Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

1. Umum
Sebagai falsafah hidup atau pandangan hidup, Pancasila mengandung
wawasan tentang hakikat, asal, tujuan, nilai, dan arti dunia seisinya, khususnya
manusia dan kehidupannya. Falsafah hidup bangsa mencerminkan konsep
secara menyeluruh dengan menempatkan harkat dan martabat manusia sebagai
faktor yang mempunyai fungsi terhadap segala sesuatu yang ada. Ini berarti
wawasan dan nilai yang terkandung dalam Pancasila secara kultural agar
tertanam dalam hati sanubari, watak, kepribadian serta mewarnai kebiasaan
perilaku.
Kelima dasar yang tercakup dalam Pancasila merupakan inti dambaan
yang memberikan makna hidup dan sekaligus menjadi tuntutan serta tujuan
hidup. Tidak hanya itu saja, bahkan menjadi ikiran dasar seluruh peri
kemanusiaan dan kehidupan bangsa. dengan kata lain, Pancasila merupakan
cita-cita moral bangsa Indonesia yang mengikat seluruh warga masyarakat, baik
sebagai perorangan maupun sebagai kesatuan bangsa.
Bangsa Indonesia patut merasa bersyukur bahwa para pendiri bangsa
bersepakat menjadikan lima sila yang digali dari nilai-nilai luhur bangsa
Indonesia untuk ditetapkan sebagai pandangan hidup bangsa, ideologi nasional
dan cita-cita hukum negara. Kandungan dan nilai yang terkandung dalam
Pancsila melekat kepada eksistensi Pancasila itu sendiri.
Nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila itu sendiri merupakan dimensi
paling dalam yang bersifat abstrak dan berkedudukan penting dan paling tinggi.
Fungsi dari kedudukan itu mampu mengintegrasikan perbedaan yang sangat
heterogen.
Dewasan ini, Pancsaila sedang mengalami ujian yang cukup berat terkait
eksistensinya dalam kehidupan bermasyarakat. Perhatian bangsa terhadap
ideologi ini, yang disepakati bahwa dilaman Pancasila terdapat nilai yang harus
diterapkan, diinternalisasikan dan harus mewarnai kegiatan sosial di kehidupan
masyarakat sudah mulai terabaikan. Mulai muncul sikap-sikap acuh tak acuh
dan bahjam mungkin akan muncul kecenderungan untuk meninggalkannya. Hal
ini sangat memprihatinkan, karena nilai-nilai Pancasila sejatinya tidak ada
memiliki unsur negatif yang mampu memecah belah bangsa.
Keprihatinan itu menjadi ancaman jelas bagi bangsa Indonesia yang
majemuk. Apalagi di era globalisasi ini, akses ilmu pengetahuan yang sangat
mudah bahkan mampu menjadi ancaman memudarnya nilai-nilai jika tidak
dikuatkan dan dimantapkan kembali. Mengait dengan pertanyaan kesanggupan
untuk mampu mempertahankan kesepakatan menjaga persatuan,
kelangsungan hidup dalam integrasi nasional dan terlebih dalam era globalisasi
benar-benar tergantung dalam paradigma dan pola pikir dasar bangsa.
Pancasila yang menjadi cerminan bangsa Indonesia, harus tetap
diutamakan sebagai dasar pemikiran dan pemersatu bangsa. Harus ada
kesadaran bangsa untuk tetap waspada terhadap segala bentuk ancaman yang
mampu mengikis eksistensi nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Oleh
karena itu, menjadi penting agar mengimplementasikan nilai-nilai yang
terkandung dalam Pancasila dan tetap sejalan dengan mengimplementasikan
Kewaspadaan Nasional.
2. Maksud dan Tujuan
Buku modul ini disusun dengan maksud memberikan gambaran menganai
pengenalan nilai-nilai kebangsaan yang terkandung dalam falsafah bangsa yaitu
Pancasila yang merupakan bagian dari Empak Konsensus Dasar Bangsa.
Tujuan dari dibuatnya buku modul ini sebagai acuan dalam menyiapkan
bajan ajar bagi kepentingan Narasumber dan sebagai penyegaran demi
mantapnya rasa kebangsaan di kalangan masyarakat terutama para generasi
penerus bangsa.
3. Tata Urut
Tata urut penulisan Modul ini adalah sebagai be rikut :
a. BAB I PENDAHULUAN
b. BAB II NILAI-NILAI PANCASILA
c. BAB III KEWASPADAAN NASIONAL DAN HAKIKAT ANCAMAN
d. BAB IV IMPLEMENTASI NILAI-NILAI KEBANGSAAN YANG
BERSUMBER DARI PANCASILA
e. BAB V PENUTUP
4. Pengertian-Pengertian

