Anda di halaman 1dari 22

LAPORAN PENDAHULUAN GAGAL GINJAL KRONIK

DI RUMAH SAKIT ISLAM CEMPAKA PUTIH JAKARTA

Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat


Untuk Kegiatan Pelatihan Dialisis Bagi Perawat

Oleh :
Zul Fahmi Akmal

PELATIHAN DIALISIS ANGKATAN 36


PUSDIKLAT PKU MUHAMAMADIYAH JAKARTA
2024
A. DEFINISI
Gagal ginjal kronik atau penyakit renal tahap akhir (ESRD) merupakan
gangguan fungsi renal yang progresif dan irreversible dimana kemampuan
tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan
dan elektrolit, menyebabkan uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lain
dalam darah) (Brunner & Suddarth, 2001).

CRF (Chronic Renal Failure) merupakan gangguan fungsi ginjal yang


progresif dan irreversible, yang menyebabkan kemampuan tubuh gagal untuk
mempetahankan metabolisme dan keseimbangan cairan maupun elektrolit,
sehingga timbul gejala uremia yaitu retensi urea dan sampah nitrogen lain
dalam darah (Smeltzer, 2001).

B. KLASIFIKASI CKD

1. Gagal ginjal kronik / Cronoic Renal Failure (CRF) dibagi 3 stadium :

a. Stadium I : Penurunan cadangan ginjal

1) Kreatinin serum dan kadar BUN normal


2) Asimptomatik
3) Tes beban kerja pada ginjal: pemekatan kemih, tes GFR

b. Stadium II : Insufisiensi ginjal

1) Kadar BUN meningkat (tergantung pada kadar protein dalam diet)


2) Kadar kreatinin serum meningkat
3) Nokturia dan poliuri (karena kegagalan pemekatan)

Ada 3 derajat insufisiensi ginjal:

a) Ringan 40% - 80% fungsi ginjal dalam keadaan normal


b) Sedang 15% - 40% fungsi ginjal normal
c) Kondisi berat 2% - 20% fungsi ginjal normal
c. Stadium III: gagal ginjal stadium akhir atau uremia

1) Kadar ureum dan kreatinin sangat meningkat


2) ginjal sudah tidak dapat menjaga homeostasis cairan dan elektrolit
3) air kemih/ urin isoosmotis dengan plasma, dengan BJ 1,010

2. KDOQI (Kidney Disease Outcome Quality Initiative) merekomendasikan


pembagian CKD berdasarkan stadium dari tingkat penurunan LFG (Laju
Filtrasi Glomerolus) :

a. Stadium 1 : kelainan ginjal yang ditandai dengan albuminaria persisten


dan LFG yang masih normal ( > 90 ml / menit / 1,73 m2)
b. Stadium 2 : Kelainan ginjal dengan albuminaria persisten dan LFG
antara 60 -89 mL/menit/1,73 m2)
c. Stadium 3 : kelainan ginjal dengan LFG antara 30-59
mL/menit/1,73m2)
d. Stadium 4 : kelainan ginjal dengan LFG antara
15-29mL/menit/1,73m2)
e. Stadium 5 : kelainan ginjal dengan LFG < 15 mL/menit/1,73m2 atau
gagal ginjal terminal.

C. ETIOLOGI
Gagal ginjal kronik terjadi setelah berbagai macam penyakit yang merusak
nefron ginjal. Sebagian besar merupakan penyakit parenkim ginjal difus dan
bilateral.

1. Infeksi, misalnya Pielonefritis kronik.


2. Penyakit peradangan, misalnya Glomerulonefritis.
3. Penyakit vaskuler hipertensif, misalnya Nefrosklerosis benigna,
nefrosklerosis maligna, stenosis arteri renalis.
4. Gangguan jaringan penyambung, seperti lupus eritematosus sistemik
(SLE), poli arteritis nodosa, sklerosis sistemik progresif.
5. Gangguan kongenital dan herediter, misalnya Penyakit ginjal polikistik,
asidosis tubuler ginjal.
6. Penyakit metabolik, seperti DM, gout, hiperparatiroidisme, amiloidosis.
7. Nefropati toksik, misalnya Penyalahgunaan analgetik, nefropati timbale.
8. Nefropati obstruktif

