Anda di halaman 1dari 178

1

SPEKTRUM OTONOMI DAERAH DALAM RUANG LINGKUP PENGELOLAAN


SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP
I. PENDAHULUAN.
Berbicara masalah pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia tidaklah terlepas
dari masalah hak dan kewajiban pengelolaan itu sendiri. Disadari atau tidak,
masalah lingkungan masih menjadi masalah minor dalam skala prioritas
dibandingkan dengan masalah ekonomi dan politik. Walaupun demikian, masalah
lingkungan masih memiliki bargaining power dibandingkan dengan masalah
ekonomi dan politik. Tuntutan dunia luar agar pemerintah lebih cepat tanggap
dalam menyelesaikan masalah lingkungan yang terjadi merupakan tuntutan
transformasi dari sekedar paradigma menjadi implementasi nyata.
Karena masalah pengelolaan lingkungan hidup masih menjadi bagian dari masalah
ekonomi dan politik maka sudah sewajarnya apabila konsep pengelolaan
lingkungan hidup menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari paradigma dan
implementasi Otonomi Daerah dan Desentralisasi Ekonomi. Bagaimana paradigma
dan implementasi Otonomi Daerah dan Desentralisasi Ekonomi menyikapi masalah
pengelolaan lingkungan hidup merupakan jembatan pembentukan kapasitas
(capacity building) dan masalah pengelolaan lingkungan yang terus berlanjut
(sustainable development). Dengan asumsi penggunaan beberapa dasar hukum
yang telah dibangun berkaitan masalah lingkungan oleh pemerintah maka konsep
pengelolaan lingkungan hidup untuk tahun 2005 2010 dapat dijelaskan melalui
dua hal penting yaitu konsep kewenangan pengelolaan lingkungan hidup dan
konsep pelayanan publik.
a. Konsep Kewenangan Pengelolaan Lingkungan Hidup Dalam Era Otonomi
Daerah.
Dengan dasar Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan RUU tentang
pemerintahan daerah Tahun 2004 maka dimulailah pemetaan masalah pengelolaan
lingkungan hidup. Untuk lebih jelasnya maka perlu diketahui terlebih dahulu
kandungan isi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 agar tercipta peta pemikiran
yang lebih komprehensif.
2
Beberapa hal yang sangat mendasar pada Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999
adalah membagi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia ke dalam Daerah
Propinsi, Daerah Kabupaten, dan Daerah Kota yang bersifat otonom. Wilayah
Daerah Propinsi terdiri atas wilayah darat dan wilayah laut sejauh 12 mil laut
yang diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan
kepulauan. Dalam kaitan ini, kewenangan daerah Kabupaten dan Daerah Kota di
wilayah laut adalah sejauh sepertiga dari batas laut daerah Propinsi. Di samping
itu, Undang-undang Pemerintah Daerah ini mengupayakan pemberdayaan dan
peningkatan peran masyarakat secara aktif, menumbuhkan prakarsa dan kreatifitas
Pemerintah kota/kabupaten, serta meningkatkan peran dan fungsi Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah / DPRD. Oleh karena itu, otonomi daerah diletakkan
secara utuh pada daerah otonom yang lebih dekat dengan masyarakat yaitu daerah
otonom yang mempunyai wewenang dan kebebasan untuk membentuk dan
melaksanakan kebijakan menurut prakarsa dan aspirasi masyarakatnya.
Propinsi Daerah Tingkat I dalam Undang-undang ini dijadikan Daerah Propinsi
yang di samping berkedudukan sebagai Daerah Otonom juga berkedudukan sebagai
Daerah Administrasi yaitu sebagai wilayah kerja Gubernur dalam melaksanakan
fungsi kewenangan Pusat yang didelegasikan kepadanya. Di mana antara daerah
otonom Propinsi dengan daerah otonom Kabupaten dan Kota tidak mempunyai
hubungan hierarkis dalam arti bahwa Propinsi tidak membawahi Daerah Kabupaten
dan Kota, tetapi dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan terdapat hubungan
koordinasi, kerjasama, dan/atau kemitraan dengan daerah Kabupaten dan Daerah
Kota dalam kedudukan masing-masing sebagai daerah otonom. Sementara itu,
dalam kedudukan sebagai wilayah administrasi, Gubernur selaku wakil Pemerintah
melakukan hubungan pembinaan dan pengawasan terhadap Daerah Kabupaten
dan Daerah Kota. Kedudukan Propinsi sebagai daerah otonom dan sekaligus sebagai
daerah administrasi dimaksudkan sebagai perekat hubungan antara pusat dan
daerah dalam rangka memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dengan demikian dalam penyelenggaraan otonomi daerah, Gubernur selaku
penyelenggara eksekutif daerah bertanggung jawab kepada DPRD Propinsi, dan
kedudukannya sebagai Kepala Daerah Administrasi bertanggung jawab kepada
Presiden. Sedangkan dalam penyelenggaraan otonomi di Daerah Kabupaten dan
Daerah Kota, Bupati atau Walikota bertanggung jawab kepada DPRD Kabupaten/
DPRD Kota, dan berkewajiban memberikan laporan kepada Presiden melalui Menteri
Dalam Negeri.
3
Dalam peraturan perundangan tersebut kewenangan daerah mencakup kewenangan
dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik
luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta
kewenangan bidang lain yang meliputi : kebijakan tentang perencanaan nasional
dan pengendalian pembangunan secara makro, dana perimbangan keuangan,
sistem administrasi negara, dan lembaga perekonomian negara, pembinaan dan
pemberdayaan sumber daya manusia, pendayagunaan sumber daya alam serta
teknologi tinggi yang strategis, konservasi, dan standarisasi nasional.
Sedang kewenangan propinsi sebagai daerah otonom mencakup kewenangan dalam
bidang pemerintahan yang bersifat lintas Kabupaten dan Kota, kewenangan yang
tidak atau belum dapat dilaksanakan Daerah Kabupaten dan Daerah Kota, serta
kewenangan dalam bidang pemerintahan tertentu lainnya seperti :
Perencanaan dan pengendalian pembangunan regional secara makro;
Pelatihan bidang tertentu, alokasi sumber daya manusia potensial dan
penelitian yang mencakup wilayah propinsi;
Pengelolaan pelabuhan regional;
Pengendalian lingkungan hidup;
Promosi dagang dan budaya/pariwisata;
Penanganan penyakit menular hama tanaman, dan
Perencanaan tata ruang propinsi.
Adapun kewenangan Propinsi sebagai wilayah Administrasi mencakup kewenangan
dalam bidang pemerintahan yang dilimpahkan kepada Gubernur selaku wakil
Pemerintah. Pelaksanaan azas dekonsentrasi ini diletakkan pada Daerah Propinsi
dalam kedudukannya sebagai Daerah Administrasi untuk melaksanakan
kewenangan pemerintahan yang tidak diserahkan kepada daerah otonom.
Bidang pemerintahan yang wajib dilaksanakan Daerah Kabupaten dan Daerah
Kota meliputi pekerjaan umum, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan, pertanian,
perhubungan, industri dan perdagangan, penanaman modal, lingkungan hidup,
pertanahan, koperasi dan tenaga kerja. Kewenangan ini dilaksanakan oleh
Pemerintah kota/kabupaten Kabupaten dan Daerah Kota serta tidak dapat dialihkan
ke Daerah Propinsi. Hal tersebut dilaksanakan tanpa mengurangi arti dan
4
pentingnya prakarsa daerah dalam penyelenggaraan otonominya serta untuk
menghindarkan kekosongan penyelenggaraan pelayanan dasar kepada masyarakat.
Berbicara dalam konteks kewenangan Pengelolaan Lingkungan Hidup maka sesuai
dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 (Pasal 7,8,9 dan 11) bahwa
kewenangan pengelolaan lingkungan hidup secara garis besar telah diatur sebagai
berikut :
Daerah Kabupaten/Kota memiliki kewenangan melaksanakan pengelolaan
lingkungan hidup di daerahnya.
Daerah Propinsi memiliki kewenangan melaksanakan pengelolaan lingkungan
hidup yang sifatnya lintas Daerah Kabupaten dan Daerah Kota, dan hal lain
yang belum mampu dilaksanakan oleh Daerah Kabupaten dan Daerah Kota,
di samping bertanggung jawab dalam pengendalian lingkungan hidup.
Pemerintah Pusat memiliki kewenangan dengan berperan sebagai pengawas
dan pembina dalam penyelenggaraan pengelolaan lingkungan hidup daerah.
Pengaturan kewenangan pengelolaan lingkungan hidup sebagaimana tersebut di
atas perlu didefinisikan dan diuraikan secara lebih jelas.
Di samping butir 1., telah ditegaskan bahwa daerah berwenang mengelola sumber
daya nasional yang tersedia di wilayahnya dan bertanggung jawab memelihara
kelestarian lingkungan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Kewenangan Daerah wilayah laut meliputi :
Eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan kekayaan laut sebatas
wilayah laut tersebut;
Pengaturan kepentingan administratif;
Pengaturan tata ruang;
Penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh Daerah;
Bantuan penegakan keamanan dan kedaulatan negara.
Kewenangan Daerah dimaksud perlu diikuti dengan suatu uraian penjelasan yang
memadai untuk tetap menjaga kelestarian lingkungan hidup.
Demikian halnya kewenangan bidang lain (di luar bidang politik luar negeri,
pertahanan dan keamanan, peradilan, moneter/fiskal dan agama) yang masih
melekat sebagai kewenangan Pemerintah Pusat, seperti : Kebijaksanaan tentang
5
perencanaan nasional dan pengendalian pembangunan secara makro,
Pendayagunaan sumber daya alam serta teknologi tinggi yang strategis, dan
Konservasi; sangat perlu dikaitkan untuk kepentingan pengamanan kelestarian
lingkungan hidup global, regional maupun lokal. Untuk itu diperlukan suatu konsep
yang jelas tentang hal dimaksud.
Dengan diberlakukannya undang-undang tentang Pemerintahan Daerah, maka
pada dasarnya seluruh kewenangan sudah berada pada daerah Kabupaten dan
Daerah Kota. Dengan demikian wajah otonomi di masa yang akan datang cenderung
menggembungkan kewenangan di tingkat daerah, sehingga akan terbentuk format
dalam bentuk piramida, dengan kewenangan lebih besar pada Daerah Kabupaten/
Kota, sehingga intervensi Pemerintah Pusat kepada Daerah Kabupaten/Kota akan
berkurang.
Sebagai konsekuensi dari diberlakukannya undang-undang dimaksud, maka
lembaga pembantu Gubernur, Pembantu Bupati, Pembantu Walikotamadya, dan
Badan Pertimbangan Daerah dihapus. Demikian pula instansi vertikal di daerah
selain yang menangani bidang-bidang luar negeri, pertahanan keamanan,
peradilan, moneter dan fiskal, serta agama menjadi perangkat Daerah. Semua
instansi vertikal yang menjadi perangkat daerah, kekayaannya dialihkan menjadi
milik daerah. Ditegaskan bahwa selama belum ditetapkannya peraturan
pelaksanaan undang-undang tersebut, seluruh instruksi, petunjuk atau pedoman
yang ada atau yang diadakan oleh Pemerintah dan Pemerintah kota/kabupaten
jika tidak bertentangan dengan undang-undang ini dinyatakan tetap berlaku.
Ketentuan peraturan perundang-undangan yang bertentangan dan/atau tidak
sesuai dengan undang-undang ini harus diadakan penyesuaian.
Dengan menyimak uraian tersebut di atas, maka sesuai dengan Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah sudah jelas bahwa urusan
pemerintahan di bidang lingkungan hidup sudah menjadi kewenangan Daerah
Kabupaten dan Daerah Kota, sedang Daerah Propinsi hanya menangani bidang
lingkungan hidup yang sifatnya lintas Daerah Kabupaten dan Daerah Kota, dan
hal lain yang belum mampu dilaksanakan oleh Daerah Kabupaten dan Daerah
Kota, di samping bertanggung-jawab dalam pengendalian lingkungan hidup. Perlu
digaris bawahi bahwa pemerintah daerah Propinsi dapat melakukan intervensi ke
daerah Kabupaten/Kota jika pemerintah Kabupaten/Kota secara formal meminta
bantuan dalam penanganan masalah lingkungan hidup di daerahnya (Hak Inisiatif
6
pemerintah Kabupaten/Kota). Sedangkan pemerintah pusat sebagai pengawas
dan pembina diharapkan dapat memfasilitasi penyelenggaraan pengelolaan
lingkungan hidup daerah dalam arti upaya memberdayakan daerah otonom dalam
pengelolaan lingkungan hidupnya melalui pemberian pedoman, bimbingan,
pelatihan, arahan dan supervisi.
b. Konsep Pelayanan Publik Dalam Era Otonomi Daerah.
Berbicara dalam konteks lahirnya konsep otonomi daerah sebagai bentuk
peningkatan pelayanan publik, maka pengelolaan lingkungan hidup juga
diikutsertakan dalam dua strategi utama yaitu pertama, Pemberdayaan Daerah
Propinsi dan Daerah Kabupaten/Kota berupa :
1. Peningkatan sumber daya manusia/SDM.
Perlu dirumuskan suatu konsep peningkatan SDM pengelola lingkungan hidup
daerah yang lebih efisien dan efektif. Dalam kaitan ini khususnya di sektor
pemerintah yang memberlakukan kebijakan zero growth perlu segera disusun
program penataan pegawai dan program peningkatan kemampuan aparatur
pemerintah daerah di bidang pengelolaan lingkungan hidup. Keterbatasan
manual-manual teknis pengelolaan lingkungan hidup dan pengendalian
dampak lingkungan di Tingkat Daerah perlu mendapatkan perhatian di dalam
merumuskan konsep peningkatan kemampuan aparatur Pemerintah Daerah.
2. Penguatan Sumber daya Pembiayaan
Guna mendorong kemampuan pembiayaan pengelolaan lingkungan hidup di
Tingkat Daerah, maka perlu langkah untuk mengantisipasi undang-undang
tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah. Antisipasi
tersebut dilakukan melalui suatu pemikiran dan perumusan agar Dana
Perimbangan yang terdiri dari penerimaan dari sumber daya alam, Dana
Alokasi Umum, dan Dana Alokasi Khusus.
Dimanfaatkan oleh Pemerintah Daerah untuk pembiayaan pembangunan
dengan memperhatikan alokasi pembiayaan pengelolaan lingkungan hidup
secara memadai.
3. Penguatan peralatan dan perlengkapan
Upaya penguatan peralatan dan perlengkapan pengelolaan lingkungan hidup
7
daerah pada lembaga Bapedalda khususnya kantor dan laboratorium
lingkungan daerah perlu dirumuskan secara strategis.
Kedua, Strategi pemberdayaan masyarakat dan dunia usaha sebagai perwujudan
konsep Good Governance dalam menjalankan roda pemerintahan. Dengan
kewenangan penuh Daerah Kabupaten/Kota untuk melaksanakan pengelolaan
lingkungan hidup daerahnya, maka kepada Daerah Kabupaten/Kota perlu dibekali
kemampuan di dalam meningkatkan keberdayaan masyarakat dan dunia usaha di
dalam pengelolaan lingkungan hidup. Sesuai dengan tujuan strategi ini maka
ada dua hal yang harus dilakukan secara berkesinambungan yaitu pertama,
meningkatkan kemampuan Daerah Kabupaten/Kota di dalam membina dunia usaha
untuk menghasilkan produk-produk komoditi daerah yang ramah lingkungan
melalui program-program cleaner production, ecolabeling, ecoeficiency guna
mengantisipasi perdagangan bebas. Kedua, menyiapkan social control systems
(SCS) dalam pengelolaan lingkungan hidup di daerah. Dengan SCS ini maka
kedekatan pemerintah dengan masyarakat lewat transparansi informasi
pengelolaan lingkungan hidup (salah satu ukuran meningkatnya pelayanan publik)
akan memberikan peluang lahirnya partisipasi masyarakat yang lebih besar dalam
pembangunan. Masyarakat daerah akan lebih berperan aktif dalam menilai sejauh
mana keberhasilan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup di
daerahnya. Proses timbal balik (kontrol sosial) antara pemerintah dan masyarakat
inilah yang diharapkan muncul dalam otonomi daerah di masa depan.
Dalam ruang lingkup pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup, Isu
Otonomi Daerah merupakan isu yang kompleks. Kompleksitas ini menyangkut
kompleksitas konsep, komitmen, dan implementasi. Kompleksitas ini masih harus
dipecahkan lebih lanjut dengan win-win solution baik secara top down approach
maupun bottom up approach (dalam garis kepemimpinan vertikal) dan garis
kepemimpinan horizontal. Bagaimana seluruh jajaran pemerintah menyingkapi
masalah pengelolaan serta pelestarian sumber daya alam dan lingkungan hidup,
baik ditingkat kasus maupun konflik merupakan isu strategis bagi pengembangan
institusi pengelolaan lingkungan hidup di masa depan.
Rumusan konsep pelaksanaan otonomi di bidang pengelolaan lingkungan hidup
pada tataran strategi akan dijadikan sumber dan acuan di dalam mewarnai
penyusunan dan revisi segala peraturan perundang-undangan dan peraturan
pelaksanaan yang terkait dengan pengelolaan lingkungan hidup daerah.
8
II. SKEMA HUBUNGAN ANTARA ISU OTONOMI DAERAH DENGAN
PENGELOLAAN LINGKUNGAN.
Konsep Kewenangan
Pengelolaan Lingkungan
Hidup Dalam Era Otonomi
Daerah.
Konsep Pelayanan Publik
Dalam Era Otonomi Daerah
Otonomi daerah : Proses
transformasi ekonomi politik
untuk menuju pemerintahan
yang lebih baik
Piranti hukum : UU No. 22/
1999, PP No. 25 Tahun 2001,
dan RUU tentang pemerintah
daerah tahun 2004
Pemisahan hak dan
kewajiban antara
pemerintah Pusat, Propinsi
dan Kabupaten/Kota
Pelaksanaan Good
Governance antara
pemerintah pusat, Propinsi,
dan Kabupaten/Kota
dengan masyarakat dan
dunia usaha.
Kesamaan platform
pengelolaan lingkungan
hidup sebagai salah satu
indikator keberhasilan
otonomi daerah (Politik
Lingkungan)
9
III. PERMASALAHAN OTONOMI DAERAH DI INDONESIA.
Untuk menilai sejauh mana isu otonomi daerah telah dilaksanakan dalam
penyelenggaraan lingkungan hidup maka perlu dilakukan pengukuran terhadap
kinerja penyelenggara lingkungan selama periode pengamatan tahun 2001-2003,
sehingga dalam pemetaan langkah kerja bagi penyelenggara lingkungan tahun
2004-2009 dapat tercapai. Pengukuran kinerja penyelenggara lingkungan ini
dilakukan dengan menggunakan tabel matrik berisikan masalah, uraian masalah,
langkah yang sudah dilakukan, status, stakeholder yang terkait, dan bidang
prioritas.
Masalah berisikan pandangan umum mengenai permasalahan isu ekonomi, politik,
dan sosial yang berkaitan erat dengan masalah lingkungan. Uraian masalah
berisikan signifikansi dan verifikasi masalah yang telah terjadi selama periode
pengamatan. Langkah aktual berisikan langkah-langkah penanganan masalah
tersebut yang telah dilakukan selama ini. Status berisikan situasi dan kondisi
yang sekarang terjadi. Stakeholder yang terkait berisikan pelaku penanganan
masalah tersebut selama ini. Sedangkan Bidang prioritas berisikan pengelompokan
masalah dan keterkaitan masalah tersebut menjadi bidang-bidang tertentu yang
berhubungan dengan lingkungan.
a. Penjelasan Isi Matrik Penyelenggaraan Lingkungan Periode Pengamatan
2001-2003.
Masalah
Pembagian
bidang tugas
lingkungan hidup
bagi pemerintah
pusat, daerah
propinsi, dan
daerah
kabupaten /
kota.
Uraian Masalah
Dalam konsep
desentralisasi
ekonomi, maka
pembagian
kewajiban
lingkungan tiap
pemerintahan
pun terbagi-
bagi.
Langkah Aktual
Baru taraf
kebijakan dan
perencanaan di
semua jajaran
pemerintahan.
Hasil
pelanggaran
lingkungan
masih diserahkan
kepada
pengadilan untuk
diurus.
Status
Masih berubah-
ubah terutama
masalah
perimbangan
keuangan pusat
dan daerah.
Stakeholder
yang Terkait
Pemerintah
Pusat
Pemerintah
Otonom
Propinsi
Pemerintah
Kabupaten /
Kota
Bidang
Prioritas
Ekonomi
Politik
Lingkungan
10
Peran masyarakat
non pemerintah
terhadap
pelanggaran
lingkungan di
daerah.
Masyarakat
melakukan
penutupan
paksa, baik
perusahaan
maupun
instalasi
limbah.
Masyarakat
melakukan
clash action
lewat jalur
pengadilan.
Masyarakat
meminta ikut
dilibatkan
dalam
penyusunan
amdal proyek.
Umumnya
inisiatif
masyarakatlah
yang
menyebabkan
lahirnya
perlakuan
tersebut.
Sosialisasi
otonomi daerah
sangat minim
bahkan tidak ada.
Telah dilakukan
perundingan
mengenai
pengaruh
langsung dan
tidak langsung
proyek, dan
masalah ganti
rugi yang layak.
Peran langsung
pemerintah, baik
pemerintah
pusat, daerah,
dan DPR / DPRD
masih minim.
Masalah
pemasaran telah
berjalan antara
Indonesia dengan
Pemerintah Cina.
Namun masalah
ganti rugi belum
berhasil.
Masyarakat
Pemerintah
Pusat
Pemerintah
Otonom
Propinsi
Pemerintah
Kabupaten /
Kota
LSM
Lingkungan
Volunteer.
Dinas
Pengelolaan
Lingkungan
Hidup
Kabupaten
Purwakarta.
LSM PERDU
Manokwari
Menteri Negara
Lingkungan
Hidup
Pertamina
Beyond
Petroleum (BP)
Lembaga
United Nations
Human
Settlements
Programme.
Lembaga
Ketahanan
Masyarakat
Desa
Bandarharjo
Pemerintah
kota/kabupaten
Kodya
Semarang
Direktorat
Jenderal Cipta
Karya
Departemen
Pekerjaan
Umum
Bank Dunia
(Yayasan Peduli
Pembangunan
Perumahan dan
Politik
Sosial
Lingkungan
Peran masyarakat
dalam
meningkatkan
kesejahteraan
dan kebersihan
secara mandiri di
daerahnya.
Proyek
pemberdayaan
masyarakat di
beberapa daerah
di Indonesia
berhasil
membebaskan
kawasan ini dari
genangan banjir
permanen.
Derajat ekonomi
warga ikut
terangkat.
Kerjasama antara
NGO, Pemerintah
kota/kabupaten
setempat dan
swadaya
masyarakat untuk
membuat
pembuangan
sampah terpisah
dan pembuatan
kompos membuat
Contoh Proyek
pemberdayaan
masyarakat
adalah Program
Perencanaan
Pemukiman
Kumuh
Bandarharjo
sejak awal tahun
1993. Proyek
pengembangan
sumber daya
manusia
Bandarharjo.
Pembentukan
Kelompok
Swadaya
Masyarakat
(KSM).
Pembangunan
jalan,
pengelolaan
drainase,
penghijauan,
Berhasil secara
penuh sesuai
komitmen.
Daerah
mencontohan
Banjarsari telah
berhasil
menerapkan hal
ini. Keberhasilan
ini semata-mata
adalah hasil
jerih payah
mandiri dan
bukan dari
pemerintah.
Sosial
Lingkungan
11
Politik
Lingkungan
Pemukiman
Kota Besar
Semarang-
YP4K)
Pusat
Penelitian
Oseanologi
LIPI.
UNESCO.
Dinas
Pariwisata
Pemerintah
Propinsi DKI
Jakarta.
Pembinaan
Kesejahteraan
Keluarga (PKK)
Perusahaan
pelanggar
lingkungan.
Badan
Pengendalian
Dampak
Lingkungan
Daerah
Komisi E DPRD.
Pemerintah
Propinsi.
Pemerintah
Kabupaten.
Direktur PLN.
Universitas
Negeri dan
Swasta.
PLTA Jatiluhur.
Yayasan
Konservasi
Lingkungan
(Koling).
Balai
Konservasi dan
Pemangkuan
Hutan (BKPH).
Dinas
Pariwisata
Kabupaten.
Wakil Petani
(Pengguna
sumber daya
alam).
Secara
operasional cara
ini mampu
meredam
gejolak
kebebasan tanpa
aturan tapi
secara
konseptual cara
ini justru
memaksa
pengadilan
sebagai institusi
pengawas
pelanggaran
lingkungan dan
penggunaan
sumber daya
alam. Peran
pemerintah
menjadi hilang.
dan air bersih.
KSM Paguyuban
Rumah Amblas
(pinjaman tanpa
bunga selama
dua tahun senilai
5 juta rupiah)
Isu Reformasi
dan Otonomi
Daerah
menyebabkan
konflik baru
antar pengguna
sumber daya
alam yang
terbatas
sehingga
menimbulkan
sengketa dan
tuding-tudingan
kesalahan antar
pemakai.
Konflik antar
anggota
masyarakat
dalam
penggunaan
sumber daya
alam yang
terbatas.
Membuka
musyawarah dan
menjembatani
kepentingan
antara dua belah
pihak tersebut.
Kalau tidak bisa
dilakukan maka
dilakukan
pembicaraan
lewat jalur
hukum.
daerah
pemukiman
menjadi lebih
asri.
12
Berdasarkan isi matrik penyelenggaraan lingkungan periode pengamatan 2001-
2003, perwujudan penyelenggaraan lingkungan hidup yang lebih baik memiliki
beberapa kendala yang dapat dibagi menjadi 2 (dua) jenis kendala besar yaitu
kendala eksternal dan kendala internal. Kendala eksternal adalah kendala yang
ditemui di lapangan dan di luar otoritas pemerintah untuk menyelesaikannya.
Sedangkan kendala internal adalah kendala yang berada pada tubuh pemerintah
untuk menjalankannya. Contoh kendala-kendala ini akan dijelaskan pada sub
bab berikut.
1. Kendala Eksternal.
Dalam prakteknya selama ini telah terjadi beberapa kendala eksternal dalam
penyelenggaraan lingkungan hidup yang lebih baik. Kendala eksternal pertama
adalah konflik antar anggota masyarakat dalam penggunaan sumber daya alam
yang terbatas. Isu Reformasi dan Otonomi Daerah justru menyebabkan konflik
baru antar pengguna sumber daya alam yang terbatas sehingga menimbulkan
sengketa dan tuding-tudingan kesalahan antar pemakai. Disadari atau tidak,
kendala ini diawali dari tidak tersosialisasikannya dengan luas konsep Otonomi
Daerah yang benar sehingga anggota masyarakat sering mensalahartikan otonomi
daerah menjadi kebebasan. Sosialisasi otonomi daerah sangat minim bahkan
tidak ada.
Bagaimanakan peran masyarakat selama ini bereaksi terhadap pelanggaran
lingkungan di daerah? Masyarakat (di sekitar kawasan tercemar) sering melakukan
beberapa langkah seperti langkah penutupan paksa secara sepihak (baik
perusahaan maupun instalasi limbah tersebut), langkah pengajuan clash action
lewat jalur pengadilan, dan langkah pengajuan agar anggota masyarakat dilibatkan
dalam penyusunan amdal proyek. Pada umumnya langkah-langkah ini murni
merupakan inisiatif masyarakat yang merasa dirugikan.
Selama ini pemerintah baru membuka musyawarah dan menjembatani kepentingan
antara dua belah pihak tersebut. Pemerintah umumnya telah menyelenggarakan
penelitian mengenai pengaruh langsung dan tidak langsung proyek, dan masalah
ganti rugi yang layak. Kalau tidak bisa dilakukan lebih lanjut maka dilakukan
pembicaraan lewat jalur hukum. Secara operasional cara ini mampu meredam
gejolak kebebasan tanpa aturan tapi secara konseptual cara ini justru memaksa
pengadilan sebagai bagian terpenting dalam institusi pengawas pelanggaran
13
lingkungan dan penggunaan sumber daya alam. Dengan kata lain, peran langsung
pemerintah (baik pusat maupun daerah) menjadi hilang.
Kendala eksternal kedua adalah merupakan kendala psikologis dari masyarakat
untuk berusaha mengembangkan peran dirinya dalam meningkatkan kesejahteraan
dan kebersihan secara mandiri di daerahnya. Konsep Otonomi Daerah sering
diartikan oleh masyarakat sebagai konsep pelimpahan tanggung jawab hidup
masyarakat sepenuhnya kepada pemerintah kota/kabupaten. Padahal tanpa
konsep otonomi daerah pun, beberapa proyek pemberdayaan masyarakat di
beberapa daerah di Indonesia berhasil mengangkat derajat ekonomi warga dengan
membebaskan kawasan pemukimannya dari genangan banjir permanen. Hasil
pengembangan kerjasama antara NGO (luar negeri) yang turut peduli dan swadaya
masyarakat justru memperlihatkan langkah konkrit dibandingkan sekedar
menunggu bantuan pemerintah kota/kabupaten atau pusat untuk mengambil
inisiatif perubahan (seperti membuat pembuangan sampah terpisah dan
pembuatan kompos yang membuat daerah pemukiman menjadi lebih asri). Bahkan
beberapa proyek pemberdayaan masyarakat seperti Program Perencanaan
Pemukiman Kumuh Bandarharjo, proyek Pengembangan Sumber Daya Manusia
Bandarharjo, pembentukan Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) Paguyuban
Rumah Amblas, pembangunan jalan, pengelolaan drainase, penghijauan, dan air
bersih berhasil secara penuh murni swadaya masyarakat daerah Semarang.
2. Kendala Internal.
Kendala internal pertama adalah kendala koordinasi penyelenggaraan lingkungan
antara pemerintah pusat dan daerah. Masalah ini merupakan masalah yang terbesar
karena sebagian besar koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah masih
berkutat dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah, sedangkan koordinasi
operasional dan fungsi kontrol sosial masyarakat terhadap pengelolaan lingkungan
masih belum tersikapi dengan jelas.
Kendala internal kedua adalah konsep pertanggungjawaban penyelenggaraan
lingkungan yang melintasi batas propinsi / kota / kabupaten. Jika pelanggaran
lingkungan tersebut melewati batas wilayah tertentu maka pertanggungjawaban
penyelenggaraan lingkungan yang lebih baik menjadi tidak jelas dengan UU No.
22 Tahun 1999 tersebut. Contoh yang nyata misalnya kasus pencemaran sungai
dan TPS (tempat pembuangan sampah). Sungai biasanya selalu melintasi beberapa
14
batas kota / kabupaten. Demikian pula dengan TPS (Contoh : Bantar Gebang).
Konsentrasi pencemaran dari hulu ke hilir merupakan rangkaian tanggung jawab
perbaikan yang berbeda-beda pula. Dengan kata lain, batas wilayah tidak dapat
dijadikan satu-satunya landasan teori dan operasional untuk penyelenggaraan
lingkungan yang lebih baik.
15
SPEKTRUM EKONOMI POLITIK PEMBANGUNAN DALAM RUANG LINGKUP
PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP
I. PENDAHULUAN.
Disadari atau tidak, pengamat-pengamat ekonomi Indonesia telah menempatkan
ekonomi politik pembangunan Indonesia sebagai ekonomi politik pembangunan
negara dunia ketiga. Penempatan blok ekonomi politik pembangunan tersebut
lebih didasarkan pada penempatan Indonesia sebagai lahan sumber daya dan
potensial market dalam perdagangan dunia. Dengan kata lain, Indonesia masih
menjadi obyek ekonomi politik internasional dan belum menjadi subyek ekonomi
politik internasional. Ciri khas ini yang mendasari penempatan Indonesia sebagai
negara dunia ketiga.
Bagaimana posisi ekonomi politik negara dunia ketiga dan hubungannya dengan
negara-negara maju dalam perekonomian internasional merupakan pertanyaan
yang sangat besar(Michael P. Todaro : 164). Dengan meningkatnya aktivitas
perdagangan (ekspor/impor), berkembangnya penanaman modal swasta dan
bantuan keuangan dari pemerintah, dan perbaikan dalam persyaratan untuk
melakukan transfer teknologi dan kerjasama yang lebih erat dalam banyak bidang
lain, kebutuhan-kebutuhan yang sangat mendesak dari Dunia Ketiga diharap
dapat dipecahkan lebih cepat. Integrasi yang lebih luas dan mendalam antara
Dunia Ketiga dan perekonomian internasional merupakan garis pedoman dalam
cara pikir dan cara tindak dalam politik pembangunan. Sebaliknya, ada yang
mengatakan bahwa hanya melalui kemerdekaan selekasnya, masyarakat dan
perekonomian Dunia Ketiga dapat berdiri di atas kaki sendiri, untuk melakukan
kerjasama jangka panjang yang berhasil dengan masyarakat dan perekonomian
lain di gelanggang internasional. Bukan integrasi, tetapi didasarkan oleh tiap
keadaan kongkrit-pembebasan dirilah yang akan menentukan orientasi dalam
program politik pembangunan. Tulisan ini tidaklah bermaksud untuk
menggambarkan politik pembangunan yang menekankan disosiasi sebagai cara
pemecahan semua masalah dunia. Yang lebih dimaksudkan ialah merangsang
pemikiran, yang dapat diterima, baik atas dasar pengalaman-pengalaman sejarah
yang kuat maupun berdasarkan hasil penelitian-penelitian baru mengenai struktur
sosial dan ekonomi Dunia Ketiga dan perekonomian internasional, yang
menimbulkan kesulitan-kesulitan dan masalah-masalah yang sangat mendesak
16
di Dunia Ketiga. Melalui kajian ini, konsep ekonomi politik pembangunan yang
berlandaskan konsep lingkungan guna menunjang pembangunan berkelanjutan
dapat dipahami dan dimengerti sepenuhnya.
a. Dasar-Dasar Ekonomi, Politik, dan Sosial Yang Mampu Berkembang.
Penelitian-penelitian sejarah komparatif menunjukkan bahwa prasyarat bagi suatu
pembangunan ekonomi dan sosial yang berhasil adalah pemupukan modal dalam
suatu bentuk khusus. Dari segi pandangan murni ekonomi, gabungan faktor-
faktor berikut ini merupakan hal yang fundamental :
Peningkatan produksi pertanian secara nyata, sehingga makanan pokok untuk
rakyat sendiri dan penyediaan bahan-bahan mentah terjamin.
Produksi perindustrian dari barang-barang konsumen yang dapat dibeli oleh
rakyat banyak, yakni barang-barang konsumsi massa yang berbeda dengan
barang-barang konsumsi mewah.
Produksi perindustrian dari alat-alat produksi : peralatan pertanian, alat-
alat produksi untuk membuat barang-barang konsumsi misalnya pembuatan
mesin-mesin ringan, alat-alat produksi untuk membuat alat-alat selanjutnya,
seperti mesin-mesin untuk membuat pesawat-pesawat, komputer, teknik
kontrol dan teknik pengaturan, telekomunikasi.
Produksi barang-barang setengah jadi : produk-produk setengah jadi untuk
barang-barang konsumsi seperti besi dan baja, kimia, energi ; barang-barang
setengah jadi untuk alat-alat produksi, seperti industri besi dan baja, energi,
logam-logam NE.
Pembuatan prasarana dan barang-barang yang disebut konsumsi kolektif
seperti jaringan lalu lintas dan komunikasi, tempat-tempat pendidikan, dinas
kesehatan, dan sebagainya.
Sejarah dari perekonomian yang mampu berkembang didasarkan pada
perkembangan dan timbulnya secara lambat laun perhubungan timbal balik dari
lapangan-lapangan ekonomi tersebut. Dalam perkembangan yang memakan waktu
lama, makin tersusunlah struktur ekonomi dan demikian pula sistem politik,
struktur masyarakat, sistem hukum dan seterusnya, sedangkan pada waktu yang
sama hubungan intern timbal balik makin bertambah banyak pula. Badan-badan
17
sosial dan badan-badan ekonomi yang bersusun lapis dan saling terikat secara
intern demikian, dapat melakukan fungsi-fungsi pokok tertentu seperti berikut
(Hans Dieter Senghaas : 50) :
Biasanya di dalam badan-badan tersebut rakyat banyak diintegrasikan secara
produktif dalam perekonomian : orang-orang memperoleh pekerjaan,
menerima penghasilan dan menjadi konsumen, sehingga perbagai kebutuhan
mereka dapat terpenuhi. Dalam perekonomian demikian terdapat hubungan
intern diantara bentuk aparat produksi, jenis kegiatan, pembagian
pendapatan dan isi konsumsi.
Hubungan intern ini dapat dilihat dalam proses perkembangan organik dari
yang mudah sampai pada yang sukar untuk diuraikan : suatu teknologi yang
rata-rata kurang potensial karena menghasilkan pendapatan rendah dan
permintaan atas barang-barang peralatan dan konsumsi yang murah menuju
suatu teknologi yang maju dan perekonomian potensial yang memungkinkan
pendapatan yang lebih tinggi dan pemuasan macam-macam kebutuhan.
Perekonomian yang demikian mengandung banyak kemungkinan berupa
kemajuan teknologi sampai pada tahap tertentu sehingga menentukan
seluruh dinamika perkembangan.
Perekonomian yang demikian dipengaruhi oleh perubahan struktur yang
selalu terjadi. Inilah yang menjadi sebab berbagai krisis politik, sosial dan
kebudayaan yang sering timbul, yang biasanya dapat diatasi oleh tiap
masyarakat menurut caranya sendiri.
Proses perkembangan yang berhasil dapat terlihat dalam kenyataan bahwa
dari masyarakat-masyarakat yang mulanya terpecah-pecah, timbullah badan-
badan sosial yang relatif bersatu. Proses sejarah yang panjang menimbulkan
pembentukan negara-negara teritorial yang masing-masingnya berdasarkan
kesatuan lembaga-lembaga politik, hukum, kebudayaan, bahasa, dan
sebagainya, dengan ciri khas masing-masing.
Tiap proses pembangunan yang berhasil sampai sekarang ditandai oleh tekanan
khusus pada aspek-aspek tertentu dari pembangunan serta pada peningkatannya
tahap demi tahap. Teori pembangunan menurut ilmu sosial baru, khusus
menekankan pada dua faktor : yang satu pada tempat, yang diduduki oleh suatu
masyarakat dalam pembagian kerja internasional, dan yang lain pada arti dari
18
konstelasi kekuasaan dan konstelasi dari kepentingan masyarakat itu sendiri.
Kedua faktor itu mempunyai proses perkembangan masing-masing yang
menimbulkan sifat-sifat khusus.
Walaupun perkembangan sejarah yang berbeda dan orientasi sosial politik juga
berbeda-beda, namun kedua konsep tersebut, terutama jika dibandingkan dengan
banyak negeri dunia ketiga, menunjukkan lebih banyak persamaan daripada
perbedaan dalam struktur pembentukan modal. Tak satupun dari kasus di atas
bebas dari krisis ; dalam setiap kasus itu berkembang gejala-gejala krisis ; beberapa
dari krisis itu saling bertalian, misalnya ekologi ; tetapi dalam semua kasus
tersebut dengan adanya perbedaan besar pada tiap tahap perkembangan,
terbinalah kemampuan untuk melakukan kegiatan-kegiatan dasar dalam ekonomi
sebagaimana tersebut di atas, yang merupakan syarat pokok bagi pertumbuhan
kemakmuran.
b. Konteks Lingkungan hidup dalam Format Keadilan Masa Depan.
Keadilan masa depan diwujudkan dalam prinsip keberlangsungan hidup faktor-
faktor produksi yang lebih lama sehingga generasi mendatang masih dapat
menikmati dari hasil produksi tersebut. Konsep ini merupakan nyawa dari konsep
sustainable development yang telah dikembangkan di beberapa negara di dunia.
Sedangkan penyelenggaraan lingkungan hidup yang jauh lebih baik merupakan
nyawa dari prinsip keadilan masa depan.
Selama ini lingkungan hidup masih dipandang sebagai pendukung faktor produksi.
Artinya bahwa lingkungan hidup hanya dipandang sebagai bagian kecil dari
pemenuhan kebutuhan faktor produksi. Dalam konsep keadilan masa depan maka
penyelenggaraan lingkungan hidup memperoleh porsi yang sama pentingnya
dengan penyediaan faktor produksi. Keseimbangan antara penyelenggaraan
lingkungan hidup dengan penyediaan faktor produksi menyebabkan lahirnya
konsep kemakmuran baru di masa depan. Bagaimana keseimbangan tersebut dapat
terjadi di masa depan akan diulas sebagai berikut.
Langkah pertama adalah penyelenggaraan lingkungan hidup dalam perwujudan
pengentasan kemiskinan dan pembangunan pendidikan. Gejala kemiskinan yang
mudah diketahui adalah kekurangan gizi, penyakit, tingginya tingkat kematian
bayi, dan rendahnya harapan hidup, sedangkan gejala kemiskinan yang terselubung
19
adalah tingginya persentase buta huruf (baca tulis) dan lingkungan hidup hidup
yang tidak manusiawi. Munculnya gejala tersebut pada umumnya disebabkan
oleh ketidakmampuan dari orang miskin untuk memenuhi semua kebutuhan pokok
hidupnya, sehingga mereka cenderung untuk mengabaikan hal-hal yang mereka
rasa tidak mempengaruhi dalam kesehariannya. Keseimbangan antara
penyelenggaraan lingkungan hidup dengan penyediaan faktor produksi dapat
terjadi apabila pemerintah tidak saja membantu meningkatkan taraf hidup sumber
daya manusia tetapi juga meningkatkan tingkat pendidikan dan budaya sehingga
wacana mengenai lingkungan hidup hidup tidak hanya menjadi kiasan semata..
Untuk itu, langkah penyelenggaraan lingkungan hidup termasuk didalamnya adalah
menaikkan anggaran belanja negara peruntukan bidang pendidikan serta dapat
memberikan subsidi maupun beasiswa bagi anak-anak kelompok miskin agar dapat
mengecap pendidikan. Jaminan untuk kelompok miskin juga perlu diupayakan
melalui peningkatan solidaritas dari anggota masyarakat yang lebih mampu.
Langkah kedua adalah penyelenggaraan lingkungan hidup dalam perubahan pola
produksi dan konsumsi. Pola konsumsi dan produksi yang berkelanjutan di Indonesia
masih belum sepenuhnya disadari oleh masyarakat Indonesia. Kebutuhan hidup
pokok seperti sandang, pangan, papan, air bersih dan energi dari tahun ke tahun
terus meningkat sejalan dengan peningkatan pertumbuhan penduduk, terutama
di kawasan perkotaan, serta pergeseran pola produksi agraris menjadi industri.
Peningkatan pendapatan di sektor industri mengakibatkan perubahan pola
konsumsi yang cenderung konsumtif dan tidak berkelanjutan. Sebagai
konsekuensinya, terjadi ketidakseimbangan antara pasokan dan permintaan materi
dan energi yang selanjutnya mengakibatkan pemenuhan kebutuhan hidup pokok
yang tidak merata.
Pola konsumsi dan produksi menyangkut berbagai aspek, namun saat ini yang
paling mendesak untuk ditelaah lebih lanjut adalah mineral dan energi serta
transportasi. Pembangunan di sektor mineral dan energi ini selain memberikan
dampak positif juga menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan hidup
berupa kerusakan alam, berkurangnya jumlah dan jenis tumbuh-tumbuhan yang
secara tidak langsung mengganggu fungsi hidrologis. Salah satu contoh arah
kebijakan di sektor mineral dan energi adalah peninjauan yang menyeluruh
terhadap pencarian cadangan mineral yang disesuaikan dengan produksi sehingga
rasio di antara keduanya memberi harapan penggunaan cadangan mineral untuk
20
jangka waktu yang lebih panjang. Sedangkan pembangunan di sektor transportasi
dalam aspek lingkungan hidup, peningkatan transportasi ini memiliki andil yang
besar dalam penggunaan energi. Peningkatan penggunaan energi tersebut telah
mengakibatkan peningkatan emisi gas rumah kaca (GRK) terutama nitrogen oksida
(NOx) dan karbon dioksida (CO2). Salah satu contoh langkah penyelenggaraan
lingkungan hidup di sektor transportasi adalah penyusunan rencana pembangunan
kota yang didasarkan pada rencana tata ruang yang dipadukan dengan rencana
sistem transportasi.
Langkah ketiga adalah penyelenggaraan lingkungan hidup dalam perlindungan
dan penyelenggaraan sumber daya alam. Sumber daya alam ini termasuk didalamnya
adalah sumber daya atmosfer dan perubahan iklim, hutan, pertanian,
keanekaragaman hayati, laut dan pesisir, dan yang terakhir adalah sumber daya
air bersih.
Salah satu contoh arahan kebijakan dalam penyelenggaraan sumber daya atmosfer
dan iklim adalah pengurangan kegiatan yang dapat mempercepat perubahan
iklim dan meningkatkan kemampuan untuk mengatasi dan menyesuaikan pada
perubahan iklim karena Indonesia adalah negara yang rentan terhadap perubahan
tersebut baik dilihat dari segi ekonomi maupun aspek lainnya. Sedangkan contoh
langkah penyelenggaraan lingkungan hidup dalam penyelenggaraan sumber daya
hutan adalah mempertimbangkan besarnya tingkat kerusakan sumber daya hutan
akibat pemanfaatan hasil hutan kayu, kecilnya keuntungan yang diperoleh
masyarakat sekitar hutan dari pola pemanfaatan hasil kayu tersebut, dan
mempertimbangkan hutan sebagai penyimpan karbon (carbon sink), maka
diperlukan juga pergeseran tekanan penyelenggaraan sumber daya hutan dari
pola tree management menjadi pola forest ecosystem management. Pergeseran
paradigma penyelenggaraan sumber daya hutan ini mensyaratkan ditingkatkannya
pemahaman tentang penyelenggaraan ekosistem hutan melalui program penelitian
yang terencana secara sistematis.
Contoh lain langkah penyelenggaraan lingkungan hidup dalam penyelenggaraan
sumber daya berbasis pertanian adalah peninjauan ulang, revisi, dan mengubah
kebijakan di bidang pertanian dengan memasukkan prinsip-prinsip pertanian
berkelanjutan berbasis masyarakat. Sedangkan contoh langkah penyelenggaraan
lingkungan hidup dalam penyelenggaraan sumber daya hayati adalah
pengembangan dan implementasi pendekatan yang terintegrasi seperti pendekatan
21
ekosistem dalam setiap kegiatan ekonomi yang memanfaatkan lingkungan hidup
dan sumber daya hayati yang terdapat didalamnya.
Langkah penyelenggaraan lingkungan hidup dalam penyelenggaraan sumber daya
kelautan dan pesisir adalah pembuatan strategi penyelenggaraan wilayah pesisir,
rencana zonasi meliputi alokasi spasial dan penyelenggaraan pemanfaatan, rencana
penyelenggaraan yang meliputi panduan daerah tentang prioritas dan pemanfaatan
sumber daya yang ada, dan rencana pelaksanaannya. Pada pelaksanaannya di
atas dalam hal pengambilan keputusan perlu transparan dan partisipasif, demikian
juga dalam hal implementasi, pemantauan dan evaluasi. Sedangkan contoh langkah
penyelenggaraan lingkungan hidup dalam penyelenggaraan sumber daya air bersih
adalah koordinasi pelaksanaan UU No. 22 tahun 1999 diantara kepala daerah
dalam eksploitasi air dan penyelenggaraannya secara serius melalui program
penyelenggaraan air terpadu dengan memperhatikan peningkatan akses terhadap
air bersih, konservasi air dan partisipasi masyarakat.
Langkah keempat adalah penyelenggaraan lingkungan hidup dalam pembangunan
kesehatan dan pembangunan berkelanjutan. Penyelenggaraan lingkungan hidup
yang dilakukan adalah peningkatan pelayanan kesehatan primer melalui
PUSKESMAS dan POSYANDU dengan secara partisipatif terhadap masyarakat dengan
mempertimbangkan nilai, keyakinan dan norma budaya. Untuk itu perlu komunikasi
inovasi antara pihak pemberi pelayanan dan penerima pelayanan.
Langkah kelima adalah penyelenggaraan lingkungan hidup dalam penyelenggaraan
pemukiman. Langkah penyelenggaraan lingkungan hidup dalam penyelenggaraan
pemukiman adalah merencanakan dan melaksanakan pembangunan pemukiman
terpadu yang memperhatikan kondisi lokal yaitu kondisi ekosistem, lapangan
pekerjaan, pelayanan masyarakat, keragaman sosial budaya dan sosial ekonomi.
Termasuk isu penting adalah partisipasi kelompok utama dan pemberdayaan
masyarakat untuk memfasilitasi pembangunan pemukiman yang spesifik lokal.
Kelima langkah penyelenggaraan lingkungan hidup tersebut merupakan
keseimbangan yang penting dalam format keadilan masa depan. Tanpa adanya
keseimbangan tersebut maka kemakmuran ekonomi politik yang ada tidak berumur
panjang, yang pada akhirnya akan menyeret bangsa Indonesia menuju krisis
ekonomi yang berkelanjutan.
22
c. Keterkaitan Struktur Ekonomi Politik Pembangunan Indonesia dengan
Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup.
Sebagai akibat dari ekonomi politik pembangunan Indonesia yang konvensional
maka laju pertumbuhan kemakmuran (potensial welfare) yang diharapkan
menghasilkan beberapa distorsi. Distorsi ini tidak saja berlaku bagi bidang ekonomi
dan politik saja, melainkan meluas sampai ke bidang sosial dan lingkungan.
Belum diterapkannya prinsip Good Governance dalam dunia politik membawa efek
negatif bagi pelaksanaan kebijakan ekonomi politik pembangunan di Indonesia
(Surna Tjahja Djajadiningrat : 28). Pada akhirnya kegagalan pelaksanaan kebijakan
tersebut berakibat buruk bagi bidang sosial dan lingkungan. Kasus kegagalan
yang sering kali mencuat diantaranya kasus penyelenggaraan infrastruktur, tata
kota dan lahan, dan pelanggaran lingkungan merupakan kasus kegagalan yang
terus menerus berlangsung tanpa penyelesaian yang tuntas.
Dalam kasus penyelenggaraan infrastruktur air bersih misalnya, 2002-2003 Global
Competitiveness Report merujuk bahwa kualitas infrastruktur Indonesia secara
keseluruhan berada di urutan ke-64 dari 80 negara. Survei lain oleh Bank Dunia
untuk 12 negara di Asia dan Australia menunjukkan, dalam hal penyediaan air
bersih, Indonesia berada di urutan ketujuh, dengan hanya 16 persen dari populasi
yang memiliki akses air bersih (Nila Ardhianie : 1). Rancangan Undang-Undang
Sumber Daya Air versi terakhir pembahasan Panitia Kerja Komisi IV DPR telah
dibuat. Pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) SDA sendiri sudah
mendekati final. Meskipun kontroversi dan penolakan muncul di sana-sini,
kenyataannya panitia kerja (panja) menyetujui berbagai pasal yang sebelumnya
menggantung dan menimbulkan perdebatan keras, di antaranya soal ekspor air
dan pembiayaan irigasi. Beberapa ahli bahkan mengatakan, versi RUU hasil panja
justru memiliki kualitas lebih rendah dibanding draf sebelumnya. Misalnya, masalah
koordinasi yang selama ini menjadi momok dalam pengelolaan apa saja di
Indonesia masih tumpang tindih, tidak jelas. Kebingungan dalam pembagian
peran jelas terlihat dalam RUU. Besar kemungkinan hal ini dipicu arah kebijakan
SDA ke depan yang akan amat mengurangi peran pemerintah, baik dalam
pengelolaan di desa maupun kota. Pengelolaan di kota secara bertahap akan
diserahkan kepada swasta, sementara di desa diserahkan kepada masyarakat
petani. Ke depan, tugas dan wewenang pemerintah hanya dalam penetapan alokasi
air, pengawasan mutu pelayanan, memfasilitasi pengaduan masyarakat, dan
23
memberi izin pengusahaan. Pengelolaan oleh swasta seperti terjadi di DKI Jakarta
dan berbagai variannya sering disebut privatisasi. Banyak ahli mendefinisikan
privatisasi sebagai pengalihan sebagian atau seluruh aset/pengelolaan dari
perusahaan publik ke swasta.
Hal penting lain yang perlu dicermati dari RUU ini adalah akan diberlakukannya
sistem hak guna air yang terbagi atas hak guna pakai dan hak guna usaha. Hak
guna pakai diperoleh tanpa izin untuk kebutuhan pokok dan pertanian rakyat.
Adapun hak guna usaha diberikan kepada perorangan atau badan usaha. Izin
untuk hak guna usaha dikeluarkan pemerintah atau pemerintah daerah (pemda)
sesuai kuota air yang ditetapkan. Dalam pelaksanaannya, hak guna akan diberikan
dalam satu kesatuan dokumen perizinan, mencakup jumlah alokasi air baku dalam
satuan tertentu, izin lokasi pengambilan, jangka waktu, dan persyaratan teknis.
Para ahli mengatakan bahwa di masa depan perdagangan air merupakan
konsekuensi logis memperlakukan air sebagai economic good sehingga alokasinya
harus ditentukan pasar kompetitif yang akan segera diberlakukan di Indonesia.
Artinya jika alokasi penjualan hak guna pakai dirasakan lebih rendah dari hak
guna usaha sejumlah air maka kompensasi harus diatur untuk membayar pemilik
hak guna pakai.
Dalam penelitian LPEM-FEUI melihat bahwa target pertumbuhan ekonomi sebesar
6-7 persen pada tahun 2006 tampaknya sulit tercapai tanpa peningkatan signifikan
perbaikan infrastruktur. Apalagi dengan rasio elektrifikasi Indonesia yang hanya
53,4 persen. Dengan persentase sebesar itu, Indonesia berada di urutan ke-11
dari 12 negara di Asia. Padahal dengan peningkatan infrastruktur kelistrikan
tersebut justru mendorong berkurangnya masyarakat miskin. Dibutuhkan waktu
paling tidak 10 tahun untuk mengejar ketertinggalan ini. Wajar jika masalah
infrastruktur menjadi isu penting dalam sidang CGI. Persoalannya, anggaran
merupakan kendala yang dihadapi pemerintah dalam memperbaiki infrastruktur
ini. Kita bisa melihat, dalam struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah,
persentase pengeluaran pembangunan hanya berkisar 70 persen dari total
pengeluaran pemerintah. Padahal anggaran pembangunan adalah kunci investasi
pemerintah, termasuk untuk infrastruktur. Dalam hal ini memang bantuan
pembiayaan dari luar amat diharapkan. Ironisnya, kemampuan untuk menggunakan
bantuan asing secara maksimal masih relatif rendah.
24
Kasus tata kota dan lahan juga menjadi masalah penting. Dalam sistem ekonomi
global dengan pertumbuhan ekonomi sebagai ukuran keberhasilan, satu-satunya
perkara penting bagi penguasa kota adalah bagaimana mengintensifkan dan
memperluas pasar demi keuntungan tinggi. Dalam sistem macam itu, kota dipahami
dan dikelola sebagai badan usaha sekaligus pasar, yang di dalamnya segala sesuatu
bisa dijual (tak terkecuali ruang). Warga kota dipandang tak lebih sebagai
konsumen. Sebagai pasar, kota dikembangkan dengan membangun pusat bisnis
dan perdagangan skala besar, termasuk perkantoran, apartemen, dan rumah
mewah. Pembangunan supermarket, mal, plaza, dan pusat-pusat perbelanjaan
dijadikan jalan tunggal pertumbuhan kota sekaligus solusi kemacetan ekonomi
kota. Tata ruang kota diabaikan. Kota dikelola dengan manajemen serba spontan.
Sebagai contoh nyata, perkembangan Kota Jakarta telah begitu menyimpang
dari Rencana Umum Tata Ruang Kota (RUTR) 19852005. Jakarta menjadi kota
inefisien dan tidak nyaman. Banjir tahunan menghanyutkan miliaran rupiah,
selain korban jiwa dan orang sakit. Daerah rawan banjir meluas. Bukan hanya
konsumsi ruang untuk kegiatan komersial yang meningkat, tetapi juga konsumsi
mobil pribadi. Tahun 2002, dari 3.870.758 populasi kendaraan bermotor di Jakarta,
91,3 persen (3,53 juta unit) kendaraan pribadi dan 2,5 persen (96.750) kendaraan
umum. Dengan jumlah itu, kendaraan pribadi hanya bisa mengangkut 42,8 persen
dari jumlah orang yang bepergian dalam sehari, sementara kendaraan umum
yang populasinya 2,5 persen mengangkut 57,2 persen sisanya. Laju rata-rata
(commuting time), meningkat menjadi 79 menit tahun 2000. Artinya, kemacetan
kian menjadi-jadi akibat kesemrawutan kota dan tingginya populasi mobil pribadi.
Meningkatnya jumlah penduduk miskin di kota-kota besar justru jadi indikator
meningkatnya ketimpangan sosial dan ketidakberesan manajemen kota. Bukan
sebaliknya, penduduk miskin sebagai sumber persoalan kota. Konsep kota sebagai
badan usaha sekaligus pasar menyembunyikan gagasan, sebuah kota yang berhasil
hanya dihuni oleh individu-individu yang berhasil. Keberhasilan individu diukur
dari tingginya daya beli. Semakin kota dihuni banyak individu berdaya beli tinggi,
kian berhasil kota itu sebagai badan usaha. Implikasinya, kota dirancang hanya
untuk mereka yang berdaya beli tinggi. Sementara orang-orang miskin yang ada
di luar jangkauan pasar, menjadi sasaran penertiban dan kontrol sosial. Apa yang
terjadi kini adalah kota yang sedang kehilangan orientasi. Sifat sosial yang
mendasari ada-nya kian terhapus komodifikasi ruang-ruang kota. Kota menjadi
terfragmentasi dan terpolarisasi antara yang kaya dan miskin. Bentuk kota semakin
25
homogen dan didominasi oleh hadirnya ruang-ruang komersial. Kota bukan lagi
ruang sosial, tetapi murni ruang ekonomi. Dalam ruang ekonomi, bukan hanya
suara orang miskin yang dianggap sepi, tetapi juga suara cendekiawan, mahasiswa,
dan ulama.
Kasus pelanggaran lingkungan di Indonesia merupakan akibat dari kegagalan
ekonomi politik pembangunan yang tidak tepat proses dan sasaran. Kasus
pelanggaran ini dapat dibagi menjadi 2 (dua) bagian berbeda. Pertama, kasus
pelanggaran lingkungan yang disebabkan dari proses ekonomi yang tidak berjalan
dengan benar. Kasus pelanggaran lingkungan ini merupakan akibat dari kurangnya
infrastruktur, tata kota dan lahan, dan kegiatan ekonomi yang merugikan. Contoh
kegiatan ekonomi yang merugikan adalah penjarahan dan pengalihfungsian
kawasan hutan menjadi kawasan pertanian di Kabupaten Garut (di bagian atas
Gunung Mandalawangi) (Konflik Politik, Korupsi, dan Kerusakan Lingkungan : 1).
Kegiatan ini meningkatkan luas lahan kritis di kabupaten ini mencapai 100.000
hektar dan menjadi faktor penyebab terjadinya longsor. Sekedar informasi bahwa
sepanjang tahun 2003, sebenarnya banyak bencana alam tanah longsor dan banjir
di wilayah Jabar. Sebagaimana disampaikan para ahli geologi, sebagian besar
wilayah Jabar, terutama Jabar bagian selatan, memang rawan longsor karena
kondisi tanah yang kurang padat. Di sisi lain, kesadaran warga dan para pengelola
hutan untuk mempertahankan kawasan hutan cukup memprihatinkan. Semestinya
peringatan para pakar geologi di atas ditanggapi dengan perilaku yang lebih
berhati-hati dan berpikir ke depan dalam memanfaatkan potensi alam, khususnya
potensi hutan. Namun, semua itu tersisihkan oleh kepentingan pribadi dan
kepentingan jangka pendek. Dalam lima tahun terakhir, perusakan hutan di Jabar
mencapai 100.000 hektar per tahun.
Pada setiap kejadian bencana alam, warga umumnya menerima dengan pasrah
derita yang harus mereka hadapi. Akibatnya, hampir tidak pernah ada perbaikan
yang menyeluruh atau evaluasi yang benar-benar mendalam untuk memastikan
tentang penyebab bencana ataupun langkah-langkah penanggulangannya agar
tidak terjadi di daerah-daerah lain. Kalaupun ada mereka mengajukan gugatan
perwakilan (class action) kepada pihak yang dianggap pelanggar lingkungan
melalui Pengadilan Negeri (PN). Sayangnya, walaupun gugatan tersebut berhasil
dikabulkan namun proses selanjutnya-akibat rumitnya jalur birokrasi dan politik-
telah mengaburkan perjuangan menuntut keadilan para warga korban bencana
alam.
26
Kedua, kasus pelanggaran lingkungan yang disebabkan dari kegagalan pemerintah
setempat untuk mengkoordinasikan pelaksanaan perbaikan lingkungan. Kasus
pengadaan rumpon di Kabupaten Belu dan di Kupang misalnya, yang menelan
dana Rp 8,1 miliar untuk pengadaan sekitar 575 unit rumpon bagi nelayan (Konflik
Politik, Korupsi, dan Kerusakan Lingkungan : 2). Prosesnya bermasalah dan negara
dirugikan Rp 3,4 miliar. Dalam beberapa kasus selanjutnya, penulis akan
merumuskannya dalam bab berikutnya.
27
E
k
o
n
o
m
i

