan Putri sayang,

Pertama-tama, mohon maafkan Pallin karena telah mengganggu sang putri dengan menulis surat ini. Karena
Pailin kurang fasih berbahasa kerajaan, maka jika ada kesalahan dalam ucapannya, Pallin meminta maaf
kepada sang putri dan berharap dimaafkan.

Sebenarnya mengenai surat ini, Pailin hanya ingin memberitahu sang putri betapa "pentingnya" dirimu bagi
Pallin. Kamu adalah kekuatan pendorong yang membuatku bahagia pergi ke sekolah setiap hari. Sebab,
Pailin hanya berharap bisa melihat senyum cerah sang putri. Hanya dengan melihatnya saja, Pallin akan
bisa tidur nyenyak sekembalinya ke rumah.

Bagi Pailin, Yang Mulia Putri tiada bandingannya. Kecantikan sang putri membuat hatiku berdebar-debar.
Yang Mulia terkadang muncul dalam mimpi Pallin. Selain itu, Putri juga sangat hangat dan ramah,
membuat semua orang bisa melihat senyum manis dan lesung pipitmu. Putri juga berperilaku sanfat sopan,
ramah san disukai semua orang.

Sejujurnya, Pallin tidak pernah berpikir untuk menulis surat untuk meminta apapun kepada Tuan Putri.
Namun jika sang putri merasa iba pada Pallin, tersenyumlah saja.

Aku mencintaimu.

Pallin."

Aku membaca surat itu beberapa kali lalu melipatnya kembali sesuai lipatan aslinya. Aku hanya bisa menghela nafas
ketika mengetahui bahwa perasaan orang yang menulis surat ini tidak berbeda dengan perasaanku sendiri terhadap
Anil.

Tapi, bukan berarti aku harus menulis surat cinta untuk Anil...

Tidak mungkin....

Benar-benar mustahil...

Bermimpi......

~Bersambung~
BAB SPESIAL 4

Jangan lupa tekan Vote (⭐) dulu ya

Pada Saat Itu

[1]

"Saat musim dingin tiba, gambaran orang-orang di sini berpelukan dan berciuman mesra penuh gairah selalu
berlangsung dengan tenang. Ciuman sepasang kekasih... atau mungkin bukan sepasang kekasih, muncul di sudut
sebuah bangunan tua, di taman yang ramai, atau terkadang di sudut perpustakaan yang berisi buku-buku akademis
yang kurang diketahui.

Sepertinya orang-orang di sini bisa berciuman secara terbuka di mana saja, yang membuat Anil mau tak mau
memikirkan sebuah pertanyaan...

Betapa manisnya ciuman itu...

Khun Pin, beritahu aku... Apakah kamu ingin mengetahui hal ini seperti Anil?

Seperti apa rasanya ciuman?

"Aku tidak pernah ingin tahu rasanya sebuah ciuman. Mulai sekarang, aku bahkan tidak akan pernah mau tahu.
Saat ini, Anil harus fokus pada buku pelajaran kan? Menurutku Anil harus berusaha menyelesaikan kuliahnya.

Aku berharap Anil bisa kembali ke sini.

Kembali ke tempat di mana kami menunggu Anil setiap hari."

"Annie," suara lirih Emma membangunkanku dari mimpiku.

----------

"Kamu tidak boleh berhenti dan menatap seperti itu setiap kali kamu melihat seseorang berciuman."

"Mengapa tidak?"

"Itu tidak sopan." Emma mengangkat bahu seperti biasa. "Kamu mengubah sesuatu yang biasa menjadi sesuatu yang
aneh."

"Benarkah?" Kali ini giliranku yang mengangkat bahu, "Aku tidak bermaksud begitu... Aku hanya suka melihatnya
jadi aku berhenti dan menonton."

"Jika yang berciuman itu adalah kamu, apakah kamu mau dilihat seperti itu?"

"Itu benar."
"Tetapi..."

Sepertinya Emma dengan tidak sabar menunggu kata-kata setelah "tetapi".

"Tidak ada, tapi," aku balas tersenyum mendengar kata-kata Emma.

"Aku hanya memikirkan apakah aku punya kesempatan untuk menjadi seperti orang yang berciuman atau tidak."

"Kamu akan mendapatkan kesempatanmu, Annie." Kali ini Emma tersenyum, "Kamu sangat populer"

"Populer?" Aku tertawa mendengar perkataan Emma, "Kamu mengatakannya seolah-olah aku adalah barang
dagangan."

"Tahukah kamu apa yang begitu jauh sehingga kamu tidak dapat mencapainya" Emma mengangkat bahu lagi.
"Tahukah kamu apa yang disebut tingkat tinggi?"

"Um."

"Kamu bisa membuat orang jatuh cinta padamu."

"Itu tidak masuk akal, Em." Aku tersenyum menanggapi kata-kata samar Emma dan segera mengganti topik
pembicaraan, "Kita mau kemana siang ini?"

