SPEKTRUM OTONOMI DAERAH DALAM RUANG LINGKUP PENGELOLAAN
SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP I. PENDAHULUAN. Berbicara masalah pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia tidaklah terlepas dari masalah hak dan kewajiban pengelolaan itu sendiri. Disadari atau tidak, masalah lingkungan masih menjadi masalah minor dalam skala prioritas dibandingkan dengan masalah ekonomi dan politik. Walaupun demikian, masalah lingkungan masih memiliki bargaining power dibandingkan dengan masalah ekonomi dan politik. Tuntutan dunia luar agar pemerintah lebih cepat tanggap dalam menyelesaikan masalah lingkungan yang terjadi merupakan tuntutan transformasi dari sekedar paradigma menjadi implementasi nyata. Karena masalah pengelolaan lingkungan hidup masih menjadi bagian dari masalah ekonomi dan politik maka sudah sewajarnya apabila konsep pengelolaan lingkungan hidup menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari paradigma dan implementasi Otonomi Daerah dan Desentralisasi Ekonomi. Bagaimana paradigma dan implementasi Otonomi Daerah dan Desentralisasi Ekonomi menyikapi masalah pengelolaan lingkungan hidup merupakan jembatan pembentukan kapasitas (capacity building) dan masalah pengelolaan lingkungan yang terus berlanjut (sustainable development). Dengan asumsi penggunaan beberapa dasar hukum yang telah dibangun berkaitan masalah lingkungan oleh pemerintah maka konsep pengelolaan lingkungan hidup untuk tahun 2005 2010 dapat dijelaskan melalui dua hal penting yaitu konsep kewenangan pengelolaan lingkungan hidup dan konsep pelayanan publik. a. Konsep Kewenangan Pengelolaan Lingkungan Hidup Dalam Era Otonomi Daerah. Dengan dasar Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan RUU tentang pemerintahan daerah Tahun 2004 maka dimulailah pemetaan masalah pengelolaan lingkungan hidup. Untuk lebih jelasnya maka perlu diketahui terlebih dahulu kandungan isi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 agar tercipta peta pemikiran yang lebih komprehensif. 2 Beberapa hal yang sangat mendasar pada Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 adalah membagi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia ke dalam Daerah Propinsi, Daerah Kabupaten, dan Daerah Kota yang bersifat otonom. Wilayah Daerah Propinsi terdiri atas wilayah darat dan wilayah laut sejauh 12 mil laut yang diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan. Dalam kaitan ini, kewenangan daerah Kabupaten dan Daerah Kota di wilayah laut adalah sejauh sepertiga dari batas laut daerah Propinsi. Di samping itu, Undang-undang Pemerintah Daerah ini mengupayakan pemberdayaan dan peningkatan peran masyarakat secara aktif, menumbuhkan prakarsa dan kreatifitas Pemerintah kota/kabupaten, serta meningkatkan peran dan fungsi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah / DPRD. Oleh karena itu, otonomi daerah diletakkan secara utuh pada daerah otonom yang lebih dekat dengan masyarakat yaitu daerah otonom yang mempunyai wewenang dan kebebasan untuk membentuk dan melaksanakan kebijakan menurut prakarsa dan aspirasi masyarakatnya. Propinsi Daerah Tingkat I dalam Undang-undang ini dijadikan Daerah Propinsi yang di samping berkedudukan sebagai Daerah Otonom juga berkedudukan sebagai Daerah Administrasi yaitu sebagai wilayah kerja Gubernur dalam melaksanakan fungsi kewenangan Pusat yang didelegasikan kepadanya. Di mana antara daerah otonom Propinsi dengan daerah otonom Kabupaten dan Kota tidak mempunyai hubungan hierarkis dalam arti bahwa Propinsi tidak membawahi Daerah Kabupaten dan Kota, tetapi dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan terdapat hubungan koordinasi, kerjasama, dan/atau kemitraan dengan daerah Kabupaten dan Daerah Kota dalam kedudukan masing-masing sebagai daerah otonom. Sementara itu, dalam kedudukan sebagai wilayah administrasi, Gubernur selaku wakil Pemerintah melakukan hubungan pembinaan dan pengawasan terhadap Daerah Kabupaten dan Daerah Kota. Kedudukan Propinsi sebagai daerah otonom dan sekaligus sebagai daerah administrasi dimaksudkan sebagai perekat hubungan antara pusat dan daerah dalam rangka memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan demikian dalam penyelenggaraan otonomi daerah, Gubernur selaku penyelenggara eksekutif daerah bertanggung jawab kepada DPRD Propinsi, dan kedudukannya sebagai Kepala Daerah Administrasi bertanggung jawab kepada Presiden. Sedangkan dalam penyelenggaraan otonomi di Daerah Kabupaten dan Daerah Kota, Bupati atau Walikota bertanggung jawab kepada DPRD Kabupaten/ DPRD Kota, dan berkewajiban memberikan laporan kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri. 3 Dalam peraturan perundangan tersebut kewenangan daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan bidang lain yang meliputi : kebijakan tentang perencanaan nasional dan pengendalian pembangunan secara makro, dana perimbangan keuangan, sistem administrasi negara, dan lembaga perekonomian negara, pembinaan dan pemberdayaan sumber daya manusia, pendayagunaan sumber daya alam serta teknologi tinggi yang strategis, konservasi, dan standarisasi nasional. Sedang kewenangan propinsi sebagai daerah otonom mencakup kewenangan dalam bidang pemerintahan yang bersifat lintas Kabupaten dan Kota, kewenangan yang tidak atau belum dapat dilaksanakan Daerah Kabupaten dan Daerah Kota, serta kewenangan dalam bidang pemerintahan tertentu lainnya seperti : Perencanaan dan pengendalian pembangunan regional secara makro; Pelatihan bidang tertentu, alokasi sumber daya manusia potensial dan penelitian yang mencakup wilayah propinsi; Pengelolaan pelabuhan regional; Pengendalian lingkungan hidup; Promosi dagang dan budaya/pariwisata; Penanganan penyakit menular hama tanaman, dan Perencanaan tata ruang propinsi. Adapun kewenangan Propinsi sebagai wilayah Administrasi mencakup kewenangan dalam bidang pemerintahan yang dilimpahkan kepada Gubernur selaku wakil Pemerintah. Pelaksanaan azas dekonsentrasi ini diletakkan pada Daerah Propinsi dalam kedudukannya sebagai Daerah Administrasi untuk melaksanakan kewenangan pemerintahan yang tidak diserahkan kepada daerah otonom. Bidang pemerintahan yang wajib dilaksanakan Daerah Kabupaten dan Daerah Kota meliputi pekerjaan umum, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan, pertanian, perhubungan, industri dan perdagangan, penanaman modal, lingkungan hidup, pertanahan, koperasi dan tenaga kerja. Kewenangan ini dilaksanakan oleh Pemerintah kota/kabupaten Kabupaten dan Daerah Kota serta tidak dapat dialihkan ke Daerah Propinsi. Hal tersebut dilaksanakan tanpa mengurangi arti dan 4 pentingnya prakarsa daerah dalam penyelenggaraan otonominya serta untuk menghindarkan kekosongan penyelenggaraan pelayanan dasar kepada masyarakat. Berbicara dalam konteks kewenangan Pengelolaan Lingkungan Hidup maka sesuai dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 (Pasal 7,8,9 dan 11) bahwa kewenangan pengelolaan lingkungan hidup secara garis besar telah diatur sebagai berikut : Daerah Kabupaten/Kota memiliki kewenangan melaksanakan pengelolaan lingkungan hidup di daerahnya. Daerah Propinsi memiliki kewenangan melaksanakan pengelolaan lingkungan hidup yang sifatnya lintas Daerah Kabupaten dan Daerah Kota, dan hal lain yang belum mampu dilaksanakan oleh Daerah Kabupaten dan Daerah Kota, di samping bertanggung jawab dalam pengendalian lingkungan hidup. Pemerintah Pusat memiliki kewenangan dengan berperan sebagai pengawas dan pembina dalam penyelenggaraan pengelolaan lingkungan hidup daerah. Pengaturan kewenangan pengelolaan lingkungan hidup sebagaimana tersebut di atas perlu didefinisikan dan diuraikan secara lebih jelas. Di samping butir 1., telah ditegaskan bahwa daerah berwenang mengelola sumber daya nasional yang tersedia di wilayahnya dan bertanggung jawab memelihara kelestarian lingkungan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Kewenangan Daerah wilayah laut meliputi : Eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan kekayaan laut sebatas wilayah laut tersebut; Pengaturan kepentingan administratif; Pengaturan tata ruang; Penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh Daerah; Bantuan penegakan keamanan dan kedaulatan negara. Kewenangan Daerah dimaksud perlu diikuti dengan suatu uraian penjelasan yang memadai untuk tetap menjaga kelestarian lingkungan hidup. Demikian halnya kewenangan bidang lain (di luar bidang politik luar negeri, pertahanan dan keamanan, peradilan, moneter/fiskal dan agama) yang masih melekat sebagai kewenangan Pemerintah Pusat, seperti : Kebijaksanaan tentang 5 perencanaan nasional dan pengendalian pembangunan secara makro, Pendayagunaan sumber daya alam serta teknologi tinggi yang strategis, dan Konservasi; sangat perlu dikaitkan untuk kepentingan pengamanan kelestarian lingkungan hidup global, regional maupun lokal. Untuk itu diperlukan suatu konsep yang jelas tentang hal dimaksud. Dengan diberlakukannya undang-undang tentang Pemerintahan Daerah, maka pada dasarnya seluruh kewenangan sudah berada pada daerah Kabupaten dan Daerah Kota. Dengan demikian wajah otonomi di masa yang akan datang cenderung menggembungkan kewenangan di tingkat daerah, sehingga akan terbentuk format dalam bentuk piramida, dengan kewenangan lebih besar pada Daerah Kabupaten/ Kota, sehingga intervensi Pemerintah Pusat kepada Daerah Kabupaten/Kota akan berkurang. Sebagai konsekuensi dari diberlakukannya undang-undang dimaksud, maka lembaga pembantu Gubernur, Pembantu Bupati, Pembantu Walikotamadya, dan Badan Pertimbangan Daerah dihapus. Demikian pula instansi vertikal di daerah selain yang menangani bidang-bidang luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, serta agama menjadi perangkat Daerah. Semua instansi vertikal yang menjadi perangkat daerah, kekayaannya dialihkan menjadi milik daerah. Ditegaskan bahwa selama belum ditetapkannya peraturan pelaksanaan undang-undang tersebut, seluruh instruksi, petunjuk atau pedoman yang ada atau yang diadakan oleh Pemerintah dan Pemerintah kota/kabupaten jika tidak bertentangan dengan undang-undang ini dinyatakan tetap berlaku. Ketentuan peraturan perundang-undangan yang bertentangan dan/atau tidak sesuai dengan undang-undang ini harus diadakan penyesuaian. Dengan menyimak uraian tersebut di atas, maka sesuai dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah sudah jelas bahwa urusan pemerintahan di bidang lingkungan hidup sudah menjadi kewenangan Daerah Kabupaten dan Daerah Kota, sedang Daerah Propinsi hanya menangani bidang lingkungan hidup yang sifatnya lintas Daerah Kabupaten dan Daerah Kota, dan hal lain yang belum mampu dilaksanakan oleh Daerah Kabupaten dan Daerah Kota, di samping bertanggung-jawab dalam pengendalian lingkungan hidup. Perlu digaris bawahi bahwa pemerintah daerah Propinsi dapat melakukan intervensi ke daerah Kabupaten/Kota jika pemerintah Kabupaten/Kota secara formal meminta bantuan dalam penanganan masalah lingkungan hidup di daerahnya (Hak Inisiatif 6 pemerintah Kabupaten/Kota). Sedangkan pemerintah pusat sebagai pengawas dan pembina diharapkan dapat memfasilitasi penyelenggaraan pengelolaan lingkungan hidup daerah dalam arti upaya memberdayakan daerah otonom dalam pengelolaan lingkungan hidupnya melalui pemberian pedoman, bimbingan, pelatihan, arahan dan supervisi. b. Konsep Pelayanan Publik Dalam Era Otonomi Daerah. Berbicara dalam konteks lahirnya konsep otonomi daerah sebagai bentuk peningkatan pelayanan publik, maka pengelolaan lingkungan hidup juga diikutsertakan dalam dua strategi utama yaitu pertama, Pemberdayaan Daerah Propinsi dan Daerah Kabupaten/Kota berupa : 1. Peningkatan sumber daya manusia/SDM. Perlu dirumuskan suatu konsep peningkatan SDM pengelola lingkungan hidup daerah yang lebih efisien dan efektif. Dalam kaitan ini khususnya di sektor pemerintah yang memberlakukan kebijakan zero growth perlu segera disusun program penataan pegawai dan program peningkatan kemampuan aparatur pemerintah daerah di bidang pengelolaan lingkungan hidup. Keterbatasan manual-manual teknis pengelolaan lingkungan hidup dan pengendalian dampak lingkungan di Tingkat Daerah perlu mendapatkan perhatian di dalam merumuskan konsep peningkatan kemampuan aparatur Pemerintah Daerah. 2. Penguatan Sumber daya Pembiayaan Guna mendorong kemampuan pembiayaan pengelolaan lingkungan hidup di Tingkat Daerah, maka perlu langkah untuk mengantisipasi undang-undang tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah. Antisipasi tersebut dilakukan melalui suatu pemikiran dan perumusan agar Dana Perimbangan yang terdiri dari penerimaan dari sumber daya alam, Dana Alokasi Umum, dan Dana Alokasi Khusus. Dimanfaatkan oleh Pemerintah Daerah untuk pembiayaan pembangunan dengan memperhatikan alokasi pembiayaan pengelolaan lingkungan hidup secara memadai. 3. Penguatan peralatan dan perlengkapan Upaya penguatan peralatan dan perlengkapan pengelolaan lingkungan hidup 7 daerah pada lembaga Bapedalda khususnya kantor dan laboratorium lingkungan daerah perlu dirumuskan secara strategis. Kedua, Strategi pemberdayaan masyarakat dan dunia usaha sebagai perwujudan konsep Good Governance dalam menjalankan roda pemerintahan. Dengan kewenangan penuh Daerah Kabupaten/Kota untuk melaksanakan pengelolaan lingkungan hidup daerahnya, maka kepada Daerah Kabupaten/Kota perlu dibekali kemampuan di dalam meningkatkan keberdayaan masyarakat dan dunia usaha di dalam pengelolaan lingkungan hidup. Sesuai dengan tujuan strategi ini maka ada dua hal yang harus dilakukan secara berkesinambungan yaitu pertama, meningkatkan kemampuan Daerah Kabupaten/Kota di dalam membina dunia usaha untuk menghasilkan produk-produk komoditi daerah yang ramah lingkungan melalui program-program cleaner production, ecolabeling, ecoeficiency guna mengantisipasi perdagangan bebas. Kedua, menyiapkan social control systems (SCS) dalam pengelolaan lingkungan hidup di daerah. Dengan SCS ini maka kedekatan pemerintah dengan masyarakat lewat transparansi informasi pengelolaan lingkungan hidup (salah satu ukuran meningkatnya pelayanan publik) akan memberikan peluang lahirnya partisipasi masyarakat yang lebih besar dalam pembangunan. Masyarakat daerah akan lebih berperan aktif dalam menilai sejauh mana keberhasilan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup di daerahnya. Proses timbal balik (kontrol sosial) antara pemerintah dan masyarakat inilah yang diharapkan muncul dalam otonomi daerah di masa depan. Dalam ruang lingkup pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup, Isu Otonomi Daerah merupakan isu yang kompleks. Kompleksitas ini menyangkut kompleksitas konsep, komitmen, dan implementasi. Kompleksitas ini masih harus dipecahkan lebih lanjut dengan win-win solution baik secara top down approach maupun bottom up approach (dalam garis kepemimpinan vertikal) dan garis kepemimpinan horizontal. Bagaimana seluruh jajaran pemerintah menyingkapi masalah pengelolaan serta pelestarian sumber daya alam dan lingkungan hidup, baik ditingkat kasus maupun konflik merupakan isu strategis bagi pengembangan institusi pengelolaan lingkungan hidup di masa depan. Rumusan konsep pelaksanaan otonomi di bidang pengelolaan lingkungan hidup pada tataran strategi akan dijadikan sumber dan acuan di dalam mewarnai penyusunan dan revisi segala peraturan perundang-undangan dan peraturan pelaksanaan yang terkait dengan pengelolaan lingkungan hidup daerah. 8 II. SKEMA HUBUNGAN ANTARA ISU OTONOMI DAERAH DENGAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN. Konsep Kewenangan Pengelolaan Lingkungan Hidup Dalam Era Otonomi Daerah. Konsep Pelayanan Publik Dalam Era Otonomi Daerah Otonomi daerah : Proses transformasi ekonomi politik untuk menuju pemerintahan yang lebih baik Piranti hukum : UU No. 22/ 1999, PP No. 25 Tahun 2001, dan RUU tentang pemerintah daerah tahun 2004 Pemisahan hak dan kewajiban antara pemerintah Pusat, Propinsi dan Kabupaten/Kota Pelaksanaan Good Governance antara pemerintah pusat, Propinsi, dan Kabupaten/Kota dengan masyarakat dan dunia usaha. Kesamaan platform pengelolaan lingkungan hidup sebagai salah satu indikator keberhasilan otonomi daerah (Politik Lingkungan) 9 III. PERMASALAHAN OTONOMI DAERAH DI INDONESIA. Untuk menilai sejauh mana isu otonomi daerah telah dilaksanakan dalam penyelenggaraan lingkungan hidup maka perlu dilakukan pengukuran terhadap kinerja penyelenggara lingkungan selama periode pengamatan tahun 2001-2003, sehingga dalam pemetaan langkah kerja bagi penyelenggara lingkungan tahun 2004-2009 dapat tercapai. Pengukuran kinerja penyelenggara lingkungan ini dilakukan dengan menggunakan tabel matrik berisikan masalah, uraian masalah, langkah yang sudah dilakukan, status, stakeholder yang terkait, dan bidang prioritas. Masalah berisikan pandangan umum mengenai permasalahan isu ekonomi, politik, dan sosial yang berkaitan erat dengan masalah lingkungan. Uraian masalah berisikan signifikansi dan verifikasi masalah yang telah terjadi selama periode pengamatan. Langkah aktual berisikan langkah-langkah penanganan masalah tersebut yang telah dilakukan selama ini. Status berisikan situasi dan kondisi yang sekarang terjadi. Stakeholder yang terkait berisikan pelaku penanganan masalah tersebut selama ini. Sedangkan Bidang prioritas berisikan pengelompokan masalah dan keterkaitan masalah tersebut menjadi bidang-bidang tertentu yang berhubungan dengan lingkungan. a. Penjelasan Isi Matrik Penyelenggaraan Lingkungan Periode Pengamatan 2001-2003. Masalah Pembagian bidang tugas lingkungan hidup bagi pemerintah pusat, daerah propinsi, dan daerah kabupaten / kota. Uraian Masalah Dalam konsep desentralisasi ekonomi, maka pembagian kewajiban lingkungan tiap pemerintahan pun terbagi- bagi. Langkah Aktual Baru taraf kebijakan dan perencanaan di semua jajaran pemerintahan. Hasil pelanggaran lingkungan masih diserahkan kepada pengadilan untuk diurus. Status Masih berubah- ubah terutama masalah perimbangan keuangan pusat dan daerah. Stakeholder yang Terkait Pemerintah Pusat Pemerintah Otonom Propinsi Pemerintah Kabupaten / Kota Bidang Prioritas Ekonomi Politik Lingkungan 10 Peran masyarakat non pemerintah terhadap pelanggaran lingkungan di daerah. Masyarakat melakukan penutupan paksa, baik perusahaan maupun instalasi limbah. Masyarakat melakukan clash action lewat jalur pengadilan. Masyarakat meminta ikut dilibatkan dalam penyusunan amdal proyek. Umumnya inisiatif masyarakatlah yang menyebabkan lahirnya perlakuan tersebut. Sosialisasi otonomi daerah sangat minim bahkan tidak ada. Telah dilakukan perundingan mengenai pengaruh langsung dan tidak langsung proyek, dan masalah ganti rugi yang layak. Peran langsung pemerintah, baik pemerintah pusat, daerah, dan DPR / DPRD masih minim. Masalah pemasaran telah berjalan antara Indonesia dengan Pemerintah Cina. Namun masalah ganti rugi belum berhasil. Masyarakat Pemerintah Pusat Pemerintah Otonom Propinsi Pemerintah Kabupaten / Kota LSM Lingkungan Volunteer. Dinas Pengelolaan Lingkungan Hidup Kabupaten Purwakarta. LSM PERDU Manokwari Menteri Negara Lingkungan Hidup Pertamina Beyond Petroleum (BP) Lembaga United Nations Human Settlements Programme. Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa Bandarharjo Pemerintah kota/kabupaten Kodya Semarang Direktorat Jenderal Cipta Karya Departemen Pekerjaan Umum Bank Dunia (Yayasan Peduli Pembangunan Perumahan dan Politik Sosial Lingkungan Peran masyarakat dalam meningkatkan kesejahteraan dan kebersihan secara mandiri di daerahnya. Proyek pemberdayaan masyarakat di beberapa daerah di Indonesia berhasil membebaskan kawasan ini dari genangan banjir permanen. Derajat ekonomi warga ikut terangkat. Kerjasama antara NGO, Pemerintah kota/kabupaten setempat dan swadaya masyarakat untuk membuat pembuangan sampah terpisah dan pembuatan kompos membuat Contoh Proyek pemberdayaan masyarakat adalah Program Perencanaan Pemukiman Kumuh Bandarharjo sejak awal tahun 1993. Proyek pengembangan sumber daya manusia Bandarharjo. Pembentukan Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM). Pembangunan jalan, pengelolaan drainase, penghijauan, Berhasil secara penuh sesuai komitmen. Daerah mencontohan Banjarsari telah berhasil menerapkan hal ini. Keberhasilan ini semata-mata adalah hasil jerih payah mandiri dan bukan dari pemerintah. Sosial Lingkungan 11 Politik Lingkungan Pemukiman Kota Besar Semarang- YP4K) Pusat Penelitian Oseanologi LIPI. UNESCO. Dinas Pariwisata Pemerintah Propinsi DKI Jakarta. Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) Perusahaan pelanggar lingkungan. Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah Komisi E DPRD. Pemerintah Propinsi. Pemerintah Kabupaten. Direktur PLN. Universitas Negeri dan Swasta. PLTA Jatiluhur. Yayasan Konservasi Lingkungan (Koling). Balai Konservasi dan Pemangkuan Hutan (BKPH). Dinas Pariwisata Kabupaten. Wakil Petani (Pengguna sumber daya alam). Secara operasional cara ini mampu meredam gejolak kebebasan tanpa aturan tapi secara konseptual cara ini justru memaksa pengadilan sebagai institusi pengawas pelanggaran lingkungan dan penggunaan sumber daya alam. Peran pemerintah menjadi hilang. dan air bersih. KSM Paguyuban Rumah Amblas (pinjaman tanpa bunga selama dua tahun senilai 5 juta rupiah) Isu Reformasi dan Otonomi Daerah menyebabkan konflik baru antar pengguna sumber daya alam yang terbatas sehingga menimbulkan sengketa dan tuding-tudingan kesalahan antar pemakai. Konflik antar anggota masyarakat dalam penggunaan sumber daya alam yang terbatas. Membuka musyawarah dan menjembatani kepentingan antara dua belah pihak tersebut. Kalau tidak bisa dilakukan maka dilakukan pembicaraan lewat jalur hukum. daerah pemukiman menjadi lebih asri. 12 Berdasarkan isi matrik penyelenggaraan lingkungan periode pengamatan 2001- 2003, perwujudan penyelenggaraan lingkungan hidup yang lebih baik memiliki beberapa kendala yang dapat dibagi menjadi 2 (dua) jenis kendala besar yaitu kendala eksternal dan kendala internal. Kendala eksternal adalah kendala yang ditemui di lapangan dan di luar otoritas pemerintah untuk menyelesaikannya. Sedangkan kendala internal adalah kendala yang berada pada tubuh pemerintah untuk menjalankannya. Contoh kendala-kendala ini akan dijelaskan pada sub bab berikut. 1. Kendala Eksternal. Dalam prakteknya selama ini telah terjadi beberapa kendala eksternal dalam penyelenggaraan lingkungan hidup yang lebih baik. Kendala eksternal pertama adalah konflik antar anggota masyarakat dalam penggunaan sumber daya alam yang terbatas. Isu Reformasi dan Otonomi Daerah justru menyebabkan konflik baru antar pengguna sumber daya alam yang terbatas sehingga menimbulkan sengketa dan tuding-tudingan kesalahan antar pemakai. Disadari atau tidak, kendala ini diawali dari tidak tersosialisasikannya dengan luas konsep Otonomi Daerah yang benar sehingga anggota masyarakat sering mensalahartikan otonomi daerah menjadi kebebasan. Sosialisasi otonomi daerah sangat minim bahkan tidak ada. Bagaimanakan peran masyarakat selama ini bereaksi terhadap pelanggaran lingkungan di daerah? Masyarakat (di sekitar kawasan tercemar) sering melakukan beberapa langkah seperti langkah penutupan paksa secara sepihak (baik perusahaan maupun instalasi limbah tersebut), langkah pengajuan clash action lewat jalur pengadilan, dan langkah pengajuan agar anggota masyarakat dilibatkan dalam penyusunan amdal proyek. Pada umumnya langkah-langkah ini murni merupakan inisiatif masyarakat yang merasa dirugikan. Selama ini pemerintah baru membuka musyawarah dan menjembatani kepentingan antara dua belah pihak tersebut. Pemerintah umumnya telah menyelenggarakan penelitian mengenai pengaruh langsung dan tidak langsung proyek, dan masalah ganti rugi yang layak. Kalau tidak bisa dilakukan lebih lanjut maka dilakukan pembicaraan lewat jalur hukum. Secara operasional cara ini mampu meredam gejolak kebebasan tanpa aturan tapi secara konseptual cara ini justru memaksa pengadilan sebagai bagian terpenting dalam institusi pengawas pelanggaran 13 lingkungan dan penggunaan sumber daya alam. Dengan kata lain, peran langsung pemerintah (baik pusat maupun daerah) menjadi hilang. Kendala eksternal kedua adalah merupakan kendala psikologis dari masyarakat untuk berusaha mengembangkan peran dirinya dalam meningkatkan kesejahteraan dan kebersihan secara mandiri di daerahnya. Konsep Otonomi Daerah sering diartikan oleh masyarakat sebagai konsep pelimpahan tanggung jawab hidup masyarakat sepenuhnya kepada pemerintah kota/kabupaten. Padahal tanpa konsep otonomi daerah pun, beberapa proyek pemberdayaan masyarakat di beberapa daerah di Indonesia berhasil mengangkat derajat ekonomi warga dengan membebaskan kawasan pemukimannya dari genangan banjir permanen. Hasil pengembangan kerjasama antara NGO (luar negeri) yang turut peduli dan swadaya masyarakat justru memperlihatkan langkah konkrit dibandingkan sekedar menunggu bantuan pemerintah kota/kabupaten atau pusat untuk mengambil inisiatif perubahan (seperti membuat pembuangan sampah terpisah dan pembuatan kompos yang membuat daerah pemukiman menjadi lebih asri). Bahkan beberapa proyek pemberdayaan masyarakat seperti Program Perencanaan Pemukiman Kumuh Bandarharjo, proyek Pengembangan Sumber Daya Manusia Bandarharjo, pembentukan Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) Paguyuban Rumah Amblas, pembangunan jalan, pengelolaan drainase, penghijauan, dan air bersih berhasil secara penuh murni swadaya masyarakat daerah Semarang. 2. Kendala Internal. Kendala internal pertama adalah kendala koordinasi penyelenggaraan lingkungan antara pemerintah pusat dan daerah. Masalah ini merupakan masalah yang terbesar karena sebagian besar koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah masih berkutat dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah, sedangkan koordinasi operasional dan fungsi kontrol sosial masyarakat terhadap pengelolaan lingkungan masih belum tersikapi dengan jelas. Kendala internal kedua adalah konsep pertanggungjawaban penyelenggaraan lingkungan yang melintasi batas propinsi / kota / kabupaten. Jika pelanggaran lingkungan tersebut melewati batas wilayah tertentu maka pertanggungjawaban penyelenggaraan lingkungan yang lebih baik menjadi tidak jelas dengan UU No. 22 Tahun 1999 tersebut. Contoh yang nyata misalnya kasus pencemaran sungai dan TPS (tempat pembuangan sampah). Sungai biasanya selalu melintasi beberapa 14 batas kota / kabupaten. Demikian pula dengan TPS (Contoh : Bantar Gebang). Konsentrasi pencemaran dari hulu ke hilir merupakan rangkaian tanggung jawab perbaikan yang berbeda-beda pula. Dengan kata lain, batas wilayah tidak dapat dijadikan satu-satunya landasan teori dan operasional untuk penyelenggaraan lingkungan yang lebih baik. 15 SPEKTRUM EKONOMI POLITIK PEMBANGUNAN DALAM RUANG LINGKUP PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP I. PENDAHULUAN. Disadari atau tidak, pengamat-pengamat ekonomi Indonesia telah menempatkan ekonomi politik pembangunan Indonesia sebagai ekonomi politik pembangunan negara dunia ketiga. Penempatan blok ekonomi politik pembangunan tersebut lebih didasarkan pada penempatan Indonesia sebagai lahan sumber daya dan potensial market dalam perdagangan dunia. Dengan kata lain, Indonesia masih menjadi obyek ekonomi politik internasional dan belum menjadi subyek ekonomi politik internasional. Ciri khas ini yang mendasari penempatan Indonesia sebagai negara dunia ketiga. Bagaimana posisi ekonomi politik negara dunia ketiga dan hubungannya dengan negara-negara maju dalam perekonomian internasional merupakan pertanyaan yang sangat besar(Michael P. Todaro : 164). Dengan meningkatnya aktivitas perdagangan (ekspor/impor), berkembangnya penanaman modal swasta dan bantuan keuangan dari pemerintah, dan perbaikan dalam persyaratan untuk melakukan transfer teknologi dan kerjasama yang lebih erat dalam banyak bidang lain, kebutuhan-kebutuhan yang sangat mendesak dari Dunia Ketiga diharap dapat dipecahkan lebih cepat. Integrasi yang lebih luas dan mendalam antara Dunia Ketiga dan perekonomian internasional merupakan garis pedoman dalam cara pikir dan cara tindak dalam politik pembangunan. Sebaliknya, ada yang mengatakan bahwa hanya melalui kemerdekaan selekasnya, masyarakat dan perekonomian Dunia Ketiga dapat berdiri di atas kaki sendiri, untuk melakukan kerjasama jangka panjang yang berhasil dengan masyarakat dan perekonomian lain di gelanggang internasional. Bukan integrasi, tetapi didasarkan oleh tiap keadaan kongkrit-pembebasan dirilah yang akan menentukan orientasi dalam program politik pembangunan. Tulisan ini tidaklah bermaksud untuk menggambarkan politik pembangunan yang menekankan disosiasi sebagai cara pemecahan semua masalah dunia. Yang lebih dimaksudkan ialah merangsang pemikiran, yang dapat diterima, baik atas dasar pengalaman-pengalaman sejarah yang kuat maupun berdasarkan hasil penelitian-penelitian baru mengenai struktur sosial dan ekonomi Dunia Ketiga dan perekonomian internasional, yang menimbulkan kesulitan-kesulitan dan masalah-masalah yang sangat mendesak 16 di Dunia Ketiga. Melalui kajian ini, konsep ekonomi politik pembangunan yang berlandaskan konsep lingkungan guna menunjang pembangunan berkelanjutan dapat dipahami dan dimengerti sepenuhnya. a. Dasar-Dasar Ekonomi, Politik, dan Sosial Yang Mampu Berkembang. Penelitian-penelitian sejarah komparatif menunjukkan bahwa prasyarat bagi suatu pembangunan ekonomi dan sosial yang berhasil adalah pemupukan modal dalam suatu bentuk khusus. Dari segi pandangan murni ekonomi, gabungan faktor- faktor berikut ini merupakan hal yang fundamental : Peningkatan produksi pertanian secara nyata, sehingga makanan pokok untuk rakyat sendiri dan penyediaan bahan-bahan mentah terjamin. Produksi perindustrian dari barang-barang konsumen yang dapat dibeli oleh rakyat banyak, yakni barang-barang konsumsi massa yang berbeda dengan barang-barang konsumsi mewah. Produksi perindustrian dari alat-alat produksi : peralatan pertanian, alat- alat produksi untuk membuat barang-barang konsumsi misalnya pembuatan mesin-mesin ringan, alat-alat produksi untuk membuat alat-alat selanjutnya, seperti mesin-mesin untuk membuat pesawat-pesawat, komputer, teknik kontrol dan teknik pengaturan, telekomunikasi. Produksi barang-barang setengah jadi : produk-produk setengah jadi untuk barang-barang konsumsi seperti besi dan baja, kimia, energi ; barang-barang setengah jadi untuk alat-alat produksi, seperti industri besi dan baja, energi, logam-logam NE. Pembuatan prasarana dan barang-barang yang disebut konsumsi kolektif seperti jaringan lalu lintas dan komunikasi, tempat-tempat pendidikan, dinas kesehatan, dan sebagainya. Sejarah dari perekonomian yang mampu berkembang didasarkan pada perkembangan dan timbulnya secara lambat laun perhubungan timbal balik dari lapangan-lapangan ekonomi tersebut. Dalam perkembangan yang memakan waktu lama, makin tersusunlah struktur ekonomi dan demikian pula sistem politik, struktur masyarakat, sistem hukum dan seterusnya, sedangkan pada waktu yang sama hubungan intern timbal balik makin bertambah banyak pula. Badan-badan 17 sosial dan badan-badan ekonomi yang bersusun lapis dan saling terikat secara intern demikian, dapat melakukan fungsi-fungsi pokok tertentu seperti berikut (Hans Dieter Senghaas : 50) : Biasanya di dalam badan-badan tersebut rakyat banyak diintegrasikan secara produktif dalam perekonomian : orang-orang memperoleh pekerjaan, menerima penghasilan dan menjadi konsumen, sehingga perbagai kebutuhan mereka dapat terpenuhi. Dalam perekonomian demikian terdapat hubungan intern diantara bentuk aparat produksi, jenis kegiatan, pembagian pendapatan dan isi konsumsi. Hubungan intern ini dapat dilihat dalam proses perkembangan organik dari yang mudah sampai pada yang sukar untuk diuraikan : suatu teknologi yang rata-rata kurang potensial karena menghasilkan pendapatan rendah dan permintaan atas barang-barang peralatan dan konsumsi yang murah menuju suatu teknologi yang maju dan perekonomian potensial yang memungkinkan pendapatan yang lebih tinggi dan pemuasan macam-macam kebutuhan. Perekonomian yang demikian mengandung banyak kemungkinan berupa kemajuan teknologi sampai pada tahap tertentu sehingga menentukan seluruh dinamika perkembangan. Perekonomian yang demikian dipengaruhi oleh perubahan struktur yang selalu terjadi. Inilah yang menjadi sebab berbagai krisis politik, sosial dan kebudayaan yang sering timbul, yang biasanya dapat diatasi oleh tiap masyarakat menurut caranya sendiri. Proses perkembangan yang berhasil dapat terlihat dalam kenyataan bahwa dari masyarakat-masyarakat yang mulanya terpecah-pecah, timbullah badan- badan sosial yang relatif bersatu. Proses sejarah yang panjang menimbulkan pembentukan negara-negara teritorial yang masing-masingnya berdasarkan kesatuan lembaga-lembaga politik, hukum, kebudayaan, bahasa, dan sebagainya, dengan ciri khas masing-masing. Tiap proses pembangunan yang berhasil sampai sekarang ditandai oleh tekanan khusus pada aspek-aspek tertentu dari pembangunan serta pada peningkatannya tahap demi tahap. Teori pembangunan menurut ilmu sosial baru, khusus menekankan pada dua faktor : yang satu pada tempat, yang diduduki oleh suatu masyarakat dalam pembagian kerja internasional, dan yang lain pada arti dari 18 konstelasi kekuasaan dan konstelasi dari kepentingan masyarakat itu sendiri. Kedua faktor itu mempunyai proses perkembangan masing-masing yang menimbulkan sifat-sifat khusus. Walaupun perkembangan sejarah yang berbeda dan orientasi sosial politik juga berbeda-beda, namun kedua konsep tersebut, terutama jika dibandingkan dengan banyak negeri dunia ketiga, menunjukkan lebih banyak persamaan daripada perbedaan dalam struktur pembentukan modal. Tak satupun dari kasus di atas bebas dari krisis ; dalam setiap kasus itu berkembang gejala-gejala krisis ; beberapa dari krisis itu saling bertalian, misalnya ekologi ; tetapi dalam semua kasus tersebut dengan adanya perbedaan besar pada tiap tahap perkembangan, terbinalah kemampuan untuk melakukan kegiatan-kegiatan dasar dalam ekonomi sebagaimana tersebut di atas, yang merupakan syarat pokok bagi pertumbuhan kemakmuran. b. Konteks Lingkungan hidup dalam Format Keadilan Masa Depan. Keadilan masa depan diwujudkan dalam prinsip keberlangsungan hidup faktor- faktor produksi yang lebih lama sehingga generasi mendatang masih dapat menikmati dari hasil produksi tersebut. Konsep ini merupakan nyawa dari konsep sustainable development yang telah dikembangkan di beberapa negara di dunia. Sedangkan penyelenggaraan lingkungan hidup yang jauh lebih baik merupakan nyawa dari prinsip keadilan masa depan. Selama ini lingkungan hidup masih dipandang sebagai pendukung faktor produksi. Artinya bahwa lingkungan hidup hanya dipandang sebagai bagian kecil dari pemenuhan kebutuhan faktor produksi. Dalam konsep keadilan masa depan maka penyelenggaraan lingkungan hidup memperoleh porsi yang sama pentingnya dengan penyediaan faktor produksi. Keseimbangan antara penyelenggaraan lingkungan hidup dengan penyediaan faktor produksi menyebabkan lahirnya konsep kemakmuran baru di masa depan. Bagaimana keseimbangan tersebut dapat terjadi di masa depan akan diulas sebagai berikut. Langkah pertama adalah penyelenggaraan lingkungan hidup dalam perwujudan pengentasan kemiskinan dan pembangunan pendidikan. Gejala kemiskinan yang mudah diketahui adalah kekurangan gizi, penyakit, tingginya tingkat kematian bayi, dan rendahnya harapan hidup, sedangkan gejala kemiskinan yang terselubung 19 adalah tingginya persentase buta huruf (baca tulis) dan lingkungan hidup hidup yang tidak manusiawi. Munculnya gejala tersebut pada umumnya disebabkan oleh ketidakmampuan dari orang miskin untuk memenuhi semua kebutuhan pokok hidupnya, sehingga mereka cenderung untuk mengabaikan hal-hal yang mereka rasa tidak mempengaruhi dalam kesehariannya. Keseimbangan antara penyelenggaraan lingkungan hidup dengan penyediaan faktor produksi dapat terjadi apabila pemerintah tidak saja membantu meningkatkan taraf hidup sumber daya manusia tetapi juga meningkatkan tingkat pendidikan dan budaya sehingga wacana mengenai lingkungan hidup hidup tidak hanya menjadi kiasan semata.. Untuk itu, langkah penyelenggaraan lingkungan hidup termasuk didalamnya adalah menaikkan anggaran belanja negara peruntukan bidang pendidikan serta dapat memberikan subsidi maupun beasiswa bagi anak-anak kelompok miskin agar dapat mengecap pendidikan. Jaminan untuk kelompok miskin juga perlu diupayakan melalui peningkatan solidaritas dari anggota masyarakat yang lebih mampu. Langkah kedua adalah penyelenggaraan lingkungan hidup dalam perubahan pola produksi dan konsumsi. Pola konsumsi dan produksi yang berkelanjutan di Indonesia masih belum sepenuhnya disadari oleh masyarakat Indonesia. Kebutuhan hidup pokok seperti sandang, pangan, papan, air bersih dan energi dari tahun ke tahun terus meningkat sejalan dengan peningkatan pertumbuhan penduduk, terutama di kawasan perkotaan, serta pergeseran pola produksi agraris menjadi industri. Peningkatan pendapatan di sektor industri mengakibatkan perubahan pola konsumsi yang cenderung konsumtif dan tidak berkelanjutan. Sebagai konsekuensinya, terjadi ketidakseimbangan antara pasokan dan permintaan materi dan energi yang selanjutnya mengakibatkan pemenuhan kebutuhan hidup pokok yang tidak merata. Pola konsumsi dan produksi menyangkut berbagai aspek, namun saat ini yang paling mendesak untuk ditelaah lebih lanjut adalah mineral dan energi serta transportasi. Pembangunan di sektor mineral dan energi ini selain memberikan dampak positif juga menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan hidup berupa kerusakan alam, berkurangnya jumlah dan jenis tumbuh-tumbuhan yang secara tidak langsung mengganggu fungsi hidrologis. Salah satu contoh arah kebijakan di sektor mineral dan energi adalah peninjauan yang menyeluruh terhadap pencarian cadangan mineral yang disesuaikan dengan produksi sehingga rasio di antara keduanya memberi harapan penggunaan cadangan mineral untuk 20 jangka waktu yang lebih panjang. Sedangkan pembangunan di sektor transportasi dalam aspek lingkungan hidup, peningkatan transportasi ini memiliki andil yang besar dalam penggunaan energi. Peningkatan penggunaan energi tersebut telah mengakibatkan peningkatan emisi gas rumah kaca (GRK) terutama nitrogen oksida (NOx) dan karbon dioksida (CO2). Salah satu contoh langkah penyelenggaraan lingkungan hidup di sektor transportasi adalah penyusunan rencana pembangunan kota yang didasarkan pada rencana tata ruang yang dipadukan dengan rencana sistem transportasi. Langkah ketiga adalah penyelenggaraan lingkungan hidup dalam perlindungan dan penyelenggaraan sumber daya alam. Sumber daya alam ini termasuk didalamnya adalah sumber daya atmosfer dan perubahan iklim, hutan, pertanian, keanekaragaman hayati, laut dan pesisir, dan yang terakhir adalah sumber daya air bersih. Salah satu contoh arahan kebijakan dalam penyelenggaraan sumber daya atmosfer dan iklim adalah pengurangan kegiatan yang dapat mempercepat perubahan iklim dan meningkatkan kemampuan untuk mengatasi dan menyesuaikan pada perubahan iklim karena Indonesia adalah negara yang rentan terhadap perubahan tersebut baik dilihat dari segi ekonomi maupun aspek lainnya. Sedangkan contoh langkah penyelenggaraan lingkungan hidup dalam penyelenggaraan sumber daya hutan adalah mempertimbangkan besarnya tingkat kerusakan sumber daya hutan akibat pemanfaatan hasil hutan kayu, kecilnya keuntungan yang diperoleh masyarakat sekitar hutan dari pola pemanfaatan hasil kayu tersebut, dan mempertimbangkan hutan sebagai penyimpan karbon (carbon sink), maka diperlukan juga pergeseran tekanan penyelenggaraan sumber daya hutan dari pola tree management menjadi pola forest ecosystem management. Pergeseran paradigma penyelenggaraan sumber daya hutan ini mensyaratkan ditingkatkannya pemahaman tentang penyelenggaraan ekosistem hutan melalui program penelitian yang terencana secara sistematis. Contoh lain langkah penyelenggaraan lingkungan hidup dalam penyelenggaraan sumber daya berbasis pertanian adalah peninjauan ulang, revisi, dan mengubah kebijakan di bidang pertanian dengan memasukkan prinsip-prinsip pertanian berkelanjutan berbasis masyarakat. Sedangkan contoh langkah penyelenggaraan lingkungan hidup dalam penyelenggaraan sumber daya hayati adalah pengembangan dan implementasi pendekatan yang terintegrasi seperti pendekatan 21 ekosistem dalam setiap kegiatan ekonomi yang memanfaatkan lingkungan hidup dan sumber daya hayati yang terdapat didalamnya. Langkah penyelenggaraan lingkungan hidup dalam penyelenggaraan sumber daya kelautan dan pesisir adalah pembuatan strategi penyelenggaraan wilayah pesisir, rencana zonasi meliputi alokasi spasial dan penyelenggaraan pemanfaatan, rencana penyelenggaraan yang meliputi panduan daerah tentang prioritas dan pemanfaatan sumber daya yang ada, dan rencana pelaksanaannya. Pada pelaksanaannya di atas dalam hal pengambilan keputusan perlu transparan dan partisipasif, demikian juga dalam hal implementasi, pemantauan dan evaluasi. Sedangkan contoh langkah penyelenggaraan lingkungan hidup dalam penyelenggaraan sumber daya air bersih adalah koordinasi pelaksanaan UU No. 22 tahun 1999 diantara kepala daerah dalam eksploitasi air dan penyelenggaraannya secara serius melalui program penyelenggaraan air terpadu dengan memperhatikan peningkatan akses terhadap air bersih, konservasi air dan partisipasi masyarakat. Langkah keempat adalah penyelenggaraan lingkungan hidup dalam pembangunan kesehatan dan pembangunan berkelanjutan. Penyelenggaraan lingkungan hidup yang dilakukan adalah peningkatan pelayanan kesehatan primer melalui PUSKESMAS dan POSYANDU dengan secara partisipatif terhadap masyarakat dengan mempertimbangkan nilai, keyakinan dan norma budaya. Untuk itu perlu komunikasi inovasi antara pihak pemberi pelayanan dan penerima pelayanan. Langkah kelima adalah penyelenggaraan lingkungan hidup dalam penyelenggaraan pemukiman. Langkah penyelenggaraan lingkungan hidup dalam penyelenggaraan pemukiman adalah merencanakan dan melaksanakan pembangunan pemukiman terpadu yang memperhatikan kondisi lokal yaitu kondisi ekosistem, lapangan pekerjaan, pelayanan masyarakat, keragaman sosial budaya dan sosial ekonomi. Termasuk isu penting adalah partisipasi kelompok utama dan pemberdayaan masyarakat untuk memfasilitasi pembangunan pemukiman yang spesifik lokal. Kelima langkah penyelenggaraan lingkungan hidup tersebut merupakan keseimbangan yang penting dalam format keadilan masa depan. Tanpa adanya keseimbangan tersebut maka kemakmuran ekonomi politik yang ada tidak berumur panjang, yang pada akhirnya akan menyeret bangsa Indonesia menuju krisis ekonomi yang berkelanjutan. 22 c. Keterkaitan Struktur Ekonomi Politik Pembangunan Indonesia dengan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup. Sebagai akibat dari ekonomi politik pembangunan Indonesia yang konvensional maka laju pertumbuhan kemakmuran (potensial welfare) yang diharapkan menghasilkan beberapa distorsi. Distorsi ini tidak saja berlaku bagi bidang ekonomi dan politik saja, melainkan meluas sampai ke bidang sosial dan lingkungan. Belum diterapkannya prinsip Good Governance dalam dunia politik membawa efek negatif bagi pelaksanaan kebijakan ekonomi politik pembangunan di Indonesia (Surna Tjahja Djajadiningrat : 28). Pada akhirnya kegagalan pelaksanaan kebijakan tersebut berakibat buruk bagi bidang sosial dan lingkungan. Kasus kegagalan yang sering kali mencuat diantaranya kasus penyelenggaraan infrastruktur, tata kota dan lahan, dan pelanggaran lingkungan merupakan kasus kegagalan yang terus menerus berlangsung tanpa penyelesaian yang tuntas. Dalam kasus penyelenggaraan infrastruktur air bersih misalnya, 2002-2003 Global Competitiveness Report merujuk bahwa kualitas infrastruktur Indonesia secara keseluruhan berada di urutan ke-64 dari 80 negara. Survei lain oleh Bank Dunia untuk 12 negara di Asia dan Australia menunjukkan, dalam hal penyediaan air bersih, Indonesia berada di urutan ketujuh, dengan hanya 16 persen dari populasi yang memiliki akses air bersih (Nila Ardhianie : 1). Rancangan Undang-Undang Sumber Daya Air versi terakhir pembahasan Panitia Kerja Komisi IV DPR telah dibuat. Pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) SDA sendiri sudah mendekati final. Meskipun kontroversi dan penolakan muncul di sana-sini, kenyataannya panitia kerja (panja) menyetujui berbagai pasal yang sebelumnya menggantung dan menimbulkan perdebatan keras, di antaranya soal ekspor air dan pembiayaan irigasi. Beberapa ahli bahkan mengatakan, versi RUU hasil panja justru memiliki kualitas lebih rendah dibanding draf sebelumnya. Misalnya, masalah koordinasi yang selama ini menjadi momok dalam pengelolaan apa saja di Indonesia masih tumpang tindih, tidak jelas. Kebingungan dalam pembagian peran jelas terlihat dalam RUU. Besar kemungkinan hal ini dipicu arah kebijakan SDA ke depan yang akan amat mengurangi peran pemerintah, baik dalam pengelolaan di desa maupun kota. Pengelolaan di kota secara bertahap akan diserahkan kepada swasta, sementara di desa diserahkan kepada masyarakat petani. Ke depan, tugas dan wewenang pemerintah hanya dalam penetapan alokasi air, pengawasan mutu pelayanan, memfasilitasi pengaduan masyarakat, dan 23 memberi izin pengusahaan. Pengelolaan oleh swasta seperti terjadi di DKI Jakarta dan berbagai variannya sering disebut privatisasi. Banyak ahli mendefinisikan privatisasi sebagai pengalihan sebagian atau seluruh aset/pengelolaan dari perusahaan publik ke swasta. Hal penting lain yang perlu dicermati dari RUU ini adalah akan diberlakukannya sistem hak guna air yang terbagi atas hak guna pakai dan hak guna usaha. Hak guna pakai diperoleh tanpa izin untuk kebutuhan pokok dan pertanian rakyat. Adapun hak guna usaha diberikan kepada perorangan atau badan usaha. Izin untuk hak guna usaha dikeluarkan pemerintah atau pemerintah daerah (pemda) sesuai kuota air yang ditetapkan. Dalam pelaksanaannya, hak guna akan diberikan dalam satu kesatuan dokumen perizinan, mencakup jumlah alokasi air baku dalam satuan tertentu, izin lokasi pengambilan, jangka waktu, dan persyaratan teknis. Para ahli mengatakan bahwa di masa depan perdagangan air merupakan konsekuensi logis memperlakukan air sebagai economic good sehingga alokasinya harus ditentukan pasar kompetitif yang akan segera diberlakukan di Indonesia. Artinya jika alokasi penjualan hak guna pakai dirasakan lebih rendah dari hak guna usaha sejumlah air maka kompensasi harus diatur untuk membayar pemilik hak guna pakai. Dalam penelitian LPEM-FEUI melihat bahwa target pertumbuhan ekonomi sebesar 6-7 persen pada tahun 2006 tampaknya sulit tercapai tanpa peningkatan signifikan perbaikan infrastruktur. Apalagi dengan rasio elektrifikasi Indonesia yang hanya 53,4 persen. Dengan persentase sebesar itu, Indonesia berada di urutan ke-11 dari 12 negara di Asia. Padahal dengan peningkatan infrastruktur kelistrikan tersebut justru mendorong berkurangnya masyarakat miskin. Dibutuhkan waktu paling tidak 10 tahun untuk mengejar ketertinggalan ini. Wajar jika masalah infrastruktur menjadi isu penting dalam sidang CGI. Persoalannya, anggaran merupakan kendala yang dihadapi pemerintah dalam memperbaiki infrastruktur ini. Kita bisa melihat, dalam struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, persentase pengeluaran pembangunan hanya berkisar 70 persen dari total pengeluaran pemerintah. Padahal anggaran pembangunan adalah kunci investasi pemerintah, termasuk untuk infrastruktur. Dalam hal ini memang bantuan pembiayaan dari luar amat diharapkan. Ironisnya, kemampuan untuk menggunakan bantuan asing secara maksimal masih relatif rendah. 24 Kasus tata kota dan lahan juga menjadi masalah penting. Dalam sistem ekonomi global dengan pertumbuhan ekonomi sebagai ukuran keberhasilan, satu-satunya perkara penting bagi penguasa kota adalah bagaimana mengintensifkan dan memperluas pasar demi keuntungan tinggi. Dalam sistem macam itu, kota dipahami dan dikelola sebagai badan usaha sekaligus pasar, yang di dalamnya segala sesuatu bisa dijual (tak terkecuali ruang). Warga kota dipandang tak lebih sebagai konsumen. Sebagai pasar, kota dikembangkan dengan membangun pusat bisnis dan perdagangan skala besar, termasuk perkantoran, apartemen, dan rumah mewah. Pembangunan supermarket, mal, plaza, dan pusat-pusat perbelanjaan dijadikan jalan tunggal pertumbuhan kota sekaligus solusi kemacetan ekonomi kota. Tata ruang kota diabaikan. Kota dikelola dengan manajemen serba spontan. Sebagai contoh nyata, perkembangan Kota Jakarta telah begitu menyimpang dari Rencana Umum Tata Ruang Kota (RUTR) 19852005. Jakarta menjadi kota inefisien dan tidak nyaman. Banjir tahunan menghanyutkan miliaran rupiah, selain korban jiwa dan orang sakit. Daerah rawan banjir meluas. Bukan hanya konsumsi ruang untuk kegiatan komersial yang meningkat, tetapi juga konsumsi mobil pribadi. Tahun 2002, dari 3.870.758 populasi kendaraan bermotor di Jakarta, 91,3 persen (3,53 juta unit) kendaraan pribadi dan 2,5 persen (96.750) kendaraan umum. Dengan jumlah itu, kendaraan pribadi hanya bisa mengangkut 42,8 persen dari jumlah orang yang bepergian dalam sehari, sementara kendaraan umum yang populasinya 2,5 persen mengangkut 57,2 persen sisanya. Laju rata-rata (commuting time), meningkat menjadi 79 menit tahun 2000. Artinya, kemacetan kian menjadi-jadi akibat kesemrawutan kota dan tingginya populasi mobil pribadi. Meningkatnya jumlah penduduk miskin di kota-kota besar justru jadi indikator meningkatnya ketimpangan sosial dan ketidakberesan manajemen kota. Bukan sebaliknya, penduduk miskin sebagai sumber persoalan kota. Konsep kota sebagai badan usaha sekaligus pasar menyembunyikan gagasan, sebuah kota yang berhasil hanya dihuni oleh individu-individu yang berhasil. Keberhasilan individu diukur dari tingginya daya beli. Semakin kota dihuni banyak individu berdaya beli tinggi, kian berhasil kota itu sebagai badan usaha. Implikasinya, kota dirancang hanya untuk mereka yang berdaya beli tinggi. Sementara orang-orang miskin yang ada di luar jangkauan pasar, menjadi sasaran penertiban dan kontrol sosial. Apa yang terjadi kini adalah kota yang sedang kehilangan orientasi. Sifat sosial yang mendasari ada-nya kian terhapus komodifikasi ruang-ruang kota. Kota menjadi terfragmentasi dan terpolarisasi antara yang kaya dan miskin. Bentuk kota semakin 25 homogen dan didominasi oleh hadirnya ruang-ruang komersial. Kota bukan lagi ruang sosial, tetapi murni ruang ekonomi. Dalam ruang ekonomi, bukan hanya suara orang miskin yang dianggap sepi, tetapi juga suara cendekiawan, mahasiswa, dan ulama. Kasus pelanggaran lingkungan di Indonesia merupakan akibat dari kegagalan ekonomi politik pembangunan yang tidak tepat proses dan sasaran. Kasus pelanggaran ini dapat dibagi menjadi 2 (dua) bagian berbeda. Pertama, kasus pelanggaran lingkungan yang disebabkan dari proses ekonomi yang tidak berjalan dengan benar. Kasus pelanggaran lingkungan ini merupakan akibat dari kurangnya infrastruktur, tata kota dan lahan, dan kegiatan ekonomi yang merugikan. Contoh kegiatan ekonomi yang merugikan adalah penjarahan dan pengalihfungsian kawasan hutan menjadi kawasan pertanian di Kabupaten Garut (di bagian atas Gunung Mandalawangi) (Konflik Politik, Korupsi, dan Kerusakan Lingkungan : 1). Kegiatan ini meningkatkan luas lahan kritis di kabupaten ini mencapai 100.000 hektar dan menjadi faktor penyebab terjadinya longsor. Sekedar informasi bahwa sepanjang tahun 2003, sebenarnya banyak bencana alam tanah longsor dan banjir di wilayah Jabar. Sebagaimana disampaikan para ahli geologi, sebagian besar wilayah Jabar, terutama Jabar bagian selatan, memang rawan longsor karena kondisi tanah yang kurang padat. Di sisi lain, kesadaran warga dan para pengelola hutan untuk mempertahankan kawasan hutan cukup memprihatinkan. Semestinya peringatan para pakar geologi di atas ditanggapi dengan perilaku yang lebih berhati-hati dan berpikir ke depan dalam memanfaatkan potensi alam, khususnya potensi hutan. Namun, semua itu tersisihkan oleh kepentingan pribadi dan kepentingan jangka pendek. Dalam lima tahun terakhir, perusakan hutan di Jabar mencapai 100.000 hektar per tahun. Pada setiap kejadian bencana alam, warga umumnya menerima dengan pasrah derita yang harus mereka hadapi. Akibatnya, hampir tidak pernah ada perbaikan yang menyeluruh atau evaluasi yang benar-benar mendalam untuk memastikan tentang penyebab bencana ataupun langkah-langkah penanggulangannya agar tidak terjadi di daerah-daerah lain. Kalaupun ada mereka mengajukan gugatan perwakilan (class action) kepada pihak yang dianggap pelanggar lingkungan melalui Pengadilan Negeri (PN). Sayangnya, walaupun gugatan tersebut berhasil dikabulkan namun proses selanjutnya-akibat rumitnya jalur birokrasi dan politik- telah mengaburkan perjuangan menuntut keadilan para warga korban bencana alam. 26 Kedua, kasus pelanggaran lingkungan yang disebabkan dari kegagalan pemerintah setempat untuk mengkoordinasikan pelaksanaan perbaikan lingkungan. Kasus pengadaan rumpon di Kabupaten Belu dan di Kupang misalnya, yang menelan dana Rp 8,1 miliar untuk pengadaan sekitar 575 unit rumpon bagi nelayan (Konflik Politik, Korupsi, dan Kerusakan Lingkungan : 2). Prosesnya bermasalah dan negara dirugikan Rp 3,4 miliar. Dalam beberapa kasus selanjutnya, penulis akan merumuskannya dalam bab berikutnya. 27 E k o n o m i
