pelatih untuk menaikan semangat dan motivasi atlit. Para pelatih memaksa atlitatlit bekerja lebih keras dan selalu mengambil resiko. Kata-kata tersebut menuntut
atlet siap mengambil resiko, dan kecendrungan atlit untuk mengalami stres atau
tekanan mental atas pernyataan-pernyataan pelatih menjadi lebih besar. Beberapa
orang merasa gagal ketika mereka terluka, sikap ini berkembang dan membudaya
dikalangan atlet sehingga sering kita jumpai bahwa atlit mengalami gangguan,
tidak hanya fisik tapi juga secara psikologis. Ketika seorang pemain atau atlit
mengalami cidera dilapangan, lalu merasa belum cukup memberikan kontribusi
untuk kemenangan sebuah tim. Atlet yang cidera sering memaksakan dirinya untuk
bermain kembali sehingga cideranya semakin parah. Disamping itu, tingkatan
stress yang dialami Samual juga dipengaruhi hubungan antara tekanan hidup dan
tingkat cidera yang dialaminya. Tingginya tingkat stres dan cemas ini di berkaitan
juga dengan kehidupan diluar lapangan, contohnya putus cinta, pindah dari kota ke
kota untuk tournament, urusan sekolah atau perubahan status ekonomi
keluarganya. Pembatasan Masalah dan Perumusan Masalah Dari sekian banyak
masalah psikologis yang dialami oleh atlit yang mengalami cidera, penulis akan
membatasi ruang lingkup bahasan tentang dampak cidera pada atlit yang
mengalami cidra, Ini diperlukan untuk memperjelas permasalahan yang ingin
dipecahkan. Oleh karena itu penulis memberikan batasan sebagai berikut:
Pengertian stres dan cemas serta respon pada seorang yang mengalami stres dan
cemas Bagaimana stress dan kecemasan dapat terjadi dan mempengaruhi prestasi
atlit Bagaimana reakasi atlit yang mengalami cidera dan orang-orang disekitarnya
Tujuan Pemulihan secara aktif, tidak sebatas oprasi dan latihan beban untuk
rehabilitasi. Pendekatan psikologis memfasilitasi proses pemulihan cidera, dan
pelatih/instruktur lebih mengunakan pendekatan holistic untuk menyembuhkan baik
pikiran dan fisik. Memahami psikologi pemulihan cidera adalah sangat penting bagi
semua yang terlibat dalam olahraga dan latihan. Dengan memahami fenomena
yang terjadi pada atlet, maka petugas kesehatan mampu menurunkan persepsi
cidera, stres dan kecemasan yang mempengaruhi karir seorang atlet. Serta
membantu atlet mempertahankan motivasi dan kepatuhan terhadap aturan
rehabilitasi. Manfaat Teoritis Manfaat bagi penulis ialah, bahwa dalam pelayanan
kesehatan seorang petugas tidak hanya menyembuhkan cidera fisik semata dari
seorang atlit tetapi juga penyimpangan psikologi yang dialami seorang atlit.
Manfaat Praktis Ketrampilan pengelolaan psikologis dari seorang pelayan
kesehatan, atlit serta orang-orang disekeliling atlit perlu ditingkatkan seperti
motivasi, menghilangkan cemas dan stres, dsb. Karena sangat penting untuk
rehabilitasi, kaitannya dengan pemulihan, peningkatan, dan mempertahankan
kesehatan fisik dan psikisnya, serta memperkuat relasi antara pemain dan pelatih.
