Oleh ;
Marsma TNI (Purn) H. A. Gani Jusuf, S.IP
PENDAHULUAN
daerah, baik berupa peraturan daerah (Perda) maupun Rencana Strategi (Renstra) daerah.
Sesuai dengan Konsepsi Tannas, seluruh aspek kehidupan nasional dirinci dalam 8 (delapan)
Gatra. 3 (tiga) Gatra Alamiah berupa geografi, demografi dan sumber kekayaan alam sebagai
modal dasar pembangunan. 5 (lima) Gatra Sosial (dinamis) berupa idiologi, politik, ekonomi,
sosial budaya (sosbud) dan pertahanan keamanan (Hankam), yang harus dibina dan dibangun
secara nasional, agar tercipta suatu kondisi yang memungkinkan pembangunan nasional berjalan
lancar dan berhasil.
Didalam mengelola dan memanfaatkan Gatra Alamiah sebagai modal dasar pembangunan Gatra
Sosial (dinamis), sangat diperlukan adanya penguasaan IPTEK dan pengamalan IMTAQ serta
penegakan HUKUM yang betul betul adil tanpa ada keberpihakan (Iptek mempermudah hidup,
Imtaq mengarahkan hidup, Hukum mengendalikan hidup).
2. Implementasi Konsepsi Tannas, pada hakekatnya terletak pada pembinaan Tannas, baik
secara Buttom Up maupun secara Top Down. ;
a. Pembinaan Tannas secara buttom up dilaksanakan sejak dini, mulai dari pribadi,
keluarga, lingkungan, daerah sampai pada tingkat nasional. Suatu pembinaan yang
menekankan pada pribahasa ;
Dari
keluarga
Diiringi
kasih
Tanpa
budi
Ketahanan diri tidak akan kekal.
kita
sayang
kita
dan
berasal,
berawal,
akal,
Diharapkan melalui pembinaan ini, tercipta pemimpin pemimpin Bangsa yang memiliki
kematangan moral, intelektual, emosional dan kematangan sosial. Terutama bagi pemimpin
yang diberi kewenangan dalam melaksanakan Pemerintahan Negara yang dapat
mewujudkan tercapainya Tujuan Nasional.
b. Pembinaan Tannas secara top down, diharapkan dapat dilaksanakan oleh Pemerintahan
Negara yang bersih (Clean Government), jujur, berani dan berwibawa, beriman, bertaqwa,
berakhlak, dan bermoral, yang mampu mengatur dan menyelenggarakan keamanan dan
kesejahteraan secara seimbang, serasi dan selaras, sehingga tercipta suatu kondisi kehidupan
nasional yang berisikan keuletan dan ketangguhan dalam bentuk ;
1)
2)
3)
4)
5)
Kondisi
kehidupan
Kondisi
kehidupan
Kondisi
kehidupan
Kondisi
kehidupan
Kondisi kehidupan Hankam yang siaga.
Idiologi
Politik
Ekonomi
Sosbud
yang
yang
yang
yang
mantap.
siap.
kuat.
maju.
Konsepsi Tannas di kembangkan sesuai dengan proses Pembangunan Nasional, yang intinya
adalah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan seluruh masyarakat.
Pembangunan dalam memenuhi kebutuhan manusia, baik manusia sebagai makluk individu
maupun kebutuhan manusia sebagai mahluk sosial. Kebutuhan akan ruang hidup dalam
(Geografi), sumber hidup (SKA), kebersamaan hidup (Demografi), sebagai modal dasar dalam
pemenuhan kebutuhan sosial (IPOLEKSOSBUDHANKAM).