P o l i t i k
P e m b a n g u n a n N e g a r a
D u n ia
K e t i g a ( B e r k e m b a n g ) P r o s e s
E k o n o m i
y a n g
T id a k B e r j a l a n
D e n g a n
B e n a r ( K e g a g a l a n
E k o n o m i P e m b a n g u n a n ) M a s a l a h
R e k l a m a s i
d i d a e r a h
r a w a n
b a n j i r . M a s a l a h
k e r u s a k a n
h u t a n . M a s a l a h
p e n g g u n a a n s u m b e r
d a y a
l a u t . M a s a l a h
k o n s e r v a s i
d a l a m t i n j a u a n
e k o n o m i
d a n p o l i t i k . M a s a l a h
p e n g a d a a n
t e n a g a l i s t r i k
y a n g
m u r a h M a s a l a h
s a m p a h M a s a l a h
p e n c e m a r a n l i m b a h
i n d u s t r i ,
t a m b a n g , d a n
p e t e r n a k a n M a s a l a h
p e m e k a r a n
k o t a b e s a r
d a l a m
e r a
r e f o r m a s i . K u r a n g n y a
I n f r a s t r u k t u r P e n a t a a n
K o t a
d a n
L a h a n y a n g
t i d a k
b e n a r K e g i a t a n
E k o n o m i
y a n g M e r u g i k a n K e g a g a l a n
K o o r d in a s i d a l a m
P e l a k s a n a a n P e r b a i k a n
L i n g k u n g a n ( K e g a g a l a n
P o l i t i k P e m b a n g u n a n ) M a s a l a h
p e n a n g a n a n
k a s u s b e n c a n a
a l a m . M a s a l a h
p e n g e l o l a a n S u m b e r
D a y a
A l a m t e r b a r u k a n
d a n
t i d a k t e r b a r u k a n . M a s a l a h
p e n g e l o l a a n s u m b e r
d a y a
l a u t . M a s a l a h
p e n g a d a a n S u m b e r
D a y a
A i r I I . S K E M A
H U B U N G A N
A N T A R A
I S U
E K O N O M I
P O L I T I K
P E M B A N G U N A N
D E N G A N
P E N G E L O L A A N L I N G K U N G A N . 28 III. PERMASALAHAN EKONOMI POLITIK PEMBANGUNAN. Untuk menilai sejauh mana isu lingkungan telah dilaksanakan dalam penyelenggaraan ekonomi politik pembangunan maka perlu dilakukan pengukuran terhadap kinerja penyelenggara lingkungan selama periode pengamatan tahun 2001-2003, sehingga dalam pemetaan langkah kerja bagi penyelenggara lingkungan tahun 2004-2009 dapat tercapai. Pengukuran kinerja penyelenggara lingkungan ini dilakukan dengan menggunakan tabel matrik berisikan masalah, uraian masalah, langkah yang sudah dilakukan, status, stakeholder yang terkait, dan bidang prioritas. Masalah berisikan pandangan umum mengenai permasalahan isu ekonomi, politik, dan sosial yang berkaitan erat dengan masalah lingkungan. Uraian masalah berisikan signifikansi dan verifikasi masalah yang telah terjadi selama periode pengamatan. Langkah aktual berisikan langkah-langkah penanganan masalah tersebut yang telah dilakukan selama ini. Status berisikan situasi dan kondisi yang sekarang terjadi. Stakeholder yang terkait berisikan pelaku penanganan masalah tersebut selama ini. Sedangkan Bidang prioritas berisikan pengelompokan masalah dan keterkaitan masalah tersebut menjadi bidang-bidang tertentu yang berhubungan dengan lingkungan. Masalah Arah Pembangunan Indonesia era Reformasi Uraian Masalah Arah pembangunan Indonesia yang masih bertujuan untuk meningkatkan pendapatan secara ekonomi merupakan aturan yang belum berubah. Sedangkan pengembangan lingkungan belum menjadi prioritas penting dalam pembangunan Indonesia. Yang Sudah Dilakukan Perbaikan masalah ekonomi terutama perbaikan nilai kurs mata uang, sedangkan masalah lingkungan masih Second option. Isu lingkungan selalu masuk dalam propaganda politik, namun pelaksanaannya selalu dikorbankan oleh kepentingan ekonomi. Status Dalam sudut pandang ekonom adalah baik (walaupun stagnan), namun dalam sudut lingkungan kurang baik. Keseimbangan pasar masih memungkinkan lahirnya konsep Money Politics di masa depan. Stakeholder yang Terkait Pemerintah Pusat Pemerintah Otonom Propinsi Pemerintah Kabupaten / Kota Partai Politik Bidang Prioritas Ekonomi Lingkungan 29 Otonomi Daerah sebagai alternatif lebih baik bagi sistem ekonomi politik di Indonesia Kesalahan sistem sentralisasi menyebabkan lahirnya sistem desentralisasi yang lebih menguntungkan masyarakat daerah Pengaturan lewat hukum yang berlaku (UU No. 22 tahun 1999 dan PP No. 25 tahun 2000). Pemekaran daerah menjadi beberapa propinsi / kabupaten / kota yang baru. Masih berupa wacana di tingkat pusat. Walaupun sudah dilakukan secara operasional di daerah. Tawar-menawar masalah pembagian keuangan pusat dan daerah masih berlangsung. Pemerintah Indonesia bakal terkena kartu kuning dari CGI yang berakibat pada pinjaman jangka panjang yang telah dicanangkan. Apalagi dengan belum terungkap bukti-bukti pelaksanaan pencurian kayu tersebut (belum pernah tertangkap tangan). Tawar menawar antar G to G tetap berlangsung. Pemerintah Pusat Pemerintah Otonom Propinsi Pemerintah Kabupaten / Kota Ekonomi Lingkungan CGI akan mengevaluasi keseriusan Indonesia mengatasi perusakan hutan. Tidak cukup kementerian kehutanan saja untuk menangkap pembabat hutan. Di sisi lain ada indikasi pemerintah dan partai politik setempat merupakan backing bagi penebang liar tersebut. Masalah Kehutanan di Indonesia. Dilakukan evaluasi CGI terhadap kinerja pengawasan hutan. Secara operasional dilakukan penyisiran sawmill untuk memastikan kayu tersebut legal atau tidak. Consultative Group on Indonesia (CGI). Yayasan Telapak Indonesia. Koordinator daerah Antar Kabupaten. Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan. Kepolisian dan Brimob Dinas Kehutanan Lembaga Investigasi Lingkungan (EIA) Departemen Kehutanan Bapedal Daerah (Pengendalian Kerusakan Ekosistem Pesisir dan Laut) Ekonomi Politik Lingkungan Ekonomi Politik Lingkungan Masih tahap rencana dan imbauan. Tawar menawar terus berlangsung. Masih perdebatan, namun secara teori dapat Sumber daya laut menjadi SDA Potensial di masa depan. Namun perangkat hukum dan penanganan pencemaran masih lemah. Masalah penggunaan sumber daya laut dan pencemaran yang terjadi. Rencana kerjasama dengan pemerintah Norwegia untuk membentuk perusahaan yang bertugas menangani 30 Pencemar lingkungan bisa menempuh jalur damai dengan ganti rugi di bawah harga. (UU Nomor 23/ 1997 Pasal 30). Penetapan internasional bahwa laut bukan tong sampah bagi limbah tambang. Bukan juga di darat dan di sungai. masalah ini. Rencana pembuatan peta indeks sensitivitas lingkungan (ISL). Masih taraf perdebatan dan penjaminan bahwa tangki penyimpan dan pipa tailing tidak bocor, sehingga bahaya Submarine tailing disposal (STD) berakibat kecil bagi lingkungan. Lahirnya Konsep Desa Konservasi yang memberi alternatif bagi masyarakat agar tak merusak hutan buat menyambung penghidupannya. diterima bahwa ampas tambang dapat saja dibuang ke dasar laut. LSM hukum Lingkungan Divisi Advokasi dan Penyelesaian Sengketa (ICEL) Pemda KLH BPPT Departemen Kelautan Newmont. WALHI. Pemerintah Kanada. Pemerintah Papua New Guinea. Taman Nasional LSM Kelompok Usaha Bersama Universitas Negeri Hotel dan Resort Geliat Reformasi yang kebablasan membuat tindakan penduduk di beberapa daerah dalam wilayah Taman Nasional menyerobot Lahan, menebangin hutan, dan menjadikannya lahan pertanian. Bom digunakan pula di laut. Masalah proyek reklamasi yang tidak layak secara lingkungan. Belum adanya konsep yang jelas dan lengkap membuat gagasan itu masih jauh dari realita. Komitmen Stakeholder baru tercapai dengan tawar menawar. Masalah konservasi dalam tinjauan ekonomi dan politik. Ekonomi Politik Lingkungan Masalah Reklamasi di daerah rawan banjir. Perdebatan antara kementerian LH dengan rencana Pemerintah Otonom. Baru taraf Master Plan yang masih buntu jalan tengahnya. Indikasi tawar menawar juga terjadi. Menteri Negara Lingkungan Hidup. Gubernur Daerah Otonom BPPT. BP Pantura. PLTGU Muara Karang dan Tanjung Priok. Politik Lingkungan 31 Masalah pengadaan tenaga listrik yang murah dengan menggunakan sumber daya yang melebihi ambang batas emisi. Contoh : PLTU di Indonesia. Karena krisis ekonomi yang berkepanjangan menyebabkan kebanyakan PLTU di Indonesia membuang emisi SO2 melampau ambang batas. Mengajukan alternatif penggunaan flue gas desulfurization (FGD) yang bisa memangkas emisi hingga 160 persen. Diperkenal kannnya Baku mutu emisi sumber tidak bergerak (Kep. 13/MENLH/3/ 1995) di mana emisi < 750 mg per m 3 . Imbauan Sistem Sanitary Landfill untuk digunakan bagi setiap penimbunan sampah di daerah. Belum ditindak lanjuti karena harganya milyaran rupiah. Tawar menawar waktu pelaksanaan batas maksimum emisi. Kantor Menteri Lingkungan Hidup. Biro Lingkungan dan Teknologi Departemen Pertambangan dan Energi. Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). Ekonomi Politik Lingkungan Masalah sampah dalam tinjauan ekonomi dan politik. Tidak adanya dana pengembangan wilayah dan konsep garis politik yang jelas menyebabkan masalah sampah terabaikan dan mengancam Pencemaran air tanah. Limbah industri telah mengalir ke pesawahan dan sungai mengakibatkan epidemi gondok. Hasil tes laboratorium memperkuat adanya logam berat, tapi pemerintah tak juga bertindak. Pencemaran limbah padat (sludge) yang telah menjadi black liquor telah Keberhasilannya dipertanyakan karena diperlukan anggaran yang sangat besar (Rp. 12 Milyar per penimbunan sampah per tahun). Tim peneliti antar Pemerintah Kabupaten yang terkait. Kepala Seksi Pemusnahan Sampah. Ekonomi Politik Lingkungan Masalah pencemaran limbah industri, tambang, dan peternakan dalam tinjauan ekonomi dan politik. Pengungkapan secara kimiawi tentang kandungan dan kadar limbah padat di daerah tersebut. bekerjasama dengan institusi penelitian (contoh Balai Besar Selulosa Bandung) dalam mengubah limbah Ada indikasi saluran siluman di luar saluran resmi bak instalasi pengolah air limbah (IPAL). Belum ada tindakan preventif karena perbedaan hasil penelitian. Daur ulangnya masih terbentur LSM Lingkungan Volunteer. Dinas Pengelolaan Lingkungan Hidup Kabupaten Dinas Kesehatan Universitas Negeri. Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Propinsi. Ekonomi Politik Lingkungan 32 Masalah urbanisasi dan pemekaran kota besar dalam era reformasi. menumpuk di sungai telah menjadi sumber penyakit ketika hujan. Langkah penduduk kebanyakan hanya menuntut ganti rugi sebagai kompensasi untuk kesehatan, dan bukan perbaikan lingkungan. menjadi bahan pendukung produksi. Menerima klaim kompensasi, dan perubahan lingkungan yang lebih baik dan diatur oleh pengadilan. perizinan. Keberhasilan nya masih dalam bentuk penelitian. Masih menunggu putusan pengadilan Perusahaan Industri LSM Riau Mandiri LSM Lestari Hijau Bapedalda Kabupaten Balai Besar Selulosa Bandung Bapedal Pusat KLH Perwakilan penduduk. Universitas negeri (Laboratorium Teknologi dan Manajemen Lingkungan) dan universitas swasta. Pemerintah Daerah Propinsi dan Kota. LSM sosial. Universitas negeri Sosial Politik Lingkungan Masalah komitmen yang tidak jelas menyebabkan setelah penggusuran semakin menyudutkan nasib rakyat kecil. Transmigrasi yang belum matang terus dipaksakan untuk dijalankan. Penggusuran dan pembongkaran daerah serapan air dan tanah- tanah pemerintah yang diambil seenaknya oleh penduduk. Pemulangan orang-orang yang tidak punya pekerjaan. Ajakan transmigrasi tetap dilakukan. Reformasi yang ngawur membuat tindakan penduduk di beberapa daerah kota besar seenaknya menyerobot lahan dan menjadikannya pemukiman permanen. Daerah serapan air dijadikan pemukiman. Kesalahan pada sistem pemberian ijin membangun dan kelonggaran tindakan dan waktu yang diberikan oleh pemerintah daerah. 33 a. Penjelasan Isi Matrik Isu Ekonomi Politik Dalam Ruang Lingkup Lingkungan Hidup Di Indonesia. Ekonomi politik pembangunan (selanjutnya disebut perekonomian periferi) Indonesia sangat berbeda, malah bertentangan dengan apa yang digambarkan dalam garis besar di sini sebagai perekonomian yang mampu berkembang. Hal ini dapat dibuktikan sebagai berikut (Hans Dieter Senghaas : 51) : Biasanya hanya bagian-bagian tertentu dari ekonomi pertanian yang dapat menghasilkan barang-barang, yang dari antaranya ada yang dapat diekspor (bahan makanan dan bahan mentah); peningkatan produktivitas pertanian secara luas yang meliputi perbagai bidang, tidak dapat diharapkan. Untuk itu persyaratan dasar untuk berhasilnya proses perkembangan tidak ada. Demikian pula halnya dengan sektor bahan mentah. Walaupun produksi sektor ini di banyak tempat memang tinggi, namun sektor tersebut dalam banyak hal belum terpadu dengan perekonomian setempat dan oleh karena itu, lebih merupakan ekonomi kantong (enklave). Produksi perindustrian barang-barang konsumsi untuk rakyat banyak ketinggalan terhadap impor barang-barang konsumsi mewah hasil perindustrian atau dalam banyak hal lebih ketinggalan dari produksi barang- barang konsumsi mewah hasil perindustrian domestik. Distorsi ini terlihat pada besarnya dan, dalam beberapa hal, pada makin menonjolnya perbedaan pendapatan rakyat di Indonesia. Jika dalam proses perkembangan, rakyat banyak tidak berpartisipasi dalam aktivitas produksi, maka rakyat juga tidak memperoleh pendapatan, sehingga tidak ada permintaan barang-barang konsumsi rakyat, perpaduan antara pertanian dan perindustrian tidak terlaksana dan perkembangan pasar dalam negeri mengalami stagnasi. Biasanya dalam perekonomian periferi pembuatan sendiri alat-alat produksi (peralatan tangan, barang-barang perlengkapan, teknologi) tidak dapat dilaksanakan. Pembangunan usaha itu dihalangi oleh ikut masuknya perekonomian itu dalam pembagian kerja internasional yang tidak seimbang: Indonesia mengekspor ke negara industri bahan pertanian yang belum atau sedikit diolah, bahan-bahan mentah dan barang-barang jadi yang tidak memerlukan kerja banyak; negara industri kemudian menukarnya dengan barang-barang jadi, mesin-mesin, teknologi, dan keahlian. Karena Indonesia tidak memproduksi sendiri barang-barang ini maka negara ini tidak mendapat 34 dorongan untuk berkembang, juga jika persyaratan tukar-menukar antara negara itu dengan negara industri seimbang atau adil (meskipun tidak ada masalah dalam terms of trade). Dalam satu dua hal, di mana alat-alat produksi dibuat sendiri, maka alat-alat itu biasanya disesuaikan dengan tingkat pertumbuhan yang paling maju dan dengan demikian memproduksi barang- barang perlengkapan untuk membuat barang-barang konsumsi mewah dan prasarana yang diperlukan untuk maksud itu. (Contoh : pembuatan alat- alat produksi suatu cabang produksi mobil pada suatu tingkat perkembangan tertentu, yang sama sekali belum dapat melayani keperluan rakyat akan lalu lintas, baik dengan kendaraan umum maupun dengan alat-alat lalu lintas yang lebih sederhana seperti sepeda). Produksi barang-barang setengah jadi sedikit diperkembangkan dan bersama dengan kurangnya produksi barang-barang perlengkapan dan teknologi, menciptakan ketergantungan teknologis yang sangat besar dari Indonesia pada negara industri. Hal ini mengakibatkan ketergantungan keuangan yang makin bertambah besar, seperti tampak pada masalah perhutangan. Hal-hal mengenai konsumsi kolektif (misalnya pendidikan, kesehatan) serta perkembangan prasarana, biasanya tidak menyokong tercapainya persatuan masyarakat-masyarakat Indonesia, tetapi justru memperdalam perpecahan masyarakat-masyarakat tersebut dalam beberapa kutub pertumbuhan (dengan prasarana yang relatif maju) dan suatu daerah pedalaman yang luas. Dalam perekonomian semacam ini tidak terdapat bidang-bidang yang dibutuhkan oleh suatu masyarakat yang mampu berkembang (seperti pertanian yang kuat, produksi barang-barang konsumsi massa, industri barang-barang perlengkapan dan prasarana yang luas) termasuk kerugian-kerugian yang saling ditimbulkan oleh bidang-bidang itu sendiri. Keadaan ini- untuk menggunakan teori pembangunan Friedrich List-dapat disebut sebagai ekonomi timpang (Verkruppelt). Masalah pokoknya bukanlah bahwa dalam perekonomian tersebut tidak dapat diadakan pembentukan modal dan oleh sebab itu seluruh perekonomian menjadi terhenti. Malah sebaliknya, Indonesia mempunyai pertumbuhan ekonomi yang nyata; namun pertumbuhan itu hanya terpusat pada sedikit bidang yang disebut kutub-kutub pertumbuhan. Perluasan pasaran dalam negeri secara besar-besaran tidak terjadi dan tidak pula terdapat keseimbangan. Kerapuhan ini disebabkan oleh : 35 Oleh hubungan yang tidak baik antara pertanian dan perindustrian (hubungan ke depan dan ke belakang tidak ada). Oleh kekurangan intensitas produksi, artinya karena kekurang-lancaran perputaran ekonomi; sebagian dari aktivitas ekonomi, khususnya produksi teknologi, barang-barang perlengkapan, sebagian besar barang-barang setengah jadi dan barang-barang konsumsi dilaksanakan di negara-negara industri. Hasil ekonomi dan sosial dari keadaan ini (kesibukan kerja, penghasilan, kualifikasi tenaga kerja dan sebagainya) terus-menerus tidak dapat dinikmati oleh negara-Indonesia, sehingga menimbulkan kepincangan- kepincangan dalam struktur negeri-negeri tersebut. Oleh kecenderungan intern yang ditimbulkan oleh sebab-sebab sosiologis dalam tahap-tahap industrialisasi, yaitu kecenderungan untuk memenuhi permintaan golongan-golongan yang berpenghasilan tinggi (oligarki tanah, oligarki impor dan ekspor, kelas menengah kota, anggota-anggota sektor- sektor jasa, administrasi pemerintahan dan militer, yang sebagiannya dari kalangan pekerja yang mendapatkan bayaran lebih tinggi di pusat-pusat perkotaan), sedangkan produksi barang-barang konsumsi untuk rakyat banyak sedikit banyak terhalang oleh daya beli kelompok ini yang masih di bawah rata-rata atau masih berkembang secara negatif. Oleh sempitnya prasarana dalam negeri yang merupakan akibat dari tidak lancarnya perputaran ekonomi, peredaran ekonomi dan sama sekali bukan merupakan suatu keadaan yang timbul begitu saja. Masalah Indonesia bukan terletak dalam ketidakmampuan mereka mengadakan pembentukan modal, melainkan dalam pengerahan kekuatan-kekuatan ekonomi, riil maupun potensial yang tidak tepat. Pertumbuhan ekonomi seperti ini tidak dapat membantu membuka pasaran setempat, karena di sini terjadi pertumbuhan tanpa perkembangan sosial. Pembukaan pasaran dalam negeri yang tidak sempurna mempunyai berbagai sebab yaitu : Pertama, sebagian besar dari barang-barang yang diproduksi, tidak dimaksudkan untuk pasaran dalam negeri, tetapi untuk pasaran dunia (dalam banyak hal terdapat mono-kultur yang berorientasi ekspor). Kedua, biasanya mesin-mesin, teknologi, dan pola konsumsi masih meniru masyarakat industri maju. Pengalaman dalam sejarah menunjukkan, bahwa hanya perekonomian yang sudah kuat dapat menerima tawaran teknologi dari negara- negara industri maju, tanpa merusak perekonomian negeri itu sendiri. Negara- 36 Indonesia justru belum kuat dan oleh karena itu justru tidak cocok untuk memilih tawaran demikian dari pasaran dunia. Struktur konvensional pembentukan modal yang salah ini dan yang merugikan rakyat banyak adalah akibat dari diikutsertakannya Amerika Latin, Afrika, dan Asia dalam pembagian kerja internasional yang tidak seimbang.. Waktu negara-negara industri maju di Barat masih berkembang melalui pembukaan pasaran dalam negeri mereka dan memanfaatkan penawaran barang-barang dari daerah jajahan (bahan-bahan mentah pertanian dan mineral yang murah, energi murah, dan tenaga kerja murah), maka keterlibatan negeri-negeri Amerika Latin, Afrika, dan Asia pada kebutuhan negeri-negeri industri, menghalangi pembukaan pasaran domestik mereka sendiri. Keterlibatan benua-benua di bagian selatan dalam pembagian kerja internasional yang tidak seimbang telah menyebabkan bangunan-bangunan ekonomi setempat di wilayah-wilayah itu berubah ; dari perekonomian yang agak mengandung kemampuan berkembang dan dapat memenuhi kebutuhan hidup langsung yang sederhana (apa yang dinamakan ekonomi subsistensi) menjadi ekonomi periferi yang pincang, yang dinamikanya menyebabkan akibat-akibat berikut : Ketidak mampuan untuk melibatkan rakyat banyak secara produktif dalam perekonomian. Bertambahnya ketidakmampuan untuk memberi makanan kepada rakyat banyak dengan hasil pertanian setempat. Ketidakmampuan untuk menemukan dan membuat alat-alat produksi sendiri (peralatan tangan, barang-barang perlengkapan, teknologi) dan ketidakmampuan mengadakan penyesuaian terhadap barang-barang yang diproduksi di tempat lain dengan kebutuhan setempat. Ketidakmampuan untuk mengatur pertumbuhan penduduk, yang diakibatkan oleh kekacauan-kekacauan di bidang sosio-ekonomi. Ketidakmampuan untuk menerapkan sendiri kemajuan teknik pada situasi setempat dan untuk mengubah struktur yang telah diambil-alih. Ketidakmampuan untuk menahan proses meluasnya perpecahan intern yang nyata (heterogenitas struktural) dan memulihkannya. 37 Ketidakmampuan untuk menghormati, dalam peraturan yang berlaku hak- hak politik rakyat banyak dan martabat manusia. Proses pengawasan politik makin diperketat secara dramatis sejak jaman perjuangan kemerdekaan politik. Dari dialektika pertumbuhan yang salah arah dan kesengsaraan rakyat, tumbuhlah pertentangan sosial besar, yang menjadi latar belakang bertambahnya kekuasaan militer dalam masyarakat Indonesia. Dibutuhkan suatu gambaran yang jelas mengenai struktur dasar dari perekonomian Indonesia untuk memperoleh garis-garis pedoman untuk dapat membantu politik pembangunan. Jika perekonomian Indonesia secara konvensional dianggap sebagai tradisional-terbelakang, yang dibedakan dari perekonomian modern dari Barat atau timur, maka berarti mereka hanya dianggap edisi-edisi kecil tahap awal dari bangunan ekonomi Barat atau Timur, yang tinggal digerakkan saja, sehingga kegagalan politik pembangunan dalam strategi yang membangun di atas perekonomian Indonesia itu sebetulnya sudah inheren dalam interprestasi semacam itu. Hal ini telah dibuktikan dengan nyata oleh kegagalan ekonomi politik pembangunan dalam dasawarsa-dasawarsa yang silam. b. Kendala-kendala dalam mewujudkan penyelenggaraan lingkungan hidup yang lebih baik. Dalam konteks ekonomi politik, perwujudan penyelenggaraan lingkungan hidup yang lebih baik memiliki beberapa kendala yang dapat dibagi menjadi 2 (dua) jenis kendala besar yaitu kendala eksternal dan kendala internal. Kendala eksternal adalah kendala yang ditemui di lapangan dan di luar otoritas pemerintah untuk menyelesaikannya. Sedangkan kendala internal adalah kendala yang berada pada tubuh pemerintah untuk menjalankannya. Contoh kendala-kendala ini akan dijelaskan pada sub bab berikut. 1. Kendala Eksternal. Dalam prakteknya pemerintah Indonesia sering mendapatkan kendala eksternal dalam melakukan penyelenggaraan lingkungan hidup yang lebih baik. Sebagian besar kendala-kendala ini merupakan kendala yang diakibatkan oleh reaksi negatif masyarakat dari adanya krisis ekonomi dan politik. Reaksi negatif tersebut 38 merupakan hasil reaksi masyarakat yang melihat bahwa reformasi merupakan kebebasan yang absolut sehingga mereka melakukan tindakan-tindakan yang melawan hukum dan merusak kelestarian lingkungan hidup. Kendala pertama yang harus dihadapi adalah kendala klaim yang dilakukan oleh beberapa oknum masyarakat sipil yang tidak bertanggung jawab terhadap kelestarian lingkungan hidup hidup yang telah ada. Contoh nyata adalah masalah urbanisasi dan pemekaran kota besar dalam era reformasi. Reformasi yang ngawur membuat tindakan penduduk di beberapa daerah kota besar seenaknya menyerobot lahan dan menjadikannya pemukiman permanen. Daerah serapan air dijadikan pemukiman. Tindakan yang dilakukan oleh pemerintah adalah dengan melakukan penggusuran dan pembongkaran daerah serapan air dan tanah-tanah pemerintah yang diambil seenaknya oleh penduduk, pemulangan orang-orang yang tidak punya pekerjaan, dan ajakan transmigrasi yang tetap dilakukan. Masalah ini semakin berbuntut panjang karena masalah komitmen yang tidak jelas menyebabkan setelah penggusuran semakin menyudutkan nasib rakyat kecil, sedangkan program transmigrasi yang belum matang terus dipaksakan untuk dijalankan. Masalah konservasi dalam tinjauan ekonomi dan politik. Geliat Reformasi yang kebablasan membuat tindakan penduduk di beberapa daerah dalam wilayah Taman Nasional menyerobot Lahan, menebangin hutan, dan menjadikannya lahan pertanian. Bom digunakan pula di laut. Lahirnya Konsep Desa Konservasi yang memberi alternatif bagi masyarakat agar tak merusak hutan buat menyambung penghidupannya. Belum adanya konsep yang jelas dan lengkap membuat gagasan itu masih jauh dari realita. Kendala kedua yang harus dihadapi adalah kendala pencurian sumber daya alam penting oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. Contoh nyata adalah masalah masalah kehutanan di Indonesia. Langkah operasional dilakukan penyisiran sawmill untuk memastikan kayu tersebut legal atau tidak. Namun tetap saja belum terungkap bukti-bukti pelaksanaan pencurian kayu tersebut (belum pernah tertangkap tangan). Kendala ketiga yang harus dihadapi adalah kendala pencemaran secara sengaja yang dilakukan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. Contoh pertama adalah masalah pencemaran limbah industri, tambang, dan peternakan. Limbah industri telah mengalir ke pesawahan dan sungai mengakibatkan epidemi penyakit. Ada indikasi saluran siluman di luar saluran resmi bak instalasi pengolah air 39 limbah (IPAL). Ada indikasi saluran siluman di luar saluran resmi bak instalasi pengolah air limbah (IPAL). Pencemaran limbah padat (sludge) yang telah menjadi black liquor telah menumpuk di sungai telah menjadi sumber penyakit ketika hujan. Langkah yang dilakukan baru pengungkapan secara kimiawi tentang kandungan dan kadar limbah padat di daerah tersebut. Contoh kedua adalah masalah penggunaan sumber daya laut dan pencemaran yang terjadi. Sumber daya laut masih menjadi kuburan sampah bagi beberapa industriawan di Indonesia, melalui jalur sungai. Contoh ketiga adalah masalah pengadaan tenaga listrik yang murah dengan menggunakan sumber daya yang melebihi ambang batas emisi. Contoh : PLTU di Indonesia. Karena krisis ekonomi yang berkepanjangan menyebabkan kebanyakan PLTU di Indonesia membuang emisi SO2 melampau ambang batas. Langkah yang dilakukan adalah mengajukan alternatif penggunaan flue gas desulfurization (FGD) yang bisa memangkas emisi hingga 160 persen. Diperkenalkannnya Baku mutu emisi sumber tidak bergerak (Kep. 13/MENLH/3/ 1995) di mana emisi < 750 mg per m 3 . Sayangnya langkah ini terhenti karena harganya milyaran rupiah. 2. Kendala Internal. Dalam kaidah institusi dan hukum, pemerintah Indonesia sering pula melakukan kesalahan pula dalam melakukan penyelenggaraan lingkungan hidup yang lebih baik. Sebagian besar kendala-kendala ini merupakan kendala yang diakibatkan oleh kurang kuatnya komitmen pemerintah terhadap penyelenggaraan lingkungan hidup. Kendala pertama adalah masalah koordinasi antar institusi dalam penyelenggaraan lingkungan hidup yang lebih baik. Contoh nyata adalah masalah reklamasi di daerah rawan banjir dimana proyek reklamasi tersebut tidak layak secara lingkungan hidup. Perdebatan antara kementerian LH dengan rencana Pemerintah Otonom memperlihatkan tidak adanya koordinasi yang benar dalam tubuh pemerintah. Kendala kedua adalah masalah kedudukan pemerintah yang secara institusi dan hukum tidaklah kuat. Indikasi tawar menawar selalu terjadi dalam setiap ancaman kerusakan lingkungan hidup. Tawar-menawar tersebut bisa saja berupa tawar menawar waktu pelaksanaan batas waktu maksimum dan pemberian kelonggaran tindakan dan waktu yang diberikan oleh pemerintah daerah, tawar menawar antar 40 pemerintah dengan negara pemberi pinjaman (tanpa tujuan penyelenggaraan lingkungan hidup didalamnya), kesalahan perizinan (contoh sistem pemberian ijin membangun), tawar-menawar komitmen stakeholder, perdebatan dan penjaminan hasil penelitian (perbedaan hasil penelitian menghambat langkah penyelesaian), bahkan yang terburuk adalah tawar-menawar ganti rugi di bawah harga. (Contoh UU Nomor 23/1997 Pasal 30 di mana perangkat hukum dan penanganan pencemaran diperlemah. Pencemar lingkungan hidup bisa menempuh jalur damai dengan Penetapan internasional bahwa laut bukan tong sampah bagi limbah tambang. Bukan juga di darat dan di sungai). Kendala ini semakin diperuncing dengan adanya kolusi yang tidak sehat dalam penyelenggaraan lingkungan hidup hidup. Masalah backing masih menjadi masalah yang belum terselesaikan. Kendala ketiga adalah masalah tanggung jawab dan komitmen penyelenggaraan lingkungan hidup. Selama ini pemerintah masih berperan dalam bidang perencanaan, penelitian, dan imbauan, sedangkan masalah hukuman dan pengaturan kompensasi masih diserahkan kepada pengadilan. Dualisme penanganan masalah pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup menyebabkan tidak sinkronnya jalur penyelenggaraan lingkungan hidup. Di samping itu, tidak adanya dana pengembangan wilayah dan konsep garis politik yang jelas menyebabkan masalah-masalah ini terombang-ambing sedangkan pencemaran dan kerusakan terus berlangsung. Kerjasama yang dilakukan antara pemerintah dengan negara donor masih berkutat dalam bidang penelitian. Bahkan dalam beberapa kasus, pihak negara donorlah yang banyak mengambil alih bidang penelitian ini. Di sisi lain, klaim kompensasi masih berkutat dengan klaim kesehatan dan bukan klaim perbaikan lingkungan hidup. 41 SPEKTRUM POLITIK LINGKUNGAN DALAM RUANG LINGKUP PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP I. PENDAHULUAN. Banyak kalangan yang berpendapat bahwa masalah lingkungan terutama adalah urusannya para ahli ilmu pengathuan alam, pendapat itu tidak sepenuhnya benar. Permasalahan lingkungan yang mencuat ke permukaan dan ramai dibicarakan, sesungguhnya tidak terangkat oleh kekuatan aspek-aspek biofis dari permasalhan itu, melainkan oleh seperangkat faktor-faktor non teknis alias sosial, seperti yang terjadi dengan penurunan debit air Danau Toba. Dengan demikian, harus dimengerti terlebih dahulu, apa yang dimaksudkan sebagai isu lingkungan (environmental issue). Dalam pengertian ilmu politik, isu adalah suatu masalah yang belum terpecahkan, yang mengundang ataupun tidak mengundang perdebatan, yang menunggu suatu pemecahan masalah dari yang berwenang. Isu lingkungan dapat juga digolongkan sebagai isu politik, sebab perdebatan tentang suatu masalah ekologis, tidak terlepas dari interaksi kekuatan politik serta momen historis tertentu dalam suatu masyarakat atau negara, di samping tingkat pengetahuan masyarakat atau bangsa itu tentang masalah lingkungan yang bersangkutan. Pengertian lain dari hal itu seperti dikemukakan oleh ahli politik lingkungan Amerika Lynton K. Caldwell (1984), suatu isu adalah suatu gejala psikologi politik dan tak selalu didasarkan pada hasil-hasil penelitina ilmu pengatahuan alam: opini masayarakat, dan bukan hanya fakta-fakta yang mencipatakan isu- isu itu. Suatu masalah lingkungan yang sedang muncul atau berkembang menjadi isu politik, sebagai hasil interaksi faktor-faktor ilmu pengetahuan alam, teknis, ekonomi dan terutama psikologis. Kebijakan-kebijakan tertentu dikonfirmasi dan diterapkan oleh orang-orang yang bertanggung jawab kepada generasi sekarang, bukan kepada generasi mendatang. Karena itu, kepentingan suatu isu sebagai sasaran pembentukan kebijakan (policy making) tidak terlalu ditentukan oleh pentingnya masalah itu dalam biosfer. 42 Mengingat urgensi politis selalu dipengaruhi apapun yang dianggap penting oleh khayalak ramai, kondisi keamanan, kesiapan teknis untuk memecahkan masalah itu, hingga akhirnya implikasi dari hal tersebut dapat diproyeksikan untuk kepentingan pribadi yang mengarah pada pengambilan keputusan. Selain itu isu-isu lingkungan yang kritis diterima secara berbeda di lingkungan ilmuwan dibandingkan dengan di lingkungan politik. Dan walaupun ilmu pengetahuan alam dan teknologi menentukan tingkat kesadaran masyarakat atau bangsa terhadap masalah lingkungan, faktor-faktor politis seringkali menentukan apakah pemecahan masalah itu dirasakan mendesak atau tidak. Sambutan masyarakat Sumatera Utara terhadap pembangunan Proyek Asahan berubah dari waktu ke waktu. Pada mulanya, rencana proyek itu disambut dengan penuh antusiasme, sebagai pertanda penyerapan pembangunan dari Jawa ke Sumatera Utara. Namum pada saat air Danau Toba mulai turun ketika PLTA Sigura- gura sedang dibangun, orang mulai was-was. Sampai-sampai pemerintah menyelenggarakan suatu seminar ilmiah tentang dampak pembangunan bendungan besar di Medan. Masalah-masalah lingkungan yang muncul ke arena perdebatan umum, sesungguhnya hanya sebagian kecil dari masalah-masalah pencemaran dan pengrusakan lingkungan yang secara obyektif terjadi, dan sangat tergantung dari dinamika politik suatu negara. Khususnya dinamika gerakan lingkungan di negara itu. (Aditjondro, 2003) II. SKEMA HUBUNGAN ANTARA POLITIK LINGKUNGAN DENGAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP. Gerakan lingkungan, menurut literatur sosiologi lingkungan, digunakan dalam pengertian sebagai berikut : Sebagai penggambaran perkembangan tingkah laku kolektif (collective behavior) tertentu. Sebagai jaringan konflik-konflik dan interaksi politis di seputar isu-isu lingkungan dan isu-isu lain yang terkait. Sebagai perwujudan dari perubahan opini publik dan nilai-nilai yang menyangkut lingkungan. 43 Pendek kata, gerakan lingkungan dapat dimanifestasikan dalam tiga bentuk, yaitu gerakan ide-ide yang muncul dan berkembang dalam masyarakat, baik melalui media komunikasi massa maupun melalui komunikasi antarpribadi, serta gerakan konflik-konflik politik yang semuanya menyangkut berbagai aspek pengelolaan lingkungan hidup. Gerakan lingkungan, menurut Denton E. Morrison, dibagi menjadi tiga komponen, yaitu: The organized or voluntary movement The public environmental movement The institutional environmental movement Komponen pertama yang paling sering dibicarakan adalah gerakan lingkungan terorganisir atau gerakan lingkungan yang sukarela (the organized or voluntary movement. Termasuk kategori ini adalah organisasi-oragnisasi lingkungan seperti WALHI, Skephi, dan Pelangi. Komponen kedua, gerakan lingkungan publik (the public environmental movement), adalah khalayak ramai (the public) yang dengan sikap, tindakan sehari-hari dan kata-kata mereka menyatakan keengganan atau kesukaan mereka terhadap sekosistem tertentu, pola hidup tertentu, serta flora dan fauna tertentu. Komponen ketiga dapat dikatakan sangat menentukan dalam negara-negara berkembang, seperti di Indonesia, dimana peranan negara sangat dominan, adalah gerakan lingkungan yang terlembaga. Yakni aparat-aparat birokrasi resmi yang punya wewenang hukum (yurisdiksi) terhadap kebijakan umum tetntang lingkungan hidup, atau yang berkaitan dengan lingkungan hidup. Di Indonesia adalah Kantor Negara Kementrian Lingkungan Hidup (KLH), Departemen Kehutanan, khususnya Direktorat Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam (PHPA), Badan Pertanahan Nasional, dan Departemen Pertambangan dan Energi. Komponen gerakan lingkungan terlembaga ini penting diamati tersendiri, contohnya EPA (Environmental Protection Agency, USA), kemampuan EPA untuk mengendalikan polusi air dan udara misalnya, dipengaruhi oleh kebijakan badan- badan pemerintahan yang berkaitan dengan pertumbuhan ekonomi, kebijaksanaan luar negeri, penciptaan lapangan kerja, inflasi, dan ketersediaan sumber-sumber energi. 44 Ketritunggalan hakikat gerakan lingkungan, menurut Buttel dan Larson III, punya beberapa manfaat. Pertama, struktur gerakan lingkungan di setiap negara yakni hubungan di antara ketiga komponen itu bisa berbeda-beda, dan ini membawa variasi yang cukup berarti di antara paha limngkungan (environmentalism) di negara-negara itu. Kedua, taktik dan ideologi gerakan lingkungan terorganisir di suatu negara dapat dilihat sebagai hasil interaksi di antara komponen-komponen kelas di negara itu di satu pihak, dan kelompok-kelompok kepentingan (interest group) di pihak lain. Seperti yang terjadi di Jepang telah menciptakan suatu mekanisme pengambilan keputusan yang relatif tertutup, yang hampir tak tertembus oleh tuntutan kelompok-kelompok kepentingan yang tidak sesuai dengan kebijakan pemerintah Jepang yang menghendaki pertumbuhan ekonomi melesat pesat. Dengan demikian, gerakan lingkungan teroganisir di Jepang kurang begitu berarti dibandingkan dengan di Amerika, dimana hubungan antara komponen gerakan lingkungan terorganisir lebih terbuka, bahkan dirasuki jaringan-jaringan atas dasar issu atau issue networks alias marble cakes. Artinya, pemerintah dan organisasi-organisasi bukanlah kue-kue lapis yang dalam segala hal hubungannya sanngat bersifat hirarkis, melainkan lebih merupakan jaringan kepentingan yang lintas kelas, seperti warna-warna kelereng (marble). Politik lingkungan dapat diartikan sebagai interaksi antara kekuatan-kekuatan (badan-badan pemerintah, perusahaan-perusahaan swasta, badan-badan dana, organisasi-organisasi lingkungan) yang mempengaruhi keputusan untuk memanfaatkan sumber-sumber daya alam dan mengubah ekosistem-ekosistem yang mempengaruhi komunitas-komunitas yang ada didalamnya. Gambar 1 mengilustrasikan definisi tentang politik lingkungan. 45 Gambar 1. Politik Lingkungan (Aditjondro, 2003) i # # K&' % %! &( & n$##" # ## $!#" ## #####&# $ #&## ! " # # m%" #" " #& s$#& ## #" ## i #### %#& k## &#&## k" # &### $# &#&### k$# &#&### n$###" ##&# - $#! #" a##! # " ### $####! ## -& ### #! ### " ## i "### #! POLITIK LINGKUNGAN Interaksi antara Kekuatan-kekuatan yang terdiri dari yang mempengaruhi Proses pengambilan keputusan Badan-badan pemerintah untuk memanfaatkan untuk mengubah Perusahaan- perusahaan swasta untuk mempengaruhi Sumber-sumber daya alam Ekosistem-ekosistem Badan-badan dana Yang mempengaruhi Organisasi-organisasi lingkungan Komunitas-komunitas 46 Politik lingkungan adalah segala upaya untuk mengambil tindakan terhadap permasalahan lingkungan. Politik lingkungan di dunia merupakan bagian suatu gerakan atau aliran politik yang lebih besar lagi, yaitu politik hijau (green politics). Politik hijau berkembang dari hubungan gerakan sosial dan lingkungan yang merespon kebijakan nuklir perang dingin, degradasi lingkungan di dunia, perang, struktur kekuasaan patriarchal top-down, dan isu kebebasan sipil. Fokus pada kehidupan ekologi dengan cepat menjadi prinsip utama aliran ini.(www.greeninformation.com) Politik hijau sendiri merupakan aliran alternatif lain dibandingkan aliran yang ada, yaitu kiri (labour based) dan kanan (capital based). Aliran ini terbentuk karena aliran-lairan karena bukan berbasis ekologi melainkan berbasis ekonomi dianggap tidak dapat mengatasi permasalahan yang ada, . Dari organisasi yang berbasis aliran tersebut terbentuk partai di negara-negara eropa yang kemudian menyebar ke seluruh dunia, sampai akhirnya terbentuk suatu jaringan organisasi politik hijau di dunia. Gerakan politik hijau mempunyai empat pilar utama, yaitu ekologi (ecology), anti kekerasan (nonviolence), keadilan sosial (social justice) dan demokrasi akar rumput (grassroot democracy). Pada tahun 2001 di Canberra, Australia, disepakati enam prinsip utama gerakan lingkungan di dunia, yaitu : 1. Ecological Wisdom 2. Social Justice 3. Participatory Democracy 4. Nonviolence 5. Sustainability 6. Respect for Diversity Gerakan politik hijau di suatu negara pada awalnya terbentuk karena kesadaran lingkungan beberapa individu yang akhirnya membentuk suatu organisasi kecil yang pada akhirnya membentuk suatu organisasi politik. Kesadaran lingkungan merupakan elemen yang penting dalam superstruktur ideologi dalam masyarakat modern dan kemampuan pengejaran perkembangan ekonomi. (Redclift, 1984) 47 III. POLITIK LINGKUNGAN DI INDONESIA. Di Indonesia, gerakan politik hijau belum terlihat banyak berperan dalam kancah pertarungan politik di Indonesia. Manuver-manuver gerakan lingkungan baru dilakukan oleh lembaga-lembaga swadaya masyarakat. Partai politik yang ada belum terlihat melakukan manuver yang mengarah ke lingkungan. Usaha-usaha mengatasi permasalahan lingkungan yang dilakukan mayarakat dan LSM sering kali menjadi sia-sia jika berhadapan dengan institusi pemerintah. Jika pendekatan tripartite, secara garis besar dapat dikatakan bahwa hubungan antara gerakan lingkungan yang terlembaga (institutional environmental movement) dan gerakan lingkungan yang terorganisir (organized environmental movement), agak mirip seperti AS. Banyak issue networks yang menjelujuri hubungan antara aparat-aparat negara dan lembaga-lembaga pengembang swadaya masayarakat, yang sama-sam berasalk dari jkelas menengah ke atas. Namun dipihak lain gerakan lingkungan publik di Indonesia sulit dilakukan artikulasi politiknya secara konsisten sejak awal era Orde Baru melalui pengibirian partai-partai politik, fungsi oragnisasi-organisasi massa. Politik lingkungan di Indonesia, mengacu pada definisi politik lingkungan diatas, dapat dikatakan buruk. Interaksi antara tiga komponen, terorganisasi; publik; dan terlembaga, dapat dikatakan berjalan satu arah. Interaksi lebih banyak dari komponen terlembaga ke dua komponen lainnya. Sedangkan interaksi lainnya dapat dikatakan tidak terjadi, kalaupun terjadi hanya sebatas keluhan dan demo yang tidak ditanggapi. Komponen publik tidak terlibat, atau lebih tepatnya tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan. Gambar dibawah ini dapat memberikan ilustrasi politik lingkungan di Indonesia. 48 gambar 2. Politik lingkungan di Indonesia (Aditjondro, 2003) Usaha-usaha untuk mengatasi permasalahan lingkungan di Indonesia dapat dilihat dari tindakan-tindakan pemerintah, dapat dikatakan politik lingkungan yang dilakukan pemerintah, dalam menangani permasalahan lingkungan. Dapat dikatakan tindakan-tindakan yang telah dilakukan pemerintah belumlah efektif. Hal ini dipengaruhi oleh beberapa sebab antara lain : i # # K&' % %! &( & n$##" # ## $!