Landasan Teori Teori Kecemasan A. Pengertian Kecemasan Kecemasan merupakan
salah satu emosi yang paling menimbulkan stress yang dirasakan oleh banyak
orang. Kadang-kadang kecemasan juga disebut dengan ketakutan atau perasaan
gugup.Setiap orang pasti pernah mengalami kecemasan pada saat-saat tertentu,
dan dengan tingkat yang berbeda-beda. hal tersebut mungkin saja terjadi karena
individu merasa tidak memiliki kemampuan untuk menghadapi hal yang mungkin
Pada pasien yang akan menjalani operasi, faktor predisposisi kecemasan yang
sangat berpengaruh adalah faktor psikologis, terutama ketidak pastian tentang
prosedur dan operasi yang akan dijalani. C. Gejala Kecemasan Penderita yang
mengalami kecemasan biasanya memiliki gejala-gejala yang khas dan terbagi
dalam beberapa fase, yaitu : Fase 1 Keadan fisik sebagaimana pada fase reaksi
peringatan, maka tubuh mempersiapkan diri untuk fight (berjuang), atau flight (lari
secepat-cepatnya). Pada fase ini tubuh merasakan tidak enak sebagai akibat dari
peningkatan sekresi hormon adrenalin dan nor adrenalin. Oleh karena itu, maka
gejala adanya kecemasan dapat berupa rasa tegang di otot dan kelelahan,
terutama di otot-otot dada, leher dan punggung. Dalam persiapannya untuk
berjuang, menyebabkan otot akan menjadi lebih kaku dan akibatnya akan
menimbulkan nyeri dan spasme di otot dada, leher dan punggung. Ketegangan dari
kelompok agonis dan antagonis akan menimbulkan tremor dan gemetar yang
dengan mudah dapat dilihat pada jari-jari tangan (Wilkie, 1985). Pada fase ini
kecemasan merupakan mekanisme peningkatan dari sistem syaraf yang
mengingatkan kita bahwa system syaraf fungsinya mulai gagal mengolah informasi
yang ada secara benar (Asdie, 1988). Fase 2 Disamping gejala klinis seperti pada
fase satu, seperti gelisah, ketegangan otot, gangguan tidur dan keluhan perut,
penderita juga mulai tidak bisa mengontrol emosinya dan tidak ada motifasi diri
(Wilkie, 1985). Labilitas emosi dapat bermanifestasi mudah menangis tanpa sebab,
yang beberapa saat kemudian menjadi tertawa. Mudah menangis yang berkaitan
dengan stres mudah diketahui. Akan tetapi kadang-kadang dari cara tertawa yang
agak keras dapat menunjukkan tanda adanya gangguan kecemasan fase dua
(Asdie, 1988). Kehilangan motivasi diri bisa terlihat pada keadaan seperti seseorang
yang menjatuhkan barang ke tanah, kemudian ia berdiam diri saja beberapa lama
dengan hanya melihat barang yang jatuh tanpa berbuat sesuatu (Asdie, 1988). Fase
3 Keadaan kecemasan fase satu dan dua yang tidak teratasi sedangkan stresor
tetap saja berlanjut, penderita akan jatuh kedalam kecemasan fase tiga. Berbeda
dengan gejala-gejala yang terlihat pada fase satu dan dua yang mudah di
identifikasi kaitannya dengan stres, gejala kecemasan pada fase tiga umumnya
berupa perubahan dalam tingkah laku dan umumnya tidak mudah terlihat
kaitannya dengan stres. Pada fase tiga ini dapat terlihat gejala seperti : intoleransi
dengan rangsang sensoris, kehilangan kemampuan toleransi terhadap sesuatu yang
sebelumnya telah mampu ia tolerir, gangguan reaksi terhadap sesuatu yang
sepintas terlihat sebagai gangguan kepribadian (Asdie, 1988). D. Klasifikasi Tingkat
Kecemasan Ada empat tingkat kecemasan, yaitu ringan, sedang, berat dan panik
(Townsend, 1996). Kecemasan ringan; Kecemasan ringan berhubungan dengan
ketegangan dalam kehidupan sehari-hari dan menyebabkan seseorang menjadi
waspada dan meningkatkan lahan persepsinya. Kecemasan ringan dapat
memotivasi belajar dan menghasilkan pertumbuhan dan kreatifitas. Manifestasi
yang muncul pada tingkat ini adalah kelelahan, iritabel, lapang persepsi meningkat,
kesadaran tinggi, mampu untuk belajar, motivasi meningkat dan tingkah laku sesuai
situasi. Kecemasan sedang; Memungkinkan seseorang untuk memusatkan pada
masalah yang penting dan mengesampingkan yang lain sehingga seseorang
mengalami perhatian yang selektif, namun dapat melakukan sesuatu yang terarah.
