Anda di halaman 1dari 26

REFRESHING

Morbus Hansen (Kusta)

Oleh : Sheila Sarasanti (2013730099)


Pembimbing : dr. Heryanto Sp.KK

Stase Ilmu Kulit dan Kelamin


RS Islam Jakarta Sukapura
Fakultas Kedokteran dan Kesehatan
Universitas Muhammadiyah Jakarta
2017
Definisi

Kusta merupakan penyakit infeksi yang kronik dan


penyebabnya ialah Mycobacterium leprae yang bersifat
intraselular obligat. Saraf perifer sebagai afinitas
pertama, lalu kulit dan mukosa traktus respiratorius
bagian atas, kemudian dapat ke organ lain kecuali
susunan saraf pusat.
Etiologi
 Penyebabnya ialah Mycobacterium leprae. M.leprae
berbentuk kuman dengan ukuran 3-8 um, tahan asam dan
alcohol serta gram Positif.

Patogenesis

Sebenenarnya M.leprae memiliki patogenesitas dan daya


invasi yang rendah, sebab penderita yang mengandung kuman
lebih banyak belum tentu memberikan gejala yang lebih
berat, bahkan dapat sebaliknya.
Patogenesis
Ketidakseimbangan antara derajat infeksi dengan derajat
penyakit, tidak lain disebabkan oleh respon imun yang berbeda
yang mengunggah timbulnya reaksi granuloma setempat atau
menyeluruh yang dapat sembuh sendiri atau progresif. Oleh
karena itu penyakit kusta dapat disebut sebagai penyakit
imunologik. Gejala klinisnya lebih sebanding dengan tingkat
reaksi selulernya daripada intensitas reaksinya.
Gejala Klinis
 Diagnosispenyakit kusta didasarkan pada gambaran klinis,
bakterioskopis, histopatologis dan serologis. Diantara
ketiganya, diagnosis klinislah yang terpenting dan paling
sederhana. Jika memungkinkan, dapat dilakukan tes
Lepromin (Mitsuda) untuk membantu penentuan tipe, yang
hasilnya baru dapat diketahui setelah 3 minggu.
 Bentuk tipe klinis bergantung pada system imunitas selular
(SIS) penderita.
Gejala Klinis
 Ridley dan Jopling memperkenalkan istilah spectrum determinate
pada penyakit kusta yang terdiri atas pelbagai tipe/bentuk, yaitu :
1. TT (Tuberkuloid polar), merupakan tipe yang stabil.
2. Ti (Tuberkuloid indefinite), disebut borderline atau campuran antara
tuberkuloid dengan lepromatosa.
3. BT (Borderline Tuberculoid), lebih banyak tuberkuloidnya.
4. BB (Mid borderline), tipe campuran yang terdiri atas 50% tuberkuloid
dan 50% lepromatosa.
5. BL (Borderline lepromatous), lebih banyak lepromatosanya.
6. Li (Lepromatosa indefinite), lebih banyak lepromatosanya.
7. LL (Lepromatosa Polar), bentuk yang stabil.
Gejala Klinis Kerusakan Saraf
 Nervus Ulnaris :
- Anestesia pada ujung jari anterior kelingking dan jari manis
- Clawing kelingking dan jari manis
- Atrofi hipotenar dan otot interoseus serta kedua otot
lumbrikalis medial.
 Nervus Medianus :
- Anestesia pada ujung jari bagian anterior ibu jari, telunjuk
dan jari tengah.
- Tidak mampu aduksi ibu jari
- Clawing ibu jari, telunjuk dan jari tengah
 Nervus Medianus : (lanjutan)
- Ibu jari kontraktur
- Atrofi otot tenar dan kedua otot lumbrikalis lateral .
 Nervus Radialis :
- Anestesia dorsum manus, serta ujung proksimal jari
telunjuk
- Wrist drop
- Tak mampu ekstensi jari-jari atau pergelangan tangan
 Nervus Poplitea Lateralis :
- Anestesi tungkai bawah, bagian lateral dan dorsum pedis
- Foot drop
- Kelemahan otot perineus
 Nervus tibialis posterior :
- Anestesi telapak kaki
- Claw toes
- Paralisis otot intrinsic kaki dan kolaps arkus pedis
 Nervus fasialis :
