Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

STRES DAN KECEMASAN ATLET


(Psikologi Olahraga)

Disusun Oleh :

Kelompok 6

BEWIS DARMAN ZEBUA


ABDIYANTO KURNIAWAN ZAI
WISMAN ALEXANDER WARUWU

PENDIDIKAN KEPELATIHAN OLAHRAGA


FAKULTAS ILMU KEOLAHRAGAAN
UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
2021
BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang


Olahraga adalah sebuah yang ditinjau dari berbagai dimensi. Olahraga selaim dimensi fisik
olahraga juga dikaji dari dimensi psikis. Dimensi psikis atau jiwa dalam aktivitas jasmani dan olahraga
merupakan bagian terpenting dalam penampilan seorang olahragawan. Beberapa keadaan psikologis
yang terjadi pada olahragawan sangatlah kompleks. Kompleksitas tubuh manusia dalam menghadapi
respon dan tekanan merupakan kondisi yang sering terjadi dalam aktivitas jasmani dan olahraga.
Setiap atlet atau pemanin ingin mencapai yang terbaik dan berusaha mendapatkan apa yang terbaik
berdasarkan kemampuan-kemampuannya sendiri. Setiap atlet memiliki sumber daya untuk mencapai
suatu prestasi. Sumber daya tersebut terwujud dalam potensi jasmaniah-rohaniah. Potensi ini sangat
menentukan dalam pencapaian prestasi. Disamping itu terdapat faktor lain diluar diri atlet yang juga
dapat mempengaruhi prestasi, misalnya cuaca (temperatur), tempat pertandingan, alat-alat dan
sebagainya.

Semua atlet akan selalu dihadapkan pada sejumlah stimulus yang memberikan pengalaman
stress terhadap dirinya. Dalam dunia olahraga khususnya olahraga kompetitif, atlet harus mempunyai
kemampuan dalam mengatasi berbagai stimulus yang berpotensi memberikan pengalaman stress
terhadap dirinya seperti sorakan dan cemoohan penonton, perasaan sakit akibat terjadi cedera, kekalahan
dalam berbagai pertandingan, kelemahan yang dimiliki atlet baik kelemahan fisik maupun kelemahan
mental, atau sumber-sumber lain yang mengakibatkan terjadinya stress.
Atlet yang aktif dalam dunia olahraga baik atlet daerah, nasional,  atau internasional harus mempunyai
kemampuan dalam coping stress, sehingga atlet mampu dengan cepat mengatasi dan menyesuaikan diri
terhadap tuntutan lingkungan baik internal maupun eksternal, atau berbagai permasalahan dan aspek-
aspek yang kurang menyenangkan yang diterima oleh diri atlet.
Dalam mempersiapkan atlet atau pemain menghadapi pertandingan, arah pembenahan adalah
penigkatkan faktor fisik yang mencakup kondisi fisiologis, teknis dan psikis. Dengan kata lain, seorang
atlet harus dibekali keterampilan motorik (motorskill), kondisi fisiologis serta kesiapan aspek psikologis
yang maksimal.
B.Rumusan masalah

Defenisi stress, kecemasan dan prustasi?


Sumber-sumber timbulnya stress,kecemasan dan prustasi?
Bagaimana cara penanggulangan stress,kecemasan dan prustasi?
Stress, kecemasan dan prustasi dalam pertandingan?

C.Tujuan

Menyajikan pembahasan singkat tentang pengaruh aspek psikologis terhadap penampilan atau prestasi
seseorang dalam melaksanakan tugasnya, dalam hal ini pemain atau atlet waktu menghadapi dan
melaksanakan suatu pertandingan.
Mencoba membahas hal-hal yang berkaitan dengan ketegangan (stress, kecemasan dan frustasi) dalam
berolahraga.
Memberikan solusi tentang bagaimana cara menanggulangi stress, kecemasan dan frustasi.

