Anda di halaman 1dari 7

PENDAHULUAN

Sastra merupakan karya yang indah atau memiliki estetika yang dapat kita
nikmati sebagai sebuah hiburan karena sastra merupakan karya seni. Seni yang di
sajikan memiliki unsur ke indahan di dalamnya dan perkembangan terkait kehidupan
sosial yang ada di masyarakat seperti politik, ekonommi, agama, budaya dan
sebagainya. Dengan demikian sastra berfungsi untuk menuangkan pikiran dan perasaan
serta dapat mengetahui atau membaca pikiran dan perasaan orang lain melalui karyanya.
Karya sastra sebagai karya seni tidak dapat dilepaskan dengan aspek keindahan
di dalamnya. Keindahan merupakan salah satu dari aspek seni. Seni dan keindahan
dipadu dalam satu kesatuan dalam bentuk karya mampu menghadirkan sesuatu yang
menyentuh nurani pembaca. Pada perkembangan aspek estetika tidak hanya berbicara
tentang sesuatu yang indah akan tetapi juga terkait dengan perkembangan kajian sosial,
budaya, politik, ekonomi, agama dan sebagainya. Estetika mampu menembus ke segala
ruang kehidupan manusia tanpa batas. Hal ini terjadi karena estetika tidak hanya
berbicara soal keindahan yang nampak tetapi sesuatu yang abstrakpun dapat dijangkau
dalam kajian estetika. (Sugiarti, 2016)
A. Sudut Pandang Kajian Prosa Fiksi
Sudut pandang, point of view, viewpoint. merupakan salah satu unsur fiksi yang
oleh Stanton digolongkan sebagai sarana cerita, literary device. Walau demikian, hal itu
tidak berarti bahwa perannya d!ilam fiksi tidak penting. Sudut pandang haruslah
diperhitungkan kehadirannya, bentuknya, sebab pemilihan sudut pandang akan
berpengaruh terhadap penyajian cerita. Reaksi afektif pembaca terhadap sebuah karya
fiksi pun dalam banyak hal akan dipengaruhi oleh bentuksudut pandang.
B. Sudut Pandang Sebagai Unsur Fiksi
1. Hakikat Sudut Pandang
Sudut pandang, point a/view, menyaran pada cara sebuah cerita dikisahkan.
la rnerupakan cara dan atau pandangan yang dipergunakan pengarang sebagai sarana
untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar, dan berbagai peristiwa yang membentuk
cerita dalarn sebuah karya fiksi kepada pembaca (Abrams,1981: 142).
Sudut pandang pada hakikatnya merupakan strategi, teknik, siasat, yang
secara sengaja dipilih pengarang untuk mengemukakan gagasan dan ceritanya.
Segala sesuatu yang dikemukakan dalam karya fiksi, memang, milik pengarang,
pandangan hidup dan tafsirannya terhadap kehidupan. Namun, kesemuanya itu
dalarn karya fiksi disalurkan lewat sudut pandang tokoh, lewat kacamata tokoh
cerita.
Sudut pandang dalam karya fiksi mempersoalkan: siapa yang menceritakan,
atau: dad posisi mana (siapa) peristiwa dan tindakan itu dilihat. Dengan demikian,
pemilihan bentuk persona yang dipergunakan, di samping mempengaluhi
perkembarigan cerita dan masalah yang diceritakan, juga kebebasan dan
keterbatasan, ketajaman ketelitian, dan keobjektifan terhadap hal-hal yang
diceritakan.
Sudut pandang cerita itu sendiri secara garis besar dapat dibedakan ke dalam
dua macam: persona pertama, jisrt-person, gaya "aku" dan persona ketiga, third-
person, gaya "dia". Namun memiliki keterbatasan-keterbatas yang harus
diperhatikan yang juga harus diperhatikan.
2. Pentingnya Sudut Pandang
