Anda di halaman 1dari 31

MELIHAT PANCASILA

DALAM ARSITEKTUR
VERNAKULAR DI WAE REBO
Monalisa Andrimika
1606908136
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
■ Kata identitas menurut KBBI berarti ciri-ciri atau keadaan khusus seseorang; jati diri. Itu
berarti identitas merupakan karakter yang dapat menyatakan gambaran diri pada
seseorang ataupun kelompok. Identitas Indonesia yaitu Pancasila sebagai dasar ideologi
negara. Pancasila merupakan manifestasi dari nilai-nilai yang sudah melekat pada
Indonesia sejak zaman kerajaan.

■ Indonesia yang merupakan negara kepulauan yang cukup luas memiliki persebaran
suku yang beragam macam didasari oleh sejarah, kepercayaan, serta letak geografis
yang berbeda-beda. Menurut sensus BPS tahun 2010, ada lebih dari 1.340 suku bangsa
yang tersebar di kepulauan Indonesia. Setiap suku memiliki identitasnya masing-masing
yang membedakan satu suku dengan suku yang lain. Tetapi di dalam setiap perbedaan
tersebut, terdapat persamaan identitas yang tergambar dalam nilai-nilai Pancasila.
■ Suku Wae Rebo merupakan suku Indonesia yang
terpencil di pedalaman Manggarai, NTT dan yang
arsitektur vernakularnya masih bertahan sampai
sekarang. Arsitektur vernakular di Wae Rebo
berbeda sendiri dengan arsitektur vernakular
lainnya yang ada di Indonesia. Dengan bentuknya
yang kerucut dan tingginya dapat mencapai 15
meter menjadikan rumah ini yang disebut Mbaru
Niang sebagai identitas bagi suku Wae Rebo.

■ Melihat keunikan dari rumah tersebut dan


keberadaan suku Wae Rebo yang merupakan
bagian kecil dari beragam macam suku di
Indonesia, penulis ingin mengkaji apakah
arsitektur vernakular di Wae Rebo dapat
menggambarkan nilai-nilai Pancasila
Skema Berpikir

Memiliki beragam
Indonesia macam suku
Wae Rebo

Memiliki identitas

Pancasila Mbaru Niang


?
Perumusan Masalah

Menyadari keunikan dari arsitektur vernakular di Wae


Rebo, penulis ingin mengkaji apakah arsitektur vernakular di
Wae Rebo dapat menggambarkan nilai-nilai Pancasila?
Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk memaparkan


bagaimana Pancasila dan Mbaru Niang secara tidak langsung
saling berkaitan. Melalui penelitian ini diharapkan dapat
membuka pandangan pembaca bagaimana melihat Mbaru
Niang tidak hanya sebagai rumah tetapi juga sebagai identitas
Wae Rebo yang menggambarkan nilai Pancasila.
Teknik Pengumpulan Data

Teknik yang digunakan dalam penulisan ini adalah studi


pustaka yang berupa pencarian informasi melalui berbagai
sumber media seperti buku dan internet
Kajian dan Teori
Suku
Menurut Frederick Barth, suku ialah berupa himpunan manusia karena adanya kesamaan ras, agama, asal-usul bangsa
ataupun merupakan kombinasi dari kategori yang masuk terikat pada sistem nilai budaya. Menurut Koentjaraningrat, suku
bangsa ialah sekelompok manusia yang memiliki kesatuan dalam budaya dan terikat oleh kesadarannya akan identitasnya
tersebut, kesadaran dan identitas yang dimiliki biasanya di perkuat dengan kesatuan bahasa.

Arsitektur Vernakular
Menurut Bernard Rudofski dalam bukunya berjudul “Architecture without Architect”, Arsitektur vernakular lahir tanpa campur
tangan professional yang kita sebut arsitek. Istilah arsitektur vernakular pertama kali diperkenalkan oleh Rudofski pada saat
pameran bertajuk sama dengan bukunya yaitu “Architecture Without Architect”. Kata vernakular ini berasal dari bahasa latin.
Kata Verna artinya home born slave (Nuttgents, 1993). Kata vernakular juga berasal dari vernaculus yang berarti asli (native).
Menurut Amos Rapoport (House Form and Culture, 1969)) Arsitektur Vernakular adalah karya arsitektur yang tumbuh dari
segala macam tradisi dan mengoptimalkan atau memanfaatkan potensi-potensi lokal seperti contohnya pengetahuan yang
didapat secara turun temurun, teknologi seadanya dan material yang ada disekitar.
Tinjauan Nilai-Nilai Pancasila
Pengertian Nilai
Nilai termasuk dalam bidang kajian filsafat. Persoalan tentang nilai dipelajari pada cabang
filsafat yaitu filsafat nilai (Axiology, Theory of Value). Istilah nilai dalam bidang filsafat dipakai
untuk menunjuk kata benda abstrak yang artinya keberhargaan atau kebaikan. Muchson AR
(2000 : 16) mengartikan bahwa nilai yang dalam bahasa Inggris value sebagai harga maksudnya
ialah harga yang melekat pada sesuatu atu penghargaan terhadap sesuatu.

