Anda di halaman 1dari 29

OLAHRAGA DAN EKONOMI

Untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Sosiologi Olahraga yang di
bimbing Oleh Bapak Dr. Ricky Ferrari Valentino W, S.Pd., M.Pd

Disusun Oleh:

Arlen Cania Meylardi 20520368


Falah Ali Aiman 20520118
Muhammad Naval Febriawan 20520852

4C

PENDIDIKAN JASMANI KESEHATAN DAN REKREASI

SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN PASUNDAN


CIMAHI 2023
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Untuk kasus Indonesia semakin nyata bagaimana efek dari sistem
politik dan pengaruh ekonomi terhadap pendidikan jasmni dan olahraga.
Tulisan sie swan po (1973) dalam kongres ICPHER di Bali, Social and
plitical aspet of physical education and Sports in the Frame Work of
Indonesia National develoment sangat membantu kita untuk memahami
kebijakan pembinaan olahraga nasional. Sejak proklamasi 1945,
Pendidikan jasmani dan olahraga memperoleh tempat dalam masyarakat
dan kehidupan nasional namun pasang surut Pendidikan jasmani dan
olahraga ini sangat dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah yang berbeda-
beda.
Selama perjuangan kemerdekaan, Pendidikan jasmani dan olahraga
diarahkan untuk membentuk pemuda-pemuda militant dengan semangat
nasionalistik untuk mempertahankan proklamasi kemerdekaan Indonesia.
Pada masa itu, Pendidikan jasmani dan olahraga di pandang
berkemampuan untuk membentuk perilaku berdisiplin guna mendukung
perjuangan nasional. Olahraga juga di pandang mampu memperkukuh
integrase bangsa, kesatuan dan persatuan, pandangan inilah yang
selanjutnya mendorong tersenggaranya PON I, 1947 di Solo.
Pada tahun 1947, ketika sejumlah negara asia masih berjuang
untuk merebut kemerdekaannya, Indonesia termasuk negara yang
mendukung gagasan untuk diadakan pertandingan olahraga diantara
bangsa-bangsa asia. Gagasan ini dicetuskan dalam Conference on Asian
Relation tahun 1947 di New Delhi yang hasilnya yaitu di setujuinya Asian
Games I di selenggarakan pada tahu 1951 di New Delhi.
Pada saat ini olahraga sering dilibatkan dalam kancah politik di
Indonesia, dapat terlihat pada saat pemilihan perwakilan rakyat, banyak
terdapat kampanye-kampanye yang secara langsung terlihat dalam
olahraga seperti pemberian spanduk perlengkapan alat olahraga yang tak
lain bertujuan untuk kepentingan politik.
Sering kita jumpai di kota-kota di Indonesia termasuk juga ibu kota
negara masih banyak terdapat kenakalan-kenakalan remaja, dan aturan
tingkat pelajar yang terasa tiada hentinya, untuk mengatasi permasalah
tersebut pemerintahan harus berperan aktif, salah satu kebijakan politik
pemerintah untuk mengurangi kenalakan olahraga, dengan didirikannya
saran tersebut sangat berperan aktif dalam mengurangi kenakalan remaja.
Dalam permasalahan diatas secara tidak langsung olahraga sudah berperan
aktif dalam politik.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa yang dimasud dengan politik?
2. Bagaimana keterkaitan olahraga dan politik?
3. Bagaimana hubungan politik dengan olahraga?
4. Bagaimana hubungan olahragawan dan politik?
5. Bagaimana dampak politik dalam olahraga?

C. TUJUAN
1. Untuk mengetahui peran olahraga sebagai devisa
2. Untuk mengetahui nilai ekonomi dalam olahraga
3. Untuk mengetahui keterkaitan olahraga dan ekonomi
4. Untuk mengetahui strategi manajemen pemasaran olahraga

D. MANFAAT
Makalah ini diharapkan bermanfaat sebagai salah satu sumber ilmiah.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Politik
Politik adalah satu bagian internal dari organisasi olahraga lokal) nasional)
dan internasional dikenal sebagai tubuh-tubuh pengaturan. Konflik sering
muncul ketika orang-orang berhubungan dengan pertanyaan sebagai berikut:
a. Apa persyaratan sebagai olahraga? jika orang dari negara dengan budaya
tradisional ingin berpatisipasi dalam olimpiade) mereka harus belajar
memainkan aktivitas dan permainan popular negara kaya dan makmur)
sehingga merka bergantung pada orang dan organisasi negara kaya. Atlit
harus dapat pengntrolan dari universitas.
b. Apa peranan olahraga sebagai konstruksi sosial dalam men'cptakan
interaksi satu sama lainnya dan mengenal hambatan *isik dilingkungan
dan budaya.
c. Siapa yang berperan mengatur olahragaD badan pemerintah dan sponsor.
d. Selain itu juga ada beberapa pertanyaan lain seperti siapa yang
mengontrol olahraga, games, pertemuan, pertandingan, tournament,
waktu. Dimana event diadakan penanggung jawab serta hadiah yang
akan didistribusikan pada atlet.

