Anda di halaman 1dari 27

IMS

INFEKSI MENULAR SEKSUAL


DEFINISI

Infeksi Menular Seksual (IMS) adalah infeksi yang penularannya


terutama melalui hubungan seksual yang mencakup infeksi yang
disertai gejala-gejala klinis maupun asimptomatis. Penyebab infeksi
menular seksual ini sangat beragam dan setiap penyebab tersebut
akan menimbulkan gejala klinis atau penyakit spesifik yang
beragam pula.
(Centers for Disease Control and Prevention, 2009).
ANATOMI DAN FISIOLOGI ORGAN GENITAL WANITA
Vagina
Vagina dimulai dari serviks uteri sampai ke introintus pada vestibulum, yang merupakan batas
antara struktur genital interna dan eskterna.

Serviks
Serviks merupakan salah satu organ reproduksi wanita yang terletak di bagian bawah rahim,
yang menghubungkan rahim dengan vagina.Dari hasil pengukuran diperoleh panjang dari
serviks yaitu 8 cm dan dengan diameter 4,5 cm.

Rahim (uterus)
Rahim atau Uterus terletak di tengah – tengah panggul dan secara struktur dibagi menjadi
badan atau korpus, dan serviks. Uterus memiliki beberapa bagian :
oKorpus Uteri, yaitu bagian yang berbentuk seperti segitiga pada bagian atas
oServiks uteri, yaitu bagian yang berbentuk seperti silinder
oFundus Uteri, yaitu bagian korpus yang terletak di atas kedua pangkal tuba fallopii.
Ovarium
Ovarium adalah kelenjar reproduksi utama pada wanita yang berfungsi untuk menghasilkan
ovum (Sel telur) dan penghasil hormon seks utama. Ovarium berbentuk oval, dengan panjang
2,5 – 4 cm.  Terdapat sepasang Ovarium yang terletak di kanan dan kiri, dan dihubungkan
dengan rahim oleh tuba fallopi.

Tuba fallopii
Tuba fallopii adalah penghubung ovarium dengan uterus dan bermuara ke dalam rongga
uterus. Tuba Fallopi (Oviduk)  terdiri atas 4 bagian :
oInfundibulum, yaitu bagian berbentuk seperti corong yang terletak di pangkal dan memiliki
Fimbriae. Fimbriae berfungsi untuk menangkap ovum
oPars ampularis, yaitu bagian agak lebar yang merupakan tempat bertemunya ovum dengan
sperma (Pembuahan/fertilisasi)
oPars Ismika, yaitu bagian tengah tuba yang sempit
oPars Interstitialis, yaitu bagian tuba yang letaknya dekat dengan uterus.
(Price dan Wilson, 2005).
PATOFISIOLOGI

Mekanisme penyebaran
▪ Trichomonas vaginalis biasa ditularkan
melalui hubungan seksual.
▪ Organisme dapat bertahan hidup
selama 45 menit di tempat dudukan
toilet, baju mandi, pakaian dan air
hangat.
▪ Penularan perinatal ditemukan sekitar
5% dari ibu yang terinfeksi
trichomoniasis, tetapi biasanya ‘self-
limited’ oleh karena metabolisme dari
hormon ibu.
Cont.

▪ Dalam kondisi normal, pH vagina berada di kisaran 3,8 dan 4,4 yang
disebabkan oleh adanya asam laktat yang dihasilkan oleh lactobacillus
Döderlein.
▪ Trichomonas vaginalis masuk ke dalam vagina melalui hubungan seksual, akan
menyerang epitel squamosa vagina dan mulai bermultiplikasi secara aktif.
▪ Trichomonas vaginalis memakan dan membunuh lactobacillus dan bakteri
lainnya. Akibatnya jumlah lactobacillus Döderlein menjadi sedikit dan dapat
hilang sama sekali sehingga produksi asam laktat akan semakin menurun.
Akibat kondisi ini, pH vagina akan meningkat antara 5,0 – 6,0 .
▪ Pada pH 6 Trichomonas vaginalis berkembang semakin cepat, selain itu
memungkinkan untuk berkembangnya mikroorganisme patogen lainnya seperti
bakteri dan jamur. Sehingga pada infeksi trichomoniasis sering dijumpai
bersamaan dengan infeksi mikroorganisme patogen lainnya pada vagina.
Faktor Resiko

