Anda di halaman 1dari 46

ASPEK HUKUM

DALAM praktek
KEFARMASIAN

Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA)


Universitas Hasanuddin
Gelombang II
2018
O
B
A Dasar
T Hukum

K Undang-
St. No. 419 tgl. 22 Desember 1949
undang
E
R Pasal I
Pasal II Pasal III
Undang –
A undang obat
keras ( St.
S 1937 No.
541)
PASAL I
DEFINISI

• Obat-obat keras yaitu obat-obatan yang tidak digunakan untuk


keperluan tehnik, yang mempunyai khasiat mengobati, menguatkan,
membaguskan, mendesinfeksikan dan lain-lain tubuh manusia, baik
dalam bungkusan maupun tidak, yang ditetapkan oleh Secretaris Van
Staat, Hoofd van het Departement van Gesondheid, menurut
ketentuan pada Pasal 2.
• Secretarist van St : Secretarist van staat, Kepala D.V.D. Jakarta
• Obat-obatan G : obat-obat keras yang oleh Sec. V. St. didaftar pada
daftar obat-obatan berbahaya (gevaarlijk; daftar G).
• Obatan-obatan W : Obat-obat keras yang oleh Sec.V.St. didaftar
pada daftar peringatan ( warschuwing; daftar W).
Pasal 2