B. Keterkaitan Olahraga Dan Politik


Olahraga, politik atau ideologi, sudah tampak betapa olahraga dalam
peradaban modern, bukan lagi sekadar kegiatan yang netral, melainkan kental
sekali kandungan multimakna itu, bahkan sudah tidak terlihat makna olahraga
itu sendiri setelah semuanya terbaur oleh politik, faktor ini sangat
mempengaruhi bukan saja yang ingin di capai, akan tetapi isi dan cara
mengorganisasi kegiatan tersebut. Dan dalam hal ini ditunjukan bagaimana
negara-negara menunjukan bahwa pasang surut prestasi olahraga di pengaruhi
faktor politik.
Jadi dalam perkembangan kemajuan sekarang pengaruh politik cukup
besar terhadap pembinaan olahraga, baik pengaruh itu menimbulkan
kemajuan atau bahkan kemunduran dalam bidang olahraga. Untuk itulah perlu
pemahaman yang lebih terarah pada penekanan bagaimana memasyarakatkan
olahraga agar masyarakat dapat menjadi manusia olahraga yang dapat
mempunyai sifat disiplin, hidup teratur, hidup sehat serta selalu bersikap
sportif terhadap semua orang tanpa memandang seseorang dari segi manapun.
Kesimpulannya bahwa olahraga yang notabene-nya sebagai media
pemersatu bangsa dan sebagai salah satu simbol karakter dan jati diri bangsa
tak pernah lepas dari kekuatan politik di dalamnya. Namun olahraga dimasa
mendatang harus menjadi alat pemersatu bangsa. Karena olahraga itu
mengandung banyak unsur, antara lain pendidikan, budaya, wisata, ekonomi,
dan tentu saja kesehatan.
Sebagai contohnya ketika pada piala dunia 1990 Maradona diangkat oleh
presiden menem sebagai duta resmi Argentina, maka sang lengendas sepak
bola Argentina itu menjadi symbol konkret identifikasi anatar olahraga dan
politik. Pertalian era tantara olahraga dan polyik bukannya sesuatu yang baru.
Bahkan, bukan hanya dengan politik. Sebab olahraga memiliki multimakna:
social, ekonomi, politik atau ideologi dan kesehatan. Diktator Adolf Hitler
juga pernah memanfaatkan Federasi Sepak Bola (BFD) untuk propaganda
politik Nazi. Diktator lainnya, Bennito Mussolini, merasa penting dirinya
ditampilan dalam pose-pose olahraga, seperti sedang bermain anggar, tenis
atau naik kuda. Sebab, menyitir I Bambang Sugiarto (2000), bagi Mussolini,
seorang politikus sejati haruslah serentak merupakan symbol kejantanan
sportif. Sedangkan bagi kaum sosialis, olahraga adalah manifestasi penting
semangat ideal kolektivisme yang rasional dan higienis. Jadi, dari pertalian
antara olahraga dan politik atau ideologi, sudah tampak betapa olahraga
dalam peradaban modern, bukan lagi sekedar kegiatan yang netral, melainkan
kental sekali kandungan multimakna itu.
Tulisan ini memfokuskan diri pada sepakbola, dengan lebih
menitikberatkan pada politik terutama politik demokratik. Artinya sepakbola
bukan sekedar olahraga, melainkan terlah lama menjadi alat politik sekaligus
inspirasi dan pemberlajaran dan berpolitik. Dengan kata lain, sepak bola
dalam perkembangannya bukan hanya sebagai alat atau legitimasi politik
kekuasaan seperti dictator Franco di Spayol yang konon pernah
memanfaatkan klub sepakbola Real Mandrid sebagai alat politik atau
legimitasi kekuasaannya
Untuk memajukan olahraga harus ditanamkan jiwa sportifitas sejak dini
dan juga menjauhkan politik pragtis yang dapat menciderai hakikat dari
olahraga tersebut.

Hingga saat ini, tampaknya masih ada opini yang mengatakan bahwa kegiatan
olahraga cenderung menghambur-hamburkan uang. Bahkan ada analisis yang
tendensius, daripada untuk kegiatan olahraga yang jutaan bahkan milyaran rupiah
lebih baik digunakan untuk mengentaskan kemiskinan rakyat yang masih sekitar
140 juta. Pendapat dan analisis yang demikian tentu sah-sah saja.

Tetapi benarkah olahraga hanya menghabiskan uang ? Tidakkah ada revenue yang
bisa diharapkan dari kegiatan olahraga ? Mungkinkah terjadi multiplier effect dari
sebuah kegiatan olahraga? Pertanyaan seperti itu memang agak sulit dijawab
secara pasti, jika saja tidak ada bukti-bukti yang mendukungnya.

Bahwa untuk melakukan pembinaan olahraga membutuhkan dana yang tidak


sedikit saya kira adalah fakta yang tidak bisa dipungkiri. Ketika suatu negara atau
daerah menyelenggarakan sebuah event olahraga, mungkin sekali banyak dana
yang digunakan untuk membiayainya. Tetapi sangat boleh jadi kegiatan olahraga
juga mampu mendorong tumbuhnya ekonomi, dan bahkan mendatangkan
keuntungan langsung seperti Olympiade Los Angeles 1984, yang nyata nyata
panitia mendapat keuntungan sebesar $ 223 juta dolar. Olympiade Los Angeles
merupakan olympiade pertama yang menerapkan pendekatan logika ekonomi
melalui sport business. Pernyataan tersebut memberikan bukti bahwa olahraga
apabila dikelola secara profesional dapat mendatangkan keuntungan ekonomi
disamping nonekonomi. Itulah sebabnya mengapa banyak negara yang berebut
untuk menjadi tuan rumah suatu event olahraga seperti Asian Games, Olympic
Games, Piala Dunia ( sepakbola) dan Piala Eropa. Oleh karena itu, saya ingin
melihat hubungan olahraga dan ekonomi sebagai hubungan yang bersifat
resiprokal. Artinya, olahraga mempengaruhi ekonomi dan ekonomi
mempengaruhi olahraga.

Dalam banyak kasus memang kita jumpai bahwa negara yang secara ekonomi
maju, maka perkembangan olahraganya juga mengalami kemajuan yang sangat
berarti. Lihatlah bagiamana perkembangan olahraga di Amerika, Australia,
Perancis, Inggris, Jepang, dan sebagainya yang telah berkembang begitu pesat.
Dari segi prestasi, terutama dalam Olympic Games , sejumlah negara tersebut
telah menempatkan dirinya di papan atas. Dari segi perspektif tingkat kesehatan
masyarakat yang diukur dari angka kematian bayi, angka harapan hidup, dan
sebagainya, negara-negara maju juga lebih unggul.