"Aku ingin pergi ke perpustakaan sekolah lamaku."

"Mengapa?"

"Aku ingat ada beberapa buku di sana yang tidak dapat kutemukan di perpustakaan universitas."

Sebenarnya aku dan Emma sedang melanjutkan studi di universitas yang berbeda. Aku belajar arsitektur di
universitas terkenal. Emma sedang mempelajari jurusan seni rupa di sebuah universitas bergengsi di bidang ini.
Keterampilan melukis Emma unik dan luar biasa. Aku salah satu dari orang-orang yang bisa duduk di sana dan
melihat sketsa pensil Emma setiap hari dan tidak pernah merasa bosan.

"Pergi ke perpustakaan tidaklah buruk."

Aku mengangguk sambil berpikir setuju dengan saran Emma.

"Setiap aku ke sana, aku selalu duduk di kursi favoritku."

"Tentu saja." Emma mengangkat bahu lagi, "Pustakawan di sana, Helen, selalu memperlakukanmu lebih baik
daripada orang lain."

"Misalnya?" kataku sambil tersenyum. "Em, teruslah bicara."

Kali ini aku dan Emma tertawa bersama. Kami berdua berjalan santai di jalan yang tertutup salju tipis. Meskipun
orang-orang di London tidak menyukai ketenangan dan kesunyian, aku tetap merasa bahwa ketika bangunan-
bangunan indah berwarna abu-abu ditutupi lapisan salju putih, mereka terlihat lebih semakin puitis.

"Emma..."

Karena aku berjalan di belakang mengikuti punggung rampingnya, aku sesekali memanggil nama sahabatku itu.

"Um...?"

"Mengapa kamu tidak mencoba menggambar yang membuat orang lain merasa seperti sedang turun salju?"

"Apa maksudmu, Annie?" Berhasil... Emma berhenti berjalan, menoleh dan menatapku lekat-lekat, seolah sedang
berpikir. Tanda tanya tampak muncul di antara mata birunya. "Menggambar hujan salju, atau melukis gambar yang
membuat orang merasa seperti sedang turun salju?"

"Apa pun," kataku sambil tersenyum, "Apa pun yang melihatnya saja sudah merasa seperti sedang turun salju."

"Bagaimana perasaanmu saat melihat salju turun, Annie."

Seperti biasa, Emma mulai berjalan menuju perpustakaan sekolah.

"Bagaimana perasaanku?" Aku penasaran. "Menurutku itu bisa di bagi menjadi banyak jenis."

"...."

"Misalnya saat pertama kali aku melihat salju turun, sebagai orang tropis, aku mengira itu keindahan yang luar
biasa. Setiap kali aku melihat salju, aku selalu merasa bersemangat. Tapi ketika salju berangsur-angsur mencair di
pakaianku, membuatku merasa semakin basah, sebaliknya aku merasa salju itu menjadi asing, sesuatu yang belum
pernah kukenal.

"Oh."

"Bagiku, mungkin saljunya seharusnya lebih kering dari yang sebenarnya," aku tertawa dan berkata. "Kamu tidak
mengerti, Emma."

"Mungkin aku tidak terlalu mengerti."

"Terus terang saja, aku tidak menyangka salju akan terasa seperti hujan." Aku mengangkat bahu, menirukan apa
yang biasa dilakukan Emma. "Dengan kata lain, aku suka melihat salju menutupi segalanya dan membuat dunia
menjadi seputih salju. Tapi aku tidak suka perasaan 'basah' saat menyentuh salju. Ini lebih buruk dari yang
kubayangkan."

"Kedengarannya membingungkan," gumam Emma.

"Menurutku juga begitu, Em." Aku mengangguk kepalaku malu-malu.

"Sejujurnya, aku tidak terlalu terbiasa dengan salju. Lagi pula, di London tidak selalu turun salju. Terkadang salju
tidak turun sepanjang tahun, seperti yang kamu lihat selama bertahun-tahun berada di sini, Annie." Wajah Emma
kini terlihat bingung. "Pokoknya, suatu hari nanti aku akan mencoba menggambar perasaan seperti itu."

"...."

"Lukisan yang membuat orang merasa seperti sedang turun salju..."

[2]

"Halo."

Lady Helen, pustakawan sekolah menengah kami, menyambutku dengan senyum cerah. Dia seorang wanita Inggris
dan aku sangat setuju bahwa dia benar-benar pantas mendapatkan gelar "Lady". Karena kecantikan dan tingkah laku
Lady Helen sama-sama sangat berimbang, tidak ada masalah yang ditemukan.

"Lama tak jumpa."

"Ya."

Emma menjawab Lady Helen dengan singkat, dan aku hanya tersenyum padanya.

"Aku sudah mengatur tempat dudukmu." Lady Helen tersenyum dan berkata ramah. "Izinkan aku untuk
mengantarmu."

"Ya." Emma terus menjawab.


