01 200221100132 02 200221100207
Moch. Haris Desty Miya Mary
Alokasi Dana Desa (ADD) menurut Pasal 1 PP Nomor 43 Tahun 2014 adalah dana perimbangan yang diterima
kabupaten/kota dalam APBD kabupaten/kota setelah dikurangi Dana Alokasi Khusus. Tujuannya :
• Menanggulangi kemiskinan.
• Meningkatkan perencanaan dan penganggaran pembangunan di tingkat desa dan pemberdayaan
masyarakat.
• Meningkatkan pembangunan infrastruktur perdesaan.
• Meningkatkan pengamalan nilai-nilai keagamaan, sosial budaya dalam rangka mewujudkan peningkatan
sosial.
• Meningkatkan ketentraman dan ketertiban masyarakat.
• Meningkatkan pelayanan pada masyarakat desa dalam rangka pengembangan kegiatan sosial dan
ekonomi masyarakat.
• Mendorong peningkatan keswadayaan dan gotong royong masyarakat.
• Meningkatkan pendapatan desa dan masyarakat desa melalui BUMDES.
• Peraturan bupati/walikota wajib disampaikan paling lambat bulan Oktober
tahun anggaran berjalan kepada menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang keuangan dengan tembusan kepada menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintah di bidang pemerintahan dalam negeri
dan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
pembangunan desa, pembangunan kawasan perdesaan dan pemberdayaan
masyarakat desa untuk ditindaklanjuti sesuai dengan kewenangannya.
• Ketentuan cara pengalokasian ADD telah diatur dengan peraturan
bupati/walikota.
• Pelaksanaan kegiatan-kegiatan yang pembiayaannya besumber dari ADD dalam
APB Desa, sepenuhnya dilaksanakan oleh tim pelaksanaa desa dengan mengacu
pada peraturan bupati/walikota.
Bantuan Keuangan Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah Provinsi Serta
Kota/Kabupaten
• Pendapatan desa di luar pendapatan asli desa, alokasi APBN, bagian hasil
pajak daerah dan retribusi daerah kabupaten/kota, alokasi dana, bantuan
keuangan dari pemerintah provinsi dan kabupaten/kota, hibah, dan
sumbangan yang tidak mengikat dari pihak ketiga.
• Lain-lain pendapatan desa seperti hasil dari kerjasama pihak ketiga, hasil
penjualan kekayaan desa yang tidak dipisahkan, jasa giro, pendapatan
bunga, penerimaan atas tuntutan ganti kerugian desa, pungutan desa,
bantuan perusahaan yang berlokasi di desa dan lain-lain.
Belanja Desa
● Berdasarkan Pasal 12 Permendagri Nomor 113 Tahun 2014, belanja desa
meliputi semua pengeluaran dari rekening desa yan merupakan kewajiban
desa dalam 1 tahun anggaran yang tidak akan diperoleh pembayarannya
kembali oleh desa.
● Belanja desa dipergunakan dalam rangka mendanai pelaksanaan urusan
pemerintahan yang menjadi kewenangan desa sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan.
● Belanja desa harus mencerminkan strategi pengeluaran yang rasional, baik
kuantitatif maupun kualitatif, sehingga akan terlihat adanya
pertanggungjawaban atas pungutan sumber-sumber pendapatan desa oleh
pemerintah desa serta hubungan timbal balik antara pungutan pendapatan
dan pelayanan kepada masyarakat.
• Belanja desa diarahkan sebagai upaya untuk meningkatkan proporsi
belanja yang berpihak kepada kepentingan masyarakat.
• Belanja desa harus memperhatikan urgensi kebutuhan dan kemampuan
keuangan desa.
• Berdasarkan Pasal 13 Permendagri Nomor 113 Tahun 2014, klasifikasi
belanja desa terdiri atas kelompok :
a. Penyelenggaraan pemerintahan desa.
b. Pelaksanaan pembangunan desa.
c. Pembinaan kemasyarakat desa.
d. Pemberdayaan masyarakat desa.
e. Belaja tak terduga.
• Kelompok belanja dibagi dalam kegiatan sesuai dengan kebutuhan desa
yang dituangkan dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP) Desa.
