Anda di halaman 1dari 366

ISBN 978-602-61725-2-5

PENGAJARAN
BAHASA INDONESIA
BAGI PENUTUR ASING
DALAM KERANGKA SASTRA DAN BUDAYA

Penyunting :
Dr. Farikah, M.Pd.
Imam Baihaqi, M.A.
Retma Sari, M.Pd

Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya | 1
Seminar Nasional KABASTRA II

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002


tentang Hak Cipta
Lingkup Hak Cipta
Pasal 2:
1. Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk
mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu
ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Ketentuan Pidana
Pasal 72:
1. Barangsiapa dengan sengaja atau tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan (2) dipidana dengan pidana penjara masing-
masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta
rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada
umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau
denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

2| Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya
ISBN 978-602-61725-2-5

PENGAJARAN
BAHASA INDONESIA
BAGI PENUTUR ASING
DALAM KERANGKA SASTRA DAN BUDAYA

Penyunting :
Dr. Farikah, M.Pd.
Imam Baihaqi, M.A.
Retma Sari, M.Pd

Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya | 3
Seminar Nasional KABASTRA II

Pengajaran Bahasa Indonesia BAgi Penutur Asing dalam Kerangka


Sastra dan Budaya
Copyrights © Dr. Farikah, M.Pd., Imam Baihaqi, M.A.,
Retma Sari, M.Pd

Hak cipta dilindungi oleh undang-undang. Dilarang mengutip atau


memperbanyak sebagian atau isi seluruh buku ini tanpa izin tertulis
dari penerbit.

Penyunting : Dr. Farikah, M.Pd., Imam Baihaqi, M.A.,


Retma Sari, M.Pd
Layout : Tim Cendekia
Cetakan Pertama, Agustus 2017

Penerbit Graha Cendekia


Perum Guwosari Blok XII No.187 Yogyakarta
Email: graha.cendekia@yahoo.com

Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan


Pengajaran Bahasa Indonesia BAgi Penutur Asing dalam Kerangka
Sastra dan Budaya/
Dr. Farikah, M.Pd., Imam Baihaqi, M.A., Retma Sari, M.Pd/
Cetakan 1: Yogyakarta, Agustus 2017

I. Bahasa III. Farikah, dan Baihaqi, Imam dan Sari, Retma


II. Judul

4| Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya
ISBN 978-602-61725-2-5

KATA PENGANTAR

Program Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing atau


yang lebih dikenal dengan BIPA merupakan salah satu
primadona baru dalam pengajaran yang terdapat di
perguruan tinggi. Kehadiranya bak jamur yang tumbuh di
musim hujan. Setiap kampus baik negeri maupun swasta
kini sudah memilik program BIPA tersebut. Tak ayal
banyak seminar dan kajian yang tiap tahun dilakukan
untuk lebih menguatkan program BIPA di instansi-instansi
yang mengusung program ini.
Pengajaran BIPA di kampus-kampus tidak dapat
dilepaskan dari budaya dan sastra. Karena kedua hal
tersebut sangat berkaitan dan dapat dijadikan sebagai salah
satu pendekatan yang menarik dalam mengajarkan BIPA.
Materi yang diajarkan dalam program BIPA tak hanya
melulu tentang kosakata bahasa Indonesia, tetapi juga
dapat dikaitkan dengan budaya dan sastra sehingga
pengajaran menjadi lebih menarik dan menjual.
Berdasarkan hal tersebut, Pusat Bahasa Universitas
Tidar, Balai Bahasa Jawa Tengah, dan HISKI Komisariat
Kedu mencoba untuk mengadakan Seminar Nasional
Kajian Bahasa, Sastra, dan Pengajarannya (KABSTRA)
dengan tema “Pengajaran Bahasa Indonesia bagi Penutur
Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya”. Dengan
adanya acara tersebut diharapkan para peneliti, dosen,
guru, dan khalayak umum yang mencintai BIPA, budaya,
Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya | 5
Seminar Nasional KABASTRA II

dan sastra akan dapat berkumpul untuk memperbincang-


kan isu, fenomena, serta gagasan baru dalam kaitannya
dengan kajian BIPA, budaya, dan sastra yang sampai
sekarang ini sudah mendapatkan tempat yang istimewa.
Dari makalah yang masuk ke patinia, muncul
beberapa makalah yang mengkaji tentang sastra yaitu
“Karakteristik Tradisi Mitoni di Magelang Sebagai Sebuah
Sastra Lisan‛ karya Imam Baihaqi, “Kajian Analisis Gangguan
Kepribadian dan Kebutuhan Neurotik Tokoh Nyonya Martopo
dan Baitul Bilal Dalam Naskah Drama Orang Kasar karya
Anton P. Ckekov Saduran WS. Rendra‛ karya Nurul Setyorini,
Kadaryati, dan Bagiya, “Pemberian Label Islami pada karya
Sastra Indonesia; Sebuah Permasalahan Sangat Serius yang
Disepelekan‛ karya Ali Imron, “Tradisi Logat Gantung dalam
Terjemahan pada Naskah Safinatu ‘N-Naja‛ karya Isrulia
Nugraheni, “Perlawanan Kultural terhadap Hegemoni Patriarki
: Representasi Naratif Sastrawan Bali dalam Novel” karya Dr.
Gde Artawan, M.Pd, ‚Aspek Budaya Betawi dalam Novel Si
Dul Anak Betawi Karya Aman Datuk Madjoindo” karya
Ninawati Syahrul, “Formasi Ideologi dalam Cerpen Tikus
Karya Indra Tranggono” karya Alfian Rokhmansyah,
‚Diplomasi Lokalitas sebagai Identitas Sastra Indonesia dalam
Konteks Belajar Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing (BIPA)‛
karya Winda Candra Hantari, ‚Pementasan Drama the Glass
Menagerie Karya Tennessee William dalam Pengajaran Kajian
Drama Inggris (English Drama Appreciation) oleh Mahasiswa
Peminatan Sastra Inggris Fakultas Ilmu Budaya Universitas
Dian Nuswantoro‛ karya Haryati Sulistyorini dan “Tuhan
Sembilan Senti sebagai Reperesentasi Fakta Sosial Tentang Rokok
di Indonesia‛ karya Dzikrina Dian Cahyani dan Riniwati
S.A.

6| Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya
ISBN 978-602-61725-2-5

Makalah dengan perspektif kajian bahasa di


antaranya “Vernacular dalam Kerangka Politik Bahasa
Nasional” karya Sri sarwanti, ‚Jenis Ketaksaan pada Judul
Berita Media Massa Regional Jawa Tengah‛ karya Mursia
Ekawati dan Asri wijayanti, ‚Fungsi dan Makna pada
Konstruksi Rumah Adat Sasadu Masyarakat Kecamatan Sahu
Kabupaten Halmahera Barat‛ karya Nirwana dan Rahma
Djumati, ‚Pelestarian Bahasa Daerah di Wilayah Terpencil
Kawasan Maluku Utara‛ karya Ridwan, Sunaidin Ode Mulae
dan Nirwana, ‚Tembang Dolanan dan Geguritan: Media
Pengajaran Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Kedua Berbasis
Kearifan Lokal Daerah Jawa Tengah‛ karya Tadjus Sobirin dan
Fatimah Kartika Ningrum, ‚Nilai Budaya Lokal dalam Cerpen
‚Penajem"‛ karya Theresia Pinaka Ratna Ning Hapsari,
‚Konservasi Pendidikan Bahasa: Upaya Pelestarian Warisan
Budaya‛ karya Moch.Malik al Firdaus.
Makalah yang berkaitan dengan BIPA diantaranya
‚Bahasa Gaul bagi Penutur Asing‛ karya Endah
Ratnaningsih, ‚Media Sosial Berbasis Pembelajaran Bahasa
Asing ‚Hello Talk‛ sebagai Alternatif Media Belajar Bahasa
Indonesia bagi Peserta BIPA‛ karya Molas Warsi Nugraheni,
‚Konsep Privasi: Fungsi Pertuturan dalam Lintas Budaya
Penutur Asing Di Universitas Muhammadiyah Surakarta‛
karya Puji Lestari dan Destiani, ‚Pengembangan Pengajaran
BIPA Bermuatan Budaya Jawa bagi Penutur Asing‛ karya
Ahmad Irkham Saputro, ‚Faktor Pengguna dan Pengelolaan
dalam Penyelenggaraan Program BIPA‛ karya Suharsono.
Sedangkan untuk makalah yang berkaitan dengan
pengajaran di antaranya “Implementasi Nilai-Nilai Islami
dalam Pengajaran English for Children di SD Al Madina
Wonosobo‛ karya Abdur Rofik dan Atini Hidayah,
Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya | 7
Seminar Nasional KABASTRA II

“Pengembangan Buku Bacaan Berjenjang Berbasis Kearifan


Lokal sebagai Media Internalisasi Pendidikan Karakter Untuk
Pembelajaran Bahasa Jawa di Sekolah Dasar‛ karya
Supartinah, Sekar Purbarini,K, Woro Sri, H, ‚Pengembangan
Model Wacana Cerita Anak-anak Fase Operasional Konkret‛
karya Ety Syarifah, Rustono, Herman. J. Waluyo dan Ida
Zulaeha, ‚Efektifitas Penggunaan Bahasa Indonesia Terhadap
Tingkat Pemahaman Siswa dalam Multibahasa di Sekolah
Berasrama (Studi Kasus Pada Pembelajaran Bahasa Indonesia
Kelas X di SMA Taruna Nusantara)‛ karya Endah Septiani
Utari, ‚Pelatihan Bahasa Inggris Berbasis Penerjemahan bagi
Karang Taruna Desa Balesari‛ karya Atsani Wulansari dan
Gilang Fadhilia Arvianti, ‚Project-based Learning untuk
Meningkatkan Kompetensi Menulis Teks Naratif Berbentuk
Legenda pada Siswa Kelas VIII B SMP Negeri 1 Dukun
Kabupaten Magelang pada Semester II Tahun Pelajaran
2015/2016‛ karya Ndayani, “Peranan Website Desa Wisata ‘0
Kilometer Jawa’ dalam Meningkatkan Kemampuan Berbahasa
Masyarakat Desa Balesari‛ karya Rini Estiyowati Ikaningrum
dan Lilia Indriani, “Teknik Tikmi untuk Meningkatkan
Kemampuan Menanggapi Cara Pembawaan Cerpen Siswa Kelas
VII SMP Negeri 42 Purworejo‛ karya Achmad Yulianto,
“Kesulitan Menulis Essay Inggris Mahasiswa dengan English
Proficiency Level yang Berbeda‛ karya Retma Sari,
‚Pembelajaran Advertensi Berbahasa Inggris Berbasis Active
Learning‛ karya Candradewi Wahyu Anggraeni dan Arum
Nisma Wulanajni, ‚Implementasi Creativity-Based Learning
Model dalam Pembelajaran Bahasa Inggris (Sebuah Studi Kasus
di MI Al Islam Balesari Windusari)‛ karya Farikah, dan
“Pembuatan Karya Tulis Berbasis Research Menuju
Terwujudnya Desa Wisata Bagi Guru-Guru MI Al-Islam
Balesari‛ karya Retma sari, Molas Warsi dan Budiono.
8| Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya
ISBN 978-602-61725-2-5

Beberapa kajian yang telah dilakukan oleh para


dosen, guru, peneliti, praktisi, ataupun masyarakat pecinta
bahasa, sastra, BIPA dan pengajaran yang terangkum
dalam buku ini semoga dapat memberikan manfaat,
warna, dan wacana, serta inspirasi baru sehingga
harapannya buku ini dapat dipakai sebagai salah satu
referensi dalam melakukan kajian ilmu pengetahuan di
bidang bahasa, sastra, BIPA dan pengajarannya.

Magelang, 15 Agustus 2017

Editor

Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya | 9
Seminar Nasional KABASTRA II

10| Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya
ISBN 978-602-61725-2-5

DAFTAR ISI

Makalah Utama………………………………………………..1
SASTRA DAN BUDAYA:
JALUR ALTERNATIF MENUJU BIPA YANG
BERMAKNA
Suminto A.Sayuti………………………………………………3
PEMBELAJARAN BAHASA DAN SASTRA YANG
INOVATIF MEMPERMUDAH PENDIDIKAN
KARAKTER ANAK BANGSA
Dr. Yulia Esti Katrini, M.S. …………………………………..15

Makalah Bidang Pendamping Bahasa Indonesia Bagi


Penutur Asing ………………………………………………..35
PENGEMBANGAN PENGAJARAN BIPA BERMUATAN
BUDAYA JAWA BAGI PENUTUR ASING
Ahmad Irkham Saputro ……………………………………..37
BAHASA GAUL BAGI PENUTUR ASING
Endah Ratnaningsih ………………………………………….57
MEDIA SOSIAL BERBASIS PEMBELAJARAN BAHASA
ASING “HELLO TALK” SEBAGAI ALTERNATIF
MEDIA BELAJAR BAHASA INDONESIA BAGI
PESERTA BIPA
Molas Warsi Nugraheni……………………………………...67

Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya | 11
Seminar Nasional KABASTRA II

KONSEP PRIVASI: FUNGSI PERTUTURAN DALAM


LINTAS BUDAYA PENUTUR ASING DI UNIVERSITAS
MUHAMMADIYAH SURAKARTA
Puji Lestari dan Destiani……………………………………..85
FAKTOR PENGGUNA DAN PENGELOLAAN DALAM
PENYELENGGARAAN PROGRAM BIPA
Suharsono……………………………………………………111

Makalah Pendamping Bidang Sastra………………….....129


FORMASI IDEOLOGI DALAM CERPEN TIKUS KARYA
INDRA TRANGGONO
Alfian Rokhmansyah………………………………………..131
PEMBERIAN LABEL ISLAMI PADA KARYA SASTRA
INDONESIA: SEBUAH PERMASALAHAN SANGAT
SERIUS YANG DISEPELEKAN
Ali Imron, M.Hum…………………………………………..149
PERLAWANAN KULTURAL TERHADAP
HEGEMONI PATRIARKI : REPRESENTASI
NARATIF SASTRAWAN BALI DALAM NOVEL
Dr. Gde Artawan, M.Pd ……………………………………173
PEMENTASAN DRAMA THE GLASS MENAGERIE
KARYA TENNESSEE WILLIAM DALAM
PENGAJARAN KAJIAN DRAMA INGGRIS
(ENGLISH DRAMA APPRECIATION) OLEH
MAHASISWA PEMINATAN SASTRA INGGRIS
FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS DIAN
NUSWANTORO SEMARANG
Haryati Sulistyorini, M.Hum ………………………………187
12| Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya
ISBN 978-602-61725-2-5

KARAKTERISTIK TRADISI MITONI DI MAGELANG


SEBAGAI SEBUAH SASTRA LISAN
Imam Baihaqi, M.A. ………………………………………...209
TRADISI LOGAT GANTUNG DALAM TERJEMAHAN
PADA NASKAH SAFINATU ‘N-NAJA
Isrulia Nugrahaeni, S.S., M.Hum. …………………………235
ASPEK BUDAYA BETAWI DALAM NOVEL SI DUL
ANAK BETAWI KARYA AMAN DATUK MADJOINDO
Ninawati Syahrul …………………………………………...261
KAJIAN ANALISIS GANGGUAN KEPRIBADIAN
DAN KEBUTUHAN NEUROTIK TOKOH NYONYA
MARTOPO DAN BAITUL BILAL DALAM NASKAH
DRAMA ORANG KASAR KARYA ANTON
P. CHEKOV SADURAN WS. RENDRA
Nurul Setyorini, Kadaryati, dan Bagiya ………………… 291
TUHAN SEMBILAN SENTI SEBAGAI REPERESENTASI
FAKTA SOSIAL TENTANG ROKOK DI INDONESIA
Dra. Riniwati S.A, M.Pd. dan
Dzikrina Dian Cahyani, M.A. ……………………………...329
DIPLOMASI LOKALITAS SEBAGAI IDENTITAS
SASTRA INDONESIA DALAM KONTEKS BELAJAR
BAHASA INDONESIA BAGI PENUTUR ASING (BIPA)
Winda Candra Hantari……………………………………...353

Makalah Pendamping Bidang Bahasa…………………..365


JENIS KETAKSAAN PADA JUDUL BERITA MEDIA
MASSA REGIONAL JAWA TENGAH
Mursia Ekawati dan Asri Wijayanti ………………………367
Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya | 13
Seminar Nasional KABASTRA II

FUNGSI DAN MAKNA PADA KONSTRUKSI


RUMAH ADAT SASADU MASYARAKAT
KECAMATAN SAHU KABUPATEN
HALMAHERA BARAT
Nirwana dan Rahma Djumati……………………………...381
PELESTARIAN BAHASA DAERAH DI WILAYAH
TERPENCIL KAWASAN MALUKU UTARA
Ridwan, Sunaidin Ode Mulae, Nirwana………………….401
VERNACULAR DALAM KERANGKA POLITIK
BAHASA NASIONAL
Sri Sarwanti ………………………………………………… 419
TEMBANG DOLANAN DAN GEGURITAN: MEDIA
PENGAJARAN BAHASA INDONESIA SEBAGAI
BAHASA KEDUA BERBASIS KEARIFAN LOKAL
DAERAH JAWA TENGAH
Tadjus Sobirin, Fatimah Kartika Ningrum ……………….439

14| Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya
ISBN 978-602-61725-2-5

MAKALAH UTAMA

Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya | 1
Seminar Nasional KABASTRA II

2| Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya
ISBN 978-602-61725-2-5

SASTRA DAN BUDAYA:


JALUR ALTERNATIF MENUJU BIPA
YANG BERMAKNA1

Oleh :
Suminto A.Sayuti
Fakultas Bahasa dan Seni
Universitas Negeri Yogyakarta
suminto_sayuti@uny.ac.id

1/.
Pelajar asing yang belajar bahasa Indonesia niscaya
sudah mampu dan memiliki bekal berbahasa, yakni bahasa
pertamanya. Di samping itu, mereka juga berbekal budaya
asal masing-masing yang melatarbelakanginya. Dalam
sejumlah hal, bekal budaya tersebut tercermin dalam
bahasa karena dalam perspektif Gadamerian, bahasa ada-
lah “rumah pengalaman” manusia. Oleh karena itu, tatkala
mereka mulai berkenalan dengan bahasa Indonesia dalam
rangka mempelajarinya, konflik budaya pun bisa muncul
sebagai sesuatu yang tak terhindarkan, apalagi jika
sebelumnya mereka sama sekali belum pernah mengenal
bahasa Indonesia. Konflik tersebut muncul sebagai akibat

1
Disampaikan pada Seminar Nasional yang diselenggarakan oleh
Universitas Tidar, Magelang, 9 September 2017.
Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya | 3
Seminar Nasional KABASTRA II

dua atau lebih bahasa dan budaya yang berbeda saling


berhadapan dalam satu arena, yang dalam hubungan ini
berupa pembelajaran BIPA.
Pemerolehan bahasa Indonesia bagi penutur asing
memang begitu kuat dipengaruhi oleh bahasa pertama.2
Bahkan, dapat dikatakan bahwa terjadinya kesulitan dan
kesalahan dalam belajar bahasa kedua atau bahasa asing
terutama disebabkan oleh pengaruh bahasa pertama
pelajar. Oleh karena itu, apabila tidak diantisipasi dengan
cermat, konflik tersebut niscaya akan menjadi hambatan
tersendiri bagi para pelajar asing dalam mempelajari
bahasa Indonesia. Dalam hubungan ini, pemilihan dan
penyiapan materi dan strategi belajar-mengajar BIPA pun
musti dilakukan sebaik-baiknya.
Di tengah berbagai upaya yang dilakukan untuk
mencari format BIPA terbaik, tulisan ini mencoba mewa-
canakan pentingnya sastra dan budaya bagi pelajar BIPA.
Fokus perhatian bukan pada pengembangan materi ajar
sastra dan budaya yang siap pakai di dalam kelas pembe-
lajaran, bukan pula perkara benar atau salah jika sastra
dan budaya dilibatkan dalam BIPA. Sederhana saja per-
soalannya: jika dikelola sebaik-baiknya, sastra-budaya
dapat dijadikan salah satu jalur alternatif menuju BIPA
yang bermakna.

2
Bandingkan: Ellis, Rod. 1986. Understanding Second Language
Acquisition. Oxford: Oxford University Press. hh. 19-23.
4| Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya
ISBN 978-602-61725-2-5

2/.
Terdapat sejumlah alasan mengapa sastra dijadikan
titik tolak atau diposisikan sebagai materi dalam konteks
pembelajaran (perolehan) bahasa secara umum,3 yakni
karena: (a) sastra mampu memotivasi pelajar; (b) sastra
merupakan materi yang otentik; (c) sastra mengandung
nilai-nilai pendidikan; (d) sastra membantu pelajar dalam
memahami budaya lain; (e) sastra merangsang perolehan
bahasa; (f) sastra mengembangkan kemampuan interpretif;
(g) sastra memberikan kenikmatan; (h) sastra memperluas
kesadaran bahasa; dan (i) sastra mendorong pelajar untuk
mengemukakan pendapat dan perasaannya.
Butir-butir alasan tersebut niscaya tidak terkait
langsung dengan BIPA. Akan tetapi, darinya dapat
diturunkan sejumlah hal yang relevan dengan persoalan
yang berkenaan dengan sastra sebagai materi BIPA.
Terlebih lagi jika disadari bahwa masing-masing situasi
pembelajaran itu berbeda-beda, teks-teks sastra dan budaya
juga berbeda-beda, demikian pula halnya dengan teori-
teori sastra dan budaya itu sendiri, atau bagaimana
memanfaatkanya dalam kelas pembelajaran juga berbeda.
Berdasarkan pengalaman yang sudah ada, sesungguhnya
sejumlah gagasan sudah dapat dapat dipilih sebagai “jalur
alternatif” dalam upaya lebih memantapkan prinsip dan
keputusan yang diambil dalam kaitannya dengan bagai-

3
Selanjutnya lihat: Lazar, Gilian. 2002. Literature and Language
Teaching. Cambridge: Cambridge University Press.
Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya | 5
Seminar Nasional KABASTRA II

mana dan mengapa sastra dan budaya diperhitungkan


dalam BIPA. Tugas para pengelola dan pengampu adalah
memetakan kemungkinan yang tersedia dan mengembang-
kannya menjadi sesuatu yang tepat dan relevan bagi para
pelajar, baik terkait dengan materi maupun strategi.

Seperti halnya di berbagai kebudayaan dan masya-


rakat, sastra Indonesia juga diperhitungkan sebagai sesuatu
yang mengandung berbagai nilai, baik yang bersifat literer
maupun ekstra-literer.Karena alasan ini, pelajar asing pun
dimungkinkan untuk secara realistik memaknai kemam-
puannya dalam menghadapi teks-teks sastra Indonesia
dalam kelas pembelajaran. Jika pelajar asing sudah akrab
dengan sastra yang terdapat dalam bahasa mereka sebagai
bekal awal, materi sastra Indonesia berpotensi memberikan
tantangan dan ketertarikan tersendiri. Mereka bisa diajak
untuk membandingkannya dengan bekal literer-kultural
yang mereka bawa, yang terdapat dalam bahasa
pertamanya. Pelajar asing yang bekal budayanya memiliki
tradisi lisan kuat, misalnya saja, pada gilirannya niscaya
akan menjadi paham bahwa sastra (yang di-) tulis (-kan),
seperti sastra Indonesia yang dihadapinya dalam kelas
BIPA itu, bersifat terbatas. Sebelum mengajak mereka
untuk membaca sastra Indonesia, mereka diharapkan akan
termotivasi ketika diminta untuk menceritakan sastra yang
bertema sama yang berasal dari budaya miliknya. Hal ini
dimungkinkan karena di samping tema-tema khas bagi
budaya tertentu, sastra juga cenderung mengangkat tema-

6| Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya
ISBN 978-602-61725-2-5

tema universal yang melintasi batas-batas negara, bangsa


dan budaya.
Di samping menunjukkan kepada para pelajar tema
yang partikular dan general, yang provinsial dan universal;
sastra juga sering menunjukkan penggunaan
“penyimpangan” bahasa, yang membuat atmosfer tekstual
menjadi segar, yang tidak dibayangkan sebelumnya.
Sepotong fragmen yang dipetik dari sebuah novel atau
cerpen tertentu, bisa saja secara khas lebih mampu
menghanyutkan pelajar asing yang membacanya dalam
suspensi plot, dibandingkan dengan “cerita-cerita semu”
yang selama ini sering didapatkan dalam buku-buku
kursus (BIPA).

3/.
Teks sastra manapun merupakan sebuah repertoir
yang menyediakan akses bagi pembaca dalam mengenal
dan memahami budaya masyarakat yang bahasanya
mereka pelajari. Dalam perspektif sosiologis, sastra meru-
pakan refleksi dan refraksi masyarakat. Dengan demikian,
novel dan cerpen pun bisa diperhitungkan sebagai
dokumen yang merepresentasikan realitas sosial budaya,
walaupun pada akhirnya teks-teks tersebut harus tetap
diposisikan sebagai karya fiksi. Terlebih lagi jika disadari
bahwa hubungannya dengan “dunia nyata” bersifat tidak
langsung. Bahkan, secara struktural teks-teks sastra

Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya | 7
Seminar Nasional KABASTRA II

menciptakan maknanya dengan berorientasi pada bahasa


itu sendiri (Widdowson, 1984). Persoalannya, jika diasum-
sikan bahwa teks sastra “merefleksikan” budaya, aspek
budaya apakah yang dicerminkan? Dalam hubungan ini,
upaya pun harus dilakukan agar pelajar tidak terjebak ke
dalam kesalahan asumsi bahwa novel, misalnya saja,
merepresentasikan masyarakat dalam keseluruhannya.
Aspek budaya dalam sastra bisa saja hanya merupa-
kan sebuah tipikal yang oleh sastrawannya dicerap dari
sebuah lingkungan yang khas dalam periode historis
tertentu. Oleh karena itu, pemilihan teks sastra dan
pengembangannya sebagai materi pembelajaran BIPA
harus dilakukan secara hati-hati. Perspektif budaya yang
dipilih dan dipergunakan akan menentukan tingkatan
budaya yang terrepresentasi dalam teks sastra. Dalam
perspektif antropologis, misalnya saja, budaya Indonesia
dapat dimaknai secara longgar sebagai nilai-nilai, tradisi-
tradisi, dan praktik-praktik sosial yang khas bersifat
keindonesiaan.
Pada sisi lain, budaya Indonesia dapat dimaknai
juga sebagai sebuah program kerja nasional agar bangsa ini
tetap survival dan mampu beradaptasi dengan berbagai
hal.4 Di dalam program itu terdapat pengetahuan, konsep,
dan nilai-nilai yang sudah shared di kalangan masyarakat
penyangganya melalui sistem bahasa sebagai sarana

4
Selanjutnya lihat: Bullivant (1993).
8| Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya
ISBN 978-602-61725-2-5

komunikasi. Keyakinan, simbol, dan tafsir-tafsir makna


yang sudah terbagi dalam berbagai etnik, terdapat di
dalamnya. Kebudayaan Indonesia utamanya terdiri atas
aspek-aspek simbolik, ideasional, dan tak-benda. Dalam
konteks keindonesiaan, esensi kebudayaan tidak berhenti
pada artefak, piranti, atau elemen-elemen budaya yang
tangibel lainnya, tetapi juga menjangkau bagaimana
manusia Indonesia menafsirkan, menggunakan, dan mene-
rima hal-hal tersebut. Nilai, simbol, tafsir, dan perspektiflah
yang membedakan seseorang atau kelompok tertentu dari
lainnya. Semua itu bisa direpresentasikan dalam teks-teks
sastra, termasuk “budaya populer” yang faktanya mungkin
lebih menarik bagi banyak pelajar asing karena mereka
umumnya masih belia.
Ilustrasi di atas hanya ingin menunjukkan bahwa
bahasa dan budaya memiliki kaitan yang begitu erat dan
sulit dipisahkan. Sastra Indonesia merefleksikan kera-
gaman realitas kehidupan secara kaya karena ditulis oleh
para pengarang yang hidup dengan latar budaya (lokal)
yang berbeda-beda. Dengan memberikannya kepada para
pelajar asing, sebenarnya kita pun melibatkan mereka
dalam keragaman budaya Indonesia yang darinya sastra
diciptakan. Artinya, secara tidak langsung kesadaran
mereka pun dibangunkan, baik kesadaran terhadap hal-hal
yang bersifat sosial, politis, ataupun historis secara luas.
Teks sastra memberikan gambaran tentang cara-
cara anggota masyarakat merasa menjadi atau mereaksi
Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya | 9
Seminar Nasional KABASTRA II

sesuatu dalam situasi yang khas sesuai dengan konteksnya.


Latar pertanian-agraris dalam cerpen misalnya saja, bisa
saja mengakrabkan pelajar asing dengan skeneri tipikal dan
struktur sosial tertentu. Lebih dari itu, latar semacam itu
juga mampu memberikan insights tentang kemungkinan
hubungan, emosi, dan sikap terhadap hal-hal yang bersifat
agraris.
Teks sastra memungkinkan pelajar asing merasa
bahwa program BIPA yang diikutinya memang bermakna
karena gambaran-gambaran yang dihadapinya secara
tekstual-literer dapat mereka deskripsikan kembali, atau
dinilai berdasarkan bekal pengalaman mereka. Akan tetapi,
karena deskripsi tersebut hanya menjadi sebuah bagian,
mereka hendaknya didorong untuk memperlakukannya
secara kritis. Asumsi-asumsi ideologis dan kultural dalam
teks sastra tidak sekedar diberikan dan para pelajar asing
menerimanya begitu saja. Mereka mesti diajak untuk
menilainya berdasarkan perspektif yang telah mereka
miliki. Bekal budaya asal yang mereka bawa mesti
diberdayakan. Mereka bisa saja diminta untuk
membandingkannya dengan hal yang sedang mereka
hadapi. Dengan cara demikian, relasi resiprokal antara
budaya Indonesia yang tersaji dalam teks sastra dan
budaya asing yang mereka bawa akan terjadi. Miskonsepsi
terhadap hal-hal tertentu tentang keindonesiaan pun dapat
dikoreksi melalui proses pembelajaran yang bermakna.

10| Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya
ISBN 978-602-61725-2-5

4/.
Ketika pelajar asing masih merasa memiliki akses
yang terbatas untuk berbicara dalam bahasa Indonesia,
maka pengalaman untuk menulis dapat diperhitungkan
sebagai hal utama untuk menstimulasi perolehan bahasa
mereka. Dalam hubungan ini, teks-teks sastra menyediakan
peluang yang tepat dalam menstimulasi perolehan bahasa.
Karena, teks sastra memberikan konteks yang bermakna
dan memorabel untuk memroses dan menafsir bahasa teks
sebagai “bahasa yang baru” bagi mereka. Tentu saja, untuk
kelas-kelas permulaan, sebagian besar pelajar asing belum
mampu membaca novel atau cerpen Indonesia sebagai-
mana adanya, yang asli; seperti halnya terjadi ketika mere-
ka membaca teks-teks sastra dalam bahasa miliknya. Untuk
itu, penyediaan simplified edition sejumlah novel dan atau
cerpen Indonesia penting dan perlu dilakukan. Tidak ada
jeleknya kita mencontoh sastra Inggris yang membuat edisi
sederhana bagi karya-karya Shakespeaare, dengan ukuran
jumlah kata. Di samping itu, kegiatan membaca intensif di
luar kelas pembelajaran juga akan mendorong mereka
menjadi pembaca yang perolehan bahasa Indonesianya
tertingkatkan.
Untuk kelas-kelas pembelajaran yang lebih tinggi,
para pelajar asing mungkin saja sudah mampu meresapi
plot dan karakter novel atau cerpen yang otentik. Mereka
mungkin saja sudah mampu mencapai “sentuhan bahasa
baru” yang dipelajarinya. Untuk itu, ketika perolehan
Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya | 11
Seminar Nasional KABASTRA II

bahasa dalam kelas pembelajaran menjadi terbatas,


penyediaan aktivitas membaca sastra di luar kelas menjadi
sebuah cara yang penting untuk dilakukan. Jika rekaman-
rekaman pandang-dengar materi sastra tersedia, niscaya
mereka akan mampu mencapai tingkat perolehan bahasa
lebih tinggi lagi.
Dalam kelas pembelajaran itu sendiri, pemanfaatan
teks sastra bisa menjadi sebuah cara yang mengasyikkan.
Para pelajar didorong untuk berbagi pengalaman dan
pandangan-pandangannya melalui diskusi atau kerja
kelompok. Ketika mereka mengekspresikan tanggapan
personalnya terhadap kemajemukan makna tekstual,
sesungguhnya mereka sedang mengakselerasi perolehan
bahasa masing-masing. Membaca puisi secara nyaring
dengan disertai mimik dan gestur tertentu, bisa saja
menjadi sarana efektif bagi mereka untuk menginternalisasi
kosa kata, pola-pola kalimat, atau bahkan intonasi. Tentu
saja harus dipilih puisi Indonesia yang sederhana, yang
lugas, dan tidak bersifat prismatis. Puisi yang dibaca atau
dibacakan bisa saja “puisi mereka,” tetapi sudah diindo-
nesiakan. Agar menjadi bermakna dalam konteks peroleh-
an bahasa, penerjemahan bisa saja diserahkan kepada
mereka. Atau bisa juga diambil dari kumpulan puisi
terjemahan yang sudah ada. Mereka diminta untuk
membandingkan dengan terjemahan yang mereka lakukan.

12| Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya
ISBN 978-602-61725-2-5

Dalam kaitannya dengan proses pembelajaran BIPA,


teks sastra lebih berposisi media dan bukan sebagai materi
utama. Artinya, para pelajar asing tidak semata-mata
dimasukkan dalam proses belajar sastra. Teks-teks sastra
diperlakukan sebagai sarana atau media untuk mencipta-
kan sistem lingkungan pembelajaran BIPA yang bermakna.
Proses pembelajaran apapun, termasuk BIPA, pada
hakikatnya selalu menuntut terciptanya sistem lingkungan
belajar yang khas. Di dalamnya diciptakan hubungan
sosial antara pengajar dan pelajar melalui bentuk kegiatan
pembelajaran yang sesuai dengan tujuan yang akan dicapai
serta mempertimbangkan sarana dan prasarana belajar-
mengajar yang tersedia. Komponen-komponen tersebut
saling mempengaruhi secara bervariasi, sehingga setiap
peristiwa belajar-mengajar BIPA yang menempatkan sastra
di dalamnya menuntut “profil” yang unik.
Untuk menciptakan sistem lingkungan belajar BIPA
yang khas, tujuan-tujuan belajar yang diusahakan dengan
tindakan instruksional untuk mencapai efek instruksional
menjadi penting, tetapi tujuan yang lebih merupakan efek
pengiring juga tidak boleh diabaikan. Para pelajar asing
niscaya menjadi “betah” atau bahkan merasa live in jika
mereka juga diberi ruang untuk berpikir kritis, berpikir
kreatif, dan bersikap terbuka. Dalam hubungan inilah teks-
teks sastra yang dipilih secara cermat akan menemukan
relevansi dan signifikansinya dalam pembelajaran BIPA.

Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya | 13
Seminar Nasional KABASTRA II

Seorang pengajar harus memilih dan menentukan


satu (atau biasanya lebih) strategi belajar-mengajar jika
ingin mencapai efek instruksional, efek pengiring tertentu,
atau karena ingin mencapai kedua-duanya. Apapun yang
dikehendaki, kesadaran pertama dan utama yang harus
selalu dipegang adalah bahwa penekanan lebih ditujukan
pada “pelajar asing-belajar bahasa Indonesia melalui
sastra” dan bukan pada “pengajar-mengajarkan sastra.”
Karena, proses pembelajaran akan menjadi lengkap hanya
jika pelajar memahami, menerima, dan mampu menerap-
kan secara praktis pengetahuan yang diterimanya.
Materi ajar yang dibutuhkan oleh pelajar memang
bergantung pada tujuan belajar atau kebutuhan belajar
pelajar asing. Dalam konteks perbedaan bekal bahasa dan
budaya, perbedaan tujuan belajar dan tingkat kemampuan
awal, pembelajaran BIPA yang bermakna pun menjadi
keniscayaan. Teks-teks sastra-budaya yang dipertimbang-
kan dan dikelola berdasar pada kebutuhan pelajar secara
cermat, niscaya benar-benar mampu menyranai ter-
bangunnya jalur alternatif menuju kebermaknaan BIPA
yang sebenarnya. Mungkin begitu.

Balong-Pakembinangun: September 2017.

14| Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya
ISBN 978-602-61725-2-5

PEMBELAJARAN BAHASA DAN SASTRA


YANG INOVATIF MEMPERMUDAH
PENDIDIKAN KARAKTER ANAK
BANGSA

Oleh:
Dr. Yulia Esti Katrini, M.S.
Ketua Program Studi S2 Pendidikan Bahasa Indonsia
Universitas Tidar

PENDAHULUAN
Baru-baru ini kita saksikan bersama sesuatu yang
berbda dalam peringatan hari kemerdekaan Indonesia. Di
beberapa daerah dimulai dengan aktivitas yang melibatkan
seluruh warga masyarakat dengan kegiatan yang
bermacam-macam. Yang intinya menggiring warga dalam
kebersamaan suasana, sehingga saling berkomunikasi,
mengenal, untuk kemudian saling mengerti dan mema-
hami satu sama lain. Di tingkat pusat, presiden Republik
Indonesia Joko Widodo mengingatkan kesadaran tentang
masyarakat Indonesia yang dibangun dari masyarakat
yang heterogen. Oleh karena itu peringatan hari kemer-
dekaan yang sering disebut tujuhbelasan, dilaksanakan
dengan keharusan mengenakan pakaian adat seluruh
Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya | 15
Seminar Nasional KABASTRA II

Indonesia. Para petinggi Negara dan kabinetnya datang


dengan pakaian adat yang mereka pilih sesuai dengan
daerah asalnya, atau setidaknya mewakili daerah tertentu.
Melalui peristiwa peringatan hari kemerdekaan
Presiden berharap kemajemukan bangsa yang digambar-
kan lewat pakaian adat yang dipakai saat eringatan detik-
detik proklamasi dapat diterima dan dipahami seluruh
rakyat Indonesia. Menurut beliau menjaga keragaman
menjadi keharusan, demikian pula silaturahim antarelite
harus diteruskan. Hal ini harus sampai kepada masyarakat
sebagai pesan peringatan hari kemerdekaan bangsa
Indonesia.
Apa yang dilakukan presiden kita merupakan
reaktualisasi kembali pada peristiwa Sumpah Pemuda
pada tahun 1928. Ikrar yang dinyatakan sebagai berbanga
satu bangsa Indonesia, berbahasa satu bahasa Indonesia
dan bertanah air satu tanah air Indonesia, perlu mendapat
formula ang jelas dan nyata dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara, terlebih bermasyarakat. Apabila dikaitkan
dengan peran bahasa Indonesia yang sudah jelas diatur
dalam Undang-undang Republik Indonesia no. 24 tahun
2009 tentang Bendera, Bahasa dan Lambang Negara serta
Lagu Kebangsaan, ada tuntutan tertentu yang terkandung
dalam undang-undang tersebut. Namun bagaimana dalam
kehidupan nyata mengenai peran dan penerimaan bahasa
Indonesia di era global saat ini, sudah dapat dilihat adanya

16| Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya
ISBN 978-602-61725-2-5

pergeseran nilai pengakuan karena masuknya budaya


asing sebagai akibat kecanggihan dan kemajuan teknologi.
Presiden telah memulai kembali secara fisik dalam
kostum pakaian adat, sekarang mari kita membantunya
dengan meneruskannya kepada masyarakat. Melalui
bahasa dan sastra kita membangun karakter bangsa dari
dalam. Bagaimana orang tidak lagi memandang bahasa
Indonesia dengan sebelah mata karena dianggap mudah,
membosankan dan tidak menarik dalam pembelajaran.
Ingat pepatah “Bahasa menunjukkan Bangsa” Seseorang
dapat dinilai martabatnya, salah satu di antaranya adalah
bagaimana orang tersebut berbahasa. Untuk menyatakn
diri seseorang juga dimulai dari penggunaan bahasanya.
Yang menjadi pertanyaan bagaimanakah metode
yang dapat membantu untuk menunjukkan peran bahasa
Indonesia dalam pembelajaran yang sekaligus dapat
membangun karakter aanak bangsa? Mari kita sejenak
melihat kembali fungsi dan kedudukan bahasa Indonesia
secara konkret dalam kehidupan sehari-hari bangsa ini.
Melalui penelusuran bersama tentu akan ditemukan for-
mula yang tepat untuk masyarakat yang heterogen ini.

PEMBAHASAN
Bahasa Indonesia merupakan bahasa resmi yang
diajarkan di seluruh jenjang pendidikan, bahkan dari
PAUD hingga pendidikan tinggi menjadi bahasa pengantar
pendidikan, yang secara terus-menerus diajarkan untuk

Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya | 17
Seminar Nasional KABASTRA II

mengawal agar penggunaan bahasa Indonesia, dilakukan


secara benar sesuai kepentingannya. Jadi bahasa Indonesia
diharapkan mampu menjadi bahasa yang dapat digunakan
untuk komuikasi ilmu pengetahuan, teknologi dan seni,
sehingga bangsa Indonesia dapat menyatakan eksistensi-
nya melalui bahasa Indonesia yang baik dan benar.
Apabila diambil salah satu fungsi bahasa Indonesia
yang dihubungkan dengan seni, maka yang paling dekat
adalah seni sastra yang menggunakan bahasa sebagai
mediumnya. Sastra merupakan bagian dari kehidupan
yang tidak terpisahkan, karena sesungguhnya kehidupan
itu sendiri ada di dalamnya. Oleh karena itu belajar sastra
seperti belajar tentang kehidupan nyata.. Karya sastra
merupakan ceriman realitas kehidupan manusia, yang
penuh muatan contoh perilaku, sikap, pemikiran-
pemikiran yang berkaitan dengan kebaikan, toleransi,
empati, keyakinan, dan juga wawasan kebangsaan atau
nesionalisme. Interpretasi pengarang tentang kehidupan
dituangkan dalam bentuk cerita yang penuh dengan
estetika. Oleh karena itu membaca karya sastra dengan
penghayatan dan kesungguhan akan memperoleh sesuatu
yang berguna dan menyenangkan. Sesuatu itu dapat
berbentuk amanat yang menunjukkan hubungan manusia
dengan alam, manusia dengan Tuhan dan manusia dengan
sesamanya.

18| Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya
ISBN 978-602-61725-2-5

Bahasa dan Sastra Sebagai Materi Ajar Bersama.


Pelajaran sastra yang diberikan saat ini belum
menunjukkan hasil yang optimal, terbukti masih banyak
siswa maupun masyarakat yang belum menyadari
kegunaan membaca sastra. Kalau ada yang menarik hanya
bersifat sementara lalu ditinggalkan. Mereka mungkin
masih menganggap sastra sama dengan dunia khayal.
Dunia antah berantah dan imajiner. Jadi bagaimana
menemukan formula pembelajaran bahasa dan sastra yang
menarik dan menyenangkan. Menggunakan materi karya
sastra baikpuisi maupun novel, pembelajaran bahasa dapat
dilaksanakan dengan menarik dan menyenangkan. Suatu
karya sastra dapat dicermati bagaimana penggunaan
bahasanya, misalnya analisis kalimat, struktur dan jenis-
nya. Penentuan Janis kalimat tunggal, kalimat majemuk,
kalimat inversi dan kalimat kanonik. Dapat pula dianalisis
pola kalimat, subjek, predikat, keterangan dsb. Karya sastra
kaya akan bentuk-bentuk kebahasaan yang variatif,
sehingga secara bersama pelajaran sastra dan bahasa
dirancang menjadi materi yang menyenangkan, sehingga
perlu dipilih metode yang tepat.
Sebagaimana dinyatakan Pratikno (2017:1} generasi
muda yang lahir pada 1995-2000 dinilai sebagai generasi
yang lebih mudah mencerna informasi dalam medium
gambar dan video daripada tekstual. Oleh karenanya
akademisi dan tokoh agama harus mampu mengambil
peran kea rah itu. Kita harus berorientasi pada selera
Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya | 19
Seminar Nasional KABASTRA II

mahasiswa dan anak muda, yang merupakan generasi


Twitter, generasi yang menyukai gambar dan video, bukan
lagi generasi teks. Jadi bagaimana memilih media yang
tepat untuk pembelajaran bahasa dan sastra yang kreatif
dan inovatif, menjadi solusi bagaimana pembentukan
karakter kepada mereka.

Karya Sastra dan Pembaca


Sastra merupakan bagian dari kehidupan sejak
dahulu kala. Ketika manusia mulai mengenal komunitas
hidupnya. Dia terlahir di tengah-tengah mesyarakat pe-
miliknya. Oleh seorang pengarang yang merupakan bagian
dari mesyarakat itu, diciptalah suatu karya sastra yang
merupakan refleksi dan imajinasi terhadap gejala dan
fenomena soSial di sekelilingnya, sehingga sastrapun
berakar pada kultur masyarakatnya. Meskipun demikian
sastra mempuyai dunia otonom, yang membangun karya
sastra sebagai karya fiksi sehingga berbeda dengan dunia
nyata.
Sastra sebagai “dunia dalam kata“ mempanyai
kebulatan makna secarai. Dalam pengkajian sastra,
pendekatan strukturalisme memusatkan perhatiannya
pada otonomi sastra sebagai karya fiksi. Sebagaimana
dinyatakan Sayuti ( 2003:65 ) bahwa pengkajian karya
sastra berdasarkan strukturalisme dinamik merupakan
pengkajian strukturalisme dalam rangka semiotic, artinya
sastra dipertimbangkan sebagai system tanda yang

20| Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya
ISBN 978-602-61725-2-5

mempunyai dua fungsi. Yang pertama adalah otonom,


yaitu merujuk di luar dirinya, yang kedua bersifat
informasional yaitu menyampaikan pikiran, perasaan dan
gagasan pengarang. Keduanya saling berkaitan sebagai
struktur yang bersifat dinamis.

Sebagaimana dinyatakan Pradopo (1990:6) karya


sastra merupakan suatu struktur yang otonom yang dapat
dipahami sebagai kesatuan yang bulat, dengan unsur-
unsur pembangunnya yang saling berjalinan. Artinya di
dalam emahami karya sastra harus memahami unsur-unsur
yang membentuk struktur, sementara analisisnya sampai
kepada menguraikan dan memaparkan dengan sksama
keterikatan jalinan semua unsur hingga menghasilkan
makna keseluruhan.
Untuk dapat memahami makna secara keseluruhan
secara optimal harus diperhatikan struktur tanda-tanda (
menurut semiotic ), karena karya sastra merupakan
struktur tanda-tanda yang bermakna. Menurut Pradopo
(2003:67) semiotic menganggap fenomena sosial/ masyara-
kat dan kebudayaan merupakan tanda-tanda. Di dalamnya
dipelajari system-sistem, aturan-aturan, konvensi=konvensi
yang memungkinkan tanda-tanda tersebut mempunyai
arti. Dalam karya sastra arti bahasa ditentukan oleh
konvensi sastra, sementara bahasa sudah mempunyai
system dan arti sendiri sebelum menjadi bahasa sastra.
Oleh karena itu dalam karya sastra arti bahasa mendapat
arti tambahan atau konotasinya.

Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya | 21
Seminar Nasional KABASTRA II

Mengenai hubungannya dengan pembaca, menurut


Herfanda (2008:131) sastra memiliki potensi yang besar
untuk membawa masyarakat kea rah perubahan, termasuk
perubahan karakter. Sebagai ekspresi karya seni dengan
medium bahasa, sastra bersifat reflektif sekaligus interktif
sehingga dapat menjadi spirit bagi munculnya geakan
perubahan masyarakat menjadi lebih baik, penguat rasa
cinta tanah air, serta menjadi sumber inspirasi dan motivasi
kekuatan moral bagi perubahan sosial budaya.
Hal-hal seperti tersebut di atas menjadi bagian
penting dari perkembangan kepribadian terkait dengan
pendidikan karakter. Jadi sastra tidak hanya menjadi karya
yang mampu memberikan hiburan yang menarik, namun
juga mampu memberikan pencerahan mental spiritual,
seperti memupuk rasa keindahan, empati, daya imajinasi
dan daya kritis. Barangkali hal seperti inilah yang
dikehendaki presiden, bahwa melalui sastra peserta didik
dapat belajar bahasa, juga belajar budaya konseptual dan
intelektual, sekaligus memperoleh model situasi atau
model kehidupan bangsa ini.

Padu Padan Pembelajaran Bahasa dan Sastra


Bahasa Indonesia yang menjadi mata pelajaran
secara nasional, dapat diketahui secara jelas menjadi materi
wajib ujian nasional di jenjang pendidikan manapun.
Ditambah lagi ketentuan bahasa Indonesia menjadi mata
kuliah umum wajib di seluruh program studi di perguruan

22| Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya
ISBN 978-602-61725-2-5

tinggi di Indonesia. Dari apa yang terjadi dengan pelajaran


bahasa Indonesia, di negeri ini sebetulnya mengisyaratkan
bahwa kemampuan berbahasa Indonesia masih diragukan
untuk keperluan akademis lisan maupun tulis. Hal ini juga
didukung oleh kenyataan bahwa kemampuan berbahasa
Indonesia terutama untuk keperluan menulis karya ilmiah,
masih belum memadai, terutama di perguruan tinggi.
Secara umum jauh berbeda dari pelajaran sastra
yang hanya merupakan bagian dari pelajaran bahasa
Indonesia. Menurut Jamaluddin (2003:86) pola pembelajar-
an sastra di sekolah-sekolah berkaitan erat dengan model
pendekatan yang digunakan. Sementara semua pendekatan
yang digunakan oleh setiap kurikulum hanya mengacu
pada bidang pembelajaran bahasa. Pendekatan structural,
mpragmatik, dan komunikatif hanya berorientasi pada
teori-teori linguistic, sedangkan untuk bidang pembela-
jaran sastra masih dianggap kurang tersentuh oleh tim
perekayasa kurikulum.. Artinya pola pembelajaran sastra
bukan sepenuhnya berorientasi pada upaya pembinaan
dan pengembangan daya apresiasi siswa terhadap karya
sastra. Selain itu dalam kenyataan secara umum pembe-
lajaran sastra di sekolah belum mendapat respon positif
dari siswa, padahal sastra dapat dimanfaatkan untuk
mengembangkan kepribadian, memperluas wawasan kehi-
dupan serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan
berbahasa.

Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya | 23
Seminar Nasional KABASTRA II

Menurut Sarjono (2001:209) bahwa keberhasilan dan


kegagalan pembelajaran sastra disebabkan oleh banyak hal,
karena merupakan sebuah system yang meliputi kuri-
kulum sastra di sekolah, sarana dan prasarana, iklim ber-
sastra dan lain-lain. Pengajaran sastra mempunyai peluang
besar untuk meningkatkan apresiasi dan keakraban siswa
pada sastra, sedangkan kelemahannya terletak pada tingkat
pemilihan dan penguasaan materi untuk diajarkan. Semen-
tara guru tidak memiliki waktu dan tidak tahu bagaimana
caranya mengikuti pengembangan sastra di luar buku teks
pengajaran.
Sarumpaet (2002:90) mengatakan bahwa hasil
belajar siswa di sekolah memang dipengaruhi oleh banyak
factor. Guru adalah salah satu komponen dalam system
pendidikan yang sangat mempengaruhi hasil pendidikan,
sebagai akibatnya, kegagalan siswa dalam mencapai tujuan
sering ditimpakan pada guru, meskipun sesungguhnya
keberhasilan atau kegagalan dalam proses belajar menga-
jar, siswalah yang primer.
Dari situasi yang demikian, mari kita mencoba
mencari solusi pembelajaran bahasa dan sastra yang dapat
memenuhi kriteria membantu memberi isi pendidikan
karakter, sehingga menghasilkan sosok yang Indonesia
dalam berbahasa,bertindak, bersikap dan berujar serta
merespon sesuatu.

24| Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya
ISBN 978-602-61725-2-5

Model Pembelajaran dan Materinya


Pembelajaran bahasa dan sastra yang tidak terlalu
berimbang, dapat dimodifikasi dengan model yang
membuat keduanya diterima dan diikuti dengan senang.
Beberapa model dapat diterapkan sekaligus dapat merang-
kum pembelajaran bahasa, terutama untuk menunjang
kemampuan berbicara dan kemampuan menulis serta tata
bahasanya. Demikian pula dalam hal materi sastra juga
dapat menunjang hal-hal yang terkait penulisan kreatif dan
penulisan yang bersifat naratif.

Pembelajaran Bahasa Indonesia


Untuk model pembelajaran Bahasa Indonesia bisa
memanfaatkan media audiovisual, sehingga ada ilustrasi
gambar yang dapat membangun suasana tertentu..
Misalnya dipilih sebuah lagu yang telah dikenal peserta
didik, sebagai sebuah syair, seperti lagu yang berjudul
Rayuan Pulau Kelapa. Apabila dipilih lagu tersebut maka
gambar yang dipilih harus sesuai dengan situasi lagu
tersebut. Perhatikan syair berikut.

Rayuan Pulau Kelapa

Tanah airku Indonesia


Negeri elok amat kucinta
Tanah tumpah darahku yang mulia
Yang kupuja sepanjang masa
Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya | 25
Seminar Nasional KABASTRA II

Tanah airku aman dan makmur


Pulau kelapa nan amat subur
Pulau melati pujaan bangsa
Sejak dulu kala

Melambai-lambai, nyiur di pantai


Berbisik-bisik, raja kelana
Memuja pulau nan indah permai
Tanah airku Indonesia

Untuk gambar yang sesuai dengan lagu tersebut,


bisa dipilih daerah Raja Ampat di Papua, Bunaken di
Manado, pantai di daerah Ambon, Teluk Bayur di Padang,
kemudian ditambah aktivitas para nelayan di pantai
maupun di laut. Ilustrasi seperti itu akan membangun
suasana pembelajaran pada suasana yang berbeda, tidak
suasana kelas. Dengan menyaksikan gambar dan men-
dengarkan lagu, peserta didik diingatkan pada bagian
tanah air, sehingga muncul suasana haru, kagum, senang
bahkan ada keinginan-keinginan lain. Sausana pembe-
lajaran yang demikian diharapkan dapat menumbuhkan
rasa cinta tanah air, nasionalisme, empati kepada
kehidupan nelayan dan bahkan tentang keberagaman yang
ada di negeri ini.

26| Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya
ISBN 978-602-61725-2-5

Teks lagu yang sebelumnya sudah dibagikan


kepada peserta didik, kemudian dianalisis berdasarkan
teori kebahasaan yang juga telah diberikan kepada mereka.
Mereka akan menemukan adanya jenis-jenis kalimat seperti
kalimat nominal, verbal, kalimat tunggal, kalimat maje-
muk, kalimat inversi, serta fungsi sintaktisnya seperti:
subjek, predikat, keterangan dan lainnya Sebelumnya guru
dapat menujukkan, misalnya Tanah airku Indonesia
merupakan kalimat tunggal, kalimat nominal terdiri atas
subjek dan predikat.Kemudian peserta didik meneruskan
untuk analisis bagian-bagian yang lain, demikian
seterusnya.

Pembelajaran Sastra

Hampir sama dengan pembelajaran Bahasa Indonesia


secara struktursl, d.engan materi syair lagu nasional,makan
untuk pembelajaran sastra dapat menggunakan materi
yang hampir sama,namun dapat dipilih lagu yang
menyentuh peserta didik, dengan suasana tertentu. Misal-
nya lagu yang bernuansa religi seperti lagu Ebiet G Ade
yang berjudul:

“Masih Ada Waktu”

Masih Ada Waktu


Bila masih mungkin
Kita menorehkan batin
Atas nama jiwa dan hati tulus ihklas
Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya | 27
Seminar Nasional KABASTRA II

Mumpung masih ada kesempatan buat kita


Mengumpulkan bekal perjalanan abadi

Kita mesti ingat tragedi yang memilukan


Kenapa harus mereka yang pergi menghadap
Tentu ada hikmah yang harus kita petik
Atas nama jiwa mengheningkan cipta
Kita mesti bersyukur
Bahwa kita masih diberi waktu
Entah sampai kapan
Tak ada yang dapat menghitung

Hanya atas kasihnya


Hanya atas kehendakNya
Kita masih bertemu matahari
Kepada rumpun ilalang
Kepada bintang gemintang
Kita dapat mencoba meminjam catatannya

Sampai kapankah gerangan


Waktu yang masih tersisa
Semua menggeleng
Semua terdiam
Semua berkata tak mengerti
28| Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya
ISBN 978-602-61725-2-5

Yang terbaik adalah segeralah bersujud


Mumpung kita masih diberi waktu

Puisi di atas merupakan karya Ebit G Ade yang


dinyanyikan sendiri dengan penuh keharuan. Hampir
setiap ada tragedy yang terjadi di negeri ini, lagu tersebut
diputar menjadi ilustrasi berita tentang bencana tersebut.
Isi dari puisi tersebut adalah interaksi antara manusia
manusia dengan alam dan Tuhan. Bagaimana kedudukan
manusia di hadapan Sang Pencipta, apa yang seharusnya
dikerjakan bersama alam. Puisi tersebut mengingatkan
kepada manusia terkait dengan situasi sekarang ini dan
bagaimana harus mengatasi dan memperbaiki sesuatu
yang telah terjadi.
Ilustrasi yang digunakan untuk menyertai putaran
lagu “ Mumpung Masih Ada Waktu“ dapat dipilih gambar
tentang bencana yang terjadi di tanah air, bisa tragedi tanah
longsor di suatu wilayah negeri ini, banjir bandang,
gunung meletus, tsunami Aceh yang semua mengajak
peserta didik untuk memahami bahwa tekstur negeri ini
sedemikian rupa. Dengan banyaknya gunung berapi yang
aktif bahkah yang akhir-akhir ini gunung-gunung yang
ratusan tahun tenang tiba-tiba menjadi aktif kembali seperti
gunung Bromo di Jawa Timur, gunung Tambora di NTT,
gunung Slamet di Jawa Tengah, gunung Sinabung di
Sumatra Utara yang bahkan sampai hari ini masih
menunjukkan keaktifannya yang cukup membahayakan

Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya | 29
Seminar Nasional KABASTRA II

bagi kehidupan saudara-saudara kita di wilayah Karo. Itu


semua memberi gambaran tentang relasi antara manusia,
alam dan Tuhan Sang Pencipta. Bagaimana hubungan itu
harus dijaga, dengan kesadaran manusia yang barangkali
harus ditingkatkan. Pembelajaran yang terkandung sebagai
pendidikan karakter adalah rasa: religiusitas, empati pada
orang lain, peduli lingkungan, kebersamaan, toleransi dan
yang lain.
Puisi yang merupakan salah satu bentuk karya
sastra sederhana, dapat dimanfaatkan menjadi bahan ajar
di kelas-kelas tertentu pada jenjang pendidikan. Dengan
menggunakan media dan metode yang inovatif serta
kontekstual, tentu akan sangat mendukung pengembangan
pendidikan karakter sebagaimana yang dikehendaki oleh
presiden kita.
Model pembelajaran sastra yang lain misalnya Role
Play atau semacam bermain peran. Dapat dipilih suatu
cerpen yang representative dengan nilai-nilai di dalamnya,
guru memberi tugas kelompok untuk memerankannya dan
mereka secara bergantian mengapresiasi cerpen tersebut
dari unsur pembangunnya, ketika kelompok lain sedang
bermain di depan kelas. Pembelajaran sastra akan menjadi
hidup dengan penghayatan yang mendalam. Guru mem-
beri pengarahan seperlunya, peserta didik bekerja sama
menginterpretasi, lalu bermain. Dengan demikian peserta
didik terlibat langsung dalam kegiatan bersastra, kemudian

30| Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya
ISBN 978-602-61725-2-5

dilanjutkan diskusi sehingga pengembangan kepribadian


mereka semakin meningkat.
Dua contoh pembelajaran bahasa Indonesia dan
sastra ini dapat dijadikan model pembelajaran yang
inovatif dan kontekstual,yang melibatkan peserta didik
dalam kegiatan bersastra dan berbahasa Indonesia, dengan
bernyanyi dan bergembira sementara karakter mereka pun
terbina.

PENUTUP
Bahasa Indonesia merupakan salah satu materi ajar
yang diberikan di seluruh jenjang pendidikan, dari tingkat
dasar hingga pendidikan tinggi secara wajib. Bentuk
pembelajaran yang inovatif dan kontekstual memberi
peluang untuk pembentukan karakter sekaligus pengem-
bangan kepribadian. Peserta didik akan memperoleh
kesempatan berpengalaman baik secara langsung maupun
tidak langsung.
Aspek penilaian keberhasilan pembelajaran dapat
mengacu pada nilai-nilai pendidikan karakter sebagaimana
disarankan oleh Kemendiknas ( 2009: 9-10 ) yang berjumlah
delapan belas, di mana nilai ini bersumber dari agama,
pancasila, budaya dan tujuan pendidikan nasional. Adapun
nilai-nilai tersebut adalah: (1) religi, (2) jujur, (3) toleransi,
(4) disiplin, (5) kerja keras, (6) kreatif, (7) mandiri, (8)
demokrasi, (9) rasa ingin tahu, (10) semangat kebangsaan,
(11) cinta tanah air, (12) menghargai prestasi, (13)

Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya | 31
Seminar Nasional KABASTRA II

bersahabat/komunikatif, (14) cinta damai, (15) gemar


membaca, (16) peduli lingkungan, (17) peduli sosial, dan
(18) tanggung jawab. Sekarang tinggal bagaimana seorang
guru maupun dosen dapat memanfaatkan media dan
metode yang dapat melibatkan peserta didik terlibat
langsung dalam pembelajaran sehingga kemampuan
berbahasa Indonesia terasah sekaligus pengalaman
bersastra menambah wawasan tentang kehidupan menjadi
luas. Nilai-nilai tersebut tidak dibelajarkan secara sendiri-
sendiri, melainkan dapat secara terpadu melalui beberapa
atau berbagai mata pelajaran, salah satunya adalah bahasa
Indonesia dan sastra.

DAFTAR PUSTAKA

Harian KOMPAS “Menerima Perbedaan Fondasi Persatuan“


Minggu, 18 Agustus 2017
Hidayatullah. Furqon. 2010. Pendidikan Karakter:
Membangun Peradaban Bangsa. Surakarta: Yuma
Pustaka.
Jamaluddin. 2003. Problematik Pembelajaran Bahasa dan
Sastra. Yogyakarta: Adicita.
Kementerian Pendidikan Nasional. 2009. Pengembangan
Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa. Pedoman
Sekolah. Jakarta: Puskur Balitbang Kemendiknas.
Pradopo. 1990. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.

32| Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya
ISBN 978-602-61725-2-5

Sarjono, Agus R. 2001. Sastra dalam Empat Orba. Yogyakarta:


Adipura.
Sarumpaet, Riris K. Toha. 2002. Sastra Masuk Sekolah.
Magelang: Indonesia Tera.
Sudaryanto. 2003. Dari fenomena semiology sampai
dengan Tekslingual dalam Konteks Penelitian
Ilmiah (materi calon buku “Dari Menapak Jejak Kata
Sampai Menuju Tata Bahasa. Hal. 1-22) yang
diberikan pada peletakan penulisan proposal
penelitian oleh penulisnya,15 Desember 2014 di
Untidar.
Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori
Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya..

Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya | 33
Seminar Nasional KABASTRA II

34| Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya
ISBN 978-602-61725-2-5

MAKALAH PENDAMPING
BIDANG BAHASA INDONESIA BAGI
PENUTUR ASING

Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya | 35
Seminar Nasional KABASTRA II

36| Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya
ISBN 978-602-61725-2-5

PENGEMBANGAN PENGAJARAN BIPA


BERMUATAN BUDAYA JAWA BAGI
PENUTUR ASING

Oleh :
Ahmad Irkham Saputro
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
ahmadirkhamsaputro@gmail.com

ABSTRAK

Penelitian ini dilatarbelakangi oleh keluhan penutur


asing yang sulit mengimplementasikan bahasa Indonesia
secara baik dan benar tanpa diiringi dengan pengetahuan
tentang aspek sosial budaya masyarakat Indonesia. Besar-
nya minat bangsa asing untuk mempelajari bahasa Indone-
sia masih terkendala dengan pengajar BIPA dalam me-
nyampaikan pembelajaran yang lebih bersifat klasikal dan
pengetahuan yang lebih cenderung pada pendekatan kog-
nitif. Oleh karena itu, pengembangan pengajaran BIPA
sangat dibutuhkan. Permasalahan yang dikaji pada peneli-
tian ini yaitu : bagaimana pengembangan pengajaran BIPA
bermuatan budaya Jawa bagi penutur asing. Penelitian ini
menggunakan pendekatan Research and Development (R&D)
yang dilakukan dengan menggunakan tiga teknik pengum-
pulan data, yaitu observasi, wawancara, dan angket untuk
memeroleh data kebutuhanpengembangan pengajaran
BIPA bermuatan budaya jawa bagi penutur asing. Adapun
sumber data terdiri atas pengajar BIPA, penutur asing, dan
Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya | 37
Seminar Nasional KABASTRA II

dosen ahli. Hasil dari penelitian ini adalah sebagai berikut,


hasil analisis kebutuhan menurut persepsi penutur asing
dan pengajar BIPA menghasilkan karakteristik pengajaran
BIPA yang bermuatan budaya Jawa bagi penutur asing,
menggunakan ragam bahasa yang mudah dipahami dan
sesuai dengan keterbacaan penutur asing tingkat pemula,
mampu memotivasi, serta memiliki teknik latihan empat
aspek berbahasa serta latihan tata bahasa pada setiap pem-
belajaranya. Pengajaran dengan muatan budaya Jawa
mampu membangun mental cinta Indonesia sehingga akan
mempercepat proses pembelajaran bahasa Indonesia bagi
penutur asing dan mencapai kompetensi secara maksimal.
Kata kunci: Bahasa Indonesia, BIPA, Budaya Jawa, Pengajaran,
Penutur Asing.

