Anda di halaman 1dari 11

Macam-macam Sudut Pandang Dalam Menulis

Cerita
Sudut Pandang (point of view) adalah elemen yang tidak bisa ditinggalkan dalam membangun cerita
pendek. Sudut pandang adalah cara pengarang menempatkan dirinya terhadap cerita, dari sudut mana
pengarang memandang ceritanya. Sudut pandangan tokoh ini merupakan visi pengarang yang dijelmakan ke
dalam pandangan tokoh-tokoh bercerita. Jadi sudut pandangan ini sangat erat dengan teknik bercerita.
Sudut Pandang adalah salah satu unsur fiksi yang menjadi kunci kesuksesan cerita. Sebelum kita menulis
cerita, harus memutuskan untuk memilih dan menggunakan sudut pandang tertentu di dalam cerita yang akan
kita buat. Kita harus sudah bisa mengambil sikap naratif, antara mengemukakan cerita dengan dikisahkan
oleh seorang tokohnya, atau oleh seorang narator yang diluar cerita itu sendiri.

Macam-macam Sudut pandang


Sudut Pandang Persona Ketiga Dia
Pengisahan cerita yang mempergunakan sudut pandang persona ketiga, gaya Dia, narator adalah seseorang
yang berada di luar cerita yang menampilkan tokoh-tokoh cerita menebut nama, atau kata gantinya. Ia, dia,
mereka. Sudut pandang dia dapat dibedakan dan keterkaitan pengaruh terhadap bahan ceritanya. Disatu
pihak pengarang, narator dapat bebas menceritakan segala sesuatu yang berhubungan dengan tokoh dia
atau yang disebut sudut pandang Dia mahatahu, di lain pihak, ada juga sudut pandang yang mempunyai
keterbatasan Pengertian terhadap tokoh Dia yang diceritakannya, atau yang disebut sudut pandang Dia
terbatas, dia sebagai pengamat.
Sudut pandang orang ketiga, biasanya pengarang menggunakan tokoh ia, atau dia. Atau bisa juga dengan
menyebut nama tokohnya misalnya Aisha, Fahri, dan Nurul. Pengisahan cerita yang mempergunakan
sudut pandang persona ketiga gaya Dia, narator adalah seorang yang berada di luar cerita yang
menampilkan tokoh-tokoh cerita dengan menyebut nama, atau kata gantinya : ia, dia, mereka.
Nama-nama tokoh cerita, khususnya yang utama, kerap atau terus menerus disebut, dan sebagai variasi
dipergunakan kata ganti. Hal ini akan mempermudah pembaca untuk mengenali siapa tokoh yang diceritakan
atau siapa yang bertindak. Sudut pandang diadapat dibedakan ke dalam dua golongan berdasarkan tingkat
kebebasan dan keterikatan pengarang terhadap bahan ceritanya.

Di satu pihak, pengarang, narator dapat bebas menceritakan segala sesuatu yang berhubungan dengan tokoh
dia, jadi bersifat mahatahu, di lain pihak ia terikat, mempunyai keterbatasan pengertian terhadap tokoh
dia yang diceritakan itu, jadi bersifat terbatas, hanya selaku pengamat saja. Ada yang berpendapat bahwa
sudut pandang menggunakan gaya "Dia" terbagi menjadi dua, yaitu:
A. Dia Mahatahu
Dalam sudut Dia pandang ini, cerita dikisahkan dari sudut dia, namun pengarang, narator dapat
menceritakan apa saja hal-hal yang menyangkut tokoh dia tersebut. Narator mengetahui segalanya, ia
bersifat mahatahu (omniscient). Ia mengetahui berbagai hal tentang tokoh, peristiwa, dan tindakan, termasuk
motivasi yang melatarbelakanginya. Ia bebas bergerak dan menceritakan apa saja dalam lingkup waktu dan
tempat cerita, berpindah-pindah dari tokoh diayang satu ke dia yang lain, menceritakan atau sebaliknya
menyembunyikan ucapan dan tindakan tokoh, bahkan juga yang hanya berupa pikiran, perasaan,
pandangan, dan motivasi tokoh secara jelas, seperti halnya ucapan dan tindakan nyata.
B. Dia Terbatas Dia
Dalm sudut pandang ini, sebagai pengamat. Dalam sudut pandang dia terbatas, seperti halnya
dalamdiamahatahu, pengarang melukiskan apa yang dilihat, didengar, dialami, dipikir, dan dirasakan oleh
tokoh cerita, namun terbatas hanya pada seorang tokoh saja atau terbatas dalam jumlah yang sangat terbatas.
Tokoh cerita mungkin saja cukup banyak, yang juga berupa tokoh dia, namun mereka tidak diberi
kesempatan untuk menunjukkan sosok dirinya seperti halnya tokoh pertama.

