Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

PSIKOLOGI OLAHRAGA

KELAS IKOR A
KELOMPOK 1 :
 RIZKA ANGRAENI 200303500001
 MUH. NUR IHSAN SONTE 200303500004
 ANANG SULISTIANTO 200303501013
 AHMAD DADANG SUPRIADI 200303501014

Semester III
Program Studi Ilmu Keolahragaan
Fakultas Ilmu Keolahragaan

Universitas Negeri Makassar


Overtraining, Staleness & Burnout
Ketiga istilah di atas merupakan istilah yang cukup dikenal di
kalangan masyarakat olahraga. Namun kiranya tidaklah jelek jika kita
mencoba untuk mencarikan terjemahannya di dalam bahasa Indonesia.
Mungkin saja terjemahan yang penulis ajukan masih belum baku,
tetapi kiranya langkah ini perlu dilakukan sebagai salah satu upaya
untuk membudayakan juga psikologi olahraga di Indonesia.

Istilah overtraining kiranya sampai saat ini bisa diterjemahkan


sebagai kelebihan latihan atau kelebihan beban latihan, dan burnout
diterjemahkan sebagai kejenuhan. Staleness diterjemahkan oleh
Wojowasito, Poerwadarminta, dan Wasito (1982) sebagai 1) apak, 2)
basi, 3) busuk. Kiranya tidaklah layak menggunakan istilah kebusukan,
karena istilah ini berkonotasi negatif dan dapat diinterpretasikan keliru.
Demikian juga istilah basi terasa kurang tepat karena lebih terkait
dengan perihal makanan. Sementara itu dalam penjelasan berikutnya
Wojowasito dan kawan-kawan (1982) mencantumkan bahwa akibat
kelebihan latihan, individu menjadi apak. Penjelasan ini tampak secara
langsung menyinggung masalah olahraga. Karenanya, di dalam buku ini
istilah staleness di terjemahkan sebagai keapakan.

A. Kelebihan beban latihan (overtraining)

Kelebihan beban latihan adalah suatu keadaan menurunnya


penampilan kinerja olahraga individu akibat beban latihan yang terlalu
berat untuk jangka waktu relatif panjang.

Dalam penerapan prinsip latihan, ada pendekatan untuk


meningkatkan beban latihan sedemikian rupa secara bertahap, dalam
jangka waktu relatif panjang, dan berhasil meningkatkan penampilan
kinerja atlet. Hal ini dikenal sebagai periodized training atau latihan
menurut periodisasi. Sebagai contoh, perenang Rusia, Vladimir
Salnikov. berenang sebanyak 20.000 meter se-hari dalam periode dua
minggu. Bagi Salnikov nyatanya latihan ini meningkatkan kecepatannya
untuk menjadi perenang Olympiade (Raglin, 1993). Tetapi bagi banyak
atlet renang lainnya kondisi ini dapat menjadi beban yang demikian
besar, dan jika beban ini diberikan, bukannya kemampuan atlet
bertambah, tetapi sebaliknya atlet akan mengalami kelelahan yang
berlebihan. Perlu dimengerti bahwa latihan hendaknya disesuaikan
dengan kebutuhan atletnya. Mark Spitz, salah seorang perenang
Olympiade terbesar, ternyata tidak pernah melakukan latihan seperti
Salnikov. Ia bahkan tidak berenang lebih dari 10.000 meter dalam satu
hari (Raglin, 1993).

Jadi, jika latihan diberikan secara berlebihan atau jauh melebihi


kebutuhan atlet sehingga penampilan atlet bukan meningkat
melainkan menurun, inilah yang dikenal sebagai kelebihan beban
latihan.

B. Keapakan (staleness)

Keapakan adalah suatu kondisi yang mentinjukkan status atlet dalam


keadaan tidak mampu mempertahankan kemampuan penampilan
standarnya, dengan kata lain penampilannya di bawah standar, sebagai
akibat dari kelebihan latihan, dan untuk selanjutnya (apabila tidak
ailakukan intervensi) atlet tidak akan lagi mampu untuk mencapai taraf
kemampuan standarnya. Salah satu ciri dampak psikologi yang dialami
atlet yang mengalami keapakan adalah depresi (Weinberg & Gould,
1995).