Sudut pandang dianggap sebagai salah satu unsur fiksi yang penting dan
menentukan Sebelum pengarang menulis cerita, mau tak mau, ia harus telah
memutuskan memilih sudut pandang tertentu. Ia harus telah mengambil sikap
naratif, antara mengemukakan cerita dengan dikisahkan oleh seorang tokohnya, atau
oleh seorang narator yang di luar cerita itu sendiri (Genette, 1980: 244).
Pemilihan sudut pandang tertentu memang membutuhkan konsekuensi di
samping ada berbagai kemungkinan teknis penyajian sudut pandang yang dapat
dimanfaatkan dan sekaligus dikreasikan oleh pengarang. Teknik penyajian sudut
pandang tertentu akan lebih efektif jika diikuti oleh pemilihan gramatika dan
retorika yang sesuai.
Penggunaan sudut pandang "aku" ataupun "dia", yang biasanya juga berarti:
tokoh aku atau tokoh dia, dalam karya fiksi adalah untuk memerankan dan
menyampaikan berbagai hal yang dimaksudkan pengarang. Ia dapat berupa ide,
gagasan, nilai-nilai, sikap danpandangan hidup, kritik, pelukisan, penjelasan, dan
penginformasian, dapat mencapai tujuan artistik.
Jika pengarang ingin menceritakan berbagai peristiwa fisik, aksi, bersifat
luaran dan dapat diindera, namun juga batin yang berupa jalan pikiran dan perasaan,
beberapa tokoh sekaligus dalam sebuah novel hal itu kiranya akan lebih sesuai jika
dipergunakan sudut pandang orang ketiga, khususnya yang bersifat mahatahu.
Sebaliknya, jika pengarang ingin melukiskan segi kehidupan batin manusia yang
paling dalam dan rahasia, hal itu tampaknya akan lebih kena jika dipergunakan
sudut pandang orang pertama.
3. Sudut pandang sebagai penonjolan
Penujsan karya fiksi, seperti pada umumnya penulisan sastra, tak pemah
lepas dari penyimpangan dan pembaharuan, baik hanya rneliputi satu-dua elemen
tertentu maupun sejurnlah elemen sekaligus dalam sebuah karya. Adanya
penyimpangan dan pernbaharuan dalam karya sastra, seperti dikemukakan,
rnerupakan hal yang esensial.
Dalam masalah pemilihan sudut pandang. Pengarang dapat saja melakukan
penyimpangan (mungkin berarti pula: pembaharuan) terhadap penggunaan sudut
pandang dari yang telah bias a dipergunakan orang. Dengan cara itu, ia ingin
menarik perhatian pembaca sehingga segal a sesuatu yang diceritakan dapat lebih
memberikan kesan.
Penyimpangan itu bisa berupa cerita yang erotis namun bagi anak-anak itu
adalah cerita yang lucu, berbeda dengan presepsi orang dewasa cerita tersebut bisa
dilihat menggunakan sudut pandang anak-anak tetapi pikiran orang dewasa akan
berbeda dengan anak-anak hal ini disebut sebagai penyimpangan sudut pandang
sebagai penonjolan sesuatu untuk memperolek efek tertentu.
C. Macam-Macam Sudut Pandang
Sudut pandang dapat banyak macamnya tergantung dari sudut mana ia
dipandang dan seberapa rinei ia dibedakan. Friedman (dalam Stevick, 1967. 118)
mengemukakan adanya sejumlah pemertanyaan yang jawabnya dapat dipergunakan
untuk membedakan sudut pandang. Pertanyaan yang dimaksud adalah sebagai berikut.
Sudut pandang cerita itu sendiri secara garis besar dapat dibedakan ke dalam dua
macam: persona pertama, jisrt-person, gaya "aku" dan persona ketiga, third-person,
gaya "dia".
1. Siapa yang berbicara kepada pembaca (pengarang dalam persona ketiga atau
