Anda di halaman 1dari 12

Disusun oleh: Sulthon Faqih Aulia, Kelas 11 Mia 1.

Senin, 29
April 2024. SMA Negeri 1 Kotapinang

PROSES PEMBUATAN NASKAH


DRAMA DARI CERPEN WAYANG
POTEHI: CINTA YANG PUPUS

Wayang Potehi: Cinta yang Pupus


oleh Han Gagas
Ketika dalang memasukkan tangannya ke dalam kantong dan mulai menggerakkan
boneka wayang, gembreng dan tambur dipukul diiringi gesekan rebab yang
melengking menyayat telinga, saat itu mataku menangkap wajahmu di antara jejalan
penonton.
Jantungku berdegup kencang. Wajahmu berkilau dalam siluet cahaya oranye lampu
panggung. Kecantikanmu yang memancar bagai berlian menghisapku begitu dalam.
Rambutmu masih seperti dulu tergerai indah di bahu. Aku tak dapat melepaskan
pandanganku darimu.
Suara terompet melengking tinggi. Suling menusuk gendang telinga meramaikan
iringan. Lakon yang mengangkat novel See Yu Ki, Journey to the West, telah dibuka.
Tokoh kera sakti bergerak lincah, meloncat ke sana-kemari. Bunyi “trok-trok” dari
Piak-kou membuat suasana jadi meriah.
Penonton bertepuk tangan.
***
Suara yang mirip “trok-trok” dari Piak-kou selalu kita tunggu. Adalah bunyi
kentongan kecil dari penjual bakmi keliling yang selalu lewat di depan kos kita,
sehabis Isya. Sepulang dari shalat berjamaah di masjid samping kosmu aku duduk di
beranda, menunggu kedatangannya. Dan kau selalu melakukan hal sama, membaca
buku sambil menunggu.
Aku masih bersarung dan berpeci. Tak mau ganti baju, takut keburu penjual bakmi
itu pergi. Masakannya yang lezat dan pedas, sayang untuk dilewatkan. Kau sendiri
matamu selalu tak lepas dari bacaan itu. Menunduk membaca khusyuk.
Dan saat terdengar bunyi “trok-trok”, kau baru mengangkat kepala. Sinar lampu
beranda kosmu menyirami wajahmu, guyurannya bagai sinar mentari yang
menembus hujan, membuat parasmu berkilau bagai berlian.
Jantungku berdetak kencang sekali.
Kau melangkah ke depan. Sudah terlalu sering aku menahan keberanian,
menunggumu selesai dimasakkan dulu. Tapi kali ini aku sudah tak tahan. Aku ingin
berkenalan denganmu!
Aku lihat langkahmu jadi ragu saat aku melangkah ke luar pagar. Gerobak bakmi
hampir sampai di depan kita. Tanganmu telah menyentuh pintu pagar tapi lantas
terdiam. Kau menunggu di halaman. Aku menelan ludah. Tenggorokanku tiba-tiba
terasa kering.
Esoknya aku bersiasat. Aku menunggumu lebih dulu. Saat kau menanti bakmi
pesananmu matang, aku melangkah cepat mendekat walau dengan dada berdebar
tak karuan.
Penjual bakmi tersenyum. Senyum yang tak biasa. Agaknya dia tahu aku
menyukaimu. Aku tak peduli, yang jelas senyum lebarnya telah melumerkan
kekakuanku yang mencoba tersenyum padamu. Akhirnya, kau regangkan bibirmu,
yang merekah bagai kelopak mawar yang indah. Jantungku terasa hendak copot!
Wajah cantikmu makin berkilau oleh cahaya merkuri yang menunduk di tepi jalan.
Lampu itu sebagai saksi, selain penjual bakmi, untuk pertama kalinya kita saling
bertatapan. Sinar matamu memancarkan keajaiban, aku merasakan energi matahari
yang membuatku merasa hidup, merasa bahagia. Hatiku jadi hangat, penuh suka
cita.
Untuk pertama kalinya aku melihat wajahmu dari begitu dekat. Kau berdiri di
samping penjual itu, jadi hanya sejengkal saja jarak antara kita. Matamu yang sipit
tampak berkejora saat kita bersitatap, seperti ada kerlip cahaya cinta di sana, cinta
sejati yang mengatasi segala perbedaan. Apakah aku sedang bermimpi?
Kita, aku maksudku, harusnya berterima kasih pada penjual itu yang segera
memecah perasaan canggung kita dengan banyak berseloroh, bersiul, dan bernyanyi
ceria:
Inikah namanya cinta/Inikah cinta/Cinta pada jumpa pertama/Inikah rasanya
cinta/Inikah cinta/Terasa bahagia saat jumpa/Dengan Dirinya//
Tawa penjual itu pecah, memancing rasa jenaka di hatimu. Aku melihat bibirmu
makin terbuka lebar memperlihatkan gigi-gigimu yang kecil-kecil bagai biji
mentimun. Rasanya aku terbang ke surga karena mabuk oleh cinta, mabuk
kebahagiaan.
“Ayo pada kenalan. Sudah pada kenal belum? Jangan malu-malu.” Tawaran penjual
itu mengejutkanku. Aku jadi yakin dia tahu aku menyukaimu.
“Ayolah, kalian sudah besar-besar….” Nada suaranya jadi lucu, seperti merengek,
seperti meledek, aksen Sunda yang bercampur Tionghoa.
Aku melirikmu. Kau menundukkan kepala sambil memainmainkan ujung kaki.
Wajahku terasa panas.
“Idiiih nggak perlu malu di jaman sekarang….” Aksen Tionghoa yang dibuat-buat itu
makin lucu, memancing tawaku, mencairkan kebekuan nyaliku. Tak sepenuhnya