D. PATOFISIOLOGI
Pada waktu terjadi kegagalan ginjal sebagian nefron (termasuk glomerulus
dan tubulus) diduga utuh sedangkan yang lain rusak (hipotesa nefron utuh).
Nefron-nefron yang utuh hipertrofi dan memproduksi volume filtrasi yang
meningkat disertai reabsorpsi walaupun dalam keadaan penurunan GFR / daya
saring. Metode adaptif ini memungkinkan ginjal untuk berfungsi sampai ¾
dari nefron–nefron rusak. Beban bahan yang harus dilarut menjadi lebih besar
daripada yang bisa direabsorpsi berakibat diuresis osmotik disertai poliuri dan
haus. Selanjutnya karena jumlah nefron yang rusak bertambah banyak oliguri
timbul disertai retensi produk sisa. Titik dimana timbulnya gejala-gejala pada
pasien menjadi lebih jelas dan muncul gejala-gejala khas kegagalan ginjal bila
kira-kira fungsi ginjal telah hilang 80% - 90%. Pada tingkat ini fungsi renal
yang demikian nilai kreatinin clearance turun sampai 15 ml/menit atau lebih
rendah itu.
Fungsi renal menurun, produk akhir metabolisme protein (yang normalnya
diekskresikan ke dalam urin) tertimbun dalam darah. Terjadi uremia dan
mempengaruhi setiap sistem tubuh. Semakin banyak timbunan produk
sampah, akan semakin berat.

1. Gangguan Klirens Ginjal


Banyak masalah muncul pada gagal ginjal sebagai akibat dari
penurunan jumlah glomeruli yang berfungsi, yang menyebabkan
penurunan klirens substansi darah yang sebenarnya dibersihkan oleh
ginjal
Penurunan laju filtrasi glomerulus (GFR) dapat dideteksi dengan
mendapatkan urin 24-jam untuk pemeriksaan klirens kreatinin.
Menurut filtrasi glomerulus (akibat tidak berfungsinya glomeruli)
klirens kreatinin akan menurunkan dan kadar kreatinin akan
meningkat. Selain itu, kadar nitrogen urea darah (BUN) biasanya
meningkat. Kreatinin serum merupakan indicator yang paling sensitif
dari fungsi karena substansi ini diproduksi secara konstan oleh tubuh.
BUN tidak hanya dipengaruhi oleh penyakit renal, tetapi juga oleh
masukan protein dalam diet, katabolisme (jaringan dan luka RBC), dan
medikasi seperti steroid.
2. Retensi Cairan dan Ureum
Ginjal juga tidakmampu untuk mengkonsentrasi atau mengencerkan
urin secara normal pada penyakit ginjal tahap akhir, respon ginjal yang
sesuai terhadap perubahan masukan cairan dan elektrolit sehari-hari,
tidak terjadi. Pasien sering menahan natrium dan cairan, meningkatkan
resiko terjadinya edema, gagal jantung kongestif, dan hipertensi.
Hipertensi juga dapat terjadi akibat aktivasi aksis rennin angiotensin
dan kerja sama keduanya meningkatkan sekresi aldosteron. Pasien lain
mempunyai kecenderungan untuk kwehilangan garam, mencetuskan
resiko hipotensi dan hipovolemia. Episode muntah dan diare
menyebabkan penipisan air dan natrium, yang semakin memperburuk
status uremik.
3. Asidosis
Dengan semakin berkembangnya penyakit renal, terjadi asidosis
metabolic seiring dengan ketidakmampuan ginjal mengekskresikan
muatan asam (H+) yang berlebihan. Penurunan sekresi asam terutama
akibat ketidakmampuan tubulus gjnjal untuk menyekresi ammonia
(NH3‾) dan mengabsopsi natrium bikarbonat (HCO3) . penurunan
ekskresi fosfat dan asam organic lain juga terjadi
4. Anemia
Sebagai akibat dari produksi eritropoetin yang tidak adekuat,
memendeknya usia sel darah merah, defisiensi nutrisi dan
kecenderungan untuk mengalami perdarahan akibat status uremik
pasien, terutama dari saluran gastrointestinal. Pada gagal ginjal,
produksi eritropoetin menurun dan anemia berat terjadi, disertai
keletihan, angina dan sesak napas.
5. Ketidakseimbangan Kalsium dan Fosfat
Abnormalitas yang utama pada gagal ginjal kronis adalah gangguan
metabolisme kalsium dan fosfat. Kadar serum kalsium dan fosfat tubuh
memiliki hubungan saling timbal balik, jika salah satunya meningkat,
maka yang satu menurun. Dengan menurunnya filtrasi melalui
glomerulus ginjal, terdapat peningkatan kadar serum fosfat dan
sebaliknya penurunan kadar serum kalsium. Penurunan kadar kalsium
serum menyebabkan sekresi parathormon dari kelenjar paratiroid.
Namun, pada gagal ginjal tubuh tak berespon secara normal terhadap
peningkatan sekresi parathormon dan mengakibatkan perubahan pada
tulang dan pebyakit tulang. Selain itu juga metabolit aktif vitamin D
(1,25-dehidrokolekalsiferol) yang secara normal dibuat di ginjal
menurun.
6. Penyakit Tulang Uremik
Disebut Osteodistrofi renal, terjadi dari perubahan kompleks
kalsium, fosfat dan keseimbangan parathormon.
E. PATWAYS
F. TANDA DAN GEJALA