Manifestasi yang terjadi pada tingkat ini yaitu kelelahan meningkat, kecepatan
denyut jantung dan pernapasan meningkat, ketegangan otot meningkat, bicara
cepat dengan volume tinggi, lahan persepsi menyempit, mampu untuk belajar
namun tidak optimal, kemampuan konsentrasi menurun, perhatian selektif dan
terfokus pada rangsangan yang tidak menambah ansietas, mudah tersinggung,
tidak sabar,mudah lupa, marah dan menangis. Kecemasan berat; Sangat
mengurangi lahan persepsi seseorang. Seseorang dengan kecemasan berat
cenderung untuk memusatkan pada sesuatu yang terinci dan spesifik, serta tidak
dapat berpikir tentang hal lain. Orang tersebut memerlukan banyak pengarahan
untuk dapat memusatkan pada suatu area yang lain. Manifestasi yang muncul pada
tingkat ini adalah mengeluh pusing, sakit kepala, nausea, tidak dapat tidur
(insomnia), sering kencing, diare, palpitasi, lahan persepsi menyempit, tidak mau
belajar secara efektif, berfokus pada dirinya sendiri dan keinginan untuk
menghilangkan kecemasan tinggi, perasaan tidak berdaya, bingung, disorientasi.
Panik; Panik berhubungan dengan terperangah, ketakutan dan teror karena
mengalami kehilangan kendali. Orang yang sedang panik tidak mampu melakukan
sesuatu walaupun dengan pengarahan. Tanda dan gejala yang terjadi pada keadaan
ini adalah susah bernapas, dilatasi pupil, palpitasi, pucat, diaphoresis, pembicaraan
inkoheren, tidak dapat berespon terhadap perintah yang sederhana, berteriak,
menjerit, mengalami halusinasi dan delusi. E. Respon Fisiologis terhadap
Kecemasan Kardio vaskuler; Peningkatan tekanan darah, palpitasi, jantung
berdebar, denyut nadi meningkat, tekanan nadi menurun, syock dan lain-lain.
Respirasi; napas cepat dan dangkal, rasa tertekan pada dada, rasa tercekik. Kulit:
perasaan panas atau dingin pada kulit, muka pucat, berkeringat seluruh tubuh, rasa
terbakar pada muka, telapak tangan berkeringat, gatal-gatal. Gastro intestinal;
Anoreksia, rasa tidak nyaman pada perut, rasa terbakar di epigastrium, nausea,
diare. Neuromuskuler; Reflek meningkat, reaksi kejutan, mata berkedip-kedip,
insomnia, tremor, kejang, , wajah tegang, gerakan lambat. F. Respon Psikologis
terhadap Kecemasan Perilaku; Gelisah, tremor, gugup, bicara cepat dan tidak ada
koordinasi, menarik diri, menghindar. Kognitif; Gangguan perhatian, konsentrasi
hilang, mudah lupa, salah tafsir, bloking, bingung, lapangan persepsi menurun,
kesadaran diri yang berlebihan, kawatir yang berlebihan, obyektifitas menurun,
takut kecelakaan, takut mati dan lain-lain. Afektif; Tidak sabar, tegang, neurosis,
tremor, gugup yang luar biiasa, sangat gelisah dan lain-lain. Teori Stres dan
Pennyebabnya A. Pengertian Kecemasan Stress adalah tekanan internal maupu
eksternal serta kondisi bermasalah lainnya dalam kehidupan. Menurut Lazurus dan
Folkman (1986) stres adalah keadaan internal yang dapat diakibakan oleh trauma
fisik dari tubuh atau kondisi lingkungan dan sosial yang dinilai potensial
membahayakan tidak terkendali atau melebihi kemampuan individu untuk
mengatasinya.Sedangkan Dalam kamus psikologi (Chaplin, 2002) stress merupakan
suatu keadaan tertekan baik itu secara fisik maupu psikologis. . Menurut Lazurus
dan Folkman (1986) stres memiliki tiga bentuk, yaitu : Stimulus, yaitu stres
merupakan kondisi atau kejadian tertentu yang menimbulkan stres atau disebut
juga dengan stresor. Respon, yaitu stres yang merupakan suatu respon atau reaksi
individu yang muncul karena adanya situasi tertentu yang menimbulkan stres.
Respon yang muncul dapat secara fisiologis, seperti: jantung berdebar, pusing,
gemetar serta respon psikologis, seperti: takut, cemas, sulit berkonsentrasi dan
mudah tersinggung. Proses, yaitu stres digambarkan sebagai suatu proses dimana
individu secara aktif dapat mempengaruhi dampak stres melalui strategi tingkah
laku, kognisi maupun afeksi. Rice (2002) mengatakan bahwa stres adalah suatu
kejadian atau stimulus lingkungan yang menyebabkan individu merasa tegang.
Stres bersumber dari frustasi dan konflik yang dialami individu yang dapat berasal
dari berbagai bidang kehidupan manusia. Dalam hal hambatan, ada beberapa
macam hambatan yang biasanya dihadapi oleh individu seperti: Hambatan fisik:
kemiskinan, kekurangan gizi, bencaa alam, dan sebagainya. Hambatan sosial:
kondisi perekonomian yang tidak bagus, perdaingan hidup yang keras, perubaha
tidak pasti dalam berbagai aspek kehidupan. Hal-hal tersebut mempersempit
kehidupan yang layak sehingga menimbulkan frustasi dan stress pada diri
seseorang. Hambatan Pribadi: Ketrerbatasan-keterbatasan pribadi individu dalam
bentuk cacat fisik atau penampilan fisik yang kurang menarik, juga bisa menjadi
pemicu frustasi dan stress pada individu. Ada dua macam stress yang dihadapi oleh
individu yaitu; Stres yang non ego-envolved : stres yang tidak mengancam
kebutuhan dasar atau dengan kata lain disebut dengan stress kecil-kecilan. Stres
yang ego envolved : stress yang mengancam kebutuhan dasar sesrta integritas
kepribadian seseorang. Stress semacam ego-envolved membutuhkan penanganan
yang benar dan tepat dengan melakukan reaksi penyesuaian agar tidak hancur
karenanya. Berdasarkan berbagai penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa stres
merupakan suatu keasaan yang menekan diri individu. Stres merupakan mekanisme
yang kompleks dan menghasilkan respon yang saling terkait baik fisiologi, psikologi
maupun prilaku pada individu yang mengalaminya, dimana mekanisme tersebut
bersifat individual yang sifatnya berbeda antara individu yang satu dengan individu
yang lain. B. Penyebab Stres atau Stressor Stressor adalah faktor-faktor dalam
kehidupan manusia yang menyebabkan terjadinya respon stres. Stressor dapat
berasal dari berbagai sumbar, baik dari kondisi fisik, psikologis, maupun sosial, dan
lingkungan luar lainnya. Istilah stressor diperkenalkan pertama kali oleh Selye
(dalam Rice, 2002). Menurut Lazarus dan Folkman (1986) stressor dapat berwujud
atau berbentuk fisik (seperti polusi udara) dan dapat juga berkaitan dengan
lingkungan sosial (seperti interaksi sosial). Prilaku dan perasaan individu sendiri
yang dianggap sebagai suatu ancaman baik yang nyata maupun imajinasi dapat
juga menjadi stressor. Menurut Lazarus dan Cohen (1977), tiga tipe kejadian yang
dapat menyebabkan stres yaitu: Daily hassles yaitu kejadian kecil yang terjadi
berulang-ulang setiap hari seperti masalah kerjaan dikantor, sekolah dan
sebagainya. Personal stressor yaitu ancaman atau gangguan yang lebih kuat atau
kehilangan besar terhadap sesuatu yng terjadi pada level individu seperti
kehilangan orang yang dicintai, kehilangan pekerjaan, masalah keuangan dan
masalah pribadi lainnya. Ditambahkan Freese Gibson (dalam Rachmaningrum,
1999) umur adalah salah satu faktor penting yang menjadi penyebab stres, semakin
bertambah umur seseorang semakin mudah stres. Hal ini antara lain disebabkan
oleh faktor fisiologis yang mengalami kemunduran dalam berbagai kemampuan
seperti kemampuan visual, kemampuan berpikir, mengingat dan mendengar.