2
sadar aku mengulurkan tangan. Saat melihatmu terdiam, aku tersentak sadar, dan
ingin menarik tanganku lagi.
Tapi kuurungkan. Aku tak mau benar-benar malu di depanmu.
“Kalau tak kenalan, aku tak masak buat kalian ya!” Serunya dengan wajah separuh
cengengesan.
Kami terdiam sejenak. Tanganku masih menggantung di depanmu, lalu kau pelan
mengulurkan tangan. Ancaman bapak itu rupanya telah berhasil.
“Joko,” kataku dengan lidah kelu, “Joko Sudiro…” tambahku sambil menyambut
uluranmu.
“Mei Wang.” Suaramu terdengar begitu merdu, seperti gesekan biola saat tengah
malam.
“Hore! Hahaha.” Tawa penjual meledak. Rasanya tak ada kesedihan di dunia ini jika
melihatnya sedang tertawa.
Sehabis kenalan, semalam suntuk aku tak tidur. Perasaanku terasa hangat oleh
baramu yang nyalanya abadi. Bayangkan, telah kuimpikan hal ini ribuan kali, dan
akhirnya bisa terwujud. Rasanya aku telah terberkati, telah teranugerahi. Buku
tulisku penuh dengan namamu. Baris demi baris, halaman demi halaman kutulis
namamu sambil mengenang saat kita kenalan.
Wajah berlianmu yang tersirami cahaya oranye merkuri melekat kuat di benakku.
Malam itu kulewati dengan perasaan bahagia seolah perkenalan itu menyatu dalam
nyawaku. Hingga pagi menjelang, matahari telah memekarkan hatiku. Kubuka
korden jendela dengan semangat pagi yang luar biasa. Aku menatapmu pergi
bersama teman-temanmu ke gereja. Pagi ini ada yang beda dibanding pagi-pagi
sebelumnya: aku telah mengenalmu!
“Dia pasti membuka jendela buatmu, hahaha.” Suara ledekan dari temanmu selalu
membuatku malu.
“Ayolah kalian sudah kenal kan semalam,” kata temanmu yang satu lagi. Dia melirik
ke arah kamarku dengan pandangan usil menggoda.
“Setiap kita berangkat dia selalu membuka jendela. Jendela hatinya buatmu,
hahaha.” Tawa mereka meledak.
Kau diam saja, namun aku bisa melihat ada senyum terukir di bibirmu. Jantungku
kembali berdebaran.
Malamnya, aku memberanikan diri menemuimu. Jantungku berdetak kencang saat
mengetuk pintu. Dari jendela yang sedikit terbuka kulihat ada wayang golek di
kamarmu.
Kau menemuiku dengan gaun panjang yang memesona. Keanggunanmu bagai peri
dalam khayalan. Kecantikanmu membuatku gugup luar biasa. Kita duduk di meja
beranda, diam membisu begitu lama. Saling menundukkan wajah. Tanganku tak
sepenuhnya sadar mengucek-ucek taplak kain meja.
“Wayang golek?” justru itulah kata pertama yang keluar dari mulutku.

