Anda di halaman 1dari 18

Persepsi Stigmatis tentang Eksistensi Pengawas Sekolah:

Catatan Keprihatinan dan Harapan Seorang Guru

Oleh:
Uum Gatot Karyanto, S.Pd., M.Pd.
(uumkarya@yahoo.com)
Guru SMA Negeri 3 OKU, Jln. Jend. Gatot Subroto No. 21, Baturaja,
Sumatera Selatan

A. Pengantar
Pendidikan adalah sebuah sistem. Sebagai sebuah sistem,
pendidikan mengimplikasikan sejumlah faktor penentu keberhasilan. Di
antara sejumlah faktor itu, faktor terpentingnya tentu saja manusia sebab
manusialah yang menjadi subjek pendidikan itu sendiri. Sejalan dengan
itu, Sagala (2013: 1), menegaskan bahwa pendidikan adalah karya
bersama yang berlangsung dalam suatu pola kehidupan insani tertentu.
Penegasan ini mengandung pengertian bahwa keberhasilan
pendidikan ditinjau dari perspektif insani (manusia) mempersyaratkan
terbangunnya sinergi di antara pihak-pihak yang terlibat di dalamnya.
Dalam sistem pendidikan di Indonesia, berdasarkan Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, faktor atau
komponen manusia yang terlibat dan diharapkan dapat bersinergi di
dalam pendidikan itu meliputi (1) peserta didik, (2) pendidik dan tenaga
kependidikan, (3) pemerintah, dan (4) masyarakat.
Tanpa bermaksud mengesampingkan faktor-faktor atau komponen-
komponen lainnya, baik yang bersifat insani ataupun noninsani, salah satu
unsur tenaga kependidikan yang sangat diharapkan mampu bersinergi
sebagaimana dimaksud adalah pengawas sekolah. Akan tetapi, pada
kenyataannya harapan ini berbenturan dengan berbagai persoalan krusial
yang masih menyertai eksistensi pengawas sekolah. Berdasarkan hasil
penelusuran literatur dan pengamatan tentang kepengawasan pendidikan
yang dilakukan penulis1, setidaknya terdapat tujuh persoalan yang
berjalin-berkelindan dalam konstelasi keprofesian pengawas sekolah. Dari
penelusuran literatur, Sudjana sebagaimana dikutip oleh Nur (2010)
menyebutkan tiga persoalan, yakni (1) masih terdapat disparitas
kompetensi pengawas sekolah antarindividu, antarsatuan pendidikan,
antarwilayah perkotaan dan pedesaan, serta antarkabupaten/kota; (2)
rendahnya akses pengawas untuk meningkatkan kompetensinya,
termasuk akses mendapatkan informasi mutakhir untuk mengembangkan
profesi dan kariernya; dan (3) rendahnya kompetensi supervisi akademik
dan evaluasi pendidikan. Adapun, berdasarkan pengamatan penulis, di
samping tiga persoalan tersebut, persoalan lainnya antara lain adalah (1)
jumlah pengawas sekolah belum memadai dan belum merata jika
dibandingkan dengan kebutuhan berdasarkan wilayah, jumlah satuan
pendidikan, dan jumlah guru per mata pelajaran; (2) masih berkembang
stigma bahwa jabatan pengawas sekolah merupakan “jabatan buangan”;
(3) pemerintah daerah, dalam hal ini dinas pendidikan provinsi dan
kabupaten/kota tidak menempatkan pengawas sekolah pada posisi yang
menguntungkan bagi pengawas sekolah itu sendiri; dan (4) kurangnya
kesadaran internal dari pengawas sekolah sendiri untuk bekerja dan
bersikap profesional sebagai bentuk tanggung jawab profesi.

B. Masalah
Bagi penulis sendiri, tujuh persoalan di atas menjadi semacam
keprihatinan tersendiri. Keprihatinan ini hadir sebagai subjektivitas pribadi
karena sebagai seorang guru penulis merasakan dampak langsung dari
persoalan itu. Sebagai ilustrasi, untuk persoalan butir (1), sejak tahun
2014, setelah satu-satunya pengawas sekolah SMA/SMK untuk mata

1
Pengamatan dan penelusuran ini dilakukan oleh penulis ketika menyusun sebuah artikel ilmiah
dengan judul “Pengawas Sekolah dalam Perspektif Perundang-undangan: Sebuah Catatan Kritis”
sebagai tugas dan bahan diskusi mata kuliah Teori Administrasi dan Manajemen Pendidikan pada
Program Studi Administrasi Pendidikan (Konsentrasi Kepengawasan Pendidikan), Program
Pascasarjana, Universitas Negeri Medan, tahun 2014.