#" ## #####&# $ #&## ! " # # m%" #" " #& s$#& ## #" ## i #### %#& k## &#&## k" # &### $# &#&### k$# &#&### n$###" ##&# - $#! #" a##! # " ### $####! ## -& ### #! ### " ## i "### #! #! # POLITIK LINGKUNGAN Interaksi antara Kekuatan-kekuatan yang terdiri dari yang mempengaruhi Proses pengambilan keputusan Badan-badan pemerintah untuk memanfaatkan untuk mengubah Perusahaan- perusahaan swasta untuk mempengaruhi Sumber-sumber daya alam Ekosistem-ekosistem Badan-badan dana Yang mempengaruhi Organisasi-organisasi lingkungan Komunitas-komunitas terputus 49 Konsep pembangunan Konsep pembangunan sejak jaman orde baru hingga sekarang menitik beratkan pada pembangunan ekonomi dengan memamanfaatkan sumber daya alam (resource based). Hal ini dapat dilihat pada salah satu butir yang terdapat pada GBHN, yaitu memperbaiki kondisi ekonomi dengan memanfaatkan sumber daya alam sebaik-baiknya. Konsep pembangunan yang hanya berdasarkan pemanfaatan sumber daya alam saja dan mengandalkan investasi asing menyebabkan kerusakan lingkungan menjadi lebih parah. Dengan kata lain kita menjual sumber daya alam kita ke pihak investor. Kondisi perekonomian yang menurun sejak tahun 1997 hingga sekarang dan beban hutang luar negeri yang cukup besar, membuat isu lingkungan menjadi lebih terpinggirkan lagi. Hal ini dapat dilihat pada anggaran untuk pengelolaan lingkungan. Anggaran Anggaran untuk pengelolaan lingkungan sangatlah kecil, hal ini telah berlangsung sejak jaman orde baru. Ketika krisis ekonomi terjadi, anggaran pengelolaan lingkungan menjadi lebih kecil lagi, yaitu berkisar antara 0.08% - 0.163% pengeluaran pemerintah. Lingkungan sebagai isu politik Hingga saat ini lingkungan belum menjadi isu politik di kalangan para elit politik. Para elit politik lebih memilih isu ekonomi dan sosial. Hal itu dapat dilihat dari partai-partai politik yang akan mengikuti Pemilu mendatang. Tidak ada satupun partai politik yang mengangkat lingkungan sebagai isu utama. Lingkungan hingga saat ini hanya menjadi wacana politik saja dalam diskusi, lokarya, dan seminar. Hal ini tentunya menyebabkan isu lingkungan sebagai anak tiri. Isu lingkungan baru muncul ketika ada suatu permasalahan lingkungan, kasus Bohorok adalah salah satunya. Koordinasi dan komunikasi Salah satu sebab tindakan pemerintah kurang efektif adalah koordinasi. Koordinasi secara horisontal, vertikal maupun diagonal dapat dikatakan tidak mempunyai komunikasi yang baik. Dengan dikeluarkannya undang-undang tetang otonomi daerah yang memberikan kewenangan yang lebih besar kepada pemerintah kabupaten/kota membuat koordinasi menjadi lebih sulit. 50 Permasalahan lingkungan yang selama ini dikendalikan secara sentralistik, sekarang ini menjadi sepenuhnya kewenangan pemerintah kabupaten/kota. Ketidakmengertian suatu institusi pemerintah siapa yang menjadi leading agent dan tidak adanya koordinasi yang baik menyebabkan kelambanan dalam penanganan permasalahan lingkungan. Hubungan pemerintah dengan LSM lingkungan dapat dikatakan tidak harmonis. Komunikasi antar keduanya dapat dikatakan buruk. Pemerintah sering kali mendapat kritikan dan kecaman dari LSM. Hubungan kerjasama atau partnership antar keduanya boleh dikatakan tidak ada. Partisipasi pengelolaan lingkungan Salah satu penyebab permasalahan lingkungan adalah budaya sadar lingkungan pada masyarakat yang hampir tidak ada. Partisipasi pengelolaan lingkungan dalam masyarakat belum terbentuk. Partisiapsi masih terbatas pada LSM lingkungan. Usaha pemerintah dalam mengkampanyekan parisipasi pengelolaan lingkungan belum merasuki masyarakat banyak. Usaha-usaha terebut lebih banyak bersifat seremonial, sementara itu tindak lanjut dari usaha tersebut masih kurang. Reaktif vs antisipatif Usaha pemerintah dalam menangani permasalahan lingkungan masih bersifat reaktif. Pemerintah lebih banyak bertindak ketika permasalahan lingkungan muncul. Program-program yang sebenarnya dibuat untuk mengantisipasi agar tidak terjadi permasalahan lingkungan, seperti AMDAL, Proper, Prokasih, dsb, pada akhirnya hanya bersifat formalitas saja. Tindakan pengawasan atas terlaksananya program dapat dikatakan tidak ada. Pemerintah masih belum konsisten melaksanakan program-program tersebut. Sebagai contoh, apakah pelaksanaan RPL dan RKL dari suatu proyek diawasi atau tidak. Hukum Penegakan hukum di Indonesia masih menjadi lip service pemerintah saja, hal ini juga berlaku bagi kasus lingkungan. Sering kali kasus pelanggaran lingkungan gagal dalam proses hukum. 51 Fungsi kontrol Salah satu kelemahan terbesar di Indonesia adalah tidak adanya fungsi kontrol. Kurangnya pengawasan terhadap suatu program, seperti pelaksananan RPL dan RKL, menyebabkan terjadinya banyak kasus lingkungan yang terjadi yang seharusnya dapat dihindari. Ketidakjelasan siapa mengawasi siapa/apa dalam pelaksanaan suatu program juga menyebabkan terjadinya kasus lingkungan. Lembaga yang lebih tinggi (pusat/propinsi) berfungsi sebagai pengawas penyelengaraan lingkungan pada tingkat di bawahnya, tetapi salah satu butir dari PP no 25/2000 menyebutkan fungsi pengawasan terhadap tingkat di bawahnya hanya pengawasan penyelenggaraan lintas daerah. Kontrol sosial (bottom up) dari mayarakat terhadap pemerintah dan legislatif dapat dikatakan tidak ada. Seharusnya dalam paradigma baru mengenai partisipasi masayarakat di awal orde reformasi memiliki kekuatan terpenting dalam proses pengambilan keputusan. Pada kenyataanya hal itu tidak pernah terjadi karena sistem pengambilan keputusan pada jaman Orde Baru masih dipakai hingga saat ini. Kesenjangan intelektual Tampaknya ada kesenjangan intelektual antar tingkat pemerintahan. Acuan/ aturan yang dibuat tingkat pemerintahan yang lebih tinggi sering kali diterapkan begitu saja oleh tingkat pemerintahan dibawahnya tanpa dipelajari lebih lanjut. Acuan/aturan yang diterapkan begitu saja menyebabkan terjadinya kasus-kasus lingkungan, sebagai contoh adalah kasus Bandung Utara. Kemauan melaksanakan acuan/aturan dengan baik dan benar Poin ini mungkin merupakan kelemahan terbesar di Indonesia. Kemauan menjalankan acuan/aturan, terlepas acuan/aturan itu benar atau salah, dapat dikatakan sangat kurang. Banyak kasus lingkungan yang sebenarnya dapat dihindari jika aturan tersebut mau dilaksanakan dengan baik dan benar. Budaya Feodalisme Sistem birokrasi yang ditumbuhkan, sejak jaman penjajahan Belanda, adalah birokrasi yang berjenjang. Penjajah Belanda telah berhasil membangun sistem pemerintahan dengan mencipatakan di lapisan tengah satu kelompok elit birokrasi pribumi yang mengabdi kepada kepentingan penguasa kolonial. 52 Pada lapisan ini, sistem nilai feodal tradisional masih berakar kuat. Birokrasi yang diciptakan pada waktu itu adalah birokrasi yang mengadi pada atasan, bukan suatu sistem yang melayani masyarakat. Gerak-gerik birokrasi pada jaman penjajahan, khsususnya sangat nyata selama Orde Baru, menunjukkan kemiripan bahkan kesamaan dengan tingkah laku birokrasi di zaman penjajahan. Secara tidak sadar kita masuk dalam kontradiksi; membangun sistem sosial dan masyarakat modern yang merdeka dengan nilai-nilai yang dibangun justru untuk menghambat kemerdekaan dan mempertahankan kebiasaan feodalistik tradisional. Mengkomunikasikan Lingkungan Sering kali program-program lingkungan yang dibuat oleh pemerintah tidak sampai pada masyarakat. Hal ini kurangnya mengkomunikasikan kebijakan- kebijakan maupun program-program lingkungan ke masyarakat. Akibatnya apa yang sudah ditetapkan oleh pemerintah tidak dapat berjalan dengan baik, kalau mau tidak dibilang gagal. Proses Pengambilan Keputusan Di Indonesia, pada umumnya proses pengambilan keputusan, baik itu berupa kebijakan maupun aturan, dapat dikatakan dimabil oleh satu komponen saja, yaitu pemerintah. Komponen lainnya tidak banyak terlibat, dapat dikatakan tidak terlibat sama sekali, dalam pengambilan keputusan. Badan legislatif yang seharusnya menyuarakan suara publik juga tidak menjalankan fungsinya dengan baik. Suara yang dibawa lebih banyak untuk kepentingan kelompoknya saja. Hal ini menyebabkan banyak keputusan-keputusan yang diambil sering kali mengecewakan masyarakat, yang sebenarnya adalah komponen yang terkena dampak dari keputusan tersebut. Pelayanan Publik Institusi pemerintah seharusnya merupakan suatu institusi pelayanan publik. Tetapi pada kenyataannya, institusi pemerintah lebih banyak bersifat sebagai majikan dibandingkan sebagai pelayan. Hal ini dapat dilihat keputusan- keputusan yang diambil. Banyak keputusan-keputusan tidak berpihak kepada publik tetapi berpihak kepada kelompok-kelompok tertetnu saja. Kepentingan publik lebih sering dikorbankan. Salah satu sebabnya adalah budaya yang terbentuk cukup lama, terutama pada jaman orde baru, yang sulit untuk diubah. 53 SPEKTRUM GLOBALISASI DALAM RUANG LINGKUP PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP I. PENDAHULUAN. Masalah globalisasi dalam ruang lingkup lingkungan dapat dilihat dari berbagai kacamata, tetapi secara umum pandangan dunia dapat dibagi menjadi 2 kelompok utama yaitu pertama, apa yang ada di dunia ini tidak cukup untuk seluruh dunia. Pandangan ini melahirkan apa yang dimaksud dengan kaum kapitalis yang berupaya menguasai semua kapital untuk mencapai kemakmuran. Kedua, apa yang ada di dunia ini cukup untuk seluruh dunia. Konsep kapitalisme ini menjadi meluas dan merambah ke sistem sosialis dan feodalis sehingga menjadi pegangan bagi kemakmuran bersama. Dampak globalisasi terhadap kerusakan lingkungan dapat terjadi jika pembangunan didukung sepenuhnya oleh PMA. Logikanya, setiap produsen luar negeri mencoba menekan ongkos eksternalitas yang semakin besar dengan mengalihkan investasi yang berteknologi rendah (rendah pengelolaan lingkungannya) kepada negara- negara yang sangat butuh investasi seperti itu. Dan itu yang terjadi di Indonesia. Kondisi Center of Pheriphery juga terjadi dalam kasus produksi di Indonesia dimana setiap produsen di Indonesia hanya menjalankan apa yang diperintahkan oleh negara luar. Dengan kata lain, kerusakan lingkungan dibarengi pula dengan keuntungan berlipat dari negara lain. Ada pemeo yang menekankan pada Sustainable Development sebagai ajakan orang untuk hidup sederhana. Hidup sederhana ini merupakan proses pengurangan konsumsi sumber daya yang pada akhirnya mengurangi kerusakan terhadap lingkungan. Agar sustainable development seperti itu dapat berjalan maka perlu adanya kontrol sosial. Globalisasi telah menjadi proses yang berarti pada saat ini. Ketika peluang dan keuntungan dari proses ini menjadi perdebatan yang sengit antara pendukung dan penolaknya, baru-baru ni telah terjadi peningkatan kesadaran diantara pembuat kebijakan di Selatan, analis dan alademisi, seperti juga organisasi- organisasi non pemerintah di Selatan maupun Utara. Kegagalan konferensi World Trade Organization tingkat menteri pada bulan Desember 1999 di Seattle, Amerika Serikat, merupakan pertanda kesadaran ini. 54 Alasan perubahan persepsi dan tingkah laku ini adalah macam-macam.diantara faktor-faktor penting adalah perbedaan keuntungan yang nyata terhadap kebanyakan negara-negara berkembang dari membuka perekonomian mereka, walaupun publikasi yang baik dalam hal dan pendapatan; kegagalan ekonomi dan dislokasi sosial pada banyak negara berkembang banyak disebabkan oleh liberalisasi pasar dan finansaial yang cepat; pertumbuhan ketimpangan kesejahteraan dan perluang bereasal dari globalisasi; dan presepdi bahwa msalah lingkungan, sosial dan kultural menjadi lebih buruk oleh ekonomi pasar bebas global. Globalisasi ekonomi bukanlah suatu proses baru, telah lebih dari 5 abad pada negara-negara yang berekonomi maju telah meningkatkan jangkauannya melalui aktivitas perdagangan dan produksi (intensif pada periode kolonialisasi) ke daerah lain di seluruh dunia. Pada dua atau tiga dekade terakhir, laju globalisasi ekonomi menjadi lebih cepat karena beberapa faktor seperti pengembangan teknologi, tetapi terutama kebijakan liberalisasi yang melintas ke seluruh penjuru dunia. Aspek terpenting dari globalisasi ekonomi adalah runtuhnya batas-batas ekonomi nasional; penyebaran secara internasional aktivitas perdagangan, finansial dan produksi, dan meningkatnya kekuatan perusahaan transnasional dan institusi finansial internasional dalam proses ini. Ketika globalisasi ekonomi menjadi tidak merata, dengan meningkatnya investasi dan perdagangan yang terfokus pada beberapa negara, hampir semua negara terpengaruh oleh proses ini. Sebagai contoh, sebuah negara berpendapatan kecil berpartisipasi hanya pada sebagian kecil dari perdagangan dunia, tetapi perubahan dalam permintaan atau harga dari komoditas eskport atau kebijakan pengurangan pajak impor dapat menyebabkan dampak ekonomi dan sosial yang besar pada negara tersebut. Negara tersebut mungkin mempunyai peranan marjinal dalam perdagangan dunia, tetapi perdagangan dunia mempunyai pengaruh yang ckup besar terhadap negara tersebut, mungkin mempunyai dampak yang lebih besar pada beberapa negara berkembang. Liberalisasi eksternal dari ekonomi nasional meliputi runtuhnya batas-batas nasional terhadap aktivitas ekonomi, menghasilkan keterbukaan dan integrasi yang lebih besar suatu negara di pasar dunia. Pada kebanyakan negara, batas negara telah dihilangkan untuk sektor keuangan dan pasar finansial, perdagangan dan investasi asing langsung (direct foreign investment). 55 Yang paling penting dan unik dari proses globalisasi sekarang adalah globalisasi kebijakan nasioanl dan mekanisme pembuatan kebijakan. Kebijakan nasional (termasuk dalam bidang ekonomi, sosial, kultural dan teknologi) yang berada pada kewenangan negara dan rakyat pada suatu negara, pada saat ini telah dipengaruhi oleh badan-badan dunia dan proses dari perusahaan swasta besar dan pemain pada bidang ekonomi/keuangan. Hal ini membawa erosi pada kekuasan nasional dan berkurangnya kemampuan pemerintah dan masyarakat untuk membuatv pilihan dari opsi-opsi dalam kebijakan dalam bidang ekonomi, sosial dan kultural. Pada banyak negara berkembang terlihat kapasitas pembuatan kebijakan secara independen telah terkikis dan harus mengadopsi kebijakan yang dibuat oleh pihak lain, yang mungkin dapat merusak keseimbangan suatu negara. Negara- negara maju, yang merupakan pemain-pemain utama dan juga mengendalikan proses dan kebijakan dari agensi-agensi ekonomi internasional, lebih baik dalam mengendalikan kebijakan nasional mereka sendiri seperti menentukan kebijakan- kebijakan dan praktek-praktek institusi internasional dan sistem global. Bagaimanapun, perusahaan-perusahaan besar juga mempunyai peranan yang sangat besar dalam menentukan keputusan walaupun itu juga di negara maju, pada pengeluaran kekuasan negara atau pemimpin sosial dan politik. 56 gambar 1. Definisi Globalisasi I *' ) ) ( ## " ## ## ## n" %#" # # # # ## a#& ##" # ### ##&# ##&### # ) ### #! #### " ## # ### " ## %#!" ##!#"###### a# " #### " ## # ) ' , &#### ## #"# !%$$$ # ) $ $ l 2$##" : # # ## " n ### #" ##" l i &# i %#&# g#####! a#" N) ( ( " ( )$# " ### #### "### ! # ## %#!#" ### # h##&# # ## ("## # ### d(# $#" # ' ! ## ##" # a&#" #" ! #" ####&### " &#" #" !# " # # ! ## ###" ## l ! %" #& # ## ##& i $" # $#" # $## $# Ekonomi Sosial Lingkungan Kultural GLOBALISASI Intervensi pihak asing (peran swasta, badan- badan internasional, lembaga-lembaga non pemerintah lebih dominan dari peran negara) terhadap suatu negara melalui Gerakan organisasi non pemerintah, tokoh-tokoh sosial dan lingkungan (World Social Forum, WSF) - ketidakadilan bagi masyarakat negara berkembang (terutama masyarakat kurang mampu) - kerusakan lingkungan - dll Konvensi 2 International: - iklim - keanekaragaman hayati - dll Liberalisasi, freetrade, freemarket: - perdagangan multilateral dikendalikan organisasi dunia (WHO) - mengurus perdagangan, jasa (GATS), hak intelektual (TRIPS) - dll Mempunyai pengaruh yang nyata Belum terlihat pengaruhnya KEBIJAKAN (Policy) suatu negara (terutama negara berkembang) dampak 57 Aspek yang lebih penting adalah proses yang sekarang terjadi adalah institusi global yang mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam pembuatan kebijakan yang secara tradisional merupakan kewenangan pemerintah nasional. Pemerintah sekarang harus mengadopsi kebijakn yang dibuat berdasarkan keputusan dan aturan institusi internasional. Institusi penting tersebut adalah Bank Dunia (World Bank), Dana Moneter Internasional (Internasional Monetary Fund, IMF) dan Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization, WTO). Institusi Bretton Wood (IMF dan Bank Dunia) mempunyai otoritas yang yang besar pada sebagian besar negara berkembang (dan negara yang sedang dalam proses transisi) yang bergantung pada pinjaman terhadap kedua lembaga tersebut. Negosiasi putaran Uruguay (Uruguay round) telah memberikan kekuatan yang lebih besar pada sistem GATT, dan perjanjian yang dibuat di bawah organisasi pengganti GATT, WTO, telah menetapkan ketentuan dalam bidang-bidang baru, termasuk hak kekayaan intelektual, pelayanan, pertanian dan investasi yang berhubungan dengan perdagangan. Menurut beberapa analis, perjanjian yang dibuat pada Putaran Uruguay mempunyai perjanjian yang tidak adil , dan perjanjian dan sistem WTO (termasuk sistem pengambilan keputusan) cenderung melawan kepentingan pihak Selatan. Perjanjian yang terjadi sekarang membutuhkan kebijakan dan aturan domestik dari negara anggota yang disesuaikan dengan aturan yang mereka miliki. Kebanyakan negara Selatan, termasuk Indonesia didalamnya, tidak mampu meraih keuntungan dari globalisasi karena beberapa kelemahan. Kelemahan-kelemahan negara-negara Selatan disebabkan beberapa faktor. Negara-negara berkembang lemah secara ekonomi untuk memulai dengan kekurangan kapasitas ekonomi domestik dan mempunyai infrastruktur sosial yang lemah karena pengalaman kolonial. Mereka menjadi lebih lemah karena harga expor yang rendah dan beban hutang yang cukup tinggi. Kebijakan yang dibuat umumnya merupakan lampiran dari paket penjadwalan ulang pinjaman. Kebanyakan negara-negara berkembang juga teridentifikasi sebagai negara dengan kediktatoran, penyalahgunaan kekuasaan dan kesalahan mengurus perekonomian (economic mismanagement), yang merusak proses pembangunan. Faktor-faktor tersebut menyebabkan banyak negara-negara Selatan berada dalam posisi yang lemah dalam menghadapi globalisasi, seperti kondisi untuk kesuksesan dalam liberalisasi yang tidak muncul. 58 Dengan kurang kondusifnya kondisi dan persiapan, liberalisasi yang cepat menyebabkan lebih berbahaya daripada mendapatkan keuntungan. Kelemahan juga terlihat dalam kekuatan negosiasi dan posisi tawar (bargaining position) dalam hubungan internasional. Mempunyai utang luar negeri yang cukup besar dan sangat bergantung pada dana pinjaman bantuan baik itu dari negara maju maupun lembaga internasional, melemahkan kapasitas mereka dalam bernegosiasi. Selain itu juga negara-negara berkembang tidak terorganisasi dengan baik di negaranya sendiri. Institusi pemerintah tidak mempersiapkan secara baik dalam menghadapi perkembangan ekonomi global yang cepat dan dalam negosiasi global. Interaksi atau hubungan antara kaum intelektual, LSM dan pemerintah sangatlah lemah. Dengan kondisi seperti itu banyak negara berkembang, khususnya Indonesia, tidak siap dalam menghadapi globalisasi, akibatnya bidang sosial, ekonomi dan lingkungan terkena dampak dari ketidaksiapan tersebut. II. SKEMA HUBUNGAN ANTARA SPEKTRUM GLOBALISASI DAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM LINGKUNGAN HIDUP. Banyak kalangan, terutama para tokoh dunia yang bergerak di bidang sosial dan lingkungan, gelombang globalisasi mempunyai dampak yang sangat buruk bagi sumber daya alam dan lingkungan serta kesejahteraan sosial di negara berkembang. Kekuatan ekonomi dunia melalui perdagangan bebas dan liberalisasi yang mengusulkan pengelolaan sumber daya alam seperti, kehutanan, barang mineral, dan air, dikhawatirkan kerusakan lingkungan yang sudah ada semakin bertambah besar. Selain itu juga dipersoalkan masalah keadilan. Pengelolaan sumber daya alam, terutama air, yang dikelola oleh pihak swasta akan mengakibatkan hilangnya akses masyarakat setempat terhadap sumber daya alam. Kerusakan lingkungan yang semakin parah dan kehilangan akses terhadap sumber daya alam merupakan dampak negatif dari globalisasi yang dikhawatirkan banyak pihak penentang globalisasi. Tetapi pendapat yang berbeda ini sering kali tidak mendapat tanggapan dari pihak pembuat kebijakan di banyak negara berkembang yang disebabjan antara lain oleh faktor-faktor yang telah disebutkan diatas seperti beban hutang dan sebagainya. Meskipun globalisasi ekonomi memberikan tekanan terhadap lingkungan, pada satu sisi memperkuat kekuatan untuk menjadi lebih baik. Jaringan internasional kekuatan publik (civil society) memperkuat suara untuk perlindungan lingkungan 59 pada tingkat nasional. Suara-suara ini akan memperkuat penggunaan bahasa yang sama dari prinsip-prinsip penyelenggaraan lingkungan (environmental governance principles) yang diartikulasikan selam Konvensi Aarhus. Bersamaan dengan tekanan publik, peluang penting bersamaan dengan tekanan pasar. Globalisasi perdagangan dan penghilangan batas-batas perdagangan menempatkan tekanan pada industri domestik untuk mencapai posisi yang kompetitif melalui efisiensi yang lebih baik dan manajemen lingkungan yang lebih bertanggung jawab. Dampak globalisasi terhadap kerusakan lingkungan dapat terjadi jika pembangunan didukung sepenuhnya oleh PMA. Logikanya, setiap produsen luar negeri mencoba menekan ongkos eksternalitas yang semakin besar dengan mengalihkan investasi yang berteknologi rendah (rendah pengelolaan lingkungannya) kepada negara- negara yang sangat butuh investasi seperti itu. Gambar 2. Hubungan globalisasi dengan lingkungan I *' ) ) ( $# ## " i # # ! " # k! ## ## N$ $$ $#" &#### i# ### %#& "#" ! &#" " ?##&#" # # ! "# #### &" #" # s! " ## ## ##&" # ## ### #" %#& ##" h! #" ! ##! ###" # #### a! # # ## ##&## ## # "#### " # ##"# GLOBALISASI Kondisi negara - ekonomi - sosial - politik - kultural Kesiapan menghadapi globalisasi KEBIJAKAN Dampak Sosial - Masyarakat semakin sejahtera? - ketidakadilan bagi masyarakat (kehilangan akses pemanfaatan sumber daya alam)? Dampak Lingkungan - bertambah parahnya kerusakan lingkungan? - laju berkurangnya sumber daya alam? - hilangnya keanekaragaman hayati 60 Gelombang globalisasi ekonomi yang begitu kencang bukanlah sesuatu hal yang dapat dicegah oleh suatu negara manapun yang ada di dunia. Hal yang menjadi penting adalah bagaimana sikap suatu negara dalam menghadapi globalisasi. Sukses tidaknya suatu negara dalam menghadapi gelombang globalisasi pada akhirnya bergantung pada kesiapan negara tersebut, hal ini dapat dilihat dari kebijakan-kebijakan maupun aturan-aturan yang dikeluarkan oleh pemerintah negara tersebut. III. PENGARUH GLOBALISASI TERHADAP LINGKUNGAN HIDUP. Dalam hal menghadapi isu globalisasi, Indonesia menyatakan bahwa suka atau tidak suka akan ikut aktif didalamnya. Masalahnya adalah justru pada pernyataan kesiapan tersebut karena Malaysia walaupun tidak suka tetapi telah siap atau memiliki basis ekonomi yang cukup (Program Wawasan 2020), begitu pula Singapura. Indonesia dapat dikatakan tidak siap karena kemampuan berproduksinya yang tidak baik. Istilah tidak baik dalam arti kata kemandirian produksinya. a. Dampak WTO. Dampak dari perdagangan bebas dan liberalisasi antara lain adalah masuknya pihak asing ke Indonesia. Investasi asing yang masuk tidak hanya ke bidang perekonomian saja, antara lain sektor pertambangan dan industri, tetapi juga pengelolaan sumber daya alam. Sebagai contoh adanya konsesi-konsesi baru pertambangan. Hal ini menimbulkan kontorversi karena dikhawatirkan dengan adanya konsesi baru akan menimbulkan kerusakan lingkungan yang lebih parah dari yang sudah ada. Liberalisasi perkebunan ternyata membawa dampak yang cukup signifikan, yaitu semakin tingginya kawasan hutan alam menjadi perkebunan. Hal ini setidaknya akan menyebabkan dampak lingkungan di lokasi tersebut. Pemerintah juga acap ditekan untuk melonggarkan kebijakan-kebijakan pengelolaan surnberdaya alam dan menyesuaikannya dengan skema penyesuaian, struktural yang berpihak pada masuknya investasi asing serta perdagangan bebas. Insentif ke arah perdagangan bebas telah memacu ekstraksi sumberdaya alam tanpa diiringi upaya untuk menginternalisasi biaya eksternalitas lingkungan yang timbul. 61 Kekhawatiran akan globalisasi tidak hanya pada pada eksploitasi sumber daya alam saja, tetapi juga aturan hak karya intelektual (HAKI) yang diterapkan. Saat ini penghancuran lingkungan, yang berupa pencurian keaneka ragaman hayati, melalui rezim patent, privatisasi dan komodifikasi air maupun pelayanan sosial, menjadikan negara tidak mampu lagi mempertahankan jati diri sebagai pelindung warga negara seperti dalam teori kontrak sosial. b. Utang Luar Negeri. Ekonomi yang babak belur akibat krisis berkepanjangan, menyebabkan Indonesia semakin dalam terperangkap dalam jebakan utang luar negeri. Hal itu terjadi karena utang luar negeri oleh pemerintahan Soeharto, Habibie, Wahid dan kini Megawati, dijadikan solusi utama bagi pemulihan dan pembangunan ekonomi. Barangkali juga sebagai sumber korupsi. Padahal ketergantungan Indonesia yang mendalam terhadap utang luar negeri telah relatif tinggi bahkan sejak sebelum krisis berlangsung. Dengan melihat dampak jerat utang luar negeri yang dialami oleh Indonesia dan negara-negara miskin lainnya, nampak jelas bahwa disini ada persoalan ketidakadilan global yang akut. Sesungguhnyalah ketergantungan Indonesia terhadap utang luar negeri akhirnya dijadikan alat oleh rezim kapitalisme global untuk memaksakan agenda liberalisasi perdagangan dan ekonomi. c. Konvensi Internasional. Pada dasarnya konvensi internasional yang ikut ditandatangani merupakan suatu usaha dunia untuk mengatasi permasalahan lingkungan yang terjadi. Indonesia ikut menandatangani sejumlah konevensi internasional. Dengan menandatangani konevensi-konvensi tersebut, Indonesia dapat memperoleh dana bantuan dari pihak luar, apapun bentuknya. Dengan dana tersebut diharapkan permasalahan lingkungan yang terjadi di Indonesia dapat diatasi. Tetapi di sisi lain, akses terhadap sumber daya alam bagi masyarakat yang memanfaatkannya untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari menjadi berkurang. 62 gambar 3. pengaruh globalisasi terhadap Indonesia I *&* ( ) # ##!# " #" &#!" ! ########## a# ##### ### # ) ! ' , ! &" ###! #" ### &$#$! # )! #% :$####"# # # ! " ! " ###" #! ## l ! I $$ % n$#&# %## A$" ## # , $### #### %## n%#" $### # ## ##! " # f ##### $### ) # ### ##!"#! #" f # ## ## #" #### A ### A #! " # " #" n$##" "#### " # ##" k %### i %### " #! &#" M ###"# # # l" "### ! " " #! #" # #" a%#&##! # &( &' !& ! ! &' ' ' ! ## # ##&#####" ### # ! " ### " # # ##" ## ##" ## i ! # ### ### # ###" # ## #### ### " ###
n $" ##" ## t %$$ # ## &" # ## i "# ##" # &#" ## g$# ###" ## " #### # ## # " #! ## &### ) #######" # N%$ $ ! $ # %%$ $%$ $####" ##! # # GLOBALISASI Konvensi2 International -iklim -keanekaragaman hayati -dll Liberalisasi, freetrade, freemarket: -perdagangan multilateral dikendalikan organisasi dunia (WTO) -mengurus perdagangan, jasa (GATS), hak inteletual (TRIPS) -Dana untuk mengatasi permasalahan lingkungan, spt CDM dll -syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk memperoleh dana INVESTASI KONDISI INDONESIA SAAT INI - pola pembangunan berdasarkan investasi PMA - kondisi perekonomian - situasi politik - ketidakpastian hukum - utang luar negeri - tidak adanya perananpublik dalam menentukan kebijakan - tingkat korupsi - dll Hak paten Ekslpoitasi SDA (Kehutanan, Kelautan, Mineral) Pembukaan pabrik Pencurian keanekaragaman hayati -Pencemaran (air, udara, tanah) -berkurangnya lahan produktif -kerusakan lingkungan -deplesi SDA -privatisasi pengelolaan SDA -Pencemaran (air, udara, tanah) -berkurangnya lahan produktif Akses pemanfaatan SDA oleh manyarakat menjadi terbatas (ketidakadilan bagi masyarakat) KEBIJAKAN (Cth : RUU SDA, Konsesi baru pertambangan dilokasi kehutanan Kerusakan lingkungan yang sudah ada akan semakin parah (magnitude kerusakan lingkungan akan semakin besar) 63 Bagaimana gambaran pengaruh globalisasi di Indonesia dapat dilihat salah satu produk aturan yang baru-baru ini dikeluarkan oleh pemerintah, yaitu RUU Sumber Daya Air. Banyak kalangan, terutama LSM, yang mensinyalir bahwa lembaga- lembaga keuangan Internasional, yang memberikan banyak pinjaman ke Indonesia, berperan cukup besar dalam menentukan RUU Sumber Daya Air ini. Hal ini dapat dilihat bahwa pengaruh asing mempunyai peran yang cukup besar dalam menentukan kebijakan di Indonesia. Di satu sisi pengelolaan sumber daya air oleh pihak swasta dapat membuat pengelolaan menjadi lebih efektif dan efisien, tetapi di sisi lain kepentingan masyarakat akan haknya atas air menjadi hilang. Dan hal ini dianggap akan menambah beban bagi masyarakat, terutama masyarakat kurang mampu. Hal ini menunjukkan bahwa ketidakmampuan pemerintah dalam mensinergikan kepentingan masyarakat dengan tekanan dari luar. Permasalahan lingkungan akibat adanya globalisasi sebenarnya permasalahan yang sama. Artinya ada atau tidak globalisasi permasalahan lingkungan yang ada tetap sama, seperti pencemaran, dampak lingkungan akibat penggundulan hutan, permasalahan lingkungan di perkotaan dan lain-lain. Tetapi dengan adanya globalisasi yang dikhawatirkan adalah magnitude kerusakan yang semakin besar. gambar 4. dampak lingkungan :%$! ' $## $#$$ n!!#$$##' $! $ A! !#$ $ ! !#$ l !! i ##! $#$#$#! $##$$#$ g#$! ##$#$$ $$ Permasalahan lingkungan: - pencemaran lingkungan - deplesi SDA - banjir - dll kerusakan lingkungan akibat globalisasi kerusakan lingkungan sekarang 64 Globalisasi hanya merupakan suatu perkembangan dunia yang mempengaruhi situasi di Indonesia. Permasalahan lingkungan yang telah terjadi sekarang dan yang akan terjadi akibat adanya globalisasi masih sama. Yang menjadi masalah sebenarnya sekarang adalah bagaimana usaha menangangi permasalahan lingkungan yang ada sekarang dan bagaimana antisipasi kerusakan lingkungan akibat adanya globalisasi. Penanganan permasalahan lingkungan yang ada sekarang dapat dikatakan belum efektif. Jika permasalahan lingkungan akibat kegiatan domestik belum sanggup ditangani dengan baik, bagaimana kerusakan lingkungan yang lebih besar akibat globalisasi dapat ditangani mengingat kondisi Indonesia saat ini. Kendala terbesar bagi Indonesia dalam menerima isu globalisasi adalah kemandirian dalam jati diri budaya, teknologi, dan sistem ekonomi. Tanpa kemandirian tersebut, isu budaya, teknologi dan ekonomi menjadi produk mentah yang langsung diimplementasikan tanpa ada perubahan terlebih dahulu. Apakah perubahan tersebut mendahului masuknya isu atau isu dulu yang masuk baru dilakukan perubahan, merupakan tantangan bagi pemerintah. Pemerintah menghadapi tantangan yang cukup besar dalam menghadapi globalisasi yaitu bagaimana mensinergikan tekanan dari luar dengan kepentingan masayarakat banyak, melalui piranti birokrasi yang telah dimiliki. Dengan sinergi ini maka diharapkan piranti birokrasi yang ada menjadi lebih efektif dan efisien dalam melayani publik. 65 SPEKTRUM KEBUDAYAAN DALAM RUANG LINGKUP SUMBER DAYA ALAM DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP I. PENDAHULUAN. Budaya merupakan karya cipta manusia yang dihasilkan dari interaksi manusia dengan sesamanya maupun dengan lingkungan dimana mereka tinggal. Budaya ini tercipta karena pada dasarnya manusia merupakan makhluk sosial dimana manusia tidak dapat hidup sendiri. Manusia harus berhubungan dengan orang lain untuk mengembangkan dirinya selain itu manusia berinteraksi dengan alam sekitar untuk dapat mempertahankan hidupnya. Dengan interaksi antar sesama dan dengan lingkungan sekitar membentuk suatu sikap atau pola tingkah laku yang umum dari anggota masyarakat pada suatu lingkungan tertentu. Jadi kebudayaan sangat tergantung dari kondisi lingkungan dan sosial masyarakat tersebut. Karena sikap atau pola tingkah laku yang membentuk suatu kebudayaan pada suatu daerah tercipta dari interaksinya dengan lingkungan tempat mereka tinggal maka kebudayaan sangat terkait dengan alam dan kondisinya. Misalnya kebudayaan di daerah pesisir pantai sangat berbeda dengan kebudayaan didaerah pegunungan. Pada awalnya manusia melalui budayanya sangat memperhatikan keseimbangan dan keteraturan antara manusia dengan alam. Manusia sangat menghormati keberadaan alam, bahkan ada beberapa kebudayaan yang menganggap alam sebagai Dewa, sehingga masyarakatnya menaruh hormat terhadap alam seperti sungai, gunung, hutan dan lain sebagainya. Setelah munculnya agama monotheis, kebudayaan berkembang tidak lagi menganggap alam atau benda-benda yang di alam sebagai dewa melainkan sebagai tempat mereka tinggal dan hidup. Pada masa itu sumber daya alam masih sangat berlimpah dan masyarakat masih memakai dan mengambil sumber daya alam hanya untuk keperluan sehari-hari sehingga alam masih dapat memperbaharui dan memperbaiki dirinya dari kerusakan yang ada. Eksploitasi sumber daya alam mulai berkembang pesat semenjak diterapkannya teori ekonomi modernnya Adam Smith pada masyarakat terutama masyarakat Eropa. Dan eksploitasi tersebut tumbuh secara deret ukur terutama setelah terjadinya revolusi industri pada abad ke-18, perkembangan kehidupan manusia dan kebudayaan semakin menyimpang jauh dari keseimbangannya dengan alam. Hal ini juga terjadi karena pertumbuhan jumlah penduduk meningkat secara 66 pesat dan semakin berkembangnya budaya egosentris dimana pemenuhan kebutuhan manusia merupakan prioritas yang utama. Perkembangan ini semakin mengesampingkan posisi alam menjadi sekedar objek pemenuhan kebutuhan hidup manusia. Kondisi ini masih berlaku sampai sekarang, walaupun kesadaran bahwa alam sudah semakin tidak mampu menanggun beban pemenuhan kebutuhan manusia semakin besar tetapi masih belum cukup untuk dapat mengatasi berbagai permasalahan yang ada. Masih banyak negara yang berkutat pada masalah pemenuhan kebutuhan dasar penduduknya, sehingga perhatian kepada kelestarian alam masih jauh dari yang diharapkan. Hal ini berlaku juga di Indonesia, apalagi dengan adanya krisis ekonomi yang terjadi beberapa tahun yang lalu dimana krisis itu mengakibatkan tingkat kesejahteraan sebagian besar masyarakat Indonesia merosot tajam. Dengan jumlah penduduk yang banyak dengan tingkat kesejahteraan sebagian besar masyarakatnya yang rendah, memaksa pemerintah Indonesia menetapkan prioritas utamanya pada pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat. Hal ini menyebabkan secara umum tingkat kesadaran akan pentingnya kelestarian alam di dalam masyarakat Indonesia masih sangat kurang, baik secara individu maupun dalam bentuk kelompok masyarakat maupun lembaga pemerintah. Semua masih berkutat didalam pemenuhan kebutuhan primer atau kebutuhan dasar. Oleh karena itu prioritas masyarakat secara umum dan pemerintah adalah tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Sehingga aspek-aspek lain seperti lingkungan dan kebudayaan lebih diserahkan kepada individu masing-masing. Selama ini, yang dimaksud dengan kebudayaan lebih kepada kebudayaan peninggalan nenek moyang, dan peninggalan itu lebih dalam berupa karya seni maupun benda-benda purbakala. Hal-hal ini yang masih diatur dan dikelola oleh pemerintah. Sedangkan hubungan sosial antar masyarakat maupun anggota masyarakat lebih banyak diserahkan kepada masyarakat. Jadi tingkah laku maupun sikap masyarakat lebih didasarkan pada interaksi antara anggota masyarakat dan informasi maupun kondisi yang terjadi dilingkungan dimana mereka tinggal. Kebudayaan post modernisasi, seperti budaya globalisasi, dan budaya instan yang sekarang banyak dianut oleh masyarakat di kota-kota metropolitan dan juga kota-kota besar lainnya di Indonesia, merupakan contoh yang paling jelas berpengaruh di masyarakat. Yang disayangkan dalam mengambil pengaruh budaya modern ini hanya yang diambil sisi yang menguntungkan atau menyenangkan 67 saja, terutama pola konsumtif yang paling kentara terlihat. Sedangkan kesadaran mengenai kebersihan dan pelestarian lingkungan yang juga marak di masyarakat modern tidak dianut. Budaya Paternalistik di Indonesia. Menurut Hofstede, masyarakat Indonesia termasuk masyarakat dengan ciri jarak kuasa (power distance) yang tinggi dibandingkan dengan 53 masyarakat bangsa lain di dunia. Dalam masyarakat seperti ini, bawahan merasa dirinya jauh dari atasannya. Ciri lain dari budaya ini adalah atasan merasa berhak atas hak-hak istimewa (privileges), bawahan merasa hak-hak yang diterima atasan adalah wajar, bawahan harus setia kepada atasan, orang yang berkuasa seharusnya juga kaya, bawahan tergantung kepada atasan, kekuasaan didasarkan atas hubungan keluarga dan koneksi. Dalam masyarakat seperti itu hubungan atasan bawahan bersifat paternalistik, atasan adalah bapak yang harus dituruti dan ditiru. Sebenarnya hubungan yang sifatnya paternalistik tidak dengan sendirinya akan menimbulkan masalah. Masalah baru timbul apabila yang menjadi atasan adalah orang yang korup atau tidak jujur atau suka menyalahgunakan kekuasaannya dan tidak bijaksana dalam mengambil sikap dan membuat keputusan. Bawahan akan segera mengikuti tingkah laku tersebut, dan biasanya kebiasaan atau tingkah laku yang buruk lebih mudah ditiru daripada tingkah laku yang baik. Tingkah laku atasan atau pemimpin yang buruk dijadikan pembenaran oleh bawahan untuk melakukan hal yang sama. Masyarakat Singapura juga adalah masyarakat dengan jarak kuasa yang relatif tinggi. Tetapi Singapura dikenal sebagai negara yang bersih dari korupsi. Bawahan dan masyarakat luas mengikuti atau meniru pemimpin mereka yang tidak korup. Disamping jarak-kuasa yang tinggi, masyarakat Indonesia juga termasuk masyarakat yang kolektivitasnya tinggi. Masyarakat kolektif cirinya antara lain ; identitas seseorang cenderung dikaitkan dengan kelompoknya, harmoni harus tetap dijaga dan konflik harus dihindari, pendapat kelompok mendominasi pendapat individu, berbuat salah akan menimbulkan rasa malu dan kehilangan muka (bukan perasaan bersalah). Masyarakat kolektif ditandai oleh kebersamaan yang tinggi. Kelemahan dari bentuk masyarakat kolektif ini adalah jika suatu perbuatan telah dianggap biasa walaupun perbuatan itu salah, perbuatan tersebut tidak dianggap menimbulkan rasa malu 68 sehingga orang-orang bersama-sama melakukan perbuatan tersebut walaupun perbuatan itu salah. Seperti contohnya korupsi, karena masyarakat sudah mengganggap korupsi sebagai suatu perbuatan yang biasa maka hampir semua orang melakukan korupsi. Jadi disini terjadi kebersamaan dalam korupsi dan juga contoh lain kebersamaan dalam melakukan tindak kekerasan. Jadi, secara diam-diam terjadi korupsi yang terorganisis. Selain itu contoh lainnya misalnya tidak ada satu pun pemimpin kita yang memberi contoh untuk menjaga kebersihan dan mencintai alam sehingga sangat sulit membentuk masyarakat Indonesia yang menjaga kebersihan dan melestarikan alam. Sistem birokrasi yang ada di Indonesia merupakan sistem yang diwariskan oleh pemerintahan kolonial Belanda kepada kita. Sistem birokrasi yang ditumbuhkan adalah sistem birokrasi yang berjenjang. Pada puncak piramida adalah gubernur jenderal, gubernur dan kemudian dibawahnya diikuti oleh lapisan residen, asisten residen, bupati, wedana, asisten wedana dan yang paling bawah adalah pemimpin rakyak (seperti lurah dan yang sejenisnya). Penjajah Belanda telah berhasil membangun sistem pemerintahan dengan menciptakan di lapisan tengah satu kelompok elit birokrasi pribumi yang mengabdi kepada kepentingan penguasa kolonial. Pada lapisan ini, sistem nilai feodal tradisional masih berakar kuat ditunjukkan dengan ethos kerja ngawula ing praja lan raja, yang artinya menghamba kepada negara dan raja. Dengan bentuk budaya masyarakat yang seperti ini terlihat bahwa pengaruh dan kekuasaan atasan dalam hal ini pemerintah menjadi sangat besar dan sangat menentukan hitam putihnya negara ini. Jadi setiap tindakan pemerintah secara formal dalam tatanan kepemerintahan maupun tindakan pemerintah secara informal dalam hal ini para birokrat sangat menentukan arah perjalanan bangsa ini. Termasuk dalam hal ini pembentukan budaya masyarakat Indonesia secara umum sangat bergantung dengan kebijakan yang diambil pemerintah dan perilaku birokratnya. Budaya masyarakat daerah masih ada dan masih sering dilaksanakan oleh sebagian masyarakat di berbagai daerah di Indonesia, tetapi budaya tersebut terbatas oleh lokalitas dimana budaya tersebut hanya dilakukan oleh masyarakat pada daerah tertentu dan tidak dilaksanakan secara umum oleh masyarakat Indonesia. 69 Selain itu jika budaya tersebut harus berhadapan dengan aturan dan perundang- undangan yang ditetapkan dan dikeluarkan oleh pemerintah maka sering terjadi budaya daerah tersebut harus kalah dengan aturan yang ditetapkan oleh pemerintah. Gambar 1. Hubungan antara isu budaya dengan pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia II. SKEMA HUBUNGAN ANTARA BUDAYA DENGAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP. Manusia dan lingkungan tidak dapat dipisahkan karena tanpa alam atau lingkungan tidak akan ada manusia. Lingkungan merupakan tempat tinggal, tempat mempertahan hidup, sebagai penyedia sumber-sumber yang dimanfaatkan oleh manusia untuk terus hidup, tempat membuang sisa-sisa dari semua aktivitas manusia. Bentuk interaksi antara manusia dengan alamnya dapat dilihat dari pola hidup,sikap dan perilaku individunya dan etika dan norma-norma yang ada didalam masyarakat. Di dalam struktur masyarakat bernegara masa kini selain sikap dan pola hidup individu, dan norma-norma yang berlaku di masyarakat ada juga aturan-aturan yang ditetapkan pemerintah yang menjadi batasan dan acuan yang berlaku dalam kehidupan bernegara. Seperti terlihat dalam skema diatas bahwa ada tiga susunan Pemerintah Masyarakat Individu y Kebijakan y Peraturan/UU Etika Norma-norma Sikap Tingkah Laku LINGKUNGAN B U D A Y A
M A S Y A R A K A T
