Anda di halaman 1dari 35

RESPIRATORY DISTRESS

SYNDROM (RDS)
Oleh :
Rivan 02.70.0108

Pembimbing :
Dr. L.P. Sri Tresnasih, Sp.A
PENDAHULUAN
 Respiratory Distress Syndrome (RDS) adalah suatu syndrome
kegawatan pernapasan pada neonatus yang paling sering
dijumpai pada bayi kurang bulan / premature
 Ditandai secara klinik adanya pernapasan cepat, napas
merintih, dan adanya kelainan khusus dalam foto thoraxnya
 Respiratory Distress Syndrom (RDS) merupakan penyebab
utama kematian pada bayi baru lahir. Diperkirakan 30% dari
semua kematian neonatus diakibatkan oleh RDS atau
komplikasinya
 RDS terutama terjadi pada bayi premature, insidensnya
berbanding terbalik dengan umur kehamilan dan berat
badannya. RDS ini 60-80 % terjadi pada bayi dengan umur
kehamilannya kurang dari 28 minggu, 15-30 % pada bayi
antara 32 dan 36 minggu, sekitar 5 % pada bayi yang lebih dari
37 minggu, dan sangat jarang pada bayi yang cukup bulan
 Penyulit ini disebabkan oleh karena kekurangan Surfactan
dalam paru-paru bayi yang masih kurang bulan karena
imaturitas paru-parunya. RDS dapat dicegah dengan
memberikan kortikosteroid sebelum persalinan untuk
mempercepat maturasi paru-paru pada janinnya
Etiologi
 Etiologi penyakit ini sampai sekarang belum diketahui dengan pasti.
Berbagai teori telah dikemukakan sebagai penyebab kelainan ini.
Pembentukan substansi ”surfaktan paru” yang tidak sempurna dalam paru,
merupakan salah satu teori yang banyak dianut
 Kelainan yang terjadi dianggap karena faktor pertumbuhan atau karena
pematangan paru yang belum sempurna. Penyakit ini biasanya mengenai
bayi prematur, terutama bila ibu menderita gangguan perfusi darah uterus
selama kehamilan, misalnya Ibu yang menderita diabetes melitus,
toksemia gravidarum, hipotensi, seksio sesar dan perdarahan antepartum
 RDS dapat dicegah terjadinya bila pada ibunya sebelum persalinan diberi
kortikosteroid untuk mempercepat maturasi pada paru-paru janinnya.
Kelainan ini merupakan penyebab utama kematian bayi prematur (50 –
70%)
Patofisiologi
 Pembentukan substansi surfaktan paru yang tidak sempurna dalam
paru, merupakan salah satu teori yang banyak dianut
 Surfaktan ialah zat yang memegang peranan dalam pengembangan
paru dan merupakan suatu kompleks yang terdiri dari protein,
karbohidrat dan lemak. Senyawa utama zat tersebut ialah lesitin. Zat
ini mulai dibentuk pada kehamilan 22 - 24 minggu dan mencapai
maksimum pada minggu ke 35
 Peranan surfaktan ialah untuk merendahkan tegangan permukaan
alveolus sehingga tidak terjadi kolaps dan mampu untuk menahan
sisa udara fungsionil pada akhir ekspirasi.
 Defisiensi substansi surfaktan yang ditemukan pada Respiratory
Distress Syndrom (RDS) menyebabkan kemampuan paru untuk
mempertahankan stabilitasnya terganggu.
Patofisiologi
 Alveolus akan kembali kolaps setiap akhir ekspirasi, sehingga untuk
pernafasan berikutnya dibutuhkan tekanan negatif intratoraks yang lebih
besar yang disertai usaha inspirasi yang tebih kuat
 Kolaps paru ini akan menyebabkan terganggunya ventilasi sehingga terjadi
hipoksia, retensi CO2 dan asidosis
 Hipoksia akan menimbulkan :
 (1) oksigenasi jaringan menurun, sehingga akan terjadi metabolisme anaerobik
dengan penimbunan asam laktat dan asam organik lainnya yang menyebabkan
terjadinya asidosis metabolik pada bayi
 (2) kerusakan endotel kapiler dan epitel duktus alveolaris yang akan
menyebabkan terjadinya transudasi ke dalam alveoli dan terbentuknya fibrin
dan selanjutnya fibrin bersama-sama dengan jaringan epitel yang nekrotik
membentuk suatu lapisan yang disebut membran hialin
 Asidosis dan atelektasis juga rnenyebabkan terganggunya
sirkulasi darah dari dan ke jantung. Demikian pula aliran darah
paru akan menurun dan hal ini akan mengakibatkan
berkurangnya pembentukan substansi surfaktan