P
o
l
i
t
i
k

P
e
m
b
a
n
g
u
n
a
n
N
e
g
a
r
a

D
u
n
ia

K
e
t
i
g
a
(
B
e
r
k
e
m
b
a
n
g
)
P
r
o
s
e
s

E
k
o
n
o
m
i

y
a
n
g

T
id
a
k
B
e
r
j
a
l
a
n

D
e
n
g
a
n

B
e
n
a
r
(
K
e
g
a
g
a
l
a
n

E
k
o
n
o
m
i
P
e
m
b
a
n
g
u
n
a
n
)
M
a
s
a
l
a
h

R
e
k
l
a
m
a
s
i

d
i
d
a
e
r
a
h

r
a
w
a
n

b
a
n
j
i
r
.
M
a
s
a
l
a
h

k
e
r
u
s
a
k
a
n

h
u
t
a
n
.
M
a
s
a
l
a
h

p
e
n
g
g
u
n
a
a
n
s
u
m
b
e
r

d
a
y
a

l
a
u
t
.
M
a
s
a
l
a
h

k
o
n
s
e
r
v
a
s
i

d
a
l
a
m
t
i
n
j
a
u
a
n

e
k
o
n
o
m
i

d
a
n
p
o
l
i
t
i
k
.
M
a
s
a
l
a
h

p
e
n
g
a
d
a
a
n

t
e
n
a
g
a
l
i
s
t
r
i
k

y
a
n
g

m
u
r
a
h
M
a
s
a
l
a
h

s
a
m
p
a
h
M
a
s
a
l
a
h

p
e
n
c
e
m
a
r
a
n
l
i
m
b
a
h

i
n
d
u
s
t
r
i
,

t
a
m
b
a
n
g
,
d
a
n

p
e
t
e
r
n
a
k
a
n
M
a
s
a
l
a
h

p
e
m
e
k
a
r
a
n

k
o
t
a
b
e
s
a
r

d
a
l
a
m

e
r
a

r
e
f
o
r
m
a
s
i
.
K
u
r
a
n
g
n
y
a

I
n
f
r
a
s
t
r
u
k
t
u
r
P
e
n
a
t
a
a
n

K
o
t
a

d
a
n

L
a
h
a
n
y
a
n
g

t
i
d
a
k

b
e
n
a
r
K
e
g
i
a
t
a
n

E
k
o
n
o
m
i

y
a
n
g
M
e
r
u
g
i
k
a
n
K
e
g
a
g
a
l
a
n

K
o
o
r
d
in
a
s
i
d
a
l
a
m

P
e
l
a
k
s
a
n
a
a
n
P
e
r
b
a
i
k
a
n

L
i
n
g
k
u
n
g
a
n
(
K
e
g
a
g
a
l
a
n

P
o
l
i
t
i
k
P
e
m
b
a
n
g
u
n
a
n
)
M
a
s
a
l
a
h

p
e
n
a
n
g
a
n
a
n

k
a
s
u
s
b
e
n
c
a
n
a

a
l
a
m
.
M
a
s
a
l
a
h

p
e
n
g
e
l
o
l
a
a
n
S
u
m
b
e
r

D
a
y
a

A
l
a
m
t
e
r
b
a
r
u
k
a
n

d
a
n

t
i
d
a
k
t
e
r
b
a
r
u
k
a
n
.
M
a
s
a
l
a
h

p
e
n
g
e
l
o
l
a
a
n
s
u
m
b
e
r

d
a
y
a

l
a
u
t
.
M
a
s
a
l
a
h

p
e
n
g
a
d
a
a
n
S
u
m
b
e
r

D
a
y
a

A
i
r
I
I
.
S
K
E
M
A

H
U
B
U
N
G
A
N

A
N
T
A
R
A

I
S
U

E
K
O
N
O
M
I

P
O
L
I
T
I
K

P
E
M
B
A
N
G
U
N
A
N

D
E
N
G
A
N

P
E
N
G
E
L
O
L
A
A
N
L
I
N
G
K
U
N
G
A
N
.
28
III. PERMASALAHAN EKONOMI POLITIK PEMBANGUNAN.
Untuk menilai sejauh mana isu lingkungan telah dilaksanakan dalam
penyelenggaraan ekonomi politik pembangunan maka perlu dilakukan pengukuran
terhadap kinerja penyelenggara lingkungan selama periode pengamatan tahun
2001-2003, sehingga dalam pemetaan langkah kerja bagi penyelenggara
lingkungan tahun 2004-2009 dapat tercapai. Pengukuran kinerja penyelenggara
lingkungan ini dilakukan dengan menggunakan tabel matrik berisikan masalah,
uraian masalah, langkah yang sudah dilakukan, status, stakeholder yang terkait,
dan bidang prioritas.
Masalah berisikan pandangan umum mengenai permasalahan isu ekonomi, politik,
dan sosial yang berkaitan erat dengan masalah lingkungan. Uraian masalah
berisikan signifikansi dan verifikasi masalah yang telah terjadi selama periode
pengamatan. Langkah aktual berisikan langkah-langkah penanganan masalah
tersebut yang telah dilakukan selama ini. Status berisikan situasi dan kondisi
yang sekarang terjadi. Stakeholder yang terkait berisikan pelaku penanganan
masalah tersebut selama ini. Sedangkan Bidang prioritas berisikan pengelompokan
masalah dan keterkaitan masalah tersebut menjadi bidang-bidang tertentu yang
berhubungan dengan lingkungan.
Masalah
Arah
Pembangunan
Indonesia era
Reformasi
Uraian Masalah
Arah
pembangunan
Indonesia yang
masih bertujuan
untuk
meningkatkan
pendapatan
secara ekonomi
merupakan
aturan yang
belum berubah.
Sedangkan
pengembangan
lingkungan
belum menjadi
prioritas penting
dalam
pembangunan
Indonesia.
Yang Sudah
Dilakukan
Perbaikan
masalah ekonomi
terutama
perbaikan nilai
kurs mata uang,
sedangkan
masalah
lingkungan masih
Second option.
Isu lingkungan
selalu masuk
dalam
propaganda
politik, namun
pelaksanaannya
selalu
dikorbankan oleh
kepentingan
ekonomi.
Status
Dalam sudut
pandang ekonom
adalah baik
(walaupun
stagnan), namun
dalam sudut
lingkungan
kurang baik.
Keseimbangan
pasar masih
memungkinkan
lahirnya konsep
Money Politics
di masa depan.
Stakeholder
yang Terkait
Pemerintah
Pusat
Pemerintah
Otonom
Propinsi
Pemerintah
Kabupaten /
Kota
Partai Politik
Bidang
Prioritas
Ekonomi
Lingkungan
29
Otonomi Daerah
sebagai alternatif
lebih baik bagi
sistem ekonomi
politik di
Indonesia
Kesalahan sistem
sentralisasi
menyebabkan
lahirnya sistem
desentralisasi
yang lebih
menguntungkan
masyarakat
daerah
Pengaturan
lewat hukum
yang berlaku
(UU No. 22
tahun 1999
dan PP No. 25
tahun 2000).
Pemekaran
daerah menjadi
beberapa
propinsi /
kabupaten /
kota yang
baru.
Masih berupa
wacana di
tingkat pusat.
Walaupun
sudah
dilakukan
secara
operasional di
daerah.
Tawar-menawar
masalah
pembagian
keuangan
pusat dan
daerah masih
berlangsung.
Pemerintah
Indonesia bakal
terkena kartu
kuning dari CGI
yang berakibat
pada pinjaman
jangka panjang
yang telah
dicanangkan.
Apalagi dengan
belum terungkap
bukti-bukti
pelaksanaan
pencurian kayu
tersebut (belum
pernah
tertangkap
tangan). Tawar
menawar antar G
to G tetap
berlangsung.
Pemerintah
Pusat
Pemerintah
Otonom
Propinsi
Pemerintah
Kabupaten /
Kota
Ekonomi
Lingkungan
CGI akan
mengevaluasi
keseriusan
Indonesia
mengatasi
perusakan hutan.
Tidak cukup
kementerian
kehutanan saja
untuk menangkap
pembabat hutan.
Di sisi lain ada
indikasi
pemerintah dan
partai politik
setempat
merupakan
backing bagi
penebang liar
tersebut.
Masalah
Kehutanan di
Indonesia.
Dilakukan
evaluasi CGI
terhadap kinerja
pengawasan
hutan. Secara
operasional
dilakukan
penyisiran
sawmill untuk
memastikan kayu
tersebut legal
atau tidak.
Consultative
Group on
Indonesia
(CGI).
Yayasan
Telapak
Indonesia.
Koordinator
daerah Antar
Kabupaten.
Badan
Pengawasan
Keuangan dan
Pembangunan.
Kepolisian dan
Brimob
Dinas
Kehutanan
Lembaga
Investigasi
Lingkungan
(EIA)
Departemen
Kehutanan
Bapedal
Daerah
(Pengendalian
Kerusakan
Ekosistem
Pesisir dan
Laut)
Ekonomi
Politik
Lingkungan
Ekonomi
Politik
Lingkungan
Masih tahap
rencana dan
imbauan. Tawar
menawar terus
berlangsung.
Masih
perdebatan,
namun secara
teori dapat
Sumber daya laut
menjadi SDA
Potensial di
masa depan.
Namun
perangkat hukum
dan penanganan
pencemaran
masih lemah.
Masalah
penggunaan
sumber daya laut
dan pencemaran
yang terjadi.
Rencana
kerjasama
dengan
pemerintah
Norwegia untuk
membentuk
perusahaan yang
bertugas
menangani
30
Pencemar
lingkungan bisa
menempuh jalur
damai dengan
ganti rugi di
bawah harga.
(UU Nomor 23/
1997 Pasal 30).
Penetapan
internasional
bahwa laut bukan
tong sampah
bagi limbah
tambang. Bukan
juga di darat dan
di sungai.
masalah ini.
Rencana
pembuatan peta
indeks
sensitivitas
lingkungan (ISL).
Masih taraf
perdebatan dan
penjaminan
bahwa tangki
penyimpan dan
pipa tailing tidak
bocor, sehingga
bahaya
Submarine
tailing disposal
(STD) berakibat
kecil bagi
lingkungan.
Lahirnya Konsep
Desa Konservasi
yang memberi
alternatif bagi
masyarakat agar
tak merusak
hutan buat
menyambung
penghidupannya.
diterima bahwa
ampas tambang
dapat saja
dibuang ke dasar
laut.
LSM hukum
Lingkungan
Divisi Advokasi
dan
Penyelesaian
Sengketa
(ICEL)
Pemda
KLH
BPPT
Departemen
Kelautan
Newmont.
WALHI.
Pemerintah
Kanada.
Pemerintah
Papua New
Guinea.
Taman Nasional
LSM Kelompok
Usaha Bersama
Universitas
Negeri
Hotel dan
Resort
Geliat Reformasi
yang kebablasan
membuat
tindakan
penduduk di
beberapa daerah
dalam wilayah
Taman Nasional
menyerobot
Lahan,
menebangin
hutan, dan
menjadikannya
lahan pertanian.
Bom digunakan
pula di laut.
Masalah proyek
reklamasi yang
tidak layak secara
lingkungan.
Belum adanya
konsep yang
jelas dan
lengkap
membuat
gagasan itu
masih jauh dari
realita.
Komitmen
Stakeholder baru
tercapai dengan
tawar menawar.
Masalah
konservasi dalam
tinjauan
ekonomi dan
politik.
Ekonomi
Politik
Lingkungan
Masalah
Reklamasi di
daerah rawan
banjir.
Perdebatan
antara
kementerian LH
dengan rencana
Pemerintah
Otonom.
Baru taraf Master
Plan yang masih
buntu jalan
tengahnya.
Indikasi tawar
menawar juga
terjadi.
Menteri Negara
Lingkungan
Hidup.
Gubernur
Daerah
Otonom
BPPT.
BP Pantura.
PLTGU Muara
Karang dan
Tanjung Priok.
Politik
Lingkungan
31
Masalah
pengadaan
tenaga listrik
yang murah
dengan
menggunakan
sumber daya
yang melebihi
ambang batas
emisi. Contoh :
PLTU di
Indonesia.
Karena krisis
ekonomi yang
berkepanjangan
menyebabkan
kebanyakan PLTU
di Indonesia
membuang emisi
SO2 melampau
ambang batas.
Mengajukan
alternatif
penggunaan
flue gas
desulfurization
(FGD) yang
bisa
memangkas
emisi hingga
160 persen.
Diperkenal
kannnya Baku
mutu emisi
sumber tidak
bergerak (Kep.
13/MENLH/3/
1995) di mana
emisi < 750
mg per m
3
.
Imbauan Sistem
Sanitary Landfill
untuk digunakan
bagi setiap
penimbunan
sampah di
daerah.
Belum
ditindak
lanjuti karena
harganya
milyaran
rupiah.
Tawar
menawar
waktu
pelaksanaan
batas
maksimum
emisi.
Kantor Menteri
Lingkungan
Hidup.
Biro
Lingkungan
dan Teknologi
Departemen
Pertambangan
dan Energi.
Badan
Pengkajian
dan Penerapan
Teknologi
(BPPT).
Ekonomi
Politik
Lingkungan
Masalah sampah
dalam tinjauan
ekonomi dan
politik.
Tidak adanya
dana
pengembangan
wilayah dan
konsep garis
politik yang jelas
menyebabkan
masalah sampah
terabaikan dan
mengancam
Pencemaran air
tanah.
Limbah industri
telah mengalir ke
pesawahan dan
sungai
mengakibatkan
epidemi gondok.
Hasil tes
laboratorium
memperkuat
adanya logam
berat, tapi
pemerintah tak
juga bertindak.
Pencemaran
limbah padat
(sludge) yang
telah menjadi
black liquor telah
Keberhasilannya
dipertanyakan
karena
diperlukan
anggaran yang
sangat besar
(Rp. 12 Milyar
per penimbunan
sampah per
tahun).
Tim peneliti
antar
Pemerintah
Kabupaten
yang terkait.
Kepala Seksi
Pemusnahan
Sampah.
Ekonomi
Politik
Lingkungan
Masalah
pencemaran
limbah industri,
tambang, dan
peternakan
dalam tinjauan
ekonomi dan
politik.
Pengungkapan
secara kimiawi
tentang
kandungan
dan kadar
limbah padat
di daerah
tersebut.
bekerjasama
dengan
institusi
penelitian
(contoh Balai
Besar Selulosa
Bandung)
dalam
mengubah
limbah
Ada indikasi
saluran
siluman di
luar saluran
resmi bak
instalasi
pengolah air
limbah (IPAL).
Belum ada
tindakan
preventif
karena
perbedaan
hasil
penelitian.
Daur ulangnya
masih
terbentur
LSM
Lingkungan
Volunteer.
Dinas
Pengelolaan
Lingkungan
Hidup
Kabupaten
Dinas
Kesehatan
Universitas
Negeri.
Badan
Pengendalian
Dampak
Lingkungan
Propinsi.
Ekonomi
Politik
Lingkungan
32
Masalah
urbanisasi dan
pemekaran kota
besar dalam era
reformasi.
menumpuk di
sungai telah
menjadi sumber
penyakit ketika
hujan. Langkah
penduduk
kebanyakan
hanya menuntut
ganti rugi
sebagai
kompensasi untuk
kesehatan, dan
bukan perbaikan
lingkungan.
menjadi bahan
pendukung
produksi.
Menerima klaim
kompensasi,
dan perubahan
lingkungan
yang lebih baik
dan diatur oleh
pengadilan.
perizinan.
Keberhasilan
nya masih
dalam bentuk
penelitian.
Masih
menunggu
putusan
pengadilan
Perusahaan
Industri
LSM Riau
Mandiri
LSM Lestari
Hijau
Bapedalda
Kabupaten
Balai Besar
Selulosa
Bandung
Bapedal Pusat
KLH
Perwakilan
penduduk.
Universitas
negeri
(Laboratorium
Teknologi dan
Manajemen
Lingkungan)
dan universitas
swasta.
Pemerintah
Daerah
Propinsi dan
Kota.
LSM sosial.
Universitas
negeri
Sosial
Politik
Lingkungan
Masalah
komitmen yang
tidak jelas
menyebabkan
setelah
penggusuran
semakin
menyudutkan
nasib rakyat
kecil.
Transmigrasi
yang belum
matang terus
dipaksakan
untuk
dijalankan.
Penggusuran
dan
pembongkaran
daerah
serapan air
dan tanah-
tanah
pemerintah
yang diambil
seenaknya
oleh
penduduk.
Pemulangan
orang-orang
yang tidak
punya
pekerjaan.
Ajakan
transmigrasi
tetap
dilakukan.
Reformasi yang
ngawur membuat
tindakan
penduduk di
beberapa daerah
kota besar
seenaknya
menyerobot
lahan dan
menjadikannya
pemukiman
permanen.
Daerah serapan
air dijadikan
pemukiman.
Kesalahan pada
sistem
pemberian ijin
membangun dan
kelonggaran
tindakan dan
waktu yang
diberikan oleh
pemerintah
daerah.
33
a. Penjelasan Isi Matrik Isu Ekonomi Politik Dalam Ruang Lingkup
Lingkungan Hidup Di Indonesia.
Ekonomi politik pembangunan (selanjutnya disebut perekonomian periferi)
Indonesia sangat berbeda, malah bertentangan dengan apa yang digambarkan
dalam garis besar di sini sebagai perekonomian yang mampu berkembang. Hal
ini dapat dibuktikan sebagai berikut (Hans Dieter Senghaas : 51) :
Biasanya hanya bagian-bagian tertentu dari ekonomi pertanian yang dapat
menghasilkan barang-barang, yang dari antaranya ada yang dapat diekspor
(bahan makanan dan bahan mentah); peningkatan produktivitas pertanian
secara luas yang meliputi perbagai bidang, tidak dapat diharapkan. Untuk
itu persyaratan dasar untuk berhasilnya proses perkembangan tidak ada.
Demikian pula halnya dengan sektor bahan mentah. Walaupun produksi
sektor ini di banyak tempat memang tinggi, namun sektor tersebut dalam
banyak hal belum terpadu dengan perekonomian setempat dan oleh karena
itu, lebih merupakan ekonomi kantong (enklave).
Produksi perindustrian barang-barang konsumsi untuk rakyat banyak
ketinggalan terhadap impor barang-barang konsumsi mewah hasil
perindustrian atau dalam banyak hal lebih ketinggalan dari produksi barang-
barang konsumsi mewah hasil perindustrian domestik. Distorsi ini terlihat
pada besarnya dan, dalam beberapa hal, pada makin menonjolnya perbedaan
pendapatan rakyat di Indonesia. Jika dalam proses perkembangan, rakyat
banyak tidak berpartisipasi dalam aktivitas produksi, maka rakyat juga tidak
memperoleh pendapatan, sehingga tidak ada permintaan barang-barang
konsumsi rakyat, perpaduan antara pertanian dan perindustrian tidak
terlaksana dan perkembangan pasar dalam negeri mengalami stagnasi.
Biasanya dalam perekonomian periferi pembuatan sendiri alat-alat produksi
(peralatan tangan, barang-barang perlengkapan, teknologi) tidak dapat
dilaksanakan. Pembangunan usaha itu dihalangi oleh ikut masuknya
perekonomian itu dalam pembagian kerja internasional yang tidak seimbang:
Indonesia mengekspor ke negara industri bahan pertanian yang belum atau
sedikit diolah, bahan-bahan mentah dan barang-barang jadi yang tidak
memerlukan kerja banyak; negara industri kemudian menukarnya dengan
barang-barang jadi, mesin-mesin, teknologi, dan keahlian. Karena Indonesia
tidak memproduksi sendiri barang-barang ini maka negara ini tidak mendapat
34
dorongan untuk berkembang, juga jika persyaratan tukar-menukar antara
negara itu dengan negara industri seimbang atau adil (meskipun tidak ada
masalah dalam terms of trade). Dalam satu dua hal, di mana alat-alat produksi
dibuat sendiri, maka alat-alat itu biasanya disesuaikan dengan tingkat
pertumbuhan yang paling maju dan dengan demikian memproduksi barang-
barang perlengkapan untuk membuat barang-barang konsumsi mewah dan
prasarana yang diperlukan untuk maksud itu. (Contoh : pembuatan alat-
alat produksi suatu cabang produksi mobil pada suatu tingkat perkembangan
tertentu, yang sama sekali belum dapat melayani keperluan rakyat akan
lalu lintas, baik dengan kendaraan umum maupun dengan alat-alat lalu
lintas yang lebih sederhana seperti sepeda).
Produksi barang-barang setengah jadi sedikit diperkembangkan dan bersama
dengan kurangnya produksi barang-barang perlengkapan dan teknologi,
menciptakan ketergantungan teknologis yang sangat besar dari Indonesia
pada negara industri. Hal ini mengakibatkan ketergantungan keuangan yang
makin bertambah besar, seperti tampak pada masalah perhutangan.
Hal-hal mengenai konsumsi kolektif (misalnya pendidikan, kesehatan) serta
perkembangan prasarana, biasanya tidak menyokong tercapainya persatuan
masyarakat-masyarakat Indonesia, tetapi justru memperdalam perpecahan
masyarakat-masyarakat tersebut dalam beberapa kutub pertumbuhan (dengan
prasarana yang relatif maju) dan suatu daerah pedalaman yang luas.
Dalam perekonomian semacam ini tidak terdapat bidang-bidang yang dibutuhkan
oleh suatu masyarakat yang mampu berkembang (seperti pertanian yang kuat,
produksi barang-barang konsumsi massa, industri barang-barang perlengkapan
dan prasarana yang luas) termasuk kerugian-kerugian yang saling ditimbulkan
oleh bidang-bidang itu sendiri. Keadaan ini- untuk menggunakan teori
pembangunan Friedrich List-dapat disebut sebagai ekonomi timpang (Verkruppelt).
Masalah pokoknya bukanlah bahwa dalam perekonomian tersebut tidak dapat
diadakan pembentukan modal dan oleh sebab itu seluruh perekonomian menjadi
terhenti. Malah sebaliknya, Indonesia mempunyai pertumbuhan ekonomi yang
nyata; namun pertumbuhan itu hanya terpusat pada sedikit bidang yang disebut
kutub-kutub pertumbuhan. Perluasan pasaran dalam negeri secara besar-besaran
tidak terjadi dan tidak pula terdapat keseimbangan. Kerapuhan ini disebabkan
oleh :
35
Oleh hubungan yang tidak baik antara pertanian dan perindustrian (hubungan
ke depan dan ke belakang tidak ada).
Oleh kekurangan intensitas produksi, artinya karena kekurang-lancaran
perputaran ekonomi; sebagian dari aktivitas ekonomi, khususnya produksi
teknologi, barang-barang perlengkapan, sebagian besar barang-barang
setengah jadi dan barang-barang konsumsi dilaksanakan di negara-negara
industri. Hasil ekonomi dan sosial dari keadaan ini (kesibukan kerja,
penghasilan, kualifikasi tenaga kerja dan sebagainya) terus-menerus tidak
dapat dinikmati oleh negara-Indonesia, sehingga menimbulkan kepincangan-
kepincangan dalam struktur negeri-negeri tersebut.
Oleh kecenderungan intern yang ditimbulkan oleh sebab-sebab sosiologis
dalam tahap-tahap industrialisasi, yaitu kecenderungan untuk memenuhi
permintaan golongan-golongan yang berpenghasilan tinggi (oligarki tanah,
oligarki impor dan ekspor, kelas menengah kota, anggota-anggota sektor-
sektor jasa, administrasi pemerintahan dan militer, yang sebagiannya dari
kalangan pekerja yang mendapatkan bayaran lebih tinggi di pusat-pusat
perkotaan), sedangkan produksi barang-barang konsumsi untuk rakyat banyak
sedikit banyak terhalang oleh daya beli kelompok ini yang masih di bawah
rata-rata atau masih berkembang secara negatif.
Oleh sempitnya prasarana dalam negeri yang merupakan akibat dari tidak
lancarnya perputaran ekonomi, peredaran ekonomi dan sama sekali bukan
merupakan suatu keadaan yang timbul begitu saja.
Masalah Indonesia bukan terletak dalam ketidakmampuan mereka mengadakan
pembentukan modal, melainkan dalam pengerahan kekuatan-kekuatan ekonomi,
riil maupun potensial yang tidak tepat. Pertumbuhan ekonomi seperti ini tidak
dapat membantu membuka pasaran setempat, karena di sini terjadi pertumbuhan
tanpa perkembangan sosial. Pembukaan pasaran dalam negeri yang tidak sempurna
mempunyai berbagai sebab yaitu : Pertama, sebagian besar dari barang-barang
yang diproduksi, tidak dimaksudkan untuk pasaran dalam negeri, tetapi untuk
pasaran dunia (dalam banyak hal terdapat mono-kultur yang berorientasi ekspor).
Kedua, biasanya mesin-mesin, teknologi, dan pola konsumsi masih meniru
masyarakat industri maju. Pengalaman dalam sejarah menunjukkan, bahwa hanya
perekonomian yang sudah kuat dapat menerima tawaran teknologi dari negara-
negara industri maju, tanpa merusak perekonomian negeri itu sendiri. Negara-
36
Indonesia justru belum kuat dan oleh karena itu justru tidak cocok untuk memilih
tawaran demikian dari pasaran dunia. Struktur konvensional pembentukan modal
yang salah ini dan yang merugikan rakyat banyak adalah akibat dari
diikutsertakannya Amerika Latin, Afrika, dan Asia dalam pembagian kerja
internasional yang tidak seimbang.. Waktu negara-negara industri maju di Barat
masih berkembang melalui pembukaan pasaran dalam negeri mereka dan
memanfaatkan penawaran barang-barang dari daerah jajahan (bahan-bahan
mentah pertanian dan mineral yang murah, energi murah, dan tenaga kerja murah),
maka keterlibatan negeri-negeri Amerika Latin, Afrika, dan Asia pada kebutuhan
negeri-negeri industri, menghalangi pembukaan pasaran domestik mereka sendiri.
Keterlibatan benua-benua di bagian selatan dalam pembagian kerja internasional
yang tidak seimbang telah menyebabkan bangunan-bangunan ekonomi setempat
di wilayah-wilayah itu berubah ; dari perekonomian yang agak mengandung
kemampuan berkembang dan dapat memenuhi kebutuhan hidup langsung yang
sederhana (apa yang dinamakan ekonomi subsistensi) menjadi ekonomi periferi
yang pincang, yang dinamikanya menyebabkan akibat-akibat berikut :
Ketidak mampuan untuk melibatkan rakyat banyak secara produktif dalam
perekonomian.
Bertambahnya ketidakmampuan untuk memberi makanan kepada rakyat
banyak dengan hasil pertanian setempat.
Ketidakmampuan untuk menemukan dan membuat alat-alat produksi sendiri
(peralatan tangan, barang-barang perlengkapan, teknologi) dan
ketidakmampuan mengadakan penyesuaian terhadap barang-barang yang
diproduksi di tempat lain dengan kebutuhan setempat.
Ketidakmampuan untuk mengatur pertumbuhan penduduk, yang diakibatkan
oleh kekacauan-kekacauan di bidang sosio-ekonomi.
Ketidakmampuan untuk menerapkan sendiri kemajuan teknik pada situasi
setempat dan untuk mengubah struktur yang telah diambil-alih.
Ketidakmampuan untuk menahan proses meluasnya perpecahan intern yang
nyata (heterogenitas struktural) dan memulihkannya.
37
Ketidakmampuan untuk menghormati, dalam peraturan yang berlaku hak-
hak politik rakyat banyak dan martabat manusia. Proses pengawasan politik
makin diperketat secara dramatis sejak jaman perjuangan kemerdekaan
politik.
Dari dialektika pertumbuhan yang salah arah dan kesengsaraan rakyat,
tumbuhlah pertentangan sosial besar, yang menjadi latar belakang
bertambahnya kekuasaan militer dalam masyarakat Indonesia.
Dibutuhkan suatu gambaran yang jelas mengenai struktur dasar dari perekonomian
Indonesia untuk memperoleh garis-garis pedoman untuk dapat membantu politik
pembangunan. Jika perekonomian Indonesia secara konvensional dianggap sebagai
tradisional-terbelakang, yang dibedakan dari perekonomian modern dari Barat
atau timur, maka berarti mereka hanya dianggap edisi-edisi kecil tahap awal dari
bangunan ekonomi Barat atau Timur, yang tinggal digerakkan saja, sehingga
kegagalan politik pembangunan dalam strategi yang membangun di atas
perekonomian Indonesia itu sebetulnya sudah inheren dalam interprestasi
semacam itu. Hal ini telah dibuktikan dengan nyata oleh kegagalan ekonomi
politik pembangunan dalam dasawarsa-dasawarsa yang silam.
b. Kendala-kendala dalam mewujudkan penyelenggaraan lingkungan hidup
yang lebih baik.
Dalam konteks ekonomi politik, perwujudan penyelenggaraan lingkungan hidup
yang lebih baik memiliki beberapa kendala yang dapat dibagi menjadi 2 (dua)
jenis kendala besar yaitu kendala eksternal dan kendala internal. Kendala eksternal
adalah kendala yang ditemui di lapangan dan di luar otoritas pemerintah untuk
menyelesaikannya. Sedangkan kendala internal adalah kendala yang berada pada
tubuh pemerintah untuk menjalankannya. Contoh kendala-kendala ini akan
dijelaskan pada sub bab berikut.
1. Kendala Eksternal.
Dalam prakteknya pemerintah Indonesia sering mendapatkan kendala eksternal
dalam melakukan penyelenggaraan lingkungan hidup yang lebih baik. Sebagian
besar kendala-kendala ini merupakan kendala yang diakibatkan oleh reaksi negatif
masyarakat dari adanya krisis ekonomi dan politik. Reaksi negatif tersebut
38
merupakan hasil reaksi masyarakat yang melihat bahwa reformasi merupakan
kebebasan yang absolut sehingga mereka melakukan tindakan-tindakan yang
melawan hukum dan merusak kelestarian lingkungan hidup.
Kendala pertama yang harus dihadapi adalah kendala klaim yang dilakukan oleh
beberapa oknum masyarakat sipil yang tidak bertanggung jawab terhadap
kelestarian lingkungan hidup hidup yang telah ada. Contoh nyata adalah masalah
urbanisasi dan pemekaran kota besar dalam era reformasi. Reformasi yang ngawur
membuat tindakan penduduk di beberapa daerah kota besar seenaknya menyerobot
lahan dan menjadikannya pemukiman permanen. Daerah serapan air dijadikan
pemukiman. Tindakan yang dilakukan oleh pemerintah adalah dengan melakukan
penggusuran dan pembongkaran daerah serapan air dan tanah-tanah pemerintah
yang diambil seenaknya oleh penduduk, pemulangan orang-orang yang tidak
punya pekerjaan, dan ajakan transmigrasi yang tetap dilakukan. Masalah ini
semakin berbuntut panjang karena masalah komitmen yang tidak jelas
menyebabkan setelah penggusuran semakin menyudutkan nasib rakyat kecil,
sedangkan program transmigrasi yang belum matang terus dipaksakan untuk
dijalankan. Masalah konservasi dalam tinjauan ekonomi dan politik. Geliat
Reformasi yang kebablasan membuat tindakan penduduk di beberapa daerah dalam
wilayah Taman Nasional menyerobot Lahan, menebangin hutan, dan
menjadikannya lahan pertanian. Bom digunakan pula di laut. Lahirnya Konsep
Desa Konservasi yang memberi alternatif bagi masyarakat agar tak merusak hutan
buat menyambung penghidupannya. Belum adanya konsep yang jelas dan lengkap
membuat gagasan itu masih jauh dari realita.
Kendala kedua yang harus dihadapi adalah kendala pencurian sumber daya alam
penting oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. Contoh nyata adalah
masalah masalah kehutanan di Indonesia. Langkah operasional dilakukan
penyisiran sawmill untuk memastikan kayu tersebut legal atau tidak. Namun
tetap saja belum terungkap bukti-bukti pelaksanaan pencurian kayu tersebut
(belum pernah tertangkap tangan).
Kendala ketiga yang harus dihadapi adalah kendala pencemaran secara sengaja
yang dilakukan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. Contoh pertama
adalah masalah pencemaran limbah industri, tambang, dan peternakan. Limbah
industri telah mengalir ke pesawahan dan sungai mengakibatkan epidemi penyakit.
Ada indikasi saluran siluman di luar saluran resmi bak instalasi pengolah air
39
limbah (IPAL). Ada indikasi saluran siluman di luar saluran resmi bak instalasi
pengolah air limbah (IPAL). Pencemaran limbah padat (sludge) yang telah menjadi
black liquor telah menumpuk di sungai telah menjadi sumber penyakit ketika
hujan. Langkah yang dilakukan baru pengungkapan secara kimiawi tentang
kandungan dan kadar limbah padat di daerah tersebut. Contoh kedua adalah
masalah penggunaan sumber daya laut dan pencemaran yang terjadi. Sumber
daya laut masih menjadi kuburan sampah bagi beberapa industriawan di Indonesia,
melalui jalur sungai. Contoh ketiga adalah masalah pengadaan tenaga listrik
yang murah dengan menggunakan sumber daya yang melebihi ambang batas
emisi. Contoh : PLTU di Indonesia. Karena krisis ekonomi yang berkepanjangan
menyebabkan kebanyakan PLTU di Indonesia membuang emisi SO2 melampau
ambang batas. Langkah yang dilakukan adalah mengajukan alternatif penggunaan
flue gas desulfurization (FGD) yang bisa memangkas emisi hingga 160 persen.
Diperkenalkannnya Baku mutu emisi sumber tidak bergerak (Kep. 13/MENLH/3/
1995) di mana emisi < 750 mg per m
3
. Sayangnya langkah ini terhenti karena
harganya milyaran rupiah.
2. Kendala Internal.
Dalam kaidah institusi dan hukum, pemerintah Indonesia sering pula melakukan
kesalahan pula dalam melakukan penyelenggaraan lingkungan hidup yang lebih
baik. Sebagian besar kendala-kendala ini merupakan kendala yang diakibatkan
oleh kurang kuatnya komitmen pemerintah terhadap penyelenggaraan lingkungan
hidup.
Kendala pertama adalah masalah koordinasi antar institusi dalam penyelenggaraan
lingkungan hidup yang lebih baik. Contoh nyata adalah masalah reklamasi di
daerah rawan banjir dimana proyek reklamasi tersebut tidak layak secara
lingkungan hidup. Perdebatan antara kementerian LH dengan rencana Pemerintah
Otonom memperlihatkan tidak adanya koordinasi yang benar dalam tubuh
pemerintah.
Kendala kedua adalah masalah kedudukan pemerintah yang secara institusi dan
hukum tidaklah kuat. Indikasi tawar menawar selalu terjadi dalam setiap ancaman
kerusakan lingkungan hidup. Tawar-menawar tersebut bisa saja berupa tawar
menawar waktu pelaksanaan batas waktu maksimum dan pemberian kelonggaran
tindakan dan waktu yang diberikan oleh pemerintah daerah, tawar menawar antar
40
pemerintah dengan negara pemberi pinjaman (tanpa tujuan penyelenggaraan
lingkungan hidup didalamnya), kesalahan perizinan (contoh sistem pemberian
ijin membangun), tawar-menawar komitmen stakeholder, perdebatan dan
penjaminan hasil penelitian (perbedaan hasil penelitian menghambat langkah
penyelesaian), bahkan yang terburuk adalah tawar-menawar ganti rugi di bawah
harga. (Contoh UU Nomor 23/1997 Pasal 30 di mana perangkat hukum dan
penanganan pencemaran diperlemah. Pencemar lingkungan hidup bisa menempuh
jalur damai dengan Penetapan internasional bahwa laut bukan tong sampah bagi
limbah tambang. Bukan juga di darat dan di sungai). Kendala ini semakin
diperuncing dengan adanya kolusi yang tidak sehat dalam penyelenggaraan
lingkungan hidup hidup. Masalah backing masih menjadi masalah yang belum
terselesaikan.
Kendala ketiga adalah masalah tanggung jawab dan komitmen penyelenggaraan
lingkungan hidup. Selama ini pemerintah masih berperan dalam bidang
perencanaan, penelitian, dan imbauan, sedangkan masalah hukuman dan
pengaturan kompensasi masih diserahkan kepada pengadilan. Dualisme
penanganan masalah pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup menyebabkan
tidak sinkronnya jalur penyelenggaraan lingkungan hidup. Di samping itu, tidak
adanya dana pengembangan wilayah dan konsep garis politik yang jelas
menyebabkan masalah-masalah ini terombang-ambing sedangkan pencemaran
dan kerusakan terus berlangsung. Kerjasama yang dilakukan antara pemerintah
dengan negara donor masih berkutat dalam bidang penelitian. Bahkan dalam
beberapa kasus, pihak negara donorlah yang banyak mengambil alih bidang
penelitian ini. Di sisi lain, klaim kompensasi masih berkutat dengan klaim
kesehatan dan bukan klaim perbaikan lingkungan hidup.
41
SPEKTRUM POLITIK LINGKUNGAN DALAM RUANG LINGKUP PENGELOLAAN
SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP
I. PENDAHULUAN.
Banyak kalangan yang berpendapat bahwa masalah lingkungan terutama adalah
urusannya para ahli ilmu pengathuan alam, pendapat itu tidak sepenuhnya benar.
Permasalahan lingkungan yang mencuat ke permukaan dan ramai dibicarakan,
sesungguhnya tidak terangkat oleh kekuatan aspek-aspek biofis dari permasalhan
itu, melainkan oleh seperangkat faktor-faktor non teknis alias sosial, seperti
yang terjadi dengan penurunan debit air Danau Toba. Dengan demikian, harus
dimengerti terlebih dahulu, apa yang dimaksudkan sebagai isu lingkungan
(environmental issue).
Dalam pengertian ilmu politik, isu adalah suatu masalah yang belum terpecahkan,
yang mengundang ataupun tidak mengundang perdebatan, yang menunggu suatu
pemecahan masalah dari yang berwenang.
Isu lingkungan dapat juga digolongkan sebagai isu politik, sebab perdebatan
tentang suatu masalah ekologis, tidak terlepas dari interaksi kekuatan politik
serta momen historis tertentu dalam suatu masyarakat atau negara, di samping
tingkat pengetahuan masyarakat atau bangsa itu tentang masalah lingkungan
yang bersangkutan.
Pengertian lain dari hal itu seperti dikemukakan oleh ahli politik lingkungan
Amerika Lynton K. Caldwell (1984), suatu isu adalah suatu gejala psikologi
politik dan tak selalu didasarkan pada hasil-hasil penelitina ilmu pengatahuan
alam: opini masayarakat, dan bukan hanya fakta-fakta yang mencipatakan isu-
isu itu.
Suatu masalah lingkungan yang sedang muncul atau berkembang menjadi isu
politik, sebagai hasil interaksi faktor-faktor ilmu pengetahuan alam, teknis,
ekonomi dan terutama psikologis. Kebijakan-kebijakan tertentu dikonfirmasi dan
diterapkan oleh orang-orang yang bertanggung jawab kepada generasi sekarang,
bukan kepada generasi mendatang. Karena itu, kepentingan suatu isu sebagai
sasaran pembentukan kebijakan (policy making) tidak terlalu ditentukan oleh
pentingnya masalah itu dalam biosfer.
42
Mengingat urgensi politis selalu dipengaruhi apapun yang dianggap penting oleh
khayalak ramai, kondisi keamanan, kesiapan teknis untuk memecahkan masalah
itu, hingga akhirnya implikasi dari hal tersebut dapat diproyeksikan untuk
kepentingan pribadi yang mengarah pada pengambilan keputusan.
Selain itu isu-isu lingkungan yang kritis diterima secara berbeda di lingkungan
ilmuwan dibandingkan dengan di lingkungan politik. Dan walaupun ilmu
pengetahuan alam dan teknologi menentukan tingkat kesadaran masyarakat atau
bangsa terhadap masalah lingkungan, faktor-faktor politis seringkali menentukan
apakah pemecahan masalah itu dirasakan mendesak atau tidak.
Sambutan masyarakat Sumatera Utara terhadap pembangunan Proyek Asahan
berubah dari waktu ke waktu. Pada mulanya, rencana proyek itu disambut dengan
penuh antusiasme, sebagai pertanda penyerapan pembangunan dari Jawa ke
Sumatera Utara. Namum pada saat air Danau Toba mulai turun ketika PLTA Sigura-
gura sedang dibangun, orang mulai was-was. Sampai-sampai pemerintah
menyelenggarakan suatu seminar ilmiah tentang dampak pembangunan bendungan
besar di Medan.
Masalah-masalah lingkungan yang muncul ke arena perdebatan umum,
sesungguhnya hanya sebagian kecil dari masalah-masalah pencemaran dan
pengrusakan lingkungan yang secara obyektif terjadi, dan sangat tergantung
dari dinamika politik suatu negara. Khususnya dinamika gerakan lingkungan di
negara itu. (Aditjondro, 2003)
II. SKEMA HUBUNGAN ANTARA POLITIK LINGKUNGAN DENGAN
PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP.
Gerakan lingkungan, menurut literatur sosiologi lingkungan, digunakan dalam
pengertian sebagai berikut :
Sebagai penggambaran perkembangan tingkah laku kolektif (collective
behavior) tertentu.
Sebagai jaringan konflik-konflik dan interaksi politis di seputar isu-isu
lingkungan dan isu-isu lain yang terkait.
Sebagai perwujudan dari perubahan opini publik dan nilai-nilai yang
menyangkut lingkungan.
43
Pendek kata, gerakan lingkungan dapat dimanifestasikan dalam tiga bentuk, yaitu
gerakan ide-ide yang muncul dan berkembang dalam masyarakat, baik melalui
media komunikasi massa maupun melalui komunikasi antarpribadi, serta gerakan
konflik-konflik politik yang semuanya menyangkut berbagai aspek pengelolaan
lingkungan hidup.
Gerakan lingkungan, menurut Denton E. Morrison, dibagi menjadi tiga komponen,
yaitu:
The organized or voluntary movement
The public environmental movement
The institutional environmental movement
Komponen pertama yang paling sering dibicarakan adalah gerakan lingkungan
terorganisir atau gerakan lingkungan yang sukarela (the organized or voluntary
movement. Termasuk kategori ini adalah organisasi-oragnisasi lingkungan seperti
WALHI, Skephi, dan Pelangi.
Komponen kedua, gerakan lingkungan publik (the public environmental
movement), adalah khalayak ramai (the public) yang dengan sikap, tindakan
sehari-hari dan kata-kata mereka menyatakan keengganan atau kesukaan mereka
terhadap sekosistem tertentu, pola hidup tertentu, serta flora dan fauna tertentu.
Komponen ketiga dapat dikatakan sangat menentukan dalam negara-negara
berkembang, seperti di Indonesia, dimana peranan negara sangat dominan,
adalah gerakan lingkungan yang terlembaga. Yakni aparat-aparat birokrasi resmi
yang punya wewenang hukum (yurisdiksi) terhadap kebijakan umum tetntang
lingkungan hidup, atau yang berkaitan dengan lingkungan hidup. Di Indonesia
adalah Kantor Negara Kementrian Lingkungan Hidup (KLH), Departemen
Kehutanan, khususnya Direktorat Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam (PHPA),
Badan Pertanahan Nasional, dan Departemen Pertambangan dan Energi.
Komponen gerakan lingkungan terlembaga ini penting diamati tersendiri,
contohnya EPA (Environmental Protection Agency, USA), kemampuan EPA untuk
mengendalikan polusi air dan udara misalnya, dipengaruhi oleh kebijakan badan-
badan pemerintahan yang berkaitan dengan pertumbuhan ekonomi, kebijaksanaan
luar negeri, penciptaan lapangan kerja, inflasi, dan ketersediaan sumber-sumber
energi.
44
Ketritunggalan hakikat gerakan lingkungan, menurut Buttel dan Larson III, punya
beberapa manfaat. Pertama, struktur gerakan lingkungan di setiap negara yakni
hubungan di antara ketiga komponen itu bisa berbeda-beda, dan ini membawa
variasi yang cukup berarti di antara paha limngkungan (environmentalism) di
negara-negara itu. Kedua, taktik dan ideologi gerakan lingkungan terorganisir di
suatu negara dapat dilihat sebagai hasil interaksi di antara komponen-komponen
kelas di negara itu di satu pihak, dan kelompok-kelompok kepentingan (interest
group) di pihak lain. Seperti yang terjadi di Jepang telah menciptakan suatu
mekanisme pengambilan keputusan yang relatif tertutup, yang hampir tak
tertembus oleh tuntutan kelompok-kelompok kepentingan yang tidak sesuai
dengan kebijakan pemerintah Jepang yang menghendaki pertumbuhan ekonomi
melesat pesat.
Dengan demikian, gerakan lingkungan teroganisir di Jepang kurang begitu berarti
dibandingkan dengan di Amerika, dimana hubungan antara komponen gerakan
lingkungan terorganisir lebih terbuka, bahkan dirasuki jaringan-jaringan atas
dasar issu atau issue networks alias marble cakes. Artinya, pemerintah dan
organisasi-organisasi bukanlah kue-kue lapis yang dalam segala hal
hubungannya sanngat bersifat hirarkis, melainkan lebih merupakan jaringan
kepentingan yang lintas kelas, seperti warna-warna kelereng (marble).
Politik lingkungan dapat diartikan sebagai interaksi antara kekuatan-kekuatan
(badan-badan pemerintah, perusahaan-perusahaan swasta, badan-badan dana,
organisasi-organisasi lingkungan) yang mempengaruhi keputusan untuk
memanfaatkan sumber-sumber daya alam dan mengubah ekosistem-ekosistem
yang mempengaruhi komunitas-komunitas yang ada didalamnya. Gambar 1
mengilustrasikan definisi tentang politik lingkungan.
45
Gambar 1. Politik Lingkungan (Aditjondro, 2003)
i # #
K&' %
%! &( &
n$##" # ##
$!#" ## #####&#
$ #&## ! " #
#
m%" #" " #&
s$#& ## #"
##
i #### %#&
k##
&#&##
k" #
&###
$#
&#&###
k$#
&#&###
n$###"
##&#
- $#! #"
a##! # " ###
$####! ##
-& ###
#! ###
" ##
i "### #!
POLITIK
LINGKUNGAN
Interaksi
antara
Kekuatan-kekuatan
yang terdiri
dari
yang mempengaruhi
Proses pengambilan keputusan
Badan-badan
pemerintah
untuk
memanfaatkan
untuk
mengubah
Perusahaan-
perusahaan swasta
untuk
mempengaruhi
Sumber-sumber daya
alam
Ekosistem-ekosistem
Badan-badan dana
Yang mempengaruhi
Organisasi-organisasi
lingkungan
Komunitas-komunitas
46
Politik lingkungan adalah segala upaya untuk mengambil tindakan terhadap
permasalahan lingkungan. Politik lingkungan di dunia merupakan bagian suatu
gerakan atau aliran politik yang lebih besar lagi, yaitu politik hijau (green politics).
Politik hijau berkembang dari hubungan gerakan sosial dan lingkungan yang
merespon kebijakan nuklir perang dingin, degradasi lingkungan di dunia, perang,
struktur kekuasaan patriarchal top-down, dan isu kebebasan sipil. Fokus pada
kehidupan ekologi dengan cepat menjadi prinsip utama aliran
ini.(www.greeninformation.com)
Politik hijau sendiri merupakan aliran alternatif lain dibandingkan aliran yang
ada, yaitu kiri (labour based) dan kanan (capital based). Aliran ini terbentuk
karena aliran-lairan karena bukan berbasis ekologi melainkan berbasis ekonomi
dianggap tidak dapat mengatasi permasalahan yang ada, .
Dari organisasi yang berbasis aliran tersebut terbentuk partai di negara-negara
eropa yang kemudian menyebar ke seluruh dunia, sampai akhirnya terbentuk
suatu jaringan organisasi politik hijau di dunia.
Gerakan politik hijau mempunyai empat pilar utama, yaitu ekologi (ecology),
anti kekerasan (nonviolence), keadilan sosial (social justice) dan demokrasi akar
rumput (grassroot democracy). Pada tahun 2001 di Canberra, Australia, disepakati
enam prinsip utama gerakan lingkungan di dunia, yaitu :
1. Ecological Wisdom
2. Social Justice
3. Participatory Democracy
4. Nonviolence
5. Sustainability
6. Respect for Diversity
Gerakan politik hijau di suatu negara pada awalnya terbentuk karena kesadaran
lingkungan beberapa individu yang akhirnya membentuk suatu organisasi kecil
yang pada akhirnya membentuk suatu organisasi politik. Kesadaran lingkungan
merupakan elemen yang penting dalam superstruktur ideologi dalam masyarakat
modern dan kemampuan pengejaran perkembangan ekonomi. (Redclift, 1984)
47
III. POLITIK LINGKUNGAN DI INDONESIA.
Di Indonesia, gerakan politik hijau belum terlihat banyak berperan dalam kancah
pertarungan politik di Indonesia. Manuver-manuver gerakan lingkungan baru
dilakukan oleh lembaga-lembaga swadaya masyarakat. Partai politik yang ada
belum terlihat melakukan manuver yang mengarah ke lingkungan. Usaha-usaha
mengatasi permasalahan lingkungan yang dilakukan mayarakat dan LSM sering
kali menjadi sia-sia jika berhadapan dengan institusi pemerintah.
Jika pendekatan tripartite, secara garis besar dapat dikatakan bahwa hubungan
antara gerakan lingkungan yang terlembaga (institutional environmental
movement) dan gerakan lingkungan yang terorganisir (organized environmental
movement), agak mirip seperti AS.
Banyak issue networks yang menjelujuri hubungan antara aparat-aparat negara
dan lembaga-lembaga pengembang swadaya masayarakat, yang sama-sam berasalk
dari jkelas menengah ke atas. Namun dipihak lain gerakan lingkungan publik di
Indonesia sulit dilakukan artikulasi politiknya secara konsisten sejak awal era
Orde Baru melalui pengibirian partai-partai politik, fungsi oragnisasi-organisasi
massa.
Politik lingkungan di Indonesia, mengacu pada definisi politik lingkungan diatas,
dapat dikatakan buruk. Interaksi antara tiga komponen, terorganisasi; publik;
dan terlembaga, dapat dikatakan berjalan satu arah. Interaksi lebih banyak dari
komponen terlembaga ke dua komponen lainnya. Sedangkan interaksi lainnya
dapat dikatakan tidak terjadi, kalaupun terjadi hanya sebatas keluhan dan demo
yang tidak ditanggapi. Komponen publik tidak terlibat, atau lebih tepatnya tidak
dilibatkan dalam pengambilan keputusan. Gambar dibawah ini dapat memberikan
ilustrasi politik lingkungan di Indonesia.
48
gambar 2. Politik lingkungan di Indonesia (Aditjondro, 2003)
Usaha-usaha untuk mengatasi permasalahan lingkungan di Indonesia dapat dilihat
dari tindakan-tindakan pemerintah, dapat dikatakan politik lingkungan yang
dilakukan pemerintah, dalam menangani permasalahan lingkungan. Dapat
dikatakan tindakan-tindakan yang telah dilakukan pemerintah belumlah efektif.
Hal ini dipengaruhi oleh beberapa sebab antara lain :
i # #
K&' %
%! &( &
n$##" # ##
$!#" ## #####&#
$ #&## ! " #
#
m%" #" " #&
s$#& ## #"
##
i #### %#&
k##
&#&##
k" #
&###
$#
&#&###
k$#
&#&###
n$###"
##&#
- $#! #"
a##! # " ###
$####! ##
-& ###
#! ###
" ##
i "### #!
#! #
POLITIK
LINGKUNGAN