PENDAHULUAN
Bahasa Indonesia saat ini memegang peranan pen-
ting dalam kedudukannya sebagai bahasa asing. Jumlah
penduduk, keindahan alam, keaneragaman budaya, dan
wilayah yang strategis menjadi alasan untuk penutur asing
belajar bahasa Indonesia.

Bahasa Indonesia untuk penutur asing (BIPA) di-


ibaratkan sebagai “tunas” yang baru tumbuh dan perlu
dikembangkan secara matang sehingga dapat membuah-
kan hasil yang kokoh serta bermanfaat bagi semua kalang-
an. Oleh karena itu, untuk memastikan bahwa BIPA dapat
dikembangkan secara profesional dan sistematis maka
diperlukan telaah dan penataan secara saksama terhadap
pembelajaran BIPA dengan memerhatikan segala unsur,
38| Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya
ISBN 978-602-61725-2-5

mulai dari manajemen kelembagaan, tenaga pengajar,


sistem pengajaran, bahan ajar, media, dan hal lain yang
berkaitan dengan pembelajaran BIPA.
Dalam perkembangannya, bahasa Indonesia seka-
rang sudah memberikan andil yang signifikan bagi bangsa
Indonesia. Hal ini dibuktikan dengan semakin besarnya
ketertarikan bangsa lain untuk mempelajari bahasa Indo-
nesia. Berdasarkan data Kementerian Luar Negeri pada
tahun 2012, bahasa Indonesia memiliki penutur asli ter-
besar kelima di dunia, yaitu sebanyak 4.463.950 orang yang
tersebar di luar negeri. Bahkan, Ketua DPR RI dalam sidang
ASEAN InterParliamentary Assembly (AIPA) ke-32 pada 2011
mengusulkan bahasa Indonesia sebagai salah satu bahasa
kerja (working language) dalam sidang-sidang AIPA. Tidak
hanya itu, menurut Kepala Badan Pengembangan dan
Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebu-
dayaan, Mahsun beliau mengatakan bahwa saat ini
setidaknya ada 45 negara yang menjadi peserta BIPA,
dengan 174 tempat pelaksanaan BIPA yang tersebar di
berbagai negara dan paling banyak di Australia
(www.edukasi.kompas.com).
Di lain sisi, hingga saat ini masih ditemukan
perbedaan pendapat tentang cara mengajarkan bahasa
Indonesia kepada penutur asing secara efektif, baik yang
berkaitan dengan alat-alat untuk mencapai tujuan, materi
yang semestinya diajarkan, maupun metode pengajarannya
(Wojowasito, dalam Azizah, dkk. 2012). Praktik yang
Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya | 39
Seminar Nasional KABASTRA II

terjadi di lapangan banyak ditemukan variasi strategi


pembelajaran BIPA. Hal tersebut menunjukkan bahwa
mengajarkan bahasa Indonesia sebagai bahasa asing tidak
sederhana dan memerlukan banyak pertimbangan, ter-
masuk pertimbangan memasukkan unsur budaya dalam
pembelajaran BIPA.
Pada hakikatnya, dalam pembelajaran bahasa asing
termasuk bahasa Indonesia perlu memerhatikan dan juga
perlu penanganan khusus mulai dari perencanaan, proses,
hingga evaluasi, serta bahan ajar, media, maupun metode
yang digunakan. Salah satu hal yang penting yang harus
ada dan harus diperhatikan adalah kualitas pengajaran.
Peran pengajar dalam memberikan kualitas pengajaran
BIPA sangat penting. Peran pengajar harus dapat mem-
berikan gambaran penutur asing terhadap kondisi ling-
kungan, sosial, budaya, dan adat istiadat bangsa Indonesia
sehingga akan mengantarkan penutur asing lebih tertarik
dan cepat dalam belajar bahasa Indonesia sebagai bahasa
asing. Selain itu, pengajaran yang tepat dan menarik dapat
mempengaruhi keberhasilan penutur asing untuk men-
capai tujuan dalam belajar bahasa Indonesia.
Permasalahan yang dikaji pada penelitian ini yaitu :
bagaimana pengembangan pengajaran BIPA bermuatan
budaya Jawa bagi penutur asing.

40| Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya
ISBN 978-602-61725-2-5

KAJIAN TEORI
Bahasa Indonesia sebagai bahasa asing dipelajari
sebagai bahasa komunikasi ketika penutur asing tinggal
atau mengunjungi Indonesia untuk melaksanakan kepen-
tingannya. Pada hakikatnya, penutur asing mempelajari
bahasa Indonesia sebagai bahasa asing memiliki tujuan
yang bervariasi. Sejalan dengan hal ini, Suyata (dalam
Nurlila 2014), menjelaskan bahwa orang asing mempelajari
bahasa Indonesia dengan tujuan bermacam-macam, dari
sekadar berkomunikasi untuk keperluan sehari-hari, se-
perti berbicara dengan sopir, menawar barang, sampai
penguasaan bahasa Indonesia yang bersifat resmi, seperti
mengikuti kuliah atau mengajarkan bahasa Indonesia.
Dengan demikian, ada tiga tujuan penutur asing belajar
bahasa Indonesia, yakni ingin menguasai keterampilan
komunikasi antarpersonal dasar, menguasai konsep serta
prinsip-prinsip yang bersifat ilmiah, dan menggali kebuda-
yaan dengan segala aspeknya. Ketiga tujuan tersebut dapat
berjalan masing-masing, akan tetapi dapat pula berkelan-
jutan. Mereka belajar bahasa Indonesia untuk keperluan
praktis, setelah itu belajar yang lebih bersifat ilmiah, dan
akhirnya dapat pula menguasai kebudayaan.
Dari berbagai tujuan yang beragam, hal yang ter-
penting bagi penutur asing dalam belajar bahasa Indonesia
sebagai bahasa asing adalah bagaimana sistem bahasa
Indonesia dan pemakainnya di dalam masyarakat untuk
berkomunikasi. Jadi, pemfokusan pengajaran BIPA tidak

Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya | 41
Seminar Nasional KABASTRA II

terlalu menitikberatkan bahasa Indonesia dalam sudut


pandang tata bahasa. Meskipun tata bahasa juga penting
dan tidak bisa diabaikan, tetapi tata bahasa bukan menjadi
fokus utama dalam pembelajaran BIPA, terlebih untuk
penutur asing tingkat pemula. Penutur asing tingkat
pemula membutuhkan cara untuk berkomunikasi dengan
baik. Setelah paham dengan bahasa Indonesia, baru
selanjutnya tata bahasa yang kompleks bisa diajarkan dan
dikembangkan. Ibarat anak kecil yang baru mempelajari
bahasa Indonesia, penutur asing belajar bahasa Indonesia
untuk proses komunikasi kemudian mengembangkan pem-
belajaran bahasa Indonesia ke tata bahasa yang lebih kom-
pleks untuk kepentingan pendidikan maupun pekerjaan.
Dengan demikian, pengajar harus mampu komunikatif
dalam mengajarkan bahasa Indonesia kepada penutur
asing. Selain itu, pembelajaran BIPA juga harus menitik-
beratkan pada aspek budaya sebagai sistem sosial ber-
masyarakat. Jika tidak, maka hasilnya akan terlahir penutur
asing yang hanya mengetahui tentang struktur bahasa atau
tata bahasa, tetapi penutur asing tidak bisa menggunakan
atau menerapkan bahasa Indonesia untuk berkomunikasi
dalam kehidupan sehari-hari. Oleh sebab itu, salah satu
pemikiran yang melandasi keberhasilan pembelajaran
BIPA adalah upaya merancang dan melaksanakan pem-
belajaran yang mampu mengaitkannya dengan budaya dan
juga dengan dunia nyata. Terlebih lagi, jika pembelajaran
BIPA diselenggarakan di Indonesia, maka pertimbangan
dari segi sosial dan budaya menjadi semakin penting.
42| Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya
ISBN 978-602-61725-2-5

Dikatakan demikian, karena pertimbangan tersebut se-


kaligus akan menjadi sumber belajar dan kebutuhan penu-
tur asing dalam berkomunikasi secara langsung dengan
masyarakat Indonesia.
Kata budaya telah banyak ditafsirkan oleh banyak
ahli, salah satunya adalah J.W.M. Bakker dalam bukunya
Filsafat Kebudayaan: Sebuah Pengantar, mengungkapkan
bahwa kebudayaan singkatnya adalah penciptaan, penerti-
ban dan pengolahan nilai-nilai insani. Terlingkup di dalam-
nya usaha memanusiakan bahan alam mentah serta hasil-
nya. Semua bahan tersebut diidentifikasikan dan dikem-
bangkan sehingga sempurna. Membudayakan alam, me-
manusiakan hidup, menyempurnakan hubungan keinsa-
nan merupakan kesatuan tak terpisahkan. Kebudayaan
menurut Koentjaraningrat (2008: 145) merupakan hasil
pikiran, karya, dan hasil karya manusia yang tidak berakar
pada nalurinya dan hanya bisa dicetuskan oleh manusia
sesudah suatu proses belajar.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan pendekatan Research
and Development (R&D) yang dilakukan dengan meng-
gunakan tiga teknik pengumpulan data, yaitu observasi,
wawancara, dan angket untuk memeroleh data kebutuhan
pengembangan pengajaran BIPA bermuatan budaya jawa
bagi penutur asing. Adapun sumber dataterdiri atas penga-
jar BIPA, penutur asing, dan dosen ahli. Observasi
dilakukan denganmengamati pengajaran yang telah ada.
Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya | 43
Seminar Nasional KABASTRA II

Sementara itu, wawancara digunakan untuk menunjang


angket kebutuhan serta respon pengajar BIPA maupun
penutur asing berkaitan dengan pengembangan bahan ajar
yang dilakukan. Selain itu, wawancara juga dilakukan
untuk menganalisis pengajaran BIPA secaramendalam.

PEMBAHASAN
Kebudayaan menurut Koentjaraningrat (2008: 145)
merupakan hasil pikiran, karya, dan hasil karya manusia
yang tidak berakar pada nalurinya dan hanya bisa dicetus-
kan oleh manusia sesudah suatu proses belajar. Budaya di
setiap wilayah berbeda-beda, bahkan budaya di suatu
wilayah belum tentu dapat dijumpai di wilayah lain. Hal
tersebutlah yang menjadikan nilai budaya sangat agung,
unik, dan berharga. Jika unsur-unsur budaya dimuatkan
dalam bahan ajar BIPA, maka penutur asing semakin ter-
tarik dan termotivasi untuk mempelajari bahasa Indonesia
sebagai bahasa asing. Hal ini dikarenakan budaya yang ada
di Indonesia merupakan sesuatu yang baru dan unik bagi
penutur asing. Selain itu, manfaat lain yang didapat adalah
meningkatnya pemahaman penutur asing terhadap budaya
Indonesia. Semakin tinggi pemahaman budaya Indonesia
yang dimiliki oleh penutur asing, maka semakin tinggi
pula toleransi penutur asing terhadap budaya dan bahasa
Indonesia. Jadi, pemahaman budaya yang dibangun dalam
pembelajaran BIPA bermuatan budaya akan sangat
membantu penutur asing dalam meningkatkan kompetensi
berbahasa Indonesia. Bangsa Indonesia memiliki kebu-
44| Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya
ISBN 978-602-61725-2-5

dayaan yang beraneka ragam. Budaya masyarakat Jawa


sangat jauh berbeda dengan budaya masyarakat Sumatera,
Kalimantan, Sulawesi, maupun Papua. Akan timbul
kebingungan terhadap penutur asing tingkat pemula jika
dalam pembelajaran BIPA menyajikan bermacam-macam
budaya dari berbagai daerah. Alangkah baiknya jika
pengenalan budaya Indonesia terlebih dahulu difokuskan
pada satu daerah atau kawasan tertentu saja, kemudian
meluas dan dikembangkan ke kawasan lain yang ada di
Indonesia.

Budaya tidak selalu berkaitan dengan hal-hal ber-


bau seni seperti tarian, lagu, ataupun bahasa. Menurut
Bakker (1984: 58), unsur-unsur kebudayaan meliputi enam
komponen.
1. Ilmu pengetahuan
Ilmu pengetahuan bertujuan untuk merumuskan feno-
mena-fenomena yang terjadi pada lingkugan alam. Ilmu
pengetahuan meliputi sains atau ilmu pasti dan huma-
niora (sastra, filsafat, sejarah, kebudayaan, dan lain-lain).
Ilmu pengetahuan menjadi budaya ketika masyarakat
terus menerus mengembangkan dan melestarikannya.
2. Teknologi Teknologi bertujuan untuk memanfaatkan
sumber-sumber alam sehingga memberikan kemudahan
bagi manusia untuk memenuhi kebutuhannya.
3. Kesosialan
Unsur kesosialan meliputi fungsi dalam institusi-insti-
tusi sebagai sebuah monogram masyarakat adil dan
Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya | 45
Seminar Nasional KABASTRA II

makmur. Manusia hidup berdasarkan daya kodrat yang


harus dikembangkan menjadi pembawa nilai bagi orang
lain.
4. Ekonomi
Ekonomi dalam kebudayaan, meliputi pola kelakuan
dan lembaga lembaga yang melaksanakannya dalam
bidang produksi, dan konsumsi keperluan keperluan
hidup, serta pelayanan.
5. Kesenian
Kesenian, keindahan, estetika, mewujudkan nilai rasa
dalam arti luas dan wajib diwakili dalam kebudayaan
lengkap. Kesenian selalu melukiskan sebuah atau aspek
alam kodrat ditambah tanggapan atau pengolahan
manusia.
6. Agama
Agama sebagai keyakinan hidup rohani pemeluknya,
baik perseorangan maupun kelompok. Keyakinan dalam
agama memuat iman, sikap hormat, taubat, syukur,
yang dianugerahkan Tuhan kepada manusia. Berbeda
dengan pendapat di atas, Nurqolila (2010) membagi
unsur-unsur budaya yang terdapat di dalam bahan ajar
BIPA sebagai berikut:
1. Sistem Religi dan Upacara Keagamaan
Unsur budaya berupa sistem religi dan upacara
keagamaan dalam bahan ajar BIPA dapat meli-
puti tempat beribadah (kuil, masjid, gereja), to-
koh agama (kiai), perlengkapan keagamaan
(jilbab, salib, sajadah, beduk), kegiatan keaga-
46| Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya
ISBN 978-602-61725-2-5

maan (tentang salat, perayaan hari Raya Idul


Fitri, upacara pernikahan menurut hukum
Islam), dan sistem kepercayaan tentang nasib.
2. Sistem dan Organisasi Kemasyarakatan
Unsur budaya berupa sistem organisasi ke-
masyarakatan dalam bahan ajar BIPA dapat
meliputi sistem kekerabatan (istilah-istilah yang
menunjukkan kekerabatan dalam keluarga,
keeratan kekerabatan dalam aktivitas keluarga,
struktur keluarga), struktur sosial masyarakat
Indonesia (toleransi dalam keterikatan struktur
sosial masyarakat Indonesia dan konsep kerja-
sama dalam kehidupan sosial masyarakat Indo-
nesia), sistem hukum, dan sistem perkawinan.
3. Sistem Pengetahuan Penduduk Indonesia
Unsur budaya berupa sistem pengetahuan da-
lam bahan meliputi pengetahuan tentang pem-
buatan jamu, pengetahuan tentang pembuatan
layanglayang, pengetahuan tentang pakaian
tradisional, pengetahuan tentang makanan dan
minuman khas Indonesia, pengetahuan tentang
perkawinan, dan pelangsungannya serta penge-
tahuan tentang musim di Indonesia.
4. Perilaku Sosial Berbahasa Masyarakat Indo-
nesia
Unsur budaya berupa perilaku sosial berbahasa
masyarakat Indonesia dalam bahan ajar BIPA
dapat meliputi pengungkapan canda, penye-
Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya |
47
Seminar Nasional KABASTRA II

butan gelar, pertanyaan-pertanyaan pribadi,


ungkapan-ungkapan khusus, dan komunikasi
dalam keluarga.
5. Sistem Kesenian Indonesia
Unsur budaya kesenian Indonesia meliputi seni
gerak (permainan tradisional, tari remo, tari
topeng, kuda lumping, ludruk), seni rupa (Ke-
raton Solo, Keraton Yogya, Candi Borobudur),
dan seni suara (lagu-lagu dari Indonesia).
6. Sistem Mata Pencaharian Penduduk Indonesia
Unsur budaya sistem mata pencaharian pen-
duduk Indonesia dalam bahan ajar BIPA dapat
meliputi tenaga pengajar, penjual, penarik be-
cak, tukang pijat, resepsionis penginapan, pe-
tani, dan perawat.
7. Sistem Teknologi dan Peralatan Hidup Masya-
rakat Indonesia
Unsur budaya sistem teknologi dan peralatan
hidup masyarakat Indonesia dalam bahan ajar
BIPA dapat meliputi aspek peralatan (peralatan
rumah tangga, peralatan sekolah, transportasi)
dan teknologi (teknologi bangunan). Berdasar-
kan penjelasan mengenai berbagai macam jenis
budaya di atas, jenis budaya yang dimuat
dalam pengembangan bahan ajar BIPA akan
mengacu pada unsur-unsur budaya hasil
analisis Nurqolila. Budaya Jawa yang dimuat
juga akan menyesuaikan dengan silabus BIPA
48| Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya
ISBN 978-602-61725-2-5

dan juga analisis kebutuhan pengembangan


bahan ajar BIPA. Sementara itu, muatan budaya
Jawa dapat disajikan di bagian wawasan atau
kolom informasi mengenai budaya Jawa.
Muatan budaya Jawa juga dapat diintegrasikan
pada dialog, bacaan, ungkapan, dan kosakata
yang terdapat dalam bahan ajar. Dari berbagai
pembahasan, kondisi BIPA saat ini menuntut
adanya bahan ajar BIPA yang dapat memuat
unsur-unsur budaya Jawa. Penggunaan aspek
budaya Jawa dalam bahan ajar berarti meng-
angkat nilai budaya Jawa dalam pemahaman
penutur asing. Nilai budaya ini menunjukkan
identitas dan jati diri masyarakat Jawa. Nilai
budaya yang unik dalam bahan ajar BIPA
menjadi sebuah nilai jual dalam komunitas
global. Manfaat jika dilihat dari sisi budaya
Jawa adalah membantu dalam revitalisasi
budaya Jawa. Kontribusi penelitian ini dapat
menghidupkan kembali budaya Jawa yang saat
ini memang harus dengan usaha dan kerja
keras dalam melestarikannya. Revitalisasi mela-
lui cara ini dirasa sangat komprehensif. Seorang
ahli budaya atau masyarakat yang masih tetap
melestarikan budaya Jawa dapat terkena imbas
luar biasa dari upaya revitalisasi ini. Budaya
yang ada bisa jadi di masa yang mendatang
dapat bernilai sangat mahal dan banyak orang
Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya |
49
Seminar Nasional KABASTRA II

yang ingin berperan di dalamnya, karena


ketertarikan orang asing terhadap budaya Jawa
tersebut. Selanjutnya, pengajaran BIPA berbasis
budaya Jawa selain membantu masyarakat
Jawa dalam melestarikan dan merevitalisasi bu-
daya Jawa, hal ini juga sangat bermanfaat bagi
penutur asing yang belajar bahasa Indonesia.
Salah satu tujuannya adalah untuk membuat
materi ajar menjadi lebih menarik. Jika dilihat
dari sudut pandang penutur asing, mendapat
bahan ajar berbasis budaya merupakan hal
yang baru, unik, dan sesuatu yang menarik.
Harapannya dengan keunikan dan sesuatu
yang bersifat baru dalam bahan ajar BIPA,
penutur asing dapat bertambah motivasinya
dalam mengembangkan kemampuan berbahasa
Indonesia.

Pada dasarnya, pembelajaran BIPA tidak jauh ber-


beda dengan pembelajaran bahasa Inggris untuk orang
Indonesia. Pembelajaran bahasa kedua sangat erat dengan
budaya penutur. Hal ini juga diungkapkan Agnes M.Godo
(2008:66) dalam makalahnya yang dimuat dalam jurnal
internasional IJES sebagai berikut. “The issue is all the more
relevant today as the worldwide spread ofEnglish as a lingua
franca raises not only questions of foreign language learning
efficiency but also the controversial problem of acquiring ways of
reasoning andexpression inherent in the target language
50| Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya
ISBN 978-602-61725-2-5

culture”. Pendapat mengenai pentingnya budaya dalam


komunikasi pembelajar bahasa kedua di masyarakat juga
diungkapkan oleh Sidiropoulou (2008: 339) yang
mengatakan bahwa “Culture and various cultural „scripts‟
have beentheoretically linked to interpersonal variability in
human communication andvarious conceptualizations for
learning second language”. Mempelajari bahasa kedua
memang tidak bisa terlepas dari unsur budaya. Maka dari
itu, pengembangan materi budaya Jawa diarahkan untuk
bekal pengetahuan budaya pada penutur asing agar
mampu berbahasa Indonesia sesuai dengan situasi dan
kondisi di masyarakat Jawa. Jadi, pengembangan materi
ajar BIPA untuk penutur asing tingkat pemula ini juga
memuat budaya dimensi nilai sosial yang sering digunakan
dalam berinteraksi dengan masyarakat di Jawa. Interaksi
tersebut misalnya interaksi yang terjadi dalam transaksi
jual beli, menanyakan arah, menggunakan jasa transportasi,
dan lain-lain.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumya bahwa
penutur asing dapat lebih efektif dalam mempelajari ba-
hasa Indonesia jika penutur asing tersebut juga mem-
pelajari atau dihadapkan dengan lingkungan sosial, bu-
daya, dan adat istiadat yang ada di Indonesia. Dengan
demikian, aspek budaya dirasa sangat penting jika dimuat-
kan di dalam bahan ajar BIPA. Penutur asing sulit untuk
dapat mengimplementasikan bahasa Indonesia secara baik
dan benar jika tidak diiringi dengan pengetahuan tentang

Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya | 51
Seminar Nasional KABASTRA II

aspek sosial budaya masyarakat Indonesia. Oleh sebab itu,


salah satu hal yang penting dan mendasar bagi penutur
asing dalam belajar bahasa Indonesia adalah dengan mem-
berikan muatan-muatan kondisi budaya Indonesia di da-
lam bahan ajar BIPA. Kesadaran penutur asing terhadap
budaya Indonesia dapat membantu penutur asing dalam
mengaktualisasikan diri secara tepat di dalam bahasa
Indonesia. Penutur asing tidak hanya mengetahui bahasa-
nya saja, tetapi juga bisa menerapkannya di dalam kehi-
dupan nyata secara tepat yang sesuai dengan kultur orang
Indonesia. Menurut Tupan (2007), silabus dan kurikulum
BIPA perlu mencantumkan komponen budaya untuk
melengkapi pengajaran BIPA. Ada beberapa hal yang perlu
disampaikan bahwa kesadaran tentang budaya Indonesia
bukan hanya melingkupi hal yang dapat dilihat dengan
jelas (tarian, drama, adat istiadat, atau praktik-praktik
keagamaan), tetapi juga mencakup permasalahan yang tak
terhingga banyaknya, misalnya konsep menghormati yang
lebih tua, konsep kekeluargaan, memberi dan menerima
pujian, meminta maaf, keterusterangan, kritik, dan lain-lain
yang semuanya dapat dibahas dengan cara menyisipkan-
nya pada catatan budaya dalam pembelajaran BIPA.
Budaya merupakan salah satu aspek pendukung dalam
pembelajaranBIPA. Aspek budaya memiliki peranan yang
sangat penting dalam memenuhi target pembelajaran BIPA.
Tujuan memuatkan aspek budaya dalam pembelajaran
BIPA adalah untuk menanamkan kesadaran budaya ke-
pada penutur asing dalam belajar bahasa Indonesia sehing-
52| Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya
ISBN 978-602-61725-2-5

ga penutur asing dapat dengan mudah berkomunikasi


dalam situasi budaya Indonesia.
Penutur asing yang belajar aspek budaya dapat
memanfaatkan wawasan budaya tersebut sebagai bekal
dalam hidupnya di Indonesia. Aspek budaya mendukung
penutur asing dalam berbahasa Indonesia sesuai dengan
situasi dan kondisi masyarakat Indonesia. Selain itu,
mengenalkan budaya Indonesia kepada penutur asing juga
dapat menumbuhkembangkan sikap positif dan apresiatif
penutur asing terhadap kekayaan budaya Indonesia.
Menilik pentingnya mengaitkan budaya Indonesia
dalam pembelajaran BIPA, menyertakan budaya Jawa
dalam bahan ajar BIPA dirasa merupakan salah satu upaya
yang tepat, mengingat banyak penutur asing yang belajar
bahasa Indonesia di Jawa. Hal ini sejalan dengan data dari
Kemendikbud, yaitu tercatat sebanyak 640 penutur asing
yang diterima program Darmasiswa tahun 2015/2016dan
paling banyak di Jawa (http://darmasiswa.kemendikbud.-
go.id/darmasiswa). Alasan lain dimuatnya budaya Jawa
dalam bahan ajar BIPA dikarenakan kegiatan perekono-
mian, politik, dan pendidikan lebih banyak berpusat di
Jawa.

Selain faktor potensial tersebut, budaya Jawa juga


dipilih karena merupakan salah satu kebudayaan yang
terbesar di Indonesia, mulai dari bahasa hingga adat
istiadatnya. Memasukkan muatan budaya Jawa dalam
bahan ajar BIPA sangat banyakmanfaatnya, baik untuk
Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya | 53
Seminar Nasional KABASTRA II

penutur asing maupun untuk kemajuan Jawa. Penutur


asing yang belajar bahasa beserta budaya Jawa akan men-
dapatkan manfaat darisegi ilmu kebahasaan, wawasan
budaya, maupun dari segi bahasa sebagai alatkomunikasi.
Penutur asing juga dapat mengimplementasikan bahasa
Indonesiadan wawasan budaya yang didapat kepada
masyarakat Indonesia secara langsung. Manfaat bagi Jawa
pun cukup besar, yakni provinsi Jawa dapat terkena
imbasmelalui kunjungan wisata ataupun kepentingan
pendidikan para penutur asing.Hal ini dikarenakan budaya
Jawa yang termuat dalam bahan ajar BIPA secaratidak
langsung dapat menjadi sarana promosi bagi penutur asing
untuk mengunjungi pulau Jawa sehingga imbasnya masya-
rakat maupun pemerintah Jawa juga mendapatkan manfaat
dan keuntungan, khususnya dalam sektor ekonomi. Buda-
ya Jawa yang kompleks dan beragam serta memiliki nilai-
nilai yang luhur mendukung terbentuknya pengajaran
BIPA yang bermuatan budaya Jawa.

SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, sim-
pulan dari penelitian ini sebagai berikut: Hasil analisis
kebutuhan menurut persepsi penutur asing dan pengajar
BIPA menghasilkan karakteristik pengembangan bahan
ajar BIPA yang diringkas dalam empat aspek. Persepsi
penutur asing dan pengajar BIPA pada aspek isi atau
materi, bahan ajar hendaknya memuat contoh budaya Jawa
yang beragam. Pada aspek bahasa dan keterbacaan, me-
54| Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya
ISBN 978-602-61725-2-5

nurut persepsi penutur asing dan pengajar BIPA, bahan


ajar memiliki ragam bahasa dan pilihan diksi yang mudah
dipahami dan sesuai dengan keterbacaan penutur asing
tingkat pemula A1. Pada aspek penyajian, persepsi penutur
asing dan pengajar BIPA terhadap bahan ajar adalah bahan
ajar hendaknya mampu memotivasi, serta memiliki bentuk
latihan empat aspek berbahasa dan latihan tata bahasa.

DAFTAR PUSTAKA
Alawiyah. 2014. Pengembangan Tes Keterampilan Menulis
sebagai Upaya Penyiapan Alat Uji Kemahiran Berbahasa
Indonesia bagi Penutur Asing. Bahasa: Antologi
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Pembelajar-
anBIPA: No. 2, Desember 2014. Diambil
darihttp://ejournal.upi.edu/index.php/PSPBSI/article/
view/499. (13 Agustus2017).
Bakker, J.W.M. 1984. Filsafat Kebudayaan: Sebuah Pengantar.
Yogyakarta: Kanisius.
Harian Kompas. 2013. BIPA, Tingkatkan Fungsi Bahasa
Indonesia Menjadi Bahasa Internasional. Dalam
http://edukasi.kompas.com/read/2013.Diunduh pada
tanggal 9 Januari 2015 pukul 10.00 WIB
Kentjono, Djoko, dkk. 2010. Tata Bahasa Acuan Bahasa
Indonesia Untuk Penutur Asing. Jakarta: Wedatama
Widya Sastra
Koentjaraningrat. 2008. Kebudayaan, Mentalitas dan
Pembangunan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya | 55
Seminar Nasional KABASTRA II

Majid, Abdul. 2008. Perencanaan Pembelajaran:


Mengembangkan Standar Kompetensi Guru. Bandung:
Remaja Rosda Karya.

BIODATA PENULIS

Ahmad Irkham Saputro, Lahir di


Wonosobo pada tanggal 01 Mei 1997.
Menyelesaikan pendidikan menengah
atas MAN 01 Wonosobo tahun 2015.
Kemudian melanjutkan ke UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta Fakultas Ilmu Tarbi-
yah dan Keguruan, Program Studi Pen-
didikan Agama Islam,. Menulis dan
berorganisasi adalah hobinya. Disamping
kesibukannya sebagai mahasiswa, penulis
juga berprofesi sebagai pembimbing les
privat di Bimbel Insan Cendekia, dan
pengajar di Pondok Pesantren Al-Baro-
kah, Yogyakarta.

56| Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya
ISBN 978-602-61725-2-5

BAHASA GAUL BAGI PENUTUR ASING

Oleh :
Endah Ratnaningsih
Universitas Tidar
endahratna@untidar.ac.id

ABSTRAK

Beberapa tahun terakhir Bahasa Indonesia bagi


Penutur Asing menjadi tren untuk dipelajari. Hal ini tak
dapat dipungkiri merupakan akibat dari kebijakan bebe-
rapa negara berkaitan dengan Masyarakat Ekonomi
ASEAN. Kebutuhan masing-masing penutur asing dalam
mempelajari bahasa Indonesia berbeda-beda. Latar bela-
kang penutur asing dalam mempelajari bahasa Indonesia
salah satunya adalah kebutuhan untuk berkomunikasi
dengan warga Indonesia. Selain mempelajari bahasa Indo-
nesia baku, sebagian penutur asing memiliki keingintahuan
yang tinggi untuk mempelajari bahasa gaul. Pengetahuan
mengenai bahasa gaul dirasa perlu bagi penutur asing.
Bahasa gaul bersifat lebih santai daripada bahasa baku.
Artikel ini bertujuan untuk membahas tentang pengajaran
BIPA, bahasa gaul bagi penutur asing. Artikel ini disusun
berdasarkan pemikiran penulis berdasarkan pengalaman
sebagai pengajar BIPA.
Kata kunci: bahasa gaul, pengajaran BIPA

Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya | 57
Seminar Nasional KABASTRA II

PENDAHULUAN
Manusia merupakan makhluk individu dan makluk
sosial. Sebagai makhluk sosial manusia perlu berinteraksi
dengan manusia lain. Dalam interaksi, manusia meng-
gunakan bahasa agar dapat menyampaikan apa yang
mereka maksudkan. Menurut Kridalaksana (1994: 21)
bahasa adalah sistem lambang bunyi yang arbitrer yang
digunakan oleh anggota suatu masyarakat untuk bekerja
sama, berinteraksi, dan mengidentifikasikan diri.
Hal ini bisa dicermati bahwa bahasa merupakan
unsur terpenting dalam sebuah komunikasi. Oleh sebab itu
bahasa memegang peranan penting dalam kehidupan
masyarakat. Interaksi dan komunikasi menjadi lebih
mudah karena bahasa. Bahasa dapat dipergunakan untuk
menyampaikan gagasan, ide, keinginan, perasan, atau
pengalaman kepada orang lain. Seandainya tidak ada
bahasa, komunikasi dan interaksi antar sesama manusia
tidak akan mungkin berjalan atau terjadi dengan mudah
dan hal ini yang menjadi pembeda dalam berkomunikasi
pada makhluk lain. Hal tersebut, dapat dikatakan bahwa
bahasa merupakan salah satu pembeda utama antara
manusia dengan makluk lain di bumi ini. Komunikasi dan
interaksi antar manusia terjadi sempurna dengan perantara
bahasa. Dengan kata lain, manusia tidak dapat terlepas dari
bahasa mengingat peran penting bahasa dalam berinteraksi
dan berkomunikasi pada kehidupan manusia.

58| Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya
ISBN 978-602-61725-2-5

KAJIAN TEORI

Bahasa Gaul
Menurut Kridalaksana, bahasa gaul “ditandai oleh
kata-kata Indonesia atau kata dialek yang dipotong dua
fonemnya yang paling akhir kemudian disisipi bentuk -ok-
di depan fonem terakhir yang tersisa (2008:28). Misalnya,
kata bapak dipotong menjadi bap kemudian disisipi -ok-
menjadi bokap. Diperkirakan ragam ini berasal dari bahasa
khusus yang digunakan oleh para narapidana.
Bahasa gaul pada umumnya digunakan sebagai
sarana komunikasi di antara remaja sekelompoknya selama
kurun tertentu. Hal ini dikarenakan, remaja memiliki
bahasa tersendiri dalam mengungkapkan ekspresi diri.
Sarana komunikasi diperlukan oleh kaum remaja untuk
menyampaikan hal-hal yang dianggap tertutup bagi kelom-
pok usia lain atau agar pihak lain tidak dapat mengetahui
apa yang sedang dibicarakannya. Masa remaja memiliki
karakteristik antara lain petualangan, pengelompokan, dan
kenakalan. Ciri ini tercermin juga dalam bahasa mereka.
Keinginan untuk membuat kelompok eksklusif menyebab-
kan mereka menciptakan bahasa rahasia (Sumarsono dan
Partana, 2002:150).

Pengajaran BIPA
Metode pengajaran didasarkan pada karakteristik
pembelajar, kebutuhan pembelajar, dan applicable. Lebih
lanjut, dalam mengajar penutur asing ada beberapa hal

Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya | 59
Seminar Nasional KABASTRA II

yang harus diperhatikan oleh pengajar. Pertama, kenali


karakteristik pembelajar. Kedua, cari tahu alasan mereka
belajar bahasa Indonesia atau motivasi. Ketiga, tentukan
materi. Keempat, tentukan metode. Kelima, tentukan
media. Keenam, persiapkan trik untuk menghadapi kondisi
yang tak terduga (Ratnaningsih, 2016).
Bahasa utama yang dipergunakan pada saat pem-
belajaran BIPA adalah bahasa Indonesia. Memang tak
dapat dipungkiri bahwa akan terdapat benyak kendala
pada saat proses pembelajaran tersebut. Terdapat penutur
asing yang sudah pernah belajar bahasa Indonesia secara
formal di lembaga kursus, ada juga penutur asing yang
sudah belajar selama beberapa bulan secara autodidak,
bahkan ada pula penutur asing yang tidak punya pengala-
man belajar bahasa Indonesia. Kondisi itulah yang men-
dorong pengajar untuk mencari metode efektif dalam
pengajaran. Singkatnya, pengajar bisa mempergunakan
gambar, video, kamus untuk menterjemahkan, bahasa
tubuh (body language), dan lainnya.

Sebagai guru atau pengajar bahasa bagi penutur


asing, guru harus memiliki teknik jitu agar siswa asing
yang diajar tidak beralih ke pengajar lain. Hal tersebut
dapat pula dianggap sebagai sebuah kompetisi antar peng-
ajar, kompetisi positif tentunya, sehingga pengajar BIPA
tidak hanya asal-asalan dalam mengajar penutur asing. Dia
harus memiliki trik yang “menjual” dan membuat penutur
asing merasa tertarik dan mudah dalam belajar bahasa
60| Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya
ISBN 978-602-61725-2-5

Indonesia. Pahami kemampuan awal pembelajar dan kesu-


litan yang dialami pembelajar.

METODE
Artikel ini disusun dengan menggunakan metode
pemikiran yang didukung pula dengan contoh pengajaran
bahasa gaul bagi pembelajar BIPA berdasarkan pengalam-
an penulis.

PEMBAHASAN
Seperti telah disebutkan sebelumnya bahwa bahasa
gaul dipakai kebanyakan kalangan remaja untuk berkomu-
nikasi dengan kelompoknya. Bahasa gaul sebagai bahasa
non-formal yang berkembang di kalangan muda berkem-
bang dengan pesatnya.
Pada perkembangan saat ini, bahasa gaul dibentuk
tak lagi berdasar rumusan seperti yang terjadi beberapa
tahun yang lalu. Bahkan, bahasa gaul yang dipakai
kalangan remaja saat ini cenderung sering menggunakan
istilah asing yang mereka anggap lebih bergengsi diban-
dingkan dengan bahasa Indonesia. Kreatifitas merupakan
kunci utama dalam pembentukan bahasa gaul yang
merebak di kalangan muda saat ini.
Dalam kehidupan sehari-hari, penutur asing acap-
kali menggunakan atau menyusun kata-kata dalam bahasa
Indonesia yang dirasa kurang tepat. Salah satu faktor
penyebabnya adalah minimnya pengetahuan mereka akan
bahasa gaul yang berkembang di masyarakat. Bahkan, ber-
Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya | 61
Seminar Nasional KABASTRA II

dasarkan pengalaman, penutur asing secara mandiri


meminta untuk diajari bahasa gaul yang tengah berkem-
bang di kalangan muda. Berikut ini adalah penjelasan
mengenai beberapa contoh bahasa gaul yang tengah
berkembang di kalangan muda.

1. BRB (Be Right Back/ segera kembali) merupakan


bahasa gaul yang sering dipakai ketika bergabung
dalam jejaring sosial (percakapan dalam grup
missalnya) saat pengguna akan melakukan aktifitas
lain.
2. OOTD (Outfit of the day/ pakaian yang dipakai hari
ini) merupakan bahasa gaul yang sedang tren di
kalangan muda, khususnya fesyen yang berkem-
bang di kalangan remaja putri. Istilah ini dipakai
ketika seseorang meminta untuk difoto dengan
gaya OOTD.
3. TYPO (typhographical error/ salah ketik) merupa-
kan istilah yang serings ekali dipakai dalam bahasa
jejaring sosial. Istilah ini dipakai ketika seseorang
tidak bisa menulis dengan benar ketika meng-
gunakan keyboard ponsel mereka, misalnya sese-
orang ingin menulis “merah” tetapi kata yang mun-
cul adalah “.erah.”

4. KELEUS (kali) merupakan bahasa gaul yang ber-


kembang saat ini, misalnya seseorang ingin menga-

62| Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya
ISBN 978-602-61725-2-5

takan “Lo udah makan belum?” (kamu sudah


makan?) kemudian dijawab “Udah keleus” (sudah).
5. LO (kamu/anda) merupakan bahasa gaul yang
sering dipakai. Bagi penutur asing kata ini lebih
mudah diucapkan karena lebih singkat daripada
kata “kamu/anda.”
6. CMIIW (correct me if I’m wrong) merupakan istilah
yanag sering dipakai, misalnya seseorang me-
lakukan presentasi kemudian dia meminta feedback
dari audiens tentang apa yang dia sampaikan kalau-
kalau ada kesalahan.
7. GAJE (gak jelas/ tidak jelas) merupakan bahasa gaul
yang sudah ada sejak lama dan masih berkembang
saat ini.

8. GABUT (gaji buta) merupakan bahasa gaul yang


tengah berkembang saat ini.

9. JAPRI (jalur pribadi/ personal chat) merupakan


istilah gaul yang dipakai ketika seseorang meng-
gunakan jejaring sosial, misal Whattsapp.

Pengajaran BIPA, khususnya bahasa gaul merupa-


kan tren yang berkembang saat ini karena penutur asing
akan berkomunikasi dengan penutur bahasa Indonesia asli
yang pada kenyataannya lebih sering memakai istilah-
istilah gaul daripada bahasa Indonesia formal. Perlu disam-
paikan kepada penutur asing bahwa pada saat mempelajari
bahasa gaul, makna dari istilah-istilah gaul dalam bahasa
Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya | 63
Seminar Nasional KABASTRA II

formal, sehingga pengetahuan akan bahasa gaul dan


bahasa formal penutur asing semakin bertambah.
Bahasa utama yang dipergunakan pada saat pembe-
lajaran BIPA adalah bahasa Indonesia. Memang tak dapat
dipungkiri bahwa akan terdapat benyak kendala pada saat
proses pembelajaran tersebut. Terdapat penutur asing yang
sudah pernah belajar bahasa Indonesia secara formal di
lembaga kursus, ada juga penutur asing yang sudah belajar
selama beberapa bulan secara autodidak, bahkan ada pula
penutur asing yang tidak punya pengalaman belajar bahasa
Indonesia. Kondisi ini pulalah yang mendorong pengajr
BIPA untuk meningkatkan kreatifitas dalam pengajaran
BIPA, khususnya dalam mengajarkan bahasa gaul. Hal ini
disebabkan karena dalam komunikasi nyata dalam ke-
hidupan sehari-hari tidak semua penutur asingkan mem-
pergunakan bahasa Indonesia baku, melainkan lebih sering
mempergunakan bahasa gaul.
Pengajaran bahasa gaul bagi penutur asing harus
memperhatikan beberapa hal. Pertama, dalam mengajarkan
bahasa gaul, pengajar harus tetap menyampaikan makna
asli dalam bahasa fromal. Kedua, pengajar harus pula
memberikan konteks yang jelas, sehingga penutur asing
mampu mempergunakan bahasa gaul dengan situasi yang
tepat. Jelaskan pula pada penutur asing bahwa bahasa gaul
akan lebih tepat digunakan untuk berkomunikasi dengan
teman, bukan dengan orang tua atau atasan. Hal ini di-
lakukan untuk mewujudkan penggunaan bahasa gaul yang
64| Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya
ISBN 978-602-61725-2-5

sesuai dengan tata krama. Ketiga, mengajarkan bahasa gaul


bagi penutur asing hendaknya dilakukan dengan tetap
memberikan pengarahan mengenai nilai-nilai luhur bangsa
Indonesia.

SIMPULAN
Mengingat pentingnya informasi mengenai bahasa
gaul yang dipakai untuk berkomunikasi, pengajaran
bahasa gaul bagi penutur asing perlu dilakukan. Tentu saja,
dengan tidak mengurangi kebermaknaan dari suatu istilah
formal dari bahasa gaul yang diajarkan. Selain itu, penga-
jaran bahasa gaul agar tetap menjunjung norma-norma
yang berlaku di dalam masyarakat, serta tetap menjaga
nilai-nilai luhur bangsa Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA
Kridalaksana, Harimurti. 2001. Kamus Linguistik. Jakarta:
Gramedia.
Kridalaksana, Harimurti. 2008. Kamus Linguistik. Edisi
Keempat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Ratnaningsih, E. 2016. Mozaik Pengajaran BIPA dan Budaya:
Prosiding SEMAR BIPA 1. Semarang: UNNES.
Sumarsono & Paina Partana. 2004. Sosiolinguistik.
Yogyakarta: SABDA (Lembaga Studi Agama,
Budaya, dan Perdamaian) Bekerjasama dengan
Pustaka Pelajar.

Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya | 65
Seminar Nasional KABASTRA II

BIODATA PENULIS
Endah Ratnaningsih. Dosen Prodi Pendidikan
Bahasa Inggris Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Tidar.

66| Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya
ISBN 978-602-61725-2-5

MEDIA SOSIAL BERBASIS


PEMBELAJARAN BAHASA ASING “HELLO
TALK” SEBAGAI ALTERNATIF MEDIA
BELAJAR BAHASA INDONESIA BAGI
PESERTA BIPA
Oleh :
Molas Warsi Nugraheni
Universitas Tidar
Molaswarsi@yahoo.co.id

ABSTRAK

Era global semakin berwarna dengan majunya tek-


nologi. Teknologi digunakan untuk membantu menyelesai-
kan permasalahan manusia dalam mengelola waktu,
tenaga, dan media secara efektif. Internet merupakan hasil
penemuan dalam bidang teknologi yang masih dan akan
terus digunakan. Internet dapat diakses melalui telepon
genggam dan komputer. Telepon genggam yang telah
dilengkapi dengan data internet dapat difungsikan sebagai
alat komunikasi khususnya melalui media sosial. Telepon
genggam saat ini telah digunakan oleh hampir seluruh
penduduk dunia dengan berbagai bahasa dan budayanya.
Bahasa Indonesia banyak diminati oleh warga negara asing
bahkan telah dibuka program studi bahasa Indonesia di
beberapa negara. Permasalahannya adalah belum banyak
masyarakat Indonesia dan WNA yang mengetahui menge-
nai media sosial yang dapat membantu belajar bahasa.
Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya | 67
Seminar Nasional KABASTRA II

Rumusan masalah: Bagaimanakah mempelajari bahasa


Indonesia dengan praktis, fleksibel, dan menarik? Dan
bagaimanakah aplikasi hello talk dapat membantu masya-
rakat belajar bahasa Indonesia? Tujuan penelitian ini adalah
memberikan informasi kepada masyarakat secara luas
mengenai adanya media sosial yang dapat membantu
belajar bahasa, dan cara kerja hello talk sebagai media
belajar bahasa Indonesia bagi penutur BIPA. Penelitian
berjenis penelitian terapan (applied research). Data diperoleh
dari wawancara tertulis melalui aplikasi hello talk. Diharap-
kan aplikasi ini dapat digunakan oleh peserta BIPA dalam
memperlancar percakapannya menggunakan bahasa Indo-
nesia secara tertulis dan lisan.

Kata Kunci: Hello Talk, Media Belajar, Peserta BIPA

PENDAHULUAN
Menghadapi perubahan global, masyarakat dimu-
dahkan dengan berbagai hal praktis. Tidak terkecuali
dalam bidang komunikasi. Beberapa dekade lalu, masya-
rakat masih menggunakan alat-alat pembantu manual.
Masyarakat ini disebut dengan golongan masyarakat lama.
Sementara itu, masyarakat modern telah menerapkan tek-
nologi multiguna untuk membantu kehidupannya agar
lebih efektif dan efisien. Kendaraan yang dahulu didomina-
si oleh tenaga hewan, kini berevolusi menjadi tenaga me-
sin. Kecepatan yang dahulu diukur dengan kecepatan
tenaga hewan, pada era modern telah dikembangkan kece-
patan dengan ukuran cahaya. Surat telah tergantikan
dengan email, kawat kabel telegram berganti dengan hand-
68| Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya
ISBN 978-602-61725-2-5

phone, ilmu dapat dengan mudah diunduh melalui inter-


net dsb.
Teknologi komunikasi merupakan bagian dari jenis
teknologi pembantu manusia dalam memudahkan hubung-
an komunikasi antar manusia. Telekomunikasi berkembang
cukup pesat seiring dengan tuntutan hidup manusia yang
semakin meningkat. Pada awalnya komunikasi hanya
manusia hanya dilakukan melalui verbal, kemudian bangsa
Sumeria mulai menemukan cara untuk memfisualkan apa
yang mereka ucapkan dalam bentuk lambang-lambang
bunyi dalam sebuah batu datar. Mulai sejak itu berkem-
bang lambang-lambang huruf yang dituliskan dalam
pelepah kayu dan kertas oleh bangsa Mesir dan Cina. Pada
tahun 1470 ditemukan alat pencetak huruf oleh Johann
Gutenberg. Sejak itulah perkembangan media tulisan seba-
gai komunikasi modern semakin berkembang pesat, dari
mesin ketik hingga komputer jinjing (laptop) yang ter-
koneksi internet. Bahkan saat ini telepon genggam (hand-
phone) telah dilengkapi dengan berbagai aplikasi media
sosial untuk berkomunikasi satu dengan yang lain hingga
antar negara (Sukma 2016).
Bahasa Indonesia disepakati sebagai bahasa per-
satuan karena bahasa Indonesia telah dikenal oleh hampir
semua daerah di Indonesia, selain itu bahasa Indonesia
dipilih karena mudah dipelajari dan dipahami, serta telah
diterima dengan suka cita oleh semua wakil daerah saat itu.
Bahasa Indonesia saat ini dikenal tidak hanya oleh rakyat
Indonesia, tetapi juga diminati oleh bangsa asing. Masyara-
Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya | 69
Seminar Nasional KABASTRA II

kat asing tertarik dengan bahasa Indonesia karena bebe-


rapa hal antara lain; Indonesia merupakan negara yang
besar, dengan potensi sumber daya alam dan sumber daya
manusianya. Hal ini merupakan salah satu faktor pen-
dukung negara di dunia untuk melakukan hubungan
kerjasama dengan Indonesia. Agar kerjasama dapat terjalin
dengan harmonis dan berlangsung dalam jangka waktu
yang lama, maka tiap negara yang bekerja sama per-
lu mengenal budaya dari masing - masing negara yang
bersangkutan. Salah satunya dengan bahasa. Karena indo-
nesia memiliki potensi untuk diajak bekerjasama, maka
penting bagi negara di dunia untuk mengenal bahkan
mempelajari bahasa Indonesia.
Selain karena Indonesia memiliki potensi sumber
daya alam yang melimpah dan mendorong terjadinya
hubungan kerja sama, bahasa Indonesia dipelajari untuk
ilmu pengetahuan budaya dan bahasa. Beberapa Universi-
tas di dunia bahkan telah membuka program studi bahasa
dan sastra Indonesia. Ketertarikan berikutnya adalah per-
kembangan masyarakat modern menuntut manusia untuk
dapat berkomunikasi tidak hanya dengan masyarakat
lokal, namun internasional. Kegiatan ini sudah menjadi
tren manusia modern. juga karena alasan dasar yaitu
bahasa Indonesia mudah dipelajari.
Terkait dengan hal tersebut, bahasa Indonesia
hingga saat ini telah diajarkan kepada orang asing di ber-
bagai lembaga, baik di dalam maupun di luar negeri. Di
dalam negeri saat ini tercatat tidak kurang dari 45 lembaga
70| Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya
ISBN 978-602-61725-2-5

yang telah mengajarkan bahasa Indonesia bagi penutur


asing (BIPA), baik di perguruan tinggi maupun di lembaga-
lembaga kursus. Sementara itu, di luar negeri, Pengajaran
BIPA telah dilakukan oleh sekitar 36 negara di dunia
dengan jumlah lembaga tidak kurang dari 130 buah, yang
terdiri atas perguruan tinggi, pusat-pusat kebudayaan
asing, KBRI, dan lembaga-lembaga kursus (Kemendikbud
2012).
Untuk mendukung program BIPA, Kemendikbud
mulai tahun 2012 menyelenggarakan berbagai program
terkait BIPA, antara lain kerjasama dengan Universitas di
luar negeri, pengadaan beasiswa untuk pelajar asing, per-
temuan BIPA, pemberian dukungan untuk pengembangan
pusat kebudayaan Indonesia di luar negeri, pengembangan
penelitian BIPA, dan peningkatan peran kedutaan besar
Indonesia. Meskipun telah diberi fasilitas melalui program-
program tersebut, pengajar BIPA masih mengalami kesulit-
an khususnya dalam pembiasaan penggunaan kata dalam
percakapan sehari-hari dan susunan kata dan kalimat yang
belum jelas. Sejauh ini pengajar BIPA masih belum mak-
simal membiasakan peserta BIPA bercakap-cakap dengan
menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar
mengingat peserta dari berbagai latar budaya dan bahasa
sehingga fonetiknya kurang diperhatikan. Selain itu
susunan kalimat dalam bahasa tulis masih terpengaruh
dengan struktur kata dan kalimat pada asal bahasa peserta.
Di sisi lain, peserta BIPA kurang terbiasa mempraktikkan

Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya | 71
Seminar Nasional KABASTRA II

ilmu BIPA yang mereka peroleh, dan kurang praktis dalam


mempelajarinya.
Berdasarkan beberapa permasalahan yang dihadapi
pengajar dan peserta BIPA tersebut, terdapat alternatif
solusi yang efektif dan efisien yaitu melaksanakan pem-
belajaran BIPA melalui aplikasi smartphone yaitu peng-
gunaan Hello Talk. Hello talk adalah sebuah aplikasi yang
berbasis media sosial untuk belajar bahasa asing. Aplikasi
ini bisa digunakan untuk semua bahasa dengan status yang
akan dikomentari pengguna lain sesuai bahasa yang
diinginkan. Dengan aplikasi ini diharapkan peserta BIPA
dapat menerapkan teori yang didapatnya di kelas BIPA
sekaligus mendapatkan teman melalui teknologi smart-
phone.
Berdasarkan latar belakang tersebut dapat diidenti-
fikasi permasalahan sebagai berikut; 1) pembelajaran BIPA
belum mencapai tujuan yang optimal, 2) peserta BIPA
kurang maksimal belajar bahasa karena kurang praktik, 3)
memanfaatkan teknologi smartphone sebagai layanan
belajar bahasa dengan aplikasi Hello Talk. Oleh karena
keterbatasan waktu dan dikhawatirkan pembahasan akan
meluas, maka penelitian ini dibatasi pada penggunaan
layanan aplikasi Hello Talk sebagai alternatif belajar bahasa
Indonesia untuk Penutur asing.
Menyesuaikan dengan batasan masalah tersebut,
masalah dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut;
Bagaimanakah mempelajari bahasa Indonesia dengan
praktis, fleksibel, dan menarik? Dan Bagaimanakah peng-
72| Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya
ISBN 978-602-61725-2-5

gunaan layanan aplikasi Hello Talk sebagai media belajar


bahasa? Tujuan penelitian ini adalah memberikan infor-
masi kepada masyarakat secara luas mengenai adanya
media sosial yang dapat membantu belajar bahasa, dan
cara kerja hello talk sebagai media belajar bahasa Indonesia
bagi penutur BIPA. Manfaat dalam penelitian sederhana ini
secara teoritis adalah memberikan informasi terkait alter-
natif media belajar bahasa melalui smart phone yang efektif
dan efisien. Sedangkan manfaat praktisnya adalah dapat
memfasilitasi peserta BIPA untuk praktik bahasa Indonesia
kepada pengguna hello talk lain yang menggunakan
bahasa Indonesia.

PEMBAHASAN

Penelitian Terdahulu
Penelitian mengenai BIPA telah banyak dilakukan.
Namun penelitian mengenai penerapan teknologi dalam
pembelajaran bahasa belum banyak dilakukan. Penelitian
tentang BIPA yang pertama adalah Penggunaan Media
Lagu dan Puisi dalam Upaya Meningkatkan Keterampilan
Berbicara bahasa Indonesia pada Siswa BIPA Tingkat
Pemula di Universitas Multimedia Nusantara oleh Ola
Tahe Sinaga (2014). Penelitian ini menghasilkan media
pembelajaran efektif yang digunakan pada peserta BIPA
tingkat pemula. Persamaan penelitian Sinaga dengan pene-
litian peneliti terletak pada media dan objek penelitiannya
yaitu peserta BIPA.

Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya | 73
Seminar Nasional KABASTRA II

Penelitian mengenai BIPA selanjutnya adalah


Pengembangan Bahan Ajar BIPA Bermuatan Budaya Jawa
bagi Penutur Asing Tingkat Pemula oleh Prasetiyo (2015).
Penelitian ini mengkaji bahan ajar yang digunakan dalam
pembelajaran BIPA yang dikembangkan dengan menerap-
kan budaya Jawa. Hasil penelitian ini adalah diciptakannya
bahan ajar bermuatan budaya Jawa. Bahan ajar yang telah
diciptakan 90% efektif diterapkan pada peserta BIPA.
Kesamaan penelitian ini dengan peneliti adalah subjek
penerima pengetahuan adalah peserta BIPA, sementara itu
perbedaan terdapat pada jenis penelitian dan media yang
digunakan. Prasetyo menggunakan jenis penelitian pe-
ngembangan sebagai kajiannya, peneliti menggunakan
penelitian terapan. Media yang dihasilkan Prasetyo adalah
buku/bahan ajar sementara peneliti adalah aplikasi pada
smartphone.

LANDASAN TEORI
Teori yang digunakan pada penelitian ini adalah
bahasa Indonesia pada Era MEA, Peserta BIPA, Teknologi
komunikasi, dan aplikasi Hello Talk.

Bahasa Indonesia pada Era MEA


Bahasa Indonesia banyak diminati oleh warga ne-
gara asing karena bahasa Indonesia sudah lama dikenal
dunia. Selain itu bahasa Indonesia memiliki struktur yang
mudah dipelajari dan dipahami (Wahyono 2014). Bahasa
telah dijadikan bahasa kedua di Vietnam pada tahun 1997,

74| Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya
ISBN 978-602-61725-2-5

bahasa Indonesia juga dijadikan bahasa keempat oleh


Autralia sejak tahun 2000. Warga Korea pun tertarik
dengan bahasa Indonesia karena mudah dipelajari
(www.Budaya Indonesia.com 2014).
Sebagai bahasa yang telah dikenal secara internasio-
nal, bahasa Indonesia dinyatakan sebagai bahasa Asean
dalam program ekonomi global (MEA). Bahasa Indonesia
dijadikan sebagai bahasa pengantar MEA karena terdapat
empat rgumentasi. Keempat argumentasi itu adalah Bahasa
Indonesia itu sudah banyak dipelajari pada banyak negara,
mudah dikuasai, laju perkembangannya fantastis, dan
sebagaian kosa kata Indonesia juga ada di dalam bahasa
negara-negara ASEAN (Ramadhan 2016). Hal senada juga
diuraikan oleh Iskandarwassid (2011: 262) yang menyata-
kan bahwa ada beberapa alasan warga asing ingin belajar
bahasa Indonesia. Alasan tersebut antara lain: populasi
pendudukan, letak geografis, keindahan alam, kebudayaan
yang kaya, dan para investor asing. Warga asing yang
belajar bahasa Indonesia memiliki tujuan yang berbeda-
beda. Dengan demikian, bahasa Indonesia memiliki alasan
yang kuat untuk dipelajari oleh warga negara asing.

Peserta BIPA
Pengajaran bahasa Indonesia bagi penurut asing
(BIPA) pada awalnya hanya diperuntukkan sebagai bentuk
pelayanan bagi warga asing yang ingin belajar bahasa
Indonesia. Namun, sekarang pengajaran BIPA mulai di-
minati oleh warga asing, terutama di kawasan Asia-Pasifik.
Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya | 75
Seminar Nasional KABASTRA II

Peserta BIPA merupakan pembelajar Bahasa Indo-


nesia dari penutur Asing. Materi pembelajaran BIPA pada
umumnya berkisar pada penggunaan lisan bahasa Indo-
nesia. Hal ini tentunya disesuai dengan kebutuhan penutur
berdasarkan tingkatan kemampuannya. Contoh materi
pembelajaran BIPA yaitu dialog-dialog sederhana, pengu-
capan salam, meminta informasi, menanyakan waktu,
menolak dan menerima undangan, dan lain sebagainya
yang semuanya besifat praktis (Iskandarwassid 2011).
Namun, pembelajaran BIPA dalam tataran bahasa tulis juga
harus mendapat berhatian khusus, karena menulis
merupakan kegiatan yang kompleks. Kemampuan bahasa
seseorang dapat dinilai dari tulisannya. Pembelajaran BIPA
pada tatapan menulis tentunya membutuhkan materi dan
metode yang berbeda dengan tahapan berbicara. Menulis
haruslah dapat menciptakan tulisan yang bagus dan
gramatikal sesuai dengan ejaan bahasa Indonesia.

Teknologi Komunikasi
Teknologi Informasi dan Komunikasi, adalah pa-
yung besar terminologi yang mencakup seluruh peralatan
teknis untuk memproses dan menyampaikan informasi
(Sarwaji 2016). TIK mencakup dua aspek yaitu teknologi
informasi dan teknologi komunikasi. Teknologi informasi
meliputi segala hal yang berkaitan dengan proses, peng-
gunaan sebagai alat bantu, manipulasi, dan pengelolaan
informasi. Sedangkan teknologi komunikasi adalah segala
sesuatu yang berkaitan dengan penggunaan alat bantu
76| Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya
ISBN 978-602-61725-2-5

untuk memproses dan mentransfer data dari perangkat


yang satu ke lainnya. Oleh karena itu, teknologi informasi
dan teknologi komunikasi adalah dua buah konsep yang
tidak terpisahkan. Jadi Teknologi Informasi dan Komu-
nikasi mengandung pengertian luas yaitu segala kegiatan
yang terkait dengan pemrosesan, manipulasi, pengelolaan,
pemindahan informasi antar media.Istilah TIK muncul
setelah adanya perpaduan antara teknologi komputer (baik
perangkat keras maupun perangkat lunak) dengan
teknologi komunikasi pada pertengahan abad ke-20.
Perpaduan kedua teknologi tersebut berkembang pesat
melampaui bidang teknologi lainnya. Hingga awal abad
ke-21, TIK masih terus mengalami berbagai perubahan dan
belum terlihat titik jenuhnya.
Bentuk-bentuk masalah sosial dan perkembangan
teknologi komunikasi semakin berkembang dan harus
dipenuhi oleh inovator yang menggalakkan perubahan dan
perkembangan teknologi baru bagi terpenuhinya konsumsi
dan keperluan masyarakat akan teknologi komunikasi
yang baru dan dapat memenuhi hasrat masyarakat,
mempermudah dan melancarkan kinerja manusia dalam
melakukan kehidupan manusia. Adanya teknologi komuni-
kasi yang baik adalah untuk memenuhi keperluan dan
kebutuhan manusia yang semakin maju dan berkembang.
Alat komunikasi di dunia telah berkembang sangat
pesat. Perkembangan komunikasi dibagi dua yaitu komu-
nikasi tradisional dan modern. Komunikasi tradisional,
Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya | 77
Seminar Nasional KABASTRA II

manusia memanfaatkan daun lontar untuk komunikasi,


setelah itu berkembang menggunakan merpati pos, dan
kentongan. Sementara alat komunikasi modern dimulai
sejak ditemukanya telegraf pada tahun 1838, setelah itu
berkembang alat komunikasi telepon pada 1876. Pada
tahun 1920 telegram diciptakan mengembangkan teknologi
telegraf. Pager diciptakan pada tahun 1956 di London.
Email dikembangkan pada tahun 1980an namun masih
menggunakan jaringan mainframe, bukan internet. Internet
mulai dikembangkan sejak tahun 1983 namun masuk ke
Indonesia pada tahun 1990an. Penemuan telepon genggam
tak terlepas dari perkembangan radio. Telepon genggam
mulai dikembangkan pada tahun 1973 dan semakin
berkembang pesat hingga saat ini. Telepon genggam
terbaru telah dimodifikasi dengan internet sehingga
semakin memudahkan manusia untuk berkomunikasi dan
bersosial.

Hello Talk
Belajar bahasa asing tidak harus di dalam kelas dan
bisa dilakukan dengan kursus atau secara otodidak.
Bahkan saat ini belajar bahasa apapun hanya dengan meng-
gunakan ponsel saja, gratis, dan langsung dari penutur
aslinya. Hello Talk adalah pionir aplikasi obrolan yang
fokus pada orang-orang yang ingin merasakan pengalaman
chatting sambil belajar langsung dengan orang yang
berbahasa asing (Kompasiana 2016). Berbeda dengan apli-
kasi chatting lainnya, Hello Talk hadir dengan fitur unggul-
78| Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya
ISBN 978-602-61725-2-5

annya seperti konversi suara ke teks ataupun sebaliknya,


dan juga bisa langsung diterjemahkan ke dalam bahasa
yang diinginkan. Hello Talk juga akan merevisi kesalahan
gramatikal dalam kalimat yang kita ketikkan. Hal ini tentu
memudahkan kita dalam percakapan bahasa apapun yang
belum pernah dipelajari sebelumnya. Percakapan pun tidak
hanya bisa dilakukan secara personal tapi juga bisa dalam
sebuah grup.
Pengguna akan diarahkan untuk mengisi nama,
usia, asal negara, bahasa ibu (mother tongue), bahasa yang
dikuasai, dan bahasa yang ingin dipelajari (bisa lebih dari
satu bahasa). Pengguna juga harus mengisi berapa kira-kira
tingkat pemahaman dalam bahasa ibu dan bahasa yang
ingin dipelajari (karena mungkin sudah mempelajarinya).
Meskipun Hello Talk merupakan aplikasi untuk
belajar semua bahasa, pengguna dapat menentukan bahasa
apa yang akan dipelajari. Tidak terkecuali peserta BIPA.
Dengan menggunakan aplikasi ini, peserta dapat memilih
mode bahasa Indonesia. Setelah itu peserta dapat bercakap-
cakap sambil belajar di ruang obrolan atau melalui status-
status yang ditulis dengan pengguna yang menguasai
bahasa Indonesia. Peserta BIPA yang konsisten meng-
gunakan aplikasi ini akan terbiasa menggunakan bahasa
yang baik dan kemampuan mereka akan semakin mening-
kat bila didukung dengan percakapan suara (Taher 2016).

Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya | 79
Seminar Nasional KABASTRA II

METODOLOGI
Jenis Penelitian
Penelitian ini berjenis penelitian deskriptif terapan,
yaitu penelitian yang disusun untuk pengaplikasikan
produk. Penelitian terapan adalah salah satu jenis
penelitian yang bertujuan untuk memberikan solusi atas
permasalahan tertentu secara praktis. Penelitian ini tidak
berfokus pada pengembangan sebuah ide, teori, atau
gagasan, tetapi lebih berfokus kepada penerapan penelitian
tersebut dalam kehidupan sehari-hari.

Operasional Hello Talk


1) Setelah mengunduh aplikasi hello talk pada
smartphone, pengguna dapat mengisi biodata,
umur, dan lokasi pengguna.

Gambar1
Ikon aplikasi hellotalk

80| Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya
ISBN 978-602-61725-2-5

Gambar 2
Pengaturan profil/identitas pada aplikasi Hello Talk

2) Setelah identitas terisi, pengguna dapat meninjau


pesan, status dan teman atau pengikut dengan fitur-
fitur yang tersedia.
a. Pada panah yang tertera di gambar 3,
terdapat fitur berlambang lonceng untuk
notifikasi pengguna atau pengikut lain, ikon
pena bulu untuk menulis status, ikon balon
obrolan untuk pesan, moments untuk me-
meriksa status teman, lup untuk pencarian,
dan profil untuk keterangan diri.
3) Terdapat fitur koreksi kata dan terjemahan (gambar
4 dan 5), Koreksi kata untuk pembetulan kalimat,
dan terjemahan untuk mencari arti kata bila kesulit-
an.

Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya | 81
Seminar Nasional KABASTRA II

Gambar 3 Gambar 4 Gambar 5


Fitur-fitur yang tersedia koreksi kalimat komentar status

PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN


Pengujian kevalidan data penilitian menggunakan
sampel 10 pengikut hello talk dari berbagai negara yang
terdata sebagai peminat dan pembelajar bahasa Indonesia.

Gambar 6
Responden Penelitian

82| Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya
ISBN 978-602-61725-2-5

Gambar 7
Responden penelitian

Dari 10 responden yang terdata atas nama Santosh


(India), Filmy Boy (India), Shaaz (India), Usman (Pakistan),
Geof (India) Emamon (Inggris). 80% jawab ketertarikan
mereka belajar bahasa Indonesisa. 75% menyatakan sangat
terbantu dengan adanya aplikasi ini. 100% atau semua res-
ponden menyatakan lebih cepat menguasai bahasa
Indonesia dengan hello talk.

SIMPULAN
Berdasarkan paparan mengenai aplikasi hello talk
dalam pembelajaran bahasa Indonesia, hello talk memiliki
efektivitas yang signifikan. Peserta BIPA dapat mengunduh
aplikasi ini sebagai media pembantu belajar bahasa Indone-
sia. Penulis menyarankan agar pengajar BIPA lebih iteraktif
dalam mengajar bahasa Indonesia dan menyarankan
kepada pesera BIPA untuk mengunduh aplikasi ini.

Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya | 83
Seminar Nasional KABASTRA II

DAFTAR PUSTAKA
Defrina Sukma S 2016 http://news.unair.ac.id/2016/05/02/-
perkembangan-teknologi-ubah-sejarah-kehidupan/
Herskovits dalam McGee dan YM Young.2007. Hakers in
south asian cities: planing for the bazaar economy,
canada: IDRC Publisher
http://www.kompasiana.com/arditaher/hello-talk-aplikasi-
edukasi-belajar-bahasa-asing_17 agst 2017
Iskandarwassid & Dadang Sunendar. 2011. Strategi
Pembelajaran Bahasa. Bandung: Rosda.
Kemendikbud 2012 http:// badanbahasa. kemdikbud.go.id
/lamanbahasa/ info_bipa
Miarso. 2007. Menyemai Benih Teknologi Pendidikan.
Jakarta: Pustekom Dinas.
Olo, Tahe Sinaga.2014.Penggunaan Media Lagu dan Puisi
dalam Upaya Meningkatkan Keterampilan Berbicara
Bahasa Indonesia pada Siswa BIPA Tingkat Pemula di
Universitas Multimedia Nusantara (Sebuah Model
Pembelajaranpada Siswa BIPA Tingkat Pemula).
Tangerang:UMN dalam ASLILE 2014 CONFEREN-
CE Bali sept 2014
Prasetiyo,Andika Eko.2015. Pengembangan Bahan Ajar Bipa
Bermuatan Budaya Jawa Bagi Penutur Asing Tingkat
Pemula. Skripsi :Universitas Negeri Semarang

84| Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya
ISBN 978-602-61725-2-5

KONSEP PRIVASI: FUNGSI


PERTUTURAN DALAM LINTAS BUDAYA
PENUTUR ASING DI UNIVERSITAS
MUHAMMADIYAH SURAKARTA

Oleh :
Puji Lestari dan Destiani
Universitas Negeri Sebelas Maret Surakarta
Jalan Ir. Sutami 36 A, Kentingan, Surakarta, 57126, Jawa
Tengah, Indonesia
lestariji@gmail.com

ABSTRAK

Budaya yang berbeda memiliki persepsi tertentu.


Ada beberapa budaya yang menganggap sesuatu hal
sebagai pribadi, tetapi itu mungkin dianggap sebagai
umum oleh budaya lain atau kata lain disebut "zona
pribadi. Penelitian ini termasuk penelitian fenomenologis.
Data penelitian yaitu lima mahasiwa asing yang sedang
menempuh pendidikan di Universitas Muhammadiyah
Surakarta dari Thailand, Singapura, Tanzania, dan Uganda.
Penelitian ini mengkaji konsep privasi ditinjau dari tuturan
dengan fungsi pertuturannya. Data penelitian meliputi
berbagai macam tuturan dengan fungsi menanya yang
dianggap sebagai privasi dari penutur asing yang sedang
menempuh pendidikan di Universitas Muhammadiyah
Surakarta. Data dikumpulkan dengan teknik simak dengan
Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya | 85
Seminar Nasional KABASTRA II

dasar cakap dan lanjutan wawancara mendalam, rekam,


dan catat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat
beberapa konsep privasi, yaitu tuturan dengan fungsi
menanya dengan meminta keterangan, alasan, pengakuan,
pendapat, dan kesungguhan. Selain itu, konsep privasi juga
didasarkan dari faktor usia (mahasiswa Uganda). Pada
dasarnya, informan dari Thailand dan Singapura (Asia)
memiliki ruang privasi yang cenderung lebih sedikit
dibandingkan dari mahasiswa Tanzani dan Uganda
(Afrika). Hal tersebut dikarenakan mahasiswa dari
Thailand dan Singapura masih memiliki kesamaan budaya
dengan Indonesia yang berlatar belakang suku Melayu.
Hasil analisis juga menunjukkan bahwa mahasiswa
Uganda memiliki ruang privasi yang paling banyak.
Dengan pemahaman konsep privasi di lintas budaya, maka
penelitian ini dapat diproyeksikan dalam pengajaran BIPA
terutama pada pembelajaran penggunaan tuturan atau
kalimat sapaan atau kalimat interogatif untuk berbasa-basi.
Tujuannya pun agar saling menghargai batasan-batasan
privasi dan menciptakan komunikasi yang harmonis
dengan penutur asing.

Kata Kunci : konsep privasi, penutur asing, fungsi pertuturan.

PENDAHULUAN
Fungsi pertuturan menjadi indikasi untuk menge-
tahui makna tuturan yang sedang diujarkan. Fungsi per-
tuturan ditinjau dari pihak penutur terbagi menjadi fungsi
menyatakan, fungsi menanyakan, fungsi imperatif, sedang-
kan jika ditinjau dari pihak lawan tutur dikelompokkan
menjadi fungsi komentar, fungsi menjawab, fungsi
86| Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya
ISBN 978-602-61725-2-5

menyetujui (Chaer, 2010: 79). Mahasiswa dalam penelitian


ini termasuk mahasiswa yang sedang tinggal di asrama
K.H Mas Mansyur Universitas Muhammadiah Surakarta.
Mahasiswa asing diwajibkan tinggal selama dua tahun di
asrama untuk belajar bahasa Indonesia dan mengenal
budaya Indonesia. Hal unik tentunya ada dari hasil
interaksi mahasiswa asing dengan mahasiswa Indonesia.
Konsentrasi dalam penelitian ini, yaitu pada tuturan
dengan fungsi menanyakan misalnya“ Kamu sudah meni-
kah?”; “Hari ini kamu makan apa?” merupakan tuturan
yang biasa diujarkan oleh masyarakat Indonesia sebagai
bentuk ramah-tamah atau basa-basi kepada orang lain.
Berbeda halnya bagi mahasiswa Uganda yang menganggap
hal tersebut sebagai bentuk interogatif yang mengganggu
privasinya. Fenemona ini sangat unik untuk dikaji karena
dapat menimbulkan adanya “kejut budaya”.
Budaya yang berbeda memiliki persepsi tertentu.
Ada beberapa budaya yang menganggap sesuatu hal
sebagai pribadi, tetapi itu mungkin dianggap sebagai
umum oleh budaya lain. Ada juga disebut "zona pribadi".
Dalam hal zona pribadi ini akan menyebabkan ketidak-
nyamanan (Kawar dalam Prabowo, 1998: 109). Perbedaan
privasi dari lintas budaya ini akan menjadi tolak ukur
dalam keberhasilan berkomunikasi. Permasalahan tersebut
mengingatkan bahwa posisi bahasa Indonesia jika dipro-
yeksikan menjadi salah satu bahasa yang dipakai dalam

Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya | 87
Seminar Nasional KABASTRA II

tataran internasional, masih terdapat benturan dan ketidak-


santunan dalam berbahasa.
Yusari juga (2012: 120) mengungkapkan bahwa
belajar bahasa asing dengan menyertakan budaya merupa-
kan suatu akulturasi. Fakta ini merupakan cara yang
menarik, tetapi berurusan dengan orang-orang dari budaya
yang berbeda membutuhkan pemahaman tentang keraga-
man budaya. Berdasarkan latar belakang tersebut, rumusan
penelitian ini yaitu bagaimana variasi konsep privasi dari
penutur asing ditinjau dari fungsi pertuturannya. Dengan
demikian, peneliti akan menemukan gambaran tuturan
yang terjadi dari konsep privasi dalam lintas budaya bagi
penutur asing. Pemahaman konsep privasi dalam lintas
budaya akan merefleksikan pengajaran BIPA terutama
pada fungsi pertuturan pada kalimat menanya (interogatif)
untuk berbasa-basi.
Adapun penelitian yang relevan dengan penelitian
ini, misalnya dari penelitian dari Delpechitre (2013) yang
berjudul “Importance of Cross-Cultural Empathy in Selling–
Perspective from Asian Indians living in the U.S”. Penelitian
Delpechitre (2013) bertujuan untuk mendeskripsikan pen-
tingnya kesadaran lintas budaya antara orang India (Asia)
yang tinggal di AS dengan penjual AS. Konsep privasi
mempengaruhi hubungan antar keduanya. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa orang India lebih suka membeli dari
penjual yang mirip dengan mereka karena dianggap
memiliki privasi yang sama. Hal tersebut memiliki kesa-
88| Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya
ISBN 978-602-61725-2-5

maan dengan penelitian ini yang mengaitkan konsep


privasi yang dimiliki oleh mahasiswa penutur asing ketika
kuliah di kampus UMS.

KAJIAN TEORI
Konsep Privasi
Budaya universal telah ada di setiap lapisan masya-
rakat yang telah secara sistematis dipelajari (Murdock,
1955:53). Berdasarkan hubungan manusia Westin (1971)
berpendapat bahwa ada aspek-aspek privasi ditemukan
dalam setiap masyarakat dalam budaya universal. Philip
Babcock (dalam Zhang, 2013:47) berpikir tentang "privasi"
sebagai "kualitas atau keadaan yang terpisah dari perusa-
haan atau pengamatan (isolasi) atau pengasingan atau
kebebasan dari pengamatan atau pengawasan tidak sah.

Kata privasi merujuk padanan dari bahasa Inggris,


yakni privacy yang artinya kemampuan seseorang atau
lebih untuk mempertahankan kehidupan dan urusan per-
sonalnya dari publik (Yuwinanto, 2014:2). Konsep privasi
juga dijabarkan oleh beberapa ahli psikologi, antara lain
dari Westin (1967:7) menjelaskan hubungan antara
kerahasiaan dan privasi sebagai klaim individu, Altman
(1975: 24) menganggap privasi sebagai akses kontrol
selektif terhadap privasi diri, dan Rapoport (dalam Pra-
bowo, 1998) mendefinisikan privasi sebagai kemampuan
untuk mengontrol interaksi atau keterbukaan yang diingin-
kan oleh seseorang pada konteks tertentu. Privasi dalam

Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya | 89
Seminar Nasional KABASTRA II

konteks penelitian ini tergolong expressive (interactional)


privacy berhubungan dengan perlindungan mengekspresi-
kan identitas diri (Decew, 1997:77). Jadi, ada pengendalian
internal atas ekspresi diri dan meningkatkan kemampuan
untuk mengadakan hubungan interpersonal.

Secara konteks hukum, privasi merupakan right to


be let alone (Warren dan Brandeis, 1890: 4). Adapun jika
dikaitkan pada hukum Indonesia bersumber pada Undang-
undang Teknologi Informasi ayat 19 yang menyatakan
bahwa privasi adalah hak individu untuk mengendalikan
penggunaan informasi tentang identitas pribadi. Terlepas
dari hal tersebut, inti dari konsep privasi sangat penting
untuk diketahui apalagi pada khasanah lintas budaya.

Fungsi Pertuturan dalam Privasi


Fungsi pertuturan memiliki banyak jenis seperti
yang dirinci oleh Chaer (2010: 79-99) dari fungsi menyata-
kan, menanyakan, memerintah, menyuruh, m,lelarang, dan
mengeritik. Setiap fungsi tersebut juga memiliki beberapa
kategori fungsi tuturan. Namun, dalam penelitian ini hanya
mengaitkan pada konteks fungsi pertuturan menanya.
Chaer (2010: 85) menjelaskan bahwa tuturan dengan
fungsi menanyakan dilakukan dengan kalimat bermodus
interogatif yang menghendaki adanya jawaban baik secara
lisan maupun dalam bentuk tindakan. Ada lima kategori
tuturan dengan fungsi menanyakan berdasarkan Chaer
(2010: 86-88). Pertama, menanyakan meminta pengakuan

90| Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya
ISBN 978-602-61725-2-5

adalah tuturan dengan fungsi ini menghendaki lawan tutur


untuk menjawab “ya” atau “tidak” atau bukan. Kedua,
menanyakan meminta keterangan merupakan tuturan
dengan fungsi menanyakan meminta keterangan baik itu
benda atau hal yang ditanyakan oleh penutur kepada
lawan tutur. Ketiga, menanyakan meminta alasan adalah
tuturan dengan fungsi ini dilakukan dengan modus intero-
gatif dan menggunakan kata tanya “mengapa”. Keempat,
menanyakan meminta pendapat adalah tuturan dengan
fungsi ini bertujuan untuk memperoleh pendapat atau
pikiran dari lawan tutur dengan modus interogatif. Kelima,
menanyakan meminta kesungguhan yaitu untuk menyung-
guhkan dan mengiyakan pendapat penutur yang diajukan
kepada lawan tutur dengan kalimat interogatif dan meng-
gunakan kata “bukan” sebagai penegas.

METODE
Penelitian ini termasuk penelitian dengan metode
desain fenomenologis. Van Manen (dalam Delpechitre,
2013:17) mendefinisikan studi fenomenologis sebagai salah
satu yang menggambarkan sesuatu. Mahasiswa penutur
asing yang diteliti dari Thailand, Singapura, Tanzania, dan
Uganda. Data penelitian meliputi berbagai macam tuturan
dengan fungsi menanya yang dianggap sebagai privasi dari
penutur asing yang sedang menempuh pendidikan di
Universitas Muhammadiyah Surakarta. Data dikumpulkan
dengan teknik simak dengan dasar cakap dan lanjutan
wawancara mendalam, rekam, dan catat. Pertama, peneliti
Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya | 91
Seminar Nasional KABASTRA II

mengobservasi lokasi dan mengamati fenomena tuturan


yang terjadi antara mahasiswa Indonesia dengan maha-
siswa penutur asing. Kedua, dilanjutakan dengan wawan-
cara mendalam. Wawancara berisi pertanyaan terstruktur
sehingga peneliti mampu mengambil pandangan atau
kerangka konsep privasi dari mahasiswa penutur asing.
Berikut gambaran informan dalam penelitian ini.

No. Nama Jurusan Asal Umur/kelamin


Mahasiswa
1. Miss. Ilmu Thailand 19
Anisah Alquran th/pere
Bulaebitae dan mpuan
Tafsir
2. Zainab Ilmu Singapura 21 th/perempuan
Binti Moh. Alquran
Thaha dan
Tafsir
3. Hassan Magister Tanzania 24 th/laki-laki
Khamis Teknik
Hassan Mekanik
4. Bwanika Magister Uganda 24 th/laki-laki
Najib Akuntasi
5. Nanyunja Magister Uganda 24 h/perempu
Shukkie Akuntasi an

92| Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya
ISBN 978-602-61725-2-5

PEMBAHASAN
Analisis data dilakukan dengan deskriptif dari
setiap informan. Informan tinggal di asrama mahasiswa
K.H Mas Mansyur Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Berikut rincian analisis informan.

Miss. Anisah Bulaebitae


Informan berdasarkan dari Thailand Selatan. Mayo-
ritas agama di Thailand Selatan adalah muslim. Bahasa ibu
informan tetap bahasa khas Thailand, tetapi informan juga
berlatar belakang bahasa Melayu sehingga bahasa
Indonesia juga sudah dikenal. Budaya di Thailand Selatan
memiliki kesamaan dengan budaya Indonesia yang cen-
derung ramah dan terbuka. Bedanya, di Thailand ada
pandangan kesetaraan yang tercermin tercermin dalam
'ruam duk-ruam-suk' (berbagi-penderitaan-berbagi-kebaha-
giaan) yang memiliki semangat yang sama. Pada dasarnya,
sifat keterbukaan mahasiswa Thailand cenderung tidak
diperlihatkan. Keterbukaan tersebut dapat diketahui jika
ada pertanyaan-pertanyaan yang muncul. Ada beberapa
tuturan yang dianggap Miss. Anisah Bulaebitae bersifat
yang dianggap sebagai bentuk privasi.
Tuturan dengan Fungsi Meminta Alasan
Data (1) menunjukkan tuturan yang dianggap
privasi bagi Miss. Anisah Bulaebitae. Konsep privasi
ditandai oleh bentuk eksplisit mengapa yang dituturkan
oleh Pn. Maksud data (1) berbentuk interogatif dengan
fungsi meminta alasan kepada lawan tutur. Tuturan dijawab
Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya | 93
Seminar Nasional KABASTRA II

dalam bentuk eksplisit tidak. Hal tersebut tidak menunjuk-


kan jawaban memberi informasi dengan alasan. Miss.
Anisah Bulaebitae menganggap jika tuturan tersebut
disampaikan kepadanya membuat rasa tidak nyaman
karena pertanyaan tersebut tidak perlu dijawab jika
ditunjukkan kepada orang Indonesia yang belum begitu ia
kenal.
(1)

Penutur (Pn) : Mahasiswa Indonesia UMS

Mitra Tutur (Mt) : Mahasiswa Thailand Universitas


Muhammadiyah Surakarta
Eksplikatur : Pn : Mengapa kamu kuliah di
Indonesia? Mengapa tidak di Thailand
saja?
Mt : Tidak.
Pemarkah Lingual : Bentuk eksplisit “mengapa”
Penanda Nonlingual :
 Aktivitas sedang mengikuti kegiatan
belajar tahfiz di asrama K.H Mas
Mansyur UMS.
Mt merasa tidak nyaman karena bagi
Mt dimana pun kuliah seseorang
menjadi hal yang privasi. Pn dan Mt
tidak memiliki hubungan yang dekat.
Keduanya hanya bertemu di saat jam
pelajaran tahfiz.

94| Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya
ISBN 978-602-61725-2-5

Implikatur : Pn penasaran kepada Mt yang kuliah


di Indonesia.dan Mt merasa tidak suka
jika ditanya alasannya kuliah di
Indonesia
Maksud tuturan : Memberikan alasan tentang Mt yang
kuliah di Indonesia dan mengapa tidak
memilih di Thailand.
Status sosial : Pn mahasiswa semester 6, perem-
puan, usia 20 tahun, Mt mahasiswa
Thailand semeter 4, perempuan, usia
19 th.
Tuturan dengan Fungsi Meminta Keterangan
Data (2) termasuk tuturan yang memiliki konsep
privasi. Konsep privasi ditandai oleh bentuk eksplisit berapa
yang dituturkan oleh Pn. Maksud data (2) berbentuk
interogatif dengan fungsi meminta keterangan kepada lawan
tutur.
(2)
Penutur (Pn) : Mahasiswa Indonesia UMS
Mitra Tutur (Mt) : Mahasiswa Thailand Universitas
Muhammadiyah Surakarta
Eksplikatur :
Pn : Berapa berat badanmu sekarang?
Mt : Ah, jangan saya malu!
Pemarkah Lingual : Bentuk eksplisit “berapa” dan
intonasi seru pada tuturan Mt..
Penanda Nonlingual:

Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya | 95
Seminar Nasional KABASTRA II

 Aktivitas sedang mengikuti kegiatan


belajar tahfiz di pesantren K.H Mas
Mansyur UMS.
 Pn bertanya kepada Mt karena ingin
tahu berat badan Mt. karena dianggap
memiliki berat badan yang sama
dengan Pn.
Implikatur :
 Pn penasaran kepada Mt tentang
berat badan yang dimiliki.
 Mt merasa tidak suka dan malu jika
ditanya mengenai berat badan yang
dimiliki.
Maksud tuturan : Memberikan informasi tentang
berat badan Mt..
Status sosial : Pn mahasiswa semester 6,
perempuan, usia 20 tahun
Mt mahasiswa Thailand semeter 4,
perempuan, usia 19 th. Pn dan Mt
tidak memiliki hubungan yang
dekat. Keduanya hanya bertemu
disaat jam pelajaran tahfiz di
pesantren K.H Mas Mansyur UMS.
Zainab Binti Moh. Thaha
Informan berasal dari Singapura yang beragama
Islam. Keluarga Zainab Binti Moh. Thaha termasuk dari
suku Melayu sehingga juga sudah mengenal bahasa
Indonesia. Budaya ramah-tamah menjadi prinsip bagi
96| Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya
ISBN 978-602-61725-2-5

mahasiswa Singapura yang berlatar belakang beragam


Islam. Namun, bagi Zainab Binti Moh. Thaha sikap basa-
basi cenderung tidak menjadi ciri khas mahasiswa
Singapura yang bersuku Melayu.

Tuturan Menanyakan Meminta Pendapat


Adapun data (3) juga menunjukkan bentuk
keprivasian. Cuplikan eksplikatur pada data (3) ditandai
bentuk eksplisit bagaimana dan pemarkah lingualnya Vp
(verba performatif) eksplisit pakai. Maksud data (4)
berbentuk interogatif dengan fungsi meminta pendapat.
Tuturan (4) ditandai dengan kata “bagaimana” yang
menghendaki lawan tuturan untuk memberikan pendapat.
Namun, bagi Zainab Binti Moh. Thaha yang bersifat privasi
bagi mahasiswa Singapura bersuku Melayu, yaitu
mengenai penampilan. Masalah penampilan bagi maha-
siswa Singapura berlatar suku Melayu sangat privasi, jadi
tidak perlu ditanyakan.
(3)
Penutur (Pn) : Mahasiswa Indonesia UMS
Mitra Tutur (Mt) : Mahasiswa Singapura UMS
Eksplikatur :
Pn : Bagaimana jika kamu pakai baju hitam
aja biar cantik?
Mt : Oh.
Pemarkah Lingual : Bentuk Vp eksplisit “pakai” dan
intonasi interogatif pada tuturan
Pn.
Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya | 97
Seminar Nasional KABASTRA II

Penanda Nonlingual:
 Aktivitas sedang santai di kamar Mt
dan Mt. Pn dan Mt tinggal satu
kamar di pesantren K.H Mas
Mansyur UMS.
 Pn bertanya kepada Mt agar mem-
berikan pendapatnya mengenai baju
yang dipakai.
Implikatur : Pn ingin Mt bisa memberikan
pendapatnya mengenai baju atau
penampilannya.
Maksud tuturan : Memperbolahkan Pn memakai
bedak Mt..
Status sosial : Pn mahasiswa semester 2, perem-
puan, usia 18 tahun, Mt mahasiswa
Singapra semester 6, perempuan,
usia 20 th. Pn dan Mt tidak memiliki
hubungan dekat. Keduanya sudah
saling mengenal selama 10 bulan.

Hassan Khamis Hassan


Informan berasal dari negara Tanzania yang berada
di benua Afrika Timur, dekat negara Madagaskar. Hassan
Khamis Hassan menyebutkan bahwa di Tanzania terbagi
menjadi dua wilayah, yaitu Tanganyika dan Zanziba.
Mayoritas masyarakat Tanganyika beragama Islam
sebanyak 37%, sedangkan mayoritas Zanziba beragama
Islam 99%. Informan berasal dari Zanziba. Hassan Khamis
98| Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya
ISBN 978-602-61725-2-5

Hassan menempuh pendidikan magister Teknik Mekanik.


Hassan Khamis Hassan sudah ada di Indonesia selama
tujuh bulan dan hanya belajar bahasa Indonesia. Setelah
setahun belajar bahasa Indonesia, Hassan Khamis Hassan
akan mulai kuliah. Hassan Khamis Hassan sudah bisa
berbahasa Indonesia dengan cukup baik.
Mayoritas dari mahasiswa Zanziba bersifat sangat
ramah dan terbuka sehingga ruang privasi terhadap orang
lain masih cenderung terbuka. Namun, bagi Hassan
Khamis Hassan keprivasian dalam bertutur tampak pada
kata “salam”. Bagi mahasiswa Tanzania, sifat ramah
tampak ketika berbicara dengan orang Islam. Namun, jika
tidak diawali dengan “salam” dalam sebuah pertuturan,
mahasiswa Tanzania dari Zanziba tidak akan memberikan
respon atau jawaban. Hal tersebut tampak pada tuturan (4)
yang menunjukkan tuturan dengan fungsi meminta
keterangan.
(4)
Penutur (Pn) : Mahasiswa Indonesia UMS
Mitra Tutur (Mt) : Mahasiswa Tanzania UMS
Eksplikatur :
Pn : Hai, do you know ruang TU di sini?
(Hai, apakah kamu tahu ruang TU di
sini?
Mt : (Hanya menggeleng)
Pemarkah Lingual : Pn menggunakan campur kode
bahasa Inggris “do you know” dan
bentuk interogatif kepada Mt.
Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya | 99
Seminar Nasional KABASTRA II

Penanda Nonlingual:
 Aktivitas ketika Pn baru saja
berkunjung di pesantren K.H Mas
Mansyur UMS dan bertanya kepada
Mt.
 Situasi yang santai, tetapi Pn terlihat
terburu-buru.
 Mt tidak begitu merespon, meskipun
Mt sudah tahu lokasi ruang TU.
Implikatur : Pn ingin Mt memberitahukan lokasi
ruang TU dan Mt tidak merespon atau
tidak memberitahukan kepada Pn
karena Pn tidak mengucapkan salam
“Assalamualaikum” kepada Mt.
Maksud tuturan : Memberikan informasi ruang TU
kepada Pn.
Status sosial : Pn mahasiswa semester 6, laki-laki,
usia 20 tahun, Mt mahasiswa Magister
Teknik, laki-laki, usia 24 th. Pn dan Mt
tidak memiliki hubungan dekat.
Keduanya sudah baru bertemu.

Bwanika Najib dan Nanyunja Shukkie


Informan berasal dari negara Uganda di benua
Afrika. Informan sedang menempuh pendidikan Magister

100| Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya
ISBN 978-602-61725-2-5

Akuntasi dan sudah tinggal di Indonesia selama tujuh


bulan. Mayoritas masyarakat Uganda beragama non-
muslim. Menurut Bwanika Najib dan Nanyunja Shukkie
budayanya lebih cenderung meniru budaya Barat. Bagi
Bwanika Najib dan Nanyunja Shukkie konsep privasi
ditunjukkan dari perbedaan umur antara Pn dengan Mt.
Selain itu, konsep privasi juga tampak dari hubungan
kedekatan.

Tuturan dengan Fungsi Menanyakan Meminta Kete-


rangan
Misalnya, “ Kamu mau pergi kemana?”, “Apakah
yang sedang kamu makan?”, “Kapan kamu ingin meni-
kah?”, “Apakah yang sedang kamu lakukan di sini?”,
Apakah kamu senang belajar di sini?. Berikut salah satu
contoh analisis tuturan.
(5)
Penutur (Pn) : Mahasiswa Indonesia UMS
Mitra Tutur (Mt) : Mahasiswa Uganda UMS
Eksplikatur :
Pn : Kamu mau pergi kemana?
Mt : (Diam)
Pemarkah Lingual : Bentuk Vp eksplisit “pergi
kemana” dan bentuk interogatif.

Penanda Nonlingual :
 Aktivitas ketika Mt ingin pergi ke
luar setelah belajar di kelas.
Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya | 101
Seminar Nasional KABASTRA II

 Situasi yang santai, tetapi Mt tidak


merespon Pn dan merasa tidak
suka jika orang yang belum ia
kenal menanyakan hal tersebut.
Implikatur : Pn penasaran Mt mau pergi
kemana dan Mt tidak merespon
karena Mt tidak begitu mengenal
Pn.
Maksud tuturan : Mt memberikan keterangan akan
pergi kemana.
Status sosial : Pn mahasiswa semester 4, laki-
laki, usia 19 tahun, Mt mahasiswa
Magister Akuntasi, laki-laki, usia
24 th, Pn dan Mt tidak memiliki
hubungan dekat. Keduanya sudah
hanya mengenal ketika belajar di
kelas dan baru mengenal beberapa
hari.

Data (5) menunjukkan tuturan yang dianggap


privasi bagi Mt. Cuplikan eksplikatur pada data (5)
ditandai bentuk eksplisit kemana dan pemarkah lingualnya
Vp (verba performatif) eksplisit mau pergi. Adapun maksud
tuturan (5) berbentuk interogatif dengan fungsi meminta
keterangan. Mt hanya diam. Mt tidak merespon. Tuturan
tersebut menghendaki lawan tutur untuk memberi ketera-
ngan. Bagi Bwanika Najib dan Nanyunja Shukkie hal
tersebut sangat privasi, apalagi penutur berumur di bawah
102| Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya
ISBN 978-602-61725-2-5

umurnya. Mereka tidak akan menjawab dan merasa tidak


nyaman.

Tuturan dengan Fungsi Menanyakan Meminta Penga-


kuan
Tuturan ini menuntut pengakuan lawan tutur
dengan jawaban “ya” atau “tidak”. Bentuk eksplisit tampak
pada data (6), yaitu sudah menikah. Mt tidak merespon
karena jika tuturan tersebut dituturkan oleh penutur yang
berusia dibawah umur Mt dianggap sebagai privasi,
meskipun sudah dikenal sejak lama.
(6)
Penutur (Pn) : Mahasiswa Indonesia UMS
Mitra Tutur (Mt) : Mahasiswa Uganda UMS
Eksplikatur :
Pn : Apakah kamu sudah menikah?
Mt : (Diam) dan tetap melanjutkan
aktivitas membaca buku.
Pemarkah Lingual : Bentuk Vp eksplisit “sudah
menikah” dengan bentuk interogatif
ditandai “apakah”.
Penanda Nonlingual:
 Aktivitas ketika Mt sedang
membaca buku dan Pn bertanya
kepada Mt.
 Situasi yang santai, tetapi Mt tidak
merespon Pn. Apalagi Mt mengeta-
hui jika Pn berusia dibawah Mt.
Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya | 103
Seminar Nasional KABASTRA II

Implikatur : Pn penasaran kepada Mt apakah


sudah menikah atau belum dan Mt
tidak merespon karena bagi Mt hal
tersebut sangat privasi jika
ditunjukkan kepada lawan tutur
yang berusia di bawah usia Mt.
Maksud tuturan : Mt memberikan informasi penga-
kuan tentang apakah sudah meni-
kah atau belum.
Status sosial : Pn mahasiswa semester 6, laki-laki,
usia 20 tahun, Mt mahasiswa Magis-
ter Akuntasi, laki-laki, usia 24 th, Pn
dan Mt memiliki hubungan yang
dekat. Keduanya sudah saling
mengenal selama enam bulan.

Tuturan dengan Fungsi Menanyakan Meminta Ke-


sungguhan
Misalnya, “Kamu sudah punya anak, bukan?”,
Kamu sudah menikah, bukan?”, “Kamu sudah bekerja,
bukan?, dan. Berikut salah satu karakteristik perwujudan
tuturan pada data (7) juga menunjukkan bentuk privasi
mahasiswa Uganda. Bedanya dengan fungsi meminta
pengakuan, yaitu adana bentuk eksplisit bukan sebagai
penegasan untuk menyungguhkan Mt. Hal tersebut
ditandai adanya bentuk eksplisit bukan dan pemarkah
lingual Vp sudah punya. Maksud tuturan (7) berbentuk
interogatif dengan fungsi meminta kesungguhan. Mt tidak
104| Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya
ISBN 978-602-61725-2-5

memberikan respon hanya diam dengan ekspresi


tersenyum.
(7)
Penutur (Pn) : Mahasiswa Indonesia UMS
Mitra Tutur (Mt) : Mahasiswa Uganda UMS
Eksplikatur :
Pn : Kamu sudah punya anak, bukan?
Mt : (Diam) sambil tersenyum.
Pemarkah Lingual : Bentuk Vp eksplisit “bukan”
dan bentuk interogatif.
Penanda Nonlingua l:
 Aktivitas ketika Pn sedang belajar
bersama Mt di kamar.
 Situasi yang santai, tetapi Mt tidak
merespon Pn dan merasa tidak
suka jika orang yang belum ia
kenal menanyakan hal tersebut.
Implikatur : Pn penasaran dan ingin me-
nyungguhkan Mt tentang apakah
Mt sudah memiliki anak dan Mt
tidak merespon karena Mt bagi Mt
hal tersebut sangat privasi dan
tidak ingin diketahui oleh orang
Indonesia, apalagi ditunjukkan
kepada Pn yang usianya di bawah
Mt.
Maksud tuturan : Pn ingin memastikan apakah Mt
sudah memiliki anak atau belum.
Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya |
105
Seminar Nasional KABASTRA II

Status sosial : Pn mahasiswa semester 6, perem-


puan, usia 20 tahun, Mt maha-
siswa Magister Akuntasi, perem-
puan, usia 24 th, Pn dan Mt memi-
liki hubungan yang cuku dekat.
Keduanya sudah saling mengenal
selama lima bulan.

Tuturan dengan Fungsi Menanyakan Meminta Alasan


Karakteristik perwujudan data (8) menunjukkan
konsep pivasi. Bentuk eksplisit mengapa dan pemarkah
lingual Vp mengikuti kegiatan ini. Adapun maksud tuturan
(9) berbentuk interogatif dengan fungsi meminta alasan.
(8)
Penutur (Pn) : Mahasiswa Indonesia UMS
Mitra Tutur (Mt) : Mahasiswa Uganda UMS
Eksplikatur :
Pn : Mengapa kamu mau mengikuti
kegiatan ini?
Mt : (Diam) dan langsung pergi
meninggalkan Mt.
Pemarkah Lingual : Bentuk Vp eksplisit “mengapa”
dan bentuk interogatif.
Penanda Nonlingual:
 Aktivitas ketika acara kegiatan di
kampus. Pn bertanya kepada Mt
karena menganggap acara kampus
saat itu ditunjukan kepada orang
106| Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya
ISBN 978-602-61725-2-5

Indonesia. Mt tidak merespon dan


menganggap hal tersebut tidak
perlu ditanyakan padanya.
 Topik: Pn ingin mengetahui alasan
Mt mengikuti acara kampus.
Implikatur : Pn penasaran dan ingin menge-
tahui alasan Mt mengikuti kegiat-
an kampus saat itu. Mt kebetulan
melihat kegiatan acara di kampus
dan penasaran ingin ikut tetapi Mt
ditanya oleh Pn sehingga Mt mera-
sa tidak nyaman dan memutuskan
untuk pergi.
Maksud tuturan : Pn ingin mengetahui alasan Mt.
Status sosial : Pn mahasiswa semester 4, perem-
puan, usia 19 tahun, Mt maha-
siswa Magister Akuntasi, laki-laki,
usia 24 th, Pn dan Mt memiliki
tidak memiliki hubungan yang
dekat. Keduanya baru bertemu
saat ada acara kampus saat itu.

SIMPULAN
Berdasarkan analisis dari informan, ditemukan
beberapa konsep privasi yang dapat ditemukan. Adapun
konsep privasi tersebut, yaitu tuturan dengan fungsi
menanyakan meminta keterangan, alasan, pengakuan, pen-
Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya | 107
Seminar Nasional KABASTRA II

dapat, dan kesungguhan. Pada dasarnya, informan dari


Thailand dan Singapura (Asia) memiliki ruang privasi yang
lebih sedikit dibandingkan dari mahasiswa Tanzani dan
Uganda (Afrika).
Berdasarkan fenomena adanya keterkejutan budaya
tersebut, disadari atau tidak bahwa konsep privasi dalam
konsep ruang dan jarak yang terkandung dalam bahasa
Indonesia perlu diperhatikan khususnya dalam pengajaran
Bahasa Indonesia bagi penutur asing, apalagi jika bahasa
Indonesia dapat diproyeksikan menjadi bahasa yang di-
pakai dalam tataran internasional. Adapun dapat ditemu-
kan dalam pembelajaran kalimat sapaan atau kalimat
bentuk interogatif ditinjau dari fungsi pertuturannya untuk
berbasa-basi.

DAFTAR PUSTAKA
Altman, I. 1975. The environment and social behaviour.
Monterey, CA: Brooks/Cole.
Chaer, A. 2010. Kesantunan Berbahasa. Jakarta: Rineka
Cipta.
DeCew, J. 1997. In pursuit of privacy: Law, ethics, and the rise
of technology. Ithaca, NY: Cornell University Press.
Delpechitre, D. 2013. “Importance of Cross-Cultural
Empathy in Selling-Perpective from Asian Indians
living in the U.S” dalam International Journal of
Business and Sosial Science, 4 (11), 15-22.

108| Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya
ISBN 978-602-61725-2-5

Murdock, G. P. (1955). The universals of culture. In A. Hoebel,


J.D. Jennings, & E. R. Smith (Eds.), Readings in
worldanthropology. New York: McGraw-Hill.
Prabowo, Hendro. 1998. Pengantar Psikologi Lingkungan.
Jakarta. Gunadarma .
Rubin, H. 1995. Qualitative Interviewing; The Art of Hearing
Data. London: Saga Publication.
Yusari, N.I. 2012. “Konsep Privasi: Masalah Lintas Budaya
dalam Pengajaran Bahasa Indonesia untuk Penutur
Asing” dalam Prosiding Seminar Internasional
Multikultural dan Globalisasi.
Yuwinanto, H.P. 2014. Kebijakan Informasi dan Privasi.
Surabaya: Departemen Informasi dan Perpustakaan
FISIP Airlangga.
Warren, S., & Brandeis, L. D. 1890. The right to privacy.
Harvard Law Review, 4, 193–220.
Westin, A. 1967. Privacy and Freedom. New York: Atheneum.
o, Hendro. 1998. Pengantar Psikologi Lingkungan.
Jakarta. Gunadarma.
Zhang, X. 2013. “Talking about Privacy Awareness in
Intercultural Comunication-A Case Study of the
Story “Top Secret” dalam Jurnal Arta, Science, and
Commerce, Vol.4: 45-48, Issue 3(1), Juli 2013.

Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya | 109
Seminar Nasional KABASTRA II

Biodata Singkat Penulis 1

Nama : Puji Lestari, S.Pd.


TTL : Afdeling XIII, 25 Mei 1994
Alamat: Jl. Halilintar RT/RW 02/10,
Jebres, Surakarta
No Hp : 082313332972/085702439318
Status : Mahasiswa Magister Pend.
Bahasa Indonesia UNS
E-mail : lestariji@gmail.com

Biodata Singkat Penulis 2

Nama : Destiani, S.Pd.


TTL : Bandarlampung, 8 Mei 1988
Alamat: Perum Griya Lotus No. A2,
RT 12, Mojolaban, Sukoharjo,
Surakarta
No Hp : 085378789996
Status : Mahasiswa Magister Pend.
Bahasa Indonesia UNS

110| Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya
ISBN 978-602-61725-2-5

FAKTOR PENGGUNA DAN


PENGELOLAAN DALAM
PENYELENGGARAAN PROGRAM BIPA1

Oleh : Suharsono
Fakultas Ilmu Budaya UGM, Ketua APPBIPA Cabang
Yogyakarta
hars@ugm.ac.id; hars_yogya@yahoo.com

ABSTRAK

Pada umumnya lembaga penyelenggara program


BIPA di Indonesia menyelenggarakan programnya lebih
berfokus pada aspek kebahasaannya. Dengan mempertim-
bangkan BIPA sebagai “industri”, penyelenggaraan pro-
gram BIPA seyogianya dikembangkan ke arah bukan
hanya bahasa, tetapi juga ke arah pengguna dan pengelo-
laannya. Pengguna merupakan faktor penting yang
menentukan keberadaan dan keberlangsungan program
BIPA karena tanpa pengguna program BIPA tidak dapat
berjalan dengan baik. Identifikasi terhadap siapa pengguna,
profil kebutuhan komunikasi, dan kebutuhan institusi
adalah bagian penting dari hal-hal yang berhubungan

1
Makalah ini disajikan pada Seminar Nasional Kajian Bahasa dan Sastra
II (Kabastra II) di Universitas Tidar Magelang, Jawa Tengah, pada 9
September 2017.
Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya | 111
Seminar Nasional KABASTRA II

dengan pengguna. Identifikasi tersebut akan menjadi


penentu bagi bentuk pelayanan dan program pembelajaran
seperti apa yang sebaiknya diterapkan oleh pengelola.
Sementara itu, aspek pengelolaan berkaitan dengan
masalah bagaimana merancang dan memasarkan program
BIPA. Ada tujuh aspek yang perlu dipertimbangkan, yakni
keunikan, keunggulan, keamanan dan kenyamanan,
konsistensi, kualitas, jejaring, dan promosi. Keunikan dan
keunggulan dapat menciptakan citra positif bagi pengguna;
diferensiasi program, kualitas, keamanan, dan konsistensi
akan menciptakan kepercayaan yang kuat pada pelanggan;
dan jejaring yang kuat akan menciptakan ikatan hubungan
yang kokoh antarinstitusi atau antarindividu, yang pada
gilirannya akan berdampak positif terhadap peningkatan
jumlah pemelajar (pelanggan).
Kata kunci: pengguna, pengelolaan, program BIPA, jejaring
BIPA

PENDAHULUAN
Pada umumnya lembaga penyelenggara program
BIPA di Indonesia menyelenggarakan programnya lebih
berfokus pada aspek kebahasaannya. Tentu saja hal ini
merupakan sesuatu yang wajar karena memang aspek
itulah yang menjadi substansi bahan sajiannya. Akan
tetapi, apakah hanya aspek itulah yang layak menjadi per-
hatian lembaga penyelenggara BIPA? Apakah aspek lain-
nya tidak begitu penting untuk dipertimbangkan sebagai

112| Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya
ISBN 978-602-61725-2-5

faktor yang turut menentukan berhasil-tidaknya penye-


lenggaraan program BIPA? Apabila dikaitkan dengan
terbukanya tenaga kerja asing yang masuk ke Indonesia
sebagai konsekuensi dari ditetapkannya Masyarakat
Ekonomi ASEAN (MEA) (ILO & ADB, 2014: 2) dan
kemungkinan meningkatnya jumlah orang asing yang akan
belajar BIPA sebagai dampak dari membaiknya kondisi
ekonomi dan politik Indonesia, penyelenggaraan program
BIPA rupanya tidaklah cukup memadai bila penyelenggara
hanya berfokus pada aspek yang berkenaan dengan
kebahasaan seperti bahan ajar, guru, desain pembela-
jarannya. Perlu diingat pula bahwa penyelenggaraan
program BIPA bersentuhan dengan persoalan birokrasi
(keimigrasian, kepolisian), keamanan, sosial, ekonomi,
politik, bahkan dengan masalah kepuasan pelanggan.
Dengan demikian, kelihatan bahwa penyelenggaraan
program BIPA tidaklah sesederhana yang dibayangkan
kebanyakan orang. Penyelenggaraan program BIPA tidak
cukup bila hanya difokuskan pada aspek bahasa tetapi
sebaiknya juga perlu dikembangkan ke arah pengguna dan
pengelolaannya. Makalah ini akan membahas ihwal yang
terkait dengan dua faktor yang terakhir ini, yakni masalah
pengguna dan pengelolaan.

PENGGUNA PROGRAM BIPA


Pengguna merupakan faktor penting yang menen-
tukan keberadaan dan keberlangsungan program BIPA
karena tanpa pengguna program BIPA tidak dapat berjalan
Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya | 113
Seminar Nasional KABASTRA II

dengan baik. Identifikasi dan pemahaman pengelola


program BIPA terhadap pengguna menjadi penentu bagi
bentuk pelayanan dan program pembelajaran BIPA seperti
apa yang sebaiknya diterapkan. Dapat dikatakan bahwa
penggunalah yang berperan penting bagi “hidup-matinya”
program pengajaran BIPA karena tidak mungkin sebuah
pengajaran BIPA berjalan tanpa pengguna atau pemelajar.
Oleh karena itu, hal pertama dan utama dilakukan oleh
pengelola program BIPA adalah melakukan identifikasi
siapa penggunanya.

Pengguna program BIPA dapat berupa lembaga


atau individu. Pengguna yang berupa lembaga dapat
berasal dari universitas, konsorsium, kantor pemerintah,
lembaga negara (Departemen Pertahanan, pengadilan),
kantor kedutaan, kantor swasta, perusahaan, dsb. Peng-
guna jenis ini biasanya mengirimkan pemelajar BIPA-nya
karena tuntutan kebutuhan lembaga, misalnya untuk
menjadi penerjemah atau interpreter di lembaganya, untuk
keperluan transfer kredit bagi mahasiswanya (akademik),
untuk dapat berkomunikasi dengan masyarakat Indonesia
secara luas (sosial, politik), untuk dapat menyusun laporan
dalam bahasa Indonesia, dsb. Pelanggan berupa institusi ini
mengirim pemelajar BIPA-nya atas dasar kerja sama
kelembagaan (berdasar nota kesepahaman) atau tidak.
Jumlah pemelajar yang dikirim oleh pelanggan jenis ini
dapat berjumlah satu, beberapa, atau puluhan, bergantung
pada kebutuhan dan ketersediaan finansial lembaga

114| Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya
ISBN 978-602-61725-2-5

tersebut. Jumlah jam atau lama belajarnya pun berbeda-


beda bergantung pada waktu dan beaya yang tersedia.
Mengingat setiap lembaga memiliki tujuan dan kebutuhan
yang berbeda dalam mengirim stafnya untuk mengikuti
program pengajaran BIPA, maka memahami tujuan dan
kebutuhan lembaga pengirim merupakan keniscayaan bagi
pengelola program BIPA. Sementara itu, kebutuhan
lembaga bukan hanya berkaitan dengan akademik, yaitu
kebutuhan pembelajaran, melainkan berkenaan pula
dengan hal-hal yang bersifat nonakademik, seperti
kemudahan birokrasi, kecepatan pengelola dalam meres-
pon dan mengatasi persoalan yang muncul, serta Kenya-
manan dalam pelayanan. Kebutuhan yang nonakademik
ini sering menjadi hambatan bagi hubungan antarlembaga
apabila tidak diantisipasi dan dikelola dengan baik. Selain
itu, membina hubungan baik dengan lembaga pengirim
merupakan hal lain yang tidak boleh diabaikan demi
menjaga dan mempertahankan kesinambungan pengiriman
stafnya untuk belajar bahasa dan budaya Indonesia di
lembaga BIPA-nya.
Selain faktor lembaga, kemungkinan lain seseorang
memilih dan belajar bahasa Indonesia pada program BIPA
karena keinginan pribadi. Keinginan atau tujuan tersebut
bisa karena alasan akademik (misalnya untuk mengikuti
kuliah di perguruan tinggi di Indonesia, untuk mem-
peroleh kredit), untuk memperoleh pekerjaan, akan
melakukan penelitian di Indonesia, untuk berwisata, dan

Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya | 115
Seminar Nasional KABASTRA II

bisa pula karena hobi. Dalam praktiknya, model penye-


lenggaraan dan pelayanan program BIPA terhadap
pemelajar yang datang karena dikirim oleh lembaga dan
yang datang karena keinginan pribadi berbeda. Oleh
karena itu, kelihaian dan keluwesan pengelola program
BIPA dalam mendesain program pengajaran dan pelayanan
sangat dibutuhkan.
Hal lain yang berkaitan dengan pengguna adalah
profil kebutuhan komunikasi. Profil kebutuhan komunikasi
ini dapat mencakupi banyak aspek seperti tujuan (untuk
komunikasi umum, interaksi di tempat kerja, berwisata,
dsb.), interaksi (dengan teman, rekan kerja, sopir pribadi,
masyarakat desa, dsb.), instrumen (mana yang cenderung
lebih banyak digunakan: dialog, berbicara, membaca,
menulis, tatap muka, bertelepon, dsb.), ragam bahasa
(formal, nonformal, lisan, tulis), target yang ingin dicapai
(sekadar dapat berbicara atau lebih mendalam, misalnya
dapat membuat laporan, melakukan presentasi, dsb.), dan
topik apa yang diminati (budaya, ekonomi, politik, hibur-
an, sosial, dsb.). Profil kebutuhan komunikasi harus diketa-
hui dan dikenali dengan baik oleh penyelenggara program
BIPA sebelum program berjalan karena akan mem-
pengaruhi desain program pembelajaran. Tanpa penge-
nalan yang baik terhadap profil kebutuhan komunikasi
pemelajar, penyelenggaraan program BIPA akan menjadi
salah arah dan bahkan dapat berakibat pada kurang

116| Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya
ISBN 978-602-61725-2-5

tertariknya pengguna pada program pembelajaran yang


dilaksanakan.
PENGELOLAAN PROGRAM BIPA
Pengelolaan program BIPA berkaitan erat dengan
bagaimana merancang, melaksanakan, dan memasarkan
program BIPA. Dengan demikian, terminologi pengelolaan
dalam hal ini berkaitan erat dengan soal manajemen, yang
secara umum dipahami sebagai bagian dari upaya-upaya
merancang, melaksanakan, dan memasarkan produk
(dalam hal ini program BIPA). Dalam penyelenggaraan
program BIPA, masalah pengelolaan ini sering diabaikan,
khususnya apabila program BIPA itu berada di bawah
naungan lembaga universitas. Hal ini terjadi karena ada
anggapan bahwa “pemasaran” program BIPA sudah
dengan sendirinya melekat atau mengikuti universitas.
Barangkali pada tahapan tertentu hal ini dapat diterima
atau masuk akal, tetapi bila mempertimbangkan cakupan
pemasaran BIPA yang makin meluas dan melibatkan
pengguna dari berbagai belahan dunia dan dengan latar
belakang yang beraneka macam, cara seperti itu kini tidak
memadai lagi. Terlebih bila dikaitkan dengan upaya
memperluas pelayanan program BIPA pada era Masya-
rakat Ekonomi ASEAN yang membuka peluang masuknya
tenaga kerja asing secara bebas ke Indonesia, pengelolaan
program BIPA haruslah dilakukan secara lebih profesional
sehingga mampu bersaing dengan program pembelajaran
bahasa asing lainnya di ASEAN dan dunia. Faktor apa saja

Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya | 117
Seminar Nasional KABASTRA II

yang perlu diperhatikan dalam mengelola program BIPA


agar mampu memenuhi harapan tersebut? Berikut akan
dibahas satu per satu.
(a) Keunikan
Sebagaimana halnya produk jasa lainnya, program
pengajaran BIPA perlu memiliki keunikan dalam
penyelenggaraannya. Unik di sini dapat dimaknai sebagai
sebuah program pengajaran atau layanan yang memiliki
kekhasan dan berbeda dengan program sejenis yang lain.
Ibarat sebuah barang yang memiliki keunikan dari segi
desain, program BIPA seyogianya juga memiliki keunikan,
entah dari segi pembelajaran, layanan, kegiatan luar kelas,
maupun lainnya. Keunikan akan menjadi ciri khas yang
menempel pada lembaga yang bersangkutan. Bila dikelola
dengan baik, keunikan akan melekat di memori pelanggan
sehingga ketika pelanggan kembali ke negaranya keunikan
itu menjadi “cerita” yang tersampaikan kepada orang lain
dan hal ini memiliki nilai promosi tersendiri bagi lembaga
penyelenggara program BIPA.
Beragam cara dapat dilakukan untuk menciptakan
keunikan ini. Salah satu contohnya adalah memanfaatkan
kekayaan budaya lokal, seperti yang dilakukan Inculs
UGM. Karena UGM berada di Yogyakarta, kota yang
kental dengan gamelan Jawanya, penggunaan gong untuk
menandai pergantian jam/pelajaran merupakan sesuatu
yang unik; bahkan kadang kala pemelajar BIPA
dipersilakan memukul gong untuk menggantikan tugas
118| Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya
ISBN 978-602-61725-2-5

pemukul gong yang staf Inculs. Penggunaan gong ini


sudah berlangsung sejak lama hingga kini. Lembaga
penyelenggara program BIPA lainnya dapat saja membuat
cara agar memiliki keunikan, misalnya penataan ruang
kantor dan kelas yang mencirikan kekhasan budaya
setempat, kostum guru atau staf yang menggunakan
busana adat daerah pada waktu-waktu tertentu, dsb.
(b) Keunggulan
Setiap lembaga penyelenggara program BIPA juga
perlu mengidentifikasi dan mengembangkan apa yang
dapat dijadikan keunggulan lembaganya. Dengan kata lain,
lembaga BIPA perlu memikirkan program seperti apa yang
dapat menjadi unggulan sehingga membedakan dengan
lembaga penyelenggara BIPA lainnya. Mengingat tujuan,
minat pelanggan, dan periode waktu yang tersedia untuk
belajar BIPA berbeda-beda, menciptakan keunggulan
program BIPA merupakan salah satu faktor (penting) yang
dapat mendatangkan pelanggan. Keunggulan ini akan
menjadi daya tarik pelanggan untuk datang belajar BIPA.
Karena itu, setiap lembaga penyelenggara program BIPA
harus dapat mengenali dan mengembangkan keunggulan
masing-masing.
Keunggulan sebuah lembaga BIPA dapat dimiliki
karena berbagai upaya atau sebab. Salah satuya adalah
karena faktor sejarah, misalnya Inculs UGM. Pada awalnya
penyelenggaraan pengajaran BIPA di UGM dilaksanakan
karena adanya kerja sama atau nota kesepahaman
Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya | 119
Seminar Nasional KABASTRA II

antaruniversitas. Karena berbasis kerja sama


antaruniversitas, maka mata kuliah yang diambil atau
diikuti di Inculs UGM, baik kuliah keterampilan berbahasa
Indonesia maupun kuliah budaya dan/atau praktik budaya,
diakui sebagai mata kuliah di universitas mahasiswa yang
bersangkutan. Ciri pengajaran BIPA yang lebih mengarah
ke akademik ini disokong oleh pelanggan yang sebagian
besar adalah mahasiswa. Sebetulnya kerja sama antar
universitas di UGM itu semula bersifat umum untuk ber-
bagai bidang keilmuan (pertukaran dosen, pengiriman
peneliti, kerja sama penelitian), namun dalam perjalanan-
nya berkembang ke arah BIPA, misalnya pengajaran bahasa
dan budaya Indonesia untuk mahasiswa Universitas
California, AS, Universitas Monash, Australia, atau untuk
mahasiswa yang tergabung ke dalam kelompok ACICIS
(Australia), USINDO (AS). Faktor lainnya adalah penem-
patan pertama program KNB (pra-S2), yakni pengajaran
BIPA untuk mempersiapkan para mahasiswa memasuki
perkuliahan pada jenjang S2.
Upaya lain membangun keunggulan adalah kerja
sama antaruniversitas dalam mengembangkan double degree
(misalnya pengajaran BIPA di Universitas Ahman Dahlan
Yogyakarta), upaya memadukan secara intensif antara
pengajaran BIPA dan (praktik) budaya karena dukungan
sosial-budaya masyarakat sekitar, upaya menjadikan
bidang kajian utama institusi tempat program BIPA meng-
induk sebagai tema utama pembelajaran (misalnya UMM

120| Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya
ISBN 978-602-61725-2-5

dengan studi keislamannya). Upaya lainnya membangun


keunggulan program pengajaran BIPA adalah program
penempatan pemelajar BIPA tinggal di desa selama
beberapa hari agar pemelajar merasakan bagaimana
kehidupan di desa. Program ini tentu dapat terlaksana bila
tersedia hunian kawasan pedesaan di lingkungan regional
lembaga BIPA. Di sisi lain, lingkungan kota yang menye-
diakan banyak ekspatriat dimungkinkan pula dijadikan
salah satu pertimbangan untuk menciptakan keunggulan
pada program pengajaraan BIPA-nya. Pada sebagian
lembaga penyelenggara program BIPA, model pembe-
lajaran yang selalu satu lawan satu, artinya satu pemelajar
diajar oleh satu guru, dijadikan keunggulan programnya.
(c) Konsistensi
Konsistensi merupakan faktor penting dalam
pengelolaan sebuah program pengajaran. Konsisten dapat
dimaknai sebagai keadaan yang tidak berubah dari waktu
ke waktu. Konsisten di sini terutama dalam hubungannya
dengan kualitas program, keunikan, dan keunggulan. Bila
sebuah lembaga penyelenggara BIPA mampu menjaga
kosistensi dalam kualitas pembelajara dan keunikan serta
mampu mempertahankan keunggulan, hal itu akan men-
jadi daya tarik pelanggan untuk datang ke lembaga
tersebut. Konsisten akan memberikan kesan yang baik dan
kuat sehingga akan selalu diingat oleh pelanggan.

Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya | 121
Seminar Nasional KABASTRA II

(d) Keamanan dan Kenyamanan


Keamanan dapat meliputi keamanan lingkungan
tempat belajar dari gangguan pencurian, gangguan suara,
keramaian orang serta kendaraan dan keamanan tempat
tinggal pemelajar. Meskipun lembaga penyelenggara
program BIPA tidaklah menjadi induk semang bagi
pemelajar BIPA, memiliki informasi tempat tinggal
(indekos, homestay, asrama) yang aman, nyaman, dan
terekomendasi merupakan bukti kepedulian lembaga BIPA
terhadap keamanan bagi pelanggannya. Kepedulian ini
akan membangun citra positif di hati pelanggan. Keamanan
juga bisa berkaitan dengan keamanan lingkungan belajar
dari masalah kelisrikan, hal yang menimbulkan pemelajar
jatuh atau cedera, termasuk tersedianya petunjuk atau
sarana darurat sekiranya terjadi bencana alam (kebakaran,
gempa bumi, gunung meletus).
Merupakan hal yang lazim bila seseorang ketika
berada di lingkungan baru selalu mendambakan suasana
yang aman dan nyaman bagi dirinya, apalagi bila sese-
orang itu berada di sebuah negara yang baru dikun-
junginya. Keamanan bahkan dapat menjadi suatu jaminan
atau garansi bagi pelanggan yang hendak datang ke
Indonesia untuk belajar BIPA. Pada sisi lain, kenyamanan
bisa berkenaan dengan tersedianya fasilitas, tata ling-
kungan, atau kebijakan yang mengakomodasi perbedaan
fisik pemelajar, misalnya postur tubuh yang tinggi atau
besar serta penyandang difabel/disabilitas. Lembaga

122| Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya
ISBN 978-602-61725-2-5

penyelenggara program BIPA yang sungguh-sungguh


menyadari dan memenuhi kebutuhan keamanan dan
kenyamanan ini akan memiliki nilai plus bagi pelanggan.
(e) Kualitas
Hal utama yang hendaknya menjadi perhatian
penyelenggara BIPA adalah masalah kualitas, khususnya
kualitas yang berkenaan dengan pembelajaran karena
faktor inilah yang menjadi titik sentral sebuah program
BIPA. Kualitas pembelajaran ini setidak-tidaknya meliputi
materi ajar, guru, dan proses belajar mengajar. Bila materi
ajar merupakan bahan baku pembelajaran yang secara
substansial harus berkualitas, guru merupakan penentu
bagi berkualitas tidaknya proses pembelajaran BIPA. Guru
pulalah yang menentukan baik-tidaknya interaksi dengan
pemelajar.
Aspek lainnya adalah kualitas layanan. Untuk dapat
menciptakan layanan yang baik dan menyenangkan bagi
pemelajar BIPA, hal yang dapat dilakukan adalah dengan
cara mengenali dan memahami apa kebutuhan pemelajar,
baik kelompok maupun individu. Dengan memahami
kebutuhan pemelajar, pengelola program BIPA akan dapat
menyediakan jenis layanan yang tepat. Kualitas layanan
juga dapat diukur dari seberapa besar upaya yang
dilakukan lembaga untuk meningkatkan kualitas layanan
dari waktu ke waktu yang dibuktikan dengan kegiatan
konkret serta kesediaan menerima dan merespon masukan
dari pelanggan dan pihak mana pun.
Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya | 123
Seminar Nasional KABASTRA II

(f) Jejaring
Kemampuan untuk membuat jejaring secara luas
dengan berbagai pihak menjadi faktor penting dalam
mengelola dan mengembangkan program BIPA. Kemam-
puan lembaga dalam membangun dan meningkatkan
jejaring kemitraan sesama lembaga penyelenggara program
BIPA dan di luar program BIPA harus ditingkatkan dari
waktu ke waktu. Kemampuan dalam membangun jejaring
ini selain dimaksudkan untuk meningkatkan kapasitas
lembaga dalam menjalankan fungsi lembaga, melainkan
juga demi meningkatkan kualitas pembelajaran BIPA
karena aspek pembelajaran inilah yang menjadi bagian
sentral dari sebuah lembaga penyelenggara program BIPA.
Di sisi lain, pengelola program BIPA hendaknya
dapat meningkatkan jejaring dengan masyarakat atau
pemerintah daerah setempat, misalnya dengan pemda
yang memiliki desa wisata yang menyediakan keunikan
sebuah desa atau kampung dan secara periodik menye-
lenggarakan peristiwa-peristiwa budaya lokal. Dengan
membangun jejaring yang baik dan meluas, akan mem-
perluas akses lembaga. Penguatan jejaring dengan kepolisi-
an, misalnya, akan meningkatkan akses dalam pengurusan
administrasi dan birokrasi terkait dengan keimigrasian dan
tempat tinggal. Penguatan jejaring dengan Dinas Pariwisata
(Provinsi, Kabupaten) akan meningkatkan akses terhadap
informasi peristiwa-peristiwa budaya lokal dan
memudahkan akses untuk memperoleh peluang mengikuti

124| Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya
ISBN 978-602-61725-2-5

wisata gratis bagi pemelajar BIPA yang difasilitasi


Disparbud (Suharsono, 2017: 4).
(g) Promosi
Promosi dapat berbentuk iklan, leaflet, produk ke-
BIPA-an yang memuat nama lembaga, pameran, atau
kegiatan sosial. Satu hal yang sering dilupakan adalah
bahwa layanan yang baik, ramah, responsif, dan
menyenangkan, yang dilandasi oleh pemahaman terhadap
kebutuhan pemelajar atau lembaga pengirim (pelanggan),
merupakan salah satu bentuk promosi yang efektif. Kesan
yang baik terhadap pelayanan lembaga penyelenggara
program BIPA memiliki nilai promosi tersendiri kepada
pelanggan. Dengan kesan dan citra baik yang tertanam
pada diri pemelajar, pemelajar (pelanggan) akan mencerita-
kan kesan baik tersebut kepada teman atau kolega dan
tidak jarang yang merekomendasikan orang teman, kolega,
bahkan lembaga, untuk belajar tentang BIPA pada lembaga
yang memuaskan tersebut.

