Anda di halaman 1dari 50

KEKUASAAN (KUASA) MENURUT MICHEL FOUCAULT

I Pendahuluan
Ulasan tentang kekuasaan seolah-olah tidak pernah absen dari diskusi dan perdebatan
manusia sepanjang jaman. Kekuasan selalu menjadi tema aktual untuk dibicarakan. Tampilan
berita utama setiap surat kabar seperti Kompas, Jawa Pos dan sebagainya selalu menyajikan
ulasan penting seputar persoalan politik dan kekuasaan. Berita tentang kekacauan di Timur
Tengah, atau perhelatan politik yang terjadi akhir-akhir ini baik dalam negeri maupun luar
negeri, menunjukan bahwa manusia tidak puas dalam mengartikan dan memahami gagasan
tentang kekuasaan. Mengapa demikian? Karena berbicara tentang kekuasan berarti berbicara
dalam arti Hegel dilihat sebagai roh yang menggerakan hidup bersama atau dengan kata lain
berbicara tentang segala ketentuan dan kebijakkan yang menjadi jiwa dari dinamika hidup
bersama. Pemahaman akan kekuasaan suatu masyarakat selalu bertolak dari apa yang
dinamakan pengalaman bersama. Dalam tulisan ini, pembahasan tentang kekuasaan akan
difokuskan pada pemikiran Michel Foucault. Penulis akan menyajikan bagaimana Foucault
memahami dan mengartikan kekuasaan secara unik dan khas.
II Latar Belakang Pemikiran Michel Foucault
Paul Michel Polanyi (Poitiers, 5 Oktober 1926 Paris, 25 Juni 1984) adalah seorang filosof
Perancis, sejarawan, kritikus dan seorang sosiolog. Semasa hidupnya, ia memegang kursi jabatan di
Collge de France, dengan titel "Sejarah sistem pemikiran" (History of Systems of Thought" dan juga
mengajar di Universitas Kalifornia Berkeley.[1] Dengan titel yang disandangnya ini terlihat jelas bahwa
Foucault adalah pemikir yang kritis, kreatif dan terkemuka. Pemikirannya tidak hanya terbatas pada
ilmu filsafat atau kedokteran saja tetapi juga menyentuh persoalan sosial-politik dan etika. Hal ini
dilatarbelakag oleh situasi Prancis pada saat itu yang menekankan proses berpikir kretif dan kritis. Pada
masa pendidikannya di Prancis, filsafat menjadi ilmu yang banyak diminati oleh mahasiswa bahkan
kurikulum pendidikan di setiap universitas mewajibkan mahasiswanya untuk menekuni ilmu filsafat.
[2] Tidak mengherankan bahwa berbagai pemikiran dan ide-ide datang dan pergi karena setiap orang
diajak untuk berpikir kritis, kreatif dan mencapai penemuan-penemuan baru dalam bidang yang
digelutinya masing-masing. Dalam suasana hidup dan gaya berpikir seperti ini, Foucault akhirnya dapat
menyumbangkan ide-ide cemerlang dan memberikan terobosan baru dalam meneropong filsafat, ilmu
pengetahuan dan kekuasaan. Dan segala pemikirannya tidak pernah terlepas dari pengaruh pemikirpemikir kritis pada zaman itu. Sebut saja misalnya Nietzshe, filsuf Jerman dimana melalui ajarannya
telah memberi banyak inspirasi bagi Foucault khususnya dalam menggagas tentang keterkaitan antara
filsafat dan ilmu pengetahuan.[3]
Selanjutnya, untuk mengerti gagasan kekuasaan dari Foucault secara lebih baik, penulis
terlebih dahulu menunjukan disposisi gagasan ini dalam seluruh pemikirannya. Dalam seluruh
ajarannya, Foucault menulis tiga tema utama yang memiliki penekanan dan ciri khas tersendiri. Tema
pertama yang diutarakannya berkenaan dengan pembenaran pengetahuan. Bagi Foucault, pengetahuan
tidak hanya muncul dari proses berpikir kritis (rasio) tetapi juga muncul dan ada dalam hidup, karya,
percakapan dan peristiwa. Dengan sendiri, dia menekan adanya dimensiunreason dalam pengetahuan.
[4] Bagi penulis, sama seperti filosof dan ilmuwan Inggris yakni Michel Polanyi [5], Foucault juga
menekankan segala dimensi hidup manusia menjadi sebab pembentukan ilmu pengetahuan.
Selanjutnya, tema kedua yang digagasnya berkenaan dengankekuasaan. Foucault yang memiliki latar

belakang marxisme melihat bahwa kekuasaan bukanlah pertama perkara milik tetapi lebih sebagai
proses relasi antara berbagai kekuatan. [6] Kita dapat dengan mudah melihat bahwa kekuasaan bukan
hanya menjadi milik para pemerintah atau dalam konteks marxime, menjadi milik kaum masyarakat
kelas atas tetapi muncul karena relasi timbal balik antara subyek dalam hidup bersama.
Tema ketiga yang menjadi perhatian Foucault yakni subyek dan etika, Foucault secara eksplisit
menunjukan peran subyek dan nilai etis dalam hidup bersama. Foucault mengatakan bahwa kalau kita
menaruh perhatian yang benar akan diri kita sendiri, kita juga akan memberi perhatian yang layak
kepada orang lain.[7] Atau meminjam bahasa Heidegger, penulis dapat mengatakan sesama bukanlan
orang lain tetapi aku yang lain[8]. Hal ini menunjukan adanya penghargaan dan keterlibatan subyek
dalam hidup orang lain. Dari latar belakang pemikiran ini, kita dapat melihat betapa gagasan tentang
kekuasaan menjadi tema sentral dalam pemikirannya.

III Pemikiran Filosofis Kekuasaan menurut Michel Foucault


Foucault memiliki beberapa kerangka dasar dalam menerangkan pandangannya tentang
kekuasaaan. Penulis mencoba melihanya dari beberapa sudut pandang yakni arti kekuasaan,
starategi dan mekanisme kekuasaan serta hubungan antara pengetahuan dan kekuasan.
3.1. Arti Kekuasaan
Harus diakui bahwa kekuasaan itu mempesona karena setiap orang tergila-gila dengan
kekuasaan dan bahkan berusaha untuk memilikinya. Kekuasaan dalam arti ini lebih mempunyai
makna sebagai milik artinya kekuasaan hanya disempitkan sebagai milik pemerintah atau
institusi tertentu sehingga muncul terminologi adanya perebutan dan peralihan kekuasan dalam
kursi pemerintahan. Bagi penulis, Foucault sama sekali tidak memaksudkan makna kekuasaan
seperti ini. Gagasan Foucault tentang kekuasaan lebih orisinal dan realistis. Dengan latar
belakang sebagai seorang sejarawan, Foucault sama sekali tidak mendefenisikan secara
konseptual apa itu kekuasaan tetapi lebih menekankan bagaimana kekuasaan itu dipraktikan,
diterima dan dilihat sebagai kebenaran dan berfungsi dalam berbagai bidang kehidupa.[9] Dalam
arti inilah, kekuasaan tidak hanya disempitkan dalam ruang lingkup tertentu atau menjadi milik
orang atau intitusi tertentu seperti pandangan umum bahwa kekuasan itu selalu dikaitkan dengan
negara atau institusi pemerintah tertentu. Atau dalam konteks Indonesia, kekuasaan tidak hanya
menjadi milik Presiden Bambang Yudhoyono, DPR-MPR, Gubernur dan sebagainya tetapi
kekuasaan menyangkut relasi antara subyek dan peran dari lembaga-lembaga yang menjalankan
fungsi tertentu dalam masyarakat. Sumbangan kekuatan dari setiap subyek dan lembaga-lembaga
yang menjalankan peran sebaik-baiknya, itulah yang menunjukan arti kekuasaan.
Pemahaman kekuasaan diatas, jelas bertolak belakang dengan pemahaman Karl Marx
yang melihat kekuasaan hanya menjadi milik masyakat kelas atas. Dominasi dan monopili kaum
borjuis menentukan kehidupan seluruh masyarakat.[10] Atau juga bertentangan dengan gagasan
Thomas Hobbes yang mengartikan kekuasaan hanya menjadi milik lembaga yang disebut
negara dan negara memiliki kuasa mutlak untuk menentukan kehidupan masyarakat.
[11] Berdasarkan kedua gagasan ini, penulis mengamini apa yang dikatakan Foucault dimana
kekuasaan tidak hanya menjadi milik pemimpin atau entitas yang berpengaruh dalam masyarakat
tetapi kekuasaan berangkat dari kekuatan dan sumbangan pemikiran setiap subyek. Di dalamnya
ada saling percaya dan menopang satu terhadap yang lain, ada pengakuan kekuatan dan
kecerdasaan setiap pribadi sebagai sumbangan untuk hidup bersama. Dan penulis berpikir bahwa
pemahaman Foucault tentang kekuasaan memberi inspirasi yang kuat bagi munculnya paham

demokrasi. Karena dilihat dari gagasan umum demokrasi yang menjunjung tinggi kreatifitas dan
sikap kritis setiap subyek atau dengan kata lain adanya pengakuan kekuasaan setiap pribadi.
3.2. Mekanisme dan Strategi Kekuasaan
Konsekuensi dari paham kekuasaan Marxian yakni tidak adanya relasi kekuasaan antara
subyek, yang ada hanya monopoli kaum kelas atas dan perampasan segala hak milik kaum kecil.
Dan akibat dari paham kekuasaan Thomas Hobbes ialah adanya tindakan represif yang tiada
hentinya, kekerasaan, otoriter dan sebagainya. Kondisi seperti ini yang menodai makna
kekuasaan itu sendiri. Bagi penulis, mungkin berangkat dari keprihatinan seperti ini, Foucault
akhirnya menrefleksikan dan mengkritisi makna kekuasaan. Bagi Foucault kekuasaan lebih
menunjuk pada mekanisme dan strategi dalam mengatur hidup bersama.[12] Dalam arti ini
kekuasan mengasalkan diri dari berbagai sumber dan memiliki keterkaitan satu terhadap yang
lain. Adanya pengakuan struktur-struktur yang menjalankan fungsi tertentu dan dalam struktur
itulah kekuasaan mengasalkan dirinya. Dari gagasan kekuasaan sebagai suatu strategi dan
mekanisme; penulis memaparkan beberapa metedologis kekuasaan yang menjadi fokus perhatian
Foucault.
Pertama; peran hukum dan aturan-aturan. Foucault mengatakan kuasa tidak selalu
bekerja melalui represif dan intimidasi melainkan pertama-tapa bekerja melalui aturan-aturan
dan normalisasi.[13] Segala aturan dan hukum pertama tidak dilihat sebagai hasil dari ketentuan
pemimpin atau institusi tertentu tetapi sebagai sintesis dari kekuasaan setiap orang yang lahir
karena perjanjian. Segala aturan yang lahir karena konsensus bersama memiliki kekuatan yang
lebih dalam hidup bersama. Kedua, tujuan kekuasaaan. Tujuan dari adanya mekanisme
kekuasaan ialah membentuk setiap individu untuk memiliki dedikasi dan disiplin diri agar
menjadi pribadi yang produktif.[14] Setiap orang diberi ruang untuk berpikir, berkembang dan
dengan bebas menyampaikan aspirasinya demi kemajuan bersama.
Ketiga, Kekuaaan itu tidak dilokalisasi tetapi terdapat di mana-mana. Kesadaran akan
kekuatan dari suatu negara dan masyarakat tidak dibatasi hanya dari para pemimpin tetapi atas
kerjasama setiap pribadi dan lembaga yang memiliki orientasi produktif. Misalnya, dengan
adanya ruang komunikasi antara pemimpin dan warganya, kesatuan tercipta dalam suasana
dialogis dan mengarah kepada cita-cita bersama. Keempat, kekuasaan yang mengarah ke atas.
[15] Dalam arti ini, kekuasaan setiap orang dan lembaga dikomunikasikan sedemikian rupa
sehingga membentuk konsensus bersama. Atau dengan kata lain hasil dari proses komunikasi
kekuasaan bersama akan menghasilkan kekuasaan bersama atau dalam bahasa, Thomas Kuhn,
adanya paradigma bersama.[16] Kelima, kombinasi antara kekuasaan dan Ideologi. Setiap
anggota dalam masyarakat kurang lebih memiliki impian yang sama yaitu adanya pengakuan hal
setiap orang yang terarah pada kesejahteraan bersama. Harapan ini harus berjalan bersama
dengan kekuasaan bersama. Segala hukum dan aturan diarahkan untuk mencapai tujuan tersebut.
Dari kelima point di atas, kita melihat dengan jelas adanya perbedaan menyolok antara
gagasan Foucault dengan para pemikir abad modern. Misalya, Machiavelli yang melihat
kesejahteraan bersama tidak ditentukan oleh konsensus bersama tetapi oleh penguasa.
Machievelli mengatakan Orientasi kekuasaan tertuju kepada apa yang dinamakan penguasa
artinya merujuk pada pemimpin negara. Dimana dikatakan bahwa seorang penguasa harus bisa
membentuk opini umum dalam mengendalikan tingkah laku warganya.[17] Dalam arti ini,
penguasa memiliki kuasa mutlak untuk mengatur negara. Tidak ada aturan dan hukun yang
muncul sebagai akibat perjanjian setiap subyek. Dengan membandingkan kedua gagasan ini,

kita dapat melihat bahwa arti kekuasaan dan jiwa yang menggerakan hidup bersama memiliki
titik tolak yang berbeda. Bagi penulis, Foucault menjunjung tinggi pada proses kreatif dan kritis
setiap orang dalam membangun ideologi bersama.
3.3. Kekuasaan dan Pengetahuan
Bagi Foucault, kekuasaan tidak pernah lepas dari pengetahuan. Untuk itu, Foucault
mengatakan bahwa kekuasaaan menghasilkan pengetahuan. Kekuasaan dan pengetahuan
saling terkait tidak ada hubungan kekuasaan tanpa pembentukan yang terkait dengan bidang
pengetahuan, dan tidak ada pengetahuan yang tidak mengandaikan serta tidak membentuk
sekaligus hubungan kekuasaan(Surveiller et Punir (1975), hal. 36).[18] Ketika berbicara kaitan
antara kekuasaan dan pengetahuan secara tidak langsung bersentuhan dengan kodrat manusia
mencari dan mengetahui. Penulis boleh mengatakan bahwa usaha mengetahui dalam konteks
kekuasaan menurut Foucault harus diletakan dalam ranah sosietas. Ada banyak indikasi
keterkaitan antara keduannya. Yang pertama ialah peran bahasa. Bagi Foucault, bahasa menjadi
sarana dalam mengartikulasikan kekuasaan. Gagasan ini sejalan dengan apa yang dikatakan
Habermas yang melihat bahasa bukan hanya sebagai alat komunikasi tetapi memilikipowerfullty
propaganda dan wacana. Atau dengan kata lain, dengan menerapkan teori emansipatoris,
Habermas menunjukan kekuasan atau politik juga menunjukan pola komunikatif, diskursif, kritis
dalam hidup sosial. Oleh karena itu, tidak ada kekuasaan yang dijalankan dengan kekerasan
karena kekuasaan terjadi dalam situasi komunikatif diantara orang-orang yang
sedangmencari dan berusaha untuk mengetahui esensi dari hidup bersama.[19] Bagi penulis,
Foucoult bukan tanpa dasar meletakkan pengetahuan sebagai dasar kekuasaan agar di dalamnya
orang diajak untuk berpikir dan bertindak kritis bukan hanya timbul dari luapan emosi semata.
Selain itu, dengan melukiskan penjara sebagai tempat pembentukan kekuasaan, Foucault
menunjukan pentingnya mekanisme kekuasaan.[20] Kekuasaan setiap orang perlu ditata sebaik
mungkin demi terjaminya kesejahteraan. Pengakuan akan adanya berbagai bidang dalam
kehidupan tidak pernah terlepas dari pengaruh berbagai bidang ilmu pengetahuan. Ilmu-ilmu
pengtahuan secara tidak sadar membentuk karakter kehidupan suatu masyarakat misalnya saja,
negara-negara Eropa yang mengalami kemajaun begitu pesat dalam berbagai bidang kehidupdan
disadar bahwa hal ini didorong oleh semangat mereka untuk mengembangkan berbagai bidang
ilmu pengetahuan secara efektif. Selain itu, setiap ilmu pengetahuan memiliki otonimitas
kekuasaan misalnya sosiologi, antropologi, matematika, politik, fisika, kimia dan sebagainya.
Ilmu-ilmu pengetahuan tersebut memberi sumbangan dalam hidup bermasyarakat. Kekuasaan
dan kekuatan dari setiap bidang ilmu pengetahuan secara tidak sadar menjadi dasar dan
membangkitkan ideologi bersama untuk mencapai cita-cita hidup bersama. Untuk itu, kekuasaan
dalam pengertian Foucault tidak menunjuk pada figur atau bidang tertentu tetapi meliputi segala
dimensi kehidupan manusia.
IV. Tinjauan kritis dan Relevansi
Pemikiran Foucault memberi sumbangan besar dalam alam pemikiran filsafat khususnya
dalam menelitik gagasan tentang kekuasaan. Kekuasaan pertama-tama bukan merujuk
pada kepemilikan tetapi lebih dilihat sebagai mekanisme dan strategi kekuasaan. Itu berarti
Foucault melihat kekuasaan bukan semata konsep tetapi kekuasaan itu ada di mana-mana dan
dipraktikan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan menunjukkan keterkaitan antara pengetahuan
dan kekuasaan, pemikiran Foucault memberikan pengaruh bagi pemikir-pemikir sejamannya