Pembangunan adalah suatu proses dinamis, yang mengarah pada tingkat kesejahteraan dan
keadilan yang lebih baik, serta keamanan yang penuh dengan kedamaian. Namun suatu
performance pembangunan yang baik, bisa menciptakan berbagai masalah masalah
pembangunan yang lain. Seperti yang dikemukakan oleh Bapak Emil Salim Kompleksitas
permasalahan diperbesar, karena wilayah permasalahan semakin luas. Semakin terbatas
pendapatan seseorang, semakin sederhana kebutuhannya. Tetapi semakin meningkat pendapatan
seseorang, semakin meluas pula kebutuhannya. Dengan demikian pembangunan juga dapat
dikatakan proses tanpa akhir, yang merupakan kontinuitas perjuangan mewujudkan idea dan
realita yang akan terus berlangsung sepanjang kurun sejarah. Implementasi Konsepsi Tannas
dalam Pembangunan Nasional, merupakan suatu tuntutan sejarah yang sangat diperlukan dalam
menyatukan misi pencapaian Tujuan Nasional. Pada dasarnya implementasi Konsepsi Tannas
identik dengan pandangan Geostrategi Indonesia dalam melaksanakan pembangunan Nasional,
yang selama ini dilaksanakan Pemerintah Negara. Suatu pandangan dalam mengarahkan seluruh
sumber daya nasional sebagai modal dasar dalam menggalikan situasi dan kondisi kehidupan
nasional yang terintegrasi yang harus diwujudkan (Tannas), mengendalikan ruang hidup (Darat,
Laut, dan Udara), serta mengendalikan waktu tahapan pembangunan (Jangka Panjang, Jangka
1. Dalam era Pemerintah Soekarno, pembangunan diarahkan pada pembangunan Nation and
Character building yang dalam kenyataannya lebih fokus kepada Nation Building (Political
Development), sebagai layaknya suatu negara yang baru merdeka. Nation building approach ini,
relatif telah mengabaikan lapangan pendekatan pragmatis pembangunan ekonomi, dan arah
perkembangan politik yang tidak menguntungkan, malahan menghasilkan keadaan yang cukup
mengecewakan.
Pembangunan Nasional yang berat pada bidang politik tanpa proses rekonsiliasi perkembangan
politik yang sehat, akan berkulminasi dalam satu ketidakpastian politik dan merupakan penyakit
yang sering dialami dalam sejarah pembangunan negara negara baru berkembang. Pembangunan
politik suatu bangsa, semestinya adalah bukan proses Penyusunan kekuatan golongan politik,
tetapi lebih merupakan suatu usaha untuk mendidik bangsa, khususnya generasi muda agar
mampu memikul tanggung jawab politiknya sebagai suatu bangsa yang merdeka. Generasi
penerus bangsa yang mampu menyelenggarakan pembangunan dalam pencapaian tujuan
nasional (terwujudnya keamanan dan kesejahteraan).
Pembangunan politik yang menjurus pada proses penyusunan kekuatan dan mempertahankan
kekuasaan, cenderung akan berakhir dengan suatu kegagalan politik, dalam arti kegagalan
pembangunan seluruh bangsa.
2. Dalam era Pemerintahan Soeharto, dengan latar belakang pengalaman pahit G30S PKI, telah
disusun suatu strategi Pembangunan Nasional dengan berlandaskan pada Konsepsi Tannas
sebagai salah satu Konsepsi yang dijadikan Pola Dasar Pembangunan Nasional, disamping
Konsepsi Wawasan Nusantara sebagi landasan Visional. Wasantara dan Tannas merupakan
Konsepsi Nasional yang selalu mengutamakan Persatuan dan Kesatuan Bangsa serta kesatuan
wilayah (wasantara), dengan pendekatan pengaturan dan penyelenggaraan keamanan dan
kesejahteraan dalam berbagai kegiatan pembangunan (Tannas). Rakyat akan tetap dan mau
bersatu, apabila terjamin adanya rasa aman dan harapan hidup sejahtera berada dalam NKRI.
Untuk tidak terjadi tragedi yang sama atau mirip dengan G 30 S PKI, diperlukan pembinaan
Tannas yang dilaksanakan secara terus menerus.
