SISTIM PERSARAFAN
1. OTAK 1. SS SOMATIK
- Cerebrum (Mengatur aktifitas sadar)
- Cerebelum
- Mesensefalon 2. SS OTONOM
- PONS (Mempersyarafi alat2 dlm mengatur aktifitas tak
2. MEDULA SPINALIS
KRANIUM
TOPOGRAFI OTAK
Tiga rongga potensial di meningen memiliki arti klinis:
1. Rongga epidural – a meningea media di rongga ini dan memperdarahi durameter
2. Ruang subarachnoid – arteri/vena besar otak melalui ruang ini & memberi cabang penetrans kedlm otak
3. Rongga subdural – vena jembatan melalui rongga ini menuju sinus dura
Serebrum
NEURON DAN SINAPS
Struktur Sel Saraf
a. Badan Sel (Soma)
b. Dendri
c. AksonFungsi Sel Sarafa. Penghantar Sinyal Listrikb. Integrasi Informasic.
Pengendalian Gerakan
1. Pemeriksaan ini dimulai dengan inspeksi ukuran, bentuk, dan simetrisitas kedua pupil. Pasien diminta untuk
memfiksasi pandangan pada objek yang cukup jauh, kemudian diameter pupil diukur dengan penggaris
dengan satuan panjang milimeter. Pemeriksaan dilakukan dua kali pada kondisi lampu ruangan terang serta
redup.
2. Selanjutnya, periksa refleks pupil langsung dan konsensual dengan penlight dalam kondisi cahaya ruangan
redup dengan langkah-langkah berikut:
a. Refleks pupil langsung diperiksa dengan menyinari mata dengan penlight
b. Pemeriksa mengamati konstriksi pupil mata ipsilateral. Refleks pupil langsung yang normal
adalah konstriksi pupil pada sisi yang disinari cahaya
c. Refleks pupil konsensual diperiksa dengan cara mengamati konstriksi pupil pada sisi
kontralateral dari pupil yang disinari dengan penlight
d. Refleks pupil konsensual dikatakan normal apabila pupil kontralateral dari mata yang disinari
mengalami konstriksi
B. Pemeriksaan Lapangan Pandang
• Pemeriksaan lapang pandang dilakukan dengan uji konfrontasi secara bergantian pada masing-masing mata,
dengan posisi pemeriksa dan pasien saling berhadapan. Berikut adalah langkah-langkah pemeriksaan lapang
pandang:
1. Pasien duduk berhadapan dengan pemeriksa pada jarak 1 meter
2. Pasien menutup mata yang tidak diperiksa dengan telapak tangan
3. Jika pemeriksa menutup mata sebelah kiri, maka pasien menutup mata sebelah kanan seperti sedang
bercermin
4. Pasien diminta untuk melihat lurus dan memfiksasi pandangan pada hidung pemeriksa, sedangkan
pemeriksa memfiksasi pandangan pada hidung pasien. Baik pemeriksa maupun pasien tidak
diperbolehkan menggerakkan kepala atau merubah pandangan mata selama pemeriksaan
5. Gunakan jari atau objek lain seperti jarum atau pulpen dan letakkan pada jarak yang sama di antara
pemeriksa dan pasien. Pada permulaan, objek diletakkan di luar radius 180 derajat bidang horizontal
6. Pemeriksa menggerakkan objek secara perlahan dari perifer ke sentral
7. Pasien diminta untuk melaporkan apabila sudah dapat melihat objek tersebut
8. Pemeriksa dapat membentuk angka dengan jari dan meminta pasien untuk menyebutkan angka tersebut
9. Jika pemeriksa dapat melihat objek sebelum pasien dapat melihatnya, pasien mungkin mengalami
penurunan tajam penglihatan
10. Ulang proses tersebut pada masing-masing kuadran lapang pandang dan pada kedua mata secara
bergantian
C. Pemeriksaan Tajam Penglihatan:
• Pada pasien yang menggunakan kacamata, pemeriksaan dilakukan dua kali dengan dan tanpa kacamata. Berikut
langkah-langkah pemeriksaan:
• Nervus Troklear
Menginervasi otot oblikus superior yang berfungsi mengarahkan pandangan ke nasal (rotas internal
dan depresi).
• Nervus Abdusen
Menginervasi otot rektus lateralis yang meggerakan bola mata ke lateral.
• Komponen sensorik lain yang perlu diperiksa pada fungsi nervus trigeminus
adalah refleks kornea yang diinervasi oleh nervus oftalmikus. Pemeriksaan
refleks kornea dilakukan dengan cara memberikan sentuhan ringan dengan
kapas pada kornea.
• Pemeriksaan Keseimbangan:
• Terdapat beberapa metode pemeriksaan keseimbangan, contohnya uji Romberg, uji Fukuda, serta
pemeriksaan refleks vestibulo-okular. Uji Romberg dilakukan dengan meminta pasien berdiri dengan
posisi kaki rapat dan mata tertutup. Jika pasien jatuh ke salah satu sisi, disfungsi vestibular dapat
dicurigai.
• Pada uji Fukuda, pasien diminta melakukan gerakan berjalan di tempat dengan posisi tangan
direntangkan dan mata tertutup. Adanya deviasi dari posisi asal menunjukan adanya lesi vestibular.