a. Pengertian bangsa menurut Ir. Soekarno adalah satu kelompok manusia


yang tinggal di dalam satu kesatuan geopolitik (ruang hidup). Untuk
bangsa Indonesia yang secara kodrati memiliki sifat majemuk dalam
berbagai sisi kehidupannya, jiwa persatuan dan kesatuan bangsa
sangatlah penting.
b. Rasa Kebangsaan, adalah keadaan atau suasana kebatinan bangsa
terhadap (dalam menanggapi) sesuatu; atau juga suatu pertimbangan
pikiran, yang dalam hal ini dicetuskan melalui suatu konsensus atau
kesepakatan antar elemen bangsa, tentang hal-hal baik dan buruk
menyangkut nasib bangsa.
c. Nilai Kebangsaan (Indonesia), adalah norma atau kaidah tentang kebaikan
dalam kaitan berperilaku hidup bersama, yang telah menjadi ajaran moral
dari generasi ke generasi lewat adat dan budaya masyarakat seluruh
wilayah Nusantara.
d. Pemantapan merupakan prsoses, cara, perbuatan memantapkan
(meneguhkan, menjadikan stabi).
e. Kewaspadaan Nasional adalah sikap, berkaitan dengan kesiapan dan
kesiagaan nasional dalam menghadapi ancaman yang akan membahayan
kelangsungan hidup bangsa dan negara
f. Ketahanan Nasional adalah kondisi dinamik bangsa Indonesia yang
meliputi segenap aspek kehidupan nasional dalam menghadapi dan
mengatasi segala tantangan, ancaman, hambatan dan gangguan baik dari
luar maupun dari dala, yang langsung maupun tidak langsung untuk
menjamin identitas, integritas, kelangsungan hidup bangsa dan negara,
serta perjuangan mencapai Tujuan Nasional.
g. Wawasan kebangsaan adalah suatu pandangan atau paham tentang
dinamika/fenomena kehidupan dari kelompok masyarakat yang berhimpun
sebagai suatu bangsa yang memiliki nilai kebangsaan yang sama.
h. Wawasan nasional adalah cara pandang suatu bangsa dalam hidup
bermsayarakat, berbangsa dan bernegara serta dalam hubungan
antarnegara yang merupakan hasil perenungan filsafat tentang diri dan
lingkangan dengan memperhatikan sejarah dan kondisi sosial budayanya.
BAB II
NILAI-NILAI PANCASILA