Interaksi
antara
Kekuatan-kekuatan
yang terdiri
dari
yang mempengaruhi
Proses pengambilan keputusan
Badan-badan
pemerintah
untuk
memanfaatkan
untuk
mengubah
Perusahaan-
perusahaan swasta
untuk
mempengaruhi
Sumber-sumber daya
alam
Ekosistem-ekosistem
Badan-badan dana
Yang mempengaruhi
Organisasi-organisasi
lingkungan
Komunitas-komunitas
terputus
49
Konsep pembangunan
Konsep pembangunan sejak jaman orde baru hingga sekarang menitik
beratkan pada pembangunan ekonomi dengan memamanfaatkan sumber daya
alam (resource based). Hal ini dapat dilihat pada salah satu butir yang
terdapat pada GBHN, yaitu memperbaiki kondisi ekonomi dengan
memanfaatkan sumber daya alam sebaik-baiknya. Konsep pembangunan yang
hanya berdasarkan pemanfaatan sumber daya alam saja dan mengandalkan
investasi asing menyebabkan kerusakan lingkungan menjadi lebih parah.
Dengan kata lain kita menjual sumber daya alam kita ke pihak investor.
Kondisi perekonomian yang menurun sejak tahun 1997 hingga sekarang
dan beban hutang luar negeri yang cukup besar, membuat isu lingkungan
menjadi lebih terpinggirkan lagi. Hal ini dapat dilihat pada anggaran untuk
pengelolaan lingkungan.
Anggaran
Anggaran untuk pengelolaan lingkungan sangatlah kecil, hal ini telah
berlangsung sejak jaman orde baru. Ketika krisis ekonomi terjadi, anggaran
pengelolaan lingkungan menjadi lebih kecil lagi, yaitu berkisar antara 0.08%
- 0.163% pengeluaran pemerintah.
Lingkungan sebagai isu politik
Hingga saat ini lingkungan belum menjadi isu politik di kalangan para elit
politik. Para elit politik lebih memilih isu ekonomi dan sosial. Hal itu dapat
dilihat dari partai-partai politik yang akan mengikuti Pemilu mendatang.
Tidak ada satupun partai politik yang mengangkat lingkungan sebagai isu
utama. Lingkungan hingga saat ini hanya menjadi wacana politik saja dalam
diskusi, lokarya, dan seminar. Hal ini tentunya menyebabkan isu lingkungan
sebagai anak tiri. Isu lingkungan baru muncul ketika ada suatu permasalahan
lingkungan, kasus Bohorok adalah salah satunya.
Koordinasi dan komunikasi
Salah satu sebab tindakan pemerintah kurang efektif adalah koordinasi.
Koordinasi secara horisontal, vertikal maupun diagonal dapat dikatakan tidak
mempunyai komunikasi yang baik. Dengan dikeluarkannya undang-undang
tetang otonomi daerah yang memberikan kewenangan yang lebih besar
kepada pemerintah kabupaten/kota membuat koordinasi menjadi lebih sulit.
50
Permasalahan lingkungan yang selama ini dikendalikan secara sentralistik,
sekarang ini menjadi sepenuhnya kewenangan pemerintah kabupaten/kota.
Ketidakmengertian suatu institusi pemerintah siapa yang menjadi leading
agent dan tidak adanya koordinasi yang baik menyebabkan kelambanan
dalam penanganan permasalahan lingkungan.
Hubungan pemerintah dengan LSM lingkungan dapat dikatakan tidak
harmonis. Komunikasi antar keduanya dapat dikatakan buruk. Pemerintah
sering kali mendapat kritikan dan kecaman dari LSM. Hubungan kerjasama
atau partnership antar keduanya boleh dikatakan tidak ada.
Partisipasi pengelolaan lingkungan
Salah satu penyebab permasalahan lingkungan adalah budaya sadar
lingkungan pada masyarakat yang hampir tidak ada. Partisipasi pengelolaan
lingkungan dalam masyarakat belum terbentuk. Partisiapsi masih terbatas
pada LSM lingkungan. Usaha pemerintah dalam mengkampanyekan parisipasi
pengelolaan lingkungan belum merasuki masyarakat banyak. Usaha-usaha
terebut lebih banyak bersifat seremonial, sementara itu tindak lanjut dari
usaha tersebut masih kurang.
Reaktif vs antisipatif
Usaha pemerintah dalam menangani permasalahan lingkungan masih bersifat
reaktif. Pemerintah lebih banyak bertindak ketika permasalahan lingkungan
muncul. Program-program yang sebenarnya dibuat untuk mengantisipasi
agar tidak terjadi permasalahan lingkungan, seperti AMDAL, Proper, Prokasih,
dsb, pada akhirnya hanya bersifat formalitas saja. Tindakan pengawasan
atas terlaksananya program dapat dikatakan tidak ada. Pemerintah masih
belum konsisten melaksanakan program-program tersebut. Sebagai contoh,
apakah pelaksanaan RPL dan RKL dari suatu proyek diawasi atau tidak.
Hukum
Penegakan hukum di Indonesia masih menjadi lip service pemerintah saja,
hal ini juga berlaku bagi kasus lingkungan. Sering kali kasus pelanggaran
lingkungan gagal dalam proses hukum.
51
Fungsi kontrol
Salah satu kelemahan terbesar di Indonesia adalah tidak adanya fungsi kontrol.
Kurangnya pengawasan terhadap suatu program, seperti pelaksananan RPL
dan RKL, menyebabkan terjadinya banyak kasus lingkungan yang terjadi yang
seharusnya dapat dihindari. Ketidakjelasan siapa mengawasi siapa/apa dalam
pelaksanaan suatu program juga menyebabkan terjadinya kasus lingkungan.
Lembaga yang lebih tinggi (pusat/propinsi) berfungsi sebagai pengawas
penyelengaraan lingkungan pada tingkat di bawahnya, tetapi salah satu butir
dari PP no 25/2000 menyebutkan fungsi pengawasan terhadap tingkat di
bawahnya hanya pengawasan penyelenggaraan lintas daerah.
Kontrol sosial (bottom up) dari mayarakat terhadap pemerintah dan legislatif
dapat dikatakan tidak ada. Seharusnya dalam paradigma baru mengenai
partisipasi masayarakat di awal orde reformasi memiliki kekuatan terpenting
dalam proses pengambilan keputusan. Pada kenyataanya hal itu tidak pernah
terjadi karena sistem pengambilan keputusan pada jaman Orde Baru masih
dipakai hingga saat ini.
Kesenjangan intelektual
Tampaknya ada kesenjangan intelektual antar tingkat pemerintahan. Acuan/
aturan yang dibuat tingkat pemerintahan yang lebih tinggi sering kali
diterapkan begitu saja oleh tingkat pemerintahan dibawahnya tanpa dipelajari
lebih lanjut. Acuan/aturan yang diterapkan begitu saja menyebabkan terjadinya
kasus-kasus lingkungan, sebagai contoh adalah kasus Bandung Utara.
Kemauan melaksanakan acuan/aturan dengan baik dan benar
Poin ini mungkin merupakan kelemahan terbesar di Indonesia. Kemauan
menjalankan acuan/aturan, terlepas acuan/aturan itu benar atau salah, dapat
dikatakan sangat kurang. Banyak kasus lingkungan yang sebenarnya dapat
dihindari jika aturan tersebut mau dilaksanakan dengan baik dan benar.
Budaya Feodalisme
Sistem birokrasi yang ditumbuhkan, sejak jaman penjajahan Belanda, adalah
birokrasi yang berjenjang. Penjajah Belanda telah berhasil membangun sistem
pemerintahan dengan mencipatakan di lapisan tengah satu kelompok elit
birokrasi pribumi yang mengabdi kepada kepentingan penguasa kolonial.
52
Pada lapisan ini, sistem nilai feodal tradisional masih berakar kuat. Birokrasi
yang diciptakan pada waktu itu adalah birokrasi yang mengadi pada atasan,
bukan suatu sistem yang melayani masyarakat.
Gerak-gerik birokrasi pada jaman penjajahan, khsususnya sangat nyata selama
Orde Baru, menunjukkan kemiripan bahkan kesamaan dengan tingkah laku
birokrasi di zaman penjajahan. Secara tidak sadar kita masuk dalam
kontradiksi; membangun sistem sosial dan masyarakat modern yang merdeka
dengan nilai-nilai yang dibangun justru untuk menghambat kemerdekaan
dan mempertahankan kebiasaan feodalistik tradisional.
Mengkomunikasikan Lingkungan
Sering kali program-program lingkungan yang dibuat oleh pemerintah tidak
sampai pada masyarakat. Hal ini kurangnya mengkomunikasikan kebijakan-
kebijakan maupun program-program lingkungan ke masyarakat. Akibatnya
apa yang sudah ditetapkan oleh pemerintah tidak dapat berjalan dengan
baik, kalau mau tidak dibilang gagal.
Proses Pengambilan Keputusan
Di Indonesia, pada umumnya proses pengambilan keputusan, baik itu berupa
kebijakan maupun aturan, dapat dikatakan dimabil oleh satu komponen
saja, yaitu pemerintah. Komponen lainnya tidak banyak terlibat, dapat
dikatakan tidak terlibat sama sekali, dalam pengambilan keputusan. Badan
legislatif yang seharusnya menyuarakan suara publik juga tidak menjalankan
fungsinya dengan baik. Suara yang dibawa lebih banyak untuk kepentingan
kelompoknya saja. Hal ini menyebabkan banyak keputusan-keputusan yang
diambil sering kali mengecewakan masyarakat, yang sebenarnya adalah
komponen yang terkena dampak dari keputusan tersebut.
Pelayanan Publik
Institusi pemerintah seharusnya merupakan suatu institusi pelayanan publik.
Tetapi pada kenyataannya, institusi pemerintah lebih banyak bersifat sebagai
majikan dibandingkan sebagai pelayan. Hal ini dapat dilihat keputusan-
keputusan yang diambil. Banyak keputusan-keputusan tidak berpihak kepada
publik tetapi berpihak kepada kelompok-kelompok tertetnu saja. Kepentingan
publik lebih sering dikorbankan. Salah satu sebabnya adalah budaya yang
terbentuk cukup lama, terutama pada jaman orde baru, yang sulit untuk diubah.
53
SPEKTRUM GLOBALISASI DALAM RUANG LINGKUP PENGELOLAAN SUMBER
DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP
I. PENDAHULUAN.
Masalah globalisasi dalam ruang lingkup lingkungan dapat dilihat dari berbagai
kacamata, tetapi secara umum pandangan dunia dapat dibagi menjadi 2 kelompok
utama yaitu pertama, apa yang ada di dunia ini tidak cukup untuk seluruh dunia.
Pandangan ini melahirkan apa yang dimaksud dengan kaum kapitalis yang berupaya
menguasai semua kapital untuk mencapai kemakmuran. Kedua, apa yang ada di
dunia ini cukup untuk seluruh dunia. Konsep kapitalisme ini menjadi meluas dan
merambah ke sistem sosialis dan feodalis sehingga menjadi pegangan bagi
kemakmuran bersama.
Dampak globalisasi terhadap kerusakan lingkungan dapat terjadi jika pembangunan
didukung sepenuhnya oleh PMA. Logikanya, setiap produsen luar negeri mencoba
menekan ongkos eksternalitas yang semakin besar dengan mengalihkan investasi
yang berteknologi rendah (rendah pengelolaan lingkungannya) kepada negara-
negara yang sangat butuh investasi seperti itu. Dan itu yang terjadi di Indonesia.
Kondisi Center of Pheriphery juga terjadi dalam kasus produksi di Indonesia
dimana setiap produsen di Indonesia hanya menjalankan apa yang diperintahkan
oleh negara luar. Dengan kata lain, kerusakan lingkungan dibarengi pula dengan
keuntungan berlipat dari negara lain.
Ada pemeo yang menekankan pada Sustainable Development sebagai ajakan orang
untuk hidup sederhana. Hidup sederhana ini merupakan proses pengurangan
konsumsi sumber daya yang pada akhirnya mengurangi kerusakan terhadap
lingkungan. Agar sustainable development seperti itu dapat berjalan maka perlu
adanya kontrol sosial.
Globalisasi telah menjadi proses yang berarti pada saat ini. Ketika peluang dan
keuntungan dari proses ini menjadi perdebatan yang sengit antara pendukung
dan penolaknya, baru-baru ni telah terjadi peningkatan kesadaran diantara
pembuat kebijakan di Selatan, analis dan alademisi, seperti juga organisasi-
organisasi non pemerintah di Selatan maupun Utara. Kegagalan konferensi World
Trade Organization tingkat menteri pada bulan Desember 1999 di Seattle, Amerika
Serikat, merupakan pertanda kesadaran ini.
54
Alasan perubahan persepsi dan tingkah laku ini adalah macam-macam.diantara
faktor-faktor penting adalah perbedaan keuntungan yang nyata terhadap
kebanyakan negara-negara berkembang dari membuka perekonomian mereka,
walaupun publikasi yang baik dalam hal dan pendapatan; kegagalan ekonomi
dan dislokasi sosial pada banyak negara berkembang banyak disebabkan oleh
liberalisasi pasar dan finansaial yang cepat; pertumbuhan ketimpangan
kesejahteraan dan perluang bereasal dari globalisasi; dan presepdi bahwa msalah
lingkungan, sosial dan kultural menjadi lebih buruk oleh ekonomi pasar bebas
global.
Globalisasi ekonomi bukanlah suatu proses baru, telah lebih dari 5 abad pada
negara-negara yang berekonomi maju telah meningkatkan jangkauannya melalui
aktivitas perdagangan dan produksi (intensif pada periode kolonialisasi) ke daerah
lain di seluruh dunia. Pada dua atau tiga dekade terakhir, laju globalisasi ekonomi
menjadi lebih cepat karena beberapa faktor seperti pengembangan teknologi,
tetapi terutama kebijakan liberalisasi yang melintas ke seluruh penjuru dunia.
Aspek terpenting dari globalisasi ekonomi adalah runtuhnya batas-batas ekonomi
nasional; penyebaran secara internasional aktivitas perdagangan, finansial dan
produksi, dan meningkatnya kekuatan perusahaan transnasional dan institusi
finansial internasional dalam proses ini. Ketika globalisasi ekonomi menjadi tidak
merata, dengan meningkatnya investasi dan perdagangan yang terfokus pada
beberapa negara, hampir semua negara terpengaruh oleh proses ini. Sebagai
contoh, sebuah negara berpendapatan kecil berpartisipasi hanya pada sebagian
kecil dari perdagangan dunia, tetapi perubahan dalam permintaan atau harga
dari komoditas eskport atau kebijakan pengurangan pajak impor dapat
menyebabkan dampak ekonomi dan sosial yang besar pada negara tersebut. Negara
tersebut mungkin mempunyai peranan marjinal dalam perdagangan dunia, tetapi
perdagangan dunia mempunyai pengaruh yang ckup besar terhadap negara
tersebut, mungkin mempunyai dampak yang lebih besar pada beberapa negara
berkembang.
Liberalisasi eksternal dari ekonomi nasional meliputi runtuhnya batas-batas
nasional terhadap aktivitas ekonomi, menghasilkan keterbukaan dan integrasi
yang lebih besar suatu negara di pasar dunia. Pada kebanyakan negara, batas
negara telah dihilangkan untuk sektor keuangan dan pasar finansial, perdagangan
dan investasi asing langsung (direct foreign investment).
55
Yang paling penting dan unik dari proses globalisasi sekarang adalah globalisasi
kebijakan nasioanl dan mekanisme pembuatan kebijakan. Kebijakan nasional
(termasuk dalam bidang ekonomi, sosial, kultural dan teknologi) yang berada
pada kewenangan negara dan rakyat pada suatu negara, pada saat ini telah
dipengaruhi oleh badan-badan dunia dan proses dari perusahaan swasta besar
dan pemain pada bidang ekonomi/keuangan. Hal ini membawa erosi pada kekuasan
nasional dan berkurangnya kemampuan pemerintah dan masyarakat untuk
membuatv pilihan dari opsi-opsi dalam kebijakan dalam bidang ekonomi, sosial
dan kultural.
Pada banyak negara berkembang terlihat kapasitas pembuatan kebijakan secara
independen telah terkikis dan harus mengadopsi kebijakan yang dibuat oleh
pihak lain, yang mungkin dapat merusak keseimbangan suatu negara. Negara-
negara maju, yang merupakan pemain-pemain utama dan juga mengendalikan
proses dan kebijakan dari agensi-agensi ekonomi internasional, lebih baik dalam
mengendalikan kebijakan nasional mereka sendiri seperti menentukan kebijakan-
kebijakan dan praktek-praktek institusi internasional dan sistem global.
Bagaimanapun, perusahaan-perusahaan besar juga mempunyai peranan yang
sangat besar dalam menentukan keputusan walaupun itu juga di negara maju,
pada pengeluaran kekuasan negara atau pemimpin sosial dan politik.
56
gambar 1. Definisi Globalisasi
I *' ) ) (
## " ##
## ##
n" %#" # #
# # ##
a#& ##" #
### ##&#
##&### #
) ###
#! ####
" ##
# ### " ##
%#!"
##!#"######
a# " #### " ## #
) '
, &#### ##
#"# !%$$$ #
) $ $
l
2$##"
: # # ##
"
n ### #"
##"
l
i &#
i %#&#
g#####!
a#"
N) ( ( "
( )$#
" ### ####
"### ! # ##
%#!#" ### #
h##&# # ##
("## # ### d(#
$#" # '
! ## ##" #
a&#" #" ! #"
####&### "
&#" #" !# " # #
! ## ###" ##
l !
%" #& # ##
##&
i $" # $#" # $## $# Ekonomi Sosial Lingkungan Kultural
GLOBALISASI
Intervensi pihak asing
(peran swasta, badan-
badan internasional,
lembaga-lembaga non
pemerintah lebih
dominan dari peran
negara) terhadap
suatu negara
melalui
Gerakan organisasi non
pemerintah, tokoh-tokoh
sosial dan lingkungan (World
Social Forum, WSF)
- ketidakadilan bagi
masyarakat negara
berkembang (terutama
masyarakat kurang mampu)
- kerusakan lingkungan
- dll
Konvensi 2
International:
- iklim
- keanekaragaman
hayati
- dll
Liberalisasi, freetrade,
freemarket:
- perdagangan multilateral
dikendalikan organisasi
dunia (WHO)
- mengurus perdagangan, jasa
(GATS), hak intelektual
(TRIPS)
- dll
Mempunyai
pengaruh yang
nyata
Belum terlihat pengaruhnya
KEBIJAKAN
(Policy)
suatu negara (terutama negara
berkembang)
dampak
57
Aspek yang lebih penting adalah proses yang sekarang terjadi adalah institusi
global yang mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam pembuatan kebijakan
yang secara tradisional merupakan kewenangan pemerintah nasional. Pemerintah
sekarang harus mengadopsi kebijakn yang dibuat berdasarkan keputusan dan
aturan institusi internasional. Institusi penting tersebut adalah Bank Dunia (World
Bank), Dana Moneter Internasional (Internasional Monetary Fund, IMF) dan
Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization, WTO).
Institusi Bretton Wood (IMF dan Bank Dunia) mempunyai otoritas yang yang
besar pada sebagian besar negara berkembang (dan negara yang sedang dalam
proses transisi) yang bergantung pada pinjaman terhadap kedua lembaga tersebut.
Negosiasi putaran Uruguay (Uruguay round) telah memberikan kekuatan yang
lebih besar pada sistem GATT, dan perjanjian yang dibuat di bawah organisasi
pengganti GATT, WTO, telah menetapkan ketentuan dalam bidang-bidang baru,
termasuk hak kekayaan intelektual, pelayanan, pertanian dan investasi yang
berhubungan dengan perdagangan. Menurut beberapa analis, perjanjian yang
dibuat pada Putaran Uruguay mempunyai perjanjian yang tidak adil , dan perjanjian
dan sistem WTO (termasuk sistem pengambilan keputusan) cenderung melawan
kepentingan pihak Selatan. Perjanjian yang terjadi sekarang membutuhkan
kebijakan dan aturan domestik dari negara anggota yang disesuaikan dengan
aturan yang mereka miliki.
Kebanyakan negara Selatan, termasuk Indonesia didalamnya, tidak mampu meraih
keuntungan dari globalisasi karena beberapa kelemahan. Kelemahan-kelemahan
negara-negara Selatan disebabkan beberapa faktor. Negara-negara berkembang
lemah secara ekonomi untuk memulai dengan kekurangan kapasitas ekonomi
domestik dan mempunyai infrastruktur sosial yang lemah karena pengalaman
kolonial. Mereka menjadi lebih lemah karena harga expor yang rendah dan beban
hutang yang cukup tinggi. Kebijakan yang dibuat umumnya merupakan lampiran
dari paket penjadwalan ulang pinjaman. Kebanyakan negara-negara berkembang
juga teridentifikasi sebagai negara dengan kediktatoran, penyalahgunaan
kekuasaan dan kesalahan mengurus perekonomian (economic mismanagement),
yang merusak proses pembangunan. Faktor-faktor tersebut menyebabkan banyak
negara-negara Selatan berada dalam posisi yang lemah dalam menghadapi
globalisasi, seperti kondisi untuk kesuksesan dalam liberalisasi yang tidak muncul.
58
Dengan kurang kondusifnya kondisi dan persiapan, liberalisasi yang cepat
menyebabkan lebih berbahaya daripada mendapatkan keuntungan.
Kelemahan juga terlihat dalam kekuatan negosiasi dan posisi tawar (bargaining
position) dalam hubungan internasional. Mempunyai utang luar negeri yang cukup
besar dan sangat bergantung pada dana pinjaman bantuan baik itu dari negara
maju maupun lembaga internasional, melemahkan kapasitas mereka dalam
bernegosiasi. Selain itu juga negara-negara berkembang tidak terorganisasi dengan
baik di negaranya sendiri. Institusi pemerintah tidak mempersiapkan secara baik
dalam menghadapi perkembangan ekonomi global yang cepat dan dalam negosiasi
global. Interaksi atau hubungan antara kaum intelektual, LSM dan pemerintah
sangatlah lemah. Dengan kondisi seperti itu banyak negara berkembang, khususnya
Indonesia, tidak siap dalam menghadapi globalisasi, akibatnya bidang sosial,
ekonomi dan lingkungan terkena dampak dari ketidaksiapan tersebut.
II. SKEMA HUBUNGAN ANTARA SPEKTRUM GLOBALISASI DAN PENGELOLAAN
SUMBER DAYA ALAM LINGKUNGAN HIDUP.
Banyak kalangan, terutama para tokoh dunia yang bergerak di bidang sosial dan
lingkungan, gelombang globalisasi mempunyai dampak yang sangat buruk bagi
sumber daya alam dan lingkungan serta kesejahteraan sosial di negara berkembang.
Kekuatan ekonomi dunia melalui perdagangan bebas dan liberalisasi yang
mengusulkan pengelolaan sumber daya alam seperti, kehutanan, barang mineral,
dan air, dikhawatirkan kerusakan lingkungan yang sudah ada semakin bertambah
besar. Selain itu juga dipersoalkan masalah keadilan. Pengelolaan sumber daya
alam, terutama air, yang dikelola oleh pihak swasta akan mengakibatkan hilangnya
akses masyarakat setempat terhadap sumber daya alam. Kerusakan lingkungan
yang semakin parah dan kehilangan akses terhadap sumber daya alam merupakan
dampak negatif dari globalisasi yang dikhawatirkan banyak pihak penentang
globalisasi. Tetapi pendapat yang berbeda ini sering kali tidak mendapat tanggapan
dari pihak pembuat kebijakan di banyak negara berkembang yang disebabjan
antara lain oleh faktor-faktor yang telah disebutkan diatas seperti beban hutang
dan sebagainya.
Meskipun globalisasi ekonomi memberikan tekanan terhadap lingkungan, pada
satu sisi memperkuat kekuatan untuk menjadi lebih baik. Jaringan internasional
kekuatan publik (civil society) memperkuat suara untuk perlindungan lingkungan
59
pada tingkat nasional. Suara-suara ini akan memperkuat penggunaan bahasa
yang sama dari prinsip-prinsip penyelenggaraan lingkungan (environmental
governance principles) yang diartikulasikan selam Konvensi Aarhus.
Bersamaan dengan tekanan publik, peluang penting bersamaan dengan tekanan
pasar. Globalisasi perdagangan dan penghilangan batas-batas perdagangan
menempatkan tekanan pada industri domestik untuk mencapai posisi yang
kompetitif melalui efisiensi yang lebih baik dan manajemen lingkungan yang
lebih bertanggung jawab.
Dampak globalisasi terhadap kerusakan lingkungan dapat terjadi jika pembangunan
didukung sepenuhnya oleh PMA. Logikanya, setiap produsen luar negeri mencoba
menekan ongkos eksternalitas yang semakin besar dengan mengalihkan investasi
yang berteknologi rendah (rendah pengelolaan lingkungannya) kepada negara-
negara yang sangat butuh investasi seperti itu.
Gambar 2. Hubungan globalisasi dengan lingkungan
I *' ) ) (
$# ## "
i # #
! " #
k! ##
##
N$ $$
$#"
&####
i# ###
%#&
"#"
! &#" "
?##&#" # #
! "# ####
&" #" #
s! " ## ##
##&" # ##
### #"
%#&
##"
h! #" !
##! ###" #
####
a! # # ##
##&## ##
#
"#### " #
##"#
GLOBALISASI
Kondisi negara
- ekonomi
- sosial
- politik
- kultural
Kesiapan menghadapi
globalisasi
KEBIJAKAN
Dampak Sosial
- Masyarakat semakin
sejahtera?
- ketidakadilan bagi
masyarakat
(kehilangan akses
pemanfaatan
sumber daya alam)?
Dampak Lingkungan
- bertambah
parahnya
kerusakan
lingkungan?
- laju berkurangnya
sumber daya
alam?
- hilangnya
keanekaragaman
hayati
60
Gelombang globalisasi ekonomi yang begitu kencang bukanlah sesuatu hal yang
dapat dicegah oleh suatu negara manapun yang ada di dunia. Hal yang menjadi
penting adalah bagaimana sikap suatu negara dalam menghadapi globalisasi.
Sukses tidaknya suatu negara dalam menghadapi gelombang globalisasi pada
akhirnya bergantung pada kesiapan negara tersebut, hal ini dapat dilihat dari
kebijakan-kebijakan maupun aturan-aturan yang dikeluarkan oleh pemerintah
negara tersebut.
III. PENGARUH GLOBALISASI TERHADAP LINGKUNGAN HIDUP.
Dalam hal menghadapi isu globalisasi, Indonesia menyatakan bahwa suka atau
tidak suka akan ikut aktif didalamnya. Masalahnya adalah justru pada pernyataan
kesiapan tersebut karena Malaysia walaupun tidak suka tetapi telah siap atau
memiliki basis ekonomi yang cukup (Program Wawasan 2020), begitu pula
Singapura. Indonesia dapat dikatakan tidak siap karena kemampuan berproduksinya
yang tidak baik. Istilah tidak baik dalam arti kata kemandirian produksinya.
a. Dampak WTO.
Dampak dari perdagangan bebas dan liberalisasi antara lain adalah masuknya
pihak asing ke Indonesia. Investasi asing yang masuk tidak hanya ke bidang
perekonomian saja, antara lain sektor pertambangan dan industri, tetapi juga
pengelolaan sumber daya alam. Sebagai contoh adanya konsesi-konsesi baru
pertambangan. Hal ini menimbulkan kontorversi karena dikhawatirkan dengan
adanya konsesi baru akan menimbulkan kerusakan lingkungan yang lebih parah
dari yang sudah ada. Liberalisasi perkebunan ternyata membawa dampak yang
cukup signifikan, yaitu semakin tingginya kawasan hutan alam menjadi
perkebunan. Hal ini setidaknya akan menyebabkan dampak lingkungan di lokasi
tersebut.
Pemerintah juga acap ditekan untuk melonggarkan kebijakan-kebijakan
pengelolaan surnberdaya alam dan menyesuaikannya dengan skema penyesuaian,
struktural yang berpihak pada masuknya investasi asing serta perdagangan bebas.
Insentif ke arah perdagangan bebas telah memacu ekstraksi sumberdaya alam
tanpa diiringi upaya untuk menginternalisasi biaya eksternalitas lingkungan yang
timbul.
61
Kekhawatiran akan globalisasi tidak hanya pada pada eksploitasi sumber daya
alam saja, tetapi juga aturan hak karya intelektual (HAKI) yang diterapkan. Saat
ini penghancuran lingkungan, yang berupa pencurian keaneka ragaman hayati,
melalui rezim patent, privatisasi dan komodifikasi air maupun pelayanan sosial,
menjadikan negara tidak mampu lagi mempertahankan jati diri sebagai pelindung
warga negara seperti dalam teori kontrak sosial.
b. Utang Luar Negeri.
Ekonomi yang babak belur akibat krisis berkepanjangan, menyebabkan Indonesia
semakin dalam terperangkap dalam jebakan utang luar negeri. Hal itu terjadi
karena utang luar negeri oleh pemerintahan Soeharto, Habibie, Wahid dan kini
Megawati, dijadikan solusi utama bagi pemulihan dan pembangunan ekonomi.
Barangkali juga sebagai sumber korupsi. Padahal ketergantungan Indonesia yang
mendalam terhadap utang luar negeri telah relatif tinggi bahkan sejak sebelum
krisis berlangsung.
Dengan melihat dampak jerat utang luar negeri yang dialami oleh Indonesia dan
negara-negara miskin lainnya, nampak jelas bahwa disini ada persoalan
ketidakadilan global yang akut. Sesungguhnyalah ketergantungan Indonesia
terhadap utang luar negeri akhirnya dijadikan alat oleh rezim kapitalisme global
untuk memaksakan agenda liberalisasi perdagangan dan ekonomi.
c. Konvensi Internasional.
Pada dasarnya konvensi internasional yang ikut ditandatangani merupakan suatu
usaha dunia untuk mengatasi permasalahan lingkungan yang terjadi. Indonesia
ikut menandatangani sejumlah konevensi internasional. Dengan menandatangani
konevensi-konvensi tersebut, Indonesia dapat memperoleh dana bantuan dari
pihak luar, apapun bentuknya. Dengan dana tersebut diharapkan permasalahan
lingkungan yang terjadi di Indonesia dapat diatasi. Tetapi di sisi lain, akses
terhadap sumber daya alam bagi masyarakat yang memanfaatkannya untuk
memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari menjadi berkurang.
62
gambar 3. pengaruh globalisasi terhadap Indonesia
I *&* ( )
# ##!# " #"
&#!"
! ##########
a# ##### ### #
) ! '
, ! &" ###! #"
### &$#$! #
)! #%
:$####"# # #
! "
! " ###" #! ##
l !
I $$ %
n$#&#
%## A$" ## #
, $### ####
%##
n%#"
$###
#
##
##! " #
f #####
$###
) # ###
##!"#! #"
f # ##
## #" ####
A ###
A #! " # " #"
n$##"
"#### " #
##"
k %###
i %###
" #! &#"
M ###"# # #
l"
"### ! "
" #! #" # #"
a%#&##! #
&( &' !& ! ! &' ' '
! ## # ##&#####" ### # !
" ### " #
# ##"
## ##" ##
i ! # ###
### # ###" # ## #### ###
" ###

n $" ##" ##
t %$$ # ##
&" # ##
i "# ##" #
&#" ##
g$# ###" ##
" #### # ## #
" #! ## &###
) #######" #
N%$ $
! $ # %%$ $%$ $####" ##! # #
GLOBALISASI
Konvensi2 International
-iklim
-keanekaragaman hayati
-dll
Liberalisasi, freetrade,
freemarket:
-perdagangan multilateral
dikendalikan organisasi
dunia (WTO)
-mengurus perdagangan,
jasa (GATS), hak inteletual
(TRIPS) -Dana untuk
mengatasi
permasalahan
lingkungan, spt
CDM dll
-syarat-syarat yang
harus dipenuhi
untuk memperoleh
dana
INVESTASI
KONDISI INDONESIA SAAT INI
- pola pembangunan berdasarkan investasi PMA
- kondisi perekonomian
- situasi politik
- ketidakpastian hukum
- utang luar negeri
- tidak adanya perananpublik dalam menentukan kebijakan
- tingkat korupsi
- dll
Hak paten
Ekslpoitasi SDA
(Kehutanan, Kelautan,
Mineral)
Pembukaan
pabrik
Pencurian
keanekaragaman
hayati
-Pencemaran (air, udara,
tanah)
-berkurangnya lahan
produktif
-kerusakan lingkungan
-deplesi SDA
-privatisasi pengelolaan
SDA
-Pencemaran
(air, udara,
tanah)
-berkurangnya
lahan
produktif
Akses pemanfaatan
SDA oleh manyarakat
menjadi terbatas
(ketidakadilan bagi
masyarakat)
KEBIJAKAN
(Cth : RUU SDA, Konsesi baru pertambangan dilokasi kehutanan
Kerusakan lingkungan yang
sudah ada akan semakin
parah (magnitude
kerusakan lingkungan akan
semakin besar)
63
Bagaimana gambaran pengaruh globalisasi di Indonesia dapat dilihat salah satu
produk aturan yang baru-baru ini dikeluarkan oleh pemerintah, yaitu RUU Sumber
Daya Air. Banyak kalangan, terutama LSM, yang mensinyalir bahwa lembaga-
lembaga keuangan Internasional, yang memberikan banyak pinjaman ke Indonesia,
berperan cukup besar dalam menentukan RUU Sumber Daya Air ini. Hal ini dapat
dilihat bahwa pengaruh asing mempunyai peran yang cukup besar dalam
menentukan kebijakan di Indonesia. Di satu sisi pengelolaan sumber daya air
oleh pihak swasta dapat membuat pengelolaan menjadi lebih efektif dan efisien,
tetapi di sisi lain kepentingan masyarakat akan haknya atas air menjadi hilang.
Dan hal ini dianggap akan menambah beban bagi masyarakat, terutama masyarakat
kurang mampu. Hal ini menunjukkan bahwa ketidakmampuan pemerintah dalam
mensinergikan kepentingan masyarakat dengan tekanan dari luar.
Permasalahan lingkungan akibat adanya globalisasi sebenarnya permasalahan
yang sama. Artinya ada atau tidak globalisasi permasalahan lingkungan yang
ada tetap sama, seperti pencemaran, dampak lingkungan akibat penggundulan
hutan, permasalahan lingkungan di perkotaan dan lain-lain. Tetapi dengan adanya
globalisasi yang dikhawatirkan adalah magnitude kerusakan yang semakin besar.
gambar 4. dampak lingkungan
:%$! ' $## $#$$
n!!#$$##' $! $
A! !#$ $
! !#$
l !!
i ##! $#$#$#! $##$$#$
g#$! ##$#$$ $$
Permasalahan lingkungan:
- pencemaran lingkungan
- deplesi SDA
- banjir
- dll
kerusakan lingkungan akibat globalisasi
kerusakan lingkungan sekarang
64
Globalisasi hanya merupakan suatu perkembangan dunia yang mempengaruhi
situasi di Indonesia. Permasalahan lingkungan yang telah terjadi sekarang dan
yang akan terjadi akibat adanya globalisasi masih sama. Yang menjadi masalah
sebenarnya sekarang adalah bagaimana usaha menangangi permasalahan
lingkungan yang ada sekarang dan bagaimana antisipasi kerusakan lingkungan
akibat adanya globalisasi. Penanganan permasalahan lingkungan yang ada
sekarang dapat dikatakan belum efektif. Jika permasalahan lingkungan akibat
kegiatan domestik belum sanggup ditangani dengan baik, bagaimana kerusakan
lingkungan yang lebih besar akibat globalisasi dapat ditangani mengingat kondisi
Indonesia saat ini.
Kendala terbesar bagi Indonesia dalam menerima isu globalisasi adalah
kemandirian dalam jati diri budaya, teknologi, dan sistem ekonomi. Tanpa
kemandirian tersebut, isu budaya, teknologi dan ekonomi menjadi produk mentah
yang langsung diimplementasikan tanpa ada perubahan terlebih dahulu. Apakah
perubahan tersebut mendahului masuknya isu atau isu dulu yang masuk baru
dilakukan perubahan, merupakan tantangan bagi pemerintah.
Pemerintah menghadapi tantangan yang cukup besar dalam menghadapi
globalisasi yaitu bagaimana mensinergikan tekanan dari luar dengan kepentingan
masayarakat banyak, melalui piranti birokrasi yang telah dimiliki. Dengan sinergi
ini maka diharapkan piranti birokrasi yang ada menjadi lebih efektif dan efisien
dalam melayani publik.
65
SPEKTRUM KEBUDAYAAN DALAM RUANG LINGKUP SUMBER DAYA ALAM
DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP
I. PENDAHULUAN.
Budaya merupakan karya cipta manusia yang dihasilkan dari interaksi manusia
dengan sesamanya maupun dengan lingkungan dimana mereka tinggal. Budaya
ini tercipta karena pada dasarnya manusia merupakan makhluk sosial dimana
manusia tidak dapat hidup sendiri. Manusia harus berhubungan dengan orang
lain untuk mengembangkan dirinya selain itu manusia berinteraksi dengan alam
sekitar untuk dapat mempertahankan hidupnya. Dengan interaksi antar sesama
dan dengan lingkungan sekitar membentuk suatu sikap atau pola tingkah laku
yang umum dari anggota masyarakat pada suatu lingkungan tertentu. Jadi
kebudayaan sangat tergantung dari kondisi lingkungan dan sosial masyarakat
tersebut.
Karena sikap atau pola tingkah laku yang membentuk suatu kebudayaan pada
suatu daerah tercipta dari interaksinya dengan lingkungan tempat mereka tinggal
maka kebudayaan sangat terkait dengan alam dan kondisinya. Misalnya kebudayaan
di daerah pesisir pantai sangat berbeda dengan kebudayaan didaerah pegunungan.
Pada awalnya manusia melalui budayanya sangat memperhatikan keseimbangan
dan keteraturan antara manusia dengan alam. Manusia sangat menghormati
keberadaan alam, bahkan ada beberapa kebudayaan yang menganggap alam
sebagai Dewa, sehingga masyarakatnya menaruh hormat terhadap alam seperti
sungai, gunung, hutan dan lain sebagainya. Setelah munculnya agama monotheis,
kebudayaan berkembang tidak lagi menganggap alam atau benda-benda yang di
alam sebagai dewa melainkan sebagai tempat mereka tinggal dan hidup. Pada
masa itu sumber daya alam masih sangat berlimpah dan masyarakat masih memakai
dan mengambil sumber daya alam hanya untuk keperluan sehari-hari sehingga
alam masih dapat memperbaharui dan memperbaiki dirinya dari kerusakan yang
ada. Eksploitasi sumber daya alam mulai berkembang pesat semenjak
diterapkannya teori ekonomi modernnya Adam Smith pada masyarakat terutama
masyarakat Eropa. Dan eksploitasi tersebut tumbuh secara deret ukur terutama
setelah terjadinya revolusi industri pada abad ke-18, perkembangan kehidupan
manusia dan kebudayaan semakin menyimpang jauh dari keseimbangannya dengan
alam. Hal ini juga terjadi karena pertumbuhan jumlah penduduk meningkat secara
66
pesat dan semakin berkembangnya budaya egosentris dimana pemenuhan
kebutuhan manusia merupakan prioritas yang utama. Perkembangan ini semakin
mengesampingkan posisi alam menjadi sekedar objek pemenuhan kebutuhan hidup
manusia.
Kondisi ini masih berlaku sampai sekarang, walaupun kesadaran bahwa alam
sudah semakin tidak mampu menanggun beban pemenuhan kebutuhan manusia
semakin besar tetapi masih belum cukup untuk dapat mengatasi berbagai
permasalahan yang ada. Masih banyak negara yang berkutat pada masalah
pemenuhan kebutuhan dasar penduduknya, sehingga perhatian kepada kelestarian
alam masih jauh dari yang diharapkan. Hal ini berlaku juga di Indonesia, apalagi
dengan adanya krisis ekonomi yang terjadi beberapa tahun yang lalu dimana
krisis itu mengakibatkan tingkat kesejahteraan sebagian besar masyarakat
Indonesia merosot tajam. Dengan jumlah penduduk yang banyak dengan tingkat
kesejahteraan sebagian besar masyarakatnya yang rendah, memaksa pemerintah
Indonesia menetapkan prioritas utamanya pada pemenuhan kebutuhan dasar
masyarakat. Hal ini menyebabkan secara umum tingkat kesadaran akan pentingnya
kelestarian alam di dalam masyarakat Indonesia masih sangat kurang, baik secara
individu maupun dalam bentuk kelompok masyarakat maupun lembaga pemerintah.
Semua masih berkutat didalam pemenuhan kebutuhan primer atau kebutuhan
dasar. Oleh karena itu prioritas masyarakat secara umum dan pemerintah adalah
tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Sehingga aspek-aspek lain seperti
lingkungan dan kebudayaan lebih diserahkan kepada individu masing-masing.
Selama ini, yang dimaksud dengan kebudayaan lebih kepada kebudayaan
peninggalan nenek moyang, dan peninggalan itu lebih dalam berupa karya seni
maupun benda-benda purbakala. Hal-hal ini yang masih diatur dan dikelola oleh
pemerintah. Sedangkan hubungan sosial antar masyarakat maupun anggota
masyarakat lebih banyak diserahkan kepada masyarakat. Jadi tingkah laku maupun
sikap masyarakat lebih didasarkan pada interaksi antara anggota masyarakat dan
informasi maupun kondisi yang terjadi dilingkungan dimana mereka tinggal.
Kebudayaan post modernisasi, seperti budaya globalisasi, dan budaya instan
yang sekarang banyak dianut oleh masyarakat di kota-kota metropolitan dan
juga kota-kota besar lainnya di Indonesia, merupakan contoh yang paling jelas
berpengaruh di masyarakat. Yang disayangkan dalam mengambil pengaruh budaya
modern ini hanya yang diambil sisi yang menguntungkan atau menyenangkan
67
saja, terutama pola konsumtif yang paling kentara terlihat. Sedangkan kesadaran
mengenai kebersihan dan pelestarian lingkungan yang juga marak di masyarakat
modern tidak dianut.
Budaya Paternalistik di Indonesia.
Menurut Hofstede, masyarakat Indonesia termasuk masyarakat dengan ciri jarak
kuasa (power distance) yang tinggi dibandingkan dengan 53 masyarakat bangsa
lain di dunia. Dalam masyarakat seperti ini, bawahan merasa dirinya jauh dari
atasannya. Ciri lain dari budaya ini adalah atasan merasa berhak atas hak-hak
istimewa (privileges), bawahan merasa hak-hak yang diterima atasan adalah wajar,
bawahan harus setia kepada atasan, orang yang berkuasa seharusnya juga kaya,
bawahan tergantung kepada atasan, kekuasaan didasarkan atas hubungan keluarga
dan koneksi. Dalam masyarakat seperti itu hubungan atasan bawahan bersifat
paternalistik, atasan adalah bapak yang harus dituruti dan ditiru.
Sebenarnya hubungan yang sifatnya paternalistik tidak dengan sendirinya akan
menimbulkan masalah. Masalah baru timbul apabila yang menjadi atasan adalah
orang yang korup atau tidak jujur atau suka menyalahgunakan kekuasaannya dan
tidak bijaksana dalam mengambil sikap dan membuat keputusan. Bawahan akan
segera mengikuti tingkah laku tersebut, dan biasanya kebiasaan atau tingkah
laku yang buruk lebih mudah ditiru daripada tingkah laku yang baik. Tingkah
laku atasan atau pemimpin yang buruk dijadikan pembenaran oleh bawahan
untuk melakukan hal yang sama. Masyarakat Singapura juga adalah masyarakat
dengan jarak kuasa yang relatif tinggi. Tetapi Singapura dikenal sebagai negara
yang bersih dari korupsi. Bawahan dan masyarakat luas mengikuti atau meniru
pemimpin mereka yang tidak korup.
Disamping jarak-kuasa yang tinggi, masyarakat Indonesia juga termasuk
masyarakat yang kolektivitasnya tinggi. Masyarakat kolektif cirinya antara lain ;
identitas seseorang cenderung dikaitkan dengan kelompoknya, harmoni harus
tetap dijaga dan konflik harus dihindari, pendapat kelompok mendominasi
pendapat individu, berbuat salah akan menimbulkan rasa malu dan kehilangan
muka (bukan perasaan bersalah).
Masyarakat kolektif ditandai oleh kebersamaan yang tinggi. Kelemahan dari bentuk
masyarakat kolektif ini adalah jika suatu perbuatan telah dianggap biasa walaupun
perbuatan itu salah, perbuatan tersebut tidak dianggap menimbulkan rasa malu
68
sehingga orang-orang bersama-sama melakukan perbuatan tersebut walaupun
perbuatan itu salah. Seperti contohnya korupsi, karena masyarakat sudah
mengganggap korupsi sebagai suatu perbuatan yang biasa maka hampir semua
orang melakukan korupsi. Jadi disini terjadi kebersamaan dalam korupsi dan
juga contoh lain kebersamaan dalam melakukan tindak kekerasan. Jadi, secara
diam-diam terjadi korupsi yang terorganisis.
Selain itu contoh lainnya misalnya tidak ada satu pun pemimpin kita yang memberi
contoh untuk menjaga kebersihan dan mencintai alam sehingga sangat sulit
membentuk masyarakat Indonesia yang menjaga kebersihan dan melestarikan
alam.
Sistem birokrasi yang ada di Indonesia merupakan sistem yang diwariskan oleh
pemerintahan kolonial Belanda kepada kita. Sistem birokrasi yang ditumbuhkan
adalah sistem birokrasi yang berjenjang. Pada puncak piramida adalah gubernur
jenderal, gubernur dan kemudian dibawahnya diikuti oleh lapisan residen, asisten
residen, bupati, wedana, asisten wedana dan yang paling bawah adalah pemimpin
rakyak (seperti lurah dan yang sejenisnya). Penjajah Belanda telah berhasil
membangun sistem pemerintahan dengan menciptakan di lapisan tengah satu
kelompok elit birokrasi pribumi yang mengabdi kepada kepentingan penguasa
kolonial. Pada lapisan ini, sistem nilai feodal tradisional masih berakar kuat
ditunjukkan dengan ethos kerja ngawula ing praja lan raja, yang artinya
menghamba kepada negara dan raja.
Dengan bentuk budaya masyarakat yang seperti ini terlihat bahwa pengaruh dan
kekuasaan atasan dalam hal ini pemerintah menjadi sangat besar dan sangat
menentukan hitam putihnya negara ini. Jadi setiap tindakan pemerintah secara
formal dalam tatanan kepemerintahan maupun tindakan pemerintah secara
informal dalam hal ini para birokrat sangat menentukan arah perjalanan bangsa
ini. Termasuk dalam hal ini pembentukan budaya masyarakat Indonesia secara
umum sangat bergantung dengan kebijakan yang diambil pemerintah dan perilaku
birokratnya.
Budaya masyarakat daerah masih ada dan masih sering dilaksanakan oleh sebagian
masyarakat di berbagai daerah di Indonesia, tetapi budaya tersebut terbatas
oleh lokalitas dimana budaya tersebut hanya dilakukan oleh masyarakat pada
daerah tertentu dan tidak dilaksanakan secara umum oleh masyarakat Indonesia.
69
Selain itu jika budaya tersebut harus berhadapan dengan aturan dan perundang-
undangan yang ditetapkan dan dikeluarkan oleh pemerintah maka sering terjadi
budaya daerah tersebut harus kalah dengan aturan yang ditetapkan oleh
pemerintah.
Gambar 1. Hubungan antara isu budaya dengan pengelolaan lingkungan hidup di
Indonesia
II. SKEMA HUBUNGAN ANTARA BUDAYA DENGAN PENGELOLAAN SUMBER
DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP.
Manusia dan lingkungan tidak dapat dipisahkan karena tanpa alam atau lingkungan
tidak akan ada manusia. Lingkungan merupakan tempat tinggal, tempat
mempertahan hidup, sebagai penyedia sumber-sumber yang dimanfaatkan oleh
manusia untuk terus hidup, tempat membuang sisa-sisa dari semua aktivitas
manusia. Bentuk interaksi antara manusia dengan alamnya dapat dilihat dari
pola hidup,sikap dan perilaku individunya dan etika dan norma-norma yang ada
didalam masyarakat.
Di dalam struktur masyarakat bernegara masa kini selain sikap dan pola hidup
individu, dan norma-norma yang berlaku di masyarakat ada juga aturan-aturan
yang ditetapkan pemerintah yang menjadi batasan dan acuan yang berlaku dalam
kehidupan bernegara. Seperti terlihat dalam skema diatas bahwa ada tiga susunan
Pemerintah
Masyarakat
Individu
y Kebijakan
y Peraturan/UU
Etika
Norma-norma
Sikap
Tingkah Laku
LINGKUNGAN
B
U
D
A
Y
A

