Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Menyertai perkembangan media dan dampak tekhnologi dan komunikasi, gerakan


olimpiade memang dalam ancaman, sementara idealismenya yang luhur kian merosot. Akhir-
akhir ini tersiar berita penyuapan terhadap pejabat IOC dalam kaitannya dengan perolehan
kesempatan menjadi tuan rumah, seperti yang dituduhkan kepada penyelenggara olimpiade
sydney 2000. Bab 6 ini menyoroti isu media olahraga dan nampaknya, disamping paparan
tentang trend kemorosotan cita-cita semangat olimpiade.

Setiap negara di dunia, termasuk indonesia, kian menaruh perhatian dan komitmen yang
kuat terhadap olaraga yang ditandai dengan sistem pembinaan masing-masing dan prioritas
tujuan yang ingin di capai. Kecenderungan yang nampak- di negara-negara berkembang ialah
olaaraga merupakan “alat” untuk mencapai tujuan tertentu seperti memacu perubahan sosial,
mendorong tercapai kebungaran jasmani atau derajat sehat yang lebih baik, dan tujan lainnya
yang bersifat mendidik. Karena itu telah di upayakan proses sosialisasi (internalisasi peranan
di masyarakat dan nilai-nilai) melalui olaraga dan sosiolisasi kedalam olaraga yang kita kenal
dengan istilah “mengolaragakan masyrakat”.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang mempengaruhi proses sosialisasi dalam dunia olahraga?
2. Apa kekuatan yang mempengaruhi perubahan gerakan olympiade dan bagaimana
pembina olahraga mengelolah kegiatan itu untuk menghadapi pengaruh kekuatan-
kekuatan dari luar?

1
BAB II

PEMBAHASAN

MEDIA DAN GERAKAN OLYMPIADE

Pers olahraga pada tingkat global, seperti juga halnya di tingkat nasional,
menunjukkan kepedulian yang amat tinggi terhadap kegiatan olahraga. Setiap media cetak
menyediakan rubrik khusus dengan “ruang” yang cukup luas dan bahkan ada yang
menyediakan satu halaman penuh. Demikian juga dengan media elektronik seperti televisi,
baik milik pemerintah maupun swasta. Disamping di dorong oleh motif komersialisasi,
perhatian yang besar itu juga dikaitkan dengan kecenderungan para pembaca dan pemirsa
yang menyenangi rubrik olahraga sebagai bacaan atau atraksi tontonan bersifat hiburan.

Menyertai perkembangan media dan dampak tekhnologi dan komunikasi, gerakan


olimpiade memang dalam ancaman, sementara idealismenya yang luhur kian merosot. Akhir-
akhir ini tersiar berita penyuapan terhadap pejabat IOC dalam kaitannya dengan perolehan
kesempatan menjadi tuan rumah, seperti yang dituduhkan kepada penyelenggara olimpiade
sydney 2000. Bab 6 ini menyoroti isu media olahraga dan nampaknya, disamping paparan
tentang trend kemorosotan cita-cita semangat olimpiade.

1. Proses Sosialisasi

Globalisasi kegiatan dan budaya dalam olahraga serta dampaknya terjadi karena
kemajuan dan perkembangan tekhnologi komunikasi, sistem transportasi dan kontak melalui
berbagai kejuaraan tingkat regional dan internasional, sehingga terjadi proses pembudayaan
(enkulturisasi) yang menciptakan budaya olahraga yang bersifat mendunia. Kegiatan olahraga
yang berakar pada gerak dan ciri hakiki manusia sebagai makhluk bermain (homo iuden)
berkembang pesat. Jenis dan ragam kegiatannya kian bertambah seiring dengan perubahan
sosial, sedangkan tujuannya berubah dari kegiatan spontan menjadi kegiatan olahraga
terlembaga; kegiatan yang intensif di organisasi dengan menerapkan prinsip menejemen
modern dengan tujuan yang kesehatan, rehabilitasi, dan yang paling populer dewasaini yaitu
jenis-jenis kegiatan olaraga kompetitif yang diarahkan untuk memcapai prestasi. Kegiatannya
sungguh kompleks, melibatkan gejala biopsiko-sosio-kultural.

2
Setiap negara di dunia, termasuk indonesia, kian menaruh perhatian dan komitmen
yang kuat terhadap olaraga yang ditandai dengan sistem pembinaan masing-masing dan
prioritas tujuan yang ingin di capai. Kecenderungan yang nampak- di negara-negara
berkembang ialah olaaraga merupakan “alat” untuk mencapai tujuan tertentu seperti memacu
perubahan sosial, mendorong tercapai kebungaran jasmani atau derajat sehat yang lebih baik,
dan tujan lainnya yang bersifat mendidik. Karena itu telah di upayakan proses sosialisasi
(internalisasi peranan di masyarakat dan nilai-nilai) melalui olaraga dan sosiolisasi kedalam
olaraga yang kita kenal dengan istilah “mengolaragakan masyrakat”.

Proses sosialisasi ke dalam olaraga itu dipengaruhi oleh lingkungan sosial yang
berpotensi besar untuk membentuk kegiatan olaraga dan sekaligus mengarahkan melalui
pemberian kesempatan dan pemamfataan peluang yang tersedia. Jalur pembinaan dapat
berlangsung di linkungan, sekolah, industri/perusahaan, lembaga pemasyrakatan, ABRI, klup
olaraga yang berada di bawah organisasi formal(misalnya KONI, KOI, dan organisasi induk
olaraga ), dan bahkan ,lingkungan kueluarga.