5. Umum
Sebagai cerminan budaya masyarakat yang telah berabad-abad lamanya
hidup di seluruh wilayah nusantara. Pancasila secara utuh mengandung nilai-
nilai yang sangat positif dan berguna bagi kepentingan membangun kesadaran
akan realitas kemajemukan bangsa, namun sekaligus menyadari satu-nya
identitas diri sebagai bangsa (Indonesia) serta satu-nya harapan dan cita-cita
yang hendak diraih bersama. Nilai-nilai yang terkandung di dalam Pancasila
inilah yang selanjutnya akan menjadi nilai-nilai kebangsaan, yaitu nilai-nilai yang
berperan sebagai ajaran moral yang seharusnya tetap hidup di alam kesadaran
setiap individu, sebagai anggota masyarakat dan warga negara. Kesadaran
moral ini pula yang perlu diwujudnyatakan guna menjaga dan memelihara
persatuan bangsa dan keutuhan serta kedaulatan Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
6. Sejarah Singkat Perjalanan Pancasila
a. Masa Awal dan Kerajaan Nusantara
Nila-nilai yang terkandung dalam Pancasila sudah ada sejak
peninggalan jaman purba, dilihat dari temuan peninggalan-peninggalan
dari para arkeolog. Di masa pra aksara, tepatnya sekitar sebelum abad ke-
3 Masehi, Nilai Ketuhanan saat itu antara lain dapat dilihat upacara
keagamaan, seperti nekara atau gong perunggu yang dapat ditemukan dari
Sumatera sampai Alor, Nusa Tenggara Timur. Selain itu, Nilai
Kemanusiaan juga tersirat dari temuan-temuan seperti patung yang
ditemukan di beberapa daerah. Patung tersebut menggambarkan aktivitas
sosial dan bentuk dari kesadaran untuk mau berpikir lebih maju.
Di sekitar abad ke-5, berdiri kerajaan Tarumanegara, kerajaan Kutai,
dan Kalingga, dibuktikan dengan adanya batu tulis. Di dalam batu tulis
tersebut, tersirat makna Nilai Persatuan, Kerakyatan bahkan Keadilan
Sosial agar rakyat di kerajaan tersebut hidup damai dan makmur.
Kemakmuran bangsa Indonesia semakin meningkat di akhir abad ke-
7. Di Sumatera muncul kerajaan Sriwijaya, disusul dengan Wangsa
Sanjaya dan Syailendra di Jawa. Kerajaan tersebut membangun Candi
Borobudur sebagai candi umat Buddha dan Candi Prambanan sebagai
candi umat Hindu.
Dari Candi tersebut, digambarkan adanya nilai-nilai yang terkandung
di dalamnya yaitu Nilai Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan
hingga Keadilan yang kuat.
b. Masa Penjajahan
Indonesia, sebuah negara dengan keindahan dan kekayaan alam
yang melimpah. Hal ini disebabkan oleh letak dan posisi Indonesia yang
sangat strategis. Dengan keuntungan ini, banyak negara lain yang
mengincar kekayaan alam Indonesia. Awalnya negara-negara lain yang
datang ke Indonesia hanya berniat untuk berdagang. Negara tersebut
seperti Tiongkok, India, Arap, Eropa dan lainnya. Namun, bangsa Eropa
terutama, kemudian mulai menjajah wilayah Nusantara. Hal ini dilakukan
oleh bangsa Portugis, Spanyol, Inggris dan Belanda yang jika
dikalkulasikan sekitar 350 tahun Indonesia berada di bawah kekuasaan
negara lain.
Namun, pada era penjajahan ini, bangsa Indonesia tidak hanya diam
dan pasrah. Banyak perlawanan-perlawanan yang dilakukan, seperti
perlawanan yang dilakukan oleh Sultan Iskandar Muda, Sultan Badaruddin,
Si Singamaraja, Imam Bonjol dalam Perang Paderi, Cut Nyak Dhien dalam
Perang Aceh, Pattimura di Maluku, dan Pangeran Antasari di Kalimantan
yang juga ikut mengangkat senjata untuk melawan penjajah yang datang.
Tidak hanya itu saja di Jawa juga terjadi Perang Diponegoro.
Sedangkan perang laut juga terjadi besar-besaran, seperti yang
dilakukan Sultan Babullah di perairan Maluku dan Papua, Hang Tuah di
Selat Malaka, juga Sultan Hasanuddin di Laut Sulawesi dan Laut Jawa.
Perlawanan tersebut merupakan implementasi dari nilai
kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan nilai lainnya. Ini menjadi bukti
bahwa sebelum dirumuskannya Pancasila, nilai-nilai tersebut sudah
teraplikasi dan menjadi nilai moral bagi bangsa. Juga membuktikan bahwa
Pancasila dibentuk melalui ide yang di dalamnya terdapat ruh dan sejarah
nenek moyang bangsa Indonesia.
c. Masa Kebangkitan Nasional
Abad ke-20, upaya melawan penjajah tidak lagi dengan perang,
melainkan melalui gerakan politik. Dimulai dari didirikannya Budi Utomo
yang diprakarsai Wahidin Sudirohusodo, disusul dengan Serekat Islam dan
Nahdatul Ulama, kemudian didirikannya Indishche Partij yang akhirnya
mengakibatkan Douwes Dekker, Cipto Mangunkusumo dan Ki Hajar
Dewantara diasingkan ke Belanda. Gerakan-gerakan ini dilakukan para
pahlawan saat itu untuk menunjukkan adanya perlawanan secara
intelektual, menunjukkan bahwa tidak semua bangsa Indonesia pasrah
atas kondisi mengenaskan kala itu.
Hingga akhirnya bertemulah para pemuda saat itu dalam Sumpah
Pemuda pada 28 Oktober 1928, untuk mendeklarasikan bahwa bangsa
Indonesia bertumpah darah, berbangsa dan berbahasa yang satu, yaitu
Indonesia.
d. Kelahiran Pancasila
Tahun 1942, Jepang datang menggantikan Belanda sebagai penjajah
dan menjanjikan angin segar kepada Bangsa Indonesia. Namun, sejarah
mencatat bahwa Indonesia bahkan berjuang lebih keras untuk merdeka.
Hasil panen diambil paksa, gadis-gadis diculik dan dijadikan wanita
penghibur tentara Jepang, para pemuda dijadikan Romusha dan disiksa.
Hal ini menyebabkan pemberontakan salah satunya dilakukan oleh
pasukan PETA (Pembela Tanah Air). Tidak hanya itu, para tokoh nasional
juga semakin gigih berusaha untuk Indonesia.