Dalam Konsepsi Tannas, Pembangunan Nasional identik dengan pembinaan Tannas, yaitu
terciptanya kondisi dinamik kehidupan nasional (IPOLEKSOSBUD HANKAM) yang berisikan
keuletan dan ketangguhan yang mengandung kemampuan mengembangkan kekuatan nasional
untuk menghadapi tantangan, ancaman, hambantan dan gangguan yang membahayakan
identitas,
integritas,
kelangsungan
hidup
bangsa
dan
negara.
kedalam peraturan daerah (Perda dalam rangka pencapaian tujuan nasional, yang intinya
terciptanya adanya rasa aman dan harapan hidup sejahtera bagi seluruh rakyat Indonesia),
melalui satu perencanaan berdasarkan urutan prioritas, program, dan rencana aksi.
Dalam penyelenggaraan dalam pemerintahan daerah ;
1. Secara empirik telah terjadi sembilan kali perubahan perUUan yang dijadikan dasar dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah, namun hingga saat ini belum ada keterpaduan dalam
penafsirannya. Beberapa saat setelah proklamasi kemerdekaan NKRI, diterbitkan UU no 1 tahun
1945. Secara silih berganti Undang undang ini diganti dengan UU no 22 tahun 1948, UU no 1
tahun 1957, Penetapan Presiden no 6. tahun 1959, UU no 18 tahun 1965, UU no 5 tahun 1974,
UU no 22 tahun 1999, dan UU no 32 tahun 2004 sebagai revisi UU no 22 1999, serta UU no 33
tahun 2004.
Setiap UU tersebut mengatur Otonomi Daerah, namun cenderung berbeda beda sesuai dengan
kondisi social politik yang melatar belakangi diterbitkannya UU dimaksud.
2. Berkaitan dengan penyelenggaraan Pemerintah Daerah selama ini, terdapat beberapa hal
yang perlu mendapat perhatian bersama, antara lain ;
a. Konsep Otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggungjawab berdasarkan UU no.
22 tahun 1999 pada implementasinya lebih bertumpu pada sisi otonomi daerah yang luas
dan nyata saja dengan persepsi yang beragam. Persepsi yang kurang tepat, dalam
pelaksanaannya menimbulkan ekses yang melampaui koridor otonomi dalam kerangka
negara kesatuan. Karena otonomi luas, muncul anggapan bahwa daerah dengan leluasa
dalam penyelenggaraan pemerintahan Daerah, dapat melakukan pengaturan sekehendaknya,
tanpa adanya kepedulian terhadap ketentuan yang lebih tinggi. Sedangkan aspek otonomi
daerah yang bertanggungjawab, cenderung kurang mendapat perhatian serius dari daerah.
Otonomi yang bertanggungjawab masih terkesampingkan dalam pelaksanaannya yang
seharusnya diwujudkan dalam bentuk peningkatan pelayanan (services) untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat, yang terlihat justru semakin menurunnya kualitas
dan kuantitas pelayanan kepada masyarakat. Menurunnya pelayanan yang diberikan kepada
masyarakat ditandai antara lain dengan menurunnya pelayanan dibidang pendidikan dan
kesehatan, dan penyediaan fasilitas umum, serta kurang optimalnya pemeliharaan fasilitas
umum yang telah ada.
Dalam aplikasinya konsep otonomi daerah berdasarkan UU no. 22 tahun 1999 itu ada yang
sudah tepat, ada yang belum tepat, dan ada yang tidak tepat. Itu semua sebagai konsekuensi
logis dari pemahaman terhadap konsep dasar itu belum bulat karena memang ada
pengaturan yang mengundang multi tafsir, sosialisasinya pun belum meluas dan mendalam.
Disamping itu juga karena instrumen untuk melaksanakan itu semua masih ada yang belum
tersedia. Instrumen itu berbentuk undang undang, peraturan pemerintah, keppres, kepmen,
perda, dan keputusan kepala daerah. Pedoman, standar yang jumlahnya pasti banyak, sama
dengan banyaknya urusan yang ditangani oleh daerah. Disamping itu ada faktor lain yang
mempengaruhinya seperti isu globalisasi, trnasparasi, demokratisasi, HAM, lingkungan
hidup, dan lain lain.