(1) Sec. V. St. mempunyai wewenang untuk menetapkan bahan-


bahan sebagai obat-obat keras.
(2) Penetapan ini dijalankan dengan menempatkan bahan-bahan
itu pada suatu daftar G atau daftar W.
(3) Daftar G dan W beserta tambahan-tambahannya diumumkan
oleh Sec. V. St. dalam Javase-Courant.
(4) Penetapan ini dianggap telah berlaku untuk/Jawa dan madura
mulai hari yang ke 30 dan untuk daerah-daerah lain di Indonesia
mulai hari yang ke 100 setelah pengumuman dari daftar-daftar dan
tambahan-tambahan di javase Courant.
Pasal 3
(1). Penyerahan persediaan untuk penyerahan dan penawaran untuk penjualan dari
bahan-bahan G, demikian pula memiliki bahan-bahan ini dalam jumlah sedemikian rupa
sehingga secara normal tidak dapat diterima bahwa bahan-bahan ini hanya
diperuntukkan pemakaian pribadi, adalah dilarang. Larangan ini tidak berlaku untuk
pedagang-pedagang besar yang diakui, Apoteker-apoteker, yang memimpin Apotek
dan Dokter Hewan.
(2). Penyerahan dari bahan-bahan G, yang menyimpang dari resep Dokter, Dokter Gigi,
Dokter Hewan dilarang, larangan ini tidak berlaku bagi penyerahan-penyerahan kepada
Pedagang – pedagang Besar yang diakui, Apoteker-apoteker, Dokter-dokter Gigi dan
Dokter-dokter Hewan demikian juga tidak terhadap penyerahan-penyerahan menurut
ketentuan pada Pasal 7 ayat 5.
(3). Larang-larang yang dimaksud pada ayat-ayat tersebut diatas tidak berlaku untuk
penyerahan obat-obat sebagaimana dimaksudkan Pasal 49 ayat 3 dan 4 dan Pasal 51
dari “Reglement D.V.D.”.
(4). Sec.V.St. dapat menetapkan bahwa sesuatu peraturan sebagaimana dimaksudkan
pada ayat 2, jika berhubungan dengan penyerahan obatobata G yang tertentu yang
ditunjukan olehnya harus ikut ditandatangani oleh seorang petugas khusus yang
ditunjuk. Jika tanda tangan petugas ini tidak terdapat maka penyerahan obat-obatan G
itu dilarang.
Pasal 4
(1). Penyerahan, persediaan untuk penyerahan dan penawaran untuk
penjualan dan bahan-bahan W, demikian pula memiliki bahan-bahan ini
dalam jumlah sedemikian rupa sehingga secara normal tidak dapat
diterima bahwa bahan-bahan ini hanya diperuntukan pemakaian
pribadi, adalah dilarang, larangan ini tidak berlaku untuk Pedagang-
pedagang Besar yang diakui, Apoteker-apoteker, Dokter-dokter, yang
memimpin Apotek, Dokter hewan dan Pedagang kecil yang diakui di
dalam daerah mereka yang resmi.
(2). Peraturan larangan ini tidak berlaku terhadap penyerahan obat-
obatan sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 49 ayat 3 dan 4 Pasal 51
dari “Reglement DVG”.
(3). Peraturan larangan ini juga tidak berlaku untuk penyerahan-
penyerahan berdasarkan Pasal 6 Ayat 6 dan pasal 5 Ayat 3 dari Undang-
undang Obat Keras ini..
Pasal 5
(1). Pemasukan, Pengeluaran, Pengangkutan, atau suruh
mengangkut bahanbahan G dilarang, terkecuali dalam jumlah
yang sedemikian rupa sehingga secara normal dapat diterima
bahwa bahan-bahan ini hanya diperuntukkan pemakaian pribadi.
(2). Laranagn ini tidak berlaku jika tindakan ini dijalankan oleh
pemerintah atau Pedagang-pedagang besar yang diakui atau
pengangkutan-pengangkutan oleh Apoteker-apoteker, Dokter-
dokter yang memimpin Apotek dan Dokter Hewan.
(3). Dalam soal-soal khsus, Inspektur Farmasi D.V.G. di jakarta
dapat memberikan kelonggaran penuh atau sebagian terhadap
larangan ini.
Pasal 6
(1). Mereka yang ingin menjad pedagang kecil diakui harus memasukkan
permohonan izin tertlis kepada Pemerintah setempat. Baik permintaan untuk
izin maupun izinnya sendiri dibebaskan dari meterai. Izin ini berisi nama yang
bersangkutan dan tidak boleh dipindahkan kepada orang lain dan hanya
berlaku untuk tempat atau daerah yang tertera dalam izin tersebut . izin ini
batal dengan meninggalnya pemegang izin atau dengan kepindahannya dari
daerah dimana izin berlaku. Jika izin diberikan kepada rechtspersoon, maka
izin batal pada saat batalnya rechtspersoon dari tempat atau daerah, dimana
izin berlaku. Sebelum memutuskan permintaan permohonan, pemerintah
setempat mohon nasehat dari kepala Dinas Kesehatan dari wailayah dimana
yang bersangktan hendak menjual obat-obat W.
(2). Izin yang dimaksudkan pada Ayat yang pertama dapat ditolak dengan
diberitahukan alasannya, atau dapat diikat dengan ketentuan-ketentuan
tertentu atau dapat diberikan untuk hanya beberapa obat-obat W yang
tertentu.
Next...
(3). Izin yang telah diberikan oleh kepala Pemerintah setempat setelah diperoleh
saran-saran dari kepala Kesehatan dalam ayat 1 dapat dicabut dengan suatu
keputusan di mana dinyatakan alas an-alasannya, atau dapat diikat dengan
ketentuan tertentu atau suatu jangka waktu yang tertentu atau dapat dibatasi
kepada hanya obat-obat W yang tertentu.
(4). Kepala Pemerintahan setempat mengirim kepada Sec.V.St. suatu salinan dan
semua pemberian izin, pencabutan izin, dan Pembatasan izin.
(5). Sec. V. St. memegang wewenang untuk menetapkan peraturan-peraturan
umum yang harus ditaati oleh pemegang-pemegang izin sebagai akibat
pencabutan izin mereka. Peraturan ini berlaku setelah diumumkan dalam Javase
Courant.
(6). Pada pembatalan, pencabutan atau pembatasan dari izin-izin maka(bekas)
pemegang izin atau wakil mereka yan berwenang untuk menyerahkan obat-obat
yang bersangkutan yang masih ada dalam persediaan mereka dalam jangka waktu
3 bulan kepada seorang Apoteker, Dokter, Dokter Gigi, Dokter Hewan, Pedagang
Besar yang diakui atau dalam daerah kerjanya kepada seorang Pedagang kecil
yang diakui. Jangka waktu tersebut dalam keadaan khusus dapat diperpanjang
oleh kepala Pemerintah setempat dalam Ayat 1.
(7). Setelah jangka waktu yang dimaksudkan dalam ayat 6 obat-obat tersebut
harus diserahkan untuk dihancurkan kepada seorang petugas yang ditentukan oleh
Secretaris Van Staat
Pasal 7
(1). Mereka yang inin menjadi Pedagang Besar yang diakui, harus memasukan
permohonan tertulis untuk surat kuasa dari Sec. V. St. surat kuasa ini berisi
nama yang bersangkutan dan tidak boleh dipindahkan kepada orang lain.
Kuasa ini batal dengan meninggalnya pemegang surat kuasa atau ia
meninggalkan Indonesia atau jika surat kuasa ini diberikan kepada suatu
rechtspersoon maka surat kuasapun batal pada saat batalnya rechtspersoon
atau berpindahnya tempat kedudukan yang sebenarnya dari rechtspersoon ke
tempat lain di luar Indonesia.
(2). Kuasa yang dimaksudkan pada Ayat 1 dapat ditolak dengan diberikan alas
an-alasannya.
(3). Kuasa yang telah diberikan dapat dicabut oleh Sec.V.St. jika pemegang
surat kuasa melanggar ketentuan-ketentuan dari Ordonansi ini atau, tidak
mentaati sewajarnya syarat-syarat dala Ayat berikut.

Next...
(4). Surat kuas berlaku untuk semua bahan-bahan yang ditetapkan oleh
Ordonansi dan tidak dikenakan pembatasan-pembatasan lain dari pada
syarat-syarat yang sama untuk semua pemegang surat kuasa yang
ditentukan oleh Sec.V.St. syarat-syarat ini baru berlaku setelah
diumumkan dalam Javase Courant.
(5). Pada pembatalan atau pencabtan dari surat-surat kuasa maka bekas
pemegang izin atau wakil mereka berwenang untuk menyerahkan
obatobat yang bersangkutan yang masih ada dalam persediaan mereka
dalam jangka waktu waktu 3 bulan kepada seorang Apoteker , atau
Pedagang Besar yang diakui. Jangka waktu tersebut dalam keadaan
khusus dapat diperpanjang oleh Secretaris Van Staat.
(6). Setelah jangka waktu yang dimaksudkan dalam Ayat 5 maka obat
tersebut harus diserhkan untuk dihancurkan kepada seorang yang
ditentukan oleh Secretaris Van Staat.
Pasal 8