 Secara singkat dapat diterangkan bahwa dalam tubuh terjadi


lingkaran setan yang terdiri dari atelektasis → hipoksia →
asidosis → transudasi → penurunan aliran darah paru →
hambatan pembentukan substansi surfaktan → atelektasis.
Hal ini akan berlangsung terus sampai terjadi penyembuhan
atau kematian bayi
DIAGNOSIS
 Gejala Klinis
 Respiratory Distress Syndrom (RDS) terjadi pada bayi prematur dengan
berat badan 1.000 - 2.000 gram atau masa gestasi 30 - 36 minggu.
 Jarang ditemukan pada bayi dengan berat badan lebih dari 2500 gram
 Sering disertai dengan riwayat asfiksia pada waktu lahir atau tanda
gawat bayi pada akhir kehamilan
 Tanda gangguan pernafasan mulai tampak dalam 6 - 8 jam pertama
setelah lahir dan gejala yang karakteristik mulai terlihat pada umur 24 -
72 jam. Bila keadaan membaik, gejala akan menghilang pada akhir
minggu pertama
 
 Gangguan pernafasan pada bayi terutama disebabkan oleh
atelektasis dan perfusi paru yang menurun. Keadaan ini akan
memperlihatkan gambaran klinis seperti dispneu atau hiperpneu,
sianosis karena saturasi 02 yang menurun dan karena pirau vena-
arteri dalam paru atau jantung, retraksi suprasternal, epigastrium,
interkostal dan “expiratory grunting”

 Selain tanda gangguan penafasan, ditemukan gejala lain misalnya


bradikardia (sering ditemukan pada penderita RDS berat), hipotensi,
kardiomegali, 'pitting oedema' terutama di daerah dorsal
tangan/kaki, hipotermia, tonus otot yang menurun, gejala sentral
dapat terlihat bila terjadi komplikasi
 Gambaran Radiologis
 Diagnosis yang tepat hanya dapat dibuat dengan pemeriksaan foto
Rontgen toraks.
 Pemeriksaan ini juga sangat penting untuk menyingkirkan
kemungkinan penyakit lain yang diobati dan mempunyai gejala
yang mirip penyakit membran hialin, misalnya pneumotoraks,
hernia diafragmatika dan lain-lain.
 Gambaran klasik yang ditemukan pada foto Rontgen paru ialah
adanya bercak difus berupa infiltrat retikulogranuler ini, makin
buruk prognosis bayi. Beberapa sarjana berpendapat bahwa
pemeriksaan radiologis ini dapat dipakai untuk mendiagnosis dini
penyakit membran hialin, walaupun manifestasi klinis belum jelas.
 Gambaran laboratorium
 Kelainan yang ditemukan pada pemeriksaan laboratorium di
antaranya ialah:
 Pemeriksaan darah.
 Kadar asam laktat dalam darah meninggi dan bila kadarnya lebih
dari 45 mg%, prognosis lebih buruk.
 Kadar bilirubin lebih tinggi bila dibandingkan dengan bayi normal
dengan berat badan yang sama.
 Kadar PaO2 menurun disebabkan berkurangnya oksigenasi di dalam
paru dan karena adanya pirau arteri-vena, Ka­dar PaO2 meninggi,
karena gangguan ventilasi dan pengeluaran C02 sebagai akibat
atelektasis paru. pH darah menurun dan defisit basa meningkat
akibat adanya asidosis respiratorik dan metabolik dalam tubuh.
  
