I Pendahuluan
Ulasan tentang kekuasaan seolah-olah tidak pernah absen dari diskusi dan perdebatan
manusia sepanjang jaman. Kekuasan selalu menjadi tema aktual untuk dibicarakan. Tampilan
berita utama setiap surat kabar seperti Kompas, Jawa Pos dan sebagainya selalu menyajikan
ulasan penting seputar persoalan politik dan kekuasaan. Berita tentang kekacauan di Timur
Tengah, atau perhelatan politik yang terjadi akhir-akhir ini baik dalam negeri maupun luar
negeri, menunjukan bahwa manusia tidak puas dalam mengartikan dan memahami gagasan
tentang kekuasaan. Mengapa demikian? Karena berbicara tentang kekuasan berarti berbicara
dalam arti Hegel dilihat sebagai roh yang menggerakan hidup bersama atau dengan kata lain
berbicara tentang segala ketentuan dan kebijakkan yang menjadi jiwa dari dinamika hidup
bersama. Pemahaman akan kekuasaan suatu masyarakat selalu bertolak dari apa yang
dinamakan pengalaman bersama. Dalam tulisan ini, pembahasan tentang kekuasaan akan
difokuskan pada pemikiran Michel Foucault. Penulis akan menyajikan bagaimana Foucault
memahami dan mengartikan kekuasaan secara unik dan khas.
II Latar Belakang Pemikiran Michel Foucault
Paul Michel Polanyi (Poitiers, 5 Oktober 1926 Paris, 25 Juni 1984) adalah seorang filosof
Perancis, sejarawan, kritikus dan seorang sosiolog. Semasa hidupnya, ia memegang kursi jabatan di
Collge de France, dengan titel "Sejarah sistem pemikiran" (History of Systems of Thought" dan juga
mengajar di Universitas Kalifornia Berkeley.[1] Dengan titel yang disandangnya ini terlihat jelas bahwa
Foucault adalah pemikir yang kritis, kreatif dan terkemuka. Pemikirannya tidak hanya terbatas pada
ilmu filsafat atau kedokteran saja tetapi juga menyentuh persoalan sosial-politik dan etika. Hal ini
dilatarbelakag oleh situasi Prancis pada saat itu yang menekankan proses berpikir kretif dan kritis. Pada
masa pendidikannya di Prancis, filsafat menjadi ilmu yang banyak diminati oleh mahasiswa bahkan
kurikulum pendidikan di setiap universitas mewajibkan mahasiswanya untuk menekuni ilmu filsafat.
[2] Tidak mengherankan bahwa berbagai pemikiran dan ide-ide datang dan pergi karena setiap orang
diajak untuk berpikir kritis, kreatif dan mencapai penemuan-penemuan baru dalam bidang yang
digelutinya masing-masing. Dalam suasana hidup dan gaya berpikir seperti ini, Foucault akhirnya dapat
menyumbangkan ide-ide cemerlang dan memberikan terobosan baru dalam meneropong filsafat, ilmu
pengetahuan dan kekuasaan. Dan segala pemikirannya tidak pernah terlepas dari pengaruh pemikirpemikir kritis pada zaman itu. Sebut saja misalnya Nietzshe, filsuf Jerman dimana melalui ajarannya
telah memberi banyak inspirasi bagi Foucault khususnya dalam menggagas tentang keterkaitan antara
filsafat dan ilmu pengetahuan.[3]
Selanjutnya, untuk mengerti gagasan kekuasaan dari Foucault secara lebih baik, penulis
terlebih dahulu menunjukan disposisi gagasan ini dalam seluruh pemikirannya. Dalam seluruh
ajarannya, Foucault menulis tiga tema utama yang memiliki penekanan dan ciri khas tersendiri. Tema
pertama yang diutarakannya berkenaan dengan pembenaran pengetahuan. Bagi Foucault, pengetahuan
tidak hanya muncul dari proses berpikir kritis (rasio) tetapi juga muncul dan ada dalam hidup, karya,
percakapan dan peristiwa. Dengan sendiri, dia menekan adanya dimensiunreason dalam pengetahuan.
[4] Bagi penulis, sama seperti filosof dan ilmuwan Inggris yakni Michel Polanyi [5], Foucault juga
menekankan segala dimensi hidup manusia menjadi sebab pembentukan ilmu pengetahuan.
Selanjutnya, tema kedua yang digagasnya berkenaan dengankekuasaan. Foucault yang memiliki latar
belakang marxisme melihat bahwa kekuasaan bukanlah pertama perkara milik tetapi lebih sebagai
proses relasi antara berbagai kekuatan. [6] Kita dapat dengan mudah melihat bahwa kekuasaan bukan
hanya menjadi milik para pemerintah atau dalam konteks marxime, menjadi milik kaum masyarakat
kelas atas tetapi muncul karena relasi timbal balik antara subyek dalam hidup bersama.
Tema ketiga yang menjadi perhatian Foucault yakni subyek dan etika, Foucault secara eksplisit
menunjukan peran subyek dan nilai etis dalam hidup bersama. Foucault mengatakan bahwa kalau kita
menaruh perhatian yang benar akan diri kita sendiri, kita juga akan memberi perhatian yang layak
kepada orang lain.[7] Atau meminjam bahasa Heidegger, penulis dapat mengatakan sesama bukanlan
orang lain tetapi aku yang lain[8]. Hal ini menunjukan adanya penghargaan dan keterlibatan subyek
dalam hidup orang lain. Dari latar belakang pemikiran ini, kita dapat melihat betapa gagasan tentang
kekuasaan menjadi tema sentral dalam pemikirannya.
demokrasi. Karena dilihat dari gagasan umum demokrasi yang menjunjung tinggi kreatifitas dan
sikap kritis setiap subyek atau dengan kata lain adanya pengakuan kekuasaan setiap pribadi.
3.2. Mekanisme dan Strategi Kekuasaan
Konsekuensi dari paham kekuasaan Marxian yakni tidak adanya relasi kekuasaan antara
subyek, yang ada hanya monopoli kaum kelas atas dan perampasan segala hak milik kaum kecil.
Dan akibat dari paham kekuasaan Thomas Hobbes ialah adanya tindakan represif yang tiada
hentinya, kekerasaan, otoriter dan sebagainya. Kondisi seperti ini yang menodai makna
kekuasaan itu sendiri. Bagi penulis, mungkin berangkat dari keprihatinan seperti ini, Foucault
akhirnya menrefleksikan dan mengkritisi makna kekuasaan. Bagi Foucault kekuasaan lebih
menunjuk pada mekanisme dan strategi dalam mengatur hidup bersama.[12] Dalam arti ini
kekuasan mengasalkan diri dari berbagai sumber dan memiliki keterkaitan satu terhadap yang
lain. Adanya pengakuan struktur-struktur yang menjalankan fungsi tertentu dan dalam struktur
itulah kekuasaan mengasalkan dirinya. Dari gagasan kekuasaan sebagai suatu strategi dan
mekanisme; penulis memaparkan beberapa metedologis kekuasaan yang menjadi fokus perhatian
Foucault.
Pertama; peran hukum dan aturan-aturan. Foucault mengatakan kuasa tidak selalu
bekerja melalui represif dan intimidasi melainkan pertama-tapa bekerja melalui aturan-aturan
dan normalisasi.[13] Segala aturan dan hukum pertama tidak dilihat sebagai hasil dari ketentuan
pemimpin atau institusi tertentu tetapi sebagai sintesis dari kekuasaan setiap orang yang lahir
karena perjanjian. Segala aturan yang lahir karena konsensus bersama memiliki kekuatan yang
lebih dalam hidup bersama. Kedua, tujuan kekuasaaan. Tujuan dari adanya mekanisme
kekuasaan ialah membentuk setiap individu untuk memiliki dedikasi dan disiplin diri agar
menjadi pribadi yang produktif.[14] Setiap orang diberi ruang untuk berpikir, berkembang dan
dengan bebas menyampaikan aspirasinya demi kemajuan bersama.
Ketiga, Kekuaaan itu tidak dilokalisasi tetapi terdapat di mana-mana. Kesadaran akan
kekuatan dari suatu negara dan masyarakat tidak dibatasi hanya dari para pemimpin tetapi atas
kerjasama setiap pribadi dan lembaga yang memiliki orientasi produktif. Misalnya, dengan
adanya ruang komunikasi antara pemimpin dan warganya, kesatuan tercipta dalam suasana
dialogis dan mengarah kepada cita-cita bersama. Keempat, kekuasaan yang mengarah ke atas.
[15] Dalam arti ini, kekuasaan setiap orang dan lembaga dikomunikasikan sedemikian rupa
sehingga membentuk konsensus bersama. Atau dengan kata lain hasil dari proses komunikasi
kekuasaan bersama akan menghasilkan kekuasaan bersama atau dalam bahasa, Thomas Kuhn,
adanya paradigma bersama.[16] Kelima, kombinasi antara kekuasaan dan Ideologi. Setiap
anggota dalam masyarakat kurang lebih memiliki impian yang sama yaitu adanya pengakuan hal
setiap orang yang terarah pada kesejahteraan bersama. Harapan ini harus berjalan bersama
dengan kekuasaan bersama. Segala hukum dan aturan diarahkan untuk mencapai tujuan tersebut.