(1). Pada penyerahan kepada konsumen dari obat-obat W oleh


penjual harus diserhkan suatu peringatan tertlis dengan bentuk,
warna, etiket, dan cara mwenempelkan diatas bungkusan khusus
atas petunjuk dari Sec. V. St. dan berlainan untuk setiap jenis obat.
(2). Sec.V.St. berwenang untuk menentukan bahwa penyerahan
kepada para konsumen dari oabta-obat G dan W hanya dapat
dilaksanakan dalam jumlah yang tertentu.
(3). Peraturan-peraturan yang tersebut pada Ayat 1 dan 2 baru
berlaku setelah diumumkan dalam Javase Courant.
Pasal 9
(1). Mereka yang mempunyai persediaan bahan G dan W untuk menyerahkan
pada saat tersebut pada pasal 2 Ayat 4 dan berdasarkan Ordonansi ini tidak
berwenang atau dinayatakn tidak berwenang untuk penyerahan bahan – bahan
ini diwajibkan dalam jangka waktu 3 bulan setelah saat tersebut
memberitahukan persediaan ini kepada Pemerintah setempat di dalam resort
mana obat-obat ini terdapat bersama daftar jumlah terperinci dari obat-obat itu.
(2). Berhubung dengan jumlah yang didaftarkan, maka mereka yang tersebut
dalam ayat 1 mempunyai wewenang untuk menyerahkan bahan-bahan ini dalam
jangka waktu 6 bulan setelah saat yang dimaksudkan dalam Pasal 2 Ayat 4
kepada orang-orang yang berhak menerima penyerahan ini.
(3). Setelah berlakunya jangka waktu dalam Ayat 2 maka bahan-bahan yang
telah didaftar jika tidak diserahkan sebagaimana yang dimaksudkan dalam ayat
yang sama, harus diserahkan untuk dihancurkan kepada petugas yang
ditentukan oleh Secretaris van Staat.
Pasal 10
(1). Ditetapkan suatu “Komisi Obat-obatan” yang mempunyai
tugas memberikan keterangan kepada Sec.V.St. mengenai soal-
soal yang berhubungan dengan Ordonansi ini.
(2). Komisi tersebut terdiri dari setinggi-tingginya 9 orang anggota,
termasuk Inspektur Farmasi dari D.V.G. di jakarta yang duduk
secara fungsi sebagai Ketua. Anggota-anggota lain ditetapkan oleh
Hoge Vertegenwoordigervan de Kroon di Indonesia atas petunjuk
Sec. V. St.
Pasal 11
(1). Peraturan-peraturan selanjutnya yang diperlukan
untuk melaksanakan Ordonansi ini dikeluarkan dengan
Verrordening Pemerintah.
(2). Dalam soal-soal khusus Hoge V.V.d.Kr. di Indonesia
dapat memberikan pembebasan terhadap peraturan-
peraturan yang ditetapkan dalam Ordonansi ini.
Pasal 12
(1) Hukuman penjara setinggi-tingginya 6 bulan atau denda uang setinggitingginya 5.000 gulden
dikenakan kepada :
a. Mereka yang melanggar peraturan-peraturan larangan yang dimaksudkan dalam Pasal 3, 4
dan 5.
b. Pedagang kecil yang diakui yang berdagang berlawanan dengan Ayat-ayat khusus yang
ditentukan pada surat izinnya atau bertentangan dengan peraturan umum yang dimaksud
dalam Pasal 6 Ayat 5
c. Pedagang Besar yang diakui yang berdagang bertentangan dengan syarat-syarat yang
dimaksud kan dalam Pasl 7 Ayat 4
d. Merka yang berdagang bertentangan dengan ketentuan-ketentuan pada Pasal 8 Ayat 1
e. Merka yang berdagang bertentangan dengan Peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh
Sec.V.St. sesuai dengan Pasal 8 Ayat 2.
f. Mereka yang tidak mentaati ketentuan-ketentuan dalam Pasal 6 Ayat 7; Pasal 7 Ayat 6 atau
Pasal 9 Ayat 1 dan 3.
g. Obat-obat keras dengan mana atau terhadap mana dilakukan pelanggaran dapat dinyatakan
disita.
h. Jika tindakan-tindakan yang dapat dihukum dijalankan oleh seorang Pedagang kecil atau
Pedagang Besar yang diakui maka sebagai tambahan perdagangan dalam obat keras dapat
dilarang untuk jangka waktu setinggitinggnya 2 tahun.
i. Tindakan-tindakan yang dapat dihukum dalam Pasal ini dianggap sebagai pelanggaran.
Pasal 13
(1). Jika suatu tindakan yang dapat dihukum dalam Ordonansi ini
dilakukan oleh rechtspersoon maka diadakan penuntutan hukuman
dan hukuman dijatuhkan kepada anggota-anggota pengurus yang
berkedudukan di Indonesia atau jika tidak berada ditempat,
terhadap wakil-wakil dari rechtspersoon tersebut di Indonesia.
(2). Ketentuan kepada ayat 1 berlaku dengan cara yang sama
terhadap rechtspersoon yang bertindak sebagai pengurus atau
wakil dari rechtspersoon yang lain.
Pasal 14