D. Manfaat

Dapat menyelesaikan tugas yang diberikan oleh dosen mata kuliah Psikologi Olahraga.
Sebagai media menambah pengetahuan kami selaku penulis tentang pskologi olahraga khususnya
mengenai keadaan emosional seseorang / atlet.
BAB II
PEMBAHASAN

A.DEFENISI
1. Stress
Berbagai defenisi mengenai Stress telah dikemukakan oleh para ahli dengan versinya masing-
masing, walaupun pada dasarnya antara satu defenisi dengan defenisi lainnya terdapat inti
persamaannya. Selye (1976) mendefinisikan Stress sebagai “the nonspesific response of the body to any
demand”, sedangkan Lazarus (1976) mendefinisikan “stress occurs where there are demands on the
person which tax or exceed his adjustive resources” (Golberger & Breznitz, 1982, hal. 39). Dari kedua
defenisi diatas tampak bahwa Stress lebih dianggap sebagai respon individu terhadap tuntutan yang
dihadapinya. Tuntutan-tuntutan tersebut dapat dibedakan dalam dua bentuk, yaitu tuntutan internal yang
timbul sebagai tuntutan fisiologis dan tuntutan eksternal yang muncul dalam bentuk fisik dan social.
Hans Selye (1950) juga menambahkan bahwa tidak ada aspek tunggal dari stimulus lingkungan yang
dapat mengakibatkan stress, tetapi semua itu tergabung dalam suatu susunan total yang mengancam
keseimbangan (homeostatis) individu. Hans Selye (1950) mengembangkan konsep yang dikenal dengan
Sindrom Adaptasi Umum (General Adaptation Syndrome) yang menjelaskan bila seseorang pertama
kali mengalami kondisi yang mengancamnya, maka mekanisme pertahanan diri (defence mechanism)
pada tubuh diaktifkan.
Kelenjar-kelenjar tubuh memproduksi sejumlah adrenalin cortisone dan hormon-hormon lainnya serta
mengkoordinasikan perubahan-perubahan pada sistem saraf pusat. Jika tuntutan-tuntutan berlangsung
terus, mekanisme pertahanan diri berangsur-angsur akan melemah, sehingga organ tubuh tidak dapat
beroperasi secara adekuat. Jika reaksi-reaksi tubuh kurang dapat berfungsi dengan baik, maka hal itu
merupakan awal munculnya penyakit “gangguan adaptasi”. Penyakit-penyakit tersebut muncul dalam
bentuk maag, serangan jantung, tekanan darah tinggi, atau keluhan-keluhan psikosomatik lainnya.
Lazarus dan Launier (1978) mengemukakan tahapan-tahapan proses stress sebagai berikut :

- Stage of Alarm
Individu mengidendentifikasi suatu stimulus yang membahayakan. Hal ini akan meningkatkan
kesiapsiagaan dan orientasinyapun terarah kepada stimulus tersebut.
Stage of Appraisals
Individu mulai melakukan penilaian terhadap stimulus yang mengenainya. Penilaian ini
dipengaruhi oleh pengalaman-pengalaman individu tersebut.

- Stage of Searching for a Coping Strategy


Konsep ‘coping’ diartikan sebagai usaha-usaha untuk mengelola tuntutan-tuntutan lingkungan
dan tuntutan int internal serta mengelolah konflik antara berbagai tuntutan tersebut. Tingkat
kekacauan yang dibangkitkan oleh satu stresor (sumber stress) akan menurun jika individu
memiliki antisipasi tentang cara mengelola atau menghadapi stresor tersebut, yaitu dengan
menerapkan strategi ‘coping’ yang tepat. Strategi yang akan digunakan ini dipengaruhi oleh
pengalaman atau informasi yang dimiliki individu serta konteks situasi dimana stress tersebut
berlangsung.

- Stage of The Stress Response


Pada tahap ini individu mengalami kekacauan emosional yang akut, seperti sedih, cemas, marah,
dan panik. Mekanisme pertahanan diri yang digunakan menjadi tidak adekuat, fungsi-fungsi
kognisi menjadi kurang terorganisasikan dengan baik, dan pola-pola neuroendokrin serta sistem
syaraf otonom bekerja terlalu aktif. Reaksi-reaksi seperti ini timbul akibat adanya pengaktifan
yang tidak adekuat dan reaksi-reaksi untuk menghadapi stress yang berkepanjangan. Dampak
dari keadaan ini adalah bahwa individu mengalami disorganisasi dan kelelahan baik mental
maupun fisik.

