Anda di halaman 1dari 11

Al Amin: Jurnal Kajian Ilmu dan Budaya Islam P-ISSN: 2088-7981

Vol. 5, No. 2, 2022 E-ISSN: 2685-1148


doi.org/10.36670/alamin.v2i02.20
E-ISSN: 2685-1148

NALAR POLITIK ISLAM ALI SYARI’ATI

SUGIYONO
STAI Al Aqidah Al Hasyimiyyah Jakarta
E-mail: ogie.ahmad@gmail.com

ABSTRACT

Islam is present in the middle of the Arab nation which is declining ethically. Islam came by carrying
out the main mission of improving the ethics of the Arabs which had far deviated from human
civilization. Ethics is a value that has the purpose of happiness in life. For Islamic political thinkers,
politics is closely related to ethics. In the view of Ali Syari’ati explained, that politics is a government
/ government system that has the responsibility of maintaining the community so that it can be safe and
provide welfare facilities for its citizens as an administrative task, Ali puts Islam as a basic political
ethic using four approaches; namely Islamic history, the study of the contemporary world and its needs,
Islamic texts, and sensitivity to the mystical elements of religion.

Keywords: Ethics, Politics and Ali Shari’ati

ABSTRAK

Agama Islam hadir di tengah bangsa Arab yang sedang merosot etikanya. Islam datang dengan
membawa misi utama perbaikan etika bangsa Arab yang telah jauh menyimpang dari peradaban
manusia. Etika merupakan satu nilai yang memiliki tujuan kebahagiaan dalam hidup. Bagi para pemikir
politik Islam, politik terkait erat dengan etika. Dalam pandangan Ali Syari’ati menjelaskan, bahwa
politik adalah pemerintah/ system pemerintah yang mempunyai tanggung jawab memelihara agar
masyarakat bisa aman dan menyediakan sarana-sarana kesejahteraan bagi warganya sebagai suatu tugas
administrasi Negara, Ali meletakan islam sebagai etika dasar politik dengan menggunakan empat
pendekatan; yaitu sejarah Islam, studi dunia kontemporer dan kebutuhannya, teks- teks Islam, dan
kepekaan terhadap elemen mistis dari agama.

Kata Kunci: Etika, Politik dan Ali Syari`ati

A. PENDAHULUAN
Etika merupakan problematika dan tantangan manusia sepanjang sejarah Pada
dasarnya peradaban manusia. Manusia telah melahirkan nilai-nilai etika yang mulia, tetapi
kemuliaan nilai-nilai tersebut masih memiliki kekurangan dan masih jauh dari
kesempurnaan. Al-Quran telah menggambarkan bahwa bangsa- bangsa terdahulu seperti
kaum Ad, Tsamud, Saba’, dan kaum nabi Luth, menunjukkan bahwa eksistensi kaum
tersebut ditentukan oleh etika bangsanya.
Agama Islam hadir di tengah bangsa Arab yang sedang merosot etikanya. Islam datang
dengan membawa misi utama perbaikan etika bangsa Arab yang telah jauh menyimpang

422
Al Amin: Jurnal Kajian Ilmu dan Budaya Islam P-ISSN: 2088-7981
Vol. 5, No. 2, 2022 E-ISSN: 2685-1148
doi.org/10.36670/alamin.v2i02.20
E-ISSN: 2685-1148

dari peradaban manusia.1 Misi utama nabi Muhammad diutus sebagai Rasul Islam terakhir
yang diturunkan Allah untuk menuntun dan membimbing gejolak ambisi manusia,
sebagaimana sabda Rasulullah SAW: Innama buitstu li utammima makarima al akhlaq,
artinya: tidaklah aku diutus melainkan untuk menyempurnakan Akhlak.2
Secara umum, etika merupakan ilmu baik dan buruk, dan tentang hak dan kewajiban.
Selanjutnya, Etika juga sebagai kumpulan asas nilai yang berkenaan dengan perbuatan,
tindakan dan sikap.3 Menurut Socrates, “etika merupakan penilaian yang baik tidak
berdasarkan sebab-akibat, akan tetapi prinsip batin atau kesenangan jiwa merupakan salah
satu komponennya”.4 Aristoteles mengatakan bahwa: “etika merupakan satu nilai yang
memiliki tujuan kebahagiaan dalam hidup”.
Sebagaimana etika, politik dimaknai sebagai konsep yang berkenaan dengan
pemerintahan. Makna politik di sini mengandung nilai estetik dan buruk yang memerlukan
seperangkat unsur, seperti halnya menjalankan pemerintahan, mengatur pola aktivitas
keseharian masyarakat.5 Politik seyogianya dapat mengukur perilaku buruk dan baik
manusia, serta mengatur perilaku hidup tersebut ke arah yang lebih baik lagi.6 Dalam arti
yang filosofis, politik memiliki peran dan fungsi ganda, dituntut untuk berbuat baik ke
sesama manusia, pada saat yang sama juga kebijakan negara harus mempertimbangkan
kebaikan masyarakat yang lebih luas.
Politik bukanlah bertujuan untuk kekuasaan belaka, melainkan juga untuk mewujudkan
kesejahteraan secara umum. Bila diamati lebih lanjut, politik dan etika memiliki relasi yang
tidak dapat dipisahkan. Keduanya ibarat dua sisi yang saling membutuhkan. Ketika yang
satu terapung maka satu sisi lainnya akan tenggelam.
Para pemikir politik Islam, politik terkait erat dengan etika. Bedanya, jika pemikir
Yunani membicarakan keterkaitan itu dalam wilayah filsafat moral, pemikir politik Islam
mendiskusikannya dalam naungan teologi. Ini indikasi, bahwa bagi Islam persoalan politik
tidak terpisah dengan persoalan agama.7 Ali Syari’ati sebagai pemikir terkemuka di Iran
sangatlah luas gagasannya. Ia tidak memandang agama sebagai spesialisasi ilmiah atau satu
kebudayaan, tapi ia menjadikannya sebagai sebuah ideologi dan mazhab pemikiran sebagai
satu sistem keyakinan. Ini berarti memahami agama sebagai suatu gerakan kemanusiaan,
historis, dan intelektual.8 Etika sebagai basis pemikiran dan gerakan menjadikan manusia
sebagai rusyanfikrn, yaitu kaum intelektual dalam arti yang sebenarnya. Kaum intelektual
harus merasa terpanggil untuk memperbaiki masyarakat, menangkap aspirasi mereka,
merumuskan dalam bahasa yang dapat dipahami setiap orang, menawarkan strategi, dan
alternatif pemecahan masalah.9 Salah satu pernyataan Syari’ati adalah “Manusia menjadi
ideal dengan mencari serta memperjuangkan umat manusia, dan dengan demikian, ia
menemukan Tuhan”. Sedangkan ciri pemikiran Syari’ati adalah “agama harus