seperti Roland Barthes, Louis Althusser. Dan karena ketajamannya berpikir, Foucault kemudian
digolongkan sebagai filosof strukturalisme. Tetapi Foucault sendiri menepis tuduhan tersebut, dia
ingin terus mengalami proses kreatif fan kritis dalam berpikir sehingga pemikirannya bisa
berubah sesuai dengan fakta dan kebenaran yang berkata-kata. Dengan gagasan-gagasannya,
Foucault telah memberi sumbangan besar bagi dunia dalam memahami pengertian kekuasaan
yang lebih orisinal.
Bagi penulis, meskipun Foucault diakui sebagai filosof besar, pemikirannya tidak pernah
lepas dari kritik, Penulis mencoba menyoroti satu kecenderungan yang diabaikan Foucault dalam
meneropong kekuasaan. Foucault pertama-tama hanya menjelaskan kekuasaan dalam arti global
dan tidak menunjukan secara spesifik bagaimana bentuk kekuasaan yang dipraktikan oleh setiap
subyek serta bagaimana kekuasaan setiap subyek dan lembaga membentuk kekuasaan bersama?
Bagi penulis mau tidak mau pemimpin dalam arti tertentu harus memiliki kekuasan yang lebih
dari masyarakat biasa? Lalu jika otonomitas kekuasaan setiap subyek dan lembaga tidak terarah
dan sejalan dengan ideologi dan mimpi bersama, bagaimana kekuasaan tersebut bisa dijalankan
dan diaplikasikan? Misalnya saja, Indonesia terdiri atas berbagai kelompok jemaah, misalnya
Muslim sendiri memiliki beberapa aliran seperti NU. Muhamadyah, Ahmadyah dan sebagainya.
Setiap aliran memiliki otonomitas kekuasaannya sendiri dan ada beberapa butir ajaran dari aliran
tersebut yang sama sekali tidak mengakomodasi kepentingan seluruh rakyat. Bagaimana hal ini
bisa dijalankan? Penulis mengamini apa yang dikatakan Foucault bahwa kekuasaan itu harus
dipraktikan seperti pada kasus di atas, tetapi harus disadari bahwa tidak semua kekuasaan bisa
dipraktikan dalam kehidupan bersama yang heterogen. Selain itu, terminologi kekuasaan sebagai
kepemilikan tetapi diaktualkan kepada pemimpin, konstitusi dan aparatur negara hanya saja
kepemilikan semacan itu dilihat sebagai sintesis dari kekuasaan setiap subyek atau lembaga yang
ada dalam negara tersebut. Penulis berpikir bahwa paham demokrasi lebih memilih gagasan
demikian untuk menghinari penyelewengan yang terjadi oleh karena ulah para koruptor,
pemberontak yang mensalahartikan kekuasaan.
Lalu apa yang menjadi relevansi pemikiran Foucault tentang kekuasaan? Bagi penulis,
gagasan tentang kekuasaan sebagai mekanisme dan strategis serentak menguburkan sistem
pemerintahan negara tirani dan otoriter karena di dalam kekuasaan sebagai mekanisme,
kekuasaan pertama-tama ada dalam diri setiap subyek dan lembaga-lembaga yang terbentuk.
Kekuasaan negara dilihat sebagai sintesis dari kekuasaan setiap subyek tersebut. Ada slogan
terkenal, pemerintaha dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Dalam arti dalam negara hak,
kreatifitas, tuntutan kesejahteraan hidup setiap subyek dijunjung tinggi. Bangsa Indonesia sendiri
sedang dalam proses menata strategi dan mekanisme kekuasaan yang lebih solid setelah sekian
lama secara tidak sadar dimanipulasi oleh kekuasaan dalam arti milik. Kasus korupsi,
terorisme, perdagangan perempuan perlahan-lahan mulai dibasmi. Sistem pemerintah dan
perundang-undangan mulai dibenah, otonimitas dan kreatifitas setiap lembaga pemerintahan baik
sosial, ekonomi mapun politik mulai digalakkan. Inilah tanda-tanda kesadaran akan penting
kekuasaan sebagai suatu strategi dan mekanisme.
Akhirnya, tema tentang kekuasaan menurut Foucault tidak pernah selesai untuk dikatakan
karena aktualisasi pemahaman ini sedemikian efektif dan membawa setiap masyarakat kepada
kemajuan yang tiada hentinya. Sistem pemerintahan akan berjalan dengan baik apabila adanya
saling percaya dan kerjasama antara subyek dalam masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA
Bertens, K., Filsafat Barat Kontemporer Prancis,Jakarta: Gramedia, 2006.
Foucault, Michael, Seks dan kekuasaan, terj. Rahayu S. Hidayat, Jakarta: PT. Sun, 1997.
Foucault, Michael, Wacana Kuasa/ Pengetahuan, diterj. Yudi Santoso, Yogyakarta: Bentang
Budaya, 200.
Hardiman, F. Budi, Filsafat Modern, Jakarta: Gramedia, 2007.
Haryatmoko, Dr., Etika Politik dan Kekuasaan, Jakarta: Kompas, 2003.
Kebung, Konrad, Dr, SVD, Rasionalisasi dan Penemuan Ide-Ide, Jakarta: Prestasi Pustaka,
2008.
Polanyi, Michael, Segi Tak Terungkap dari Pengetahuan, Jakarta:Gramedia, 2002, hal. 4.
Riyanto, E. Armada, Prof. Dr., Politik, Sejarah, Identitas, Postmodernitas, Malang: Widya
Sasana publication, 2009.
Data Internet:
http://id.wikipedia.org/wiki/Michel_Foucault, 9 mei 2010.

[1] http://id.wikipedia.org/wiki/Michel_Foucault, 9 mei 2010.


[2] K. Bertens, Filsafat Barat Kontemporer Prancis,(Jakarta: Gramedia2006), hal. 332.
[3] Ilmu pengetahuan dan filsafat menjadi tema sentral yang digagas oleh para pemikir dan filosof abad 20 dan
selanjutnya. Dan corak pemikiran seperti ini nampak dalam pemikiran Foucault dimana dia selalu menekankan
peran ilmu pengetahuan dalam segala segi kehidupan manusia.Ibid., hal. 333.
[4] Dr. Konrad Kebung, SVD, Rasionalisasi dan Penemuan Ide-Ide, (Jakarta: Prestasi Pustaka, 2008), hal. 161.
[5] Michael Polanyi menekankan bahwa seluruh dimensi kehidupan manusia itu menjadi sebab kemunculan ilmu
pengetahuan misalnya seni, arsitektur, relasi sosial dan sebagainya. Bdk. Michael Polanyi, Segi Tak Terungkap dari
Pengetahuan, (Jakarta:Gramedia, 2002), hal. 4.
[6] Dr. Konrad Kebung, SVD, Op. Cit., hal. 212.
[7] Ibid., hal. 213.
[8] Bdk. Prof. Dr. E. Armada Riyanto, Politik, Sejarah, Identitas, Postmodernitas, (Malang: Widya Sasana
publication, 2009), hal. 10.
[9] Dr. Konrad Kebung, SVD, Op. Cit, 212.
[10] Michael Foucault, Wacana Kuasa/ Pengetahuan, diterj. Yudi Santoso, (Yogyakarta: Bentang Budaya, 2002),
hal. 167.
[11] F. Budi Hardiman, Filsafat Modern, (Jakarta: Gramedia, 2007), hal. 71.
[12] Mickel Foucault, Op. Cit., hal. 120.
[13] Dr. Konrad Kebung, SVD, Op. Cit, hal. 121.

[14] Dr. Haryatmoko, Etika Politik dan Kekuasaan, (Jakarta: Kompas, 2003), hal. 22.
[15] Michael Foucault, Op. Cit, hal. 127.
[16] Kuhn melihat bahwa pandangan dasar setiap orang dikomunikasikasi bersama sehingga mencapai adanyan
pandangan dasar bersama. Paradigma pertama-tama tidak merujuk kepada pandangan setiap orang tetapi merujuk
padangan dasar bersama. Thomas Kuhn, Peran Paradigma dalam Revolusi Sains, terj. Tjun Sumarjan, (Bandung:
Remaja Rosdarya, 2000), hal. 43.
[17] Dr. Haryatmoko, Op. Cit, hal. 223.
[18],Ibid., hal. 224.
[19] Prof. Dr. Armada Ryanto, Op. Cit., hal. 22.
[20] Dr. Haryatmoko, Op. Cit., hal. 227.

refleksi kebudayaan dan filosofisnya. Filsafat politik tradisional selalu berorientasi pada
soal legitimasi. Kekuasaan adalah sesuatu yang dilegitimasikan secara metafisis kepada
negara yang memungkinkan negara dapat mewajibkan semua orang untuk
mematuhinya. Namun menurut Foucault, kekuasaan bukanlah sesuatu yang hanya
dikuasai oleh negara, sesuatu yang dapat diukur. Kekuasaan ada di mana-mana, karena
kekuasaan adalah satu dimensi dari relasi. Di mana ada relasi, di sana ada kekuasaan.
[5]
Kuasa itu ada di mana-mana dan muncul dari relasi-relasi antara pelbagai kekuatan,
terjadi secara mutlak dan tidak tergantung dari kesadaran manusia. Kekuasaan
hanyalah sebuah strategi. Strategi ini berlangsung di mana-mana dan di sana terdapat
sistem, aturan, susunan dan regulasi. Kekuasaan ini tidak datang dari luar, melainkan
kekuasaan menentukan susunan, aturan dan hubungan-hubungan dari dalam dan
memungkinkan semuanya terjadi.[6]
3.2. Konsep Kekuasaan Michel Foucault
Seperti telah diuraikan pada bagian sebelumnya, konsep kekuasaan Foucault
sebenarnya banyak dipengaruhi oleh Nietzsche. Ia melihat ada kesamaan pikiran
Nietzsche tentang genealogi dengan pikirannya tentang arkeologi tapi ada unsur dalam
genealogi Nietzsche yang belum nampak yaitu kuasa. Selanjutnya akan dipaparkan
beberapa pandangan Foucault tentang kekuasaan berdasarkan beberapa karyanya.
3.2.1. Kekuasaan dan Ilmu Pengetahuan
Dalam karyanya The Order of Things, Archeology of Human Sciences, Foucault
menunjukkan bahwa ada dua perubahan besar yang terjadi dalam bentuk umum
pemikiran dan teorinya. Yang pertama terjadi pada pertengahan abad ketujuhbelas,
yang kedua pada awal abad kesembilan belas.[7] Setelah menganalisis diskursus ilmu
pengetahuan abad 17 dan 18 seputar sejarah alam, teori uang dan nilai dan tata bahasa,
Foucault mengambil kesimpulan bahwa pusat ilmu pengetahuan pada waktu ini adalah
tabel. Orang hendak merepresentasikan realitas dalam tabel. Tabel adalah satu sistem
tanda, satu bentuk taksonomi umum dan sistematis dari benda-benda.[8] Dengan
konsentrasi pada tabel, pengetahuan pada masa ini menjadi ahistoris.

Pada akhir abad ke18 (setelah revolusi Prancis) sampai pertengahan abad 20 (Perang
Dunia II), konsentrasi wacana ilmiah pada masa ini adalah sejarah dan manusia sebagai
subjeknya. Manusia dibebaskan dari segala alienasi dan bebas dari determinasi dari
segala sesuatu. Manusia menjadi objek pengetahuan dan dengan demikian dia menjadi
subjek dari kebebasan dan eksistensinya sendiri.[9] Manusia menjadi pusat pemikiran.
Hal ini terlihat dalam perkembangan ilmu-ilmu sosial dan psikologi.
Objek penelitian Foucault dalam karya ini adalah kondisi-kondisi dasar yang
menyebabkan lahirnya satu diskursus. Di sini Foucault menunjukkan hubungan antara
diskursus ilmu pengetahuan dengan kekuasaan. Diskursus ilmu pengetahuan yang
hendak menemukan yang benar dan yang palsu pada dasarnya dimotori oleh kehendak
untuk berkuasa. Ilmu pengetahuan dilaksanakan untuk menetapkan apa yang benar
dan mengeliminasi apa yang dipandang palsu.
Di sini menjadi jelas bahwa kehendak untuk kebenaran adalah ungkapan dari kehendak
untuk berkuasa. Tidak mungkin pengetahuan itu netral dan murni. Di sini selalu terjadi
korelasi yaitu pengetahuan mengandung kuasa seperti juga kuasa mengandung
pengetahuan.[10] Penjelasan ilmiah yang satu berusaha menguasai dengan
menyingkirkan penjelasan ilmu yang lain. Selain itu, ilmu pengetahuan yang terwujud
dalam teknologi gampang digunakan untuk memaksakan sesuatu kepada masyarakat.
Karena dalam zaman teknologi tinggi pun sebenarnya tetap ada pemaksanaan, maka
kita tidak dapat berbicara tentang kemajuan peradaban. Yang terjadi hanyalah
pergeseran instrumen yang dipakai untuk memaksa.
3.2.2. Kegilaan dan Peradaban
Foucault melihat praktek pengkaplingan yang memisah-misahkan orang-orang yang
sakit dari orang sehat, yang normal dari yang tidak normal merupakan salah satu
bentuk aplikasi kekuasaan seseorang atau satu kelompok orang atas yang lain. Foucault
menemukan bahwa pada zaman Renaissance, kegilaan dan penalaran memiliki relasi
yang erat, keduanya tidak terpisah, sebab keduanya menggunakan bahasa yang sama.
Masyarakat tampaknya tidak menolak gagasan-gagasan dan tindakan-tindakan brilian
yang lahir dari orang-orang yang dicap gila. Kegilaan adalah kebebasan imaginasi, dan
masih menjadi bagian dari kehidupan masyarakat dalam zaman renaissance.[11]
Namun pada zaman setelahnya (1650-1800), dialog antara kegilaan dan penalaran
mengalami pembungkaman.[12] Keduanya dilaksanakan dalam bahasa yang berbeda,

dan akhirnya bermuara pada penaklukan kegilaan oleh penalaran, perlahan kegilaan
menjadi sesuatu yang asing dan disingkirkan dari kehidupan yang harus dijiwai
kelogisan. Bersamaan dengan itu, kegilaan harus disingkirkan dari masyarakat yang
normal. Kegilaan telah menjadi satu tema yang membuat masyarakat terpisah dan
terpecah.
Apa yang terjadi dengan orang gila, berjalan beriringan dengan apa yang terjadi dengan
para penjahat, orang-orang miskin dan gelandangan. Mereka semua mulai disingkirkan,
dalam bentuk penjara, rumah sakit umum, rumah sakit jiwa dan ditertibkan oleh sosok
polisi dan pengadilan. Semua lembaga ini adalah bentuk yang digunakan oleh penguasa
untuk menerapkan kekuasaannya atas masyarakat.[13] Pengangguran adalah satu
persoalan sosial, demikian juga semua yang menjadi alasan pengangguran, seperti
kegilaan atau sakit. Orang gila dikaitkan dengan orang miskin dan penganggur. Dengan
ini, etika menjadi persoalan negara. Negara dibenarkan menerapkan hukuman atas
pelanggaran moral. Hukuman mati yang dipertontonkan adalah satu bukti cara
pandang seperti ini. Dengan ini sekaligus hendak ditunjukkan bahwa ada kekuasaan.
Eksekusi adalah tontonan yang luar biasa dan bentuk pemakluman yang paling efektif
dari adanya kekuasaan yang mengontrol.
Dengan demikian, kita dapat melihat inti dari teori Foucault di sini menunjukkan
bahwa sakit mental hanya muncul sebagai sakit mental dalam satu kebudayaan yang
mendefinisikannya sebagai demikian. Karena menyangkut definisi, maka di dalam sakit
mental sebenarnya kekuasaan mendominasi. Kegilaan adalah yang berbeda dari yang
biasa, dan karena yang biasa dicirikan oleh produktivitas, maka kegilaan adalah tidak
adanya produktivitas. Penanganan kegilaan adalah satu bentuk aplikasi kekuasaan
seseorang atau satu kelompok orang atas yang lain, bukan pertama-tama masalah
pengetahuan psikologis.[14]
3.2.3. Kekuasaan dan Seksualitas
Dominasi kekuasaan juga dapat dilihat dalam analisis atas tema seksualitas. Foucault
melihat seksualitas sebagai pengalihan pemahaman tentang kekuasaan. Bagaimana
seksualitas diwacanakan adalah ungkapan dari kekuasaan. Pembicaraan yang terbuka
tentang seks menurut Foucault, adalah demi mengatur dan mencatat jumlah kelahiran.
Masalah penduduk adalah masalah sosial, dan masalah ini berhubungan dengan
seksualitas. Karena itu, kekuasaan berusaha mempelajari dan mengintervensi

