Anda di halaman 1dari 48

PEMANTAUAN DAN ANALISA

KAPAL PERIKANAN
MELALUI (VESSEL
MONITORING
SYSTEM/VMS)

Ir. Suharta, M.Si


KASUBDIT PEMANTAUAN DAN PEMANFAATAN SUMBER DAYA PERIKANAN
DIREKTORAT PEMANTAUAN SDKP DAN PIP
DIREKTORAT JENDERAL PENGAWASAN SUMBERDAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN
KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN
PENDAHULUAN
 Beberapa jenis sumberdaya perikanan pada beberapa wilayah pengelolaan
perikanan (WPP) Indonesia mengalami tangkap lebih (over exploited).
 Mulai tahun 1980-an telah terjadi penurunan stok sumberdaya perikanan di laut
lepas.
 IUU fishing sering terjadi di 3 (tiga) wilayah perairan Indonesia, yaitu perairan
Natuna, Utara Sulawesi, dan Arafuru. IUU fishing melemahkan efektifitas
konservasi dan pengelolaan sumberdaya perikanan di WPP Indonesia dan laut
lepas.
 Sumberdaya perikanan merupakan sumber pendapatan (source of livelihood)
dan makan (source of food) bagi masyarakat nelayan Indonesia yang hidup di
pesisir pantai, sumber pendapatan (source of income) bagi kemajuan
perekonomian Indonesia sebagai negara pantai, dan sumber makanan bagi
masyarakat dunia.
 Kerusakan sumberdaya perikanan akan memiskinkan masyarakat nelayan,
kerugian ekonomi (economic loss) bagi Indonesia, dan menurunkan
ketahanan pangan (food security) bagi masyarakat dunia.
 FAO meminta negara pantai mengimplementasikan Monitoring, Controlling,
and Surveillance (MCS) untuk mendukung pengelolaan sumberdaya perikanan
di perairan jurisdiksinya dan laut lepas.
 Pada tahun 1995, Indonesia dalam hal ini Direktorat Jenderal Perikanan,
Departemen Pertanian mulai mengimplementasikan MCS untuk mendukung
pengelolaan sumberdaya perikanan di perairan jurisdiksi Indonesia.
 Sekarang Direktorat Jenderal PSDKP, Kementerian Kelautan dan Perikanan
mengimplementasikan VMS untuk mendukung pengelolaan sumberdaya
perikanan di perairan jurisdiksi Indonesia dan laut lepas melalui Peraturan
Menteri Nomor PER.10/PERMEN-KP/2013 tentang Sistem Pemantauan Kapal
Perikanan.
ASPEK LEGAL HUKUM INTERNASIONAL
IMPLEMENTASI VMS
 United Convention on The Law of the Sea
(UNCLOS), 1982;
 FAO Compliance Agreement, 1993;
 UN Fish Stock Agreement, 1995;
 FAO Code of Conduct Responsible Fisheries
(CCRF), 1995;
 FAO International Plan of Action (IPOA) of IUU
Fishing, 2001;
 FAO Model Scheme on Port State Measures,
2005;
 FAO Agreement on Port State Measures, 2009;
 Resolusi dan Konvensi Regional Fisheries
Management Organization (IOTC, WCPFC,
CCSBT)
ASPEK LEGAL HUKUM NASIONAL
IMPLEMENTASI VMS
 Undang-Undang No. 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas
Undang – Undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan;
 Peraturan Menteri No. PER 12/MEN/2007 tentang Perizinan
Usaha Pembudidayaan Ikan;
 Peraturan Menteri No. PER. 12/MEN/2012 tentang Usaha
Penangkapan Ikan di Laut Lepas;
 Peraturan Menteri No. PER.13/MEN/2012 tentang Sertifikasi
Hasil Tangkapan Ikan.
 Peraturan Menteri No. PER. 10/PERMEN-KP/2013 tentang
Sistem Pemantauan Kapal Perikanan;
 Peraturan Menteri No. PER. 45/PERMEN-KP/2014 tentang
Surat Laik Operasi Kapal Perikanan;
 Peraturan Menteri No. PER. 57/PERMEN-KP/2014 tentang
Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Kelautan dan
Perikanan Nomor PER.30/MEN/2012 tentang Usaha
Perikanan Tangkap di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara
Republik Indonesia;
 Dan Lain - Lain
PENGELOLAAN PERIKANAN
 Pengelolaan perikanan adalah semua
upaya, termasuk proses yang
terintegrasi dalam pengumpulan
informasi, analisis, perencanaan,
konsultasi, pembuatan keputusan,
alokasi sumberdaya ikan, dan
implementasi;

