Anda di halaman 1dari 266

SINOPSIS

Eden, agen terbaik yang dimiliki Mossad-Israel, sekali-kali tidak pernah menyangka
pertemuannya dengan Handaru—satu dari dua orang jurnalis Indonesia yang bertugas di
Gaza—akan mengubah sebagian besar jalan kehidupannya. Hidup yang selama ini hanya
mengekangnya. Merenggut nyaris semua kebahagiaan yang pernah dia miliki. Sementara itu,
Handaru—beserta kompatriotnya yang juga jurnalis—Prayata, juga terhubung oleh garis
takdir tersendiri yang tidak akan memisahkan sosok Eden darinya.

Dua sosok yang saling berkaitan satu sama lain. Terikat dalam satu garis takdir,
kendati jarak sempat memisahkan keduanya. Seolah-olah sengaja diciptakan untuk kemudian
dipertemukan dengan cara yang tidak pernah terbayangkan. Pelan-pelan merajut alur
tersendiri.

Akankah “harapan” yang meliputi keduanya, Eden dan Handaru, akan bersambut
dengan hangatnya makna kata cinta? Ataukah Sang Sutradara Semesta memiliki rencana
lain—yang lebih indah dari segala bentuk impian dan rencana hamba-Nya? Atau mungkin
rekaan kisah dongeng akan menutup perjalanan keduanya?

1
KEUNGGULAN NASKAH

Dalam dunia penulisan dan penerbitan novel bergenre sejenis dengan naskah ini,
sepengetahuan penulis, belum ada naskah dengan tema serupa yang menceritakan atau
mengambil sudut pandang seorang mata-mata Israel—dan mendalami objektifitas individu
maupun bangunan operasionalnya.

Ada pun keunggulan-keunggulan naskah ini adalah secara terperinci adalah sebagai
berikut.

1. Penjabaran yang dituliskan menggunakan teknik filmis. Sehingga, pembaca bisa


merasakan seolah-olah sedang menonton sebuah film.

2. Tidak hanya menceritakan tentang duka dan lara warga Gaza, melainkan juga
mengulas sisi lain dari negeri tersebut. Misalnya, budaya di Gaza, kulinernya, atau
kontras budaya antara Indonesia dan Gaza.

3. Memberikan informasi yang dibutuhkan pembaca masa kini terkait rahasia di Masjid
Al-Aqsa, seklumit agenda zionisme, sedikit pembahasan akhir zaman, atau
sejarahnya.

4. Menekankan juga pada unsur toleransi antar umat beragama. Tidak semata-mata
memihak satu kepercayaan dan merendahkan kepercayaan agama lain.

5. Penggambaran tentang Gaza yang sedetail mungkin sehingga tidak terkesan bahwa
latar tempat ini hanyalah “tempelan” semata.

2
BIODATA PENULIS

Nama : Gunung Mahendra

Alamat : Jl. Sebuku XII/6 TW/RW 08/08, Kelurahan Bunulrejo, Kecamatan Blimbing,
Malang, Jawa Timur

Alamat e-mail : gunung.mhd@gmail.com

Nomor HP : 0812-1669-2103 (WhatsApp)

Karya yang pernah dipublikasikan :

 Kumpulan Cerpen Merayu Langit (Jejak Publisher, 2017)

3
DAFTAR ISI

1 - Kesempatan Emas ........................................................................................................ 6

2 – Operasi Perdana ........................................................................................................ 17

3 – Gadis yang Terluka ................................................................................................... 30

4 – Saksi Mata ................................................................................................................. 43

5 – Perindu Syahid .......................................................................................................... 53

6 – Tragedi Daqu ............................................................................................................. 61

7 – Kenangan Indah ........................................................................................................ 72

8 – Liontin Hamas ........................................................................................................... 81

9 – Sepasang Mata Indah ................................................................................................ 93

10 – Titah Pamungkas ................................................................................................... 107

11 - Yerusalem dan Masjidil Aqsa ................................................................................ 118

12 – Gempuran .............................................................................................................. 133

13 – Hangatnya Solidaritas ........................................................................................... 147

14 – Iftar ........................................................................................................................ 160

15 – Tatapan Menggetarkan ......................................................................................... 176

16 – Pesan Ibu yang Dinanti ......................................................................................... 190

17 – Ninja Tanah Mujahidin ........................................................................................ 199

18 – Rahasia di Balik Sosok Bidadari ........................................................................... 213

19 – Untukmu, Handaru ............................................................................................... 225

20 – Surat Eden ............................................................................................................. 239

21 – Senja Terbakar di Langit Al-Aqsa ........................................................................ 255

4
Sedalam dan sesakit apa pun luka yang kau derita, olahlah menjadi semangat untuk
mendewasakan diri karena dunia dan seisinya tidak akan pernah berhenti untuk
menjatuhkan, mengecewakan, dan bahkan yang terburuk adalah menghabisimu.

5
1

Kesempatan Emas

Menembus pagar utama Hadar Dafna—gedung yang dibangun di dalam gedung tanpa plat
nama institusi—di King Saul Boulevard, Tel Aviv, melintasi koridor-koridor, dan lorong-
lorong penuh para pegawai yang berjalan tergesa-gesa melintas ke sana kemari, Eden
melenggang di ruang utama gedung, menuju lantai tiga menggunakan lift, untuk kemudian
bergerak ke ruang intelijen. Memenuhi panggilan dari atasannya. Sama seperti biasanya.

Sebuah kewajiban yang mustahil luput dari kesehariannya sebagai agen mata-mata
Mossad—Insitut Khusus dan Operasi Khusus Israel. Seolah-olah menyamarkan paras
cantiknya dan menggantinya sebagai senjata ampuh penakluk lawan.

Ruang intelijen yang akan dimasuki Eden berukuran 12x15 m2. Berlangit-langit
tinggi. Berlantai keramik. Dinding tebal, kedap suara. Penerangannya tidak memadai—dan
memang didesain demikian. Terdapat satu ruang khusus milik bagi wakil direktur Mossad,
Noam Adares.

Ruangan itu terletak di sisi kanan—dari pintu masuk, berukuran 5x7 m2, dan tidak
sembarang orang boleh memasukinya, kecuali seizin pemilik ruangan. Selain terdapat
serangkaian peralatan komputer canggih khas gedung intelijen yang tertata dalam empat baris
anak tangga, juga ada layar LCD raksasa terpampang. Biasanya digunakan untuk
menampilkan tayangan hasil operasi para agen.

Eden berhenti sejenak di depan pintu kaca otomatis—yang akan terbuka ke dua sisi
berbeda secara otomatis ketika seseorang mendekatinya—berlambangkan sebuah Menorah
dalam sebuah lingkaran yang diliputi aksara Ibrani yang berarti: Jika tidak ada pimpinan
jatuhlah bangsa, tetapi jikalau penasihat banyak keselamatan ada. Memejamkan mata, Eden
menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya memercayai diri untuk melangkah masuk.

Dalam balutan blazer biru keabu-abuan dan rok selutut, rambut hitam disanggul di
belakang tengkuk, melengkapi penampilan Eden yang anggun. Ditambah lagi sepatu hak
tinggi yang membuatnya mirip pekerja kantoran pada umumnya.

6
Setelah melintasi ambang pintu kaca otomatis, dia nyaris menabrak seorang pegawai
yang buru-buru melintas di depannya. Di dalam, seluruh pegawai ruangan itu khusyuk
menyimak adegan demi adegan yang ditampilkan di LCD raksasa.

Dalam LCD itu, jet-jet tempur Israel melesat membelah langit Gaza, menjatuhkan
sisa-sisa peradaban tepat di antara gedung-gedung, bangunan sekolah, rumah-rumah warga,
atau masjid. Ledakan satu menyusul ledakan lainnya, asap membumbung, debu mengepul
memenuhi nyaris seluruh layar LCD.

Seperti para penonton sepak bola, para pegawai ini bersorak-sorai, tertawa, dan
mengangkat-angkat tangan ketika puluhan drone—pesawat tanpa awak—yang tersebar di
langit-langit Kota Gaza—mengirimkan sinyal bahwa target pemboman ditemukan.

Dan, seketika jet-jet tempur itu menggempur kota dan meluluhlantakkan seisinya.
Semena-mena mereka menghabisi para bayi, bocah, wanita, dan para lansia yang sama sekali
tidak mengetahui asal-usul kedatangan pembunuh kilat dari angkasa itu.

Eden melewati beberapa pegawai yang bangkit dari duduknya dan menyaksikan
tayangan operasi minggu itu seraya meneguk seplastik kopi. Dengan pasti, Eden berjalan
mendekati seorang pria bertubuh tinggi besar, rambut bersemburat putih, lalu membisikkan
sesuatu saat dia telah berdiri sejajar dengannya.

Pria itu, ketika menyadari kedatangan Eden, melangkah meninggalkan area


penayangan operasi minggu lalu itu, menuju ke ruang kerjanya. Eden membuntuti Noam dua
langkah di belakang.

Di ruang kerja Noam—yang terdapat sebuah bohlam lampu menyala, meja kayu
panjang, papan tulis penuh coretan-coretan kalkulasi dan strategi, Eden menyiapkan ruang
kosong di benaknya untuk mencerna titah berikutnya. Ketika bunyi ketukan sol sepatu lars
berhenti, Eden menanti dengan sabar. Mencoba tenang dan percaya bahwa semua akan
berjalan seperti biasanya. Ini hanyalah proses pertukaran informasi saja.

Kendati ini bukanlah pertemuan perdana dengan wakil direktur Mossad, Eden tetap
saja berdiri dengan butir-butir peluh di pelipis. Tepat saat helaan napasnya yang kesekian,
Eden mendapati Noam muncul dari sisi seberang—tempat dia biasa duduk di balik meja

7
kerjanya. Berjalan dengan langkah pelan, membelah kegelapan sisi lain ruangan, dan berhenti
sekitar setengah meter dari Eden.

Terdengar suara deham. “Kau masih harus banyak belajar dari legenda kita, Paman
Eli,[1] Eden.” Suara bernada berat dan tegas dalam bahasa Ibrani menyusup masuk ke telinga
Eden. “Sekarang, posisimu sudah lebih tinggi dibandingkan rekan-rekanmu. Kuharap, kau
tidak menyia-nyiakannya.” Tukas laki-laki berbadan tinggi besar itu.

Eden memejamkan mata, menghela napas, lagi. “Aku akan berusaha semaksimal
mungkin untuk operasi berikutnya. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan,” Sudah sejak lama
dia menyimpan, dan mungkin berhasil melumatkan, sisi femininnya sebagai perempuan.
Kendati alasan formalitas di tempat bekerja tetap menjadi prioritas utama bagi keduanya.

“Gadis pandai.” Puji ayah Eden.

Seluruh pegawai dan agen-agen intelijen Mossad tidak ada mengetahui bahwa kedua
sosok penting dalam dunia intelijen Israel ini adalah sebuah keluarga. Keduanya telah sepakat
untuk menutupi identitas masing-masing. Bukan karena tidak ingin muncul kesan nepotisme,
melainkan lebih pada alasan profesionalisme. Bagi mereka, ini bukan semata nilai mengilap
jabatan, kekuasaan, atau kebanggaan, tetapi nilai presitius sebuah negara yang telah berdiri di
atas tanah hasil rampasan berpuluh tahun silam.

Walaupun Eden sadar betul bahwa pujian itu hanyalah basa-basi, dia memiliki sejarah
perjalanan sukses yang mencerminkan keberhasilan Mossad dalam mencium bakat dan
kemampuan potensial setiap calon intelijen. Terbukti, pada operasi-operasi sebelumnya—
operasi penghancuran terowongan mujahidin Al-Qassam salah satunya—Eden selalu
mendapatkan dua acungan ibu jari oleh ayahnya.

Bagaimana tidak?

Dari sekian banyak agen intelijen Mossad yang mendapatkan porsi khusus, hanya
Edenlah yang paling menonjol. Berbagai tantangan, medan, dan risiko seakan bertekuk lutut
di hadapannya. Ide-ide cemerlang adalah belahan jiwanya. Mengubahnya menjadi pembunuh

[1]
Eliahu (Eli) Benshoul Cohen seorang mata-mata Israel yang aktif bertugas di Suriah, selama tahun 1961-
1965. Dia memiliki hubungan sangat dekat dengan politisi Suriah dan pihak kemiliterannya. Dia juga berhasil
mengumpulkan banyak data dan informasi untuk Israel selama perang enam hari.

8
berdarah dingin berparas rupawan. “Paman Eli akan selalu menjadi inspirasi bagiku.
Aku bertekad menjadi lebih baik darinya.” Katanya, menanggapi.

Noam Adares menyunggingkan senyum. “Jika kau mampu melampauinya, aku akan
memberikan hadiah istimewa untukmu.”

“Aku tidak sabar menunggunya, Pak.”

“Mau tidak mau kau harus menunggu.”

Eden mengangguk samar, menelan ludah.

“Aku memanggilmu kemari,” Noam menyilangkan tangan di belakang punggung,


berjalan mendekati Eden, memutarinya, dan mengamati sekeliling ruangan. “Untuk
melakukan operasi berikutnya yang tak kalah mencengangkan.”

Tayangan hasil operasi usai. Para pegawai kembali ke meja masing-masing. Berkutat
dengan rutinitas suara ketukan jari-jemari di atas papan ketik, umpatan dan sanjungan yang
silih berganti melesat dari balik rongga mulut, dan kata bernada desakan yang menusuk
telinga. Tidak ada ruang untuk kesalahan di ruangan ini. Rentetan operasi-operasi intelijen
dan kemiliteran akan berujung pada kekacauan jika hal itu terjadi.

“Operasi seperti apa, Pak?”

Noam berhenti. “Aku mencium aroma semangat,” menghirup napas panjang. “Kurasa
memang tidak salah aku menempatkanmu di posisi ini.” Noam melirik arloji yang melingkar
di tangan kirinya. “Tidak lama lagi Benjamin datang. Dia membawakan berkas-berkas
operasi yang harus kaulaksanakan.”

Eden mengenal siapa yang disebut oleh ayahnya. Benjamin merupakan tangan kanan
kesekian—yang sebenarnya terpaksa direkrut karena keterbatasan dan mendesaknya
kebutuhan agen intel di lapangan semenjak gagalnya operasi Bawah Tanah yang
menewaskan 7 agen terbaik Mossad kala itu—Noam Adares.

Meskipun tak memiliki pengalaman sementereng Eden, posisi Benjamin menjadi


sosok sentral di intelijen. Kejeliannya mengolah data dan meretas sistem komunikasi serta
informasi pasukan lawan—HAMAS—menjadi pertimbangan Noam menduetkannya untuk
kali pertama dengan Eden.
9
Keberhasilan operasi-operasi Eden sebenarnya tak luput dari peran Benjamin,
meskipun pria itu tidak selalu menjadi prioritas utama sang Wakil Direktur. Di balik
penampilannya yang kurang menyakinkan Benjamin memiliki insting membunuh yang cukup
tajam. Tiga operasi sukses dia dalangi dengan impresif—yang semuanya berhasil dituntaskan
Eden dengan nilai sempurna—di Jalur Gaza. Aksi-aksinya cukup merepotkan dan mengecoh
lawan sehingga fokus mereka pada Eden, sebagai aktor utama, menjadi terlalaikan.

Dua tahun silam, Benjamin juga mendapatkan pengalaman tak terlupakan. Sebanyak
hampir sepuluh kali dia menjadi tahanan HAMAS dan nyaris mendapat hukuman mati. Andai
saja hukum internasional bersikap netral, boleh jadi nama Benjamin akan mengisi papan
nama para pahlawan negeri Yahudi tersebut.

Di kalangan akademisi, dia memiliki kecerdasan dalam mengutarakan teori-teori


tertentu yang mengundang anggukan setuju dari para ahli. Salah satu pendapat yang
disampaikannya adalah tentang efek ledakan nuklir. Dia mengatakan bahwa sudah
semestinya negaranya membangun sebuah bungker untuk menghindari efek sampingnya—
jika suatu saat ledakan itu terjadi.

Dalam konferensi parelemen tahunan itu, dia mendapatkan apresiasi dari para pejabat
dan mendapat tawaran mengisi kursi kabinet, tetapi dia menolak dengan alasan telah jatuh
hati pada dunia intelijen. Menghargai tawaran yang dilayangkan Noam padanya dulu.

Terdengar suara ketukan pintu.

Setelah Noam mempersilakan masuk, muncullah Benjamin dari balik pintu kayu dan
berjalan sambil menenteng koper hitam. Dia berjalan sigap menuju ke arah Noam tanpa
menoleh pada Eden saat melewatinya. Dia, Benjamin, memberi hormat pada Noam, sebelum
akhirnya mendekati meja—yang terletak kurang lebih satu meter dari Eden dan Noam—dan
meletakkan koper di atasnya. “Adon—Pak, semua data yang Anda butuhkan ada di sini.”

Benjamin berdiri sejenak di sisi meja dan bergerak mundur beberapa langkah,
memberikan ruang untuk Noam memeriksa barang bawaannya, berdiri bersisian dengan
Eden. Mereka berdua bersitatap sejenak dan sama-sama mengamati Noam yang berjalan
menuju meja tempat koper itu diletakkan, menatap Benjamin sesaat, membuka koper, lalu
mengambil beberapa kertas di dalamnya, mengamati dengan saksama. Selama beberapa saat

10
hanya terdengar suara gumaman beberapa agen intelijen yang sibuk dengan komputer
masing-masing, suara derap sol sepatu tergesa-gesa, atau teriakan instruksi.

“Kerja bagus.” Kata Noam, tanpa memandang dua orang tamunya. Kedua tangannya
merapikan berkas-berkas itu dan meletakkannya kembali ke dalam koper. “Sekarang,
lanjutkan pekerjaanmu.” katanya, mengangkat wajah dan menatap Benjamin. “

Benjamin, yang mengenakan setelan jas hitam dengan potongan rambut klimis itu
mengangguk, memberi hormat, membalikkan badan, dan berjalan menuju arah datangnya.
Menyisakan ayah dan putrinya itu kembali melanjutkan obrolannya.

“Jadi,” kata Eden. “Operasi apa lagi yang kali ini harus kueksekusi?”

“Ada informasi yang sedikit membuat kedua tanganku gatal,” Noam menunduk
sebentar seraya meremas-remas kedua tangannya bergantian. Bunyi gemeretak menyertai.
“Sebuah gangguan kecil yang menjadi penghalang merepotkan.”

“Gangguan seperti apa?”

“Gigitan nyamuk yang cukup membuatku resah.” Noam berjalan mendekati kursi
kerjanya. Duduk, mencondongkan badan ke depan, menyatukan menyatukan tangan di depan
bibir, kemudian berkata, “Kuharap bisa segera melenyapkan rasa gatal ini.”

“Aku akan berusaha semaksimal mungkin.” Jawab Eden, lugas.

“Beberapa jurnalis asing berkeliaran di zona merah. Jika mereka lolos dari pandangan
kita sedetik saja, rencana kita akan hancur. Terutama jurnalis asal Indonesia. Mereka benar-
benar harus dienyahkan! Tim sebelumnya kesulitan mendapatkan mereka karena campur
tangan HAMAS. Seandainya kedua negara itu tidak saling memedulikan satu sama lain,
urusan kita pastilah tidak akan sesulit ini.”

“Bagaimana nasib tim sebelumnya?”

Noam membuka jalinan kedua tangannya dan menutupnya kembali dengan cepat.

“Seburuk itukah?”

“Jika kau memiliki cukup waktu, aku akan meminta Moshe menayangkan cuplikan
kejadiannya padamu.”

11
“Eh ... kurasa tidak perlu, Pak.”

“Baiklah. Tidak tidak akan membahas persoalan ini lagi ke depannya.”

“Lalu, bagaimana dengan jurnalis asing lainnya? Selain dari Indonesia maksudku.”

“Melihat perkembanganmu di lapangan belakangan ini, aku tidak menyasingkanmu.”


Kata ayahnya dengan nada mantap, tegas. “Tugasmu adalah mencuri data dan informasi
penting dari mereka. Jangan tinggalkan jejak. Lakukan dengan cepat dan bersih. Jika gagal,
kau tahu konsekuensi apa yang akan kau dapatkan.”

Ancaman. Kata Eden, dalam hati. Seperti biasa. Dia mengangguk. “Tidak ada yang
perlu Anda khawatirkan, Pak.” Selanjutnya, dia mendekati meja persegi panjang yang
terletak satu meter di depannya. Meraih koper, membawanya pergi. Meninggalkan ayahnya
yang menanti-nanti kabar gembira dari agen-agen intelijen lainnya dari Jalur Gaza.

“Eden!” Melihat putrinya berhenti setelah berjalan beberapa langkah dan memutar
badan, Noam berkata, “Waktumu hanya 48 jam. Tidak kurang, tidak lebih.”

Eden melirik arlojinya. Tanpa perlu menunggu kalimat berikutnya, buru-buru dia
memberi hormat, membalikkan badan, lalu berjalan dengan tergesa menuju pintu kayu.
Menyisakan Noam dan beragam alur pikirannya sendiri bersama para pegawai yang
berjumlah 20-an orang di dalam ruang intelijen itu.

Eden berhenti sejenak. Sungguh, dia tidak menyangka rasa ingin tahunya tadi nyaris
menarik pelatuk yang akan melepaskan peluru pada dirinya sendiri. Keluar dari ruangan itu,
memberikan Eden kesempatan untuk bernapas dengan lega. Beberapa pegawai yang
berpapasan dengannya—hendak menuju ruang intelijen—mendapat anggukan darinya.

Setelah menemukan tempat terbaik untuk duduk, Eden meraih sapu tangan dari saku
blazer-nya, mengusap keningnya. Setelahnya, selama beberapa waktu Eden mengamati koper
hitam yang dia letakkan di sisi kirinya itu, lalu dia membukanya beberapa saat kemudian.

Diraihnya koper itu dan dia letakkan di atas pahanya, kemudian membukanya.
Beberapa lembar kertas berwarna putih kekuningan dengan tulisan classified transparan di
bagian tengahnya tertata rapi. Lambang Mossad terletak di bagian kanan atas kertas tipis itu.

12
Tiap lembar isinya menjabarkan identitas lengkap target operasinya: Nama-nama
jurnalis asing beserta negara asalnya. Dengan jari telunjuknya, dia menunjuk daftar nama itu
satu per satu dari atas ke bawah hingga berhenti pada dua nama.

Handaru Lawana dan Prayata Saepulloh, Indonesia. Gumamnya. Dia mendengus


singkat, menaikkan sudut kiri bibirnya. Jadi, mereka semua akan berkumpul di kamp
pengungsi Jabalia. Setelah menutup kembali koper itu, dia memandang arloji di pergelangan
tangan kirinya. Pukul 13.05. Dua jam lagi, operasi ini akan berakhir. Ponsel dia keluarkan
dari saku blazer-nya. Menekan beberapa nomor, lalu mengarahkannya ke telinga kanan.

“Benjamin,” katanya. “Aku butuh bantuanmu. Kutemui kau di kamp pengungsi


Jabalia pukul 15.05.” Segera setelahnya, dia mengakhiri panggilan itu, mengembalikan
ponsel ke tempat semula, dan berjalan cepat menuju lift.

Mula-mula Eden bergerak menuju kamar kecil.

Lima menit berikutnya dia sudah tampil berbeda dengan khimar hitam berbalur debu.
Para agen Mossad lainnya, yang berpapasan atau menyapa, mengacuhkannya. Mereka sama
sekali tidak mempergunjingkan penampilan Eden kendati sepatah dua kata.

Bukan hal aneh karena hal ini kerap kali ditemui di markas Mossad. Tidak ada yang
keheranan bila ada yang mengenakan seragam brigade Al-Qassam—dengan kafiyeh yang
membungkus kepala, kecuali mata, rompi, membawa senapan AK-47, dan berbicara
menggunakan bahasa Arab.

Eden berjalan sigap dengan menjumput bagian bawah khimar-nya, menuju tempat
parkir mobil dan mendekati mobil Jeep Cherokee abu-abu. Semua kendaraan untuk operasi
telah dipersiapkan lengkap dengan pengemudinya. Efektifitas dan efisiensi menjadi
alasannya. Keadaan terdesak akan menjadi lelucon bila setiap agen harus mencari-cari
pengemudinya dulu sebelum berangkat ke medan pertempuran.

Eden menaiki mobil melalui pintu belakang. Seorang pria berjas hitam siap di balik
kemudi. Saat terdengar suara pintu ditutup, pengemudi itu melirik Eden dari kaca spion,
kemudian menjalankan mobil meninggalkan basemen dan membelah kota Tel Aviv. Eden
memulai hari dengan perjalanan berjarak 70 kilometer lebih ke arah selatan.

13
Setelah menerobos Perbatasan Erez—yang dijaga pasukan perbatasan Israel—dengan
mudah, mobil melaju memasuki wilayah pemerintahan Gaza Utara.

Ban mobil berputar melindas tanah rampasan yang sarat kisah perjuangan tak kenal
lelah. Melenggang di antara lelehan peluh yang tak kunjung mengering. Diiringi air mata
yang tak pernah terputus. Sedikit pun, tak terbesit di benak Eden bagaimana dulunya tanah
Filistin ini jauh dari hiruk pikuk hegemoni bangsa berbendera bintang David. Eden
membutuhkan waktu hampir satu jam untuk mencapai Perbatasan Erez—perbatasan antara
Jalur Gaza Utara dengan Israel Selatan.

Dalam hitungan menit, kamp Jabalia[2] sudah terhampar di hadapan mata. Setelah
turun dari mobil, Eden melirik arlojinya. Sudah jam 15.15. Di mana dia? gumamnya. Jika
dia terlambat, penyamaran ini bisa saja terbongkar. Eden memalingkan pandangannya ke
pengemudi mobil Jeep Cherokee abu-abu dan mengangguk. Pengemudi itu memasukkan
persneling satu, menjalankan mobil. Meninggalkan suara gemerisik serta debu yang
mengudara.

Uap panas yang membumbung di atas hamparan jalanan berpasir seolah menandakan
bahwa bumi sedang mendidih. Suhu di Gaza saat ini mencapai 35 derajat celcius. Di akhir
musim panas nanti, suhu bisa berkisar antara 39 derajat celcius hingga 40 derajat celcius.
Kendati demikian, bagi Eden, cuaca bukanlah ancaman serius.

Tidak ingin berkutat dengan kegelisahannya sendiri, Eden memutuskan untuk


berjalan, memulai langkah kaki pertamanya. Menyusuri kota dengan dinding-dinding kusam,
keceriaan anak-anak yang lenyap dilahap kematian, dan heningnya kota yang direnggut
burung penjemput ajal. Setiap langkah yang diciptakannya, Eden merasakan kalimat-kalimat
mengharu biru menusuk-nusuk telinganya. Bergentayangan di benaknya.

Tidakkah kau memiliki hati untuk menyikapi semua ini? Begitu bunyinya. Setiap kali
dia melangkah, kalimat itu semakin mendengung di telinganya. Hingga Eden menyadari
bahwa kalimat itu perlahan memengaruhinya. Dia pun melangkah lambat.

Di sekelilingnya, gedung-gedung tengkurap turut serta menyambut kehadirannya.


Seakan-akan ingin mengeluh bahwa mereka juga korban kebiadaban otoritas bengis

[2]
Salah satu kamp pengungsi terpadat di dunia dengan jumlah pengungsi 103, 646 (tahun 2006).
14
negaranya. Reruntuhan puing-puing menggunung mengisahkan masa lalu di baliknya.

Keluarga yang makan malam bersama, anak-anak yang membaca Alquran dengan
lantunan nada menyejukkan. Mereka sama sekali tidak ada firasat apa-apa, hingga tiba-tiba
saja roket menghantam. Menyudahi kisah mereka, menyisakan rasa sakit tak terperikan.

Ketika benaknya terkepung kronologis itu, Eden menatap sekelilingnya lamat-lamat.


Tanpa disadari, dia merelakan diri membayangkan detail kejadian itu. Bagaimana roket itu
sukses meluluhlantakkan sasarannya. Mana peduli sah atau tidak. Terpenting amanah
terlaksana. Sesuatu seperti menusuk dadanya ketika pada akhirnya dia menutup mata, tidak
kuasa berlarut-larut dalam lamunannya sendiri.

Visualisasi semu yang merampas perhatiannya itu buyar ketika mendengar derap kaki
sayup-sayup mendekat. Langkahnya semakin cepat dan terdengar semakin jelas. Saat
membalikkan setengah badan, barulah dia mendapati pria berjenggot panjang bermata
cekung, berlari menggendong anak perempuan yang terbujur kaku, tak berdaya. Mata Eden
mengikuti arah perginya mereka.

Matanya seakan-akan terhipnotis saat menangkap kepala mungil si gadis kecil dalam
buaian ayahnya terantuk-antuk, darah yang membalut setengah wajahnya, dan baluran kapur
putih di wajah yang lain. Oleh karena dirinya sudah sudah disibukkan dengan kalimat
penenang yang dia ucapkan kepada putrinya, pria itu terus berlari menuju ke arah utara, tidak
memedulikan Eden. Akhirnya, pria itu menghilang di balik gedung yang tinggal seperdua.

Sejujurnya, ada rasa geram yang menggelitik di balik dada Eden. Namun, itu tidak
sampai memengaruhi keputusannya berada di jalan ini. Akan tetapi, setiap kali dia terjun ke
lapangan gelitikan itu tidak pernah berakhir. Rutin sekali muncul. Semacam efek yang akan
kau rasakan ketika berada di tempat asing.

Di dalam hatinya, pertaruhan antara dua belah pihak yang berselisih—logika dan
hatinya—tidak mampu dihindari. Logikanya mengatakan, Untuk apa mengasihani orang-
orang yang telah menyeretnya dalam dunia ini—dunia intelijen, sedangkan hatinya berdalih,
Tujuan utamamu juga manusia, sama seperti dirinya. Tidakkah dia memiliki keengganan,
meski sedikit, untuk memikirkan hal itu? Walaupun begitu, orang-orang di Mossad-lah yang
memberikannya kesempatan untuk hidup, terlebih ayahnya. Lagi pula, hanya ketika dirinya
memihak dan berada di halan inilah, tanda tanya besar dalam hidupnya kelak akan terjawab.
15
Setidaknya, itulah yang memenangkan Eden atas hatinya.

Baru saja Eden menampilkan ekspresi wajah datarnya, romannya mendadak berubah,
kendati hampir tak tampak mendominasi. Hanya satu penyebabnya: Seorang wanita berjilbab
sedang duduk bersimpuh tangan di tepi jalan. Sudut mata Eden menangkap pipi wanita itu
basah. Matanya memerah. Meratapi sosok bocah lelaki di hadapannya yang terkapar, kaku.
Eden tahu, meskipun senyuman hangat mengembang di wajah putranya, dia, wanita berjilbab
itu, menjerit dalam kesunyian.

Sambil tersenyum menyaksikan tiap lelehan air mata wanita berjilbab itu, Eden
melanjutkan perjalanan. Melewati para pria mengais-ngais tanah berlumpur kering, berharap
menjumpai tanda-tanda kehidupan. Dengan pandangan tajam menusuk dari balik cadarnya,
dia mengamati mereka memunguti batu demi batu.

Kendati di sepanjang perjalanan, rangkaian nestapa menyambutnya, dia tidak merasa


terbebani. Sedikit pun tidak. Tidak setelah beberapa detik dia terjebak dalam melankolis
setengah dirinya tadi. Justru yang dia rasakan sekarang adalah kelegaan membuncah.
Baginya, inilah kemenangan yang sesungguhnya. Untuk alasan inilah, dia merasa bahwa
dirinya patut untuk merayakan kondisi ini dengan menyunggingkan sudut bibirnya. Meskipun
setitik kecemasan tetap menjadi anomali.

Operasi ini adalah kesempatan emas bagiku katanya, membatin. Demi


memperpanjang rekor hebatku di mata ayah. Aku akan senantiasa membanggakanmu, Ayah.
Aku janji.

Eden terus berjalan menjauh tanpa sekalipun menoleh ke belakang.

16
2

Operasi Perdana

Dalam balutan khimar berwarna hitam berdebu, yang robek di beberapa bagian dan dicampur
bercak kemerahan, Eden melenggang di antara bangunan-bangunan rapuh. Menyusuri jalanan
berlumpur kering yang diapit reruntuhan bangunan. Seorang pria yang berlari menggendong
anak perempuannya, wanita yang duduk bersimpuh dan menangis, dan sekelompok pria yang
mengais-ngais tanah kering tadi adalah keriuhan sederhana yang terakhir kali dia dapati.

Kini, selain bunyi debu yang tertiup angin, satu suara yang ditangkap telinganya
adalah suara napasnya sendiri. Sinar matahari terik menerobos dari sela-sela gedung.
Memperlihatkan jutaan bintik-bintik debu yang beterbangan, mengapung lamban. Hawa
panas yang tertiup angin menembus lubang menganga di gedung-gedung.

Saat semerbak aroma amis menyusup ke lubang hidungnya, Eden mengernyitkan


dahi. Mengibas-ngibaskan tangan di depan wajah hingga akhirnya dia berhenti saat
telinganya sayup-sayup menangkap suara anak-anak. Selama beberapa waktu, dia mencoba
menyakinkan diri bahwa suara-suara itu nyata.

Ketika instingnya berhasil menyakinkan dirinya, dia bergegas menuju sumber suara.
Kian mendekati asal suara, telinganya mendengar lebih banyak suara. Gelak tawa anak-anak
yang menggema. Sepuluh detik kemudian, barulah dia mengetahui dari mana asal suara itu.
Dari balik gedung di ujung jalanlah suara itu berasal. Inilah alasan Eden untuk menarik
khimar-nya dan mempercepat langkah menuju ke sana.

Di hadapan gedung bertingkat dua itu, Eden berhenti. Matanya menjelajah mengamati
bangunan itu. Dinding berwarna kekuningan, bekas lumpur kering menempel di beberapa
bagian yang menutupi sebagian besar warna aslinya. Angin yang menyapu debu melengkapi
sekitaran bangunan itu. Eden berjalan mendekati ambang pintu yang tertutup plastik
transparan tebal. Tepat saat dia menyibaknya, keriuhan lenyap. Tiap pasang mata puluhan
bocah laki-laki yang duduk bersila di dalam ruangan itu tertuju padanya, menatap bingung.

Eden, yang tidak mengindahkan para bocah di depannya, terperanjat memandangi


seluruh sudut ruangan bangunan yang hampir roboh itu. Langit-langit berlubang. Sebagian
dinding rontok. Serpihan dan pecahan kaca jendela berserakan di lantai. Seakan-akan menanti

17
telapak kaki untuk menghampiri. Bekas darah belepotan di hampir semua permukaan lantai.
Baik bekas terseret atau bekas menggenang yang sama-sama mengering. Retakan-retakan
zig-zag ada di sana-sini.

Setelah puas mengamati sekeliling, Eden membalas tatapan wajah para bocah di
hadapannya satu per satu. Dia mendapati wajah-wajah yang kusut, muram, pipi berbalur
lumpur kering. Serta pakaian yang lusuh dan kepala dibalut perban tebal. Belum sempat rasa
keprihatinan menggelegak di lubuk hati terdalamnya, konsentrasinya buyar saat mendengar
suara seseorang memanggilnya. Suara yang telah diakrabinya.

“Hei!”

Eden menoleh dan mendapati pria tinggi berambut klimis, mengenakan kemeja hitam
yang bercampur bekas-bekas pasir putih kekuningan, beserta celana jin biru tua yang agak
robek di beberapa titik.

Di sini dia rupanya, gumam Eden. “Aku mencarimu ke mana-mana!”

“Maaf.” Benjamin tersenyum kecut, menggaruk kepalanya yang tidak gatal. “Aku
sudah tiba di sini satu jam yang lalu,”

Eden memandang arlojinya. “Mengapa kau tidak menghubungiku?”

“Anak-anak ini mengira aku guru mereka.” Benjamin menoleh sejenak ke belakang,
membalas lambaian tangan. Sedikit membungkukkan badan, mendengar bisikan yang disertai
cekikikan, dan balik membisikkan sesuatu, lalu dia menegakkan punggung, membalas
tatapan Eden, dan berkata, “Mereka mengatakan bahwa ingin belajar bahasa Inggris. Mereka
murid-murid sekolah tak jauh dari sini. Mereka terpaksa berada di sini karena gedung asli
sekolah mereka telah hancur. Maka saat aku datang, mereka menarik lenganku beramai-
ramai, mengajakku kemari, dan bagian terburuknya, mereka menyita ponselku. Mereka
memintaku mengajarkan bahasa Inggris, sebelum akhirnya ponsel ini kembali,” Benjamin
menggoyang-goyangkan ponselnya di depan wajah Eden. “Eh ... jangan menatapku seperti
itu ....”

“Dengar. Kita harus selesaikan operasi ini, segera!”

18
Mendengar pernyataan Eden, seketika raut wajah Benjamin berubah serius. Seakan-
akan dia memiliki cadangan wajah yang memudahkannya mengganti ekspresi pada saat-saat
tertentu. Sebelum berhasil melintasi ambang pintu dan meninggalkan anak-anak, Benjamin
terlebih dulu harus direpotkan dengan anak-anak usia empat sampai lima tahunan yang
menahannya pergi.

Mereka mengancam akan menangis jika Benjamin meninggalkan mereka. Alih-alih


mencoba untuk mempercepat, Eden justru mendapat gertakan dan geraman dari anak-anak.
Dengan terpaksa, Benjamin mengumbar janji bahwa dirinya akan kembali secepatnya jika
nanti urusannya selesai. Benjamin mengatakan pada salah satu anak yang paling tua—
usianya sepuluh tahun—agar menjaga teman dan saudaranya selama dirinya pergi.

“Bisakah aku memercayakan hal ini padamu, Kawan?”

Bocah itu mengiyakan.

“Anak pintar. Jangan memulai hal-hal menarik tanpaku, oke?” Benjamin mengangkat
tangannya dan mendapat sambutan berupa toast dari bocah berambut keriting itu.

Setelah berpamitan dan mengatakan bahwa Benjamin tidak akan pergi lama, mereka
pun beranjak menuju tempat berkumpulnya para pengungsi—sesuai dengan laporan dari
berkas yang dibawa Benjamin. Satu di antara sekian gedung lain yang kondisinya tak jauh
lebih baik. Mereka berjalan bersisian sambil beberapa kali mengangkat lengan ke depan
wajah, menangkis debu yang menyerbu dengan hawa panasnya.

“Kau akrab sekali dengan anak-anak itu.” Kata Eden.

“Hanya mencoba mengantisipasi kecurigaan.”

“Menurutku,” Eden menoleh pada Benjamin. “Hati-hati saja.”

“Untuk?”

“Operasi ini sudah semestinya tidak melibatkan keterikatan emosional.”

Setibanya di gedung itu—yang berjarak sekitar lima puluh meter—pelan-pelan, Eden


mendaki reruntuhan bangunan yang menggunung di pintu masuk. Dengan hati-hati, Benjamin
memegangi pergelangan tangannya supaya tidak jauh. Berhenti sejenak di depan pintu
masuk, Eden menoleh pada Benjamin yang belum mendaki reruntuhan bangunan, seolah-olah
19
meminta persetujuan. Benjamin mengangguk diikuti gerakan menaiki reruntuhan. Eden
masuk terlebih dulu, diikuti Benjamin di belakangnya. Di dalam, Eden menebarkan
pandangan sebelum menggabungkan diri dengan para pengungsi yang sedang
bercengkerama.

Bangunan tempat para pengungsi itu tinggal berukuran 5x4 m2. Atapnya berlubang.
Separuh dindingnya keropos. Di bagian lainnya, ukiran bercabang-cabang menjadi saksi bisu
permukaan tanah berguncang. Sebagian besar penghuninya anak-anak, wanita, dan lansia.
Ada sekitar sepuluh pengungsi di sana. Nyaris kesemuanya tergolek lemas. Wajah-wajah
lesu, pucat, dan murung menyambut kedatangan Eden dan Benjamin.

Beberapa anggota medis lokal menekuk lutut di dekat pengungsi yang duduk atau
telentang di atas tikar atau kasur tipis berseprei usang. Dengan sabar, mereka mendengarkan
keluh kesah, memberikan obat, mengganti botol infus. Setiap selesai dengan satu pengungsi,
mereka beranjak menuju pengungsi lainnya.

Satu setengah detik berselang, suara tangisan seorang bayi yang menggeliat di atas
sebuah seprei tipis mencuri perhatian Eden. Bayi itu menangis menderu-deru, seorang diri.
Dua orang tim medis mengetahui bahwa salah seorang dari mereka harus bergerak untuk
meraih bayi itu, tetapi keduanya tidak bisa meninggalkan pasien yang mereka rawat.
Sementara itu para pengungsi lainnya terlalu lemas untuk bergerak sigap dan menyambar
bayi itu. Dan untuk alasan yang tidak diketahuinya, Eden bergegas mendekati bayi itu,
menekuk lututnya, dan perlahan mencondongkan badan sambil merengkuh bayi itu. Berharap
upayanya tidak sampai merepotkan orang-orang di sekitarnya dan supaya tangisan bayi itu
mereda.

Saat Eden hendak mengangkat bayi lucu itu, sekonyong-konyong ibu bayi itu muncul
dari balik punggungnya dan menepuk pundaknya lembut. Eden menoleh dan mendapati ibu
bayi itu terengah-engah. Bulir-bulir keringat mengilap di wajahnya yang terbingkai kerudung.
Mereka bertukar pandangan sesaat sebelum akhirnya ibu bayi itu meraih bayinya,
menggumamkan beberapa patah kata, dan mendaratkan leher mungil buah hatinya itu di
lengan kirinya.

Seiring belaian lembut sang Ibu, jeritan tangis bayi lucu itu memudar. Bayi itu pelan-
pelan memasukkan ibu jarinya kanannya ke dalam mulut. Kedua kelopak matanya memberat.

20
Meskipun dia berupaya tetap membuka mata, usahanya sia-sia. Sang Bunda menyanyikan
sebuah lagu merdu yang terdengar samar-samar. Hingga akhirnya dia tertidur pulas.

Eden menatap keluarga kecil itu dengan senyuman getir. Dia tahu apa yang akan
terjadi selanjutnya pada keduanya. Untuk alasan inilah Eden hendak melangkah mundur,
hingga langkahnya terhenti karena ibu bayi itu membalikkan badannya perlahan, menatap
mata Eden dengan penuh keramahan, lalu berkata dengan nada berbisik, “Duduklah dulu.
Mari kita berbincang-bincang sejenak.” Kata-kata itu seketika memudarkan kecanggungan di
antara keduanya. Mereka berdua pun mencari posisi ternyaman untuk mendaratkan tubuh.

Di kejauhan, Benjamin tersenyum tipis memandangi Eden. Setidaknya dia bisa


membantuku menyamarkan situasi. Selanjutnya, dia meraih ponselnya dari saku celana
jinsnya. Jam 15.20, gumamnya seraya melangkah ke luar ruangan. Meninggalkan Eden
beserta para pengungsi.

Perbincangan dimulai. Mula-mula ibu bayi itu memperkenalkan diri sebagai


Khadijah. “Dari mana asalmu?” Tanyanya dalam bahasa Arab.

“Saya dari Nuseirat, Sayyidah—Nyonya. Bayi Anda lucu sekali.”

Khadijah tersenyum. “Terima kasih. Ini adalah anak kedua saya.”

“Siapa namanya?”

“Abu Ubaidah. Suami saya memberikan nama itu supaya kelak saat dia sudah dewasa,
dia bisa menjadi komandan militer seperti Abu Ubaidah.”

Salah seorang petugas medis menghampiri seorang pria tua seusai merawat seorang
nenek tua yang kini mencoba tidur. Petugas medis itu menyodorkan dua buah pil kepada pria
tua, yang kemudian diminumnya, setelahnya petugas medis itu membisikkan beberapa patah
kata supaya pria tua itu merasa lebih tenang dan dapat istirahat dengan nyaman.

“Di mana suami Anda?” Tanya Eden, pertanyaan basa-basi.

“Dia sedang bertugas. Di wilayah Khan Younis.”

Eden mengangguk, lalu menatap bayi mungil dengan pipi tembam itu. Senyuman
merekah di bibir Eden. “Berapa usianya, Sayyidah?”

21
“Seminggu lagi, usianya genap sepuluh bulan,”

Eden mengangguk-angguk pelan.

“Bagaimana denganmu? Apakah kau sudah dikaruniai anak?”

Mendengar pertanyaan itu, kedua mata Eden terbelalak. Alis matanya terangkat
bersamaan. Kepalanya tersentak. Setengah detik kemudian wajahnya memerah seperti tomat
segar. Untuk itulah, dia bersyukur karena mengenakan cadar dalam operasi kali ini. “Eh …
tidak. Saya bahkan belum menikah.” Eden mengibas-ngibaskan tangan kanannya.

“Oh, begitu,” Khadijah menunduk, memandang bayinya sejenak. “Lalu siapa pria
yang bersamamu tadi?”

“Eh, eh ….” Selama hampir sepuluh detik, Eden disibukkan dengan mencari-cari
alasan yang sesuai. Akhirnya, pilihan jatuh pada kalimat, “Dia kakak saya.”

Khadijah melongok ke kejauhan. “Ke mana perginya?”

Eden membalik badan dan tidak menemukan Benjamin yang tadinya berdiri di
ambang pintu. Sembari mencari keberadaan Benjamin yang lenyap dari pandangannya, Eden
bergumam, Di saat-saat seperti ini dia selalu saja menghilang tanpa memberi aba-aba. Sial!

“Tunggu saja. Mungkin dia sedang ke kamar kecil.” Khadijah menenangkan.

Eden mengangguk.

Dia mengamati Khadijah yang mengelus lembut dahi Abu Ubaidah. Diam-diam, Eden
merasa seperti ingin mengajukan banyak pertanyaan pada Khadijah. Bagaimana dia merawat
Abu Ubaidah kecil, proses persalinannya, bagaimana mereka bertahan di tengah keterbatasan
air bersih, udara penuh gas dan sisa ledakan, bom-bom yang kapan pun bisa jatuh menimpa
mereka, bunyi rentetan senapan yang memekakkan telinga di malam hari, listrik yang kerap
kali mati dan hanya menyala selama empat jam sehari tiap malam.

Meski deretan pertanyaan itu menggelitik dan menanti untuk diajukan, Eden berhasil
menahannya tidak keluar menerobos rongga mulutnya. Entah atas alasan apa, dia enggan—
atau lebih pada tidak bisa—menanyakannya. Ada alasan lain yang bahkan Eden sendiri tak
berani mengakuinya.

22
Keheningan di antara keduanya pecah saat telepon genggam Eden berbunyi. Eden
cepat-cepat meminta diri untuk mengangkat telepon di luar dan Khadijah mempersilakan,
kemudian setelah meninggalkan Khadijah selama beberapa saat untuk menerima telepon,
Eden kembali dan mengatakan bahwa dirinya harus pergi.

“Bukankah kau baru saja sampai, mengapa terburu-buru?” Tanya Khadijah.

Eden tersenyum dari balik cadarnya. “Kakak saya baru saja menelpon, dia
mengatakan bahwa kami harus mengurusi surat-surat terlebih dulu.”

Khadijah mengangguk. “Padahal aku baru akan membuatkanmu teh hangat.”

“Oh, tidak perlu. Aku khawatir akan merepotkan.” Eden menegakkan lututnya,
menatap Abu Ubaidah sejenak, dan melangkah menuju pintu keluar. Khadijah
membuntutinya dua langkah di belakang.

“Syukran—terima kasih.”

Eden menoleh ke belakang, menatap Khadijah dan mengangguk. Dia tidak


sepenuhnya mengerti mengapa wanita itu mengucapkan terima kasih kepadanya. Setelahnya,
Eden mengucapkan salam, melambaikan tangan, dan berjalan menjauh.

Sementara itu, Khadijah memandangi punggungnya, tetap mengamatinya hingga


sosoknya menghilang di kelokan jalan. Khadijah bergumam. Dari cerita yang dia ceritakan,
kurasa, dia gadis yang baik, tapi aku lupa tidak menanyakan siapa namanya. Semoga dia
baik-baik saja.

Saat merasa telah luput dari pantauan Khadijah, Eden berjalan tergesa. Melintasi
jalanan lengang berdebu. Dinding-dinding penuh tulisan grafiti bertuliskan kebebasan dan
protes keras terhadap serbuan zionis ke Jalur Gaza. Orang-orang tua yang dibopong oleh para
tim medis lokal maupun internasional. Berpapasan dengan beberapa anggota brigade Al-
Qassam. Serta anak-anak yang tertawa girang, bermain bola selagi ada waktu. Melintasi lima
blok dari tempat menetap Khadijah, Eden menggabungkan diri dengan Benjamin.

“Ke mana kau pergi?” Katanya, geram.

“Aku mencari lokasi di mana para jurnalis itu berkumpul.”

“Sudah kautemukan?”
23
“Kau tidak perlu meragukanku. Kau siap?”

Eden mengangguk penuh keyakinan.

Benjamin bergerak ke sana kemari, memastikan bahwa tidak ada orang yang
menyadari keberadaan mereka, lalu menyampirkan tas ranselnya ke samping, membuka
resleting, dan membiarkan Eden memilah pakaian mana saja yang harus dia kenakan. “Kita
bertemu lagi di titik ini tiga menit dari sekarang!” Benjamin kemudian menyelempangkan
ranselnya dan pergi.

Tiga menit kemudian, keduanya bertemu. Benjamin terlihat lebih santai menggunakan
kemeja putih polos, celana jins abu-abu, dan menenteng camcorder di tangan kanannya.
Rambut hitamnya sedikit acak-acakan dan sebagian wajahnya berlumuran pasir. Kalung
nama yang melingkari leher dan menjuntai di depan dada bertuliskan Mehmet asal Turki,
melengkapi penampilannya.

Rompi empat saku warna coklat tanpa lengan, kemeja berwarna putih, dan celana jins
biru tua, serta rambut panjang hitam yang terkuncir rapi membalut penampilan kasual Eden.
Tanda pengenal bertuliskan Aiese dari negara yang sama dengan Benjamin, menjuntai
anggun di depan dadanya.

Selanjutnya, mereka melenggang mulus memasuki ruangan konferensi pers, setelah


berhasil mengelabui dua anggota brigade Al-Qassam bersenjata lengkap, yang berdiri berjajar
di pintu masuk, dengan menunjukkan identitas modifikasi mereka. Duduk di deretan nomor
dua dari belakang, Eden dan Benjamin membaur bersama para jurnalis asing lainnya.

Sambil menunggu waktu, mereka mengedarkan pandangan ke sekeliling. Mencermati


satu per satu wajah tiap jurnalis seraya berharap menemukan jurnalis Indonesia yang menjadi
target operasi mereka. Tak berselang lama, mata Eden menangkap sasaran yang dimaksud.
Dia menyikut Benjamin yang berdiri menyiapkan camcorder di sampingnya. Memahami
maksud Eden, Benjamin berjinjit, melongok ke depan, dan mengangguk paham pada Eden.

Eden memandang arlojinya.

Pukul 16.37, katanya pada dirinya sendiri. Lima belas menit lagi konferensi pers ini
akan dimulai. Tepat lima belas menit kemudian, sesuai dengan perkiraan Eden, tiga orang

24
berbadan tinggi besar dan tegap yang mengenakan camo[3] lengan panjang, berjalan di
belakang meja konferensi. Sepatu lars mereka mengetuk-ngetuk lantai.

Konferensi pers dimulai.

Para jurnalis yang haus informasi mulai mencerca ketiga mujahidin yang wajahnya
dibalut kafiyeh itu—dan hanya nampak sepasang mata saja—dengan beragam pertanyaan.
Bagaimana kondisi terkini setelah perundingan gencatan senjata kemarin gagal? Apakah
langkah yang akan ditempuh Presiden Mahmoud Abbas untuk menanggulangi krisis di
negara ini? Bagaimana proses pengiriman bantuan logistik dan finansial dari negara-negara
tetangga, apakah berjalan lancar?

Susasana yang awalnya tenang, berubah menjadi riuh. Bahana jepretan kamera
menggema di sana-sini. Seolah-olah ada ribuan kamera yang hendak mengabadikan momen
ini. Kilatan-kilatan cahaya bersaing sengit menunjukkan eksistensi. Suara para jurnalis juga
bersahut-sahutan seperti para pedagang yang berlomba memikat pelanggan.

Itu mereka, kata Eden membatin. Mengamati tiga orang mujahidin Al-Qassam itu.
Husein Hadad, Fauzi Barhoum, dan Mahmoud Jabr. Dia sedang duduk manis, menanti
momentum yang tepat untuk beraksi. Sementara di depan, Benjamin masih menyibukkan diri
depan dengan camcorder-nya. Setiap jurnalis yang mengangkat tangan kanannya, menyebut
nama dan negara asal, tak satu pun luput dari perhatian Eden.

Delapan nama jurnalis dari berbagai negara sudah tertulis di notesnya. Perancis,
Italia, Rusia, Serbia, Chechnya, Amerika dan yang terakhir, Indonesia, gumamnya,
tersenyum sinis. Seperti biasa, semua berjalan dengan mudah. Eden menghentikan aktivitas
menulisnya, menengadah. Memandang Benjamin dengan sabar, menunggunya menoleh
padanya. Kesabaran yang dipupuknya menuai buah manis saat Benjamin menatap serius
padanya. Memahami sinyal yang dipancarkan gadis itu dengan baik.

Dia pun membongkar camcorder-nya, membungkukkan badan, berjingkat perlahan ke


belakang, menjauhi kerumunan jurnalis. Setelahnya, dia mempercepat langkah, menyusul

[3]
Berasal dari bahasa Inggris: Camouflage (=penyamaran) adalah sebuah motif loreng-loreng yang menjadi
warna dasar seragam militer.

25
Eden yang terlebih dulu meninggalkan area konferensi pers, kemudian mereka bergegas
mencari tempat aman untuk membicarakan langkah selanjutnya. Niat itu mengantarkan
mereka kembali ke titik pertemuan awal.

“Kau sudah menemukan mereka?”

Eden mengiyakan.

Benjamin meraih ponselnya, memencet beberapa nomor, dan menempelkannya ke


telinganya, kemudian dia berkata dalam bahasa Ibrani, “Mangsa dalam jangkauan. Baik, Pak.
Dimengerti.” Segera setelahnya, dia mengakhiri panggilan singkat itu dan mengembalikan
ponselnya ke saku. “Mereka datang dalam waktu lima menit. Ayo pergi dari sini!”

Eden memahami maksud kata pergi dari Benjamin saat pria itu meminta
penjemputan—dan datanglah mobil Jeep Cherokee yang tadi dinaiki Eden, lengkap bersama
pengemudi dan tiga orang agen bersenjata—untuk mengantarkan mereka menuju perbatasan
Erez. Saat dalam perjalanan menuju utara, mereka berpapasan dengan tiga jet tempur yang
meraung, melesat membelah langit Gaza.

Mereka, Eden dan Benjamin, berhenti sekitar tiga puluh meter dari pintu gerbang
Erez, lalu mereka turun dari mobil, mengenakan kacamata hitam, berdiri bersisian di
belakang mobil, dan memandang ke arah selatan. Kamp pengungsi Jabalia baru saja mereka
tinggalkan. Dalam hitungan sepuluh detik mundur, suara dahsyat ledakan telah memecah
kesunyian, menggelegar.

Satu per satu jet tempur itu bergiliran menghadiahi para pengungsi kamp Jabalia
dengan sisa peradabannya. Permukaan tanah meletus dahsyat di sana sini. Terhitung sudah
lima kali sejak kemunculan pertamanya. Semburat warna jingganya menjadi cahaya terakhir
di penghujung hari ini. Asap hitam pekat menyeruak dari kejauhan. Meledakkan jeritan
histeris dan teriakan terkejut dari kejauhan.

Setelah puas membuang sisa peradaban, burung-burung besi itu kembali ke


singgasananya. Menyisakan kepulan asap abu-abu yang membumbung tinggi ke udara.
Seiring kepergian jet-jet tempur itu, canda tawa, senda gurau, dan keceriaan menguap.
Lenyap tergilas nestapa. Membiarkan jiwa-jiwa tak bernoda terenggut oleh ketamakan.

26
Seraya menyaksikan atraksi dirgantara itu berlangsung, sekonyong-konyong, Eden
teringat pada Khadijah dan bayinya, Abu Ubaidah. Rengekan manjanya, geliat dan gerak-
gerik lemahnya, atau kelembutan tutur kata, senyuman ramah, dan tatapan lembut Khadijah.

Seketika itu dia seperti tertebas. Kedua lututnya melemah. Dia butuh duduk. Suara-
suara anak-anak itu seolah-olah menggelitik rongga telinganya. Meneriakkan permintaan
tolong, berulang-ulang kali.

“Rasanya baru satu menit aku mengucapkan janji pada anak-anak itu.” Kata Benjamin
sekonyong-konyong.

Eden menelan ludah. Entah atas dasar apa, tiba-tiba saja dadanya sesak.

“Sejujurnya, aku tidak bisa membayangkan, bagaimana jika aku yang berada di posisi
mereka.” Benjamin diam selama beberapa saat, sebelum melanjutkan. “Ketika sedang asyik
bercengkerama dengan keluarga dalam keterbatasan, tiba-tiba saja kenikmatan itu sirna
dalam sekejap mata. Puf! Hilang begitu saja.”

Kalimat terakhir yang diucapkan Benjamin menjadi penutup rasa iba mereka.
Keheningan meliputi mereka selagi asap hitam tebal masih merangkak ke langit di kejauhan.
Suara-suara teriakan yang terdengar samar menyusup masuk telinga, membuat bulu roma
bergoyang. Merinding.

Mantra yang meliputi mereka sirna saat bunyi pekikan ponsel serta-merta memecah
keheningan. Salah seorang agen bersenjata—yang ketiganya juga turun dari mobil dan
menyaksikan tragedi pembinasaan itu berlangsung—berjalan mendekati Benjamin,
mengambil ponsel dari saku jasnya, dan menyodorkannya.

Sejenak, Benjamin mengamati layar ponsel itu, barulah dia menempelkannya ke


telinga. “Ya? Benjamin di sini.”

Selama beberapa saat, Benjamin tidak mengatakan apa-apa. Dia hanya mengernyitkan
dahi. Beberapa kali barisan gigi di dalam mulutnya bergemerutuk. Sesekali dia mengiyakan.
Di waktu-waktu terakhir, dia memegang dahinya selagi tangan kirinya menempelkan ponsel
ke telinga, kemudian mematikan ponsel dan mengembalikannya pada agen bersenjata yang
tadi memberikan ponsel itu padanya.

27
Mulut Benjamin terbungkam. Dia lalu berjalan mendekati kap belakang mobil dan
mecondongkan badan seraya kedua lengannya menahan badannya. Dia memejamkan mata
selama beberapa waktu dan akhirnya menghela napas panjang.

“Ada apa?”

Benjamin mengacuhkan Eden dalam diam.

“Hei! Katakan sesuatu!” Eden mecengkeram pundak kanan Benjamin.

“Target utama operasi kita … ” kata Benjamin, lirih. Tanpa melihat Eden. “Mereka ...
mereka ....” Benjamin mulai kehilangan minat untuk menyelesaikan kalimatnya.

“Ada apa dengan jurnalis Indonesia itu?!”

Dalam gerakan yang cepat, Benjamin memutar badan, menoleh pada Eden dan cepat-
cepat melontarkan lengan kanannya, menunjuk asap yang berarak dari area kamp pengungsi.
“Mereka ternyata tidak ada di ruangan konferensi pers itu!”

Eden terperangah. “Ba … ba … bagaimana bisa?”

“Markas mengatakan bahwa mereka berada di kota Gaza, saat ini. Lebih buruk lagi
yang kita jumpai tadi bukan jurnalis Indonesia. Mereka jurnalis Malaysia!”

Seketika itu Eden mendapati dirinya tertampar keras. Matanya membelalak. Cepat-
cepat dia membuang muka dari Benjamin dan berjalan beberapa langkah ke arah selatan,
menjauhi Benjamin, mobil Jeep, dan tiga agen bersenjata serta si Pengemudi. Dia
menangkupkan kedua tangannya di depan bibirnya. Seakan-akan ingin menahan jeritan yang
akan menerobos mulutnya.

“Sebagai bentuk pertanggungjawabanku,” katanya, setelah berhasil menghimpun


kekuatan untuk menguatkan diri beberapa waktu kemudian. “Aku akan menyelesaikan
operasi ini, sendirian.”

“Hei. Tunggu dulu. Kau sudah kehilangan akal? Hah?! Di tempat seperti ini .…”

“Aku akan jauh lebih gila bila tidak mampu menyelesaikan operasi ini!”

Rambut panjang Eden yang kini terurai berkibar terkena embusan angin. Debu-debu
beterbangan menerpa mereka. Matahari mulai tergelincir dan menghadirkan lembayung.
28
“Kau tidak mengerti, Eden ....” Benjamin menatap Eden, menggeleng.

“Cukup! Diam kau, Ben!” Eden memutar badan dan menatap tajam pada Benjamin
yang berjarak kurang lebih sepuluh langkah. “Jangan halangi aku lagi dalam urusan ini.”

Benjamin menggeram. “Kau keras kepala, Eden!”

Benjamin menatap Eden, menantikan keputusan darinya. “Jika kau ingin kita berdua
kembali dalam kondisi utuh. Sebaiknya kau turuti permintaanku. Dan, kumohon. Biarkan aku
melakukan ini sendirian.”

Benjamin diam selama hampir satu menit. Dadanya kembang kempis, lalu dia
mendengus singkat. “Baiklah. Baik! ” Benjamin merentangkan lengan. “Sekarang, katakan
apa yang kaubutuhkan.” Dia mengangkat telunjuknya pada Eden. “Kali ini saja!”

Eden menghirup napas panjang, memejamkan mata. Angin panas mendesau di antara
keheningan gurun mini khas Perbatasan Erez.

“Kau memiliki daftar jurnalis asing lain yang tidak hadir di sana, bukan? Bagus.
Sekarang, tolong kau atasi tiga jurnalis lain yang juga tidak berada di sana. Aku akan
mengatasi jurnalis Indonesia ini. Jangan katakan apa-apa pada ayahku. Jika kau berubah
pikiran, katakan sekarang juga. Jangan menunggu hingga aku selesai dengan urusanku.”
Tukas Eden, kemudian. Tegas, tak terbantahkan.

Benjamin menimbang-nimbang. Benaknya menelaah risiko apa yang akan didapatnya


dari keputusannya kali ini. Setelah cukup lama mempertimbangkan, akhirnya dia mengusap
setengah wajahnya dan mengangguk.

29
3

Gadis yang Terluka

“Roket-roket yang melintas di langit Gaza menjadi pemandangan mencengangkan saat ini.”
Kata Handaru yang di ruangan DAQU—Daarul Qur’an, memunggungi bendera Palestina
yang membentang di dinding. “Hingga saat ini, korban meninggal dunia akibat serangan
udara Israel mencapai empat puluh empat orang. Kita semua tentu berharap serangan-
serangan ini segera mereda. Mengingat banyak anak-anak dan wanita yang juga menjadi
korban.”

“Baik. Terima kasih atas laporan Anda, Handaru Lawana dari Gaza. Selalu jaga diri
Anda di sana.” Ucap news encore wanita Ficus Television, salah satu stasiun televisi baru di
tanah air yang berani mengirimkan dua jurnalisnya ke Jalur Gaza.

Saat ini, Handaru sedang melakukan reportase hasil liputannya selama tiga hari
terakhir. Sebagian besar perjalanan dilaluinya dengan keberanian yang dipaksakan.
Bagaimana tidak, setiap gerak-geriknya selalu mengundang drone Mossad. Bukan perkara
mudah untuk menghindari intaian pesawat tanpa awak yang bertebaran di setiap sudut kota
itu. Memantau setiap pergerakan mencurigakan yang nantinya akan mengirimkan sinyal pada
jet tempur.

Ruang tempat Handaru melaporkan hasil liputannya ini merupakan bagian dari
DAQU. DAQU adalah sebuah gedung bertingkat dua yang terletak di Jalan Salahuddin, Gaza
Utara, yang juga tempat bagi anak-anak Gaza belajar menghafal Alquran. Setiap sore,
Handaru—satu di antara tiga orang guru mengaji—membantu 160-an anak-anak yatim piatu
untuk menjadi hafiz. Selain sebagai ibadah, gedung yang dibangun dengan bantuan warga
lokal Gaza ini juga menjadi tempat menginap Handaru dan Prayata selama menjalani
ekspedisi Timur-Tengah Gaza ini.

Dalam pembelajaran dan hafalan Alquran di DAQU, setiap muridnya tergabung


dalam sebuah halaqah—kelompok. Setiap halaqah bernamakan pahlawan-pahlawan asal
Indonesia. Misalnya, Pattimura, KH Hasyim Asy’ari, KH Ahmad Dahlan, Cut Nyak Dhien,
atau Otto Iskandar Muda. Setiap santri biasanya datang setelah sepulang sekolah atau setelah
salat Magrib. Rata-rata tiap santri mampu menghafal 10 hingga 60 lembar Alquran.

30
Menyadari bahwa semangat para pejuang cilik ini begitu membara, Handaru
merasakan bahwa kehadirannya di sini—jauh meninggalkan keluarga, kerabat, saudara, dan
teman-temannya—terbayar lunas. Sekali dayung, dua tiga pulau terlampaui. Itulah yang
dirasakannya. Selain dapat menyiarkan kebaikan melalui bidang jurnalistiknya, dia juga dapat
membagi ilmunya kepada murid-muridnya. Satu tradisi penting di DAQU adalah pembacaan
surat Al-Kahfi tiap hari Jumat.

“Cukup.” Prayata mengangkat ibu jarinya. “Sudah lebih baik.”

Handaru mengembuskan napas, berjalan meninggalkan area liputan mendekati


Prayata yang masih mengutak-atik camcorder dan terpasang di atas tripod. Sapu tangan yang
baru bisa dia ambil dari saku celana panjang hitamnya segera bertugas mengeringkan
keringat yang membasahi pelipis dan dahinya.

“Kau masih terlihat sedikit gugup tadi.”

“Saya akan belajar untuk lebih baik lagi.”

“Untuk pemilihan kata, struktur kalimat menurut saya sudah cukup bagus.” Kata
Prayata memperhatikan layar video yang menayangkan hasil rekaman reportase Handaru,
mengamati bagian-bagian mana yang perlu diperbaiki atau ditingkatkan. “Kalau saya boleh
menyarankan ... kau perlu memperbaiki stabilitas emosimu saja.”

Handaru yang membungkukkan badan di samping Prayata mengangguk. Turut serta


mengamati hasil rekaman liputan itu.

“Nah,” kata Prayata. “Pada bagian ini, coba kau lihat. Ekspresi wajah dan artikulasi
masih menjadi masalah. Memang tidak terlalu menggangu, tetapi untuk liputan breaking
news seperti ini, tentu menjadi penilaian tersendiri bagi setiap pemirsa.”

Handaru mengenal Prayata semenjak setengah tahun yang lalu. Kala itu, Ficus
Television—sebuah stasiun televisi swasta baru di Indonesia—mengagendakan ekspedisi ke
Timur-Tengah. Mereka merekrut dan menjalin kerjasama dengan organisasi-organisasi
kemanusiaan peduli konflik Timur-Tengah untuk memberikan sebuah kemoterapi. Tujuan
utama dari ekspedisi ini adalah menelaah dan memilah informasi-informasi teraktual, terkini,
dan paling faktual yang terjadi di wilayah-wilayah konflik seperti Palestina, Suriah, Yaman,

31
dan Oman. Meskipun mendapat saingan dari salah satu pihak televisi senior, Ficus Television
tetap percaya diri dalam upaya mengimbangi stasiun televisi senior itu.

“Iya. Saya tadi juga merasa seperti sedikit kehilangan konsentrasi, Pak.”

“Apa penyebabnya?”

Handaru kembali mengusap keningnya dengan sapu tangan.

“Cuaca akan terus seperti ini, Handaru. Ini saja baru sekitar 35° celcius.”

Ludah meluncur di balik kerongkongan Handaru.

Prayata hanya tersenyum, kemudian dia mengisahkan awal kedatangannya dahulu di


Bumi Filistin ini. Saat itu usianya masih 27 tahun. Belum menikah. Saat bertugas sebagai
jurnalis muda sama seperti Handaru saat ini, dia juga merasakan hal yang sama dengan apa
yang dirasakan oleh Handaru. Tubuh terasa lengket, basah kuyup oleh peluh.

Bagi yang tidak terbiasa dengan suhu sepanas ini, tentu akan mendapatkan efek
samping tertentu. Seperti misalnya mimisan, pusing, dan boleh jadi pingsan. Perbekalan air
mineral menjadi bagian paling krusial. Tanpa harus mengesampingkan kebutuhan lain seperti
kacamata, kafiyeh, atau juga masker—untuk menangkal debu-debu yang kerap kali
beterbangan menyergap wajah.

Setelah mendengar cerita itu, Handaru minta diri. Menuju dapur, meraih dua buah
gelas, mengisinya dengan air putih dari dispenser, dan kembali ke samping Prayata. Sebelum
melanjutkan perbincangan, mula-mula Handaru menyodorkan segelas air putih segar pada
seniornya itu. Sosok pria berusia akhir tiga puluhan berkulit sawo matang, berjenggot rapi,
dan seorang yang penyabar.

Dia memiliki dua anak perempuan yang harus dia tinggalkan di kampung halamannya
di Tegalrejo bersama istri dan ibunya. Prayata, alumnus sastra Arab, mahir berbicara bahasa
Inggris. Dia, Prayata, mendapatkan tugas khusus untuk membimbing Handaru—sebagai
jurnalis muda yang baru direkrut oleh Ficus Television—selama ekspedisi Timur-Tengah ini.
Ficus Television mengirimkan tim lainnya, ke dua area konflik lainnya, yakni Suriah dan
Yaman.

32
“Soal peliputan tadi,” kata Handaru. “insyaallah pada liputan berikutnya saya sudah
lebih baik, Pak.”

Setelah meneguk airnya, Prayata berkata. “Bukan itu yang sebaiknya kita pikirkan
sekarang. Coba kau lihat ini.” Prayata kini membuka laptopnya dan menunjuk sebuah artikel
berbahasa Inggris. “Kamp pengungsi Jabalia, luluh lantak. Tiga buah jet tempur Israel
membombardir tempat itu.”

Handaru meletakkan gelasnya di atas sebuah meja kecil tak jauh darinya.
Mendekatkan diri pada layar laptop, mengernyitkan dahi, dan mencermati judul artikel itu.
Jabalia Refugee Camp after Israeli Airstrike. Tiba-tiba Handaru berkata, “Tunggu dulu,
Pak.” Cepat-cepat dia menyambar tas ranselnya yang dia gantungkan pada salah satu paku di
dinding. Merogoh isinya. Dan, meraih sebuah buku catatan bersampul coklatnya dari
dalamnya. Bergegaslah dia kembali menggabungkan diri dengan Prayata.

Saat telah menemukan posisi terbaik, dia membuka halaman demi halaman dengan
penuh konsentrasi. Tak berselang lama, dia terperanjat ketika menyadari bahwa pada waktu
yang sama dengan insiden itu, sebetulnya mereka memiliki tanggungan meliput kondisi
terkini kamp pengungsi itu.

“Ada apa, Han?” Prayata menatap bingung pada Handaru. Ketika Handaru
menyodorkan buku catatan bersampul coklatnya, dia meraihnya dan mencoba mencari tahu
apa yang sesungguhnya terjadi. Tepat setelah Prayata memeriksanya, dia menggumam. “La
haula wala quwwata illa billah ….” Dia menggeleng-geleng, memejamkan mata.

“Memangnya mengapa kita melewatkan jadwal peliputan di sana, Pak?”

Prayata menutup buku catatan bersampul cokelat itu, menatap Handaru. “Memang
benar jadwal kita ke Jabalia, tetapi menurut jurnalis lain yang berada di sana, situasi sedang
tidak kondusif untuk mengadakan peliputan karena jet-jet tempur dan drone Israel memantau
wilayah itu. Mereka mengkhawatirkan para jurnalis di sana. Setahu saya, isu yang
berkembang di kalangan petinggi Israel adalah ancaman dari para jurnalis internasional.”

“Memangnya ada apa, Pak?”

“Apabila yang sebenarnya terjadi di sini tersebar luas, mereka ketakutan. Oleh karena
itulah, mereka berupaya mempersempit pergerakan para jurnalis.”
33
“Berati, jadwal kita selanjutnya langsung ke ....”

Suara gemuruh yang muncul selama beberapa detik—dan kemudian memudar—


sebanyak dua kali berturut-turut merampas kesempatan Handaru untuk menuntaskan
kalimatnya. Pasca suara itu, keheningan merebak. Selama beberapa saat seakan tidak terjadi
apa pun, hingga kejutan berikutnya muncul tak terduga. Suara dentuman menyeruak.
Menggelegar, memekakkan telinga.

Serta-merta langit-langit bangunan hasil sumbangan rakyat Indonesia yang didiami


Handaru dan Prayata bergoncang. Meski hanya sesaat, tapi itu cukup untuk menggugurkan
serpihan-serpihan kecil di beberapa sudut. Bagi mereka berdua, ini adalah alarm bahwa
mereka mendapat pekerjaan baru. Target yang masih hangat. Untuk alasan itulah, kedua
kolega itu segera melompat bangkit, bergegas keluar.

Di luar, insting jurnalis Prayata segera tersulut. Dia memberitahu Handaru—yang


mula-mula disibukkan dengan mengamati orang-orang yang berlarian menghambur melewati
dirinya—bahwa matanya menangkap kepulan asap hitam pekat membumbung tinggi di
kejauhan. Sejenak, Handaru rela melepaskan pandangannya kepada warga sekitar yang
menggumamkan kalimat-kalimat penenang. Awan mendung meliputi wajah mereka satu per
satu. Di sela-sela mereka, jerit ketakutan menyeruak menyertai tangisan dan teriak pilu.

Andai terlambat sepersekian detik saja dalam merangkul salah seorang pemuda yang
wajahnya memucat, boleh jadi Prayata tidak akan mendapatkan kejelasan tentang apa yang
baru saja terjadi—kendati dirinya sudah mengetahui, secara kasat mata, apa yang terjadi.
Bagi Prayata, bukan itu tujuan utamanya menghentikan laju si Pemuda, melainkan untuk
memastikan apakah bahwa bom itu jatuh tak jauh dari lokasi mereka saat ini atau tidak.

“A ... a ... aku tidak tahu. Mu ... mungkin masjid di komplek Zaitun ....”

“Bisakah kau tunjukkan arahnya ....”

Sebelum memberikan jawaban, terlebih dahulu pemuda berusia kurang lebih lima
belasan tahun itu cepat-cepat melepaskan diri dari Prayata dan berlari. Kepergian pemuda itu
diiringi dengan gema takbir dari warga sekitar.

Pandangan kedua kolega tersebut sekonyong-konyong tertuju pada seorang gadis


kecil yang tiba-tiba muncul di antara kerumunan warga. Berlari seorang diri sambil menangis
34
histeris. Mungkin karena pandangan matanya yang tertutup air mata, gadis kecil yang berlari
itu tak sengaja menabrak Handaru. Mencoba menenangkan gadis kecil itu dengan
menggendongnya tak lantas cepat memudarkan tangis dan wajah ketakutan gadis kecil itu.
Maka, Handaru memutuskan berlari melawan arus warga yang berlari-lari kecil menghindar,
berharap ibu dari gadis kecil itu dapat segera dia temukan.

Dalam waktu kurang dari lima menit, seorang perempuan berkerudung hitam yang
menoleh ke segala arah dengan cemas dan meneriakkan sebuah nama, dihampiri Handaru dan
ditanyalah perempuan itu apakah gadis kecil yang digendong Handaru ini adalah anaknya.
Nyaris seketika itu juga Handaru merasa lega mendengar perempuan itu mengiyakan
sekaligus mengucapkan terima kasih.

“Handaru! Ayo, berangkat!” Teriak Prayata dari kejauhan, melambaikan tangan.

Menerjemahkan sinyal itu dengan baik, Handaru membalikkan badan, berlari menuju
Prayata, dan membersamai seniornya itu kembali ke DAQU. Dalam beberapa kejap saja—
karena mengejar waktu—peralatan-peralatan penunjang peliputan macam tas tansel, laptop,
camcorder, tripod, penutup lensa, dan VCR sudah berada digenggaman Handaru.

“Semua siap, Pak!” Katanya, menoleh pada Prayata yang sudah berdiri di ambang
pintu, mengajak bicara seorang pria. Saat Handaru selesai mengunci pintu dan berjalan
mendekat, pria itu sudah pergi. “Ada apa, Pak?” Tanya Handaru, menyerahkan tas ransel
berisi camcorder, tripod, penutup lensa, dan VCR kepada Prayata.

“Pria itu tadi mengatakan bahwa jet tempur Israel baru saja meluncurkan roket ke
Masjid Ribath. Kondisinya parah. Katanya, masjid memang menjadi sasaran mereka. Mereka
menduga para Mujahidin menyembunyikan persenjataan mereka di sana.” Prayata
menyampirkan tas ranselnya ke kedua bahunya dan menoleh ke kanan dan ke kiri,
memastikan bahwa keadaan aman untuk menunjang perjalanan mereka. Kerumuman orang-
orang yang tadi menjejali jalanan sudah menghilang.