Lady Helen masih tetap tersenyum tipis. Tubuhnya yang tinggi dan kurus berjalan menuju sudut perpustakaan, di
mana sebuah sofa berwarna krem diletakkan disana. Aku sangat suka di sini. Meski letaknya di pojok perpustakaan,
namun karena berada tepat di samping jendela besar, indahnya sinar matahari di luar jendela tetap menyinari
sepanjang hari.

Mungkin terlihat tertutup, namun selalu bisa merasakan sinar matahari...

Aku terpesona oleh apa pun yang menimbulkan perasaan ini.

"Terima kasih."

Ucap Emma sambil duduk dengan nyaman di sofa.

"Silahkan."

Lady Helen tersenyum dan berbalik untuk pergi. Tidak lama kemudian, dia kembali dengan membawa secangkir teh
panas dan sepiring besar kue-kue lezat.

"Ini hadiah dari teman sekelasku."

"Terima kasih."

Emma terus menjawab apa yang dikatakan Lady Helen, tanpa aku berkata apa-apa.

"Sepertinya kami mendapat lebih dari yang pantas kami dapatkan." Begitu Lady Helen berbalik untuk pergi, Emma
berbalik dan tersenyum padaku. "Aku mencium sesuatu."

"Bau tidak enak?" Aku menuangkan teh panas ke dalam cangkir, lalu mengambil kue besar dan menggigitnya.
"Mungkinkah dari kuenya, Emma?"

"Jika itu masalahnya maka itu bagus, Annie." Emma kembali mengangkat bahunya, "Membuatku ingin pergi
mencari buku yang ingin kucari."

"Um, cari pelan-pelan, Em. Aku akan makan kue di sini dan menunggumu."

"Buku yang mana yang kamu inginkan? Aku akan mengambilnya."

"Apa saja," kataku sambil tersenyum, "Tapi lebih baik yang ada gambarnya."

"Ya, aku tahu. Kamu benar-benar pilih-pilih, Annie."

"Toling sedikit bantu... Aku."

"Aku akan mencarikannya untukmu."

"...Terima kasih banyak, sahabatku."

"Santai saja..."

[3]

"Aku sangat menyukai salju di London. Apalagi saat aku melihatnya berjatuhan seperti hujan, hampir menyelimuti
gedung-gedung indah berwarna abu-abu itu, hingga seluruh kota menjadi putih. Aku sangat menyukainya hingga
aku tidak bisa melepaskannya. Pernahkah Khun Pin berpikir akan mencintai sesuatu seperti ini? Setiap kali kamu
memikirkannya, kamu semakin merindukannya. Kepingan salju yang berjatuhan sering kali dipenuhi dengan
kesepian, memberiku perasaan kesepian yang tak terlukiskan.

Aku merindukan rumah...


Aku merindukannya lebih dari yang kubayangkan...

Apakah Khun Pin tahu? Bahwa Khun Pin adalah salah satu alasan mengapa hatiku menjadi semakin sensitif dan
rapuh.

Jika Khun Pin belum mengetahuinya, maka belum terlambat untuk mengetahui betapa pentingnya Khun Pin di
hatiku.

Apakah aku terlalu jauh keluar dari topik?

Mungkin karena akhir-akhir ini aku sangat merindukan seseorang, tapi aku tidak tahu alasannya kenapa.

Aku sangat merindukan Khun Pin...

Aku merindukan hingga di luar dugaanku.

Melihat butiran salju yang berjatuhan sepertinya membuatku lebih bersemangat dan sedih dari sebelumnya. Aku
tidak tahu bagaimana menangani perasaan serupa namun juga sangat bertolak belakang ini. Perasaan kehilangan
Khun Pin selalu ada di tengah-tengah, meski bukan itu yang kuharapkan.

Mungkin aku terlalu lemah?

Bagaimana menurutmu, Khun Pin?"

Anil.

[4]

"Isi surat baru Anil sepertinya agak membingungkan. Tapi aku mencoba memahami dan menulis surat ini. Jadi, aku
meluangkan waktu untuk pergi ke perpustakaan dan mencari informasi tentang salju hingga aku bisa memahami
tentang perasaan Anil, karena salju yang ada dalam imajinasinya mungkin tidak jauh berbeda dengan salju yang
ada di hati Anil.

Namun aku masih bermimpi suatu hari nanti kita akan memiliki kesempatan untuk menyaksikan butiran salju
berjatuhan bersama-sama. Selama aku ada di sisimu, kesepian tidak akan terlalu menyakiti Anil lagi.

Apakah Anil setuju dengan pemikiranku?

Dan ketika salju berhenti turun dan membentuk tumpukan salju yang tebal, aku akan melompat ke tumpukan salju
itu bersama Anil. Walaupun dengan melakukan hal itu akan membuat Anil semakin basah, aku tetap ingin seluruh
tubuh Anil terendam di dalamnya. Setelah berguling-guling bebas di salju, kita akan bersama membuat beberapa
manusia salju. Aku yakin manusia saljuku pasti akan jauh lebih manis daripada manusia salju Anil.