C. Kejenuhan (burnout)

Kejenuhan adalah suatu kondisi psikologis yang dialami seseorang


akibat stres disertai kegagalan meraih harapan yang berlangsung
berulang-ulang atau dalam jangka waktu relatif panjang sehingga
menimbulkan kecenderungan menarik diri secara psikologis, emosional
đan kerap kali secara fisik dari kegiatan tertentu yang selama ini
menjadi tumpuan harapannya. Smith (1986) menjelaskan bahwa ke-
jenuhan merupakan konsep yang amat kompleks sebagai bentuk
kelelahan psikofisiologis akibat gagalnya usaha seseorang memperoleh
hasil yang diharapkan padahal ia telah berusaha sekuat tenaga bahkan
mungkin berlebihan. Sebagai aikibatnya, individu tersebut cenderung
menarik diri baik dalam pengertian psikologis, maupun fisik.
Weinberg dan Gould (1995) menjelaskan bahwa dalam beberapa
keadaan kejenuhan dapat mengakibatkan sese- orang berhenti dari
aktivitasnya sebagai atlet. Jadi kejenuh- an merupakan salah satu
penyebab berhentinya individu menempuh karir sebagai atlet. Namun,
hal ini tidak berarti bahwa individu yang menghentikan karirnya
sebagai atlet. melakukan hal tersebut karena kejenuhan. Artinya, tidak
setiap kejenuhan mengakibatkan individu berhenti menjadi atlet.

D. Sumber kelebihan beban latihan dan kejenuhan

Weinberg dan Gould (1995) setuju dengan pandangan R. glin dan


Morgan (1989) menjelaskan bahwa kelebihan tihan ditimbulkan oleh
faktor-faktor yang tertera berikut ini Faktor-faktor tersebut tersusun
menurut urutannya sesual dengan banyaknya atau tingginya frekuensi
keluhan atlet.

1. Terlalu banyak stres dan tekanan

2. Terlalu banyak berlatih dan latihan fisik

3. Kelelahan fisik dan nyeri otot

4. Kebosanan (boredom) akibat pengulangan kegiatan terus


menerus

5. Istirahat yang tidak cukup dan pola tidur layak.

Raglin dan Morgan (1989) lebih jauh lagi mengemukakan bahwa


kejenuhan dialami oleh sekitar 47% atlet. Delapan puluh satu persen
(81%) dari mereka yang mengalami ke- jenuhan menyatakan bahwa
hal tersebut karena mereka mengalami stres dalam menjalani
latihan. Sumber terjadinya kejenuhan menurut para atlet adalah:

1. Kondisi latihan yang parah

2. Kelelahan fisik ekstrim

3. Tidak cukup waktu pemulihan sejak stres pertandingan

4. Timbulnya rasa bosan (boredom)

5. Kelelahan emosional dan kelelahan fisik.


Para atlet tersebut menyatakan bahwa mereka menga- lami
sekurang-kurangnya satu kali kelebihan beban latihan atau kejenuhan
selama kehidupan mereka sebagal atlet, dengan kecenderungan
mengalami ke- lebihan latihan lebih besar daripada kecenderungan
mengalami kejenuhan. yang kurang

E. Mendiagnosis Kelebihan beban latiluan, Keapakan, dan


Kejenuhan

Untuk mendiagnosis kelebihan beban latihan, keapakan serta


kejenuhan, multidimesi sampai saat ini merupakan pendekatan yang
terbaik yang dapat dilakukan (McCann, 1995). Hal ini disebabkan
pendekatan multidi mensi melibatkan seluruh aspek individu yang
terkait dengan kondisi yang dialaminya, yaitu kondisi fisik., psikis,
penampilan, serta melibatkan laporan pribadi dan orang lain (pelatih,
pengurus, dan anggota keluarga atau teman- teman atlet). Sehingga
masing-masing hasil evaluasi dapat dibandingkan satu dengan lainnya
dan diperoleh kesela- rasan diagnosis. Adapun informasi yang
diperoleh meliputi:

• Simtom-simtom fisiologis
• Simtom-simtom psikologis
• Indikator menurunnya penampilan
• Hasil evaluasi medis
• Laporan dari atlet sendiri
• Data evaluasi psikologis
• Laporan dari pelatih atau orang lain yang signifikan.