Perjuangan tersebut terbayarkan saat kekuatan Jepang melemah
dalam Perang Dunia II. Tahun 1944, posisi Jepang semakin terdesak,
hingga mencoba merayu bangsa Indonesia dengan menjanjikan
kemerdekaan. Janji tersebut dibuktikan dengan dibentuknya Badan
Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK). Organisasi ini
dibentuk untuk merencanakan persiapan Indonesia untuk merdeka.
a) Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK)
Tanggal 29 Mei sampai 01 Juni 1945, diadakan sidang BPUPK.
BPUPK ini diketuai oleh Radjiman Wedyodiningrat dan
beranggotakan 69 orang, terdiri dari berbagai suku bangsa di
Indonesia, wakil suku keturunan asing dan perwakilan dari Jepang.
Dalam sidang pertama ini, bendera Indonesia dan Jepang dikibarkan
bersama. Pengibar bendera Indonesia adalah wakil dari Jepang dan
begitu pula sebaliknya.
Dalam sidang tersebut, banyak tokoh yang menyampaikan
pidatonya, seperti Muhammad Yamin, Supomo dan Ir. Soekarno pada
hari terakhir. Dalam pidatonya, Ir. Soekarno menyampaikan ada lima
dasar negara, pertama Kebangsaan Indonesia. Kedua
Internasionalisme atau Perikemanusiaan. Ketiga, mufakat atau
demokrasi. Keempat, kesejahteraan sosial dan kelima, ketuhanan
Yang Maha Esa.
Dalam pidato tanggal 1 Juni 1945 inilah Soekarno mengusulkan
nama Pancasila sebagai dasar negara. Pancasila berasal dari
“Panca” yaitu berarti “Lima” dan “Sila” yang artinya “Asas atau Dasar”.
Sehingga secara bahasa, Pancasila diartikan Lima Dasar.
Hal ini menjadi dasar bahwa lahirnya Pancasila sudah
ditetapkan pada tanggal 1 Juni, sehinga tidak ada lagi Pancasila-
Pancasila lain yang menjadi dasar negara selain Pancasila yang
telah di tetapkan melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia
Nomor 24 Tahun 2016 tentang Hari Lahir Pancasila.
b) Panitia Sembilan
Sesuai dengan nama Pancasila, isi dari Pancasila itu sendiri
merupakan lima dasar dan harus dirumuskan kembali. Sehingga
dibentuklah panitia sembilan yang terdiri dari Ir. Soekarno sebagai
ketua, Mohammad Hatta sebagai wakil, Mohammad Yamin, Ahmad
Subarjo, AA Maramis, Abdulkahar Muzakir, Agus Salim, Abikunso
Cokrosuyoso serta Adul Wahid Hasyim.
Ke-sembilan tokoh ini berdikskusi merumuskan dasar negara
yang kuat. Sebagian menyampaikan teori berdasarkan pendekatan
agama, sebagian dari pendekatan kebangsaan. Hingga tanggal 22
Juni 1945, pada malam harinya, panitia sembilan menyepakati urutan
lima sila. Urutan ini semula mengikuti ide dari Ir. Soekarno yaitu sila
kebangsaan, kemanusiaan, demokrasi, kesejahteraan dan
ketuhanan. Namun, saat itu dirumuskan kembali untuk merubah
urutan menjadi, sila pertama ketuhanan, sila kedua yaitu
kemanusiaan. Sila ketiga persatuan. Sila keempat yaitu kerakyatan
mencakup musyawarah atau demokrasi. Dan keadilan atau
kesejahteraan menjadi sila kelima.
Selanjutnya pada diskusi tersebut, semua panitia sepakat
rumusan Pancasila saat itu yaitu “Ketuhanan, dengan kewajiban
menjalan kan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya; Kemanu sia an
yang adil dan beradab; Persatuan Indonesia. Kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam per musyawaratan/per
wakilan. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”
Rumusan tersebut dimasukan ke dalam mukadimah atau
pembukaan dasar hukum tertulis negara. Naskah tersebut disebut
Piagam Jakarta atau Jakarta Charter.
Dalam sidang kedua yaitu tanggal 10-14 Juli 1945, BPUPK
membahas Rancangan Dasar sebagai hukum tertulis yang hasilnya
menjadi Undang-Undang Dasar negara Indonesia. Piagam Jakarta
yang telah dirumuskan, menjadi pembuka dari undang-undang dasar
tersebut. Dengan selesainya rancangan dan pondasi awal menuju
kemerdekaan, maka dibubarkan organisasi BPUPK.
c) Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI)
Tanggal 6 Agustus 1945, Pasukan Sekutu yaitu Amerika Serikat,
Inggris, Belanda, dan negara lainnya membom atom kota Hiroshima,
Jepang. Hal ini membuat Jepang dan kekaisarannya panik. Namun,
demi memperkuat dan memperjelas kekuatannya, Jepang memaksa
ketiga tokoh nasional yakni Ir. Soekarno, Moh. Hatta dan Radjiman
Wedyodiningrat untuk berunding di Vietnam, tepatnya di Kota Ho Chi
Minh. Namun, pada 9 Agustus 1945 saat para tokoh sedang
diperjalan, Kota Nagasaki di Jepang kembali di bom atom. Tentunya
menyebabkan kekalahan luar biasa bagi Jepang. Karena dua kota
Jepang saat itu habis diratakan oleh Pasukan Sekutu.
Jepang yang saat itu sudah benar-benar terdesak, masih
berusaha memperlihatkan kekuasaannya di Indonesua dengan
menjanjikan kemerdekaan dan seknarionya akan dibuat seolah-olah
Indonesia akan berhutang budi kepada Jepang demi kemerdekaan
yang disebut. Dan janji kemerdekaan tersebut dapat diberikan setelah
tanggal 24 Agustus 1945. Dalam perundingan tersebut, Jepang
membentuk organisasi untuk mempersiapkan kemerdekaan, yakni
Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).
Dalam proses perundingan tersebut, kondisi di Indonesia sudah
berstatus vacuum of power atau kekosongan kekuasaan, karena
semua petinggi dan tentara Jepang terpaksa kembali ke negaranya.
Dalam status kekosongan kekuasaan tersebut PPKI yang saat itu
diketuai oleh Ir. Soekarno, akan melaksanakan sidang pertama pada
tanggal 16 Agustus 1945. Namun, para tokoh pemuda seperti
Wikana, Khairul Saleh mendesak agar kemerdekaan Indonesia
dilaksanakan secepatnya. Sehingga terjadilah peristiwa