I N D O N E S I A MASYARAKAT DUNIA 70 yang berpengaruh dalam perkembangan budaya yaitu pemerintah, masyarakat dan individu. Budaya daerah masuk dalam norma-norma dan etika dalam masyarakat, sedangkan seni dan daya kreativitas masuk dalam individu. Andil pemerintah dalam pembentukan budaya adalah pada aturan dan kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah dan tingkah laku para pemimpin dan birokratnya seperti diketahui dalam budaya paternalistik, pemimpin menjadi panutan bagi bawahannya dan masyarakat luas. Sebagai contoh di Singapura pada tahun 1960- an masih banyak orang yang membuang sampah sembarangan, tetapi kemudian dikeluarkan peraturan larangan membuang sampah sembarangan oleh pemerintah Singapura. Peraturan ini dilaksanakan secara ketat dan disiplin sehingga secara perlahan membentuk sikap dan budaya menjaga kebersihan pada masyarakat Singapura. Sehingga sekarang tanpa aturan tersebut pun masyarakat Singapura tetap menjaga kebersihan lingkungannya. Masyarakat dunia pun berpengaruh dalam membentuk budaya pada masyarakat terutama semenjak era globalisasi dimana teknologi informasi berkembang secara pesat. Hampir semua kejadian yang terjadi di belahan dunia lain dalam hitungan menit bahkan detik dapat diketahui oleh masyarakat lain di belahan dunia lain. Informasi yang didapat secara cepat dan tiada hentinya ini juga dapat membentuk dan merubah cara pandang, pola hidup dan tingkah laku masyarakat maupun individu. Selain itu hubungan pemerintah antar negara dapat juga mempengaruhi kebijakan yang diambil oleh satu pemerintahan. Misalnya sikap pemerintah Amerika melalui IMF (Lembaga Keuangan Internasional) memaksa pemerintah Indonesia serius dalam menangani permasalahan kebakaran hutan dan penebangan liar. Dari budaya masyarakat Indonesia yang paternalitik kolektif terlihat bahwa peran pemerintah dalam membangun sikap masyarakat yang peduli terhadap lingkungan penting, malah bisa dikatakan sangat penting. Oleh sebab itu untuk melestarikan alam harus ada sikap dari pemimpin dan para birokrat di dalam pemerintahan yang pro dengan lingkungan sehingga sikap mereka sehari-hari akan menunjang pelestarian lingkungan dan itu akan menjadi panutan bagi para bawahan dan masyarakat luar. Selain itu kebijakan yang diambil akan selalu memperhatikan kelestarian dan keberlanjutan lingkungan tersebut. Selain itu pendidikan juga penting dalam mempengaruhi sikap dan tingkah laku seseorang, dalam hal ini yang berhubungan dengan kesadaran mengenai 71 pelestarian lingkungan. Tetapi tingginya tingkat pendidikan juga harus dibarengi dengan pengetahuan mengenai lingkungan dan pelestariannya yang memadai, karena jika tidak dibarengi dengan pengetahuan mengenai pentingnya pelestarian lingkungan tidak akan membuat masyarakat menjadi peduli dengan lingkungan. III. PERMASALAHAN-PERMASALAHAN KEBUDAYAAN YANG TERKAIT DENGAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DI INDONESIA. 1. Masyarakat dan kebudayaan Indonesia saat mengalami krisis identitas karena otoritas dan kewenangan yang dipaksakan. Banyak aturan yang mengekang kebebasan masyarakat untuk berekspresi dan berkreasi menyebabkan perkembangan budaya mandeg dan terkooptasi dengan kebijakan mengenai stabilitas keamanan nasional. 2. Tidak adanya program pendidikan yang jelas terutama mengenai lingkungan baik pada pendidikan tingkat dasar, maupun tingkat menengah menunjukkan bahwa perhatian pemerintah terhadap masalah lingkungan masih sangat kurang. Padahal, pendidikan mengenai lingkungan baik pemanfaatannya yang benar maupun pelestarian merupakan dasar bagi sikap masyarakat dalam melihat dan melestarikan lingkungan. Hal ini lebih diperparah dengan kondisi pasca krisis ekonomi dimana semua sumber daya diprioritaskan pada pemulihan kondisi perekonomian bangsa, sehingga bahkan pendidikan sebagai dasar peningkatan mutu sumber daya manusia tidak terperhatikan juga. 3. Selama ini bahan bakar penggerak perekonomian Indonesia adalah sumber daya alam baik yang dapat diperbaharui maupun yang tidak. Jadi selama sumber daya alam menjadi tumpuan utama dari perekonomian kita selama itu pun juga alam hanya akan menjadi objek eksploitasi yang keberadaannya hanya sebagai faktor penunjang produksi. 4. Dengan kebijakan pemerintah yang kurang memperhatikan permasalahan lingkungan, serta tidak adanya dasar pemahaman yang ditanamkan semenjak dini pada masyarakat tentang pentingnya pelestarian lingkungan hidup membuat posisi lingkungan hanya berupa benda mati yang dianugrahkan kepada bangsa ini untuk digunakan semaksimal mungkin tanpa memperhatikan kondisi serta kelestariannya. Hal ini membuat tekanan 72 terhadap lingkungan semakin besar dan kuat, sehingga kerusakan lingkungan semakin parah karena baik pemerintah maupun masyarakat hanya memperlakukan lingkungan sebagai obyek dalam aktivitas perekonomian dan kehidupan. 5. Konsep peningkatan kesejahteraan yang hanya dilihat dari pencapaian tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi saja, tanpa melihat berapa besar biaya yang dikeluarkan untuk mencapai tingkat pertumbuhan tersebut serta berapa besar kerusakan lingkungan yang terjadi dari kebijakan tersebut. 6. Budaya korupsi, kolusi dan nepotisme yang marak terjadi di Indonesia membuat banyak orang bersaing mendapatkan hak penggunaan sumber daya termasuk sumber daya alam untuk keuntungan sendiri maupun keuntungan kelompok. Dalam budaya tersebut sangat menekankan hasil atau keuntungan yang maksimal dengan waktu yang secepat-cepatnya. Hal ini menyebabkan orang yang mendapatkan hak pengelolaan sumber daya mengekspoitasi sumber daya tersebut semaksimal mungkin tanpa memperhatikan keberlanjutannya untuk generasi mendatang selain itu untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya maka digunakan biaya yang sekecil- kecilnya sehingga kerusakan yang terjadi menjadi maksimal karena biaya pengelolaan yang seharusnya dikeluarkan untuk mengelola lingkungan menjadi hilang atau sangat kecil. 7. Dengan kurangnya perhatian pemerintah pada permasalahan lingkungan, maka sebagian besar kebijakan yang diambil pemerintah tidak memihak kepada pelestarian lingkungan, ada beberapa kebijakan yang terkait dengan lingkungan itu pun karena desakan dari pihak luar (desakan internasional) maupun karena kondisi yang terjadi sudah sedemikian parah sehingga menarik perhatian pemerintah. 8. Kurang matangnya sebuah kebijakan menjadikan program yang dilaksanakan tidak efesien atau bahkan tidak mencapai sasaran yang diharapkan. Sebagai contoh program transmigrasi; selama ini program tersebut hanya memindahkan penduduk dari lingkungan atau pulau yang padat ke pulau yang lebih sedikit jumlah penduduknya. Jarang program tersebut yang membawa hasil yang optimal baik bagi penduduk yang dipindahkan, masyarakat maupun pemerintah tempat para transmigran ditempatkan maupun daerah asal transmigran. Hal ini disebabkan kurang matangnya 73 perencanaan program transmigrasi, misalnya tidak ada studi kelayakan mengenai budaya asal transmigran dengan budaya penduduk asli daerah dimana transmigran ditempatkan, selain itu juga tidak ada atau kurangnya sarana-sarana pendukung yang layak untuk sebuah pemukiman. Yang terjadi lebih banyak transmigran yang pulang lagi ke daerah asal meninggalkan lokasi transmigrasi yang telah rusak karena diolah dengan tidak tepat dan kemudian ditinggalkan. 9. Contoh lainnya adalah budaya mudik yang dilakukan sebagian penduduk kota besar pada saat perayaan hari besar keagaaman. Budaya tersebut baik untuk meningkatkan hubungan sosial masyarakat tetapi ada dampak samping yang sering terjadi yaitu ketika kembali ke kota para pemudik membawa sanak keluarga untuk bekerja di kota-kota besar. Hal ini menambah beban termasuk beban lingkungan pada kota-kota besar di Indonesia terutama Jakarta. Beberapa kebijakan yang diambil untuk mengatasi permasalahan tersebut misalnya dengan penertiban penduduk, operasi yustisi tidak menyelesaikan akar permasalahan. Kebijakan tersebut hanya bersifat sementara karena selama kesenjangan ekonomi dan sosial terjadi antara kota-kota besar dengan kota-kota lainnya, hal tersebut akan terus terjadi. 10. Selain permasalahan diatas yang diakibatkan karena sikap kurang berpihak dari pemerintah dan budaya yang berkembang pada saat ini, ada pula budaya lama yang dapat mengakibatkan kerusakan lingkungan dalam hal ini hewan langka. Ada beberapa budaya yang meyakini bahwa hewan langka dalam hal ini daging, darah, tanduk, maupun bagian tubuh lainnya, dapat menyembuhkan penyakit atau memberikan kekuatan pada manusia. Budaya ini sudah berkembang sangat lama dan masih berlaku sampai sekarang. Pada masa lalu ketika semua masih berlimpah ruah, budaya tersebut tidak menimbulkan permasalahan, tetapi sekarang dimana hewan yang diyakini memiliki khasiat tertentu sudah sangat langka, budaya tersebut sangat membahayakan kelestarian hewan tersebut. a. Kendala-kendala yang dihadapi oleh Institusi Pengelolaan Lingkungan. 1. Sebagian besar permasalahan lingkungan yang berhubungan dengan budaya terkait secara tidak langsung. Sehingga suatu Institusi Penyelenggaraan Lingkungan tidak dapat secara langsung membuat kebijakan atau melakukan 74 suatu perubahan untuk mengatasi permasalahan tersebut. Sudah ada Institusi lainnya yang bertanggung jawab terhadap masalah kebudayaan. Yang jadi tugas dari Institusi Penyelenggaraan Lingkungan adalah bagaimana meyakinkan institusi tersebut dan masyarakat bahwa keberadaan dan keberlanjutan lingkungan sangat penting untuk dijaga. 2. Institusi Penyelenggara Lingkungan belum dapat memasukkan agenda pelestarian lingkungan kedalam sebagian besar kebijakan pemerintah sehingga keberpihakan pemerintah terhadap masalah lingkungan ini lebih tinggi dari sebelumnya. 3. Kurang kuatnya posisi dan peran Institusi Penyelenggaraan Lingkungan dalam menentukan kebijakan pemerintah di bidang-bidang lain yang menyebabkan lingkungan tidak mendapatkan prioritas yang utama dalam setiap pengambilan keputusan oleh pemerintah. 4. Institusi Penyelenggara Lingkungan sendiri tidak memiliki kebijakan mengenai peningkatan pemahaman tentang pelestarian lingkungan di masyarakat. 5. Selama ini yang menjadi fokus perhatian Institusi Penyelenggara Lingkungan hanyalah lingkungan, misalnya pencemaran lingkungan, kerusakan lingkungan bukan faktor-faktor lain yang mendorong terjadinya pencemaran maupun kerusakan lingkungan seperti faktor sosial budaya dalam hal ini perilaku masyarakat. Faktor-faktor tersebut sering dianggap sebagai faktor- faktor dari luar yang bukan merupakan wewenang Institusi Penyelenggara Lingkungan. b. Alternatif-alternatif pemecahan yang dirasakan sesuai dengan hambatan atau kendala-kendala yang dihadapi oleh Institusi Penyelengara Lingkungan. 1. Institusi Penyelenggara Lingkungan harus dapat menyakinkan pemerintah dengan data-data dan bukti-bukti bahwa permasalahan lingkungan sangat penting untuk segera diatasi dan permasalahan lingkungan merupakan permasalahan bersama bukan permasalahan satu pihak saja. 75 2. Institusi Penyelenggara Lingkungan harus dapat memasukkan atau menginternalisasi masalah lingkungan kedalam kebijakan-kebijakan pemerintah dibidang-bidang pendidikan baik formal maupun informal sebagai bagian dari pembentukan sikap dan tingkah laku yang ramah lingkungan. 3. Institusi Penyelenggara Lingkungan harus mempunyai badan yang menganalisa semua kebijakan yang telah ada dan yang akan dikeluarkan oleh pemerintah dibidang pendidikan dan kebudayaan serta memberikan masukan kepada Institusi yang berwenang maupun pemerintah dalam merencanakan maupun menjalankan kebijakan tersebut. 4. Institusi Penyelenggara Lingkungan harus dapat menjadi pencetus pembentukan Good Enviromental Governance (GEG), karena pembentukan GEG ini merupakan suatu keharusan dalam membentuk masyarakat yang mempunyai budaya yang peduli lingkungan. 76 SPEKTRUM KESEJAHTERAAN SOSIAL DALAM RUANG LINGKUP PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP I. PENDAHULUAN. Program pembangunan kesejahteraan sosial di Indonesia terutama memberikan perhatian kepada pembangunan sosial dan penyelesaian masalah sosial. Pembangunan sosial merupakan usaha perubahan sosial yang dirancang untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat yang selaras dengan pembanguhan ekonomi (Midgley 1994). Penyelesaian masalah sosial dipandang sebagai satu penyelesaian dari keadaan dimana orang tidak mampu melaksanakan fungsi sosialnya. Fokus program pembangunan kesejahteraan sosial ditujukan kepada anak-anak dan remaja, kemiskinan, wanita dan orang tua, penderita penyakit kronis, keluarga bermasalah, minoritas, dan masalah-masalah sosial lainnya akibat dari pembangunan ekonomi. Kompleksnya masalah kesejahteraan sosial menyebabkan pembangunan dan masalah tersebut memerlukan perhatian, bukan hanya dari pihak pemerintah tetapi juga masyarakat. Walau bagaimanapun, pemerintah mempunyai tanggung jawab yang utama dalam usaha kesejahteraan sosial. Namun, kerjasama dari pihak masyarakat dan organisasi bukan pemerintah perlu juga terus ditingkatkan. Peningkatan usaha ini dapat dilakukan melalui kerjasama dalam berbagai program seperti perlindungan, keselamatan, jaminan dan bantuan sosial. Kerjasama ini menunjukkan semakin luasnya perhatian masyarakat dan swasta dalam bidang pembangunan kesejahteraan sosial. a. Kemiskinan sebagai salah satu masalah dalam kesejahteraan sosial. Masalah kemiskinan memang telah lama ada sejak dahulu kala. Pada masa lalu umumnya masyarakat menjadi miskin bukan karena kurang pangan, tetapi miskin dalam bentuk minimnya kemudahan atau materi. Dari ukuran kehidupan modern pada masa kini mereka tidak menikmati fasilitas pendidikan, pelayanan kesehatan, dan kemudahan-kemudahan lainnya yang tersedia pada jaman modern. Kemiskinan sebagai suatu penyakit sosial ekonomi tidak hanya dialami oleh negara-negara yang sedang berkembang, tetapi juga negara-negara maju, seperti Inggris dan Amerika Serikat. Negara Inggris mengalami kemiskinan di penghujung 77 tahun 1700-an pada era kebangkitan revolusi industri yang muncul di Eropah. Pada masa itu kaum miskin di Inggris berasal dari tenaga-tenaga kerja pabrik yang sebelumnya sebagai petani yang mendapatkan upah rendah, sehingga kemampuan daya belinya juga rendah. Mereka umumnya tinggal di permukiman kumuh yang rawan terhadap penyakit sosial lainnya, seperti prostitusi, kriminalitas, pengangguran. Amerika Serikat sebagai negara maju juga dihadapi masalah kemiskinan, terutama pada masa depresi dan resesi ekonomi tahun 1930-an. Pada tahun 1960-an Amerika Serikat tercatat sebagai negara adi daya dan terkaya di dunia. Sebagian besar penduduknya hidup dalam kecukupan. Bahkan Amerika Serikat telah banyak memberi bantuan kepada negara-negara lain. Namun, di balik keadaan itu tercatat sebanyak 32 juta orang atau seperenam dari jumlah penduduknya tergolong miskin. Indonesia sebagai negara yang kaya akan sumber daya alamnya mempunyai 49,5 juta jiwa penduduk yang tergolong miskin (Survai Sosial Ekonomi Nasional / Susenas 1998). Jumlah penduduk miskin tersebut terdiri dari 17,6 juta jiwa di perkotaan dan 31,9 juta jiwa di perdesaan. Angka tersebut lebih dari dua kali lipat banyaknya dibanding angka tahun 1996 (sebelum krisis ekonomi) yang hanya mencatat jumlah penduduk miskin sebanyak 7,2 juta jiwa di Perkotaan dan 15,3 juta jiwa perdesaan. Akibat krisis jumlah penduduk miskin diperkirakan makin bertambah. Ada dua kondisi yang menyebabkan kemiskinan bisa terjadi, yakni kemiskinan alamiah dan karena buatan. Kemiskinan alamiah terjadi antara lain akibat sumber daya alam yang terbatas, penggunaan teknologi yang rendah dan bencana alam. Kemiskinan buatan terjadi karena lembaga-lembaga yang ada di masyarakat membuat sebagian anggota masyarakat tidak mampu menguasai sarana ekonomi dan berbagai fasilitas lain yang tersedia, hingga mereka tetap miskin. Maka itulah sebabnya para pakar ekonomi sering mengkritik kebijakan pembangunan yang melulu terfokus pada pertumbuhan ketimbang pemerataan. Berbagai persoalan kemiskinan penduduk memang menarik untuk disimak dari berbagai aspek, sosial, ekonomi, psikologi dan politik. Aspek sosial terutama akibat terbatasnya interaksi sosial dan penguasaan informasi. Aspek ekonomi akan tampak pada terbatasnya pemilikan alat produksi, upah kecil, daya tawar rendah, tabungan nihil, lemah mengantisipasi peluang. Dari aspek psikologi terutama akibat rasa rendah diri, fatalisme, malas, dan rasa terisolir. Sedangkan, 78 dari aspek politik berkaitan dengan kecilnya akses terhadap berbagai fasilitas dan kesempatan, diskriminatif, posisi lemah dalam proses pengambil keputusan. Lebih lanjut, garis kemiskinan merupakan ukuran rata-rata kemampuan masyarakat untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup minimum. Melalui pendekatan sosial masih sulit mengukur garis kemiskinan masyarakat, tetapi dari indikator ekonomi secara teoritis dapat dihitung dengan menggunakan tiga pendekatan, yaitu pendekatan produksi, pendapatan, dan pengeluaran. Sementara ini yang dilakukan Biro Pusat Statistik (BPS) untuk menarik garis kemiskinan adalah pendekatan pengeluaran. Menurut data BPS hasil Susenas pada akhir tahun 1998, garis kemiskinan penduduk perkotaan ditetapkan sebesar Rp. 96.959 per kapita per bulan dan penduduk miskin perdesaan sebesar Rp. 72.780 per kapita per bulan. Dengan perhitungan uang tersebut dapat dibelanjakan untuk memenuhi konsumsi setara dengan 2.100 kalori per kapita per hari, ditambah dengan pemenuhan kebutuhan pokok minimum lainnya, seperti sandang, kesehatan, pendidikan, transportasi. Angka garis kemiskinan ini jauh sangat tinggi bila dibanding dengan angka tahun 1996 sebelum krisis ekonomi yang hanya sekitar Rp. 38.246 per kapita per bulan untuk penduduk perkotaan dan Rp. 27.413 bagi penduduk perdesaan. Banyak pendapat di kalangan pakar ekonomi mengenai definisi dan klasifikasi kemiskinan ini. Dalam bukunya The Affluent Society, John Kenneth Galbraith melihat kemiskinan di Amerika Serikat terdiri dari tiga macam, yakni kemiskinan umum, kemiskinan kepulauan, dan kemiskinan kasus. Pakar ekonomi lainnya melihat secara global, yakni kemiskinan massal/kolektif, kemiskinan musiman (cyclical), dan kemiskinan individu. Kemiskinan kolektif dapat terjadi pada suatu daerah atau negara yang mengalami kekurangan pangan. Kebodohan dan eksploitasi manusia dinilai sebagai penyebab keadaan itu. Kemiskinan musiman atau periodik dapat terjadi manakala daya beli masyarakat menurun atau rendah. Misalnya sebagaimana, sekarang terjadi di Indonesia. Sedangkan, kemiskinan individu dapat terjadi pada setiap orang, terutama kaum cacat fisik atau mental, anak-anak yatim, kelompok lanjut usia. 79 b. Kesejahteraan sosial dan kemiskinan dilihat dari keterkaitannya dengan lingkungan alam dan variabel penduduk. Kesejahteraan sosial dan kemiskinan dilihat dari keterkaitannya dengan lingkungan alam dan variabel penduduk dapat digambarkan sebagai berikut Lingkungan Alam: -Ketersediaan SDA -Ti ngkat Pencemaran Variabel Penduduk: -Ferti li tas -Mortalitas -Mobi li tas (mi grasi) Kesejahteraan Sosial -Kesejahteraan Fisik -Kesejahteraan Ekonomi -Kesejahteraan Spi ri tual Lingkungan Alam: -Ketersediaan SDA -Ti ngkat Pencemaran Variabel Penduduk: -Ferti li tas -Mortalitas -Mobi li tas (mi grasi) Kesejahteraan Sosial -Kesejahteraan Fisik -Kesejahteraan Ekonomi -Kesejahteraan Spi ri tual Gambar . Kulitas Lingkungan Hidup dan Kependudukan Berbagai variabel kependudukan seperti kelahiran, kematian dan mobilitas akan mempengaruhi daya dukung lingkungan terhadap kehidupan manusia yang tercermin dari ketersediaan/ketidak-tersediaan sumberdaya alam misalnya sumber daya laut (ikan, rumput laut, dan sebagainya), ada tidaknya lahan, ada tidaknya sumber air bersih, hutan dan satwa liar, dan ada atau tidaknya pencemaran (udara, air dan tanah). Ketersediaan/ketidaksediaan tersebut sangat menentukan kualitas lingkungan suatu wilayah yang pada gilirannya akan mempengaruhi kesejahteraan sosial dari penduduk yang berada di lingkungan tersebut Kesejahteraan sosial sendiri seringkali ditentukan oleh faktor-faktor kesejahteraan fisik, ekonomi serta spiritual. Kesejahteraan fisik biasanya ditentukan oleh tingkat kesehatan serta keamanan masyarakat. Kesejateraan ekonomi mencakup kemampuan manusia untuk memenuhi kebutuhan 80 hidupnya seperti makanan, minuman, perumahan dan pakaian serta sekaligus meningkatkan sarana kesehatan, pendidikan dan kesempatan kerja. Dalam hal ini, sumber daya alam akan merupakan faktor penentu untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi. Pengurasan dan penurunan sumber daya alam akan membayakan kemampuan penduduk di dalam usahanya memenuhi kebutuhan hidup serta kemampuannya untuk meningkatkan taraf hidupnya atau dengan kata lain terjadi penurunan dalam kesejahteraan ekonomi. Penurunan dalam kesejahteran ekonomi dalam suatu ambang batas tertentu disebut kemiskinan. Demikian pula dengan kesejahteraan spiritual. Hal ini berkaitan dengan persepsi masyarakat terhadap jaminan masa depan, keharmonisan dalam kehidupan keluarga dan kesempatan di dalam menjalankan ibadah agama. 81 I I . S K E M A
H U B U N G A N
S P E K T R U M
K E S E J A H T E R A A N
S O S I A L
D E N G A N
P E N G E L O L A A N
S U M B E R
D A Y A A L A M
D A N
L I N G K U N G A N
H I D U P . T U R U N N Y A P E N D A P A T A N M E N I N G K A T N Y A B I A Y A - B I A Y A ( L I S T R I K ,
A I R
,
B B M ) P E N I N G K A T A N P R O S E N T A S E P E N D U D U K
M I S K I N M E R O S O T N Y A
D A Y A D U K U N G
D A N
M U T U L I N K U N G A N H I D U P P E N D I D I K A N R E N D A H K E M A M P U A N E K O N O M I
R E N D A H - M E N G O L A H
L A H A N M A R G I N A L / L A H A N K R I T I S / L A H A N
M I S K I N H A R A
Y A N G P R O D U K T I V I T A S N Y A R E N D A H . - M E M B U A T
U S A H A Y A N G
M E N C E M A R I L I N G K U N G A N P E M U K I M A N
K U M U H D I P E R K O T A A N M E N Y E B A B K A N D I P E R L U K A N P R O G R A M P E N G E N T A S A N K E M I S K I N A N D I D A S A R K A N
P A D A
K E M A M P U A N P E N G E L O L A A N
L I N G K U N G A H
H I D U P S E C A R A
B I J A K S A N A
D A N
H A T I - H A T I D E N G A N
S E L A L U
M E M P E R H A T I K A N D A Y A D U K U N G
S U M B E R
A L A M
D A N L I N G K U N G A N
S E T E M P A T P E N G U N A A N
P E N D E K A T A N
A T A U T E K N O L O G I
Y A N G
T I D A K B E R S A H A B A T
D E N G A N
L I N G K U N G A N D A L A M
U P A Y A
P E N I N G K A T A N P E N D A P A T A N
M A S Y A R A K A T
M I S K I N P E N I N G K A T A N P E N C E M A R A N
D A N P E R U S A K A N L I N G K U N G A N
H I D U P P E N G H A S I L A N
Y A N G B E R K E L A N J U T A N P E N I N G K A T A N
P E N D I D I K A N
D A N K E T R A M P I L A N , A K S E S I B I L I T A S A S E T
D A N
F A K T O R
P R O D U K S I P E N I N G K A T A N
A K S E S I B I L I T A S T E R H A D A P
P E L A Y A N A N
S O S I A L U S A H A - U S A H A
P E N I N G K A T A N P E M A N F A A T A N
D A N
P E L E S T A R I A N F U N G S I
S D A
Y A N G
S E C A R A L A N G S U N G
M E M P E N G A R U H I K E H I D U P A N
P E N D U D U K
M I S K I N B I D A N G P R O G R A M Y A N G D I C A N A N G K A N K E G I A T A N
Y A N G
T E L A H
D A N S E D A N G
D I L A K U K A N M E M B A N T U
I N D U S T R I
S K A L A K E C I L
D E N G A N
M E M B A N G U N I N S T A L A S I
P E N G O L A H A N
A I R L I M B A H
D I
S E N T R A - S E N T R A I N D U S T R I P R O G R A M
K E R J A
K L H 1 . A K T I F
M E N J E L A S K A N K E T E R K A I T A N
A N T A R A
P R O G . P E N G E N T A S A N
K E M I S K I N A N D A N
P E N G E L O L A A N
L I N G K . H I D U P 2 . M E N G I N T E G R A S I K A N
3
B I D . P R O G .
P E N G E N T A S A N K E M I S K I N A N
D E N G A N
S E K T O R L A I N 3 . M E M A S U K K A N
T U J U A N
U N T U K M E N I N G K A T K A N K E S E J A H T E R A A N
D A N P E N D A P A T A N
M A S Y
M I S K I N D A L A M
K E R A N G K A
K E B I J A K A N N A S I O N A L 4 . M E M B A N T U
S E K T O R
L A I N D A L A M
M E L A K S A N A K A N P R O G R A M
P E N G E N T A S A N K E M I S K I N A N K U R A N G N Y A
A K S E S U N T U K
M E M E N U H I K E B U T U H A N
H I D U P S E P E R T I
A I R
B E R S I H P E N G G U N A A N
A I R S U N G A I P E N U R U N A N T I N G K A T K E S E H A T A N M A S Y A R A K A T T U R U N N Y A P E N D A P A T A N M E N I N G K A T N Y A B I A Y A - B I A Y A ( L I S T R I K ,
A I R
,
B B M ) P E N I N G K A T A N P R O S E N T A S E P E N D U D U K
M I S K I N M E R O S O T N Y A
D A Y A D U K U N G
D A N
M U T U L I N K U N G A N H I D U P P E N D I D I K A N R E N D A H K E M A M P U A N E K O N O M I
R E N D A H - M E N G O L A H
L A H A N M A R G I N A L / L A H A N K R I T I S / L A H A N
M I S K I N H A R A
Y A N G P R O D U K T I V I T A S N Y A R E N D A H . - M E M B U A T
U S A H A Y A N G
M E N C E M A R I L I N G K U N G A N P E M U K I M A N
K U M U H D I P E R K O T A A N M E N Y E B A B K A N D I P E R L U K A N P R O G R A M P E N G E N T A S A N K E M I S K I N A N D I D A S A R K A N
P A D A
K E M A M P U A N P E N G E L O L A A N
L I N G K U N G A H
H I D U P S E C A R A
B I J A K S A N A
D A N
H A T I - H A T I D E N G A N
S E L A L U
M E M P E R H A T I K A N D A Y A D U K U N G
S U M B E R
A L A M
D A N L I N G K U N G A N
S E T E M P A T P E N G U N A A N
P E N D E K A T A N
A T A U T E K N O L O G I
Y A N G
T I D A K B E R S A H A B A T
D E N G A N
L I N G K U N G A N D A L A M
U P A Y A
P E N I N G K A T A N P E N D A P A T A N
M A S Y A R A K A T
M I S K I N P E N I N G K A T A N P E N C E M A R A N
D A N P E R U S A K A N L I N G K U N G A N
H I D U P P E N G H A S I L A N
Y A N G B E R K E L A N J U T A N P E N I N G K A T A N
P E N D I D I K A N
D A N K E T R A M P I L A N , A K S E S I B I L I T A S A S E T
D A N
F A K T O R
P R O D U K S I P E N I N G K A T A N
A K S E S I B I L I T A S T E R H A D A P
P E L A Y A N A N
S O S I A L U S A H A - U S A H A
P E N I N G K A T A N P E M A N F A A T A N
D A N
P E L E S T A R I A N F U N G S I
S D A
Y A N G
S E C A R A L A N G S U N G
M E M P E N G A R U H I K E H I D U P A N
P E N D U D U K
M I S K I N B I D A N G P R O G R A M Y A N G D I C A N A N G K A N K E G I A T A N
Y A N G
T E L A H
D A N S E D A N G
D I L A K U K A N M E M B A N T U
I N D U S T R I
S K A L A K E C I L
D E N G A N
M E M B A N G U N I N S T A L A S I
P E N G O L A H A N
A I R L I M B A H
D I
S E N T R A - S E N T R A I N D U S T R I P R O G R A M
K E R J A
K L H 1 . A K T I F
M E N J E L A S K A N K E T E R K A I T A N
A N T A R A
P R O G . P E N G E N T A S A N
K E M I S K I N A N D A N
P E N G E L O L A A N
L I N G K . H I D U P 2 . M E N G I N T E G R A S I K A N
3
B I D . P R O G .
P E N G E N T A S A N K E M I S K I N A N
D E N G A N
S E K T O R L A I N 3 . M E M A S U K K A N
T U J U A N
U N T U K M E N I N G K A T K A N K E S E J A H T E R A A N
D A N P E N D A P A T A N
M A S Y
M I S K I N D A L A M
K E R A N G K A
K E B I J A K A N N A S I O N A L 4 . M E M B A N T U
S E K T O R
L A I N D A L A M
M E L A K S A N A K A N P R O G R A M
P E N G E N T A S A N K E M I S K I N A N K U R A N G N Y A
A K S E S U N T U K
M E M E N U H I K E B U T U H A N
H I D U P S E P E R T I
A I R
B E R S I H P E N G G U N A A N
A I R S U N G A I P E N U R U N A N T I N G K A T K E S E H A T A N M A S Y A R A K A T 82 Skema di atas dapat dijelaskan sebagai berikut. Peningkatan pencemaran maupun pengrusakan lingkungan hidup dapat menyebabkan merosotnya daya dukung dan mutu lingkungan hidup yang pada akhirnya berimplikasi pada penduduk melalui turunnya pendapatan atau penghasilan mereka Menurunnya pendapatan ditambah dengan terjadinya krisis dimana terjadi kenaikan biaya-biaya hidup yang cukup signifikan memicu peningkatan prosentase penduduk miskin. Penduduk miskin yang mempunyai kemampuan ekonomi rendah kurang mempunyai akses pada tingkat pendidikan formal maupun informal sehingga banyak dari mereka yang berpendidikan rendah dan tidak mempunyai akses pada kebutuhan hidup sehari-hari seperti sandang, pangan dan papan. Ekonomi rendah, tidak memiliki cukup pengetahuan serta tidak mempunyai akses pada pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari menyebabkan penduduk miskin melakukan pengolahan pada lahan marginal/lahan kritis/lahan miskin yang produktivitasnya rendah untuk mencari makan, membuat usaha tanpa memperhatikan pencemaran dari limbah yang dihasilkan, membuat pemukiman di tempat-tempat yang kumuh, menggunakan air sungai untuk aktivitas sehari- hari dan masih banyak kegiatan pemanfaatan sumber daya alam lainnya yang kurang mempertahatikan lingkungan. Intinya, minimnya pengetahuan mereka dan kesulitan ekonomi menyebabkan kegiatan yang dilakukan oleh penduduk miskin seringkali menimbulkan dampak yang merugikan pada lingkungan yang pada akhirnya lebih mengurangi lagi kesejahteraan mereka atau makin membuat mereka miskin. Misalnya, pemukiman di tempat-tempat kumuh seperti di bantaran sungai dan penggunaan air sungai di sekitarnya dapat menyebabkan banjir serta pencemaran air sungai. Dengan banjir maka masyarakat yang sudah miskin menjadi tambah miskin dan dengan pencemaran sungai masyarat mendapat tambahan pengeluaran berupa biaya pengobatan padahal akses untuk pelayanan kesehatan sangat terbatas Dengan memperhatikan hubungan antara kemiskinan dan pengelolaan sumber daya alam yang tidak hati-hati maka program pengentasan kemiskinan sebaiknya didasarkan pada kemampuan pengelolaan lingkungah hidup secara bijaksana dan hati-hati dengan selalu memperhatikan daya dukung sumber alam dan lingkungan setempat sehingga dapat diperolah penghasilan yang berkelanjutan. Berdasarkan program tersebut, bidang yang dicanangkan antara lain peningkatan pendidikan dan ketrampilan, aksesibilitas aset dan faktor produksi, peningkatan terhadap 83 aksesibilitas pelayanan sosial serta usaha-usaha peningkatan pemanfaatan dan pelestarian fungsi sumber daya alam yang secara langsung mempengaruhi kehidupan penduduk miskin. Dari bidang-bidang tersebut, kegiatan kerja dapat dilakukan oleh institusi penyelenggara lingkungan meliputi pemberian bantuan kepada industri kecil untuk membangun instalasi pengolah limbah, menjelaskan secara aktif hubungan antara pengentasan kemiskinan dan pengelolaan lingkungan hidup, menginterasikan bidang-bidang pengentasan kemiskinan dengan sektor lain, memasukkan tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan dan pendapatan masyarakat miskin dalam kerangka kebijakan nasional serta membantu sektor lain dalam pelaksanana program pengentasan kemiskinan. III. PERMASALAHAN ISU KEMISKINAN. Berbagai permasalahan yang timbul dari isu kemiskinan di Indonesia dapat diilustrasikan sebagai berikut : Peningkatan jumlah penduduk miskin setelah krisis keuangan. Jumlah penduduk miskin setelah krisis keuangan dapat dilihat pada tabel berikut. Dari tabel terlihat adanya peningkatan jumlah penduduk miskin yang hampir dua kali lipat pada tahun 1998 dibandingkan dengan tahun 1993. Tabel Jumlah Penduduk Miskin setelah Krisis Keuangan(dalam jutaan rupiah) Tahun Perkotaan Pedesaan Total 1993 8,7 17,2 25,9 1997 9,6 24,9 34,5 1998 17,6 31,9 49,5 Feb.1999 15,7 32.7 48,4 Ags.1999 12,4 25,1 37,5 Peningkatan jumlah murid putus sekolah. Akibat menurunnya kesejahteraan ekonomi penduduk (atau kemiskinan) jumlah murid SD yang putus sekolah meningkat drastis, dari 833.000 anak pada tahun 1997 menjadi 919.000 anak pada tahun 1998. Sementara itu di tingkat SLTP, jumlah putus sekolah meningkat dari 365.000 anak pada tahun 1997 menjadi 643.000 pada tahun berikutnya 84 Pembangungan pemukiman liar. Kemiskinan telah menyebabkan tidak mampunya penduduk untuk membangun perumahan yang layak huni. Kondisi ini menyebabkan tumbuhnya pemukiman liar di pinggir-pinggir sungai yang mengakibatkan penyempitan aliran sungai sehingga dapat terjadi banjir. Kondisi ini cukup membingungkan, disatu sisi penduduk yang tinggal di bantaran kali merupakan penyebab terjadinya banjir dan di sisi lainnya mereka juga adalah korban dari banjir itu sendiri disamping masyarakat disekitarnya. Kurang bijaksananya pemerintah dalam menangani bantaran kali telah memicu perlawanan warga, padahal maksud awal dari pemerintah adalah untuk melindungi warga dari banjir. Yang menjadi pertanyaan adalah dimana posisi warga dalam penanganan masalah bantaran kali, sebagai subjek atau objek belaka? Bangunan perumahan di bantaran kali ini banyak ditemui di Kawasan Ibu Kota Jakarta. Kemiskinan dan pengrusakan hutan.Adanya pendatang-pendatang baru dengan tingkat kesejateraan yang rendah menyebabkan lebih dari 12.000 hektar, atau sekitar 60 persen kawasan hutan di Gunung Betung, Lampung, rusak. Bahkan beberapa di antaranya rusak parah, tak ada lagi tumbuhan di bagian tersebut. Di beberapa kawasan, hutan itu telah berubah menjadi areal pemukiman dan perladangan. Kerusakan hutan membuat kawasan yang digunakan sebagai daerah tangkapan air dan sumber air itu kehilangan fungsinya. Hilangnya cadangan air itu menyebabkan banyak kawasan persawahan di Lampung yang terancam gagal panen lantaran kekurangan suplai air. Kerusakan hutan juga menimbulkan dampak terhadap daya dukung kehidupan masyarakat di masa depan, karena air merupakan salah satu daya dukung kehidupan yang amat penting. Semua makhluk hidup perlu air untuk kelangsungan kehidupan mereka. Jika saat ini hutan dibabati, maka kita akan kehilangan daya dukung kehidupan itu, dan jika tidak ditata, satu saat nanti banjir maupun kekeringan akan mengancam. Program peningkatan kesejahtaraan dari pemerintah. Sejak jaman Orde Baru telah banyak program-program peningkatan kesejahteraan yang dibuat untuk mengurangi jumlah penduduk miskin. Ada beberapa inpres yang dilakukan dengan pola pendekatan kesejahteraan, yaitu : 85 1. Inpres Desa Tertinggal, tujuannya adalah menciptakan kesetaraan desa dan menciptakan lapangan kerja di pesedaan 2. Inpres kesehatan, tujuannya adalah memberikan layanan kesehatan yang mudah dan murah untuk penduduk pedesaan. 3. Inpres pendidikan, tujuannya adalah memberikan layanan pendidikan yang gratis untuk pendidikan dasar sampai menengah. 4. Inpres obat obatan, tujuannya adalah untuk memberikan obat-obatan yang murah kepada masyarakat miskin Di samping inpres-inpres tersebut, pemerintah juga mengeluarkan kebijakan- kebijakan yang tujuannya adalah meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan penduduk pedesaan, misalkan : 1. Ketentuan mengenai Kredit Usaha Tani, untuk memudahkan petani mendapatkan modal untuk mengolah tanah 2. Ketentuan mengenai kredit perbankan (KIK atau kredit candak kulak) tujuannya adalah memberikan kemudahan rakyat untuk mendapatkan modal untuk usaha diluar sektor pertanian. 3. Pembebasan pajak untuk hasil pertanian. 4. Subsidi atas pupuk dan obat obatan pertanian 5. Penetapan harga dasar gabah, untuk menjamin nilai tukar petani (padi) tidak turun, bahkan meningkat terhadap hasil produk industri lainnya. 6. Pola KKPA untuk sistim transmigrasi terpadu, tujuannya adalah menjamin para transmigran mendapatkan penghasilan yang tetap dan alat produksi. 7. dan lain lain. Masih banyaknya prosentase yang kurang sejahtera atau penduduk miskin merupakan indikasi dari ketidakberhasilan program-program tersebut. Secara garis besar ketidakberhasilan program-program untuk orang miskin berkaitan dengan tiga akar permasalahan yaitu kelembagaan, regulasi dan good governance. Dana-dana yang ditujukan untuk program seringkali jumlahnya menjadi lebih kecil pada saat sampai di penerima akhir. Kebocoron dan penyelewangan dana adalah kondisi yang menjadi lazim di Indonesia. 86 Studi kasus kemiskinan di Teluk Palu (Provinsi Sulawesi Tengah). Di sini, kemiskinan lebih banyak disebabkan kerusakan ekosistem seperti: pengolahan sumberdaya perikanan secara berlebih-lebihan oleh perusahaan perikanan, pengelolaan galian C terdapat di sepanjang Teluk Palu, dan limbah rumah tangga yang semuanya bermuara di Teluk Palu. Hal ini ditanggapi oleh beberapa LSM yang kemudian melahirkan Serikat Nelayan Teluk Palu (SNTP). Gerak penanggulangan kemiskinan kemudian dilakukan melalui langkah- langkah perlawanan dari masyarakat asli melalui wadah SNTP terhadap pihak- pihak yang selama ini mengambil keuntungan di teluk. SNTP menyiapkan basis-basis masyarakat nelayan, yaitu suatu kesatuan komunitas yang terdiri dari para nelayan. Pada setiap basis dibentuk kelompok-kelompok kecil- atau kelompok dua-an dengan bantuan dana dari lembaga Pemulihan Kerberdayaan Masyarakat (PKM). Sementara Yayasan Pendidikan Rakyat bertindak sebagai pendamping lapangan. Keberadaan SNTP berhasil membangun norma pengelolaan sumber daya perairan, dengan membuat kesepakatan bersama, yaitu: Setiap orang diperbolehkan menangkap ikan di teluk, tetapi harus menggunakan alat tangkap yang tidak mengeksploitasi secara besar-besaran. Alat tangkap harus sederhana sehingga pendapatan antar nelayan bisa merata. Disamping itu, tidak terjadi eksploitasi sumberdaya alam secara besar-besaran. Secara sederhana norma pengelolaan sumberdaya perairan tersebut dapat dipandang sebagai visi masyarakat lapisan bawah dalam upaya penanggulangan kemiskinan bagi diri mereka sendiri Sementara itu, semaraknya usaha pertambangan galian C di Sulawesi Tengah telah mendatangkan gerakan perlawanan dari masyarakat. Perlawanan itu berkaitan dengan dampak dari pengelolaan galian C tersebut kepada masyarakat luas, yang dapat dilihat pada beberapa aspek berikut: Galian C pada mulanya merupakan usaha-usaha tradisional yang telah berlangsung lama sebagai bagian dari usaha kecil masyarakat dengan menggunakan teknologi sederhana. Dampaknya secara ekologi relatif kecil. Namun sejak tahun 1980-an, usaha galian C berpindah tangan dari masyarakat kecil ke pengusaha besar sebagai akibat dari dikeluarkannya seperangkat Perda tentang galian C yang terus diperbaharui sejak tahun 1980-an. 87 Dengan beralihnya pengusahaan galian C dari masyarakat kecil ke pada pengusaha besar menimbulkan kerusakan ekologi yang berakibat pada gangguan pada sistem pertanian dan sistem perikanan tangkap di Teluk Palu. Akibatnya masyarakat petani kecil dan nelayan kecil dirugikan secara ekonomi, Praktek galian C yang dilakukan oleh para pengusaha yang dikawal dengan kebijakan daerah sekalipun merugikan secara ekonomi dan secara ekologi pada tingkat petani/nelayan tetapi tetap memberikan defisa yang signifikan kepada PAD. Karena itu ketegangan yang terjadi mengarah kepada konflik vertikal antara pemerintah daerah dan masyarakat kecil. Konflik jenis ini merupakan salah satu persoalan penting dalam kehidupan masyarakat Sulawesi Tengah. Hal ini karena semakin terpinggirkannya penduduk asli dari kehidupan tradisionalnya, akibat dari hegemoni para pendatang. Para pendatang menguasai sebahagian besar sumberdaya agraris di akwasan tersebut. Isu kemiskinan berkenaan dengan hal ini adalah terjadinya kesenjangan penguasaan aset ekonomi antara para pendatang dengan penduduk asli. Gejala kemiskinan muncul sebagai akibat dari interaksi fungsional yang berkepanjangan antara penduduk pendatang yang memiliki etos kerja tinggi dengan penduduk asli yang memiliki etos kerja rendah. Dampak kebijakan pelarangan ekspor rotan pada peningkatan kemiskinan dan pengrusakan hutan alam di Indonesia Terdapat dua kepentingan yang berbeda antara petani dan pengumpul rotan dengan kalangan industri pengolahan rotan. Sebagai petani dan pengumpul yang menghasilkan bahan baku, mereka memerlukan peluang pasar yang lebih luas agar harga di tingkat petani dapat lebih baik. Sementara itu, kalangan industri pengolahan rotan menginginkan adanya keberlangsungan pasokan bahan baku dengan harga yang murah. Jika kebijakan pelarangan ekspor rotan mentah (asalan) atau penaikan pajak eksport (PE) diberlakukan maka akan berdampak pada penyempitan peluang pasar bahan baku, yang pada akhirnya akan menurunkan harga bahan baku dan harga rotan di tingkat petani dan pengumpul. Kebijakan ini akan merugikan kalangan petani dan pengumpul rotan yang diperkirakan berjumlah sekitar 250 ribu orang. Walaupun tidak tidak dapat dibantah, bahwa kebijakan tersebut memang telah meningkatkan nilai ekspor produk rotan jadi pada periode yang sama 88 Rendahnya harga baku rotan di tingkat petani dan pengumpul akan memberikan dampak negatif bukan hanya pada keadaan ekonomi dan sosial, tetapi juga pada keadaan lingkungan terutama kelestarian hutan.Sebagian besar petani dan pengumpul rotan tinggal di dalam dan sekitar hutan. Kerusakan hutan tersebut dapat terjadi karena dua hal; pertama, akan terjadi konversi kebun rotan milik petani (terutama di Kaltim dan Kalteng) menjadi bentuk pengolahan lahan yang lain dengan sistem monokultur seperti kebun kelapa sawit. Seperti diketahui bahwa kebun rotan adalah salah satu model wana tani (agroforestry). Kedua, pengumpul rotan (terutama di Sulawesi dan Sumatera) akan beralih kepada aktifitas penebangan kayu di hutan alam daripada memungut rotan. Hal ini berdampak kepada bertambahnya ancaman terhadap kerusakan hutan alam. a. Kendala dalam Pelaksanaan Pengentasan Kemiskinan. Mengacu pada skema penanggulan kemiskinan yang telah digambarkan di atas maka tampak jelas bahwa peran institusi penyelenggara lingkungan tidak terlepas dari berbagai sektor yang terkait. Dengan demikian koordinasi lintas sektor menjadi hal diperlukan dan ini menjadi kendala utama karena koordinasi lintas sektor memerlukan komitmen yang tinggi diantara mereka yang terlibat . Kerjasama institusi penyelenggara lingkungan dan institusi finansial dalam rangka membantu industri usaha kecil untuk membangun instalasi pengolah limbah termasuk juga pengalokasian secara benar dana subsidi yang diberikan oleh pemerintah sebagai bantuan pada industri kecil jika ada. Selama ini, salah satu penyebab kurang berhasilnya program-program bantuan pemerintah seperti INPRES dsb adalah oleh ketidakjelasan pihak penerima bantuan atau banyaknya potongan sebelum dana tersebut sampai pada pihak yang berkepentingan.Seperti dikatakan di atas, akar permasalahan ketidakberhasilan berbagai program yang dicanangkan oleh pemerintah adaah kelembagaan, regulasi dan good governance. Kerjasama institusi penyelenggara lingkungan dengan media masa dan dalam bentuk sosialisasi lainnya untuk menjelaskan pentingnya memperhatikan pengelolaan lingkungan hidup dalam mengentaskan kemiskinan 89 Ketergantungan institusi penyelenggara lingkungan dengan institusi kesehatan dan institusi pendidikan untuk menyelenggarakan layanan kesehatan dan pendidikan bagi masyarakat miskin. Dengan kata lain, secara prosedur penyelenggaraan kedua layanan ini berada diluar kendali institusi penyelenggara lingkungan. Ketergantungan institusi penyelenggara lingkungan dengan berbagai institusi lainnya dalam rangka memasukkan analisis dampak dari suatu kebijakan pada lingkungan seperti contoh kebijakan pajak ekspor rotan yang pada akhirnya menimbulkan pengrusakan hutan alam di Indonesia. Kendala lain yang dihadapi oleh institusi penyelenggara lingkungan adalah resistensi dari masyarakat itu sendiri. Seringkali masyarakat menyadari bahwa tindakan yang mereka lakukan dapat merusak lingkungan namun masyarakat tidak ingin mengubahnya dengan alasan alternatif yang disediakan pemerintah lebih sulit dijangkau atau kurang menguntungkan. b. Keterkaitan isu kemiskinan dengan isu lainnya. Berbagai keterkaitan antara isu kemiskinan dan isu lainnya dapat dijelaskan sebagai berikut: Isu kemiskinan, isu teknologi dan konflik; Teknologi dapat menyebabkan sekelompok orang yang menguasai teknologi yang lebih canggih untuk menguasai sumber daya alam tertentu. Penguasaan ini menimbulkan sekolompok orang tersingkir, mereka menjadi miskin karena tidak mendapatkan akses. Kesenjangan yang terjadi antara kedua kelompok tersebut ditambah lagi dengan keberpihakan pemerintah pada salah satu kelompok saja dapat memicu terjadinya konflik dan jika telah terjadi konflik tidak ada satu pihakpun yang merasa bertanggung jawab untuk memelihatra kelestarian atas suatu sumber daya alam (lihat kasus Sulawesi Tengah) Isu kemiskinan dan isu bencana alam; Penduduk miskin yang tidak memiliki akses pada lahan akhirnya mengolah lahan kritis yang rawan longsor atau mendirikan rumah di bantaran sungai yang rawan banjir. Isu kemiskinan dan isu hutan; Contohnya; pendatang-pendatang baru dengan tingkat kesejateraan yang rendah menyebabkan lebih dari 12.000 hektar, atau sekitar 60 persen kawasan hutan di Gunung Betung, Lampung rusak. 90 Contoh lainnya adalah kebijakan pelarangan ekspor rotan dengan meningkatkan pajak ekspor menyebabkan rendahnya harga baku rotan di tingkat petani dan pengumpul pengumpul rotan sehingga petani beralih kepada aktifitas penebangan kayu di hutan alam daripada memungut rotan (terutama di Sulawesi dan Sumatera) Jika ternyata hutan yang mereka rusak adalah hutang lindung maka keterkaitan isu ini menjadi lebih luas lagi yaitu antara isu kemiskinan, hutan dan konservasi. 91 SPEKTRUM TEKNOLOGI DALAM RUANG LINGKUP PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP I. PENDAHULUAN. Teknologi terdapat dimana-mana dan seringkali kurang mendapat perhatian atas perannya yang signifikan untuk membentuk kehidupan manusia. Jika diamati secara lebih hati-hati, maka kita akan menyadari bahwa sepanjang tahun teknologi dibuat hampir dalam segala aspek kehidupan manusia, walaupun banyak diantara kita yang kurang menyadari bagaimana untuk mengelola teknologi tersebut. Dari sejak jaman sejarah, manusia telah membuat, menciptakan dan menggunakan teknologi baik individual maupun kelompok. Dari catatan sejarah, dapat diketahui bahwa secara alamiah manusia menciptakan teknologi (dengan melalui penciptaan, pembelajaran atau pembuatan ulang) dan menggunakan teknologi untuk tujuan hidupnya. Sebagian besar penciptaan teknologi adalah melalui penyesuaian secara insting terhadap lingkungan kehidupan manusia, berdasarkan trial and error, kadangkala berdasarkan suatu kesempatan dan seringkali tidak disengaja. Pakar sosial dan psikologi menunjuk bahwa keindahan dari kehidupan adalah menyelesaikan masalah. Maka dapat dikatakan bahwa teknologi sebagai sesuatu yang dibuat manusia, pasti terkait dengan kehidupan manusia dalam berbagai cara dan memberikan multiple function untuk berbagai penyelesaian masalah. Setiap teknologi adalah tool atau cara yang dibuat oleh manusia secara sederhana untuk meningkatkan kapasitas mental maupun fisik manusia. Peningkatan kapasitas manusia dapat untuk tujuan yang berbeda-beda seperti untuk suatu kegiatan (mengangkat, memegang, mendorong, menarik, dsb), visibilitas (melihat, memperbesar, teleskoping dsb), komunikasi (berbicara,mendengar, menulis, mencetak dsb), mobilitas ( di darat, di laut dan di udara). Suatu contoh yang baik untuk peningkatan kapasitas mental adalah teknologi meningkatkan kemampuan untuk mencatat, menyimpan, memanipulasi dan mengambil kembali informasi. Akan tetapi, walaupun terdapat keterbatasan pada kemampuan fisik manusia tetapi tidak ada pembatasan untuk kemampuan mental manusia. Oleh karena itu teknologi lebih terlihat mempunyai kekuatan dalam area fisik, dan tampaknya manusia tetap lebih berkekuatan dalam area mental. 92 Teknologi tidak hanya meningkatkan kapasitas individual, teknologi juga dapat dibuat dan digunakan untuk meningkatkan kapasitas kelompok. Dalam dunia ini sangat sedikit hal yang dapat dilakukan sendirian, oleh karena itu berbagai tool telah dan sedang dikembangkan untuk mengorganisasikan aktivitas kelompok (seperti produksi, konstruksi, distribusi, pelayanan dsb). Teknologi membuat setiap kelompok organisasi lebih berkemampuan dibandingkan dengan penjumlahan dari masing-masing individu. Teknologi memungkinkan pemuasan kebutuhan manusia yang lebih baik. Seperti diketahui dari sejumlah literatur yang diambil oleh ilmu sosial bahwa terdapat hirarki dari kebutuhan manusia. Paling sedikit terdapat empat level kebutuhan manusia. Level pertama adalah kebutuhan untuk bertahan (yaitu kebutuhan atas udara, air dan makanan). Tingkat yang kedua adalah kebutuhan keamanan (yaitu kebutuhan atas pakaian, perawatan kesehatan dan perlindungan). Level ketiga adalah kebutuhan sosial (yaitu kebutuhan pendidikan, tempat tinggal dan mobilitas). Level yang paling tinggi yaitu level keempat adalah kebutuhan pengakuan diri (yaitu kebutuhan untuk bebas, kekuasaan dan pencapaian). Tidak sulit untuk melihat dari berbagai literatur dalam geografi dan sejarah manusia bahwa teknologi telah digunakan sebagai alat/cara untuk memuaskan kebutuhan manusia pada berbagai level tersebut. Terlihat pula bahwa semakin tinggi tingkat kepuasan pada level yang lebih rendah maka munculnya level kebutuhan yang lebih tinggi menjadi signifikan dan meminta penggunaan teknologi yang lebih canggih lagi (artinya lebih baik dari teknologi sebelumnya). Dengan kata lain, teknologi baru telah menggantikan teknologi lama untuk memuaskan tipe tertentu dari kebutuhan manusia dengan cara yang lebih baik Satu aspek penting lainnya dari sifat manusia adalah manusia suka berkompetisi. Maka individu membuat dan menggunakan teknologi untuk berkompetisi dalam karir, olah raga, seni dan kerajinan. Suatu kelompok organisasi membuat dan menggunakan teknologi untuk mendapatkan perolehan wilayah (seringkali untuk mendapatkan lebih banyak sumber daya alam) dan keuntungan pasar (untuk mendapatkan lebih sumber daya finansial) dalam rangka untuk meningkatkan standar kehidupan kelompok secara keseluruhan. Teknologi dalam konteks transformasi ekonomi dari sumber-sumber teknologi. Dalam konteks transformasi ekonomi dari sumber-sumber teknologi 93 maka teknologi dapat dipandang sebagai kombinasi dari peralatan fisik dan pengetahuan (know how) yang terkait dengan pembuatan dan penggunaan teknologi. Dengan cara pandang ini, teknologi dapat dibagi atas empat bentuk perwujudan, yaitu teknologi pada objek (fasilitas atau techno-ware); teknologi pada manusia (kemampuan atau humanware); teknologi pada dokumen (fakta atau info-ware) dan teknologi pada institusi (framework atau orga-ware). Keempat komponen teknologi tersebut diperlukan secara simultan. Tidak ada transformasi yang dapat terjadi jika salah satu dari komponen tersebut tidak ada. Dari keempat komponen tersebut, human-ware adalah sumber yang pokok sedangkan info-ware adalah modal pengetahuan. Negara atau organisasi dengan tingkat human-ware serta akses dan kontrol info-ware yang tinggi merupakan broker yang memiliki kekuatan besar dimasa yang akan datang. Kontradiksi antara perubahan masyarakat dan perkembangan teknologi. Dalam hal perubahan masyarakat dan perkembangan teknologi kelihatannya terdapat hal yang kontradiktif. Walaupun pada awalnya teknologi diciptakan untuk meningkatkan kesejahteraan umat manusia, mempermudah segala aktivitas yang dilakukan oleh umat manusia dan memelihara kondisi lingkungan sekitar agar tetap dapat memberikan sumber daya yang memadai bagi kelangsungan hidup umat manusia. Namun, dalam perkembangannya, teknologi justru menjadi pemicu pertama penurunan kualitas lingkungan dengan sangat drastis. Penggunaan bahan bakar fosil untuk menjalankan industrialisasi sejak masa awal revolusi industri, memicu penggunaannya secara besar-besaran hingga mengakibatkan penurunan kualitas lingkungan dan penipisan sumber daya alam bagi generasi berikut. Jika sebelum masyarakat industri muncul, hampir 80 persen benda yang digunakan manusia berasal dari hewan dan 20 persen dari mineral, industrialisasi mengubah kecenderungan itu. Industrialisasi mulai terpusat pada cadangan bumi berupa energi dan material tak terbaharui, seperti bahan baku fosil dan mineral. Pada saat inilah kapitalisme industrial mengeruk seluruh bahan baku tanpa mempedulikan akibat pada lingkungan, sehingga pada abad ke-19, Inggris telah menjadi bengkel dunia. Tidak hanya itu, asap dan buangan pabrik meracuni udara, air, dan tanah serta bahan-bahan kimia yang dibuang ke lingkungan berdampak berat bagi pekerja dan masyarakat yang tinggal di sekitarnya. Dengan demikan dapat dikatakan, akibat lain revolusi industri adalah habisnya kekayaan alam dengan laju yang mengerikan, hancurnya hubungan dengan tanah, dan 94 tersingkirnya petani ke belakang. Sementara itu, populasi membengkak, teknologi menguasai lingkungan, dan kekayaan material meningkat. Kondisi kerusakan alam yang terus memburuk ini menimbulkan kesan seakan-akan laju perkembangan teknologi tidak akan pernah bisa berjalan beriringan dengan keperdulian pada lingkungan hidup. Namun, seiring dengan makin menguatnya keperdulian global pada masa depan bumi, telah membawa pergeseran paradigma dalam hubungan teknologi dan lingkungan hidup. Hal ini dimulai dari seorang biolog Amerika, Barry Commoner yang pada tahun 1962 mengingatkan resiko makin meningkatnya polusi. Menurut Barry, mata rantai ekologi terputus akibat industri dan digantikannya produk alami dengan bahan sintetis. Sejak itu pula (1962-1970-an), banyak kalangan termasuk industriawan berusaha ramah dengan lingkungan. Kemudian muncul kebutuhan untuk mengembangkan teknologi yang dapat menjaga tingkat keberlanjutan lingkungan beserta segala sumber daya yang dimilikinya. Teknologi tidak lagi hanya dilihat sebagai alat eksploitasi, tetapi lebih sebagai alat pemeliharaan lingkungan beserta sumber dayanya agar kehidupan umat manusia dan lingkungan alam dapat berkelanjutan. Dengan kata lain, perlindungan lingkungan bersama-sama dengan peningkatan kualitas hidup dan memelihara kemampuan bersaing, memerlukan perubahan teknologi. Pada umumnya teknologi baru ini lebih efisien. Artinya, teknologi ini memerlukan lebih sedikit input, termasuk energi per satuan output, serta kurang mencemari dibandingkan teknologi lama yang digantikannya. Singkatnya, telah tumbuh perubahan orientasi pembangunan dengan teknologi baru berwawasan lingkungan dengan semboyan: produce more with less resources, with less energy and with less waste. 95 I I . S K E M A
H U B U N G A N
S P E K T R U M
T E K N O L O G I
D E N G A N
P E N G E L O L A A N
S U M B E R
D A Y A
A L A M L I N G K U N G A N
H I D U P . S e c a r a
l e b i h
s p e s i f i k
k e t e r k a i t a n
a n t a r a
i s u
t e k n o l o g i
d a n
l i n g k u n g a n
d a p a t
d i g a m b a r k a n
s e b a g a i
b e r i k u t : D a m p a k T e k n o l o g i
m a j u K e m a j u a n
t e k n o l o g i
h a r u s d i t e r i m a
s e c a r a
m e n y e l u r u h
.