• Kegiatan tersebut terdiri atas jenis : belanja pegawai, belanja barang dan
jasa, dan belanja modal.
• Berdasarkan Pasal 14 Permendagri Nomor 113 Tahun 2014, jenis belanja
pegawai dianggarkan untuk pengeluaran penghasilan tetap dan
tunjangan bagi kepala desa dan perangkat desa serta tunjangan Badan
Permusyawaratan Desa (BPD).
• Belanja pegawai dianggarkan dalam kelompok Penyeleggaraan
Pemerintah Desa, kegiatan pembayaran penghasilan tetap dan
tunjangan.
• Belanja pegawai pelaksaanannya dibayarkan setiap bulan.
• Berdasarkan Pasal 15 Permendagri Nomor 113 Tahun 2014, belanja barang dan jasa
digunakan pembelian/pengadaan barang yang nilai manfaatnya kurang dari 12 (dua
belas) bulan. Belanja barang dan jasa antara lain:
a. Alat tulis kantor;
b. Benda pos;
c. Bahan/material;
d. Pemeliharaan, dst.
• Berdasarkan Pasal 16 Permendagri Nomor 113 Tahun 2014, Belanja Modal digunakan
untuk pengeluaran dalam rangka pembelian/pengadaan barang atau bangunan yang
nilai manfaatnya lebih dari 12 (dua belas) bulan.
• Berdasarkan Pasal 17 Permendagri Nomor 113 Tahun 2014 dalam keadaan darurat
dan/atau Keadaan Luar Biasa (KLB) Pemerintah Desa dapat melakukan belanja yang
belum tersedia anggarannya, Keadaan darurat dan/atau KLB merupakan keadaan
yang sifatnya tidak biasa atau tidak diharapkan berulang dan/atau mendesak.
• Berdasarkan Pasal 100 PP Nomor 43 Tahun 2014, Belanja Desa yang ditetapkan dalam
APB Desa digunakan dengan ketentuan:
a. Paling sedikit 70% dari jumlah anggaran belanja Desa digunakan untuk mendanai
penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan pembangunan Desa,
pembinaan kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan masyarakat Desa.
Anggaran belanja Desa tersebut digunakan untuk:
1. Biaya perbaikan sarana publik dalam skala kecil.
2. Penyertaan modal usaha masyarakat melalui BUM Desa
3. Biaya untuk pengadaan ketahanan pangan.
b. Paling banyak 30% dari jumlah anggaran belanja Desa digunakan untuk:
1. Penghasilan tetap dan tunjangan kepala desa dan perangkat desa;
2. Operasional pemerintah desa;
3. Tunjangan dan operasional BPD;
Pembiayaan Desa
Berdasarkan Pasal 18 Permendagri Nomor 113 Tahun 2014, Pembiayaan Desa meliputi
semua penerimaan yang perlu dibayar kembali dan atau pengeluaran yang akan diterima
kembali, baik pada tahun anggaran yang bersangkutan maupun pada tahun-tahun
anggaran berikutnya. Pembiayaan Desa meliputi semua transaksi keuangan untuk
menutup defisit atau untuk memanfaatkan surplus. Surplus/defisit adalah selisih antara
pendapatan dan belanja. Pembiayaan Desa terdiri dari penerimaan pembiayaan dan
pengeluaran pembiayaan.
Penerimaan pembiayaan Desa mencakup:
• Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SILPA) tahun sebelumnya.
• Pencairan dana cadangan.
• Hasil kekayaan Desa yang dipisahkan.
Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SILPA) adalah selisih realisasi penerimaan dan pengeluaran
anggaran selama 1 periode anggaran. SILPA antara lain berasal dari pelampauan
penerimaan pendapatan terhadap belanja, penghematan belanja dan sisa dana kegiatan
lanjutan. SILPA tersebut merupakan penerimaan pembiayaan yang digunakan untuk:
1. Menutupi defisit anggaran apabila realisasi pendapatan lebih kecil daripada realisasi
belanja.
2. Mendanai pelaksanaan kegiatan lanjutan.
3. Mendanai kewajiban lainnya yang sampai dengan akhir tahun anggaran belum
diselesaikan.