“Apa benar letaknya di komplek Zaitun?”

“Tidak ada cara lain selain memastikannya, kecuali kita ke sana.”

“Bagaimana caranya kita ke sana, Pak? Dua hari lalu saja kita nyaris tertangkap.”

35
Memang benar. Dua hari lalu menjadi hari yang akan dikenang sebagai hari satu di
antara sekian hari naas bagi mereka. Bagaimana tidak, saat sedang serius melaporkan berita
tentang rudal Israel yang baru saja meledak di daerah Khan Younis—Jalur Gaza selatan, tiba-
tiba drone Israel muncul dan berhenti selama beberapa saat, mengamati Handaru dan Prayata
dari kejauhan. Andai saja mereka berdua tetap berdiri di tempat, boleh jadi keesokan paginya
Ficus Television harus mengirimkan surat belasungkawa untuk keluarga masing-masing.

“Kita naik Mercy Limousine.”[4]

“Bagaimana dengan ambulans MER-C[5], Pak?”

“Kurasa tidak. Butuh waktu tidak sedikit untuk memintanya.”

“Menunggu taksi ini juga perlu waktu, Pak. Dan kita tidak tahu berapa lama waktu
yang kita miliki untuk sekadar menunggu. Warga lokal saja sudah lari terbirit-birit
mendengar suara ledakan tadi, lalu bagaimana dengan para sopir taksi?”

“Lalu apa saran terbaikmu?”

“Suara ledakan itu tentu akan mengundang ambulan MER-C dan saya hanya perlu
menekan tombol untuk ….”

“Kita segera berangkat atau memperdebatkan hal ini?”

Handaru hanya bisa menelan ludah, menyadari gagasannya tidak tepat.

Sebelum melangkahkan kaki, Prayata memandang ke arah langit, memastikan bahwa


tidak ada drone yang membuntuti keduanya. Aman ternyata. Dengan berbekal niat tulus
untuk menguak kebenaran di tanah mujahidin ini, mereka segera mengambil langkah.
Meninggalkan DAQU di belakang punggung. Menyusuri tanah pecahan negara Palestina ini.

Setengah jam kemudian, kedua kolega itu sampai di Jalan utama Salahuddin Ayyubi.
Jalan sepanjang 41 kilometer ini menghubungkan gerbang Rafah-Jalur Gaza di selatan dan
Jalur Gaza-Perbatasan Erez di bagian utara. Di antara jalanan berpasir dan debu yang
membawa hawa panas menyengat, lalu lintas cukup lengang.

Hamparan aspal yang polos tanpa ada garis marka jalan menampilkan uap panas

[4]
Taksi sedan produksi Mercy. Beroperasi di sepanjang jalan utama Salahuddin Al-Ayyubi.

36
bergoyang-goyang, fatamorgana. Beberapa ekor burung enggan mematuk-matukkan
paruhnya di atas aspal jalan, menolak mencari makanan di sana. Di tengah ketergesaan
mengejar bahan liputan, mobil sedan berwarna kuning dan agak kusam menepi tak lama
kemudian. Jendela depannya terbuka.

Sopir itu tersenyum hangat. “Tafadhdhol.”[6]

“Khoir,”[7] Prayata membuka pintu. Handaru masuk terlebih dulu. “Syukron.”[8]

Mereka berdua duduk bersebelahan di bangku belakang. Udara di dalam mobil


pengap, meskipun keempat jendela kaca mobil dibuka. Terdapat tape recorder tua di
dashboard mobil, kursi berwarna cokelat tua yang berlubang-lubang dengan spons kuning
yang menyembul keluar, kaca jendela bening yang hanya bisa dibuka separuh, dan beberapa
bagian kaca yang retak.

Embusan angin membawa hawa panas menggoda untuk membasahi diri dengan air
dingin segar. Akan tetapi, hal itu tentu sedikit mustahil di Gaza. Ini disebabkan pipa-pipa air
bawah tanah yang terpapar panas matahari menyengat sehingga membuat air yang keluar pun
juga panas. Saat mobil telah bergerak, Handaru urung mencari lagi sabuk pengaman karena
menyadari bahwa sabuk pengaman di bangku tempatnya duduk ternyata sudah putus.

Selanjutnya, obrolan tetap menggunakan bahasa Arab.

“Mau pergi ke mana?” Kata si Pengemudi, menatap spion.

“Masjid Ribath, komplek Zaitun.” Jawab Prayata.

Si Pengemudi diam sejenak, lalu berkata. “Mau apa ke sana?”

“Kami jurnalis, dari Indonesia. Kami ingin meliput kondisi Masjid Ribath yang kata
warga sekitar hancur dirudal Israel.”

Saat mengetahui bahwa Handaru dan Prayata adalah jurnalis Indonesia,

[5]
Medical Emergency Rescue Comittee. Organisasi sosial kemanusiaan yang bergerak di bidang medis. Misinya
membantu korban perang atau kekerasan akibat konflik.
[6]
Silakan.
[7]
Baik.
[8]
Terima kasih.

37
mendadak si Pengemudi menginjak pedal rem dan membuat dua penumpangnya terlonjak ke
depan.

Dengan wajah berbinar-binar si Pengemudi melepas sabuk pengaman, memutar


badan, mengulurkan tangan seraya berkata, “Namaku Mahmoud. Senang berjumpa dengan
kalian, Saudaraku dari Indonesia!”

Mahmoud kemudian, dengan sedikit gerakan, mencoba memeluk Prayata dan dia
mendapatkan balasannya. Namun, dia butuh beberapa jenak untuk mendapat balasan pelukan
dari Handaru. Hingga akhirnya, dia berkata, “Kau tidak ingin menyambutku?”

Handaru melirik Prayata. Dengan tatapan heran dia menunggu jawaban. Akhirnya,
Handaru pun mengikuti apa yang dilakukan Prayata pada Mahmoud. Membalas pelukan.

Sesaat setelah memberi penghormatan kepada Handaru, Mahmoud yang nampaknya


ingin mengutarakan sesuatu terpotong karena di saat bersamaan cepat-cepat Prayata berkata,
“Maaf, kami sedang buru-buru. Bisakah Anda mengemudikan mobil ini lebih cepat?”

“Oh! Oh! Afwan—maaf. Saya akan segera mengantarkan Anda berdua.” Segeralah
Mahmoud bergerak kembali ke posisi semula, memasang sabuk pengamannya lagi sambil
tertawa-tawa kecil. Sesaat kemudian, taksi telah kembali bergerak. Kini lajunya lebih cepat.

Di sepanjang perjalanan, untuk mengusir sepi, Mahmoud bercerita. Dia menuturkan


bahwa dirinya sangat senang bertemu dengan para penumpangnya ini. Menurutnya, orang
Indonesia adalah orang-orang yang sangat baik.

“Begitulah cara kami untuk menyatakan rasa hormat kami pada seseorang. Maafkan
saya jika tadi itu mengejutkan kalian.” Itu jawaban yang muncul dari bibir Mahmoud tentang
mendadak dia menghentikan mobil dan memberikan kejutan untuk kedua penumpangnya.

Roda taksi berputar cepat memasuki kompek Zaitun yang terletak di tenggara Kota
Gaza, melintasi kantor polisi komplek Zaitun. Lengang. Tak ada tanda-tanda kehidupan.
Namun, itu tak berselang lama karena beberapa saat kemudian, tak jauh dari sana, di antara
bangunan-bangunan dari campuran pasir dan semen keropos, terlihat anak laki-laki sedang
berjongkok. Tangan kanannya memunguti sesuatu di antara kerikil, butiran debu, dan batu-
batuan di jalanan, kemudian meletakkan hasil pungutannya itu di atas kertas lusuh di tangan

38
kirinya. Setelahnya, bocah itu berjalan setengah berlari menuju sebuah kardus besar yang
terpasang vertikal yang terletak di atas trotoar tak jauh dari posisi awalnya.

Andai kata adegan berikutnya tidak menarik, boleh jadi Handaru akan mengalihkan
pandangannya pada sesuatu yang lain. Namun, ternyata Handaru tidak memilih opsi itu
karena kejadian selanjutnya justru sukses merampas perhatian dan minatnya. Dari balik
matanya, Handaru mengamati bocah itu meletakkan kertas lusuh yang dia bawa tadi di
samping kaki kirinya, kemudian kedua tangannya terjulur ke dalam kardus dan menggoyang-
goyangkan sesuatu di dalamnya. Handaru baru menyadari maksud bocah itu ketika sesosok
anak perempuan muncul dari dalam kardus itu.

Nyaris seketika itu juga Handaru merasakan matanya menghangat dan dadanya sesak
ketika mendapati bocah lelaki itu menyerahkan hasil perburuannya tadi kepada anak
perempuan itu. Dari fisiknya, si Anak Lelaki tampaknya berusia sekitar 10 tahun, sedangkan
anak perempuan itu 2-3 tahun lebih muda. Samar-samar telinga Handaru menangkap suara
percakapan mereka.

“Lihat, Adikku. Aku menemukan sebuah roti!” Bocah itu, dengan senyum
mengembang, menyodorkan kertas lusuh yang di atasnya terdapat remah-remahan roti tadi.
“Kurasa kita cukup mendapatkan makanan untuk hari ini.”

Adiknya, dengan wajah berbalur pasir, awalnya mengucek-ngucek kedua matanya,


barulah kemudian memperhatikan hadiah yang diberikan kakaknya. Pelan-pelan, dia meraih
remahan roti itu dengan tiga jarinya, memasukannya ke dalam mulut, dan mengunyahnya.
Seulas senyum yang menghiasi wajahnya seakan-akan memberitahu sang Kakak bahwa dia
amat berterima kasih dengan pemberian itu.

Melihat adegan ini, Handaru merasakan hatinya teriris. Lamat-lamat memandangi


kedua bocah itu, mata Handaru memanas. Tanpa dia sadari, sebutir air muncul di sudut
matanya, dan saat berkedip, sebutir air itu jatuh meleleh. Melintasi pipi kanannya. Awan
mendung berarak kemudian di depan matanya.

Selama beberapa waktu, dia terus memperhatikan kedua bocah itu.

Saat roti yang terletak di atas kertas lusuh habis, sang Kakak mengatakan bahwa
dirinya akan mencari makanan lagi. Tanpa dia sadari, ternyata adiknya membuntuti di

39
belakang. Setelah saling menatap dan bertukar senyuman, mereka pun berjalan bersisian
sambil bergandengan tangan. Sosok mereka semakin mengecil seiring dengan taksi yang
bergerak menjauh. Handaru tak lagi berlarut dalam keharuannya ketika mendadak dia
terpental dari kursi lantaran ban taksi terjerembab di jalanan berlubang.

“Maaf atas ketidaknyamanan ini,” kata Mahmoud. “Jalanan di sini belum mendapat
suplai material dari pemerintah. Zionis memblokir bantuan dari berbagai negara di
perbatasan. Akibatnya, kami sulit memperbaiki infrastruktur di sini, termasuk jalan.”

Mobil berhasil melenggang melewati jalanan berlubang hingga menjumpai aspal yang
membaik. Meskipun demikian, masih terasa goncangan-goncangan akibat aspal yang
melepuh. Hawa panas nan pengap masih setia menyembur wajah saat menerobos kaca
jendela mobil. Hampir di setiap ruas jalanan selalu dijumpai gedung-gedung atau bangunan
yang tengkurap. Puing-puing reruntuhannya setia di sekitarnya. Pemandangan itulah yang
seolah menegaskan bahwa inilah Penjara (buatan) Dunia.

Memasuki area Bahloul and Shalah Station pemandangan berbeda menyambut


Handaru dan Prayata. Beragam kerangka-kerangka mobil yang hangus terbakar berserakan di
tepian jalan, dinding-dinding berukiran bekas darah dan koyakan peluru-peluru, garis zig-zag
yang bercabang ke mana-mana. Saat taksi berbelok ke kiri, melewati Safad Engineering and
Electronics dan kemudian lurus ke utara, Handaru dan Prayata disambut kehadiran lima anak
laki-laki yang bermain-main di atas sebuah Tank Merkava usang. Mereka tergelak. Melompat
ke sana-kemari dengan riang.

Dalam keheningan yang merebak selama beberapa waktu ini, Mahmoud mencoba
kembali mengakrabkan diri dengan para penumpangnya. “Saya pernah mendengar bahwa ada
beberapa warga Gaza yang bisa berbahasa Indonesia,” seketika itu Handaru dan Prayata
memalingkan wajah dari jendela, menyimak Mahmoud dengan saksama. “tapi saya belum
mengetahui di mana dan siapa yang orang yang dimaksud. Seandainya saya punya banyak
waktu, saya ingin berjalan-jalan bersama kalian untuk mencari keluarga itu. Mungkin saya
juga bisa belajar bahasa Indonesia. Sebentar lagi kalian sampai. Bersiap-siaplah.”

Tak lama berselang, taksi melambat. Suara decitan menyusul kemudian. Asap
mengudara di sisi taksi. Dari kejauhan, reruntuhan Masjid Ribath terlihat jelas. Handaru
membuka jendela dan melongok ke luar—memastikan tidak ada kendaraan yang

40
mendekatinya, membuka pintu perlahan, dan menurunkan kaki kanannya terlebih dahulu.
Dari luar, dia melihat Prayata menyodorkan selembar uang dua puluh lima Shekel—satu
Shekel bernilai sekitar tiga ribu rupiah—pada Mahmoud.

Sambil menangkupkan kedua tangan di depan dada, Mahmoud berkata, “Sudah


simpan saja uangnya untukmu. Syukran, a’la husni ihtimaamikum was tima’ikum, ya Akhi!”[9]

Prayata menahan juluran tangannya, sebelum akhirnya menggeleng, menghela napas,

“Jazakumullah khairan katsiran wa jazakumullah ahsanal jaza!”[10] Mahmoud


mengamati Prayata yang membuka pintu belakang, beranjak turun, dan berdiri menatapnya
sejenak. “Ma’as-salaamah.[11] Assalamu’alykum!” Dia memasukkan persneling, menginjak
pedal gas, dan berlalu.

“Wa’allaikumus salam warrahmatullah.” Gumam Prayata. Setelah mengamati taksi


Mahmoud menjauh, Prayata menoleh pada Handaru, memberikannya aba-aba agar
melakukan tugasnya—mencari titik terbaik untuk reportase—selagi dirinya mengawasi
keadaan sekitar, memastikan bahwa keadaan betul-betul aman. Dan, mencari jalan tikus atau
titik perlindungan jika tiba-tiba drone mengintai mereka.

Sejauh mata memandang, hanya terlihat reruntuhan masjid yang menggunung, saling
menumpuk satu sama lain. Kubah masjid berwarna oranye di kejauhan, seolah menjadi
mahkotanya. Selain itu, tidak ada suara lain selain embusan angin yang menyapu debu-debu
di jalanan. Dan, terik matahari masih menyengat ubun-ubun mereka.

Handaru berjalan menuju ke sisi lain reruntuhan masjid. Berulang kali dia hampir
terjatuh saat melintasi puing-puing yang saling tindih. Saat ini, berjalan bagi Handaru
merupakan ujian ketahanan diri. Selain harus bertahan pada temperatur tinggi, bayang-
bayang kehadiran drone yang tak terduga jelas sebuah ancaman. Namun, itu semua rela dia
lakukan demi mendapatkan sudut reportase terbaik.

Tak berselang lama, setelah sampai di tengah-tengah reruntuhan, Handaru yang

[9]
Terima kasih atas perhatian dan pendengarannya.
[10]
Semoga Allah membalas kalian dengan kebaikan yang banyak dan semoga Allah membalas kalian dengan
balasan yang baik.
[11]
Sampai jumpa.

41
mengenai mata—dan Handaru mengusapnya, matanya menangkap sesosok bayangan hitam
duduk di kejauhan. hampir semua energinya dibeli terik matahari, membungkukkan badan
sambil memegangi lututnya, mencoba mengatur napas. Di saat yang hampir bersamaan
dengan sebutir peluh dan tersenyum. “Baiklah kalau begitu”

Mulanya, Handaru mengira itu hanyalah efek fatamorgana belaka. Namun, saat
memutuskan berdiri dan memicingkan mata, barulah Handaru menyadari bahwa itu memang
benar seseorang. Untuk alasan inilah, Handaru segera berlari menuruni reruntuhan, meliuk
menghindari batu-batuan besar. Beberapa kali hampir terjatuh karena terpeleset Handaru
tidak peduli. Terpenting adalah memberikan bantuan lebih dahulu pada sosok itu karena
berbahaya jika dia berada di sana—apalagi dalam keadaan terluka—di tengah sengatan
matahari seperti saat ini. Bisa-bisa dia malah meregang nyawa karena dehidrasi.

Semakin dekat Handaru dengan sosok itu, semakin jelas pula bahwa itu adalah
seorang perempuan. Derap kakinya yang berulang kali menggelindingkan puing-puing masjid
menarik perhatian perempuan itu. Akhirnya, Handaru mendapati sosok itu adalah seorang
gadis ber-khimar merah marun yang terluka.

42
4

Saksi Mata

Pertama kali Handaru berdiri di dekat gadis ber-khimar merah marun yang terluka itu,
suasana sarat kecanggungan. Hanya terdengar desir angin yang menyemburkan hawa panas
ke wajah. Tidak banyak yang bisa Handaru lakukan saat itu, kecuali menatapnya lamat-lamat.
Maksud hati adalah menolong gadis itu, entah dengan cara menggendongnya atau
membantunya berdiri dan mencarikannya tempat lebih nyaman untuk menunggu pertolongan
berikutnya.

Berulang-ulang kali Handaru menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Menoleh


ke kanan dan ke kiri hingga tidak menyadari peluh telah membasahi dahi, leher, dan
ketiaknya. Setelah beberapa waktu, pada akhirnya dia berani untuk berkata, “Eh ... eh ... apa
... apa ka … kau bai … baik-baik sa … saja?” Katanya dalam bahasa Arab.

Gadis itu tidak menjawab. Justru yang terdengar adalah suara mendesis.

Handaru yang kebingungan, akhirnya mempertimbangkan untuk menggendong gadis


itu dan memindahkannya ke tempat yang lebih aman. Namun, dia terbentur prinsip yang dia
pegang. Maka, dia memutuskan untuk bertanya dahulu. “Di … di mana lukamu?”

Dengan tangan gemetaran, gadis itu menunjuk lutut kanannya yang mengeluarkan
noda merah samar dari balik kain yang menutupi kakinya.

Handaru terperangah. Hampir saja dia justru tertegun di sana mengamati warna
kemerahan itu sebelum akhirnya dia membuang muka. “Te ... tenanglah … di sini masih
aman.” Bodoh. Kenapa itu yang dia ucapkan? Bukannya di sini justru tidak aman? Maka,
cepat-cepat dia menganulir kalimatnya. “Baiklah, a … aku akan menolongmu ... eh, eh …
aku akan membawamu ke rumah sakit terdekat!”

Saat hendak berinisiatif membopong gadis itu, jantungnya berdegup kencang. Rasa
panas nan lembab menggerahkan dahi dan lehernya. Sejurus kemudian, dia menahan juluran
tangannya. Ah! Tidak mungkin kulakukan, katanya pada dirinya sendiri. Aku harus mencari
orang lain. Seorang akhwat!

43
Cepat-cepat Handaru menegakkan punggungnya, kembali menebarkan pandangan ke
sekeliling, mengerang pelan, dan akhirnya berlari. Belum sampai lima langkah diambilnya
menjauh, dia malah berhenti. Menoleh pada gadis itu, mengamatinya selama beberapa waktu,
tampak menimbang-nimbang, hingga akhirnya dia mendecakkan lidah dan berkata dengan
nada setengah berteriak. “Tu, tunggu di sini! Aku akan mencari bantuan!”

Berlari tergopoh-gopoh, Handaru beberapa kali nyaris terjatuh saat kedua kakinya
salah mendarat di atas tumpukan puing-puing reruntuhan masjid. Dia terus berlari menjauh
tanpa memedulikan apa pun karena yang ada dalam pikirannya saat ini hanyalah bagaimana
memberikan pertolongan pertama pada gadis itu.

Handaru berhenti berlari saat tiba di tepi jalan utama Salahudin Ayyubi[12] yang lebar
tak jauh dari posisi awalnya. Angin berembus menyapu debu yang memenuhi jalanan lengang
tanpa garis marka itu. Sejauh mata memandang, tidak ada tanda-tanda kehidupan sedikit pun.
Hening, senyap. Kecemasan menikam Handaru saat dirinya menoleh ke kanan dan ke kiri.
Nihil, tidak ada seorang pun. Ke manakah dia harus meminta bantuan?

Handaru diselimuti kekhawatiran akan tidak didapatinya seseorang yang mampu


memberikannya uluran tangan. Dia mendesis, mengerutukkan gigi. Benaknya berputar-putar
selagi dirinya berdiri sambil berkacak pinggang, mencoba menemukan cara paling rasional
untuk dilakukan. Tak ingin terlalu lama berpikir lagi, akhirnya Handaru mendecakkan lidah
dan bergegas menyusuri jalanan.

Dia melewati gerobak kayu yang tergeletak di tepian jalan—sebuah alat transportasi
sederhana untuk mengangkut sayur-sayuran yang ditarik oleh seekor keledai, toko-toko dan
kios-kios yang telah tutup, sampah berserakan di mana-mana.

Handaru terus saja berjalan sambil setengah berlari dari ujung jalan ke ujung lainnya.
Seolah-olah dengan cara inilah keyakinannya akan hadirnya seseorang atau sekelompok
orang dapat terwujud.

Namun, apa yang diharapkannya berujung pada kesia-siaan. Tidak ada satu orang pun
yang dijumpainya. Kendati dia telah mondar-mandir, menyusuri gang-gang, mengetuk pintu-

[12]
Jenderal dan pejuang muslim yang berasal dari suku Kurdi di Tikrit, utara Irak. Dikenal juga sebagai ulama.
Dia terkenal di dunia muslim dan kristen sebagai seorang yang memiliki jiwa kepemimpinan, dalam
menangani kekuatan militer. Dia juga seorang pengampun saat melawan tentara salib.

44
pintu rumah. Kemungkinan besar, orang-orang telah meninggalkan area ini semenjak
mendengar suara ledakan yang meluluhlantakkan masjid itu. Lagi pula, siapa yang mau
bertahan di dekat area yang menjadi target pemboman di saat-saat genting seperti ini?

Handaru yang kelelahan, berhenti. Membungkukkan badan, mencengkeram lututnya.


Kepalanya tengadah saat mendengar suara kepakan dua ekor burung yang mendarat di tengah
jalan. Melompat-lompat kecil ke sana kemari, mematuk-matuk serpihan makanan yang
terselip di antara partikel debu dan puing-puing sisa ledakan masjid.

Sebuah kertas melayang saat angin kembali berdesir menyapu jalanan. Sampah
plastik beterbangan ke sana-kemari. Kaleng makanan menggelinding. Gerobak kayu
berderak. Sambil mengatur napasnya, Handaru memilih duduk di tepi trotoar sejenak,
mengerang. Menoleh ke segala arah. “Kalau tidak kunjung menemukan seseorang,” katanya
pada dirinya sendiri, mengambil batu kecil. “Bisa-bisa gadis itu sekarat kehabisan darah. Ah!
Apa boleh buat sebaiknya aku kembali saja.” Dia pun melempar batu kecil yang tadi
diambilnya jauh-jauh.

Dua ekor burung yang tadi asyik mencari makan kini mematung. Sesekali
menelengkan kepala. Keganjilan itu merampas minat Handaru. Dia mengerutkan dahi
mengamati tingkah dua burung itu hingga beberapa detik kemudian burung-burung itu
mengepakkan sayapnya, menjejakkan kaki kecilnya, dan buru-buru terbang menjauh.
Kepergian burung-burung mengundang tanya besar bagi Handaru.

Apa yang menyebabkan dua burung itu tiba-tiba pergi?

“Sebaiknya aku ber ….” Belum sempat dia menuntaskan kalimatnya, tiba-tiba
telinganya menangkap deru mesin dari kejauhan. Samar-samar. Handaru, yang kini telah
mengambil beberapa langkah lagi-lagi berhenti, memutar badannya keseluruhan. Menerka-
nerka dari mana dan apa gerangan suara menderu itu. “Jika itu mobil, aku beruntung
seandainya pengemudinya mau membantuku, tetapi … jika itu kendaraan lapis baja yang
numpang lewat … ah, lebih baiknya kupastikan dulu.”

Di antara embusan angin yang bernada panjang, debu yang menebarkan bau logam,
awan putih yang berarak, Handaru bersusah payah menaklukkan kekhawatirannya sendiri.
Setiap detik, sekali jantungnya berdegup. Makin berdetak cepat kala suara deru mesin itu

45
terdengar jelas mendekat. Tanpa berkedip, Handaru mengerutkan dahi menatap ujung
kelokan jalan yang terletak kurang lebih lima ratusan meter di depannya.

Saat suara deru menggema di antara gedung dan bangunan kosong, Handaru
menyerongkan sedikit badannya, takut-takut bila itu memang tank Merkava millik Israel.
Namun, saat kakinya hendak menghentak kabur, seiring napasnya yang kian terengah, seiring
peluh yang bercucuran di kepalanya, rasa penasarannya terjawab.

Dari balik fatamorgana, sebuah mobil ambulans besar berwarna putih dengan dua
lampu berwarna merah di atasnya, mendekat. Sekonyong-konyong, wajah Handaru
mendadak cerah. Dadanya mengembang lega. “Sepertinya ambulans milik MER-C.” katanya,
lirih. “Tak salah lagi. Itu mobil milik MER-C yang dikirim bersama dua unit mobil ambulans
lainnya lewat gerbang Rafah minggu lalu.”

Handaru berpindah ke tengah jalan, melambaikan kedua tangan. Dengan wajah


berbinar dan senyum merekah, dia berdiri di tempat hingga ambulans bertipe mini bus yang
melaju dengan kecepatan sedang itu mendecitkan rem dan berhenti setengah meter di
depannya. Asap bercampur debu mengepul meliputi ambulans. Segera setelahnya, Handaru
berlari ke sisi mobil tempat pengemudinya berada dan mengetuk-ngetuk kaca dengan kedua
telapak tangan terbuka.

Sempat dia terkejut ketika mengetahui bahwa sopir ambulans itu adalah Wiganda,
sahabatnya sendiri. Namun, secepat keterkejutan itu hadir, secepat itu pula dia sadar bahwa
ada seseorang yang membutuhkan pertolongannya. Maka segeralah dia mengatakan bahwa
dirinya membutuhkan Wiganda. “Ada di sana.” Handaru menunjuk ke reruntuhan masjid
Ribath. “Kurasa dia terluka cukup parah.”

“Naiklah ke pintu belakang!” Seru Wiganda, mencengkeram kemudi.

Tak sampai dua detik, ambulans sudah melaju ke tempat gadis itu berada.

Setibanya di tempat semula, Handaru mengikuti Wiganda dan Aruna—salah satu


perawat yang menyertai Wiganda—melompat turun. Mereka segera berlari ke pintu
belakang, mengambil peralatan medis yang dibutuhkan, kemudian berlari beriringan
menghampiri gadis yang terduduk itu. Aruna, dengan cekatan segera memeriksa kaki gadis

46
itu, sedangkan Wiganda menyiapkan barang-barang yang diperlukan untuk tindakan pertama.
Di saat itulah, gadis itu akhirnya menimpali ketika Aruna yang mengajaknya bicara.

Handaru belum menyadari ada Prayata yang berdiri di dekat gadis itu.

Sembari menanti tim medis menyelesaikan tugasnya, Prayata yang sedari tadi
menemani gadis itu akhirnya mengambil tiga langkah mundur. Memberikan ruang lebih
untuk Aruna dan Wiganda menuntaskan pekerjaan mereka. Di samping itu, memang Prayata
ingin membicarakan sesuatu dengan Handaru. Maka, dia menepuk pundak Handaru yang
berdiri satu langkah di depannya.

Menoleh, memahami isyarat yang diberikan oleh Prayata, Handaru memutar badan,
menggabungkan diri dengan Prayata, dan mensejajarinya.

Sebelum memulai obrolan, terlebih dulu Prayata melongok, memastikan Aruna dan
Wiganda tidak menguping pembicaraan mereka. “Baiklah. Langsung saja kita evaluasi ini.”
Kata Prayata. “Apa kesalahan yang baru saja kauperbuat?”

Handaru menelan ludah. “Meninggalkan korban di tempat tidak steril.”

Prayata bersedekap, menundukkan kepala sesaat, lalu mengangguk-angguk.

“Tadi saya hanya ....”

“Saya tahu. Kau berlari ke sana-kemari mencari bantuan, bukan?”

“Saya tidak memiliki pilihan lain, Pak.”

Sambil mengamati Aruna memeriksa luka gadis itu, Wiganda mengambil segulung
perban, gunting, alkohol—untuk mensterilkan luka, dan sarung tangan plastik untuk Aruna.
Dalam kondisi tertentu seperti ini, Aruna dan Wiganda memiliki tanggung jawab berbeda
bagi setiap korbannya. Dan, mereka telah menyepakati akan menangani korban—apabila
memungkinkan—sesuai dengan gender mereka masing-masing, sebagaimana saat ini.

Sesaat kemudian, Aruna meminta Wiganda untuk menyiapkan alkohol. Kaki gadis itu
perlu segera dibersihkan karena banyak sekali timbunan pasir yang menutup lukanya. Maka,
dengan sigap, Wiganda membuka tutup botol alkohol dan memberikannya pada Aruna.
Setelahnya, dia mengambil gunting dan memotong perban. Saat luka sudah dibersihkan,
seusai memberikan perban siap pakai pada Aruna, tanpa menunggu perintah, Wiganda
47
berdiri, memutar badan, menunggu Aruna menyelesaikan balutan perbannya pada lutut kanan
gadis itu—khimar terusan yang menutupi bagian kaki gadis itu tersingkap.

“Tentu kau punya.” Kata Prayata dengan nada datar. “Kau bisa memanggil saya untuk
meminta bantuan, kemudian kita bisa memindahkannya ke tempat yang lebih nyaman
terlebih dahulu. Barulah kau boleh mencari bantuan selagi dia ada yang menjaga.”

Mendengar penjelasan itu, Handaru hanya menunduk. Betul juga apa yang
disampaikan Prayata. Kenapa pula dia harus membuang-buang waktunya di jalan tadi,
padahal ada Prayata yang boleh jadi bisa membantunya?

Prayata mengusap muka dengan telapak tangan kanannya. Diam sejenak.

“Kejadian ini tidak akan terulang kembali, Pak.”

“Bagus. Kuharap juga begitu.” Prayata mendesah, seakan putus asa.

Lengang beberapa jenak. Hingga kemudian, Wiganda berjalan mendekat dan


menggabungkan diri dengan keduanya.

“Bagaimana keadaannya, Dok?” Tanya Prayata.

“Aruna yang akan menjelaskannya, Pak.” Wiganda mengusap peluh di dahinya


dengan lengan rompinya. Dia mengernyitkan dahi, memicingkan matanya.

Wiganda adalah pemuda semampai, berambut pendek rapi, berwajah persegi,


berkumis tipis, dan berjanggut sedang. Dia adalah hasil seleksi ketat MER-C untuk relawan
yang layak bertugas di wilayah Jalur Gaza. Handaru mengenal Wiganda sejak sekolah dasar.
Meskipun selama menjalani 3 tahun masa sekolah menengah pertama tanpa komunikasi satu
sama lain, saat menginjak sekolah menengah akhir, perguruan tinggi pun, hingga sekarang,
mereka tak terpisahkan satu sama lain.

Keduanya memang berjodoh. Terbukti, takdir mempertemukan keduanya saat sama-


sama menempuh seleksi calon jurnalis di Ficus Television. Namun, karena gagal melanjutkan
ke tahap berikutnya—saat memasuki fase pembekalan dan persiapan ekspedisi Timur-
Tengah, Wiganda memutuskan untuk kembali menekuni bidang yang diambilnya setelah
lulus dari Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan dengan bergabung bersama MER-C. Akhirnya,

48
keputusannya untuk tidak melanjutkan karier sebagai jurnalis tergantikan dengan posisinya
saat ini sebagai relawan medis.

“Wiganda, ini Pak Prayata. Beliau ini juru kamera sekaligus guruku dalam ekspedisi
kami. Pak Prayata Saepulloh.” Handaru memperkenalkan Prayata pada sahabatnya. “Sejak
pertama kali beliau memanggilku untuk menjalani proses perekrutan, hingga saat ini, beliau
sangat sabar membimbingku.”

“Pak,” Wiganda mencondongkan badan dan menjabat tangan pria itu. “Saya Wiganda
Ardika.” Setelah bersalaman, reflek tangan Wiganda menyentuh dada.

Prayata tersenyum melihat pemuda berwajah kalem itu. “Bagaimana kondisi


kesehatan warga Gaza sampai hari ini, Dok?”

Handaru cepat-cepat mengambil buku catatan bersampul cokelatnya dari dalam ransel
dan mulai mencatat, merebut setiap kemungkinan informasi penting yang akan didengarnya.

“Selama sepekan terakhir, RSI—Rumah Sakit Indonesia—kehadiran banyak sekali


pasien. Total hampir 120 pasien berdatangan per harinya. Sebagian besar adalah wanita,
anak-anak, dan lansia. Beberapa di antara mereka mujahidin. Kami sempat kewalahan karena
kehabisan obat-obatan dan infus. Pemerintah Israel meminta pihak militer Mesir mencegah
masuknya logistik dan obat-obatan di gerbang Rafah.”

“Seburuk itukah kondisinya saat ini?”

“Kurang lebihnya seperti itu, Pak.”

Prayata menundukkan kepala, seolah-olah menyesal karena ini ulahnya.

“Kabar baiknya,” mendengar ini kata ini, Prayata mengangkat wajah. “Tiga hari
terakhir, bantuan dari Jakarta berdatangan. Mengalir lancar. Alhamdulillah.”

“Alhamdulillah. Semoga tidak ada permasalan serius lagi. Sesungguhnya, yang


mereka butuhkan itu bukan warga sipil, melainkan para mujahidin ini, tetapi entah apa yang
ada di pikiran mereka hingga berani mengincar warga sipil juga, para zionis itu.”

Wiganda mengangguk, mengiyakan sekaligus menyesalkan keadaan.

49
“Sepertinya Aruna sudah siap memberi kabar.” Sahut Handaru, melihat Aruna yang
juga berjalan menuju ke arahnya, menggabungkan diri dengan ketiga pria lainnya.

Meletakkan kedua sarung tangan putihnya yang berlepotan noda merah ke kantong
plastik yang juga dia bawa serta, Aruna berhenti di samping Wiganda. Semua mata kini
tertuju padanya.

“Jadi, bagaimana hasilnya?” Tanya Prayata.

“Baik. Gadis itu bernama Fatimah, berasal dari Khan Younis. Saat saya bertanya
bagaimana bisa dia berada di tempat ini, dia menjawab bahwa dia sedang dalam perjalanan
mencari ibunya. Kelelahan akibat perjalanan jauh menjadi alasannya singgah di masjid ini
untuk salat dan beristirahat.” Aruna diam sejenak, memastikan para pendengarnya memahami
kalimatnya, lalu dia melanjutkan, “Apakah betul di sini sebelumnya terjadi ledakan akibat
rudal Israel?”

“Seperti yang sudah kamu lihat.” Prayata menolehkan kepalanya, memberi isyarat.
“Puing-puing berserakan hingga ke jalanan seperti itu.”

“Lalu apa yang terjadi selanjutnya?” Kali ini Handaru yang bertanya, masih tetap
sambil menggoreskan pena ke atas lembaran buku catatannya.

Aruna mengangkat bahu, mengeleng pelan. “Dia tidak mau mengatakannya. Besar
kemungkinan dia masih trauma. Selain karena efek dari lukanya, ledakan yang
menghancurkan masjid ini juga mempengaruhi kondisi psikis dan kejiwaannya. Untuk itulah
saya tadi tidak melanjutkan untuk mengajukan pertanyaan lagi.”

Prayata mengangguk samar dan Handaru menoleh, mengamati gadis itu.

“Tapi … dia tadi sempat mengatakan bahwa melihat tiga titik hitam kecil melesat di
langit, kemudian samar-samar mendapati sebuah rudal yang dibuntuti asap putih menukik
tajam. Hal terakhir yang diingatnya hanyalah saat kau menghampirinya.” Aruna menoleh dan
menatap Handaru. Dan, kali ini semua pandangan tertuju pada Handaru.

Handaru menatap Aruna. “Apa dia akan baik-baik saja?”

“Insyaallah. Lukanya memang parah, tetapi setidaknya pendarahannya masih bisa


dihentikan. Meski begitu, itu tidak akan bertahan lama. Kami perlu melakukan operasi,
50
menjahit robekan. Dia tadi mengeluhkan kaki kanannya mati rasa. Aku khawatir dia
mengalami patah tulang. Jika iya, butuh waktu yang lama untuknya benar-benar pulih. Ada
pun jika lukanya sembuh, traumanya juga membutuhkan waktu untuk berangsur hilang.”

“Berapa lama waktu penyembuhannya?” Prayata sedikit cemas.

“Untuk hal itu, kami belum bisa memastikan.”

Prayata melirik ke bawah, menimbang-nimbang. “Kami membutuhkan informasi dari


gadis itu untuk bahan reportase kami. Terlebih, dia adalah saksi mata insiden ini. Gadis itu
adalah aset bagi kami. Untuk itu, tolong kabari kami agar kami bisa memantau juga
perkembangan kondisinya.”

“Insyaallah, Pak.” Kali ini Wiganda yang menjawab. “Kami akan menghubungi lewat
Handaru nantinya. Kau masih menyimpan nomorku, kan?”

Handaru mengiyakan.

“Baiklah. Kami izin pamit.” Kata Wiganda, lagi. “Kami akan membawanya ke RSI.
Assalamu’allaykum!” Wiganda bergantian menyalami Handaru dan Prayata.

“Wa’alaikumus salam warrahmatullah. Jaga dirimu baik-baik, Han.”

“Kau juga, Saudaraku.” Mereka berdua berpelukan.

“Kunjungi kami di RSI jika ada waktu.”

“Insyaallah.” Handaru Aruna—yang sebelumnya juga mohon diri dengan cara


menangkupkan tangan di dada dan menganggukkan kepala—mendekati gadis itu dan
membantunya berjalan dengan cara membopongnya, sementara Wiganda berlari ke pintu
belakang, membukanya, dan menunggu Aruna dan gadis itu naik. Setelahnya, dia menutup
pintu belakang, berlari menuju bangku depan. Sebelum masuk pintu ambulans, terlebih
dahulu dia melambaikan tangan, lalu masuk dan menyalakan mesin. Bergerak menjauh. Debu
yang beterbangan mengiringi laju ambulans itu.

“Aku akan mengambil peralatan rekaman. Tadi kutinggalkan begitu saja saat
menyadari kau tidak berada di posisimu.” Selang beberapa waktu kemudian, Prayata
menggabungkan diri lagi dengan Handaru. Menyodorkan air mineral yang kemudian diterima
oleh koleganya itu dan berlama-lama meneguknya. Setelah hening beberapa jenak, dan
51
Prayata menerima kembali air mineral miliknya, dia mengajak Handaru mencari tempat
untuk duduk. “Aku ingin menceritakan sesuatu padamu.” Katanya.

Saat menemukan tempat yang lebih teduh—di bawah bangunan kosong yang hanya
tinggal tiang penyangganya saja—Prayata membuka resleting tasnya, meraih sebuah album
foto dari dalamnya, dan menyodorkan pada Handaru. Album foto itu warnanya abu-abu, agak
tebal, dan berukuran seperempat novel. “Buka saja.”

Meski awalnya bingung, Handaru akhirnya membuka sampul album itu. Dalam hati,
dia bergumam, Untuk apa pak Prayata memberikanku album foto ini?

52
5

Perindu Syahid

Mula-mula, Handaru ingin bertanya apa maksud dari Prayata memberikan album foto itu
padanya, tetapi dia urung melakukannya. Maka, hal selanjutnya yang dia lakukan adalah
mengamati halaman pertama album foto itu.

Pada halaman itu, dia mendapati foto seorang pria yang seluruh bagian kepalanya
terbungkus kafiyeh kotak-kotak hitam putih sedang bersujud. Camo lengan panjang
membungkus tubuhnya. Di samping kanannya, tergeletak sebuah senapan laras panjang M-
16. Di samping kirinya, reruntuhan bangunan yang menggunung di kedua sisi jalanan
berpasir yang sempit menjadi latar belakangnya. Di kejauhan, tepat di belakang kepala pria
itu, kepulan asap hitam pekat membumbung tinggi.

Selama beberapa waktu, Handaru membolak-balik halaman demi halaman. “Siapa


pria yang ada di foto ini, Pak?”

“Itu adalah Sulaiman al-Jabari.”

Handaru mengerutkan dahi, nama itu asing di benaknya.

“Dia adalah salah satu sosok terpenting dalam hidup saya.”

Merasa cerita ini akan menjadi kisah yang menarik, Handaru memposisikan dirinya
senyaman mungkin, bersandar pada dinding. Bersiap menyimak.

“Ini ada kaitannya dengan kejadian tadi. Selain itu, aku akan sedikit menceritakan apa
makna perjuangan. Kuharap kau menyimak ini dengan baik.”

Prayata lalu menceritakan tentang Sulaiman al-Jabari. Pemuda berusia pertengahan


dua puluhan yang tangguh. Sekaligus keras kepala. Asalnya dari Gaza Selatan. Takdir
mempertemukan mereka ketika Prayata, yang saat itu baru lolos pembekalan ekspedisi
Timur-Tengah I, mendapat tugas meliput kamp pengungsi Khan Younis. Prayata tentu tidak
sendiri, dia mendapat bimbingan langsung dari Kepala Divisi perekrutan calon jurnalis
Ekspedisi Timur-Tengah yang usianya 20 tahun lebih tua darinya.

“Ketika itu, saya berposisi sebagai reporter dan senior saya adalah juru kameranya.”
Kata Prayata, menawarkan air mineral yang tinggal seteguk saja pada Handaru. Dia
53
mengamati Handaru menghabiskan sisa air itu. Dan, setelahnya, Prayata melanjutkan
ceritanya.

Tugas pertama yang diamanahkan dewan direksi kepada Prayata adalah


mewawancarai para pengungsi di kamp dalam sesi Breaking News di tempat yang sama.
Prayata ingat saat mewawancarai seorang nenek tua berusia nyaris 90 tahun. Bukan tanpa
alasan nenek itu menarik minat Prayata untuk digali informasinya. Di tengah kondisi serba
terbatas, nenek tua itu harus hidup sebatang kara. Suami dan seluruh keluarganya meninggal
dunia akibat pemboman oleh jet tempur Israel. Mirisnya, dialah satu-satunya yang selamat.

Bagaimana hal itu bisa terjadi? Tanya Prayata, menyiapkan pena dan notesnya,
memunggungi kamera.

Saat itu kami sedang berkumpul untuk melaksanakan iftar—membatalkan puasa


Ramadan—di salah satu rumah kakak ipar saya. Saat sedang makan, tiba-tiba saya
merasakan firasat buruk. Sesuatu akan terjadi. Saya tidak tahu apa itu dan kapan terjadi.
Saya mencoba memperingatkan seluruh keluarga yang hadir di sana, tetapi mereka tidak
percaya, nenek itu diam selama beberapa saat. Tatapan kosong nenek itu berubah menjadi
berkaca-kaca dan bibirnya bergetar saat akan melanjutkan kalimatnya. Mereka mengatakan
bahwa tentara Zionis tidak akan mengusik mereka selama bulan Ramadan karena
pemerintah kami dan pemerintah Israel telah sepakat untuk melakukan gencatan senjata.

Gencatan senjata. Prayata mencatat informasi itu. Apakah mereka benar-benar


menepati gagasan itu?

Nenek tua itu menggeleng, menarik selimut tipisnya sampai ke dada dan diam lagi.
Beberapa waktu kemudian, bahunya bergoncang, dia terisak. Tidak memerlukan waktu lama
untuk Prayata menyimpulkan cerita nenek tua itu.

Prayata menduga jalan pikiran nenek itu—sambil menunggunya lebih tenang untuk
menyelesaikan ceritanya. Kecewa karena gagasannya tidak didengar, nenek itu memutuskan
pergi ke luar rumah. Berjalan jauh meninggalkan rumah demi menenangkan diri. Di saat
nenek itu sudah menemukan tempat ternyaman untuk menenangkan diri, ternyata firasat yang
melandanya itu benar adanya.

54
Sekonyong-konyong, jet-jet tempur Israel meraung di atas keheningan langit Gaza
Selatan. Merasa bahwa sesuatu yang buruk itu akan terjadi tak lama lagi maka nenek itu
memutuskan untuk pulang. Entah apa maksud Langit saat itu karena nenek itu dibuat tertegun
ketika dirinya pulang, rumahnya sudah rata dengan tanah. Tidak ada apa-apa selain kobaran
api, beberapa wanita yang histeris, dan para pria yang mencoba memadamkan api dan
menyingkirkan puing-puing rumah. Nenek itu berdiri tercengang seorang diri di kejauhan
menatap dengan penuh ketidakmampuan untuk mengubah keadaan.

“Bagaimana keadaan nenek itu sekarang?” kata Handaru, menanggapi.

“Mungkin setelah mendengar cerita yang akan kusampaikan ini, kau bisa
menyimpulkannya sendiri.”

Handaru mengangguk, mengiyakan.

“Sesaat sebelum aku hendak berpindah, maksudku untuk mewawancarai korban lain
dan memberikan nenek itu waktu menenangkan diri, nyaris di saat yang bersamaan, mimpi
buruk melanda.” Prayata diam sejenak. Mencoba meruntutkan adegan-adegan di dalam
benaknya supaya Handaru mendapat detail betapa mencekamnya keadaan kala itu. “Sebelum
aku melanjutkan kisah ini, aku meminta tolong padamu untuk memaknai kisah ini dengan
baik. Mengerti? Bagus. Sekarang, aku akan melanjutkan.”

Gerombolan tentara zionis tiba-tiba mengepung kamp pengungsi. Untuk urusan


merenggut keceriaan mereka jagonya. Orang-orang berhamburan. Berlari ke sana-kemari
mencari perlindungan. Dalam waktu sekian detik saja, peluru berdesing di mana-mana.
Granat tangan meledak di sisi itu, jerit kesakitan menyeruak di sisi sana. Lenyap sudah
ketentraman ini.

Anak-anak dengan pilu berteriak mencari ibunya. Para wanita menjerit-jerit. Berlari
tak tentu arah dan tujuan. Beberapa pria dan sekelompok remaja malang terinjak kerumunan
yang menghambur ke mana-mana, bahkan ditangkap karena mengancam tentara zionis
dengan melempar batu. Semerbak amis menguar, menusuk hidung. Melengkapi kekalutan
yang sedang terjadi. Keadaan memburuk tepat ketika dua tank Merkava turut serta
menyemarakkan prahara.

55
“Bisa kaubayangkan seperti apa situasi saat itu? Beberapa mujahidin, yang tentunya
kalah jumlah, buru-buru menyambar AK-47 ataupun M-16 yang disandarkan di dinding
kamp. Asalnya dari sisi barat! kata seorang mujahidin kepada salah seorang rekannya saat
itu. Beberapa momen pertempuran itu ada di lembar selanjutnya.”

Handaru memalingkan wajahnya dari Prayata ke album foto. Tangan kanannya


membuka halaman berikutnya. Didapatinya beberapa foto. Dan, satu foto yang paling
menarik perhatiannya adalah Tank Merkava yang menembak salah satu bangunan hingga
sasarannya memuntahkan kepingan-kepingan batuan sebesar buah kelapa—bahkan ada yang
dua kali lebih besar. Serpihan raksasa bangunan itu berhamburan di udara. Pada foto lain,
malah ada yang mendarat di antara beberapa orang mujahidin yang berlari menjauh.

Di beberapa lembar berikutnya, seorang mujahidin berpakaian serba hitam—yang


seluruh wajahnya terbungkus kafiyeh kotak-kotak hitam-hijau, berjongkok dan mengambil
sesuatu dari saku depan seorang serdadu Israel yang tewas bersandar pada roda-roda tank.
“Itu satu-satunya tank Merkava yang berhasil dilumpuhkan mujahidin yang jumlahnya kira-
kira hanya berkisar lima puluhan orang. Bandingkan dengan pasukan zionis itu yang
berjumlah nyaris seratusan orang!” Ujar Prayata, menggigit bibir bawahnya.

Hanya mendengar dan melihat dokumentasi itu saja, Handaru sudah bergidik.
Berulang kali menelan ludah. Dia tidak menyangka bagaimana jika dirinya yang terjebak
dalam keadaan seperti itu. Saat-saat di mana batas hidup dan mati hanya sebatas untaian tali.
Tidak banyak pilihan kematian yang dapat dipilih. Tertembus peluru atau terpapar ledakan.

“Kapan kejadian ini berlangsung, Pak?” Tanya Handaru kemudian.

“Seingat saya tujuh tahun yang lalu. Akhir tahun 2008.” Prayata perlahan-lahan
memandang lurus ke depan, membisu selama beberapa saat sebelum akhirnya menengok
pada Handaru dan berkata,“Menyaksikan peluru-peluru membabi buta, bom meledak di sana-
sini, atau jeritan tangis yang menggema dari segala penjuru, menurutku masih kalah seram
dengan satu kenangan lain. Sampai detik ini, aku sukar melupakannya.”

Handaru menutup album foto itu dan menyelipkan jari di antaranya.

“Bukan perkara mudah untuk sekadar meninggalkan barak pengungsian—menuju


zona merah—dengan membawa camcorder dan kamera digital yang cukup berat. Terlebih

56
lagi, kematian mengincarmu dari segala sudut. Jangan ditanya apakah aku takut atau tidak
saat itu karena jawabannya adalah ya.” Prayata tersenyum kecut, menggeleng. “Oleh karena
tujuan kami berada di sana bukan untuk main-main, ketika seniorku memaksaku pergi, aku
menurut saja. Kami berdua berjalan bersisian mengikuti tiga orang mujahidin melawan
gelombang pengungsi yang bergerak menjauhi titik kedatangan pasukan zionis.”

Angin berdesir panjang membersihkan jalanan. Di beberapa wilayah bersuhu tinggi di


Indonesia mungkin angin menjadi sesuatu yang diidamkan. Akan tetapi, jika kau berada di
sini boleh jadi kau tidak menginginkannya karena setiap angin yang datang juga membawa
hawa panas. Oleh karena itulah, dalam sekejap saja—meski hanya duduk diam—Handaru
sudah bermandikan keringat. Debu beterbangan membentuk pola unik di jalanan.

“Kami yang mula-mula hanya berjalan kaki, diminta berlari. Jarak pandang kami
terbatas. Asap putih tebal menjadi penghalangnya. Namun, beruntung itu tidak bertahan
terlalu lama karena selanjutnya kami sudah bisa melihat sekeliling. Meskipun pemandangan
kala itu hanya mayat bergelimpangan di mana-mana. Darah berceceran di atas lumpur kering.
Salah satu tank Merkava ringsek. Reruntuhan bangunan berserakan di sana-sini. Titik-titik
api berkobar di tiap sudut. Satu-satunya suara yang bisa kudengar dengan jelas hanyalah deru
napasku sendiri. Mulanya, kukira semua sudah berakhir. Namun, itu adalah gagasan paling
buruk yang pernah kupikirkan.”

Prayata menghentikan ceritanya sejenak untuk mengambil air mineral berikutnya dari
dalam tas ranselnya. Setelah membuka tutup botolnya, dia berlama-lama meneguknya.
Jakunnya naik turun. Perlu beberapa botol air mineral kiranya untuk menceritakan sebuah
kisah panjang nan pelik di tengah cuaca yang memaksa peluh terus bercucuran. Prayata
menyodorkan sisa air mineralnya dan tidak terkejut ketika Handaru erta-merta menyabet
tawaran itu.

Kemudian Prayata melanjutkan. “Sampai mana kita tadi? Oh, bagian yang suasana
hening itu. Oke. Aku akan meneruskan cerita ini. Tiba-tiba, terdengar bunyi rentetan bunyi
peluru yang samar-samar. Lama kelamaan makin jelas terdengar hingga sekonyong-konyong
bunyi peluru kembali melesat di mana-mana. Sontak kami membungkuk. Melihat sekeliling.”

“Kejadian itu berlangsung begitu cepat. Seakan-akan kau tidak memiliki waktu,
kendati satu detik pun, untuk memahami apa yang sebenarnya terjadi. Tahu-tahu, tiga orang

57
mujahidin yang berada beberapa langkah di depan kami ambruk begitu saja. Tak lama
berselang, seniorku tertembus peluru tepat di bagian pelipis!”

Dalam kesendirian dada Prayata berdegup kencang. Ingin rasanya menjerit, tetapi
percuma. Orang-orang telah meninggalkan kamp. Tak ada seorang pun, kecuali dia sendiri.
Dalam keterdesakan saat itu, muncul gagasan untuk meraih senapan AK-47. Setidaknya
untuk membela diri. Baru beberapa langkah Prayata berjalan mendekati tubuh salah satu
mujahidin itu, tiba-tiba saja betis kanannya terasa terbakar. Begitu panas menyengat disusul
ribuan duri menghunjam titik yang sama. Prayata kemudian menuturkan bahwa dirinya
mengerang sekeras-kerasnya dan jatuh, tak berdaya.

Dia baru menyadari beberapa saat kemudian bahwa ada sebutir peluru menembus
kulitnya. Meninggalkan lubang menganga yang mencincang daging. Darah segar serta-merta
bercucuran dari titik yang sama. Mula-mula hanya sebuah titik, lama-kelamaan melebar.
Desing peluru kian membahana di mana-mana, satu-dua perluru menghantam permukaan
tanah berlumpur kering. Memercikkan debu dan partikel pasir ke udara. “Singkat cerita,
setelah bersusah payah merangkak, akhirnya aku berhasil mengamankan senapan itu.”

Melihat Prayata tersenyum getir, Handaru bertanya. “Ada apa, Pak?”

“Kita memasuki inti ceritanya saat ini.”

Prayata menoleh pada Handaru dan melanjutkan. “Ketika saya sudah hampir ditelan
keputusasaan, tiba-tiba saya mendengar suara derap kaki mendekat. Berat dan mantap.
Beberapa waktu kemudian, Pertolongan Allah hadir saat itu,” Prayata diam sejenak untuk
memberikan efek dramatis. Menghela napas singkat dan memejamkan mata, kemudian dia
melanjutkan. “Sayangnya, aku terlanjur tak sadarkan diri sehingga aku tidak mengenali siapa
sosok yang membantuku saat itu. Ketika sadar aku sudah terbaring di atas ranjang rumah
sakit dan wajah pertama yang kulihat saat itu adalah wajah Sulaiman al-Jabari.” Prayata
menunduk, mengembuskan napas berat, tersenyum tipis, dan menggeleng.

Angin tiba-tiba berembus kencang dan melayangkan ribuan debu yang menyergap
mata. Membuat Handaru dan Prayata mengusap mata, kelilipan. Di sisi lain, salah satu pintu
rumah terdobrak dengan sendirinya. Meskipun kelilipan ini sebetulnya bisa diatasi dengan
mengedip-ngedipkan mata, mereka berdua lebih memilih menyiram mata masing-masing

58
dengan sisa air mineral. Tidak apa, nanti juga mereka bisa mengisinya kembali. Akhirnya,
setelah urusan kelilipan selesai, Prayata meneruskan ceritanya.

“Pihak direksi pada saat itu sudah memintaku untuk pulang karena mengetahui
seniorku meninggal, tapi aku memutuskan untuk bertahan. Sulit pada awalnya untuk menolak
tawaran mereka karena alasan keselamatan. Aku mencoba memberikan pengertian pada
mereka bahwa aku ingin membalas budi dan mengucapkan terima kasih pada Suleiman yang
telah merawat, menjaga, dan menemaniku saat berada di rumah sakit hingga aku sembuh.
ingin Itulah pelajarannya. Sudah kau tangkap maksudku, Han?”

Handaru menatap Prayata, melirik ke bawah, memikirkan dalam-dalam.

“Beri tahu aku jika kau sudah menemukan jawabannya.” Prayata berdiri,
meregangkan badannya. Mengangkat tangannya tinggi-tinggi dan berjinjit, lalu
mencondongkan badannya ke kanan dan ke kiri bergantian.

“Eh ... Kurasa saya sudah menemukan jawabannya, Pak.”

Prayata mengedarkan pandangan sebelum akhirnya dia menatap Handaru dan berkata,
“Apakah itu?”

“Berusaha sebaik mungkin untuk tidak meninggalkan orang yang terluka, meskipun
orang itu belum tentu akan memberikan perlakuan yang sama padamu.”

Mendengar itu, kemudian Prayata berjongkok menyamai Handaru. “Semoga itu bisa
betul-betul kau jadikan pelajaran untuk ke depannya. Jangan tergesa-gesa dalam mengambil
keputusan. Pertimbangkan baik-baik, lalu putuskan.”

Handaru yang menundukkan kepala—karena sadar jika keputusannya tadi bisa


berakibat lebih fatal—mengangguk, memahami kalimat Prayata.

“Sudah-sudah. Tidak perlu berlarut-larut. Aku ingin menunjukkan sesuatu lagi


padamu.” Kemudian Prayata meraih tas ranselnya, mengambil sesuatu dari dalamnya, dan dia
menyorongkan lengannya ke Handaru dengan sebuah ikat kepala Al-Harakah Al-
Muqawamah Al-Islamiyah di genggaman tangannya. “Coba kau cium baunya.”

Mendengar itu, Handaru menurut.

“Bagaimana?”
59
“Wangi sekali, Pak. Aromanya sepertinya belum pernah saya cium. Apakah ini salah
satu produk minyak wangi lokal?”

Prayata menggeleng. “Itulah yang namanya karamah.”

“Karamah?” Handaru menelengkan kepala.

“Itu adalah hadiah dari Allah untuk orang-orang terbaiknya. Bingkisan istimewa
untuk para perindu syahid. Dan, kau tahu milik siapa ikat kepala itu?”

Dengan tatapan kosong, Handaru diam saja.

“Itu milik Sulaiman.”

Handaru tampak penasaran sekali dengan ikat kepala itu sampai-sampai dia ingin
mencecar Prayata dengan berbagai pertanyaan. Namun, sampai beberapa waktu kemudian,
dia kebingungan untuk memilih pertanyaan apa yang ingin dia tanyakan lebih dahulu.

“Ayo, kita pergi dari sini. Hampir jam setengah empat. Sudah hampir masuk waktu
salat Asar.” Tukas Prayata. Memutus alur pemikiran Handaru. Prayata merengkuh tasnya,
mengibas-ngibas beberapa sisi tas yang berdebu, kemudian menyanggulnya ke kedua bahu.
Prayata menengok arlojinya dan berjalan. Setelah beberapa langkah, dia berhenti untuk
memastikan Handaru tidak tertinggal.

Melihat Prayata di kejauhan selagi dirinya masih membersihkan celana dan rompinya
yang berdebu, Handaru segera memasukkan ikat kepala itu ke dalam ranselnya dan berjalan
membuntuti Prayata.

Mereka pun berjalan menuju masjid terdekat.

60
6

Tragedi DAQU

Setelah menunaikan salat Asar berjemaah, Handaru duduk di serambi Masjid Ali bin
Marwan. Menunggu Prayata sambil mengenakan kaus kaki dan sepatunya. Setelah kedua
sepatu terpasang rapi di kedua kaki, dia mengamati satu demi satu para jemaah yang
meninggalkan masjid dan tersenyum tipis karenanya. Suasana masjid setelah salat ini
mengingatkannya pada kampung halamannya.

Handaru ingat saat menunaikan salat berjemaah bersama Wiganda dan teman-
temannya dahulu. Menyusul ke rumah kawannya satu demi satu, kemudian bergerombol
mendatangi masjid. Handaru dan kelima kawannya hampir selalu mendapat omelan dari
takmir masjid karena selalu datang terlambat. Sudah begitu, saat salat mereka juga tertawa
dan cekikian sendiri. Menggangu kekhusyukan.

Meskipun mendapat hukuman membersihkan aula masjid yang lumayan luas,


membersihkan sekian kamar kecil—baik yang laki-laki dan perempuan, mereka selalu
menunaikan amanah itu dengan senang hati. Tidak ada yang menggerutu, apalagi
mengumpat. Semua dilakukan dengan ringan selama mereka bersama. Setelahnya, mereka
berenam diperbolehkan pulang dengan syarat tidak melakukan kesalahan yang sama, tetapi
namanya juga anak muda, mereka tetap saja melakukan hal yang sama dan mengakhirinya
dengan cara yang sama pula.

Dalam perjalanan pulang, mereka akan melepas sarung masing-masing dan


menyabetkannya pada masing-masing temannya. Berlarian, berteriak-teriak penuh tawa,
berkejaran di jalanan yang lengang. Selepas salat Isya menjadi waktu paling mereka gemari
karena jeda waktu sebelum tiba di rumah lebih lama. Ketika itu mereka masih berusia belasan
tahun—remaja awal.

Kenakalan mereka sampai di telinga imam masjid. Konon, anak-anak yang sampai
diketahui kenakalannya oleh imam masjid, mereka akan diasingkan di sebuah ruangan
semalaman. Belum lagi mereka tidak boleh pulang jika belum hafal beberapa surat Alquran
yang ditentukan oleh sang Imam. Beruntungnya, Handaru dan kelima komplotanya tidak
pernah memiliki kesempatan untuk membuktikan hukuman itu hingga mereka menginjak
masa dewasa awal—dan mulai meniti kehidupan mandiri mereka masing-masing.
61
Serambi masjid semakin sepi. Orang-orang kini telah berjalan menjauh. Ada satu dua
yang berpelukan sejenak, saling berjabat tangan, mengobrol, kemudian berjalan bersisian
meninggalkan halaman masjid. Kerinduan Handaru pada kampung halamannya boleh jadi
makin membuncah andai saja Prayata tidak membuyarkan lamunannya dengan menanyakan
agenda mereka selanjutnya.

Setelah beristigfar karena kaget, Handaru menyampirkan tas ranselnya ke depan dada.
Membuka resleting, meraih buku catatan bersampul coklatnya, dan membuka halaman demi
halaman. “Meliput tilawah anak-anak DAQU, Pak.” Handaru menoleh pada Prayata yang
kini sedang duduk dan mengambil kaus kaki dari dalam sepatunya. “Rasanya sudah lama
sekali tidak mendengar bacaan surat-surat mereka.” Handaru menghela napas.

“Kau merindukan mereka?” Prayata memasang sepatu di kaki kanannya.

“Sekian hari kita berkeliling, terasa seperti sebulan.”

Prayata menjejakkan kaki kanannya. “Bagaimana rasanya menjadi guru di sana?”

“Cukup menyenangkan, kendati ini pengalaman saya mengajar murid asing.”

Prayata tertawa kecil. “Kedengarannya menarik. Kau bisa membuatnya menjadi buku
sepulang dari sini. Jika kau mau.” Prayata telah mengenakan sepatu sandalnya pada kedua
kakinya.

Membuatnya menjadi buku, gumam Handaru. “Kurasa itu ide bagus, Pak.” Wajah
Handaru yang tadinya sempat sedikit mendung, mendadak cerah. Saran Prayata berhasil
memperbaiki suasana hatinya. Handaru mendesah pelan, mendongak, menatap langit.

Hening sejenak. Keduanya sama-sama larut dalam pikiran masing-masing.

“Sebentar lagi Ramadan,” kata Prayata, membuka obrolan. “Bagaimana menurutmu?”

“Saya penasaran bagaimana rasanya masakan di sini, Pak.”

“Akan kutunjukkan nanti beberapa jenis hidangan.”

Seorang pemuda berkemeja dengan celana jins mengenakan sandal di dekat mereka,
mengucap salam, dan berlalu. Sejak tadi, sejauh mata memandang, Handaru tidak mendapati

62
satu orang pun jemaah laki-laki yang datang ke masjid dengan menggunakan sarung.
Pemikiran ini menghadirkan senyuman.

“Saya jadi ingat saat pertama kali akan berangkat salat berjemaah dulu, Pak.”

Prayata menoleh pada Handaru. “Hng? Tunggu dulu … Oh! Aku ingat. Saat kau akan
berangkat menggunakan sarung itu?”

Handaru tersenyum kecut, wajahnya memerah.

Ingatan mereka kembali saat Handaru akan pergi ke masjid untuk salat Zuhur
berjemaah bersama anak-anak di DAQU. Saat baru keluar kamar setelah berganti pakaian,
Handaru mendapat teguran dan sindiran dari beberapa remaja di sana. Mereka menatap
bingung sekaligus heran pada penampilannya—yang mengenakan peci, baju koko, dan
sarung. Tatapan mereka tertuju pada sarung yang dikenakannya dan kemudian mereka
tertawa.

Andai Prayata tidak datang, menepuk pundak Handaru dan mengatakan bahwa ada
yang salah dengan penampilannya, dapat dipastikan Handaru akan mendapat stigma dari para
warga lokal Gaza. Padahal, ketika dalam perjalanan menuju DAQU—setelah melewati empat
belas pos penjagaan dari gerbang Rafah menuju kota Gaza—Prayata telah mewanti-wantinya
tentang aturan menggunakan sarung yang berbeda antara di Indonesia dengan di Gaza.

Jika kita sudah sampai, simpan sarungmu di dalam lemari dan jangan pernah
menggunakannya di rumah. Kata Prayata kala itu. Di sini, sarung tidak digunakan untuk
salat, melainkan lebih pada romantisme pasangan suami istri.

“Saya tidak bisa membayangkan akan seperti apa orang-orang Gaza ketika melihat
saya melenggang di jalanan mengenakan sarung.” Handaru menggeleng, menyadari
kekeliruannya.

“Mereka mungkin akan menatapmu seperti seorang murid yang dengan tergesa-gesa
memasuki sebuah kelas dan baru menyadari beberapa waktu kemudian bahwa kelas yang dia
masuki kelas yang salah.”

Keduanya tertawa sejenak.

63
Prayata mengangkat tangan kanannya, melihat arlojinya. “Jam enam kurang lima
menit. Ayo berangkat. Waktu kita terbatas. Kita lanjutkan obrolan ini nanti.”

Handaru mengangguk. “Tidak sabar rasanya untuk bertemu bocah-bocah itu, Pak.”

“Sebaiknya kau mengantisipasi serbuan mereka nanti.” Prayata terkekeh.

Selanjutnya, mereka melangkah meninggalkan masjid. Melintasi Jalan Al-Wahda,


lalu lurus ke utara hingga menemui Jalan Izzudin Al-Qassam. Pepohonan yang berjarak
teratur mengapit jalanan berdebu. Angin berembus sejuk membelai tubuh. Sinar matahari tak
lagi menyengat seperti saat siang tadi. Kendati rasa gerah dan debu yang menempel di tubuh
masih terasa.

Di hamparan aspal yang cukup lengang ini deru mesin mobil terdengar samar di
kejauhan. Sekilas mobil sedan putih melintas di sisi mereka dengan kecepatan sedang. Suara
mesinnya yang menderu, memudar di kejauhan. Wujudnya semakin lama semakin mengecil
dan kemudian menghilang di tikungan.

Mereka, yang berjalan bersisian, sudah berjarak kurang lebih 500 meter dari DAQU
ketika Handaru berkata, “Anak-anak, aku datang.” Handaru mulai berjalan dengan setengah
berlari. Meninggalkan Prayata di belakang yang coba mengimbangi kecepatan langkahnya.

Kurang 20 meter lagi mereka sampai di DAQU. Keinginan Handaru untuk segera
bersua dengan ratusan anak-anak yatim yang biasa mengaji bersamanya kian membuncah.
Kerinduan kian mendesaknya seiring langkah kakinya menuju gedung itu. Gendang
telinganya sudah tak sabar ingin merasakan belaian lembut kalimat-kalimat-Nya yang
dilantunkan para bocah didikannya.

Dia melenggang di jalanan berlumpur kering penuh debu yang diapit rumah-rumah
warga yang nyaris menyerupai kardus yang berjajar. Pepohonan palem berdiri di antar sela-
sela rumah warga. Jalanan lengang, hanya tampak beberapa wanita bercadar dan beberapa
pria yang berjalan.

Ketika mereka telah berjarak 5 meter dari DAQU, Handaru memutuskan untuk
berlari. Rasa senang yang meliputinya harus terputus saat dia mengedarkan pandangan dan
mendapati satu-dua pria dan pemuda turut berlari ke arah yang sama dengannya. Wajah
mereka mengguratkan kecemasan, risau. Takut. Saat tinggal beberapa langkah saja, serta-
64
merta pandangannya terhalang asap kelabu yang berarak. Satu-dua pria dan pemuda tadi telah
menghilang di balik asap itu.

Diselimuti perasaan resah yang serta-merta menyelinap ke dalam rongga hati,


Handaru terus memacu kakinya menuju halaman depan DAQU seraya mengibas-ngibaskan
tangan kanannya. Berusaha menyibak kepulan asap yang menampar-nampar wajahnya. Suara
rintihan, erangan, dan tangis kian menjadi-jadi. Terdengar semakin jelas. Sayup-sayup suara
rintihan dan jerit tangis silih berganti menyusup masuk telinga. Handaru menelan ludah.

Prayata, yang kelelahan akibat memaksakan diri berlari, tertinggal jauh di belakang.

Tepat saat dirinya berhasil menembus asap—dengan memicingkan mata, menutup


hidung dengan tangan kiri, mengibaskan asap di depan wajah dengan tangan kanan—serta-
merta wajah Handaru mendadak redup. Semangat membaranya padam. Kedua bahunya
melorot. Seketika sepasang matanya terbelalak.

Saat asap mulai menipis, kini rasa penasarannya terjawab sudah. “Oh,” katanya
dengan rahang bawah menganga. Saat kata-kata nyaris tercekat di tenggorokan, dia mencoba
menata kalimat yang ingin dia ucapkan. “Tidak … tidak mungkin ….” Dia menggeleng-
geleng tidak percaya. Jangan…! Jangan DAQU!”

Di nyaris pada waktu yang bersamaan, Prayata yang berhasil menyusul Handaru
memperlambat laju larinya dan berhenti. Dia membungkuk, menggengam kedua lututnya
dengan kedua tangan. Mencoba mengatur napas. “Asap apa ... ini ....” Pemandangan di depan
sukses merampas kesempatannya menyelesaikan kalimatnya.

Tembok DAQU separuh bagiannya tengkurap. Pada sisi yang lain, garis zig-zag
bercabang ke mana-mana. Pecahan genteng berserakan di depan pintu masuk. Kaca-kaca
jendela terbelah-belah dalam beragam bentuk. Pohon-pohon yang menyejukkan mata di kala
panas terik, tinggalah kenangan. Daun-daunnya layu, dinodai debu-debu serpihan bangunan.
Batangnya membungkuk, nyaris roboh. Beberapa puing-puing reruntuhan bangunan
berserakan di halaman depan.

Sekelompok warga memadati pekarangan DAQU. Tiga orang dari mereka tengah
mengangkat, memilah, dan menggali puing-puing reruntuhan bangunan. Sementara tak jauh
dari mereka, seorang wanita paruh baya, yang mengenakan kerudung hitam, menangis

65
histeris. Berkali-kali dia menekuk punggung, bersujud, atau menengadahkan tangan.
Suaranya yang melengking seolah-olah ingin meledakkan segala angkara murka. Kedua
pipinya basah oleh linangan air mata.

Tak berselang lama, seorang anak laki-laki muncul dari balik kerumunan pria dewasa
di hadapannya. Mengenakan kopiah putih. Bertelanjang kaki, berlari-lari kecil dengan wajah
polosnya. Seolah-olah mengabaikan darah segar yang mengucur dari sebagian kepalanya.
Ketika anak lelaki itu berlalu di samping sampingnya, pandangan Handaru mengikuti arah
perginya hingga sosoknya menghilang di balik asap.

Saat kembali memfokuskan pandangan ke arah DAQU, Handaru merasakan lututnya


mulai gemetaran, goyah. Dia butuh duduk. Ada apa dengan DAQU? Mengapa semua hancur
berantakan seperti ini? Tidakkah mereka tahu siapa yang mereka target di dalam gedung
ini? Dia bertanya-tanya pada dirinya sendiri.

Prayata, yang lebih berpengalaman dalam situasi-situasi sarat emosi seperti ini,
mengalihkan pandangannya dan berjalan gontai mendekati salah seorang tetangga yang
dikenalnya. Dia, tetangga yang dikenal Prayata itu, berdiri beberapa langkah darinya,
mendekap istrinya yang menangis tersedu-sedu.

“Assalamu’allaykum, Abdu.” Katanya, menjulurkan tangan.

Abdu Ariqin adalah salah satu tetangga dekat Handaru dan Prayata yang tinggal
beberapa blok dari DAQU. Abdu sering datang untuk menjenguk salah satu putranya yang
juga menjadi murid bimbingan mengaji Handaru. Tak jarang, dalam setiap kunjungannya,
pria yang seusia dengan Prayata itu membawakan hadiah berupa makanan lokal—Maqluba
atau Qatayef—yang oleh Handaru dibagi-bagi untuk dimakan bersama setelah tilawah usai.

Di lain kesempatan, terkadang Handaru membuat pisang goreng dan beberapa macam
gorengan untuk ditawarkan kepada Abdu. Dan, dia mengatakan bahwa itu adalah makanan
tradisional dari Indonesia. Abdu pernah mengatakan bahwa dia dan keluarganya ketagihan
menikmati gorengan buatan Handaru.

Abdu menoleh pada sumber suara, diikuti istrinya. “Wa’allaikumus salam


warrahmatullah.”

“Ada apa ini, Akhi—saudaraku?”


66
Serta-merta, istrinya mengangkat tangan, berkata dengan nada setengah berteriak,
sarat emosi. “Jet tempur mereka meluncurkan rudal ....” istri Abdu tidak pernah dapat
menuntaskan kalimat penjelasannya karena serta-merta Abdu memeluknya erat dan
mengatakan bahwa situasi akan baik-baik saja. Sehingga, mereka dapat berjumpa kembali
dengan putra mereka.

Dengan nada mencoba tenang, Abdu mengambil alih. “Jet tempur Israel terbang
rendah dan meluncurkan rudal,” katanya. Matanya memerah. Gurat wajah cemas kentara di
wajahnya. “Sepertinya ini bukan salah sasaran. Kupikir mereka memang menarget bangunan
ini.”

Suara raungan sirine ambulans membahana. Bunyi klaksonnya menyahut-nyahut


kemudian. Orang-orang yang berkerumun dan hanya berjarak beberapa jengkal saja antara
satu sama lain menepi ketika mobil ambulans mendekati halaman depan DAQU.

Abdu mengerutkan dahi sambil mengusap bulir peluh di dahinya. Kemejanya berbalur
lumpur kering dan debu putih. Menandakan kerja kerasnya untuk malam ini.

Mendengar berita itu, Prayata memalingkan wajahnya perlahan.

Di sisi lain, orang-orang berteriak silih berganti di kejauhan. Cepat angkat batu ini!
Teriak seorang pria. Aku butuh bantuan di sini, cepat! Seseorang, kemarilah! Teriak pria
lainnya, menyusul kemudian. Para pemuda yang masih segar menyibukkan diri dengan
mencari korban yang—mungkin—masih bernapas jauh di bawah reruntuhan bangunan. Para
pemuda itu telah terbiasa melakukan ini, bahkan hampir setiap hari. Tak jarang cucuran
keringat, otot-otot yang menegang, dan kelelahan yang mendera tidak menghasilkan apa-apa.

Meskipun demikian, mereka tak sekali pun mengeluh. Inilah kewajiban kami sebagai
pemuda, kata mereka. Kami menunggu saat yang tepat untuk menjadi mujahidin. Bagi
mereka, inilah bentuk solidaritas antar sesama Muslim. Sebagaimana Manusia Paling Mulia
di muka bumi pernah mengatakan bahwa pengibaratan seorang Muslim itu sebagaimana
anggota badan. Jika salah satu anggota badan merasa sakit maka sakitlah seluruh badan itu.

“Syukran, terima kasih, Akhi.” Kata Prayata membuka percakapan lagi. “Semoga kita
semua senantiasa dalam lindungan Allah di mana pun kita berada.”

Abdu Ariqin menjawab dengan anggukan, mengamini.


67
Setelahnya, Prayata mengucap salam, kemudian berjalan mendekati Handaru yang
masih tertegun . Dia mengamati Handaru yang mengepalkan tinjunya di bawah hidung.
Matanya berkaca-kaca. Sesekali dia mengusap hidungnya yang memerah.

Prayata tidak berminat mengatakan bahwa dirinya juga mengerti apa yang dirasakan
koleganya itu. Baginya, dalam keadaan seperti ini, kesedihan yang datang tiba-tiba ini cukup
untuk menjadi pengingat. Betapa kematian menghantui di mana pun. Prayata menepuk
pundak Handaru dan mencengkeramnya lembut. Berharap ini tidak akan membebani hari-
harinya karena daftar jadwal ekspedisi Timur-Tengah mereka masih panjang.