2
pelajaran Bahasa Indonesia di wilayah kerja penulis, yakni Kabupaten
Ogan Komering Ulu, Provinsi Sumatera Selatan, memasuki masa
pensiun, praktis penulis—juga guru mata pelajaran Bahasa Indonesia
SMA/SMK lain di wilayah ini—tidak pernah mendapatkan supervisi
akademik dari pengawas sekolah. Keadaan ini terus berlanjut sampai
sekarang.
Namun demikian, dengan mempertimbangkan bahwa tulisan ini
dikembangkan berdasarkan perspektif penulis dalam kapasitasnya
sebagai seorang guru maka masalah yang akan dibahas difokuskan
kepada persoalan (1) kebutuhan pengawas sekolah berdasarkan wilayah,
jumlah satuan pendidikan, dan jumlah guru per mata pelajaran; (2) stigma
jabatan pengawas sekolah sebagai “jabatan buangan”; dan (3) kebijakan
pemerintah dalam memosisikan pengawas sekolah. Dengan deskripsi
persoalan berdasarkan titik berat sebagaimana telah dikemukakan
tersebut diharapkan tergambar secara jelas dan relatif memadai tentang
bagaimana sesungguhnya eksistensi pengawas sekolah sehingga
terbangun pengertian yang lebih mendalam tentang jabatan fungsional
pengawas sekolah; jabatan fungsional yang menurut Dr. Abi Sujak, M.Sc. 2
memegang peranan yang signifikan dan strategis dalam meningkatkan
profesionalisme guru dan mutu sekolah tersebut.

C. Pembahasan dan Solusi

1. Pengawas Sekolah dalam Perspektif Perundang-undangan


Tentang status dan kedudukan pengawas sekolah, Permenpan-RB
21/2010 antara lain menegaskan hal-hal sebagai berikut. Pertama,
jabatan pengawas sekolah adalah jabatan karier yang hanya diduduki
oleh guru yang berstatus sebagai PNS (pasal 4 butir 2). Penegasan ini
mengandung implikasi bahwa jabatan pengawas sekolah tidak bisa

2
Saat itu menjabat sebagai Sekretaris Pusat Pengembangan Tenaga Kependidikan,
Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia dan Pendidikan dan Penjaminan Mutu
Pendidikan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dalam sambutannya untuk Buku
Kerja Pengawas Sekolah (2012).

3
diduduki oleh seseorang yang sebelumnya tidak berprofesi sebagai
seorang guru yang berstatus PNS. Implikasi lain dari pasal dan butir ini
adalah untuk menjadi pengawas sekolah tidak ada keharusan guru
berstatus PNS terlebih dahulu menjabat sebagai kepala sekolah.
Persyaratan untuk menduduki jabatan pengawas sekolah diatur dalam
pasal 31 butir 1 yaitu bahwa PNS yang diangkat dalam jabatan pengawas
sekolah harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1) masih berstatus sebagai guru dan memiliki sertifikat pendidik dengan
pengalaman mengajar paling sedikit delapan tahun atau guru yang
diberi tugas tambahan sebagai kepala sekolah/madrasah paling
sedikit empat tahun sesuai dengan satuan pendidikannya masing-
masing;
2) berijazah paling rendah sarjana (S-1)/diploma IV bidang pendidikan;
3) memiliki keterampilan dan keahlian yang sesuai dengan bidang
pengawasan;
4) memiliki pangkat paling rendah Penata, golongan ruang III/c;
5) usia paling tinggi 55 tahun;
6) lulus seleksi calon pengawas sekolah;
7) telah mengikuti pendidikan dan pelatihan fungsional calon pengawas
sekolah dan memperoleh STTPP; dan
8) setiap unsur penilaian pelaksanaan pekerjaan dalam Daftar Penilaian
Pelaksanaan Pekerjaan (DP3) paling rendah baik dalam dua tahun
terakhir.
Kedua, pengawas sekolah berkedudukan sebagai pelaksana teknis
fungsional di bidang pengawasan akademik dan manajerial pada sejumlah
satuan pendidikan yang ditetapkan (pasal 4 butir 1). Pasal dan butir ini
menegaskan bahwa pengawas sekolah adalah (1) pelaksana teknis
fungsional dan (2) bidang pengawasan yang menjadi tugasnya adalah
pengawasan akademik dan pengawasan manajerial.
Pengawas sekolah dalam kedudukan sebagaimana disebutkan di
atas memiliki peran yang signifikan dan strategis dalam proses dan hasil