Prinsip otonomi luas, nyata, dan bertanggungjawab yang seharusnya dilaksanakan oleh
masyarakat, sejauh ini dalam implementasinya didominasi oleh pemda dan DPRD yang
seringkali melupakan aspek filosofi dari penyelenggaraan otonomi daerah. Sehingga yang
terjadi hanya ada pergeseran tempat sentralisasi, yang semula berada di instansi pusat,
bergeser ke instansi daerah.
b. Dengan diberlakukannya UU no. 22 tahun 1999 mulai tanggal 1 Januari 2001, terlebih
dengan adanya Ketetapan MPR no. IV/MPR/2000, secara empirik terjadi friksi dan
ketegangan antar tingkatan pemerintahan berkaitan dengan kewenangan tersebut. Ada
empat jenis friksi yaitu ;
1)
2)
3)
4)
Friksi antara unsur pemerintah pusat dan penyelenggara pemerintah daerah yang terjadi
diantaranya adalah dalam penangannan suatu wewenang yang menurut UU no. 22 tahun
1999 telah menjadi wewenang daerah, namun pemerintah pusat belum menindaklanjuti
dengan fasilitasi, seperti memberi pedoman, petunjuk, standar, pelatihan dan supervisi.
Friksi antara penyelenggara pemerintahan kabupaten/ kota dengan penyelenggara
pemerintahan propinsi antara lain terkait dengan konsep hubungan, dan tolok ukur soal
lintas kabupaten/kota.
Friksi antar penyelenggara pemerintahan kabupaten/ kota itu sendiri yang terkait dengan
sengketa soal perbatasan dan soal implikasi tata ruang serta pengembangan potensi
pendapatan daerah. Permasalahan perbatasan tidak terletak dalam UU no. 22 tahun 1999
tetapi tindak lanjut penetapan batas wilayah terdapat secara pasti dilapangan.
Permasalahan permasalahan tersebut diatas antara lain disebabkan karena belum tersedianya
peraturan pelaksanaan dari ketentuan UU no. 22 tahun 1999. Dengan dianutnya otonomi
luas sebagaimana dinyatakan dalam pasal 7 dan pasal 9, cenderung ditafsirkan oleh
Pemerintahan Daerah secara litterlijk dan menganggap bahwa semua kewenangan diluar
ketentuan pasal tersebut menjadi kewenangan daerah. Uraian pasal 7 ayat (2) yang tertuang
dalam PP no. 25 tahun 2000 kurang diperhatikan.
Sedangkan pada sisi lain, Departemen Sektoral dipusat juga berpegang pada UU sektoral
masing masing. Sebagai contoh Departemen Kehutanan berpegang pada UU no. 41 tahun
1999 yang mengatur mengenai kewenangan kehutanan. Permasalahan timbul karena
subtansi kewenangan pada UU no. 22 tahun 1999 dengan UU no. 41 tahun 1999 berbeda
pengaturannya. Begitu pula Badan Pertanahan Nasional selalu menganggap UU no.5 1960
tidak terpengaruh dengan Undang undang lainnya. Akibatnya terjadilah friksi antara pusat
dari antara Departemen dan antara instansi pusat dengan daerah. Friksi pada dasarnya
berpangkal dari siapa yang mempunyai kewenangan secara hukum atas hal yang
disengketakan tersebut.
c.