1. Kelainan hemopoesis, dimanifestasikan dengan anemia

a. Retensi toksik uremia → hemolisis sel eritrosit, ulserasi mukosa sal.cerna,


gangguan pembekuan, masa hidup eritrosit memendek, bilirubuin serum
meningkat/normal, uji comb’s negative dan jumlah retikulosit normal.
b. Defisiensi hormone eritropoetin
Ginjal sumber ESF (Eritropoetic Stimulating Factor) → def. H eritropoetin
→ Depresi sumsum tulang → sumsum tulang tidak mampu bereaksi terhadap
proses hemolisis/perdarahan → anemia normokrom normositer.

2. Kelainan Saluran cerna

a. Mual, muntah, hicthcup


dikompensasi oleh flora normal usus → ammonia (NH3) → iritasi/rangsang
mukosa lambung dan usus.
b.Stomatitis uremia
Mukosa kering, lesi ulserasi luas, karena sekresi cairan saliva banyak
mengandung urea dan kurang menjaga kebersihan mulut.
c. Pankreatitis
Berhubungan dengan gangguan ekskresi enzim amylase.

3. Kelainan mata
4. Kardiovaskuler :

a. Hipertensi
b.Pitting edema
c. Edema periorbital
d.Pembesaran vena leher
e. Friction Rub Pericardial

5. Kelainan kulit

a. Gatal terutama pada klien dgn dialisis rutin karena:


b. Toksik uremia yang kurang terdialisis
c. Peningkatan kadar kalium phosphor
d. Alergi bahan-bahan dalam proses HD
e. Kering bersisik karena ureum meningkat menimbulkan penimbunan kristal
urea di bawah kulit.
f. Kulit mudah memar
g. Kulit kering dan bersisik
h. rambut tipis dan kasar

6. Neurologi :

a. Kelemahan dan keletihan


b.Konfusi
c. Disorientasi
d.Kejang
e. Kelemahan pada tungkai
f. Rasa panas pada telapak kaki
g.Perubahan Perilaku

1. Kardiomegali.
Tanpa memandang penyebabnya terdapat rangkaian perubahan fungsi
ginjal yang serupa yang disebabkan oleh desstruksi nefron progresif.
Rangkaian perubahan tersebut biasanya menimbulkan efek berikut pada
pasien : bila GFR menurun 5-10% dari keadaan normal dan terus mendekati
nol, maka pasien menderita apa yang disebut Sindrom Uremik

G. MANIFESTASI SINDROM UREMIK


Berikut ini manifestasi sindrom uremik ginjal

Sistem Tubuh Manifestasi


Biokimia § Asidosis Metabolik (HCO3 serum 18-20 mEq/L)
§ Azotemia (penurunan GFR, peningkatan BUN,
kreatinin)
§ Hiperkalemia
§ Retensi atau pembuangan Natrium
§ Hipermagnesia
§ Hiperurisemia