Sudut Pandang Persona Pertama Aku


Dalam pengisahan cerita yang mempergunakan sudut pandang persona pertama (First-person point of new),
Aku, jadi: gaya Aku, narator adalah seseorang ikut terlibat dalam cerita. Tokoh yang berkisah,
mengisahkan kesadaran dirinya sendiri. Seorang pembaca, penerima apa yang diceritakan oleh si Aku,
maka kita hanya dapat melihat dan merasakan secara terbatas seperti yang dilihat dan dirasakan si Aku.
Sudut pandang personal pertama dapat dibedakan ke dalam dua golongan berdasarkan peran dan kedudukan
si Aku dalam cerita, yaitu Aku tokoh utama dan aku tokoh tambahan. aku tokoh utama dalam sudut
pandang mengisahkan berbagai peristiwa dan tingkah laku yang dialaminya, baik yang bersifat batiniah,
dalam diri sendiri, maupun fisik, hubungannya dengan sesuatu yang di luar dirinya.
Selanjutnya, dalam sudut pandang ini tokoh aku sebagai tokoh tambahan hadir membawakan cerita kepada
pembaca, sedangkan tokoh cerita yang dikisahkan itu kemudian dibiarkan untuk mengisahkan sendiri
berbagai pengalamannya. Tokoh cerita yang dibiarkan berkisah sendiri itulah yang kemudian menjadi tokoh
utama. Dalam pengisahan cerita yang mempergunakan sudut pandang persona pertama (first person point of
view), aku. Jadi: gaya aku, narator adalah seseorang yang ikut terlibat dalam cerita.
Ia adalah si aku tokoh yang berkisah,mengisahkan kesadaran dirinya sendiri, mengisahkan peristiwa atau
tindakan, yang diketahui,dilihat, didengar,dialami dan dirasakan, serta sikapnya terhadap orang (tokoh) lain
kepada pembaca. Jadi, pembaca hanya dapat melihat dan merasakan secara terbatas seperti yang dilihat dan
dirasakan tokoh si aku tersebut.
A. Aku Tokoh Utama
Dalam sudut pandang teknik ini, si aku mengisahkan berbagai peristiwa dan tingkah laku yang dialaminya,
baik yang bersifat batiniah, dalam diri sendiri, maupun fisik, hubungannya dengan sesuatu yang di luar
dirinya. Siakumenjadi fokus pusat kesadaran, pusat cerita. Segala sesuatu yang di luar diri si aku,
peristiwa, tindakan, dan orang, diceritakan hanya jika berhubungan dengan dirinya, di samping memiliki
kebebasan untuk memilih masalah-masalah yang akan diceritakan. Dalam cerita yang demikian,si aku
menjadi tokoh utama (first person central).
B. Aku Tokoh Tambahan
Dalam sudut pandang ini, tokoh aku muncul bukan sebagai tokoh utama, melainkan sebagai tokoh
tambahan (first pesonal peripheral). Tokoh aku hadir untuk membawakan cerita kepada pembaca,

sedangkan tokoh cerita yang dikisahkan itu kemudian dibiarkan untuk mengisahkan sendiri berbagai
pengalamannya. Tokoh cerita yang dibiarkan berkisah sendiri itulah yang kemudian menjadi tokoh utama,
sebab dialah yang lebih banyak tampil, membawakan berbagai peristiwa, tindakan, dan berhubungan dengan
tokoh-tokoh lain. Setelah cerita tokoh utama habis, si akutambahan tampil kembali, dan dialah kini yang
berkisah.
Dengan demikian si aku hanya tampil sebagai saksi saja. Saksi terhadap berlangsungnya cerita yang
ditokohi oleh orang lain. Si aku pada umumnya tampil sebagai pengantar dan penutup cerita.

Sudut Pandang Campuran


Penggunaan sudut pandang yang bersifat campuran, mungkin berupa penggunaan sudut pandang persona
ketiga dengan teknik dia mahatahu dan dia sebagai pengamat, persona pertama dengan teknik aku
sebagai tokoh utama dan aku tambahan atau sebagai saksi, bahkan dapat berupa campuran antara pertama
dan ketiga, antara aku dan dia sekaligus.
Sudut pandang campuran, di mana pengarang membaurkan antara pendapat pengarang dan tokoh-tokohnya.
Seluruh kejadian dan aktivitas tokoh diberi komentar dan tafsiran, sehingga pembaca mendapat gambaran
mengenai tokoh dan kejadian yang diceritakan.
Sudut pandangan yang berkuasa. Merupakan teknik yang menggunakan kekuasaan si pengarang untuk
menceritakan sesuatu sebagai pencipta. Sudut pandangan yang berkuasa ini membuat cerita sangat
informatif. Sudut pandanga ini lebih cocok untuk cerita-cerita bertendens. Para pujangga Balai Pustaka
banyak yang menggunakan teknik ini. Jika tidak hati-hati dan piawai sudut pandangan berkuasa akan
menjadikan cerpen terasa menggurui.

Macam-macam Sudut Pandang


2 Oktober 2013 | Kinan
A. PENGERTIAN
Sudut Pandang (Point of View atau SP) merupakan salah satu unsur fiksi yang dapat digolongkan sebagai
sarana cerita. Meski begitu unsur ini tidak bisa dianggap remeh. Apa yang Anda lihat dan rasakan ketika
menyaksikan sebuah mobil menabrak sepeda motor, tentu akan berbeda dengan yang dilihat dan dirasa oleh
si pengendara mobil yang menabrak, atau si pengendara sepeda motor yang menjadi korban tabrakan. Akibat
dari peristiwa itu pun akan berbeda bagi anda, si pengendara mobil, dan si pengendara motor. Sebab itu,
pemilihan SP tidak saja akan mempengaruhi penyajian cerita, tetapi juga mempangaruhi alur cerita.

