Anda di halaman 1dari 17

Berikut Ini Adalah Nama Pahlawan Perempuan Yang Berasal Dari Nanggro Aceh

Darussalam

1. Cut Nyak Dhien lahir di Lampadang, Kerajaan Aceh, 1848, seorang Pahlawan Nasional
Indonesia dari Aceh yang berjuang melawan Belanda pada masa Perang Aceh, Cut Nyak Dhien
dilahirkan dari keluarga bangsawan yang taat beragama di Aceh Besar, wilayah VI Mukim pada
tahun 1848. Ayahnya bernama Teuku Nanta Setia, seorang uleebalang VI Mukim, yang juga
merupakan keturunan Machmoed Sati, perantau dari Sumatera Barat. Machmoed Sati mungkin
datang ke Aceh pada abad ke 18 ketika kesultanan Aceh diperintah oleh Sultan Jamalul Badrul
Munir. Oleh sebab itu, Ayah dari Cut Nyak Dhien merupakan keturunan Minangkabau. Ibu Cut
Nyak Dhien adalah putri uleebalang Lampagar.

Pada masa kecilnya, Cut Nyak Dhien adalah anak yang cantik. Ia memperoleh pendidikan pada
bidang agama (yang dididik oleh orang tua ataupun guru agama) dan rumah tangga (memasak,
melayani suami, dan yang menyangkut kehidupan sehari-hari yang dididik baik oleh orang
tuanya). Banyak laki-laki yang suka pada Cut Nyak Dhien dan berusaha melamarnya. Pada usia
12 tahun, ia sudah dinikahkan oleh orang tuanya pada tahun 1862 dengan Teuku Cek Ibrahim
Lamnga, putra dari uleebalang Lamnga XIII. Mereka memiliki satu anak laki-laki.

Pada tanggal 26 Maret 1873, Belanda menyatakan perang kepada Aceh, dan mulai melepaskan
tembakan meriam ke daratan Aceh dari kapal perang Citadel van Antwerpen. Perang Aceh pun
meletus. Pada perang pertama (1873-1874), Aceh yang dipimpin oleh Panglima Polim
dan Sultan Machmud Syah bertempur melawan Belanda yang dipimpin Johan Harmen Rudolf
Köhler. Saat itu, Belanda mengirim 3.198 prajurit. Lalu, pada tanggal 8 April 1873, Belanda
mendarat di Pantai Ceureumen di bawah pimpinan Köhler, dan langsung bisa menguasai Masjid
Raya Baiturrahman dan membakarnya. Cut Nyak Dhien yang melihat hal ini berteriak:

"Lihatlah wahai orang-orang Aceh!! Tempat ibadat kita dirusak!! Mereka telah mencorengkan
nama Allah! Sampai kapan kita begini? Sampai kapan kita akan menjadi budak Belanda?"

1
Kesultanan Aceh dapat memenangkan perang pertama. Ibrahim Lamnga yang bertarung di garis
depan kembali dengan sorak kemenangan, sementara Köhler tewas tertembak pada April 1873.

J.B. van Heutsz sedang memperhatikan pasukannya dalam penyerangan di Perang Aceh
Pada tahun 1874-1880, di bawah pimpinan Jenderal Jan van Swieten, daerah VI Mukim dapat
diduduki Belanda pada tahun 1873, sedangkan Keraton Sultan jatuh pada tahun 1874. Cut Nyak
Dhien dan bayinya akhirnya mengungsi bersama ibu-ibu dan rombongan lainnya pada tanggal 24
Desember 1875. Suaminya selanjutnya bertempur untuk merebut kembali daerah VI Mukim.

Ketika Ibrahim Lamnga bertempur di Gle Tarum, ia tewas pada tanggal 29 Juni 1878. Hal ini
membuat Cut Nyak Dhien sangat marah dan bersumpah akan menghancurkan Belanda.
Teuku Umar, tokoh pejuang Aceh, melamar Cut Nyak Dhien. Pada awalnya Cut Nyak Dhien
menolak. Namun, karena Teuku Umar mempersilakannya untuk ikut bertempur dalam medan
perang, Cut Nyak Dien akhirnya menerimanya dan menikah lagi dengan Teuku Umar pada tahun
1880. Hal ini membuat meningkatnya moral semangat perjuangan Aceh melawan Kaphe Ulanda
(Belanda Kafir). Nantinya, Cut Nyak Dhien dan Teuku Umar memiliki anak yang diberi nama
Cut Gambang.