(1). Penyelidikan terhadap pelanggaran-pelanggaran dari


Ordonansi ini terkecuali kepada petugas-petugas yang pada
umumnya melakukan penyelidikan dari tindakan-tindakan yang
dapat dihukum, juga ditugaskan kepada pegawai yang
diserahkan tugas atas pengawasan dari Kesehatan Rakyat, dan
kepada pegawai – pegawai dari Jawatan Bea dan Cukai.
Pasal 15
(1). Orang-orang yang diserahkan tugas penyelidikan dari tindakan-
tindakan yang dapat dihukum menurut Ordonansi ini mempunyai
wewenang untuk mengadakan pemeriksaan-pemeriksaan rumah,
sebagaimana dijelaskan dalam pasal 1 dari Ordonansi tanggal 20 Agustus
1865 (St.No. 84), ditambah dengan Ordonansi tanggal 9 Agustus 1874 ( St.
No. 201) dan Ordonansi tanggal 10 Oktober 1876 (St. No. 262) sedangkan
juga berlaku ketentuan Pasal 2, 3 dan 4 Ordonenasi yang disebut
pertama.
(2). Orang-orang yang dimaksudkan dalam Ayat 1, terlepas dari
wewenang bersama dengan mereka yang menyertai mereka, setiap
waktu bebas memasuki semua tempat di mana diduga terdapat obat-
obat keras yang dimaksudkan dengan Ordonansi ini.
(3). Jika mereka ditolak untuk memasuki tempat itu, mereka dapat
menjalankan tugas mereka dengan banuan alat-alat Pemerintah yang
berwajib.
Pasal 16

(1). Ordonansi ini dapat ditunjuk dengan nama “ Undang-Undang


(Ordonansi) obat-obat keras 1949 “. Ordonansi ini juga dapat
berlaku terhadap orang-orang di bawah kekuasaan Hukum dari
Hakim, yang mengadili berdasarkan Ordonansi 18 Pebruari 1932
(St. No.80).
PASAL II

(1). Obat-obat keras yang ditunjuk, surat-surat kuasa yang diberikan dan peraturan-
peraturan, syarat-syarat atau tindakan-tindakan lain yang ditetapkan oleh Kepala
D.v.G. sebelum saat berlakunya Ordonansi ini, untuk melaksankan “Ordonansi Obat-
obat Keras”, jika belum dicabut atau belum batal dianggap telah ditunjuk , diberikan
atau ditetapkan oleh Sec. V. St. sesuai dengan peraturan-peraturan dari Ordonansi ini.
(2). Mereka yang pada saat berlakunya Ordonansi Obat Keras ini memiliki obatobat
keras tanpa wewenang sesuai dengan Pasal 3 dan 4, harus menyerahkan obat-obat ini
dalam jangka waktu 1 bulan setelah berlakunya Ordonansi ini kepada orang-orang
yang mempunyai wewenang.
(3). Mereka kepada siapa saat berlakunya Ordonansi ini telah dikirimi obat-obat
keras, yang menurut Pasal 5 pemasukannya, pengeluarannya, pengangkutannya, atau
menyuruh mengangkutnya dilarang, dapat berhubungan dengan Inspektur Farmasi
dari D.V.G. di jakarta, yang berwenang untuk mengeluarkan berdasarkan
pendangannya suatu izin pemasukan khusus (jika telah tiba pengeluaran dari Luar
Negeri) atau izin untuk pengeluaran atau untuk pengangkutan atau untuk menyuruh
mengangkutnya di dalam Wilayah Indonesia.
PASAL III

Ordonansi ini mulai berlaku satu hari setelah


pengumumannya. Dan agar tidak ada orang menganggap tidak
mengetahuinya, Ordonansi ini akan dimasukkan dalam St. dari
Indonesia.
II/200
SK/VI

MEN

MEN
KES/

988/

PER
KES
NO.
4
PENCANTUMAN NAMA GENERIK PADA
LABEL OBAT

•Pencantuman nama generik pada label obat sebagaimana


dimaksud Diktum Kedua,harus memuat : a) Nama obat jadi
dituliskan dalam nama generik dan nama dagang; b) Nama generik
ditampilkan tepat diatas nama dagang dengan ukuran huruf satu
nomor lebih besar dari pada nama dagang dengan jenis huruf serta
(3) warna yang sama dengan nama dagang; c) Bila nama dagang
ditampilkan menggunakan jenis huruf yang khusus, nama generik
dituliskan dengan jenis huruf “Helvetica medium” atau “universe
medium”.

• Pabrik Obat dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak


ditetapkannya Peraturan ini harus sudah mencantumkan
(4) nama generik pada label obat yang diproduksi dan
diedarkan.
PEREDARAN, PENYIMPANAN, PEMUSNAHAN,
DAN PELAPORAN NARKOTIKA,
PSIKOTROPIKA, DAN PREKURSOR FARMASI

Peraturan
Menteri PERMENKES RI NO. 3 TAHUN 2005
Kesehatan
DEFINISI

• Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau
bukan tanaman, baik sintetis maupun semi sintetis, yang dapat
menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran,
hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri,
dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke
dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam
Undang-Undang tentang Narkotika
• Psikotropika adalah zat/bahan baku atau obat, baik alamiah
maupun sintetis bukan narkotika, yang berkhasiat psikoaktif
melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang
menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan
perilaku.
• Prekursor Farmasi adalah zat atau bahan pemula atau bahan
kimia yang dapat digunakan sebagai bahan baku/penolong
untuk keperluan proses produksi industri farmasi atau produk
antara, produk ruahan, dan produk jadi yang mengandung
ephedrine, pseudoephedrine,
norephedrine/phenylpropanolamine, ergotamin, ergometrine,
atau Potasium Permanganat.
• Penyaluran adalah setiap kegiatan distribusi
Narkotika, Psikotropika dan Prekursor Farmasi dalam
rangka pelayanan kesehatan atau kepentingan
ilmu pengetahuan.
• Penyerahan adalah setiap kegiatan memberikan
narkotika, psikotropika dan prekursor farmasi, baik
antar penyerah maupun kepada pasien dalam
rangka pelayanan kesehatan.
PEREDARAN