 Serta penegakan hukum dari peraturan


perundang-undangan, yang dilakukan
oleh pemerintah atau otoritas lain yang
diarahkan untuk mencapai
kelangsungan produktivitas
sumberdaya hayati perairan dan tujuan
yang telah disepakati.
MONITORING, CONTROLLING, AND
SURVEILLANCE (MCS)

 Monitoring (pemantauan) adalah


pengumpulan, pengukuran, dan analisa
penangkapan ikan dan aktivitas yang
berhubungan, termasuk tangkapan,
komposisi species, upaya penangkapan
ikan, tangkapan sampingan, tangkapan
yang dibuang, dan area operasi;
 Controlling (pengendalian) adalah
penentuan langkah yang berisi spesifikasi
persyaratan dan kondisi di mana
sumberdaya perikanan dapat dimanfaatkan;
 Surveillance (pengawasan) adalah
pemeriksaan dan supervisi penangkapan
ikan dan aktivitas yang berhubungan untuk
memastikan ketentuan peraturan
perundang-undangan dan langkah
pengelolaan perikanan dipatuhi.
TATA LAKSANA DITJEN PSDKP

PANTAU WAS SIDIK

PENGAWASAN
SD KELAUTAN

PEMANTAUAN
SDKP DAN PENGAWASAN PENANGANAN
PENGEMBANGAN SD PERIKANAN PELANGGARAN
INFRASTRUKTUR
PENGAWASAN
OPERASI
KAPAL
PENGAWAS
VESSEL MONITORING SYSTEM (VMS)

 VMS adalah salah satu bentuk sistem


pengawasan kegiatan kapal perikanan
menggunakan peralatan pemantauan yang
telah ditentukan;
 Implementasi Sistem Pemantauan Kapal
Perikanan menggunakan peralatan Transmiter
dan Satelit guna mempermudah pengawasan
gerak kapal-kapal, untuk mengindentifikasi
kapal, memonitor posisi kapal dan aktivitasnya;
 Kapal perikanan dipasang transmitter agar
aktivitasnya dapat dipantau dan diawasi;
 Tujuannya adalah kepatuhan (compliance)
aktivitas kapal perikanan pada ketentuan
konservasi dan pengelolaan sumberdaya
perikanan;
 Sasarannya adalah sumberdaya perikanan
lestari (sustainable), sehingga dapat
dimanfaatkan secara berkelanjutan.
PEMASANGAN TRANSMITER VMS
PADA KAPAL PERIKANAN

 Kapal Perikanan Indonesia lebih dari 30


GT dan seluruh kapal perikanan asing
wajib memasang transmitter VMS
online dan wajib membayar air time;

 Seluruh Kapal Perikanan Indonesia


yang beroperasi menangkap ikan di
perairan laut lepas wajib memasang
transmiter VMS online dan membayar
airtime;

 Mengaktifkan transmitter yang


terpasang pada kapal perikanan secara
terus menerus;
SURAT KETERANGAN AKTIVASI TRANSMITTER (SKAT)

 Perusahaan perikanan atau pemilik kapal harus mendaftarkan


transmitter yang telah dipasang pada kapal perikanan;

 Surat Keterangan Aktivasi Transmitter (SKAT) menunjukkan bahwa


kapal perikanan telah dipasang transmitter, transmitter tersebut aktif,
dan posisi kapal perikanan dapat dipantau di Fisheries Monitoring
Centre (FMC);

 Direktorat Jenderal Pengawasan Sumberdaya Kelautan dan


Perikanan akan menerbitkan SKAT dan memberinya kepada kapal
perikanan;

 SKAT merupakan salah satu persyaratan kelayakan teknis bagi kapal


perikanan untuk beroperasi dan harus ada di atas kapal perikanan
bersama ijin operasi (SIPI/SIKPI);