2. Cut Mutia Profil Biodata

Cut Mutia bernama lengkap Cut Nyak Meutia. Ia salah satu pahlawan nasional dari Tanah
Rencong selain Cut Nyak Dien, Teuku Umar, Teuku Cik Di tiro dan tokoh lainnya. Seperti
pejuang Aceh lainnya, Cut Mutia terkenal dengan keberanian, keteguhan jiwa dan daya
juangnya. Beliau lahir di Pirak, Keureutoe, Aceh Utara tahun 1870 dan wafat di Alue Kurieng 24
Oktober 1910. Makamnya juga terletak di Alue Kurieng. Cut Mutia melakukan perlawanan
terhadap Belanda bersama suaminya Teuku Muhammad atau Teuku Cik Tunong. Setelah melalui
perjuangan yang panjang, Teuku Cik Tunang dapat ditangkap Belanda dan di hukum mati di tepi
pantai Lhokseumawe. Sebelum meninggal Teuku Cik Tunong berpesan pada sahabtnya Pang
Nagroe agar mau menikahi istrinya dan merawat anaknya Teuku Raja Sabi. Cut Mutia

2
kemudian menikah dengan Pang Nagroe sesuai wasiat suaminya dan bergabung dengan pasukan
lainnya di bawah Teuku Muda Gantoe. Pada suatu pertempuran di Korps Marsose di Paya
Cicem, Cut Mutia dan para wanita pejuang lainnya melarikan diri ke hutan. Pang Nagroe sendiri
teus melakukan perlawanan hingga akhirnya gugur pada tanggal 26 September 1910. Cut Mutia
akhirnya terus bangkit dan melakukan perlawanan bersama sisa-sisa pasukannya. Ia menyerang
dan merampas pos-pos kolonial Belanda sambil bergerak menuju Gayo menlalui hutan belantara.
Tanggal 24 Oktober 1910 Cut Mutia dan pasukannya bentrok dengan pasukan Belanda di Alue
Kurieng. Cut Mutia akhirnya gugur di tempat tersebut. Butiran timah panas bersarang di kepala
dan dadanya. Cut Mutia membuktikan aqidah, idealisme, kecintaan terhadap tanah air tak bisa
dibandingkan dengan apapun ia bahkan berani mengorbankan selembar nyawanya. Cut Mutia
dikukuhkan sebagai pahlawan kemerdekaan nasional berdasarkan SK Presiden RI No 107/1964.

3. LAKSAMANA MALAHAYATI

Laksamana Malahayati adalah salah satu diantara perempuan hebat dalam sejarah Indonesia.
Nama aslinya Keumalahayati, putri dari Laksamana Mahmud Syah bin Laksamana Muhammad
Said Syah. Kakeknya merupakan putra Sultan Salahuddin Syah yang memimpin Aceh pada
1530-1539. Karena ayahnya seorang laksamana, tak heran jika Malahayati akrab dengan dunia
angkatan laut, termasuk soal perangnya.

Selain dari ayahnya, Malahayati mendapat pendidikan akademi militer dan memperdalam ilmu
kelautan di Baital Makdis, sebuah pusat pendidikan tentara Aceh. Konon disana pula Malahayati
berkenalan dengan seorang perwira muda yang kemudian menjadi pendamping hidupnya.

Dalam suatu perang melawan Portugis di Teluk Haru, armada Aceh sukses menghancurkan
Portugis. Tetapi dalam pertempuran tersebut sekitar seribu orang Aceh gugur, termasuk
Laksamana yang merupakan suami Malahayati.

Tak ingin berlama-lama bermuram durja atas gugurnya sang suami, Malahayati membentuk
armada yang terdiri dari para wanita. Pasukannya perupakan para janda yang suaminya gugur
dalam pertempuran melawan Portugis. Armada ini dikenal dengan nama Inong Baleeatau armada
perempuan janda. Dalam perkembangannya pasukannya tidak hanya terdiri dari para janda,

3
tetapi gadis-gadis juga ikut bergabung. Armada ini memiliki 100 kapal perang dengan kapasitas
400-500 orang. Tiap kapal perang dilengkapi dengan meriam. Bahkan kapal paling besar
dilengkapi lima meriam. Pangkalannya berada di Teluk Lamreh Krueng Raya.

Pada Juni 1599 dua kapal dagang Belanda yang dipersenjatai yang dipimpin Cornelis de
Houtman dan Frederick de Houtman datang mengunjungi Aceh. Kedatangan mereka disambut
oleh Sultan dengan upacara kebesaran dan perjamuan. Tetapi setelah itu timbul ketegangan dan
konflik, hingga pecah perang melawan Belanda pada September 1599. Sejumlah orang Belanda
terbunuh, termasuk Cornelis de Houtman yang dibunuh oleh panglima armada Inong Balee,
Malahayati, dengan rencongnya.

Selain menjadi panglima perang, Malahayati juga seorang diplomat. Saat itu setelah pertempuran
melawan armada Belanda, hubungan Aceh dan Belanda sempat tegang. Prins Maurits, yang
memimpin Belanda saat itu berusaha memperbaiki hubungan. Maka dikirim utusan ke Aceh, dan
Malahayati ditugaskan oleh Sultan untuk melakukan perundingan-perundingan awal dengan
utusan Belanda, hingga tercapai sejumlah persetujuan.

Atas keberaniannya Malahayati mendapat gelar laksamana hingga ia lebih dikenal dengan nama
Laksamana Malahayati. Namanya kemudian dikenang di berbagai tempat, diantaranya
digunakan sebagai nama salah satu kapal perang Republik Indonesia, KRI Malahayati.