Rengasdengklok. Peristiwa tersebut membawa Bangsa Indonesia
menuju pintu gerbang kemerdekaan. Pada 17 Agustus 1945, Ir.
Soekarno dan Muh. Hatta mewakilkan bangsa Indonesia untuk
memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.
Setelah diproklamasikannya kemerdekaan, banyak tokoh
khususnya tokoh yang berasal dari wilayah timur Indonesia yang
meminta Moh. Hatta untuk merubah sila pertama yang pada awalnya
“Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi
pemeluk-pemeluknya” agar diubah, karena tidak semua warga
wilayah bagian timur Indonesia beragama Islam.
Setelah Moh. Hatta berdiskusi dengan tokoh-tokoh Islam,
akhirnya disepakati sila pertama diubang menjadi “Ketuhanan Yang
MahaEsa”, sehingga Rumusan Pancasila berubah menjadi :
1) Ketuhanan Yang Maha Esa
2) Kemanusiaan yang adil dan beradab
3) Persatuan Indonesia
4) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/ perwakilan
5) Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
7. Hakikat Nilai-Nilai Pancasila
Esensi nilai- nilai kebangsaan yang bersumber dari falsafah bangsa
Pancasila, apabila ditelaah secara menyeluruh, dapat ditemukan sebagai
berikut :
Nilai religius dalam keterkaitan individu dengan sesuatu yang
dianggapnya memiliki kekuatan sakral, suci, agung dan mulia. Memahami ke-
Tuhanan sebagai pandangan hidup adalah mewujudkan masyarakat yang
berke-Tuhanan, yakni membangun masyarakat Indonesia yang memiliki jiwa
maupun semangat untuk mencapai ridho Tuhan dalam setiap perbuatan baik
yang dilakukannya. Nilai Religius, memiliki nilai - nilai spiritual yang tinggi
berdasarkan agama dan keyakinan yang dipeluknya dan memiliki toleransi
yang tinggi terhadap pemeluk agama dan keyakinan lain yang tumbuh serta
diakui di Indonesia; ini konsekuensi dari nilai religius dan mengakui adaya
Tuhan Yang Maha Esa;
Nilai Kekeluargaan, memiliki nilai - nilai kebersamaan dan senasib
sepenanggungan dengan sesama warga negara tanpa membedakan asal usul,
keyakinan dan budaya; ini adalah konsekuensi dari bangsa yang bersifat
majemuk. Nilai kekeluargaan yang terkandung dalam Pancasila, dalam nilai ini
terkandung adanya pengakuan bahwa bangsa Indonesia merupakan satu
keluarga besar yang memiliki perasaan senasib, sepenanggungan, mengalami
ujian dan penderitaan berupa penjajahan yang sama di masa lalu. Antara
individu yang satu dengan individu yang lain diikat oleh kesamaan sebagai
bangsa Indonesia. Karena itu kedudukan mereka adalah sama dan sederajat,
serta harus diperlakukan secara adil dan beradab sesuai dengan cita rasa
kemanusiaan;
Nilai keselarasan, memiliki kemampuan beradaptasi dan kemauan
untuk memahami serta menerima budaya daerah atau kearifan lokal sebagai
konsekuensi dari bangsa yang bersifat plural/majemuk, itulah bangsa Indonesia.
Selaras atau harmoni adalah keadaan yang menggambarkan keteraturan,
ketertiban, ketaatan karena masing-masing unsur yang terlibat melaksanakan
peran dan fungsi secara tepat, sehingga timbul rasa nikmat dalam suasana
damai. Manakala keselarasan telah melingkupi sendi-sendi kehidupan
masyarakat, mustahil terjadi perilaku kehidupan yang menyimpang dari norma-
norma kehidupan yang harmonis.;
Nilai Kerakyatan, pada hakekatnya nilai-nilai Religiusitas, kekeluargaan
dan keselarasan hanya mampu mengembangkan dirinya masing-masing ketika
kesemuanya bersintesis dalam wujud diri sebagai nilai kerakyatan. Sintesis ini
demikian ketika berwujud diri dalam nilai kerakyatan, maka pada satu titik
puncak kulminasi kehidupan idealis bermasyarakat, berbangsa dan bernegara
mencerminkan dua kandungan nilai inheren dalam sebuah wadah nation-state
yaitu nilai esoterisme dan nilai eksoterisme. Rakyat merupakan kandungan jiwa
atau roh (esoterisme) dalam sebuah raga/badan ( eksoterisme ) yang disebut
sebagai negara. Di dalam rakyat, muatan nilai religiusitas, kekeluargaan dan
keselerasan sebagai bagian dari penyatuannya terhadap alam makrokosmos.
Nilai kerakyatan juga memiliki sifat keberpihakan kepada rakyat Indonesia
didalam merumuskan dan mengimplementasikan suatu kebijaksanaan
pemerintah negara, yang datang dari rakyat untuk rakyat sebagi perwujudan
dari kedaulatan rakyat;
Nilai Keadilan, memiliki kemampuan untuk menegakkan dan berbuat adil
bagi seluruh rakyat tanpa terkecuali, serta mampu memeratakan kesejahteraan
kepada semua warga bangsa. Kondisi kebenaran ideal secara moral mengenai
sesuatu hal, baik menyangkut benda atau orang. Menurut sebagian besar teori,
keadilan memiliki tingkat kepentingan yang besar. John Rawls, filsuf Amerika
Serikat yang dianggap salah satu filsuf politik terkemuka abad ke-20,
menyatakan bahwa "Keadilan adalah kelebihan (virtue) pertama dari institusi
sosial, sebagaimana halnya kebenaran pada sistem pemikiran". Tetapi, menurut
kebanyakan teori juga, keadilan belum lagi tercapai: "Kita tidak hidup di dunia
yang adil". Kebanyakan orang percaya bahwa ketidakadilan harus dilawan dan
dihukum, dan banyak gerakan sosial dan politis di seluruh dunia yang berjuang
menegakkan keadilan. Banyaknya jumlah dan variasi teori keadilan memberikan
pemikiran bahwa tidak jelas apa yang dituntut dari keadilan dan realita
ketidakadilan, karena definisi apakah keadilan itu sendiri tidak jelas. Keadilan
intinya adalah meletakan segala sesuatunya pada tempatnya
BAB III
KEWASPADAAN DAN ANCAMAN NASIONAL