 Pengawas perikanan pada pelabuhan perikanan tidak akan memberi


Surat Laik Operasi (SLO) jika tidak ada SKAT. Sehingga kapal
perikanan tidak dapat beroperasi.
PENYELENGGARAAN VMS
 Tidak memasang transmitter pada kapal
perikanan yang telah ditentukan;
 Memasang transmitter tapi tidak dapat
dipantau di Pusat Pemantauan Kapal
Perikanan;
 Tidak mengaktifkan transmitter yang
terpasang pada kapal perikanan;
 Tidak mendaftarkan transmitter yang telah
terpasang pada kapal perikanan;
 Tidak melaporkan perubahan kepemilikan,
keagenan, nama, spesifikasi, dan izin
operasional kapal perikanan, serta
perubahan nomor ID transmitter;
 Mengoperasikan kapal perikanan tanpa
dilengkapi dengan SKAT;
PENGAMANAN DATA VMS

 Data VMS diamankan (secured) mulai dari


transmitter sampai dengan penyimpanannya
dalam database sistem di FMC;
 Transmitter disegel resmi agar tidak dapat
dibongkar dan dikontrol untuk mengirimkan
data posisi kapal perikanan yang salah;
 Transfer data VMS dari transmitter melalui
satelit komunikasi sampai ke database sistem
di FMC dilindungi dengan sistem keamanan
yang tinggi;
 Data VMS di dalam database FMC hanya
dapat ditampilkan saja dan tidak dapat diakses
oleh operator VMS untuk diubah;
 Sehingga data VMS memenuhi kriteria untuk
digunakan sebagai alat bukti petunjuk tindak
pidana perikanan di peradilan.
PEMANTAUAN AKTIVITAS KAPAL PERIKANAN
PADA FISHERIES MONITORING CENTRE (FMC)

 Operator memantau aktivitas kapal


perikanan pada FMC ketika kapal perikanan
menangkap/mengangkut ikan di laut dan
keaktifan transmitter pada kapal perikanan;
 Operator mengirim informasi indikasi
pelanggaran operasional kapal perikanan ke
kapal pengawas di laut untuk melaksanakan
inspeksi laut (sea inspection) terhadap
kapal perikanan di laut;
 Operator mengirim informasi indikasi
pelanggaran operasional kapal perikanan ke
pengawas perikanan pada pelabuhan
perikanan untuk melaksanakan inspeksi
pelabuhan (port inspection) terhadap kapal
perikanan di pelabuhan perikanan;
PEMANTAUAN DAN ANALISA
PELANGGARAN KAPAL PERIKANAN

 Pemantauan dan Analisa pelanggaran terhadap aktivitas


kapal perikanan dilakukan dengan pengamatan tracking,
kecepatan, dan arah pergerakan kapal perikanan atau jarak
beberapa kapal perikanan yang berdekatan yang
ditunjukkan dengan tracking kapal perikanan yang
menunjukkan ketidak-sesuaian dengan ketentuan
pengelolaan sumber daya perikanan;

 Alat tangkap berbeda yang digunakan ditunjukkan dengan


bentuk tracking kapal perikanan yang berbeda pada VMS;

 Ketentuan pengelolaan sumberdaya perikanan


menentukan aktivitas kapal perikanan yang legal atau
illegal;
INDIKASI PELANGGARAN KAPAL PERIKANAN

 Membawa muatan secara


langsung ke Luar Negeri ;
 Wilayah Penangkapan
(Fishing Ground) ;
 Penggunaan alat tangkap yang
tidak sesuai dengan SIPI ;
 Transhipment ;
 Pair Trawl.
DASAR DALAM MENENTUKAN
INDIKASI PELANGGARAN

 Wilayah penangkapan dan/atau pengangkutan


ikan sesuai dengan SIPI/SIKPI ;
 Jarak antara kedua kapal dalam jangka waktu
tertentu ;
 Kecepatan dan Pola Gerak Kapal ;
 Data Posisi Kapal ;
 Garis Batas ZEEI dan Teritorial.
KAPAL PERIKANAN MENANGKAP IKAN DI PERAIRAN TERITORIAL

Daerah Penangkapan
Ikan :
ZEEI Laut Arafura

Alat Tangkap :
Pukat Ikan

Indikasi Pelanggaran :
Menangkap ikan di
perairan teritorial Laut
Arafura bagian Utara
Pulau Dolak
KAPAL PERIKANAN MENANGKAP IKAN TIDAK SESUAI DENGAN
DAERAH PENANGKAPAN IKAN

Daerah Penangkapan Ikan :


ZEEI Selat Malaka

Alat Tangkap :
Bouke Ami

Indikasi Pelanggaran :
Menangkap ikan di perairan
Laut Jawa
KAPAL PERIKANAN MENANGKAP IKAN DENGAN PAIR TRAWL