SP sendiri memiliki pengertian sebagai cara pengarang menempatkan dirinya di dalam cerita. Dengan
demikian, SP pada hakikatnya merupakan teknik atau siasat yang sengaja dipilih penulis untuk
menyampaikan gagasan dan ceritanya, melalui kaca mata tokohatau tokoh-tokohdalam ceritanya.
B. MACAM-MACAM SUDUT PANDANG

Friedman (dalam Stevick, 1967:118) mengemukakan pertanyaan-pertanyaan yang jawabannya bisa


digunakan untuk membedakan SP. Salah satu pertanyaan itu adalah siapa yang berbicara kepada pembaca
(pengarang dalam persona ketiga, atau pertama)? Pembedaan SP yang akan saya kemukakan berikut
berdasarkan atas pertanyaan tersebut. Secara garis besar ada dua macam SP, yakni, SP orang pertama dan SP
orang ketiga. Hanya kemudian dari keduanya terbentuk variasi-variasai yang memiliki konsekuensi berbedabeda.

1. SP Orang Pertama Tunggal


Pengarang dalam sudut pandang ini menempatkan dirinya sebagai pelaku sekaligus narator dalam ceritanya.
Menggunakan kata ganti Aku atau Saya. Namun begitu, SP ini bisa dibedakan berdasarkan kedudukan
Aku di dalam cerita itu. Apakah dia sebagai pelaku utama cerita? atau hanya sebagai pelaku tambahan
yang menuturkan kisah tokoh lainnya?
a. Aku tokoh utama
Pengarang menempatkan dirinya sebagai tokoh di dalam cerita yang menjadi pelaku utama. Melalui tokoh
Aku inilah pengarang mengisahkan kesadaran dirinya sendiri (self consciousness); mengisahkan peristiwa
atau tindakan. Pembaca akan menerima cerita sesuai dengan yang diketahui, didengar, dialami, dan dirasakan
tokoh Aku. Tokoh Aku menjadi narator sekaligus pusat penceritaan.
Apabila peristiwa-peristiwa di dalam cerita anda terbangun akibat adanya konflik internal (konflik batin)
akibat dari pertentangan antara dua keinginan, keyakinan, atau harapan dari tokoh cerita, SP ini merupakan
pilihan yang tepat. Karena anda akan leluasa mengungkapkan apa yang dirasakan dan dipikirkan oleh tokoh
cerita anda.
Sambil bermain aku melirik topi lakenku. Kulihat sebuah kursi roda. Duduk di kursi roda itu, seorang tua
yang wajahnya tak bisa kulihat dengan jelas karena memakai topi laken seperti aku. Rambutnya gondrong
dan sudah memutih seperti diriku, namun ketuaannya bisa kulihat dari tangannya yang begitu kurus dan
kulitnya yang sangat keriput. Tangan itulah yang terangkat dan tiba-tiba menggenggam sebuah gitar listrik
yang sangat indah.
(Cerpen Ritchie Blackmore karya Seno Gumira Ajidarma dalam buku Kematian Donny Osmond)
Perhatikan kata: kulihat pada penggalan cerita di atas. Tokoh Aku hanya menyampaikan apa yang terlihat
oleh matanya. Begitulah, jika anda memilih SP ini, anda tidak mungkin mengungkapkan perasaan atau
pikiran tokoh-tokoh lain, selain tokoh Aku.
Kebanyakan penulis yang menggunakan SP ini, seringkali terlalu asyik menceritakan (tell) keseluruhan
cerita, tanpa berusaha menunjukkan (show) atau memperagakannya. Akibatnya cerita menjadi kurang
dramatis. Bahkan bukan tidak mungkin, apabila anda memilih SP ini, anda akan kesulita memperkenalkan
tokoh, apakah seorang perempuan atau lelaki. Seno Gumira Ajidarma cukup piawai melukiskan tokoh Aku
lewat adegan dalam penggalan cerita di atas.
Namun, karena cerita dituturkan oleh tokoh Aku, anda harus menulis dengan bahasa tokoh Aku, sesuai
dengan karakter yang telah anda tetapkan. Apabila tokoh anda lebih tua atau lebih muda dari usia anda, akan
mempengaruhi bahasa yang bisa anda gunakan. Sebab itu, mengenali dengan baik karakter tokoh anda
menjadi sebuah keharusan.
b. Aku tokoh tambahan
Pengarang menempatkan dirinya sebagai pelaku dalam cerita, hanya saja kedudukannya bukan sebagai tokoh
utama. Keberadaan Aku di dalam cerita hanya sebagai saksi. Dengan demikian, tokoh Aku bukanlah
pusat pengisahan. Dia hanya bertindak sebagai narator yang menceritakan kisah atau peristiwa yang dialami
tokoh lainnya yang menjadi tokoh utama.
Tetangga saya orangnya terkenal baik. Suka menolong orang. Selalu memaafkan. Apa saja yang kita lakukan
terhadapnya, ia dapat mengerti dengan hati yang lapang, bijaksana, dan jiwa yang besar. Setiap kali ia
mengambil putusan, saya selalu tercengang karena ia dapat melakukan itu dengan kepala yang kering, artinya
sama sekali tidak ketetesan emosi. Tidak hanya terhadap persoalan yang menyangkut orang lain, untuk setiap
persoalan pribadinya pun ia selalu bertindak sabar dan adil. Banyak orang menganggapnya sebagai orang
yang berhati agung.
(Cerpen Pencuri karya Putu Wijaya dalam buku Protes)
Dalam penggalan cerita karya Putu Wijaya di atas, terlihat tokoh Saya mengomentari atau memberikan
penilaian pada tokoh utamatetangganya. SP ini memang mirip dengan SP orang ketiga. Hanya saja narator
ikut terlibat di dalam cerita. Sebab itu dia menjadi sangat terbatas, tidak bersifat mahatahu. Sebagai narator,
tokoh Saya hanya mungkin mengomentari apa yang dilihat dan didengar saja. Narator melalui tokoh Aku
bisa saja mengungkapkan apa yang dirasakan atau dipikirkan tokoh Dia, namun komentar itu hanya berupa
dugaan dari tokoh Aku. Atau kemungkinan berdasarkan apa yang diamati dari gerak tubuh tokoh Dia
atau karakter dari tokoh Dia yang memang telah diketahui secara umum.

