RS Islam Jakarta Sukapura Fakultas Kedokteran dan Kesehatan Universitas Muhammadiyah Jakarta 2017 Definisi
Kusta merupakan penyakit infeksi yang kronik dan
penyebabnya ialah Mycobacterium leprae yang bersifat intraselular obligat. Saraf perifer sebagai afinitas pertama, lalu kulit dan mukosa traktus respiratorius bagian atas, kemudian dapat ke organ lain kecuali susunan saraf pusat. Etiologi Penyebabnya ialah Mycobacterium leprae. M.leprae berbentuk kuman dengan ukuran 3-8 um, tahan asam dan alcohol serta gram Positif.
Patogenesis
Sebenenarnya M.leprae memiliki patogenesitas dan daya
invasi yang rendah, sebab penderita yang mengandung kuman lebih banyak belum tentu memberikan gejala yang lebih berat, bahkan dapat sebaliknya. Patogenesis Ketidakseimbangan antara derajat infeksi dengan derajat penyakit, tidak lain disebabkan oleh respon imun yang berbeda yang mengunggah timbulnya reaksi granuloma setempat atau menyeluruh yang dapat sembuh sendiri atau progresif. Oleh karena itu penyakit kusta dapat disebut sebagai penyakit imunologik. Gejala klinisnya lebih sebanding dengan tingkat reaksi selulernya daripada intensitas reaksinya. Gejala Klinis Diagnosispenyakit kusta didasarkan pada gambaran klinis, bakterioskopis, histopatologis dan serologis. Diantara ketiganya, diagnosis klinislah yang terpenting dan paling sederhana. Jika memungkinkan, dapat dilakukan tes Lepromin (Mitsuda) untuk membantu penentuan tipe, yang hasilnya baru dapat diketahui setelah 3 minggu. Bentuk tipe klinis bergantung pada system imunitas selular (SIS) penderita. Gejala Klinis Ridley dan Jopling memperkenalkan istilah spectrum determinate pada penyakit kusta yang terdiri atas pelbagai tipe/bentuk, yaitu : 1. TT (Tuberkuloid polar), merupakan tipe yang stabil. 2. Ti (Tuberkuloid indefinite), disebut borderline atau campuran antara tuberkuloid dengan lepromatosa. 3. BT (Borderline Tuberculoid), lebih banyak tuberkuloidnya. 4. BB (Mid borderline), tipe campuran yang terdiri atas 50% tuberkuloid dan 50% lepromatosa. 5. BL (Borderline lepromatous), lebih banyak lepromatosanya. 6. Li (Lepromatosa indefinite), lebih banyak lepromatosanya. 7. LL (Lepromatosa Polar), bentuk yang stabil. Gejala Klinis Kerusakan Saraf Nervus Ulnaris : - Anestesia pada ujung jari anterior kelingking dan jari manis - Clawing kelingking dan jari manis - Atrofi hipotenar dan otot interoseus serta kedua otot lumbrikalis medial. Nervus Medianus : - Anestesia pada ujung jari bagian anterior ibu jari, telunjuk dan jari tengah. - Tidak mampu aduksi ibu jari - Clawing ibu jari, telunjuk dan jari tengah Nervus Medianus : (lanjutan) - Ibu jari kontraktur - Atrofi otot tenar dan kedua otot lumbrikalis lateral . Nervus Radialis : - Anestesia dorsum manus, serta ujung proksimal jari telunjuk - Wrist drop - Tak mampu ekstensi jari-jari atau pergelangan tangan Nervus Poplitea Lateralis : - Anestesi tungkai bawah, bagian lateral dan dorsum pedis - Foot drop - Kelemahan otot perineus Nervus tibialis posterior : - Anestesi telapak kaki - Claw toes - Paralisis otot intrinsic kaki dan kolaps arkus pedis Nervus fasialis : - Cabang temporal dan zigomatik menyebabkan lagoftalmus - Cabang bukal, mandibular, dan servikal