F. Simtom kelebihan beban latihan

McCann (1995) mengutip dari berbagai sumber (Callister, Callister,


Fleck, & Dudley, 1989; Costill, Flynn, Kirwin, Houmard, Mitchell,
Thomas, & Park, 1988, Hackney, Pearman, & Nowacki, 1990; Morgan,
Costill, Flynn, Raglin, & O"Connor, 1988) mengemukakan adanya
sejumlah simtom fisiologis yang terkait dengan kelebihan beban latihan
sebagai berikut:

• Peningkatan tekanan darah dan detak nadi


• Keluhan nyeri otot berlebihan
• Kehilangan berat badan dan kehilangan kandungan lemak
tubuh dalam kadar tinggi Perubahan hormonal
• Gangguan tidur
• Peningkatan frekuensi sakit dan/ atau cedera.

Sekalipun masing-masing kondisi di atas tidak secara otomatis


menunjukkan atlet mengalami kelebihan beban latihan, namun jika
berbagai simtom ini muncul secara serentak, hampir dapat dipastikan
bahwa atlet mengalami kelebihan beban latihan. Karenanya, untuk
memperoleh gambaran yang lebih jelas apakah simtom-simtom ini
muncul secara serentak atau secara suksesif, upaya meningkatkan kerja
sama dengan pelatih perlu untuk terus dilakukan. Pelatihlah, melalui
jadwal kegiatan latihannya sehari-hari yang dapat memonitor hal-hal
yang terjadi serta dialami oleh atletnya.

G. Laporan atlet

Laporan atlet merupakan hal yang amat penting untuk diperhatikan.


Untuk mendata keluhan-keluhan atlet dari suatu periode ke periode
lainnya serta berbagai upaya yang pernah dilakukan untuk mengatasi
permasalahan yang dihadapi, seorang pelatih dan konselor perlu
memiliki catatan tentang kondisi pribadi atlet (logbook). Tanpa adanya
data perkembangan individual masing-masing atlet, kiranya sulitlah
seorang pelatih ataupun konsultan untuk mengantisipasi masalah yang
dihadapi oleh atlet. Demikian pula catatan pelatih ataupun konselor
perlu dicantumkan di dalam data atlet sehingga langkah-langkah yang
pernah dilakukan untuk mengatasi gangguan yang dialami atlet dapat
diikuti dengan seksama dan dievaluasi kembali apakah pendekatan
yang dilakukan memberikan hasil yang diharapkan atau perlu dilakukan
suatu modifikasi lainnya.

H. Karakteristik kelebihan beban latihan dan kejenuhan

Kelebihan beban latihan dan kejenuhan berdampak lang sung pada


sejumlah kondisi atlet yang meliputi kondisi emosi, suasana hati (mood
states), penampilan, kemampuan menalar, kondisi fisik, kemampuan
mengatasi masalah (cop- ing behavior), dan berbagai kondisi kehidupan
secara menyeluruh. Atlet yang mengalami kelebihan beban latihan
serta kejenuhan seringkali menunjukkan sifat apatis, tanda- tanda
serupa dengan depresi, penurunan rasa percaya dirl. sulit tidur dan
lain-lain. Akibatnya, dalam beberapa kasus ekstrim, fungsi psikososial
atlet ikut mengalami perubahan drastis.