Perkemihan& Kelamin § Poliuria, menuju oliguri lalu anuria


§ Nokturia, pembalikan irama diurnal
§ Berat jenis kemih tetap sebesar 1,010
§ Protein silinder
§ Hilangnya libido, amenore, impotensi dan sterilitas

Kardiovaskular § Hipertensi
§ Retinopati dan enselopati hipertensif
§ Beban sirkulasi berlebihan
§ Edema
§ Gagal jantung kongestif
§ Perikarditis (friction rub)
§ Disritmia
Pernafasan § Pernafasan Kusmaul, dispnea
§ Edema paru
§ Pneumonitis

Hematologik § Anemia menyebabkan kelelahan


§ Hemolisis
§ Kecenderungan perdarahan
§ Menurunnya resistensi terhadap infeksi (ISK,
pneumonia,septikemia)

Kulit § Pucat, pigmentasi


§ Perubahan rambut dan kuku (kuku mudah patah,
tipis, bergerigi, ada garis merah biru yang berkaitan
dengan kehilangan protein)
§ Pruritus
§ “kristal” uremik
§ kulit kering
§ memar

Saluran cerna § Anoreksia, mual muntah menyebabkan penurunan


BB
§ Nafas berbau amoniak
§ Rasa kecap logam, mulut kering
§ Stomatitis, parotitid
§ Gastritis, enteritis
§ Perdarahan saluran cerna
§ Diare

Metabolisme § Protein-intoleransi, sintesisi abnormal


intermedier § Karbohidrat-hiperglikemia, kebutuhan insulin
menurun
§ Lemak-peninggian kadar trigliserida

Neuromuskular § Mudah lelah


§ Otot mengecil dan lemah
§ Susunan saraf pusat :
§ Penurunan ketajaman mental
§ Konsentrasi buruk
§ Apati
§ Letargi/gelisah, insomnia
§ Kekacauan mental
§ Koma
§ Otot berkedut, asteriksis, kejang
§ Neuropati perifer :
§ Konduksi saraf lambat, sindrom restless leg
§ Perubahan sensorik pada ekstremitas – parestesi
§ Perubahan motorik – foot drop yang berlanjut
menjadi paraplegi

Gangguan kalsium dan § Hiperfosfatemia, hipokalsemia


rangka § Hiperparatiroidisme sekunder
§ Osteodistropi ginjal
§ Fraktur patologik (demineralisasi tulang)
§ Deposit garam kalsium pada jaringan lunak (sekitar
sendi, pembuluh darah, jantung, paru-paru)
§ Konjungtivitis (uremik mata merah)

H. KOMPLIKASI

1. Hiperkalemia akibat penurunana ekskresi, asidosis metabolic, katabolisme dan


masukan diet berlebih.
2. Perikarditis, efusi pericardial, dan tamponade jantung akibat retensi produk
sampah uremik dan dialysis yang tidak adekuat
3. Hipertensi akibat retensi cairan dan natrium serta malfungsi system rennin-
angiotensin-aldosteron
4. Anemia akibat penurunan eritropoetin, penurunan rentang usia sel darah merah,
perdarahan gastrointestinal akibat iritasi toksin dna kehilangan drah selama
hemodialisa
5. Penyakit tulang serta kalsifikasi metastatik akibat retensi fosfat, kadar kalsium
serum yang rendah dan metabolisme vitamin D abnormal.
6. Asidosis metabolic
7. Osteodistropi ginjal
8. Sepsis
9. Neuropati perifer

I. PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Laboratorium

a. Pemeriksaan penurunan fungsi ginjal

1) Ureum kreatinin.
2) Asam urat serum.

b. Identifikasi etiologi gagal ginjal


c. Analisis urin rutin
d. Mikrobiologi urin
e. Kimia darah
f. Elektrolit
g. Imunodiagnosis
h. Identifikasi perjalanan penyakit

1)Progresifitas penurunan fungsi ginjal


2)Ureum kreatinin, Clearens Creatinin Test (CCT)
GFR / LFG dapat dihitung dengan formula Cockcroft-Gault:

a) Nilai normal :
Laki-laki : 97 - 137 mL/menit/1,73 m3 atau 0,93 - 1,32 mL/detik/m2
Wanita : 88-128 mL/menit/1,73 m3 atau 0,85 - 1,23 mL/detik/m2
Hemopoesis : Hb, trobosit, fibrinogen, factor pembekuan
b) Elektrolit : Na+, K+, HCO3-, Ca2+, PO42-, Mg+
c) Endokrin : PTH dan T3,T4
d) Pemeriksaan lain: berdasarkan indikasi terutama faktor pemburuk ginjal,
misalnya: infark miokard.