4
pendidikan yang bermutu di sekolah. Dalam konteks ini, peran pengawas
sekolah meliputi pemantauan, supervisi, evaluasi, pelaporan, dan tindak
lanjut pengawas sekolah yang harus dilakukan secara teratur dan
berkesinambungan (PP 19/2005, pasal 55).
Di dalam Buku Kerja Pengawas Sekolah (2012: 5) dikemukakan
bahwa peran tersebut berkaitan dengan tugas pokok pengawas dalam
melakukan supervisi manajerial dan akademik serta pembinaan peran
pembinaan, pemantauan dan penilaian. Peran pengawas sekolah dalam
pembinaan setidaknya sebagai teladan bagi sekolah dan sebagai rekan
kerja yang serasi dengan pihak sekolah dalam memajukan sekolah
binaannya. Peran pengawasan tersebut dilaksanakan dengan
pendekatan supervisi yang bersifat ilmiah, klinis, manusiawi,
kolaboratif, artistik, interpretatif, dan berbasis kondisi sosial budaya.
Pendekatan ini bertujuan meningkatkan mutu pembelajaran.
Lebih lanjut dikemukakan pula bahwa seorang pengawas
profesional dalam melakukan tugas pengawasan harus memiliki (1)
kecermatan melihat kondisi sekolah, (2) ketajaman analisis dan sintesis,
(3) ketepatan dan kreativitas dalam memberikan treatment yang
diperlukan, serta (4) kemampuan berkomunikasi yang baik dengan setiap
individu di sekolah. Karakteristik yang harus dimiliki oleh pengawas
sekolah yang profesional di antaranya:
1) menampilkan kemampuan pengawasan dalam bentuk kinerja;
2) memiliki bakat, minat, panggilan jiwa, dan idealisme;
3) melaksanakan tugas kepengawasan secara efektif dan efisien;
4) memberikan layanan prima untuk semua pemangku kepentingan;
5) memiliki komitmen untuk meningkatkan mutu pendidikan;
6) mengembangkan metode dan strategi kerja kepengawasan
secara terus menerus;
7) memiliki kapasitas untuk bekerja secara mandiri;
8) memiliki tanggung jawab profesi;
9) mematuhi kode etik profesi pengawas; dan

5
10) memiliki komitmen dan menjadi anggota organisasi profesi
kepengawasan sekolah (2012: 5—6).

2. Wewenang dan Ruang Lingkup Wewenang Pengawas Sekolah


2.1 Wewenang Pengawas Sekolah
Wewenang berkaitan dengan tugas pokok. Pasal 5 Permenpan-
RB 21/2010 menegaskan bahwa tugas pokok pengawas sekolah adalah
melaksanakan tugas pengawasan akademik dan manajerial pada satuan
pendidikan yang meliputi penyusunan program pengawasan,
pelaksanaan pembinaan, pemantauan pelaksanaan delapan Standar
Nasional Pendidikan (SNP), penilaian, pembimbingan dan pelatihan
profesional guru, evaluasi hasil pelaksanaan program pengawasan, dan
pelaksanaan tugas kepengawasan di daerah khusus. Rincian tugas
pokok di atas sesuai dengan jabatan pengawas sekolah berdasarkan
pasal 14 Permenpan ini adalah sebagai berikut.
2.1.1 Pengawas Sekolah Muda:
Pengawas Sekolah Muda memiliki rincian tugas pokok sebagai
berikut:
1) menyusun program pengawasan;
2) melaksanakan pembinaan guru;
3) memantau pelaksanaan standar isi, standar proses,
standar kompetensi lulusan, standar penilaian;
4) melaksanakan penilaian kinerja guru;
5) melaksanakan evaluasi hasil pelaksanaan program
pengawasan pada sekolah binaan;
6) menyusun program pembimbingan dan pelatihan profesional guru
di KKG/MGMP/MGP dan sejenisnya;
7) melaksanakan pembimbingan dan pelatihan profesional guru; dan
8) mengevaluasi hasil pembimbingan dan pelatihan profesional guru.