Terbentuknya Pancasila
Pancasila dideklarasikan pada tanggal 1 juni 1945. Pancasila merupakan manifestasi nilai-nilai
yang sudah melekat pada bangsa Indonesia sejak zaman kerajaan. Pancasila merupakan
kesatuan yang utuh, yang tidak dapat ditambah ataupun dikurangkan. Pancasila sebagai suatu
sistem nilai disusun berdasarkan urutan logis keberadaan unsur-unsurnya. Ketuhanan berada
pada sila pertama karena pada dasarnya manusia berasal dan diciptakan oleh Tuhan. Lalu sila
kedua ialah tentang kemanusiaan bagaimana kita hidup sebagai sesama ciptaan Tuhan yang
diberikan karunia akal budi. Setelah prinsip kemanusiaan, dibutuhkannya persatuan mengingat
adanya perbedaan pada tiap sesama manusia. Lalu sila keempat merupakan cara-cara yang
harus ditempuh dalam mengambil kebijakan yaitu dengan musyawarah. Lalu sila kelima yaitu
keadilan sosial ditempatkan terakhir karena merupakan tujuan dari negara Indonesia merdeka.
Makna Sila-sila Pancasila
Sila-silai dalam Pancasila mengandung makna sebagai berikut :
■ Makna ketuhanan yang Maha Esa ialah pengakuan adanya kedudukan lebih tinggi
dari segala makhluk ciptaan di bumi yaitu adanya Tuhan
■ Makna kemanusiaan yang adil dan beradab ialah adanya pengakuan hak asasi
manusia sehingga pada hakikatnya manusia adalah sederajat.
■ Makna persatuan Indonesia ialah adanya rasa saling keterikatan satu sama lain
■ Makna kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan perwakilan ialah adanya musyawarah sehingga semua pihak
saling memberikan pendapatnya dan memutuskannya secara bersama-sama.
■ Makna keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia ialah adanya kemakmuran
yang terjadi secara merata dalam bidang politik maupun ekonomi.
Tinjauan Desa Wae Rebo
Desa Wae Rebo berada di barat daya kota Ruteng, Kabupaten Manggarai, Nusa
Tenggara Timur. Desa ini terletak pada ketinggian 1.200 meter di atas permukaan laut.
Di Desa Wae Rebo terdapat 7 rumah yang sudah bertahan selama 19 generasi.
Arsitektur di Desa Wae Rebo ini sempat punah karena kondisi rumah yang sudah mulai
rusak dan minimnya dana dalam pembuatan rumah tersebut. Untungnya, Yori Antar
dan rekannya dalam proyek Rumah Asuh berinisiatif untuk membangun kembali rumah
di desa tersebut hingga akhirnya Desa Wae Rebo ini menjadi situs warisan budaya
dunia oleh UNESCO pada tahun 2012 yang lalu. Meskipun terletak sangat jauh di timur,
nenek moyang Wae Rebo ternyata berasal dari Minang, Sumatera Barat. Dikatakan
nenek moyang yang bernama Empo Maro berasal dari Minangkabau yang merantau ke
timur dan berpindah-pindah hingga akhirnya menetap di Desa Wae Rebo sejak sekitar
tahun 1920.
BAB II
PEMBAHASAN
Tentang Mbaru Niang

Rumah Desa Wae Rebo yang disebut Mbaru Niang hanya terdapat 7 bangunan dan
sesuai kepercayaan jumlahnya tidak boleh bertambah. Bila terpaksa harus
bertambah, rumah itu harus dibangun di luar desa Wae Rebo. Mbaru artinya ialah
rumah dan Niang berarti tinggi. Rumah berbentuk kerucut ini memang tinggi
dan tingginya bisa mencapai 15 meter. Mbaru Niang sendiri berfungsi sebagai
tempat tinggal keluarga yang diperuntukkan bagi 6 – 8 keluarga yang membagi
ruang pribadinya dalam sekat kamar di lantai satu. Atap Mbaru Niang terbuat dari
lontar dan ditengahnya terdapat tiang dari kayu sebagai tiang utama yang menancap
pada lantai satu. Selain itu, pondasi pada bagian bawah dilapisi plastik dan ijuk agar
tidak mudah lapuk karena kondisi tanah yang lembab. Struktur lantai rumah ini
menggunakan struktur panggung. Dalam pembangunannya, rumah ini
menggunakan sistem pasak dan pen yang kemudian di ikat menggunakan rotan.
Tentang Mbaru Niang