Dari kelima point di atas, kita melihat dengan jelas adanya perbedaan menyolok antara
gagasan Foucault dengan para pemikir abad modern. Misalya, Machiavelli yang melihat
kesejahteraan bersama tidak ditentukan oleh konsensus bersama tetapi oleh penguasa.
Machievelli mengatakan Orientasi kekuasaan tertuju kepada apa yang dinamakan penguasa
artinya merujuk pada pemimpin negara. Dimana dikatakan bahwa seorang penguasa harus bisa
membentuk opini umum dalam mengendalikan tingkah laku warganya.[17] Dalam arti ini,
penguasa memiliki kuasa mutlak untuk mengatur negara. Tidak ada aturan dan hukun yang
muncul sebagai akibat perjanjian setiap subyek. Dengan membandingkan kedua gagasan ini,
kita dapat melihat bahwa arti kekuasaan dan jiwa yang menggerakan hidup bersama memiliki
titik tolak yang berbeda. Bagi penulis, Foucault menjunjung tinggi pada proses kreatif dan kritis
setiap orang dalam membangun ideologi bersama.
3.3. Kekuasaan dan Pengetahuan
Bagi Foucault, kekuasaan tidak pernah lepas dari pengetahuan. Untuk itu, Foucault
mengatakan bahwa kekuasaaan menghasilkan pengetahuan. Kekuasaan dan pengetahuan
saling terkait tidak ada hubungan kekuasaan tanpa pembentukan yang terkait dengan bidang
pengetahuan, dan tidak ada pengetahuan yang tidak mengandaikan serta tidak membentuk
sekaligus hubungan kekuasaan(Surveiller et Punir (1975), hal. 36).[18] Ketika berbicara kaitan
antara kekuasaan dan pengetahuan secara tidak langsung bersentuhan dengan kodrat manusia
mencari dan mengetahui. Penulis boleh mengatakan bahwa usaha mengetahui dalam konteks
kekuasaan menurut Foucault harus diletakan dalam ranah sosietas. Ada banyak indikasi
keterkaitan antara keduannya. Yang pertama ialah peran bahasa. Bagi Foucault, bahasa menjadi
sarana dalam mengartikulasikan kekuasaan. Gagasan ini sejalan dengan apa yang dikatakan
Habermas yang melihat bahasa bukan hanya sebagai alat komunikasi tetapi memilikipowerfullty
propaganda dan wacana. Atau dengan kata lain, dengan menerapkan teori emansipatoris,
Habermas menunjukan kekuasan atau politik juga menunjukan pola komunikatif, diskursif, kritis
dalam hidup sosial. Oleh karena itu, tidak ada kekuasaan yang dijalankan dengan kekerasan
karena kekuasaan terjadi dalam situasi komunikatif diantara orang-orang yang
sedangmencari dan berusaha untuk mengetahui esensi dari hidup bersama.[19] Bagi penulis,
Foucoult bukan tanpa dasar meletakkan pengetahuan sebagai dasar kekuasaan agar di dalamnya
orang diajak untuk berpikir dan bertindak kritis bukan hanya timbul dari luapan emosi semata.
Selain itu, dengan melukiskan penjara sebagai tempat pembentukan kekuasaan, Foucault
menunjukan pentingnya mekanisme kekuasaan.[20] Kekuasaan setiap orang perlu ditata sebaik
mungkin demi terjaminya kesejahteraan. Pengakuan akan adanya berbagai bidang dalam
kehidupan tidak pernah terlepas dari pengaruh berbagai bidang ilmu pengetahuan. Ilmu-ilmu
pengtahuan secara tidak sadar membentuk karakter kehidupan suatu masyarakat misalnya saja,
negara-negara Eropa yang mengalami kemajaun begitu pesat dalam berbagai bidang kehidupdan
disadar bahwa hal ini didorong oleh semangat mereka untuk mengembangkan berbagai bidang
ilmu pengetahuan secara efektif. Selain itu, setiap ilmu pengetahuan memiliki otonimitas
kekuasaan misalnya sosiologi, antropologi, matematika, politik, fisika, kimia dan sebagainya.
Ilmu-ilmu pengetahuan tersebut memberi sumbangan dalam hidup bermasyarakat. Kekuasaan
dan kekuatan dari setiap bidang ilmu pengetahuan secara tidak sadar menjadi dasar dan
membangkitkan ideologi bersama untuk mencapai cita-cita hidup bersama. Untuk itu, kekuasaan
dalam pengertian Foucault tidak menunjuk pada figur atau bidang tertentu tetapi meliputi segala
dimensi kehidupan manusia.
IV. Tinjauan kritis dan Relevansi
Pemikiran Foucault memberi sumbangan besar dalam alam pemikiran filsafat khususnya
dalam menelitik gagasan tentang kekuasaan. Kekuasaan pertama-tama bukan merujuk
pada kepemilikan tetapi lebih dilihat sebagai mekanisme dan strategi kekuasaan. Itu berarti
Foucault melihat kekuasaan bukan semata konsep tetapi kekuasaan itu ada di mana-mana dan
dipraktikan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan menunjukkan keterkaitan antara pengetahuan
dan kekuasaan, pemikiran Foucault memberikan pengaruh bagi pemikir-pemikir sejamannya
seperti Roland Barthes, Louis Althusser. Dan karena ketajamannya berpikir, Foucault kemudian
digolongkan sebagai filosof strukturalisme. Tetapi Foucault sendiri menepis tuduhan tersebut, dia
ingin terus mengalami proses kreatif fan kritis dalam berpikir sehingga pemikirannya bisa
berubah sesuai dengan fakta dan kebenaran yang berkata-kata. Dengan gagasan-gagasannya,
Foucault telah memberi sumbangan besar bagi dunia dalam memahami pengertian kekuasaan
yang lebih orisinal.
Bagi penulis, meskipun Foucault diakui sebagai filosof besar, pemikirannya tidak pernah
lepas dari kritik, Penulis mencoba menyoroti satu kecenderungan yang diabaikan Foucault dalam
meneropong kekuasaan. Foucault pertama-tama hanya menjelaskan kekuasaan dalam arti global
dan tidak menunjukan secara spesifik bagaimana bentuk kekuasaan yang dipraktikan oleh setiap
subyek serta bagaimana kekuasaan setiap subyek dan lembaga membentuk kekuasaan bersama?
Bagi penulis mau tidak mau pemimpin dalam arti tertentu harus memiliki kekuasan yang lebih
dari masyarakat biasa? Lalu jika otonomitas kekuasaan setiap subyek dan lembaga tidak terarah
dan sejalan dengan ideologi dan mimpi bersama, bagaimana kekuasaan tersebut bisa dijalankan
dan diaplikasikan? Misalnya saja, Indonesia terdiri atas berbagai kelompok jemaah, misalnya
Muslim sendiri memiliki beberapa aliran seperti NU. Muhamadyah, Ahmadyah dan sebagainya.
Setiap aliran memiliki otonomitas kekuasaannya sendiri dan ada beberapa butir ajaran dari aliran
tersebut yang sama sekali tidak mengakomodasi kepentingan seluruh rakyat. Bagaimana hal ini
bisa dijalankan? Penulis mengamini apa yang dikatakan Foucault bahwa kekuasaan itu harus
dipraktikan seperti pada kasus di atas, tetapi harus disadari bahwa tidak semua kekuasaan bisa
dipraktikan dalam kehidupan bersama yang heterogen. Selain itu, terminologi kekuasaan sebagai
kepemilikan tetapi diaktualkan kepada pemimpin, konstitusi dan aparatur negara hanya saja
kepemilikan semacan itu dilihat sebagai sintesis dari kekuasaan setiap subyek atau lembaga yang
ada dalam negara tersebut. Penulis berpikir bahwa paham demokrasi lebih memilih gagasan
demikian untuk menghinari penyelewengan yang terjadi oleh karena ulah para koruptor,
pemberontak yang mensalahartikan kekuasaan.
Lalu apa yang menjadi relevansi pemikiran Foucault tentang kekuasaan? Bagi penulis,
gagasan tentang kekuasaan sebagai mekanisme dan strategis serentak menguburkan sistem
pemerintahan negara tirani dan otoriter karena di dalam kekuasaan sebagai mekanisme,
kekuasaan pertama-tama ada dalam diri setiap subyek dan lembaga-lembaga yang terbentuk.
Kekuasaan negara dilihat sebagai sintesis dari kekuasaan setiap subyek tersebut. Ada slogan
terkenal, pemerintaha dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Dalam arti dalam negara hak,
kreatifitas, tuntutan kesejahteraan hidup setiap subyek dijunjung tinggi. Bangsa Indonesia sendiri
sedang dalam proses menata strategi dan mekanisme kekuasaan yang lebih solid setelah sekian
lama secara tidak sadar dimanipulasi oleh kekuasaan dalam arti milik. Kasus korupsi,
terorisme, perdagangan perempuan perlahan-lahan mulai dibasmi. Sistem pemerintah dan
perundang-undangan mulai dibenah, otonimitas dan kreatifitas setiap lembaga pemerintahan baik
sosial, ekonomi mapun politik mulai digalakkan. Inilah tanda-tanda kesadaran akan penting
kekuasaan sebagai suatu strategi dan mekanisme.