4. TEUNGKU FAKINAH

Menurut catatan pada Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Banda Aceh, adalah seorang
pahlawan yang juga ulama puteri yang terkenal di Aceh. Ia lahir pada tahun 1856. Orang tuanya
Teungku Datuk dan Cut Mah dari Kampung Lam Beunot (Lam Taleuk), Mukim Lam Krak VII,
Sagi XXII Mukim, Aceh Besar. Sejak kecil, Teungku Fakinah diajarkan mengaji oleh kedua
orang tuanya. Di samping itu, Teungku Fakinah juga diajarkan keterampilan seperti menjahit,
membuat kerawang sutera dan kasab. Dari ketekunan dan kegigihannya belajar ilmu Agama
Islam, maka setelah dewasa ia digelar Teungku Faki.

Pada usia 16 tahun, Teungku Faki menikah dengan Teungku Ahmad, yang setahun kemudian
syahid bersama Panglima Besar Rama Setia dan Imam Lam Krak, dalam mempertahankan
Pantai Cermin, Ulee Lheu, dari serangan Belanda. Setelah pernikahannya dengan Teungku
Ahmad, Teungku Fakinah membuka sebuah pesantren yang dibiayai Teungku Asahan, yang
tidak lain adalah mertuanya. Dalam bukunya "59 Tahun Aceh Merdeka", A. Hasjmi
menyebutkan, pesantren tersebut bernama Dayah Lam Diran, yang akhirnya berkembang dan
banyak dikunjungi pemuda-pemudi dari daerah lain di sekitar Aceh Besar, dan bahkan dari

4
Cumbok, Pidie. Sejak menjadi janda diusianya yang masih remaja, Teungku Fakinah bersama
para janda dan kaum wanita lain membentuk sebuah badan amal yang mendapat dukungan dari
seluruh muslimat di Aceh Besar dan sekitarnya. Badan amal ini kemudian berkembang sampai
ke Pidie, dengan kegiatannya meliputi pengumpulan sumbangan berupa beras maupun uang yang
digunakan untuk membantu pejuang Aceh melawan Belanda. Atas mufakat masyarakat,
Teungku Faki kemudian menikah dengan seorang alim ulama yakni Teungku Nyak Badai, bekas
murid Tanoh Abee yang berasal dari Kampung Langa, Pidie.

Dalam perjalanan hidupnya, Teungku Fakinah pernah mengungsi ke Lammeulo, Cumbok, Pidie,
akibat serangan Belanda. Di tempat ini, Teungku Fakinah mendirikan sebuah pesantren untuk
wanita. Namun, sekitar Tahun 1899 tempat itu diserbu dan dibumihanguskan oleh Belanda.
Teungku Fakinah berhasil meloloskan diri dan ikut bergerilya bersama suaminya. Pada tahun
1910, Panglima Polem atas nama masyarakat meminta Teungku Fakinah pulang ke kampung
halamannya di Lam Krak untuk membantu pesantren di sana. Dalam perkembangan selanjutnya,
setelah Teungku Fakinah wafat pada tahun 1938, masjid yang telah dibangun semasa hidupnya,
masih difungsikan oleh masyarakat sebagai tempat ibadah.

5. POCUT BAREN

Pocut Baren adalah wanita bangsawan dilahirkan pada tahun 1880 di Tungkop Aceh Barat.
ayahnya adalah teuku Amat (ulee balang (tokoh adat) tungkop yang berpengaruh saat itu.
ayahnya sering berdiskusi dnegan ulama untuk masalah-masalah keagamaan dan ini tertanam
dalam kepribadian Pocut Baren sehingga menjadi wanita yang pemberani dalam menegakkan
agama sekaligus agama.
suami Pocut sendiri adalah seorang pejabat daerah yang juga menjadi Ulee Balang GUme, aceh
Barat. Perjuangan Pocut dilakukan secara bersama-sama dengan Cut Nyak Dhien yang rela
hidup menderita dan susah.
didalam catata seorang penulis belanda mengatakan bahwa Pocut baren melakukan perlawanan

5
mulai tahun 1903-1910. kemudia pada tahun 1910 Belanda melakukan Penyerbuan besar-
besaran terhadap pertahanan Pocut Baren di GUnung Macan dibawah pimpinan Letnan Hoogers
dan Pocut sendiri ditangkap kemudian dibawa ke Meulaboh.

Pocut Baren banyak menulis pantun dan syAIR DALAM BAHASA ACEH JUGA MELAYU
bahkan diterjemahkan kedalam bahasa Belanda dan dismpan diperpustkaan Universitas Leiden.
Belanda.