pertama, salah satu pelaku dengan "aku", atau seperti tak seorangpun?)
2. Dari posisi mana cerita itu dikisahkan (atas, tepi, pusat, depan, atau berganti-
ganti)?
3. Saluran informasi apa yang dipergunakan narator untuk menyampaikan
ceritanya kepada pembaca (kata-kata, pikiran, atau persepsi pengarang; kata-
kata, tindakan, pikiran, perasaan, atau persepsi tokoh?)
4. Sejauh mana narator menempatkan pemb'aca dari ceritanya (dekat, jauh, atau
berganti-ganti).
Selain itu pembedaan sudut pandang juga dilihat dad bagaimana kehadiran cerita
itu kepada pembaca: lebih bersifat penceritaan, telling, atau penunjukkan, shO'rl'ing,
naratif atau dramatik.
1. Sudut pandang pesona pertama “aku”
Dalam pengisahan cerita yang mempergunakan sudut pandang pesona pertama,
first person point of view, “aku”, jadi: gaya “aku”. Narator adalah sese orang ikut
terlibat dalam cerita. Ia adalah si “aku” tokoh yang berkisah, mengisahkan kesadaran
dirinya sendiri, self-consciousness, mengisahkan peristiwa dan tindakan, yang
diketahui, dilihat, didengar, dialami, dan dirasakan, serta sikapnya terhadap orang
(tokoh) lain kepada pembaca. Jadi, pembaca hanya dapat melihat dan merasakan secara
terbatas seperti yang dilihat dan dirasakan tokoh si ‘aku’ tersebut.
Sudut pandang orang pertama masih bisa dibedakan menjadi beberapa bagian antara
lain:
a) “Aku” Menjadi Tokoh Utama
‘Aku’ tokoh utama. Dalam sudut pandang teknik ini, si ‘aku’
mengisahkan berbagai peristiwa dan tingkah laku yang dialaminya, baik yang
bersifat batiniyah, dalam diri sendiri, maupun fisik, dan hubungannya dengan
sesuatu yang di luar dirinya.
Si ‘aku’ menjadi fokus pusat kesadaran, pusat cerita. Segala sesuatu yang
di luar diri si ‘aku’, peristiwa, tindakan, dan orang, diceritakan hanya jika
berhubungan dengan dirinya, di samping memiliki kebebasan untuk memilih
masalah-masalah yang akan diceritakan. Dalam cerita yang demikian, si ‘aku’
menjadi tokoh utama.
b) “Aku” Menjadi Tokoh Tambahan atau Sampingan
‘Aku’ sebagai tokoh tambahan. Dalam sudut pandang ini, tokoh ‘aku’
muncul bukan sebagai tokoh utama, melainkan sebagai tokoh tambahan (first
pesonal peripheral). Tokoh ‘aku’ hadir untuk membawakan cerita kepada pembaca,
sedangkan tokoh cerita yang dikisahkan itu kemudian ”dibiarkan” untuk
mengisahkan sendiri berbagai pengalamannya.
c) Sudut Pandang Orang Pertama Jamak
Ini mirip dengan Sudut Pandang Orang Pertama Tunggal, hanya saja
menggunakan kata ganti “kami”. Narator menjadi seseorang dalam cerita yang
bicara mewakili beberapa orang atau sekelompok orang.
Tokoh cerita yang dibiarkan berkisah sendiri itulah yang kemudian menjadi
tokoh utama, sebab dialah yang lebih banyak tampil, membawakan berbagai peristiwa,
tindakan, dan berhubungan dengan tokoh-tokoh yang lain. Setelah cerita tokoh utama
habis, si ‘aku’ tambahan tampil kembali, dan dialah kini yang berkisah. Dengan
demikian si ‘aku’ hanya tampil sebagai saksi saja. Saksi terhadap berlangsungnya cerita
yang ditokohi oleh orang lain. Si ‘aku’ pada umumnya tampil sebagai pengantar dan
penutup cerita
2. Sudut pandang pesona ketiga: “Dia”
Pengisahan cerita yang mempergunakan sudut pandang pesona ketiga. Narator