Disamping membagi stress kedalam tahap-tahap diatas, Lazarus juga membedakan istilah istilah
harm-loss, threat, dan challenge. Harm-loss dan threatmemiliki konotasi negatif. Keduanya dibedakan
berdasarkan perspektif waktunya.Harm-loss digunakan untuk menerangkan stress yang timbul akibat
antisipasi terhadap suatu situasi. Baik stress akibat harm-loss maupun threat pada umumnya akan dapat
berupa gangguan fisiologis maupun gangguan psikologis. Di lain pihak, challenge(tantangan)
berkonotasi positif. Artinya, stress yang dipicu oleh situasi-situasi yang dipersepsikan sebagai tantangan
oleh individu tidak diubah menjadi strain. Dampaknya tehadap tingkah laku individu, misalnya tampilan
kerjanya menjadi positif.

Dalam olahraga kompetitif, atlet harus mampu mengelola tuntutan-tuntutan dengan


mengidentifikasi kemampuannya. Efektifitas coping dalam olahraga merupakanproses penyesuaian
dengan penampilan atlet di dalam aktivitas olahraga, maksudnyaatlet melakukan coping terhadap
situasi-situasi yang mengakibatkan munculnya perasaan stress dan cemas. Dalam situasi tersebut, aspek
harus yang terlibat adalahkognitif, emosional, psikologis, dan komponen perilaku sebagai kompetensi
yang dimiliki atlet. Setiap sistem tersebut, merupakan kemampuan (sumber-sumber, perilaku coping)
yang mampu mengatasi tuntutan-tuntutan yang mengakibatkan stress.

            Madden (1995) menjelaskan bahwa kesehatan (health) merupakan salah satu sumber coping
secara umum. Pernyataan tersebut, mengandung makna bahwa memelihara kesehatan dengan baik
merupakan sumber coping karena secara fisik dan psikis setiap atlet akan siap menghadapi berbagai
tuntutan yang datang pada dirinya. Upaya yang bisa dilakukan adalah berlatih secara teratur dan
melakukan kegiatan relaksasi.

Latihan merupakan salah satu metoda coping dalam keadaan stress, stress dapat dikurangi
dengan melakukan latihan relaksasi, sehingga gejala-gejala kecemasan seperti perasaan takut,
ketegangan otot dan sebagainya  bisa dikurangi. Relaksasi juga merupakan teknik coping yang bisa
mengurangi tingkat arousal atau stress. Secara teoritis, latihan relaksasi didasarkan pada prinsip Wolpe’s
tentang principle of reciprocal inhibition menganggap bahwa respon-respon maladaptive (ketegangan
yang diakibatkan oleh stress) dapat dihilangkan dengan menghadirkan sesuatu yang menantang atau
menghambat untuk memulai dan melakukan sesuatu. Jika atlet bisa mencapai keadaan relaks, secara
logika tidak konsisten dan berlawanan dengan keadaan psikologis. Selain itu, Madden (1995)
mengatakan strategi kognitif seperti associative dan dissociativemerupakan strategi coping pada atlet
untuk memfokuskan perhatiannya pada faktor-faktor yang relevan dengan penampilannya (associative
strategy), dan pemikiran atauperasaan yang membantu untuk mengambil perhatian dari atlet pada
kondisi fisiologis (dissociative strategies). Pengaruh yang signifikan pada lingkungan yang terdiri dari
stimuli akan dirasakan atlet dalam pertandingan.
            Konsep coping terutama yang fokus pada kognitif, dalam prosesnya berbeda hubungannya
dengan lingkungan. Oleh karena itu, sistem coping dipahami berdasarkan strategi hierarkhi yang
berkembang dari yang belum matang (immature) dan mekanisme primitif yang menyimpang dari
kenyataan, kepada mekanisme yang matang. Lazarus dan Folkman (1984) dalam Apruebo (1997)
merumuskan strategi hierarkhi tersebutsebagai bentuk mekanisme coping yang dimulai dari paling
tinggi dan meningkat pada kematangan proses ego, strategi ini merupakan mekanisme coping yang baik
untuk digunakan.

2.  Kecemasan
Kecemasan (Anxiety) adalah salah satu gejala psikologis yang identik dengan perasaan negative.
Beberapa ahli psikologi menjelaskan pengertian kecemasan dalam berbagai makna. Menurut Robert S.
Weinberg dan Daniel Gold (2007: 78) mendefinisikan kecemasan adalah sebuah perasaan negatif yang
memiliki cirri gugup, rasa gelisah, ketakutan akan sesuatu yang akan terjadi, dan yang terjadi
pergerakan atau kegairahan dalam tubuh. Kecemasan memiliki dua komponen yaitu terdiri dari
kecemasan kognitif (cognitive anxiety) yang ditandai dengan rasa gelisah dan ketakutan akan sesuatu
yang akan terjadi, sedangkan yang kedua adalah kecemasan somatik(somatic anxiety) yang ditandai
dengan ukuran keadaan fisik seseorang. Sedangkan menurut Singgih D. Gunarsa(1989: 147)
mendefinisikan sebagai perasaan tidak berdaya, tekanan tanpa sebab yang jelas, kabur, atau samar-
samar. Sedangkan A.Budiarjo, dkk (1987: 351) menyatakan bahwa kecemasan adalah keadaan tertekan
dengan sebab atau tak ada sebab yang mengerti, kegelisahan hamper selalu disertai dengan gangguan
system syarat otonom dan disertai rasa mual. Kartini Kartono (1981: 116) menyatakan bahwa
kecemasan adalah semacam kegelisahan, kekhawatiran dan ketakutan terhadap sesuatu yang tidak jelas
dan mempunyai cirri yang merugikan. Rita L. Atikinson (1983: 212) mengemukakan bahwa kecemasan
adalah emosi yang tidak menyenangkan yang ditandai dengan istilah-istilah seperti kekawatiran,
keprihatinan dan rasa takut yang kadang-kadang kita alami dalam tingkat yang berbeda-beda. Ahli lain
Griest et all (1986) merumuskan kecemasan sebagai suatu ketegangan mental yang disertai dengan
gangguan tubuh yang bersangkutan merasa tidak berdaya dan mengalami kelelahan karena senantiasa
harus berbeda dalam keadaan waspada terhadap ancaman yang tidak jelas dan hamper selalu disertai
gangguan pencernaan.

Sedangkan Pahlevi (1991) mendefinisikan kecemasan sebagai suatu kecendurangan untuk


mempersepsikan situasi sebagai ancaman dan akan mempengaruhi tingkah laku. Handoyo (1980)
menjelaskan kecemasan sebagai suatu keadaan emosional yang dialami oleh seseorang, dimana ia
merasa tegang tanpa sebab-sebab yang nyata dan keadaan ini memberikan pengaruh yang tidak
menyenangkan serta mengakibatkan perubahan - perubahan pada tubuhnya baik secara somatik maupun
psikologis.

Dari berbagai pendapat-pendapat para ahli dapat disimpulkan bahwa kecemasan adalah suatu
yang akan dilakukan dan belum terjadi yang ditandai dengan kekhawatiran, kurang percaya diri,
kegelisahan yang kadang kala dapat mengganggu kinerja fisiologis tubuh. Kecemasan merupakan gejala
psikologis yang umum terjadi dan setiap orang sadar pasti pernah mengalaminya.
Kecemasan adalah suatu rasa takut, tidak aman, tak berdaya tanpa sebab yang jelas. Jadi bukan rasa
takut yang disebabkan stimulis dari lingkungan individu tersebut. Kecemasan ini mungkin datangnya
dari situasi-situasi yang dikhayalkan akan terjadi.
Perasaan cemas dapat terjadi pada atlet pada waktu menghadapi keadaan tertentu, misalnya dalam
menghadapi kompetisi yang memakan waktu panjang dan atlet tersebut menglami kekalahan terus-
menerus.
3.Frustasi
Fustasi timbul dikarenakan merasa gagal tidak dapat mencapai suatu yang diinginkan. Setiap
atlet menginginkan kepuasan yaitu itu menang; dan apabila itu tidak terwujud, maka dapat
menimbulkan frustasi.
Frustasi dapat terjadi pada atlet yang mempunyai sifat pesimis maupun pada atlet yang memiliki sifat
optimis yang sangat tinggi. Atlet yang mempunyai sifat pesimis dapat dikatakan “kalah sebelum
berperang” karena atlet yang memiliki sifat pesimis ini mudah terkena frustasi sehingga mengalami
kegagalan sedikit saja, diangapnya sebagai kegagalan yang akan terjadi dialami seterusnya.
Sedangkan apabila atlet memiliki sifat optimis yang sangat tinggi (over confidence) maka akan sangat
mudah mengalami frustasi. Kegagalan yang dialaminya akan membuat atlet tersebut kecewa serta
kehilangan keseimbangan emosi.

Frustasi adalah suatu harapan yang diinginkan dan kenyataan yang terjadi tidak sesuai dengan
yang diharapkan.Misalnya putus pacar, perceraian, masalah kantor, masalah sekolah atau masalah yang
tidak kunjung selesai. Frustasi inipun terjadi juga bila tujuan yang dicapai mendapatkan
rintangan.Frustasi memiliki dua sisi.
1. Frustasi adalah fakta tidak tercapainya harapan yang diinginkan.
2. Frustasi adalah perasaan dan emosi yang menyertai fakta tersebut.
Pada contoh diatas adalah fakta mendapatkan nilai jelek di sekolah dan mendapat marah oleh bos dalam
kesalahan di kantor. Perasaan dan emosi yang muncul adalah kesal, marah dan perasaan-perasaan
lainnya yang mungkin muncul.

Akibat dari frustasi bisa munculkan gejala-gejala ketubuhan yang disebut psikosomatis.
Bayangkan anda mendapatkan nilai atau penghargaan yang tidak sesuai dengan yang anda harapkan,
padahal anda sudah berusaha dengan sebaik mungkin. Seumpama anda mendapat nilai D pada ujian
akhir. Ini tidak hanya terjadi sekali saja, tetapi telah beberapa kali. Anda lalu menjadi kesal bahkan
marah atau muncul perasaan-perasaan lainnya. Pada malam harinya anda tidak bisa tidur. Segudang
pemikiran muncul, berputar-putar silih berganti, mulai mencari sebab-sebab kegagalan, upaya mencari
jalan lain supaya lebih berhasil sampai pada pemikiran-pemikiran buruk. Sehingga nantinya akan
terlintas jalan pintas dan lain sebagainya. Anda mencoba untuk mengusir pemikiran-pemikiran tersebut
tapi tetap saja tidak bisa dan akhirnya anda jatuh tidur karena memang betul-betul kecapaian. Pada pagi
harinya anda bangun dengan tubuh yang kurang segar karena susah tidur. Selama siang hari perasaan
maupun tubuh anda akan terasa tidak enak. Sekali-kali akan teringat mengenai kegagalan pada hari
sebelumnya dan itu akan muncul dan mengganggu.

Namun selain contoh diatas ada juga contoh frustasi yang berakibat agresi karena frustasi yang
dialami melahirkan reaksi kemarahan. Tindakan agresi diambil apabila individu merasa lebih kuat dari
lawannya. Sebalinya bila individu merasa lemah, maka biasanya tindakan yang diambil ketika terjadi
frustasi adalah menghindar atau melarikan diri.

B. Sumber-sumber Stress, Kecemasan dan Frustasi


Sumber-sumber stress, kecemasan dan frustasi dapat dibedakan menjadi dua yaitu sebagai
berikut:
SUMBER INTRINSIK
Sumber Stress, kecemasan dan frustasi dari dalam maksudnya semua hal ini berasal dari diri atlet itu
sendiri, yaitu;
- Atlet sangat mengandalkan kemampuan tekniknya.
Bila atlet hanya mengandalkan kemampuan tekniknya, atlet tersebut akan mengalami kesulitan
sebawatu menghadapi situasi pertandingan yang kurang menguntungkan bagi dirnya, misalnya
menghadapi lawan yang ulet dan cermat sehingga lawan itu mampu mengantisipasi setiap serangan
yang akan ia lakukan. Akibatnya atlet tersebut akan merasa terpepet dan selanjutnya tidak mampu lagi
menguasai situasi yang sedang dihadapinya.

- Atlet merasa bermain baik sekali.


Bila perasaan ini menghinggapi atlet, maka akan menjadi pertanda mulai timbul sesuatu yang
menekan pada dirinya. Perasaan ini memberikan beban mental pada dirinya. Demikian juga perasaan
yang sebaiknya, yang seakan-akan atlet itu telah memvonis diri sendiri bahwa ia tidak akan mencapai
sukses.

- Adanya negative thinking karena dicemooh atau dimarahi.


Dicemooh atau dimarahi akan menimbulkan reaksi pada diri atlet. Reaksi yang menekan dan
menimbulkan frustasi sehingga menggangu penampilan pelaksaan tugas.

- Adanya pikiran puas diri.


Bila dalam diri atlet ada pikiran atau perasaan puas diri maka ia telah menanamkan benih-benih
ketegangan dalam diri sendiri. Atlet akan dituntut oleh diri sendiri untuk mewujudkan suatu yang
mungkin berada diluar kemampuannya. Bila demikian keadaannya, sebenarnya atlet itu telah menerima
tekanan yang tidak disadari.

SUMBER EKSTRINSIK

Sumber Stress, kecemasan dan frustasi dari dalam maksudnya semua hal ini berasal dari diri
atlet itu sendiri, yaitu;
- Rangsangan yang membingungkan.
Salah satu bentuk rangsangan yang membingunkan adalah komentar para official yang merasa
berkompoten, baik atas koreksi, strategi atau tektik yang harus dilakukan maupun petunjuk yang lain
kepada atlet. Menerima beberapa petunjuk dan perintah sekaligus akan membingungkan atlet.

- Pengaruh massa.
Massa penonton terlebih yang masih asing, dapat mempengaruhi kestabilan mental atlet.
Penonton juga memainkan peranan yang sangat berarti dalam suasana pertandingan. Salah satu cirri
massa (penonton) adalah emosi yang labil. Begitu mereka mengalami kekecewaan, maka mereka akan
menunjukan tindakan yang agresif berupa cemoohan terhadap atlet. Disamping pengaruh yang
merugikan itu adapun pengaruh massa yang dapat membangkitkan semangat dan percaya diri, sehingga
dalam situasi yang kritis atlet merasa seakan-akan mendapat “angin”, yang lalu berangsung-angsur ia
mampu menguasai keadaan dan menunjukan penampilan yang lebih baik.

- Saingan yang bukan tandingannya.


Pemain atau atlet yang mengetahui bahwa lawan yang akan dihadapi adalah pemain peringkat
diatasnya atau lebih unggul daripada dirinya, maka dalam hati kecil atlet atau pemain tersebut telah
timbul pengakuan akan ketidak mampuannya untuk menang. Situasi tersebut akan menyebabkan
berkurangnya kepercayaan pada diri sendiri. Setiap kali berbuat kesalahan, ia semakin menyalahkan diri
sendiri.

- Kehadiran/ketidak hadiran pelatih


Atlet yang mempunyai hubungan personal dengan pelatih akan mengharapkan kehadiran pelatih
selama ia bertanding. Tidak hadirnya pelatih yang sebenarnya sangat menguntungkan bagi penampilan
bagi atlet tersebut. Hal ini disebabkan karena atlet merasa tidak ada orang yang dapat member dukungan
pada saat-saat yang ia perlukan. Dengan support tersebut atlet akan merasa mampu menghadapi dan
mengatasi situasi-situasi yang penting. Sebaliknya, ada atlet yang tidak senang akan kehadiran pelatih
selama ia bertanding. Dalam hal ini pelatih harus cepat memahaminya, ahar tidak menimbulkan
perasaan yang mengganggu pada diri atlet.

C. Cara Penanggulangan
Teknik-teknik untuk mengatasi atau setidaknya mengurangi stress, kecemasan serta frustasi
yaitu sebagai berikut:
- Teknik Intervensi
a. Konsentrasi (Pemusatan perhatian)
Cara ini pertama-tama menyingkirkan aneka ragam pikiran yang mengganggu atlet dan hanya
memusatkan seluruh perhatian dan pikiran pada tugas yang sedang dihadapi. Memang ada atlet yang
mampu dengan cepat menghalau berbagai pikiran yang mengganggu perhatian dan konsentrasinya pada
pertandingan yang sedang dihadapinya, namun tidak sedikit atlet yang begitu lama termakan oleh
gangguan pikirannya.
b. Pengaturan pernapasan
Pada orang yang mengalami ketegangan atau kecemasan serta respirasi akan meninggi. Keadaan
seperti ini dapat diatasi dengan pernapasan yang dalam dan pelan, sehingga irama pernapasan yang
semula cepat atau meninggi secara berangsur-angsur melambat atau menurun. Mengatur pernapasan
juga merupakan usaha penenangan diri.
c. Relaksasi otot secara progresif
Caranya adalah melakukan kontraksi otot secara penuh kemudian dikendurkan. Latihan ini
dilakukan secara berulang-ulang selama kurang lebih 60 menit. Bila otot-otot telah mencapai keadaan
rileks yang sungguh-sungguh, maka keadaan ini akan mengurangi ketegangan emosional juga
menurunkan tekanan darah serta denyut nadi. Karenanya pada saat-saat tengan, orang sedapat mungkin
memusatkan perhatiannya pada relaksasi otot dengan cara seperti diatas (S. horn;1986)
Mencari sumber stress, kecemasan dan prustasi itu sendiri.
Disini peran pelatih besar sekali. Hubungan hati-kehati antara atlet dan pelatih akan memungkinkan
pelatih mengorek apa yang sebenarnya sedang dialami oleh atlet. Demikian atlet juga akan dengan
terbuka menceritakan apa yang sedang dialami.
d. Pembiasan/berlatih
Cara ini dimaksudkan untuk melatih atlet menghadapi situasi-situasi yang bisa timbul dalam
pertandingan. Bentuk paltihan pembiasaan adalah dengan simulasi. Yaitu dalam latihan sengaja diabut
situasi yang dapat menimbulkan ketengangan dalam batas-batas tertentu. Dengan cara ini atlet tidak lagi
peka (sensitif) terhadap pengaruh lingkungan.
Berlatih dalam gedung dengan pentilasi yang kurang baik sehingga sirkulasi udara didalamnya sangat
menggangu.
Berlatih dilapangan dengan kondisi yang berbeda-beda, misalnya; permukaan tidak rata, licin, terbuat
dari bahan sintetis dan sebagainya.
Berlatih dengan berbagai alat yang berbeda kualitasnya, misalnya berbagai merek shuttlecock, bola
volley, bola basket, bola tennis.
Berlatih dialam (daerah) dengan cuaca atau suhu yang berbeda-beda, misalnya; didataran dengan
lapisan udara yang tipis atau didataran tinggi, didaerah dengan panas yang menyengat dan sebagainya.
Berlatih dalam rungan dengan sistem penerangan yang kurang memenuhi sarat.
e. Teknik-teknik khusus.
Penangan ketegangan dengan menggunakan teknik khusus itu lebih menekankan pada
pendekatan individual, misalnya;
Melalui music yang menjadi kegemaran atlet yang sedang mengalami ketegangan atau kecemasan.
Menanamkan dan memperkuat keyakinan atlet bahwa persiapan yang mereka lakukan sudah mantap
dan menyeluruh.
Menjauhkan atlet dari official yang pencemas.
Menjelaskan kepada atlet bahwa ketegangan/kecemasan dalam pertandingan adalah wajar. Bahkan
dalam batas-batas tertentu hal itu memang diperlukan.