• Peredaran Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi terdiri


dari Penyaluran dan Penyerahan.
(3)

• Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi yang diedarkan


harus memenuhi persyaratan keamanan, khasiat, dan mutu.
(4)
• (1) Industri Farmasi yang memproduksi Narkotika dan PBF atau
Instalasi Farmasi Pemerintah yang menyalurkan Narkotika wajib
memiliki izin khusus dari Menteri sesuai dengan ketentuan
(6) peraturan perundang-undangan.
PENYALURAN

• Penyaluran Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi


wajib memenuhi Cara Distribusi Obat yang Baik sesuai
(8) dengan ketentuanperaturan perundang-undangan.

• (1) Penyaluran Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi hanya


dapat dilakukan berdasarkan: a). surat pesanan; atau b) Laporan
Pemakaian dan Lembar Permintaan Obat (LPLPO) untuk pesanan
dari Puskesmas.
• (2) Surat pesanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
hanya dapat berlaku untuk masing-masing Narkotika, Psikotropika,
atau Prekursor Farmasi.
• (3) Surat pesanan Narkotika hanya dapat digunakan untuk 1 (satu)
(9) jenis Narkotika.
• (4) Surat pesanan Psikotropika atau Prekursor Farmasi hanya dapat
digunakan untuk 1 (satu) atau beberapa jenis Psikotropika atau
Prekursor Farmasi.
• (5) Surat pesanan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat
(4) harus terpisah dari pesanan barang lain.
PENYALURAN
• (1) Penyaluran Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor
Farmasi dalam bentuk obat jadi hanya dapat
dilakukan oleh: a) Industri Farmasi kepada PBF dan
Instalasi Farmasi Pemerintah; b) PBF kepada PBF
lainnya, Apotek, Instalasi Farmasi Rumah Sakit, c)
Instalasi Farmasi Klinik, Instalasi Farmasi Pemerintah dan
d) Lembaga Ilmu Pengetahuan;e) PBF milik Negara
yang memiliki Izin Khusus Impor Narkotika kepada
Industri Farmasi, untuk penyaluran Narkotika; d) Instalasi
Farmasi Pemerintah Pusat kepada Instalasi Farmasi,
Pemerintah Daerah, Instalasi Farmasi Rumah Sakit milik

14
Pemerintah, dan Instalasi Farmasi Tentara Nasional
Indonesia atau Kepolisian; dan e). Instalasi Farmasi
Pemerintah Daerah kepada Instalasi Farmasi Rumah
Sakit milik Pemerintah Daerah, Instalasi Farmasi Klinik
milik Pemerintah Daerah, dan Puskesmas.
• (2) Selain kepada PBF lainnya, Apotek, Rumah Sakit,
Instalasi Farmasi Pemerintah dan Lembaga Ilmu
Pengetahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b, PBF dapat menyalurkan Prekursor Farmasi
golongan obat bebas terbatas kepada Toko Obat.
PENYALURAN

•(1) Penyaluran Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi dalam bentuk


obat jadi hanya dapat dilakukan berdasarkan surat pesanan dari Apoteker
penanggung jawab atau Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan untuk
kebutuhan penelitian dan pengembangan, dengan menggunakan contoh

(16) sebagaimana tercantum dalam Formulir 1, Formulir 2 dan Formulir 4 terlampir.


•(2) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), untuk
penyaluran kepada Instalasi Farmasi Pemerintah, surat pesanan dapat
ditandatangani oleh Apoteker yang ditunjuk.
•(3) Dalam hal penyaluran Prekursor Farmasi dari PBF kepada Toko Obat, hanya
dapat dilakukan berdasarkan surat pesanan dari Tenaga Teknis Kefarmasian
dengan menggunakan contoh sebagaimana tercantum dalam Formulir 4
terlampir.

• (1) Pengiriman Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi yang


dilakukan oleh Industri Farmasi, PBF, atau Instalasi Farmasi
Pemerintah harus dilengkapi dengan: a. surat pesanan; b. faktur
(17) dan/atau surat pengantar barang, paling sedikit memuat: 1. nama
Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi; 2. bentuk sediaan; 3.
kekuatan; 4. kemasan; 5. jumlah; 6. tanggal kadaluarsa; dan 7.
nomor batch.
PENYERAHAN

• (1) Penyerahan Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi


hanya dapat dilakukan dalam bentuk obat jadi.
(18)
• (2) Dalam hal Penyerahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan kepada pasien, harus dilaksanakan oleh Apoteker di
(18) fasilitas pelayanan kefarmasian.