Pengaruh eksternal yang mendorong daqn mempengaruhi wawasan, persepsi,


harapan, dan sikap terhadap olaragaa yang bersumber dari beberapa agen sosial (social
agency), seperti anggota keluarga(ayah, ibu, saudara sekandung), teman sepermainan
(tetangga, teman sekelas, rekan sejawar),guru pendidikan jasmani dan pelatih olaraga,dan
bintang olaraga idola.

Dalam proses”pembudayaan gerak”- movement culture- maka media olaraga (media


cetak dan elektronik) memberikan andil yang amat besar terutama untuk memperkuart proses
melalui penyediaan dan peluncuran spektrum imformasi yang menjangkau khalayak luas dari
sengenap lapisan dalam waktu yang cepat dengan dampak tertentu yang terjadi penambahan
pengetahuan, respons emosional, dankesiapan individu atau kelompok sasaran untuk berbuat.

Bila kita telaah secara mendalam, maka kian jelas bahwa masalah global pada
gilirannya mempengaruhi masalah regional dan nasional. Sehubungan dengan hal itu, maka
ad masalah yang perlu di pecahkan melalui upaya yang bersifat global dan ada pula yang
akan efektif di pecahkan pada tingkat regional dan/atau nasional.

Dewasa ini kita kian menyadari bahwa di balik kegiatan olaraga yang berkembang
pesat itu terdapat berbagai masalah yang perlu di pecahkan dengan maksud dampak positif
dapat di tingkatkan seoptimal mungkin dan dampak negatif dapat di tekan seminimal

3
mungkin. Dibalik kegiatan olaraga yang kompleks itu di jumpai potensi-potensi negatif yang
perlu di antisipasi dan di tanggulangi agar di peroleh maslahat yang sebanyak-banyaknya dari
kegiatan itu. Pandagan ini bertolak dari falsafah dasar yang bersifat universal dan relavan
dengan pancaasila :olaraga berawal dan berakhir pada di mensi kemanusian.

Sehubungan dengan hal itu, hingga berusia 100 tahun pada olympiade 1986 di
Altanta, AS, sejak tujuan serta ide asli di canangkan dan di luncurkanl maka Gerakan
Olympiade megalami banyak tantangan.

Terungkap dalam latar belakang sejarahnya, yakni pada akhir abad ke-19 awal ke-20,
Piere de Coubertin, bapak gerakan olympiade,bermaksud untuk mendidik generasi muda
prancis.Untuk memenuhi maksud tersebut, maka di mengelaborasi sebuah rencana bagi
upaya pendidikan yang bersifat menyeluruh sehingga tercapai perkembangan jiwa dan badan
yang harmonis. Termasuk ke dalam upaya pendidikan itu adalah kompetisi olaraga yang di
pahaminya sebagai alat yang cocok untuk merangsang para pemuda agar mencapai prestasi
pribadi.

Perenungan ini – intropeksi tradisi yunani – melahirkan gagasan untuk


membangkitkan kemali olympide. Coubertin mengutip motto Fr. Didon ”citius, altius,
fortius” untuk memamtapkan pentingnya olympiade.

Motto sebenarnya ditafsirkan luas, tidak semata-mata hanya dalam pengertian fisik,
tetapi juga tentunya aspek moral dan sosial dalam olahraga. Inti sari tujuannya tersimpul
dalam ungkapan singkat sebagai berikut : “ to make endeavor for sporting activity the world
over, endowed with human dignity (not endegering the human being) combine with spirit and
art”. Maksudnya, berupaya sungguh-sungguh untuk menyebarluaskan olahraga keseluruh
dunia; disertai dengan penhargaan terhadap harkat manusia(tidak membahayakan manusia)
dikombinasi dengan semangat seni. Pernyataan semacam ini sering kita jumpai dalam kajian
filsafat olahraga yang menandaskan”olahraga bukanlah kegiatan yang bersifat
membangkitkan naluri rendah, tetapi unruk membawa kemaslahatan bagi manusia. Namun
motto ini menjadi luas pengertiannya karena terbatas pada prestasi jasmania belaka .

Bila kita simak trend olahraga internasional dewasa ini, termasuk gejala
perkembangan keolahragaan nasional dan berbagai ekses negatif yang muncul, maka sudah
waktunya kita memberikan andil untuk mencegah pelapukan nilai olympiade sejati yang
bersifat humanistik dan menjaga agar olahraga jangan sampai mengalami kemerosotan atau

4
bahkan menjadi brutal karena pengaruh paham yang terlampau pragmatis yang memandang
olahraga sebagai komoditi seperti tercermin dalam konsep pemasaran olahraga (sport
marketing). Olahraga harus memperoleh kembali kemerdekaannya untuk menentukan
arahnya sendiri. Sementara atlet menduduki posisi sentral, bukan sebagai objek tetapi subjek.
Kenyataan ini selaras dengan filsafat: prestasi bukanlah segala-galanya sebab yang terpenting
adalah atlet sebagai manusia beserta harkatnya.

Sehubungan dengan hal itu, rupanya relevan untuk di simak buah fikiran Scherer
(1988:dalam tulisan Prof. Wischmann, 1922) yang menyatakan bahwa “ the athelete and his
dignity are more inportant then to swim in the monetary sea of televisison”. Para atlet beserta
harkatnya adalah lebih penting daripada kesempatan bergelimang dalam lautan uang
tayangan televisi. Sementara itu tekanan politik dan ekonomi semakin kuat terhadap arah
kegiatan olahraga. Sebab itu, insan pers olahraga jangan berpangku tangan membiarkan
olahraga berkembang melenceng dari sasaran yang seharusnya.

Karena itu, bila kita kaitkan dengan tema” peranan pers dan penyebar luasan gerakan
olympiade indonesia” maka isu utama yang menjadi tantangan bagi IOC, KONI, Komite
Olympiade Indonesia, dan bagi kita dari kalangan pers adalah bagaimanaa kita memulihkan
spirit olympiade yang sejati di tengah-tengah masa perubahan sistem baik nilai pada tingkat
global dan tingkaat nasional? Apa yang dapat di perbuat oleh insan pers olaraga untuk
memberikan andil dalam rangka mengembangkan sistem pembinaan keolaragaan nasional
sehingga tercapai tujuan pembangunan nasional yang relavan dengan komitmen politik
pembinaan olaraga yaitu “olaraga sebagai bagian integral dari pembangunan nasional?”

2. Mega Trend

Mega trend yang terjadi dalam perkembangan olaraga dalam dasawarsa terakhir ini
terutama gerakan sosialisasi budaya gerak. Berkaitan dengan hal ini, di indonesia sendiri
makin nyaring di di canangkan gagasan “kembalilah ke hal yang mendasar(back to basic)”
yaitu efektivitas pendidikan jasmani yang perlu di tingkatkan karena merupakan wahana
pembekalan dasar yang komplit(intelektual, emosional, moral-spiritual) mengutamakan ritme
(misalnya taichi, olaraga pembinaan tenaga dalam, dll), termasuk “boom fitness” yang di bina
melalui sanggar senam, fitness centre, dan perkumpulan suka rela yang kurang terorganisir.

5
 Olahraga dan Lingkungan Hidup

Integrasi antara kegiatan dan masalah lingkungan juga muncul sebagai isu global,
sehingga telah di rintis pendidikan lingkungan hidup melalui kegiatan olahraga. Masalah itu
muncul dalam kaitannya dengan tekanan kependudukan dan tekanan lingkungan, sehingga
bagaimana menyelaraskan kegiatan olahraga dengan ekosistem sekitarnya merupakan topik
utama. Di jerman misalnya, sudah sering muncul kasus protes terhadap pembuatan lapangan
golf karena megambil alih lahan yang peruntukan sebagai daerah hutan lindung, seperti juga
halnya olahraga ski yang selalu menjadi sasaran protes pencinta lingkungan hidup; olahraga
tennis di protes karena menimbulkan dampak sosial berupa terganngu penduduk sekitar
karena suara bising, olahraga dayung di protes karena dapat merusak flora dan fauna air.

Di Indonesia telah kita saksikan “konflik kepentingan” antara pengadaan fasilitas


olahraga (stadion, lapangan golf) dengan kepentingan lainnya (misalnya, pengadaan
prasarana ekonomi dan permukman baru) yang sesungguhnya berakar pada masalah daya
dukung linkungan terbatas akibat tekanan dan mobilitas penduduk, penataan tata guna lahan
dan ketiadaan perlindungan hukum yang menjamin keberadaan fasilitas dengan olahraga itu
sendiri.

 Punahnya Olahraga Tradisional dan Munculnya Kultur Gerak Baru

Popularitas kompetesi olahraga yang di kelola oleh IOC atau gerakan olympiade
menyebabkan tradisional kian lama kian punah karena sudah jarang di lakukan oleh
masyarakat yang bersangkutan. Namun demikian ada upaya untuk membangkitkan seperti
nampak dalam penyelenggaraan Sea Games dan Asia Games yaitu olahraga tradisional di
masukkan sebagai mata acara pertandingan atau ekshibisi.

Sementara itu, jenis dan ragam olahraga yang di minati anak muda juga mengalami
perkembangan dan perubahan. Hal ini terkait dengan variasi dalam kelompok sosial, tata latar
budaya dan situasi kehidupan sehari-hari. Di samping cabang-cabang olahraga populer yang
telah di kenal luas seperti, sepakbola, renang, atletik, dan senam misalnya, maka jenis
olahraga baru itu dapat di kelompokkan sebagai berikut.

 Kegitan olahraga yang berorientasi pada petualngan, menikmati dan mencari


stres, penonjolan individu dan pakaian mrntereng, seperti selancar angin, dayung,
layang gantung, orietering, menyusuri jejak (trekking), memanjat tebing, mendaki
gunung, dan lain-lain cabang non-tim.

6
 Kegiatan olahraga yang di impor dari AS terutama jenis-jenis olahraga yang
memelihara kesehatan fisik seperti jogging, aerobik, stretching, body building,
seperti juga halnya cabang olahraga dari kawasan Asia misalnya tae kwondo,
yoga, tai-chi yang di arahkan untuk pengembangan “diri”.
 Kegitan olahraga berupa permainan menggunakan bola seperti tenis, bulu tangkis,
bola voli, squash yang ditandai dengan permainan tanpa kontak badan.

Kecenderungan ini telah terjadi di Indonesia dan pengetahuan yang berkenaan dengan motif
partisipasi kaum muda dalam olahraga penting untuk mengelolah pembinaan.

 Pendidikan Gerak

Kecenderungan baru adalah kebangkitan pendidikan gerak, melalui gerak yang


bermakna, untuk mencapai tujuan pendidikan, sebagai pembaharuan lebih lanjut dari
pendidikan jasmani. Pendidikan gerak bertitik tolak dari asumsi-asumsi anthropologis dan
psikologis tentang makna gerak bagi manusia yang bukan hanya sebagai media untuk
mengenal dunia sekitar, namun melalui pengalaman yang di alami langsung oleh badan itu,
sedemikian efektif untuk mendidikan seluruh dimensi potensi manusia.

3. Isu Global

Apa kekuatan yang mempengaruhi perubahan gerakan olympiade dan bagaimana


pembina olahraga mengelolah kegiatan itu untuk menghadapi pengaruh kekuatan-kekuatan
dari luar? Bagian ini membahas pokok masalah tersebut.