pembicaraan tentang seks demi pengaturan pertumbuhan penduduk. Seksualitas


menjadi masalah publik.
Para pelaku sodomi, onani, nekrofilia, homo seksual, masokis, sadistis dan sebagainya
ditetapkan sebagai orang-orang yang berperilaku menyimpang.[15] Foucault
menunjukkan hubungan antara seksualitas dengan kekuasaan itu dalam pengakuan
dosa dalam agama Kristen. Di sini sebuah rahasia dibongkar, dan bersamaan dengan ini
posisi dia yang mengetahui rahasia itu menjadi sangat kuat. Yang menjadi pendengar
pengakuan dosa itu adalah para ilmuwan, secara khusus psikiater. Dalam posisi seperti
ini, psikiater menjadi penentu apa yang dianggap normal dan apa yang dipandang
sebagai patologis dalam perilaku seksual.
Dengan menunjukkan hubungan antara seksualitas dan kekuasaan, Foucault
menggarisbawahi tesis dasarnya bahwa kekuasaan ada di mana-mana. Intervensi
kekuasaan ke dalam seksualitas terjadi melalui disiplin tubuh dan ilmu tubuh, dan
melalui politik populasi yang meregulasi kelahiran. Kekuasaan mulai mengadministrasi
tubuh dan mengatur kehidupan privat orang. Sejalan dengan itu, resistensi terhadap
kekuasaan itu pun ada di mana-mana.
3.2.4. Disiplin dan Hukuman
Pada abad ke-17 dan 18, disiplin adalah sarana untuk mendidik tubuh. Praktik disiplin
diharapkan melahirkan tubuh-tubuh yang patuh. Hal ini tidak hanya terjadi di penjara,
tetapi juga dalam bidang pendidikan, tempat kerja, militer dan sebagainya Masyarakat
selanjutnya berkembang menurut disiplin militer. Foucault beranggapan bahwa di era
monarkial tiap proses penghukuman kriminal baru dianggap serius apabila telah
melibatkan elemen penyikasaan tubuh dalam pelaksanaannya.[16]
Pelaksanaan disiplin amat berhubungan dengan kuasa yang mengontrol. Foucault
menguraikan bahwa fenomena disiplin tubuh selalu dikontrol oleh dua instrumen
disiplin yang diterapkan dari disiplin militer dalam masyarakat. Pertama, melalui
observasi hirarkis atau kemampuan aparatus untuk mengawasi semua yang berada di
bawahnya dengan satu kriteria tunggal.[17] Panopticon yang terungkap dalam menara
sebagai pusat penjara adalah bentuk fisik dari instrumen ini. Dengan
adanya panopticon ini kekuasaan sipir menjadi sangat besar sebab para tawanan
berusaha menahan diri mereka sendiri. Mereka takut dipantau. Kehadiran struktur itu
sendiri sudah merupakan satu mekanisme kekuasaan dan disiplin yang luar biasa.

Instrumen kedua adalah menormalkan penilaian moral dan menghukum para


pelanggar moral.[18] Dalam hal ini kekurangan disamakan dengan kejahatan. Selain
dipenjarakan, orang-orang yang menyimpang dipertontonkan. Maksudnya adalah
menunjukkan kepada masyarakat betapa dekatnya manusia dengan binatang, dan
manusia lain akan diperlakukan secara yang sama apabila mereka keluar dari batasbatas yang dipandang waras oleh masyarakat. Dalam keseluruhan penanganan atas
penyimpangan-penyimpangan ini, psikiater atau aparat sebenarnya tidak berperan
sebagai ilmuwan, tetapi sebagai kekuasaan yang mengadili.
Foucault membayangkan menara pengawas dalam panoptisme selain dioperasikan oleh
petugas, dapat dipergunakan oleh banyak individu dengan pelbagai kepentingan. Ia
dapat menjadi tempat seorang filsuf yang haus pengetahuan akan manusia menjadi
museum manusia. Ia bahkan menjadi tempat bagi mereka yang tergolong mempunyai
sedikit penyimpangan seksual memperoleh kenikmatan dengan mengintip orang-orang.
[19]Dalam panoptisme inilah Foucault memperlihatkan adanya kekuasaan yang
teselubung dalam pelbagai institusi dan lembaga.
D.

Genealogi Kekuasaan

Dalam tahap arkeologi, Foucault telah melakukan distingsi terhadap formasi-formasi diskursif
dengan formasi nondiskursif. Mutasi penyebaran formasi diskursif dipandang sebagai proses
independen dari formasi non diskursif seperti institusi. Pada tahap genealoginya Foucault
mempunyai pandangan yang sedikit berbeda terhadap formasi non diskursif. Karena dengan
mengandalkan formasi diskursif saja untuk menganalisa rezim kuasa kebenaran pada suatu
jaman hanyalah impian yang bersifat ilusif. Sumber dari pemikirannya ini adalah essainya
dalam kuliah di College de France pada tahun 1970 yang berjudul Lorde du Discourse.
Dalam essainya itu disebutkan bahwa penyebaran formasi diskursif dalam kerangka
pembentukan rezim kuasa kebenaran yang sebelumnya dikatakan bersifat alamiah, ternyata
tidak bisa lepas dan tidak bisa bebas dari limitasi, seleksi dan kontrol dari sekian banyak
formasi non diskursif. Poin sentralnya adalah bahwa diskursus itu berbahaya dan kekuasaan
berusaha mengontrolnya. Foucault mendefinisikan ada empat domain dimana diskursus
dianggap membahayakan, yakni: politik (kekuasaan), seksualitas (hasrat), kegilaan dan secara
umum apa yang dianggap benar atau palsu. Sama dengan Nietzsche yang mengidentifikasikan
hasrat untuk kebenaran dan hasrat untuk berkuasa. Foucault menolak bahwa ilmu
pengetahuan itu dikejar untuk kepentingan ilmu pengetahuan itu sendiri, bukan untuk
kepentingan kekuasaan. Diskursus tentang kegilaan, politik ataupun seksualitas terpahami
selama diarahkan pada pencapaian kekuasaan.
Pada tahun 1971 Foucault mempublikasikan essainya yang berjudul Nietzsche, Genealogy

History yang menandakan selesainya masa transisi pemikiran Foucault dari era Arkeologi
menuju ke Genealogi. Metode analisis diskursusnya bukan lagi model analisis teks, tapi sudah
menuju pada analisis tubuh. Walaupun metode ini terinspirasi dari model Nietzsche, namun
Foucault membuatnya berubah karakter sehingga genealogi yang tampil adalah dengan ciri
dan gaya khas Foucault.
Perbedaan yang khas antara genealogi Nietzsche dengan Foucault adalah jikalau genealogi
Nietzsche menjadi sebuah alat analisis yang mempertanyakan dan membongkar adanya
afiliasi-afiliasi masa lalu yang membuat ikatan-ikatan atau karakter masyarakat menjadi
mengidentifikasi diri dengan hal-hal tertentu, (contoh bagaimana ketika Jerman
mengidentifikasi diri memiliki double soul atas segala kebencian tak berdasar pada ras Yahudi)
ini bisa kita lacak bagaimana pengidentifikasian ini muncul. Karakter-karakter tersebut lahir
dari suatu proses konfrontasi yang panjang yang tumbuh dari permainan dominasi-dominasi
yang melibatkan humanisme. Proses humanisme adalah proses yang berjalan pada individu
sebagai bagian terkecil dari masyarakat, yang menyebabkan pikiran, tubuh, sampai moral
memiliki identitas tertentu. Maka dengan genealogi Nietzsche berusaha membalik analisis
tersebut dengan melacak titik konfrontasi, titik-titik dominasi dimana penyelewengan yang
menumbuhkan ilusi itu terjadi.Hal ini dapat ditegaskan bahwa genealogi Nietzsche bergerak
pada bidang humanisme dengan berusaha menciptakan tatanan moral diatas tatanan moral
yang oleh Nietzsche dikatakan telah ambruk.
Sementara Foucault mengambil fokus genealoginya pada proses pembentukan tubuh. Genalogi
Foucault berusaha memperlihatkan bagaimana relasi-relasi kekuasaan dan pengetahuan
berjalan untuk menguasai, mengontrol serta menundukkan tubuh manusia-manusia modern
Eropa hingga seperti yang terjadi sekarang.
Jadi pada tahap ini Foucault berusaha mendudukkan antara kekuasaan dan diskursus. Ia ingin
mengupas tentang bagaimana tubuh manusia meregulasi diri, mengontrol diri di bawah
kendali kekuasaan yang direpresentasikan oleh pengetahuan yang diamini kebenarannya.
E.

Relasi Pengetahuan dan Kuasa

Pengetahuan dan Kekuasaan mempunyai hubungan timbal balik. Penyelenggaraan kekuasaan


terus menerus akan menciptakan entitas pengetahuan, begitu pun sebaliknya
penyelenggaraan pengetahuan akan menimbulkan efek kekuasaan. Demikian bunyi teori
Michel Foucault tentang relasi Kekuasaan- Pengetahuan.(Eriyanto, 2003:65)
Namun yang perlu diperhatikan di sini bahwa pengertian tentang Kekuasaan menurut Foucault
sama sekali berbeda dengan pengertian yang dipahami oleh masyarakat selama ini. Pada
umumnya, kekuasaan dipahami dan dibicarakan sebagai daya atau pengaruh yang dimiliki oleh
seseorang atau lembaga untuk memaksakan kehendaknya kepada pihak lain. Dalam konteks
ini kekuasaan diartikan secara represif dan kadangkala malah opresif. Yakni adanya dominasi
antara subjek dan objek kekuasaan. Semisal kekuasaan Negara pada masyarakat, raja pada
rakyatnya, suami pada isteri, pemilik modal kepada para karyawannya. Pengertian semacam

itu banyak digunakan oleh para ahli sejarah, politik dan sosial.(Haryatmoko, 2002:10)
Foucault memperlihatkan cara membaca yang berbeda tentang kekuasaan. Cara Foucault
memahami kekuasaan sangat orisinal. Menurut Foucault kekuasaan tidak dimiliki dan
dipraktekkan dalam suatu ruang lingkup di mana ada banyak posisi yang secara strategis
berkaitan antara satu dengan yang lain. Foucault meneliti Kekuasaan lebih pada individu,
subjek dalam lingkup yang paling kecil. Karena kekuasaan menyebar tanpa bisa dilokalisasi
dan meresap ke dalam seluruh jalinan perhubungan sosial. Kekuasaan beroperasi dan bukan
dimiliki oleh oknum siapa pun dalam relasi-relasi pengetahuan, ilmu, lembaga-lembaga.
Lagipula sifatnya bukan represif, melainkan menormalisasikan susunan-susunan masyarakat.
Kekuasaan tersebut beroperasi secara tak sadar dalam jaringan kesadaran masyarakat. Karena
kekuasaan tidak datang dari luar tapi menentukan susunan, aturan-aturan, hubunganhubungan itu dari dalam. Sebagai contoh dapat disebutkan bahwa hubungan keluarga yang
menormalkan bahwa suami adalah yang harus bekerja untuk mencari nafkah sementara isteri
hanya bertugas mengurusi rumah tangga serta merawat anak-anaknya. Atau contoh lain
misalnya tentang karyawan yang secara berdisiplin bekerja sesuai dengan tugas-tugasnya.
Bahwa ketaatan karyawan tersebut bukan karena adanya represi dari bos atau pimpinan
namun karena adanya regulasi-regulasi dari dalam yang menormalkan. Mereka bekerja dengan
giat bukan saja hanya karena ada ancaman atau tekanan tapi juga karena adanya semacam
struktur diskursif yang mengatakan akan ada penghargaan bagi karyawan yang berprestasi
dalam bekerja.
Setiap masyarakat mengenal strategi kuasa yang menyangkut kebenaran. Beberapa diskursus
diterima dan diedarkan sebagai benar, ada instansi-instansi yang menjamin perbedaan antara
benar dan tidak benar. Ada macam-macam aturan dan prosedur untuk memperoleh dan
menyebarkan kekuasaan.
Bagi Foucault kekuasaan selalu teraktualisasi lewat pengetahuan, dan pengetahuan selalu
punya efek kuasa. Penyelenggaraan pengetahuan menurut Foucault selau memproduksi
pengetahuan sebagai basis kekuasaan. Hampir tidak mungkin kekuasaan tidak ditopang
dengan suatu ekonomi wacana kebenaran.
Pengetahuan tidak merupakan pengungkapan samar-samar dari relasi kuasa, namun
pengetahuan berada dalam relasi-relasi kuasa itu sendiri. Kuasa memprodusir pengetahuan
dan bukan saja karena pengetahuan berguna bagi kuasa. Tidak ada pengetahuan tanpa kuasa
dan sebaliknya tidak ada kuasa tanpa pengetahuan. Konsep Foucault ini membawa
konsekuensi, untuk mengetahui kekuasaan dibutuhkan penelitian mengenai produksi
pengetahuan yang melandasi kekuasaan. Karena setiap kekuasaan disusun, dimapankan, dan
diwujudkan lewat pengetahuan dan wacana tertentu. Wacana tertentu menghasilkan
kebenaran dan pengetahuan tertentu, yang menimbulkan efek kuasa.
Namun Foucault berpendapat bahwa kebenaran di sini bukan sebagai hal yang turun dari
langit, dan bukan juga sebagai sebuah konsep yang abstrak. Kebenaran di sini diproduksi,

karena setiap kekuasaan menghasilkan dan memproduksi kebenaran sendiri melalui mana
khalayak digiring untuk mengikuti kebenaran yang telah ditetapkan tersebut. Di sini
kekuasaan selalu berpretensi menghasilkan rezim kebenaran tertentu yang disebarkan oleh
wacana yang diproduksi dan dibentuk oleh kekuasaan.
Dalam masyarakat modern, semua tempat berlangsungnya kekuasaan juga menjadi tempat
pengetahuan. Dalam penelitiannya Foucault meneliti fenomena kegilaan yang menjadi lahan
subur bagi berkembangnya bidang-bidang keilmuan seperti psikiatri, psikologi, kedokteran,
sosiologi, kriminologi bahkan teologi. Produksi mendorong perkembangan ilmu ekonomi,
sosiologi, psikologi. Demikian sebaliknya, semua pengetahuan memungkinkan dan menjamin
beroperasinya kekuasaan. Kehendak untuk mengetahui menjadi proses dominasi terhadap
objek-objek dan terhadap manusia. Pengetahuan adalah cara bagaimana kekuasaan
memaksakan diri kepada subjek tanpa memberi kesan bahwa ia datang dari subjek tertentu.
Karena kriteria keilmiahan seakan-akan mandiri terhadap subjek. Padahal klaim ini
sebenarnya merupakan salah satu bagian dari strategi kekuasaan.
Foucault mendefinisikan strategi kekuasaan sebagai melekat pada kehendak untuk
mengetahui. Melalui wacana, kehendak untuk mengetahui terumus dalam pengetahuan.
Wacana bukan muncul begitu saja akan tetapi diproduksi oleh zamannya masing-masing.
Menurut Foucault, pandangan kita tentang suatu objek dibentuk dalam batas-batas yang telah
ditentukan oleh struktur diskursif tersebut; wacana dicirikan oleh batasan bidang dari objek,
definisi dari perspektif yang paling dipercaya dan dipandang paling benar. Persepsi kita
tentang suatu objek dibatasi oleh praktek diskursif ; dibatasi oleh pandangan yang
mendefinisikan sesuatu bahwa ini benar dan yang lain salah. Ini seperti kalau kita mendengar
kata dangdut, maka bayangan kita akan mengarah pada satu jenis musik yang tak lepas dari
goyang. Wacana tertentu membatasi pandangan khalayak, mengarahkan pada jalan pikiran
tertentu dan menghayati itu sebagai sesuatu yang benar. Wacana merupakan sebuah arena di
mana khalayak berpikir dengan jalan tertentu, bukan yang lain.
Wacana mampu menepis segala hal yang tidak termasuk dalam garis ketentuannya namun
juga bisa memasukkan apa yang dianggap oleh struktur diskursif yang membentuknya benar.
Dalam hal ini objek bisa jadi tidak berubah namun struktur diskursif dibuat, menjadikan objek
tersebut berubah. Seperti contoh bakteri di lautan yang dahulu dikategorikan sebagai hewan,
namun kini ia dikategorikan dan diklasifikasikan sebagai tumbuhan. Dalam hal ini tidak ada
yang berubah dari objek bakteri tersebut, namun karena ada struktur diskursif yang
melingkupinya kemudian kita memperlakukan dan mempelajari dan menempelkan sifat-sifat
makhluk itu pada tumbuhan.
Dalam perkembangan masyarakat modern tak bisa lepas dari peran media massa. Media massa
bukan saja berperan sebagai penyampai informasi bagi masyarakat, namun lebih dari itu
media juga berperan bagi pembentukan wacana yang akan melatari setiap zamannya. Apalagi
dengan berkembangnya teknologi informasi yang semakin pesat, menjadikan media massa
sangat mempengaruhi segala lini kehidupan masyarakat.

F.