Dua kapal perikanan


terindikasi
menangkap ikan
dengan pair trawl di
perairan ZEEI Laut
Cina Selatan. Kedua
kapal bergerak
dengan kecepatan,
jarak dan arah yang
sama.
TRANSHIPMENT DI LAUT

Dua kapal perikanan


terindikasi melakukan
transhipment di perairan
Papua New Guinea. Kedua
kapal perikanan saling
mendekat dan tidak
bergerak (kecepatan = 0)
pada pada satu titik.
TIDAK MENDARATKAN TANGKAPAN IKAN DI PELABUHAN PANGKALAN
DAN LANGSUNG MEMBAWA TANGKAPAN KE NEGARA LAIN

Daerah Penangkapan Ikan:


ZEEI Samudera Pasifik

Pelabuhan Pangkal :
Bitung

Indikasi Pelanggaran :
Membawa hasil tangkapan
ikan secara langsung ke
Pelabuhan Taiwan
BEROPERASI MENANGKAP IKAN TANPA DILENGKAPI SKAT DAN
LANGSUNG MEMBAWA TANGKAPAN KE NEGARA LAIN

Keluar Pelabuhan
Ambon Tanpa
dilengkapi SKAT
(Surat Keterangan
Aktivasi Transmiter),
sehingga nama kapal
belum diketahui /
Unknown.

Pelabuhan TIMOR
LESTE
POSISI KAPAL PERIKANAN
BEROPERASI DI LAUT LEPAS / SAMUDERA HINDIA
PENGGUNAAN DATA VMS DALAM PERDAGANGAN PRODUK
PERIKANAN INTERNASIONAL
 Produk perikanan yang berasal dari sumberdaya perikanan
yang dikelola dengan baik secara nasional, regional, atau
internasional dapat diterima pasar internasional;
 Produk perikanan hasil kegiatan IUU fishing atau haram akan
ditolak di pasar internasional;
 Europe Regulation No. 1005/2008 tentang Combatting IUU
Fishing : semua produk perikanan yang dipasarkan di negara
Uni Eropa harus dilengkapi dengan sertifikat tangkapan ikan;
 Sertifikat tangkapan ikan menunjukkan bahwa produk perikanan
yang masuk ke negara anggota Uni Eropa bukan hasil kegiatan
IUU fishing;
 Informasi inspeksi pelabuhan dan VMS digunakan sebagai
dukungan verifikasi untuk menerbitkan sertifikasi hasil
tangkapan ikan oleh pelabuhan perikanan sebagai otoritas
berwenang (competent authority);
 Produk perikanan yang dilengkapi dengan sertifikat hasil
tangkapan ikan dapat masuk dan dipasarkan ke negara anggota
Uni Eropa;
 Implementasi sertifikat tangkapan ikan semua negara
pengekspor dievaluasi Uni Eropa. Jika belum memenuhi,
negara tersebut dapat dikategorikan sebagai negara tidak
bekerjasama (non-cooperating country). Uni Eropa akan
memberikan sanksi embargo produk perikanan dari negara
tersebut dan sanksi lain.
PENGGUNAAN DATA VMS UNTUK PENANGANAN IUU FISHING
SECARA INTERNASIONAL

 Penanganan pelanggaran dibutuhkan untuk memberi efek jera para pelaku IUU fishing;
 Sampai sekarang, informasi VMS masih merupakan alat bukti terbaik untuk kapal
perikanan yang melakukan IUU fishing;
 IUU fishing telah dikategorikan sebagai kejahatan internasional (international crime),
lintas negara (transboundary crime), dan terorganisasi (organized crime);
 Penanganan IUU fishing membutuhkan koordinasi dengan negara bendera (flag state),
pantai (coastal state), organisasasi manajemen perikanan regional (regional fisheries
management organization/RFMO), dan lain-lain;
 International MCS Network (IMCS Network) merupakan forum penanganan IUU fishing
secara internasional;
 IMCS Network melaksanakan Global Fisheries Enforcement Training and Workshop
(GFETW) setiap tahun untuk koordinasi dan pelatihan bagi penyidik perikanan (fisheries
investigator) untuk penanganan IUU fishing secara internasional;
 Dibutuhkan sharing data perikanan termasuk informasi VMS untuk penanganan IUU
fishing secara internasional.
Peraturan
No Pasal Keterangan Penjelasan
Perundangan
1 UNDANG-UNDANG Pasal 7 ayat (1) Dalam rangka mendukung Yang dimaksud dengan
REPUBLIK INDONESIA huruf k kebijakan pengelolaan “sistem pemantauan kapal
NOMOR 45 TAHUN 2009 sumber daya ikan, Menteri perikanan” adalah salah
TENTANG menetapkan: k. sistem satu bentuk sistem
PERUBAHAN ATAS pemantauan kapal pengawasan
UNDANG-UNDANG perikanan di bidang penangkapan ikan
NOMOR 31 TAHUN 2004 dengan menggunakan
TENTANG PERIKANAN peralatan pemantauan
kapal perikanan yang telah
ditentukan, seperti sistem
pemantauan kapal
perikanan
(vessel monitoring
system/VMS)