2. SP Orang Pertama Jamak


Bentuk SP ini sesungguhnya hampir sama dengan SP orang pertama tunggal. Hanya saja menggunakan kata
ganti orang pertama jamak, Kami. Pengarang dalam sudut pandang ini menjadi seseorang dalam cerita
yang bicara mewakili beberapa orang atau sekelompok orang. Perhatikan petikan di bawah ini.
Kami bekerja sebagai juru masak di sebuah restoran continental yang brengsek. Kami sebut restoran ini
brengsek, sebab kami diwajibkan memasak sambil menangis. Bayangkan! Kami mengaduk kuah buntut
sambil menangis. Kami memasak nasi goreng, merebus aneka pasta, membuat adonan pizza, memotong
daging ayam, mengupas kentang, semua itu kami lakukan sambil menangis. Begitulah. Setiap hari selalu ada
saja airmata yang meluncur dari sepasang mata kami; mengalir membasahi pipi, dagu, dan menetes ke dalam
setiap masakan kami.
(Cerpen Resep Airmata karya Noor H. Dee dalam buku Sepasang Mata untuk Cinta yang Buta)
Dalam SP ini, pembaca mengikuti semua gerak dan tindakan satu orang atau beberapa orang melalui kaca
mata sebuah kelompok. Narator dalam cerita yang berbicara mewakili kelompoknya (Kami), tidak pernah
mengungkapkan jati dirinya kepada pembaca, seakan-akan dia tidak mempunyai jati diri, selain jati diri
kelompoknya. SP orang pertama jamak ini bisa anda pilih, jika anda ingin membuat cerita dengan latar
sebuah komunitas kecil seperti sekolah, masjid, keluarga, restoran, dll. Anda bisa memusatkan penceritaan
pada seorang tokoh yang memiliki masalah dengan lingkungan sekitarnya. Jika ini yang dipilih, maka
Kami hanya menjadi tokoh tambahan yang menuturkan konflik yang dialami oleh tokoh utama. Atau justru
sekelompok orang itu (Kami) yang memiliki masalah dengan lingkungannya, seperti yang bisa kita lihat
pada cerpen Resep Airmata, karya Nurhadiansyah. Dengan demikian, Kami di dalam cerita sekaligus
menjadi tokoh utama, sebagai pusat penceritaan.

3. SP Orang Kedua
Pengarang menempatkan dirinya sebagai narator yang sedang berbicara kepada orang lain, menggambarkan
apa-apa yang dilakukan oleh orang tersebut. SP ini menggunakan kata ganti orang kedua, Kau, Kamu
atau Anda yang menjadi pusat pengisahan dalam cerita.
Kedua lututmu terasa lemas saat kau bersandar pada pemadam api yang baru saja dicat merah, putih, dan
biru. Nalurimu ingin berlari mendekati mereka, berteriak, aku juga! Aku juga! Sekarang kau bisa merasakan
penyangkalan yang sudah lama sekali kaulakukan; kau ingin berlari dan mengatakan kepadanya tentang
kehidupanmu selama tiga puluh satu tahun tanpa dirinya, dan membuatnya berteriak dengan kepastian tanpa
dosa: Oh, kau sungguh putri yang cantik!
(Cerpen Main Street Morning karya Natalie M. Patesch, pengarang cerpen asal Amerika)
Pada SP ini pembaca seolah-olah diperlakukan sebagai pelaku utama. Pembaca akan merasa seperti
seseorang yang tengah membaca kiriman surat dari kerabat atau orang terdekatnya. Sehingga membuat
pembaca menjadi merasa dekat dengan cerita, karena seolah-oleh dialah pelaku utama dalam cerita itu.
4. SP Orang Ketiga Tunggal
Pengarang menempatkan dirinya sebagai narator yang berada di luar cerita, atau tidak terlibat dalam cerita.
Dalam SP ini, narator menampilkan tokoh-tokoh cerita dengan menyebut namanya, atau kata gantinya; Dia
atau Ia
SP orang ketiga dapat dibedakan berdasarkan tingkat kebebasan dan keterikatan pengarang terhadap cerita.
Pada satu pihak, pengarang atau narator dapat bebas mengungkapkan segala sesuatu yang berhubungan
dengan tokoh Dia. Di pihak lain, pengarang atau narator tidak dapat leluasa menguangkapkan segala hal
yang berhubungan dengan tokoh Dia, atau dengan kata lain hanya bertindak sebagai pengamat.
a. SP Orang Ketiga Mahatahu
SP ini sering juga disebut SP mata tuhan. Sebab dia berlaku seperti tuhan terhadap tokoh-tokoh di dalam
ceritanya. Pengarang atau narator mengetahui segala hal tentang tokoh-tokohnya, peristiwa, dan tindakan,
termasuk motif yang melatarbelakanginya. Dia bebas berpindah dari satu tokoh ke tokoh lainnya. Bahkan,
pengarang bebas mengungkapkan apa yang ada dipikiran serta perasaan tokoh-tokohnya.