Sungguhpun demikian, tidak berarti prestasi tinggi hanya terjadi pada negara-
negara yang secara ekonomi lebih maju. Brasil secara ekonomi barangkali jauh di
bawah negara-negara maju seperti Perancis, Jerman, dan Italia. Ditinjau dari GDP
per capita, Brasil hanya US$ 7,037, sementara ketiga negara tersebut masing-
masing adalah US$ 22,897, US$ 23,742, dan US$ 22,172. Sebuah perbedaan yang
sangat signifikan, karena lebih dari tiga kali lipat. Akan tetapi, Brasil memiliki
tradisi prestasi sepakbola yang lebih tinggi dibandingkan ketiga negara tersebut.
Apa yang ingin saya katakan disini adalah bahwa untuk membangun olahraga
tidak harus menunggu negara kita maju atau secara ekonomi sejajar dengan
negara-negara maju. Justru yang perlu di dorong adalah bagaimana olahraga
dijadikan sebagai salah satu instrumen untuk membangun ekonomi.

Beberapa hasil riset menunjukkan bahwa tingginya partisipasi masyarakat dalam


olahraga, ternyata tidak hanya mengurangi anggaran kesehatan yang dikeluarkan
pemerintah, tetapi pada sisi yang lain juga meningkatkan produktivitas.
Peningkatan partisipasi dalam olahraga hingga 25 % (angka semula 33% dari
penduduk yangs ecara reguler melakukan olahraga) dapat mengurangi biaya
kesehatan sekitar $ 778 juta dolar atau sekitar 6,6 trilyun rupia. Selain itu juga
menstimulasi produktivitas 1-3 % , dari setiap 2-5 $ dolar yang diinvestasikan.
Sementara anggaran yang digunakan untuk menstimulasi kegiatan olahraga
tersebut hanya $ 191 juta dolar atau sekitar 1,6 trilyun rupiah (B.Kidd,World
Summit on Physical Education,1999).
Studi di Austraia juga menunjukkan bahwa layanan olahraga dan rekreasi dapat
menghasilkan pendapatan nasional sebesar AUD $4,8 milyar pertahun, AUD $ 4
milyar dihasilkan dari penjualan produk olahraga dan rekreasi; dan sektor ini
menyumbang AUD$ 1,2 milyar terhadap GOP (Pereira,2004).

Fakta lain juga menunjukkan bahwa olahraga memiliki kontribusi yang signifikan
pada upaya mengurangi pengangguran. Data di Inggris menyebutkan bahwa
kegiatan olahraga menyediakan lebih banyak lapangan kerja dibanding industri
mobil, pertanian, nelayan, dan industri makanan.