 Politisasi

Berbagai kasus yang berkaitan dengan aksi boikot terhadap olympiade, seperti
olympiade di Montreal (1976). Moskow (1980), Los Angeles (1984) merupakan contoh
konkret bahwa power politik yang dipraktekkan untuk mempengaruhi tatanan dunia,
dimanfaatkan untuk menekan kegiatan olympiade. Di Montreal, 19 negara Afrika dan 3
negara Arab dipanggil pulang oleh pemerintahnya atas saran komite olympiade nasional
masing-masing karena New Zealand berpartisipasi dalam pertandingan olahraga melawan
atlet-atlet Afrika Selatan yang menyebabkan negara ini dikucilkan dari olympiade sejak tahun
1962, namun juga menjadi konsekkuensi dari meningkatnya power Afrika hitam dalam dunia
politik. Dalam olympiade Barcelona 1992 yang lalu, Afrika selatan kembali diterima
berpartisipasi dalam olympiade setelah absen 30 tahun.

7
Olympiade Moskow di boikot oleh AS, disponsori oleh presideN Jimmy Carter,
sebagai jawaban terhadAP invasi Uni Soviet ke Afganistan, menyusul kampanye Carter, 30
negara sekutunya mengundurkan diri 19 komite olympiade nasional mengabaikan undangan
Moskow. Namun Inggris New Zeland, Prancis, Swiss, dan Demmark tetap ikut serta dan
tidak membiarkan didrinya di tekan intimidasi, sehingga waktu itu muncul pertanyaan,
apakah keikutsertaan negara-negara barat itu akan menghubung mereka dengan AS? Apakah
dengan boikot terhadap olympiade dapat memecahkan masalah Afganistan atau Afrika
Selatan? Ternyata tidak. Persoalan tidak berkesudahan karena dalam Olympiade Los Angeles
(1984), Uni Sovyet dan negara sekutunya balik memboikot.

Analisis Rosch (1980; dalam tulisan Prof. Wischmann, 1992) dalam bukunya “Politik
and sport in Geshchichte und Gegenwart” mengungkapkan bahwa dalam sejarahnya olahraga
sering salah di gunakan sebagai alat politik. Penggunaannya sebagai alat politik ibarat merah
sejak bangsa-bangsa pertama yang berbudaya misalnya Mesopotamia atau Mesir dan dari
zaman antik Yunani dan Romawi hingga kehidupan sekarang. Lebih-lebih karena olahraga
dikenal secara meluas keseluruh dunia. Jutaan pemirsa televisi dan pendengar radio, termasuk
pembaca setia surat kabar mengikuti kontes olahraga olympiade, sehingga kegiatan itu
mengandung makna politik yang kian penting. Tidak heran jika Helmut Kohl pernah
mengatakan : even though sport is not practised in an environtment free of politcs, it maynot
tire in its endeavours to secure the necasssary free range and open limits it required “(dsb-
information Nr.34 of 26.8.1986; dalam Prof.Wischmann, 1992). Kendati olahraga tidak
dilakukan dalam sebuah lingkungan yang bebas politik, namun olahraga itu tak henti-
hentinya berupaya untuk menjamin pentingnya keleluasan ruang dan terbukanya batas-batas.

Ketika ketegangan perang dingin sudah mereda, maka olympiade Barcelona


memperoleh sukses karena bebas dari tekanan boikot tatkala konflik barat dan timur mulai
berkurang. Catatan penting adalah meskipun olympiade sering di rongrong oleh intrik politik,
namun selama dua dekade terakhir ini, gerakan itu terakhir melampaui ujian dalam krisis
yang berat.

Jika kita simak secara mendalam, akar masalahnya adalah pertama ketegangan politik
yang terjadi diberbagai belahan dunia dan motif keterlibatan dalam kegiatan itu seperti
nampak di negara berkembang yang selain di dorong oleh motif sosial, maka olahraga juga di
pandang sebagai kebanggaan nasional dan alat untuk membangkitkan kepercayaan diri di
forum internasional.

8
 Profesionalsme

Perubahan mendasar dalam olympiade adalam makin tipisnya batas antara amatirisme
dalam profesionalisme. Pada tahun 1923 misalnya, IOC gagal untuk memecahkan maasalah
atlet kehilangan penghasilan dan kompensasinya melalui ikatan profesional, dan IOC sama
sekali melarang segala bentuk penggantian ongkos atau kehilangan penghasilan karena
mengikuti persiapan untuk olimpiade 1924. Guru atau pelatih olahraga dilarang
berpertisipasi. Bahkan pelanggaran terhadap ketentuan amatir sekecil apapun akan
memperoleh sanksi berat. Dua kasus merupakan contoh : Jago penthalon dan dekathlon
dalam olimpiade Stocholm (1912), Jim Thorpe, kemudian diputuskan untuk tidak diakui hasil
yang dicapainyadalam nomor tersebut dan dihukum seumur hidup karena yang bersagkutan
bermai dalam pertandingan bisbol profesional, meskipun tanpa bayaran. Pelari kenamaan
Paavo Nurmi juga dihukum seumur hidup dalam tahun 1932 karena memperoleh imbalan
sehubungan dengan biaya yang telah dikeluarkan.

Meskipun banyak usaha untuk mengelaborasi defenisi amatir, namun tidak ada
ketegasan, IOC sendiri masih bergelut dengan masalah kompensasi terhadap biaya yang telah
dikeluarkan selama persiapan berlatih dan pegorbanan waktu serta kehilanngan penghasilan
dan kini buta terhadap kenyataan bahwa olahraga dan bisnis begitu dekat hubungannya.
Karena itu kita mengenal istilah seperti “amateur hyprocisy”, dan “olympic lie”.

Dalam Olympiade Bracelona (1992) pintu terbuka bagi atlet profesioanl seperti
pemain prof bola basket, tenis, sementara ada proteksi terhadap pemain sepak bola sehingga
yang boleh bertanding adalah pemain usia 23 tahun ke bawah. Di satu pihak, ketentuan itu
memberi peluang ke berbagai pihak dari berbagai tingkat kemampuan saling berlomba dalam
olympiade dan bisa diklaim sebagai wahana terbaik untuk mempertemukan pemuda dari
seluruh penjuru dunia. Namun demikian, kritik datang dari berbagai pihak terhadap “open
games” yang meperbolehkan pemain prof ikut serta. Inti dari kritik itu adalah sungguh tidak
fair mempertandingkan dua pihakdengan mutu dan latar belakang keterlibatan yang berbeda
dan dapat dipastikan para atlet prof akan memenangkan kejuaraan. Keadaan ini
membangkitkan isu sosial baru seperti tercetus dalam pernyataan perenang handal Jerman,
Michael Gross sebagai berikut : “If this kind of evolution continues, a sportsmen’s proletariat
threatens” (Prof. Wiscmann, 1992). Kalau perkembangan itu berlanjut terus, olahragawan
kelas bawah terancam.

9
Trend seperti ini, “kembang-kembangnya” sudah mulai nampak diindonesia, misalnya
dalam perebutan “piala utama” yang diselenggarakan oleh PWI yang mempertandingkan
perserikatan dan Klub Galatama dan selanjutnya berkembang menjadi liga indonesia. Yang
agak merisaukan ialah jika menguji mana sistem yang paling unggul yang sebenarnya tidak
perlu dipertentangkan dan merasa saling bersaing sebab idealnya kedua subsistem itu harus
saling memperkuat. Berkaitan dengan hal ini berangkali perlu direnengkan kembali landasan
gagasan penyelenggaraan kegiatan seperti itu.

 Komersialisasi

Semenjak panitia penyelenggaran sukses besar melaksanakan olimpiade Los Anggeles yang
dikelolah swasta dengan kiat wiraswasta, maka IOC menghadapi masalah berat tinjau dari
perubahan ide yang sejati. Olahraga menjelma menjadi semacam, komoditi yang bisa dijual
dengan kegiatan olimpiade muncul semacam show besar-besaran yang bisa dijual dan
memperoleh keuntungan.

Pengaruh langsung dari kegiatan yang berorientasi komersial ini yaitu


olahraga,termasuk atlet itu sendiri hilang kemerdekaanya karena kegiatannya didikte oleh
kegiatan berorientasi profit. Tidak mengherankan apabila atletlah yang harus menyesuaiakan
terhadap sponsor dan bukan sebaliknya.

Bisnis besar itu misalnya terungkap dari data kontrak hak siaran televisi antara IOC
denagn pengusaha jarigan siaran pada waktu olimpiade di calgary (musim dingin) dan di
seoul (musim panas) yang konon mencapai 715 juta dollar. Dalam olimpiade calgary
misalnya, yag memperoleh prioritas adalah kepentingan jarigan televisi seperti ABC atau
MBC. Seperti halnya di seoul, jadwalnya pertandingan tidak sesuai pertandingan tidak
disesuaikan untuk menjamin keuntungan bagi prestasi atlet, tetapi diatur sedemikian rupa
agar lebh menguntungkan ditinjau dari kemungkinan pemasarannya. Markus Wasmeler, atlet
giant slalod, ketika diinterviw oleh majalah spiegel (No 52, 22. 12. 1986; dalam Prof.
Wiscmann, 1992) mengatan “We are just puppets who have to get down the mountain. The
organizers don’t care if stone appear on the track. Only the company publicity and lourist
traffic are importance to them”. Kami ini hanyalah boneka-boneka yang meluncur turung
gunung. Pengelolah pertandingan tak peduli seandainya ada batu melintang di jalur lintasan.
Yang penting bagi mereka hanya perusahaan iklan dan agen perjalanan. Jadi begitu jelas,
betapa atlet kurang diperdulikan dan kompetisi olahraga mengabaikan prinsip-prinsip
manusiawi.

10
Media itu sendiri, sebenarnya ikut bertanggung jawab karena digunakan sebagai
perantara oleh kalangan sponsor untuk menonjolkan iming-iming bagi setiap keberhasilan
yang selanjutnya meransang kebangkitan ambisi dari kalangan atlet top dan bahkan atlet
mudah. Selain di dorong oleh pemenuhan motif realisasi diri, maka faktor penghargaan yang
melimpah merupakn dorongan yang kuat bagi seseorang untuk berlatih keras dalam olahraga
dan menjadi atlet profesional. Sementara itu, campur tangan iptek juga meningkatkan
efisiensi dan optimasi keberhasilan, lengkap dengan berbagai akses yang telah di ingatkan
oleh para ahli bahwa kesemua praktik yang sebagian besar bersumber dari hasil riset itu
(misalnya dari bidang farmakologi)sudah mencapai “tapal batas yang membahayakan
manusia”.

Sudah banyak kisah nyata mengenai nasib tragis atlet yang berakhir dengan kematian
misalnya karena salah obat. Penyebab kematian atlet tob Jerman, Brigitte Dressl, 26 tahun,
akhirnya diketahui yaitu akibat ketidak cocokan berbagai obat (Rheizeitung Koblenz, 26.4.
187: dalam Prof Wischmann, 1992). Kasus ini patut direnungi. Pemanfaatan hasil riset di
bidang farmakologi secara mengesannkan menghasilkan peningkatan efisiensi, namun
manipulasi terhadap aspek jasmaniah ini sungguh membahyakan kesehatan dan
menghancurkan prinsip moral.