" P a r t
s e l e c t i o n
i s
i m p o s s i b l e " . P e n i n g k a t a n
e f i s i e n s i , p e n i n g k a t a n
o u t p u t , m e n i n g k a t k a n
d a y a d u k u n g
l i n g k u n g a n
d s b P e n c e m a r a n
a t a u d e g a r a s i
s u m b e r
d a y a a l a m B e r k o n t r i b u s i
t e r h a d a p i n e q u a l i t y T e k n o l o g i
m e n j a d i s i m b o l
d a n
p e n c i t r a a n t e r h a d a p
k e l a s s e s e o r a n g P e n g u a s a a n
s u m b e r d a y a
a l a m
o l e h
p e m i l i k t e k n o l o g i T e k n o l o g i
b e r s i h
p a d a p r o s e s
p r o d u k s i T e k n o l o g i
u n t u k m e n g o l a h
l i m b a h
y a n g d i h a s i l k a n
o l e h
p r o s e s p r o d u k s i T e k n o l o g i
y a n g m e r u s a k
l i n g k u n g a n K o n s t r u k s i
S o s i a l T e k n o l o g i K o n f l i k I n s e n t i f
P a j a k S u b s i s d i -
h i b a h S u b s i d i
- P i n j a m a m
l u n a k A M D A L I n s e n t i f
P a j a k R e t r i b u s i
e m i s i P e n e g a k a n
h u k u m a n P e n e g a k a n
h u k u m B u d a y a
H i d u p
S e d e r h a n a P e n e g a k a n
H u k u m
G a m b a r .
S k e m a
H u b u n g a n
I s u
T e k n o l o g i
d a n
L i n g k u n g a n 96 Skema diatas menggambarkan bahwa tekonologi maju berdampak pada dua hal yaitu penerimaan secara menyeluruh dari suatu teknologi dan kontribusi teknologi maju pada inequality Penerimaan secara menyeluruh suatu teknologi mengandung pengertian bahwa suatu teknologi dapat dipandang dari dua sisi. Sisi yang pertama adalah teknologi yang memberikan keuntungan pada lingkungan seperti misalnya peningkatan output dan peningkatan daya dukung lingkungan. Teknologi seperti ini, dapat diperoleh dari pemanfaatan teknologi bersih pada proses produksi maupun penggunaan teknologi pengolah limbah diakhir proses produksi untuk meminimasi pengrusakan lingkungan. Pada dasarnya, penggunaan teknologi bersih pada proses produksi yang memerlukan lebih sedikit input, termasuk energi per satuan output serta kurang mencemari lingkungan ini mengikis pendekatan tradisional dalam memandang hubungan industri dengan teknologi. Pendekatan tradisional melihat bahwa industri mengakibatkan masalah lingkungan dan mencoba mencari jalan keluar yang bertanggung jawab untuk meminimalkan kerusakan yang dapat diakibatkan. Sebaliknya, pendekatan yang didasarkan pada teknologi yang bersih seharusnya mencari cara proses produksi yang dapat meniadakan atau mengurangi masalah yang mungkin terjadi sejak awal, sebelum permasalahan yang berkaitan dengan masalah lingkungan muncul. Misalnya, lewat pendekatan minimalisasi limbah dan dematerialisasi, dengan kata lain telah terjadi pergeseran dari pengendali polusi ke pencegahan polusi. Pengendali polusi berarti membersihkan limbah setelah limbah tersebut terbentuk sebagai sisa proses produksi. Sedangkan pencegahan polusi memfokuskan diri pada peminimalan atau penghindaran dari limbah sebelum limbah tersebut tercipta. Secara garis besar pilihan penerapan produksi bersih dapat dikelompokkan dalam lima bagian : Good House-Keeping; Good house-keeping mencakup tindakan prosedural, adminsitratif atau institusional yang dapat digunakan perusahaan untuk mengurangi limbah atau emisi. Konsep ini sebenarnya telah banyak diterapkan oleh kalangan industri untuk meningkatkan efisiensi dengan cara good operating practice yang antara lain meliputi: tatacara penanganan dan inventarisasi bahan, pencegahan kehilangan bahan atau material dan pemisahan limbah menurut jenisnya. 97 Perubahan material input; Perubahan material input bertujuan untuk mengurangi atau menghilangkan bahan berbahaya dan beracun yang masuk atau digunakan dalam proses produksi, sehingga dapat dihindari terbentuknya limbah B3 dalam proses produksi. Perubahan material input termasuk pemurnian bahan dan subsitusi bahan. Perubahan teknologi; Perubahan teknologi yang mencakup modifikasi proses dan peralatan dilaksanakan dengan tujuan untuk mengurangi limbah dan emisi. Perubahan teknologi dapat dilaksanakan mulai dari yang sederhana dalam waktu yang singkat dan biaya murah sampai perubahan yang memerlukan investasi tinggi. Tindakan yang termasuk ke dalam kelompok ini adalah perubahan proses produksi, perubahan peralatan, tata letak perpipaan, penggunaan peralatan otomatis dan perubahan kondisi proses Perubahan produk; Perubahan produk meliputi subsitusi produk, konservasi produk dan perubahan komposisi produk. On-site reuse; Merupakan upaya penggunaan kembali bahan-bahan yang terkandung dalam limbah, baik digunakan kembali pada proses awal atau sebagai material input dalam proses yang lain. Dampak selanjutnya dari teknologi maju adalah teknologi maju berkontribusi untuk menciptakan inequality. Inequality yang pertama; Perbedaan kepemilikan teknologi cenderung membuat kelas-kelas sosial yang berbeda. Ini merupakan akibat dari konstruksi sosial teknologi (social construction of technology) yaitu sebuah pendekatan sosiologikal tentang teknologi. Teknologi menjadi sebuah pencitraan terhadap permintaan masyarakat yang dapat mengubah citra masyarakat itu. Jadi, kebutuhan terhadap teknologi adalah benar-benar kebutuhan sosial itu sendiri dan bukan sekadar kebutuhan teknologi semata. Citra terhadap teknologi tidak lepas dari simbol dan kelas sosial masyarakat, bahkan masyarakat memberi penghargaan kepada teknologi tak saja karena fungsi teknologi itu bermanfaat namun karena teknologi itu menjadi simbol dan pencitraan terhadap kelas sosial seseorang. Dengan demikian teknologi memiliki dua fungsi yaitu fungsi mekanik yang melekat sebagai sebab fungsional teknologi itu dan fungsi sosial bahwa teknologi adalah pencitraan terhadap masyarakat yang memakainya. 98 Fungsi-fungsi teknologi ini seringkali tidak memiliki hubungan kausalitas, artinya fungsi mekanisasi teknologi tidak selamanya berhubungan dengan fungsi sosial. Suatu contoh, seseorang membeli mobil BMW tidak ada hubungan dengan manfaat mekanik yang ia peroleh karena kalau untuk menaiki mobil mewah dan nyaman sebenarnya ia memiliki banyak mobil semacam itu. Namun justru ia memperoleh manfaat sosial tinggi dari pencitraan kelas sosialnya di masyarakat karena masyarakat memberi pencitraan terhadap simbol kelas tertinggi bagi masyarakat yang menggunakan mobil mewah bermerek BWM. Jika dilihat lebih dalam, pencitraan ini menimbulkan sifat konsumtif pada masyarakat dimana masyarakat menggunakan teknologi yang mungkin melebihi dari yang mereka butuhkan, misalnya 2 sampai 3 mobil dalam satu keluarga untuk setiap anggota keluarga. Selanjutnya, jika ditarik lebih kebelakang lagi, kondisi ini dapat dipandang sebagai salah satu pemicu timbulnya kemacetan lalu lintas yang pada akhirnya meningkatkan polusi udara ( dari asap buang kendaraan bermotor) dan pemborosan energi. Inequality yang kedua; Penggunaan teknologi yang berbeda seringkali menyebabkan individu yang mengusai teknologi yang lebih canggih melakukan penguasaan pada suatu sumber daya sehingga menimbulkan konflik pemanfaatan dan konflik kewenangan. Kedua konflik ini akan mengurangi rasa memiliki (stewardship) pihak-pihak yang bertikai dan mereka akan mengabaikan kelestarian sumber daya yang dimanfaatkan. Implikasinya, sumber daya akan mengalami degradasi sampai pada tingkat yang mengkhawatirkan. Skema diatas juga menggambarkan adanya intervensi atau langkah-langkah yang dapat diambil untuk mengatasi dampak yang ditimbulkan oleh teknologi maju. Untuk menggalakan penggunaan teknologi bersih kegiatan yang dapat dilakukan oleh pemerintah (atau secara lebih spesifik oleh institusi penyelenggara lingkungan) antara lain sistem insentif pajak, pemberian subsidi-hibah, pemberian subsidipinjaman lunak. Insentif pajak dapat berbentuk kredit pajak atau pengurangan pajak. Misalnya untuk pemanfaatan produk atau bahan yang lebih ramah lingungan dapat diberikan kredit pajak atau pengurangan pajak 99 Subsidi-hibah dapat ditujukan untuk mendorong dilakukannya riset untuk menanggulangi pengeluaran atau kegiatan lain untuk manfaat lingkungan. Hibah dapat digunakan untuk membeli teknologi bersih oleh sektor swasta Subsidi-pinjaman lunak dapat dimanfaatkan untuk kegiatan ramah lingkungan atau membeli peralatan yang ramah lingkungan. Secara keseluruhan, insentif pajak, subsidi hibah, subsidipinjaman lunak merupakan iklim kondusif yang harus mampu diciptakan oleh pemerintah (terutama institusi penyelenggara lingkungan) sehingga pengusaha, lembaga penelitian dapat bermitra melakukan kegiatan penelitian dan pengembangan untuk mencari alternatif-alternatif teknologi dan proses yanglebih akrab lingkungan. Untuk menggalakan penggunaan teknologi pengolahan limbah kegiatan yang dapat dilakukan antara lain mengembalikan fungsi AMDAL sebagai analisa dampak lingkungan atas suatu kegiatan yang dapat dipercaya, insentif pajak, retribusi emisi dan penegakan hukum. Analisa lingkungan seperti AMDAL yang dilakukan untuk menilai dampak dari suatu kegiatan pada lingkungan harus merupakan hasil analisa dapat di percaya dan menjadi acuan yang dilaksanakan pemilik kegiatan Retribusi emisi merupakan pungutan yang harus dibayar oleh suatu kegiatan untuk setiap unit limbah cair atau gas yang dikeluarkan ke media lingkungna. Jumlah dan kualitas emisi ini diukur dan pungutan dikenakan berdasarkan ketetapan yang disusun. Tujuan dari retribusi emisi adalah untuk mendorong pencemar untuk mengurangi ongkos yang harus ditanggung melalui pengurangan limbahnya. Dalam retribusi emisi ini, pemerintah institusi penyelenggara lingkungan dapat berperan sebagai badan pengawas yang mengetahui secara pasti besarnya limbah yang dihasilkan oleh suatu kegiatan sehingga institusi penyelenggara lingkungan dapat memberikan masukan dalam membuat ketetapan jumlah retribusi yang harus dibayarkan. Instrumen ini telah digunakan secara luas di Eropa, Perancis, Jerman, Italia dan Belanda. Hampir seluruhnya digunakan untuk limbah domestik dan digunakan untuk mengakumulasikan dana untuk anggara pengendalian pencemaran. Untuk mengendalikan penggunaan teknologi yang dapat merusak lingkungan dan penggunaan teknlogi untuk menguasai sumber daya alam sehingga 100 terjadi konflik maka perlu adanya upaya penegakan hukum melalui kejelasan peraturan yang dibuat oleh institusi penyelenggara lingkungan hidup dan berbagai pihak yang terkait Budaya hidup sederhana, hidup hemat merupakan upaya pemberdayaan masyarakat agar tidak menggunakan teknologi sebagai kebutuhan konsumtif untuk meningkatkan citra dirinya. Pemberdayaan dapat dilakukan dengan mendidik masyarakat melalui berbagai media seperti iklan layanan masyarakat di televisi dan radio serta artikel-artikel pada majalah, koran dan tabloid. Contohnya, masyarakat disadarkan bahwa kepemilikan mobil yang melebihi kebutuhan telah menyebabkan ruas jalan yang tersedia tidak sebanding dengan jumlah mobil yang melintasi jalan tersebut. Akibatnya timbul kemacetan. Kemacetan meningkatkan polusi udara dan meningkatkan kebutuhan bahan bakar. Polusi udara dapat meningkatkan angka kesakitan dan peningkatan kebutuhan bahan bakar dapat menyebabkan krisis energi karena bahan bakar berasal dari sumber daya yang tidak terbaharukan, III. PERMASALAHAN TEKNOLOGI. Berbagai masalah yang terkait dengan isu teknologi di Indonesia dapat digambarkan sebagai berikut 1. Dalam hubungannya dengan penggunaan teknologi yang ramah lingkungan pada industri, baik penggunaan teknologi bersih maupun penggunaan teknologi pengolahan limbah, Prof P. Sudarto mengungkapkan bahwa kebijakan dunia industri dalam pengelolaan lingkungan dapat dikategorikan menjadi beberapa tahap, yaitu reaktif, receptive, konstruktif dan pro- aktif (Kompas, Maret 2001). Tahap reaktif adalah tahap konvensional yang dilakukan oleh sebagian besar industri di Indonesia. Dalam tahap ini, pengelolaan limbah masih sebatas bagaimana agar limbah hasil produksi sesuai dengan standar baku mutu. Tahap ini dikenal dengan pendekatan the end of the pipe Pada tahap receptif, industri telah memikirkan bagaimana menggunakan cara-cara kreatif agar limbah hasil produksinya memenuhi standar baku mutu, misalnya melalui pengembangan kesadaran manajemen perindustrian 101 Pada tahap konstruktif, industri telah melalukan pengelolaan lingkungan mulai dari tahapan awal yaitu pemilihan baku, proses produksi, bahan jadi, pengepakan sampai limbah hasil produksinya hendak dibuang. Tahap ini disebut sebagai pendekatan the beginning of the pipe Pada tahap pro-aktif, industri telah menginternalisisasikan secara penuh dimensi lingkungan dlam sistem manajemen perindustrian. Temuan dari Departemen Lingkungan Hidup memperlihatkan bahwa motivasi sebagian besar industri di Indonesia masih berada pada tatanan reaktif, bahkan banyak yang berada pada tatanan sebelum reaktif. Sebab, motivasi perindustrian untuk mengadopsi kebijakan lingkungan lebih disebabkan oleh demi mentaati peraturan pemerintah, menghindarkan diri dari tanggung jawab, dan menyesuaikan dengan tuntutan konsumen. Dalam hal ini kesadaran untuk pembangunan berwawasan lingkungan masih kecil sekali. Selanjutnya, kebijakan insentif dan disinsentif yang didasarkan pada hasil penilaian kinerja perindustrian dalam mengendalikan dampak lingkungan telah dikembangkan oleh Bapedal berkoordinasi dengan pihak terkait dengan nama PROPER (Program Penilaian Peringkat Kinerja Perindustrian ) Dalam pelaksanaannya, PROPER berpegang pada prinsip-prinsip dasar penyelenggaraan pemerintahan yang baik (Good Governance), yaitu; transparansi, partisipatif, dan akuntabilitas. Program lainnya yang berkaitan dengan produksi bersih yang sedang dikembangkan di Indonesia adalah label lingkungan dan sistem manajemen lingkungan. Program ini dikembangkan dengan bekerja sama dengan instansi terkait. Walaupun demikian, banyaknya program yang ditawarkan pemerintah masih belum memacu industri untuk menggunakan teknologi yang meminimasi limbah atau pengrusakan lingkungan. Seperti yang tercatat dalam departemen Perindustrian dan Perdagangan, pada tahun 2002 lebih kurang hanya 332 perusahaan yang telah mengintegrasikan faktor lingkungan dengan kegiatan industri dari 1.297.322 perusahaan kecil, menengah dan besar. 2. Beberapa contoh dimana penggunaan teknologi maju seringkali menimbulkan dampak yang lebih besar terhadap lingkungan dibandingkan dengan teknologi yang sederhana dapat digambarkan sebagai berikut: 102 Penggunaan teknologi peledakan pada pembukaan lahan pertambangan disamping mempercepat proses pembukaan lahan juga meningkatkan kerusakan yang ditimbulkannya dibandingkan dengan proses pembukaan lahan yang menggunakan teknologi yang lebih rendah. Teknologi maju yang digunakan untuk menangkap ikan akan mempercepat laju pemanfaatan Sumber Daya Kelautan ,sehingga tidak tersedia waktu untuk melakukan regenerasi kembali. Belum atau kurangnya aturan dan penegakan kerangka hukum yang didukung oleh kesadaran lingkungan menyebabkan kedua peristiwa ini sering terjadi 3. Permasalahan dimana teknologi dapat menimbulkan pengusahaan sumber daya kunci oleh penguasaan sekelompok orang saja dapat digambarkan sebagai berikut; Di selat Lembeh, nelayan Taiwan yang bekerjasama dengan yayasan tertentu menyewaperairan tempat penangkapan ikan nelayan tradisional, dan memasang jala net raksasa berukuran 300 x 500 m di mulut Selat Lembe (Suara Pembaruan 29.05.97). Akibatnya nelayan tradisional sekitar Selat Lembe, dan nelayan komersial dari Sulawesi Utara, menangkap ikan dengan jumlah yang terus menerus menurun. Di Talise, pengusaha budidaya mutiara mengembangkan usahanya secara ekstensif di wilayah penangkapan ikan tradisional, dan memaksa para nelayan tradisional keluar dari perairan tersebut. Belum atau kurang jelasnya aturan kewilayahan aturan penggunaan teknologi dan penegakkan kerangka hukum menyebabkan peristiwa ini sering terjadi Tantangan pelaksanaan skema. Mengaitkan permasalahan yang dikemukakan di atas dengan tindakan yang dapat dilakukan oleh pemerintah (lihat sisi sebelah kanan dari skema hubungan antara teknologi dan lingkungan) maka dapat diambil suatu kesimpulan bahwa dalam beberapa sisi pemerintah telah berupaya untuk melaksanakan apa yang tertera dalam skema, salah satunya adalah pemberian insentif dan disinsentif melalui PROGRAM PROPER, namum disisi lainnya ketidakjelasan aturan yang dibuat pemerintah ditambah lagi dengan kerangka penegakan hukum yang lemah menyebabkan LAW ENFORCEMENT atas apa yang dibuat atau digariskan oleh pemerintah menjadi sia-sia. 103 Jika dilihat dari tiga sisi yang penting yaitu publik, swasta (dunia usaha) dan pemerintah maka kendala pelaksanaan insentif, retribusi, penegakan hukum, penggunaan teknologi alternatif, pelaksanan hidup sederhana dsb dapat digambarkan sebagai berikut: 1. Sektor publik; Masih banyak masyarakat Indonesia yang belum menyadari dampak lingkungan yang ditimbulkan oleh tindakan mereka. Masyarakat banyak yang belum menyadari bahwa kemacetan mempunyai akibat tidak langsung pada percepatan penggunaan cadangan minyak bumi yang merupakan sumber daya alam yang tidak terbaharukan. Di samping itu, masyarakat tidak mendapatkan informasi yang memadai atau tidak mau mencari informasi mengenai bagaimana pabrik/pengusaha dari produk yang mereka konsumsi melakukan pengrusakan lingkungan dari teknologi yang mereka gunakan. Kalaupun masyarakat mendapatkan informasinya, masyarakat seringkali tidak memiliki pilihan karena produk tersebut ternyata lebih murah dari produk lainnya yang diketahui memanfaatkan teknologi yang lebih ramah lingkungan. Di sisi lainnya, peningkatan pendidikan, pengetahuan dan taraf hidup telah menyebabkan masyarakat dapat mengembangkan nilai-nilai baru yang mempengaruhi pola konsumsi dan tingkat kebutuhan masyarakat. Nilai-nilai baru ini dapat dijadikan sebagai kekuatan yang mengontrol penggunaan teknologi ramah lingkungan oleh industri. Namun yang menjadi kendala adalah saluran aspirasi apa yang secara tepat dapat mengakomodasi nilai- nilai baru tersebut. Sebenarnya, PROPER yang dijalankan oleh pemerintah telah memasukkan unsur kontrol dari masyarakat namun dalam pelaksanaanya kurang berfungsi secara efektif. 2. Sektor swasta (pengusaha); Sebenarnya kendala utama yang dihadapi oleh sektor swasta adalah kurangnya tanggung jawab sosial dari sektor swasta. Hal ini terkait dengan tanggung jawab dunia usaha pada stakeholder yang salah satunya adalah masyarakat di sekitar pabrik atau secara lebih jauh lagi terkait dengan pelaksaaan good governance. Hambatan lainnya yang juga penting adalah kendala ekonomi. Hambatan ini muncul bila kalangan usaha tidak mendapatkan keuntungan dalam penerapan produksi bersih. Contoh hambatan tersebut adalah: kenaikan 104 ongkos produksi (keperluan biaya tambahan untuk peralatan), tingginya modal/investasi, proyek menguntugnkan tapi tidak ada modal. Kendala ini dijembatani oleh pemerintah dengan melalui subsidi. Walaupun demikian, pada hakekatnya yang paling penting bagi kalangan swasta (dunia usaha) adalah menumbuhkan rasa tanggung jawab kepada seluruh stakeholder yang merupakan bagian dari pelaksanaan good governance Tanpa perasaan tersebut, sistem insentif, retribusi dan berbagai sistem penghargaan lainnya maupun pemberian subsidi tidak akan menyelesaikan permasalahan, bahkan dapat menjadi pemicu korupsi (penyalahgunaan sistem insentif, retribusi, subsidi dsb) 3. Pemerintah; Seperti halnya dengn sektor swasta , budaya korupsi sebagai dampak dari tidak terlaksananya good corporate governance telah menyebabkan terjadinya penyelewangan pada berbagai program pemberian insentif, retribusi, pemberian subsidi, kajian lingkungan seperti AMDAL dsb. Bahkan dalam penyelesaian suatu konflik, aturan dan penegakan hukum yang memadai tidak dapat dilakukan karena adanya keberpihakan pada mereka yang memiliki kekuasaan lebih. Dalam kerangka pemikiran yang paling umum, dapat dikatakan bahwa upaya KLH untuk dapat meminimasi dampak buruk dari teknologi terhadap lingkungan tidak terlepas dari perwujudan good governance (lihat gambar berikut) 105 Selanjutnya, keterkaitan isu teknologi dengan isu lainnya dapat digambarkan sebagai berikut 1. Isu teknologi dan budaya; penggunaan teknologi sebagi simbol pencitraan diri telah menimbulkan budaya konsumtif 2. Isu teknolgi dan pencemaran; penggunaan teknologi yang tidak ramah lingkungan pada kegiatan manusia termasuk kegiatan industri dapat memberikan dampak pencemaran lingkungan dan penurunan daya dukung lingkungan 3. Isu teknologi dan konflik; penguasaan teknologi oleh sekelompok orang yang mengakibatkan kelompok tersebut mempunyai kekuasaan sumber daya tertentu merupakan pemicu terjadinya konflik. 4. Isu teknologi dan globalisasi; tuntutan dari dunia internasional untuk produk- produk yang ramah lingkungan dapat menjadi pemicu bagi dunia usaha untuk menggukan teknologi bersih atau teknologi pengendali limbah. PUBLIK SWASTA / DUNIA USAHA PEMERINTAH INFORMASI, PENGETAHUAN. SALURAN ASPIRASI KONTROL KETERBUKAAN INSENTIF, RETRIBUSI, REGULASI ,SUBSIDI, ATURAN DAN HUKUM INFORMASI , R & D KONTROL TANGGUNG JAWAB SOSIAL DENGAN ADANYA KONTROL DAN PENEGAKAN HUKUM DMAKA SISTEM INSENTIF, RETRIBUSI , SUBSIDI DAPAT BERJALAN SESUAI TUJUANNYA DAN DAPAT MENCEGAH TIMBULNYA KONFLIK
KONTROL KONTROL KONTROL 106 SPEKTRUM PENGELOLAAN BENCANA DALAM RUANG LINGKUP PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP I. PENDAHULUAN. Banjir, longsor, gempa bumi, angin topan merupakan contoh bencana-bencana alam yang dapat menimbulkan kerugian ekonomi yang sangat besar. Lebih jauh lagi, bencana alam juga menimbulkan korban luka-luka dan kematian serta kerusakan yang tidak ternilai besarnya dan dapat menimbulkan trauma kepada masyarakat yang mengalaminya. Selain bencana alam, ada juga bencana yang terutama diakibatkan oleh kelalaian ataupun faktor-faktor lain yang disebabkan oleh tindakan manusia. Ini disebut istilah dengan bencana teknologi, misalnya insiden kebocoran kapal tanker minyak yang mengakibatkan pencemaran laut. Di Indonesia sendiri, pada akhir tahun 2003 hingga awal tahun 2004, di berbagai wilayah terjadi bencana alam, terutama banjir, longsor, dan gempa bumi. Hal tersebut tentunya membawa kerugian yang sangat besar bagi masyarakat. Meskipun terjadinya bencana alam merupakan hal yang tidak dapat dihindari, namun yang belum banyak disadari masyarakat adalah bahwa besarnya dampak dan kerugian akibat terjadinya bencana tersebut sesungguhnya dapat direduksi. Antisipasi dan reduksi dampak dari suatu bencana alam merupakan bagian dari upaya pengelolaan bencana. Dalam hal ini, fenomena bencana tidak saja membutuhkan suatu penanganan pada saat bencana itu terjadi, tapi juga membutuhkan pengelolaan yang meliputi upaya-upaya mitigasi sebelum terjadinya bencana maupun penanganan pasca terjadinya bencana. Biaya penanganan bencana yang semakin meningkat sebenarnya menjadi indikasi bahwa semakin banyak kegiatan pembangunan yang memiliki atau menimbulkan potensi bahaya. Kasus-kasus yang terjadi menunjukkan bahwa pembangunan yang tidak berkelanjutan merupakan akar masalah dari meningkatnya biaya penanganan bencana. Pola pemanfaatan lahan dan pembangunan pada umumnya tidak atau kurang memperhatikan faktor-faktor alam yang berkontribusi pada terjadinya bencana. Misalnya, pembangunan pemukiman tertentu tanpa memperhatikan faktor perlindungan terhadap kemungkinan terjadinya gempa, banjir, kebakaran. Hal itu mungkin dilakukan dengan pertimbangan ekonomis, namun dalam jangka panjang tidak bersifat berkelanjutan. Akibatnya, pada saat 107 bencana itu terjadi timbul biaya penanganan bencana yang kemudian dibebankan pada masyarakat keseluruhan sebagai pembayar pajak. Ini bukanlah kebijakan yang baik dan adil karena keputusan-keputusan yang sifatnya ekonomis bagi sekelompok masyarakat untuk jangka pendek, ternyata menimbulkan implikasi jangka panjang bagi masyarakat yang lebih luas; dan pada akhirnya berpengaruh pada kemampuan masyarakat luas dalam melaksanakan pembangunan. II. SKEMA HUBUNGAN ANTARA PENGELOLAAN BENCANA DENGAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP. Visi pembangunan yang berkelanjutan di antaranya mensyaratkan penggunaan sumber daya secara efisien oleh masyarakat, termasuk keputusan penggunaan lahan secara efisien sehingga meminimalkan potensi bencana. Salah satu indikator penting dari masyarakat yang berkelanjutan dalam hal ini adalah masyarakat yang memiliki ketahanan terhadap bencana (disaster resistant community). Masyarakat yang memiliki ketahanan terhadap bencana adalah masyarakat yang sadar akan adanya potensi bencana dalam hidup mereka dan berupaya untuk mereduksi tingkat kerawanan hidupnya terhadap adanya bencana. Untuk mencapai hal ini, diperlukan adanya pengelolaan bencana secara komprehensif yang diilustrasikan dengan gambar di bawah ini. * Keputusan penggunaan lahan * Konservasi energi dan sumber daya * Pelestarian integritas sistem biologis dan fisik ~> membatasi degradasi lingkungan dan pemeliharaan sistem alam * Hal-hal yang spesifik terhadap jenis bencana Mitigasi bencana penanganan saat terjadinya bencana Intensitas kerusakan Program Rutin Pemerintah Pemulihan Kondisi Pasca Bencana Bencana Alam Faktor Alam Kapasitas Pembangunan (yang lebih baik) Perspektif baru: pemulihan kondisi sebagai kesempatan untuk rekonstruksi pembangunan yang lebih berkelanjutan * Isyu-isyu keselamatan dan kondisi kritis * tujuan jangka panjang dari rencana pemulihan * Keterlibatan masyarakat * Kemampuan pemerintah lokal * Kemauan politik * Sistem institusional pemerintah * Partisipasi aktif masyarakat Pembangunan yang Berkelanjutan Masyarakat yang memiliki ketahanan terhadap bencana Gambar Pengelolaan Bencana Secara Komprehensif 108 Pada gambar di atas terlihat bahwa terdapat tiga hal utama dalam pengelolaan bencana, yaitu mitigasi bencana, penanganan saat terjadinya bencana dan pemulihan kondisi pasca bencana. Mitigasi bencana bukan merupakan hal yang bersifat insidental melainkan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari program rutin pemerintah. Mitigasi bencana berupaya untuk mewujudkan masyarakat yang memiliki ketahanan terhadap bencana (disaster-resilient community). Masyarakat yang memiliki ketahanan terhadap bencana adalah masyarakat yang juga memiliki kemampuan yang lebih baik dalam penanganan saat terjadinya bencana. Hal ini akan berujung pada intensitas kerusakan bencana yang lebih kecil dibandingkan masyarakat yang tidak sadar bencana. Untuk memperbaiki kondisi setelah terjadinya bencana, diperlukan upaya pemulihan kondisi pasca bencana yang dipandang sebagai suatu upaya untuk melakukan rekonstruksi ke arah pembangunan yang lebih berkelanjutan dibandingkan kondisi sebelum terjadinya bencana. Hal ini akan menghasilkan kapasitas pembangunan yang lebih baik sebagai prasyarat tercapainya pembangunan yang berkelanjutan. Mitigasi bencana meliputi aspek-aspek seperti keputusan penggunaan lahan, konservasi energi dan sumber daya, pelestarian integritas sistem biologis dan fisik, serta hal-hal tertentu yang sifatnya spesifik terhadap jenis bencana. Keberhasilan upaya mitigasi bencana sangat dipengaruhi oleh kemauan politik yang besar untuk melakukan mitigasi bencana sebagai bagian dari upaya pengelolaan bencana yang komprehensif, kesiapan sistem institusional pemerintah dalam melakukan mitigasi bencana, dan terakhir, besarnya keterlibatan aktif masyarakat sebagai komponen utama dalam mitigasi bencana. Masyarakat yang berkelanjutan mampu menggunakan sumber daya lahan yang dimilikinya secara efisien. Keputusan penggunaan lahan yang efisien menyadari pentingnya perencanaan ruang terbuka bagi jalur hijau, taman, dan lansekap. Tata guna lahan yang baik berupaya sedapat mungkin untuk menghindari dilakukannya pembangunan pada wilayah-wilayah yang memiliki potensi bencana yang besar, seperti daerah rawan gempa, dataran banjir, dan sebagainya. Masyarakat berkelanjutan juga berupaya untuk mengoptimalkan pemanfaatan lahan urban yang kurang dimanfaatkan (underutilized). Konservasi sumber daya dan energi merupakan upaya dasar yang perlu mendapatkan prioritas tinggi. Hal ini memungkinkan dilakukannya pembangunan secara efisien dan dapat menunjang keputusan penggunaan lahan yang lebih 109 baik. Upaya ini perlu difokuskan pada sistem transportasi yang lebih baik yang diarahkan pada penggunaan transportasi publik dan tempat-tempat transit publik serta diciptakannya lingkungan dengan beragam penggunaan (mixed-use) sehingga ketergantungan terhadap moda kendaraan bermotor menjadi jauh berkurang. Pelestarian integritas sistem biologis dan fisik merupakan salah satu indikator terpenting dari pembangunan berkelanjutan. Hal ini diwujudkan melalui minimasi degradasi lingkungan dan peningkatan pemeliharaan sistem alam, seperti lahan basah, dataran banjir (floodplains), bantaran sungai, wilayah rawan longsor, zona aktif gempa; yang dapat meningkatkan ketahanan masyarakat dalam menghadapi bencana alam. Hal-hal yang bersifat spesifik untuk mitigasi tiap jenis bencana misalnya untuk: 1. Banjir, meliputi: penguatan regulasi pengelolaan dataran banjir, identifikasi kemungkinan pengambilalihan wilayah rawan banjir, dan penentuan prioritas langkah mitigasi untuk mereduksi potensi banjir. 2. Gempa bumi, meliputi: standar rancangan struktur bangunan tahan gempa atau standar rekayasa untuk mereduksi potensi longsor. 3. Kebakaran hutan, meliputi: memundurkan wilayah pembangunan sehingga menjauhi wilayah rawan kebakaran hutan, akses transportasi yang cukup, ketersediaan air bersih, dan pengelolaan vegetasi. Untuk meningkatkan keterlibatan masyarakat dalam mewujudkan suatu masyarakat yang memiliki ketahanan terhadap bencana, harus dipertimbangkan hal-hal berikut: 1. Membangun kemitraan dalam masyarakat yang melibatkan kalangan luas, seperti pimpinan pemerintah daerah, organisasi masyarakat, kalangan usaha, dan masyarakat individual. 2. Mengkaji risiko bencana untuk menentukan bagian mana dari suatu masyarakat yang terkena dampak bencana, seberapa besar potensi terjadinya bencana, berapa besar kemungkinan intensitas bencana. 3. Menentukan prioritas dari upaya mitigasi, termasuk menentukan sumber daya yang dibutuhkan untuk melakukan upaya tersebut dan identifikasi sumber-sumber bantuan teknik dan dana. 110 4. Mengkomunikasikan keberhasilan yang dilakukan masyarakat melalui berbagai media untuk membangun dukungan terhadap upaya mitigasi bencana dan menyebarluaskan manfaat dari dilakukannya mitigasi bencana. Penanganan saat terjadinya bencana terutama difokuskan pada kesiapan masyarakat untuk melakukan tindakan yang tepat saat bencana terjadi di mana hal ini sangat dipengaruhi oleh mitigasi bencana, dan kesiapan pemerintah dalam mengatasi kondisi darurat saat bencana terjadi. Kesiapan pemerintah terutama menyangkut mekanisme koordinasi dalam menangani korban bencana dan mengantisipasi bencana susulan sesaat setelah terjadinya bencana. Pemulihan kondisi bencana dilakukan dalam kondisi yang relatif stabil setelah bencana terjadi. Dalam hal ini, pemulihan kondisi bencana yang ideal diletakkan dalam perspektif pembangunan berkelanjutan di mana pemulihan kondisi bencana menjadi suatu kesempatan untuk melakukan rekonstruksi pembangunan ke arah yang lebih berkelanjutan. Dalam konteks tersebut, rekonstruksi pasca bencana merupakan suatu investasi untuk mewujudkan kondisi lingkungan yang lebih aman dan memiliki ketahanan yang lebih baik terhadap bencana. Namun, implementasi dari hal itu tidaklah mudah karena diperlukan adanya kepemimpinan yang efektif dan dibatasi oleh batasan waktu yang sempit. Langkah-langkah untuk mencapai perencanaan pemulihan pasca bencana yang baik yaitu : 1. Gunakan waktu yang ada untuk mengembangkan suatu strategi pemulihan yang bersifat holistik, bila mungkin manfaatkan bantuan teknis dan pembiayaan dari luar. 2. Tentukan tujuan dan sasaran masyarakat setempat. 3. Anggaplah bahwa proses perencanaan merupakan rencana itu sendiri, sehingga proses itu harus terbuka, partisipatif, tetapi juga cepat mencapai kesepakatan. 4. Gunakan perencanaan dengan multi tujuan untuk memperhitungkan juga manfaat-manfaat lain dari integrasi konsep mitigasi bencana dan pembangunan berkelanjutan dalam tindakan pemulihan. 5. Fleksibel. 6. Gunakan berbagai sumber pembiayaan, termasuk bantuan dana yang tidak secara langsung terkait dengan bencana, bantuan dari pemerintah pusat maupun swasta. 111 7. Maksimalkan keterlibatan seluruh kelompok masyarakat. 8. Maksimalkan keterlibatan mitra-mitra non tradisional, seperti LSM. 9. Buatlah rencana yang ringkas dengan prioritas pada tindakan pemulihan sesegera mungkin, jangka pendek dan jangka panjang. Sedangkan detil rencana dapat dikembangkan setelah itu. III. PERMASALAHAN PENGELOLAAN BENCANA. a. Bencana-bencana yang terjadi di Indonesia. Pada beberapa tahun terakhir ini, bencana-bencana yang terjadi di Indonesia semakin menunjukkan eskalasi masalah baik berupa bencana alam (natural disaster) maupun bencana akibat kelalaian manusia (technological disaster), yang meliputi bencana banjir, tanah longsor, gempa bumi, kekeringan, kebakaran hutan, tumpahan minyak di laut, dan bencana industri. Kehilangan nyawa, korban luka- luka, kerusakan harta benda telah mengakibatkan berbagai permasalahan dan kesengsaraan bagi masyarakat. Bahkan bencana tersebut ada yang berdampak hingga di luar wilayah Indonesia dan mempengaruhi hubungan antara negara. Komponen-komponen pengelolaan bencana di Indonesia diilustrasikan secara singkat pada matriks berikut ini. Komponen-komponen dalam Pengelolaan Bencana di Indonesia Masalah Mitigasi bencana Uraian masalah Identifikasi potensi bencana dan pemantauan terhadap wilayah- wilayah rawan bencana Kebijakan Pemantauan melalui satelit terhadap kondisi cuaca dan tutupan lahan oleh Lapan dan BMG Pemantauan debit sungai oleh Kimpraswil atau Dinas PU Pemantauan aktivitas gunung berapi oleh DVMBG Hasil pemantauan telah Efektivitas Masyarakat masih banyak yang belum mengetahui informasi hasil pemantauan Pematauan terhadap kondisi rawan bencana masih dititikberatkan untuk bencana banjir dan longsor serta aktivitas gunung berapi; belum meliputi semua jenis bencana Keterbatasan dana mengakibatkan up dating data dilakukan dalam jangka waktu yang lama Stakeholder terkait Direktorat vulkanologi dan mitigasi bencana geologi (DVMBG), Lapan, BMG, Kimpraswil, DPU, KLH, Dephut, media massa (TV, radio, media cetak, dll). Masalah Utama Politik 112 Masalah Uraian masalah Kebijakan Efektivitas Stakeholder terkait Masalah Utama disosialisasikan melalui Sistem Informasi Manajemen dan Mitigasi Bencana melalui internet yang di-up date secara periodik Revitalisasi penataan ruang, contoh: Keppres 114/1999 Penataan kembali kawasan pemukiman di daerah rawan bencana, misal: bantaran sungai Masih minimnya data hasil pemantauan dalam skala yang lebih besar yang dimiliki pemda sebagai dasar perumusan kebijakan mitigasi bencana Masih rendah karena kurang ditindaklanjuti dengan penegakan hukum, terutama untuk penyimpangan pemberian IMB dan SIPPT Pendekatan yang digunakan kurang tepat, misal: dalam penggusuran; dan masih kurangnya pelayanan kepada masyarakat yang kurang mampu, misal: relokasi penduduk, penyediaan rumah murah Regulasi sudah ada tetapi dalam kenyataan tidak didukung dengan penindakan tegas terhadap pelanggaran Perambahan hutan semakin parah Terkait dengan efektivitas AMDAL dan penegakan Baku Mutu STD baru pada tahap ujicoba di Lhokseumawe. Cilegon dan Gresik. Pengelolaan sisi permintaan (demand management) masih kurang Tata ruang Perlindungan daerah konservasi Regulasi bagi industri untuk minimasi dampak dan sistem tanggap darurat (STD) Pemeliharaan sistem alam dan minimasi degradasi lingkungan Bappenas, Kimpraswil, BKTRN, sektor pengguna lahan terkait, DPR KLH, BPLHD, Dephut, Deperindag, Deptan, LSM, masyarakat, industri, Kejagung, Kepolisian, LSM Politik dan sosial Lingkungan dan politik Penyeimbangan Supply dan Demand sumber daya telah mulai dilakukan di sektor energi dan air. Konservasi sumber daya dan energi Instansi pada sektor terkait, industri, pemda, masyarakat, LSM Kimpraswil, LH/ Ekonomi, lingkungan dan politik 113 Masalah Uraian masalah Kebijakan Efektivitas Stakeholder terkait Masalah Utama Prasarana pendukung untuk mereduksi kerawanan terhadap bencana Pengembangan prasarana sumber daya air, drainase, air limbah dan persampahan untuk masalah banjir dan kekeringan Sosialisasi penanggulangan banjir Mekanisme evakuasi dan penanganan kondisi darurat Penanganan Pengungsi Kurangnya pemeliharaan terhadap prasarana eksisting, sedangkan kapasitas pembangunan prasarana baru masih terbatas BPLHD, Pertanian, Kehutanan Depdiknas, Dep. Ekonomi dan politik Baru dilakukan untuk mitigasi bencana banjir dan dengan intensitas rendah Kurangnya koordinasi dalam mekanisme evakuasi Bantuan yang diberikan tidak tepat sasaran dan tidak merata. Lambatnya upaya penanganan Program-program pada umumnya masih dalam tataran konsep yang belum diimplementasikan Beberapa pemda mulai menerapkan seperti Pemda Jakarta, pemda Bahorok Membangun budaya keselamatan Penanganan kondisi kritis Keselamatan informasi, pemda Menkokesra, Kimpraswil, Menkeu, LH, Mensos, Depkes, Bakorlak/ Satkorlak PB, PMI, masyarakat Bappenas, Kimpraswil, LH, Pemda, masayrakat Budaya Penanganan saat terjadinya bencana Politik Pemulihan kondisi pasca bencana Rekonstruksi pembangunan dengan tujuan jangka panjang Sudah ada program-program rekonstruksi yang bervisi jangka panjang untuk masalah penanganan banjir dan lonsor Politik Peristiwa bencana yang terjadi pada tahun 2002-2003 antara lain yaitu : 1. Banjir dan tanah longsor Pada tahun 2003, banjir melanda berbagai tempat di Indonesia seperti Sorong, Kota Waringin (Kalimantan Tengah), Bahorok, Jawa Barat, Nusa Tenggara Timur, Jambi, Sumatera Selatan, Riau, dan Pontianak. Bencana banjir yang mendapatkan sorotan terbesar adalah bencana yang terjadi di kawasan wisata Bukit Lawang, Bahorok yang juga merupakan tempat rehabilitasi orang utan. Bencana tersebut meluluhlantakkan kawasan wisata Bukit Lawang dan menewaskan lebih dari 150 jiwa. Bahkan hingga saat ini masih banyak jenasah yang tidak diketemukan. Analisis dari berbagai kalangan menunjukkan bahwa perambahan hutan pada kawasan TN Gunung 114 Leuser, tingginya curah hujan, serta kecuraman tebing menjadi faktor utama terjadinya longsor yang kemudian diikuti dengan banjir bandang. Perambahan hutan juga disinyalir menjadi penyebab banjir bandang di kawasan wisata Pelabuhan Ratu, Sukabumi, yang kemudian diperparah dengan pembangunan perkantoran dan pemukiman. Hal yang sama juga disinyalir terjadi di daerah Sorong dan Jambi. Bila kondisi seperti ini dibiarkan berlanjut, kemungkinan besar bencana serupa akan terjadi pada wilayah-wilayah lain. Longsor akibat curah hujan yang tinggi juga terjadi di Kab. Pontianak, Garut, Flores, Kab. Bandung, Kab. Kebumen, Tasik malaya, dan Malang. Secara umum, penyebab utama musibah banjir dan longsor adalah : Curah hujan yang lebih tinggi dibandingkan curah hujan normal Perubahan tata guna lahan, baik pada daerah hulu (terutama daerah tangkapan air seperti hutan) maupun pada daerah hilir Penyempitan dan pendangkalan sungai 2. Bencana kekeringan Kekeringan telah melanda sentra-sentra produksi tanaman seperi Pulau Jawa, Bali dan Lombok hingga menjadi semakin parah pada tahun 2003 ini. Menurut Menkokesra Jusuf Kalla, lahan yang mengalami kekeringan pada akhir Juli 2003 sudah mencapai 450.338 ha dan 91.122 ha tanaman padi mengalami puso. Di Jawa Tengah, daerah yang mengalami kekeringan parah adalah Kabupaten Sragen, Blora, Rembang, Cilacap, Grobogan, Kudus, dan Demak. Sementara di Jawa Barat, tahun 2003 ini Indramayu mengalami kekeringan paling parah dalam 8 tahun terakhir. Dampak kekeringan ini tidak saja dirasakan oleh petani, namun juga oleh nelayan. Para nelayan semakin sulit mendapatkan air bersih, ikan tangkapan, maupun kesulitan biaya karena meningkatnya harga barang-barang kebutuhan untuk melaut. 3. Tumpahan minyak di laut Diperkirakan bahwa 27% suplai minyak dunia diangkut melalui Selat Malaka. Bahkan 100-150 tanker domestik membawa minyak mentah dan produk minyak melalui Selat Makassar. Selain itu hingga saat ini terdapat 427 anjungan di tengah laut. Dengan demikian terdapat potensi pencemaran yang besar dari tumpahan minyak di laut. Namun hingga saat ini belum terdapat peraturan yang dapat menjadi acuan antar instansi. Pada tahun 115 2001 juga terjadi kebocoran tanker curian di perairan Tegal. Karena tanker tersebut barang curian, tidak ada pihak yang mau bertanggung jawab akibat insiden yang terjadi. Akibat tumpahan minyak, tambak-tambak tercemar dan banyak ikan-ikan yang mati. 4. Musibah kegiatan industri Peningkatan jumlah industri di Indonesia berimplikasi pada peningkatan potensi kecelakaan/musibah kerja bagi masyarakat maupun lingkungan. Berdasarkan data dari Depnaker pada tahun 2002 ditemukan 66.367 kasus dengan 4142 korban jiwa, 20.970 orang cacat dan 87.390 sementara tidak mampu bekerja. 5. Gempa bumi Pada tahun 2002, gempa tektonik berkekuatan 5,3 skala Richter (SR) terjadi di Banda Aceh dan menimbulkan kerusakan berat di P. Simeulue. Selain itu gempa juga terjadi di Papua dengan kekuatan 7,4 SR dan di Dieng dengan kekuatan 1 3,4 SR. Pada tahun 2003 juga terjadi gempa di Sukabumi dengan kekuatan 5,3 SR. Gempa ini merupakan gempa tektonik yang disebabkan oleh pergerakan lempeng Cimandiri. Gempa tektonik juga terjadi di Bengkulu dengan kekuatan 5 SR. 6. Letusan Gunung berapi Pada tahun 2002 terjadi letusan di gunung Papandayan tanpa adanya peringatan dini. Pemantauan aktiitas gunung berapi kurang memperhatikan sinyal-sinyal aktivitas gunung berapi. 