Bagi Handaru, bukan hanya sekadar sakit yang diterimanya, melainkan juga kenangan
paling buruk yang akan selalu menghantuinya. Baik saat dia akan terlelap dalam tidurnya
atau saat dia terbangun pada suatu pagi. Semua gelak tawa, derap kaki mungil para bocah,
teriakan-teriakan lantang penuh semangat, senyuman manis yang menghiasi wajah-wajah
yang polos, dan alunan merdu bacaan Alquran dari bibir mereka, akan selalu mengiringi
langkahnya. Memenuhi syaraf-syaraf otaknya.

Nantinya, ketika kembali ke Indonesia pun, di setiap sudut matanya, sosok ratusan
bocah itu akan senantiasa hadir. Bayangan mereka semua akan mustahil untuk dilupakan.
Kalaupun berhasil dilupakan, tinggal menunggu waktu saja untuk kenangan itu hadir. Tidak
lagi memenuhi benak, melainkan mengambil tempat di sela-sela kenangan-kenangan lain.
Semuanya terjadi begitu cepat. Segesit orang membalik telapak tangannya.

Hilang.

Menguap bersamaan dengan asap yang berarak di sekelilingnya.

Setelah sekian lama mencoba bertahan, Handaru akhirnya takluk. Bersamaan dengan
tatapan kosongnya, dia jatuh terduduk dengan kedua lutut mendarat bersamaan jalan
berlumpur kering.

Di sampingnya, Prayata terlambat menahannya. Dan, pada akhirnya dia menyadari


betul bahwa Handaru memang ingin memposisikan diri seperti itu. Maka dia, tanpa berkata
sepatah kata pun, berjongkok hingga setinggi Handaru.

Diam-diam, kedua tangan Handaru merengkuh tanah berlumpur kering di


sekelilingnya, mengais-ngaisnya, dan mengenggamnya erat-erat. Dia menggerutukkan gigi,
68
berusaha keras menguatkan diri. Satu hal yang lebih menusuk dadanya lagi adalah ingatannya
terhadap Husein yang tiba-tiba menyeruak.

Sebutir air mengambil tempat di sudut matanya dan tepat saat mengedipkan mata,
mereka bergulir di pipinya. Bayangan Husein tidak dapat dihindarkan lagi, memenuhi
benaknya.

Husein adalah salah satu murid kesayangan Handaru. Husein bertubuh mungil,
berambut keriting, bermata lebar, dan memiliki suara paling lantang. Di antara sekian ratus
siswa, dia selalu ingin menjadi nomor satu. Paling bersemangat dan paling cepat dalam
menghafal Alquran. Seorang bocah yang kelebihan energi. Dia nyaris selalu berjingkrak-
jingkrak, berlari-lari, atau menggoda teman-temannya dengan segala macam cara.

Setiap kali Handaru datang, para bocah di DAQU selalu bergerombol menyambutnya.
Di antara mereka, Huseinlah yang paling menonjol. Dia kerap kali memimpin teman-
temannya menyerang Handaru. Tepat saat Handaru berdiri ambang pintu dan mengucap
salam, baginya, inilah peluang terbesar untuk mencium tangan Handaru terlebih dulu.

Andai Husein bisa memilih, mungkin dia memutuskan untuk memendam dalam-
dalam kisah pilunya, dan menggantinya dengan bertingkah seolah-olah tidak pernah terjadi
apa-apa di sepanjang hidupnya. Kendati demikian, bocah enam tahun itu pernah hidup
sebatang kara, bahkan yatim piatu.

Ayahnya syahid saat bergabung dalam pertempuran di Gaza awal tahun 2009,
sedangkan ibunya meninggal saat melahirkan adiknya. Husein yang berharap akan
mengarungi kehidupannya kelak dengan seorang adik, harus mengubur impiannya itu karena
ternyata adiknya juga meninggal akibat pendarahan hebat ibunya. Saudaranya pun banyak
yang meninggal akibat bombardir pasukan zionis di tahun yang sama.

Pada mulanya Handaru tidak mengetahui latar belakang Husein sampai akhirnya
Abdullah—satu rekan mengajarnya—menceritakan hal itu.

Di usianya yang masih sangat belia, Husein sudah harus mencicipi kerasnya
kehidupan di Gaza. Inilah yang menempatkan Husein di jalanan. Mulai dari memunguti sisa-
sisa makanan di atas aspal, memandangi orang-orang yang berlalu lalang saat matahari
sedang terik-teriknya, mencari air bersih dengan meminta ke rumah-rumah. Ketika malam

69
tiba, Husein merebahkan tubuh mungilnya di dalam kardus yang dia atur sedemikian rumah
hingga menyerupai rumah baginya. Bagi Husein, listrik yang kerap kali padam—dampak
pemboman jet tempur zionis—bukan lagi persoalan yang meresahkan.

Pada malam kesekian, seorang mujahidin Al-Qassam yang menaiki pikap dengan bak
terbuka untuk berpatroli, mendapati Husein sedang terlelap. Mujahidin itu meminta agar
mobil berhenti dan berkata pada komandannya untuk membawa Husein ke tempat yang lebih
layak. Sang Komandan menyetujui, kemudian mujahidin itu membawanya ke DAQU.

Kendati butuh waktu hampir dua tahun bagi Husein untuk kembali mendapat cahaya
hidupnya, pada akhirnya lubang menganga di jiwanya tertambal. Tepat seminggu setelah
kedatangan Handaru di Gaza—dan segera mendapatkan tugas menjadi pembimbing tilawah
di DAQU, dia, Husein, mendapatkan bingkisan terindah saat mengenal Handaru. Mulai dari
situlah, kisah persaudaraan antara mereka terjalin.

Handaru menempatkan Husein pada posisi istimewa dalam hatinya bukan semata
karena latar belakang Husein, pemilihan tersebut lebih pada kemampuan individual Husein
maupun jiwa solidaritasnya. Inilah yang membuat mereka kerap kali menghabiskan waktu
bersama. Bermain, bercanda, hingga tak jarang bertengkar. Layaknya kakak dan adik.

Usia Husein kini delapan tahun.

Dia pernah menghadiahi Handaru sebuah kalung berlambang HAMAS. Kata Husein,
itu adalah pemberian ayahnya, sehari sebelum ayahnya terjun ke medan jihad. Dan sekarang,
dia menginginkan Handaru untuk menyimpannya. Aku tidak pandai menyimpan barang,
katanya diikuti tertawanya yang cekikikan.

Memangnya tidak apa-apa?

Aku sama sekali tidak keberatan. Husein menyodorkan kalung itu.

Baiklah jika itu maumu. Terima kasih, Husein.

Tapi berjanjilah padaku, Kaka Handaru. Jangan pernah meninggalkanku.

Tentu saja. Aku akan melindungi dan menjagamu. Mereka sama-sama menjalin jari
kelingking antara satu sama lain.

Kita akan berjuang bersama. Syahid bersama. Kau dan aku. Husein dan Handaru.
70
Selain cerita itu, Handaru masih mengingat setiap rinci adegan yang telah dia lalui di
dalam gedung itu. Kaka Handaru, jika aku sudah dewasa, aku ingin menjadi seorang
mujahidin! Aku ingin menyandang senapan dan membebaskan tanah Palestina ini! Suara
bocah-bocah DAQU bersahut-sahutan. Riuh.

Saat itu, Handaru mengamati wajah mereka satu per satu dan tersenyum, lalu dia akan
berjongkok hingga setinggi mereka, mengusap rambut mereka satu per satu dan berkata, Kita
semua akan membebaskan tanah Palestina ini. Kita akan bermain, bercanda, berlarian, dan
tidur di malam hari dengan tenang. Tidak ada lagi rudal, suara berisik senapan, dan suara
jet tempur melesat. Setiap kali mereka mendengar perkataan itu, raut wajah mereka jauh lebih
berseri-seri. Seakan-akan tidak pernah ada luka yang mendiami hati mereka.

Selanjutnya, mereka akan melafalkan doa: “Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum
kami jika kami lupa atau kami bersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan pada
kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan pada orang-orang sebelum kami,
janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang kami tak sanggup memikulnya. Beri
maaflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah penolong kami, maka
tolonglah kami terhadap kaum yang kafir.”

Sebelum bergerak membantu warga lokal menuntaskan pekerjaan—dan lebih pada


alasan agar Handaru memiliki waktu menenangkan diri—Prayata memnggumamkan sesuatu
yang sama sekali tidak diindahkan Handaru, kemudian dia menegakkan lututnya, menatap
Handaru beberapa saat, dan berjalan menuju para pria yang tampak mulai kelelahan.
Menyisakan Handaru seorang diri di belakang.

Saat Prayata sudah menggabungkan diri dengan para pria, nyaris di saat yang
bersamaan, Handaru merasakan sesuatu yang hangat membelai tubuhnya. Memberikannya
kesempatan untuk menyeka air mata. Dan, saat melihat langit menjadi lembayung, barulah
Handaru menghela napas panjang, menutup mata, dan menguatkan diri. Beberapa jenak
kemudian, setelah menengadah dia turut menggabungkan diri dengan Prayata.

71
7

Kenangan Indah

Tidurlah, Nak. Hari sudah larut. Ibu membelai rambut panjang Fatimah, lembut.

Tapi aku masih ingin mendengar cerita ibu.

Esok adalah hari yang panjang, Sayang. Istirahatlah.

Aku masih belum mengantuk, Bu.

Ibu mendesah, seolah-olah putus asa.

Ibu bernama Nada binti Subaiyah. Seorang wanita asli Palestina berperangai lembut,
bertutur kata halus, namun memiliki ketangguhan hati yang tidak sebaiknya kau pertanyakan.
Terkadang Fatimah heran, mengapa Tuhan begitu teramat baik melimpahkan banyak
kebaikan kepada tubuh yang di bagian dalamnya teramat rapuh itu?

Baiklah kalau begitu. Kata Ibu, membelai lagi rambut Fatimah yang terurai di atas
bahunya. Apa yang kira-kira dapat membuatmu cepat mengantuk?

Ceritakan lagi tentang tanah kelahiran ibu, Gaza.

Hmm ... Baiklah. Dengarkan ibu baik-baik dan jangan potong cerita ini.

Lamunan Fatimah terputus ketika mendengar suara ketukan pintu. Fatimah, yang
duduk bersandar pada bantal besar putih di atas ranjang pasien, mengerjapkan mata lalu
berkata, “Masuk.”

Pintu ayun ganda di seberangnya di terbuka. Aruna masuk pelan-pelan dengan bahu
kiri terlebih dahulu, memunggunginya, sambil membawa sebuah baki.

“Maaf membuatmu menunggu.” Kata Aruna, berjalan mendekati sisi kanan ranjang.
Dia memamerkan senyuman manisnya, sama seperti hari-hari sebelumnya.

“Tidak apa-apa.”

“Bagaimana kondisi kakimu?”

“Alhamdulillah. Sudah lebih baik. Obatnya bekerja.”

72
Hari ini tepat dua minggu setelah kejadian pemboman masjid Ribath. Setelah
mendapatkan perawatan intensif, kondisi Fatimah berangsur membaik, kendati dia belum
diperbolehkan menggerakkan kakinya. Aruna adalah alasan utama Fatimah merasa nyaman
nyaman berada di ruang rawat inap Batam ini. Bagi Fatimah, orang-orang Indonesia begitu
perhatian, ramah, dan mudah diajak bicara. Selain itu, Fatimah merasa bahagia karena
perawat yang ditugaskan merawatnya adalah Aruna.

Ruang rawat inap Batam, ruangan di mana Fatimah mendapat perawatan, merupakan
bagian dari Rumah Sakit Indonesia. RS ini menggunakan nama pulau-pulau di Indonesia
sebagai julukan untuk setiap ruangannya. Ruang rawat inap Batam ini berukuran 3x5 m2
dengan dinding berwarna dasar putih.

Di samping kiri ranjang Fatimah terdapat sebuah lemari kecil dengan tiga rak yang di
atasnya terdapat vas bunga kecil berwarna putih kebiruan. Sebuah kaligrafi bertuliskan Allah
dan Muhammad berbahan emas tergantung di atas pintu masuk di sebelah barat. Jendela
berbingkai kayu terletak di sebelah selatan ruangan. Meskipun baru diresmikan, Rumah Sakit
Indonesia siap beroperasi dan melayani sekian ratus pasien yang berasal dari berbagai kota di
Jalur Gaza.

Dengan anggun, Aruna menggeser vas bunga kecil di atas rak agar dia bisa
meletakkan segelas air putih, semangkuk sup, dan beberapa butir obat pereda rasa sakit.
Diam-diam, Fatimah mengagumi Aruna. Cara berjalannya yang anggun, tutur katanya yang
lembut, dan penampilannya yang sederhana: gaun rumah sakit warna putih, kerudung warna
putih, dan celana panjang putih yang longgar. Belum lagi wajah putih bersihnya yang sejuk
dipandang—alis tipis melengkung, hidung mungil, bibirnya yang tipis.

Dengan nada bicaranya yang hangat, Aruna berkata bahwa Fatimah harus
menghabiskan supnya, meminum obat, dan beristirahat. Setelah pekerjaannya beres, dia
menatap Fatimah yang terbaring sambil tersenyum.

“Kau tidak perlu khawatir sup itu utuh dan obatnya tidak berkurang, Aruna.”

Mendengar jawaban Fatimah, Aruna tersenyum. “Baiklah. Untuk saat ini tugasku
selesai.” Aruna melihat jam dinding yang terletak di sebelah utara ruangan. “Aku akan
kembali lagi satu jam dari sekarang,” Saat akan memutar badan dan berjalan menuju pintu,
langkahnya terhenti saat tiba-tiba Fatimah memanggilnya. Dia menatap Fatimah.
73
“Bisakah kau menemaniku sebentar saja?”

Selama beberapa saat Aruna diam, menimbang-nimbang. Apakah ada jadwal yang
dapat ditinggalkan sejenak atau tidak. Barulah kemudian setelah yakin bahwa dirinya
memiliki waktu, kendati tidak lama, dia memutar badannya. “Baiklah. Aku akan
menemanimu setidaknya selama 10-15 menit. Bagaimana?” Kata Fatimah mengajukan
kesepakatan sambil menarik kursi kecil di dekat sofa merah besar di sisi utara, dan duduk
sejajar dengan dadanya.

Awan putih berarak di kejauhan. Matahari bersinar terang, begitu terik. Beberapa ekor
burung melintas tepat di depan jendela ruang rawat inap Batam. Angin berembus di sela-sela
dedaunan pohon palem yang tumbuh di halaman depan RSI. Suara gemerincing lonceng yang
melingkari leher keledai penarik gerobak terdengar samar-samar di antara suara klakson dan
deru mobil di jalanan. Beberapa saat kemudian, setelah menikmati keheningan, Fatimah
mulai bicara.

“Bolehkah aku bertanya sesuatu padamu, Aruna?” katanya.

Di sebelahnya, Aruna mengangguk.

“Katakan. Apa kau merindukan ibumu?”

Aruna mendesah singkat. “Tentu saja, Fatimah. Sudah hampir dua tahun aku berada
di sini. Semua kesibukan di sini sedikit melalaikanku pada rumah, tapi aku selalu berusaha
menyempatkan waktu untuk menelpon ibuku.” Aruna membalas tatapan Fatimah yang kedua
matanya terpalit celak berwarna hitam.

Dengan malas, Fatimah beringsut, mengambil semangkuk sup yang telah disediakan
Aruna. “Aku merindukan ibuku,” katanya. Dia menunduk, menatap sup yang dibuatkan
Aruna. Sfiha namanya. Sejenis sup yang berisi falafel, ful, tabouleh, labaneh, dan ghanoush.
“Tapi mustahil untuk bisa menemuinya.”

“Mengapa begitu?”

“Ibu telah pergi. Meninggalkanku, seorang diri.”

Fatimah mendongak, menatap Aruna yang mengerutkan dahi, heran.

“Apakah Beliau sedang bepergian?”


74
Fatimah menggeleng. “Ibu pergi, entah ke mana.”

Tidak banyak yang mampu diingat Fatimah semenjak kepergian ibunya. Baginya,
sosok ibu kini seolah-olah hanyalah kisah dongeng atau cerita pengantar tidur. Sosoknya
dapat dilihat, kendati samar dan mirip sebuah bayangan. Ke mana pun dia menoleh, di sudut
matanya, ibunya seakan-akan mengawasinya, tetapi mustahil untuk diraih.

Andai Fatimah memiliki kesempatan mendapatkan minuman berisi cairan penghapus


kenangan indah-menyakitkan maka sejauh apa pun tempatnya, sesulit apa pun medannya, dan
meskipun nyawa jadi taruhannya, dia tidak akan berpikir dua kali untuk mendapatkannya.

Kehilangan sosok terpenting dalam kehidupannya membuatnya seperti jiwa kosong


yang bergentayangan ke mana-mana seorang diri. Terlampau sedikit yang bisa dia ingat dari
sosok ibunya. Seperti apa detail wajah ibunya saja, Fatimah sudah lupa.

Bagaimana dengan hal-hal lainnya? Satu di antara sekian banyak kenangan samar,
yang hingga detik ini dengan mengerahkan usaha cukup keras coba dimunculkan kembali
oleh Fatimah, hanyalah satu hadir. Saat dirinya dan ibunya, pada suatu malam di bulan
Ramadan, membaca ayat suci Alquran bersama-sama, selepas salat Isya.

Meskipun membaca dengan sedikit terbata-bata, dengan sabar ibu membantu


Fatimah—yang usianya kala itu masih 7 tahun—membaca setiap katanya dengan baik dan
benar. “Ibu sangat sabar dan tidak memarahiku saat aku melakukan kesalahan. Justru ibu
akan menggeleng pelan dan berkata dengan lembut supaya aku mengulangnya hingga benar-
benar betul. Jika masih kesulitan, ibu akan membacakannya di telingaku dan memintaku
mengikuti setiap kata yang diucapkannya.”

Fatimah, untuk pertama kalinya dalam waktu sekian menit, akhirnya menyendok
supnya perlahan, memasukkannya ke dalam mulut, dan mengunyahnya dengan enggan.
Seolah-olah sup itu, yang terkenal enak di kalangan para pasien RSI, menjadi sebuah
makanan hambar. Setelah tiga kali suapan, kemudian Fatimah melanjutkan, kali ini sambil
menerawang jauh ke luar jendela. Mengamati langit biru yang membentang luas.

“Kau tahu, Aruna, ibuku juga memberikan kenangan indah lainnya. Setiap malam,
sebelum tidur, ibu selalu mengalah padaku untuk menceritakan sebuah kisah tentang tanah

75
kelahirannya, Gaza. Cerita perjuangan rakyat Gaza dalam menghadapi penjajah. Selain kisah-
kisah para Nabi, itu adalah kisah yang paling kusuka.”

Sesungguhnya, Aruna menunggu Fatimah meneruskan ceritanya. Namun, hingga


beberapa waktu kemudian, dia terdiam. Maka, Aruna menanggapi. “Hanya mendengar
ceritamu, aku mengagumi ibumu.”

Dan, Fatimah membalasnya dengan tersenyum tipis.

Beberapa helai rambut Fatimah menyembul dari bawah kerudungnya. Wajahnya


masih memucat seperti hantu. Bibirnya kering. Seolah-olah dengan adanya semua ‘gangguan’
itu, pesona dari hidung mancungnya, bulu matanya yang lentik, dan wajah putih bersihnya
memudar. Senyum yang beberapa kali coba dia rekahkan hanya memberikan kesan palsu
dalam usahanya menutupi luka menganga di hatinya. Saat-saat inilah yang membuat tangan
Aruna gatal untuk membelai rambutnya, mencoba menenangkannya.

Kesedihan Fatimah menguap. Berbaur dengan udara. Dalam diam, pikirannya


melayang pada satu kata: Ibu. Ibu, yang selalu membasuh air mata di kedua pipinya ketika
dia bersedih. Ibu, sosok yang selalu tersenyum manis penuh arti kala dia berhasil
membanggakannya. Ibu, yang selalu memberikan kecupan hangat di kedua pipinya saat
sebelum dia pergi bermain. Ibu, yang memegangi wajahnya dengan kedua tangan,
merengkuhnya ke dada, dan membelai pipinya sebelum tidur setiap malam seraya
mengajarkan sebuah lagu untuk dikenangnya:

Karena ketulusan doamu, kesusahan dan sedihku lenyap.

Jika ada orang yang memisahkan aku.

Maka engkaulah denyut nadi di jantungku, engkaulah cahaya di mataku.

Dan engkaulah nada di bibirku, dengan melihat wajahmu, kecemasanku


menghilang.[13]

Fatimah kembali menikmati supnya. Setelah menyuapkan satu-dua kali sup ke dalam
mulutnya, sekitar satu sampai tiga detik, Fatimah mengaduk-aduk sup yang berada di
pangkuannya dengan sendok.

[13]
Dikutip dari penggalan lagu berjudul Ya Ummi karya Ahmed Bukhatir.

76
Aruna tidak merasa perlu mengatakan bahwa dirinya benar-benar mengerti apa yang Fatimah
rasakan—meskipun hanya untuk menghibur—karena dia memang tidak pernah mengerti dan
merasakan apa yang telah menimpa Fatimah. “Mengapa kau mencari keberadaan ibumu
seorang diri saja? Maksudku, ke mana ayah dan saudara-saudaramu yang lain dan apakah
mereka juga tidak turut membantu?”

Mendengar itu, raut wajah Fatimah terselubung kabut. Dia melipat kedua bibirnya ke
dalam. Menatap kosong, menunduk, lalu menggeleng sedih.

Tanpa harus melanjutkan pertanyaannya lebih dalam, Aruna paham. Maka yang
dilakukannya selanjutnya adalah meraih tangan kanan Fatimah yang kini telentang di sisi
ranjang. Menggengamnya dan dengan lembut mengelus punggung tangannya.

Fatimah yang merasakan kelembutan tangan Aruna membelainya, terkesiap dan


menatap Aruna.

Dari balik kelopak matanya, Aruna memergoki kedua mata Fatimah yang berkaca-
kaca. Secepat dia melihatnya, secepat itu pula sebutir air bergulir. Di depannya, Fatimah
mengusap hidungnya dengan punggung tangan kiri. Menghela napas singkat. Aruna menatap
Fatimah iba. Membayangkan rasa sakit menghunjam yang mencabik-cabik dadanya.
“Maafkan aku.” Lirih Aruna.

“Tidak apa-apa.” Fatimah mengerjapkan mata, mengusap hidungnya. “Lalu,


bagaimana dengan keluargamu di Indonesia, Aruna?” Dia mengangkat wajahnya. Kali ini
nada bicaranya lebih tenang.

“Sebaiknya kita meneruskan saja ceritamu, Fatimah. Akan membutuhkan waktu lama
untuk menceritakan bagianku.”

“Begitukah? Hmmm ... Baiklah. Aku akan menagih ceritamu nanti.”

Aruna memberikan elusan terakhir sebelum menarik tangannya. “Semoga ada waktu
untuk menceritakannya padamu, ya.” Aruna kembali pada posisi duduk tegaknya.

“Aku akan sabar menunggu.”

Mereka berdua bertatapan dan bertukar senyum. Serta-merta kesedihan yang meliputi
wajah Fatimah memudar. Tawa yang sejak menit awal dinanti-nantikan Aruna muncul. Awan
77
mendung yang menutup wajahnya perlahan berarak, menghilang. Setidaknya dengan ujung
obrolan ini—karena Aruna bersiap-siap untuk beranjak—Fatimah sedikit terhibur.

Fatimah akhirnya seperti menemukan kembali nafsu makannya. Pelan tapi pasti,
sedikit demi sedikit, dia mulai berminat menyendok supnya dan memakannya.

“Supnya benar-benar enak.” Katanya.

“Alhamdulillah. Sampaikan saja jika ada komentar apa pun. Kami siap menerima.”

Hening beberapa detik. Terdengar sayup-sayup suara bayi menangis di lorong.

“Terima kasih sudah memperhatikanku, Aruna.”

Aruna mengibaskan tangan. “Sudah menjadi tugas dan kewajibanku di sini.”

Dalam keadaan dan keintiman momen seperti ini sulit bagi Aruna untuk tidak larut
dalam perasaan dan empatinya terhadap setiap pasiennya, tetapi demi profesionalitas bekerja,
merupakan sebuah kesalahan apabila terlalu berempati kepada pasien. Pilihan itu harus
diambil untuk meminimalisir perawat terjebak pada perasaan terdalam terhadap seorang atau
sekelompok pasien. Alasan ini lebih pada upaya untuk menghindarkan perawat dari potensi
depresi—apabila suatu ketika keadaan berubah memburuk.

Sebelum mengakhiri obrolan, lebih dahulu Fatimah menanyakan siapa nama pemuda
yang membantunya saat terkapar dengan luka di reruntuhan masjid Ribath. Dan, ketika Aruna
menjawab bahwa pemuda itu adalah Handaru—dan menambahkan bahwa lelaki lainnya
bernama Prayata, Fatimah meminta tolong pada Aruna untuk menyampaikan pada Handaru
bahwa dia ingin menemuinya, jika ada waktu. Sekadar untuk mengucapkan terima kasih yang
sampai saat ini belum dia sampaikan.

“Aku akan menyampaikannya kalau nanti aku bertemu dengannya, Fatimah.”

Mendengar itu, Fatimah tersenyum lega. “Terima kasih, Aruna.”

“Sama-sama. Sekarang minum obatmu dan beristirahatlah. Oke?”

Setelah mengiyakan, kepala Fatimah pelan-pelan menoleh ke arah jendela. “Eh …


tunggu dulu. Sepertinya aku mendengar sesuatu.”

78
Aruna yang sudah berdiri dan hendak membalikkan badan menuju pintu,
mengerutkan dahi, menajamkan pendengaran. Inilah yang kemudian membawanya berjalan
tergesa menuju jendela. Benar saja, dua buah mobil ambulans MER-C melaju kencang dari
arah Jabalia. Lampunya merahnya berikalu-kilau di atas kap. “Sepertinya mereka kembali
melakukan penyerangan.” Selanjutnya, Aruna menyaksikan mobil ambulans itu memasuki
halaman RSI, melambat, dan berhenti tepat di depan pintu masuk utama.

Wiganda dan salah seorang rekannya dari pintu depan, berlari menuju pintu belakang,
membuka pintu gandanya, dan naik. Sekejap kemudian, mereka sudah menurunkan sebuah
brankar dan mendorongnya melenggang masuk melalui pintu utama. Dua rekan mereka yang
lain juga melakukan hal yang sama. Di atas brankar itu terbaring seorang bocah lelaki yang
menangis histeris seraya membentur-benturkan kedua lengannya ke kedua sisi brangkar.

Dari dalam ruang rawat inap Batam, Aruna menangkap suara derap sol sepatu di atas
lantai marmer selasar, semakin mendekat dan semakin mendekat. Dua menit kemudian pintu
ruang rawat inap Batam terbuka. Wiganda muncul di ambang pintu. Setelah mengusap peluh
yang membasahi keningnya dan mencoba mengatur napas, dia berkata dengan nada setengah
berteriak. “Aruna, kami membutuhkan bantuanmu, sekarang!”

“Aku harus pergi sekarang, Fatimah.” Berikutnya, Aruna sudah menghambur dan
menghilang bersama Wiganda di balik pintu kayu coklat muda.

Fatimah mengangguk, kemudian menggembungkan bantalnya. Merebahkan


punggungnya perlahan. Dia memejamkan mata selama beberapa waktu, mengarang sosok
ibunya di benaknya. Seolah-olah ibunya tidak pernah ada. Ingatannya tentang kenangan-
kenangan indah kembali. Kali ini nyaris memenuhi setiap celah dalam benaknya. Sekoyong-
konyong, atas alasan yang tidak diketahuinya, bayangan ibunya yang awalnya samar-samar,
kini mulai terbentuk jelas.

Ibunya berwajah bulat, berkulit putih bersih, berbibir mungil, alisnya melengkung
sempurna, dan bermata agak besar. Perangainya anggun. Sebuah anugerah yang dihadiahkan
sang Khalik. Dan, dia masih mengingat dengan sangat jelas bagaimana cara ibunya tertawa
yang terdengar malu-malu, sarat keluguan. Seakan-akan di saat itulah kerapuhan sosok
ibunya nampak begitu mencolok. Dia sungguh merindukan belaian telapak tangan halusnya,
tutur kata lembutnya, atau kenyamanan mahal yang ditawarkannya.

79
Lama kemudian, Fatimah berkedip pelan, lelah.

Dia menoleh pelan, menatap jendela. “Ibu,” gumamnya, meredam kesedihan yang
mulai menjalari sekujur tubuhnya. “Seandainya ibu tahu apa yang sebenarnya terjadi ....”
Matanya seketika memanas, pandangannya menjadi kabur. Ketika berkedip, sebutir air
meleleh, bergulir di pipinya. Hal ini terus berulang hingga beberapa kali. Membuat matanya
merah, sembap.

Pada akhirnya, saat benar-benar kelelahan, dia merebahkan tubuhnya, menghela napas
panjang demi mengosongkan beban yang menghimpit dadanya, dan tertidur.

80
8

Liontin HAMAS

“Aku ingin minum kopi. Sudah lama rasanya tidak menikmati kopi di kedai ini.” Prayata
meletakkan tas ranselnya di atas sebuah kursi plastik berwarna merah setelah dirinya dan
Handaru menunaikan salat Magrib berjemaah di Masjid Abu Hurairah. Prayata mengedarkan
pandangan, memindai di mana posisi pria paruh baya berbadan tambun dengan kening tinggi
dan berkumis yang dulu pernah dia temui, pemilik kedai. Berharap pria paruh baya itu masih
mengenalinya.

Meskipun tampak lunglai dan lesu, Handaru terpaksa mengiyakan tawaran ini karena
baginya, dalam keadaan dan suasana hati sedemikian, setidaknya menikmati secangkir kopi
dapat mengurangi rasa sesak di dadanya.

Para pengunjung kedai kopi ini dapat menikmati menikmati pemandangan berupa
langit malam yang membentang luas dengan sentuhan puluhan gemintang. Jika kalian
beruntung—atau kebetulan—jet tempur yang menggelegar dan melesat akan memanjakan
mata. Terdapat lima buah meja bundar dengan empat buah kursi plastik merah yang
mengelilinginya.

Alunan lagu dari seorang penyanyi setempat yaitu Samira Tawfiq, yang menyanyikan
lagu tentang kopi, sedikit menyela kebisingan jalanan—suara deru mobil butut yang
menderu-deru yang mengklakson berulang-ulang, ambulans yang meraung-raung, teriakan
para pedagang yang menjajakan barang dagangannya.

Turut serta meletakkan tas ranselnya, menarik kursi untuk dirinya sendiri, dan
kemudian duduk, Handaru berkata, “Kapan terakhir kali mampir ke sini?” Nada bicaranya
samar. Nyaris tidak terdengar oleh Prayata andai Handaru tidak mengulangi pertanyaannya.

“Tiga tahun yang lalu.”

“Saya juga ingin pesan, Pak.” Lirih Handaru.

“Kau yakin ingin memesan kopi juga?” Tanya Prayata, meraih sebatang rokok dari
saku depan rompinya dan menyalakannya untuk dirinya sendiri. Setelah menghirupnya,
mengembuskan asapnya, dia menatap lurus pada Handaru.

81
“Memangnya ada yang salah?”

Prayata diam sejenak, menghela napas singkat. “Sebenarnya tidak, tapi aku hanya
ingin mengingatkan bahwa kopi di sini berbeda dengan kopi yang ada di kedai-kedai di
Indonesia, loh.” Prayata menyadari betul apa yang Handaru rasakan saat ini. Dengan
memberikan tanggapan seperti ini, dia berharap dapat mencairkan suasana.

“Setidaknya saya bisa mencobanya, Pak.”

“Jangan salahkan aku jika rasanya berbeda.” Imbuh Prayata sambil berlalu,
menghampiri pria paruh baya berbadan tambun dengan kening tinggi dan berkumis yang
dikenalinya sebagai Jabar al-Houli. Saat mendekati pria itu, mereka langsung berpelukan erat.
Layaknya dua orang saudara yang setelah sekian lama tidak berjumpa.

Jabar al-Houli memegang kepala Prayata untuk memberikan penghormatan. Mereka


terlibat percakapan selama beberapa saat. Sesekali Prayata dan pria tua berbadan tambun itu
tertawa bersama. Setelahnya, Prayata mengangkat tangannya dan mengisyaratkan memesan
dua cangkir kopi—dia menunjukkan dua jarinya.

Selagi menunggu Prayata kembali, Handaru membuka catatan perjalanannya, yang


terangkum di buku catatan bersampul cokelatnya itu, selama seminggu berada di sini.
Halaman demi halaman berkelebatan di wajahnya. Satu demi satu agenda telah dia selesaikan
dengan garis horisontal pada masing-masing kalimatnya.

Tepat saat dia membalik halaman ke sepuluh, tempo gerakan tangannya melambat.
Seakan-akan dia teramat takut untuk membuka halaman itu. Meskipun sesungguhnya ada hal
yang lebih mencekam daripada sekadar kemunculan sesuatu yang mengerikan dari baliknya.
Saat membaca seutas kalimat di bagian teratas dua halaman bergaris yang masih kosong itu,
sekonyong-konyong, pikiran Handaru melayang pada beberapa jam yang lalu.

Saat asap tebal meliputi DAQU memangkas jarak pandang. Para pria memadati
sekitaran reruntuhan, sementara para wanita memandang cemas dari kejauhan. Isak tangis
pilu menguap dan mencemari udara. Menyesakkan dada. Keringat mengucur dari dahi ke
pelipis dan tertahan beberapa saat di dagu sebelum akhirnya jatuh.

Saat dirinya memungut puing-puing reruntuhan yang menggunung, memastikan tidak


ada orang berdiri di belakang sebelum melemparkannya ke belakang, dan betapa terkejutnya
82
dia ketika mendapati sesosok wajah anak-anak yang kedua matanya terpejam, wajahnya
berbalur kapur putih dan terbenam di antara puing-puing. Lemah, tak berdaya. Bercak darah
mencengkeram hampir separuh wajahnya. Dengan mengerahkan segenap kekuatan,
kecepatan, dan kecermatan dalam mengorek-ngorek reruntuhan, tubuh bocah itu berhasil
diangkat untuk digendong menuju ambulans dan kemudian dilarikan ke rumah sakit terdekat.

Handaru membutuhkan segenap tekad dahsyat untuk meraih bolpoin dari saku depan
rompinya, mengarahkannya ke atas kertas dan dengan tangan gemetaran, menggoreskan tinta
warna merah dari bolpoin itu ke atas tulisan Meliput Tilawah Anak-anak DAQU.
Menganggap misi peliputan itu telah usai—atau bahkan lebih baik untuk tidak pernah
direncanakan sebelumnya. Butuh waktu yang tak sebentar hanya untuk melihat Handaru
mencoret kalimat itu, hingga akhirnya, selama beberapa saat, seusai mencoret misi peliputan
itu, Handaru diam, termenung.

Tapi berjanjilah padaku, Kaka Handaru. Jangan pernah meninggalkanku.

Tentu saja. Aku akan melindungi dan menjagamu.

Kita akan berjuang bersama. Syahid bersama. Kau dan aku. Husein dan Handaru.

Ketidakhadiran Prayata, yang masih mengobrol dengan pemilik toko, memberikan


kesempatan Handaru menggali kenangan untuk kemudian memunculkannya di benak.
Menggambarkan sosok bocah-bocah laki-laki dan perempuan yang, meski baru seminggu,
telah memberikan banyak kenangan manis. Handaru mengira mungkin hanya dengan cara
inilah kerinduannya pada mereka terbayarkan.

Sesekali dalam jangka waktu tertentu, dengan tatapan bosan bercampur kedipan lelah,
dia memandang ke jalanan. Dari balik matanya, dia mendapati seorang pria tambun berambut
putih tengah menikmati sepiring falafel di sebuah kedai di ujung jalan. Pria tambun berusia
senja itu membalas tatapannya saat akan memasukkan potongan falafel ke dalam mulutnya
dan mereka saling bertukar senyuman.

Seseorang kembali meneriakkan barang dagangannya, bunyi gemerincing lonceng


yang melingkar pada leher seekor keledai yang menarik sebuah gerobak kayu, bunyi deru
mesin mobil tua yang seperti akan melambat, anjing liar yang berlari kencang. Denyut
kehidupan masih berlangsung. Jantung masih berdegup. Napas masih berembus.

83
Handaru mendesah seolah-olah putus asa. Dia mendongak, menyaksikan langit
malam yang hening nan damai. Alunan sayup-sayup suara tilawah dari menara masjid
membelai rongga telinganya, begitu menenteramkan hati. Dia menggeleng, tersenyum getir.
Tepat saat air mata akan mengaburkan pandangannya, mantra yang meliputinya terpatahkan
ketika mendengar suara geretan kursi. Dia mendapati Prayata mendaratkan tubuh, menghisap
batang rokok terakhirnya, sebelum kemudian menginjaknya hingga padam. Handaru
mengerjap-ngerjapkan mata.

Prayata menatap Handaru sejenak. “Pernahkah aku menjelaskan padamu bagaimana


orang Gaza menikmati kopi?” Sesungguhnya, Prayata memilih topik pembicaraan ini lebih
pada alasan untuk mencairkan suasana.

Handaru, yang masih menata ekspresi wajahnya, menggeleng.

“Kau pasti tertarik dengan ini.” Prayata menarik kursi mendekat pada meja.

Prayata kemudian mengatakan bahwa budaya minum kopi di Gaza berbeda dengan di
Indonesia. Jika di Indonesia, kebanyakan masyarakat menikmati beragam jenis kopi—kopi
jahe, kopi susu, atau berbagai merk kopi hitam lainnya, sedangkan di Gaza sebagian besar
masyarakatnya menggemari kopi hitam tanpa gula. Kopi hitam hangat tanpa gula adalah
minuman khas di Gaza. Di semua kedai kopi di Gaza, semua rasa kopinya serupa dengan
kopi buatan rumah. Selain itu, bagi masyarakat Gaza, acara memanggang biji kopi dan
meminum hasilnya bersama-sama merupakan lambang dari cinta dan persatuan.

“Semua orang di Gaza pasti akan melarikan diri ke kopi apabila mereka sedang
tegang atau banyak masalah.” Kata Prayata, lalu dia diam sejenak sebelum menambahkan,
“Terdapat dua produsen kopi tersohor di sini, yaitu Mazaj Coffee dan Badri & Hania Coffee.”

Meskipun menampakkan gestur menajamkan telinga, Prayata tahu betul lawan


bicaranya tidak sepenuhnya mendengar. Dalam keadaan ini dia tidak tersinggung, sama
sekali tidak. Justru, empati yang memenuhi dadanya. Ini disebabkan karena dia mengamati
bekas air mata yang mengering dan tatapan menerawang Handaru. Kendati merasa tidak
diindahkan, Prayata tetap memutuskan untuk melanjutkan ceritanya.

“Jabar, pemilik kedai ini,” katanya melanjutkan. “Adalah salah seorang yang ahli
mengolah kopi. Ayahnya, yang bernama Matar Abu Houli, sudah mengolah minuman ini

84
selama tiga puluh tahun! Pernah aku diantarkan ke rumahnya dan melihat proses pengolahan
kopi itu.”

Prayata tetap melanjutkan pembahasan ini hingga beberapa waktu kemudian seraya
berharap ada bagian dari obrolan ini yang mampu menarik minat Handaru. Untuk itulah dia
menuturkan bahwa Matar Abu Houli memiliki sebuah loyang yang bernama Al-Mahmas.
Loyang itulah yang dia gunakan untuk memanggang biji kopi yang masih hijau di atas api
dari bara kayu. Dia akan menunggu selama 10 menit hingga biji kopi itu berubah menjadi
kecoklatan. “Kemudian dia akan meletakkan biji kopi yang telah matang itu ke dalam sebuah
pot—yang terbuat dari tanah liat—dan mulai menggilingnya dengan alat dari kayu yang dia
beri nama Al-Houn. Katanya, biji kopi yang baik itu berukuran besar dan padat. Selain itu,
ketika dipanggang, aromanya juga lebih harum.”

Handaru menunduk, menekuri kedua tangannya.

Pada akhirnya, Prayata sungguh-sungguh menyadari kegagalannya mengalihkan


pikiran Handaru dari insiden DAQU. Dia pun menghela napas panjang mengamati Handaru.
Pemuda itu terlihat dua kali lebih kuyu, bahunya merosot, matanya terlihat nanar. Prayata
menghela napas. Mengambil sebatang rokok berikutnya dan menyalakannya untuk dirinya
sendiri. Seusai asap putih panjang meluncur dari balik bibirnya, dia berkata, “Aku tahu betul
apa yang membebani pikiranmu saat ini.”

Mendongak, Handaru menatap Prayata dengan tatapan kosong, memucat.

Keduanya tidak saling bicara selama beberapa waktu hingga Prayata menjentikkan
abu rokoknya untuk kedua kali. “Kita hanya berada pada waktu tidak tepat.” Prayata
menancapkan batang rokok itu ke bibirnya. “Soal insiden DAQU, Katakan saja apa yang
ingin kaukatakan. Jangan sungkan.”

Sebuah mobil sedan putih tua bergerak menyibak jalanan. Membunyikan klakson
berkali-kali agar kerumunan orang memenuhi jalanan mau menepi. Asap membumbung dan
berarak membuntuti. Seorang bocah berusia sepuluh tahunan, yang membawa ransel dan
berjalan ke arah Prayata dan Handaru untuk menawarkan permen karet, menyela alur
pembicaraan mereka. Bocah itu mengenakan kaos yang robek di sana-sini, sepatu yang
berlubang di ujungnya—memunculkan jari-jemari kakinya, celana jins yang banyak bekas

85
tambalan.Handaru bergerak mendekati bocah itu, mencondongkan badan padanya, dan
menanyakan berapa harga satu permen karetnya.

“Harganya 1 Shekel,” jawab bocah itu.

Handaru melipat kedua bibirnya ke dalam, lalu mengacungkan jari telunjuknya.

Bocah itu menelengkan kepala, mengamati Handaru yang membuka tas ranselnya,
merogoh sesuatu dari dalamnya, dan menjulurkan genggaman tangan tertutupnya pada si
Bocah. “Aku akan membeli semua permen karetmu,” katanya dengan nada bersekongkol.
“Tapi pertama-tama jawab dulu pertanyaanku.”

Bocah itu mengangguk ragu. Tatapan matanya seperti mewaspadai sesuatu.

Handaru berdeham. “Siapa namamu?”

“Namaku … Ahmed.”

“Baiklah, Ahmed. Apakah kau mengidolakan brigade Al-Qassam?”

Wajah Ahmed yang kusut dan berbalur debu itu mendadak berbinar. Dia
mengangguk-anggukkan kepalanya dengan penuh semangat. Handaru tahu hampir semua
anak-anak di Gaza pasti mengidolakan brigade Al-Qassam. Hal ini dikarenakan minimnya
idola yang bisa dipilih mereka lebih. Sehingga, mereka menjatuhkan pilihan pada brigade
syahid itu.

“Kemarikan seluruh permen karet yang kaumiliki itu. Bagus. Sekarang aku akan
membayar semuanya … dengan ini.” Handaru membuka genggaman kedua tangannya dan
membiarkan bocah setinggi pinggulnya itu terpana melihat liontin bertuliskan HAMAS—
warnanya perak dan mengilap. Dengan senyuman ramah, Handaru membalas tatapan ragu
bocah itu, dan mengangguk. “Kau boleh memiliknya, Ahmed. Ambillah. Jaga baik-baik ya!”

Dengan gerakan lambat penuh keraguan—maju sekian, mundur sekian, terhenti


sesaat—dan dalam waktu nyaris satu setengah menit, pelan-pelan tangan bocah itu meraih
liontin HAMAS itu dan mengenggam talinya. Mengamatinya dengan takjub sebelum
akhirnya mengalihkan pandangannya ke Handaru dan tersenyum, menampilkan giginya yang
nyaris ompong—dua gigi depan atasnya tanggal. “Benarkah ini untukku?”

86
“Tentu saja. Lagi pula, seluruh permen karet ini telah menjadi milikku. Nah, sekarang
kau boleh pergi.” Handaru mengusap-usap kepala Ahmed dan kemudian menyaksikan bocah
itu berlari kegirangan.

“Liontin yang kau berikan pada bocah itu,” kata Prayata kemudian. “Bukannya yang
diberikan Husein padamu?”

Handaru mengangguk, mengedipkan mata, tersenyum lemah.

“Baiklah. Kau tidak perlu menjawabnya. Mari kembali ke topik pembicaraan. Ini
penting untuk dibicarakan. Karena apa? Karena aku tidak ingin ada permasalahan apa pun
yang dapat mengacaukan konsentrasi kita.”

Handaru mula-mula tampak menimbang-nimbang. Apakah dia perlu mengutarakan


perasaan yang dirasakannya saat ini pada Prayata? Dia merasa sungkan dan gugup untuk
menceritakannya, kendati ini adalah momen yang tepat untuk mengurangi beban yang
menghimpit dadanya.

Sesungguhnya, dia lebih mengkhawatirkan fakta bahwa sebagai seorang lelaki, hal
ini—kehilangan menyakitkan ini—sebaiknya tidak sampai meruntuhkannya. Meskipun
begitu, pengalaman perdana menginjakkan kaki di negara konflik semacam ini memang
memberikan ujian besar terhadap ketangguhannya. Nyaris selama hampir dua menit, dia tidak
berkata apa-apa. Seolah-olah memang keadaan inilah yang diinginkannya.

“Han? Tolong jangan membuat keberadaanku di sini sia-sia.” Prayata kini berbicara
dengan memberikan penekanan pada kata sia-sia. Dia mencondongkan badan ke meja.
“Sebaiknya kita membicarakan hal sekecil apa pun bersama.”

Sepuluh detik kemudian, barulah Handaru memercayai diri untuk mengangkat wajah,
mengusap separuh wajah dengan telapak tangan kanannya, dan membalas tatapan Prayata di
depannya. “Saya hanya … hanya tidak mempercayai kejadian itu. Saya merasa … eh …
seakan-akan Dia tidak memberi satu kesempatan. Satu kesempatan terakhir untuk mendatangi
mereka, menghibur mereka, atau jika sempat, memindahkan mereka semua dari tempat itu
….” Seiring waktu, nada bicara Handaru yang awalnya pelan, mulai terliputi emosi.

87
Asap kembali berarak dari embusan rokok yang meluncur dari bibir Prayata. Dia kini
bergerak mundur dan bersandar pada punggung kursi, menyilangkan tangan di depan dada.
“Lanjutkan.”

“Saya … saya … saya ingin mengabdikan sedikit waktu saya untuk mereka, Pak.
Saya saja belum mengucapkan ucapan selamat tinggal pada mereka—terutama pada Husein.
Mereka hanya bocah-bocah yang bahkan tidak tahu-menahu mengapa setiap hari mereka
mendapati jet tempur melesat di langit, dan kemudian, menjatuhkan bom seenaknya. Seakan-
akan mereka, jet-jet tempur itu, berhak mengatur siapa sajakah penduduk yang layak mati
pada hari itu.” Handaru diam sejenak.

Melihat ini, Prayata menyadari bahwa seandainya beragam perabot tamu di kedai ini
berupa kayu, maka dia yakin Handaru akan mencoba memakannya.

Sesaat kemudian, Handaru melanjutkan. “Ya Allah … mereka … mereka hanya


bocah-bocah yang ingin mengaji, belajar, dan menekuni ilmu agama. Mereka bahkan belum
tentu dapat menyandang senapan!” Desahnya, mencondongkan badan, meletakkan siku di
atas meja, dan memegangi dahinya. Selama beberapa waktu, dengan suara lirih, dia
memohon ampun dan ketenangan pada Sang Khalik.

Prayata membuang abu rokok di sampingnya ketika Jabar datang—dengan


mengenakan celemek putih bernoda—membawa sebuah baki dari aluminum yang menjadi
tempat dua cangkir kecil berwarna putih, seteko tembaga dan sepiring Kaak—kue khas Arab
berasa jahe.

Mula-mula pria itu meletakkan sepiring Kaak, kemudian meletakkan kedua cangkir
kosong untuk diisi kopi hitam panas dari dalam teko tembaga. Seketika aroma khas kopi
Gaza menguar. Menawarkan kenikmatan kopi hitam. Setelahnya, Jabar berlalu. Dia berhenti
melangkah dan menoleh pada sumber suara saat seseorang memanggilnya.

“Tidak semua hal dapat berjalan sesuai dengan apa yang kau harapkan, Han.” Kata
Prayata mengingatkan. “Lagi pula tidak ada yang bisa kita lakukan untuk mencegah peristiwa
mengerikan itu terjadi, bukan? Kita tidak memiliki kuasa untuk menentukan siapa yang hidup
hari ini dan siapa yang mati kemudian.”

Handaru menatap cangkir kopinya.

88
“Tidak ada yang bisa melawan takdir, ketetapan Tuhan ini. Biarpun kita mendoakan
mereka dengan segala macam cara dan memohon bantuan seluruh penduduk bumi, tidak akan
ada satu pun yang bisa mematahkan kehendak-Nya. Begitu pun sebaliknya.” Prayata
menghirup rokoknya dan setengah detik kemudian, mengembuskannya.

Kali ini, Handaru lebih memilih diam, menyimak dengan sungguh-sungguh. Dengan
sabar, dia mendengar kalimat demi kalimat meluncur dari bibir Prayata yang menghitam.
Berharap dari sekian banyak wejangan yang dia berikan padanya, ada yang mampu menjadi
penawar luka hatinya. Dia mendengar Prayata mengatakan bahwa Tuhan mendewasakan kita
dengan berbagai cara. Salah satunya adalah merelakan orang yang kita cintai pergi.

Dengan tambahan, “Kehilangan memanglah menyakitkan. Dan, kita membutuhkan


waktu untuk pulih darinya, tapi ingatlah cara terbaik untuk menghormati mereka adalah
dengan cara memperjuangkan mereka. Kau tentu masih ingat dengan ceritaku tentang
Sulaiman, bukan? Nah. Kuharap kau juga dapat mengambil pelajaran dari kisahku itu.
Perjuangkan mereka dengan apa yang kau miliki saat ini. Hiasi kepergian mereka dengan
penghargaan terbaik. Sehingga, mereka tidak pergi dengan sia-sia. Kau mengerti?”

Handaru mengangguk, pelan. Kesedihan masih meliputinya.

“Kau tahu mengapa aku mengiyakan saat dewan direksi memintaku menemani para
jurnalis yang lolos pelatihan dan berangkat dalam misi peliputan Ekspedisi Timur-Tengah II
ini?”

“Mereka menilai sampean layak membimbing para jurnalis muda selama di sini?”

Seorang Ayah dan anak laki-lakinya yang berjalan bersisian dan bergandengan
tangan, melintasi trotoar tepat satu setengah meter di dekat meja Prayata dan Handaru.

Coba tebak apa yang dimasak ibumu untuk malam ini. Kata sang Ayah.

Mungkin Shish Taouk,[14] karena aku sudah meminta ibu untuk memasaknya.

Begitukah menurutmu? Kalau ayah menebak, ibumu akan memasak Tabouleh.[15]


Ingat sayuran segar yang terkandung di dalamnya?

[14]
Sate ayam panggang.
[15]
Hidangan tradisional Arab yang dihidangkan dengan isian sayur-sayuran.

89
Ayo kita cepat pulang, Ayah! Aku sudah lapar!

Sang Ayah pun berusaha mempercepat langkahnya membuntuti sang Anak yang
berlari sambil menarik lengan Ayahnya.

“Itukah jawaban terbaik yang bisa kau utarakan?”

Handaru mengangguk samar.

Prayata menghisap rokok terakhirnya sebelum menandaskannya di bawah kakinya.


“Sebetulnya, alasanku untuk kembali ke tempat ini adalah demi membalas kebaikan
Sulaiman, memperjuangkannya. Aku pernah berjanji padanya kembali ke sini andai ada
kesempatan. Untuk apa? Untuk kembali mencari kebenaran informasi yang simpang siur
disini! Aku ingin mencari sesuatu yang konkret, pasti, dan faktual untuk diberitahukan
kepada dunia tentang apa yang sesungguhnya terjadi di antara dua negara ini! Aku belum
sempat menuntaskan janji itu—untuk membalas budi padanya—karena sembuh, aku
dipulangkan.”

Agaknya Handaru terkejut mendengar pernyataan itu. Dia tidak menyangka bahwa
alasan sesungguhnya di balik kisah Sulaiman itu sedalam itu.

Prayata, yang sudah menghabiskan dua batang rokok malam ini, meraih cangkir kopi
di depannya dan menghirup isinya. Dia memejamkan mata dan wajahnya terlihat mengendur
saat kopi hitam hangat itu mengaliri kerongkongannya. “Sedalam dan sesakit apa pun luka
yang kau derita, olahlah menjadi semangat untuk mendewasakan diri karena dunia dan
seisinya tidak akan pernah berhenti untuk menjatuhkan, mengecewakan, dan bahkan yang
terburuk adalah menghabisimu.”

“Selain itu, janganlah kau terlalu berharap pada manusia jika kau tidak ingin
kekecewaan menerpamu. Mulai dari titik inilah mungkin Dia mengingatkanmu, juga diriku
sendiri, agar tidak terlampau mencintai makhluk-Nya ketimbang diri-Nya. Karena … yah,
seperti yang kau tahu, Dia adalah dzat yang pencemburu.”

Mendengar rentetan penjelasan ini, membuat kerak di hati Handaru terbuka. Seolah-
olah beban yang menghimpit dadanya berkurang. Rasa sesaknya memudar. Kendati begitu,
Handaru masih membutuhkan usaha keras untuk sekadar mengembangkan senyum. Untuk

90
alasan inilah, tanpa pikir panjang dan pertimbangan lagi, dia meraih cangkir kopinya dan
meminumnya dalam sekali teguk.

Secepat dia meraih cangkirnya, secepat itu pula dia meletakkan kembali cangkir itu
dan mengerang. Matanya terpejam. Lidahnya terjulur. Di saat itu juga dia cepat-cepat dia
meraih Kaak dan buru-buru menjejalkannya ke dalam mulut.

“Kau tidak apa-apa, Han?” Prayata mengurungkan niatnya untuk kembali menghirup
kopinya dan meletakkan kembali cangkir ke meja, keheranan.

“Hmmmhm!”

Prayata menggeleng. “Habiskan dulu makananmu itu.”

“Aah ….” Handaru menelan Kaak terakhirnya.

Prayata mengerutkan dahi, tersenyum kecut sambil memengangi cangkirnya.

“Benar ternyata yang sampean bilang.”

“Hng?”

“Semua orang di Gaza pasti akan melarikan diri ke kopi apabila mereka sedang
tegang atau banyak masalah!”

Mereka berdua pun akhirnya dapat tertawa lepas. Kekonyolan yang dibuat Handaru
agaknya dapat mencairkan suasana. Memudarkan rasa sakit yang menghantam dada.

Suasana kedai semakin semarak karena obrolan para pemuda di sekeliling mereka,
yang berada di meja lain kedai, juga beriak. Mereka bercanda, tertawa. Di atas meja, mereka
memang memesan kopi hitam, tetapi mereka menambahkan gula atau susu pada cangkir
masing-masing dan inilah bentuk tren pemuda Gaza, yang menggemari kopi, dengan beralih
menjadi seperti gaya barat—Amerika.

Prayata menghabiskan kopinya beberapa saat kemudian. “Kalau kopimu sudah habis
dan kau tidak ingin menambahkan kopi lagi, lakukan ini.” Prayata mengangkat cangkirnya
dan menggoyangkannya. “Atau dengan cara ini.” Dia meletakkan cangkir kosong itu dan
meletakkan dua jari di atasnya.

“Untuk apa kita harus melakukan itu, Pak?”


91
“Inilah cara orang Gaza—utamanya saat kita bertamu ke rumah salah satu penduduk
lokal—untuk memberitahu tuan rumah, yang biasanya memang menyajikan kopi untuk tamu,
bahwa kopi kita sudah habis dan tidak ingin menambah kopi lagi.”

Beberapa waktu kemudian, alunan musik berhenti. Sebagian kursi telah dibereskan.
Orang-orang telah meninggalkan kedai. Menyisakan Prayata yang membayar tagihan di kasir
dan Handaru yang memeriksa arlojinya. Pukul 21.47 waktu setempat. Handaru mengamati
jalanan yang kini lengang. Toko-toko sudah tutup. Hanya terdengar suara gonggongan atau
lolongan anjing dari kejauhan. Bunyi deru mobil yang sekali-dua kali melintas. Prayata
berjalan meninggalkan kasir dan menggabungkan diri dengan Handaru.

“Insyaallah, besok adalah hari pertama kita sahur.” Katanya. “Aku sudah menyiapkan
kurma dan susu kaleng untuk sahur besok.”

Handaru tersenyum, mengangguk.

“Bagaimana pengalaman mencicipi kopi hari ini?”

“Baru tahu saya rasa kopi seperti itu.” Keluh Handaru.

“Nanti-nanti justru kau akan ketagihan.”

Handaru meringis. “Sekarang di mana kita bisa bermalam?”

Prayata kembali menyalakan rokok untuk dirinya sendiri. “Hmmm ... Tadi Abdu
Ariqin sempat menawarkan menginap di rumahnya, tetapi kau tahu sendiri jarak ke sana
cukup jauh, sedangkan dan untuk bermalam di penginapan, kita juga butuh waktu untuk
mencari. Sekarang sudah larut. Oh ya, jam berapa sekarang?”

“Jam sepuluh malam.”

Prayata menghisap rokoknya panjang, dan mengembuskan asapnya. “Setelah salat


Isya kita pikirkan lagi di mana kita akan bermalam untuk malam ini. Jika memungkinkan,
kita akan bermalam dan sahur di masjid saja, insyaallah.”

Kemudian mereka meninggalkan kedai. Setelah beberapa berjalan langkah dari kedai,
Prayata merangkul Handaru dan berjalan bersisian membelah lengang dan gelapnya jalanan.

92
9
Sepasang Mata Indah

Handaru sudah mencoba beberapa aktivitas yang bisa dia lakukan seperti berdiri menatap ke
luar jendela menyaksikan awan putih berarak dan langit biru membentang luas, berjalan
menyusuri selasar ke sana kemari sambil mengaitkan tangan di belakang punggung, atau
mengobrol dengan keluarga pasien. Akhirnya, pilihan terakhir yang diambilnya adalah duduk
di kursi berangka besi di samping Prayata yang memejamkan mata kelelahan, hingga
akhirnya dia memutuskan untuk duduk—menghempaskan diri dan mendesah.

Di sampingnya, Prayata yang bersandar pada punggung kursi dan menyilangkan


tangan di depan dada, melirik Handaru. “Sepertinya kau kelebihan energi.”

Tidak ada komentar dari Handaru. Dia meminta Prayata mengeluarkan kamera
digital dari ranselnya supaya dia bisa mengamati dokumentasi sahur pertamanya beberapa
jam yang lalu. Setelah menunaikan salat Subuh, Handaru mendapat panggilan dari Wiganda
bahwa kondisi Fatimah siap diwawancarai. Secepat kabar itu datang, secepat itulah dia dan
Prayata bergegas menuju RSI.[16]

Barulah kemudian, saat menggengam kamera digital Prayata, Handaru berkata dengan
nada setengah menggerutu. “Menunggu Wiganda hampir dua jam bisa-bisa membuat saya
mati bosan, Pak.” Handaru mengusap keningnya dengan sapu tangan.

Hari pertama menunaikan puasa Ramadan di tanah Syuhada ini, dengan berbagai
tantangannya—terutama cuaca, memberikan banyak pertimbangan bagi para pemulanya. Di
luar, hawa panas menyengat beserta debu beterbangan yang tanpa kompromi menampar-
nampar wajah. Matahari menyengat terik di kejauhan, seakan-akan ingin menguras habis
cairan tubuh orang-orang. Pada detik ini pun, udara menyerbu melalui celah jendela atau
pintu masuk membawa rasa gerah tersendiri.

“Yeah, asalkan jangan meminta botol air mineral padaku nanti, ya.”

Handaru merasa tidak perlu membalas pernyataan itu. Layar kamera digital yang

2
[16]
Sebuah bangunan persegi delapan yang dibangun di atas lahan seluas 16.261 m . Rumah sakit ini dibangun
sejak tahun 2009 dan beroperasi di bidang traumatik dan rehabilitasi. Letaknya di Beit Lahiya, tiga kilometer
dari perbatasan Jalur Gaza-Israel. Rumah sakit dua lantai ini memiliki 100 tempat tidur.

93
memperlihatkan suasana sahur mereka bersama tiga orang pria berusia lanjut—yang masing-
masing berjanggut putih panjang dan bergamis sudah merebut minat Handaru. Mereka duduk
bersila di atas sebuah karpet dan mengelilingi hidangan sahur berupa segelas susu putih,
beberapa butir kurma, sepiring stroberi—buah yang tumbuh subur di Gaza, Naan,[17] dan
tentunya buah Zaitun.

Semua foto menampilkan agenda sahur. Ada foto saat Handaru meraih kurma dari
piring di depannya. Ada foto Prayata sedang meneguk segelas susu putih selagi salah seorang
dari ketiga pria senja itu mengajaknya bicara. Ada foto ketiga pria senja itu—yang setelah
sahur mereka masing-masing mengurut tasbih—duduk bersila bersisian dan menampilkan
senyum terbaik mereka ke kamera. Sisanya adalah foto hidangan-hidangan sahur mereka,
masjid tempat mereka sahur.

Suasana kebersamaan sahur ini sekonyong-konyong melayangkan ingatan Handaru


kepada kampung halamannya. Setiap kali menjelang waktu sahur, dia akan cepat-cepat
bangun dari tidurnya saat mendengar tabuhan barang-barang yang membentuk sebuah irama.
Peralatan macam ember, galon, botol kaca, hingga kentongan milik pos tak luput dari
jangkauan tangan mereka untuk memecah kesunyian pagi.

Handaru bersama kelima kawannya akan berkeliling kampung dan meneriakkan yel-
yel macam pendukung klub sepak bola di stadion. Sahur! Sahur! Sahur! Saking asyiknya
berkeliling kampung membangunkan orang-orang dari lelapnya, tanpa terasa waktu berjalan
begitu cepat. Melesat bak peluru meluncur dari moncong senapan.

Acara keliling kampung yang dimulai pukul 2 dini hari itu, jika tidak dibubarkan oleh
teriakan ibu mereka masing-masing, boleh jadi akan terus berlanjut hingga satu setengah jam
ke depan.Manakala ibu mereka masing-masing membawa sapu atau penjalin, dan meneriaki
nama anak mereka masing-masing, kerumunan Handaru serta-merta buyar, menghambur
kabur. Lari terbirit-birit kembali ke peraduan masing-masing.

Di rumah, Handaru selalu menanti-nantikan masakan kesukaannya, yaitu tempe


penyet. Bersama ibu dan adik perempuannya—ayah Handaru telah meninggal akibat
kecelakaan setahun setelah adik perempuannya, yang kini terpaut usia lima tahunan

[17]
Roti pipih beragi yang dibuat dari tepung gandum.

94
darinya, lahir.

Meskipun tanpa hadirnya sosok pemimpin keluarga, Handaru—yang bersiap-siap


menjadi pengganti ayahnya—merasakan kebahagiaan saat sahur. Dan, inilah yang
membuatnya merasa amat merindukan kampung halamannya saat ini. Untuk pertama kalinya,
dia merasakan suasana baru bersantap sahur jauh dari keluarga, hingga satu bulan ke depan.
Andai kata Handaru bisa memasak masakan kesukaannya itu sendiri, tentu rasanya akan
berbeda dengan yang dimasak oleh ibunya.

Kenangan masa silam soal sahur ini juga menghadirkan ingatan lain di benak
Handaru. Dia baru mengerti bahwa di sini ada tradisi membangunkan sahur yang sama
seperti di Indonesia. Bedanya adalah pada cara pelaksanaannya. Jika di Indonesia anak-anak
muda biasa membangunkan sahur hanya dengan berkeliling dan membuat kebisingan dengan
menabuh beragam benda, cara membangunkan sahur ala pemuda di Gaza yang disebut
Musahirati sedikit berbeda.

Sebelum Musahirati, terlebih dahulu para pemuda mendapat daftar nama setiap
penghuni rumah. Selanjutnya, mereka akan mengetuk masing-masing pintu rumah dan
memanggil nama pemilik rumah seraya meniup peluit dan menepuk-nepuk tamborin. Di Kota
Tua Yerusalem, tradisi kuno Musahirati ini agak lain dibanding dengan di Gaza. Di wilayah
yang diperebutkan tersebut, para pemuda akan mengenakan pakaian tradisional Palestina—
Thobe—baik laki-laki atau perempuan dan berkeliling dari gerbang Salahuddin menuju
gerbang Damaskus.

Suara-suara percakapan dengan nada meninggi dari arah pintu masuk utama
membuyarkan perjalanan mengenang masa lalu Handaru. Samar-samar, telinganya
menangkap bunyi derit brankar, derap sepatu yang mengetuk-ngetuk lantai marmer dalam
ketergesaan. Keriuhan ini cukup untuk membuatnya mencondongkan badan, melongok ke
arah koridor.

Sekejap kemudian telah muncul tiga orang relawan yang berjalan dengan setengah
berlari. Seorang dari mereka mendorong brankar dari belakang, sedangkan dua lainnya
menarik brankar dari dua sisi berbeda. Seorang bocah berusia 9 tahunan terbujur di atas
brankar. Matanya terpejam. Tubuhnya bersimbah darah. Darah segar mengalir dari
pelipisnya. Di sepanjang perjalanan—sampai berlalu di depan Handaru—ketiganya tampak

95
mencoba bicara dengan nada biasa, tetapi itu tampak sulit sehingga memunculkan kesan
bahwa mereka sedang berdebat.

Prayata, yang sepertinya sudah pulas, mendadak membuka satu matanya dan
kemudian mata yang lain, lalu mengerjap-ngerjapkan mata seraya meregangkan tubuh. Dia
menoleh ke kanan dan ke kiri. “Suara gaduh apa itu tadi?” Katanya.

“Ada korban lagi, seorang bocah.”

Prayata duduk di pinggir kursi, mencondongkan badan, mengusap muka dengan dua
tangan. “Han,” kata Prayata kemudian. “Bagaimana dengan pedoman wawancaranya?”

“Pedoman?” Kemudian Handaru ingat. “Oh. Sudah siap, Pak.”

Prayata berdiri, memutar setengah badan ke kanan dan ke kiri. “Kau tidak ingin
latihan dulu?”

“Tinggal membaca saja, kan?”

Prayata menoleh, menatap Handaru. “Ini adalah wawancara perdanamu, Anak Muda.
Cobalah latihan dulu. Aku tidak ingin ada cacat sedikit pun. Waktu kita terlalu sempit untuk
memperbaiki kesalahan-kesalahan. Aku mau ke toilet, mencuci muka. Saat aku kembali
kuharap kau sudah siap. Aku memercayakan ini padamu.”

Handaru mengangguk. Berpikir sejenak sebelum akhirnya dia membuka tas


ranselnya, meraih buku catatan bersampul cokelatnya, dan membuka halaman pedoman
wawancara yang baru dia kerjakan setelah sahur tadi.

Lima menit kemudian, Prayata muncul dan menggabungkan diri dengan Handaru. Dia
menanyakan kesiapan Handaru melakukan wawancara perdana ini, Handaru mengiyakan.

“Sudah ada tanda-tanda dari Wiganda?”

Handaru menggeleng.

“Berapa waktu yang kita miliki?”

96
Handaru memandang arloji yang melingkar di pergelangan tangan kanannya. “Kita
sudah duduk di sini nyaris dua jam setengah. Masih ada setengah jam lagi saya rasa.”
Handaru menghembuskan napas berat dan membenturkan punggung ke sandaran bangku,
bosan.

Setengah jam berlalu dan Handaru masih memangku buku catatannya seraya
membenturkan bolpoinnya pada buku catatannya itu. Sesekali, di waktu yang lain, dia
mencondongkan badan dan bergantian menoleh ke kanan dan ke kiri. Tepat saat rasa kantuk
mulai menjalar, terdengar bunyi sol sepatu membentur lantai marmer, memecah keheningan.

Wiganda muncul dari balik pintu di sebelah kiri Handaru. Mengetahui itu Handaru
melompat bangkit, berdiri bersisian dengan Prayata dan sama-sama menatap Wiganda.
Handaru merasa sedikit kesal terhadap sahabatnya itu lantaran sekian lama tidak memberi
kabar.

Wiganda menjelaskan alasan keterlambatannya. “Afwan, membuat kalian lama


menunggu.” Katanya. Suaranya parau, kantung matanya terlihat lebih jelas, dan matanya
merah. “Aku baru saja tiba dari Rumah Sakit Asy-Syifa. Mengevakuasi sejumlah pasien yang
nyaris tak tertangani di sini. Semalam Jabalia mengalami pemadaman listrik.”

Beberapa hari ini listrik kerap kali padam. Meresahkan para relawan dan membebani
mereka dengan tugas yang lebih berat. Selain karena medan yang sulit dilalui dalam
kegelapan, ancaman drone atau jet tempur Israel yang mengintai dari udara kian
memperburuk situasi. Belum lagi mereka harus pontang-panting mencari sumber cahaya.

Mengungsikan 5-10 pasien dengan beragam keluhan—luka tembak di paha, perut,


atau betis, pecahan granat menusuk mata, dada, atau kepala—ke rumah sakit-rumah sakit
yang tidak mendapat giliran pemadaman listrik menjadi ujian tersendiri bagi Wiganda dan
rekan medisnya. Bukan hal mudah untuk sekadar menangani ini karena mereka bergantung
juga pada keberuntungan. Tak jarang rumah sakit yang mereka tuju juga padam listriknya.

Mendengar penjelasan itu, emosi Handaru mereda, berubah menjadi empati. “Lalu,
bagaimana keadaan mereka saat ini

“Alhamdulillah. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan lagi soal mereka.”

97
“Syukurlah kalau begitu.”

“Bisakah kami melanjutkan wawancara pada Fatimah?” Handaru dan Wiganda


seketika menoleh pada Prayata hampir bersamaan.

Wiganda mengusap keringat di dahinya dengan lengan. “Tadi saya sudah bicara
dengan Aruna. Fatimah insyaallah sudah siap diwawancara. Mari, saya antarkan.”

Handaru dan Prayata kemudian mengikuti Wiganda menuju ruang rawat inap Batam
yang terletak di lantai dua. Sesaat sebelum memasuki ruangan, Handaru berhenti. Seolah
ingin membiarkan Wiganda dan Prayata melenggang masuk berdua. Meski demikian,
bukan itu alasan Handaru.

Menyadari bahwa Handaru tidak mengikuti, Wiganda menoleh dan berseru agar
sahabatnya itu segera mengikutinya.

Setelah menghimpun keberanian yang cukup, akhirnya Handaru menggabungkan


diri dengan Wiganda dan Prayata yang berdiri di depan pintu.

Prayata menoleh pada Handaru yang kini berdiri di sampingnya. “Kau sudah siap?”

Bismillahirramanirrahim, kata Handaru dalam hati. “Siap, Pak.”

Bersamaan dengan ayunan pintu yang terbuka, Wiganda berkata dengan nada
menjelaskan. “Di ruang inilah Fatimah menjalani perawatan. Menurut tim medis kami, dia
menderita trauma mekanik. Trauma yang diakibatkan retak pada kaki kanannya, tepatnya
di tulang kering. Retak tulang jenis ini bisa menjadi sangat serius apabila menyangkut
kerusakan pada kulit, otot, syaraf, atau pembuluh darah.”

Handaru masih menyimak penjelasan Wiganda, sementara mata Prayata langsung


menjelajah ke penjuru ruangan, mencari posisi terbaik untuk menyiapkan kameranya.

“Alhamdulillah, kondisinya sudah semakin membaik. Walaupun begitu, masih butuh


waktu untuknya agar dapat berjalan dengan normal. Campur tangan Allah dan perawatan
terbaik dari Aruna membuat kondisi Fatimah membaik.” Wiganda berhenti di depan pintu
dan memanggil Aruna untuk bergabung dengannya, mengajaknya menyimak prosesi
wawancara dari baliknya.

98
Saat Aruna, yang mencondongkan badan ke depan dan membantu merapikan
kerudung Fatimah akan beranjak, pandangan Handaru terfokus pada Fatimah. Matanya
menangkap sosok Fatimah yang berwajah putih bersih, berhidung mancung, serta alis tipis
yang melengkung sempurna. Kerudung berwarna putih membingkai anggun wajahnya.
Semua pesona yang dipancarkan gadis itu membuat Handaru seolah-olah mati berdiri.

Dia terpaku selama setengah menit sebelum akhirnya cepat-cepat membuang muka
saat Fatimah memergokinya. Di saat yang nyaris bersamaan, saat mantra yang meliputi
Handaru belum sepenuhnya sirna, dia mendengar suara Prayata berdeham agak keras
sambil menyiapkan peralatan rekamannya.

Secepat telinganya menangkap isyarat Prayata, secepat itu pula dia merapikan kemeja
abu-abunya—bertuliskan Ficus Television di bagian punggung atas, kemudian dia berjalan
ke sisi ranjang, menarik kursi mendekat pada ranjang Fatimah, dan duduk. Membuka buku
catatannya, dia mencoba untuk tidak menatap Fatimah secara langsung, kendati gadis itu
masih membalas tatapannya.

Dengan segenap kekuatan menahan gemetar, Handaru memeriksa kembali pedoman


wawancaranya. Setelahnya, dia menoleh pada Prayata dan mendapati pria berusia akhir tiga
puluhan itu mengayunkan tangan kanannya, menghitung mundur dari angka tiga sampai
satu.

Sebelum mengajukan pertanyaan, Handaru mencerna pertanyaan-pertanyaan yang dia


tulis dalam buku catatannya. Dibutuhkan tekad dahsyat untuk sekadar mengurangi rasa
gugup dan malu yang berkelindan satu sama lain dalam diri Handaru. Mau tidak mau, dia
harus melawan hambatan yang mengancam kelancaran wawancara itu dengan beragam
cara. Benar kata Prayata, bahwa dirinya memang harus berlatih dan inilah saat hasil
latihannya diuji. Dua detik setelahnya, dia berdeham dan mulai berkata, “Siapa nama
Anda?” Katanya. Dia mengusahakan agar nada bicaranya terdengar profesional.

“Fatimah An-Naim.” Jawab gadis itu.

“Berapa usia Anda?”

“Dua puluh lima tahun.”

“Dari mana asal Anda?”


99
“Abasan, Khan Younis.” Handaru mencatat.

Pandangan Handaru tidak terlepas sedetik pun—kecuali untuk mencatat—dari


sepasang mata Fatimah. Tiap kali pandangan mata mereka bertemu, jantung Handaru
mengembang dua kali lebih cepat. Hatinya bergetar hebat. Desau angin menyusup masuk
dadanya dan menerobos ke seluruh pelosoknya. Kendati demikian, dia berulang-ulang kali
menepikan perasaan itu.

“Sekarang,” Handaru membalik lembar buku catatannya. “Apa yang Anda lakukan
saat kami bertemu Anda di Masjid Ribath, Gaza City, pada hari kamis dua minggu yang
lalu?”

“Saya mencari ibu saya,” nada bicara Fatimah memelan.

“Memangnya ibu Anda pergi ke mana?”

“Untuk pertanyaan itu, saya tidak tahu harus menjawab apa.”

Diam sejenak, lalu Handaru berkata. “Berarti Anda tidak memiliki tujuan dalam
memulai pencarian itu?”

“Saya tidak mengatakan demikian,” Fatimah menyanggah. “Berdasarkan keinginan


ibu saya sebelum kepergiannya, beliau ingin sekali pulang ke kampung halamannya di Kota
Gaza. Menemui nenek saya yang pada saat itu juga hidup seorang diri. Namun, beberapa
hari setelahnya saya sudah tidak menemukan ibu lagi di rumah. Saat bertanya pada ayah
saya, beliau berkata bahwa dirinya juga tidak mengetahuinya.”

Sekonyong-konyong, Handaru teringat pada ibunya. Ibunya, yang berulang kali


melarangnya pergi, pada akhirnya merelakan. Kebanggaan dan kecemasan meliputi prosesi
pelepasan ibu dan anaknya itu. Kendati Handaru telah berulang kali menyakinkan ibunya
bahwa dia akan baik-baik saja—karena ada Prayata yang telah berpengalaman berada di
Gaza—dan Handaru akan rajin memberikan kabar, baik melalui e-mail, surat, atau
komunikasi jejaring sosial.

Pada titik ini, meskipun belum genap sebulan hadir di tanah mujahidin ini, Handaru
merasa bersalah karena telah melanggar perjanjiannya sendiri dengan ibunya. Hingga detik

100
ini, dia belum sekali pun berkabar dengan ibunya. Setidaknya agar beliau tidak ketakutan
berlebihan. Nanti. Nanti dia akan mengabari ibunya.

“Apakah Anda berjalan kaki dari Khan Younis ke Gaza City?” Tanya Handaru.

“Pada awalnya, iya. Alhamdulillah, saya baru mendapatkan tumpangan saat


memasuki wilayah Deir Al-Balah. Sebuah bus yang mengangkut para jemaah wanita yang
akan menuju masjid Al-Aqsa memperbolehkan saya menumpang sampai Kota Gaza. Saat
bus memasuki komplek Zaitun, azan salat Asar berkumandang. Saya pun turun dari bus dan
menuju Masjid Ribath untuk melaksanakan salat.”