Membaca ini, apakah kesepian Anil berkurang...?

Aku tahu Anil rindu rumah. Tapi aku tidak pernah tahu sebelumnya kalau aku begitu penting bagi Anil.

aku hanya tahu, bagiku..

Anil sangat berharga.

Meski tahun-tahun telah berlalu, Anil masih tetap penting di hatiku seperti dulu.

Tentang kerinduan. Aku ingin mengatakan kalau aku juga merindukan Anil seperti halnya Anil merindukanku.
Namun kerinduan ini sulit diukur siapa yang lebih besar, lagipula tidak sesederhana kepingan salju yang bisa
terlihat jelas dengan mata telanjang.

Tapi meski rasa rinduku pada Anil tidak bisa diukur dengan mata telanjang, percayalah Anil, aku bisa merasakannya
di setiap tarikan napas. Meski aku tak bisa berbuat apa-apa selain menunggu Anil kembali padaku...
Sekarang......

Anil, tolong belajarlah dengan sungguh-sungguh dan lulus secepatnya. Dengan begitu, kita tidak perlu lagi
menanggung rasa sakit karena saling merindukan satu sama lain.

Tidak pernah ada saat di mana aku tidak merindukan Anil..."

~Bersambung~
BAB SPESIAL 5

Jangan lupa tekan Vote (⭐) dulu ya

Malam Kedua

[1]

Anil mengambil ciuman pertamaku di malam hujan.

Ciuman yang dalam dan penuh gairah. Setiap kali lidah panas kami bersentuhan, jantungku berhenti berdetak.

Rasa manis dan harumnya bertahan lama di mulutku...

Menjalin pikiran-pikiran kecil...

Suara nafas yang berat...

Saat bibir Anil perlahan pergi, detak jantungku hampir berhenti. Dia berbisik pelan di telingaku.

"Ini ciuman Perancis."

"...."

"Hanya digunakan untuk mengungkapkan hasrat terhadap kekasih."

Pada saat itu... kesadaranku hampir menjadi sangat kabur, aku tidak dapat mengingat apapun.

Aku hanya ingat, aku memilih lari dari pemilik ciuman pertamaku, panik dan bingung. Aku berlari menuju ruang
tamu Istana Pinus. Aku mengunci pintu rapat-rapat, takut Anil akan mengetahui perasaanku.

Di kamar itu... Aku hanya duduk diam di kasur empuk, jemariku tak henti-hentinya membelai bibirku.

"Itu tidak benar, tidak seharusnya...." kata-kata ini terus bergema di kepalaku...

Ciuman pertamaku membuatku begitu tergila-gila hingga mau tak mau aku berusaha sekuat tenaga untuk menjauh
dari Anil. Meski sebenarnya aku tidak mau.

Tapi saat kudengar Anil sakit, aku tak bisa menahan diri lagi.

Tak disangka, saat Anil sedang demam, dia dengan berani menyatakan cintanya kepadaku, dan dengan lemah aku
balik bertanya.

"Kita berdua... bagaimana kita bisa saling mencintai seperti ini?"

Meskipun aku sangat terkejut dengan semua yang terjadi, Anil sudah pergi ke Chiang Mai bersama Putri Euang
untuk menghadiri pemakaman Pangeran Chakkham. Aku tidak bisa menahan diri untuk menunggu. Namun kali ini,
aku pun mengambil keputusan untuk mengikuti perasaanku. Bukan hanya mengikuti aturan seperti sebelumnya.

Malam pertama kami terjadi setelah aku selesai berkata, "Aku hanya milik Anil..."

Tadi malam... adalah malam dimana Anil menggunakan tubuhku untuk menyampaikan perasaannya, yang dia
maksud dengan "cinta pertama".

Tanpa diduga, aku bisa melupakan semua masalahku sepenuhnya. Tubuhku seakan menyerap semua kenikmatan
malam pertama. Tidak peduli di mana pun Anil menyentuhku... tubuhku akan bereaksi terhadap setiap rangsangan.

Tubuhku terus gemetar. Aku selalu merasa rindu akan pelukan Anil. Seperti tadi malam aku dan Anil banyak
mengalami adegan cinta bersama.

Baru pagi ini aku memutuskan untuk mengenakan pakaian yang pantas dan menyelinap kembali ke istana Bua untuk
mandi. Aku berusaha sekuat tenaga untuk mengganti pakaianku secara diam-diam, takut aku akan membangunkan
Anil dari mimpinya. Tapi, pada akhirnya, tubuhku tetap tak bisa lepas dari belaian panas gadis lembut itu.

Kebahagiaan yang luar biasa ini terus terulang, seperti menciptakan gambaran iblis yang tersenyum padaku,
mungkin aku hanya bermimpi...