M
A
S
Y
A
R
A
K
A
T

I
N
D
O
N
E
S
I
A
MASYARAKAT
DUNIA
70
yang berpengaruh dalam perkembangan budaya yaitu pemerintah, masyarakat
dan individu. Budaya daerah masuk dalam norma-norma dan etika dalam
masyarakat, sedangkan seni dan daya kreativitas masuk dalam individu. Andil
pemerintah dalam pembentukan budaya adalah pada aturan dan kebijakan yang
dikeluarkan oleh pemerintah dan tingkah laku para pemimpin dan birokratnya
seperti diketahui dalam budaya paternalistik, pemimpin menjadi panutan bagi
bawahannya dan masyarakat luas. Sebagai contoh di Singapura pada tahun 1960-
an masih banyak orang yang membuang sampah sembarangan, tetapi kemudian
dikeluarkan peraturan larangan membuang sampah sembarangan oleh pemerintah
Singapura. Peraturan ini dilaksanakan secara ketat dan disiplin sehingga secara
perlahan membentuk sikap dan budaya menjaga kebersihan pada masyarakat
Singapura. Sehingga sekarang tanpa aturan tersebut pun masyarakat Singapura
tetap menjaga kebersihan lingkungannya.
Masyarakat dunia pun berpengaruh dalam membentuk budaya pada masyarakat
terutama semenjak era globalisasi dimana teknologi informasi berkembang secara
pesat. Hampir semua kejadian yang terjadi di belahan dunia lain dalam hitungan
menit bahkan detik dapat diketahui oleh masyarakat lain di belahan dunia lain.
Informasi yang didapat secara cepat dan tiada hentinya ini juga dapat membentuk
dan merubah cara pandang, pola hidup dan tingkah laku masyarakat maupun
individu. Selain itu hubungan pemerintah antar negara dapat juga mempengaruhi
kebijakan yang diambil oleh satu pemerintahan. Misalnya sikap pemerintah
Amerika melalui IMF (Lembaga Keuangan Internasional) memaksa pemerintah
Indonesia serius dalam menangani permasalahan kebakaran hutan dan penebangan
liar.
Dari budaya masyarakat Indonesia yang paternalitik kolektif terlihat bahwa peran
pemerintah dalam membangun sikap masyarakat yang peduli terhadap lingkungan
penting, malah bisa dikatakan sangat penting. Oleh sebab itu untuk melestarikan
alam harus ada sikap dari pemimpin dan para birokrat di dalam pemerintahan
yang pro dengan lingkungan sehingga sikap mereka sehari-hari akan menunjang
pelestarian lingkungan dan itu akan menjadi panutan bagi para bawahan dan
masyarakat luar. Selain itu kebijakan yang diambil akan selalu memperhatikan
kelestarian dan keberlanjutan lingkungan tersebut.
Selain itu pendidikan juga penting dalam mempengaruhi sikap dan tingkah laku
seseorang, dalam hal ini yang berhubungan dengan kesadaran mengenai
71
pelestarian lingkungan. Tetapi tingginya tingkat pendidikan juga harus dibarengi
dengan pengetahuan mengenai lingkungan dan pelestariannya yang memadai,
karena jika tidak dibarengi dengan pengetahuan mengenai pentingnya pelestarian
lingkungan tidak akan membuat masyarakat menjadi peduli dengan lingkungan.
III. PERMASALAHAN-PERMASALAHAN KEBUDAYAAN YANG TERKAIT DENGAN
PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DI INDONESIA.
1. Masyarakat dan kebudayaan Indonesia saat mengalami krisis identitas karena
otoritas dan kewenangan yang dipaksakan. Banyak aturan yang mengekang
kebebasan masyarakat untuk berekspresi dan berkreasi menyebabkan
perkembangan budaya mandeg dan terkooptasi dengan kebijakan mengenai
stabilitas keamanan nasional.
2. Tidak adanya program pendidikan yang jelas terutama mengenai lingkungan
baik pada pendidikan tingkat dasar, maupun tingkat menengah menunjukkan
bahwa perhatian pemerintah terhadap masalah lingkungan masih sangat
kurang. Padahal, pendidikan mengenai lingkungan baik pemanfaatannya
yang benar maupun pelestarian merupakan dasar bagi sikap masyarakat
dalam melihat dan melestarikan lingkungan. Hal ini lebih diperparah dengan
kondisi pasca krisis ekonomi dimana semua sumber daya diprioritaskan pada
pemulihan kondisi perekonomian bangsa, sehingga bahkan pendidikan
sebagai dasar peningkatan mutu sumber daya manusia tidak terperhatikan
juga.
3. Selama ini bahan bakar penggerak perekonomian Indonesia adalah sumber
daya alam baik yang dapat diperbaharui maupun yang tidak. Jadi selama
sumber daya alam menjadi tumpuan utama dari perekonomian kita selama
itu pun juga alam hanya akan menjadi objek eksploitasi yang keberadaannya
hanya sebagai faktor penunjang produksi.
4. Dengan kebijakan pemerintah yang kurang memperhatikan permasalahan
lingkungan, serta tidak adanya dasar pemahaman yang ditanamkan semenjak
dini pada masyarakat tentang pentingnya pelestarian lingkungan hidup
membuat posisi lingkungan hanya berupa benda mati yang dianugrahkan
kepada bangsa ini untuk digunakan semaksimal mungkin tanpa
memperhatikan kondisi serta kelestariannya. Hal ini membuat tekanan
72
terhadap lingkungan semakin besar dan kuat, sehingga kerusakan lingkungan
semakin parah karena baik pemerintah maupun masyarakat hanya
memperlakukan lingkungan sebagai obyek dalam aktivitas perekonomian
dan kehidupan.
5. Konsep peningkatan kesejahteraan yang hanya dilihat dari pencapaian
tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi saja, tanpa melihat berapa besar
biaya yang dikeluarkan untuk mencapai tingkat pertumbuhan tersebut serta
berapa besar kerusakan lingkungan yang terjadi dari kebijakan tersebut.
6. Budaya korupsi, kolusi dan nepotisme yang marak terjadi di Indonesia
membuat banyak orang bersaing mendapatkan hak penggunaan sumber daya
termasuk sumber daya alam untuk keuntungan sendiri maupun keuntungan
kelompok. Dalam budaya tersebut sangat menekankan hasil atau keuntungan
yang maksimal dengan waktu yang secepat-cepatnya. Hal ini menyebabkan
orang yang mendapatkan hak pengelolaan sumber daya mengekspoitasi
sumber daya tersebut semaksimal mungkin tanpa memperhatikan
keberlanjutannya untuk generasi mendatang selain itu untuk mendapatkan
keuntungan yang sebesar-besarnya maka digunakan biaya yang sekecil-
kecilnya sehingga kerusakan yang terjadi menjadi maksimal karena biaya
pengelolaan yang seharusnya dikeluarkan untuk mengelola lingkungan
menjadi hilang atau sangat kecil.
7. Dengan kurangnya perhatian pemerintah pada permasalahan lingkungan,
maka sebagian besar kebijakan yang diambil pemerintah tidak memihak
kepada pelestarian lingkungan, ada beberapa kebijakan yang terkait dengan
lingkungan itu pun karena desakan dari pihak luar (desakan internasional)
maupun karena kondisi yang terjadi sudah sedemikian parah sehingga menarik
perhatian pemerintah.
8. Kurang matangnya sebuah kebijakan menjadikan program yang dilaksanakan
tidak efesien atau bahkan tidak mencapai sasaran yang diharapkan. Sebagai
contoh program transmigrasi; selama ini program tersebut hanya
memindahkan penduduk dari lingkungan atau pulau yang padat ke pulau
yang lebih sedikit jumlah penduduknya. Jarang program tersebut yang
membawa hasil yang optimal baik bagi penduduk yang dipindahkan,
masyarakat maupun pemerintah tempat para transmigran ditempatkan
maupun daerah asal transmigran. Hal ini disebabkan kurang matangnya
73
perencanaan program transmigrasi, misalnya tidak ada studi kelayakan
mengenai budaya asal transmigran dengan budaya penduduk asli daerah
dimana transmigran ditempatkan, selain itu juga tidak ada atau kurangnya
sarana-sarana pendukung yang layak untuk sebuah pemukiman. Yang terjadi
lebih banyak transmigran yang pulang lagi ke daerah asal meninggalkan
lokasi transmigrasi yang telah rusak karena diolah dengan tidak tepat dan
kemudian ditinggalkan.
9. Contoh lainnya adalah budaya mudik yang dilakukan sebagian penduduk
kota besar pada saat perayaan hari besar keagaaman. Budaya tersebut baik
untuk meningkatkan hubungan sosial masyarakat tetapi ada dampak samping
yang sering terjadi yaitu ketika kembali ke kota para pemudik membawa
sanak keluarga untuk bekerja di kota-kota besar. Hal ini menambah beban
termasuk beban lingkungan pada kota-kota besar di Indonesia terutama
Jakarta. Beberapa kebijakan yang diambil untuk mengatasi permasalahan
tersebut misalnya dengan penertiban penduduk, operasi yustisi tidak
menyelesaikan akar permasalahan. Kebijakan tersebut hanya bersifat
sementara karena selama kesenjangan ekonomi dan sosial terjadi antara
kota-kota besar dengan kota-kota lainnya, hal tersebut akan terus terjadi.
10. Selain permasalahan diatas yang diakibatkan karena sikap kurang berpihak
dari pemerintah dan budaya yang berkembang pada saat ini, ada pula budaya
lama yang dapat mengakibatkan kerusakan lingkungan dalam hal ini hewan
langka. Ada beberapa budaya yang meyakini bahwa hewan langka dalam
hal ini daging, darah, tanduk, maupun bagian tubuh lainnya, dapat
menyembuhkan penyakit atau memberikan kekuatan pada manusia. Budaya
ini sudah berkembang sangat lama dan masih berlaku sampai sekarang.
Pada masa lalu ketika semua masih berlimpah ruah, budaya tersebut tidak
menimbulkan permasalahan, tetapi sekarang dimana hewan yang diyakini
memiliki khasiat tertentu sudah sangat langka, budaya tersebut sangat
membahayakan kelestarian hewan tersebut.
a. Kendala-kendala yang dihadapi oleh Institusi Pengelolaan Lingkungan.
1. Sebagian besar permasalahan lingkungan yang berhubungan dengan budaya
terkait secara tidak langsung. Sehingga suatu Institusi Penyelenggaraan
Lingkungan tidak dapat secara langsung membuat kebijakan atau melakukan
74
suatu perubahan untuk mengatasi permasalahan tersebut. Sudah ada Institusi
lainnya yang bertanggung jawab terhadap masalah kebudayaan. Yang jadi
tugas dari Institusi Penyelenggaraan Lingkungan adalah bagaimana
meyakinkan institusi tersebut dan masyarakat bahwa keberadaan dan
keberlanjutan lingkungan sangat penting untuk dijaga.
2. Institusi Penyelenggara Lingkungan belum dapat memasukkan agenda
pelestarian lingkungan kedalam sebagian besar kebijakan pemerintah
sehingga keberpihakan pemerintah terhadap masalah lingkungan ini lebih
tinggi dari sebelumnya.
3. Kurang kuatnya posisi dan peran Institusi Penyelenggaraan Lingkungan dalam
menentukan kebijakan pemerintah di bidang-bidang lain yang menyebabkan
lingkungan tidak mendapatkan prioritas yang utama dalam setiap
pengambilan keputusan oleh pemerintah.
4. Institusi Penyelenggara Lingkungan sendiri tidak memiliki kebijakan
mengenai peningkatan pemahaman tentang pelestarian lingkungan di
masyarakat.
5. Selama ini yang menjadi fokus perhatian Institusi Penyelenggara Lingkungan
hanyalah lingkungan, misalnya pencemaran lingkungan, kerusakan
lingkungan bukan faktor-faktor lain yang mendorong terjadinya pencemaran
maupun kerusakan lingkungan seperti faktor sosial budaya dalam hal ini
perilaku masyarakat. Faktor-faktor tersebut sering dianggap sebagai faktor-
faktor dari luar yang bukan merupakan wewenang Institusi Penyelenggara
Lingkungan.
b. Alternatif-alternatif pemecahan yang dirasakan sesuai dengan hambatan
atau kendala-kendala yang dihadapi oleh Institusi Penyelengara
Lingkungan.
1. Institusi Penyelenggara Lingkungan harus dapat menyakinkan pemerintah
dengan data-data dan bukti-bukti bahwa permasalahan lingkungan sangat
penting untuk segera diatasi dan permasalahan lingkungan merupakan
permasalahan bersama bukan permasalahan satu pihak saja.
75
2. Institusi Penyelenggara Lingkungan harus dapat memasukkan atau
menginternalisasi masalah lingkungan kedalam kebijakan-kebijakan
pemerintah dibidang-bidang pendidikan baik formal maupun informal sebagai
bagian dari pembentukan sikap dan tingkah laku yang ramah lingkungan.
3. Institusi Penyelenggara Lingkungan harus mempunyai badan yang
menganalisa semua kebijakan yang telah ada dan yang akan dikeluarkan
oleh pemerintah dibidang pendidikan dan kebudayaan serta memberikan
masukan kepada Institusi yang berwenang maupun pemerintah dalam
merencanakan maupun menjalankan kebijakan tersebut.
4. Institusi Penyelenggara Lingkungan harus dapat menjadi pencetus
pembentukan Good Enviromental Governance (GEG), karena pembentukan
GEG ini merupakan suatu keharusan dalam membentuk masyarakat yang
mempunyai budaya yang peduli lingkungan.
76
SPEKTRUM KESEJAHTERAAN SOSIAL DALAM RUANG LINGKUP
PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP
I. PENDAHULUAN.
Program pembangunan kesejahteraan sosial di Indonesia terutama memberikan
perhatian kepada pembangunan sosial dan penyelesaian masalah sosial.
Pembangunan sosial merupakan usaha perubahan sosial yang dirancang untuk
meningkatkan kesejahteraan rakyat yang selaras dengan pembanguhan ekonomi
(Midgley 1994). Penyelesaian masalah sosial dipandang sebagai satu penyelesaian
dari keadaan dimana orang tidak mampu melaksanakan fungsi sosialnya. Fokus
program pembangunan kesejahteraan sosial ditujukan kepada anak-anak dan
remaja, kemiskinan, wanita dan orang tua, penderita penyakit kronis, keluarga
bermasalah, minoritas, dan masalah-masalah sosial lainnya akibat dari
pembangunan ekonomi.
Kompleksnya masalah kesejahteraan sosial menyebabkan pembangunan dan
masalah tersebut memerlukan perhatian, bukan hanya dari pihak pemerintah
tetapi juga masyarakat. Walau bagaimanapun, pemerintah mempunyai tanggung
jawab yang utama dalam usaha kesejahteraan sosial. Namun, kerjasama dari
pihak masyarakat dan organisasi bukan pemerintah perlu juga terus ditingkatkan.
Peningkatan usaha ini dapat dilakukan melalui kerjasama dalam berbagai program
seperti perlindungan, keselamatan, jaminan dan bantuan sosial. Kerjasama ini
menunjukkan semakin luasnya perhatian masyarakat dan swasta dalam bidang
pembangunan kesejahteraan sosial.
a. Kemiskinan sebagai salah satu masalah dalam kesejahteraan sosial.
Masalah kemiskinan memang telah lama ada sejak dahulu kala. Pada masa lalu
umumnya masyarakat menjadi miskin bukan karena kurang pangan, tetapi miskin
dalam bentuk minimnya kemudahan atau materi. Dari ukuran kehidupan modern
pada masa kini mereka tidak menikmati fasilitas pendidikan, pelayanan kesehatan,
dan kemudahan-kemudahan lainnya yang tersedia pada jaman modern.
Kemiskinan sebagai suatu penyakit sosial ekonomi tidak hanya dialami oleh
negara-negara yang sedang berkembang, tetapi juga negara-negara maju, seperti
Inggris dan Amerika Serikat. Negara Inggris mengalami kemiskinan di penghujung
77
tahun 1700-an pada era kebangkitan revolusi industri yang muncul di Eropah.
Pada masa itu kaum miskin di Inggris berasal dari tenaga-tenaga kerja pabrik
yang sebelumnya sebagai petani yang mendapatkan upah rendah, sehingga
kemampuan daya belinya juga rendah. Mereka umumnya tinggal di permukiman
kumuh yang rawan terhadap penyakit sosial lainnya, seperti prostitusi,
kriminalitas, pengangguran.
Amerika Serikat sebagai negara maju juga dihadapi masalah kemiskinan, terutama
pada masa depresi dan resesi ekonomi tahun 1930-an. Pada tahun 1960-an Amerika
Serikat tercatat sebagai negara adi daya dan terkaya di dunia. Sebagian besar
penduduknya hidup dalam kecukupan. Bahkan Amerika Serikat telah banyak
memberi bantuan kepada negara-negara lain. Namun, di balik keadaan itu tercatat
sebanyak 32 juta orang atau seperenam dari jumlah penduduknya tergolong miskin.
Indonesia sebagai negara yang kaya akan sumber daya alamnya mempunyai 49,5
juta jiwa penduduk yang tergolong miskin (Survai Sosial Ekonomi Nasional /
Susenas 1998). Jumlah penduduk miskin tersebut terdiri dari 17,6 juta jiwa di
perkotaan dan 31,9 juta jiwa di perdesaan. Angka tersebut lebih dari dua kali
lipat banyaknya dibanding angka tahun 1996 (sebelum krisis ekonomi) yang
hanya mencatat jumlah penduduk miskin sebanyak 7,2 juta jiwa di Perkotaan
dan 15,3 juta jiwa perdesaan. Akibat krisis jumlah penduduk miskin diperkirakan
makin bertambah.
Ada dua kondisi yang menyebabkan kemiskinan bisa terjadi, yakni kemiskinan
alamiah dan karena buatan. Kemiskinan alamiah terjadi antara lain akibat sumber
daya alam yang terbatas, penggunaan teknologi yang rendah dan bencana alam.
Kemiskinan buatan terjadi karena lembaga-lembaga yang ada di masyarakat
membuat sebagian anggota masyarakat tidak mampu menguasai sarana ekonomi
dan berbagai fasilitas lain yang tersedia, hingga mereka tetap miskin. Maka
itulah sebabnya para pakar ekonomi sering mengkritik kebijakan pembangunan
yang melulu terfokus pada pertumbuhan ketimbang pemerataan.
Berbagai persoalan kemiskinan penduduk memang menarik untuk disimak dari
berbagai aspek, sosial, ekonomi, psikologi dan politik. Aspek sosial terutama
akibat terbatasnya interaksi sosial dan penguasaan informasi. Aspek ekonomi
akan tampak pada terbatasnya pemilikan alat produksi, upah kecil, daya tawar
rendah, tabungan nihil, lemah mengantisipasi peluang. Dari aspek psikologi
terutama akibat rasa rendah diri, fatalisme, malas, dan rasa terisolir. Sedangkan,
78
dari aspek politik berkaitan dengan kecilnya akses terhadap berbagai fasilitas
dan kesempatan, diskriminatif, posisi lemah dalam proses pengambil keputusan.
Lebih lanjut, garis kemiskinan merupakan ukuran rata-rata kemampuan masyarakat
untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup minimum. Melalui pendekatan sosial
masih sulit mengukur garis kemiskinan masyarakat, tetapi dari indikator ekonomi
secara teoritis dapat dihitung dengan menggunakan tiga pendekatan, yaitu
pendekatan produksi, pendapatan, dan pengeluaran. Sementara ini yang dilakukan
Biro Pusat Statistik (BPS) untuk menarik garis kemiskinan adalah pendekatan
pengeluaran.
Menurut data BPS hasil Susenas pada akhir tahun 1998, garis kemiskinan penduduk
perkotaan ditetapkan sebesar Rp. 96.959 per kapita per bulan dan penduduk
miskin perdesaan sebesar Rp. 72.780 per kapita per bulan. Dengan perhitungan
uang tersebut dapat dibelanjakan untuk memenuhi konsumsi setara dengan 2.100
kalori per kapita per hari, ditambah dengan pemenuhan kebutuhan pokok minimum
lainnya, seperti sandang, kesehatan, pendidikan, transportasi. Angka garis
kemiskinan ini jauh sangat tinggi bila dibanding dengan angka tahun 1996
sebelum krisis ekonomi yang hanya sekitar Rp. 38.246 per kapita per bulan untuk
penduduk perkotaan dan Rp. 27.413 bagi penduduk perdesaan.
Banyak pendapat di kalangan pakar ekonomi mengenai definisi dan klasifikasi
kemiskinan ini. Dalam bukunya The Affluent Society, John Kenneth Galbraith
melihat kemiskinan di Amerika Serikat terdiri dari tiga macam, yakni kemiskinan
umum, kemiskinan kepulauan, dan kemiskinan kasus. Pakar ekonomi lainnya
melihat secara global, yakni kemiskinan massal/kolektif, kemiskinan musiman
(cyclical), dan kemiskinan individu.
Kemiskinan kolektif dapat terjadi pada suatu daerah atau negara yang mengalami
kekurangan pangan. Kebodohan dan eksploitasi manusia dinilai sebagai penyebab
keadaan itu. Kemiskinan musiman atau periodik dapat terjadi manakala daya
beli masyarakat menurun atau rendah. Misalnya sebagaimana, sekarang terjadi
di Indonesia. Sedangkan, kemiskinan individu dapat terjadi pada setiap orang,
terutama kaum cacat fisik atau mental, anak-anak yatim, kelompok lanjut usia.
79
b. Kesejahteraan sosial dan kemiskinan dilihat dari keterkaitannya dengan
lingkungan alam dan variabel penduduk.
Kesejahteraan sosial dan kemiskinan dilihat dari keterkaitannya dengan lingkungan
alam dan variabel penduduk dapat digambarkan sebagai berikut
Lingkungan Alam:
-Ketersediaan SDA
-Ti ngkat
Pencemaran
Variabel Penduduk:
-Ferti li tas
-Mortalitas
-Mobi li tas (mi grasi)
Kesejahteraan Sosial
-Kesejahteraan Fisik
-Kesejahteraan Ekonomi
-Kesejahteraan Spi ri tual
Lingkungan Alam:
-Ketersediaan SDA
-Ti ngkat
Pencemaran
Variabel Penduduk:
-Ferti li tas
-Mortalitas
-Mobi li tas (mi grasi)
Kesejahteraan Sosial
-Kesejahteraan Fisik
-Kesejahteraan Ekonomi
-Kesejahteraan Spi ri tual
Gambar . Kulitas Lingkungan Hidup dan Kependudukan
Berbagai variabel kependudukan seperti kelahiran, kematian dan mobilitas
akan mempengaruhi daya dukung lingkungan terhadap kehidupan manusia
yang tercermin dari ketersediaan/ketidak-tersediaan sumberdaya alam
misalnya sumber daya laut (ikan, rumput laut, dan sebagainya), ada tidaknya
lahan, ada tidaknya sumber air bersih, hutan dan satwa liar, dan ada atau
tidaknya pencemaran (udara, air dan tanah). Ketersediaan/ketidaksediaan
tersebut sangat menentukan kualitas lingkungan suatu wilayah yang pada
gilirannya akan mempengaruhi kesejahteraan sosial dari penduduk yang
berada di lingkungan tersebut
Kesejahteraan sosial sendiri seringkali ditentukan oleh faktor-faktor
kesejahteraan fisik, ekonomi serta spiritual. Kesejahteraan fisik biasanya
ditentukan oleh tingkat kesehatan serta keamanan masyarakat. Kesejateraan
ekonomi mencakup kemampuan manusia untuk memenuhi kebutuhan
80
hidupnya seperti makanan, minuman, perumahan dan pakaian serta sekaligus
meningkatkan sarana kesehatan, pendidikan dan kesempatan kerja. Dalam
hal ini, sumber daya alam akan merupakan faktor penentu untuk
meningkatkan kesejahteraan ekonomi. Pengurasan dan penurunan sumber
daya alam akan membayakan kemampuan penduduk di dalam usahanya
memenuhi kebutuhan hidup serta kemampuannya untuk meningkatkan taraf
hidupnya atau dengan kata lain terjadi penurunan dalam kesejahteraan
ekonomi. Penurunan dalam kesejahteran ekonomi dalam suatu ambang batas
tertentu disebut kemiskinan. Demikian pula dengan kesejahteraan spiritual.
Hal ini berkaitan dengan persepsi masyarakat terhadap jaminan masa depan,
keharmonisan dalam kehidupan keluarga dan kesempatan di dalam
menjalankan ibadah agama.
81
I
I
.
S
K
E
M
A

H
U
B
U
N
G
A
N

S
P
E
K
T
R
U
M

K
E
S
E
J
A
H
T
E
R
A
A
N

S
O
S
I
A
L

D
E
N
G
A
N

P
E
N
G
E
L
O
L
A
A
N

S
U
M
B
E
R

D
A
Y
A
A
L
A
M

D
A
N

L
I
N
G
K
U
N
G
A
N

H
I
D
U
P
.
T
U
R
U
N
N
Y
A
P
E
N
D
A
P
A
T
A
N
M
E
N
I
N
G
K
A
T
N
Y
A
B
I
A
Y
A
-
B
I
A
Y
A
(
L
I
S
T
R
I
K
,

A
I
R

,

B
B
M
)
P
E
N
I
N
G
K
A
T
A
N
P
R
O
S
E
N
T
A
S
E
P
E
N
D
U
D
U
K

M
I
S
K
I
N
M
E
R
O
S
O
T
N
Y
A


D
A
Y
A
D
U
K
U
N
G

D
A
N

M
U
T
U
L
I
N
K
U
N
G
A
N
H
I
D
U
P
P
E
N
D
I
D
I
K
A
N
R
E
N
D
A
H
K
E
M
A
M
P
U
A
N
E
K
O
N
O
M
I

R
E
N
D
A
H
-
M
E
N
G
O
L
A
H

L
A
H
A
N
M
A
R
G
I
N
A
L
/
L
A
H
A
N
K
R
I
T
I
S
/
L
A
H
A
N

M
I
S
K
I
N
H
A
R
A

Y
A
N
G
P
R
O
D
U
K
T
I
V
I
T
A
S
N
Y
A
R
E
N
D
A
H
.
-
M
E
M
B
U
A
T

U
S
A
H
A
Y
A
N
G

M
E
N
C
E
M
A
R
I
L
I
N
G
K
U
N
G
A
N
P
E
M
U
K
I
M
A
N

K
U
M
U
H
D
I
P
E
R
K
O
T
A
A
N
M
E
N
Y
E
B
A
B
K
A
N
D
I
P
E
R
L
U
K
A
N
P
R
O
G
R
A
M
P
E
N
G
E
N
T
A
S
A
N
K
E
M
I
S
K
I
N
A
N D
I
D
A
S
A
R
K
A
N

P
A
D
A

K
E
M
A
M
P
U
A
N
P
E
N
G
E
L
O
L
A
A
N

L
I
N
G
K
U
N
G
A
H

H
I
D
U
P
S
E
C
A
R
A

B
I
J
A
K
S
A
N
A


D
A
N

H
A
T
I
-
H
A
T
I
D
E
N
G
A
N


S
E
L
A
L
U

M
E
M
P
E
R
H
A
T
I
K
A
N
D
A
Y
A
D
U
K
U
N
G


S
U
M
B
E
R

A
L
A
M

D
A
N
L
I
N
G
K
U
N
G
A
N

S
E
T
E
M
P
A
T
P
E
N
G
U
N
A
A
N


P
E
N
D
E
K
A
T
A
N

A
T
A
U
T
E
K
N
O
L
O
G
I


Y
A
N
G

T
I
D
A
K
B
E
R
S
A
H
A
B
A
T

D
E
N
G
A
N

L
I
N
G
K
U
N
G
A
N
D
A
L
A
M


U
P
A
Y
A

P
E
N
I
N
G
K
A
T
A
N
P
E
N
D
A
P
A
T
A
N


M
A
S
Y
A
R
A
K
A
T

M
I
S
K
I
N
P
E
N
I
N
G
K
A
T
A
N
P
E
N
C
E
M
A
R
A
N

D
A
N
P
E
R
U
S
A
K
A
N
L
I
N
G
K
U
N
G
A
N

H
I
D
U
P
P
E
N
G
H
A
S
I
L
A
N

Y
A
N
G
B
E
R
K
E
L
A
N
J
U
T
A
N
P
E
N
I
N
G
K
A
T
A
N

P
E
N
D
I
D
I
K
A
N

D
A
N
K
E
T
R
A
M
P
I
L
A
N
,
A
K
S
E
S
I
B
I
L
I
T
A
S
A
S
E
T

D
A
N

F
A
K
T
O
R

P
R
O
D
U
K
S
I
P
E
N
I
N
G
K
A
T
A
N


A
K
S
E
S
I
B
I
L
I
T
A
S
T
E
R
H
A
D
A
P

P
E
L
A
Y
A
N
A
N

S
O
S
I
A
L
U
S
A
H
A
-
U
S
A
H
A


P
E
N
I
N
G
K
A
T
A
N
P
E
M
A
N
F
A
A
T
A
N


D
A
N

P
E
L
E
S
T
A
R
I
A
N
F
U
N
G
S
I

S
D
A

Y
A
N
G

S
E
C
A
R
A
L
A
N
G
S
U
N
G

M
E
M
P
E
N
G
A
R
U
H
I
K
E
H
I
D
U
P
A
N

P
E
N
D
U
D
U
K

M
I
S
K
I
N
B I D A N G P R O G R A M
Y A N G D I C A N A N G K A N
K
E
G
I
A
T
A
N

Y
A
N
G

T
E
L
A
H

D
A
N
S
E
D
A
N
G

D
I
L
A
K
U
K
A
N
M
E
M
B
A
N
T
U


I
N
D
U
S
T
R
I

S
K
A
L
A
K
E
C
I
L


D
E
N
G
A
N

M
E
M
B
A
N
G
U
N
I
N
S
T
A
L
A
S
I


P
E
N
G
O
L
A
H
A
N

A
I
R
L
I
M
B
A
H


D
I

S
E
N
T
R
A
-
S
E
N
T
R
A
I
N
D
U
S
T
R
I
P
R
O
G
R
A
M

K
E
R
J
A


K
L
H
1
.
A
K
T
I
F

M
E
N
J
E
L
A
S
K
A
N
K
E
T
E
R
K
A
I
T
A
N

A
N
T
A
R
A

P
R
O
G
.
P
E
N
G
E
N
T
A
S
A
N

K
E
M
I
S
K
I
N
A
N
D
A
N

P
E
N
G
E
L
O
L
A
A
N

L
I
N
G
K
.
H
I
D
U
P
2
.
M
E
N
G
I
N
T
E
G
R
A
S
I
K
A
N

3

B
I
D
.
P
R
O
G
.

P
E
N
G
E
N
T
A
S
A
N
K
E
M
I
S
K
I
N
A
N

D
E
N
G
A
N

S
E
K
T
O
R
L
A
I
N
3
.
M
E
M
A
S
U
K
K
A
N

T
U
J
U
A
N

U
N
T
U
K
M
E
N
I
N
G
K
A
T
K
A
N
K
E
S
E
J
A
H
T
E
R
A
A
N


D
A
N
P
E
N
D
A
P
A
T
A
N

M
A
S
Y

M
I
S
K
I
N
D
A
L
A
M


K
E
R
A
N
G
K
A

K
E
B
I
J
A
K
A
N
N
A
S
I
O
N
A
L
4
.
M
E
M
B
A
N
T
U

S
E
K
T
O
R

L
A
I
N
D
A
L
A
M


M
E
L
A
K
S
A
N
A
K
A
N
P
R
O
G
R
A
M

P
E
N
G
E
N
T
A
S
A
N
K
E
M
I
S
K
I
N
A
N
K
U
R
A
N
G
N
Y
A

A
K
S
E
S
U
N
T
U
K

M
E
M
E
N
U
H
I
K
E
B
U
T
U
H
A
N

H
I
D
U
P
S
E
P
E
R
T
I

A
I
R

B
E
R
S
I
H
P
E
N
G
G
U
N
A
A
N

A
I
R
S
U
N
G
A
I
P
E
N
U
R
U
N
A
N
T
I
N
G
K
A
T
K
E
S
E
H
A
T
A
N
M
A
S
Y
A
R
A
K
A
T
T
U
R
U
N
N
Y
A
P
E
N
D
A
P
A
T
A
N
M
E
N
I
N
G
K
A
T
N
Y
A
B
I
A
Y
A
-
B
I
A
Y
A
(
L
I
S
T
R
I
K
,

A
I
R

,

B
B
M
)
P
E
N
I
N
G
K
A
T
A
N
P
R
O
S
E
N
T
A
S
E
P
E
N
D
U
D
U
K

M
I
S
K
I
N
M
E
R
O
S
O
T
N
Y
A


D
A
Y
A
D
U
K
U
N
G

D
A
N

M
U
T
U
L
I
N
K
U
N
G
A
N
H
I
D
U
P
P
E
N
D
I
D
I
K
A
N
R
E
N
D
A
H
K
E
M
A
M
P
U
A
N
E
K
O
N
O
M
I

R
E
N
D
A
H
-
M
E
N
G
O
L
A
H

L
A
H
A
N
M
A
R
G
I
N
A
L
/
L
A
H
A
N
K
R
I
T
I
S
/
L
A
H
A
N

M
I
S
K
I
N
H
A
R
A

Y
A
N
G
P
R
O
D
U
K
T
I
V
I
T
A
S
N
Y
A
R
E
N
D
A
H
.
-
M
E
M
B
U
A
T

U
S
A
H
A
Y
A
N
G

M
E
N
C
E
M
A
R
I
L
I
N
G
K
U
N
G
A
N
P
E
M
U
K
I
M
A
N

K
U
M
U
H
D
I
P
E
R
K
O
T
A
A
N
M
E
N
Y
E
B
A
B
K
A
N
D
I
P
E
R
L
U
K
A
N
P
R
O
G
R
A
M
P
E
N
G
E
N
T
A
S
A
N
K
E
M
I
S
K
I
N
A
N D
I
D
A
S
A
R
K
A
N

P
A
D
A

K
E
M
A
M
P
U
A
N
P
E
N
G
E
L
O
L
A
A
N

L
I
N
G
K
U
N
G
A
H

H
I
D
U
P
S
E
C
A
R
A

B
I
J
A
K
S
A
N
A


D
A
N

H
A
T
I
-
H
A
T
I
D
E
N
G
A
N


S
E
L
A
L
U

M
E
M
P
E
R
H
A
T
I
K
A
N
D
A
Y
A
D
U
K
U
N
G


S
U
M
B
E
R

A
L
A
M

D
A
N
L
I
N
G
K
U
N
G
A
N

S
E
T
E
M
P
A
T
P
E
N
G
U
N
A
A
N


P
E
N
D
E
K
A
T
A
N

A
T
A
U
T
E
K
N
O
L
O
G
I


Y
A
N
G

T
I
D
A
K
B
E
R
S
A
H
A
B
A
T

D
E
N
G
A
N

L
I
N
G
K
U
N
G
A
N
D
A
L
A
M


U
P
A
Y
A

P
E
N
I
N
G
K
A
T
A
N
P
E
N
D
A
P
A
T
A
N


M
A
S
Y
A
R
A
K
A
T

M
I
S
K
I
N
P
E
N
I
N
G
K
A
T
A
N
P
E
N
C
E
M
A
R
A
N

D
A
N
P
E
R
U
S
A
K
A
N
L
I
N
G
K
U
N
G
A
N

H
I
D
U
P
P
E
N
G
H
A
S
I
L
A
N

Y
A
N
G
B
E
R
K
E
L
A
N
J
U
T
A
N
P
E
N
I
N
G
K
A
T
A
N

P
E
N
D
I
D
I
K
A
N

D
A
N
K
E
T
R
A
M
P
I
L
A
N
,
A
K
S
E
S
I
B
I
L
I
T
A
S
A
S
E
T

D
A
N

F
A
K
T
O
R

P
R
O
D
U
K
S
I
P
E
N
I
N
G
K
A
T
A
N


A
K
S
E
S
I
B
I
L
I
T
A
S
T
E
R
H
A
D
A
P

P
E
L
A
Y
A
N
A
N

S
O
S
I
A
L
U
S
A
H
A
-
U
S
A
H
A


P
E
N
I
N
G
K
A
T
A
N
P
E
M
A
N
F
A
A
T
A
N


D
A
N

P
E
L
E
S
T
A
R
I
A
N
F
U
N
G
S
I

S
D
A

Y
A
N
G

S
E
C
A
R
A
L
A
N
G
S
U
N
G

M
E
M
P
E
N
G
A
R
U
H
I
K
E
H
I
D
U
P
A
N

P
E
N
D
U
D
U
K

M
I
S
K
I
N
B I D A N G P R O G R A M
Y A N G D I C A N A N G K A N
K
E
G
I
A
T
A
N

Y
A
N
G

T
E
L
A
H

D
A
N
S
E
D
A
N
G

D
I
L
A
K
U
K
A
N
M
E
M
B
A
N
T
U


I
N
D
U
S
T
R
I

S
K
A
L
A
K
E
C
I
L


D
E
N
G
A
N

M
E
M
B
A
N
G
U
N
I
N
S
T
A
L
A
S
I


P
E
N
G
O
L
A
H
A
N

A
I
R
L
I
M
B
A
H


D
I

S
E
N
T
R
A
-
S
E
N
T
R
A
I
N
D
U
S
T
R
I
P
R
O
G
R
A
M

K
E
R
J
A


K
L
H
1
.
A
K
T
I
F

M
E
N
J
E
L
A
S
K
A
N
K
E
T
E
R
K
A
I
T
A
N

A
N
T
A
R
A

P
R
O
G
.
P
E
N
G
E
N
T
A
S
A
N

K
E
M
I
S
K
I
N
A
N
D
A
N

P
E
N
G
E
L
O
L
A
A
N

L
I
N
G
K
.
H
I
D
U
P
2
.
M
E
N
G
I
N
T
E
G
R
A
S
I
K
A
N

3

B
I
D
.
P
R
O
G
.