• Pada pemeriksaan refleks vestibulo-okular, pastikan pasien tidak mengalami gangguan pada leher. Pasien
duduk berhadapan dengan pemeriksa dan memfiksasi pandangan mata pada hidung pemeriksa.
Pemeriksa meletakkan tangan di kepala pasien dengan posisi telapak tangan menutupi telinga. Gerakkan
kepala secara cepat ke satu sisi dan kemudian ulangi pada sisi berikutnya.
• Respons yang normal adalah pandangan mata tetap terfiksasi pada titik awal. Pada gangguan fungsi
IX (Glossofaring) dan X (Vagus)
• Nervus glossofaring memiliki fungsi motorik untuk otot stylofaringeus, yang berperan dalam elevasi
faring saat menelan dan berbicara. Selain itu, nervus glossofaring juga memiliki komponen sensorik
untuk indra perasa pada sepertiga posterior lidah dan komponen aferen pada refleks muntah (gag
reflex).
• Nervus vagus mempersarafi otot-otot di rongga mulut yang berperan dalam proses bicara. Nervus
vagus juga merupakan komponen eferen dari refleks muntah. Karena memiliki fungsi yang saling
berhubungan, pemeriksaan nervus IX dan X dapat dilakukan secara bersamaan dengan langkah-
langkah seperti berikut:
1. Observasi saat pasien berbicara apakah ada suara serak atau sengau
2. Inspeksi area palatum dan uvula. Posisi uvula yang normal berada di tengah. Deviasi uvula
menandakan lesi pada nervus vagus
3. Minta pasien mengucapkan “ahhhh” dan perhatikan apakah palatum dan uvula mengalami elevasi
secara simetris dengan posisi uvula tetap di tengah. Lesi di nervus vagus akan menyebabkan elevasi
yang asimetris
4. Minta pasien untuk batuk. Suara batuk yang lemah dan tidak eksplosif dapat disebabkan oleh
kelainan penutupan glotis akibat lesi nervus vagus
5. Pemeriksaan fungsi menelan dilakukan dengan meminta pasien minum sedikit air. Perhatikan
apakah pasien mengalami batuk atau perubahan suara yang menandakan proses menelan tidak
efektif
6. Refleks muntah diperiksa dengan cara merangsang bagian posterior lidah dan orofaring dengan
depresor lidah atau cotton swab. Pada kondisi normal, rangsangan tersebut akan menimbulkan
XI. Nervus Aksesorius
1. Minta pasien membuka mulut dan inspeksi posisi lidah dalam kondisi
istirahat. Perhatikan apakah terdapat fasikulasi atau peningkatan garis
kerutan pada lidah, yang menandakan adanya lesi lower motor neuron
2. Minta pasien menjulurkan lidah keluar dan perhatikan apakah terdapat
deviasi ke salah satu sisi, yang menandakan adanya lesi pada sisi tersebut
3. Letakkan jari pada pipi pasien dan minta pasien menekan jari tangan
pemeriksa menggunakan lidah. Lakukan di masing-masing sisi dan
bandingkan kekuatan antara kedua sisi tersebut
Gangguan pada Saraf Kranial
• Saraf kranial dapat mengalami kerusakan karena gangguan medis tertentu,
sehingga dapat berpengaruh pada fungsi indra tertentu, tergantung dari
jenis saraf mana yang rusak. Misalnya, jika terjadi kerusakan pada saraf
optik, maka akan berpengaruh pada fungsi indra penglihatan.
• Beberapa kondisi medis yang berisiko mengganggu fungsi saraf kranial
adalah sebagai berikut:
• Cedera kepala traumatis.
• Infeksi Otak.
• Bell’s Palsy.
• Diabetes.
• Tumor Otak.
• Stroke.
• Neuralgia Trigeminal.
• Hipertensi (tekanan darah tinggi).
Pemeriksaan GCS (Glasgow Coma Scale)
• Glasgow Coma Scale atau GCS adalah metode pemeriksaan dasar yang
digunakan secara luas untuk mengevaluasi tingkat kesadaran dan sering kali
digunakan untuk menilai fungsi neurologis pasien, salah satunya pada kasus
yang terkait dengan keparahan cedera otak. Dalam dunia medis, tujuan
Glasgow Coma Scale adalah sebagai standar untuk mengukur respons dan
status neurologis pasien.
• Dengan menggunakan GCS, memungkinkan dokter untuk merespon secara
tepat terhadap perubahan-perubahan yang mungkin terjadi dalam tingkat
kesadaran dan status neurologis pasien selama perawatan medis
berlangsung.
3 Komponen Pengukuran GCS
• GCS terdiri dari tiga komponen utama yang digunakan untuk mengevaluasi
respons pasien terhadap rangsangan eksternal. Adapun tiga komponen GCS
adalah sebagai berikut:
1. Respons Mata (Eye Opening Response): nilai 4
• Komponen pertama GCS adalah kemampuan pasien untuk membuka
mata sebagai respons terhadap rangsangan secara spontan. Berikut
adalah penilaian GCS yang diberikan, antara lain: