WAHYUDIN
BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
PEMBAHASAN
1. Sosiologi adalah ilmu yang berusaha memberikan pengertian tentang aksi-aksi sosial.
2. Teori Ideal Typus, yaitu suatu kosntruksi dalam pikiran seorang peneliti yang dapat digunakan
sebagai alat untuk menganalisis gejala-gejala dalam masyarakat.
3. Ajaran-ajarannya sangat menyumbang sosiologi, misalnya analisisnya tentang wewenang,
birokrasi, sosiologi agama, organisasi-organisasi ekonomi dan seterusnya.
II. Pengertian Sosiologi menurut Charles Horton Cooley (1864-1929)
1. Mengembangkan konsepsi mengenai hubungan timbal balik dan hubungan yang tidak
terpisahkan antara individu dengan masyarakat.
2. Teorinya mengidamkan kehidupan bersama, rukun dan damai sebagaimana dijumpai pada
masyarakatmasyarakat yang masih bersahaja.
3. Prihatin melihat masyarakat-kasyarakat modern yang telah goyah norma-normanya, sehingga
masyarakat bersahaja merupakan bentuk ideal yang terlalu berlebih-lebihan kesempurnaannya.
III. Pengertian Sosiologi menurut F.G. Robbins, sosiologi pendidikan adalah sosiologi khusus
yang tugasnya menyelidiki struktur dan dinamika proses pendidikan. Struktur mengandung
pengertian teori dan filsafat pendidikan, sistem kebudayaan, struktur kepribadian dan hubungan
kesemuanya dengantata sosial masyarakat. Sedangkan dinamika yakni proses sosial dan kultural,
proses perkembangan kepribadian,dan hubungan kesemuanya dengan proses pendidikan.
IV. Pengertian Sosiologi menurut H.P. Fairchild dalam bukunya ”Dictionary of Sociology”
dikatakan bahwa sosiologi pendidikan adalah sosiologi yang diterapkan untuk memecahkan
masalah-masalah pendidikan yang fundamental. Jadi ia tergolong applied sociology.
V. Pengertian Sosiologi menurut Prof. DR S. Nasution,M.A., Sosiologi Pendidikana dalah ilmu
yang berusaha untuk mengetahui cara-cara mengendalikan proses pendidikan untuk
mengembangkan kepribadian individu agar lebih baik.
VI. Pengertian Sosiologi menurut F.G Robbins dan Brown, Sosiologi Pendidikan ialah ilmu yang
membicarakan dan menjelaskan hubungan-hubungan sosial yang mempengaruhi individu untuk
mendapatkan serta mengorganisasi pengalaman. Sosiologi pendidikan mempelajari kelakuan
sosial serta prinsip-prinsip untuk mengontrolnya.
VII. Pengertian Sosiologi menurut E.G Payne, Sosiologi Pendidikan ialah studi yang
komprehensif tentang segala aspek pendidikan dari segi ilmu sosiologi yang diterapkan.
VIII. Pengertian Sosiologi menurut Drs. Ary H. Gunawan, Sosiologi Pendidikan ialah ilmu
pengetahuan yang berusaha memecahkan masalah-masalah pendidikan dengan analisis atau
pendekatan sosiologis.
Pada dasarnya, sosiologi dapat dibedakan menjadi dua, yaitu sosiologi umum dan sosiologi
khusus. Sosiologi umum menyelidiki gejala sosio-kultural secara umum. Sedangkan Sosiologi
khusus, yaitu pengkhususan dari sosiologi umum, yaitu menyelidiki suatu aspek kehidupan sosio
kultural secara mendalam. Misalnya: sosiologi masayarakat desa, sosiologi masyarakat kota,
sosiologi agama, sosiolog hukum, sosiologi pendidikan dan sebagainya.Jadi sosiologi pendidikan
merupakan salah satu sosiologi khusus.
Dari beberapa defenisi di atas, dapat disimpulkan bahwa sosiologi pendidikan adalah ilmu yang
mempelajari seluruh aspek pendidikan, baik itu struktur, dinamika, masalah-masalah pendidikan,
ataupun aspek-aspek lainnya secara mendalam melalui analisis atau pendekatan sosiologis.
Jadi pengertian Sosiologi olahraga adalah ilmu yang mempelajari tentang perilaku manusia dalam
hubungan timbal balik dengan manusia di lingkungannya, mulai dari perilaku sederhana sampai
yang kompleks. Perilaku manusia ada yang disadari, namun ada pula yang tidak disadari, dan
perilaku yang ditampilkan seseorang dapat bersumber dari luar ataupun dari dalam dirinya
sendiri.
Ilmu sosiologi diterapkan pula ke dalam bidang olahraga yang lalu dikenal sebagai Sosiologi
olahraga. Penerapan sosiologi ke dalam bidang olahraga ini adalah untuk membantu agar bakat
olahraga yang ada dalam diri seseorang dapat dikembangkan sebaik-baiknya tanpa adanya
hambatan dan faktor-faktor yang ada dalam kepribadiannya. Dengan kata lain, tujuan umum dari
soiologi olahraga adalah untuk membantu seseorang agar dapat menampilkan prestasi optimal,
yang lebih baik dari sebelumnya.
B. Mengapa Sosiologi Olahraga Diperlukan dalam Olahraga?
Untuk meningkatnya kerjasama dalam pertandingan dapat
meningkatkan kerjasama satu atlet dengan atlet lainya dengan
mudah dan cepat berinteraksi dengan lingkungan sekitar, baik dalam
hal fisik maupun psikis, sehingga kemampuan olahraganya dapat
berkembang. Mereka tidak mudah tegang dan cemas akan hasil
pertandingannya, dan mereka merasakan mudah berkonsentrasi.
Keadaan ini seringkali menyebabkan para atlet dapat menampilkan
permainan terbaiknya. Para pelatih pun menaruh minat terhadap
bidang sosiologi olahraga, khususnya dalam bagaimana
berhubungan atau berinteraksi dengan lingkungan.
Sosiologi olahraga juga diperlukan agar atlet dapat dengan mudah
berfikir mengenai. mengapa mereka berolahraga dan apa yang ingin
mereka capai? Sekali tujuannya diketahui, latihan-latihan
ketrampilan sosiologis dapat menolong tercapainya tujuan tersebut.
C. Perspektif Perilaku (Behavioral Perspective)
Prespertif disini diartikan sebagai asumsi-asumsi dasar yang paling
banyak sumbangannya kepada pendekatan pendidikan jasmani dan
olah raga dengan sosiologi olahraga. Pendekatan ini awalnya
diperkenalkan oleh John B. Watson (1941, 1919). Pendekatan ini
cukup banyak mendapat perhatian dalam psikologi di antara tahun
1920- an s/d 1960-an. Ketika Watson memulai penelitiannya, dia
menyarankan agar pendekatannya ini tidak sekedar satu alternatif
bagi pendekatan instinktif dalam memahami perilaku sosial, tetapi
juga merupakan alternatif lain yang memfokuskan pada pikiran,
kesadaran, atau pun imajinasi. Watson menolak informasi
instinktif semacam itu, yang menurutnya bersifat “mistik”,
“mentalistik”, dan “subyektif”. Dalam psikologi obyektif
maka fokusnya harus pada sesuatu yang “dapat diamati”
(observable), yaitu pada “apa yang dikatakan (sayings)
dan apa yang dilakukan (doings)”. Dalam hal ini
pandangan Watson berbeda dengan James dan Dewey,
karena keduanya percaya bahwa proses mental dan juga
perilaku yang teramati berperan dalam menyelaskan
perilaku sosial. Para “behaviorist” memasukan perilaku ke dalam satu unit yang
dinamakan “tanggapan” (responses), dan lingkungan ke dalam unit “rangsangan” (stimuli).
Menurut penganut paham perilaku, satu rangsangan dan tanggapan tertentu bisa berasosiasi satu
sama lainnya, dan menghasilkan satu bentuk hubungan fungsional. Contohnya, sebuah
rangsangan ” seorang teman datang “, lalu memunculkan tanggapan misalnya, “tersenyum”. Jadi
seseorang tersenyum, karena ada teman yang datang kepadanya. Para behavioris tadi percaya
bahwa rangsangan dan tanggapan dapat dihubungkan tanpa mengacu pada pertimbangan mental
yang ada dalam diri seseorang. Jadi tidak terlalu mengejutkan jika para behaviorisme tersebut
dikategorikan sebagai pihak yang menggunakan pendekatan “kotak hitam (black-box)” .
Rangsangan masuk ke sebuah kotak (box) dan menghasilkan tanggapan. Mekanisme di dalam
kotak hitam tadi srtuktur internal atau proses mental yang mengolah rangsangan dan tanggapan
karena tidak dapat dilihat secara langsung (not directly observable), bukanlah bidang kajian para
behavioris tradisional.