Ya ampun, luar biasa mimpiku ini, kata Tomas sambil menghela napas, kedua tangannya memegang setir,
memikirkan roket, wanita, wiski yang aromanya menyengat, rek kereta api di virginia, dan pesta tersebut.
Sungguh visi yang aneh, pikir makhluk Mars itu, sambil bergegas membayangkan festival, kanal, perahu,
para wanita dengan mata berkilauan bagai emas, dan aneka lagu.
(Cerpen Agustus 2002: Night Meeting karya Ray Bradbury)
Dalam SP ini, pengarang bebas memasuki pikiran dua atau tiga orang dan menunjukkannya pada pembaca.
Seperti contoh di atas, pengarang seakan tahu apa yang ada di pikiran Tomas, pada saat yang bersamaan dia
juga mengetahui apa yang ada di pikiran makhluk Mars.
b. SP Orang Ketiga Terbatas
Dalam SP ini, pengarang juga bisa melukiskan apa yang dilihat, didengar, dialami, dipikirkan dan dirasakan
oleh tokoh ceritanya. Namun hanya terbatas pada satu tokoh, atau terbatas dalam jumlah yang sangat terbatas
(Stanton, 1965:26). Pengarang tidak leluasa berpindah dari satu tokoh ke tokoh lainnya. Melainkan terikat
hanya pada satu atau dua tokoh saja.
Selalu ada cita-cita di dalam benaknya, untuk mabuk dan menyeret kaki di tengah malam, menyusuri Jalan
Braga menuju penginapan. Ia akan menikmati bagaimana lampu-lampu jalan berpendar seperti kunangkunang yang bimbang; garis-garis bangunan pertokoan yangyang berderet tak putusacap kali
menghilang dari pandangan; dan trotoar pun terasa bergelombang seperti sisa ombak yang menepi ke pantai.
(Cerpen Lagu Malam Braga karya Kurnia Effendi dalam buku Senapan Cinta)
Dari contoh di atas, tampak Kurnia Effendi sebagai pengarang masuk ke dalam benak tokoh Ia dan
menyampaikan isi kepala tokohnya itu kepada pembaca. Hal ini mirip SP orang ketiga mahatahu. Hanya saja
terpadas pada satu orang tokoh saja yang merupakan tokoh utama.
c. SP Orang Ketiga Objektif
Pengarang atau narator dalam SP ini bisa melukiskan semua tindakan tokoh-tokohnya, namun dia tak bisa
mengungkapkan apa yang dipikirkan serta dirasakan oleh tokoh-tokohnya. Dia hanya boleh menduga apa
yang dipikirkan, atau dirasakan oleh tokoh ceritanya.
Si lelaki tua bangkit dari kursinya, perlahan-lahan menghitung tatakan gelas, mengeluarkan pundi-pundi kulit
dari kantungnya dan membayar minumannya dan meninggalkan persenan setengah peseta
Si pelayan mengikutinya dengan mata ketika si lelaki tua keluar ke jalan, seorang lelaki yang sangat tua yang
berjalan terhuyung-huyung tetapi tetap dengan penuh harga diri.
Kenapa tak kau biarkan saja dia minum sampai puas? tanya si pelayan yang tidak tergesa-gesa. Mereka
berdua sedang menurunkan semua tirai. Hari belum lagi jam setengah dua.
Aku ingin cepat pulang dan tidur.
( Cerpen Tempat yang Bersih dan Terang karya Ernest Hemingway dalam buku Salju Kilimanjaro)
Seperti ternampak pada penggalan cerita karya Ernest Hemingway di atas, narator hanya berlaku seperti
wartawan yang tengah melaporkan sebuah peristiwa. Posisinya sejajar dengan pembaca. SP ini menuntut
ketelitian dalam mencatat dan mendeskripsikan peristiwa, tindakan, latar, samapi ke detil-detil yang terkecil.
Narator tak ubahnya sebuah kamera yang merekam dan mengabadikan sebuah objek.
5. SP Orang Ketiga Jamak
Pengarang menjadi narator yang menuturkan cerita berdasarkan persepsi atau kaca mata kolektif. Narator
akan menyebut tokoh-tokohnya dengan menggunakan kata ganti orang ketiga jamak; Mereka.
Pada suatu hari, ketika mereka berjalan-jalan dengan Don Vigiliani dan dengan beberapa anak lelaki dari
kelompok pemuda, dalam perjalanan pulang, mereka melihat ibu mereka di sebuah kafe di pinggir kota. Dia
sedang duduk di dalam kafe itu; mereka melihatnya melalui sebuah jendela dan seorang pria duduk
bersamanya. Ibu mereka meletakkan syal tartarnya di atas meja
(Cerpen Mother karya Natalia Ginzburg, pengarang asal Italia)
Pada hakikatnya, SP ini mirip dengan SP orang pertama jamak. Pembaca menerima semua gerak dan
tindakan satu orang atau beberapa orang melalui kaca mata sebuah kelompok. Perbedaannya ada pada posisi
narator yang berada di luar cerita, tidak terlibat dalam cerita yang dituturkannya melalui kaca mata tokoh
Mereka.
6. SP Campuran

