Anda di halaman 1dari 35

Pengertian orde

Dalam kamus politik pembangunan, CLC, Lanisius, 1970 :74

Orde berasal dari kata Latin “ordo” : deretan, susunan, atau kelas, kemudian berarti aturan, serta
ketertiban. Pengertian asasi orde dapat dirumuskan demikian : adanya banyak unsur;
bagian/anggota, yang diatur menurut suatu prinsip/hukum/ide tertentu. Prinsip itu yang
menentukan tempat dan fungsi setiap unsur dalam hubungannya dengan unsur-unsur lain,
sehingga timbul suatu kesatuan yang tersusun baik, misalnya bagian-bagian rumah, tersusun
menurut ide si arsitek, atau suatu organisme yang tersusun menurut prinsip hidup yaitu jiwanya.

Sistem pemerintahan orde lama


Sumber : http://mhafizyazid.blogspot.com/2012/11/normal-0-false-false-false-en-us-x-
none.html-tentang sistem pemerintahan orde lama.

Masa orde lama yaitu masa pemerintahan yg dimulai dari proklamasi kemerdekaan 17 Agustus
1945 sampai masa terjadinya G30 S PKI.

Orde Lama adalah istilah yang diciptakan oleh Orde Baru. Bung Karno sangat keberatan masa
kepemimpinannya dinamai Orde Lama. Bung Karno lebih suka dengan nama Orde Revolusi.
Tapi Bung Karno tak berkutik karena menjadi tahanan rumah (oleh pemerintahan militer Orde
Baru) di Wisma Yaso (sekarang jadi Museum TNI Satria Mandala Jl. Gatot Subroto Jakarta).

Tokoh dari sistem pemerintahan orde lama yang dimiliki Indonesia ialah siapa lagi kalau bukan
Bung Karno. Dengan segenap pemikiran, kepintaran, dan kecakapannya, Bung Karno perlahan
mulai "membangun badan" negara ini.

Orde Lama berlangsung dari tahun 1945 hingga 1968.

Dalam jangka waktu tersebut, Indonesia menggunakan bergantian sistem ekonomi liberal dan
sistem ekonomi komando. Di saat menggunakan sistem ekonomi liberal, Indonesia
menggunakan sistem pemerintahan parlementer. Presiden Soekarno digulingkan saat Indonesia
menggunakan sistem ekonomi komando.
Demokrasi terpimpin adalah sebuah demokrasi yang sempat ada di Indonesia, yang
seluruh keputusan serta pemikiran berpusat pada pemimpinnya saja.
Negara berada dalam suasana transisional dari masyarakat terjajah (inlander) menjadi
masyarakat merdeka. Kondisi sosial ekonomi, sosial politik, sosial budaya dan keamanan dalam
negeri diliputi oleh kekacauan dan hampir bangkrut.
Indonesia di masa Orde Lama (Soekarno, 1945 – 1966) lebih banyak konflik politiknya daripada
agenda ekonominya yaitu konflik kepentingan antara kaum borjuis, militer, PKI, parpol
keagamaan dan kelompok – kelompok nasionalis lainnya. Kondisi ekonomi saat itu sangat parah
dengan ditandai tingginya inflasi yaitu mencapai 732% antara tahun 1964 – 1965 dan masih
mencapai 697% antara tahun 1965 – 1966.
Keadaan ekonomi keuangan pada masa orde lama amat buruk, antara lain disebabkan oleh :
1. Inflasi yang sangat tinggi, disebabkan karena beredarnya lebih dari satu mata
uang secara tidak terkendali. Pada waktu itu, untuk sementara waktu pemerintah RI
menyatakan tiga mata uang yang berlaku di wilayah RI, yaitu mata uang De Javasche
Bank, mata uang pemerintah Hindia Belanda, dan mata uang pendudukan Jepang.
Kemudian pada tanggal 6 Maret 1946, Panglima AFNEI (Allied Forces for Netherlands
East Indies/pasukan sekutu) mengumumkan berlakunya uang NICA di daerah-daerah
yang dikuasai sekutu. Pada bulan Oktober 1946, pemerintah RI juga mengeluarkan uang
kertas baru, yaitu ORI (Oeang Republik Indonesia) sebagai pengganti uang Jepang.
Berdasarkan teori moneter, banyaknya jumlah uang yang beredar mempengaruhi
kenaikan tingkat harga.
2. Adanya blokade ekonomi oleh Belanda sejak bulan November 1945 untuk
menutup pintu perdagangan luar negeri RI.
3. Kas negara kosong.
4. Eksploitasi besar-besaran di masa penjajahan.
Usaha-usaha yang dilakukan untuk mengatasi kesulitan-kesulitan ekonomi, antara lain :
1. Program Pinjaman Nasional dilaksanakan oleh menteri keuangan Ir. Surachman
dengan persetujuan BP-KNIP, dilakukan pada bulan Juli 1946.
2. Upaya menembus blokade dengan diplomasi beras ke India, mangadakan kontak
dengan perusahaan swasta Amerika, dan menembus blokade Belanda di Sumatera dengan
tujuan ke Singapura dan Malaysia.
3. Konferensi Ekonomi Februari 1946 dengan tujuan untuk memperoleh
kesepakatan yang bulat dalam menanggulangi masalah-masalah ekonomi yang
mendesak, yaitu : masalah produksi dan distribusi makanan, masalah sandang, serta
status dan administrasi perkebunan-perkebunan.
4. Pembentukan Planning Board (Badan Perancang Ekonomi) 19 Januari 1947,
Rekonstruksi dan Rasionalisasi Angkatan Perang (Rera) 1948, mengalihkan tenaga bekas
angkatan perang ke bidang-bidang produktif.
5. Kasimo Plan yang intinya mengenai usaha swasembada pangan dengan beberapa
petunjuk pelaksanaan yang praktis. Dengan swasembada pangan, diharapkan
perekonomian akan membaik (mengikuti Mazhab Fisiokrat : sektor pertanian merupakan
sumber kekayaan).
Orde Lama telah dikenal prestasinya dalam memberi identitas, kebanggaan nasional dan
mempersatukan bangsa Indonesia. Namun demikian, Orde Lama pula yang memberikan peluang
bagi kemungkinan kaburnya identitas tersebut (Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945).
Beberapa peristiwa pada Orde Lama yang mengaburkan identitas nasional kita adalah;
Pemberontakan PKI pada tahun 1948, Demokrasi Terpimpin, Pelaksanaan UUD Sementara
1950, Nasakom dan Pemberontakan PKI 1965.

Pada Orde Lama terjadi banyak pergantian kabinet diakibatkan situasi politik yang tidak stabil.
Tercatat ada 7 kabinet pada masa Orde Lama, yaitu :
1. 1950-1951 - Kabinet Natsir
2. 1951-1952 - Kabinet Sukiman-Suwirjo
3. 1952-1953 - Kabinet Wilopo
4. 1953-1955 - Kabinet Ali Sastroamidjojo I
5. 1955-1956 - Kabinet Burhanuddin Harahap
6. 1956-1957 - Kabinet Ali Sastroamidjojo II
7. 1957-1959 - Kabinet Djuanda
Era 1950 - 1959 adalah era di mana presiden Soekarno memerintah menggunakan konstitusi
Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia 1950, dimana periode ini berlangsung dari
17 Agustus 1950 sampai 5 Juli 1959.

Sebelum Republik Indonesia Serikat dinyatakan bubar, pada saat itu terjadi demo besar-besaran
menuntut pembuatan suatu Negara Kesatuan. Maka melalui perjanjian antara tiga negara bagian,
Negara Republik Indonesia, Negara Indonesia Timur, dan Negara Sumatera Timur dihasilkan
perjanjian pembentukan Negara Kesatuan pada tanggal 17 Agustus 1950. Sejak 17 Agustus
1950, Negara Indonesia diperintah dengan menggunakan Undang-Undang Dasar Sementara
Republik Indonesia 1950 yang menganut sistem kabinet parlementer.

Pada masa Orde lama, Pancasila dipahami berdasarkan paradigma yang berkembang pada situasi
dunia yang diliputi oleh tajamnya konflik ideologi. Masa orde lama adalah masa pencarian
bentuk implementasi Pancasila terutama dalam sistem kenegaraan.

Pancasila diimplementasikan dalam bentuk yang berbeda-beda pada masa orde lama. Terdapat 3
periode implementasi Pancasila yang berbeda, yaitu periode 1945-1950, periode 1950-1959, dan
periode 1959-1966.

Sistem pemerintahan orde baru

Jatuhnya Soekarno merupakan peristiwa politik cukup menarik dan sangat bersejarah.

Disintegrasi dan instabilisasi nasional sejak periode Orde Lama yang berpuncak pada
pemberontakan PKI 30 September 1945 sampai lahirlah Supersemar(Surat Peritah Sebelas
Maret).
Soekarno menandatangani Surat Perintah 11 Maret 1966 Supersemar yang kontroversial, yang
isinya – berdasarkan versi yang dikeluarkan Markas Besar Angkatan darat – menugaskan Letnan
Jenderal Soeharto untuk mengamankan dan menjaga keamanan negara dan institusi
kepresidenan. Supersemar menjadi dasar Letnan Jenderal Soeharto untuk membubarkan Partai
Komunis Indonesia (PKI) dan mengganti anggota-anggotanya yang duduk di parlemen.

Supersemar adalah titik balik lahirnya tonggak pemerintahan era Orde Baru yang merupakan
koreksi total terhadap budaya dan sistem politik Orde Lama.Orde baru berkehendak ingin
melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen sebagai kritik terhadap
orde lama yang telah menyimpang dari Pancasila.

Setelah pertanggung jawabannya ditolak Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS)


pada sidang umum ke empat tahun 1967 (ditolaknya Pidato Nawaksara yang disampaikan oleh
Presiden Soekarno), Presiden Soekarno diberhentikan dari jabatannya sebagai presiden pada
Sidang Istimewa MPRS di tahun yang sama dan mengangkat Soeharto sebagai pejabat Presiden
Republik Indonesia.
Dalam laman http://tempo.co.id/ang/min/02/05/utama7.htm - berjudul saat-saat Jatuhnya
Presiden Soekarno Perjalanan Terakhir Bung Besar – terdapatkronologis kejatuhan Soekarno
yang dikutip dari berbagai sumber, dan sebagian besar, dikutip dari buku "Proses Pelaksanaan
Keputusan MPRS No.5/MPRS/ 1996 Tentang Tanggapan Madjelis Permusjawaratan Rakjat
Sementara Republik Indonesia Terhadap Pidato Presiden/Mandataris MPRS di Depan Sidang
Umum Ke-IV MPRS Pada Tanggal 22 Djuni 1966 Yang Berdjudul Nawaksara,"
Di balik kesuksesan pembangunan di depan, Orde Baru menyimpan beberapa
kelemahan http://sejarahindonesiaa.blogspot.com/2013/02/runtuhnya-pemerintahan-orde-baru-
dan.html;http://sistempemerintahindonesia.blogspot.com/2013/07/sistem-pemerintahan-
indonesia-era-reformasi.html; http://id.wikipedia.org/wiki/Soeharto)

Selama masa pemerintahan Soeharto, praktik korupsi, kolusi, nepotisme (KKN) tumbuh subur.
Pembangunan Indonesia berorientasi pada pertumbuhan ekonomi sehingga menyebabkan
ketidakadilan dan kesenjangan sosial. Bahkan, antara pusat dan daerah terjadi kesenjangan
pembangunan karena sebagian besar kekayaan daerah disedot ke pusat.

Akhirnya, muncul rasa tidak puas di berbagai daerah, seperti di Aceh dan Papua. Di luar Jawa
terjadi kecemburuan sosial antara penduduk lokal dengan pendatang (transmigran) yang
memperoleh tunjangan pemerintah. Penghasilan yang tidak merata semakin memperparah
kesenjangan sosial.

Pemerintah mengedepankan pendekatan keamanan dalam bidang sosial dan politik. Pemerintah
melarang kritik dan demonstrasi. Oposisi diharamkan rezim Orde Baru. Kebebasan pers dibatasi
dan diwarnai pemberedelan Koran maupun majalah. Untuk menjaga keamanan atau mengatasi
kelompok separatis, pemerintah memakai kekerasan bersenjata. Misalnya, program
“Penembakan Misterius” (Petrus) atau Daerah Operasi Militer (DOM). Kelemahan tersebut
mencapai puncak pada tahun 1997-1998.

Indonesia mengalami krisis ekonomi pada tahun 1997.


Krisis moneter dan keuangan yang semula terjadi di Thailand pada bulan Juli 1997 merembet ke
Indonesia. Hal ini diperburuk dengan kemarau terburuk dalam lima puluh tahun terakhir.

Dari beberapa negara Asia, Indonesia mengalami krisis paling parah. Solusi yang disarankan
IMF justru memperparah krisis. IMF memerintahkan penutupan enam belas bank swasta
nasional pada 1 November 1997.

Hal ini memicu kebangkrutan bank dan negara.


Krisis ekonomi mengakibatkan rakyat menderita. Pengangguran melimpah dan harga kebutuhan
pokok melambung. Pemutusan hubungan kerja (PHK) terjadi di berbagai daerah.

Daya beli masyarakat menurun. Bahkan, hingga bulan Januari 1998 rupiah menembus angka Rp
17.000,00 per dolar AS. Masyarakat menukarkan rupiah dengan dolar. Pemerintah mengeluarkan
“Gerakan Cinta Rupiah”, tetapi tidak mampu memperbaiki keadaan. Krisis moneter tersebut
telah berkembang menjadi krisis multidimensi.
Krisis ini ditandai adanya keterpurukan di segala bidang kehidupan bangsa. Kepercayaan
masyarakat kepada pemerintah semakin menurun. Pemerintah kurang peka dalam menyelesaikan
krisis dan kesulitan hidup rakyat. Kabinet Pembangunan VII yang disusun Soeharto ternyata
sebagian besar diisi oleh kroni dan tidak berdasarkan keahliannya. Kondisi itulah yang
melatarbelakangi munculnya gerakan reformasi.

Gerakan reformasi

Gerakan reformasi dilatarbelakangi oleh terjadinya krisis multidimensi yang dihadapi bangsa
Indonesia. Semula gerakan ini hanya berupa demonstrasi di kampus-kampus di berbagai daerah.
Akan tetapi, para mahasiswa harus turun ke jalan karena aspirasi mereka tidak mendapatkan
jalan keluar.

Gerakan reformasi tahun 1998 mempunyai enam agenda antara lain (1) suksesi kepemimpinan
nasional, (2) amandemen UUD 1945, (3) pemberantasan KKN,(4) penghapusan dwifungsi
ABRI, (5) penegakan supremasi hukum, dan (6)pelaksanaan otonomi daerah.
Agenda utama gerakan reformasi adalah turunnya Soeharto dari jabatan presiden.