3
“Apa?”
“Di kamarmu.” Bodoh benar aku, telah ketahuan mengintip isi kamarmu.
Kau diam.
“Maaf…” kataku pelan.
“Bukan. Itu Wayang Potehi.”
“Potehi? Aku belum pernah melihat pertunjukannya.”
“Dilarang.”
“Dilarang?”
Kau mengangguk. Aku tahu ini pasti ada hubungannya dengan rezim jahat itu.
Sebagai wartawan pers mahasiswa aku tahu soal diskriminasi, dan akan kutulis
artikel tentang ini. Aku juga dekat dengan para aktivis prodemokrasi.
Entah masuk akal atau tidak, lusanya, setelah artikel itu tayang, saat aku hendak
menunjukkannya padamu, tiba-tiba datang sebuah mobil yang menurunkan
sekelompok lelaki bertubuh tegap yang langsung menyergapku!
***
Malam itu aku diinterogasi dengan tangan terikat. Jari-jari kakiku remuk ditindih
kaki meja. Lenganku terbakar disudut api rokok.
Setiap siuman pertanyaan datang dan selalu sama, “Mana Thukul?! Mana Thukul?!
Mana Wiji Thukul?!”
Aku menggeleng lemah, dan itu artinya bibirku makin pecah berdarah. Mataku
terasa bengkak, nyeri, dan perih.
Untuk mengurangi rasa sakit aku selalu membayangkan wajahmu, dan menyebut
lirih namamu, “Mei Wang….” Wajahmu yang berkilau dan binar matamu meredam
rasa sakit yang merajam seluruh tubuhku.
Setelah puas, aku dibawa mereka pergi.
“Otakmu kiri, kau pantas mati!”
Ancaman itu menggema di jiwaku. Suaranya seperti ribuan malaikat Izrail yang
hendak mencabut nyawaku. Nyaliku gemetar, rasanya tak ada lagi kehidupan yang
membentang di hadapanku. Hatiku menggigil, sepanjang jalan. Tiba-tiba mobil
berhenti. Di sebuah jembatan. Aku dikeluarkan dengan tangan masih terikat, dan
diceburkan ke sungai yang penuh air.
Aku ingat. Aku ingat betul. Aku telah menyerah waktu itu.