Pencairan dana cadangan digunakan untuk menganggarkan pencairan dana cadangan ke
rekening kas Desa dalam tahun anggaran berkenaan. Berdasarkan Pasal 19 Permendagri
Nomor 113 Tahun 2014, pengeluaran pembiayaan mencakup:
a. Pembentukan dana cadangan.
b. Modal penyertaan,
Pembentukan dana cadangan adalah dana yang disisihkan guna mendanai
kegiatan yang memerlukan dana relatif besar yang tidak dapat dipenuhi dalam
1 tahun anggaran. Pembentukan dana cadangan tersebut dapat bersumber dari
penyisihan atas penerimaan Desa, kecuali dari penerimaan yang
penggunaannya telah ditentukan secara khusus berdasarkan peraturan
perundang-undangan.
Penyertaan modal Pemerintah Desa adalah pengalihan kekayaan yang tidak
dipisahkan menjadi kekayaan yang dipisahkan untuk diperhitungkan sebagai
modal atau saham Desa pada Badan Usaha Milik (BUM) Desa, Badan Usaha
Milik Daerah (BUMD) atau Badan Hukum lainnya yang dimiliki oleh Desa atau
daerah.
Aset Desa
Berdasarkan Pasal 1 ayat (19) Permendagri Nomor 114 Tahun 2014, Aset Desa adalah
barang milik Desa yang berasal dari kekayaan asli Desa, dibeli atau diperoleh atas beban
APB Desa atau perolehan hak lainnya yang sah. Barang Milik Desa (BMD) berdasarkan Pasal
1 PP Nomor 43 Tahun 2014 adalah kekayaan milik Desa berupa barang bergerak dan barang
tidak bergerak. Berdasarkan Pasal 76 UU Nomor 6 tahun 2014, Aset Desa dapat berupa
tanah kas Desa, tanah ulayat, pasar Desa, pasar hewan, tambatan perahu, bangunan Desa,
pelelangan ikan, pelelangan hasil pertanian, hutan milik Desa, mata air milik Desa,
pemandian umum, dan aset lainnya milik Desa
Aset lainnya milik Desa, antara lain:
1. Kekayaan Desa yang dibeli atau diperoleh atas beban APBN, APBD serta APB Desa.
2. Kekayaan Desa yang diperoleh dari hibah dan sumbangan atau yang sejenis.
Sumbangan termasuk tanah wakaf sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
3. Kekayaan Desa yang diperoleh sebagai pelaksanaan dari perjanjian/kontrak dan lain-lain
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
4. Hasil kerja sama Desa.
5. Kekayaan Desa yang berasal dari perolehan lainnya yang sah.
TATA CARA
PENYUSUNAN
INDEKS KESULITAN
GEOGRAFIS DESA
I. Pendahuluan
II. Tahapan penyusunan indeks kesulitan
geografis
III. Ilustrasi sederhana penghitungan IKG
//lampiran I /PENDAHULUAN
3. Penghitungan IKG
Nilai IKG diperoleh dari penjumlahan secara tertimbangterhadap setiap variabel penyusun IKG.
Nilai yang dijumlahkan adalah skor setiap variabel yang sudah ditimbang/dikalikan dengan bobot masing-
masing variabel. Penghitungan IKG setiap Desa diformulasikan sebagai berikut.