1
Abdul Qodir Jailani, Negara Ideal: Menurut Konsepsi Islam , (Surabaya: Bina Ilmu, 1995), 149.
2
Ihsan Ali, Perjalanan Nabi, Diakses tanggal 24 Februari 2008, 20:10 http: // www. suara-islam.com.
3
K. Bertens, Etika (Jakarta; Gramedia Pustaka Utama, (2004), 5.
4
Loren Bagus, Kamus Filsafat, Cetakan ketiga (Jakarta; Gramedia, 2002), 217.
5
Listiyono Santoso, Teologi Politik Gus Dus (Yogyakarta: Ar-Ruz, 2004), 186.
6
Ramlan Surbakti, Memahamai Ilmu Politik (Jakarta; Gramedia, 1992), 1.
7
Nurcholish Madjid, “Agama dan Negara dalam Islam: Telaah atas Fiqh Siyasy Sunni,” dalam Budy
Munawar-Rachman (editor), Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah (Jakarta: Paramadina, 1994), h.588.
8
Ali Syari’ati, Islam Mazhab Pemikiran dan Aksi, (Bandung: Mizan, 1992), 18.
9
Ali Syariati, Ideologi Kaum Intelektual, (Bandung: Mizan, 1985), 14.
423
Al Amin: Jurnal Kajian Ilmu dan Budaya Islam P-ISSN: 2088-7981
Vol. 5, No. 2, 2022 E-ISSN: 2685-1148
doi.org/10.36670/alamin.v2i02.20
E-ISSN: 2685-1148

ditransformasikan dari ajaran etika pribadi ke program revolusioner untuk mengubah


dunia”.10

B. PEMBAHASAN
Biografi Ali Syariati
Ali Syari’ati, anak pertama dari Muhammad Taqi dan Zahra,11 lahir tanggal 24
November 1933, sebuah desa kecil di Kahak, sekitar 70 kilo- meter dari Sabzevar, propinsi
Khorasan Iran. Dia anak pertama dengan nama kecil Muhammad Ali Mazinani, dengan tiga
orang saudara perempuannya, Tehereh, Tayebeh, Batul (Afsaneh). Dia hidup dalam
lindungan keluarga penyayang dari masyarakat urban kelas menengah bawah.
Syariati memasuki sekolah dasar Ibnu Yamin sebulan setelah sekutu menginvansi
Iran tahun 1941. Walaupun Syariati hanya seorang anak laki-laki kecil, ia menyaksikan
keberadaan dan gerakan tentara-ten- tara Uni Soviet di Masyhad. Kondisi ini
memprihatinkan karena makanan (kebutuhan pokok) sulit didapat.
Setelah menyelesaikan sekolah dasar di Ibnu Yamin, bulan September 1947
Syari’ati memasuki sekolah Menengah Firdaus. Di sekolahnya, ada perpustakaan,
laboratorium ilmu pengetahuan, fasilitas olah raga dan teater. Di sekolah tersebut, Syari’ati
terkenal di antara teman-temannya sebagai murid pemalas, tetapi bisa bersosialisasi dan
sangat menyenangkan untuk dijadikan teman. Di lain sisi, Syariati dikenal sebagai anak
kalem, bijaksana, dan cerdas. Tahun 1956, Syariati melanjutkan studi di Fakultas Sastra
universitas Masyhad.12 Tahun 1960, dia mendapat beasiswa dari pemerintah Iran dan
melanjutkan pendidikan di Universitas Sorbonne, Perancis. Kembali ke Iran Syariati
menjadi dosen di sebuah perguruan tinggi di Teheran.13
Ali Syari’ati (1933-1977) tokoh reformis Iran yang mempersatukan banyak arus
reformasi pada masanya: oposisi terhadap rezim Shah, penolakan Westernisasi, revivalisme
keagamaan, dan pembaharuan sosial. Semenjak dalam pendidikan lanjutan atas, dia aktif
dalam gerakan rema- ja yang diasuh bapaknya, bernama Pusat Penyebaran Ajaran Islam
(Center for the Spread of Islamic Teachings), bertujuan menanamkan seman- gat Islam
dalam kalangan angkatan Muda Iran, menamakan kesadaran akan relevansi Islam dengan
kehidupan bangsa Iran dewasa ini.14
Pada periode 1950-1951, Ali Mazinani seperti ayahnya, bergabung dengan Gerakan
Sosialis Penyembah Tuhan (Movement of God Worshipping Socialists) berikhtiar
melakukan sinthesa antara Syiah dengan sosialisme Barat.15 Setelah menyelesaikan studi
pada Teacher Training College (Perguruan Tinggi Pendidikan Guru) kemudian Ali
mengajar pada sekolah dasar. Pada masa inilah dia menemukan pahlawan kedua atau model
bagi kehidupan Islam, yaitu Abu Dzar al-Giffari (wafat 32 H/653 M). Ia merupakan seorang
sahabat nabi Muhammad yang pada masa belakangan menuduh kemewahan dan korupsi
dalam kehidupan istana para pembesar khalifah dan sebagai pahlawan yang
memperjuangkan perbaikan kehidupan kaum melarat. Dalam pandangan Syariati dan
aktivis-aktivis sosialis muslim, Abu Dzar adalah perlambang perjuangan keadilan sosial

