Ilmu Kalam Makalah Kelompok 03
Ilmu Kalam Makalah Kelompok 03
KLASIK (MUTAZILAH)
Di Susun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ilmu Kalam
Dosen Pengampu : Cecep Hilman, SPd.I., M.Pd.
Penyusun
DAFTAR ISI
1
Pada zaman moderen aliran ini sudah punah, namun kerangka pikiran dari
aliran ini banyak bermunculan kembali. Di masyarakat banyak terjadi
kesilapan serta salah kaprah dan menganggap ajaran dari aliran ini sangat
berbahaya, sesat, menyimpang dan sebagainya, serta menyalahkan begitu saja
tanpa mengetahui dasar pemikiran serta argumen mereka. Bila kita sudah
mengetahui dasar pikiran serta argumen yang mereka gunakan, akan lebih
bijak dalam menyalahkan atau mendukung dengan menyebutkan bantahan atau
dukungan yang kita anggap benar, tentu didasari argumen yang dapat
dipertanggung jawabkan.
Dari itu perlu rasanya kita kembali melakukan analisis dan refleksi
terhadap aliran ini dengan menengok kembali latar belakang lahirnya aliran
ini, bagaimana pokok-pokok pikiran serta tokoh-tokoh dan figur utamanya,
karakteristik dan perkembangan dari aliran mu’tazilah ini.
B. RUMUSAN MASALAH
Dari uraian di atas, pemakalah dapat menyimpulakn pokok-pokok bahasan
yang akan kita bahas dalam makalah ini yaitu:
1. Latar Belakang Kelahiran Mutazilah
2. Tokoh dan Figur Aliran Mutazilah
3. Karakteristik dan Pokok-Pokok Pikiran Aliran Mutazilah
4. Perkembangan Mutazilah
C. TUJUAN PENELITIAN MAKALAH
1. Mengetahui latar belakang muculnya Mutazilah
2. Mengetahui ajaran-ajaran Mutazilah
3. Mengetahui pendiri Mu’tazilah
4. Mengetahuai tokoh dan figur aliran Mutazilah
5. Karakteristik dan poko-pokok pikiran aliran Mutazilah
6. Mengetahui Perkembangan Mutazilah
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. KELAHIRAN MU’TAZILAH
Kata mu’tazilah secara Etimologi (harfiah) berasal dari kata “I’tazala” (
تزلKK )عyang berarti berpisah, memisahkan diri, menjauh, menjauhkan diri,
ataumenyisihkan diri. Sedangkan secara Terminologi mu’tazilah adalah nama
suatu golongan. Dalam makalah ini golongan mu’tazilah yang kita bahas ialah
mu’tazilah dalam Islam, terutama golongan ahli Kalam.
Banyak pendapat yang menjelaskan munculnya aliran ini. Namun pada
dasarnya terdapat dua pendapat munculnya aliran mu’tazilah. Pertama,
golongan ini muncul sebagai suatu kelompok di kalangan ‘Ali. Kelompok ini
muncul dari sahabat yang gerah melihat kekacauan politik umat Islam pada
masa ‘Ali.
Beberapa sahabat senior seperti ‘Abdullah ibn ‘Umar, Sa’d ibn Abi Waqqas
dan Zaid ibn Tsabit bersikap netral. Sebagai reaksi atas keadaan ini, mereka
sengaja menghindar (i’tazala) dan memperdalam pemahaman agama dan
meningkatkan hubungan kepada Allah. Abu al-Hasan al-Thara’ifi mengatakan:
“Mereka menamakan diri dengan Mu'tazilah ketika Hasan bin’Ali
membai’at Mu’awiyah dan menyerakhan jabatan khalifah kepadanya. Mereka
mengasingkan diri dari Hasan, Mu’awiyah dan semua orang lain. Mereka
menetap di rumah-rumah dan masjid-masjid. Mereka mengatakan, ‘Kami
bergelut dengan ilmu dan ibadah’.