menyebabkan kehilangan ekspresi wajah dan kegagalan mengatupkan bibir. Nervus Trigeminus : - Anestesi kulit wajah, kornea dan konjungtiva mata - Atrofi otot tenar dan kedua otot lumbrikalis lateral Kusta Histoid merupakan variasi lesi pada tipe lepromatosa yang pertama dikemukakan oleh Wade tahun 1963. Secara klinis berbentuk nodus yang berbatas tegas, dapat juga berbentuk plak. Bakterioskopik positif tinggi. Umumnya timbul sebagai kasus relaps sensitive/relaps resisten. Kusta Tipe Neural Mempunyai tanda sbb : - Tidak ada/tidak pernah ada lesi kulit - Ada 1/lebih pembesaran saraf - Ada anestesi adan/paralisis, serta atrofi otot daerah yang disarafi - Bakterioskopik negatif Kusta Tipe Neural Mempunyai tanda sbb : - Tidak ada/tidak pernah ada lesi kulit - Ada 1/lebih pembesaran saraf - Ada anestesi adan/paralisis, serta atrofi otot daerah yang disarafi - Bakterioskopik negatif - Tes Mitsuda umumnya positif - Untuk menentukan tipe, harus dilakukan pemeriksaan histopatologik saraf. Pemeriksaan Penunjang 1. Pemeriksaan bakterioskopik Digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis dan pengamatan pengobatan. Sediaan dibuat dari kerokan jaringan kulit/usapan dan kerokan mukosa hidung yang diwarnai dengan pewarnaan terhadap BTA antara lain dengan Ziehl-Nielssen. Bakterioskopik negatif bukan berarti orang tersebut tidak mengandung kuman M.leprae. Pemeriksaan Penunjang 2. Pemeriksaan Histopatologik Gambaran histopatologik tipe tuberkuloid adalah tuberkel dan kerusakan saraf yang lebih nyata, tidak ada kuman/hanya sedikit dan non-solid. Padatipe lepromatosa terdapat kelim sunyi subepidermal (subepidermal clear zone) yaitu daerah langsung dibawah epidermis yang jaringannya tidak patologik.didapati sel Virchow dengan banyak kuman. Padatipe borderline, terdapat campuran unsur-unsur tersebut. Pemeriksaan Penunjang 3. Pemeriksaan Serologik Didasarkan atas terbentuknya antibodi pada tubuh seseorang yang terinfeksi oleh M.leprae. Kegunaan pemeriksaan ini adalah membantu diagnosis kusta yang meragukan, karena tanda klinis dan bakteriologisnya tidak jelas. Disamping itu dapat membantu menentukan kusta subklinis, karena tidak didapati lesi kulit, misalnya pada narakontak serumah. Penatalaksanaan Kusta (farmakologik) 1. DDS (DiaminoDifenil Sulfon) Setelahdibuktikan dengan pengobatan dan inokulasi pada mencit, ternyata M.leprae masih sensitive terhadap DDS. Dosis DDS ialah 100 mg/hari selama 3-6 bulan. Efeksamping DDS antara lain : nyeri kepala, erupsi obat, anemia hemolitik, leukopenia, insomnia, neuropati perifer, dll. 2. Rifampisin Adalahobat yang menjadi salah satu komponen kombinasi DDS dengan dosis 10 mg/kgBB, diberikan setiap hari/setiap bulan. Tidakboleh diberikan sebagai monoterapi karena memperbesar kemungkinan terjadinya resisten, tetapi pada pengobatan kombinasi selalu diikutkan, tidak boleh diberikan setiap minggu/setiap 2 minggu, mengingat efek sampingnya. Efeksamping yang harus diperhatikan yaitu hepatotoksik, nefrotoksik, gejala GIT, Flu-like syndrome dan erupsi kulit. 3. Klofazimin (Lampren) Dosisnya ialah 50 mg perhari atau 100 mg selang sehari, atau 3x100 mg setiap minggu. Efek sampingnya ialah warna merah kecoklatan pada kulit, sclera kekuningan, sehingga mirip seperti icterus apalagi pada dosis tinggi yang sering merupakan masalah dalam ketaatan berobat para penderita. 