10
Ekky Malaky, Ali Syari’ati, Filosof Etika dan Arsitek Iran Modern, (Mizan: Juli 2004), 119.
11
Ali Syariati, Islam Agama “Protes”, terj. Satria Pinandito, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1993), 7.
12
Ali Rahnema, Ali Syariati: Biografi Politik Intelektual Revolusioner, 60.
13
Antoni Black, Pemikiran Politik Islam, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2006), 585.
14
Ali Syariati, On the Sociology of Islam, (Bandung: Mizan Pers, 1979), 25.
15
Antoni Black, Pemikiran Politik Islam, 585.
424
Al Amin: Jurnal Kajian Ilmu dan Budaya Islam P-ISSN: 2088-7981
Vol. 5, No. 2, 2022 E-ISSN: 2685-1148
doi.org/10.36670/alamin.v2i02.20
E-ISSN: 2685-1148

sepanjang Islam atau sosialisme Islam. Selain itu, beliau juga perlambang oposisi Islam
terhadap korupsi dan konsentrasi kemakmuran.16
Tahun 1956, ketika Ali Syariati menempuh pendidikan dengan mengambil studi
Islam dan sosiologi di Universitas Sorbonne, Perancis. Ia menjalin hubungan secara pribadi
dengan intelektual terkemuka seperti Louis Massiggnon (Islamolog Prancis beragama
Katolik), Jean- Paul Sartre, “Che” Guevara, dan Jacques Berque. Ia juga bertemu dengan
Henri Bergson dan Albert Camus.17 Selama di Prancis ia memberikan sumbangan bagi
perkembangan dalam bidang intelektual dan politik Ali Syari’ati seorang pemikir Islam
yang inovatif, menganut pendirian yang kontras dan tajam dengan interpretasi keagamaan
tradisional dari pihak ulama dan begitu pun dengan pandangan sekuler ala Barat dan
kebanyakan mahaguru Universitas. Ia dipengaruhi kaum modernist Islam seperti
Jamaluddin al-Afgani dan Muhammad Iqbal. Ia juga menegaskan watak Islam yang
dinamik, progresif, dan ilmiah untuk mengatasi kemunduran negara-negara Islam dan untuk
membangkitkan vitalitas masyarakat Islam. Ali Syari’ati menggabungkan pemikiran Islam
dengan bahasa ilmiah Barat dalam ikhtiar mengungkap ideologi Syiah bagi pembaharuan
sosio-politik.
Kumpulan kuliah Ali Syariati dan berbagai karya lainnya mencerminkan Iran-Islam
pada masanya: “sebab-sebab kemunduran Agama” (Reasons for the Decline of Religion),
“Mesin dan Tawanan Paham Serbamesin” (the Machine and the Captivity of Machinism),
dan “Manusia tanpa Pribadi: dua Konsep Asing” (Man Without Self: Two Concepts of
Alienation), “Revolusi Nilai-nilai” (A Revolution of Values), “Tauhid: Filsafat Sejarah”
(Tauhid: a Philosophy of History).18
Karya Ali Syariati yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, antara lain: Ummah
dan Immamah: Suatu Tinjauan Sosiologis (Bandung: Pustaka Hidayah, 1995), Membangun
Masa Depan Islam (Bandung: Mizan, 1989), Ideologi Kaum Intelektual; Suatu Wawasan
Islam (Bandung: Mizan, 1985), Ali Syariati, On the Sociology of Islam (Bandung: Mizan
Pers, 1979), Islam Mazhab Pemikiran dan Aksi (Bandung: Mizan, 1992), Pemimpin
Mustadh’afin (Bandung: Muthahhari Paperbacks, 2002), Agama versus “Agama”,
(Bandung: Pustaka Hidayah, 2000), Kritik Islam atas Marxisme dan Sesat Pikir Barat
Lainnya (Bandung: Mizan, 1990 ), Paradigma Kaum Tertindas; Sebuah Kajian Sosiologi
Islam, dan Tugas Cendikiawan Muslim.

Definisi Etika Politik


Kata etika berasal dari kata ethos, bahasa Yunani arti dalam bentuk tunggal; tempat
tinggal yang biasa, padang rumput, kebiasaan adat, watak, perasaan, sikap dan cara berfikir.
Dalam bentuk jamak “ta etha” artinya adalah adat kebiasaan.19 Etika adalah ilmu tentang
adat kebiasaan untuk mengatur tingkah laku manusia. Baik atau buruk perbuatan manusia
dapat dilihat dari persesuaian dengan adat istiadat yang umum berlaku di lingkungan dan
kesatuan sosial tertentu.20

16
John L. Esposito, Islam dan Politik, (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1990), 255.
17
Ekky Malaky, Ali Syari’ati, Filosof Etika dan Arsitek Iran Modern, 19.
18
Ali Syariati, On the Sociology of Islam, 17.
19
K. Bretens, Etika, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1994), Cet. Ke-6, 4.
20
Kamus Besar Bahasa Indonesia (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan: Balai Pustaka, 1990), 592.
425
Al Amin: Jurnal Kajian Ilmu dan Budaya Islam P-ISSN: 2088-7981
Vol. 5, No. 2, 2022 E-ISSN: 2685-1148
doi.org/10.36670/alamin.v2i02.20
E-ISSN: 2685-1148