Setiap orang yang


Pasal 7 ayat (2) melakukan usaha dan/atau
huruf e kegiatan pengelolaan
perikanan wajib mematuhi
ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1)
mengenai: e. sistem
pemantauan kapal
perikanan
Peraturan
No Pasal Keterangan Penjelasan
Perundangan

Pasal 7 Kewajiban mematuhi ketentuan mengenai


ayat (3) sistempemantauan kapal perikanan
sebagaimanadimaksud pada ayat (2) huruf
e, tidak berlaku baginelayan kecil dan/atau
pembudi daya-ikan kecil

2 Permen KP

PERATURAN Pasal 11 Setiap kapal perikanan dengan ukuran >


MENTERI KELAUTAN 30 GT yang beroperasi di WPP-NRI
DAN PERIKANAN atau di laut lepas yang akan mengajukan
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR PER.
permohonan SIPI atau SIKPI wajib
10/PERMEN-KP/2013 memasang transmiter SPKP online
TENTANG
SISTEM PEMANTAUAN Pasal 13 (1) Setiap kapal perikanan dengan ukuran
KAPAL PERIKANAN >30 GT yang beroperasi di WPPNRI
atau di laut lepas wajib mengaktifkan
transmiter SPKP online.
(2) Bukti bahwa kapal perikanan telah
mengaktifkan transmiter SPKP online
diterbitkan SKAT.
Penjelasa
No Peraturan Perundangan Pasal Keterangan
n
2 Permen KP

PERATURAN Pasal 19 (1) Setiap orang untuk memiliki SIPI sebagaimana


MENTERI KELAUTAN DAN ayat (1), dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2) harus
PERIKANAN REPUBLIK huruf g mengajukan permohonan kepada Direktur
INDONESIA Jenderal, dengan melampirkan persyaratan:
NOMOR 26/PERMEN-KP/2013
g. Surat pernyataan bermeterai cukup dari
TENTANG
pemilik kapal atau penanggung jawab
PERUBAHAN ATAS PERATURAN
MENTERI KELAUTAN DAN perusahaan yang menyatakan:
PERIKANAN NOMOR 5. Kesanggupan memasang dan
PER.30/MEN/2012 TENTANG mengaktifkan transmiter sistem
USAHA PERIKANAN TANGKAP DI pemantauan kapal perikanan (SPKP)
WILAYAH sebelum kapal melakukan operasi
PENGELOLAAN PERIKANAN penangkapan ikan sesuai ketentuan
NEGARA REPUBLIK INDONESIA peraturan perundang-undangan.

Pasal 22 Bagi kapal perikanan yang dimiliki oleh Pemerintah,


huruf e pemerintah daerah,
atau perguruan tinggi untuk melakukan pelatihan
atau penelitian/eksplorasi perikanan, harus
mengajukan permohonan SIPI kepada Direktur
Jenderal, dengan melampirkan persyaratan:
e. surat pernyataan bermeterai cukup dari
pemohon yang menyatakan:
3) kesanggupan memasang dan mengaktifkan
transmitter SPKP sesuai ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Peraturan
No
Perundangan
Pasal Keterangan Penjelasan

Pasal 24 (1) Setiap orang untuk memiliki SIKPI sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) Pasal 14 ayat (2) harus mengajukan permohonan kepada
huruf e Direktur Jenderal, dengan melampirkan persyaratan:
e. surat pernyataan bermeterai cukup dari pemilik kapal atau
penanggung jawab perusahaan perikanan yang menyatakan:
5) kesanggupan memasang dan mengaktifkan transmitter
SPKP sebelum kapal melakukan operasi pengangkutan
ikan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan;

Pasal 50 Setiap orang untuk melakukan perpanjangan SIPI harus mengajukan


ayat (2) permohonan kepada Direktur Jenderal, dengan melampirkan
huruf d persyaratan:
d. Surat Keterangan Aktivasi Transmiter SPKP yang masih berlaku;