P
E
N
G
E
N
T
A
S
A
N
K
E
M
I
S
K
I
N
A
N

D
E
N
G
A
N

S
E
K
T
O
R
L
A
I
N
3
.
M
E
M
A
S
U
K
K
A
N

T
U
J
U
A
N

U
N
T
U
K
M
E
N
I
N
G
K
A
T
K
A
N
K
E
S
E
J
A
H
T
E
R
A
A
N


D
A
N
P
E
N
D
A
P
A
T
A
N

M
A
S
Y

M
I
S
K
I
N
D
A
L
A
M


K
E
R
A
N
G
K
A

K
E
B
I
J
A
K
A
N
N
A
S
I
O
N
A
L
4
.
M
E
M
B
A
N
T
U

S
E
K
T
O
R

L
A
I
N
D
A
L
A
M


M
E
L
A
K
S
A
N
A
K
A
N
P
R
O
G
R
A
M

P
E
N
G
E
N
T
A
S
A
N
K
E
M
I
S
K
I
N
A
N
K
U
R
A
N
G
N
Y
A

A
K
S
E
S
U
N
T
U
K

M
E
M
E
N
U
H
I
K
E
B
U
T
U
H
A
N

H
I
D
U
P
S
E
P
E
R
T
I

A
I
R

B
E
R
S
I
H
P
E
N
G
G
U
N
A
A
N

A
I
R
S
U
N
G
A
I
P
E
N
U
R
U
N
A
N
T
I
N
G
K
A
T
K
E
S
E
H
A
T
A
N
M
A
S
Y
A
R
A
K
A
T
82
Skema di atas dapat dijelaskan sebagai berikut. Peningkatan pencemaran maupun
pengrusakan lingkungan hidup dapat menyebabkan merosotnya daya dukung dan
mutu lingkungan hidup yang pada akhirnya berimplikasi pada penduduk melalui
turunnya pendapatan atau penghasilan mereka
Menurunnya pendapatan ditambah dengan terjadinya krisis dimana terjadi
kenaikan biaya-biaya hidup yang cukup signifikan memicu peningkatan prosentase
penduduk miskin. Penduduk miskin yang mempunyai kemampuan ekonomi rendah
kurang mempunyai akses pada tingkat pendidikan formal maupun informal
sehingga banyak dari mereka yang berpendidikan rendah dan tidak mempunyai
akses pada kebutuhan hidup sehari-hari seperti sandang, pangan dan papan.
Ekonomi rendah, tidak memiliki cukup pengetahuan serta tidak mempunyai akses
pada pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari menyebabkan penduduk miskin
melakukan pengolahan pada lahan marginal/lahan kritis/lahan miskin yang
produktivitasnya rendah untuk mencari makan, membuat usaha tanpa
memperhatikan pencemaran dari limbah yang dihasilkan, membuat pemukiman
di tempat-tempat yang kumuh, menggunakan air sungai untuk aktivitas sehari-
hari dan masih banyak kegiatan pemanfaatan sumber daya alam lainnya yang
kurang mempertahatikan lingkungan. Intinya, minimnya pengetahuan mereka
dan kesulitan ekonomi menyebabkan kegiatan yang dilakukan oleh penduduk
miskin seringkali menimbulkan dampak yang merugikan pada lingkungan yang
pada akhirnya lebih mengurangi lagi kesejahteraan mereka atau makin membuat
mereka miskin. Misalnya, pemukiman di tempat-tempat kumuh seperti di bantaran
sungai dan penggunaan air sungai di sekitarnya dapat menyebabkan banjir serta
pencemaran air sungai. Dengan banjir maka masyarakat yang sudah miskin menjadi
tambah miskin dan dengan pencemaran sungai masyarat mendapat tambahan
pengeluaran berupa biaya pengobatan padahal akses untuk pelayanan kesehatan
sangat terbatas
Dengan memperhatikan hubungan antara kemiskinan dan pengelolaan sumber
daya alam yang tidak hati-hati maka program pengentasan kemiskinan sebaiknya
didasarkan pada kemampuan pengelolaan lingkungah hidup secara bijaksana dan
hati-hati dengan selalu memperhatikan daya dukung sumber alam dan lingkungan
setempat sehingga dapat diperolah penghasilan yang berkelanjutan. Berdasarkan
program tersebut, bidang yang dicanangkan antara lain peningkatan pendidikan
dan ketrampilan, aksesibilitas aset dan faktor produksi, peningkatan terhadap
83
aksesibilitas pelayanan sosial serta usaha-usaha peningkatan pemanfaatan dan
pelestarian fungsi sumber daya alam yang secara langsung mempengaruhi
kehidupan penduduk miskin.
Dari bidang-bidang tersebut, kegiatan kerja dapat dilakukan oleh institusi
penyelenggara lingkungan meliputi pemberian bantuan kepada industri kecil untuk
membangun instalasi pengolah limbah, menjelaskan secara aktif hubungan antara
pengentasan kemiskinan dan pengelolaan lingkungan hidup, menginterasikan
bidang-bidang pengentasan kemiskinan dengan sektor lain, memasukkan tujuan
untuk meningkatkan kesejahteraan dan pendapatan masyarakat miskin dalam
kerangka kebijakan nasional serta membantu sektor lain dalam pelaksanana
program pengentasan kemiskinan.
III. PERMASALAHAN ISU KEMISKINAN.
Berbagai permasalahan yang timbul dari isu kemiskinan di Indonesia dapat
diilustrasikan sebagai berikut :
Peningkatan jumlah penduduk miskin setelah krisis keuangan. Jumlah
penduduk miskin setelah krisis keuangan dapat dilihat pada tabel berikut.
Dari tabel terlihat adanya peningkatan jumlah penduduk miskin yang hampir
dua kali lipat pada tahun 1998 dibandingkan dengan tahun 1993.
Tabel Jumlah Penduduk Miskin setelah Krisis Keuangan(dalam jutaan rupiah)
Tahun Perkotaan Pedesaan Total
1993 8,7 17,2 25,9
1997 9,6 24,9 34,5
1998 17,6 31,9 49,5
Feb.1999 15,7 32.7 48,4
Ags.1999 12,4 25,1 37,5
Peningkatan jumlah murid putus sekolah. Akibat menurunnya kesejahteraan
ekonomi penduduk (atau kemiskinan) jumlah murid SD yang putus sekolah
meningkat drastis, dari 833.000 anak pada tahun 1997 menjadi 919.000 anak
pada tahun 1998. Sementara itu di tingkat SLTP, jumlah putus sekolah meningkat
dari 365.000 anak pada tahun 1997 menjadi 643.000 pada tahun berikutnya
84
Pembangungan pemukiman liar. Kemiskinan telah menyebabkan tidak
mampunya penduduk untuk membangun perumahan yang layak huni. Kondisi
ini menyebabkan tumbuhnya pemukiman liar di pinggir-pinggir sungai yang
mengakibatkan penyempitan aliran sungai sehingga dapat terjadi banjir.
Kondisi ini cukup membingungkan, disatu sisi penduduk yang tinggal di
bantaran kali merupakan penyebab terjadinya banjir dan di sisi lainnya
mereka juga adalah korban dari banjir itu sendiri disamping masyarakat
disekitarnya. Kurang bijaksananya pemerintah dalam menangani bantaran
kali telah memicu perlawanan warga, padahal maksud awal dari pemerintah
adalah untuk melindungi warga dari banjir. Yang menjadi pertanyaan adalah
dimana posisi warga dalam penanganan masalah bantaran kali, sebagai
subjek atau objek belaka? Bangunan perumahan di bantaran kali ini banyak
ditemui di Kawasan Ibu Kota Jakarta.
Kemiskinan dan pengrusakan hutan.Adanya pendatang-pendatang baru
dengan tingkat kesejateraan yang rendah menyebabkan lebih dari 12.000
hektar, atau sekitar 60 persen kawasan hutan di Gunung Betung, Lampung,
rusak. Bahkan beberapa di antaranya rusak parah, tak ada lagi tumbuhan di
bagian tersebut. Di beberapa kawasan, hutan itu telah berubah menjadi
areal pemukiman dan perladangan. Kerusakan hutan membuat kawasan yang
digunakan sebagai daerah tangkapan air dan sumber air itu kehilangan
fungsinya. Hilangnya cadangan air itu menyebabkan banyak kawasan
persawahan di Lampung yang terancam gagal panen lantaran kekurangan
suplai air. Kerusakan hutan juga menimbulkan dampak terhadap daya dukung
kehidupan masyarakat di masa depan, karena air merupakan salah satu daya
dukung kehidupan yang amat penting. Semua makhluk hidup perlu air untuk
kelangsungan kehidupan mereka. Jika saat ini hutan dibabati, maka kita
akan kehilangan daya dukung kehidupan itu, dan jika tidak ditata, satu
saat nanti banjir maupun kekeringan akan mengancam.
Program peningkatan kesejahtaraan dari pemerintah. Sejak jaman Orde Baru
telah banyak program-program peningkatan kesejahteraan yang dibuat untuk
mengurangi jumlah penduduk miskin. Ada beberapa inpres yang dilakukan
dengan pola pendekatan kesejahteraan, yaitu :
85
1. Inpres Desa Tertinggal, tujuannya adalah menciptakan kesetaraan desa dan
menciptakan lapangan kerja di pesedaan
2. Inpres kesehatan, tujuannya adalah memberikan layanan kesehatan yang
mudah dan murah untuk penduduk pedesaan.
3. Inpres pendidikan, tujuannya adalah memberikan layanan pendidikan yang
gratis untuk pendidikan dasar sampai menengah.
4. Inpres obat obatan, tujuannya adalah untuk memberikan obat-obatan yang
murah kepada masyarakat miskin
Di samping inpres-inpres tersebut, pemerintah juga mengeluarkan kebijakan-
kebijakan yang tujuannya adalah meningkatkan pendapatan dan
kesejahteraan penduduk pedesaan, misalkan :
1. Ketentuan mengenai Kredit Usaha Tani, untuk memudahkan petani
mendapatkan modal untuk mengolah tanah
2. Ketentuan mengenai kredit perbankan (KIK atau kredit candak kulak)
tujuannya adalah memberikan kemudahan rakyat untuk mendapatkan
modal untuk usaha diluar sektor pertanian.
3. Pembebasan pajak untuk hasil pertanian.
4. Subsidi atas pupuk dan obat obatan pertanian
5. Penetapan harga dasar gabah, untuk menjamin nilai tukar petani (padi)
tidak turun, bahkan meningkat terhadap hasil produk industri lainnya.
6. Pola KKPA untuk sistim transmigrasi terpadu, tujuannya adalah
menjamin para transmigran mendapatkan penghasilan yang tetap dan
alat produksi.
7. dan lain lain.
Masih banyaknya prosentase yang kurang sejahtera atau penduduk miskin
merupakan indikasi dari ketidakberhasilan program-program tersebut. Secara
garis besar ketidakberhasilan program-program untuk orang miskin berkaitan
dengan tiga akar permasalahan yaitu kelembagaan, regulasi dan good
governance. Dana-dana yang ditujukan untuk program seringkali jumlahnya
menjadi lebih kecil pada saat sampai di penerima akhir. Kebocoron dan
penyelewangan dana adalah kondisi yang menjadi lazim di Indonesia.
86
Studi kasus kemiskinan di Teluk Palu (Provinsi Sulawesi Tengah). Di sini,
kemiskinan lebih banyak disebabkan kerusakan ekosistem seperti: pengolahan
sumberdaya perikanan secara berlebih-lebihan oleh perusahaan perikanan,
pengelolaan galian C terdapat di sepanjang Teluk Palu, dan limbah rumah
tangga yang semuanya bermuara di Teluk Palu. Hal ini ditanggapi oleh
beberapa LSM yang kemudian melahirkan Serikat Nelayan Teluk Palu (SNTP).
Gerak penanggulangan kemiskinan kemudian dilakukan melalui langkah-
langkah perlawanan dari masyarakat asli melalui wadah SNTP terhadap pihak-
pihak yang selama ini mengambil keuntungan di teluk. SNTP menyiapkan
basis-basis masyarakat nelayan, yaitu suatu kesatuan komunitas yang terdiri
dari para nelayan. Pada setiap basis dibentuk kelompok-kelompok kecil-
atau kelompok dua-an dengan bantuan dana dari lembaga Pemulihan
Kerberdayaan Masyarakat (PKM). Sementara Yayasan Pendidikan Rakyat
bertindak sebagai pendamping lapangan.
Keberadaan SNTP berhasil membangun norma pengelolaan sumber daya perairan,
dengan membuat kesepakatan bersama, yaitu:
Setiap orang diperbolehkan menangkap ikan di teluk, tetapi harus
menggunakan alat tangkap yang tidak mengeksploitasi secara besar-besaran.
Alat tangkap harus sederhana sehingga pendapatan antar nelayan bisa merata.
Disamping itu, tidak terjadi eksploitasi sumberdaya alam secara besar-besaran.
Secara sederhana norma pengelolaan sumberdaya perairan tersebut dapat
dipandang sebagai visi masyarakat lapisan bawah dalam upaya
penanggulangan kemiskinan bagi diri mereka sendiri
Sementara itu, semaraknya usaha pertambangan galian C di Sulawesi Tengah
telah mendatangkan gerakan perlawanan dari masyarakat. Perlawanan itu
berkaitan dengan dampak dari pengelolaan galian C tersebut kepada
masyarakat luas, yang dapat dilihat pada beberapa aspek berikut:
Galian C pada mulanya merupakan usaha-usaha tradisional yang telah
berlangsung lama sebagai bagian dari usaha kecil masyarakat dengan
menggunakan teknologi sederhana. Dampaknya secara ekologi relatif kecil.
Namun sejak tahun 1980-an, usaha galian C berpindah tangan dari masyarakat
kecil ke pengusaha besar sebagai akibat dari dikeluarkannya seperangkat
Perda tentang galian C yang terus diperbaharui sejak tahun 1980-an.
87
Dengan beralihnya pengusahaan galian C dari masyarakat kecil ke pada
pengusaha besar menimbulkan kerusakan ekologi yang berakibat pada
gangguan pada sistem pertanian dan sistem perikanan tangkap di Teluk Palu.
Akibatnya masyarakat petani kecil dan nelayan kecil dirugikan secara ekonomi,
Praktek galian C yang dilakukan oleh para pengusaha yang dikawal dengan
kebijakan daerah sekalipun merugikan secara ekonomi dan secara ekologi
pada tingkat petani/nelayan tetapi tetap memberikan defisa yang signifikan
kepada PAD. Karena itu ketegangan yang terjadi mengarah kepada konflik
vertikal antara pemerintah daerah dan masyarakat kecil.
Konflik jenis ini merupakan salah satu persoalan penting dalam kehidupan
masyarakat Sulawesi Tengah. Hal ini karena semakin terpinggirkannya penduduk
asli dari kehidupan tradisionalnya, akibat dari hegemoni para pendatang. Para
pendatang menguasai sebahagian besar sumberdaya agraris di akwasan tersebut.
Isu kemiskinan berkenaan dengan hal ini adalah terjadinya kesenjangan
penguasaan aset ekonomi antara para pendatang dengan penduduk asli. Gejala
kemiskinan muncul sebagai akibat dari interaksi fungsional yang berkepanjangan
antara penduduk pendatang yang memiliki etos kerja tinggi dengan penduduk
asli yang memiliki etos kerja rendah.
Dampak kebijakan pelarangan ekspor rotan pada peningkatan kemiskinan
dan pengrusakan hutan alam di Indonesia
Terdapat dua kepentingan yang berbeda antara petani dan pengumpul rotan
dengan kalangan industri pengolahan rotan. Sebagai petani dan pengumpul
yang menghasilkan bahan baku, mereka memerlukan peluang pasar yang
lebih luas agar harga di tingkat petani dapat lebih baik. Sementara itu,
kalangan industri pengolahan rotan menginginkan adanya keberlangsungan
pasokan bahan baku dengan harga yang murah. Jika kebijakan pelarangan
ekspor rotan mentah (asalan) atau penaikan pajak eksport (PE) diberlakukan
maka akan berdampak pada penyempitan peluang pasar bahan baku, yang
pada akhirnya akan menurunkan harga bahan baku dan harga rotan di
tingkat petani dan pengumpul. Kebijakan ini akan merugikan kalangan
petani dan pengumpul rotan yang diperkirakan berjumlah sekitar 250 ribu
orang. Walaupun tidak tidak dapat dibantah, bahwa kebijakan tersebut
memang telah meningkatkan nilai ekspor produk rotan jadi pada periode
yang sama
88
Rendahnya harga baku rotan di tingkat petani dan pengumpul akan
memberikan dampak negatif bukan hanya pada keadaan ekonomi dan sosial,
tetapi juga pada keadaan lingkungan terutama kelestarian hutan.Sebagian
besar petani dan pengumpul rotan tinggal di dalam dan sekitar hutan.
Kerusakan hutan tersebut dapat terjadi karena dua hal; pertama, akan terjadi
konversi kebun rotan milik petani (terutama di Kaltim dan Kalteng) menjadi
bentuk pengolahan lahan yang lain dengan sistem monokultur seperti kebun
kelapa sawit. Seperti diketahui bahwa kebun rotan adalah salah satu model
wana tani (agroforestry). Kedua, pengumpul rotan (terutama di Sulawesi
dan Sumatera) akan beralih kepada aktifitas penebangan kayu di hutan
alam daripada memungut rotan. Hal ini berdampak kepada bertambahnya
ancaman terhadap kerusakan hutan alam.
a. Kendala dalam Pelaksanaan Pengentasan Kemiskinan.
Mengacu pada skema penanggulan kemiskinan yang telah digambarkan di atas
maka tampak jelas bahwa peran institusi penyelenggara lingkungan tidak terlepas
dari berbagai sektor yang terkait. Dengan demikian koordinasi lintas sektor menjadi
hal diperlukan dan ini menjadi kendala utama karena koordinasi lintas sektor
memerlukan komitmen yang tinggi diantara mereka yang terlibat .
Kerjasama institusi penyelenggara lingkungan dan institusi finansial dalam
rangka membantu industri usaha kecil untuk membangun instalasi pengolah
limbah termasuk juga pengalokasian secara benar dana subsidi yang diberikan
oleh pemerintah sebagai bantuan pada industri kecil jika ada. Selama ini,
salah satu penyebab kurang berhasilnya program-program bantuan
pemerintah seperti INPRES dsb adalah oleh ketidakjelasan pihak penerima
bantuan atau banyaknya potongan sebelum dana tersebut sampai pada pihak
yang berkepentingan.Seperti dikatakan di atas, akar permasalahan
ketidakberhasilan berbagai program yang dicanangkan oleh pemerintah adaah
kelembagaan, regulasi dan good governance.
Kerjasama institusi penyelenggara lingkungan dengan media masa dan dalam
bentuk sosialisasi lainnya untuk menjelaskan pentingnya memperhatikan
pengelolaan lingkungan hidup dalam mengentaskan kemiskinan
89
Ketergantungan institusi penyelenggara lingkungan dengan institusi
kesehatan dan institusi pendidikan untuk menyelenggarakan layanan
kesehatan dan pendidikan bagi masyarakat miskin. Dengan kata lain, secara
prosedur penyelenggaraan kedua layanan ini berada diluar kendali institusi
penyelenggara lingkungan.
Ketergantungan institusi penyelenggara lingkungan dengan berbagai institusi
lainnya dalam rangka memasukkan analisis dampak dari suatu kebijakan
pada lingkungan seperti contoh kebijakan pajak ekspor rotan yang pada
akhirnya menimbulkan pengrusakan hutan alam di Indonesia.
Kendala lain yang dihadapi oleh institusi penyelenggara lingkungan adalah
resistensi dari masyarakat itu sendiri. Seringkali masyarakat menyadari bahwa
tindakan yang mereka lakukan dapat merusak lingkungan namun masyarakat
tidak ingin mengubahnya dengan alasan alternatif yang disediakan
pemerintah lebih sulit dijangkau atau kurang menguntungkan.
b. Keterkaitan isu kemiskinan dengan isu lainnya.
Berbagai keterkaitan antara isu kemiskinan dan isu lainnya dapat dijelaskan
sebagai berikut:
Isu kemiskinan, isu teknologi dan konflik; Teknologi dapat menyebabkan
sekelompok orang yang menguasai teknologi yang lebih canggih untuk
menguasai sumber daya alam tertentu. Penguasaan ini menimbulkan
sekolompok orang tersingkir, mereka menjadi miskin karena tidak
mendapatkan akses. Kesenjangan yang terjadi antara kedua kelompok
tersebut ditambah lagi dengan keberpihakan pemerintah pada salah satu
kelompok saja dapat memicu terjadinya konflik dan jika telah terjadi konflik
tidak ada satu pihakpun yang merasa bertanggung jawab untuk memelihatra
kelestarian atas suatu sumber daya alam (lihat kasus Sulawesi Tengah)
Isu kemiskinan dan isu bencana alam; Penduduk miskin yang tidak memiliki
akses pada lahan akhirnya mengolah lahan kritis yang rawan longsor atau
mendirikan rumah di bantaran sungai yang rawan banjir.
Isu kemiskinan dan isu hutan; Contohnya; pendatang-pendatang baru dengan
tingkat kesejateraan yang rendah menyebabkan lebih dari 12.000 hektar,
atau sekitar 60 persen kawasan hutan di Gunung Betung, Lampung rusak.
90
Contoh lainnya adalah kebijakan pelarangan ekspor rotan dengan
meningkatkan pajak ekspor menyebabkan rendahnya harga baku rotan di
tingkat petani dan pengumpul pengumpul rotan sehingga petani beralih
kepada aktifitas penebangan kayu di hutan alam daripada memungut rotan
(terutama di Sulawesi dan Sumatera)
Jika ternyata hutan yang mereka rusak adalah hutang lindung maka keterkaitan
isu ini menjadi lebih luas lagi yaitu antara isu kemiskinan, hutan dan konservasi.
91
SPEKTRUM TEKNOLOGI DALAM RUANG LINGKUP PENGELOLAAN SUMBER
DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP
I. PENDAHULUAN.
Teknologi terdapat dimana-mana dan seringkali kurang mendapat perhatian atas
perannya yang signifikan untuk membentuk kehidupan manusia. Jika diamati
secara lebih hati-hati, maka kita akan menyadari bahwa sepanjang tahun teknologi
dibuat hampir dalam segala aspek kehidupan manusia, walaupun banyak diantara
kita yang kurang menyadari bagaimana untuk mengelola teknologi tersebut.
Dari sejak jaman sejarah, manusia telah membuat, menciptakan dan
menggunakan teknologi baik individual maupun kelompok. Dari catatan
sejarah, dapat diketahui bahwa secara alamiah manusia menciptakan teknologi
(dengan melalui penciptaan, pembelajaran atau pembuatan ulang) dan
menggunakan teknologi untuk tujuan hidupnya. Sebagian besar penciptaan
teknologi adalah melalui penyesuaian secara insting terhadap lingkungan
kehidupan manusia, berdasarkan trial and error, kadangkala berdasarkan suatu
kesempatan dan seringkali tidak disengaja. Pakar sosial dan psikologi menunjuk
bahwa keindahan dari kehidupan adalah menyelesaikan masalah. Maka dapat
dikatakan bahwa teknologi sebagai sesuatu yang dibuat manusia, pasti terkait
dengan kehidupan manusia dalam berbagai cara dan memberikan multiple
function untuk berbagai penyelesaian masalah.
Setiap teknologi adalah tool atau cara yang dibuat oleh manusia secara sederhana
untuk meningkatkan kapasitas mental maupun fisik manusia. Peningkatan
kapasitas manusia dapat untuk tujuan yang berbeda-beda seperti untuk suatu
kegiatan (mengangkat, memegang, mendorong, menarik, dsb), visibilitas (melihat,
memperbesar, teleskoping dsb), komunikasi (berbicara,mendengar, menulis,
mencetak dsb), mobilitas ( di darat, di laut dan di udara). Suatu contoh yang
baik untuk peningkatan kapasitas mental adalah teknologi meningkatkan
kemampuan untuk mencatat, menyimpan, memanipulasi dan mengambil kembali
informasi. Akan tetapi, walaupun terdapat keterbatasan pada kemampuan fisik
manusia tetapi tidak ada pembatasan untuk kemampuan mental manusia. Oleh
karena itu teknologi lebih terlihat mempunyai kekuatan dalam area fisik, dan
tampaknya manusia tetap lebih berkekuatan dalam area mental.
92
Teknologi tidak hanya meningkatkan kapasitas individual, teknologi juga dapat
dibuat dan digunakan untuk meningkatkan kapasitas kelompok. Dalam dunia ini
sangat sedikit hal yang dapat dilakukan sendirian, oleh karena itu berbagai tool
telah dan sedang dikembangkan untuk mengorganisasikan aktivitas kelompok
(seperti produksi, konstruksi, distribusi, pelayanan dsb). Teknologi membuat setiap
kelompok organisasi lebih berkemampuan dibandingkan dengan penjumlahan
dari masing-masing individu.
Teknologi memungkinkan pemuasan kebutuhan manusia yang lebih baik.
Seperti diketahui dari sejumlah literatur yang diambil oleh ilmu sosial bahwa
terdapat hirarki dari kebutuhan manusia. Paling sedikit terdapat empat level
kebutuhan manusia. Level pertama adalah kebutuhan untuk bertahan (yaitu
kebutuhan atas udara, air dan makanan). Tingkat yang kedua adalah kebutuhan
keamanan (yaitu kebutuhan atas pakaian, perawatan kesehatan dan
perlindungan). Level ketiga adalah kebutuhan sosial (yaitu kebutuhan
pendidikan, tempat tinggal dan mobilitas). Level yang paling tinggi yaitu level
keempat adalah kebutuhan pengakuan diri (yaitu kebutuhan untuk bebas,
kekuasaan dan pencapaian). Tidak sulit untuk melihat dari berbagai literatur
dalam geografi dan sejarah manusia bahwa teknologi telah digunakan sebagai
alat/cara untuk memuaskan kebutuhan manusia pada berbagai level tersebut.
Terlihat pula bahwa semakin tinggi tingkat kepuasan pada level yang lebih rendah
maka munculnya level kebutuhan yang lebih tinggi menjadi signifikan dan meminta
penggunaan teknologi yang lebih canggih lagi (artinya lebih baik dari teknologi
sebelumnya). Dengan kata lain, teknologi baru telah menggantikan teknologi
lama untuk memuaskan tipe tertentu dari kebutuhan manusia dengan cara yang
lebih baik
Satu aspek penting lainnya dari sifat manusia adalah manusia suka berkompetisi.
Maka individu membuat dan menggunakan teknologi untuk berkompetisi dalam
karir, olah raga, seni dan kerajinan. Suatu kelompok organisasi membuat dan
menggunakan teknologi untuk mendapatkan perolehan wilayah (seringkali untuk
mendapatkan lebih banyak sumber daya alam) dan keuntungan pasar (untuk
mendapatkan lebih sumber daya finansial) dalam rangka untuk meningkatkan
standar kehidupan kelompok secara keseluruhan.
Teknologi dalam konteks transformasi ekonomi dari sumber-sumber
teknologi. Dalam konteks transformasi ekonomi dari sumber-sumber teknologi
93
maka teknologi dapat dipandang sebagai kombinasi dari peralatan fisik dan
pengetahuan (know how) yang terkait dengan pembuatan dan penggunaan
teknologi. Dengan cara pandang ini, teknologi dapat dibagi atas empat bentuk
perwujudan, yaitu teknologi pada objek (fasilitas atau techno-ware); teknologi
pada manusia (kemampuan atau humanware); teknologi pada dokumen (fakta
atau info-ware) dan teknologi pada institusi (framework atau orga-ware).
Keempat komponen teknologi tersebut diperlukan secara simultan. Tidak ada
transformasi yang dapat terjadi jika salah satu dari komponen tersebut tidak
ada. Dari keempat komponen tersebut, human-ware adalah sumber yang pokok
sedangkan info-ware adalah modal pengetahuan. Negara atau organisasi dengan
tingkat human-ware serta akses dan kontrol info-ware yang tinggi merupakan
broker yang memiliki kekuatan besar dimasa yang akan datang.
Kontradiksi antara perubahan masyarakat dan perkembangan teknologi. Dalam
hal perubahan masyarakat dan perkembangan teknologi kelihatannya terdapat
hal yang kontradiktif. Walaupun pada awalnya teknologi diciptakan untuk
meningkatkan kesejahteraan umat manusia, mempermudah segala aktivitas yang
dilakukan oleh umat manusia dan memelihara kondisi lingkungan sekitar agar
tetap dapat memberikan sumber daya yang memadai bagi kelangsungan hidup
umat manusia. Namun, dalam perkembangannya, teknologi justru menjadi pemicu
pertama penurunan kualitas lingkungan dengan sangat drastis. Penggunaan bahan
bakar fosil untuk menjalankan industrialisasi sejak masa awal revolusi industri,
memicu penggunaannya secara besar-besaran hingga mengakibatkan penurunan
kualitas lingkungan dan penipisan sumber daya alam bagi generasi berikut. Jika
sebelum masyarakat industri muncul, hampir 80 persen benda yang digunakan
manusia berasal dari hewan dan 20 persen dari mineral, industrialisasi mengubah
kecenderungan itu. Industrialisasi mulai terpusat pada cadangan bumi berupa
energi dan material tak terbaharui, seperti bahan baku fosil dan mineral. Pada
saat inilah kapitalisme industrial mengeruk seluruh bahan baku tanpa
mempedulikan akibat pada lingkungan, sehingga pada abad ke-19, Inggris telah
menjadi bengkel dunia. Tidak hanya itu, asap dan buangan pabrik meracuni
udara, air, dan tanah serta bahan-bahan kimia yang dibuang ke lingkungan
berdampak berat bagi pekerja dan masyarakat yang tinggal di sekitarnya. Dengan
demikan dapat dikatakan, akibat lain revolusi industri adalah habisnya kekayaan
alam dengan laju yang mengerikan, hancurnya hubungan dengan tanah, dan
94
tersingkirnya petani ke belakang. Sementara itu, populasi membengkak, teknologi
menguasai lingkungan, dan kekayaan material meningkat. Kondisi kerusakan alam
yang terus memburuk ini menimbulkan kesan seakan-akan laju perkembangan
teknologi tidak akan pernah bisa berjalan beriringan dengan keperdulian pada
lingkungan hidup.
Namun, seiring dengan makin menguatnya keperdulian global pada masa depan
bumi, telah membawa pergeseran paradigma dalam hubungan teknologi dan
lingkungan hidup. Hal ini dimulai dari seorang biolog Amerika, Barry Commoner
yang pada tahun 1962 mengingatkan resiko makin meningkatnya polusi. Menurut
Barry, mata rantai ekologi terputus akibat industri dan digantikannya produk
alami dengan bahan sintetis. Sejak itu pula (1962-1970-an), banyak kalangan
termasuk industriawan berusaha ramah dengan lingkungan. Kemudian muncul
kebutuhan untuk mengembangkan teknologi yang dapat menjaga tingkat
keberlanjutan lingkungan beserta segala sumber daya yang dimilikinya. Teknologi
tidak lagi hanya dilihat sebagai alat eksploitasi, tetapi lebih sebagai alat
pemeliharaan lingkungan beserta sumber dayanya agar kehidupan umat manusia
dan lingkungan alam dapat berkelanjutan. Dengan kata lain, perlindungan
lingkungan bersama-sama dengan peningkatan kualitas hidup dan memelihara
kemampuan bersaing, memerlukan perubahan teknologi. Pada umumnya teknologi
baru ini lebih efisien. Artinya, teknologi ini memerlukan lebih sedikit input,
termasuk energi per satuan output, serta kurang mencemari dibandingkan
teknologi lama yang digantikannya. Singkatnya, telah tumbuh perubahan orientasi
pembangunan dengan teknologi baru berwawasan lingkungan dengan semboyan:
produce more with less resources, with less energy and with less waste.
95
I
I
.
S
K
E
M
A

H
U
B
U
N
G
A
N

S
P
E
K
T
R
U
M

T
E
K
N
O
L
O
G
I

D
E
N
G
A
N

P
E
N
G
E
L
O
L
A
A
N

S
U
M
B
E
R

D
A
Y
A

A
L
A
M
L
I
N
G
K
U
N
G
A
N

H
I
D
U
P
.
S
e
c
a
r
a

l
e
b
i
h

s
p
e
s
i
f
i
k

k
e
t
e
r
k
a
i
t
a
n

a
n
t
a
r
a

i
s
u

t
e
k
n
o
l
o
g
i

d
a
n

l
i
n
g
k
u
n
g
a
n

d
a
p
a
t

d
i
g
a
m
b
a
r
k
a
n

s
e
b
a
g
a
i

b
e
r
i
k
u
t
:
D
a
m
p
a
k
T
e
k
n
o
l
o
g
i

m
a
j
u
K
e
m
a
j
u
a
n

t
e
k
n
o
l
o
g
i

h
a
r
u
s
d
i
t
e
r
i
m
a

s
e
c
a
r
a

m
e
n
y
e
l
u
r
u
h

.

"
P
a
r
t

s
e
l
e
c
t
i
o
n

i
s

i
m
p
o
s
s
i
b
l
e
"
.
P
e
n
i
n
g
k
a
t
a
n

e
f
i
s
i
e
n
s
i
,
p
e
n
i
n
g
k
a
t
a
n

o
u
t
p
u
t
,
m
e
n
i
n
g
k
a
t
k
a
n

d
a
y
a
d
u
k
u
n
g

l
i
n
g
k
u
n
g
a
n


d
s
b
P
e
n
c
e
m
a
r
a
n

a
t
a
u
d
e
g
a
r
a
s
i

s
u
m
b
e
r

d
a
y
a
a
l
a
m
B
e
r
k
o
n
t
r
i
b
u
s
i

t
e
r
h
a
d
a
p
i
n
e
q
u
a
l
i
t
y
T
e
k
n
o
l
o
g
i

m
e
n
j
a
d
i
s
i
m
b
o
l

d
a
n

p
e
n
c
i
t
r
a
a
n
t
e
r
h
a
d
a
p

k
e
l
a
s
s
e
s
e
o
r
a
n
g
P
e
n
g
u
a
s
a
a
n

s
u
m
b
e
r
d
a
y
a

a
l
a
m

o
l
e
h

p
e
m
i
l
i
k
t
e
k
n
o
l
o
g
i
T
e
k
n
o
l
o
g
i

b
e
r
s
i
h


p
a
d
a
p
r
o
s
e
s

p
r
o
d
u
k
s
i
T
e
k
n
o
l
o
g
i

u
n
t
u
k
m
e
n
g
o
l
a
h

l
i
m
b
a
h

y
a
n
g
d
i
h
a
s
i
l
k
a
n

o
l
e
h

p
r
o
s
e
s
p
r
o
d
u
k
s
i
T
e
k
n
o
l
o
g
i

y
a
n
g
m
e
r
u
s
a
k

l
i
n
g
k
u
n
g
a
n
K
o
n
s
t
r
u
k
s
i

S
o
s
i
a
l
T
e
k
n
o
l
o
g
i
K
o
n
f
l
i
k
I
n
s
e
n
t
i
f

P
a
j
a
k
S
u
b
s
i
s
d
i
-

h
i
b
a
h
S
u
b
s
i
d
i

-
P
i
n
j
a
m
a
m

l
u
n
a
k
A
M
D
A
L
I
n
s
e
n
t
i
f

P
a
j
a
k
R
e
t
r
i
b
u
s
i


e
m
i
s
i
P
e
n
e
g
a
k
a
n

h
u
k
u
m
a
n
P
e
n
e
g
a
k
a
n

h
u
k
u
m
B
u
d
a
y
a


H
i
d
u
p

S
e
d
e
r
h
a
n
a
P
e
n
e
g
a
k
a
n

H
u
k
u
m



G
a
m
b
a
r
.

S
k
e
m
a

H
u
b
u
n
g
a
n

I
s
u

T
e
k
n
o
l
o
g
i

d
a
n

L
i
n
g
k
u
n
g
a
n
96
Skema diatas menggambarkan bahwa tekonologi maju berdampak pada dua hal
yaitu penerimaan secara menyeluruh dari suatu teknologi dan kontribusi teknologi
maju pada inequality
Penerimaan secara menyeluruh suatu teknologi mengandung pengertian bahwa
suatu teknologi dapat dipandang dari dua sisi. Sisi yang pertama adalah teknologi
yang memberikan keuntungan pada lingkungan seperti misalnya peningkatan
output dan peningkatan daya dukung lingkungan. Teknologi seperti ini, dapat
diperoleh dari pemanfaatan teknologi bersih pada proses produksi maupun
penggunaan teknologi pengolah limbah diakhir proses produksi untuk meminimasi
pengrusakan lingkungan.
Pada dasarnya, penggunaan teknologi bersih pada proses produksi yang
memerlukan lebih sedikit input, termasuk energi per satuan output serta kurang
mencemari lingkungan ini mengikis pendekatan tradisional dalam memandang
hubungan industri dengan teknologi. Pendekatan tradisional melihat bahwa
industri mengakibatkan masalah lingkungan dan mencoba mencari jalan keluar
yang bertanggung jawab untuk meminimalkan kerusakan yang dapat diakibatkan.
Sebaliknya, pendekatan yang didasarkan pada teknologi yang bersih seharusnya
mencari cara proses produksi yang dapat meniadakan atau mengurangi masalah
yang mungkin terjadi sejak awal, sebelum permasalahan yang berkaitan dengan
masalah lingkungan muncul. Misalnya, lewat pendekatan minimalisasi limbah
dan dematerialisasi, dengan kata lain telah terjadi pergeseran dari pengendali
polusi ke pencegahan polusi. Pengendali polusi berarti membersihkan limbah
setelah limbah tersebut terbentuk sebagai sisa proses produksi. Sedangkan
pencegahan polusi memfokuskan diri pada peminimalan atau penghindaran dari
limbah sebelum limbah tersebut tercipta.
Secara garis besar pilihan penerapan produksi bersih dapat dikelompokkan dalam
lima bagian :
Good House-Keeping; Good house-keeping mencakup tindakan prosedural,
adminsitratif atau institusional yang dapat digunakan perusahaan untuk
mengurangi limbah atau emisi. Konsep ini sebenarnya telah banyak
diterapkan oleh kalangan industri untuk meningkatkan efisiensi dengan
cara good operating practice yang antara lain meliputi: tatacara
penanganan dan inventarisasi bahan, pencegahan kehilangan bahan atau
material dan pemisahan limbah menurut jenisnya.
97
Perubahan material input; Perubahan material input bertujuan untuk
mengurangi atau menghilangkan bahan berbahaya dan beracun yang masuk
atau digunakan dalam proses produksi, sehingga dapat dihindari terbentuknya
limbah B3 dalam proses produksi. Perubahan material input termasuk
pemurnian bahan dan subsitusi bahan.
Perubahan teknologi; Perubahan teknologi yang mencakup modifikasi proses
dan peralatan dilaksanakan dengan tujuan untuk mengurangi limbah dan
emisi. Perubahan teknologi dapat dilaksanakan mulai dari yang sederhana
dalam waktu yang singkat dan biaya murah sampai perubahan yang
memerlukan investasi tinggi. Tindakan yang termasuk ke dalam kelompok
ini adalah perubahan proses produksi, perubahan peralatan, tata letak
perpipaan, penggunaan peralatan otomatis dan perubahan kondisi proses
Perubahan produk; Perubahan produk meliputi subsitusi produk, konservasi
produk dan perubahan komposisi produk.
On-site reuse; Merupakan upaya penggunaan kembali bahan-bahan yang
terkandung dalam limbah, baik digunakan kembali pada proses awal atau
sebagai material input dalam proses yang lain.
Dampak selanjutnya dari teknologi maju adalah teknologi maju berkontribusi
untuk menciptakan inequality.
Inequality yang pertama; Perbedaan kepemilikan teknologi cenderung
membuat kelas-kelas sosial yang berbeda. Ini merupakan akibat dari
konstruksi sosial teknologi (social construction of technology) yaitu sebuah
pendekatan sosiologikal tentang teknologi. Teknologi menjadi sebuah
pencitraan terhadap permintaan masyarakat yang dapat mengubah citra
masyarakat itu. Jadi, kebutuhan terhadap teknologi adalah benar-benar
kebutuhan sosial itu sendiri dan bukan sekadar kebutuhan teknologi semata.
Citra terhadap teknologi tidak lepas dari simbol dan kelas sosial masyarakat,
bahkan masyarakat memberi penghargaan kepada teknologi tak saja karena
fungsi teknologi itu bermanfaat namun karena teknologi itu menjadi simbol
dan pencitraan terhadap kelas sosial seseorang. Dengan demikian teknologi
memiliki dua fungsi yaitu fungsi mekanik yang melekat sebagai sebab
fungsional teknologi itu dan fungsi sosial bahwa teknologi adalah pencitraan
terhadap masyarakat yang memakainya.
98
Fungsi-fungsi teknologi ini seringkali tidak memiliki hubungan kausalitas,
artinya fungsi mekanisasi teknologi tidak selamanya berhubungan dengan
fungsi sosial. Suatu contoh, seseorang membeli mobil BMW tidak ada
hubungan dengan manfaat mekanik yang ia peroleh karena kalau untuk
menaiki mobil mewah dan nyaman sebenarnya ia memiliki banyak mobil
semacam itu. Namun justru ia memperoleh manfaat sosial tinggi dari
pencitraan kelas sosialnya di masyarakat karena masyarakat memberi
pencitraan terhadap simbol kelas tertinggi bagi masyarakat yang
menggunakan mobil mewah bermerek BWM. Jika dilihat lebih dalam,
pencitraan ini menimbulkan sifat konsumtif pada masyarakat dimana
masyarakat menggunakan teknologi yang mungkin melebihi dari yang mereka
butuhkan, misalnya 2 sampai 3 mobil dalam satu keluarga untuk setiap
anggota keluarga. Selanjutnya, jika ditarik lebih kebelakang lagi, kondisi
ini dapat dipandang sebagai salah satu pemicu timbulnya kemacetan lalu
lintas yang pada akhirnya meningkatkan polusi udara ( dari asap buang
kendaraan bermotor) dan pemborosan energi.
Inequality yang kedua; Penggunaan teknologi yang berbeda seringkali
menyebabkan individu yang mengusai teknologi yang lebih canggih
melakukan penguasaan pada suatu sumber daya sehingga menimbulkan
konflik pemanfaatan dan konflik kewenangan. Kedua konflik ini akan
mengurangi rasa memiliki (stewardship) pihak-pihak yang bertikai dan mereka
akan mengabaikan kelestarian sumber daya yang dimanfaatkan. Implikasinya,
sumber daya akan mengalami degradasi sampai pada tingkat yang
mengkhawatirkan.
Skema diatas juga menggambarkan adanya intervensi atau langkah-langkah yang
dapat diambil untuk mengatasi dampak yang ditimbulkan oleh teknologi maju.
Untuk menggalakan penggunaan teknologi bersih kegiatan yang dapat
dilakukan oleh pemerintah (atau secara lebih spesifik oleh institusi
penyelenggara lingkungan) antara lain sistem insentif pajak, pemberian
subsidi-hibah, pemberian subsidipinjaman lunak.
Insentif pajak dapat berbentuk kredit pajak atau pengurangan pajak.
Misalnya untuk pemanfaatan produk atau bahan yang lebih ramah lingungan
dapat diberikan kredit pajak atau pengurangan pajak
99
Subsidi-hibah dapat ditujukan untuk mendorong dilakukannya riset untuk
menanggulangi pengeluaran atau kegiatan lain untuk manfaat lingkungan.
Hibah dapat digunakan untuk membeli teknologi bersih oleh sektor swasta
Subsidi-pinjaman lunak dapat dimanfaatkan untuk kegiatan ramah
lingkungan atau membeli peralatan yang ramah lingkungan.
Secara keseluruhan, insentif pajak, subsidi hibah, subsidipinjaman
lunak merupakan iklim kondusif yang harus mampu diciptakan oleh
pemerintah (terutama institusi penyelenggara lingkungan) sehingga
pengusaha, lembaga penelitian dapat bermitra melakukan kegiatan penelitian
dan pengembangan untuk mencari alternatif-alternatif teknologi dan proses
yanglebih akrab lingkungan.
Untuk menggalakan penggunaan teknologi pengolahan limbah kegiatan yang
dapat dilakukan antara lain mengembalikan fungsi AMDAL sebagai analisa
dampak lingkungan atas suatu kegiatan yang dapat dipercaya, insentif pajak,
retribusi emisi dan penegakan hukum. Analisa lingkungan seperti AMDAL
yang dilakukan untuk menilai dampak dari suatu kegiatan pada lingkungan
harus merupakan hasil analisa dapat di percaya dan menjadi acuan yang
dilaksanakan pemilik kegiatan
Retribusi emisi merupakan pungutan yang harus dibayar oleh suatu kegiatan
untuk setiap unit limbah cair atau gas yang dikeluarkan ke media lingkungna.
Jumlah dan kualitas emisi ini diukur dan pungutan dikenakan berdasarkan
ketetapan yang disusun. Tujuan dari retribusi emisi adalah untuk mendorong
pencemar untuk mengurangi ongkos yang harus ditanggung melalui
pengurangan limbahnya. Dalam retribusi emisi ini, pemerintah institusi
penyelenggara lingkungan dapat berperan sebagai badan pengawas yang
mengetahui secara pasti besarnya limbah yang dihasilkan oleh suatu kegiatan
sehingga institusi penyelenggara lingkungan dapat memberikan masukan
dalam membuat ketetapan jumlah retribusi yang harus dibayarkan.
Instrumen ini telah digunakan secara luas di Eropa, Perancis, Jerman, Italia dan
Belanda. Hampir seluruhnya digunakan untuk limbah domestik dan digunakan
untuk mengakumulasikan dana untuk anggara pengendalian pencemaran.
Untuk mengendalikan penggunaan teknologi yang dapat merusak lingkungan
dan penggunaan teknlogi untuk menguasai sumber daya alam sehingga
100
terjadi konflik maka perlu adanya upaya penegakan hukum melalui kejelasan
peraturan yang dibuat oleh institusi penyelenggara lingkungan hidup dan
berbagai pihak yang terkait
Budaya hidup sederhana, hidup hemat merupakan upaya pemberdayaan
masyarakat agar tidak menggunakan teknologi sebagai kebutuhan konsumtif
untuk meningkatkan citra dirinya. Pemberdayaan dapat dilakukan dengan
mendidik masyarakat melalui berbagai media seperti iklan layanan masyarakat
di televisi dan radio serta artikel-artikel pada majalah, koran dan tabloid.
Contohnya, masyarakat disadarkan bahwa kepemilikan mobil yang melebihi
kebutuhan telah menyebabkan ruas jalan yang tersedia tidak sebanding
dengan jumlah mobil yang melintasi jalan tersebut. Akibatnya timbul
kemacetan. Kemacetan meningkatkan polusi udara dan meningkatkan
kebutuhan bahan bakar. Polusi udara dapat meningkatkan angka kesakitan
dan peningkatan kebutuhan bahan bakar dapat menyebabkan krisis energi
karena bahan bakar berasal dari sumber daya yang tidak terbaharukan,
III. PERMASALAHAN TEKNOLOGI.
Berbagai masalah yang terkait dengan isu teknologi di Indonesia dapat
digambarkan sebagai berikut
1. Dalam hubungannya dengan penggunaan teknologi yang ramah lingkungan
pada industri, baik penggunaan teknologi bersih maupun penggunaan
teknologi pengolahan limbah, Prof P. Sudarto mengungkapkan bahwa
kebijakan dunia industri dalam pengelolaan lingkungan dapat dikategorikan
menjadi beberapa tahap, yaitu reaktif, receptive, konstruktif dan pro-
aktif (Kompas, Maret 2001).
Tahap reaktif adalah tahap konvensional yang dilakukan oleh sebagian
besar industri di Indonesia. Dalam tahap ini, pengelolaan limbah masih
sebatas bagaimana agar limbah hasil produksi sesuai dengan standar
baku mutu. Tahap ini dikenal dengan pendekatan the end of the pipe
Pada tahap receptif, industri telah memikirkan bagaimana menggunakan
cara-cara kreatif agar limbah hasil produksinya memenuhi standar baku
mutu, misalnya melalui pengembangan kesadaran manajemen
perindustrian
101
Pada tahap konstruktif, industri telah melalukan pengelolaan lingkungan
mulai dari tahapan awal yaitu pemilihan baku, proses produksi, bahan
jadi, pengepakan sampai limbah hasil produksinya hendak dibuang.
Tahap ini disebut sebagai pendekatan the beginning of the pipe
Pada tahap pro-aktif, industri telah menginternalisisasikan secara penuh
dimensi lingkungan dlam sistem manajemen perindustrian.
Temuan dari Departemen Lingkungan Hidup memperlihatkan bahwa motivasi
sebagian besar industri di Indonesia masih berada pada tatanan reaktif, bahkan
banyak yang berada pada tatanan sebelum reaktif. Sebab, motivasi perindustrian
untuk mengadopsi kebijakan lingkungan lebih disebabkan oleh demi mentaati
peraturan pemerintah, menghindarkan diri dari tanggung jawab, dan menyesuaikan
dengan tuntutan konsumen. Dalam hal ini kesadaran untuk pembangunan
berwawasan lingkungan masih kecil sekali.
Selanjutnya, kebijakan insentif dan disinsentif yang didasarkan pada hasil
penilaian kinerja perindustrian dalam mengendalikan dampak lingkungan telah
dikembangkan oleh Bapedal berkoordinasi dengan pihak terkait dengan nama
PROPER (Program Penilaian Peringkat Kinerja Perindustrian ) Dalam
pelaksanaannya, PROPER berpegang pada prinsip-prinsip dasar penyelenggaraan
pemerintahan yang baik (Good Governance), yaitu; transparansi, partisipatif,
dan akuntabilitas.
Program lainnya yang berkaitan dengan produksi bersih yang sedang dikembangkan
di Indonesia adalah label lingkungan dan sistem manajemen lingkungan. Program
ini dikembangkan dengan bekerja sama dengan instansi terkait. Walaupun
demikian, banyaknya program yang ditawarkan pemerintah masih belum memacu
industri untuk menggunakan teknologi yang meminimasi limbah atau pengrusakan
lingkungan. Seperti yang tercatat dalam departemen Perindustrian dan
Perdagangan, pada tahun 2002 lebih kurang hanya 332 perusahaan yang telah
mengintegrasikan faktor lingkungan dengan kegiatan industri dari 1.297.322
perusahaan kecil, menengah dan besar.
2. Beberapa contoh dimana penggunaan teknologi maju seringkali menimbulkan
dampak yang lebih besar terhadap lingkungan dibandingkan dengan
teknologi yang sederhana dapat digambarkan sebagai berikut:
102
Penggunaan teknologi peledakan pada pembukaan lahan pertambangan
disamping mempercepat proses pembukaan lahan juga meningkatkan
kerusakan yang ditimbulkannya dibandingkan dengan proses pembukaan
lahan yang menggunakan teknologi yang lebih rendah.
Teknologi maju yang digunakan untuk menangkap ikan akan
mempercepat laju pemanfaatan Sumber Daya Kelautan ,sehingga tidak
tersedia waktu untuk melakukan regenerasi kembali.
Belum atau kurangnya aturan dan penegakan kerangka hukum yang didukung
oleh kesadaran lingkungan menyebabkan kedua peristiwa ini sering terjadi
3. Permasalahan dimana teknologi dapat menimbulkan pengusahaan sumber
daya kunci oleh penguasaan sekelompok orang saja dapat digambarkan
sebagai berikut;
Di selat Lembeh, nelayan Taiwan yang bekerjasama dengan yayasan
tertentu menyewaperairan tempat penangkapan ikan nelayan
tradisional, dan memasang jala net raksasa berukuran 300 x 500 m di
mulut Selat Lembe (Suara Pembaruan 29.05.97). Akibatnya nelayan
tradisional sekitar Selat Lembe, dan nelayan komersial dari Sulawesi
Utara, menangkap ikan dengan jumlah yang terus menerus menurun.
Di Talise, pengusaha budidaya mutiara mengembangkan usahanya secara
ekstensif di wilayah penangkapan ikan tradisional, dan memaksa para
nelayan tradisional keluar dari perairan tersebut.
Belum atau kurang jelasnya aturan kewilayahan aturan penggunaan teknologi
dan penegakkan kerangka hukum menyebabkan peristiwa ini sering terjadi
Tantangan pelaksanaan skema. Mengaitkan permasalahan yang dikemukakan
di atas dengan tindakan yang dapat dilakukan oleh pemerintah (lihat sisi sebelah
kanan dari skema hubungan antara teknologi dan lingkungan) maka dapat diambil
suatu kesimpulan bahwa dalam beberapa sisi pemerintah telah berupaya untuk
melaksanakan apa yang tertera dalam skema, salah satunya adalah pemberian
insentif dan disinsentif melalui PROGRAM PROPER, namum disisi lainnya
ketidakjelasan aturan yang dibuat pemerintah ditambah lagi dengan kerangka
penegakan hukum yang lemah menyebabkan LAW ENFORCEMENT atas apa yang
dibuat atau digariskan oleh pemerintah menjadi sia-sia.
103
Jika dilihat dari tiga sisi yang penting yaitu publik, swasta (dunia usaha) dan
pemerintah maka kendala pelaksanaan insentif, retribusi, penegakan hukum,
penggunaan teknologi alternatif, pelaksanan hidup sederhana dsb dapat
digambarkan sebagai berikut:
1. Sektor publik; Masih banyak masyarakat Indonesia yang belum menyadari
dampak lingkungan yang ditimbulkan oleh tindakan mereka. Masyarakat
banyak yang belum menyadari bahwa kemacetan mempunyai akibat tidak
langsung pada percepatan penggunaan cadangan minyak bumi yang
merupakan sumber daya alam yang tidak terbaharukan. Di samping itu,
masyarakat tidak mendapatkan informasi yang memadai atau tidak mau
mencari informasi mengenai bagaimana pabrik/pengusaha dari produk yang
mereka konsumsi melakukan pengrusakan lingkungan dari teknologi yang
mereka gunakan. Kalaupun masyarakat mendapatkan informasinya,
masyarakat seringkali tidak memiliki pilihan karena produk tersebut ternyata
lebih murah dari produk lainnya yang diketahui memanfaatkan teknologi
yang lebih ramah lingkungan.
Di sisi lainnya, peningkatan pendidikan, pengetahuan dan taraf hidup telah
menyebabkan masyarakat dapat mengembangkan nilai-nilai baru yang
mempengaruhi pola konsumsi dan tingkat kebutuhan masyarakat. Nilai-nilai
baru ini dapat dijadikan sebagai kekuatan yang mengontrol penggunaan
teknologi ramah lingkungan oleh industri. Namun yang menjadi kendala
adalah saluran aspirasi apa yang secara tepat dapat mengakomodasi nilai-
nilai baru tersebut. Sebenarnya, PROPER yang dijalankan oleh pemerintah
telah memasukkan unsur kontrol dari masyarakat namun dalam pelaksanaanya
kurang berfungsi secara efektif.
2. Sektor swasta (pengusaha); Sebenarnya kendala utama yang dihadapi oleh
sektor swasta adalah kurangnya tanggung jawab sosial dari sektor swasta.
Hal ini terkait dengan tanggung jawab dunia usaha pada stakeholder yang
salah satunya adalah masyarakat di sekitar pabrik atau secara lebih jauh
lagi terkait dengan pelaksaaan good governance.
Hambatan lainnya yang juga penting adalah kendala ekonomi. Hambatan
ini muncul bila kalangan usaha tidak mendapatkan keuntungan dalam
penerapan produksi bersih. Contoh hambatan tersebut adalah: kenaikan
104
ongkos produksi (keperluan biaya tambahan untuk peralatan), tingginya
modal/investasi, proyek menguntugnkan tapi tidak ada modal. Kendala ini
dijembatani oleh pemerintah dengan melalui subsidi.
Walaupun demikian, pada hakekatnya yang paling penting bagi kalangan
swasta (dunia usaha) adalah menumbuhkan rasa tanggung jawab kepada
seluruh stakeholder yang merupakan bagian dari pelaksanaan good
governance Tanpa perasaan tersebut, sistem insentif, retribusi dan berbagai
sistem penghargaan lainnya maupun pemberian subsidi tidak akan
menyelesaikan permasalahan, bahkan dapat menjadi pemicu korupsi
(penyalahgunaan sistem insentif, retribusi, subsidi dsb)
3. Pemerintah; Seperti halnya dengn sektor swasta , budaya korupsi sebagai
dampak dari tidak terlaksananya good corporate governance telah
menyebabkan terjadinya penyelewangan pada berbagai program pemberian
insentif, retribusi, pemberian subsidi, kajian lingkungan seperti AMDAL dsb.
Bahkan dalam penyelesaian suatu konflik, aturan dan penegakan hukum
yang memadai tidak dapat dilakukan karena adanya keberpihakan pada
mereka yang memiliki kekuasaan lebih.
Dalam kerangka pemikiran yang paling umum, dapat dikatakan bahwa upaya KLH
untuk dapat meminimasi dampak buruk dari teknologi terhadap lingkungan tidak
terlepas dari perwujudan good governance (lihat gambar berikut)
105
Selanjutnya, keterkaitan isu teknologi dengan isu lainnya dapat digambarkan
sebagai berikut
1. Isu teknologi dan budaya; penggunaan teknologi sebagi simbol pencitraan
diri telah menimbulkan budaya konsumtif
2. Isu teknolgi dan pencemaran; penggunaan teknologi yang tidak ramah
lingkungan pada kegiatan manusia termasuk kegiatan industri dapat
memberikan dampak pencemaran lingkungan dan penurunan daya dukung
lingkungan
3. Isu teknologi dan konflik; penguasaan teknologi oleh sekelompok orang
yang mengakibatkan kelompok tersebut mempunyai kekuasaan sumber daya
tertentu merupakan pemicu terjadinya konflik.
4. Isu teknologi dan globalisasi; tuntutan dari dunia internasional untuk produk-
produk yang ramah lingkungan dapat menjadi pemicu bagi dunia usaha
untuk menggukan teknologi bersih atau teknologi pengendali limbah.
PUBLIK
SWASTA /
DUNIA USAHA
PEMERINTAH
INFORMASI,
PENGETAHUAN.
SALURAN ASPIRASI
KONTROL
KETERBUKAAN
INSENTIF, RETRIBUSI,
REGULASI ,SUBSIDI,
ATURAN DAN HUKUM
INFORMASI , R & D
KONTROL
TANGGUNG JAWAB
SOSIAL
DENGAN ADANYA KONTROL DAN PENEGAKAN
HUKUM DMAKA SISTEM INSENTIF, RETRIBUSI ,
SUBSIDI DAPAT BERJALAN SESUAI TUJUANNYA
DAN DAPAT MENCEGAH TIMBULNYA KONFLIK