Kemudian, B.F. Skinner (1953,1957,1974) membantu mengubah fokus behaviorisme melalui
percobaan yang dinamakan “operant behavior” dan “reinforcement“. Yang dimaksud dengan
“operant condition” adalah setiap perilaku yang beroperasi dalam suatu lingkungan dengan cara
tertentu, lalu memunculkan akibat atau perubahan dalam lingkungan tersebut. Misalnya, jika kita
tersenyum kepada orang lain yang kita hadapi, lalu secara umum, akan menghasilkan senyuman
yang datangnya dari orang lain tersebut. Dalam kasus ini, tersenyum kepada orang lain tersebut
merupakan “operant behavior“. Yang dimaksud dengan “reinforcement” adalah proses di mana
akibat atau perubahan yang terjadi dalam lingkungan memperkuat perilaku tertentu di masa
datang . Misalnya, jika kapan saja kita selalu tersenyum kepada orang asing (yang belum kita
kenal sebelumnya), dan mereka tersenyum kembali kepada kita, maka muncul kemungkinan
bahwa jika di kemudian hari kita bertemu orang asing maka kita akan tersenyum. Perlu diketahui,
reinforcement atau penguat, bisa bersifat positif dan negatif. Contoh di atas merupakan penguat
positif. Contoh penguat negatif, misalnya beberapa kali pada saat kita bertemu dengan orang
asing lalu kita tersenyum dan orang asing tersebut diam saja atau bahkan menunjukan rasa tidak
suka, maka dikemudian hari jika kita bertemu orang asing kembali, kita cenderung tidak
tersenyum (diam saja). Dalam pendekatan perilaku terdapat teori-teori yang mencoba
menjelaskan secara lebih mendalam mengapa fenomena sosial yang diutarakan dalam pendekatan
perilaku bisa terjadi. Beberapa teori antara lain adalah Teori Pembelajaran Sosial (Social
Learning Theory) dan Teori Pertukaran Sosial (Social Exchange Theory).
a. Teori Pembelajaran Sosial.
Di tahun 1941, dua orang psikolog – Neil Miller dan John Dollard – dalam laporan hasil
percobaannya mengatakan bahwa peniruan (imitation) di antara manusia tidak disebabkan oleh
unsur instink atau program biologis. Penelitian kedua orang tersebut mengindikasikan bahwa kita
belajar (learn) meniru perilaku orang lain. Artinya peniruan tersebut merupakan hasil dari satu
proses belajar, bukan bisa begitu saja karena instink. Proses belajar tersebut oleh Miller dan
Dollard dinamakan “social learning ” - “pembelajaran sosial”. Perilaku peniruan (imitative
behavior) kita terjadi karena kita merasa telah memperoleh imbalan ketika kita meniru perilaku
orang lain, dan memperoleh hukuman ketika kita tidak menirunya. Agar seseorang bisa belajar
mengikuti aturan baku yang telah ditetapkan oleh masyarakat maka “para individu harus dilatih,
dalam berbagai situasi, sehingga mereka merasa nyaman ketika melakukan apa yang orang lain
lakukan, dan merasa tidak nyaman ketika tidak melakukannya.”, demikian saran yang
dikemukakan oleh Miller dan Dollard. Dalam penelitiannya, Miller dan Dollard menunjukan
bahwa anak-anak dapat belajar meniru atau tidak meniru seseorang dalam upaya memperoleh
imbalan berupa permen. Dalam percobaannya tersebut, juga dapat diketahui bahwa anak-anak
dapat membedakan orang-orang yang akan ditirunya. Misalnya jika orang tersebut laki-laki maka
akan ditirunya, jika perempuan tidak. Lebih jauh lagi, sekali perilaku peniruan terpelajari
(learned), hasil belajar ini kadang berlaku umum untuk rangsangan yang sama. Misalnya, anak-
anak cenderung lebih suka meniru orang-orang yang mirip dengan orang yang sebelumnya
memberikan imbalan. Jadi, kita mempelajari banyak perilaku “baru” melalui pengulangan
perilaku orang lain yang kita lihat. Kita contoh perilaku orang-orang lain tertentu, karena kita
mendapatkan imbalan atas peniruan tersebut dari orang-orang lain tertentu tadi dan juga dari
mereka yang mirip dengan orang-orang lain tertentu tadi, dimasa lampau.Dua puluh tahun
berikutnya, Albert Bandura dan Richard Walters (1959, 1963), mengusulkan satu perbaikan atas
gagasan Miller dan Dollard tentang belajar melalui peniruan. Bandura dan Walters menyarankan
bahwa kita belajar banyak perilaku melaluipeniruan, bahkan tanpa adanya penguat
(reinforcement) sekalipun yang kita terima. Kita bisa meniru beberapa perilaku hanya melalui
pengamatan terhadap perilaku model, dan akibat yang ditimbulkannya atas model tersebut.
Proses belajar semacam ini disebut “observational learning” – pembelajaran melalui pengamatan.
Contohnya, percobaan Bandura dan Walters mengindikasikan bahwa ternyata anak-anak bisa
mempunyai perilaku agresif hanya dengan mengamati perilaku agresif sesosok model, misalnya
melalui film atau bahkan film karton. Bandura (1971), kemudian menyarankan agar teori
pembelajaran sosial seyogianya diperbaiki lebih jauh lagi. Dia mengatakan bahwa teori
pembelajaran sosial yang benarbenar melulu menggunakan pendekatan perilaku dan lalu
mengabaikan pertimbangan proses mental, perlu dipikirkan ulang. Menurut versi Bandura, maka
teori pembelajaran sosial membahas tentang (1) bagaimana perilaku kita dipengaruhi oleh
lingkungan melalui penguat (reinforcement) dan observational learning, (2) cara pandang dan
cara pikir yang kita miliki terhadap informasi, (3) begitu pula sebaliknya, bagaimana perilaku kita
mempengaruhi lingkungan kita dan menciptakan penguat (reinforcement) dan observational
opportunity - kemungkinan bisa diamati oleh orang lain.
a. Menjadikan keharmonisan antara fungsi sistem saraf dan otot untuk menghasilkan gerakan
yang diinginkan.
b. Mengembangkan keterampilan lokomotor, seperti: berjalan, melompat, meloncat, meluncur,
melangkah, mendorong, berlari, menderap/mencongklang, bergulir, menarik
c. Mengembangkan keterampilan non-lokomotor, seperti mengayun, melenggok, meliuk,
bergoyang, meregang, menekuk, mengantung, membungkuk.
d. Mengembangkan keterampilan dasar jenis permainan, seperti memukul, menendang,
menangkap, berhenti, melempar, memulai, mengubah arah, memantul, bergulir, memvoli.
e. Mengembangkan faktor-faktor gerak, seperti ketepatan, irama, rasa gerak, power, waktu reaksi,
kelincahan
f. Mengembangkan keterampilan olahraga dan dansa, seperti sepakbola, softball, bola voli, gulat,
atletik, baseball, bola basket, panahan, hoki, anggar, tenis, bowling, golf, dansa.
g. Mengembangkan keterampilan rekreasi, seperti hiking, tenis meja, berenang, berlayar.
(c). Aspek perseptual:
a. Mengembangkan kemampuan menerima dan membedakan di antara isyarat yang ada dalam
situasi yang dihadapi agar dapat melakukan kinerja yang lebih terampil
b. Mengembangkan hubungan-hubungan yang berkaitan dengan tempat/ruang, yaitu kemampuan
mengenali objek-objek yang berada di depan, di belakang, di bawah, di sebelah kanan, atau di
sebelah kiri dari dirinya.
c. Mengembangkan koordinasi gerak-visual, yaitu kemampuan mengkoordinasikan pandangan
dengan keterampilan gerak kasar yang melibatkan tangan, tubuh, dan/atau kaki
d. Mengembangkan hubungan sikap tubuh-tanah, yaitu kemampuan memilih stimulus dari massa
sensori yang diterima atau memilih jumlah stimulus terbatas yang menjadi fokus perhatian
e. Mengembangkan keseimbangan tubuh (statis, dinamis), yaitu emampuan mempertahankan
keseimbangan statis dan dinamis
f. Mengembangkan dominansi (dominancy), yaitu konsistensi dalam menggunakan tangan atau
kaki kanan atau kiri dalam melempar atau menendang.
g. Mengembangkan lateralitas (laterility), yaitu kemampuan membedakan perbedaan di antara
sisi kanan atau kiri tubuh dan di antara bagian dalam kanan atau kiri tubuhnya sendiri
h. Mengembangkan image tubuh (body image), yeitu kesadaran bagan-bagian tubuh atau seluruh
tubuh dan hubungannya dengan tempat atau ruang
(d). Aspek Kognitif:
a. Mengembangkan kemampuan mengeksplorasi, menemukan sesuatu, memahami, memperoleh
pengetahuan, dan membuat keputusan-keputusan yang bernilai.
b. Meningkatkan pengetahuan peraturan permainan, keselamatan, dan etika.
c. Mengembangkan kemampuan penggunaan strategi dan teknik yang terlibat dalam aktivitas
yang terorganisasi.
d. Meningatkan pengetahuan bagaimana fungsi-fungsi tubuh dan hubungannya dengan aktivitas
jasmani
e. Menghargai kinerja tubuh; penggunaan pertimbangan yang berhubungan dengan jarak, waktu,
tempat, bentuk, kecepatan, dan arah yang digunakan dalam mengimplementasikan aktivitas, bola,
dan dirinya.
f. Meningkatkan pemahaman tentang faktor-faktor pertumbuhan dan perkembangan yang
dipengaruhi oleh gerakan
g. Mengembangkan kemampuan untuk memecahkan problem-problem perkembangan melalui
gerakan.
(e). Aspek sosial:
a. Penyesuaian baik dirinya dan orang lain dengan menggabungkan dirinya ke dalam masyarakat
dan lingkungannya.
b. Mengembangkan kemampuan membuat pertimbangan dan keputusan dalam situasi kelompok
c. Belajar berkomunikasi dengan orang lain
d. Mengembangkan kemampuan bertukar dan mengevaluasi ide dalam kelompok
e. Mengembangkan kepribadian, sikap, dan nilai agar dapat berfungsi sebagai anggota
masyarakat
f. Mengembangkan rasa memiliki dan rasa diterima di masyarakat.
g. Mengembangkan sifat-sifat kepribadian yang positif
h. Belajar menggunakan waktu luang yang konstruktif
i. Mengembangkan sikap yang mencerminkan karakter moral yang baik.