Olahraga Sebagai
Pengasil Defisa
Pada era globalisasi ini
muncul terminologi
sportainment yang
memberikan
peneguhan bahwa olahraga
bukan lagi sekadar sebuah
tontonan melainkan sebuah
industri
hiburan dan bisnis
pertunjukkan yang mampu
menghadirkan ribuan
penonton dan jutaan
pemirsa. Kini, ada Uga
event olahraga yang
menjadi ikon global, yaitu
pertandingan sepak
bola Piala Dunia,
lomba balap mobU
Formula 1, dan
pertandingan olahraga
multievent
Olimpiade. Olahraga
jika dikelola secara
profesional dapat
mendatangkan
keuntungan
ekonomi di samping
keuntungan non-ekonomi.
Olimpiade Los Angeles
1984 merupakan
Olimpiade Modern
pertama yang
menerapkan pendekatan
logika ekonomi melalui
sport
business dengan
melibatkan banyak
sponsor. Keuntungan yang
berhasil dikumpulkan dari
kegiatan multievent
empat tahunan itu
sebesar US S223 juta.
Keberhasilan suatu
negara
menyelenggarakan event
olahraga ini tidak
terlepas dari peran
pemasaran. Untuk
memasarkan sebuah
olahraga diperlukan
strategi khusus yang
dikenal dengan bauran
pemasaran, yaitu kiat
kelompok pemasaran
yang digunakan untuk
mencapai sasaran
pemasarannya dalam pasar
sasaran. Media massa
punya peran pendng dalam
menumbuhkan
brand image tentang
sebuah produk tertentu
kepada konsumen
melalui tayangan event
olahraga.
Pergelaran Olimpiade Los
Angeles menghabiskan
biaya sebesar US $505
juta. Dari
jumlah tersebut, hampir
separuhnya telah tertupi
dari hak siar yang
dibeli oleh jaringan
televisi ABC sebesar US
$225 juta. Sejumlah besar
perusahaan (32
perusahaan) teiah menjadi
sponsor dengan nilai US
$4- 13 juta. Selain itu,
panitia juga menerima
berbagai bantuan yang
diberikan untuk
membangun fasilitas
olahraga. Pembangunan
velodrom dan kedai
makan-
minum ditanggung oleh
perusahaan 7 Eleven.
Kolam renang senilai US |
4 juta sepenuhnya
dibiayai oleh McDonald.
Pakaian seragam adet dan
pelatih yang berjumlah 700
orang dan
panida yang seluruhnya
berjumlah 40.000 orang
disediakan oleh Levis.
Sistem komputerisasi
yang menggunakan 200
set komputer semuanya
disediakan oleh IBM.
Keberhasilan
Olimpiade Los Angeles
membangkitkan minat
negara-negara lainnya
yang saling berebut
unmk menjadi tuan rumah
suatu event olahraga, balk
yang bersifat multievent^
seperti Asian
Games dan Olympic
Games, maupun yang
bersifat singleevent, seperti
Piala Dunia dan balap
Nilai Ekonomi Dalam Olahraga
Hingga saat ini, tampaknya masih ada opini yang mengatakan bahwa kegiatan
olahraga cenderung menghambur-hamburkan uang. Menurut Rusli Lutan.
(1998), dalam Sport in Economic Crisis mengemukakan bahwa ada analisis
tendensius, dari pada untuk kegiatan olahraga yang jutaan bahkan milyaran
rupiah lebih baik digunakan untuk mengentaskan kemiskinan rakyat yang
masih sekitar 140 juta. Pendapat dan analisis tersebut adalah sesuatu yang
wajar. Lebih lanjut, Rusli Lutan. 1998, mengatakan bahwa, untuk melakukan
pembinaan olahraga, membutuhkan dana yang tidak sedikit. Ketika suatu
negara atau daerah menyelenggarakan suatu pertandingan olahraga,
kemungkinan akan memerlukan dana yang besar. Tetapi, bisa jadi kegiatan
olahraga tersebut mampu mendorong tumbunya ekonomi, bahkan
mendatangkan keuntungan seperti di olimpiade Los Angeles yang merupakan
olimpiade pertama yang menerapkan pendekatan logika ekonomi melalui
sport business. Pernyataan ini memberikan bukti bahwa olahraga apabila
dikelola secara profesional dapat mendatangkan keuntungan ekonomi. Itulah
sebabnya, mengapa banyak negara yang berebut untuk menjadi tuan rumah
suatu event olahraga seperti Asean Games, Olympic Games, Piala Dunia
(sepakbola), dan Piala Eropa. Nilai ekonomi dalam olahraga adalah seberapa
banyak olahraga tersebut disukai banyak orang dan memiliki nilai hiburan
tinggi sehingga menghasilkan uang. Nilai ekonomi olahraga mengikuti
perkembangan masyarakat perbudakan dan semakin meningkat pada zaman
feodalisme hingga kini kapitalisme. Pada zaman kapitalisme ini, sisa zaman
perbudakan masih bisa dilihat dalam olahraga gulat dan tinju, olahraga
dijadikan nilai ekonomi yang tinggi. Olahraga ditempatkan sebagai tempat
orang mencari uang sambil berolahraga. Dalam duniakapitalisme, olahraga
dijadikan alat promosi sebuah produk sekaligus pengguna produk. Organisasi
olahraga modern mengalami perkembangan pesat sejak era industrialisasi.
Pakar sosiologi olahraga Allen Guttman dalam Rusli Lutan (1998: 46)
menggambarkan bahwa organisasi olahraga modern saat ini memiliki
beberapa karakteristik yang dominan, yakni sebagai berikut:
1. Olahraga tidak lagi dikaitkan dengan hal-hal yang bersifat religius atau
keagamaan.
2. Olahraga bisa merupakan perwujudan pemerataan sosial di masyarakat.
Sebab tidak ada lagi batasan-batasan yang bisa menghambat partisipasi
anggota masyarakat.
3. Spesialisasi merupakan satu kunci keberhasilan. Jika ingin berkarier di
olahraga seorang atlet harus memilih satu cabang yang menjadi fokus
pilihannya.
4. Terjadinya rasionalisasi. Artinya dengan makin kompleksnya dunia
olahraga, dibutuhkan seperangkat aturan agar organisasi olahraga dan
pertandingan berjalan dengan baik.
5. Birokratis. Artinya organisasi tidak lagi berdiri sendiri, melainkan berkaitan
satu sama lain.
6. Makin majunya teknologi informasi, setiap cabang olahraga modern
mencoba melakukan kuantifikasi terhadap jalannya pertandingan.
7. Pemecah rekor. Atlet sangat mendambakan menjadi lebih cepat, lebih kuat,
lebih tinggi, dan lebih baik.