Etika merupakan filsafat atau pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran-ajaran
dan pandangan moral. Etika adalah ilmu bukan sebuah ajaran. Apabila etika menjadi
penelitian sistematis dan metodis, maka etika di sini sama artinya filsafat moral.21
Kata lain dari etika adalah akhlak, dari bahasa arab. Dalam bahasa Indonesia akhlak
berarti tata susila atau budi pekerti yang merupakan kata majemuk dari kata budi dan
pekerti.22 Dalam bahasa arab kata ini berasal dari khalaqa yang berarti menciptakan, seakar
dengan kata khaliq (pencipta), makhluk (yang di ciptakan), dan khalq (pencipta). Dan
akhlak dalam bentuk jamak dari khuluq yang berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku,
dan tabiat. Akhlak memang bukan saja tata aturan atau norma perilaku yang mengatur
hubungan antara sesama manusia, tetapi juga mengatur hubungan antar manusia dengan
Tuhan bahkan dengan alam semesta.23 Akhlak menerangkan tentang kenyataan-kenyataan
yang ada di lapangan, sedangkan kata etika menerangkan konsep kenyataan yang ada di
lapangan dalam dimensi ideal. Etika mengandung tingkah manusia secara umum
(universal), sedangkan moral dan akhlak secara local. Etika bersifat teori (hukum), akhlak
dan moral adalah praktik (sikap), atau moral dan akhlak membicarakan bagaimana adanya,
sedangkan etika membicarakan bagaimana seharusnya.
Sejarah pemikiran etika politik jauh hari sudah ada, bahkan sebelum adanya Negara
yang mengatur tata kehidupan manusia dalam bermasyarakat. Para filosuf politik klasik
berusaha menjawab tentang struktur-struktur organisasi mana yang paling baik. Dalam hal
ini, Plato dan Aristotekes sama-sama mempertanyakan Negara yang baik. Bagi Plato,
Negara yang baik adalah Negara yang merealisasikan keadilan yang ditata secara selaras
dan seimbang, dengan pimpinan yang berorientasi pada idea metafisik kebaikan. Dia yakin
bahwa, etika politik seperti itu paling sesuai dengan kebutuhan seluruh masyarakat dan
dengan demikian paling menunjang kebaikan masyarakat.
Dalam fase selanjutnya etika politik berkembang menjadi kajian yang lebih
sistematis. Pada abad ke-17 muncul tokoh-tokoh filsafat yang mengembangkan pokok-
pokok etika politik. Kita bisa melihat konsep John Locke tentang “pemisahan antara
kekuasaan gereja dan kekuasaan negara”, “kebebasan berfikir dan bernegara”, “pembagian
kekuasaan”, dan konsep tentang “hak asasi manusia”. Selain itu ada tokoh lain, Montesquie
dengan gagasan “pembagian kekuasaan”, Rousseau dengan pemikiran “kedaulatan rakyat”,
dan Khan dengan ide tentang “negara hukum demokrasi/republican”.24
Persoalan Etika politik merupakan sesuatu yang sangat penting dalam agama Islam.
Pertama, politik itu dipandang sebagai bagian dari ibadah, karena itu harus dilakukan
berdasarkan prinsip-prinsip ibadah. Misalnya, dalam berpolitik diniatkan dengan lillahi
ta’ala. Dalam berpolitik tidak boleh melanggar perintah-perintah dalam beribadah, karena
pelanggaran terhadap prinsip-prinsip ibadah akan merusak “kesucian” politik.
Kedua, etika politik dipandang sangat perlu karena politik itu berkenaan dengan
prinsip Islam dalam pengelolaan masyarakat. Dalam berpolitik sering menyangkut
hubungan antar manusia, misalnya saling menghormati, menghargai hak orang lain, saling
menerima dan tidak memaksakan pendapat sendiri. Itulah prinsip hubungan antar manusia
yang harus berlaku di dalam dunia politik.25

21
Ahmad Charis Zubair, Kuliah Etika, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), Cet. Ke-3, 16.
22
Rahmat Jatnika, Sistem Etika Islam; Akhlak Mulia, (Surabaya: Pustaka Islam, 1985), 25.
23
Yunahar Ilyas, Kuliah Akhlak, (Yogyakarta: LPPI, 2001), Cet. Ke-4, 1.
24
Franz Magnis Suseno, artikel ini ditulis dari makalah kuliah umum “Sekitar etika Politik”,
(Yogyakarta: UGM, 27 Agustus 2007)
25
Azyumardi Azra, Etika Politik dalam Islam, www.repubika.co.id
426
Al Amin: Jurnal Kajian Ilmu dan Budaya Islam P-ISSN: 2088-7981
Vol. 5, No. 2, 2022 E-ISSN: 2685-1148
doi.org/10.36670/alamin.v2i02.20
E-ISSN: 2685-1148

Hubungan yang erat antara etika politik dalam agama Islam dikarenakan asas dalam
teori politik Islam tidak ada pemisahan antara agama (al-din) dengan negara (al-daulah).
Islam bukanlah sekadar agama dalam pengertian Barat yang sekuler, tetapi merupakan suatu
pola hidup yang lengkap dengan pengaturan untuk segala aspek kehidupan, termasuk
politik. Oleh karena itu dalam paradigma para teoretis politik Muslim, baik kaum Sunni
maupun Syiah adalah perlu untuk merumuskan kerangka yang tepat agar hubungan Islam
dan negara betul-betul organik.
Perubahan pemikiran dalam aspek politik Islam itu sendiri tidak bisa terhindarkan.
Hal ini meniscayakan politik Islam secara konseptual senantiasa berdialektika dengan
zaman yang dihadapi. Dalam berbagai pandangan tentang hubungan Islam dengan politik
telah memberi pengaruh yang sangat signifikan terhadap pola pikir dan perilaku generasi
muslim, baik secara individual maupun kelompok. Akibatnya, lahirnya berbagai macam
aliran dalam pengamalan ajaran Islam. Dari yang paling lembut, moderat, sampai yang
paling ekstrem.