2.1.2 Pengawas Sekolah Madya:

6
Pengawas Sekolah Madya memiliki rincian tugas pokok sebagai
berikut:
1) menyusun program pengawasan;
2) melaksanakan pembinaan guru dan/atau kepala sekolah;
3) memantau pelaksanaan standar isi, standar proses, standar
kompetensi lulusan, standar pendidik dan tenaga kependidikan,
standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, standar
pembiayaan, dan standar penilaian pendidikan;
4) melaksanakan penilaian kinerja guru dan/atau kepala sekolah;
5) melaksanakan evaluasi hasil pelaksanaan program pengawasan
pada sekolah binaan;
6) menyusun program pembimbingan dan pelatihan profesional guru
dan/atau kepala sekolah di KKG/MGMP/MGP dan/atau
KKKS/MKKS dan sejenisnya;
7) melaksanakan pembimbingan dan pelatihan profesional guru
dan/atau kepala sekolah;
8) melaksanakan pembimbingan dan pelatihan kepala sekolah dalam
menyusun program sekolah, rencana kerja, pengawasan dan
evaluasi, kepemimpinan sekolah, dan sistem informasi dan
manajemen;
9) mengevaluasi hasil pembimbingan dan pelatihan profesional guru
dan/atau kepala sekolah; dan
10) membimbing pengawas sekolah muda dalam melaksanakan tugas
pokok.
2.1.3 Pengawas Sekolah Utama
Pengawas Sekolah Utama memiliki rincian tugas pokok sebagai
berikut:
1) menyusun program pengawasan;
2) melaksanakan pembinaan guru dan kepala sekolah;
3) memantau pelaksanaan standar isi, standar proses,
standar kompetensi lulusan, standar pendidik dan tenaga

7
kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan,
standar pembiayaan, dan standar penilaian pendidikan;
4) melaksanakan penilaian kinerja guru dan kepala sekolah;
5) melaksanakan evaluasi hasil pelaksanaan program
pengawasan pada sekolah binaan;
6) mengevaluasi hasil pelaksanaan program pengawasan
tingkat kabupaten/kota atau provinsi;
7) menyusun program pembimbingan dan pelatihan profesional guru
dan kepala sekolah di KKG/MGMP/MGP dan/atau KKKS/MKKS dan
sejenisnya;
8) melaksanakan pembimbingan dan pelatihan profesional guru dan
kepala sekolah;
9) melaksanakan pembimbingan dan pelatihan kepala sekolah dalam
menyusun program sekolah, rencana kerja, pengawasan dan
evaluasi, kepemimpinan sekolah, dan sistem informasi dan
manajemen;
10) mengevaluasi hasil pembimbingan dan pelatihan profesional guru
dan kepala sekolah;
11) membimbing pengawas sekolah muda dan pengawas sekolah
madya dalam melaksanakan tugas pokok; dan
12) melaksanakan pembimbingan dan pelatihan profesional guru dan
kepala sekolah dalam pelaksanaan penelitian tindakan.
2.2 Ruang Lingkup Wewenang Pengawas Sekolah
Dalam melaksanakan tugasnya sebagaimana diuraikan di atas,
pasal 9 Permenpan-RB 21/2010 menegaskan bahwa pengawas sekolah
berwenang memilih dan menentukan metode kerja, menilai kinerja guru
dan kepala sekolah, menentukan dan/atau mengusulkan program
pembinaan serta melakukan pembinaan.
Buku Kerja Pengawas Sekolah yang telah disebutkan di atas
menguraikan pula ruang lingkup kepengawasan sebagaimana
dideskripsikan berikut ini (2012: 19—24). Ruang lingkup kepengawasan

8
meliputi (1) kepengawasan akademik dan (2) kepengawasan manajerial.
Kepengawasan akademik dan manajerial tersebut tercakup dalam
kegiatan (1) penyusunan program pengawasan; (2) pelaksanaan
program pengawasan; (3) evaluasi hasil pelaksanaan program
pengawasan; dan (4) membimbing dan melatih profesional guru dan/atau
kepala sekolah.
Penyusunan program pengawasan difokuskan pada peningkatan
pemenuhan standar nasional pendidikan. Pelaksanaan program
pengawasan meliputi (1) melaksanakan pembinaan guru dan atau kepala
sekolah, (2) memantau delapan standar nasional pendidikan, dan (3)
melaksanakan penilaian kinerja guru dan/atau kepala sekolah. Evaluasi
hasil program pengawasan dimulai dari tingkat sekolah binaan dan
tingkat kabupaten/kota dan tingkat provinsi untuk pengawas pendidikan
luar biasa.
2.2.1 Pengawasan Akademik
Supervisi akademik atau pengawasan akademik adalah fungsi
pengawas yang berkaitan dengan aspek pelaksanaan tugas pembinaan,
pemantauan, penilaian dan pelatihan profesional guru dalam (1)
merencanakan pembelajaran; (2) melaksanakan pembelajaran; (3)
menilai hasil pembelajaran; (4) membimbing dan melatih peserta didik;
dan (5) melaksanakan tugas tambahan yang melekat pada pelaksanaan
kegiatan pokok sesuai dengan beban kerja guru (PP 74/2008). Hal
tersebut dapat dilaksanakan melalui kegiatan tatap muka atau nontatap
muka.
Pembinaan bertujuan (1) meningkatkan pemaham kompetensi
guru terutama kompetensi pedagogik dan kompetensi profesional
(tupoksi guru, kompetensi guru, pemahaman KTSP), (2) meningkatkan
kemampuan guru dalam pengimplementasian Standar Isi, Standar
Proses, Standar Kompetensi Lulusan, dan Standar Penilaian (pola
pembelajaran KTSP, pengembangan silabus dan RPP, pengembangan
penilaian, pengembangan bahan ajar dan penulisan butir soal), dan (3)