” Kedua, aliran ini timbul pada awal abad II Hijriyah berkenaan dengan
peristiwa Washil bin Atha’ (w.131 H) dan ‘Amir bin Ubaid (w. 144 H) dengan
guru mereka, Hasan Al-Bashri (w. 110 H). Dijelaskanoleh Al-Bagdadi
Sebagaimana dikutip oleh Drs. H. Salihun A. Nasir dalam bukunya
Pengantar Ilmu Kalam:
3
َو َخ َر َج َو اِص ُل اْبِن َع َطاَء َع ْن َقْو ِل َجِم ْيِع اْلِفَر ِق اْلُم َتَقِّد َم ِة َو َز َع َم َاَّن اْلَفاِس َق ِم ْن َهِذِه اُاْلَّمِة اَل ُم ْؤ ِم ٌن َو اَل َك اِفٌر
َو َجَعَل اْلِفْس َق َم َنِز َلًة َبْيَن َم ْنِز َلَتَي اْلُك ْفِر َوِاْل ْيَم اِن َفَلَّم ا َس ِمَع اْلَح َس ُن اْلَبْص ِر ُّي ِم ْن َو اِص ٍل ِبْد َع َت ُه َه ِذِه اَّلِتى
َفاْعَتَز َل ِع ْنَد َس اِرَيٍة ِم ْن َس َو اِر ْي َم ْس ِج ِد اْلَبْص َرِة َو اْنَض َم ِاَلْي ِه،َخ َلَف ِبَها َاْقَو اُل اْلِفَر ِق َقْبَلُه َطَر َد ُه َع ْن َم ْج ِلِسِه
َقِر ْيُنُه ِفْي الَّض اَل َلِة َع ْم ُر وْبُن ُع َبْيِد ْبِن َباَب َك َع ْبٍد َص ِرْيُخ ُه َاَم ًة ُس ِم َي َاْتَبا ُع ُهَم ا َيْو َم ِئٍذ ُم ْعَتِز َلًة.
4
Mengenai penamaan golongan ini dengan nama mu’tazilah, terdapat
banyak pendapat. Ada yang mengatakan karena Washil memisahkan diri dari
gurunya seperti kisah di atas, yang lain mengatakan karena pendapat mereka
tentang orang yang berbut dosa besar jauh dari golongan mukmin dan kafir.
Pendapat yang lain mengatakan karena pendapat mereka tentang pelaku
dosa besar jauh dari pendapat kebanyakan, ada juga yang mengatakan karena
mereka terdiri dari orang-orang yang menjaga harga diri, sulit ekonomi, dan
menolak hidup bersenang-senang atau yang hidup zuhud terhadap dunia.
Ahmad Amin dalam bukunya “Fajr Al-Islam” sebagaimana dikutip Imam
Muhammad Abu Zahrah bahwa mu’tazilah diberikan kepada golongan ini
karena persamaan yang besar dengan sebuah golongan Yahudi yang bernama
mu’tazilah. Persamaan mereka seperti menafsirkan kitab suci dengan logika
filsafat.Terlepas dari semua itu, mereka menamakan diri dengan “Ahlu Al-Adl
wa Al-Tauhid.”
B. TOKOH DAN FIGUR ALIRAN MU’TAZILAH
Banyak sekali tokoh-tokoh dan figur dari aliran ini disamping dari
golongan Ulama dan Khalifah. Diantara tokoh-tokoh dan figur mu’tazilah pada
abad II Hialah Washil bin ‘Atho dan Amr bin Ubaid dengan murid-murid
mereka seperti Utsman At-Thawil, Hafsh bin Salim, Khalik bin Sofwan dan
Ibrahim bin Yahya Al-Madani. Pada permulaan abad III H di Bashrah
dipimpin oleh Abu Hudzail Al-Allaf (w. 235 H), Ibrahim bin Sayyar An-
Naddham (w. 221 H), Abu Basyar Al-Marisi (w. 218 H), Utsman Al-Jahiz (w.