Tulisan wartawan olahraga Afrika, Kidane (1987) tentu akan membuat khalayak akan
terperanjat, betapa rapuhnya landasan ideologi IOC sekarang ini karena organisasi
internasional ini sudah dirasuki oleh perilaku berorientasi komersial. Konon menjelang
perebutan kesempatan menjadi tuan rumah “ Olympiade 1992” maka pengurus IOC banjir
hadiah yang kita tahu sebagai pelincir bagi kegiatan lobi.

Pergeseran orientasi yang sesungghuhnya berakar pada perubahan nilai-nilai dasar


yang banyak di warnai oleh nilai utilitarian itu sebenarnya juga telah masuk ke Indonesia.
Para pengelolah olahraga itu sendiri kurang siap menghadapai perubahan itu dan karena
memang tidak ada persiapan khusus bagi personel olahraga. Kasus perpindahan atlet dari satu
daerah ke daerah lain mampu mnyediakan bonus atau imbalan setiap menjelang PON akhir-
akhir ini, di samping dapat dipandang sebagai manifestasi dari gejala mobilitas penduduk
yang kian meningkat (arus balik dari Jakarta ke daerah lain atau dari pulau jawa ke luar
Jawa), juga dapat ditafsirkan dari isu global; sport adalah sebuah komoditi dan keterlibatan
seorang atlet dalam olahraga di dorong oleh perhitungan untung rugi. Ukuran serba material
di anggap layak. Di lain pihak, organisasi induk, termasuk KONI kurang siap mengantisipasi

11
gejala itu, sehingga gejolak perubahan dapat terkendali tanpa menimbulkan dampak yang
memperlemah sistem pembinaan olahraga nasional.

Berkaitan dengan isu nasional itu, maka persoalannya adalah bangkitnya tuntutan bagi
pengembangan sistem penghargaan yang mantap dan tidak menggoyahkan asas pembinaan.

4. Peranan Media Olahraga

Selama sekitar dua dasarwa terakhir ini dapat kita saksikan peningkatan perhatian dari
media terhadap olahraga. Semua surat kabar, baik yang telah mapan maupun yang belum
menyediakan rubrik olahraga dalam liputan yang cukup banyak meskipun terpusat pada
cabang-cabang tertentu yang populer dikalangan masyarakat (misalnya RCTI, SCTV,
ANTV) juga memperlihatkan perhatian yang banyak dengan menyediakan waktu yang cukup
banyak bagi program penayangan, baik rekaman maupun yang langsung. Betapa sibuk kita
dengan urusan jalannya kompetisi liga Inggris atau Italia, dan secara langsung kita ikut
membiayai kegiatan itu melalui pembayaran kompensasi bagi hak siaran yang note bene
menyedot biaya besar. Tidak terelakkan, di duga banyak penggemar sepak bola di tanah air
yang merasa tidak berselera menikmati jalannya pertandingan antar tim dalam negeri.

Gejala ini patut direnungkan. Seandainya ongkos yang mahal itu dialihkan untuk
pembinaan atlet usia dini, tidakkah akan mencapai hasil yang lebih baik di masa mendatang.

Daya tarik olahraga terletak dalam unsur kejutan, hasil yang sukar di reka dan unsur
ketegangan. Karena ada kesan, bahwa olahraga secara efektif mampu membangkitkan
ketegangan yang menjadi sumber daya tarik. Dan justru unsur inilah yang menjadi fokus
perhatian para persinel media. Selanjutnya, berkembang masalah baru yang merupakan
tantangan dalam kaitannya dengan ikhtiar membangkitkan semangat olympiade.

Media olahraga merupakan perantara antara kegiatan olahraga dan para


penggemarnya. Pihak media itu sendiri sering memasukkan penafsirannya de dalam event
olahraga sehingga menimbulkan efek tertentu terhadap persepsi para penggemar, terutama
pemirsa TV. Sadar atau tidak kita sadari, media olahraga sering mendandani event yang
sebenarnya, yang kecil bisa nampak menjadi besar. Bagian penting dari seluruh peristiwa
dipenggal dan bagian itu ditonjolkan, misalnya melalui gerak yang diperlambat, bahkan efek
dramatis bisa diperkuat, seperti tindak kekerasan di lapangan. Suara dan bahasa yang di pakai
komentator dalam siaran pandangan mata melalui radio moosalnya, dapat menimbulkan
respon emosional atau persepsi tertentu dari pihak pendengar dan bahkan tidak mustahil

12
karena terperangkat pada penonjolan ketegangan sebagai daya tarik, apa yang dikomentari
itu tidak sehebat kejadian yang sebenarnya. Keadaan ini sering kita ikuti misalnya dalam
pengungkapan alur bola dalam sepak bola atau duel dalam bulu tangkis.

Yang menarik perhatian kita adalah persepsi melalui penglihatan (TV) atau
pengamatan langsung tidak bersaing dengan persepsi melalui bacaan (surat kabar). Sebagai
contoh, di luar negeri dan di Indonesia sendiri, seorang penonton sepak bola mendengarkan
siaran pandangan mata sambil menyaksikan pertandingan. Bahkan penayangan melalui TV
tidak bersaing dengan kepentingan pembaca sebab ada gejala orang tetap ingin mengetahui
ulasan tertulis melalui surat kabar. Para penggemar itu biasanya membandingkan berbagai
ulasan dari berbagai sumber termasuk ulasanya sendiri.

Sehubungan dengan gejala itu kian jelas bagi kita bahwa hukum persepsi terhadap
objek olahraga dalam proses komunikasi tetap berlaku. Karena itu kredibilitas sumber
informasi dan bahkan daya tariknya merupakam faktor dominan bagi keberhasilan
komunikasi. Paling tidak telah banyak dimanfaatkan sebaga jaminan keterandalan media
yang bersangkutan. Karena itu kita sering menyaksikan penampilan mantan pemain nasional
untuk memberikan komentar langsung atau tertulis yang kemudian di tulis kembali oleh
editor agar memenuhi syarat-syarat jurnalistik.