Akhirnya, tema tentang kekuasaan menurut Foucault tidak pernah selesai untuk dikatakan
karena aktualisasi pemahaman ini sedemikian efektif dan membawa setiap masyarakat kepada
kemajuan yang tiada hentinya. Sistem pemerintahan akan berjalan dengan baik apabila adanya
saling percaya dan kerjasama antara subyek dalam masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Bertens, K., Filsafat Barat Kontemporer Prancis,Jakarta: Gramedia, 2006.
Foucault, Michael, Seks dan kekuasaan, terj. Rahayu S. Hidayat, Jakarta: PT. Sun, 1997.
Foucault, Michael, Wacana Kuasa/ Pengetahuan, diterj. Yudi Santoso, Yogyakarta: Bentang
Budaya, 200.
Hardiman, F. Budi, Filsafat Modern, Jakarta: Gramedia, 2007.
Haryatmoko, Dr., Etika Politik dan Kekuasaan, Jakarta: Kompas, 2003.
Kebung, Konrad, Dr, SVD, Rasionalisasi dan Penemuan Ide-Ide, Jakarta: Prestasi Pustaka,
2008.
Polanyi, Michael, Segi Tak Terungkap dari Pengetahuan, Jakarta:Gramedia, 2002, hal. 4.
Riyanto, E. Armada, Prof. Dr., Politik, Sejarah, Identitas, Postmodernitas, Malang: Widya
Sasana publication, 2009.
Data Internet:
http://id.wikipedia.org/wiki/Michel_Foucault, 9 mei 2010.
[14] Dr. Haryatmoko, Etika Politik dan Kekuasaan, (Jakarta: Kompas, 2003), hal. 22.
[15] Michael Foucault, Op. Cit, hal. 127.
[16] Kuhn melihat bahwa pandangan dasar setiap orang dikomunikasikasi bersama sehingga mencapai adanyan
pandangan dasar bersama. Paradigma pertama-tama tidak merujuk kepada pandangan setiap orang tetapi merujuk
padangan dasar bersama. Thomas Kuhn, Peran Paradigma dalam Revolusi Sains, terj. Tjun Sumarjan, (Bandung:
Remaja Rosdarya, 2000), hal. 43.
[17] Dr. Haryatmoko, Op. Cit, hal. 223.
[18],Ibid., hal. 224.
[19] Prof. Dr. Armada Ryanto, Op. Cit., hal. 22.
[20] Dr. Haryatmoko, Op. Cit., hal. 227.
refleksi kebudayaan dan filosofisnya. Filsafat politik tradisional selalu berorientasi pada
soal legitimasi. Kekuasaan adalah sesuatu yang dilegitimasikan secara metafisis kepada
negara yang memungkinkan negara dapat mewajibkan semua orang untuk
mematuhinya. Namun menurut Foucault, kekuasaan bukanlah sesuatu yang hanya
dikuasai oleh negara, sesuatu yang dapat diukur. Kekuasaan ada di mana-mana, karena
kekuasaan adalah satu dimensi dari relasi. Di mana ada relasi, di sana ada kekuasaan.
[5]
Kuasa itu ada di mana-mana dan muncul dari relasi-relasi antara pelbagai kekuatan,
terjadi secara mutlak dan tidak tergantung dari kesadaran manusia. Kekuasaan
hanyalah sebuah strategi. Strategi ini berlangsung di mana-mana dan di sana terdapat
sistem, aturan, susunan dan regulasi. Kekuasaan ini tidak datang dari luar, melainkan
kekuasaan menentukan susunan, aturan dan hubungan-hubungan dari dalam dan
memungkinkan semuanya terjadi.[6]
3.2. Konsep Kekuasaan Michel Foucault
Seperti telah diuraikan pada bagian sebelumnya, konsep kekuasaan Foucault
sebenarnya banyak dipengaruhi oleh Nietzsche. Ia melihat ada kesamaan pikiran
Nietzsche tentang genealogi dengan pikirannya tentang arkeologi tapi ada unsur dalam
genealogi Nietzsche yang belum nampak yaitu kuasa. Selanjutnya akan dipaparkan
beberapa pandangan Foucault tentang kekuasaan berdasarkan beberapa karyanya.
3.2.1. Kekuasaan dan Ilmu Pengetahuan
Dalam karyanya The Order of Things, Archeology of Human Sciences, Foucault
menunjukkan bahwa ada dua perubahan besar yang terjadi dalam bentuk umum
pemikiran dan teorinya. Yang pertama terjadi pada pertengahan abad ketujuhbelas,
yang kedua pada awal abad kesembilan belas.[7] Setelah menganalisis diskursus ilmu
pengetahuan abad 17 dan 18 seputar sejarah alam, teori uang dan nilai dan tata bahasa,
Foucault mengambil kesimpulan bahwa pusat ilmu pengetahuan pada waktu ini adalah
tabel. Orang hendak merepresentasikan realitas dalam tabel. Tabel adalah satu sistem
tanda, satu bentuk taksonomi umum dan sistematis dari benda-benda.[8] Dengan
konsentrasi pada tabel, pengetahuan pada masa ini menjadi ahistoris.
Pada akhir abad ke18 (setelah revolusi Prancis) sampai pertengahan abad 20 (Perang
Dunia II), konsentrasi wacana ilmiah pada masa ini adalah sejarah dan manusia sebagai
subjeknya. Manusia dibebaskan dari segala alienasi dan bebas dari determinasi dari
segala sesuatu. Manusia menjadi objek pengetahuan dan dengan demikian dia menjadi
subjek dari kebebasan dan eksistensinya sendiri.[9] Manusia menjadi pusat pemikiran.
Hal ini terlihat dalam perkembangan ilmu-ilmu sosial dan psikologi.
Objek penelitian Foucault dalam karya ini adalah kondisi-kondisi dasar yang
menyebabkan lahirnya satu diskursus. Di sini Foucault menunjukkan hubungan antara
diskursus ilmu pengetahuan dengan kekuasaan. Diskursus ilmu pengetahuan yang
hendak menemukan yang benar dan yang palsu pada dasarnya dimotori oleh kehendak
untuk berkuasa. Ilmu pengetahuan dilaksanakan untuk menetapkan apa yang benar
dan mengeliminasi apa yang dipandang palsu.
Di sini menjadi jelas bahwa kehendak untuk kebenaran adalah ungkapan dari kehendak
untuk berkuasa. Tidak mungkin pengetahuan itu netral dan murni. Di sini selalu terjadi
korelasi yaitu pengetahuan mengandung kuasa seperti juga kuasa mengandung
pengetahuan.[10] Penjelasan ilmiah yang satu berusaha menguasai dengan
menyingkirkan penjelasan ilmu yang lain. Selain itu, ilmu pengetahuan yang terwujud
dalam teknologi gampang digunakan untuk memaksakan sesuatu kepada masyarakat.
Karena dalam zaman teknologi tinggi pun sebenarnya tetap ada pemaksanaan, maka
kita tidak dapat berbicara tentang kemajuan peradaban. Yang terjadi hanyalah
pergeseran instrumen yang dipakai untuk memaksa.
3.2.2. Kegilaan dan Peradaban
Foucault melihat praktek pengkaplingan yang memisah-misahkan orang-orang yang
sakit dari orang sehat, yang normal dari yang tidak normal merupakan salah satu
bentuk aplikasi kekuasaan seseorang atau satu kelompok orang atas yang lain. Foucault
menemukan bahwa pada zaman Renaissance, kegilaan dan penalaran memiliki relasi
yang erat, keduanya tidak terpisah, sebab keduanya menggunakan bahasa yang sama.
Masyarakat tampaknya tidak menolak gagasan-gagasan dan tindakan-tindakan brilian
yang lahir dari orang-orang yang dicap gila. Kegilaan adalah kebebasan imaginasi, dan
masih menjadi bagian dari kehidupan masyarakat dalam zaman renaissance.[11]
Namun pada zaman setelahnya (1650-1800), dialog antara kegilaan dan penalaran
mengalami pembungkaman.[12] Keduanya dilaksanakan dalam bahasa yang berbeda,
dan akhirnya bermuara pada penaklukan kegilaan oleh penalaran, perlahan kegilaan
menjadi sesuatu yang asing dan disingkirkan dari kehidupan yang harus dijiwai
kelogisan. Bersamaan dengan itu, kegilaan harus disingkirkan dari masyarakat yang
normal. Kegilaan telah menjadi satu tema yang membuat masyarakat terpisah dan
terpecah.