Handaru memperhatikan setiap kata yang dari bibir Fatimah dengan saksama.

“Usai menunaikan salat saya beristirahat sejenak. Setelah merasa cukup kuat untuk
melanjutkan perjalanan, saya meninggalkan masjid. Belum jauh meninggalkan masjid, tiba-
tiba saya mendengar suara jet tempur Israel melesat. Untuk alasan itulah saya mempercepat
langkah untuk segera beranjak. Saat itu juga ada beberapa warga yang turut menjauhi
komplek masjid. Anak-anak, perempuan, orang tua. Ramai sekali, semua orang mulai
panik.”

Prayata yang berdiri di belakang kamera di sisi kanan ranjang, memutar kameranya ke
dua arah dan sebaliknya. Sesekali dia men-close up wajah Handaru. Di waktu yang lain, dia
memutar kameranya ke kanan untuk mengambil gambar Fatimah.

Selama beberapa saat Fatimah menunduk. Bahunya naik turun. Dia mulai terisak. Saat
menengadahkan wajahnya, Handaru melihat sebutir air mata meleleh dari sudut matanya dan
bergulir di pipinya. Fatimah segera mengambil sehelai tisu yang terletak di atas lemari kecil
di samping kanannya. Dia mengusap hidungnya dan mengerahkan kekuatan untuk kembali
melanjutkan penjelasannya.

“Setelah jet tempur itu melesat pergi, suasana hening sejenak,” kata Fatimah,
kemudian. “Saya pikir jet tempur itu hanya melintas begitu saja. Akan tetapi, tak lama
kemudian gemuruh ledakan dahsyat menyeruak. Saat saya menoleh ke belakang, masjid yang
tadinya saya singgahi seketika pecah, meledak! Hancur berkeping-keping. Puing-puing
masjid itu berhamburan di udara. Secepat datangnya ledakan itu, secepat itu pula saya berlari
sekuat tenaga dan ….”

101
Fatimah menghentikan ceritanya sesaat. Suasana hening. Suara sesenggukan
tangisnya menjadi suara terkeras di ruangan itu. Handaru benar-benar menyadari bahwa
Fatimah tidak sanggup mengingat-ingat kejadian menyakitkan itu. Betapa perih dadanya kala
merasakan sebuah tombak menghunjam dadanya saat menyaksikan rentetan tragedi itu.

Fatimah menghela napas panjang, menguatkan diri. “Seketika itu, semua menjadi
gelap. Asap mengepul dan berarak. Bunyi puing-puing berjatuhan terdengar amat jelas.
Suara-suara takbir menggema. Jerit tangis, pecah kemudian. Dan itulah hal terakhir yang
dapat saya ingat. Saat saya telah sepenuhnya sadar, saya mendapati sebuah bongkahan
fondasi masjid menindih kaki kanan saya. Dengan menahan rasa sakit yang menyakitkan,
saya mengerahkan segenap sisa tenaga untuk menyingkirkannya. Butuh waktu yang tidak
sebentar untuk memindahkan batu itu, tetapi akhirnya saya berhasil. Saya kemudian
menggerakan kaki saya. Akan tetapi, terasa kaku dan berat. Dan, ketika mencoba berdiri, rasa
sakit serta-merta datang sehingga saya jatuh terduduk. Hal itu terjadi berulang-ulang.”

Sebelum mencatat, lebih dahulu Handaru menelan ludah. “Bagaimana dengan para
jemaah masjid yang tadinya melarikan diri bersama Anda?”

Fatimah menggeleng-geleng pelan. “Saya merasa sangat beruntung karena hanya kaki
kanan saya yang terluka. Saya tidak bisa membayangkan seperti apa pedihnya kehilangan
keluarga … ketika mereka tak sempat melarikan diri dari dalam masjid.” Fatimah berhenti
sejenak, mengusap hidungnya, lalu melanjutkan. “Saya tidak melihat satu pun orang yang …
mungkin terbaring di samping saya atau berjalan tertatih-tatih. Semuanya lenyap begitu saja.
Saya menunggu kehadiran para warga sekitar yang mungkin berbondong-bondong
menghampiri. Namun, sampai waktu yang lama, tidak ada seorang pun di sekeliling saya.
Saya nyaris putus asa seketika itu juga.”

Handaru memalingkan pandangannya dari Fatimah, menghela napas singkat. “Ini


tentu bukan hal yang mudah untuk Anda.” Handaru menatap Fatimah yang tertunduk. “Tetapi
terlepas dari tragedi naas itu, menurut saya, kemauan Anda untuk mencari keberadaan ibu
Anda itu adalah dorongan yang patut diapresiasi. Secuil bukti bakti anak kepada ibunya.
Sebuah hal yang patut dikagumi.”

102
“Ada kekosongan menyesakkan jika saya tidak melakukan ini. Lagi pula, yang saya
ingat dari beliau sangatlah sedikit. Saya ingin menggali lebih dalam lagi hingga saya
menemukan tujuan saya, yaitu mengobati kerinduan.”

“Anda memilih jalan yang berat.” Kata Handaru berempati.

“Hidup ini adalah perjalanan untuk sebuah perjuangan.”

“Dan pengorbanan tak pernah lepas sedikit pun darinya.”

Fatimah tidak berkomentar apa-apa untuk membalas pernyataan Handaru.

Di hadapannya, Handaru mengendus aroma kesedihan yang mulai merebak,


memenuhi seluruh ruangan. Gelombang kepiluan yang muncul dari udara yang meluncur dari
bibir Fatimah seakan-akan menyerupai sebuah ombak yang bergelung dan serta-merta
menghempasmu. Nyaris menjatuhkanmu saat kau tidak kokoh dalam menahan gempurannya.

Handaru memandang sepasang matanya yang berwarna kecoklatan, dia menyadari


bahwa ada beribu kisah memilukan di sana. Kekhusyukan Handaru patah tepat saat Prayata
menjentikkan jari, memberikan aba-aba bahwa waktu wawancara telah usai.

“Ehm. Baik. Untuk sementara saya rasa wawancara cukup sampai di sini. Terima
kasih atas waktu yang Anda luangkan untuk kami. Semoga Allah segera memberikan Anda
kesembuhan dan semoga Anda cepat menemukan petunjuk keberadaan ibu Anda.”

Di depannya, Fatimah mengangguk dan mengamini.

Setelah membereskan peralatan, Handaru dan Prayata meninggalkan ruangan.


Menggabungkan diri dengan Wiganda, sedangkan Aruna masuk untuk menghibur Fatimah
yang terguncang.

“Kerja bagus.” Puji Prayata, di luar ruangan. Menepuk pundak kanan Handaru.
“Meskipun di awal kau sempat gugup, tapi kau berhasil mengendalikannya. Lain kali berikan
saya kejutan lain, Anak Muda.”

“Alhamdulillah.” Kata Handaru dalam hati, menghembuskan napas lega.

103
“Gayamu tadi sudah seperti profesional.” Imbuh Wiganda, mengacungkan ibu jarinya
dengan penuh arti pada sahabatnya. “Aku menyukai kalimat yang kalian berdua ciptakan tadi.
Seolah-olah kalian telah mempersiapkannya sebelumnya.” Dia kemudian terkekeh.

“Alah ... itu kebetulan saja.” Jawab Handaru, mengibaskan tangan.

Mereka bertiga sama-sama tertawa.

Aruna sekonyong-konyong muncul dari balik pintu. “Afwan. Jika kalian tidak
keberatan, sebaiknya kalian mencari tempat lain untuk mengobrol. Syukran.” Katanya, pelan
dan lembut. “Fatimah harus beristirahat.”

Memahami permintaan itu, Prayata mengayunkan kepalanya ke samping dan


memberikan isyarat agar kedua pemuda di depannya mengikutinya. Saat para pria sudah
beranjak dari depan pintu ruang rawat inap Batam, Aruna kembali memasuki ruang rawat
inap Batam dan seketika itu juga mendengar Fatimah memanggilnya.

“Ya? Ada apa, Fatimah?”

“Si Handaru itu,” kata Fatimah yang mata dan hidungnya memerah. “Menurutku, dia
tampan.” Handaru memang tampan. Kulitnya sawo matang. Janggutnya yang tercukur rapi
tanpa kumis. Rambutnya yang tersisir rapi ke samping. Hidungnya sedikit mancung.
Tatapannya teduh. Nada bicaranya juga lembut.

“Wah … wah, ada yang sedang jatuh cinta sepertinya.” Goda Aruna.

Semburat merah merona di kedua pipi Fatimah, tersipu.

“Kata Wiganda, dia masih single, loh!”

“Benarkah?” Cepat-cepat Fatimah menoleh pada Aruna yang berdiri di sisi ranjang.

Aruna terkekeh. “Ada satu syarat untuk mendekatinya.”

“Apakah itu, Aruna? Ayolah … kumohon, beritahu aku sekarang.”

“Syaratnya adalah … kau harus sembuh dan menurut denganku. Minum obat teratur,
istirahat cukup, dan jangan memilah-milah makanan. Kau harus memakan semua menu yang
kami sediakan. Tanpa terkecuali! Dan, jangan membantah saat berlatih berjalan. Setuju?”

104
Mendengar kata-kata itu Fatimah menaikkan kedua alisnya, mengangguk-angguk, lalu
mereka saling bertukar senyuman.

“Baiklah kalau begitu. Jangan lupa minum suplemenmu dan istirahatlah.” Aruna
menggamit tangan Fatimah. “Aku akan kembali sore nanti.”

Fatimah mengiyakan.

Setelahnya, Aruna menoleh untuk melihat jam dinding dan mengatakan bahwa
dirinya harus mengurusi pasien yang lain, sesuai jadwalnya. Aruna memutar badan untuk
berjalan menuju pintu, lalu menghilang di balik pintu ayun ganda berwarna merah di
seberang. Fatimah meraih suplemen di atas laci kecil di sampingnya, dan menelannya
dengan bantuan segelas air putih. Akhirnya, dia memejamkan mata. Senyum menghiasi
bibirnya.

Di halaman luar, Handaru dan kedua koleganya mengamati Apartheid Israel[18] nun
jauh

di sana. Sebuah tembok beton kokoh yang berdiri menjulang dengan segala keangkuhannya.
Mengunci rakyat Jalur Gaza dari dunia luar.

“Setelah ini kalian akan pergi ke mana?” Kata Wiganda, ingin tahu.

Handaru merogoh ke dalam tas ranselnya, mencari buku catatannya, kemudian


mengeluarkannya. “Agenda berikutnya ... meliput Masjid Al-Aqsa di Yerusalem.”

“Tapi kami kesulitan mencari transportasi untuk ke sana,” Tukas Prayata,


mempertimbangkan opsi perjalanan menuju Yerusalem. “Terlebih kita harus melewati
Perbatasan Erez. Tentunya, perbatasan itu tidak ramah untuk para pendatang.”

Sebuah mobil sedan putih melintas di atas aspal jalan raya depan RSI, asap mengepul
di belakangnya. Menyalip sebuah gerobak kayu yang ditarik oleh seekor keledai. Di atas
gerobak tersebut ada sekitar tiga orang. Seorang lelaki paruh baya, seorang wanita
seusianya, dan seorang bocah perempuan. Bunyi gemerincing lonceng yang melingkar pada
leher keledai itu mengisi keheningan. Udara kering, panas menyengat.

“Ada dua relawan lokal yang akan menuju Sentra Pengobatan Hadassah di Ein
Karem.” Wiganda bergantian memandang dua pria beda usia itu. “Aku akan memanggil dua
105
orang relawan ini untuk membicarakan alur perjalanan ini. Aku akan meminta mereka
mengantar kalian sampai ke Jalan Batei Mahase. Dekat pintu masuk Kota Tua Yerusalem.”

“Jadi, kapan kami bisa berangkat?” Tanya Prayata.

“Insyaallah jam 08.45.” Jawab Wiganda, lalu dia menoleh pada Handaru. “Berhati-
hatilah setibanya di sana. Jika hendak melakukan peliputan, waspadalah. Jangan terlalu
menampakkan gerak-gerik berlebihan. Para polisi Israel di sana mudah curiga.”

“Doakan kami, Wiganda.”

“Pasti, Kawan. Insyaallah.”

[18]
Tembok pemisah Zionis Israel di Jalur Gaza dibangun sejak tahun 1994. Memiliki tinggi 8 meter dan
panjang 70 kilometer di Jalur Gaza. Tembok lainnya di bangun pada tahun 2002 mengelilingi wilayah itu
dengan panjang 700 kilometer.

106
10

Titah Pamungkas

Dengan berbekal kesuksesan mengeksekusi operasi tambahan—yang dilimpahkan Eden


padanya, tiga hari lalu—Benjamin memenuhi panggilan Noam Adares. Dia melenggang di
koridor, mengangguk samar pada setiap pegawai yang berpapasan dengannya. Dia tampil
tampan dalam balutan setelan hitam dan menenteng sebuah koper hitam pada tangan
kanannya.

Dia membayangkan keberhasilannya ini akan menuai pujian dari sang Wakil
Direktur. Dalam kebahagiaan yang dipendamnya, dia mendekati lift untuk menuju lantai tiga
Hadar Dafna Building. Ketika sudah berada di dalamnya, dia membayangkan betapa
mudahnya kali ini dia mendapatkan cuti. Angan-angannya untuk bisa menghabiskan waktu
dengan berendam di Laut Mati, mengunjungi Lembah Jordan yang diliputi rerumputan dan
perbukitan hijau, atau mengunjungi Jerash—salah situs reruntuhan pada zaman kerajaan
Romawi, menghadirkan seulas senyum di bibirnya.

Pintu lift yang berdenting sejenak membuyarkan lamunan Benjamin akan nikmatnya
berlibur. Dia kembali melangkah, melewati ambang pintu lift, dan menyusuri koridor menuju
ruang intelijen yang sudah diakrabinya. Berhenti di depan pintu kaca ganda yang akan
terbuka otomatis, Benjamin menarik kerah kemeja putihnya, memeriksa kebersihan
setelannya, dan mengusap noda putih yang melekat pada sepatu oxford hitamnya.

Sebelum melangkah melewati ambang pintu, mula-mula dia memejamkan mata dan
menghela napas pendek. Sedikit berusaha meredam euforia karena dia mulai merasa bisa
melepaskan diri dari bayang-bayang Eden. Dengan penuh harap, dia mendambakan pujian
dari Noam dan, jika memungkinkan, sebuah kenaikan jabatan.

Di dalam ruang intelijen yang tidak terlalu terang—memang dibuat sedemikian,


seperti biasa, para pegawai sibuk di belakang komputer masing-masing. Berjalan dengan
langkah cepat dari mejanya, menuju meja rekannya di ujung, lalu kembali ke meja masing-
masing. Hilir mudik ke ruang pribadi Noam sementara berlembar-lembar kertas berada dalam
genggaman. Gumaman-gumaman sarat bahasa strategi dan jalannya operasi, beriak.

107
Bunyi ketukan jari-jemari di atas papan ketik, bunyi alarm penanda, bunyi dering
telepon, suara ketukan sol sepatu, menyambut kedatangan Benjamin mendekati Noam yang
berdiri di depan layar LCD, menyilangkan lengan di depan dada. Tampak serius mengamati
video-video yang diambil dari drone, dan menampilkan beragam adegan.

Salah satu video menampilkan seorang mujahidin Al-Qassam berlari menghambur—


sambil menenteng senapan M-16 di depan dada—menjauhi ledakan. Dua buah jet tempur
melesat di atas gedung-gedung dan menjatuhkan bom. Beberapa warga berlari sambil
berteriak histeris. Menutup kedua telinga.

Benjamin berhenti dan berdiri tiga langkah di belakang Noam.

“Shaloom—ucapan salam umat Yahudi, Adon—Pak,” katanya. “Saya ingin


melaporkan hasil operasi kami pekan lalu.”

Mendengar suara yang tidak asing di telinga, Noam memutar badannya, pelan-pelan.
“Oh, kau sudah tiba rupanya.” Katanya, lebih kepada basa-basi belaka, kemudian
mengayunkan lengannya ke depan seraya melangkah menuju ruang pribadinya.

Benjamin menyempatkan diri melihat video di LCD besar dan lebar yang kini
menayangkan beberapa titik-titik warna menyala dan disertai nama-nama orang di setiap
warnanya. Dia mengenali tayangan tersebut sebagai video dari drone, yang memiliki
kemampuan menganalisis wajah dan mengenali setiap targetnya—selain memantau
pergerakan, untuk kemudian merampas data-data identitas sehingga memudahkan para agen
di lapangan untuk menuntaskan tugasnya.

Setelah menutup pintu ruang pribadi, Benjamin melangkah pelan mendekati depan
meja yang di depannya Noam masih berdiri menyilangkan lengan di depan dada. Suasana
sempat terasa menegangkan bagi Benjamin karena selama beberapa waktu tidak ada
percakapan di antara mereka. Keringat dingin bermunculan di dahinya.

Oleh karena hanya satu lampu yang menyala, yakni di belakang posisi berdirinya,
Benjamin kesulitan menebak ekspresi Noam. Satu-satunya hal yang bisa dia lakukan
hanyalah menelan ludah. Kalau tidak, dia mengusap keringat dengan lengan setelan
hitamnya. Jantungnya berdegup kencang. Bukan ini permulaan yang dia inginkan. Ini di luar
kendalinya.

108
Akhirnya Noam bersuara. “Bagaimana bisa kau datang seorang diri?”

Benjamin berusaha menatap lurus kepada Noam. Hanya dengan kalimat itu saja, dia
sudah tercekat kalimatnya sendiri.

“Bukankah aku memintamu datang bersama Eden?”

Ludah meluncur di dalam kerongkongan Benjamin.

“Jawab pertanyaanku!”

“Eden,” Benjamin diam selama beberapa saat. Suara benturan sepatu lars dengan
lantai marmer, memecah keheningan. Wajah Noam yang tersembunyi di balik sisi ruangan
yang gelap, mulai tampak seiring langkahnya mendekati Benjamin. Kedua lutut Benjamin
mulai gemetar. Bulir-bulir peluh makin membasahi pelipisnya. Sensasi seperti ini selalu sulit
untuk dihindari oleh siapa pun yang berdiri berhadapan dengan Noam. Seakan-akan ada sihir
yang meliputi ketika bertukar gagasan dengannya. “Di ... dia ... dia melaksanakan tugasnya
dengan baik, tapi … belakangan aku kesulitan menghubunginya, Pak ….”

Keheningan kembali merebak, meliputi keduanya. Mata Benjamin melirik ke sana


kemari untuk sekadar mengurangi rasa takut yang sekonyong-konyong menyergap dadanya.
Dengan cemas, dia menanti sepatah-dua kata muncul dari bibir sosok yang kini berdiri sekitar
dua langkah di depannya itu.

Jantungnya seakan-akan hendak membunuh dengan cara menyesakkan dadanya.


Setelah membiarkan Noam mengamati dirinya dengan saksama, dia menunduk. Seakan
hanya dengan menatap Noam akan mempercepat kematiannya.

Satu detik kemudian, terdengar suara dengusan. “Pandang aku, Ben. Bagus.” Hening
beberapa waktu. “Sekarang, pulanglah. Aktingmu sungguh buruk.”

“Ma ... maksud Anda, Pak?”

Noam mengusap wajahnya. “Jurnalis Indonesia itu,” berhenti sesaat, lalu


melanjutkan. “Tidak berada di sana, bukan?”

Dalam diam dan gemetaran, Benjamin menyaksikan Noam memutar badan,


melangkah meninggalkannya menuju ke balik meja kerjanya. Setelah nyaris terjebak dalam
kebuntuan, Benjamin kini memahami apa yang sedang dibicarakan.
109
Saat-saat yang paling dikhawatirkan oleh nyaris seluruh pegawai atau intelijen di
gedung ini akan terjadi. Sesuatu yang selayaknya dihindari. Bagaimana dia bisa mengetahui
hal ini? Pikir Benjamin. Ah! Aku melupakan sesuatu! Dia kemudian berupaya keras menata
kalimat yang ingin diucapkannya. Mengolahnya dengan sebaik mungkin, menyiapkan
pembawaan agar tak lagi mencurigakan, dan mengerahkan keberanian untuk mengalahkan
salah satu ketakutan terbesarnya.

“Informasi yang saya dapatkan tidak sal ….”

“Omong kosong!” Sergah Noam, menghentakkan kedua kepalan tangannya di atas


meja persegi setinggi pinggangnya. Seketika bulu roma semakin Benjamin merinding. Seperti
ada aliran listrik yang merambat di permukaan kulitnya. Dia membersihkan tenggorokannya.
“Drone yang kukirim mengawasi kalian tidak akan salah! Kau tidak bisa menipuku,
Benjamin!”

Kata-kata bernada culas itu menusuk telinganya. Mendengar pernyataan Noam, serta-
merta Benjamin merasa tertimpa batu raksasa. Ada sedikit rasa menggelitik di dalam dirinya.
Sesuatu yang harus dikeluarkan, dilampiaskan, dimuntahkan, tetapi hingga hampir dua menit
kemudian, saat keheningan kembali menyelimuti mereka berdua, Benjamin tak kunjung
memperoleh keberanian itu. Seiring waktu, saat tangannya bersusah payah menggapai
keberanian itu, dia justru semakin tertarik ke belakang.

Dia sungguh tidak menyangka bahwa usahanya dalam tiga hari terakhir ini justru
menuai sesal. Padahal—boleh dibilang—kinerjanya jauh membaik ketimbang pada rentetan
operasi-operasi sebelumnya. Dengan trik jitu dia mampu menyusup masuk—mengenakan
seragam Brigade Al-Qassam, berbicara dengan aksen Arab kental—dan menggabungkan diri
dengan skuad perakit bom brigade syahid itu, untuk kemudian menyelundupkan bom itu guna
dipasang di bawah setiap mobil para jurnalis asing.

Dengan kecekatan dan kewaspadaan tinggi, di tengah malam hari yang hening
menjelang sahur, Benjamin melaksanakan operasinya dengan mudah. Siang harinya, dengan
tampilan kasual, duduk menikmati kopi di sebuah kedai, menanti target memasuki perangkap,
diam-diam Benjamin menekan tombol detonator bom saat sang Jurnalis menaiki mobilnya
yang terparkir di salah satu penginapan. Setelahnya, dia segera meninggalkan tempat dengan
wajah tak bersalah. Kebanggaan kian meliputinya setiap dia selesaikan satu operasi.

110
Kendati demikian, Benjamin tak cukup memuaskan untuk bisa mencuri hati Noam.

“Kau membuang waktuku untuk hal sepele semacam ini.”

Benjamin menunduk dalam-dalam. Sanggahan tertahan di tenggorokannya.

“Kurasa,” Noam mendesah berat. “Kau sudah tidak berguna lagi untukku.”

Benjamin tersentak. Cepat-cepat dia mengangkat muka. “Berikan aku kesempatan


lagi! Aku bisa memperbaiki semua ini!”

“Teruslah meracau! Kau belum menjawab pertanyaanku dari awal. Di mana Eden?”

“Eden ... Dia pergi mencari jurnalis Indonesia itu, seorang diri. Dia memintaku untuk
menetralisir ketujuh jurnalis asing lainnya. Dan, aku berhasil. Lihatlah, Pak. Aku memiliki
ini. Koper ini! Di dalam koper yang kubawa ini, Anda bisa menyimak semua data yang Anda
harapkan.” Kata Benjamin, dengan senyum yang dipaksakan, mencoba mengalihkan
pembicaraan. Berharap apa yang dia bawa mampu meredam ketegangan di antara keduanya.

Hening sesaat.

“Berikan koper itu padaku.” Kata Noam, mengayunkan jarinya.

Nyaris seketika itu juga, Benjamin bisa bernapas lega dan mendekati meja.
Meletakkan koper hitam itu di atasnya, kemudian menyorongkannya, berharap koper itu bisa
memperbaiki suasana hati sang Wakil Direktur. Dia mengamati Noam yang kini membuka
koper, mengambil satu demi satu berkas dengan bercak darah, bekas terbakar, noda kopi, dan
mengamatinya dengan saksama. Matanya bergerak dari kanan ke kiri—membaca setiap
struktur aksara Ibrani di hadapannya—bergantian dalam tempo sedikit cepat.

Tidak sampai dua menit kemudian, Noam bergeming.

Dan, tepat saat Benjamin merasakan sedikit kelegaan meliputinya—karena


menyangka bahwa surat-surat itu dapat meredam emosi Noam—dia terkesiap ketika tiba-tiba
Noam mengayunkan lengan kanannya pada sisi koper dan menerbangkannya, membuangnya
jauh-jauh. Serta-merta kertas melayang berhamburan di mana-mana. “Katakan sekali lagi,”
kata Noam, bangkit dari duduknya, meletakkan kedua tangannya di atas meja, dan
mencondongkan badan. “Apa baru saja kaubilang?”

111
“Aku sudah berhasil menetralisir ketujuh jurnalis itu dan … aku berbagi tugas dengan
Eden untuk menyelesaikan operasi ini?”

“Dasar bodoh! Kau memang tidak bisa diandalkan!” Noam menggeleng-gelengkan


kepalanya.

Benjamin kembali tertunduk, menghindari cercaan berikutnya.

“Aku tidak membutuhkan kabar keberhasilanmu menghabisi tujuh jurnalis asing itu!
Tidak darimu! Yang kubutuhkan adalah jurnalis Indonesia itu. I-N-D-O-N-E-S-I-A. Kau
mengerti?!”

Entah apa yang dipikirkan Benjamin hingga akhirnya dia menukas, “Eden memaksa
saya untuk tidak ikut campur dalam urusan pengejaran jurnalis Indonesia itu, Pak. Dia
mengatakan bahwa dirinya ingin mencari pelampiasan akibat rasa penasarannya terhadap
hilangnya ibunya tidak kunjung terjawab!” Benjamin menelan ludah. Dia sungguh-sungguh
tidak percaya bahwa kalimat itulah yang muncul menerobos mulutnya yang nyaris
terbungkam.

Sebagai bentuk pertanggungjawaban, Aku akan menyelesaikan operasi ini, sendirian.


Dan kau tidak akan bisa menghentikanku!

Benjamin lamat-lamat merenungkan betapa keras kepalanya gadis itu. Terkadang,


kalimatnya yang mengandung kalimat perintah sulit terbantahkan. Hampir menyerupai
perintah seorang komandan kepada anak buahnya. Mau tidak mau harus dilakukan. Tidak
boleh tidak. Semua harus terlaksana sesuai dengan keinginannya. Akhir-akhir ini, walaupun
senantiasa mendapat acungan jempol dari ayahnya, Eden kerap kali merasa bahwa apa yang
dia lakukan ini selalu menuai kesia-siaan. Sesuatu yang tidak memuaskannya, kendati dia
tetap dengan senang hati melakukannya. Menikmatinya.

Pernah, suatu ketika Eden mengajak Benjamin bertemu di sebuah kafe di Yerusalem
bernama Halilatea. Sebuah kafe yang memberikan pengalaman berupa atmosfer ruangan dan
pelayanan terbaik. Sembari menikmati teh hangat, mereka memesan Bagel[19] dan Blintz.[20]

Dalam pertemuan itu, Eden banyak mengutarakan rasa kehilangannya terhadap


ibunya dan setitik rasa bersalahnya karena operasi-operasi yang dijalankannya. Meskipun
dilema menderanya, Benjamin menyadari bahwa sebagian besar diri Eden menginginkan
112
kebebasan. Sebuah ruang untuk hidup, mengurangi beban. Namun, keadaan memaksanya
menerima versi yang diinginkan ayahnya. Dan, karena tidak banyak pelampiasan yang bisa
melegakannya, dengan senang hati dia menerima tawaran menjadi seorang agen mata-mata.

“Tunggu dulu. Apa yang kaubicarakan?” Noam mengerutkan dahi.

“Saya rasa ini adalah puncak dari keresahannya, Pak.” Kata Benjamin, melanjutkan.
“Eden membutuhkan seseorang untuk mencurahkan keluh kesahnya. Penderitaan yang
selama ini dia pendam, seorang diri.”

“Jangan mengalihkan pembicaraan kita, Ben.”

“Rahasia yang kita sembunyikan darinya makin lama akan terendus olehnya, Pak.”

“Bah! Aku sungguh tidak mengerti arah pembicaraanmu ini.”

“Kita tidak bisa bertahan lebih lama lagi, Pak.” Kata Benjamin, terus mengejar.
Mencoba mendesak Noam untuk mengungkapkan sesuatu hal yang selama ini ditutupinya.

Selama beberapa waktu, di antara keheningan, mereka berdua berhenti bertukar


gagasan. Hanyut dalam pikiran masing-masing.

Hingga Noam kembali memulai berkata. “Apa kau mulai meragukanku?”

Dan Benjamin ingin menjawab, Aku lelah berpura-pura seperti ini. Bagaimana
perasaanmu jika kau berada pada posisiku? Memahami, melihat dengan mata kepala
sendiri, segala bentuk makar yang telah kauperbuat. Ini bukan lagi menyakitkan, ini bisa
membunuhku perlahan! Namun, dia tidak melakukannya. Mungkin, tidak untuk saat ini.
“Bukan itu maksud saya, Pak. Hanya saja … dari gerak-geriknya, saya dapat merasakan
setitik hasrat pemberontakan mulai muncul.”

“Jangan menguliahiku, Benjamin!” Kata Noam sengit.

“Saya hanya mengkhawatirkan keputusannya, Pak,” Benjamin menghela napas.


“tetapi Anda tidak perlu khawatir. Meskipun saya bukan agen terbaik yang Anda miliki, saya

[19]
Donat berbentuk potongan roti yang direbus sebelum dipanggang di atasnya ditaburi biji wijen.
[20]
Pancake khas Yahudi yang mana lembarannya tipis namun pinggirannya penuh berisi macam-macam
bumbu.
113
akan tetap menjaga kerahasiaan ini, Pak.”

Noam berdeham agak keras.

Menyadari pria berambut kelabu itu sedang mencoba mengendalikan keresahannya


Benjamin tersenyum lega. Di balik mata tajam, hidung yang mirip paruh burung elang, dan
dagu yang lebar, Noam menyimpan ketakutan terbesar di dalam dirinya. Sesuatu yang
menurutnya, mungkin, dapat menjadi bumerang.

Dan untuk alasan inilah, Benjamin merasakan sesuatu membuncah di dadanya. Tepat
saat menyadari bahwa dia berhasil mengunci peran dalam percakapan ini, Benjamin
merancang alur percakapan berikutnya. Berharap menemukan kelemahan Noam dan
menjadikannya senjata untuk menuntut balik.

“Jangan biarkan dia mengetahui hal yang sebenarnya, Ben.” Lirih Noam, setelah
hanyut dalam pikirannya sendiri selama beberapa waktu. “Lakukan apa pun untuk
mengalihkan rasa keingintahuannya itu. Jika kau terdesak, kau tahu apa yang harus
dilakukan, tetapi sebelum itu pastikan dia sudah menyelesaikan tanggung jawabnya.”

Kena kau! Kata Benjamin dalam hati. “Baik, Pak.”

“Tapi ada satu hal yang perlu kau ketahui. Jangan sekali-kali menanamkan gagasan
bahwa permasalahan ini selesai begitu saja, Ben.”

Serta-merta euforia kemenangan itu sirna. Pernyataan itu menyurutkan gelombang


kepuasan yang meliputi Benjamin. Mula-mula dia merasakan palu godam raksasa
menghantam dadanya. Seperti seseorang yang menyangka bahwa dirinya telah memenangkan
sesuatu, kemudian kemenangan itu dianulir begitu saja. Secepat keterkejutan itu datang,
secepat itu pula dia berhasil menguasai diri.

Mengaitkan kedua tangannya di balik punggung, Noam melangkah meninggalkan


meja, mendekati Benjamin. Sejenak kemudian, dia berdiri tegap dan menatapnya tajam. “Aku
ingin berkata jujur padamu, sebagai ucapan terima kasihku atas laporan penting ini.”

Dia jarang sekali mengucapkan kalimat terima kasih seperti ini. Bahkan melihatnya
berminat untuk mengucapkan dua kata itu, mustahil. Pikir Benjamin sambil menguatkan diri
membalas pandangan Noam yang kembali melangkah mendekatinya.

114
“Seandainya saja kau bukan keponakanku,” katanya, datar. “Pastilah, tangan kananku
akan terasa ringan untuk menghabisimu.” Noam mendekatkan kepalanya ke telinga kanan
Benjamin, melemaskan jari-jari tangannya hingga bergemeretak, dan membisikkan kalimat
ancaman, seperti biasa. “Andai kakakku tidak menitipkanmu padaku, entah, akan jadi seperti
apa nasibmu.”

Pernyataan itu mengingatkan Benjamin pada kejadian bertahun-tahun silam. Saat


dirinya dan Eden masih berusia awal dua puluhan. Ketika itu, ayah Benjamin, Levi,
menawarkan pada Noam agar Eden tinggal sementara dengan keluarganya. Untuk
menghilangkan jejak. Menghapus kenangan.

Ayah Benjamin, yang juga seorang anggota aktif Israeli Defense Force—Tentara
Pertahanan Israel berpangkat Sersan—bersama ayah Eden, mendapatkan tugas memantau
pergerakan pasukan HAMAS di Perbatasan Erez beberapa bulan kemudian. Mereka
berangkat dan meninggalkan Benjamin dan Eden di rumah Levi—bersama ibunya Benjamin.

Hingga selang beberapa jam pasca keberangkatan pasukan siaga—yang melibatkan


ayah Benjamin dan Noam—ke Perbatasan Erez, tidak ada tanda-tanda kepulangan keduanya.
Harap-harap cemas sesuatu terjadi pada sang Ayah, Benjamin memaksakan diri untuk pergi
dari rumah Noam dan menuju markas pasukan IDF di Herzliya Pituah yang terletak di
pinggir pantai Tel Aviv.

Sesampainya di sana, dia bertanya pada penjaga dan beberapa perwira senior di dalam
markas. Dia harus menuai pedih karena hingga detik itu tidak ada kabar yang bisa mereka
berikan padanya. Pasukan penjaga berdalih bahwa komunikasi radio antara pangkalan militer
dan pasukan perbatasan terputus. Kemungkinan besar pasukan HAMAS berhasil
menyabotase kamp komunikasi.

Penasaran dan gundah gulana yang mengaduk-aduk hati Benjamin sedikit mereda
ketika mendapati ayah Eden kembali dari medan tempur. Namun sayang, dia tidak mampu
mengobati luka Benjamin karena justru dia mengatakan bahwa Levi telah tidak berhasil
selamat. Pertempuran di daerah Jabalia adalah salah satu yang terburuk. Mereka tersudut oleh
taktik gerilya angkatan bersenjata HAMAS.

Hingga beberapa minggu kemudian, Benjamin tidak mampu mengobati luka hatinya
karena kehilangan sosok Ayahnya. Kendati ibunya telah berulang kali menghiburnya. Dia
115
baru bisa mendapatkan kepuasan saat Noam memintanya, bersama Eden, bergabung dengan
Mossad. Ketika itu, usia Benjamin telah melewati pertengahan dua puluhan.

Ingatan Benjamin seketika buyar saat mendengar suara Noam.

“Aku akan memberimu satu kesempatan lagi.”

Benjamin menelan ludah, untuk kesekian kalinya.

“Kali ini, jika gagal, aku akan mengulitimu hidup-hidup, kemudian memenggal
kepalamu, menggantungnya di tiang dengan tulisan Inilah pengkhianat Negara Israel di
bagian bawahnya, dan menyebar bagian tubuhmu di mana-mana sesuka hatiku. Kau mengerti
Benjamin?”

Benjamin, yang berpikir bahwa dia berhasil menaklukkan Noam dengan pengalihan
pembahasan tadi, bersusah payah meredam ketakutan yang kini kembali menguasai
kepalanya dengan mengangguk. “Lalu, apa yang harus kulaksanakan kali ini, Pak?”

“Mudah saja. Bawa Eden kembali padaku.”

Benjamin diam sejenak, tampak menimbang-nimbang. “Bagaimana jika jurnalis


Indonesia itu masih hidup saat aku menjemput Eden, Pak? Maksud saya, yang saya
khawatirkan, dia akan menyebarkan informasi yang akan memperburuk citra kita di mata
dunia.”

“Tenang saja. Sekutu kita akan mengurusnya, seperti biasa.” Noam memandang
Benjamin mengangguk, paham. “Satu lagi, Ben. Perketat penjagaan di Yerusalem dan
seluruh komplek masjid itu. Jika dugaanku benar, jurnalis itu akan pergi ke sana. Entah
kapan. Aku tidak ingin mereka lolos. Sekarang, enyahlah dari hadapanku!”

Dengan gemetaran, Benjamin mengangguk.

Lalu dia membalikkan badan, melangkah dengan sigap, dan menghilang di balik kayu
yang memisahkan antara ruang intelijen dan ruang pribadi Noam. Meninggalkan Noam
seorang diri bersama kabut yang menyelimuti dirinya. Di bawah naungan cahaya temaram di
antara dinding tebal dan langit-langit tinggi di ruangannya.

116
Cepat atau lambat, dia harus mengerahkan seluruh kekuatan untuk menghadapi
harinya yang akan kembali hancur. Sebelum kemudian bangkit kembali demi menangkis
emosi memuncak yang akan meluluhlantakkan akal sehatnya.

Aksi apa lagi yang akan muncul di benak sang Wakil Direktur Mossad ini?

117
11

Yerusalem dan Masjidil Aqsa

Andai tidak sedang berpuasa, bisa jadi Handaru akan menghabiskan puluhan air putih selama
setengah jam. Sejak keluar sejenak dan mengobrol bersama Wiganda dan Prayata di halaman
RSI tadi, kerongkongan Handaru terasa amat kering. Inilah ujian perdananya menghadapi
kerasnya bulan Ramadhan di negara bergurun.

Udara menyemburkan hawa pengap menyengat. Suhu di Gaza yang seolah-olah


menawarkan sensasi sauna raksasa. Permukaan tanah terasa seperti mendidih. Berulang-ulang
kali Handaru mendesis, mengerutkan dahi, mengusap peluh di kening. Tidak ingin
meningkatkan dambaannya kepada air putih segar, Handaru lebih banyak diam. Meskipun
wajahnya memutih seperti hantu—seakan-akan sum-sum tubuhnya disedot habis panas
membaranya matahari siang ini, Handaru tampak bersusah payah menguatkan diri.

Dalam perjalanan puluhan kilo dari Beit Lahiya menuju Yerusalem, Prayata
menyarankan agar Handaru lebih banyak tidur. Bukan untuk mengajarkan kemalasan,
melainkan lebih pada cara untuk menjaga fisik tetap prima. Berbeda dengan Prayata yang
telah berpengalaman dengan suhu dan cuaca sedemikian. Baginya, hal ini bukanlah
permasalahan yang terlalu serius untuk disikapi.

Oleh karena tidak banyak hal yang dapat dilakukan, Handaru menuruti tawaran
Prayata. Dia pun kemudian menyandarkan kepala ke dinding ambulans MER-C,
menyilangkan lengan di depan dada, dan memejamkan mata.

Sudah menjadi sebuah keniscayaan jika nanti dirinya melewatkan ketegangan kala
ambulans memasuki Perbatasan Erez. Menyisakan tanggungan kepada Prayata dan dua
relawan lokal yang mengantar perjalanan mereka. Cepat atau lambat hadangan pasukan
perbatasan Zionis akan cukup memperlambat perjalanan.

Mereka akan mengulur-ngulur waktu dengan melakukan pemeriksaan menyeluruh


kepada setiap jengkal ambulans, pemeriksaan perseorangan—dan Prayata telah memahami
bagaimana mengelabui tentara penjaga perbatasan ketika memeriksa Handaru yang
kelelahan, permintaan surat ajuan melintasi perbatasan. Andai terjadi hal-hal yang

118
merepotkan, mereka tidak akan segan menarik pelatuk pengaman dan menodongkan senapan
pada para pelintas.

Dengan pengalaman kedua pengemudi ambulans, yang kerap kali hilir mudik dari
Gaza ke Israel dan keuletan Prayata dalam bertukar gagasan dengan tentara perbatasan, tidak
ada halangan berarti—dan tentunya karena kemudahan yang diberikan Tuhan—bagi mereka
melintasi pos penjagaan Erez itu.

Handaru terbangun ketika mendengar bunyi decit rem dan suara pintu yang terbuka.
Dengan mata yang masih berat, seolah-olah ada kerikil yang berjejalan di sana, dia mencoba
mengembalikan fokus pandangannya. Prayata mengatakan bahwa mereka sudah sampai. Dia
memicingkan mata saat turun dari pintu belakang dan segera mengarahkan tangan kanannya
ke depan dahi untuk menghindarkan matahari menusuk matanya.

Permintaan Handaru akan sebuah air sedikit mengejutkan Prayata. Pada awalnya dia
menyangka bahwa anak muda itu telah mengibarkan bendera putih karena tak tahan menahan
gempuran hawa panas sepanjang perjalanan tadi—beruntungnya, suhu dan cuaca di
Yerusalem sedikit lebih sejuk. Prayata, yang mengulurkan sebotol air mineral yang baru
diambilnya dari tas ranselnya, sudah menyakini bahwa bukan masalah andai Handaru ingin
membatalkan puasa perdananya saat ini, detik ini juga.

Toh ya, pengalaman pertamanya dulu berpuasa di wilayah sarat konflik dan cuaca
ekstrem ini juga serupa—bahkan lebih buruk, membatalkan puasa setelah beberapa jam
menunaikan sahur. Akhirnya, meskipun ada rasa malu dan kecewa atas kegagalannya dulu
bertahan seperti Handaru saat ini, Prayata tersenyum bangga karena Handaru rupanya
menuangkan air itu pada mukanya. Pemuda itu mengusap-usap wajah dengan tangan kanan—
tangan kiri menggerojok air putih dari botol.

Barulah saat kesegaran telah meliputi Handaru, dan rasa kantuknya mulai teratasi,
mereka menemui dua orang pengantar mereka untuk mengucapkan terima kasih dan
mendoakan keselamatan mereka. Atas kalimat membahagiakan itu, Handaru dan Prayata
mendapat balasan doa serupa, bahkan dengan harapan agar kedua jurnalis Indonesia itu
mampu mengalahkan informasi yang dimanipulasi oleh media-media di tangan pelaku
zionisme. Mendengar ini, Handaru dan Prayata mengamini, menjanjikan usaha maksimal.

Ambulans pun berlalu kemudian.


119
Menyisakan Prayata dan Handaru dengan suasana Kota Tua Yerusalem.

“Oya, bagaimana tadi ketika di Perbatasan Erez?” tanya Handaru. Dia baru ingat ingin
menanyakan itu pada Prayata.

“Bukan perkara serius. Dua relawan itu sangat membantu prosesnya. Tenang saja.
Kita aman. Tidak ada yang perlu kau khawatirkan.”

Handaru hanya bisa mengangguk samar dan mencoba menerima penjelasan Prayata.
Dia segera membuntuti Prayata ketika pria itu memanggilnya.

Sekitaran tembok Yerusalem bernuansa klasik mengundang ingatan mereka


menjelajah sejarah. Tidak disangka bahwa tanah yang kini mereka pijak ini pernah menjadi
harta paling dicari pada setiap peradaban manusia. Sejak zaman kenabian, para sahabat,
hingga kini saat tangkup kekuasaan jatuh dalam genggaman zionisme—bukan semata-mata
negara Israel karena tidak semua warga Yahudi di Israel adalah bagian dari skuad zionisme.

Warga Kota Tua Yerusalem, yang mayoritas beragama Yahudi, hilir mudik di atas
trotoar dengan mengenakan pakaian yang serupa: atasan putih dan bawahan hitam. Khusus
untuk para pria, mereka mengenakan topi hardam hitam dan jas hitam. Hal lain yang tak
luput dari penampilan mereka adalah cambang panjang—dan ada pula yang dikuncir.
Sementara perempuannya mengenakan rok panjang dengan tudung kepala.

“Mereka adalah kaum Yahudi Ortodoks. Kaum yang paling keras menentang adanya
gerakan zionisme dan mendukung penuh negara Palestina yang berdaulat,” Begitu kata
Prayata dengan setengah menjelaskan pada Handaru. “tapi mereka bukan tipe orang yang
ramah dan mudah akrab. Cenderung acuh terhadap sekitar. Ketika kau mencoba menyapa,
mereka hanya akan menjawab dengan sepatah atau dua kata. Setelahnya, mereka akan
kembali membaca kitab atau melafalkan doa-doa mereka.”

Samar-samar bibir Handaru menggumamkan kata oo panjang.

Di sepanjang sisa perjalanan menyusuri kota Yerusalem, berulang-ulang kali Handaru


dibuat ketar-ketir dengan kehadiran personel IDF yang juga berlalu lalang di sana-sini.
Kehadiran mereka tidak akan terlalu berarti andai mereka berjalan tanpa mengenakan
seragam lengkap dan senapan otomatis. Seolah-olah dengan cara inilah ketentraman aktivitas
peribadatan masyarakat lebih terjamin keamanannya.
120
Suhu cuaca di kota ini mirip dengan di Indonesia—sekitar 29°celcius. Langit biru
yang luas membentang tanpa gumpalan awan membiarkan matahari menghangatkan kota.
Angin sepoi-sepoi yang menerpa raga membelai permukaan kulit yang basah akibat cucuran
keringat.

Mereka, Handaru dan Prayata, menuju gerbang Damaskus—satu dari delapan pintu
masuk menuju komplek Kota Tua Yerusalem. Letaknya di sebelah timur komplek Masjidil
Aqsa. Bentuknya menyerupai pintu masuk sebuah benteng. Tinggi menjulang, dengan dua
menara kembar yang mengapit jalan utama, dan berdinding kokoh kelabu. Banyak orang-
orang keluar masuk melalui gerbang itu, baik turis mancanegara atau warga lokal. Rata-rata
mengenakan kacamata hitam, payung, dan topi.

Prayata mengeluarkan handycam-nya. Merekam suasana dan hiruk pikuk kota sarat
sejarah panjang perjuangan ini. Saksi bisu hadirnya tiga agama samawi di muka bumi.
Sebuah kota yang menghadirkan kisah-kisah menarik tentang makna toleransi antar umat
beragama.

Handaru mengingat cerita ketika sepeninggal Nabi Sulaiman As. bangsa Yahudi
terpecah dalam dua kerajaan berbeda, yaitu Sumeria dan Yahuda. Kedua kerajaan tersebut
hancur karena serbuan dua raja dari dua dinasti berbeda. Kerjaan Sumeria takluk di bawah
gempuran pasukan raja Sarkeus dari Yunani dan kerjaan Yahuda runtuh di bawah komando
Raja Nebukadnezar dari Babilonia—sekarang adalah Irak.

Hal ini mengakibatkan sebagian Bani Israil terpencar. Bagi yang beruntung mereka
dapat melarikan diri ke segala penjuru dunia. Malangnya, sebagian dari mereka justru
ditawan dan digiring ke Babilonia. Namun, semenjak kedatangan Khalifah Umar bin Khattab
yang menaklukkan Yerusalem, Bani Israil diperbolehkan kembali memasuki Tanah yang
Dijanjikan dan hidup berdampingan dengan kaum Muslimin dan kaum Nasrani.

Handaru seolah-olah dapat membayangkan bagaimana suara derap kaki kuda pasukan
Umar bin Khattab memerangi kaum Byzantium—yang merupakan dinasti gabungan antara
Yunani dan Romawi—menggeruduk pasukan lawan demi memerdekakan Yerusalem.
Perjuangan salah seorang sahabat Rasulullah saw. tersebut kemudian dilanjutkan oleh
Salahuddin Al-Ayyubi. Salahudin berhasil merebut kembali Yerusalem dari kekuasaan Lion
Heart Richard saat perang salib.

121
Sayup-sayup bunyi ayunan pedang dan benturannya dengan pedang lain saat
pertempuran berlangsung mendengung di telinga Handaru. Bagaimana lantunan takbir dan
tahlil menggema dari bibir-bibir para syuhada di masa lalu. Bagaimana akhir dari
pertempuran perang salib yang menghasilkan kesepakatan bahwa umat Yahudi dan Nasrani
diperbolehkan tinggal dan menjalani prosesi ibadah sebagaimana mestinya. Di bawah
perlindungan saudara mereka, kaum Muslimin.

“Beruntung kita bisa sampai di sini tanpa harus menunggu Khamseen.”

“Khamseen?” Handaru mengerutkan dahi, menatap Prayata.

“Angin berhawa panas bersuhu 40 derajat celcius yang melanda beberapa wilayah
Palestina selama lima puluh hari. Nama ini diambil dari durasi embusan angin itu, yakni lima
puluh. Angin ini biasa muncul di awal musim panas di bulan April hingga Juni.”

“Suhu sekian derajat saja sudah cukup panas dan gerah. Bagaimana empat puluh?”

Prayata mengangkat bahu. “Mendingan tidur-tiduran di dalam kamar sambil


menikmati dinginnya pendingin ruangan.” Dia terkekeh.

Setelah melewati gerbang Damaskus, mereka memasuki memasuki kawasan pasar.


Jalan berlapis paving rapi yang bersih, diapit oleh deretan kios penjual kaos, hookah,
merchandise, buah-buahan, berbagai jenis sayuran, rempah-rempah Arab, pengerajin ukiran,
dan roti menyambut mereka. Sahut-sahutan para pedagang berlomba-lomba menarik
perhatian para pengunjung dan suara para pembeli turut menyemarakkan suasana.

Pasar yang ramai. Para pembeli berjubel, berdesakan. Sebagian besar pedagang di
pasar ini adalah orang Arab. Tidak seperti pasar tradisional di Indonesia, pasar tradisional di
Kota Tua Yerusalem ini bersih, rapi, dan teratur. Tidak becek atau bau. Mereka menuruni
jalan melandai dan berjalan ke arah utara.

Pada setiap ujung jalan, arsitektur kuno selalu nampak menghiasi setiap sudut jalan.
Dinding-dinding yang memiliki warna senada, yakni cokelat pucat, disebut Jerusalem stone
oleh warga Yerusalem. Sebuah kota dengan ciri khas tersendiri. Dan yang tak terlewatkan
lainnya adalah Handaru dan Prayata selalu bertemu dengan tentara IDF yang berjalan
bersisian. Pada blok pakaian dan kaos, Handaru berhenti sejenak untuk meminta Prayata

122
merekam kaus-kaus yang dijual di sana karena bertuliskan “Mossad – Israel Secret
Intelligence” dan “America, don’t Worry. Israel Behind You.”

Terdengar musik yang melantunkan selawat kepada Nabi Muhammad saw. ketika
mereka memasuki Moslem Quarter—wilayah pemukiman Muslim. Aksara Arab menghiasi
setiap kios toko. Mereka terus menyusuri gang-gang lebar yang masih menjadi bagian dari
pasar kota Tua Yerusalem hingga tiba di persimpangan jalan menuju Western Wall—atau
biasa disebut Tembok Ratapan.

Sebelum bisa mencapai area itu, terlebih dulu mereka harus melewatii pos penjaga—
dan inilah yang menjadi alasan Prayata untuk menyembunyikan handycam-nya sementara.
Pos penjagaan ini dilengkapi dengan pintu detektor logam. Salah seorang petugas penjaga,
yang juga anggota militer Israel mengajukan pertanyaan kepada Handaru dan Prayata, selagi
dia memeriksa tas ransel mereka berdua. Mulanya, penjaga yang masih muda dan usianya
kira-kira sepantaran dengan Handaru itu mengajak bicara mereka dalam bahasa Ibrani, tapi
karena Handaru dan Prayata tidak mengerti maka dia menggunakan bahasa Inggris.

“Where you people going?” Katanya.

“We’ll going to Al-Aqsa Mosque.” Jawab Prayata tegas.

Penjaga itu bergantian memeriksa isi tas ransel Prayata. “Are you moslems?”

“Yes, we are.”

Dia mengambil buku catatan Handaru, Alquran ukuran tanggung, botol air mineral,
kafiyeh, dan topi, lalu mengembalikannya. Setelahnya, dia memindahkan kedua tas ke sisi
seberang da berkata, “You may go. We’ll watching you.”

Prayata, yang dibuntuti Handaru, mengangguk dan berlalu.

Perjalanan menelusuri komplek pasar memakan waktu selama seperempat jam


sebelum akhirnya mereka tiba di sebuah alun-alun luas dan terbuka, Jewish Quarter—
komplek kaum Yahudi. Sejauh mata memandang, para turis berada di mana-mana. Banyak
dari mereka yang membawa kamera DLSR, memotret, mengobrol, atau mendengar instruksi
dari seorang pemandu wisata dalam sebuah lingkaran kelompok kecil.

123
Di sisi utara, terdapat Tembok Ratapan yang di bawahnya dipenuhi para warga
Yahudi untuk meratap, memanjatkan doa pada Sang Pencipta, memohon ampun atas dosa-
dosanya. Tak lupa, sebagian dari mereka menyelipkan sepucuk kertas ke dalam sela-sela atau
kerak dindingnya.

“Kau lihat kerumunan orang di sana, Han?” Kata Prayata menunjuk ke arah para
lelaki yang sedang beribadah di Tembok Ratapan. Tangan kanannya memegang handycam.

Mengikuti arah jari telunjuk Prayata, Handaru memicingkan mata dan mengangguk.

“Para jemaah lelaki dan perempuan yang beribadah di sana dipisah. Untuk yang lelaki
berada di sisi kiri dan yang perempuan, berada di sisi kanan.”

Mereka kemudian berjalan lebih dekat ke area Tembok Ratapan. Sebuah area berlapis
lantai marmer yang dibatasi oleh pagar setinggi leher orang dewasa—untuk memisahkan
antara area ibadah dan area pengunjung. Pagar juga berdiri untuk memberi sekat antara area
ibadah para lelaki dan perempuan.

Di sisi pagar pemisah area ibadah, terdapat sekerumunan orang tengah duduk di
bawah sebuah payung berukuran besar berwarna putih. Mereka mengenakan atasan warna
putih, bawahan warna hitam dan sebuah Kippah—penutup kepala kecil yang disediakan di
dekat tembok ratapan. Sebagian dari mereka ada yang mengenakan Tallit—kain yang
digunakan kaum Yahudi untuk ibadah di pagi hari. Pada sebuah tiang dekat Tembok Ratapan,
berkibarlah bendera Israel.

“Adanya umat Yahudi yang mengenakan jas hitam, kemeja putih, celana panjang
hitam dengan yang mengenakan pakaian biasa—dan tambahan berupa Kippah—adalah untuk
membedakan kasta atau memberikan penanda kesolehan dan kesucian seorang umat. Bagi
yang mengenakan pakaian hitam-hitam maka bisa disebut seorang yang saleh. Ada pula yang
hanya mengenakan kaus dan Kippah saja, sebagai orang soleh tetapi bukan bagian dari orang
suci.” Prayata menjelaskan.

Setelah mengangguk paham, lagi-lagi Handaru dibuat was-was. Kali ini dengan
hadirnya beberapa polisi Israel yang berjalan sambil mengedarkan pandangan. Firasat
Handaru memburuk ketika mereka semakin dekat dengan komplek Masjidil Aqsa—yang

124
terletak di belakang sebelah atas Tembok Ratapan. Atas dasar inilah dia berkata pada Prayata
bahwa sebaiknya mereka lebih waspada dan berhati-hati.

“Aku sudah pernah berada di sini sebelumnya. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan.
Kau akan baik-baik saja selagi bersamaku. Lagi pula, ini kan hari Jumat. Berkah.” Kata
Prayata enteng saja, seraya memutar handycam-nya ke sekitaran area Tembok Ratapan.

Kendati demikian, Handaru tetap tidak bisa menutupi kecemasannya.

Setelah cukup puas mengabadikan prosesi ibadah umat Yahudi Ortodoks itu, mereka
bergerak menuju ke arah barat. Menyusuri jalanan sempit—yang diapit dua pagar berangka
besi yang masing-masing tertutup terpal—dan berputar sebelum menaiki jalan melandai yang
menjadi salah satu akses memasuki komplek Al-Aqsa, gerbang Al-Maghriba. Jalan ini
memiliki empat sudut belokan yang diapit pagar kayu dan beratap besi.

Selama melintasi jembatan melandai itu, mata Handaru menangkap beberapa orang
pekerja menggali di atas bebatuan berwarna putih, tepat di sisi kanan jembatan. Mereka
membungkuk, mencangkul, menyekop, kemudian memunguti bebatuan bekas galian dan
melemparnya jauh-jauh. Handaru mempercepat langkah saat menyadari Prayata jauh
meninggalkannya di belakang.

Setelah keluar dari gerbang Al-Maghriba, mereka menyusuri area sayap kiri Masjid
Al-Aqsa. Mendapati taman-taman dan pepohonan rindang. Mereka menyaksikan
sekelompok anak-anak yang bermain bola, seorang ibu yang menggendong anaknya,
beberapa turis mancanegara berjalan-jalan, berfoto-foto, atau sekadar duduk-duduk di sisi
taman. Sepetak museum Islam dan Masjid Putih berdempetan dengan Masjid Al-Aqsa.

“Apa agenda kita hari ini?” Prayata membuka obrolan.

Handaru yang kini berjalan di sisi Prayata, menyampirkan tasnya ke depan,


mengambil buku catatannya dari dalam ransel, dan membuka halaman yang berisi daftar rute
peliputan—mulai dari Kota Gaza, Jabalia, Rumah Sakit Indonesia di Beit Lahiya, dan Masjid
Al-Aqsa, lalu berkata, “Menghimpun informasi tentang kesan para pengunjung terhadap
Masjid Al-Aqsa, Pak. Khususnya dari warga lokal yang kebanyakan menanti-nanti saat-saat
untuk datang ke sini.”

125
Angin berembus menyapu debu yang berserakan di pekarangan masjid.
Menerbangkannya ke udara. Dedaunan membisikkan bunyi nyaring saat angin menerobos
sela-selanya. Pepohonan menari-nari. Burung-burung terbang rendah dan mendarat di jalan
utama masjid—yang menjadi penghubung antara komplek Masjid Kubah As-Shahkrah di sisi
timur dan Masjid Al-Aqsa. Ada pertandingan sepak bola mini di sana. Seorang bocah
bersorak dan berlari sambil membentangkan lengan setelah berhasil mencetak gol ke gawang
yang dijaga seorang temannya.

“Berapa orang yang kita butuhkan?”

“Minimal dua orang, Pak.” Handaru menutup buku catatannya.

“Sekarang jam berapa?”

Handaru mengangkat lengan kanannya, melirik arlojinya. “Jam setengah dua belas.”

“Masih ada waktu kurang lebih satu jam lima belas menit sebelum salat Jumat.
Baiklah. Ayo kita selesaikan ini dan setelahnya kita siap-siap salat Jumat.”

***
Menyaksikan pergerakan para jemaah salat Jumat perdana di bulan Ramadan ini, membuat
Handaru merinding. Matanya tertuju pada pergerakan ratusan ribu umat Muslim dari penjuru
kota Yerusalem, Gaza, dan Tepi Barat yang berangsur meninggalkan komplek masjid.

Bukan hanya sekadar jumlah besarnya jemaah yang datang yang membuat Handaru
terkesima, melainkan lebih pada mengingat—dan dengan sedikit usaha untuk memahami—
kisah-kisah yang didapatnya dari lima orang jemaah salat Jumat saat wawancara tadi.
Semuanya menyatakan hal yang sama, walau dengan penyampaian dan kronologis berbeda.
Mereka memberikan pelajaran tentang kekukuhan niat dan kesabaran yang teramat panjang.
Sebuah makna mendalam dari sebuah kata penantian.

Di balik senyum lebar, gelak tawa, atau wajah berbinar-binar, kelima jemaah itu
masing-masing menyimpan kisah perjuangan dalam mewujudkan keinginan besar mereka
demi menggapai keridaan-Nya. Gagasan mereka mengerucut pada satu alasan: sulitnya
mendapat peluang salat di Al-Aqsa. Ada yang harus menunggu selama 30 tahun untuk bisa
sampai di sini—serupa dengan menunggu antrian keberangkatan haji, kata Handaru
membatin. Ada yang harus mengantri di pos pemeriksaan 300—satu-satunya akses keluar
126
dari Tepi Barat menuju Al-Aqsa—dan memadati jalan setapak semen dan logam, keluar
melalui pintu putar, melewati detektor logam, dan menunjukkan surat izin kepada tentara
zionis yang berjaga di sana.

Jika prosesnya hanya memakan waktu sekian menit, di tengah suhu dan cuaca ekstra
panas ala negara gurun, mungkin masih tidak apa-apa. Namun, keadaan berkata lain.
Mengingat cuaca di Gaza bisa mencapai suhu 40° celcius—lebih-lebih ini adalah bulan puasa
Ramadan. Beruntung bila tentara zionis mengizinkan mereka melewati pos. Tidak sedikit
yang harus berdesak-desakan, menahan gempuran hawa panas kering menyengat, ternyata
tidak diperbolehkan meninggalkan pos karena terkendala batasan umur yang diberlakukan
rezim zionis.

Di bawah pepohonan yang tumbuh di atas sepetak tanah dengan dinding yang biasa
menjadi tempat duduk pengunjung Al-Aqsa, Handaru, yang masih menunggu Prayata
berkeliling untuk mengabadikan momen ratusan ribu jemaah salat Jumat hadir pada hari ini,
sambil membaca kembali hasil wawancaranya itu, mengambil satu kesimpulan logis. Tentang
betapa ketatnya penjagaan, pemeriksaan, dan peraturan yang diberlakukan kepada para
jemaah yang hanya ingin menunaikan ibadah di masjid mereka.

“Pembatasan usia yang berlaku,” katanya, menggumam. Menyaksikan para jemaah


lelaki yang baru selesai berzikir, membereskan sajadahnya dan berlalu sambil
menyampirkannya di bahu. “Hanya membolehkan pria berusia di atas 40 tahun—dan sering
kali di atas 60 tahun, wanita segala usia, dan anak-anak di bawah 12 tahun. Secara logika …
hmm … berarti memang mereka ingin area masjid ini aman, tanpa adanya terror, tetapi untuk
apa mereka menginginkan itu? Apa hanya karena alasan politis?”

Handaru tidak memiliki kesempatan untuk menjawab pertanyaannya itu karena di saat
yang bersamaan, dia dikejutkan dengan telapak tangan yang mendarat di bahu kirinya. Dia
menoleh dan mendapati Prayata berdiri di sana.

“Sedang memikirkan apa, Anak Muda?” Katanya.

“Eh … soal pemberlakuan batasan usia untuk masuk ke masjid ini, Pak.”

“Hn?” Prayata yang masih berdiri mengotak-atik handycam-nya, menoleh. “Ada


sesuatu yang ingin kau tanyakan soal itu?”

127
“Jadi begini, Pak,” Handaru meminta Prayata untuk duduk di sampingnya. “Untuk
apa sebenarnya pihak pemerintah zionis memberlakukan batasan usia dan mempersulit para
jemaah yang ingin salat di sini? Bukannya ini masjid kaum Muslimin? Dan bukannya
toleransi antar umat beragama di sini merupakan bukti bahwa tidak ada sentimen antar
pemeluk kepercayaan masing-masing?”

“Pertanyaan bagus, kurasa.” Prayata menutup handycam-nya. “Untuk hal ini, yang
saya tahu, mereka menerapkan akses super ketat para jemaah demi satu kepentingan.”

“Kepentingan?”

“Kau sudah melihat para penggali saat kita melewati jembatan melandai tadi, ‘kan?”

Penggali? Lalu Handaru ingat, dia mengangguk.

“Itulah kepentingan—atau dalam hal ini kita sepakati bahwa ini adalah tujuan—dan
alasan mereka memberlakukan peraturan seperti itu.”

“Lalu untungnya untuk mereka apa, Pak?”

Di antara puluhan jemaah yang bergerak lamban meninggalkan ruang utama masjid
menuju lapangan utama komplek Al-Aqsa, terlihat seorang pria berusia akhir tujuh puluhan
yang, melangkah sangat pelan dengan membungkuk. Dengan tangan gemetaran, pria itu
menggengam sebuah tongkat tongkat yang menjadi satu-satunya alat bantunya berdiri.
Seorang pemuda berusia pertengahan empat puluhan membantunya berjalan.

“Tentunya mereka—rezim zionis itu—akan lebih mudah melancarkan kepentingan


mereka tanpa adanya intifadah.”

Intifadah? “Oh! Aksi perlawanan warga lokal dengan melakukan pelemparan-


pelemparan batu kepada pihak lawan.”

Prayata menjentikkan jari. “Intifadah masih kerap terjadi di sini. Melibatkan para
‘Pelindung Al-Aqsa’ yang didominasi para pemuda dan pihak kepolisian Israel.”

Handaru, tanpa disadari Prayata, sudah siap mencatat pada buku catatan bersampul
cokelatnya. Lengkap dengan bolpoin di tangan kanannya.

“Kau pernah mendengar tentang Haikal Solomon—Kuil Sulaiman?”

128
Handaru meletakkan bolpoin, menoleh pada Prayata. Kata itu asing untuknya.

“Simak cerita ini baik-baik.”

Topik pembahasan mereka kemudian beralih menjadi lebih mendetail. Maka Handaru
menyimak Prayata yang memulai dengan kata penggalian. Kegiatan penggalian ini berkaitan
erat dengan sejarah masa lalu eksistensi Masjidil Aqsa. Merunut pada sejarah, pada mulanya
dahulu Bani Israil merupakan kaum yang amat menyanjung, mengagungkan, dan terpesona
oleh salah raja ketiga mereka, yakni Nabi Sulaiman As. dan pada saat peradaban itulah Nabi
Sulaiman mendirikan sebuah kuil yang diberi nama Haikal Solomon.

Haikal Solomon atau Kuil Sulaiman ini didirikan untuk memudahkan umat Nabi
Daud As.—Ayah Nabi Sulaiman As.—dalam melaksanakan ibadah. Dahulu di Kuil Sulaiman
ini terdapat tempat peribadahat lengkap dengan altar penyembelihan kurban. Inilah yang
menyilaukan Bangsa Yahudi kala itu. Sehingga, mereka menganggap bahwa dengan adanya
Kuil Sulaiman inilah bentuk kejayaan Bani Israil bisa ditegaskan kepada seluruh bangsa di
muka bumi. Akan tetapi, Kuil Sulaiman ini tidak bertahan lama karena rombongan pasukan
Nebukadnezar dari Babilonia meluluhlantakkan bangunan ini hingga tak bersisa.

Sepeninggal Ayahnya, tampuk kepemimpinan Bani Israil di Yerusalem pindah ke


tangan Nabi Sulaiman As. Nabi Sulaiman As. merupakan raja yang terunik karena memiliki
kekuasaan dalam dua dimensi berbeda, yakni bangsa manusia dan bangsa jin. Seiring dengan
dekatnya dua bangsa berbeda ini, maraklah hal-hal berbau sihir di kalangan umat Nabi
Sulaiman As. Oleh karenanya, untuk menghindari keadaan yang memicu penyesatan akhlak,
Nabi Sulaiman As. mengutus para bawahannya untuk mengumpulkan segala bentuk dan jenis
buku sihir—di mana pun mereka berada—untuk ditimbun di bawah Kuil Sulaiman.

“Pada perang salib pertama, kesatria templar yang mendatangi Yerusalem,


menemukan akses jalan berupa lorong menuju ke bawah reruntuhan Kuil Sulaiman dan jalan
itu menggiring mereka menemukan harta karun yang telah diamankan di sana. Mereka
beranggapan bahwa itu bukan bentuk kebetulan belaka. Oleh karena itu, mereka membawa
harta karun itu kembali ke Eropa dan mendeklarasikan diri sebagai kesatria templar—
penjaga harta karun. Berabad-abad kemudian, mereka mengirimkan harta karun—yang
sebenarnya adalah buku-buku sihir pada zaman Nabi Sulaiman As.—ini ke luar Eropa dan
membentuk kelompok bernama freemason.”

129
Handaru membalik kertas yang sudah penuh dengan catatan menuju lembar
berikutnya. “Apa hubungannya kelompok itu dengan penggalian di Masjid Al-Aqsa, Pak?”

“Tunggu dulu. Sabar. Kita akan sampai pada alasan untuk menjawab pertanyaan itu.
Freemason—sebuah kelompok persaudaraan baru yang dibentuk untuk menghormati pendiri
kuil yang besar—meninggalkan relik yang dapat kita temukan pada mata uang dolar
Amerika. Kau dapat menemukannya. Gambarnya adalah segitiga tumpul dengan ujung
segitiga kecil melayang dan dilengkapi sebuah mata—simbol kesatria templar: the all seeing
eye, mata yang melihat segalanya.

“Selain freemason, ada kelompok lainnya yang terbentuk dari hadirnya buku sihir
terlarang ini, yaitu iluminati. Mereka menyakini bahwa dengan cara ini, mereka akan
mendapat kemudahan untuk mendapatkan peringkat tertinggi pada posisi-posisi strategis
sebuah pemerintahan. Dan, ujungnya adalah sebuah pemerintahan akan dapat mereka kontrol
dengan mutlak. Termasuk dalam pembuatan keputusan dan kebijakan tertentu. Sampai di sini
kau paham, Han? Bagus. Boleh aku meneruskan penjelasan ini?”

Handaru mengangguk semangat, bersiap menulis catatan berikutnya.

“Setelah kita mengetahui asal-usul Kuil Sulaiman, para tokoh dan pelaku yang
berkecimpung di dalamnya, harta karun yang ditemukan oleh kesatria templar, dan efek
domino berikutnya yang akan memahamkanmu tentang rentetan kejadian selanjutnya. Kita
hampir sampai pada konklusi pertanyaanmu tadi.” Prayata diam sejenak, seakan-akan ingin
memberikan efek dramatis, lalu dia melanjutkan. “Mereka tengah menyiapkan sesuatu yang
berkaitan dengan pertanyaanmu tadi. Sebuah penyambutan. Dan, bagaimanakah cara terbaik
untuk menyambut seseorang istimewa?”

“Menghadirkan sesuatu yang spesial dan menarik?” Jawab Handaru.

“Tepat sekali. Untuk alasan inilah, mereka ingin menghilangkan komplek Masjidil
Aqsa dan menggantinya dengan Haikal Sulaiman—yang akan didirikan kembali. Bagaimana
cara memuluskan rencana itu? Dengan cara melakukan penggalian di bawah Masjidil Aqsa.
Untuk keamanannya, tentu pihak militer dan kepolisian menjadi sosok sentral. Supaya apa?
Ya … seperti yang kukatakan tadi: mereduksi ancaman eksternal.

130
“Jika nanti penggalian bawah tanah usai, apa yang akan terjadi pada masjid tercinta
kita ini? Ya. Komplek masjid ini akan runtuh karena fondasinya terkikis habis. Berdasarkan
pemikiran mereka, jika agenda ini berhasil, Haikal Sulaiman akan menjadi sajian terindah
untuk tamu mereka. Raja yang mereka yakini sebagai sang Messias—messias palsu dan kau
tentu tahu siapa dia.”

Komplek Masjidil Aqsa beranjak sepi. Kerumunan para jemaah yang tadi berbincang-
bincang, hilir mudik ke sana kemari, jauh berkurang. Menyisakan sekitar puluhan jemaah
yang masih berkeliaran di pelataran masjid. Burung-burung yang beterbangan, satu per satu
mendarat di lantai pelataran. Melingkar dalam kelompok kecil dan melompat-lompat kecil.
Mereka menghambur terbang ketika dua orang jemaah, yang berjalan bersisian, mendekat.

Prayata melepas napas. “Berat sekali obrolan kita hari ini. Bagaimana kalau kita
berjalan-jalan lagi? Sekadar melemaskan otot kaki. Oh ya, untuk berbuka puasa nanti, aku
menyarankan kita untuk memakan Ka’ak[20] dan roti Markouk?”[21]

“Makanan apa itu, Pak?” Kata Handaru, menutup buku catatannya.

Prayata menegakkan lutut, meregangkan tubuh. “Kita dapat menemukannya di pasar.


Hitung-hitung, jika nanti kita berkeliling kota, dan tidak sempat mencari tempat berbuka, kita
bisa membatalkan puasa dengan dua makanan itu. Bagaimana menurutmu?”

“Kedengarannya menarik, Pak.”

Mereka pun berjalan meninggalkan area komplek Masjidil Aqsa dan menuju ke pasar
tempat mereka memulai perjalanan memasuki Kota Tua Yerusalem tadi. Akan tetapi, petaka
mengintai mereka. Sungguh mereka tidak menyadari bahwa seorang Yamam[22]—
mengenakan rompi hitam, seragam berlengan panjang abu-abu, helm dengan penutup kaca di
bagian depannya, dan balaclava hitam—sedang mengintai mereka dari atap sebelah selatan
masjid. Dengan berbekal senapan SR-25 Sniper Rifle, dia tengah mengintai pergerakan
mereka semenjak sebelum salat Jumat tadi.

“Kali ini, kalian tidak akan lolos. Lihat saja.” Katanya, meringis sambil menyiapkan

[20]
Roti tipis yang terbuat dari tepung, air, dan garam. Biasa dijumpai di daerah Mediterania Timur.
[21]
Roti khas Arab berbentuk seperti donat, tapi berukuran lebih besar dan ditaburi biji wijen.
[22]
Dalam bahasa Ibrani adalah Yehida Mishtartit Meyuhedet atau Unit anti-terorisme Israel.

131
jari telunjuknya pada pelatuk, bersiap jika sewaktu-waktu perintah menembak datang. “Adon
Benjamin, target dalam jangkauan tembak. Apakah saya harus mengeksekusi mereka
sekarang?” Katanya, dalam sebuah komunikasi radio.

Bersabarlah, Anak Muda. Waktu kita masih panjang. Akan kuberi aba-aba jika
situasi sudah mendukung, ganti. Benjamin memantau situasi melalui drone dari markas
intelijen Mossad menanti kejutan yang diberikan anak buahnya.

“Roger—dimengerti, Adon.” Balasnya.

132
12
Gempuran

Setelah melakukan tawar-menawar dan terjadi kesepakatan harga, Handaru mengambil


beberapa potong Ka’ak dan roti Markouk, lalu memasukannya ke dalam kantong plastik.
Sementara telinganya mendengarkan Prayata berbincang-bincang dengan penjualnya—
seorang pria paruh baya berambut hitam semburat putih dan berkumis. Selanjutnya, seusai
Handaru mengambil jumlah roti yang telah disepakati, Prayata mengeluarkan dompet,
menjumput beberapa lembar shekel, dan menyodorkannya pada pedagang roti.

Penjual itu memberikan isyarat bahwa dia akan memberikan kembalian.

“Setelah ini,” kata Prayata menoleh pada Handaru. “Agenda kita apa?”

Handaru menyampirkan tas ranselnya ke depan dada, membuka resleting tasnya, dan
meraih buku catatan dari dalamnya. Dia membolak-balik halaman. “Mereportase destinasi
wisata di kota ini. Salah satunya Bukit Zaitun.”

“Di sana terdapat sebuah pemakaman unik, jika kauingin tahu.”

“Pemakaman unik?”

“Di sana kau dapat menemukan—dan melihat, tentunya—sebuah pemakaman Yahudi


yang berasal dari seluruh dunia. Satu hal uniknya adalah harga pemakaman itu sendiri. Bukan
main! Bisa kautebak berapa harga satu kavling makam saja? 80.000 dolar Amerika!

“Jika di rupiah-kan menjadi?”

“Setara dengan 1,07 miliar rupiah.” Prayata mendecakkan lidah.

Tanpa perlu dikomando, seperti biasa, cepat-cepat Handaru menghimpun informasi


itu dan mencatatnya di buku catatan bersampul cokelatnya. “Saya jadi penasaran seperti apa
rupa pemakamannya, Pak.”

“Baiklah kalau begitu, kita pergi ke sana dulu saja.”

Penjual roti itu menyodorkan kembalian dan mengucapkan terima kasih. “Kembali
lagi ke sini jika ada waktu.” Katanya melambaikan tangan, mengantar kepergian Handaru dan
Prayata.

133
Belum jauh mereka melangkah meninggalkan kios roti, Handaru baru menyadari
bahwa dirinya diamati oleh seorang seorang gadis kecil. Gadis kecil yang mengenakan burqa
warna hitam dan menggamit tangan kiri ibunya itu mengingatkan Handaru pada adik
perempuannya yang dia tinggal nun jauh di rumah.

Namanya Nania. Usianya dengan lima tahun lebih muda dibanding Handaru, 27
tahun. Dia baru saja menempuh pendidikan strata satu di salah satu universitas swasta.
Mengambil jurusan matematika—pelajaran yang paling dihindari oleh Handaru ketika di
sekolah dulu. Alasan mengapa gadis kecil itu mengingatkan Handaru pada adiknya adalah
bagaimana tatapan adiknya itu—dulu waktu mereka masih kanak-kanak—ketika dirinya
membawa barang atau makanan apa pun yang belum pernah dilihat oleh adiknya. Dengan
tatapan mendamba, tapi malu-malu dan takut, Nania akan mengikuti ke mana pun kakaknya
pergi membawa benda atau makanan yang itu.