Sebuah novel mungkin saja menggunakan lebih dari satu ragam SP. Bahkan, belakangan ini, SP campuran
tak hanya digunakan dalam novel saja, tetapi juga digunakan di dalam cerpen. Pengarang menempatkan
dirinya bergantian dari satu tokoh ke tokoh lainnya dengan SP yang berbeda-beda menggunakan Aku,
Kamu, Kami, Mereka, atau Dia.
Seketika mata Masayu membuka. Lewat pukul sembilan malam ketika lubang pernafasaannya membaui
aroma dari daging yang terbakar. Matanya membelalak menyaksikan api merambat cepat. Dia merasakan
panas di sekujur tubuhnya.
***
Pernahkah dalam hidupmu, kau merasakan kebencian yang teramat hebat? Sehingga apapun yang ada di
kepalamu selalu tentang bagaiman cara melampiaskannya?
Kami hanya dua gadis lugu yang tak pernah tahu arti membenci. Sebelum perceraian Mami dan Papi
menyadarakan kami akan arti memiliki. Kami baru menyadari kalau selama ini kami tak pernah benar-benar
memiliki Mami. Mungkin juga begitu yang dirasakan oleh Papi. Sehingga dia lebih memilih berpisah dengan
Mami, dari pada hidup bersama tetapi tidak merasa memiliki.
Namanya Melly. Tubuhnya tak lebih dari dua puluh centi. Bulunya kuning pudar dimakan usia. Hidungnya
bulat berwarna cokelat tua. Moncongnya putih gading. Kau pasti menduga kalau Melly seekor binatang
piaraan? Hampir tepat. Dia memang menyerupai binatang. Tapi bukan binatang. Karena dia tidak bernyawa.
Dia hanya sebuah boneka. Boneka beruang kepunyaan Mami. Tapi meski hanya sebuah boneka beruang, di
mata Mami, Melly lebih manusia dari manusia. Sehingga ia harus diperlakukan dengan istimewa. Sampaisampai Mami lupa kalau dia memiliki dua orang putri berusia 13 dan 10 tahun. Dua orang putri bernama
Bening dan Ranikamiyang lebih butuh perlakuan istimewa darinya.
(Cerpen Melly karya Denny Prabowo)
Pada paragraf pertama digunakan sudut pandang Dia tokoh Masayu. Pengarang berada di luar cerita.
Namun pada paragraf berikutnya pengarang menempatkan dirinya sebagai Kami yang berbicara pada
Kau. Itu berarti, pengarang menjadi pelaku sekaligus narator di dalam ceritanya. Sebagai narator, tokoh
Kami bertutur tentang tokoh lainnya bernama Melly.
Dalam penggunaan SP campuran, dimungkinkan terjadi pergantian pusat penceritaan dari seorang tokoh ke
tokoh lainnya. Dengan begitu, pembaca akan memperoleh pandangan terhadap suatu peristiwa atau masalah
dari beberapa tokoh.
Jenis-jenis Sudut Pandang dalam Karya Sastra

Apa yang anda lihat dan rasakan ketika menonton sepak bola? Sebagai penonton, perasaan
anda jelas berbeda dengan apa yang dilihat dan dirasa oleh si pemain yang timnya menang
atau malah si pemain yang timnya kalah. Akibat dari kejadian itupun akan berbeda bagi anda,
si pemain yang menang, dan si pemain yang kalah. Oleh sebab itu sudut pandang adalah
krusial dalam mempengaruhi penyajian cerita dan alurnya. Sudut pandang (point of view)
sendiri memiliki pengertian sebagai cara penulis menempatkan dirinya di dalam cerita. Secara
mudah, sudut pandang adalah teknik yang dipilih penulis untuk menyampaikan ceritanya.
Berikut ini macammacamnya:

1.

Sudut Pandang Orang Pertama Tunggal.

Penulis sebagai pelaku sekaligus narator yang menggunakan kata ganti aku.
A.
Aku
sebagai
tokoh
utama.
Penulis adalah aku sebagai tokoh utama cerita dan mengisahkan dirinya sendiri, tindakan,

dan kejadian disekitarnya. Pembaca akan menerima cerita sesuai dengan yang dilihat,
didengar, dialami, dan dirasakan aku sebagai narator sekaligus pusat cerita.
Contoh:
Seorang lelaki tua memanggilku sepuluh menit lalu di ruang pribadinya di lantai paling atas
pada gedung megah biru dunker, inti kampusku. Dia duduk pongah di kursi busa berukir khas
jepara dibalik meja. Senyumnya mahal, semahal kursi itu. Kucoba duduk santai dihadapnya,
sambil melirik buku yang tadi dibantingnya. Gagasan, itu tulisan di sudut kanan atas sampul
depan. Mendesah sebelum kualirkan mata ke tanda pengenal meja disebelah buku itu, tulisan
cerlang bereja Rektor pongah menatapku. Kulengoskan kepala keluar jendela, sementara
mulutnya terus mengumpat. Soal buku itu, tentu juga soal aku. (Rektor Itu Ayahmu, Sayang?
Ardyan
Amroellah)
Catatan:

Tokoh aku tak mungkin mengungkapkan perasaan atau pikiran tokoh lain kecuali
dengan perkiraan.

Penulis harus memahami tokoh aku sesuai karakternya. Misalnya soal bahasa, perlu
dilihat apakah aku adalah orang tua atau anak muda. Itu akan mempengaruhi gaya
bahasa yang diucapkan.

Mengenali dengan baik karakter aku adalah keharusan..

B.
Aku
sebagai
tokoh
bukan
utama.
Penulis adalah aku dalam cerita tapi bukan tokoh utama. Keberadaan aku hanya sebagai
saksi/kawan tokoh utama. Aku adalah narator yang menceritakan kisah yang dialami tokoh
lain
yang
menjadi
tokoh
utama.
Contoh:
Aku sudah mengetahui wajahnya sejak lama, sejak sekitar dua tahun lalu. Seminggu sekali dia
datang ke salon itu, selalu. Aku kerap tertawa saat ingat kali pertama aku melihatnya. Lusuh,
kusam, dekil, sama sekali tak berwarna. Tapi aku tahu, dia bak mutiara jatuh dalam kotoran
dan ketakberuntungan. Tinggal membasuhnya saja sebelum moncernya kembali. Dan rupanya
dia tahu bagaimana cara memelihara diri. Terbukti, tak ada tanda kekusaman yang muncul.
Aih,
aku
jadi
iri.
(Mimpimu
Apa?