Apa yang terjadi dengan orang gila, berjalan beriringan dengan apa yang terjadi dengan
para penjahat, orang-orang miskin dan gelandangan. Mereka semua mulai disingkirkan,
dalam bentuk penjara, rumah sakit umum, rumah sakit jiwa dan ditertibkan oleh sosok
polisi dan pengadilan. Semua lembaga ini adalah bentuk yang digunakan oleh penguasa
untuk menerapkan kekuasaannya atas masyarakat.[13] Pengangguran adalah satu
persoalan sosial, demikian juga semua yang menjadi alasan pengangguran, seperti
kegilaan atau sakit. Orang gila dikaitkan dengan orang miskin dan penganggur. Dengan
ini, etika menjadi persoalan negara. Negara dibenarkan menerapkan hukuman atas
pelanggaran moral. Hukuman mati yang dipertontonkan adalah satu bukti cara
pandang seperti ini. Dengan ini sekaligus hendak ditunjukkan bahwa ada kekuasaan.
Eksekusi adalah tontonan yang luar biasa dan bentuk pemakluman yang paling efektif
dari adanya kekuasaan yang mengontrol.
Dengan demikian, kita dapat melihat inti dari teori Foucault di sini menunjukkan
bahwa sakit mental hanya muncul sebagai sakit mental dalam satu kebudayaan yang
mendefinisikannya sebagai demikian. Karena menyangkut definisi, maka di dalam sakit
mental sebenarnya kekuasaan mendominasi. Kegilaan adalah yang berbeda dari yang
biasa, dan karena yang biasa dicirikan oleh produktivitas, maka kegilaan adalah tidak
adanya produktivitas. Penanganan kegilaan adalah satu bentuk aplikasi kekuasaan
seseorang atau satu kelompok orang atas yang lain, bukan pertama-tama masalah
pengetahuan psikologis.[14]
3.2.3. Kekuasaan dan Seksualitas
Dominasi kekuasaan juga dapat dilihat dalam analisis atas tema seksualitas. Foucault
melihat seksualitas sebagai pengalihan pemahaman tentang kekuasaan. Bagaimana
seksualitas diwacanakan adalah ungkapan dari kekuasaan. Pembicaraan yang terbuka
tentang seks menurut Foucault, adalah demi mengatur dan mencatat jumlah kelahiran.
Masalah penduduk adalah masalah sosial, dan masalah ini berhubungan dengan
seksualitas. Karena itu, kekuasaan berusaha mempelajari dan mengintervensi
Genealogi Kekuasaan
Dalam tahap arkeologi, Foucault telah melakukan distingsi terhadap formasi-formasi diskursif
dengan formasi nondiskursif. Mutasi penyebaran formasi diskursif dipandang sebagai proses
independen dari formasi non diskursif seperti institusi. Pada tahap genealoginya Foucault
mempunyai pandangan yang sedikit berbeda terhadap formasi non diskursif. Karena dengan
mengandalkan formasi diskursif saja untuk menganalisa rezim kuasa kebenaran pada suatu
jaman hanyalah impian yang bersifat ilusif. Sumber dari pemikirannya ini adalah essainya
dalam kuliah di College de France pada tahun 1970 yang berjudul Lorde du Discourse.
Dalam essainya itu disebutkan bahwa penyebaran formasi diskursif dalam kerangka
pembentukan rezim kuasa kebenaran yang sebelumnya dikatakan bersifat alamiah, ternyata
tidak bisa lepas dan tidak bisa bebas dari limitasi, seleksi dan kontrol dari sekian banyak
formasi non diskursif. Poin sentralnya adalah bahwa diskursus itu berbahaya dan kekuasaan
berusaha mengontrolnya. Foucault mendefinisikan ada empat domain dimana diskursus
dianggap membahayakan, yakni: politik (kekuasaan), seksualitas (hasrat), kegilaan dan secara
umum apa yang dianggap benar atau palsu. Sama dengan Nietzsche yang mengidentifikasikan
hasrat untuk kebenaran dan hasrat untuk berkuasa. Foucault menolak bahwa ilmu
pengetahuan itu dikejar untuk kepentingan ilmu pengetahuan itu sendiri, bukan untuk
kepentingan kekuasaan. Diskursus tentang kegilaan, politik ataupun seksualitas terpahami
selama diarahkan pada pencapaian kekuasaan.
Pada tahun 1971 Foucault mempublikasikan essainya yang berjudul Nietzsche, Genealogy
History yang menandakan selesainya masa transisi pemikiran Foucault dari era Arkeologi
menuju ke Genealogi. Metode analisis diskursusnya bukan lagi model analisis teks, tapi sudah
menuju pada analisis tubuh. Walaupun metode ini terinspirasi dari model Nietzsche, namun
Foucault membuatnya berubah karakter sehingga genealogi yang tampil adalah dengan ciri
dan gaya khas Foucault.
Perbedaan yang khas antara genealogi Nietzsche dengan Foucault adalah jikalau genealogi
Nietzsche menjadi sebuah alat analisis yang mempertanyakan dan membongkar adanya
afiliasi-afiliasi masa lalu yang membuat ikatan-ikatan atau karakter masyarakat menjadi
mengidentifikasi diri dengan hal-hal tertentu, (contoh bagaimana ketika Jerman
mengidentifikasi diri memiliki double soul atas segala kebencian tak berdasar pada ras Yahudi)
ini bisa kita lacak bagaimana pengidentifikasian ini muncul. Karakter-karakter tersebut lahir
dari suatu proses konfrontasi yang panjang yang tumbuh dari permainan dominasi-dominasi
yang melibatkan humanisme. Proses humanisme adalah proses yang berjalan pada individu
sebagai bagian terkecil dari masyarakat, yang menyebabkan pikiran, tubuh, sampai moral
memiliki identitas tertentu. Maka dengan genealogi Nietzsche berusaha membalik analisis
tersebut dengan melacak titik konfrontasi, titik-titik dominasi dimana penyelewengan yang
menumbuhkan ilusi itu terjadi.Hal ini dapat ditegaskan bahwa genealogi Nietzsche bergerak
pada bidang humanisme dengan berusaha menciptakan tatanan moral diatas tatanan moral
yang oleh Nietzsche dikatakan telah ambruk.
Sementara Foucault mengambil fokus genealoginya pada proses pembentukan tubuh. Genalogi
Foucault berusaha memperlihatkan bagaimana relasi-relasi kekuasaan dan pengetahuan
berjalan untuk menguasai, mengontrol serta menundukkan tubuh manusia-manusia modern
Eropa hingga seperti yang terjadi sekarang.
Jadi pada tahap ini Foucault berusaha mendudukkan antara kekuasaan dan diskursus. Ia ingin
mengupas tentang bagaimana tubuh manusia meregulasi diri, mengontrol diri di bawah
kendali kekuasaan yang direpresentasikan oleh pengetahuan yang diamini kebenarannya.
E.
itu banyak digunakan oleh para ahli sejarah, politik dan sosial.(Haryatmoko, 2002:10)
Foucault memperlihatkan cara membaca yang berbeda tentang kekuasaan. Cara Foucault
memahami kekuasaan sangat orisinal. Menurut Foucault kekuasaan tidak dimiliki dan
dipraktekkan dalam suatu ruang lingkup di mana ada banyak posisi yang secara strategis
berkaitan antara satu dengan yang lain. Foucault meneliti Kekuasaan lebih pada individu,
subjek dalam lingkup yang paling kecil. Karena kekuasaan menyebar tanpa bisa dilokalisasi
dan meresap ke dalam seluruh jalinan perhubungan sosial. Kekuasaan beroperasi dan bukan
dimiliki oleh oknum siapa pun dalam relasi-relasi pengetahuan, ilmu, lembaga-lembaga.
Lagipula sifatnya bukan represif, melainkan menormalisasikan susunan-susunan masyarakat.
Kekuasaan tersebut beroperasi secara tak sadar dalam jaringan kesadaran masyarakat. Karena
kekuasaan tidak datang dari luar tapi menentukan susunan, aturan-aturan, hubunganhubungan itu dari dalam. Sebagai contoh dapat disebutkan bahwa hubungan keluarga yang
menormalkan bahwa suami adalah yang harus bekerja untuk mencari nafkah sementara isteri
hanya bertugas mengurusi rumah tangga serta merawat anak-anaknya. Atau contoh lain
misalnya tentang karyawan yang secara berdisiplin bekerja sesuai dengan tugas-tugasnya.
Bahwa ketaatan karyawan tersebut bukan karena adanya represi dari bos atau pimpinan
namun karena adanya regulasi-regulasi dari dalam yang menormalkan. Mereka bekerja dengan
giat bukan saja hanya karena ada ancaman atau tekanan tapi juga karena adanya semacam
struktur diskursif yang mengatakan akan ada penghargaan bagi karyawan yang berprestasi
dalam bekerja.
Setiap masyarakat mengenal strategi kuasa yang menyangkut kebenaran. Beberapa diskursus
diterima dan diedarkan sebagai benar, ada instansi-instansi yang menjamin perbedaan antara
benar dan tidak benar. Ada macam-macam aturan dan prosedur untuk memperoleh dan
menyebarkan kekuasaan.