Pernah suatu ketika, saat Handaru pulang dari kerjanya sebagai editor lepas di salah
satu penerbit indie, dia membawa pulang sebuah terang bulan. Dengan tatapan mengejek,
sengaja membuat iri, dan seolah-olah tidak ingin berkongsi dengan adiknya, Handaru
melenggang masuk ke rumah, memberikan sekotak kue itu langsung pada ibunya, tanpa
sedikit pun mengindahkan tatapan—yang kini dirindukannya dari adiknya—Nania.

Akhirnya, karena Nania yang memang berwatak pendiam membuat Handaru luluh.
Dengan nada bicara diplomatis, Handaru akan membagikan kue itu pada adiknya. Itu pun
selalu diikuti dengan kejahilan-kejahilan berikutnya. Seperti saat dia hendak menyuapkan
sepotong kue itu pada adiknya, dia malah membatalkannya dan pergi begitu saja.

Ibu gadis kecil itu sedang bertransaksi dengan penjual sayuran. Handaru merasakan
tatapan gadis kecil itu tertuju pada roti yang dibawanya maka dia berjalan mendekati gadis
kecil itu—tanpa mengindahkan Prayata yang kini berjalan seorang diri—dan berdiri hingga
setinggi gadis itu. Handaru tersenyum saat melihat tinngkah gadis itu, yang merespon
pandangannya, dengan cara mendempet pada ibunya dan menarik-narik burqa ibunya.

“Kamu mau ini?” Tanya Handaru pelan.

Gadis kecil itu tampak malu-malu dan beringsut memeluk ibunya.

Handaru mengambil sepotong Ka’ak dan mengulurkannya. “Ini, buatmu.”

134
Gadis kecil yang berusia enam tahunan itu menunggu, menarik-narik pakaian ibunya.

“Kenapa, Sayang?” Tanya ibunya, menoleh singkat pada putrinya sebelum


mengambil kembalian dari penjual sayur di depannya. “Oh, ada Paman dari Indonesia, ya—
ibu gadis itu melihat bordiran bendera Indonesia pada rompi Handaru. Paman ini mau
memberikanmu sepotong Ka’ak. Tidak apa-apa, ambillah. Ayo, jangan takut.”

Prayata, yang berjarak beberapa langkah meninggalkan Handaru, pelan-pelan


menyadari bahwa dia berbicara sendiri. Untuk alasan inilah dia berhenti, membalikkan badan,
dan melongok ke sana kemari mencari keberadaan Handaru di antara sekian banyak warga
yang hilir mudik di area pasar. Dia mendapati Handaru di kejauhan sedang berbincang
dengan seorang wanita bercadar.

Dengan malu-malu, tangan kanan mungil gadis itu meraih pemberian Handaru dan
kemudian menggeliat manja pada ibunya. Kendati ibu gadis itu mengenakan cadar, Handaru
menyadari bahwa dia, ibunya, tersenyum melihat tingkah putrinya itu. Dari pandangan
matanya, dapat dipastikan seulas senyum tergambar di wajahnya. Kebanggaan dan kepuasan
pun menyelimuti Handaru.

Melangkah lebih dekat sepelemparan baru dari ketiganya, samar-samar telinga


Prayata menangkap suara perbincangan mereka.

“Syukran,” kata sang ibu, lalu dia menunduk, melihat putrinya. Tangan kanannya
mengelus kepala putrinya, lembut. “Amena, ucapkan terima kasih pada paman ini.”

Butuh waktu yang tak sebentar untuk menunggu gadis itu menuruti perintah ibunya.
Maka dengan sabar Handaru menanti hingga gadis manis itu berkata dengan lugunya. “Te …
terima kasih rotinya, Amu Andonesy—paman dari Indonesia.”

Mendengar suara lugu itu, Handaru tersenyum dengan mulut terbuka.

“Afwan, sama-sama.” Katanya.

Selanjutnya, dia menegakkan kedua lututnya, berlama-lama memandangi Amena,


kemudian mengangkat muka. Menatap lembut ibunya sambil tersenyum, menangkupkan
kedua tangan di depan dada, hendak berlalu.

“Han!” Teriak Prayata dari kejauhan, memberikan isyarat lewat jari telunjuknya.
135
Tiga orang pemuda yang membungkus kepalanya dengan kaus—dan hanya tampak
kedua matanya saja—berlari dan berkelit di antara kerumunan para pembeli. Kaki-kaki
berderap di atas permukaan paving. Dengusan napas dan bunyi sliweran muncul setelahnya.

Saat Handaru akan mengambil langkah mendekati Prayata yang berjarak lima langkah
darinya, dia dikejutkan dengan hadirnya seorang pemuda ber-kafiyeh kotak-kotak hitam putih
yang tiba-tiba memotong jalannya. Beruntung dia tidak sampai menjatuhkan pemuda yang
sedang berlari—dan berkelit di antara para pembeli—itu. Setelah memastikan bahwa tidak
ada sosok lain yang muncul dan akan mungkin menabraknya, Handaru mendekati Prayata.

“Kau lihat apa yang dibawa pemuda yang tadi berlari di depanmu?”

Handaru menggeleng.

“Dia membawa batu seukuran kepalan tangan orang dewasa!”

Setelah memberikan isyarat berupa telunjuk kanan terangkat yang diayun ke depan,
Handaru—diikuti Prayata di belakangnya—bergegas membuntuti pemuda itu. Secepat
mereka mampu, sekuat tenaga. Kendati faktor fisik tentu memberikan perbedaan di antara
keduanya. Mula-mula, mereka meliak-liuk sambil berlari menerobos kerumunan pembeli.

Belum lama kemudian, menyadari bahwa dirinya belum menyampaikan ucapan


selamat tinggal, Handaru menyempatkan diri menoleh ke belakang dan mendapati, dari
kejauhan, Amena melambaikan tangan padanya. Maka dia membalas lambaian tangan itu
dengan singkat sebelum mempercepat langkah seraya menjulurkan leher, mencari-cari tanda-
tanda keberadaan pemuda ber-kafiyeh kotak-kotak hitam putih tadi.

Handaru dan Prayata memasuki bagian dalam pasar yang lebih ramai.

Teriakan para pedangang yang menggema di mana-mana menyambut. Bunyi alunan


musik juga tak kalah sengit dalam meramaikan suasana. Wangi parfum, aroma roti yang
dipanggang, bau rempah-rempah, tercium di setiap selasar.

Para pedagang itu seakan-akan tidak memedulikan kondisi gawat yang sedang
berlangsung. Atau bahkan, mungkin mereka sudah terbiasa dengan hal ini. Tidak ada
kegupuhan, kebingungan, atau jerit ketakutan yang tergambar dalam situasi seperti ini. Untuk
alasan inilah Handaru mencoba menyakinkan dirinya sendiri bahwa apa yang dikatakan

136
Prayata tadi—semoga, begitu gumamnya—memang benar. Ini hanya gerakan antisipasi
penyerbuan Al-Aqsa saja. Namun, jika dugaan itu salah, benarlah firasatnya saat mereka
memasuki area tembok ratapan tadi.

Masih di wilayah yang sama, setelah berlari cukup jauh dan hendak mengatur
pernapasan, mereka dikejutkan dengan suara dua benda keras—batu dan perisai taktis—yang
saling berbenturan beberapa kali. “Pemuda ber-kafiyeh kotak-kotak hitam putih itu menuju ke
arah sana, Pak!” Handaru menunjuk ke arah jalan tak terlalu lebar yang diapit deretan rumah.
“Kalau sampean masih mau istirahat dulu, saya pinjam handycam-nya, Pak!”

Sebagai jawaban, Prayata memindahtangankan handycam kepada Handaru. Prayata


yang terengah-engah, kewalahan mengatasi tenaga muda macam Handaru, hanya
mengacungkan jempolnya untuk mengiyakan. “Mungkin ini adalah tahun terakhirku di sini.”

“Ayo, Pak!” Seru Handaru dari kejauhan.

“Padahal ini bulan puasa, dan tadi dia tampak teramat kelahan ... hosh ... dan
sekarang, dia lari sekencang itu. Oh ... awas saja kau, ya.” Lambat laun, dengan memaksakan
diri, Prayata kembali berlari—meski kali ini lebih lambat.

Handaru melihat pemuda ber-kafiyeh kotak-kotak hitam putih itu berhenti dan
berbincang dengan salah seorang di antara belasan pemuda yang penampilannya serupa
dengannya—yang membedakan mereka dengan pemuda itu hanyalah kafiyeh kotak-kotak
hitam putihnya. Mereka berkerumun dan memenuhi mulut gang. Satu-dua orang dari mereka
melempar batu ke arah seberang. Sedang sisanya memunguti bebatuan yang berserakan di
jalanan. Mengambil ancang-ancang, melayangkan batu ke depan, seraya meneriakkan takbir.

Handaru melambatkan langkahnya dan disambut dengan para wanita dan anak-anak
berteriak histeris dan menghambur ke arahnya. Handaru berdiri beberapa meter di belakang
kerumunan pemuda itu. Dan, saat menyadari bahwa Prayata kini telah berada di sampingnya
dia berkata, “Saya akan meninjau lebih dekat, Pak!”

“Hei ... hati-hatilah! Kau tidak tahu apa yang terjadi di sana.” Jawab Prayata. Orang
tua ini megap-megap napasnya.

“Saya bisa mengatasi ini, Pak!”

137
Meliak-liuk di antara kerumunan pemuda, Handaru akhirnya memahami siapa sasaran
amukan para pemuda itu. Mereka ternyata menarget polisi Israel—berseragam lengkap—
yang berkerumun sambil mengacungkan perisai taktis di seberang—berjarak kurang lebih 5
sampai 10 meter, mencoba melindungi diri dari hujan batu.

Sekilas, suasana seperti ini melayangkan ingatan Handaru ketika dirinya datang ke
stadion, menonton pertandingan sepak bola. Dan, ketika timnya kalah—dan diperburuk oleh
grafik permainan yang menurun, posisi di klasemen yang anjlok—maka sepulang dari
stadion, para pendukung saling beradu kuat: gesekan antar suporter.

Batu-batu melayang. Teriakan cemooh menguar. Sumpah serapah membabi-buta.


Semua berakhir ketika pihak kepolisian datang dan meringkus oknum-oknum yang diduga
menyulut keributan.

Mengambil posisi ternyaman—meski tidak aman—Handaru merekam kejadian ini.

Dari balik lensa handycam, kerumunan polisi Israel itu melangkah maju, sedikit demi
sedikit. Seperti orang yang amat ragu untuk bertindak. Antara ya dan tidak. Mereka terus
bertahan seperti itu selama beberapa waktu. Hingga akhirnya, karena kewalahan menghadapi
gempuran yang tak kunjung mereda, mereka memilih mundur beberapa langkah. Seolah
memberikan kesan membubarkan diri.

Ternyata, mereka kembali berkerumun ketika salah seorang dari mereka datang
dengan menyongsong sebuah pelontar granat. Seketika itu pula bunyi dentuman senapan
pecah. Menggema. Memecah udara. Polisi dengan pelontar granat itu—yang berjongkok di
depan rekan-rekannya—meluncurkan granat air mata ke arah kerumunan pemuda beberapa
kali. Berharap lawan mereka ketakutan dan membubarkan diri.

Harapan mereka tentunya tidak terwujud. Para pemuda itu masih bersikukuh pada
pendiriannya. Menolak mundur. Selama masih bisa membela diri, mereka bertahan. Akan
tetapi, karena jumlah polisi berpelontar granat itu bertambah—kini menjadi lima orang yang
membawa senapan serupa—mereka mempertimbangkan risiko dan keselamatan bersama.
Maka, mereka bergerak mundur teratur. Perlahan. Seakan tidak ingin menghadirkan kesan
pengecut sebagaimana lawannya.

Handaru terus merekam setiap detail adegan sembari turut melangkah mundur.

138
Situasi yang beranjak semakin genting rupanya tidak serta-merta menyurutkan nyali
pemuda ber-kafiyeh kotak-kotak hitam putih. Dia, dengan badannya yang tegap, justru
memungut sebuah batu seukuran kepalan tangannya—yang dia tata di dekat kakinya dan
berjumlah empat buah—dan memainkannya di atas telapak tangan kanannya. Bersiap
mendaratkan batu itu tepat ke kepala salah seorang dari kerumunan polisi yang kini bergerak
maju.

Dengan ancang-ancang penuh ketegasan, dia melemparkan batu itu. Melayang,


mendarat. Ctak! Hanya mengenai perisai taktis. Sementara granat air mata terus melayang,
menggelinding, dan meledakkan asap putih yang mengelilingi pemuda itu.

Sedari awal Handaru mengamatinya, dialah yang paling sering melakukan serangan.

Dia kembali mengambil ancang-ancang. Percobaan kedua. Hasilnya masih sama.


Mengenai perisai taktis. Pada percobaan ketiga, saat jarak hanya tinggal beberapa meter,
akhirnya batu tepat mengenai pelindung kepala salah seorang penyongsong peluncur granat.

Saat dia hendak menjumput batu terakhir, dia mendapati Handaru berdiri di belakang
punggungnya. Hanya berjarak tiga langkah saja. Maka dia berkata dengan nada setengah
berteriak. “Mana batu milikmu? Lempari mereka!” Nada bicaranya tegas, tak terbantahkan.

Handaru yang, tidak mengerti apa yang harus dilakukan, baru benar-benar menyadari
bahwa keputusannya untuk tidak menuruti saran itu ternyata berakibat fatal karena nyaris di
saat yang bersamaan, sebuah gas air mata melayang ke arah mereka berdua.

Untuk alasan inilah, dengan sigap Handaru mendorong pemuda itu hingga jatuh
terguling. Sementara dirinya juga segera menjejakkan kaki, menjauh setelahnya. Semua
seakan-akan berjalan lambat. Para polisi yang bergerak beriringan dalam gerombolan
melambat. Teriakan Prayata dan langkah kakinya mendekati Handaru memelan. Pemuda
pemuda ber-kafiyeh kotak-kotak hitam putih tak kunjung bangun dari jatuhnya.

Saat pandangan Handaru mengabur—karena efek gas air mata itu—dia melihat
pemuda ber-kafiyeh kotak-kotak hitam putih itu bangkit perlahan. Dan tepat saat dia akan
meraih batu untuk kembali dia lemparkan, secepat gerakan itu pula dua orang rekannya tiba-
tiba merengkuhnya dari belakang, mencoba menahan pemuda ber-kafiyeh kotak-kotak hitam
putih itu. Berikutnya, dalam gerakan yang mulai beranjak cepat, kedua rekan ber-kafiyeh

139
kotak-kotak hitam putih itu memberitahunya sesuatu yang tidak didengar Handaru. Segera
setelahnya, pemuda ber-kafiyeh kotak-kotak hitam putih itu memutar badan, berlari menjauh.
Menyisakan dua orang rekannya yang berteriak meminta bantuan.

Belum sempat Handaru menanyakan apa yang sesungguhnya terjadi, jarak para polisi
itu semakin dekat dengan dirinya—hanya berjarak kurang dari dua meter, lalu tiba-tiba dia
merasakan dua juluran lengan menulusup masuk di antara kedua lengannya. Saat dia
menoleh, dia mendapati Prayata mencoba membantunya berdiri dan mengatakan bahwa
sudah saatnya mereka pergi. Sesaat sebelum dia sempat bangun dengan kaki sendiri, dia
menyambar handycam yang tergeletak tak jauh darinya dan segera berlari—meski pada
awalnya dia tidak mengerti harus lari ke arah mana.

Secepat pandangannya mengabur, secepat itu pula dia mencoba memfokuskan diri.

Di depannya, Prayata berlari. Mengekor pemuda ber-kafiyeh kotak-kotak hitam putih.


Mereka terus membuntuti pemuda ber-kafiyeh kotak-kotak hitam putih itu melalui gang-
gang. Berkelit di antara orang-orang yang berlalu-lalang—beruntungnya, tidak seorang pun
dari mereka mendapati tentara Israel berkeliaran. Sudah cukup buruk para polisi itu mengejar
mereka, bagaimana jika tentara Israel itu turut menjadikan mereka buronan?

“Akhi, apa yang sedang terjadi?” Tanya Handaru yang kini telah berlari sejajar dengan
pemuda ber-kafiyeh kotak-kotak hitam putih.

Pemuda ber-kafiyeh kotak-kotak hitam putih itu bertanya. “Siapa kau?”

“Aku Handaru. Jurnalis Indonesia.” Sambil tetap menjaga tempo larinya, Handaru
melewati seorang suster yang baru keluar dari gereja. “Aku dan rekanku membutuhkan
berita, kami hanya ingin tahu apa yang sedang terjadi di sini.”

“Kau akan segera mengetahuinya sendiri.” Jawab pemuda itu ketus.

“Kalau begitu, aku ikut denganmu!”

Prayata yang bersusah payah membuntuti mereka, tetap mencoba menjaga jarak.

Pemuda ber-kafiyeh kotak-kotak hitam putih itu melirik arloji yang melingkar di
pergelangan tangan kanannya. Setelah berhenti bicara sekian lama, dia berkata. “Mungkin
aku akan membutuhkan bantuanmu.”
140
“Kau beranjak begitu saja tadi.” Tukas Handaru, mengalihkan pembicaraan.
“Bagaimana dengan teman-temanmu di sana?”

“Mereka tahu apa yang mereka lakukan.”

“Bukankah lebih baik jika kau bergabung dengan mereka?”

“Ide buruk.”

Handaru belum mengerti betul apa yang dimaksud oleh pemuda itu.

Mereka menerobos area pasar yang lengang. Suara embusan napas dan sol sepatu
yang membentur permukaan lantai terdengar amat lantang, membahana. Kendati begitu,
kondisi ini justru memudahkan mereka, Handaru, Prayata, pemuda ber-kafiyeh, dalam
mempercepat langkah melewati jalan-jalan berliku, terowongan, dan beberapa kali, sesuai
dengan instruksi yang diberikan pemuda ber-kafiyeh itu, mereka berhasil lolos dari pantauan
polisi Israel yang berjaga di tiap-tiap gang dengan pagar besi pembatas setinggi pinggang.

Setelah melalui perjalanan yang panjang dan melelahkan, mereka berhasil mencapai
area Tembok Ratapan. Mereka memperlambat lari dan berhenti tepat di mulut terowongan.
Pemuda ber-kafiyeh kotak-kotak hitam putih itu membungkuk, memegang kedua lututnya.
Terengah-engah. Dia sesekali menoleh ke arah terowongan, memastikan bahwa tidak ada
seorang pun yang membuntuti mereka.

Saat menebarkan pandangan, Handaru hanya menemui desau angin sejuk yang
membelai. Selembar kertas terbang melayang. Debu berarak tertiup angin. Tidak ada tanda-
tanda kehidupan. Seakan-akan kerumunan orang yang hilir mudik di sini siang tadi tidak
pernah ada.

“Hei,” kata Handaru. “Aku belum tahu siapa namamu.”

Pemuda ber-kafiyeh kotak-kotak hitam putih itu menoleh. “Panggil saja Mukhaimar.”

“Ini juru kameraku. Prayata.” Handaru menunjuk Prayata yang mengerang kelelahan.
Satu kata satu tarikan napas. Keringat bercucuran di kedua kening, leher, dan tengkuknya.
“Seperti kataku tadi, kami dari Indonesia.”

Mukhaimar manggut-manggut. Mereka bergerak mendekat, saling berjabat tangan.

141
“Saat-saat seperti ini,” Kata Mukhaimar, masih mengatur napas. Kali ini, nada
bicaranya lebih rendah. “Mereka terbagi dalam dua regu untuk menyibukkan kami. Mereka
beroperasi di pemukiman kami dan yang utama di Komplek Masjidil Aqsa. Mereka memilih
hari Jumat ini karena bertepatan dengan berkumpulnya para jemaah salat Jumat dan ….”

Mukhaimar tidak pernah mendapatkan kesempatan untuk menyelesaikan kalimatnya


itu karena di saat yang bersamaan tiba-tiba suara dentuman mirip suara tembakan meriam—
keras, menghentak, dan memekakkan telinga—memecah keheningan. Setelah berdentum dua
kali beruntun, suasana hening sesaat. Barulah dua detik kemudian, dentuman itu menyeruak
lagi. Kali ini muncul beberapa kali, seakan ingin mencabut jantung keluar dari rongga dada.

“Ayo, ikut denganku!” Tukas Mukhaimar, mengayunkan lengan ke depan. “Cepat!”

Mereka bergegas menyusuri area luas nan lapang, kemudian memasuki mulut
jembatan eskavasi menuju gerbang Al-Maghriba. Di depan gerbang, mereka berhenti dan
menebarkan pandangan. Dari balik kelopak mata masing-masing, mereka mendapati
beberapa orang pemuda, yang bergerak mundur selangkah demi selangkah, melempari polisi
anti huru-hara Israel dengan bebatuan di jalan utama komplek Baitul Maqdis.

Sayup-sayup para pemuda itu berteriak, “Allahu Akbar! Allahu Akbar!” Beberapa
langkah di depan mereka, sekelompok polisi Israel berusaha mengejar mereka sambil
berlindung di balik perisai taktis. Dua orang dari mereka, yang berdiri beberapa jengkal di
belakang kerumunan, menggertak dengan menembakkan gas air mata.

“Apa mereka akan baik-baik saja?” Tanya Handaru.

“Kau tidak perlu mencemaskan mereka.” Jawab Mukhaimar tenang.

Selama beberapa waktu, pandangan ketiga pria itu tertuju pada para pemuda Al-Aqsa
yang kini telah kehabisan batu dan berlari menuju sisi timur masjid. Menuju Masjid Kubah
Batu. Dan tepat saat mereka menuruni tangga dan menghilang, Mukhaimar telah berjalan
meninggalkan Handaru dan Prayata. Tanpa menoleh atau mengatakan sepatah kata pun.

Melihat gelagat itu, sontak Handaru dan Prayata bersitatap sebelum membuntutinya.
Dia melintasi area depan masjid Al-Aqsa, mendekati pintu utama masjid, dan mengetuk pintu
yang terbuat dari besi itu sebanyak tiga kali, kemudian mengatakan sesuatu dengan nada

142
bicara setengah berbisik, sebelum akhirnya pintu utama masjid yang lebar dan berwarna hijau
itu terbuka.

Dia terlebih dulu berbincang dengan seorang kawannya yang juga membungkus
kepalanya dengan kafiyeh. Setelah berbicara cukup lama, dia memberikan isyarat berupa
ayunan tangan kanannya agar Handaru dan Prayata, yang berdiri terdiam tanpa berkomentar
apa-apa selama dia berbicara dengan rekannya, untuk memasuki aula utama masjid.

Saat berada di dalam masjid, Handaru mengitarkan pandangan ke sekeliling dan


mendapati tak hanya para pejuang saja yang berada di balik pintu besi masjid itu, melainkan
juga sejumlah wanita paruh baya dan beberapa perempuan. Satu di antara ketiga perempuan
itu, yang usianya berkisar antara awal dua puluhan dan pertengahan dua puluhan, memantik
perhatian Handaru. Mereka saling bertukar pandangan.

Untuk alasan yang tidak benar-benar diketahuinya, bayangan sosok Fatimah yang,
tergolek di Rumah Sakit Indonesia, memenuhi benaknya. Senyum manis yang tergambar di
wajahnya yang putih bersih. Tatapan matanya yang teduh. Atau perangainya yang tampak
begitu rapuh hampir-hampir membuat Handaru lemas karena dia tidak sanggup, bahkan
untuk membayangkan, hal lebih buruk menimpa gadis itu.

Lamunan Handaru buyar tepat saat telapak tangan Prayata mendarat di pundak
kirinya. Serta-merta mantra yang meliputnya seketika sirna. Secepat keterkejutan itu datang,
secepat itu pula dia berusaha semaksimal mungkin untuk mengembalikan konsentrasinya
dalam mencerna pertanyaan Prayata.

“Apa kau mendengar apa yang dikatakan Mukhaimar?”

“Eh ....”

“Berhenti bermain-main. Fokus, Nak. Fokus!” Bisik Prayata.

Mendengar itu, Handaru menunduk, malu.

“Pasang telingamu baik-baik dan dengarkan instruksi Mukhaimar.”

“Ini adalah teman-teman baru kita, Handaru dan Prayata. Jurnalis Indonesia.” Kata
Mukhaimar, berdiri di depan belasan rekannya, memandang wajah mereka satu per satu.

143
“Mereka memerlukan bantuan kita untuk meliput insiden hari ini—yang besar kemungkinan
akan terjadi. Tolong kalian dengarkan baik-baik arahanku.”

“Jadi begini, ketika rombongan mereka datang, kita segera menyebar. Berjarak.
Usahakan konsentrasi mereka terpecah. Jika situasi mendesak, kabur, tapi jangan tinggalkan
rekan kalian jika dia memerlukan bantuan. Dan cepat kembali kemari apabila situasi lebih
kondusif. Aku membutuhkan tiga sampai lima orang untuk menjaga pintu utama masjid ini.
Jangan biarkan satu orang polisi pun lolos dan menerobos kemari. Mengerti? Bagus. Semoga
Allah menyertai kita semua hari ini.”

Setelah memberikan jeda sesaat, Mukhaimar melanjutkan. Kini menatap Handaru dan
Prayata. “Saat di luar nanti jika aku berkata sekarang, kalian segeralah berpencar. Untuk
teknis dan arahnya, kalian bisa merundingkannya. Sebisa mungkin, kami akan menahan
mereka.” Muhkaimar memberi aba-aba pada belasan kawannya untuk mempersiapkan diri.

Belasan pemuda itu—termasuk Mukhaimar—masing-masing membawa sebuah tas


cangklong kecil yang, berdasar penuturan Mukhaimar, berisi batu-batuan.

Handaru mengamati mereka satu per satu. Gestur tubuh mereka sigap dan waspada.
Kendati badan mereka tidak seperti para bodyguard, mereka tampak sangat siap menghadapi
badai yang cepat atau lambat akan datang. Menyadari ini, Handaru memejamkan mata,
menghela napas panjang, dan mengembuskannya. Seakan-akan hanya dengan cara inilah
beban yang menghimpit dadanya berkurang.

“Kudengar usulan Mukhaimar tadi adalah gagasan yang bagus. Ambil ini.” Prayata
yang, berdiri di samping Handaru, menyodorkan handycam cadangan pada Handaru.
“Usahakan jangan sampai mereka mencurigaimu. Jika salah satu dari kita tertangkap—ini
hanya pertimbangan kemungkinan terburuk—berita ini tetap harus disampaikan, apa pun
yang terjadi. Kau mengerti? Sekarang dengarkan aku.” Prayata memberikan arahan melalui
tangannya. “Kau nanti pergi ke sisi timur, ke serambi Masjid Kubah Batu. Aku akan meliput
di sekitar sini. Insyaallah, semua akan baik-baik saja.”

Memahami perkataan Prayata dengan baik, Handaru mengangguk.

144
Mukhaimar berkata sambil mengedarkan pandangan kepada belasan rekannya,
Handaru, dan Prayata. Dengan nada sedikit menggumam dia berkata “Bersiaplah untuk
gempuran, Tuan-tuan. Cepat atau lambat, mereka akan segera tiba.”

Belasan rekannya mempersiapkan diri. Prayata memeriksa handycam-nya. Handaru


menelan ludah. Mencoba mengurangi ketegangan. Di luar, keheningan merebak. Memenuhi
setiap penjuru komplek Masjidil Aqsa. Bunyi desau angin menelusup di antara dedaunan.
Menggoyangkan pohon cemara, pinus, dan zaitun yang tersebar di taman komplek masjid.
Menyerupai helaan napas seseorang yang akan menyelam.

Handaru, Prayata beserta belasan berdiri membentuk formasi. Mukhaimar berdiri


membelakangi Prayata dan Handaru beserta belasan pemuda lainnya yang siap dengan tas
cangklong penuh batu. Beberapa saat kemudian, samar-samar terdengar suara sepatu lars
menderap. Suara mirip gumaman menyusul.

Di antara degup jantung, helaan napas, butiran peluh meluncur di kepala, dan bacaan
zikir, dalam waktu kurang dari satu menit kemudian puluhan polisi Israel berpakaian hitam-
hitam beratribut lengkap menghambur keluar dari gerbang Al-Maghriba. Dalam sekejap
mata, mereka telah berlari ke segala arah. Bagaikan air yang menyembur deras keluar saat
tutup penyumbatnya dicabut.

“Sekarang!” Teriak Mukhaimar yang langsung diikuti dengan gerakan cekatan sesuai
dengan instruksi yang telah diberikan sebelumnya.

145
146
13

Hangatnya Solidaritas

Mendengar perintah itu, Handaru sigap menjejakkan kaki dan berlari menuju posnya. Ke arah
timur. Dengan handycam yang sudah menyala, dia berlari sambil setengah memutar badan,
mengarahkan handycam ke depan serambi masjid Al-Aqsa. Dari balik lensa handycam-nya,
batu-batu kembali melayang. Menghujani kerumunan polisi yang kini sudah menuju pintu
utama masjid dan sebagian lain mencoba mengejar para pemuda yang juga telah berpencar.

“Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar!” Belasan pemuda pemberani itu
mengacungkan tangan ke udara, berteriak lantang, dan segera melempari para polisi itu
dengan bebatuan yang telah mereka bawa.

Asap putih mengepul di mana-mana. Memenuhi serambi masjid. Menguar dari kaleng
gas air mata yang menggelinding. Berarak ketika angin berembus. Para polisi menyebar. Satu
kelompok bertugas meringkus para pemuda dan sebagian lain mencoba membobol pintu
masuk utama masjid Al-Aqsa yang tentunya juga mendapatkan serangan sengit.

Mereka yang, berkutat di depan pintu masuk utama masjid Al-Aqsa, harus
menghadapi serangan berbagai benda yang berasal dari celah gerbang masjid. Batu, kursi
plastik, bongkahan kayu, hingga besi menghujani mereka satu per satu. Merasa terdesak,
salah seorang dari polisi itu melambai dan berteriak, memanggil rekan-rekannya yang
menyebar di beberapa titik komplek untuk bergabung.

Kali ini, setiap dari mereka membekali diri dengan pelontar granat. Alhasil, kondisi di
dalam komplek Masjidil Aqsa kian memanas. Selain mereka menang dalam jumlah bilangan,
mental dan strategi penyerbuan mereka kali ini lebih matang. Maka tidak kurang dari satu
jam, beberapa orang pemuda berhasil mereka amankan. Mereka meringkus beberapa pemuda
layaknya pelaku provokator—dengan hantaman tinju di muka, tendangan pada punggung dan
perut, lalu memborgol tangan mereka di belakang.

Para pemuda, yang hanya tersisa kurang dari sepuluh orang, bergerak ke sisi kanan
masjid Al-Aqsa. Mereka semakin terdesak mundur. Satu-dua orang dari mereka
melemparkan tas cangklong yang sudah kosong ke bawah dan berteriak—memberikan
perintah—untuk mengajak rekan-rekannya kabur.

147
Naas bagi mereka yang tidak sigap. Ketika teman-temannya berhasil meloloskan diri,
tak sedikit yang kalah cepat berlari dengan satu-dua polisi itu dan akhirnya, dengan pasrah,
merelakan diri menjadi tawanan. Kini para polisi itu bisa dikatakan sukses menguasai secuil
Al-Aqsa—atau lebih tepatnya mengamankan.

Menyaksikan rekan-rekannya nyaris mendominasi permainan, sniper yang sedari


sebelum salat Jumat telah bertengger di atap masjid Al-Aqsa berkata dalam komunikasi
radionya. “Target kembali, Adon Benjamin. Bolehkah saya mengeksekusinya sekarang?”

“Tidak. Tahan dulu. Bersabarlah. Biarkan mereka hanyut dalam permainan ini.
Tunggu sebentar lagi.”

“Baik, Adon. Dipahami.” Dia melemaskan otot lehernya, menutup sebelah matanya,
dan memantapkan bidikan senapannya pada Prayata yang kini mendekati gerombolan polisi
Israel yang mencoba membobol pintu utama masjid.

Sementara itu, memasuki serambi Masjid Kubah As-Shahkrah, Handaru


memperlambat langkahnya, berhenti, dan menatap jauh ke serambi masjid Al-Aqsa. Dia
mengarahkan handycam-nya ke sana dan mendapati seorang pria paruh baya, yang
mengenakan peci putih dan kondura coklat muda, keluar dari salah satu pintu masjid, berlari
dengan tertatih-tatih menjauhi zona merah. Dia terus meripit ke tembok utara komplek
Masjidil Al-Aqsa menuju arah timur.

Di jalan utama komplek yang masih terkepung asap putih, Handaru mendapati
Mukhaimar dan beberapa orang rekannya masih melempari beberapa polisi Israel yang
mengejar mereka. Dan tepat saat batu-batuan telah terlempar dan berserakan di mana-mana—
kehabisan, mereka menggunakan senjata pamungkas: bom Molotov. Botol berisi minyak
dengan kain terbakar di ujungnya itu melayang dari tangan Mukhaimar, membentur tanah,
dan pecah. Menyeruakkan kobaran api dan kepulan asap hitam.

“Masyaallah,” gumam Handaru. Tangan kanannya yang mencengkeram handycam


gemetaran. Perasaan gelisah serta-merta menyelinap masuk ke rongga dadanya. “Semoga dia
baik-ba ….” Dia gagal menyelesaikan kalimatnya karena terlebih dahulu kejadian di depan
matanya membungkam bibirnya: Prayata yang berjalan mundur seraya mengarahkan
handycam-nya—untuk mendapatkan gambar aksi para polisi Israel yang berhasil
mengamankan Al-Aqsa, tiba-tiba tersentak ke belakang dan terjengkang. Setengah detik
148
kemudian, dia telah menggelepar di atas lantai paving kuno. Mengerang kesakitan sambil
memegangi dadanya.

Melihat salah seorang jurnalis Indonesia buruan mereka tak berkutik, dua orang polisi
Israel segera meringkusnya. Salah seorang dari mereka—yang tampaknya adalah komandan
lapangan—turut menggabungkan diri. Menekuk satu lutut dan menatap Prayata lekat-lekat.
Dia kemudian melihat sebuah handycam yang masih tergenggam di tangan kanan Prayata.

Menyadari bahwa benda itu akan mengundang masalah, segeralah dia menginjak
lengan Prayata dengan sepatu larsnya. Ketika telapak tangan Prayata serta-merta terbuka,
polisi Israel itu menendang jauh-jauh handycam itu, lalu memberikan isyarat kepada kedua
orang rekannya untuk mengangkat paksa Prayata dan mencengkeram kedua tangannya erat
dari belakang. Komandan lapangan itu menampar Prayata—dengan ujung belakang
senapan—sebagai sambutan akhir hingga Prayata pingsan. Dia menoleh ke atap masjid dan
mengacungkan jempol.

Betapa terkejutnya dia saat matanya mengikuti arah telunjuk sang Komandan dan
mendapati seseorang berpakaian hitam-hitam, mengenakan helm, sedang tengkurap
mengusung sebuah senapan laras panjang di hadapannya. Seorang sniper! Katanya pada
dirinya sendiri.

Saat dirinya belum sepenuhnya memercayai apa yang dilihat, dia merasakan sesuatu
mendekat ke arahnya. Bunyi derap kaki lebih dari satu orang. Pelan-pelan dia menoleh ke kiri
dan matanya menangkap lima orang polisi Israel berlari menuju ke arahnya.

Menyadari bahwa firasatnya memang betul, dalam sekejap mata dia sudah
menghentakkan kaki menyisir sisi selatan Masjid Kubah Batu dan menuruni tangga. Saking
khawatirnya terkejar, membuat Handaru terlalu fokus ke belakang hingga tak menyadari
bahwa ada seorang pria paruh baya yang, berjalan tertatih-tatih, berada tepat di depannya.

Bruk!

Dari balik kelopak matanya, dia melihat sekelilingnya berguncang hebat. Berputar-
putar. Secepat dia jatuh, secepat itu pula dia kembali berdiri. Akan tetapi, baru beberapa
langkah berlari, dia berhenti. Dalam waktu yang singkat ini dia harus memutuskan:
bertanggung jawab pada pria itu atau pergi begitu saja? Kemudian dia mendecakkan lidah

149
dan mendesis. Cepat-cepat dia kembali dan membantu pria dengan kondura coklat muda,
peci putih, dan berbadan tinggi besar yang tergeletak itu.

Derap kaki para polisi Israel itu kian terdengar mendekat. Seolah-olah menggetarkan
permukaan tanah. Menyajikan gempa skala kecil yang merisaukan. Jantungnya berdetak
kencang. Peluh membasahi kening dan wajahnya.

Meski sedikit berat untuk membantu pria itu berdiri pada awalnya, akhirnya dia
mampu memberikan kesempatan pada pria itu berdiri dan bersiap berlari bersama. Tepat saat
gerombolan polisi itu muncul dari kelokan gang, mereka sempat berpandangan sesaat
sebelum akhirnya berlari secepat mereka mampu. Mereka terus berlari dengan tatapan lurus
ke depan. Setelah beberapa waktu kemudian, saat memasuki pasar, pria paruh baya yang
dibantunya itu melambat, berhenti.

Handaru yang menyadari pria itu tak lagi berlari bersisian dengannya, ikut berhenti.

“Saya tidak kuat ....” katanya, mengangkat satu tangan ke udara.

“Saya tidak akan meninggalkan Anda sendiri di sini, Tuan!” Lebih lagi saat Handaru
melihat darah merah segar mengucur dari kepala pria itu, menetes ke dagu.

“Tinggalkan saja saya! Daripada saya membebanimu, Anak Muda.”

Sesungguhnya apa yang dikatakan oleh pria tua itu ada benarnya. Walaupun, bukan
gagasan yang baik untuk mengiyakan dalam keadaan seperti ini. Jangan tinggalkan rekan
kalian jika dia memerlukan bantuan. Kata-kata Mukhaimar itu mendengung di telinga
Handaru.

Dengan nada bicara menahan emosi, dia berkata, “Kau dan aku ... akan keluar dari
labirin pasar ini, Pak Tua. Sekarang ... tolong Anda dengarkan aku! Bagus.” Agaknya
Handaru terkejut mendengar dirinya sendiri berkata seperti ini.

***

“Adon Benjamin menginginkan jurnalis Indonesia itu ditemukan, cepat!” Kata sang
Komandan Lapangan itu. “Kita tidak memiliki banyak waktu lagi untuk gagal. Sisir seluruh
tempat ini. Jangan ada yang terlewat barang sejengkal pun!” Dia berdiri mengawasi kelima

150
bawahannya yang berpencar, menyusuri gang-gang pasar, mendobrak pintu-pintu,
membentaki para penghuni rumah, menebarkan teror.

Selain itu, mereka juga membolak-balik kardus, keranjang kayu, menggulingkan


tempat sampah, meneliti setiap kemungkinan tempat bersembunyinya Handaru—juga pak tua
yang ikut berlari bersamanya. Beberapa saat kemudian, dia mendengar suara benturan keras,
di tengah hening dan senyapnya pasar, yang berasal dari salah satu lapak kayu kios penjual
sayur.

Dia menoleh. Berlama-lama menatapnya. Hingga akhirnya memutuskan untuk


mendekat. Dengan penuh keyakinan bahwa memang ada seseorang bersembunyi di sana, dia
berjalan mengendap-endap, pelan-pelan—nyaris tanpa suara benturan sedikit pun—melompat
melewati lapak kayu, dan berjongkok di depan sebuah laci dua pintu di bawahnya.

Setelah menelan ludah, dengan lambat, dia menjulurkan tangan kanannya, meraih
pegangan laci dua pintu itu. Tepat saat kedua tangan kanannya akan menarik pintu ke
belakang, konsentrasinya serta-merta buyar.

Brak!

Dia terjengkang. Hampir-hampir rasanya dia mati saat itu juga. Salah seorang anak
buahnya mengatakan bahwa dirinya melihat dua orang pemuda—salah satunya ber-kafiyeh
kotak-kotak hitam putih. Mencoba mengendalikan diri, dia menghela napas. Dia mengangkat
satu jarinya dan segera membuka laci dua pintu di depannya dengan kedua tangan—seperti
seorang yang dengan cepat membuka kedua telapak tangan saat bermain ciluk ba!
Kekesalannya nyaris meledak ketika seekor kucing yang mengeong panjang dan melompat
keluar dari laci dua pintu itu.

Sang Komandan Lapangan itu akhirnya berdiri. Dia berdeham. “Cepat dapatkan dua
orang itu dan segera cari lagi satu jurnalis Indonesia itu!”

Segeralah para anak buahnya menuruti perintahnya dan menghambur pergi.

Setelah huru-hara di antara para polisi itu usai, dan diakhiri dengan suara derap sepatu
lars yang bergemuruduk menjauh, Handaru pelan-pelan membuka lemari pintu ganda laci
lapak. Bukan milik pelapak sayur yang tadi menjadi pusat perhatian pemimpin operasi,

151
melainkan milik pelapak roti—berjarak lima blok dari posisi terakhir pemimpin operasi
berjongkok tadi.

Dengan hati-hati dan was-was, dia berdiri untuk kemudian mengedarkan pandangan.
Hingga beberapa waktu, setelah berjalan keluar area lapak, dan dengan berjalan mengendap-
endap, memeriksa setiap ujung gang, dan memastikan bahwa area telah steril, dia kembali ke
lapak roti dan memberitahu pria tua itu agar keluar dari persembunyiannya. Selanjutnya,
mereka sudah melanjutkan perjalanan. Kendati beberapa kali, pria tua itu sempat berhenti,
memegangi kepalanya dan mengatakan bahwa dia merasa pusing. Perih, panas.

Seakan tidak ingin mengundang emosi lanjutan dari Handaru, dia mengatakan bahwa
dirinya bisa bertahan dan kembali melanjutkan perjalanan. Melintasi deretan rumah
penduduk yang saling berdempetan, menyusuri jalanan setapak yang berliku-liku, dan
melewati gang-gang yang terangkai antar satu sama lain bagaikan labirin. Kurang lebih
sepuluh menit kemudian, mereka tiba di gerbang Damaskus.

Di tepi jalan, Handaru mengitarkan tatapan. Di antara kendaraan pribadi dan bus yang
melintas, dia mendapati sebuah mobil ambulans terparkir di seberang jalan. Dia bersiul untuk
memanggil salah seorang tim medis yang berada di sana. Seorang pria dengan rompi oranye
berseragam lengan panjang warna hitam berdiri menyandar pada kap mobil, menikmati
sebatang rokok.

Handaru lantas melambaikan tangan pada pria itu dan mengisyaratkan bahwa dirinya
membutuhkan bantuan.

Dengan satu gerakan sigap, pria ceking itu menyeberang dan tanpa memberikan
isyarat apa-apa, para pengemudi sadar diri untuk menginjak rem dan membiarkan si pria
medis berjalan menuju seberang.

Handaru sontak mencelpos. “There’s a serious wounds in his head!”

Pria medis itu mengerti maksud Handaru. Maka dengan sekilas pandang, dia
kemudian membantu Handaru membopong si pria tua itu dengan meletakkan lengan
kanannya di belakang lehernya. Pria medis lokal itu membopong si pria paruh baya bersama-
sama dengan Handaru dan berjalan melintasi jalan raya menuju pintu belakang ambulans.

152
Setelah membantu pria paruh baya itu naik, pria Israel itu bergegas meraih perban
yang terletak di dalam kotak obat. Merentangkannya, melilitkannya pada kepala si pria paruh
baya, dan mengikatnya, lalu dia meminta agar pria tua itu berbaring di atas brankar,
kemudian si pria medis menutup pintu belakang, berlari menuju belakang kemudi, dan
menjalankan ambulans membelah Kota Yerusalem menuju Rumah Sakit Al-Muqased.

Rumah Sakit Al-Muqased ini memiliki tiga lantai. Berbentuk persegi panjang beratap
datar, berdinding putih pucat, dan terdapat deretan taman kecil di bagian depannya. Dua
pohon cemara tinggi menjulang mengapit tangga masuk pintu utama. Sangat kontras dengan
sebagian rumah sakit di Gaza yang pernah dia kunjungi.

Setelah melewati jalan berliku, tanjakan, dan kemudian jalan melandai, mobil
ambulans berbelok memasuki halaman utama Rumah Sakit Al-Muqased. Deru mesin mobil
menghilang. Getaran di kaca mereda. Ambulans berhenti tepat di depan tangga utama.
Terdengar suara gebrakan pintu yang ditutup dengan cepat dan suara tapak kaki tergesa-gesa
yang mendekat.

Pintu belakang terbuka dan pria medis itu segera melompat ke dalam dan meminta
Handaru untuk membantunya menurunkan brankar. Dalam hitungan kurang dari sepuluh
detik, brankar telah melenggang di rumah sakit. Mereka memasuki aula utama, melewati
beberapa ruangan pasien, dan menyusuri koridor dengan berpenerangan cerah.

Setelah melalui beberapa ruangan, mereka tiba di ruang IGD. Seorang perawat
dengan gaun rumah sakit berwarna biru muda menyambut pria medis itu. Mereka
berbincang-bincang sejenak, kemudian mereka memasuki ruangan dan menyisakan Handaru
yang berdiri sendiri di luar.

Handaru, yang kelelahan dan merasa amat lemas serta haus, memilih untuk
mendaratkan tubuh sejenak di salah satu bangku panjang berangka besi. Andai kata dia harus
keja-kejaran lagi, bisa jadi dia akan hilang kesadaran. Baru beberapa saat dia mampu
menghela napas, mengusap keringat yang mengucur di dahi dan lehernya, dia kembali
dikejutkan dengan adegan berikutnya.

Dia terlonjak ketika mendengar suara seseorang terjatuh dan membentur benda keras.
Serta-merta dia menoleh ke sumber suara dan mendapati seorang wanita paruh baya

153
berpakaian hitam tengah bersusah payah bangun sambil tangannya menggerapai sebuah meja
besi. Handaru bergegas membantu wanita paruh baya itu untuk kembali berdiri.

“Are you okay, Madam?” Tanyanya, membantu wanita tua itu berdiri.

Wanita itu menjawab tidak apa-apa.

Sesaat kemudian, terdengar suara derap kaki mendekat diikuti panggilan cemas.
“Mama, Mama!” Seorang pemuda muncul dari balik punggung Handaru dan menyambar
wanita tua itu. Pemuda yang mengenakan sweter kardigan hitam dan sebuah Kippah di
kepalanya itu menggotong wanita paruh baya itu memasuki ruang rawat inap yang terletak
sepelemparan batu dari posisi Handaru.

Si pemuda mengatakan beberapa patah kata dalam bahasa Ibrani yang kemudian
diikuti omelan dan gerutuan dari sang Ibu. Mungkin sang Ibu kesal karena ketika dirinya
bangun, dia tidak menemukan anaknya dan karena dia membutuhkannya maka dia terpaksa
turun dari ranjang dan memaksakan diri berjalan. Meskipun, kondisinya terlihat tidak sehat.
Tangan kanan pemuda itu menggengam botol minuman bersoda warna hitam.

Oleh karena merasa tidak ada lagi yang bisa dia lakukan di sekitar sini dan berniat
kembali ke Masjid Al-Aqsa untuk berbuka puasa dan salat, Handaru pun beranjak. Belum
sampai tiga langkah dia menuju pintu masuk utama, langkahnya terhenti ketika telinganya
menangkap suara seseorang memanggilnya.

“Oi. Shaloom—ucapan salam dalam bahasa Ibrani!”

Mengira panggilan itu bukan ditujukan padanya, Handaru menggeleng dan kembali
berjalan. Dia baru benar-benar yakin bahwa panggilan itu memang ditujukan kepadanya saat
menyadari pemuda yang yang mengenakan sweter kardigan hitam dan sebuah Kippah di
kepalnya itu berdiri di sampingnya, menahan kepergiannya. Kepada Handaru, dia
mengatakan terima kasih dan meminta Handaru mengikutinya.

Pemuda itu menggiring Handaru memasuki ruangan dia mengantar ibunya tadi
masuk. Sebuah ruangan persegi empat berdinding coklat pucat yang bersih, harum, dan sejuk.
Tiada aroma darah yang menusuk lubang hidung, suara rintihan anak-anak yang mengerang
menahan sakit, selasar dengan penerangan cahaya temaram, dinding-dinding yang rapuh,
berlubang dan nyaris roboh, atau nuansa mencekam yang membuat hati terenyuh.
154
Sinar matahari menerobos masuk dari sela-sela kerai jendela yang terletak di sisi utara
pintu masuk. Menampilkan bintik-bintik debu yang beterbangan. Cahayanya menerpa kaki
wanita paruh baya yang terbaring di atas ranjang, dengan selimut tipis yang menyelimuti
setengah badannya. Handaru berandai jika saja rumah sakit di Gaza rupa, suasana, dan
wujudnya sedemikian rupa.

Handaru melihat pemuda itu, yang berjalan di depannya, melintasi sisi ranjang pasien,
mendekati ibunya, dan mendaratkan sebuah kecupan di keningnya. Seolah-olah dengan cara
inilah dia ingin meminta maaf. Setelahnya, dia menegakkan punggungnya, mengamati ibunya
yang kedua matanya terpejam selama beberapa saat, kemudian menoleh pada Handaru yang
masih berdiri dua langkah dari ambang pintu dan menunjuk pada sofa dua kursi yang terletak
di depan ranjang ibunya.

“Duduklah.” Katanya.

Handaru mengiyakan, kemudian dia berjalan mendekati sofa dan merebahkan diri.

Sementara pemuda itu melintas di depannya, menarik bangku yang terletak di sisi
kanan ranjang, dan meletakkannya di depan Handaru. Dia menjulurkan tangan. “Yehonatan
Daniel. Kau bisa memanggilku Daniel.” Katanya, dalam bahasa Inggris berlogat Ibrani.

Handaru menyambut tangannya dan menjabatnya. “Handaru Lawana, Handaru.”


Genggaman tangan Daniel kuat, telapak tangannya kasar. Dari balik kepala Daniel, mata
Handaru menangkap sebuah karangan bunga raksasa. “Apakah itu hadiah?”

Daniel memutar badannya. “Oh, itu. Ya. Bunga itu adalah pemberian keluarga dari
pasien di kamar sebelah. Seorang pemuda dari Gaza.” Wajah Daniel nampak berbinar-binar
ketika dia kembali memutar badannya untuk kembali menatap Handaru.

“Ngomong-ngomong dari mana asalmu?” Kata Daniel kemudian.

“Indonesia.”

Keheningan merebak. Situasi sarat kecanggungan. Namun, senyap pecah seiring suara
derap kaki yang muncul. Suara percakapan antara seorang pria dan wanita menyusul
kemudian. Mereka berbincang dalam bahasa Arab tentang pasien yang menderita luka berat
akibat terkena serpihan bom. Mereka berdebat selama beberapa saat lantaran sang dokter pria

155
sedang menangani pembedahan pada seorang anak laki-laki. Sementara si perawat harus
segera menangani operasi salah seorang warga lokal yang mengalami kecelakaan.

Perdebatan itu berakhir beberapa menit kemudian setelah keduanya menyepakati


sesuatu yang tak didengar Handaru, karena tiba-tiba perutnya yang keroncongan berbunyi.

Sontak Daniel memperhatikan Handaru. “Kau lapar? Tunggu, ya. Aku akan ....”
Daniel diam saat cepat-cepat Handaru mengatakan bahwa dirinya sedang berpuasa. Dan tidak
perlu makan apa pun hingga azan Magrib nanti berkumandang. Selain itu, dia toh juga ingin
berbuka di halaman Al-Aqsa. “Oh ... kau berpuasa ya? Mungkin aku bisa membungkuskan
makanan untukmu, untuk berbuka nanti?”

“Tidak perlu. Toda—terima kasih.”

“Ah. Kau bisa bicara bahasa Ibrani rupanya.”

Handaru meringis. “Hanya itu yang kutahu.”

Daniel tertawa.

“Aku ingin tahu,” kata Handaru, mengalihkan pembicaraan. “Bagaimana sikap warga
Yerusalem yang dirawat di sini dalam menyikapi keributan di luar sana?”

“Keributan? Oh, soal itu ya! Ha-Kadosh Barukh Hu—dia yang kudus diberkatilah
dia—semua baik-baik saja. Kehangatan solidaritas di sini terjaga. Semua warga Yahudi
melakukan yetzer hatov—kecenderungan kebaikan—di sini.”

Handaru mengangguk.

“Jadi ... bagaimana menurutmu, kota ini?” Tanya Daniel.

“Kota yang ramai, tenang, dan jauh dari kebisingan jet tempur dan dentuman bom.”

Daniel menghabiskan minumannya dalam sekali teguk, lalu berkata, “Hoho ... jangan
salah. Kau hanya belum mendengarnya. Tidak jarang suara-suara itu terdengar dari sini.”

“Kuharap aku tidak mendengarnya sekarang.”

“Tidak ada salahnya untuk mempersiapkan diri.”

156
Obrolan mereka terhenti karena di saat yang nyaris bersamaan, handphone Handaru
memekik dari dalam tas ranselnya. Dia kemudian mengaduk-aduk tas ranselnya dan meraih
telepon genggam itu. Sebelum meninggalkan ruangan, dia menatap Daniel, meminta izin.
Saat Daniel mempersilakan, dia berjalan ke luar dan menjawab panggilan itu di selasar.

“Halo, assalamualaikum. Ada apa? Ke sana, sekarang?” Wiganda menelepon.


“Insyaallah, bisa tapi aku baru bisa ke sana bakda salat Tarawih. Bagaimana?”

Handaru bergeser ke tepi ketika beberapa orang tenaga medis bergegas mendorong
brankar dan berlalu. Seorang wanita terbaring di atasnya. Sebuah kantong infus tergantung di
sebuah tiang besi. Berikut dengan selang yang menusuk pergelangan tangan wanita itu.

“Oke. Iya, aku mengerti. Situasi di sini memang sedikit memanas. Tunggu aku. Ya.
Wa’allaikumus salam warrahmatullah.” Handaru mengakhiri panggilan itu dan melangkah
kembali ke ruang rawat inap. Dia mendekati Daniel dan mengatatakan padanya bahwa dia
harus segera kembali ke Rumah Sakit Indonesia.

Mendengar kalimat perpisahan ini, Daniel mengangguk-angguk paham dan


menawarkan tumpangan untuknya kembali ke Beit Lahiya.

“Kau harus menjaga ibumu. Beliau membutuhkanmu. Jangan sampai beliau


terbangun dan menyadari kau tidak sedang berada di tempatmu lagi.” Jawab Handaru.

Daniel menunduk, menyesali keputusannya meninggalkan ibunya.

Handaru mendaratkan telapak tangannya di pundak Daniel. “Terima kasih sudah


menyambut kedatanganku dengan baik. Mungkin kita akan berjumpa lagi nanti, insyaallah.”

“Tapi, bagaimana caramu pergi ke RSI?”

“Di Masjid Al-Aqsa, setiap selesai salat Tarawih, kudengar ada bus penumpang yang
akan mengantar para jemaah ke rumah masing-masing. Menuju Gaza atau Tepi Barat. Aku
akan ke sana terlebih dulu untuk salat, tapi ... jika dari sini, aku tidak mengenal jalannya.”

“Aku akan memberi tahu jalan menuju ke sana.”

Daniel menegakkan lututnya, berbalik, dan berjalan mendekati lemari kecil yang
terletak sejajar dengan kepala ibunya. Terletak di sisi kanan ranjang. Dia menarik laci, meraih
sesuatu dari dalamnya, kemudian dia kembali dengan membawa peta kota Yerusalem.
157
“Baiklah,” katanya, sesaat setelah dia berdeham. “Mula-mula kau harus berjalan
menuju jalan El Mansuriya,” Dia mengarahkan telunjuk kanannya ke atas selembar peta itu
dan di sela-sela memberikan penjelasan, dia melirik pada Handaru. Memastikan apakah
kawannya mengerti arahan yang diberikannya atau tidak. “Lalu lewati rute 417. Setelah itu
kau akan menemukan area Derech Sha’ar HaArayot. Dari situ, kau akan menemukan
komplek Al-Aqsa. Kau bisa memasukinya melalui Lion’s Gate. Perjalanan ini membutuhkan
waktu kurang lebih setengah jam.”

Handaru melirik arloji yang melingkar di pergelangan tangan kanannya.

Selanjutnya, Daniel menegakkan kedua lututnya perlahan. “IDF dan kepolisian Israel
tidak akan memberikan peluang sedikit pun pada kaum Muslimin. Berhati-hatilah. Semoga
kau selalu mendapat kemudahan. Symri’ Al 'Atsemekh—jaga dirimu, Lehitra’ot Akhar
Khakh—sampai jumpa lagi!” Seolah-olah berat untuk membiarkan kawan barunya itu
melenggang seorang diri.

Mendengar pernyataan itu, Handaru mengamini. “Kau juga, Kawan.”

Setelah berjabat tangan dan minta diri, Handaru berbalik, melangkah menjauh. Dari
balik punggungnya, Daniel mengamati kepergiannya yang kemudian menghilang di balik
pintu, menyusuri selasar.

“Eh. Tunggu dulu, Handaru!” Tiba-tiba Daniel muncul dari balik pintu.

Handaru memutar badan.

Beberapa saat kemudian, Daniel keluar dari kamar dan membawa sebuah kartu.

“Untuk apa ini?”

“Bawalah ini.” Daniel menyodorkan sebuah kartu berwarna hijau.

Dengan kebingungan, Handaru menerimanya.

“Jika kau memiliki foto, tempelkan fotomu itu di atas foto kawanku ini. Dan jika nanti
polisi penjaga gerbang menanyakan kartu hijau ini, berikan ini pada mereka. Maka mereka
akan meloloskanmu melewati gerbang. Percaya padaku.”

“Serumit ini, kah?”

158
Daniel menjelaskan bahwa penjagaan di sekitar gerbang dan komplek Al-Aqsa, meski
tidak sering, akan dijaga ketat. Dan kartu itu adalah salah satu persayaratan yang dibebankan
pada para pengunjung Al-Aqsa untuk mencegah membludaknya para pengunjung non-
Yerusalem yang datang. “Sedangkan kartu biru ini,” Daniel menunjukkan kartu biru yang
baru dia keluarkan dari saku celana jinsnya. “Berlaku untuk pengunjung nonpemukiman
Muslim Kota Tua Yerusalem.”

“Jadi, aku tinggal menunjukannya saja jika mereka bertanya?”

Daniel mengangguk.

Setelah berpamitan dan berterima kasih lagi, Handaru lalu berjalan menyusuri selasar
tanpa menoleh sekalipun ke belakang. Dia berhenti di pintu utama. Di kejauhan, matahari
senja menampakkan diri, menerpa sebagian wajahnya dengan warna jingganya. Kendati
deretan insiden menegangkan menghantamnya hari ini, Handaru bersyukur. Meskipun rasa
kehilangannya atas Prayata belum hilang. Kehadiran Daniel seolah mengobati lukanya.

Baginya, kendati baru mengobrol singkat dengan Daniel, dia dapat merasakan
ketulusan pemuda itu terhadapnya. Cerminan sebuah keikhlasan dalam menerima perbedaan.
Bukan perbedaan kecil, melainkan besar: bangsa dan keyakinan. Ini menegaskan salah satu
ayat Alquran bahwa tidak semua kaum Yahudi itu buruk, melainkan hanya di antara mereka
saja yang begitu. Untuk alasan inilah, Handaru menghela napas lega.

Walaupun belum sepenuhnya yakin kembali ke masjid itu, dia merasa perlu untuk
kembali. Saat memejamkan mata, dia bergumam. Semoga nanti tidak ada persoalan yang
tidak bisa kuhadapi, dan semoga besok hari lebih baik dari hari ini. Dia kemudian
menangkupkan kedua tangan dan berjalan.

159
14

Iftar[23]

Dengan berbekal peta kota yang diberikan Daniel, bukan masalah sulit bagi Handaru untuk
menemukan jalan menuju bukit zaitun dan singgah sementara di sana. Pemandangan bukit
zaitun yang berada 400 meter di atas permukaan laut, menyajikan panorama Kota Yerusalem
yang di dalamnya termasuk Kota Tua Yerusalem, Bukit-bukit Yudea, hingga Laut Mati.

Menurut beberapa pengunjung di wawancara Handaru, khususnya umat Kristiani,


mereka menyakini bahwa di bukit zaitun inilah kristus diangkat ke surga dan tempat Yesus
mengajari doa bapa kami. Ada pun di puncak bukit yang sedang diamati oleh Handaru ini—
dengan mengarahkan handycam-nya—terdapat kapel yang didirikan oleh ksatria salib pada
abad ke-12. Terdapat juga sebuah gereja bernama Pater Noster yang telah ada sejak tahun
1875 dan pernah dibangun komplek untuk biarawati Ordo Carmelita dengan tulisan Doa
Bapa Kami dalam berbagai bahasa. Salah duanya Bahasa Jawa dan Bahasa Sunda.

Saat menuruni lerengnya, Handaru berjalan di bawah rindang dan rimbunnya pepohonan
zaitun. Selain pepohonan zaitun yang rimbun, perbukitan ini juga menampilkan eksotisme
alami berupa tiga puncak yang berjajar dari utara ke selatan, yang keduanya menghadap ke
komplek Kota Tua Yerusalem, sedangkan sisi yang lain, sisi timur, adalah lembah Kidron.

Handaru, meskipun seharusnya dia melaksanakan peliputan ini dengan Prayata, tetap
bersikukuh menyelesaikan tanggung jawabnya ini seorang diri. Selain untuk menghibur diri
dengan menikmati panorama alam yang disajikan ibu kota dua negara ini, dia juga ingin
sejenak melupakan ketegangan yang melingkupinya.

Jika salah satu dari kita tertangkap, berita ini tetap harus disampaikan, apa pun yang
terjadi. Kau mengerti?

Handaru berhenti untuk memandangi taman Getsemani. Tempat dengan yang berasal dari
bahasa Ibrani, yaitu Get Shemanim yang berarti kilang minyak zaitun. Area dengan
pepohonan zaitun ini konon katanya berumur panjang dan tidak mati, kecuali ditebang atau
dibakar. Orang-orang menyimpulkan bahwa keberadaan pohon-pohon ini merupakan saksi
bisu keberadaan Nabi Isa As. dan murid-muridnya bermukim di sini.

[23]
Berbuka puasa.

160
Handaru merekam dengan detail delapan pohon zaitun yang tumbuh di sana dan
hanya memerlukan beberapa langkah saja untuk mendapati pemandangan Kota Yerusalem—
karena letaknya yang berhadapan. Setelah puas menghimpun gambar dari keindahan bukit
zaitun, Handaru melanjutkan perjalanan, menuruti peta, dan berjalan menuju ke arah Kota
Tua. Melewati keindahan taman Newel yang terletak di sebelah barat Rumah Sakit Al-
Muqased.

Di sepanjang sisa perjalanan, sambil menikmati sore hari yang damai, Handaru
memperhatikan hiruk-pikuk warga Yerusalem di sekelilingnya. Mengobrol, tertawa, berbagi
cerita bersama-sama dengan orang yang mereka cintai. Menyeruakkan hangatnya
kebersamaan.

Handaru terus melenggang di atas jalan beraspal, yang tidak terlalu lebar dan diapit
oleh trotoar berpaving, hingga jalan itu mengantarnya sampai di depan Gerbang Singa—salah
pintu masuk menuju Kota Tua Yerusalem. Gerbang raksasa berasitektur kuno yang
menyerupai pintu masuk sebuah kastil itu berdinding kokoh, tebal, dan tinggi. Terletak di
sebelah utara.

Semakin mendekati gerbang Singa, Handaru makin was-was. Masih hangat di


kepalanya insiden kejar-kejaran tadi. Jatuh bangunnya melarikan diri, ketegangan yang
mencekiknya, belum lagi kelelahan yang nyaris merontokkan seluruh tubuhnya. Apa yang
sebaiknya dia lakukan? Mundur? Sudah sejauh ini untuk mundur. Lagi pula, mundur ke mana
lagi? Kota ini terlalu berbahaya baginya. Maju? Nekat menerobos kawalan segerombolan
polisi Israel yang berjaga di depan gerbang Singa adalah hal terbodoh yang mungkin tidak
akan pernah dilakukan orang bodoh di mana pun.

Lalu, bagaimana caranya untuk menembus ketatnya penjagaan ini?

Handaru yang kini berdiri di mulut gang—yang terletak di sisi kiri gerbang Singa dan
berjarak beberapa meter di depannya—sesekali melongok untuk mengintip belasan polisi itu.
Handaru bergidik dan menelan ludah mengamati mereka membekali diri dengan persenjataan
lengkap dan kewaspadaan tinggi, tersebar di sekitaran gerbang.

Untuk mempersempit arah masuk para pengunjung, dua pagar besi setinggi pinggang
yang diletakkan serong di depan gang. Butuh waktu lama untuk Handaru memutuskan.

161
Jantungnya yang berdegup kencang dan kepalanya terasa pening, menyulitkannya berpikir
jernih. Handaru menggaruk-garuk kepalanya yang mulai gatal.

Sayup-sayup terdengar suara percakapan dari arah gerbang.

Di antara kerumunan polisi Israel bersenjata lengkap itu, tampak empat orang pria,
yang datang dari arah utara gerbang dan mencoba masuk, mendapat sambutan hangat berupa
penggeledahan. Para polisi itu sedetik pun melepaskan pandangan dari gerak-gerik mereka.
Salah seorang yang lain memberikan instruksi agar jemaah lain, yang juga akan mengikuti
buka bersama, untuk berbaris dan mengantri. Seakan-akan dengan cara inilah kekhawatiran
pemimpin mereka dapat terkendali.

Samar-samar, dari kejauhan, Handaru mendengar salah seorang dari mereka berkata.
“Kami hanya ingin berbuka puasa, Tuan.” Seorang pria paruh baya berbadan tambun yang
berdiri di baris paling depan. Berhadapan langsung dengan salah seorang polisi itu.

Dengan bahasa Arab, salah seorang polisi menjawab ketus, “Kau tak punya hak untuk
bicara, Pak!”

“Kami datang sama sekali tidak membawa ancaman apa pun.” Balasnya, menoleh
pada sumber suara.

“Tunjukkan kartu kunjunganmu dulu.” Perintah si penggeledah.

Mendengar kata kartu kunjungan, cepat-cepat Handaru memposisikan diri seaman


mungkin untuk mengintip. Pria itu dan tiga orang pria lainnya mengeluarkan sebuah kartu
wana hijau. Keempat pria itu menunggu pemeriksaan oleh para polisi itu. Sesekali, para polisi
itu bertukar percakapan sebelum kemudian kembali mencermati kartu itu.

“Hei, sudahkah pemeriksaannya? Mengapa begitu lama?” Protes pria itu.

Dari balik tiket warna hijau, polisi itu menatap tajam pada si Pria.

Polisi itu kemudian mengatakan bahwa justru karena mereka tidak berbekal senapan
otomatis maka keamanan Al-Aqsa akan terancam. Dan kemudian, entah atas dasar apa,
mereka beradu argumen tentang perlakuan otoritas Israel yang memperketat komplek Masjid
Al-Aqsa pasca tragedi siang tadi. Perdebatan itu nyatanya tidak berlangsung sebentar karena

162
kedua pihak sama-sama memiliki alasan tersendiri untuk saling membenarkan. Kendati
Handaru lebih dapat menerima gagasan dari pihak pengunjung masjid.

Selagi mendengarkan sayup-sayup perdebatan mereka, Handaru tak lupa untuk


memikirkan dirinya sendiri. Memandang langit berwarna jingga yang ditemani awan kelabu
yang berarak, menatap penuh harap agar Dia memberikannya jalan keluar untuk mengatasi
persoalan ini.

Handaru berkata pada dirinya sendiri—dengan memejamkan mata dan berdoa. Aku
sudah sejauh ini, katanya. Tidak ada waktu untuk mengibarkan bendera putih. Ya Allah,
berikanlah hamba-Mu ini jalan. Apabila hamba-Mu ini harus mengakhiri perjuangan di
tempat ini maka berikanlah saya kesempatan berjuang untuk terakhir kalinya.

Kekhusyukan Handaru terpecah ketika dia tak lagi mendengar suara perdebatan.
Maka dia kembali mengintip dari ujung dinding gang dan mendapati seorang polisi lain
datang dari arah utara. Dia berjalan dengan setengah berlari. Wajahnya sarat keletihan, beban
berlebihan. Para jemaah yang berjajar, melihat kedatangan polisi letih itu, seketika bergerak
dua langkah ke samping, memberikan ruang padanya.

Polisi letih itu terus berjalan hingga akhirnya berhenti di depan rekan-rekannya. Dia
memiringkan badan ke depan, memegangi kedua lututnya, dan mencoba mengatur
pernapasannya sebelum mengutarakan maksud kedatangannya. Dengan gerakan yang
sederhana—tangan diayun ke atas, kemudian dibanting, lalu menoleh seraya menunjuk ke
belakang—dia mengutarakan apa yang terjadi.

Memahami apa yang diutarakan polisi berwajah letih itu, sesaat kemudian, polisi yang
sempat membentak pria yang berdiri di baris terdepan tadi—yang menurut Handaru adalah
ketuanya, berdiri tegak, menatap kejauhan sejenak sebelum memberikan instruksi pada
rekan-rekannya yang lain untuk bergerak.

Dalam hitungan detik, sebagian dari mereka telah berlari meninggalkan posnya.
Menyisakan dua orang polisi yang kemudian membopong rekannya yang keletihan itu ke sisi
gerbang dan mendudukannya di sana. Diberikannya sebotol air mineral padanya ketika tiba-
tiba suara dentuman menyeruak. Mengetahui situasi berbalik genting, kedua polisi itu sontak
memberikan isyarat berupa ayunan tangan cepat ke belakang berulang kali.

163
Inilah kesempatanmu! Oh, kapan lagi para polisi itu meloloskan para pengunjung
dengan begitu mudahnya? Maka, setelah mengusap peluh yang membasahi keningnya
dengan lengan, menarik napas panjang, lalu mengembuskannya, Handaru menguatkan diri
dan berjalan dengan menyongsong segenap keberanian menuju ke arah mulut gerbang.

Nyaris seketika itu juga, setelah berhasil melewati ambang gerbang, Handaru mampu
bernapas lega. Seakan-akan beban yang menghimpit dadanya merenggang. Dia tak henti-
hentinya mengucap syukur atas kemudahan yang diberikan-Nya padanya. Dia terus berjalan
melintasi El-Ghazali Square—alun-alun kecil di Kota Tua Yerusalem, menelusuri jalan
berpaving yang diapit arsitektur kuno, membuntuti empat pria yang sudah masuk terlebih
dahulu.

Beberapa waktu kemudian, belasan polisi yang tadi sempat meninggalkan posnya,
kembali ke posisi semula.

Di sepanjang jalan, Handaru menjumpai sekelompok anak-anak yang bermain bola di


salah satu sudut gang. Sedikit mendribel bola saat tak sengaja bola itu datang ke arahnya.
Dengan sedikit trik yang dia kuasai, dia mampu memantul-mantulkan bola di atas punggung
kaki kanannya dan kemudian mengembalikan bola itu pada anak-anak. Menyaksikan aksi itu,
sontak anak-anak berteriak riuh, memuji Handaru. Saat berlalu, Handaru sambil menoleh dan
melambaikan tangan. Dua anak dari kelima anak itu membalas lambaian tangannya—
sementara ketiga lainnya mencoba mempratikkan apa yang dilakukan Handaru tadi.

Handaru berjalan sedikit membungkuk melewati seorang nenek yang duduk seorang
diri di atas kursi di salah satu sudut jalan. Seorang biarawati berpakaian putih-putih berjalan
dengan langkah sigap melewati warga lokal. Dalam ketergesaannya, dia sempat menoleh dan
bertukar pandangan sesaat dengan Handaru. Beberapa saat kemudian terdengar teriakan
kegirangan anak-anak karena ada yang mencetak gol.

***
Handaru kembali menelusuri tiap gang hingga mendekati komplek Dome of Rock.
Dia menaiki beberapa anak tangga dan menginjakkan kaki di komplek Masjid Kubah Batu
itu. Sesaat dia mengingat rincian kejadian yang dia alami siang tadi.

Puluhan polisi menyerbu pelataran masjid, saling berbalas serangan dengan para
pemuda—termasuk Mukhaimar di dalamnya, dirinya dan Prayata berpisah untuk mendapat
164
sudut peliputan yang paling menarik, dia tercengang melihat Prayata tertembak di bagian
perut sampai para polisi mengerubunginya, dan saat dirinya baru menyadari bahwa ada
seorang sniper di atas atap masjid Al-Aqsa, sekonyong-konyong lima orang polisi Israel
muncul dari sisi utara Masjid Kubah Batu dan, tanpa alasan yang jelas, mengejarnya. Secepat
pikiran itu hadir, secepat itu pula Handaru menepiskannya. Membuangnya jauh-jauh.

Melangkah maju mendekati bibir tangga yang menghubungkan posisinya dan


komplek Al-Aqsa di seberang sana, dia kemudian mendapati beberapa orang pria paruh baya,
pemuda, dan anak-anak tengah duduk bersila dalam dua deretan berbeda di jalan utama
komplek Al-Aqsa. Dalam satu deretan, mereka duduk saling berhadapan. Menanti
kumandang azan Magrib. Beberapa orang relawan berpakaian hijau-hijau bertopi putih
menata satu per satu kotak makanan lain di atas plastik memanjang di sisi lain jalan.

Masih kurang dua jam lagi, gumam Handaru, melirik arlojinya. Sedetik kemudian,
barulah dia menyadari bahwa dirinya belum menunaikan salat Asar. Cepat-cepat dia
menuruni anak tangga utama, melenggang di jalan utama dan bergegas menuju Al-Kas.[24]
untuk berwudu. Setelahnya, dia mempercepat langkah menuju Masjid Al-Aqsa.

Usai salat, dia melihat sekeliling dan mendapati beberapa pria paruh baya sedang
membaca Alquran. Di sisi lain, beberapa orang sedang khusyuk mengurut tasbih, berzikir.
Ada pula sekelompok pemuda yang duduk melingkar, menyimak salah seorang pembicara
dengan penuh minat. Handaru menegakkan lutut, mendekati salah satu pilar masjid, dan
mengambil Alquran yang tertata rapi dalam rak melingkar di salah satu tiang masjid.

Sambil menggengam Alquran, dia duduk bersila di atas sajadah berwarna merah yang
melapisi seluruh permukaan lantai masjid. Dengan penuh takzim, dia membuka satu per satu
halaman mencari surat Al-Kahfi.

Setelah menemukannya, dia membaca ta’awudz, basmalah, dan kemudian membaca


mulai ayat pertama hingga ayat ke sepuluh. Setelah mengakhiri bacaannya seorang pria paruh
baya mendaratkan telapak tangan kanannya di pundak kanannya dan berkata, “Mari menuju
lapangan untuk iftar.”

Handaru mendongak dan menatapnya. Saat pria itu sudah berlalu, Handaru melirik
arlojinya. Pukul 19.46 waktu setempat.

165
Setelah meletakkan Alquran kembali ke tempat semula, dia berjalan menuju pintu
utama masjid dan melangkah keluar. Di luar, dia mendongak, menatap langit kelam
keunguan yang membentang luas, bertaburan bintang-bintang berkilauan. Embusan angin
sepoi-sepoi menyelinap di antara daun-daun pohon cemara yang tumbuh tinggi menjulang di
atas taman masjid. Dari kejauhan, dia melihat orang-orang mulai berdatangan dari berbagai
penjuru menuju satu titik.

Gelak tawa beberapa anak-anak yang berlarian di kejauhan, gumaman para pria yang
tengah membicarakan sesuatu, menghangatkan suasana. Matanya menangkap beberapa
banner bertuliskan Kimse Yok Mu—salah satu organisasi amal asal Turki yang bertindak
sebagai pantia iftar—terletak di beberapa sudut jalan utama komplek masjid.

Handaru telah menggabungkan diri dengan para pemuda saat suara dentuman meriam
terdengar. Menandakan bahwa waktu buka puasa telah dimulai. Kumandang azan terdengar
tak lama kemudian. Handaru dan para jemaah menggumamkan doa berbuka puasa dan
menangkupkan kedua tangan ke wajah setelahnya.

Saat para jemaah membuka kotak makan masing-masing, yang telah disiapkan panita
Iftar, Handaru terlebih dulu mengeluarkan dua buah roti yang dibelinya siang tadi bersama
Prayata dan menjejalkannya ke mulut. Andai Pak Prayata juga hadir di sini, katanya
membatin.

Pasti suasana berbuka hari ini akan jauh berbeda. Handaru mengusap hidungnya. Di
sela-sela mengunyah, dia memanfaatkan satu di antara tiga waktu yang mustajab ini untuk
berdoa.

Belum sempat dia memasukkan secuil roti berikutnya ke dalam mulut, dia mendengar
beberapa pria di sampingnya menggumamkan sesuatu. Mereka memandang seorang pria tua
berbadan kurus, agak bungkuk, dan berjenggot panjang yang memegangi perutnya. Pria tua
itu mengenakan sweter warna ungu lusuh dan robek di beberapa bagian.

Seorang pemuda yang kira-kira seumuran dengan Handaru menyertainya. Memegangi


tubuh ringkih dan rentannya. Mengenakan kemeja warna merah yang juga lusuh, bernoda
kecokelatan, dan robek di beberapa bagian. Pria tua itu menebarkan pandangan ke sekeliling

[24]
Tempat wudu yang berbentuk lingkaran yang di tengahnya terdapat air mancur.