255 H) pengarang kitab Al-Hiwan, Ibnu Al-Mu’ammar (w. 210 H), dan Abu
Ali Al-Juba’i (w. 303 H).
Sedangkan di Bagdad ada Basyar bin Al-Mu’tamar, Abu Musa Al-
Murdan, Ahmad bin Abi Duad (w. 240 H), Ja’far bin Mubasysyar (w. 234 H),
dan Ja’far bin Harib Al-Hamdani (w. 235 H). Sedangkan tokoh dan figur di
masa selanjutnya ialah Syarif Radli (w. 406 H) pengarang kitab Majazul
5
Qur’an, Abdul Jabbar bin Ahmad yang lebih dikenal dengan Qadlil Qudlot
penulis kitab Syarah Ushulil Khomsah, Zamakhsyari (w. 528 H) dengan
kitabnya Tafsir Al-Kasysyaf, Ibnu Abil Haddad (w. 655 H) dengan karyanya
Syarah Nahjul Balaghah, dan lainnya.
Sedangkan tokoh dan figur dari kalangan khalifah yang juga mendukung
serta menganut mu’tazilah ialah khlifah Yazid bin Walid (125-126 H) seorang
khalifah Dinasti Umayyah. Dari Dinasti Abasyiah ada khalifah Al-Makmun bin
Harun Al-Rasyid (198-218 H), Al-Mu’tashim bin Harun Al-Rasyid (218-227
H) dan khalifah Al-Watsiq bin Al-Mu’tashim (227-232 H).
C. KARAKTERISTIK DAN POKOK PIKIRAN ALIRAN MU’TAZILAH
Mu’tazilah merupakan aliran yang sangat mengedepankan akal dalam
menemukan dalil, mereka berpagang erat pada peremis-premis logika kecuali
dalam hal yang tidak dapat diketahui kecuali dengan dalil syara’. Yang
demikian itu bukanlah tanpa sebab, mereka bersikap demikian karena beberapa
sebab seperti Basis mereka di Irak dan Persia yang terdapat suasana dialogis
sebagai sisa-sisa dari kebudayaan dan peradaban kuno, Mayoritas dari mereka
adalah mawali serta akibat dari merka banyak bergaul dengan orang-orang
Yahudi, Nashrani, dan sebagainya, dan pengaruh dari ke filsafat kuno.
Akibatnya mereka berpegang mutlak pada kemampuan akal sehinggga
untuk menetapkan baik dan buruk bagi mereka harus dengan akal. Mereka
mengatakan, “Semua pengetahuan dapat dipikirkan dengan akal, dan
kebenarannya mesti diuji dengan akal. Mensyukuri nikmat sudah wajib
sebelum turunnya wahyu. Baik dan buruk merupakan sifat esensial dari
kebaikan dan keburukan itu sendiri.”
Mengenai kemakhlukan Al-Qur’an, ada yang mengatakan mereka
dipengaruhi oleh orang-orang Yahudi dan ada pula yang mengatakan dari
orang Kristen seperti Saint John Of Damascus (676-749 M) atau lebih dikenal
dengan Ibnu Sarjun, dan Tsabit bin Qurrah (836-901 M) serta Kusto bin Lucas
(820-912 M). Namun Abu Zahrah menjelaskan bahwa mereka mengatakan
6
Al-Qur’an itu makhluk semata-mata ialah karena ingin melindungi aqidah
orang islam supaya tidak menyerupai pendapat orang-orang keristen tentang
“Al-Masih” dan akan melahirkan paham “Ta’adud Al-Qudama’” (banyaknya
yang kekal).
Diantara pendapat-pendapat mereka ialah: Orang yang berdosa besar tidak
mukmin dan kafir, tapi di antara keduanya yaitu fasik, Allah tidak mempunyai
sifat, Baik dan buruk ditentukan akal, Allah tidak bisa dilihat walaupun di
akhirat nanti, Al-Qur’an itu Makhluk, bukan Qadim, Menolak adanya Isra’ dan
Mi’raj Nabi dengan roh dan jasad, Kebangkitan manusia dari kubur (Hasyr Al-
Ajsad), Allah wajib berbuat baik dan yang terbaik bagi mausia (Ashshalah wa
Al-Ashlah) Dan sebagainya.