(f). Aspek emosional:
a. Mengembangkan respons yang sehat terhadap aktivitas jasmani melalui pemenuhan kebutuhan
dasar.
b. Mengembangkan reaksi yang positif terhadap penonton dan partisipasi melalui keberhasilan
atau kegagalan.
c. Melepas ketegangan melalui aktivitas fisik yang tepat
d. Memberikan saluran untuk mengekspresikan diri dan kreativitas
e. Menghargai pengalaman estetika dari berbagai aktivitas yang relevan
c) Pengertian Olahraga
Makna olahraga menurut ensiklopedia Indonesia adalah gerak badan yang dilakukan oleh satu
orang atau lebih yang merupakan regu atau rombongan. Sedangkan dalam Webster’s New
Collegiate Dictonary (1980) yaitu ikut serta dalam aktivitas fisik untuk mendapatkan kesenangan,
dan aktivitas khusus seperti berburu atau dalam olahraga pertandingan (athletic games di
Amerika Serikat)
Menurut Cholik Mutohir olahraga adalah proses sistematik yang berupa segala kegiatan atau
usaha yang dapat mendorong mengembangkan, dan membina potensi-potensi jasmaniah dan
rohaniah seseorang sebagai perorangan atau anggota masyarakat dalam bentuk permainan,
perlombaan/pertandingan, dan prestasi puncak dalam pembentukan manusia Indonesia seutuhnya
yang berkualitas berdasarkan Pancasila.
Untuk penjelasan pengertian olahraga menurut Edward (1973) olahraga harus bergerak dari
konsep bermain, games, dan sport. Ruang lingkup bermain mempunyai karakteristik antara lain;
a. Terpisah dari rutinitas, b. Bebas, c. Tidak produktif, d. Menggunakan peraturan yang tidak
baku. Ruang lingkup pada games mempunyai karakteristik; a. ada kompetisi, b. hasil ditentukan
oleh keterampilan fisik, strategi, kesempatan. Sedangkan ruang lingkup sport; permainan yang
dilembagakan.
Tujuan utama olahraga bukanlah pembangunan fisik saja melainkan juga pembangunan mental
dan spiritual. Olahraga (Lama) ialah merupakan suatu kegiatan yang dilakukan atas pilihan
sendiri yang bermaksud menguatkan diri baik phisik maupun psychis tanpa mengharapkan suatu
hasil materiil tetapi mengharapkan kenaikan prestasi. Olahraga (baru) ialah membentuk manusia
Indonesia Pancasila yang fisik kuat-sehat berprestasi tinggi, yang memiliki kemampuan mental
dan ketrampilan kerja yang kritis kreatif dan sejahtera. Jadi Olahraga ialah suatu usaha untuk
mendorong, membangkitkan, mengembangkan dan membina kekuatan jasmaniah maupun
rokhaniah pada tiap manusia. Lebih tegas dikatakan bahwa olahraga untuk mempertahankan
existensi kemanusiaan dan untuk melakukan cita-cita hidup bangsa. Olahraga merupakan
pembentukan fisik dan mental
C. Perspektif Sosiologi Olahraga (Asumsi-Asumsi Sosiologi Olahraga) Pendidikan Jasmani dan
Olahraga
Dalam memahami arti sosiologi olahraga, pendidikan jasmani, kita harus juga
mempertimbangkan hubungan antara Pendidikan jasmani dan olahraga (sport) dengan sebagai
istilah yang lebih dahulu populer dan lebih sering digunakan dalam konteks kegiatan sehari-hari
ORKES (Olahraga Kesehatan). Pemahaman tersebut akan membantu para guru atau masyarakat
dalam memahami peranan dan fungsi pendidikan jasmani secara lebih konseptual.
Olahraga di pihak lain adalah suatu bentuk bermain yang terorganisir dan bersifat kompetitif.
Beberapa ahli memandang bahwa olahraga semata-mata suatu bentuk permainan yang
terorganisasi, yang menempatkannya lebih dekat kepada istilah pendidikan jasmani. Akan tetapi,
pengujian yang lebih cermat menunjukkan bahwa secara tradisional, olahraga melibatkan
aktivitas kompetitif.
Ketika kita menunjuk pada olahraga sebagai aktivitas kompetitif yang terorganisir, kita
mengartikannya bahwa aktivitas itu sudah disempurnakan dan diformalkan hingga kadar tertentu,
sehingga memiliki beberapa bentuk dan proses tetap yang terlibat. Peraturan, misalnya, baik
tertulis maupun tak tertulis, digunakan atau dipakai dalam aktivitas tersebut, dan aturan atau
prosedur tersebut tidak dapat diubah selama kegiatan berlangsung, kecuali atas kesepakatan
semua pihak yang terlibat. Di atas semua pengertian itu, olahraga adalah aktivitas kompetitif.