SIMPULAN
Di luar masalah kebahasaan, penyelenggaraan
program BIPA perlu memperhitungkan faktor pelanggan
dan pengelolaan sebagai komponen penting. Pelanggan
merupakan bagian sentral dalam penyelenggaraan pro-
gram BIPA karena tanpa pelanggan (pemelajar BIPA)
program BIPA tidak dapat berjalan. Tidaklah mungkin
sebuah lembaga penyelenggara program BIPA melakukan
aktivitas pembelajarannya tanpa pelanggan. Itulah sebab-
Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya | 125
Seminar Nasional KABASTRA II

nya pengenalan dan perlakuan yang baik terhadap


pelanggan menjadi bagian penting dalam proses pengelo-
laan program BIPA. Tidak dapat diungkiri pula bahwa
pelanggan BIPA dapat menjadi penentu bagi desain
program pembelajaran dan bentuk layanan; bahkan
menjadi penentu pula bagi berkembang tidaknya penye-
lenggara program BIPA.
Sementara itu, pengelolaan menjadi faktor lain yang
ikut menentukan keberhasilan penyelenggara program
BIPA. Beberapa aspek yang terkait dengan pengelolaan
memiliki peran tersendiri dalam menentukan keberhasilan
penyelenggaraan program BIPA. Tentu saja hal tersebut
berlaku bila aspek-aspek tersebut dikelola dengan baik dan
sungguh-sungguh. Keunikan dan keunggulan dapat
menciptakan citra positif dan daya tarik bagi pengguna,
kualitas, keamanan dan kenyamanan, serta konsistensi
akan menciptakan kepercayaan yang kuat pada pelanggan,
dan jejaring yang kuat akan menciptakan ikatan hubungan
yang kokoh antarinstitusi atau antarindividu, yang pada
gilirannya akan berdampak positif terhadap peningkatan
jumlah pemelajar (pelanggan).

126| Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya
ISBN 978-602-61725-2-5

DAFTAR PUSTAKA
ILO & ADB. 2014. ASEAN Community 2015: Managing
Integration for Better Jobs and Shared Prosperity.
Bangkok: International Labour Organization and
Asian Development Bank.
Suharsono. 2017. “Penguatan Jejaring Kemitraan dalam
Konteks Pembelajaran BIPA”. Makalah sarasehan
BIPA yang diselenggarakan oleh Balai Bahasa
Daerah Istimewa Yogyakarta, 17 Mei 2017.

BIODATA PENULIS

Drs. Suharsono, M.Hum. adalah


dosen Linguistik dan Metode
Pengajaran BIPA di Prodi Sastra
Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya
UGM. Sejak awal menjadi dosen
(1990) sampai sekarang terlibat
dalam pengelolaan pengajaran
BIPA, baik sebagai penyusun
materi, pengajar, reviewer buku ajar, instruktur pelatihan,
maupun pengelola. Setelah menjabat Ketua Program BIPA
atau Indonesian Language and Culture Learning Service
(Inculs), FIB UGM (2003—2005), dia bertugas menjadi
dosen tamu untuk mata kuliah BIPA dan studi ke-
Indonesia-an di Guangdong University of Foreign Studies,

Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya | 127
Seminar Nasional KABASTRA II

Guangzhou, China, selama setahun (2007-2008). Dia juga


menjadi salah satu tim pakar BIPA Badan Bahasa,
Kemendikbud, narasumber/instruktur pelatihan metodo-
logi pengajaran BIPA di Badan Bahasa, SEAMEO Qitep in
Language, APPBIPA, Universitas Negeri Yogyakarta,
Universitas Negeri Surakarta, Universitas Teknologi
Yogyakarta, dan Balai Bahasa Sumatera Selatan, serta
reviewer untuk buku teks Bahasa Indonesia untuk SD, SMP,
dan SMA, Badan Standar Nasional Pendidikan, Kemendik-
bud. Sejak 2014 menjadi Ketua Afiliasi Pengajar dan Pegiat
BIPA (APPBIPA) Cabang Jogja selain merangkap sebagai
pengurus Afiliasi Pengajar dan Pegiat BIPA (APPBIPA)
Pusat, Bidang Publikasi Ilmiah (2015—2019).

128| Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya
ISBN 978-602-61725-2-5

MAKALAH PENDAMPING
BIDANG SASTRA

Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya | 129
Seminar Nasional KABASTRA II

130| Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya
ISBN 978-602-61725-2-5

FORMASI IDEOLOGI DALAM CERPEN


TIKUS KARYA INDRA TRANGGONO

Oleh :
Alfian Rokhmansyah
Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Mulawarman
Pos-el: alfian.rokhmansyah@gmail.com

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan


formasi ideologi dalam cerpen Tikus karya Indra Trang-
gono yang termuat dalam kumpulan cerpennya Sang
Terdakwa. Konsep ideologi dalam kajian ini menggunakan
konsep yang dicetuskan oleh Gramsci. Ideologi yang
muncul dalam teks dikalkulasikan untuk menunjukkan
formasi ideologi para tokohnya sehingga dapat diketahui
ideologi dominan dan ideologi yang dinegosiasikan.
Metode yang digunakan adalah deskriptif kualititaf. Teknik
analisis data menggunakan teknik analisis konten. Hasil
penelitian menunjukkan adanya formasi ideologi dalam
teks, yaitu militerisme, bapakisme, kapitalisme dan gotong-
royong. Dalam teks juga ditemukan new common sense
kelompok subaltern setelah terjadi negosiasi ideologi antara
kelompok dominan dan subaltern.

Kata kunci : hegemoni, formasi ideologi, negosiasi ideologi

Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya | 131
Seminar Nasional KABASTRA II

PENDAHULUAN
Sastra memberikan gambaran atas situasi sosial,
ideologi, dan harapan-harapan individu yang sebenarnya
untuk mempresentasikan kebudayaan bangsanya. Sastra
lahir dan mengungkapkan berbagai fenomena sosial, kul-
tural, politik, dan ideologi serta ketidakpuasan rasa intelek-
tual (Mahayana, 2007:5). Pengarang mencerminkan gagas-
an-gagasannya melalui karya sastra yang dihasilkan.
Gagasan-gagasan itu merupakan cerminan ideologi penga-
rang yang ditransfer melalui dialog tokoh-tokohnya, karak-
ter tokoh, latar, maupun peristiwa dalam karya sastra.
Ideologi-ideologi yang tercermin dalam karya sastra
tidak jauh dari representasi ideologi yang muncul dari
kondisi saat karya sastra itu diciptakan. Pengarang selain
mencerminkan gagasan-gagasannya melalui ideologi da-
lam karya yang diciptakan, ia juga mencoba untuk menego-
siasikan ideologi yang ada pada saat karya itu diciptakan
dengan ideologi yang ia ingin sampaikan.
Karya sastra yang akan dianalisis dalam makalah
ini adalah cerita pendek karya Indra Tranggono yang
berjudul Tikus. Cerita pendek (cerpen) ini termuat dalam
kumpulan cerpen Sang Terdakwa yang diterbitkan pada
tahun 2000. Cerpen ini bercerita hal sepele yang biasa
terjadi di desa, yaitu adanya serangan hama tikus di sawah.
Dalam cerpen diceritakan Pak Lurah mempunyai ide untuk
memberikan imbalan kepada rakyat yang berhasil
membunuh tikus, Rp100 per tikus. Tujuan Pak Lurah
132| Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya
ISBN 978-602-61725-2-5

memberikan imbalan selain untuk membasmi tikus, adalah


agar dapat terpilih kembali menjadi pemimpin. Tetapi
ternyata dana untuk membayar imbalan kerja warna belum
ada. Pak Lurah meminta Pak Carik untuk membuat surat
agar KUD mengeluarkan dana.Namun, Pak Carik menolak
perintah pak Lurah. Warga mulai mengetahui bahwa Pak
Lurah tidak memiliki dana untuk membayar. Hal ini
menyebabkan warga hanya mau menjaga ladang dan
rumah sendiri. Pak Lurah mengajak untuk kembali gotong
royong membasmi hama tikus. Akan tetapi warga tidak
mau mendengarkan perintah Pak Lurah.
Secara umum cerita yang disampaikan dalam
cerpen tersebut, terlihat adanya konflik kepentingan antara
pimpinan terhadap rakyat. Berdasarkan uraian tersebut,
tujuan analisis dalam makalah ini adalah mendeskripsikan
formasi ideologi serta negosiasi ideologi yang terjadi dalam
cerpen Tikus karya Indra Tranggono yang termuat dalam
kumpulan cerpennya Sang Terdakwa.

HEGEMONI
Konsep hegemoni dipopulerkan oleh Antonio
Gramsci. Titik awal konsep Gramsci tentang hegemoni
adalah, bahwa suatu kelas dan anggotanya menjalankan
kekuasaan terhadap kelas-kelas di bawahnya dengan cara
kekerasan dan persuasi (Simon, 2004:19—20). Bagi Gramsci,
kelas sosial akan memperoleh keunggulan (supremasi)
melalui dua cara yaitu melalui cara dominasi (dominio) atau

Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya | 133
Seminar Nasional KABASTRA II

paksaan (coercion) dan yang kedua adalah melalui kepe-


mimpinan intelektual dan moral (Patria, 2015:119).
Hegemoni adalah sebuah rantai kemenangan yang
diperoleh melalui mekanisme konsensus daripada melalui
penindasan terhadap kelas sosial lainnya. Oleh karena itu,
hegemoni pada dasarnya adalah upaya untuk menggiring
orang agar menilai dan memandang problematika sosial
dalam kerangka yang telah ditentukan. Hegemoni juga
merujuk pada kedudukan ideologis satu atau lebih kelom-
pok atau kelas dalam masyarakat sipil yang lebih tinggi
dari lainnya (Bellamy, 1987:185).
Hegemoni berkembang dengan cara meyakinkan
kelompok-kelompok sosial yang subordinat agar menerima
sistem kultural dan nilai-nilai etik yang dihargai oleh
kelompok-kelompok yang berkuasa seolah-olah sistem dan
nilai tersebut benar secara universal dan melekat dalam
kehidupan manusia. Hal ini menjelaskan bahwa kelas-kelas
dominan hanya dapat menegaskan otoritasnya dengan cara
meyakinkan jika kelas tersebut dapat memproyeksikan
pandangan hidupnya ke dalam tatanan sosial dan mem-
buat pandangan hidup tersebut muncul sebagai acuan
bersama (common sense)(Cavallaro, 2004:141).

Common sense (pemikiran awam) adalah cara


pemahaman seseorang yang tidak kritis dan sering kali
tidak sadar terhadap dunia (Simon, 2001: 92). Pemikiran
awam berasal dari berbagai sumber dan kejadian masa lalu
yang membuat masyarakat menerima kebiasaan, kekuasa-
134| Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya
ISBN 978-602-61725-2-5

an, ketidakadilan, dan penindasan sebagai hal yang


alamiah, produk hukum alam, kehendak tuhan, dan tidak
dapat diubah (Harjito, 2002:33).

IDEOLOGI
Membahas teori hegemoni Gramsci, tidak bisa lepas
dari konsep ideologinya. ideologi biasanya diartikan secara
sempit sebagai sistem ide, seperti ideologi liberalis,
komunis, ataupun sosialis. Namun, Gramsci menganggap
bahwa ideologi tidak hanya sebuah sistem ide. Ideologi
berfungsi untuk mengatur manusia dan memberikan
tempat bagi manusia untuk bergerak mendapatkan
kesadaran tentang posisinya, dan perjuangan mereka.
Ideologi terwujud dalam cara hidup kolektif
masyarakat. Dapat dikatakan bahwa ideologi bukanlah
sesuatu yang berada di luar aktivitas praktis manusia,
melainkan mempunyai eksistensi materialnya dalam ber-
bagai aktivitas praktis tersebut. Ideologi memberikan
berbagai aturan bagi tindakan praktis serta perilaku moral
manusia, dan ekuivalen dengan agama dalam makna
sekulernya, yaitu pemahaman antara konsepsi dunia dan
norma tingkah laku. Ideologi bukanlah fantasi atau angan-
angan seseorang, tetapi menjelma dalam cara hidup
kolektif masyarakat (Simon, 2004:84).

Sebagai salah satu situs hegemoni, di dalam karya


sastra terdapat formasi ideologi. Formasi adalah suatu
susunan dengan hubungan yang bersifat bertentangan,

Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya | 135
Seminar Nasional KABASTRA II

korelatif dan subordinatif. Formasi ideologi tidak hanya


membahas ideologi yang terdapat dalam teks, tetapi juga
membahas bagaimana hubungan antara ideologi-ideologi
tadi (Harjito, 2002:25). Formasi ideologi penting untuk
mengetahui ideologi kelompok dominan dan subaltern, lalu
negosiasi dibutuhkan untuk mencapai konsensus agar ter-
cipta hegemoni, dan yang tak kalah penting adalah rekon-
struksi biografi pengarang untuk melihat kematangan
berpikir dan gagasan pengarang yang disampaikan melalui
karya sastra.

METODE
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif
deskriptif. Data dikumpulkan dengan teknik catat dari
sumber data. Teknik analisis data menggunakan teknik
analisis konten. Data yang telah terkumpul kemudian
dianalisis untuk mencapai tujuan analisis, yaitu mendapat-
kan deskripsi formasi ideologi dalam cerpen Tikus.

TOKOH SEBAGAI SIMBOL


Pengarang memanfaatkan tokoh-tokoh yang digu-
nakan sebagai simbol untuk memperkuat ideologi yang
ingin ditampilkan dan dinegosiasikan. Dalam cerpen Tikus
terdapat tiga komponen tokoh dominan yang dimunculkan
oleh pengarang, yaitu Pak Lurah (termasuk Perangkat
Desa), penduduk desa, dan tikus.
Dalam cerpen ini, tokoh Pak Lurah merupakan
simbol penguasa. Selain itu juga ada tokoh perangkat desa

136| Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya
ISBN 978-602-61725-2-5

yang sebenarnya ada di bawah kendali tokoh Pak Lurah,


tetapi secara umum tokoh perangkat desa tetap dimasuk-
kan dalam kategori penguasa. Pak Lurah digambarkan
menjadi pihak yang mendominasi dan harus dipatuhi
segala perintah dan keinginannya. Pak Lurah juga digam-
barkan sebagai orang yang berkuasa sehingga semua harus
tunduk padanya.
Penduduk desa merupakan simbol subaltern yang
harus patuh terhadap penguasa. Pencanangan program
perang terhadap tikus yang dicetuskan oleh Pak Lurah
berhasil dilaksanakan oleh para penduduk desa. Mereka
patuh terhadap perintah penguasa (Pak Lurah) untuk
membasmi tikus. Sedangkan tikus merupakan simbol
kelompok yang dianggap mengganggu stabilitas dan
kondisi negara. Pak Lurah sebagai penguasa merasa teran-
cam dengan kemunculan tikus-tikus yang merusak wilayah
kekuasaannya sehingga ia mencoba mencanangkan prog-
ram pembasmian tikus dengan mengerahkan para pendu-
duk desa.
Dari ketiga tokoh dominan yang muncul dalam teks
cerpen, pembaca akan direferensikan terhadap masa Orde
Baru. Adanya penguasa yang otoriter dan selalu memen-
tingkan keinginannya, masyarakat yang dipaksa tunduk
dengan penguasa, dan munculnya kelompok yang
dianggap ‘mengganggu’ stabilitas dan kondisi negara.
Tokoh penduduk desa merupakan subaltern yang patuh
pada penguasa, selain sebagai rakyat biasa juga dapat
Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya | 137
Seminar Nasional KABASTRA II

menyimbolkan militer yang pada saat itu selalu patuh pada


pimpinan mereka (khususnya penguasa pada saat itu).
Dalam cerpen ini ada hubungan segitiga yang sebenarnya
muncul pada masa orde baru, yaitu hubungan antara
penguasa, militer, dan Kelompok masyarakat yang kontra
terhadap penguasa.

FORMASI IDEOLOGI
Dalam cerpen Tikus muncul beberapa ideologi yang
dominan, yaitu militerisme, bapakisme, kapitalisme, dan
paham gotong-royong. Militerisme diwujudkan melalui
kegiatan pembasmian tikus yang dilakukan oleh penduduk
desa. Mereka menggunakan alat-alat dan senjata untuk
memusnahkan tikus yang dianggap hama. Militerisme
merupakan suatu sistem dalam tatanan umum yang
dilaksanakan menurut kebiasaan-kebiasaan militer, yaitu
disiplin, sifat-sifat heroistik, patriotistik, dan dengan
kekuatan fisik yang lebih utama ketimbang kekuatan
kecendekiaan (Tambayong, 2013:160). Gerakan pembas-
mian tikus merupakan simbol militerisme karena dalam
proses pembasmian, para penduduk menggunakan alat-
alat/senjata dan mengutamakan kekuatan fisik ketimbang
kekuatan otak (strategi). Militerisme sebenarnya merupa-
kan bagian dari fasisme yang digunakan untuk mem-
bangun pemerintahan otoriter.
Dalam cerpen tersirat bahwa pemerintahan Pak
Lurah merupakan pemerintahan otoriter yang memaksa
para penduduk untuk membasmi kelompok tikus yang
138| Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya
ISBN 978-602-61725-2-5

mencoba merusak ‘stabilitas’ desa, khususnya wilayah


persawahan. Hal ini jika dihubungkan dengan sejarah
Indonesia, maka akan dapat dihubungkan dengan kondisi
pada masa Orde Baru yang pada saat itu dianggap sebagai
periode pemerintahan otoriter memasukkan paham militer-
isme untuk memaksakan kehendak pemimpin.
Selain militerisme, terdapat paham bapakisme.
Bapakisme adalah sikap untuk mengagungkan seseorang
yang dianggap memiliki jabatan, kekuasaan, atau hartanya.
Seseorang yang diagungkan itu memiliki hak dan wewena-
ng untuk melakukan berbagai hal. Bapakisme biasanya
dihubungkan dengan ‚yang penting bapak senang‛
walaupun dengan rasa terpaksa yang dirasakan oleh orang
yang melakukannya. Istilah ini muncul lebih awal yang
kemudian digantikan dengan istilah abeesisme. Abeesisme
merupakan sebutan kritis yang mengarah pada gambaran
perilaku dan sikap bawahan dalam rangka cari aman atau
cari selamat dari atasan (Tambayong, 2013:9).
Dalam cerpen tersirat paham bapakisme diwujud-
kan pada saat Pak Lurah menjalankan program pemberian
imbalan untuk penduduk yang dapat membunuh tikus.
Pak Carik mengikuti perintah Pak Lurah walaupun ia sebe-
narnya tidak setuju dengan program tersebut. Pak Carik
menganggap jika program tersebut tidak baik untuk
kerukunan desa. Tetapi, karena rasa takut akhirnya Pak
Carik mengikuti saja perintah Pak Lurah. Selain itu wujud
bapakisme yang lain juga terlihat saat Pak Lurah meminta
Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya | 139
Seminar Nasional KABASTRA II

seluruh aparat desa untuk ‘menalangi’ kebutuhan program


pemberian imbalan kepada penduduk yang dapat membu-
buh tikus. Aparat desa terpaksa menerima perintah Pak
Lurah untuk ‘menalangi’ dana program walaupun mereka
tidak rela. Hal ini sebenarnya sering terjadi pada masa
Orde Baru. Pada masa itu, bawahan selalu berusaha
mengikuti keinginan atasannya agar posisi mereka aman.
Mereka tidak ingin kehilangan pekerjaan. Mereka akan
melakukan apa pun agar pimpinan senang. Bapakisme juga
diwujudkan pada kepatuhan penduduk desa untuk
mengikuti perintah Pak Lurah. Penduduk desa bersama-
sama melakukan pembasmian tikus sejak diperintahkan
oleh pemimpin desa (Pak Lurah).
Kapitalisme juga muncul dalam cerpen ini. Kapi-
talisme merupakan sistem yang mengutamakan keuntu-
ngan sebesar-besarnya yang diperoleh dari faktor material
antara tanah dan modal. Kapitalisme dalam cerpen ini
sebenarnya berhubungan dengan imbalan yang diperoleh.
Penduduk yang berhasil membunuh tikus akan mendapat-
kan imbalan atas tikus tersebut.
Program imbalan untuk pembasmian tikus men-
jadikan penduduk desa menjadi kapitalis. Artinya, mereka
menjadi sosok yang haus dengan imbalan yang diberikan.
Mereka tidak akan bekerja jika tidak ada imbalan. Dalam
hal ini, intervensi pemerintah (Pak Lurah) dengan mem-
berikan imbalan, dilakukan untuk memenuhi kepentingan
pribadi (penduduk). Hal ini berakibat penduduk desa
140| Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya
ISBN 978-602-61725-2-5

mogok kerja akibat tersebar kabar dana program pem-


berantasan tikus ternyata tidak ada. Penduduk akhirnya
memiliki prinsip tidak ada uang maka tidak akan bekerja.
Gotong royong juga muncul dalam cerpen. Gotong
royong merupakan istilah ‘khas’ Indonesia, yaitu untuk
bekerja bersama-sama untuk mencapai suatu hasil yang
didambakan. Istilah ini berasal dari gotong berarti ‚beker-
ja‛, dan royong berarti ‚bersama‛. Dalam cerpen, gotong
royong muncul dari bagian awal cerpen. Penduduk desa
secara bersama-sama untuk membasmi tikus yang di-
anggap sebagai hama dan merusak sawah. Gotong royong
merupakan nilai tradisional yang secara umum dimiliki
penduduk desa. Pada masa Orde Baru, gotong royong
merupakan paham yang selalu ‘dikumandangkan’ oleh
pemerintah agar rakyat selalu bekerja bersama untuk
mendapatkan kesejahteraan bersama.
Kontestasi ideologi dalam cerpen Tikus dapat
dirunut dari gotong royong, militerisme, bapakisme, dan
kapitalisme. Gotong royong diletakkan di awal cerita me-
nunjukkan bahwa sebenarnya ideologi gotong royong
merupakan ideologi tradisional. Gotong royong sebenarnya
merupakan kearifan lokal yang sudah dimiliki setiap warga
Indonesia. Dalam era Orde Baru, militerisme, bapakisme,
dan kapitalisme sering bersatu dan berkontestasi dengan
gotong royong.

Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya | 141
Seminar Nasional KABASTRA II

NEGOSIASI IDEOLOGI
Ada dua alur negosiasi yang terjadi antara
kelompok dominan dan subaltern, yaitu antara Pak Lurah
dengan penduduk desa, dan antara Pak Lurah dengan
perangkat desa. Pertama negosiasi yang terjadi antara Pak
Lurah dengan penduduk desa. Dalam cerpen, ideologi
bapakisme yang berkorelasi dengan militerisme dinego-
siasikan dengan konsep gotong royong. Hal ini terjadi
antara kelompok dominan dan kelompok subaltern.
Negosiasi ini akhirnya memunculkan common sense pada
penduduk desa, yaitu gotong royong murni. Mereka benar-
benar melakukan gotong royong dengan suka rela karena
adanya sikap bapakisme, yaitu menurut pada perintah
pimpinan (Pak Lurah). Negosiasi yang terjadi di sini
merupakan gambaran negosiasi yang dilakukan oleh
pemerintah Orde Baru kepada masyarakat Indonesia. Agar
tetap terjaga, pemerintah mengenalkan dengan konsep
gotong royong yang sebenarnya sudah dimiliki oleh
penduduk.
Lebih lanjut, karena dinilai kurang efektif, maka
bapakisme dan militerisme yang awalnya dinegosiasikan
dengan gotong royong, kemudian dinegosiasikan lagi
dengan kapitalisme. Hal ini bertujuan untuk lebih meng-
galakkan gotong royong penduduk desa. Ternyata
negosiasi ideologi yang dilakukan kelompok dominan ini
menunjukkan keefektifan, artinya terjadi hegemoni dari
kelompok dominan (Pak Lurah) kepada subaltern (pen-

142| Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya
ISBN 978-602-61725-2-5

duduk desa). Negosiasi pada tahap ini memunculkan new


common sense pada penduduk desa, yaitu kapitalisme-
gotong royong. Mereka mau bergotong royong apabila ada
imbalan yang diberikan oleh pemerintah (Pak Lurah).
Penduduk desa akhirnya memiliki paham bahwa gotong
royong akan menghasilkan uang.
Akibat tidak cairnya dana untuk program pembas-
mian tikus, akhirnya new common sense pada penduduk
desa akhirnya mulai memudar. Akibatnya gotong royong
menjadi rusak akibat kapitalisme yang palsu. Pudarnya
kepercayaan penduduk desa dengan Pak Lurah
mengakibatkan hilangnya bapakisme dan militerisme. Hal
ini mengembalikan paham penduduk desa ke gotong
royong murni yang merupakan nilai lokal/tradisional yang
dimiliki penduduk desa.
Hilangnya bapakisme, militerisme, dan kapitalisme
memunculkan good sense pada penduduk desa. Hal ini
menunjukkan bahwa perubahan ideologi tidak hanya
karena negosiasi ideologi yang sudah ada dengan ideologi
baru. Kurang kuatnya ideologi seorang pemimpin atau
mulai melemahnya ideologi yang dibawa seorang pemim-
pin maka akan menelurkan common sense baru pada
kelompok subaltern.
Kedua, negosiasi yang terjadi antara Pak Lurah
dengan perangkat desa. Negosiasi terjadi pada saat pihak
KUD tidak mau memberikan bantuan dana untuk program
yang dilaksanakan Pak Lurah, yaitu imbalan bagi pen-
Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya | 143
Seminar Nasional KABASTRA II

duduk yang berhasil membunuh tikus. Pak Lurah


memaksa perangkat desa untuk mencari sumber dana atau
meminjami uang pribadi mereka agar program Pak Lurah
dapat terlaksana. Ideologi militerisme dari kelompok
dominan (Pak Lurah) yang berkorelasi dengan kapitalisme
dinegosiasikan dengan ideologi kelompok subaltern
(perangkat desa). Hal ini memunculkan ideologi baru
bapakisme pada kelompok subaltern.
Pada alur negosiasi ini juga terjadi pelemahan
ideologi kelompok dominan sebagaimana yang terjadi
pada alur negosiasi antara Pak Lurah dengan penduduk
desa. Kapitalisme yang dibawa oleh Pak Lurah berkontra-
diksi dengan kerukunan yang dimiliki oleh orang KUD.
Ketika Pak Lurah meminta dana kepada KUD, orang KUD
mengatakan tidak ada uang dan tidak mau memberikan
bantuan dana.
Dalam hal ini, sebenarnya pengarang menunjukkan
posisi ideologinya. Pengarang ingin menunjukkan bahwa
kelompok dominan selalu memberikan omong kosong
yang ada dibalik militerisme, bapakisme, maupun kapita-
lisme. Tiga paham itu dapat merusak gotong royong yang
merupakan ideologi tradisional yang dimiliki subaltern.
Pengarang berusaha mengembalikan konsep gotong
royong murni tanpa direcoki kapitalisme.

144| Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya
ISBN 978-602-61725-2-5

SIMPULAN
Dari analisis yang telah dilakukan, dapat disimpul-
kan bahwa pada cerpen Tikus karya Indra Tranggono
terdapat formasi ideologi, yaitu militerisme, bapakisme,
kapitalisme, dan paham gotong-royong. Semua ideologi
merupakan konstruksi yang dimunculkan kelompok
dominan untuk menghegemoni kelompok subaltern. Selain
itu terdapat beberapa negosiasi ideologi antara kelompok
dominan dan subaltern. Dalam cerpen tersebut diperoleh
dua alur negosiasi ideologi antara kelompok dominan
dengan subaltern, yaitu dari Pak Lurah dengan penduduk
desa, dan antara Pak Lurah dengan aparat desa. Hasil
negosiasi adalah common sense kelompok subaltern, juga
terdapat new common sense setelah terjadi perombakan
negosiasi yang dilakukan kelompok dominan kepada
subaltern. Dalam cerpen juga menunjukkan pelemahan
ideologi kelompok dominan sehingga ideologi hasil nego-
siasi menjadi hilang dan kembali ke ideologi awal kelom-
pok subaltern.

DAFTAR PUSTAKA
Bellamy, Richard. 1987. Teori Sosial Modern: Perspektif Italia.
Diterjemahan dalam Bahasa Indonesia oleh Vedi R.
Hadiz. Jakarta: LP3ES.
Cavallaro, Dani. 2004. Critical an Cultural Theory: Teori Kritis
dan Teori Budaya. Diterjemahkan dalam Bahasa
Indonesia oleh Laily Rahmawaty. Yogyakarta:
Niagara.
Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya | 145
Seminar Nasional KABASTRA II

Damono, Sapardi Djoko. 2010. Sosiologi Sastra. Jakarta:


Editum.

Faruk. 2010. Pengantar Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka


Pelajar.

Gramsci, Antonio. 2013. Prison Notebooks: Catatan-Catatan


dari Penjara. Diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia
oleh Teguh Wahyu Utomo. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.

Harjito. 2002. ‚Student Hijo Karya Marco Kartodikromo:


Analisis Hegemoni Gramscian‛. Tesis S2. Yogyakarta:
Universitas Gadjah Mada. Tidak diterbitkan.

Mahayana, Maman. 2007. Ekstrinsikalitas Sastra Indonesia.


Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Patria, Nezar dan Andi Arief. 2015. Antonio Gramsci: Negara


dan Hegemoni. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Simon, Roger. 2004. Gagasan-Gagasan Politik Gramsci.


Diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia oleh
Kamdani dan Imam Baehaqi. Yogyakarta: Insist dan
Pustaka Pelajar.

Tambayong, Yapi. 2013. Kamus Isme-Isme. Bandung: Nuansa


Cendikia.

Tranggono, Indra. 2000. Sang Terdakwa (Kumpulan Cerpen).


Yogyakarta: Yayasan Untuk Indonesia.

146| Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya
ISBN 978-602-61725-2-5

BIODATA SINGKAT
Alfian Rokhmansyah adalah tenaga pengajar pada
program studi Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya,
Universitas Mulawarman. Bidang keahlian adalah kajian
sastra Indonesia, khususnya pada kajian prosa Indonesia,
kajian gender dan feminisme, kajian interdisipliner
psikologi sastra.

Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya | 147
Seminar Nasional KABASTRA II

148| Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya
ISBN 978-602-61725-2-5

PEMBERIAN LABEL ISLAMI PADA


KARYA SASTRA INDONESIA:
SEBUAH PERMASALAHAN SANGAT
SERIUS YANG DISEPELEKAN

Oleh :
Ali Imron, M.Hum
Dosen Pendidikan Bahasa Inggris, FKIP, Universitas Tidar

ABSTRAK

Makalah ini akan mendiskusikan fenomena pela-


belan karya sastra di Indonesia dengan kata Islami semen-
jak kebangkitan ‚sastra Islam‛ nusantara pasca
meledaknya novel Ayat-ayat Cinta karya Habiburrahman El
Shirazy. Label Islami mungkin dipilih karena beberapa
pertimbangan yang di antaranya, bagaimanapun diakui
atau tidak, memang karena telah memiliki pasar pembaca
yang sangat besar. Jika di negara-negara di Timur Tengah
definisi sastra Islami telah jelas disepakati dan dilaksana-
kan sebagai acuan pelabelan karya sastra, lain halnya
dengan negara Indonesia yang memiliki penduduk Muslim
terbesar di dunia. Alih-alih mendapatkan definisinya, per-
debatan mengenai definisi kongkret mengenai apa itu
sastra Indonesia, selain persoalan sebatas menggunakan
bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantarnya, saja hingga
saat ini terasa belum sampai pada titik temu. Sebagian
golongan sastrawan dan ahli sastra di Indonesia ber-
Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya | 149
Seminar Nasional KABASTRA II

pendapat bahwa sastra Indonesia harus memiliki budaya


ketimuran (kesopanan, moral yang baik, dll) untuk bisa
disebut sebagai karya sastra Indonesia, tetapi di lain sisi,
sebagian golongan menentangnya dengan pendapat bahwa
hal ini mengungkum kebebasan berekspresi dalam sastra,
semenjak sastra itu juga merupakan wadah ekspresi.
Persoalan ini jelas menjadi semakin rumit ketika
meledaknya Ayat-ayat Cinta yang disusul dengan karya-
karya lain Habiburrahman, memberikan sebuah ruang bagi
penikmat karya-karya sastra yang dianggap Islami, alih-
alih menyebutnya sebagai karya-karya yang benar-benar
Islami, atau Islami yang sebenarnya. Oleh karenanya, hal
utama yang akan menjadi menarik untuk dibahas adalah
bagaimana membongkar satu di antara puluhan atau
mungkin ratusan hingga ribuan karya sastra yang diberi
label Islami untuk mengungkap sejatinya berapa persen
kandungan Islami dalam karya sastra yang dilabeli Islami.
Stilistika, resepsi pembaca dan ilmu fikih akan menjadi
pendekatan yang dipilih oleh penulis untuk mengungkap
dan menganalisis lebih dalam hubungan antara sastra,
sarana sastra dan nilai Islami dalam karya sastra Indonesia
dengan label Islami.

Kata Kunci : sastra Islami, stilistika naratif, fikih.

PENDAHULUAN
Menganalisis persoalan Islami di Indonesia terasa
akan senantiasa menarik. Label ini memiliki pasar yang
jelas sangat besar apalagi jika menengok keberadaannya
sebagai negara dengan jumlah Muslim terbesar di dunia.

150| Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya
ISBN 978-602-61725-2-5

Negara berpenduduk 260 juta pada juni 20171 ini memiliki


88% penduduk beragama Islam2 yang berarti ada 228,8 juta
penduduk beragama Islam di negara multi-etnis dan
budaya ini. Akhir-akhir ini, media massa dipenuhi banyak
sekali berita yang terkait dengan Islam. Mulai dari
munculnya istilah syar’i pada kerudung, hingga persoalan
halal-haram yang masih saja mendapat kolom pada hala-
man-halaman depannya. Tak cukup sampai di sana, dunia
pertelevisian dan hiburan pun ikut tren Islami sehingga
muncullah acara-acara dengan tag line Islami. Dalam dunia
sastra, persoalan ini sudah cukup lama muncul dan
berkembang, persisnya pasca meledaknya Ayat-Ayat Cinta
pada sekitar tahun 2004. Akibat larisnya novel yang juga
membangkitkan perfilman Islami itu, kemudian bermun-
cullah puluhan hingga ratusan karya yang menggunakan
istilah-istilah Islami untuk mendapatkan hati di pasar baru
perbukuan sastra di Indonesia. Beberapa penerbit pun
bahkan tampak tidak segan melabeli karya sastra yang
diterbitkannya dengan label Islami. Sastra Islami, begitu
kira-kira label yang diberikan dan tersa seperti sebuah
genre baru dalam karya sastra Indonesia.
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) menyebut
Islami sebagai sebuah kata sifat yang berarti bersifat
keislaman. Dengan kata lain, kata benda yang ditempeli

1
www.indonesia-inestments.com/id/budaya/penduduk/item67?
2
http://www.mapsofworld.com/world-top-ten/world-top-ten-countries-
with-largest-muslim-populations-map.html.
http://www.muslimpopulation.com/asia/
Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya | 151
Seminar Nasional KABASTRA II

kata ini seharusnya berarti bersifat keislaman. Oleh karena


itu, secara sederhana jika kata Islami dilabelkan pada novel,
maka tidak bisa tidak, novel itu harus bersifat keislaman.
Makalah ini akan menganalisis sebuah novel yang diberi
label Islami dengan judul Bila Mecintaimu Indah. Analisis
kualitatif diaplikasikan pada novel tersebut dengan pen-
dekatan stilistika naratif guna mengupas data-data tersem-
bunyi dalam teks. Sebagian data dari tulisan Imron (2016)
berjudul Imagining How Literary Work Transforms as A New
Form of Media in Providing Information about Islam and Islamic
Laws and Values in the Future akan digunakan sebagai
pembanding.

ISI
a. Stilistika naratif
Stilistika adalah sebuah teori analisis style
(gaya). Awal kemunculannya, gaya yang dimaksud
adalah gaya bahasa dan komponen-komponennya.
Akan tetapi pada pekembangannya, seluruh hal
dalam kehidupan manusia yang memiliki unsur
gaya dianggap masuk dalam cakupan stilistika. Di
antara cabang dalam cakupan luas stilistika adalah
stilistika naratif.
Stilistika naratif adalah analisis gaya pada
narasi yang melibatkan 6 kompenen (Simpson 2004:
3). Keenam komponen yang dimaksud adalah: 1.
Textual medium 2. Sociolinguistics code 3. Characterisa-

152| Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya
ISBN 978-602-61725-2-5

tion 1, actions and events. 4. Characterisation 2, points of


view. 5. Textual structure dan 6. Intertextuality. Ke-
enam komponen ini sejatinya adalah sebuah ‚kese-
luruhan‛ komponen narasi sehingga dapat disim-
pulkan bahwa stilistika naratif adalah teori analisis
narasi sastra dalam segi gaya yang digunakan.
b. Sastra Bandingan
Sastra bandingan adalah teori yang dipakai
untuk membandingkan antara dua karya sastra.
Awal kelahiran sastra bandingan disebut bermula
dari pembandingan nilai antar wilayah (negara)
dalam hal kebudayaan dan beberapa persoalan per-
bedaan kemasyarakatannya. Kemudian di Indone-
sia, pada persoalan sastra bandingan, Damono
(2005: 5) menitikberatkan pada studi sastra yang
melampaui batas-batas kebudayaan dalam bahasa
aslinya. Damono menyebut studi sastra bandingan
pada umumnya berawal dari adanya kemiripan-
kemiripan yang terdapat dalam sebuah karya sastra
yang berasal dari kebudayaan yang berbeda.
Sedangkan yang paling umum, seperti telah
dijelaskan oleh Wellek dan Waren (1989: 47) salah
satu dari pilar utama sastra bandingan adalah
cakupan studi hubungan antara dua kesusastraan
atau lebih. Oleh karena itu, analisis tidak hanya
semata boleh dilakukan pada unsur budaya atau
kemasyarakatan dalam karya sastra. Ia bisa diguna-

Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya | 153
Seminar Nasional KABASTRA II

kan untuk membandingkan sebuah karya dengan


karya yang lain pada satu unsur bebas yang
dimilikinya.
c. Islam, Islami, dan Fikih
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya,
kata Islami oleh KBBI diartikan sebagai bersifat
keislaman (keagamaan Islam). Islam sendiri, pada
buku yang sama dijelaskan sebagai agama yg diajar-
kan oleh Nabi Muhammad saw. Berpedoman pada
kitab suci Alquran yg diturunkan ke dunia melalui
wahyu Allah Swt.
Menurut Joachim Wach dalam buku Sosio-
logi Agama oleh Hendro Puspito (1983), agama
memiliki aspek yang diperhatikan khusus yaitu,
pertama, teoretisnya, bahwa agama adalah sistem
kepercayaan. Kedua, unsur praktis bahwa agama
adalah suatu sistem kaidah yang dapat mengikat
yang menjadi penganutnya. Ketiga, aspek sosiologis
bahwa agama memiliki hubungan dan interaksi
sosial.3
Dari pengertian di atas, dapat disimpulkan
bahwa agama Islam, adalah sistem kepercayaan

3
http://www.pengertian.website/pengertian-agama-menurut-para-ahli-

dan-kbbi/

154| Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya
ISBN 978-602-61725-2-5

yang dianut manusia yang memiliki kaidah (aturan-


aturan) yang mengikat penganutnya. Oleh karena
itu, Islami memiliki konsekuensi bahwa apapun
yang diberi pelabelan kata sifat ini seharusnya
berpegang teguh pada ajaran dan kaidah (aturan-
aturan) dalam Islam. Islam sendiri memiliki dua
pedoman utama yaitu Al-Qur’an dan Hadits.
Sedangkan ilmu yang mewadahi analisis keislaman
dalam segi hukumnya adalah Ilmu Fikih. Hal ini
juga seperti yang didefinisikan KBBI. Ilmu Fikih
sendiri menganalisis hukum Islam secara keseluru-
han dengan berpijak pada Qur’an dan Hadits serta
dua tahap dasar pengambilannya yang lain yaitu
ijma’ dan qiyas dikarenakan tidak semua permasala-
han dalam Islam telah tersebut secara gamblang dan
tekstual dalam Qur’an, maupun pernah terjadi
dalam masa Nabi (Hadits) (Rusyd, 2007: lxxvii-
lxxxii)
Di antara beberapa kitab (buku) Ilmu Fikih
adalah Bidayatul Mujtahid dan Fiqih Islam Wa
Adillatuhu.
d. Pemberian Label Islami pada Karya Sastra
Indonesia; Sebuah Permasalahan Sangat Serius yang
Disepelekan.
Bila Mencintaimu Indah adalah sebuah novel
setebal 199 halaman yang ditulis oleh Triani Retno
A. Novel ini diterbitkan oleh Quanta, imprint dari

Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya | 155
Seminar Nasional KABASTRA II

Penerbit Elex Media Komputindo atau Gramedia


Pustaka. Tidak segan-segan, novel ini memberi label
Novel Islami pada pojok kiri atasnya (lih. Gambar 1)
yang cukup besar dan pasti nampak jelas bagi
pembaca atau calon pembacanya. Mengambil sett-
ing utamanya di Jakarta, novel ini terdiri atas 13
bab.

Gambar 1. Sampul Novel Bila Mencintaimu Indah

Muatan Islam atau Islami tidak langsung nampak


jelas sedari awal cerita. aroma Islami mulai tampak secara
tekstual pada halaman 43 ketika karakter utama membaca
doa saat ziarah kubur. Data mengenai nilai Islami secara
lengkap pada tabel berikut:

156| Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya
ISBN 978-602-61725-2-5

No Hal Kutipan Indikasi


Nilai Islami

1. 43 Ya Allah ampunilah dia, Berdoa.


kasihanilah dia, sejahtera- Berziarah
kanlah dia, maafkanlah kubur.
kesalahannya, hormatilah Mendoakan
kedatangannya, lapang- orang yang
kanlah tempat kuburnya, sudah
cucilah dia dengan ari, es, meninggal.
embun serta bersihkanlah
ia dari dosa sebagaimana
kain putih yang dibersih-
kan dari kotoran. Ganti-
lah rumahnya dengan
rumah yang lebih baik.
Masukkanlah ia ke surga,
lindungilah ia dari siksa
api neraka. Ya Allah,
ampunilah kami. Baik
yang masih hidup atau
yang sudah mati, yang
hadir dan yang tidak
hadir, yang kecil dan
yang besar, laki-laki dan
perempuan. Ya Allah
siapa saja yang telah
engkau hidupkan di an-
Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya | 157
Seminar Nasional KABASTRA II

tara kami, maka hidup-


kanlah ia dengan agama
Islam, dan barang siapa
engkau matikan di antara
kami, maka matikanlah ia
dalam keadaan iman. Ya
Allah janganlah Engkau
halangi kami dari men-
dapat pahalanya, dan
janganlah engkau sesat-
kan kami sesudahnya.
Dengan rahmat-Mu wa-
hai Tuhan Yang Maha
Mengasihi. Segala puji
bagi Allah, Tuhan seru
sekalian alam..‛
2. 52 Zaman sekarang, untuk Mati syahid
syahid sebagai syuhada dalam
bukan berarti harus Islam
perang dengan meng-
angkat senjata, bukan
dengan mengangkat pe-
dang atau pistol, Kei. Kita
bisa menjadi syuhada
dengan membela kebe-
naran. Bahkan kita bisa
menjadi syuhada jika

158| Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya
ISBN 978-602-61725-2-5

mati saat mencari rezeki


yang halal buat keluarga
kita. Daripada hidup
bergelimang harta dari
korupsi, lebih baik mati
sebagai syuhada. Siapa
yang mau mengenang
koruptor? Sementara
seorang syuhada, ia akan
hidup selama-lamanya.
3 156 Keisha menarik napas Hukum
dalam. ‚Islam mengajar- menyusui
kan para ibu untuk dan waktu
menyusui anak selama menyusui
dua tahun.‛ ujar Keisha dalam
Islam

4 157 ‚Ya, kemarin Pak Ismail Hukum


mengatakan bahwa setiap rezeki dan
anak memiliki rezeki memiliki
masing-masing. Makanya anak dalam
agama Islam melarang Islam
orang tua membunuh
anaknya karena takut
miskin...‛
Tabel 1: Daftar Muatan dalam BMI yang Terindikasi Islami

Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya | 159
Seminar Nasional KABASTRA II

Hampir tidak ada perdebatan mengenai hukum-


hukum dari persoalan tersebut di atas kecuali persoalan
pertama tentang ziarah kubur yang memiliki perbedaan
pendapat cukup berlawanan. Akan tetapi perbedaan itu
pun tidak lantas menjadikan kebenaran bahwa point
tersebut memang bagian dari hukum Islam sehingga jika
melihat pada empat point di atas, memang ada kandungan
Islam dalam novel berlabel Islami tersebut.
Akan tetapi ternyata, di lain sisi, novel tersebut
menunjukkan beberapa hal yang terindikasi jelas tidak
Islami. Berikut adalah data dari novel yang menunjukkan
persoalan-persoalan yang tidak Islami (dilarang dalam
Islam)

160| Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya
ISBN 978-602-61725-2-5

No Hal Kutipan Indikasi

1. 11 ‚Kei‛, panggil Eggy Komunikasi/


‚Ya.‛ Keisha Pergaulan bebas
menoleh
‚Aku cinta kamu‛,
kata Eggy tanpa
merasa perlu
memberikan kata
pengantar.
2. 12 Keisha berpaling - Komunikasi/
menatap Eggy. Pergaulan
‚Aku juga sayang bebas/
kamu Gy, sayang - Pacaran
banget. Tapi aku
nggak tahu apa aku
bisa sayang seperti
ini kalau kita
pacaran.‛
3. 15 ‚Mau Kei?‛ Khalwat
‚Emmm...‛
‚Kei, aku Cuma
pengen makan-
makan aja berdua
sama
kamu......................‛
Keisha tertawa.
‚Jadi, oke? Aku
Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya | 161
Seminar Nasional KABASTRA II

jemput, ya!‛
4. 23 Eggy menggenggam Bersentuhan
telapak tangan non-mahram
Keisha, mengalirkan
rasa hangat ke hati
gadis itu.‛
5. 23 ‚Take care, Kei.‛ Komunikasi/
‚You too,‛ sahut Pergaulan bebas
Keisha.
‚I’ll miss you.‛
‚Me too,‛ Keisha
menghela napas
panjang. Sudah
waktunya pergi.
Tabel 2: Daftar Muatan dalam BMI yang Terindikasi tidak
Islami

Dalam hukum Islam kelima muatan itu tidaklah


dibenarkan. Untuk nomor 1, 2, dan 5, orang yang menge-
tahui hukum Islam akan jelas mengatakan itu persoalan
yang salah. Dasar pertama adalah Q.S 17: 32 mengenai
larangan mendekati zina. Larangan ini ditafsirkan oleh
banyak ulama mulai dari perbuatan-perbuatan kecil yang
mengantarkan pada zina. Persoalan mengenai cara
komunikasi yang salah ini juga sudah lazim diketahui dari
kisah Ali R.A dan Fatimah, R.A yang dalam ceritanya
disebut bahwa keduanya sudah jatuh cinta jauh hari

162| Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya
ISBN 978-602-61725-2-5

sebelum keduanya saling menikahi. Akan tetapi tidak ada


satu pun di antara keduanya yang tahu bahwa mereka
saling mencintai.
Persoalan ini dalam Ilmu Fikih pun dibahas panjang
mengenai cara berhubungan yang benar antara laki-laki
dan perempuan. Yaitu disampaikan kepada wali (ayah atau
sosok lain dalam keluarga yang berkedudukan boleh
sebagai wali) dan dengan cara yang santun. Hal ini
diperkuat dengan point selanjutnya tentang bersentuhan
dengan ‚aliran rasa hangat‛. Dari Hadits riwayat Thabrani
disebut bahwa lebih baik kepala seorang laki-laki ditusuk
dengan jarum dari besi daripada dia menyentuh seorang
perempuan yang tidak halal bagiya.4
Walau terdapat sebagian golongan besar yang
membolehkan menyentuh (bersalaman), tetapi hukum ini
berlaku, secara hati-hati, hanya bagi perempuan lanjut usia.
Sedangkan jika perempuan itu masih muda, persolan ini
menjadi kesepahaman mayoritas ulama; bahwa bersentuh-
an dengan lawan jenis yang bukan mahram diharamkan.
Kemudian pada nomor tiga mengenai aktifitas ber-
duaan tokoh utama dengan laki-laki yang mencintainya.
Dalam Islam hal ini disebut khalwat dan tidak dijumpai satu
ulama pun yg membenarkan ini. Hal ini berdasarkan sabda
Rosul SAW yang sangat diketahui oleh Muslim dan
Muslimah yang masih muda, yang berarti sbb, idaklah

4
HR. Thabrani. Dalam Al-Mu’jamul Kabir.
Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya | 163
Seminar Nasional KABASTRA II

sekali-kali seorang laki-laki berduaan dengan seorang


perempuan kecuali setan akan menjadi yang ketiga.5
Jika BMI dibandingkan dengan novel yang diang-
gap menjadi pelopor novel Islami di Indonesia, maka akan
sangat tampak berbeda. Yang lebih perlu disoroti justru
Ayat-Ayat Cinta 2 (dan Ayat-Ayat Cinta) tidak memberi
label Islami pada sampul depannya. Padahal, data yang
disajikan Imron (2016: 10-12) yang diambil dari AAC 2
menunjukkan betapa novel tersebut malah tampak seperti
buku-buku Islam berwujud novel. Imron menyajikan
setidaknya ada 40 pelajaran tentang nilai Islam pada AAC 2
yang diambil dari sedikitnya 30 sumber termasuk di
dalamnya yang utama adalah Qur’an dan Hadits (lih tabel)

5
H.R. Tirmidzi dan Ahmad.
164| Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya
ISBN 978-602-61725-2-5

Chapter Islamic Contents Reference


1 1. Islam doesn’t teach Quran –
suicide bombing. Exclamation of an
2. A lesson as a good old Mauscript of
Muslim. Qur’an by
3. The teaching Allah as Quthbuddin Asy-
The One. Syirazy entitled Fath
Al Mannan.
A text from Habib
Hasan Al-Bahr
QV. Thaaha (20): 98

2 Lesson about Himmah. Majmu’ Washaya by


Habib Hasan Al-
Bahr

3 Verses of Quran QV. Az- Zukhruf


(43): 89
Hadith
4 Lesson about greeting to Fathul Bari ch. 11
non-Muslims in Islam. p.50

QV. Yusuf: 86

5 Lesson about what Saying of Syaikh


Muslim should do when Utsman
he is sad Hadith.

Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya | 165
Seminar Nasional KABASTRA II

6 1. Lesson about Analysis based on


controlling desires the speech of
and lust William Ewart
2. Lesson to care with Gladstone after The
other Muslims World War I.

7 Lesson about the Facts: Hebron


importance of Quran for massacre in 1994 by
Muslims Baruch Goldsten.
Many sources
8 1. Massacres in
Palestine by Israel. Many sources
2. Conflicts between (news)
Palestine and Israel Hadith
9 Messacres in Palestine
by Israel Hadith
Sirrur Asrar by
10 1. The Unity of Muslims Syaikh Abdul Qadir
2. Knowing Allah Al-Jilani.

11 1. How to behave to Many sources


non-Muslims. Hadith, Madzhab
2. Lesson not to drink Asy-Syafi’i, Hanafi,
alcohol. Hambali, Al-
Muhadzdzab, Ar-
12 How to behave well Rum: 1-5
towards non-Muslims

166| Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya
ISBN 978-602-61725-2-5

who have done wrong Through the


behaviour of the
main characters

13-17 1. Helping non-Muslims Hadith


even though they Through the
dislike Muslims. behaviour of the
2. Helping other Muslims main characters
we haven’t known yet. QV. Al-Baqarah
(2):286

18-22 1. Lesson how to face Author’s point of


proposals of marriage. view through
2. Lesson how to live characters of the
together with non- novel.
Muslims
3. Lesson how to behave
when is challenged by Quran (Al-Baqarah
non-Muslims [2]: 47, 122 dan 124,
4. Lesson of daily Ali-Imron: 110,
Muslims activities Hadith, stories from
related to all aspects of Islamic history; story
life espescially in being of Abu Thalib,
generous as a Muslim. Ikrimah, and Syaikh
Muhammad Abduh,
Bible, author’s point
of view.

Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya | 167
Seminar Nasional KABASTRA II

23-28 1. Lesson about Quran Author’s point of


for Muslim view.
2. Lesson about marriage
in Islam
3. Lesson about guidance
in Islam for Muslims
and non-Muslims.
4. The oppresion of
Palestinians/Muslims
by Jews.
5. Lesson about fasting in
Islam and Jew.
6. The truth of Islam
compared to another
religion seen from
Qur’an and Bible.

29 Lesson about what to do Hadith, story of


if a non-Muslim Imam Ibn Hambal,
neighbour dies author’s point of
view.
30 1. Lesson about marriage. From author’s point
2. Lesson about how to of view
live together with non-
Muslims and face the
conflicts.

168| Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya
ISBN 978-602-61725-2-5

31 1. About the chastity of From author’s point


Muhammad. of view.
2. Lesson about keeping
woman’s
purity/chastity in
Islam.

32 How to bahave to other From author’s point


people. of view.

33-34 Lesson about relationship Ibn ‘Arabi, Bible,


between male and female Dzakhair al-Alaq
in Islam regarding to the syarh Turjuman al-
process before marriage. Asywaq, Ali-Imran:
31, Al Futuhat al-
35 1. The truth of Islam Makiyyah,The Black
compared to another Book of Communism –
religion seen from Crimes, Terror,
Qur’an and Bible. Repression. Religion
2. Rules of giving and Society Report,
arguments and On the Origin of
debate in Islam. Species by Means of
Natural Selection, or
Preservation of
Favoured Races in the
Struggle for Life.

Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya | 169
Seminar Nasional KABASTRA II

36-38 Marriage and household Hadith, life story of


in Islam the Companions.

39-40 1. Islam doesn’t teach Risalah al


and produce Mustarsyidin, by Al
terrorism. Haris Al Muhasibi.
2. How to manage
jealousy in Islam.

41 Islamic law: Face Hadith, fatwa


transplantation from dead (instruction) from
body. Islamic scholars.

42 Islamic law: Marital From author’s point


relationship in Islam of view.

Tabel 3. Data Kandungan Islam Ayat-Ayat Cinta yang


dikutip dari paper dalam Proceeding ofThe 1st Icon Laterals
berjudulImagining How Literary Work Transforms as A New
Form of Media in Providing Information about Islam and Islamic
Laws and Values in the Future oleh Ali Imron (2016)

170| Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya
ISBN 978-602-61725-2-5

SIMPULAN
Penemuan ini membuktikan bahwa ada persoalan
serius yang dalam hukum Islam memiliki konsekuensi
sangat besar, ditampakkan dengan santai seolah hal-hal
tersbut tidaklah salah. Sedangkan, di sisi lain, novel yang
pada hampir semua babnya berisi ajaran dan sejarah Islam.
Justru bukanlah novel yang memiliki label Islami.
Menjadi semakin serius karena ini membawa
wilayah agama. Jika memang temuan-temuan ini dilakukan
secara sadar oleh penulisnya, hal ini sudah menjadi
pertanyaan apakah penulis memiliki kualitas pengetahuan
Islam yang mencukupi atau tidak. Jika tidak, maka sudah
seharusnya tidak melabeli tulisannya sebagai novel Islami.
Secara sederhana, hal ini bisa diartikan seolah menjual
agama dalam karya.

DAFTAR PUSTAKA

El Shirazy, Habiburrahman. Ayat-Ayat Cinta 2. Republika.


Jakarta.
Imron, Ali. 2016. Imagining How Literary Work Transforms as
A New Form of Media in Providing Information about
Islam and Islamic Laws and Values in the Future.
Proceeding of The 1st Icon Laterals. Universitas
Brawijaya. Malang
Rusyd, Ibnu. 2007. Bidayatul Mujtahid, Analisa Fiqih Para
Mujtahid. Diterjemahkan oleh Imam Ghazali Said &
Achmad Zaidun. Pustaka Amani. Jakarta.

Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya | 171
Seminar Nasional KABASTRA II

Retno A, Triani. 2013. Bila Mencintaimu Indah. Quanta.


Gramedia Pustaka Indonesia. Jakarta.
Simpson, Paul. 2004. Stylistics, A Resource Book for Students.
London: Routledge.
Wellek, Rene Austin Warren. 1989. Teori Kesusastraan.
Diterjemahkan oleh Melani Budianta. Jakarta:
Gramedia.
------------. Kamus Besar Bahasa Indonesia. (Offline application)

SUMBER INTERNET

http://www.indonesia-
inestments.com/id/budaya/penduduk/item67?
http://www.mapsofworld.com/world-top-ten/world-top-
ten-countries-with-largest-muslim-populations-map.html.
http://www.pengertian.website/pengertian-agama-
menurut-para-ahli-dan-kbbi/

172| Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya
ISBN 978-602-61725-2-5

PERLAWANAN KULTURAL TERHADAP


HEGEMONI PATRIARKI :
REPRESENTASI NARATIF SASTRAWAN
BALI DALAM NOVEL

Oleh :
Dr. Gde Artawan, M.Pd
Undiksha

ABSTRAK

Artikel ini bertujuan secara umum mengetahui


bagaimana representasi naratif sastrawan Bali dalam novel
dan mengetahui bagaimanakah perlawanan kultural ter-
hadap hegemoni patriarki yang dilakukan sastrawan Bali
dalam novel. Dalam artikel ini dikemukakan beberapa
karya novel para sastrawan terkemuka Bali, yaitu novel
Sukreni Gadis Bali, novel Ni Rawit Ceti Penjual Orang karya
AA Panji Tisna, novel Putri karya Putu Wijaya, dan novel
Tarian Bumi, novel Kenanga karya Oka Rusmini. Keterania-
yaan dan kecenderungan mensubordinatkan, upaya pen-
jinakan (cooptation) yang sama-sama dipresentasikan oleh
Panji Tisna, Putu Wijaya, dan Oka Rusmini menunjukkan
secara garis linear ada penyikapan yang sangat kom-
prehensif dari ketiga pengarang untuk mendudukkan dan
memberi data faktual bahwa perempuan masih disub-
ordinatkan dalam tatanan kehidupan masyarakat patri-

Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya | 173
Seminar Nasional KABASTRA II

linear. Adanya resistensi terhadap ikatan patriarki,khusus-


nya melalui jalur ikatan perkawinan ditunjukkan oleh
ketiga sastrawan: Panji Tisna, Putu Wijaya, dan Oka Rus-
mini.Jadi ketiga sastrawan Bali yang berada di antara tra-
disi dan modernitas melalui representasi tokoh ceritanya
dalam novel menunjukkan perjuangan kultural terhadap
hegemoni patriarki, berupa reinterpretasi, rekonstruksi dan
pernyikapan kultural.

Kata-kata kunci :representasi naratif. perlawanan kultural,


hegemoni patriarki

PENDAHULUAN
Novel-novel yang ditulis sastrawan Bali sejak
zaman kolonial sampai sekarang juga memberikan posisi
sentral pada tokoh-tokoh dalam upaya mereptrersentasi-
kan sikap kritis pengarang dalam ranah perjuangan untuk
membebaskan diri dan kaumnya dari belenggu patriarki
meski harus menghadapi berbagai penderitaan, penistaan,
dan kepasrahan untuk kepentingan yang lebih besar.
Perlawanan kultural adalah usaha-usaha yang
dilakukan tokoh-tokoh khususnya wanita dalam novel
untuk melakukan reinterpretasi terhadap tradisi dan
melakukan respons serta reaksi terhadap ketimpangan
yang dipahaminya dan dialaminya dalam kehidupan
masyarakat. Juga perjuangan kultural untuk mereaksi isu-
isu tentang wacana sosial khususnya superioritas kaum
laki-laki dalam kerangka sistem perkawinan yang patriarki
,yang hidup sejalan dengan perkembangan zaman dan dari
174| Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya
ISBN 978-602-61725-2-5

kesetaraan gender berusaha dan memberi artikulasi baru


berupa pemahaman terhadap eksistensi wanita serta
melakukan perlawanan terhadap sesuatu yang dirasakan
sebagai ketidakadilan budaya yang memarginalisasikan
diri dan kaumnya sebagai wanita. Usaha-usaha itu
mungkin dimaksudkan untuk mengangkat harga diri,
status, dan mewujudkan cita-citanya dalam kehidupan
sosial yang adil secara kultural. Arah perjuangan itu bisa
beragam, mulai dari usaha untuk memenuhi keinginan
sendiri (personal) dan juga usaha untuk memperbaiki
keadaan umum (sosial). Dalam analisis, kepentingan
personal dan kepentingan sosial dikaji secara mendalam.
Keberadaan sastra Indonesia di tengah kerangka
kebudayaan Bali dapat dipandang sebagai salah satu
sarana yang terlibat dalam proses ke arah pembangunan
sebuah kebudayaan yaitu kebudayaan Bali. Aspek batiniah,
moral, dan makna kemanusiaan, merupakan titik sentral
bagi dinamika proses perubahan dalam wujud diperjuang-
kannya nilai-nilai dalam sastra yang selanjutnya sampai
pada tahap pencapaian tiga dimensi budaya, yaitu: ide,
perilaku, dan fisik. Dinamika yang terjadi sering berkutat
pada tataran ide untuk mencari formula sebaik-baiknya
bagaimana kehidupan real yang terekspose melalui
perilaku selalu berada dalam tatanan bobot kualitas moral
yang mendudukkan kebermaknaan kemanusiaan dalam
kehidupan masyarakat Bali.

Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya | 175
Seminar Nasional KABASTRA II

METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan rancangan deskriptif
kualitatif. Rancangan ini digunakan untuk mendeskripsi-
kan secara mendalam perlawanan kultural terhadap hege-
moni patriarki yang direpresentasikan secara naratif
sastrawan Bali dalam novel. Subjek penelitian ini adalah
beberapa novel Indonesia yang dikarang oleh sastrawan
Bali. Beberapa prosa novel yang dimaksud adalah novel
Sukreni Gadis Bali, dan Ni Rawit Ceti Penjual Orang, karya
AA Pabji Tisna. Novel Putri karangan Putu Wijaya, novel
Kenanga dan Tarian Bumi karangan Oka Rusmini.Objek
penelitian yang diteliti mengenai perlawanan kultural ter-
hadap hegemoni patriarki yang direpresentasikan secara
naratif sastrawan Bali dalam novel.
Pengenalan objek diupayakan dengan membaca
cermat dan sistematis isi novel Sukreni Gadis Bali, dan Ni
Rawit Ceti Penjual Orang, karya AA Panji Tisna. Novel
Putri karangan Putu Wijaya, novel Kenanga dan Tarian Bumi
karangan Oka Rusmini.Analisis dilakukan dengan langkah
penyeleksian data untuk memudahkan proses kerja. Data
yang diseleksi adalah data-data yang berhubungan
langsung dengan permasalahan.Data yang terkumpul
dalam penelitian ini sebagian besar berwujud data
kualitatif. Data ini dianalisis dengan melakukan berbagai
kegiatan, yakni reduksi data, menyajikan, menafsirkan, dan
menarik kesimpulan.

176| Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya
ISBN 978-602-61725-2-5

Reduksi data meliputi berbagai kegiatan, yakni


penyeleksian, pemfokusan, simplikasi, pengkodean, peng-
golongan, pembuatan pola, deskripsi untuk situasi, atau
kondisi yang memiliki makna subjektif, dan catatan
reflektif. Penyajian data dan penafsiran berkaitan dengan
penyusunan teks naratif daam kesatuan bentuk, keteratur-
an, pola-pola, penjelasan, konfigurasi, alur sebab-akibat,
dan proposisi. Penarikan simpulan dan verifikasi, antara
lain mencakup hal-hal yang hakiki, makna subjektif,
temuan konsep, dan proses universal. Triangulasi di-
lakukan dengan menggabungkan konsep/teori, metode
penelitian, data-data, kasus, dan wawasan peneliti berkena-
an dengan kultural Bali.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Secara interkstualitas terdapat garis linear yang
signifikan dalam menampilkan penokohan/karakteristik
tokoh-tokoh dalam novel. Alur bergerak linear dan
formatnya sederhana pada novel Panji Tisna, sedangkan
pada Putu Wijaya, plot yang dibumbui dengan intrik
politik kadang-kadang bersifat dibuat-buat dan kadang
agak remeh-remeh, tidak membawa cerita, malahan cerita
dibawa oleh eksplorasi secara khayal doktrin Putu Wijaya
yang terkait ‘Tradisi Baru’, yang tujuannya menyegarkan
kembali cara-cara orang Bali meyakini dan melaksanakan
adatnya. Dengan panjang novel melebihi 1000 halaman,
novel Putu Wijaya bersifat kaleidoskopik, dengan plot
berliku-liku dan bermacam-macam tokoh yang mencakup:
Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya | 177
Seminar Nasional KABASTRA II

teman sekolah Agung Wikan yang lama Abu (seorang


tukang sate Muslim yang sederhana, tetapi memiliki
pemikiran yang konstruktif dalam mengimbangi pemikiran
Agung Wikan dan Putri), Wayan Sadra (pemuda yang
menjadi korban pengebirian dan selanjutnya menjadi
balian), Nelly (akademisi muda, anak konglomerat penge-
lola proyek mahakarya), Cheryl (wanita Barat yang sempat
masuk dalam kehidupan percintaan Agung Wikan), Sueti
(gadis kecil mantan penyeroan Puri Puncak yang banyak
memberi inspirasi bagi kemajuan kehidupan putri, Sin
Hwa ( pedagang Cina yang akhirnya gulung tikar karena
soal perempuan), Gde Silur (dekan sebuah Universitas),
Oka (wartawan senior yang terlibat dalam proyek maha-
karya, dan lain-lainnya.
Dalam memberi fokus penajaman perjuangan
cultural khususnya menyangkut penyikapan terhadap
patriarki, tokoh-tokoh wanitanya yang protagonis, Panji
Tisna melalui novel Ni Rawit Ceti Penjual Orang selanjutnya
disingkat NRCPO dan Putu Wijaya melalui Putri I,II,
selanjutnya disingkat P1,P2 dan Oka Rusmini melalui
Tarian Bumi, selanjutnya disingkat TB dan Kenanga
selanjutnya disingkat K , sama-sama menyelipkan kehidup-
an perjalanan mistik pada novelnya dengan menampilkan
sosok balian (orang yang menekuni dunia pengobatan
alternatif dengan ilmu supranatural. Panji Tisna menampil-
kan sosok balian Sandi yang memberi ilmu pada tokoh
Gusti Gurda antagonis ketika bertarung melawan tokoh

178| Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya
ISBN 978-602-61725-2-5

antagonis yang lain Ida wayan Ompog, sementara Putu


Wijaya menampilkan balian Wayan Sadra yang mampu
melayang-layang di atas pepohonan ketika menyelamatkan
tokoh Nyoman yang tersangkut di atas pohon besar karena
‚disembunyikan‛ mahluk halus, kehadiran balian yang
menyatakan kalau kesialan yang menimpa Telaga tidak
jarena dia tidak melakukan upacara mepamit dan melaku-
kan upacara patiwange setelah ia melakukan perkawinan
nyerod, turun derajar dari bangsawan ke sudra.
Pada NRCPO dilukiskan:
‚Hm, melayang-layang di udara pun aku sudah
biasa. Dahulu aku pernah bermusuhan dengan
Gusti Gurda salah seorang murid dari Balian Sandi
itu juga. Pada suiatu malam Senin Kliwon aku
memasang jarring penangkap kelelawar di rumah
men Tanjung. Tiba-tiba tengah malam angina
berhembus sepoi-sepoi basah. Aku tahu itu bukan
angina biasa, tak lama kemudian suatu ujud hitam
samara-samar nampak melayang-layang di atas
jarring itu. Aku maklum sudah, tak dapat tidak
ujud itu tak lain dari ujud Gusti Gurda, musuhku
itu. Tentu saja aku tidak gentar, tidak takut
sedikitpun jua sebab ia adalah murid Balian Sandi,
yang masih berguru kepada Dayu Kompiang
Denok.‛ (hal 2).

Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya | 179
Seminar Nasional KABASTRA II

Dalam karya-karya ketiga sastrawan, Panji Tisna,


Putu Wijaya, dan Oka Rusmini terdapat fenomena penin-
dasan wanita. Konsep sentral bagi model mengenai
penindasan wanita bersinggungan dengan gagasan tentang
nilai yang digambarkan oleh Benston (1969). Benston
mengembangkan suatu konsep awal mengenai nilai serta
mengemukakan dua tipe idealis yaitu nilai guna (use value)
dan nilai tukar (exchange value). Apa yang dikemukakan
Benston merupakan penegasan tentang semua aktivitas
yang secara sosial signifikan mempunyai nilai guna yang
bermanfaat bagi pelaku individu atau pelaku-pelaku lain
dalam beberapa hal . Tipe nilai tukar berada dalam konteks
pasar. Wanita dalam posisi sebagai pekerja yang juga
ditampilkan dalam karya-karya ketiga pengarang. Men
Negara dan I Negari (dalam SGB) adalah pekerja ulet,
membuka kedai/warung di Bingin Banjah di areal kebun
kelapa yang di dalamnya juga ada interaksi para pekerja:
pemetik buah kelapa, pembeli, majikan , dan buruh
lainnya. Putri dan Sueti (dalam P I, II) adalah pekerja ulet
yang membuka usaha pencetakan baju kaos melalui
perusahaan yang bernama Sukseme. Juga tokoh Kenanga
(dalam K), pekerja di dunia akademik yang ulet, Telaga
,Luh Kramben, Luh Sekar ( dalam TB) juga merupakan
sosok pekerja ulet di bidangnya masing-masing. Tentang
wanita pekerja dalam novel Indonesia, secara panjang lebar
dibahas Arbain (2007) dalam bukunya Citra Wanita Pekerja
dalam Novel-Novel Indonesia : Analisis Kritik sastra Feminis.

180| Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya
ISBN 978-602-61725-2-5

Kesendirian dan luka penderitaan yang sama-sama


dipresentasikan oleh Panji Tisna, Putu Wijaya, dan Oka
Rusmini menunjukkan secara garis linear ada penyikapan
yang sangat komprehensif dari ketiga pengarang untuk
mendudukkan dan memberi data faktual bahwa perem-
puan masih disubordinatkan dalam tatanan kehidupan
masyarakat . Penyajian, paparan naratif penderitaan para
perempuan itu tidak semata-mata sikap penistaan terhadap
perempuan oleh ketiga pengarang itu tetapi sebuah ekpose
bahwa betapa banyaknya perlakukan memarginalkan
sosok perempuan sehingga teks sastra memiliki muatan
sebagi bahan renungan dan menyodorkan tata nilai untuk
meminimalis eklspoitasi tubuh perempuan demi kepenti-
ngan superioritas kaum laki-laki yang patriarkal.
Tokoh Sukreni, oleh Panji Tisna digambarkan
sangat terluka dan menderita akibat tindak pemerkosaan
yang dilakukan tokoh I Gusti Made Tusan. Tokoh Putri,
oleh Putu Wijaya suatu ketika dikabarkan sekarat karena
mengkonsumsi obat, yang selanjutnya menimbulkan
sejumlah pertanyaan pada orang-orang apakah: Putri telah
mencoba melakukan upaya bunuh diri karena beban yang
berat harus dipikulnya, atau karena tidak tahu takaran
yang tepat dalam mengkonsumsi obat. Tokoh Kenanga
yang digambarkan sangat menderita akibat pemerkosaan
yang dilakukan Ida Bagus Bhuana dan dalam penderitaan
itu, ia harus menjaga rahasia besar pada seluruh komunitas
geriya, juga termasuk pada Intan bahwa Kenanga adalah

Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya | 181
Seminar Nasional KABASTRA II

wanita yang secara biologis melahirkan Intan, tetapi dalam


kerangka adat dan agama Hindu dipandang tidak ada
hubungannya karena Kenanga tidak melalui institusi per-
kawinan.
Adanya resistensi terhadap ikatan patriarki,khusus-
nya melalui jalur ikatan perkawinan ditunjukkan oleh
ketiga sastrawan: Panji Tisna, Putu Wijaya, dan Oka
Rusmini dalam novelnya. Dalam SGB, Panji Tisna
menampilkan tokoh I Gustam, lelaki berperangai buruk
hasil tindak pemerkosaan yang dilakukan oleh I Gusti
Made Tusan terhadap Sukreni. Dalam novel P I,II, Putu
Wijaya menampilkan tokoh Putri, anak Men Putri yang
lebih dulu mengandung janin hasil hubungannya dengan
Pan Sadra, kekasihnya, sebelum menikah dengan Mangku
Puseh. Sedangkan dalam novel K, Oka Rusmini menampil-
kan tokoh Intan, gadis cantik yang menjadi rebutan para
Ida Bagus, hasil tindak pemaksaan seksual yang dilakukan
Ida Bagus Buana terhadap Ida Ayu Kenanga. Kenanga
dijebak untuk ikut menginap di hotel di Jogja lalu
diperlakukan tindakan hubungan seksual oleh Ida Bagus
Buana.
Tokoh I Gustam, Putri, dan Intan merupakan tokoh
yang sejak lahir mengandung ‚bibit‛ resistensi terhadap
patriarkal karena mereka dilahirkan di luar konstruksi
(institusi perkawinan) patriarkal. Melalui I Gustamlah,
Panji Tisna mengalirkan kebenaran konsep Karma Phala
dalam kerangka Hindu. I Gustam berperingai buruk
182| Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya
ISBN 978-602-61725-2-5

(melakukan tindak kekerasan, perampokan) akibat ia


dilahirkan di luar konstruksi institusi perkawinan yang
sah. Lagi pula, ia lahir sebagai pengejawantahan tindak
achubhakarma yang dilakukan tokoh protagonis I Gusti
Made Tusan. Sebaliknya, I Gustam menjadi alat eksekusi
bagi karma buruk yang diperuntukkan pada Men Negara
dan I Negari karena bersekongkol mengatur strategi untuk
memperlancar terjadinya tindak pemerkosaan yang
dilakukan oleh I Gusti Made Tusan. Warung Men Negara
dirampok dan dibakar yang pada akhirnya membuat Men
Negara hilang ingatan, gila. Demikian pula, I Gustam
ditakdirkan menjadi eksekutor dan sekaligus korban bagi
tulisan karma buruk I Gusti Made Tusan, ayahnya yang
akhirnya mati di tangan anaknya. I Gustam sendiri harus
pula memetik hasil karma buruknya berupa kematian oleh
ayahnya sendiri, I Gusti Made Tusan.
Putri sejak lahir juga mengandung ‚bibit‛ resistensi
karena dilahirkan di luar konstruksi patriarkal. Ia dilahir-
kan tidak dari seorang ayah, Mangku Puseh, yang
mengawini Men Putri secara patriarkal, tetapi ia terbentuk
berupa benih yang ditaburkan oleh Pan Sadra di luar
konstruksi institusi perkawinan. Selanjutnya Putri melaku-
kan perjuangan dalam berbagai ranah seperti tradisi, kese-
taraan gender. Ia memberi interpretasi dan pemaknaan
baru terhadap tradisi dan peran wanita di wilayah domes-
tik dan publik. Sementara tokoh Intan yang secara
eksintensial ada, lahir di luar institusi perkawinan juga

Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya | 183
Seminar Nasional KABASTRA II

mengandung ‚bibit‛ resistensi terhadap patriarkal.


Kehadiran Intan di tengah komunitas griya mensubordinat-
kan peran para gadis Ida Ayu dalam merebut simpati para
pemuda Ida Bagus, sampai-sampai Ida Ayu Galuh
memanfaatkan jasa orang lain untuk melakukan tindak
pelecehan seksual terhadap Intan. Usaha ini gagal karena
Intan mampu memberi pencerahan terhadap lelaki yang
hendak bertindak atau melakukan pelecehan seksual
sehingga ia luput dari tindakan pelecehan seksual.

SIMPULAN
Kesendirian dan luka penderitaan yang sama-sama
dipresentasikan oleh Panji Tisna, Putu Wijaya, dan Oka
Rusmini menunjukkan secara garis linear ada penyikapan
yang sangat komprehensif dari ketiga pengarang untuk
mendudukkan dan memberi data faktual bahwa perem-
puan masih disubordinatkan dalam tatanan kehidupan
masyarakat patrilinear.
Adanya resistensi terhadap ikatan patriarki,khusus-
nya melalui jalur ikatan perkawinan ditunjukkan oleh
ketiga sastrawan: Panji Tisna, Putu Wijaya, dan Oka
Rusmini. Jadi ketiga sastrawan Bali melalui representasi
tokoh ceritanya dalam novel menunjukkan perjuangan
kultural terhadap hegemoni patriarki.

184| Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya
ISBN 978-602-61725-2-5

DAFTAR PUSTAKA
Allen, Pamela.2000. Marrying up in Bali.Hobart: University
of Tasmania.
______2004. Membaca dan Membaca Lagi, Reinterpretasi Fiksi
Indonesia 1980-1995. Magelang: Indonesia Tera.
Geriya, I Wayan. 2008. Transformasi Kebudayaan Bali
Memasuki Abad XXI. Surabaya: Paramita.
Goldmann, Lucien. 1973. :Genetic Structuralism in The
Sosiology of Literature. dalam Sosiology of Literature
and Drama. (Elizabeth Burn dan Tom Burn, eds).
Middlesex : Penguin.
_______________ 1977. Toward A Sosiology of The Novel.
London: Tavistok Publications Limited.
Gross, E. dan C. Pateman. 1986. Feminist Challenge: Social
and Political Theory. Boston : Northeastern
University Press.
Gross, E. 1986. ‚ What is Feminist Theory?‛ hal 190-204,
dalam C. Pateman dan E Gross, (Eds) Feminist
Challenges : Social and Political Theory. Boston :
Northeastern University Press.
Indarti, Titit. 2004. ‚ Sikap Perempuan Bali terhadap
Tradisi, Adat,, Agama, dan Dominasi Laki-Laki
dalam Novel Tarian Bumi karya Oka Rusmini.
Dalam Prasasti, Jurnal Ilmu Sastra dan Seni, Vol.54
Thm XIV, Agustus 2004 hal. 262-280.
Jauss, Hans Robert. 1974. ‚ Literary History as a Challenge
to Literary Theory‛ dalam Ralph Cohen (ed).

Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya | 185
Seminar Nasional KABASTRA II

New Directions in Literary History. London :


Routledge &Kegan Paul.
Kurnia, Fabiola Dharmawanti. 2003. ‚Komposisi Kematian
dan Kehidupan dalam NovelSagra karya Oka
Rusmini: Konkretisasi Budaya dalam sastra‛.
Liem, Maya H.T. 2003. ‚The Turning Wheel of Time,
Modernity and Writing Identity in Bali 1900-1970‛.
Desertasi Doktor Universitas Leiden.
Prabasmoro, Aquarini Priyatna.2006. Kajian Budaya Feminis,
Tubuh, Sastra, dan Budaya Pop. Yogyakarta :
Jalasutra.
Rusmini, Oka. 2003. Kenanga. Jakarta : PT Grasindo.
______2004. TarianBumi. Cetakan keempat. Magelang:
Indonesiatera.
Tisna, A.A. Pandji. 1975. Ni Rawit Ceti Penjual Orang,
Cetakan II. Denpasar: Lembaga Seniman Indonesia
Bali.
______1965. Sukreni Gadis Bali. Jakarta: Balai Pustaka.
Wijaya, Putu. 1971. Bila Malam Bertambah Malam. Jakarta :
Pustaka jaya.
--------. 2004. Putri I, dan Putri II. Jakarta: PT Pustaka Utama
Graffiti.

186| Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya
ISBN 978-602-61725-2-5

PEMENTASAN DRAMA THE GLASS


MENAGERIE KARYA TENNESSEE
WILLIAM DALAM PENGAJARAN KAJIAN
DRAMA INGGRIS (ENGLISH DRAMA
APPRECIATION) OLEH MAHASISWA
PEMINATAN SASTRA INGGRIS
FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS
DIAN NUSWANTORO SEMARANG
Oleh :
Haryati Sulistyorini, M.Hum
Universitas Dian Nuswantoro Semarang
haryati.sulistyorini@dsn.dinus.ac.id

ABSTRAK

Makalah berjudul ‘Pementasan Drama The Glass


Menagerie Karya Tenessee William dalam Pengajaran Kajian
Drama Inggris (English Drama Appreciation) oleh Maha-
siswa Peminatan Sastra Inggris Fakultas Ilmu Budaya
Unversitas Dian Nuswantoro Semarang’ bertujuan untuk
memberikan model pengajaran kajian drama dengan
metode pembuatan proyek dalam bentuk pementasan
drama. Hal tersebut dimaksudkan agar mahasiswa tidak
hanya menghasilkan apresiasi karya sastra drama dalam
Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya | 187
Seminar Nasional KABASTRA II

penulisan karya ilmiah yang bersifat reseptif, namun lebih


pada mendidik dan mengembangkan kreatifitas di bidang
seni khususnya seni pementasan drama. Pementasan yang
mengambil subjek drama karya Tennessee William The
Glass Menagerie tersebut diikuti oleh mahasiswa semester V
peminatan ilmu susastra pada program studi Sastra
Inggris, Fakultas Ilmu Buaya Universitas Dian Nuswantoro
Semarang. Metode yang digunakan dalam pengajaran
tersebut adalah, casting, script review, script review, story
board dan rehearsal. Metode pengajaran tersebut dilaksa-
nakan dalam 16 kali pertemuan dengan asumsi 14 kali
tatap muka dan 2 kali untuk assessment. Keberhasilan
metode pengajaran tersebut diukur dengan keberhasilan
pementasan karya drama terkait sebagai bagian dari ujian
akhir semester mata kuliah Kajian Drama Berbahasa
Inggris (English Drama Appreciation).

PENDAHULUAN
Dewasa ini, dunia seni baik dalam dunia seni peran,
seni musik, seni tari, seni pementasan dan kesenian serupa
mengalami perkembangan yang sangat pesat dan menun-
tut penguasaan yang tidak mudah. Hal tersebut mem-
butuhkan adanya pengembangan kreatifitas dari para
pelaku seni sesuai dengan jenis kesenian yang ditekuni.
Dengan berbekal kemampuan dan kreatifitas yang tinggi,
maka diharapkan mereka dapat mempersiapkan diri untuk
masuk dalam industri hiburan/entertainment.
Ilmu sastra merupakan salah satu cabang Ilmu
Budaya yang berhubungan dengan seni dan keindahan.

188| Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya
ISBN 978-602-61725-2-5

Pengajarang sastra dalam perkembangannya di masa seka-


rang tidak hanya membekali mahasiswa dengan kemam-
puan analisis karya fiksi atau imajinatif kedalam penulisan
karya ilmiah dalam kerangka tujuan menghasilkan sarjana
ilmu susastra, namun juga pada kemampuan mahasiswa
mengekspresikan karya sebagai pelaku dalam karya sastra
pada sebuah pementasan atau pertunjukkan seni.
Kajian drama merupakan salah satu mata kuliah
dalam pengajaran sastra yang selama ini mengajarkan
mahasiswa memahami dan mengapresiasikan sebuah
karya sastra berjenis drama dan bersifat reseptif. Pada
umumnya pengajaran bidang kajian drama tersebut
membentuk kemampuan kognitif mahasiswa dari satu sisi
yaitu mampu merespon sebuah karya sastra drama dari
sudut pandang orang ketiga (Omniscent point a view).
Mereka memandang karya drama dalam persepsi nertal
yang artinya tidak terlibat dalam penceritaan tersebut
karena menjadi orang diluar penceritaan. Apresiasi dan
kritik mereka hanya didasrkan atas subjektifitas dari apa
yang mereka temukan sebagai hasil dari intepretasi. Kajian
tokoh, konflik, alur pelataran dan amanat menjadi bahan
utama kajian mereka untuk kemudian pada akhirnya
dituangkan dalam penulisan ilmiah. Jadi, dapat disimpul-
kan bahwa bentuk atau hasil dari apresiasi karya sastra ber-
jenis drama tersebut adalah penulisan ilmiah.
Pengajaran kajian drama tersebut diatas, merupa-
kan bentuk dasar yang patut diajarkan pada pembelajar
Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya | 189
Seminar Nasional KABASTRA II

kajian drama tingkat pemula. Namun apabila mahasiswa


tersebut sudah melalui kajian yang lebih bersifat reseptif,
maka mereka harus mulai diajarkan bagaimana menerap-
kan hasil intepretasi mereka tersebut dalam bentuk
pembelajaran berbasis proyek (Project Based Learning). Pada
pengajaran dengan karakter seperti tersebut diatas dimak-
sudkan untuk lebih meningkatkan kreatifitas mahasiswa
dan soft skill mereka terhadap karya sastra dalam kajian
mata kuliah terkait. Seperti disebutkan di atas, bahwa
pengajaran dengan metode pementasan sebagai hasil dari
intepretasi karya sastra dapat membekali mahasiswa tidak
hanya dengan kemampuan kognitif namun lebih pada
pengembangan soft skill dan kreatifitas dalam berkarya.
Mahasiswa tidak hanya dipersiapkan mampu dalam
bidang berakting sebagai pemain (talent), namun juga
mampu sebagai tim artistk, dan manajer pengelola sebuah
produksi pementasan.Wrigley (2013) dalam www.eureka-
pendidikan.com menjelaskan bahwa Pembelajaran dengan
metode project based learning merupakan metode
pembelajaran dengan menggunankan proyek/kegiatan
sebagai media. Selain yang telah disebutkan sebelumnya,
tujuan akhir dari pengajaran dan pembelajaran tersebut
pada prinsipnya adalah sama yaitu evaluasi dan penilaian.
Pementasan drama yang disajikan dalam pengajaran kajian
drama tersebut adalah hasil akhir dari proyek mahasiswa
yang dipersiapkan selama satu semester yang kemudian
dijadikan sebagai komponen akhir penilaian (final
assessment).
190| Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya
ISBN 978-602-61725-2-5

DRAMA
Mario Klarer (1999) membagi jenis-jenis sastra/-
literary genre kedalam 3 macam jenis sastra, yaitu fiksi,
drama dan puisi. Ketiganya memiliki ciri-ciri dan karak-
teristik khusus. Drama merupakan bagian dari karya sastra
yang disajikan dengan dialog sebagai media pengantar
cerita. Seperti didefinisikan oleh Reaske (1966) dalam
bukunya How toAnalyze Drama mendefinisikan drama
sebagai berikut:
A drama is a work of literature or a composition
which delineates life and human activity by
means of presenting various actions of – and
dialogues between a group of characters (1966:5)

Drama tidak hanya dialog yang dibaca sebagai


media pengantar cerita, namun drama umumnya harus
menghadirkan unsur-unsur yang diwajbkan dalam sebuah
pertunjukkan, antara lain panggung (stage), penonton
(audience), pemain (tallent), mengingat bahwa drama
adalah sebuah karya sastra yang diciptakan untuk dimain-
kan di atas panggung. Drama tidak hanya dikaji dalam
bentuk penulisan karya ilmiah yang lebih bersifat reseptif,
namun juga akan memberikan hasil intepretasi lebih baik
apabila karya drama yang telah dituangkan oleh penuis
dalam teks imajinatif dipresentasikan dalam bentuk
pementasan.

Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya | 191
Seminar Nasional KABASTRA II

Reaske (1966) juga mengklasifikasi didasrkan pada


jenis ceritanya, yaitu tragedy dan komedi. Tragedi lebih
menfokuskan pada cerita yang lebih berorientasi pada
kehidupan manusia dari dimensi yang lebih menyedihkan
dibandingkan drama komedi.

Tragedy involves events which climax in


unhappy disaster, while comedy deals with
inevitably find sort of pleasing or happy
resolution: tragedy then as explained by the
subject matter itself, is necessarily dark while
comedy, also in subject matter, is essentially
light (1966:8)

Aspek-aspek lain yang perlu dipertimbangkan


sebelum menggarap sebuah pementasan drama memaha-
mi karakteristik drama yang akan dikaji dan dipentaskan,
selain itu juga pemahaman jalan cerita/alur cerita (plot),
tokoh (character) dan pelataran (setting) yang digunakan
dalam penceritaan.

TOKOH PASIF DAN TOKOH AKTIF(PASSIVE AND


ACTIVE CHARACTER)
Perlu diketahui bahwa dalam sebuah karya drama
terdapat tokoh yang lebih sering muncul dan bersifat
dinamis, memiliki frekuensi yang lebih sering disbanding
dengan tokoh lainnya atau biasa disebut dengan tokoh
yang aktif (Active Character). Lawan dari tokoh aktif adalah
tokoh yang bersifat pasif (Passive Character). Berbeda
192| Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya
ISBN 978-602-61725-2-5

dengan tokoh yang bersifat aktif, tokoh passive lebih


jarang muncul dalam cerita namun bisa jadi kemunculan-
nya mempengaruhi konflik yang dihadapi tokoh aktif.
Reaske (1966) menjelaskan:
These passive characters are acted upon
the events of the play; they are usually
static or unchanging. Conversely, some
characters are active. They perform acts,
they have large parts in the play, they
usually undergo certain changes as a
result of action of the play. Instead of being
static they are dynamic. (1996:44)
Pada sebuah pertunjukkan pementasan drama,
kedua jenis tokoh tersebut dapat dihadirkan sesuai dengan
kebutuhan cerita. Pemunculan baik tokoh pasif maupun
tokoh aktif dirasa sama pentingnya untuk kelangsungan
cerita dalam sebuah pementasan karya sastra drama.

ALUR CERITA/PLOT DAN PELATARAN/SETTING


Sebuah penceritaan selalu ada alur yang mencerita-
kan jalannya cerita. Klarer (1999) mengatakan bahwa plot
merupakan urutan kejadian dalam satu serial cerita yang
saling berhubungan satu sama lain. Lebih jauh Klarer
mengatakan:
Plot is the logical interaction of the various
thematic elements of a text which lead to a
change of the original situation as presented

Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya | 193
Seminar Nasional KABASTRA II

at the outset of the narrative. An ideal


traditional plot line encompasses the
following four sequential levels: exposition –
complication – climax or turning point –
resolution (1999:15)

Sedangkan pelataran merupakan unsur penunjang


dlm sebuah cerita yang lebih menekankan pada tempat,
waktu dan status sosial tokoh dalam cerita. Klarer (1999)
mengatakan: ‚The term ‚setting‛ denotes the location,
historical period, and social surroundings in which the action of
a text develops‛, (1999:25). Sebuah pementasan drama alur
dan pelataran sangat membantu proses penentuan lajunya
cerita (storyboard), disamping penentuan kelengkapan
property panggung drama.

PEMBELAJARAN BERBASIS PROJEK (PROJECT


BASED LEARNING)
Seperti telah dijelaskan sebelumnya pada Pendahu-
luan, Wrigley (2013) dalam www.eurekapendidikan.com
menjelaskan bahwa Pembelajaran dengan metode project
based learning merupakan metode pembelajaran dengan
menggunankan proyek/kegiatan sebagai media.Thomas
dalam www.eurekapendidikan.com menjelaskan bahwa
karakteristik model pengajaran dan pembelajaran seperti
tersebut adalah:

194| Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya
ISBN 978-602-61725-2-5

Centrality pada Project Based Learning


Proyek menjadi pusat dalam pembelajaran.
2. Driving Question Project based learning
difokuskan pada pertanyaan atau masalah
yang mengarahkan siswa untuk mencari
solusi dengan konsep atau prinsip ilmu
pengetahuan yang sesuai. 3. Constructive
Investigation pada Project Based Learning,
siswa membangun pengetahuannya dengan
melakukan investigasi secara mandiri (guru
sebagai fasilitator). 4. Autonomy Project
Based Learning menuntut student centered,
siswa sebagai problem solver dari masalah
yang dibahas. 5. Realisme Kegiatan siswa
difokuskan pada pekerjaan yang serupa
dengan situasi yang sebenarnya. Aktifitas
ini mengintegrasikan tugas otetik dan meng-
hasilkan sikap profesional (Thomas, 2000).
Karakteristik model tersebut diterapkan
dalam langkah-langkah penentuan projek
yang mengakomodasi tujuan akhir dari
preoses belajar mengajar berbasis projek
yaitu mengembangkan kreatifitas maha-
siswa.

METODE
Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa dalam
pengajaran kajian drama yang berbasis pementasan atau
Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya | 195
Seminar Nasional KABASTRA II

pertunjukkan drama tersebut adalah didasarkan pada


karakteristik drama dan pembelajaran berbasis projek
seperti telah dijelaskan sebelumnya. Pengajaran kajian
darama dalam metode pementasan diselenggarakan selama
satu semester selama 16 kali pertemuan yang terbagi
kedalam 14 kali tatap muka dan 2 kali untuk evaluasi
(assessment). Penerapan metode tersebut dalam perkuliahan
kajian drama adalah dengan mengadakan, pemilihan
pemain (casting), pengolahan naskah dan alur cerita (story
board), latihan (rehearsal) dan pementasan (performance).

Metode lain yang digunakan adalah dengan


menggunakan Langah-Langkah dalam Project Based
Learning yang dikembangkan oleh The Goerge Lucas
Educational Foundation (2005) dalamwww.eureka-
pendidikan.comyaitu: penentuan pertanyaan mendasar,
desain proyek, jadwal, dan monitoring. Metode yang
digunakan untuk menentukan hasil akhir adalah dengan
menggunakan system penilaian proyek yang meliputi
kemampuan pengelilaan, relevansi dan keaslian (Kem-
dikbud, 2013)

PEMBAHASAN
Pementasan drama The Glass Menagerie karya
Tennessee William yang diadaptasi oleh Muhammad Isal
Tjakrawiriardi dan Bayu Ade Prabowo adalah proyek
pengajaran dalam mata kuliah Kajian Drama Bebahasa
Inggris (English Drama Appreciation), dan diikuti wajib
oleh mahasiswa peminatan ilmu-ilmu sastra pada program
196| Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya
ISBN 978-602-61725-2-5

studi Sastra Inggris angkatan 2013 Fakultas Ilmu Budaya


Universitas Dian Nuswantoro Semarang. Model pengajar-
an drama dengan menggunakan proyek tersebut merupa-
kan proyek pementasan kedua pada tahun 2016, setelah
proyek pertama yang diselenggarakan pada tahun 2015.
Pementasan yang mengambil tema drama yang sangat
natural yaitu mengenai kehidupan dan masalah-masalah
dalam keluarga.
Pementasan drama yang disutradarai langsung oleh
Bayu Ade Prabowo tersebut dipersiapkan selama satu
semester dan berlangsung selama kurang lebih 90 menit
atau 1,5 jam, diikuti oleh kurang lebih 15 peserta yang
terbagi kedalam 7 tallent/pemain, dan 8 tim artistik. Tallent
terbagi kedalam tokoh utama (aktif), tokoh pendukung
(pasif) dan narrator cerita. Tim artistk yang terlibat terbagi
kedalam sutradara, divisi properti, lampu atau pencahaya-
an, kostum dan tata rias, penata musik, dan pengelola
panggung atau stage manager yang bertanggung jawab pada
jalannya pertunjukkan mulai dari perencanaan, persiapan
dan pelaksanaan pementasan.
Pementasan drama tersebut merupakan bagian dari
materi inti pengajaran mata kuliah kajian drama berbahasa
Inggris yang ditawarkan pada semester genap oleh
program studi Sastra Inggris. Pengajaran berbasis proyek
pada pementasan drama tersebut dikhususkan pada maha-
siswa peminatan sastra dengan tujuan dapat menghasilkan
sebuah garapan pertunjukkan seni sastra sesuai dengan
Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya | 197
Seminar Nasional KABASTRA II

tujuan utama dalam mata kuliah terkait yaitu mengem-


bangkan kreatifitas dan menjadikan sastra sebagai objek
seni untuk mencapai tujuan tersebut. Mengapa dikhusus-
kan pada mahasiswa di semester 5 peminatan ilmu sastra,
dikarenaan tingkat kemampuan, soft skill dan pemahaman
terhadap intepretasi sastra pada usia tersebut sudah lebih
baik dan secara kesiapan mental mereka dapat melalui
tahapan-tahapan persiapan dalam satu semester sebagai
rangkaian dari proses penggarapan pementasan seni
panggung.

Penyajian perkuliahan kajian drama berbahasa


Inggris dengan menggunakan metode pementasan tersebut
dipersiapkan dalam satu semester dengan mengacu/berpe-
doman pada syllabus/course outline mata kuliah English
Drama Appreciation, yang ditawarkan tiap semester V
dengan bobot kredit mata kuliah 2 sks. Berikut syllabus
mata kuliah Drama Appreciation yang disajikan dalam
bentuk projek (project based learning):

198| Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya
ISBN 978-602-61725-2-5

CORSE OUTLINE
DRAMA APPRECIATION-PROJECT PLAY
Tennessee William’s The Glass Menagerie
Odd Semester - Academic Year 2015-2016
WEEK DESCRIPTION
1 Job Description
Director
Actor and Actress
Creative Team
Grading System
2 Mini Presentation (actor, director, script writer)
Content : Mastering General Description of
Characters, Content of the Story
3 Mini Presentation (creative team)
Content : Pre Proposal ; Check List ; PIC ;
Budget estimation (pre)
4-6 Design a plan for the project
Create a schedule (Time Line)
7 Character development drill (Tallent)
8 Mid Test – the evaluation is based on the
result on week 4-7
9 -12 Character Drill for Director Actor and Actress
Preparation on Final exam ; Evaluation for the
tallent
13-15 Final Proposal Presentation
(Evaluation for the creative team)
16 Final Assessment / Performance
Sumber : Sillabus Drama Appreciation Sastra Inggris FIB
UDINUS 2010

Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya | 199
Seminar Nasional KABASTRA II

Berdasarkan langkah-langkah pada Pengajaran dan


pembelajaran berbasis proyek (Project Based Learning),
penerapan tahapan-tahapan dalam syllabus adalah di-
dasarkan pada:
1. Penentuan Pertanyaan (Start with Essential
Questions) yaitu pada pertemuan ke 1 dan 2. Pada
tahap ini dilakukan uji pemahaman terhadap naskah,
peran dan bagian yang telah ditentuan, untuk
kemudian dilakukan evaluasi awal.
2. Mendesain perencanaan Proyek (Design a Plan for the
Project) dan Menyusun Jadwal (Create a Schedule).
Tahap tersebut dilaksanakan pada pertemuan ke 4
ampai dengan 6. Pada tahapan tersebut mahasiswa
diwajibkan membuat Time Line sesuai dengan
kewajiban masing-masing, dan digunakan sebagai
panduan persiapan dan pelaksanaan pementasan
dibawah pengawasan Sutradara.
3. Memonitor Kemajuan Siswa (Monitor the Students
and Progress). Tahap tersebut dimulai pada pertemuan
ke 8 sampai dengan 16. Pada saat pementasan
berlangsung (pertemuan ke 16) evaluasi akhir
dilakukan untuk mendapatan nilai ujian akhir mereka
pada mata kuliah tersebut.

Evaluasi akhir pada pengajaran kajian drama The


Glass Menagerie tersebut didasarkan pada hasil pementasan.
Namun bukan hanya demikian, factor pendukung penilai-
an lainnya tetap menjadi bahan pertimbangan dalam
200| Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya
ISBN 978-602-61725-2-5

penilaian seperti pada tahapan perencanaan sampai


dengan pelaksanaan. Penilaian atau evaluasi tersebut
didasarkan atas: Pertama, Kemampuan Pengelolaan, di
mana mahasiswa iharapkan mampu mengelola persiapan
dan pelaksanaan pementasan sesuai dengan topik yang
ada. Kedua, Relevansi, yaitu kesesuaian tema, karakter,
alur dan pelataran pada cerita dan naskah yang dibawakan.
Ketiga adalah Keaslian. Karya pementasan drama harus
merupakan karya asli, yang diolah berdasarkan proses
kembang kreatif yang mandiri. Pengadaptasian drama baik
dalam bentuk naskah dan property panggung diperboleh-
kan, namun tetap harus disebutkan nama pengarang
aslinya, dan tidak mengubah secara keseluruhan jalannya/-
alur cerita asli. Drama The Glass Menagerie karya Tennessee
William yang dikaji dan dipertunjukkan dalam bentu
projek pementasan tersebut, diolah kembali dengan ide dan
kreatifitas panggung yang belum pernah dipetunjukkan
sebelumnya. Penataan artistik dalam pementasan drama
tersebut juga merupakan ide kreatif yang asli dari
mahasiswa peminatan sastra, program studi Sastra Inggris
Universitas Dian Nuswantoro Semarang.
Adapun mengenai proses evaluasi dan monitoring
dirangkum dengan menggunakan form penilaian untuk
tiap mahasiswa. Berikut adalah form penilaian yang
digunakan sebagai acuan evaluasi pengajaran dan
pembelajaran yang terbagi kedalam artistic dan talent.

Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya | 201
Seminar Nasional KABASTRA II

FORM PENILAIAN MAHASISWA (ARTISTIK)


Nama :
Mahasiswa
NIM :
Divisi :

Komponen Kriteria
Penilaian
85 – 95 84 – 70 69 – 55 54 – 45 N
Sangat Bagus Cukup Kurang
Bagus

Pengetahuan
Dasar (30%)
Perencanaan
(50%)
Pencapaian
(20%)

FORM PENILAIAN MAHASISWA (TALLENT)


Nama :
Mahasiswa
NIM :
Peran :

202| Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya
ISBN 978-602-61725-2-5

Komponen Kriteria dan Nilai


Penilaian
85 – 95 84 – 70 69 – 55 54 – 45 N
Sangat Bagus Cukup Kurang
Bagus

Penguasaan peran
dan penjiwaan
terhadap karakter
tokoh yang
dibawakan (50%)
Kreatifitas Gerak,
gimik, dan
gesture yang
dimunculkan
pada saat peran
(30%)
Ekspresi wajah
pada saat
membawakan
peran
Kemampuan
dalam
berdialog/memba
wakan dialog
Kemampuan
dalam berbahasa
Inggris

Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya | 203
Seminar Nasional KABASTRA II

Berdasarkan rangkuman pada deskripsi penilaian


kemudian akan didapat hasil angka sebagai nilai akhir
mereka. Form Penilaian tersebut tidak hanya digunakan
sebagai alat ukur dari keberhasilan pengajaran dengan
metode tersebut, namun juga digunakan sebagai acuan
monitoring pada perencanaan, persiapan, latihan untuk
melihat samapai seberapa jauh perkembangan atau prog-
ress kerja dari pementasan tersebut. Adapun pelaksanaan
penilaian dilaksanakan pada pertemuan ke 8 (mid semes-
ter) dan pertemuan ke 16 (Ujian Akhir Semester), disam-
ping juga dilakukan pada tiap tahap monitoring disetiap
pertemuan yang disesuaikan dengan syllabus mata kuliah
terkait.
Hasil yang didaptkan dari pengajaran Kajian drama
berbahasa Inggris (English Drama Appreciation) dengan
metode pementasan drama The Glass Menagerie karya
Tennessee William adalah kreatifitas mahasiswa yang
berkembang dan asli lahir dari ide kreatif mereka. Kemam-
puan apresiasi mahasiswa tidak hanya bersifat reseptif,
namun lebih pada ide kreatif. Mahasiswa tidak hanya
berlaku sebagai pengamat sastra dari sisi luae arya drama
tersebut, namun mereka juga mampu mengapresiasikan
sebagai pemain dan pelaku sastra.

SIMPULAN
Pembahasan makalah berjudul ‘Pementasan Drama
The Glass Menagerie Karya Tennessee William Dalam
Pengajaran Kajian Drama Inggris (English Drama
204| Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya
ISBN 978-602-61725-2-5

Appreciation) Oleh Mahasiswa Peminatan Sastra Faultas


Ilmu Budaya Universitas Dian Nuswantoro Semrang’,
memberikan gambaran pada kita bahwa mengajar kajian
sastra dalam hal ini drama tidak selamanya harus
menggunakan metode yang bersifat reseptif, dimana
mahasiswa diarahkan untuk menjadi kritikus sastra yang
hanya melihat karya sastra dari sudut pandang orang
ketiga untuk kemudian menuliskannya dalam makalah
ilmiah. Pengajaran kajian drama dengan menggunakan
pementasan sebagai proyek pembelajaran dapat dijadikan
sebagai salah satu cara untuk mengembangkan kreatifitas
mahasiswa khususnya dibidang seni peran dan panggung.
Pada metode tersebut, mahasiswa tidak hanya diarahkan
sebagai apresiator atau kritikus sastra saja, namun lebih
pada pelaku sastra. Hal tersebut diharapkan mampu
memberikan aspek positif bagi pengembangan pengajaran
sasatra pada umumnya, kususnya kajian drama.
Pengajaran kajian drama dengan menggunakan
metode berbasis proyek pada makalah ini diikuti oleh
mahasiswa peminatan sastra Inggris semester V pada
Program studi Sastra Inggris Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Dian Nuswantoro Semarang sebanyak kurang
lebih 15 peserta, dengan pelaksanaan waktu selama satu
semester (16 ali pertemuan, 14 kali tatap muka dan 2 kali
evaluasi). Metode yang digunakan dalam pengajaran
tersebut adalah pemilihan pemain (casting), pengolahan
naskah dan alur cerita (story board), latihan (rehearsal) dan

Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya | 205
Seminar Nasional KABASTRA II

pementasan (performance). Sedangkan langkah-langkah


dalam penyusunan perencanaan, persiapan dan pelaksaaan
pementasan adalah dengan menggunakan Penentuan
Pertanyaan (Start with Essential Questions), Mendesain
perencanaan Proyek (Design a Plan for the Project) dan
Menyusun Jadwal (Create a Schedule), dan Memonitor
Kemajuan Siswa (Monitor the Students and Progress).
Evaluasi dilaksanakan dengan menggunakan Form Penilai-
an untuk tiap mahasiswa yang disesuaikan dengan materi
evaluasi yaituKemampuan Pengelolaan, Relevansi, dan
Memonitor Kemajuan Siswa (Monitor the Students and
Progress).
Hasil yang diperoleh dalam pengajaran dengan
metode pementasan drama tersebut adalah perkembangan
ide kreatif seni yang murni berasal dari mahasiswa,
disamping aspek penjiwaan dan pemahaman karya sastra
yang dilakukan bukan hanya dengan sudut pandang
resptif.

206| Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya
ISBN 978-602-61725-2-5

DAFTAR PUSTAKA

Elam Keir. The Semiotic of Theatre and Drama. 1980. England.


Clays Ltd, St Ives plc.
Kemdikbud. 2013 Model Pengembangan Berbasis Proyek
(Project Based Learning).
www.eurekapendidikan.com
Klarer Mario. 1999. An Introduction to Literary Studies.
London. Routledge.
Perrine Laurence & Arp Thomas R. 1984. Literature,
Structure, Sound, and Sense. USA:Southern Methodist
University.
Reaske Russell Christoper.1966. How to Analyze Drama.
New York. Monarch Press.
The George Lucas Educational Foundation. 2005.
Instructional Module Project Based
Learning.www.eurekapendidikan.com
Thomas, J.W. 2000. A Review of Research on Problem Based
Learning. California : The
Autodesk Foundation. www.eurekapendidikan.com
William Teneesse in Perrine Laurence & Arp Thomas R.
1984 The Glass Menagerie.
USA:Southern Methodist University.
Wrigley, H.S. 2003. Knowledge in Action : The Promise of
Project Based Learning, Focus
and Basic.Journal vol. 2. h.3.www.eurekapendidikan.com

Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya | 207
Seminar Nasional KABASTRA II

208| Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya
ISBN 978-602-61725-2-5

KARAKTERISTIK TRADISI MITONI DI


MAGELANG SEBAGAI
SEBUAH SASTRA LISAN

Oleh :
Imam Baihaqi, M.A.
Universitas Tidar
imam.pbsi@gmail.com

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan


karakteristik tradisi mitoni yang terdapat di Magelang
sebagai salah satu jenis sastra lisan. Karakteristik dalam
tradisi mitoni yang ada di Magelang tersebut dapat diurai-
kan dan dianalisis dengan teori sastra lisan Ruth Finnegan
yang berkaitan dengan komponen dalam sebuah per-
tunjukan sastra lisan. Kajian ini diharapkan dapat membuat
karakterisasi budaya dan mengangkat kembali tradisi
mitoni yang selama ini mungkin semakin terasingkan oleh
masyarakatnya sendiri sebagai salah satu dampak dari
globalisasi dan modernisasi. Hal yang dikaji dalam
penelitian ini adalah komponen-komponen dalam tradisi
mitoni berupa: penutur, properti, partisipan, dan bacaan
atau doa. Metode yang digunakan dalam penelitian ini
adalah deskriptif kualitatif. Pengumpulan data dilakukan
dengan observasi dan wawancara sedangkan analisis data
dilakukan secara deskriptif sintesis.

Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya | 209
Seminar Nasional KABASTRA II

Kata kunci: karakteristik mitoni, tradisi mitoni di Magelang,


komponen sastra lisan.

PENDAHULUAN
Kebudayaan Indonesia merupakan suatu hal yang
tidak dapat terlepas dari tradisi kebiasaan. Tradisi itu
sendiri bukanlah hal yang sudah selesai dan berhenti,
melaikan suatu hal yang masih ada dan terus berkembang.
Tradisi ini berkembang mengikuti arus perubahan sosial,
namun perubahan yang terjadi tidaklah melenceng jauh
dari akarnya, termasuk sebuah tradisi lisan.
Indonesia mempunyai banyak tradisi lisan yang
berkembang di setiap wilayah dan daerah. Banyaknya
unsur kelisanan yang ada di Indonesia menciptakan suatu
keragaman yang majemuk. Banyak bentuk sastra lisan di
Indonesia yang memiliki keunikan tersendiri pada setiap
wilayah dan daerah. Salah satu sastra lisan yang terdapat
di Indonesia terutama di wilayah Jawa Tengah adalah
mitoni. Tradisi mitoni yang terdapat di Jawa Tengah
sampai saat ini mempunyai variasi tergantung di daerah
mana tradisi mitoni tersebut tumbuh dan berkembang.
Mitoni merupakan upacara kehamilan untuk memperingati
dan mendoakan calon bayi. Sebagian besar orang yang
berada di daerah Jawa Tengah mengenal tradisi ini.
Meskipun memiliki tujuan yang sama, tradisi mitoni juga
memiliki perbedaan yang terdapat di setiap daerah
terutama di Magelang. Perbedaan tersebut dapat terjadi
karena latar belakang sosial budaya masyarakat yang

210| Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya
ISBN 978-602-61725-2-5

berbeda pula, baik dari segi doa maupun properti yang


digunakan.
Permasalahan yang menjadi kajian dalam penelitian
ini adalah adanya karakteristik dalam tradisi mitoni yang
terdapat di Magelang. Karakteristik ini disebabkan oleh
adanya perbedaan latar belakang sosial dan budaya khas
yang terdapat di daerah Magelang. Misal daerah Jawa
Tengah di pesisir pantai utara tergolong masyarakat yang
blak-blakan dan masyarakat di sekitar Surakarta dan
Yogyakarta tergolong masyarakat yang lemah lembut.
Perbedaan sosial dan budaya yang terdapat di pesisir
pantai utara dan wilayah sekitar keraton akan mem-
pengaruhi tradisi mitoni yang terdapat di wilayah tersebut.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengung-
kapkan bahwa tradisi mitoni sebagai suatu jenis sastra lisan
yang terdapat di wilayah Magelang mempunyai karakteris-
tik tertentu. Karakterisasi dilakukan dengan cara melihat
komponen-komponen yang terdapat dalam tradisi mitoni
dengan menggunakan teori sastra lisan Ruth Finnegan,
yaitu dari aspek penutur, properti, partisipan, dan bacaan
atau doa.

TRADISI LISAN
Tradisi lisan adalah segala wacana yang disampai-
kan secara lisan, mengikuti cara atau adat istiadat yang
telah memola dalam suatu masyarakat. Kandungan isi
wacana tersebut dapat meliputi berbagai hal: berbagai jenis
cerita atau berbagai jenis ungkapan seremonial dan ritual.
Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya | 211
Seminar Nasional KABASTRA II

Cerita-cerita yang disampaikan secara lisan itu bervariasi


mulai dari uraian genealogis, mitos, legenda, dongeng,
hingga berbagai cerita kepahlawanan (Sedyawati, 1996: 5).
Perkembangan tradisi lisan terjadi dari mulut ke mulut
sehingga menimbulkan banyak versi cerita. Menurut
Suripan Sadi Hutomo (1991:11) tradisi lisan itu mencakup
beberapa hal, yakni: (1) yang berupa kesusastraan lisan, (2)
yang berupa teknologi tradisional (3) yang berupa
pengetahuan folk di luar pusat-pusat istana dan kota
metropolitan, (4) yang berupa unsur-usnur religi dan
kepercayaan folk di luar batas formal agama-agama besar,
(5) yang berupa kesenian folk di luar pusat-usat istana dan
kota metropolitan, (6) yang berupa hukum adat. Darma
(2011:55) menyatakan bahwa tradisi lisan dapat menjadi
dasar penciptaan seni budaya baru yang berkaitan dengan
usaha pelestarian suatu kebudayaan.
Pudentia (1998: 32) memberikan pemahaman ten-
tang hakikat kelisanan (orality) sebagai berikut. Tradisi lisan
(oral tradition) mencakup segala hal yang berhubungan
dengan sastera, bahasa, sejarah, biografi, dan berbagai
pengetahuan serta jenis kesenian lain yang disampaikan
dari mulut ke mulut. Jadi tradisi lisan tidak hanya
mencakup cerita rakyat, teka-teki, peribahasa, nyanyian
rakyat, mitologi, dan legenda sebagaimana umunya diduga
orang, tetapi juga berkaitan dengan sistem kognitif
kebudayaan, seperti: sejarah, hukum, dan pengobatan.
Tradisi lisan adalah ‚segala wacana yang diucapkan/
disampaikan secara turun-temurun meliputi yang lisan dan
212| Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya
ISBN 978-602-61725-2-5

yang beraksara‛ dan diartikan juga sebagai ‚sistem wacana


yang bukan beraksara‛. Suprijono (2013: 224) mengungkap-
kan bahwa dalam sejarah muncul berulang-ulang berbagai
tradisi mitologis yang tidak konsisten tetapi bisa terus
berdampingan satu sama lain tanpa adanya integrasi
teoritis. Udu (2015:55) menyatakan bahwa tradisi lisan
dapat dilihat sebagai objek kajian antropologi yang penting
untuk diungkap dalam memahami sebuah kebudayaan,
sistem sosial, psikologi, maupun aspek struktur suatu
masyarakat.
Bila deskripsi tentang kelisanan diberikan dengan
memakai ukuran dari hal-hal yang berasal dari dunia
keberaksaraan, masih ada hal-hal tertentu yang khas dari
kelisanan yang belum terungkap. Ada pula hal-hal yang
diungkapkan, tetapi tidak diwujudkan. Hal ini tidaklah
berarti bahwa kelisanan sama sekali terlepas dari dunia
keberaksaraan atau sebaliknya dunia keberaksaraan tidak
berkaitan dengan dunia kelisanan. Ada saling pengaruh di
antara kedua dunia tersebut dan interaksi di antara kedua-
nya justru sangat menarik (Teeuw, 1980: 4-5). Sweeney
(1991: 17-18) mengungkapkan bahwa hubungan di antara
tradisi lisan dan tradisi tulis khususnya dalam dunia
melayu didasari oleh anggapan bahwa dengan mengetahui
interaksi keduanya, baru dapat dipahami tradisi masing-
masing. Duija (2005: 114) mengungkapkan bahwa ada hal-
hal tertentu yang khas dari kelisanan yang belum
terungkap, yaitu adanya keterkaitan dan pengaruh antara
kelisanan dan keberaksaraan atau sebaliknya.
Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya | 213
Seminar Nasional KABASTRA II

SASTRA LISAN
Sastra lisan muncul dari tradisi lisan dalam suatu
komunitas masyarakat tertentu. Tradisi lisan tersebut dapat
berupa berbagai pengetahuan, adat kebiasaan yang secara
turun-temurun disampaikan secara lisan dan mencakup
tidak hanya pada cerita rakyat, mitos, legenda, tetapi juga
dilengkapi dengan hukum adat, dan lain sebagainya.
Tradisi lisan ini kemudian mendapatkan tempat dan
menemukan bentuknya dalam suatu kebudayaan masya-
rakat yang bisa jadi berbeda-beda. Tradisi lisan tersebut
akhirnya mengandung unsur estetik serta berbagai macam
informasi tentang nilai-nilai budaya masyarakat yang
bersangkutan. Oleh karena itu, tradisi lisan yang terdapat
di masing-masing wilayah serta daerah mempunyai andil
besar dalam pembentukan sebuah sastra lisan. Sudewa
(2014: 67) menyatakan bahwa keberadaan sastra lisan juga
berkaitan dengan kegiatan adat dan budaya masyarakat,
artinya sastra lisan dan tradisi lisan mendominasi kehidup-
an masyarakat.

Sastra lisan merupakan salah satu bagian dari


tradisi lisan. Sastra lisan disebarkan dari satu orang ke
orang lain secara lisan kemudian prosesnya dilihat,
didengar, kemudian dilisankan kembali. Jadi, yang dilihat
dalam tradisi lisan adalah proses dan hasil melisankan.
Hutomo (1991: 62) membedakan jenis bahan sastra lisan ke
dalam tiga bagian, yaitu:

214| Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya
ISBN 978-602-61725-2-5

1. Bahan yang bercorak cerita: cerita-cerita biasa, mitos,


legenda, epik, cerita tutur, dan memori
2. Bahan yang bercorak bukan cerita: ungkapan, nyanyian,
peribahasa, teka-teki, puisi lisan, nyanyian sedih
pemakaman, dan undang-undang atau peraturan adat
3. Bahan yang bercorak tingkah laku (drama): drama
panggung, dan drama arena.

Menurut A Teeuw (1994: 3), perkembangan dalam


studi sastra lisan terutama yang menyangkut puisi rakyat
antara lain dilakukan oleh Parry dan Lord. Hipotesis Parry
dan Lord ternyata dapat dibuktikan dengan meneliti
puluhan contoh epos rakyat seperti yang dinyanyikan oleh
tukang cerita. Dengan meneliti teknik penciptaan epos
rakyat, cara tradisi tersebut diturunkan dari guru kepada
murid, dan bagaimana resepsinya oleh masyarakat, Parry
dan Lord berkesimpulan bahwa epos rakyat tidak dihafal-
kan secara turun-temurun tetapi diciptakan kembali secara
spontan, si penyanyi memiliki persediaan formula yang
disebut stock-in-trade, terdapat adegan siap pakai yang oleh
Lord disebut theme, dan variasi merupakan ciri khas puisi
lisan.

Di Indonesia pun sastra lisan dari masa prasejarah sampai


kini memainkan peranan yang cukup penting. Sebagian
besar sastra lisan itu hilang tak berbekas. Sastra lisan yang
masih ada sekarang atau yang diselamatkan sejak abad
yang lalu berkat usaha peneliti belum tentu membayang-
kan sastra lisan ‚asli‛ atau purba di Indonesia. Tidak ada
Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya | 215
Seminar Nasional KABASTRA II

alasan yang cukup kuat untuk mengandaikan bahwa sastra


lisan di Indonesia berabad-abad lamanya tidak mengalami
perubahan yang besar, dan bahwa misalnya puisi lisan
yang kini masih dapat dicatat membayangkan situasi
kesastraan sebelum tulisan mulai dipakai di Indonesia.
Benarlah ada contoh tentang bentuk sastra yang berabad-
abad lamanya dihafalkan dan dipertahankan terus-
menerus tanpa banyak perubahan. Tetapi tak kurang
contohnya yang membuktikan bahwa sastra lisan pun
sering mempunyai dinamika intrinsik yang kuat sekali atau
pun berubah akibat pengaruh sastra asing (tulis atau lisan).
Di Indonesia mungkin sekali sastra lisan pun dari dahulu
berubah terus, walaupun beberapa ragam dasar barangkali
bertahan lama (Teeuw, 2015: 252-253).

METODE PENELITIAN
Metode dapat diartikan sebagai suatu kerja untuk
memahami suatu objek yang menjadi sasaran penelitian.
Karena karya sastra merupakan fakta estetik yang memiliki
karakteristik tersendiri, maka metode yang digunakan
untuk mengkajinya pun berbeda. Metode dalam studi
sastra memiliki ukuran keilmiahan tersendiri yang ditentu-
kan oleh karakteristiknya sebagai suatu sistem, yaitu sistem
sastra. Dalam penelitian sastra, pemilihan metode berkaian
erat dengan karakteristik, objek penelitian, masalah, dan
tujuan penelitian (Chamamah dalan Jabrohim, 2001: 15).
Metode penelitian pada dasarnya merupakan cara
ilmiah untuk mendapatkan data dengan tujuan dan
216| Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya
ISBN 978-602-61725-2-5

kegunaan tertentu. Berdasarkan hal tersebut, terdapat


empat kunci yang yang perlu diperhatikan, yaitu cara
ilmiah, data, tujuan, dan kegunaan. Cara ilmiah berarti
kegiatan penelitian itu didasarkan pada ciri-ciri keilmuan,
yaitu rasional, empiris, dan sistematis. Rasional berarti
kegiatan penelitian itu dilakukan dengan cara-cara yang
masuk akal, sehingga terjangkau oleh penalaran manusia.
Empiris berarti cara-cara yang dilakukan itu dapat diamati
oleh panca indera manusia, sehingga orang lain dapat
mengamati dan mengetahui cara-cara yang digunakan.
Sistematis artinya proses yang digunakan dalam penelitian
itu menggunakan langkah-langkah tertentu yang bersifat
logis (Sugiono, 2008: 2).
Metode yang dikembangkan dan digunakan dalam
suatu penelitian harus sesuai dengan objek yang diteliti.
Namun demikian, dalam suatu kajian ilmiah perkem-
bangan ilmu pengetahuan semakin pesat terutama dalam
kaitannya dengan penggunaan metode ilmiah dalam suatu
penelitian. Kaelan (2005: 4) menyatakan bahwa suatu ilmu
pengetahuan disebut ilmiah manakala mengembangkan
suatu model penelitian dengan menggunakan suatu prinsip
verifikasi, dan menyangkut objek yang bersifat empiris
serta logis. Ganap (2012: 156) menyatakan bahwa penelitian
seni pada hakikatnya merupakan penelitian terapan yang
menggunakan pendekatan multidisiplin, baik dalam
bentuk perancangan karya seni, maupun penelitian fungsi-
onal secara tekstual dan kontekstual.

Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya | 217
Seminar Nasional KABASTRA II

Pendekatan penelitian yang akan digunakan dalam


penelitian ini adalah pendekatan penelitian kualitatif.
Penelitian kualitatif diartikan sebagai penelitian yang tidak
mengadakan perhitungan (Maleong, 1989: 2). Bodgan dan
Taylor (melalui Maleong, 1989: 3) mendefinisikan metodo-
logi kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasil-
kan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan.
Kaelan (2005: 5) mengungkapkan bahwa karakteristik
penelitian kualitatif terletak pada objek yang menjadi fokus
penelitian. Jika penelitian kuantitatif mengukur objek
dengan suatu perhitungan, dengan angka, persentase,
statistik, atau bahkan dengan komputer. Akan tetapi pada
penelitain kualitatif tidak menekankan pada kuantum atau
jumlah, jadi lebih menekankan pada segi kualitas secara
ilmiah karena menyangkut pengertian, konsep, nilai serta
ciri-ciri yang melekat pada objek penelitian. Penelitian
kualitatif dapat diartikan pula suatu penelitian yang tidak
melakukan perhitungan-perhitungan dalam melakukan
justifikasi epistimologis.

DATA DAN SUMBER DATA


Data yang dikumpulkan untuk keperluan penelitian
ini ada dua jenis. Data pertama berupa cuplikan video
terpilih dan observasi secara langsung tentang tradisi
mitoni. Data kedua berupa data tanggapan penutur
terhadap komponen-komponen yang terdapat dalam
tradisi mitoni. Data-data tersebut diperoleh dari sumber
data (populasi) yang didapatkan dari masyarakat di
218| Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya
ISBN 978-602-61725-2-5

daerah-daerah Jawa Tengah yang melakukan tradisi


mitoni.

INSTRUMEN PENELITIAN
Instrumen yang dipakai dalam penelitian ini
meliputi: 1) pedoman pengamatan untuk mengidentifikasi
cuplikan video terpilih dan observasi secara langsung
tentang tradisi mitoni, 2) pedoman wawancara untuk
mendeskripsikan tanggapan penutur terkait komponen-
komponen yang terdapat dalam tradisi mitoni.

TEKNIK PENGUMPULAN DATA


Dalam penelitian ini, teknik pengumpulan data
dilakukan dengan dua cara, yaitu observasi dan wawan-
cara.
1. Observasi
Observasi adalah kegiatan pengamatan atau
pengambilan data untuk melihat pelaksanaan
tradisi mitoni di daerah-daerah Jawa Tengah.
Pengamatan ini akan dilakukan oleh peneliti.
Pengamatan dilakukan dengan instrumen
dokumentasi foto, dan dokumentasi video.
Pengamatan ini juga dilakukan dengan meng-
gunakan catatan lapangan agar segala sesuatu
yang terjadi pada saat pengambilan data bisa
terangkum.

Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya | 219
Seminar Nasional KABASTRA II

2. Wawancara
Wawancara dilakukan dengan penutur dan
partisipan untuk mengtahui tanggapan mereka
berkaitan dengan tradisi mitoni dan kompone-
komponen yang terdapat di dalamnya.
Wawancara akan dilakukan setelah pelaksanaan
tradisi mitoni. Partisipan yang diwawancarai
hanya perwakilan dari partisipan yang hadir
dalam tradisi mitoni saja.

TEKNIK ANALISIS DATA


Faruk (2012: 25) mengungkapkan bahwa metode
analisis data merupakan seperangkat cara atau teknik
penelitian yang merupakan perpanjangan dari pikiran
manusia karena fungsinya bukan untuk mengumpulkan
data, melainkan untuk mencari hubungan antardata yang
tidak akan pernah dinyatakan sendiri oleh data yang ber-
sangkutan. Sebagaimana yang sudah dikemukakan,
hubungan itu dapat berupa hubungan genetik, hubungan
fungsional, hubungan disposisional, intensional, kausal,
dan sebagainya. Hasil dari analisis data inilah yang akan
menjadi pengetahuan ilmiah, pengetahuan mengenai
aturan atau mekanisme yang memungkinkan adanya
keadaan dan terjadinya peristiwa-peristiwa empirik yang
menjadi sumber data.
Analisis data pada dasarnya adalah cara untuk
memilah-milah, mengelompokkan data kualitatif agar
kemudian dapat ditetapkan relasi-relasi tertentu antara
220| Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya
ISBN 978-602-61725-2-5

kategori data yang satu dengan data yang lain. Data-data


yang diperoleh dilakukan analisis data dengan mendes-
kripsikan dan mengkaji hasil observasi, rekaman, dan
wawancara dalam tradisi mitoni. Setelah data dideskripsi-
kan dan dikaji, peneliti melakukan sintesis atau penyatuan
gagasan dari apa yang telah diperoleh dari lapangan.

KOMPONEN SASTRA LISAN


Performance is in a sense perhaps an element in every
action, and certainly a concept of general interest within
anthropology and elsewhere. While it is not possible to follow up
all these aspects here, the idea and practice of performance does
clearly have a particular import for oral expression, and is
nowadays one major focus of research in verbal arts and
traditions. (Finnegan, 1992: 86). Pertunjukan berkaitan
dengan sebuah akting, ia masuk dalam konsep umum serta
dikaitkan dengan kajian antropologi pada suatu wilayah.
Meskipun tidak mungkin mengkaji semua komponen
dalam pertunjukan, ide dan praktik pertunjukan menjadi
sangat penting untuk dikaji dalam pembahasan ekspresi
lisan. Dalam bab ini salah satu fokus utamanya adalah
bagaimana kita melakukan penelitian mengenai pertunjuk-
an sastra lisan dan tradisi lisan. Dalam penelitian per-
tunjukan sastra lisan selalu melibatkan aspek pemain,
penonton, serta media (sarana dan prasarana, baik yang
bersifat material maupun verbal).
Komponen inti sebuah pertunjukan sastra lisan
adalah manusia yang meliputi pemain dan peserta
Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya | 221
Seminar Nasional KABASTRA II

(audieane). Tanpa seorang pemain, sebuah pertunjukan


tidak akan terjadi. Begitu pula sebaliknya, tanpa peserta
pertunjukan akan menjadi hal yang sia-sia. Oleh karena itu,
penelitian juga harus dilakukan kepada dua komponen ini
karena pemain dan peserta merupakan komponen yang
saling melengkapi dan tidak dapat dipisahkan. Pemain
dalam hal konsep Finnegan dapat disejajarkan dengan
penutur, sedangkan pengertian peserta dapat dipahami
sebagai partisipan.
Selain pemain (penutur) dan penonton (partisipan),
komponen yang tidak kalah penting adalah properti atau
dalam konsep Finnegan disebut sebagai sebuah ‚media‛.
Properti atau media tersebut dapat terbuat dari apa saja
yang digunakan untuk mendukung jalannya sebuah pert-
unjukan sastra lisan. Properti atau media dapat dibuat
memiliki simbol-simbol tertentu agar petunjukan sastra
lisan menjadi semakin bernilai estetik.