7. Angin dan badai Pada bulan Oktober 2003 angin puyuh melanda Kelurahan Karang Tengah Kecamatan Gunung Puyuh, Kota Sukabumi dan mengakibatkan sedikitnya kerusakan 77 unit rumah. b. Mitigasi Bencana. Mitigasi berarti mengambil tindakan-tindakan untuk mengurangi pengaruh dari suatu bahaya sebelum bahaya itu terjadi. Tindakan mitigasi meliputi cakupan yang luas, mulai dari kegiatan fisik pembangunan prasarana hingga perumusan 116 kebijakan atau prosedur yang mengintegrasikan penilaian bahaya ke dalam ke dalam rencana tata guna lahan. Meskipun kebanyakan orang masih melihat bencana sebagai suatu hal yang tidak dapat diprediksi dan terjadi begitu saja karena faktor alam, namun sesungguhnya potensi bencana pada suatu wilayah dapat diperkirakan dan dikurangi tingkat bahayanya dengan cara mengendalikan faktor-faktor determinan bencana. Tahapan paling kritis dalam upaya mitigasi bencana adalah identifikasi risiko- risiko yang terkait dengan bencana. Tahapan ini membutuhkan adanya pemahaman terhadap bencana alam, proses-proses yang menyebabkan terjadinya bencana tersebut, pengaruh bencana terhadap lingkungan buatan manusia, kerusakan material dan non material akibat terjadinya bencana, yang membutuhkan kajian para ahli secara multi disiplin, dari ahli seismologi, vulkanologi, klimatologi, hidrologi, insinyur, ekonom, ahli medis, dan ahli ilmu sosial. Hal-hal mendasar yang dikaji dalam bahaya bencana yaitu: Bagaimana timbulnya bencana Bagaimana kemungkinan terjadinya dan skala besarnya bencana Mekanisme fisik kerusakan Kegiatan-kegiatan yang paling rentan terhadap terjadinya bencana Besarnya tingkat kerusakan akibat bencana Sayangnya, di Indonesia upaya mitigasi bencana masih belum mendapatkan perhatian utama dibandingkan upaya penanganan saat terjadinya bencana, kecuali pada beberapa wilayah tertentu yang mulai menerapkannya setelah terjadi bencana banjir pada skala yang cukup besar, seperti di Jakarta dan Bahorok. Bencana banjir dan longsor memang merupakan bencana yang paling mendapatkan perhatian besar dari pemerintah. Menteri Kimpraswil Soenarno menyatakan bahwa kebijakan nasional penanganan banjir untuk kawasan Jabodetabek dan Bopuncur memiliki sifat strategis nasional yaitu : 1. Aspek penataan ruang dengan maksud untuk konservasi kawasan lindung serta mengendalikan pembangunan sesuai pola peruntukan ruangnya yang menjamin fungsi kawasan-kawasan resapan air dan penahan air lainnya. 117 2. Kedua aspek prasarana sumber daya air dalam satuan wilayah sungai (SWS) yang merupakan kesatuan perencanaan, pemanfaatan, dan pengelolaan untuk menjamin adanya keseimbangan antara supplay dan demand bagi berbagai kebutuhan masyarakat. 3. Aspek ketiga berupa pengembangan prasarana perkotaan, yakni pengembangan sistem drainase, air limbah dan pengelolaan pesampahan terpadu, temasuk utilitas lainnya untuk menghindari terjadinya genangan banjir serta meningkatkan kondisi lingkungan permukiman dan kawasan budidaya lainnya. 4. Aspek keempat yakni penataan kawasan perumahan dan permukiman yang sesuai dengan rencana tata ruang kota, termasuk penataan kembali permukiman di sepanjang bantaran sungai. c. Aspek tata ruang. Pada kenyataannya, revitalisasi penataan ruang kawasan Jabodetabek dan Bopunjur yang diperkuat dengan Keppres no 114 tahun 1999 mengalami banyak hambatan di lapangan. Pada satu sisi, kurang terdapat ketegasan pemerintah dalam penegakan hukum yang terkait dengan penyimpangan pemberian IMB maupun SIPPT. Pemerintah juga perlu memberikan perhatian lebih pada pengurugan tanah yang dilakukan masyarakat yang dapat memindahkan lokasi rawan genangan, seperi yang terjadi pada wilayah-wilayah di Jakarta. Genangan air dalam waktu lama juga berbahaya karena dapat menimbulkan berbagai kerusakan terhadap infrastruktur, instalasi listrik, penyakit serta menurunnya kualitas hidup (Kompas, 20 November 2003). Pada sisi lain, upaya penataan kembali pemukiman terutama pada wilayah di sepanjang bantaran sungai juga mendapatkan banyak hambatan karena melibatkan terjadinya penggusuran warga seperti yang banyak terjadi di berbagai wilayah di Jakarta. Meskipun penggusuran warga dengan alasan untuk mengembalikan fungsi bantaran sungai dalam mengatasi banjir dapat diterima banyak pihak, namun pendekatan dalam melakukan penggusuran serta penyediaan alternatif pemukiman maupun relokasi masyarakat tergusur masih mendapatkan banyak kritikan. Upaya mitigasi bencana apapun secara strategis melalui penataan ruang berarti bahwa berbagai pertimbangan mengenai potensi bencana serta reduksi determinan 118 bencana telah dimasukkan dalam kebijakan tata ruang. Misalnya: pengelolaan ruang terbuka secara efektif untuk mencegah terjadinya pembangunan pada wilayah-wilayah rawan banjir, lempengan aktif, gunung berapi aktif, dan bencana lainnya. Selain itu perlu adanya regulasi-regulasi khusus yang terkait dengan pemanfaatan lahan pada wilayah rawan bencana. Misalnya, persyaratan bangunan pada wilayah rawan gempa, rawan banjir, longsor dan sebagainya. Dr Ir Ridwan Djamaluddin, peneliti gempa dari BPPT berpendapat bahwa mitigasi bencana harus diterapkan di lokasi rawan gempa yang menjadi evaluasi tata ruang daerah, menghindari pemukiman dan segala bangunan infrastruktur pada daerah zona bahaya atau zona patahan aktif. Pada sisi lain, Tim Asistensi Teknis Mitigasi Bencana dari KMNRT telah berhasil merancang spesifikasi teknik rumah tahan gempa untuk wilayah Bengkulu, namun belum diberlakukan dalam bentuk regulasi. d. Aspek pemeliharaan sistem alam dan minimasi degradasi lingkungan. Pemeliharaan sistem alam dan minimasi degradasi lingkungan juga merupakan aspek penting dalam upaya reduksi kemungkinan terjadinya bencana. Seperti halnya dengan bencana banjir dan longsor di banyak tempat di Indonesia, rusaknya sistem alam dan degradasi lingkungan dituding sebagai faktor utama terjadinya bencana. Misalnya, kerusakan hutan pada TN Gunung Leuser yang meningkat pesat yaitu dari 229.570,27 ha hutan rusak dan 27.410,054 hutan gundul tahun 1985 menjadi 653.482,17 ha hutan rusak dan 262.564,27 hutan gundul (Kompas, 8 November 2003). Sementara di Jabotabek, situ-situ yang berfungsi sebagai tempat parkir air dan kawasan resapan sudah banyak yang mengalami pendangkalan dan beralih fungsi. Data dari Departemen Kimpraswil menunjukkan bahwa dari 200 situ yang ada, luasnya menyusut menjadi 1.462,78 ha dari semula 2.337,10 ha (Kompas, 8 Oktober 2003). Terlantarnya situ-situ ini diakibatkan rendahnya perhatian pemerintah maupun masyarakat terhadap keberadaan situ dan fungsi ekologis yang dimilikinya. Pada tahun 2003 ini, alokasi dana penyelamatan situ meningkat dari Rp 1 milyar pada tahun-tahun sebelumnya menjadi Rp 4 milyar. Namun jumlah tersebut masih jauh dari kebutuhan upaya konservasi situ yang mencapai Rp 500 milyar. Upaya konservasi sistem alam juga mendapatkan hambatan berupa konflik pemanfaatan dengan masyarakat. Misalnya, upaya konservasi situ yang berpacu dengan upaya warga yang mengklaim lahan bekas situ yang mengalami 119 pendangkalan sebagai lahan miliknya. Dalam hal ini, upaya penegakan hukum saja tidak akan menyelesaikan masalah yang sudah berlarut-larut, namun sangat diperlukan upaya peningkatan kesadaran masyarakat akan perlunya konservasi sistem alam. Upaya minimasi degradasi lingkungan bertujuan untuk meminimalkan tekanan dari kegiatan-kegiatan manusia terhadap sistem alam sehingga dapat mereduksi faktor-faktor yang berpengaruh terhadap terjadinya bencana. Hal ini juga berkaitan dengan bencana yang diakibatkan oleh kelalaian manusia, seperti tumpahan minyak atau musibah kegiatan industri. Kebijakan yang dikeluarkan pemerintah adalah regulasi berupa persyaratan ANDAL yang dilengkapi dengan RKL dan RPL, baku mutu lingkungan, dan regulasi lingkungan lainnya. Khusus untuk mitigasi musibah kegiatan industri, pemerintah juga mulai menerapkan uji coba Sistem Tanggap Darurat (STD) dan pengembangan model komunikasi antara pemerintah- industri-masyarakat di daerah Lhokseumawe-Cilegon-Gresik. Terkait dengan AMDAL, banyak pihak menilai instrumen AMDAL kurang efektif karena pada kenyataannya hanya dijadikan sebagai dokumen formal untuk memenuhi persyaratan perolehan izin operasi. Selain itu, menurut Otto Soemarwoto (Kompas, 8 Juni 2000) teknologi penyusunan Amdal telah mengalami stagnasi. Sejak Amdal diumumkan tahun 1986, teknologi tidak berubah. Padahal, teknologi Amdal telah banyak berkembang, misalnya dengan menggunakan komputer (computer modeling). Dalam hal ini, pemantauan kesesuaian operasional industri dengan RKL dan RPL yang telah disusunnya masih dirasakan kurang dan tidak ada sanksi hukum yang diberikan bila terjadi penyimpangan. Oleh karena itu, WALHI berpendapat bahwa untuk memperkuat efektivitas AMDAL perlu diterapkan Audit lingkungan sebagai instrumen penegakan (enforcement tool) terhadap implementasi RKL dan RPL, bukan sebagai alat manajemen semata seperti yang terjadi pada negara-negara di Eropa. e. Aspek konservasi sumber daya dan energi. Mitigasi bencana juga harus melibatkan upaya konservasi sumber daya dan energi. Hal ini meliputi kebijakan penyeimbangan antara pasokan (supply) dan permintaan (demand) sumber daya sehingga tercapai suatu kondisi yang harmonis. Ketidakseimbangan antara pasokan dan permintaan sumber daya akan menimbulkan tekanan terhadap lingkungan yang kemudian dapat memicu faktor- 120 faktor yang berpengaruh terhadap terjadinya bencana. Upaya penyeimbangan ketersediaan pasokan dan permintaan ini yang meliputi pengelolaan pada sisi pasokan maupun permintaan mulai dilakukan pada sektor energi dan air, namun pada umumnya upaya penyeimbangan ini masih dilakukan pada sisi pasokan saja. Pada sektor energi listrik misalnya, pasokan energi listrik seharusnya tidak hanya berfokus pada pemenuhan kebutuhan listrik, tapi juga pencarian alternatif jenis sumber energi listrik yang lebih ramah lingkungan. Sementara pada sisi permintaan, masyarakat juga harus memiliki kesadaran akan pentingnya penghematan penggunaan listrik terhadap tercapainya keseimbangan antara pasokan dan permintaan yang sesuai dengan kondisi lingkungan yang ada. Dalam hal ini, perlu dibangun budaya penggunaan sumber daya secara hemat di dalam masyarakat. Pemerintah juga perlu merumuskan regulasi maupun instrumen- instrumen insentif maupun disinsentif yang mendorong ke arah tercapainya keseimbangan tersebut. f. Aspek prasarana pendukung untuk mereduksi kerawanan terhadap bencana. Pembangunan prasarana pendukung masih difokuskan pada mitigasi bencana banjir. Pengembangan prasarana sumber daya air khususnya pada SWS Ciliwung dan Cisadane untuk pengamanan banjir seluas 27.000 ha di Jakarta yaitu dengan pembangunan 2 buah waduk di hulu sungai Ciliwung dan Cisadane. Disamping itu dilakukan juga normalisasi banjir kanal Barat, pembangunan banjir kanal timur untuk kawasan di sekitar Jakarta dan propinsi Banten Tangerang) dan Jawa Barat (Bekasi) seluas 23.000 ha serta normalisasi seluruh sungai yang ada serta peningkatan fungsi folder dan pompa di Jakarta bagian utara. Selain itu dilakukan juga pengembangan prasarana drainase, air limbah, dan pengelolaan persampahan dikembangkan berdasarkan pada master plan yang telah disusun sebelumnya pada tahun 2000 dengan mempertimbangan perkembangan kota hingga 10-15 tahun mendatang. Pemerintah daerah yang saat ini terlihat gencar melakukan mitigasi bencana dengan pembangunan prasarana pendukung adalah DKI Jakarta. Meskipun pembangunan prasarana pendukung baru sangat penting, namun hal yang selama ini kurang mendapatkan perhatian adalah upaya pemeliharaan terhadap prasana- 121 prasarana eksisting sehingga prasarana-prasarana tersebut tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Misalnya, pemeliharaan terhadap saluran-saluran drainase yang dalam kenyataannya di berbagai tempat banyak yang sudah tidak lagi berbentuk saluran, mampet, atau sudah tertutup dengan inrit (jalan masuk ke persil). Perubahan saluran drainase dapat mengubah aliran air permukaan sehingga mempengaruhi lokasi yang rawan terhadap banjir. Pada sisi lain, tidak semua daerah memiliki kemampuan finansial yang kuat seperti pemda DKI Jakarta untuk membangun prasarana-prasarana baru sehingga upaya pemeliharaan prasarana eksisting juga perlu mendapatkan prioritas. g. Membangun budaya keselamatan. Seperti yang telah dijelaskan di bagian awal, salah satu indikator penting dari masyarakat yang berkelanjutan adalah masyarakat yang memiliki ketahanan terhadap bencana (disaster resistant community). Masyarakat yang memiliki ketahanan terhadap bencana bukanlah masyarakat yang bebas dari bencana, melainkan masyarakat yang sadar akan adanya potensi bencana dalam hidup mereka dan berupaya untuk mereduksi tingkat kerawanan hidupnya terhadap adanya bencana. Artinya, masyarakat sadar bahwa bencana alam adalah risiko yang harus mereka hadapi dan kelola dengan baik. Hal ini harus diterjemahkan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat meliputi segala aspek kehidupan. Upaya perlawanan terhadap bencana ini oleh UNDP dianalogikan dengan peperangan terhadap penyakit menular seperti TBC, tipus, kolera, disentri, cacar, dan sebagainya yang disebabkan oleh buruknya sanitasi masyarakat. Perlawanan terhadap bencana harus diperjuangkan oleh setiap orang secara bersama-sama dan melibatkan masyarakat dan investasi sektor swasta, perubahan- perubahan dalam perilaku-perilaku sosial dan perbaikan-perbaikan dalam praktek- praktek individual. Hal ini diwujudkan dengan pembangunan budaya keselamatan publik. Jadi meskipun pemerintah bertanggung jawab terhadap pembuatan regulasi maupun pembangunan prasarana untuk mewujudkan lingkungan fisik yang dapat memperkecil peluang terjadinya bencana, tiap individu masyarakat juga harus bertindak untuk melindungi diri mereka sendiri. Perlindungan publik terhadap potensi bencana juga dipengaruhi oleh perlindungan pribadi terhadap bencana. Misalnya, memilih jenis kompor yang tepat sehingga bila terjadi gempa akan memperkecil risiko terjadinya kebakaran. Hal ini jauh 122 lebih penting dalam mengurangi risiko bahaya kebakaran yang besar daripada masyarakat memiliki kemampuan mengelola satu brigade khusus pemadam kebakaran. Contoh lain misalnya pada saat akan membangun rumah mempertimbangkan lokasi rumah dan potensi bencana pada lokasi tersebut sehingga orang akan memilih lokasi yang potensi bencananya lebih kecil atau membangun rumah yang sesuai dengan kondisi lingkungan di mana rumah itu berada. Dengan demikian Budaya Keselamatan akan menjadi sangat efektif bila masyarakat juga berperan dalam mereduksi potensi bencana atau menjadi lebih siap bila bencana itu terjadi. Namun, upaya untuk membangun budaya keselamatan ini masih minim dilakukan. Upaya yang telah dilakukan pemerintah maupun LSM dalam membangun budaya keselamatan adalah sosialisasi melalui iklan-iklan layanan masyarakat mengenai pentingnya partisipasi masayarakat dalam menangani banjir. Hal yang harus dicermati ialah pembangunan suatu budaya, apalagi bila budaya itu jauh berbeda dengan praktek hidup masyarakat saat ini, merupakan upaya yang sulit dan tidak bisa dilakukan secara insidental saja melainkan harus dilakukan secara kontinu dan integratif. Oleh karena itu, pembangunan budaya keselamatan ini harus dilakukan secara integral dengan sistem pendidikan nasional, pemasyarakatan konsep mitigasi bencana dan perumusan kebijakan di bidang- bidang lain. h. Penanganan Saat Terjadinya Bencana. Dua hal utama sat terjadinya bencana adalah keselamatan jiwa masyarakat korban bencana dan penanganan kondisi pasca kritis. Hal ini terkait dengan kebijakan mekanisme evakuasi dan penanganan kondisi darurat serta kebijakan penanganan para pengungsi yang menjadi korban bencana. Pada berbagai bencana yang telah terjadi, terlihat bahwa penanganan kondisi saat terjadinya bencana berada di bawah komando Menkokesra pada tingkat nasional dan kepala pemerintah daerah sebagai ketua Bakorlak Penanganan Bencana (Bakorlak PB) pada tingkat daerah. Hingga saat ini kritik yang ditujukan tehadap penanganan bencana yang dilakukan pemerintah terutama adalah lambatnya penanganan yang dilakukan dan masih buruknya penanganan terhadap para pengungsi/korban bencana. Seperti yang terlihat pada saat penanganan banjir di Jakarta pada tahun 2002 atau longsor yang terjadi di Malang yang mengakibatkan wilayah yang terkena gempa menjadi 123 terisolasi. Dalam hal ini, harus dilakukan tinjauan terhadap mekanisme penanganan kondisi darurat yang melibatkan berbagai pihak seperti Menkokesra, Bakorlak PB, Departemen Kimpraswil, Departemen Sosial, Departemen Kesehatan, Kementrian Lingkungan Hidup, Palang Merah Indonesia, dan berbagai elemen masyarakat sehingga membutuhkan koordinasi yang baik dan kejelasan lingkup kerja tiap pihak. Kritikan tajam juga umumnya diberikan terhadap upaya penyaluran bantuan kepada korban bencana yang seringkali tidak terkoordinir dengan baik sehingga lambat tiba di tujuan atau bahkan salah sasaran. Belum lagi isu penyalahgunaan atau korupsi yang selalu menyertai setiap upaya penyaluran bantuan kepada korban bencana. Penanganan pengungsi juga merupakan isu yang kurang mendapatkan perhatian. Beberapa saat setelah gempa terjadi, kurangnya perhatian pemerintah mengakibatkan memburuknya kondisi pengungsian sehingga timbul masalah- masalah kesehatan maupun masalah-masalah sosial. Dalam hal ini, upaya penanganan pasca bencana seharusnya diintegrasikan dengan upaya pemulihan kondisi pasca bencana (rekonstruksi pembangunan) sehingga masyakarat yang menjadi korban dapat kembali beraktivitas normal. Penanganan kondisi saat terjadinya bencana juga meliputi upaya-upaya untuk mengatasi kerusakan sosial ekonomi akibat bencana. Sebagai contoh, dalam mengatasi masalah kekeringan, pemerintah telah meluncurkan tiga program yaitu pendistribusian air minum ke daerah-daerah yang kekurangan air, pemberian beras gratis untuk daerah yang terkena puso, dan padat karya untuk petani yang kehilangan pekerjaan. Program terakhir yang berupaya mengatasi dampak ekonomi dari bencana kekeringan juga merupakan hal yang dapat meringankan beban mental dari korban bencana. i. Pemulihan Kondisi Pasca Bencana. Pemulihan kondisi pasca bencana seharusnya dipandang sebagai suatu kesempatan untuk melakukan rekonstruksi pembangunan dalam jangka panjang agar lebih mengarah ke pembangunan yang berkelanjutan. Pemerintah sebenarnya sudah memiliki program-program rekonstruksi yang bervisi jangka panjang untuk masalah penanganan banjir dan longsor. Menkimpraswil misalnya telah mencanangkan kebijakan penataan daerah-daerah aliran sungai yang dianggap sangat kritis. Namun, implementasinya di lapangan masih dalam skala yang minim. 124 Beberapa pemerintah daerah mulai memanfaatkan upaya pemulihan kondisi pasca bencana sebagai kesempatan untuk merekonstruksi pembangunan, seperti pemerintah daerah Bahorok yang kemudian menutup kawasan wisata Bukit Lawang untuk sementara waktu dan melarang pemukiman pada bantaran Sungai Bahorok dan merelokasi warga di sekitar sungai Bahorok ke tempat lain yang telah disediakan. Hal ini juga dilakukan oleh pemerintah daerah Kebumen yang berencana merelokasi warga korban longsor ke wilayah lain yang lebih aman, namun mereka masih memiliki kendala finansial dalam melakukan relokasi tersebut. Secara umum terlihat bahwa pengelolaan bencana di Indonesia masih didominasi oleh pemerintah. Padahal, seperti yang telah dipaparkan dalam bagian sebelumnya, komponen utama dalam pengelolaan bencana adalah masyarakat itu sendiri. Oleh karena itu di masa mendatang pemerintah harus mendorong masyarakat untuk semakin berpartisipasi aktif dalam pengelolaan bencana. Hal ini dapat dilakukan, antara lain dengan cara pemerintah mulai terbuka kepada masyarakat mengenai keterbatasan kemampuan pemerintah dalam melakukan pengelolaan bencana, dan menjelaskan tantangan pengelolaan bencana di masa depan serta mengajak dan mendukung masyarakat untuk bersama-sama menjawab tantangan tersebut. 125 SPEKTRUM PENGENDALIAN PENCEMARAN DALAM RUANG LINGKUP PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP I. PENDAHULUAN. Sebelum membahas lebih lanjut mengenai pencemaran, hal mendasar yang perlu diketahui adalah pencemaran itu sendiri. Suatu situs yang khusus membahas pengetahuan umum mengenai lingkungan (www.environment.about.com) mendefinisikan pencemaran sebagai : The presence of a substance in the environment that because of its chemical composition or quantity prevents the functioning of natural processes and produces undesirable environmental and health effects Namun biasanya istilah pencemaran digunakan untuk perubahan kondisi lingkungan yang disebabkan atau dipengaruhi oleh kegiatan manusia sehingga lingkungan tersebut menjadi berbahaya bagi mahluk hidup yang biasanya hidup di lingkungan tersebut. Sebagai contoh, undang-undang AS tentang air bersih (Clean Water Act) mendefinisikan pencemaran air sebagai the man-made or man- induced alteration of the physical, biological, chemical, and radiological integrity of water and other media. Undang-Undang 23 tahun 1997 tentang Lingkungan Hidup yang menjadi payung tertinggi pengelolaan lingkungan di Indonesia mendefinisikan pencemaran sebagai berikut : Pencemaran lingkungan hidup adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga kualitasnya turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan hidup tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukannya Definisi tersebut oleh beberapa kalangan dinilai terlalu fleksibel karena ukuran penurunan kualitas ditentukan oleh peruntukan. Yang menjadi masalah, peruntukan tersebut dapat terus berubah dalam perkembangannya sehingga dikuatirkan degradasi lingkungan dapat semakin buruk. Definisi tersebut juga dipertanyakan untuk kondisi lingkungan yang saat ini sudah terdegradasi sedemikian rupa sehingga terjadi perubahan kualitas hidup mahluk di dalamnya. 126 Pencemaran berkaitan erat dengan pelestarian fungsi lingkungan hidup dan pelestarian daya dukung lingkungan hidup. Dalam hal ini, apakah acuan definisi pencemaran berarti tidak membuat kondisi saat ini menjadi lebih buruk atau justru dikaitkan dengan pengembalian fungsi lingkungan hidup ke kondisi yang lebih baik dari kondisi saat ini. Taufik Afiff (PPLH ITB) menyatakan bahwa daya dukung lingkungan hidup merupakan suatu konsep ekologi yang sangat spesifik sehingga tidak tepat dijadikan acuan dalam regulasi. Penggunaan konsep daya dukung lingkungan sebagai dasar dari pencemaran justru akan membuat definisi pencemaran menjadi semakin tidak jelas. Oleh karena itu, sebaiknya dilakukan redefinisi istilah pencemaran yang lebih tepat untuk konteks di Indonesia. Konsep Umum Pengendalian Pencemaran Upaya pengendalian pencemaran secara umum dapat dikelompokkan menjadi 3 kategori utama yaitu : 1. Pencegahan Pencemaran atau Pollution Prevention (P2) 2. Smart Growth 3. Reduksi/minimasi tingkat pencemaran Pengendalian Pencemaran Pencegahan Pencemaran (P2) Smart Growth Reduksi Pencemaran : air, tanah, udara Baku Mutu : air, tanah, udara Peningkatan Teknologi Sistem Tanggap Darurat Pengelolaan limbah Pengembangan program P2 oleh pemerintah daerah Mendorong penerapan P2 pada komunitas UKM Mendorong penerapan P2 pada masyarakat umum y Mix land use y Perancangan bangunan yang efisien (compact) y Banyaknya variasi jenis pemukiman y Walkable neighborhoods y Komunitas yang menarik dan spesifik terhadap lokasi y Pelestarian lahan terbuka dan wilayah lingkungan yang penting y Memperkuat dan mengarahkan pembangunan berbasis komunitas eksisting y Variasi opsi jenis transportasi y Keputusan pembangunan yang adil, dapat diprediksi, dan cost-effective y Kerjasama masyarakat dan pihak terkait dalam keputusan pembangunan Gambar 1. Upaya Pengendalian Pencemaran 127 Pencegahan pencemaran dilakukan sebelum terbentuknya limbah dan hal ini dilakukan pencemaran sebelum terjadi. Bahkan, pencegahan pencemaran bertujuan untuk menghindari terjadinya pencemaran atau menghindari timbulnya limbah. Sedangkan reduksi pencemaran bertujuan untuk meminimasi intensitas atau dampak dari pencemaran; dengan kata lain, reduksi pencemaran dilakukan setelah pencemaran itu terjadi. Reduksi pencemaran masih menjadi prioritas utama dalam pengelolaan lingkungan dibandingkan pencegahan pencemaran dan konsep Smart Growth. Hal ini kembali menegaskan bahwa urusan yang bersifat jangka pendek dan solusi reaktif masih mendapatkan perhatian utama. Dari ketiganya, konsep Smart Growth yang berakar pada visi Pembangunan Berkelanjutan adalah komponen yang paling bersifat holistik dan yang paling diabaikan. Pengendalian pencemaran masih difokuskan pada pencegahan pencemaran maupun reduksi pencemaran. Mengingat bahwa tindakan-tindakan operasional dalam pengendalian pencemaran dilakukan di tingkat daerah, maka peran pemerintah daerah sangatlah penting. Masalahnya, terdapat kesenjangan antara kapasitas daerah dan kapasitas yang dibutuhkan dalam pengendalian pencemaran. Oleh karena itu dibutuhkan adanya instrumen- instrumen yang dapat meningkatkan kapasitas daerah dalam pengendalian pencemaran. Pembahasan lebih lanjut mengenai ketiga kategori tersebut dan bagaimana implementasinya di Indonesia akan dipaparkan pada bagian berikutnya. II. KONSEP UMUM PENGENDALIAN PENCEMARAN. a. Tinjauan Umum Terhadap Pengendalian Pencemaran Di Indonesia. Pengelolaan lingkungan di Indonesia saat ini secara umum masih menghadapi masalah yang berakar pada masih kurangnya demokratisasi dan debirokratisasi dalam pengelolaan lingkungan serta isu lingkungan masih menjadi isu pinggiran dibandingkan dengan isu ekonomi dan sosial-politik terutama dalam era otonomi daerah baik bagi masyarakat maupun pemerintah. Kebijakan pemerintah dalam pengelolaan lingkungan masih didominasi oleh perspektif Command-and-Control (CAC) serta upaya-upaya yang sifatnya reaktif. Sebagai contoh, pemerintah daerah kabupaten Lawang dan provinsi Sumatera Utara memberikan perhatian yang lebih besar kepada konservasi hutan dan kawasan lindung lainnya setelah terjadinya tragedi banjir Bahorok. Upaya yang reaktif menunjukkan rendahnya kemauan 128 politik otoritas negara dalam hal pengelolaan lingkungan karena isu lingkungan masih kalah dengan isu ekonomi. Dengan kata lain, urusan-urusan jangka pendek masih mendapatkan prioritas utama dibandingkan pembangunan berkelanjutan yang mengandung perspektif jangka panjang. Pakar lingkungan, Otto Soemarwoto mengatakan bahwa perspektif CAC atau Atur- Diri-Sendiri (ADA) mengakibatkan penyusunan peraturan perundang-undangan masih bersifat top-down dan kurang aspiratif (Kompas, 8 Juni 2000). Pelibatan berbagai kalangan masyarakat dalam perumusan kebijakan masih menjadi suatu hal yang bersifat formalitas atau tidak memiliki implikasi penting bagi konsep peraturan yang telah disusun. Hal ini terjadi tidak saja pada pihak pemerintah tetapi juga legislatif. Sebagai akibatnya, peraturan yang dihasilkan tidak merasa dimiliki oleh atau mengikat semua pihak yang terkait dengan substansi peraturan. Selain itu, peraturan perundangan yang terlalu rinci juga kurang mendorong dihasilkannya inovasi-inovasi teknologi yang lebih bersih sehingga upaya pengelolaan lingkungan tidak bersifat cost-effective dan dianggap hanya menjadi beban bagi masyarakat. Seharusnya kita tidak saja terpaku pada azas Polluter Pays Principle, tetapi melangkah lebih jauh ke azas Pollution Prevention Pays sehingga pengelolaan lingkungan menjadi suatu hal yang menguntungkan bagi masyarakat. Anggapan bahwa pengelolaan lingkungan merupakan suatu beban tidak hanya dimiliki oleh sebagian besar masyarakat, tetapi juga pihak pemerintah. Ini berkontribusi pada dijadikannya lingkungan sebagai isu pinggiran karena pengelolaan lingkungan dianggap tidak menghasilkan keuntungan secara ekonomi. Pandangan ini kemudian mulai berubah (mungkin dalam beberapa waktu saja) bila terjadi suatu bencana alam atau pergolakan sosial, seperti pemblokiran kegiatan operasi perusahaan ekstraktif oleh masyarakat lokal, yang kemudian menimbulkan implikasi ekonomi. Perubahan paradigma ini membutuhkan upaya penyadaran yang bersifat strategis seperti pendidikan lingkungan, kampanye dan sosialisasi yang harus dilakukan terus-menerus secara konsisten selamanya. Dan, lagi-lagi pendidikan lingkungan juga merupakan suatu hal yang tidak mendapatkan prioritas bagi pemerintah, seperti yang terlihat pada Status Lingkungan Hidup Indonesia 2002. Di sisi lain, upaya pengelolaan lingkungan seringkali juga lebih mementingkan masalah birokrasi daripada subtansi. Otto Soemarwoto memberikan contoh 129 mengenai hal ini dengan analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal). Amdal telah diatur amat rinci dalam PP No 27 tahun 1999 dan Keputusan kepala Bapedal No 09 Tahun 2000. Dalam hal ini penyusunan Amdal harus mengikuti format laporan yang telah ditentukan. Pada kenyataannya, penekanan pada aspek birokrasi tidak menilai kualitas Amdal tetapi lebih pada apakah format bakunya telah dipenuhi. Jadi kalau kualitas Amdal rendah tapi formatnya sesuai peraturan, Amdal disetujui; sebaliknya bila Amdal berkualitas baik tapi tidak sesuai format, maka akan ditolak (Kompas, 8 Juni 2000). Sebagai hasilnya, Amdal yang seharusnya menjadi instrumen pengendalian kualitas lingkungan menjadi tidak efektif karena hanya merupakan instrumen formal saja. Masalah lingkungan juga tidak bisa dilihat sebagai masalah pada suatu bidang karena permasalahan lingkungan bersifat kompleks dan meliputi berbagai aspek yang bersifat fisik, politik, sosial, budaya, maupun ekonomi sehingga penyelesaian terhadap masalah lingkungan juga harus melibatkan upaya yang multidisipliner dan multi pihak. Indrian Tagor Lubis dari Program Lingkar-324 menyatakan bahwa kebijakan pengelolaan lingkungan seringkali mendapatkan hambatan karena cepatnya laju transformasi sosial budaya (yang bersifat negatif), adanya kepentingan pribadi yang mensubordinasi kepentingan publik, eksploitasi sumber daya alam tanpa memperhatikan kepentingan generasi mendatang, prioritas pembangunan nasional yang masih bersandarkan pada vested interest elit politik dan hilangnya pemahaman isu-isu lingkungan. Kondisi di atas membutuhkan adanya demokratisasi pengelolaan lingkungan yang didasarkan pada pendekatan partisipatif, seperti misalnya: 1. Pengendalian emisi yang cocok dan aplikatif dengan dukungan teknologi ramah lingkungan. 2. Penegakan hukum lingkungan 3. Penerapan kebijakan Ekonomi Hijau sebagai alternatif bagi peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD). 4. Pemberdayaan organisasi lingkungan melaui penciptaa standar dan regulasi baru sehingga masyarakat memiliki akses terhadap informasi dan peran sertanya dalam penentuan proses kebijakan pra dan pasca proyek dapat terakomodasi. 130 5. Mengefektifkan peran Amdal dalam proses perencanaan, pengelolaan dan monitoring lingkungan. 6. Pendidikan lingkungan untuk memacu kreativitas dan daya kritis individu maupun kolektif. Prof. Ganjar Kurnia, ahli sosiologi pertanian dari Universitas Padjajaran, juga menyatakan bahwa masalah lingkungan yang sangat kompleks sesungguhnya lebih banyak dipengaruhi oleh hal-hal yang bersifat struktural ketimbang masalah kultural. Dalam hal ini, kebijakan yang tidak tepat dari pemerintah justru merupakan biang keladi dari semakin buruknya kondisi lingkungan di Indonesia. Menurutnya, hal ini terutama disebabkan oleh 2 hal, yaitu: 1. Kebijakan yang tidak tepat merupakan produk dari perumusan kebijakan yang tidak benar. 2. Implementasi kebijakan yang tidak tepat. Perumusan kebijakan yang tidak benar mungkin disebabkan oleh proses perumusan yang tidak benar maupun perilaku perumus kebijakan yang tidak benar. Taufik Afiff dari Pusat Penelitian Lingkungan Hidup ITB berpendapat bahwa proses perumusan kebijakan yang tidak benar cenderung terjadi sebagai akibat dari upaya penyelesaian masalah tanpa benar-benar mencari akar dari suatu masalah. Hasilnya, upaya penyelesaian masalah cenderung reaktif dan bersifat jangka pendek, bukannya antisipatif serta strategis untuk jangka panjang. Hal ini menjadi semakin parah dengan buruknya sistem basis data di Indonesia yang menjadi input bagi perumusan kebijakan. Akhirnya, terjadilah garbage in, garbage out. Dalam hal ini, keberadaan sistem basis data yang baik masih belum dipandang sebagai suatu hal yang bersifat strategis dan penting bagi upaya pengelolaan lingkungan di Indonesia sehingga perhatian serta sumber daya yang dialokasikan juga masih minim. Perumusan kebijakan yang tidak benar juga dipengaruhi oleh perilaku perumus kebijakan yang masih banyak didasari oleh kepentingan pribadi atau kelompok tertentu. Sebagai contoh, suatu alternatif bagi pengelolaan sampah yang lebih ramah lingkungan pada suatu kota di Jawa Barat yang melibatkan pihak swasta ditolak oleh pemerintah daerah yang bersangkutan karena dianggap dapat mengurangi PAD yang diterima. Di wilayah lain, aparat pemda suatu daerah 131 mempertanyakan segmen tertentu dari S. Citarum yang masih rendah tingkat pencemarannya dengan maksud untuk memberikan ijin bagi industri untuk beroperasi di segmen tersebut. Implementasi kebijakan yang tidak tepat, menurut Ganjar, selain diakibatkan oleh adanya penyelewengan dalam implementasi program, juga disebabkan oleh kurangnya koordinasi antar pihak dan kurangnya fokus dalam penyelesaian masalah. Akibatnya, program yang dilakukan tidak efektif dan kurang dirasakan hasilnya. Masalah lingkungan yang kompleks biasanya melibatkan berbagai pihak yang masing-masing memiliki persepsi yang berbeda-beda terhadap suatu masalah yang sama. Dalam hal ini, komunikasi antar pihak dalam penyelesaian masalah masih sangat minim. Padahal pelibatan berbagai pihak dapat menghasilkan pengambilan keputusan yang lebih partisipatif. Sayangnya, saat ini belum banyak dilakukan upaya-upaya untuk melibatkan berbagai pihak dalam proses pengambilan keputusan secara formal oleh pemerintah. Input yang diperoleh dari berbagai pihak yang terlibat dalam suatu permasalahan lingkungan, masih tidak memiliki kekuatan yang cukup kuat untuk mengubah pengambilan keputusan oleh pemerintah. Dalam era otonomi daerah ini, UU No 23 tahun 1997 juga dianggap memiliki banyak kelemahan dan tidak dapat lagi mengakomodasi berbagai kepentingan maupun mengantisipasi perubahan-perubahan yang akan terjadi. Otonomi daerah pada satu sisi dapat memberikan kesempatan luas kepada daerah untuk melakukan pengelolaan lingkungan yang lebih baik dan sesuai dengan konteks daerah. Tapi yang lebih terlihat pada kenyataannya adalah semangat eksploitasi sumber daya alam untuk meningkatkan PAD. Dalam konteks tersebut, pemda menegluarkan peraturan daerah (perda) yang secara langsung dan tidak langsung berpengaruh negatif pada lingkungan. Contoh, perda tentang pemutihan praktik penambangan tanpa izin (Peti), baik batubara maupun emas. Kelemahan lain dari UU no 23 tahun 1997 adalah lemahnya rumusan tentang kelembagaan pengelolaan lingkungan dan instrumen hukum lingkungan yang bersifat pencegahan pencemaran lingkungan. Selain itu, kompleksnya keterkaitan kejahatan lingkungan dengan kejahatan lain yang lebih terorganisasi juga membutuhkan UU yang dapat mengatur secara lebih sistemik dan komprehensif (Suara Pembaruan, 17 Desember 2003). 132 b. Implementasi Reduksi Pencemaran di Indonesia. Upaya reduksi pencemaran meliputi penetapan Baku Mutu untuk unsur air, tanah, dan udara; langkah-langkah reduksi pencemaran air, udara, dan tanah; peningkatan teknologi; sistem tanggap darurat; dan pengelolaan limbah. Pemerintah telah menetapkan berbagai jenis baku mutu untuk masalah-masalah lingkungan yang terkait dengan unsur air, tanah dan udara. Di tingkat daerah, pemerintah daerah yang bersikap proaktif juga biasanya telah menetapkan baku mutu tersendiri yang dianggap lebih tepat dengan kondisi di daerah. Hal yang perlu lebih diperhatikan dalam penentuan baku mutu adalah apakah baku mutu tersebut sudah disesuaikan dengan konteks lingkungan, politik, sosial dan ekonomi dari masyarakat di mana baku mutu diberlakukan sehingga keberadaannya dapat menjadi instrumen pengendalian lingkungan yang efektif; bukan sekedar adopsi dari baku mutu sejenis di tingkat intenasional. Baku mutu yang efektif dalam hal ini bukan sekedar standar yang menyatakan ketentuan dalam aspek teknis semata, melainkan juga dapat diimplementasikan dan dipantau penaatannya dengan pertimbangan kemampuan sumber daya yang ada serta mendorong terjadinya perubahan dalam masyarakat untuk mentaati baku mutu tersebut. Pengembangan dan inovasi dalam teknologi bersih yang lebih ramah lingkungan juga belum mendapatkan perhatian yang proporsional, padahal upaya ini memiliki potensi yang besar untuk menghasilkan manfaat yang bernilai ekonomis sehingga pengelolaan lingkungan menjadi cost-effective dan profit-centre, tidak lagi cost- centre. Pada bulan April 2003 telah diadakan Konperensi Nasional Produksi Bersih yang diprakarsai oleh LSM Dana Mitra Lingkungan dan diikuti oleh berbagai kalangan seperti akademisi, pemerintah, bisnis, dan masyarakat umum. Namun ternyata partisipasi dari kalangan bisnis masih sangat minim dan sebagian besar peserta adalah kalangan akademisi. Hal ini menunjukkan bahwa gagasan pengelolaan lingkungan melalui investasi yang dilakukan dalam pengembangan atau inovasi teknologi bersih yang bernilai ekonomis masih belum banyak disadari oleh para pelaku bisnis. Meskipun demikian, para pelaku bisnis yang telah mencoba menerapkan teknologi bersih mengakui bahwa hal itu telah menghasilkan manfaat ekonomis yang nilainya bisa jadi cukup signifikan. Namun, mereka juga mengkritik kurangnya dukungan dari pemerintah dalam memberikan insentif atau kemudahan- kemudahan untuk menerapkan teknologi bersih. Bahkan beberapa pihak justru mendapatkan hambatan birokrasi maupun regulatif dalam upayanya menerapkan 133 teknologi bersih. Pemerintah sendiri melalui Kementrian Lingkungan Hidup telah memiliki program untuk pengembangan teknologi bersih pada beberapa sektor utama, misalnya sektor pertanian, yang difokuskan pada Usaha Kecil dan Menengah (UKM). Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) sebenarnya juga telah menghasilkan berbagai penelitian mengenai teknologi-teknologi bersih. Sayangnya hingga saat ini, koordinasi antar pihak dalam melakukan sosialisasi mengenai teknologi bersih kepada pihak-pihak pengguna potensial dirasakan masih sangat kurang. Kegiatan reduksi pencemaran hingga saat ini masih didominasi oleh institusi lingkungan resmi seperti Kementrian Lingkungan Hidup (KLH) di tingkat pusat maupun Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah (Bapedalda) di tingkat daerah. Namun institusi-institusi yang juga menangani masalah pengendalian di tiap sektor sesungguhnya telah banyak ditemukan pada instansi-instansi pemerintah sektoral. Program-program reduksi pencemaran yang telah dicanangkan pemerintah pada umumnya dapat dikelompokkan ke dalam kategori kegiatan: Pemantauan kualitas, misalnya melalui stasiun pemantau kualitas udara Kegiatan langsung pemulihan kualitas lingkungan, misalnya melalui Program Langit Biru Penentuan regulasi seperti Baku Mutu, regulasi tentang penggunaan alternatif energi yang lebih ramah lingkungan, perizinan Pemberdayaan peran masyarakat melalui peningkatan penyediaan dan penyebaran informasi Kebijakan insentif maupun disinsentif bagi industri, misalnya melalui SUPER Peningkatan kerja sama dengan institusi maupun negara-negara lain Pentaatan dan penegakan hukum Melihat program-program rencana maupun yang sudah dilakukan, upaya reduksi pencemaran yang dilakukan institusi pemerintah tampak cukup baik. Pada kenyataannya, masih terdapat ketidakpuasan yang tinggi dari masyarakat terhadap kinerja pengendalian pencemaran. Pada derajat tertentu, LSM-LSM yang berkecimpung di bidang yang terkait dengan pengendalian pencemaran mungkin 134 juga memiliki program-program kerja yang sesungguhnya secara formal berada pada kewenangan instansi pemerintah. Ketidakpuasan masyarakat mungkin didasari oleh : Kurangnya informasi mengenai kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan oleh pemerintah sehingga masyarakat tidak mengetahui pencapaian yang mungkin telah dibuat oleh pemerintah maupun keterbatasan pemerintah dalam hal pengendalian pencemaran. Meskipun sudah ada sub-sub divisi yang terkait dengan masalah lingkungan pada sektor-sektor yang berpotensi menghasilkan pencemaran, namun keserasian kinerja antar sub-sub divisi tersebut maupun institusi yang secara formal bergerak di bidang lingkungan masih jauh dari harapan. Sebagai contoh, upaya reduksi dampak dari pertambangan terbuka melalui UU No 41 tentang larangan pertambangan terbuka di hutan lindung yang meskipun dilandasi oleh tujuan perlindungan lingkungan, namun proses perumusannya dipandang masih kurang melibatkan berbagai unsur terkait. Kurangnya tingkat pemantauan yang dilakukan pemerintah dalam pengendalian pencemaran. Masih rendahnya tingkat penegakan hukum terhadap pihak-pihak yang melakukan pencemaran. Kurangnya insentif (kemudahan) atau penghargaan bagi pihak-pihak yang proaktif dalam melakukan reduksi pencemaran. Hambatan reduksi pencemaran yaitu : Kurangnya otoritas instansi yang berwenang dalam struktur birokrasi pemerintah Keterbatasan sumber daya manusia yang memiliki kemampuan tinggi dalam analisis dampak dan upaya pengendaliannya. Dalam hal ini, juga diperlukan tenaga ahli yang memiliki kemampuan dalam bidang perlindungan lingkungan maupun manajemen proyek. AMDAL seringkali memiliki daya ungkit yang rendah karena : o Dilihat hanya sebagai prosedur formalitas untuk mendapatkan persetujuan/izin 135 o Intervensi politik yang kuat sangat menentukan hasil akhir kajian o Stigma yang buruk terhadap kinerja instansi pemerintah membuat hasil kajian banyak dipertanyakan o Perlakuan terhadap proyek-proyek yang berada pada wilayah lingkungan yang sensitif masih jauh dari memuaskan. o Rendahnya partisipasi publik dalam memberikan input terhadap kajian dampak o Waktu yang diperlukan untuk menghasilkan kajian yang berkualitas baik. c. Implementasi Pencegahan Pencemaran di Indonesia. Pollution Prevention Act dari AS mendefinisikan pencegahan pencemaran sebagai reduksi pada sumber maupun upaya-upaya lain yang mengurangi atau mengeliminasi terciptanya pencemar melalui : Peningkatan efisiensi dalam penggunaan bahan baku, energi, air atau sumber daya lainnya, atau Perlindungan terhadap sumber daya alam melalui konservasi. Yang dimaksud dengan reduksi pada sumber adalah upaya apa pun yang dapat: Mereduksi jumlah bahan berbahaya atau pencemar apa pun yang memasuki aliran limbah atau dibuang lingkungan secara sengaja atau tidak (misalnya air larian dari wilayah pertanian), sebelum tahap daur ulang, pengolahan, atau pembuangan; dan Mereduksi dampak bahaya bagi kesehatan masyarakat dan lingkungan akibat pelepasan zat atau pencemar tersebut. Hal itu meliputi modifikasi peralatan atau teknologi, modifikasi proses atau prosedur, formulasi atau perancangan ulang produk, substitusi bahan baku, dan peningkatan good housekeeping, pemeliharaan, pelatihan, atau pengendalian persediaan. Secara singkat Pencegahan Pencemaran adalah pendekatan upaya perlindungan terhadap lingkungan melalui reduksi atau eliminasi dampak pencemaran yang berbahaya maupun tidak pada sumber pencemaran atau pencegahan masuknya pencemar ke dalam media lingkungan atau aliran limbah. 