6
Berikut Ini Adalah Nama Pahlawan Laki-laki Yang Berasal Dari Nanggro Aceh
Darussalam
1. Biografi Pahlawan Nasional :Teungku Cik Di Tiro

Lahir : Pidie, 1836


Wafat : Benteng, Aneuk Galong, Januari 1891
Makam : Indrapura, Aceh
Sejak kecil Teungku Cik Di Tiro yang bernama asli Muhammad Saman telah terbiasa tinggal dan
hidup di lingkungan pesantren. Disitu ia banyak menimba ilmu dari beberapa ulama terkenal di
Aceh. Setelah merasa cukup berguru, Muhammad Saman lalu menunaikan ibadah haji di
Mekkah dan sekembalinya dari Kota Mekkah, Muhammad Saman menjadi guru agama di Tiro
Sehingga ia lalu dikenal dengan nama Teungku Cik Di Tiro.
Tahun 1873, Muhammad Saman melakukan perlawanan kepada VOC Belanda yang bermaksud
memasukkan daerah Aceh ke dalam wilayah jajahannya. Bahkan pada tahun 1873 dalam
peperangan yang hebat, Panglima Perang Belanda, Mayor Jenderal JHR Kohler tewas terbunuh
dalam perang tersebut.
Hal itu membuat Belanda marah besar dan mengirimkan pasukan dalam jumlah yang besar dan
kuat untuk memerangi Aceh. Pasukan Marsose belanda menyisir semua daerah Aceh untuk
menangkapi pejuang-pejuang Aceh sekaligus mempersempit ruang gerak pahlawan-pahlawan
Aceh ini.
Namun hal itu malah membuat Aceh semakin kuat, terbukti dengan direbutnya benteng-benteng
Belanda satu per satu mulai dari Benteng Indrapuri, hingga Benteng Lambaro dan Benteng
Aneuk Galong. Satu-satunya pertahanan belanda Cuma di wiayah Banda Aceh.

Tentu saja Belanda memikirkan cara lain yang licik untuk bisa melumpuhkan Teungku CIk Di
Tiro yang menjadi pemegang kunci perjuangan rakyat Aceh. Akhirnya cara licik dipakai
Belanda.
Cik Di Tiro diracun melalui makanan yang dibawa oleh kaki tangan Belanda dan meninggal

7
pada bulan Januari 1891.
Atas jasa-jasanya Muhammad Saman alias Teungku Cik Di Tiro diangkat Pahlawan Nasional
berdasarkan SK Presiden RI.

2. TEUKU UMAR

Teuku Umar. Ia dilahirkan pada tahun 1854 (tanggal dan bulannya tidak tercatat) di Meulaboh,
Aceh Barat, Indonesia. Ia merupakan salah seorang pahlawan nasional yang pernah memimpin
perang gerilya di Aceh sejak tahun 1873 hingga tahun 1899. Kakek Teuku Umar adalah
keturunan Minangkabau, yaitu Datuk Makdum Sati yang pernah berjasa terhadap Sultan Aceh.
Datuk Makdum Sati mempunyai dua orang putra, yaitu Nantan Setia dan Achmad Mahmud.
Teuku Achmad Mahmud merupakan bapak Teuku Umar.

Ketika perang aceh meletus pada 1873 Teuku Umar ikut serta berjuang bersama pejuang-pejuang
Aceh lainnya, padahal umurnya baru menginjak19 tahun. Mulanya ia berjuang di kampungnya
sendiri yang kemudian dilanjukan ke Aceh Barat. Pada umur ini, Teuku Umar juga sudah
diangkat sebagai keuchik (kepala desa) di daerah Daya Meulaboh.
Kepribadiaan Teuku Umar sejak kecil dikenal sebagai anak yang cerdas, pemberani, dan kadang
suka berkelahi dengan teman-teman sebayanya. Ia juga memiliki sifat yang keras dan pantang
menyerah dalam menghadapi segala persoalan. Teuku Umar tidak pernah mendapakan
pendidikan formal. Meski demikian, ia mampu menjadi seorang pemimpin yang kuat, cerdas,
dan pemberani.
Pernikahan Teuku Umar tidak sekali dilakukan. Ketika umurnya sudah menginjak usia 20 tahun,
Teuku Umar menikah dengan Nyak Sofiah, anak Uleebalang Glumpang. Untuk meningkatkan
derajat dirinya, Teuku Umar kemudian menikah lagi dengan Nyak Malighai, puteri dari
Panglima Sagi XXV Mukim. Sejak saat itu, ia mulai menggunakan gelar Teuku. Pada tahun
1880, Teuku Umar menikahi janda Cut Nyak Dien, puteri pamannya. Sebenarnya Cut Nyak Dien
sudah mempunyai suami (Teuku Ibrahim Lamnga) tapi telah meninggal dunia pada Juni 1978
dalam peperangan melawan Belanda di Gle Tarun. Setelah itu, Cut Nyak Dien bertemu dan jatuh

8
cinta dengan Teuku Umar. Keduanya kemudian berjuang bersama melancarkan serangan
terhadap pos-pos Belanda di Krueng. Hasil perkawinan keduanya adalah anak perempuan
bernama Cut Gambang yang lahir di tempat pengungsian karena orang tuanya tengah berjuang
dalam medan tempur.
Belanda sempat berdamai dengan pasukan Teuku Umar pada tahun 1883. Satu tahun kemudian
(tahun 1884) pecah kembali perang di antara keduanya. Pada tahun 1893, Teuku Umar kemudian
mencari strategi bagaimana dirinya dapat memperoleh senjata dari pihak musuh (Belanda).
Akhirnya, Teuku Umar berpura-pura menjadi antek (kaki tangan) Belanda. Istrinya, Cut Nyak
Dien pernah sempat bingung, malu, dan marah atas keputusan suaminya itu. Gubernur Van Teijn
pada saat itu juga bermaksud memanfaatkan Teuku Umar sebagai cara untuk merebut hati rakyat
Aceh. Teuku Umar kemudian masuk dinas militer. Atas keterlibatan tersebut, pada 1 Januari
1894, Teuku Umar sempat dianugerahi gelar Johan Pahlawan dan diizinkan untuk membentuk
legium pasukan sendiri yang berjumlah 250 tentara dengan senjata lengkap.