adalah seseorang yang berada diluar cerita yang menampilkan tokoh-tokoh cerita
dengan menyebut nama, atau kata gantinya: ia, dia, dan mereka atau kata ganti lainnya.
Sudut pandang ‘dia’ dapat dibedakan ke dalam dua golongan berdasarkan tingkat
kebebasan dan keterikatan pengarang terhadap bahan ceritanya:
a) ‘Dia’ Mahatahu.
Dalam sudut pandang ini, narator dapat menceritakan apa saja hal-hal yang
menyangkut tokoh ‘dia’ tersebut. Narator mengetahui segalanya, ia bersifat
mahatahu (omniscient). Ia mengetahui berbagai hal tentang tokoh, peristiwa, dan
tindakan, termasuk motivasi yang melatarbelakanginya.
Ia bebas bergerak dan menceritakan apa saja dalam lingkup waktu dan
tempat cerita, berpindah-pindah dari tokoh ‘dia’ yang satu ke ‘dia’ yang lain,
menceritakan atau sebaliknya ”menyembunyikan” ucapan dan tindakan tokoh,
bahkan juga yang hanya berupa pikiran, perasaan, pandangan, dan motivasi tokoh
secara jelas, seperti halnya ucapan dan tindakan nyata.
b) ‘Dia’ terbatas (‘dia’ sebagai pengamat).
Dalam sudut pandang ini, pengarang mempergunakan orang ketiga sebagai
pencerita yang terbatas hak berceritanya, terbatas pengetahuannya (hanya
menceritakan apa yang dilihatnya saja).
c) Sudut Pandang Orang Ketiga Objektif
Narator melukiskan semua tindakan tokoh dalam cerita namun tak
mengungkapkan apa yang dipikirkan serta dirasakan oleh tokoh cerita. Penulis
hanya boleh menduga apa yang dipikirkan, atau dirasakan oleh tokoh ceritanya.
d) Sudut Pandang Orang Ketiga Jamak
Penulis menuturkan cerita berdasarkan persepsi atau kacamata kolektif.
Penulis akan menyebut para tokohnya dengan menggunakan kata ganti orang ketiga
jamak; “mereka”.
3. Sudut pandang campuran
Penggunaan sudut pandang dalam sebuah novel mungkin saja lebih satu teknik.
Pengarang dapat berganti-ganti dari teknik satu ke teknik yang lain untuk sebuah cerita
yang dituliskannya.
Penggunaan sudut pandang yang bersifat campuran itu di dalam sebuah novel,
mungkin berupa penggunaan sudut pandang persona ketiga dengan teknik "dia"
mahatahu dan "dial! sebagai pengamat, persona pertama dengan teknik "aku" sebagai
tokoh utama dan "aku" tambahan atau sebagai saksi, bahkan dapat berupa campuran
antara persona pertama dan ketiga, antara "aku" dan "dia" sekaligus.
Aku" dan "Dia". Dewasa ini dapat kita jumpai adanya beberapa novel Indonesia
yang mempergiJnakan dua sudut pandang "aku" dan "dia" seeara bergantian."
Mula~mula cerita dikisahkan dad sudur "aku", namun kemudian ter;adi pergantian ke
"dia", dan kembali lagi ke "aku".
Temyata untuk jenis sa~;tra fiksi, teknik penyudutpandangan tersebut terasa
mampu memberikanefek kebaruan, angin segar yang tak membosankan bagi pencerapan
indera kita-suatu bentuk pengucapan yang oleh kaum formalis disebut sebagai sifat
deotomatisasi sastra.

D. DAFTAR PUSTAKA
Abrams, M.H. 1981. A Glossary of Literary Terms. New York: Holt, Rinehart and

Winston.

Genette, Gerald. 1980. Narrative Discourse. Oxford: Cornell University Press.

Stevick, Philip (ed). 1967. The Theory of the Novel. New York: The Free Press.

Nurgiyantoro, Burhan. 2010. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada

University Press.

Anda mungkin juga menyukai