Puncak kekesalan demonstran ketika terjadi Tragedi Trisakti tanggal 12 Mei 1998 yang
kemudian memicu Kerusuhan besar-besaran Mei 1998 (Kerusuhan Mei 1998) sehari setelah
kejadian tersebut.
Beberapa hari mereka menduduki gedung Parlemen kala itu. Ketika didalam gedung terjadi rapat
pleno Anggota Dewan.
Akhir dari itu tanggal 21 Mei 1998 Suharto secara resmi mengundurkan diri sebagai presiden
Republik Indonesia kemudian digantikan oleh wakilnya BJ.Habibie.
Setelah Habibie terpilih menjadi presiden menggantikan Suharto. Habibie membentuk kabinet
baru yang bernama "Kabinet Reformasi".
Seperti dilansir dari wikipedia, Tanggal 10 November 1998 dibentukan himpunan mahasiswa
yang tergabung dalam Forum Komunikasi Senat Mahasiswa se-Jakarta (FKSMJ), ITB Bandung,
Universitas Siliwangi serta empat tokoh reformasi yaitu Abrurrahman Wahid (Gus Dur), Amien
Rais, Sri Sultan Hamengkubuwono X dan Megawati Sukarno Putri. Mereka mengadakan dialog
nasional di kediaman Gusdur, Ciganjur, Jakarta Selatan, dan menghasilkan 8 Butir Kesepakatan,
yaitu :
1. Mengupayakan terciptanya persatuan dan kesatuan nasional.
2. Menegakkan kembali kedaulatan rakyat.
3. Melaksanakan desentralisasi pemerintahan sesuai dengan otonomi daerah.
4. Melaksanakan pemilu yang luber dan jurdil guna mengakhiri masa pemerintahan
transisi.
5. Penghapusan Dwifungsi ABRI secara bertahap
6. Mengusut pelaku KKN dengan diawali pengusutan KKN yang dilakukan oleh
Soeharto dan kroninya.
7. Mendesak seluruh anggota Pam Swakarsa untuk membubarkan diri.
Pidato pengunduran diri Soeharto
http://id.wikipedia.org/wiki/Kejatuhan_Soeharto
Kejatuhan Suharto adalah peristiwa mundurnya Suharto dari jabatan Presiden Indonesia. Suharto
mundur pada Mei 1998 setelah runtuhnya dukungan untuk dirinya.
“Demi terpeliharanya persatuan dan kesatuan bangsa serta kelangsungan pembangunan
nasional, saya telah menyatakan rencana pembentukan Komite Reformasi dan mengubah
susunan Kabinet Pembangunan VII. Namun, kenyataan hingga hari ini menunjukkan Komite
Reformasi tersebut tidak dapat terwujud karena tidak adanya tanggapan yang memadai
terhadap rencana pembentukan komite tersebut. Dalam keinginan untuk melaksanakan
reformasi dengan cara sebaik-baiknya tadi, saya menilai bahwa dengan tidak dapat
diwujudkannya Komite Reformasi, maka perubahan susunan Kabinet Pembangunan VII menjadi
tidak diperlukan lagi. Dengan memperhatikan keadaan di atas, saya berpendapat sangat sulit
bagi saya untuk dapat menjalankan tugas pemerintahan negara dan pembangunan dengan baik.
Oleh karena itu, dengan memperhatikan ketentuan Pasal 8 UUD 1945 dan secara sungguh-
sungguh memperhatikan pandangan pimpinan DPR dan pimpinan fraksi-fraksi yang ada di
dalamnya, saya memutuskan untuk menyatakan berhenti dari jabatan saya sebagai Presiden RI
terhitung sejak saya bacakan pernyataan ini pada hari Kamis, 21 Mei 1998.” (Pidato
pengunduran diri)
Kejatuhan Suharto juga menandai akhir masa Orde Baru, suatu rezim yang berkuasa sejak tahun
1968. Soeharto telah menjadi presiden Indonesia selama 32 tahun.
BJ Habibie melanjutkan setidaknya setahun dari sisa masa kepresidenannya sebelum kemudian
digantikan oleh Abdurrahman Wahid pada tahun 1999(melalui pemilu).
Peninggalan Soeharto masih diperdebatkan sampai saat ini. Dalam masa kekuasaannya, yang
disebut Orde Baru, Soeharto membangun negara yang stabil dan mencapai kemajuan ekonomi
dan infrastruktur.[3][4][5][6] Suharto juga membatasi kebebasan warganegara Indonesia keturunan
Tionghoa, menduduki Timor Timur, dan dianggap sebagai rezim paling korupsi sepanjang masa
dengan jumlah $AS 15 miliar sampai $AS 35 miliar.[7] Usaha untuk mengadili Soeharto gagal
karena kesehatannya yang memburuk. Setelah menderita sakit berkepanjangan, ia meninggal
karena kegagalan organ multifungsi di Jakarta pada tanggal 27 Januari 2008.

Sistem pemerintahan pada masa reformasi


Sumber : http://sejarahindonesiaa.blogspot.com/2013/02/runtuhnya-pemerintahan-orde-baru-
dan.html &http://hitamandbiru.blogspot.com/2011/01/perbandingan-sistem-pemerintahan.html

Presiden Habibie sebagai pembuka sejarah perjalanan bangsa pada era reformasi mengupayakan
pelaksanaan politik Indonesia dalam kondisi yang transparan serta merencanakan pelaksanaan
pemilihan umum yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Pemilihan umum yang
akan diselenggarakan di bawah pemerintahan Presiden Habibie merupakan pemilihan umum
yang telah bersifat demokratis.
Selain itu pada masa pemerintahan Habibie, orang bebas mengemukakan pendapatnya di muka
umum. Presiden Habibie memberikan ruang bagi siapa saja yang ingin menyampaikan pendapat,
baik dalam bentuk rapat-rapat umum maupun unjuk rasa atau demonstrasi. Namun khusus
demonstrasi, setiap organisasi atau lembaga yang ingin melakukan demonstrasi hendaknya
mendapatkan izin dari pihak kepolisian dan menentukan tempat untuk melakukan demonstrasi
tersebut.
Setelah reformasi dilaksanakan, peran ABRI di Perwakilan Rakyat DPR mulai dikurangi secara
bertahap yaitu 75 orang menjadi 38 orang. Langkah ini yang ditempuh adalah ABRI semula
terdiri dari empat angkatan yaitu Angkatan Darat, Laut, dan Udara serta Kepolisian RI, namun
mulai tanggal 5 Mei 1999 Polri memisahkan diri dari ABRI dan kemudian berganti nama
menjadi Kepolisian Negara. Istilah ABRI pun berubah menjadi TNI yang terdiri dari Angkatan
Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara.
Pada masa Pemerintahan Presiden B.J. Habibie dilakukan reformasi di bidang hukum. Reformasi
hukum itu disesuaikan dengan aspirasi yang berkembang di masyarakat. Tindakan yang
dilakukan oleh Presiden Habibie untuk mereformasi hukum mendapat sambutan baik dari
berbagai kalangan masyarakat, karena reformasi hukum yang dilakukannya mengarah kepada
tatanan hukum yang didambakan oleh masyarakat.
Presiden Habibie mencabut lima paket undang-undang tentang politik. Sebagai gantinya DPR
berhasil menetapkan tiga undang-undang politik baru. Ketiga undang-undang itu disahkan pada
tanggal 1 Februari 1999 dan ditandatangani oleh Presiden Habibie. Ketiga undang-undang itu
antara lain undang-undang partai politik, pemilihan umum, susunan serta kedudukan MPR, DPR,
dan DPRD.
Munculnya undang-undang politik yang baru memberikan semangat untuk berkembangnya
kehidupan politik di Indonesia. Dengan munculnya undang-undang politik itu partai-partai
politik bermunculan dan bahkan tidak kurang dari 112 partai politik telah berdiri di Indonesia
pada masa itu. Namun dari sekian banyak jumlahnya, hanya 48 partai politik yang berhasil
mengikuti pemilihan umum tahun 1999. Hal ini disebabkan karena aturan seleksi partai-partai
politik diberlakukan cukup ketat. Setalah perhitungan suara berhasil diselesaikan oleh Komisi
Pemilihan Umum (KPU), hasilnya lima besar partai yang berhasil meraih suara-suara terbanyak
di antaranya PDI Perjuangan, Partai Golkar, Partai Persatuan pembangunan, Partai
Pembangkitan Bangsa, Partai Amanat Nasional.
Setelah Komisi Pemilihan Umum berhasil menetapkan jumlah anggota DPR dan MPR segera
melaksanakan sidang. Sidang Umum MPR tahun 1999 diselenggarakan sejak tanggal 1 – 21
Oktober 1999. Dalam Sidang Umum itu Amien Rais dikukuhkan menjadi ketua MPR dan Akbar
Tanjung menjadi ketua DPR. Sedangkan pada Sidang Paripurna MPR XII, pidato pertanggung
jawaban Presiden Habibie ditolak oleh MPR melalui mekanisme voting dengan 355 suara
menolah, 322 menerima, 9 absen dan 4 suara tidak sah. Akibat penolakan pertanggungjawaban
itu, Habibie tidak dapat untuk mencalonkan diri mejadi Presiden Republik Indonesia. Hal ini
mengakibatkan munculnya tiga calon Presiden yang diajukan oleh fraksi-fraksi yang ada di MPR
yaitu Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Megawati Soekarnoputri, dan Yuhsril Ihza MAhendra.
Namun tanggal 20 Oktober 1999, Yuhsril Ihza Mahendra mengundurkna diri. Oleh karena itu,
tinggal dua calon Presiden yang maju dalam pemilihan itu, Abdurrahman Wahid dan Megawati
Soekarnopoutri. Dari hasil pemilihan presiden yang dilaksanakan secara voting, Abdurrahman
Wahid terpilih menjadi Presiden Republik Indonesia. Pada tanggal 21 Oktober 1999
dilaksanakan pemilihan Wakil Presiden dengan calonnya Megawati Soekaroputri dan Hamzah
Haz. Pemilihan Wakil Presiden ini kemudian dimenangkan oleh Megawati Soekarnoputri.
Kemudian pada tanggal 25 Oktober 1999 Presiden Abdurrahman Wahid dan Wakil Presiden
Megawati Soekarnoputri berhasil membentuk Kabinet Persatuan Nasional.
Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menduduki jabatan sebagai Presiden Republik Indonesia tidak
sampai pada akhir masa jabatannya. Beliau menduduki jabatan sampai tahun 2001 dikarenakan
munculnya ketidakpercayaan parlemen padanya. DPR/MPR kemudian memilih dan mengangkat
Megawati Soekarnoputri sebagai Presiden Republik Indonesia dan Hamzah Haz sebagai Wakil
Presiden Indonesia. Masa kekuasaan Megawati berakhir pada tahun 2004.
Pemilihan Umum tahun 2004 merupakan momen yang sangat penting dalam sejarah
pemerintahan Republik Indonesia. Untuk pertama kalinya pemilihan Presiden dan Wakil
Presiden dilakukan secara langsung oleh rakyat Indonesia. Pada pemilihan umum ini Susilo
Bambang Yudhoyono (SBY) terpilih sebagai Presiden Republik Indonesia dan Jusuf Kalla
sebagai Wakil Presiden Republik Indonesia untuk masa jabatan 2004-2009.

Kondisi Sosial Masyarakat Sejak Reformasi


Sejak krisis moneter yang melanda pada pertengahan tahun 1997, perusahaan-perusahaan swasta
mengalami kerugian yang tidak sedikit, bahkan pihak perusahaan mengalami kesulitan
memenuhi kewajibannya untuk membayar gaji dan upah pekerjanya. Keadaan seperti ini menjadi
masalah yang cukup berat karena disatu sisi perusahaan mengalami kerugian yang cukup besar
dan disisi lain para pekerja menuntut kenaikan gaji. Tuntutan para pekerja untuk menaikkan gaji
sangat sulit dipenuhi oleh pihak perusahaan, akhirnya banyak perusahaan yang mengambil
tindakan untuk mengurangi tenaga kerja dan terjadilah PHK.
Para pekerja yang diberhentikan itu menambah jumlah pengangguran, sehingga jumlah
pengangguran diperkirakan mencapai 40 juta orang. Pegangguran dalam jumlah yang sangat
besar ini akan menimbulkan terjadinya masalah sosial dalam kehidupan masyarakat. Dampak
susulan dari pengangguran adalah makin maraknya tindakan-tindakan criminal yang terjadi
dalam kehidupan masyarakat.
Langkah yang diambil untuk mengatasi masalah tersebut adalah pemerintah dengan serius
menangani masalah pengangguran dengan membuka lapangan kerja baru yang dapat
menampung para penganggur tersebut. Langkah berikutnya, pemerintah berusaha menarik
kembali para investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia, sehingga dapat membuka
lapangan kerja baru untuk menampung para penganggur tersebut.

Kondisi Ekonomi Masyarakta Indonesia


Sejak berlangusngnya krisis moneter pertengahan tahun 1997, ekonomi Indonesia mulai
mengalami keterpurukan. Keadaan perekonomian makin memburuk dan kesejahteraan rakyat
makin menurun. Pengangguran juga semakin luas. Ada beberapa hal yang dilakukan oleh
pemerintahan Habibie untuk memperbaiki perekonomian Indonesia diantaranya :
a. Merekapitulasi perbankan
b. Merekonstruksi perekonomian Indonesia
c. Melikuidasi beberapa bank bermasalah
d. Menaikkan nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat hingga di bawah Rp 10.000,-
e. Mengimplementasikan reformasi ekonomi yang disyaratkan IMF

Dalam rangka meningkatkan kegiatan ekonomi masyarakat, pemerintah juga memperhatikan


harga produk pertanian Indonesia, karena selama masa pemerintahan Orde Baru maupun sejak
krisis 1997 tidak pernah berpihak kepada petani. Apabila pendapatan petani meningkat, maka
permintaan pertanian terhadap barang non pertanian juga meningkat. Dengan ditetapkannya
harga produk pertanian akan member semangat bangkitnya para pengusaha untuk
mengembangkan kegiatan perusahaannya.
Pihak pemerintah telah berusaha ntuk membawa Indonesia keluar dari krisis. Tetapi tidak
mungkin dapat dilakukan dalam waktu yang singkat. Oleh sebab itu untuk mengatasi krisis,
presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan Republik Indonesia, memerlukan
penyelesaian secara bertahap berdasarkan skala prioritas.
Mundurnya Soeharto dari jabatannya pada tahun 1998 dapat dikatakan sebagai tanda akhirnya
Orde Baru, untuk kemudian digantikan "Era Reformasi". Masih adanya tokoh-tokoh penting
pada masa Orde Baru di jajaran pemerintahan pada masa Reformasi ini sering membuat
beberapa orang mengatakan bahwa Orde Baru masih belum berakhir. Oleh karena itu Era
Reformasi atau Orde Reformasi sering disebut sebagai "Era Pasca Orde Baru".

Perubahan (amandemen) UUD 1945


Dalam kurun waktu 1999-2002, UUD 1945 mengalami 4 kali perubahan (amandemen) yang
ditetapkan dalam Sidang Umum dan Sidang Tahunan MPR:
 Sidang Umum MPR 1999, tanggal 14-21 Oktober 1999 → Perubahan Pertama UUD
1945
 Sidang Tahunan MPR 2000, tanggal 7-18 Agustus 2000 → Perubahan Kedua UUD 1945
 Sidang Tahunan MPR 2001, tanggal 1-9 November 2001 → Perubahan Ketiga UUD
1945
 Sidang Tahunan MPR 2002, tanggal 1-11 Agustus 2002 → Perubahan Keempat UUD
1945
Undang-Undang Dasar 1945 berdasarkan Pasal II Aturan Tambahan terdiri atas Pembukaan dan
pasal-pasal. Tentang sistem pemerintahan negara republik Indonesia dapat dilihat di dalam pasal
pasal sebagai berikut :

Negara Indonesia adalah negara Hukum.


Tercantum di dalam Pasal 1 ayat (3). Negara hukum yang dimaksud adalah negara yang
menempatkan kekuasaan kehakiman sebagai kekuasaan yang merdeka, menghormati hak asasi
mansuia dan prinsip due process of law. Pelaksanaan kekuasaan kehakiman yang merdeka diatur
dalam bab IX yang berjumlah 5 pasal dan 16 ayat. (Bandingkan dengan UUD 1945 sebelum
perubahan yang hanya 2 pasal dengan 2 ayat). Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan
yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan (Pasal
24 ayat 1 UUD 1945). Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan
badan peradilan yang ada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama,
peradilan militer dan peradilan tata usaha negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
Sedangkan badan-badan lainnya yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur
dalam undang-undang.

Sistem Konstitusional
Sistem Konstitusional pada era reformasi (sesudah amandemen UUD 1945) berdasarkan Check
and Balances. Perubahan UUD 1945 mengenai penyelenggaraan kekuasaan negara dilakukan
untuk mempertegas kekuasaan dan wewenang masing-masing lembaga-lembaga negara,
mempertegas batas-batas kekuasaan setiap lembaga negara dan menempatkannya berdasarkan
fungsi-fungsi penyelenggaraan negara bagi setiap lembaga negara. Sistem yang hendak dibangun
adalah sistem “check and balances”, yaitu pembatasan kekuasaan setiap lembaga negara oleh
undang-undang dasar, tidak ada yang tertinggi dan tidak ada yang rendah, semuanya sama diatur
berdasarkan fungsi-fungsi masing-masing.
Atas dasar semangat itulah perubahan pasal 1 ayat 2, UUD 1945 dilakukan, yaitu perubahan dari
“Kedaulatan ditangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR”, menjadi “Kedaulatan di
tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Ini berarti bahwa kedaulatan
rakyat yang dianut adalah kedaulatan berdasar undang-undang dasar yang dilaksanakan
berdasarkan undang-undang dasar oleh lembaga-lembaga negara yang diatur dan ditentukan
kekuasaan dan wewenangnya dalam undang-undang dasar. Oleh karena itu kedaulatan rakyat,
dilaksanakan oleh MPR, DPR, DPD, Presiden, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi,
Komisi Yudisial, BPK dan lain-lain sesuai tugas dan wewenangnya yang diatur oleh UUD.
Bahkan rakyat secara langsung dapat melaksanakan kedaulatannya untuk menentukan Presiden
dan Wakil Presidennya melalui pemilihan umum.