I. Kelebihan beban latihan dan suasana hati

Penelitian Morgan, Brown, Raglin, O'Connor, dan Ellickson (1987)


atas pengukuran terhadapa 400 perenang yang dilakukan oleh McNair,
LorT, dan Droppleman (1971) di Universitas Wisconsin menunjukkan
bahwa kelebihan beban latihan berkaitan langsung dengan suasana
hati. McNair dan kawan-kawan (1971) menggunakan FOMS (Pro- file of
Mood States) terhadap 400 perenang di Universitas Wisconsin untuk
mengukur suasana hati mereka dalam berbagai kondisi baik dalam
masa latihan maupun pertandingan, Mereka membagi kondisi emosi
yang menunjukkan suasana hati ini atas kondisi tegang, depresi, marah,
keteguhan atau ketegaran, kelelahan, dan perasaan bingung atau
bimbang. Setelah kurun waktu 10 tahun, Mor- gan dan kawan-kawan
menindak lanjuti penelitian tersebut dan memperoleh gambaran
bahwa jika atlet mengalami kelebihan beban latihan, apabila stimulus
latihan diting- katkan lagi, mereka akan mengalami gangguan suasana
hati. Makin berat beban latihan diberikan, makin terganggu suasana
hati mereka. Hal ini terutama sangat tampak dengan adanya
peningkatan gejala depresi, marah, dan kelelahan; sebaliknya
keteguhan atau ketegaran mereka mengalami penurunan.

Morgan dan rekan-rekan (1987) memperkenalkan istilah profil


gunung es sebagai bentuk karakteristik suasana hati para atlet bintang.
Profil gunung es adalah gambar statistik kondisi emosi para atlet
bintang dibandingkan dengan atlet lainnya atau individu lain pada
umumnya. Pada profil gunung es tergambarkan hal sebagai berikut:
Dalam kondisi di mana atlet mengalami kelebihan latihan beban,
profil gunung es ini menunjukkan bentuk terbalik sehingga ketegangan,
depresi, kemarahan, kelelahan dan sikap bingung atau bimbang
meningkat, sementara keteguhan atau ketegaran menurun. Tokoh lain
seperti Smith (1986) misalnya, menjelaskan bahwa kondisi kejenuhan
mengandung sejumlah komponen yang meliputi berbagai komponen
seperti situasi, pena- laran, responsi fisiologis, dan perilaku mengatasi
masalah.

Situasi mengandung sejumlah tuntutan yang harus dipenuhi oleh


atlet, dan bagi para atlet yang masih muda dengan keterbatasan
kemampuan mereka, situasi ini akan demikian mudah dipicu. Adapun
fungsi nalar atlet adalah bagaimana atlet menilai suatu situasi yang
harus dihadapi. Jika upaya untuk mengatasi tuntutan lingkungan dipan-
dang membutuhkan waktu yang terlalu panjang dan diang- gap
menghabiskan terlalu banyak enersi, sedangkan penye- lesaian tugas
yang dapat dilakukan masih sangat terbatas, maka atlet akan mudah
dihinggapi perasaan tidak berdaya.

Selanjutnya, penalaran atlet tersebut besar kemungkinan


menimbulkan kondisi stres pada atlet yang mengakibatkan terjadinya
perubahan fungsi fisik atlet sehingga atlet menjadi lebih tegang, mudah
marah dan cepat merasa lelah.

Komponen lain yang diajukan oleh Smith (1986) adalah perilaku


mengatasi masalah (coping). Dampak dari kondisi di atas selanjutnya
mempengaruhi cara atlet untuk mengatasi masalah yang dihadapinya.
Sebagian atiet tetap berusaha untuk bertahan mengatasi masalah yang
dihadapi, sebagian lainnya mungkin akan meninggalkan kegiatannya:
Komponen ini juga banyak dipengaruhi oleh kepribadian dan motivasi
atlet yang bersangkutan.

J. Tahapan Kejenuhan

Sejumlah atlet yang mengalami kejenuhan cenderung untuk


meninggalkan kegiatan olahraganya seketika, sementara yang lainnya
tetap bertahan karena berbagai alasan seperti alasan keuangan, status
sosial, atau adanya tekanan dari pihak lain seperti tekanan orang tua,
pengurus, pelatih dan sebagainya. Karenanya, adalah penting untuk
mewaspadai kondisi kejenuhan ini dengan nengacu pada tahapan
kejenuhan seperti yang dikemukakan oleh Weinberg dan Gould (1995)
sebagai berikut:

1. Depersonalisasi. Pada tahapan ini atlet mulai menarik diri dari


lingkungan teman-temannya, sekalipun ja masih mengikuti latihan,
sikap yang ditunjukkannya penuh dengan ketidakpedulian, baik
terhadap orang lain maupun dirinya sendiri.