Penutup

Michel Foucault yang telah menciptakan tentang relasi Kekuasaan- Pengetahuan. Pengetahuan
dan Kekuasaan mempunyai hubungan timbal balik. Penyelenggaraan kekuasaan terus menerus
akan menciptakan entitas pengetahuan, begitu pun sebaliknya penyelenggaraan pengetahuan
akan menimbulkan efek kekuasaan.
DAFTAR PUSTAKA
Kamus Filsafat, (Bandung, PT Remaja Rosdakarya), 1995
Lydia, Foucault, Foucault Untuk Pemula Kanisius, 2001
Seno Joko Suyono, Tubuh Yang Rasis, Telaah Kritis Michel Foucault atas Dasar-dasar
pembentukan Diri Kelas Menengah Eropa, (Jogjakarta, Pustaka Pelajar, 2001)
K. Bertens, Filsafat Barat Kontemporer, (Jogjakarta, Kanisius),hal.302.
George ritzer, Teori Sosial Postmodern, terj. (Jojakarta, Kreasi Wacana, 2003)
Eriyanto, Analisis Wacana Pengantar Analisis Teks Media, LKiS, 2003.
Haryatmoko, Kekuasan melahirkan Anti Kekuasaan dalam Jurnal Basis No 01-02 Tahun ke51, Januari-Februari 2002.
Lydia Alix Fillingham, Foucault Untuk Pemula Kanisius, 2001, hal. 12
George Junus Aditjondro, Pengetahuan-Pengetahuan Lokal yang Tertindas Jurnal kalam No.
1, 1994
Read more: http://syafieh.blogspot.com/2013/03/pengetahuan-dan-kekuasaandalam.html#ixzz3OHkwB7qa

TEORI Michel Foucaut tentang kekuasaan, wacana, dan pengetahuan


merupakan aspek-aspek yang tidak terpisahkan. Terminologi episteme,
dalam pemikiran Michel Foucault, berarti korelasi epistemologis yang dalam,
di antara berbagai cabang ilmu pengetahuan yang berkembang pada masa
dan kurun tertentu. Kaitannya dengan empat abad terakhir sejarah
pemikiran
Eropa,
Michel
Foucault
membaginya
ke
dalam
tiga
macam episteme,
yaitu: episteme Abad
Tengah, episteme Klasik
dan epistemeModern.
Setiap penggalan (rupture) dari episteme tesebut memiliki sistem pemikiran
tersendiri yang berbeda satu sama lain, sekurangnya dalam konsep dan
metode. Arkeologi pengetahuan mendapatkan posisi di sini: bertugas
mengungkap unsur-unsur terdalam dan tersembunyi. Episteme (boleh jadi)
merupakan kumpulan relasi yang menghubungkan antara praktek-praktek
lisan dengan pengetahuan dalam berbagai bentuknya pada periode sejarah
tertentu. Episteme adalah sitem tersembunyi dibalik pengetahuan yang
dominan pada masa tertentu. Sistem tersembunyi ini dianggap sebagai
pemersatu, dalam realitasnya yang paling dalam, pada peradaban tertentu
dan, periode tertentu.Episteme adalah prasyarat munculnya pengetahuan
dan
teori.
Jadi,
ia
adalah
latar
tersembunyi
dibelakang
pengetahuan; episteme adalah struktur dasar yang berada diluar sejarah.
Ringkasnya, ia adalah struktur pengetahuan global, dengan cirinya yang
holistik. Ia dianggap sebagai jaringan dasar hukum-hukum yang mengatur
pengetahuan, metode, pemahaman, dan metode analisa.
Michel Foucault meninggalka anggapan lama yang memandang bahwa
pengetahuan hanya mungkin berkembang di luar wilayah kekuasaan antara
pengetahuan dan kuasa justru terdapat relasi yang saling berkembang tidak
ada praktek pelaksanaan kuasa yang tidak memunculkan pengetahuan dan
tidak pengetahuan yang di dalamnya tidak mengandung relasi kuasa. Ada
kesamaan antara Michel Foucault dengan Jacques Lacan berkenaan dengan
bahasa. Michel Foucault mengatakan bahwa yang berbicara bukanlah
subyek, tapi struktur linguistik dan sistem bahasa.
Sementara Lacan menegaskan bahwa jalan yang telah dirintis oleh Freud tak
memiliki makna selain bahwa, alam bawah-sadar adalah bahasa. Mereka
tampaknya memahami bahasa secara luas. Signifikansi bahasa dalam studi
Michel Foucault tampak dalam karyanya Madness and Civilization, yang
meneliti tentang simbol-simbol yang diciptakan oleh relasi kuasa dengan
pengetahuan. Praktek sosial menyediakan mekanisme yang memungkinkan
relasi kuasa beroperasi.

Kuasa ada dimana-mana, karena itu, kekuasaan bisa ditemukan dalam


segala bidang interaksi manusia: keluarga, politik, ekonomi, sosial, agama
dan sebagainya. Penelitiannya tentang sejarah orang-orang gila, yakni
tentang mereka yang ditolak masyarakat, berhasil mengungkap
formasiformasi bahasa dan diskursus yang telah menciptakan konsep pihak
lain (the other)untuk hal ini, ia menggunakan deskripsi genealogis.
Genealogi bukanlah teori, tapi lebih merupakan cara pandang atau model
perspektif untuk menempatkan diskursus, praktek sosial dan diri kita sendiri
dalam wilayah relasi kuasa. Genealogi merupakan kelanjutan dari arkeologi.
Kalau arkeologi lebih difokuskan untuk menyingkap suatu wilayah praktek
diskursusif; untuk menemukan fenomena-fenomena keterputusan dan
keberbedaan, tanpa dikorelasikan dengan kemajuan, maka genealogi lebih
merupakan usaha untuk mendeskripsikan sejarah formasi-formasi sosial;
sejarah tentang asal suatu pemikiran untuk menemukan titik tolak
pemberangkatan, tanpa menghubungkannya dengan
hakekat (substansi) ataupun identitas-identitas yang hilang.
Tujuannya hanyalah untuk membongkar pemikiran-pemikiran asali, center
dan substansi. Segala sesuatu tidak memiliki mahiyah (inti; substansi).
Segala substansi tak lebih dari buatan manusia, karena itu harus di
dekontruksi dan dikeping-keping. Michel Foucault mampu membuktikan
bahwa sejarah selama ini adalah sejarah yang terdistorsi; bukan sejarah
bahasa dan makna, tapi sejarah relasi kuasa.
Michel Foucault menyatakan menggunakan terminologi arkeologi secara
metaforis untuk menunjuk pada sesuatu yang disebut arsip. Bukan untuk
menemukan awal sesuatu ataupun untuk menghidupkan masa lalu yang
telah mati.
Lebih lanjut, Ia menerangkan tentang apa yang di maksud dengan arsip, apa
yang kumaksud dengan arsip bukanlah kumpulan teks-teks yang dijaga oleh
peradaban tertentu, bukan pula kumpulan peninggalan arkeologis yang
mungkin untuk dijaga dari kehancuran, tapi merupakan kumpulan prinsipprinsip (aturan-aturan) yang menentukan bagi muncul dan hilangnya suatu
diskursus; ketersambungan (continuity) ataupun keterputusan (rupture)
diskursus tersebut pada peradaban tertentu.
Berkenaan dengan sejarah kegilaan, Michel Foucault menunjukkan bahwa
predikat gila bukanlah sekedar masalah empiris atau medis semata, tapi

juga berkenaan dengan norma-norma sosial dan bentukbentuk diskursus


tertentu. Pengertian tentang kegilaan adalah hasil ciptaan manusia karena
kategori gila terus berubah sesuai dengan zaman. Abad Pertengahan
memperlakukan orang gila sebagai orang yang tidak berintegrasi dengan
masyarakat. Menurut versi gereja, orang gila adalah yang tidak memiliki
loyalitas pada gereja. Pengertian gila terus berubah sesuai dengan perspektif
dan kepentingan pemegang kuasa.
Dalam proses penciptaan, ikut terlibat para dokter, politisi, ahli hukum dan
unsur-unsur yang dominan dalam masyarakat. Yang paling dominan
peranannya adalah para dokter yang menciptakan bahasa simbol dan tandatanda. Selanjutnya, struktur bahasa inilah yang sangat berpengaruh dalam
menilai gila atau warasnya seseorang.
Analisa genealogis adalah kritik terhadap ilmu pengetahuan modern, dalam
hal ini ilmu pengetahuan sejarah. Ilmu pengetahuan sejarah modern lebih
merupakan pembungkaman terhadap the others, sehingga banyak lapisanlapisan yang sebenarnya bagian dari wacana ilmiah luput dari perhatian
ilmuwan, apalagi kita. Kegilaan adalah aspek yang terlupakan (yang
terbungkam; yang terpinggirkan), namun sebenarnya bagian dari wacana
ilmiah. Kegilaan sebenarnya mengandung hikmah dan kebijaksanaan.
Penelitian Michel Foucault berhasil menyimpulkan bahwa kegilaan
merupakan kebutuhan masyarakat akan formasi sosial yang dikehendaki,
hingga menjadi kebutuhan sosial tertentu di mana dari sinilah tercipta
mereka, Pihak Lain. Michel Foucault membuktikan bahwa kode-kode
pengetahuan (dalam konteks ini: kedokteran) banyak mempengaruhi
struktur bawah-sadar masyarakat. Dengan genealogi, Michel Foucault ingin
mendelegitimasi masa sekarang dari masa lampau; ada rupture.
Gagasan lain Michel Foucault yang terpenting, berkenaan dengan wacana
(discourse). Dalam discourse, bahasa adalah mediator. Wacana adalah
ucapan yang dengannya pembicara menyampaikan segala sesuatu kepada
pendengar. Unsur terkecil dari wacana adalah kalimat. Wacana yang
diperkuat dengan tulisan disebut teks.
Wacana merupakan kumpulan pernyataan-pernyataan (statement) yang
berbeda dengan ungkapan (utterance) maupun proposisi (proposition). Yang
dimaksud Michel Foucault disini bukanlah sekedar perbincangan sehari-hari,
tapi perbincangan yang serius (serious speechact).

Serius tidaknya suatu perbincangan diukur berdasar intensitas keterlibatan


unsur relasi kuasa dengan pengetahuan yang melahirkan wacana tersebut.
Teori Foucault yang sangat terkenal adalah kritiknya atas teori kekuasaan
Karl Marx. Dia bersedia melakukan konfrontasi dengan tokoh yang menjadi
idola para mahasiswa semasanya. Pemikiran Michel Foucault tentang
kekuasaan mau memeriksa salah satu segi proses peradaban Barat, yaitu
agresi rasio dengan kepastian-kepastian filsafat Pencerahan. Agresi rasio
dengan kepastiankepastian yang dibawa oleh filsafat Pencerahan ini
mendapat kritik tajam dari Michel Foucault, yakni terhadap filsafat sejarah
yang terlalu percaya pada sustem dan terhadap metode pembahasannya
Kekacauan kejadian-kejadian sejarah mengungkap peran para filsuf sejarah
yang selalu berorientasi pada sistem.
Persoalan sejarah bukan untuk menjadikan koheren apa yang tidak koheren.
Sejarah bukan untuk mempertahankan rasionalitas yang bertentangan
dengan realitas konflik kekuasaan dan ideologi. Kritik ini jelas diarahkan pada
konsepsi Hegel tentang sejarah sebagai dialektika. Kehebatan dialektika
terletak pada kemampuannya mengubah dari kekurangan menjadi kekuatan,
yang jahat menjadi sarana kebaikan, perbedaan menjadi momen di mana
kesadaran jadi lebih jelas.
Menurut Michel Foucault, sintesis yang dianggap sebagai jalan keluar
dialektika itu tidak lain hanyalah imajinasi pemecahan antisipatif terhadap
kontradiksi-kontradiksi atau konflik-konflik. Kebenaran semacam itu
diberlakukan sebagai jalan keluar bagi perbedaan kepentingan dan
hubungan-hubungan pertarungan kekuatan. Michel Foucault, dengan
arkeologi pengetahuan, justru menerapkan metodologi yang sebaliknya,
yaitu menyadari perbedaanperbedaan kepentingan dari setiap representasi
dunia baru. Pengaruh Nietzsche dalam diri Michel Foucault memperlihatkan
bagaiman pandangan Michel Foucault tentang sejarah.
Michel Foucault menolak menggambarkan sejarah sebagai ilmuilmu sebagai
sejarah kemajuan, gerak tunggal, seakan-akan diarahkan menuju satu
tujuan. Tujuan ini ialah menjelaskan kesadaran manusia dan meningkatkan
penguasaan manusia terhadap dunia demi kesejahteraannya.
Gagasan sejarah seperti ini menurut Michel Foucault patut dicurigai, seakanakan kejadian-kejadian itu hanya mempunyai satu sebab tunggal. Padahal
sebab tidak selalu tunggal. Cara berfikir ini cenderung menafikkan

perbedaan. Saat-saat konflik hanya dianggap sebagai krisis


perkembangan manusia yang sedang mewujudkan hakikatnya.

tahap

Kebanyakan agama mempunyai konsep sejarah teleologis seperti itu


sehingga menerima perbedaan cenderung dianggap tidak koheren dengan
hakikatnya, apabila menerima perbedaan, hanya semu, yakni ketika agama
sebagai yang paling benar, tetapi agama lain juga memiliki jalannya sendiri
untuk ambil bagian dalam kebenaran agama yang satu itu.
Upaya mengkonfrontasikan gagasan-gagasan Marx dan Foucualt bisa
menjelaskan dari mana produktivitas pemikiran Michel Foucault. Sudah sejak
saat penulisan lHistoire de la folie, menurut P. Macherey, Michel Foucault
mulai meninggalkan keterpikatannya pada marxisme dalam bentuk kritik
konkret terhadap alienasi. Sejak saat itu, Michel Foucault curiga terhadap
semua yang berbau materialisme dialektik.
Pernyataan-pernyataan Marx tidak ditangkap dalam kekakuan akademis,
tetapi dalam penerapan penafsiran mengenai kekuasaan. Michel Foucault
mencoba memecahkan masalah kekuasaan dengan menentang gagasan
yang disistematisasi dalam freudo-marxisme kontemporer: Satu, implikasi
saling terkait dengan represi seksual dan eksploitasi tenaga kerja dalam
masyarakat kapitais. Jawabannya adalah pembebasan seksual sebagai
bagian aari revolusi politik dan sosial. Dua, persekongkolan antara sensor
moral, pengawasan terhadap pernyataanpernyataan dan reproduksi
hubungan ekonomi di bawah dominasi tatanan politik yang sama.
Tiga, kesamaan tatanan borjuis global, otoritas keluarga, dan pendidikan di
bawah tokoh seorang ayah. Empat, enerji alamiah yang diarahkan pada
pencarian kenikmatan dan tatanan yang dibuat lembaga-lembaga,
laranganincest dalam keluarga monogami dan dalam negara. Lima, dari
kemunafikan seksual kelas penguasa, memuncak pada fiksi tentang prinsip
realitas yang bertentangan dengan represi, subversi global nilai-nilai
diciptakan dari kebohongan.
Dalam freudomarxisme itu terkait berbagai disiplin: wacana filsafat, ilmiah
dan sastra, praktik-praktik militan baik teoritis maupun estetis, alternatif
ilmu-ilmu
itu
mengarah
ke
freudo-marxisme.
Michel
Foucault
mempertanyakan seberapa jauh perjuangan itu mampu memisahkan diri
dari wacana yang ditentangnya. Michel Foucault ingin mempertanyakan
efektivitas ideologi

kekiri-kirian dan utopisme revolusioner. Michel Foucault mengkritik freudomarxisme dengan memperlihatkan keduanya merupakan bagian bidang
pengetahuan yang sama, atau setidaknya berasal dari prakonsepsi yang
sama: kekuasaan dilaksanakan melalui represi.
Michel
Foucault
mengkritik
freudo-marxisme
berdasarkan
dua
argumen: Pertama, kekeliruan sejarah. Secara material, keliru bahwa
masyarakat yang berkembang mulai Abad ke-18 yang disebut borjuis,
kapitalis, atau industrial., menentang sensor yang dilakukannya. Kedua, ada
ketergantungan pada model kekuasaan yang yuridis, yang memusatkan diri
pada representasi otoritas dan hukum.
Apa urgensinya pemikiran-pemikiran Michel Foucault bagi kita? Banyak yang
bisa diambil, di antaranya manfaat analisis arkeologisgenealogis dengan
metode dekontruksi untuk memahami realitas sosialkeagamaan; sejauh
mana relasi-relasi kuasa beroperasi dalam kehidupan umat Islam, sehingga
bisa ditemukan mereka yang lain, mereka yang ditolak, namun sebenarnya
adalah bagian dari umat yang membentuk suatu gestalt. Bukan untuk
menemukan kesatuan diskursus umat Islam, tapi untuk menemukan
keragaman pemahaman dan kebenaran. Sehingga
terjadi proses decentering yang berarti keterbukaan terhadap yang lain;
yang juga berarti runtuhnya dominasi dalam interpretasi maupun klaimklaim
kebenaran. Selanjutnya tercipta iklim yang inklusif.
Sumber bacaan:
Etienne Balibar, Konfrontasi Michel Foucault dan Marx: Kritik terhadap
Hipotesis Represi, Praksis, dan Struktur Konflik, BASIS Nomor 01-02, Tahun
ke-51, Januari-Februari 2002, hlm. 58-60
Basis, Konfrontasi Faucault dan Mark, Basis no. 01-02 th. Ke-51., JanuariFebruari, 2002, hlm. 15
Haryatmoko, Kekuasaan
Melahirkan
anti-Kekuasaan:
Menelanjangi
Mekanisme dan Teknik Berkuasa bersama Michel Foucault, BASIS Nomor 0102, Tahun ke-51, Januari-Februari 2002, hlm. 10
Michel Foucault, Disiplin Tubuh (diterj. Dari Discipline of Punish), LkiS,
Yogyakarta,
1997, t. h