Mbaru Niang terdiri dari lima lantai. Berikut adalah susunannya :


•Lutur / tenda atau lantai dasar, yang dipergunakan untuk tempat tinggal sang penghuni
•Lobu berfungsi sebagai gudang tempat penyimpanan bahan makanan dan barang
•Lentar berfungsi untuk menyimpan benih tanaman untuk bercocok tanam
•Lempa Rea berfungsi untuk menyimpan stok cadangan makanan yang berguna di saat
peceklik atau gagal panen.
•Hekang Kode berfungsi sebagai tempat sesajen untuk para leluhur mereka.
Mbaru niang memilik beda-beda dimensi. Dan perbedaan dimensi ini
dipengaruhi oleh jumlah keluarga yang menempatinya. Niang Gendang ditempati
oleh delapan keluarga, sementara keenam Niang Gena di tempati oleh 6 keluarga.
Tujuh bangunan Mbaru niang konon merupakan pencerminan kepercayaan
leluhur untuk menghormati tujuh arah puncak-puncak gunung di sekeliling kampung
Waerebo yang di percaya sebagai “para pelindung” kemakmuran kampung tersebut.
Nilai Ketuhanan

Suku Wae Rebo menganut kepercayaan katolik. Meskipun demikian, mereka tetap

menjalankan ritual-ritual dalam animisme. Mereka menganggap bahwa pohon di desa


mereka yang adalah material Mbaru Niang memiliki roh sehingga sebelum menebangnya

harus meminta izin terlebih dahulu. Menurut mereka, bila tidak diizinkan oleh si pohon,

mereka tidak akan menebangnya. Dengan kata lain Suku Wae Rebo menganut Paganisme.
Inilah mengapa suku Wae Rebo sangat menjaga keutuhan hutan di sekitar mereka dan tidak

menebang sembarangan untuk kepentingan sendiri.


Ketuhanan dalam Mbaru Niang juga dapat terlihat dalam upacara
robang, upacara ancam bobong, dan upacara we’e mbaru.

Upacara robang dilakukan saat masuk ke hutan untuk mencari kayu.


Persembahan yang diberikan dalam upacara ini berupa anjing, ayam, dan
telur mentah. Upacara ini bertujuan untuk meminta izin kepada roh yang
berada di wilayah penebangan kayu serta berdoa kepada Tuhan agar dalam
penebangannya tidak ada hambatan.
Upacara ancam bobong dilakukan pada tahap pembangunan rumah yaitu saat

sebelum bagian terakhir dari bangunan yang disebut boong terpasang. Dengan
memberikan persembahan ayam, upacara ini dilakukan untuk memohon kepada Tuhan
dan para leluhur agar senantiasa memberikan perlindungan kepada semua anggota keluarga
yang akan menempati rumah dari segala macam hal buruk yang mengganggu
ketentraman.

Lalu ada upacara we’e mbaru yang juga dilakukan dengan mempersembahkan ayam
dan babi. Acara ini sangat penting bagi suku Wae Rebo. Upacara ini memaknai bahwa
penghuni rumah telah sah secara adat menempati rumah baru, selama-lamanya, sehingga
tidak ada lagi hambatan yang terjadi bila ingin melakukan upacara di dalam rumah seperti
pernikahan maupun kematian.
Rasa penghormatan terhadap Tuhan dan leluhur juga dapat terlihat pada
penempatan sesajen pada lantai paling atas atau Hekang Kode. Jika
diperhatikan pada penempatan fungsi tiap lantai pada Mbaru Niang,
semakin ke lantai atas semakin jarang intensitas penggunaannya yang dapat
disimbolkan sebagai sesuatu yang sakral.
intensitas
Lantai 5 Sangat jarang

Penyimpanan korban
persembahan

Penyimpanan cadangan
makanan

Penyimpanan biji-bijian

Penyimpanan bahan makan


sehari-hari

Tempat Tinggal dan


beraktivitas

Lantai 1 Sangat sering


Contoh lain tentang ketuhanan dalam Mbaru Niang juga dapat diperhatikan dalam
setiap pintu depan pada Mbaru Niang mengarah ke tengah tempat mereka
menyembah kepada Tuhan ataupun leluhur mereka. Tempat tersebut disebut compang.
Nilai Kemanusiaan