2. Diagnostik

a. Etiologi CKD dan terminal

1) Foto polos abdomen.


2) USG.
3) Nefrotogram.
4) Pielografi retrograde.
5) Pielografi antegrade.
6) Mictuating Cysto Urography (MCU).

b. Diagnosis pemburuk fungsi ginjal

1) RetRogram
2) USG.

J. PENATALAKSANAAN MEDIS

1. Terapi Konservatif
Perubahan fungsi ginjal bersifat individu untuk setiap klien Cronic renal
Desease (CKD) dan lama terapi konservatif bervariasi dari bulan sampai tahun.

Tujuan terapi konservatif :

a. Mencegah memburuknya fungsi ginjal secara profresi.


b.Meringankan keluhan-keluhan akibat akumulasi toksi asotemia.
c. Mempertahankan dan memperbaiki metabolisme secara optimal.
d.Memelihara keseimbangan cairan dan elektrolit.

Prinsip terapi konservatif :

a. Mencegah memburuknya fungsi ginjal.

1) Hati-hati dalam pemberian obat yang bersifat nefrotoksik.


2) Hindari keadaan yang menyebabkan diplesi volume cairan ekstraseluler
dan hipotensi.
3) Hindari gangguan keseimbangan elektrolit.
4) Hindari pembatasan ketat konsumsi protein hewani.
5) Hindari proses kehamilan dan pemberian obat kontrasepsi.
6) Hindari instrumentasi dan sistoskopi tanpa indikasi medis yang kuat
7) Hindari pemeriksaan radiologis dengan kontras yang kuat tanpa indikasi
medis yang kuat.

b. Pendekatan terhadap penurunan fungsi ginjal progresif lambat

1) Kendalikan hipertensi sistemik dan intraglomerular.


2) Kendalikan terapi ISK.
3) Diet protein yang proporsional.
4) Kendalikan hiperfosfatemia.
5) Terapi hiperurekemia bila asam urat serum > 10mg%.
6) Terapi hIperfosfatemia.
7) Terapi keadaan asidosis metabolik.
8) Kendalikan keadaan hiperglikemia.

c. Terapi alleviative gejala asotemia

1) Pembatasan konsumsi protein hewani.


2) Terapi keluhan gatal-gatal.
3) Terapi keluhan gastrointestinal.
4) Terapi keluhan neuromuskuler.
5) Terapi keluhan tulang dan sendi.
6) Terapi anemia.
7) Terapi setiap infeksi.

2. Terapi simtomatik

a. Asidosis metabolik
Jika terjadi harus segera dikoreksi, sebab dapat meningkatkan serum K+
(hiperkalemia ) :

1) Suplemen alkali dengan pemberian kalsium karbonat 5 mg/hari.


2) Terapi alkali dengan sodium bikarbonat IV, bila PH < atau sama
dengan 7,35 atau serum bikarbonat < atau sama dengan 20 mEq/L.

b. Anemia
1) Anemia Normokrom normositerBerhubungan dengan retensi toksin
polyamine dan defisiensi hormon eritropoetin (ESF: Eritroportic
Stimulating Faktor). Anemia ini diterapi dengan pemberian
Recombinant Human Erythropoetin ( r-HuEPO ) dengan pemberian
30-530 U per kg BB.
2) Anemia hemolisisBerhubungan dengan toksin asotemia. Terapi yang
dibutuhkan adalah membuang toksin asotemia dengan hemodialisis
atau peritoneal dialisis.
3) Anemia Defisiensi Besi
Defisiensi Fe pada CKD berhubungan dengan perdarahan saluran
cerna dan kehilangan besi pada dialiser ( terapi pengganti hemodialisis
). Klien yang mengalami anemia, tranfusi darah merupakan salah satu
pilihan terapi alternatif ,murah dan efektif, namun harus diberikan
secara hati-hati.