Konsep Kekuasaan Gereja: Konteks Gereja


Barat
REP | 19 July 2011 | 07:41

Dibaca: 477

Komentar: 6

Oleh: Arie Yanitra Hartanto[1]


Rentang waktu yang lama antara tumbangnya kerajaan Romawi dan lahirnya
negara nasional modern disebut sebagai jaman pertengahan. Pada
pendahuluan buku A History of Medieval Political Thought 300-1450 yang
ditulis oleh Joseph Canning menunjukkan betapa kompleksnya dua
kekuasaan [Gereja dan Negara] yang menjadi satu tetapi sebenarnya
berbeda.[2] Carlton Clymer Rodee berpendapat selama abad pertengahan,
negara menjadi kurang penting dibanding Gereja, yang bisa memaksakan
kekuasaannya pada raja dan memecat para pangeran dan mengatur
kebijakan umum. Ilmu filsafat (termasuk filsafat politik) diposisikan dibawah
teologi; pertentangan politik biasanya diselesaikan melalui himbauan yang
berkuasa, yaitu tulisan-tulisan keagamaan daripada pertimbangan empirik
ataupun praktis.[3]
Untuk dapat melacak lahirnya konsep kekuasaan Gereja mungkin sebaiknya
kita terlebih dahulu harus melihat periodik sejarah, ajaran, dan tradisi
kekristenan perdana. Sebenarnya dalam ajaran dan tradisi kekristenan
perdana tidak ada kejelasan apakah sekte baru yang lahir dari Judaisme
tersebut mengikuti pola kekuasaan model Perjanjian Lama ataukah
mempunyai pola tersendiri. Menurut Andreas A. Yewangoes secara umum
terdapat istilah kuasa di dalam Alkitab dikenal
sebagai eksousia dan dunamis. Eksouasia adalah kekuasaan yang
dicangkokkan dari luar, sedangkan dunamis adalah kekuasaan yang berasal
dari dalam, yang bersifat menggerakkan.[4] Namun sebuah studi teologi
alkitabiah [hermeneutik] mengenai kuasa yang ditulis oleh Hans-Ruedi Weber
mengisyaratkan tidak adanya kejelasan korelasi antar sistem yang
berkembang antara Perjanjian Baru dan Perjanjian Lama. Pendapatnya yang
mengungkapkan [istilah kuasa] di dalam bahasa Alkitab, setiap konteks teks

baik Ibrani maupun Yunani, banyak istilah yang berbeda-beda digunakan


untuk berbagai manifestasi kekuasaan.[5]
Untuk melacak konsep kekuasaan Gereja, saya tidak ingin terjebak kerumitan
dalam pelacakan sumber teks ataupun interpretasi teks walaupun mungkin itu
bisa menjadi pertimbangan bagi para penulis lain yang ingin melengkapi
pengetahuan tentang terbentuknya pola kekuasaan Gereja atas dasar metode
tersebut. Dalam bukunyaThe Infability of The Church, George D. Salmon
memberikan komentar mengenai sumber/pembuktian kebenaran Gereja yang
sangat kompleks dalam membela pandangan dan doktrin-doktin Gereja.
Gereja selalu menolak mengatakan bahwa ajaran yang berkembang hanya
berdasarkan tradisi namun disisi lain Gereja mengklaim bahwa pertimbangan
dan keputusan yang lahir selalu berdasarkan alkitab, dan sebaliknya.
[6] Pemisahan keduanya ataupun kesatuan antara tradisi dan alkitab jika
diselidiki memang tidak begitu jelas. Apakah hal-hal tersebut menghasilkan
pemikiran dan keputusan Gerejawi termasuk pengakuan ketidakbersalahan
Gereja dalam merumuskan suatu hal -termasuk konsep kekuasaan dan cara
mereka berkuasa-.
Ada baiknya kita meninggalkan sejenak kerumitan pembahasan studi
hermeneutik, tradisi dan ajaran Gereja. Untuk mencari kejelasan sejarah
konsep kekuasaan Gereja dan berpikir dalam kerangka sistematis, saya
membagi empat periode sejarah terbentuknya konsep kekuasaan Gereja,
sampai tahun 1450.
[A] Periode 33 M- 430
Sejarah mencatat ketika kerajaan Romawi menjadi semakin despotik dan
secara perlahan menemui ajalnya, sebuah kekuatan keagamaan baru lahir
dari timur. Kemunduran kekaisaran Romawi juga dipenuhi dengan kenyataan
politik bahwa pergantian kekuasaan hampir sebagian besar terkait kekerasan
dan pembunuhan yang terjadi di lingkaran kekuasaan. Antara 180-224 M
[Masehi], tercatat ada + 22 kaisar bergantian memimpin. Menjelang akhir
abad 3, agama baru tersebut berangsur-angsur menyebar ke kalangan
Romawi. Agama baru tersebut dengan dikenal sebagai agama Kristen,
pendirinya bernama Yesus dari Nazareth dimana para pengikutnya secara
bertahap menyebarkan pengaruh kepada kekaisaran Romawi. Seiring

berjalannya waktu, para pengikut Kristus ini menolak ide bahwa kesetiaan
politik berarti sejalan dengan agama, mereka menolak menjadi warga yang
patuh total kepada kekaisaran dan kaisar kecuali kepada agama mereka.
Meskipun pertama-tama ditoleransi oleh pemerintah Romawi sebagai salah
satu sekte agama, orang-orang Kristen kemudian menjadi sasaran
penyiksaan karena penolakan mereka terhadap otoritas kaisar. Konsep
kekuasaan pemerintahan Romawi tidak dapat diterapkan secara serta merta
terhadap sekte baru tersebut misalnya: ide tentang penyembahan kepada
kaisar ditolak mentah-mentah oleh komunitas ini. Pertentangan antara Gereja
dengan kekaisaran Romawi semakin meruncing ketika para pemimpin sekte
ini perlahan-lahan mulai mencapai titik radikal, misalnya Tertullianus (195-220
M).[7] Darah pemeluk Kristen yang tertumpah tidak pernah menyurutkan
mereka dalam membela kepercayaannya. Para martir[8] yang bermunculan
dalam agama ini menjadi bukti otoritas dan kekuatan Gereja dalam
menghadapi kebrutalan para penguasa Romawi yang memusuhi mereka.
Namun demikian keberuntungan menyertai agama baru ini.
Kaisar Diocletianus[9] yang mengundurkan diri secara tiba-tiba menimbulkan
kekacauan besar, dimana enam orang memperebutkan posisi sebagai
penggantinya. Yang memenangkan persaingan itu adalah Konstantinus. Di
tahun 313, Konstantinus memproklamasikan pengakuan resmi terhadap
agama Kristen lewat Maklumat/Edik Milan. Kaisar Romawi baru tersebut
memiliki pemikiran untuk merangkul orang Kristen, bukannya untuk menindas
mereka, dan bersama-sama membangun kekaisaran Romawi. Dengan
keputusan kaisar Konstantinus tersebut maka agama ini mendapat
pengakuan resmi. Kemudian, ketika paganisme secara legal dibatasi, secara
perlahan agama Kristen menjadi agama resmi dan eksklusif kekaisaran.
[10] Bahkan di tahun 324 setelah Konstantinus mengalahkan musuh
terakhirnya Licinius, Gereja mendapatkan kebijakan mengenai hak dan
keuntungan oleh negara, misalnya: hak menerima warisan, sokongan
bantuan pembangunan gedung-gedung Gereja, undang-undang penyucian
hari Sabat.
Tahun 380 adalah hari penting bagi umat Kristen dimana Gereja diresmikan
sebagaiGereja-Negara oleh kaisar Theodosius Agung.[11] Pertentangan lama
untuk sementara diakhiri, tetapi problem menentukan watak dan karakter dari

hubungan yang ditimbulkan, suatu bentuk konsep kekuasaan baru yang


bemanifestasi dalam sistem pemerintahan sekarang mulai muncul. Konsep
kekuasaan tersebut adalah pengakuan terhadap dua bentuk masyarakat,
masyarakat agama dan politik yang sekarang berdiri dalam wilayah hukum
yang sama.[12]
[B] Periode 430-1000
Pada tahun 410, kekaisaran Romawi yang sangat besar, yang dikira akan
jaya selamanya tumbang. Kerajaan yang tetap berdiri dan sementara waktu
dapat menghindari migrasi bangsa nomaden hanyalah wilayah bagian timur
yaitu Byzantum dengan Konstantinopel sebagai pusatnya, sedangkan Italia
yang berada dalam kekaisaran Romawi Barat berangsur-angsur melemah.
Serangan bangsa Alaric dan Goth yang barbar merampok dan merampas
Roma membuat kekaisaran Romawi Barat dan Gereja menjadi pesakitan.
Pada detik-detik akhir tahun 410 kejayaan Romawi Barat sekarang
mengalami nasib tragis. Terjadi kemerosotan kehidupan budaya dan
intelektual yang terjadi secara gradual menurunnya disiplin dan moral,
melemahnya kebajikan civic, dan ketergantungan yang meningkat pada kerja
budak, semuanya ikut melenyapkan kekuatan dan kejayaan Roma. Hanya
Gereja dengan organisasi yang semakin tumbuh, administratornya yang
terlatih, dan semangatnya yang menyala yang bisa mengisi kekosongan yang
disebabkan oleh tumbangnya kekuasaan politik di Barat. Saatnya sekarang
telah tiba bagi formulasi yang lebih sistematis mengenai kedudukan Kristen di
tengah-tengah masyarakat manusia. Tugas ini diemban oleh salah seorang
pemikir Gereja, yaitu Agustinus seorang uskup di Hippo.
Agustinus (333-430) dilahirkan di Tagaste, sebuah kota di Afrika Utara. Pada
masa mudanya ia adalah penganut Pagan dan tertarik pada studi filsafat
khususnya karya-karya Cicero. Dalam masa-masa pergumulannya mencari
kebenaran dia berulangkali berpindah dari satu agama ke agama yang lain,
mulai dari Manikeanisme, Neo-Platonisme, hingga akhirnya ke agama
Kristen. Ketika Roma jatuh ketangan bangsa Goth, beberapa orang Pagan
menuduh agama Kristen bertanggungjawab atas bencana tersebut. Agustinus
melakukan apologetika [pembelaan] dalam karyanya The City of God [De
Civitate Dei]. Pledoi yang disusun dalam bukunya mulai ditulius pada tahun

413 dan terbit secara bersambung selama 13 tahun. Karyanya memberikan


argumen bahwa orang-orang Pagan salah menilai bahwa agama Kristen
adalah penyebab keruntuhan kekaisaran Romawi, karena menurutnya Cicero
telah mengungkapkan bahwa Republik sudah korup dan lemah sebelum
kekristenan tiba. Agustinus terkenal dengan memberikan konsep metafor dan
mendasar bahwa menurutnya ada dua model pemerintahan, yang satu
berasal dari Tuhan, dan satu lagi bersumber pada manusia. Argumen teologi
dalam bukunya memperlihatkan bahwa kejatuhan imperium Romawi juga
menunjukkan keberdosaan manusia yang tidak mampu mengelola tanggung
jawab, hanya dengan kasih Tuhan maka pemerintahan ideal akan terwujud.
Hubungan antara kedua kota ini tidak bisa disatukan karena dalam gereja dan
negara ada pertentangan antara kebaikan melawan kejahatan.[13] Secara
teori memang masih banyak aspek mengenai konsep hubungan kekuasaan
politik antara gereja dan negara pada jaman Agustinus yang masih bisa
diperdebatkan, seperti yang ditulis almarhum R.A Markus, profesor emiritus
Universitas Nottingham. Bagi Markus, Agustinus secara fundamental
memberikan gambaran baru yang sama sekali berbeda mengenai konsep
umum pemerintahan yang dikenal semenjak jaman Romawi kuno yaitu
republik dengan membuat kata baru untuk menunjukkan sesuatu yang ideal,
yaitu:civitas. Civitas dibagi menjadi dua bagian, yaitu: [1] Civitas Dei;
[2] Civitas Terena.Civitas Dei adalah kota Tuhan yang sama sekali berbeda
dengan keadaan duniawi, mengenai keadilan sejati yang bersifat supra,
keadaan pemerintahan yang baik, di gereja dan masyarakat,
sedangkan Civitas Terena kebalikannya.[14] Menurut Schmandt, pemikiran ini
memang tidak memperlihatkan pemikiran baru tentang negara, Agustinus
hanya mengedepankan masalah dua loyalitas dan perlunya membuat garis
batas dari dua wilayah, antara duniawi dan spiritual.[15]
Pasca Agustinus, ide pemisahan ini diperkuat oleh Paus Leo I (440-461)
dimana dia membuat formula untuk memperlihatkan otoritas kepausan secara
spiritual, bahwa paus adalah pemegang kekuasaan Gereja pasca Rasul
Petrus [indignus haeres beati Petri]. Leo membangun kepausan berdasarkan
ide kekuasaan monarki, dimana dia berpendapat mereka berada di tempat
Petrus [vice Petri fungimur]. Pemerintahan kepausan di pimpin oleh seorang
Paus [primatus] sekaligus pemimpin kepala [principatus] dari Gereja. Gereja
berdasarkan pandangan Paulus adalah Tubuh Kristus [Corpus Christi].

[16] Sampai posisi ini, Gereja masih sibuk membangun otoritas


kekuasaannya.
Pada tahun 494 ide Agustinus ini masih dipertahankan dalam upaya formal
merumuskan hubungan gereja dan negara. Paus Gelasius adalah orang yang
memperkenalkan konsep awal doktrin dua pedang yang terambil dari Lukas
22:38. Ia berargumen bahwa semenjak mula ada dua kekuasaan yang sangat
berbeda bahwa ada raja dan sah seperti Melkisedek, namun Kristus
mengetahui kelemahan sifat manusia dan sangat peduli dengan nasib
domba-dombanya, memisahkan dua kekuasaan ini, menyerahkan fungsi dan
tugasnya kepada masing-masing. Jadi, seorang pemimpin Kristen
membutuhkan pendeta untuk mencapai kehidupan abadi, dan demikian juga
para pendeta tergantung pada pemerintah dan raja dalam masalah dunia.
[17] Sampai pada titik ini kekristenan berkembang tanpa adanya konflik,
terbukti ketika Raja Clovis dari Franka pada tahun 496 dengan sukarela
menerima agama Kristen. Negara dan Gereja pada saat itu justru saling
berkembang bersama sesuai dengan fungsinya masing-masing. Menariknya
pada periode ini mulai dikenal ideologi pemerintahan Raja Kristen di Barat
(Christian Kingship). Di masa lalu para raja pada periode Helenisme dianggap
sebagai suatu sistem dimana ada seorang pemimpin tunggal yang berhak
memerintah dengan dibantu para bawahannya, dan ide itu hanya ditambah
oleh masyarakat barbar bahwa yang berhak memerintah adalah orang yang
populis, dicintai oleh masyarakat sukunya. Sedangkan teologi pada jaman ini
memberikan paham yang menggambarkan bahwa Kristus adalah pemerintah
para raja-raja. Pertanyaan mendasarnya adalah [1] Bagaimana Kristus
mengatur masyarakat barbar? [2] Bagaimana peran raja dibawah Kristus
yang tidak kelihatan tersebut? Maklum saja pemimpin atas masyarakat
barbar yang baru saja melakukan konvesi ke agama Kristen menerima
sebuah ide pemerintahan raja yang membingungkan dari para pendeta yang
baru saja memproselitkan mereka. Namun permasalahan model kekuasaan
ini tidak berlangsung lama karena para teolog pada masa tersebut dapat
merumuskan formula untuk menyelesaikan masalah-masalah legalitas
kekuasaan teologi-politis tersebut. Formula tersebut adalah Rex Dei Gratia.
Para pemimpin tersebut menjadi Raja oleh karena Kasih Karunia Tuhan.[18]