IKG = (V1 x B1 + V2 x B2 + V3 x B3 + …… V28 x B28) x 20
Keterangan:
IKG = Nilai Indeks Kesulitan Geografis setiap Desa (bernilai 0 – 100)
V1 = Skor variabel ke-1 (ketersediaan dan akses ke TK/RA/BA)
V2 = Skor variabel ke-2 (ketersediaan dan akses ke SD/MI/Sederajat)
V3 = Skor variabel ke-3 (ketersediaan dan akses SMP/MTS/Sederajat)
V28 = Skor variabel ke-28 (akses ke bahan bakar)
B1 = Penimbang/pembobot variabel ke-1
B2 = Penimbang/pembobot variabel ke-2
B3 = Penimbang/pembobot variabel ke-3
B28 = Penimbang/pembobot variabel ke-28
//lampiran I/ILUSTRASI SEDERHANA PENGHITUNGAN IKG
I. Dasar penghitungan
II. Tata cara penghitungan
// lampiran II/DASAR PENGHITUNGAN
• Alokasi yang dihitung dengan memperhatikan jumlah penduduk, angka kemiskinan, luas
wilayah, dan tingkat kesulitan geografis setiap Desa (yang selanjutnya dalam pedoman ini
disebut "Bagian Formula") dengan perhitungan berikut:
a) 25% untuk jumlah penduduk;
b) 35% untuk jumlah penduduk miskin;
c) 10 % untuk luas wilayah, dan
d) 30% untuk tingkat kesulitan geografis.
2. Ketentuan terkait rumus atau formulasi yang digunakan dalam perhitungan sebagaimana
diatur dalam ketentuan Pasal 9 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 93/PMK.07/2015,
yaitu Dana Desa setiap Desa = (Dana Desa kabupaten/kota-Aloka Dasar) x ((25% x rasio
jumlah penduduk setiap Desa terhadap total penduduk Desa kabupaten/kota yang
bersangkutan) - penduduk miskin Desa kabupaten/kota yang bersangkutan) + (35% x rasio
jumlah penduduk miskin setiap Desa terhadap total (10% x rasio luas wilayah setiap Desa
terhadap luas wilayah Desa kabupaten/kota yang bersangkutan) + (30% x rasio IKG setiap
Desa terhadap total IKG Desa kabupaten/kota yang bersangkutan)]
// lampiran II/TATA CARA PENGHITUNGAN
Agar penghitungan Dana Desa setiap Desa berjalan tertib, transparan dan hasilnya dapat
dipertanggungjawabkan, maka diperlukan langkah-langkah operasional (tahapan) sebagai
berikut:
1. TAHAP PERSIAPAN
Pada tahap ini, kegiatan yang dilakukan meliputi penyiapan dokumen dan data terkait
serta file excel kertas kerja (worksheet) penghitungan.
2. TAHAP PELAKSANAAN
Pada tahap ini, kegiatan yang dilakukan meliputi menginput data terkait dan menghitung
alokasi.
3. TAHAP AKHIR
Pada tahap ini, kegiatan yang dilakukan meliputi memverifikasi kebenaran/validitas data
yang diinput, menguji hasil penghitungan dan menandatangani kertas kerja (worksheet) hasil
penghitungan serta menyimpan dokumen dan data komputer terkait.
// lampiran II/TATA CARA PENGHITUNGAN/TAHAP PERSIAPAN
3) Menghitung bagian alokasi formula Dana Desa setiap Desa dengan urutan sebagai berikut:
a) Rasio jumlah penduduk Desa (Rasio JP) pada kolom seting (5), dengan rumus:
Rasio JP= jumlah penduduk Desa :Total penduduk Desa kab.kota yg bersangkutan
b) Bobot jumlah penduduk Desa (bobot JP) pada kolom (6), dengan rumus:
Bobot JP = 25% x Rasio JP total
c) Rasio jumlah penduduk miskin Desa (Rasio JPM) pada kolom (8), dengan rumus:
Rasio JP = jumlah penduduk miskin Desa : total penduduk Desa miskin kab.kota yg
bersangkutan
d) d) Bobot jumlah penduduk miskin Desa (Bobot JPM) pada kolom (9), dengan rumus:
Bobot JPM= 35% x Rasio JPM
e) Rasio luas wilayah Desa (Rasio LW) pada kolom (11), dengan rumus:
Rasio LW = luas wilayah Desa : total luas wilayah Desa kab. yang bersangkutan
f) Bobot luas wilayah Desa (bobot LW) pada kolom (12), dengan rumus:
Bobot LW = 10% x Rasio LW
g) Rasio indeks kesulitan geografis Desa (Rasio IKG) pada kolom (14), dengan rumus:
Rasio IKG= IKG : Desa kab.kota yang bersangkutan
// lampiran II/TATA CARA PENGHITUNGAN/TAHAP AKHIR