Pasal 59 Setiap orang untuk melakukan perpanjangan SIKPI harus


ayat (2) mengajukan permohonan kepada Direktur Jenderal, dengan
huruf d melampirkan persyaratan:
d. Surat Keterangan Aktivasi Transmiter SPKP yang masih berlaku;
No Peraturan Perundangan Pasal Keterangan Penjelasan

3 Permen KP

PERATURAN Pasal 8 ayat (3) Setiap orang yang akan memiliki SIPI harus
MENTERI KELAUTAN DAN huruf f mengajukan permohonan
PERIKANAN REPUBLIK kepada Direktur Jenderal, dengan
INDONESIA melampirkan:
NOMOR PER.12/MEN/2012 f. surat keterangan pemasangan transmitter
TENTANG (on line)
USAHA PERIKANAN
TANGKAP DI LAUT LEPAS
Pasal 10 ayat (3) (3) Setiap orang yang akan memiliki SIKPI
huruf e harus mengajukan permohonan kepada
Direktur Jenderal, dengan melampirkan:
e. surat keterangan pemasangan
transmitter (on line)

Pasal 22 ayat (2) (2) Setiap orang yang akan melakukan


huruf e perpanjangan SIPI harus mengajukan
permohonan kepada Direktur Jenderal,
dengan melampirkan:
e. surat keterangan aktivasi transmitter (on
line).
Pasal 27 ayat (2) (2) Setiap orang yang akan melakukan
huruf e perpanjangan SIKPI harus mengajukan
permohonan kepada Direktur Jenderal,
dengan melampirkan:
d. surat keterangan aktivasi transmitter (on
line)
Peraturan
No Pasal Keterangan Penjelasan
Perundangan
Pasal 30 ayat (2) (2) Kapal penangkap ikan yang melakukan
huruf b transhipment di laut lepas harus memenuhi
persyaratan:
b. transmitter (on line) aktif serta dapat terpantau

Pasal 30 ayat (3) (3) Kapal penangkap ikan yang melakukan


huruf b transhipment di pelabuhan negara lain yang
menjadi anggota RFMO pada wilayah RFMO
yang sama harus memenuhi persyaratan:
b. transmitter (on line) aktif serta dapat terpantau

Pasal 30 ayat (4) (4) Kapal pengangkut ikan yang akan melakukan
huruf b transhipment di laut lepas harus memenuhi
persyaratan:
b. transmitter (on line) aktif serta dapat terpantau

Pasal 30 ayat (5) (5) Kapal pengangkut ikan yang akan melakukan
huruf b transhipment di pelabuhan negara lain yang
menjadi anggota RFMO pada wilayah RFMO
yang sama harus memenuhi persyaratan:
b. transmitter (on line) aktif serta dapat terpantau
Peraturan
No Pasal Keterangan Penjelasan
Perundangan

Pasal 30 (4) Kapal pengangkut ikan yang akan melakukan


ayat (4) transhipment di laut lepas harus memenuhi
huruf b persyaratan:
b. transmitter (on line) aktif serta dapat terpantau

Pasal 30 (5) Kapal pengangkut ikan yang akan melakukan


ayat (5) transhipment di pelabuhan negara lain yang
huruf b menjadi anggota RFMO pada wilayah RFMO
yang sama harus memenuhi persyaratan:
b. transmitter (on line) aktif serta dapat terpantau
SISTEM PEMANTAUAN KAPAL PERIKANAN

PENYELENGGARA
PENYEDIA
(KKP)
- Ditjen Pengawasan SDKP - PT. CLS ARGOS Indonesia
- Ditjen Perikanan Tangkap - PT. SOG Indonesia
- Balitbang KP - PT. Pasific Satelit Nusantara
- Ditjen Perikanan Budidaya - PT. Amalgam Indocorpora

PENGGUNA
Kapal Perikanan

Transmiter Online > 30 GT


SISTEM PEMANTAUAN KAPAL PERIKANAN

No Penyelenggara Pengguna Provider


1 Mengetahui posisi, pergerakan dan Kondisi usaha penangkapan ikan Meningkatkan
aktivitas kapal perikanan yang kondusif Penjualan