Gregorius I (540-604) menjadi Paus ditahun 590, ketika memerintah ia masih


menghargai ide pemisahan tersebut walaupun kadangkala Gregorius masih
harus campur tangan karena kelemahan administratif dan kesibukan
pertikaian antar para pemimpin sekuler di Italia serta Eropa Barat. Pada masa
itu mulai bermunculan kerajaan-kerajaan yang menganut agama Kristen.
Sebuah pemerintahan para raja-raja mulai menancapkan kakinya ke daerahdaerah Eropa Barat. Kerajaan Roma takluk dibawah Theoderic Agung yang
meraih tahta kekaisaran Roma dengan gelar kaisar Anastasius di tahun 497.
Hampir seluruh suku-suku di wilayah Eropa Barat (German, Spanyol,
Perancis) perlahan-lahan masuk agama Kristen Katholik. Pekerjaan rumah
Gereja ini tetap dilanjutkan hingga jaman Gregorius Agung. Gregorius
menyadari bahwa masyarakat nomaden yang gemar berperang ini mulai
mengenal peradaban walaupun mungkin belum genap. Melihat kondisi
seperti ini, dalam penyusunan teologi ia agak berbeda dengan Agustinus.
Menghadapi kondisi sosial-politik yang mulai tertata ia mulai berpaling dari
ajaran-ajaran Agustinus yang hanya mengandalkan kasih karunia semata.
Menurut Gregorius keselamatan kekal dihasilkan oleh kerjasama dari rahmat
Tuhan dengan amal, jasa, dan penitensia manusia.[19] Dia juga mempertegas
kedudukan Gereja sebagai pemberi keselamatan dengan mencetuskan
ajaran mengenai api penyucian. Impikasi dalam bidang kekuasaan terlihat
jelas bahwa Gregorius juga mulai melakukan reformasi kekuasaan Gereja
yang mulai bertumbuh dan berakar kembali di Eropa Barat, dan Italia. Konsep
kekuasaan model Gregorius memperlihatkan kuasa Gereja atas kehidupan
dan pasca kehidupan manusia, sedangkan disisi lain Gereja juga dapat
melakukan campur tangan jika terjadi penyelewengan kekuasaan
berdasarkan nilai-nilai teologis di dunia sekuler walaupun dalam batas
tertentu. Berkhoff dan Enklaar berpendapat dalam masa ini Gereja dibawah
kepemimpinan Gregorius menjadi pemimpin, pengatur masyarakat, guru, dan
pelatih.[20]
Ketika Gereja sibuk menata administrasinya dan sekaligus menata
masyarakat barbar tersebut, perlahan-lahan kekuatan baru lahir dari Timur.
Kekuatan tersebut adalah Islam. Sebuah agama yang dibangun oleh
Muhammad, seorang Arab. Kekuatan Islam pasca kematiannya semakin
menguat, menyebar, dan menimbulkan pengaruh sehingga perlahan-lahan
Gereja di Timur dan kerajaan Byzantum goyang. Di Timur Tengah-Asia Kecil

mulai bermunculan kerajaan-kerajaan baru berasaskan Islam, seperti


kerajaan Ottoman, Mamluk, dstnya. Pasukan-pasukan ini juga mulai
melancarkan ekspansi ke Eropa Barat. Raja Frank, yaitu Karel Martel berhasil
menyelamatkan Eropa Barat di tahun 732 dengan mengalahkan pasukan
Islam di Poitiers, Perancis. Pippin III alias Pepin Pendek anak dari Karel
Martel juga menjadi pelindung Gereja ketika Paus Zacharias meminta
pertolongannya untuk mengalahkan Longobardia (Lombards). Pada titik ini
Gereja menjadi tidak berdaya, sehingga corak yang mula-mula seimbang
menjadi Negara-Gereja, dimana Gereja menjadi tidak berdaya dalam hal
kekuasaan dan membutuhkan bantuan para pemimpin sekuler.
Masa transisi antara 750-1050 merupakan saat-saat ketegangan dimana
pertikaian antara pemimpin Gereja dan Sekuler mulai memuncak.
Charlemagne atau yang lebih sering dikenal sebagai Karel Agung (742-814)
mulai melebarkan sayapnya setelah mulai memerintah Frank pada tahun 768,
dia menaklukan hampir seluruh Eropa Barat. Perdebatan teologis kemudian
berlangsung, pada posisi mana Karel harus ditempatkan? Apakah dia
dianggap sebagai utusan Tuhan [vicarius Dei] atau sekaligus pendeta dan
raja [rex et sacerdos]?[21] Hal ini juga mengganggu bagi Paus Leo III,
ketergantungan Gereja terhadap para pemimpin sekuler semakin bertambah.
Leo III berbeda pandangannya dengan Paus sebelumnya Adrianus. Dia mulai
memikirkan untuk membuat keseimbangan dimana kekuasaan Gereja dan
Negara mencapai titik sehat kembali. Momentum ini didapat Paus Leo III
ketika melihat Karel Agung mendukung otoritas Gereja dengan melegitimasi
kekuasaan Gereja atas para pemimpin sekuler. Sebagai balasannya maka
Karel Agung menerima penobatan pada tanggal 25 Desember 800 masehi
menjadi kaisar [Imperator Romanorum] atas seluruh wilayah Franka dan
pelindung Roma dari Paus Leo III. Dengan keputusan teologis-politis ini
berarti Karel mencatatkan dirinya dalam sejarah Eropa Barat bahwa dia
berhasil menstabilkan kekuasaan kerajaaannya setelah Romawi Barat
hancur. Sedangkan implikasinya bagi Gereja adalah Gereja tetap
mendapatkan posisi tinggi sebagai tempat spiritual. Pada masa ini antara
kekuasaan Gereja dan Negara dapat kembali bekerjasama serta
berkolaborasi secara sehat. Di tahun 829, hasil rapat Konsuli Gereja di
Perancis mengembangkan pemahaman ecclesia [persekutuan] menjadi

konsultasi bersama antara Gereja dengan raja berdasarkan interpretasi


terhadap traktat Gelasius, yaitu:De institutione Regia.[22]
Namun kejayaan kuasa dan keseimbangan ini tidak berlangsung lama, Karel
yang wafat meninggalkan konflik diantara garis keturunannya. Keputusan
perjanjian Verdun di tahun 843, Franka terbelah menjadi tiga bagian, yaitu:
Franka Tengah, Barat, dan Timur. Franka Barat dipimpin oleh Charles Bald
(840-877); Franka Timur dipimpin Louis dari Jerman; sedangkan Franka
Tengah menjadi milik Kaisar Lothar (855).[23] Setelah Lothar meninggal
ditahun 855, seharusnya tahta diserahkan kepada Louis II, namun Louis II
yang masih belia dipermainkan oleh Charles Bald dan Louis dari Jerman
sehingga Franka Tengah kehilangan wilayahnya, celakanya eks-wilayah
Franka Tengah semisal di Italia Utara dibiarkan terlantar oleh dua Raja
tersebut. Pada posisi ini Gereja tidak ikut campur dalam pertikaian antar garis
keturunan keluarga Karel Agung, Gereja beserta jajarannya hanya
memberikan pendapat namun tidak ikut campur dalam konflik kekuasaan
tersebut. Kekuasaan Gereja begitu lemah dan tidak terkoordinasi pada tahun
900, menurut Berkhof dan Enklaar, kaum bangsawan di Perancis merebut
kuasa dalam Gereja dan merampas rumah-rumah biara, dan di Jerman
para hertog-hertog [pangeran suku-suku asli pribumi] melemahkan kuasa raja
dan Kaisar sehingga berdampak pada Gereja, sedangkan jabatan Paus di
Roma jatuh ke dalam tangan orang-orang bangsawan.[24] Kekuasaan Gereja
kembali pada posisi terendahnya pada periode ini sehingga kembali berada
dalam perlindungan Negara. Pada periode ini (900-999) tercatat ada 27 Paus
yang dinaikkan dan diturunkan secara semena-mena oleh para bangsawan di
Italia.
Setelah Otto I (936-973) memerintah di tahun 962 mulai membereskan
kekacauan di Franka Timur, dia membereskan para hertog-hertog sehingga
mulai membereskan kekacauan. Dia juga mulai melebarkan pengaruhnya ke
Gereja sehingga keadaan di Italia mulai agak terkendali. Atas jasanya ini,
Gereja melalui Paus Yohanes XII memberikan gelar kepadanya menjadi
Kaisar atas seluruh wilayah Jerman sampai ke Italia Tengah, yang nantinya
akan menjadi cikal bakal Kerajaan Roma Suci. Tradisi ini diteruskan hingga
jaman Paus Yohanes XIX (1024-1033), dan pemberian gelar ini
dikembangkan, dipakai, dan dimanfaatkan sebagai legitimasi kekuasaan bagi

raja-raja Eropa lainnya.[25] Fase konflik ini sementara dapat diakhiri dengan
melakukan hubungan yang harmonis antara sacerdotium danregnum.
Penobatan Raja oleh Paus menjadi alternatif menghindari konflik kekuasaan.
[26] Disisi lain dalam periode ini, jabatan tinggi agama dan dunia seringkali
dirangkap oleh satu orang (selain Paus dan Raja). Mulai tumbuhnya sistem
Feodal banyak pejabat Gereja menjadi tuan-tuan tanah, dan konsekuensinya
menjadi bawahan raja. Karena tidak bisa dipungkiri bahwa para pendeta juga
merupakan administrator yang mendapatkan pendidikan dan pelatihan yang
terbaik pada jaman ini. Implikasinya pejabat Gereja mulai dari yang tinggi
-uskup dan kepala biara pria- tidak hanya menjadi kepala wilayah tetapi juga
menjadi bagian integral dari struktur dan sistem pemerintahan sekuler yang
sedang berkembang. Bisa dipahami jika dibawah kondisi semacam ini, raja
menuntut peran dalam pemilihan dan penunjukan uskup. Secara teoritis,
pejabat-pejabat ini dipilih oleh kepala biara pria dan orang-orang yang
ditetapkan oleh hukum Gereja; pada kenyataannya, sejak abad keenam, hak
penguasa sekuler lebih dominan untuk menyetujui dan melegitimasi para
pejabat Gerejawi.[27] Inilah yang akhirnya memancing keprihatinan tokohtokoh yang ingin menegakkan kekuasaan Gereja pada periode selanjutnya.
[C] Periode 1000-1250
Pada saat ini juga mulai timbul sebuah kesadaran baru, bahwa kekuasaan
Gereja tidak akan terjadi tanpa koordinasi dan pembaharuan. Biara Cluny di
Burgondia melakukan ide reformasi besar-besaran. Pembaharuannya
menuntut: [1] Biara-biara harus dipimpin langsung oleh Paus; [2] Raja dan
Bangsawan tidak boleh mencampuri pimpinan dan urusan-urusan Biara; [3]
Kaum rahib harus taat kepada disiplin yang keras dan wajib hidup lebih saleh.
[28] Mereka militan dalam melawanSimoni dan juga menegakkan aturan
untuk tidak menikah kembali. Tokoh yang akan meneruskan perjuangan biara
Cluny adalah Hildebrand yang akhirnya bergelar Paus Gregorius VII. Sejak
abad keenam
Henry III menyetujui reformasi dari dalam Gereja sehingga akhirnya dia
membereskan kebingungan Gereja dengan memecat ketiga orang yang
menduduki jabatan Paus secara bersamaan dan menetapkan Paus Leo IX
(1049-1054) dengan kekuasaan tunggal -tentu saja dalam batasan tertentu-.
Pada masa ini golongan yang melawan Simoni semakin menguat misalnya:

Peter Damian dan Humbert yang menjadi Kardinal di tahun 1950. Peter
Damian mengeluarkan buku Liber gratissimus(1052) dan Humbert
dengan Libri tres adversus simoniacos (1058).[29] Henry III memang sanggup
mengatasi kekacauan Gereja namun kekhawatiran Gereja akan kembalinya
kaum awam yang mencampuri urusan Gerejawi membuat mereka harus
cepat berkonsolidasi, khususnya momentum ini di dapat karena kematian
Henry III, yang digantikan oleh anaknya Henry IV yang kala itu masih berusia
enam tahun.
Kekhawatiran jika Negara masih intervensi dengan melakukan campur tangan
pada pemilihan Paus, membuat jajaran Gereja berbenah diri terus menerus
setelah kematian Paus Leo IX dengan reformasinya yang berhasil
membentuk Majelis Para Kardinal. Penggantinya, Paus Nicholas II (10591061) dengan dibantu Hildebrand menetapkan aturan baru pemilihan Paus
dengan hak suara yang hanya dimiliki oleh para Kardinal, cara ini dikemudian
hari kita kenal dengan konklaf. Paus Alexander II (1061-1073) kemudian juga
meneruskan reformasi kekuasaan ini ke tingkat kardinal dan uskup, bahwa
Gerejalah yang berhak menentukan jabatan Gerejawi bukan orang awam.
[30] Sudah bukan rahasia lagi, arsitek kekuasaan dari Gereja pada saat itu
adalah Hildebrand, sebagai pembantu dari kelima Paus sebelumnya. Dialah
dalang dari penguatan kekuasaan Gerejawi melawan penguasa awam.
Hildebrand adalah seorang pembaharu yang didukung oleh para pejabat
Gerejawi. Hildebrand akhirnya menerima jabatan dan kekuasaan sebagai
seorang Paus di tahun 1509 dengan gelar Gregorius VII, tindakannya sangat
radikal dengan mengambil hak sebagai seorang Paus tanpa melalui prosedur
yang resmi yaitu meminta pertimbangan Henry IV, sebagai Kaisar yang sah
pada saat itu. Pandangannya menentang arus kekuasaan yang berlaku. Dia
bersikap tegas dengan memegang ketiga prinsip ini: [1] Paus sekali-kali tidak
bergantung pada penguasa dunia; [2] Pauslah satu-satunya kepala Gereja,
dan semua klerus harus mentaatinya; [3] Segala kuasa duniawi pun hanya
dapat dikaruniakan oleh Paus saja.[31]
Tindakan Gregorius yang menentang Henry IV memancing konflik kekuasaan
baru antara Gereja dan Negara. Peristiwa ini akan dikenal
sebagai Via Canossa. Gregorius mulai memancing amarah Henry IV dengan
melarang ikut campurnya para penguasa sekuler dalam sidang sinode di

tahun 1075. Pelarangan ini berarti pelecehan terhadap kekuasaan Henry IV


sebagai Kaisar. Henry IV mengkonsolidasi uskup-uskup di Jerman untuk
memecat Gregorius VII. Bukannya berhasil memecat Gregorius VII, yang
berlaku malah sebaliknya. Gregorius VII dengan dibantu raja-raja Jerman
justru berhasil memecat Henry IV sebagai Kaisar Roma Suci. Namun Henry
IV adalah Kaisar yang cerdik, pada tahun 1077 dia merendahkan diri
dihadapan Paus Gregorius VII di Canossa, Italia Utara. Gregorius VII akhirnya
memberikan pengampunan serta pemulihan kekuasaan Henry IV di Jerman.
Tapi pertarungan kekuasaan baru saja dimulai. Henry IV teramat dendam
dengan Gregorius VII dan setelah otoritasnya sebagai Kaisar pulih, dia
memutuskan menyerang Roma, dan menggulingkan Gregorius VII serta
mengangkat Guibert sebagai Paus tandingan, dengan gelar Clement III.
Gregorius VII sendiri kemudian diasingkan di Salermo, dan tidak berapa lama
kemudian dia meninggal (1085). Peristiwa ini berdampak pada kekuasaan
Gereja untuk selang yang cukup lama melawan kekuasaan Henry IV. Akhirnya
ada dua kubu, kubu yang pertama adalah Gereja dengan Pausnya; kubu
kedua adalah Negara dengan Paus tandingannya. Jaman ini juga dikenal
sebagai Jaman Paus Tandingan Jilid Pertama.
Pada jaman ini, Gereja memiliki dua kubu berbeda dengan 11 Paus yang silih
berganti memimpin dan berkuasa. Corak kekuasaan yang terjadi lebih
mementingkan pertarungan faksional ketimbang kepentingan kekuasaan yang
bercorak Gerejawi. Melihat kondisi semacam ini, pertemuan pada titik ini
menjadi buntu. Kedua kubu tidak lelah untuk berhenti bertarung dan
berpegang teguh antara keyakinan teologis dan kepentingan kekuasaan
semata. Keyakinan hitam melawan putih membuat mereka seolah-olah
seperti bermain catur. Pertandingan ini menghasilkan kerugian-kerugian
diantara kedua belah pihak.
Jaman Paus Tandingan Jilid Pertama*[32]
Paus Yang Sah

Masa Jabatan

Paus Tandingan

Masa Jabatan

Gregorius VII

1073-1085

Clement III

1088-1100

Victor III

1086-1087

Theodoric

1100-1102

Urbanus II

1088-1099

Albert

1102

Paschal II

1099-1118

Sylvester IV

1105-1111

Gelasius II

1118-1119

Callistus II

1119-1124

Gregorius VIII

1118-1121

Akhirnya permainan Catur ini berakibat sangat melelahkan bagi Gereja dan
Negara. Sehingga kedua kubu ini akhirnya memutuskan untuk berkompromi.
Menurut Kesepakatan [Konkordat] Worms antara Gereja yang diwakili Paus
Callistus II dan Negara yang diwakili oleh Henry V pada tahun 1122; uskupuskup harus dipilih oleh klerus dan disahkan oleh paus, tetapi disamping itu
kaisar berhak memberi pangkat raja kepada mereka dan menolak orang yang
tidak disukainya.[33]
Permasalahan kekuasaan antara Gereja dan Negara sementara dapat
selesai, namun pertikaian belum berakhir. Fredrich I Barbarossa tetap saja
melawan perintah-perintah otoritas Roma. Walaupun dalam beberapa hal ia
berkompromi dengan Paus Alexander III yang berkuasa pada tahun 11771181. Pasca kematian Paus Alexander III, kekuasaannya semakin bertambah
dengan perkawinan politiknya berakibat pada pengaruh kekuasaannya yang
menyebar sampai Kerajaan Naples, Italia Selatan. Dibawah kepemimpinan
anaknya Henry VI (1190-1197), tradisi kejayaan kekuasaannya diteruskan.
Namun seperti biasa, konflik antar garis keturunan kembali terjadi setelah
kematian Henry VI. Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh Paus Innocentius
III (1198-1216) untuk mengkonsolidasikan kekuatan Gereja.
Paus Innocentus III berpendapat: Paus kurang besar dari Allah, tetapi lebih
besar dari manusia, [...] Ia bukan Wali Petrus saja, tetapi Wali kristus
sendiri.[34]Implikasinya dalam kekuasaan, ia ingin menegakkan kembali
jabatan dan otoritas kepausan atas seluruh raja-raja Eropa. Keuntungankeuntungan lainnya pada masa Innocentus III, ia bertindak sebagai
pengampu dan wali Kaisar baru, Fredrich II, anak Henry VI yang masih muda.
Kuasa Innocentus begitu ditakuti dan kekuasaannya tidak seperti Paus
sebelumnya yang hanya bisa mengeluarkan himbauan semata. Ia memiliki
seluruh kekuasaan atas Italia hingga Jerman. Otoritasnya juga dapat
membuat para raja mengikuti aturan-aturan Gereja dan cara pandang teologis
Gereja, sebagai contoh: [1] Raja Perancis dipaksa menerima kembali istrinya;
[2] Raja Inggris yang tidak menerima Uskup Besar Canterbury dipecat dan
dikutuki, sampai akhirnya dibuang dan dipaksa mengakui otoritas Gerejawi;