Kita tidak dapat mengartikan olahraga tanpa memikirkan kompetisi, sehingga tanpa kompetisi
itu, olahraga berubah menjadi semata-mata bermain atau rekreasi. Bermain, karenanya pada satu
saat menjadi olahraga, tetapi sebaliknya, olahraga tidak pernah hanya semata-mata bermain;
karena aspek kompetitif teramat penting dalam hakikatnya.
Sosiologi intinya adalah aktivitas atau hubungan satu kelompok dengan kelompok yang lain. Kita
mengartikan sosiologi sebagai ujung tombak berinteraksi yang bersifat universal yang kompetitif,
meskipun berinteraksi tidak harus selalu bersifat ada pertemuan. Berinteraksi bukanlah berarti
olahraga dan pendidikan jasmani, meskipun elemen dari berinteraksi dapat ditemukan di dalam
keduanya.
Di pihak lain, pendidikan jasmani mengandung elemen baik dari sosial maupun dari olahraga,
tetapi tidak berarti hanya salah satu saja, atau tidak juga harus selalu seimbang di antara
keduanya. Sebagaimana dimengerti dari kata-katanya, pendidikan jasmani adalah aktivitas
jasmani yang memiliki tujuan kependidikan tertentu. Pendidikan Jasmani bersifat fisik dalam
aktivitasnya dan penjas dilaksanakan untuk mendidik. Hal itu tidak bisa berlaku bagi bermain dan
olahraga, meskipun keduanya selalu digunakan dalam proses kependidikan.
Sosiologi olahraga , pendidikan jasmani dan olahraga melibatkan bentuk-bentuk gerakan, dan
ketiganya dapat melumat secara pas dalam konteks pendidikan jika digunakan untuk tujuan-
tujuan kependidikan. Bermain dapat membuat rileks dan menghibur tanpa adanya tujuan
pendidikan, seperti juga olahraga tetap eksis tanpa ada tujuan kependidikan. Misalnya, olahraga
profesional (di Amerika umumnya disebut athletics) dianggap tidak punya misi kependidikan
apa-apa, tetapi tetap disebut sebagai olahraga. Olahraga dan sosiologi dapat eksis meskipun
secara murni untuk kepentingan berinteraksi dengan kelompok yang lain, untuk kepentingan
pendidikan, atau untuk kombinasi keduanya. berinteraksi dan pendidikan tidak harus dipisahkan
secara eksklusif; keduanya dapat dan harus beriringan bersama.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan yang telah penulis uaraikan maka dapat ditarik satu kesimpulah bahwa Salah
satu masalah penting dalam kehidupan bermasyarakat adalah bersosial dan berinteraksi,
pendidikan jasmani dan olahraga sebagai salah satu sarana pendidikan masyarakat / Olahragawan
/manusia/ individu untuk memberikan suatu pemikiran tentang bagaimana cara hidup dengan
layak dan sehat jasmani dan rohani dalam dalam kehidupan bermasyarakat. Mengajarkan
Sosiologi sebaiknya lebih bersifat berinteraksi dengan lingkungan.Tindakan lebih baik dari kata-
kata. Nilai Sosial itu beraneka ragam, termasuk loyalitas, kebajikan, kehormatan, kebenaran,
respek, keramahan, integritas, keadilan, kooperatif dan mudah berinteraksi dengan masyarakat.
Dalam memahami arti pendidikan jasmani dan, kita harus juga mempertimbangkan Perspektif
Sosiologi Olahraga, Pendidikan jasmani dan olahraga (sport) dengan sebagai istilah yang lebih
dahulu populer dan lebih sering digunakan dalam konteks kegiatan sehari-hari. Pemahaman
tersebut akan membantu para guru atau masyarakat dalam memahami peranan dan fungsi
pendidikan jasmani secara lebih konseptual.
Sejak manusia lahir di dunia, ia telah berjuang untuk mempertahankan kehidupan yang wajar,
untuk dapat hidup dengan tenaga dan pikirannya. Untuk itu manusia memperkembangkan
kekuatan fisik dan jasmani supaya badannya cukup kuat dan tenaganya cukup terlatih, menjadi
tangkas untuk melakukan perjuangan hidupnya. Disamping itu menjadi kebutuhan hidup tiap
manusia dan menjadi sifat manusia untuk mencoba kekuatan dan ketangkasannya dengan
manusia-manusia lain.
Pendidikan jasmani merupakan bagian integral dari sistem pendidikan secara keseluruhan. Oleh
karena itu, pelaksanaan pendidikan jasmani harus diarahkan pada pencapaian tujuan pendidikan
tersebut. Tujuan pendidikan jasmani bukan aktivitas jasmani itu sendiri, tetapi untuk
mengembangkan potensi siswa melalu aktivitas jasmani.
Olahraga di pihak lain adalah suatu bentuk bermain yang terorganisir dan bersifat kompetitif.
Beberapa ahli memandang bahwa olahraga semata-mata suatu bentuk permainan yang
terorganisasi, yang menempatkannya lebih dekat kepada istilah pendidikan jasmani. Akan tetapi,
pengujian yang lebih cermat menunjukkan bahwa secara tradisional, olahraga melibatkan
aktivitas kompetitif.
Ketika kita menunjuk pada olahraga sebagai aktivitas kompetitif yang terorganisir, kita
mengartikannya bahwa aktivitas itu sudah disempurnakan dan diformalkan hingga kadar tertentu,
sehingga memiliki beberapa bentuk dan proses tetap yang terlibat. Peraturan, misalnya, baik
tertulis maupun tak tertulis, digunakan atau dipakai dalam aktivitas tersebut, dan aturan atau
prosedur tersebut tidak dapat diubah selama kegiatan berlangsung, kecuali atas kesepakatan
semua pihak yang terlibat.
Di atas semua pengertian itu, olahraga adalah aktivitas kompetitif. Kita tidak dapat mengartikan
olahraga tanpa memikirkan kompetisi, sehingga tanpa kompetisi itu, olahraga berubah menjadi
semata-mata bermain atau rekreasi. Bermain, karenanya pada satu saat menjadi olahraga, tetapi
sebaliknya, olahraga tidak pernah hanya semata-mata bermain; karena aspek kompetitif teramat
penting dalam hakikatnya.
Di satu Sosiologi intinya adalah aktivitas atau hubungan satu kelompok dengan kelompok yang
lain. Kita mengartikan sosiologi sebagai ujung tombak berinteraksi yang bersifat universal yang
kompetitif, meskipun berinteraksi tidak harus selalu bersifat ada pertemuan. Berinteraksi
bukanlah berarti olahraga dan pendidikan jasmani, meskipun elemen dari berinteraksi dapat
ditemukan di dalam keduanya.
Di pihak lain, pendidikan jasmani mengandung elemen baik dari sosial maupun dari olahraga,
tetapi tidak berarti hanya salah satu saja, atau tidak juga harus selalu seimbang di antara
keduanya. Sebagaimana dimengerti dari kata-katanya, pendidikan jasmani adalah aktivitas
jasmani yang memiliki tujuan kependidikan tertentu. Pendidikan Jasmani bersifat fisik dalam
aktivitasnya dan penjas dilaksanakan untuk mendidik. Hal itu tidak bisa berlaku bagi bermain dan
olahraga, meskipun keduanya selalu digunakan dalam proses kependidikan.
Pendidikan jasmani, olahraga dan Sosiologi olahraga , melibatkan bentuk-bentuk gerakan
kepribadian , dan ketiganya dapat secara pas dalam konteks pendidikan jika digunakan untuk
tujuan-tujuan kependidikan bagai mana berinteraksi dengan masyarakat dan lingkungan sekitar.
Berolahraga dapat membuat rileks dan menghibur tanpa adanya tujuan pendidikan, seperti juga
olahraga tetap eksis tanpa ada tujuan kependidikan. Misalnya, olahraga profesional (di Amerika
umumnya disebut athletics) dianggap tidak punya misi kependidikan apa-apa, tetapi tetap disebut
sebagai olahraga. Olahraga dan sosiologi dapat eksis meskipun secara murni untuk kepentingan
berinteraksi dengan kelompok yang lain, untuk kepentingan pendidikan, atau untuk kombinasi
keduanya. berinteraksi dan pendidikan tidak harus dipisahkan secara eksklusif; keduanya dapat
dan harus beriringan bersama.
Pendidikan jasmani adalah proses penyesuian diri secara timbal balik antara manusia dengan
alam, dengan sesama manusia atau juga pengembangan dan penyempurnaan secara teratur dari
semua potensi moral, intelektual, dan jasmaniah manusia oleh dan untuk kepentingan pribadi
dirinya dan masyarakat yang ditujukan untuk kepentingan tersebut dalam hubungannya dengan
Sang Maha Pencipta sebagai tujuan akhir. Pendidikan mutlak harus ada pada manusia, karena
pendidikan merupakan hakikat hidup dan kehidupan. Pendidikan berguna untuk membina
kepribadian manusia. Dengan pendidikan maka terbentuklah pribadi yang baik sehingga di dalam
pergaulan dengan manusia lain, individu dapat hidup dengan tenang.
Pendidikan membantu agar tiap individu mampu menjadi anggota kesatuan sosial manusia tanpa
kehilangan pribadinya masing-masing. Pada hakikatnya pendidikan menjadi tanggung jawab
bersama, yakni keluarga, masyarakat, dan sekolah/ lembaga pendidikan. Keluarga sebagai
lembaga pertama dan utama pendidikan, masyarakat sebagai tempat berkembangnya pendidikan,
dan sekolah sebagai lembaga formal dalam pendidikan.