Indikasi tranfusi PRC pada klien gagal ginjal :

a)HCT < atau sama dengan 20 %


b) Hb < atau sama dengan 7 mg5
c)Klien dengan keluhan : angina pektoris, gejala umum anemia dan high
output heart failure.

Komplikasi tranfusi darah :

a) Hemosiderosis
b) Supresi sumsum tulang
c) Bahaya overhidrasi, asidosis dan hiperkalemia
d) Bahaya infeksi hepatitis virus dan CMV
e) Pada Human Leukosite antigen (HLA) berubah, penting untuk rencana
transplantasi ginjal.

c. Kelainan Kulit

1) Pruritus (uremic itching)


Keluhan gatal ditemukan pada 25% kasus CKD dan terminal, insiden
meningkat pada klien yang mengalami HD.
Keluhan :

a) Bersifat subyektif
b) Bersifat obyektif : kulit kering, prurigo nodularis, keratotic papula
dan lichen symply

2) Easy Bruishing
Kecenderungan perdarahan pada kulit dan selaput serosa berhubungan
denga retensi toksin asotemia dan gangguan fungsi trombosit. Terapi
yang diperlukan adalah tindakan dialisis.

d. Kelainan Neuromuskular
Terapi pilihannya :

1) HD reguler.
2) Obat-obatan : Diasepam, sedatif.
3) Operasi sub total paratiroidektomi.

e. Hipertensi
Bentuk hipertensi pada klien dengan GG berupa : volum dependen
hipertensi, tipe vasokonstriksi atau kombinasi keduanya. Program
terapinya meliputi :

1)Restriksi garam dapur.


2)Diuresis dan Ultrafiltrasi.
3)Obat-obat antihipertensi.

3. Terapi pengganti
Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium 5,
yaitu pada LFG kurang dari 15 ml/menit. Terapi tersebut dapat berupa
hemodialisis, dialisis peritoneal, dan transplantasi ginjal (Suwitra, 2006).
a. Dialisis yang meliputi :

1)Hemodialisa
Tindakan terapi dialisis tidak boleh terlambat untuk mencegah gejala
toksik azotemia, dan malnutrisi. Tetapi terapi dialisis tidak boleh terlalu
cepat pada pasien GGK yang belum tahap akhir akan memperburuk faal
ginjal (LFG). Secara khusus, indikasi HD adalah

a) Pasien yang memerlukan hemodialisa adalah pasien GGK dan GGA untuk
sementara sampai fungsi ginjalnya pulih.
b)Pasien-pasien tersebut dinyatakan memerlukan hemodialisa apabila
terdapat indikasi:

 Hiperkalemia > 17 mg/lt


 Asidosis metabolik dengan pH darah < 7.2
 Kegagalan terapi konservatif
 Kadar ureum > 200 mg % dan keadaan gawat pasien uremia, asidosis
metabolik berat, hiperkalemia, perikarditis, efusi, edema paru ringan atau
berat atau kreatinin tinggi dalam darah dengan nilai kreatinin > 100 mg %
 Kelebihan cairan
 Mual dan muntah hebat
 BUN > 100 mg/ dl (BUN = 2,14 x nilai ureum )
 Preparat (gagal ginjal dengan kasus bedah )
 Sindrom kelebihan air
 Intoksidasi obat jenis barbiturat

Indikasi tindakan terapi dialisis, yaitu indikasi absolut dan indikasi elektif.
Beberapa yang termasuk dalam indikasi absolut, yaitu perikarditis,
ensefalopati/ neuropati azotemik, bendungan paru dan kelebihan cairan
yang tidak responsif dengan diuretik, hipertensi berat, muntah persisten,
dan Blood Uremic Nitrogen (BUN) > 120 mg% atau > 40 mmol per liter
dan kreatinin > 10 mg% atau > 90 mmol perliter. Indikasi elektif, yaitu
LFG antara 5 dan 8 mL/menit/1,73m², mual, anoreksia, muntah, dan
astenia berat (Sukandar, 2006).
Menurut konsensus Perhimpunan Nefrologi Indonesia (PERNEFRI)
(2003) secara ideal semua pasien dengan Laju Filtrasi Goal (LFG) kurang
dari 15 mL/menit, LFG kurang dari 10 mL/menit dengan gejala
uremia/malnutrisi dan LFG kurang dari 5 mL/menit walaupun tanpa gejala
dapat menjalani dialisis. Selain indikasi tersebut juga disebutkan adanya
indikasi khusus yaitu apabila terdapat komplikasi akut seperti oedem paru,
hiperkalemia, asidosis metabolik berulang, dan nefropatik diabetik.