166
dengan lamban. Berharap ada seorang dermawan yang berminat untuk membagi
sedikit makanan untuknya dan pemuda yang membopongnya—yang mungkin anaknya.

Melihat mereka berdua berjalan tertatih menyusuri tepi barisan orang-orang yang
berbuka, membuat hati Handaru terenyuh. Setelah memandangi makanannya, Handaru
berdiri dengan membawa kotak nasinya, menghampiri mereka berdua. “Saya melihat Anda
sepertinya belum mendapatkan makanan,” Kedua orang itu menoleh hampir bersamaan
padanya. “Ini. Silakan ambil saja. Masih utuh.” Handaru mengulurkan kotak nasinya.

Pria itu menatap nanar pada pemberian Handaru sebelum dia mendongak dan
berlama-lama menatap pemuda di hadapannya. Sejenak kemudian, dia berkata, “Tapi itu
milikmu, Anak Muda. Dan, kau tentu sangat lapar karena belum sempat memakannya.”

“Saya sudah membatalkan puasa saya dengan roti ini.” Handaru menunjukkan
sepotong roti dengan bekas gigitan padanya.

Pada akhirnya, setelah berulang kali mendesak, dengan tangan gemetaran, pria tua itu
meraih kotak nasi yang berisi daging ayam dan nasi berwarna kuningan-kecoklatan itu—
sebuah Ruz Mulfalfal. Saat nasi kotak itu telah resmi menjadi miliknya, matanya mulai
berkaca-kaca. Seulas senyum kian memperjelas lipatan-lipatan di wajahnya yang senja.

Sesaat kemudian, sudut matanya memunculkan sebutir air, membelah pipinya. Dia
mulai terisak-isak. Dengan sigap, pemuda yang berdiri di sampingnya mencoba
menenangkan. Dia mengelus-elus punggungnya seraya membisikkan beberapa kata.

“Te, terima kasih banyak, Anak muda.” Lirih pria tua itu kepada Handaru. Dia diam
selama beberapa detik, lalu melanjutkan. “Sesungguhnya, memberi makan orang yang
berpuasa akan mendapat pahala tanpa dikurangi pahalanya sedikit pun oleh-Nya. Semoga
Allah membalas kebaikanmu ini dengan balasan yang lebih baik.”

Handaru mengangguk, pelan. Mengamini. Akhirnya, mereka, pria tua dan pemuda
yang menemaninya itu, beranjak. Mengambil tempat di salah satu sudut taman, menikmati
pemberian Handaru dengan penuh rasa syukur.

Area iftar kian lengang seiring waktu salat Magrib akan dimulai.

167
Satu per satu, orang-orang mulai bergerak menuju menuju Al-Kas untuk berwudu,
setelah sebelumnya membuang kotak nasi di tempat sampah yang tersedia. Menyadari ini,
Handaru yang sempat mengamati kedua orang itu menikmati pemberiannya, segera
menghabiskan rotinya, meneguk air yang ada di gelas plastik, dan berjalan menuju Al-Kas.

Selanjutnya, dia melanjutkan perjalanan menuju pintu masuk Masjid Al-Aqsa,


bersamaan dengan jemaah lain yang juga mulai berdatangan. Tak lama berselang, ikamah
terdengar. Panggilan itu terdengar membelai-belai syaraf. Menyejukkan rongga dada.

Meski sudah terdengar ikamah Handaru tidak terburu-buru memasuki masjid. Saat
kaki kanannya melewati ambang pintu utama masjid, dia mendapati para jemaah laki-laki
telah berdiri berjajar-jajar. Memenuhi hampir separo kapasitas masjid. Suara imam yang
lantang namun halus dalam mengucap kalimat takbiratul ihram terdengar menenangkan.

***
Setelah salat Isya dan melalui dua puluh rakaat salat Tarawih dengan bacaan yang
panjang, Handaru meninggalkan aula utama masjid Al-Aqsa berdiri tepat di bawah ambang
gerbang utama masjid. Dia menyandarkan diri pada tiang masjid dengan lengan kanan.
Tampak puas hanya dengan memandangi bentangan ruang luas sewarna batu di atas atau para
jemaah yang bergerak meninggalkan aula masjid.

Malam ini, kata Handaru pada dirinya sendiri. Tidak ada secercah warna jingga yang
pecah di kejauhan atau titik merah terbakar yang menukik tajam. Indah. Puluhan bintik-
bintik putih menyala yang tumpah ruah dan bertebaran di langit, memuaskannya. Di sekitaran
komplek masjid titik-titik lampu sewarna matahari senja turut melengkapi keindahan malam.

Sesekali dia mengamati para jemaah, yang dengan penuh kegembiraan membuncah di
dada karena masih diberi kesempatan salat di Baitul Maqdis, berjalan pulang diiringi tawa
dan ucapan syukur. Beberapa waktu lagi, mereka akan tiba di rumah. Menemui keluarga
masing-masing, lalu beristirahat.

Handaru ingat untuk mengganti foto yang ada pada tiket hijau miliknya. Seingatnya,
dia pernah membawa beberapa lembar foto berwarna dengan ukuran 3x4 untuk persediaan.
Hitung-hitung jika nanti pihak birokrasi—di mana pun—meminta foto dengan ukuran serupa
untuk kelengkapan data dan identitas. Maka dengan sedikit usaha mengorek-ngorek tas

168
ranselnya—di bagian utama, di kantong-kantong, akhirnya Handaru mendapatkan foto yang
dicarinya.

Foto lama. Sekitar empat tahunan lalu. Masih sedikit lebih muda. Tanpa kumis halus,
jenggot rapi, dan rambut yang agak acak-acakan. Anak muda yang kurang memperhatikan
penampilan. Handaru mengambil tiket dan menyelipkan fotonya untuk menindihi foto kawan
Daniel. Setelah foto terpasang rapi, tanpa lem, berubahlah identitasnya. Dia mengupayakan
untuk mengganti identitas di sana. Dan, dalam waktu yang cukup lama, akhirnya jadilah
sepenuhnya kartu itu miliknya. Handaru menghela napas, memasukkan tiket itu ke saku
rompinya.

Dalam diamnya, sekonyong-konyong dia teringat pada Prayata. Dia membayangkan


setiap kata-kata bijaknya, nasihatnya, dan kalimat penyemangatnya. Rentetan petualangan
yang telah mereka lalui hingga sampai di tanah jihad ini berkelebatan di benaknya. Dia
kemudian teringat pada bandana hijau milik kawannya, Suleiman, yang diberikan padanya.

Menyampirkan tas ranselnya, Handaru mengeluarkan bandana itu dari dalamnya,


kemudian berlama-lama menggengam bandana harum itu. Mencoba menghadirkan sosok
Prayata. Mengajaknya mengobrol, merencanakan agenda esok hari, atau mencari jalan aman
keluar dari komplek Al-Aqsa ini. Dia tersenyum, menggeleng membayangkan seperti apa
komentar Prayata ketika dirinya tadi mendapatkan tiket hijau dari Daniel.

Saat semua rangkaian kenangan itu nyaris memenuhi benak, sebuah suara dehaman
serta-merta membuyarkan lamunannya. Dia yang terkesiap, menoleh ke kiri. Mendapati
seseorang pemuda berdiri di sampingnya, yang dia kenali sebagai pemuda beralis tebal dan
bermata tajam, yang menemani pria tua yang ditemuinya saat iftar.

“Assalamu’allaykum warrahmatullah.” Pemuda itu mengucap salam.

“Wa’allaikumus salam warrahmatullah wabbarakatuh.”

Selanjutnya, dia diam beberapa waktu sebelum akhirnya berkata, “Terima kasih untuk
iftar-nya.” Tukasnya, ramah. Dia mendekati Handaru dan mengambil tempat di sampingnya.
Dia kembali diam. “Siapa namamu?”

“Handaru Lawana, Handaru. Dan kau?”

169
“Abu Bakar.”

Mereka pun berjabat tangan.

“Ada sesuatu yang kaupikirkan?” Tanya Abu Bakar.

Mula-mula Handaru enggan untuk membeberkan alasannya, namun akhirnya dia


berkata, “Aku harus segera kembali ke Beit Lahiya. Aku tidak ingin membuatnya menunggu
terlalu lama.” Handaru memang tidak membeberkan alasan yang sesungguhnya terkait apa
yang dipikirkannya, tetapi baginya, hanya itu yang bisa dia sampaikan. Seraya berharap
mungkin Abu Bakar dapat memberinya bantuan.

Pemuda itu menoleh. “Kau tak perlu mencemaskannya.”

Mereka saling bertukar tatapan selama beberapa detik.

Handaru memahami tatapan itu. “Tidak perlu. Aku bisa ....”

“Anggap saja sebagai ucapan terima kasih.”

“Aku tidak ingin berdebat. Itu hanya ….”

“Lebih baik kau mendengarkanku,” Kali ini, nada bicara Abu Bakar lebih lembut.
“Tolong, aku hanya ingin menuruti perintah Ayahku.”

“Pria tua tadi itu Ayahmu?”

“Satu-satunya yang selamat dari gempuran Israel tahun 2014.”

“Inaillaihi … ” Handaru menelan ludah. “Maafkan aku.”

“Bus akan berangkat pukul 00.30. Kita akan tetap berdiri di sini atau berangkat?”

Handaru tidak langsung menjawab. Dia diam selama beberapa detik. Seperti sedang
menimbang-nimbang. Hingga akhirnya, dia pun mengiyakan. Berbekal kecemasan dan
keterkejutan yang belum sirna, dia memutuskan mengikuti Abu Bakar yang dalam sekejap
telah membentangkan jarak cukup panjang darinya.

Mereka berdua bergegas meninggalkan area masjid. Menyusuri pemukiman Muslim


yang terletak di sisi selatan komplek Al-Quds. Setelah beberapa kali menempuh jalan yang

170
sama, Handaru nyaris mampu menghafal rute memasuki komplek Al-Aqsa. Di sepanjang sisa
perjalanan, sekadar mencairkan suasana yang sarat kecanggungan, dia membuka obrolan.

“Ngomong-ngomong, di mana Ayahmu?” Katanya, berusaha menyamai langkah kaki


Abu Bakar yang sigap dan cepat.

“Dia di dalam bus. Katanya, dia ingin menemuimu. Ayo, cepat!”

Mereka terus mempercepat langkah, hingga mendekati gerbang Damaskus. Di sana,


mereka harus mengantri dan menunggu giliran pemeriksaan karena di depan mereka telah ada
dua belasan pria yang terlebih dulu membentuk antrean. Berdiri di belakang Abu Bakar,
Handaru yang menjulurkan leher untuk memantau kejauhan, merasakan hantaman tingkat
sedang dari balik dadanya. Bulir-bulir keringat mulai muncul, membasahi sebagian
keningnya. Kendati begitu, Handaru tetap berusaha untuk menguasai diri.

Anteran bergerak.

Abu Bakar memutar sebagian badannya dan menoleh pada Handaru. Dia telah
menduga bahwa Handaru akan merasakan adrenalin seperti itu. Dengan tenang dia berkata,
“Kita akan selamat melewati semua ini, Kawan. Tenanglah. Allah bersama kita.”

Setelah menghela napas singkat, Handaru menggumam. “Bismilahirrahmanirrahim.”

Antrean kembali bergerak perlahan. Sedikit demi sedikit. Hingga menyisakan dua
orang lagi, kemudian tibalah giliran Abu Bakar dan Handaru mendapatkan pemeriksaan
dokumen. Saat tiba giliran Abu Bakar, dia tampak tenang dalam menghadapi dua orang polisi
Israel yang meminta identitasnya dengan suara yang garang. Dia menyodorkan kartu identitas
warna birunya, polisi itu meraih dan mencermatinya, lalu mengembalikan diikuti kibasan
tangan ke belakang. Abu Bakar pun sukses menerobos barikade dengan selamat.

Tepat di belakangnya, dahi Handaru bercucuran keringat dingin. Namun, dia tetap
menjaga keberanian dan keyakinan bahwa tidak akan terjadi apa-apa, selama dia
memasrahkan segala urusannya pada Sang Sutradara Semesta. Beruntung, ternyata Polisi
Israel itu tidak meminta paspor karena Handaru baru ingat bahwa dia lupa untuk mengotak-
atik paspornya agar serupa dengan tiket hijau yang dibawanya. Polisi Israel itu hanya
meminta kartu milik Handaru.

171
Handaru menyodorkan tiket hijaunya pada polisi berbadan tambun dan berambut tipis
itu. Dan menyaksikan—dengan segenap kecemasan—polisi itu mencermati tiket hijaunya.
Hampir-hampir dia mengumpulkan segenap kekuatan untuk menghentak kakinya dan berlari
sekuat tenaga, sebelum akhirnya polisi tambun itu mengembalikan kartu identitasnya.
Mengibaskan tangan ke belakang dengan cepat, meloloskan Handaru dari lubang jarum.

Nyaris seketika itu juga, Handaru merasakan kelegaan membuncah di dadanya. Dia
berhasil menghirup udara segar. Setelah memastikan diri lolos dari barikade pos penjagaan
tanpa dicurigai. Untaian kalimat syukur tak henti-hentinya meluncur dari bibirnya.

“Hei, kau yang memakai rompi biru tua! Tolong kembali kemari!”

Deg!

Baru beberapa langkah berjalan, Handaru merasa seperti menjadi narapidana yang
akan dieksekusi tembak mati. Dia berdiri kaku. Jantungya mendegup kencang. Dia
membersihkan tenggorokannya. Ingin rasanya dia memutar badan, tetapi seketika badannya
seperti kaku. Pandangannya hanya mampu tertuju pada Abu Bakar yang berdiri memutar
setengah badan, beberapa langkah di depannya.

Handaru seketika kehilangan hasrat untuk berkedip, bahkan bernapas. Dia berdiri
mematung seperti seorang model yang diharamkan membuat gerakan. Napasnya tercekat.
Kata-kata sulit menembus bibirnya yang terkunci ketika mendengar suara ketukan sol sepatu
lars mendekat dari balik punggungnya.

“Tuan,” muncul suara lelaki dari belakang.

Handaru menoleh dengan amat lambat dan gemetaran.

“Kami memanggil-manggil Anda dari tadi. Anda menjatuhkan ini.” Polisi itu
menyodorkan dompet kulit warna hitam. “Lain kali hati-hati Tuan. Pergantian shift penjagaan
di sini bisa jadi menyulitkan Anda mendapatkan kembali dompet ini. Terima kasih. Selamat
jalan.” Polisi itu pun berlalu tanpa sedikit pun merasa curiga pada Handaru.

Handaru benar-benar ingin bersujud syukur karenanya.

Abu Bakar melepas napas, mengusap keringat pada keningnya.

172
Mereka, Abu Bakar dan Handaru, lalu bergerak mendekati bus yang terparkir di sisi
kanan jalan, beberapa meter dari gerbang. Bus itu berwarna hijau kusam lengkap dengan
karat di banyak bagian. Sebelum menaiki bus itu melalui pintu belakang, terlebih dulu
mereka disambut dengan knalpot usang yang bergetar-getar saat mengeluarkan asap hitam
mengepul, bunyi mesin yang tak nyaring, serta sebagian kaca bus yang nyaris pecah, retak.
Mereka bergantian menaiki anak tangga bus.

Abu Bakar yang menaiki bus itu terlebih dulu duduk di kursi bagian depan bersama
ayahnya. Sementara, Handaru yang mengamati seisi bus—kursi-kursinya yang terbuat dari
plastik, kaca-kaca dengan retakan-retakan zig-zag di mana-mana—menghirup aroma
pembakaran mesin yang menyengat sehingga dia terbatuk-batuk.

Selang beberapa saat kemudian, barulah Handaru kembali berjalan. Mendekati salah
satu kursi di deret kedua dari balik punggung sopir bus. Tepat di depan Abu Bakar dan
ayahnya. Dia duduk, lalu menoleh ke belakang dan mendapati Abu Bakar menutup bibirnya
dengan jari telunjuk Dia berbicara dengan nada setengah berbisik, “Mungkin ayahku
kelelahan karena menunggu kita terlalu lama.”

Hari ini adalah hari yang panjang untuknya. Handaru merasa kondisinya memburuk.
Saat dia akan memejamkan mata, perhatiannya teralihkan ketika melihat beberapa pria dan
wanita paruh baya menaiki bus satu per satu dari pintu depan. Dengan sigap, tanpa
memedulikan kelelahan yang mendera tubuhnya, dia menegakkan lututnya dan menghampiri
mereka. Memberikan uluran tangan, sedikit membopong, dan mengantarkan mereka menuju
tempat duduk masing-masing. Abu Bakar juga turut serta membantu.

Setelah hampir setengah jam berlalu, bus nyaris penuh. Saat itu Handaru telah
digerogoti kelelahan yang makin dahsyat. Setelah mengamati para penumpang melalui kaca
spion, sopir bus kemudian menyalakan mesin, memasukkan persneling satu, lalu menginjak
pedal gas perlahan. Bus perlahan bergerak maju.

Kendati beberapa ketidaknyamanan seperti bunyi kaca bus yang berderak, suara deru
mesin bus yang memberondong telinga, dan lampu temaram yang menjadi bahan keluhan
segelintir orang, Handaru merasa telah mendapatkan banyak kemudahan. Dia menyadari
bahwa satu-satunya cara yang dapat dia lakukan saat ini adalah bersyukur.

173
Saat ini, dia menatap keluar jendela. Tampak puas hanya dengan memandangi
bangunan-bangunan berlalu, mobil yang melaju sambil membunyikan klakson panjangnya,
serta kegelapan malam yang sedikit tersibak oleh tiang lampu jalan yang menyala jingga.
Temaram membungkus kota.

Setelah beberapa waktu duduk berpisah, entah atas alasan apa, tiba-tiba Abu Bakar
duduk di sebelah Handaru.

Di sepanjang perjalanan, mereka mengobrol tentang kondisi wilayah perbatasan,


pihak Israel yang melanggar perjanjian gencatan senjata, dan efek pertempuran kedua belah
pihak—para Mujahidin dan Tentara Pendudukan Israel—pada anak-anak, wanita, hingga
lansia. Mereka, Handaru dan Abu Bakar, yang awalnya tak saling bertukar sapa, disatukan
oleh kesepahaman pola pikir. Mereka, yang awalnya tak saling mengenal, kian dekat oleh
kehangatan sebuah persahabatan. Mereka, yang mula-mula tidak membayangkan bahwa
mereka akan bisa sedekat ini, telah memutuskan untuk menjalin satu keterikatan.

Bus mulai memasuki wilayah Tepi Barat saat Abu Bakar menguap.

“Ternyata bukan aku saja yang harus memejamkan mata saat ini.” kata Handaru.

“Kurasa begitu.” Abu Bakar berdiri. Sedetik kemudian, dia menoleh. “Jika kau
membutuhkan apa-apa, jangan ragu untuk membangunkanku.”

Mengembangkan senyum tipis, Handaru mengiyakan.

Di saat yang hampir bersamaan dengan Abu Bakar yang akan merebahkan tubuh di
atas bangku, terdengar suara benda keras menerobos kaca. Dan, kemudian terdengar suara
ambruk. Handaru yang hendak menyandarkan kepala ke kaca, terkesiap. Dia cepat-cepat
menoleh dan mendapati Abu Bakar tergeletak dengan darah mengucur di kepalanya.
Sebongkah batu tergeletak di sampingnya.

Handaru melompat bangkit, memeriksa kondisi Abu Bakar. Namun, terlambat.


Pemuda itu tidak sadarkan diri. Seketika, Handaru menoleh pada Ayah Abu Bakar saat
mengetahui pria tua itu terbangun dari tidurnya. Maka, dengan sigap, dia mendekati ayah
Abu Bakar, merangkulnya, dan memintanya untuk membungkuk. Sementara pria tua itu terus
menghunjaminya dengan pertanyaan, Apa yang sedang terjadi? Ada apa dengan anakku?
Abu Bakar! Abu Bakar! Pria tua itu berulang-ulang kali meneriaki nama anaknya, cemas.
174
Ingin rasanya bagi Handaru berteriak kepada seluruh penumpang untuk tetap tenang.
Namun, dia urung melakukannya karena terlebih dahulu mendapati para penumpang beteriak
histeris, ketakutan. Sebagian besar penumpang kini mengalami pendarahan di bagian kepala.
Sebagian yang lain menundukkan kepala dalam-dalam. Menggigil ketakutan di kursi masing-
masing. Satu demi satu kaca-kaca terus pecah.

Lampu bus yang temaram menghalangi pandangan Handaru untuk menerka apa yang
sebenarnya terjadi, lalu, dia memandangi kaca bus selama beberapa saat, hingga akhirnya dia
melihat sekelompok orang melempari bus dengan bebatuan dari arah bukit. Satu demi satu
batu melayang, menghunjami badan bus. Gerak laju bus mulai meliuk-liuk.

Tepat saat Handaru berpindah untuk mendekati sopir bus, tiba-tiba batu seukuran
kepalan tangan orang dewasa menembus kaca dan mendarat tepat di kepalanya! Beberapa
detik setelah batu itu menghantamnya, pandangan matanya mulai kabur. Objek tak bergerak
di depannya bergoyang-goyang, membelah diri.

Sengatan nyeri bagaikan tusukan ribuan jarum menghunjam bagian kiri kepalanya.
Membuatnya mendesis sambil memegangi sisi kiri kepalanya. Kabut tebal mulai
memanipulasi pandangannya. Semua mulai menggelap. Dia terhuyung-huyung selama
beberapa saat dan akhirnya suara terakhir yang didengarnya hanyalah suara dirinya sendiri
jatuh, mendarat di permukaan lantai bus.

175
15

Tatapan Menggetarkan

Kau pergi ke mana, Han? Aku merindukanmu.

Aku tidak pergi ke mana-mana. Aku di sini, Fatimah.

Han, Handaru! Kau di mana? Fatimah menebarkan pandangan ke sekeliling.


Kemarilah. Aku ingin bertemu denganmu.

Aku di sebelah sini, Fatimah! Tidakkah kau dapat melihatku?

Kembalilah. Kembalilah padaku!

Seiring dengan semakin banyak kalimat yang terucap dari bibir Fatimah, semakin
memudar pula suaranya. Handaru melihat gadis itu menjauh. Menjadi titik dan menghilang.
Berulang kali dia mencoba menjulurkan tangan kanannnya untuk meraihnya, tapi dia tak
sanggup. Akhirnya, fatamorgana ini berangsur meredup.

Langit-langit memancarkan cahaya putih. Menerawang lembut menembus celah mata


Handaru yang membeliak. Pelan-pelan kabut yang menyelimuti kedua matanya berarak. Dari
kedua sudut matanya, dia mendapati dua sosok samar yang berbeda. Handaru coba
membujuk matanya untuk terbuka.

Selagi dia mencoba menyadarkan diri, samar-samar telinganya menangkap suara


perbincangan antara laki-laki dan perempuan. Di antara suara percakapan itu, terdengar suara
pintu terbuka dengan sedikit keras. Seseorang berkata, dalam bahasa Arab, Kami
membutuhkan salah seorang dari kalian. Pasien membutuhkan perawatan intensif, segera!

Hening sesaat.

Aruna, kau saja yang pergi.

Sesaat kemudian, terdengar suara hentakan kaki menjauh dan pintu yang berayun.

Kedua mata berhasil Handaru terbuka. Dari balik kelopak matanya, dia mendapati
sosok yang awalnya terlihat samar, pelan-pelan menjadi jelas. Sosok Wiganda yang
membungkuk dan menatapnya dengan penuh perhatian. Gurat kekhawatiran tergambar jelas
di wajahnya.
176
“Alhamdulillah. Kau sudah sadar,” Katanya menegakkan punggung dan mendesah
singkat. “Kau tidur cukup lama, Kawan.”

Di atas ranjang, Handaru yang terbaring lemah, mengerjap-ngerjapkan mata. Melirik


ke kanan dan ke kiri secara bergantian. Dia merasa tidak berenergi. Baginya, semua masih
berjalan lambat.

“Di … di mana ini?” Lirihnya, memicingkan mata.

“Kau sekarang ada di RSI. Di ruang rawat inap Karimun.”

“A … a, apa katamu?”

“Kau sudah aman. Ini RSI. Tenang sa ….” Handaru tiba-tiba dengan cepat
menegakkan punggungnya. Secepat keputusan itu dia buat, secepat itu pula dia mengerang
kesakitan memutus kalimat Wiganda. “Hei, apa yang kaulakukan, Han?!”

“Aku harus membantu pria tua ….” Handaru mencoba melerai kedua lengan Wiganda
dengan sigap mencengkeram punggungnya dan mendorongnya agar kembali berbaring. “Dan
… anak laki-lakinya ….!”

“Kondisimu belum pulih sepenuhnya, Han!” Sergah Wiganda, mengenggam kedua


lengan Handaru, menatapnya tajam. “Dengarkan aku … hei! Berhenti meronta-ronta!
Dengarkan aku!” Saat lambat laun Handaru akhirnya menyerah, Wiganda berkata, “Sudah …
sudah. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan, Kawan.”

Di depannya, Handaru terengah-engah. Dahinya berkerut. Sebelah matanya terpicing.


Dia cepat-cepat memegang sisi kiri kepalanya dan mendesis. Dalam sekejap dia sudah
mengerang kesakitan. Selanjutnya, rasa sakit itu memaksanya membungkuk dan membuat
kedua tangannya menggerapai liar, memukul-mukul ranjang.

Menyadari bahwa obat bius Handaru habis, Wiganda bergegas meninggalkan


ruangan. Kurang lebih lima menit kemudian barulah dia kembali bersama Aruna yang
membawa sebotol obat, jarum suntik, gunting, dan perban baru di atas sebuah nampan.

Tanpa harus menunggu korbannya mengerang lebih kencang lagi, dengan sigap
Wiganda mengambil gunting yang berada di atas nampan, memotong perban yang melilit
kepala Handaru dan dengan hati-hati melepaskan lilitan perban yang makin memerah.
177
Setelahnya, dia meraih perban baru dan mengatakan pada Handaru agar sedikit menahan rasa
sakit jika dirinya tak sengaja menyenggol lukanya—dan Handaru mengiyakan meski
wajahnya terlihat masam. Dalam sekali lilitan dan diakhiri dengan guntingan, kepala Handaru
telah beres dengan bebatan perban berikutnya.

Selanjutnya, Wiganda meminta Aruna, yang sedari tadi berdiri di sampingnya


memegang nampan, untuk memberikan jarum suntik padanya. Wiganda memperhatikan
Aruna memindahkan cairan dari botol kecil ke dalam jarum suntik, kemudian Wiganda
menyuntikkan obat bius ke lengan Handaru, dan memberikannya obat pereda nyeri. Seusai
proses penyuntikan, Aruna mengambil tiga butir obat dan menjatuhkannya di atas telapak
tangan Handaru, diikuti segelas air putih yang diminum Handaru dalam sekali teguk.

Wiganda bertanya, “Bagaimana sekarang?” Dia mengusap keringat di dahi.

“Saat kau tinggalkan tadi,” Dengan suara lirih, Handaru menjawab. “Waktu terasa
sangat lama. Dan, kau mungkin tidak bisa membayangkan bagaimana sakit menghunjamnya
luka ini. Oh … jangan sampai kau turut mengalaminya.”

Wiganda tersenyum, paham.

“Ya, Allah … kau tahu, rasanya seperti ada ribuan jarum secara bersamaan, menusuk
dengan teramat pelan dan terus menekan hingga bagian terdalam ….” Kendati kali ini lebih
tenang, Handaru masih meringis kesakitan. “Kenapa kau senyam-senyum saja?”

Wiganda, yang seperti tidak pernah melakukan apa-apa dan macam tak pernah terjadi
apa-apa menjawab. “Beruntung kami tidak kehilanganmu.”

Handaru melirik ke bawah, masih menahan rasa nyut-nyutan di kepalanya.

“Kondisimu ini masih lebih baik dari para penumpang bus lainnya.” Tukas Aruna.

Penumpang bus? Ah, iya! Gumam Handaru. “Di mana pria tua dan anaknya yang ….”

“Mereka sudah kami tangani dengan baik, Han.” Jawab Aruna lagi.

Suasana hening sejenak.

“Mereka ada di ruang instalasi gawat darurat, Teuku Cik Ditiro. Kau tidak perlu
mengkhawatirkan mereka. Luka mereka masih lebih ringan darimu. Insyaallah, mereka akan

178
segera sembuh.” Kali ini Wiganda yang menjawab. Dalam kondisi seperti ini, tentu bukan
pilihan bijak untuk mengatakan keadaan yang sebenarnya pada Handaru.

Tentunya Wiganda menyimpan cerita sesungguhnya. Mana mungkin pada kondisi


seperti ini dia lantas mengatakan bahwa pria tua itu mengalami pendarahan di bagian pelipis
dan darahnya mengalir ke mata sehingga membutakan matanya? Selain itu, Wiganda beserta
tim medis lainnya tidak bisa berbuat apa-apa ketika menyadari bahwa ada pecahan kaca
seukuran setengah jengkal juga menembus bagian belakang kepalanya.

Untuk kasus Abu Bakar, selain memang ada bekas benturan di kepalanya,
penanganan lambat padanya mengakibatkan pendarahan hebat. Bukan hanya pendalaman ke
luar, melainkan juga pendarahan di dalam. Nyawa keduanya pun tak terselamatkan, meski
mereka tetap mencoba berjuang sekuat tenaga untuk bertahan, tetapi Tuhan berkata lain.

Satu jam setelahnya, Handaru baru sadar dari pingsannya.

Masih hangat di benak Wiganda saat pria tua itu, yang terbaring di atas ranjang,
mengerahkan segenap kekuatan hanya untuk mengutarakan maksudnya. Dengan tangan
gemetaran, dia meminta Wiganda mendekatkan telinga padanya. Samar-samar—di antara
suara lirih dan parau—dia mengatakan, Tolong kau sampaikan pada kawanmu yang
kepalanya terluka karena lemparan batu bahwa aku berterima kasih padanya.

Wiganda sempat dibuat tegang menunggu kata-kata berikutnya menerobos


tenggorokan pria tua itu karena napasnya tersengal. Jangan katakan kondisi kami—dia dan
anaknya. Semoga ... semoga ... dia mendapatkan kebaikan dan ... keberkahan dalam sisa
kehidupannya ... Dia anak yang baik dan berhati tulus .... Dan itulah kalimat terakhir yang
mampu diutarakan oleh pria tua itu sebelum akhirnya dia menyerah.

“Bagaimana bisa aku tiba di sini?” Kata Handaru.

Wiganda bernapas lega karena Handaru tidak mendesaknya menjawab pertanyaannya.


Dia menoleh pada Aruna dan berbisik agar dia yang mengambil alih.

“Semalam ada bus yang berhenti di depan. Warnanya hijau kusam dan karatan.
Beberapa orang pria turun dan segera masuk kemari. Mereka berteriak-teriak meminta
pertolongan. Kami segera membantu mereka. Seingatku ada sekitar sepuluh atau dua belasan
orang lansia yang terluka. Rata-rata terluka di bagian kepala.”
179
Handaru menyimak Aruna dengan baik.

“Ada seseorang yang membantumu saat itu.” Katanya, melanjutkan. “Seorang pria
bertubuh tinggi besar, berjenggot tebal, menggendongmu dan membaringkanmu di atas
brankar. Kulihat kau dalam kondisi tidak sadar dengan sisi kiri kepalamu mengalami
pendarahan hebat. Wiganda dan beberapa tim medis langsung membawamu ke ruang operasi
Jawa 3 untuk segera mengatasi pendarahan itu. Dan, alhamdulillah, kau baik-baik saja, Han.”

“Belum pernah kulihat kau terluka separah ini, Han.” Sahut Wiganda, beberapa saat
setelah Aruna selesai bicara. Dia menggeleng sambil mendecakkan lidah.

Di balik tirai yang memisahkan ranjang Handaru dan ranjang pasien lain itu, terbaring
seorang pria paruh baya berbadan tambun yang juga penumpang bus hijau kusam. Suara
beberapa orang berbicara terdengar dari sana. Mereka membahas kronologis kejadian
penyerangan semalam. Jumlah korban, kondisi bus, keadaan sopir, para penumpang selamat.

“Ngomong-ngomong,” kata Aruna, kemudian. “Di mana Pak Prayata? Aku tidak
menjumpainya sejak kau turun dari bus.”

Wiganda mengangguk-angguk setuju.

Mendengar pertanyaan itu, Handaru menunduk. Selama beberapa saat, dia tidak
menanggapi. Dia menenggelamkan diri dalam pikirannya yang panjang. Haruskah dia
mengorek lagi luka itu? Mengingat-ingat rentetan kejadian tak terperikan itu lagi?

Di kedua sisi ranjang, Aruna dan Wiganda saling menatap.

“Kami tidak memaksamu untuk menceritakannya jika itu memberatkanmu.” Kata


Aruna dengan nada penuh empati.

Sesekali, rasa sakit nyut-nyut itu datang lagi. Membuat Handaru mendesis.

Setelah serangan itu mereda, dengan nada suaranya yang lirih dia berkata, “Pak
Prayata,” dia berhasil menarik perhatian Aruna dan Wiganda untuk mengambil bangku,
duduk, dan bersiap menyimak. “Ditangkap oleh sekelompok polisi Israel saat kami meliput
kerusuhan di komplek masjid Al-Aqsa. Sebelumnya kami telah sepakat untuk berbagi tugas.
Pak Prayata menyisir sisi barat komplek dan aku menyusuri sisi timurnya.” Selanjutnya,
Handaru menceritakan tragedi Al-Aqsa secara runtut dan detail hingga bagian akhir.
180
Mereka mendengarkan dengan penuh minat hingga mata Aruna berkaca-kaca.
Mendengar Handaru mengatakan bahwa Prayata mendapat perlakuan istimewa dari para
polisi khusus Israel berpakaian hitam-hitam itu, Aruna menutup mulutnya dengan telapak
tangan. Seakan-akan ingin menahan jeritannya. Dari sudut matanya, sebutir air muncul dan
saat dia berkedip, butir air itu jatuh, mengalir di pipinya.

“Situasi ini akan membaik, Han. Insyaallah.” kata Wiganda, menyakinkan. “Kau
adalah salah satu teman terkuat yang kumiliki. Dan aku, yang sudah mengenalmu sekian
tahun ini, yakin kau bisa melalui ini semua.”

Handaru mendesah singkat. “Aku tahu itu.”

Kedua sahabat itu bertukar senyum.

Aruna menyeka hidung dengan punggung tangan kanannya. Setelah berdiam diri
cukup lama, akhirnya dia angkat bicara. “Maafkan aku,” suaranya yang bercampur
sesenggukan menarik perhatian Handaru dan Wiganda. Keduanya kini sama-sama menatap
Aruna yang bahunya bergoncang. “Maaf karena telah memaksamu untuk menceritakan kisah
itu ....” Belum usai dia menyelesaikan kalimatnya, dia berhenti ketika mendapati Handaru
mengangkat setengah tangan kanannya dan tersenyum lemah.

“Lagi pula, jika aku tidak menceritakan ini sekarang, toh kalian semua nantinya akan
terus menanyakan keberadaan Pak Prayata juga.” Tukas Handaru, kini tertawa.

Aruna menghapus sembab di matanya. Menarik napas dalam, menguatkan diri.

Seorang perawat lokal melongok dari pintu dan mengingatkan Aruna pada salah satu
pekerjaannya. Dia kembali mengusap kedua matanya yang basah dengan tisu, mengusap
hidung, dan berkata, “Aku harus kembali memeriksa kondisi Fatimah. Permisi.”

Handaru mempersilakan. Wiganda mengangguk pelan.

Sebelum sampai di pintu, Aruna berhenti, menoleh pada Handaru. “Jangan lupa
minum obatmu, Han.” Dia tersenyum penuh arti. Setelahnya, dia meninggalkan ruangan dan
menghilang di balik pintu ayun ganda, menyisakan kedua sahabat itu untuk menikmati waktu
bersama di sela-sela kesibukan masing-masing.

“Jadi, sudah berapa lama aku di sini?”


181
Wiganda memandang arlojinya. “Kurang lebih enam jam.”

“Jam berapa sekarang?”

“Sudah jam sebelas lebih.”

Handaru menggumam-nggumam hingga akhirnya dia ingat sesuatu. “Masya Allah!


Aku lupa harus melakukan laporan pada hari ini dan ....”

“Hei, hei. Tenang. Sshh ... Sudah. Tidak apa-apa. Aku sudah menghubungi teman di
stasiun TV tempatmu bekerja.” Mendengar kabar itu, Handaru tak lantas memamerkan
ekspresi kelegaan. “Pimpinan redaksimu menyatakan keprihatinan. Beliau mengatakan telah
memesankanmu tiket pulang, berdua dengan Pak Prayata.”

“Mereka tidak mengetahui kondisi Pak Prayata?”

Wiganda menggeleng. “Di saat seperti ini, keterlambatan peliputan dan insiden yang
menimpamu ini sepertinya sudah cukup membuat Ficus Television kalang kabut. Ada
baiknya untuk tidak memberitahukan kondisi Pak Prayata hingga beberapa waktu ke depan.”

Handaru diam sejenak, berpikir. “Jam berapa tadi kau menelpon mereka?”

“Setelah salat Subuh.”

“Bagaimana kau tahu aku memiliki jadwal itu?”

Wiganda tersenyum. “Kau lupa? Waktu itu, Pak Prayata mengatakan hari ini adalah
jadwal untuk melakukan melaporkan reportase, tapi karena aku tidak memahami sama sekali
kapan dan di mana waktu pelaksanaannya, cepat-cepat aku menghubungi kolegamu di Jakarta
untuk memberitahukan insiden yang menimpamu ini.”

Handaru mendesah singkat. “Sepertinya aku membutuhkan bantuanmu, lagi.”

“Insyaallah. Katakan, apa yang bisa kulakukan untukmu.”

“Kuharap kau tidak bosan.”

“Nanti jika aku lelah menjagamu, aku akan bilang.”

“Menjaga? Enak saja.” Handaru terkekeh. “Kau yang biasanya ....”

182
“Sudah. Sudah. Ini waktumu istirahat. Cepat, katakan apa yang kauperlukan.”

Kemudian, Handaru menuturkan bahwa dia ingin Wiganda membantunya menjadi


juru kamera sementara. Menggantikan posisi yang ditinggalkan Prayata. Dia menambahkan,
bahwa bantuan ini sedikit berat bagi orang yang tidak terbiasa karena risiko yang
dipertaruhkan adalah nyawa.

Mengetahui hal ini, Wiganda justru tidak prihatin, malah tersenyum dan berkata,
“Bukankah pekerjaan kita di sini sebagai relawan memang berisiko tinggi? Semua sudah
ditakdirkan, Han. Dia menginginkan kita kembali, apa daya yang bisa kita perbuat? Aku akan
mendiskusikan ini dengan Direktur. Mudah-mudahan beliau mengizinkan.”

Handaru menggeleng, mendecakkan lidah. “Kau tahu, Nda? Hal yang paling kusuka
darimu adalah kau tidak menyikapi sebuah masalah sebagai masalah.”

Wiganda mengangkat kedua bahu dan mereka berdua tertawa.

Lambat laun Handaru mulai merasakan kedua matanya seperti terganjal kerikil-kerikil
kecil. Kedua kelopak matanya semakin berat dan makin berat. Sedetik berselang, dia
menguap seraya meregang dan melemaskan otot kepalanya.

“Istirahatlah. Nanti aku akan menunjukkan sesuatu padamu.” Wiganda kemudian


bangkit dari duduknya dan memutar badan menuju ke pintu ayun ganda.

Handaru mengacungkan ibu jarinya dan merebahkan kepalanya.

***

Pelan-pelan, Handaru mulai membuka kedua kelopak matanya. Masih terasa sedikit
berat. Namun, dia menyadari bahwa dirinya telah terlelap sekian jam sehingga dia
mengerahkan segenap kekuatan untuk bangun. Mula-mula dia menguap, melongok mencari
jam, dan kemudian mengusap kedua matanya.

Dari balik kelopak matanya, dia mendapati jam hampir menunjukkan pukul lima sore.
Bunyi deru mesin mobil dan klakson silih berganti memasuki telinganya. Dia melewatkan
sahur dan karena dia perlu untuk meminum obat, dia tidak berpuasa untuk hari kedua ini.

Di antara kebisingan jalanan diluar rumah sakit, dia mendengar suara langkah kaki
mendekat. Wiganda muncul dari balik ujung tirai. “Hei, sudah lebih baik?”
183
Hanya untuk menjawab pertanyaan Wiganda, Handaru bersusah payah mengangguk.
Salah-salah sengatan menyakitkan yang tadi sempat menyerang tak akan sudi beranjak.

Wiganda berjalan mendekati sisi ranjang, menarik kursi untuk dirinya sendiri, dan
duduk. Selama beberapa saat, dia tampak puas hanya dengan mengamati gerak-gerik
Handaru dan menunggu sahabatnya itu mengutarakan sesuatu. Dan dari raut wajah
Handaru—yang disertai dengan picingan mata, kerutan di dahi, helaan napas yang sedikit
tidak teratur—dia memahami betul apa yang kini sedang dipikirkannya.

“Seandainya waktu itu kami tidak berpisah,” kata Handaru kemudian. “Semua ini
tidak akan terjadi … tidak perlu ... tidak seharusnya ....” Dia kemudian kehilangan minat
untuk melanjutkan kalimatnya dan berharap dirinya tak membahas masalah ini lagi.

Wiganda diam. Menunggu penjelasan lebih lanjut, tetapi Handaru diam saja.

Dengan gerakan lambat dan cenderung hati-hati, Handaru menyibak selimut yang
menutup sebagian badannya, menurunkan kedua kakinya, diam sejenak di tepi ranjang seraya
memegangi kepalanya, sebelum akhirnya berjalan mendekati jendela. Dia menyandarkan
dahi di atas pergelangan tangan kanannya yang dia tempelkan ke dinding. Sepertinya dia
hanya puas dengan menerawang jauh ke luar. Seolah-olah mengharapkan sesuatu terjadi.

“Jangan terlalu keras pada dirimu sendiri. Ini bukan salahmu. Kau tidak bisa
menentukan siapa yang seharusnya berada di posisi Pak Prayata saat itu, bukan? Memang
beginilah risiko menjadi relawan di tanah konflik. Aku tahu bahwa kau telah memahami
risiko seperti ini sebelum memutuskan bergabung dalam misi peliputan ini.”

“Seharusnya aku bisa melakukan sesuatu .…” lirih Handaru.

“Penyesalan tidak akan mengubah keadaan, Han. Kau sudah sejauh ini. Ingat, sudah
berapa lama dan berapa puluh liputan yang kau dapat hingga detik ini? Kau tentu tidak ingin
menyianyiakan semua jerih payah ini, bukan? Dan aku yakin kau tidak ingin mengecewakan
Pak Prayata dengan memilih menyerah pada titik ini.”

Mendengar pernyataan itu, Handaru menunduk. Meresapi dan mencerna perkataan


sahabatnya itu dengan baik. Sudah sejauh ini, katanya dalam hati. Sudah sejauh ini. Di
tengah kelegaan yang mulai merebak di dalam dada Handaru, kelimbungan masih
menyertainya. Dia merasakan sebuah kehilangan besar dalam hidupnya. Seolah-olah dia
184
merasa separo jantungnya dicabut, dengan keras. Tak ada satu pun di dunia ini yang bisa
mengobatinya, menghilangkan rasa sakit di dadanya.

Untuk sejenak menepikan kekalutan pikirannya, dia memandangi gumpalan-


gumpalan awan yang berarak. Memperlihatkan bentangan luas berwarna biru yang mustahil
untuk diraih. Debu di jalanan menari-nari dalam pusaran saat angin berembus.

“Satu-satunya cara yang bisa kita lakukan saat ini,” kata Wiganda melanjutkan.
“Adalah mendoakannya. Semoga tidak terjadi hal-hal yang mengancam hidupnya. Kau
mampu melewati ini. Dan, aku tidak akan meninggalkanmu. Kau tahu itu.”

Handaru menoleh pada Wiganda dan mendapati sahabatnya itu menampilkan seulas
senyum. Senyum getir lebih tepatnya.

Sebelum memutuskan untuk memenuhi janjinya pada Handaru, yakni memberikan


kejutan untuknya, terlebih dulu Wiganda membiarkan sahabatnya itu untuk meresapi kata-
katanya. Dan saat dia benar-benar yakin bahwa sahabatnya telah berhasil mencerna nasihat
itu dengan baik, akhirnya dia memberikan isyarat agar Handaru mengikutinya. “Sekarang,
ikutlah denganku.” Katanya, mengayunkan tangan.

Setelah menghimpun kekuatan besar dan menghela napas, Handaru mengikuti


Wiganda meninggalkan ruangan.

Saat membuka pintu, Handaru menebarkan pandangan di koridor dan mendapati


wajah-wajah sarat kelelahan. Tatapan kosong, gumaman lirih dan tawa samar
menyambutnya. Dia berhenti sejenak untuk mengamati para pasien itu. Anak-anak, pemuda,
pria paruh baya dewasa, hingga para lansia. Mayoritas di antara mereka adalah perempuan.
Salah seorang dari mereka, yang menggunakan alat bantu jalan, menarik perhatiannya. Lelaki
itu kehilangan dua kakinya.

Setelah merasa puas mengamati sekitar, dia melangkah cepat menyusul Wiganda,
sementara samar-samar telinganya menangkap gumaman-gumaman tentang harapan berbalut
kepedihan, kecemasan bertabur keberanian yang dipaksakan, atau semangat terpendam untuk
menjemput syahid. Seiring langkahnya menjauhi koridor, keriuhan perlahan memudar.
Sesekali dia melihat Wiganda, yang berjalan beberapa jarak di depannya, mengangguk dan
tersenyum pada beberapa tim medis atau dokter lokal berpapasan dengannya.

185
Mereka menyusuri koridor demi koridor hingga akhirnya berhenti di depan pintu
kamar jenazah. Wiganda yang meraih gagang pintu, menoleh pada Handaru sambil
tersenyum, lalu berkata, “Ini akan menjadi berita yang menarik untukmu. Semangatlah!”

Handaru mengangguk mantap.

Wiganda mendorong pintu.

Mereka kemudian memasuki ruangan itu. Di hadapan mereka terhampar ruangan


pengap dan gelap. Berukuran kurang lebih 4x5 m2. Wiganda menyalakan lampu dan serta-
merta kegelapan yang menyelimuti ruangan itu tersibak. Ruangan masih kosong. Tidak ada
satu jenazah pun yang terbujur di atas beberapa empat buah brankar yang tertata rapi di kedua
baris ruangan. Handaru berjalan lambat memasuki ruangan sambil menebarkan pandangan.

“Saat itu drone Israel berkeliling di atas gedung ini.” Kata Wiganda, berjalan
menyalip Handaru yang berdiri di tengah ruangan. “Mereka membombardir kami habis-
habisan pada hari Kamis lalu. Tak ada yang bisa kami lakukan selain berdiam diri dan sambil
berdoa.” Wiganda berhenti beberapa langkah di depan Handaru, menoleh, dan mengayunkan
tangannya agar Handaru mendekat. “Inilah yang ingin kutunjukkan padamu.”

Handaru berjalan beberapa langkah mendekati Wiganda dan menggabungkan diri


sahabatnya yang kini berjongkok itu. Garis-garis zig-zag memanjang dan bercabang ke mana-
mana, serpihan dinding yang rontok berserakan di bawah kaki Wiganda, dan sebuah lubang
berdiameter cukup besar menganga di sana, cukup untuk membelalakkan mata Handaru dan
menyentak kepalanya. “Apa mereka menembakkan sesuatu ke sini?”

Wiganda menoleh dan mendongak, lalu mengangguk.

“Mengapa bisa seperti itu, bukankah ini hanya rumah sakit?”

Wiganda menegakkan lutut dan membersihkan tangannya. “Di sini dulu adalah
wilayah latihan Brigade Al-Qassam. Zionis itu mungkin mengira di sini masih menjadi basis
militer. Masjid saja mereka target untuk dihancurkan lantaran dianggap sebagai lokasi
pejuang menyembunyikan persenjataan.” Setelah diam beberapa saat, Wiganda melanjutkan,
“Karena serangan rudal dari jet-jet tempur Israel yang tidak hanya menuju kemari, melainkan
juga menyasar kota, listrik di sini sempat padam selama beberapa jam. Dari kabar yang

186
kudapat, mereka menembak pembangkit listrik di pusat kota. Itulah alasan mengapa aku tidak
bisa menghubungimu beberapa hari belakangan.”

“Bagaimana kondisi para pasien?”

“Alhamdulillah, semua baik-baik saja. Meskipun suasana sempat kacau karena listrik
mati selama berjam-jam, para tim medis berhasil menenangkan para pasien. Selain itu,
mereka juga mengusahakan genset yang sempat tak berfungsi agar kembali bekerja. Seperti
biasa, situasi kembali normal.” Handaru menyiapkan ruang khusus di kepalanya untuk
mencatat informasi penting ini. “Ngomong-ngomong, katanya kau ingin menemui Fatimah?”

Handaru langsung menoleh pada lawan bicaranya. Pipinya tiba-tiba terasa panas.
Kata-kata yang ingin diucapkannya tercekat di tenggorokan.

Wiganda tersenyum melihat ekspresi sahabatnya itu.

Tanpa ada obrolan lagi, mereka segera meninggalkan kamar jenazah. Bergerak ke
lantai dua menuju ruang rawat inap Batam. Mereka tiba di depan pintu berwarna merah. Di
sampingnya tertera sebuah plat persegi warna emas bertuliskan ruang rawat inap Batam.

Saat Wiganda akan mendorong pintu, serta-merta Handaru memintanya agar tidak
tergesa-gesa. Wiganda, yang berdiri tepat di depannya, menoleh dan memandanginya selama
beberapa saat. Dia kemudian menanyakan alasan mengapa dia harus menunda waktu untuk
mendorong pintu ruang rawat itu.

“Aku, aku hanya belum siap.” Handaru menundukkan kepala.

Wiganda tersenyum dan menggeleng.

“Tolong, jangan tertawakan aku untuk hal ini. Awas kau.”

“Hahaha! Kau tahu aku tidak akan melakukannya. Santai saja.” Wiganda menepuk-
nepuk punggung Handaru dengan lembut.

Dia tahu betul bahwa sahabatnya itu sedang mencoba melepas ketegangan yang
menjalari tubuhnya. Untuk alasan inilah, kemudian dia melangkah mundur beberapa langkah
dan mensejajari Handaru. Sengaja memberikan ruang untuk sahabatnya itu mengintip
Fatimah dari balik kaca pintu. Dia melihat Handaru berjalan mendekati pintu. Mengintip dari
balik kaca vertikal memanjang dan mendapati Aruna sedang membantu Fatimah berjalan.
187
Dari balik matanya, Handaru mengamati dengan penuh perhatian saat Aruna, yang
berdiri sambil memegang lengan kanan Fatimah di sampingnya, tampak begitu sabar ketika
Fatimah beberapa kali gagal berjalan dengan seimbang di atas garis tegel. Fatimah
mengenakan hijab warna hitam dengan bawahan berupa gaun rumah sakit khusus pasien.
Sayup-sayup, telinga Handaru menangkap pembicaraan mereka.

Pelan-pelan, Fatimah. Jangan terlalu cepat. Kau harus tenang!

Ini tidak terlalu cepat, Aruna. Aku sudah lebih baik. Aku hanya membutuhkan sedikit
paksaan. Aku ingin cepat bisa berjalan seperti biasa lagi!

Tolong jangan ucapkan kata itu lagi padaku. Aku tidak ingin kau harus kembali
merebahkan diri di atas brankar itu lagi. Kau hampir sembuh, tapi untuk kali ini, jangan
memaksakan diri seperti ini.

Tidak apa-apa. Aku sudah terbiasa untuk memaksakan diri.

Mendengar obrolan mereka, Handaru meringis dan menggeleng. Dasar, perempuan.


Mantra yang meliputinya seketika sirna saat mendengar Wiganda berkata padanya. “Hei,
Han! Kemari sebentar. Begini, aku baru ingat. Fatimah ingin membicarakan sesuatu
denganmu. Nah. Kebetulan sekali. Kau juga berniat mencari data tambahan darinya, bukan?”

“Tunggu dulu,” Handaru mengernyitkan dahi dan menoleh. “Memangnya harus


berdua?” Dia menekankan pada kata berdua.

Wiganda mengangkat bahu.

“Kapan dia ingin bicara denganku?”

“Besok sore Insyaallah. Mungkin, kau bisa mengajaknya berjalan-jalan. Kalau mau.”

Handaru menoleh pada Wiganda, mendengus. Menggeleng, kemudian dia kembali


memandang Fatimah. Mencoba mengamati perkembangan kesehatan gadis itu. Sedang asyik
memandanginya yang berjalan-jalan kecil di dalam ruangan seluas 12m2 itu, Handaru
hampir-hampir tidak menyadari bahwa gadis itu menengok tepat ke arahnya.

Dan … Ces!

Pandangan mereka berdua pun bertemu.

188
Oleh karena merasakan sekujur tubuhnya kaku seketika itu, Handaru segera
menunduk. Keringat dingin bergulir di pelipisnya. Ada sepatah dua kata yang hendak
meluncur dari bibirnya, tetapi tertahan. Entah karena apa. Dia justru mendapati dirinya dalam
keadaan terombang-ambing akibat satu perasaan yang dia sendiri tidak yakin, tetapi perasaan
itu memenuhi kepalanya. Perasaan apa ini? Katanya, membatin. Dan tatapan mata
kecoklatan itu … mengapa tatapan seperti itu, begitu menggetarkan?

Handaru tetap berdiri tertunduk selagi Wiganda mengamatinya seraya mengepalkan


tinjunya di depan mulut, bersusah payah menahan tawa melihat kekonyolan sahabatnya itu.

189
16

Pesan Ibu yang Dinanti

Di halaman depan RSI, di bawah terpaan matahari senja, Handaru duduk di kursi kayu
berwarna putih, menekuri buku catatannya bersampul cokelatnya. Membolak-balik halaman
demi halaman yang keseluruhannya berisi tulisan tangannya. Sesekali dia berhenti dan
membaca satu per satu catatan yang didapatnya dari hari pertama kedatangannya, hingga hari
terakhirnya meliput bersama Prayata, di Masjidil Aqsa.

Di atas taman berumput, yang disertai sepetak paving bermotif bintang segi delapan
raksasa, dia dan beberapa orang pemuda serta pria berkumpul. Menikmati suasana sore.
Bercengkerama di sela-sela waktu menanti kabar gembira terkait saudara-saudara mereka
yang dirawat di dalam RSI.

Handaru membuka halaman berikutnya.

Menyimak catatan saat dirinya dan Prayata merekam aksi konyol seorang tentara
Israel yang terjatuh saat gagal menendang ban berukuran besar yang menggelinding di
sebuah jalan melandai. Ada liputannya saat bersama konvoi bersenjata brigade Al-Qassam.
Ada pula catatan liputan catatan saat dia dan Prayata nyaris terbunuh—karena tertangkap
basah drone Israel yang kemudian membom gedung tak jauh dari posisi mereka. Kenangan-
kenangan itu menghadirkan senyuman.

Kendati nyaris separuh buku telah diisi dengan berbagai catatan, dia merasa tebalnya
buku catatan miliknya itu masih kurang lengkap. Agenda meliput brigade Al-Qassam belum
terselesaikan. Namun, mampukah dia menyelesaikan sisa misi peliputannya di Tanah para
Nabi ini tanpa hadirnya Prayata? Pertanyaan itu terus mengambil posisi di benaknya. Tidak
mengambil sebagian, tetapi memenuhi.

Suara yang tidak asing, lembut, memutus jalan pikirannya. Dan, Saat menoleh pada
sumber suara, betapa terkejutnya dia mendapati Fatimah telah berdiri di samping kirinya.
Seulas senyum manis mengembang di bibirnya yang kemerahan. Lagi-lagi, dia merasakan
pipinya memanas. Jantungnya berdegup kencang. Aduhai, betapa cantiknya gadis seusia itu.

190
Fatimah mengenakan khimar berwarna kuning cerah dan gaun hitam berlengan
panjang. Pakaiannya rapat dan longgar. Handaru dapat melihat wajah putih bersih dan mata
bercelak hitamnya.

Fatimah menatap lembut pada Handaru. Wajah memucat dan bibir mengering yang
kemarin-kemarin menghiasi wajahnya hampir selama seminggu lalu sudah hilang.

“Boleh aku duduk?”

Handaru mengiyakan dan bergeser. Menyediakan jarak dengan Fatimah.

Mula-mula, seperti yang telah dia duga sebelumnya, dia dan Fatimah hanyut dalam
keheningan. Seakan-akan keduanya memang mengharapkan ini. Setelah melalui beberapa
saat yang penuh kecanggungan, akhirnya pecah juga kesunyian itu.

“A, ada yang ingin kukatakan padamu,” kata Fatimah pelan.

Handaru begitu ragu untuk menatap Fatimah. Di luar, mungkin dia tampak biasa saja,
tetapi di dalam jantungnya berdegup tidak karuan. Kepalanya sedikit nyut-nyutan. Bukan
hanya karena luka di kepalanya yang masih belum sepenuhnya sembuh, melainkan juga
karena darah yang terpompa cepat ke sana. Selain itu, keringat mulai bermunculan di dahi
dan lehernya. Dengan was-was dan malu-malu, dia menanti-nanti kelanjutan kalimat yang
akan diutarakan Fatimah.

Hingga akhirnya justru Fatimah malah bertanya, “Apa yang terjadi dengan
kepalamu?”

Dengan mengerahkan segenap tenaga untuk bersikap tenang, Handaru menjawab.


“Oh, ini. Hadiah dari teman-teman saat aku melintasi pemukiman Yahudi di Tepi Barat.”

Hening sejenak.

“Kau baik-baik saja 'kan, Handaru? Eh ... maksudku, mereka tidak melukaimu lebih
dari itu, 'kan?”

Sesungguhnya, Handaru merasakan sebuah efek kejut yang serta-merta


menghantamnya ketika telinganya menangkap makna kepedulian dibalik kalimat terakhir
yang dia dengar. Entah karena dia secara naluriah mengatakannya atau lebih pada rasa
yang—mungkin—tersimpan di lubuk hatinya. Setidaknya, untuk sekadar mengurangi panas
191
yang menghangatkan kedua pipinya, Handaru memalingkan wajah dan melihat sekeliling.
Kalimat berikutnya yang muncul dari bibir Fatimah menarik perhatiannya kembali.

“Aku ... aku, aku ingin mengucapkan terima kasih,” kata Fatimah, lirih. Nyaris seperti
berbicara pada dirinya sendiri. “Karena telah menolongku waktu itu ….”

Kali ini, Handaru mendapat suntikan keberanian, tapi hanya sebatas menatap wajah
samping Fatimah. Untuk itulah dia hanya mengangguk.

Di kejauhan, debu beterbangan dan berputar-putar di halaman utama RSI. Udara


untungnya lebih sejuk. Walaupun gerah tetap memberikan ketidaknyamanan tersendiri.
Pepohonan palem yang tumbuh di sekitar halaman RSI, bergoyang-goyang mengikuti arah
angin yang menghempasnya.

Handaru menunduk, menelan ludah—dan tersenyum. Merasa suasana mulai mencair,


dan dia telah menangkap ajakan Fatimah untuk mengikuti alur pembicaraannya, dia
memberanikan diri menanggapi. “Sa ... sama-sama ....” Jeda beberapa saat. “Oh, ya.
Bagaimana kakimu?” Seketika Handaru ingin menampar dirinya sendiri saat menyadari
bahwa justru kalimat itu yang meluncur dari bibirnya. Setidaknya, dia bisa menanyakan hal
lain untuk basa-basi dulu, tapi dia bersyukur karena Fatimah justru menanggapi
pertanyaannya dengan ramah.

“Sudah lebih baik.” Jawab Fatimah. “Beberapa hari lagi aku sudah boleh pulang.”

Tidak banyak pilihan yang dimiliki Handaru selain mengangguk-angguk.

“Apa yang ada di tanganmu itu?” Fatimah menelengkan kepala. Mengamati buku
catatan Handaru yang berwarna kecokelatan.

“Oh. Ini buku catatanku.” Handaru mengangkat bukunya dan mengamatinya.

“Untuk apa?”

“Semua hasil reportase kutulis di sini. Meletakkan buku ini di dalam ranselku adalah
hal sulit. Oleh karena itu, hampir setiap waktu aku memegangnya. Terkadang ide-ide muncul
begitu saja dan ingin cepat-cepat kutulis.” Sebetulnya Handaru terkejut mendapati dirinya
mampu berbicara selancar ini setelah beberapa waktu. Namun, dia melanjutkan saja.
“Seringnya, aku menulis apa yang dijelaskan oleh juru kameraku, Prayata.”
192
“Oh, iya! Di mana temanmu itu? Bukannya kalian selalu berdua ke mana-mana?”

Mendengar kalimat awal Fatimah sesungguhnya membuat Handaru harus mencungkil


kenangan lama. Namun, dalam kondisi seperti ini, pembahasan-pembahasan seperti ini juga
perlu. Oleh karenanya, dengan nada setengah menjelaskan dia berkata—meski dengan nada
berat. “Pasukan khusus kepolisian Israel menangkapnya saat kami meliput bentrokan di Al-
Aqsa.”

“Maafkan aku ... aku turut berduka cita.” Fatimah menunduk.

Handaru mengibaskan tangan, bukan masalah. Dia kemudian mengalihkan topik


pembahasan. “Bagaimana menurutmu, Rumah Sakit Indonesia ini?”

“Di rumah sakit ini,” kata Fatimah, nada bicaranya berubah melemah. “Aku
menemukan kehangatan dan hal-hal yang tidak pernah kutemukan sebelumnya.”

Handaru mengerutkan dahi, melirik Fatimah menekuri jari-jemarinya.

“Pertama kali aku tiba, di Rumah Sakit Indonesia ini, aku benar-benar mendapat
perlakuan yang sangat sukar dilupakan. Orang-orang di sini begitu ramah dan bersahabat.
Terutama Aruna. Dia gadis yang baik, hatinya tulus. Nada bicaranya pun lembut. Sudah lama
sekali aku tidak merasakan suasana seperti itu.”

“Memangnya kenapa?”

Selanjutnya, Fatimah menyampaikan tentang keluarganya. Salah satu persoalan


terbesar di sana adalah sulitnya melebur kepribadian kedua orang tuanya menjadi satu. Saling
melengkapi, menyempurnakan. Kendati begitu, foto-foto yang terpajang di rumah justru
berkata lain, menjadi anomali.

“Ayahku biasa menjejali telingaku dengan dongeng perjuangan perebutan wilayah


dan upaya mempertahankannya. Dia mengatakan bahwa hal ini adalah salah satu tradisi di
keluarganya dan dia mengaku mendapatkan keahlian ini dari ayahnya. Kakekku adalah
Tentara Pembebasan Arab saat Perang Arab-Israel pecah di tahun 1948.”

Handaru menyimak dengan baik.

“Begitulah informasi yang kudapat dari ibu. Anehnya, ayah seolah-olah


membelokkan makna dari kisah perjuangan kakek. Untuk alasan inilah aku ingin sekali
193
menanyakan mengapa dia melakukannya, tetapi aku menahannya. Menunggu saat yang tepat.
Entah sampai kapan.”

“Kau terbiasa dengan hal itu? Maksudku, dengan cerita yang diutarakan ayahmu.”

“Tidak pada awalnya. Namun, setelah kupertimbangkan, informasi seperti itu


menarik. Jadi, aku selalu berpura-pura menyimaknya. Bukan perkara mudah karena aku harus
terlebih dulu bersusah payah menghimpun minat dan kesabaran karena yang justru kunanti-
nantikan adalah momentum berikutnya. Saat ibuku mendekati sisi ranjang, mengecup
keningku, lalu menceritakan kisah-kisah yang jauh lebih menggembirakan. Ibu selalu datang
lima belas menit setelah berdiskusi dengan ayah dan menceritakan tentang kisah Nabi
Muhammad saw., keluarganya, atau para sahabatnya pada setiap malam.”

Diam-diam, Handaru mengagumi Fatimah. Bukan semata karena parasnya yang


memesona, melainkan lebih pada keteguhannya dalam menjaga prinsip yang dimilikinya. Dia
mampu menyaring hal yang dibencinya dengan baik sebelum menjadikannya media untuk
memperkaya diri.

“Itu baru sebagian kecil bumbu yang menjadi drama panjang.” Lirih Fatimah.
“Puncaknya adalah kepergian ibuku. Seperti yang kukatakan padamu saat kau
memawancaraiku saat itu. Mungkin alasan dari keputusannya ini adalah untuk memberikan
efek jera pada ayah.”

Suara decit rem mobil sebuah ambulans, yang baru saja berhenti tepat di pintu utama
RSI, menyela pembicaraan mereka beserta dan orang lainnya. Semua mata tertuju pada kedua
pintu depan ambulan yang terbuka. Ada yang berdiri, menoleh, atau bergumam. Dua orang
pemuda turun dan bergegas membuka pintu belakang, menurunkan brankar yang di atasnya
terbaring seorang bocah perempuan—yang menangis histeris dan mengerang sekuat tenaga.

Kedua pemuda itu berbagi tugas. Seorang berlari ke depan dan menarik brankar,
sementara seorang lainnya mendorong dari belakang. Keduanya memasuki pintu utama dan
menghilang dibaliknya. Setelah itu, semua kembali seperti semula. Obrolan pun berlanjut.

“Aku tidak ingin terjebak dalam situasi seperti ini.” Kata Fatimah, kemudian.

194
Handaru menunggu penjelasan lebih lanjut, tapi Fatimah diam saja. Dia pun mencoba
menghiburnya dengan berkata, “Manusia selalu memiliki pilihan, Fatimah. Tinggal pilihan
apa yang kita pilih dan bagaimana cara menyikapinya saat kita telah memutuskannya.”

“Sayangnya, semua tidak sesederhana itu, Handaru. Kau berkata seolah-olah mengerti
apa yang selama ini kurasakan. Padahal, kenyataannya, kita baru saling bicara.”

Handaru terkejut. Pembicaraan kali ini lebih mendalam. Untuk lebih berkonsentrasi
pada omongan Fatimah, Handaru meletakkan buku catatannya di samping kirinya. Meski
kata-kata yang baru didengarnya itu bagaikan sebilah pedang yang menusuk dadanya hingga
menembus ke tulang punggung, dia menghela napas panjang.

Di sampingnya, kedua mata Fatimah melelehkan sebutir air mata. Bergulir di kedua
pipinya secara bergantian. Perlahan mengarahkan punggung tangan kanannya ke hidung.

“Ini bukan soal mengerti atau tidak. Maafkan aku soal ini. Kurasa kau hanya belum
mengenali siapa dirimu sebenarnya. Mungkin semua ini adalah efek samping negatif yang
dari ketegangan antara ayah dan ibumu. Maaf jika aku terkesan mengguruimu. Pengalaman
yang memberiku keleluasaan berkata seperti ini.”

Masih terisak, Fatimah menurunkan tangannya.

“Mungkin, cara terbaik yang bisa dilakukan adalah berdoa. Memohon pada-Nya. Dia
menunggu tangismu untuk Dia hapus. Dia menunggu doa-doamu untuk Dia kabulkan. Dia
menunggu keluh kesahmu untuk Dia gantikan dengan kebahagiaan. Jika kau sudah
mendambakannya—dan dengan ikhlas melakukannya, Dia akan menunjukkan apa yang
masih menjadi misteri bagimu. Tentu kau tahu bahwa rahmat Allah sangatlah luas dan jangan
kau berputus asa terhadapnya. Maafkan aku bila aku terlampau lancang untuk mengatakan
hal seperti ini padamu.”

Handaru menanti-nanti Fatimah untuk menanggapi. Hingga beberapa waktu, dia tak
kunjung mendapat jawaban karena Fatimah masih larut dalam kepiluannya. Kedua bahunya
naik turun. Sesekali dia menangkupkan kedua tangannya di depan mulutnya. Seolah-olah
ingin menahan jeritan kepedihan yang terkungkung dalam dadanya.

“Kau tahu, kehilangan seorang sahabat atau rekan di medan pertempuran seperti ini
adalah hal yang menyakitkan. Aku sadar, hal seperti ini sejatinya adalah sumber kekuatan
195
terbesar dalam diri manusia. Karena apa? Karena manusia memiliki pilihan besar yang akan
memengaruhi jalan kehidupannya di masa mendatang.”

Fatimah mulai tertarik dengan penjelasan ini.

“Ada dua pilihan yang dapat kita ambil saat kita harus menghadapi situasi sulit.
Dalam hal ini tentang kehilangan seseorang yang kita cintai. Aku mengerti betapa perih dan
terluka kau saat menyadari bahwa telah kehilangan seorang ibu. Seseorang yang kauharapkan
selalu berada di sisimu saat kaurapuh. Sosok pertama yang akan mengulurkan tangan padamu
saat kau terjatuh. Orang pertama yang akan membelaimu, membisikkan kalimat penyejuk,
dan membelamu di saat kau tersudut.”

Fatimah menyeka hidung, menatap wajah samping.

“Aku telah mengambil pelajaran ini semenjak insiden Al-Aqsa itu. Awalnya, aku
selalu merasa cemas, takut, dan khawatir berlebihan atas hilangnya Prayata, tetapi setelah itu
aku berani menentukan pilihan bahwa aku akan berjuang seorang diri tanpanya. Kini aku
telah berpikir bahwa ketiadaannya justru menguntungkanku. Dari sini aku belajar bahwa
Tuhan tidak selalu memberi apa yang kita inginkan, melainkan apa yang kita butuhkan.”

“Itu artinya kau juga merasakan sedikit kebahagiaan atas kehilangan itu?”

“Kata yang tepat adalah bersyukur. Aku selalu mencoba berprasangka baik pada-Nya.
Percayalah padaku. Insyaallah tidak ada kesia-siaan sedikit pun atas hadiah—baik itu sesuai
dengan harapan kita atau tidak—yang diberikan-Nya.”

Handaru diam sejenak. Dia merasakan rasa kepalanya kembali berdenyut. Rasa sakit
itu, yang awalnya jauh, perlahan-lahan kembali. Mendekat. Dan, makin dekat. Demi
menghindari masalah, Handaru cepat-cepat merogoh saku, mengambil sebotol kecil obat, dan
segera meminum obat yang diberikan Aruna itu padanya.

Fatimah menatap dengan penuh empati. “Apa yang barusan kauminum?”

Handaru mengatur napasnya. “Obat pereda nyeri.”

“Kau baik-baik saja?”

Handaru mengiyakan.

196
Selanjutnya, Handaru menelan ludah. Memejamkan mata.

Lengang sejenak.

“Mungkin dengan cara inilah, Dia hendak mengajariku bagaimana caranya


bersyukur.” Kata Fatimah, menanggapi apa yang telah diutarakan Handaru tadi.

Di sampingnya, Handaru mengangguk dengan kelegaan yang membuncah di dada.


Rasanya seperti telah berhasil membongkar dinding kokoh pada diri Fatimah.

Tak terasa, langit kian menjadi kelabu. Menghadirkan suasana senyap. Orang-orang
yang tadinya berkumpul dan bercengkerama, satu per satu mulai meninggalkan taman.
Beberapa orang lainnya menuju tempat parkir mobil di sebelah utara. Sementara sebagian
lain menuju pintu masuk utama RSI.

Handaru melirik arlojinya. “Sudah hampir malam.”

“Terima kasih atas nasihat dan waktu yang kauberikan, Handaru.”

Kali ini Handaru bahagia ketika melihat seulas senyum merekah di wajah Fatimah
yang masih basah oleh air mata. Pada raut pilu wajah gadis itu, Handaru masih mendapati
kecantikan menghiasi wajahnya dan membalas senyuman Fatimah, lalu dia berdiri
menyelipkan kedua tangan ke dalam saku jinsnya dan mengucap salam yang seketika dibalas
oleh Fatimah. Setelahnya, dia berjalan menuju Wisma Rakyat Indonesia [25].

Selagi Fatimah menatap kepergian Handaru, tanpa dia sadari tangan kanannya
menyentuh buku catatan Handaru. Cepat-cepat dia meraih buku catatan itu dan melompat
bangkit. Meski sempat tersandung, dia tetap berjalan demi menyusul Handaru. Namun, saat
ingin meneriakkan nama Handaru, dia membatalkannya. Pemuda itu sudah luput dari
pandangannya.

Akhirnya, dia berlama-lama menatap buku catatan itu, kemudian memejamkan mata
dan mendekapnya. Aku akan menerima segala risiko dari setiap pilihan yang kuambil. Baik
itu membahagiakan atau bahkan menyakitkan, katanya, membatin.

[25]
Wisma yang memiliki dua lantai. Berfungsi sebagai kantor MER-C dan digunakan untuk tempat menginap para relawan
Indonesia selama bertugas di Jalur Gaza.

197
Angin berembus membelainya, mengibarkan khimar-nya. Dia menatap jauh ke
kegelapan yang makin merambat, menelan cahaya jingga. Fatimah memejamkan mata,
mendongak. “Kuharap seseorang yang dimaksud ibu itu adalah kau, Handaru.”

Dia tidak menyadari bahwa telah menangis tanpa suara. Air mata kembali bergulir di
pipinya. Hanyut dalam kegundahannya sendiri. Dalam sepi yang panjang. “Seseorang yang
akan membimbingku keluar dari kekelaman ini.”

198
17

Ninja Tanah Mujahidin

Hari ini adalah minggu ketigaku di sini, kata Handaru. Masih ada seminggu lagi sebelum
hari raya idulfitri. Duduk di belakang meja di ruang pertemuan Wisma Rakyat Indonesia dan
menatap laptop seorang diri. Mengamati video yang menayangkan adegan para mujahidin
junior Al-Qassam berlatih, hasil liputannya bersama Wiganda tiga hari lalu.

Setelah video pertama—dari total lima video peliputan yang ada—selesai, dia melirik
arloji yang melingkar di pergelangan tangan kanannya. Pukul 23.45 waktu setempat. Secara
otomatis, video berganti menayangkan dua bocah berlari sambil merunduk mendekati dua
buah tumpukan karung goni berisi pasir. Berhenti di baliknya, mereka menodongkan
senapan. Berlatih membidik sasaran. Selanjutnya, mereka sudah merangkak dan bergerak
cepat di bawah jalinan kawat setinggi lima puluh sentimeter yang disanggah kayu pada
keempat sisinya.

Terik matahari yang seolah ingin menyedot habis cairan tubuh, gumpalan asap hitam
yang berarak saat tertiup angin, serta hamparan gurun gersang yang menjadi arena latihan
merupakan saksi bisu perjalanan mereka dalam mempersiapkan diri menjadi calon syuhada.
Latihan demi latihan menjadi menu sehari-hari mereka, layaknya sekolah.

Beberapa saat setelah latihan berakhir, pada video berikutnya, tampak Handaru
sedang mewawancarai salah seorang dari para mujahidin cilik itu. Dengan berjongkok dia
mengarahkan mikrofon ke arah bibir Mohammed. Bocah dua belas tahun asal Beit Lahiya.

Bagaimana perasaanmu saat ini? Tanya Handaru, memulai wawancara.

Senang sekali.

Tadi aku melihatmu seperti berlatih layaknya militer. Apa yang kamu lakukan?

Latihan berperang.

Oh, ya? Mengapa kamu latihan perang? Bukannya anak seusiamu biasanya bermain-
main, seperti sepak bola mungkin?

Ada waktunya sendiri untuk itu. Kalau sekarang, Aku ingin menjadi seperti ayahku.

199
Hmm … begitu, ya. Memangnya, apa pekerjaan ayahmu?

Ayahku adalah pahlawan.

Pahlawan, ya. Apakah beliau seorang mujahidin?

Mohammed mengangguk tegas. Sesekali dia menoleh ke arah rekan-rekannya yang


sesekali menjahili—dengan menarik telinganya, menndesak-ndesaknya ke samping,
meneriakinya, atau mengerubunginya.

Itu artinya kamu tidak takut dengan para tentara Israel?

Mohammed menggeleng berulang-ulang.

Handaru meringis. Baiklah. Aku akui kamu seorang pemberani. Jika sekarang kamu
berlatih militer, bagaimana dengan sekolahmu?

Eh ... Mohammed menangkis lengan temannya yang akan mengenai wajahnya.


Sekolah berjalan seperti biasa. Kami datang pagi hingga siang dan sorenya baru berlatih.
Hari ini sekolah libur, kami diminta datang untuk latihan.

Wow. Padat sekali sepertinya jadwalmu. Baiklah. Sekarang aku ingin tanya, apa cita-
citamu jika dewasa kelak?

Aku ingin menjadi syuhada! Tukas Mohammed tegas. Teman-temannya juga


meneriakkan hal yang sama. Sama seperti ayahku. Kemudian Mohammed memamerkan
senapan AK-47 miliknya. Terlihat sangat berat ketika bocah itu mengangkatnya. Aku akan
menghabisi para tentara penjajah jahanam itu!

Handaru menoleh pada Wiganda yang berdiri di sampingnya merekam wawancara itu
dengan handycam. Mereka saling bertukar tatapan, kagum.