Konsep Politik Ali Syari`ati


Ali Syari’ati menjelaskan bahwa politik adalah pemerintah/ system pemerintah yang
mempunyai tanggung jawab memelihara agar masyarakat bisa aman dan menyediakan
sarana-sarana kesejahteraan bagi warganya sebagai suatu tugas administrasi Negara. Istilah
politique muncul di tengah suasana pemerintahan di Yunani, karena seluruh kota pada masa
itu membentuk diri sebagai Negara-negara kota (cite etat). Kota Athena misalnya,
merupakan Negara tersendiri dengan bentuk pemerintahan tersendiri pula. Maka menjadi
identiklah istilah negeri dengan Negara, kepala negeri dengan kepala Negara. Politik adalah
administrasi kota dan ia mencakup sejumlah tanggung jawab yang terletak dalam wilayah
pemerintahan atau Negara.
Dalam pengertian ini, pemerintah yang bertugas dalam bidang administrasi kota,
dalam bentuknya yang paling ideal merupakan tanggung jawab kenegaraan dalam suatu
kota. Lembaga Negara yang ada di kota tersebut sama sekali tidak memikul tanggung jawab
apa pun dalam soal-soal memperbaiki pandangan hidup masyarakat, cara berfikir kaum
muda, pengembangan pendidikan anak yang harus diterapkan oleh orang tua, modernisasi
pemikiran keagamaan, atau melakukan perbaikan moral masyarakat. Tugas-tugas seperti ini
berada di luar tanggung jawab kenegaraan dan kepala negaranya. Sebab, sebuah Negara
kota hanya bertanggung jawab terhadap administrasi kota dalam bentuk yang sedemikian,
sehingga warga kota tersebut bisa memperoleh kebebasan dan kesejahteraan serta
memelihara sistem- sistem umum yang ada.26
Dengan demikian bahwa Syariati memandang peran negara bukan hanya dalam
bidang administrasi, namun juga peran-peran etis untuk membangun masyarakat dan negara
yang bermoral. Di sinilah pengejawantahan etika politik harus diterapkan dalam sebuah
negara, meskipun Ali Syariati tidak mendefinisikan secara jelas tentang etika politik, namun
dalam konsep politik Syariati menunjukkan landasan etika politik dalam mendefinisikan
politik. Ini bisa dilihat dari konsep negara Syariati yang mempunyai arti birokrasi atau
administrasi dan tanggung jawab kenegaraan untuk mendidik atau memperbaiki pandangan
hidup masyarakat. Konsep masyarakat ideal dalam pemikiran Syariati sebagai dasar
pandangannya terhadap tata kenegaraan dan konsep etika politik sesuai dengan zamannya.

26
Ali Syari’ati, Umah dan Imamah, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1995), Cet. Ke-2, 55-56.
427
Al Amin: Jurnal Kajian Ilmu dan Budaya Islam P-ISSN: 2088-7981
Vol. 5, No. 2, 2022 E-ISSN: 2685-1148
doi.org/10.36670/alamin.v2i02.20
E-ISSN: 2685-1148

1. Masyarakat Ideal Dalam Pandangan Ali Syari`ati


Dalam pandangan Syari’ati kerangka dasar umat adalah ekonomi, karena
menurutnya “barang siapa yang tidak menghayati kehidupan duniawi maka dia pun tidak
akan mengalami kehidupan batiniah”.27 Sistem sosialnya didasarkan atas kesamaan dan
keadilan serta hak milik yang ditempatkan di tangan rakyat, atas kebangkitan kembali
“sistem habil”, yakni masyarakat yang ditandai oleh persaudaraan. Bentuk pemerintahan
umat adalah kepemimpinan yang komited dan revolusioner, bertanggung jawab atas
gerakan dan pertumbuhan masyarakat atas dasar pandangan hidup dan ideologisnya,
bertanggung jawab untuk merealisasikan fitrah suci manusia dengan rencana
kejadiannya.
Sementara itu manusia ideal yang dimaksud Syariati adalah manusia theomorphis
yang dalam pribadinya ruh Allah telah memenangkan belahan dirinya yang berkaitan
dengan iblis, dengan lempung dan lumpur.28 Dalam pandangannya manusia ideal harus
mengenal Tuhan dengan sebaik-baiknya, memperjuangkan nasib dan kepentingan
masyarakat, memiliki pola pikir yang tajam dan luas, meninggalkan nafsu dan egoisme,
sadar akan fitrah dirinya, memiliki rasa cinta kepada sesama, dan menentang segala
bentuk kezaliman.
Menurut Syariati manusia ideal memiliki tiga aspek. Pertama, kebenaran. Manusia
ideal senantiasa menjunjung tinggi kebenaran dan senantiasa membela kebenaran.
Landasan kebenarannya adalah pengetahuan. Setiap perbuatan yang tidak dilandasi
denga pengetahuan akan menjadi sia-sia. Oleh karena itu, manusia ideal selalu melandasi
setiap pola tindakannya dengan pengetahuan. Kedua, kebajikan. Manusia ideal harus
memiliki kebajikan, baik dalam perkataan, perbuatan, maupun cara berpikirnya. Tolak
ukur kebajikannya adalah akhlak. Oleh karena itu, manusia ideal harus memiliki akhlak
yang mulia, yang melandasi setiap perkataan dan perbuatannya. Ketiga, keindahan.
Manusia ideal adalah manusia yang menyukai keindahan. Tutur kata dan perbuatannya
indah, sehingga masyarakat selalu merasa tenteram, bila mendengar perkataannya dan
melihat tingkah lakunya.
Menurut Syariati, manusia ideal merupakan gambaran dari khalifah Allah, yaitu
manusia yang menjalankan amanat Allah untuk menjadi wakil-Nya, terutama manusia.
Khalifah Allah, dalam pandangan Ali Syariati memiliki tiga keunggulan. Pertama, ia
memiliki kesadaran yang tinggi tentang jati dirinya, tujuan penciptaannya, dan tugas serta
tanggung jawabnya di muka bumi. Kedua, ia memiliki kemerdekaan dalam bertindak.
Setiap pola tindaknya bukan didasarkan atas paksaan. Ketiga, ia memiliki kreativitas
yang tinggi.