Bagi Foucault kekuasaan selalu teraktualisasi lewat pengetahuan, dan pengetahuan selalu
punya efek kuasa. Penyelenggaraan pengetahuan menurut Foucault selau memproduksi
pengetahuan sebagai basis kekuasaan. Hampir tidak mungkin kekuasaan tidak ditopang
dengan suatu ekonomi wacana kebenaran.
Pengetahuan tidak merupakan pengungkapan samar-samar dari relasi kuasa, namun
pengetahuan berada dalam relasi-relasi kuasa itu sendiri. Kuasa memprodusir pengetahuan
dan bukan saja karena pengetahuan berguna bagi kuasa. Tidak ada pengetahuan tanpa kuasa
dan sebaliknya tidak ada kuasa tanpa pengetahuan. Konsep Foucault ini membawa
konsekuensi, untuk mengetahui kekuasaan dibutuhkan penelitian mengenai produksi
pengetahuan yang melandasi kekuasaan. Karena setiap kekuasaan disusun, dimapankan, dan
diwujudkan lewat pengetahuan dan wacana tertentu. Wacana tertentu menghasilkan
kebenaran dan pengetahuan tertentu, yang menimbulkan efek kuasa.
Namun Foucault berpendapat bahwa kebenaran di sini bukan sebagai hal yang turun dari
langit, dan bukan juga sebagai sebuah konsep yang abstrak. Kebenaran di sini diproduksi,
karena setiap kekuasaan menghasilkan dan memproduksi kebenaran sendiri melalui mana
khalayak digiring untuk mengikuti kebenaran yang telah ditetapkan tersebut. Di sini
kekuasaan selalu berpretensi menghasilkan rezim kebenaran tertentu yang disebarkan oleh
wacana yang diproduksi dan dibentuk oleh kekuasaan.
Dalam masyarakat modern, semua tempat berlangsungnya kekuasaan juga menjadi tempat
pengetahuan. Dalam penelitiannya Foucault meneliti fenomena kegilaan yang menjadi lahan
subur bagi berkembangnya bidang-bidang keilmuan seperti psikiatri, psikologi, kedokteran,
sosiologi, kriminologi bahkan teologi. Produksi mendorong perkembangan ilmu ekonomi,
sosiologi, psikologi. Demikian sebaliknya, semua pengetahuan memungkinkan dan menjamin
beroperasinya kekuasaan. Kehendak untuk mengetahui menjadi proses dominasi terhadap
objek-objek dan terhadap manusia. Pengetahuan adalah cara bagaimana kekuasaan
memaksakan diri kepada subjek tanpa memberi kesan bahwa ia datang dari subjek tertentu.
Karena kriteria keilmiahan seakan-akan mandiri terhadap subjek. Padahal klaim ini
sebenarnya merupakan salah satu bagian dari strategi kekuasaan.
Foucault mendefinisikan strategi kekuasaan sebagai melekat pada kehendak untuk
mengetahui. Melalui wacana, kehendak untuk mengetahui terumus dalam pengetahuan.
Wacana bukan muncul begitu saja akan tetapi diproduksi oleh zamannya masing-masing.
Menurut Foucault, pandangan kita tentang suatu objek dibentuk dalam batas-batas yang telah
ditentukan oleh struktur diskursif tersebut; wacana dicirikan oleh batasan bidang dari objek,
definisi dari perspektif yang paling dipercaya dan dipandang paling benar. Persepsi kita
tentang suatu objek dibatasi oleh praktek diskursif ; dibatasi oleh pandangan yang
mendefinisikan sesuatu bahwa ini benar dan yang lain salah. Ini seperti kalau kita mendengar
kata dangdut, maka bayangan kita akan mengarah pada satu jenis musik yang tak lepas dari
goyang. Wacana tertentu membatasi pandangan khalayak, mengarahkan pada jalan pikiran
tertentu dan menghayati itu sebagai sesuatu yang benar. Wacana merupakan sebuah arena di
mana khalayak berpikir dengan jalan tertentu, bukan yang lain.
Wacana mampu menepis segala hal yang tidak termasuk dalam garis ketentuannya namun
juga bisa memasukkan apa yang dianggap oleh struktur diskursif yang membentuknya benar.
Dalam hal ini objek bisa jadi tidak berubah namun struktur diskursif dibuat, menjadikan objek
tersebut berubah. Seperti contoh bakteri di lautan yang dahulu dikategorikan sebagai hewan,
namun kini ia dikategorikan dan diklasifikasikan sebagai tumbuhan. Dalam hal ini tidak ada
yang berubah dari objek bakteri tersebut, namun karena ada struktur diskursif yang
melingkupinya kemudian kita memperlakukan dan mempelajari dan menempelkan sifat-sifat
makhluk itu pada tumbuhan.
Dalam perkembangan masyarakat modern tak bisa lepas dari peran media massa. Media massa
bukan saja berperan sebagai penyampai informasi bagi masyarakat, namun lebih dari itu
media juga berperan bagi pembentukan wacana yang akan melatari setiap zamannya. Apalagi
dengan berkembangnya teknologi informasi yang semakin pesat, menjadikan media massa
sangat mempengaruhi segala lini kehidupan masyarakat.
F.
Penutup
Michel Foucault yang telah menciptakan tentang relasi Kekuasaan- Pengetahuan. Pengetahuan
dan Kekuasaan mempunyai hubungan timbal balik. Penyelenggaraan kekuasaan terus menerus
akan menciptakan entitas pengetahuan, begitu pun sebaliknya penyelenggaraan pengetahuan
akan menimbulkan efek kekuasaan.
DAFTAR PUSTAKA
Kamus Filsafat, (Bandung, PT Remaja Rosdakarya), 1995
Lydia, Foucault, Foucault Untuk Pemula Kanisius, 2001
Seno Joko Suyono, Tubuh Yang Rasis, Telaah Kritis Michel Foucault atas Dasar-dasar
pembentukan Diri Kelas Menengah Eropa, (Jogjakarta, Pustaka Pelajar, 2001)
K. Bertens, Filsafat Barat Kontemporer, (Jogjakarta, Kanisius),hal.302.
George ritzer, Teori Sosial Postmodern, terj. (Jojakarta, Kreasi Wacana, 2003)
Eriyanto, Analisis Wacana Pengantar Analisis Teks Media, LKiS, 2003.
Haryatmoko, Kekuasan melahirkan Anti Kekuasaan dalam Jurnal Basis No 01-02 Tahun ke51, Januari-Februari 2002.
Lydia Alix Fillingham, Foucault Untuk Pemula Kanisius, 2001, hal. 12
George Junus Aditjondro, Pengetahuan-Pengetahuan Lokal yang Tertindas Jurnal kalam No.
1, 1994
Read more: http://syafieh.blogspot.com/2013/03/pengetahuan-dan-kekuasaandalam.html#ixzz3OHkwB7qa
tahap
kekiri-kirian dan utopisme revolusioner. Michel Foucault mengkritik freudomarxisme dengan memperlihatkan keduanya merupakan bagian bidang
pengetahuan yang sama, atau setidaknya berasal dari prakonsepsi yang
sama: kekuasaan dilaksanakan melalui represi.
Michel
Foucault
mengkritik
freudo-marxisme
berdasarkan
dua
argumen: Pertama, kekeliruan sejarah. Secara material, keliru bahwa
masyarakat yang berkembang mulai Abad ke-18 yang disebut borjuis,
kapitalis, atau industrial., menentang sensor yang dilakukannya. Kedua, ada
ketergantungan pada model kekuasaan yang yuridis, yang memusatkan diri
pada representasi otoritas dan hukum.
Apa urgensinya pemikiran-pemikiran Michel Foucault bagi kita? Banyak yang
bisa diambil, di antaranya manfaat analisis arkeologisgenealogis dengan
metode dekontruksi untuk memahami realitas sosialkeagamaan; sejauh
mana relasi-relasi kuasa beroperasi dalam kehidupan umat Islam, sehingga
bisa ditemukan mereka yang lain, mereka yang ditolak, namun sebenarnya
adalah bagian dari umat yang membentuk suatu gestalt. Bukan untuk
menemukan kesatuan diskursus umat Islam, tapi untuk menemukan
keragaman pemahaman dan kebenaran. Sehingga
terjadi proses decentering yang berarti keterbukaan terhadap yang lain;
yang juga berarti runtuhnya dominasi dalam interpretasi maupun klaimklaim
kebenaran. Selanjutnya tercipta iklim yang inklusif.
Sumber bacaan:
Etienne Balibar, Konfrontasi Michel Foucault dan Marx: Kritik terhadap
Hipotesis Represi, Praksis, dan Struktur Konflik, BASIS Nomor 01-02, Tahun
ke-51, Januari-Februari 2002, hlm. 58-60
Basis, Konfrontasi Faucault dan Mark, Basis no. 01-02 th. Ke-51., JanuariFebruari, 2002, hlm. 15
Haryatmoko, Kekuasaan
Melahirkan
anti-Kekuasaan:
Menelanjangi
Mekanisme dan Teknik Berkuasa bersama Michel Foucault, BASIS Nomor 0102, Tahun ke-51, Januari-Februari 2002, hlm. 10
Michel Foucault, Disiplin Tubuh (diterj. Dari Discipline of Punish), LkiS,
Yogyakarta,
1997, t. h
Dibaca: 477
Komentar: 6
berjalannya waktu, para pengikut Kristus ini menolak ide bahwa kesetiaan
politik berarti sejalan dengan agama, mereka menolak menjadi warga yang
patuh total kepada kekaisaran dan kaisar kecuali kepada agama mereka.