4. Protionamid Dosis diberikan 5-10 mg/kgBB setiap hari dan untuk di Indonesia obat ini jarang dipakai. Distribusi Protionamid dalam jaringan tidak merata, sehingga kadar hambat minimalnya sukar ditentukan. Penatalaksanaan Kusta (farmakologik alternatif) 1. Ofloxacin Merupakan turunan fluorokuinolon yang paling aktif terhadap Mycobacterium leprae in vitro. Dosis optimal harian ialah 400 mg. dosis tunggal yang diberikan dalam 22 dosis akan membunuh kuman M.leprae hidup sebesar 99,9%. Efek sampingnya ialah mual, diare, gangguan sal.cerna, insomnia, nyeri kepala. Penggunaan pada anak, ibu hamil dan menyusui serta remaja harus hati-hati, karena pada hewan muda, kuinolon menyebabkan artropati. 2. Minosiklin Efekbakterisidalnya lebih tinggi daripada Klaritromisin, tetapi lebih rendah daripada Rifampisin. Dosis standar harian ialah 100 mg. Efeksampingnya ialah pewarnaan gigi bayi dan anak, kadang hiperpigmentasi kulit dan mukosa, berbagai simtom sal.cerna dan susunan saraf pusat termasuk dizziness dan unsteadiness. Tidak dianjurkan untuk anak atau selama kehamilan. 3. Klaritromisin Mempunyai aktivitas bakterisidal terhadap M.leprae pada tikus dan manusia. Pada penderita kusta lepromatosa, dosis harian 500 mg dapat membunuh 99% kuman hidup dalam 28 hari dan lebih dari 99,9% dalam 56 hari. Efeksampingnya berupa nausea, vomitus, dan diare yang terbukti sering ditemukan bila obat ini diberikan dengan dosis 2000 mg. Cara Pemberian Multidrug Resistant (MDT) 1. MDT untuk multibasiler (BB,BL,LL atau semua tipe dengan BTA positif) adalah : Rifampisin 600 mg setiap bulan dalam pengawasan DDS 100 mg setiap hari Klofazimin : 300 mg setiap bulan dalam pengawasan, diteruskan 50 mg sehari/100 mg selama sehari atau 3 x 100 mg setiap minggu. Awalnya kombinasi ini diberikan 24 dosis dalam 24-36 bulan dengan syarat bakterioskopis harus negatif. 2. MDT untuk Pausibasiler (I, TT, BT, dengan BTA negatif) adalah : Rifampisin 600 mg setiap bulan dengan pengawasan DDS 100 mg setiap hari Keduanya diberikan dalam 6 dosis selama 6-9 bulan, berarti Release From Treatment (RFT) setelah 6-9 bulan. Penatalaksanaan Kusta (non farmakologik) 1. Pencegahan Cacat Cara terbaik untuk melaksanakan pencegahan cacat adalah dengan melaksanakan diagnosis dini kusta, pemberian pengobatan MDT yang cepat dan tepat. Selanjutnya dengan mengenali gejala dan tanda reaksi kusta yang disertai gangguan saraf serta memulai pengobatan dengan kortikosteroid sesegera mungkin. Bila terdapat gangguan sensibilitas, penderita diberi petunjuk sederhana misalnya memakai sepatu untuk melindungi kakiyang telah terkena, memakai sarung tangan bila bekerja dengan benda tajam/panas serta periksa ada/tidaknya ulkus, memar atau luka. Penatalaksanaan Kusta (non farmakologik) 2. Rehabilitasi Usaha rehabilitasi yang dapat dilakukan antara lain dengan jalan operasi dan fisioterapi. Cara lain ialah dengan kekaryaan, yaitu memberi lapangan pekerjaan yang sesuai cacat tubuhnya sehingga dapat meningkatkan rasa percaya diri, selain itu dapat dilakukan terapi psikologik.