2. Merasa tidak mampu menyelesaikan tugas. Pada tahapan ini


atlet mulai mengemukakan hal-hal yang menunjukkan ketidak-puasan
karena ia merasa tidak dapat meraih prestasi seperti yang diharapkan.
Ia merasa tidak mampu menyelesaikan tugas yang diberikan
kepadanya, dan mulai bersikap ragu-ragu atas kemam- puan yang
dimilikinya.

3. Isolasi. Dalam kondisi isolasi ini atlet cenderung untuk menyendiri


atau menghindari berada bersama dengan anggota regunya. Ia
cenderung mencari berbagai alasan untuk tidak mengikuti latihan
ataupun pertandingan.

4. Kelelahan emosional dan fisik. Dalam tahapan ini atlet


menunjukkan kondisi tidak lagi memiliki energi untuk berlatih apalagi
bertanding.

Dalam mengatisipasi kejenuhan, karenanya seorang pelatih perlu


melakukan observasi dengan sebaik-baiknya dan senantiasa
menyempatkan diri untuk berkomunikasi dengan atlet. Terutama pada
tahapan ketika atlet mulai melontarkan perasaan ketidak-puasannya
atas hasil prestasi yang diperolehnya, atau ketidak-puasan karena
merasa dirinya tidak mampu menyelesaikan tugasnya dengan baik,
pelatih perlu mendengarkan keluhan atlet dengan seksama. Melalui
informasi-informasi langsung seperti inilah seorang pelatih akan lebih
mampu mewaspadai gejala kejenuhan yang dialami atlet, sehingga
kemudian dapat mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk
mengatasi masalah tersebut.

K. Mengatasi Kelebihan beban latihan, Keapakan dan Kejenuhan

Seperti telah diuraikan di atas bahwa kelebihan beban latihan,


keapakan serta kejenuhan cenderung menimbulkan dampak negatif
terhadap penampilan kinerja olahraga atlet, dan tentunya hal ini perlu
untuk dihindari. Upaya untuk mengatasinya yang terbaik adalah
mengantisipasi dan menghindarinya sejak awal. Namun dalam
beberapa situasi tertentu atlet tidak dapat menghindari keadaan ini
sehingga penampilannya terpengaruh secara negatif dan perlu upaya
untuk mengatasinya dengan segera. Weinberg dan Gould (1995)
mengajukan sejumlah cara yang dapat dipertim- bangkan untuk
digunakan untuk mengantisipasi, menghin- dari maupun mengatasi
masalah tersebut.

1. Menentukan sasaran jangka pendek. Lamanya waktu yang


digunakan untuk mencapai sasaran jangka panjang kadang-kadang
menimbulkan kejenuhan pada atlet untuk terus mengikuti latihan.
Karenanya, adalah perlu menyusun program yang terarah pada sasaran
jangka pendek, sehingga atlet dapat mengarahkan kegiatannya ke
dalam periode kegiatan yang tidak begitu lama jangka waktunya dan
selanjutnya dihadapkan pada sasaran baru lainnya. Karenanya atlet
senantiasa menghadapi situasi yang baru dan hal ini menjauhkannya
dari kemungkinan merasa jenuh dalam berlatih.