Tata urutan perundang-undangan RI


Pada era reformasi diadakan tata urutan terhadap peraturan perundang-undangan sebanyak dua
kali, yaitu :

Menurut TAP MPR III Tahun 2000:


1. UUD 1945
2. TAP MPR
3. UU
4. PERPU
5. PP
6. Keputusan Presiden
7. Peraturan Daerah
Menurut UU No. 10 Tahun 2004:
1. UUD 1945
2. UU/PERPU
3. Peraturan Pemerintah
4. Peraturan Presiden
5. Peraturan Daerah
Sistem Pemerintahan
Sistem ini tetap dalam frame sistem pemerintahan presidensial, bahkan mempertegas sistem
presidensial itu, yaitu Presiden tidak bertanggung jawab kepada parlemen, akan tetap
bertanggung kepada rakyat dan senantiasa dalam pengawasan DPR. Presiden hanya dapat
diberhentikan dalam masa jabatannya karena melakukan perbuatan melanggar hukum yang
jenisnya telah ditentukan dalam Undang-Undang Dasar atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai
Presiden. DPR dapat mengusulkan untuk memberhentikan Presiden dalam masa jabatannya
manakala ditemukan pelanggaran hukum yang dilakukan Presiden sebagaimana yang ditentukan
dalam Undang-Undang Dasar.

Kekuasaan negara tertinggi di tangan Majelis Permusyawaratan Rakyat.

Sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) bahwa MPR terdiri dari anggota DPR dan anggota Dewan
Perwakilan Daerah (DPD). MPR berdasarkan Pasal 3, mempunyai wewenang dan tugas sebagai
berikut :
1. Mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar
2. Melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden
3. Dapat memberhentikan presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya
menurut UUD
Presiden ialah penyelenggara pemerintah Negara yang tertinggi menurut UUD.
Masih relevan dengan jiwa Pasal 3 ayat (2), Pasal 4 ayat (1) dan ayat (2). Presiden adalah kepala
negara dan sekaligus kepala pemerintahan. Pada awal reformasi Presiden dan wakil presiden
dipilih dan diangkat oleh MPR (Pada Pemerintahan BJ. Habibie, Abdurrahman Wahid, dan
Megawati Soekarnoputri untuk masa jabatan lima tahun. Tetapi, sesuai dengan amandemen
ketiga UUD 1945 (2001) presiden dan wakil presiden akan dipilih secara langsung oleh rakyat
dalam satu paket.

Presiden tidak bertanggung jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat.

Dengan memperhatikan pasal-pasal tentang kekuasaan pemerintahan negara (Presiden) dari


Pasal 4 s.d. 16, dan Dewan Perwakilan Rakyat (Pasal 19 s.d. 22B), maka ketentuan bahwa
Presiden tidak bertanggung jawab kepada DPR masih relevan. Sistem pemerintahan negara
republik Indonesia masih tetap menerapkan sistem presidensial.

Menteri negara ialah pembantu Presiden, menteri negara tidak bertanggungjawab kepada Dewan
Perwakilan Rakyat.
Presiden dibantu oleh menteri-menteri negara. Menteri-menteri diangkat dan diberhentikan oleh
presiden yang pembentukan, pengubahan dan pembubarannya diatur dalam undang-undang
(Pasal 17).
PERBEDAAN :
– Orde lama (Demokrasi Terpimpin)
1. Masa Pasca Kemerdekaan (1945-1950)
Keadaan ekonomi keuangan pada masa awal kemerdekaan amat buruk, antara lain disebabkan
oleh :
a. Inflasi yang sangat tinggi, disebabkan karena beredarnya lebih dari satu mata uang secara tidak
terkendali. Pada waktu itu, untuk sementara waktu pemerintah RI menyatakan tiga mata uang
yang berlaku di wilayah RI, yaitu mata uang De Javasche Bank, mata uang pemerintah Hindia
Belanda, dan mata uang pendudukan Jepang. Kemudian pada tanggal 6 Maret 1946, Panglima
AFNEI (Allied Forces for Netherlands East Indies/pasukan sekutu) mengumumkan berlakunya
uang NICA di daerah-daerah yang dikuasai sekutu. Pada bulan Oktober 1946, pemerintah RI
juga mengeluarkan uang kertas baru, yaitu ORI (Oeang Republik Indonesia) sebagai pengganti
uang Jepang. Berdasarkan teori moneter, banyaknya jumlah uang yang beredar mempengaruhi
kenaikan tingkat harga.
b. Adanya blokade ekonomi oleh Belanda sejak bulan November 1945 untuk menutup pintu
perdagangan luar negeri RI.
c. Kas negara kosong.
d. Eksploitasi besar-besaran di masa penjajahan.
Usaha-usaha yang dilakukan untuk mengatasi kesulitan-kesulitan ekonomi, antara lain :
a.Program Pinjaman Nasional dilaksanakan oleh menteri keuangan Ir. Surachman dengan
persetujuan BP-KNIP, dilakukan pada bulan Juli 1946.
b.Upaya menembus blokade dengan diplomasi beras ke India, mangadakan kontak dengan
perusahaan swasta Amerika, dan menembus blokade Belanda di Sumatera dengan tujuan ke
Singapura dan Malaysia.
c.Konferensi Ekonomi Februari 1946 dengan tujuan untuk memperoleh kesepakatan yang bulat
dalam menanggulangi masalah-masalah ekonomi yang mendesak, yaitu : masalah produksi dan
distribusi makanan, masalah sandang, serta status dan administrasi perkebunan-perkebunan.
d.Pembentukan Planning Board (Badan Perancang Ekonomi) 19 Januari 1947
Rekonstruksi dan Rasionalisasi Angkatan Perang (Rera) 1948, mengalihkan tenaga bekas
angkatan perang ke bidang-bidang produktif.
e.Kasimo Plan yang intinya mengenai usaha swasembada pangan dengan beberapa petunjuk
pelaksanaan yang praktis. Dengan swasembada pangan, diharapkan perekonomian akan
membaik (mengikuti Mazhab Fisiokrat : sektor pertanian merupakan sumber kekayaan).
2. Masa Demokrasi Liberal (1950-1957)
Masa ini disebut masa liberal, karena dalam politik maupun sistem ekonominya menggunakan
prinsip-prinsip liberal. Perekonomian diserahkan pada pasar sesuai teori-teori mazhab klasik
yang menyatakan laissez faire laissez passer. Padahal pengusaha pribumi masih lemah dan
belum bisa bersaing dengan pengusaha nonpribumi, terutama pengusaha Cina. Pada akhirnya
sistem ini hanya memperburuk kondisi perekonomian Indonesia yang baru merdeka.
Usaha-usaha yang dilakukan untuk mengatasi masalah ekonomi, antara lain :
a)Gunting Syarifuddin, yaitu pemotongan nilai uang (sanering) 20 Maret 1950, untuk
mengurangi jumlah uang yang beredar agar tingkat harga turun.
b)Program Benteng (Kabinet Natsir), yaitu upaya menumbuhkan wiraswastawan pribumi dan
mendorong importir nasional agar bisa bersaing dengan perusahaan impor asing dengan
membatasi impor barang tertentu dan memberikan lisensi impornya hanya pada importir pribumi
serta memberikan kredit pada perusahaan-perusahaan pribumi agar nantinya dapat berpartisipasi
dalam perkembangan ekonomi nasional. Namun usaha ini gagal, karena sifat pengusaha pribumi
yang cenderung konsumtif dan tak bisa bersaing dengan pengusaha non-pribumi.
c)Nasionalisasi De Javasche Bank menjadi Bank Indonesia pada 15 Desember 1951 lewat UU
no.24 th 1951 dengan fungsi sebagai bank sentral dan bank sirkulasi.
d)Sistem ekonomi Ali-Baba (kabinet Ali Sastroamijoyo I) yang diprakarsai Mr Iskak
Cokrohadisuryo, yaitu penggalangan kerjasama antara pengusaha cina dan pengusaha pribumi.
Pengusaha non-pribumi diwajibkan memberikan latihan-latihan pada pengusaha pribumi, dan
pemerintah menyediakan kredit dan lisensi bagi usaha-usaha swasta nasional. Program ini tidak
berjalan dengan baik, karena pengusaha pribumi kurang berpengalaman, sehingga hanya
dijadikan alat untuk mendapatkan bantuan kredit dari pemerintah.
e)Pembatalan sepihak atas hasil-hasil Konferensi Meja Bundar, termasuk pembubaran Uni
Indonesia-Belanda. Akibatnya banyak pengusaha Belanda yang menjual perusahaannya
sedangkan pengusaha-pengusaha pribumi belum bisa mengambil alih perusahaan-perusahaan
tersebut.
3. Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1967)
Sebagai akibat dari dekrit presiden 5 Juli 1959, maka Indonesia menjalankan sistem demokrasi
terpimpin dan struktur ekonomi Indonesia menjurus pada sistem etatisme (segala-galanya diatur
oleh pemerintah). Dengan sistem ini, diharapkan akan membawa pada kemakmuran bersama dan
persamaan dalam sosial, politik,dan ekonomi (mengikuti Mazhab Sosialisme). Akan tetapi,
kebijakan-kebijakan ekonomi yang diambil pemerintah di masa ini belum mampu memperbaiki
keadaan ekonomi Indonesia, antara lain :
a)Devaluasi yang diumumkan pada 25 Agustus 1959 menurunkan nilai uang sebagai berikut
:Uang kertas pecahan Rp 500 menjadi Rp 50, uang kertas pecahan Rp 1000 menjadi Rp 100, dan
semua simpanan di bank yang melebihi 25.000 dibekukan.
b)Pembentukan Deklarasi Ekonomi (Dekon) untuk mencapai tahap ekonomi sosialis Indonesia
dengan cara terpimpin. Dalam pelaksanaannya justru mengakibatkan stagnasi bagi perekonomian
Indonesia. Bahkan pada 1961-1962 harga barang-baranga naik 400%.
c)Devaluasi yang dilakukan pada 13 Desember 1965 menjadikan uang senilai Rp 1000 menjadi
Rp 1. Sehingga uang rupiah baru mestinya dihargai 1000 kali lipat uang rupiah lama, tapi di
masyarakat uang rupiah baru hanya dihargai 10 kali lipat lebih tinggi. Maka tindakan pemerintah
untuk menekan angka inflasi ini malah meningkatkan angka inflasi.
Kegagalan-kegagalan dalam berbagai tindakan moneter itu diperparah karena pemerintah tidak
menghemat pengeluaran-pengeluarannya. Pada masa ini banyak proyek-proyek mercusuar yang
dilaksanakan pemerintah, dan juga sebagai akibat politik konfrontasi dengan Malaysia dan
negara-negara Barat. Sekali lagi, ini juga salah satu konsekuensi dari pilihan menggunakan
sistem demokrasi terpimpin yang bisa diartikan bahwa Indonesia berkiblat ke Timur (sosialis)
baik dalam politik, eonomi, maupun bidang-bidang lain.
– Orde Baru/ Orba (Demokrasi Pancasila)
Pada masa orde baru, pemerintah menjalankan kebijakan yang tidak mengalami perubahan
terlalu signifikan selama 32 tahun. Dikarenakan pada masa itu pemerintah sukses menghadirkan
suatu stablilitas politik sehingga mendukung terjadinya stabilitas ekonomi. Karena hal itulah
maka pemerintah jarang sekali melakukan perubahan-perubahan kebijakan terutama dalam hal
anggaran negara.
Pada masa pemerintahan orde baru, kebijakan ekonominya berorientasi kepada pertumbuhan
ekonomi. Kebijakan ekonomi tersebut didukung oleh kestabilan politik yang dijalankan oleh
pemerintah. Hal tersebut dituangkan ke dalam jargon kebijakan ekonomi yang disebut dengan
Trilogi Pembangungan, yaitu stabilitas politik, pertumbuhan ekonomi yang stabil, dan
pemerataan pembangunan.

Hal ini berhasil karena selama lebih dari 30 tahun, pemerintahan mengalami stabilitas politik
sehingga menunjang stabilitas ekonomi. Kebijakan-kebijakan ekonomi pada masa itu dituangkan
pada Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN), yang pada akhirnya selalu
disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk disahkan menjadi APBN.

APBN pada masa pemerintahan Orde Baru, disusun berdasarkan asumsi-asumsi perhitungan
dasar. Yaitu laju pertumbuhan ekonomi, tingkat inflasi, harga ekspor minyak mentah Indonesia,
serta nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika. Asumsi-asumsi dasar tersebut dijadikan sebagai
ukuran fundamental ekonomi nasional. Padahal sesungguhnya, fundamental ekonomi nasional
tidak didasarkan pada perhitungan hal-hal makro. Akan tetapi, lebih kearah yang bersifat mikro-
ekonomi. Misalnya, masalah-masalah dalam dunia usaha, tingkat resiko yang tinggi, hingga
penerapan dunia swasta dan BUMN yang baik dan bersih. Oleh karena itu pemerintah selalu
dihadapkan pada kritikan yang menyatakan bahwa penetapan asumsi APBN tersebut tidaklah
realistis sesuai keadaan yang terjadi.

Format APBN pada masa Orde baru dibedakan dalam penerimaan dan pengeluaran. Penerimaan
terdiri dari penerimaan rutin dan penerimaan pembangunan serta pengeluaran terdiri dari
pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan. Sirkulasi anggaran dimulai pada 1 April dan
berakhir pada 31 Maret tahun berikutnya. Kebijakan yang disebut tahun fiskal ini diterapkan
seseuai dengan masa panen petani, sehingga menimbulkan kesan bahwa kebijakan ekonomi
nasional memperhatikan petani.

APBN pada masa itu diberlakukan atas dasar kebijakan prinsip berimbang, yaitu anggaran
penerimaan yang disesuaikan dengan anggaran pengeluaran sehingga terdapat jumlah yang sama
antara penerimaan dan pengeluaran. Hal perimbangan tersebut sebetulnya sangat tidak mungkin,
karena pada masa itu pinjaman luar negeri selalu mengalir. Pinjaman-pinjaman luar negeri inilah
yang digunakan pemerintah untuk menutup anggaran yang defisit.

Ini artinya pinjaman-pinjaman luar negeri tersebut ditempatkan pada anggaran penerimaan.
Padahal seharusnya pinjaman-pinjaman tersebut adalah utang yang harus dikembalikan, dan
merupakan beban pengeluaran di masa yang akan datang. Oleh karena itu, pada dasarnya APBN
pada masa itu selalu mengalami defisit anggaran.

Penerapan kebijakan tersebut menimbulkan banyak kritik, karena anggaran defisit negara ditutup
dengan pinjaman luar negeri. Padahal, konsep yang benar adalah pengeluaran pemerintah dapat
ditutup dengan penerimaan pajak dalam negeri. Sehingga antara penerimaan dan pengeluaran
dapat berimbang. Permasalahannya, pada masa itu penerimaan pajak saat minim sehingga tidak
dapat menutup defisit anggaran.

Namun prinsip berimbang ini merupakan kunci sukses pemerintah pada masa itu untuk
mempertahankan stabilitas, khususnya di bidang ekonomi. Karena pemerintah dapat
menghindari terjadinya inflasi, yang sumber pokoknya karena terjadi anggaran yang defisit.
Sehingga pembangunanpun terus dapat berjalan.
Prinsip lain yang diterapkan pemerintah Orde Baru adalah prinsip fungsional. Prinsip ini
merupakan pengaturan atas fungsi anggaran pembangunan dimana pinjaman luar negeri hanya
digunakan untuk membiayai anggaran belanja pembangunan. Karena menurut pemerintah,
pembangunan memerlukan dana investasi yang besar dan tidak dapat seluruhnya dibiayai oleh
sumber dana dalam negeri.