Semua suku Wae Rebo mendapat hak yang sama yaitu hak untuk tinggal dalam Mbaru Niang, makan,
serta hak untuk mengikuti rangkaian upacara. Tidak ada perbedaan status ataupun kedudukan dalam Wae
Rebo ini, semua diperlakukan setara sebagai manusia.Wae Rebo yang terkenal dalam menghormati alam
yang ada disekitarnya juga memperlakukan antarsesama dengan hormat bahkan sampai ia mati tetap
diperlakukan secara hormat.
Mereka percaya bahwa orang yang meninggal sebernarnya tidak benar-benar meninggalkan mereka yang
masih hidup, sebaliknya mereka selalu mengelilingi mereka dan melindungi mereka. Sehingga masyarakat
Wae Rebo memperlakukan orang yang sudah mati dengan hati-hati. Prosesi upacara yang diselenggarakan
dalam kematian yaitu :

1. Mano haeng nai : ketika mendapat kabar ada yang meninggal, suku Wae Rebo langsung melakukan
pemotongan ayam. Hal ini dimaksudkan sebagai simbol pemberian makan terakhir bagi jenazah di alam
dunia.

2. Ela tekang kana : dalam bahasa lokal berarti babi menggali tanah, maksudnya adalah upacara
permohonan agar dalam proses penggalian liang kubur bagi jenazah tidak menemui hambatan. Korban
persembahan yang dipersembahkan pun berupa seekor babi.
3. Rangko telu / haung ta’a : Upacara ini dilaksanakan pada hari ke-3 setelah kematian, upacara ini
dilakukan dengan permohonan keselamatan jiwa, serta bagi keluarga yang ditinggalkan sudah dapat
melakukan kegiatan-kegiatan riang seperti menengok kebun dan ladang, tetapi belum boleh
mengerjakannya. Selama 3 hari masa berkabung, pihak keluarga yang meninggal dilarang
melakukan kegiatan apa-apa. Tetapi setelah mengadakan upacara ini mereka sudah boleh
melakukan pekerjaan ringan.

4. Kelas / pakadia : merupakan upacara yang dilakukan pada hari ke-40 setelah kematian, dilakukan
untuk memohon keselamatan kepada leluhur dan setelah upacara ini dilaksanakan, keluarga yang
ditinggalkan sudah boleh mengerjakan kegiatannya sehari-hari.
Nilai Persatuan
Konon dulunya leluhur mereka miliki delapan orang pewaris, oleh karena itu terdapat delapan keluarga tetapi pada
saat itu mereka tidak membangun delapan rumah tetapi hanya tujuh sehingga dalam setiap Mbaru Niang terdapat 6 – 8
keluarga yang tinggal di situ. Jadi mereka tidak membagi-bagi satu rumah hanya milik satu keluarga tetapi dalam satu
rumah terdapat 6 - 8 kamar untuk satu kamar satu keluarga. Dengan begini, antar keluarga yang berbeda ini tetap
tercipta persatuan yang erat dan sosialisasi antar keluarga tetap terjaga. Di lantai satu ini memiliki zona publik dan
privat dimana zona publik dekat dengan pintu dan sebagai tempat menerima tamu ataupun berkumpul bersama
Selain itu hal yang tidak lepas dari persatuan ialah gotong royong. Suku Wae Rebo membangun Mbaru Niang
secara bergotong royong. Tidak hanya dilakukan oleh orang tua yang sudah mengerti saja, tetapi juga dibantu
oleh yang lebih muda. Hal ini sebagai penanaman ilmu kepada yang lebih muda agar kelak mereka bisa
mengerti dan meneruskan dalam pembangunan Mbaru Niang. Dimulai dari penancapan pondasi-pondasinya
secara bergotong-royong lalu dilanjutkan dalam pembuatan lantai pertama yang berdiameter 11 meter
berlandaskan balok-balok dan hamparan papan kayu dan dikelilingi glondongan rotan besar sebagai dudukan
utama atap. Di atas lantai pertama didirikan tiang utama hingga kepucuk mbaru niang/ ngando yang
dilengkapi dengan tangga bambu untuk menaiki setiap tingkatnya
Setelah itu ditambahkannya penyangga dinding sekaligus sebagai rangka atap yang terbuat dari
kumpulan rotan dalam satu ikatan. Ukuran paling panjang bisa mencapai 34,54 m yang berada pada
lantai satu lalu semakin keatas semakin pendek. Penggotongan rotan ini bisa membutuhkan 2-3 orang.
setelah itu menyusun bambu-bambu yang berfungsi sebagai reng atau penyangga yang mengikat
sekumpulan daun lontar. Waktu pekerjaan dari pondasi hingga selesai sekitar tiga bulan, yang dilakukan
secara bergotong royong.
Nilai persatuan juga dapat tergambarkan dalam hal ikatan rotan pada tiap titik pertemuan kayu Mbaru
Niang. Urutan pemilinan tali ikatan dan penyusunan tidak boleh salah karena menurut kepercayaan
mereka hal itu akan mempengaruhi kerukunan dan tali persaudaraan antarsesama maupun keluarga
dalam rumah tersebut.
Nilai Musyawarah