2. Membina komunikasi Banyak orang membutuhkan kehadiran


orang lain untuk berbagi rasa, berbagi suka dan duka. Manusia pada
hakekatnya adalah mahluk sosial, sehingga berusaha menyimpan
gejolak emosi seorang diri membuka peluang untuk mengalami stres
yang lebih tinggi. Ketidak-beradaan orang lain dapat menimbulkan
kesendirian dan rasa kesepian. Sebaliknya kehadiran teman atau
pelatih memberi peluang pada atlet untuk dapat berbagi rasa dengan
orang lain sehingga terhindar dari rasa sepi serta kesendirian. Hal ini
membuatnya lebih mudah menghindari diri dari rasa jenuh
menghadapi kegiatan rutin sehari-hari.
3. Melakukan jeda (time-out breaks). Mitos mengatakan bahwa
makin banyak kerja makin tinggi suksesnya. Juga makin keras bekerja
makin baik hasilnya. Nyatanya tidaklah demikian. Banyak orang sukses
meraih sukses mereka bukan dilandasi kerasnya mereka bekerja,
melainkan karena efektifnya mereka menggunakan tenaga dan
efektifnya mereka memanfaatkan waktu. Kata kunci dalam hal ini
adalah efektivitas kerja. Kerja atau latihan efektif bukanlah kegiatan
yang berlangsung terus menerus tanpa henti. Jeda adalah penting
untuk mengistirahatkan sementara individu yang bekerja sekaligus
memulihkan tenaganya untuk kembali bekerja. Tanpa adanya jeda yang
mungkin timbul adalah kelelahan.

4. Meningkatkan keterampilan psikologis untuk mengendalikan diri.


Atlet hendaknya juga dibekali dengan keterampilan psikologis untuk
mengendalikan diri seperti relaksasi, visualisasi, menentukan sasaran,
memberi sugesti positif bagi diri sendiri dan lain-lain. Tanpa bekal
keterampilan psikologis, seorang atlet mungkin akan terjerat jadwal
yang tidak difahami maknanya, dan akibatnya ia mudah mengalami
keje- nuhan. Mungkin tanpa sasaran yang jelas, ia akan terjerat
idealisme tertentu yang menyebabkannya berlatih secara berlebihan
dan mengalami sindroma kelebihan beban latihan. Tetapi jika mereka
mampu menerjemahkan idealisme mereka ke dalam sasaran yang
realistis, mereka akan lebih mampu mengatur waktu latihan sehingga
juga lebih mungkin untuk terhindar dari kejenuhan dan keapakan.

5. Mempertahankan sikap positif. Pengalaman latihan serta


pertandingan, komentar dan masukan dari berbagai pihak, serta
umpan balik dari pengurus serta pimpinan adakalanya bernada negatif,
apalagi jika regu atau atletnya mengalami kekalahan. Pelatih
hendaknya merng- hindari sikap menyalahkan atlet atau saling
menyalah- kan satu sama lain, sekalipun bisa dirmengerti bahwa
pelatih pun mungkin sedang kesal karena kekalahan regu atau atletnya.
Namun justru pada saat inilah sikap positif pelatih sangat diharapkan
sehingga atlet juga dapat belajar bersikap positif dan dapat menerima
kekalahan. Di samping itu, sikap positif cenderung menumbuhkan
minat untuk memperbaiki diri, dan hal ini memberi peluang yang lebih
besar bagi atlet untuk memperbaiki diri di kemudian hari

6. Mengendalikan emosi pascatanding Sekalipun peluit terakhir


telah berbunyi, tidak berarti gejolak psikologis yang dialani atlet
berakhir. Dalam berbagai keadaan. usai pertandingan bahkan dapat
menjadi saat awal atlet mengalami gejolak emosi negatif yang dalam
beberapa hari berikutnya menjadi pemicu munculnya kejenuhan.
Kondisi pascatanding dapat menimbulkan gejolak emosi yang
berlebihan (seperti misalnya euphoria) atau mengarah ke hal-hal yang
destruktif seperti minum minuman keras, saling menyalahkan satu
sama lain atas peristiwa yang terjadi di gelanggang dan sebagainya.
Pelatih perlu mewaspadai hal ini, dan hendaknya pelatih harus mampu
"hadir" di antara para atletnya untuk membina suasana yang lebih
kondusif, suportif sehingga dapat mengendalikan emosi para atlet
menjadi lebih terkontrol.