▪ Agen penyebab penyakit


▪ Umur
▪ Jenis kelamin
▪ Berganti-ganti pasangan dalam berhubungan seks
▪ Kebersihan alat kelamin
▪ Penggunaan pembersih vagina
(Arjani,2015)
Manifestasi Klinis

▪ Bau yang kuat dan rasa sakit pada saat kencing ataupun
berhubungan seksual
▪ Dispareunia
▪ Keputihan berwarna putih susu, bergumpal, berbusa, berbau
busuk dan disertai rasa gatal dan kemerahan pada alat kelamin
atau sekitarnya
▪ Peradangan di bagian vagina (perempuan), peradangan di saluran
kencing (laki-laki)
▪ Keluarnya sekret berwarna putih atau nanah dari penis
PEMERIKSAAN KLINIS
pH VAGINA

▪ pH vagina yang normal berkisar antara 3,8 – 4,5 (asam)


menghindari tumbuhnya bakteri yang tidak diinginkan.
▪ pH yang tidak normal (pH yang lebih dari 4,5) dapat disebabkan
oleh Trichomonas vaginalis dan bacterial vaginosis.
SWAP VAGINA

▪ Pengambilan sampel sekret vagina dilakukan dengan cara – cara


pap smear. Kemudian buat sediaan lalu dilakukan pengecatan dan
lihat di bawah mikroskop. Pemeriksaan mikroskopis secara
langsung dapat juga dilakukan dengan cara membuar sediaan dari
sekret vagina yang dicampur dengan satu tetes garam fisiologis
diatas gelas obyek dan langsung dilihat dibawah mikroskop.
▪ Pada pemeriksaan sekret secara mikroskopik pada mereka yang
terinfeksi trikomoniasis sering dijumpai sel – sel PMN yang sangat
banyak , coccobacillus , serta organisme Trichomonas
vaginalis  yang pada sediaan yang segar dapat kelihatan
motil. (Mulyati Ompungsu,1995)
TES WHIFF

Pemberian beberapa tetes KOH 10 – 20 % pada cairan vagina yang


diperiksa , dapat menimbulkan bau yang tajam dan amis pada 75%
wanita yang positif trikomoniasis dan infeksi bacterial vaginosis.
Tetapi tidak pada mereka yang menderita vulvovaginal.
UJI AGLUTINASI LATEKS

▪ Swap vagina diambil dilarutkan dalam buffer fosfat, larutan


diambil 50 mikroliter ditetesi pada zona reaksi di glass slide hitam
dan dicampur dengan 1 tetes larutan lateks sampai rata. Glass
digoyang 3 menit
▪ Aglutinasi yang terjadi menunjukkan adanya T. Vaginalis.

(Ratnasari, 2010)
UJI TPHA (Uji Treponemal)

▪ Sampel : Plasma/serum
▪ Tujuan :
Tes hemaaglutinasi untuk menentukan Antibodi terhadap
Treponema pallindum secara kualitatif dan kuantitatif
▪ Prinsip :
Tes STL (Syphillis TPHA Liquid) menggunakan metode
Hemaaglutinasi tidak langsung (indirect hemagglutination) untuk
mendeteksi antibody spesifik terhadap Treponema pallindum
Hubungan Antara Treponema pallindum dan
Trikomoniasis vaginalis

▪ Penelitian ini menggunakan desain cross-sectional dengan


pengajian analitik trikomoniasis vaginalis dan Treponema
pallindum dengan variabel bebas dan terikat untuk mencari nilai p
dengan uji Chi-square
▪ Hasilnya pada 63% penderita Trikomoniasis, 50%nya menderita
sifilis
▪ Hipotesa yang didapat bahwa pada individu yang positif
trikomniasis vaginalis dpat mengalami sifilis begitu pula
sebaliknya
(Devi dan Widiastuti,2014)
FARMAKOTERAPI