D. Stress, Kecemasan dan Frustasi dalam Pertandingan


Menurut scanlan (1984) dalam tulisnya yang berjudil: “kompetitif stress and the child atlet”
yang dimuat dalam buku “psikologikal foundation of sport” mengemukakan bahwa “competitive stress”
atau stress yang timbul dalam pertandingan merupakan reaksi emoasional yang negative pada anak
apabila rasa harga dirinya menrasa terancam. Hal seperti ini terjadi apabila atlet yunior menganggap
pertandingan sebagai tantangan yang berat untuk dapat sukses, mengingat kemampuan penampilannya,
dan dalam keadaan seperti ini atlet lebih memikirkan akibat dari kekalahannya.
Stress selalu akan terjadi pada diri individu apabila sesuatu yang diharapkan mendapat tantangan
sehingga kemungkinan tidak tercapainya harapan tersebut menghantui pemikirannya. Stress adalah
suatu ketegangan emosional, yang akhrinya berpengaruh terhadap proses-proses psikologis maupun
proses fisiologik.
Spielberger (1986) dalam tulisnya mengenal “stress & Anxiety in sport” dalam kumpulan karya
ilmiah yang dihimpun oleh morgan berjudul “sport psychology” menegaskan bahwa stress menunjukan
“psychological proses” yang kompleks, dan proses ini pada umumnya terjadi dalam situasi yang
mengandung hal yang dapat merugikan, berbahaya, atau dapat menimbulkan frustasi (streesor).
“Stressor” menurut Spielberger (1986) menunjukan situasi-situasi atau stimuli yang secara objrktif
ditandai dengan adanya tekanan fisik atau psikologi atau bahaya dalam suatu tingkat tertentu. Situasi
penuh stress akan ditemukan dalam kehidupan sehari-hari, dalam tingkat-tingkat yang berbeda dalam
perkembangan manusia.
Reaksi yang berbeda akan muncul dalam menghadapi “stressor”, tergantung pada situasi tertentu
yang diperkirakan mengandung ancaman. Ancaman juga berkaitan dengan persepsi dan penilaian
individu terhadap situasi yang dihadapi sebagai hal yang dapat merugikan dan mengandung bahaya.
Dalam hubungannya dengan aktifitas olahraga, khususnya kemungkinan terjadinya stress menghadapi
pertandingan maka permasalahannya sangat banyak tergantung pada diri atlet yang bersangkutan.
Mengenai timbulnya stress, Gauron (1984) berkesimpulan:
1. “Because stress is an inevitable part of life, it can’t be a volded”.
2. “Since stress is inevitable individual must reduce it’s effect and cope through”.
3. “Chronic stress may have adverse effect you upon the body particularly if it isn’t thought to relax”
Mungkin sekali suatu situasi yang sama dapat dirasakan sebagai ancaman bagi seorang atlet, tetapi
hanya merupakan tantangan bagi atlet lain, dan mungkin bahkan tidak berarti apa-apa bagi atlet lain.
Jadi dari pengalaman-pengalaman mengenai ancaman, ada hubungannya dengan keadaan mental atlet
yang bersangkutan.
Namun jikalau hal itu tidak dapat segera diatas dan malah semakin menggangu atlet itu sendiri
maka apa yang dicemaskan akan menjadi nyata dan menyebabkan ia kehilangan keseimbangan emosi.
Keadaan seseorang yang kehilangan keseimbangan emosi biasanya mengarah pada ekspresi
kejasmanian, sehingga orang lain dapat mengatahui hahwa atlet tersebut sedang mengalami emosi.
Namun demikan kadang-kadang ada atlet yang dapat mengontrol keadaan dirinya sehingga emosi yang
dialami tidak tercetus keluar dengan perubahan atau tanda-tanda kejasmanian tersebut. Hal ini berkaitan
dengan pendapat yang dikemukakan oleh Ekman dan Friesen (Carrson ; 1987) yang dikenal dengan
Display rules. Menurut mereka adanya 3 rules yaitu Masking, modulation dan simulation.
Masking adalah keadaan seseorang yang dapat menyembunyikan atau dapat menutupi emosi yang
dialaminya. Emosi yang dialaminya tidak tercetus keluar melalui ekspresi kejasmaniannya. Misalnya
seorang atlet yang sangat sedih dikarenakan kehilangan gelar yang semsetinya dapat dia raih.
Kesediahan itu dapat diredam atau ditutupi, dan tidak ada gejala kejasmanian yang menyebabkan
tampaknya rasa sedih tersebut. Pada modulasi (modulation) orang tidak dapat meredam secara tuntas
mengenai gejala kejasmaniannya, tetapi hanya dapat mengurangi saja. Jadi misalnya karena sedih, ia
menangis (gejala kejasmanian) tetapi tangisnya itu tidak begitu mencuat-cuat. Pada simulasi
(simulation) orang tidak mengalami emosi, tatapi dia seolah-olah mengalami emosi dengan
menampakkan gejala-gejala kejasmanian.
BAB III
PENUTUP

A.Kesimpulan
Dari pembahasan diatas maka kami menarik kesimpulan yaitu sebagai berikut:
- Olahraga adalah suatu kegiatan yang bukan saja bersifat jasmaniah, melainkan merupakan kegiatan
sebagai suatu totalitas;
- Dalam diri seorang atlet terdapat faktor-faktor psikologis yang mendukung atau menghambat
penampilan atlet itu sendiri.
- Stress, kecemasan dan frustasi merupakan keadaan yang selalu mencul kepermukaan ketika
menghadapi even yang kopetitif.
- Pelatih mempunyai peranan penting dalam menjaga kondisi psikologis atlet.

B.Saran
Dari pembahasan dan kesimpulan diatas maka kami memberikan saran yaitu sebagai berikut:
1.  Mengingat semakin kerasnya even olahraga yang semakin kompetitif, setiap atlet harus dapat
meningkatkan kemampuan tAknik dengan dibarengi oleh bekal psikologis yang memadai.
2. Agar pembekalan psikologis itu efektif maka lingkungan yang ada di sekitas atlet harus dapat
mendukung keberadaan atlet itu sendiri.
3.  Untuk mengatasi stress, kecemasan dan frustasi, atlet harus dapat beradaptasi dengan lingkungan
pertandingan itu sendiri, serta didukung oleh faktor-faktor penunjang lain.

Anda mungkin juga menyukai