2 Pemasaran produk perikanan Kelangsungan usaha Mengembangkan


Indonesia ke luar negeri penangkapan ikan Fungsi Transmiter

3 Optimalisasi pengelolaan sumberdaya Meningkatkan efisiensi dalam


perikanan di perairan jurisdiksi melakukan usaha penangkapan
Indonesia, laut lepas dan ikan
pemberantasan IUU fishing

4 Citra yang baik di dunia Internasional Mengetahui posisi, pergerakan


karena dapat mengelola sumberdaya dan aktivitas armada kapal
perikanan di perairan jurisdiksi perikanan dan dapat
Indonesia dan mendukung dipergunakan pada saat
pengelolaan sumberdaya perikanan di Penyelamatan (save and rescue)
laut lepas terhadap kapal perikanan yang
menghadapi masalah di laut
WPPNRI
1. Perairan darat adalah segala perairan yang terletak pada sisi darat dari garis
air rendah, kecuali pada mulut sungai perairan darat adalah segala perairan
yang terletak pada sisi darat dari garis penutup mulut sungai.

2. Laut Teritorial Indonesia adalah jalur laut selebar 12 (dua belas) mil laut yang
dikukur dari garis pangkal kepulauan Indonesia.

3. Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia adalah jalur di luar dan berbatasan dengan
laut wilayah Indonesia sebagaimana ditetapkan berdasarkan undang-undang
yang berlaku tentang perairan Indonesia yang meliputi dasar laut, tanah di
bawahnya dan air di atasnya dengan batas terluar 200 (dua ratus) mil laut
diukur dari garis pangkal laut wilayah Indonesia.

4. Alur laut kepulauan adalah alur laut yang dilalui oleh kapal atau pesawat udara
asing di atas alur laut tersebut, untuk melaksanakan pelayaran dan
penerbangan dengan cara normal semata-mata untuk transit yang terus
menerus, langsung dan secepat mungkin serta tidak terhalang melalui atau di
atas perairan kepulauan dan laut teritorial yang berdampingan antara satu
bagian laut lepas atau Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia dan bagian laut lepas
atau Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia lainnya
PETA BATAS WILAYAH INDONESIA - DEKLARASI DJOEANDA
REGIONAL FISHERIES MANAGEMENT ORGANIZATIONS
RAGAM RFMO DAN NEGARA PIHAK

Negara Anggota

Contracti Cooperating
No RFMO Status Indonesia
Member Participating Non-
ng Non Contracting
Country Territories
Member Party

Anggota,
1 IOTC 28 - - 3
Tgl. 09 Juli 2007

Anggota,
2 CCSBT 6 3 - -
Tgl. 08 April 2008

3 WCPFC CNM, Tahun 2004 25 5 6 -


LANDASAN HUKUM

 Undang-Undang No. 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang – Undang Nomor 31
Tahun 2004 Tentang Perikanan;
Pasal 5 ayat (2)
Pengelolaan Perikanan di luar wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia,
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diselenggarakan berdasarkan peraturan perundang-
undangan, persyaratan dan /atau standar internasional yang diterima secara umum
Pasal 10 ayat (2)
Pemerintah ikut serta secara aktif dalam keanggotaan badan/lembaga/organisasi regional dan
internasional dalam rangka kerjasama pengelolaan perikanan regional dan internasional.
 Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2007, tentang Pengesahan Persetujuan
Tentang Pembentukan Komisi Tuna Samudera Hindia ;
 Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 109 Tahun 2007, tentang Pengesahan Konvensi
Tentang Konservasi Tuna Sirip Biru Selatan
 Permen KP No : 12/2012 tentang usaha penangkapan ikan di laut lepas (telah mengadopsi
Resolusi RFMO mengenai pendaftaran kapal, ERS, Observer, Transhipment)
 Peraturan Menteri No. PER. 10/PERMEN/-KP/2013 tentang Sistem Pemantauan Kapal
Perikanan; Mengadopsi resolusi IOTC 06/03, CMM – WCPFC 2007-02 dan inline with the
Resolution on Establishing the CCSBT VMS adopted at Annual Meeting 14-17 Oktober 2008.
LANDASAN PRAKTIS

Kebutuhan nelayan Indonesia memanfaatkan


sumber daya tuna dan spesies seperti tuna di laut
lepas secara legal (Samudera Hindia dan
Samudera Pasifik);