Meskipun pertama-tama ditoleransi oleh pemerintah Romawi sebagai salah
satu sekte agama, orang-orang Kristen kemudian menjadi sasaran
penyiksaan karena penolakan mereka terhadap otoritas kaisar. Konsep
kekuasaan pemerintahan Romawi tidak dapat diterapkan secara serta merta
terhadap sekte baru tersebut misalnya: ide tentang penyembahan kepada
kaisar ditolak mentah-mentah oleh komunitas ini. Pertentangan antara Gereja
dengan kekaisaran Romawi semakin meruncing ketika para pemimpin sekte
ini perlahan-lahan mulai mencapai titik radikal, misalnya Tertullianus (195-220
M).[7] Darah pemeluk Kristen yang tertumpah tidak pernah menyurutkan
mereka dalam membela kepercayaannya. Para martir[8] yang bermunculan
dalam agama ini menjadi bukti otoritas dan kekuatan Gereja dalam
menghadapi kebrutalan para penguasa Romawi yang memusuhi mereka.
Namun demikian keberuntungan menyertai agama baru ini.
Kaisar Diocletianus[9] yang mengundurkan diri secara tiba-tiba menimbulkan
kekacauan besar, dimana enam orang memperebutkan posisi sebagai
penggantinya. Yang memenangkan persaingan itu adalah Konstantinus. Di
tahun 313, Konstantinus memproklamasikan pengakuan resmi terhadap
agama Kristen lewat Maklumat/Edik Milan. Kaisar Romawi baru tersebut
memiliki pemikiran untuk merangkul orang Kristen, bukannya untuk menindas
mereka, dan bersama-sama membangun kekaisaran Romawi. Dengan
keputusan kaisar Konstantinus tersebut maka agama ini mendapat
pengakuan resmi. Kemudian, ketika paganisme secara legal dibatasi, secara
perlahan agama Kristen menjadi agama resmi dan eksklusif kekaisaran.
[10] Bahkan di tahun 324 setelah Konstantinus mengalahkan musuh
terakhirnya Licinius, Gereja mendapatkan kebijakan mengenai hak dan
keuntungan oleh negara, misalnya: hak menerima warisan, sokongan
bantuan pembangunan gedung-gedung Gereja, undang-undang penyucian
hari Sabat.
Tahun 380 adalah hari penting bagi umat Kristen dimana Gereja diresmikan
sebagaiGereja-Negara oleh kaisar Theodosius Agung.[11] Pertentangan lama
untuk sementara diakhiri, tetapi problem menentukan watak dan karakter dari
raja-raja Eropa lainnya.[25] Fase konflik ini sementara dapat diakhiri dengan
melakukan hubungan yang harmonis antara sacerdotium danregnum.
Penobatan Raja oleh Paus menjadi alternatif menghindari konflik kekuasaan.
[26] Disisi lain dalam periode ini, jabatan tinggi agama dan dunia seringkali
dirangkap oleh satu orang (selain Paus dan Raja). Mulai tumbuhnya sistem
Feodal banyak pejabat Gereja menjadi tuan-tuan tanah, dan konsekuensinya
menjadi bawahan raja. Karena tidak bisa dipungkiri bahwa para pendeta juga
merupakan administrator yang mendapatkan pendidikan dan pelatihan yang
terbaik pada jaman ini. Implikasinya pejabat Gereja mulai dari yang tinggi
-uskup dan kepala biara pria- tidak hanya menjadi kepala wilayah tetapi juga
menjadi bagian integral dari struktur dan sistem pemerintahan sekuler yang
sedang berkembang. Bisa dipahami jika dibawah kondisi semacam ini, raja
menuntut peran dalam pemilihan dan penunjukan uskup. Secara teoritis,
pejabat-pejabat ini dipilih oleh kepala biara pria dan orang-orang yang
ditetapkan oleh hukum Gereja; pada kenyataannya, sejak abad keenam, hak
penguasa sekuler lebih dominan untuk menyetujui dan melegitimasi para
pejabat Gerejawi.[27] Inilah yang akhirnya memancing keprihatinan tokohtokoh yang ingin menegakkan kekuasaan Gereja pada periode selanjutnya.
[C] Periode 1000-1250
Pada saat ini juga mulai timbul sebuah kesadaran baru, bahwa kekuasaan
Gereja tidak akan terjadi tanpa koordinasi dan pembaharuan. Biara Cluny di
Burgondia melakukan ide reformasi besar-besaran. Pembaharuannya
menuntut: [1] Biara-biara harus dipimpin langsung oleh Paus; [2] Raja dan
Bangsawan tidak boleh mencampuri pimpinan dan urusan-urusan Biara; [3]
Kaum rahib harus taat kepada disiplin yang keras dan wajib hidup lebih saleh.
[28] Mereka militan dalam melawanSimoni dan juga menegakkan aturan
untuk tidak menikah kembali. Tokoh yang akan meneruskan perjuangan biara
Cluny adalah Hildebrand yang akhirnya bergelar Paus Gregorius VII. Sejak
abad keenam
Henry III menyetujui reformasi dari dalam Gereja sehingga akhirnya dia
membereskan kebingungan Gereja dengan memecat ketiga orang yang
menduduki jabatan Paus secara bersamaan dan menetapkan Paus Leo IX
(1049-1054) dengan kekuasaan tunggal -tentu saja dalam batasan tertentu-.
Pada masa ini golongan yang melawan Simoni semakin menguat misalnya:
Peter Damian dan Humbert yang menjadi Kardinal di tahun 1950. Peter
Damian mengeluarkan buku Liber gratissimus(1052) dan Humbert
dengan Libri tres adversus simoniacos (1058).[29] Henry III memang sanggup
mengatasi kekacauan Gereja namun kekhawatiran Gereja akan kembalinya
kaum awam yang mencampuri urusan Gerejawi membuat mereka harus
cepat berkonsolidasi, khususnya momentum ini di dapat karena kematian
Henry III, yang digantikan oleh anaknya Henry IV yang kala itu masih berusia
enam tahun.
Kekhawatiran jika Negara masih intervensi dengan melakukan campur tangan
pada pemilihan Paus, membuat jajaran Gereja berbenah diri terus menerus
setelah kematian Paus Leo IX dengan reformasinya yang berhasil
membentuk Majelis Para Kardinal. Penggantinya, Paus Nicholas II (10591061) dengan dibantu Hildebrand menetapkan aturan baru pemilihan Paus
dengan hak suara yang hanya dimiliki oleh para Kardinal, cara ini dikemudian
hari kita kenal dengan konklaf. Paus Alexander II (1061-1073) kemudian juga
meneruskan reformasi kekuasaan ini ke tingkat kardinal dan uskup, bahwa
Gerejalah yang berhak menentukan jabatan Gerejawi bukan orang awam.
[30] Sudah bukan rahasia lagi, arsitek kekuasaan dari Gereja pada saat itu
adalah Hildebrand, sebagai pembantu dari kelima Paus sebelumnya. Dialah
dalang dari penguatan kekuasaan Gerejawi melawan penguasa awam.
Hildebrand adalah seorang pembaharu yang didukung oleh para pejabat
Gerejawi. Hildebrand akhirnya menerima jabatan dan kekuasaan sebagai
seorang Paus di tahun 1509 dengan gelar Gregorius VII, tindakannya sangat
radikal dengan mengambil hak sebagai seorang Paus tanpa melalui prosedur
yang resmi yaitu meminta pertimbangan Henry IV, sebagai Kaisar yang sah
pada saat itu. Pandangannya menentang arus kekuasaan yang berlaku. Dia
bersikap tegas dengan memegang ketiga prinsip ini: [1] Paus sekali-kali tidak
bergantung pada penguasa dunia; [2] Pauslah satu-satunya kepala Gereja,
dan semua klerus harus mentaatinya; [3] Segala kuasa duniawi pun hanya
dapat dikaruniakan oleh Paus saja.[31]
Tindakan Gregorius yang menentang Henry IV memancing konflik kekuasaan
baru antara Gereja dan Negara. Peristiwa ini akan dikenal
sebagai Via Canossa. Gregorius mulai memancing amarah Henry IV dengan
melarang ikut campurnya para penguasa sekuler dalam sidang sinode di
Masa Jabatan
Paus Tandingan
Masa Jabatan
Gregorius VII
1073-1085
Clement III
1088-1100
Victor III
1086-1087
Theodoric
1100-1102
Urbanus II
1088-1099
Albert
1102
Paschal II
1099-1118
Sylvester IV
1105-1111
Gelasius II
1118-1119
Callistus II
1119-1124
Gregorius VIII
1118-1121
Akhirnya permainan Catur ini berakibat sangat melelahkan bagi Gereja dan
Negara. Sehingga kedua kubu ini akhirnya memutuskan untuk berkompromi.