[2]

"Khun Pin dari mana saja? Anil sudah lama menunggu."

Sore harinya, begitu aku melangkah ke ruang tamu Istana Pinus, Anil bertanya, seolah aku sudah lama menghilang.
Padahal kami baru berpisah beberapa jam. Jika kamu mendengarkan dengan seksama, kamu akan menemukan
bahwa Anil merubah kata "Aku" menjadi "Anil". Cara sapaan seperti ini terdengar sangat manis dan dekat.

"Aku tidur sebentar."

Aku putuskan untuk tidak memberitahu Anil tentang percakapanku dini hari tadi dan Bibi Padmika di Istana Bua,
karena tidak ingin membuat Anil khawatir seperti aku saat ini. Setiap kali aku melihat senyuman cerah dan lesung
pipit yang dalam di wajah gadis itu, aku akan menekan rasa takut di hatiku dan tersenyum tulus pada orang di
depanku.

"Anil sedang menunggu Khun Pin untuk sarapan bersama." Pemilik senyuman cantik itu dengan bangga menunjuk
ke meja dapur: "Anil sudah selesai menyiapkan semuanya."

"Apakah Anil melakukan semuanya sendiri?" Aku mengerutkan kening.

"Anil tahu, aku tidak ingin membiarkan Anil melakukan apa pun sendirian."

"Tidak ada apa-apa," katanya dengan suara manis bercampur tawa yang jernih. "Hanya saja, sesekali Anil ingin
melakukan sesuatu untuk Khun Pin."

Dia berbicara sambil mengulurkan tangan, memeluk pinggangku, membungkuk, dan berbisik manis di telingaku.

"Mungkin dengan begitu khun Pin akan semakin mencintai Anil."

Mendengar Anil mengatakan itu, aku hanya bisa tertawa. Terlalu bahagia hingga sepertinya tidak ada gunanya
menahan diri.

"Saat ini, aku sangat mencintai Anil..."

"Benarkah?"

"Ya... aku terlalu mencintaimu sampai aku tidak bisa lebih mencintaimu lagi," jawabku pada Anil.

Lalu dengan anggun Anil menuntunku, menuju meja makan kecil dan hangat di dapur. Meja makan terletak di sudut
dapur, di samping jendela besar yang dekat dengan halaman. Di luar jendela terlihat taman bunga Istana Pinus yang
asri dan hijau, membuat orang semakin mendambakannya.

"Sarapan hari ini adalah sup jamur, roti, sup tomat yang dimasak dengan kacang putih dan daging sapi. Ada juga jus
lemon."

"Kamu membuat banyak masakan. Apa Anil tidak lelah?" Aku masih merasa bersalah.
"Tidak melelahkan sama sekali. Anil menyukainya."

"Lain kali, Anil harus menungguku." lanjutku dengan keras kepala.

"Baiklah. Jadi hari ini Khun Pin mau makan makanan yang dimasak Anil?" Anil mengedipkan matanya sambil
berpikir.

"Baiklah..."

Dalam hatiku, aku masih pendiam dan sensitif seperti sebelumnya. Sarapan yang dimasak oleh Anil sungguh enak.
Begitu lezat hingga membuatku merasa malu. Sebelumnya, beraninya aku berinisiatif membuatkan sarapan ala
Eropa untuk Anil. Nyatanya ia memasak jauh lebih baik dariku. Aku makan setiap hidangan di piring, ingin
menyenangkan hatinya. Namun sepertinya Anil masih sama seperti biasanya, hanya makan sedikit saja.

"Anil masih makan sesedikit biasanya."

"Mungkin karena cuacanya terlalu panas."

Anil baru saja mengatakan itu... tapi itu membuatku merasa marah dengan cuaca di Thailand. Apalagi saat langit
gelap dan guntur bergemuruh di telinga. Cuacanya lebih panas dari sebelumnya, namun Anil tetap mempertahankan
wajah tersenyumnya dan suasana hatinya sangat baik.

"Jika hujan deras... Anil mungkin tidak akan membiarkan Khun Pin kembali ke Istana Bua."

Mendengar dia mengatakan itu, aku langsung menyadari sesuatu. Namun dia pura-pura tidak tahu dan menolak
berkomentar.

Lagi pula, sudah terlambat ketika aku menyadarinya...

Karena pada akhirnya hujan pun turun deras. Anil menyukai sofa berwarna abu-abu di samping jendela dengan tirai
yang selalu terbuka. Dari sana, langit suram terlihat di luar, saat malam telah tiba. Tetesan air hujan yang deras
menghantam kaca, menimbulkan suara yang membuat orang ingin tertidur.

Anil mengambil rekaman musik dan meletakkannya di pemutar musik di sebelah perapian. Pengeras suara musik
kuning-cokelat yang elegan mentransmisikan melodi bahasa asing yang lembut dan menenangkan. Gadis jangkung
itu berbalik, tersenyum manis padaku, lalu mengulurkan tangan, menariknya dengan lembut, dan memelukku
sepenuhnya.