 Pemeriksaan fungsi paru
 Pemeriksaan ini membutuhkan alat yang lengkap dan
pelik. Frekuensi pernafasan yang meninggi pada
penyakit ini akan memperlihatkan pula perubahan pada
fungsi paru lainnya seperti 'tidal volume' menurun,
'lung compliance' berkurang, 'functional residual
capacity' merendah disertai 'vital capacity' yang
terbatas. Demikian pula fungsi ventilasi dan perfusi
paru akan terganggu
 Pemeriksaan fungsi kardiovaskular
 Penyelidikan dengan kateterisasi jantung memperlihatkan beberapa
peru­bahan dalam fungsi kardiovaskular berupa duktus arteriosus paten,
pirau dari kiri ke kanan atau pirau kanan ke kiri (bergantung pada
lanjutnya penyakit), menurunnya tekanan arteri paru dan sistemik.
 Gambaran Patologi/Histopatologi
 Pada otopsi, gambaran dalam paru menunjukkan adanya atelektasis,
dan membran hialin di dalam alveolus atau duktus alveolaris
 Terdapat pula bagian paru yang mengalami emfisema
 Membran hialin yang ditemukan terdiri dari fibrin dan sel eosinofilik
yang mungkin berasal dari darah atau sel epitel alveolus yang rickrotik
PENCEGAHAN
 Faktor yang dapat menimbulkan kelainan ini ialah pertumbuhan paru yang
belum sempurna
 Karena itu salah satu cara untuk menghindarkan penyakit ini ialah
mencegah kelahiran bayi yang maturitas parunya belum sempurna
 Maturitas paru dapat dikatakan sempurna bila produksi dan fungsi
surfaktan telah berlangsung baik
 Gluck (1971) memperkenalkan suatu cara untuk mengetahui maturitas
paru dengan menghitung perbandingan antara lesitin dan sfingomielin
dalam cairan amnion. Bila perbandingan lesitin/sfingomielin sama atau
lebih dari 2, bayi yang akan lahir tidak akan menderita penyakit membran
hialin, sedangkan bila perbandingan tadi kurang dari 2 berarti paru bayi
belum matang dan akan mengalami penyakit membran hialin
 Pemberian kortikosteroid pada ibu sebelum
persalinan dianggap dapat mempercepat maturitas
paru-paru janin dan merangsang terbentuknya
surfaktan paru pada janin
 Cara yang paling efektif untuk menghindarkan
penyakit ini ialah mencegah prematuritas dan hal
ini tentu agak sulit dikerjakan pada beberapa
komplikasi kehamilan tertentu
PENATALAKSANAAN
 Dasar tindakan ialah mempertahankan bayi dalam suasana fisiologis
sebaik-baiknya, agar bayi mampu melanjutkan perkembangan paru
dan organ lain sehingga dapat mengadakan adaptasi sendiri
terhadap sekitarnya.

 Tindakan yang perlu dikerjakan ialah :


