Anda di halaman 1dari 6

Michael Foucault

Kekuasaan & Seksualitas


Ave Maretta Purba

Jelita Kartini Br
Pakpahan

Rosdiana Nababan
Michael Foucault
Michel Foucault adalah salah satu pemikir postmodernisme yang menyumbangkan ide dan pemikiran khas yang cukup
berpengaruh dalam perkembangan pengetahuan manusia. Analisisnya yang kritis dan tajam tentang berbagai hal, sejarah,
kekuasaan, dan pengetahuan mampu memberikan warna baru dalam pemikiran postmodernisme. Pemikiran Foucault tentang
kekuasaan, hubungan kuasa, pengetahuan banyak diperbincangkan dalam kajian post-strukturalisme.

Dalam bukunya The History of Sexuality: An Introduction (1976) Foucault mencoba melacak sejarah perkembangan seksualitas
dan kekuasaan. Menurut Foucault, sejarah seksualitas pada dasarnya adalah sejarah pembentukan wacana seksualitas melalui
kekuasaan (pikiran). Pada abad ke-18 M, seksualitas di dunia Barat awalnya hanya dipahami dalam pengertian badaniah
(body). Dalam bukunya The Archaeology of Knowledge (1969) Foucault menguraikan hubungan antara kekuasaan dan
pengetahuan. Foucault menolak pemahaman tentang kekuasaan yang bersifat negatif, membatasi, menghalangi, melarang.
Kekuasaan juga bukan hak milik atau kemampuan. Pola hubungan kekuasaan tidak berasal dari negara atau penguasa
(terpusat). Sebaliknya, kekuasaan bersifat positif, menyebar luas.

Kekuasaan menciptakan realitas dan wacana pengetahuan serta kebenaran yang baru. Kekuasaan melahirkan pengetahuan
baru. Sebaliknya, pengetahuan adalah kekuasaan untuk mendefinisikan yang lain. Pengetahuan menciptakan pengaruh-
pengaruh kekuasaan. Tanpa pengetahuan, tidak ada kuasa. Inilah: kuasa-pengetahuan (pouvoir-savoir).
Kekuasaan bukan sesuatu yang sudah ada, melainkan relasi
yang bekerja dalam ruang dan waktu tertentu.
Kekuasaan memproduksi kebenaran, karena kebenaran berada di dalam jaringan
relasi-relasi sirkular dengan sistem kekuasaan yang memproduksi kebenaran dan
menjaga kebenaran itu. Karena itu kebenaran tidak ada dengan sendirinya, dan
tidak berada di luar kekuasaan, tetapi berada dalam kekuasaan itu.
Oleh karena itu, kekuasaan adalah kebenaran.

Ia tidak berbicara tentang apa itu kuasa, tetapi bagaimana kuasa itu diperaktikkan, diterima dan dilihat sebagai
kebenaran, serta bagaimana kuasa berfungsi dalam bidang tertentu. Kuasa tidak hanya bekerja melalui intimidasi dan
kekerasan, tetapi pertama-pertama melalui aturan-aturan dan normalisasi. Kuasa ternyata berkaitan erat dengan
pengetahuan. Tidak ada pengetahuan tanpa kuasa dan tidak ada pula kuasa tanpa pengetahuan. Pelaksanaan kuasa itu,
bagi Foucault, tidak mungkin tanpa ada wacana yang bersifat esensial dalam setiap kebudayaan dan masyarakat.
Menurut Foucault, hakekat kekuasaan telah berubah. Kekuasaan tidak lagi berada di tangan satu orang atau lembaga, tetapi
tersebar luas dalam masyarakat dan cenderung tersembunyi. Perubahan itu disebabkan oleh berubahnya fondasi kekuasaan.
Dahulu fondasi kekuasaan adalah kehendak, baik kehendak raja atau rakyat, maka kekuasaan didapat melalui kumpulan kehendak,
kesepakatakan, perserikatan, dan partai politik. Kini, kekuasaan tidak lahir dari kehendak, tetapi melalui pengetahuan.

Pengetahuan tidak netral, tetapi politis, menunjang dan memberi kekuasaan. Tujuan ilmu pengetahuan sosial adalah mengetahui
dan mengendalikan tingkah laku manusia. Foucault memahami ilmu pengetahuan sosial sebagai alat penguasaan manusia atas
manusia, artinya untuk mengendalikan dan mempengaruhi putusan (tubuh dan jiwa orang lain). Tubuh dilihat sebagai mesin
hidup sebagai sumber daya dan tenaga kerja yang perlu dikendalikan dan dimanfaatkan guna kemajuan. Pada masyarakat
potsmodern melihat bentuk tubuh yang nampak atau nyata agar dapat diterima dilingkungan. Tubuh sekarang tidak dikuasai oleh
individunya lagi melainkan dikuasai oleh pasar yang dimana ketika individu memiliki tubuh yang sangat diinginkan oleh pasar,
individu tersebut akan dihargai dan diterima oleh masyarakat.

Kekuasaan beroperasi dan bukan dimiliki oleh oknum siapa pun dalam relasi-relasi pengetahuan, ilmu, lembaga-lembaga.
Lagipula sifatnya bukan represif, melainkan menormalisasikan susunan-susunan masyarakat. Kekuasaan tersebut beroperasi
secara tak sadar dalam jaringan kesadaran masyarakat. Karena kekuasaan tidak datang dari luar tapi menentukan susunan,
aturan-aturan, hubungan-hubungan itu dari dalam.
Sebagai contoh “perempuan diet atau tampil cantik untuk memenuhi kriteria
pasar”, yang dimana individu tersebut harus menampilkan tubuh mereka dengan
sebaik mungkin agar bisa mendapakan pekerjaan contohnya SPG . Contoh lain
misalnya karyawan yang secara berdisiplin bekerja sesuai dengan tugas-
tugasnya. Bahwa ketaatan karyawan tersebut bukan karena adanya represi dari
bos atau pimpinan namun karena adanya regulasi-regulasi dari dalam yang
menormalkan. Mereka bekerja dengan giat bukan saja hanya karena ada
ancaman atau tekanan tapi juga karena adanya semacam struktur diskursif yang
mengatakan akan ada penghargaan bagi karyawan yang berprestasi dalam
bekerja.
Terimakasih

Anda mungkin juga menyukai