"Khun Pin..."

"...."

"Berdansalah denganku?"

"Baik..."

Jawaban singkatku membuat gadis itu tertawa bahagia. Tangan kiri Anil memegang tangan kananku, dan tangan
kanannya dengan lembut meletakkannya di pinggangku. Sang putri menuntunku mengikuti irama musik, seolah-
olah jari kaki kami telah lepas dari tanah, melayang di udara.

"Saat kita masih kecil..." Anil mencondongkan tubuh dan dengan lembut mencium keningku. "Kita juga pernah
menari bersama seperti ini sebelumnya."

"Hari itu Anil bertanya padaku..." Aku langsung teringat cerita lama yang membuatku kesakitan, tenggorokanku
seperti tersumbat, dan aku kesulitan menelan.

"Jika suatu hari, Anil tidak ada di sini... apakah aku akan kesepian?"

"Hari itu, Khun Pin menjawab Anil bahwa Khun Pin tidak tahu..."
"Um... Saat itu, mungkin aku benar-benar tidak tahu."

"Jadi bagaimana sekarang..." Anil menyandarkan keningnya ke dahiku, wajah kami kini saling berdekatan, bahkan
nafas satu sama lain bisa kami rasakan.

"Apakah Khun Pin sudah tahu jawabannya?"

"Sekarang aku tahu..." Aku berjinjit dan memberikan ciuman lembut di bibir Anil, ciuman penuh cinta.

"Kamu tahu, tidak peduli jam berapa sekarang..."

"...."

"...Aku tidak bisa tanpa Anil."

Gadis itu mendengarnya dan menatap tajam ke dalam sinar cahaya di mataku. Anil memeluk pinggangku, lalu
menundukkan kepalanya untuk menciumku dengan penuh gairah, membuatku tak mampu mengikutinya. Aku
menerima ciuman yang penuh gairah itu, dan tiba-tiba melupakan diriku sendiri.

Yang aku tahu...

Jika saja aku bisa menyimpan Anil untuk diriku sendiri...

Aku tidak akan ragu untuk melakukannya.

[3]

Sore tadi, kami berdua duduk di sofa panjang di depan perapian dinding sambil mengobrol untuk menghabiskan
waktu. Anil memintaku untuk bercerita tentang teman-teman kuliahku, dan mengatakan bahwa aku jarang
menceritakan secara detail tentang teman-teman sekelasku.

Mungkin karena sikap Anil yang begitu manis dan menggemaskan, mau tak mau aku menceritakan semuanya pada
Anil. Saat aku menyebut Sunee dan Thanit, reaksinya agak aneh. Tapi setelah menanyaiku dengan hati-hati,
perhatian Anil sepertinya kembali tertuju padaku.

Anil mulai mengatupkan kedua tangan kami, lalu perlahan mendekat, mencondongkan tubuhku, hingga aku terpaksa
berbaring di sofa. Saat melihatku berbaring di sofa, Anil tersenyum manis dan puas. Dia mengulurkan tangan dan
menyelipkan sehelai rambutku ke belakang telingaku. Ujung jari meluncur ke bawah wajahku. Lalu dia
membungkuk dan menggunakan bibir hangatnya untuk mencium bibirku berulang kali.

"Bolehkah kita bersikap terang-terangan, Anil..." Saat Anil menarik bibirnya karena merasa tidak nyaman, aku
bertanya.

"Prik bisa datang ke sini kapan saja. Dia akan melihat kita."

"Prik tidak akan pernah melihat kita." Anil tertawa dan berkata. "Anil meminta Prik untuk menjaga gerbang."

"Anil sangat licik." Aku mengerutkan kening: "Jadi itu berarti Prik sudah mengetahui segalanya di antara kita."

Aku ingat tadi pagi, ketika aku mencoba menyelinap pergi, tapi akhirnya tertangkap oleh Prik tepat di depan kamar
Anil.

Prik itu licik dan cerdik, tidak berbeda dengan pemiliknya. Dia bahkan berani menggodaku dengan mengatakan
bahwa aku salah mengancingkan bajuku, sehingga membuatku bereaksi sangat keras saat itu, merasa marah pada
diriku sendiri.

"Aku bilang pada Prik... karena aku tidak tahu..." kata Anil sambil mengangkat tangannya untuk membantuku
menyeka keringat di dahiku, seperti sedang merawat seorang gadis kecil.
"...Siapa lagi yang bisa membantu kita?"

"Tapi, Anil harus mengingatkan Prik dengan hati-hati." Aku tidak bisa menahan diri untuk tidak mengeluh.

"Terkadang Prik suka menggangguku, lalu menggodaku dan membuatku merasa canggung."

"Baiklah, Anil sendiri yang akan mengingatkan Prik. Khun Pin jangan memarahi Prik."