Setelahnya, Handaru mengucap terima kasih, mengusap kepala Mohammed, memutar


badan menghadap kamera dan berkata, “Meskipun beban berat telah diberikan kepada
mereka, tidak tampak sedikit pun keinginan untuk pulang. Mereka justru bersungguh-
sungguh dalam latihan ini. Bisa Anda lihat di belakang saya, mereka berlari, memanjat
dinding kayu, bergelantungan dan bergerak lincah pada tangga itu.”

Kamera menyorot sekeliling camp pelatihan itu.

200
“Luar biasa, Masya Allah. Sudah selayaknya mencontoh semangat anak-anak ini.
Reporter Handaru Lawana dan juru kamera Wiganda melaporkan dari kamp pelatihan
brigade Al-Qassam di Gaza, Palestina.”

Hasil rekaman itu menghadirkan seulas senyum di bibir Handaru. Dia merasakan
sebuah kebanggaan membuncah di balik tulang rusuknya. Diam-diam, dia mengagumi sosok
Mohammed dan kelak, jika mendapat kesempatan serupa, dia ingin menjadi seperti bocah itu.

Dia menghela napas dan bersandar di kursi. Menyilangkan tangan di depan dada
sambil mendongak dengan mata terpejam. Matanya terbuka sebelah saat mendengar suara
langkah kaki Wiganda berjalan mendekatinya dengan membawa dua cangkir kopi.

Wiganda menyodorkan secangkir kopi. “Bagaimana hasil liputan kita?”

“Bagus.” Handaru meraih kopinya. “Tetapi kita masih perlu menambah informasi
terkait Brigade Al-Qassam.” Handaru meraih cangikrnya dan meletakkannya di samping
kanan laptop.

Wiganda menyeruput kopinya. “Coba kulihat bekas luka di kepalamu,”

Handaru membiarkan rekannya itu memeriksa.

“Sudah cukup kering. Kapan kau melepas perban terakhir?”

“Kemarin sore.”

Menyeruput kembali kopinya, Wiganda berkata, “Jangan sampai kaurepotkan aku lagi
dengan hal-hal seperti ini lagi, Han.”

Handaru tertawa mendengar ancaman itu.

“Terkadang aku merasa tertawamu itu cukup untuk mengejekku.”

“Kau seperti baru mengenalku saja.”

Menarik kursi di sampingnya, Wiganda tersenyum kecut, mendorong kepala Handaru.

“Hei, jangan salahkan aku jika kau kerepotan lagi mengurusi kepalaku ini.”

“Mengenai lukamu saja tidak, enak saja!”

201
Mereka kembali tertawa bersama-sama.

Wiganda lalu duduk dan ikut mengamati video yang kini menayangkan keriuhan yang
terjadi di salah satu sudut rumah sakit di Kota Gaza, Asy-Syifa.

“Ini liputan tentang mujahidin yang terluka itu?”

“Yap.” Handaru mengiyakan.

Wiganda mengamati video yang menampilkan Handaru berlari menyusuri selasar


rumah sakit, membuntuti tiga orang tim medis lokal Gaza yang mendorong brankar. Dirinya
yang membawa handycam, pontang-panting membuntuti Handaru.

Berulang-ulang kali, gambar video berguncang-guncang. Kadang menghadap ke arah


langit-langit, kadang menghadap ke lantai. Walaupun tidak terlalu menggangu fokus orang
yang melihat, bagi Wiganda ini merupakan sebuah kecacatan. Maka dia pun berdalih, “Itu
kan liputan pertama. Maklum, aku gupuh.”

Adegan berikutnya adalah ketiga tim medis lokal yang mendorong brankar berbelok
di salah satu sudut selasar, memasuki ruang operasi. Dan, tepat saat Handaru hendak
mengikuti ketiga tim medis itu masuk, serta-merta seorang dokter berjas putih panjang dan
masker menghadang.

Pria berbadan tinggi besar itu menjelaskan bahwa selain dokter dan tim medis
dilarang masuk. Wajar saja karena proses operasi akan dimulai. Tidak alasan lain bagi
Handaru dan Wiganda selain menunggu proses operasi selesai.

Udara rumah sakit yang terlebih dulu dikuasai semerbak aroma darah segar, kian sarat
ketegangan akibat erangan kesakitan, argumentasi penuh emosi, keresahan, serta derap sol
sepatu para tim medis di atas lantai marmer. Matahari menjadi saksi bisu mimpi buruk yang
menyeruak dan meliputi ruangan demi ruangan di sana.

Berdiri di belakangnya, Wiganda menurunkan handycam dan mengatakan pada


Handaru bahwa mereka tetap akan mendapat berita tentang mujahidin yang terluka itu.
Beberapa jam kemudian, dokter yang menghadang Handaru tadi mengatakan bahwa
mujahidin yang terluka itu adalah orang terakhir yang berhasil selamat dari agresi pasukan
IDF baru-baru ini. Bagi Handaru, berita semacam ini adalah sebuah santapan wajib.

202
“Aku ingat,” Kata Wiganda sambil menyesap kopinya. “Salah satu dokter yang
merawat mujahidin itu berkata bahwa si Mujahidin yang terbaring di atas brankar itu
beruntung. Dia selamat karena peluru yang menembus seragam militernya tertahan di mushaf
di saku depannya.”

“Aku tidak mengingat bagian itu ....” Handaru menoleh pada Wiganda.

Wiganda membalas tatapan itu dengan mengerutkan dahinya.

“Sungguh! Aku benar-benar tidak ingat tentang itu.”

Wiganda menghela napas. “Seandainya dia tidak membawa mushaf saat itu, bisa jadi
alur ceritanya akan lain.”

“Karamah. Sama dengan yang menimpa teman dekat Pak Prayata.”

“Bagaimana itu?”

“Ikat kepala yang digunakannya menguarkan bebauan wangi setelah dia syahid.”

Setelahnya, mereka berdua diam dan memfokuskan pandangan pada layar laptop yang
kini menayangkan liputan tentang pembagian bantuan sembako kepada warga lokal. Kegiatan
sosial itu baru selesai dilaksanakan oleh Handaru dan Wiganda kemarin sore bersama
beberapa relawan MER-C. Sembako yang mereka bagikan adalah hadiah dari sebagian rakyat
Indonesia yang masih memiliki kepedulian tinggi terhadap tanah mujahidin itu.

Handaru meraih kopi di samping laptop, mendekatkannya ke bibir, dan menyesap


kopinya, kemudian menahannya sesaat di tangan, lalu meneguk kopi yang telah dingin itu
hingga habis. “Ngomong-ngomong,” katanya. “Kau melihat buku catatanku tidak?”

Di sampingnya, Wiganda menggeleng.

Handaru mendecakkan lidah. “Buku yang biasa kugunakan untuk mencatat hasil
liputan dan reportaseku yang biasa kubawa. Seukuran A5 dan sampulnya warna cokelat.”

Wiganda mengurungkan niatnya mendekatkan tepian cangkir ke bibir saat dirinya


baru memahami maksud Handaru. “Lah, itu di samping laptopmu apa?” Wiganda menunjuk
buku catatan Handaru yang bertuliskan Let’s Liberate Palestine! Buku catatan yang baru-

203
baru ini diisinya dengan hasil renungan, analisis, dan kesimpulan hasil perjalanannya selama
hampir sebulan ini. Niatnya, sepulang dari sini nanti dia ingin menerbitkannya.

“Bukan ini. Satunya.” Handaru meletakkan cangkir kosong ke meja.

“Aku tidak melihatnya.”

Handaru menepuk keningnya dan menghempaskan diri ke sandaran kursi.

“Kapan terakhir kau melihatnya?”

“Waktu itu ... seingatku,” Handaru menjeda kalimatnya. “Saat mengobrol denga ....”
Handaru tidak memiliki kesempatan untuk menyelesaikan kalimatnya karena di saat yang
bersamaan suara gemuruh merusak suasana. Suara jet tempur melesat. Dua kali. Sayup-sayup
diluar terdengar suara orang-orang meneriakkan kalimat takbir, yang didominasi suara
perempuan. “Kau mendengarnya?” Handaru memotong kata-katanya sendiri.

“Tidak salah lagi. Ayo!” Wiganda buru-buru meletakkan cangkirnya.

Mereka segera melompat bangkit dan bergegas menuju halaman depan.

Setibanya di luar, belasan orang berdiri dan menatap ke arah Perbatasan Erez, sebelah
utara RSI. Taktala kelap-kelip cahaya jingga menyala di beberapa tempat di kejauhan,
mereka mendecakkan lidah, menggeleng, dan menggumamkan tasbih. Asap kelabu
membumbung dan berarak. Menampakkan sepotong kepedihan tak terperikan yang
menyeruak. Menyayat dalam keputusasaan kronis.

Isak tangis seorang perempuan paruh baya seketika memantik perhatian Handaru dan
Wiganda. Perempuan berhijab abu-abu yang mengenakan jubah hitam panjang itu berulang
kali membungkuk, menutup mulut dengan telapak tangan, sebelum akhirnya jatuh terduduk.

Di sampingnya, pria paruh baya kurus bersusah payah menenangkannya. Dia tidak
pernah melepaskan genggamannya pada lengan kanan si wanita paruh baya, bahkan hingga
sampai dia jatuh terduduk. Handaru menatap iba pada perempuan tua yang kini menjulurkan
tangannya ke arah gemerlap warna jingga menyala itu.

Dia, perempuan tua itu, seolah-olah berkata pada orang-orang di sekelilingnya bahwa
dia ingin memeluk anggota keluarganya meski untuk terakhir kalinya. Sebelum rudal
merenggut keluarganya. Menyisakan duka berkepanjangan.
204
Tepat setelahnya, dengan segenap keberingasan dan kedigdayaan, dua jet tempur
kembali Israel melesat, membelah langit malam Beit Lahiya. Melintas dengan segenap
kepuasan yang meliputinya, memamerkan keangkuhan. Semua mata tertuju pada dua keledai
terbang itu—sebagaimana Rasulullah menyebutnya.

“Ayo, kita pergi!” Kata Handaru.

Mereka kemudian bergegas kembali ke kamar dan menyiapkan barang-barang yang


akan dibawa—handycam, charger, kabel, beberapa bungkus makanan dan botol minuman,
serta kafiyeh untuk menangkal debu gurun yang kerap kali menerpa wajah. Handaru
mengalungkan kafiyeh warna hijau di lehernya dengan anggun. Keduanya meninggalkan RSI
dengan berjalan kaki, sama seperti reportase-reportase sebelumnya. Alasannya sederhana:
lebih mudah berlari jika ada masalah.

Di bawah langit malam tak berbintang, mereka berlari menyusuri komplek Om-n-
Nassr. Dengan berbekal optimisme tinggi bahwa berita ini akan melengkapi bahan laporan
Handaru, mereka bergerak tanpa memedulikan risiko tinggi yang menguntit mereka. Atau
yang lebih buruk, menghentikan mereka.

Mereka seolah memang ditakdirkan untuk saling memahami satu sama lain.
Diciptakan untuk saling memercayai. Tidak ada yang ditinggal dan tidak ada yang
meninggalkan. Salah satu jatuh, satu lainnya segera membantu. Satu menghilang, satu yang
lain segera mencari. Satu terhambat, satu lainnya membantu.

“Jam berapa sekarang?” Tanya Wiganda, mengelap butiran peluh di dahinya dengan
punggung lengan kanan. Mereka terus berjalan sambil setengah berlari. Dengan sesekali
menoleh ke belakang, mengedarkan pandangan.

“Jam satu pagi.”

Kini, mereka telah menempuh perjalanan sekitar empat puluh lima menit.

Berlari, setengah berlari, berjalan, kemudian belari lagi. Sesekali berhenti, mencari
persembunyian ketika drone Israel melintas. Mereka terus bergerak menuju Perbatasan Erez.
Jalanan lengang yang berdebu dan berlubang, kerangka-kerangka mobil yang berkarat akibat
terbakar, dinding-dinding penuh grafiti yang disertai bercak-bercak darah, menggoda mereka
membayangkan bagaimana jadinya kota bebas dari aroma kekuasaan yang kental.
205
Dalam hati, Handaru bertanya pada dirinya sendiri. Kota ini, apakah dulu pernah
indah?

Tiba-tiba, suara rentetan senapan sayup-sayup menyeruak. Menimbulkan gema yang


memantul-mantul di dinding-dinding yang telah koyak oleh peluru dan ledakan. Memberikan
sinyal yang langsung diterjemahkan dengan baik oleh Handaru dan Wiganda.

Debu beterbangan bercampur asap yang mencabik wajah menyambut mereka.


Ditambah dua jet tempur yang membelah langit muram Gaza Utara, memunculkan dentuman
dahsyat beberapa detik berselang. Di kejauhan, warna jingga kemerahan menyala, menemani
kepulan asap hitam yang merangkak naik. Menodai sinar rembulan sinar rembulan.

Suara deru mesin tiga mobil pick-up Toyota Tundra putih, yang melaju kencang
berdekatan dalam satu barisan, mematahkan fokus Handaru dan Wiganda dari melihat
gemerlap cahaya jingga kemerahan di kejauhan. Di bagian belakang mobil itu, enam orang
'ninja' bersiaga. Tampak garang dengan pakaian gelap-gelap—seragam camo, kaos lengan
panjang hitam, dan kafiyeh warna hitam yang menutupi seluruh bagian kepala, kecuali
sepasang mata mereka. Bandana warna hijau bertuliskan kalimat tahlil juga melingkar di
depan dahi mereka. Bila ninja asal Jepang membekali diri dengan shuriken dan kunai, ninja
tanah mujahidin ini mengandalkan senapan modern jenis AK-47 dan M-16.

Rasa sesak yang menghimpit dada mengantarkan Handaru dan Wiganda makin
dengan sumber suara. Peluru-peluru melesat. Senandung kalimatullah bergaung. Erangan
sarat penderitaan memekakkan telinga. Makin terdengar jelas seiring jangkauan langkah
mereka. Tak butuh waktu lama, terkuaklah sumber suara-suara itu.

Saat mendapati tiga mobil Toyota Tundra yang mereka temui sebelumnya terpakir
dalam kondisi asal-asalan, mereka berhenti. Garis panjang tertinggal tak beraturan di atas
hamparan pasir, yang mengekor dari ban mobil-mobil yang berhenti itu, menandakan bahwa
mereka memaksa menginjak rem.

Suara dentuman memekakkan telinga yang mendadak muncul dua detik kemudian
menyentakkan kepala mereka. Gemerlap-gemerlap jingga lagi-lagi mengembang di kejauhan.
Menggoda mereka mengamati atraksi dirgantara yang sedang berlangsung itu.

“Sebaiknya kita mencari tempat berlindung.” Kata Handaru, memberikan perintah.

206
Wiganda mengangguk setuju.

Handaru menoleh ke kanan dan ke kiri bergantian sebelum akhirnya mengajak


Wiganda memasuki sebuah gedung—yang bagian depannya hancur dan menyerupai mulut
menganga—tak jauh dari posisi mereka. Setelah mendaki reruntuhan bangunan yang
menggunung di depan gedung, memutar badan, dan menjulurkan leher di balik remahan
bangunan, mereka menyaksikan dua pihak yang berseteru di kejauhan. Mereka hanya
dipisahkan oleh cerukan tanah berpasir sedalam dua meter.

“Tolong jangan kehilangan momentum ini, Nda!”

Di sampingnya, Wiganda cepat-cepat menyampirkan tas ranselnya ke samping,


meraih handycam dari dalamnya, dan mengarahkannya ke arah hamparan tanah luas berpasir
di kejauhan. Meskipun diawali dengan tangan yang gemetaran dan nyaris menjatuhkan
handycam, dia berhasil menguasai diri untuk kemudian merekam baku tembak antara dua
kubu: belasan anggota brigade Al-Qassam dan puluhan tentara IDF.

Berdiri, membidik, lalu menembak. Dalam kesempatan lain, membungkuk dan


dengan kesit bertukar posisi. Semua mereka lakukan di dalam tanah berceruk dengan semak-
semak kering di atasnya. Itulah aksi belasan brigade Al-Qassam yang terekam handycam
Wiganda. Meskipun kalah jumlah, rupanya mereka mampu berkoordinasi dengan baik.
Pontang-pantinglah puluhan IDF di seberang. Gelap menjadi saksi beberapa orang
terjengkang ke belakang. Tertembus timah panas. Mengerang penuh derita. Baik dari kubu
Al-Qasasam maupun pihak IDF.

Sebuah granat lepas dari tangan salah seorang tentara zionis. Maksud hati mengurangi
jumlah pasukan lawan. Niat itu berjalan mulus ketika granat meledak tepat di sisi anggota
brigade syahid itu. Dua orang terpental jauh. Terbang menjauhi rekan-rekannya. Tak sampai
lima detik, tubuh keduanya menghempas ke bawah.

Rencana yang bagus karena perhatian mereka sejenak teralihkan. Cepat-cepat


memberikan pertolongan. Beruntung mereka cepat kembali berkonsentrasi karena musuh
justru mendekat. Memanfaatkan kekalutan di sisi lawan.

Wiganda menelan ludah menyaksikan drama itu, sedangkan Handaru nyaris membeku
di sampingnya.

207
Dengan komunikasi yang baik, formasi tempur brigade Al-Qassam tetap terjaga.
Meski kekuatan mereka berkurang—karena dua orang menggeret rekannya ke tempat yang
lebih aman untuk diobati—tembakan mereka masih jitu. Terbukti dengan lima orang tentara
zionis terpelanting jatuh. Terkapar dengan luka di dada, bahu, perut, atau paha. Satu dua
malah meregang nyawa karena satu peluru bersarang di kepala.

Merasa terdesak dan rencana gagal, tentara zionis itu melangkah mundur.
Memudarkan suara lesatan peluru-peluru—dan ledakan. Takbir menggema di sisi para
mujahidin. Meneriakkan asma Allah, bersyukur atas kesempatan yang masih mereka terima
untuk membela agama-Nya. Mengetahui kemenangan di depan mata, Handaru dan Wiganda
turut bernapas lega, melakukan tos dengan telapak tangan terbuka.

Namun sayang, euforia itu tak bertahan lama. Belum lama setelah para tentara zionis
itu mundur, sekonyong-konyong terdengar suara mesin menderu-deru di kejauhan. Samar-
samar, dan makin ke sini semakin terdengar jelas. Para mujahidin yang tersisa beberapa
orang saja sontak terdiam, berdiri terpaku. Menurunkan senapan yang terangkat. Menatap
lurus ke seberang, menerka-nerka apa sosok di balik asap tebal penuh debu yang memangkas
jarak pandang. Sebagian dari mereka saling bertukar pandangan.

Setelah asap tebal penuh debu berarak menipis di kejauhan, rasa penasaran mereka
terjawab. Tujuh belas APC[25] jenis Achzarit berwarna putih kecokelatan berbaris. Bergerak
mendekat. Mereka tentu tidak sudi para brigade syahid pulang dengan kebanggaan,
merengkuh kemenangan. Maka keduanya melaju kencang, memecah keheningan.

“Mereka mengganti personil dengan ... satu kompi!” Seru Handaru.

“Dari mana kau tahu?”

“Jumlah mereka sekitar sekitar 150-200 personil. Coba kau lihat!”

“Ini tentu tidak sebanding.”

“Lihat saja nanti. Boleh jadi akan ada keajaiban.”

Wiganda menoleh pada Handaru, mendapati wajah sahabatnya itu cerah.

[25]
Armoured Personel Carrier. Kendaaraan lapis baja yang digunakan untuk mengantar infanteri—pasukan
pejalan kaki—menuju ke medan pertempuran.

208
Munculnya tujuh belas APC itu membuat bahu para mujahidin merolot. Mereka
menurunkan senjata yang mereka angkat di pundak. Diam terpaku menyaksikan deretan
kendaraan lapis baja itu menghampiri. Kendati tak mau berlama-lama diam termangu,
seorang komandan mereka memerintahkan untuk bersiap.

Saat APC itu semakin mendekat, mobil pengangkut infanteri itu berbelok—membuat
sebuah barisan barikade—dan berhenti. Belasan tentara menggeruduk turun dari satu APC.
Sigap membentuk formasi tempur. Sadar musuh di depan mata, siaplah mereka menembak.
Namun, mereka masih menunggu perintah. Selagi beberapa tim medis segera merawat yang
terluka.

Suasana masih hening. Saling menunggu siapa yang tergoda melepas tembakan lebih
dahulu. Seakan-akan kedua pihak memiliki cukup banyak waktu untuk bersabar.

Bagi mujahidin Al-Qassam, mundur adalah aib. Lebih buruk dari itu, mundur adalah
dosa besar yang takkan pernah diampuni Tuhan. Rasulullah saja meskipun kalah jumlah
dalam perang Badar, tidak menghalalkan pasukannya mundur. Dengan keyakinan sepenuh
jiwa dan raga pada Sang Penguasa Jiwa, pada akhirnya Rasulullah dan pasukannya mampu
memukul mundur musuhnya. Dengan bonus, tidak banyak pasukan yang gugur.

Mungkin karena tak sabar menanti, salah seorang dari tentara IDF itu—kemungkinan
besar adalah pimpinannya—memerintahkan untuk melepaskan tembakan. Maka, dalam
waktu sekian detik, peluru kembali berdesing. Melesat di sana-sini. Bergantian meluncur dari
kiri ke kanan, kanan ke kiri. Mengincar setiap yang bernyawa. Ledakan demi ledakan muncul
kembali. Teriakan demi teriakan, baik yang meneriakkan takbir atau mengerang kesakitan,
saling bersahutan.

Drama kembali berlanjut.

Satu per satu satu anggota brigade Al-Qassam tersentak ke belakang. Akhirnya, hanya
sepuluh orang dari mereka yang tersisa. Sudah semakin kalah jumlah, itu pun masih ada yang
sudah tertembus dua peluru masih kuat berdiri tegak. Ada yang lengannya terputus karena
ledakan, menggunakan tangan kiri untuk menembak menggunakan pistol.

Di saat makin terdesak, tiba-tiba saja kabut tebal muncul. Berarak perlahan dari sisi
timur. Menutupi area pertempuran. Pelan-pelan, bunyi rentetan senapan dan desing peluru

209
memudar. Hingga hanya terdengar satu tembakan terakhir. Hening. Sayup-sayup, salah
seorang mujahidin berteriak. “Ayo, serang mereka! Allahu Akbar!”

Satu peluru meluncur, satu kalimat takbir tersiar. Hingga mengisi ulang senapan pun,
takbir tak reda membasahi mulut para mujahidin itu. Nyali mereka sama sekali tak ciut.
Meskipun, lawan menggetarkan mereka. Satu hal yang menggetarkan mereka adalah
ampunan Tuhan yang akan pupus jika mereka mundur karena keadaan.

Menyadari kekalahan di depan mata, tentara zionis itu kelabakan. Formasi tempur
yang semula rapi, kini malah tercerai-berai. Keberanian yang dipaksakan kini luntur karena
kabut tebal yang mendadak hadir. Oleh karena kabut itu memotong jarak pandang dan
membutakan mereka, seketika mereka sporadis menembak. Setidaknya, jika mujahidin itu
datang, satu-dua peluru bisa menghabisi mereka. Pada akhirnya, mereka pun menyadari satu
hal: pasukan bantuan tak banyak membantu—bahkan nihil kontribusi.

Pertempuran masih berlanjut.

“La haula wala quwwata illa billah—Tidak ada daya upaya, melainkan pertolongan
Allah.” Gumam Wiganda, menggeleng-gelengkan kepala. Mengagumi betapa indah
bingkisan yang diberikan-Nya.

Saat kabut mulai berarak dan menipis, suara dentuman bom, desingan peluru
memudar. Dan, ketika kabut sempurna hilang, hampir puluhan tentara zionis telah menekuk
lutut. Kedua tangan terjalin di belakang kepala. Mereka hanya tertunduk. Beragam
perlengkapan—mulai dari kantong peluru, helm, magasin, granat, hingga senapan-senapan—
dikumpulkan menjadi satu jauh dari jangkauan mereka. Mereka tak berkutik di hadapan sisa
mujahidin yang berhasil bertahan.

Mungkin pada saat inilah mereka akan mempertimbangkan tetap di medan


pertempuran—dan mati di sana—dibandingkan harus harus mati karena meringkuk dibalik
jeruju besi. Kalau pun mereka dibebaskan nantinya, alih-alih disebut pahlawan kemungkinan
besar sebutan terlayak bagi mereka adalah pecundang.

Merasa mendapatkan momentum, Handaru mendadak melompat bangkit. “Ini


kesempatan kita!” Katanya.

“Hei! Mau ke mana kau?”


210
“Kau tidak liaht? Senjata, granat, dan magasin sudah dilucuti. Ini akan menghadirkan
kesan heroik secara alami. Kita harus mendapatkan gambar dari situasi ini dari dekat!
Kesempatan ini tidak akan datang dua kali!”

“Jangan gega ... ”

Terlambat.

“.... bah.”

Handaru yang sebelumnya sempat berdiri dan menimbang-nimbang, kini sudah


menuruni reruntuhan bangunan. Suara langkah kakinya yang merontokkan puing-puing
bangunan menggunung di depan gedung, memantik perhatian enam orang anggota brigade
Al-Qassam yang berhasil selamat. Semua mata kini tertuju padanya yang bergerak melambat.

Salah seorang dari brigade itu memberikan instruksi melalui tangannya agar tiga anak
buahnya menghampiri Handaru. Dalam sekejap, para mujahidin itu telah mengepung
Handaru dan menodongkan senapan padanya.

Salah seorang pemimpin mereka, yang mulanya turut mengawasi para tahanan,
berjalan menuju kerumunan rekannya. Seiring langkah kakinya mendekati Handaru, rekan-
rekannya tetap tidak menurunkan senapan. Pemimpin itu melebarkan lengan, meminta jalan
pada rekannya yang menghalanginya. Saat sudah berdiri di depan Handaru, dari balik
kafiyeh-nya, dia menatap lekat-lekat. Setelah beberapa jenak, barulah dia memberi aba-aba
agar anak buahnya menggeledah Handaru.

Salah seorang dari ketiga mujahidin itu—yang masih menodongkan senapan pada
Handaru—menyampirkan senapan AK-47 ke belakang punggung, mendekatinya, dan
menggeledahnya. Setelah memastikan bahwa tidak ada ancaman, anggota Al-Qassam itu
mengacungkan ibu jarinya kepada kepada sang Komandan.

Si Komandan kemudian bertanya. “Kau dari kelompok mana?”

“Saya bukan dari kelompok mana-mana! Saya hanya seorang jurnalis!”

Sebelum sempat melanjutkan perkataannya, si Komandan itu menjulurkan leher,


melihat ke arah belakang Handaru. “Itu temanmu? Dia takkan lama berada di sana.”

211
Apa yang dikatakan komandan itu benar. Dua menit kemudian Wiganda telah berdiri
di samping Handaru. Dia menepuk-nepuk rompi dan kausnya. Dan, dia mendapatkan
perlakuan yang sama dengan sahabatnya. Penggeledahan. Saat Wiganda dipastikan telah
steril, anggota brigade, yang tadi menggeledah Handaru, juga memberikan isyarat serupa.

Percakapan tidak berlanjut lagi karena di saat yang sama muncul dua buah mobil
Toyota Tundra. Kedua mobil itu turut berhenti dekat tiga mobil lainnya. Dari dua pintu depan
berbeda, dua orang pejuang mendekati sang Komandan, tepat di samping kepalanya
mengatakan beberapa patah kata. Setelahnya, dua orang pejuang itu turut serta membantu
menggelandang para tahanan naik ke dua mobil yang mereka tumpangi.

“Jika Anda tidak memercayai kami,” Kata Handaru, kemudian menoleh pada
Wiganda dan bergumam padanya agar mengeluarkan kartu identitasnya. “Silakan lihat ini!”
Mereka berdua menyodorkan kartu identitas pada sang Komandan.

Sang Komandan meraih dua kartu identitas dan mengamatinya dengan cermat.
Setelah berdiskusi dengan salah seorang rekannya, dia berkata sambil mengembalikan dua
kartu identitas itu.

“Baiklah.” katanya. “Kalian bukan bagian dari mereka.” Dia memutar badan dan
menunjuk para personel IDF yang dipindahkan satu per satu ke mobil pick-up. “Untuk
menebus kesalahpahaman ini, apa yang dapat kulakukan untuk kalian?”

Sebetulnya, mendengar tawaran itu, Handaru terkejut, tetapi dia enggan


menampakkannya di hadapan sang Komandan. Sebagai gantinya, dia melirik Wiganda dan
berkata. “Aku tahu apa yang kulakukan.” Dengan pembawaan yang terlihat memaksakan diri
untuk bersikap diplomatis, Handaru mengatakan sesuatu yang disetujui komandan itu.

Kemudian, Handaru dan Wiganda diminta naik ke salah satu mobil Toyota Tundra.
Khusus, sang Komandan sendiri yang mengemudikan mobil itu tepat setelah para tahanan
selesai diamankan.

Di dalam mobil, Wiganda berkata dengan nada berbisik. “Aku tidak ingin terlibat
masalah jika terjadi apa-apa yang diakibatkan keputusanmu tadi.”

“Aku tahu apa yang kupikirkan.” Handaru tersenyum, menepuk paha sahabatnya.
“Lagi pula, aku mengenalnya. Dia adalah Abu Ubaidah. Komandan lapangan brigade ini.”
212
BAB 18

Rahasia di Balik Sosok Bidadari

Beberapa jam yang lalu Handaru dan Wiganda bertamu ke markas rahasia brigade Al-
Qassam. Membicarakan operasi gabungan bersama brigade Al-Quds. Setelah melalui diskusi
panjang, perdebatan strategi dan teknis operasi, serta analisis-analisis lengkap dengan
berbagai pertimbangan, terbitlah sebuah konklusi sederhana yang dicatat Handaru: mencegat
truk M-35 milik zionis Israel—yang berisikan menurut intelijen HAMAS, truk tahanan itu
akan melewati perbatasan Erez membawa puluhan tawanan, untuk mengadakan negoisasi.

Bagi Handaru, inilah kesempatan untuk mencari keberadaan Prayata. Siapa tahu dia
ada di antara puluhan tawanan itu. Menurut intilijen, tawanan kali ini berbeda dibanding
tahanan sebelum-sebelumnya. Tawanan yang diantar tiga truk itu terdiri dari berbagai
kalangan, mulai dari warga sipil, jurnalis, hingga mujahidin.

Di situlah Handaru bersama Salman Al-Qatiri—salah satu pejuang terbaik brigade Al-
Qassam yang diutus Abu Ubaidah mendampinginya. Berjajar dan tengkurap bersama di
sebuah cerukan di antara pasir kering dan rerumputan kering yang tumbuh seadanya. Dalam
kondisi ini, Handaru mati-matian menahan dahaga yang menggempur kerongkongannya.
Belum lagi susah payahnya membujuk matanya agar terbuka, hawa panas menyengat yang
menyembur muka dengan debu, serta matahari yang menyengat ubun-ubun.

Andai kata niat Handaru tidak bulat, bisa jadi dia sudah meneguk berliter-liter untuk
menumpas segala penggangunya itu. Namun, baginya amanah ini—dan ambisinya untuk
memulangkan Prayata—melebihi keinginan terlogis dan paling nikmat itu. Meski bersusah
payah menahan diri untuk tidak mengeluh, dia mencoba menikmati keadaan. Handaru melirik
jam tangannya. Pukul 14.05, gumamnya. Mungkin sebentar lagi.

Untuk sejenak menepiskan jenuh, Handaru memikirkan Wiganda yang kini, di waktu
bersamaan, sedang berjaga bersama Abu Ubaidah di daerah Al-Magragah. Sebelumnya,
mereka berdua telah sepakat untuk membagi tugas peliputan.

Handaru membekali Wiganda dengan handycam cadangan dan membuat kesepakatan:


jika salah satu di antara mereka tidak berhasil kembali, apa pun yang terjadi, liputan harus
tetap berjalan hingga proses terakhir—sebagaimana yang diajarkan Prayata padanya.

213
Berulang-ulang kali Handaru mewanti-wanti Wiganda agar berhati-hati, mengurangi
sikapnya menggampangkan masalah, dan menambahkan ketelitian tingkat tinggi dalam
kamusnya.

Kendati begitu, Wiganda tetaplah Wiganda. Sikapnya yang menggampangkan segala


hal inilah yang sesungguhnya amat dicemaskan Handaru. Meski pada akhirnya Handaru bisa
bernapas lega ketika dia mengatakan bahwa kali ini dia akan lebih berhati-hati. Ditambah
lagi, tidak ada setitik pun hasrat bercanda di kedua matanya kala itu. Cukup menyakinkan.

Alur pikiran Handaru putus ketika mendengar suara Salman Al-Qatiri yang tengkurap
di sampingnya berkata, “Aku lupa siapa namamu.”

“Handaru Lawana. Handaru.”

Sebutir keringat lagi-lagi meluncur dari pelipisnya. “Handaru … dari mana asalmu?”

Debu gurun menderu. Menerbangkan partikel-partikel pasir berhawa panas.


Menguapkan api neraka. Di kejauhan rumput kering menggelinding tertiup angin.

“Indonesia.”

“Indonesia, ya.” Dia menjeda kalimatnya. “Negeri yang ….”

Belum tuntas Salman menyelesaikan kalimatnya, sekonyong-konyong seorang


pejuang Saraya Al-Quds, yang juga tengkurap di sisi terjauh barisan, mengisyaratkan bahwa
dia mendengar suara deru mesin dari kejauhan. Salman kemudian meminta teropong pada
seorang rekan di sebelah kirinya. Mengarahkannya ke depan matanya—dan mendapati di
antara fatamorgana di kejauhan—tiga truk pengangkut infanteri bergerak melaju dalam satu
barisan.

“Segera ke posisi masing-masing dan tunggu perintahku!” Teriak Salman yang


mengenakan kafiyeh kotak-kotak hijau gelap. Melompat bangkit, memberikan aba-aba
dengan tangannya.

Handaru mempersiapkan handycam-nya.

Mendengar perintah, belasan rekannya segera bangun dan menyebar. Dalam hitungan
kurang dari lima detik, mereka telah berada pada posisi masing-masing—di kedua sisi

214
hamparan pasir yang mengapit jalan utama Salahuddin—dan tengkurap. Menyongsong
senapan. Bersiap menanti perintah berikutnya sebelum memulai tembakan pertama.

Handycam Handaru telah menyorot ke arah barisan truk.

Di kejauhan, barisan truk yang melenggang di atas jalanan berdebu meninggalkan


kepulan asap yang membumbung di belakangnya. Seiring mendekatnya ketiga truk itu dalam
jangkauan tembak para mujahidin, Salman Al-Qatiri memberikan aba-aba agar salah seorang
rekannya melempar granat ke truk terdepan.

Tak lama kemudian, granat seukuran kepalan tangan melayang di udara, menukik
menuju kap truk terdepan, dan meledak. Seketika barisan truk itu buyar. Truk kedua dan
ketiga saling menempel akibat rem mendadak. Telat menghindari tabrakan dengan truk
pertama.

“Kau tunggu di sini! Tunggu perintah berikutnya dariku.” Begitu pesan Salman pada
Handaru. Ketika mendengar desing peluru, Handaru segera mengabadikan momen itu.

Sejenak mengalihkan pandangan dari handycam, Handaru mengamati Salman Al-


Qatiri—yang menyongsong AK-47 di depan dada—berlari setengah membungkuk
meninggalkannya. Debu beterbangan mengekori dirinya. Setelah Salman luput dari
pandangannya, dia mengalihkan pandangan ke arah utara.

Kap truk terdepan mengepulkan asap hitam. Motif zig-zag bercabang menghias kaca
depan. Kedua ban depannya seok. Darah tersembur di kaca.

Handaru mengintip dari balik semak-semak yang tumbuh di dekatnya dan melihat
beberapa personel IDF melompat turun dari truk. Satu per satu. Dalam sekejap saja, peluru-
peluru sudah berdesing. Melesat mengincar lawan. Bersambut takbir yang menggema.
Mengiringi kepergian para tentara zionis. Satu demi satu tentara messias palsu itu meregang
nyawa. Tersentak ke belakang. Jatuh menghempas jalanan berdebu.

Setengah jam berlalu.

Dari kejauhan Handaru mendapati beberapa tubuh sudah tergeletak kaku. Berserakan
di sisi ketiga truk. Lengkap dengan darah segar yang membasahi pemilik seragam-seragam
hijau kecoklatan. Senapan-senapan berceceran di atas aspal. Helm tanggal dari kepala-kepala.

215
Aroma amis mengawini udara. Api berkobar di beberapa titik. Asap hitam tebal
membumbung dan berarak saat tertiup angin.

Situasi ini mengingatkan Handaru pada hadis Nabi Muhammad saw. yang
diriwayatkan oleh Imam Ahmad: “Saat ini akan tiba masa berperang, akan senantiasa ada
segolongan dari umatku yang menampakkan (kebenaran) di hadapan manusia. Allah akan
mengangkat hati-hati suatu kaum, mereka akan memeranginya, dan Allah ‘Azza Wa Jalla
menganugerahkan kepada mereka (kemenangan) dan mereka akan tetap dalam keadaan
demikian. Ketahuilah, pusat negeri kaum mukminin berada di Syam. Dan ikatan tali itu
tertambat di punuk kebaikan hingga datangnya hari kiamat.”

Beberapa detik kemudian, Handaru baru menyadari bahwa Salman memanggilnya.


Dari kejauhan, dia mendapati pria itu melambai-lambaikan tangan kanannya. Senapannya
tergantung di depan dada. Memahami itu adalah sinyal bahwa area pertempuran telah steril,
Handaru bergegas mendekatinya yang berdiri di sisi truk pertama.

“Silakan, bila kauingin memeriksa.” Katanya mengarahkan ibu jari ke truk pertama
saat Handaru telah berada di hadapannya. “Kami yang akan mengurusnya.” Kata Salman
ketika mendapati Handaru bergidik menyaksikan hasil akhir pertempuran hari itu.

Selanjutnya, Handaru berlalu menuju bagian belakang truk pertama. Di sana telah
berdiri seorang pejuang Al-Quds. Mengenakan balaclava hitam dengan ikat kepala hitam
bertuliskan Saraya Al-Quds warna kuning. Dia menoleh pada Handaru dan bertanya apakah
Handaru ingin membantunya memeriksa bagian dalam truk atau tidak.

“Kebetulan memang aku juga sedang mencari seseorang.” Jawab Handaru.

Dalam misi pribadi mencari keberadaan Prayata, Handaru yang sebelumnya mencoba
berkoordinasi dengan pemerintah setempat, belum mendapatkan hasil maksimal. Bukan
perkara mudah memang untuk menemukan satu orang di antara sekian ribu orang yang harus
ditangani.

Belum lagi urusan stabilitas wilayah. Misalnya, kekurangan air, minimnya bahan
bangunan, masalah-masalah di kamp pengungsian, harga bahan makanan yang melonjak
tinggi, siklus listrik yang hanya bisa digunakan empat jam saja sehari, atau jumlah

216
pengangguran yang membludak. Dan itu tidak termasuk dalam persiapan menjalani musim
dingin berkepanjangan yang siap menelan banyak korban.

Setelah membuka pintu belakang, mereka naik bergantian dan mendapati belasan pria
kurus yang meringkuk dalam kegelapan. Sebagian ada yang memeluk kedua kaki,
menundukkan kepala dalam-dalam. Sebagian lainnya terlentang. Hampir semuanya berambut
acak-acakan. Berpakaian lusuh yang robek di mana-mana, dan menguarkan bebauan yang
tidak bersahabat dengan kedua lubang hidung. Wajah-wajah mereka sarat keletihan, baluran
pasir hitam, dan mata-mata kemerahan. Terdengar rintihan dan erangan. Ada pun yang justru
tidak berpakaian.

Pejuang Al-Quds itu berjongkok memeriksa satu per satu tahanan, sedangkan
Handaru yang tidak tahan dengan bebauan di dalam, tidak berani melangkah lebih jauh,
kemudian setelah beberapa waktu pejuang itu berdiri.

“Ayo, kita periksa dua truk berikutnya.” Katanya.

Sebelum mengikuti pejuang itu turun, Handaru memastikan wajah yang paling
dikenalinya berada di situ atau tidak. Tidak ada. Mungkin di truk kedua, atau ketiga.

Di luar, beberapa mujahidin sibuk bersih-bersih. Mereka merapikan sisa-sisa


pertempuran tadi—menyekop, menggali, menata. Kendati mereka melakukannya untuk
lawan, penghormatan terakhir berupa pengguburan yang baik tidaklah menyalahi aturan
pertempuran. Lagi pula, jika tubuh kaku mereka dibiarkan begitu saja, tentu akan lebih
mengundang masalah lain. Dua orang mujahidin Al-Qassam berlalu di samping Handaru,
menandu salah satu tubuh kaku tentara IDF, menuju ceruk pasir yang telah digali oleh rekan
mereka sebelumnya.

Saat menaiki truk kedua, Handaru lebih berani. Meski dahinya mengernyit dan hidung
dijepit jari, dia mencoba memeriksa satu per satu wajah para tahanan. Akan tetapi, yang
dicari masih tak nampak batang hidungnya. Sampai truk ketiga pun juga sama. Berdirilah dia
dengan tertegun di ambang pintu belakang truk terakhir. Seolah-olah menunggu keajaiban
datang. Pasrah.

Satu pikiran yang memenuhi benaknya: semua ini sia-sia saja.

217
Dia menunduk sejenak, menghela napas panjang. Dan, saat mengangkat wajah, dia
mengusapnya dengan telapak tangan. Menggeleng-geleng sambil mendecakkan lidah. Heran.
Sudahlah, tidak ada gunanya lagi pencarian ini. Sudahi saja. Begitu pikir Handaru.

Tepat saat Handaru yang sudah mengibarkan bendera putih akan melompat turun,
suara teriakan Salman Al-Qatiri yang terdengar samar mengusiknya. Mulanya, Handaru
mengira itu hanya halusinasinya saja, tetapi ketika mendengarnya untuk ketiga kali, barulah
dia yakin untuk segera melompat turun dan menuju sumber suara. Di belakang truk kedua.

Saat sudah tiba di depan Salman, Handaru membungkuk memegangi lututnya.


Mencoba mengatur napasnya. Lelah sekali rasanya. Badan seperti nyaris hancur. Berlari jarak
pendek dalam kelelahan seperti ini nyaris merobohkan Handaru andai saja dia tak kuasa
menahan diri.

“Kurasa orang yang kau cari ada di dalam.” Begitu kata Salman.

Seorang pejuang Al-Qassam melewati Handaru dan menaiki bak truk kedua.

Handaru mendongak, menatap Salman. Jangan-jangan dia bercanda.

“Aku tidak sedang bergurau denganmu.” Tukas Salman seolah bisa membaca pikiran
Handaru. “Ciri-cirinya persis seperti yang kausebutkan. Pria berusia akhir empat puluhan,
berkacamata, berbadan tinggi, kurus, dan berjenggot panjang.”

Kendati kelelahan yang teramat meremukkan tulang belulang, Handaru seolah


mendapat suntikan energi berlebih ketika menyakini bahwa Salman memang tidak bercanda.
Segeralah dia melompat naik ke truk kedua. Mengabaikan remuk redam di sekujur badannya.
Di dalamnya, dia mengitarkan pandangan. Mendekati satu per satu tahanan, memperhatikan
dengan saksama, tajam, dan mendalam.

Lagi, dia harus menahan diri dari perutnya yang terasa diaduk-aduk.
Memusingkannya. Inilah sebabnya mengapa tadi dia buru-buru keluar dari truk. Mulanya,
Handaru cepat-cepat menghirup udara segar di tepi pintu. Menahan diri selama beberapa
jenak di sana, sambil menimbang-nimbang. Akhirnya, dia memutuskan untuk mengerahkan
segenap tenaga untuk menahan napas dan kembali mencari Prayata di antara puluhan
tawanan.

218
Beberapa waktu kemudian, betapa terkejutnya dia saat mendapati Prayata sedang
dirawat salah seorang pejuang Al-Qassam yang tadi melewatinya.

“Hei. Dari tadi aku memanggilmu sejak kau berdiri di tepi sana.”

“Ma … maaf. Aku tidak mendengarmu tadi.” Jawab Handaru, gelagapan.

“Kau mengenalnya, ‘kan? Bicaralah padanya.”

Pejuang yang tadinya berjongkok itu berdiri. Beralih memeriksa tawanan lain.

Ternyata, tubuh Prayata terhalang salah seorang pejuang yang meringkuk di pojok
bagian dalam. Coba saja Handaru lebih teliti, pasti dia akan menemukan Prayata lebih cepat.
Hatinya serasa tersayat ribuan sembilu ketika mendapati Prayata yang kini tubuhnya kurus
kering. Wajahnya pucat. Luka sayatan dan lebam nyaris mendandani tubuhnya.

Bagi Handaru, berjumpa kembali dengan rekannya itu seperti mendapatkan berlian
mengilap yang tertimbun di kedalaman tanah berlumpur. Berulang-ulang kali dia mengucap
syukur dalam hati. Saat dia berjongkok hingga setinggi Prayata dan ingin mengungkapkan
sepatah kata, dia malah tercekat. Dia bingung harus mengatakan apa dalam situasi seperti ini.
Maka, satu-satunya jalan yang dia pilih hanya diam, kemudian membekap wajah Prayata dan
buru-buru memeluknya.

Setelah melepaskan pelukannya, menatap Prayata dalam-dalam—kantung matanya


yang tebal, tatapan menerawang—Handaru memegang pundak kanannya dan mengatakan
bahwa dia akan membantu koleganya itu sehat dan segar seperti sedia kala. Akan tetapi,
Prayata hanya menunduk. Napasnya terdengar sengau.

“Hei! Kita harus segera pergi dari sini!” Seru pejuang Al-Qassam tadi sambil
menepuk-nepuk dinding truk. Rupanya dia sudah turun.

Sebelum beranjak, Handaru berkata, “Kita akan pulang, Pak. Segera.” Selanjutnya,
Handaru sudah berjalan meninggalkan Prayata bersama tawanan lain dan turun. Salman
sudah menunggunya di samping truk kedua.

“Terlalu riskan berlama-lama di sini. Kita harus segera membawa tawanan ini ke
rumah sakit terdekat.” Kata Salman saat Handaru sudah berhadapan dengannya. “Abdul!”

219
Salman melambaikan tangan, kemudian pejuang Al-Qassam yang tadi menemani Handaru
muncul. “Segera pindahkan tawanan dari truk pertama ke truk kedua dan ketiga.”

“Kita bawa saja mereka ke RSI.” Handaru memotong pembicaraan.

Salman dan pemilik nama Abdul itu menatap Handaru.

“Perlatan medis di sana lengkap. Insyaallah mereka bisa dirawat dengan baik.”

Mendengar itu Salman tampak menimbang-nimbang. Akhirnya, dia memberi isyarat


agar Abdul segera melaksanakan tugasnya. Berlalulah si Abdul ketika Salman berkata pada
Handaru, “Tunjukkan jalannya.”

Handaru mengangguk mantap.

Setelah Salman memastikan area steril, dia meminta semua anggotanya bersiap.
Selanjutnya, Salman mengatakan pada dua pejuang Al-Qassam yang akan menyetir truk
untuk menuju Rumah Sakit Indonesia di Beit Lahiya.

Di sepanjang perjalanan, Handaru lebih banyak diam. Tampak puas hanya dengan
memandang ke langit luas yang membentang di kejauhan. Menatap awan-awan berarak yang
sesekali menghalangi sinar matahari terik menggigit permukaan kulit. Debu mengepul dan
beterbangan. Menjadi pemandangan yang tidak dapat dihindarinya di belakang truk. Sesekali
debu-debu itu tertiup angin dan menerpa wajahnya yang terbungkus kafiyeh kotak-kotak
hitam putih.

Sesekali, dalam jangka waktu yang agak lama, di sudut matanya, dia mendapati
Prayata diselimuti kabut tebal. Tenggelam dalam kepedihan panjang. Nyaris kehilangan asa.
Kendati demikian, dia masih dapat merasakan—bahkan melihat—secerca semangat untuk
tetap bertahan. Semangatnya yang menggebu-gebu, nasihat-nasihatnya.

Pada sosok Prayata yang duduk terdiam di pojok itulah, Handaru kembali teringat
pada Wiganda. Wiganda, Abu Ubaidah bersama beberapa rekan koalisi gabungan sayap
militer Al-Qassam dan Al-Quds lainnya, meliput proses penyergapan tank-tank Israel dengan
menggunakan ranjau. Ingatan itulah yang lambat laun mengundang kerisauan berlebihan ke
dalam dada Handaru.

220
Firasatnya cukup buruk kali ini. Kentara sekali. Andai itu terjadi maka dia akan
merasa sangat bersalah. Serta-merta dia menyabet predikat orang paling bodoh di dunia.
Seorang yang dengan sadar berani menyodorkan tiket kematian pada kawannya sendiri.

Sahabat manakah yang tega mendorong karibnya dari tepi jurang?

Semarah, sedendam, seemosi apa pun, besar kemungkinan dia akan berpikir berulang-
ulang kali untuk melakukannya. Namun, persoalan ini tidak sesederhana itu bagi Handaru.
Meskipun begitu, keputusan sudah dibuat. Operasi telah berjalan. Hanya doa yang bisa
mengantarkan.

Dalam hati, dia bertanya-tanya. Akankah Wiganda dapat kembali dengan selamat,
mengingat medan yang harus dihadapinya tidaklah mudah di sana? Satu yang pasti bagi
Handaru adalah kesepakatan antara keduanya untuk membahas hasil liputan di Wisma
Rakyat Indonesia. Di sela-sela pikiran itu, dia berusaha mempersiapkan diri dalam
menyambut kemungkinan terburuk.

Lima belas menit kemudian, rombongan konvoi truk tiba di RSI.

Agar para tawanan cepat mendapatkan penanganan, Handaru membantu para


mujahidin dan tim medis lokal menurunkan semua tawanan perang itu. Semua tawanan sudah
diturunkan untuk mengisi kamar-kamar darurat RSI, kecuali Prayata. Saat akan menolong
pria itu mengikuti para pendahulunya ke kamar darurat, Handaru berdiri di ambang pintu
belakang truk. Memandangi Prayata yang tampak sangat rapuh.

Dia berjalan mendekat, meraih lengan kanan pria itu, mengangkatnya ke atas lengan,
dan membopongnya. Saat berada di bawah, dua orang tim medis lokal segera menghampiri
Handaru dan membantunya. Dia menyaksikan Prayata yang masih dalam kondisi tak
sadarkan diri hingga dibaringkan di atas brankar.

Mengikuti dua tim medis lokal Gaza yang mendorong brankar tempat Prayata
berbaring, Handaru mengekor dua tim medis lokal itu dengan berlari, tergesa-gesa. Di
sepanjang koridor, dia yang berada di sisi brankar, bebeberapa kali menoleh pada Prayata.
Berharap ada sepatah kata yang mungkin terlontar dari bibirnya yang memutih dan pecah-
pecah.

221
Tepat ketika berada di ambang pintu ruang rawat Bali yang berwarna merah, Handaru
melihat kedua mata Prayata berkedip. Jari jemarinya berkedut. Pelan. Lambat. Seketika itulah
Handaru berteriak agar dua orang tim medis lokal Gaza itu berhenti. Beberapa jenak
kemudian dia menangkap suara lirih—yang awalnya terdengar jauh—pelan-pelan mulai
mendekat. Kendati masih samar-samar, telinganya mendengar suara Prayata.

“Ha … Han …” Butuh kesabaran tingkat tinggi untuk menunggu pria itu
menuntaskan kalimatnya. “Se … sebaiknya … be … ber … berha … hati-hatilah …!”

“Hati-hati?” Apa maksud dari kalimat itu, Handaru tidak mengerti.

“Hat ... ti ... ha ....”

“Hati-hati dengan siapa? Bisakah Anda berkata lebih jelas?” Handaru mengigil. Alih-
alih mendengar Prayata mengatakan sesuatu yang menyenangkan, dia justru membeberkan
kalimat yang membolak-balikkan otak Handaru.

Di antara usahanya mengatur napas dan batuk-batuk, dia melanjutkan kalimatnya.


Kali ini terdengar lebih bertenaga. “Ha ... hat ... hati-hatilah de ... dengan Fatimah!”

Handaru mengerutkan dahi. “Me, memangnya ada apa dengannya, Pak?”

Dengan segenap sisa kekuatan, Prayata memaksakan diri untuk bangun, perlahan
demi perlahan. Kedua tim medis itu berusaha menahan aksinya, namun Handaru meminta
agar membiarkan pria itu menuntaskan kalimatnya. Pelan tapi pasti, dia mendekatkan dirinya
pada Handaru dan berkata, “Dia, dia ternyata … mat ... mata-mata Mos … mos … Mossad!”

Kedua mata Handaru terbelalak. Dahinya makin berkerut. Handaru menggerutukkan


giginya. Sungguh, dia tidak memahami apa maksud ucapan koleganya itu. Maka, dia
menjauhkan kepalanya, kemudian dia merasakan kedua lututnya melemas. Dia tiba-tiba ingin
duduk. Namun, justru yang dia lakukan adalah menyanggah. “Ti, tidak mungkin, Pak!
Mustahil! Ba, bagaimana bisa ....”

“Aku mendengarnya sendiri, Han! Semua tahanan dan para sipir sering
membicarakannya di penjara Etzion!” Setelah melalui penderitaan menyakitkan itu, Prayata
tiba-tiba terbatuk-batuk hebat dan akhirnya melemas. Tubuhnya segera ambruk. Terhempas

222
ke brankar. Secepat tubuh ringkih itu jatuh, secepat itu pula kedua tim medis mendorong
brankar dan menuju ruang perawatan tanpa berkomentar apa-apa.

Handaru, membeku. Dia merasa kepalanya seperti tertebas. Di saat inilah dia seolah-
olah merasakan sebuah tombak menusuk dadanya hingga menembus punggung. Oleh karena
itu, dia mencari kursi. Dia butuh duduk. Maka, dalam sekejap dia sudah menghempaskan diri
ke kursi panjang berangka besi di samping pintu masuk rawat inap Bali. Terpekur di sana. Ba
... bagaimana mungkin Fatimah mata-mata Mossad? Ini pasti sebuah rekayasa! Gumamnya.

Dia menggelengkan kepala berulang-ulang, kemudian mencengkeram kepalanya


sendiri dengan dua tangan, mengacak-acak rambutnya. Penjelasan itu menusuk telinganya.

Dia, dia ternyata … mat ... mata-mata Mos … mos … Mossad!

Kalimat itu bergaung dalam tempurung kepalanya. Nyaris di saat yang bersamaan,
suara mobil menginjak rem dengan paksa yang menghadirkan bunyi decitan panjang, sontak
membuyarkan lamunannya sejenak. Para pasien beserta keluarga penjenguk yang memenuhi
koridor cepat menatap tiga mujahidin menderapkan sepatu lars di koridor.

Dari kejauhan, mata Handaru menangkap pergerakan seorang pria berpakaian camo
hijau dan kafiyeh kotak-kotak merah yang membungkus seluruh kepalanya. Handaru
mengenali sosok yang berlari menuju ke arahnya itu sebagai Abu Ubaidah.

Saat sudah berdiri di depan Handaru, dia berlama-lama menatapnya sebelum akhirnya
berkata, dengan lirih, “Hanya ini yang dapat aku selamatkan.” Tiba-tiba dia menyodorkan
handycam, kemudian dia melanjutkan.“Semuanya ada di sini. Sekali lagi ... maafkan kami,
Han.” Di penghujung kalimatnya itu, Abu Ubaidah menunduk dalam-dalam, memegangi
pundak Handaru dengan tangan kiri.

Dengan gemetaran, tangan Handaru meraih handycam belepotan darah itu.

Beberapa saat setelahnya, setelah keheningan panjang yang nyaris tak berujung, Abu
Ubaidah mengatakan bahwa dirinya harus segera kembali ke Kota Gaza, membantu Saraya
Al-Quds mempertahankan kota. Zionis Israel berhasil menembus barikade mereka di Al-
Maghragah dan mulai merangsek masuk. Dia berlalu setelah mendengar Handaru
mengucapkan terima kasih karena telah mengabarinya. Setelah mengangguk, dia memutar
badan dan—disertai dua orang rekannya—meninggalkan Handaru seorang diri di koridor.
223
Handaru berlama-lama menatap handycam itu.

Tidak perlu penjelasan lebih lanjut, Handaru bisa menyimpulkan sendiri apa maksud
Abu Ubaidah. Handycam itu sudah menjelaskan banyak hal pada Handaru. Dan, dia merasa
cukup karenanya. Handaru memejamkan mata, mengucap istigfar berkali-kali hingga sudut
matanya memunculkan sebutir air.

Handaru menunduk. Menatap handycam itu lamat-lamat, kemudian setelah menghela


napas panjang barulah dia memercayai dirinya untuk membuka layar handycam itu. Bersiap
untuk tidak menyesali keputusannya saat itu: meminta bantuan Wiganda untuk meliput.

224
19

Untukmu, Handaru

Masih hangat di benak Eden sebuah perpisahan yang sebenarnya tidak dia inginkan. Kendati
dia memang harus melakukannya. Dia, yang kini duduk di dalam mobil Jeep Cherokee abu-
abu dalam perjalanan pulang menuju Tel Aviv, menatap keluar jendela. Tampak puas hanya
dengan memandangi deretan gedung-gedung tinggi yang berlalu, pepohonan rindang yang
mengapit jalan, atau orang-orang yang berjalan di atas trotoar negara kelahirannya.

Untuk apa sebenarnya kehadiranku untukmu, Ayah?

Pertanyaan itu sangat mengusiknya. Belum lagi tak adanya jawaban pasti yang
memuaskannya. Hampir-hampir kepala Eden pecah menantikan jawaban itu dari waktu ke
waktu. Hingga, tibalah saat di mana dia berhenti mengharapkan jawaban. Dirinya kini
mencoba mengalihkan minat pada pertemuan terakhirnya dengan Aruna.

Pelukan hangatnya. Persahabatan yang dia tawarkan dengan segenap ketulusan.


Obrolan menyenangkan dengannya. Hari-hari bersama gadis itu. Semangat darinya.

Aruna, katanya, menyodorkan sepucuk surat. Aku titipkan ini padamu. Tolong berikan
pada Handaru. Jangan biarkan siapa pun membukanya, kecuali dia.

Aruna mengangguk, menyanggupi permintaan itu.

Jaga dirimu baik-baik, Aruna. Fatimah menggengam kedua tangan Aruna.

Kau juga. Hentikan sifat keras kepalamu itu.

Fatimah meringis. Aku akan mengusahakannya. Hei, jangan menangis. Kita pasti
akan bertemu lagi. Fatimah mengarahkan telunjuknya ke bawah dagu Aruna dan
mendorongnya ke atas. Sehingga, dia bisa menatap kedua mata Aruna yang basah.
Hidungnya yang memerah, serta sebutir air yang bergulir dari sudut matanya.

Sekejap kemudian, mendadak Aruna mendekap Fatimah. Seolah-olah dengan cara


itulah, Fatimah tidak akan pernah meninggalkannya.

Pada saat inilah memori-memori indah menyeruak dari palung terdalam benak
Fatimah. Saat-saat ketika dia menolak meminum obat tepat waktu. Saat dia bertingkah

225
seolah-olah telah sembuh total dari lukanya. Saat mereka bertukar candaan, curahan hati, atau
ego yang membuncah yang mengurung keduanya dalam perang dingin berkepanjangan.

Eden ingat, saat akhirnya Aruna menepati janjinya dengan bercerita tentang ibunya.
Ibunya berusia akhir empat puluhan. Seorang pekerja keras. Sifatnya kelaki-lakian, tomboi.
Awalnya, Aruna—oleh Ayahnya—diharapkan lahir sebagai anak laki-laki. Tentunya, hal ini
mendapat tentangan dari ibunya. Oleh karena terus-menerus ditekan, akhirnya ibunya
mengalah. Menuruti permintaan ayahnya terkait anak laki-laki.

Sejak usia tiga tahun, Aruna menuturkan bahwa dirinya tidak pernah mengakrabi
mainan-mainan anak gadis—boneka, peralatan masak—karena justru dia berkutat dengan
mainan macam robot-robotan, mobil-mobilan, atau bahkan senapan mainan.

Selain mendapat didikan keras dari sang Ayah pada usia tujuh tahun, ibunya tetap
berupaya memberikan perlakuan feminin. Sembunyi-sembunyi, ibunya selalu
memberikannya perlakuan istimewa layaknya seorang anak gadis. Penuh kelembutan,
perasaan, kasih sayang.

Diam-diam, tanpa sepengetahuan ayahnya, ibunya mengikutkannya pada sanggar tari.


Mendalami tarian lokal bernama tari merak. Sebuah tarian yang hanya perlu lenggak-lenggok
sembari mengibaskan sayapanya seperti seekor merak. Penari hanya memerlukan mahkota
dan mengenakan kemban dengan corak dan motif burung merak.

Aruna merasa nyaman dan menyukai tarian ini karena terkenal di luar negeri. Namun,
masalah muncul ketika ayahnya mengendus kerahasiaan itu. Akan tetapi, setelah melalui
negoisasi alot nan panjang, ayahnya mengalah dan membiarkan Aruna mendalami seni tari
itu. Dengan syarat, Aruna tidak pernah mengecewakannya. Untuk hal apa pun itu.

Semenjak ayahnya meninggal, Aruna memutuskan untuk tidak lagi mengikuti seni
tari itu. Sebagai bentuk penghormatan kepada ayahnya, begitu alasan Aruna. Selain itu,
trauma juga hadir karena pada pertunjukan terakhirlah ayahnya mengembuskan napas
terakhir akibat serangan jantung.

Untuk mencari pengalihan dari kekalutan pikiran dan batinnya, Aruna memutuskan
untuk mendalami ilmu keperawatan di sebuah sekolah tinggi ilmu keperawatan di Bandung.

226
MER-C tertarik merekrutnya dan memberinya kesempatan terbang ke Gaza karena prestasi
akademik dan nonakademik yang diraihnya.

Saat merengangkan pelukan, Fatimah dan Aruna itu saling bertukar pandangan
selama dua setengah detik. Seakan-akan saling menunggu untuk siapa yang ingin
mengucapkan kalimat perpisahan terlebih dahulu.

Tolong, kata Fatimah memutus senyap. Jaga Handaru untukku. Aku memasrahkan ini
padamu. Air mata kini bergulir di pipinya. Dia terisak-isak. Bahunya berguncang.

Insyaallah. Aruna menyeka hidung dengan punggung tangan kanannya.

Dalam hati Fatimah berkata, Seandainya Handaru berada di sini saat ini juga ...
entah apa yang akan dikatakannya padaku.

Suara Benjamin dari arah kursi pengemudi merusak keintiman kilas balik Eden.

Benjamin, yang beberapa jam lalu mendapat kabar bahwa jurnalis Indonesia itu—
beserta rombongan konvoi tahanan—berkumpul di RSI, memutuskan untuk meninggalkan
markas intelijen. Berniat menangkap jurnalis itu—dengan penyamaran, seperti biasa. Namun,
dia gagal melakukan misi itu karena ternyata Handaru tidak ada di tempat. Dengan membawa
pulang Eden, dia merasa cukup memiliki pembelaan jika nantinya berhadapan dengan Noam.
Toh, ya itu juga tugas utamanya.

“Kau sudah siap, Fatimah?” Benjamin melirik Eden dari spion.

Eden memalingkan wajah dari jendela dan mendesah, seolah-olah putus asa. “Panggil
Eden saja, Ben.” Jawabnya ketus.

Benjamin meringis. “Ngomong-ngomong dari mana nama Fatimah itu, Eden?”

“Dari nama anak bungsu Nabi Muhammad. Putri Beliau dengan istrinya, Khadijah.”

“Tak kusangka kau mengetahui sejarah umat Islam.”

“Kenangan indah dari ibuku tidak mudah kulupakan, Ben.”

Anggukan, bagi Benjamin, cukup untuk menjadi jawaban.

“Kuharap pertemuan ini tidak akan lama.” Eden menata duduknya.

227
Tepat saat berada di salah satu persimpangan lampu lalu lintas beranjak merah. Mobil
berhenti. Di balik kaca, Eden menyaksikan keramaian kota. Berbagai mobil bergerak ke sana
kemari. Dengan kecepatan sedang, tinggi, atau bahkan lamban. Kehidupan berjalan dengan
semestinya di sini.

Pria-pria bersetelan jas hitam berjalan tergesa-gesa dengan tangan kanan menenteng
koper. Seorang ibu berusia sebaya Eden berjalan pelan sambil mendorong kereta bayi. Anak-
anak berlarian dengan ceria di taman. Seorang kakek-nenek berjalan lamban menyeberang
jalan.

Angin berembus mengajak pepohonan menari. Sinar matahari mereobos sela-sela


dedaunan. Burung-burung berkicau, menggoda pasangannya masing-masing. Tel Aviv
beserta hiruk pikuk metropolisnya. Megah dan hedonis.

“Jurnalis Indonesia, yang bernama Handaru itu,” Benjamin berkata setelah dirinya
terdiam selama beberapa waktu. Mendengar ini, Eden yang sedari awal tampak lunglai serta-
merta menata diri untuk menyimak dengan saksama, lalu menunggu Benjamin melanjutkan
penjelasannya. “Lolos saat kami mencoba meringkusnya di Al-Aqsa. Beruntung sekali dia.
Sial!” Benjamin menghantamkan kedua tinjunya ke kemudi.

Mendengar kata Al-Aqsa, mengingatkan Eden pada satu hal. Dia ditangkap oleh
sekelompok pasukan khusus kepolisian Israel saat kami meliput bentrokan antara jemaah
Masjid Al-Aqsa dengan para polisi lokal. Seketika kerisauan menyelinap masuk dalam
hatinya.

Sinar matahari menerobos sela-sela dedaunan pohon dan menerpa wajahnya yang
berhidung mancung, berpipi tirus, berbibir tipis. Sekonyong-konyong dadanya sesak. Sesuatu
seperti menekan dirinya dengan amat menyakitkan.

Entah karena apa, dia malah merasakan rasa sesak yang teramat sangat pada detik ini.
Padahal, selama menjadi agen mata-mata Mossad yang sukses dengan beragam prestasi, dia
tidak merasakan desakan apa pun. Namun, kali ini berbeda. Kehadiran Handaru sangat
memberikan arti baginya.

Tanpa sepenuhnya dia sadari, Eden tiba-tiba saja mengeluarkan buku berukuran A5
bersampul cokelat dari dalam tasnya. Buku itu kini berada di pangkuannya. Jauh dari

228
pemiliknya. Inilah yang selama ini menjadi tujuan hidupnya. Buku inilah yang akan
memberikan perbedaan—atau bahkan perubahan—di kehidupannya. Sedikit lagi perjuangan
itu tidak sia-sia. Belum lagi rasa sakit dan air mata itu. Semuanya.

Namun, kemudian dia teringat janjinya bahwa dia akan mengembalikan buku catatan
itu pada pemiliknya. Seiring ingatannya pada janji yang tak ditepatinya itu—karena keesokan
harinya ternyata Benjamin menjemputnya pulang—dia mengusap permukaan buku itu,
merasakan bayangan Handaru memudar. Pelan-pelan dia merasakan matanya memanas, lalu
tak lama berselang dia menangis tanpa suara.

“Sebenarnya, ayahmu mengotori tangannya lagi.” Kata Benjamin, beberapa saat


kemudian. Eden yang terbiasa dengan kata seperti itu memilih memandang keluar jendela.
Bosan. Halilintar seketika seolah menghantam telinganya saat mendengar Benjamin
menuntaskan kalimatnya dengan berkata, “Bukan hanya itu. Dia juga akan menghabisi kita
berdua, Eden!”

Dengan malas, Eden menjawab. “Hentikan, Ben. Selera humormu buruk.”

“Kami bicara banyak hal minggu lalu. Akhirnya, aku mengantongi apa kelemahan
ayahmu. Itu yang selama ini kaucari-cari, bukan? ”

Eden menoleh. “Apakah soal ibu?”

Benjamin mengangguk.

“Tolong,” kata Eden dengan sabar. “Ceritakan padaku.”

Selanjutnya, Benjamin menginjak pedal gas saat lampu menyala hijau, kemudian dia
mulai bercerita. Dia mengatakan bahwa sebenarnya ayah Edenlah yang menciptakan mimpi
buruk yang menghantuinya ke mana pun dia berpaling. Semua bermula pada tahun 2001.
Tepat sepuluh tahun pasca ayah dan ibu Eden menikah.

Saat itu, ayah Eden yang menjabat sebagai Mashak Chulia—komandan regu
penembak, ditarik mundur dari wilayah operasi Jalur Gaza oleh otoritas Israel. Kala itu dia
menjalani tugas bersama dengan Levi—ayah Benjamin.

Setelah penarikan pasukan itu, ayah Eden—yang ikut dalam sebuah rapat parlemen—
menyetujui kebijakan Israel di bawah kepemimpinan Ariel Sharon[26] untuk membangun
229
tembok pemisah antara wilayah Israel dengan Tepi Barat. Menyadari ini adalah gagasan
bagus, ayah Eden menjadi orang pertama di kalangan militer yang mendukung sepenuhnya.

Saat Eden berusia sebelas tahun, perdebatan kemudian muncul di antara kedua orang
tuanya. Ayah Eden bersikukuh mendukung pembangungan itu dengan alasan kesejahteraan.
Sementara ibu Eden, yang merupakan wanita asli Palestina, tentu menolak keras gagasan itu.
Dari hari ke hari pertengkaran mereka semakin hari semakin sengit. Belum lagi karena sifat
Ayah Eden yang keras kepala.

Hingga beberapa tahun kemudian, ketegangan masih kentara. Mereka pernah bertatap
muka, kecuali depan Eden saja. Ungkapan sayang, udara sarat romantisme, serta perhatian
berlebih merebak. Menghadirkan kepalsuan yang berhasil menipu Eden. Dalam pikiran Eden
saat itu kedua orang tuanya dalam keadaan baik-baik saja. Dia pun juga tak sadar bahwa
sesungguhnya paman Levi dan Benjamin turut serta.

Klimaks dari sandiwara itu adalah ketika pada suatu siang di musim panas Eden dan
Benjamin sengaja disuruh pergi bermain. Meninggalkan kedua orang tua Eden di rumah.
Sepulang bermain—dan tiba di depan pintu rumah—telinga Eden menangkap suara
pembicaraan panas di antara ayah dan ibunya. Oleh karena kerai jendela ditutup mereka tidak
bisa melihat ke dalam. Maka Eden hanya bisa mendekatkan diri ke pintu, menguping. Saat
itulah dia mendengar suara ibunya.

Tidak bisakah kau berhenti mempertaruhkan nyawa demi ketidakjelasan?

Ini bukan urusanmu, Hesed—sayang. Jawab Noam, samar-samar.

Sebenarnya apa yang ada di dalam kepalamu itu?

Ayah Eden yang telah menyiapkan diri menghadapi momen ini, mengelap senapan
Dessert Eagle[27] di depan wajah dan mengamatinya. Sesuatu yang tidak bisa kau mengerti
selama ini. Kau tahu, secuil dari rencana para leluhurku telah berhasil.

Apa yang kaubicarakan itu, Noam? Ibu Eden mengerutkan dahi.

Noam Davees meniup ujung senapannya, diam sejenak, menatap lurus pada
kedua mata istrinya dan kemudian berkata, Aku sengaja menikahimu untuk memuluskan

[26]
Perdana Menteri Israel periode 2001 hingga 2006.

230
rencanaini, katanya. Kami, bangsa Yahudi, ingin kembali ke tanah leluhur kami. Tanah yang
telah dijanjikan. Yerusalem! Tidak ada tempat lain di seluruh muka bumi ini yang lebih
istimewa selain di sana. Tempatnya untuk memerintah nanti, sang Messias! Impian kami
untuk kembali menguasai dunia, akan segera terwujud!

Kau gila, Noam!

Noam terkekeh. Mungkin kau yang lebih gila, Nada. Kau merelakan diri menikah
denganku demi menyelamatkan seluruh keluargamu dan kau tidak menyadari bahwa mereka,
pada akhirnya, telah kami lenyapkan.

Mendengar itu Eden tersentak, menutup mulutnya dengan telapak tangan.

Sementara di belakangnya, Benjamin, yang telah diamanahi ayah Eden untuk


menjauhkannya dari rumah, terus berupaya menarik lengan Eden. Sekeras usaha Benjamin
menjauhkan Eden dari rumahnya, sekeras itu pula usaha Eden bertahan.

Di dalam, ibunda Eden yang saat itu mengenakan khimar, berlama-lama menatap
suaminya dengan tatapannya tajam, menusuk.

Lama kemudian, Noam yang masih menyibukkan diri dengan senapannya, membalas tatapan
istrinya. Meringis.

“Maafkan aku ....”

Eden diam saja.

“A ... aku, hanya tidak tahu harus mengatakan dengan cara seperti agar kau bisa
menyadari ini.” Dari balik kemudi, Benjamin mencoba menenangkan Eden. Meskipun begitu,
dari awal dia sesungguhnya tahu usahanya akan gagal.

Tidak ada jawaban dari bangku belakang.

Benjamin memutar kemudi, membelokkan mobil memasuki persimpangan Glilot


Ma’arav setelah menyusuri persimpangan Glilot Mizrah. Mereka kini telah memasuki

[27]
Pistol semi-otomatis kaliber besar yang diproduksi oleh IMI (Israel Military Industries) di bawah kontrak
magnum research yang bermarkas di Amerika Serikat.

231
wilayah otoritas Tel Aviv. Sedikit lagi, rumah akan menyambut kedatangan pahlawan ayah.
Putri tercinta yang telah memberikan segalanya dalam dedikasi. Dan, cinta.

Dalam diamnya, Eden merasakan kemelut yang bertumpang tindih di dalam dadanya.
Saling berebut tempat. Dalam kondisi seperti ini, dia memulai hitungan mundur. Setelah
menempuh perjalanan hampir sembilan puluh menit, Hadar Dafna Building menyambut
kedatangan mereka.

Bersusah payah menguasai diri, Eden berjalan membuntuti Benjamin yang lebih dulu
turun, memberikan kunci mobil pada petugas, kemudian memasuki gedung, dan melangkah
mendekati lift menuju ke lantai enam. Membiarkan petugas itu memarkirkan mobil. Selama
berada dalam lift berdua, mereka sama-sama larut dalam pikiran masing-masing. Butiran
keringat membasahi dahi keduanya. Degup jantung menendang-nendang.

Suara denting singkat mengiringi pintu lift terbuka. Mereka melangkah beriringan
menuju ruangan dengan pintu berkaca ganda yang disertai simbol Mossad—sebuah Menorah
yang berada di dalam lingkaran dengan tulisan dalam bahasa Ibrani—di tengahnya. Saat
mereka berdua mendekat, seketika pintu itu membelah ke dua arah berlawanan secara
bersamaan.

Di dalam ruangan seluas setengah lapangan sepak bola berlangit-langit tinggi itu,
puluhan staf intelijen duduk di depan monitor dengan khidmat atau yang berlari ke sana
kemari menyambut. Selain itu, di bawah cahaya temaram, suara jari-jemari mengetik dan
suara derap sol sepatu yang mengetuk-ngetuk lantai marmer menjadi sajian lain. Beberapa
staf yang mengenakan kemeja warna putih dengan dasi berwarna gelap serta celana panjang
sewarna, berlalu lalang di hadapan Eden dan Benjamin. Sebagian dari mereka membawa
setumpuk kertas. Buliran peluh di dahi, embusan napas yang terengah-engah, dan langkah
kaki cepat nan sigap mewarnai suasana.

Eden mengamati sekeliling, mencari ayahnya. Matanya menangkap sosok ayahnya


berdiri di depan menatap layar monitor besar—yang dilengkapi serangkaian panel komputer.
Dia tengah menyaksikan video di layar raksasa serupa kaca bening yang menampilkan hasil
rekaman drone yang berkeliaran di Jalur Gaza dan Tepi Barat.

Salah satu video, yang menurut Eden benar-benar menyita perhatian ayahnya, adalah
video yang menampilkan penggalian terowongan rahasia menuju Masjid Al-Aqsa. Di video
232
tersebut tampak beberapa pekerja memasuki terowongan yang gelap gulita, berdiskusi
sejenak, sebelum melanjutkan proses penggalian.

Setelah menghela napas panjang, Eden menoleh pada Benjamin.

Benjamin menoleh, mengangguk. Dia mengikuti Eden yang berjalan mendekati


ayahnya.

“Ayah,” kata Eden pelan saat berada setengah meter di belakang ayahnya. Ayah
Eden, pria berambut putih yang berusia lima puluh empat tahun itu—dengan tambahan
tatapan mata setajam singa—memalingkan wajahnya dari layar raksasa dengan perlahan.
“Aku membawakan sesuatu untukmu.”

Ayah Eden memberikan isyarat berupa jari telunjuknya dan meminta keduanya
menuju ruang pribadinya. Di dalam, obrolan itu berlanjut.

“Ada kabar apa dari lapangan, Eden?” Noam, melalui jarinya, memerintahkan
Benjamin, untuk menutup pintu lebih rapat.

Selama hampir satu menit Eden membisu. Setelah menelan ludah, dia berkata. “A,
aku berhasil mengambil buku agenda jurnalis Indonesia itu, Ayah,” Eden menyampirkan tas
cangklongnya ke depan, membuka resletingnya, meraih buku agenda berukuran A5 dengan
sampul cokelat.