▪ Obat First line


Metrodinazol 2 gr dosis tunggal per hari (oral)
▪ Obat Second line
Tinidazol 2 gr dosis tunggal per hari (oral)
()
▪ Pengunaan metrodinazol diberikan secara oral dikarenakan bila
digunakan secara topical tidak memberikan efek terapeutik (Smith,
2017)
▪ Efek terapeutik pada penggunaan secara topical kurang dari 50%
(CDC, 2010)
TERAPI NON-FARMAKOLOGI

Menjelaskan pilihan perilaku seksual yang aman


♦ Cara ABCD
A = Abstinence (tidak melakukan hubungan seksual untuk sementara
waktu)
B = Be faithful (setia pada pasangan)
C = Condom (gunakan kondom bila tidak mau melaksanakan A dan B,
termasuk menggunakan kondom sebelum IMS yang dideritanya
sembuh)
D = no Drugs Tidak menggunakan obat psikotropik atau zat adiktif lainnya
(Kemenkes RI, 2011)
PIO

Metronidazol (1st line)


Rekomendasi : Alternatif :
2gr dosis tunggal digunakan 500 mg digunakan 2 kali sehari (tiap
secara per oral 12 jam) selama 7 hari

Pasien diberikan metronidazol dengan dosis 500 mg yang digunakan 2 kali sehari (tiap 12 jam)
selama 7 hari, karena penggunaan dosis tersebut memiliki efek samping yang lebih sedikit dan
lebih aman.
Untuk penggunan dosis tunggal biasanya lebih menyebabkan efek samping yang lebih
berbahaya seperti anorexia, mual muntah, dan diare. Namun dapat mencapai tingkat
kesembuhan yang maksimal serta mencegah kambuhnya penyakit tersebut.
▪ Indikasi ▪ Kontraindikasi

Uretritis dan vaginitis karena Hipersensitivitas, kehamilan trimester


Trichomonas vaginalis pertama.

(PIONAS, 2017)
▪ Efek Samping ▪ Peringatan

Mual, muntah, gangguan Reaksi seperti disulfiram terjadi bila diberikan


pengecapan, lidah kasar, gangguan bersama alkohol , gangguan fungsi hati dan
hepatic encephalopathy, kehamilan dan menyusui
saluran cerna, ruam , urtikaria dan (hindari penggunaan dosis besar). Pengobatan >
angioudem, kadang-kadang timbul 10 hari dianjurkan melakukan pemeriksaan klinis
rasa lesu, mengantuk, pusing, dan laboratorium.
ataksia, urine berwarna gelap, dan Hentikan pengobatan bila muncul ataksia, vertigo,
anafilaksis, serangan epilepsi. halusinasi, atau konfusi mental. Keamanan pada
anak belum diketahui pasti, kecuali untuk
amoebiasis; pasien penyakit susunan saraf pusat
dan perifer, karena risiko agravasi neurologis.

Disarankan tidak mengendarai dan


mengoperasikan mesin karena menimbulkan
kantuk, pusing, kebingungan, halusinasi, konvulsi
atau gangguan penglihatan sementara.

Tidak boleh berhubungan sexual selama masa


pengobatan .

(PIONAS, 2017)
Tinidazol (2ndline)
▪ 2gr dosis tunggal digunakan secara Indikasi dan kontaindikasi : (lihat
per oral metronidazol)
Efek samping dan peringatan : (lihat
metronidazol)
MONITORING