Konsumerisme dalam Olahraga


Salah satu kegiatan masyarakat konsumerisme adalah hanyut dalam
permainan. misalnya dalam hal olahraga seperti sepakbola, marathon, pusat
kebugaran, senam, dan lain-lain. Cristhoper lasch seorang penulis amerika
dalam Rusli Lutan ( 1998) mengatakan bahwa , olahraga adalah candu
masyarakat konsumerisme. Olahraga bisa melupakan sejenak dari kelaparan,
kesusahan, kemiskinan bahkan perang. Orang-orang jenis ini selalu dijajah
oleh ilusi,citra, dan penampakan. Berikut ini fakta dari konsumerisme
olahraga , menurut sirkus iglobal, F1 racing net 2005 sebuah acara televisi di
Inggris dalam GP kanada berada pada peringkat ketiga sebagai acara olahraga
yang paling banyak ditonton di televisi. Sedangkan Juara pertamanya adalah
Super Bowl dan runner up-nya adalah final liga Champion. Di Kanada, saat
sirkus Bernie digelar di sirkuit Gillies Villenueve, F-1 disaksikan 51 juta
orang. Final Liga Champion antara Liverpool vs AC Milan ditonton 73 juta
orang, dan jumlah pemirsa final Super Bowl mencapai 93 juta orang. Di
Inggris, mulai musim 2006 ini kanal ITV bakal mengisi seluruh pake F1 di
tiga saluran ITV1, ITV2, dan ITV3. Pemilik hak siar F1 hingga 2010 ini,
sejak tahun 1997 membeli right F-1 dari televisi pemerintah BBC, usai
memposisikan sebagai saluran olahraga dengan tingkat exposure paling
tinggi. Selain F-1, ITV juga punya Liga Champion, Piala Dunia, Piala Eropa,
dan kejuaraan Dunia Rugby. Bentrokan paling frontal sepakbola dan F-1
terjadi di Asia. Hal ini sudah terlihat saat berlangsungnya kongres ABU
(Asia-Pacific Broadcasting Union) di Bangkok, Mei 2005. Pasar Asia berisi
3,7 miliar pemirsa televisi potensial. Dan orang Eropa tahu, Asia area paling
bebas Amerika. Sport business-nya sulit berkembang. Kongres itu
memutuskan bahwa olahraga tetap menjadi primadona, hanya itu yang ingin
dipastikan Eropa. Banyak komentator berpendapat bahwa olahraga bukan
merupakan contoh dimensi baru dari alienasi kapitalis. Olahraga tidak hanya
mengalienasi atlet yang tereksploitasi di luar kontrol oleh mesin pencipta
uang modern, namun juga penonton sebagai konsumen modern yang makin
pasif secara umum. Seringkali mereka menonton olahraga melalui ruang tamu
yang nyaman, namun jarang berpartisipasi secara aktif di dalamnya. Sebagai
akibat, mereka aktif secara mental, namun pasif secara fisik. Artinya, dapat
dikatakan bahwa olahraga berperan aktif di dalam menyamarkan ekses
budaya konsumen melalui penyediaan sebuah pelarian diri dari tekanan
eksploitasi kapitalis sehari-hari. Kelas kapitalis telah mendominasi olahraga
sebagai sebuah minat bisnis. Dengan memindahkannya ke dalam bidang
olahraga, kapitalisme telah memproduksikeinginan-keinginan baru dan
penciptaan nilai-nilai guna yang baru pula. Adapun komodifikasi olahraga
terletak pada aktivitas atlet yang terobyektifikasi sebagai komoditas bagi
konsumen. Kegiatan yang mereka lakukan hanyalah mengaliensikan, bagi
dirinya maupun dengan penonton yang menyaksikan di rumah melalui
televisi. Dalam hal ini , Haryanto Soedjatmiko.(2008; 45) meyampaikan
bahwa , Olahraga, secara nyata merupakan produk yang terkait erat di antara
strukturstruktur kontrol sosial, pengalaman-pengalaman aktual, dan ekspresi
kultural olahraga. Komersialisasi pertandingan olimpiade merupakan simbol
dari reduksi olahraga yang meluas ke dalam persimpangan di antara industri-
industri hiburan dan benda-benda konsumen. Melalui idealisasi olimpiade
yang meliputi kemudaan (youthfullness) dan kemampuan fisik, timbul prinsip
tertentu bagi konsumen. Sementara itu, perusahaan-perusahaan dijamin
dengan keuntungan secara besar-besaran melalui kedai makanan kecil (snack
bar), minuman ringan (soft drink), dan lain-lain. Lebih lanjut Ball, D.W., Loy
J.W. (1975) dalam Haryanto Soedjatmiko. (2008 : 50) , Pada dasarnya,
keuntungan dari pertandingan olahraga datang dari konsumen olahraga. Yang
termasuk konsumen utama adalah penonton secara langsung atau tidak
langsung mendengar, melihat, menyimak kegiatan olahraga baik berupa
pertandingan, ekshibisi, atau pertunjukan olahraga. Mereka inilah yang
potensial menghasilkan keuntungan dalam bisnis olahraga. Peraturan untuk
menghilangkan monopoli pemain, mengatur kekuatan tim yang seimbang dan
ketidakpastian hasil pertandingan pada dasarnya bertujuan meraup konsumen
untuk menonton dan mau membayar tontonannya. Tetapi, tidak selamanya
kesediaan konsumen hadir dan membayar semata-mata bergantung pada hal
tersebut. Banyak hal atau faktor lain yang turut meningkatkan atau pun
menurunkan laju jumlah penonton. Pherson (1975) dalam Kemal Johana dan
Supandi (1990: 83) menyatakan ada enam faktor yang dapat mempengaruhi
tingkat laju konsumsi olahraga antara lain sebagai berikut:
1. Seperangkat kesempatan yang berkenaan dengan waktu dan pencapaian
tempat kejadian olahraga. Secara khusus, bagi konsumsi tak langsung faktor
waktu kejadian merupakan faktor penentu.
2. Situasi ekonomi juga mempengaruhi tingkat konsumsi olarhaga, khususnya
terhadap tingkat laju penjualan karcis.
3. Jenis kelamin mempengaruhi jumlah konsumen. Tetapi pada dasarnya,
konsumen laki-laki biasanya lebih besar dari pada dari pada konsumen
perempuan.
4. Marital status atau keadaan kawin dan tidak kawin turut mempengaruhi
tingkat laju konsumsi olahraga. Pada umumnya, mereka yang sudah menikah
cenderung mengurangi frekuensi menontonnya.
5. Tingkat usia mempengaruhi jumlah konsumen. Ada kecenderungan laki-
laki di bawah umur 35 tahun menduduki peringkat teratas dalam jumlah
penonton.
6. Kemudahan mencapai arena atau stadion akan makin mudah dan makin
banyak penonton, khusus di Indonesia, tim daerah juga mempunyai pengaruh
terhadap jumlah penonton. Penonton olahraga merupakan sumber utama dari
ekonomi. Secara spekulatif dapat dianggap mengandung fungsi psiko-sosial.
Berikut ini konsep fungsi psiko-sosial dari Spinrad (1970) dalam Kemal
Johana & Supandi (1990: 84):
a. Berlaku sebagai mekanisme mengkhayali pertempuran.
b. Memberikan kepuasan psikis melalui identifikasi dengan pahlawan
olahraga dan masyarakat setempat.
c. Memungkinkan individu berpartisipasi dalam cerita subkultur melalui
sejumlah pengetahuan tentang sejarah dan strategi suatu olahraga khusus.
d. Merangsang dialog yang nalar tentang pemain atau tim.
e. Memainkan administrasi kecil dalam mengelola suatu tim dan menerapkan
strategi yang tepat.
f. Memungkinkan individu mengumpulkan seperangkat statistik sehingga
membina minat pada subyek bersangkutan
Berdasarkan hal tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa konsumen
olahraga terdiri atas penonton, pemirsa, pendengar, dan pembaca peristiwa
olahraga. Mereka bukan hanya sekedar mengamati tetapi melibatkan aspek
kognitif dan afektifnya. Dalam perkembangannya saat ini, konsumen juga
melibatkan psikomotorik, misalnya para peserta senam aerobik, senam
jantung sehat, asma, dan lain sebagainya.