4
Tapi Tuhan menyelamatkanku lewat tangan seorang pemancing.Darinya aku
cukup dirawat, dan setelah membaik aku menengok kos, tentu bermaksud
menemuimu.
“Beberapa lelaki mengusirnya pergi,” kata penjual bakmi.
Nada suaranya terdengar sedih. Cinta sejati yang mengatasi segala perbedaan,
agama dan etnis, hancur oleh bengisnya kekuasaan yang daya bunuhnya sampai ke
jantung perasaan.
Untungnya, tak sampai sebulan rezim itu tumbang. Tak akan ada orang yang
menangkapku lagi. Tak akan ada orang yang mengusirmu lagi.
Aku mulai mencarimu, mencarimu ke mana saja. Cinta sejati tak memikirkan diri
sendiri. Berhari-hari, berminggu-minggu, bertahun-tahun aku menggelandang
seperti orang gila. Bertanya ke sana kemari, dan pada akhirnya menyerah pada
kenyataan: kau tak mungkin bisa ditemukan.
Dengan perasaan kalah, aku membeli wayang potehi di Kampung Pecinan. Katanya
dia adalah tokoh Sin Jin Kui yang diadopsi jadi Joko Sudiro dalam lakon ketoprak.
Aku membelinya karena namanya sama denganku, dan kuyakin kau pun tahu tokoh
ini. Memiliki wayang potehi mengekalkan ingatanku padamu, menumbuhkan
harapan yang telah pupus.
Hingga malam ini, saat akan ada pertunjukan wayang potehi, hatiku bergetar. Aku
sengaja datang, berharap untuk terakhir kalinya bisa bertemu denganmu.
Aku percaya semua ini telah ditakdirkan. Tuhan memberkatiku dengan
memerlihatkan berlianku. Masih tak percaya aku terus menatapmu. Dan jantungku
berdebaran saat kau menyadari kehadiranku. Mata kita bersirobok. Tiba-tiba
wajahmu yang berkilau tampak terbakar, air mukamu berubah pucat, seperti orang
mati. Air mata jatuh dari sudut matamu, berwarna merah.
Tubuhku bergetar hebat! (*)

UNSUR UNSUR YANG MEMBANGUN CERPEN WAYANG


POTEHI: CINTA YANG PUPUS

1.Tema : Cinta yang terhalang oleh rezim yang diskriminatif.


2.Alur/plot : Maju, dimulai dari cinta pandangan pertama, berpisah, dan bertemu
kembali.
3.Tokoh dan Penokohan :

 Tokoh Utama: Joko Sudiro.


 Tokoh Tambahan: Mei Wang, Penjual Bakmi, Wiji Thukul, Seorang
Pemancing, Sekelompok Lelaki Tegap, Teman-teman Mei Wang.

5
Keterangan:

 Protagonis: 1.Joko Sudiro, baik, setia, pemberani, gugupan, pekerjaan:


wartawan pers. 2.Mei Wang, baik, pandai bergaul, ramah, dan introvert.
 Antagonis: Sekelompok Lelaki Berbadan Tegap, kejam, tegaan, suruhan
rezim jahat, dan mendiskriminasi.
 Tritagonis: Penjual Bakmi, baik, suka meledek, ramah, dan pandai mencari
informasi.
 Figuran: 1. Wiji Thukul, 2.Seorang Pemancing, 3.Teman-teman Mei Wang.
4.Sudut pandang: Orang pertama sebagai tokoh utama.
5.Latar:

 Tempat: Di sebuah pinggiran kota. Di kos-kosan tempat mahasiswa


menginap.
 Waktu: Hari hari damai pinggiran kota saat rezim jahat berkuasa(Soeharto,
1965-1996).
 Sosial: Banyak event budaya, dengan menonjolkan ciri khas tradisional dan
sesuatu yang berkaitan dengan pedesaan. Banyak penonton Wayang dari
berbagai daerah.
 Suasana: -Batin: Jatuh cinta, putus asa, sedih dan perasaan campur aduk
lainnya. -Kondisi fisik: Tersiksa, emosional, adem ayem, terkejut badan, dll, -
Situasi cerita: Panas membara, dingin, diskriminasi, percintaan, dinamika
sosial masyarakat dan rezimnya.
6.Amanat: Sebuah perjalanan hidup pasti seperti roda yang berputar, ada
kesenangan dan kegembiraan yang datang. Pasti juga ada kesedihan dan
keputusasaan yang datang, Tetapi kesenangan dan hal yang kita impi-impikan pasti
akan tercapai pada waktunya. Karena didalam jurang yang gelap sekalipun akan ada
secercah cahaya rembulan yang menuntun kita pada bulan dan langit yang
indah(Faqih 2024).
7.Gaya Bahasa: Didominasi oleh kata-kata deskriptif.
Tambahan: Ciri-ciri fisik tokoh:

 Joko Sudiro: Tinggi, badan berisi dan atletis, kulit sawo matang, penampilan
lelaki sederhana dengan peci dan sarung.
 Mei Wang: Selalu bergaun dengan muka tirus, kulit putih, mata sipit dan
berbinar.
 Penjual Bakmi: Pendek, kulit sawo matang dengan pakaian khas Sunda(Kaos,
celana pendek, sandal jepit, dan topi bulat khas pedagang).
 Sekelompok Lelaki Berbadan Tegap: Berjas, tinggi besar, dan kulit cokelat
kehitaman.

6
Kerangka Adegan Drama Wayang Potehi: Cinta Yang Pupus

A. Babak/Adegan 1

 Tokoh yang terlibat: Joko Sudiro dan Mei Wang.

 Kostum dan Tata wajah: Kostum kasual untuk Mei Wang dan Joko Sudiro,
Tata Wajah: Kagum, excited, dan ceria sekaligus terpesona.

 Latar tempat: Di Pertunjukan Wayang.

 Keterangan lakuan: Joko Sudiro mengambil tempat duduk di acara


perwayangan. Matanya kesana kemari saat acara dimulai dan menemukan
seorang perempuan cantik yang juga sedang menonton dan tak bisa
melepaskan pandangan darinya sampai penonton bertepuk tangan tanda
pertunjukan dimulai.

 Keterangan Dialog: Tidak ada.

B. Babak/Adegan 2
 Tokoh yang terlibat: Joko Sudiro, Mei Wang, dan Penjual Bakmi.
 Kostum dan Tata wajah: Peci, sarung dan kaos polos untuk Joko Sudiro,
kasual untuk Mei Wang dan Penjual Bakmi. Tata wajah: Senyum, tawa,
gugup, malu malu dan bahagia, serta hangat ceria.
 Latar tempat: Di depan kosan
 Keterangan lakuan: Joko Sudiro memperhatikan Mei Wang yang sedang
menunggu Penjual Bakmi lewat. Joko tak tahan untuk menunggu sehingga Ia
duluan yang menghampiri Penjual Bakmi dan tersipu malu saat berhadapan
hadapan dengan Mei Wang. Penjual Bakmi mencomblangi kedua tokoh saat
berbalas senyum dan menggoda keduanya untuk saling berkenalan. Joko
Sudiro pulang dan tak bisa Tidur malam harinya, oleh sebab itu Ia
menuliskan kecantikan Mei Wang didalam sebuah buku.
 Keterangan dialog:
Penjual Bakmi: ”Cie-cie, inikah yang namanya cinta?, namanya cinta?, cinta
pandangan pertama~”(dengan nada menggoda)
Joko Sudiro: ”Bisa ae Kang, Saya malu karena baru pertama kali melihatnya
sedekat ini.”
Penjual Bakmi: ”Oh begitu toh, ayo-ayo pada kenalan dulu. Jangan malu-
malu, kalian kan udah besarr.”
Penjual Bakmi: “Tak perlu malu di zaman sekarang kalau mau
kenalan.”(sambil tertawa)
Joko Sudiro: “Iya deh Kang, hahaha.”(mengulurkan tangan)
Penjual Bakmi: “Kalau kalian gak kenalan, Saya teh gamasakin yahh!!”
Joko Sudiro: “Jo-Jokoo, Joko Sudiro.”

7
Mei Wang: “Mei Wang”
Penjual Bakmi:”Nahh!, gitu dong. Kalau begini teh Saya baru bisa masakin.”
Joko Sudiro: ”Makasih Kang.”
Keesokan pagi harinya Joko Sudiro dengan semangat membuka gorden
jendela kamarnya, dan melihat Mei Wang berangkat ke gereja dengan
teman-temannya.