136 Dalam hal pencegahan pencemaran, instrumen yang dibutuhkan pada dasarnya meliputi 3 bidang utama yaitu: 1. Pengembangan program-progam pencegahan pencemaran pada instansi- instansi pemerintah daerah. Pemerintah perlu memberikan contoh kepada masyarakat bahwa pendekatan pencegahan pencemaran akan memberikan hasil yang lebih baik dari aspek lingkungan maupun ekonomi daripada pendekatan tradisional semata seperti penanganan pencemaran. Hal ini sekaligus juga menunjukkan bahwa pemerintah juga memiliki komitmen yang kuat dalam implementasi pengendalian pencemaran. Implementasi program pencegahan pencemaran pada fasilitas maupun kegiatan operasi instansi pemerintah daerah, misalnya: Meningkatkan kesadaran pegawai akan pentingnya pencegahan pecemaran dan memberikan insentif bagi praktek-praktek kegiatan yang lebih efisien. Mengarahkan pertumbuhan dan pembangunan pada lokasi yang tepat dan menentukan sasaran lahan-lahan konservasi Menerapkan kaidah-kaidah yang ramah lingkungan pada lahan publik untuk meminimalkan dampak lingkungan dari penggunaan lahan. Misalnya, bila lahan digunakan untuk pertanian, diterapkan konsep Integrated Pest Management. 2. Mendorong upaya-upaya pencegahan pencemaran pada komunitas Usaha Kecil dan Menengah (UKM) Hal ini juga dapat mempererat hubungan pemerintah dengan komunitas bisnis sehingga mereka lebih terdorong untuk mengadopsi praktek-praktek yang lebih ramah lingkungan. Program-program yang dapat dilakukan, misalnya: Mensponsori lokakarya pendidikan bagi UKM dan program-program pengenalan untuk meningkatkan dan mendorong diterapkannya prinsip pencegahan pencemaran dalam kegiatan usaha yang mereka lakukan. Mengkampanyekan penggunaan alat-alat yang lebih efisien dalam penggunaan sumber daya sehingga dapat mengurangi tingkat konsumsi. 137 Misalnya: lampu hemat energi, kran berkualitas baik sehingga tidak mudah bocor, dan sebagainya. Memberikan informasi mengenai teknologi bersih pada berbagai sektor usaha dan mendorong adopsi teknologi tersebut, misalnya dengan memberikan insentif yang diperlukan. Mendorong pembelian dan penggunaan bahan-bahan yang tidak beracun. Misalnya, mengganti bahan sintetis dengan bahan-bahan alami atau memberikan insentif atau keringanan bagi penggunaan bahan kimia tidak beracun yang mungkin sulit diperoleh atau lebih mahal harganya. 3. Meningkatkan kesadaran masyarakat daerah dalam hal pencegahan pencemaran. Hal ini dilakukan agar masyarakat dapat mengadopsi pendekatan pencegahan pencemaran dalam kehidupan sehari-hari. Program-program yang dapat dilakukan misalnya : Mengkampanyekan program reduksi (dan pemilahan sampah) pada sumber. Mengkampanyekan kebiasaan-kebiasaan yang hemat energi. Menginformasikan ciri-ciri produk yang lebih ramah lingkungan. Hal-hal yang dapat menjadi hambatan dalam implementasi program pencegahan pencemaran yaitu : Kurangnya pemahaman instansi-instansi pemerintah terhadap usulan program Keterbatasan sumber daya, terutama sumber daya finansial dan teknikal. Meningkatnya tekanan. Baku mutu maupun regulasi yang tidak proporsional justru akan menimbulkan tekanan berlebihan kepada kalangan usaha sehingga membuat mereka cenderung bersifat reaktif, bukan proaktif terhadap pencemaran. Sulitnya memberikan justifikasi bagi program. Pencegahan pencemaran umumnya memberikan dampak yang signifikan pada jangka waktu panjang sehingga seringkali dikalahkan oleh kepentingan yang sifatnya mendesak dan jangka pendek. 138 Kurangnya koordinasi antar instansi-instansi terkait. Hambatan akibat regulasi. Ketidakserasian regulasi-regulasi yang ada menimbulkan kesulitan implementasi pencegahan pencemaran. Hal yang perlu diperhatikan juga adalah masyarakat seringkali tidak menyadari bahwa dirinya adalah bagian dari solusi pengendalian pencemaran. Dalam hal ini, institusi lingkungan harus lebih giat menyadarkan masyarakat dan mengubah persepsi mereka terhadap lingkungan, pencemaran dan mendorong masyarakat untuk secara aktif melakukan kegiatan-kegiatan yang lebih ramah lingkungan. d. Smart Growth. Dalam konsep Smart Growth, pembangunan dilakukan untuk melayani tujuan ekonomi, masyarakat, dan lingkungan. Smart Growth didefinisikan sebagai pembangunan yang berupaya untuk sekaligus mencapai : Pembangunan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja; yaitu pembangunan yang memperluas kesempatan usaha dan lapangan pekerjaan, meningkatkan pajak lokal, memberikan pelayanan dan kenyamanan bagi masyarakat suatu lingkungan, dan menciptakan komunitas yang memiliki daya saing ekonomi. Lingkungan yang memiliki ketahanan yang baik (strong neighborhoods); yaitu pembangunan yang memberikan berbagai pilihan pemukiman yang sesuai bagi komunitas di dalamnya sehingga dapat meningkatkan nilai lingkungan itu dan menciptakan rasa kebersamaan suatu komunitas (sense of community). Masyarakat yang sehat, yaitu pembangunan yang memberikan lingkungan yang sehat bagi komunitas yang tinggal di dalamnya. Smart growth menyeimbangkan pembangunan dengan perlindungan lingkungan; mengakomodasi pertumbuhan dan pada saat yang sama melestarikan ruang terbuka dan habitat kritis, memanfaatkan lahan secara optimal, dan melindungi sumber-sumber air serta kualitas udara. Konsep smart growth mendorong dilakukannya pembangunan yang sesuai dengan karakteristik tiap daerah dan komunitas yang mendiaminya yang dilandaskan pada pilar kesejahteraan ekonomi, kebersamaan suatu komunitas, dan lingkungan yang sehat dengan visi jangka panjang. Konsep ini juga mensyaratkan adanya 139 keberagaman, baik dari aspek fisik lingkungan, sosial budaya maupun ekonomi sehingga suatu komunitas memiliki ketahanan yang baik dan tidak rentan terhadap berbagai perubahan yang mungkin terjadi. Pada konsep smart growth, pembangunan berkelanjutan menjadi suatu keniscayaan. Dalam hal ini, isu lingkungan tidak lagi dilihat sebagai suatu bidang masalah, tetapi telah melebur dalam konsep pembangunan yang dilakukan. Smart growth bisa dikatakan sebagai konsep yang lebih operasional dari Pembangunan Berkelanjutan. Pembangunan yang didasarkan pada konsep smart growth ini mungkin masih belum banyak dilirik oleh berbagai pihak yang terkait dengan pengelolaan lingkungan. Namun, mau tidak mau pada waktu mendatang permasalahan pengelolaan lingkungan akan semakin menuntut langkah-langkah strategis, multi aspek, yang memperhatikan kesejahteraan komunitas yang bersifat unik untuk tiap wilayah dalam jangka panjang. Dalam hal ini, smart growth merupakan konsep yang tidak dapat ditawar lagi. 140 SPEKTRUM KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM DALAM RUANG LINGKUP PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP I. PENDAHULUAN. Dari beberapa literatur menyebutkan bahwa Definisi dari kata-kata Konservasi tersebut adalah: Pemeliharaan dan proteksi terhadap lingkungan dan pengunaan yang bijak terhadap sumber daya alam (www.iteawww.org/TAA/Glossary.htm) Suatu pengelolaan yang pemeliharaan yang berhati-hati terhadap sumber daya alam dan lingkungan. www.soton.ac.uk/~engenvir/glossary.html, Merupakan perencanaan dan pengelolaan manajemen sumberdaya untuk menjamin kesediaan untuk penggunaan jangkan panjang yang terus menerus dan menjamin kualitas, nilai dan keanekaragamaannya yang lebih baik.edugreen.teri.res.in/explore/glossary.htm Proteksi, pemelihataan dan pengelolaan/manajemen yang berhati-hati terhdap sumber daya alam dan lingkungan. www.jncc.gov.uk/earthheritage/module/glossy.htm Semua aktifitas yang telibat dalam upaya proteksi dan retensi warisan sumber daya. Termasuk di dalamnya studi, proteksi, pengembangan atministrasi, pemeliharaan, dan interpretasi terhadap warisan sumber daya, baik itu merupakan objek, gedung atau struktur ataupun lingkungan. www.islandnet.com/~hsbc/terms.htm Bila dilihat dari hal diatas ada 4 hal kunci dalam mengartikan kata-kata konservasi tersebut yaitu pemelihataan, proteksi, pengelolaan dan penggunaan yang bijak. Sehingga ketika kita bicara tentang sumber daya alam, maka kata-kata konservasi sumber daya alam itu berarti segala bentuk cara yang dilakukan dalam rangka pemeliharaan, proteksi dan bagimana menggelola dan memanfaatkan secara bijak sumber daya alam tersebut. Secala ekologi, yang menjadi lahan untuk konservasi adalah lahan lindung, artinya di Indonesia, yang menjadi lahan lindung terutama terdapat pada lahan hutan 141 dan laut yang memiliki kekayaan hayati yang tinggi. Sehingga dalam kasus ini pembahasan konservasi akan dibatasi pada dua kawasan tersebut. II. KONSERVASI SUMBER DAYA KEHUTANAN. Permasalahan konservasi lingkungan dan sumber daya alam yang kita hadapi sekarangnya, kalau dirunut ke belakang tidak lain adalah bersumber dari permasalahan kehutanan yang kita hadapi sekarang ini. Bencana banjir, longsong, air bersih dan daerah aliran sungai, serta langkanya keanekaragaman hayati Indonesia, semuanya tidak lain disebabkan oleh masalah kehutanan itu sendiri, selain juga disebabkan oleh berbagai kerusakan lingkungan lainya. Selama lebih dari tiga dekade sampai awal krisis keuanggan tahun 1997, kebijakan pembangunan nasional lebih dititikberatkan pada pertumbuhan ekonomi dengan mengacu pada pengendalian ekspor. Hasilnya, memang sangat mengesankan, dimana laju pertumbuhan ekonomi demikian cepat terus berlanjut selama kurun waktu itu dan bahkan disertai dengan keberhasilan mengurangi jumlah penduduk miskin secara draktis. Sebagai konsekwensi dari kebijakan pembangunan tersebut, pemerintah pada saat itu memandang sumber daya alam - termasuk hutan sebagai asset yang dapat dicairkan secara cepat untuk mendukung pertumbuhan itu sendiri. Dengan kata lain, dalam kebijakan perekonomian nasional, sumberdaya hutan ditempatkan sebagai salah satu penghasil devisa negara pengekspor kayu tropis terkemuka dan terbesar di dunia (World Bank, 2000). Kebijakan pembangunan seperti yang disebutkan diatas tidak bisa sejalan dan melakukan trade-off antara tujuan-tujuan pembangunan itu sendiri dengan lingkungan. Bentrokan kepentingan ini tidak bisa dihindarkan, sehingga kinerja pembangunan seperti yang disebutkan diatas harus ditebus oleh sejumlah akibat, diantaranya kerusakan hutan dan lingkungan. a. Manajemen/Pengelolan Hutan Dalam Beberapa Dekade (Hingga 2003). Indonesia memiliki hutan tropis kedua terluas di dunia dengan nilai ekonomis tinggi bagi negara maupun masyarakat. Pemanfaat sumberdaya hutan untuk kepentingan pertumbuhan ekonomi dimulai secara intensif sejak tahun 1967, sebagai tindak lanjut dari kerjasama Indonesia dengan IMF pada tahun 1996. Dari kerjasama tersebut, Indonesia mulai menerima pinjaman internasional, membuka diri bagi investasi asing, dan mulai mengembangkan kebijakan ekonomi 142 pasar yang bertumpu pada pertumbuhan. Untuk menjamin pengembangan investasi, memerintah mengeluarkan Undang-Undang Penanaman Modal Asing tahun 1997, dan Undang-Undang Penanaman Modal Dalam Negeri tahun 1968. Kemudian, kebijakan ekonomi pasar Indonesia ditidaklanjuti dengan dilahirkannya paket kebijakan pengelolaan hutan antara ain melalui Undang-Undangn Pokok Kehutanan No.5 tahun 1967, PP No 33 tahun 1970 tentang perencanaan Hutan, dan PP No.21 tahun 1970 tentang Penguasaan Hutan. Paket kebijakan tersebut menciptakan iklim kondusif bagi perusahaan-perusahaan (termasuk perusahaan asing) untuk memulai kegiatan eksploitasi hutan skala besar secara komersial. Tercatat bahwa antara tahun 1967-1980, 519 perusahaan diberi HPH yang mencakup luas 53 juta ha. Hasilnya, pada era 70-an Indonesia mengalami timber boom, dan mulai masuk dalam jajaran negara pengekspor kayu bulat terbesar di dunia. Tahun 1982, kayu menjadi sumber devisa negara terbesar kedua setelah minyak dan gas. Sampai dengan Juni 1998 terdapat 651 HPH dengan alokasi hutan seluas 69,4 juta Ha (Barr, 1998; Kartodirdjo dan Suproono, 1999). Bahkan dalam sepuluh tahun terakhir, sumbangan devisa dari industri kayu mencapai 20% dari total perolehan devisa Indonesia (Suara Pembaharuan, 13 Maret 1999). Diperkuat oleh data terakhir yang dikeluarkan oleh FWI (2002) menunjukan bahwa pertumbuhan kontribusi total ekspor Indonesia dari sektor kehutanan ini paling tinggi, tercatat dari tahun 1992-1997, untuk industri pulp dan kertan mencapai 37%, rotan 8% dan plywood 2%. Selama tahun 1980-1985 pemerintah mengeluarkan sejumlah peraturan yang mengharuskan adanya peningkatan pasokan kayu bulat untuk kebutuhan peningkatan industri perkayuan dalam negeri dengan alasan untuk kebutuhan peningkatan nilai tambah yang kemudian dilanjutkan dengan penghentian ekspor kayu bulat. Pada tahun 1981, pemerintah mengeluarkan kebijakan tentang industri kehutanan terpadu yang berbasiskan kayu lapis. Kondisi ini melahirkan dominasi industri kayu lapis yang kemudian menggiring Indonesia memasuki jajaran negara pengekspor kayu lapis terbesar di dunia. Pada tahun 1987 Indonesia tercatat menguasai 58% dari total ekspor kayu lapis dunia. Pada Akhir tahun 80- an, beberapa wilayah pemasok bahan baku kayu (seperti Sumatera Utara dan Kalimantan Timur) mulai mengalami kelangkaan kayu akibat eksploitasi berlebihan. Bila pada tahun 1950, diperkirakan luas kawasan hutan mencapai 168 juta ha (FWI, 2002). Sementara pada tahun 1985 diperkirakan tinggal 119 juta ha (RePPProt, 1989). Artinya dalam 35 tahun tersebut terjadi perusakan hutan seluas 143 914,000 ha per tahun, atau 49 juta ha seluruhnya (Barber, 1997). Pemerintah menganggap kondisi ini mengancamkan industri perkayuan nasional yang masih terus diandalkan dapat memberikan kontribusi nyata bagi perolehan devisa negara. Semenjak itu cadangan minyak bumi Indonesia mulai menipis. Pemerintah kemudian mengeluarkan alternatif baru bagi upaya perolehan devisa dari sektor kehutan ini, yaitu diajukan kebijakan tetang pengembangan Hutan Tanaman Industri (HTI) yang diiringi dengan pengembangan industri pulp dan kertas, dan pengembangan perkebunan besar Kalapa Sawit. Pergeseran kebijakan dengan tujuan untuk merespon pasar dan meningkatkan industri hilir yang menekankan pada upaya peningkatan nilai tambah (added value). Namun Kebijakan seperti ini, malah pada akhirnya menimbulkan konglomerasi negatif yang ditandai dengan munculnya sistem pemasaran bersama (Kartel) yang akhirnya menimbulkan konsekwensi sehingga kayu bulat rata-rata dihargai begitu rendah. Kondisi ini memberikan implementasi meningkatnya tekanan terhadap sumberdaya hutan yang begini dicerminkan oleh tingkat kerusakan dan degradasi hutan yang begitu tinggi (antara 1,3-2,4 juta ha). Sebenarnya, pemerintah juga mengeluarkan kebijakan yang berkaitan dengan aspek rehabitasi dan konservasi sumberdaya hutan dan lingkungan, antara lain kegiatan reboisasi dan penghijaun, pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI), retifikasi berbagai perjanjian internasional berkaitan dengan tujuan konservasi seperti CITES. Namun demikian, beberapa kebijkan ini dalam pelaksanaannya justru tidak sejalan dengan tujuan rehabitasi dan konservasi itu sendiri. Sebagai tontoh, program pembangunan HTI dalam pelaksanaannya kegiatan pembangunan HTI memperlihatkan paradoks, dimana program HTI menjadi salah satu faktor penyebab kerusakkan hutan alam. b. Permasalahan yang Dihadapi. Hasil dari pengeksploitasi hutan yang berorientasi profit, memperlihatkan gejala- gejala telah terjadi penyusutan hutan. Bila tahun 1950 luas tutupan hutan mencapai 162 juta hektar, sedangkan pada tahun 1984, Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) menyebutkan luas kawasan hutan Indonesia mencapai 144,5 juta ha yang diklasifikasikan menjadi hutan produksi tetap, hutan produksi terbatas, hutan lindung, suaka alam dan hutan wisata serta hutan konversi. Selanjutnya, studi FAO/GOI Frorestry Project pada tahun 1990 memperkirakan 144 luas kawasan yang ditutupi hutan tinggal 109 juta ha atau 57% dari luas daratan Indonesia. Dan data terakhir tahun 2000 luas tutupan hutan tinggal 98 juta hektar. Sementara itu, diperkirakan laju kerusakan hutan Indonesia berkisar antara 600.000 Ha hingga 1.3 juta ha per tahun pada tahun 1994(GOI dan Asian Develoment Bank/ADB, 1994), bahkan dari data terbaru kerusahan tersebut telah mencapai 2 juta ha per tahun (FIW, 2002). Hasil analisis FWI (2002) mencatat bahwa kondisi hutan Indonesia pada saat ini, terlihat bahwa 59 juta ha masih merupakan hutan alam yang belum dialokasikan, 41 juta ha telah rusak dan hutan yang berpotensi untuk rusak, dan 9 juta ha hutan yang sudah mengalami deforestasi akibat pengkonversian hutan tersebut bagi industri-industri kayu atau juga bagi perkebunan dan transmigrasi. c. Penyebab Tingginya Deforestasi. Beberapa penyebab tingginya tingkat deforestasi di Indonesia, disebabkan oleh beberapa faktor (gambar 1), yang akan dijelaskan berikut ini Gambar 3. Proses Pengrusakan Hutan dan Deforestasi di Indonesia (FWI, 2002) 145 1. Pengeksploitasian yang berlebihan akibat kebijakan masa lalu Menurut FWI (2002), Tingginya tingkat deforestasi di Indonesia merupakan hasil dari politik dan sistem ekonomi yang korupsi pada masa orde baru yang melakukan pengekploitasiaan sumber daya alam secara berlebih-lebihan. Pesatnya pertumbuhaan perusahaan-perusahaan pengolahan kayu melalui kebijakan Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dan juga Hutan Tanaman Industri (HTI) pada masa rezim Suharto. Memperburuk kondisi hutan di Indonesia. 2. Ekspolitasi Hutan Berlebihan Melalui Pemberian Hak Pengusahaan Hutan (HPH) Meskipun sebenarnya konsensi tebang bermaksud untuk memelihara lahan hutan dan bentuk menjamin permanent produksi, namun tidak dapat dipungkiri secara fakta, malah konsensus inilah penyebab utama deforestasi kerusakan hutan. Ketika kebijakan pemberian konsensi hak pengelolaan hutan (HPH) dimulai pada tahun 1967, pada tahun itu baru 4 juta m 3 kayu hasil tebangan yang semuanya digunakan untuk kebutuhan domestik. Namun pada tahun 1977 hasil tebang ini meningkat mencapai 28 juta m 3 , dengan tujuan ekspor mencapai 75% dari produksi tersebut. Bahkan catatan pada pertengahan tahun 1998, tidak kurang 39 juta ha lahan telah dibuka untuk konsesi tebang ini, yang ditanggani oleh 14 juta ha lahan dikelola oleh 5 perusahaan inhutani, 8 ha perusahaan swasta join ventura, serta 8 ha lainnya dikonversikan untuk kebutuhan non hutan (Fox et al, 2000). Bahkan pemegang kekuasaan (militer) juga mengambil keuntungan dari konsensi ini, dengan menguasa1,8 juta ha lahan hutan (Brown, 1999:12,40). Tercatat ada sekitar 10 perusahaan kayu besar yang menguasai dan memimiliki HPH (tabel 7). Dekatnya koneksi antara rezim Soeharto dengan sebagain besar para kelompok pengusaha kayu ini sehingga mengakibatkan pengawasan dan tranparansi, yang akhirnya mengakibatkan buruknya manajemen hutan. Para penggusaha yang memilki hak tebang ini memiliki tanggung jawab yang sangat rendah sekali terhadap keberadaan hutan lestari, bahka banyak fakta yang menyebutkan tidak ada sedikitpun kemauan para penggusaha tersebut mau memperbaiki situsai tersebut. Diawal tahun 2000, Departemen Kehutanan melaporkan bahwa hampir semua hutan yang mesuk dalam program HPH ini berada dalam kondisi yang membahayakan. 146 FWI (2002) juga mencatat beberapa tindakan tanpa izin yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan kayu ini yang mendorong semakin memperparahnya kondisi kehutanan Indonesia. Izin tebang yang diberikan kepada para perusahaan- perusahan pemilik HPH, mendorong mereka untuk membuka lahan baru seperti jalan sebagai suatu fasilitas 3. Kebijakan Hutan Tanaman Industri Kebijakan Hutan Tanaman Industri (HTI) demi memacu pertumbuhan industri kayu khususnya di Sumatera dan di Kalimantan malah kemudian memberikan dampak terburuk meningkatkan tingkat perusakan hutan. Menurut PP No. 7/ 1990, pembangunan HTI dapat dibangun pada hutan produksi dan pemberian HPHTI memungkinkan para pemegangnya untuk menebang habis areal konsensinya dan menanaminya kembali dengan jenis pohon komersial. konsesi HTI memperbolehkan Siapa saja dapat mengajukan permohonan untuk memperoleh HPHTI dengan periode 35 tahun. Dengan insentif finansial bagi pemilik hak HPHTI ini menjadikan bahwa kebijakan ini semakin jelas debagai suatu skema yang tidak tepat, karena justru meningkatkan permintaan akan areal-areal hutan alam untuk alasan pemenuhan bahan baku. Akibat hutan-hutan menjadi semakin rusak, sebab areal yang benar-benar ditanami lebih sedikit dari pada yang ditebangi. 4. Transmigrasi Transmigrasi merupakan program pemerintah Indonesia jangka panjang, yaitu pemindahan penduduk dari daerah yang padat penduduknya (jawa dan Bali) ke daerah yang tidak padat penduduknya terutama di pulau Sumatera dan Kalimantan. Selang waktu 1989-1993 telah dibuka lahan baru untuk program ini mencapai 1,7 juta ha lahan. Program-program trasmigrasi ini terkadang telah melanggar batas taman nasional, seperti yang terjadi pada kasus taman nasional Wasur di Irian Jaya, melalui program tranmigrasi lebih kurang 3.000 ha lahan hutan tanaman nasional ini telah dikonversikan untuk desa-seda pemukiman transmigrasi pada tahun 1994 (Decree, 1994, dikutip dari FWI, 2002). 5. Penebangan Liar Penebangan liar sudah sangat meluas di Indonesia, Sepanjang tahun 2000, disebutkan bahwa 50-70% suplai kayu Indonesia berasal dari penebangan liar. 147 Analisis yang dilakukan oleh kator Meteri Kehutanan dan Perkebunan pada tahun tersebut menyebutka bahwa penebang liar ini bahkan telah terorganisir secara baik dan memiliki backing dan jaringan yang luas, hal ini telah sangat mengancam, penerapan hukum di bidang kehutanan bisanya terjadi areal-areal konsesi/ kesepakatan, areal hutan yang tidak terkunci (anlolocated forest areas), bekas areas kesepakatan, areal hutan kesepakatan, dan hutan-hutan dilindungi. Bahkan penebangan liar ini juga telah menyebar pada daerah-daerah konservasi , karena daerah-daerah ini memiliki kayu-kayu yang lebih potensial bila dibandingkan dengan hutan-hutan produksi. Analisis kantor Menteri Kehutanan dan Perkebunan juga menyebutkan para pelaku- pelaku penebangan liar ini juga berasal dari: (a) para pekerja yang berada di areal kehutanan itu sendiri dan juga orang-orang lain yang datang ke daerah tersebut; (b) investor-investor, seperti pedangan-pedangan kayu, pemilik izin pengelola hutan kesepakatan (IPK), dan juga pembeli sendiri yang membeli kayu penebangan liar dari industri-industri penolahan hasil hutan. Dan (c) Juga oknum- oknum yang berasal dari pemerintahan sendiri baik itu sipil maupun militer, dan bahkan juga para penegak hukum. Para oknum-oknum penebang liar ini terus bertumbuh kembang, karena mereka merasa tidak akan memperoleh imbalan yang lebih banyak apa bila hanya melakukan transaksi kayu melaui cara yang lebih legal. Akibatnya tindakan- tindakan korupsi baik oleh sipil maupun militer semakin memakin merajalela dan meluas baik dalam hal penebangan liar dan juga pemasaran hasil-hasil hutan tersebut. Apkindo (2000) mencatat bahwa ekspor kayu dari penebangan liar asal Sumetera dan Kalimantan tercatat lebih kurang 1juta m 3 kayu untuk memenuhi pasar Cina dan beberapa negara tujuan ekspor lain (FWI, 2002). Kenapa hal ini bisa terjadi?, Tidak lain adalah adanya kebijakan agresif dari pemerintah untuk melakukan ekspansi dalam sektor kehutanan tanpa mempertimbangkan keberlanjutan ketersediaan suplai kayu Indonesia dalam jangka panjang. Sangat cepatnya ekspansi pada sektor ini tidak lain didorong adanya ketidakseimbangan antara suplai kayu sendiri dengan permintaan terhadap sektor ini. Ketidakseimbangan ini lah yang mendorong munculnya penebangan liar. Scotland (2000) memperkirakan ketidak seimbangan suplai dan demand kayu pada tahun 1997-1998 (tabel 7). Dia menyebutkan bahwa permintaan pada sektor ini mencapai 84.140.000 m 3 kayu sedangkan suplai dari penebangan legar (dengan 148 izin) hanya mencapai 51.527.000 m 3 . Larsen (2002) menyebutkan bahwa penebangan liar ini memberi kontribusi terhadap kerusakan hutan di Indonesia mencapai 10 juta hektar. Departemen Kehutanan (Dephut) memperkirakan Indonesia mengalami kerugian hingga mencapai Rp 30,42 triliun per tahun akibat kegiatan penebangan liar dan peredaran hasil hutan illegal ini (Kompas, edisi 17 Juni 2003). kerugian tersebut belum termasuk terancam punahnya spesies langka dan terganggunya habitat satwa. Sedangkan Bank Dunia pada tahun 2002 memperkirakan kerugian akibat dua kegiatan tersebut hanya 600 juta dolar AS per tahun (Kompas, edisi 17 Juni 2003) Pemerintah telah mengeluarkan kebijakan untuk pengurangan porsi hak tebang pohon bagi HPH guna mengatasi terjadinya tingkat deforestasi di Indonesia. Namundemikian, dampak lain dari kebijakan ini kemungkinan besar akan meningkatnya penebangan liar, karena tuntutan pasar akan kebutuhan kayu yang masih tetap tinggi sebagai bahan baku bagi industri berbagan baku kayu, diperkirakan setiap tahunnya kebutuhan kayu untuk industri-industri pulp dan kertas saja tidak akan pernah kurang dari 35-40 juta m 3 pertahunnya (Jakarta Post, edisi 9 mei 2002)(catatan: kapasitas industri pulp dan kertas Indonesia 75-80 juta m 3 per tahun(FWI, 2002). 6. Kebakaran Hutan Belakangan ini masalah kebakaran hutan semakin menarik perhatian internasional, sebagai isu lingkungan dan ekonomi, khususnya setelah bencana El Nino (ENSO) 1997/98 yang menghanguskan lahan hutan seluas 25 juta hektar di seluruh dunia (FAO ,2001; Rowell dan Moore 2001). Kebakaran hutan dianggap sebagai ancaman bagi pembangunan berkelanjutan karena efeknya yang langsung terhadap ekosistem (United Nation International Strategy for Disaster Reduction 2002), kontribusinya terhadap peningkatan emisi karbon dan dampaknya terhadap keanekaragaman hayati. Pada tahun 1997/98 Indonesia mengalami kebakaran hutan paling parah diseluruh dunia. Walaupun perhatian dunia terus meningkat terhadap masalah kebakaran hutan yang tidak dikehendaki, bencana pencemaran kabut asap masih terus terjadi lagi pada tingkat berbeda di lokasi yang sama pada beberapa negara Asia Tenggara; tingkat tertinggi terjadi pada bulan Agustus-Oktober 2002, sejak peristiwa kebakaran hutan tahun 1997 (CIFOR, 2003). 149 Kebakaran hutan di Indonesia bersumber pada 3 (tiga) sebab utama yaitu 1) manusia karena kesengajaan, 2) manusia karena kelalaian, dan 3) peristiwa alam. Menurut Dirjen PHPA atau Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam (1994) 90 % penyebabnya adalah perbuatan manusia sedangkan 10 % -nya disebabkan oleh peristiwa alam. 7. Perluasan Lahan Pertanian Tradisional Dalam tulisannya The Effects of Economic Crisis on Small Farmer and Natural Forest Cover in the Outer Islands of Indonesia., Willian Sunderlin menyebutkan bahwa pengaruh krisis ekonomi akan memberikan dampak utama bagi peningkatan tingkatan deforestasi karena pembukaan lahan pertanian lokal. Menurut Sunderlin, Agibisnis akan menjadi primadona kembali sebagai sarana untuk keluar dari krisis. Akibatnya ada kebijakan memperluas areal pertanian, dan ini mengancam keberadaan hutan. Selama bertahun-tahun Departemen kehutanan dan Perkebunan telah memberikan ijin kepada 454 usaha untuk menebang habis 4 juta hektar dari 26,6 juta hutan konversi. Kebun Sawit luasnya 2,4 juta ha pada awal 1998 dan ada rencana untuk menambah 1,5 juta ha pada akhir tahun. Sekitar 50 proyek investasi asing mempunyai rencana mengembangkan 900.000 ribu ha kebin sawit, kebanyakan di Kawasan Indonesia Timur (KTI). Peningkatan harga coklat diperkirakan akan meningkat areal kebun coklat di Sulawesi Selatan dari 160.000 ha tahun 1997 hingga 500.000 ha tahun 2005. Disisi lain Udang juga kini menjadi komuditi lain yang harganya juga meningkat. Akibatnya di Kalimantan Selatan ratusan ha hutan bakau ditebang untuk dijadikan tambak udang. 8. Dampak dari Sektor lain (Pertambangan, Pembangunan Jalan dan Inftrastruktur) Pertambangan Dalam tulisannya Suderlin (1999) menyebutkan bahwa perkembangan dan pembukaan lahan baru pertambangan juga memberikan dampak besar bagi kondisi hutan Indonesia, karena hampir sebagian besar lokasi dan potensi pertambangan berada pada areal hutan, bahkan pada kawasan hutan yang dilindungi, seperti pertambangan batubara di taman Nasional Kutai dan Taman rekreasi Bukit Soeharto di Kalimantan Timur dan Taman Nasional Lorenz di Irian Jaya. 150 Hasil penelitian yang dilakukan oleh Sunderlin (1999) menunjukan bahwa pertambangan menjadi daya tarik setelah agribisnis pada masa pasca krisis, karena pendapatan diperoleh dalam dolar sementara biaya dikeluarkan dalam rupiah. Cadangan sumberdaya mineral di kawasan hutan cukup besar mencakup 204 juta ton batu bara atau 6,7% dari cadangan nasional; 370 juta ton besi atau 51% dari cadangan nasional, 375 juta ton nikel atau 71% dari cadangan negara. Pada bulan Februari 1998 sudah diberikan 50 Kontrak Karya (KK) untuk pertambangan emas, nikel, permata dan batu bara. Yang dikhawatirkan adalah bahwa beberapa KK ini diberikan di kawasan lindungan. Pembukaan lahan bagi perluasan jalan dan Infrastruktir lain Pembangunan dan pelebaran jalan merupakan salah satu penyebab tidak lansung perubahan fungsi hutan. Pembangunan fasilitas jalan (dan jembatan) juga memungkinkan pembangan hutan. Sunderlin (1998) menyebutkan bahwa ada pembangunan jalan-jalan utama yang membuka lahan hutan telah memberikan dampak negatif bagi lingkungan karena perlakukan penebangan yang tidak hati- hati. Kasus yang berhubungan dengan ini seperti perencanaan pembangunan jalan yang menghubungkan antar areal urban di Kalimantan. terbengkalainya proyek pembukaan jalan sejauh 190 km yang menghubungkan Palangka Raya dengan Buntong yang sudah dimulai sejak1988, ditunda hingga tahun 2005 karena kekurangan dana. III. KONSERVASI SUMBER DAYA KELAUTAN DAN MARITIM. Sumber daya kelautan, merupakan salah satu asset pembangunan Indonesia yang penting, karena kontribusi produk domestik bruto pemanfaatan sumber daya kelautan tersebut telah mncapai 22% pada tahun 1990 (Dahuri et al., 1996). Sementara sumber daya darat seperti hutan dan lahan semakin terbatas akibat alih fungsi, eksploitasi yang berlebihan, dan kebakaran hutan. Disamping itu, pertambahan populasi penduduk yang hidup di kawasan pesisir meningkat pesat mendorong tekanan terhadap sumber daya kelautan semakin besar. Diperkirakan 60% dari populasi Indonesia bermukim di pesisir, dan 80% dari pembangunan Industri mengambil tempat di pesisir (Hinrichson 1997). Banyak pembangunan sektoral, regional, swasta dan masyarakat mengambil tempat di kawasan pesisir, seperti budi daya perikanan, resort wisata, industri, pertambangan lepas pantai, 151 pelabuhan laut, dan reklamasi pantai untuk perluasan kota. Sehingga salah satu pilihan, untuk pembangunan jangka panjang adalah memanfaatkan potensi sumber daya kelautan, yang terdapat di wilayah. Dengan konsentrasi penduduk yang sebagian besar (60%) berada di wilayah pesisir, secara nyata telah menimbulkan tekanan pada lingkungannya. a. Penyebab terjadinya kerusakan lingkungan pesisir dan laut. 1. Mangrove Menyusutnya hutan mangrove akibat kebijakan pemerintah, seperti program pengembangan tambak ekstensifikasi, kebijakan perluasan kawasan industri, pembukaan lahan untuk pembukaan persawahan pasang surut, pemukiman dan lainnya. Beberapa ahli menyebutkan akar masalahnya antara lain belum adanya satu persepsi pengelolaan mangrove dan kurang koordinasi dalam tata ruang daerah. Seperti yang dikutip dari kompas edisi Selasa 23 september 2003, menyebutkan bahwa pembabatan hutan mangrove secara besar-besaran di Kalimantan Timur ini mencapai puncaknya ketika terjadi krisis ekonomi pertengan tahun 1997. Krisis ekonomi yang disertai tepuruknya nilai tukar rupiah dari sekitar Rp. 2.300 menjadi sekitar Rp. 16.000 per dolar AS, telah menyebabkan harga udang windu yang sebagian besar di ekspor menagalami kenaikan harga yang semula hanya Rp. 30.00, menjadi Rp. 18.00 per kilogramnya. Hingga sekarang harga itu pun masih tetap bertahan berkisar Rp. 120.000 per kilogram. Kenaikan harga udang tersebut telah memicu masyarakat untuk beramai-ramai membuka tambak udang. Hutan mangrove pun kemudian menjadi korban. Ribuan hutan mangrove dengan seketika telah berubah menjadi tambak udang. Di Kota Bontang misalnya dari sekitar 13.000 hektar hutan mangrove yang ada, separohnya sudah berada dalam kondisi kritis. Begitu juga di Delta Mahakam, yang merupakan muara dari sunggai mahakam yang luas 1.500 km2 sekarang telah menjadi tambak udang. Akibatnya sekarang telah tejadi pendangkalan di sunggai tersebut sehingga kapal-kapal berukuran besar saat ini sudah sulit masuk ke sunggai Mahakam yang merupakan sungai utama untuk menjangkau daerah pendalaman Kaltim. 152 Pengubahfungsian hutan mangrove ini tidak hanya untuk tambak udang tapi juga untuk kawasan pemukiman. Berikut beberapa masalah pelestarian hutan mangrove: Kurangnya peran aktif pemerintah daerah dalam upaya rehabilitasi akibat kerusakan mangrove, di antaranya melalui peningkatan pemahaman serta komitmen di tingkat eksekutif maupun tidak adanya kepastian hukum, terutama dalam penetapan (zonasi) area mangrove. Perambahan hutan mangrove secara sistematis dan sporadis, berbentuk perubahan status kawasan khususnya untuk perluasan tambak, perubahan status menjadi kawasan permukiman, industri, untuk diambil kayunya dan keperluan lain. Teknik pemanfaatan sesuai penetapan kebijakan pengelolaan mangrove, sehingga pemanfaatannya pun dapat terus berlanjut, kurang dijalankan; Mekanisme rehabilitasi dan pendanaan oleh pemerintah, swasta maupun masyarakat (para pemangku kepentingan) untuk berbagai program rehabilitasi hutan mangrove, belum memadai. 2. Terumbu karang Total luas terumbu karang Indonesia 85.707 km2, dengan jenis keanekaragaman hayati terumbu karang meliputi: >450 jenis karang batu; 2.500 jenis moluska; 1.512 jenis krustasea; 850 jenis spons; 745 jenis ekinodermata; 2.334 jenis ikan; 30 jenis mamalia laut; 38 jenis reptilia laut (Sumber: COREMAP). Kondisi terumbu karang sudah Indonesia semakin mencemaskan. Sekitar 14 persen dalam kondisi kritis, 46 persen telah mengalami kerusakan, 33 persen dalam kondisi masih cukup bagus dan hanya 7 persen kondisinya masih sangat bagus. Lima ancaman utama yang disebabkan oleh perbuatan manusia yang merusak terumbu karang: 1. Penangkapan ikan dengan menggunakan bahan racun sianida yang disemprotkan ke arah kepala terumbu karang agar ikan mabuk. Ikan yang diambil masih hidup, baik sebagai ikan hias atau untuk makanan. Proses kegiatan tersebut pasti akan merusak karang secara menyeluruh; 2. Penangkapan ikan menggunakan bahan peledak. Bom diledakkan di wilayah karang dangkal. Letakan selain membunuh ikan yang dikehendaki, juga dapat membunuh larva, benur dan karang; 153 3. Pengambilan batu karang untuk bahan bangunan dan produksi kapur; 4. Sedimentasi dan pencemaran, sebagai akibat penggundulan hutan di daerah hulu DAS, dan air limbah pertanian, pemukiman dan industri. 5. Penangkapan ikan dalam jumlah berlebihan (over fishing), meskipun tidak merusak terumbu karang secara langsung, tetapi dapat mengurangi jumlah dan keragaman ikan dan biota invertebrata lainnya. Penangkapan ikan dengan racun Penangkapan ikan dengan bahan peledak Pengambilan batu karang b. Hal-hal yang sudah dilakukan. 1. Penanggulangan Kerusakan Mangrove KLH, melaksanakan Program Pantai dan Laut Lestari (P2LL), dengan tujuan utama mengendalikan pencemaran dan perusakan ekosistem pesisir dan laut, berdasar Peraturan Pemerintah No 19 tahun 1999. P2LL adalah program kerja pengendalian kerusakan dan pemulihan kerusakan terumbu karang dan mangrove. Prinsip dasar pelaksanaan P2LL, adalah SAFE yaitu simple (sederhana), accountability (terukur), focus (terfokus) dan enforcement (penegakan hukum) yang harus didukung melalui komitmen para kepala daerah dan DPRD setempat. Kegiatan yang telah diupayakan adalah peningkatan pemantapan koordinasi untuk pelaksanaan operasional pelestarian sumber daya alam pesisir dan laut, meliputi: Pengendalian kerusakan ekosistem pesisir dan laut (terumbu karang, mangrove, padang lamun)mengadapi abrasi pantai, kegiatan reklamasi, pengusahaan pasir laut melalui penetapan baku kerusakan; Pengendalian pencemaran ekosistem pesisir dan laut: dumping di laut, pembuangan limbah langsung ke laut oleh kegiatan industri, pelabuhan, anjungan minyak lepas pantai, National Contingency Plan for Oil Spill, baku mutu laut, resor wisata pantai/pulau; Pengendalian kerusakan dan pencemaran pesisir dan laut lintas batas negara: Marine Electronic Highway (MEH) di Selat Malaka dan Selat Singapore, 154 Regional Programme for Building Partnerships in Environmental Protection and Management for the East Asian Seas (PEMSEA), Coordinating Body on the Sea of East Asia (COBSEA) and the South China Sea, Indonesia-Norway for Barelang (Batam Rempang-Galang) & Bintan Island Development Management, Oil Spill Preparedness and Response & Oil Spill Response Action Plan in the East Asian Seas (OSPAR & OSRAP); Rehabilitasi dan budi daya mangrove di Pantai Siwa, Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan (Colaborative Environmental Project in Indonesia, CEPI- Canada). 2. Pengendalian Pencemaran Ekosistem Pesisir dan Laut Kegiatan yang dilakukan dalam pengendalian pencemaran ekosistem pesisir dan laut adalah : Penyelesaian Rancangan Keppres tentang Penanggulangan Darurat Tumpahan Minyak di Laut/National Contingency Plan untuk oil spill (NCP); Wisata bahari/resort wisata pantai atau pulau (eco-resort) IV. APAKAH INDONESIA SUDAH MELAKUKAN KONSERVASI SDA? APA YANG HARUS DILAKUKAN? Dari hal-hal yang telah disebutkan diatas, dan apabila kita hubungkan dengan definisi konservasi itu sendiri. Dapat disebutkan bahwa Indonesia sama sekali belum melakukan konservasi sumber daya alam yang benar. Walaupun ada beberapa program dan kebijakan yang diarahkan untuk hal tersebut, namun kebijakan yang malah menyimpang dari konsep konservasi tersebut lebih banyak lagi. Sehingga tidak ada keseimbangan dalam hal pengelolaan sumber daya alam, akibatnya kerusakan SDA menguap kepermukaan. Hal ini akan terus menjadi masalah besar yang akan dihadapi dalam upaya konservasi SDA di Indonesia. Hal ini disebkan karena kebijakan dan peraturan yang ada sekarang yang kurang kondusif mendukung kegiatan konservasi itu sendiri dan lemah dalam implementasinya, serta datangnya tantangan dari luar, yaitu godaan pasar akan permintaan beberapa komoditi sumber daya alam Indonesia, seperti permintaan kayu misalnya bukan hanya untuk kebutuhan 155 industri dalam negeri tetapi juga dari luar. Begitu juga halnya yang terjadi di kawasan laut Indonesia, banyaknya minat terhadap keanekaragaam kekayaan laut Indonesia, mengancam berbagai biota laut di Indonesia. Apa yang harus di lakukan pemerintah untuk menghadapi hal tersebut? 1. Segera mewujudkan konsep Good Governace dalam pengelolaan SDA di Indonesia. Karena akar dari berbagai permasalah pengelolaan dan pengrusakan SDA di Indonesia tidak lain adalah system ekonomi yang korupsi. Kekuasaan dan kedekatan yang dimiliki oleh beberapa kelompok orang dijadikan sebagai penghalal untuk mengrekruk kekayaan pribadi. Tidak adanya prinsip Good Governace ini pula lah yang membuat bahwa semua aturan yang dibuat dalam pengelolaan SDA di Indonesia hanya dibuat untuk keuntungan segelentir pihak penguasa. Sehingga hal utama yang perlu diperbaiki pada masa akan datang, adalah perlunya political will yang lebih tranparansi, jelas, dan komitmen yang kuat dari pemerintah bagi penegakan hukum. 