Ardyan
Amroellah)
Catatan:

Teknik ini hampir mirip dengan Sudut Pandang Orang Ketiga. Hanya saja narator ikut
terlibat sebagai tokoh.

Aku hanya mengomentari apa yang dilihat dan didengar saja. Aku bisa mengungkap
apa yang dirasakan atau dipikirkan tokoh utama, tapi hanya berupa dugaan dan
kemungkinan berdasar apa yang aku amati dari tokoh utama.

2. Sudut Pandang Orang Pertama Jamak


Ini mirip dengan Sudut Pandang Orang Pertama Tunggal, hanya saja menggunakan kata ganti
kami. Narator menjadi seseorang dalam cerita yang bicara mewakili beberapa orang atau
sekelompok
orang.
Contoh:
Siang itu kami berkerumun di teras masjid, membahas isu hangat yang merebak di pondok.
Secara beruntun, barang-barang kami hilang. Mi instan, uang, buku, hingga celana dalam. Hal
terakhir itu sangat keterlaluan. Ajaibnya, kami berempat sama. Celana dalam kami habis.
Percayalah, hanya sarung yang kami pakai saat ini. (Ronaldo Dari Brazil Anin Mashud)

3.

Sudut Pandang Orang Kedua

Penulis adalah narator yang sedang berbicara kepada kata ganti kamu dan menggambarkan
apa
yang
dilakukan
kamu
atau
kau
atau
anda.
Contoh:
Ini hari pertamamu masuk kerja. Harus sempurna! Maka jadi sejak tiga sejam lalu, kau sibuk

bolak-balik di depan cermin. Mengecek baju, rambut, sampai riasan di wajahmu. Lalu setelah
kau memulaskan lipgloss sebagai sentuhan final yang kau rasa akan memesona teman-teman
barumu di kantor nanti, kau mengambil parfum. Menyemprotkannya di belakang telinga,
pergelangan tangan, selangkangan, dan ke udara. Sedetik berikutnya, kau melewati udara
beraroma lili dan lavender itu, berharap supaya wanginya menempel di rambut dan blazer
barumu. (Novel The Girls Guide to Hunting and Fishing Melissa Bank)
Catatan;

Pembaca diperlakukan sebagai pelaku utama sehingga membuatnya menjadi merasa


dekat dengan cerita karena seolah menjadi tokoh utama

Penulis harus konsisten tak menyebut aku untuk berbicara dengan tokoh utama.

4. Sudut Pandang Orang Ketiga Tunggal.


Penulis ada di luar cerita tak terlibat dalam cerita. Penulis juga menampilkan para tokoh
dengan menyebut namanya atau kata ganti dia.
A.
Sudut
Pandang
Orang
Ketiga
Mahatahu.
Penulis seperti Tuhan dalam karyanya, yang mengetahui segala hal tentang semua tokoh,
peristiwa, tindakan, termasuk motif. Penulis juga bebas berpindah dari satu tokoh ke tokoh
lain. Bahkan bebas mengungkapkan apa yang ada dipikiran serta perasaan para tokohnya.
Contoh:
Ibrahim?!
Ya,
Ibrahim.
Seperti
itulah
tugasnya
setelah
dipanggil
pulang
Jawaban itu tak memuaskan, Ranju masih dliputi ketakpercayaan saat si guide bertudung
memintanya melanjutkan jalan. Secepat Ranju berkedip, secepat itu Ranju menjumpai pantai
di matanya. Dan itu membuat Ranju mulai percaya ini tak dunia? Tidak, hatinya masih penuh
logika. Meski Ranju ingat, dia tadi berjalan diatas air, dia tadi menghirup susu di parit kecil
pinggir jalan, dia tadi menatap wanitawanita elok yang menyapa genit. Ranju bermainmain
di pikiran sampaisampai si guide bertudun menyentak lengannya. Ranju terpaku diluar pagar
sebuah rumah kecil serupa rumah keluarga Amerika kelas menengah. (Lelaki Di Tengah
Lapangan Ardyan Amroellah)

B.
Sudut
Pandang
Orang
Ketiga
Terbatas.
Penulis melukiskan segala apa yang dialami tokoh hanya terbatas pada satu orang atau dalam
jumlah yang sangat terbatas. Penulis tak leluasa berpindah dari satu tokoh ke tokoh lainnya.
Melainkan
terikat
hanya
pada
satu
atau
dua
tokoh
saja.
Contoh:
Selalu ada cita di dalam benaknya, untuk mabuk dan menyeret kaki di tengah malam,
menyusuri Jalan Braga menuju penginapan. Dia akan menikmati bagaimana lampu-lampu
jalan berpendar seperti kunang yang bimbang; garis-garis bangunan pertokoan yang berderet
tak putus acap kali menghilang dari pandangan; dan trotoar pun terasa bergelombang seperti
sisa ombak yang menepi ke pantai. (Lagu Malam Braga Kurnia Effendi)