KARAKTERISTIK MITONI DI MAGELANG


Mitoni merupakan tradisi selametan yang dilaku-
kan pada ibu hamil di usia kandungan tujuh bulan. Tradisi
mitoni ini dilakukan agar ibu dan bayi yang terdapat dalam
kandungan dapat selamat dan dilancarkan selama proses
lahiran. Secara etimologis mitoni dapat ditarik dari kata
mitu atau pitu yang merupakan kata dalam bahasa jawa
yang berarti tujuh. Dalam usia tujuh bulan, bayi yang
terdapat dalam kandungan sudah mulai mempersiapkan
diri untuk lahir ke dunia. Selain itu kata pitu juga dapat
222| Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya
ISBN 978-602-61725-2-5

dikembangkan menjadi kata pitulung atau pitulungan yang


memiliki arti pertolngan. Jadi tradisi mitoni tersebut masih
dilakukan oleh masyarakat karena mereka memiliki
keyakinan bahwa di usia kandungan tujuh bulan kita
sebagai seorang manusia harus lebih rajin dalam meminta
pertolongan kepada Gusti Pengeran atau dalam kepercaya-
an islam adalah Allah SWT.
Berdasarkan teori sastra lisan Ruth Finnegan, tradisi
mitoni dapat dilihat sebagai suatu pertunjukan sastra lisan
karena di dalam tradisi mitoni terdapat beberapa kompo-
nen yang memiliki korelasi dengan komponen sastra lisan.
Komponen tersebut di antaranya adalah penutur, properti,
partisipan, dan bacaan atau doa. Komponen tersebut
menjadi ciri khas tradisi mitoni yang terdapat di daerah
Magelang. Adapun masing-masing komponen akan dijelas-
kan satu persatu secara lebih spesifik di bawah ini.
Penutur atau yang sering disebut sebagai pendoa,
atau dalang, atau dukun, atau dalam konsep Ruth
Finnegan merupakan pemain dalam pertunjukan sastra
lisan. Dapat juga disebut sebagai orang yang memiliki
peran penting dalam suatu pertunjukan sastra lisan mitoni
karena penutur inilah yang akan memimpin jalannya
pertunjukan sastra lisan. Baik atau tidaknya, berhasil atau
tidaknya, serta lancar atau tidaknya tradisi mitoni yang
terdapat di Magelang ini tergantung dari si penutur
tersebut. Nama dari penutur dalam tradisi mitoni yang
terdapat di Magelang ini adalah mbah Gemi yang memiliki
usia 67 tahun karena ia lahir pada tahun 1950. Selain
Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya | 223
Seminar Nasional KABASTRA II

sebagai seorang penutur tradisi mitoni, beliau juga sering


diminta memijit tetangganya yang sakit atau jatuh. Beliau
menjadi penutur tradisi mitoni sejak belum menikah.
Berikut adalah foto dari mbah Gemi selaku penutur dari
tradisi mitoni yang terdapat di Magelang.

Gambar 1. Peneliti sedang melakukan wawancara dengan


mbah Gemi

Properti atau yang sering disebut sebagai perleng-


kapan atau media yang digunakan untuk melaksanakan
suatu pertunjukan sastra lisan. Dalam hal ini, properti yang
digunakan dalam tradisi mitoni adalah bunga tujuh rupa,
tujuh buah jarit, tujuh buah telur jawa, tujuh buah kupat,
pring sedapur, tujuh buah tumpeng, ayam ingkung, tujuh
rupa jajan pasar. Bunga tujuh rupa digunakan untuk

224| Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya
ISBN 978-602-61725-2-5

memandikan ibu hamil yang memiliki filosafi agar ibu


hamil terbebas dari kotoran, bersih dan wangi. Tujuh buah
jarit digunakan untuk baju ganti ibu hamil yang memiliki
filosofi agar nanti ketika melahirkan bayinya keluar dari
perut ibu dengan lancar dan tidak terlilit tali pusar karena
jarit mirip dengan tali pusar bayi yang panjang. Telur jawa
digunakan saat ibu hamil sudah selesai diganti jaritnya
sebanyak tujuh kali, telur ayam ini nanti akan dipecahkan
di bawah ibu hamil dengan filosofi agar ketika air ketuban
pecah bayi dapat langsung lahir dengan selamat. Kupat
merupakan akronim dari kulolepat dalam bahasa jawa dan
memiliki arti saya (ibu hamil) salah dan harus meminta
maaf kepada semua orang sebelum melahirkan. Apabila
ibu hamil sudah tidak punya salah, maka diyakini dalam
melahirkan akan diberikan kelancaran dan didoakan oleh
masyarakat sekitar. Pring sedapur merupakan makanan
yang terbuat dari ketan dibentuk seperti bambu kecil. Pring
sedapur memiliki filosofi agar anak yang lahir nanti men-
jadi anak yang sehat, subur seperti tumbuhnya bambu,
rejekinya lancar seperti bambu yang tumbuh rimbun.
Tumpeng, ayam ingkun dan jajan pasar digunakan untuk
proses kenduren setelah semua prosesi mitoni selesai
dilakukan. Berikut adalah gambar properti yang digunakan
dalam mitoni.

Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya | 225
Seminar Nasional KABASTRA II

Gambar 2. Beberapa Properti Mitoni di Magelang

Partisipan atau peserta adalah orang-orang yang


terlibat atau menghadiri atau melihat atau menonton
pertunjukan sastra lisan. Dalam hal ini partisipan dibagi
menjadi dua, yaitu keluarga dekat dan tetangga. Keluarga
merupakan partisipan yang terlibat selama prosesi mitoni
tahap pertama berupa persiapan, memandikan ibu hamil,
melakukan persalinan dengan jarit, sampai pecah telur atau
diganti dengan pecah cowek (tempat makan yang terbuat
dari tanah liat). Sedangkan tetangga merupakan partisipan
yang lebih banyak terlibat dalam prosesi mitoni tahap dua
yakni pada waktu kenduren berlangsung. Kenduren meru-
pakan prosesi dimana tuan rumah akan mengundang
tetangga untuk berdoa bersama. Doa bersama ini dilakukan
agar ibu hamil dan jabang bayi selamat dan mendapat
pertolongan dari Allah SWT saat melahirkan. Saat

226| Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya
ISBN 978-602-61725-2-5

berlangsungnya kenduren, ada bagian yang unik yang


dilakukan oleh masyarakat magelang, yaitu setelah selesai
melakukan kenduren mereka akan makan bersama
ingkung dan makanan yang telah disiapkan oleh tuan
rumah. Setelah selesai makan bersama mereka akan
menarik daun pisang utuh yang tadinya dipakai sebagai
alas makan. Masyakarat akan menarik daun pisang secara
beramai-ramai sambil melalui satu pintu. Hal ini memiliki
filosofi bahwa nanti saat bayi sudah akan lahir dia akan
ditarik dan keluar dengan lancar. Berikut merupakan
gambar partisipan mitoni di Magelang.

Gambar 3. Partisipan Mitoni di Magelang

Doa atau bacaan yang digunakan dalam tradisi


mitoni adalah doa selamat. Doa selamat di sini merupakan
doa yang digunakan untuk meminta keselamatan dan

Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya | 227
Seminar Nasional KABASTRA II

pertolongan terutama saat ibu hamil akan melahirkan.


Berikut terjemahan doa selamat: ‚Ya Allah! Aku memohon
kepada Engkau keselamatan dalam agama, kesehatan
dalam tubuh, bertambah ilmu, keberkahan dalam rezeki,
tobat sebelum mati, rahmat ketika mati, dan ampunan
sesudah mati. Ya Allah! Mudahkanlah kami ketika sekarat,
selamatkanlah dari api neraka, dan mendapat kema’afan
ketika dihisab. Ya Allah! Janganlah Engkau goncangkan
(bimbangkan) hati kami setelah mendapat petunjuk, berilah
kami rahmat dari sisi Engkau, sesungguhnya Engkau Maha
Pemberi. Ya Allah! Tuhan kami, berilah kami kebaikan di
dunia, dan kebaikan di akhirat, dan peliharalah kami dari
siksi api neraka‛. Berikut merupakan doa selamat yang
digunakan dalam tradisi mitoni.

Gambar 4. Bacaan atau Doa dalam Tradisi Mitoni di


Magelang

228| Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya
ISBN 978-602-61725-2-5

SIMPULAN
Tradisi mitoni sebagai salah satu sastra lisan di
Magelang mempunyai karakteristik yang terletak pada
komponennya, meliputi penutur, properti, partisipan, dan
bacaan atau doa. Penutur tradisi mitoni di Magelang
adalah mbah Gemi yang sudah berusia 67 tahun dan
memimpin tradisi mitoni di magelang sewaktu belum
menikah. Properti tradisi mitoni di Magelang terdiri atas
bunga tujuh rupa, tujuh buah jarit, tujuh buah telur jawa,
tujuh buah kupat, pring sedapur, tujuh buah tumpeng,
ayam ingkung, tujuh rupa jajan pasar yang kesemuanya
mempunyai filosofinya masing-masing. Partisipan tradisi
mitoni di Megelang adalah keluarga dekat dan tetangga.
Bacaan atau doa yang digunakan dalam tradisi mitoni di
Magaelang adalah doa selamat. Doa ini berikan kepada ibu
hamil dan bayi yang terdapat dalam kanduangan agar
kedua selamat dan mendapat pitulungan (pertolongan) dari
Allah SWT.

DAFTAR PUSTAKA

Chamamah-Soeratno, Siti. 2003. ‚Resepsi Sastra Teori dan


Penerapannya‛ dalam Jabrohim (ed). Metodologi
Penelitian Sastra. Yogyakarta: PT. Anindita Graha
Widya.

Darma, Budi. 2011. Penciptaan Naskah Drama Ambu Hawuk


Berdasarkan Tradisi Lisan dan Perspektif Jender. Jurnal
Resital Volume 12 Hal. 55-64 No. 1 Juni 2011.

Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya | 229
Seminar Nasional KABASTRA II

Duija, I Nengah. 2005. Tradisi Lisan, Naskah, dan Sejarah:


Sebuah Catatan Politik Kebudayaan. Jurnal Wacana
Voume 7 Hal. 11-124 No. 2 Oktober 2005.

Faruk. 2012. Metode Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka


Pelajar.

Finnegan, Ruth. 1992. Oral Tradition and The Verbal Arts: A


Guide to Research Practices. London and New York:
Routledge.

Ganap, Victor. 2012. Konsep Multikultural dan Etnisitas


Pribumi dalam Penelitian Seni. Jurnal Humaniora
Volume 24 Hal. 156-167 No. 2 Juni 2012.

Hutomo, Suripan Hadi. 1991. Mutiara yang Terlupakan:


Pengantar Studi Sastra Lisan. Surabaya: HISKI
Komisariat Jawa Timur.

Kaelan. 2005. Metode Penelitian Kualitatif Bidang Filsafat.


Yogyakarta: Penerbit Paradigma.

Maleong, Lexi J. 1989. Metodologi Penelitian Kualitatif.


Bandung: CV Remadja Karya.

Pudentia MPSS (ed). 1998. Metodologi Kajian Tradisi Lisan.


Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dan Yayasan
Asosiasi Tradisi Lisan.

Sedyawati, Edi. 1996. Kedudukan Tradisi Lisan dalam Ilmu-


ilmu Sosial dan Ilmu-ilmu Budaya. Jurnal Pengetahuan
dan Komunikasi Peneliti dan Pemerhati Tradisi Lisan.
Edisi II Maret 1996. Jakarta: ATL.
230| Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya
ISBN 978-602-61725-2-5

Sudewa, I Ketut. 2014. Transformasi Sastra Lisan ke dalam


Seni Pertunjukan di Bali: Perspektif Pendidikan. Jurnal
Humaniora Volume 26 Hal. 65-73 No. 1 Februari
2014.

Sugiono. 2008. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan


R&D. Bandung: Penerbit ALFABETA.

Suprijono, Agus. 2013. Konstruksi Sosial Siswa SMA terhadap


Mitos Buyut Cili sebagai Tradisi Lisan Sejarah
Blambangan. Jurnal Paramita Volume 23 Hal. 220-229
No. 2 Juli 2013.

Sweeney, Amin. 1991. Malay World Music: A Celebration of


Oral Creativity. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan
Pustaka.

Teeuw, A. 1980. Tergantung pada Kata. Jakarta: Pustaka Jaya.

________. 1994. Indonesia: Antara Kelisanan dan Keberaksara-


an. Jakarta: Pustaka Jaya.

________. 2015. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.

Udu, Sumiman. 2015. Tradisi Lisan Bhanti-Bhanti sebagai


Media Komunikasi Kultural dalam Masyarakat Wakatobi.
Jurnal Humaniora Volume 27 Hal. 53-66 No. 1
Februari 2015.

Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya | 231
Seminar Nasional KABASTRA II

BIOGRAFI PENULIS

Imam Baihaqi, M.A


merupakan Dosen
Pendidikan Bahasa dan
Sastra Indonesia Fakul-
tas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan Universitas
Tidar yang lahir di Pati
pada 8 September 1988.
Menamatkan kuliah S1
Prodi Pendidikan
Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Negeri Yogyakarta
program beasiswa PPA DIKTI dan S2 Prodi Ilmu Sastra
Universitas Gadjah Mada program Beasiswa Unggulan
DIKTI. Tulisannya tentang kajian sastra dimuat dalam
buku ‚Bolak-balik Bulaksumur‛ yang diterbitkan oleh
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada. Selain itu
puisinya masuk dalam antologi Anugrah Seni dan Sastra I
‚Distopia‛ yang diterbitkan oleh Gadjah Mada University
Prees. Menjadi editor buku ‚Bahasa, Sastra, dan
Pengajarannya dalam Perspektif Ideologi, Ekoogi, dan Multikul-
turalisme‛ yang diterbitkan oleh Balai Bahasa Jawa Tengah,
Pusat Bahasa Universitas Tidar, dan Himpunan Sarjana
Kesusastraan Indonesia Komisariat Kedu. Menjadi editor
buku ‚Goresan Tinta Bocah Sastra‛ yang diterbitkan oleh
Graha Cendekia Yogyakarta. Menjadi editor buku ‚Belajar
Berbasis Riset‛ yang diterbitkan oleh Graha Cendekia
232| Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya
ISBN 978-602-61725-2-5

Yogyakarta. Makalahnya yang berjudul ‚Repertoire dalam


Naskah Sandiwara Sampek dan Engtay Karya Nano Riantiarno
Sebagai Kritik Multidimensional‛ pernah disampaikan dalam
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra di Universitas Negeri
Yogyakarta. Makalah yang berjudul ‚Nasionalisme: Sebuah
Resistensi Ruang dalam Puisi Sebuah Jaket Berlumur Darah‛
disampaikan dalam Seminar Nasional Bahasa dan Sastra di
Sekolah Pascasarjana Universitas Muhammadiyah
Surakarta. Makalah lain yang berjudul ‚Resistensi Perem-
puan Jawa Terhadap Dominasi Maskulin Dalam Cerpen Palaran
Karya Indra Tranggono‛ disampaikan dalam Seminar
Nasional Pekan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI)
di Universitas Sanata Dharma. Makalah yang berjudul
‚Resepsi Cerita Perang Bubat dalam Novel Niskala Karya
Hermawan Aksan‛ dimuat dalam Jurnal Transformatika.
Makalah yang berjudul ‚Manifestasi Kearifan Lokal dalam
Cerpen Mbok Jah sebagai Aset Budaya Bangsa‛ disampaikan
dalam Seminar Nasional Kajian Bahasa, Sastra, dan
Pengajarannya (KABASTRA) di Universitas Tidar. Makalah
yang berjudul ‚Peningkatan Keterampilan Bermain Drama
dengan Metode Role Playing pada Kelompok Teater Kenes
SMPN 4 Yogyakarta‛ dimuat dalam Jurnal Transformatika.
Makalah yang berjudul ‚Pembelajaran Drama Berbasis Project
Learning dengan Metode Role Playing‛ disampaikan dalam
Seminar Nasional Dies Natalis Universitas Tidar. Makalah
yang berjudul ‚Resistensi Hegemoni Kapitalisme dalam Cerpen
Pengunyah Sirih: Sebuah Kajian Hegemoni Gramscian‛
disampaikan dalam Seminar Nasional Kesusastraan
Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya |
233
Seminar Nasional KABASTRA II

Indonesia Modern di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya


Universitas Indonesia. Makalah yang berjudul ‚Pembelajar-
an Drama Berbasis Project Learning pada Mahasiswa Semester
IV Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas
Tidar‛ disampaikan dalam Seminar Nasional ALFA di
Universitas PGRI Semarang. Makalah yang berjudul
‚Pembelajaran Sastra yang Kreatif-Inovatif‛ disampaikan
dalam penyuluhan Berbahasa Indonesia yang diselenggara-
kan oleh Balai Bahasa Jawa Tengah. Penelitiannya yang
berjudul ‚Karakteristik sastra Lisan Mitoni sebagai Pedagogical
Content Knowledge‛ lolos hibah kompetitif nasional dan
didanani oleh Direktur Riset dan Pengabdian Masyarakat
(DRPM Dikti). Pernah mendapatkan pengahargaan sebagai
finalis lomba kritik sastra yang diselenggarakan oleh
Universitas Gadjah mada Yogyakarta. Tulisannya tentang
sastra dan Budaya juga pernah dimuat di Koran Tribun
Jogja dan Magelang Ekspress. Pemuda dengan hobi jalan-
jalan dan berorganisasi ini beralamatkan di jalan Yudhistira
no 7 Rt 004 Rw 005 Tayu Kulon, Tayu, Pati, Jawa Tengah.
Email: imam.pbsi@gmail.com. No hp 085743717859. Saat ini
dipercaya menjadi Pembina UKM Olah Raga dan Bela Diri
Universitas Tidar, Tim Koordinator Pusat Penjaminan
Mutu Pendidikan Universitas Tidar, dan Ketua HISKI
KEDU (Himpunan Sarjana Kesusastraan Indonesia).

234| Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya
ISBN 978-602-61725-2-5

TRADISI LOGAT GANTUNG DALAM


TERJEMAHAN PADA NASKAH
SAFINATU ‘N-NAJA

Oleh :
Isrulia Nugrahaeni, S.S., M.Hum.
PPs Ilmu Sastra Universitas Padjadjaran
isrulian@gmail.com / 085726401945

ABSTRAK

Tradisi logat gantung dalam khazanah naskah


keagamaan di Indonesia merupakan bagian dari sastra
kitab yang sudah dikenal sejak lama dan hingga kini pun
masih digunakan. Tradisi tersebut menggunakan dua
bahasa sekaligus dalam satu bacaan. Pada praktiknya,
penulisan logat gantung merupakan sebuah cara untuk
mentransformasikan ilmu agama, misalnya bahasa Arab ke
bahasa Jawa. Salah satu naskah yang ditulis menggunakan
tulisan logat gantung adalah Safinatu ‘n-Naja (SN). SN
menggunakan bahasa Arab dan bahasa Jawa. SN sebagai
salah satu bahan ajar pada tingkatan dasar di pesantren
pun membahas mengenai dasar-dasar fikih. Di dalam
penulisannya, penulis pun diinterpretasikan mampu meng-
uasai bahasa Jawa sekaligus bahasa Arab. Di dalamnya
secara implisit terkandung pesan bahwa penyebaran
agama Islam dilakukan oleh para cendekiawan dengan cara
yang arif melalui penggunaan bahasa daerah.
Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya | 235
Seminar Nasional KABASTRA II

Kata kunci:Safinatu ‘n-Naja, logat gantung, bahasa Jawa,


bahasa Arab

PENDAHULUAN
Nusantara memiliki banyak kekayaan naskah yang
hampir tersebar di seluruh wilayahnya. Naskah tersebut
berisikan berbagai informasi hasil pemikiran masyarakat-
nya. Kandungan yang tersimpan dalam naskah hakikatnya
adalah produk dari kebudayaan manusia dan gambaran
perkembangan kebudayaan.
Salah satu perkembangan kebudayaan adalah per-
kembangan agama. Agama sebagai suatu ajaran dan sistem
yang mengatur tata keimanan pun tak luput dari sorotan
pernaskahan. Dalam khazanah pernaskahan Indonesia,
naskah keagamaan dikategorikan sebagai sastra kitab.
Menurut Roolvink (dalam Fang, 2011:380), kajian tentang
Alquran, tafsir, tajwid, arkan ul-Islam, usuluddin, fikih,
ilmu tasawuf, tarekat, zikir, rawatib, doa, jimat, risalah,
wasiat, dan kitab tib (obat-obatan, jampi-menjampi) semua-
nya dapat digolongkan ke dalam genre sastra kitab. Bargin-
sky (1998:275—276) pun memberikan definisi sastra kitab
ialah sejenis karangan keagamaan yang khas ilmiah dalam
metode penyampaian isinya, disusun terutama untuk
murid-murid pondok pesantren dan anggota tarekat sufi.
Ilmu fikih, ilmu kalam, tasawuf, tafsir, tajwid, dan nahw
dikategorikan ke dalam sastra kitab.

236| Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya
ISBN 978-602-61725-2-5

Di pihak lain, dalam khazanah intelektual keislam-


an dikenal karya-karya yang dikategorikan sebagai kitab
kuning. Karya-karya ini biasanya banyak ditemukan di
pesantren dan madrasah, terutama pesantren dan madra-
sah tradisional yang menggunakan kitab kuning sebagai
acuan dan referensi keagamaan. Menurut Taufiq (2007:14)
disebut kitab kuning karena kertas yang dipakai berwarna
kuning. Biasanya kitab kuning ini identik dengan kitab
berhuruf Arab. Adapun isi kitab kuning meliputi ilmu
fiqih, ilmu tata bahasa Arab (ilmu nahwu, ilmu sharaf, ilmu
balaghah), ilmu hadis, dan ilmu akhlaq. Kaya-karya ini
merupakan teks klasik yang ortodoks.
Tingkat kajian kitab kuning menentukan tingkat
pendidikan di pesantren atau madrasah. Pada setiap mata
pelajaran, terdapat urutan kitab yang harus dikaji mulai
dari kitab tingkat paling dasar sampai ke tingkat paling
atas yang bahasannya lebih mendalam. Salah satu kitab
kuning pada tingkat dasar yang digunakan di pesantren di
Nusantara ialah Safinatu ‘n-Naja (selanjutnya disebut SN).
Naskah SN merupakan koleksi dari PNRI (Perpus-
takaan Nasional Republik Indonesia) berbahasa Arab dan
Jawa dan ditulis dalam logat gantung dalam huruf Arab
Pegon. Setelah dilakukan inventarisasi naskah, naskah SN
ditemukan pada Katalog Induk Naskah-naskah Nusantara Jilid
4: Perpustakaan Nasional Republik Indonesia berjumlah empat
buah dengan kode AW 7, AW 11, AW 86, dan AW 89.
Naskah SN koleksi PNRI ini awalnya merupakan koleksi
Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya | 237
Seminar Nasional KABASTRA II

dari Abdurrahman Wahid, mantan presiden Republik


Indonesia keempat, yang dihibahkan kepada PNRI pada
tahun 1993.
Secara struktural, kandungan naskah SN ialah
sebagai berikut:
1. Pembukaan terdiri dari kalimat basmalah berupa
bismmillahirrahminirrahim, kalimat hamdalah berupa
alhamdulillahirabbil’almin a’la umuriddunya waddin,
salawat dan salam kepada Nabi Muhammad SAW
beserta keluarga dan para sahabat, dan kalimat hauqalah
berupa laa haula wala quwwata illa billah. Kalimat-kalimat
tersebut merupakan kalimat yang sudah biasa
digunakan untuk membuka acara keagamaan Islam
seperti pada khotbah atau tausyiah.
2. Isi secara garis besar terdiri dari akidah, bersuci, salat,
jenazah, hukum meminta tolong, dan zakat. Penjelasan
mengenai subbab-subbab tersebut ialah sebagai berikut.
a. Subbab akidah terdiri dari rukun Islam, rukun
iman, dan pengertian kalimat laa ilaha illallah.
b. Subbab bersuci terdiri dari peper, wudu, mandi,
tayamum, najis, haid dan nifas, dan hadas.
c. Sub bab salat terdiri dari uzurnya, syarat, rukun,
niat, syarat takbiratul ihram, syarat fatihah,
tasydid di dalam fatihah, tempat-tempat yang
disunahkan mengangkat tangan, syarat-syarat
sujud, anggota sujud, tasydid di dalam tahiat,
238| Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya
ISBN 978-602-61725-2-5

tasydid di dalam salawat, tasydid di dalam


salawat, waktu salat lima waktu, diam di dalam
salat yang disunahkan, sebab sujud sahwi, sunat
ab’ad, hal yang membatalkan salat, salat yang
diwajibkan niat menjadi imam, syarat-syarat
menjadi makmum, contoh menjadi makmum,
syarat-syarat jama taqdim, syarat-syarat jama
takhir, syarat-syarat qada, syarat salat Jumat,
rukun dua khotbah, dan syarat dua khotbah.
d. Subbab jenazah terdiri dari mengurus jenazah,
cara memandikan jenazah, cara mengafani
jenazah, rukun salat jenazah, cara mengubur
jenazah, dan hal-hal yang mengharuskan untuk
membongkar makam.
e. Subbab hukum meminta tolong dibagi menjadi
empat yaitu mubah, khilaful aula, makruh, dan
wajib.
f. Subbab zakat membahas mengenai harta benda
yang wajib dizakati adalah hewan ternak, emas
dan perak, tumbuh-tumbuhan, harta dagangan,
harta rikaz, dan hasil tambang.
3. Penutup berisi kalimat yang menyatakan bahwa ‚Ikilah
kitab Safinatu ‘n-Naja.‛
SN sebagai salah satu produk dari pesantren
memiliki gaya penulisan yang berbeda. Sudah disebutkan
bahwa SN memiliki dua bahasa yaitu bahasa Arab dan

Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya | 239
Seminar Nasional KABASTRA II

Jawa. Bahasa Arab berfungsi sebagai bahasa sumber


(selanjutnya disebut BSu) dan bahasa Jawa berfungsi
sebagai bahasa sasaran (selanjutnya disebut Bsa).
Para santri mengkaji berbagai kitab keagaamaan di
pesantren. Kajian kitab-kitab itu dilakukan dengan dua
metode kajian. Pertama, metode bandongan, yaitu suatu
metode hampir mirip dengan metode klasikal dengan
aktivitas paling banyak di pihak guru karena yang
membaca, menerjemahkan, dan menjelaskan materi.
Kedua, metode sorogan, yang bersifat individual yang
aktivitasnya lebih banyak di pihak santri, yaitu mereka
secara bergilir membaca dan menerjemahkan suatu kitab
bab demi bab di hadapan kiai atau guru, sedangkan kiai
atau guru membimbingnya dengan memperbaiki setiap
bacaan atau terjemahan yang salah atau kurang tepat
(Hidayat, 2012:6—7). Kedua metode kajian tersebutlah
yang digunakan di pesantren. Adapun penulisan teks SN
diinterprestasikan menggunakan metode sorogan. Metode
sorogan yang digunakan di dalam teks terlihat tidak di-
perbaiki oleh kiai atau guru, jadi hasil terjemahan dalam
bentuk logat gantung sesuai dengan kehendak santri yang
menulis.
Hasil terjemahan teks SN ditulis dalam bentuk logat
gantung menggunakan huruf Pegon dan berbahasa Jawa.
Di dalam tradisi tulis, bentuk logat gantung biasanya hanya
ada di dalam ranah pesantren.

240| Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya
ISBN 978-602-61725-2-5

Penerjemahan yang terjadi pada teks SN dilakukan


secara tertulis bukan oral dari bahasa Arab sebagai BSu ke
bahasa Jawa sebagai BSa. Proses penerjemahan dilakukan
ketika penulis (santri) sedang mengikuti kajian. Lantas
penulis menulis hasil terjemahan dalam bentuk logat
gantung untuk mempermudah pemahaman arti sehingga
materi bisa dengan mudah diserap.
‫تٗ ٔظرؼٍٓ ػٍى‬ٚ ٌٍّٓ‫اٌحّذ هلل رب اٌؼا‬
‫طٍُ ػٍى طٍذٔا ِحّذ‬ٚ ‫صٍى هللا‬ٚ ٌٓ‫اٌذ‬ٚ ‫ر اٌذٍٔا‬ِٛ‫أ‬
‫ج‬ٛ‫ال ل‬ٚ ‫ي‬ٛ‫الح‬ٚ ٍٓ‫ صحثٗ أجّؼ‬ٚ ٌٗ‫ا‬ٚ ٍٍٓ‫خاذُ إٌث‬
.ٍُ‫إال تاهلل اٌؼًٍ اٌؼظ‬
Utawi sekabehane puji iku
keduwe Allah, Pangeran ing alam
dunya / lan ing Allah iku anjaluk
tulung. Nuli-nuli ing atase sekabehe
perkara dunya / lan perkara akhirat.
Salawat lan salam ing atase utusane
Gusti kula / Nabi Muhammad arane,
kang dadi wekasane sekabehane nabi,
lan kadang wargane iya, lan / sahabate
sekabehane ingsun. Lan ora daya goda
penggawe maksiat // lan ora kuat
anetepi ingsun penggawe kabeh
ingkang sebab pitulungane Allah Kang
Luhur tur Kang Agung. / (SN: 6—7).

Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya | 241
Seminar Nasional KABASTRA II

Pada kutipan tersebut memperlihatkan bahwa


penerjemahan dilakukan secara agak bebas. Penulis sekali-
gus penerjemah diinterpretasikan menguasai kedua bahasa
tersebut. Hal ini terlihat ada beberapa kata hubung utawi,
nuli-nuli, lan, dan tur. Kata hubung tersebut digunakan
untuk menyesuaikan di dalam BSu sehingga hasil ter-
jemahan lebih mudah dimengerti. Arti dari kata hubung
tersebut ialah sebagai berikut.
1. Utawi diartikan sebagai tembung panggandeng kang
mratelakake yen 1) kaanan sijine lan sijine pada, 2) yen
ora siji iya sijine (Poerwadarminta, 1939:447).
Pengertian tersebut mempunyai terjemahan bebas
sebagai berikut. Utawi adalah kata penghubung
yang menjelaskan 1) keadaan satu dengan yang
lainnya sama, 2) jika satunya tidak maka lainnya
juga tidak. Kata utawi dalam bahasa Indonesia
disejajarkan dengan arti dan fungsi dari kata atau
sebagai kata penghubung.
2. Nuli-nuli diartikan sebagai énggal; banjur
(Poerwadarminta, 1939:348). Arti tersebut
diterjemahkan bebas ke dalam bahasa Indonesia
menjadi selanjutnya. Penggunaan kata nuli-nuli
dalam bahasa Jawa tidak begitu sering, pada
umumnya menggunakan sak teruse, sak lebare, dan
sak banjure.
3. Lan diartikan sebagai lawan; karo (Poerwadarminta,
1939:259). Arti tersebut diterjemahkan bebas ke
242| Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya
ISBN 978-602-61725-2-5

dalam bahasa Indonesia menjadi dan. Penggunaan


kata lan sebagai penghubung satuan bahasa yang
setara dan termasuk tipe yang sama serta memiliki
fungsi yang tidak berbeda.
4. Tur diartikan sebagai lan uga; wuwuh-wuwuh
(Poerwadarminta, 1939:615). Arti tersebut
diterjemahkan secara bebas ke dalam bahasa
Indonesia menjadi dan juga. Penggunaan kata tur
sebagai kata penghubung berfungsi sebagai
pemarkah akan hal yang serupa dengan hal yang
lainnya.
Selain penggunaan kata hubung, juga terdapat kata
ganti. Teks SN bahasa Arab tidak menggunakan kata ganti,
namun teks SN bahasa Jawa menggunakan. Hal ini diinter-
pretasikan untuk mempermudah penempatan posisi pem-
baca ketika membaca teks SN. Memang tidak semua dari
awal hingga akhir menggunakan kata ganti, hanya se-
bagian saja. Penggunaan kata ganti pada teks SN bisa
dilihat pada kutipan di bawah ini.
‫تٗ ٔظرؼٍٓ ػٍى‬ٚ ٌٍّٓ‫اٌحّذ هلل رب اٌؼا‬
‫طٍُ ػٍى طٍذٔا ِحّذ‬ٚ ‫صٍى هللا‬ٚ ٌٓ‫اٌذ‬ٚ ‫ر اٌذٍٔا‬ِٛ‫أ‬
‫ج‬ٛ‫ال ل‬ٚ ‫ي‬ٛ‫الح‬ٚ ٍٓ‫ صحثٗ أجّؼ‬ٚ ٌٗ‫ا‬ٚ ٍٍٓ‫خاذُ إٌث‬
.ٍُ‫إال تاهلل اٌؼًٍ اٌؼظ‬
Utawi sekabehane puji iku
keduwe Allah, Pangeran ing alam
dunya / lan ing Allah iku anjaluk
tulung. Nuli-nuli ing atase sekabehe
Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya | 243
Seminar Nasional KABASTRA II

perkara dunya / lan perkara akhirat.


Salawat lan salam ing atase utusane
Gusti kula / Nabi Muhammad arane,
kang dadi wekasane sekabehane nabi,
lan kadang wargane iya, lan / sahabate
sekabehane ingsun. Lan ora daya goda
penggawe maksiat // lan ora kuat
anetepi ingsun penggawe kabeh
ingkang sebab pitulungane Allah Kang
Luhur tur Kang Agung. / (SN:6—7).

Kata ganti pertama yang ditemukan adalah kata


ingsun. Kata ingsun merupakan kata ganti pertama tunggal.
Kata ganti pertama tunggal dalam bahasa Jawa adalah aku,
awakku, dan kene dalam ragam ngoko, sementara dalam
ragam ragam krama ialah kula, adalem, dan kawula
(Sudaryanto, 1991:92—93). Adapun kata ingsun termasuk
dalam ragam krama yang biasa digunakan dalam ling-
kungan keraton dan lingkungan pesantren dalam kegiatan
belajar mengajar. Pemakaian kata ingsun tidak sepopuler
kata ganti pertama tunggal dalam kedua ragam tersebut
karena memang cakupan lingkungan pemakai tidak begitu
luas.

ٗ‫ِئاكىر‬ٚ ‫أرواْ اإلٌّاْ طرح أْ ذؤِٓ تاهلل‬


.‫شزٖ ِٓ هللا ذؼاٌى‬ٚ ٖ‫اٌمذر خٍز‬ٚ ‫َ اَخز‬ٌٍٛ‫ا‬ٚ ٗ‫ورث‬ٚ
Utawi sekabehane rukun iman
iku nenem. //
244| Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya
ISBN 978-602-61725-2-5

Sawiji iku arupa ngimanaken


sira ing Allah; lan ing malaikat Allah;
lan / kitab-kitab Allah; lan ing
utusaning Allah; lan ing dina kang
akhir; / lan ing pesten becike iya lan
alane iya sira saking Allah / Taala.
(SN:7—8).

Kata ganti kedua yang ditemukan adalah kata


sira.Sira merupakan kata ganti kedua tunggal. Kata ganti
kedua tunggal dalam bahasa Jawa adalah kowe, awakmu,
sliramu, dan slirane untuk ragam ngoko, sedangkan untuk
ragam krama yaitu sampeyan dan panjenengan (Sudaryanto,
1991:92—93). Seperti halnya dengan ingsun, kata ganti sira
digunakan dalam lingkungan tertentu seperti pada karya
sastra dan pada teks-teks keagamaan.
Di dalam teks SN ditemukan pula istilah-istilah
yang berasal dari BSu, bahasa Arab. Istilah-istilah tersebut
jika diartikan ke dalam BSa akan menjadi rancu. Penulis
teks SN tidak melakukan terjemahan dan tetap ditulis
dalam BSu. Istilah-istilah tersebut ialah sebagai berikut.
1. Wiladah diartikan sebagai melahirkan. Istilah
tersebut jika berada di dalam lingkungan pesan-
tren memang tidak masalah, namun akan menjadi
masalah jika istilah tersebut berada pada ling-

Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya | 245
Seminar Nasional KABASTRA II

kungan pada umumnya. Istilah tersebut dapat


dilihat pada kutipan berikut ini.
...‫الدج‬ٌٛ‫ا‬ٚ,..."
..., / lan kaping lima iku
wiladah; ..." (SN:12).

2. Tamyiz diartikan sebagai orang yang sudah


mampu membedakan antara yang baik dan yang
buruk. Istilah tersebut dapat dilihat pada kutipan
berikut ini.
,...‫اٌرٍٍّش‬ٚ,..."
..., lan kapindo tamyiz;...‛ (SN:13)

3. Kamiṣli diartikan sebagai orang yang sedang


melaksanakan salat. Istilah kamiṣli hanya
ditemukan pada bab mengenai salat saja da karena
mengacu kepada orang yang sedang
melaksanakan salat. Istilah tersebut dapat dilihat
pada kutipan berikut ini.
ٓ‫ارج ػٓ اٌحذثى‬ٙ‫ط اٌصئاج ثّأٍح اٌط‬ٚ‫شز‬
‫ب‬ٛ‫ار ػٓ أجا طح فى اٌث‬ٙ‫اٌط‬ٚ ‫االوثز‬ٚ ‫االصغز‬
‫ي‬ٛ‫دخ‬ٚ ‫اطرمثاي اٌمثٍح‬ٚ ‫رج‬ٛ‫طرزاٌؼ‬ٚ ْ‫اٌّىا‬ٚ ْ‫ٌثذ‬ٚ
ِٓ ‫أْ الٌؼرمذ فزضا‬ٚ ‫ا‬ٙ‫اٌؼٍُ تفزضٍر‬ٚ ‫لد‬ٌٛ‫ا‬
.‫اجرٕاب اٌّثطئاخ‬ٚ ‫ا طٕح‬ٙ‫ض‬ٚ‫فز‬
Utawi ikilah syarat sahe salat
iku wolu. //
246| Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya
ISBN 978-602-61725-2-5

Sawiji iku suci saking hadas


loro; sawiji hadas sugra / lan hada
kubro. Lan kapindo iku suci adoh saka
najis / ing dalem panggodotanekamiṣli,
lan ing badane kamiṣli, lan ing anggone
kamiṣli. Lan kaping telu iku anutup /
aurat. Lan kaping pat iku madhep ing
kiblat. Lan kaping lima iku manjing /
wektu. Lan kaping enem ora kamiṣli
ing fardune salat. Lan kaping pitu arep
ora aneqadake kamiṣli / ing fardu sawiji
kang setengahe saking sekabehane
fardune salat ing sunat. Lan kaping
wolu iyo ngedohi kamiṣli / ing sekabehe
ambatalke ing salat. (SN:23—24).
4. Arta rikaz diartikan sebagai barang yang
ditemukan terpendam di dalam tanah atau biasa
disebut dengan harta karun. Adapun arta ma’dan
adalah barang-barang hasil bumi seperti biji dan
buah-buahan. Kedua istilah tersebut dapat dilihat
pada kutipan berikut ini.
‫اع‬ٛٔ‫ا اٌشواج طرح أ‬ٍٙ‫اي اٌرً ذٍشَ ف‬ِٛ‫األ‬
‫اٌزواس‬ٚ ‫اي اٌرجارج‬ِٛ‫أ‬ٚ ‫اٌّؼشزاخ‬ٚ ْ‫إٌمذا‬ٚ ُ‫إٌؼ‬
.ْ‫اٌّؼذ‬ٚ
Utawi ikilah arta // kang wajib
apa njerone iya zakat iku nenem /
warnane.

Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya | 247
Seminar Nasional KABASTRA II

Sawiji iku rajakaya, lan emas


saloka, / lan peperlungan, lan
sekabehane arta dagangan, / lan arta
rikaz / lan arta ma’dan. / (SN:58—59).

Beberapa istilah tersebut memang tidak digunakan


di dalam cakupan wilayah yang luas. Istilah-istilah tersebut
sering dipakai di dalam lingkungan keagamaan, pada
konteks ini merupakan lingkungan pesantren. Hal ini
menunjukkan secara jelas bahwa teks SN sebagai produk
dari lingkungan pesantren hanya digunakan di dalam
lingkungan pesantren saja, belum mencakup lingkungan
yang lebih luas. Masyarakat awam perlu pula memahami
fikih dasar ini, hanya saja penggunaan istilah-istilah ter-
tentu diperlukan penjelasan lebih agar lebih mudah
dipahami.
Sudah diketahui bersama bahwa teks SN yang
ditulis dalam bahasa Jawa merupakan hasil terjemahan teks
SN berbahasa Arab. Tentu saja hasil terjemahan tergantung
kepada penulis atau penerjemah. Hasil penerjemahan teks
SN sangat unik. Selain penggunaan kata hubung sebagai
alat penyesuaian dengan bahasa sasaran, kata ganti untuk
penekanan persona, serta istilah-istilah yang tidak di-
mengerti secara universal, hasil terjemahan teks SN ter-
dapat penambahan dan penggantian kalimat.

248| Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya
ISBN 978-602-61725-2-5

Penambahan kalimat sering terjadi ketika menye-


butkan penomoran. Pada teks SN berbahasa Arab tidak
disebutkan penomoran, namun di dalam teks SN berbahasa
Jawa terdapata penomoran. Hal ini diinterpretasikan untuk
mempermudah pemahaman penulis atau penerjemah ter-
hadap teks SN. Penambahan kalimat tersebut dapat dilihat
di beberapa kutipan berikut ini.
‫ي ٔمً اٌرزاب‬ٚ‫ض اٌرٍُّ خّظح األ‬ٚ‫فز‬
‫جٗ اٌزاتغ ِظح اٌٍذٌٓ إٌى‬ٌٛ‫اٌثأً إٌٍح اٌثاٌث ِظح ا‬
.ٍٓ‫اٌّزفمٍٓ اٌخاِض اٌرزذٍة تٍٓ اٌّظحر‬
Utawi fardune / tayamum iku
lima.
Utawi kang awal iku angelehake
wong lebu. / Utawi kapindo iku niat.
Utawi kaping telu angusap rai. / Utawi
kaping pat iku angusap wong ing
tangan loro tumeka maring sikut loro. /
Utawi kaping lima iku tertib ing
antarane pengusap loro. / (SN:19)

‫ي إٌٍح‬ٚ‫أرواْ اٌصئاج طثؼح ػشز األ‬


‫اٌثأً ذىثٍزج اإلحزاَ اٌثاٌث اٌمٍاَ ػٍى اٌمادر اٌزاتغ‬
‫ع اٌظادص‬ٛ‫لزاءج اٌفاذحح اٌخاِض اٌطّإٍٔٔح فٍٗ اٌزو‬
ٍٗ‫اٌطّإٍٔٔح فٍٗ اٌظاتغ اإلػرذاي اٌثآِ اٌطّإٍٔٔح ف‬
‫د اٌؼاشز اٌطّإٍٔٔح اٌحادي ػشز‬ٛ‫اٌراطغ اٌظج‬
ٍٗ‫ص تٍٓ اٌظجذذٍٓ اٌثأً ػشز اٌطّإٍٔٔح ف‬ٍٛ‫اٌج‬
ٍٗ‫د ف‬ٛ‫ذ األخٍز اٌزاتغ ػشز اٌمؼ‬ٙ‫اٌثاٌث ػشز اٌرش‬

Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya | 249
Seminar Nasional KABASTRA II

ٍُ‫ط‬ٚ ٍٍٗ‫اٌخاِض ػشز اٌصئاج ػٍى إٌثً صٍى هللا ػ‬


.‫اٌظاتغ ػشز اٌرزذٍة‬، َ‫فٍٗ اٌظادص ػشز اٌظئا‬
Utawi ikilah rukune salat iku
pitu- / las.
Utawi kang awal iku niat.
Utawi kapindo iku takbiratulihram. /
Utawi kaping telu iku angadeke ing
atase wong kang kuas. / Utawi kaping
pat iku maca fatihah. Utawi kaping
lima / iku rukuk. Utawi kaping nem iku
iku tumakninah / anjerone iya. Utawi
kaping pitu iku i’tidal. Utawi kaping
wolu iku tumakninah // anjerone iya.
Utawi kaping sanga iku sujud utawi
kaping sepuluh iku tumakninah. /
Utawi kaping sewelas iku lungguh ing
antarane sujud loro. / Utawi kaping
rolas iku tumakninah anjerone iya.
Utawi kaping telu / welas iku tahiyat
kang akhir. Utawi kaping pat belas iku
lungguh / anjerone iya. Utawi kang
limalas iya maca doa salawat ing atase
Nabi / Sholallahu ‘Alaihi Wassalam
anjerone iya. Utawi kaping enem belas /
iku aweh salam kang dingin. Utawi
pitulas tertib./ (SN:26—27).

250| Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya
ISBN 978-602-61725-2-5

ًٌ‫َ اٌظفز ا‬ٚ‫دا‬ٚ ‫اْ ذىٓ اٌصئاج رتاػٍح‬ٚ


.ٗ‫اْ الٌمرذي تّرُ فً جشء ِٓ صئاذ‬ٚ ‫ا‬ِٙ‫ذّا‬
Utawi syarat qasar iku pepitu.//

Utawi syarat kang dingini iku


arep ana lelungan wong iku wong
pamondokan. Lan kapindo iku arep ana
lelungan wong / iku wenang. Lan
kaping telu iku weruh wong kang ing
wenang qasar. Lan kaping pat iku niat
qasar / tatkala takbiratulihram. Lan
kaping lima iku arep ana salat / iku
bangsa papat. Lan kaping enem iku
langgenge lelungan tumeka marang
tutupe salat. / Lan kaping pitu arep ora
anuruti ing wong kang sempurna ing
dalem wajibe saking / salat wong kui.
(SN:50—51).
Dari ketiga kutipan tersebut terlihat akan adanya
pemakaian nomor. Pemakaian nomor menggunakan kata
lan kaping pindo, lan kaping telu, lan kaping pat, lan kaping
lima, lan kaping, dan seterusnya yang berarti ‘dan yang
kedua’, ‘dan yang ketiga’, ‘dan yang keempat’, ‘dan yang
kelima’, ‘dan yang keenam’, dan seterusnya. Namun
penyebutan angka satu tidak disebutkan dengan kaping siji
‘yang pertama’ tetapi menggunakan kata kang awal dan
kang dingin. Kedua kata tersebut sama memiliki arti ‘yang

Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya | 251
Seminar Nasional KABASTRA II

pertama’. Pemakaian nomor tersebut diinterpretasikan


untuk mempermudah urutan.
Selain adanya penambahan kalimat pada hasil ter-
jemahan, ada pula penggantian kalimat pada hasil
terjemahan. Penggantian kalimat ini dilakukan secara
sengaja oleh penulis atau penerjemah. Tujuannya diinter-
pretasikan karena penulis atau penerjemah sudah menge-
tahui artinya dan kalimat dari BSu digunakan pula dalam
BSa. Penggantian kalimat pada teks SN dapat dilihat pada
beberapa kutipan di bawah ini.
ٌٍُٙ‫ذشذٌذاخ ألً اٌصئاج ػٍى إٌثً أرتغ ا‬
‫اٌٍُّ صً ػٍى اٌئاَ ػٍى ِحّذ ػٍى‬ٚ َ‫ػٍى اٌئا‬
.ٌٍُّ‫ا‬
Utawi tasydide luwih kidike doa
salawat ing atase Nabi / iku papat.
Utawi tasydide iku ing atase
lam lan mim. Iku ing atase // lam.
Utawi tasydide iku ing atase mim.
(SN:37—38).
Pada salah satu pokok bahasan mengenai tasydid di
dalam salawat kepada Nabi, disebutkan dalam BSu tasydid
berada pada kalimat allahumma, shalli, dan Muhammad.
Adapun di dalam teks Bsa menggunakan kata ‘tasydide iku
ing atase lam lan mim.’ sehingga kata allahumma ditiadakan.
‫ق‬ٛ‫ذشذٌذاخ اٌفاذحح أرتغ ػشزج تظُ هللا ف‬
‫ اٌحّذ‬، ‫ق اٌزاء‬ٛ‫ق اٌزاء اٌزَّحٍُ ف‬ٛ‫ اٌزَّحّٓ ف‬، َ‫اٌئا‬
‫ق‬ٛ‫ اٌزَّحّٓ ف‬، ‫ق اٌثاء‬ٛ‫ق الَ ربُّ اٌؼآٌٍّ ف‬ٛ‫هلل ف‬
252| Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya
ISBN 978-602-61725-2-5

‫ق‬ٛ‫ إٌ َّان ٔؼثذ ف‬، ‫ق اٌذاي‬ٛ‫َ اٌذٌِّٓ ف‬ٌٛ ‫ِاٌه‬، ‫اٌزاء‬


‫ ا٘ذٔا اٌصِّزاط‬، ‫ق اٌٍاء‬ٛ‫ إٌَّان ٔظرؼٍٓ ف‬، ‫اٌٍاء‬
، َ‫ق اٌئا‬ٛ‫ صزاط اٌَّذٌٓ ف‬، ‫ق اٌصاد‬ٛ‫اٌّظرمٍُ ف‬
ٌٍِّٓ‫ال اٌضَّا‬ٚ ٍٍُٙ‫ب ػ‬ٛ‫ُ غٍز اٌّغض‬ٍٍٙ‫أٔؼّد ػ‬
.َ‫اٌئا‬ٚ ‫ق اٌضاد‬ٛ‫ف‬
Utawi akehe tasydide fatihah
iku pat belas. /

Utawi tasydide iya ing luhure


lam. Utawi tasydide iya ing luhure / ro.
Utawi tasydide iku ing luhure ro.
Utawi tasydide / iya ing luhure lam.
Utawi tasydide iya ing luhure / ba.
Utawi tasydide iya ing luhure ro.
Utawi tasydide // iya ing luhure ro.
Utawi tasydide / iya ing luhure dal.
Utawi tasydide iya ing luhure / ba.
Utawi tasydide iya ing luhure ya. /
Utawi tasydide iya ing luhure shad. /
Utawi tasydide iya ing luhure lam. /
Utawi tasydide / iya ing luhure shad
lan lam. // (SN:32—33).
Pada kutipan selanjutnya juga terdapat kasus yang
sama yaitu penggantian kalimat menggunakan kata ganti.
Di dalam teks BSu disebutkan kata arrahman, arrahim,
alhadulillah, rabbil ‘alamin, arrahmani, maliki yaumiddin,
iyyaka, iyyaka nasta’in, ihdinash shiratal mustaqim,
shiratalladina, dan an’amta ‘alaihim walad dallin namun di

Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya | 253
Seminar Nasional KABASTRA II

dalam teks Bsa langsung menggunakan kata ganti iya. Hal


ini diinterpretasikan bahwa penulis atau penerjemah sudah
mengetahui artinya dan diperkirakan tidak perlu adanya
terjemahan.
Selain sebagai fungsi penerjemahan, tradisi logat
gantung berfungsi sebagai alat untuk menafsirkan. Penafsi-
ran pertama ialah pada kalimat bismillahirrahmirrahim.
Seperti pada kutipan berikut ini, kalimat bismillah diberi
penafsiran secara singkat.
ٍُ‫تظُ هللا اٌزحّٓ اٌزح‬
Kelawan anyebut asmane Gusti
Allah Kang Maha Murah Asih ing
dunya, Kang Welas Asih ing akhirat. /
(SN:6)

Diketahui bahwa terjemahan paling umum dari


kalimat basmalah adalah ‚Dengan menyebut nama Allah
Yang Maha Pemurah dan Maha Pengasih‛. Namun pada
teks SN ini ditemukan berbeda karena ada sedikit penam-
bahan tafsir menjadi ‚Kelawan anyebut asmane Gusti Allah
Kang Maha Murah Asih ing dunya, Kang Welas Asih ing
akhirat.‛ dengan terjemahan bebasnya menjadi ‚Dengan
menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah di dunia dan
Maha Pengasih di akhirat.‛ Hal ini sesuai dengan yang
dikemukakan oleh Ashshiddieqy (2011:11—13) mengenai
tafsir dalam kalimat basmalah.

254| Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya
ISBN 978-602-61725-2-5

Ashshiddieqy (2011:11—13) menyebutkan bahwa


Tuhan Yang Maha Pemurah (dari arti Arrahman), yang
sangat banyak rahmat dan karunia-Nya, dan yang melim-
pahkan banyak kebaikan-Nya. Sifat rahman adalah sifat
yang menunjukkan bahwa Allah memiliki rahmat dan
melimpahkannya tanpa batas kepada semua makhluk-Nya.
Lafal Arrahman merupakan salah satu dari asmaul husna
dari Allah. Adapun Tuhan Yang Maha Pengasih (dari kata
Arrahim bersifat rahmat dan senantiasa mencurahkan
rahmat-Nya. Sifat rahim adalah sifat yang menunjukkan
bahwa Allah tetap bersifat rahmat, yang dari rahmat-Nya-
lah kita memperoleh keasihan-Nya.
Abduh (dalam Ashshiddieqy, 2011:12) menyebut-
kan bahwa kata Ar-Rahman memberikan pengertia bahwa
Allah sangat banyak kemurahan-Nya baik kecil maaupun
besar. Akan tetapi tidak menunjukkan bahwa Allah men-
curahkan kemurahan rahmat-Nya. Untuk menegaskan
bahwa Allah melimpahkan rahmat-Nya kepada seluruh
hamba-Nya yang tiada henti, maka Dia bersifat rahim.
Sebab, sifat rahmat itu merupakan sifat yang tetap bagi-
Nya. Secara singkat dapat dikatakan bahwa lafal Ar-
Rahman menunjukkan bahwa Allah melimpahkan nikmat
dan kemurahan-Nya tanpa batas kepada siapa pun di
dunia, sedangkan lafal Ar-Rahim menunjukkan sifat
melimpahkan nikmat dan kemurahan hanya kepada umat-
Nya di akhirat yang merupakan sifat tetap bagi-Nya.

Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya | 255
Seminar Nasional KABASTRA II

Dari uraian tafsir di atas, penafsiran kalimat


basmalah di dalam teks SN sudah mampu tersampaikan
secara jelas. Selain penafsira tersebut, kalimat basmalah
merupakan kalimat yang diucapkan ketika memulai suatu
pekerjaan termasuk kegiatan tulis menulis. Hal ini menan-
dakan bahwa untuk memulai pekerjaan berdasarkan perin-
tah Allah semata, bukan berdasarkan hawa nafsu belaka.
Selain penafsiran mengenai kalimat basmalah,
penyebutan Tuhan dengan kata Pangeran pun perlu ditaf-
sirkan. Kata Pangeran merupakan kata yang berasal dari
bahasa Jawa yang merujuk kepada anak raja. Penyebutan
kata Pangeran di dalam teks SN tidak lepas dari kultur
budaya Jawa. Penyebutan kata tersebut dapat dilihat pada
beberapa kutipan berikut ini.
‫تٗ ٔظرؼٍٓ ػٍى‬ٚ ٌٍّٓ‫"اٌحّذ هلل رب اٌؼا‬
...,‫ر اٌذٍٔا‬ِٛ‫أ‬
Utawi sekabehane puji iku
keduwe Allah, Pangeran ing alam
dunya, ... /‛ (SN:6).

...,‫ادج أْ الإٌٗ إالهللا‬ٙ‫ش‬,...‛


Sawiji iku tegese kula / ing
satuhune Pangeran aran Pangeran
kang satuhu anging Allah, ...‛ (SN:7).

256| Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya
ISBN 978-602-61725-2-5

ً‫د تحك ف‬ٛ‫ِؼٕى الإٌٗ إالهللا الِؼث‬ٚ


.‫د إال هللا‬ٛ‫ج‬ٌٛ‫‛ا‬
Utawi maknane lafaz Laa illaha
illallah / iku ora ana Pangeran kang
sembah ing dalem wujude anging
Allah. /‛ (SN:8).
Islam di dalam masyarakat Jawa tidak lepas dari
unsur-unsur lokal. Unsur-unsur lokal Jawa yang ber-
campur dengan Islam merupakan wujud dari sinkretisme.
Unsur-unsur lokal tersebut bukan hanya berupa aktivitas
masyarakat seperti Sekaten yang merupakan acara syukur-
an karena memeluk agama Islam dengan ditandai dua
syahadat, tetapi ke arah pilihan kata atau bahasa yang
digunakan dalam masyarakat. Salah satu toko Islam di
dalam masyarakat adalah Sunan Kalijaga, anggota dari
Wali Songo. Dalam kapasitasnya sebagai tokoh Islam di
Jawa, ia termasuk wali yang akomodatif terhadap unsur
budaya Jawa. Terbukti Sunan Kalijaga menggubah lakon
wayang terkenal yaitu lakon Jimat Kalimasada, Dewa Ruci,
dan Petruk dadi Ratu.Jimat Kalimasada merupakan
perlambang dari kalimat syahadat. Rahasia dari jimat ini
yang paling sering dibeberkan olehnya kepada masyarakat.
Setelah jimat tersebut dibaca oleh Sunan Kalijaga ternyata
merupakan kalimat syahadat. Dengan lakon ini Sunan
Kalijaga mengajak masyarakat Jawa untuk memeluk Islam
dengan mengucap dua kalimat syahadat (Hariwijaya,
2004:259).

Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya | 257
Seminar Nasional KABASTRA II

Begitu pula dengan kata Pangeran, kata ini lebih


lekat dan lebih dekat dengan masyarakat Jawa daripada
penyebutan Tuhan dengan kata Allah. Meskipun sebelum
Islam, Hindu dan Buddha sudah menjadi agama masya-
rakat Jawa dengan penyebutan Dewa atau Sang Hyang.
Dapat diinterpretasikan bahwa Pangeran merupakan
penyebutan yang merujuk ke Tuhan. Hal ini disebabkan
karena kebudayaan Jawa yang masih mencampurkan
unsur-unsur lokal. Jadi Pangeran dianggap Tuhan karena
pangeran dalam arti sebenarnya mempunyai kedudukan
yang tinggi dalam strata masyarakat Jawa, sehingga
penyebutan Tuhan menggunakan Pangeran merupakan
suatu penghormatan kepada Zat Yang Maha Tinggi.

DAFTAR PUSTAKA

Ashshiddieqy, Teuku Muhammad Hasbi. 2011. Tafsir


Alquranul Masjid An-Nur Jilid 1. Jakarta: Cakrawala
Publishing.
Behrend, T.E.. 1998. Katalog Induk Naskah-Naskah Nusantara
Jilid 4: Perpustakaan Nasional Republik Indonesia.
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Braginsky, V.I.. 1998. Yang Indah, Berfaedah, dan Kamal:
Sejarah Sastra Melayu dalam Abad 7—19. Jakarta:
INIS.
Fang, Liaw Yock. 2011. Sejarah Kesusastraan Melayu. Jakarta:
Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

258| Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya
ISBN 978-602-61725-2-5

Hariwijaya, M.. 2004. Islam Kejawen. Yogyakarta:


Gelombang Pasang.
Hidayat, I. Syarief. 2012. Teologi dalam Naskah Sunda
Islami. Bandung: Syaamil Books.
Poerwadarminta, W.J.S.. 1939. Baoesastra Djawa.
Groningen—Batavia: J.B. Wolters’ Uitgevers
Maatschappij.
Sudaryanto. 1991. Tata Bahasa Baku Bahasa Jawa.
Yogyakarta: Duta Wacana University Press.
Taufiq, Ahmad. 2007. Sastra Kitab. Surakarta: FSSR
UNS.

Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya | 259
Seminar Nasional KABASTRA II

260| Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya
ISBN 978-602-61725-2-5

ASPEK BUDAYA BETAWI DALAM NOVEL


SI DUL ANAK BETAWI
KARYA AMAN DATUK MADJOINDO
Oleh :
Ninawati Syahrul
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa
Pos-el: nsyahrul@ymail.com

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan aspek


budaya Betawi dalam novel Si Dul Anak Betawi karya Aman
Datuk Madjoindo sebagai materi pembelajaran sastra Indo-
nesia di sekolah.Novel Si Dul Anak Betawi menceritakan
seorang anak Betawi bernama Si Dul yang ingin ber-
sekolah. Novel ini menceritakan masa kanak-kanak sampai
dengan saat masuk sekolah. Cerita Si Dul merupakan suatu
kasus transformasi untuk melepaskan diri dari stereotip
yang selama ini melekat pada masyarakat Betawi seperti
tidak berpendidikan. Metode yang digunakan dalam tulis-
an ini adalah deskriptif kualitatif yang memaparkan tulisan
berdasarkan isi karya sastra. Teknik penulisannya adalah
studi pustaka. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ham-
pir seluruh adat istiadat masyarakat Betawi diwarnai oleh
agama Islam seperti sebagai berikut. Pertama, saat lebaran,
kereligiusan masyarakat Betawi tampak dalam berpakaian
dan sikap hidup mereka. Kedua, selamatan untuk orang
meninggal, setiap malam selama tujuh hari mereka
membaca tahlil dan doa. Ketiga, perkawinan orang
Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya | 261
Seminar Nasional KABASTRA II

Betawi akan mendapat restu dari orang tua apabila calon


pasangannya beragama Islam. Keempat, permainan anak
sifatnya berunsur agama. Bagi orang Betawi keberhasilan
adalah pentingnya keseimbangan pendidikan dunia dan
akhirat bukanlah hal baru. Dengan demikian, novel Si Dul
Anak Betawi dapat dijadikan sebagai salah satu materi pem-
belajaran sastra Indonesia untuk memahami keadaan sosial
budaya masyarakat Betawi di sekolah.

Kata kunci: budaya Betawi, novel, sastra

PENDAHULUAN
UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional Bab I Pasal I Ayat I dikatakan bahwa
‚pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk me-
wujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran siswa
secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk me-
miliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan
yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan Negara‛
(Depdiknas, 2003).

Sejak tahun 1998 untuk melaksanakan perubahan


dalam bidang pendidikan UNESCO telah mengemukakan
dua basis landasan: pertama,pendidikan harus diletakkan
dalam empat pilar yaitu belajar mengetahui, belajar
melakukan, belajar hidup dalam kebersamaan, dan belajar
menjadi diri sendiri; kedua,belajar seumur hidup (Mulyasa,
2013: 2). Dari pemaparan basis pendidikan sebagaimana

262| Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya
ISBN 978-602-61725-2-5

diamanatkan oleh UNESCO, secara ekmplisit sangat


relevan dengan cita-cita yang diamanatkan dalam UU
Nomor 20 Tahun 2003. Proses pembelajaran secara aktif
mengembangkan potensi diri untuk memiliki kekuatan
spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecer-
dasan, akhlak mulia merupakan bagian dari pendidikan
berbasis karakter.
Usaha untuk mewujudkan pendidikan sebagaimana
tersemat dalam undang-undang di atas yakni dengan
menyiapkan generasi yang berkarakter. Jika dikontekskan
dengan abad 21 ini dunia tengah memasuki era global,
pendidikan yang mengarah pada pembentukan karakter
kebangsaan sangat urgen dilakukan. Pertukaran informasi
tidak disadari membawa pengaruh kebudayaan dari
masyarakat bangsa dari belahan dunia. Pengadopsian
terhadap nilai dari budaya lain pun tidak dapat terhindar-
kan oleh generasi bangsa. Melihat fenomena ini,
pemerintah melalui Kurikulum 2013 melakukan usaha
sadar merespons kehidupan global untuk mengantisipasi
generasi digital. Penanaman pendidikan karakter di
Indonesi salah satunya diwujudkan melalui Kurikulum
2013 seperti pendapat Muhaimin (Abdullah Idi, 2014: 264)
mengatakan, bahwa perubahan KTSP ke Kurikulum 2013
sesungguhnya untuk merespons dan mengantisipasi per-
kembangan, tuntutan kebutuhan masyarakat. Globalisasi
telah terjadi dalam berbagai bidang, termasuk dalam
bidang sains, teknologi, sosial, politik, budaya, dan etika

Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya | 263
Seminar Nasional KABASTRA II

yang berimplikassi pada banyaknya masalah yang muncul


dalam dunia pendidikan di berbagai negara.
Mempertimbangkan dua aspek penting di atas,
yakni mengenai basis pendidikan karakter dalam Kuriku-
lum 2013 dan sastra sebagai basis pembentukan karakter
kebangsaan, kiranya sangat perlu dipadukan. Indonesia
sebagai Negara yang kaya akan kearifan lokal sungguh
sangat mungkin untuk memunguti kembali nilai yang
terkandung di dalamnya. Tidak hanya itu, dalam karya
sastra para pengarang sastra banyak mengambil tema
kearifan lokal yang direfleksikan dalam karyanya. Dengan
demikian, pembentukan karakter dapat disumbang pula
oleh pembelajaran sastra di sekolah. Upaya ini tidak lain
adalah sebagai usaha untuk menumbuhkan kesadaran
mengenali dan membentuk kembali karakter kebangsaan
yang selama ini dilupakan. Oleh sebab itu, pedoman
pembelajaran sastra sangat penting untuk mempertimbang-
kan materi pembelajaran sastra yang sarat akan nilai kearif-
an lokal bangsa. Pembelajaran harus mampu membawa
siswa kepada kehidupan.
Salah satu kearifal lokal terdapat dalam sastra Beta-
wi modern muncul novel Si Dul Anak Betawi karya yang
pertama kali diterbitkan oleh Balai Pustakapada tahun 1932
(Loven: 2008). Bahasa Betawi yang dipakainya tidak
sungguh-sungguh murni. jika dibaca oleh anak-anak novel
tersebut amat mengesankan batin. Dul yang lugu, polos,
dan jahil akan sukses membawa anak membentuk
264| Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya
ISBN 978-602-61725-2-5

bayangan kokoh tentang suasana batin dan pergaulan anak


Betawi. Pada masa sekarang, kecenderungan lokalitas
Betawi dalam sastra cenderung menurun. Namun,
tentunya kita bersyukur masih dapat menemukan jejak
kebetawian dan sesekali kejakartaan dalam cerita Si Dul
Anak Betawi karya Aman Datuk Madjoindo. Dengan gaya-
nya Beiau memberikan warna dan sumbangsih tersendiri
dalam dunia kesusteraan Betawi.
Dalam hal ini, pembelajaran kontekstual dapat
memberi dukungan terhadap pembelajaran sastra berbasis
nilai kearifan lokal. Menurut (Sujarwo, 2011: 48) menyata-
kan, pembelajaran kontekstual merupakan konsep belajar
yang membantu guru dalam mengaitkan materi pem-
belajaran dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong
siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimili-
kinya dengan kehidupan anggota keluarga dan masyara-
kat. Dalam proses pembelajaran, tugas guru mengelola
kelas sebagai tim yang bekerja bersama untuk menemukan
sesuatu yang baru bagi siswa. Pengetahuan dan keteram-
pilan yang diperoleh merupakan hasil kerja mandiri siswa
berdasarkan konsep yang dikaitkan dengan kondisi lingku-
ngan tempat tinggalnya. Peran siswa mengontruksi infor-
masi yang diperoleh untuk diformulasikan menjadi penge-
tahuan dan keterampilan yang dimiliki. Pembelajaran kon-
tekstual dapat dipadukan dalam pembelajaran sastra ber-
basis kearifan lokal. Cara ini memberi peluang siswa dalam
mengenal, menggali, dan menyerap nilai karakter dalam

Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya | 265
Seminar Nasional KABASTRA II

pembelajaran sastra. Tujuan penelitian ini mengetahui


budaya Betawi yang tergambar dalam novel Si Doel Anak
Betawi karya Aman Datuk Madjoindo.