8. Umum
Kewaspadaan Nasional adalah bentuk konsekuensi dari kehidupan
nasional. Sistem nasional yang dijalankan selama ini adalah sistem kehidupan
nasional dalam rangka menjamin kelangsungan hidup bangsa dan negara.
Terjaminnya kelangsungan hidup bangsa dan negara merupakan kepentingan
nasional (national interest) yang mempunyai nilai paling vital (core values).
Oleh karenanya untuk menjamin kelangsungan hidup bangsa dan negara
diperlukan Kewaspadaan Nasional. Menghadapi era globalisasi, ancaman
terhadap kelangsungan kehidupan bangsa dan negara semakin kompleks.
Terlebih bagi bangsa yang multikultural, bangsa yang majemuk seperti
Indonesia.
9. Sejarah Singkat Perjalanan Kewaspadaan Nasional
Perjalanan sejarah bangsa adalah perjuangan bangsa dalam menjalani
kehidupannya sejak merebut dan mempertahankan kemerdekaan dari tangan
penjajah hingga mengisi kemerdekaan pasca proklamasi saat ini.
Dibandingkan dengan menghadapi ancaman di era merebut dan
mempertahankan kemerdekaan, di era mengisi kemerdekaan pasca
proklamasi jauh lebih sulit. Seperti dikatakan Bung Karno bahwa ancaman dari
sesama anak bangsa jauh lebih sulit dibandingkan menghadapi bangsa lain.
Jas Merah yang berarti jangan sekali-kali meninggalkan sejarah, adalah
pidato populer Bung Karno dalam rangka memperingati HUT RI ke 21
tanggal 17 Agustus 1966 yang mengingatkan hal itu. Sejarah mengingatkan,
seperti dikatakan Bung Karno, bahwa konflik sesama anak bangsa terus
mewarnai sejarah perjalanan bangsa dalam rangka mengisi kemerdekaannya,
“Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, tapi perjuanganmu
akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri.” Kata Bung Karno.
Bangsa Indonesia mengalami pergulatan ide dalam mengisi
kemerdekaannya yang masing-masing pihak ingin mempertahankan pemikiran
dasar ideologinya dalam mengisi kemerdekaan itu. Akibatnya dimana-mana
muncul secara fluktuatif konflik vertical menghadapi pemerintah dengan
melakukan pemberontakan bersenjata, bahkan upaya coup d’etat. Kondisi
seperti inilah yang mewarnai sejarah perjalanan Bangsa Indonesia sesaat
setelah proklamasinya tanggal 17 Agustus 1945. Residu pergulatan ide pada
saat berlangsungnya sidang BPUPKI maupun PPKI tahun 1945 yang belum
tuntas, berlanjut dilapangan dalam bentuk konflik vertical maupun horizontal
antar sesama anak bangsa. Suatu kondisi yang masih berlaku hingga saat ini,
dan perlu disikapi dengan menggunakan konsep kewaspadaan nasional.
Sejarah menjadi pelajaran penting bagi kita semua dalam menjalankan
konsep Kewaspadaan Nasional kedepan karena sejarah tidak hanya sekedar
masa lampau, tetapi juga proyeksi masa depan. Kita tidak boleh dan bukan
keledai yang bisa jatuh berkali-kali di lubang yang sama. Keterhambatan dalam
mengisi kemerdekaan ini hanya karena konflik sesama anak bangsa yang tidak
kunjung usai. Berulang dan berulang lagi, pada masalah yang sama yang
membuat persatuan dan kesatuan kita selalu mengalami masalah. Persatuan
dalam menjalankan konsensus dasar serta kesatuan dalam menjaga hubungan
pusat dan daerah sebagai negara kesatuan dalam wadah NKRI.
Seharusnyalah konsep Kewaspadaan Nasional bisa dijadikan pegangan
bersama kita untuk tidak mau menjadi bangsa keledai yang tidak pernah kapok
jatuh dilobang yang sama.dalam menjalani kehidupan nasionalnya.
Permasalahannya; Bagaimana menjalankan konsep Kewaspadaan Nasional
kedepan melalui pemahaman tentang hakekat ancaman untuk mengantisipasi
konflik social sesama anak bangsa.