C.
Sudut
Pandang
Orang
Ketiga
Objektif
Narator melukiskan semua tindakan tokoh dalam cerita namun tak mengungkapkan apa yang
dipikirkan serta dirasakan oleh tokoh cerita. Penulis hanya boleh menduga apa yang
dipikirkan,
atau
dirasakan
oleh
tokoh
ceritanya.
Contoh:
Si lelaki tua bangkit dari kursinya, perlahan mengeluarkan pundi kulit dari kantung, membayar
minuman dan meninggalkan persenan setengah peseta. Si pelayan mengikutinya dengan
mata ketika si lelaki tua keluar. Seorang lelaki yang sangat tua yang berjalan terhuyung tetapi
tetap
dengan
penuh
harga
diri.
Kenapa tak kau biarkan saja dia minum sampai puas? tanya si pelayan lain. Mereka berdua
menurunkan
semua
tirai.
Belum
jam
setengah
dua.
lanjutnya.
Aku ingin cepat pulang dan tidur. (Tempat yang Bersih Terang Ernst Hemingway)

5.

Sudut Pandang Orang Ketiga Jamak

Penulis menuturkan cerita berdasarkan persepsi atau kacamata kolektif. Penulis akan
menyebut para tokohnya dengan menggunakan kata ganti orang ketiga jamak; mereka.
Contoh:
Pada suatu hari, ketika mereka berjalan-jalan dengan Don Vigiliani dan beberapa anak lelaki
dari kelompok pemuda. Dalam perjalanan pulang, mereka melihat ibu mereka di sebuah kafe
di pinggir kota. Dia sedang duduk di dalam kafe itu; mereka melihatnya melalui sebuah
jendela dan seorang pria duduk bersamanya. Ibu mereka meletakkan syal tartarnya di atas
meja. (Ibu Natalia Ginzburg)

6.

Sudut Pandang Campuran

Penulis menempatkan dirinya bergantian dari satu tokoh ke tokoh lainnya dengan sudut
pandang yang berbeda-beda. aku, kamu, kami, mereka, dan atau dia.
Catatan:

Biasanya teknik ini dipakai dalam cerita yang membutuhkan halaman banyak.

Perlu ketelitian dalam setiap fragmen saat penulis mengubah sudut pandang.
SUDUT PANDANG ORANG KEDUA: PENJELASAN KHUSUS

Dibandingkan unsurunsur pembentuk cerita lainnya, penulispenulis Indonesia cenderung


lambat dalam mengeksperimen dan membarui penggunaan sudut pandang dalam
penerapannya pada karya. Selama ini secara umum kita hanya mengenal dua macam sudut
pandang, yaitu Sudut Pandang Orang Pertama dan Sudut Pandang Orang Ketiga. Sama sekali
tak ada teori dan penggunaan Sudut Pandang Orang Kedua. Mengapa seperti itu? Jawaban
semua penulis ratarata sama. Sulit.
Sebagai gambaran singkat. Misalnya seseorang yang bernama Andi, bercerita kepada
temannya, Budi. Ada dua kemungkinan: Andi menceritakan dirinya dengan berkata, Pagi ini
aku berangkat pagi. Dalam hal ini, Andi menggunakan sudut pandang orang pertama (aku).
Kemungkinan kedua, Andi menceritakan orang lain. Misalnya dengan, Tadi siang dia makan
siang. Di sini, Andi menggunakan sudut pandang orang ketiga (dia).

MUNGKINKAH ANDI BERCERITA KEPADA BUDI TENTANG BUDI?


Dalam keadaan normal, kejadian semacam ini mustahil terjadi sebab apa yang dialami Budi
tentunya Budi sendiri yang lebih tahu. Hal itu seperti mengharapkan dalang bercerita soal
Arjuna kepada Arjuna yang menontonnya. Jelas Arjuna lebih tahu kisah dirinya sendiri
dibanding dalang. Itu jika normal. Jika tak normal apakah bisa? Dan bagaimana praktiknya jika
bisa?
Kembali ke pengandaian diatas. Jawabannya adalah bisa saja ketika Arjuna kehilangan
informasi tentang dirinya atau kejadian yang dialaminya, karena mungkin dia pingsan atau
tidur, lalu Arjuna minta keterangan dalang sehingga dalang akan menginformasikan, Waktu
tidur tadi kau berjalan keluar kamar, tapi matamu meram. Kondisi terakhir ini dapat
melahirkan sudut pandang orang kedua (kau, kamu) asalkan dalang konsisten tak menyebut
dirinya sebagai aku.
Dalam bentuk cerita, pembaca hanya akan melihat Arjuna yang disapa dengan kata ganti
kau, sedangkan dalang tak terlihat dan dianggap oleh pembaca sebagai penulis cerita. Jika

dalang tergoda untuk memasukkan dirinya ke dalam peristiwa, misalnya dengan


menambahkan, Lalu aku menepuk pundakmu, maka sudut pandang berubah menjadi orang
pertama. Tetapi sudut pandang akan tetap orang kedua jika dalang menceritakan dirinya tidak
dengan kata ganti orang pertama, misalnya dengan mengatakan, Lalu seseorang menepuk
pundakmu.
Dari pengertian ringkas di atas, dapat dimengerti jika sudut pandang orang kedua jarang
sekali dipraktikkan oleh para penulis. Tapi bukan berarti tak ada. Coba baca Dadaisme karya
Dewi Sartika, Cala Ibi karya Nukila Amal, dan Kabar Buruk dari Langit buatan Muhiddin M.
Dahlan. Meski sudut pandang orang kedua pada ketiga novel ini tidak utuh atau tidak
sepenuhnya dipakai dalam keseluruhan novel.

Anda mungkin juga menyukai