Selain menyediakan informasi sehingga publik menjadi “well inform”, media


olahraga merupakan age sosial yang efektif untuk menggugah partisipasi dan bahkan
memperkuat respons emosional dan kesiapan berbuat dalam olahraga. Kekuatan eksternal ini
dapat berdampak positif dan negatif. Dari segi positif, media efektif untuk memperagakan
atau membangkitkan tentang kesadaran tentang kemanfaatan olahraga dari segi-segi lainnya.
Namun dilain pihak, segi negatifnya juga cukup banyak, antara lain, media itu sendiri
merupakan patner bagi penggemar olahraga dalam tindakan kekerasan (violence) (Bryant &
Zillman, 1983, dalam Calhoun, 1987). Para pemirsa pria lebih suka terhadap kekerasan
ketimbang wanita. Dan media kemudian menyiarkan tindak kekerasan itu sebagai bungkus
pesan para sponsor (misalnya produk minuman, mobil dll).

Kecenderungan berikutnya yang menjadi tantangan bagi media olahraga yaitu praktik
yang disebut oleh David Halberstam (1981) “Corrupt the quality of play “. Maksudnya,
seperti dalam televisi, event dan adegan yang ditayangkan berorientasi untuk memperluas
jangkauan sasarannya dan merendahkan kualitas pemahaman para pemirsa. Akibatnya, para
pemirsa kurang pengetahuannya tentang permainan yang bersangkutan karena mereka lebih

13
suka sensasi dan adegan keras. Pendapat ini perlu kita renungi karena ada kesan bahwa para
komentator TV misalnya kurang bersedia memberikan kesempatan bagi para pemirsa untuk
mengembangkan sendiri penafsirannya. Tidak jarang, mereka mematikan pesawatnya pada
waktu seorang komentator muncul yang mereka nilai terlalu banyak “cakap” dan menggangu
ketengangan.

Sehubungan dengan hal itu, maka misi penting dari media adalah mencerdaskan
khalayak masyarkat melalui kegiatan olahraga. Banyak peristiwa yang meransang penalaran
dan terbuka untuk didiskusikan tanpa ada jawaban yang mutlak akibat gejala yang terlibat di
dalamnya amat kompleks. Karena itu para personel media sebaiknya bersikap sebagai
fasilisator atau mediator.

Sebagai negara yang sedang membangun, maka kita menyadari bahwa media juga
sangat besar peranannya untuk melaksanakan peran penyuluhan. Ini berarti, peluncuran
informasi tidak sekedar agar khalayak tahu atau sadar akan suatu peristiwa, namun secara
tidak langsung meningkatkan pengetahuan mereka yang selanjutnya dapat mereka gunakan
sendiri dalam kehidupan sehari-hari atau dalam kegiatan olahraga, sehingga tercapai kualitas
penonton yang terpelajar. Bahkan bukan mustahil media itu merupakan sumber rujukan dan
karena itu perlu ditangani ahli yang profesional.

Peran penting lainnya ialah mendorong proses sosialisai melalui olahraga


internasional nilai-nilai hakiki dalam olahraga, seperti pentingnya fair play, gagasan sejati
dari olympiade, memerangi tindakan amoral berupa pemakain doping dll. Dapat dilakukan
oleh media olahraga, kupasan dan kritik bertanggung jawab merupakan wahana efektif untuk
membangkitkan kesadaran sebagai awal bagi terbentuknya sikap positif. Proses pembelajaran
sosial (social learning) dalam olahraga menekankan peranan lingkungan terhadap
pembentukan sikap atau kesiapan berbuat dan berpartisipasi dalam olahraga. Riset di luar
negeri menunjukkan kesesuain dengan temuan dalam negeri, misalnya terungkap dalam
survai Rusli Lutan dan Tahir Djide (1992), bahwa sebagian anak-anak usia mudah tertarik
untuk berlatih/belajar bulu tangkis karena sering membaca surat kabar atau melihat
penampilan jago-jago bulu tangkis dalam televisi. Tidak ada korelasi antara jenis kelamin
anak penggemar suatu cabang olahraga dengan jenis kelamin bintang idolanya, sebab sperti
dalam bulutangkis menurut survai terbatas (n=150), yang mayoritas anak laki-laki (6-15
tahun) maka, Susi susanti berada diperingkat ke dua setelah Ardy B. Wiranata dan disusul
Alan Budikusuma sebagai idola para pemain.

14
Berkenaan dengan proses sosialisasi ke dalam olahraga ini kita melihat peranan yang
besar dari media untuk meransang dan mendorong anak muda agar mnenyukai budaya gerak
atau olahraga. Karena itu patut ditonjolkan kesan-kesan yang baik dapat memberikan
inspirasi bagi anak agar berpartisipasi secara langsung dalam olahraga. Kesan buruk atau
pengalaman pahit dapat menyebabkan seseorang jera dan menjauhi kegiatan itu. Patut di
catat, dari teori pembelajaran social, gejala kekerasan yang sering muncul dalam televisi atau
pemberitaan, sebenarnya secara tidak langsung menyebarluaskan perilaku kekerasan. Sebab
perilaku kekerasan itu pada hakikatnya terjadi tidak dengan sendirinya, melainkan melalui
peroses belajar.