[3] Segala sekte beserta ajaran yang selama ini menyimpang dari garis
ajaran mainstream dibinasakan, setelah selama ini hanya bisa didiamkan.
Dibawah kekuasaannya, Konsili di Latheran diadakan dan menghasilkan
dampak bagi pemulihan kemuliaan Paus dan kuasa Gereja. Tercatat ada
2000 hadirin yang terdiri atas raja-raja Kristen, 71 Patriakh dan Uskup Besar,
412 Uskup, lebih dari 800 abt, dan tentu saja minus Gereja Timur.[35]
Ia tetap melanjutkan kebijakan pasca Gregorius Agung yang menolak
pandangan Agustinus bahwa semua hanya karena kasih karunia. Gereja
disini dituntut terlibat aktif dalam urusan kekuasaan duniawi, Paus Innocentus
III bahkan ditetapkan memiliki kuasa untuk
melakukan ekskomunikasi dan interdik, yaitu dalam satu daerah seluruh
penduduk dilarang menerima sakramen.[36] Pada masa Innocentus III ini juga
dia memberikan peluang kepada Fransiskus dari Assisi untuk mendirikan
Ordo yang terkenal, yaitu: Ordo Fratrum Minorum, yang disahkan pada tahun
1210 dan juga Ordo Dominican, yang didirikan oleh Dominicus, seorang
Spanyol pada tahun 1216, ordo ini dikemudian hari dipakai sebagai alat
kekuasaan Gereja sebagai inkuisisi.[37]
Situasi ini mulai berubah ketika pewaris tahta yang sah, yaitu Fredrich II telah
dewasa dan siap memerintah pada tahun 1215. Fredrich II memang mulai
banyak membangkang atas otoritas kepausan Roma, dan begitu
mengganggu kekuasaan Gereja. Pasca kematiannya di tahun 1250, Italia
Selatan dan Sisilia diberikan oleh Paus Urbanus IV kepada Kerajaan Perancis
untuk mengimbangi pengaruh Jerman atas otoritas Gereja, khususnya di
wilayah Italia. Kebijakan Paus Urbanus IV yang cenderung meminta bantuan
ke koneksi Perancis untuk melawan pengaruh Jerman sangat wajar karena
diduga dia juga memiliki darah Perancis. Inilah cikal bakal alasan mendasar
mengapa Perancis begitu berakar kuat dalam sejarah Italia yang di kemudian
hari akhirnya menimbulkan pertikaian antara Gereja dengan Koneksi
Perancis.
Pada periode ini lahir juga beberapa pemikir-pemikir ulung Gereja yang
mendapatkan pendidikan di biara Ordo Dominican misalnya Thomas Aquinas
(1225), yang berasal dari Italia. Pemikirannya pada saat ini belum begitu
terpakai secara praktis sampai jaman kontra reformasi dimulai; pemikiran
utamanya adalah kesesuaian hukum manusia dengan hukum alam dan

hukum Tuhan bisa menjadi ancangan yang lebih baik bagi negara untuk
melakukan institusionalisasi pemerintahan yang terbatas, melalui cara
konstitusi yang tertulis dan judicial review.[38]
[D] Periode 1250-1450
Seperti yang kita bahas kebijakan pro-Perancis model Paus Urbanus IV yang
bertahta di Italia membuat pengaruh Kerajaan Perancis bercokol di Italia
Selatan. Mula-mula kebijakan ini ditetapkan untuk menjaga Gereja dari
pengaruh kuasa raja-raja dan Kaisar Jerman namun pada pemerintahan Paus
Boniface VII (1294 -1303) justru kebijakan ini berbalik memakan kekuasaan
Gereja.
Paus Boniface VII berkonflik dengan Raja Philip IV dari Perancis menyangkut
dua pokok permasalahan. Keprihatinannya yang pertama adalah menyangkut
masalah pajak yang dikenakan kepada kaum klerus di Perancis. Tindakan
yang diambil oleh Philip IV berlawanan dengan keputusan Konsili Latheran. Di
pihak Philip IV, dia beranggapan membutuhkan pajak dari seluruh rakyatnya
tanpa terkecuali kaum klerus, sebagai bagian dari suatu bangsa semua harus
ikut andil karena perang melawan Edward I dari Inggris sangat menguras
biaya perang. Sebenarnya, konflik ini tidak akan terjadi jika Boniface dan
Philip IV menemui titik kompromi, Boniface memutuskan untuk menolak
keputusan Philip IV terlepas dari kondisi semacam apa yang membuat dia
harus mengeluarkan keputusan semacam itu. April 1926, Boniface
mengeluarkan bulla Clericis laicos yang menentang seluruh raja yang menarik
pajak dari kaum klerus. Keputusan ini dijawab Philip IV dengan mengembargo
institusi kepausan secara ekonomi. Institusi kepausan sangat kelabakan
dengan kebijakan tersebut, dan akhirnya mengalah dengan mengeluarkan
bulla Etsi de Statu, pada bulan Juli 1297. Isi dari bulla tersebut adalah
mengijinkan raja untuk menarik pajak kepada kaum klerus jika negara dalam
keadaan darurat tanpa harus melalui ijin institusi kepausan.[39]
Paus Boniface VII adalah betul-betul seorang yang tidak mengerti politik
kekuasaan. Setelah dia dipermalukan untuk mencabut bullanya dan menjilat
ucapannya oleh Philip IV. Kali ini ia membuka konfrontasi baru dengan Philip
IV dengan mengeluarkan bulla Unam sanctam, yang mempertanyakan relasi
mutlak antara kekuasaan sementara duniawi dengan kekuasaan spiritual

yang abadi.[40] Doktrin dua pedang yang dikeluarkannya pada tahun 1302
berbeda cara pikir dengan Paus Gelasius di masa lalu. Paus Gelasius
menginterpretasikan Lukas 22:38, dengan pandangan moderat bahwa solusi
terhadap masalah hubungan Gereja dengan Negara bisa ditemukan dalam
koordinasi yang harmonis dari dua kekuasaan tanpa subordinasi institusional
yang satu pada yang lain; Sedangkan bagi Paus Boniface VII solusi
kekuasaan antara Gereja dengan Negara, jawabannya terletak pada
organisasi institusional yang berasal dari otoritas tunggal.[41] Tentu saja bagi
Boniface VII yang berhak mendapatkan hal tersebut adalah institusi
kepausan.
Philip IV betul-betul murka karena dia tahu bulla tersebut secara khusus
ditunjukkan kepada dirinya. Ketika dia mendengar isu bahwa Boniface VII
juga sedang mengeluarkan kutuk baginya, Philip IV memutuskan menyerang
dan menangkap Boniface VII, walaupun akhirnya dilepas kembali akhirnya
tidak selang beberapa lama kemudian Boniface VII wafat. Komentar Bekhof
dan Enklaar terhadap paus yang satu ini sungguh menarik untuk disimak,
bahwa: Kejadian itu merupakan suatu pukulan besar bagi Paus yang
memang terlalu melebih-lebihkan kekuasaannya.[42] Pada saat inilah,
Perancis mulai memainkan peranannya dalam institusi kepausan.
Peranan Perancis begitu terlihat ketika pada tahun 1309 istana kepausan
dipindah ke Avignon, Perancis. Lebih jauh lagi, Philip IV juga melebarkan
kekuasaannya di lembaga kepausan ketika ia memilih Uskup Besar Bordeaux
sebagai Paus Clement V. Bahkan pada tahun 1312, boneka Philip IV yaitu
Paus Clement V dipaksa untuk membubarkan Ordo Templar yang terdiri atas
kolaborasi klerus-klerus dengan tuan-tuan tanah yang kaya di Perancis.
Selama 70 tahun Paus yang semuanya berasal dari Perancis berada dalam
kendali Raja Perancis. Pada tahap ini sisi etis moralitas dikesampingkan.
Moralitas para klerus mencapai titik terendah dengan kehausannya akan
uang semakin berlebih dan menyengsarakan rakyat. Pada titik inilah penyair
Dante (1256-1321) di kota Florence memberikan sindiran dengan karyanya
Komedi Ilahi [Divina Comedia]. Dante mengkritik para pejabat gerejawi yang
bertindak keduniawian. Kedudukan paus dilukiskannya sebagai perempuan
sundal dalam kitab Wahyu.

Untuk mengakhiri pembuangan Babel ini, muncullah seorang tokoh gereja


wanita sebagai mediasi, yaitu: Katarina. Katarina meminta Paus Gregorius IX
kembali ke Roma. Pada tahun 1377, Paus kembali ke Roma, namun wafat di
tahun berikutnya. Berdasarkan konklaf maka terpilihlah Paus Urbanus VI,
namun Perancis menentangnya dan menobatkan Paus tandingan yaitu
Clement VII di Avignon. Skisma (perpecahan) besar terjadi di Gereja Barat,
kejadian di masa lalu terulang kembali dengan munculnya Paus Tandingan
saling kutuk-mengkutuki tidak terhindarkan. Para pembaharu dari kalangan
intelektual Universitas Paris menyerukan perlunya pembaharuan untuk
menyelesaikan permasalahan internasional tersebut.Seruan ini didengar, dan
untuk menemukan jalan tengah maka diadakan Konsili Pisa, Italia, pada
tahun 1409. Konsili akhirnya diadakan di Pisa untuk mencapai titik temu
kedua pihak. Rekonsiliasi tetap saja gagal, dan justru mengakibatkan
kekacauan baru dengan adanya tiga orang Paus yang berbeda kepentingan
pada saat bersamaan. Jaman Paus Tandingan Jilid Kedua baru menjadi
sengit ketika terjadi intervensi Jerman dengan Inggris yang memihak
kekuasaan Paus di Roma pada tahun 1415.[43]
Sigmund, Raja Bohemia dan Kepala Kekaisaran Suci Roma akhirnya juga
mengusahakan konsili baru untuk rekonsiliasi; tepatnya pada tahun 1414
hingga tahun 1418, Disini Sigmund berpikir moderat bahwa permasalahan
Gereja bukan saja menyangkut hubungan kekuasaan internal Gereja namun
juga menyangkut permasalahan kekuasaan dan stabilitas bangsa-bangsa di
Eropa Barat. Skisma bagi Sigmund harus dihentikan demi persatuan Eropa
Barat, dan segera menyelesaikan permasalahan Gereja. Untuk mencegah
permainan suara berdasarkan jumlah utusan dari internal Gereja, maka
aturan pemilihan dibuat menjadi berbeda dengan sebelumnya. Aturan
tersebut adalah pemilihan berdasarkan jumlah anggota-anggota Bangsa
misalnya: Jerman, Spanyol, Inggris, Italia, Perancis, dan lain-lain; plus majelis
kardinal-kardinal mendapat satu suara. Dengan demikian pemungutan suara
dapat dikerucutkan menjadi dua kubu, yaitu: para konsiliaris yang menyokong
kepentingan bangsa-bangsa melawan para kurialis yang menyokong
kepentingan paus. Pemilihan ini menghasilkan seorang paus yang disepakati
yaitu Paus Martinus V.

Paus Martinus V menyadari bahwa Gereja kali ini berhadap-hadapan dengan


golongan baru yang mulai tumbuh di Eropa Barat, yaitu golongan
kebangsaan. Keputusannya menghasilkan pembaharuan gereja-gereja untuk
tiap-tiap negeri sendiri, artinya pembaharuan berlaku lokal untuk setiap
kondisi yang sesuai dengan konteks sosialnya. Keputusan tersebut tetap tidak
mengubah situasi menjadi kondusif bahkan di beberapa tempat otoritas
kekuasaan Gereja tetap saja tidak terkontrol dengan baik, bahkan munculnya
para pelawan Gereja Kristen Katholik semakin menguat dengan adanya
keputusan tersebut, misalnya: para pengikut Johannes Hus (1369-1415) di
Bohemia. Paus Martinus V berusaha merevisi keputusan awalnya dengan
mengusahakan konsili-konsili baru dari tahun 1431-1449, namun tetap saja
gagal menyatukan visi-misi gereja-gereja.
Pada akhir periode ini golongan konsiliaris memang gagal total secara
institusional, dan golongan kurialis yang menang. Tetapi di wilayah lainnya
paham semacam ini sudah terlanjur masuk ke institusi Gereja. Institusi
kepausan kini dibawah kendali negara bangsa, dimana kepentingan kuasa
setiap bangsa diusahakan terpenuhi di wilayah kebijakan politik Gerejawi.
Gereja sendiri pada periode ini bersikap lebih realistis. Kepausan di Italia
hanya mengurusi wilayah internal dimana mereka menjaga kekuasaan,
kehormatan, dan kekayaan untuk diri sendiri dan untuk keluarga dan untuk
anak-anaknya.[44] Kepausan secara non-formal pada titik ini mengubah
sistem kekuasaanya dari Gereja-Negara menjadi Negara-Gereja yang bersifat
lokal dan bercorak Dinasti Keluarga.

[1] Mahasiswa Biasa UKDW Fakultas Teologi.


[2] Joseph Canning. A History of Medieval Political Thought 300-1450,
(London: Routledge, 1996), x-xiii.
[3] Lihat Carlton Clymer Rodee (ed). Pengantar Ilmu Politik. (Jakarta:
Rajawali, 1988), 8.
[4] Makalah Andreas A. Yewangoe dengan judul: Mewujudkan Tujuan
Nasional [Perspektif Kristiani] yang disampaikan pada seminar PDKB,
Gereja dan Politik Rabu 20 Mei 2009 di The Sultan Hotel-Jakarta.

[5] Hans-Rudei Weber. Kuasa: Sebuah Studi Teologi Alkitabiah. Samuel


Siahaan (penj. Bahasa Indonesia). (Jakarta: Gunung Mulia, 1993), xi. Judul
asli: Power. Focus for a Biblical Theology.
[6] George D. Salmon. The Infability of The Church, (London: Wyman & Sons,
Ltd, 1953), 50-63.
[7] Michael Gaddis. There is No Crime for Those Who Have Christ: Religious
Violence in The Christian Roman Empire. (London: University of California
Press, 2005), 30.
[8] Martir berasal dari bahasa Yunani; kata benda martus/marturos alias
saksi, dan kata kerja martureo bersaksi.
[9] Diocletianus atau Gaius Aurelius Valerius Diocletianus Augustus berkuasa
menjadi kaisar Romawi di tahun 284-305.
[10] Pada tahun 380, agama Kristen akhirnya menjadi agama negara berkat
Kaisar Theodius. Kemudian, pada tahun 392 semua agama lain selain Kristen
dinyatakan sebagai bidah.
[11] Dr. H. Berkhof & Dr. I.H Enklaar. Sejarah Gereja, (Jakarta, BPK Gunung
Mulia, 2006), 49.
[12] Henry J. Schmandt. Filsafat politik: Kajian Historis Dari Zaman Yunani
Kuno Sampai Zaman Modern, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2009), 141-142.
Judul asli: A History of Political Philosophy, (United of America: The Bruce
Publishing Company, 1960).
[13] Ibid., 151-153.
[14] R.A Markus. Saeculum: History and Society in The Theology of ST
Augustine. (New York: Cambridge University Press, 1970), 133-153.
[15] Lihat Henry J. Schmandt. Filsafat politik: Kajian Historis Dari Zaman
Yunani Kuno Sampai Zaman Modern, 164.

[16] Lihat Joseph Canning. A History of Medieval Political Thought 300-1450,


31. Sumber: Sermo 3.4, col. 147, 1 Kor 12:4; Efesus 1:23, Roma 12:5.
[17] R.W Carlyle. A History of Medieval Political Theory in The West, Vol. 1
(London: Blackwood, 1928), 186-190.
[18] Lihat Joseph canning. A History of Medieval Political Thought 300-1450,
16-29.
[19] Lihat Dr. H. Berkhof & Dr. I.H Enklaar. Sejarah Gereja, 74-75.
[20] Ibidem.
[21] Lihat Joseph Canning. A History of Medieval Political Thought 300-1450,
49.
[22] Ibid., 50-51.
[23] Ibid., 44-47.
[24] Lihat Dr. H. Berkhof & Dr. I.H Enklaar. Sejarah Gereja, 79.
[25] Julia M. H. Smith. Europe after Rome: A New Cultural History 500-1000.
(New York: Oxford University Press, 2005), 277-279.
[26] Lihat Henry J. Schmandt. Filsafat politik: Kajian Historis Dari Zaman
Yunani Kuno Sampai Zaman Modern, 174.
[27] Ibid., 175.
[28] Lihat Dr. H. Berkhof & Dr. I.H Enklaar. Sejarah Gereja, 80.
[29] Lihat Joseph Canning. A History of Medieval Political Thought 300-1450,
85.
[30] Ibid., 86.
[31] Lihat Dr. H. Berkhof & Dr. I.H Enklaar. Sejarah Gereja, 81.