Pengalaman kerja juga mempengaruhi munculnya stres kerja. Individu yang
memiliki pengalaman kerja lebih lama, cenderung lebih rentan terhadap tekanantekanan dalam pekerjaan, daripada individu dengan sedikit pengalaman (Koch &
Dipboye dalam Rachmaningrum, 1999). Selanjutnya masih ada beberapa faktir lain
yang dapat mempengaruhi tingkat stres, yaitu kondisi fisik, ada tidaknya dukungan
sosial, harga diri, gaya hidup dan juga tipe kepribadiaan tertentu (Dipboye, Gibsin,
Ringgo, dalam Rachmaningrum, 1999) Kesimpulan Cedera akibat olahraga
kompetisi paling sering dijumpai pada atlet, baik dari atlet amatir maupun
professional. Dampak dari cidera pada atlit tidak hanya mempengaruhi aktifitas fisik
tetapi juga psikologis khususnya dalam kasus ini yaitu cemas dan stres pada atlit,
sehingga akibat dari cemas dan stres secara langsung mempengaruhi semangat,
motivasi, serta prestasi atlit. Agar atlit dapat kembali berprestasi dalam olahraga
kompetisi, maka ada banyak hal yang perlu diperhatikan dalam masa rehabititasi,
disamping dengan pemberian terapi fisik untuk memulihkan, meningkatkan, dan
mempertahankan performance dari atlit, lebih khusus dengan pemulihan pada
psikologi atlit. Untuk mengoptimalkan pemulihan pada psikologis atlit, pemulihan
tidak hanya dilakukan oleh satu pihak, maka harus ada kerjasama yang sinergi dan
komperhensif dari beberapa pihak. Khusus pada kasus yang diatas, maka harus ada
kerjasama antara petugas kesehatan (fisioterapi), subjek ( atlit), dan orang-orang
disekitarnya (rekan, keluarga, pelatih, dsb). Saran Berdasarkan uraian yang telah
dibahas, penulis membagi atas 3 (tiga) bagian yang perlu diberikan perhatian
khusus, yaitu: Petugas kesehatan Atlit Orang disekitar (Rekan, keluarga, pelatih,
dsb) Pertama, petugas kesehatan yang menangani kasus cidera pada atlit
sebaiknya memperhatikan kebutuhan bio-psiko-sosial dari seorang atlit. Dan
beberapa edukasi tentang bagaimana mengendalikan emosi seorang atlit yang
cidera, seperti pengelolaan emosi dengan cara pemberian motivasi, memberikan
tantangan yang rasional agar si atlit menjadi lebih bersemangat dalam menjalani
rehabilitasi, serta memberikan pujian jika terjadi kemajuan dalam masa
pemulihannya. Kedua, Atlit yang mengalami cidera sebaiknya memiliki konsep diri
yang sehat, seperti mampu mengendalikan rasa cemasnya, lalu belajar mengelola
stres yang dialami menjadi suatu energi yang mendorong mereka agar lebih giat
dalam proses rehabilitasi. Penerapan self-talking with positive thinking sangat
berguna untuk membantu atlit dalam memberikan semangat positif untuk dirinya
sendiri, tanpa perlu bergantung akan dukungan orang-orang disekitarnya. Ketiga
ialah orang disekitarnya, mereka sebaiknya memberikan perhatian dan dukungan
penuh dengan cara, memberikan semangat dan mendampingi atlit pada masa
rehabilitasi. Pelatih juga memberikan semangat agar atlit merasa tenang karena
sang pelatih masih mengharapkan permainannya kembali dilapangan, rekan satu
timnya juga sebaiknya menanamkan sifat empaty dan memberikan support kepada
atlit, agar mereka tidak merasa sendiri dalam menghadapi proses rehabilitasi.