Secara umum karakteristik dan pokok pikiran dari aliran ini tertuang
dalam lima prinsip ajaran Mu’tazilah atau yang lebih dikenal dengan “Al-
Ushul Al-Khomsah.” Al-Khayyat, seorang tokoh mu’tazilah pada abad ke III
menegaskan:
الَّتْو ِح ْيُد َو اْلَع ْد ُل َو اْلَو ْعُد: َو َلْيَس َيْسَتِح ُّق َاَح ُد ِم ْنُهْم ِاْس َم اِاَل ْع ِتَز اِل َح َّتى َيْج َم َع ى اْلَقْو ُل ِباُاْلُصْو ِل اْلَخ ْمَسِة
َو اْلَوِع ْيُد َو اْلَم ْنِز َلُة َبْيَن اْلَم ْنِز َلَتْيِن َو اَاْلْم ُر ِباْلَم ْع ُرْو ِف َو
َفاِء َذ ا َك ُم َلْت ِفْيِه َهِذِه اْلَخ ْص َلُة َفُهَو ُم ْعَتِز ِلُّي، الَّنْهُي َع ِن اْلُم ْنَك ِر.
7
1. Al-Tauhid ( Keesaan Tuhan)
Al-Tauhid ini merupakan inti dari paham mu’tazilah. Sebenarnya paham
tauhid dianut oleh semua golongan teologi islam, hanya saja dalam
memandang ketauhidan bagi Allah SWT meraka berbeda penadapat dan atau
pandangan. Imam Muhammad Abu Zahrah menjelaskan metode mereka
dalam menentukan dalil aqidah. Ia menjelaskan:
“Dalam menemukan dalil untuk menetapkan aqidah, mu’tazilah berpegang
pada premis-premis logika, kecuali dalam masalah-masalah yang tidak dapat
diketahui selain dengan dalil naql .Kepercayaan mereka terhadap kekuatan akal
hanya dibatasi oleh penghormatan mereka terhadap perintah- perintah syara’.
Setiap masalah yang timbul dihadapkan kepada akal, yang dapat diterima akal
mereka akui, dan yang tidak dapat diterima akal mereka tolak.”
Al-Asy’ary menerangkan paham ini dalam kitabnya “Maqalat Al-Islamiyyin”
sebagaiman adikutip Abu Zahrah
“Sesungguhnya Allah adalah Esa, tidak ada sesuatupun yang serupa
dengan dia, dan dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat tidak
bertubuh, tidak berkulit, tidak berbilang, tidak berupa, tidak berdaging, tidak
berdarah, bukan pribadi, bukan jauhar, bukan ‘aradh, tidak berwarna, tidak
berasa, tidak berbau, tidak bisa diraba, tidak panas, tidak dingin, tidak muda,
tidak tua, tidak panjang, tidak pendek, tidak dalam, tidak berkumpul, tidak
berpisah, tidak bergerak, tidak diam, tidak terbagi, tidak mempunyai bagian,
tidak beranggota tubuh, tidak berarah, tidak di kiri, tidak di kanan, tidak di
depan, tidak di belakang, tidak di atas, tidak di bawah, tidak terkait dengan
waktu dan ruang, tidak mendekat, tidak menjauh, tidak memerlukan tempat,
dan sedikit pun tidak dapat di sifati dengan sifat-sifat makhluk yang
menunjukan bahwa mereka adalah baharu, tidak disifati dengan berakhir,
tidak pula dapat disentuh, tidak mempunyai sifat mengarah ke suatu arah, tidak
terbatas, tidak beranak dan tidak pula
8
diperanakkan, tidak terikat dengan suatu ukuran, tidak terhalang oleh
dinding-dinding batas, tidak dapat ditangkap dengan panca indera, tidak dapat
dianalogikan kepada manusia, tidak menyerupai makhluk dari segi apapun,
tidak berlaku waktu baginya dan tidak terjangkau kebinasaan. Semua yang
telintas di pikiran dan tergambar di benak pasti tidak serupa dengannya. Dia
Yang Awal dan Yang Akhir, mendahului segala yang baru, ada sebelum
makhluk manapun ada, senantiasa mengetahui, sanggup, hidup, senantiasa
begitu, tidak dapat dilihat oleh mata, tidak terjangkau pandangan, tidak
terjangkau keraguan, tidak mendengar dengan pendengaran; sesuatu yang tidak
menyerupai apapun, mengetahui, tidak seperti orang-orang yang tahu, kuasa
dan hidup. Dia Qadim dengan sendirinya, tidak ada yang qadim selain dia,
tidak ada Tuhan selain Dia, tidak ada sekutu baginya dalam kerajaan dan
kekuasaannya.