10. Hakikat Ancaman


Ancaman diartikan sebagai sebuah kondisi, tindakan, potensi, baik
alamiah atau hasil suatu rekayasa, berbentuk fisik atau nonfisik, berasal dari
dalam atau luar negeri, secara langsung atau tidaklangsung, diperkirakan atau
diduga atau yang sudah nyata, yang dsapat membahayakan tatanan serta
kelangsungan hidup bangsa dan negara dalam rangka pencapaian tujuan
nasionalnya. Pengertian tersebut sudah tentu diharapkan sebagai pengertian
yang mencakup arti ancaman, gangguan, hambatan dan tantangan yang
dipedomani sebagai berikut:
a. Ancaman, adalah tindakan, potensi, atau kondisi yang mengandung
bahaya dan bersifat konseptual, baik tertutup maupun terbuka, yang
bertujuan untuk mengubah Pancasila dan UUD 1945 dan
menggagalkan Pembangunan Nasional.
b. Gangguan, adalah potensi atau kondisi yang mengandung bahaya dan
tidak bersifat konseptual, dan berasal dari luar diri sendiri yang bersifat
merongrong pengamalan, mengurangi kernurnian pelaksanaan UUD
1945 dan mengurangi kelancaran Pembangunan Nasional.
c. Hambatan, adalah tindakan, potensi atau kondisi yang mengandung
bahaya dan tidak konseptual dan berasal dari dalam diri sendiri, dalam
arti tidak mengamalkan Pancasila, menentang UUD 1945 dan idak
berpartisipasi dalam pembangunan nasional.
d. Tantangan, adalah tindakan, potensi atau kondisi baik dari luar maupun
dari dalam diri sendiri yang membawa masalah untuk diselesaikan
serta dapat menggugah kemampuan diri.
Berdasarkan analisa strategis dan identifikasi terhadap hakikat
ancaman yang sangat dinamis, sehingga memungkinkan terjadinya
penggabungan berbagai jenis ancaman. Karenanya, ancaman saat ini dan
masa depan dapat digolongkan menjadi tiga jenis yaitu ancaman militer baik
bersenjata maupun tidak bersenjata, ancaman nonmiliter, dan ancaman
hibrida.
Sumber ancaman dapat berasal dari dalam maupun luar negeri, serta
dilakukan oleh aktor negara maupun nonnegara, yang bersifat nasional,
regional dan internasional.
Adapun dampak yang ditimbulkan meliputi segala aspek kondisi sosial
terdiri atas ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan dan
keamanan. Sesuai dengan prediksi dan prioritasnya maka ancaman-
ancaman tersebut dikategorikan dalam bentuk ancaman nyata dan belum nyata.
Ancaman nyata merupakan ancaman yang sering terjadi dan dihadapi setiap
saat, dapat berasal dari dalam negeri maupun luar negeri yang dinilai
membahayakan kedaulatan negara, keutuhan wilayah dan keselamatan
segenap bangsa.
Ancaman nyata merupakan bentuk ancaman yang menjadi prioritas dalam
penanganannya, meliputi :
a) Terorisme dan radikalisme
b) Separatisme dan pemberontakan bersenjata
c) Bencana alam
d) Pelanggaran dan pencurian kekayaan alam
e) Wabah penyakit
f) Serangan siber dan spionase
g) Peredaran dan penyalahgunaan narkoba.
Ancaman Belum Nyata, merupakan bentuk ancaman berupa
konflikterbuka atau perang konvensional, dimana yang berhadapan adalah
kekuatan angkatan bersenjata kedua negara, saat ini dan ke depan
kemungkinannya masih kecil terjadi terhadap Indonesia. Hal ini dipertegas
melalui piagam PBB, bahwa semua negara di dunia berkomitmen untuk saling
menghormati kedaulatan dan kepentingan nasional masing-masing. Meskipun
demikian, sebagai bangsa yang memiliki potensi luar biasa, kewaspadaan
harus tetap dijaga mengingat bentuk ancaman bersifat dinamis, serta dapat
berubah menjadi ancaman nyata ketika kepentingan nasional dan kehormatan
negara terusik.
Ancaman itu sendiri dapat berasal dari luar dan dalam negeri. Kedua-
duanya selalu memiliki keterkaitan dan saling mempengaruhi sehingga sulit
untuk dapat dipisahkan. Ancaman (keamanan) tradisional yang datangnya dari
luar negeri adalah invasi atau agresi dari negara lain. Berdasarkan
perkiraan, ancaman dalam bentuk ini kecil kemungkinannya. Oleh karena itu
perkiraan ancaman yang lebih memungkinkan adalah ancaman non tradisional
(non traditional threat)1 yaitu setiap aksi yang mengancam kedaulatan negara,
keutuhan wilayah, serta keselamatan bangsa dan negara kesatuan RI.
Ancaman yang paling mungkin dari luar negeri terhadap Indonesia adalah
kejahatan yang terorganisir yang dilakukan oleh aktor-aktor non negara untuk
memperoleh keuntungan dengan memanipulasi kondisi dalam negeri dan
keterbatasan aparatur pemerintah.

1
Tentang hal ini banyak dibahas dalam Buku Developmen,Migration and Security in East Asia, People’s
Movemen and Non-Traditional Security Challenges in a Changing East Asia, edited by Dewi Fortuna Anwar The
Habibie Center (THC)
BAB IV
PENGENALAN NILAI-NILAI KEBANGSAAN YANG BERSUMBER DARI
PANCASILA

11. Umum
Globalisasi memacu dinamika perkembangan lingkungan strategic
berubah secara cepat, membuka ruang berbagai dimensi yang bukan hanya
menawarkan peluang dan kendala saja akan tetapi juga tantangan dan tuntutan..
Untuk menghadapi dinamika global tersebut kewaspadaan nasional menjadi
kunci jawaban mutlak untuk menjaga persatuan dan kesatuan bangsa,
kedaulatan serta martabat nasional serta dalam menghadapi derivasi
berbagai ancaman global. Untuk menjamin kelangsungan hidup bangsa maka
kewaspadaan nasional harus tertanam dibenak segenap bangsa Indonesia
sehingga dapat menangkal segala bentuk ancaman, gangguan, hambatan dan
tantangan dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dengan selalu
dilandasi dengan nilai-nilai yang terkandung pada Pancasila.