B. Saran
Berbicara tentang sosiologi kaitanya dengan pendidikan jasmani dan olahraga , maka ada
bebarapa saran yang dapat di garis bawahi dalam makalah ini adalah:
1. Hubungannya dengan perkembangan Sosiologi Olah raga diharapkan masyarakat atau anak
didik (Atlet) dalam mengembangkan hubungan antara masyarakat olahraga dan masyarakat
dilingkungan olahraga diharapkan dapat mengetahui arti penting berinteraksi antar masyarakat
olahraga dan masyarakat lingkungan
2. Pendidikan Jasmani, olahraga dan ssosiologi tidak bisa dipisahkan karena ketiganya saling
mempengaruhi didalam meningkatkan dinamika sosial-budaya masyarakat.
3. Pendidikan jasmani merupakan bagian integral dari sistem pendidikan secara keseluruhan.
Oleh karena itu, pelaksanaan pendidikan jasmani harus diarahkan pada pencapaian tujuan
pendidikan tersebut. Tujuan pendidikan jasmani bukan aktivitas jasmani itu sendiri, tetapi untuk
mengembangkan potensi siswa melalu aktivitas jasmani.
4. Didalam memahami Pendidikan jasmani, olahraga dan sosiologi olahraga harus tiap individu
mampu menjadi anggota kesatuan sosial manusia tanpa kehilangan pribadinya masing-masing.
Pada hakikatnya pendidikan menjadi tanggung jawab bersama, yakni keluarga, masyarakat, dan
sekolah/ lembaga pendidikan. Keluarga sebagai lembaga pertama dan utama pendidikan,
masyarakat sebagai tempat berkembangnya pendidikan, dan sekolah sebagai lembaga formal
dalam pendidikan.
DAFTAR PUSTAKA
BOUMAN, P.J. (1976) Sosiologi, Pengertian dan masalah. Yogyakarta, Penerbit Yayasan
Kanisius.
COSER, L. (1964). The Function of Social Conflict. New York, The Free Press.
DURKHEIM, E. (1966). The Division of Labour (Translation). New York, The Free Press.
GOULDNER, Alvin W. (1973). The Coming Crisis of Western Sociology. London, Heineman
H.Gunawan, Ary. 2006. Sosiologi Pendidikan Suatu Analisis Sosiologi tentang Pelbagai Problem
Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.
HINDESS, Barry (ed. 1977). Sociological theories of the Economy. London, the Mac Millan
Press.
Ikhwanuddin Syarif (ed). (2001) Pendidikan untuk Masyarakat Indonesia baru, 70 tahun Prof. Dr.
H.A.R. Tilaar, M.Sc. Ed. Jakarta: Grasindo, 2001.
KAZACIGIL, Ali (ed. 1994). Sociology: State of the Art I. International Social Sciences Journal,
February 1994:139. Paris, Blackwell Publ.
MARX, K. (1956). Selected Writings in Sociology and Social Philosophy. (Translation by T.B.
Bottomore). New York, Mc Graw-Hill Books.
MILLS, C, Wright (1961). The Sociological Imagination. New York, Grove Press, Inc.
MUDIM BE, V.Y. (ed. Dkk, 1996). Open the Social Sciences. Refort of the Guilbenkian
Commission of the Gulbenkian Commission on the Restructuring of the Social Science. Stanford,
Stanford Univ. Press.
PARSONS, Talcot (1951). The Social System; The Major Exposition of the Author’s Conceptual
Scheme. New York, Free Press.
Richard Tinning, et., al, (2001) Becoming a physical education teacher, Australia: Printice hall.
SIMMEL, G. (1955). Conflict and the Web of Group Affixations. New York, The Free Press.
____________ (1950). The sociology of George Simmel. New York, The Free Press of Glencol
SIMONDS, A.P. (1978). Karl Mennheim’s Sociology of Knowledge. Oxford, Clarendom Press
SOROKIN, P.A. (1928). Contemporary Sociological Theories; through the First Quarter of the
20th Century. New York, Harper Torchbooks.
STEINER, Philippe (2001). “The Sociology of Economic Knowledge”. The Return of Economic
Sociology in Europe (a. Symposium) dalam European Journal of Social Theory 4 (4). London,
Sage Publications
Sutan Zanti dan Syahniar Syahrun, (1993) Dasar-dasar Kependidikan. Jakarta: Dirjeb Pend.
Tinggi.
WEBER, M. (1964). The Theory of Sociology Imagination. New York, Grove Press, Inc.
Wendy Kohli (ed).,(1995) Critical Conversations in Pholosophy of Education. New York:
Routledge.
WERTHEIM, W.F. et.al. (ed.s 1955-1957). Indonesian Sociological Studies; Selected Writings
of B. Watson,A.S. (1992): Children in Sports, dalam Textbook of Science and Medicine in Sport
Edited by J.Bloomfield, P.A.Fricker and K.D.Fitch; Blackwell Scientific Publications.
William H. Freeman, 6th ed. (2001) Physical Education and sport in a changing society. Boston:
Allyn & Bacon.
Schrieke (2 parts). The Haque, W. van Hoeve.