Mula-mula, Eden ragu.

Apakah benar ini yang diinginkannya? Apakah dia sudi mencoreng janjinya pada
Handaru? Seseorang yang telah memberikannya kesempatan untuk hidup. Seseorang yang
telah mengulurkan tangan dengan tulus padanya. Seseorang yang membantunya melewati
terowongan gelap mencekam. Entah apa yang dipertimbangkan Eden hingga dia dengan
ringan saja memberikan buku itu.

Ayah Eden yang berbadan tegap itu membalikkan badan dan menyambar buku yang
disodorkan putrinya.

Melihat gaya seperti itu, Benjamin menelan ludah. Dengan saksama, Benjamin
menyaksikan halaman demi halaman berkelebatan di depan wajah Noam Davees yang
berbentuk persegi.
233
Beberapa waktu kemudian Noam mendongak, menatap Eden dan Benjamin
bergantian, lalu berkata. “Kerja bagus. Ayah bangga padamu, tapi … ” diam sejenak. “Ada
satu hal yang ingin ayah tanyakan padamu, Sayang ....”

Ketika menyadari sesuatu yang buruk akan segera terjadi, Eden merasa dadanya
seolah dililit dengan tali tambang yang erat. Napasnya seakan tersendat. Hatinya bergemuruh.
Dia tak sekali pun mengalihkan pandangan atau berkedip melihat tatapan tajam menusuk
sang Ayah. Seakan-akan dia telah terjebak dalam arena hipnotis.

“Mengapa operasi ini menghabiskan waktu yang cukup lama?”

Tanpa banyak pertimbangan, Eden menyahut. “Ba, banyak kejadian tak terduga yang
terjadi, Ayah .…”

Dua kepal tangan Noam menggebrak meja. “Kau pikir aku sebodoh itu?!”

Eden terhentak, mundur setengah langkah. Dia membersihkan tenggorokannya.

“Kau telah menghabiskan waktuku hanya untuk menunggu buku ini?!” Noam
melemparkan buku dengan beberapa halaman robek ke arah Eden. “Hina sekali aku harus
mengamati buku ini!”

“Paman, tolong ….”

“Tutup mulutmu, Ben!” Noam mendengus. Mengarahkan telunjuknya pada Benjamin


tanpa melihatnya dan tetap menatap Eden. “Hentikanlah air matamu itu! Menjijikkan sekali!”

“Paman,” sahut Benjamin, lagi. “Tolong hargai Eden. Dia telah melaksanakan operasi
ini dengan baik. Dan, yang terpenting buku catatan itu sudah berada di tangan Anda.”

“Kau tahu apa tentang buku catatan ini, Ben? Kau tidak berkontribusi besar dalam
operasi kedua ini. Berhenti menatapku dengan tatapan bodoh seperti itu! Aku sudah mengira
dari awal bahwa tugas keduamu gagal. Kau biarkan jurnalis Indonesia itu lolos. Dasar bodoh!
Seumur-umur aku tidak pernah mendapat hinaan sehina ini dari bawahanku. Cuh!”

Suasana tiba-tiba sunyi. Senyap. Keheningan menjalar dari dinding ruang intelijen itu
di saat ketiganya berhenti bicara. Setelah beberapa waktu kemudian, Benjamin mendengus.
“Andalah yang tidak mengerti, Paman Noam.”

234
Pandangan Noam dan Eden segera beralih menatap Benjamin.

“Anda tak lebih dari seorang pengecut yang tidak bernyali menghadapi kenyataan.
Anda takut terhadap putri Anda sendiri, memalukan!” Benjamin berjalan beberapa langkah
ke depan. “Anda hanya berani sembunyi di balik topeng kepalsuan. Meringkuk dalam palung
terdalam sebuah kekhawatiran panjang. Tenggelam dalam kefanaan yang menurut Anda
adalah ujung keberhasilan dari segala usaha Eden.”

“Ternyata, selama ini kita telah memiliki bandit revolusioner kecil di sini.” Gumam
Noam. Berjalan perlahan, dengan menjalin kedua tangan di belakang punggung mendekati
Benjamin, berjalan memutarinya hingga akhirnya berhenti di hadapannya.

“Eden telah mengetahui apa yang sebenarnya terjadi, Paman.”

“Jadi kau sudah memberitahunya? Baguslah. Jika sudah demikian, sudah tidak ada
gunanya lagi aku mempertahankanmu, Eden. Buku ini juga akan memudahkanku untuk
menyingkirkan semua penghalang.” Pelan tapi pasti, Noam meraih dessert eagle dari dalam
saku pistolnya. Nyaris tidak seorang pun menyadarinya. Hingga tiba-tiba dengan sedikit
ayunan lengan secepat kilat, pistol itu telah mengarah dahi Eden.

Merasa bahwa inilah momen yang tepat untuk meledakkan segala macam keresahan,
kegundahan, dan kebencian yang menggelora dalam dada, Eden meningkatkan nada suaranya
dan berkata, “Baiklah! Jika aku benar-benar terbukti melakukan perobekan itu, aku tidak
akan menyesal. Lakukan, Ayah! Lakukan sekarang!”

Hening sesaat. Noam, menundukkan kepala. Seolah-olah merasa kalah.

“Cepat habisi aku agar aku bisa cepat cepat berjumpa dengan ib ….”

Dhuuarr!

Peluru terlebih dahulu melesat membungkam Eden dari kalimatnya. Bersarang di dahi
korbannya. Dalam hitungan detik semua kenangan, kerinduan terhadap sosok seseorang yang
didambakan, dan segala macam kenikmatan, menguap. Eden benar-benar dibuat nyaris mati
berdiri.

235
Adegan itu berlangsung sangat cepat—ayahnya, yang mula-mula menodongkan ujung
pistol ke dirinya, mendadak menekan pemicu pistolnya, dan dalam tiga detik pertama tubuh
Benjamin telah ambruk.

Sementara, moncong pistol itu mengeluarkan asap kelabu yang membumbung. Tubuh
Benjamin kini telah tergeletak kaku di atas lantai marmer. Jasad kosong tak bertuan. Darah
segar merebak dari bagian belakang kepalanya. Seiring waktu, darah segar itu membentuk
bundaran yang melebar.

Eden, yang bibirnya gemetaran, melirik ke samping kirinya dan mendapati bagian
dahi Benjamin berlubang. Menyisakan bekas darah yang mengalir. Matanya terbelalak.
Mulutnya menganga. Seiring waktu, matanya memanas hingga melelehkan sebutir air yang
kemudian bergulir di pipinya. Cepat-cepat dia menangkupkan kedua tangan di depan bibir.
Seolah-olah dengan begitu jeritan yang akan menerobos rongga mulutnya tertahan.

Setelah diam terdiam selama beberapa puluh detik, dengan tangan kanannya masih
menggengam pistol, Noam Davees berkata, “Kau mempunyai dua pilihan. Katakan yang
sejujurnya padaku atau kau ingin memaksaku membuatmu seperti Benjamin?”

“Sudah cukup, Ayah. Cukup! Aku tidak sanggup lagi melakukan ini!”

Eden mulai sesenggukan. Oleh karena tubuhnya tak kuasa bertahan, Eden pun jatuh
terduduk. Dia menunduk dalam-dalam. Suara isakan tangisnya terdengar membahana. Lama
kemudian, setelah menghimpun kekuatan dan menyakinkan diri, dia mendongak. “A ... ayah
... tidak akan pernah bisa menjadi ayah yang baik ... jika ayah hanya mengedepankan nafsu
belaka!”

Dave telah menduga hal ini akan terjadi. Maka, dia memutuskan untuk berjongkok
hingga setinggi Eden. Mengarahkan jemarinya ke pelipis Eden. Menyingkirkan beberapa
helai rambut yang jatuh menutupi wajah putrinya, lalu dia mengangkat dagu Eden dengan
ujung pistol dessert eagle-nya, hingga dia mampu melihat mata gadisnya yang sembap,
hidung memerah, dan air mata di kedua pipinya itu. “Hal sebodoh ini tidak akan pernah bisa
mengembalikan ibumu. Kau mengerti?” Dia menyeringai, licik.

“Memang ini tidak akan pernah mengembalikan ibu. Dan, aku tidak lagi melakukan
ini untukmu agar aku mengetahui rahasia lain di balik semua ini.”

236
“Apa yang kau bicarakan, Eden Sayang?” Lirih Noam, mengelus-elus pipi kanan
Eden dengan ujung pistolnya.

“Aku akan menuntaskan apa yang telah kumulai dan mengakhirinya ....”

Diam sejenak, Noam lalu berkata. “Jangan melantur, Eden.”

“Ayahlah yang melantur. Hanyut dalam buaian mimpi-mimpi fana.” Pelan-pelan,


Eden menegakkan kedua lututnya dan berdiri. Diikuti dengan Noam yang mengangkat
wajahnya dengan angkuh, kemudian turut serta berdiri. Mereka saling bertukar pandangan
selama beberapa saat hingga Eden akhirnya melanjutkan, “Semoga Tuhan masih
membukakan pintu maaf-Nya padamu, Ayah.”

Noam tergelak. “Tentu saja Tuhan akan selalu memaafkanku!”

Eden memutar badan, berjalan mendekati pintu kayu, dan saat dia akan menggengam
gagang pintu dan mendorongnya, tiba-tiba suara ayahnya yang memanggilnya dari kejauhan,
menghentikan langkahnya. “Mau pergi ke mana kau? Berhenti di sana!”

Eden diam. Dengan gerakan lambat, lalu dia menoleh dan menatap tajam pada Noam.
“Mulai dari titik ini, aku akan menentukan jalan hidupku sendiri! Aku bukanlah boneka ayah
lagi!” Eden menarik gagang pintu, membanting pintu sekeras mungkin, dan berjalan
meninggalkan ruangan tanpa sekalipun menoleh ke belakang.

Di belakang, ayahnya terus-menerus memanggilnya.

Entah atas dasar apa, Noam seperti kehilangan kekuatan dan kuasa untuk melepaskan
peluru berikutnya pada Eden—walaupun dia berniat melakukannya. Selama beberapa saat,
dia memikirkan jawaban atas pertanyaan itu, tapi dia tak kunjung memahaminya.

Handaru, kata Eden dalam hati. Aku akan menemuimu. Tunggu aku. Dia terus
berjalan menyusuri selasar, menuju koridor, dan memasuki lift menuju lantai satu.

Di saat yang bersamaan, Noam bergegas meninggalkan ruang pribadinya,


menghambur menuju ruang intelijen. Dia yang masih terguncang, mulai dikuasai rasa geram
tak terkira. Dia mendekati meja di dekatnya, mencondongkan badan dengan kedua tangan
berada di tepi meja, lalu menghantam mejanya dengan satu tangan mengepal. Dalam
hantaman kal ini, meja itu hampir jebol.
237
Beberapa detik setelahnya setelahnya, dia berteriak lantang ke arah semua penghuni
ruang intelijen yang berisi puluhan staf itu. “Dengarkan aku! Aku ingin semua pasukan
dikerahkan untuk menggempur Al-Aqsa! Aku mau esok senja, seluruh komplek masjid Al-
Aqsa rata dengan tanah! Jangan sisakan seorang pun dalam kondisi bernyawa! Terutama
jurnalis Indonesia itu. Jangan sampai dia pulang dalam keadaan utuh!”

Suasana hening sesaat. Noam melihat salah seorang anggotanya mengangkat tangan
dan dia memberikan izin untuknya bertanya.

“Apakah Netanyahu sudah mengizinkan, Pak?”

“Tidak ada yang perlu dirisaukan terkait itu. Netanyahu telah melimpahkan sebagian
kepercayaannya padaku. Laksanakan segera!”

Mendengar perintah itu, ruangan yang tadinya hening, kembali berisik. Semua
kembali ke pekerjaan masing-masing. Bergerak cepat. Jangan sampai kemarahan sang
Komandan kembali menyeruak.

Seluruh staf intelijen itu beserta bergegas menuruti titah yang telah diberikan sang
Wakil Direktur. Kembali turut serta dalam proyek penunjang drama akhir zaman. Turun
tangan mempercepat kedatangan sang Messias palsu.

“Hei, kau! Singkirkan mayat yang ada di ruang pribadiku sekarang! Cepat!” Seiring
dengan berakhirnya kalimat perintah tak terbantahkan itu, suara derap kaki memecah
keheningan ruang intelijen.

Tiga orang staf segera menderap menuju ruang pribadi Noam. Satu menit kemudian,
mereka kembali melewati Noam dengan membawa jasad kosong Benjamin yang mulai
memucat, meninggalkan ruang intelijen.

“HAMAS, ingatlah. Esok akan menjadi aib terbesar untukmu.” Noam


menggerutukkan gigi-giginya, napasnya menderu-deru.

238
20

Surat Eden

“Fatimah menitipkan ini padamu,” Aruna menyodorkan sepucuk surat pada Handaru.
“Katanya hanya kau saja yang boleh membacanya.”

Handaru, yang masih berkutat dengan keterkejutannya setelah mendapati dua kabar
buruk beruntun, diam selama beberapa saat sebelum akhirnya meraih surat itu. Dia
menahannya dalam genggamannya tanpa mengucap apa-apa. Udara di ruang ruang rawat Bali
sarat kepedihan, rasa sakit tak terperi.

Sudah jatuh tertimpa tangga.

Kabar buruk pertama yang dia dapatkan adalah sesungguhnya Eden anggota mata-
mata Mossad, sedangkan kabar kedua adalah firasat buruknya terhadap Wiganda terbukti.
Akankah situasi ini akan lebih baik setelah ini baginya?

Oleh karena hingga beberapa waktu Handaru tak kunjung bicara, dan terlihat
menekuri surat yang diberikan Eden melalui dirinya, Aruna cemas. Takut-takut pemuda itu
mempertimbangkan kemungkinan terburuk yang bisa saja dia ambil. Maka, dia menanyakan
apakah Handaru sedang memikirkan sesuatu.

Mendengar itu, Handaru mengerjap-ngerjapkan mata, seakan tersadar dari mimpinya.


Lantas, dia cepat-cepat menjawab. “Ah. Tidak. Aku hanya ... sedikit mengantuk. Semalam
aku tidak bisa tidur.” Oh, tentu saja dia berbohong.

“Afwan, Handaru. Aku ingin mengatakan ... aku turut berduka soal Wiganda.”

Handaru mengangguk lemah, tersenyum tipis.

“Seluruh staf rumah sakit juga sangat kehilangan dia.” Aruna diam sejenak, lalu
melanjutkan. “Beberapa waktu lalu karena prestasinya, dia akan dipromosikan menjadi
kepala medis, tetapi dia enggan. Katanya, dia lebih suka tidak menjabat apa-apa. Dan hanya
ingin fokus pada bidang teknis.”

“Itulah Wiganda ... selalu seperti itu. Dia teman yang hebat. Sahabat yang kuat. Sosok
terbaik yang pernah kukenal. Aku kagum padanya.” Handaru diam selama beberapa waktu.

239
Hampir dia menangis, tapi dia sanggup menahannya. “Aku hanya tidak menyangka ... secepat
itu ....”

Melihat Handaru semakin tertunduk dan nampak dua kali lebih kuyu, Aruna hendak
menghiburnya, tetapi karena waktunya terbatas justru dia berkata, “Eh ... maaf, Han ... eh ...
waktu berkunjungmu tinggal sepuluh menit lagi.” Lirih Aruna.

Handaru menatap arlojinya, mengiyakan.

Setelahnya, Aruna berjalan mendekati pintu dan menghilang dibaliknya.

Handaru menoleh pada Prayata yang terbaring di sisinya. Bunyi EKG—


elektrokardiogram, alat pendeteksi detak jantung—berdetik teratur. Selang infus menusuk
lengan nadi kirinya dan pada plastik infus yang menggantung di tiang. Sebutir air menetes
teratur di sana. Satu detik, satu tetes.

Penampilan Prayata kini jauh lebih baik dibandingkan saat Handaru menjumpainya di
truk tahanan. Jenggot tebal acak-acakan di dagunya telah dicukur rapi. Rambutnya yang
berantakan, telah tersisir rapi. Luka robek, memar, dan wajah memucat tak terlalu mencolok
lagi di wajahnya. Wajahnya tampak lebih segar.

Handaru mengalihkan pandangan pada sepucuk surat yang kini berada di


genggamannya. Mendapat surat dari sosok bidadari yang didambakan, dia merasakan dirinya
berdiri di tengah-tengah jembatan yang rapuh. Di satu sisi dia harus sampai ke seberang agar
mengetahui misteri baginya, sedangkan di sisi lain dia harus waspada agar tidak terperosok
jatuh ke palung penyiksaan batin yang menyakitkan.

Dia menimang-nimang. Beranikah dia membuka surat itu? Atau sebaiknya dia
menyimpannya saja di tempat yang tidak bisa dijangkaunya? Dia menghela napas panjang.
Akhirnya, dia memutuskan untuk menguatkan diri sebelum membuka surat itu. Diperlukan
tekad dahsyat untuk membaca kalimat pertama di sana.

Hingga lama kemudian, saat telah berhasil menghimpun kekuatan, barulah dia
memercayai dirinya untuk membuka lipatan demi lipatan dan mulai membaca surat itu.

Kepada yang kunanti di sana,

Handaru Lawana.
240
Sebelum kaubaca surat ini sampai kata terakhir, aku sangat ingin mengucapkan
beribu-ribu permohonan maaf yang tak mungkin dapat kuucapkan saat menatap kedua
matamu. Maafkan, kelalimanku. Maafkan, kezalimanku. Maafkan, kekhilafan terbesarku.
Kuharap, kausudi membaca surat ini. Tidak untukku, tetapi untukmu. Anggap saja, ini
permintaan pertama dan terakhirku.

Mula-mula, aku ingin membuat sebuah pengakuan terhadapmu, Handaru. Aku adalah
agen mata-mata Mossad dan namaku sebenarnya bukan Fatimah, melainkan Eden. Aku
menyamarkan segalanya. Aku bukan gadis yang berasal dari Khan Younis. Untuk alasan ini,
tolong jangan mencelaku terlebih dahulu sebelum kau tuntas membaca surat ini.

Tidak banyak pilihan yang kumiliki selain mengabdi pada ayahku. Dialah yang
mengubah watak, sifat, dan pribadiku, hingga aku menjadi seperti saat ini. Tak ada cara
mudah mengatakan siapa sebenarnya diriku. Sosok iblis di balik raga yang begitu rapuh ini.
Sosok yang sekian lama diperbudak pecandu aneksasi dengan sejuta ambisinya.
Mencengkeram diriku dengan kuku-kuku tajamnya.

Awalnya, aku benar-benar tidak tahu, apakah yang kulakukan ini benar atau salah.
Hanya Dia yang tahu. Satu-satunya Pengawas yang tak kenal lelah mengawasi hamba-Nya.
Oleh karena itu, aku rela langit melumatku di atas tanah, dibanding terjerumus dalam
permainan ini.

Seandainya cahaya dari-Nya yang Dia kirimkan melalui ibu masih berada di sisiku,
tentu aku akan merengkuhnya, mendekapnya di dada, dan mengikhlaskan diri mengabdi
pada-Nya, tetapi entahlah … bagaimana bisa aku menjadi seperti saat ini?

Satu hal yang harus kau tahu, Handaru. Aku berpura-pura terluka pada saat kau
menolongku waktu itu. Aku menghantamkan batu besar ke kakiku berulang-ulang kali.
Hingga berdarah, cedera berat. Cerita yang kau catat saat mewawancaraiku? Aku juga
mengarangnya. Sebenarnya memang masjid itu sudah hancur terlebih dulu sebelum aku ke
sana. Saat mendengar kabar bahwa kau akan bergerak ke sana, cepat-cepat memposisikan diri
seolah-olah akulah satu-satunya korban selamat dari tragedi masjid itu.

Kalau kau tahu, aku juga yang telah menghadirkan mimpi buruk bagi seluruh
penghuni kamp pengungsi Jabalia—kau tentu tahu kabar tentang kamp pengungsi itu, 'kan?
Terus terang, aku melakukannya bersama saudaraku, Benjamin. Aku beruntung kau tidak
241
berada di sana saat jet tempur meluluhlantakkan kamp itu. Kami berdualah yang selama ini
menjadi buronan para mujahidin Palestina.

Di balik semua itu, tak kusangka aku menemukan cahaya temaram di tengah
kegelapan yang menyelimutiku. Ketahuilah, Handaru, kaulah cahaya itu! Perempuan di
belahan dunia mana pun akan luluh hatinya saat mendapat ketulusan cinta. Sebagaimana
yang kau berikan padaku. Kuharap, sampai di sini, kau tidak berhenti membaca, dan
kumohon, selesaikanlah hingga tiba di bagian akhir.

Kepada yang kucintai di sana,

Perlahan kurasakan rambatan cinta dan kasih di seluruh pelosok kalbu. Sepotong cinta
yang selama ini hilang dari hatiku, kini kutemukan padamu. Semenjak bertemu denganmu,
aku merasakan sebuah penghormatan dari seorang lelaki, yang bahkan, tidak ada sangkut
pautnya dengan keluargaku. Mulai dari titik inilah keinginanku untuk mentas dari tirani dan
belenggu menguat. Sejak kau hadir di kehidupanku. Kaulah orangnya, Handaru. Hanya kau.
Ketahuilah itu.

Handaru, aku tahu bahwa kini kau merasakan kebencian merambati dadamu,
menjamur dalam pikiranmu. Maka, aku tulus menyerahkan diri jika kauingin mengakhiri
nyawaku. Lakukan apa yang seharusnya kau lakukan. Silakan kau lampiaskan kemarahan dan
angkara murkamu padaku. Habisi nyawaku jika itu memuaskanmu.Kendati demikian,
ketahuilah ...

Dari lubuk hati terdalamku, aku berharap padamu agar kau sudi memberikanku
sedikit ruang di hatimu untukku menjadi pendampingmu. Aku ingin merengkuh
kesempatan—meskipun hanya sebesar lubang jarum—untuk bersujud, menangis dalam
pilunya penyesalan dosa, dan merendah dalam hina di hadapan-Nya, bersamamu. Aku ingin
menebus dosa semua kesalahanku pada-Nya, denganmu.

Handaru, akulah yang membawa buku catatanmu. Saat terakhir kita bertemu, aku
ingin mengembalikannya padamu, tetapi aku tak bisa. Aku didesak untuk segera memberikan
buku itu pada ayahku. Maka, aku memutuskan untuk merobek beberapa bagian pentingnya
dan menyimpannya. Kupikir dengan cara itulah aku dapat mengetahui apa yang sebenarnya
terjadi dengan ibuku. Aku sungguh-sungguh memohon maaf darimu atas kezalimanku ini
padamu.
242
Satu hal lagi yang harus kau tahu.

Jika ada sesuatu yang ingin kausampaikan padaku, temui aku esok saat matahari senja
menyinari Masjid Kubah Batu karena pada saat itu anak buah Ayahku akan menggempur
komplek Al-Aqsa. Aku mengetahui rencana ini sudah sejak lama. Hanya saja, ayah belum
mengeksekusinya. Dan, aku akan menjadi orang pertama yang akan menghentikan rencana
itu. Meskipun, nyawaku adalah taruhannya aku tidak peduli. Untuk alasan ini, aku harap kau
segera memberitahu seluruh pejuang Palestina di mana pun mereka berada untuk segera
bertindak.

Kuberitahu kau satu hal, mereka akan mendatangi komplek Al-Aqsa dari sebelah
timur, melalui gerbang Singa.

Bersiagalah. Kuatkanlah dirimu, Handaru.

Sebagai putri keturunan muslim, aku memintamu dengan sangat. Aku memercayakan
beban ini padamu. Selamatkan warisan sejarah Islam itu, tetapi ingatlah satu hal. Jangan
lakukan ini untukku, tetapi untuk-Nya. Untuk Allah. Lindungilah masjid suci itu. Aku akan
menemuimu di sana. Semoga kau senantiasa berada dalam lindungan-Nya. Aamiin.

Gadis yang dilahirkan dari rahim wanita Palestina,

Eden Talia Alvina binti Nada.

Dalam keheningan, Handaru merasakan kedua matanya basah. Baru kali ini dia turut
merasakan sebuah dilema besar. Bukan karena semata cinta semu, melainkan sebuah
kegundahan seorang gadis yang benar-benar ingin berbakti kepada orang tuanya, kendati dia
sendiri harus menerima nestapa yang meremukkan batinnya. Belum lagi dia harus
memainkan peran yang Dia benci.

Selama beberapa saat dia termenung. Meresapi apa yang juga dikatakan Prayata
padanya beberapa hari. Dia, dia ternyata … mat ... mata-mata Mos … mos … Mossad! Di
saat inilah dia memercayai kebenaran perkataan Prayata. Fatimah atau Eden, yang selama ini
menjadi dambaan hatinya, ternyata adalah mata-mata Mossad yang menyamar.

243
Sesungguhnya, dia bingung harus merasakan apa. Amarah yang meledak-ledak ataukah
kekecewaan?

Setelah mempertimbangkan banyak hal dan kemungkinan, Handaru akhirnya


membalas surat itu di buku catatannya yang bertuliskan Let’s Liberate Palestine di bagian
sampulnya. Dengan mengerahkan segenap kemampuan, Handaru mulai menulis.

Ketika Aruna kembali, dia meminta Aruna memberinya waktu untuk menuntaskan
pekerjaannya. Dan, Handaru lega ketika Aruna memberikan kelonggaran waktu lebih lama.
Lima belas menit berlalu Handaru selesai menulis surat balasan ketika Aruna muncul dari
balik pintu, berjalan mendekat, dan berkata padanya bahwa waktunya sudah habis.

“Abu Ubaidah juga menunggumu di depan.” Katanya.

Mula-mula Handaru terkesiap dan berpikir: untuk apa Abu Ubaidah datang kemari?
Akhirnya, dia ingat bahwa dua hari lalu setelah penyergapan truk, dia bertemu dengannya
dan mengatakan bahwa ingin meliput beberapa operasi brigade Al-Qassam sebagai bahan
penutup liputannya, seorang diri.

Pada mulanya, Abu Ubaidah menolak karena menurutnya terlalu riskan bagi Handaru
jika terus-menerus meliput bersamanya. Namun, akhirnya sang Komandan Lapangan
mengalah setelah mendengar Handaru berkata, Aku ingin merasakan seperti apa istimewanya
mendapatkan penghargaan dari Allah sebagai seorang syuhada. Aku lebih memilih
mengakhiri hidupku di sini.

“Kau mau ke mana?” Tanya Aruna, suaranya pelan ketika melihat Handaru
membereskan barang-barangnya, menyampirkan tas ransel di satu bahunya, dan tampak
begitu siap untuk melakukan peliputan seperti biasanya. Handaru tidak seketika menjawab
karena dia baru melakukannya saat berjalan melewati Aruna.

“Kau akan segera mengetahuinya.” Handaru tersenyum dan memberikan handycam


pada Aruna. “Aku titip ini. Nanti kondisi pak Prayata sudah membaik tolong berikan ini
padanya dan jangan katakan ke mana aku pergi. Ok? Terima kasih.” Setelahnya, Handaru
mendekati pintu, kemudian dia berlalu. Menyisakan Aruna yang menggengam handycam
yang mulanya dibawa Wiganda dan Prayata yang terbujur lemah di atas ranjang.

244
Di halaman depan, Abu Ubaidah yang mengenakan kafiyeh kotak-kotak merah
menjulurkan tangan. “Aku mendapat kabar bahwa keempat komandan faksi militer Gaza
telah berkumpul. Sebaiknya kita pergi ke sana dulu.” Tukas Abu Ubaidah. Seakan tidak
memerlukan basa-basi terlebih dahulu dalam menyampaikan kabar-kabar penting.

Handaru mengangguk setuju.

Selama perjalanan menuju mobil, Abu Ubaidah mengatakan bahwa perhatian empat
dari sekian faksi bersenjata di Gaza terpantik. Disebabkan oleh menggila-nya serbuan
pasukan zionis di komplek Baitul Maqdis belakangan ini. Dan, untuk hal ini mereka mulai
mendiskusikan rencana untuk berkoalisi. Bersama-sama merencanakan rencana “Operasi
Perisai Al-Aqsa.”

Mereka berdua kemudian menaiki mobil Toyota Tundra hitam mengilap yang
terparkir di tempat parkir RSI. Abu Ubaidah menyalakan mesin, memasukan persneling satu,
dan menginjak pedal gas. Handaru yang duduk di sampingnya, merasakan kecanggungan
merambati dirinya. Membungkam bibirnya.

Dia merasa tidak percaya diri saat menyadari bahwa dirinya duduk semobil dengan
salah satu petinggi brigade Al-Qassam itu. Untuk alasan inilah, dia mencoba menikmati
perjalanan dengan cara menatap keluar jendela. Memandangi langit malam yang bertaburan
bintik-bintik cahaya. Awan kelabu yang menggumpal di antara hitamnya langit. Lampu-
lampu jalanan yang menyorot jalanan dengan warna jingganya.

Keheningan yang menyebar di ruangan mobil itu, membawa pikiran Handaru pada
saat menonton video rekaman Wiganda, kemarin sore. Video yang berdurasi kurang dari tiga
menit itu menampilkan adegan saat Wiganda dan dua orang mujahidin Al-Qassam,
meneriakkan takbir berulang-ulang kali di antara hamparan pasir gurun yang menggunung.

Usut punya usut, dua orang mujahidin itu pada mulanya menanam ranjau untuk
menghadang rombongan konvoi pasukan Israel—tank Merkava memimpin, diikuti tiga buah
panser, dan tank Merkava lain di baris paling belakang—yang akan memasuki wilayah Kota
Gaza. Akan tetapi, saat rombongan itu memasuki wilayah peledakan, ranjau yang seharusnya
meledak saat rombongan melintas, justru tidak meledak.

Celaka, ranjau yang mereka pasang tidak meledak! Oh, habislah mereka .…

245
Hal ini membuat salah seorang mujahidin itu tertunduk lesu. Sementara seorang
lainnya menangis karena merasa dirinya gagal menunaikan amanah yang diberikan padanya.
Hingga tank Merkava terakhir telah memasuki zona peledakan, ranjau masih saja tidak
meledak.

Mujahidin yang awalnya tertunduk lesu itu kemudian berdoa. “Allahumma kama lam
tumakkina minhum, allahumma la tumakkin lahum.”[28] Setelahnya, mereka mengusap wajah
dan beranjak. Belum sampai beberapa langkah mereka berjalan, mereka berhenti ketika tiba-
tiba terdengar suara ledakan. Ranjau yang tidak aktif itu justru meledak dan membuat
rombongan konvoi kocar-kacir. Tercerai berai para pasukan zionis itu.

Kemudian, Handaru ingat, beberapa menit setelah kalimat takbir didengungkan oleh
ketiganya, tiba-tiba handycam—yang dibawa Wiganda—jatuh, menghempas pasir, lalu debu-
debu beterbangan menyelimutinya. Seketika video hanya menampilkan bentangan langit
kebiruan tanpa awan, nun jauh di atas sana. Matahari bersinar terik kala itu. Suara pasir
terburai karena sepatu lars di atas pasir menyusul kemudian. Tak berselang lama, kegaduhan
muncul.

Hei, apa yang terjadi? Suara Abu Ubaidah.

Aku tidak tahu! Kau baik-baik saja? Hei, bangunlah!

Masya Allah, dia tertembak!

Bawa dia ke rumah sakit! Aku akan mengurusi mereka!

Suara terakhir yang terdengar sebelum akhirnya layar video itu menjadi gelap adalah
suara rentetan tembakan. Diikuti suara teriakan menyakitkan yang samar-samar. Mengingat-
ingat video itu membuat mata Handaru berkaca-kaca. Semakin diingat, ribuan sembilu kian
menyayat-nyayat hati. Maka, setiap ingatan itu datang cepat-cepat dia mengusirnya.

“Kau tahu,” Suara Abu Ubaidah seketika mematahkan mantra yang meliputinya.
“Sudah berapa banyak rekanku yang syahid di bawah komandoku?”

Handaru menoleh pada Abu Ubaidah—yang fokus mengemudi—dan menggeleng.

[28]
Ya Allah, sebagaimana Engkau tidak memberikan kesempatan kami menghadapi kami, jadikanlah mereka
tak juga tidak memiliki kesempatan serupa.

246
“512. Mereka yang syahid di tempat berbeda dengan cara yang berbeda pula.”

Mobil berbelok. Menyusuri jalanan berdebu yang penuh berlubang-lubang. Handaru


dan Abu Ubaidah terbanting-banting di bangku penumpang. Di antara dua sorot lampu depan
mobil, debu beterbangan. Sebagian lampu jalan yang mati, menghadirkan kesan temaram di
sepanjang sisa perjalanan.

“Soal Wiganda, mungkin kau bingung. Perasaan apa yang seharusnya kau rasakan.
Sebagian dari dirimu mungkin mengagumi bagaimana seseorang yang baik, diberi
kesempatan oleh Allah meninggalkan dunia dengan baik pula. Sementara, sebagian dirimu
yang lain berat merelakan kepergian orang yang kauharapkan selalu berada di sisimu.”

“Anda membaca pikiran saya dengan benar.” Kata Handaru, menanggapi.

Abu Ubaidah mengangkat kedua bahunya bersamaan. “Semua orang yang berada di
sini atau pun yang datang, pasti akan merasakan perasaan yang sama. Cepat atau lambat.
Dan, itu bukan hal yang aneh bagiku.”

“Anda sepertinya telah belajar banyak dari hal seperti ini.”

Abu Ubaidah mengibaskan tangan kanannya. “Jangan berpikir bahwa aku tidak
pernah memiliki waktu untuk menenangkan diri.”

Rembulan yang bersinar di kejauhan menjadi saksi bisu kebersamaan mereka berdua
selama beberapa waktu. Pembicaraan terus melebar ke mana-mana. Mereka berdua juga
saling bertukar cerita. Mengisi sisa perjalanan dalam kehangatan ukhuwah islamiyah.

“Percayalah, semua ini pasti akan berlalu. Anggaplah ini seperti angin yang menyapu
debu. Membawanya ke mana pun sang Angin kehendaki. Sementara si Debu memasrahkan
diri. Membiarkan yang lebih berkuasa mengambil alih perannya.”

Setelah memandang ke depan, Handaru menoleh pada Abu Ubaidah, tersenyum.

Sebuah kelegaan membuncah di balik rongga dadanya. Nyaris di saat yang


bersamaan, Handaru merasakan ikatan erat yang melilit dadanya merenggang. Urat syarafnya
dibelai kelembutan yang menangkan.

“Kini saya telah mengetahui siapa dalang di balik pemboman kamp pengungsi Jabalia
dan rentetan insiden lainnya.” Kata Handaru, mengalihkan pembicaraan.
247
Mendengar pernyataan menyerupai bom yang meledak di dekat telinga itu, Abu
Ubaidah segera menoleh pada Handaru. “Kau tidak sedang bercanda, ‘kan, Handaru?”

“Tentu tidak, Pak.” Handaru kemudian menyampirkan tas ranselnya ke depan, meraih
sepucuk surat dari dalamnya, dan dengan sopan meminta Abu Ubaidah menepikan mobil.
Setelah Abu Ubaidah mobil berhenti dan terpakir rapi, Handaru menyodorkan halaman
terakhir surat Eden padanya. “Semua ada di dalam sini.”

Handaru menyodorkan surat itu pada Abu Ubaidah. Dalam situasi ini, dia tidak
mengetahui motif apa yang mendasarinya untuk membuka rahasia ini. Apakah dia mulai
dijalari amarah yang menggelora di dadanya karena mengetahui bahwa seseorang yang dia
impikan telah mengkhianatinya? Atau lebih pada alasan bahwa untuk hal ini, penting bagi
seorang pemimping brigade Al-Qassam untuk mengetahuinya?

Setelah membaca surat itu, Abu Ubaidah berkata. “Kau bersungguh-sungguh dengan
surat ini, Handaru?”

“Demi Dzat yang jiwaku berada di genggaman-Nya. Aku tidak berbohong, Pak.”

Abu Ubaidah termenung sesaat, kemudian dia mengatakan bahwa informasi ini harus
segera disampaikan pada keempat komandan faksi kelompok oposisi Jalur Gaza. “Kerja
bagus, Handaru! Semoga Allah memberkahimu.” Katanya, segera menghidupkan mesin dan
menjalankan mobil. Mobil melesat di Jalan Salahuddin hingga sampai di Kota Gaza.

***

Mobil mendecit dan berhenti di atas jalan yang dikelilingi hamparan pasir berwarna
putih kekuningan. Bukit pasir mengelilingi area itu dan menjadi tempat strategis untuk dua
orang mujahidin Al-Qassam berjaga-jaga. Berjalan ke sana kemari memantau sekitar dengan
senapan AK-47 yang terselempang di depan dada. Tiang-tiang lampu yang terletak berjauhan
mencahayai dengan penerangan seadanya.

Angin malam membelai raga saat Handaru dan Abu Ubaidah turun dari mobil. Di
sekeliling mereka, pasir-pasir menari dalam senandung malam, berdansa dengan angin yang
berembus. Rembulan nun jauh di atas sana menyunggingkan senyuman ramah. Bunyi kerik
jangkrik turut menghangatkan keheningan malam.

248
“Mari, ikut denganku.” Kata Abu Ubaidah, yang berdiri dua langkah di depan
Handaru, mengangkat tangan kanannya, dan mengayunkannya ke depan. Handaru berjalan
membuntutinya menuju sebuah bangunan berbentuk persegi beratap datar, berdinding biru,
yang terletak lima meter dari tempat mereka berdiri.

Dua orang personel berdiri di kedua sisi pintu masuk. Menjaga stabilitas rapat yang
sedang berlangsung. Saat Abu Ubaidah hendak melintasi ambang pintu, kedua personel itu
memberi hormat dan Abu Ubaidah membalas dengan anggukan. Setelah Abu Ubaidah dan
Handaru melewati ambang pintu, kedua penjaga itu kembali ke posisi semula.

Saat memasuki ruangan utama di gedung, mereka mendapati empat orang mujahidin
dengan seragam berbeda dengan motif yang nyaris sama. Mereka berdiri dalam jarak
setengah lengan, mengelilingi sebuah meja setinggi pinggang yang di atasnya tergelar sebuah
peta berukuran besar.

Abu Ubaidah mengatakan bahwa mereka berempat adalah komandan dari empat
gerakan jihad berbeda. Masing-masing mewakili kubu brigade Al-Qassam, Saraya Al-Quds,
mujahidin Serambi Baitul Maqdis, dan brigade Nashir Shalahuddin. Sebuah bohlam yang
menggantung di tengah-tengah mereka.

Mereka tidak menyadari kedatangan Abu Ubaidah dan Handaru karena diskusi sudah
menarik sepenuhnya minat mereka—yang semuanya menutup rapat kepala dengan kafiyeh
itu.

Bagaimana jika menempatkan regu sniper di sini?

Kurasa itu kurang bijak. Sebaiknya regu sniper di tempatkan di sini saja.

Jika regu sniper di sana, lalu siapa yang akan menjadi regu penyergap?

Diskusi akhirnya terhenti ketika Abu Ubaidah mengetuk pintu dua kali dan mengucap
salam. “Assalamu’alaykum.”

“Wa’allaykumus salam warrahmatullah wabbarakatuh.” Jawab keempatnya hampir


bersamaan. Semua mata tertuju pada Abu Ubaidah dan Handaru.

249
“Komandan.” Kata Abu Ubaidah. Melangkah sigap mendekati Mohammed Al-Deif,
Komandan Brigade Al-Qassam. “Ada yang perlu Anda lihat.” Dia kemudian menyodorkan
bagian terakhir surat milik Eden padanya.

Setelah meraih surat itu, sang Komandan membacanya dengan cermat. Kedua
matanya melirik ke kanan dan ke kiri bergantian, memahami dengan sungguh-sungguh surat
yang digenggamnya. Sesaat kemudian, dia menurunkan tangannya.

“Esok saat senja ….” Katanya pada dirinya sendiri. Dia mengangkat wajah dan diam
selama beberapa waktu. “Apakah aku bisa memercayai ini?”

“Saya rasa begitu, Pak. Pemuda ini yang memberikannya pada saya.”

Semua mata kini beralih pada Handaru.

Mohammed Al-Deif melangkah mendekatinya dan berkata, “Siapa kau?”

“Handaru Lawana. Jurnalis Indonesia.”

“Dari mana kau dapatkan surat ini?”

“Aku mendapatkannya langsung dari salah satu anggota Mossad, Pak.”

Seketika, ruangan dipenuhi gumaman-gumaman. Heran.

“Bisa kau mempertanggungjawabkan surat ini?”

“Insyaallah. Saya bisa, Pak.” Jawab Handaru, tegas.

“Berikan aku alasan untuk bisa memercayai surat ini.” Mohammed Al-Deif
mencondongkan badannya sedikit ke depan. Mencoba memastikan apakah ada gurat
kebohongan di wajah Handaru.

“Saya mengenal baik pemilik surat itu, Pak.”

Kemudian Handaru menuturkan berbagai hal yang berkaitan dengan Eden pada Al-
Deif. Bagaimana awalnya dia dan Eden berjumpa di masjid Ribath, informasi palsu darinya
saat wawancara, dan tentang surat yang digenggam oleh Al-Deif itu. Semua dijelaskan oleh
Handaru dengan rinci, lengkap, dan jelas.

250
Setelahnya, entah karena apa tiba-tiba dadanya diserang kemelut. Perasaan tersayat,
terbakar, dan terenyuh menggabungkan diri. Kendati demikian, sebagian dirinya merasa
merasa puas dengan apa yang baru dia katakan. Sesegera perasaan itu hadir, secepat itu
Handaru mencoba menguasai diri.

Beberapa waktu setelah mendengar penjelasan itu, Mohammed Al-Deif menegakkan


punggungnya. Dia terdiam. Semua khidmat menikmati senyap. Al-Deif tampak menimbang-
nimbang. Apakah patut dia memercayai pemuda ini yang bahkan tidak pernah ditemuinya
seumur hidupnya? Akan tetapi, apa yang pemuda ini sampaikan cukup logis dan minim yang
bisa dia debat.

“Siapa namamu tadi, Anak Muda?” Tanya Al-Deif lagi.

“Handaru Lawana.”

“Apa yang sebenarnya kau lakukan di sini?”

“Abu Ubaidah mengizinkanku untuk mengikutinya meliput tiap operasi brigade Al-
Qassam. Ini semata untuk menyebarkan informasi yang akurat dan terpercaya bagi yang
menantikan perkembangan terkini di Palestina. Kami berusaha dengan sungguh-sungguh
untuk tidak melakukan tindakan konspirasi apa pun di dunia media, Pak.”

“Ini pemuda yang saya ceritakan pada Anda saat itu. Saya yang bertanggung jawab
terhadapnya.” Sahut Abu Ubaidah.

Al-Deif menggosok-gosok dagunya. Indonesia. Selang beberapa detik kemudian, dia


memalingkan wajahnya dari Handaru dan melangkah mendekati meja para komandan, lalu
berkata dengan nada yang menggetarkan dada, menyulut semangat. “Zionis akan menyerbu
Baitul Maqdis, esok sore! Mari kita selesaikan perancangan strategi tempur ini, malam ini.
Tidak boleh ada sedikit pun kegagalan.”

Ketiga komandan yang masih berdiri di belakang meja itu mengangguk.

“Baiklah. Aku memercayaimu, untuk saat ini.” Kata Al-Deif, menoleh pada Handaru
yang berdiri di belakangnya, suaranya lebih pelan dibanding saat dia mengumumkan tadi.
“Jika kau membohongi kami, kau akan tahu apa akibatnya.”

Handaru menelan ludah, mengangguk penuh keyakinan. Bukan masalah.


251
Selanjutnya, dia turut mendengarkan berbagai macam strategi yang didiskusikan oleh
keempat petinggi tersebut. Kendati sebagian besar hal tidak dia mengerti sepenuhnya, namun
secara garis besar dia memahami dengan baik. Selama hampir dua jam, dia menyimak
dengan saksama. Di samping itu, dia juga membujuk matanya agar memenangkan persaingan
melawan kantuk yang menggelayut.

Hingga gagasan kesekian yang hingga di telinganya, tidak ada satu pun yang
mendapat lampu hijau. Jadi inti permasalahannya: Bagaimana mengirimkan pasukan untuk
memasuki Al-Aqsa. Katanya, membatin. Otaknya berputar-putar. Pengalamannya keluar-
masuk Al-Aqsa memberinya keleluasaan lebih dalam mengolah beberapa kemungkinan, yang
pada akhirnya, merujuk pada satu cara. Untuk alasan inilah, kemudian dia menyikut Abu
Ubaidah dan berbisik padanya.

Memahami perkataannya, Abu Ubaidah mengangguk-angguk. “Kau yakin ini


berhasil? Eh … baiklah. Aku akan mencobanya.” Lantas, Abu Ubaidah meninggalkan
Handaru dan bergerak mendekati Al-Deif. “Afwan. Izin untuk menyampaikan sesuatu, Pak.”
Dia menelan ludah. “Saya memiliki ide. Bagaimana jika menerapkan strategi penyamaran?”

“Penyamaran?” Al-Deif mengerutkan dahi.

“Maksud saya, dengan menggunakan seragam pasukan khusus IDF.”

“Itu ide buruk!” Tukas komandan Saraya Al-Quds. “Jika kita tidak bisa menjawab
pertanyaan pasukan perbatasan dengan bahasa Ibrani yang baik dan benar, celakalah kita!”

“Anda benar. Selain itu, kita juga belum memiliki terowongan yang menembus
hingga ke luar perbatasan. Lantas, bagaimana bisa kita mencapai Erez dengan cepat? Berjalan
kaki tentu terlalu jauh. Pasukan kita bisa kelelahan sebelum bertempur nantinya.” Imbuh
Komandan Mujahidin Serambi Baitul Maqdis.

“Itu pun jika berhasil sampai di sana tanpa dicurigai oleh drone mereka.” Tukas
Komandan Saraya Al-Quds, menggengam dagunya, menggosok-gosoknya.

Komandan Mujahidin Al-Quds dan Komandan Brigade Brigade Nashir Shalahuddin


mengangguk setuju. Mereka bertiga pun saling bergumam. Di tengah waktu yang
menyesakkan dan berbagai risiko yang kemungkinan besar akan menjadi bumerang bagi
pelaksanaan operasi ini udara terasa mencekik.
252
“Waktumu lima menit untuk menjelaskan lebih lanjut tentang gagasanmu, Ubaidah.”
Tukas Al-Deif. Cara bicaranya kali ini bernada diplomatis, memberikan ruang untuk bicara.

Sebelum melaksanakan perintah itu, terlebih dulu Abu Ubaidah kembali bertukar
pikiran dengan Handaru. Kurang dari dua menit kemudian, dia telah mengambil alih diskusi.

“Secara logika, penggempuran masjid Al-Aqsa esok oleh pasukan zionis tentu
membutuhkan kekuatan yang besar. Wajar bila seluruh pasukan di Jalur Gaza dan Tepi Barat
akan berkumpul di sana. Maka, dalam hal ini, penarikan pasukan tersebut—terlepas dari
peranan tugasnya sebagai pasukan utama atau cadangan—tentunya membutuhkan waktu
lama, bukan? Kita bisa mengenakan seragam pasukan khusus IDF dan melewati gerbang
Erez. Dengan cara ini, pasukan penjaga perbatasan akan meloloskan kita. Terlebih, dalam
kondisi genting seperti ini gerbang Erez dibuka pukul delapan sampai dua siang. Tentunya ini
menguntungkan kita.”

Semua menyimak penjelasan Abu Ubaidah dengan saksama.

“Deputiku, Salman Al-Qatiri telah berhasil mengamankan dua buah truk M-35. Kami
mendapatkannya saat dia dan Handaru melakukan operasi penyergapan di wilayah Erez
minggu lalu. Dua poin telah kita kantongi, yaitu seragam pasukan khusus IDF beserta
truknya.

“Dan, poin ketiga terkait dengan jumlah personel yang akan kita kirimkan ke Al-
Aqsa. Bukan maksud saya untuk meremehkan kekuatan faksi perlawanan di sini. Alasan saya
lebih pada faktor teknis: efektivitas. Menurut saya, jika mengandalkan lima belas mujahidin
saja dalam operasi ini, akses menuju Baitul Maqdis akan jauh lebih mudah. Terlepas dari
berapa banyak jumlah musuh yang akan datang. Bagaimana menurut Anda, Pak?”

Al-Deif menyilangkan tangan di depan dada dan memandangi peta besar di depannya.
Butuh waktu yang tidak sebentar hanya untuk memastikan gagasan itu diterima atau tidak.
Sementara itu, ketiga komandan lainnya saling bertukar pandangan dan mengangguk-angguk.
Nyaris lima belas menit kemudian, Al-Deif akhirnya memutuskan untuk melanjutkan diskusi.
Kali ini tanpa menyertakan Handaru dan Abu Ubaidah.

253
Di luar lingkaran diskusi, Handaru menatap puas pada Abu Ubaidah yang kembali
berdiri sejajar dengannya. Mereka bertukar tatapan. Dia berhasil menyakinkan Abu Ubaidah
untuk mengembangkan ide sederhana-nya.

Di tengah keheningan malam yang tak dinodai lesatan jet-jet tempur Israel, diskusi
masih berlangsung, hingga dua jam kemudian. Di antara awan-awan kelabu yang berarak di
depan rembulan, untaian bait kata mewarnai keenam insan beda generasi itu. Pertukaran ide
masih mendengung di ruangan itu, meramaikan hening.

Kurang lebih tiga jam kemudian, rapat berakhir. Raut wajah para petinggi itu lebih
ringan. Cerah. Esok hari adalah pembuktian. Apakah gagasan Handaru itu berhasil atau tidak.
Meskipun begitu, keempat petinggi itu meninggalkan ruangan dengan kepala tegak. Siap
menyambut hari penuh berkah—yang diawali dengan munculnya matahari di ufuk timur—
apa pun hasilnya.

Kemenangan itu dekat, bagi mereka yang meyakininya.

254
21

Senja Terbakar di Langit Al-Aqsa

Dengan sabar, kelima belas mujahidin mengantarkan para lansia meninggalkan komplek
Masjidil Aqsa. Semua jemaah menuruti instruksi yang diberikan. Saat khotbah salat Jumat
tadi imam menyampaikan bahwa akan ada situasi genting yang akan terjadi. Oleh karenanya,
mujahidin gabungan itu hadir untuk membantu mereka.

Setelah seluruh komplek Al-Aqsa steril, kelima belas mujahidin itu—sesuai dengan
instruksi Al-Deif—berkumpul di aula utama masjid untuk bertilawah. Sebagai penutup,
mereka berdoa seperti doa Rasulullah saw. saat akan menghadapi perang Badar.

“Ya Allah, inilah pasukan kaum Yahudi yang telah datang dengan kecongkakan dan
kesombongannya. Mereka hendak menentang-Mu dan mendustakan Rasul-Mu. Ya Allah,
turunkanlah pertolongan-Mu yang telah Engkau janjikan kepadaku. Ya Allah, kalahkanlah
mereka!”[29] Segera setelahnya, mereka menyebar ke posisi masing-masing.

Di atap masjid, di belakang tiang serambi masjid, atau di balik jendela masjid. Menyongsong
senapan AK-47 dan M-16 di depan mata, bersiap menekan pelatuk dan melepaskan timah
panas, mengincar lawan. Tepat setelah perintah diberikan.

Handaru, yang oleh Al-Deif diberi penghargaan—sebagai imbalan atas ide


briliannya—berdiri di balik tiang penyangga serambi masjid, dekat pintu masuk utama. Tidak
lagi menenteng handycam, melainkan senapan M-16. Dengan ketelatenan Salman yang
mengajarinya cara melepas dan memasang magasin, membidik, menahan hentakan saat
menembak, dan cara menembak dengan presisi melambungkan kepercayaan diri dan
semangat Handaru. Kini, dia siap dengan memperjuangkan impiannya sewaktu dia
mewawancarai Mohammed.

Di seberang kanannya, Abu Ubaidah menatapnya lekat-lekat.

[29]
Dikutip dari buku Sirah Nabi karya Al-Rahiq Al-Makhtum dengan perubahan pada kata Quraisy menjadi
Yahudi.

255
Handaru memahami makna tatapan itu. Oleh karena itulah dia mengangguk.
Sementara itu, sang Komandan Brigade, Al-Deif berdiri berdiri tegap di sisi kirinya.
Membidik dengan M-16-nya ke depan. Dengan kesabaran tinggi, menunggu.

Keheningan yang masih meliputi Al-Aqsa membawa pikiran Handaru saat dirinya
bersama empat belas mujahidin lainnya berangkat dari RSI delapan jam yang lalu dengan
menaiki dua truk M-35. Menjalani misi menjemput syahid dan kemuliaan dari Langit.
Selanjutnya, enam jam kemudian, mereka—yang telah mengenakan seragam pasukan khusus
Israel—Sayeret Matkal, berhasil menerobos perbatasan Erez tanpa dicurigai. Proses itu lebih
mudah ketika di waktu bersamaan belasan truk M-35 lain juga mengantre untuk
meninggalkan Gaza. Menyiapkan diri untuk agresi militer besar-besaran. Tiga setengah jam
kemudian, mereka tiba di Baitul Maqdis sudah menunaikan salat Jumat bersama ratusan ribu
jemaah lain.

Handaru mengamati senapan M-16 yang digenggamnya erat-erat. Jari manis


kanannya ada pada pelatuk, sedangkan tangan kirinya menyangga bagian depan senapan. Dia
menatap senapan buatan Amerika itu lekat-lekat. Seolah-olah dengan begitu dirinya
mendapatkan sebuah penjelasan konkret mengapa dirinya mengambil keputusan ini. Untuk
kali pertama, dia memegang senjata sungguhan. Dan, dia tersenyum tipis membayangkan apa
yang akan dikatakan Wiganda padanya.

“Psst! Hei, Handaru!”

Cepat-cepat Handaru menoleh pada sumber suara. Dia mendapati Abu Ubaidah
mengetuk-ngetuk pergelangan tangan kirinya. Handaru merlirik arloji yang melingkar di
pergelangan tangan kirinya, lalu dia berkata padanya bahwa sekarang jam empat lebih.

Ketegangan mulai merambat.

Menyeruak dari dinding-dinding masjid.

Di kejauhan, warna jingga menyala menyinari hamparan komplek Baitul Maqdis dari
sisi barat. Debu-debu beterbangan dan menari-nari dalam pusaran angin. Daun-daun
bergoyang tertiup angin. Keadaan begitu hening. Tidak ada seorang pun yang beredar di atas
komplek masjid seluas sepuluh kali lapangan sepak bola ini.

Senyap.
256
Bagi Handaru, ini akan menjadi senja yang terkenang untuk selamanya. Untuk inilah
dia mendongak dan menggumamkan surat Gofir ayat 44. Aku serahkan urusanku kepada
Allah, sesungguhnya Allah Maha Tahu terhadap hamba-hamba-Nya.

Sekonyong-konyong, dari kejauhan muncul sosok Salman Al-Qatiri. Dia melesat


kencang hingga berjarak beberapa meter dari Handaru dan rekan-rekannya. Di antara helaan
napasnya, dia berteriak, “Bersiaplah! Mereka datang!” Sebelumnya, dia ditugasi Abu
Ubaidah untuk mengawasi sisi timur Masjid Al-Aqsa. Akhirnya, dia membungkuk sambil
mencengkeram kedua lututnya di depan Handaru dan para rekannya. Napasnya tersengal.
Satu tarikan, satu embusan. Dia mencoba menata kalimatnya. “Me ... mereka datang! Jumlah
... jumlah ... mereka ratusan. Mungkin ribuan!”

Mendengar itu, Abu Ubaidah dan Handaru, yang saat ini berdiri di kedua sisi Salman,
saling bertukar pandangan.

“Apa mereka membawa artileri berat?” Tanya Al-Deif yang baru menggabungkan
diri.

“Tidak, Pak,” Salman berhenti sejenak. Dia menegakkan punggung, menghirup napas
panjang. “tapi mereka membawa banyak RPG—roket luncur! Tampaknya, mereka benar-
benar serius ingin menghancurkan tempat ini!”

Al-Deif memandangi Salman selama beberapa waktu. “Segera kembali ke posmu.”


Lalu, dia melihat sekeliling dan berteriak lantang, “Bersiaplah! Dan, tunggu aba-abaku!”
Seketika, para mujahidin—termasuk Handaru—meneguhkan diri pada posisi masing-masing,
menyongsong senapan, dan mengarahkan bidikan ke sisi timur masjid. Sangat siap untuk
mengatasi ombak besar yang akan bergelung datang.

Salman mengambil posisi pada dua tiang setelah Handaru di sisi kanan.

Abu Ubaidah mendekati Handaru yang berjongkok dengan satu kaki. Dia kemudian
menepuk pundaknya. “Kau siap dengan ini?”

“Insyaallah. Inilah jalan yang kupilih.” Handaru berkata tanpa menoleh pada lawan
bicaranya. Mata kirinya terpejam, sedangkan mata kanannya sedang fokus pada titik bidik.

“Tetaplah berada di dekatku. Kau mengerti?”

257
“Siap, Pak.”

Saat Abu Ubaidah hendak mengembangkan senyum dari balik kafiyeh-nya, nyaris
seketika itu juga Al-Deif berteriak. “Serangan datang!”

Tiba-tiba saja .... syiuuut ... kabooommmm!

Dalam sekejap mata, serpihan-serpihan lantai komplek masjid beterbangan dan


berserakan, bergemerisik. Asap tebal mengepul dan berarak. Memangkas jarak pandang.
Pelan-pelan dari baliknya, sebuah lubang raksasa yang menganga nampak. Sebagian
mujahidin yang tak sengaja menghirup asap itu seketika terbatuk-batuk.

Menyadari situasi makin memburuk Handaru menelan ludah. Bergidik. Nyaris


gemetaran. Kendati demikian, dia tetap meneguhkan diri untuk tidak mengibarkan bendera
putih. Dia menghela napas panjang, menguatkan diri, dan kembali memantapkan posisi
setelah sebelumnya tersentak mundur.

“Semua baik-baik saja?” Teriak Al-Deif kepada semua orang. “Hei, pemuda
Indonesia! Kau tidak apa-apa?”

Meskipun sedikit linglung akibat keterkejutan dan bunyi ledakan, Handaru


mengacungkan jempolnya. Memberikan sedikit ketenangan untuk Al-Deif.

Bersamaan dengan itu, suara desingan peluru muncul. Melesat. Lambat laun mulai
mencerca telinga. Mengoyak dinding masjid. Bunyi rentetan tembakan menyeruak kemudian.
Membersamai teriakan takbir. Baku tembak mulai mengambil tempat.

“Mereka telah menembak! Serang balik!” Teriak Abu Ubaidah.

Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar! Laa ilaaha illallah muhammadur
rasulullah!

Peluru demi peluru melesat. Granat demi granat melayang, meledak, memporak-
porandakan halaman masjid. Mencungkil dinding, lantai. Tubuh, satu demi satu terjengkang,
tersentak ke belakang, mengempas lantai. Teriakan demi teriakan menyertai ruh yang
berjumpa Izrail. Bersatu padu di bawah senja ini.

Sesekali, di suatu waktu tertentu, setelah melepaskan beberapa peluru dengan


senapannya, Handaru mengedarkan pandangan ke sekeliling dan mendapati warna merah
258
bercampur ungu menyatu dengan senja yang menerpa. Benaknya menggambarkan suasana
saat ini seperti nuansa senja yang terbakar. Menyelimuti Al-Aqsa dengan ribuan nestapa,
cucuran darah, dan erangan penuh penderitaan.

Seiring berjalannya waktu, awan kelabu berarak menanungi ratusan pasukan zionis
yang lambat laun berkerumun, berkumpul di depan masjid Kubah As-Shahkrah. Membentuk
formasi tempur yang teratur. Dengan kekuatan besar, mereka merayap maju. Berniat
mengepung masjid. Satu demi satu terpelanting, mereka tidak peduli. Jumlah mereka jauh
lebih besar. Nyaris menyerupai sebuah tsunami.

Keberanian mereka disambut dengan kepercayaan diri tinggi para mujahidin.


Senandung kematian saja mereka acuhkan, jumlah besar pun bukan persoalan. Kendati tidak
sedikit peluru yang berhasil bersarang di tubuh para mujahidin.

***

Di saat yang bersamaan, jauh di luar zona merah, Eden turun dari mobil Jeep Cherokee warna
putih. Di depannya berdiri gerbang Singa—sama seperti gerbang-gerbang lainnya—yang
kokoh. Sayup-sayup telinganya menangkap bunyi rentetan tembakan yang bersahut-sahutan.
Berhenti sesaat lalu menyeruak lagi, berisik.

Juga bunyi dentuman bom yang menyeruak. Di waktu yang lain, matanya mendapati
asap hitam mengepul yang berarak ke udara, nyaris menyerupai sebuah tangan yang akan
merengkuh langit. Lampu-lampu di sekitar gerbang tampak menyala redup.

“Aku terlambat,” katanya sesaat setelah menyadari bahwa tidak ada seorang pun di
sekelilingnya. Demi mempersingkat waktu, dia segera melangkah menuju arena pertempuran
yang sedang bergejolak. Tepat setelah melintasi gerbang, beberapa prajurit IDF yang tampak
kacau berjalan tertatih-tatih ke arahnya memantik perhatiannya.

Dia mengamati satu per satu wajah-wajah sarat keletihan, luka gores, berbalur pasir
dan debu itu. Pakaian compang-camping, robek di sana-sini. Salah seorang dari mereka, yang
berjalan dengan langkah gontai seorang diri, mendadak ambruk. Melihat prajurit itu, cepat-
cepat Eden menghampirinya dan dengan sedikit tenaga membantunya berdiri.

“Toda Raba.”[29] Kata prajurit itu parau. Dia mengangkat tangannya.

259
“Bevakasha.[30] Apa yang terjadi?”

“Mereka,” tentara IDF yang sebelah matanya terpejam dan mengucurkan darah itu tiba- tiba
terbatuk-batuk. “Mereka menggempur balik kami. Pa … padahal … jumlah mereka hanya bel
... belas … belasan orang!” Prajurit itu seketika terbatuk lagi dengan lebih keras hingga
menggelontorkan darah dari dalam mulutnya. Eden yang benar-benar tidak tega melihat
kondisi prajurit itu, mengatakan bahwa dia bisa membantunya berjalan menuju rumah sakit
terdekat.

Prajurit itu justru berkata, “Lo—tidak. Biarkan aku menyelesaikan ini sendirian.”

Mengerahkan seluruh sisa tenaga, prajurit itu perlahan menegakkan satu demi satu
kakinya, meminta Eden untuk melepaskan pegangannya. Meskipun masih tampak terhuyung-
huyung, dia memaksakan diri berjalan. Meninggalkan Eden. Jauh. Semakin menjauh.

Dari kejauhan, Eden menyaksikannya tetap berjalan hingga akhirnya menghilang di


balik pintu gerbang. Perhatian Eden teralihkan saat mendengar suara dentuman ledakan yang
kembali menggelegar. Suara itu seketika menyadarkannya bahwa dia harus segera menemui
Handaru. Menepati janjinya untuk mengembalikan buku catatan milik pemuda itu yang
dicuri-nya.

Bergegaslah dia menyusuri jalan berliku-liku di komplek Muslim, gang-gang sempit,


deretan rumah penduduk yang menyerupai kardus tak beraturan, hingga sampailah dia di
tangga yang terletak di gerbang Suq El-Qatanin. Dia melintasinya untuk mencapai halaman
depan Masjid Dome of Rock.

Di atas situ, dia begitu tertegun. Berdiri membeku dengan bibir terbuka, mata
terbelalak, pundaknya serta-merta melorot, dan jantungnya berdegup kencang taktala dirinya
menyaksikan seluruh komplek Al-Aqsa diselubungi kabut tebal, mengepul. Darah berceceran
di berbagai sudut. Dinding, lantai, pohon. Aroma amis menguar. Menyertai jasad yang
bergelimpangan di sana-sini. Sudah ada ratusan.

[29]
Terima kasih banyak (dalam Bahasa Ibrani).
[30]
Sama-sama.

260
Di sekitarnya, dia mengenal baik berbagai senapan buatan lokal yang berserakan—
Tavor, Senapan Mesin IMI Negev, roket B-300. Matanya tiba-tiba memanas dan seketika
melelehkan sebutir air dari sudut matanya. Dia menangis dalam diam. Celaka, dia terlambat.
Sungguh terlambat. Sebuah kesalahan yang tidak bisa ditolerir.

Ketika mengangkat wajah—dan melihat ke arah barat—dia mendapati beberapa puluh


tentara IDF berjalan setengah berdiri menuju balik pepohonan, berdiam di sana sesaat untuk
menunggu kesempatan menembak. Satu-dua di antara mereka yang kurang beruntung harus
mendapatkan kenyataan tertembak. Di bahu, dada, paha, kaki, perut. Mengerang-ngerang.
Merepotkan kawannya karena harus menyeret ke tempat aman untuk mendapat pengobatan.

Ada yang merangkak di antara mayat rekan-rekannya yang berkelindan, mencoba


mendekati senapan dan berniat membidik lawan. Namun, usahanya gagal karena terlebih
dulu peluru menembus kepalanya, menghilangkan nyawanya.

Dua menit kemudian, setelah dia mampu menguasai diri, Eden menebarkan
pandangan ke sekeliling. Dengan tatapan nanar, matanya memindai setiap sudut. Mengamati
setiap pelosok. Dan, betapa terkejutnya dia saat mendapati Handaru—yang mengenakan
seragam militer warna coklat muda, dengan ikat kepala berwarna hijau, wajah penuh
belonteng diagonal garis hitam hijau, dan satu-satunya yang tidak mengenakan kafiyeh—
bersandar di balik tiang masjid selama beberapa detik, sebelum akhirnya memutar badan dan
menembak beberapa personel IDF yang mulai merangsek. Meski cenderung ngawur, satu-dua
peluru berhasil menembus sasaran dengan baik.

Beberapa detik kemudian, dia melihat pemuda itu menyampirkan senapannya ke


belakang punggung dan menunduk. Berlari sambil berteriak menghampiri Salman Al-Qatiri
yang mengerang kesakitan di dekat Museum Islam. Salman berhasil diamankan Handaru
setelah melalui sedikit perdebatan. Akhirnya, Handaru menyeret Salman Al-Qatiri—dengan
satu tangan—menuju Masjid Al-Aqsa yang pintu depannya sedang terbuka.

Dari ambang pintu, beberapa rekannya berteriak, melambaikan tangan. Memintanya


mempercepat. Di balik punggungnya, musuh menguntit. Selanjutnya, Handaru menembakkan
pistol yang diambilnya dari kantong di paha kanannya. Mengincar musuh dengan beringas.
Ingin mengumumkan betapa murkanya dia.

261
Jantung Eden terasa seperti melompat dari dalam dadanya saat melihat seorang
tentara khusus IDF—yang berjalan mengendap-endap sambil setengah berdiri, mencari posisi
terbaik di balik pohon cemara yang menjulang—menembakkan peluru yang tepat mengoyak
betis kanan Handaru. Seketika itu dia melihatnya terjatuh dan mengerang kesakitan.

Kendati demikian, Handaru masih memaksakan diri untuk melompat berdiri, kembali
menarik kerah baju Salman Al-Qatiri—yang terluka di bagian ulu hati, dan berjalan pincang
secepat mungkin menggunakan kaki kirinya. Terseret-seret? Menahan rasa sakit tak terperih
nan terbakar? Tidak peduli. Dia tidak ingin selamat sendirian dalam kondisi seperti ini.

Hati Eden semakin remuk taktala melihat prajurit yang tadi menembak betis kanan
Handaru kini melempar granat ke arah serambi depan Al-Aqsa. Eden tahu betul di mana
jatuhnya granat itu. Maka, mendadak dia membeku. Badannya gemetaran. Setiap kali dia
berkedip, air mata deras mengaliri pipinya. Dia hendak berteriak, tetapi gagal. Kata-kata
tercekat di tenggorokannya.

Handaru membuang pistolnya.

Pelurunya habis.

Beruntung, dia hanya berjarak sepelemparan batu dari ambang pintu utama masjid.
Tepat di saat itulah, ketika dia mengangkat wajah dan menatap kejauhan, dia mendapati
sosok perempuan berkaos hitam, berompi abu-abu, lengkap dengan sehelai kafiyeh yang
tergantung di lehernya. Berkibar-kibar membersamai rambut panjang hitamnya.

Dia berdiri seorang diri di antara asap hitam mengepul yang berarak, mayat-mayat
yang bergelimpangan, dan beberapa tentara IDF yang saling membopong, meninggalkan area
pertempuran—membawa rasa takut, kekecewaan, dan kelelahan hebat.

Waktu seolah berjalan sangat lambat.

Temui aku esok saat matahari senja menyinari Masjid Kubah. Handaru sekonyong-
konyong mengingat kalimat itu. Oleh karena tidak ada yang bisa dia perbuat, dia
memalingkan pandangan dan menunduk. “Bertahanlah, Salman! Kau akan sembuh. Tetaplah
bersama ....” Handaru menghentikan kalimatnya karena mendapati sepasang mata Salman
sudah terpejam. Senyum menggenapinya.

262
Keterkejutan Handaru bertambah ketika teliganya menangkap suara benda keras
menggelinding ke arahnya. Klutuk. Klutuk. Dan, Handaru hanya diam saja ketika mengetahui
apa wujud dari suara itu.

“Granat! Cepat pergi dari sana!” Seseorang berteriak memperingatkan.

Bukannya cepat-cepat melesat atau melompat, Handaru justru tertegun. Menahan


napas dan memejamkan mata. Handaru meraih buku catatannya dari dalam kantong peluru
yang melingkar di pinggangnya. Melemparnya sekuat sisa tenaga jauh-jauh. Granat itu
semakin dekat. Dan, saat granat itu terhenti di pinggang Salman, Handaru bergumam.
Semoga Eden menemukan buku ini, dia mendongak seraya bergumam. “La illaha iilallah
muhammadur rasulullah ....”

Tak sampai satu detik kemudian ... jedhuarrrr!!

Energi dahsyat termuntahkan. Kolaborasi menawan antara suhu dan gas. Pelan tapi
pasti merangkak naik, merengkuh langit. Asap membungkus Baitul Maqdis. Mendengar
bahana mencekam itu, Eden segera mengangkat kedua lengannya di depan wajah. Seolah-
olah ingin menangkis sesuatu yang akan menyakitinya.

Saat menurunkan kedua lengannya untuk memandang kejauhan, dia terganga ketika
hanya mendapati debu-debu yang berarak. Melingkupi bagian depan masjid. Sesuatu dalam
hati dan benaknya seketika menghentak—dan memaksanya—untuk menjejakkan kaki.
Berlari sekencang mungkin menuju satu arah. Dan, tepat saat itu juga, tanpa pikir panjang,
Eden sudah melesat menuruni tangga. Menyusuri jalan utama komplek Al-Aqsa. Menerobos
kepungan debu beterbangan. Cepat-cepat dia ingin sampai di serambi depan Masjid Al-Aqsa.

Saat asap mulai menipis, larinya melambat.

Berhenti.

Teriakan Eden memanggil nama Handaru berulang-ulang mengiringi pandangannya


yang memindai sekitar. Dia berjalan ke sana kemari sambil terus meneriakkan nama yang
sama. Namun, sayang sekali yang dia cari tak kunjung menampakkan diri. Harapan kosong
menjejali benaknya. Membuatnya kelimpungan dalam ketiadaan. Gema takbir menjadi
senandung yang mengiringi pergerakannya.

263
Saat asap bercampur debu—seiring waktu—beranjak menipis hingga sempurna
hilang, Eden mendapati sejumlah mujahidin sedang bersujud. Namun, itu tidak menarik
minatnya karena menemukan Handaru di tengah kekalutan ini adalah ambisinya. Selain itu
dia juga tidak peduli sisa debu menyergap wajahnya. Dia bergerak tiga langkah ke timur,
berhenti. Berjalan empat langkah ke barat, berhenti.

Saat hampir semua arah dia jelajahi, dia baru benar-benar berhenti ketika sebuah buku
berukuran A5 tersapu kena kaki kanannya. Penasaran, mata Eden terancap pada buku yang
berdebu itu. Setelah lima detik, dia membungkuk dan menggengamnya. Dengan telapak
tangan lembutnya dia mengusap-usap sampul buku itu hingga terlihat sebuah tulisan. Let’s
Liberate Palestine!

Di sekitarnya, orang-orang masih menyerukan takbir. Sebagian mujahidin


mengangkat senapan mereka tinggi-tinggi, merayakan kemenangan. Beberapa yang lain
memeriksa jasad tentara IDF yang bergelimpangan. Nyaris menyesaki pekarangan masjid.
Beberapa pejuang yang terluka mendapat perawatan dari rekannya. Baik itu balutan perban di
kepala, lengan, atau sebagian wajah.

Eden menahan napas beberapa detik sebelum mengembuskannya. Dia memaksa diri
membuka halaman pertama buku itu. Jantungnya mendadak nyaris berhenti berdegup ketika
mengetahui bahwa buku itu ditulis oleh Handaru. Sebuah laporan. Selalu ada nama Handaru
Lawana di bagian akhirnya. Lengkap dengan tempat dan tanggal penulisannya.

Lembar demi lembar dia buka dengan keberanian yang dipaksakan. Hampir di setiap
halaman dia mendapati foto dan pesan yang ditulis oleh Handaru. Seiring dengan semakin
banyaknya halaman yang dibuka, dia merasakan dorongan untuk langsung membuka
halaman belakang.

Keinginannya itu ternyata harus dibayar mahal. Sangat mahal. Remuk hatinya hingga
menyisakan kepingan-kepingan kecil. Kedua tangannya—yang menggengam kedua sisi
buku—gemetaran. Dagunya dan bahunya bergoncang. Beberapa waktu kemudian dia jatuh.
Mendaratkan kedua lututnya di atas lantai yang telah koyak. Ada sebuah surat dengan tulisan
tangan menggunakan bolpoin di situ.

Eden—bolehkah aku memanggilmu dengan nama aslimu itu?Aku akan membuka


surat ini dengan kalimat: Semua orang di muka bumi ini tentu memiliki masa lalu yang
264
kelam. Oleh karenanya, bukanlah sebuah persoalan besar tentang siapa dirimu yang
sebetulnya saat ini. Selain itu, keinginanmu untuk berubah adalah keputusan terbaik
dibandingkan meratapi hal diluar kendalimu di masa silam.

Sebisa mungkin berusahalah untuk percaya pada rida-Nya. Kita bisa melewati ini
bersama-sama. Aku akan menemanimu. Untuk alasan inilah, aku ingin membawamu ke
tempat yang lebih baik. Di mana? Di tanah para pejuang. Selain itu, aku ingin mengatakan
bahwa aku memendam rasa padamu, Eden. Maka, aku ingin mendatangimu bersama dengan
rida-Nya. Sehingga, kita bisa menjalin romansa keindahan beribadah bersama pada-Nya.
Aku berdoa agar itu terwujud. Namun, jika tidak aku pun rela melepasnya. Tidak apa.

Terakhir dariku. Eden.

Ingatlah satu hal: Jalanilah hidup yang singkat ini dengan penuh keikhlasan.
Yakinlah bahwa tiada yang kau takuti selain Allah. Insyaallah, hidupmu akan dilimpahi
rahmat dan hidayah. Aku ingin mengucapkan terima kasih padamu, Eden. Terima kasih telah
memberikanku tambahan semangat. Dan, tetesan embun menyejukkan. Semoga, kita di
pertemukan di surga-Nya kelak. Aamiin.

Rumah Sakit Indonesia, Beit Lahiya. Selasa, 3 Juli 2016

“Jadi ... i ... inikah yang ingin Handaru lakukan padaku?” Eden menyeka hidungnya.
Matanya basah. “Ternyata … dia berpikir sejauh ini ....” Sekonyong-konyong dia teringat
pesan dari ibunya yang setiap malam dia sampaikan untuknya.

Suatu saat nanti, saat kau hampir mengibarkan bendera putih, akan datang
seseorang yang akan menolongmu. Kata-kata ibunya menggema di benaknya. Merasuk ke
jiwanya. Menyentuh relung hatinya. Dan, untuk alasan inilah tiba-tiba saja dengan
mudahnya, Eden mengucap, “Asyhadu an laa ilaaha illallah, wa asyhadu anna muhammadar
rasulullah.” Dia berhenti sejenak karena dadanya sesak, lalu melanjutkan. “Asyhadu an laa
ilaaha illallah, wa asyhadu anna muhammadar rasulullah.”

Di antara para mujahidin yang menyisir seluruh komplek masjid dan


membersihkannya, Eden berhasil memenangkan pertarungan ini. Kemenangan yang sangat
manis setelah dia berhasil menaklukkan belenggu yang mengekang dirinya. Kini, dia telah

265
sukses memperoleh keindahan rohani. Merasakan kebebasan tak terkira. Kembali menjadi
bagian dari mereka yang selalu berserah diri pada Sang Khalik, Allah Azza Wa Jalla.

Alhamdulillah. Selesai di Malang, Jawa Timur.


Minggu, 30 Desember 2018
Pukul 05.47 WIB
La haula wala quwwata illa billah.

266

Anda mungkin juga menyukai