- Cabang temporal dan zigomatik menyebabkan lagoftalmus
- Cabang bukal, mandibular, dan servikal menyebabkan kehilangan
ekspresi wajah dan kegagalan mengatupkan bibir.
 Nervus Trigeminus :
- Anestesi kulit wajah, kornea dan konjungtiva mata
- Atrofi otot tenar dan kedua otot lumbrikalis lateral
Kusta Histoid
merupakan variasi lesi pada tipe lepromatosa yang pertama
dikemukakan oleh Wade tahun 1963. Secara klinis berbentuk
nodus yang berbatas tegas, dapat juga berbentuk plak.
Bakterioskopik positif tinggi. Umumnya timbul sebagai kasus
relaps sensitive/relaps resisten.
Kusta Tipe Neural
Mempunyai tanda sbb :
- Tidak ada/tidak pernah ada lesi kulit
- Ada 1/lebih pembesaran saraf
- Ada anestesi adan/paralisis, serta atrofi otot daerah yang disarafi
- Bakterioskopik negatif
Kusta Tipe Neural
Mempunyai tanda sbb :
- Tidak ada/tidak pernah ada lesi kulit
- Ada 1/lebih pembesaran saraf
- Ada anestesi adan/paralisis, serta atrofi otot daerah yang
disarafi
- Bakterioskopik negatif
- Tes Mitsuda umumnya positif
- Untuk menentukan tipe, harus dilakukan pemeriksaan
histopatologik saraf.
Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan bakterioskopik
 Digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis dan
pengamatan pengobatan. Sediaan dibuat dari kerokan jaringan
kulit/usapan dan kerokan mukosa hidung yang diwarnai dengan
pewarnaan terhadap BTA antara lain dengan Ziehl-Nielssen.
Bakterioskopik negatif bukan berarti orang tersebut tidak
mengandung kuman M.leprae.
Pemeriksaan Penunjang
2. Pemeriksaan Histopatologik
 Gambaran histopatologik tipe tuberkuloid adalah tuberkel
dan kerusakan saraf yang lebih nyata, tidak ada
kuman/hanya sedikit dan non-solid.
 Padatipe lepromatosa terdapat kelim sunyi subepidermal
(subepidermal clear zone) yaitu daerah langsung dibawah
epidermis yang jaringannya tidak patologik.didapati sel
Virchow dengan banyak kuman.
 Padatipe borderline, terdapat campuran unsur-unsur
tersebut.
Pemeriksaan Penunjang
3. Pemeriksaan Serologik
 Didasarkan atas terbentuknya antibodi pada tubuh
seseorang yang terinfeksi oleh M.leprae. Kegunaan
pemeriksaan ini adalah membantu diagnosis kusta yang
meragukan, karena tanda klinis dan bakteriologisnya tidak
jelas. Disamping itu dapat membantu menentukan kusta
subklinis, karena tidak didapati lesi kulit, misalnya pada
narakontak serumah.
Penatalaksanaan Kusta (farmakologik)
1. DDS (DiaminoDifenil Sulfon)
 Setelahdibuktikan dengan pengobatan dan inokulasi pada
mencit, ternyata M.leprae masih sensitive terhadap DDS.
 Dosis DDS ialah 100 mg/hari selama 3-6 bulan.
 Efeksamping DDS antara lain : nyeri kepala, erupsi obat,
anemia hemolitik, leukopenia, insomnia, neuropati perifer,
dll.
2. Rifampisin
 Adalahobat yang menjadi salah satu komponen kombinasi
DDS dengan dosis 10 mg/kgBB, diberikan setiap hari/setiap
bulan.
 Tidakboleh diberikan sebagai monoterapi karena
memperbesar kemungkinan terjadinya resisten, tetapi pada
pengobatan kombinasi selalu diikutkan, tidak boleh
diberikan setiap minggu/setiap 2 minggu, mengingat efek
sampingnya.
 Efeksamping yang harus diperhatikan yaitu hepatotoksik,
nefrotoksik, gejala GIT, Flu-like syndrome dan erupsi kulit.
3. Klofazimin (Lampren)
 Dosisnya ialah 50 mg perhari atau 100 mg selang sehari, atau
3x100 mg setiap minggu.