Suku Wae Rebo sudah tidak asing dengan kata musyawarah. Musyawarah pun rutin dilakukan pada saat
pembangunan Mbaru Niang. Musyawarah dilakukan dari sebelum membangun. Musyawarah ini dipimpin
oleh penanggung jawab pembangunan Mbaru Niang bersama tua gendang atau yang disebut pemimpin
adat. Di dalam musyawarah tersebut terdapat seksi-seksi sesuai dengan bidang keterampilan masing-
masing, seperti penganyaman alang-alang, pengadaan dan perakitan ijuk, pengadaan rotan ikat, serta
yang terakhir pengadaan kayu kecil pembentuk lingkaran.
Setelah upacara adat dilakukan, setiap suku yang terlibat masuk dalam seksi bidangnya masing-masing
lalu memulai kegiatan dengan mencari material yang dibutuhkan setelah itu diserahkan kepada ketua
penanggung jawab bangunan. Dibentuknya tatanan seperti ini tentunya mempermudah dalam
pengerjaan perihal efesien waktu. Setelah material sudah dikumpulkan, mereka pun tetap melakukan
musyawarah untuk membicarakan waktu dalam pengangkutan serta pembagian tugas seperti para laki-
laki bertugas memikul beban berat dan ibu-ibu bertugas memasak makanan dalam perjalanan.
Tak hanya itu, pada setiap malamnya akan ada pertemuan untuk membahas
bersama-sama kelanjutan pekerjaan apa yang akan dilakukan keesokan
harinya. Selain itu orang yang lebih tua memberikan pembelajaran lewat
saran atau arahan metode pembangunan kepada yang lebih muda agar
mereka dapat terbayang apa yang harus dikerjakan dan besok hanya perlu
eksekusi.

Nilai Keadilan Sosial


Keadilan sosial dalam Mbaru Niang juga dapat terlihat pada pemerataan
setiap keluarga mendapat satu kamar pada Mbaru Niang untuk tidur dan
beristirahat. Pembagian kamar ini disusun sedemikian rupa sehingga semua
keluarga dalam hidup bersama dalam satu rumah.
Bab III Suku Wae Rebo yang berkembang sejak

Kesimpulan kedatangan Empo Maro di pedalaman Manggarai


pada tahun sekitar 1920 tentu belum mengenal
deklarasi Pancasila tetapi pada kenyataannya
nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan,
kemusyawaratan, dan keadilan sosial sudah
melekat pada suku Wae Rebo.
Dari hasil pemaparan di atas, dapat terlihat
bahwa Wae Rebo mampu menggambarkan nilai
Pancasila. Hal ini pun tidak hanya tercermin
pada kepercayaan dan budaya Wae Rebo, tetapi
juga dapat tercermin pada arsitektur vernakular
Mbaru Niang dari sebelum tahap pembangunan
berlangsung hingga pada tatanan ruang dalam di
rumah tersebut. Mbaru Niang tidak hanya
sebagai rumah tetapi juga sebagai identitas Wae
Rebo yang menggambarkan nilai Pancasila.
Daftar Pustaka

■ Antar, Yori. 2010. Pesan Dari Wae Rebo


■ Pandjaitan, Toga. Interior Architecture Of Vernacular Mbaru Niang Of Wae Rebo
■ Rachmah, H. (2013). Nilai-Nilai dalam Pendidikan Karakter Bangsa yang
Berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. E-Journal WIDYA Non-Eksakta, 1(1).
■ Reinnamah, Darius. 2016. Diambil dari
https://dailyvoyagers.com/blog/2016/09/14/mengenal-sejarah-rumah-adat-
waerebo/ 2018

Anda mungkin juga menyukai