Anil tersenyum manis padaku. Aku menghela nafas berat sambil mengerucutkan bibirku. Sampai saat ini hubungan
kedua orang ini selalu sangat dekat, apapun yang terjadi, aku tetap tidak bisa ikut campur.

Melihat ekspresiku yang bermasalah, Anil memberikan ciuman seringan capung yang meluncur di atas air ke wajah
dan leherku, membuatku tertawa tak terkendali.

Masalah Prik tersingkir dari benakku. Karena saat ini, aku dengan sabar berusaha menjaga diriku agar tidak
terjerumus ke dalam sentuhan penuh kasih sayang dan menggoda Anil.

"Anil!" Aku tidak bisa menahan tawa dan dengan cepat berkata: "Sudah... Aku lelah."

"Apa kamu lelah?" Gadis itu tersenyum begitu cerah, memperlihatkan lesung pipitnya yang kucintai.

"Anil melihat Khun Pin tersenyum, kupikir kamu menyukainya."

"Aku tidak menyukainya... aku hanya tergelitik." Aku berdebat.

"Benarkah...?"

Sudut mulut Anil sedikit terangkat, dia membungkuk dan membelai lembut daun telingaku. Perasaan lembut itu
membuat wajahku terasa panas seperti terbakar. Hingga tak sengaja aku mengeluarkan erangan pelan dan terdengar
olehnya.

"Um..."

Mendengar itu, sudut mulut Anil terangkat lebih tinggi. Entah kenapa, aku menyukai sekaligus membenci senyum
Anil itu. Jadi, aku hanya bisa mengulurkan tangan dan membelai lembut bibirnya.

"Aku mengantuk..."

"Mungkin karena tadi malam Anil tidur sebentar."

Anil memegang tanganku, menciumku dengan penuh kasih, lalu perlahan membungkuk, membenamkan wajahnya
di dadaku, memohon.

"Bolehkah aku berbaring dan mendengarkan detak jantung Khun Pin agar aku bisa tertidur?"

"Tidurlah. Aku akan memeluk Anil seperti ini, aku tidak akan kemana-mana."

Setelah selesai berbicara, aku mengulurkan tangan dan membelai rambutnya yang hitam legam dan berkilau. Gadis
itu memelukku lebih erat lagi. Kemudian, suara nafasnya mulai terdengar teratur, menandakan bahwa dia sedang
tertidur.

Aku menatap tajam ke bulu mata yang panjang dan tebal serta wajah mulus orang yang ada di pelukanku, lalu
menghela nafas. Aku tahu aku telah jatuh ke dalam jurang cinta...

Aku sangat mencintai Anil...

Aku bahkan menyukai suara napasnya yang teratur saat dia tertidur sekarang.

Aku sangat mencintainya, aku mulai mengkhawatirkan tentang masa depan...


Saking cintanya, aku ingin memeluk Anil yang tertidur lelap, menghilang di tengah sofa empuk berwarna kuning
pucat ini.

Aku sangat mencintainya sehingga aku tidak ingin siapa pun menemukan kita.

[4]

"Aku ingin tahu... Bagaimana Anil meyakinkannya untuk mengizinkanku tinggal di Istana Pinus selama ini?"

Saat itu gelap dan tidak ada seorang pun di sana. Kami berada di kamar tidur Istana Pinus. Saat ini, mau tak mau aku
bertanya pada Anil.

"Anil hanya meminta izin padanya seperti biasa." Anil tertawa dan berkata, "Anil bilang, akhir-akhir ini Anil
mengalami mimpi buruk selama beberapa malam berturut-turut, jadi Anil tidak bisa tidur sendirian."

"Ah..." Aku hanya tertawa serak seolah-olah aku telah mengetahui semuanya.

"Hmm?" Gadis itu menatapku bingung.

"Anil nakal sekali." aku cemberut. Tapi tangan tak tahu berterima kasih itu terulur lagi, menyisir rambut-rambut
yang tersesat dari wajah cantik itu yang tampak seperti dipahat oleh dewa.

"Padahal aku mulai merasa sedikit kasihan padamu."

"Bagaimana Khun Pin tahu kalau Anil tidak benar-benar bermimpi?" Gadis itu tersenyum cerah, terlihat sangat
menggemaskan.

"Anil mengalami mimpi buruk setiap malam, apa Khun Pin tidak tahu?"

"Baiklah." Aku tertawa. "Mimpi buruk adalah mimpi buruk... Aku tidak ingin berdebat dengan Anil."

Mendengar itu, sang putri hanya tersenyum manis ke arahku, lalu perlahan mendekat dan memelukku erat. Anil
menyandarkan dahinya di bahuku, seolah dia biasa memanjakanku.

"Anil benar-benar mengalami mimpi buruk." Anil berkata dengan suara manis, lalu mencium bahuku lagi.

"Mimpi duduk di balkon menunggu Khun Pin di tengah hujan, tapi Khun Pin tidak datang..."