Apabila keberadaan Pemda adalah untuk melayani kebutuhan masyarakat,
konsekwensinya adalah bahwa urusan yang ditangani daerah seyogyanya berbeda pula dari
satu daerah dengan daerah lainnya sesuai dengan perbedaan karakter geografis dan mata
pencaharian utama penduduknya. Inilah yang sebenarnya diakomodasikan dalam konsep
otonomi nyata, namun dalam pelaksanaannya kurang diperhatikan. Adalah sangat tidak
logis kalau disebuah daerah kota sekarang ini masih dijumpai adanya urusan urusan
pertanian, perikanan, peternakan dan urusan urusan yang berkaitan dengan kegiatan primer
padahal daerah tidak memiliki potensi itu. Untuk itu analisis kebutuhan ( need assesment)
merupakan suatu keharusan sebelum urusan tersebut diserahkan kesuatu daerah otonom.
Pada dasarnya kebutuhan rakyat dapat dikelompokkan kedalam dua hal yaitu ;
1). Kebutuhan dasar seperti sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan (basic
needs),
lingkungan,
keamanan,
dan
pelayanan
dasar
lainnya.
2).
Kebutuhan pengembangan usaha yang menjadi sektor unggulan ( core
competence) masyarakat seperti pertanian, perkebunan, perdagangan, industri, jasa dan
sebagainya, sesuai dengan karakter daerah masing masing.
3. Pada hakekaktnya filosofi dasar UU no 22 tahun 1999 tentang otonomi daerah, adalah
diprioritaskan pada peningkatan kualitas pelayanan dan kesejahteraan masyarakat. Ternyata
pelaksanaan UU no. 22 ini, belum sepenuhnya terselenggara secara efektif, efesien, ekonomis
dan akuntabel, atau belum mampu diwujudkan, bahkan semakin banyak terdistorsi oleh
kepentingan sesaat.
Ada 2 ( dua ) kelompok pelayanan (services) yang erat kaitannya dengan kesejahteraan dan
keamanan, sebagai output yang diharapkan dari Pemda ;
a. Pengadaan barang publik (Public Goods) yang sangat diperlukan dalam pemenuhan
kebutuhan dasar (sandang, pangan, papan, pendidikan dan kesehatan), antara lain: pasar,
jalan,
jembatan,
sekolah,
rumah
sakit,
dan
lain
lain.
b. Pelayanan pengaturan (Regulation), berupa pengaturan untuk mengatur kepentingan
umum dan untuk menciptakan ketentraman/ ketertiban (Law and Order) dalam masyarakat,
antara lain: KTP, KK, Akta Kelahiran, IMB, ijin usaha dan lain lain.
Kedua kelompok pelayanan (services) ini, sangat mendasar kaitannya dengan implementasi
Konsepsi Tannas, yang menggambarkan terlaksananya pengaturan dan penyelenggaraan
kesejahteraan dan keamanan secara seimbang, serasi dan selaras dalam pembangunan daerah.
Dengan diterbitkannya UU no.32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan penjelasannya
sebagai pengganti UU no 22 tahun 1999, sertaa UU no 33 tahun 2004 tentang Perimbangan
Keuangan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah dan penjelasannya, diharapkan
akan dapat mengeleminir semua permasalahan dan kendala dalam pelaksanaan Otonomi daerah,
terutama dalam meningkatkan kualitas pelayanan publik, meningkatkan kesejahteraan, dan
berbagai upaya dalam memfilter separatis.
Terdapat beberapa hal penting yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan Pembangunan Daerah
Otonom, antara lain ;
a. Masih terbatasnya ketersediaan sumber daya manusia yang baik dan professional.
b. Masih terbatasnya ketersediaan sumber-sumber pembiayaan yang memadai, baik yang
berasal dari kemampuan daerah itu sendiri (internal), maupun sumber dana dari luar daerah
(eksternal).
c. Belum tersusunnya kelembagaan yang efektif, belum terbangunnya sistem dan regulasi
yang jelas dan tegas. Kurangnya kreatifitas dan partisipasi masyarakat secara kritis dan
nasional.
d. Belum optimalnya proses desentralisasi dan otonomi daerah antara lain karena belum
jelasnya kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah yang berakibat pada tumpang
tindihnya
kebijakan
pusat
dan
daerah.
e. Masih rendahnya kerjasama antar daerah dalam penyediaan pelayanan publik, serta
meningkatnya keinginan untuk membentuk daerah otonom baru yang belum sesuai dengan
tujuannya.