C. Babak/Adegan 3
 Tokoh yang terlibat: Joko Sudiro, Mei Wang, teman-teman Mei Wang.
 Kostum dan Tata wajah: Joko Sudiro kasual(berkemeja putih, celana jeans,
dan sepatu), Mei Wang bergaun. Tata wajah: meledek, senyum bahagia, malu
malu, dan gugup.
 Latar tempat: Diluar dan Didalam Kosan
 Keterangan lakuan: Joko Sudiro membuka Jendela kamar, digap oleh teman
teman Mei Wang dan Mei Wang sendiri saat akan pergi ke gereja. Mei Wang
di comblangin dan tersenyum manis. Joko Sudiro menemui Mei Wang di
kosannya pada malam hari dan tidak sengaja melihat wayang di kamarnya.
Mereka berdua mengobrol dan Joko Sudiro memutuskan untuk menulis
artikel tentang rezim jahat, diskriminasi dan bertanya-tanya pada aktivis pro
demokrasi.
 Keterangan Dialog:
Teman sebelah kiri Mei Wang: ”Ehem, liat tuh. Cwo itu selalu aja buka
jendelanya tiap kali kita lewat.”
Teman sebelah kanan Mei Wang: “Oiya, bukannya Mei Wang habis
berkenalan dengannya kemarin? Cie-ciee, tanda tanda dari mata turun ke
hati nih.”
Mei Wang: “Huss, kalian ga boleh bilang bilang begitu.”(tersipu malu)
Teman-teman Mei Wang: “Hahaha, malunya lucu banget ihh.”
Saat malam hari Joko Sudiro kebetulan lewat dan memutuskan untuk
mampir.
Joko Sudiro: “Pee-permisi”(mengetuk pintu)
Mei Wang: “Iyaa, tunggu sebentar”(berlari kecil dari lantai 2)
Joko Sudiro: “Maaff mengganggu waktunya, Mei Wang. Saya memutuskan
untuk mampir sebentar sebelum pulang.”
Mei Wang: “ Silahkan masuk.”
Keduanya saling menunduk sambil duduk di ruang tamu untuk waktu yang
cukup lama.
Joko Sudiro: “Wa-Wayang golek.”(membuka pembicaraan)
Mei Wang: “Apa?”(tak paham)
Joko Sudiro: “Di kamarmu, maaf Aku melihatnya saat didepan dengan tidak
sengaja.”
Mei Wang: “Bukan, itu wayang potehi.”
Joko Sudiro: “ Potehi? Aku belum pernah melihat pertunjukannya.”

8
Mei Wang: “Dilarang.”
Joko Sudiro: “Dilarang?”
Mei Wang: “Benar, pertunjukannya dilarang.”
Joko Sudiro berpamitan pulang. Sesampainya di rumah, Ia menulis artikel
yang berhubungan dengan dilarangnya pertunjukan potehi.
Joko Sudiro: “Aku telah membuat artikel yang berkaitan dengan kejahatan
rezim dan diskriminasi. Teman-teman pro demokrasi akan menyebarkan ini
dan esok akan kutunjukkan kepada Mei Wang artikel ini.”

D. Babak/Adegan 4
 Tokoh yang terlibat: Joko Sudiro, Wiji Thukul, Sekelompok Lelaki Berbadan
Tegap, Seorang Pemancing, dan Penjual Bakmi.
 Kostum dan Tata wajah: Joko Sudiro kasual, Sekelompok Lelaki Berbadan
Tegap memakai pakaian tentara, Seorang Pemancing berkostum penduduk
biasa(kaos, topi, celana pendek, dan sendal), Penjual Bakmi kasual. Tata
wajah: Marah, kesakitan, putus asa, menyerah, sedih, dan kalah.
 Latar tempat: Didalam Kosan Joko Sudiro, Kamp Introgasi, Sungai, dan
Pinggiran Kota
 Keterangan lakuan: Joko Sudiro ditangkap dan disiksa serta dibuang ke
sungai oleh Sekelompok Lelaki Berbadan Tegap padahal sudah menyerah
dengan hidupnya tetapi masih hidup karena diselamatkan oleh Seorang
Pemancing dan dirawat, sampai sembuh. Joko Sudiro pulang kerumahnya
dan mendapati gadis pujaan hatinya di usir. Joko Sudiro terus mencari
selama berhari-hari, berbulan-bulan, sampai akhirnya bertahun-tahun
dengan cara menanyai ke semua orang. Joko Sudiro melihat wayang potehi
yang bernama sama dengannya di Kampung Pecinan, Ia kemudian
membelinya untuk mengekalkan ingatan tentang Mei Wang, dan
menumbuhkan harapan yang telah pupus.
 Keterangan Dialog:
Keesokan harinya Joko Sudiro berjalan ke arah kosan Mei Wang untuk
menunjukkan artikel yang telah Ia buat.
Joko Sudiro: “Ah, Aku gasabar liat bagaimana reaksinya saat kutunjukkan
artikel ini padanya.”
Tiba-tiba Sekelompok Lelaki Berbadan Tegap turun dari mobil.
“Itu dia, cepat tangkap.”(berlari)
Joko Sudiro: “Ada apa ini? Kenapa kalian memborgolku!?”
“Bawa dia ke ruangan Introgasi, Sekarang!”
Joko Sudiro diseret dari mobil setelah sampai di sebuah gedung. Ia disekap
disalah satu ruangan dan dipaksa untuk memberitahukan lokasi Wiji Thukul
yang tidak Ia kenal sama sekali.
Lelaki Tegap: “Mana Thukul?”
Joko Sudiro: “Aku tidak mengenalnya.”
Lelaki Tegap: “Buakh(memukulkan meja ke Joko Sudiro), Mana Thukul?”

9
Joko Sudiro: “Aku tidak tahu.”
Lelaki Tegap memukul dan menimpa kaki Joko Sudiro dengan kaki meja.
Joko Sudiro: “Khh, Aku benar-benar tidak tahu.”
Lelaki Tegap: “Mana Wiji Thukul!?”(menyundutkan rokok dan api ke
sekujur tubuh Joko Sudiro)
Joko Sudiro: ”Akhh, Aku bersumpah tidak tau.”(berteriak)
Joko Sudiro: “Mei Wang, berikan Aku kekuatan untuk menghadapi siksaan
ini.”(berbisik)
Joko Sudiro terus disiksa, tetapi Ia tetap tidak memberitahukan lokasi Wiji
Thukul. Sekelompok Lelaki Berbadan Tegap membawanya pergi dengan
mobil ke arah pinggiran sungai.
Lelaki Tegap: “Otakmu itu beraliran kiri, kau pantas untuk mati”(melempar
Joko Sudiro ke sungai dengan keadaan tangan dan kaki terikat)
Joko Sudiro: “Tidak ada lagi harapan, Aku akan mati hari ini dan tidak akan
menemui Mei Wang untuk selamanya.”
Joko Sudiro: “Ya Allah, kalau Aku diberikan kesempatan sekali lagi, Aku akan
mengutarakan perasaanku padanya. Sekalipun itu di akhirat!”
Saat tersadar, Joko Sudiro sudah dirumah Seorang Warga yang hobi
memancing.
Joko Sudiro: ”Ukh, dimana Aku sebenarnya. Padahal terakhir kali kukira Aku
sudah mati.”
Seorang Pemancing: “Eh, udah bangun Akang? Saya teh nemuin Akang
dipinggir sungai dengan kaki dan tangan yang terikat. Sekarang Akang sudah
aman dari kejaran Lelaki berpakaian militer itu.”
Joko Sudiro: “Terima kasih sudah selamatin saya Pak.”
Seorang Pemancing: “Sama-sama Akang, untuk sementara waktu kamu
disini dulu ya untuk menyembuhkan diri?. Nanti teh kamu boleh pulang
kalau semua lukanya udah sembuh.”
Berbulan-bulan berlalu dan rezim jahat itu sudah runtuh selagi Seorang
Warga yang hobi memancing menyembunyikan Joko Sudiro dirumahnya.
Joko Sudiro: “Terima kasih bapak telah melakukan ini semua untuk Saya,
hutang budi ini akan terus Saya ingat Pak!”
Seorang Pemancing: “Iya nak sama-sama, kamu mau kemana dengan
penampilan yang keren begitu?”
Joko Sudiro: “Hehe, Saya mau melihat kosan Pak. Sekalian mulai masuk
kembali kuliah.”
Seorang Pemancing: “Baiklah, teruslah berhati-hati. Bawa uang ini sebagai
ongkosmu kesana.”
Joko Sudiro: “Wah!!, matur nuhun Pak.”
Joko Sudiro kembali ke kosannya dan mendapati kosan Mei Wang sudah
kosong tanpa penghuni. Kebetulan Penjual Bakmi lewat. Joko Sudiro segera
berlari untuk menanyakan perihal tersebut.
Penjual Bakmi: “Eh, kamu udah kembali kesini? Alhamdulillah Kamu
selamat.”
Penjual Bakmi: “Saya sangat khawatir setelah mendengar kabar kamu
dibawa oleh tentara, Joko.”