Komersialiasai dalam Olahraga

Salah satu pengaruh langsung dari kegiatan yang berorientasi komersial


adalah olahraga, termasuk atlet itu sendiri yang hilang kemerdekaannya
karena kagiatannya didikte oleh kegiatan yang berorientasi pada profit. Tidak
mengherankan apabila atlet yang harus menyesuaikan dirinya terhadap
sponsor. Coakley, Jay. (2001) Sport in Society Issues Controversies dalam
Budi Susanto ( 2005) menyampaikan bahwa, Bisnis besar tersebut misalnya
terungkap dari data kontrak hak siaran televisi antara IOC dengan pengusaha
jaringan siaran pada waktu Olimpiade di Calgary (musim dingin) dan di Seoul
(musim panas) yang katanya mencapai 715 juta dolar. Dalam olimpiade
Calgary misalnya, yang memperoleh prioritas adalah kepentingan jaringan
telecisi seperti ABC atau NBC. Di Seoul, jadwal pertandingan tidak
disesuaikan untuk menjamin keuntungan bagi prestasi atlet, tetapi diatur
sedemikian rupa agar lebih menguntungkan ditinjau dari kemungkinan
pemasarannya. Jadi begitu jelas, bahwa atlet kurang dipedulikan dan
kompetisi mengabaikan prinsip-prinsip manusiawi. Sebenarnya, media ikut
bertanggungjawab karena digunakan sebagai perantara oleh kalangan sponsor
untuk menonjolkan iming-iming bagi setiap keberhasilan yang selanjutnya
merangsang ambisi dari kalangan atlet top dan atlet muda. Selain didorong
oleh motif realisasi diri, maka faktor penghargaan yang melimpah merupakan
dorongan kuat bagi seseorang untuk berlatih keras dalam olahraga dan
menjadi atlet profesional. Sementara itu, campur tangan iptek juga
meningkatkan efisiensi dan optimasi keberhasilan, lengkap dengan berbagai
eksesyang telah diingatkan olleh para ahli bahwa kesemua praktik yang
sebagian besar bersumber dari hasil riset. Para pengelola olahraga kurang siap
menghadapi perubahan karena tidak adanya persiapan khusus bagi personel
olahraga. Kasus perpindahan atlet dari satu daerah ke daerah lain yang
mampu menyediakan bonus atau imbalan setiap menjelang PON. Oleh sebab
itu, isu secara umum olahraga merupakan sebuah komoditi dan keterlibatan
seorang atlet dalam olahraga didorong oleh perhitungan untung rugi. Ukuran
serba material dianggap layak. Di lain pihak, organisasi induk termasuk
KONI kurang siap mengantisipasi gejala tersebut, sehingga gejolak perubahan
dapat terkendali tanpa menimbulkan dampak yang memperlemah sistem
pembinaan olahraga nasional.

1. Hubungan Politik Dengan Olahraga


Olahraga yang pada dasarnya merupakan kegitan yang semata-
mata kesenangan belaka, olahraga beralih menjadi upaya yang dikelola
secara sungguh-sungguh, atau dari kelihatan yang di anggap amat remeh,
yang hanya di lihat sebelah mata oleh pemerintah, menjadi sebuah
kebijakan global yang memerlukan perhatian dari Presiden, Perdana
Menteri, dan Raja. Sejak lama ada usaha untuk menceraikan kegiatan
olahraga, terutama Olimpiade, dengan politik. Tapi, upaya itu selalu
gagal. Kalau saja dunia mau jujur, sebenarnya keterkaitan antara
keduanya sudah terpatri dalam peraturan penyelenggaraan Olimpiade itu
sendiri. Ambil saja pengibaran bendera dan pengumandangan lagu
kebangsaan negara asal atlet pemenang salah satu cabang olahraga
sebagai contoh.
Adapun keterlibatan Politik (Pemerintahan) terhadap Olahraga, antara
lain:
1. Untuk menjaga keterlibatan
2. Menjaga kesehatan dan kebugaran masyarakat.
3. Meningkatkan gengsi dan kekuasaan.

4. Meningkatkan rasa persatuan warga.


5. Menggali nilai ideologi dalam kelompok atau masyarakat.
6. Meningkatkan dukungan untuk pemimpin politik dan pemerintahan.
7. Mengembangkan ekonomi dalam masyarakat tersebut

2. Olahragawan Dan Politik


Olahraga tentunya tidak lepas dari atlet atau olahragawan dengan
bidang olahraga yang ditekuninya, dan atlet merupakan salah satu unsur
terpenting dalam perkembangan olahraga karena atlet merupakan pelaku
utama dalam kemajuan olahraga. Atlet atau olahragawan menjadi patokan
atau tolak ukur kemampuan dalam menguasai sebuah olahraga.
Seseorang tentunya menjadi atlet atau olahragawan tentunya tidak
diperoleh dengan mudah, mereka bisa menjadi atlet harus melewati
perjuangan yang berat yaitu dengan berlatih rutin. Dengan ketenaran
mereka banyak yang memanfaatkannya sebagai duta kampanye
partaipartai politik yang bersanguktan yang memanfaatkan ketenarannya.
Dan bahkan banyak juga yang maju sendiri dalam perebutan kursi politik
dengan mengandalkan ketenarannya dan fans - fans mereka saat menjadi
atlet yang semakin mendukung mereka berkiprah dalam dunia politik.