1. Memberikan lingkungan yang optimal. Suhu tubuh bayi harus
selalu diusahakan agar tetap dalam batas normal (36,5° - 37°C)
dengan meletakkan bayi dalam inkubator. Humiditas ruangan
juga harus adekuat (70 - 80%).
2. Pemberian oksigen harus berhati-hati. Oksigen mempunyai
pengaruh yang kompleks terhadap bayi baru lahir
 Pemberian 02 yang terlalu banyak dapat menimbulkan komplikasi
yang tidak diinginkan seperti fibrosis paru, kerusakan retina (fibroplasi
retrolental) dll
 Untuk mencegah timbulnya komplikasi ini, pemberian 02 sebaiknya
diikuti dengan pemeriksaan tekanan 02 arterial (paO2) secara teratur.
 Konsentrasi 02 yang diberikan harus dijaga agar cukup untuk mem­
pertahankan PaO2 antara 80 - 100 mmHg. Bila fasilitas untuk
pemeriksaan tekanan gas arterial tidak ada, 02 dapat diberikan sampai
gejala sianosis menghilang
 Pada penyakit membran hialin yang berat, kadang-kadang perlu
dilakukan bantuan pernafasan dengan respirator
 Cara ini disebut “Intermittent Positive Pressure Ventilation”
(IPPV). Tindakan ini baru dikerjakan bila pada pemberian 02
dengan konsentrasi tinggi (100%), bayi tidak memperlihatkan
perbaikan dan tetap menunjukkan PaO2 kurang dari 50 mmHg,
PaCO2 lebih dari 70 mmHg dan masih sering terjadi serangan
apneu, walaupun kemungkinan hipotermia, hipoglikemia dan
asidosis matabolik telah disingkirkan. Pemberian 02 dengan
ventilasi aktif ini dapat pula dilakukan dengan bermacam-
macarn cara lain, misalnya pemberian 02 secara hiperbaik,
Intermittent negative pressure ventilation (INPV) dll
 Pemberian cairan, glukosa dan elektrolit sangat berguna pada bayi
yang menderita penyakit membran hialin
 Cairan yang diberikan harus cukup untuk menghindarkan dehidrasi
dan mempertahankan homeostaris tubuh yang adekuat. Pada hari-
hari pertama diberikan giukosa 5-10% dengan jumlah yang
disesuaikan dengan umur dan berat badan (60 — 125 ml/kgbb/hari)
 Asidosis metabolik yang selalu terdapat pada penderita, harus
segera diperbaiki dengan pemberian NaHC03 secara intravena
 Pemeriksaan keseimbangan asam-basa tubuh harus diperiksa secara
teratur agar pemberian NaHC03 dapat disesuaikan dengan
mempergunakan rumus : kebutuhan NaHC03 (mEq) — defisit basa
x 0,3 x berat badan bayi
 Kebutuhan basa ini sebagian dapat langsung diberikan secara
intravena dan sisanya diberikan secara tetesan. Pada pem­berian
NaHCO3 ini bertujuan untuk mempertahankan pH darah antara 7.35
— 7.45
 Bila fasilitas untuk pemeriksaan keseimbangan asam-basa tidak ada,
NaHCO3 dapat diberikan dengan tetesan. Cairan yang
dipergunakan berupa campuran larutan glukosa 5 - 10% dengan
NaHCO3 1,5% dalam perbandingan 4 : 1
 Pada asidosis yang berat, penilaian klinis yang teliti harus
dikerjakan untuk menilai apakah basa yang diberikan sudah cukup
adekuat
 Pemberian antibiotika
 Setiap penderita penyakit membran hialin perlu mendapat
antibiotika untuk mencegah terjadinya infeksi sekunder.
Antibiotika yang diberikan ialah Penisilin (50.000 U- 100.000
U/kgbb/hari) atau Ampisilin (100 mg/kgbb/ hari) dengan
Gentamisin (3-5 mg/kgbb/hari)
PROGNOSA
 Respiratory Distress Syndrom (RDS) prognosisnya tergantung dari
tingkat prematuritas dan beratnya penyakit
 Prognosis jangka panjang untuk semua bayi yang pernah menderita
penyakit ini sukar ditentukan
 Mortalitas diperkirakan antara 20-40% (Scopes, 1971)
 Beberapa penyelidik lain melaporkan bahwa dengan perawatan yang
baik (perawatan intensif), bayi yang hidup masih mempunyai
kepandaian dan keadaan neurologis yang sama dibandingkan dengan
bayi prematur lain yang masa gestasinya sama pula
 Kelainan pada paru dan saraf mungkin disebabkan karena penyakitnya
sendiri yang berat atau kurang sempurnanya perawatan, di antaranya
karena pemberian kadar 02 tinggi secara terus-menerus.
 Kelainan paru sebagai displasia bronkopulmoner umumnya
disebabkan tekanan positif yang terus-menerus
 Komplikasi lain yang mungkin terjadi pada waktu perawatan
ialah kelainan pada retina (fibroplasi retrolental) sebagai akibat
pemberian O2 yang tidak semestinya
 Pneumotoraks walaupun jarang terjadi dapat disebabkan oleh
komplikasi pengobatan dengan continuous negative external
presurre (CNP) dan tindakan bantuan pernafasan dengan
respirator lain
PENELITIAN
 Respiratory Distress Syndrom (RDS) merupakan penyebab
utama kematian pada bayi baru lahir
 Diperkirakan 30% dari semua kematian neonatus diakibatkan
oleh RDS atau komplikasinya. Kelainan ini merupakan
penyebab utama kematian bayi prematur (50 – 70%)
 Berdasarkan penelitian yang dilakukan di bidang perinatologi
SMF Ilmu Kesehatan Anak RSD dr. Koesnadi Bondowoso
pada kelahiran bayi tahun 2006 periode 1 Januari 2006 – 31
Desember 2006 terdapat 989 kelahiran bayi.
 Bayi yang lahir kurang bulan (preterm) adalah sebanyak 69
bayi, jadi presentase kelahiran bayi premature di RSD dr.
Koesnadi tahun 2006 adalah 6,9%.
 Bayi yang lahir cukup bulan (aterm) sebanyak 781 bayi atau
78,9% sedangkan bayi yang lahir lebih bulan (posterm)
sebanyak 139 bayi atau 14,2%.
 Dari kelahiran bayi kurang bulan (preterm) tahun 2006
sebanyak 69 bayi. Bayi yang berhasil bertahan hidup sebanyak
51 bayi atau 74%. Sedangkan bayi yang meninggal sebanyak
18 bayi atau 26%
 Dari 69 bayi yang lahir kurang bulan (preterm) di RSD dr.
Koesnadi tahun 2006 didapatkan 27 bayi yang menderita
Respiratory Distress Syndrome (RDS) atau 39% sedangkan
yang tidak mengalami RDS sebanyak 42 bayi atau 61%.
Dari 27 bayi yang menderita Respiratory Distress Syndrome (RDS)
didapatkan 13 bayi meninggal, sedangkan 14 bayi yang menderita
RDS berhasil bertahan hidup. Jadi persentase bayi premature yang
meninggal karena RDS adalah 72%, dan karena sebab lain hanya
sebanyak 28%.