KONTROL
KONTROL
KONTROL
106
SPEKTRUM PENGELOLAAN BENCANA DALAM RUANG LINGKUP
PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP
I. PENDAHULUAN.
Banjir, longsor, gempa bumi, angin topan merupakan contoh bencana-bencana
alam yang dapat menimbulkan kerugian ekonomi yang sangat besar. Lebih jauh
lagi, bencana alam juga menimbulkan korban luka-luka dan kematian serta
kerusakan yang tidak ternilai besarnya dan dapat menimbulkan trauma kepada
masyarakat yang mengalaminya. Selain bencana alam, ada juga bencana yang
terutama diakibatkan oleh kelalaian ataupun faktor-faktor lain yang disebabkan
oleh tindakan manusia. Ini disebut istilah dengan bencana teknologi, misalnya
insiden kebocoran kapal tanker minyak yang mengakibatkan pencemaran laut.
Di Indonesia sendiri, pada akhir tahun 2003 hingga awal tahun 2004, di berbagai
wilayah terjadi bencana alam, terutama banjir, longsor, dan gempa bumi. Hal
tersebut tentunya membawa kerugian yang sangat besar bagi masyarakat.
Meskipun terjadinya bencana alam merupakan hal yang tidak dapat dihindari,
namun yang belum banyak disadari masyarakat adalah bahwa besarnya dampak
dan kerugian akibat terjadinya bencana tersebut sesungguhnya dapat direduksi.
Antisipasi dan reduksi dampak dari suatu bencana alam merupakan bagian dari
upaya pengelolaan bencana. Dalam hal ini, fenomena bencana tidak saja
membutuhkan suatu penanganan pada saat bencana itu terjadi, tapi juga
membutuhkan pengelolaan yang meliputi upaya-upaya mitigasi sebelum terjadinya
bencana maupun penanganan pasca terjadinya bencana.
Biaya penanganan bencana yang semakin meningkat sebenarnya menjadi indikasi
bahwa semakin banyak kegiatan pembangunan yang memiliki atau menimbulkan
potensi bahaya. Kasus-kasus yang terjadi menunjukkan bahwa pembangunan
yang tidak berkelanjutan merupakan akar masalah dari meningkatnya biaya
penanganan bencana. Pola pemanfaatan lahan dan pembangunan pada umumnya
tidak atau kurang memperhatikan faktor-faktor alam yang berkontribusi pada
terjadinya bencana. Misalnya, pembangunan pemukiman tertentu tanpa
memperhatikan faktor perlindungan terhadap kemungkinan terjadinya gempa,
banjir, kebakaran. Hal itu mungkin dilakukan dengan pertimbangan ekonomis,
namun dalam jangka panjang tidak bersifat berkelanjutan. Akibatnya, pada saat
107
bencana itu terjadi timbul biaya penanganan bencana yang kemudian dibebankan
pada masyarakat keseluruhan sebagai pembayar pajak. Ini bukanlah kebijakan
yang baik dan adil karena keputusan-keputusan yang sifatnya ekonomis bagi
sekelompok masyarakat untuk jangka pendek, ternyata menimbulkan implikasi
jangka panjang bagi masyarakat yang lebih luas; dan pada akhirnya berpengaruh
pada kemampuan masyarakat luas dalam melaksanakan pembangunan.
II. SKEMA HUBUNGAN ANTARA PENGELOLAAN BENCANA DENGAN
PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP.
Visi pembangunan yang berkelanjutan di antaranya mensyaratkan penggunaan
sumber daya secara efisien oleh masyarakat, termasuk keputusan penggunaan
lahan secara efisien sehingga meminimalkan potensi bencana. Salah satu indikator
penting dari masyarakat yang berkelanjutan dalam hal ini adalah masyarakat
yang memiliki ketahanan terhadap bencana (disaster resistant community).
Masyarakat yang memiliki ketahanan terhadap bencana adalah masyarakat yang
sadar akan adanya potensi bencana dalam hidup mereka dan berupaya untuk
mereduksi tingkat kerawanan hidupnya terhadap adanya bencana. Untuk mencapai
hal ini, diperlukan adanya pengelolaan bencana secara komprehensif yang
diilustrasikan dengan gambar di bawah ini.
* Keputusan penggunaan lahan
* Konservasi energi dan sumber daya
* Pelestarian integritas sistem biologis dan fisik
~> membatasi degradasi lingkungan dan
pemeliharaan sistem alam
* Hal-hal yang spesifik terhadap jenis bencana
Mitigasi
bencana
penanganan
saat
terjadinya
bencana
Intensitas
kerusakan
Program
Rutin
Pemerintah
Pemulihan
Kondisi
Pasca
Bencana
Bencana
Alam
Faktor Alam
Kapasitas
Pembangunan
(yang lebih
baik)
Perspektif baru: pemulihan kondisi
sebagai kesempatan untuk rekonstruksi
pembangunan yang lebih berkelanjutan
* Isyu-isyu keselamatan dan kondisi kritis
* tujuan jangka panjang dari rencana pemulihan
* Keterlibatan masyarakat
* Kemampuan pemerintah lokal
* Kemauan politik
* Sistem institusional pemerintah
* Partisipasi aktif masyarakat
Pembangunan
yang
Berkelanjutan
Masyarakat
yang memiliki
ketahanan
terhadap
bencana
Gambar Pengelolaan Bencana Secara Komprehensif
108
Pada gambar di atas terlihat bahwa terdapat tiga hal utama dalam pengelolaan
bencana, yaitu mitigasi bencana, penanganan saat terjadinya bencana dan
pemulihan kondisi pasca bencana. Mitigasi bencana bukan merupakan hal yang
bersifat insidental melainkan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari program
rutin pemerintah. Mitigasi bencana berupaya untuk mewujudkan masyarakat yang
memiliki ketahanan terhadap bencana (disaster-resilient community). Masyarakat
yang memiliki ketahanan terhadap bencana adalah masyarakat yang juga memiliki
kemampuan yang lebih baik dalam penanganan saat terjadinya bencana. Hal ini
akan berujung pada intensitas kerusakan bencana yang lebih kecil dibandingkan
masyarakat yang tidak sadar bencana. Untuk memperbaiki kondisi setelah
terjadinya bencana, diperlukan upaya pemulihan kondisi pasca bencana yang
dipandang sebagai suatu upaya untuk melakukan rekonstruksi ke arah
pembangunan yang lebih berkelanjutan dibandingkan kondisi sebelum terjadinya
bencana. Hal ini akan menghasilkan kapasitas pembangunan yang lebih baik
sebagai prasyarat tercapainya pembangunan yang berkelanjutan.
Mitigasi bencana meliputi aspek-aspek seperti keputusan penggunaan lahan,
konservasi energi dan sumber daya, pelestarian integritas sistem biologis dan
fisik, serta hal-hal tertentu yang sifatnya spesifik terhadap jenis bencana.
Keberhasilan upaya mitigasi bencana sangat dipengaruhi oleh kemauan politik
yang besar untuk melakukan mitigasi bencana sebagai bagian dari upaya
pengelolaan bencana yang komprehensif, kesiapan sistem institusional pemerintah
dalam melakukan mitigasi bencana, dan terakhir, besarnya keterlibatan aktif
masyarakat sebagai komponen utama dalam mitigasi bencana.
Masyarakat yang berkelanjutan mampu menggunakan sumber daya lahan yang
dimilikinya secara efisien. Keputusan penggunaan lahan yang efisien menyadari
pentingnya perencanaan ruang terbuka bagi jalur hijau, taman, dan lansekap.
Tata guna lahan yang baik berupaya sedapat mungkin untuk menghindari
dilakukannya pembangunan pada wilayah-wilayah yang memiliki potensi bencana
yang besar, seperti daerah rawan gempa, dataran banjir, dan sebagainya.
Masyarakat berkelanjutan juga berupaya untuk mengoptimalkan pemanfaatan
lahan urban yang kurang dimanfaatkan (underutilized).
Konservasi sumber daya dan energi merupakan upaya dasar yang perlu
mendapatkan prioritas tinggi. Hal ini memungkinkan dilakukannya pembangunan
secara efisien dan dapat menunjang keputusan penggunaan lahan yang lebih
109
baik. Upaya ini perlu difokuskan pada sistem transportasi yang lebih baik yang
diarahkan pada penggunaan transportasi publik dan tempat-tempat transit publik
serta diciptakannya lingkungan dengan beragam penggunaan (mixed-use) sehingga
ketergantungan terhadap moda kendaraan bermotor menjadi jauh berkurang.
Pelestarian integritas sistem biologis dan fisik merupakan salah satu indikator
terpenting dari pembangunan berkelanjutan. Hal ini diwujudkan melalui minimasi
degradasi lingkungan dan peningkatan pemeliharaan sistem alam, seperti lahan
basah, dataran banjir (floodplains), bantaran sungai, wilayah rawan longsor,
zona aktif gempa; yang dapat meningkatkan ketahanan masyarakat dalam
menghadapi bencana alam.
Hal-hal yang bersifat spesifik untuk mitigasi tiap jenis bencana misalnya untuk:
1. Banjir, meliputi: penguatan regulasi pengelolaan dataran banjir, identifikasi
kemungkinan pengambilalihan wilayah rawan banjir, dan penentuan prioritas
langkah mitigasi untuk mereduksi potensi banjir.
2. Gempa bumi, meliputi: standar rancangan struktur bangunan tahan gempa
atau standar rekayasa untuk mereduksi potensi longsor.
3. Kebakaran hutan, meliputi: memundurkan wilayah pembangunan sehingga
menjauhi wilayah rawan kebakaran hutan, akses transportasi yang cukup,
ketersediaan air bersih, dan pengelolaan vegetasi.
Untuk meningkatkan keterlibatan masyarakat dalam mewujudkan suatu masyarakat
yang memiliki ketahanan terhadap bencana, harus dipertimbangkan hal-hal
berikut:
1. Membangun kemitraan dalam masyarakat yang melibatkan kalangan luas,
seperti pimpinan pemerintah daerah, organisasi masyarakat, kalangan usaha,
dan masyarakat individual.
2. Mengkaji risiko bencana untuk menentukan bagian mana dari suatu
masyarakat yang terkena dampak bencana, seberapa besar potensi terjadinya
bencana, berapa besar kemungkinan intensitas bencana.
3. Menentukan prioritas dari upaya mitigasi, termasuk menentukan sumber
daya yang dibutuhkan untuk melakukan upaya tersebut dan identifikasi
sumber-sumber bantuan teknik dan dana.
110
4. Mengkomunikasikan keberhasilan yang dilakukan masyarakat melalui berbagai
media untuk membangun dukungan terhadap upaya mitigasi bencana dan
menyebarluaskan manfaat dari dilakukannya mitigasi bencana.
Penanganan saat terjadinya bencana terutama difokuskan pada kesiapan
masyarakat untuk melakukan tindakan yang tepat saat bencana terjadi di mana
hal ini sangat dipengaruhi oleh mitigasi bencana, dan kesiapan pemerintah dalam
mengatasi kondisi darurat saat bencana terjadi. Kesiapan pemerintah terutama
menyangkut mekanisme koordinasi dalam menangani korban bencana dan
mengantisipasi bencana susulan sesaat setelah terjadinya bencana.
Pemulihan kondisi bencana dilakukan dalam kondisi yang relatif stabil setelah
bencana terjadi. Dalam hal ini, pemulihan kondisi bencana yang ideal diletakkan
dalam perspektif pembangunan berkelanjutan di mana pemulihan kondisi bencana
menjadi suatu kesempatan untuk melakukan rekonstruksi pembangunan ke arah
yang lebih berkelanjutan. Dalam konteks tersebut, rekonstruksi pasca bencana
merupakan suatu investasi untuk mewujudkan kondisi lingkungan yang lebih
aman dan memiliki ketahanan yang lebih baik terhadap bencana. Namun,
implementasi dari hal itu tidaklah mudah karena diperlukan adanya kepemimpinan
yang efektif dan dibatasi oleh batasan waktu yang sempit. Langkah-langkah
untuk mencapai perencanaan pemulihan pasca bencana yang baik yaitu :
1. Gunakan waktu yang ada untuk mengembangkan suatu strategi pemulihan
yang bersifat holistik, bila mungkin manfaatkan bantuan teknis dan
pembiayaan dari luar.
2. Tentukan tujuan dan sasaran masyarakat setempat.
3. Anggaplah bahwa proses perencanaan merupakan rencana itu sendiri,
sehingga proses itu harus terbuka, partisipatif, tetapi juga cepat mencapai
kesepakatan.
4. Gunakan perencanaan dengan multi tujuan untuk memperhitungkan juga
manfaat-manfaat lain dari integrasi konsep mitigasi bencana dan
pembangunan berkelanjutan dalam tindakan pemulihan.
5. Fleksibel.
6. Gunakan berbagai sumber pembiayaan, termasuk bantuan dana yang tidak
secara langsung terkait dengan bencana, bantuan dari pemerintah pusat
maupun swasta.
111
7. Maksimalkan keterlibatan seluruh kelompok masyarakat.
8. Maksimalkan keterlibatan mitra-mitra non tradisional, seperti LSM.
9. Buatlah rencana yang ringkas dengan prioritas pada tindakan pemulihan
sesegera mungkin, jangka pendek dan jangka panjang. Sedangkan detil
rencana dapat dikembangkan setelah itu.
III. PERMASALAHAN PENGELOLAAN BENCANA.
a. Bencana-bencana yang terjadi di Indonesia.
Pada beberapa tahun terakhir ini, bencana-bencana yang terjadi di Indonesia
semakin menunjukkan eskalasi masalah baik berupa bencana alam (natural
disaster) maupun bencana akibat kelalaian manusia (technological disaster), yang
meliputi bencana banjir, tanah longsor, gempa bumi, kekeringan, kebakaran hutan,
tumpahan minyak di laut, dan bencana industri. Kehilangan nyawa, korban luka-
luka, kerusakan harta benda telah mengakibatkan berbagai permasalahan dan
kesengsaraan bagi masyarakat. Bahkan bencana tersebut ada yang berdampak
hingga di luar wilayah Indonesia dan mempengaruhi hubungan antara negara.
Komponen-komponen pengelolaan bencana di Indonesia diilustrasikan secara
singkat pada matriks berikut ini.
Komponen-komponen dalam Pengelolaan Bencana di Indonesia
Masalah
Mitigasi
bencana
Uraian
masalah
Identifikasi
potensi
bencana dan
pemantauan
terhadap
wilayah-
wilayah
rawan
bencana
Kebijakan
Pemantauan
melalui satelit
terhadap kondisi
cuaca dan tutupan
lahan oleh Lapan
dan BMG
Pemantauan debit
sungai oleh
Kimpraswil atau
Dinas PU
Pemantauan
aktivitas gunung
berapi oleh DVMBG
Hasil pemantauan
telah
Efektivitas
Masyarakat masih banyak
yang belum mengetahui
informasi hasil pemantauan
Pematauan terhadap kondisi
rawan bencana masih
dititikberatkan untuk
bencana banjir dan longsor
serta aktivitas gunung
berapi; belum meliputi
semua jenis bencana
Keterbatasan dana
mengakibatkan up dating
data dilakukan dalam jangka
waktu yang lama
Stakeholder
terkait
Direktorat
vulkanologi dan
mitigasi
bencana
geologi
(DVMBG),
Lapan, BMG,
Kimpraswil,
DPU, KLH,
Dephut, media
massa (TV,
radio, media
cetak, dll).
Masalah
Utama
Politik
112
Masalah Uraian
masalah
Kebijakan Efektivitas Stakeholder
terkait
Masalah
Utama
disosialisasikan
melalui Sistem
Informasi
Manajemen dan
Mitigasi Bencana
melalui internet
yang di-up date
secara periodik
Revitalisasi
penataan ruang,
contoh: Keppres
114/1999
Penataan kembali
kawasan
pemukiman di
daerah rawan
bencana, misal:
bantaran sungai
Masih minimnya data hasil
pemantauan dalam skala
yang lebih besar yang
dimiliki pemda sebagai
dasar perumusan kebijakan
mitigasi bencana
Masih rendah karena kurang
ditindaklanjuti dengan
penegakan hukum, terutama
untuk penyimpangan
pemberian IMB dan SIPPT
Pendekatan yang digunakan
kurang tepat, misal: dalam
penggusuran; dan masih
kurangnya pelayanan kepada
masyarakat yang kurang
mampu, misal: relokasi
penduduk, penyediaan
rumah murah
Regulasi sudah ada tetapi
dalam kenyataan tidak
didukung dengan
penindakan tegas terhadap
pelanggaran
Perambahan hutan semakin
parah
Terkait dengan efektivitas
AMDAL dan penegakan Baku
Mutu
STD baru pada tahap ujicoba
di Lhokseumawe. Cilegon
dan Gresik.
Pengelolaan sisi permintaan
(demand management)
masih kurang
Tata ruang
Perlindungan
daerah konservasi
Regulasi bagi
industri untuk
minimasi dampak
dan sistem
tanggap darurat
(STD)
Pemeliharaan
sistem alam
dan minimasi
degradasi
lingkungan
Bappenas,
Kimpraswil,
BKTRN, sektor
pengguna lahan
terkait, DPR
KLH, BPLHD,
Dephut,
Deperindag,
Deptan, LSM,
masyarakat,
industri,
Kejagung,
Kepolisian, LSM
Politik
dan sosial
Lingkungan
dan
politik
Penyeimbangan
Supply dan
Demand sumber
daya telah
mulai dilakukan di
sektor energi dan
air.
Konservasi
sumber daya
dan energi
Instansi pada
sektor terkait,
industri,
pemda,
masyarakat, LSM
Kimpraswil, LH/
Ekonomi,
lingkungan
dan
politik
113
Masalah Uraian
masalah
Kebijakan Efektivitas Stakeholder
terkait
Masalah
Utama
Prasarana
pendukung
untuk
mereduksi
kerawanan
terhadap
bencana
Pengembangan
prasarana sumber
daya air, drainase,
air limbah dan
persampahan
untuk masalah
banjir dan
kekeringan
Sosialisasi
penanggulangan
banjir
Mekanisme
evakuasi dan
penanganan
kondisi darurat
Penanganan
Pengungsi
Kurangnya pemeliharaan
terhadap prasarana
eksisting, sedangkan
kapasitas pembangunan
prasarana baru masih
terbatas
BPLHD,
Pertanian,
Kehutanan
Depdiknas, Dep.
Ekonomi
dan
politik
Baru dilakukan untuk
mitigasi bencana banjir dan
dengan intensitas rendah
Kurangnya koordinasi dalam
mekanisme evakuasi
Bantuan yang diberikan
tidak tepat sasaran dan
tidak merata.
Lambatnya upaya
penanganan
Program-program pada
umumnya masih dalam
tataran konsep yang belum
diimplementasikan
Beberapa pemda mulai
menerapkan seperti Pemda
Jakarta, pemda Bahorok
Membangun
budaya
keselamatan
Penanganan
kondisi
kritis
Keselamatan
informasi,
pemda
Menkokesra,
Kimpraswil,
Menkeu, LH,
Mensos, Depkes,
Bakorlak/
Satkorlak PB,
PMI, masyarakat
Bappenas,
Kimpraswil, LH,
Pemda,
masayrakat
Budaya
Penanganan
saat
terjadinya
bencana
Politik
Pemulihan
kondisi
pasca
bencana
Rekonstruksi
pembangunan
dengan
tujuan
jangka
panjang
Sudah ada
program-program
rekonstruksi yang
bervisi jangka
panjang untuk
masalah
penanganan banjir
dan lonsor
Politik
Peristiwa bencana yang terjadi pada tahun 2002-2003 antara lain yaitu :
1. Banjir dan tanah longsor
Pada tahun 2003, banjir melanda berbagai tempat di Indonesia seperti
Sorong, Kota Waringin (Kalimantan Tengah), Bahorok, Jawa Barat, Nusa
Tenggara Timur, Jambi, Sumatera Selatan, Riau, dan Pontianak. Bencana
banjir yang mendapatkan sorotan terbesar adalah bencana yang terjadi di
kawasan wisata Bukit Lawang, Bahorok yang juga merupakan tempat
rehabilitasi orang utan. Bencana tersebut meluluhlantakkan kawasan wisata
Bukit Lawang dan menewaskan lebih dari 150 jiwa. Bahkan hingga saat ini
masih banyak jenasah yang tidak diketemukan. Analisis dari berbagai
kalangan menunjukkan bahwa perambahan hutan pada kawasan TN Gunung
114
Leuser, tingginya curah hujan, serta kecuraman tebing menjadi faktor utama
terjadinya longsor yang kemudian diikuti dengan banjir bandang. Perambahan
hutan juga disinyalir menjadi penyebab banjir bandang di kawasan wisata
Pelabuhan Ratu, Sukabumi, yang kemudian diperparah dengan pembangunan
perkantoran dan pemukiman. Hal yang sama juga disinyalir terjadi di daerah
Sorong dan Jambi. Bila kondisi seperti ini dibiarkan berlanjut, kemungkinan
besar bencana serupa akan terjadi pada wilayah-wilayah lain. Longsor akibat
curah hujan yang tinggi juga terjadi di Kab. Pontianak, Garut, Flores, Kab.
Bandung, Kab. Kebumen, Tasik malaya, dan Malang. Secara umum, penyebab
utama musibah banjir dan longsor adalah :
Curah hujan yang lebih tinggi dibandingkan curah hujan normal
Perubahan tata guna lahan, baik pada daerah hulu (terutama daerah
tangkapan air seperti hutan) maupun pada daerah hilir
Penyempitan dan pendangkalan sungai
2. Bencana kekeringan
Kekeringan telah melanda sentra-sentra produksi tanaman seperi Pulau Jawa,
Bali dan Lombok hingga menjadi semakin parah pada tahun 2003 ini. Menurut
Menkokesra Jusuf Kalla, lahan yang mengalami kekeringan pada akhir Juli
2003 sudah mencapai 450.338 ha dan 91.122 ha tanaman padi mengalami
puso. Di Jawa Tengah, daerah yang mengalami kekeringan parah adalah
Kabupaten Sragen, Blora, Rembang, Cilacap, Grobogan, Kudus, dan Demak.
Sementara di Jawa Barat, tahun 2003 ini Indramayu mengalami kekeringan
paling parah dalam 8 tahun terakhir. Dampak kekeringan ini tidak saja
dirasakan oleh petani, namun juga oleh nelayan. Para nelayan semakin
sulit mendapatkan air bersih, ikan tangkapan, maupun kesulitan biaya karena
meningkatnya harga barang-barang kebutuhan untuk melaut.
3. Tumpahan minyak di laut
Diperkirakan bahwa 27% suplai minyak dunia diangkut melalui Selat Malaka.
Bahkan 100-150 tanker domestik membawa minyak mentah dan produk
minyak melalui Selat Makassar. Selain itu hingga saat ini terdapat 427
anjungan di tengah laut. Dengan demikian terdapat potensi pencemaran
yang besar dari tumpahan minyak di laut. Namun hingga saat ini belum
terdapat peraturan yang dapat menjadi acuan antar instansi. Pada tahun
115
2001 juga terjadi kebocoran tanker curian di perairan Tegal. Karena tanker
tersebut barang curian, tidak ada pihak yang mau bertanggung jawab akibat
insiden yang terjadi. Akibat tumpahan minyak, tambak-tambak tercemar
dan banyak ikan-ikan yang mati.
4. Musibah kegiatan industri
Peningkatan jumlah industri di Indonesia berimplikasi pada peningkatan
potensi kecelakaan/musibah kerja bagi masyarakat maupun lingkungan.
Berdasarkan data dari Depnaker pada tahun 2002 ditemukan 66.367 kasus
dengan 4142 korban jiwa, 20.970 orang cacat dan 87.390 sementara tidak
mampu bekerja.
5. Gempa bumi
Pada tahun 2002, gempa tektonik berkekuatan 5,3 skala Richter (SR) terjadi
di Banda Aceh dan menimbulkan kerusakan berat di P. Simeulue. Selain itu
gempa juga terjadi di Papua dengan kekuatan 7,4 SR dan di Dieng dengan
kekuatan 1 3,4 SR. Pada tahun 2003 juga terjadi gempa di Sukabumi dengan
kekuatan 5,3 SR. Gempa ini merupakan gempa tektonik yang disebabkan
oleh pergerakan lempeng Cimandiri. Gempa tektonik juga terjadi di Bengkulu
dengan kekuatan 5 SR.
6. Letusan Gunung berapi
Pada tahun 2002 terjadi letusan di gunung Papandayan tanpa adanya
peringatan dini. Pemantauan aktiitas gunung berapi kurang memperhatikan
sinyal-sinyal aktivitas gunung berapi.
7. Angin dan badai
Pada bulan Oktober 2003 angin puyuh melanda Kelurahan Karang Tengah
Kecamatan Gunung Puyuh, Kota Sukabumi dan mengakibatkan sedikitnya
kerusakan 77 unit rumah.
b. Mitigasi Bencana.
Mitigasi berarti mengambil tindakan-tindakan untuk mengurangi pengaruh dari
suatu bahaya sebelum bahaya itu terjadi. Tindakan mitigasi meliputi cakupan
yang luas, mulai dari kegiatan fisik pembangunan prasarana hingga perumusan
116
kebijakan atau prosedur yang mengintegrasikan penilaian bahaya ke dalam ke
dalam rencana tata guna lahan. Meskipun kebanyakan orang masih melihat
bencana sebagai suatu hal yang tidak dapat diprediksi dan terjadi begitu saja
karena faktor alam, namun sesungguhnya potensi bencana pada suatu wilayah
dapat diperkirakan dan dikurangi tingkat bahayanya dengan cara mengendalikan
faktor-faktor determinan bencana.
Tahapan paling kritis dalam upaya mitigasi bencana adalah identifikasi risiko-
risiko yang terkait dengan bencana. Tahapan ini membutuhkan adanya pemahaman
terhadap bencana alam, proses-proses yang menyebabkan terjadinya bencana
tersebut, pengaruh bencana terhadap lingkungan buatan manusia, kerusakan
material dan non material akibat terjadinya bencana, yang membutuhkan kajian
para ahli secara multi disiplin, dari ahli seismologi, vulkanologi, klimatologi,
hidrologi, insinyur, ekonom, ahli medis, dan ahli ilmu sosial. Hal-hal mendasar
yang dikaji dalam bahaya bencana yaitu:
Bagaimana timbulnya bencana
Bagaimana kemungkinan terjadinya dan skala besarnya bencana
Mekanisme fisik kerusakan
Kegiatan-kegiatan yang paling rentan terhadap terjadinya bencana
Besarnya tingkat kerusakan akibat bencana
Sayangnya, di Indonesia upaya mitigasi bencana masih belum mendapatkan
perhatian utama dibandingkan upaya penanganan saat terjadinya bencana, kecuali
pada beberapa wilayah tertentu yang mulai menerapkannya setelah terjadi bencana
banjir pada skala yang cukup besar, seperti di Jakarta dan Bahorok. Bencana
banjir dan longsor memang merupakan bencana yang paling mendapatkan
perhatian besar dari pemerintah.
Menteri Kimpraswil Soenarno menyatakan bahwa kebijakan nasional penanganan
banjir untuk kawasan Jabodetabek dan Bopuncur memiliki sifat strategis nasional
yaitu :
1. Aspek penataan ruang dengan maksud untuk konservasi kawasan lindung
serta mengendalikan pembangunan sesuai pola peruntukan ruangnya yang
menjamin fungsi kawasan-kawasan resapan air dan penahan air lainnya.
117
2. Kedua aspek prasarana sumber daya air dalam satuan wilayah sungai (SWS)
yang merupakan kesatuan perencanaan, pemanfaatan, dan pengelolaan untuk
menjamin adanya keseimbangan antara supplay dan demand bagi berbagai
kebutuhan masyarakat.
3. Aspek ketiga berupa pengembangan prasarana perkotaan, yakni
pengembangan sistem drainase, air limbah dan pengelolaan pesampahan
terpadu, temasuk utilitas lainnya untuk menghindari terjadinya genangan
banjir serta meningkatkan kondisi lingkungan permukiman dan kawasan
budidaya lainnya.
4. Aspek keempat yakni penataan kawasan perumahan dan permukiman yang
sesuai dengan rencana tata ruang kota, termasuk penataan kembali
permukiman di sepanjang bantaran sungai.
c. Aspek tata ruang.
Pada kenyataannya, revitalisasi penataan ruang kawasan Jabodetabek dan
Bopunjur yang diperkuat dengan Keppres no 114 tahun 1999 mengalami banyak
hambatan di lapangan. Pada satu sisi, kurang terdapat ketegasan pemerintah
dalam penegakan hukum yang terkait dengan penyimpangan pemberian IMB
maupun SIPPT. Pemerintah juga perlu memberikan perhatian lebih pada
pengurugan tanah yang dilakukan masyarakat yang dapat memindahkan lokasi
rawan genangan, seperi yang terjadi pada wilayah-wilayah di Jakarta. Genangan
air dalam waktu lama juga berbahaya karena dapat menimbulkan berbagai
kerusakan terhadap infrastruktur, instalasi listrik, penyakit serta menurunnya
kualitas hidup (Kompas, 20 November 2003). Pada sisi lain, upaya penataan
kembali pemukiman terutama pada wilayah di sepanjang bantaran sungai juga
mendapatkan banyak hambatan karena melibatkan terjadinya penggusuran warga
seperti yang banyak terjadi di berbagai wilayah di Jakarta. Meskipun penggusuran
warga dengan alasan untuk mengembalikan fungsi bantaran sungai dalam
mengatasi banjir dapat diterima banyak pihak, namun pendekatan dalam
melakukan penggusuran serta penyediaan alternatif pemukiman maupun relokasi
masyarakat tergusur masih mendapatkan banyak kritikan.
Upaya mitigasi bencana apapun secara strategis melalui penataan ruang berarti
bahwa berbagai pertimbangan mengenai potensi bencana serta reduksi determinan
118
bencana telah dimasukkan dalam kebijakan tata ruang. Misalnya: pengelolaan
ruang terbuka secara efektif untuk mencegah terjadinya pembangunan pada
wilayah-wilayah rawan banjir, lempengan aktif, gunung berapi aktif, dan bencana
lainnya. Selain itu perlu adanya regulasi-regulasi khusus yang terkait dengan
pemanfaatan lahan pada wilayah rawan bencana. Misalnya, persyaratan bangunan
pada wilayah rawan gempa, rawan banjir, longsor dan sebagainya. Dr Ir Ridwan
Djamaluddin, peneliti gempa dari BPPT berpendapat bahwa mitigasi bencana
harus diterapkan di lokasi rawan gempa yang menjadi evaluasi tata ruang daerah,
menghindari pemukiman dan segala bangunan infrastruktur pada daerah zona
bahaya atau zona patahan aktif. Pada sisi lain, Tim Asistensi Teknis Mitigasi
Bencana dari KMNRT telah berhasil merancang spesifikasi teknik rumah tahan
gempa untuk wilayah Bengkulu, namun belum diberlakukan dalam bentuk regulasi.
d. Aspek pemeliharaan sistem alam dan minimasi degradasi lingkungan.
Pemeliharaan sistem alam dan minimasi degradasi lingkungan juga merupakan
aspek penting dalam upaya reduksi kemungkinan terjadinya bencana. Seperti
halnya dengan bencana banjir dan longsor di banyak tempat di Indonesia, rusaknya
sistem alam dan degradasi lingkungan dituding sebagai faktor utama terjadinya
bencana. Misalnya, kerusakan hutan pada TN Gunung Leuser yang meningkat
pesat yaitu dari 229.570,27 ha hutan rusak dan 27.410,054 hutan gundul tahun
1985 menjadi 653.482,17 ha hutan rusak dan 262.564,27 hutan gundul (Kompas,
8 November 2003). Sementara di Jabotabek, situ-situ yang berfungsi sebagai
tempat parkir air dan kawasan resapan sudah banyak yang mengalami
pendangkalan dan beralih fungsi. Data dari Departemen Kimpraswil menunjukkan
bahwa dari 200 situ yang ada, luasnya menyusut menjadi 1.462,78 ha dari semula
2.337,10 ha (Kompas, 8 Oktober 2003). Terlantarnya situ-situ ini diakibatkan
rendahnya perhatian pemerintah maupun masyarakat terhadap keberadaan situ
dan fungsi ekologis yang dimilikinya. Pada tahun 2003 ini, alokasi dana
penyelamatan situ meningkat dari Rp 1 milyar pada tahun-tahun sebelumnya
menjadi Rp 4 milyar. Namun jumlah tersebut masih jauh dari kebutuhan upaya
konservasi situ yang mencapai Rp 500 milyar.
Upaya konservasi sistem alam juga mendapatkan hambatan berupa konflik
pemanfaatan dengan masyarakat. Misalnya, upaya konservasi situ yang berpacu
dengan upaya warga yang mengklaim lahan bekas situ yang mengalami
119
pendangkalan sebagai lahan miliknya. Dalam hal ini, upaya penegakan hukum
saja tidak akan menyelesaikan masalah yang sudah berlarut-larut, namun sangat
diperlukan upaya peningkatan kesadaran masyarakat akan perlunya konservasi
sistem alam.
Upaya minimasi degradasi lingkungan bertujuan untuk meminimalkan tekanan
dari kegiatan-kegiatan manusia terhadap sistem alam sehingga dapat mereduksi
faktor-faktor yang berpengaruh terhadap terjadinya bencana. Hal ini juga berkaitan
dengan bencana yang diakibatkan oleh kelalaian manusia, seperti tumpahan
minyak atau musibah kegiatan industri. Kebijakan yang dikeluarkan pemerintah
adalah regulasi berupa persyaratan ANDAL yang dilengkapi dengan RKL dan RPL,
baku mutu lingkungan, dan regulasi lingkungan lainnya. Khusus untuk mitigasi
musibah kegiatan industri, pemerintah juga mulai menerapkan uji coba Sistem
Tanggap Darurat (STD) dan pengembangan model komunikasi antara pemerintah-
industri-masyarakat di daerah Lhokseumawe-Cilegon-Gresik.
Terkait dengan AMDAL, banyak pihak menilai instrumen AMDAL kurang efektif
karena pada kenyataannya hanya dijadikan sebagai dokumen formal untuk
memenuhi persyaratan perolehan izin operasi. Selain itu, menurut Otto
Soemarwoto (Kompas, 8 Juni 2000) teknologi penyusunan Amdal telah mengalami
stagnasi. Sejak Amdal diumumkan tahun 1986, teknologi tidak berubah. Padahal,
teknologi Amdal telah banyak berkembang, misalnya dengan menggunakan
komputer (computer modeling). Dalam hal ini, pemantauan kesesuaian operasional
industri dengan RKL dan RPL yang telah disusunnya masih dirasakan kurang dan
tidak ada sanksi hukum yang diberikan bila terjadi penyimpangan. Oleh karena
itu, WALHI berpendapat bahwa untuk memperkuat efektivitas AMDAL perlu
diterapkan Audit lingkungan sebagai instrumen penegakan (enforcement tool)
terhadap implementasi RKL dan RPL, bukan sebagai alat manajemen semata seperti
yang terjadi pada negara-negara di Eropa.
e. Aspek konservasi sumber daya dan energi.
Mitigasi bencana juga harus melibatkan upaya konservasi sumber daya dan energi.
Hal ini meliputi kebijakan penyeimbangan antara pasokan (supply) dan permintaan
(demand) sumber daya sehingga tercapai suatu kondisi yang harmonis.
Ketidakseimbangan antara pasokan dan permintaan sumber daya akan
menimbulkan tekanan terhadap lingkungan yang kemudian dapat memicu faktor-
120
faktor yang berpengaruh terhadap terjadinya bencana. Upaya penyeimbangan
ketersediaan pasokan dan permintaan ini yang meliputi pengelolaan pada sisi
pasokan maupun permintaan mulai dilakukan pada sektor energi dan air, namun
pada umumnya upaya penyeimbangan ini masih dilakukan pada sisi pasokan
saja.
Pada sektor energi listrik misalnya, pasokan energi listrik seharusnya tidak hanya
berfokus pada pemenuhan kebutuhan listrik, tapi juga pencarian alternatif jenis
sumber energi listrik yang lebih ramah lingkungan. Sementara pada sisi
permintaan, masyarakat juga harus memiliki kesadaran akan pentingnya
penghematan penggunaan listrik terhadap tercapainya keseimbangan antara
pasokan dan permintaan yang sesuai dengan kondisi lingkungan yang ada. Dalam
hal ini, perlu dibangun budaya penggunaan sumber daya secara hemat di dalam
masyarakat. Pemerintah juga perlu merumuskan regulasi maupun instrumen-
instrumen insentif maupun disinsentif yang mendorong ke arah tercapainya
keseimbangan tersebut.
f. Aspek prasarana pendukung untuk mereduksi kerawanan terhadap
bencana.
Pembangunan prasarana pendukung masih difokuskan pada mitigasi bencana
banjir. Pengembangan prasarana sumber daya air khususnya pada SWS Ciliwung
dan Cisadane untuk pengamanan banjir seluas 27.000 ha di Jakarta yaitu dengan
pembangunan 2 buah waduk di hulu sungai Ciliwung dan Cisadane. Disamping
itu dilakukan juga normalisasi banjir kanal Barat, pembangunan banjir kanal
timur untuk kawasan di sekitar Jakarta dan propinsi Banten Tangerang) dan
Jawa Barat (Bekasi) seluas 23.000 ha serta normalisasi seluruh sungai yang ada
serta peningkatan fungsi folder dan pompa di Jakarta bagian utara. Selain itu
dilakukan juga pengembangan prasarana drainase, air limbah, dan pengelolaan
persampahan dikembangkan berdasarkan pada master plan yang telah disusun
sebelumnya pada tahun 2000 dengan mempertimbangan perkembangan kota
hingga 10-15 tahun mendatang.
Pemerintah daerah yang saat ini terlihat gencar melakukan mitigasi bencana
dengan pembangunan prasarana pendukung adalah DKI Jakarta. Meskipun
pembangunan prasarana pendukung baru sangat penting, namun hal yang selama
ini kurang mendapatkan perhatian adalah upaya pemeliharaan terhadap prasana-
121
prasarana eksisting sehingga prasarana-prasarana tersebut tidak dapat berfungsi
sebagaimana mestinya. Misalnya, pemeliharaan terhadap saluran-saluran drainase
yang dalam kenyataannya di berbagai tempat banyak yang sudah tidak lagi
berbentuk saluran, mampet, atau sudah tertutup dengan inrit (jalan masuk ke
persil). Perubahan saluran drainase dapat mengubah aliran air permukaan sehingga
mempengaruhi lokasi yang rawan terhadap banjir. Pada sisi lain, tidak semua
daerah memiliki kemampuan finansial yang kuat seperti pemda DKI Jakarta untuk
membangun prasarana-prasarana baru sehingga upaya pemeliharaan prasarana
eksisting juga perlu mendapatkan prioritas.
g. Membangun budaya keselamatan.
Seperti yang telah dijelaskan di bagian awal, salah satu indikator penting dari
masyarakat yang berkelanjutan adalah masyarakat yang memiliki ketahanan
terhadap bencana (disaster resistant community). Masyarakat yang memiliki
ketahanan terhadap bencana bukanlah masyarakat yang bebas dari bencana,
melainkan masyarakat yang sadar akan adanya potensi bencana dalam hidup
mereka dan berupaya untuk mereduksi tingkat kerawanan hidupnya terhadap
adanya bencana. Artinya, masyarakat sadar bahwa bencana alam adalah risiko
yang harus mereka hadapi dan kelola dengan baik. Hal ini harus diterjemahkan
dalam kehidupan sehari-hari masyarakat meliputi segala aspek kehidupan.
Upaya perlawanan terhadap bencana ini oleh UNDP dianalogikan dengan
peperangan terhadap penyakit menular seperti TBC, tipus, kolera, disentri,
cacar, dan sebagainya yang disebabkan oleh buruknya sanitasi masyarakat.
Perlawanan terhadap bencana harus diperjuangkan oleh setiap orang secara
bersama-sama dan melibatkan masyarakat dan investasi sektor swasta, perubahan-
perubahan dalam perilaku-perilaku sosial dan perbaikan-perbaikan dalam praktek-
praktek individual. Hal ini diwujudkan dengan pembangunan budaya keselamatan
publik. Jadi meskipun pemerintah bertanggung jawab terhadap pembuatan regulasi
maupun pembangunan prasarana untuk mewujudkan lingkungan fisik yang dapat
memperkecil peluang terjadinya bencana, tiap individu masyarakat juga harus
bertindak untuk melindungi diri mereka sendiri.
Perlindungan publik terhadap potensi bencana juga dipengaruhi oleh perlindungan
pribadi terhadap bencana. Misalnya, memilih jenis kompor yang tepat sehingga
bila terjadi gempa akan memperkecil risiko terjadinya kebakaran. Hal ini jauh
122
lebih penting dalam mengurangi risiko bahaya kebakaran yang besar daripada
masyarakat memiliki kemampuan mengelola satu brigade khusus pemadam
kebakaran. Contoh lain misalnya pada saat akan membangun rumah
mempertimbangkan lokasi rumah dan potensi bencana pada lokasi tersebut
sehingga orang akan memilih lokasi yang potensi bencananya lebih kecil atau
membangun rumah yang sesuai dengan kondisi lingkungan di mana rumah itu
berada. Dengan demikian Budaya Keselamatan akan menjadi sangat efektif
bila masyarakat juga berperan dalam mereduksi potensi bencana atau menjadi
lebih siap bila bencana itu terjadi.
Namun, upaya untuk membangun budaya keselamatan ini masih minim
dilakukan. Upaya yang telah dilakukan pemerintah maupun LSM dalam membangun
budaya keselamatan adalah sosialisasi melalui iklan-iklan layanan masyarakat
mengenai pentingnya partisipasi masayarakat dalam menangani banjir. Hal yang
harus dicermati ialah pembangunan suatu budaya, apalagi bila budaya itu jauh
berbeda dengan praktek hidup masyarakat saat ini, merupakan upaya yang sulit
dan tidak bisa dilakukan secara insidental saja melainkan harus dilakukan secara
kontinu dan integratif. Oleh karena itu, pembangunan budaya keselamatan ini
harus dilakukan secara integral dengan sistem pendidikan nasional,
pemasyarakatan konsep mitigasi bencana dan perumusan kebijakan di bidang-
bidang lain.
h. Penanganan Saat Terjadinya Bencana.
Dua hal utama sat terjadinya bencana adalah keselamatan jiwa masyarakat korban
bencana dan penanganan kondisi pasca kritis. Hal ini terkait dengan kebijakan
mekanisme evakuasi dan penanganan kondisi darurat serta kebijakan penanganan
para pengungsi yang menjadi korban bencana. Pada berbagai bencana yang telah
terjadi, terlihat bahwa penanganan kondisi saat terjadinya bencana berada di
bawah komando Menkokesra pada tingkat nasional dan kepala pemerintah daerah
sebagai ketua Bakorlak Penanganan Bencana (Bakorlak PB) pada tingkat daerah.
Hingga saat ini kritik yang ditujukan tehadap penanganan bencana yang dilakukan
pemerintah terutama adalah lambatnya penanganan yang dilakukan dan masih
buruknya penanganan terhadap para pengungsi/korban bencana. Seperti yang
terlihat pada saat penanganan banjir di Jakarta pada tahun 2002 atau longsor
yang terjadi di Malang yang mengakibatkan wilayah yang terkena gempa menjadi
123
terisolasi. Dalam hal ini, harus dilakukan tinjauan terhadap mekanisme
penanganan kondisi darurat yang melibatkan berbagai pihak seperti Menkokesra,
Bakorlak PB, Departemen Kimpraswil, Departemen Sosial, Departemen Kesehatan,
Kementrian Lingkungan Hidup, Palang Merah Indonesia, dan berbagai elemen
masyarakat sehingga membutuhkan koordinasi yang baik dan kejelasan lingkup
kerja tiap pihak. Kritikan tajam juga umumnya diberikan terhadap upaya
penyaluran bantuan kepada korban bencana yang seringkali tidak terkoordinir
dengan baik sehingga lambat tiba di tujuan atau bahkan salah sasaran. Belum
lagi isu penyalahgunaan atau korupsi yang selalu menyertai setiap upaya
penyaluran bantuan kepada korban bencana.
Penanganan pengungsi juga merupakan isu yang kurang mendapatkan perhatian.
Beberapa saat setelah gempa terjadi, kurangnya perhatian pemerintah
mengakibatkan memburuknya kondisi pengungsian sehingga timbul masalah-
masalah kesehatan maupun masalah-masalah sosial. Dalam hal ini, upaya
penanganan pasca bencana seharusnya diintegrasikan dengan upaya pemulihan
kondisi pasca bencana (rekonstruksi pembangunan) sehingga masyakarat yang
menjadi korban dapat kembali beraktivitas normal.
Penanganan kondisi saat terjadinya bencana juga meliputi upaya-upaya untuk
mengatasi kerusakan sosial ekonomi akibat bencana. Sebagai contoh, dalam
mengatasi masalah kekeringan, pemerintah telah meluncurkan tiga program yaitu
pendistribusian air minum ke daerah-daerah yang kekurangan air, pemberian
beras gratis untuk daerah yang terkena puso, dan padat karya untuk petani yang
kehilangan pekerjaan. Program terakhir yang berupaya mengatasi dampak ekonomi
dari bencana kekeringan juga merupakan hal yang dapat meringankan beban
mental dari korban bencana.
i. Pemulihan Kondisi Pasca Bencana.
Pemulihan kondisi pasca bencana seharusnya dipandang sebagai suatu kesempatan
untuk melakukan rekonstruksi pembangunan dalam jangka panjang agar lebih
mengarah ke pembangunan yang berkelanjutan. Pemerintah sebenarnya sudah
memiliki program-program rekonstruksi yang bervisi jangka panjang untuk masalah
penanganan banjir dan longsor. Menkimpraswil misalnya telah mencanangkan
kebijakan penataan daerah-daerah aliran sungai yang dianggap sangat kritis.
Namun, implementasinya di lapangan masih dalam skala yang minim.
124
Beberapa pemerintah daerah mulai memanfaatkan upaya pemulihan kondisi pasca
bencana sebagai kesempatan untuk merekonstruksi pembangunan, seperti
pemerintah daerah Bahorok yang kemudian menutup kawasan wisata Bukit Lawang
untuk sementara waktu dan melarang pemukiman pada bantaran Sungai Bahorok
dan merelokasi warga di sekitar sungai Bahorok ke tempat lain yang telah
disediakan. Hal ini juga dilakukan oleh pemerintah daerah Kebumen yang
berencana merelokasi warga korban longsor ke wilayah lain yang lebih aman,
namun mereka masih memiliki kendala finansial dalam melakukan relokasi tersebut.
Secara umum terlihat bahwa pengelolaan bencana di Indonesia masih didominasi
oleh pemerintah. Padahal, seperti yang telah dipaparkan dalam bagian
sebelumnya, komponen utama dalam pengelolaan bencana adalah masyarakat
itu sendiri. Oleh karena itu di masa mendatang pemerintah harus mendorong
masyarakat untuk semakin berpartisipasi aktif dalam pengelolaan bencana. Hal
ini dapat dilakukan, antara lain dengan cara pemerintah mulai terbuka kepada
masyarakat mengenai keterbatasan kemampuan pemerintah dalam melakukan
pengelolaan bencana, dan menjelaskan tantangan pengelolaan bencana di masa
depan serta mengajak dan mendukung masyarakat untuk bersama-sama menjawab
tantangan tersebut.
125
SPEKTRUM PENGENDALIAN PENCEMARAN DALAM RUANG LINGKUP
PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP
I. PENDAHULUAN.
Sebelum membahas lebih lanjut mengenai pencemaran, hal mendasar yang perlu
diketahui adalah pencemaran itu sendiri. Suatu situs yang khusus membahas
pengetahuan umum mengenai lingkungan (www.environment.about.com)
mendefinisikan pencemaran sebagai :
The presence of a substance in the environment that because of its chemical
composition or quantity prevents the functioning of natural processes and
produces undesirable environmental and health effects
Namun biasanya istilah pencemaran digunakan untuk perubahan kondisi
lingkungan yang disebabkan atau dipengaruhi oleh kegiatan manusia sehingga
lingkungan tersebut menjadi berbahaya bagi mahluk hidup yang biasanya hidup
di lingkungan tersebut. Sebagai contoh, undang-undang AS tentang air bersih
(Clean Water Act) mendefinisikan pencemaran air sebagai the man-made or man-
induced alteration of the physical, biological, chemical, and radiological integrity
of water and other media.
Undang-Undang 23 tahun 1997 tentang Lingkungan Hidup yang menjadi payung
tertinggi pengelolaan lingkungan di Indonesia mendefinisikan pencemaran sebagai
berikut :
Pencemaran lingkungan hidup adalah masuknya atau dimasukkannya
makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan
hidup oleh kegiatan manusia sehingga kualitasnya turun sampai ke tingkat
tertentu yang menyebabkan lingkungan hidup tidak dapat berfungsi sesuai
dengan peruntukannya
Definisi tersebut oleh beberapa kalangan dinilai terlalu fleksibel karena ukuran
penurunan kualitas ditentukan oleh peruntukan. Yang menjadi masalah,
peruntukan tersebut dapat terus berubah dalam perkembangannya sehingga
dikuatirkan degradasi lingkungan dapat semakin buruk. Definisi tersebut juga
dipertanyakan untuk kondisi lingkungan yang saat ini sudah terdegradasi
sedemikian rupa sehingga terjadi perubahan kualitas hidup mahluk di dalamnya.
126
Pencemaran berkaitan erat dengan pelestarian fungsi lingkungan hidup dan
pelestarian daya dukung lingkungan hidup. Dalam hal ini, apakah acuan definisi
pencemaran berarti tidak membuat kondisi saat ini menjadi lebih buruk atau
justru dikaitkan dengan pengembalian fungsi lingkungan hidup ke kondisi yang
lebih baik dari kondisi saat ini.
Taufik Afiff (PPLH ITB) menyatakan bahwa daya dukung lingkungan hidup
merupakan suatu konsep ekologi yang sangat spesifik sehingga tidak tepat
dijadikan acuan dalam regulasi. Penggunaan konsep daya dukung lingkungan
sebagai dasar dari pencemaran justru akan membuat definisi pencemaran menjadi
semakin tidak jelas. Oleh karena itu, sebaiknya dilakukan redefinisi istilah
pencemaran yang lebih tepat untuk konteks di Indonesia.
Konsep Umum Pengendalian Pencemaran
Upaya pengendalian pencemaran secara umum dapat dikelompokkan menjadi 3
kategori utama yaitu :
1. Pencegahan Pencemaran atau Pollution Prevention (P2)
2. Smart Growth
3. Reduksi/minimasi tingkat pencemaran
Pengendalian
Pencemaran
Pencegahan
Pencemaran
(P2)
Smart
Growth
Reduksi
Pencemaran :
air, tanah,
udara
Baku Mutu : air, tanah, udara
Peningkatan Teknologi
Sistem Tanggap Darurat
Pengelolaan limbah
Pengembangan program P2
oleh pemerintah daerah
Mendorong penerapan P2
pada komunitas UKM
Mendorong penerapan P2