Menurut Kesepakatan [Konkordat] Worms antara Gereja yang diwakili Paus
Callistus II dan Negara yang diwakili oleh Henry V pada tahun 1122; uskupuskup harus dipilih oleh klerus dan disahkan oleh paus, tetapi disamping itu
kaisar berhak memberi pangkat raja kepada mereka dan menolak orang yang
tidak disukainya.[33]
Permasalahan kekuasaan antara Gereja dan Negara sementara dapat
selesai, namun pertikaian belum berakhir. Fredrich I Barbarossa tetap saja
melawan perintah-perintah otoritas Roma. Walaupun dalam beberapa hal ia
berkompromi dengan Paus Alexander III yang berkuasa pada tahun 11771181. Pasca kematian Paus Alexander III, kekuasaannya semakin bertambah
dengan perkawinan politiknya berakibat pada pengaruh kekuasaannya yang
menyebar sampai Kerajaan Naples, Italia Selatan. Dibawah kepemimpinan
anaknya Henry VI (1190-1197), tradisi kejayaan kekuasaannya diteruskan.
Namun seperti biasa, konflik antar garis keturunan kembali terjadi setelah
kematian Henry VI. Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh Paus Innocentius
III (1198-1216) untuk mengkonsolidasikan kekuatan Gereja.
Paus Innocentus III berpendapat: Paus kurang besar dari Allah, tetapi lebih
besar dari manusia, [...] Ia bukan Wali Petrus saja, tetapi Wali kristus
sendiri.[34]Implikasinya dalam kekuasaan, ia ingin menegakkan kembali
jabatan dan otoritas kepausan atas seluruh raja-raja Eropa. Keuntungankeuntungan lainnya pada masa Innocentus III, ia bertindak sebagai
pengampu dan wali Kaisar baru, Fredrich II, anak Henry VI yang masih muda.
Kuasa Innocentus begitu ditakuti dan kekuasaannya tidak seperti Paus
sebelumnya yang hanya bisa mengeluarkan himbauan semata. Ia memiliki
seluruh kekuasaan atas Italia hingga Jerman. Otoritasnya juga dapat
membuat para raja mengikuti aturan-aturan Gereja dan cara pandang teologis
Gereja, sebagai contoh: [1] Raja Perancis dipaksa menerima kembali istrinya;
[2] Raja Inggris yang tidak menerima Uskup Besar Canterbury dipecat dan
dikutuki, sampai akhirnya dibuang dan dipaksa mengakui otoritas Gerejawi;
[3] Segala sekte beserta ajaran yang selama ini menyimpang dari garis
ajaran mainstream dibinasakan, setelah selama ini hanya bisa didiamkan.
Dibawah kekuasaannya, Konsili di Latheran diadakan dan menghasilkan
dampak bagi pemulihan kemuliaan Paus dan kuasa Gereja. Tercatat ada
2000 hadirin yang terdiri atas raja-raja Kristen, 71 Patriakh dan Uskup Besar,
412 Uskup, lebih dari 800 abt, dan tentu saja minus Gereja Timur.[35]
Ia tetap melanjutkan kebijakan pasca Gregorius Agung yang menolak
pandangan Agustinus bahwa semua hanya karena kasih karunia. Gereja
disini dituntut terlibat aktif dalam urusan kekuasaan duniawi, Paus Innocentus
III bahkan ditetapkan memiliki kuasa untuk
melakukan ekskomunikasi dan interdik, yaitu dalam satu daerah seluruh
penduduk dilarang menerima sakramen.[36] Pada masa Innocentus III ini juga
dia memberikan peluang kepada Fransiskus dari Assisi untuk mendirikan
Ordo yang terkenal, yaitu: Ordo Fratrum Minorum, yang disahkan pada tahun
1210 dan juga Ordo Dominican, yang didirikan oleh Dominicus, seorang
Spanyol pada tahun 1216, ordo ini dikemudian hari dipakai sebagai alat
kekuasaan Gereja sebagai inkuisisi.[37]
Situasi ini mulai berubah ketika pewaris tahta yang sah, yaitu Fredrich II telah
dewasa dan siap memerintah pada tahun 1215. Fredrich II memang mulai
banyak membangkang atas otoritas kepausan Roma, dan begitu
mengganggu kekuasaan Gereja. Pasca kematiannya di tahun 1250, Italia
Selatan dan Sisilia diberikan oleh Paus Urbanus IV kepada Kerajaan Perancis
untuk mengimbangi pengaruh Jerman atas otoritas Gereja, khususnya di
wilayah Italia. Kebijakan Paus Urbanus IV yang cenderung meminta bantuan
ke koneksi Perancis untuk melawan pengaruh Jerman sangat wajar karena
diduga dia juga memiliki darah Perancis. Inilah cikal bakal alasan mendasar
mengapa Perancis begitu berakar kuat dalam sejarah Italia yang di kemudian
hari akhirnya menimbulkan pertikaian antara Gereja dengan Koneksi
Perancis.
Pada periode ini lahir juga beberapa pemikir-pemikir ulung Gereja yang
mendapatkan pendidikan di biara Ordo Dominican misalnya Thomas Aquinas
(1225), yang berasal dari Italia. Pemikirannya pada saat ini belum begitu
terpakai secara praktis sampai jaman kontra reformasi dimulai; pemikiran
utamanya adalah kesesuaian hukum manusia dengan hukum alam dan
hukum Tuhan bisa menjadi ancangan yang lebih baik bagi negara untuk
melakukan institusionalisasi pemerintahan yang terbatas, melalui cara
konstitusi yang tertulis dan judicial review.[38]
[D] Periode 1250-1450
Seperti yang kita bahas kebijakan pro-Perancis model Paus Urbanus IV yang
bertahta di Italia membuat pengaruh Kerajaan Perancis bercokol di Italia
Selatan. Mula-mula kebijakan ini ditetapkan untuk menjaga Gereja dari
pengaruh kuasa raja-raja dan Kaisar Jerman namun pada pemerintahan Paus
Boniface VII (1294 -1303) justru kebijakan ini berbalik memakan kekuasaan
Gereja.
Paus Boniface VII berkonflik dengan Raja Philip IV dari Perancis menyangkut
dua pokok permasalahan. Keprihatinannya yang pertama adalah menyangkut
masalah pajak yang dikenakan kepada kaum klerus di Perancis. Tindakan
yang diambil oleh Philip IV berlawanan dengan keputusan Konsili Latheran. Di
pihak Philip IV, dia beranggapan membutuhkan pajak dari seluruh rakyatnya
tanpa terkecuali kaum klerus, sebagai bagian dari suatu bangsa semua harus
ikut andil karena perang melawan Edward I dari Inggris sangat menguras
biaya perang. Sebenarnya, konflik ini tidak akan terjadi jika Boniface dan
Philip IV menemui titik kompromi, Boniface memutuskan untuk menolak
keputusan Philip IV terlepas dari kondisi semacam apa yang membuat dia
harus mengeluarkan keputusan semacam itu. April 1926, Boniface
mengeluarkan bulla Clericis laicos yang menentang seluruh raja yang menarik
pajak dari kaum klerus. Keputusan ini dijawab Philip IV dengan mengembargo
institusi kepausan secara ekonomi. Institusi kepausan sangat kelabakan
dengan kebijakan tersebut, dan akhirnya mengalah dengan mengeluarkan
bulla Etsi de Statu, pada bulan Juli 1297. Isi dari bulla tersebut adalah
mengijinkan raja untuk menarik pajak kepada kaum klerus jika negara dalam
keadaan darurat tanpa harus melalui ijin institusi kepausan.[39]
Paus Boniface VII adalah betul-betul seorang yang tidak mengerti politik
kekuasaan. Setelah dia dipermalukan untuk mencabut bullanya dan menjilat
ucapannya oleh Philip IV. Kali ini ia membuka konfrontasi baru dengan Philip
IV dengan mengeluarkan bulla Unam sanctam, yang mempertanyakan relasi
mutlak antara kekuasaan sementara duniawi dengan kekuasaan spiritual
yang abadi.[40] Doktrin dua pedang yang dikeluarkannya pada tahun 1302
berbeda cara pikir dengan Paus Gelasius di masa lalu. Paus Gelasius
menginterpretasikan Lukas 22:38, dengan pandangan moderat bahwa solusi
terhadap masalah hubungan Gereja dengan Negara bisa ditemukan dalam
koordinasi yang harmonis dari dua kekuasaan tanpa subordinasi institusional
yang satu pada yang lain; Sedangkan bagi Paus Boniface VII solusi
kekuasaan antara Gereja dengan Negara, jawabannya terletak pada
organisasi institusional yang berasal dari otoritas tunggal.[41] Tentu saja bagi
Boniface VII yang berhak mendapatkan hal tersebut adalah institusi
kepausan.