9
meningkatkan kemampuan guru dalam menyusun penelitian tindakan
kelas (PTK).
Adapun ruang lingkup pembinaan dimaksud meliputi (1)
melakukan pendampingan dalam meningkatkan kemampuan guru
menyusun administrasi perencanaan pembelajaran/program bimbingan,
(2) melakukan pendampingan dalam meningkatkan kemampuan guru
dalam proses pelaksanaan pembelajaran/bimbingan, (3) melakukan
pendampingan membimbing guru dalam meningkatkan kemampuan
melaksanakan penilaian hasil belajar peserta didik, (4) melakukan
pendampingan dalam meningkatkan kemampuan guru menggunakan
media dan sumber belajar, (5) memberikan masukan kepada guru dalam
memanfaatkan lingkungan dan sumber belajar, (6) memberikan
rekomendasi kepada guru mengenai tugas membimbing dan melatih
peserta didik, (7) memberi bimbingan kepada guru dalam
menggunakan teknologi informasi dan komunikasi untuk pembelajaran,
(8) memberi bimbingan kepada guru dalam pemanfaatan hasil penilaian
untuk perbaikan mutu pendidikan dan pembelajaran/pembimbingan, dan
(9) memberikan bimbingan kepada guru untuk melakukan refleksi atas
hasil-hasil yang dicapainya.
Pemantauan dilakukan terhadap pelaksanaan standar isi, standar
kompetensi lulusan, standar proses, dan standar penilaian. Sementara
itu, aspek penilaian kinerja guru meliputi (1) merencanakan
pembelajaran, (2) melaksanakan pembelajaran, (3) menilai hasil
pembelajaran, (4) membimbing dan melatih peserta didik, dan (5)
melaksanakan tugas tambahan yang melekat pada pelaksanaan
kegiatan pokok sesuai dengan beban kerja guru.
Untuk meningkatkan profesionalisme guru dalam melaksanakan
tugasnya ditindaklanjuti dengan kegiatan bimbingan dan pelatihan guru
dengan tahapan sebagai berikut: (1) menyusun program
pembimbingan dan pelatihan profesional guru di
KKG/MGMP/MGP dan sejenisnya; (2) melaksanakan pembimbingan dan

10
pelatihan profesional guru; (3) mengevaluasi hasil pembimbingan dan
pelatihan profesional guru; dan (4) melaksanakan pembimbingan dan
pelatihan profesional guru dalam pelaksanaan penelitian tindakan kelas.
Bidang peningkatan kemampuan profesional guru difokuskan pada
pelaksanaan standar nasional pendidikan, yang meliputi (1) kemampuan
guru dalam melaksanakan standar isi, standar proses, standar
kompetensi lulusan/standar tingkat pencapaian perkembangan (bagi TK),
dalam kerangka pengembangan KTSP, (2) pembelajaran yang
pembelajaran aktif, inovatif, kreatif, efektif, dan menyenangkan
(PAIKEM) termasuk penggunaan media yang relevan, (3)
pengembangan bahan ajar, (4) penilaian proses dan hasil belajar, dan (5)
penelitian tindakan kelas untuk perbaikan/pengembangan metode
pembelajaran.
2.2.2 Pengawasan Manajerial
Supervisi manajerial atau pengawasan manajerial merupakan
fungsi supervisi yang berkenaan dengan aspek pengelolaan sekolah
yang terkait langsung dengan peningkatan efisiensi dan efektivitas
sekolah yang mencakup perencanaan, koordinasi, pelaksanaan,
penilaian, pengembangan kompetensi sumber daya tenaga pendidik dan
kependidikan. Dalam melaksanakan fungsi manajerial, pengawas
sekolah berperan sebagai: (1) fasilitator dalam proses perencanaan,
koordinasi, pengembangan manajemen sekolah, (2) asesor dalam
mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan serta menganalisis potensi
sekolah, (3) informan pengembangan mutu sekolah, dan (4) evaluator
terhadap hasil pengawasan.
Tujuan pembinaan kepala sekolah yaitu peningkatan
pemahaman dan pengimplementasian kompetensi yang dimiliki oleh
kepala sekolah dalam melaksanakan tugasnya sehari-hari untuk
mencapai Standar Nasional Pendidikan (SNP). Adapun, ruang
lingkupnya adalah (1) pengelolaan sekolah yang meliputi penyusunan
program sekolah berdasarkan SNP, baik rencana kerja tahunan