Pada dasarnya kebijakan ini sangat bagus, karena pinjaman yang digunakan akan membuahkan
hasil yang nyata. Akan tetapi, dalam APBN tiap tahunnya cantuman angka pinjaman luar negeri
selalu meningkat. Hal ini bertentangan dengan keinginan pemerintah untuk selalu meningkatkan
penerimaan dalam negeri. Dalam Keterangan Pemerintah tentang RAPBN tahun 1977, Presiden
menyatakan bahwa dana-dana pembiayaan yang bersumber dari dalam negeri harus meningkat.
Padahal, ketergantungan yang besar terhadap pinjaman luar negeri akan menimbulkan akibat-
akibat. Diantaranya akan menyebabkan berkurangnya pertumbuhan ekonomi.

Hal lain yang dapat terjadi adalah pemerataan ekonomi tidak akan terwujud. Sehingga yang
terjadi hanya perbedaan penghasilan. Selain itu pinjaman luar negeri yang banyak akan
menimbulkan resiko kebocoran, korupsi, dan penyalahgunaan. Dan lebih parahnya lagi
ketergantungan tersebut akan menyebabkan negara menjadi malas untuk berusaha meningkatkan
penerimaan dalam negeri.

Prinsip ketiga yang diterapakan oleh pemerintahan Orde Baru dalam APBN adalah, dinamis
yang berarti peningkatan tabungan pemerintah untuk membiayai pembangunan. Dalam hal ini
pemerintah akan berupaya untuk mendapatkan kelebihan pendapatan yang telah dikurangi
dengan pengeluaran rutin, agar dapat dijadikan tabungan pemerintah. Oleh karena itu,
pemerintah dapat memanfaatkan tabungan tersebut untuk berinvestasi dalam pembangunan.

Kebijakan pemerintah ini dilakukan dengan dua cara, yaitu derelgulasi perbankan dan reformasi
perpajakan. Akan tetapi, kebijakan demikian membutuhkan waktu dan proses yang cukup lama.
Akibatnya, kebijakan untuk mengurangi bantuan luar negeri tidak dapat terjadi karena jumlah
pinjaman luar negeri terus meningkat. Padahal disaat yang bersamaan persentase pengeluaran
rutin untuk membayar pinjaman luar negeri terus meningkat. Hal ini jelas menggambarkan
betapa APBN pada masa pemerintahan Orde Baru sangat bergantung pada pinjaman luar negeri.
Sehingga pada akhirnya berakibat tidak dapat terpenuhinya keinginan pemerintah untuk
meningkatkan tabungannya.
– Masa Reformasi (Demokrasi Liberal)
Pada masa krisis ekonomi,ditandai dengan tumbangnya pemerintahan Orde Baru kemudian
disusul dengan era reformasi yang dimulai oleh pemerintahan Presiden Habibie. Pada masa ini
tidak hanya hal ketatanegaraan yang mengalami perubahan, namun juga kebijakan ekonomi.
Sehingga apa yang telah stabil dijalankan selama 32 tahun, terpaksa mengalami perubahan guna
menyesuaikan dengan keadaan.
Pemerintahan presiden BJ.Habibie yang mengawali masa reformasi belum melakukan manuver-
manuver yang cukup tajam dalam bidang ekonomi. Kebijakan-kebijakannya diutamakan untuk
mengendalikan stabilitas politik. Pada masa kepemimpinan presiden Abdurrahman Wahid pun,
belum ada tindakan yang cukup berarti untuk menyelamatkan negara dari keterpurukan. Padahal,
ada berbagai persoalan ekonomi yang diwariskan orde baru harus dihadapi, antara lain masalah
KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme), pemulihan ekonomi, kinerja BUMN, pengendalian
inflasi, dan mempertahankan kurs rupiah. Malah presiden terlibat skandal Bruneigate yang
menjatuhkan kredibilitasnya di mata masyarakat. Akibatnya, kedudukannya digantikan oleh
presiden Megawati.
Masa kepemimpinan Megawati Soekarnoputri mengalami masalah-masalah yang mendesak
untuk dipecahkan adalah pemulihan ekonomi dan penegakan hukum. Kebijakan-kebijakan yang
ditempuh untuk mengatasi persoalan-persoalan ekonomi antara lain :
a)Meminta penundaan pembayaran utang sebesar US$ 5,8 milyar pada pertemuan Paris Club ke-
3 dan mengalokasikan pembayaran utang luar negeri sebesar Rp 116.3 triliun.
b)Kebijakan privatisasi BUMN. Privatisasi adalah menjual perusahaan negara di dalam periode
krisis dengan tujuan melindungi perusahaan negara dari intervensi kekuatan-kekuatan politik dan
mengurangi beban negara. Hasil penjualan itu berhasil menaikkan pertumbuhan ekonomi
Indonesia menjadi 4,1 %. Namun kebijakan ini memicu banyak kontroversi, karena BUMN yang
diprivatisasi dijual ke perusahaan asing.
Di masa ini juga direalisasikan berdirinya KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), tetapi belum
ada gebrakan konkrit dalam pemberantasan korupsi. Padahal keberadaan korupsi membuat
banyak investor berpikir dua kali untuk menanamkan modal di Indonesia, dan mengganggu
jalannya pembangunan nasional.
Masa Kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono terdapat kebijakan kontroversial yaitu
mengurangi subsidi BBM, atau dengan kata lain menaikkan harga BBM. Kebijakan ini dilatar
belakangi oleh naiknya harga minyak dunia. Anggaran subsidi BBM dialihkan ke subsidi sektor
pendidikan dan kesehatan, serta bidang-bidang yang mendukung peningkatan kesejahteraan
masyarakat.
Kebijakan kontroversial pertama itu menimbulkan kebijakan kontroversial kedua, yakni Bantuan
Langsung Tunai (BLT) bagi masyarakat miskin. Kebanyakan BLT tidak sampai ke tangan yang
berhak, dan pembagiannya menimbulkan berbagai masalah sosial.Kebijakan yang ditempuh
untuk meningkatkan pendapatan perkapita adalah mengandalkan pembangunan infrastruktur
massal untuk mendorong pertumbuhan ekonomi serta mengundang investor asing dengan janji
memperbaiki iklim investasi. Salah satunya adalah diadakannya Indonesian Infrastructure
Summit pada bulan November 2006 lalu, yang mempertemukan para investor dengan kepala-
kepala daerah.
Menurut Keynes, investasi merupakan faktor utama untuk menentukan kesempatan kerja.
Mungkin ini mendasari kebijakan pemerintah yang selalu ditujukan untuk memberi kemudahan
bagi investor, terutama investor asing, yang salah satunya adalah revisi undang-undang
ketenagakerjaan. Jika semakin banyak investasi asing di Indonesia, diharapkan jumlah
kesempatan kerja juga akan bertambah.
Pada pertengahan bulan Oktober 2006 , Indonesia melunasi seluruh sisa utang pada IMF sebesar
3,2 miliar dolar AS. Dengan ini, maka diharapkan Indonesia tak lagi mengikuti agenda-agenda
IMF dalam menentukan kebijakan dalam negeri. Namun wacana untuk berhutang lagi pada luar
negri kembali mencuat, setelah keluarnya laporan bahwa kesenjangan ekonomi antara penduduk
kaya dan miskin menajam, dan jumlah penduduk miskin meningkat dari 35,10 jiwa di bulan
Februari 2005 menjadi 39,05 juta jiwa pada bulan Maret 2006. Hal ini disebabkan karena
beberapa hal, antara lain karena pengucuran kredit perbankan ke sector riil masih sangat kurang
(perbankan lebih suka menyimpan dana di SBI), sehingga kinerja sector riil kurang dan berimbas
pada turunnya investasi. Selain itu, birokrasi pemerintahan terlalu kental, sehingga menyebabkan
kecilnya realisasi belanja Negara dan daya serap, karena inefisiensi pengelolaan anggaran. Jadi,
di satu sisi pemerintah berupaya mengundang investor dari luar negri, tapi di lain pihak, kondisi
dalam negeri masih kurang kondusif.
o Masalah pemanfaatan kekayaan alam.
Pada masa orde lama : Konsep Bung Karno tentang kekayaan alam sangat jelas. Jika Bangsa
Indonesia belum mampu atau belum punya iptek untuk menambang minyak bumi dsb biarlah
SDA tetap berada di dalam perut bumi Indonesia. Kekayaan alam itu akan menjadi tabungan
anak cucu di masa depan. Biarlah anak cucu yang menikmati jika mereka sudah mampu dan
bisa. Jadi saat dipimpin Bung Karno, meski RI hidup miskin, tapi Bung Karno tidak pernah
menggadaikan (konsesi) tambang-tambang milik bangsa ke perusahaan asing. Penebangan hutan
pada masa Bung Karno juga amat minim.
Pada masa Orde Baru konsepnya bertolak belakang dengan orde lama.Apa yang bisa digadaikan;
digadaikan. Kalo bisa ngutang ya ngutang. Yang penting bisa selalu makan enak dan hidup wah.
Rakyat pun merasa hidup berkecukupan pada masa Orba. Beras murah, padahal sebagian adalah
beras impor. Beberapa gelintir orang mendapat rente ekonomi yang luar biasa dari berbagai jenis
monopoli impor komoditi bahan pokok, termasuk beras, terigu, kedelai dsb. Semua serba
tertutup dan tidak tranparan. Jika ada orang mempertanyakan, diancam tuduhan subversif. Hutan
dijadikan sumber duit, dibagi menjadi kapling-kapling HPH; dibagi-bagi ke orang-orang tertentu
(kroni) secara tidak transparan. Ingat fakta sejarah: Orde Baru tumbang akibat demo mahasiswa
yang memprotes pemerintah Orba yang bergelimang KKN. Jangan dilupakan pula bahwa
ekonomi RI ambruk parah ditandai Rupiah terjun bebas ke Rp 16.000 per dollar terjadi masih
pada masa Orde Baru.

Masa Reformasi krisis ekonomi parah sudah terjadi. Utang LN tetap harus dibayar. Budaya
korupsi yang sudah menggurita sulit dihilangkan, meski pada masa Presiden SBY pemberantasan
korupsi mulai kelihatan wujudnya.. Rakyat menikmati kebebasan (namun sepertinya terlalu
“bebas”). Media masa menjadi terbuka.

Yang memimpikan kembalinya rezim totaliter mungkin hanyalah sekelompok orang yang dulu
amat menikmati previlege dan romantisme kenikmatan duniawi di zaman Orba.Sekarang kita
mewarisi hutan yang sudah rusak parah; industri kayu yang sudah terbentuk dimana-mana akibat
dari berbagai HPH , menjadi muara dari illegal logging.

o Sistem pemerintahan
Orde lama : kebijakan pada pemerintah, berorientasi pada politik,semua proyek diserahkan
kepada pemerintah, sentralistik,demokrasi Terpimpin, sekularisme.
Orde baru : kebijakan masih pada pemerintah, namun sektor ekonomi sudah diserahkan ke
swasta/asing, fokus pada pembangunan ekonomi, sentralistik, demokrasi Pancasila, kapitalisme.
Soeharto dan Orde Baru tidak bisa dipisahkan. Sebab, Soeharto melahirkan Orde Baru dan Orde
Baru merupakan sistem kekuasaan yang menopang pemerintahan Soeharto selama lebih dari tiga
dekade. Betulkah Orde Baru telah berakhir? Kita masih menyaksikan praktik-praktik nilai Orde
Baru hari ini masih menjadi karakter dan tabiat politik di negeri ini. Kita masih menyaksikan
koruptor masih bercokol di negeri ini. Perbedaan Orde Baru dan Orde Reformasi secara kultural
dan substansi semakin kabur. Mengapa semua ini terjadi? Salah satu jawabannya, bangsa ini
tidak pernah membuat garis demarkasi yang jelas terhadap Orde Baru. Tonggak awal reformasi
11 tahun lalu yang diharapkan bisa menarik garis demarkasi kekuatan lama yang korup dan
otoriter dengan kekuatan baru yang ingin melakukan perubahan justru “terbelenggu” oleh faktor
kekuasaan.Sistem politik otoriter (partisipasi masyarakat sangat minimal) pada masa orba
terdapat instrumen-instrumen pengendali seperti pembatasan ruang gerak pers, pewadahunggalan
organisasi profesi, pembatasan partai poltik, kekuasaan militer untuk memasuki wilayah-wilayah
sipil, dll.
Orde reformasi : pemerintahan tidak punya kebijakan (menuruti alur parpol di DPR),
pemerintahan lemah, dan muncul otonomi daerah yang kebablasan, demokrasi Liberal
(neoliberaliseme), tidak jelas apa orientasinya dan mau dibawa kemana bangsa ini.
Referensi :
http://id.answers.yahoo.com/question/index?qid=20090126174820AAFGt08
http://yunaniabiyoso.blogspot.com/2008/04/perbedaan-determinasi-kebijakan.html
http://labtani.wordpress.com/2008/11/07/sejarah-perekonomian-indonesia/
http://www.mudrajad.com/upload/Reformasi%20di%20Persimpangan%20Jalan.pdf
Pohan, Aulia. 2008. Potret Kebijakan Moneter Indonesia.Jakarta:Rajawali pers.

Yustika, Ahmad Erani. 2002. Pembangunan dan Krisis, Memetakan Perekonomian Indonesia.
Jakarta : PT. Grasindo.