2. Pemimpin dalam Politik


Sesuai dengan konsep masyarakat yang ideal, bahwasanya keharusan adanya
pimpinan sebagai petunjuk kolektif. Bagi Syariati pemimpin merupakan sosok yang
menampakkan diri dalam bentuk sikap sempurna, di mana seseorang dipilih sebagai
kekuatan penstabil dan pendinamisan massa. Penstabil berarti menguasai massa sehingga
berada dalam stabilitas dan ketenangan, dan kemudian melindungi mereka dari ancaman,
penyakit, dan bahaya. Pendinamisan massa berkenaan dengan asas kemajuan dan

27
Ali Syariati, On the Sociology of Islam, 119.
28
Ali Syariati, On the Sociology of Islam, 121.
428
Al Amin: Jurnal Kajian Ilmu dan Budaya Islam P-ISSN: 2088-7981
Vol. 5, No. 2, 2022 E-ISSN: 2685-1148
doi.org/10.36670/alamin.v2i02.20
E-ISSN: 2685-1148

perubahan ideologis, sosial, dan keyakinan, serta mengiringi massa dan pemikiran
mereka menuju bentuk yang ideal.29
Syariati memandang bahwa pemimpin dalam bentuk yang dinamis, selalu bergerak
ke arah perubahan demi tujuan bersama. Ia memandang bahwa tanggung jawab paling
utama dan penting adalah perwujudan dari penegakan asas pemerintahan pada kaidah
kemajuan, perubahan, dan transformasi dalam bentuk yang paling cepat. Seorang
pemimpin selalu melakukan akselerasi, dan menggiring umat menuju kesempurnaan
sampai pada lenyapnya ambisi sebagai individu terhadap ketenangan dan kenyamanan.30
Dalam tulisan yang lain Syariati mengatakan, ” pemimpin dalam pemikiran Syiah adalah
kepemimpinan progresif dan revolusioner yang bertentangan dengan rezim-rezim politik
lainnya guna membimbing manusia serta membangun masyarakat diatas fondasi yang
benar dan kuat, yang bakal mengarahkan menuju kesadaran, pertumbuhan, dan
kemandirian dalam mengambil keputusan”.31
Tugas seorang pemimpin tidak hanya terbatas memimpin manusia dalam satu
aspek politik, kemasyarakatan, dan perekonomian, tetapi juga sebagai panglima, amir,
atau khalifah. Tugasnya adalah menyampaikan kepada masyarakat dalam semua aspek
kemanusiaan yang bermacam-macam. Seorang pemimpin tidak hanya terbatas hanya
pada masa hidupnya, tetapi juga selalu hadir di setiap saat dan hidup selamanya.32 Walau
sedemikian tinggi makna karakteristik seorang pemimpin bagi Syariati namun ia
mengingatkan bahwa pemimpin bukanlah supra-manusia tetapi hanya manusia biasa
yang memiliki banyak kelebihan di atas manusia lain dan manusia super.33
Kedudukan seorang pemimpin sangat agung dan tinggi hakikat. Dalam teori politik
Islam kita mengenal istilah Imamah dan Khilafah, dalam hal ini Ali Syariati mempunyai
pengertian istilah tersebut. Baginya Imamah34 (yang diakui) adalah pribadi tertentu
sebagaimana halnya dengan nubuwah dan mempunyai tanggung jawab terbatas.
Sedangkan khilafah (yang dipilih) merupakan tanggung jawab yang tidak terbatas dalam
sejarah baik dalam masa maupun orangnya. Dengan mengabaikan perbedaan di atas, Ali
Syariati memaparkan bahwa imamah dan khilafah sebenarnya merupakan tanggung
jawab yang satu, untuk mencapai satu tujuan dengan keterbatasan, seperti setelah
dikemukakan di atas dimana seorang penguasa tidak selamanya seorang imam.35
Dalam pandangan Syariati hubungan khilafah dengan Imamah yang ada pada suatu
masa merupakan bentuk hubungan seorang pemimpin spiritual, politik, dan sosial dengan
penguasa, sebagaimana Nabi Muhammad yang memimpin perang tetapi juga menjadi
imam salat. Sejarah Islam, mencatat terjadinya pergeseran yang memisahkan antara
khilafah dan imamah dalam bentuk aplikatif. selain itu terjadi pereduksian peranan
imamah dna khilafah dalam sejarah Islam, lalu masing-masing ditempatkan dalam medan
yang sempit.

29
Ali Syariati, Ummah dan Imamah: Suatu Tinjauan Sosiologis, (Jakarta: Pustaka Hidayah, 1989) h. 53
30
Ali Syariati, Ummah dan Imamah: Suatu Tinjauan Sosiologis, 63.
31
Ali Syariati, Ummah dan Imamah: Suatu Tinjauan Sosiologis, 64.
32
Ali Syariati, Islam Mazhab Pemikiran dan Aksi, (Bandung: Mizan, 1992), 65.
33
Ali Syariati, Ummah dan Imamah: Suatu Tinjauan Sosiologis, 114.
34
Ada dua makna imamah: imamah dalam arti jabatan dan imamah dalam arti sifat / atribut. Pemisahan
imamah dan khilafah (dalam arti jabatan) akan bermuara pada pemisahan negara dengan agama. Pemisahan
khilafah dan imamah (sifat/atribut) tidak bermuara ke sana. Dan yang terakhir ini yang disetujui Syari’ati.
35
Ali Syariati, Ummah dan Imamah: Suatu Tinjauan Sosiologis, 156-158.
429
Al Amin: Jurnal Kajian Ilmu dan Budaya Islam P-ISSN: 2088-7981
Vol. 5, No. 2, 2022 E-ISSN: 2685-1148
doi.org/10.36670/alamin.v2i02.20
E-ISSN: 2685-1148

Syariati memisahkan antara khilafah dan Imamah (atribut/sifat) di atas adalah pada
tataran realitas. Ada imam yang diakui oleh sekelompok orang, lalu kelompok lain
memilih orang lain menjadi khilafah. Bagi Syariati imamah bukanlah jabatan tetapi
atribut (sifat). Bentuk seperti ini di mata Syariati adalah wajar, pemisahan antara kedua
tugas tersebut dapat memberi jaminan bagi tetap terpeliharanya keagungan dan
kehormatan Imam. Ini sesuai dengan posisi Muhammad sebagai seorang Rasul dan
menunjuk orang lain pada jabatan pemerintahan bagi bangsa Arab atau muslim Emperoro
Islam. Dalam bangsa Barat kita mengenal kepemimpinan Yesus dalam hal spiritual dan
di lain pihak terdapat Kaisar yang memimpin politik.36
Bagi Syariati, dalam ajaran Islam tidak mengenal pemisahan antara urusan negara
atau politik dengan agama. Jika terjadi pada suatu masa adanya imam dan adanya
khilafah maka hubungan yang terjadi adalah saling melengkapi dengan tanggung jawab
masing-masing. Imam meskipun diam di rumah tidak berarti keimamannya hilang,
karena imam adalah atribut (sifat) dengan tanpa melewati pemilihan. dengan demikian
tanggung jawab seorang imam (meskipun tidak terpilih sebagai khilafah) tetaplah ada.
Bagi Syariati inilah yang membedakan dengan konsep Barat yaitu pemisahan
antara negara dan agama. Bagi Islam seorang imam adalah pemimpin spiritual sedangkan
khilafah pemimpin politik. Jika kemudian imam terpilih sebagai pemimpin politik, maka
bukanlah hal yang baru seperti halnya Imam Ali dan Imam Hasan. Inilah yang tidak
mungkin terjadi dalam konsep sekuler karena pemimpin spiritual bukanlah sebuah sifat
tetapi sebuah atribut jabatan tersendiri.

3. Islam Sebagai Dasar Etika Politik


Wacana etika politik Islam, Ali Syariati menggunakan empat pendekatan, yaitu:
(1) sejarah Islam, (2) studi dunia kontemporer dan kebutuhannya, (3) teks-teks Islam,
dan (4) kepekaan terhadap elemen mistis dari agama. Sejarah Islam yang dimaksud
adalah sejarah yang dipahami melalui teks Islam, bukan teks sejarah yang sesuai dengan
ruang dan waktu. Misalnya dengan melihat cara Nabi Muhammad mempertahankan
kebiasaan Arab pra-Islam yaitu, ziarah keagamaan tradisional di Makkah (Kabah). Nabi
mengubah kandungan dan isinya, jiwa, arahnya, serta aplikasi praktisnya dengan cara
yang etis. Mendatangi Kabah bukan dengan maksud mendatangi bangunan tua,
melainkan mendatangi “rumah Allah” untuk beribadah.
Dalam studi dunia kontemporer, Syariati tidak menolak mentah- mentah,
melainkan menelaah secara mendalam sehingga menemukan bagian-bagian yang harus
ditolak dan bagian yang bisa ditiru. Bagi Syariati bagian yang harus ditolak dari
kemodernan adalah konsumerisme dan pencerabutan akan keotentikan Islam, sedangkan
yang bisa diambil contoh dari modernisme adalah spirit untuk berkarya dan berproduksi.
Dalam hal ini Syariati mencontohkan ketika berhadapan dengan marxisme. Marxisme
merupakan paham yang diproduksi oleh Karl Marx, yang menginginkan terciptanya
masyarakat yang sosialis, dimana antara kelompok borjuis dan proletar setara. Perhatian
Syariati terhadap marxisme adalah karena kepekaannya pada realitas sosial, sejarah
sebagai sumber kebenaran, analisisnya tentang kapitalis dan imperalisme, dan seruan
kepada revolusi. Sedangkan yang ditolak olehnya adalah masalah kemanusiaan yang
merupakan bentuk modus produksi material.37

36
Ali Syariati, Ummah dan Imamah: Suatu Tinjauan Sosiologis, 161.
37
Robert D. Lee, Mencari Islam Autentik: dari Nalar Puitis Iqbal hingga Nalar Kritis Arkoun, 139.
430
Al Amin: Jurnal Kajian Ilmu dan Budaya Islam P-ISSN: 2088-7981
Vol. 5, No. 2, 2022 E-ISSN: 2685-1148
doi.org/10.36670/alamin.v2i02.20
E-ISSN: 2685-1148

Lebih lanjut Ali Syariati menekankan pentingnya menghidupkan ajaran Islam dan
kembali kepada sumber yang asli. Realitas yang dihadapi pada era ini sangat kompleks
dan terdapat percampuran antar ajaran Islam dengan ajaran di luar Islam. Untuk itu perlu
adanya tanggung jawab bagi umat islam untuk membersihkan unsur-unsur luar yang
melekat pada pola pikir keyakinan keagamaan yang diciptakan oleh kediktatoran,
perbedaan kelas, dan interest politik dan kembali kepada akar islam yang asli.38
Dalam hal politik praktis, Ali Syariati menganut jalan tengah. Pada masa itu dunia
terbela menjadi dua blok besar yaitu, blok Barat dan blok Timur. Blok barat adalah
Amerika Serikat dan Eropa Barat yang kapitalis dan liberalistik, sedangkan blok timur
adalah Uni Soviet dan Eropa Timur yang komunistik dan sosialistik. Dua blok ini selalu
berhadapan, baik dalam masalah ekonomi, politik, budaya, dan militer, sehingga tatanan
dunia tergantung kepada dua blok ini. Pada kondisi ini Ali Syariati menawarkan posisi
negara-negara Islam menjadi kelompok independen. Ini bertujuan untuk menjadi bumper
dan mengurangi ketegangan antara dua blok transisional dan melawan intervensi yang
tidak adil dari kedua blok dalam urusan yang berkaitan dengan negara Islam.39
Pemikiran Syariati ini terbukti ketika salah satu blok ini runtuh, negara-negara
Islam tidak terlalu terimbas dampak negatif. Selain itu, ada negara Islam yang terus
melangkah maju dengan berpegangan keautentikan sebagai negara islam dengan tetap
modernis, seperti negara Qatar. Jalan tengah yang diambil Syariati ini juga nampak ketika
ia mengapresiasi revolusi Iran yang berhasil menjatuhkan diktator rezim Syah.
Keberhasilan Syariati tidak terlalu disambut dengan euforia. Kehadiran rezim baru
pengganti rezim Syah, yaitu rezim yang berada di bawah kendali ulama dikhawatirkan
ditunggangi kepentingan pihak luar yang manipulator masa lampau Iran dan arsitek yang
menjadikan tradisi sebagai penjara. Ali Syariati memandang bahwa rezim Syah tidak
membangkitkan agama tapi mempertahankan kerajaan yang mandek, sementara para
ulama mempertahankan kemandekan islam.
Sikap jalan tengah yang ditempuh Ali Syariati ini berdasarkan dari pemahamannya
tentang etika politik. Baginya politik mempunyai pendidikan, pembaruan, dan
penyempurnaan. Selain itu bertugas dalam bidang administrasi kota dalam bentuk yang
ideal dan bertanggung jawab. Dengan demikian Syariati mengartikan pemerintahan
menjadi dua pandangan hidup dan tanggungjawab, yakni menjalankan kewajiban
memimpin dan mendidik manusia mencapai bentuk yang lebih baik, yang didasarkan
pada mazhab tertentu, sehingga dengan demikian ia menjadi guru dan sekaligus
pemimpin politik, atau menjadi administrator, supervisor, dan birokrat bagi masyarakat
politis.40
Dalam konteks situasi saat Syariati hidup, pemahaman Islam yang ditawarkan Ali
Syariati berbeda dengan pemahaman mainstream saat itu, Islam yang dipahami banyak
orang di masa itu adalah Islam yang hanya sebatas agama ritual dan fikih yang tidak
menjangkau persoalan-persoalan politik dan sosial kemasyarakatan. Islam hanyalah
sekumpulan dogma untuk mengatur bagaimana beribadah tetapi tidak menyentuh sama
sekali cara yang paling efektif untuk menegakkan keadilan, strategi melawan kezaliman
atau petunjuk untuk membela kaum tertindas (mustad’afin). Islam yang demikian itu