3. Dampak Politik Dalam Olahraga


a) Dampak Positif:
1) Olahraga menjadi alat pemersatu antar negara karena membawa
nama baik negara
2) Pelaku politik berperan sebagai sponsorship yang:
a) Memberikan produk yang berkaitan langsung
b) Memberikan produk yang berkaitan langsung dengan
kebutuhan or (sepatu, dll)
c) Memberikan fasilitas kebutuhan sehari bagi para atlet
d) Membuat produk yang tidak bertalian langsung dengan
(asuransi, dll)
3) Menjadikan olahraga lebih dikenal dan menjadi hiburan bagi
masyarakat luas dengan diadakannya pertandingan – pertandingan
olahraga yang menghibur, contoh (mendatangkan club –club
sepakbola internasional dan berlatih tanding).
4) Para pemimpin dunia telah bisa saling melakukan proses
negosiasi dan komunikasi yang berkaitan dengan masalah
olahraga. Seperti contohnya, hubungan yang baik antar Negara
juga dapat diciptakan dengan menggelar pesta olahraga di penjuru
dunia. Intinya, dengan mensosialisasikan olahraga dalam
kehidupan plotik, baik luar negeri maupun dalam negeri, akan
berdampak baik pada kehidupan politik dunia, negara khususnya.
5) Dengan pemerintah melibatkan sponsor dan mengendalikan
olahraga, club – club olahraga bisa lebih berkembang dari segi
financial dan secara tidak langsung pembinaan dibidang
b) Dampak Negatif:
1) Tidak sedikit terjadi provokasi dalam dunia olahraga yang
disebabkan urusan politik. Salah satunya kasus suap kepada
pelaku olahraga (atlet, wasit, panitia pertandingan, dll)
2) Rusaknya kepengurusan dalam organisasi olahraga karena lebih
mementikan urusan kepentingan politiknya sendiri ketimbang
kemajuan olahraga, sehingga berimbas kepada kemunduran dan
rusaknya system pembinaan olahraga.
3) Kemunduran prestasi atlet dikarenakan atlet menjadi sarana
kampanye dan terjun dalam berbagai kegiatan politik yang
menjadikan konsentrasi atlet menjadi terpecah.
4) Rasa Nasionalis atlet menjadi berkurang karena hanya
mementingkan segi financial saja yang diperoleh dari dampak
masuknya politik
5) Hilangnya sportivitas dalam olahraga, baik dalam pertandingan
atau kepengurusan karena intervensi dari pihak luar / kepentingan
politik.

Dapat diartikan bahwa olahraga tidak boleh untuk di jadikan


tempat ajang berpolitik yang bukan untuk keuntungan olahraga tersbut.

C. Sosiologi Olahraga Terhadap Politik


Politik adalah Lembaga lain dalam masyarakat kita yang dihubungkan
dengan olahrga. Berbagai teori mengusulkan bagaimana olahraga dan politik
setiap penggunaan lainnya. Meskipun negara-negara menggunakan olahraga
untuk meningkatkan citra mereka dan kekuasaan atau bahwa pemimpin
mereka, olahraga juga telah digunakan sebagai pendamai. Goodwill Games
misalnya, melayani tujuan ini, dan para pemimpin dunia telah menggunakan
olahraga peserta untuk terlibat dalam tantangan bersahabat dengan atlet dari
tenaga lain sebagai sarana komunikasi dalam proses negosiasi.
Layar bendera dan lagu kebangsaan memainkan telah mengangkat
kontroversi di kompetisi inernal Olimpiade dan lainnya, karena penafsiran
yang menampilkan seperti mempromosikan ideologi politik. Olahraga
memang menawarkan pengaturan untuk kebanggaan nasional dan kesatuan
dalam masyarakat khususnta dalam hal pemilihan atlet untuk kompetisi
internasional dan kontrol peristiwa olahraga.

D. Strategi Manajemen Pemasaran Olahraga


Definisi strategi pemasaran menurut Philip Kotler (1987) dalam Dianna P
Gray (1991: 312) menjelaskan strategi pemasaran merupakan proses
perencanaan dari manajer dalam membangun dan mengawasi gangguan
terhadap organisasi tujuan dan sumber penghasilan serta kemungkinan
kesempatan pasar.

1. Misi bisnis

Setiap unit bisnis harus mendefinisikan misinya dalam misi perusahaan. Sehingga
perusahaan harus mendefinisikan jangkauannya secara lebih spesifik yang
mencangkup produk dan aplikasi, kompetensi, segmen pasar,penentuan posisi
vertical dan lokasi.

2. Analisis lingkungan eksternal (analisis peluang dan ancaman) Unit bisnis juga
harus menentukan peluang dan ancaman yang timbul. Peluang pemasaran adalah
suatu kebutuhan dimana perusahaan dapat bergerak dengan memperoleh laba
(Philip Kotler, 1994: 92). Sedangkan ancaman lingkungan adalah tantang akibat
kecenderungan yang tidak menguntungkan atau perkembangan yang akan
mengurangi penjualan dan laba bila tidak dilakukan gerakan pemasaran defensive
(Philip Kotler,1994:93)

3. Analisis lingkungan internal (analisis kekuatan dan kelemahan) Dalam meneliti


pola kekuatan dan kelemahannya atau bangga dengan setiap kekuatannya,
kadang-kadang suatu bisnis gagal bukan karena masing-masing bagiannya tidak
memiliki kekuatan yang dibutuhkan, melainkan karena bagian-bagian tidak
bekerja sebagai tim.