pada masyarakat umum
y Mix land use
y Perancangan bangunan yang efisien (compact)
y Banyaknya variasi jenis pemukiman
y Walkable neighborhoods
y Komunitas yang menarik dan spesifik terhadap lokasi
y Pelestarian lahan terbuka dan wilayah lingkungan yang penting
y Memperkuat dan mengarahkan pembangunan berbasis komunitas eksisting
y Variasi opsi jenis transportasi
y Keputusan pembangunan yang adil, dapat diprediksi, dan cost-effective
y Kerjasama masyarakat dan pihak terkait dalam keputusan pembangunan
Gambar 1. Upaya Pengendalian Pencemaran
127
Pencegahan pencemaran dilakukan sebelum terbentuknya limbah dan hal ini
dilakukan pencemaran sebelum terjadi. Bahkan, pencegahan pencemaran
bertujuan untuk menghindari terjadinya pencemaran atau menghindari timbulnya
limbah. Sedangkan reduksi pencemaran bertujuan untuk meminimasi intensitas
atau dampak dari pencemaran; dengan kata lain, reduksi pencemaran dilakukan
setelah pencemaran itu terjadi.
Reduksi pencemaran masih menjadi prioritas utama dalam pengelolaan lingkungan
dibandingkan pencegahan pencemaran dan konsep Smart Growth. Hal ini kembali
menegaskan bahwa urusan yang bersifat jangka pendek dan solusi reaktif masih
mendapatkan perhatian utama. Dari ketiganya, konsep Smart Growth yang berakar
pada visi Pembangunan Berkelanjutan adalah komponen yang paling bersifat
holistik dan yang paling diabaikan. Pengendalian pencemaran masih difokuskan
pada pencegahan pencemaran maupun reduksi pencemaran. Mengingat bahwa
tindakan-tindakan operasional dalam pengendalian pencemaran dilakukan di
tingkat daerah, maka peran pemerintah daerah sangatlah penting. Masalahnya,
terdapat kesenjangan antara kapasitas daerah dan kapasitas yang dibutuhkan
dalam pengendalian pencemaran. Oleh karena itu dibutuhkan adanya instrumen-
instrumen yang dapat meningkatkan kapasitas daerah dalam pengendalian
pencemaran. Pembahasan lebih lanjut mengenai ketiga kategori tersebut dan
bagaimana implementasinya di Indonesia akan dipaparkan pada bagian berikutnya.
II. KONSEP UMUM PENGENDALIAN PENCEMARAN.
a. Tinjauan Umum Terhadap Pengendalian Pencemaran Di Indonesia.
Pengelolaan lingkungan di Indonesia saat ini secara umum masih menghadapi
masalah yang berakar pada masih kurangnya demokratisasi dan debirokratisasi
dalam pengelolaan lingkungan serta isu lingkungan masih menjadi isu pinggiran
dibandingkan dengan isu ekonomi dan sosial-politik terutama dalam era otonomi
daerah baik bagi masyarakat maupun pemerintah. Kebijakan pemerintah dalam
pengelolaan lingkungan masih didominasi oleh perspektif Command-and-Control
(CAC) serta upaya-upaya yang sifatnya reaktif. Sebagai contoh, pemerintah daerah
kabupaten Lawang dan provinsi Sumatera Utara memberikan perhatian yang lebih
besar kepada konservasi hutan dan kawasan lindung lainnya setelah terjadinya
tragedi banjir Bahorok. Upaya yang reaktif menunjukkan rendahnya kemauan
128
politik otoritas negara dalam hal pengelolaan lingkungan karena isu lingkungan
masih kalah dengan isu ekonomi. Dengan kata lain, urusan-urusan jangka pendek
masih mendapatkan prioritas utama dibandingkan pembangunan berkelanjutan
yang mengandung perspektif jangka panjang.
Pakar lingkungan, Otto Soemarwoto mengatakan bahwa perspektif CAC atau Atur-
Diri-Sendiri (ADA) mengakibatkan penyusunan peraturan perundang-undangan
masih bersifat top-down dan kurang aspiratif (Kompas, 8 Juni 2000). Pelibatan
berbagai kalangan masyarakat dalam perumusan kebijakan masih menjadi suatu
hal yang bersifat formalitas atau tidak memiliki implikasi penting bagi konsep
peraturan yang telah disusun. Hal ini terjadi tidak saja pada pihak pemerintah
tetapi juga legislatif. Sebagai akibatnya, peraturan yang dihasilkan tidak merasa
dimiliki oleh atau mengikat semua pihak yang terkait dengan substansi
peraturan. Selain itu, peraturan perundangan yang terlalu rinci juga kurang
mendorong dihasilkannya inovasi-inovasi teknologi yang lebih bersih sehingga
upaya pengelolaan lingkungan tidak bersifat cost-effective dan dianggap hanya
menjadi beban bagi masyarakat. Seharusnya kita tidak saja terpaku pada azas
Polluter Pays Principle, tetapi melangkah lebih jauh ke azas Pollution Prevention
Pays sehingga pengelolaan lingkungan menjadi suatu hal yang menguntungkan
bagi masyarakat.
Anggapan bahwa pengelolaan lingkungan merupakan suatu beban tidak hanya
dimiliki oleh sebagian besar masyarakat, tetapi juga pihak pemerintah. Ini
berkontribusi pada dijadikannya lingkungan sebagai isu pinggiran karena
pengelolaan lingkungan dianggap tidak menghasilkan keuntungan secara
ekonomi. Pandangan ini kemudian mulai berubah (mungkin dalam beberapa waktu
saja) bila terjadi suatu bencana alam atau pergolakan sosial, seperti pemblokiran
kegiatan operasi perusahaan ekstraktif oleh masyarakat lokal, yang kemudian
menimbulkan implikasi ekonomi. Perubahan paradigma ini membutuhkan upaya
penyadaran yang bersifat strategis seperti pendidikan lingkungan, kampanye
dan sosialisasi yang harus dilakukan terus-menerus secara konsisten selamanya.
Dan, lagi-lagi pendidikan lingkungan juga merupakan suatu hal yang tidak
mendapatkan prioritas bagi pemerintah, seperti yang terlihat pada Status
Lingkungan Hidup Indonesia 2002.
Di sisi lain, upaya pengelolaan lingkungan seringkali juga lebih mementingkan
masalah birokrasi daripada subtansi. Otto Soemarwoto memberikan contoh
129
mengenai hal ini dengan analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal). Amdal
telah diatur amat rinci dalam PP No 27 tahun 1999 dan Keputusan kepala Bapedal
No 09 Tahun 2000. Dalam hal ini penyusunan Amdal harus mengikuti format
laporan yang telah ditentukan. Pada kenyataannya, penekanan pada aspek birokrasi
tidak menilai kualitas Amdal tetapi lebih pada apakah format bakunya telah
dipenuhi. Jadi kalau kualitas Amdal rendah tapi formatnya sesuai peraturan,
Amdal disetujui; sebaliknya bila Amdal berkualitas baik tapi tidak sesuai format,
maka akan ditolak (Kompas, 8 Juni 2000). Sebagai hasilnya, Amdal yang
seharusnya menjadi instrumen pengendalian kualitas lingkungan menjadi tidak
efektif karena hanya merupakan instrumen formal saja.
Masalah lingkungan juga tidak bisa dilihat sebagai masalah pada suatu bidang
karena permasalahan lingkungan bersifat kompleks dan meliputi berbagai aspek
yang bersifat fisik, politik, sosial, budaya, maupun ekonomi sehingga penyelesaian
terhadap masalah lingkungan juga harus melibatkan upaya yang multidisipliner
dan multi pihak. Indrian Tagor Lubis dari Program Lingkar-324 menyatakan bahwa
kebijakan pengelolaan lingkungan seringkali mendapatkan hambatan karena
cepatnya laju transformasi sosial budaya (yang bersifat negatif), adanya
kepentingan pribadi yang mensubordinasi kepentingan publik, eksploitasi sumber
daya alam tanpa memperhatikan kepentingan generasi mendatang, prioritas
pembangunan nasional yang masih bersandarkan pada vested interest elit politik
dan hilangnya pemahaman isu-isu lingkungan. Kondisi di atas membutuhkan
adanya demokratisasi pengelolaan lingkungan yang didasarkan pada pendekatan
partisipatif, seperti misalnya:
1. Pengendalian emisi yang cocok dan aplikatif dengan dukungan teknologi
ramah lingkungan.
2. Penegakan hukum lingkungan
3. Penerapan kebijakan Ekonomi Hijau sebagai alternatif bagi peningkatan
Pendapatan Asli Daerah (PAD).
4. Pemberdayaan organisasi lingkungan melaui penciptaa standar dan regulasi
baru sehingga masyarakat memiliki akses terhadap informasi dan peran
sertanya dalam penentuan proses kebijakan pra dan pasca proyek dapat
terakomodasi.
130
5. Mengefektifkan peran Amdal dalam proses perencanaan, pengelolaan dan
monitoring lingkungan.
6. Pendidikan lingkungan untuk memacu kreativitas dan daya kritis individu
maupun kolektif.
Prof. Ganjar Kurnia, ahli sosiologi pertanian dari Universitas Padjajaran, juga
menyatakan bahwa masalah lingkungan yang sangat kompleks sesungguhnya
lebih banyak dipengaruhi oleh hal-hal yang bersifat struktural ketimbang masalah
kultural. Dalam hal ini, kebijakan yang tidak tepat dari pemerintah justru
merupakan biang keladi dari semakin buruknya kondisi lingkungan di Indonesia.
Menurutnya, hal ini terutama disebabkan oleh 2 hal, yaitu:
1. Kebijakan yang tidak tepat merupakan produk dari perumusan kebijakan
yang tidak benar.
2. Implementasi kebijakan yang tidak tepat.
Perumusan kebijakan yang tidak benar mungkin disebabkan oleh proses
perumusan yang tidak benar maupun perilaku perumus kebijakan yang tidak benar.
Taufik Afiff dari Pusat Penelitian Lingkungan Hidup ITB berpendapat bahwa proses
perumusan kebijakan yang tidak benar cenderung terjadi sebagai akibat dari
upaya penyelesaian masalah tanpa benar-benar mencari akar dari suatu masalah.
Hasilnya, upaya penyelesaian masalah cenderung reaktif dan bersifat jangka
pendek, bukannya antisipatif serta strategis untuk jangka panjang. Hal ini menjadi
semakin parah dengan buruknya sistem basis data di Indonesia yang menjadi
input bagi perumusan kebijakan. Akhirnya, terjadilah garbage in, garbage out.
Dalam hal ini, keberadaan sistem basis data yang baik masih belum dipandang
sebagai suatu hal yang bersifat strategis dan penting bagi upaya pengelolaan
lingkungan di Indonesia sehingga perhatian serta sumber daya yang dialokasikan
juga masih minim.
Perumusan kebijakan yang tidak benar juga dipengaruhi oleh perilaku perumus
kebijakan yang masih banyak didasari oleh kepentingan pribadi atau kelompok
tertentu. Sebagai contoh, suatu alternatif bagi pengelolaan sampah yang lebih
ramah lingkungan pada suatu kota di Jawa Barat yang melibatkan pihak swasta
ditolak oleh pemerintah daerah yang bersangkutan karena dianggap dapat
mengurangi PAD yang diterima. Di wilayah lain, aparat pemda suatu daerah
131
mempertanyakan segmen tertentu dari S. Citarum yang masih rendah tingkat
pencemarannya dengan maksud untuk memberikan ijin bagi industri untuk
beroperasi di segmen tersebut.
Implementasi kebijakan yang tidak tepat, menurut Ganjar, selain diakibatkan
oleh adanya penyelewengan dalam implementasi program, juga disebabkan oleh
kurangnya koordinasi antar pihak dan kurangnya fokus dalam penyelesaian
masalah. Akibatnya, program yang dilakukan tidak efektif dan kurang dirasakan
hasilnya. Masalah lingkungan yang kompleks biasanya melibatkan berbagai pihak
yang masing-masing memiliki persepsi yang berbeda-beda terhadap suatu masalah
yang sama. Dalam hal ini, komunikasi antar pihak dalam penyelesaian masalah
masih sangat minim. Padahal pelibatan berbagai pihak dapat menghasilkan
pengambilan keputusan yang lebih partisipatif. Sayangnya, saat ini belum banyak
dilakukan upaya-upaya untuk melibatkan berbagai pihak dalam proses
pengambilan keputusan secara formal oleh pemerintah. Input yang diperoleh
dari berbagai pihak yang terlibat dalam suatu permasalahan lingkungan, masih
tidak memiliki kekuatan yang cukup kuat untuk mengubah pengambilan keputusan
oleh pemerintah.
Dalam era otonomi daerah ini, UU No 23 tahun 1997 juga dianggap memiliki
banyak kelemahan dan tidak dapat lagi mengakomodasi berbagai kepentingan
maupun mengantisipasi perubahan-perubahan yang akan terjadi. Otonomi daerah
pada satu sisi dapat memberikan kesempatan luas kepada daerah untuk melakukan
pengelolaan lingkungan yang lebih baik dan sesuai dengan konteks daerah. Tapi
yang lebih terlihat pada kenyataannya adalah semangat eksploitasi sumber daya
alam untuk meningkatkan PAD. Dalam konteks tersebut, pemda menegluarkan
peraturan daerah (perda) yang secara langsung dan tidak langsung berpengaruh
negatif pada lingkungan. Contoh, perda tentang pemutihan praktik penambangan
tanpa izin (Peti), baik batubara maupun emas. Kelemahan lain dari UU no 23
tahun 1997 adalah lemahnya rumusan tentang kelembagaan pengelolaan
lingkungan dan instrumen hukum lingkungan yang bersifat pencegahan
pencemaran lingkungan. Selain itu, kompleksnya keterkaitan kejahatan lingkungan
dengan kejahatan lain yang lebih terorganisasi juga membutuhkan UU yang dapat
mengatur secara lebih sistemik dan komprehensif (Suara Pembaruan, 17 Desember
2003).
132
b. Implementasi Reduksi Pencemaran di Indonesia.
Upaya reduksi pencemaran meliputi penetapan Baku Mutu untuk unsur air, tanah,
dan udara; langkah-langkah reduksi pencemaran air, udara, dan tanah; peningkatan
teknologi; sistem tanggap darurat; dan pengelolaan limbah. Pemerintah telah
menetapkan berbagai jenis baku mutu untuk masalah-masalah lingkungan yang
terkait dengan unsur air, tanah dan udara. Di tingkat daerah, pemerintah daerah
yang bersikap proaktif juga biasanya telah menetapkan baku mutu tersendiri
yang dianggap lebih tepat dengan kondisi di daerah. Hal yang perlu lebih
diperhatikan dalam penentuan baku mutu adalah apakah baku mutu tersebut
sudah disesuaikan dengan konteks lingkungan, politik, sosial dan ekonomi dari
masyarakat di mana baku mutu diberlakukan sehingga keberadaannya dapat
menjadi instrumen pengendalian lingkungan yang efektif; bukan sekedar adopsi
dari baku mutu sejenis di tingkat intenasional. Baku mutu yang efektif dalam hal
ini bukan sekedar standar yang menyatakan ketentuan dalam aspek teknis semata,
melainkan juga dapat diimplementasikan dan dipantau penaatannya dengan
pertimbangan kemampuan sumber daya yang ada serta mendorong terjadinya
perubahan dalam masyarakat untuk mentaati baku mutu tersebut.
Pengembangan dan inovasi dalam teknologi bersih yang lebih ramah lingkungan
juga belum mendapatkan perhatian yang proporsional, padahal upaya ini memiliki
potensi yang besar untuk menghasilkan manfaat yang bernilai ekonomis sehingga
pengelolaan lingkungan menjadi cost-effective dan profit-centre, tidak lagi cost-
centre. Pada bulan April 2003 telah diadakan Konperensi Nasional Produksi Bersih
yang diprakarsai oleh LSM Dana Mitra Lingkungan dan diikuti oleh berbagai
kalangan seperti akademisi, pemerintah, bisnis, dan masyarakat umum. Namun
ternyata partisipasi dari kalangan bisnis masih sangat minim dan sebagian besar
peserta adalah kalangan akademisi. Hal ini menunjukkan bahwa gagasan
pengelolaan lingkungan melalui investasi yang dilakukan dalam pengembangan
atau inovasi teknologi bersih yang bernilai ekonomis masih belum banyak disadari
oleh para pelaku bisnis. Meskipun demikian, para pelaku bisnis yang telah mencoba
menerapkan teknologi bersih mengakui bahwa hal itu telah menghasilkan manfaat
ekonomis yang nilainya bisa jadi cukup signifikan. Namun, mereka juga mengkritik
kurangnya dukungan dari pemerintah dalam memberikan insentif atau kemudahan-
kemudahan untuk menerapkan teknologi bersih. Bahkan beberapa pihak justru
mendapatkan hambatan birokrasi maupun regulatif dalam upayanya menerapkan
133
teknologi bersih. Pemerintah sendiri melalui Kementrian Lingkungan Hidup telah
memiliki program untuk pengembangan teknologi bersih pada beberapa sektor
utama, misalnya sektor pertanian, yang difokuskan pada Usaha Kecil dan Menengah
(UKM). Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) sebenarnya juga telah
menghasilkan berbagai penelitian mengenai teknologi-teknologi bersih. Sayangnya
hingga saat ini, koordinasi antar pihak dalam melakukan sosialisasi mengenai
teknologi bersih kepada pihak-pihak pengguna potensial dirasakan masih sangat
kurang.
Kegiatan reduksi pencemaran hingga saat ini masih didominasi oleh institusi
lingkungan resmi seperti Kementrian Lingkungan Hidup (KLH) di tingkat pusat
maupun Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah (Bapedalda) di tingkat
daerah. Namun institusi-institusi yang juga menangani masalah pengendalian di
tiap sektor sesungguhnya telah banyak ditemukan pada instansi-instansi
pemerintah sektoral.
Program-program reduksi pencemaran yang telah dicanangkan pemerintah pada
umumnya dapat dikelompokkan ke dalam kategori kegiatan:
Pemantauan kualitas, misalnya melalui stasiun pemantau kualitas udara
Kegiatan langsung pemulihan kualitas lingkungan, misalnya melalui Program
Langit Biru
Penentuan regulasi seperti Baku Mutu, regulasi tentang penggunaan alternatif
energi yang lebih ramah lingkungan, perizinan
Pemberdayaan peran masyarakat melalui peningkatan penyediaan dan
penyebaran informasi
Kebijakan insentif maupun disinsentif bagi industri, misalnya melalui SUPER
Peningkatan kerja sama dengan institusi maupun negara-negara lain
Pentaatan dan penegakan hukum
Melihat program-program rencana maupun yang sudah dilakukan, upaya reduksi
pencemaran yang dilakukan institusi pemerintah tampak cukup baik. Pada
kenyataannya, masih terdapat ketidakpuasan yang tinggi dari masyarakat terhadap
kinerja pengendalian pencemaran. Pada derajat tertentu, LSM-LSM yang
berkecimpung di bidang yang terkait dengan pengendalian pencemaran mungkin
134
juga memiliki program-program kerja yang sesungguhnya secara formal berada
pada kewenangan instansi pemerintah.
Ketidakpuasan masyarakat mungkin didasari oleh :
Kurangnya informasi mengenai kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan oleh
pemerintah sehingga masyarakat tidak mengetahui pencapaian yang mungkin
telah dibuat oleh pemerintah maupun keterbatasan pemerintah dalam hal
pengendalian pencemaran.
Meskipun sudah ada sub-sub divisi yang terkait dengan masalah lingkungan
pada sektor-sektor yang berpotensi menghasilkan pencemaran, namun
keserasian kinerja antar sub-sub divisi tersebut maupun institusi yang secara
formal bergerak di bidang lingkungan masih jauh dari harapan. Sebagai
contoh, upaya reduksi dampak dari pertambangan terbuka melalui UU No
41 tentang larangan pertambangan terbuka di hutan lindung yang meskipun
dilandasi oleh tujuan perlindungan lingkungan, namun proses perumusannya
dipandang masih kurang melibatkan berbagai unsur terkait.
Kurangnya tingkat pemantauan yang dilakukan pemerintah dalam
pengendalian pencemaran.
Masih rendahnya tingkat penegakan hukum terhadap pihak-pihak yang
melakukan pencemaran.
Kurangnya insentif (kemudahan) atau penghargaan bagi pihak-pihak yang
proaktif dalam melakukan reduksi pencemaran.
Hambatan reduksi pencemaran yaitu :
Kurangnya otoritas instansi yang berwenang dalam struktur birokrasi
pemerintah
Keterbatasan sumber daya manusia yang memiliki kemampuan tinggi dalam
analisis dampak dan upaya pengendaliannya. Dalam hal ini, juga diperlukan
tenaga ahli yang memiliki kemampuan dalam bidang perlindungan lingkungan
maupun manajemen proyek.
AMDAL seringkali memiliki daya ungkit yang rendah karena :
o Dilihat hanya sebagai prosedur formalitas untuk mendapatkan
persetujuan/izin
135
o Intervensi politik yang kuat sangat menentukan hasil akhir kajian
o Stigma yang buruk terhadap kinerja instansi pemerintah membuat hasil
kajian banyak dipertanyakan
o Perlakuan terhadap proyek-proyek yang berada pada wilayah lingkungan
yang sensitif masih jauh dari memuaskan.
o Rendahnya partisipasi publik dalam memberikan input terhadap kajian
dampak
o Waktu yang diperlukan untuk menghasilkan kajian yang berkualitas baik.
c. Implementasi Pencegahan Pencemaran di Indonesia.
Pollution Prevention Act dari AS mendefinisikan pencegahan pencemaran sebagai
reduksi pada sumber maupun upaya-upaya lain yang mengurangi atau
mengeliminasi terciptanya pencemar melalui :
Peningkatan efisiensi dalam penggunaan bahan baku, energi, air atau sumber
daya lainnya, atau
Perlindungan terhadap sumber daya alam melalui konservasi.
Yang dimaksud dengan reduksi pada sumber adalah upaya apa pun yang dapat:
Mereduksi jumlah bahan berbahaya atau pencemar apa pun yang memasuki
aliran limbah atau dibuang lingkungan secara sengaja atau tidak (misalnya
air larian dari wilayah pertanian), sebelum tahap daur ulang, pengolahan,
atau pembuangan; dan
Mereduksi dampak bahaya bagi kesehatan masyarakat dan lingkungan akibat
pelepasan zat atau pencemar tersebut.
Hal itu meliputi modifikasi peralatan atau teknologi, modifikasi proses atau
prosedur, formulasi atau perancangan ulang produk, substitusi bahan baku, dan
peningkatan good housekeeping, pemeliharaan, pelatihan, atau pengendalian
persediaan.
Secara singkat Pencegahan Pencemaran adalah pendekatan upaya perlindungan
terhadap lingkungan melalui reduksi atau eliminasi dampak pencemaran yang
berbahaya maupun tidak pada sumber pencemaran atau pencegahan masuknya
pencemar ke dalam media lingkungan atau aliran limbah.
136
Dalam hal pencegahan pencemaran, instrumen yang dibutuhkan pada dasarnya
meliputi 3 bidang utama yaitu:
1. Pengembangan program-progam pencegahan pencemaran pada instansi-
instansi pemerintah daerah.
Pemerintah perlu memberikan contoh kepada masyarakat bahwa pendekatan
pencegahan pencemaran akan memberikan hasil yang lebih baik dari aspek
lingkungan maupun ekonomi daripada pendekatan tradisional semata seperti
penanganan pencemaran. Hal ini sekaligus juga menunjukkan bahwa
pemerintah juga memiliki komitmen yang kuat dalam implementasi
pengendalian pencemaran.
Implementasi program pencegahan pencemaran pada fasilitas maupun
kegiatan operasi instansi pemerintah daerah, misalnya:
Meningkatkan kesadaran pegawai akan pentingnya pencegahan
pecemaran dan memberikan insentif bagi praktek-praktek kegiatan yang
lebih efisien.
Mengarahkan pertumbuhan dan pembangunan pada lokasi yang tepat
dan menentukan sasaran lahan-lahan konservasi
Menerapkan kaidah-kaidah yang ramah lingkungan pada lahan publik
untuk meminimalkan dampak lingkungan dari penggunaan lahan.
Misalnya, bila lahan digunakan untuk pertanian, diterapkan konsep
Integrated Pest Management.
2. Mendorong upaya-upaya pencegahan pencemaran pada komunitas Usaha
Kecil dan Menengah (UKM)
Hal ini juga dapat mempererat hubungan pemerintah dengan komunitas
bisnis sehingga mereka lebih terdorong untuk mengadopsi praktek-praktek
yang lebih ramah lingkungan. Program-program yang dapat dilakukan,
misalnya:
Mensponsori lokakarya pendidikan bagi UKM dan program-program
pengenalan untuk meningkatkan dan mendorong diterapkannya prinsip
pencegahan pencemaran dalam kegiatan usaha yang mereka lakukan.
Mengkampanyekan penggunaan alat-alat yang lebih efisien dalam
penggunaan sumber daya sehingga dapat mengurangi tingkat konsumsi.
137
Misalnya: lampu hemat energi, kran berkualitas baik sehingga tidak
mudah bocor, dan sebagainya.
Memberikan informasi mengenai teknologi bersih pada berbagai sektor
usaha dan mendorong adopsi teknologi tersebut, misalnya dengan
memberikan insentif yang diperlukan.
Mendorong pembelian dan penggunaan bahan-bahan yang tidak
beracun. Misalnya, mengganti bahan sintetis dengan bahan-bahan alami
atau memberikan insentif atau keringanan bagi penggunaan bahan
kimia tidak beracun yang mungkin sulit diperoleh atau lebih mahal
harganya.
3. Meningkatkan kesadaran masyarakat daerah dalam hal pencegahan
pencemaran.
Hal ini dilakukan agar masyarakat dapat mengadopsi pendekatan pencegahan
pencemaran dalam kehidupan sehari-hari. Program-program yang dapat
dilakukan misalnya :
Mengkampanyekan program reduksi (dan pemilahan sampah) pada
sumber.
Mengkampanyekan kebiasaan-kebiasaan yang hemat energi.
Menginformasikan ciri-ciri produk yang lebih ramah lingkungan.
Hal-hal yang dapat menjadi hambatan dalam implementasi program pencegahan
pencemaran yaitu :
Kurangnya pemahaman instansi-instansi pemerintah terhadap usulan
program
Keterbatasan sumber daya, terutama sumber daya finansial dan teknikal.
Meningkatnya tekanan. Baku mutu maupun regulasi yang tidak
proporsional justru akan menimbulkan tekanan berlebihan kepada
kalangan usaha sehingga membuat mereka cenderung bersifat reaktif,
bukan proaktif terhadap pencemaran.
Sulitnya memberikan justifikasi bagi program. Pencegahan pencemaran
umumnya memberikan dampak yang signifikan pada jangka waktu
panjang sehingga seringkali dikalahkan oleh kepentingan yang
sifatnya mendesak dan jangka pendek.
138
Kurangnya koordinasi antar instansi-instansi terkait.
Hambatan akibat regulasi. Ketidakserasian regulasi-regulasi yang ada
menimbulkan kesulitan implementasi pencegahan pencemaran.
Hal yang perlu diperhatikan juga adalah masyarakat seringkali tidak menyadari
bahwa dirinya adalah bagian dari solusi pengendalian pencemaran. Dalam hal
ini, institusi lingkungan harus lebih giat menyadarkan masyarakat dan mengubah
persepsi mereka terhadap lingkungan, pencemaran dan mendorong masyarakat
untuk secara aktif melakukan kegiatan-kegiatan yang lebih ramah lingkungan.
d. Smart Growth.
Dalam konsep Smart Growth, pembangunan dilakukan untuk melayani tujuan
ekonomi, masyarakat, dan lingkungan. Smart Growth didefinisikan sebagai
pembangunan yang berupaya untuk sekaligus mencapai :
Pembangunan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja; yaitu pembangunan
yang memperluas kesempatan usaha dan lapangan pekerjaan, meningkatkan
pajak lokal, memberikan pelayanan dan kenyamanan bagi masyarakat suatu
lingkungan, dan menciptakan komunitas yang memiliki daya saing ekonomi.
Lingkungan yang memiliki ketahanan yang baik (strong neighborhoods);
yaitu pembangunan yang memberikan berbagai pilihan pemukiman yang
sesuai bagi komunitas di dalamnya sehingga dapat meningkatkan nilai
lingkungan itu dan menciptakan rasa kebersamaan suatu komunitas (sense
of community).
Masyarakat yang sehat, yaitu pembangunan yang memberikan lingkungan
yang sehat bagi komunitas yang tinggal di dalamnya. Smart growth
menyeimbangkan pembangunan dengan perlindungan lingkungan;
mengakomodasi pertumbuhan dan pada saat yang sama melestarikan ruang
terbuka dan habitat kritis, memanfaatkan lahan secara optimal, dan
melindungi sumber-sumber air serta kualitas udara.
Konsep smart growth mendorong dilakukannya pembangunan yang sesuai dengan
karakteristik tiap daerah dan komunitas yang mendiaminya yang dilandaskan
pada pilar kesejahteraan ekonomi, kebersamaan suatu komunitas, dan lingkungan
yang sehat dengan visi jangka panjang. Konsep ini juga mensyaratkan adanya
139
keberagaman, baik dari aspek fisik lingkungan, sosial budaya maupun ekonomi
sehingga suatu komunitas memiliki ketahanan yang baik dan tidak rentan terhadap
berbagai perubahan yang mungkin terjadi. Pada konsep smart growth,
pembangunan berkelanjutan menjadi suatu keniscayaan. Dalam hal ini, isu
lingkungan tidak lagi dilihat sebagai suatu bidang masalah, tetapi telah melebur
dalam konsep pembangunan yang dilakukan. Smart growth bisa dikatakan sebagai
konsep yang lebih operasional dari Pembangunan Berkelanjutan.
Pembangunan yang didasarkan pada konsep smart growth ini mungkin masih
belum banyak dilirik oleh berbagai pihak yang terkait dengan pengelolaan
lingkungan. Namun, mau tidak mau pada waktu mendatang permasalahan
pengelolaan lingkungan akan semakin menuntut langkah-langkah strategis, multi
aspek, yang memperhatikan kesejahteraan komunitas yang bersifat unik untuk
tiap wilayah dalam jangka panjang. Dalam hal ini, smart growth merupakan
konsep yang tidak dapat ditawar lagi.
140
SPEKTRUM KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM DALAM RUANG LINGKUP
PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP
I. PENDAHULUAN.
Dari beberapa literatur menyebutkan bahwa Definisi dari kata-kata Konservasi
tersebut adalah:
Pemeliharaan dan proteksi terhadap lingkungan dan pengunaan yang bijak
terhadap sumber daya alam (www.iteawww.org/TAA/Glossary.htm)
Suatu pengelolaan yang pemeliharaan yang berhati-hati terhadap sumber
daya alam dan lingkungan. www.soton.ac.uk/~engenvir/glossary.html,
Merupakan perencanaan dan pengelolaan manajemen sumberdaya untuk
menjamin kesediaan untuk penggunaan jangkan panjang yang terus menerus
dan menjamin kualitas, nilai dan keanekaragamaannya yang lebih
baik.edugreen.teri.res.in/explore/glossary.htm
Proteksi, pemelihataan dan pengelolaan/manajemen yang berhati-hati
terhdap sumber daya alam dan lingkungan.
www.jncc.gov.uk/earthheritage/module/glossy.htm
Semua aktifitas yang telibat dalam upaya proteksi dan retensi warisan sumber
daya. Termasuk di dalamnya studi, proteksi, pengembangan atministrasi,
pemeliharaan, dan interpretasi terhadap warisan sumber daya, baik itu
merupakan objek, gedung atau struktur ataupun lingkungan.
www.islandnet.com/~hsbc/terms.htm
Bila dilihat dari hal diatas ada 4 hal kunci dalam mengartikan kata-kata konservasi
tersebut yaitu pemelihataan, proteksi, pengelolaan dan penggunaan yang bijak.
Sehingga ketika kita bicara tentang sumber daya alam, maka kata-kata konservasi
sumber daya alam itu berarti segala bentuk cara yang dilakukan dalam rangka
pemeliharaan, proteksi dan bagimana menggelola dan memanfaatkan secara bijak
sumber daya alam tersebut.
Secala ekologi, yang menjadi lahan untuk konservasi adalah lahan lindung, artinya
di Indonesia, yang menjadi lahan lindung terutama terdapat pada lahan hutan
141
dan laut yang memiliki kekayaan hayati yang tinggi. Sehingga dalam kasus ini
pembahasan konservasi akan dibatasi pada dua kawasan tersebut.
II. KONSERVASI SUMBER DAYA KEHUTANAN.
Permasalahan konservasi lingkungan dan sumber daya alam yang kita hadapi
sekarangnya, kalau dirunut ke belakang tidak lain adalah bersumber dari
permasalahan kehutanan yang kita hadapi sekarang ini. Bencana banjir, longsong,
air bersih dan daerah aliran sungai, serta langkanya keanekaragaman hayati
Indonesia, semuanya tidak lain disebabkan oleh masalah kehutanan itu sendiri,
selain juga disebabkan oleh berbagai kerusakan lingkungan lainya.
Selama lebih dari tiga dekade sampai awal krisis keuanggan tahun 1997, kebijakan
pembangunan nasional lebih dititikberatkan pada pertumbuhan ekonomi dengan
mengacu pada pengendalian ekspor. Hasilnya, memang sangat mengesankan,
dimana laju pertumbuhan ekonomi demikian cepat terus berlanjut selama kurun
waktu itu dan bahkan disertai dengan keberhasilan mengurangi jumlah penduduk
miskin secara draktis. Sebagai konsekwensi dari kebijakan pembangunan tersebut,
pemerintah pada saat itu memandang sumber daya alam - termasuk hutan
sebagai asset yang dapat dicairkan secara cepat untuk mendukung pertumbuhan
itu sendiri. Dengan kata lain, dalam kebijakan perekonomian nasional, sumberdaya
hutan ditempatkan sebagai salah satu penghasil devisa negara pengekspor kayu
tropis terkemuka dan terbesar di dunia (World Bank, 2000).
Kebijakan pembangunan seperti yang disebutkan diatas tidak bisa sejalan dan
melakukan trade-off antara tujuan-tujuan pembangunan itu sendiri dengan
lingkungan. Bentrokan kepentingan ini tidak bisa dihindarkan, sehingga kinerja
pembangunan seperti yang disebutkan diatas harus ditebus oleh sejumlah akibat,
diantaranya kerusakan hutan dan lingkungan.
a. Manajemen/Pengelolan Hutan Dalam Beberapa Dekade (Hingga 2003).
Indonesia memiliki hutan tropis kedua terluas di dunia dengan nilai ekonomis
tinggi bagi negara maupun masyarakat. Pemanfaat sumberdaya hutan untuk
kepentingan pertumbuhan ekonomi dimulai secara intensif sejak tahun 1967,
sebagai tindak lanjut dari kerjasama Indonesia dengan IMF pada tahun 1996.
Dari kerjasama tersebut, Indonesia mulai menerima pinjaman internasional,
membuka diri bagi investasi asing, dan mulai mengembangkan kebijakan ekonomi
142
pasar yang bertumpu pada pertumbuhan. Untuk menjamin pengembangan
investasi, memerintah mengeluarkan Undang-Undang Penanaman Modal Asing
tahun 1997, dan Undang-Undang Penanaman Modal Dalam Negeri tahun 1968.
Kemudian, kebijakan ekonomi pasar Indonesia ditidaklanjuti dengan dilahirkannya
paket kebijakan pengelolaan hutan antara ain melalui Undang-Undangn Pokok
Kehutanan No.5 tahun 1967, PP No 33 tahun 1970 tentang perencanaan Hutan,
dan PP No.21 tahun 1970 tentang Penguasaan Hutan. Paket kebijakan tersebut
menciptakan iklim kondusif bagi perusahaan-perusahaan (termasuk perusahaan
asing) untuk memulai kegiatan eksploitasi hutan skala besar secara komersial.
Tercatat bahwa antara tahun 1967-1980, 519 perusahaan diberi HPH yang
mencakup luas 53 juta ha. Hasilnya, pada era 70-an Indonesia mengalami timber
boom, dan mulai masuk dalam jajaran negara pengekspor kayu bulat terbesar di
dunia. Tahun 1982, kayu menjadi sumber devisa negara terbesar kedua setelah
minyak dan gas. Sampai dengan Juni 1998 terdapat 651 HPH dengan alokasi
hutan seluas 69,4 juta Ha (Barr, 1998; Kartodirdjo dan Suproono, 1999). Bahkan
dalam sepuluh tahun terakhir, sumbangan devisa dari industri kayu mencapai
20% dari total perolehan devisa Indonesia (Suara Pembaharuan, 13 Maret 1999).
Diperkuat oleh data terakhir yang dikeluarkan oleh FWI (2002) menunjukan bahwa
pertumbuhan kontribusi total ekspor Indonesia dari sektor kehutanan ini paling
tinggi, tercatat dari tahun 1992-1997, untuk industri pulp dan kertan mencapai
37%, rotan 8% dan plywood 2%.
Selama tahun 1980-1985 pemerintah mengeluarkan sejumlah peraturan yang
mengharuskan adanya peningkatan pasokan kayu bulat untuk kebutuhan
peningkatan industri perkayuan dalam negeri dengan alasan untuk kebutuhan
peningkatan nilai tambah yang kemudian dilanjutkan dengan penghentian
ekspor kayu bulat. Pada tahun 1981, pemerintah mengeluarkan kebijakan tentang
industri kehutanan terpadu yang berbasiskan kayu lapis. Kondisi ini melahirkan
dominasi industri kayu lapis yang kemudian menggiring Indonesia memasuki
jajaran negara pengekspor kayu lapis terbesar di dunia. Pada tahun 1987 Indonesia
tercatat menguasai 58% dari total ekspor kayu lapis dunia. Pada Akhir tahun 80-
an, beberapa wilayah pemasok bahan baku kayu (seperti Sumatera Utara dan
Kalimantan Timur) mulai mengalami kelangkaan kayu akibat eksploitasi berlebihan.
Bila pada tahun 1950, diperkirakan luas kawasan hutan mencapai 168 juta ha
(FWI, 2002). Sementara pada tahun 1985 diperkirakan tinggal 119 juta ha
(RePPProt, 1989). Artinya dalam 35 tahun tersebut terjadi perusakan hutan seluas
143
914,000 ha per tahun, atau 49 juta ha seluruhnya (Barber, 1997). Pemerintah
menganggap kondisi ini mengancamkan industri perkayuan nasional yang masih
terus diandalkan dapat memberikan kontribusi nyata bagi perolehan devisa negara.
Semenjak itu cadangan minyak bumi Indonesia mulai menipis. Pemerintah
kemudian mengeluarkan alternatif baru bagi upaya perolehan devisa dari sektor
kehutan ini, yaitu diajukan kebijakan tetang pengembangan Hutan Tanaman
Industri (HTI) yang diiringi dengan pengembangan industri pulp dan kertas, dan
pengembangan perkebunan besar Kalapa Sawit.
Pergeseran kebijakan dengan tujuan untuk merespon pasar dan meningkatkan
industri hilir yang menekankan pada upaya peningkatan nilai tambah (added
value). Namun Kebijakan seperti ini, malah pada akhirnya menimbulkan
konglomerasi negatif yang ditandai dengan munculnya sistem pemasaran bersama
(Kartel) yang akhirnya menimbulkan konsekwensi sehingga kayu bulat rata-rata
dihargai begitu rendah. Kondisi ini memberikan implementasi meningkatnya
tekanan terhadap sumberdaya hutan yang begini dicerminkan oleh tingkat
kerusakan dan degradasi hutan yang begitu tinggi (antara 1,3-2,4 juta ha).
Sebenarnya, pemerintah juga mengeluarkan kebijakan yang berkaitan dengan
aspek rehabitasi dan konservasi sumberdaya hutan dan lingkungan, antara lain
kegiatan reboisasi dan penghijaun, pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI),
retifikasi berbagai perjanjian internasional berkaitan dengan tujuan konservasi
seperti CITES. Namun demikian, beberapa kebijkan ini dalam pelaksanaannya
justru tidak sejalan dengan tujuan rehabitasi dan konservasi itu sendiri. Sebagai
tontoh, program pembangunan HTI dalam pelaksanaannya kegiatan pembangunan
HTI memperlihatkan paradoks, dimana program HTI menjadi salah satu faktor
penyebab kerusakkan hutan alam.
b. Permasalahan yang Dihadapi.
Hasil dari pengeksploitasi hutan yang berorientasi profit, memperlihatkan gejala-
gejala telah terjadi penyusutan hutan. Bila tahun 1950 luas tutupan hutan
mencapai 162 juta hektar, sedangkan pada tahun 1984, Tata Guna Hutan
Kesepakatan (TGHK) menyebutkan luas kawasan hutan Indonesia mencapai 144,5
juta ha yang diklasifikasikan menjadi hutan produksi tetap, hutan produksi
terbatas, hutan lindung, suaka alam dan hutan wisata serta hutan konversi.
Selanjutnya, studi FAO/GOI Frorestry Project pada tahun 1990 memperkirakan
144
luas kawasan yang ditutupi hutan tinggal 109 juta ha atau 57% dari luas daratan
Indonesia. Dan data terakhir tahun 2000 luas tutupan hutan tinggal 98 juta hektar.
Sementara itu, diperkirakan laju kerusakan hutan Indonesia berkisar antara
600.000 Ha hingga 1.3 juta ha per tahun pada tahun 1994(GOI dan Asian
Develoment Bank/ADB, 1994), bahkan dari data terbaru kerusahan tersebut telah
mencapai 2 juta ha per tahun (FIW, 2002). Hasil analisis FWI (2002) mencatat
bahwa kondisi hutan Indonesia pada saat ini, terlihat bahwa 59 juta ha masih
merupakan hutan alam yang belum dialokasikan, 41 juta ha telah rusak dan
hutan yang berpotensi untuk rusak, dan 9 juta ha hutan yang sudah mengalami
deforestasi akibat pengkonversian hutan tersebut bagi industri-industri kayu atau
juga bagi perkebunan dan transmigrasi.
c. Penyebab Tingginya Deforestasi.
Beberapa penyebab tingginya tingkat deforestasi di Indonesia, disebabkan oleh
beberapa faktor (gambar 1), yang akan dijelaskan berikut ini
Gambar 3. Proses Pengrusakan Hutan dan Deforestasi di Indonesia (FWI, 2002)
145
1. Pengeksploitasian yang berlebihan akibat kebijakan masa lalu
Menurut FWI (2002), Tingginya tingkat deforestasi di Indonesia merupakan hasil
dari politik dan sistem ekonomi yang korupsi pada masa orde baru yang melakukan
pengekploitasiaan sumber daya alam secara berlebih-lebihan. Pesatnya
pertumbuhaan perusahaan-perusahaan pengolahan kayu melalui kebijakan Hak
Pengusahaan Hutan (HPH) dan juga Hutan Tanaman Industri (HTI) pada masa
rezim Suharto. Memperburuk kondisi hutan di Indonesia.
2. Ekspolitasi Hutan Berlebihan Melalui Pemberian Hak Pengusahaan Hutan
(HPH)
Meskipun sebenarnya konsensi tebang bermaksud untuk memelihara lahan hutan
dan bentuk menjamin permanent produksi, namun tidak dapat dipungkiri secara
fakta, malah konsensus inilah penyebab utama deforestasi kerusakan hutan. Ketika
kebijakan pemberian konsensi hak pengelolaan hutan (HPH) dimulai pada tahun
1967, pada tahun itu baru 4 juta m
3
kayu hasil tebangan yang semuanya digunakan
untuk kebutuhan domestik. Namun pada tahun 1977 hasil tebang ini meningkat
mencapai 28 juta m
3
, dengan tujuan ekspor mencapai 75% dari produksi tersebut.
Bahkan catatan pada pertengahan tahun 1998, tidak kurang 39 juta ha lahan
telah dibuka untuk konsesi tebang ini, yang ditanggani oleh 14 juta ha lahan
dikelola oleh 5 perusahaan inhutani, 8 ha perusahaan swasta join ventura, serta
8 ha lainnya dikonversikan untuk kebutuhan non hutan (Fox et al, 2000). Bahkan
pemegang kekuasaan (militer) juga mengambil keuntungan dari konsensi ini,
dengan menguasa1,8 juta ha lahan hutan (Brown, 1999:12,40).
Tercatat ada sekitar 10 perusahaan kayu besar yang menguasai dan memimiliki
HPH (tabel 7). Dekatnya koneksi antara rezim Soeharto dengan sebagain besar
para kelompok pengusaha kayu ini sehingga mengakibatkan pengawasan dan
tranparansi, yang akhirnya mengakibatkan buruknya manajemen hutan. Para
penggusaha yang memilki hak tebang ini memiliki tanggung jawab yang sangat
rendah sekali terhadap keberadaan hutan lestari, bahka banyak fakta yang
menyebutkan tidak ada sedikitpun kemauan para penggusaha tersebut mau
memperbaiki situsai tersebut. Diawal tahun 2000, Departemen Kehutanan
melaporkan bahwa hampir semua hutan yang mesuk dalam program HPH ini
berada dalam kondisi yang membahayakan.
146
FWI (2002) juga mencatat beberapa tindakan tanpa izin yang dilakukan oleh
perusahaan-perusahaan kayu ini yang mendorong semakin memperparahnya
kondisi kehutanan Indonesia. Izin tebang yang diberikan kepada para perusahaan-
perusahan pemilik HPH, mendorong mereka untuk membuka lahan baru seperti
jalan sebagai suatu fasilitas
3. Kebijakan Hutan Tanaman Industri
Kebijakan Hutan Tanaman Industri (HTI) demi memacu pertumbuhan industri
kayu khususnya di Sumatera dan di Kalimantan malah kemudian memberikan
dampak terburuk meningkatkan tingkat perusakan hutan. Menurut PP No. 7/
1990, pembangunan HTI dapat dibangun pada hutan produksi dan pemberian
HPHTI memungkinkan para pemegangnya untuk menebang habis areal konsensinya
dan menanaminya kembali dengan jenis pohon komersial. konsesi HTI
memperbolehkan Siapa saja dapat mengajukan permohonan untuk memperoleh
HPHTI dengan periode 35 tahun. Dengan insentif finansial bagi pemilik hak
HPHTI ini menjadikan bahwa kebijakan ini semakin jelas debagai suatu skema
yang tidak tepat, karena justru meningkatkan permintaan akan areal-areal hutan
alam untuk alasan pemenuhan bahan baku. Akibat hutan-hutan menjadi semakin
rusak, sebab areal yang benar-benar ditanami lebih sedikit dari pada yang
ditebangi.
4. Transmigrasi
Transmigrasi merupakan program pemerintah Indonesia jangka panjang, yaitu
pemindahan penduduk dari daerah yang padat penduduknya (jawa dan Bali) ke
daerah yang tidak padat penduduknya terutama di pulau Sumatera dan Kalimantan.
Selang waktu 1989-1993 telah dibuka lahan baru untuk program ini mencapai
1,7 juta ha lahan. Program-program trasmigrasi ini terkadang telah melanggar
batas taman nasional, seperti yang terjadi pada kasus taman nasional Wasur di
Irian Jaya, melalui program tranmigrasi lebih kurang 3.000 ha lahan hutan
tanaman nasional ini telah dikonversikan untuk desa-seda pemukiman transmigrasi
pada tahun 1994 (Decree, 1994, dikutip dari FWI, 2002).
5. Penebangan Liar
Penebangan liar sudah sangat meluas di Indonesia, Sepanjang tahun 2000,
disebutkan bahwa 50-70% suplai kayu Indonesia berasal dari penebangan liar.
147
Analisis yang dilakukan oleh kator Meteri Kehutanan dan Perkebunan pada tahun
tersebut menyebutka bahwa penebang liar ini bahkan telah terorganisir secara
baik dan memiliki backing dan jaringan yang luas, hal ini telah sangat mengancam,
penerapan hukum di bidang kehutanan bisanya terjadi areal-areal konsesi/
kesepakatan, areal hutan yang tidak terkunci (anlolocated forest areas), bekas
areas kesepakatan, areal hutan kesepakatan, dan hutan-hutan dilindungi. Bahkan
penebangan liar ini juga telah menyebar pada daerah-daerah konservasi , karena
daerah-daerah ini memiliki kayu-kayu yang lebih potensial bila dibandingkan
dengan hutan-hutan produksi.
Analisis kantor Menteri Kehutanan dan Perkebunan juga menyebutkan para pelaku-
pelaku penebangan liar ini juga berasal dari: (a) para pekerja yang berada di
areal kehutanan itu sendiri dan juga orang-orang lain yang datang ke daerah
tersebut; (b) investor-investor, seperti pedangan-pedangan kayu, pemilik izin
pengelola hutan kesepakatan (IPK), dan juga pembeli sendiri yang membeli kayu
penebangan liar dari industri-industri penolahan hasil hutan. Dan (c) Juga oknum-
oknum yang berasal dari pemerintahan sendiri baik itu sipil maupun militer, dan
bahkan juga para penegak hukum.
Para oknum-oknum penebang liar ini terus bertumbuh kembang, karena mereka
merasa tidak akan memperoleh imbalan yang lebih banyak apa bila hanya
melakukan transaksi kayu melaui cara yang lebih legal. Akibatnya tindakan-
tindakan korupsi baik oleh sipil maupun militer semakin memakin merajalela dan
meluas baik dalam hal penebangan liar dan juga pemasaran hasil-hasil hutan
tersebut. Apkindo (2000) mencatat bahwa ekspor kayu dari penebangan liar asal
Sumetera dan Kalimantan tercatat lebih kurang 1juta m
3
kayu untuk memenuhi
pasar Cina dan beberapa negara tujuan ekspor lain (FWI, 2002).
Kenapa hal ini bisa terjadi?, Tidak lain adalah adanya kebijakan agresif dari
pemerintah untuk melakukan ekspansi dalam sektor kehutanan tanpa
mempertimbangkan keberlanjutan ketersediaan suplai kayu Indonesia dalam
jangka panjang. Sangat cepatnya ekspansi pada sektor ini tidak lain didorong
adanya ketidakseimbangan antara suplai kayu sendiri dengan permintaan terhadap
sektor ini. Ketidakseimbangan ini lah yang mendorong munculnya penebangan
liar. Scotland (2000) memperkirakan ketidak seimbangan suplai dan demand kayu
pada tahun 1997-1998 (tabel 7). Dia menyebutkan bahwa permintaan pada sektor
ini mencapai 84.140.000 m