11
maupun rencana kerja empat tahunan, pelaksanaan program,
pengawasan dan evaluasi internal, kepemimpinan sekolah dan Sistem
Informasi Manajemen (SIM), (2) membantu kepala sekolah melakukan
evaluasi diri sekolah (EDS) dan merefleksikan hasil-hasilnya dalam
upaya penjaminan mutu pendidikan, (3) mengembangkan perpustakaan
dan laboratorium serta sumber-sumber belajar lainnya, (4) kemampuan
kepala sekolah dalam membimbing pengembangan program bimbingan
konseling di sekolah, dan (5) melakukan pendampingan terhadap kepala
sekolah dalam pengelolaan dan administrasi sekolah (supervisi
manajerial) yang meliputi (1) memberikan masukan dalam pengelolaan
dan administrasi kepala sekolah berdasarkan manajemen peningkatan
mutu pendidikan di sekolah, (2) melakukan pendampingan dalam
melaksanakan bimbingan konseling di sekolah, dan (3) memberikan
bimbingan kepada kepala sekolah untuk melakukan refleksi atas
hasil-hasil yang dicapainya.
Pemantauan dilaksanakan terhadap pelaksanaan standar
nasional pendidikan di sekolah dan memanfaatkan hasil-hasilnya untuk
membantu kepala sekolah mempersiapkan akreditasi sekolah. Adapun,
penilaian kinerja kepala sekolah berkaitan dengan pengelolaan sekolah
sesuai dengan standar nasional pendidikan. Metode kerja yang
dilakukan pengawas sekolah antara lain observasi, kunjungan atau
pemantauan, pengecekan/klarifikasi data, kunjungan kelas, serta rapat
dengan kepala sekolah dan guru-guru dalam pembinaan.
Peningkatan profesionalisme kepala sekolah dalam melaksanakan
tugasnya ditinjaklanjuti dengan kegiatan bimbingan dan pelatihan kepala
sekolah dengan tahapan: (1) menyusun program pembimbingan dan
pelatihan profesional kepala sekolah di KKKS/MKKS dan sejenisnya, (2)
melaksanakan pembimbingan dan pelatihan profesional kepala sekolah,
(3) melaksanakan pembimbingan dan pelatihan kepala sekolah dalam
menyusun program sekolah, rencana kerja, pengawasan dan evaluasi,
kepemimpinan sekolah, dan sistem informasi dan manajemen, (4)

12
mengevaluasi hasil pembimbingan dan pelatihan profesional kepala
sekolah, dan (5) melaksanakan pembimbingan dan pelatihan profesional
kepala sekolah dalam pelaksanaan penelitian tindakan kelas/sekolah
Kegiatan pembimbingan dan pelatihan profesional guru dan/atau
kepala sekolah oleh setiap pengawas sekolah dilaksanakan paling sedikit
tiga kali dalam satu semester secara berkelompok dalam kegiatan di
sekolah binaan KKG/MGMP/MGP/KKKS/MKKS/K3SK. Kegiatan ini
dilaksanakan terjadwal baik waktu maupun jumlah jam yang diperlukan
untuk setiap kegiatan sesuai dengan tema atau jenis keterampilan dan
kompetensi guru yang akan ditingkatkan. Dalam pelatihan ini
diperkenalkan kepada guru hal-hal yang inovatif sesuai dengan tugas
pokok guru dalam pembelajaran/pembimbingan.
Kegiatan pembimbingan dan pelatihan profesionalisme guru ini
dapat berupa bimbingan teknis, pendampingan, workshop, seminar,
dan group conference, yang ditindaklanjuti dengan kunjungan kelas
melalui supervisi akademik.
Selain melaksanakan tugas kepengawasan sesuai dengan ruang
lingkup di atas, setiap pengawas harus melakukan pengembangan
profesi yang meliputi: (1) pembuatan karya tulis dan/atau karya
ilmiah di bidang pendidikan formal/pengawasan, (2)
penerjemahan/penyaduran buku dan/atau karya ilmiah di bidang
pendidikan formal/pengawasan, dan (3) pembuatan karya inovatif.

Kegiatan penunjang tugas pengawas sekolah dapat dilakukan


melalui: (1) peran serta dalam seminar/lokakarya di bidang pendidikan
formal/kepengawasan sekolah, (2) keanggotaan dalam organisasi
profesi, dan (3) keanggotaan dalam tim penilai angka kredit jabatan
fungsional pengawas sekolah.

D. Simpulan dan Harapan Penulis


Dengan menelaah secara saksama eksistensi pengawas sekolah

13
dewasa ini dalam perspektif perundang-undangan, dapat dikatakan
bahwa Pemerintah telah menyediakan landasan yuridis yang cukup
memadai dan akomodatif untuk mendukung pengembangan profesi
pengawas sekolah yang profesional. Sistem perundang-undangan
tentang pengawas sekolah telah memberikan ruang yang cukup
prospektif untuk mendorong pengawas sekolah tampil dan mengambil
peran yang signifikan dan strategis dalam pengembangan pendidikan di
Indonesia.
Persoalannya adalah apakah muatan yang relatif ideal yang
tergambar dalam konten perundang-undangan itu telah dan/atau dapat
dilaksanakan secara optimal. Persoalan ini merupakan wacana krusial
yang harus dengan sesegera mungkin mendapatkan jalan keluarnya.
Berkaitan dengan persoalan ini dapat diajukan beberapa catatan kritis
sebagai berikut.
1) Masih terdapat disparitas kompetensi pengawas sekolah
antarindividu, antarsatuan pendidikan, antarwilayah perkotaan dan
pedesaan, serta antarkabupaten/kota. Kondisi ini berpotensi
menimbulkan berbagai kesulitan dalam pelaksanaan tugas
kepengawasan sekolah. Kesulitan yang mungkin terjadi antara lain
adalah (1) terjadinya miskomunikasi dan miss-understanding di antara
pengawas-pengawas sekolah yang memiliki kompetensi yang
berbeda sehingga menimbulkan ketidakefektivan dalam pelaksanaan
kerja tim, (2) terjadinya hambatan dalam mengoordinasikan suatu
kegiatan atau dalam mengatasi suatu masalah yang melibatkan
pengawas-pengawas sekolah pada satuan-satuan pendidikan dan
wilayah-wilayah yang memiliki karakteristik yang berbeda, dan (3)
terhambatnya kecepatan dan ketepatan dalam mengambil keputusan
dalam menyelesaikan suatu masalah kepengawasan.
2) Rendahnya akses pengawas untuk meningkatkan kompetensinya,
termasuk akses mendapatkan informasi mutakhir untuk
mengembangkan profesi dan kariernya. Masalah ini berkaitan

14
dengan kesenjangan dan kesulitan pengawas sekolah untuk
mendapatkan kesempatan meningkatkan kompetensi melalui
kegiatan-kegiatan pendidikan dan pelatihan.
3) Rendahnya kompetensi supervisi akademik dan evaluasi
pendidikan. Kondisi seperti ini berkaitan dengan kesenjangan
kompetensi pengawas sekolah dalam melakukan supervisi klinis
terhadap guru-guru yang menjadi binaannya. Akibatnya, pengawas
sekolah tidak mampu secara efektif memberikan jalan pemecahan
bagi masalah-masalah yang dihadapi oleh guru dalam
melaksanakan tugasnya sebagai pendidik di sekolah tempat mereka
bekerja.
4) Masih berkembang stigma bahwa jabatan pengawas sekolah
merupakan “jabatan buangan”. Masalah ini berkaitan dengan stigma
bahwa jabatan pengawas sekolah adalah jabatan yang “kurang
menjanjikan” dari segi karier dan kesejahteraan material. Jabatan
pengawas sekolah dianggap tidak memiliki “power” karena secara
struktural tidak memiliki akses dalam pengambilan keputusan-
keputusan strategis di lingkungan kelembagaan pendidikan.
5) Pemerintah daerah, dalam hal ini dinas pendidikan provinsi dan
kabupaten/kota tidak menempatkan pengawas sekolah pada posisi
yang seharusnya. Masalah ini berhubungan dengan stigma
sebagaimana diungkapkan pada butir (4) di atas. Pengawas
sekolah tidak dilibatkan dalam sistem rekrutmen jabatan tertentu di
lingkungan kelembagaan pendidikan, seperti jabatan kepala
sekolah.
6) Kurangnya kesadaran internal dari pengawas sekolah sendiri untuk
bekerja dan bersikap profesional sebagai bentuk tanggung jawab
profesi. Masalah ini terkait langsung dengan kompetensi pengawas
sekolah dalam kaitannya dengan sikap dan kinerja. Masih banyak
pengawas yang menganggap jabatan yang dimilikinya merupakan
jabatan tidak penting sehingga tidak termotivasi untuk melakukan