10
Joko Sudiro: “Alhamdulilah Allah memberikan kesempatan kedua untuk
Saya.”
Joko Sudiro: “Kang, mana orangnya?”(menunjuk kearah kosan Mei Wang)
Penjual Bakmi: “Sayangjua beberapa Lelaki mengusirnya pergi, dan
sekarang Ia tidak diketahui ada dimana.”
Penjual Bakmi: “Kamu teh yang sabar ya.”
Hati Joko Sudiro sangat hancur mendapati Mei Wang sudah pindah karena
diusir. Ia terus mencari-mencari dan mencari selama bertahun-tahun.
Namun Mei Wang tak kunjung Ia temukan.
Di atas keputusasaan, Ia menemukan sebuah Wayang Potehi dijual di
Kampung Pecinan.
Joko Sudiro: “Wayang potehinya bagus, kalau boleh tau siapa namanya?”
Penjual Wayang: “Ia adalah tokoh Sin Jin Kui yang diadopsi jadi Joko Sudiro
dalam lakon ketoprak.”
Joko Sudiro: “Wahh, namanya sama denganku! Baiklah Aku beli ini!”
Joko Sudiro: “Dia pasti tahu tokoh ini, Aku akan mengekalkan ingatan
tentangmu melalui wayang potehi ini. Semoga kita bisa bertemu lagi!”
(dalam hati)
Malam ini ada pertunjukan Wayang Potehi, dan Joko Sudiro sengaja datang
atas harapan bisa menemukan Mei Wang kembali.

E. Babak/Adegan 5

 Tokoh yang berperan: Joko Sudiro, dan Mei Wang

 Kostum dan Tata wajah: Joko Sudiro berkostum pria klimis dengan
kemeja merah dan celana hitam, Mei Wang dengan gaun merah. Tata
wajah: Penuh dengan ekspresi terharu, terkejut, syadu, bahagia, dan
hening.

 Latar tempat: Panggung pertunjukan wayang potehi.

 Keterangan Lakuan: Joko Sudiro menemukan Mei Wang dihiruk pikuk


pertunjukan dan keduanya berkumpul kembali.

 Keterangan Dialog:
Pembawa Acara: “Terima kasih telah datang, disini kami akan menampilkan
~~~~”(samar)
Joko Sudiro: “Aku seperti melihat seorang yang familiar.”(menyipitkan mata)
Joko Sudiro berjalan mendekat, dan setelah itu berhenti setelah menyadari
orang yang Ia perhatikan daritadi melihat balik kearahnya.
Mei Wang: “Jo-Joko?”
Joko Sudiro: “Iya, ini Aku Joko.”(tersenyum lebar)
Mei Wang yang mendengar itu langsung pucat pasi dan berlinang air mata.
11
Joko Sudiro: “Akhirnya, Aku menemukanmu. Berlianku.”(memeluk Mei Wang)

12

Anda mungkin juga menyukai