• (3) Penyerahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan


secara langsung sesuai dengan standar pelayanan kefarmasian.
(18)
• (4) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2), penyerahan Prekursor Farmasi yang termasuk golongan
obat bebas terbatas di Toko Obat dilakukan oleh Tenaga Teknis
(18) Kefarmasian.
PENYERAHAN
• (1) Penyerahan Narkotika dan/atau Psikotropika hanya
dapat dilakukan oleh: a. Apotek;b. Puskesmas; c. Instalasi
Farmasi Rumah Sakit;d. Instalasi Farmasi Klinik; dan e. dokter.
• (2) Apotek sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
hanya dapat menyerahkan Narkotika dan/atau
Psikotropika kepada: a. Apotek lainnya; b. Puskesmas;c.
Instalasi Farmasi Rumah Sakit; d. Instalasi Farmasi Klinik; e.
dokter; dan f. pasien.
• (3) Penyerahan Narkotika dan/atau Psikotropika
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a sampai
dengan huruf d hanya dapat dilakukan untuk memenuhi
kekurangan jumlah Narkotika dan/atau Psikotropika

(19) berdasarkan resep yang telah diterima.


• (4) Penyerahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
harus berdasarkan surat permintaan tertulis yang
ditandatangani oleh Apoteker penanggung jawab dengan
menggunakan contoh sebagaimana tercantum dalam
Formulir 5 terlampir.
• (5) Apotek, Puskesmas, Instalasi Farmasi Rumah Sakit, dan
Instalasi Farmasi Klinik hanya dapat menyerahkan Narkotika
dan/atau Psikotropika kepada pasien berdasarkan resep
dokter.
PENYERAHAN

• (1) Penyerahan Narkotika dan Psikotropika oleh


Apotek kepada Dokter hanya dapat dilakukan
dalam hal: a) dokter menjalankan praktik
perorangan dengan memberikan Narkotika
dan Psikotropika melalui suntikan; dan/atau b)
dokter menjalankan tugas atau praktik di
daerah terpencil yang tidak ada Apotek atau
sesuai dengan ketentuan peraturan

(20)
perundang-undangan.
• (2) Penyerahan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) harus berdasarkan surat permintaan
tertulis yang ditandatangani oleh dokter yang
menangani pasien dengan menggunakan
contoh sebagaimana tercantum dalam
Formulir 6 terlampir.
PENYERAHAN

• (1) Penyerahan Prekursor Farmasi hanya dapat


dilakukan oleh: a. Apotek; b. Puskesmas;c.
Instalasi Farmasi Rumah Sakit;d. Instalasi Farmasi
Klinik;e. dokter; dan; f. Toko Obat.

(22)
• (2) Apotek hanya dapat menyerahkan
Prekursor Farmasi golongan obat keras kepada:
a. Apotek lainnya; b. Puskesmas; c. Instalasi
Farmasi Rumah Sakit; d. Instalasi Farmasi Klinik;e.
dokter; dan;f. pasien.
PENYIMPANAN
• Tempat penyimpanan Narkotika, Psikotropika, dan
Prekursor Farmasi di fasilitas produksi, fasilitas distribusi, dan
fasilitas pelayanan kefarmasian harus mampu menjaga
(24) keamanan, khasiat, dan mutu Narkotika, Psikotropika, dan
Prekursor Farmasi.

• (1) Tempat penyimpanan Narkotika, Psikotropika, dan


Prekursor Farmasi dapat berupa gudang, ruangan, atau
lemari khusus.
• (2) Tempat penyimpanan Narkotika dilarang digunakan
untuk menyimpan barang selain Narkotika.
• (3) Tempat penyimpanan Psikotropika dilarang digunakan
(25) untuk menyimpan barang selain Psikotropika.
• (4) Tempat penyimpanan Prekursor Farmasi dalam bentuk
bahan baku dilarang digunakan untuk menyimpan
barang selain Prekursor Farmasi dalam bentuk bahan
baku.
PENYIMPANAN
• (3) Lemari khusus sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 25 ayat (1) harus memenuhi syarat sebagai
berikut: a. terbuat dari bahan yang kuat; b. tidak
mudah dipindahkan dan mempunyai 2 (dua)
buah kunci yang berbeda; c. harus diletakkan
dalam ruang khusus di sudut gudang, untuk
Instalasi Farmasi Pemerintah; d. diletakkan di
tempat yang aman dan tidak terlihat oleh
umum,untuk Apotek, Instalasi Farmasi Rumah
Sakit, Puskesmas,Instalasi Farmasi Klinik, dan

(26)
Lembaga Ilmu Pengetahuan ; dan e. kunci lemari
khusus dikuasai oleh Apoteker penanggung
jawab/Apoteker yang ditunjuk dan pegawai lain
yang dikuasakan. Penyimpanan Narkotika,
Psikotropika, dan Prekursor Farmasi wajib
memenuhi Cara Produksi Obat yang Baik, Cara
Distribusi Obat yang Baik, dan/atau standar
pelayanan kefarmasian sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
PENYIMPANAN

• (1) Apotek, Instalasi Farmasi Rumah Sakit, Puskesmas,


Instalasi FarmasiKlinik, dan Lembaga Ilmu Pengetahuan
harus memiliki tempat penyimpanan Narkotika atau
Psikotropika berupa lemari khusus.

(33) • (2) Lemari khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1)


berada dalampenguasaan Apoteker penanggung
jawab.