Neonatus Jumlah Persentase

Preterm 69 6,9 %

Aterm 781 78,9 %

Posterm 139 14,2 %

Total 989 100 %


Grafik. Jumlah kelahiran neonatus di RSD dr. Koesnadi
Tabel. Kelahiran dan Kematian Bayi Preterm periode Januari –
Desember 2006

Bulan Jumlah % Hidup % Mati %


Januari 6 8,7 4 5,8 2 2,9
Februari 5 7,3 5 7,3 0 0
Maret 7 10,1 6 8,7 1 1,4
April 10 14,5 4 5,8 6 8,7
Mei 7 10,1 5 7,3 2 2,9
Juni 1 1,4 1 1,4 0 0
Juli 4 5,8 2 2,9 2 2,9
Agustus 7 10,1 6 8,7 1 1,4
September 5 7,3 4 5,8 1 1,4
Oktober 8 11,6 7 10,1 1 1,4
November 5 7,3 3 4,4 2 2,9
Desember 4 5,8 4 5,8 0 0
Total 69 100 51 74 18 26
Grafik. Kelahiran dan Kematian Bayi Preterm periode Januari –
Desember 2006
Tabel. Jumlah Bayi Preterm Yang Menderita RDS

Preterm Jumlah Persentase Hidup Persentase Mati Persentase

RDS 27 39% 14 52% 13 48%

Normal 42 61% 37 88% 5 12%


Grafik. Jumlah Bayi Preterm Yang Menderita RDS
Tabel. Kematian Bayi Preterm Karena RDS tahun 2006

Sebab Jumlah Persentase

RDS 13 72%

Lain-lain 5 28%

Total 18 100%
KESIMPULAN
 Respiratory Distress Syndrome (RDS) adalah suatu syndrome
kegawatan pernapasan pada neonatus yang paling sering dijumpai
pada bayi kurang bulan / premature
 Penyulit ini ditandai secara klinik adanya pernapasan cepat > 60
x/mnt atau apnea, napas merintih, cyanosis, retraksi, dan adanya
kelainan khusus dalam foto thoraxnya
 Penyulit ini disebabkan oleh karena kekurangan Surfactan dalam
paru-paru bayi yang masih kurang bulan karena imaturitas paru-
parunya
 Kelainan ini merupakan penyebab utama kematian bayi prematur
(50 – 70%)
 RDS dapat dicegah dengan memberikan kortikosteroid sebelum
persalinan untuk mempercepat maturasi paru-paru pada janinnya.(1,2)
 Berdasarkan penelitian yang dilakukan di bidang perinatologi SMF
Ilmu Kesehatan Anak RSD dr. Koesnadi Bondowoso tahun 2006
didapatkan bayi yang lahir premature sebanyak 69 bayi atau 6,9%.
Dari 69 bayi yang lahir premature yang mati sebanyak 18 bayi atau
26% dan yang berhasil hidup sebanyak 51 bayi atau 74%.
 Dari 18 bayi yang meninggal didapatkan bahwa sebanyak 13 bayi
meninggal karena menderita RDS atau 72%, sedangkan sebanyak 5
bayi atau 28% meninggal karena sebab-sebab lain seperti sepsis
neonatorum. Hal ini membuktikan bahwa RDS merupakan
penyebab utama kematian pada neonatus.

Anda mungkin juga menyukai