Menyikapi ragam permasalahan dan kendala yang dihadapi dalam pembangunan daerah,
dikaitkan dengan implementasi Konsepsi Tannas, menuntut adanya ;
a. Satu kesamaan berfikir, bersikap dan bertindak dari seluruh pimpinan pemerintahan
pusat maupun daerah, secara komprehensif integral, sistemik, sinergik dan obyektif.
b. Kelengkapan UU No.32 tentang Pemerintahan Daerah, baik berupa peraturan
pemerintah, peraturan presiden maupun ketentuan lain yang dapat mengeleminir
permasalahan
dan
kendala
dalam
pembangunan
daerah.
c. Kemampuan daerah dalam menentukan urutan prioritas pembangunan daerah, baik
dalam menentukan komoditi unggulan maupun dalam berbagai aspek yang relatif
berpotensi membahayakan identitas, integritas, kelangsungan hidup bangsa dan negara.
d. Kemampuan daerah dalam menjabarkan RPJMN ke dalam kebijaksanaan strategi
daerah, baik dalam bentuk Perda, Renstrat maupun program pembangunan daerah.
e.
Kemampuan daerah dalam melihat, menganalisa dan memecahkan berbagai
permasalahan daerah secara komprehensif integral, dan kemampuan dalam menentukan
sasaran, arah kebijakkan serta program-program pembangunan yang sesuai dengan arah
kebijakkan.
f. Kemampuan daerah dalam mengantisipasi berbagai macam TAHG, baik dari dalam
maupun dari luar, baik langsung maupun tidak langsung sehingga pembinaan Tannas di
daerah akan lebih terarah, baik pembinaan secara buttom up maupun top down.
g. Komitmen untuk melaksanakan Pembangunan Daerah (tingkat 1) sebagai bagian
integral dari Pembangunan Nasional. Demikian pula Pembangunan Daerah Tingkat 2
merupakan bagian integral dari Pembangunan Daerah tingkat 1.
KESIMPULAN
diwujudkan dan dilaksanakan oleh pemerintahan negara melalui suatu strategi kegiatan yang
disesuaikan dengan pandangan geostrategi Indonesia yaitu ;
4.
Kondisi Kehidupan nasional yang tangguh sangat ditentukan oleh keberhasilan
pembangunan nasional. Sedang pembangunan nasional sangat ditentukan oleh kokohnya
persatuan dan kesatuan bangsa dan tetap tegaknya NKRI. Pentingnya persatuan dan kesatuan
bangsa telah tercermin dalam masa pemerintahan Ir. Soekarno yang menekankan pada
pembangunan Nation and Caracter Building, dan masa pemerintahan Jenderal Soeharto yang
menekankan pada Pembangunan Manusia Indonesia Seutuhnya dan seluruh Masyarakat,
Setidak-tidaknya pemerintahan saat ini dapat menterjemahkan penekanan pembangunan nasional
dari kedua masa pemerintahan terdahulu disesuaikan dengan situasi dan kondisi saat ini. Suatu
pembangunan yang dapat memberikan jaminan kokohnya persatuan dan kesatuan bangsa dan
dapat memberikan rasa aman dan harapan hidup sejahtera bagi seluruh rakyat Indonesia.
5. Keberhasilan pemerintahan negara baik pusat propinsi maupun daerah, dalam mengarahkan
dan mengendalikan ruang (3 gatra), situasi dan kondisi (5 gatra), serta mampu mengarahkan dan
mengendalikan waktu baik jangka panjang, jangka sedang maupun jangka pendek, diharapkan
akan tercipta suatu kondisi kehidupan nasional yang mampu menghadapi dan mengatasi
berbagai Tantangan, Ancaman, Hambatan maupun Gangguan.
PENUTUP
obyektif.
Jakarta,
Desember 2011