Saat bergabung dengan Belanda, Teuku Umar sebenarnya pernah menundukkan pos-pos
pertahanan Aceh. Peperangan tersebut dilakukan Teuku Umar secara pura-pura. Sebab,
sebelumnya Teuku Umar telah memberitahukan terlebih dahulu kepada para pejuang Aceh.
Sebagai kompensasi atas keberhasilannya itu, pemintaan Teuku Umar untuk menambah 17 orang
panglima dan 120 orang prajurit, termasuk seorang Pangleot sebagai tangan kanannya akhirnya
dikabulkan oleh Gubernur Deykerhorf yang menggantikan Gubernur Ban Teijn.

Pada tanggal 30 Maret 1896, Teuku Umar kemudian keluar dari dinas militer Belanda dengan
membawa pasukannya beserta 800 pucuk senjata, 25.000 butir peluru, 500 kg amunisi, dan uang
18.000 dollar. Dengan kekuatan yang semakin bertambah, Teuku Umar bersama 15 orang
berbalik kembali membela rakyat Aceh. Siasat dan strategi perang yang amat lihai tersebut
dimaksudkan untuk mengelabuhi kekuatan Belanda pada saat itu yang amat kuat dan sangat
sukar ditaklukkan. Pada saat itu, perjuangan Teuku Umar mendapat dukungan dari Teuku
Panglima Polem Muhammad Daud yang bersama 400 orang ikut menghadapi serangan Belanda.
Dalam pertempuran tersebut, sebanyak 25 orang tewas dan 190 orang luka-luka di pihak
Belanda.

Gubernur Deykerhorf merasa tersakiti dengan siasat yang dilakukan Teuku Umar. Van Heutsz
diperintahkan agar mengerahkan pasukan secara besar-besaran untuk menangkap Teuku Umar.
Serangan secara mendadak ke daerah Melaboh menyebabkan Teuku Umar tertembak dan gugur
dalam medan perang, yaitu di Kampung Mugo, pedalaman Meulaboh pada tanggal10 Februari
1899.
☻Pemikiran
Sejak kecil, Teuku Umar sebenarnya memiliki pemikiran yang kerap sulit dipahami oleh teman-
temannya. Ketika beranjak dewasa pun pemikirannya juga masih sulit dipahami. Sebagaimana

9
telah diulas di atas bahwa taktik Teuku Umar yang berpura-pura menjadi antek Belanda adalah
sebagai bentuk “kerumitan” pemikiran dalam dirinya. Beragam tafsir muncul dalam memahami
pemikiran Teuku Umar tentang taktik kepura-puraan tersebut. Meski demikian, yang pasti bahwa
taktik dan strategi tersebut dinilai sangat jitu dalam menghadapi gempuran kolonial Belanda
yang memiliki pasukan serta senjata sangat lengkap. Teuku Umar memandang bahwa “cara yang
negatif” boleh-boleh saja dilakukan asalkan untuk mencapai “tujuan yang positif”. Jika dirunut
pada konteks pemikiran kontemporer, pemikiran seperti itu kedengarannya lebih dekat dengan
komunisme yang juga menghalalkan segala cara. Semangat perjuangan Teuku Umar dalam
menghadapi kolonialisme Belanda yang pada akhirnya mendorong pemikiran semacam itu.

☻Karya
Karya Teuku Umar dapat berupa keberhasilan dirinya dalam menghadapi musuh. Sebagai
contoh, pada tanggal 14 Juni 1886, Teuku Umar pernah menyerang kapal Hok Centon, milik
Belanda. Kapal tersebut berhasil dikuasai pasukan Teuku Umar. Nahkoda kapalnya, Hans (asal
Denmark) tewas dan kapal diserahkan kepada Belanda dengan meminta tebusan sebesar 25.000
ringgit. Keberanian tersebut sangat dikagumi oleh rakyat Aceh. Karya yang lain adalah berupa
keberhasilan Teuku Umar ketika mendapatkan banyak senjata sebagai hasil dari pengkhianatan
dirinya terhadap Belanda.

☻Penghargaan
Berdasarkan SK Presiden No. 087/TK/1973 tanggal 6 November 1973, Teuku Umar dianugerahi
gelar Pahlawan Nasional. Nama Teuku Umar juga diabadikan sebagai nama jalan di sejumlah
daerah di tanah air, salah satunya yang terkenal adalah terletak di Menteng, Jakarta Pusat. Selain
itu, namanya juga diabadikan sebagai nama sebuah lapangan di Meulaboh, Aceh Barat.

3. Biografi Sultan Iskandar Muda

10
Lahir : Banda Aceh, 1593
Wafat : banda Aceh, 27 September 1636
Makam : Banda Aceh

Sultan Iskandar Muda memerintah Kerajaan Aceh pada tahun 1607 sampai dengan 1636.
Sebelum menjadi Sultan Aceh, ia bernama Johan Perkasa Alam. Di bawah kepemimpinannya,
Kerajaan Aceh mencapai puncak kejayaannya sebagai salah satu kerajaan besar di Nusantara.
Wilayah kekuasaan Kesultanan Aceh mencapai Malaysia, Sumatera Barat, Sumatera Timur dan
Semenanjung Melayu. Bukan itu saja, Aceh juga menjadi pusat peradaban kebudayaan Aceh
disamping juga sebagai salah satu pusat perniagaan terbesar pada saat itu. Sehingga Aceh sampai
sekarang digelari Serambi Makkah.
Portugis yang telah menguasai Malaka sejak tahun 1511, tidak pernah mampu menguasai Aceh.
Tahun 1615, Iskandar Muda melakukan penyerangan ke Malaka, namun upaya ini dapat
digagalkan oleh Portugis.
Tahun 1629, Sultan Iskandar Muda kembali menyerang Portugis di Malaka. Kali ini hampir saja
Malaka berhasil dikuasai oleh pasukan-pasukan Sultan Iskandar Muda, jika portugis tidak
mendapat bantuan dari Kerajaan Johor, Pahang dan Patani.

Sultan Iskandar Muda wafat pada usia 43 tahun. Namun hingga akhir hayatnya, ia berhasil
membawa Aceh ke puncak kejayaan dan kemakmuran. Sultan Iskandar Muda dianugerahi gelar
Pahlawan Nasional berdasarkan SK Presiden RI No 077/TK/1993.

11
4. PANGLIMA POLEM

Biografi

Diangkat sebagai Panglima

Setelah dewasa, Teuku Panglima Polem Muhammad Daud menikah dengan salah seorang puteri
dari Tuanku Hasyim Bantamuda, tokoh Aceh yang seperjuangan dengan ayahnya. Dia diangkat
sebagai Panglima Polem IX pada bulan Januari 1891 untuk menggantikan ayahnya Panglima
Polem Raja Kuala yang telah wafat. Setelah pengangkatannya sebagai Panglima dia kemudian
mempunyai nama lengkap Teuku Panglima Polem Sri Muda Perkasa Muhammad Daud.[1]

Dalam perjuangannya Panglima Polem Muhammad Daud juga memperoleh dukungan dari para
ulama Aceh. Sebagai pendukung utama, Teungku Muhammad Amin dan Teungku Beb, yang
kemudian diangkat menjadi panglima besar.[1]

Perjuangan melawan Belanda

Bersama Teuku Umar

Sampai tahun 1896, Belanda masih sulit mencapai kubu-kubu pertahanan Aceh. Teuku Umar
bersama 15 orang panglimanya pada bulan September 1893, pura-pura menyerah kepada
Belanda, setelah terjadi penyerahan, patroli Belanda di daerah Lam Kra' VII, Mukim Ba'et Aceh
Besar. Teuku Umar bersama 15 orang berbalik kembali membela rakyat Aceh. Sementara itu
Teuku Panglima Polem Muhammad Daud bersama 400 orang pasukannya bergabung dengan
Teuku Umar untuk menghadapi serangan Belanda. Dalam pertempuran tersebut pasukan
Belanda sangat marah karena dari pihak mereka banyak yang berjatuhan.Korban dalam
penyerangan itu sebanyak 25 orang tewas dan 190 orang luka-luka.[1]

Pada tahun 1897 Belanda terpaksa mengambil inisiatif untuk menambah pasukannya di Aceh.
Sejak saat itu serangan pihak Aceh mulai menurun dan Teuku Umarpun mengambil jalan pintas

12
mengundurkan diri ke daerah Daya Hulu. Untuk mengelabui Belanda tentang keberadaannya,
Teuku Umar meninggalkan Panglima Polem bersama pasukannya di wilayah pegunungan
Seulimeum.[1]

Dalam sebuah pertempuran di Gle Yeueng dengan kekuatan 4 kompi infantri Belanda akhirnya
berhasil menguasai 3 buah benteng yang didirikan oleh Panglima Polem. Dalam pertempuran ini,
jatuh korban 27 orang tewas dan 47 orang luka-luka. Pada bulan Oktober 1897, wilayah
Seulimeum akhirnya berhasil dikuasai oleh Belanda tanpa banyak perlawanan, dan Panglima
Polem terpaksa mengambil jalan hijrah ke Pidie.[1]

Bertemu dengan Sultan Aceh

Pada bulan November 1897, kedatangan Panglima Polem di Pidie diterima oleh Sultan Aceh
(Muhammad Daud Syah). Dia mengadakan suatu musyawarah bersama tokoh pejuang Aceh
lainnya.[1]

Pada bulan Februari 1898, Teuku Umar tiba di wilayah VII Mukim Pidie bersama seluruh
kekuatan pasukannya lalu bergabung dengan Panglima Polem. Pada tanggal 1 April 1898, Teuku
Panglima Polem bersama Teuku Umar dan para ulama serta Uleebalang terkemuka lainnya
menyatakan sumpah setianya kepada Sultan Muhammad Daud Syah.[1]

Pada awal tahun 1901, Sultan Muhammad Daud Syah bersama Panglima Polem mengambil
inisiatif secara bersama-sama menyingkir ke daerah gayo dan kemudian menjadikan daerah ini
sebagai pusat pertahanan Aceh. Di daerah ini Sultan Aceh bersama Panglima Polem dan
pasukannya kembali menyusun strategi baru untuk mempersiapkan penyarangan terhadap
Belanda.[1]

Karena Belanda gagal menangkap Sultan dan Panglima Polem, maka meraka menghentikan
penyerangannya ke daerah Gayo. Kemudian Belanda menyusun strategi baru yang sangat licik
yaitu dengan menangkap keluarga-keluarga dekat Sultan. Mereka berhasil menangkap isteri
Sultan yang bernama Teungku Putroe di Glumpang Payong dan isteri sultan yang bernama Pocut
cot Murong dan juga Putera Sultan di Lam Meulo. Setelah menangkap mereka, Belanda
mengancam Sultan; apabila Sultan tidak menyerahkan dini dalam tempo satu bulan, maka kedua
isterinya akan dibuang.[1]

Berdamai Dengan Belanda

Menerima berita ancaman itu, pada tanggal 10 Januari 1903 Sultan Muhammad Daud Syah
terpaksa berdamai dengan Belanda. Pemerintah Hindia Belanda mengasingkannya ke Ambon
dan terakhir dipindahkan ke Batavia sampai Sultan wafat pada tanggal 6 Februari 1939. Hal ini

13
menyebabkan Teuku Panglima Polem Sri Muda Perkasa Muhammad Daud secara terpaksa juga
berdamai dengan Belanda pada tanggal 7 September 1903.

5. TEUKU NYAK ARIF

Namanya telah menunjukkan, bahwa Teuku Nyak Arif seorang bangsawan Aceh. Ia
dilahirkan pada tanggal 17 Juli 1899 di Ulee-lee, Banda Aceh. Ayahnya, Teuku Nyak Banta
yang nama lengkapnya Teuku Sri Imeum Nyak Banta, Panglima (kepala daerah) Sagi XXVI
Mukim. Ibunya bernama Cut Nyak Rayeuh, bangsawan di daerah Ulee-lee pula. Teuku Nyak
Arif adalah anak ketiga dari lima orang saudara sekandung, 2 laki-laki dan 3 perempuan. Saudara
tirinya yang dilahirkan dari 2 orang isteri ayahnya yang lain, 3 perempuan dan 2 laki-laki.

Teuku Nyak Arif, setelah menamatkan Sekolah Dasar di Banda Aceh pada tahun 1908,
meneruskan ke Sekolah Guru (Kweekschool) di Bukittinggi jurusan pangrehpraja, kemudian
melanjutkan ke OSVIA (Opleiding School Voor Inlandsche Ambtenaren = Sekolah calon
pangrehpraja) di Banten, tamat tahun 1915. Ia memang disiapkan sebagai pegawai pamongpraja
untuk menggantikan ayahnya sebagai Panglima Sagi XXVI.
Sebenarnya sejak 1911 ia sudah mewarisi kedudukan itu, namun karena masih terlalu
muda, ayahnyalah yang mewakilinya hingga 1919. Sejak kecil Nyak Arif sudah tampak cerdas
dan berwatak berani dan keras. Ia membenci Belanda karena menganggapnya bangsa itu
penjajah negerinya yang membawa kesengsaraan rakyat Aceh. Sejak kecil ia sudah mengenal
sumpah sakti orang Aceh, "Umat Islam boleh mengalah sementara, tetapi hanya sementara saja
dan pada waktunya umat Islam harus melawan kembali". Kebenciannya kepada Belanda itu

14
menyebabkan ia bersikap melawan. Ia tidak mau menerima tunjangan f 10,— setiap bulan yang
disediakan pemerintah untuk anak-anak Aceh yang belajar di luar Aceh. Di sekolahan ia tidak
mau tunduk kepada perintah gurunya, misalnya untuk menghapus tulisan di papan tulis dan
sebagainya.

6. TEUKU H. MUHAMMAD HASAN

Nama Lengkap : Teuku H. Muhammad Hasan

Agama : Islam

Tempat Lahir : Sigli, Aceh

Tanggal Lahir : Rabu, 4 April 1906

Zodiac : Aries

Warga Negara : Indonesia

Ayah : Teuku Bintara Pineung Ibrahim


Ibu : Tjut Manyak

Teuku Muhammad Hasan adalah Gubernur Wilayah Sumatera pertama setelah Indonesia
merdeka. Teuku Muhammad Hasan juga pernah menjabat sebagai Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan Indonesia pada tahun 1948 hingga tahun 1949 dalam Kabinet Darurat. Selain itu dia
dikenal sebagai seorang pejuang kemerdekaan dan pahlawan nasional Indonesia. Teuku
Muhammad Hasan dilahirkan dengan nama Teuku Sarong pada tanggal 4 April 1906 di Sigli,
Aceh. Dia adalah putra Teuku Bintara Peneung Ibrahim dengan Tjut Manyak. Ayahnya, Teuku
Bintara Pineung Ibrahim adalah Ulèë Balang di Pidie (Ulèë Balang adalah bangsawan yang
memimpin suatu daerah di Aceh).

15
Setelah berumur delapan tahun, Teuku Muhammad Hasan mulai memasuki pendidikan formal,
yakni Sekolah Rakyat (Volksschool) di Lampoih Saka pada tahun 1914. Pendidikan dasarnya ini
ditempuh selama dua tahun. Pada tahun 1917, T.M.Hasan diterima di sekolah milik Belanda
Europeesche Lagere School (ELS) dan diselesaikannya pada tahun 1924.

Selepas menyelesaikan studinya di ELS, Hasan melanjutkan sekolah menengah di Koningen


Wilhelmina School (KWS) di Batavia yang kemudian dilanjutkan dengan pendidikan di
Rechtschoogeschool (Sekolah Tinggi Hukum) Batavia. Pada usia 25 tahun, T.M. Hasan
memutuskan untuk bersekolah di Leiden University, Belanda. Selama di Belanda, dia bergabung
dengan Perhimpunan Indonesia yang dipelopori oleh Muhammad Hatta, Ali Sastroamidjojo,
Abdul Madjid Djojodiningrat dan Nasir Datuk Pamuntjak.

Selain kesibukannya sebagai mahasiswa, Hasan juga menjadi aktivis yang mengadakan kegiatan-
kegiatan organisasi baik di dalam kota maupun di kota-kota lain di Belanda. T.M. Hasan berhasil
menyelesaikan studinya di Leiden University dan mendapatkan gelar Meester in de Rechten
(Master of Laws) pada tahun 1933.

Pada tahun 1933, T.M Hasan kembali ke Indonesia. Dia kemudian memilih untuk tinggal di
Kutaraja dan menjadi pegiat di bidang agama dan pendidikan. Di bidang agama, T.M Hasan
bergabung dengan organisasi Islam Muhammadiyah sebagai konsul di bawah pimpinan R.O.
Armadinata. Pada era ini, Muhammadiyah berhasil mendirikan perkumpulan perempuan yakni
Aisyiyah, Hizbul Wathan, dan sebuah lembaga pendidikan setimgkat Hollandsch-Inlandsche
School atau HIS. Selain aktif di Muhammadiyah, T.M Hasan juga aktif dalam dunia pendidikan.
T.M Hasan merupakan salah satu tokoh pelopor berdirinya organisasi Atjehsche Studiefonds
(Dana Pelajar Aceh) yang bertujuan untuk membantu anak-anak Aceh yang cerdas tetapi tidak
mampu untuk sekolah.

T.M Hasan juga pernah dipercaya untuk menjadi komisaris organisasi pendidikan yang bernama
Perkumpulan Usaha Sama Akan Kemajuan Anak (PUSAKA) dimana organisasi ini bertujuan
untuk mendirikan sebuah sekolah rendah berbahasa Belanda seperti Hollandsch-Inlandsche
School. Dalam dunia kependidikan, T.M Hasan mendirikan Perguruan Taman Siswa di Kutaraja
pada tanggal 11 Juli 1937. Dalam kepengurusan lembaga yang diprakarsai oleh Ki Hajar
Dewantara ini, T.M Hasan menjadi ketua dengan sekretaris Teuku Nyak Arief.

Beberapa tahun kemudian, T.M Hasan meninggalkan Kutaraja karena menerima tawaran bekerja
di Batavia sebagai pengawai di Afdeling B, Departemen Van Van Onderwijsen Eiredeienst
(Departemen Pendidikan). Pada tahun 1938, T.M Hasan kembali lagi ke Medan untuk bekerja
pada kantor Gubernur Sumatera sampai tahun 1942. Selama era penjajahan Jepang ini, yakni
antara tahun 1942 sampai 1945, T.M Hasan tetap berada di Medan dan bekerja sebagai Ketua
Koperasi Ladang Pegawai Negeri di Medan, kemudian menjadi Penasehat dan Pengawas

16
Koperasi Pegawai Negeri di Medan dan Pemimpin Kantor Tinzukyoku (Kantor permohonan
kepada Gunsaibu) di Medan.

Pada tanggal 7 Agustus 1945 Mr. Teuku Muhammad Hasan dipilih menjadi anggota Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang diketuai oleh Ir. Soekarno. Setelah kemerdekaan
berhasil dipertahankan, pada tanggal 22 Agustus 1945, Teuku Muhammad Hasan diangkat
menjadi Gubernur Sumatera I dengan ibukota provinsi di Medan. Teuku Muhammad Hasan juga
pernah menjabat sebagai Wakil Ketua Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI)/Menteri
Dalam Negeri/Menteri PPK/Menteri Agama saat terjadi Agresi Militer Belanda II yang
menyebabkan penangkapan para pemimpin, seperti Soekarno, Hatta dan Syahrir.

17

Anda mungkin juga menyukai