DENGAN Dekrit 5 Juli 1959, Soekarno membubarkan Konstituante yang bertugas merancang
UUD baru bagi Indonesia, serta memulai periode yang dalam sejarah politik kita disebut sebagai
“Demokrasi Terpimpin”. Peristiwa ini sangat penting, bukan saja karena menandai berakhirnya
eksperimen bangsa Indonesia dengan sistem demokrasi yang liberal, tetapi juga tindakan
Soekarno tersebut memberikan landasan awal bagi sistem politik yang justru kemudian dibangun
dan dikembangkan pada masa Orde Baru. Tapi bukankah Soekarno amat berbeda dari Soeharto,
pendiri Orde Baru yang menggantikannya lewat serangkaian manuver politik sejak tahun 1965
yang hingga kini masih banyak diselimuti misteri?Tentu banyak perbedaan antara Soekarno dan
Soeharto yang amat gamblang. Presiden pertama RI dikenal sebagai orator yang ulung, yang
dapat berpidato secara amat berapi-api tentang revolusi nasional, neokolonialisme dan
imperialisme. Ia juga amat percaya pada kekuatan massa, kekuatan rakyat.
Presiden kedua RI sama sekali bukan orator, jauh lebih tertutup, serta dikenal sebagai orang
yang-meskipun pemerintahannya penuh dengan kasus kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN)-
memimpin proses bergabung kembalinya Indonesia dengan sistem kapitalisme internasional,
setelah sempat hendak diputus oleh pendahulunya. Ia juga terkesan curiga dengan kekuatan
rakyat: kebijaksanaan “massa mengambang” Orde Baru didasari premis bahwa rakyat harus
dipisahkan dari politik.
Namun, di balik kesan kuat adanya keterputusan antara “Orde Lama” dan “Orde Baru”, terdapat
pula beberapa kontinuitas yang cukup penting. Pertama, dua-duanya sangat anti terhadap hal-hal
yang dapat menyebabkan disintegrasi teritorial Indonesia, dua-duanya dapat dikatakan sangat
“nasionalis” dalam hal itu. Dengan demikian, baik Soekarno maupun Soeharto amat
mementingkan retorika “persatuan” dan “kesatuan”. Bahkan, sejak 1956, Soekarno sudah
menuduh partai politik di Indonesia pada waktu itu sebagai biang keladi terpecah-belahnya
bangsa, dan sempat mengajak rakyat untuk “mengubur” partai-partai tersebut dalam sebuah
pidato yang amat terkenal.
Dengan mengubur partai politik, Soekarno menganggap bahwa bangsa Indonesia dapat kembali
kepada “rel” revolusi yang sejati dengan semangat persatuan. Soeharto bahkan dikenal lebih
antipartai politik, dengan merekayasa sebuah sistem yang pada dasarnya didominasi oleh satu
“partai negara”, yakni Golkar, dan dua partai “pajangan”. Sebenarnya, didirikannya satu “partai
negara” atau “pelopor” adalah ide yang juga lama digandrungi oleh Soekarno, walau
keinginannya tidak pernah menjadi kenyataan di masa kekuasaannya.
SEPERTI Soekarno, Soeharto juga beranggapan bahwa sistem politik yang didukungnya adalah
yang paling “cocok” dengan “kepribadian” dan “budaya” khas bangsa Indonesia yang konon
mementingkan kerja sama, gotong-royong, dan keselarasan. Dalam retorika, keduanya
mengecam “individualisme” yang katanya lahir dari liberalisme Barat. Individualisme itu
melahirkan egoisme, dan ini terutama dicerminkan oleh pertarungan antar-partai.
Pada akhirnya, tidaklah terlalu sulit untuk menemukan banyak kontinuitas antara “Demokrasi
Terpimpin”-nya Soekarno dan “Demokrasi Pancasila”-nya Soeharto, dengan perbedaan bahwa
Soekarno mementingkan politik mobilisasi massa, sedangkan Soeharto justru sebaliknya.
Perbedaan kedua adalah simpati Soekarno pada gerakan-gerakan anti-imperialisme, dan mungkin
sebagai salah satu konsekuensi, penerimaannya pada Partai Komunis Indonesia (PKI) sebagai
aktor politik yang sah. Soeharto sendiri menjalankan pembangunan bercorak kapitalis, termasuk
dengan merangkul kekuatan-kekuatan kapitalisme terdepan di dunia, dan justru telah menutup
arena politik untuk kekuatan komunisme. Tapi dua-duanya, dengan caranya masing-masing,
mencanangkan sistem politik yang berwatak anti-liberal dan curiga pada pluralisme politik. Dua-
duanya mementingkan “persatuan”-yang satu demi “revolusi” dan yang lainnya demi
“pembangunan”.
Boleh dikatakan bahwa Orde Lama serta Demokrasi Terpimpin telah pave the way, membuka
jalan, bagi Orde Baru dan “Demokrasi Pancasila” versi Soeharto. Tidak mengherankan bahwa
Soekarno telah mengawali Demokrasi Terpimpinnya dengan kembali pada Undang-Undang
Dasar 1945, sedangkan Soeharto, di masa kekuasaannya, selalu bersikeras tentang sifat “sakral”
konstitusi, yang tidak boleh diamandemen.
Sikap menomorsatukan UUD 1945 bukanlah hanya mencerminkan masalah ideologis atau
filosofis yang abstrak, tetapi masalah kekuasaan yang konkret. Baik Soekarno maupun Soeharto
amat mengerti bahwa UUD ‘45 memusatkan kekuasaan pada lembaga kepresidenan, suatu hal
yang hari ini justru menjadi masalah dengan adanya tarik-menarik antara Presiden dan DPR. Hal
yang menarik adalah justru pada tahun 1945 Soekarno pernah berucap bahwa konstitusi itu
hanya bersifat sementara. Sebab, UUD ‘45 diciptakan dalam keadaan darurat, jadi sama sekali
bukan sesuatu yang “suci”, sebagaimana diklaim oleh Soeharto, dan beberapa aktor politik lebih
kontemporer.
Dalam pengamatan yang lebih seksama, ternyata ada banyak sekali “utang” Orde Baru pada
Orde Lama. Untuk menjelaskan hal ini, mungkin ada baiknya kita kembali dulu kepada latar
belakang pembubaran Konstituante oleh Soekarno serta kembalinya Indonesia kepada UUD
1945.
Dalam versi sejarah yang dibaca di sekolah, tahun 1950-an di Indonesia ditandai oleh
ketidakstabilan politik yang disebabkan oleh sistem demokrasi parlementer yang berlaku pada
waktu itu. Sistem ini bersifat sangat liberal, dan didominasi oleh partai-partai politik yang
menguasai parlemen. Toh Pemilu 1955-yang dimenangkan empat kekuatan besar, Masyumi,
Partai Nasional Indonesia (PNI), Nahdlatul Ulama (NU) serta PKI-kini masih dianggap sebagai
pemilu paling bebas dan bersih yang pernah dilaksanakan sepanjang sejarah Indonesia. Namun,
sisi lain dari sistem parlemen yang dikuasai partai ini adalah sering jatuh bangunnya kabinet
yang dipimpin oleh perdana menteri. Selain itu, sejarah yang kita baca di sekolah akan
menekankan pula bahwa integritas nasional terus-menerus diancam oleh berbagai gerakan
separatis, yakni DI/TI, PRRI/Permesta, dan sebagainya.
Bahwa kabinet sering jatuh bangun pada waktu itu adalah kenyataan yang tidak bisa dipungkiri.
Bahwa beberapa gerakan separatis muncul sepanjang tahun 1950-an juga adalah kenyataan,
bahkan Soekarno makin curiga pada partai politik karena dia menganggap Masyumi, dan juga
PSI, terlibat dalam beberapa pemberontakan daerah. Lebih jauh lagi, Soekarno mendekritkan
kembalinya Indonesia pada UUD 1945 karena kegagalan Konstituante untuk memutuskan UUD
baru untuk Indonesia, akibat perdebatan berlarut-larut, terutama antara kekuatan nasionalis
sekuler dan kekuatan Islam mengenai dasar negara.
Seperti diketahui, salah satu aspek yang penting dari Demokrasi Terpimpin adalah berpusatnya
kekuasaan di tangan eksekutif (presiden) dan berkurangnya kekuasaan lembaga legislatif, atau
DPR. Hal ini telah difasilitasi dengan kembalinya Indonesia kepada UUD ‘45. Bahkan, bentuk
parlemen pun diubah dengan dicanangkannya suatu lembaga yang pada dasarnya memberikan
tempat yang lebih besar untuk golongan-golongan “fungsional” dalam masyarakat, yang
kemudian dikenal sebagai golongan “karya”. Pada saat yang sama, tempat partai di dalam
parlemen juga dibatasi-sebab menurut Soekarno-politisi partai hanya mewakili kepentingan
partainya, dan yang diperlukan adalah individu-individu yang dapat mewakili kepentingan
“rakyat” atau yang depat menyuarakan “kepentingan nasional” yang sebenarnya.
Di masa Orde Baru, dengan sistem kekuasaan yang jauh lebih terpusat dibandingkan pada masa
Soekarno, hal ini kemudian menjadi masalah yang amat besar. Negara-dalam hal ini hampir
tidak bisa dibedakan dari Soeharto, keluarga, sekutu serta kroninya- mengambil-alih seluruh hak
untuk mendefinisikan “kepentingan nasional” tersebut. Akibatnya, kepentingan nasional menjadi
identik dengan kepentingan segelintir penguasa politik dan ekonomi, dan segala unsur dalam
masyarakat yang menentangnya dinyatakan sebagai pengkhianat. Bahkan “oposisi” menjadi kata
yang kotor. Mungkin terjadinya hal seperti itu akan sukar dibayangkan oleh Soekarno sendiri,
meskipun ia senang memandang dirinya sebagai “penyambung lidah rakyat” berada “di atas”
konflik-konflik kepentingan yang sempit.
ADALAH penting juga untuk dicatat bahwa salah satu kekuatan pendukung utama upaya
Soekarno untuk memberlakukan Demokrasi Terpimpin adalah Angkatan Darat. Mengapa
Angkatan Darat mendukung upaya Soekarno? Jawabannya sebenarnya cukup sederhana. Ada
persamaan nasib antara Soekarno dan tentara di dalam sistem demokrasi liberal yang
mementingkan peranan partai dan parlemen, yakni keduanya tidak mempunyai akses yang
langsung terhadap jalannya roda pemerintahan.
Dengan kata lain, di luar jatuh bangunnya kabinet dalam sistem liberal tahun 1950-an serta
pemberontakan-pemberontakan di daerah, baik Soekarno dan Angkatan Darat mempunyai
kepentingan nyata untuk membangun suatu sistem politik baru yang memberikan mereka
kekuasaan yang lebih langsung. Bisa dikatakan Soekarno tidak puas sebagai presiden yang hanya
bersifat figure-head, sedangkan Angkatan Darat telah berkembang menjadi kekuatan yang juga
tidak puas dalam peranan hanya sebagai penjaga pertahanan dan keamanan belaka. Pembahasan
terhadap kepentingan-kepentingan konkret seperti ini tidak lazim ditemukan dalam pelajaran
sejarah di sekolah pada tahun 1950-an.
Perlu diingat pula bahwa, untuk sebagian, penaklukan terhadap pemberontakan daerah telah
menghasilkan suatu pimpinan Angkatan Darat yang jauh lebih bersatu dibandingkan
sebelumnya. Jenderal Abdul Haris Nasution telah tampil sebagai pimpinan yang mampu untuk
meredam tantangan yang diajukan oleh komandan-komandan lokal yang memberontak karena
tidak senang dengan dominasi Jakarta/Jawa. Di samping itu, kondisi darurat yang dicanangkan
untuk menghadapi pemberontakan daerah telah menempatkan banyak perwira militer sebagai
administrator roda pemerintahan. Lebih jauh lagi, nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing di
tahun 1957-yang sebenarnya dipelopori oleh serikat buruh-telah menempatkan banyak perwira
militer di pucuk pimpinan perusahaan-perusahaan negara yang terbesar. Di antaranya adalah
Ibnu Sutowo yang kemudian mengembangkan Pertamina.
Dengan posisi politik dan ekonomi yang kuat seperti ini, tampaknya militer tergiur untuk
mempunyai peranan yang langsung di dalam sistem politik. “Demokrasi Terpimpin”-nya
Soekarno memberikan peluang. Di antara golongan “fungsional” atau “karya” yang boleh duduk
dalam parlemen adalah tentara.
Dalam konteks ini, kita perlu mengingat pula bahwa Jenderal Nasution telah mengajukan apa
yang disebut sebagai “jalan tengah” untuk militer Indonesia. Dalam konsepsi ini, militer
Indonesia tidak akan bersifat intervensionis-dan terlibat dalam kudeta demi kudeta-sebagaimana
di Amerika Latin, namun juga tidak akan tinggal diam sebagai penonton arena politik,
sebagaimana di negeri-negeri Barat. Walaupun sering dikatakan bahwa maksud awal Nasution
telah dipelesetkan oleh Soeharto, dalam ide ini kita melihat cikal-bakal dari “dwifungsi” ABRI
yang dipraktikkan Orde Baru.
Jadi, bila Soekarno telah memberikan dasar dari konsepsi sistem politik yang akan
dikembangkan dalam versi yang lebih birokratis, otoriter dan ekslusioner pada masa Orde Baru,
Nasution telah memberikan landasan awal bagi peranan militer di dalamnya. Nasution pulalah
yang pertama mengusulkan bahwa hak pilih tentara dan polisi dicabut dan diganti oleh hak
otomatis memperoleh perwakilan di badan legislatif. Oleh karena itu, Orde Baru dapat dipandang
sampai tingkat tertentu sebagai hasil yang tidak disengaja (unintended consequence) dari
manuver-manuver politik Soekarno dan Nasution di tahun 1950-an. Bisa dikatakan bahwa
Soeharto tidak mungkin “ada” secara politik tanpa manuver kedua pendahulunya itu, masing-
masing sebagai pimpinan negara dan tentara.
Tentunya, Soekarno dan Nasution pada waktu itu berada dalam situasi yang ditandai oleh
keharusan untuk bernegosiasi dan bekerja sama, tetapi juga tidak jarang oleh konflik.
Khususnya, militer amat tidak senang dengan upaya Soekarno untuk mengikutsertakan PKI
dalam pemerintahan, sedangkan Soekarno semakin mengandalkan PKI sebagai satu-satunya
kekuatan politik di awal tahun 1960-an yang dapat mengimbangi Angkatan Darat.
Dalam pikiran Soekarno, PKI adalah bagian tak terpisahkan dari “front” nasional menentang
imperialisme dan untuk memajukan revolusi nasional. Ternyata-walaupun cukup “sukses” dalam
pemilu nasional dan lokal sebelumnya-PKI mampu beradaptasi dengan lingkungan politik baru
setelah berakhirnya masa demokrasi parlementer, seperti juga PNI dan NU (dua elemen lain dari
Nasakom-nya Soekarno).
Konflik militer-PKI sendiri setidaknya sudah berawal pada peristiwa Madiun, dan diperburuk
sejak tentara semakin aktif mengembangkan ormas untuk melawan dominasi PKI terutama di
bidang organisasi buruh dan tani. Apalagi tentara sejak 1957 berhadapan langung dengan
SOBSI-serikat buruh yang dekat dengan PKI-di perusahaan nasional yang dikelola militer.
Sebagaimana diketahui, konflik militer dan PKI itu akhirnya berkulminasi dengan peristiwa 1965
yang hingga kini masih misterius, dan naiknya Jenderal Soeharto ke pucuk pimpinan negara.
Adalah dalam konteks konflik militer dengan PKI ini jugalah lahir “bayi” yang kemudian
menjadi entitas politik bernama Golkar. Setelah Soekarno memperjuangkan konsep perwakilan
politik berdasarkan “fungsi” dalam masyarakat, ideolog militer macam Jenderal Soehardiman
juga mengembangkan konsep “karyawan” di bidang perburuhan dengan mendirikan SOKSI
(terutama berbasis pada perusahaan negara yang dikuasai militer). Akhirnya, Sekretariat
Bersama Golkar (Sekber Golkar) didirikan oleh tentara untuk menghimpun kekuatan-kekuatan
keormasan dan politik yang berseberangan dengan kekuatan komunis.
Pada dasarnya, militerlah yang kemudian menjadi ahli waris langsung dari konsep golongan
karya yang awalnya diperjuangkan oleh Soekarno, walau dalam versi tentara, konsep ini
bermutasi menjadi lebih anti-partai, dan bercorak anti-komunis. Dalam perjalanan sejarah,
Golkar dikembangkan di masa Soeharto sebagai salah satu pilar utama Orde Baru, yakni sebagai
wadah untuk melegitimasikan kekuasaan lewat sejumlah pemilu yang jauh dari prinsip bebas dan
bersih.
ADALAH menarik bahwa pada masa awal Orde Baru, terjadi pula perdebatan di antara para
pendukungnya sendiri (ketika itu, termasuk para intelektual dan mahasiswa) tentang peranan
partai politik yang wajar di Indonesia. Intelektual macam Mochtar Lubis pun menulis di koran
Indonesia Raya tentang perlunya lapangan politik dibersihkan dari partai politik yang identik
dengan Orde Lama, yang katanya menghambat pembangunan. Tentu dia tidak sendiri, karena
pandangan ini dikumandangkan juga oleh banyak intelektual lain-termasuk yang kemudian
menjadi lawan Soeharto yang gigih dan tokoh gerakan demokrasi-serta sejumlah jenderal.
Perdebatan di antara para pendiri atau pendukung Orde Baru berkisar sejauh dan secepat
manakah partai politik perlu di-’kubur’. Dalam hal-hal macam ini pulalah kita bisa melihat satu
lagi “utang” Orde Baru-nya Soeharto pada “Orde Lama”-nya Soekarno. Seperti diketahui,
setelah proses perdebatan dan intrik yang panjang, akhirnya semua partai “sisa” Orde Lama
memang difusikan menjadi Partai Persatuan Pembangunan dan Partai Demokrasi Indonesia di
tahun 1973, disertai oleh Golkar, partainya golongan karya.
Salah satu tokoh yang paling penting dalam proses perekayasaan sistem politik Orde Baru adalah
Jenderal Ali Moertopo. Peranannya menonjol baik sebagai ideolog maupun sebagai operator
politik utama Soeharto di awal Orde Baru (dengan Aspri dan Opsus-nya). Jenderal Moertopo
menerbitkan beberapa karya yang amat gamblang menggambarkan dasar-dasar pemikiran,
blueprint, politik Orde Baru. Moertopo bukan seorang Soekarnois, tapi saya kira ada beberapa
aspek dari pemikirannya-yang meskipun mungkin “dipinjam” dari tempat lain- “bertemu” secara
tidak langsung dengan ide-ide yang sempat diperjuangkan oleh Soekarno di tahun 1950-an.
Salah satu “pertemuan” itu adalah dalam penempatan “negara” sebagai suatu entitas yang
diidealisasikan berada di atas konflik dan perbedaan dalam masyarakat. Dalam pidato
kenegaraan di tahun 1956, Soekarno menyatakan bahwa negara atau bangsa adalah suatu
organisme yang tidak bisa dipilah-pilah, sedangkan strategi politik Moertopo dicurahkan
terutama untuk menjamin bahwa tidak ada kekuatan dalam masyarakat yang mampu untuk
menentang kemauan negara sebagai pengejewantahan dari kepentingan bersama.
Menurut David Bourchier (seorang pengamat politik Indonesia berasal dari Australia), pemikiran
Moertopo banyak dipengaruhi oleh pemikiran Gereja Katolik Eropa awal abad ke-20, yang juga
mengajukan konsep adanya pertalian yang erat, hubungan organik, antara negara dan
masyarakat. Pemikiran ini aslinya dikembangkan di Eropa sebagai respons terhadap bahaya
“fragmentasi” masyarakat yang disebabkan oleh kemunculan politik perjuangan kelas yang
dimotori oleh kaum sosialis. Menurut Bourchier, Moertopo mungkin memperoleh gagasan ini
dari intelektual Center for Strategic and International Studies (CSIS) yang sempat menjadi dapur
pemikirannya. Seperti dikemukakan sebelumnya, Soekarno pun mengkhawatirkan proses
fragmentasi di Indonesia, walaupun lebih menurut aliran politik atau sentimen kedaerahan. Di
masa Orde Baru, ketakutan akan fragmentasi-atas dasar kelas, agama, atau hal lain-digabungkan
dengan praktik-praktik politik represif yang membungkam bukan hanya partai, tetapi semua
suara oposisi dengan dalih ancaman terhadap persatuan nasional dan sebagainya. Bahkan, protes
daerah-daerah tertentu mengenai berbagai kebijakan pemerintah pusat dijawab dengan
pengiriman tentara demi menjamin lestarinya persatuan nasional.
Sekali lagi, tentu ada perbedaan-perbedaan yang penting antara “visi” Orde Baru dan visi
“Demokrasi Terpimpinnya Soekarno”. Setidak-tidaknya retorika Orde Baru di masa awal
dibumbui dengan jargon-jargon teori modernisasi yang dipinjam dari kepustakaan ilmu sosial
Barat, seperti karya Samuel Huntington yang tersohor, Political Order in Changing Societies.
Ironisnya, hal ini terjadi meskipun sistem politik yang hendak dibangun di Indonesia adalah yang
diklaim bercorak kepribadian nasional yang khas. Sebaliknya, retorika Soekarno seperti biasa
dibumbui oleh jargon-jargon revolusioner yang cenderung romantis dan yang menekankan
bersatunya pemimpin dengan rakyat
TULISAN ini telah memusatkan perhatian pada beberapa kontinuitas-mungkin terasa agak
ironis-antara Orla dan Orba, meskipun ada banyak perbedaan di tingkat permukaan. Hal ini
dilakukan untuk menunjukkan betapa relevannya pemikiran dan tindakan Soekarno pada masa
yang jauh melampaui kurun waktu kehidupannya sendiri-walaupun dalam bentuk unintended
consequence-yakni berdiri, berkembang, dan bercokolnya Orde Baru.Pada dasarnya, kontinuitas
adalah tema yang masih amat relevan dibicarakan di Indonesia, bahkan dewasa ini karena masih
eratnya kaitan antara aktor-aktor politik di masa reformasi ini dengan berbagai kepentingan yang
menonjol di masa Orde Baru. Bedanya, kepentingan-kepentingan ini bukan lagi dilindungi oleh
negara yang otoriter tetapi justru oleh partai-partai yang tumbuh relatif bebas dalam alam
demokratisasi.
Seperti di tahun 1950-an dan 1960-an, perilaku partai politik yang dianggap mementingkan diri
sendiri juga telah menyebabkan banyak orang menjadi sinis terhadapnya. Apakah sejarah akan
berulang dan partai politik kembali dicap sebagai biang keladi fragmentasi bangsa, sebagaimana
pernah dituduhkan Soekarno?
Mudah-mudahan saja solusi politik yang akhirnya ditemukan oleh bangsa Indonesia akan sangat
berbeda dari solusi yang pernah muncul sebelumnya. Mudah-mudahan sejarah tidak berulang
dengan naiknya tentara sebagai panglima politik, dan bercokolnya rezim yang otoriter untuk
waktu yang lama.