12. Nilai-Nilai Kebangsaan yang Bersumber dari Pancasila dikaitkan dengan


Kewapadaan Nasional

Sebagaimana telah disampaikan uraian pada poin 7, bahwa nilai-nilai


kebangsaan bersumber dari Nilai-Nilai Pancasila yaitu nilai religius, nilai
kekeluargaan, nilai keselarasan, nilai kerakyatan dan nilai keadilan, dengan
semakin mantapnya Pancasila diterima secara teori sebagai dasar dan ideologi
negara, maka tugas ke depan yang sangat menantang adalah menerjemahkan
nilai-nilai agungnya itu ke dalam realitas konkret. Sekali tujuan ini menjadi
kenyataan secara berangsur tapi pasti, maka kemajemukan bangsa yang
sangat kaya akan adat dan budaya dijadikan kekuatan dahsyat untuk
menciptakan sebuah negara Indonesia yang berdaulat, memiliki harga diri,
adil dan sejahtera demi terwujudnya sebuah Indonesia baru yang sehat,
demokratik dan punya martabat dalam tataran global.
Berbicara mengenai dunia global, pada era globalisasi ini membawa angin
perubahan berupa kebebasan dan keterbukaan. Kemudahan informasi
membuka wawasan yang awalnya sempit menjadi sangat luas. Namun,
perubahan ini tentunya memabawa dampak baik dari sisi positif maupun negatif.
Menurut Deal & Kennedy ada tujuh budaya yang memberikan pengaruh negatif
dari globalisasi, sebagai berikut :
a. Ketakutan
b. Sangkalan
c. Kepentingan Pribadi
d. Mencela
e. Ketidak Percayaan
f. Anomi
g. Mengedepankan kelompok
Hal tersebut di atas merupakan permasalahan bangsa yang terjadi
disebabkan pengaruh dari Luar. Adapun secara umum permasalahan bangsa
yang dipengaruhi dari Dalam yaitu sebagai berikut :
a. Egoisme
b. Disiplin yang relatif rendah
c. Komitmen Kebangsaan yang masih kurang
Permasalahan seperti di atas sangat umum terjadi, hingga menjadi
ancaman dan perlu untuk diwaspadai. Hal-hal seperti diatas adalah contoh kecil
yang mampu merusak keutuhan bangsa. sehingga perlu ada upaya-upaya untuk
mencegah dan mengatasi masalah bangsa ini.
Untuk dapat menyikapi masalah bangsa sebagaimana gambaran diatas
perlu suatu tindakan yang dilandasi kesadaran kebangsaan yang kuat.
Tindakan dimaksud dapat digolongkan menjadi dua bagian yang termasuk
ke dalam tataran Kebijaksanaan strategis yang merupakan peran dan
tanggungjawab negara, serta tataran Pengembangan Tata Kehidupan
Bermasyarakat yang menjadi tanggungjawab sosial dari setiap anggota
masyarakat.
a. Kebijakan Strategis
1) Membenahi sistem pendidikan secara menyeluruh dan utuh,
dalam arti menyeimbangkan antara pembangunan intelektualitas
dengan pembangunan karakter kebangsaan Indonesia. Agar
dengan demikian mampu melahirkan generasi yang benar-benar
cerdas dan tercerahkan. Generasi yang memiliki cita-rasa
kelndonesiaan yang handal, sekaligus memiliki tanggungjawab
sosial yang tinggi. Sistem pendidikan harus memberi akses
seluas-luasnya bagi rakyat dimana pun untuk mendapatkan
kesempatan meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan, serta
membangun kepribadiannya.
2) Terus mengupayakan tegaknya hukum nasional serta kesadaran
hukum pada segenap individu masyarakat. Kedua hal tersebut
adalah faktor utama pembentuk suasana kehidupan masyarakat
yang tertib dan damai. Lebih dari hal itu adalah bahwa suasana
tertib
3) Menegaskan kembali komitmen kebangsaan melalui kemauan
politik yang kuat, serta secara khusus melalui peraturan
perundangundangan untuk mengutamakan penggunaan bahasa
Indonesia, baik tulis maupun lisan, dalam segenap tata kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
4) Terus menyosialisasikan nilai-nilai kebangsaan Indonesia yang
terkandung di dalam keempat Konsensus Dasar Nasional
Indonesia (Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia, NKRI, dan sesanti Bhineka Tunggal lka), demi
memantapkan rasa dan semangat kebangsaan di segenap elemen
masyarakat sebagai landasan moral membangun bangsa dan
Negara Indonesia, sekaligus memantapkan ketahanan diri terhadap
bahaya radikalisme.
5) Menggalakkan perilaku keteladanan di kalangan pemimpin dan
tokoh pada tingkat nasional sampai pada tingkat lokal, dalam
menjalankan perilaku hidup sebagai wujud pernerapan nilai-nilai
kebangsaan.
b. Pengembangan Kehidupan Bermasyarakat
a) Mengembangkan dan memantapkan format-format komunikasi
antar anggota/tokoh masyarakat untuk menguatkan interaksi sosial
dan saling percaya di kalangan akar rumput.
b) Mendayagunakan secara optimal lembaga-lembaga masyarakat,
baik yang berciri daerah atau pun agama untuk mengembangkan
sikap toleransi lintas daerah, lintas budaya maupun lintas agama.
Disamping itu, untuk mengembangkan inovasi dan kreativitas yang
berbasis nilai-nilai lokal.
BAB V
PENUTUP

Bahan Ajar ini hanya merupakan acuan bahasan yang bersifat ringkas dan
umum yang dapat dikembangkan dalam bentuk diskusi maupun pembahasan yang
lebih lengkap sesuai konteks kasus atau peristiwa menyangkut . Disamping itu,
naskah ini juga sebagai bahan dasar pemahaman yang bisa dikembangkan sesuai
current issue atau curent affair dari perkembangan yang terjadi yang membawa
dampak ancaman terhadap kelangsungan kehidupan nasional.

Anda mungkin juga menyukai