[32] Pada Jaman Paus Tandingan, terjadi mobilisasi besar-besaran untuk


pertama kalinya dibawah kekuasaan Paus Urbanus II dalam rangka Perang
Salib. Event Perang Salib betul-betul berhenti dikemudian hari pada
tahun1270.
[33] Lihat Dr. H. Berkhof & Dr. I.H Enklaar. Sejarah Gereja, 81-82.
[34] Ibid., 87.
[35] Ibidem.
[36] Ibid., 88.
[37] Ibid., 90-91.
[38] Lihat Henry J. Schmandt. Filsafat politik: Kajian Historis Dari Zaman
Yunani Kuno Sampai Zaman Modern, 195-215.
[39] Lihat Joseph Canning. A History of Medieval Political Thought 300-1450,
138.
[40] Ibid., 139.
[41] Lihat Henry J. Schmandt. Filsafat politik: Kajian Historis Dari Zaman
Yunani Kuno Sampai Zaman Modern, 173.
[42] Lihat Dr. H. Berkhof & Dr. I.H Enklaar. Sejarah Gereja, 93.
[43] Ibid., 95.
[44] Ibid., 96.

Pemikiran Politik Pada Masa Abad Pertengahan di Eropa (Medieval Political Theory
in Europe)
By Amdya Hisyam Posted in International Relations Assignments and Others
Tinggalkan komentar

Zaman pertengahan yang dimaksud di sini dimulai sejak abad ke-13 sampai
awal abad ke-17 di Eropa, dimana terdapat garis yang jelas antara teori
politik pada masa itu. Hubungan public pada masa ini banyak dicampuri oleh
gereja, dalam hal ini pola hubungan antara kerajaan dan gereja. Namun,
pada abad ke-18 terjadi reformasi yang cukup besar dimana kalangan
aristokrat tidak diperbolehkan mengontrol gereja sama seperti mereka
mengontrol militer dan kekuatan politik masa itu.
Hal di atas menujukkan sebuah revolusi kepausan dalam sejarah Eropa dan
menyebabkan krisis kekuasaan antara gereja dengan kerajaan. Sepanjang
abad ke-13, sering sekali terjadi konflik yang melibatkan Paus Gregory VII
dengan Raja Henry IV, termasuk perubahan posisi antara Paus Innocent IV
dengan Raja Frederick II. Terjadi ketidak pahaman mengenai konstitusi
pemilihan Raja dan pangeran terpilih, dan persetujuan Paus, serta mengenai
hubungan antara kerajaan Inggris dengan kerajaan Perancis dan Spanyol.
Kedudukan Paus dalam gereja juga menjadi kontroversi karena Paus
memberikan dukungan terhadap mendicant orders dan hal itu semakin
meruncingkan oposisi dari uskup dan pendeta. Juga terjadi sengketa antara
otoritas gereja peraturan sekuler apakah pendeta dibebaskan dari pajak dan
dari pengadilan criminal umum, dan apakah uang yang dikumpulkan oleh
gereja lokal seharusnya digunakan oleh kepausan untuk membiayai pasukan
Perang Salib melawan Saracens tapi juga kampanye militer di Eropa.
Persengketaan semacam ini semakin meruncing di akhir abad ke-13 ketika
studi mengenai hukum, filosofi, dan teologi berada pada level yang tinggi.
Sampai pada abad ke-14, perdebatan yang rumit dan panjang terjadi antara
Paus Boniface VIII, Raja Philip dari Perancis, Paus John XXII, Raja Roma
Ludwig dari Bavaria, orang-orang Perancis, dan Universitas Perancis. Hal ini
terjadi karena pakar teologi menciptakan banyak sekali perjanjian yang
mengkhawatirkan hubungan antara agama dan pemerintahan sekular,

konstitusi Gereja, konstitusi pemerintahan sekuler, yang pada akhirnya


berujung pada hukum dan filosifi pengikut Aristoteles.
a.

Separation: The Spiritual dan Temporal Powers

Dalam dunia klasik tidak terdapat pemisahan kekuasaan antara agama dan
politik. Namun, sejak awal abad pertengahan, sudah ada usaha untuk
memisahkan antara priesthood dan kingship di Eropa. Dua jenis
kekuasaan ini menjadi tidak setara dalam hal kedudukan, karena yang
menjadi teratas adalah kekuatan spiritual (gereja). Dari waktu ke waktu raja
bertindak untuk mensucikan gereja.
Ada satu hal yang menarik dalam hal penyucian bagi gereja. Dimana secara
eksplisit, gereja memperbolehkan para pendeta melakukan bunuh diri.
Dengan kata lain, gereja membiarkan adanya tindakan kekerasan dalam
peraturan gereja. Pendeta biasa saja dipenjara oleh uskup tanpa izin dari
pemerintah sekuler.
Penjelasan di atas memperlihatkan bahwa dalam prakteknya ada pemisahan
yang sangat jelas antara kekuasaan dan peraturan gereja dengan kerajaan.
Kedua elemen inipun tidak bisa saling mengintervensi satu sama lain,
walaupun dalam prakteknya kekuasaan gereja sering melampaui kekuasaan
raja.
b.

Subjection

Dalam gagasan lain, Gratian menyebut bahwa paus sebenarnya sangat


menikmati plentitudo polestatis atau kekuasaan penuh. Hal ini bukan berarti
bahwa paus memiliki kekuasaan tertinggi secara formal namun paus
merupakan sumber dari hukum gereja, memiliki otoritas untuk
mengintervensi secara langsung urusan apa saja dan dimana saja yang
berkaitan dengan gereja.
Gagasan yang menyatakan bahwa paus bisa menjalankan kekuasaan yang
telah diberikan oleh Kristus tidak menyalahi prinsip pemisahan kekuasaan
antara spiritual dan kekuasaan duniawi, selama gagasan tersebut diterima
bahwa Kristus tirak memberikan kekuasaan duniawi bagi gereja,

Paus menganggap bahwa gereja adalah perpanjangan dari komunitas Kristen


di dunia dan paus sendiri adalah pemimpinnya di muka bumi. Prinsip Dou
Sunt, pemisahan kekuasaan tidak begitu saja diabaikan. Para paus
memperlihatkan intervensi dalam urusan duniawi sebagai pengecualian.
Namun, tidak pernah ditemukan ada intervensi yang sangat mendasar
selama abad pertengahan yang dilakukan oleh kerajaaan terhadap eksistensi
gereja.
Hubungan antara kepausan dan kerajaan tidak pernah terlepas satu sama
lain. Terkadang mereka berjalan beriringan dan kadang pula terlibat konflik,
namun satu hal yang pasti dalam kehidupan masyarakat saat itu. Rakyat
tidak dapat berbicara menyatakan aspirasinya, jika kerajaan atau kepausan
melakukan sesuatu yang salah seharusnya rakyat harus berbicara dengan
lantang. Namun, jika ada rakyat yang berani bicara, maka mereka akan
dianggap menolak kerajaan, menolak kehendak Tuhan, dan dengan kata lain
mereka adalah pemberontak.
Paus selalu berada dibalik semua hal ini dan bisa dikatakan bahwa
sebenarnya umat Kristen mengalami masa misleading di abad pertengahan
ini dan pengaruhnya masih banyak yang bertahan sampai saat ini. Namun,
paus yang masih berada dalam kantor kepausaan harus dipatuhi. Paus bisa
menghakimi semua namun tidak dihakimi oleh siapapun.
c.

The Debate on The Power of The Pope

Kekuasaan paus yang tidak terbatas menimbulkan banyak sekali perdebatan


sejak dulu sampai akhir abad pertengahan. Dua penulis yang cukup
berkontribusi adalah Thomas Aquinas dan Giles of Rome yang menganggap
bahwa kepausan berada di atas kerajaan. Sedangkan John of Paris, Marsilius
of Padua, dan William of Ockham, dengan tegas menantang hal ini.
1.

Thomas Aquinas

Thomas telah menelurkan beberapa tulisan mengenai kekuasaan paus di


Eropa. Tulisan pertamanya yaitu Scriptum super libros sentetiarum ketika
dua kekuasaan berkonflik, yang mana yang harus kita patuhi?. Jawaban
yang muncul adalah, jika yang otoritas yang asli datang dari yang lain, maka

ketaatan yang semestinya adalah terhadap otoritas yang asli. Misalnya


kekuasaan pendeta yang diberikan oleh paus, maka yang harus dipatuhi
adalah paus.
Sedangkan, jika yang berkonflik adalah dua kekuasaan yang tertinggi yakni
gereja dan kerajaan, ketaatan harus diberikan terhadap pemegang
kekuasaan tertinggi melihat permasalahan itu apakah berkaitan dengan
spiritual atau duniawi. Hal ini dikarenakan bahwa baik kekuasaan spiritual
maupun duniawi berasal dari Tuhan. Masyarakat harus patuh pada paus
dalam persoalan yang menyangkut hal-hal yang telah ditentukan oleh Tuhan
atau dengan kata lain yang menyangkut urusan keagamaan. Di lain sisi,
masyarakat harus patuh terhadap kerajaan jika yang dipersengketakan
adalah permasalahan sipil.
Namun, Thomas menambahkan bahwa kekuasaan spiritual dan duniawi
dipegang hanya oleh satu orang, paus, yang oleh Tuhan telah ditunjuk
sebagai perpanjangan tangannya di dunia untuk mengurusi urusan spiritual
dan duniawi. Pada level yang rendah, memang kekuasaan spiritual dan
duniawi dipegang oleh dua orang berbeda. Namun pada level yang lebih
tinggi, kedua kekuasaan ini dipegang oleh satu orang yaitu paus.
Tulisan keduanya, De regno, menyatakan bahwa Negara (pemerintahan)
bukanlah hal yang abadi alias akan berakhir pada waktunya dan terdiri dari
individu dengan tujuan masing-masing. Negara ada untuk menjamin
keamanan rakyatnya, keamanan yang dimaksud adalah keamanan yang
virtual yang nyata dan juga keamanan yang hakiki yaitu surga.
Kepausan menjelaskan bahwa pada dasarnya manusia harus mencapai
keamanan hakiki, maka dari itu Tuhan membangun gereja di muka bumi agar
manusia bisa menerima bantuan khusus dari Tuhan (Gods special help)
berupa pengampunan. Gereja adalah agensi manusia dari Tuhan yang
sengaja dibangun agar manusia bisa lebih mudah meminta pengampunan
dan melakukan pengorbanan sebagai usaha penebusan dosa.
Di sinilah tugas Negara (pemerintah) untuk mengarahkan rakyatnya agar
mau mengejar surga yang dijanjikan. Bahkan gereja juga menginginkan
adanya pengaplikasian hukum gereja dalam kehidupan bermasyarakat

seperti, bunuh diri bagi yang bersalah dan pengorbanan untuk penebusan
dosa.
Di era ini terdapat, hirarki antara gereja dan pemerintah. Pemerintah hanya
menginginkan tujuan kesejahteraan secara virtual, fisik, dan nyata.
Sedangkan tujuan akhir bukanlah itu melainkan surga dan hanya bisa dicapai
jika seseorang benar-benar taat pada agamanya (Kristen) .
Sehingga, peraturan sekuler harus ditetapkan oleh paus karena hanya dialah
yang bisa menyediakan jalan menuju tujuan akhir yang tingkatannya lebih
tinggi dibandingkan tujuan yang diberikan oleh Negara.
2.

Giles of Rome

Dalam tulisannya yang berjudul On Ecclesiastical Power (1302), Giles of


Rome menyatakan bahwa kerajaan termasuk bangsawan pemilik property,
harus tunduk terhadap paus. Dia (paus) yang menjadi hakim atas segala hal
seharusnya menjadi tuan atas segala hal yang dihakiminya, termasuk
pemerintah.
Giles berpandangan bahwa memang ada beberapa hal yang ditinggalkan
Tuhan untuk diurusi oleh raja. Namun, Tuhan dapat mengintervensi hal itu
kapanpun Tuhan mau dengan mukjizat dan keajaiban yang dimiliki-Nya. Jadi,
paus membiarkan raja bertindak di bawah hukum virtual walaupun dia bisa
mengintervensi secara langsung dan nyata melalui kekuasaan utuh yang
dimilikinya.
Paus memiliki kekuasaan yang utuh yang bisa mengintervensi apapun yang
berkaitan dengan gereja secara langsung, hal ini termasuk pemerintahan
sekuler karena argument di atas memperlihatkan bahwa di luar gereja tidak
ada tuan. Sehingga, dualism yang dilakukan oleh paus memang dikatakan
murni sebagai tugas yang diberikan oleh Tuhan secara langsung untuk
menjadi wakil-Nya di muka bumi dan paus bisa melakukannya tanpa
intervensi dari pihak manapun.
3.

John of Paris

Salah satu penulis yang dengan lantang menentang kekuasaan paus yang
tidak berbatas dan mutlak adalah John of Paris dalam tulisannya On Royal
and Papal Power (1302). Dia menolak anggapan bahwa sejak paus
dinobatkan sebagai pendeta wakil Tuhan, dimana Kristus adalah Tuhan dan
Tuhan adalah pemilik segalanya, maka serta merta paus adalah pemilik dari
segalanya. Pernyataan ini menghancurkan dua poin penting. Pertama, paus
adalah wakil Tuhan dalam wujud manusia (bukan sebagai Tuhan), dan Kristus
sebagai manusai bukanlah pemilik dari segalanya. Kedua, walaupun Kristus
dalam wujud manusia merupakan pemilik dari segalanya, Kristus tidak
memberikan semua kekuasaannya kepada wakilnya. Sehingga, tidak ada
bukti nyata yang bisa mendukung kekuasaan mutlaknya di muka bumi.
Tuhan adalah pemilik mutlak dari apa yang ada di akhirat dan dunia. Namun
di dunia, tidak manusia yang menjadi wakil Tuhan di kedua alam tersebut.
Pemerintah merupakan wakil Tuhan di dunia dan paus adalah wakil tuhan di
akhirat.
Mengenai anggapan bahwa For he who judges a thing is always lord of the
thing he judged, maka John beranggapan bahwa paus memiliki juridiksi
tersendiri dalam hal keagamaan. Sedangkan untuk hal property, paus sama
sekali tidak memiliki yuridiksi walaupun itu menyangkut property gereja.
Property merupakan milik pribadi, adapun komunitas (gereja) yang memiliki
property itu merupakan penerima dari individu yang memberikan hak
propertinya kepada komunitas tersebut. Seharusnya, gereja bisa menghargai
pendonor bukan menjadi pemilik atas hal itu. Kepala gereja hanyalah
administrator, bukan pemilik atas gereja tersebut.
Menurut John, kekuasaan duniawi bukan datang dari kekuasaan spiritual
melainkan langsung dari Tuhan. Sehingga, paus yang tugasnya mengurusi
urusan spiritual tidak berhak mencampuri urusan duniawi yang dijalankan
oleh kerajaan. Kekuasaan spiritual tidak boleh berlaku superior di atas
kekuasaan duniawi melainkan setara dan seimbang satu sama lain.
Pertanyaan utama mengenai hubungan antara kekuasaan spiritual dan
duniawi, Thomas Aquinas mendukung bahwa kepausan memiliki kekuasaan
yang mutlak, Giles menganggap bahwa semua kekuasaan legitimasi di bumi

dimiliki oleh paus, dan Marsilius menyatakan bahwa kekuasaan koersif


dimiliki oleh pemerintahan. William menyatakan bahwa paus memiliki
kekuasaan mutlak dalam urusan keagamaan dan bisa sewaktu-waktu
melakukan intervensi jika dianggap orang awam tidak bisa menyelesaikan
persoalan tersebut.
Namun ada pembahasan yang cukup menarik bahwa kekuasaan tidak boleh
dimiliki oleh orang yang tidak mempercayai Kristus. Baik itu raja maupun
pemerintahan di bawahnya harus sepenuhnya taat dan tunduk terhadap
Kristus. Sehingga, satu-satunya agama yang diperbolehkan ada pada masa
itu adalah Kristen.
Perdebatan yang menarik mengenai kekuasaan paus tidak berhenti pada
abad pertengahan saja namu terus berlanjut sampai zaman pencerahan
setelah gereja diturunkan kekuasaan yang dimilikinya. Pada masa
tradisional, sebelum abad pertengahan, fungsi pendeta hanya pada fungsi
duniawi. Beberapa penulis menginginkan pengembalian fungsi pendeta dan
paus. Namun di sisi lain, pergeseran kekuasaan sangat dipengaruhi oleh
kondisi politik kerajaan yang dipenuhi skandal serta pengkhianatan.

Anda mungkin juga menyukai