38
Ali Syariati, Ummah dan Imamah: Suatu Tinjauan Sosiologis, 22.
39
Robert D. Lee, Mencari Islam Autentik, 140.
40
Ali Syariati, Ummah dan Imamah, 56.
431
Al Amin: Jurnal Kajian Ilmu dan Budaya Islam P-ISSN: 2088-7981
Vol. 5, No. 2, 2022 E-ISSN: 2685-1148
doi.org/10.36670/alamin.v2i02.20
E-ISSN: 2685-1148

dalam banyak kesempatan sangat menguntungkan pihak penguasa yang berbuat


sewenang-wenang dan mengumbar ketidakadilan, karena ia bisa berlindung di balik
dogma-dogma yang telah dibuat sedemikian rupa untuk melindungi kepentingannya.

KESIMPULAN
Dalam pemikirannya, Ali Syari’ati mengejawantahkan Islam sebagai kerangka dasar
bagi kehidupan sosial dan politik Iran. Ia menginginkan agar Islam dijadikan dasar etika politik
yang mampu membebaskan rakyat dari berbagai ketidakadilan dan kezaliman. Misi sejati Islam
menurutnya, adalah membebaskan “golongan tertindas” (mustadh’afin) yang mengacu pada
rakyat miskin yang tereksploitasi di Iran dan dunia ketiga. Dia melihat ada sebuah ideologi
dalam humanisme Islam yang dapat menyelamatkan Iran dan seluruh bangsa yang tertindas.
Tetapi Islam, dalam bentuk saat ini, harus direformasi jika ingin mencapai tujuannya.
Masalah kepemimpinan menurut Ali Syari’ati adalah manusia yang mempunyai bakat
dan karakter memimpin untuk membawa masyarakat (umah) ke arah yang lebih maju. Ia
memandang bahwa tanggung jawab paling utama seorang pemimpin adalah perwujudan dari
penegakan asas pemerintahan pada kaidah kemajuan, perubahan, dan transformasi dalam
bentuk yang paling cepat. Seorang pemimpin selalu melakukan akselerasi, dan menggiring
umat menuju kesempurnaan.

DAFTAR PUSTAKA

Ali, Ihsan. “Perjalanan Nabi,” Diakses tanggal 24 Februari 2008, 20:10 http: //www. suara-
islam.com.
Azra, Azyumardi, “Etika Politik dalam Islam,” www.repubika.co.id
Bagus, Loren. 2002, Kamus Filsafat, Cetakan ketiga, Jakarta: Gramedia
Black, Antoni, 2006, Pemikiran Politik Islam, Jakarta: Serambi Ilmu Semesta
Bretens, K. 1994, Etika, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Jailani, Abdul Qodir, 1995, Negara Ideal: Menurut Konsepsi Islam, Surabaya: Bina Ilmu
Madjid , Nurcholish, 1994, Agama dan Negara dalam Islam: Telaah atas Fiqh Siyasy Sunni,
dalam Rachman , Budy Munawar- (editor), Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam
Sejarah, Jakarta: Paramadi- na
Malaky, Ekky. 2004, Ali Syari’ati, Filosof Etika dan Arsitek Iran Modern, Jakarta: Mizan
Rahnema, Ali. Ali Syariati: Biografi Politik Intelektual Revolusioner
Santoso, Listiyono, 2004, Teologi Politik Gus Dur, Yogyakarta:
Ar-Ruz Surbakti, Ramlan, 1992, Memahami Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia
Suseno, Franz Magnis, 2007, artikel ini di tulis dari makalah kuliah umum “Sekitar etika
Politik”, Yogyakarta: UGM, 27 Agustus
Syari’ati, Ali. 1992, Islam Mazhab Pemikiran dan Aksi, Bandung: Mizan
Syariati, Ali. 1985, Ideologi Kaum Intelektual, Bandung: Mizan
Syariati, Ali, 1993, Islam Agama “Protes”, terj. Satria Pinandito, Bandung: Pustaka Hidayah
Tim Penulis, Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1990, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan:
Balai Pustaka

432

Anda mungkin juga menyukai