Philip IV betul-betul murka karena dia tahu bulla tersebut secara khusus
ditunjukkan kepada dirinya. Ketika dia mendengar isu bahwa Boniface VII
juga sedang mengeluarkan kutuk baginya, Philip IV memutuskan menyerang
dan menangkap Boniface VII, walaupun akhirnya dilepas kembali akhirnya
tidak selang beberapa lama kemudian Boniface VII wafat. Komentar Bekhof
dan Enklaar terhadap paus yang satu ini sungguh menarik untuk disimak,
bahwa: Kejadian itu merupakan suatu pukulan besar bagi Paus yang
memang terlalu melebih-lebihkan kekuasaannya.[42] Pada saat inilah,
Perancis mulai memainkan peranannya dalam institusi kepausan.
Peranan Perancis begitu terlihat ketika pada tahun 1309 istana kepausan
dipindah ke Avignon, Perancis. Lebih jauh lagi, Philip IV juga melebarkan
kekuasaannya di lembaga kepausan ketika ia memilih Uskup Besar Bordeaux
sebagai Paus Clement V. Bahkan pada tahun 1312, boneka Philip IV yaitu
Paus Clement V dipaksa untuk membubarkan Ordo Templar yang terdiri atas
kolaborasi klerus-klerus dengan tuan-tuan tanah yang kaya di Perancis.
Selama 70 tahun Paus yang semuanya berasal dari Perancis berada dalam
kendali Raja Perancis. Pada tahap ini sisi etis moralitas dikesampingkan.
Moralitas para klerus mencapai titik terendah dengan kehausannya akan
uang semakin berlebih dan menyengsarakan rakyat. Pada titik inilah penyair
Dante (1256-1321) di kota Florence memberikan sindiran dengan karyanya
Komedi Ilahi [Divina Comedia]. Dante mengkritik para pejabat gerejawi yang
bertindak keduniawian. Kedudukan paus dilukiskannya sebagai perempuan
sundal dalam kitab Wahyu.
Pemikiran Politik Pada Masa Abad Pertengahan di Eropa (Medieval Political Theory
in Europe)
By Amdya Hisyam Posted in International Relations Assignments and Others
Tinggalkan komentar
Zaman pertengahan yang dimaksud di sini dimulai sejak abad ke-13 sampai
awal abad ke-17 di Eropa, dimana terdapat garis yang jelas antara teori
politik pada masa itu. Hubungan public pada masa ini banyak dicampuri oleh
gereja, dalam hal ini pola hubungan antara kerajaan dan gereja. Namun,
pada abad ke-18 terjadi reformasi yang cukup besar dimana kalangan
aristokrat tidak diperbolehkan mengontrol gereja sama seperti mereka
mengontrol militer dan kekuatan politik masa itu.
Hal di atas menujukkan sebuah revolusi kepausan dalam sejarah Eropa dan
menyebabkan krisis kekuasaan antara gereja dengan kerajaan. Sepanjang
abad ke-13, sering sekali terjadi konflik yang melibatkan Paus Gregory VII
dengan Raja Henry IV, termasuk perubahan posisi antara Paus Innocent IV
dengan Raja Frederick II. Terjadi ketidak pahaman mengenai konstitusi
pemilihan Raja dan pangeran terpilih, dan persetujuan Paus, serta mengenai
hubungan antara kerajaan Inggris dengan kerajaan Perancis dan Spanyol.
Kedudukan Paus dalam gereja juga menjadi kontroversi karena Paus
memberikan dukungan terhadap mendicant orders dan hal itu semakin
meruncingkan oposisi dari uskup dan pendeta. Juga terjadi sengketa antara
otoritas gereja peraturan sekuler apakah pendeta dibebaskan dari pajak dan
dari pengadilan criminal umum, dan apakah uang yang dikumpulkan oleh
gereja lokal seharusnya digunakan oleh kepausan untuk membiayai pasukan
Perang Salib melawan Saracens tapi juga kampanye militer di Eropa.
Persengketaan semacam ini semakin meruncing di akhir abad ke-13 ketika
studi mengenai hukum, filosofi, dan teologi berada pada level yang tinggi.
Sampai pada abad ke-14, perdebatan yang rumit dan panjang terjadi antara
Paus Boniface VIII, Raja Philip dari Perancis, Paus John XXII, Raja Roma
Ludwig dari Bavaria, orang-orang Perancis, dan Universitas Perancis. Hal ini
terjadi karena pakar teologi menciptakan banyak sekali perjanjian yang
mengkhawatirkan hubungan antara agama dan pemerintahan sekular,
Dalam dunia klasik tidak terdapat pemisahan kekuasaan antara agama dan
politik. Namun, sejak awal abad pertengahan, sudah ada usaha untuk
memisahkan antara priesthood dan kingship di Eropa. Dua jenis
kekuasaan ini menjadi tidak setara dalam hal kedudukan, karena yang
menjadi teratas adalah kekuatan spiritual (gereja). Dari waktu ke waktu raja
bertindak untuk mensucikan gereja.
Ada satu hal yang menarik dalam hal penyucian bagi gereja. Dimana secara
eksplisit, gereja memperbolehkan para pendeta melakukan bunuh diri.
Dengan kata lain, gereja membiarkan adanya tindakan kekerasan dalam
peraturan gereja. Pendeta biasa saja dipenjara oleh uskup tanpa izin dari
pemerintah sekuler.
Penjelasan di atas memperlihatkan bahwa dalam prakteknya ada pemisahan
yang sangat jelas antara kekuasaan dan peraturan gereja dengan kerajaan.
Kedua elemen inipun tidak bisa saling mengintervensi satu sama lain,
walaupun dalam prakteknya kekuasaan gereja sering melampaui kekuasaan
raja.
b.
Subjection
Thomas Aquinas
seperti, bunuh diri bagi yang bersalah dan pengorbanan untuk penebusan
dosa.
Di era ini terdapat, hirarki antara gereja dan pemerintah. Pemerintah hanya
menginginkan tujuan kesejahteraan secara virtual, fisik, dan nyata.
Sedangkan tujuan akhir bukanlah itu melainkan surga dan hanya bisa dicapai
jika seseorang benar-benar taat pada agamanya (Kristen) .
Sehingga, peraturan sekuler harus ditetapkan oleh paus karena hanya dialah
yang bisa menyediakan jalan menuju tujuan akhir yang tingkatannya lebih
tinggi dibandingkan tujuan yang diberikan oleh Negara.
2.
Giles of Rome
John of Paris
Salah satu penulis yang dengan lantang menentang kekuasaan paus yang
tidak berbatas dan mutlak adalah John of Paris dalam tulisannya On Royal
and Papal Power (1302). Dia menolak anggapan bahwa sejak paus
dinobatkan sebagai pendeta wakil Tuhan, dimana Kristus adalah Tuhan dan
Tuhan adalah pemilik segalanya, maka serta merta paus adalah pemilik dari
segalanya. Pernyataan ini menghancurkan dua poin penting. Pertama, paus
adalah wakil Tuhan dalam wujud manusia (bukan sebagai Tuhan), dan Kristus
sebagai manusai bukanlah pemilik dari segalanya. Kedua, walaupun Kristus
dalam wujud manusia merupakan pemilik dari segalanya, Kristus tidak
memberikan semua kekuasaannya kepada wakilnya. Sehingga, tidak ada
bukti nyata yang bisa mendukung kekuasaan mutlaknya di muka bumi.
Tuhan adalah pemilik mutlak dari apa yang ada di akhirat dan dunia. Namun
di dunia, tidak manusia yang menjadi wakil Tuhan di kedua alam tersebut.
Pemerintah merupakan wakil Tuhan di dunia dan paus adalah wakil tuhan di
akhirat.
Mengenai anggapan bahwa For he who judges a thing is always lord of the
thing he judged, maka John beranggapan bahwa paus memiliki juridiksi
tersendiri dalam hal keagamaan. Sedangkan untuk hal property, paus sama
sekali tidak memiliki yuridiksi walaupun itu menyangkut property gereja.
Property merupakan milik pribadi, adapun komunitas (gereja) yang memiliki
property itu merupakan penerima dari individu yang memberikan hak
propertinya kepada komunitas tersebut. Seharusnya, gereja bisa menghargai
pendonor bukan menjadi pemilik atas hal itu. Kepala gereja hanyalah
administrator, bukan pemilik atas gereja tersebut.
Menurut John, kekuasaan duniawi bukan datang dari kekuasaan spiritual
melainkan langsung dari Tuhan. Sehingga, paus yang tugasnya mengurusi
urusan spiritual tidak berhak mencampuri urusan duniawi yang dijalankan
oleh kerajaan. Kekuasaan spiritual tidak boleh berlaku superior di atas
kekuasaan duniawi melainkan setara dan seimbang satu sama lain.
Pertanyaan utama mengenai hubungan antara kekuasaan spiritual dan
duniawi, Thomas Aquinas mendukung bahwa kepausan memiliki kekuasaan
yang mutlak, Giles menganggap bahwa semua kekuasaan legitimasi di bumi