• (2) Apotek, Puskesmas, Instalasi Farmasi Rumah Sakit,


Instalasi FarmasiKlinik, dan Lembaga Ilmu Pengetahuan
harus menyimpan PrekursorFarmasi dalam bentuk obat
(36) jadi di tempat penyimpanan obat yangaman
berdasarkan analisis risiko.
PEMUSNAHAN

• Pemusnahan Narkotika, Psikotropika, dan


Prekursor Farmasi hanya dilakukan dalam
hal: a. diproduksi tanpa memenuhi
standar dan persyaratan yang berlaku
dan/atau tidak dapat diolah kembali;b.

(37)
telah kadaluarsa; c. tidak memenuhi
syarat untuk digunakan pada pelayanan
kesehatan dan/atau untuk
pengembangan ilmu pengetahuan,
termasuk sisa penggunaan;d. dibatalkan
izin edarnya; atau e. berhubungan
dengan tindak pidana.
PEMUSNAHAN
(1) Pemusnahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
37 huruf a sampai dengan huruf d dilaksanakan oleh
Industri Farmasi, PBF, Instalasi Farmasi Pemerintah,
Apotek, Instalasi Farmasi Rumah Sakit, Instalasi Farmasi
Klinik, Lembaga Ilmu Pengetahuan, Dokter atau Toko
Obat.

(38)
(2) Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi yang
memenuhi kriteria pemusnahan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 37 huruf a sampai dengan huruf d yang
berada di Puskesmas harus dikembalikan kepada
Instalasi Farmasi Pemerintah Daerah setempat.
(3) Instalasi Farmasi Pemerintah yang melaksanakan
pemusnahan harus melakukan penghapusan sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang
pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah.
(4) Pemusnahan Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor
Farmasi yang berhubungan dengan tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 huruf e
dilaksanakan oleh instansi pemerintah yang berwenang
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
PEMUSNAHAN

•Pemusnahan Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi harus dilakukan dengan:


a. tidak mencemari lingkungan; dan b. tidak membahayakan kesehatan
(39) masyarakat.
• Pemusnahan Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi dilakukan dengan tahapan sebagai
berikut:

• a. penanggung jawab fasilitas produksi/fasilitas distribusi/fasilitas pelayanan


kefarmasian/pimpinan lembaga/dokter praktik peroranganmenyampaikan surat
pemberitahuan dan permohonan saksi kepada:1). Kementerian Kesehatan dan Badan
Pengawas Obat dan Makanan,bagi Instalasi Farmasi Pemerintah Pusat; 2). Dinas Kesehatan
Provinsi dan/atau Balai Besar/Balai Pengawas Obat dan Makanan setempat, bagi Importir,
Industri Farmasi, PBF,Lembaga Ilmu Pengetahuan, atau Instalasi Farmasi Pemerintah Provinsi;
atau 3.) Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dan/atau Balai Besar/BalaiPengawas Obat dan
Makanan setempat, bagi Apotek, Instalasi Farmasi Rumah Sakit, Instalasi Farmasi Klinik, Instalasi
Farmasi Pemerintah Kabupaten/Kota, Dokter, atau Toko Obat.
(40) • b. Kementerian Kesehatan, Badan Pengawas Obat dan Makanan, Dinas Kesehatan Provinsi,
Balai Besar/Balai Pengawas Obat dan Makanan setempat, dan Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota menetapkan petugas di lingkungannya menjadi saksi pemusnahan sesuai
dengan surat permohonan sebagai saksi.
• c. Pemusnahan disaksikan oleh petugas yang telah ditetapkan sebagaimana dimaksud pada
huruf b.
• d. Narkotika, Psikotropika dan Prekursor Farmasi dalam bentuk bahan baku, produk antara, dan
produk ruahan harus dilakukan sampling untuk kepentingan pengujian oleh petugas yang
berwenang sebelum dilakukan pemusnahan.
• e. Narkotika, Psikotropika dan Prekursor Farmasi dalam bentuk obat jadi harus dilakukan
pemastian kebenaran secara organoleptis oleh saksi sebelum dilakukan pemusnahan.
PEMUSNAHAN
(42)