"...Aku juga merasa sangat bersalah." Aku mengulurkan tangan untuk membelai lengan ramping orang di
pelukanku. "Bisakah Anil memaafkanku?"

"Anil tidak pernah bilang kalau Anil marah pada Khun Pin." Anil tersenyum cerah, lalu mencium wajahku dengan
keras.

"Hanya merasa sedikit sedih."

Aku membalasnya dengan ciuman terhadap suara sedih Anil. Lalu, gunakan ujung hidungku untuk membelai leher
gadis itu.

"Aku bersumpah, aku tidak akan meninggalkan Anil di tengah hujan seperti hari itu lagi."

"Jika khun Pin melakukan itu lagi..." kata gadis itu. "...Jadi apakah Anil bisa menghukum Khun Pin?"

"Anil tega menghukumku?"

Suaraku jelas mulai meninggi. Sekarang, Anil berpura-pura "menghukum"ku, dengan lembut menggigit daun
telingaku. Anil mengerti dengan jelas, itulah tempatku yang paling sensitif.

"Sebagai hukumannya, Anil akan "memakan" Khun Pin juga."


Ucap Anil sambil mengeratkan pelukannya. Aku hanya bisa menahan napas. Tangan Anil yang panas membara
meluncur ke dalam bajuku, lalu terus menggapai ke belakang punggungku. Pada saat yang sama, tangan Anil yang
lain mulai membuka kancing bajuku dengan terampil. Terkadang aku bertanya-tanya kenapa Anil begitu paham
tentang cara bercinta.

Tapi, tanpa sadar ada sesuatu yang menahanku, tidak membiarkanku bertanya. Mungkin karena aku takut jawaban
ini akan membuatku merasa takut.

Jadi, kubiarkan diriku tenggelam dalam kebingungan kabur...

Tapi perasaan ini masih begitu jelas...

Tangan panas Anil terus membelai lembut punggungku, bergerak dengan tenang. Saat kancing terakhir dibuka, aku
bisa merasakan bajuku mekar seperti bunga. Bunga itu mudah jatuh ke tanah karena hembusan angin sepoi-sepoi.
Dan bajuku berguguran ke tempat tidur dengan mudah.

Aku tidak menolak sama sekali...

Karena bibirku sedang terisi oleh bibir indah Anil...

Ujung lidah terasa panas seperti dicelupkan ke dalam madu manis.

Dengan penuh semangat menyerap aroma manis itu tanpa tahu bagaimana caranya agar bisa terpuaskan....

Entah kapan, gaun panjangnya dilepas. Hanya saja, saat punggungku berbaring di ranjang empuk Anil, aku tahu
dengan jelas...

Bagaimana kelanjutan cerita kita selanjutnya....

Bibir hangat Anil meluncur ke telingaku, sepertinya sangat menyukainya. Sayangnya, di situlah aku paling sensitif.
Saat Anil membangunkan dirinya di belakang telingaku, tubuhku dengan cepat bereaksi terhadap sentuhan tersebut.
Apalagi saat Anil menggodaku dengan menggigit daun telingaku, mau tak mau aku melontarkan suara desahan
padanya.

Malam kedua kami jauh lebih nyaman daripada malam pertama. Sepertinya Anil menggunakan seluruh indranya
untuk merasakan, dengan hati-hati dan lembut. Apalagi saat berada di payudaraku, dia terus menerus menggunakan
lidahnya yang panas untuk menarik puncakku dan menggeliat disana, membuatnya tegang. Aku hanya bisa
mengulurkan tangan dan membelai rambut hitam legam orang di atasku.

"Kamu menyukainya...?"

Anil hanya mencondongkan tubuh sedikit, menatapku dengan mata penuh gairah.

"Tepatnya, kita harus mengatakan kalau kita mencintainya."

Gadis nakal itu tersenyum, lalu membungkuk, terus menikmati cita rasa puncak dadaku.

Aku menggigit bibirku, menanggapi perasaan yang tak tertahankan ini. Menunggu hingga lidah Anil meluncur ke
bawah, "menikmati" perutku, mau tak mau aku memeluk Anil erat-erat, tak mampu mengendalikan diri.

Awalnya lidah Anil berkeliaran di sekitar pusarku, perutku menegang tak terkendali. Lalu ketika lidah Anil
meluncur ke bawah melewati batas, aku menjadi lebih tak terkendali.

Sepertinya aku mencoba mendorongnya menjauh...

Tapi kenyataannya, aku merindukan lidah panas Anil yang terus bergerak tanpa henti seperti itu.

Pengendalian kedua belah pihak tidak bisa berlangsung terlalu lama.


Saat Anil menyentuh bagian sensitif dan basahku, ia menghisap, lalu bergerak keluar-masuk. Hingga aku mencapai
kepuasan sempurna di malam keduaku.

Setelah aku memeluk Anil...

Sebelum memulai adegan cinta berikutnya...

---Akhir buku 1---

Anda mungkin juga menyukai