PERSAMAAN
Sama-sama masih terdapat ketimpangan ekonomi, kemiskinan, dan ketidakadilan Setelah
Indonesia Merdeka, ketimpangan ekonomi tidak separah ketika zaman penjajahan namun tetap
saja ada terjadi ketimpangan ekonomi, kemiskinan, dan ketidakadilan. Dalam 26 tahun masa
orde baru (1971-1997) rasio pendapatan penduduk daerah terkaya dan penduduk daerah
termiskin meningkat dari 5,1 (1971) menjadi 6,8 (1983) dan naik lagi menjadi 9,8 (1997). Ketika
reformasi ketimpangan distribusi pendapatan semakin tinggi dari 0,29 (2002) menjadi 0,35
(2006).
Sehingga dapat dikatakan bahwa kaum kaya memperoleh manfaat terbesar dari pertumbuhan
ekonomi yang dikatakan cukup tinggi, namun pada kenyataanya tidak merata terhadap
masyarakat.

o Adanya KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme)


Orde Lama: Walaupun kecil, korupsi sudah ada.
Orde Baru: Hampir semua jajaran pemerintah koruptor (KKN).
Reformasi: Walaupun sudah dibongkar dan dipublikasi di mana-mana dari media massa,media
elektronik,dll tetap saja membantah melakukan korupsi.
Hal ini menimbulkan krisis kepercayaan masyarakat yang sulit untuk disembuhkan akibat
praktik-pratik pemerintahan yang manipulatif dan tidak terkontrol.

PERBEDAAN :
- Orde lama (Demokrasi Terpimpin)
1. Masa Pasca Kemerdekaan (1945-1950)
Keadaan ekonomi keuangan pada masa awal kemerdekaan amat buruk, antara lain disebabkan
oleh :

a. Inflasi yang sangat tinggi, disebabkan karena beredarnya lebih dari satu mata uang secara tidak
terkendali. Pada waktu itu, untuk sementara waktu pemerintah RI menyatakan tiga mata uang
yang berlaku di wilayah RI, yaitu mata uang De Javasche Bank, mata uang pemerintah Hindia
Belanda, dan mata uang pendudukan Jepang. Kemudian pada tanggal 6 Maret 1946, Panglima
AFNEI (Allied Forces for Netherlands East Indies/pasukan sekutu) mengumumkan berlakunya
uang NICA di daerah-daerah yang dikuasai sekutu. Pada bulan Oktober 1946, pemerintah RI
juga mengeluarkan uang kertas baru, yaitu ORI (Oeang Republik Indonesia) sebagai pengganti
uang Jepang. Berdasarkan teori moneter, banyaknya jumlah uang yang beredar mempengaruhi
kenaikan tingkat harga.
b. Adanya blokade ekonomi oleh Belanda sejak bulan November 1945 untuk menutup pintu
perdagangan luar negeri RI.
c. Kas negara kosong.
d. Eksploitasi besar-besaran di masa penjajahan.
Usaha-usaha yang dilakukan untuk mengatasi kesulitan-kesulitan ekonomi, antara lain :
a.Program Pinjaman Nasional dilaksanakan oleh menteri keuangan Ir. Surachman dengan
persetujuan BP-KNIP, dilakukan pada bulan Juli 1946.
b.Upaya menembus blokade dengan diplomasi beras ke India, mangadakan kontak dengan
perusahaan swasta Amerika, dan menembus blokade Belanda di Sumatera dengan tujuan ke
Singapura dan Malaysia.
c.Konferensi Ekonomi Februari 1946 dengan tujuan untuk memperoleh kesepakatan yang bulat
dalam menanggulangi masalah-masalah ekonomi yang mendesak, yaitu : masalah produksi dan
distribusi makanan, masalah sandang, serta status dan administrasi perkebunan-perkebunan.
d.Pembentukan Planning Board (Badan Perancang Ekonomi) 19 Januari 1947
Rekonstruksi dan Rasionalisasi Angkatan Perang (Rera) 1948, mengalihkan tenaga bekas
angkatan perang ke bidang-bidang produktif.
e.Kasimo Plan yang intinya mengenai usaha swasembada pangan dengan beberapa petunjuk
pelaksanaan yang praktis. Dengan swasembada pangan, diharapkan perekonomian akan
membaik (mengikuti Mazhab Fisiokrat : sektor pertanian merupakan sumber kekayaan).

- Orde Baru/ Orba (Demokrasi Pancasila)


Pada masa orde baru, pemerintah menjalankan kebijakan yang tidak mengalami perubahan
terlalu signifikan selama 32 tahun. Dikarenakan pada masa itu pemerintah sukses menghadirkan
suatu stablilitas politik sehingga mendukung terjadinya stabilitas ekonomi. Karena hal itulah
maka pemerintah jarang sekali melakukan perubahan-perubahan kebijakan terutama dalam hal
anggaran negara.
Pada masa pemerintahan orde baru, kebijakan ekonominya berorientasi kepada pertumbuhan
ekonomi. Kebijakan ekonomi tersebut didukung oleh kestabilan politik yang dijalankan oleh
pemerintah. Hal tersebut dituangkan ke dalam jargon kebijakan ekonomi yang disebut dengan
Trilogi Pembangungan, yaitu stabilitas politik, pertumbuhan ekonomi yang stabil, dan
pemerataan pembangunan.
Hal ini berhasil karena selama lebih dari 30 tahun, pemerintahan mengalami stabilitas politik
sehingga menunjang stabilitas ekonomi. Kebijakan-kebijakan ekonomi pada masa itu dituangkan
pada Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN), yang pada akhirnya selalu
disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk disahkan menjadi APBN.
APBN pada masa pemerintahan Orde Baru, disusun berdasarkan asumsi-asumsi perhitungan
dasar. Yaitu laju pertumbuhan ekonomi, tingkat inflasi, harga ekspor minyak mentah Indonesia,
serta nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika. Asumsi-asumsi dasar tersebut dijadikan sebagai
ukuran fundamental ekonomi nasional. Padahal sesungguhnya, fundamental ekonomi nasional
tidak didasarkan pada perhitungan hal-hal makro. Akan tetapi, lebih kearah yang bersifat mikro-
ekonomi. Misalnya, masalah-masalah dalam dunia usaha, tingkat resiko yang tinggi, hingga
penerapan dunia swasta dan BUMN yang baik dan bersih. Oleh karena itu pemerintah selalu
dihadapkan pada kritikan yang menyatakan bahwa penetapan asumsi APBN tersebut tidaklah
realistis sesuai keadaan yang terjadi.
Format APBN pada masa Orde baru dibedakan dalam penerimaan dan pengeluaran. Penerimaan
terdiri dari penerimaan rutin dan penerimaan pembangunan serta pengeluaran terdiri dari
pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan. Sirkulasi anggaran dimulai pada 1 April dan
berakhir pada 31 Maret tahun berikutnya. Kebijakan yang disebut tahun fiskal ini diterapkan
seseuai dengan masa panen petani, sehingga menimbulkan kesan bahwa kebijakan ekonomi
nasional memperhatikan petani.
APBN pada masa itu diberlakukan atas dasar kebijakan prinsip berimbang, yaitu anggaran
penerimaan yang disesuaikan dengan anggaran pengeluaran sehingga terdapat jumlah yang sama
antara penerimaan dan pengeluaran. Hal perimbangan tersebut sebetulnya sangat tidak mungkin,
karena pada masa itu pinjaman luar negeri selalu mengalir. Pinjaman-pinjaman luar negeri inilah
yang digunakan pemerintah untuk menutup anggaran yang defisit.
Ini artinya pinjaman-pinjaman luar negeri tersebut ditempatkan pada anggaran penerimaan.
Padahal seharusnya pinjaman-pinjaman tersebut adalah utang yang harus dikembalikan, dan
merupakan beban pengeluaran di masa yang akan datang. Oleh karena itu, pada dasarnya APBN
pada masa itu selalu mengalami defisit anggaran.
Penerapan kebijakan tersebut menimbulkan banyak kritik, karena anggaran defisit negara ditutup
dengan pinjaman luar negeri. Padahal, konsep yang benar adalah pengeluaran pemerintah dapat
ditutup dengan penerimaan pajak dalam negeri. Sehingga antara penerimaan dan pengeluaran
dapat berimbang. Permasalahannya, pada masa itu penerimaan pajak saat minim sehingga tidak
dapat menutup defisit anggaran.
Namun prinsip berimbang ini merupakan kunci sukses pemerintah pada masa itu untuk
mempertahankan stabilitas, khususnya di bidang ekonomi. Karena pemerintah dapat
menghindari terjadinya inflasi, yang sumber pokoknya karena terjadi anggaran yang defisit.
Sehingga pembangunanpun terus dapat berjalan.
Prinsip lain yang diterapkan pemerintah Orde Baru adalah prinsip fungsional. Prinsip ini
merupakan pengaturan atas fungsi anggaran pembangunan dimana pinjaman luar negeri hanya
digunakan untuk membiayai anggaran belanja pembangunan. Karena menurut pemerintah,
pembangunan memerlukan dana investasi yang besar dan tidak dapat seluruhnya dibiayai oleh
sumber dana dalam negeri.
Pada dasarnya kebijakan ini sangat bagus, karena pinjaman yang digunakan akan membuahkan
hasil yang nyata. Akan tetapi, dalam APBN tiap tahunnya cantuman angka pinjaman luar negeri
selalu meningkat. Hal ini bertentangan dengan keinginan pemerintah untuk selalu meningkatkan
penerimaan dalam negeri. Dalam Keterangan Pemerintah tentang RAPBN tahun 1977, Presiden
menyatakan bahwa dana-dana pembiayaan yang bersumber dari dalam negeri harus meningkat.
Padahal, ketergantungan yang besar terhadap pinjaman luar negeri akan menimbulkan akibat-
akibat. Diantaranya akan menyebabkan berkurangnya pertumbuhan ekonomi.
Hal lain yang dapat terjadi adalah pemerataan ekonomi tidak akan terwujud. Sehingga yang
terjadi hanya perbedaan penghasilan. Selain itu pinjaman luar negeri yang banyak akan
menimbulkan resiko kebocoran, korupsi, dan penyalahgunaan. Dan lebih parahnya lagi
ketergantungan tersebut akan menyebabkan negara menjadi malas untuk berusaha meningkatkan
penerimaan dalam negeri.
Prinsip ketiga yang diterapakan oleh pemerintahan Orde Baru dalam APBN adalah, dinamis
yang berarti peningkatan tabungan pemerintah untuk membiayai pembangunan. Dalam hal ini
pemerintah akan berupaya untuk mendapatkan kelebihan pendapatan yang telah dikurangi
dengan pengeluaran rutin, agar dapat dijadikan tabungan pemerintah. Oleh karena itu,
pemerintah dapat memanfaatkan tabungan tersebut untuk berinvestasi dalam pembangunan.
Kebijakan pemerintah ini dilakukan dengan dua cara, yaitu derelgulasi perbankan dan reformasi
perpajakan. Akan tetapi, kebijakan demikian membutuhkan waktu dan proses yang cukup lama.
Akibatnya, kebijakan untuk mengurangi bantuan luar negeri tidak dapat terjadi karena jumlah
pinjaman luar negeri terus meningkat. Padahal disaat yang bersamaan persentase pengeluaran
rutin untuk membayar pinjaman luar negeri terus meningkat. Hal ini jelas menggambarkan
betapa APBN pada masa pemerintahan Orde Baru sangat bergantung pada pinjaman luar negeri.
Sehingga pada akhirnya berakibat tidak dapat terpenuhinya keinginan pemerintah untuk
meningkatkan tabungannya.
- Masa Reformasi (Demokrasi Liberal)
Pada masa krisis ekonomi,ditandai dengan tumbangnya pemerintahan Orde Baru kemudian
disusul dengan era reformasi yang dimulai oleh pemerintahan Presiden Habibie. Pada masa ini
tidak hanya hal ketatanegaraan yang mengalami perubahan, namun juga kebijakan ekonomi.
Sehingga apa yang telah stabil dijalankan selama 32 tahun, terpaksa mengalami perubahan guna
menyesuaikan dengan keadaan.
Pemerintahan presiden BJ.Habibie yang mengawali masa reformasi belum melakukan manuver-
manuver yang cukup tajam dalam bidang ekonomi. Kebijakan-kebijakannya diutamakan untuk
mengendalikan stabilitas politik. Pada masa kepemimpinan presiden Abdurrahman Wahid pun,
belum ada tindakan yang cukup berarti untuk menyelamatkan negara dari keterpurukan. Padahal,
ada berbagai persoalan ekonomi yang diwariskan orde baru harus dihadapi, antara lain masalah
KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme), pemulihan ekonomi, kinerja BUMN, pengendalian
inflasi, dan mempertahankan kurs rupiah. Malah presiden terlibat skandal Bruneigate yang
menjatuhkan kredibilitasnya di mata masyarakat. Akibatnya, kedudukannya digantikan oleh
presiden Megawati.
Masa kepemimpinan Megawati Soekarnoputri mengalami masalah-masalah yang mendesak
untuk dipecahkan adalah pemulihan ekonomi dan penegakan hukum. Kebijakan-kebijakan yang
ditempuh untuk mengatasi persoalan-persoalan ekonomi antara lain :
a)Meminta penundaan pembayaran utang sebesar US$ 5,8 milyar pada pertemuan Paris Club ke-
3 dan mengalokasikan pembayaran utang luar negeri sebesar Rp 116.3 triliun.
b)Kebijakan privatisasi BUMN. Privatisasi adalah menjual perusahaan negara di dalam periode
krisis dengan tujuan melindungi perusahaan negara dari intervensi kekuatan-kekuatan politik dan
mengurangi beban negara. Hasil penjualan itu berhasil menaikkan pertumbuhan ekonomi
Indonesia menjadi 4,1 %. Namun kebijakan ini memicu banyak kontroversi, karena BUMN yang
diprivatisasi dijual ke perusahaan asing.
Di masa ini juga direalisasikan berdirinya KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), tetapi belum
ada gebrakan konkrit dalam pemberantasan korupsi. Padahal keberadaan korupsi membuat
banyak investor berpikir dua kali untuk menanamkan modal di Indonesia, dan mengganggu
jalannya pembangunan nasional.
Masa Kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono terdapat kebijakan kontroversial yaitu
mengurangi subsidi BBM, atau dengan kata lain menaikkan harga BBM. Kebijakan ini dilatar
belakangi oleh naiknya harga minyak dunia. Anggaran subsidi BBM dialihkan ke subsidi sektor
pendidikan dan kesehatan, serta bidang-bidang yang mendukung peningkatan kesejahteraan
masyarakat.
Kebijakan kontroversial pertama itu menimbulkan kebijakan kontroversial kedua, yakni Bantuan
Langsung Tunai (BLT) bagi masyarakat miskin. Kebanyakan BLT tidak sampai ke tangan yang
berhak, dan pembagiannya menimbulkan berbagai masalah sosial.Kebijakan yang ditempuh
untuk meningkatkan pendapatan perkapita adalah mengandalkan pembangunan infrastruktur
massal untuk mendorong pertumbuhan ekonomi serta mengundang investor asing dengan janji
memperbaiki iklim investasi. Salah satunya adalah diadakannya Indonesian Infrastructure
Summit pada bulan November 2006 lalu, yang mempertemukan para investor dengan kepala-
kepala daerah.
Menurut Keynes, investasi merupakan faktor utama untuk menentukan kesempatan kerja.
Mungkin ini mendasari kebijakan pemerintah yang selalu ditujukan untuk memberi kemudahan
bagi investor, terutama investor asing, yang salah satunya adalah revisi undang-undang
ketenagakerjaan. Jika semakin banyak investasi asing di Indonesia, diharapkan jumlah
kesempatan kerja juga akan bertambah.
Pada pertengahan bulan Oktober 2006 , Indonesia melunasi seluruh sisa utang pada IMF sebesar
3,2 miliar dolar AS. Dengan ini, maka diharapkan Indonesia tak lagi mengikuti agenda-agenda
IMF dalam menentukan kebijakan dalam negeri. Namun wacana untuk berhutang lagi pada luar
negri kembali mencuat, setelah keluarnya laporan bahwa kesenjangan ekonomi antara penduduk
kaya dan miskin menajam, dan jumlah penduduk miskin meningkat dari 35,10 jiwa di bulan
Februari 2005 menjadi 39,05 juta jiwa pada bulan Maret 2006. Hal ini disebabkan karena
beberapa hal, antara lain karena pengucuran kredit perbankan ke sector riil masih sangat kurang
(perbankan lebih suka menyimpan dana di SBI), sehingga kinerja sector riil kurang dan berimbas
pada turunnya investasi. Selain itu, birokrasi pemerintahan terlalu kental, sehingga menyebabkan
kecilnya realisasi belanja Negara dan daya serap, karena inefisiensi pengelolaan anggaran. Jadi,
di satu sisi pemerintah berupaya mengundang investor dari luar negri, tapi di lain pihak, kondisi
dalam negeri masih kurang kondusif.