(1) Penanggung jawab fasilitas produksi/fasilitas distribusi/fasilitas pelayanan


kefarmasian/pimpinan lembaga/dokter praktik perorangan yang melaksanakan
pemusnahan Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi harus membuat Berita
Acara Pemusnahan.
(2) Berita Acara Pemusnahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), paling sedikit
memuat:
a. hari, tanggal, bulan, dan tahun pemusnahan;
b. tempat pemusnahan;
c. nama penanggung jawab fasilitas produksi/fasilitas distribusi/fasilitas pelayanan
kefarmasian/pimpinan lembaga/dokter praktik perorangan;
d. nama petugas kesehatan yang menjadi saksi dan saksi lain badan/sarana
tersebut;
e. nama dan jumlah Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi yang
dimusnahkan;
f. cara pemusnahan; dan
g. tanda tangan penanggung jawab fasilitas produksi/fasilitas distribusi/fasilitas
pelayanan kefarmasian/pimpinan lembaga/ dokter praktik perorangan dan saksi.
(3) Berita Acara Pemusnahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat dalam
rangkap 3 (tiga) dan tembusannya disampaikan kepada Direktur Jenderal dan
Kepala Badan/Kepala Balai menggunakan contoh sebagaimana tercantum dalam
Formulir 10 terlampir.
PENCATATAN
(43)
(1) Industri Farmasi, PBF, Instalasi Farmasi Pemerintah, Apotek, Puskesmas, Instalasi Farmasi
Rumah Sakit, Instalasi Farmasi Klinik, Lembaga Ilmu Pengetahuan, atau dokter praktik
perorangan yang melakukan produksi, Penyaluran, atau Penyerahan Narkotika,
Psikotropika, dan Prekursor Farmasi wajib membuat pencatatan mengenai pemasukan
dan/atau pengeluaran Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi.
(2) Toko Obat yang melakukan penyerahan Prekursor Farmasi dalam bentuk obat jadi wajib
membuat pencatatan mengenai pemasukan dan/atau pengeluaran Prekursor Farmasi
dalam bentuk obat jadi.
(3) Pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) paling sedikit terdiri
atas:
a. nama, bentuk sediaan, dan kekuatan Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi;
b. jumlah persediaan;
c. tanggal, nomor dokumen, dan sumber penerimaan
d. jumlah yang diterima;
e. tanggal, nomor dokumen, dan tujuan penyaluran/penyerahan;
f. jumlah yang disalurkan/diserahkan;
g. nomor batch dan kadaluarsa setiap penerimaan atau penyaluran/penyerahan; dan
h. paraf atau identitas petugas yang ditunjuk.
(4) Pencatatan yang dilakukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) harus
dibuat sesuai dengan dokumen penerimaan dan dokumen penyaluran termasuk dokumen
impor, dokumen ekspor dan/atau dokumen penyerahan.
PENCATATAN

• Seluruh dokumen pencatatan, dokumen


penerimaan, dokumen penyaluran,

(44)
dan/atau dokumen penyerahan termasuk
surat pesanan Narkotika, Psikotropika, dan
Prekursor Farmasi wajib disimpan secara
terpisah paling singkat 3 (tiga) tahun.
PELAPORAN
(45)
(1) Industri Farmasi yang memproduksi Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi wajib membuat, menyimpan, dan
menyampaikan laporan produksi dan penyaluran produk jadi Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi setiap bulan kepada
Direktur Jenderal dengan tembusan Kepala Badan.
(2) PBF yang melakukan penyaluran Narkotika, Psikotropika dan Prekursor Farmasi dalam bentuk obat jadi wajib membuat,
menyimpan, dan menyampaikan laporan pemasukan dan penyaluran Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi dalam
bentuk obat jadi setiap bulan kepada Kepala Dinas Kesehatan Provinsi dengan tembusan Kepala Badan/Kepala Balai.
(3) Instalasi Farmasi Pemerintah Pusat wajib membuat, menyimpan, dan menyampaikan laporan pemasukan dan penyaluran
Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi dalam bentuk obat jadi kepada Direktur Jenderal dengan tembusan Kepala
Badan.
(4) Instalasi Farmasi Pemerintah Daerah wajib membuat, menyimpan,dan menyampaikan laporan pemasukan dan penyaluran
Narkotika,Psikotropika, dan Prekursor Farmasi dalam bentuk obat jadi kepada Kepala Dinas Kesehatan Provinsi atau
Kabupaten/Kota setempat dengan tembusan kepada Kepala Balai setempat.
(5) Pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat
(4) paling sedikit terdiri atas: a. nama, bentuk sediaan, dan kekuatan Narkotika, Psikotropika,dan/atau Prekursor Farmasi;b.
jumlah persediaan awal dan akhir bulan;c. tanggal, nomor dokumen, dan sumber penerimaan;d. jumlah yang diterima;e.
tanggal, nomor dokumen, dan tujuan penyaluran;f. jumlah yang disalurkan; dan g. nomor batch dan kadaluarsa setiap
penerimaan atau penyaluran dan persediaan awal dan akhir.
(6) Apotek, Instalasi Farmasi Rumah Sakit, Instalasi Farmasi Klinik,Lembaga Ilmu Pengetahuan, dan dokter praktik perorangan
wajib membuat, menyimpan, dan menyampaikan laporan pemasukan dan penyerahan/penggunaan Narkotika dan
Psikotropika, setiap bulan kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dengan tembusan Kepala Balai setempat.
(7) Pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) paling sedikit terdiri atas:a. nama, bentuk sediaan, dan kekuatan
Narkotika, Psikotropika,dan/atau Prekursor Farmasi;b. jumlah persediaan awal dan akhir bulan;c. jumlah yang diterima; dan d.
jumlah yang diserahkan.
(8) Puskesmas wajib membuat, menyimpan, dan menyampaikan laporan pemasukan dan penyerahan/penggunaan Narkotika
dan Psikotropika sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(9) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4) dan ayat (6) dapat menggunakan sistem
pelaporan Narkotika,Psikotropika, dan/atau Prekursor Farmasi secara elektronik.
(10)Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4)dan ayat (6) disampaikan paling lambat setiap
tanggal 10 bulan berikutnya.
(11)Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaporan Narkotika,Psikotropika, dan/atau Prekursor Farmasi diatur oleh Direktur
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
• Menteri, Kepala Badan, Kepala Balai, Kepala Dinas
Kesehatan Provinsi, dan Kepala Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota melakukan pembinaan dan
pengawasan terhadap pelaksanaan Peraturan Menteri
(46) ini sesuai dengantugas, fungsi, dan kewenangan
masing-masing.

• Pelanggaran terhadap ketentuan dalam Peraturan


Menteri ini dikena sanksi administratif sesuai dengan

(47) ketentuan peraturan perundangundangan.


46

Anda mungkin juga menyukai