Tak ada yang membantu Dia dalam mengadakan segala yang ada dan
menciptakan segala ciptaan. Dia menciptakan makhluk tanpa ada contoh lebih
dahulu. Dalam menciptakan sesuatu tidak ada yang lebih ringan atau yang
lebih sulit dari menciptakan yang lain. Dia tidak mengambil manfaat dan tidak
tidak disentuh kemudaratan, tidak terjangkau oleh kegembiraan dan kelezatan,
tidak pula sakit dan terkena penderitaan. Tak ada ujung yang mengakhiri Dia.
Ia tidak fana serta tidak disentuh kelemahan dan kekurangan. Maha Suci Dia
dari menyentuh wanita, mengangkat teman dan anak.”
2. Al-Adl (Keadilan Tuhan)
Ajaran dasar yang kedua ini merupakan manifestasi dari kepercayaan
tentang Kemahasempurnaan Tuhan. Menurut mereka Tuhan harus berbuat adil
karena secara akal Tuhan tidak mungkin tidak adil. Hal ini berkaitan erat
dengan doktrin bahwa manusia berbuat dengan keinginan sendiri dan Tuhan
wajib berbuat yang baik dan terbaik.
9
Keadilan menurut mereka ialah meletakan tanggung jawab manusia pada
segala perbuatannya, baik atau buruk. Kebaikan dibalas dengan kebaikan dan
kejahatan dibalas dengan keburukan (ganjaran dosa), manusia mendapatkannya
atas kemauan dan kemampuannya sendiri dan tidak terpaksa.
3. Al-Wa’d Wal Wa’id (Janji dan Ancaman Tuhan)
Tuhan telah berjanji akan memberi pahala bagi orang yang berbuat baik
dan dosa bagi yang berbuat jahat atau buruk, karena itu Tuhan pasti akan
melaksanakannya. Oleh sebab itu mereka mengingkari adanya Syafaat. Mereka
mengatakan:
َفَص اِح ُب اْلَك ِبْي َرِة ِإَذ ا َم اَت َو َلْم َيُتْب اَل َيُج ْو ُز َأْن. َيِج ُب َع َلى ِهللا َأْن ُيْثِبَت اْلُمِط ْيَع َو ُيَع اَقَب ُم ْر َتِكَب اْلَك ِبْي َرِة
َفَل ْو َلْم ُيَع اِقْب َل َز َم اْلَخ ْل ُف َفى َوِع ْي ِدِه َو َأِلَّن. َيْع ُف َو ُهللا َع ْن ُه َاِلَّن ُه َأْو َع َد ِباْلِع َق اِب َع َلى اْلَك َب اِء ِر َو َأْخ َبَر ِب ِه
الَّطاَعاِت َو اَأْلْمَر ِبَها َو اْلَم َع اِص ى َو الَّنْهَر َع ْنَها.
Artinya: “Wajib bagi Allah memberi pahala bagi orang yang taat dan menyiksa
orang yang berbuat dosa besar. Orang yang berdosa besar apabila meninggal
dan tidak bertobat, Allah tidak boleh mengampuninya, karena Allah telah
mengancam siksaan atas orang yang berdosa besar. Kalau seandainya tidak
menyiksanya, berarti Allah mengingkari ancamannya. Taat kepadanya adalah
perintahnya dan maksiat adalah larangannya.”