Kebutuhan nelayan indonesia memanfaatkan


spesies tuna dan seperti tuna di Samudera Pasifik
Bagian Timur yang dikelola oleh IATTC dan
Samudera Atlantik yang dikelola oleh ICCAT.
TINDAKAN MANAJEMEN INDONESIA SESUAI
STANDAR INTERNASIONAL (RFMO)
 Penerbitan SIPI (otorisasi menangkap ikan) di laut lepas;
 Pendaftaran kapal agar tercantum dalam Record of Fishing Vessel
setiap RFMO;
 Penandaan Kapal;
 Pendaftaran kapal aktif;
 Penerapan CDS (penangkapan SBT);
 Penerapan IOTC Big Eye Statistical Doc setiap ekspor big eye
(utuh);
 Pelaksanaan pemasangan VMS : laporan VMS harus
sesuai format RFMO
 Pelaksanaan observer scheme (transhipment, monitoring dan
scient);
 Dll.
RESOLUSI DAN CMM TERKAIT VMS
No RFMOs Resolusi dan CMM
1 IOTC Resolusi 06/03 on Establishing a
Vessel Monitoring System
Programme
2 CCSBT  Resolution on the development
and implementation of a VMS
(Annual meeting 10-13 oktober
2006)
 Resolution on establishing the
CCSBT VMS (Annual meeting 14-
17 Oktober 2008)
3 WCPFC CMM 2007-02 : Commission VMS
IOTC

 Resolution 06/03 on Establishing a Vessel Monitoring System


Programme
Negara CPC wajib mengadopsi VMS berbasis satelit untuk semua
kapal dengan panjang keseluruhan (LOA) lebih besar 15 meter yang
terdaftar di IOTC Record of Vessel, yang beroperasi di area IOTC dan
melakukan penangkapan ikan di laut lepas (di luar area kewenangan
perikanan setiap negara pantai) untuk spesies yang tercakup dalam
IOTC Agreement pada 1 Juli 2007
 Info yang disampaikan nakhoda atau pemilik kapal terkait VMS:
 Identittas kapal;
 Posisi geografis kapal (lintang dan bujur) dengan posisi error <50m
dengan tingkat kepercayaan 99 %;
 Tanggal dan waktu penerapan posisi kapal tersebut.
IOTC

 Kewajiban mengenai alat pelacak satelit dan persyaratan jika terjadi kesalahan teknis
atau tidak berfungsinya alat pelacak satelit.
 Nakhoda dan pemilik kapal penangkap ikan yang dikenakan wajib pasang VMS
harus menjamin VMS berada di atas kapal selama di area IOTC setiap saat
beroperasi penuh;
 Nakhoda dan pemilik kapal penangkap ikan menjamin:
- Laporan VMS dan pesan tidak diubah dengan cara apapun
- Antena yang terhubung ke perangkat VMS tidak terhalang dengan
cara apapun;
- Power supply harus stabil;
- Perangkat VMS tidak dipindahkan dari kapal.
 Kewajiban mengenai alat pelacak satelit dan persyaratan jika terjadi kesalahan teknis
atau tidak berfungsinya transmiter.
 Perangkat VMS harus aktif selama di area IOTC, tapi dapat dimatikan jika berada
di pelabuhan periode lebih dari 1 minggu dengan pemberitahuan
 Negara PC menyampaikan kepada sekretariat IOTC mengenai laporan perkembangan
dan implementasi program VMS yang terkait dengan Resolusi ini
CCSBT

Resolution on the Development and Implementation


of a Vessel Monitoring System 10-13 Oktober 2006
VMS harus diimplementasikan per Januari 2008
VMS harus meliputi beberapa elemen;
- Negara bendera harus memantau dan mengatur
kapal agar dilengkapi VMS.
- dst
Negara anggota harus menyampaikan laporan
tahunan VMS
- dst
CCSBT

CMM 2007-02
 CCSBT menetapkan mengenai komisi VMS
 Komisi VMS berlaku untuk semua kapal
penangkap ikan dengan panjang 24 meter mulai
1 Januari 2008 dan kapal berukuran panjang 24
meter atau kurang mulai 1 Januari 2009
 dst
EVALUASI PEMASANGAN VMS RFMO

 Pelaksanaan belum efektif, kapal tidak disiplin;


 Belum dilaksanakan penerapan sanksi bagi kapal
yang tidak menghidupkan VMS sesuai ketentuan;
 Diduga dipasang/ diaktivasi hanya memenuhi
persyaratan formal perizinan (BUKAN UNTUK
TUJUAN PENGELOLAAN PERIKANAN YANG
BERTANGGUNG JAWAB)
TERIMA KASIH

Anda mungkin juga menyukai