15
BAB III

RANGKUMAN

Olahraga merupakan “ a microcosm of society” (Huizinga, dalam Giverson, 1984),


sebuah miniator masyarakat, sehingga dapat membantu kita memahami sistem politik suatu
negara atau masyarakat. Karena itu pula olahraga merupakan bagian dari sistem masyarakat
luas yang berinteraksi dengan pranata-pranata sosial lainnya, seperti ekonomi, politik, dan
agama. Akibatnya, sukar dihindari yakni olahraga mendapat tekanan dari lingkungan
sekitarnya dan bahkan membentuk ragam kegiatannya dan menentukan arahnya.

Politik dan nasionalisme merupakan tekanan terberat terhadap Gerakan Olympiade.


Hal itu merupakan gejala psikologis yang ditandai dengan identifikasi secara mendalam
budaya. Minat, cita-cita suatu kelompok (bangsa) yang melumat dengan ciri etnis, ras, agama
atau politik. Upaya untuk menciptakan, mempertahankan, dan mengeksploitasi struktur
power dan hubungannya oleh individu. Kelompok penguasa atau pejabat pemerintah disebut
politik.

Pembangkitan kembali olympiade sebagai event budaya pada tingkat kejuaraan


internasional akan berhasil jika dikombinasi dengan kegiatan seni dan ilmiah; secara
bersamaan atau berurutan kegiatan lainnya, diluar pertandingan olahraga diselenggarakan
seperti konser musik, pameran seni, ceramah, dan diskusi ilmiah guna memupuk
perkembangan mental, moral dan budaya kalangan pemuda.

Peristiwa interaksi sosial terbesar tingkat mundial ini mampu memikat perhatian
jutaan bahkan milyaran umat manusia, sehingga media olahraga perlu memanfaatkan peluang
ini sebaik-baiknya untuk memperoleh keuntungan sebanyak-banyaknya untuk membantu dan
mengarahkan kegiatannya ke arah kehidupan yang lebih baik.

Berkenaan dengan gagasan di atas, maka “Olympiade” atau “Olympic Ideal’ yang
dapat diartikan sebagai falsafah dan sekaligus cita-cita olympiade, perlu direalisasi dalam
tindakan konkret yaitu melalui Gerakan Olympiade. Olympisme itu sendiri di jabarkan dalam
anggaran dasar dan kelembagaan IOC, Komite Olahraga Nasional negara masing-masing
(NOC). Federasi internasional dari cabang-cabang olahraga dan kelembagaan olahraga
nasional yang terkait. Dengan kata lain Olympisme merupakan esensi dari Gerakan
Olympiade yang merupakan perwujudan dari cita-cita olympiade yang berupaya untuk
mempromosi pola hidup yang bebas dari diskriminasi rasial, agama dan politik.

16
Perkembangan olahraga di Indonesia menuju profesionalisme dalam arti sebenarnya
dan komersialisasi tidak dapat dihindari. Dalam upaya mengejar ketertinggalan
perkembangan olahraga, penerapan iptek, dan kontak antar bangsa untuk menghindari
keterpencilan di tingkat internasional, yang penting adalah perlunya pengendalian sehingga
jangan sampai nilai-nilai inti Pancasila yang mendasar tercabut dari akarnya , yang
menempatkan nilai manusiawi dalam hubungan sosial dan kebesaran Tuhan dalam hubungan
vertikal merupakan rujukan sentral.

Campur tangan media olahraga, pertama-tama dalam hal peningkatan akses informasi
dan pada tahap awal sasarannya tertuju pada pembangkitan kesadaran masyarakat terutama
tentang perlunya berpartisipasi dalam olahraga dan perolehan manfaat dari kegiatan itu.
Itulah sebabnya para insan pers olahraga yang berperan sebagai perantara dalam proses
komunikasi perlu memahami isi olahraga baik tingkat nasioanal maupun global. Ekses
negatif dari olahraga kompetitif yang berlebihan perlu diantisipasi sehingga jangan sampai
justru media olahraga itu sendiri mempersubur dan memperluas dekadensi moral dan
kekerasan dalam olahraga.

Tekanan akan selalu ada terutama untuk menjamin bagaimana agar mutu informasi
tidak mengalami distorsi. Penangkalnya adalah gaya “jurnalistik conscience” yang
berorientasi pada penyadaran, mengutamakan kejujuran, kebanggaan profesi dan kebebasan
megutarakan apa yang sebenarnya secara bertanggung jawab.

17
BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan
Campur tangan media olahraga, pertama-tama dalam hal peningkatan akses
informasi dan pada tahap awal sasarannya tertuju pada pembangkitan kesadaran
masyarakat terutama tentang perlunya berpartisipasi dalam olahraga dan perolehan
manfaat dari kegiatan itu. Itulah sebabnya para insan pers olahraga yang berperan
sebagai perantara dalam proses komunikasi perlu memahami isi olahraga baik tingkat
nasioanal maupun global. Ekses negatif dari olahraga kompetitif yang berlebihan
perlu diantisipasi sehingga jangan sampai justru media olahraga itu sendiri
mempersubur dan memperluas dekadensi moral dan kekerasan dalam olahraga.
Tekanan akan selalu ada terutama untuk menjamin bagaimana agar mutu
informasi tidak mengalami distorsi. Penangkalnya adalah gaya “jurnalistik
conscience” yang berorientasi pada penyadaran, mengutamakan kejujuran,
kebanggaan profesi dan kebebasan megutarakan apa yang sebenarnya secara
bertanggung jawab.

B. Kritik Dan Saran


Kritik dan Saran dalam pembuatan makalah ini adalah:
1. Sebaiknya dalam pembuatan makalah harus mengambil pembahasan dari
beberapa sumber agar bisa membandingkan teori-teori yang ada.
2. Sebaiknya setiap pembuatan makalah harus mengetahui betul dan menguasai
judul makalahnya.

18
DAFTAR PUSTAKA

www.google.com

19

Anda mungkin juga menyukai