supraventricular tachycardias
atrial fibrilasi (AF)
flutter atrium
paroksismal takikardia supraventrikular
(PSVT)
ATRIAL FIBRILASI (AF)
Walaupun bukan merupakan keadaan yang mengancam jiwa secara langsung, tetapi AF
berhubungan dengan peningkatan angka morbiditas dan mortalitas.
AF merupakan faktor risiko independen yang kuat terhadap kejadian strok emboli.
Kejadian strok iskemik pada pasien AF non valvular ditemukan sebanyak 5% per tahun, 2-
1 kali lebih banyak dibandingkan pasien tanpa AF.
Klasifikasi
AF paroksismal bila AF < dari 7 hari. Lebih kurang 50% AF paroksismal akan kembali ke
irama sinus secara spontan dalam waktu 24 jam. AF yang episode pertamanya kurang dari
48 jam juga disebut AF paroksismal.
AF persisten bila AF menetap lebih dari 48 jam tetapi kurang dari 7 hari. Pada AF persisten
diperlukan kardioversi untuk mengembalikan ke irama sinus.
AF kronik atau permanen bila AF berlangsung lebih dari 7 hari. Biasanya dengan
kardioversi pun sulit sekali untuk mengembalikan ke irama sinus (resisten).
AF
Rate control merupakan penatalaksanaan yang penting bagi atrial fibrilasi pada saat akut
maupun kronik. Dengan
memperbaiki fungsi mekanik,
menurunkan respon ventrikel,
memperbaiki pengisian ventrikel, dan
menurunkan kebutuhan oksigen miokardial, fungsi hemodinamik dapat menjadi lebih stabil.
beta blocker (bisoprolol, esmolol, dan propanolol) atau CCB non dihidropiridin (diltiazem,
verapamil).
Digoxin selama ini banyak digunakan untuk mengontrol laju ventrikel selama atrial
fibrilasi. Namun, berdasarkan penelitian-penelitian saat ini dikatakan bahwa digoxin
kurang efektif dalam mengontrol laju ventrikel, khususnya pada atrial fibrilasi paroksismal
atau akut. Digoxin tidak dianjurkan sebagai terapi awal pasien atrial fibrilasi yang aktif
karena onset kerjanya 1 jam setelah administrasi dan kadar puncak baru tercapai dalam 6
jam. Beta blocker, diltiazem dan verapamil dinilai lebih superior dibandingkan dengan
digoxin dalam mengontrol laju ventrikel
Berikut adalah pilihan obat untuk rate control pada atrial fibrilasi:
Propanolol 1 mg intravena bolus pelan dalam 1 menit, hingga 3 dosis dengan interval 2 menit
Propranolol 10-40 mg sebanyak 3-4 kali per hari secara oral
Bisoprolol 2,5-10 mg satu kali per hari
Esmolol 500 mcg/kgBB intravena bolus pelan dalam 1 menit, kemudian 50-300 mcg/kgBB/menit
intravena
Diltiazem 120-360 mg per oral satu kali diberikan saat di IGD
Diltiazem 0,25 mg/kgBB intravena bolus pelan dalam 2 menit, kemudian 5-15 mg/jam
Verapamil 180-480 mg per oral satu kali diberikan saat di IGD
Verapamil 0,075 -0,15 mg/kgBB intravena bolus pelan dalam 2 menit, dapat dilanjutkan dengan
10 mg setelah 30 menit jika tidak berespon, kemudian 0,005 mg/kgBB/menit melalui infus
Digoxin 0,25 mg intravena dapat diulangi hingga 1,5 mg dalam 24 jam
Digoxin 0,125-0,25 mg satu kali per hari
Kontrol Irama
antitrombotik mencegah stroke pada Px AF. Antikoagulan (antagonis vitamin K dan antikoagulan
baru) dan antiplatelet digunakan pada pasien AF. Antagonis vitamin K (warfarin atau coumadin)
merupakan antikoagulan yang paling umum digunakan untuk pencegahan stroke pasien atrial
fibrilasi. Beberapa antikoagulan baru, seperti dabigatran, rivaroxaban, dan apixaban merupakan
pilihan terapi yang dapat diberikan untuk menghambat thrombin secara langsung atau menghambat
faktor Xa.
Berikut ini adalah pilihan obat antikoagulan yang dapat digunakan untuk mencegah
tromboembolisme :
Warfarin 5-10 mg per hari secara intravena bolus pelan dalam 1-2 menit, kemudian dosis rumatan 3-9 mg per
hari
Warfarin 5-10 mg per hari per oral, kemudian dosis rumatan 3-9 mg per hari
Apixaban 5 mg dua kali sehari, atau 2,5 mg dua kali sehari jika kadar kreatinin pasien >1,5 mg/dL atau pasien
berusia > 80 tahun atau dengan berat badan < 60 kg
Dabigatran 150 mg dua kali sehari, atau 75 mg dua kali sehari jika klirens kreatinin 15-30 mL/menit
Rivaroxaban 20 mg per hari, atau 15 mg per hari jika klirens kreatinin 15-50 mL/menit.
Kardioversi Elektrik
strategi kendali irama pada saat fase akut AF yang tidak stabil atau tidak respon terhadap
terapi obat-obatan. Keberhasilan dari tindakan kardioversi ini mencapai 80-96%.
Kardioversi dilakukan dengan memberikan syok elektrik yang tersinkronisasi secara
langsung ke kompleks QRS untuk mencegah fibrilasi ventrikel. Kardioversi elektrik
dengan arus bifasik lebih dipilih dibandingkan dengan arus monofasik, biasanya diberikan
dengan kekuatan 120-200 Joule.
dilakukan dengan pasien disedasi menggunakan propofol atau midazolam. Saat melakukan
kardioversi, tekanan darah dan saturasi oksigen pasien harus terus dipantau.
Pada pasien atrial fibrilasi yang tidak stabil, kardioversi harus segera dilakukan. Pada
pasien yang stabil, kardioversi dilaporkan cukup aman dilakukan dalam waktu < 24 jam
setelah onset atrial fibrilasi pada pasien yang belum mendapat antikoagulan.
Terapi Ablasi