▪ Pasien diinformasikan cara menggunakan obat metronidazol. Untuk dosis


yang dapat diberikan berupa dosis tunggal (sehari sekali) sebesar 2 g per
oral selama 7 hari.
▪ Jika setelah pengobatan pertama gejala yang dialami pasien tidak
berkurang atau hilang, maka dapat diberikan regimen terapi yang lain
pada pasien. Pasien dapat diberikan obat yang sama (metronidazol)
dengan dosis ganda 1x2 500 mg per oral selama 7 hari. Jika pengobatan
masih belum efektif dapat digunakan dosis 1x3 250 mg per oral selama 10
hari.
▪ Selain metronidazol, pasien juga dapat diberikan tinidazol dengan dosis
tunggal 2 g PO selama 7 hari. Namun efektifitas yang dihasilkan tidak
sebesar obat metronidazol. Jika metronidazol dapat memberikan efektifitas
hingga 95%, tinidazol hanya bisa memberikan efektifitas sampai 86%.
Pasien diinformasikan efek samping obat yang digunakan.
Pasien diinformasikan bahwa obat yang digunakan wajib dihabiskan karena merupakan
antibiotik. Kalau antibiotik tidak digunakan dengan patuh maka akan mempertinggi
kemungkinan terjadinya resistensi.
Pasien diinformasikan tidak boleh menggandakan dosis obat. Jika ada dosis yang terlewat
maka pasien sebaiknya segera mengambil obat jika waktunya tidak berdekatan dengan waktu
pemberian dosis selanjutnya.
Pasien diinformasikan jika terjadi overdosis yang ditandai dengan : mual, muntah, pusing,
kehilangan keseimbangan, mati rasa dan kesemutan, maka segera hubungi emergency call.
Pasien diinformasikan untuk tidak mengonsumsi alkohol selama pengobatan.
Pasien diinformasikan untuk melakukan pemeriksaan lagi setelah 3 bulan waktu pengobatan
karena dikhawatirkan jamur akan tumbuh kembali dan menimbulkan gejala yang sama.
(MIMS, 2016).
DAFTAR PUSTAKA

CDC. 2010. Diseases Characterized by Vaginal Discharge. Dapat diakses di


https://www.cdc.gov/std/treatment/2010/vaginal-discharge.htm [Diakses pada tanggal 14
November 2017 pukul 08.34 WIB]
Centers for Disease Control and Prevention. 2009. Sexually Transmitted Disease Surveillance
2008. Georgia: U.S. Department of Health and Human Services, Division of STD Prevention.
Devi, Gustin Candra dan Widiastuti.2014.Hubungan Antara Trikomoniasis Vaginalis dan Sifilis
serta Faktor-faktor yang Mempengaruhi pada Pekerja Seks Komersial di Daerah
Kuningan,Jawa Barat.Jurnal FK UI. 6(2):10-12
Kemenkes RI. 2011. Pedoman Nasional Penanganan Infeksi Menular Seksual. Jakarta :
Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan.
MIMS. 2016. MIMS Petunjuk Konsultasi Edisi 16. Jakarta : PT Buana Ilmu.
Mulyati Ompungsu Sahat : Nuraeni Reny.1995. Infeksi Trichomonas vaginalis Pada Penderita
Keputihan. Majalah Kedokteran Indonesia
Pionas. 2017. Metronidazol . Available on http://pionas.pom.go.id/monografi/metronidazol.
[diakses 14 November 2017]
Cont.

Pionas. 2017. Tinidazol . Available on


http://pionas.pom.go.id/monografi/tinidazol [diakses 14 November 2017]
Price, Sylvia dan Wilson Lorraine. 2005. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses –
Proses Penyakit. Edisi 6 Volume 2. Jakarta : EGC.
Ratnasari, Diana Tri, dkk. Validitas uji diagnostik aglutinasi lateks dan sediaan
basah pasien trikomoniasis vaginalis di RSUD Dokter Sutomo Surabaya.
Berkala Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin. Vol 22. No. 2
Smith, D.S. 2017. Trichomoniasis Treatment & Management. Dapat diakses di
https://emedicine.medscape.com/article/230617-treatment#d8 [Diakses
pada tanggal 14 November 2017 pukul 08.30 WIB]
Sukandar,E., Andrajati,R., Sigit,J., Adnyana, K., Setiadi,A. Dan Kusnandar. 2008.
ISO FARMAKOTERAPI. Jakarta : ISFI

Anda mungkin juga menyukai