2. Tingginya permintaan terhadap produk-produk alam di Indonesia, akan menjadi malasah pelik yang paling sulit akan diatasi. Walaupun aturan yang dibuat sudah sangat kuat, tapi dengan godaan pasar yang besar akan sangat sulit mengontrol tindakan-tindakan illegal. Seperti penebangan liar, penangkapan ikan dengan alat tanggap yang tidak mendorong keberlanjutan, pertambangan liar dan lain-lain Menggatur sisi suplai tidak lah cukup, tetapi mungkin sudah saatnya konsep DEMAND MANAGEMENT mulai diterapkan untuk mengatur para pengelola SDA di Indonesia, baik untuk industri dalam negeri dan juga terhadap permintaan dari luar negeri. Manajemen permintaan dalam negeri misalnya dengan memperketat aturan lingkungan bagi industri pengolahan bahan baku (kayu/ikan dll) dari alam terhadap syarat bahan baku yang bisa digunakan/diproses dll. Sedangkan untuk permintaan ekspor (KLH) dapat bertindak sebagai diplomasi lingkungan dengn berperan aktif mendorong para negara-negara pengekspor produk dari Indonesia untuk memberikan syarat lingkungan yang tinggi untuk setiap produk alam Indonesia ang masuk kenegara mereka, misalnya kayu yang hanya kan diterima adalah kayu yang sudah mendapat surat izin tebang dll. 156 a. Keterkaitan dengan Isu Lain. D i s e b a b k a n o l e h Politik Ekonomi - Otonomi Daerah Budaya MASALAH KONSERVASI SDA INDONESIA M e n y e b a b k a n - Kekuatan politik yang dimiliki digunakan sebagai jalan untuk dapat memiliki kekuasaan mengelola kekayaan alam korupsi - Salah dalam penentuan kebijakan bermuara karena kasus maslah yang diatas Bencana Alam (Banjir, longsor dll) - OTDA dijadikan sebagai alasan untuk mengekruk kekayaan SDA untuk meningkatkan PAD - Beberapa budaya kuno, seperti peladangan berpindah dll (tapi pengaruhnya sangat kecil) Politik Lingkungan - Rendahnya Perhatiaan pemerintah dan elit politik terhadap lingkungan, sehingga isu lingkungan tidak pernah menjadi agenda politik Masalah Sosial & Kemiskinan - Sulitnya lapangan pekerjaan mendorong orang untuk membuka lahan dan mencari penghasilan dari alam Teknologi - Penggunaan teknologi yang tidak menjamin keberlanjutan (seperti jaringan pukat harimau, bom dalam penangkatan ikan, Konflik (tata guna lahan, sosial) 157 SPEKTRUM KONFLIK-KONFLIK SUMBER DAYA ALAM DALAM RUANG LINGKUP PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP I. PENDAHULUAN Secara umum arti konflik adalah pertikaian terbuka antara dua atau lebih indifidu/ kelompok yang saling berseberangan. II. KONFLIK-KONFLIK HORIZONTAL a. Konflik Daerah Kawasan Hutan Konflik sumberdaya hutan yang sering terjadi adalah konflik antara masyarakat di dalam dan sekitar hutan dengan berbagai pihak dari luar yang menganggap memiliki otoritas dalam mengelola sumberdaya hutan. Pihak-pihak di luar masyarakat tersebut antara lain; pemerintah (pusat dan daerah), pengusaha hutan swasta dan BUMN, pengusaha kayu dan hasil hutan non kayu, pengelola kawasan konservasi, dan aparat keamanan. Konflik yang demikian dapat digolongkan sebagai konflik vertikal. Rusak dan berkurangnya kualitas sumberdaya hutan telah menyebabkan pula dampak sosial yang sangat berarti. Hal ini, juga ditunjukan oleh semakin meningkatnya bermacam konflik baik vertical maupun horizontal. Berbagai konflik ini, terjadi terutama dalam kaitan dengan pemanfaatan dan pemilikan lahan (tenurial) yang banyak terjadi di kawasan hutan yang telah dibebani HPH, HTI dan kawasan-kawasan yang dikonversi menjadi perkebunan besar dan areal trasmigrasi. Berbagai konflik itu timbul, karena kehadiran HPH dan sejenisnya dianggap telah meminggirkan dan bahkan meniadakan keberadaan dan pranata sosial masyarakat. Akibatnya, akses masyarakata dengan sumberdaya hutan berkurang bahkan tertutup. Lebih jauh lagi, kehadiran HPH dan sejenisnya tidak disertai secara memadai dengan upaya pengakuan dan perlindungan terhadap sistem-sistem pengelolaan sumberdaya hutan yang telah dikembangkan masyarakat berdasarkan pengetahuan tradisionalnya. Selain dipandang telah mengabaikan hak-hak masyarakat adat dan masyarakat lokal atas sumberdaya hutan, dan membatasi serta menutup akses atas sumberdaya hutan, kehadiran HPH bahkan diduga telah diwarnai pula oleh kasus-kasus yang 158 menunjukan adanya proses kriminalisasi aktifitas-aktifitas masyarakat yang memanfaatkan sumberdaya hutan. Dalam beberapa kasus, telah terjadi pula proses marjinalisasi dan viktimisasi hak-hak, kepentingan, dan akses masyarakat adat dan masyarakat lokal atas sumberdaya hutan sebagai sumber kehidupan, serta atas kekayaan sosial dan budaya masyarakat adat dan masyararakat lokal (social and cultural cost). Proses tersebut dibarengi dengan proses pemiskinan struktur yang berlangsusng secara sistematis dalam kehidupan politik, ekonomi, social dan budaya. Pada era reformasi konflik ini makin marak dan keras, beberapa camp HPH dibakar dan jalannya diblokir sehingga tidak bisa beroperasi. Di Kalimantan Timur sebagai salah satu propinsi yang kaya akan sumberdaya hutan konflik antara HPH/HTI dengan masyarakat adat terus berlanjut dan meluas. Konflik-konflik yang terjadi pada umumnya karena wilayah adat mereka telah diambil alih dan tanaman tumbuh mereka digusur bersamaan dengan penebangan kayu oleh HPH dan land clearing oleh HPHTI. Konflik sumberdaya hutan dapat meliputi : Konflik lahan yang berupa masalah tumpang tindih penggunaan lahan, sengketa lahan, penyerobotan lahan dan perladangan liar. Konflik sumberdaya hutan/alam yang ada di atas lahan seperti penjarahan dan pencurian kayu dan hasil hutan lainnya Konflik sosial/etnis, misalnya antara pendatang dan penduduk asli. Namun seringkali, konflik itu bersifat multi-dimensi atau campuran dari ketiga macam konflik di atas. Konflik sumberdaya hutan saat ini tidak lagi hanya bersifat latent (tertutup) tetapi kebanyakan sudah mencuat (emerging) bahkan bersifat terbuka (manifest). Pada kondisi ini konflik yang terjadi sudah mencapai eskalasi yang tinggi dan bersifat konfrontatif. Diantara kasus-kasus ini adalah: 1. Dayak di Matalibaq vs PT Limbang Praja dan PT Anangga Pundi Nusa (Barito Pacific Timber Group) sekitar tahun 2001. Kehidupan Dayak Bahau sejak 1992 terancam dengan kehadiran perusahaan pemegang hak pengelolaan hutan (HPH) dan dan perusahhan pemegang hak tanamani industri (HTI) ini. Tahun itu, PT Limbang Praja dan PT Anangga Pundi Nusa, menetapkan lokasi HTI Trans di kawasan tanah adat Matalibaq. Penetapan 159 itu, tanpa musyawarah dengan warga masyarakat. Lokasi HTI Trans untuk transmigran dari NTT meliputi tanah adat di kawasan sungai Bengeh seluas 8.400 hektar dan sungai Meritiq seluas 6.800 hektar. Sejak itu, masyarakat Matalibaq, kehilangan kedaulatan untuk penguasaan, pemilikan, pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya hutan di kawasan tanah adat. 2. Dayak Benuaq Vs Lonsum International, PT London Sumatera (Lonsum) International pada 1996 menyerobot tanah adat Dayak Benuaq di Kutai, Kalimantan Timur. PT Lonsum International melakukan operasi pembukaan lahan untuk perkebunan sawit di tanah adat itu. Mula-mula, pembukaan lahan milik adat itu diprotes masyarakat adat di Lamin Mancong, Kutai pada Mei 1996. Di desa Mancong dan sekitarnya akan dibuka seluas 18 ribu hektar lahan sawit dari tanah milik adat. Pemerintah daerah memaksa masyarakat setempat menerima kehadiran perusahaan dalam wilayah mereka. b. Konflik Daerah Perusahaan Pertambangan dan Rakyat Setempat. Indonesia adalah sumber tambang. Potensinya luar biasa. Penambangan emas di Papua oleh PT Freeport Indonesia misalnya, merupakan tambang emas terbesar kelima di dunia, kendati manfaatnya untuk kesejahteraan rakyat belum tampak benar. Juga, tambang batubara, baik tambang batubara terbuka, maupun tambang batubara bawah tanah, cukup berlimpah. Industri pertambangan di Indonesia memang kekurangan investor dan tenaga ahli untuk mencari dan mengembangkan sumber daya ini. Sejumlah perusahaan Australia saja sudah menghabiskan lebih dari A$100 juta untuk kegiatan eksplorasi di Indonesia sejak 1995. Perlawanan terhadap kegiatan penambangan skala besar di Indonesia terus menguat. Ini karena timbulnya kesadaran pengaruh pertambangan terhadap kehidupan dan lingkungan. Beberapa konflik di daerah-daerah pertambangan adalah: 1. Dayak Kelian vs Rio Tinto dan PT Kelian Equatorial Mining Sengketa antara masyarakat Dayak Kelian melawan PT Kelian Equatorial Mining terus berlangsung hingga kini. PT Kelian, yang 90 persen sahamnya dimiliki Rio Tinto, adalah pemegang kontrak karya penambangan emas 160 terbesar di Kalimantan Timur. Rio Tinto, merupakan perusahaan tambang raksasa yang berkantor pusat di London dan Melbourne, memiliki saham di Freeport McMoran, pemilik mayoritas saham PT Freeport Indonesia. 2. Masyarakat Kutai vs UNCOAL Penduduk kampung Marangkayu, Terusan dan Rapak Lama di Kabupaten Kutai, Propinsi Kalimantan Timur melakukan protes terhadap Uncoal, perusahaan tambang minyak dan gas bumi yang berkantor pusat di California, Amerika Serikat. Pada 8 Oktober 2000, di sekitar wilayah operasi Uncoal, masyarakat melakukan blokade jalan menuju perusahaan. Sekitar 60 polisi membubarkan aksi blokade itu. Aksi pembubaran itu menyebabkan 23 orang luka-luka. Tujuh orang terkena pelu dan 16 orang teridentifikasi mengalami luka-luka serius akibat pukulan benda keras. 3. Suku Dayak vs PT Indo Muro Kencana Masyarakat adat Dayak Siang, Dayak Murung dan Dayak Bekumpai harus berhadapan dengan kekerasan aparat keamanan untuk mendapatkan hak- hak mereka yang dirampas PT Indo Muro Kencana (Aurora Gold). Perusahaan tambang emas milik Australia yang mulai beroperasi sejak 1987 di wilayah ini dituduh telah melakukan pelanggaran HAM, pencemaran lingkungan hidup, perampasan tanah-tanah adat dan penggusuran tambang rakyat yang dilakukan perusahaan bersama aparat pemerintah, tidak pernah didengar. Malah, mereka kini mengalami pengulangan nasib buruk, sebagai korban dari perbuatan yang melanggar HAM. Peristiwa buruk itu terjadi, lantaran perusahaan terus menerus menolak bertanggung- jawab atas tuntutan rakyat, serta selalu melibatkan aparat keamanan dalam sengketa mereka dengan masyarakat. Tidak hanya itu, perusahaan ini, juga menjalankan praktik-praktik keji dalam penanggulangan konflik, melalui politik uang, rekrut warga lokal untuk jadi keamanan sampai dengan membentuk tim-tim masyarakat lokal yang mendapat imbalan untuk meredam perjuangan rakyat. Seluruh upaya itu pada akhirnya akan melahirkan konflik horisontal antar warga. 161 4. Dayak vs MINAMATA Setiap tahun paling sedikit 10 ton air raksa dibuang secara sembarang, ke sungai dan daratan oleh penambangan emas. Penambang itu beroperasi di alur 11 sungai besar di Kalimantan Tengah (Kalteng), dan mereka membuang limbah air raksa ke sungai-sungai itu. Pencemaran air raksa ini sudah mengancam kehidupan 1,8 juta jiwa penduduk Kalteng. Air dari kawasan Ampalit mengalir ke Daerah Alur Sungai (Mentaya dan Katingan. Sejak dulu air 11 sungai yang membelah propinsi seluas 153.560 km persegi itu masih merupakan sumber air utama penduduk untuk memenuhi kebutuhan sehari- hari 5. Konflik PT Newmont Nusa Tenggara dan Rakyat Setempat PT NNT telah melakukan penyerobotan atas hak tanahnya dengan menempatkan pipa-pipa saluran air tanpa melakukan kompromi masyarakat setempat selaku. Disebutklan bahwa dengan telah beroperasinya PT NNT, banyak sekali permasalahan yang muncul, baik masalah ekonomi, sosial maupun masalah lainnya. Dampak yang paling parah dirasakan oleh masyarakat adalah bagi mereka yang terkena dampak langsung seperti di Maluk, Tongo dan Sekongkang. Perubahan kehidupan yang begitu drastis telah mengejutkan warga yang saat itu belum sepenuhnya siap menerima kehadiran perusahaan raksasa dengan berbagai masalahnya. Apalagi saat itu pemerintah pun bahkan turut mendukung keberadaan perusahaan tersebut dengan cara menjual tanah subur untuk dikeruk yang pada kemudian hari akan berubah tanah tersebut menjadi tanah yang tidak produktif dan bahkan akan mewariskan beribu-ribu permasalahan. 6. Konflik PT Freeport dan Rakyat Papua Sengketa orang Papua atas operasi PT. FI dan pemerintah Indonesia merupakan sengketa berkepanjangan yang tak kunjung selesai. Perlakukan kami sebagai manusiaadalah topik gugatan utama orang Amungme-salah satu suku di pegunungan tengah Papua Barat-yang menderita oleh operasi tambang emas dan tembaga perusahaan asal Amerika itu. Pencaplokan tanah adat, pelanggaran HAM, penghancuran tanah adat, perusakan dan penghancuran ibu bumi, perusakan lingkungan hidup, penghancuran sendi-sendi ekonomi rakyat, dan pengingkaran eksistensi orang 162 Amungme, adalah fakta yang dirasakan penduduk pegunungan tengah Papua, dimana operasi tambang Freeport berlangsung. Tidak heran jika frekuensi protes (meski fluktuatif) terus dilakukan orang Papua untuk menentang ketidakadilan yang mereka rasakan. Bahkan patut diduga, salah satu kontributor menguatnya tuntutan merdeka orang Papua dari Republik Indonesia adalah akumulasi kemarahan mereka terhadap kehadiran Freeport serta sokongan yang diberikan pemerintah dan militer terhadap perusahaan itu. Bencana-bencana akibat kelalaian operasi PT FI terhadap lingkungan hidup dan masyarakat juga sudah banyak terjadi. Misal, jebolnya Danau Wanagon sampai tiga kali akibat pembuangan limbah batuan yang sangat besar kapasitasnya dan tidak sesuai dengan daya dukung lingkungan. Peristiwa ini terjadi pada tanggal 20 Juni 1998, 20-21 Maret 2000, dan 4 Mei 2000. Jebolnya danau ini juga berakibat buruk bagi masyarakat yang tinggal di desa-desa yang terletak di bawah danau serta lingkungan hidup. Selain itu, peristiwa meluapnya Sungai Ajkwa hingga Sungai Kopi dan Sungai Minajerwi akibat tidak mampunya lagi sungai Ajkwa menampung tailing yang begitu banyak. Peristiwa-peristiwa tersebut merupakan bukti kuat betapa PT FI sangat ceroboh dalam kegiatan penambangannya. 9. Konflik PT. Kaltim Prima Coal dan rakyat setempat Selama kurun waktu 1993-2002 di lokasi KPC terjadi rentetan kasus penggusuran yang disertai tindak kekerasan. Demikian juga gejolak muncul dari karyawan KPC sendiri yang merasa tidak mendapatkan hak-hak yang seharusnya diperolehnya. Pada bulan Oktober 1993 perampasan lahan milik penduduk terjadi di desa Sekerat-Sekurau dengan alasan untuk jalur hijau. Lahan-lahan garapan milik masyarakat digusur dan dilarang ditanami kembali. Dalam peristiwa ini, KPC mengerahkan bantuan militer dan aparat kepolisian untuk mengamankan proses pengambilalihan lahan. Tanggal 2 Mei 1998, sekitar 50 warga sekitar tambang mendatangi KPC untuk menuntut ganti rugi lahan. KPC kemudian mengerahkan aparat Kodim 0809 Bontang dan Brimob dari Balikpapan untuk meredakan massa. 163 10. PT. Barisan Tropical Mining Sumsel dengan masyarakat Desa Muara Tiku Awalnya, wilayah yang dijadikan lokasi penambangan PT. BTM adalah kebun karet rakyat, kebun buah-buahan, hutan cadangan rakyat ( yang sering disebut hutan negara), serta hutan peramuan dengan kepemilikan tanah secara individu maupun komunal. Masuknya BTM, telah berhasil mengubah pola produksi rakyat itu, karena lahan-lahan pertanian mereka telah direbut dan sungai mereka telah dicemari serta munculnya sejumlah papan pengumuman yang isinya melarang berbagai aktifitas rakyat. Ada 8 desa yang terkena dampak langsung dan 5 desa yang terkena dampak tidak langsung kegiatan pertambangan PT. BTM. Kedelapan desa tersebut adalah : Desa Sungai Jambu, Desa Muara Tiku, Desa Embacang Baru, Desa Embacang Lama, Desa Karang Jaya, Desa Suka Menang, Desa Rantau Telang, dan Desa Tanjung Agung. c. Konflik di Daerah Pesisir Pantai. Dalam pengelolaan sumber daya kelautan (SDK), sering muncul konflik antara berbagai pihak yang berkepentingan, khususnya di wilayah pesisir yang pembangunannya pesat. Wilayah pesisir, dimana sumber daya darat dan laut bertemu, memiliki sumber daya yang sangat kaya, sehingga banyak pihak yang mempunyai kepentingan untuk memanfaatkannya. Secara umum pihak yang berkepentingan ini dapat dikategorikan dalam sektor perikanan, pariwisata, pertambangan lepas pantai, perhubungan laut, industri maritim, konservasi dan pertahanan/keamanan2. Selain itu sektor pekerjaan umum dan energi juga mempunyai kepentingan yang relatif besar, terutama dalam perlindungan pantai dari abrasi, dan lokasi pembangkit listrik tenaga uap. Setiap pihak yang berkepentingan mempunyai maksud, tujuan, target dan rencana untuk mengeksploitasi sumber daya tersebut. Perbedaan maksud, tujuan, sasaran dan rencana tersebut mendorong terjadinya konflik pemanfaatan sumber daya kelautan. Sektor perikanan mempunyai tujuan untuk meningkatkan produksi ikan tangkap. Sektor pariwisata bertujuan untuk meningkatkan jumlah wisatawan yang melakukan snorkelling dan scuba diving. Pengembang kawasan reklamasi bertujuan membangun kota pantai yang bisa langsung melihat ke pulau, sunset dan pantai berpasir, sementara, Balai Konservasi Sumber Daya Alam ingin mengkonservasi keanekaragaman hayati lautnya. Untuk mencapai maksud, tujuan dan sasaran 164 tersebut, masing-masing pihak menyusun perencanaan sendiri-sendiri, dengan tugas pokok dan fungsinya yang berbeda-beda. Perencanaan dari masing-masing sektor sering tumpang tindih dan berkompetisi pada ruang laut yang sama. Tumpang tindih perencanaan dan kompetisi pemanfaatan sumber daya ini memicu munculnya konflik pemanfaatan di wilayah pesisir. Konflik dapat juga muncul karena adanya kesenjangan antara tujuan, sasaran, perencanaan, dan fungsi antara berbagai pihak terkait. Banyak pihak yang mengambil keputusan menyadari bahwa telah terjadi penangkapan ikan secara illegal, berkembangnya perusakan ekosistem mangrove, terumbu karang dan padang lamun, namun tidak ada atau tidak banyak kegiatan pembangunan yang mengatasi persoalan tersebut. Akar permasalahan konflik ini sering berasosiasi dengan faktor sosial-ekonomi-budaya dan bio-fisik yang mempengaruhi kondisi lingkungan pesisir. Konflik tersebut, baik langsung maupun tidak langsung dapat menyebabkan pihak-pihak yang bertikai, terutama mengurangi minat penduduk dan Pemerintah Daerah setempat untuk melestarikannya, dan membiarkan kerusakan sumber daya kelautan berlangsung hingga mencapai tingkat yang mengkhawatirkan, karena tidak ada insentif bagi mereka untuk melestarikannya. Fenomena konflik tersebut sebenarnya sudah lama ada, tetapi makin lama makin banyak jumlahnya dan makin besar skala konfliknya. Konflik pemanfaatan SDK dan jasa lingkungan muncul di Teluk Jakarta, di Banyuwangi dan di Kepulauan Natuna. Konflik antara pengelola pariwisata dan pengelola kawasan konservasi laut. Konflik antara nelayan tradisional dengan nelayan komersial, sehingga terjadi pembakaran kapal nelayan di Sumatera Utara. d. Konflik Sengketa Tanah. Gerakan reformasi yang dimulai tahun 1998 tampaknya menjadi roh baru dalam membangun kesadaran rakyat akan hak atas tanah. Arti penting tanah bagi kelangsungan hidup mulai dirasakan sebagai hak mutlak seiring dengan krisis ekonomi yang menginpit kehidupan sebagian besar. Namun, sayangnya, gelombang reformasi belum mampu memberikan perlindungan secara tegas terhadap hak- hak rakyat. Sehingga konflik tanah sepertinya tak pernah berakhir. Ironisnya, banyak kalangan melihat konflik tanah semata masalah hukum dan mengabaikan jalinan kepentingan ekonomi politik yang berada di baliknya 165 Ketidak puasan yang dialami sejak orde baru ini secara kumulatif mendorong petani melakukan gerakan reclaiming. BPN, misalnya mencatat pada 1999-Juli 2003 terdapat 1.080 kasus sengketa tanah. Jika diklasifikasikan, paling tidak terdapat tujuh kelompok sebagaimana dipaparkan berikut: 1. Sengketa Perkebunan Bentuk sengketa di atas tanah perkebunan paling sering terangkat kepermukaan. Bisa demikian karena lahan yang disengketakan rata-rata ratusang hektar dan melibatkan masyarakat dengan institusi, baik swatas maupun pemerintah. Sepanjang era reformasiini terdapat 164 kasus. Propinsi Sumatera Utara menjadi daerah yang paling banyak memilki kasus tanah perkebunan, 29 persen. Penyerobotan dan pendudukan lahan perkebunan yang sudah dilekati dengan hak guna (HGU) menjadi model penuntutan kembali hak atas tanga. Ganti rugi yang terlalu rendah dan pola intimidasi biasanya menjadi alasan kuat masyarakat untuk menguasai kembali tanah garapannya. Selain ganti rugi, sengketa tanah ini disebabkan oleh tanah perkebunan itu berasal dari lahan garapan yang telah diusahakan turun menurun. Dengan alasan itu, masyarakat mengklaim tanah perkebunan itu sebagai tanah ulayat atau adat yang menjadi hak masyarakat adat untuk dijadikan garapan. Beberapa contoh kasus sengketa di tanah perkebunan diantaranya adalah kasus di Sumatera Utara, rentang waktu 1970-1990, tanah rakyat yang dikonversi menjadi perkebunan dan lahan baru mencapai 500.000 ribu hektare. Dari jumlah tersebut masyarakat yang menjadi korban penggusuran berjumlah 250.000 kepala keluarga. Pasca Mei 1998, tercatat 554 kasus tanah di Sumut yang terkonsentrasi di semua tingkatan. Dari jumlah tersebut, 97 persen di antaranya persoalan tanah antara rakyat dengan pihak perkebunan. Di Jawa Barat, sekitar 150 ribu ha tanah statusnya masih bermasalah. Data di LBH Bandung menyebutkan, sejak tahun 1984-2003, tercatat sekitar 40 kasus pertanahan. Dari jumlah ini, 17 kasus dipicu oleh Hak Guna Usaha (HGU). Hal sama terjadi di Jawa Tengah. Mayoritas kasus tanah yang selalu meruncing pada konflik kekerasan itu dipicu oleh terbitnya HGU atas tanah garap petani tersebut. 166 2. Sengketa Kawasan Hutan Berkaitan dengan kasus ini, bisanya masyarakat menuntut hak atas tanah yang dalam kenyataanya masih tercatat dalam kawasan hutan, baik yang secara fisik masih atau sudah tidak berfungsi lagi sebagai hutan. Dalam kasus seperti ini, BPN mengambil sikap tidak memproses, kecuali ada pelepasan kawasan hutan dari mentri kehutanan. BPN mencatat 9 sengketa tanah di atas tanah kawasan hutan dan tak satu pun selesai di proses 3. Sengketa Kawasan Perumahan Dalam kasus ini, biasanya terjadi pendudukan tanah yang telah dibebaskan oleh pengembang untuk perumahan atau perkantoran. Kasus ini muncul lantaran proses pengalihan hak dilakukan melalui perantara. Masyarakat memberikan kuasanya kepada panitia atau wakilnya untuk bertransaksi dengan pengembang. Kasus yang muncul merupakan klain masyrakat akibat ganti rugi yang diterima terlalu rendah atau bahkan belum diterima. Untuk kasus seperti ini, BPN tidak mengambil sikap karena yang terjadi adalah masalah perdata antara masyarakat dan wakilnya atau panitia penjualan yang harus diselesaikan di pengadilan. 4. Sengketa Objek Landreform Sengketa tanah di atas tanah obyek landreform, bekas partikelir, dan bekas hak barat. Dalam kasus diatas tanah obyek landreform terdiri sengketa antara penggarap bukan penerima redistribusi atau badan hukum. Dalam sengketa tanah bekas partikelir, mereka yang bersengketa adalah ahli waris bekas pemilik tanah pertikelir dan pengembanga atau masyarakat dengan tuntutan pembatalan hak guna bangunan (HGB). Sementara untuk kasus tanah bekas hak barat, sengketa yang teradi antara masyarat dan masyarakat dengan tuntutan pembatalan hak asal konversi hak barat. BPN mencatat 118 kasus atau 9 persen kasus masuk dalam kategori ini. 5. Sengketa Hak dan Batas Kasus tanah yang terjadi akibat tumpang tindih hak atau sengketa batas. Kasus ini banyak terjadi karena maish banyak tanah yang belum bersertifikat. 167 BPN menyebut angka sekitar 40 persen tanah belum bersertifikat. BPN membedakan tumpang tindih status tanah dan sertifikat. Tumpang tidih status tanah dapat terjadi karana tanah belum terdaftar atau belum bersertifikat. Tidak kurang dari 287 kasus tumpang tindih status tanah yang ditangani oleh BPN. Kasus tumpang tindih sertifikat terjadi pada tanah yang sudah memilki sertifikat, artinya sertifikat tanah tersebut dobel. BPN mencatat 10 kasus seperti itu dan 9 di antaranya sudah selesai diproses. Tumpang tindih sertifikat tanah menjadi sengketa terbesar, yaitu 27 persen. Kasus ini banyak terjadi di Pulau Jawa dengan 197 kasus. DKI Jakarta, 25 persen dan Jawa barat merupakan wilayah dengan kasus terbayak. 6. Sengketa Keputusan Pengadilan Sengketa demikian terjadi berkaitan dengan pelaksanaan putusan pengadilan. Pihak yang kalah dalam sengketa tidak menerima keputusan dan meminta BPN memberikan keputusan sesuai dengan yang dikehendaki. Dalam hal ini BPN akan tetap melaksanakan putusan pengadilan. Kasus seperti ini berada pada peringkat kedua setelah tumpang tindih status tanah. Kasus sengketa tanah akibat dilakukannya putusan pengadilan yang masuk ke BPN berjumlah 256 kasus, dengan 80 persen kasusnya tersebar di Pulau Jawa. Dalam beberapa kasus juga terdapat putusan pengadilan yang tidak dapat dilaksanakan. Tanah yang disengketakan telah berubah status maupun kepemilikan. Dengan kata lain, obyek tereksekusi tidak ada lagi. Sebab lain adalah putusan pengadilan perdata dengan pengadilan Tata Usaha Negara. e. Konflik Antar Daerah. Dampak lain Otonomi daerah adalah mendorong tumbuh suburnya egoisme daerah. Sebab, dengan orientasi PAD, pemerintah kabupaten/kota cenderung mengelola daerahnya berdasarkan prinsip administrasi. Sebagai contoh konflik tentang pemanfaatan sumber air antara kabupaten dan kota di beberapa daerah di Jawa Tengah, seperti Kota Semarang dengan Kendal, Surakarta dengan Boyolali. Begitu pula konflik pengelolaan Segara Anakan antara Kabupaten Ciamis (Jabar) dan Kabupaten Cilacap (Jateng). 168 Begitu juga dengan konflik yang terjadi di Blora dan Bojonegoro, Jatim. Selama ini di Cepu, Kabupaten Blora, ada perusahaan minyak internasional Exxon Mobil. Bertahun-tahun kantor Exxon Mobil berada di Cepu, meski wilayah kerjanya di dua kabupaten itu. Namun tiba-tiba kemudian ditemukan cadangan minyak terbesar di Bojonegoro. Pemerintah dan DPRD Bojonegoro menuntut kantor Exxon pindah ke Bojonegoro. Masih banyak lagi konflik antar pemda daerah yang pada umumnya menyangkut batas administratif wilayah. III. KONFILIK VERTIKAL. a. Konflik Kewenangan Pusat dan Daerah dalam Pengelolaan Lingkungan. Dalam kaitan dengan pemberlakuan penerapan otonomi daerah Januari 2001, kekhawatiran makin memburuk-nya kondisi lingkungan hidup di daerah ini sulit dihapuskan. Pelaksanaan otonomi daerah, khususnya yang berkaitan dengan pengelolaan lingkungan hidup dihadapkan pada tarik-menarik kepentingan dalam pengelolaan sumber daya alam. Kecenderungan perebutan porsi pemanfaatan kekayaan alam di daerah terjadi baik antara pemerintah pusat dengan daerah maupun antardaerah sendiri Dampak dari keadaan ini sudah barang tentu mengancam kelestarian lingkungan hidup untuk menunjang pembangunan berkelanjutan dan sejalan dengan itu juga akan mengancam kelangsungan mata pencaharian dan hidup masyarakat setempat. Selain itu, secara kelembagaan, pengelolaan lingkungan hidup di daerah juga dianggap oleh pemerintah pusat masih sangat lemah. Keadaan ini makin bertambah lagi karena banyak kepala daerah dan elite daerah yang tidak peduli dengan masalah lingkungan hidup. Mereka bahkan ada yang sudah mengeluarkan kebijakan politis, yang justru mengorbankan lingkungan hidup. Hal tersebut juga diperjelas olah Prof Dr Sudharto P Hadi MES, Ketua Program Studi Magister Ilmu Lingkungan (PS MIL) Universitas Diponegoro Semarang dalam Hari Bumi 22 April 2001. Banyak kebijakan yang dikeluarkan daerah dalam menerapkan otonomi daerah, selama empat bulan terakhir telah banyak mengabaikan aspek lingkungan. Bahkan, ada daerah nekat menerbitkan peraturan 169 daerah (perda) yang mendukung eksploitasi sumber daya alam (SDA) di kawasan hutan, demi meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD). Ini terjadi, karena kewenangan pemerintah kabupaten/kota yang demikian luas di era otonomi, sehingga mendorong daerah meluncurkan berbagai kebijakan yang lebih banyak ditujukan pada pendapatan daerah, dan cenderung mengabaikan lingkungan. Sebagai contoh kasus di salah satu kabupaten di Jawa Timur mengizinkan perluasan penambangan kapur sebagai bahan baku semen. Padahal daerah penambangan itu merupakan kawasan karst yang harus dilindungi. Otonomi daerah ternyata dipandang sebagai peluang bagi negara lain mengirimkan limbah ke kabupaten/ kota yang bersedia menjadi daerah pasokan dengan iming-iming kompensasi yang bisa memperbesar kantung PAD. Bahkan berbagai tawaran limbah datang dari Singapura, Jepang, dan Jerman Tarik-menarik kepentingan membuat masalah lingkungan tidak akan mudah dipecahkan. Tanpa ada pemecahan yang kongrit dan kesadaran banyak pihak terhadap pentingnya pengelolaan dan memperhatikan masalah-masalah lingkungan. b. Konflik Masyarakat Daerah TPA dan PEMDA. LEBIH dari 1,5 tahun lalu, tepatnya antara tanggal 11-15 Desember 2001, Pemerintah Kota Bekasi pernah menolak segala macam sampah buangan asal Jakarta. Ribuan ton sampah yang setiap hari menumpuk itu, tidak dibolehkan nyampah di tempat buangan akhir (TPA) Bantar Gebang. Anggota DPRD Kota Bekasi sudah menolak, rencana perpanjangan kontrak baru per Desember 2003. Protes yang dilayangkan oleh DPRD Bekasi tersebut tidak lain adalah juga wujud keberatan rakyak Bantar Gebang Bekasi karena lebih 15 tahun sudah daerah meraka sebagai tempat buangan limbah orang Jakarta tersebut. Konflik itu terus berlangsung lama bahkan terjadi pembakaran terhadap mobil truk truk sampah milik Dinas Kebersihan DKI oleh massa di Sumur Batu, Bantargebang, Bekasi. Kejadian pertama tanggal 15 November, dan yang kedua kalinya tanggal 1 Desember 2001 malam. Karena kasus-kasus tersebut maka kemudian Pemprov DKI menpersiapkan tiga tempat pengelolaan sampah di tiga lokasi yakni di Duri Kosambi (Jakarta Barat), Bojong Jonggol (Jawa Barat), dan Cakung (Jakarta Utara). Kendati begitu, 170 kapasitas tiga tempat itu tak dapat menampung seluruh sampah DKI. Setiap hari DKI menghasilkan 6000 ton sampah. Sementara tiga tempat pengelolaan itu hanya bisa menampung maksimal 4000 ton. Rencana Pemprov DKI tersebut juga mendapat penolakan dari masyarakat Bojong, sekitar 400 warga Bogor mendatangi Gedung DPRD dan Balaikota DKI Jakarta, Rabu (30/7) siang. Mereka berunjuk rasa hingga nekat membuang sampah ke pelataran kedua gedung itu. Masalah sampah di DKI tidak akan pernah kelar, apa bila tidak ada upaya pengolahan sampah yang lebih baik lagi. Pengunaan TPS Jonggol sekarang ini mungkin saja akan mengalami masalah yang sama setelah beberapa tahun ke depan. IV. FENOMENA YANG MUNCUL DARI KONFLIK. Munculnya berbagai konflik di Indonesia lebih cenderung karena masalah kepentingan setiap pihak merasa dirinya memeiliki kepentingan terhadap suatu hal. Baik konflik horizontal maupun vertical semuanya muncul kebanyakan setelah ada perubahan dan juga pengerusakan terhadap lingkungan yang dirasakan oleh pihak-pihak yang dirugikan. Artinya bahwa selama ini masalah hukum dan undang- undang kepemilikan di Indonesia sangat lemah sekali, baik itu lemah dari sisi persyaratan lingkungannya maupun keadilan akan pembagian hak berbagai pihak terkait. hukum rimba sepertinya masih tetap berlaku, siap yang kuat dia lah yang menang. a. Apa yang harus dilakukan. Selama ini, kita jarang melihat bahwa konflik yang terjadi disebabkan karena hal-hal yang telah dilakukan pada masa lalu, artinya segala bentuk peraturan dan perundnagan kita selama ini yang ada mungkin belum efektif berjalan dengan baik atau malah memang peraturan tersebut telah salah digunakan. Seperti yang telah disebutkan diatas maka konflik yang paling banyak terjadi adalah konflik masyarakat suatu daerah dengan masyarakat pendatang (perusahaan besar yang beroperasi di daerah tersebut) dan pada umumnya baru dirasakan telah terjadi masalah atau telah menjadi konflik setelah ada masalah lingkungan dan juga hak-hak adat yang direngut. Artinya, bahwa pemerintah harus: 171 1. Mengembangkan peraturan-peraturan yang bertujuan untuk mencegah konflik (bertindak di hulu masalah), artinya peraturan-peraturan yang sudah ada terutama tentang tata ruang, masalah penegakan hukum pelaksanaan aturan lingkungan bagi perusahaan-perusahaan besar harus dikaji ulang dan dilakukan perbaikan. 2. Membentuk suatu kajian untuk pengelolaan konflik (bertindak di muara masalah). Sebenarnya usaha kedua tidak akan berat lagi untuk dipecahkan apa bila usaha satu telah terlaksana dengan baik. Tetapi untuk menegakkan aturan ini, kembali lagi bahwa konsep Good Governace harus segera ditegakan. Walaupun peratuan yang dibuat telah kuat, namun apa bila tidak ada good will dari pemerintah sendiri untuk mewujudkannya tidak ada maka akan sulit untuk dilaksanakan. Artinya selama ini, kebijakan yang sudah ada bukan hanya lemah karena tingginya KKN di Indonesia, tapi juga adanya kesenjangan antara kebijakan dengan implementasi. Gap itu terjadi karena tidak adanya monitoring dari pelaksanaan kebijakan dan rendahnya kemampuan untuk mengevaluasi apakah kebijakan tersebut sudah efektif atau belum ketika dilaksanakan. Gambar 1. Gap antara kebijakan dan Implementasi Sedangkan untuk memecahkan masalah untuk ketika konflik tersebut terjadi, dapat dengan mempertimbangkan hal yang kembangkan oleh Environment Protection Agency (USA) mengembangkan konsep alternative dispute resolution (ADR), khususnya untuk masalah konflik lingkung di masyarakat. Hal-hal yang dikembangkan dalam ADR ini adalah: Convening (or Conflict Assessment), Facilitation, Mediation, Consensus Building, dan An Ombudsman. Kebijakan Implementasi Monitoring Evaluasi Kebijakan Implementasi Monitoring Evaluasi 172 173 DAFTAR PUSTAKA/BAHAN BACAAN Literatur: Aditjondro, George J., 2003, Pola-pola Gerakan Lingkungan di Indonesia, Pustaka Pelajar, Booth, A. 1998. Agricultural Development in Indonesia. Allen & Unwin Ltd. Coleman, Daniel A. 1994, Ecopolitics; Building a Green Society, Rutgers University Press, Dahuri, R., J. Rais, S.P Ginting dan M.J Sitepu, 2001., Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Lautan Secara Terpadu, Prandya Paramita, Jakarta De Rivero, Oswaldo, 2001, The Myth of Development, Zed Books Dixon, John A., Margulis, Sergio, Integrating the Environment into Development Policymaking, 1994 Djajadiningrat, Surna T., 2001, Untuk generasi Masa Depan : Pemikiran, tantangan dan permasalahan lingkungan, Penerbit Aksara Budaya,. Dryzek, John S., 1997, The Politics of the Earth; enviromental Disscourse, Oxford University Press Eckersley, Robyn, 1992, Environmentalism and Political Theory, State Univesity of New York Press Khor, Martin, 2001, Rethinking Globalization : Critical Issues and Policy Choices, Zed Books Lechner, Frank J. and Boli, John, 2000, The Globalization Reader, Blackwell Publisher Redcliff, Michale, 1984, Development and the Environmental Crisis: Red or Green Alternative, Methmen & Co. Ltd Senghaas, Hans D., 1977, Orde Ekonomi Dunia dan Politik Pembangunan, Suatu Pledoi untuk Politik Disosiasi, Frankfurt Press. 174 Shiva, Vandana, _____, Water Wars, Insist Press Sutrisno, B. Alamsyah, Amri, N. Ali, Optimalisasi Pengelolaan Sumber daya Mineral Dalam Paradigma Otonomi Daerah, 2001, Universitas Pembangunan Nasional Veteran Yogyakarta. Todaro, Michael P., 1983, Economic Development in The Third World: Part III-IV, Penerbit Ghalia Indonesia. Wackernagel, M., Rees, W., ______, Our Ecological Footprint, The New Catalyst Laporan-laporan: Adisasmito, W., Handoko, Chrisandini, A. Sugandhy & Gunardi (editors). 1998. Mitigation Assessment of Climate Change in Indonesia. Indonesia Country Study on Climate Change: Country Study Program. State Ministry of Environment Republic Indonesia, Jakarta. Forest Watch Indonesia, 2001, Potret Keadaan Hutan Indonesia, Bogor, Indonesia: Forest Watch Indonesia dan Washington DC : Global Forest Watch International Institute for Sustainable Development (IISD), 1999, Indicators for Sustainable Development: Theory, Method, Applications, Kementerian Lingkungan Hidup, 2002, Laporan Status Lingkungan Hidup Indonesia. Jakarta LPEM-FEUI, 2003, Rencana Pertumbungan Ekonomi Periode 2004 2006, laporan penelitian, Universitas Indonesia Jakarta. Suntana, A.S, at.al. 2000. Agenda 21 Sektoral: Agenda Kehutanan untuk Pengembangan Kualitas Hidup secara Berkelanjutan. Proyek Agenda 21 Sektoral, kerjasama Kantor Kementrian Lingkungan Hidup dengan UNDP, Jakarta. UNDP, Capacity Assessment and Development, January 1998 World Bank, 1994, Making Development Sustainable, Washington DC _________, 2001. INDONESIA: Environment and Natural Resource Management in a Time of Transition, Washington DC 175 Artikel/jurnal/kertas kerja/makalah ilmiah: Ekawan, Rudianto, Beberapa isu Pengelolaan Sumber daya Mineral dipandang dari Ekonomi Sumber daya Alam, 2001, ITB Fahri, Sabilal, Menjual Hutan Tanpa Menebang Pohon, makalah Falsafah Sains(PPs 702) Program Pasca Sarjana / S3. Institut Pertanian Bogor. 2002, Bogor Fuad, FH. Kehutanan Indonesia Pasca Pemberlakuan UU No. 41 Tahun 1999 : Antara Keberlanjutan Dan Maraknya Konflik. 1999 http://www.arupa.or.id/ papers/28.htm Handayani, Ines and Basyaib, Hamid, History : Still Our Greatest Teacher, 29 Oktober 2001, Majalah Tempo Aksara. KLH, Tanggapan dan Usulan Perbaikan atas Penyempurnaan RUU Tentang Pemerintahan Daerah, draft, 2004, Jakarta Laksmi, Up For Grabs, 29 Oktober 2001, Majalah Tempo Aksara. Makarim, Nono A, Rewriting The Autonomy Manual, 29 Oktober 2001, Majalah Tempo Aksara. Muhadi, Ruslah, Pengaruh Otonomi Daerah Terhadap Pengelolaan Pengusahaan Pertambangan, 2001, PT. INCO Tbk. Sarjono, Setjo dan Susilo, Bambang, Tantangan Industri Pertambangan Dalam Kerangka Otonomi Daerah, 2002, PERHAPI. Senghaas, Hans D., Alternatif Politik Pembangunan Dunia Ketiga?, Mei 1979, LP3ES - Prisma Setjipto, R.B., Pengelolan Sumberdaya Air Tanah Di Indonesia Perspektif Pada Abad 21, makalah Sibarani, Ronald, Mining-Minerals-Sustainable Development Versus Lingkungan Hidup di Indonesia, 2002, PERHAPI. Sinjal, Daud, On a Leash Roping in The 368 Regencies, 29 Oktober 2001, Majalah Tempo Aksara. 176 Soelityo, Ukar W. dan Mujib, Konvergenisasi Ekonomi antar Daerah dalam Era Otonomi Daerah di Indonesia, 2001, Puslitbang Teknologi Mineral dan Batubara. Raka, Gede, Transformasi Birokrasi Menuju Good Governance, Makalah, Februari 2000 Winanto, M. Ajie PH, Permasalahan dan Potensi Sumber daya Mineral dalam Era Otonomi Daerah, 2002, PERHAPI. Artikel dan berita di majalah/koran/internet: Ginting, L. Bahorok. Kompas Edisi Sabtu 24 Agustus 2003 Ruliantu, A. Levianer. D.Arjanto, Biarkan Penyu Jangan Diganggu, Tempo Majalah Mingguan Edisi No 52/XXVIII/28Februari-5 Maret 2000 Ruliantu, A. D Aryanto, Selimut Kentut yang Panas, Tempo Majalah Mingguan Edisi 13-20 Desember 1999 Zulkifli, A. I.G.G. Maha. Kekayaan Hayati Kita Menakjubkan. Tempo Majalah Mingguan Edisi No 16/XXVII/19-25 januari 1999 Zulkifli, A. I.G.G. Maha. Mimpi Buruk Lahan Sejuta Hektar. Tempo Majalah Mingguan Edisi 15-21 Desember 1998 Zulkifli,A. V.Madjowa. Hantu Laut yang Mengikis Pantai, Tempo Majalah Mingguan Edisi 17-23 November 1998 Patnistik, A. DKI Tetap Ingin Buang Sampah di Bantar Gebang. Kompas Edisi Jumat, 29 Agustus 2003 Bencana Lingkungan Buatan Manusia, Kompas Edisi Sabtu 24 Agustus 2003 Bencana Itu Tak Pernah Menjadi Pelajaran, Kompas Edisi Sabtu 8 November 2003 Ingat Tanan Ingat Cuaca, Kompas Edisi Sabtu 24 Agustus 2003 Lahan Gambut dan Kearifan Adat, Kompas Edisi Sabtu 29 Juni 2003 Pelangi in the Media, 16 Oktober 2002 177 Banyak Kebijakan Daerah yang Mengabaikan Aspek Lingkungan, Kompas Edisi, Kompas Edisi Sabtu, 21 April 2001 Otonomi Daerah dan Kegamangan soal Lingkungan Hidup, Kompas Edisi Kamis, 18 Januari 2001 Jalan Berliku Perjuangan Hak Atas Tanah, Sinar Harapan edisi senin 29 September 2003. Sekilas Kata Dunia tentang Freeport, kompas edisi Minggu, 23 Februari 2003 Pembakaran Truk Sampah, Pukulan Berat bagi Pemda DKI, Selasa, 4 Desember 2001 Tolak TPST, Warga Bogor Demo ke DPRD DKI,kompas Kamis, 31 Juli 2003 Pencemaran Sampah Bantar Gebang, 18 September 1999, Majalah Mingguan Gatra. Raport Merah Kehutanan Indonesia, 12-18 Februari 2001, Majalah Mingguan Tempo. Konflik Pencemaran laut oleh kapal tanker, 23-29 April 2001, Majalah Mingguan Tempo Konflik Ambang Batas Emisi SO2 PLTU di Indonesia, 26 Februari-4 Maret 2001, Majalah Mingguan Tempo. Pencemaran Limbah Beracun dari PT Indah Kiat, 18-24 Juni 2001, Majalah Mingguan Tempo Pencemaran laut di Indonesia, 28 Juli 2001, Majalah Mingguan Gatra. Masalah Banjir di Jakarta, 12 Januari 2002, Majalah Mingguan Gatra. Kegagalan operasi polisi di Tanjung Putting menangkap Cukong Penebangan Kayu Liar, 24 Februari 2 Maret 2003, Majalah Mingguan Tempo Sulitnya desa konservasi untuk Bali, 17-23 Maret 2003, Majalah Mingguan Tempo. Kasus Pencemaran Teluk Jakarta, 27-24 Mei 2003, Majalah Mingguan Gatra Konflik Reklamasi di Daerah Jakarta, 11-17 Agustus 2003, Majalah Mingguan Tempo. 178 Nila Ardianie, 2003, Sosialisasi dan Arah Kebijakan Rancangan Undang-Undang Sumber Daya Air, (www.unisosdem.org) Penderitaan Panjang Suku Dayak. Asasi Newsletter, Edisi Maret- April 2001 http:/ /www.elsam.or.id/txt/asasi/2001_0304/04.html Mendukung masyarakat INDONESIA melawan dehumanisasi dan kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh industri tambang, minyak dan gas. http:// www.jatam.org/indonesia/case/nn/nntdoc2.html Konflik Suku (Etnis)?, Asasi Newsletter Edisi Maret- April 20001. http:// www.elsam.or.id/txt/asasi/2001_0304/04.html Unisosdem, Catatan Akhir tahun Nusantara : Konflik Politik, Korupsi, dan Kerusakan Lingkungan, 2003, (www.unisosdem.org) Jaringan advokasi tambang (JATAM). 2003. Fokus Galian: Kontroversi Re-Negosiasi Kontrak Karya PT. Freeport Indonesia Edisi http://www.jatam.org/indonesia/ case/kpc/ Jaringan advokasi tambang (JATAM). 2003. Propaganda KPC: Mengubur Kebenaran Dibalik Gundukan Kebohongan. http://www.jatam.org/indonesia/case/kpc/ Jaringan advocasi tambang. 2003. Lembaran Fakta Kehadiran PT. Barisan Tropical Mining Di Sumsel, http://www.jatam.org/indonesia/case/kpc/ Situs-situs internet yang sering diakses: Green Information: www.greeninformation.com International Institute for Sustainable Development: www.issd.org Kompas Online: www.kompas.com The Third World Network: www.twn.og.sg, Walhi: www.walhi.or.id, www.gp.org www.newint.org