4. Al-Manzilah Bain Al-Manzilatain (Tempat Diantara Dua Tempat)
Ajaran inilah yang banyak ahli mengatakannya sebagai sebab lahirnya
aliran ini. Ajaran ini berkenaan dengan orang mukmin yang melakukan dosa
besar, Khawarij mengatakan orang tersebut kafir sedangkan Murji’ah
mengataka ia tetap mukmin, masalah dosanya terserah kepada Allah diampuni
atau tidak. Mu’tazilah tidak.
Pendapat mereka tentang seorang muslim yang melakukan dosa besar
adalah tidak muslim lagi dan tidak pula kafir, tetapi di antara keduanya, yaitu
Fasiq.
10
َفْلَفاِس ُق َلْيَس ُم ْؤ ِم ًنا َو اَل َك اِفًرا. َو اْلَك َباِء ُر ُيَسَّم ى ُم ْر َتِكُبَها َفاِس ًقا َو اْلِفْسُق َم ْنِز َلٌة َبْيَن اْلَم ْنِز َلَتْيِن اَل ُك ْفَر َو اَل ِإْيَم اَن
َبْل ُهَو ِفى َم ْنِز َلٍة َبْيَن اْلَم ْنِز َلَتْيِن.
Artinya: “Dosa-dosa besar ini pelakunya dinamakan fasik. Fasik itu berada
pada suatu tempat di antara dua tempat, tidak kufur tidak pula beriman. Orang
fasik bukan mukmin bukan pula kafir, tetapi dia berada pada suatu tempat di
antara dua tempat.”
5. Amar Ma’ruf Nahi Munkar
Prinsip ini bukanlah monopoli dari aliran mu’tazilah, artinya aliran yang
lainpun mengakui prinsip atau ajaran ini. Di dalam Al-Qur’an juga terdapat
keterangan tentang Amar Ma’ruf Nahi Munkar ini seperti
ُكْنُتْم َخْيَر ُأَّمٍة ُأْخ ِر َج ْت ِللَّناِس َتْأُم ُرْو َن ِباْلَم ْع ُرْو ِف َو َتْنَهْو َن َع ِن اْلُم ْنَك ِر َو ُتْؤ ِم ُنْو َن ِباِهّلل َو َلْو آَم َن َأْهُل اْلِكَتاِب
َلَك اَن َخْيرًا َّلُهْم ِّم ْنُهُم اْلُم ْؤ ِم ُنْو َن َو َأْكَثُر ُهُم اْلَفاِس ُقْو َن
Artinya:“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia,
menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman
kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi
mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah
orang-orang yang fasik.”
ُأْل ْأ
َيا ُبَنَّي َأِقِم الَّص اَل َة َو ُم ْر ِباْلَم ْع ُرْو ِف َو اْنَه َع ِن اْلُم ْنَك ِر َو اْص ِبْر َع َلى َم ا َأَص اَبَك ِإَّن َذ ِلَك ِم ْن َع ْز ِم ا ُم ْو ِر
11
“Sesungguhya menghunus pedang dalam urusan Amar Ma’ruf Nahi
Munkar itu wajib apabila tidak mungkin menolak kemungkaran dengan cara
itu. Barang siapa berpendirian benar, wajib atasnya memperjuangkannya.
Apabila merealisir tujuan ini dengan cara lemah lembut dan lisan
dipandangnya cukup, dan bila tidak cukup, maka harus mempergunakan
pedang.”
Sebab itulah dalam menerapkan paham mereka tentang kemakhlukan Al-
Qur’an, mereka melakukan “Mihnah” yang banyak memakan korban dari
golongan Muhadditsin dan Fuqaha. Dari sinilah mereka mulai dipandang
radikal dan di benci oleh sebagian besar orang saat itu, dari golongan ulama
ataupun awam. Namun meskipun mereka berpendapat demikian, mereka tidak
sesadis Khawarij.
D. PERKEMBANGAN MU’TAZILAH
Dalam perkembangannya, mu’tazilah terpecah menjadi beberapa golongan
(Firqoh). Namun para ahli dalam menentukan firqoh-firqoh tersebut berbeda
pendapat. Zaini menyebutkan bahwa aliran mu’tazilah terpecah menjadi
beberapa golongan, yaitu:
Golongan Washiliyah dari Wasil bin Atha’, Huzailiyah dari Huzail bin
Allaf, Nazamiah dari Sayyar bin Nazham, Hiathiyah dari Ahmad bin Haith,
Basyariyah dari Basyar bin Muammanah, Ma’mariyah dari Ma’mar bin Ubaid,
Mizdariyah dari Abu Musa Al-Mizdar, Tsamamiyah dari Tsamamah bin
Asrasy, Hisyamiah dari Hisyam bin Jahizh, Khayaithiyah dari Abu Hasan Al-
Hayath dan Golongan Jubaiyah dari Abu Ali Al-Jubay.
Abu Zahrah menambahan dengan golongan Hasyimiyah dari Abu Hasyim
Abdul Salam bin Abi ‘Ali Al-Juba’I dan Jahizhiyah dari Al-Jahiz. Ia
mnyebutkan bahwa pendiri Hisyamiyah buka Hisyam bin Jahizh tapi Hisyam
bin Umar Al-Futhi. Sedangkan Nasir menambanhkan dengan golongan
Aswariyah, Iskafiyah, Shalihiyah, Hadabiyah, Ja’fariyah, Al-Kabiyah dan
golongan Bahsyamiyah tanpa menyebutkan pendirinya.
12
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Ada dua pendapat munculnya aliran ini. Pertama, sebagai suatu kelompok
yang bersikap netral atas kekacauan diantara ‘Ali dan Mu’awiyah. Kedua,
peristiwa Washil bin Atha’(w. 131 H) dan ‘Amir bin Ubaid (w. 144 H) dengan
guru mereka, Hasan Al-Bashri (w. 110 H) yang membicarakan perihal pelaku
dosa besar dari orang islam.
Tokoh dan figur dari aliran ini yang paling terkenal dan utama ialah
Washil bin ‘Atho dan Amr bin Ubaid sebagai pendiri aliran ini. Sedangkan dari
kalangan khalifah ialah Yazid bin Walid (125-126 H) seorang khalifah Dinasti
Umayyah, Al-Makmun bin Harun Al-Rasyid (198-218 H), Al-Mu’tashim bin
Harun Al-Rasyid (218-227 H) dan khalifah Al-Watsiq bin Al-Mu’tashim (227-
232 H) dari Dinasti Abasyiah.
Secara umum karakteristik dan pokok pikiran dari aliran ini tertuang
dalam lima prinsip ajaran Mu’tazilah atau (Al-Ushul Al-Khomsah) yaitu: Tauhid,
Adil, Janji dan Ancaman, Tempat diantara dua tempat dan Amar Ma’ruf Nahi
Mungkar. Aliranmu’tazilah terpecah menjadi beberapa golongan, yaitu:
Washiliyah, Huzailiyah, Nazamiah, Hiathiyah, Basyariyah, Ma’mariyah,
Mizdariyah, Tsamamiyah, Hisyamiah, Khayaithiyah, Jubaiyah, Hasyimiyah,
Jahizhiyah, Aswariyah, Iskafiyah, Shalihiyah, Hadabiyah, Ja’fariyah, Al-Kabiyah
dan Bahsyamiyah.
Alirammu’tazilah lahir dari dan oleh orang-orang yang hebat serta
berkomitmen baik. Aliran ini sangat berjasa kepada islam. Banyak hal mereka
lakukan unutk islam. Namun, karena dalam pengambilan dalil dengan
mengedepankan akal diatas nash, sedikit banyak merekapun keliru dalam
beberapa hal. Selain itu, dengan adanya Mihnah, banyak orang dari ulama
ataupun awam yang membenci mereka sehingga melupakan jasa-jasa mereka.
13
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an Al-KarimH. Salihun A. Nasir, Pengantar Ilmu Kalam, Jakarta: PT Raja
Grafindo Presada, Cet II, 1994 Imam Muhammad Abu Zahrah, Aliran Politik dan
‘Aqidah dalam Islam, (terj.Tarikh al-Madzahib al-Islamiyyah oleh Abd. Rahman
Dahlan dan Ahmad Qarib), Jakarta: Logos Publishing House, 1996
Muhammad Iqbal, Fiqih Siyasah; Kontekstualitas Doktrin Politik Islam, Jakarta:
Gaya Media Pratama, 2001Rosihon Anwar dan Abdul Rozak, Ilmu Kalam,
(Bandung: CV Pustaka Setia, Cet II, 2003) Syahminan Zaini, Kuliah Aqidah
Islam, Surabaya: Al-Ikhlas, 1983
Syahminan Zaini, Kuliah Aqidah Islam, (Surabaya: Al-Ikhlas, 1983) h.422.
Rosihon Anwar dan Abdul Rozak, Ilmu Kalam, (Bandung: CV Pustaka Setia, Cet
II, 2003) h.77
H. Salihun A. Nasir, Pengantar Ilmu Kalam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Presada,
Cet II, 1994) h.106
Muhammad Iqbal, Fiqih Siyasah; Kontekstualitas Doktrin Politik Islam, (Jakarta:
Gaya Media Pratama, 2001) h.122
Imam Muhammad Abu Zahrah, Aliran Politik dan ‘Aqidah dalam
Islam(terj.Tarikh al-Madzahib al-Islamiyyah oleh Abd. Rahman Dahlan dan
Ahmad Qarib), (Jakarta: Logos Publishing House, 1996) h.149
Syahminan Zaini, Kuliah Aqidah..., h.422
Nasir, Pengantar Ilmu..., h.107-108
Muhammad Iqbal, Fiqih Siyasah…, h.123
Rozak, Ilmu Kalam..., h.78
Abu Zahrah, Aliran Politik…, h.150
Ibid. Nasir, Pengantar Ilmu..., h.112
Ibid, h.108-109
Abu Zahrah, Aliran Politik…,h.155
Ibid.Nasir, Pengantar Ilmu..., h.110
14
Abu Zahrah, Aliran Politik…,h.184
Nasir, Pengantar Ilmu..., h.114-124
Ibid, h.110
Rozak, Ilmu Kalam..., h.84
Nasir, Pengantar Ilmu..., h.111-112
Abu Zahrah, Aliran Politik…,h.155
Ibid, h.151
Rozak, Ilmu Kalam..., h.83-84
Nasir, Pengantar Ilmu..., h.113
Rozak, Ilmu Kalam..., h.84
Zaini, Kuliah Aqidah..., h.424.
Nasir, Pengantar Ilmu..., h.113-114
Rozak, Ilmu Kalam..., h.85
Zaini, Kuliah Aqidah..., h.424.
Nasir, Pengantar Ilmu..., h.113-114
Al-Qur’an Al-Karim, Surah Ali Imran (3): 110
Q.S. Luqman (31): 17
Rozak, Ilmu Kalam..., h.87
Nasir, Pengantar Ilmu..., h.117
Zaini, Kuliah Aqidah..., h.425
Abu Zahrah, Aliran Politik…, h.165
Nasir, Pengantar Ilmu..., h.179
Abu Zahrah, Aliran Politik..., h.149
Nasir, Pengantar Ilmu..., h.110
Abu Zahrah, Aliran Politik..., h.157
Q.S. Al-Baqarah (2): 259
https://www.google.com/amp/s/www.kompasiana.com/amp/muhammad1051
1/5bb2f273677ffb3d9b7977a7/lebih-memahami-tentang-aliran-mu-tazilah
15