 Efek sampingnya ialah warna merah kecoklatan pada kulit, sclera
kekuningan, sehingga mirip seperti icterus apalagi pada dosis
tinggi yang sering merupakan masalah dalam ketaatan berobat
para penderita.
4. Protionamid
 Dosis diberikan 5-10 mg/kgBB setiap hari dan untuk di Indonesia
obat ini jarang dipakai.
 Distribusi Protionamid dalam jaringan tidak merata, sehingga
kadar hambat minimalnya sukar ditentukan.
Penatalaksanaan Kusta (farmakologik alternatif)
1. Ofloxacin
 Merupakan turunan fluorokuinolon yang paling aktif terhadap
Mycobacterium leprae in vitro.
 Dosis optimal harian ialah 400 mg. dosis tunggal yang
diberikan dalam 22 dosis akan membunuh kuman M.leprae
hidup sebesar 99,9%.
 Efek sampingnya ialah mual, diare, gangguan sal.cerna,
insomnia, nyeri kepala.
 Penggunaan pada anak, ibu hamil dan menyusui serta remaja
harus hati-hati, karena pada hewan muda, kuinolon
menyebabkan artropati.
2. Minosiklin
 Efekbakterisidalnya lebih tinggi daripada Klaritromisin,
tetapi lebih rendah daripada Rifampisin.
 Dosis standar harian ialah 100 mg.
 Efeksampingnya ialah pewarnaan gigi bayi dan anak,
kadang hiperpigmentasi kulit dan mukosa, berbagai simtom
sal.cerna dan susunan saraf pusat termasuk dizziness dan
unsteadiness.
 Tidak dianjurkan untuk anak atau selama kehamilan.
3. Klaritromisin
 Mempunyai aktivitas bakterisidal terhadap M.leprae pada
tikus dan manusia.
 Pada penderita kusta lepromatosa, dosis harian 500 mg
dapat membunuh 99% kuman hidup dalam 28 hari dan
lebih dari 99,9% dalam 56 hari.
 Efeksampingnya berupa nausea, vomitus, dan diare yang
terbukti sering ditemukan bila obat ini diberikan dengan
dosis 2000 mg.
Cara Pemberian Multidrug Resistant (MDT)
1. MDT untuk multibasiler (BB,BL,LL atau semua tipe dengan
BTA positif) adalah :
 Rifampisin 600 mg setiap bulan dalam pengawasan
 DDS 100 mg setiap hari
 Klofazimin : 300 mg setiap bulan dalam pengawasan,
diteruskan 50 mg sehari/100 mg selama sehari atau 3 x 100
mg setiap minggu.
Awalnya kombinasi ini diberikan 24 dosis dalam 24-36 bulan
dengan syarat bakterioskopis harus negatif.
2. MDT untuk Pausibasiler (I, TT, BT, dengan BTA negatif)
adalah :
 Rifampisin 600 mg setiap bulan dengan pengawasan
 DDS 100 mg setiap hari
Keduanya diberikan dalam 6 dosis selama 6-9 bulan, berarti
Release From Treatment (RFT) setelah 6-9 bulan.
Penatalaksanaan Kusta (non farmakologik)
1. Pencegahan Cacat
 Cara terbaik untuk melaksanakan pencegahan cacat adalah
dengan melaksanakan diagnosis dini kusta, pemberian
pengobatan MDT yang cepat dan tepat. Selanjutnya dengan
mengenali gejala dan tanda reaksi kusta yang disertai
gangguan saraf serta memulai pengobatan dengan
kortikosteroid sesegera mungkin.
 Bila terdapat gangguan sensibilitas, penderita diberi petunjuk
sederhana misalnya memakai sepatu untuk melindungi
kakiyang telah terkena, memakai sarung tangan bila bekerja
dengan benda tajam/panas serta periksa ada/tidaknya ulkus,
memar atau luka.
Penatalaksanaan Kusta (non farmakologik)
2. Rehabilitasi
 Usaha rehabilitasi yang dapat dilakukan antara lain dengan
jalan operasi dan fisioterapi.
 Cara lain ialah dengan kekaryaan, yaitu memberi lapangan
pekerjaan yang sesuai cacat tubuhnya sehingga dapat
meningkatkan rasa percaya diri, selain itu dapat dilakukan
terapi psikologik.

Anda mungkin juga menyukai