7. Mempertahankan kebugaran. Upaya ini penting karena kebugaran


merupakan salah satu kunci kesejahteraan di dalam hidup seseorang.
Periode latihan dan pertan- dingan yang berlangsung dalam kurun
waktu tertentu menimbulkan kelelahan dan kelelahan mempengaruhi
ketahanan fisik dan mental seseorang. Jika atlet mengalami kelelahan
yang berlebihan, ia cenderung lebih mudah terkena stres. Jadi, seorang
atlet perlu untuk senantiasa mempertahankan kebugaran dengan
mem- perhatikan menu makan, jadwal kegiatan dan istirahat, agar ia
senantiasa berada dalam kondisi bugar.

L. Tujuan Intervensi

Intervensi terhadap kelebihan beban latihan, keapakan serta


kejenuhan memiliki sejumlah tujuan (McCann, 1995) yaitu:

• Pemusatan penampilan (performance focus)


• Kesejahteraan psikologis (psychological well-being)
• Pendidikan untuk pelatih dan atlet
• Perlindungan kesehatan bagi atlet
• Peningkatan komunikasi pelatih dan atlet
• Pengembangan keterampilan atlet untuk mengatasi berbagai
permasalahan dalam pelatihan.

McCann (1995) menjelaskan bahwa tujuan intervensi yang


dilakukan oleh psikolog klinis dalam menangani kasus-kasus umum
dengan psikolog olahraga dalam menangani kasus para atlet
adakalanya tidak sama. Dalam kondisi umum, seorang psikolog klinis
misalnya cenderung untuk menghilangkan stresor atau faktor yang
menekan dalam usaha memperbaiki kesejahteraan hidup individu.
Akan tetapi seorang psikolog olahraga mungkin melakukan upaya
khusus dan terprogram sedemikinn rupa untuk meningkatkan stres
sampai taraf tertentu dalam usaha meningkatkan kualitas penampilan
atlet. Karena, adakala- nya, dalam kasus keapakan dan kejenuhan
mungkin sum- ber utamanya adalah kurangnya tantangan yang harus
dihadapi atlet, sehingga stres dengan meningkatkan kualitas tantangan
mungkin dibutuhkan oleh atlet yang bersang- kutan untuk
memperbaiki penampilannya.

L. Menentukan keberhasilan program intervensi

Setelah program intervensi diberikan kepada atlet, diharapkan atlet


dapat mengatasi kejenuhan, keapakan serta kelelahannya akibat
kelebihan beban latihan. Hardy, Richman dan Rosenfeld (1991)
mengajukan Support Func- tions Questionnaire (SFQ) yang
dikembangkan oleh Pines, Aronson dan Kafry (1981) sebagai salah satu
bentuk pengukuran untuk menentukan berhasil tidaknya interven- si
yang diberikan pada atlet. Namun demikian, McCann (1995) secara
umum menjelaskan bahwa terlepas dari penggunaan kuesioner sebagai
alat ukur berhasil tidaknya suatu program intervensi, yang perlu
diperhatikan adalah hal-hal sebagai berikut:

• Apakah penampilan atlet menjadi lebih baik setelah


dilakukan intervensi?
• Apakah atiet merasa lebih tangguh secara psikologis?
• Apakah atlet dan pelatih lebih memahami masalah kelebihan
beban latihan?
• Apakah atlet merasa dirinya lebih sehat , dan menjadi lebih
jarang mengalami cidera?
• Apakah Pelatih dan atlet lebih sering mendiskusikan masalah-
maslah di dalam latihan secara lebih terbuka?

Menurut McCann (1995) untuk memahami hal-hal di atas di


samping meenggunakan evaluasi khusus SFQ, peneliti ke lapangan.
Karena adakalanya observasi langsung lebih Apakah atlet memiliki lebih
banyak keterampilan psikologis untuk mengatasi berbagai kendala
psikologis lebih jarang mengalami cedera? Apakah atlet memiliki lebih
banyak keterampila yang dihadapi? perlu untuk melakukan interviu
serta observasi langsune dapat memberikan gambaran yang lebih jelas
mengenai keadaan yang sesungguhnya.
Kesimpulan

Anda mungkin juga menyukai