KEBIJAKAN EKONOMI PADA MASA ORDE LAMA, ORDE BARU DAN


REFORMASI

Persamaan :

- sama-sama masih terdapat ketimpangan ekonomi, kemiskinan, dan kedtidakadilan


- adanya KKN ( Korupsi, Kolusi, Nepotisme)
- kebijakan pemerintah. sejak pemerintahan orde lama hingga orde reformasi kini, kewenangan
menjalankan anggaran negara tetap pada prseiden.

Perbedaan :
1. Masa Demokrasi Liberal
Masa Orde Lama : masa ini disebut masa liberal, karena dalam politik maupun sistem
ekonominya menggunakan prinsip-prinsip liberal.
Masa Orde Baru : pada masa krisis ekonomi, ditandai dengan tumabngnya pemerintahan orde
baru kemudian disusul dengan era reformasi yang dimulai oleh pemerintahan Presiden Habibie.
Pada masa ini tidak hanya hal ketatanegaraan yang mengalami perubahan, namun juga kebijakan
ekonomi. sehingga apa yang telah stabil dijalankan selama 32 tahun, terpaksa mengalami
perubahan guna menyesuaikan dengan keadaan.

2.Masalah Pemanfaatan Kekayaan Alam


Masa Orde Lama : Konsep Bung Karno tentang kekayaan alam sangat jelas. jika bangsa
Indonesia belum mampu atau belum punya iptek untuk mengembangkan minyak bumi dsb
biarlah SDA tetap berada di dalam perut bumi Indonesia.
Masa Orde Baru : Konsepnya bertolak belakang dengan Orde Lama. sehingga rakyat pun merasa
hidup berkecukupan pada masa orde baru. Beras murah, padahal sebagian adalah beras import.
Beberapa gelintir orang mendapat rente ekonomi yang luar biasa dari berbagai jenis monopoli
import komoditi bahan pokok, termasuk beras, terigu, kedelai, dsb.

3.Sistem Pemerinatah
Orde Lama : kebijakan pada pemerintah, berorientasu pada politik, semua proyek diserahkan
kepada pemerintah, sentralistil, demokrasi terpimpin, sekularisme.
Orde Baru : Kebijakan masih pada pemerintah, namun sektor ekonomi sudah diserahlan ke
swasta asong, fokus pada pembangunan ekonomi, sentralustik, demokrai pancasial, kapitalisme .

4. Orde Lama : Diskriminasi etnis Tionghas serta kesenajngan sosial dan KKN
Orde Baru :Diskriminasi Ekonomi dan Diskriminasi Etnis Tionghoa serta banyaknya KKN (
Kolusi, koruosi, dan nepotisme.

5. Orde Lama : Pelanggaran HAM yaotu Tragedi PKI dan pengahapusan Presiden seumur hidup
Orde Baru : Larangan kebebasan berpendapat (ditolaknya HAM) pada Tragedi mei 1998
(Penculikan mahasiswa Trisakti)

6. Orde Lama : kebijakan pada pemerinatahn, berorientasi pada politik, semua proyek diserahkan
kepada pemerinatah, sentralistik, tidak menenal demokrasi.
Orde Baru : Kebijakan masih pada pemerintah, namun sektor ekonomi sudah diserah kan ke
swasta/asing, fokus pada pembangunan ekonomi, sentralistik, tidak menganal demokarsi
Perbedaan orde lama, orde baru dan reformasi
ORDE LAMA
PEMERINTAHAN/POLITIK :: Pada pemerintahan system politik orde lama, masyarakat
masih belum memiliki kesadaran berpolitik. Hal tersebut disebabkan rendahnya tingkat
pendidikan/pengetahuan seseorang sehingga pemahaman dan kesadaran mereka terhadap politik
masih sangat kecil atau tidak ada sama sekali terhadap sistem politik. Kelompok ini akan
ditemukan di berbagai lapisan masyarakat. Disini, sistem politik masih bersifat tradisional dan
sederhana, dengan ciri khas spesialisasi masih sangat kecil. Maka dari itu, pada masa system ini
terdapat begitu banyak partai yang muncul dengan ideology-ideologi baru dan berbeda yang
mencoba menguasai gaya pemikiran masyarkat. Pada masa orde lama, negara Indonesia diterpa
kekacauan pemerintahan, perekonomian serta pendidikan. kekacauan tersebut terus berlanjut
hingga mulai mereda pada masa Soekarno diturunkan.
Dizaman orde lama partai yang ikut pemilu sebanyak lebih dari 25 partai peserta pemilu.
Masa orde lama ideologi partai berbeda antara yang satu dengan lainnya, ada Nasionalis PNI-
PARTINDO-IPKI-dll, Komunis PKI; Islam NU-MASYUMI- PSII-PI PERI, Sosialis PSI-
MURBA, Kristen PARKINDO dll. Pelaksanaan Pemilu pada Orde Lama hampir sama seperti
sekarang.Masa orde lama adalah masa pencarian bentuk implementasi Pancasila terutama dalam
sistem kenegaraan. Pancasila diimplementasikan dalam bentuk yang berbeda-beda pada masa
orde lama. Terdapat 3 periode implementasi Pancasila yang berbeda, yaitu periode 1945-1950,
periode 1950-1959, dan periode 1959-1966.
EKONOMI :: Indonesia menggunakan bergantian sistem ekonomi liberal dan sistem
ekonomi komando. Di saat menggunakan sistem ekonomi liberal, Indonesia menggunakan
sistem pemerintahan parlementer. Presiden Soekarno di gulingkan saat Indonesia menggunakan
sistem ekonomi komando.

ORDE BARU
PEMERINTAHAN/POLITIK ::
  Perkembangan GDP per kapita Indonesia yang pada tahun 1968 hanya AS$70 dan
pada 1996 telah mencapai lebih dari AS$1.565
  Sukses transmigrasi
  Sukses KB
  Sukses memerangi buta huruf
  Sukses swasembada pangan
  Pengangguran minimum
  Sukses REPELITA (Rencana Pembangunan Lima Tahun)
  Sukses Gerakan Wajib Belajar
  Sukses Gerakan Nasional Orang-Tua Asuh
  Sukses keamanan dalam negeri
  Investor asing mau menanamkan modal di Indonesia
  Sukses menumbuhkan rasa nasionalisme dan cinta produk dalam negeri