KAJIAN TEORI
Pendekatan utama yang dipergunakan untuk
menganalisis permasalahan adalah pendekatan studi sosio-
logi sastra sering didefinisikan sebagai pendekatan yang
memahami dan menilai karya sastra dengan mempertim-
bangkan segi-segi kemasyarakatan atau sosial (Damono,
2003:1).
Sastra bukanlah sekadar pencerminan masyarakat-
nya, sastra merupakan usaha manusia untuk menemukan
makna dunia atas nilai yang terkandung di dalam sastra.
Nilai itu harus dihayati oleh orang dan masyarakat (Faruk,
2012: 63). Sejalan dengan hal itu (Endraswara, 2003: 78)
menyatakan bahwa sastra memiliki keterkaitan timbal balik
dalam derajat tertentu dengan masyarakatnya; dan sosio-
logi berusaha mencari pertautan antara sastra dengan
kenyataan masyarakat dalam berbagai dimensi. Oleh
karena itu, penggunaan sosiologi sastra dalam penelitian
ini diharapkan mampu memunculkan keterkaitan budaya
yang ada dalam novel novel Si Dul Anak Betawi karya
Aman Datuk Madjoindo dengan budaya yang ada dalam
masyarakat Betawi.
Menurut (Wellek dan Warren, 2014: 84), penelitian yang
menggunakan pendekatan sosiologi sastra dapat dibeda-

266| Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya
ISBN 978-602-61725-2-5

kan atas tiga permasalahan, yaitu (1) sosiologi pengarang


yang memusatkan permasalahan kepada status sosial,
ideologi sosial, dan lain-lain yang menyangkut pengarang
sebagai penghasil cerita; (2) sosiologi sastra yang
memusatkan perhatian kepada karya itu sendiri dengan
memfokuskan penelaahan kepada isi karya sastra tersebut,
baik apa yang tersirat dan apa yang menjadi tujuannya;
dan (3) sosiologi sastra yang memusatkan permasalahan
pada pembaca serta pengaruh sosial karya sastra.
Usaha untuk mendeskripsikan aspek budaya
Betawi novel Si Dul Anak Betawi karya Aman Datuk
Madjoindo, makalah ini hanya membicarakan
permasalahan kedua, yaitu pemusatan permasalahan pada
sosiologi sastra yang memusatkan perhatian kepada karya
itu sendiri dengan memfokuskan penelaahan kepada isi
karya sastra tersebut, baik apa yang tersirat dan apa yang
menjadi tujuannya tentang budaya Betawi dalam novel Si
Dul Anak Betawi karya Aman Datuk Madjoindo.Namun,
penulis pun menyadari bahwa untuk menghindari
pembicaraan permasalan tama dan tiga tidak mungkin
dapat dilaksanakan sepenuhnya. Untuk itu, jika ada
pembicaraan yang menyingung kedua permasalahan itu,
penulis maksudkan sebagai pelengkap dari gejala yang
dibicarakan.

Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya | 267
Seminar Nasional KABASTRA II

METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif
analisis dengan cara mendeskripsikan dan menganalisis
data dengan pandangan kritis sesuai dengan kenyataan
yang ditemukan. Teknik penelitian semacam ini dalam
sastra disebut deskriptif kualitatif. Metode penelitian pada
dasarnya merupakan cara ilmiah untuk mendapatkan data
dengan tujuan dan kegunaan tertentu (Sugiyono, 2013).
Menurut (Ratna, 2012: 39) metode analisis deskriptif adalah
metode yang digunakan dengan cara menganalisis dan
menguraikan data untuk menggambarkan keadaan objek
yang diteliti yang menjadi pusat perhatian penelitian.
Dengan kata lain, metode analisis deskriptif digunakan
untuk menguraikan. kemudian mendeskripsikan keadaan
objek yang diteliti dengan-hal yang menjadi pusat
perhatian.
Langkah-langkah untuk pemerolehan dan pengo-
lahan data dilakukan sebagai berikut.
1.2.1 Studi pustaka dilakukan untuk mendapatkan data
yang menyangkut aspeks budaya Betawi dalam novel Si
Dul Anak Betawi karangan Aman Datuk Madjoindo.
1.2.2 Inventarisasi data dilakukan terhadap novel yang
diteliti, aspek budaya Betawi yaitu Lebaran, selamatan,
perkawinan, dan permainan anak yang ditemukan dalam
novel Si Dul Anak Betawi karya Aman Datuk Madjoindo.

268| Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya
ISBN 978-602-61725-2-5

1.2.3 Identifikasi data dilakukan melalui pendekatan


sosiologi sastra yang menyangkut yang memusatkan
perhatian kepada karya itu sendiri dengan memfokuskan
penelaahan kepada isi karya sastra tersebut, baik apa yang
tersirat dan apa yang menjadi tujuannya budaya Betawi
dalam novel Si Dul Anak Betawi karya Aman Datuk
Madjoindo.
1.2.4 Merumuskan simpulan penelitian.

PEMBAHASAN
Untuk kemudahan pemahaman uraian ini, berikut
akan dipaparkan biografi singkat yang berhubungan
dengan kepengarangan Aman Datuk Madjoindo. Beliau
lahir di Supayang, Solok, Sumatera Barat tahun 1896 dan
meninggal 1969. Pernah bekerja sebagai guru di Padang
dan kemudian sebagai korektor dan redaktur di Balai
Pustaka.

Salah satu karyanya yang terkenal adalah Si Dul


Anak Betawi. Beliau pernah mengenyam pendidikan di HIS
di Solok, serta Kweekschool atau Sekolah Raja di
Bukittinggi. Setelah lulus sekolah Beiau sempat menjadi
guru di Padang di tahun 1919 sebelum pindah ke Jakarta
dan bekerja di Balai Pustaka pada tahun 1920.
Ada lebih 20 buku yang telah dikarang Aman Datuk
Madjoindo. Novel Si Dul Anak Betawi ditulis pada tahun
1956. Namun, jauh sebelumnya Beliau telah menulis
berbagai cerita lain, di antaranya Menebus Dosa (1932), Si
Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya | 269
Seminar Nasional KABASTRA II

Cebol Rindukan Bulan (1934), Perbuatan Dukun (1935),


Sampaikan Salamku Kepadanya (1935).
Abdoel Hamid adalah nama tokoh dalam novel Si Dul
Anak Betawi. Namun, ia lebih sering dipanggil Si Dul oleh
keluarga dan temannya. Si Dul tinggal bertiga dengan
Nyak (Ibu) dan Babenya (Bapak). Nyak tiap hari tinggal di
rumah sedangkan Babe menjadi sopir bus kota. Seperti
kebanyakan anak-anak, tiap hari Si Dul bermain dengan
teman-temannya. Agar dapat main bareng dengan teman-
teman, kadang Si Dul harus kucing-kucingan dengan
Nyaknya. Walaupun Nyak menyuruh Dul tinggal di rumah
saja, kadang ia mencari akal untuk ketemu teman-
temannya. Kehidupan Dul berjalan lancar dan
menyenangkan hingga suatu hari datang kabar yang
mengejutkan dari Babe. Teman Babe datang ke rumah dan
mengabarkan kalau Babe meninggal akibat kecelakaan.
Kepergian Babe sangat berpengaruh bagi kehidupan Nyak
dan Dul. Nyak menjadi tidak bersemangat untuk menjalani
hidup, dan sakit karena tidak mau makan. Di tengah
cobaan tersebut, Dul mencoba untuk tegar dan membantu
sebisanya untuk kelangsungan hidup mereka.

BUDAYA BETAWI DALAM NOVEL SI DOEL ANAK


BETAWI KARYA AMAN DATUK MADJOINDO

Si Dul Anak Betawi menceritakan kisah tentang si


Dul seorang anak Betawi yang ingin bersekolah. Dalam
konteks sosial masyarakat saat ini tentu saja premis

270| Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya
ISBN 978-602-61725-2-5

ceritanya sangat tidak menarik. Tapi dalam konteks


sosial masyarakat Betawi pada masa itu, hal ini menjadi
hal yang cukup sensitif. Sekolah dalam masa itu
dianggap identik dengan kolonial Belanda. Bersekolah,
menerima pendidikan barat dianggap akan menjauhkan
mereka dari ajaran agama. Pada umumnya masyarakat
Betawi yang kita tahu sangat kental dengan budaya
Islam, menerima pendidikan dari Pondok Pesantren. Na-
mun, tidak semuanya berkeinginan untuk mendapat
pendidikan, karena kebanyakan masyarakat Betawi
memiliki tanah yang luas yang dapat diolah dengan
mudah.
Hal tersebutlah yang dikritik Aman Datuk mela-
lui tokoh Si Dul dalam novelnya. Beliau mengkritik
masyarakat Betawi yang belum mau menerima pendi-
dikan barat. Penolakan terhadap pendidikan barat
tersebut diungkapkannya melalui penolakan Engkong si
Dul seperti kutipan sebagai berikut.
Bikin aje apa yang lu suka [<] Baik si Doel
masuk sekole, baik lu jadiin serani, masak bodoh
lu. Gue kagak perduli! Tapi kagak usah die dateng
kesini-kesini lagi, gue kagak suka. [<] Kalo dia
kagak tau ngaji, die jadi kafir lu tau nggak?
(SDAB, 2013)
Dalam kutipan tersebut menjelaskan bahwa dalam
konteks sosial masyarakat Betawi pada saat itu, penga-
rang melihat sekolah kolonial sebagai sesuatu yang
Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya | 271
Seminar Nasional KABASTRA II

menakutkan bagi masyarakat. Mereka menganggap


sekolah kolonial tersebut sebagai proses Kristenisasi
oleh para kolonial. Masyarakat Betawi yang identik
dengan agama Islam tentu saja tidak dapat menerima
eksistensi sekolah kolonial yang mereka anggap menye-
barkan Agama Nasrani yang dianggap sebagai agama
penjajah.
Jika kita menilik latar belakang Aman Datuk
Madjoindo yang seorang Minang, kritik terhadap
masyarakat Betawi tersebut merupakan bentuk kepe-
duliannya untuk mengubah stereotip masyarakat Betawi
yang pada waktu itu dikenal sebagai pemalas, dan tidak
berpendidikan. Latar belakang Minang yang dimiliki
Aman juga kental dengan budaya Islam. Masyarakat
Betawi dan masyarakat Minang kental dengan budaya
dan agama Islam, tetapi masyarakat Minang lebih
terbuka dalam menerima pendidikan barat.
Budaya Minangkabau mendorong masyarakatnya
untuk mencintai pendidikan dan ilmu pengetahuan.
Sehingga sejak kecil, para pemuda Minangkabau telah
dituntut untuk mencari ilmu. Perbedaan persepektif
mengenai pendidikan barat tersebutlah yang membeda-
kan masyarakat Minang dan Betawi. Namun, dalam
novel Si Dul Anak Betawi, pengarang tidak serta merta
membenturkan masyarakat Betawi dengan masyarakat
Minang. Melalui tokoh ayah tiri Si pengarang mengung-

272| Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya
ISBN 978-602-61725-2-5

kapkan pentingnya pendidikan seperti kutipan sebagai


berikut.
Saya lihat orang di sini kurang suka menyerah-
kan anaknya ke sekolah. Mereka hanya diserahkan
mengaji saja [<]. Betul belajar mengaji dan
agama itu sangat baiknya, tetapi sekolah jangan
dilupakan. Karena dengan ilmu sekolah itulah
sekarang orang dapat mencari hidup yang baik.
(SDAB, 1932)

Beliau juga mmembandingkan dengan orang


Jawa dengan orang Betawi. Ketika Si Dul ditanya oleh
ayahnya apa hadiah yang dia inginkan setelah puasa
Ramadan, seperti kutipan berikut.
Si Doel menjawab ia ingin seragam sekolah. Si
Doel membayangkan sekolah sebagai tempat
dimana ia bisa belajar dan bermain dengan
gembira, ‘seperti si Karto tetangga kite’.

Dalam kutipan tersebut dilukiskan bahwa Aman


Datuk menggunakan nama Karto yang merupakan nama
Jawa sebagai alasan Si Doel ingin bersekolah. Karto
dalam buku tersebut memang tidak dibahas lebih detil.
Namun, tanpa adanya tokoh Karto, si Dul mungkin
tidak akan memiliki alasan untuk bersekolah. Dengan
menyandingkan Si Dul Anak Betawi dengan tetangga-
nya yang orang Jawa, Pengarang seolah mencoba untuk
mendorong masyarakat Betawi untuk mengikuti pen-
Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya | 273
Seminar Nasional KABASTRA II

didikan ‚seperti tetangganya orang Jawa‛. Tokoh orang


Jawa mungkin dipilih Aman Datuk Madjoindo karena
orang Jawa termasuk kelompok besar sosial masyarakat
yang paling berpengaruh di pulau Jawa.
Adat Istiadat Masayarakat Betawi dalam novel Si
Dul Anak Betawi sebagai berikut. Pertama, ketika hari
Lebaran, si Dul memakai pakaian berdasi, bersepatu,
dan bertopi ala Barat tidak disenangi oleh ibu dan
kakeknya. Si Dul dianggap mengubah adat kebiasaan.
Biasanya orang kampung setiap Lebaran selalu
memamaki sarung dan berkopiah. Karena berpakaian
seperti itu, si Dul disebut anak yang tidak tahu adat. Si
Dul tidak boleh meniru anak Nasrani dan anak Belanda.
Akhirnya, Si Dul diusir dari rumah engkongnya agar
segera berganti baju. Perhatikan kutipan berikut.
Wah, ini sinyo dari mane, ha?Kok turut Lebaran
lagi! Astaga lu Dul? Ampir aje gue lupe. Kagak
malu bedandan macam sinyo-sinyo, emang lu anak
Serani? Siape nyang ajerin sih, macem ginian!
Tentu aje nyak lu nyang kagak tau diri itu. Niru-
niru Belande, niru-niru anak sekole, tahu huruf ya
kagak, ayoh, pergi pulang, tuker pakaian! Gue
kagak suka liat orang kayak ginian (SDAB, hlm.
106)

Dalam kutipan tersebut menggambarkan bahwa


dalam masyarakat Betawi, adat istiadat mereka jalani

274| Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya
ISBN 978-602-61725-2-5

secara konsekuen. Hampir seluruh adat istiadat masyarakat


Betawi diwarnai oleh agama Islam. Hal inilah yang
menyebabkan masyarakat Betawi sangat taat terhadap
ajaran agama yang mereka anut. Kereligiusan masyarakat
Betawi ini tampak dalam adat istiadat mereka yang tidak
pernah melepaskan unsur agama Islam dan sikap hidup
sehari-hari mereka. Kedua, selamatan untuk orang
meninggal. Tujuan selamatan itu adalah mendoakan
orang yang sudah meninggal agar arwahnya di terima
Tuhan dengan baik. Pelaksanaan upacara itu terlihat
ketika ayah si Dul meninggal dunia. Setiap malam
selama tujuh hari saudara dan masyarakat di lingkung-
annya berkumpul di rumah ibu si Dul untuk bertahlil
dan membaca doa. Perhatikan kutipan berikut.
Bapak Si Dul sudah tujuh hari dalam
kubur. Selama itu belumlahterasa benar
oleh Mpok Amne, sebab setiap hari dan
malam orang masih ramai di
rumahnya.Ibunya menginap di sana dan
tetangganya banyak yang dating akan
membantu memasak untuk sedekah
(SDAB, hlm. 64--65).

Kutipan tersebut melukiskan bahwa ada beberapa


hal yang positif dari Betawi antara lain jiwa sosial mereka
sangat tinggi. Orang Betawi juga sangat menjaga nilai
agama yang tercermin dari ajaran orangtua terutama yang
beragama Islam kepada anak-anaknya. Ketiga, perkawi-
Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya | 275
Seminar Nasional KABASTRA II

nan, suami kedua Ibu si Dul juga tidak disetujui oleh


Uak Salim karena dia tidak jelas agama dan nasal usul-
nya, bagi Uak Salim agama sangat menentukan dalam
kehidupan manusia. Karena itu, perkawinan putrinya
yang kedua tidak disetujuinya karena agama dan asal
usulnya tidak jelas. Perhatikan kutipan berikut,
‚Waktu ibu si Dul mau kawin dengan dia,
hampir saja menjadi rebut. Ibu bapaknya
tidak menyukakan. Bapaknya sangat marah
sebab ibu si Dul mau kawin dengan orang
yang tak tentu asal usulnya‛. (SDAB,
hlm. 108).

Dalam kutipan tersebut menjelaskan bahwa per-


kembangan keluarga Betawi dibayangi oleh waris-
an penelusuran sejarah etnik Betawi. Warisan yang
melekat pada keluarga Betawi adalah nilai spiritual Islam.
Orang Betawi akan mendapat restu untuk menikah apabila
calon pasangannya beragama Islam. Keluarga sebagai unit
terkecil ini berpusat pada ayah, hubungan ayah dengan
anak dan istri bersifat primer. Figur ayah amat dominan
dalam keluarga Betawi. Keempat, permainan anak.
permainan gundu dilakukan oleh anak-anak baik laki-
laki maupun perempuan, Permainan ini dilakukan lebih
dari satu anak di halaman rumah atau di jalan. Per-
hatikan kutipan berikut.
‚Gandu lu bias abis dibikinnye‛.

276| Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya
ISBN 978-602-61725-2-5

‚Main apa, Mat? Tanya su Dul pula‛.


Main tombok atau main poces atau
setikan? ‚Gue suka main tombok, taruhan
satu‛.
Garis untuk padan dibuat. Kira-kira
sehasta di sebelah atas garis itu dibuat
lubang. Jauh sedikit kiri kanan lubang itu
diletakkan taruhan dua biji kelereng.
Keempat anak-anak itu duduklah
menjongkok (SDAB, hlm. 83--84).
‚Gue dah tahlilan tadi. As!‛

‚Ah, bohong, kami kagak denger. Masak


orang tahlil berbisik-bisik aje. Tahlil dong
mesti keras suarenye‛.

‚Kalo tahlil sendirian emang peelan-pelan.


As, kalo rame-rame baru keras, ‚ ujar Haji
Dul (SDAB, hlm. 34--35)..

Kutipan tersebut melukiskan bahwa di samping


itu, juga ada permaianan yang sifatnya berunsur agama
cara berhaji-hajian, cara berkenduri yang diperagakan
dengan berdoa dan bertahlil. Namun, semua itu dilaku-
kan dalam permainan anak-anak, baik laki-laki maupun
perempuan.

Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya | 277
Seminar Nasional KABASTRA II

BAHASA BETAWI DALAM NOVEL SI DOEL ANAK


BETAWI KARYA AMAN DATUK MADJOINDO
Sebagai karya sastra angkatan Balai Pustaka, Si
Dul Anak Betawi justru tidak menggunakan Bahasa
Melayu Tinggi seperti layaknya buku seangkatannya.
Pengarang justru memperkental penggunaan dialek
Betawi yang nyablak dalam novel tersebut. Pengarang
menyebutkan bahwa dia ingin memperkenalkan bahasa
Betawi ini kepada pembaca di luar Jakarta yang belum
tentu mengenal bahasa tersebut.Melalui Si Dul Anak
Betawi inilah, pengarang mempelopori munculnya karya
sastra yang menggunakan Bahasa Melayu Betawi (Tasai,
1991). Hal ini menarik karena Aman Datuk Madjoindo
adalah orang Minang, bukan orang Betawi asli.
Pekerjaannya sebagai guru inilah yang mendorong
Aman untuk menulis Si Dul Anak Betawi. Sebuah novel
bertemakan pendidikan untuk anak-anak.
Seperti yang diutarakan dalam pengantarnya
pengarang sengaja hanya menyelipkan dialek Betawi
dalam dialog saja. Narasi tetap dalam bahasa Indonesia
masa itu. Kisah dibuka dengan adegan Si Dul dan kawan-
kawannya anak-anak perempuan bermain rujakan, yang
betul-betul dapat dimakan dan dibayar pakai pecahan
genteng. Beberapa adegan lucu sewaktu main selamatan.
Kali inipun anak-anak perempuan membawa kue-kue yang
dapat dimakan. Mereka berperan sebagai tamu undangan

278| Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya
ISBN 978-602-61725-2-5

dan si Dul menjadi Wak haji yang memimpin doa seperti


kutipan berikut.
‚Bismillah <!‛ <<<
‚Amiiin!‛ <<<<<
‚Ape yang ade dalam piring, dukuh ame rambutan!‛
haji Dul mulai mendoa.
Si As dan kwan-kawannya
tercengang. <<<<<<<<<<<<<<.
‚Ape lagi yang ade di piring sono, mangga, sauh ame
kue Cinee! Amiiin!‛
‚Ape lagi yang berderet-deret di sebelahnye, mangkok
berisi kopi cap sumuuur! – Ayo dong aminin!‛ ujar
Haji Dul, sambil memberutkan tangan ke muka.

Kutipan di atas menjelaskan bahwa teman-teman si


Dul tidak dapat menahan tawa, akhirnya diserbu juga
makanan itu beramai-ramai. Si Dul merupakan anak
tunggal. Ketika ayahnya mengalami kecelakaan dan
meninggal dunia mulailah ia mengalami kesusahan. Ia
membantu ibunya menjual kue berkeliling kampung.
Memang masih ada engkongnya Uak Salim, tapi
perlakuannya untuk Dul tidak seperti kepada seorang cucu
yang disayangi, Dul kerap dimarahi seperti kutipan
berikut.
Akhirnya ibu si Dul menikah lagi. Saat memasuki
usia sekolah, ayah tiri Dul menyuruhnya bersekolah.

Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya | 279
Seminar Nasional KABASTRA II

Tentu saja Dul ingin sekali ke sekolah tetapi ketika


ibunya mpok Am minta izin kepada
engkongnya, kata engkongnya dengan marah ‛
<<<Emang sekole tu mau die bawa nanti ke
kubur? Kalo die kagak tau ngaji, die jadi kafir nanti
lu tau nggak? Emang lu anak kualat, kagak denger
kate.‛
Akhirnya Dul tetap masuk sekolah. Ini adegan
pelajaran berhitung.
Kata guru : ‛ Kita misalkan Abdoel Hamid diberi
bapaknya lima buah manggis.‛
‚Aye kagak ade babe encik! Babe aye udah mati,
mobilnya nubruk puhun,‛ jawab si Dul.
‚Nah baik, kalau tiada bapak, ibumu yang memberi
lima buah manggis. Dua buah manggis itu dimakan
adikmu!’

‚Aye juga kagak punya adek!‛


‚Tak punya adik? Baik. Kita misalkan saja engkau
ada beradik seorang.‛
‚Mana bisa, nyak aye kagak mau beranak lagi!
Katenye, aye sendiri udah bosan miaranye.‛

Ketika anak lain yang dikasih soal sama encik guru,


seorang murid perempuan berkata begini :
‚Dua buah manggis itu dimakan adikmu, berapa
buah tinggal padamu?‛
280| Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya
ISBN 978-602-61725-2-5

‚Siapa yang makan encik?‛


‚Siapa saja, si Titik misalnya.‛

‚Tidak bisa jadi. Si Titik kalo makan manggis mah


muntah saja.‛
‚Nah, si Ujang yang makan!‛

Masa dia mau dikasih dua? paling sedikit dia minta


tiga. Kalo tidak dikasi dia berguling-guling nangis.
Encik belum kenal sih adatnya.!‛
‚Seandainya dia tak boleh minta lebih dari
dua. Berapa tinggal lagi padamu ?‛
‚Ibu saya sekarang tidak ada di rumah, dia pergi
kondangan ke Bukit Duri.‛
‚Ah, kalau begini tidak jadi kita belajar
menghitung,‛ kata guru dengan setengah tertawa
dan setengah kesal.

Kutipan tersebut melukiskan bahwa cerita Si Dul


Anak Betawi merupakan kisah kehidupan sehari-hari
seorang anak. Masa bermain banyak diceritakan di
sini. Jenis permainan masa itu adalah permainan luar
ruang dan berkelompok. Lugu anak-anak digambarkan
dengan sangat manisnya, membawa pembaca pun ikut
tersenyum.

Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya | 281
Seminar Nasional KABASTRA II

PSIKOLOGI ORANG BETAWI


Novel Si Dul Anak Betawi menyiratkan bahwa
pendidikan yang mampu mengubah suatu budaya yang
begitu terpaku pada keterbatasan untuk berkembang
menjadi mampu keluar dari kungkungan budaya yang
membatasinya.
Pengarang ingin menunjukkan bahwa orang Betawi
sudah memiliki tokoh yang memanfaatkan pendidikan
formal demi perubahan kehidupannya. Tidak hanya laki-
laki yang mendominasi pendidikan orang Betawi juga
tidak mendiskriminasi pendidikan untuk kaum perem-
puan. Hal ini sejalan dengan pemikiran Islam yang tidak
membedakan laki-laki maupun perempuan dalam segala
bidang kehidupan tidak terkecuali itu pendidikan.
Orang Betawi yang notabanenya bertempat tinggal
di Ibu Kota kita DKI Jakarta merupakan suku yang sangat
unik. Bagi sebagian orang Jakarta identik dengan Betawi,
tetapi dengan perubahan zman terdapat jarak antara suku
Betawi dengan Jakarta itu sendiri.
Orang-orang Betawi sangat berpendidikan bahkan
beberapa orang kaya Betawi menyekolahkan anaknya ke
Mesir dan Irak, banyak dari mereka bermukim di Mekkah
untuk menimba ilmu agama, ratusan madrasah dibangun
untuk menampung anak-anak Betawi, Di sinilah letak
perbedaan orientasi, suku Batak, Minang, Sunda, Jawa dan
Bugis, pendidikan ala barat merupakan patokan kecer-
dasan dan tingkat intelektualitas seseorang yang diperoleh
282| Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya
ISBN 978-602-61725-2-5

melalui simbol ijazah. Lain ladang lain belalang bagi orang


Betawi keberhasilan adalah bagaimana ia menyelesaikan
pendidikan agama dan menjalani hidup berorientasi pada
alam akhirat dengan mengambil pahala banyak sesuai apa
yang mereka yakini. Perbedaan orientasi inilah yang kerap
menimbulkan salah paham bahwa orang Betawi sangat
tidak menghargai pendidikan.
Kemajuan pemikiran orang Betawi terhadap
pentingnya keseimbangan pendidikan dunia dan akhirat
bukanlah hal baru. Kurikulum pendidikan saat ini juga
mendidik siswa dari tiga ranah, yaitu ranah kognitif, ranah
afektif dan ranah psikomotorik. Orang Betawi sudah mam-
pu untuk melakukan terobosan dengan tidak hanya
menambah ilmu pengetahuan dari segi kognitif saja, tapi
juga afektifnya harus terpenuhi. Pendidikan agama yang
didapat orang Betawi dari pendidikan pola pesantren
merupakan salah satu pembelajaran akhlak mulia, mem-
bentuk anak dari awal untuk menjadi beradab. Dengan
pola tingkah laku mereka yang sangat kental dengan
nuansa Islam bukan berarti mereka tertinggal dalam
bidang pendidikan, mereka sangat percaya akan pen-
didikan karena Islam juga menyuruh untuk mencari ilmu.
Dengan demikian pandangan orang bahwa orang
Betawi ketinggalan dalam bidang pendidikan tidak benar,
justru mereka mendidik anak-anak mereka untuk
menyeimbangkan antara pendidikan formal dan agama.
Keseimbangan pendidikan yang seperti inilah yang sudah
Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya | 283
Seminar Nasional KABASTRA II

jarang kita temui saat ini. Dengan keseimbangan


pendidikan yang seperti ini sudah banyak generasi Betawi
yang mampu menerobos hingga poros terdepan dalam
berbagai bidang kehidupan.

IMPLEMENTASI HASIL PENELITIAN PADA


PEMBELAJARAN SASTRA DI SMA
Novel Si Dul nak Betawikarya Aman Datuk
Madjoindo dapat diimplementasikan jika memenuhi
beberapa kriteria. Adapun kriteria pemilihan bahan ajar
menurut Rahmanto (2004:16) dapat diterapkan secara utuh
jika memenuhi kriteria sebagai berikut.

Ditinjau dari segi bahasa


Aspek kebahasaan dalam sebuah karya sastra tidak
hanya ditentukan oleh masalah yang dibahas, tetapi juga
terdapat faktor lain seperti cara penulisan Aman Datuk
Madjoindo yang memakai bahasa yang sederhana sehingga
mudah dipahami. Guru diharapkan mampu memilih karya
sastra yang baik dan tepat untuk diajarkan kepada siswa
sehingga dalam praktiknya siswa dapat memahami makna
dari novel Si Dul nak Betawikarya Aman Datuk
Madjoindodengan pemahaman kebahasaan yang baik dan
benar. Ditinjau dari segi bahasa novel Si Dul nak
Betawikarya Aman Datuk Madjoindodapat membantu
siswa dalam memahami bahasa Betawi. Kosakata yang
digunakan juga mudah dipahami oleh siswa Bahasa yang
mudah dipahami oleh siswa dapat membantu siswa untuk

284| Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya
ISBN 978-602-61725-2-5

belajar. Oleh karena itu, jika ditinjau dari segi bahasa novel
ini dapat diterapkan ke jenjang pendidikan SMA.

Ditinjau dari segi psikologi


Sastra dapat berkaitan erat dengan kehidupan ber-
masyarakat beserta budayanya. Hal ini dapat merangsang
siswa untuk lebih memahami peristiwa yang terdapat
dalam sebuah karya sastra dengan kehidupan yang ada di
dunia nyata. Hal ini dapat dilihat dari kutipan berikut.
Bapak sangat marah sebab ibu si Dul mau kawin
dengan orang yang tidak tentu asal usulnya.
Tambahnya lagi agamanya tak pula terang, entah dia
Islam entah dia Serani. Dikatakan Islam, dia tak
pernah dating ke langgar/surau, dikatakan Serani tak
pula ke gereka (SDAB, hlm: 109).

Berdasarkan kutipan di atas siswa pada level SMA


secara kematangan jiwa atau psikologis sudah dapat me-
nangkap bahwa agama sangat menentukan dalam kehi-
dupan manusia. Oleh karena itu, perkawinan putri Uak
Salim yang kedua tidak disetujuinya karena agama dan
asal usul calon suaminya tidak jelas.

Ditinjau dari latar belakang budaya


Pemahaman akan budaya berperan untuk menumbuh-
kan rasa bangga, rasa percaya diri dan juga rasa ikut me-
miliki. Pengajaran sastra yang ada dalam sebuah novel
dapat memberikan siswa pemahaman akan budaya yang

Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya | 285
Seminar Nasional KABASTRA II

ada. Pada novel Si Dul nak Betawidiperkenalkan dengan


salah satu budaya Betawi yang sudah ada sejak masa
lampau yaitu permainan mengadu semut merah dan semut
hitam. Hal ini dapat dilihat dari kutipan berikut.
Sebentar antaranya terbawalah seekor semut hitam
besar. Si Dul tersenyum dan semut itu dimsukkannya
ke dalam kotak geretan. Kemudian dicarinya lagiyang
lain, dan dapat pula seekor semut merah. Bukan main
girang hatinya. Kedua semut itu dibawanya ke atas
balai-balai, lalu ia duduk bersila baik-baik. Mula-mula
dikeluarkannya semut hitam tadi, sesudah itu semut
merah. Kedua binatang itu diadunya di atas tikar.
(SDAB, hlm.27)

Berdasarkan kutipan di atas novel Si Dul Anak


Betawisecara tidak langgsung sudah memenuhi kriteria
tentang pengetahuan akan budaya, dengan latar belakang
siswa yang ada di Indonesia, mengenal budaya yang salah
satunya ondel-ondel. Di samping itu, juga merupakan
upaya untuk menanamkan pemahaman tentang budaya
Betawi bagi siswa. Mempertimbangkan dua aspek penting
di atas, yakni mengenai basis pendidikan karakter dalam
Kurikulum 2013 dan sastra sebagai basis pembentukan
karakter kebangsaan, kiranya sangat perlu dipadukan.
Indonesia sebagai Negara yang kaya akan kearifan lokal
sungguh sangat mungkin untuk mempelajari kembali nilai
yang terkandung di dalamnya. Tidak hanya itu, dalam
karya sastra para pengarang banyak mengambil tema
286| Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya
ISBN 978-602-61725-2-5

kearifan lokal yang direfleksikan dalam karyanya. Dengan


demikian, pembentukan karakter dapat disumbang pula
oleh pembelajaran sastra di sekolah. Upaya ini tidak lain
merupakan usaha untuk menumbuhkan kesadaran
mengenali dan membentuk kembali karakter kebangsaan
yang selama ini dilupakan. Oleh sebab itu, pedoman
pembelajaran sastra sangat penting untuk memper-
timbangkan materi pembelajaran sastra yang sarat akan
nilai kearifan lokal bangsa. Pembelajaran harus mampu
membawa siswa kepada kehidupan.

SIMPULAN
Berdasarkan hasil pembahasan di atas, dapat ditarik
simpulan bahwa dalam novel Si Dul Anak Betawi kar-
ya Aman Datuk Madjoindo terdapat adat istiadat Betawi
sangat kental dengan budaya Islam dan mereka mereka
menjalani secara konsekuen. Hampir seluruh adat istiadat
masyarakat Betawi diwarnai oleh agama Islam seperti
sebagai berikut. Pertama, saat lebaran, kereligiusan masya-
rakat Betawi tampak dalam berpakaian dan sikap hidup
mereka. Kedua, selamatan untuk orang meninggal, setiap
malam selama tujuh hari mereka membaca tahlil dan
doa. Ketiga, perkawinan orang Betawi akan mendapat
restu apabila calon pasangannya beragama Islam. Keempat,
permainan anak sifatnya berunsur agama. Bagi orang
Betawi keberhasilan adalah pentingnya keseimbangan
pendidikan dunia dan akhirat bukanlah hal baru. Dengan
demikian, novel Si Dul Anak Betawi dapat dijadikan sebagai
Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya | 287
Seminar Nasional KABASTRA II

salah satu materi pembelajaran sastra Indonesia untuk


memahami keadaan sosial budaya masyarakat Betawi di
sekolah.

DAFTAR PUSTAKA
Damono, Sapardi Djoko. 2003. Sosiologi Sastra. Semarang:
Magister Ilmu Susastra Undip.
Departemen Pendidikan Nasional. 2003. Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2003. Sistem Pendidikan Nasional.
Jakarta: Depdiknas.
Endraswara, Suwardi. 2003. Metodologi Penelitian Sastra.
Yogyakarta: Pustaka. Widyautama.
Faruk. 2012. Pengantar Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Idi, Abdullah. 2014. Pengembangan Kurikulum Teori dan
Praktik. Jakarta: Raja Grafindo
Persada.
Loven, Klarijn. 2008. Si Doel and Beyond: Discourse on
Indonesian Television in the 1990. Leiden:
University Press.
Mulyasa, H.E. 2013. Pengembangan dan Implementasi
Kurikulum 2013. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Madjoindo, Aman Datuk. 2013. Si Dul Anak Betawi. Jakarta:
Balai Pustaka
Rahmanto, B. 2004. Metode Pengajaran Sastra. Yogyakarta:
Kansius.
288| Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya
ISBN 978-602-61725-2-5

Ratna, Nyoman Kutha. 2011. Paradigma Sosiologi Sastra.


Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sujarwo. 2011. Model-model Pembelajaran Suatu Strategi
Mengajar. Yogyakarta: Venus Gold Press.
Sugiyono. 2013. Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif.
Bandung: Alfabeta.
Tasai, Amran. 1991. Telaah Susastra Melayu Betawi.
Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan,
Wellek, Rene dan Austin Warren. 2014. Teori Kesusastraan.
Jakarta: Gramedia Pustaka.

Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya | 289
Seminar Nasional KABASTRA II

290| Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya
ISBN 978-602-61725-2-5

KAJIAN ANALISIS GANGGUAN


KEPRIBADIAN DAN KEBUTUHAN
NEUROTIK TOKOH NYONYA MARTOPO
DAN BAITUL BILAL
DALAM NASKAH DRAMA ORANG KASAR
KARYA ANTON P. CHEKOV
SADURAN WS. RENDRA

Oleh :
Nurul Setyorini, Kadaryati, dan Bagiya
e-mail: nurulsetyorini32@gmail.com
Dosen PBSI FKIP Universitas Muhammadiyah Purworejo

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk: mendeskripsikan


kebutuahn neuretik Tokoh dalam Naskah Drama Orang
Kasar Karya Anton P. Ckekov dan mendeskripsikan
kepribadian Neurotik Tokoh dalam Naskah Drama Orang
Kasar Karya Anton P. Ckekov. Penelitian ini menggunakan
metode deskriptif kualitatif dengan menggunakan data
kepustakaan dan analisis objek. Data kepustakaan yang
dimaksud dalam penelitiaan ini adalah memanfaatkan
sumber tertulis seperti buku, laporan penelitian, artikel,
jurnal, dan laporan penelitian lainya. Kajian penelitian
untuk menganalisis objek dalam penelitian ini adalah teori

Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya | 291
Seminar Nasional KABASTRA II

psiko sosial Keren Horney.Penelitian ini terdapat empat


simpulan, yaitu pertama gangguan kepribadian neorotik
tokoh Nyonya Martopo, kedua gangguan kepribadian
neorotik tokoh Baitul Bilal, ketiga kebutuhan neorotik
tokoh Nyonya Martopo, dan kebutuhan neorotik tokoh
Baitul Bilal. Pertama, gangguan neorotik yang dialami
tokoh Nyonya Martopo antara lain: sedih berlarut-larut,
tidak mau ke luar rumah, tidak mau menerima tamu dan
bertetangga. Kedua, gangguan kepribadian neurotik yang
dialami Baitul Bilal antara lain: depresi, menyalahkan
orang lain, dan gelisah. Ketiga, kebutuhan neorotik tokoh
Nyonya Martopo antara lain: kebutuhan akan kasih sayang
dan kebutuhan neurotik untuk membatasi hidupnya dalam
lingkup yang sempit. Keempat, kebutuhan neorotik tokoh
Baitul Bilal adalah kebutuhan kasih sayang.

Kata kunci: neorotik, naskah drama, orang kasar

PENDAHULUAN
Ilmu pengetahuan pada saat ini semakin berkem-
bang seiring dengan berkembangnya teknologi. Ilmu
pengetahuan terus meningkatkan produktivitas ilmuan
dalam melakukan penelitian, percobaan, dan inovasi.
Kolaborasi dalam suatu penelitian dianggap sebagai ujung
tombak dunia ilmu pengetahuan sehingga mendapat per-
hatian besar dari komunitas ilmuan dan institusi kebijakan
ilmu pengetahuan. Kolaborasi dilakukan untuk menang-
gulangi permasalahan yang semakin kompleks dengan
didasarkan berbagai latar belakang keahlian. Melalui kerja-
sama penelitian, permasalahan dapat dipecahkan dan
292| Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya
ISBN 978-602-61725-2-5

sekaligus dapat menciptakan hasil penelitian yang baik.


Dalam berkolaborasi masing-masing memberikan sum-
bangan sumber daya dan usaha baik intelektual maupun
fisik.
Menurut Craig (dalam Poerwito dan Setiadji, 2011:
137), kata disiplin merujuk pada cabang keilmuan atau
pembelajaran. Gagasan mengenai makna sebuah disiplin
berubah dalam hubunganya dengan struktur institusi dan
profesional yang spesifik (universitas, masyarakat keilmu-
an, jurnal-jurnal ilmiah) yang berinteraksi secara rumit
dengan definisi kategori keilmuan masing-masing.
Dalam Peraturan Dekan Fakultas Sastra Universitas
Negeri Malang No. 6 Tahun 2013 tentang Standar Kom-
petensi Lulusan dan Kurikulum Program Studi pada
Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Sastra Universitas Negeri
Malang Tahun 2013, tertulis:
‚...Program Studi Doktor Pendidikan Bahasa Indone-
sia: a)menemukan teori baru dan menghasilkan karya
kreatif, orisinal, dan teruji bidang pendidikan bahasa
dan sastra Indonesia melalui penelitian; b) memecah-
kan masalah pendidikan bahasa dan sastra Indonesia
secara interdisipliner/ multidisipliner/transdidisip-
liner.‛

Pendekatan dalam suatu ilmu dapat dilihat melalui


dua tipe yaitu monodisipliner dan interdisipliner. Pen-
dekatan monodisipliner yaitu pendekatan dengan suatu

Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya | 293
Seminar Nasional KABASTRA II

ilmu yang tunggal sudut pandang. Ciri pokok atau kata


kunci daripendekatan monodisipliner adalah mono (satu
ilmu) atau satunya itu. Di pihaklain, pendekatan dengan
banyak ilmu lazim disebut pendekatan interdisipliner/
multidisipliner. Pemecahan masalah dalam studi sastra
tidakmemungkinkan menggunakan pendekatan monodip-
liner karena masalahnya tidakhanya berkenaan dengan
satu ilmu saja, tetapi dengan pendekatan interdisipliner
atau multidisipliner karena masalahnya menyangkut
banyak ilmu.

Dalam bidang sastra, multidisiplin digunakan seba-


gai penerapan metode dan teori itu sendiri. Kehadiran
interdisiplin dan multidisiplin dalam dunia sastra memang
menjanjikan adanya inovasi dan cara-cara alternatif dalam
memahami fenomena sastra (Ungkang, 2014: 513). ‚Per-
kembangan karya sastra yang bersifat interdisipliner telah
mempertemukan ilmu sastra dengan berbagai ilmu lain,
seperti psikologi, sosiologi, antropologi, gender, dan
sejarah‛, (Wiyatmi, 2011: 6).
Suatu karya sastra meruakan sebuah karya yang
pada hakikatnya dibuat dengan mengedepankan aspek
keindahan di samping keefektifan penyampaian pesan
(Setyorini, 2014:1). Sastra merupakan suatu seni dalam
kehidupan di masyarakat. Sastra atau kesusastraan meru-
pakan salah satu bentuk seni yang menonjolkan keindahan
tutur kata dan cerita. Oleh karena itu, sastra dapat
dinikmati oleh penikmatnya melalui membaca atau
294| Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya
ISBN 978-602-61725-2-5

mendengarnya. Sastra merupakan seni kreatif yang


objeknya adalah manusia dan kehidupan dengan meng-
gunakan bahasa sebagai mediumnya (Wicaksno, 2014: 13).
Drama adalah genre sastra yang menggambarkan
kehidupan manusia dengan gerak. Drama menggambarkan
realita kehidupan dan watak manusia dalam bertingkah
laku yang dipentaskan dalam beberapa babak. Dalam
Enklopedia Sastra Indonesia Jilid I (2013:229), dijelaskan
bahwa drama dalam bahasa Inggris disebut drama, dan
dalam bahasa Prancis disebut piece de the atre. Kata drama
berasal dari bahasa Yunani dram yang maknanya adalah
karya. Sebagai sebuah karya drama adalah karya yang
memiliki dua dimensi. Pertama dimensi sebagai sebuah
teks sastra dan kedua sebagai seni pertunjukan.
Naskah menjadi bagian penting dalam drama.
Dalam drama, naskah digunakan agar pementasan berjalan
dengan lancar dan memudahkan pemain dalam memeran-
kan tokohnya. Naskah drama adalah salah satu genre
sastra yang sejajar dengan prosa dan puisi. Naskah drama
adalah karangan atau cerita yang berupa tindakan atau
perbuatan yang masih berbentuk teks atau tulisan yang
belum diterbitkan

Salah satu naskah drama yang cukup terkenal dari


karyanya Anton P. Cekov adalah Orang Kasar. Orang
Kasar merupakan naskah drama dari Rusia dan telah
disadur oleh W.S. Rendra. Drama ini berisi kisah seorang
janda yang ditinggal oleh suami tercinta yang meniggal-
Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya | 295
Seminar Nasional KABASTRA II

kannya dengan gelimangan hutang. Hidup sang janda


terusik ketika sang penagih hutang datang suaminya. Si
janda enggan membayar karena merasa ia tak meminjam
dan memakai uang tersebut. Akhirnya perseteruan antara
si janda dan lelaki penagih hutang itu pun terjadi sangat
histeris, humoris, sekaligus romantis. Si janda berusaha
keras untuk menembaknya. Namun begitu, si janda tak
bisa menggunakan senjata tersebut. Karena merasa aneh, si
penagih hutang malah mengajari si janda cara memakai
senjata yang benar. Alhasil mereka saling beradu pandang
dan muncul perasaan yang disebut jatuh cinta.
Dalam naskah drama tersebut, terdapat dua tokoh
sentral, yaitu janda dan si penagih utama. Keberadaan
kedua tokoh ini dalam naskah drama orang kasar amat
potensial dalam menggerakan alur. Kedua tokoh ini juga
menjadi pusat cerita, penyebab munculnya konflik, dan
terciptanya tensi dramatik di setiap tahapan cerita dalam
pementasan drama.
Setiap tokoh yang ada dalam drama Orang Kasar
mempunyai kepribadian dan kebutuhan jiwa yang
berbeda-beda. Tokoh-tokoh dalam drama ini, nampak pula
memiliki masalah hidup yang berbeda-beda dan meng-
akibatkan gangguan mental terhadap kepribadianya, tak
mampu beradaptasi dengan linglungan sekitarnya, dan
mengalami gangguan kecemasan. Gangguan kecemasan
dapat muncul sebagai akibat akumulasi frustasi, konflik,
dan stres. Orang yang mengalami kecemasan akan susah
296| Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya
ISBN 978-602-61725-2-5

berkonsentrasi dan bersosialisasi sehingga mengalami


kendala fungsi sosial, pekerjaan, dan peranya.
Dalam ilmu psikologi, gangguan kepribadian se-
perti ini dikenal dengan istilah neuretik. Neuretik adalah
istilah yang digunakan untuk menggambarkan berbagai
kondisi yang melibatkan ketidakmampuan beradabtasi
dengan lingkungan sekitarnya. WFMH sebagai bagian
WHO menyatakan bahwa gangguan neuretik umumnya
terjadi karena tekanan dari kelauarga atau masyarakat
(Kurniawan dan Indahria, 2016:113). Freud (Wiyatmi, 2011:
12), neuretik merupakan ketakutan akan mendaatkan
hukuman untuk ekspresi keinginan yang implusif.
Dengan demikian, pembahasan ganguan kepribadi-
an pada tokoh dalam drama merupakan kegiatan kajian
dengan menggunakan pendekatan interdisipliner. Teori
pembahasan psikologi dalam sastra sendiri dikenal dengan
istilah psikologi sastra. Analisis psikologi dalam karya
sastra tamaknya tidak berlebihan, sebab baik sastra
maupun psikologi membahas tentang manusia. Bedanya,
sastra membahas manusia yang khayal, sedang sikologi
membahas manusia yang nyata (Wiyatmi, 2016: 16).
Pembahasan drama dengan pendekatan interdisip-
liner ini merupakan bagian dari kajian sastra. Dalam
drama, kajian tersebut dikenal dengan istilah Kajian
Drama. Pada mahasiswa PBSI, kegiatan pengkajian drama
adalah salah satu bagian dari mata kuliah. Dengan
demikian, adanya kajian neuretik terhadap drama Orang
Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya | 297
Seminar Nasional KABASTRA II

Kasar dapat dijadikan bahan ajar literasi. Bahan ajar literasi


ini dirasa sangat penting, melihat kondisi literasi, di Negara
Indonesia dalam kegiatan berliterasi masih rendah. Hasil
penelitian Programme for International Student Assess-
ment (PISA) menyebut, budaya literasi masyarakat
Indonesia pada 2012 terburuk kedua dari 65 negara yang
diteliti di dunia. Indonesia menempati urutan ke 64 dari 65
negara tersebut. Sementara Vietnam justru menempati
urutan ke-20 besar. Pembicaraann literasi sendiri sedang
menjadi bagian yang aktual di bidang pendidikan. Kegia-
tan pada tahun 2016 dijadikan kegiatan prioritas bagi
Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, yaitu pada
indikator kinerja program pada nomor 1. Pada nomor 1
indikator kinerja program berupa gerakan literasi bangsa
dengan target 34 SD, 34 komunitas, 170 bahan ajar, dan 68
tenaga literasi (Kemendikbud, 2016: 2). Melalui penelitian
ini, penulis berharap bahwa hasil penelitian menjadi bagian
kontribusi penelitian literasi sastra.
Berdasarkan hal di atas, maka peneliti mengambil
judul ‚Analisis Gangguan Kepribadian dan Kebutuhab
Neurotik Tokoh Nyonya Martopo dan Baitul Blal dalam
Naskah Drama Orang Kasar Karya Anton P. Ckekov
Saduran WS. Rendra‛. Adapun tujuan penelitian ini untuk:
mendeskripsikan kebutuahn neuretik Tokoh dalam Naskah
Drama Orang Kasar Karya Anton P. Ckekov; dan men-
deskripsikan kepribadian Neurotik Tokoh dalam Naskah
Drama Orang Kasar Karya Anton P. Ckekov.

298| Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya
ISBN 978-602-61725-2-5

Horney pada mulanya pengikut Freud, yang


kemudian terpengaruh oleh Jung dan Adler. Akhirnya, ia
mengembangkan pendekatan kepribadian yang holistik;
manusia berada dalam satu totalitas pengalaman dan
fungsinya dan bagian-bagian kepribadian seperti fisiko-
kimia, emosi, kognisi, sosial, kultural, spiritual, hanya
dapat dipelajari dalam hubungannya satu dengan yang lain
sebagai kepribadian yang utuh (Alwisol 2009:133). .
Karen Horney, seorang psikolog, memiliki pan-
dangan bahwa kecemasan yang bersifat neurotik dapat
muncul diakibatkan oleh peran kultur pengalaman masa
kanak-kanak yang berat. Horney memiliki asumsi dasar
bahwa yang membentuk kepribadian seseorang tidak
hanya ditentukan oleh faktor genetis, tetapi juga
ditentukan oleh kondisi sosial dan kultural, terutama
pengalaman masa kanak-kanak yang sangat besar
pengaruhnya dalam membentuk kepribadian seseorang.
Masa kanak-kanak yang berat, yaitu bagi orang yang tidak
mendapatkan kebutuhan akan cinta dan kasih sayang yang
cukup selama masa kanak-kanak, akan mengembangkan
rasa permusuhan dasar (basic hostility) terhadap orang tua
mereka dan sebagai akibatnya, mengalami kecemasan
dasar (basic anxiety).
Horney mengatakan bahwa dalam mengatasi kon-
flik kecemasan dasar, terdapat tiga macam gaya hubungan
interpersonal, yaitu: (1) mendekati orang lain (moving
toward others), (2) melawan orang lain (moving againt
Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya | 299
Seminar Nasional KABASTRA II

others), dan (3) menjauhi orang lain (moving away from


others) (Alwisol, 2010:142-143). Psikoanalitik Karen Horney
mengembangkan salah satu teori paling terkenal dari
neoresis. Neuretik adalah istilah yang digunakan untuk
menggambarkan berbagai kondisi yang melibatkan
ketidakmampuan beradabtasi dengan lingkungan sekitar-
nya.
Horney menawarkan cara pandang yang berbeda-
beda dalam melihat masalah neurosis. Ia menekankan ada-
nya hubungan yang jelas antara neurosis dan kehidupan
sehari-hari yang dijalani penderita neurosis (Syuropati
2012:107). Horney berpendapat bahwa sebenarnya neurosis
adalah cara yang digunakan manusia untuk menjalani
hubungan dengan manusia lainnya. Akan tetapi, hanya ada
sebagian orang yang mampu melakukannya dengan baik.
Orang yang mengidap neurosis justru cenderung membiar-
kan dirinya hidup dalam dunianya sendiri (Syuropati
2012:107-108).
Dalam P. P. D. G. J II gangguan neuretik adalah
gangguan mental yang tidak mempunyai dasar organik
yang dapat ditentukan. Pasien mempunyai tilikan (insight)
serta kemampuan daya nilai realitasnya tidak terganggu,
individu tersebut tidak mencampurbaurkan penghayatan
penderitaan dan fantasi subjeknya dengan realitas luar.
WFMH sebagai bagian WHO menyatakan bahwa ganggu-
an neuretik umumnya terjadi karena tekanan dari keluarga
atau masyarakat (Kurniawan dan Indahria, 2016:113).
300| Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya
ISBN 978-602-61725-2-5

Freud (Wiyatmi, 2011: 12), mengemukakan bahwa neuretik


merupakan ketakutan akan mendapatkan hukuman untuk
ekspresi keinginan yang implusif.
Distimia (neurosis depresif) ditandai dengan
seorang lebih menjadi neurotik daripada menjadi sikotik. Ia
tidak mampu mengantisipasi baik secara biologis maupun
sosial untuk waktu yang lama. Jika kemampuan biologis-
nya tidak ada maka terjadi gejala-gejala biologis, misalnya:
tidak mau makan atau tidur, atau ia kehilangan berat
badanya, atau berat badanya bertambah, atau penapilan
seksualitasnya berkurang. Ia mempunyai gejala-gejala
sosial, misalnya ia tidak mau mengerjakan tugasnya, sedih,
penderitaa pikiran, dan gejala kuatir (Minirth dan Paul,
2001: 248).
Horney menemukan sepuluh kategori kebutuhan
neurotik yang belakangan akan berubah yang menggam-
barkan orang-orang neurotik dalam usahanya untuk
melawan kecemasan dasar. Sepuluh kategori kebutuhan
neurotik saling tumpah tindih satu sama lain, dan satu
orang dapat menerapkan lebih dari satu kebutuhan.
Masing-masing kebutuhan-kebutuhan neurotik berikut ini
berhubungan dengan orang lain dalam berbagai cara.
Adapun sepuluh kategori kebutuhan neurotik tersebut
antara lain: kebutuhan neurotik akan kasih sayang dan
penerimaan diri (the neurotic need for affection and approval),
kebutuhan neurotik akan rekan yang kuat (the neurotic need
for a powerful partner), kebutuhan neurotik untuk membatasi
Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya | 301
Seminar Nasional KABASTRA II

hidupnya dalam lingkup yang sempit (the neuorotic need to


restrict one’s life within narrow borders), kebutuhan neurotik
akan kekuasaan (the neurotic need for power). kebutuhan
neurotik untuk memanfaatkan orang lain (the neurotic need
to exploit others), kebutuhan neurotik akan penghargaan
sosial atau gengsi (the neurotic need for social recognition or
prestige), kebutuhan neurotik akan kekaguman pribadi (the
neurotic need for personal admiration), kebutuhan neurotik
akan ambisi dan pencapaian pribadi (the neurotic need for
ambition and personal achievement), kebutuhan neurotik akan
kemandirian dan kebebasan (the neurotic need for self-
suffciency and independence), dan kebutuhan neurotik akan
kesempurnaan dan ketidakmungkinan untuk salah (the
neurotic need for perfection and unassailability) (Feist dan Feist
2009:201-202).

METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif
kualitatif dengan menggunakan data kepustakaan dan
analisis objek. Data kepustakaan yang dimaksud dalam
penelitiaan ini adalah memanfaatkan sumber tertulis
seperti buku, laporan penelitian, artikel, jurnal, dan laporan
penelitian lainya. Kajian penelitian untuk menganalisis
objek dalam penelitian ini adalah teori psiko sosial Keren
Horney. Adapun teknik pengumpulan data yang diguna-
kan, yaitu: (1) memilih naskah drana yang akan diteliti,
yaitu Orang Kasar karya Anton Chekov saduan WS Rendra,
(2) membaca naskah, (3) memahami konsep kepribadian
302| Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya
ISBN 978-602-61725-2-5

dan kebutuhan neurotik, (4) memahami pokok-pokoh


kepribadian neurotik seperti : Ia tidak mamu mengantisipa-
si baik secara biologis maupun sosial untuk waktu yang
lama. Jika kemampuan biologisnya tidak ada maka terjadi
gejala-gejala biologis, misalnya: tidak mau makan atau
tidur, atau ia kehilangan berat badanya, atau berat badanya
bertambah, atau penapilan seksualitasnya berkurang. Ia
mempunyai gejala-gejala sosial, misalnya ia tidak mau
mengerjakan tugasnya, sedih, penderitaa pikiran, dan
gejala kuatir, dan (5) memahami pokok-pokoh kebutuhan
neurotik seperti: kebutuhan neurotik akan kasih sayang
dan penerimaan diri (the neurotic need for affection and
approval), kebutuhan neurotik akan rekan yang kuat (the
neurotic need for a powerful partner), kebutuhan neurotik
untuk membatasi hidupnya dalam lingkup yang sempit
(the neuorotic need to restrict one’s life within narrow borders),
kebutuhan neurotik akan kekuasaan (the neurotic need for
power). kebutuhan neurotik untuk memanfaatkan orang
lain (the neurotic need to exploit others), kebutuhan neurotik
akan penghargaan sosial atau gengsi (the neurotic need for
social recognition or prestige), kebutuhan neurotik akan
kekaguman pribadi (the neurotic need for personal admiration),
kebutuhan neurotik akan ambisi dan pencapaian pribadi
(the neurotic need for ambition and personal achievement),
kebutuhan neurotik akan kemandirian dan kebebasan (the
neurotic need for self-suffciency and independence), dan
kebutuhan neurotik akan kesempurnaan dan ketidak-
mungkinan untuk salah (the neurotic need for perfection and
Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya | 303
Seminar Nasional KABASTRA II

unassailability). Selanjutnya, teknik analisis data yang


digunakan adalah teknik analisis isi dan teknik penyajian
datanya adalah teknik informal.

GANGGUAN KEPRIBADIAN NEUROTIK TOKOH


DALAM NASKAH DRAMA ORANG KASAR KARYA
ANTON P. CHEKOV SADURAN WS. RENDRA
Tokoh adalah pelaku yang mengemban peristiwa
dalam cerita fiksi sehingga cerita tersebut mampu menjalin
suatu cerita baik dalam drama atau karya naratif lainya.
Tokoh tersebut, ditafsirkan oleh pembaca memiliki kualitas
moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresi-
kan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam
tindakan. Kepribadian tersebut memiliki beberapa macam
wujudnya, salah satunya kepribadian neurotik. Orang
sering digambarkan memiliki kepribadian neurotik jika
mereka memiliki gejala neurotik.
Tokoh dalam naskah drama Orang Kasar Karya
Anton Chekov Saduran WS. Rendra terdiri dari enam
tokoh, yaitu Nyonya Martopo, Baitul Bilal, Mandor Darmo,
dan tiga orang pekerja. Masing-masing tokoh memiliki
kepribadian yang berbeda-beda. Dalam penelitian ini yang
akan dikaji kepribadian neurotiknya adalah tokoh Nyonya
Martopo dan Baitul Bilal, sebab kedua tokoh tersebut
memiliki konflik dan peseturuan yang sangat rumit. Selain
itu, kedua tokoh ini adalah tokoh sentral dalam naskah
drama Orang Kasar Karya Anton Chekov saduran WS.
Rendra.
304| Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya
ISBN 978-602-61725-2-5

GANGGUAN KEPRIBADIAN NEUROTIK TOKOH


NYONYA MARTOPO
Gangguan kepribadian neurotik tokoh Nyonya
Martopo terjadi karena ia merasa terpukul kehilangan
suaminya yang meninggal. Gejala kepribadian neurotik
tersebut nampak dengan wujud gejala sosial dan biologis,
antara lain: sedih berlarut-larut, tidak mau ke luar rumah,
tidak mau menerima tamu dan bertetangga,
Gangguan kepribadian neurotik yang pertama
adalah sedih yang berlarut-larut. Meninggalnya suami
Nyonya Martopo membuatnya sedih berlarut-larut, yaitu
meratapi terus kesedihanya dan berpakaian serba hitam.
Hal tersebut nampak pada kutipan di bawah ini.
DARMO
‚Ini lagi ! Ini lagi ! Ngeri saya mendengarkannya,
sungguh! Tuan Martopo telah mati, itu kehendak
Allah, dan Allah telah memberikannya kedamaian
yang abadi. Itulah yang nyonya ratapi dan sudah
sepantasnya nyonya menyudahinya. Sekarang ini-
lah waktunya untuk berhenti dari semua itu. Orang
toh tak bisa terus menerus melelehkan air mata dan
memakai baju hitam yang muram itu! Istri sayapun
telah meninggal dunia beberapa tahun yang lalu.
Saya berduka cita untuknya, sebulan penuh saya
melelehkan air mata, sudah itu selesai sudah.Harus-
kah orang berkabung selama-lamanya? Itu sudah

Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya | 305
Seminar Nasional KABASTRA II

lebih dari yang sepantasnya untuk suami nyonya!‛.


(5)
Nyonya Martopo yang sangat mencintai suaminya,
dengan tidak mudah melupakan kepergianya. Ia sedih
berlarut-larut, bahkan sesuatu barang, peristiwa, dan
kejadian yang berhubungan dengan suami Nyonya Mar-
topo membuatnya sedih dan kembali meratapi kepergian
suami Nyonya Martopo. Hal tersebut nampak pada
kutipan di bawah ini.
DARMO
‚Apakah faedahnya kata-kata semacam itu, bila
lebih patut nyonya berjalan di kebun atau memerin-
tahkan orang memasang kuda kesayangan kita si
Tobby dan si Hero di depan kereta, dan kemudian
pergi pesiar ataupun mengunjungi para tetangga?‛
(9)
NYONYA (menangis)(11)

DARMO (setelah keheranan sejenak)


‚Nyonyaku, nyonyaku, ada apa? Nyonya Martopo,
demi Tuhan ada apa?‛
NYONYA
‚Suami sangat mencintai kuda itu, si Tobby itu. Ia
selalu tahu mengendarainya apabila meninjau
kebun-kebun. Bahkan ia pernah pula membawanya
mendaki gunung Bromo. Ia sangat gagah kalau naik
kuda. Alangkah gayanya apabila ia menarik kekang

306| Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya
ISBN 978-602-61725-2-5

kuda dengan tangan-tangannya yang perkasa itu.


Tobby, Tobby, berilah ia rumput dua kali lipat hari
ini‛. (12)

Kesedihan lain, yang nampak pada Nyonya


Martopo diperlihatkan olehnya dengan menatapi wajah
suaminya melalui fotonya sambil bermonolog. Ia mengata-
kan bahwa ia telah mengampuni suaminya, meski ia sudah
berselingkuh, bertengkar, dan meninggalkanya berminggu-
minggu. Hal tersebut nampak pada kutipan di bawah ini.
NYONYA (menatap gambar suaminya)

‚Engkau akan melihat, Martopo, betapa aku dapat


mencintai dan mengampunimu. Cintaku bisa mati
hanya bila akupun telah mati. (ia tersenyum meleh-
kan air mata) Dan tidakkah engkau baik dan setia,
aku telah memalu? Aku adalah istri yang meng-
urung dirku sendiri dan saya akan tetap tinggal
setia sampai mati, dank au, kau, kau tak punya
malu, monyet yang tercinta. Kau selalu mengajak
bertengkar dan meninggalkan aku berminggu-
minggu lamanya‛. (17)

Gangguan kepribadian neurotik yang kedua adalah


tidak mau ke luar rumah. Semenjak meninggalnya suami
Nyonya Martopo, Ia enggan ke luar rumah. Menurut
Darmo, tangan kanan Nyonya Martopo, Nyoanya Martopo
sudah tidak ke luar rumah tidak kuarang satu tahun. Hal
tersebut nampak pada kutipan di bawah ini.
Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya | 307
Seminar Nasional KABASTRA II

DARMO
‚Lagi-lagi saya jumpai nyonya dalam keadaan
seperti ini. Hal ini tidak bisa dibenarkan, nyonya
Martopo. Nyonya menyiksa diri! Koki dan babu
bergurau di kebun sambil memetik tomat, semua
yang bernafas sedang menikmati hidup ini, bahkan
kucing kitapun tahu bagaimana berjenakanya dan
berbahagia, berlari-lari kian kemari di halaman,
berguling-guling di rerumputan dan menangkapi
kupu-kupu, tetapi nyonya memenjarakan diri nyo-
nya sendiri di dalam rumah seakan-akan seorang
suster di biara. Ya, sebenarnyalah bila dihitung
secara tepat, nyonya tak pernah meninggalkan
rumah ini selama tidak kurang dari satu tahun‛. (3)

Dari kutipan di atas, diketahui bahwa Nyonya


Martopo tidak pernah ke luar rumah selama tidak kurang
satu tahun. Nyonya Martopo hanya merenung dan
meratapi kesedihan atas kematian suaminya yang sudah
satu tujuh bulan lamanya.
Menurut Nyonya Martopo sendiri, ia enggan ke
luar rumah. Ia enggan ke luar rumah, sebab sudah tidak
ada lagi yang perlu dilakukanya. Nyonya Martopo yang
ditinggal suaminya yang sudah terkubur di liang lahat
mengangap dirinya juga mati terkubur dalam empat
dinding di rumahnya. Hal tersebut nampak pada kutipan
di bawah ini.

308| Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya
ISBN 978-602-61725-2-5

NYONYA
‚Dan saya tak akan pergi ke luar! Kenapa saya
harus pergi keluar? Riwayat saya sudah tamat.
Suamiku terbaring di kuburnya, dan sayapun telah
mengubur diri saya sendiri di dalam empat dinding
ini. Kami berdua telah sama-sama mati‛. (4)

Berdasarkan kutipan di atas, diketahui bahwa Nyo-


nya Martopo benar-benar menepi dari kehidupan luar. Ia
terlalu sedih meratapi kesedihanya setelah meninggalnya
suami Nyonya Martopo. Kematian suami Nyonya Martopo
sebenarnya sudah lama sekali, tetapi Nyonya Martopo
berduka berlarut-larut.
Gangguan kepribadian neorotik yang ketiga adalah
tidak mau menerima tamu dan bertetangga. Nyonya
Martopo yang enggan lagi ke luar rumah, telah menjauh-
kanya dengan kehidupan sosialnya. Selain tidak mau ke
luar rumah, Nyonya Martopo tidak mau menerima tamu
dan bertetangga.
Nyonya Martopo tidak mau menerima tamu
dengan tidak menjamunya saat pergi ke kediaman rumah-
nya. Hal tersebut nampak, pada dialog Darmo di bawah
ini.
‚(ia mengeluh) Nyonya telah melupakan semua
tetangga nyonya. Nyonya tidak pergi keluar dan
tidak menjamu seorangpun juga. Kita hidup, maaf-

Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya | 309
Seminar Nasional KABASTRA II

kanlah, seperti laba-laba, dan kita tak pernah


menikmati cahaya matahari yang gemilang‛ (6)
BEL DIBUNYIKAN ORANG DENGAN KERAS
NYONYA (gugup)
Siapa itu? Saya tak mau terima tamu!

GANGGUAN KEPRIBADIAN NEUROTIK TOKOH


BAITUL BILAL
Gangguan kepribadian neurotik tokoh Baitul Bilal
terjadi karena ia mempunyai hutang di bank yang harus ia
bayar besok pagi. Adapun gangguan kepribadian neurotik
yang dialami Baitul Bilal antara lain: depresi, menyalahkan
orang lain, dan gelisah.
Gangguan kepribadian neurotik yang pertama
adalah depresi. Tokoh Baitul Bilal merasa depresi karena ia
tidak bisa membayar hutang. Ia berusaha keras untuk
membayar hutang dengan menagihi hutang orang lain
kepadanya, tetapi tidak satupun yang mau mengembalikan
hutang tersebut kepadanya. Hal ini, nampak pada kutipan
di bawah ini.
BILAL
‚Almarhum suami nyonya, denga siapa saya
merasa beruntung bisa bersahabat, meninggalkan
kepada saya dua buah bon yang jumlahnya
duabelas ribu rupiah. Berhubung saya harus mem-
bayar bunga untuk sebuah hutang di Bank Rakyat

310| Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya
ISBN 978-602-61725-2-5

besok pagi, maka saya akan memohon kepada


nyonya, hendaknya nyonya suka membayar hutang
tersebut, hari ini‛. (19)
BILAL
‚Terima kasih (mengangkat bahu) Dan mereka
mengharapkan saya untuk menahan diri. Penagih
Pajak di jalan tadi bertanya kepada saya, kenapa
saya selalu kuatir? Saya membutuhkan uang, saya
merasa leher saya terjerat. Sejak kemarin pagi saya
meninggalkan rumah saya di waktu hari masih
subuh dan menagih hutang kesana kemari. Seandai-
nya ada saja yang membayar hutangnya kan
lumayan juga! Tapi tidak! Saya telah berusaha
keras. Setanpun menyaksikan bagaimana aku
terpaksa menginap di penginapan terkutuk itu. Di
dalam kamar yang sempit dengan balai-balai penuh
kepiding! Dan akhirnya sekarang saya mengharap
untuk menerima uang sekedarnya dan nyonya
Cuma bilang ‚tidak bernafsu‛. Kenapa saya tidak
boleh khawatir begini halnya?‛

Berdasarkan kutipan di atas, dapat dijelaskan


perilaku depresi yang dialami oleh Baitul Bilal. Depresi
yang dialami olehnya, berawal dari hutang yang dialami-
nya. Ia mempunyai hutang berupa bunga pada sebuah
Bank Rakyat, tetapi ia tidak bisa membayarnya. Oleh
karena itu, ia pergi ke Nyonya Martopo untuk bisa
mengembalikan hutang suaminya, sebab Baitul Bilal sudah
Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya | 311
Seminar Nasional KABASTRA II

menagihi hutang yang dia berikan kepada orang lain.


Namun, tidak satu orangpun mau mengembalikan kepada-
nya, padahal hutang bunga tersebut harus ia kembalikan
besok pagi.
Gangguan kepribadian neurotik yang kedua adalah
menyalahkan orang lain. Nyonya Martopo yang enggan
memberikan uang bayaran hutang kepada Baitul Bilal,
disebabkan karena bendaharanya sedang pergi. Hal ter-
sebut, membuat Baitul Bilal murka, ia tidak bisa membayar
hutanya lalu menyalahkan orang lain, yaitu Tuan Martopo
dan bendahara keluarga. Hal tersebut nampak pada
kutipan di bawah ini.
BILAL

‚Apa bisa kukatakan sekarang? Tidak bernafsu.


Tepat tujuh bulan setelah suaminya mati! Saya
harus membayar bunga bukan? Suaminya mati
begitu saja, bendaharanya pergi entak kemana
semoga ditelan syetan dia! Sekarang, terangkanlah,
apa yang harus saya lakukan? Apakah saya harus
lari dari penagih dari Bank itu dengan helicopter.
Ataukah saya harus membenturkan kepala saya ke
tembok batu? Ketika saya datang ke Sudargo itu
untuk menagih hutangnya, ia pakai taktik ‚tak ada
di rumah‛ dan Irwan itu terang-terangan saja lari
sembunyi, saya telah pula bertengkar dengan si
KArto dan hampir-hampir saya lempar ia keluar
jendela, Marno pura-pura sakit, dan wanita ini, ‚tak
312| Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya
ISBN 978-602-61725-2-5

bernafsu‛ katanya! Tak seorangpun diantara


mereka mau membayar hutang mereka! Dan
semuanya ini sebab saya terlalu memanjakan
mereka, saya terlalu ramah dan terlalu sopan
santun. Saya terlalu lembut hati terhadap mereka!
Tapi tunggulah! Saya tak akan membiarkan
seseorangpun memperdayakan saya, syetan akan
menghajar mereka! Saya akan tinggal di sini dan tak
akan beranjak sebelum ia membayar utangnya! Brrr!
Betapa marah saya! Betapa heibat marah saya!
Segenap urat saya gemetar, karena marah dan saya
hampir-hampir tak bisa bernafas! Oh, sampai-
sampai saya hampir sakit. Syeitan! (Memanggil)
Mandor! Pak Mandor!‛. (40)

Berdasarkan kutipan di atas dapat diketahui bahwa


Baitul Bilal telah menyalahkan orang lain atas apa yang
dialaminya. Baitul Bilal yang tidak bisa membayar hutang
bunga terhadap Bank Rakyat telah membuat dirinya
depresi tingkat tinggi. Oleh karena itu, Baitul Bilal menjadi
marah terhadap orang-orang di sekitarnya. Selain itu,
kondisi tersebut membuat dirinya menyalahkan orang lain.
Kematian Tuan Martopo yang sejatinya adalah takdir
disalahkan oleh Baitul Bilal karena meninggal mendadak
sehingga ia tidak membayar hutang. Begitu pula, kepergian
bendahara yang mempunyai kepentingan disalahkan pula
oleh Baitul Bilal sehingga dia tidak bisa membayar hutang.

Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya | 313
Seminar Nasional KABASTRA II

Gangguan neorotik yang ketiga adalah gelisah.


Gelisah yang dialami oleh Baitul Bilal terjadi karena ia
tidak mampu membayar hutangnya kepada Bank Rakyat.
Kegelisahan-kegelisahan itu ditandai dengan dialog yang ia
katakan. Kegelisahan pertama yang pertama, yaitu Baitul
Bilal merasa gelisah dengan hutanya karena ia takut
perkebunanya akan disita. Hal tersebut nampak pada
kutipan di bawah ini.
BILAL
Dan saya sangat bernafsu untuk bunuh diri bila
saya tak bisa membayar bunga hutang saya besok
pagi. Mereka akan menyita perkebunan saya. (24)

Berdasarkan kutipan di atas, nampak jelas kegelisan


yang dialami Baitul Bilal. Baitul Bilal merasa sangat gelisah
karena ia takut perkebunanya akan disita oleh pihak Bank.
Oleh karena itu, ia tidak berani pulang ke rumah dan tidur
di penginapan.
BILAL
‚Terima kasih (mengangkat bahu) Dan mereka
mengharapkan saya untuk menahan diri. Penagih
Pajak di jalan tadi bertanya kepada saya, kenapa
saya selalu kuatir? Saya membutuhkan uang, saya
merasa leher saya terjerat. Sejak kemarin pagi saya
meninggalkan rumah saya di waktu hari masih
subuh dan menagih hutang kesana kemari. Seandai-
nya ada saja yang membayar hutangnya kan

314| Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya
ISBN 978-602-61725-2-5

lumayan juga! Tapi tidak! Saya telah berusaha


keras. Setanpun menyaksikan bagaimana aku
terpaksa menginap di penginapan terkutuk itu. Di
dalam kamar yang sempit dengan balai-balai penuh
kepiding! Dan akhirnya sekarang saya mengharap
untuk menerima uang sekedarnya dan nyonya
Cuma bilang ‚tidak bernafsu‛. Kenapa saya tidak
boleh khawatir begini halnya?‛. (36)

Pada kutipan di atas, menunjukkan kegelisahan


yang dialami Baitul Bilal. Ia gelisah karena sangat mem-
butuhkan uang untuk membayar hutang, tetapi tidak
satupun tagihan hutan ia terima untuk membayar hutang
bunganya kepada Bank Rakyat. Ia tidak berani pulang dan
menginap di penginapan. Ia merasa tercekik dan sangat
khawatir.

KEBUTUHAN NEUROTIK TOKOH NYONYA


MARTOPO DAN BAITUL BILAL DALAM NASKAH
DRAMA ORANG KASAR KARYA ANTON CHEKOV
Setiap manusia mempunyai kebutuhan. Kebutuhan
adalah segala sesuatu yang dibutuhkan manusia untuk
mempertahankan hidup serta untuk memperoleh kesejah-
teraan dan kenyamanan. Dalam istilah kebutuhan adapula
istilah kebutuhan neoretik. Kebutuhan neurotik merupakan
kebutuhan yang timbul sebagai akibat dari usaha manusia
menemukan pemecahanya dalam hubungannya dengan
sesama manusia. Kebutuhan neurotik berdasarkan teori

Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya | 315
Seminar Nasional KABASTRA II

Horney terdapat 10 asas. Tokoh dalam drama ini memiliki


kebutuhan yang berbeda-beda, hal ini nampak pada uraian
berikut.

KEBUTUHAN NEUROTIK TOKOH NYONYA


MARTOPO
Kebutuhan neorotik tokoh Nyonya Martopo di-
dasarkan atas kesendirian, kesepian yang dialami olehnya
semenjak suaminya meninggal. Kebutuhan neortik tokoh
Nyonya Martopo antara lain: kebutuhan akan kasih sayang
dan kebutuhan neurotik untuk membatasi hidupnya dalam
lingkup yang sempit.
Kebutuhan neurotik yang pertama adalah
kebutuhan kasaih sayang. Nyonya Martopo adalah
seorang janda muda. Ia gundik dari seorang pemilik tanah.
Kematian suaminya, membuat Nyonya Martopo merasa
sedih dan sangat kehilangan. Hal tersebut menunjukkan,
bahwa Nyonya Martopo masih membutuhkan kasih
sayang dan cinta dari suaminya sehingga ia selalu ber-
upaya untuk terus berduka. Upaya tersebut, ia lakukan
demi membuktikan bahwa ia masih mencintai suaminya
meskipun sudah meninggal. Hal tersebut nampak pada
kutipan di bawah.
NYONYA
‚Dan saya tak akan pergi ke luar! Kenapa saya
harus pergi keluar? Riwayat saya sudah tamat.
Suamiku terbaring di kuburnya, dan sayapun telah

316| Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya
ISBN 978-602-61725-2-5

mengubur diri saya sendiri di dalam empat dinding


ini. Kami berdua telah sama-sama mati‛. (4)
NYONYA (Tegas)
‚Saya minta, jangan bicara seperti itu lagi. Pak
Darmo telah tahu, bahwa sejak kematian mas
Martopo, hidup ini tak ada harganya lagi bagi saya.
Bapak kira aku ini hidup? Itu hanya nampaknya
saja, mengertikah Pak Darmo? Oh, saya harap
arwahnya yang telah pergi itu melihat bagaimana
aku mencintainya. Saya tahu, ini bukan rahasia pula
bagimu, suamiku sering tidak adil terhadap saya,
kejam, dan ia tidak setia, tetapi saya akan setia,
kepada bangkainya dan membuktikan kepadanya
betapa saya bisa mencinta. Di sana, di akhirat ia
akan menyaksikan bahwa saya masih tetap sebagai
dulu‛.(8)

Berdasarkan kutipan di atas, menunjukkan sikap


dari Nyonya Martopo yang enggan ke luar rumah untuk
bertetangga. Ia tidak mau bertetangga dan ke luar rumah
karena ia ingin menunjuukan kepada arwah suaminya
bahwa ia masih setia. Padahal, apa yang telah dilakukan
berbanding terbalik dengan sikap suaminya yang tidak
setia dan berkali-kali selingkuh. Namun, Nyonya Martopo
tetap mencintainya seperti dahulu meskipun suaminya
sudah meninggal. Sikap Nyonya Martopo yang sering
menyendiri dan meratapi kepergian Tuan Martopo se-
benarnya karena kebutuhan psikisnya. Ia membutuhkan
Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya | 317
Seminar Nasional KABASTRA II

kasih sayang seorang suami yang sangat ia cintai, tetapi


suaminya sudah tiada dan tidak bisa memberi cinta seperti
dahulu. Dengan demikian, Nyonya Martopo untuk me-
menuhi hasrat cintanya dengan cara berduka meratapi
kepergian suaminya. Hal tersebut, nampak pada kutipan di
bawah ini.
NYONYA

....
‚Lelaki yang terbaik ini mengkhianati saya pada
segala macam kesempatan…. Setelah ia meninggal
dunia, saya temukan laci mejanya penuh dengan
surat-surat cinta. Ketika ia masih hidup ia suka
meninggalkan saya berbulan-bulan lamanya, me-
mikirkannya saja sudah ngeri. Ia bercinta-cintaan
dengan wanita lain dihadapan saya, ia
memboroskan uang saya, dan memperolok-olokkan
perasaan saya, tetapitoh saya masih tetap jujur dan
setia kepadanya. Dan lebih daripada itu, ia sudah
mati dan saya masih tetap setia kepadanya. Saya
kuburkan diri saya di dalam empat tembok ini dan
saya akan tetap memakai baju hitam ini sampai
keliang kubur saya‛. (69)

Berdasarkan kutipan di atas, dapat diketahui bahwa


sosok suami Nyonya Martopo adalah seorang yang sering
melakukan perselingkuhan, tetapi Nyonya Martopo tetap
mencintainya. Ia sangat mencintainya bahkan sampai

318| Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya
ISBN 978-602-61725-2-5

suaminya meninggal dunia. Ketika suaminya meninggal,


Nyonya Martopo yang sudah tidak mampu lagi mencintai-
nya dengan wujud perbuatan langsung terhadap suami-
nya. Dengan demikian, Nyonya Martopo mewujudkanya
dengan terus berduka. Ia berduka dengan terus menyen-
diri, meratapi, dan enggan bertemu dengan tamu. Begitu-
pula ketika Baitul Bilal bertamu di rumahnya, Nyonya
Martopo enggan menemui Baitul Bilal. Kedatangan Baitul
Bilal sebenarnya mempunyai tujuan untuk menagih hutang
suami Nyonya Martopo, namun Nyonya Martopo tidak
sanggup membayar hutang suaminya. Hal tersebut
menimbulkan konflik antara Baitul Bilal dengan Nyonya
Martopo. Akan tetapi, lambat laun Nyonya Martopo dan
Baitul Bilal saling Jatuh Cinta.
NYONYA
Ya, pergilah (Menangis) Kenapa pergi? Tunggu!
Tidak, pergi! Oh alangkah marahnya saya ini!
Jangan mendekat…, oh…, kemarilah…, jangan!...
jangan dekat-dekat.
(144)
BILAL (Menghampiri)
Saya marah kepada diri saya sendiri. Jatuh cinta
seperti anak sekolah, berlutut dan menghiba-hiba.
Saya merasa demam. (Tegas) Saya cinta kepadamu.
Ini sehat.

Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya | 319
Seminar Nasional KABASTRA II

Apa yang saya butuhkan, ialah jatuh cinta. Besok


pagi saya harus membayar bunga ke bank, panen
kopi sudah tiba, dan kemudian muncullah nyonya!
(Mencium tangan nyonya martopo) Tak akan saya
maafkan diri saya ini.

(145)
NYONYA
Pergilah! Ngan cium di tangan saya! O, saya benci…
saya benci… saya…
(Tangannya yang satunya membelai kepala bilal)

(146)

Berdasarkan kutipan di atas, dapat dijelaskan


bahwa Nyonya Martopo yang mengusir Baitul Bilal
sebenarnya tidak setengah hati mengusirnya. Ia menyuruh
Baitul Bilal pergi, tetapi ia menyuruhnya pula untuk
mendatang kepadanya. Baitul Bilal sendiri mengakui
kepada Nyonya Martopo bahwa dia jatuh cinta pada
Nyonya Martopo.
Kebutuhan neurotik yang kedua adalah mem-
batasi hidupnya dalam lingkup yang sempit. Nyonya
Martopo semenjak meninggalnya Tuan Martopo, ia enggan
bertetangga dengan tetangganya serta ke luar rumah. Hal
tersebut, dikarenakan Nyonya Martpo membutuhkan
lingkup sempit tanpa ada gangguan orang lain. Dalam
lingkup sempit tersebut, Nyonya Martopo melakukannya

320| Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya
ISBN 978-602-61725-2-5

untuk berduka atas meninggalnya suaminya. Dengan


menyendiri, Ia menunjukkan kepada arwah suaminya
bahwa ia masih mencintainya. Hal ini nampak pada
kutipan di bawah ini.
DARMO
‚Lagi-lagi saya jumpai nyonya dalam keadaan
seperti ini. Hal ini tidak bisa dibenarkan, nyonya
Martopo. Nyonya menyiksa diri! Koki dan babu
bergurau di kebun sambil memetik tomat, semua
yang bernafas sedang menikmati hidup ini, bahkan
kucing kitapun tahu bagaimana berjenakanya dan
berbahagia, berlari-lari kian kemari di halaman,
berguling-guling di rerumputan dan menangkapi
kupu-kupu, tetapi nyonya memenjarakan diri
nyonya sendiri di dalam rumah seakan-akan
seorang suster di biara.
Ya, sebenarnyalah bila dihitung secara tepat, nyo-
nya tak pernah meninggalkan rumah ini selama
tidak kurang dari satu tahun‛. (3)
NYONYA
‚Dan saya tak akan pergi ke luar! Kenapa saya
harus pergi keluar? Riwayat saya sudah tamat.
Suamiku terbaring di kuburnya, dan sayapun telah
mengubur diri saya sendiri di dalam empat dinding
ini. Kami berdua telah sama-sama mati‛.(4)

Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya | 321
Seminar Nasional KABASTRA II

Berdasarkan kutipan di atas, menunjukkan adanya


ketidakmauan Nyonya Martopo ke luar rumah. Ia memilih
membatasi lingkupnya sendiri. Ia lebih memilih terus saja
berduka di rumahnya dan mengubur di rumah bersama
empat dinding rumahnya.

Nyonya Martopo demi memenuhi keinginanya


untuk membatasi lingkupnya, dia enggan menerima tamu.
Termasuk ketika Baitul Bilal datang ke rumah untuk
menagih hutan. Namun, ia enggan sama sekali menemu-
nya. Hal tersebut, nampak pada kutipan di bawah ini.
DARMO
‚Oh, nyonya, ada orang ingin bertemu dengan
nyonya, mendesak untuk bertemu dengan nyonya‛.
(19)
NYONYA
‚Sudah bapak katakan bahwa sejak kematian suami
saya, saya tak mau menerima seorang tamupun?‛
(20)
DARMO
‚Sudah, tetapi ia tidak mau mendengarkannya,
katanya urusannya sangat penting‛. (21)
NYONYA
‚Sudah bapak katakana tak menerima tamu!?‛.(22)

322| Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya
ISBN 978-602-61725-2-5

DARMO
‚Saya sudah berkata begitu, tetapi ia orang yang
ganas, ia mencaci maki dan nekad saja masuk ke
dalam kamar, ia sekarang sudah menerobos ke
kamar makan‛.(23)

Berdasarkan kutipan di atas, menunjukkan sikap


yang dilakukan Nyonya Martopo dalam membatasi
lingkungan. Ia tidak mau menerima tamu siapapun, meski-
pun kedatanganya bertujuan untuk menagih hutang suami-
nya. Semenjak kematian suaminya, Nyonya Martopo tidak
mau menerima tamu siapapun.

KEBUTUHAN NEUROTIK TOKOH BAITUL BILAL


Kebutuhan Neorotik yang dimiliki Baitul Bilal
disebabkan oleh hutang bunga bank yang sudah harus
dibayarnya, sementara batas waktu pembayaran sudah
habis. Kebutuhan neorotik yang dimiliki oleh Baitul Bilal
antara lain kebutuhan akan kasih sayang
Kebutuhan Neorotik tokoh Baitul Bilal adalah
kebutuhan kasih sayang. Baitul Bilal yang mengalami
kerumitan hidup membuat sikapnya menjadi keras dan
kasar kepada siapapun. Ia seolah-olah tidak bisa berbuat
ramah kepada wanita sekalipun. Namun, sebenarnya ia
juga pernah mengalami jatuh cinta. Hal tersebut nampak
pada kutipan di bawah ini.
‚Sama sekali tak lucu, biadab! Saya tak tahu
bagaimana bersikap terhadap orang-orang wanita.
Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya | 323
Seminar Nasional KABASTRA II

Nyonya yang terhormat, sepanjang umur saya ini,


saya telah melihat wanita lebih banyak daripada
nyonya melihat burung gereja. Sudah tiga kali saya
berkelahi karena urusan wanita, dua belas wanita
telah saya tinggalkan dan sembilan wanita telah
meninggalkan saya. Memang pernah pada saya
bertingkah bagaikan bahasa yang bermadu, mem-
bungkuk-bungkuk, dan kemalu-maluan. Saya
pernah mencinta, menderita, mengeluh kepada
bulan, melelh disiksa oleh cinta. Saya pernah
mencinta dengan dahsyat, mencinta sampai gila,
mencinta dalam semua tangga nada, berkicau
sebagai burung ketilang tentang emansipasi,
mengorbankan separo dari harta bendaku dalam
pengaruh nafsu yang lembut, tetapi sekarang, demi
syeitan, itu semua telah cukup‛.(65)

Berdasarkan kutipan di atas, menunjukan bahwa


Baitul Bilal pernah jatuh cinta kepada seorang perempuan.
Bahkan ia rela mengorbankan harta bendanya untuk
perempuan tersebut. Ia juga pernah berrtaurung demi
seorang perempuan. Ia pernah berurusan dengan perem-
puan berkali-kali. Perenpuan tersebut ada yang ia tinggal-
kan, tetapi ada pula yang meninggalkanya. Namun, ia tak
mau lagi jatuh cinta kepada perempuan. Ia sudah pernah
patah hati karena urusan cinta.

324| Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya
ISBN 978-602-61725-2-5

Akan tetapi, pertemuannya dengan Nyonya Mar-


topo menanamkan kembali benih-benih cinta yang hilang.
Hal ini nempak pada kutipan di bawah ini.
BILAL
‚Ya, saya takut‛. (129)
NYONYA
‚Bohong! Kenapa tak mau bertempur?‛. (130)
BILAL
‚Sebab…, sebab…, sebab…, saya suka kepada
nyonya‛. (131)

NYONYA (Tertawa marah)


‚Tuan suka saya! Begitu berani ya bilang kalau suka
saya! (Menunjuk) Pergi!!‛. (132)
BILAL (Meletakkan senapan pelan-pelan di atas
meja, mengambil topinya dan pergi ke pintu. di
pintu ia berhenti sebentar dan menatap nyonya
martopo, lalu ia menghampirinya agak bimbang)
‚Dengarlah! Apa nyonya masih marah? Saya begitu
gila seperti syeitan, tetapi saya harap nyonya bisa
mengerti, ah, bagaimana saya akan menyatakan-
nya? Soalnya adalah begini…, soalnya ialah…,
(Meninggikan suara) Lihatlah apakah salah saya
bahwa nyonya berhutang kepada saya? Saya tak
bisa disalahkan bukan? Saya suka kepada nyonya!
Mengertikah? Saya… saya hampir jatuh cinta‛. (133)

Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya | 325
Seminar Nasional KABASTRA II

Berdasarkan kutipan di atas, menunjukkan bahwa


Bilal mulai menyukai Nyonya Martopo. Ia tidak mau
melukai Nyonya Martop dengan senapanya. Ketidak-
sanggupan melakui Nyonya Martopo, karena Bilal mulai
jatuh cinta pada Nyonya Martopo.

SIMPULAN
Penelitian ini terdapat empat simpulan, yaitu
pertama gangguan kepribadian neorotik tokoh Nyonya
Martopo, kedua gangguan kepribadian neorotik tokoh
Baitul Bilal, ketiga kebutuhan neorotik tokoh Nyonya
Martopo, dan kebutuhan neorotik tokoh Baitul Bilal.
Pertama, gangguan neorotik yang dialami tokoh Nyonya
Martopo antara lain: sedih berlarut-larut, tidak mau ke luar
rumah, tidak mau menerima tamu dan bertetangga. Kedua,
gangguan kepribadian neurotik yang dialami Baitul Bilal
antara lain: depresi, menyalahkan orang lain, dan gelisah.
Ketiga, kebutuhan neorotik tokoh Nyonya Martopo antara
lain: kebutuhan akan kasih sayang dan kebutuhan neurotik
untuk membatasi hidupnya dalam lingkup yang sempit.
Keempat, kebutuhan neorotik tokoh Baitul Bilal adalah
kebutuhan kasih sayang.

DAFTAR PUSTAKA

Alwisol. 2009. Psikologi Kepribadian. Malang: UMM Press.


Alwisol. 2010. Psikologi Kepribadian. Malang: UMM Press

326| Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya
ISBN 978-602-61725-2-5

Kemendikbud. 2016. ProgramUnggulan dan Prioritas Badan


Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. Jakarta :
Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan.
Kurniawan, Yudi dan Indahria Sulistyarini. 2016. ‚
Komunitas SEHATI (Sehat Jiwa dan Hati) sebagai
Intervensi Kesehatan Mental Berbasis Masyarakat‛.
Insan Jurnal Psikologi dan Kesehatan Mental, 1 (2),
112-124.
Minirth, Frank B dan Paul D, Meier. 2001. Kebahagiiaan
Sebuah Pilihan. Ditejemahkan oleh S. Simamora.
Jakarta: BT BPK Gunung Mulia.
Perwito, Naniek dan Setiadji. 2011. ‚Multidispilin Ilmu
dalam Komunikasi‛. Comunique, 6 (2), 137-154
Setyorini, Nurul. 2014. ‛Aspek-aspek Stilistika Novel Lalita
karya Ayu Utami‛. Prosiding Seminar Pembelajaran
Bahasa untuk Meningkatkan Kualitas Manusia yang
Berkarakter dalam Era Modial. Klaten, 29 November
2014.
Syuropati, Mohammad A. 2012. 7 Teori Sastra Kontemporer
dan 17 Tokohnya.Yogyakarta: IN Azna Books
Tarsinih, Eny. 2015. ‚Analisis Naskah Dilarang Menyanyi
di Kamar Mandi dan Penggunaanya untuk
Menyusun Model Menulis Naskah Drama di
Universitas Wilalodra‛. Wacana Didakita, III (15),
58-76.
Ungkang, Marcelus. 2015. ‚Interdisipliner, Multidisiplin,
dan Problemnya dalam Pengajaran Sastra‛.

Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya | 327
Seminar Nasional KABASTRA II

Makalah ini diseminarkan dalam Seminar Nasional


dan Louncing Adobsi, Surakarta, 25 April 2015.
Yasid, Ahmad. 2012. ‚Membangun Karakter Peserta Didik
dalam Bingkai Drama: Kajian Pendidikan Karakter
Berbasis Karya Sastra‛. Jurnal Pelopor Drama, 3
(1),43-50.
Wiyatmi. 201I. Psikologi Sastra Teori dan Aplikasinya.
Yogyakarta : Kanwa Publisher.

328| Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya
ISBN 978-602-61725-2-5

TUHAN SEMBILAN SENTI SEBAGAI


REPERESENTASI FAKTA SOSIAL
TENTANG ROKOK DI INDONESIA
Oleh :
Dra. Riniwati S.A, M.Pd. dan Dzikrina Dian Cahyani, M.A.
Universitas Tidar
dzikrina_untidar.co.id

ABSTRAK

Rokok sampai saat ini masih mejadi masalah rumit


di Indonesia. Setiap kebijakan yang dirancang untuk
mengendalikan rokok selalu mendapat reaksi pro dan
kontra di tengah masyarakat. Terlepas dari perdebatan itu,
kenyataannya ada dampak negatif yang ditimbulkan akibat
rokok. Kegelisan terhadap dampak negatif rokok tersebut
telah dirasakan oleh berbagai pihak, salah satunya sastra-
wan Indonesia yaitu Taufik Ismail. Melalui puisi yang
berjudul Tuhan Sembilan Senti, Taufik Ismal mengambar-
kan fenomena-fenomena tentang rokok di Indonesia yang
semakin memprihatinkan. Oleh karena itu, penelitian ini
bertujuan untuk menjelaskan fakta sosial tentang rokok di
Indonesia yang direpresentasikan dalam puisi Tuhan Sem-
bilan Senti. Penelitian ini menggunakan teori sosiologi
sastra untuk membahas masalah-masalah sosial tentang
rokok dalam puisi. Hasil analisis menunjukkan bahwa,
makna dalam puisi Tuhan Sembilan Senti mengungkap
fakta-fakta sosial tentang rokok di Indonesia. Fakta sosial
yang direpresentasikan ialah fakta tentang para perokok di

Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya | 329
Seminar Nasional KABASTRA II

Indonesia yang telah merambah hampir di seluruh


kalangan masyarakat. Hal itu dilihat berdasarkan latar
belakang sosial dan ruang lingkup interaksi sosialnya.

Kata kunci: Tuhan Sembilan Senti, fakta sosial, rokok.

PENDAHULUAN
Peliknya masalah rokok membuat setiap kebijakan
tentang rokok menjadi dilema dan berujung pada pro dan
kontra di tengah masyarakat. Perdebatan itu terus terjadi
karena rokok di satu sisi memiliki nilai komoditi yang
menggiurkan, namun di sisi lain membawa dampak yang
merugikan. Namun demikan, hal yang penting dan tidak
dapat dipungkiri ialah adanya berbahaya yang ditimbulkan
akibat rokok. Bahaya rokok tidak hanya menyangkut
kesehatan perokok aktif yang kebanyakan merokok sem-
barangan, tetapi juga kesehatan orang yang berada didekat-
nya sebagai perokok pasif. Kegelisan seperti itu, telah
dirasakan oleh berbagai kalangan termasuk seorang sastra-
wan besar Indonesia yaitu Taufik Ismail.
Puisi-puisi Taufik Ismail seringkali berisi tentang
masalah-masalah sosial. Dalam hal ini, dapat juga dikata-
kan bahwa Taufik Ismail adalah sastrawan Indonesia yang
cukup peka dan peduli terhadap masalah rokok melalui
karya puisi. Ada beberapa puisinya tentang rokok, salah
satunya berjudul Tuhan Sembilan Senti. Melalui puisi
tersebut Taufik Ismail memberikan gambaran secara cukup
detail dan kritis terhadap fenomena rokok di Indonesia.
Berdasarkan hal itu, maka penelitian ini dilakukan untuk
330| Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya
ISBN 978-602-61725-2-5

menganalisis fakta-fakta sosial tentang rokok yang direp-


resentasikan di dalam puisi Tuhan Sembilan Senti.
Hal menarik lainnya dari puisi tersebut adalah
kemahiran Taufiq Ismail dalam mengungkapkan fenomena
tentang rokok di Indonesia. Di dalam puisi yang cukup
panjang, Taufik Ismail secara rinci menjelaskan tentang
siapa saja orang yang merokok dan di mana saja orang
biasanya merokok. Oleh sebab itu, masalah yang dibahas
dalam penelitian ini adalah bagaimana puisi Tuhan Sembi-
lan Senti merepresentasikan fakta sosial tentang rokok di
Indonesia.

KAJIAN TEORI
Penelitian ini ingin mengungkap fakta-fakta sosial
yang direpresentasikan di dalam puisi karya Taufik Ismail.
Oleh sebab itu, pendekatan sosiologi sastra dan konsep-
konsep dari teori tersebut dianggap sesuai untuk mem-
bantu analisis.
Prinsip yang mendasari teori sosiologi sastra adalah
bahwa karya sastra (kesusatraan) merupakan refleksi
masyarakat pada suatu zaman. Sosiologi sastra digunakan
oleh para kritikus sastra dan ahli sejarah sastra untuk
membahas karya sastra yang dipengaruhi oleh status kelas,
ideologi masyarakat, dan keadaan-keadaan ekonomi yang
juga berhubungan dengan jenis pekerjaan dan jenis pem-
baca yang dituju (Abrams, 1981). Para ahli sosiologi sastra
memperlakukan karya sastra sebagai karya yang diten-
tukan dan tidak dapat terhidarkan dari keadaan-keadaan
Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya | 331
Seminar Nasional KABASTRA II

masyarakat dan kekuatan-kekuatan pada zamannya (Pra-


dopo, 2002).
Faruk (2014) menyatakan bahwa keniscayaan baha-
sa dalam sastra sekaligus melemahkan anggapan tentang
karya sastra sebagai ekpresi pengarang atau pengalaman
subjektif semata oleh pengarang. Ketika pengalaman yang
individual dan subjektif itu diterjemahkan dan disampai-
kan melalui bahasa, maka secara otomatis berubah menjadi
pengalaman kolektif dan sosial.

Pendekatan Terhadap Karya Sastra


Ada tiga pendekatan yang diungkapkan oleh Ian
Watt (dalam Faruk, 2014) tentang pendekatan karya sastra.
Dalam penelitian ini hanya satu pendekatan yang men-
dasari yaitu orientasi yang memandang sasatra sebagai
cerminan masyarakat (mimetik). Hal yang utama diperhati-
kan dalam pendekatan mimetik adalah (a) sejauh mana
sastra dapat mencerminkan masyarakatnya ketika karya itu
dibuat; (b)sejauh mana latar belakang pengarang mem-
pengaruhi penggambarannya tentang masyarakat yang
ingin disampaikan melalui karya; (c) sejauh mana genre
sastra (puisi) dapat digunakan pengarang untuk mewakili
segala hal tentang masyarakat.

332| Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya
ISBN 978-602-61725-2-5

Paradigma Fakta Sosial.


Apa yang disebut sebagai fakta sosial itu tidak
selalu bersifat material meskipun mempunyai kemungki-
nan mewujudkan diri secara material. Fakta sosial dapat
berupa alam pikiran yang ada dalam kesadaran manusia
sehingga keberadaannya bukanlah benda dalam pengertian
yang sebenarnya, yaitu bersifat eksternal bagi kesadaran
subjektif individu. Fakta sosial ini berbeda dengan fakta
psikologis yang sifatnya internal individu. Fakta sosial
melampaui batas fakta psikologis dan hanya dapat dijelas-
kan dengan fakta sosial yang lain. Oleh karena itu, sosiologi
utamanya mempelajari tentang apa yang disebut sebagai
intuisi sosial dan struktur sosial. Intuisi sosial, menurut
Ritzer, adalah nilai-nilai dan norma-norma bersama yang
diwujudkan dalam suatu kebudayaaan atau sub kebuda-
yaan (Faruk, 2014). Fakta sosial yang menjadi pokok pene-
litian ini adalah fakta sosial yang bukan merupakan fakta
psikologis yang hanya dapat dirasakan oleh individu,
tetapi fakta sosial yang dapat dilihat melalui hubungan
atau interaksi antar manusia dan lingkungannya.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan objek puisi Tuhan Sem-
bilan Senti karya Taufik Ismail yang menggambarkan per-
masalahan dan fenomena-fenomena sosial mengenai rokok
di Indonesia. Melalui pendekatan sosiologi sastra yang
tampak fenomenologis maka dalam penelitian ini menggu-
nakan metode penelitian kualitatif. Adapun langkah-
Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya | 333
Seminar Nasional KABASTRA II

langkah dalam penelitian ini dibagi menjadi dua yaitu


metode pengumpulan data dan metode analisis data.

Metode Pengumpulan Data


Metode pengumpulan data yang mendukung
dalam penelitian ini adalah metode studi pustaka, yaitu
dengan mengumpulkan data-data dari berbagai referensi
tertulis. Pengumpulan data dalam penelitian ini diperoleh
melalui proses pembacaan dari data primer dan data
sekunder. Data primer yang dipilih berupa kutipan-
kutipan teks puisi Tuhan Sembilan Senti karya Taufik Ismail
yang mengungkapkan masalah-masalah sosial tentang
rokok. Data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini
adalah berbagai sumber referensi tertulis yang dapat mem-
bantu keseluruhan proses penelitian.

Metode Analisis Data


Analisis data dalam penelitian ini dimulai dengan
menggolongkan data berdasarkan strata sosial yang dilihat
melalui pekerjaan dan ruang lingkup interaksi seseorang di
masyarakatnya. Selanjurnya data-data tekstual yang telah
digolongkan kemudian dianalisis berdasarkan teori sosio-
logi sastra untuk melihat fakta-fakta mengenai rokok di
Indonesia yang terepresentasi dalam puisi. Data-data di
dalam puisi dikonfirmasikan dengan realita sosial yang
sebenarnya terjadi di masyarakat Indonesia.

334| Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya
ISBN 978-602-61725-2-5

Fakta Sosial tentang Rokok di Indonesia dalam Puisi


TuhanSembilan Senti
Puisi Tuhan Sembilan Senti sebagai sebuah karya
sastra tidak lepas dari pengaruh keadaan sosial suatu
masyarakat di mana karya itu lahir. Sebuah karya sastra
merupakan hasil dari penggambaran pengarang tentang
sebuah realita keadaan sosial masyarakat sehingga puisi
dapat dijadikan sebagai hasil perekaman, pemotretan, atau
karya tiruan dari kehidupan nyata. Hal ini merupakan
salah satu cara menganalisis sastra yaitu dengan pendekat-
an mimetik.
Dilihat dari judul puisi karya Taufik Ismail tersebut,
kata ‘tuhan’ memiliki makna yaitu sesuatu yang diyakini,
dipuja, dan disembah oleh manusia sebagai yang maha-
kuasa, mahaperkasa, dll (KBBI). Selanjutnya, makna dari
‘sembilan senti’ yaitu sesuatu yang memiliki ukuran
panjang sembilan senti meter. Adapun benda yang di-
maksud adalah rokok karena di dalam bait-bait puisi ber-
ulang-ulang muncul penjelasan tentang rokok. Selain itu,
terdapat kalimat di dalam puisi yang cukup tegas men-
jelaskan tentang benda yang berukuran 9cm adalah rokok.
Pada kenyataan yang ditemukan, meskipun panjang rokok
di Indonesia berfariasi namun pada umunya jika diukur,
panjang sebatang rokok adalah sekitar 9 cm. Selain itu
wujud rokok pada umumnya berwarna pitih dengan ujung
area untuk dihisap berwarna coklat. Perhatiakan kutipan
bait puisi berikut ini:
Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya | 335
Seminar Nasional KABASTRA II

Rokok telah menjadi dewa, berhala, tuhan


baru, diam-diam menguasai kita
………
Di antara jari telunjuk dan jari tengah mereka
terselip berhala-berhala kecil, sembilan senti
panjangnya, putih warnanya, kemana-mana
dibawa dengan setia, satu kantong dengan
kalung tasbih 99 butirnya.
Mengintip kita dari balik jendela ruang
sidang,
tampak kebanyakan mereka memegang rokok
dengan tangan kanan,
cuma sedikit yang memegang dengan tangan
kiri.
…….
Banyak yang diam-diam membunuh tuhan-
tuhan kecil yang kepalanya berapi itu, yaitu
ujung rokok mereka.

Berdasarkan kutipan bait puisi di atas bahwa apa


yang dimaksud dalam puisi tentang sesuatu yang diyakini,
dipuja, dan memiliki ukuran sembilan sentimeter tidak lain
adalah rokok. Hal itu direpresentasikan di dalam puisi
dengan menggambarkan cara para perokok lebih banyak
memegang rokok dengan tangan kanan. Perokok juga
biasanya membawa rokok ke mana-mana seolah-olah
seperti sesuatu yang begitu penting dan sangat berarti bagi
kehidupannya. Sehingga di dalam puisi, rokok digambar-
336| Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya
ISBN 978-602-61725-2-5

kan seperti tuhan yang dipuja, diagungkan, dan menguasai


para penikmatnya.
Rokok memang memiliki efek candu yang
menyebabkan penikmatnya menjadi ketergantungan. Di
dalam rokok terdapat zat nikotin yang dapat menyebabkan
ketagihan bagi para peikmatnya. Dalam PP RI No 109
tahun 2012 dijelaskan bahwa nikotin adalah zat atau bahan
senyawa pyrrolidine yang terdapat alam nicotina tabacum,
nikotina rustica, dan spesies lainnya atau sintetisnya yang
bersifat adiktif dapat mengakibatkan ketergantungan.
Adapun zat adiktif adalah bahan yang menyebabkan adiksi
atau ketergantungan yang membahayakan kesehatan
dengan ditandai perubahan perilaku, kognitif, dan feno-
mena fisiologis, keinginan kuat untuk mengonsumsi bahan
tersebut, kesulitan dalam mengendalikan penggunannya,
memberi prioritas pada penggunaan bahan tersebut
daripada kegiatan lain, meningkatnya toleransi dan dapat
menyebabkan keadaaan gejala putus zat.
Rokok menjadi benda yang begitu dibutuhkan dan
selalu melekat pada diri para pecandunya. Di mana-mana
rokok dibawa dan dinikmati oleh semua lapisan masya-
rakat di Indonesia. Digambarkan dalam puisi bahwa para
perokok di Indonesia telah merambah di berbagai kalang
baik tua maupun muda, semua elemen masyarakat, dan
dilakukan di berbagai tempat.
Indonesia adalah sorga luar biasa ramah bagi
perokok,
Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya | 337
Seminar Nasional KABASTRA II

………..
Indonesia adalah semacam firdaus-jannatu-na’im
sangat ramah bagi perokok,
……………
Negeri kita ini sungguh nirwana kayangan para
dewa-dewa bagi perokok,
…………
Indonesia adalah sorga kultur pengembangbiakan
nikotin paling subur di dunia, dan kita yang tak
langsung menghirup sekali pun asap tembakau itu,
bisa ketularan kena.

Representasi masalah rokok di Indonesia dalam


puisi menunjukkan tentang tingginya tingkat kosumsi
rokok di Indonesia. Di dalam pusi diibaratkan bahwa
Indonesia telah menjadi surganya para perokok. Bahkan
dijelaskan bahwa Indonesia menjadi tempat pengembang-
biakan nikotin yang subur. Hal itu berarti bahwa di
Indonesia tidak hanya tempat untuk meluaskan pemasaran
namun juga yang memproduksi dan menyiapkan genersasi
para pecandunya. Fakta tersebut dapat dilihat berdasarkan
riset ‚The Head of the Agency for Tobacco Control and the
Indonesian Public Health Association‛ yang menyebutkan
pada tahun 2015 sebesar 51,1 % rakyat Indonesia adalah
perokok aktif, tertinggi di ASEAN. Hal ini sangat jauh
berbeda dengan negara-negara tetangga, misalnya: Brunei

338| Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya
ISBN 978-602-61725-2-5

Darusallam 0,06% dan Kamboja 1,15% (Surojo, Tempo.com,


2015).
Semua itu dapat dapat diterima akal manusia
karena pada kenyataanya fenomena orang merokok di
Indonesia dapat ditemukan dengan mudah. Dalam Puisi
Sembilan Senti, penggambaran tentang siapa saja yang
menjadi pecandu rokok didasarkan pada latar belakang
pekerjaan masyarakat dan ruang lingkup interaksi sosial-
nya dalam bermasyarakat. Seperti yang telah dipahmi
bahwa fakta sosial dapat ditemukan berdasarkan hubung-
an atau interaksi manusia dengan manusia lainnya, manu-
sia dengan alam, dan manusia dengan budaya yang men-
jadi ruang lingkup sosialnya.
Menurut Surojo (Tempo.com, 2015) menjelaskan
bahwa sebagian besar perokok Indonesia berasal dari
masyarakat golongan lemah. Pada tahun 2013, 43,8%
perokok berasal dari golongan lemah; 37,7% perokok hanya
memiliki ijazah SD; petani, nelayan dan buruh mencakup
44,5% perokok aktif. 33,4% perokok aktif berusia di antara
30 hingga 34 tahun. Dalam puisi representasi tentang fakta
para perokok di Indonesia digambarkan berasal dari
kalangan petani, pekerja pabrik, pekerja perkebunan,
nelayan, bahkan tukang penggali kubur juga tidak luput
dari pengamatan.

Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya | 339
Seminar Nasional KABASTRA II

Di sawah petani merokok,


di pabrik pekerja merokok,

……
di perkebunan pemetik buah kopi merokok,
di perahu nelayan penjaring ikan merokok,
di pabrik petasan pemilik modalnya merokok,

di pekuburan sebelum masuk kubur orang merokok.


…....

Kutipan bait puisi di atas merepresentasikan


tentang para perokok yang bekerja di sektor industri dan
pertanian. Bersamaan dengan penggambaran tentang para
perokok, tentang tempat dimana biasanya mereka merokok
juga digambarkan dalam puisi. Di tempat-tempat pekerja-
an seperti di sawah, di perkebunan, di atas perahu, dan di
pekuburan, pada kenyataannya sejauh ini belum ada
peraturan yang mengaturnya. Sehingga, saat ini pun
perokok di kalangan yang bekerja di sektor tersebut masih
dapat dengan bebas merokok di area mereka bekerja. Hal
ini tentunya juga membuktikan bahwa mengapa tingkat
yang paling tinggi perokok ada di kalangan yang profesi
tersebut, karena memang tidak ada aturan yang mengatur-
nya dan jumlahnya cukup banyak di Indonesia.

Di dalam puisi juga merepresentasikan tentang


perokok dari kalangan pegawai pemerintahan seperti, para

340| Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya
ISBN 978-602-61725-2-5

mentri, para nggota DPR, Mahkamah Agung. Berbeda


dengan fenomena orang merokok di sektor pertanian, di
sektor pemerintahan sudah ada peraturan tentang larangan
merokok atau kawasan bebas rokok. Bahkan saat ini sudah
semakin ketat. Namun demikian, masih saja terjadi pelang-
garan terhadap aturan-aturan tersebut.
Berbagai pelanggaran-pelanggaran atas aturan
tersebut dapat ditemuai di berbagai pemberitaan diantara-
nya adalah berita tentang mentri yang kedapatan merokok
di Istana Merdeka. Usai pengumuman Kabinet Kerja di
halaman belakang Istana Merdeka, Minggu tanggal 26
Oktober 2014, Menteri Kelautan dan Perikanan, didapati
para wartawan sedang menghisap rokok dengan santainya.
Sementara Menteri Tenaga Kerja, menadapatkan teguran
dari Paspampres karena diketahui merokok di area Istana
Merdeka. (Indonesia. Tempo.co, 2014). Selain itu, ada juga
pemberitaan tentang anggota DPR yang merokok di dalam
ruangan yang seharusnya tidak diperbolehkan merokok.
Diberitakan bahwa, Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah
menyesalkan sikap anggota Komisi II DPR yang merokok
di ruang kerja Gubernur Lampung. Terlebih lagi, sudah
ada Peraturan Gubernur tentang Kawasan Tanpa Rokok
(KTR) di Lampung. Menurutnya rombongan anggota
Komisi II DPR itu bisa saja dikenai sanksi dari Mahkamah
Kehormatan Dewan (MKD) DPR RI. Sikap mereka yang
merokok di ruang kerja Gubernur bisa dianggap sebagai
pelanggaran etika (Kompas.com, 2015). Fakta-fakta sosial

Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya | 341
Seminar Nasional KABASTRA II

tentang para perokok di kalangan pemrintahan tersebut


direpresentasikan di dalam potongan bait puisi berikut ini:
di kantor pegawai merokok,
di kabinet menteri merokok,
di reses parlemen anggota DPR merokok,

di Mahkamah Agung yang bergaun toga merokok,


hansip-bintara-perwira nongkrong merokok,
………

Kutipan bait di atas menggambarkan tidak hanya


pegawai sipil pemerintahan yang menjadi pecandu rokok,
namun disinggung juga perokok di kalangan hansip,
bintara, dan perwira. Fakta sosial tersebut dapat ditemukan
dalam berita-berita dari media masa, salah satunya adanya
berita tentang TNI yang ketahuan merokok di dalam kereta
api. Oknum TNI yang berpakaian sipil bersama istri dan
anaknya diturunkan dari KA Prameks di Stasiun Rewulu,
Sedayu, Bantul oleh petugas Polsuska. Hal itu, karena
sudah ada larangan merokok di dalam kereta api. Manager
Humas PT KAI Daop 6 Yogyakarta, Eko Budiyanto
mengatakan tindakan petugas Posuska yang menurunkan
penumpang tersebut sudah sesuai prosedur. Karena siapa-
pun baik itu masinis, kondektur, semua penumpang baik
sipil maupun militer yang menumpang kereta api harus
taat pada aturan yang berlaku.(Detik.com, 2015).

342| Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya
ISBN 978-602-61725-2-5

Relita tentang perokok yang merokok di kereta


tersebut sekaligus menunjukkan bahwa para perokok di
Indonesia melakukan aktifitas merokok di dalam alat
transportasi umum seperti di angkutan kota, bus, kereta,
kapal, dan di ‘andong’ (kereta kuda). Perhatikan kutipan
bait puisi berikut ini:
Di angkot Kijang penumpang merokok,

di bis kota sumpek yang berdiri yang duduk orang


bertanding merokok,
di loket penjualan karcis orang merokok,

di kereta api penuh sesak orang festival merokok,


di kapal penyeberangan antar pulau penumpang
merokok,

di andong Yogya kusirnya merokok,


………….

Ada berbagai jenis alat transportasi yang direpe-


resentasikan di dalam puisi sebagai tempat dimana dapat
ditemukan perokok. Meskipun di dalam beberapa alat
taransportasi umum yang digambarkan dalam puisi
tersebut sudah ada peraturan tentang larangan merokok
atau kawasan bebas rokok, namun masih saja sering
ditemukan orang merokok dengan begitu bebasnya. Selain
itu, jika dicermati pada bait di atas juga terdapat penggam-
baran tentang orang merokok di loket tempat pembelian
karcis. Hal itu menunjukkan tidak hanya di dalam sarana
Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya | 343
Seminar Nasional KABASTRA II

transportasi umum orang biasa merokok, namun di ruang-


ruang publik seperti di loket penjualan karcis, pasar,
warung, restoran, dan lain sebagainya.
Di pasar orang merokok,
di warung Tegal pengunjung merokok,
di restoran, di toko buku orang merokok,

di kafe di diskotik para pengunjung merokok.


………..

Sampai saat ini masih dapat ditemui orang bebas


merokok terutama di pasar dan di warung makan, karena
masih minimnya peraturan larangan merokok dan pene-
gakannya. Di restoran, toko buku, atau kafe yang digam-
barkan dalam pusi juga ditemukan orang merokok karena
memang tidak ada peraturan khusus dan sifatnya juga
tidak resmi, hanya himbauan , bukan peraturan yang di-
dasarkan pada undang-undang.

Fakta tentang orang merokok di tempat tersebut


dapat dijumpai dengan mudah bahkan hingga saat ini.
Menurut data dari litbang Kompas dalam sebuah jajak
pendapat publik Ibu Kota pada bulan Juni 2016, menun-
jukkan bagaimana sebagian besar responden (74,05 persen)
masih sering melihat orang merokok di kawasan pubik
yang telah ditentukan dilarang merokok.Ketua Harian
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus
Abadi mengatakan, penerapan kawasan dilarang merokok

344| Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya
ISBN 978-602-61725-2-5

(KDM) di Ibu Kota nyaris jalan di tempat (Megapolitan.


Kompas.com).
Terkait masalah peraturan kawasan larangan
merokok saat ini sebenrnya sudah semakin banyak diran-
cang termasuk di dunia pendidikan, kesehatan dan olah
raga. Peraturan-peraturan itu sudah banyak dibuat dan
sanksinya juga cukup berat. Namun demikian, seperti telah
dijelaskan, bahwa beberapa diantaranya masih saja
terdapat perokok yang tidak mematuhi.
Di dunia pendidikan, pada bulan Juli 2017 terjadi
peristiwa siswa merokok di kealas yang cukup meng-
hebohkan masyarakat. Pihak SMK PGRI 38 Jakarta
mengakui kejadian siswa merokok saat kelas berlangsung
terjadi di sekolah tersebut. Sekolah lalu mengambil langkah
tegas dengan mengeluarkan siswa yang meng-upload foto
kegiatan merokok. Kejadian tersebut terjadi pada Senin
(24/7/2017) lalu. Tiga siswa kelas X yang mengunggah foto
bergaya sedang merokok di dalam kelas ketika prosese
belajar-mengajar berlangsung. Hal itu diketahui karena
pada back ground foto terdapat guru yang sedang menulis
dan menghadap papan tulis (Detik.news.com).
Realita tentang siswa merokok di sekolahan
direpresentasikan di dalam puisi. Digambarkan siswa yang
merokok adalah siswa SMU yang mencuri-curi kesempatan
merokok di balik pagar sekolah. Bahkan digambarkan,
guru pun merokok di ruang kepala sekolah.

Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya | 345
Seminar Nasional KABASTRA II

Di balik pagar SMU murid-murid mencuri-curi


merokok,
di ruang kepala sekolah…ada guru merokok,
di kampus mahasiswa
di ruang kuliah dosen merokok,

di rapat POMG orang tua murid merokok,


…..

Representasi tentang adanya perokok aktif di dunia


pendidikan dalam puisi telah begitu memprihatinkan.
Digambarkan tidak hanya pada tingkat sekolah SMA,
namun di jenjang perguruan Tinggi, bahkan di sekolah
yang siswanya masih erusia sangat muda yaitu di sekolah
dasar (SD). Dalam puisi digambarkan bahwa di kampus
mahasiswa bahkan parahnya dosen lah yang merokok di
dalam kelas. Di sekolah dasar pada saaat rapat Persatuan
Orang Tua Murid dan Guru (POMG) orang tua murid
merokok.
Di dunia kesehatan juga tidak luput dengan realita
para perokok yang merokok sembarangan, salah satunya
terjadi di Kalimantan. Sebanyak sebelas orang pengunjung
dan pasien yang sedang asik merokok di Kawasan Rumah
Sakit Doris Sylvanus Palangkaraya, Kalimantan Tengah
diamankan petugas tim gabungan satpol PP, TNI dan Polri
yang melakukan razia, Rabu (19/10/2016). Kegiatan
penegakan perda tentang larangan merokok pada kawasan

346| Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya
ISBN 978-602-61725-2-5

tertentu tersebut, dilakukan dalam rangka penegakan


Perda No 3/2014 pasal 22 dan Perwali Kota Palang-
karaya No 9 tahun 2013 tentang kawasan tanpa rokok.
Sebanyak 24 orang anggota Pol PP, dan 2 orang TNI serta
enam orang anggota Polri melakukan penyisiran di
kawasan RS Doris Sylvanus Palangkaraya untuk mencari
para pelanggar perda kawasan tanpa rokok tersebut
(Banjarmasin.Tribunnews.com, 2016).
Fakta tentang orang merokok di tempat-tempat
fasilitas kesehatan juga terepresentasi dalam pusi.
Di puskesmas pedesaan orang kampung merokok,

di apotik yang antri obat merokok,


di panti pijat tamu-tamu disilahkan merokok,

di ruang tunggu dokter pasien merokok,

Di dalam kutipan puisi di atas cukup jelas dan rinci


menyebutkan tentang para perokok yang merokok di tem-
pat fasilitas kesehatan. Disebutkan bahwa orang merokok
di puskesmas, di apotik, di panti pijat, dan di ruang tunggu
dokter. Hal ini menunjukkan bahwa para perokok di
Indonesia sudah begitu parah, bahkan di dunia kesehatan
pun perokok tidak memerdulikan dan menyadari tentang
bahaya rokok.
Selain di dunia kesehatan, perokok aktif juga dapat
ditemukan di dunia olah raga. Di dunia olah raga misalnya
cabang olah raga bola, para pemainnya, penonton, bahkan

Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya | 347
Seminar Nasional KABASTRA II

pelatihnya banyak yang menjadi perokok aktif. Pada tahun


2012 lalu, seorang mentri di era SBY, bernama Nafsiah
Mboi menyatakan, rokok menjadi salah satu penyebab
tenggelamnya prestasi Timnas Indonesia. Sebab racun
nikotin yang melekat paru-paru akan menyebabkan masa-
lah kesehatan dan tentu saja akan menyulitkan pemain
mengukir prestasi (www.merdeka,com. 2012). Fakta
tentang rokok tersebut juga dapat ditemukan dalam puisi.
Istirahat main tenis orang merokok,
di pinggir lapangan voli orang merokok,

menyandang raket badminton orang merokok,


pemain bola PSSI sembunyi-sembunyi merokok,

Representasi perokok di dunia olah raga di Indonesia


tidak hanya pada cabang olah raga sepak bola, tetapi di
cabang olah raga tenis, voli, dan badminton. Di dalam
kehidupan senyatanya baik yang memang menjadi atlit
atau hanya sekedar hobi berolah raga, ada yang menjadi
perokok aktif.

SIMPULAN
Puisi Tuhan Sembilan Senti sebagai karya sastra
dapat menjadi sebuah potret atau cerminan sebuah
masyarakat terutama tentang rokok di Indonesia. Melalui
puisi dapat diketahui bahwa fakta sosial tentang rokok di
Indonesia memang telah mecapai tingkat yang begitu
memprihatinkan. Fakta yang direpresentasikan dalam

348| Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya
ISBN 978-602-61725-2-5

puisi Tuhan Sembilan Senti dapat menunjukkan bahwa para


perokok begitu mudah dijumpai di berbagai aspek dan lini
kehidupan masyarakat Indonesia. Sehingga, di dalam pusi,
rokok seolah-olah digambarkan seperti tuhan yang mengu-
asai dan begitu dipuja manusia. Selain itu, fakta-fakta
tentang rokok di Indonesia direpresentasikan cukup detail
dan cermat oleh Taufik Ismail. Melalui puisi, maka fakta-
fakta sosial tentang rokok di Indonesia tidak hanya
diungkapkan melalui data angka-angka, namun dengan
bahasa puisi yang dapat merepresentasikan sebuah feno-
mena sosial secara lebih utuh.
Para perokok di Indonesia telah merambah di
berbagai latar belakang sosial. Perokok dapat ditemukan di
hampir semua sektor pekerjaan dari sektor usaha rendah
sampai pada kalangan yang bekerja di sektor pemeritahan
atau profesi yang tinggi sekalipun. Selain itu, fakta tentang
rokok di Indonesia juga dapat ditemuakan di berbagai
ruang lingkup interaksi sosial masyarakatnya. Berbagai
tempat interaksi sosial seperti pasar, di dalam transportasi
umum, di tempat-tempat pendidikan, dtempat fasilitas
kesehatan, dan lainnya dapat ditemukan para perokok
yang merokok dengan bebas dan tidak menghiraukan
peraturan.

Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya | 349
Seminar Nasional KABASTRA II

DAFTAR PUSTAKA
Faruk, 2012. Metode Penelitian Sastra. Yogyakarta:
PustakaPelajar.
_______,2014. Pengantar Sosiologi Sastra dari Strukturalisme
Genetik sampai Post-Modernisme. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Pradopo, 1988. Beberapa Gagasan dalam Bidang Kritik
Indonesia Modern. Yogyakarta: P.D Lukman.
_______ , 2002. Kritik Sastra Indonesia Modern. Yogyakarta:
Gama Media.
_______ , 2002. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gadjah Mada
Univerdity Press

Artikel berita:
Faturahman,2016. Merokok di Kawasan Rumah Sakit
11Pria Ditangkap dan Disidang.
http://banjarmasin.tribunnews.com/2016/10/19/mero
kok-di-kawasan-rumah-sakit-11-pria-ditangkap-
dan-disidang. Diakses 5 April 2017
Ikhsanuddin. 2015. ‚Fahri: Publik Bisa Protes Anggota DPR
yang Merokok di Ruang Kerja Gubernur‛.
http://nasional.kompas.com/read/2015/08/06/114547
11/Fahri.Publik.Bisa.Protes.Anggota.DPR.yang.Mer
okok.di.Ruang.Kerja.Gubernur Diakses tanggal 3
April 2017.
Leandha, Mei. 2016. ‚Anggota DPRD Diprotes karena
Merokok Saat Rapat Paripurna‛.
http://regional.kompas.com/read/2016/04/20/155431
350| Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya
ISBN 978-602-61725-2-5

31/Anggota.DPRD.diprotes.karena.merokok.saat.ra
pat.paripurna. Diakses tanggal 3 April 2017.
Madani. 2012. ‚Rokok dan Timnas Indonesia yang Sering
Keok‛. https://www.merdeka.com/peristiwa/rokok-
dan-timnas-indonesia-yang-sering-keok.html.
Diakses 5 April 2017
Mustaqim, Ahmad. 2016. ‚SMK PGRI 38 DKI Keluarkan Siswa
yang Unggah Foto Merokok di Kelas‛. Jakarta:
https://news.detik.com/berita/d-3575786/smk-pgri-
38-dki-keluarkan-siswa-yang-unggah-foto-
merokok-di-kelas. Diakses 5 April 2017
Patnistik, Egidius (Ed). ‚Hak Publik yang Masih Terenggut
Asap Beracun‛.
http://megapolitan.kompas.com/read/2016/12/07/160
00001/hak.publik.yang.masih.terenggut.asap.beracu
n.?page=all . Diakses 5 April 2017
Raharjio, Edzan. 2017. Tindakan Turunkan Oknum TNI
yang Merokok di KA Sesuai Prosedur.
https://news.detik.com/berita-jawa-tengah/d-
3592966/tindakan-turunkan-oknum-tni-yang-
merokok-di-ka-sesuai-prosedur. Diakses tanggal 17
Agustus 2017
Yulianto, Agus. 2016. ‚Kepsek Merokok Didenda Rp 5 Juta
di Aceh‛.
http://www.republika.co.id/berita/nasional/daerah/1
6/11/22/oh1d0j396-kepsek-merokok-didenda-rp-5-
juta-di-aceh. Diakses tanggal 3 April 2017

Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya | 351
Seminar Nasional KABASTRA II

352| Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing dalam Kerangka Sastra dan Budaya

Anda mungkin juga menyukai