15
pengembangan karier yang semestinya.
Untuk menghadapi kendala-kendala di atas, diperlukan
kesungguhan semua pihak, baik secara internal dari pengawas sekolah
itu sendiri, maupun secara eksternal dari pemerintah, lingkungan
kelembagaan, lingkungan kerja, bahkan dari masyarakat. Beberapa
upaya berikut mungkin dapat dipertimbangkan.
1) Perlu ada upaya untuk memperkecil—kalau tidak bisa
menghilangkan—disparitas kompetensi pengawas sekolah.
Berbagai upaya pembinaan secara struktural perlu diperbanyak
kuantitasnya dan dipertinggi kualitasnya. Pengawas sekolah juga
perlu diberi kesempatan yang luas untuk dipertemukan dalam suatu
kesempatan yang memungkinkan kerja tim dapat berlangsung
secara optimal. Kesempatan ini akan memberi peluang untuk saling
mengisi dan berbagi sehingga para pengawas bisa mengasah
kompetensinya dalam suatu jalinan kebersamaan yang saling
menguntungkan dan mengeliminasi berbagai perbedaan perspektif
yang dapat mengganggu pelaksanaan tugas mereka.
2) Pengawas sekolah perlu diberi akses yang seluas-luasnya untuk
meningkatkan kompetensinya, termasuk akses untuk memperoleh
informasi mutakhir yang berkaitan dengan kemampuan dan kerja
kepengasannya. Sistem sosialisasi informasi perlu dikembangkan
untuk memungkinkan pengawas sekolah tidak ketinggalan dalam
mendapatkan informasi mutakhir yang diperlukannya. Pendidikan-
pendidikan dan pelatihan-pelatihan profesional perlu terus
diselenggarakan; bukan hanya yang bersifat teknis melainkan juga
yang bersifat pendukung seperti kemampuan memanfaatkan
teknologi informasi.
3) Kompetensi supervisi akademik dan evaluasi pendidikan
merupakan kompetensi mendasar yang harus dimiliki oleh
pengawas sekolah ketika berhadapan dengan guru yang dibinanya.
Oleh karena itu, perlu ada upaya yang terencana dan

16
berkesinambungan dalam rangka mengembangkan dua kompetensi
tersebut.
4) Stigma pengawas adalah “jabatan buangan” merupakan
konsekuensi sosiologis yang terbentuk oleh kondisi yang
memarjinalkan pengawas sekolah dalam aspek kekuasaan (power).
Untuk menghilangkan stigma itu perlu dibangun upaya pemulihan
citra dengan cara merevitalisasi jabatan pengawas sekolah.
Pengawas perlu diberi kewenangan yang lebih luas dalam
pengambilan keputusan-keputusan strategis yang berkaitan dengan
pola kebijakan kelembagaan, rekutmen jabatan tertentu, dan dalam
hal monitoring pelaksanaan manajemen sekolah.
5) Upaya pembangunan kembali (rebuilding) citra pengawas
sebagaimana diungkapkan pada butir (4) di atas akan lebih efektif
jika pengawas sekolah itu sendiri membangung komitmen yang
positif terkait pelaksanaan tugas-tugas dan peningkatan
kompetensi, kinerja, dan sikap profesional. ∎

Daftar Pustaka

Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan


Reformasi Birokrasi Nomor 21 Tahun 2010 tentang Jabatan
Fungsional Pengawas Sekolah dan Angka Kreditnya.

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 12 Tahun 2007tentang


Standar Pengawas Sekolah/Madrasah.

Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional


Pendidikan.

Rencana Strategis Departemen Pendidikan Nasional 2010—2014.

17
Sagala, H. Syaiful. 2013. Manajemen Strategik dalam Peningkatan Mutu
Pendidikan: Pembuka Ruang Kreativitas, Inovasi, dan
Pemberdayaan Potensi Sekolah dalam Sistem Otonomi
Sekolah, Cet. VI. Bandung: Alfabeta.

Tim Penyusun Pusat Pengembangan Tenaga Kependidikan. 2011. Buku


Kerja Pengawas Sekolah, Cet. II. Jakarta: Pusat
Pengembangan Tenaga Kependidikan, Badan PSDM dan
PMP Kementerian Pendidikan Nasional.

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan


Nasional.

18

Anda mungkin juga menyukai