Hemodialisis di Indonesia dimulai pada tahun 1970 dan sampai


sekarang telah dilaksanakan di banyak rumah sakit rujukan. Umumnya
dipergunakan ginjal buatan yang kompartemen darahnya adalah kapiler-
kapiler selaput semipermiabel (hollow fibre kidney). Kualitas hidup yang
diperoleh cukup baik dan panjang umur yang tertinggi sampai sekarang 14
tahun. Kendala yang ada adalah biaya yang mahal (Rahardjo, 2006).

b.Dialisis Peritoneal (DP)


Akhir-akhir ini sudah populer Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis
(CAPD) di pusat ginjal di luar negeri dan di Indonesia. Indikasi medik
CAPD, yaitu pasien anak-anak dan orang tua (umur lebih dari 65 tahun),
pasien-pasien yang telah menderita penyakit sistem kardiovaskular, pasien-
pasien yang cenderung akan mengalami perdarahan bila dilakukan
hemodialisis, kesulitan pembuatan AV shunting, pasien dengan stroke, pasien
GGT (gagal ginjal terminal) dengan residual urin masih cukup, dan pasien
nefropati diabetik disertai co-morbidity dan co-mortality. Indikasi non-
medik, yaitu keinginan pasien sendiri, tingkat intelektual tinggi untuk
melakukan sendiri (mandiri), dan di daerah yang jauh dari pusat ginjal
(Sukandar, 2006).
c. Transplantasi ginjal atau cangkok ginjal.
Transplantasi ginjal merupakan terapi pengganti ginjal (anatomi dan faal).
Pertimbangan program transplantasi ginjal, yaitu:

1) Cangkok ginjal (kidney transplant) dapat mengambil alih seluruh


(100%) faal ginjal, sedangkan hemodialisis hanya mengambil alih 70-80%
faal ginjal alamiah
2) Kualitas hidup normal kembali
3) Masa hidup (survival rate) lebih lama
4) Komplikasi (biasanya dapat diantisipasi) terutama berhubungan
dengan obat imunosupresif untuk mencegah reaksi penolakan
5) Biaya lebih murah dan dapat dibatasi

Daftar Pustaka

1. Brunner & Suddarth. 2002. Buku Ajar keperawtan medikal bedah, edisi 8 vol
3. Jakarta: EGC
2. Carpenito. 2001. Rencana Asuhan & Dokumentasi Keperawatan, Diagnosa
keperawatan dan masalah kolaboratif. Jakarta: EGC
3. Johnson, M., et all. 2000. Nursing Outcomes Classification (NOC) Second
Edition. New Jersey: Upper Saddle River
4. Kasuari. 2002. Asuhan Keperawatan Sistem Pencernaan dan Kardiovaskuler
Dengan Pendekatan Patofisiology. Magelang. Poltekes Semarang PSIK
Magelang
5. Mansjoer, A dkk. 2007. Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 1 edisi 3. Jakarta:
Media Aesculapius
6. Mc Closkey, C.J., et all. 1996. Nursing Interventions Classification (NIC)
Second Edition. New Jersey: Upper Saddle River
7. Nanda. 2005. Nursing Diagnoses Definition dan Classification. Philadelpia
8. Rab, T. 2008. Agenda Gawat Darurat (Critical Care). Bandung: Penerbit PT
Alumni
9. Santosa, Budi. 2007. Panduan Diagnosa Keperawatan NANDA 2005-2006.
Jakarta: Prima Medika
10. Udjianti, WJ. 2010. Keperawatan Kardiovaskuler. Jakarta: Salemba Medika

Anda mungkin juga menyukai