Salah satu kebijakan pertama yang dilakukannya adalah mendaftarkan Indonesia


menjadi anggota PBB lagi. Indonesia pada tanggal 19 September 1966 mengumumkan bahwa
Indonesia "bermaksud untuk melanjutkan kerjasama dengan PBB dan melanjutkan partisipasi
dalam kegiatan-kegiatan PBB", dan menjadi anggota PBB kembali pada tanggal 28 September
1966, tepat 16 tahun setelah Indonesia diterima pertama kalinya.
Pada tahap awal, Soeharto menarik garis yang sangat tegas. Orde Lama atau Orde Baru.
Pengucilan politik - di Eropa Timur sering disebut lustrasi - dilakukan terhadap orang-orang yang
terkait dengan Partai Komunis Indonesia. Sanksi kriminal dilakukan dengan menggelar
Mahkamah Militer Luar Biasa untuk mengadili pihak yang dikonstruksikan Soeharto sebagai
pemberontak. Pengadilan digelar dan sebagian dari mereka yang terlibat "dibuang" ke Pulau
Buru.
EKONOMI :: Masih terdapat ketimpangan ekonomi, kemiskinan, dan kedtidakadilan
adanya KKN ( Korupsi, Kolusi, Nepotisme)
Masa ini disebut masa liberal, karena dalam politik maupun sistem ekonominya
menggunakan prinsip-prinsip liberal. Perekonomian diserahkan pada pasar sesuai teori-teori
mazhab klasik yang menyatakan laissez faire laissez passer. Padahal pengusaha pribumi masih
lemah dan belum bisa bersaing dengan pengusaha nonpribumi, terutama pengusaha Cina. Pada
akhirnya sistem ini hanya memperburuk kondisi perekonomian Indonesia yang baru merdeka.
Usaha-usaha yang dilakukan untuk mengatasi masalah ekonomi, antara lain :
a) Gunting Syarifuddin, yaitu pemotongan nilai uang (sanering) 20 Maret 1950, untuk
mengurangi jumlah uang yang beredar agar tingkat harga turun.
b) Program Benteng (Kabinet Natsir), yaitu upaya menumbuhkan wiraswastawan pribumi dan
mendorong importir nasional agar bisa bersaing dengan perusahaan impor asing dengan
membatasi impor barang tertentu dan memberikan lisensi impornya hanya pada importir pribumi
serta memberikan kredit pada perusahaan-perusahaan pribumi agar nantinya dapat berpartisipasi
dalam perkembangan ekonomi nasional. Namun usaha ini gagal, karena sifat pengusaha pribumi
yang cenderung konsumtif dan tak bisa bersaing dengan pengusaha non-pribumi.
c) Nasionalisasi De Javasche Bank menjadi Bank Indonesia pada 15 Desember 1951 lewat UU
no.24 th 1951 dengan fungsi sebagai bank sentral dan bank sirkulasi.
d) Sistem ekonomi Ali-Baba (kabinet Ali Sastroamijoyo I) yang diprakarsai Mr Iskak
Cokrohadisuryo, yaitu penggalangan kerjasama antara pengusaha cina dan pengusaha pribumi.
Pengusaha non-pribumi diwajibkan memberikan latihan-latihan pada pengusaha pribumi, dan
pemerintah menyediakan kredit dan lisensi bagi usaha-usaha swasta nasional. Program ini tidak
berjalan dengan baik, karena pengusaha pribumi kurang berpengalaman, sehingga hanya
dijadikan alat untuk mendapatkan bantuan kredit dari pemerintah.
e) Pembatalan sepihak atas hasil-hasil Konferensi Meja Bundar, termasuk pembubaran Uni
Indonesia-Belanda. Akibatnya banyak pengusaha Belanda yang menjual perusahaannya
sedangkan pengusaha-pengusaha pribumi belum bisa mengambil alih perusahaan-perusahaan
tersebut. Pada masa krisis ekonomi, ditandai dengan tumabngnya pemerintahan orde baru
emudian disusul dengan era reformasi yang dimulai oleh pemerintahan Presiden Habibie. Pada
masa ini tidak hanya hal ketatanegaraan yang mengalami perubahan, namun juga kebijakan
ekonomi. sehingga apa yang telah stabil dijalankan selama 32 tahun, terpaksa mengalami
perubahan guna menyesuaikan dengan keadaan.
Pada masa Demokrasi Terpimpin, negara bersama aparat ekonominya mendominasi
seluruh kegiatan ekonomi sehingga mematikan potensi dan kreasi unit-unit ekonomi swasta.
Sehingga, pada permulaan Orde Baru program pemerintah berorientasi pada usaha penyelamatan
ekonomi nasional terutama pada usaha mengendalikan tingkat inflasi, penyelamatan keuangan
negara dan pengamanan kebutuhan pokok rakyat. Tindakan pemerintah ini dilakukan karena
adanya kenaikan harga pada awal tahun 1966 yang menunjukkan tingkat inflasi kurang lebih 650
% setahun. Hal itu menjadi penyebab kurang lancarnya program pembangunan yang telah
direncanakan pemerintah. Oleh karena itu pemerintah menempuh cara sebagai berikut.
1. Stabilisasi dan Rehabilitasi Ekonomi
2. Kerja Sama Luar Negeri
3. Pembangunan Nasional
Pelaksanaannya pembangunan nasional dilakukan secara bertahap yaitu:
1) Jangka panjang mencakup periode 25 sampai 30 tahun
2) Jangka pendek mencakup periode 5 tahun (Pelita/Pembangunan Lima Tahun), merupakan
jabaran lebih rinci dari pembangunan jangka panjang sehingga tiap pelita akan selalu saling
berkaitan/berkesinambungan.Selama masa Orde Baru terdapat 6 Pelita, yaitu :
1. Pelita I
Dilaksanakan pada 1 April 1969 hingga 31 Maret 1974 yang menjadi landasan awal
pembangunan Orde Baru.Tujuannya adalah untuk meningkatkan taraf hidup rakyat dan sekaligus
meletakkan dasar-dasar bagi pembangunan dalam tahap berikutnya dengan sasaran dalm bidang
Pangan, Sandang, Perbaikan prasarana, perumahan rakyat, perluasan lapangan kerja, dan
kesejahteraan rohani.
2. Pelita II
Dilaksanakan pada tanggal 1 April 1974 hingga 31 Maret 1979. Sasaran utamanya adalah
tersedianya pangan, sandang,perumahan, sarana dan prasarana, mensejahterakan rakyat dan
memperluas kesempatan kerja. Pelaksanaan Pelita II cukup berhasil pertumbuhan ekonomi rata-
rata mencapai 7% per tahun. Pada awal pemerintahan Orde Baru laju inflasi mencapai 60% dan
pada akhir Pelita I laju inflasi turun menjadi 47%. Selanjutnya pada tahun keempat Pelita II,
inflasi turun menjadi 9,5%.
3. Pelita III
Dilaksanakan pada tanggal 1 April 1979 hingga 31 Maret 1984. Pelita III pembangunan masih
berdasarkan pada Trilogi Pembangunan dengan penekanan lebih menonjol pada segi pemerataan
yang dikenal dengan Delapan Jalur Pemerataan, yaitu:
*Pemerataan pemenuhan kebutuhan pokok rakyat, khususnya sandang, pangan, dan perumahan.
*Pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan dan pelayanan kesehatan.
*Pemerataan pembagian pendapatan
*Pemerataan kesempatan kerja
*Pemerataan kesempatan berusaha
*Pemerataan kesempatan berpartisipasi dalam pembangunan khususnya bagi generasi muda dan
kaum perempuan
*Pemerataan penyebaran pembagunan di seluruh wilayah tanah air
*Pemerataan kesempatan memperoleh keadilan.
4. Pelita IV
Dilaksanakan pada tanggal 1 April 1984 hingga 31 Maret 1989. Titik beratnya adalah sektor
pertanian menuju swasembada pangan dan meningkatkan industri yang dapat menghasilkan
mesin industri sendiri. Terjadi resesi pada awal tahun 1980 yang berpengaruh terhadap
perekonomian Indonesia. Pemerintah akhirnya mengeluarkan kebijakan moneter dan fiskal
sehingga kelangsungan pembangunan ekonomi dapat dipertahankan.
5. Pelita V
Dilaksanakan pada tanggal 1 April 1989 hingga 31 Maret 1994. Titik beratnya pada sektor
pertanian dan industri. Indonesia memiki kondisi ekonomi yang cukup baik dengan pertumbuhan
ekonomi rata-rata 6,8 % per tahun. Posisi perdagangan luar negeri memperlihatkan gambaran
yang menggembirakan. Peningkatan ekspor lebih baik dibanding sebelumnya.
6. Pelita VI
Dilaksanakan pada tanggal 1 April 1994 hingga 31 Maret 1999. Titik beratnya masih pada
pembangunan pada sektor ekonomi yang berkaitan dengan industri dan pertanian serta
pembangunan dan peningkatan kualitas sumber daya manusia sebagai pendukungnya. Sektor
ekonomi dipandang sebagai penggerak utama pembangunan. Pada periode ini terjadi krisis
moneter yang melanda negara-negara Asia Tenggara termasuk Indonesia. Karena krisis moneter
dan peristiwa politik dalam negeri yang mengganggu perekonomian menyebabkan rezim Orde
Baru runtuh.
Sejak tahun 1997 kondisi ekonomi Indonesia terus memburuk seiring dengan krisis
keuangan yang melanda Asia. Keadaan terus memburuk. KKN semakin merajalela, sementara
kemiskinan rakyat terus meningkat. Terjadinya ketimpangan sosial yang sangat mencolok
menyebabkan munculnya kerusuhan sosial. Muncul demonstrasi yang digerakkan oleh
mahasiswa. Tuntutan utama kaum demonstran adalah perbaikan ekonomi dan reformasi total.
Demonstrasi besar-besaran dilakukan di Jakarta pada tanggal 12 Mei 1998. Pada saat itu terjadi
peristiwa Trisakti, yaitu me-ninggalnya empat mahasiswa Universitas Trisakti akibat bentrok
dengan aparat keamanan. Empat mahasiswa tersebut adalah Elang Mulya Lesmana, Hery
Hariyanto, Hendriawan, dan Hafidhin Royan. Keempat mahasiswa yang gugur tersebut
kemudian diberi gelar sebagai “Pahlawan Reformasi”. Menanggapi aksi reformasi tersebut,
Presiden Soeharto berjanji akan mereshuffle Kabinet Pembangunan VII menjadi Kabinet
Reformasi. Selain itu juga akan membentuk Komite Reformasi yang bertugas menyelesaikan UU
Pemilu, UU Kepartaian, UU Susduk MPR, DPR, dan DPRD, UU Antimonopoli, dan UU
Antikorupsi. Dalam perkembangannya, Komite Reformasi belum bisa terbentuk karena 14
menteri menolak untuk diikutsertakan dalam Kabinet Reformasi. Adanya penolakan tersebut
menyebabkan Presiden Soeharto mundur dari jabatannya.
SOSIAL :: Di akhir era orde baru kita seakan dibuat benci oleh presiden Soeharto yang telah
lama menjadi penguasa dan banyak membangun bangsa ini dengan anggapan banyak melakukan
praktek Korupsi, Kolusi, dan Nekotisme yang dilakukan pemerintah Orde Baru pada saat itu,
sehingga masyarakat menjadi anarkis dan dibuat kisruh pada waktu itu. Bahkan, disebut – sebut
Soeharto melakukan korupsi besar – besaran yang sampai saat ini juga sebenarnya tidak jelas
lagi kejelasan dari dugaan kasus tersebut.
Sejak PKI berhasil ditumpas, Presiden Soekarno belum bertindak tegas terhadap G 30
S/PKI. Hal ini menimbulkan ketidaksabaran di kalangan mahasiswa dan masyarakat. Pada
tanggal 26 Oktober 1965 berbagai kesatuan aksi seperti KAMI, KAPI, KAGI, KASI, dan lainnya
mengadakan demonsrasi. Mereka membulatkan barisan dalam Front Pancasila. Dalam kondisi
ekonomi yang parah, para demonstran menyuarakan Tri Tuntutan Rakyat (Tritura). Oleh karena
itu presiden memberi mandat kepada Letjen Soeharto untuk memulihkan keadaan dan
kewibawaan pemerintah. Mandat itu dikenal sebagai Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar).
Keluarnya Supersemar dianggap sebagai tonggak lahirnya Orde Baru.
HANKAM :: Hukum yang diskriminatif menjadi keburukan Orde Baru selanjutnya. Hukum
hanya berlaku bagi masyarakat biasa atau masyarakat menengah ke bawah. Pejabat dan kelas
atas menjadi golongan yang kebal hukum. Hak masyarakat untuk mendapatkan perlakukan yang
sama di depan hukum menjadi hal yang sangat langka. Hak asasi sosial dilanggar oleh
pemerintah.
Beberapa kekurangan sistem orde baru dapat dirangkum dengan enam poin, yaitu:
 semaraknya korupsi, kolusi, nepotisme,
 pembangunan Indonesia yang tidak merata dan timbulnya kesenjangan pembangunan
antara pusat dan daerah, sebagian disebabkan karena kekayaan daerah sebagian besar disedot ke
pusat,
 munculnya rasa ketidakpuasan di sejumlah daerah karena kesenjangan pembangunan,
terutama di Aceh dan Papua,
 kecemburuan antara penduduk setempat dengan para transmigran yang memperoleh
tunjangan pemerintah yang cukup besar pada tahun-tahun pertamanya,
 bertambahnya kesenjangan sosial (perbedaan pendapatan yang tidak merata bagi si kaya
dan si miskin),
 kritik dibungkam dan oposisi diharamkan,
 kebebasan pers sangat terbatas, diwarnai oleh banyak koran dan majalah yang dibreidel,
 penggunaan kekerasan untuk menciptakan keamanan, antara lain dengan program
“Penembakan Misterius” (petrus), dan
 tidak ada rencana suksesi (penurunan kekuasaan ke pemerintah/presiden selanjutnya).

REFORMASI
PEMERINTAHAN/POLITIK :: Masa berjayanya demokrasi. Masa reformasi disebut
sebagai masa demokrasi, yaitu kekebasan dampir disegala asek kehidupan, termasuk dalam
kehidupan politik. Misalnya, pada masa orde baru pemenang Pemilihan Umum (pemilu) sudah
dipastikan, namun pada masa reformasi benar-benar merupakan persaingan yang terbuka. Dalam
hal pengambilan kebijakan, rakyat dapat menyalurkan aspirasinya secara bebas melalui wakil
rakyat mau pun media, meskipun pada kenyataannya aspirasi rakyat saat ini cenderung tidak
didengar, setidaknya rakyat tidak membungkam saat pada masa orde baru.
EKONOMI :: Usaha dalam bidang ekonomi adalah :
1. Merekapitulasi perbankan
2. Merekonstruksi perekonomian Indonesia
3. Melikuidasi beberapa bank bermasalah
4. Menaikkan nilai tukar Rupiahterhadap Dollar AS hingga di bawah Rp. 1.000
5. Mengimplementasikan reformasi ekonomi yang diisyaratkan oleh IMF

KONDISI EKONOMI
Dalam upaya meningkatkan kesejahteraan kehidupan rakyat, pemerintah melihat 5 sektor
kebijakan yang harus digarap yaitu :
a. Perluasan lapangan kerja secara terus menerus melalui investasi dalam dan luar negeri
seefisien mungkin
b. Penyediaan barang kebutuhan pokok sehari-hari untuk memenuhi permintaan pada harga yang
terjangkau
c. Penyediaan fasilitas umum seperti : rumah, air minum, listrik, bahan bakar, komunikasi,
angkutan, dengan harga yang terjangkau
d. Penyediaan ruang sekolah, guru dan buku-buku untuk pendidikan umum dengan harga
terjangkau
e. Penyediaan klinik, dokter dan obat-obatan untuk kesehatan umum dengan harga yang
terjangkau pula.

SOSIAL :: Reformasi merupakan suatu perubahan tatanan perikehidupan lama dengan tatanan
kehidupan yang baru dan secara hukum menuju ke arah perbaikan. Gerakan reformasi yang
terjadi di Indonesia tahun 1998 merupakan suatu gerakan untuk mengadakan pembaharuan dan
perubahan terutama perbaikan dalam bidang politik, sosial, ekonomi dan hukum.
Setelah BJ Habibie dilantik menjadi presiden RI pada tanggal 21 Mei 1998 maka tugasnya
adalah memimpin bangsa Indonesia dengan memperhatikan secara sungguh-sungguh aspirasi
rakyat yang berkembang dalam pelaksanaan reformasi secara menyeluruh. Habibie bertekad
untuk mewujudkan pemerintrahan yang bersih dan bebas dari KKN.
Pada tanggal 22 Mei 1998 Habibie membentuk kabinet Reformasi Pembangunan yang terdiri
dari 16 orang menteri yang diambil dari unsur militer, Golkar, PPP dan PDI. Tanggal 25 Mei
1998 diselenggarakan pertemuan I dan berhasil membentuk komite untuk merancang Undang-
undang politik yang lebih longgar dalam waktu 1 tahun dan menyetujui masa jabatan presiden
maksimal 2 periode.
KONDISI SOSIAL MASYARAKAT
Sejak krisis moneter tahun 1997 perusahaan swasta mengalami kerugian dan kesulitan dalam
membayar gaji karyawan. Sementara itu harga sembako semakin tinggi sehingga banyak
karyawan yang menuntut kenaikan gaji pada perusahaan yang pada akhirnya berimabas pada

memPHKkan karyawannya.
Karyawan yang di PHK itu menambah jumlah pengangguran sehingga jumlah pengangguran
mencapai 40 juta orang. Dampaknya adalah maraknya tindakan kriminalitas yang terjadi dalam
masyarakat.Oleh karena itu pemerintah harus membuka lapangan kerja baru yang dapat
menampung para penganggur tersebut. Dan juga menarik kembali para investor untuk
menanamkan modalnya ke Indonesia sehingga dapat membuka lapangan kerja.
Sekarang, jika kita bandingkan dengan masa reformasi mungkin banyak lebih baiknya,
tapi juga banyak lebih buruknya. Lebih baiknya adalah bahwa hari ini, rakyat tidak lagi dibayang
– bayangi teror pemerintah otoriter. Pemerintah saat ini cenderung lebih memperhatikan
kestabilan politiknya karena media mengawasi kinerja pemerintahan dengan cukup gencar meski
saat ini media juga cenderung memberitakan hal yang buruk – buruknya saja sehingga
membangun opini masyarakat rakyat bahwa Indonesia saat ini mengalami degradasi moral dan
kepemimpinan karena banyak elit pemerintahan yang melakukan korupsi dan lain sebagainya,
padahal saya yakin tidak semua elit pemerintah seperti itu. Dapat dikayakan bahwa pada era orde
baru dan era reformasi ini banyak pejabat yang melakukan korupsi, tapi bedanya korupsi era
orde baru dan era reformasi saat ini adalah pos – pos yang dikorup. Anies Baswedan pernah
mengatakan bahwa perbedaan korupsi pada masa orde baru dan masa reformasi adalah jika pada
pemerintahan orde baru pos yang dikorupsi adalah dana – dana non budgeter atau diluar dari
APBN bangsa ini, sedangkan pada masa reformasi saat ini, pos yang dikorupsi adalah dana –
dana APBN yang mengalir kepada elit – elit tertentu yang tentunya sangat menguntungkan elit
tersebut. Jika kita bandingkan kasus – kasus yang ada saat ini, sudah berapa rupiah kerugian
negara yang memang sudah terbukti di persidangan hari ini? berapa rupiah kerugian negara
tentang kasus century? Berapa kerugian negara tentang kasus simulator SIM? Dan kasus – kasus
korupsi yang lainnya. Ironisnya lagi, jika kita anggap sejenak kalau dana – dana yang dikorupsi
tersebut adalah upah bagi mereka yang membangun bangsa ini, apakah bangsa ini sudah makin
maju dari 15 tahun yang lalu? Masa orde baru ketika dana – dana non budgeter yang dikorupsi
tapi implikasi bagi bangsa ini sangat signifikan juga, meskipun hal tersebut merupakan muka dua
dari pemerintahan orde baru tapi paling tidak kesejahteraan dan pembangunan Indonesia waktu
itu lebih baik dari pada sekarang.

HANKAM :: Reformasi di bidang hukum disesuaikan dengan aspirasi yang berkembang di


kalangan masyarakat dan mendapat sambutan baik karena reformasi hukum yang dilakukan nya
mengarah kepada tatanan hukum yang didambakan oleh masyarakat. Selama Orde baru karakter
hukum bersifat konservatif, ortodoks yaitu produk hukum lebih mencerminkan keinginan
pemerintah dan tertutup terhadap kelompok-kelompok sosial maupun individu.

Di era reformasi yang katanya bahwa masyarakat dilindungi oleh hukum juga tidak
jarang masyarakat dibuat takut oleh para penegak hukum dengan dalih bahwa hukum harus
ditegakkan. Padahal dalih tersebut lebih sering dijadikan arena “proyek” mencari uang oleh para
mereka yang berwenang. Sehingga opini yang terbangun adalah hukum itu terlalu tajam ke
bawah namun tumpul keatas.

Anda mungkin juga menyukai