4. Formulasi tujuan Unit bisnis dapat mengembangkan sasaran dan tujuan tertentu
untuk periode perencanaan. Tahap ini disebut formulasi tujuan. Unit bisnis harus
berusaha menata sasarannya secara hirarkis, dari yang paling penting sampai yang
kurang penting. Akhirnya, sasaran perusahaan harus konsisten. Tujuan yang tidak
konsisten akan menimbulkan kebingungan.

5. Formulasi strategi Michael porter dalam Philip Kotler (1994: 97) telah
merangkumnya menjadi tiga jenis dasar yang memberikan titik awal bagi
pemikiran strategis:

a. Keunggulan biaya keseluruhan Kuncinya adalah perusahaan harus mencapai


biaya terendah diantara pesaing yang strategi focus dan pembedaanya serupa
b. Pembedaan (diferensiasi) Perusahaan dapat menjadi yang terbaik dalam
pelayanan, mutu, gaya, teknologi dan seterusnya: namun sulit untuk menjadi
semuanya. Jadi perusahaan yang ingin memimpin dalam mutu, harus membuat
atau membeli komponen terbaik, memadukannya yang baik, memeriksanya
dengan teliti dan seterusnya.

c. Focus Menurut porter dalam Philip Kotler (1994: 97), ‘perusahaan yang
melakukan strategi yangsama pada pasar atau segmen pasar yang sama
membentuk kelompok strategis. Perusahaan yang tidak punya strategi yang jelas
“mengambil jalan tengah” akan gagal.

6. Formulasi progam Setelah unit bisnis menetapkan strategi utamanya, unit


bisnis tersebut harus mengembangkan program pendukungnya.

7. Pelaksanaan Menurut McKinsey Consulting Firm dalam Philip Kotler (1994),


tiga elemen pertama – strategi, struktur dan system – dianggap sebagai “perangkat
keras” keberhasilan. Empat selanjutnya – gaya (style), staf, kemampuan (skills)
dan nilai bersama (shared values) adalah “perangkat lunak” nya.

8. Umpan balik dan pengendalian

Perusahaan harus yakin : lingkungan akan berubah, sehingga perusahaan harus


menilai dan merubah, pelaksanaan, program, strategi atau bahkan sasarannya.
Kecocokan strategi perusahaan dengan lingkungan akhirnya akan berkurang
karena lingkungan pasar hamper selalu lebih cepat berubah daripada perusahaan.
Kemauan perusahaan untuk mengamati perubahaan lingkungan dan menerapkan
tujuan dan sikap baru yang sesuai.
RANGKUMAN
Banyak orang keliru menganggap bahwa olahraga adalah aktivitas murni
dan harus dipisahkan dari dunia sehari-hari, mereka kadang terkejut dan
kecewa mendengar bahwa olahraga melibatkan politik. Meski demikian,
saat olahraga terkait dengan proses politik dalam dunia sosial yang lebih
besar, peristiwa olahraga dan organisasi olahraga melibatkan politik
mereka tersendiri. Politik ini mempengaruhi setiap orang yang terlibat
didalamnya, mulai dari atlit, pelatih dan pengelola dalam organisasi
olahraga sampai pada promotor. Olahraga dan politik tidak dapat
dipisahkan, karena olahraga tidak terwujud dalam sebuah kehampaan
budaya. Olahraga adalah bagian integral dari masyarakat dan budaya.
Dengan demikian, olahraga mempengaruhi dan dipengaruhi oleh kekuatan
politik. Segala aturan, kebijakan dan prioritas pendanaan yang dibuat oleh
tokoh dan lembaga pemerintah mencerminkan perjuangan politik diantara
kelompok yang terdapat dalam Masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

Valentino, dkk. (2023). Modul Sosiologi Olahraga. Bandung: STKIP Pasundan

Dr. Marjohan Hs, M.Pd. (2011). Sosiologi Olahraga. Padang: UNP Press

Kardiyanto, Deddy Whinata. "Dampak pandemi covid-19 terhadap event olahraga


dan sosial ekonomi masyarakat." Prosiding Seminar Nasional Fakultas Ilmu
Kesehatan dan Sains. Vol. 1. No. 1. 2020.

Kardiyanto, D. W. (2020, September). Dampak pandemi covid-19 terhadap event


olahraga dan sosial ekonomi masyarakat. In Prosiding Seminar Nasional
Fakultas Ilmu Kesehatan dan Sains (Vol. 1, No. 1).
KARDIYANTO, Deddy Whinata. Dampak pandemi covid-19 terhadap event
olahraga dan sosial ekonomi masyarakat. In: Prosiding Seminar Nasional
Fakultas Ilmu Kesehatan dan Sains. 2020.

Fussalam, Yahfenel Evi, et al. "Pemberdayaan Ekonomi Kreatif,


Pemuda dan Olahraga Di Desa Lubuk Tenam." Jurnal
Pengabdian Pendidikan Masyarakat (JPPM) 1.1 (2020): 8-15.

FUSSALAM, Yahfenel Evi, et al. Pemberdayaan Ekonomi


Kreatif, Pemuda dan Olahraga Di Desa Lubuk Tenam. Jurnal
Pengabdian Pendidikan Masyarakat (JPPM), 2020, 1.1: 8-15.

Fussalam, Y. E., Kurniawan, R., Saputra, D. I. M., Aprizan, A.,


& Zulmi, Z. (2020). Pemberdayaan Ekonomi Kreatif, Pemuda
dan Olahraga Di Desa Lubuk Tenam. Jurnal Pengabdian
Pendidikan Masyarakat (JPPM), 1(1), 8-15.

Nugroho, Sigit. Industri olahraga. UNY Press, 2020.

Nugroho, S. (2020). Industri olahraga. UNY Press.

NUGROHO, Sigit. Industri olahraga. UNY Press, 2020.

Anda mungkin juga menyukai