3
kayu sedangkan suplai dari penebangan legar (dengan
148
izin) hanya mencapai 51.527.000 m
3
. Larsen (2002) menyebutkan bahwa
penebangan liar ini memberi kontribusi terhadap kerusakan hutan di Indonesia
mencapai 10 juta hektar. Departemen Kehutanan (Dephut) memperkirakan
Indonesia mengalami kerugian hingga mencapai Rp 30,42 triliun per tahun akibat
kegiatan penebangan liar dan peredaran hasil hutan illegal ini (Kompas, edisi 17
Juni 2003). kerugian tersebut belum termasuk terancam punahnya spesies langka
dan terganggunya habitat satwa. Sedangkan Bank Dunia pada tahun 2002
memperkirakan kerugian akibat dua kegiatan tersebut hanya 600 juta dolar AS
per tahun (Kompas, edisi 17 Juni 2003)
Pemerintah telah mengeluarkan kebijakan untuk pengurangan porsi hak tebang
pohon bagi HPH guna mengatasi terjadinya tingkat deforestasi di Indonesia.
Namundemikian, dampak lain dari kebijakan ini kemungkinan besar akan
meningkatnya penebangan liar, karena tuntutan pasar akan kebutuhan kayu yang
masih tetap tinggi sebagai bahan baku bagi industri berbagan baku kayu,
diperkirakan setiap tahunnya kebutuhan kayu untuk industri-industri pulp dan
kertas saja tidak akan pernah kurang dari 35-40 juta m
3
pertahunnya (Jakarta
Post, edisi 9 mei 2002)(catatan: kapasitas industri pulp dan kertas Indonesia
75-80 juta m
3
per tahun(FWI, 2002).
6. Kebakaran Hutan
Belakangan ini masalah kebakaran hutan semakin menarik perhatian internasional,
sebagai isu lingkungan dan ekonomi, khususnya setelah bencana El Nino (ENSO)
1997/98 yang menghanguskan lahan hutan seluas 25 juta hektar di seluruh
dunia (FAO ,2001; Rowell dan Moore 2001). Kebakaran hutan dianggap sebagai
ancaman bagi pembangunan berkelanjutan karena efeknya yang langsung terhadap
ekosistem (United Nation International Strategy for Disaster Reduction 2002),
kontribusinya terhadap peningkatan emisi karbon dan dampaknya terhadap
keanekaragaman hayati.
Pada tahun 1997/98 Indonesia mengalami kebakaran hutan paling parah diseluruh
dunia. Walaupun perhatian dunia terus meningkat terhadap masalah kebakaran
hutan yang tidak dikehendaki, bencana pencemaran kabut asap masih terus terjadi
lagi pada tingkat berbeda di lokasi yang sama pada beberapa negara Asia Tenggara;
tingkat tertinggi terjadi pada bulan Agustus-Oktober 2002, sejak peristiwa
kebakaran hutan tahun 1997 (CIFOR, 2003).
149
Kebakaran hutan di Indonesia bersumber pada 3 (tiga) sebab utama yaitu 1)
manusia karena kesengajaan, 2) manusia karena kelalaian, dan 3) peristiwa alam.
Menurut Dirjen PHPA atau Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam (1994) 90 %
penyebabnya adalah perbuatan manusia sedangkan 10 % -nya disebabkan oleh
peristiwa alam.
7. Perluasan Lahan Pertanian Tradisional
Dalam tulisannya The Effects of Economic Crisis on Small Farmer and Natural
Forest Cover in the Outer Islands of Indonesia., Willian Sunderlin menyebutkan
bahwa pengaruh krisis ekonomi akan memberikan dampak utama bagi peningkatan
tingkatan deforestasi karena pembukaan lahan pertanian lokal. Menurut Sunderlin,
Agibisnis akan menjadi primadona kembali sebagai sarana untuk keluar dari krisis.
Akibatnya ada kebijakan memperluas areal pertanian, dan ini mengancam
keberadaan hutan. Selama bertahun-tahun Departemen kehutanan dan Perkebunan
telah memberikan ijin kepada 454 usaha untuk menebang habis 4 juta hektar
dari 26,6 juta hutan konversi. Kebun Sawit luasnya 2,4 juta ha pada awal 1998
dan ada rencana untuk menambah 1,5 juta ha pada akhir tahun. Sekitar 50
proyek investasi asing mempunyai rencana mengembangkan 900.000 ribu ha
kebin sawit, kebanyakan di Kawasan Indonesia Timur (KTI). Peningkatan harga
coklat diperkirakan akan meningkat areal kebun coklat di Sulawesi Selatan dari
160.000 ha tahun 1997 hingga 500.000 ha tahun 2005. Disisi lain Udang juga
kini menjadi komuditi lain yang harganya juga meningkat. Akibatnya di Kalimantan
Selatan ratusan ha hutan bakau ditebang untuk dijadikan tambak udang.
8. Dampak dari Sektor lain (Pertambangan, Pembangunan Jalan dan
Inftrastruktur)
Pertambangan
Dalam tulisannya Suderlin (1999) menyebutkan bahwa perkembangan dan
pembukaan lahan baru pertambangan juga memberikan dampak besar bagi kondisi
hutan Indonesia, karena hampir sebagian besar lokasi dan potensi pertambangan
berada pada areal hutan, bahkan pada kawasan hutan yang dilindungi, seperti
pertambangan batubara di taman Nasional Kutai dan Taman rekreasi Bukit Soeharto
di Kalimantan Timur dan Taman Nasional Lorenz di Irian Jaya.
150
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Sunderlin (1999) menunjukan bahwa
pertambangan menjadi daya tarik setelah agribisnis pada masa pasca krisis, karena
pendapatan diperoleh dalam dolar sementara biaya dikeluarkan dalam rupiah.
Cadangan sumberdaya mineral di kawasan hutan cukup besar mencakup 204 juta
ton batu bara atau 6,7% dari cadangan nasional; 370 juta ton besi atau 51% dari
cadangan nasional, 375 juta ton nikel atau 71% dari cadangan negara.
Pada bulan Februari 1998 sudah diberikan 50 Kontrak Karya (KK) untuk
pertambangan emas, nikel, permata dan batu bara. Yang dikhawatirkan adalah
bahwa beberapa KK ini diberikan di kawasan lindungan.
Pembukaan lahan bagi perluasan jalan dan Infrastruktir lain
Pembangunan dan pelebaran jalan merupakan salah satu penyebab tidak lansung
perubahan fungsi hutan. Pembangunan fasilitas jalan (dan jembatan) juga
memungkinkan pembangan hutan. Sunderlin (1998) menyebutkan bahwa ada
pembangunan jalan-jalan utama yang membuka lahan hutan telah memberikan
dampak negatif bagi lingkungan karena perlakukan penebangan yang tidak hati-
hati. Kasus yang berhubungan dengan ini seperti perencanaan pembangunan
jalan yang menghubungkan antar areal urban di Kalimantan. terbengkalainya
proyek pembukaan jalan sejauh 190 km yang menghubungkan Palangka Raya
dengan Buntong yang sudah dimulai sejak1988, ditunda hingga tahun 2005 karena
kekurangan dana.
III. KONSERVASI SUMBER DAYA KELAUTAN DAN MARITIM.
Sumber daya kelautan, merupakan salah satu asset pembangunan Indonesia yang
penting, karena kontribusi produk domestik bruto pemanfaatan sumber daya
kelautan tersebut telah mncapai 22% pada tahun 1990 (Dahuri et al., 1996).
Sementara sumber daya darat seperti hutan dan lahan semakin terbatas akibat
alih fungsi, eksploitasi yang berlebihan, dan kebakaran hutan. Disamping itu,
pertambahan populasi penduduk yang hidup di kawasan pesisir meningkat pesat
mendorong tekanan terhadap sumber daya kelautan semakin besar. Diperkirakan
60% dari populasi Indonesia bermukim di pesisir, dan 80% dari pembangunan
Industri mengambil tempat di pesisir (Hinrichson 1997). Banyak pembangunan
sektoral, regional, swasta dan masyarakat mengambil tempat di kawasan pesisir,
seperti budi daya perikanan, resort wisata, industri, pertambangan lepas pantai,
151
pelabuhan laut, dan reklamasi pantai untuk perluasan kota. Sehingga salah satu
pilihan, untuk pembangunan jangka panjang adalah memanfaatkan potensi sumber
daya kelautan, yang terdapat di wilayah. Dengan konsentrasi penduduk yang
sebagian besar (60%) berada di wilayah pesisir, secara nyata telah menimbulkan
tekanan pada lingkungannya.
a. Penyebab terjadinya kerusakan lingkungan pesisir dan laut.
1. Mangrove
Menyusutnya hutan mangrove akibat kebijakan pemerintah, seperti program
pengembangan tambak ekstensifikasi, kebijakan perluasan kawasan industri,
pembukaan lahan untuk pembukaan persawahan pasang surut, pemukiman dan
lainnya. Beberapa ahli menyebutkan akar masalahnya antara lain belum adanya
satu persepsi pengelolaan mangrove dan kurang koordinasi dalam tata ruang
daerah.
Seperti yang dikutip dari kompas edisi Selasa 23 september 2003, menyebutkan
bahwa pembabatan hutan mangrove secara besar-besaran di Kalimantan Timur
ini mencapai puncaknya ketika terjadi krisis ekonomi pertengan tahun 1997.
Krisis ekonomi yang disertai tepuruknya nilai tukar rupiah dari sekitar Rp. 2.300
menjadi sekitar Rp. 16.000 per dolar AS, telah menyebabkan harga udang windu
yang sebagian besar di ekspor menagalami kenaikan harga yang semula hanya
Rp. 30.00, menjadi Rp. 18.00 per kilogramnya. Hingga sekarang harga itu pun
masih tetap bertahan berkisar Rp. 120.000 per kilogram. Kenaikan harga udang
tersebut telah memicu masyarakat untuk beramai-ramai membuka tambak udang.
Hutan mangrove pun kemudian menjadi korban. Ribuan hutan mangrove dengan
seketika telah berubah menjadi tambak udang. Di Kota Bontang misalnya dari
sekitar 13.000 hektar hutan mangrove yang ada, separohnya sudah berada dalam
kondisi kritis. Begitu juga di Delta Mahakam, yang merupakan muara dari sunggai
mahakam yang luas 1.500 km2 sekarang telah menjadi tambak udang. Akibatnya
sekarang telah tejadi pendangkalan di sunggai tersebut sehingga kapal-kapal
berukuran besar saat ini sudah sulit masuk ke sunggai Mahakam yang merupakan
sungai utama untuk menjangkau daerah pendalaman Kaltim.
152
Pengubahfungsian hutan mangrove ini tidak hanya untuk tambak udang tapi
juga untuk kawasan pemukiman. Berikut beberapa masalah pelestarian hutan
mangrove:
Kurangnya peran aktif pemerintah daerah dalam upaya rehabilitasi akibat
kerusakan mangrove, di antaranya melalui peningkatan pemahaman serta
komitmen di tingkat eksekutif maupun tidak adanya kepastian hukum,
terutama dalam penetapan (zonasi) area mangrove. Perambahan hutan
mangrove secara sistematis dan sporadis, berbentuk perubahan status
kawasan khususnya untuk perluasan tambak, perubahan status menjadi
kawasan permukiman, industri, untuk diambil kayunya dan keperluan lain.
Teknik pemanfaatan sesuai penetapan kebijakan pengelolaan mangrove,
sehingga pemanfaatannya pun dapat terus berlanjut, kurang dijalankan;
Mekanisme rehabilitasi dan pendanaan oleh pemerintah, swasta maupun
masyarakat (para pemangku kepentingan) untuk berbagai program
rehabilitasi hutan mangrove, belum memadai.
2. Terumbu karang
Total luas terumbu karang Indonesia 85.707 km2, dengan jenis keanekaragaman
hayati terumbu karang meliputi: >450 jenis karang batu; 2.500 jenis moluska;
1.512 jenis krustasea; 850 jenis spons; 745 jenis ekinodermata; 2.334 jenis
ikan; 30 jenis mamalia laut; 38 jenis reptilia laut (Sumber: COREMAP). Kondisi
terumbu karang sudah Indonesia semakin mencemaskan. Sekitar 14 persen dalam
kondisi kritis, 46 persen telah mengalami kerusakan, 33 persen dalam kondisi
masih cukup bagus dan hanya 7 persen kondisinya masih sangat bagus.
Lima ancaman utama yang disebabkan oleh perbuatan manusia yang merusak
terumbu karang:
1. Penangkapan ikan dengan menggunakan bahan racun sianida yang
disemprotkan ke arah kepala terumbu karang agar ikan mabuk. Ikan yang
diambil masih hidup, baik sebagai ikan hias atau untuk makanan. Proses
kegiatan tersebut pasti akan merusak karang secara menyeluruh;
2. Penangkapan ikan menggunakan bahan peledak. Bom diledakkan di wilayah
karang dangkal. Letakan selain membunuh ikan yang dikehendaki, juga dapat
membunuh larva, benur dan karang;
153
3. Pengambilan batu karang untuk bahan bangunan dan produksi kapur;
4. Sedimentasi dan pencemaran, sebagai akibat penggundulan hutan di daerah
hulu DAS, dan air limbah pertanian, pemukiman dan industri.
5. Penangkapan ikan dalam jumlah berlebihan (over fishing), meskipun tidak
merusak terumbu karang secara langsung, tetapi dapat mengurangi jumlah
dan keragaman ikan dan biota invertebrata lainnya.
Penangkapan ikan dengan racun
Penangkapan ikan dengan bahan peledak
Pengambilan batu karang
b. Hal-hal yang sudah dilakukan.
1. Penanggulangan Kerusakan Mangrove
KLH, melaksanakan Program Pantai dan Laut Lestari (P2LL), dengan tujuan utama
mengendalikan pencemaran dan perusakan ekosistem pesisir dan laut, berdasar
Peraturan Pemerintah No 19 tahun 1999. P2LL adalah program kerja pengendalian
kerusakan dan pemulihan kerusakan terumbu karang dan mangrove. Prinsip dasar
pelaksanaan P2LL, adalah SAFE yaitu simple (sederhana), accountability
(terukur), focus (terfokus) dan enforcement (penegakan hukum) yang harus
didukung melalui komitmen para kepala daerah dan DPRD setempat.
Kegiatan yang telah diupayakan adalah peningkatan pemantapan koordinasi untuk
pelaksanaan operasional pelestarian sumber daya alam pesisir dan laut, meliputi:
Pengendalian kerusakan ekosistem pesisir dan laut (terumbu karang,
mangrove, padang lamun)mengadapi abrasi pantai, kegiatan reklamasi,
pengusahaan pasir laut melalui penetapan baku kerusakan;
Pengendalian pencemaran ekosistem pesisir dan laut: dumping di laut,
pembuangan limbah langsung ke laut oleh kegiatan industri, pelabuhan,
anjungan minyak lepas pantai, National Contingency Plan for Oil Spill, baku
mutu laut, resor wisata pantai/pulau;
Pengendalian kerusakan dan pencemaran pesisir dan laut lintas batas negara:
Marine Electronic Highway (MEH) di Selat Malaka dan Selat Singapore,
154
Regional Programme for Building Partnerships in Environmental Protection
and Management for the East Asian Seas (PEMSEA), Coordinating Body on
the Sea of East Asia (COBSEA) and the South China Sea, Indonesia-Norway
for Barelang (Batam Rempang-Galang) & Bintan Island Development
Management, Oil Spill Preparedness and Response & Oil Spill Response Action
Plan in the East Asian Seas (OSPAR & OSRAP);
Rehabilitasi dan budi daya mangrove di Pantai Siwa, Kabupaten Wajo,
Sulawesi Selatan (Colaborative Environmental Project in Indonesia, CEPI-
Canada).
2. Pengendalian Pencemaran Ekosistem Pesisir dan Laut
Kegiatan yang dilakukan dalam pengendalian pencemaran ekosistem pesisir dan
laut adalah :
Penyelesaian Rancangan Keppres tentang Penanggulangan Darurat Tumpahan
Minyak di Laut/National Contingency Plan untuk oil spill (NCP);
Wisata bahari/resort wisata pantai atau pulau (eco-resort)
IV. APAKAH INDONESIA SUDAH MELAKUKAN KONSERVASI SDA? APA YANG
HARUS DILAKUKAN?
Dari hal-hal yang telah disebutkan diatas, dan apabila kita hubungkan dengan
definisi konservasi itu sendiri. Dapat disebutkan bahwa Indonesia sama sekali
belum melakukan konservasi sumber daya alam yang benar. Walaupun ada beberapa
program dan kebijakan yang diarahkan untuk hal tersebut, namun kebijakan
yang malah menyimpang dari konsep konservasi tersebut lebih banyak lagi.
Sehingga tidak ada keseimbangan dalam hal pengelolaan sumber daya alam,
akibatnya kerusakan SDA menguap kepermukaan.
Hal ini akan terus menjadi masalah besar yang akan dihadapi dalam upaya
konservasi SDA di Indonesia. Hal ini disebkan karena kebijakan dan peraturan
yang ada sekarang yang kurang kondusif mendukung kegiatan konservasi itu
sendiri dan lemah dalam implementasinya, serta datangnya tantangan dari luar,
yaitu godaan pasar akan permintaan beberapa komoditi sumber daya alam
Indonesia, seperti permintaan kayu misalnya bukan hanya untuk kebutuhan
155
industri dalam negeri tetapi juga dari luar. Begitu juga halnya yang terjadi di
kawasan laut Indonesia, banyaknya minat terhadap keanekaragaam kekayaan
laut Indonesia, mengancam berbagai biota laut di Indonesia.
Apa yang harus di lakukan pemerintah untuk menghadapi hal tersebut?
1. Segera mewujudkan konsep Good Governace dalam pengelolaan SDA di
Indonesia. Karena akar dari berbagai permasalah pengelolaan dan
pengrusakan SDA di Indonesia tidak lain adalah system ekonomi yang korupsi.
Kekuasaan dan kedekatan yang dimiliki oleh beberapa kelompok orang
dijadikan sebagai penghalal untuk mengrekruk kekayaan pribadi. Tidak
adanya prinsip Good Governace ini pula lah yang membuat bahwa semua
aturan yang dibuat dalam pengelolaan SDA di Indonesia hanya dibuat untuk
keuntungan segelentir pihak penguasa. Sehingga hal utama yang perlu
diperbaiki pada masa akan datang, adalah perlunya political will yang lebih
tranparansi, jelas, dan komitmen yang kuat dari pemerintah bagi penegakan
hukum.
2. Tingginya permintaan terhadap produk-produk alam di Indonesia, akan
menjadi malasah pelik yang paling sulit akan diatasi. Walaupun aturan yang
dibuat sudah sangat kuat, tapi dengan godaan pasar yang besar akan
sangat sulit mengontrol tindakan-tindakan illegal. Seperti penebangan liar,
penangkapan ikan dengan alat tanggap yang tidak mendorong keberlanjutan,
pertambangan liar dan lain-lain Menggatur sisi suplai tidak lah cukup, tetapi
mungkin sudah saatnya konsep DEMAND MANAGEMENT mulai
diterapkan untuk mengatur para pengelola SDA di Indonesia, baik untuk
industri dalam negeri dan juga terhadap permintaan dari luar negeri.
Manajemen permintaan dalam negeri misalnya dengan memperketat aturan
lingkungan bagi industri pengolahan bahan baku (kayu/ikan dll) dari alam
terhadap syarat bahan baku yang bisa digunakan/diproses dll. Sedangkan
untuk permintaan ekspor (KLH) dapat bertindak sebagai diplomasi lingkungan
dengn berperan aktif mendorong para negara-negara pengekspor produk
dari Indonesia untuk memberikan syarat lingkungan yang tinggi untuk setiap
produk alam Indonesia ang masuk kenegara mereka, misalnya kayu yang
hanya kan diterima adalah kayu yang sudah mendapat surat izin tebang dll.
156
a. Keterkaitan dengan Isu Lain.
D
i
s
e
b
a
b
k
a
n
o
l
e
h
Politik
Ekonomi
-
Otonomi
Daerah
Budaya
MASALAH
KONSERVASI
SDA INDONESIA
M
e
n
y
e
b
a
b
k
a
n
- Kekuatan politik yang
dimiliki digunakan sebagai
jalan untuk dapat memiliki
kekuasaan mengelola
kekayaan alam korupsi
- Salah dalam penentuan
kebijakan bermuara
karena kasus maslah yang
diatas
Bencana Alam
(Banjir, longsor dll)
- OTDA dijadikan sebagai
alasan untuk mengekruk
kekayaan SDA untuk
meningkatkan PAD
- Beberapa budaya kuno,
seperti peladangan
berpindah dll (tapi
pengaruhnya sangat kecil)
Politik
Lingkungan
- Rendahnya Perhatiaan
pemerintah dan elit politik
terhadap lingkungan,
sehingga isu lingkungan
tidak pernah menjadi
agenda politik
Masalah Sosial
& Kemiskinan
- Sulitnya lapangan
pekerjaan mendorong orang
untuk membuka lahan dan
mencari penghasilan dari
alam
Teknologi
- Penggunaan teknologi yang
tidak menjamin keberlanjutan
(seperti jaringan pukat
harimau, bom dalam
penangkatan ikan,
Konflik (tata guna
lahan, sosial)
157
SPEKTRUM KONFLIK-KONFLIK SUMBER DAYA ALAM DALAM RUANG
LINGKUP PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP
I. PENDAHULUAN
Secara umum arti konflik adalah pertikaian terbuka antara dua atau lebih indifidu/
kelompok yang saling berseberangan.
II. KONFLIK-KONFLIK HORIZONTAL
a. Konflik Daerah Kawasan Hutan
Konflik sumberdaya hutan yang sering terjadi adalah konflik antara masyarakat
di dalam dan sekitar hutan dengan berbagai pihak dari luar yang menganggap
memiliki otoritas dalam mengelola sumberdaya hutan. Pihak-pihak di luar
masyarakat tersebut antara lain; pemerintah (pusat dan daerah), pengusaha hutan
swasta dan BUMN, pengusaha kayu dan hasil hutan non kayu, pengelola kawasan
konservasi, dan aparat keamanan. Konflik yang demikian dapat digolongkan
sebagai konflik vertikal.
Rusak dan berkurangnya kualitas sumberdaya hutan telah menyebabkan pula
dampak sosial yang sangat berarti. Hal ini, juga ditunjukan oleh semakin
meningkatnya bermacam konflik baik vertical maupun horizontal. Berbagai konflik
ini, terjadi terutama dalam kaitan dengan pemanfaatan dan pemilikan lahan
(tenurial) yang banyak terjadi di kawasan hutan yang telah dibebani HPH, HTI
dan kawasan-kawasan yang dikonversi menjadi perkebunan besar dan areal
trasmigrasi. Berbagai konflik itu timbul, karena kehadiran HPH dan sejenisnya
dianggap telah meminggirkan dan bahkan meniadakan keberadaan dan pranata
sosial masyarakat. Akibatnya, akses masyarakata dengan sumberdaya hutan
berkurang bahkan tertutup. Lebih jauh lagi, kehadiran HPH dan sejenisnya tidak
disertai secara memadai dengan upaya pengakuan dan perlindungan terhadap
sistem-sistem pengelolaan sumberdaya hutan yang telah dikembangkan
masyarakat berdasarkan pengetahuan tradisionalnya.
Selain dipandang telah mengabaikan hak-hak masyarakat adat dan masyarakat
lokal atas sumberdaya hutan, dan membatasi serta menutup akses atas sumberdaya
hutan, kehadiran HPH bahkan diduga telah diwarnai pula oleh kasus-kasus yang
158
menunjukan adanya proses kriminalisasi aktifitas-aktifitas masyarakat yang
memanfaatkan sumberdaya hutan. Dalam beberapa kasus, telah terjadi pula proses
marjinalisasi dan viktimisasi hak-hak, kepentingan, dan akses masyarakat adat
dan masyarakat lokal atas sumberdaya hutan sebagai sumber kehidupan, serta
atas kekayaan sosial dan budaya masyarakat adat dan masyararakat lokal (social
and cultural cost). Proses tersebut dibarengi dengan proses pemiskinan struktur
yang berlangsusng secara sistematis dalam kehidupan politik, ekonomi, social
dan budaya.
Pada era reformasi konflik ini makin marak dan keras, beberapa camp HPH dibakar
dan jalannya diblokir sehingga tidak bisa beroperasi. Di Kalimantan Timur sebagai
salah satu propinsi yang kaya akan sumberdaya hutan konflik antara HPH/HTI
dengan masyarakat adat terus berlanjut dan meluas. Konflik-konflik yang terjadi
pada umumnya karena wilayah adat mereka telah diambil alih dan tanaman tumbuh
mereka digusur bersamaan dengan penebangan kayu oleh HPH dan land clearing
oleh HPHTI. Konflik sumberdaya hutan dapat meliputi :
Konflik lahan yang berupa masalah tumpang tindih penggunaan lahan,
sengketa lahan, penyerobotan lahan dan perladangan liar.
Konflik sumberdaya hutan/alam yang ada di atas lahan seperti penjarahan
dan pencurian kayu dan hasil hutan lainnya
Konflik sosial/etnis, misalnya antara pendatang dan penduduk asli.
Namun seringkali, konflik itu bersifat multi-dimensi atau campuran dari ketiga
macam konflik di atas. Konflik sumberdaya hutan saat ini tidak lagi hanya bersifat
latent (tertutup) tetapi kebanyakan sudah mencuat (emerging) bahkan bersifat
terbuka (manifest). Pada kondisi ini konflik yang terjadi sudah mencapai eskalasi
yang tinggi dan bersifat konfrontatif.
Diantara kasus-kasus ini adalah:
1. Dayak di Matalibaq vs PT Limbang Praja dan PT Anangga Pundi Nusa
(Barito Pacific Timber Group) sekitar tahun 2001. Kehidupan Dayak Bahau
sejak 1992 terancam dengan kehadiran perusahaan pemegang hak
pengelolaan hutan (HPH) dan dan perusahhan pemegang hak tanamani
industri (HTI) ini. Tahun itu, PT Limbang Praja dan PT Anangga Pundi Nusa,
menetapkan lokasi HTI Trans di kawasan tanah adat Matalibaq. Penetapan
159
itu, tanpa musyawarah dengan warga masyarakat. Lokasi HTI Trans untuk
transmigran dari NTT meliputi tanah adat di kawasan sungai Bengeh seluas
8.400 hektar dan sungai Meritiq seluas 6.800 hektar. Sejak itu, masyarakat
Matalibaq, kehilangan kedaulatan untuk penguasaan, pemilikan, pengelolaan
dan pemanfaatan sumber daya hutan di kawasan tanah adat.
2. Dayak Benuaq Vs Lonsum International, PT London Sumatera (Lonsum)
International pada 1996 menyerobot tanah adat Dayak Benuaq di Kutai,
Kalimantan Timur. PT Lonsum International melakukan operasi pembukaan
lahan untuk perkebunan sawit di tanah adat itu. Mula-mula, pembukaan
lahan milik adat itu diprotes masyarakat adat di Lamin Mancong, Kutai
pada Mei 1996. Di desa Mancong dan sekitarnya akan dibuka seluas 18 ribu
hektar lahan sawit dari tanah milik adat. Pemerintah daerah memaksa
masyarakat setempat menerima kehadiran perusahaan dalam wilayah mereka.
b. Konflik Daerah Perusahaan Pertambangan dan Rakyat Setempat.
Indonesia adalah sumber tambang. Potensinya luar biasa. Penambangan emas di
Papua oleh PT Freeport Indonesia misalnya, merupakan tambang emas terbesar
kelima di dunia, kendati manfaatnya untuk kesejahteraan rakyat belum tampak
benar. Juga, tambang batubara, baik tambang batubara terbuka, maupun tambang
batubara bawah tanah, cukup berlimpah.
Industri pertambangan di Indonesia memang kekurangan investor dan tenaga
ahli untuk mencari dan mengembangkan sumber daya ini. Sejumlah perusahaan
Australia saja sudah menghabiskan lebih dari A$100 juta untuk kegiatan eksplorasi
di Indonesia sejak 1995.
Perlawanan terhadap kegiatan penambangan skala besar di Indonesia terus
menguat. Ini karena timbulnya kesadaran pengaruh pertambangan terhadap
kehidupan dan lingkungan.
Beberapa konflik di daerah-daerah pertambangan adalah:
1. Dayak Kelian vs Rio Tinto dan PT Kelian Equatorial Mining
Sengketa antara masyarakat Dayak Kelian melawan PT Kelian Equatorial
Mining terus berlangsung hingga kini. PT Kelian, yang 90 persen sahamnya
dimiliki Rio Tinto, adalah pemegang kontrak karya penambangan emas
160
terbesar di Kalimantan Timur. Rio Tinto, merupakan perusahaan tambang
raksasa yang berkantor pusat di London dan Melbourne, memiliki saham di
Freeport McMoran, pemilik mayoritas saham PT Freeport Indonesia.
2. Masyarakat Kutai vs UNCOAL
Penduduk kampung Marangkayu, Terusan dan Rapak Lama di Kabupaten Kutai,
Propinsi Kalimantan Timur melakukan protes terhadap Uncoal, perusahaan
tambang minyak dan gas bumi yang berkantor pusat di California, Amerika
Serikat. Pada 8 Oktober 2000, di sekitar wilayah operasi Uncoal, masyarakat
melakukan blokade jalan menuju perusahaan. Sekitar 60 polisi membubarkan
aksi blokade itu. Aksi pembubaran itu menyebabkan 23 orang luka-luka.
Tujuh orang terkena pelu dan 16 orang teridentifikasi mengalami luka-luka
serius akibat pukulan benda keras.
3. Suku Dayak vs PT Indo Muro Kencana
Masyarakat adat Dayak Siang, Dayak Murung dan Dayak Bekumpai harus
berhadapan dengan kekerasan aparat keamanan untuk mendapatkan hak-
hak mereka yang dirampas PT Indo Muro Kencana (Aurora Gold).
Perusahaan tambang emas milik Australia yang mulai beroperasi sejak 1987
di wilayah ini dituduh telah melakukan pelanggaran HAM, pencemaran
lingkungan hidup, perampasan tanah-tanah adat dan penggusuran tambang
rakyat yang dilakukan perusahaan bersama aparat pemerintah, tidak pernah
didengar. Malah, mereka kini mengalami pengulangan nasib buruk, sebagai
korban dari perbuatan yang melanggar HAM.
Peristiwa buruk itu terjadi, lantaran perusahaan terus menerus menolak
bertanggung- jawab atas tuntutan rakyat, serta selalu melibatkan aparat
keamanan dalam sengketa mereka dengan masyarakat. Tidak hanya itu,
perusahaan ini, juga menjalankan praktik-praktik keji dalam penanggulangan
konflik, melalui politik uang, rekrut warga lokal untuk jadi keamanan sampai
dengan membentuk tim-tim masyarakat lokal yang mendapat imbalan untuk
meredam perjuangan rakyat. Seluruh upaya itu pada akhirnya akan melahirkan
konflik horisontal antar warga.
161
4. Dayak vs MINAMATA
Setiap tahun paling sedikit 10 ton air raksa dibuang secara sembarang, ke
sungai dan daratan oleh penambangan emas. Penambang itu beroperasi di
alur 11 sungai besar di Kalimantan Tengah (Kalteng), dan mereka membuang
limbah air raksa ke sungai-sungai itu. Pencemaran air raksa ini sudah
mengancam kehidupan 1,8 juta jiwa penduduk Kalteng. Air dari kawasan
Ampalit mengalir ke Daerah Alur Sungai (Mentaya dan Katingan. Sejak dulu
air 11 sungai yang membelah propinsi seluas 153.560 km persegi itu masih
merupakan sumber air utama penduduk untuk memenuhi kebutuhan sehari-
hari
5. Konflik PT Newmont Nusa Tenggara dan Rakyat Setempat
PT NNT telah melakukan penyerobotan atas hak tanahnya dengan
menempatkan pipa-pipa saluran air tanpa melakukan kompromi masyarakat
setempat selaku. Disebutklan bahwa dengan telah beroperasinya PT NNT,
banyak sekali permasalahan yang muncul, baik masalah ekonomi, sosial
maupun masalah lainnya. Dampak yang paling parah dirasakan oleh
masyarakat adalah bagi mereka yang terkena dampak langsung seperti di
Maluk, Tongo dan Sekongkang. Perubahan kehidupan yang begitu drastis
telah mengejutkan warga yang saat itu belum sepenuhnya siap menerima
kehadiran perusahaan raksasa dengan berbagai masalahnya. Apalagi saat
itu pemerintah pun bahkan turut mendukung keberadaan perusahaan tersebut
dengan cara menjual tanah subur untuk dikeruk yang pada kemudian hari
akan berubah tanah tersebut menjadi tanah yang tidak produktif dan bahkan
akan mewariskan beribu-ribu permasalahan.
6. Konflik PT Freeport dan Rakyat Papua
Sengketa orang Papua atas operasi PT. FI dan pemerintah Indonesia
merupakan sengketa berkepanjangan yang tak kunjung selesai. Perlakukan
kami sebagai manusiaadalah topik gugatan utama orang Amungme-salah
satu suku di pegunungan tengah Papua Barat-yang menderita oleh operasi
tambang emas dan tembaga perusahaan asal Amerika itu.
Pencaplokan tanah adat, pelanggaran HAM, penghancuran tanah adat,
perusakan dan penghancuran ibu bumi, perusakan lingkungan hidup,
penghancuran sendi-sendi ekonomi rakyat, dan pengingkaran eksistensi orang
162
Amungme, adalah fakta yang dirasakan penduduk pegunungan tengah Papua,
dimana operasi tambang Freeport berlangsung. Tidak heran jika frekuensi
protes (meski fluktuatif) terus dilakukan orang Papua untuk menentang
ketidakadilan yang mereka rasakan. Bahkan patut diduga, salah satu
kontributor menguatnya tuntutan merdeka orang Papua dari Republik
Indonesia adalah akumulasi kemarahan mereka terhadap kehadiran Freeport
serta sokongan yang diberikan pemerintah dan militer terhadap perusahaan
itu.
Bencana-bencana akibat kelalaian operasi PT FI terhadap lingkungan hidup
dan masyarakat juga sudah banyak terjadi. Misal, jebolnya Danau Wanagon
sampai tiga kali akibat pembuangan limbah batuan yang sangat besar
kapasitasnya dan tidak sesuai dengan daya dukung lingkungan. Peristiwa
ini terjadi pada tanggal 20 Juni 1998, 20-21 Maret 2000, dan 4 Mei 2000.
Jebolnya danau ini juga berakibat buruk bagi masyarakat yang tinggal di
desa-desa yang terletak di bawah danau serta lingkungan hidup. Selain itu,
peristiwa meluapnya Sungai Ajkwa hingga Sungai Kopi dan Sungai Minajerwi
akibat tidak mampunya lagi sungai Ajkwa menampung tailing yang begitu
banyak. Peristiwa-peristiwa tersebut merupakan bukti kuat betapa PT FI
sangat ceroboh dalam kegiatan penambangannya.
9. Konflik PT. Kaltim Prima Coal dan rakyat setempat
Selama kurun waktu 1993-2002 di lokasi KPC terjadi rentetan kasus
penggusuran yang disertai tindak kekerasan. Demikian juga gejolak muncul
dari karyawan KPC sendiri yang merasa tidak mendapatkan hak-hak yang
seharusnya diperolehnya.
Pada bulan Oktober 1993 perampasan lahan milik penduduk terjadi di desa
Sekerat-Sekurau dengan alasan untuk jalur hijau. Lahan-lahan garapan milik
masyarakat digusur dan dilarang ditanami kembali. Dalam peristiwa ini,
KPC mengerahkan bantuan militer dan aparat kepolisian untuk mengamankan
proses pengambilalihan lahan.
Tanggal 2 Mei 1998, sekitar 50 warga sekitar tambang mendatangi KPC
untuk menuntut ganti rugi lahan. KPC kemudian mengerahkan aparat Kodim
0809 Bontang dan Brimob dari Balikpapan untuk meredakan massa.
163
10. PT. Barisan Tropical Mining Sumsel dengan masyarakat Desa Muara Tiku
Awalnya, wilayah yang dijadikan lokasi penambangan PT. BTM adalah kebun
karet rakyat, kebun buah-buahan, hutan cadangan rakyat ( yang sering
disebut hutan negara), serta hutan peramuan dengan kepemilikan tanah
secara individu maupun komunal.
Masuknya BTM, telah berhasil mengubah pola produksi rakyat itu, karena
lahan-lahan pertanian mereka telah direbut dan sungai mereka telah dicemari
serta munculnya sejumlah papan pengumuman yang isinya melarang berbagai
aktifitas rakyat. Ada 8 desa yang terkena dampak langsung dan 5 desa yang
terkena dampak tidak langsung kegiatan pertambangan PT. BTM. Kedelapan
desa tersebut adalah : Desa Sungai Jambu, Desa Muara Tiku, Desa Embacang
Baru, Desa Embacang Lama, Desa Karang Jaya, Desa Suka Menang, Desa
Rantau Telang, dan Desa Tanjung Agung.
c. Konflik di Daerah Pesisir Pantai.
Dalam pengelolaan sumber daya kelautan (SDK), sering muncul konflik antara
berbagai pihak yang berkepentingan, khususnya di wilayah pesisir yang
pembangunannya pesat. Wilayah pesisir, dimana sumber daya darat dan laut
bertemu, memiliki sumber daya yang sangat kaya, sehingga banyak pihak yang
mempunyai kepentingan untuk memanfaatkannya. Secara umum pihak yang
berkepentingan ini dapat dikategorikan dalam sektor perikanan, pariwisata,
pertambangan lepas pantai, perhubungan laut, industri maritim, konservasi dan
pertahanan/keamanan2. Selain itu sektor pekerjaan umum dan energi juga
mempunyai kepentingan yang relatif besar, terutama dalam perlindungan pantai
dari abrasi, dan lokasi pembangkit listrik tenaga uap.
Setiap pihak yang berkepentingan mempunyai maksud, tujuan, target dan rencana
untuk mengeksploitasi sumber daya tersebut. Perbedaan maksud, tujuan, sasaran
dan rencana tersebut mendorong terjadinya konflik pemanfaatan sumber daya
kelautan. Sektor perikanan mempunyai tujuan untuk meningkatkan produksi ikan
tangkap. Sektor pariwisata bertujuan untuk meningkatkan jumlah wisatawan yang
melakukan snorkelling dan scuba diving. Pengembang kawasan reklamasi bertujuan
membangun kota pantai yang bisa langsung melihat ke pulau, sunset dan pantai
berpasir, sementara, Balai Konservasi Sumber Daya Alam ingin mengkonservasi
keanekaragaman hayati lautnya. Untuk mencapai maksud, tujuan dan sasaran
164
tersebut, masing-masing pihak menyusun perencanaan sendiri-sendiri, dengan
tugas pokok dan fungsinya yang berbeda-beda. Perencanaan dari masing-masing
sektor sering tumpang tindih dan berkompetisi pada ruang laut yang sama.
Tumpang tindih perencanaan dan kompetisi pemanfaatan sumber daya ini memicu
munculnya konflik pemanfaatan di wilayah pesisir.
Konflik dapat juga muncul karena adanya kesenjangan antara tujuan, sasaran,
perencanaan, dan fungsi antara berbagai pihak terkait. Banyak pihak yang
mengambil keputusan menyadari bahwa telah terjadi penangkapan ikan secara
illegal, berkembangnya perusakan ekosistem mangrove, terumbu karang dan
padang lamun, namun tidak ada atau tidak banyak kegiatan pembangunan yang
mengatasi persoalan tersebut. Akar permasalahan konflik ini sering berasosiasi
dengan faktor sosial-ekonomi-budaya dan bio-fisik yang mempengaruhi kondisi
lingkungan pesisir. Konflik tersebut, baik langsung maupun tidak langsung dapat
menyebabkan pihak-pihak yang bertikai, terutama mengurangi minat penduduk
dan Pemerintah Daerah setempat untuk melestarikannya, dan membiarkan
kerusakan sumber daya kelautan berlangsung hingga mencapai tingkat yang
mengkhawatirkan, karena tidak ada insentif bagi mereka untuk melestarikannya.
Fenomena konflik tersebut sebenarnya sudah lama ada, tetapi makin lama makin
banyak jumlahnya dan makin besar skala konfliknya. Konflik pemanfaatan SDK
dan jasa lingkungan muncul di Teluk Jakarta, di Banyuwangi dan di Kepulauan
Natuna. Konflik antara pengelola pariwisata dan pengelola kawasan konservasi
laut. Konflik antara nelayan tradisional dengan nelayan komersial, sehingga terjadi
pembakaran kapal nelayan di Sumatera Utara.
d. Konflik Sengketa Tanah.
Gerakan reformasi yang dimulai tahun 1998 tampaknya menjadi roh baru dalam
membangun kesadaran rakyat akan hak atas tanah. Arti penting tanah bagi
kelangsungan hidup mulai dirasakan sebagai hak mutlak seiring dengan krisis
ekonomi yang menginpit kehidupan sebagian besar. Namun, sayangnya, gelombang
reformasi belum mampu memberikan perlindungan secara tegas terhadap hak-
hak rakyat. Sehingga konflik tanah sepertinya tak pernah berakhir. Ironisnya,
banyak kalangan melihat konflik tanah semata masalah hukum dan mengabaikan
jalinan kepentingan ekonomi politik yang berada di baliknya
165
Ketidak puasan yang dialami sejak orde baru ini secara kumulatif mendorong
petani melakukan gerakan reclaiming. BPN, misalnya mencatat pada 1999-Juli
2003 terdapat 1.080 kasus sengketa tanah. Jika diklasifikasikan, paling tidak
terdapat tujuh kelompok sebagaimana dipaparkan berikut:
1. Sengketa Perkebunan
Bentuk sengketa di atas tanah perkebunan paling sering terangkat
kepermukaan. Bisa demikian karena lahan yang disengketakan rata-rata
ratusang hektar dan melibatkan masyarakat dengan institusi, baik swatas
maupun pemerintah. Sepanjang era reformasiini terdapat 164 kasus. Propinsi
Sumatera Utara menjadi daerah yang paling banyak memilki kasus tanah
perkebunan, 29 persen. Penyerobotan dan pendudukan lahan perkebunan
yang sudah dilekati dengan hak guna (HGU) menjadi model penuntutan
kembali hak atas tanga. Ganti rugi yang terlalu rendah dan pola intimidasi
biasanya menjadi alasan kuat masyarakat untuk menguasai kembali tanah
garapannya.
Selain ganti rugi, sengketa tanah ini disebabkan oleh tanah perkebunan itu
berasal dari lahan garapan yang telah diusahakan turun menurun. Dengan
alasan itu, masyarakat mengklaim tanah perkebunan itu sebagai tanah ulayat
atau adat yang menjadi hak masyarakat adat untuk dijadikan garapan.
Beberapa contoh kasus sengketa di tanah perkebunan diantaranya adalah
kasus di Sumatera Utara, rentang waktu 1970-1990, tanah rakyat yang
dikonversi menjadi perkebunan dan lahan baru mencapai 500.000 ribu
hektare. Dari jumlah tersebut masyarakat yang menjadi korban penggusuran
berjumlah 250.000 kepala keluarga. Pasca Mei 1998, tercatat 554 kasus
tanah di Sumut yang terkonsentrasi di semua tingkatan. Dari jumlah tersebut,
97 persen di antaranya persoalan tanah antara rakyat dengan pihak
perkebunan. Di Jawa Barat, sekitar 150 ribu ha tanah statusnya masih
bermasalah. Data di LBH Bandung menyebutkan, sejak tahun 1984-2003,
tercatat sekitar 40 kasus pertanahan. Dari jumlah ini, 17 kasus dipicu oleh
Hak Guna Usaha (HGU). Hal sama terjadi di Jawa Tengah. Mayoritas kasus
tanah yang selalu meruncing pada konflik kekerasan itu dipicu oleh terbitnya
HGU atas tanah garap petani tersebut.
166
2. Sengketa Kawasan Hutan
Berkaitan dengan kasus ini, bisanya masyarakat menuntut hak atas tanah
yang dalam kenyataanya masih tercatat dalam kawasan hutan, baik yang
secara fisik masih atau sudah tidak berfungsi lagi sebagai hutan. Dalam
kasus seperti ini, BPN mengambil sikap tidak memproses, kecuali ada
pelepasan kawasan hutan dari mentri kehutanan. BPN mencatat 9 sengketa
tanah di atas tanah kawasan hutan dan tak satu pun selesai di proses
3. Sengketa Kawasan Perumahan
Dalam kasus ini, biasanya terjadi pendudukan tanah yang telah dibebaskan
oleh pengembang untuk perumahan atau perkantoran. Kasus ini muncul
lantaran proses pengalihan hak dilakukan melalui perantara. Masyarakat
memberikan kuasanya kepada panitia atau wakilnya untuk bertransaksi
dengan pengembang.
Kasus yang muncul merupakan klain masyrakat akibat ganti rugi yang diterima
terlalu rendah atau bahkan belum diterima. Untuk kasus seperti ini, BPN
tidak mengambil sikap karena yang terjadi adalah masalah perdata antara
masyarakat dan wakilnya atau panitia penjualan yang harus diselesaikan di
pengadilan.
4. Sengketa Objek Landreform
Sengketa tanah di atas tanah obyek landreform, bekas partikelir, dan bekas
hak barat. Dalam kasus diatas tanah obyek landreform terdiri sengketa antara
penggarap bukan penerima redistribusi atau badan hukum.
Dalam sengketa tanah bekas partikelir, mereka yang bersengketa adalah
ahli waris bekas pemilik tanah pertikelir dan pengembanga atau masyarakat
dengan tuntutan pembatalan hak guna bangunan (HGB). Sementara untuk
kasus tanah bekas hak barat, sengketa yang teradi antara masyarat dan
masyarakat dengan tuntutan pembatalan hak asal konversi hak barat. BPN
mencatat 118 kasus atau 9 persen kasus masuk dalam kategori ini.
5. Sengketa Hak dan Batas
Kasus tanah yang terjadi akibat tumpang tindih hak atau sengketa batas.
Kasus ini banyak terjadi karena maish banyak tanah yang belum bersertifikat.
167
BPN menyebut angka sekitar 40 persen tanah belum bersertifikat. BPN
membedakan tumpang tindih status tanah dan sertifikat.
Tumpang tidih status tanah dapat terjadi karana tanah belum terdaftar
atau belum bersertifikat. Tidak kurang dari 287 kasus tumpang tindih status
tanah yang ditangani oleh BPN. Kasus tumpang tindih sertifikat terjadi
pada tanah yang sudah memilki sertifikat, artinya sertifikat tanah tersebut
dobel. BPN mencatat 10 kasus seperti itu dan 9 di antaranya sudah selesai
diproses. Tumpang tindih sertifikat tanah menjadi sengketa terbesar, yaitu
27 persen. Kasus ini banyak terjadi di Pulau Jawa dengan 197 kasus. DKI
Jakarta, 25 persen dan Jawa barat merupakan wilayah dengan kasus terbayak.
6. Sengketa Keputusan Pengadilan
Sengketa demikian terjadi berkaitan dengan pelaksanaan putusan
pengadilan. Pihak yang kalah dalam sengketa tidak menerima keputusan
dan meminta BPN memberikan keputusan sesuai dengan yang dikehendaki.
Dalam hal ini BPN akan tetap melaksanakan putusan pengadilan. Kasus
seperti ini berada pada peringkat kedua setelah tumpang tindih status tanah.
Kasus sengketa tanah akibat dilakukannya putusan pengadilan yang masuk
ke BPN berjumlah 256 kasus, dengan 80 persen kasusnya tersebar di Pulau
Jawa.
Dalam beberapa kasus juga terdapat putusan pengadilan yang tidak dapat
dilaksanakan. Tanah yang disengketakan telah berubah status maupun
kepemilikan. Dengan kata lain, obyek tereksekusi tidak ada lagi. Sebab lain
adalah putusan pengadilan perdata dengan pengadilan Tata Usaha Negara.
e. Konflik Antar Daerah.
Dampak lain Otonomi daerah adalah mendorong tumbuh suburnya egoisme daerah.
Sebab, dengan orientasi PAD, pemerintah kabupaten/kota cenderung mengelola
daerahnya berdasarkan prinsip administrasi. Sebagai contoh konflik tentang
pemanfaatan sumber air antara kabupaten dan kota di beberapa daerah di Jawa
Tengah, seperti Kota Semarang dengan Kendal, Surakarta dengan Boyolali. Begitu
pula konflik pengelolaan Segara Anakan antara Kabupaten Ciamis (Jabar) dan
Kabupaten Cilacap (Jateng).
168
Begitu juga dengan konflik yang terjadi di Blora dan Bojonegoro, Jatim. Selama
ini di Cepu, Kabupaten Blora, ada perusahaan minyak internasional Exxon Mobil.
Bertahun-tahun kantor Exxon Mobil berada di Cepu, meski wilayah kerjanya di
dua kabupaten itu. Namun tiba-tiba kemudian ditemukan cadangan minyak
terbesar di Bojonegoro. Pemerintah dan DPRD Bojonegoro menuntut kantor Exxon
pindah ke Bojonegoro.
Masih banyak lagi konflik antar pemda daerah yang pada umumnya menyangkut
batas administratif wilayah.
III. KONFILIK VERTIKAL.
a. Konflik Kewenangan Pusat dan Daerah dalam Pengelolaan Lingkungan.
Dalam kaitan dengan pemberlakuan penerapan otonomi daerah Januari 2001,
kekhawatiran makin memburuk-nya kondisi lingkungan hidup di daerah ini sulit
dihapuskan.
Pelaksanaan otonomi daerah, khususnya yang berkaitan dengan pengelolaan
lingkungan hidup dihadapkan pada tarik-menarik kepentingan dalam pengelolaan
sumber daya alam. Kecenderungan perebutan porsi pemanfaatan kekayaan alam
di daerah terjadi baik antara pemerintah pusat dengan daerah maupun antardaerah
sendiri Dampak dari keadaan ini sudah barang tentu mengancam kelestarian
lingkungan hidup untuk menunjang pembangunan berkelanjutan dan sejalan
dengan itu juga akan mengancam kelangsungan mata pencaharian dan hidup
masyarakat setempat.
Selain itu, secara kelembagaan, pengelolaan lingkungan hidup di daerah juga
dianggap oleh pemerintah pusat masih sangat lemah. Keadaan ini makin
bertambah lagi karena banyak kepala daerah dan elite daerah yang tidak peduli
dengan masalah lingkungan hidup. Mereka bahkan ada yang sudah mengeluarkan
kebijakan politis, yang justru mengorbankan lingkungan hidup.
Hal tersebut juga diperjelas olah Prof Dr Sudharto P Hadi MES, Ketua Program
Studi Magister Ilmu Lingkungan (PS MIL) Universitas Diponegoro Semarang dalam
Hari Bumi 22 April 2001. Banyak kebijakan yang dikeluarkan daerah dalam
menerapkan otonomi daerah, selama empat bulan terakhir telah banyak
mengabaikan aspek lingkungan. Bahkan, ada daerah nekat menerbitkan peraturan
169
daerah (perda) yang mendukung eksploitasi sumber daya alam (SDA) di kawasan
hutan, demi meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD). Ini terjadi, karena
kewenangan pemerintah kabupaten/kota yang demikian luas di era otonomi,
sehingga mendorong daerah meluncurkan berbagai kebijakan yang lebih banyak
ditujukan pada pendapatan daerah, dan cenderung mengabaikan lingkungan.
Sebagai contoh kasus di salah satu kabupaten di Jawa Timur mengizinkan perluasan
penambangan kapur sebagai bahan baku semen. Padahal daerah penambangan
itu merupakan kawasan karst yang harus dilindungi. Otonomi daerah ternyata
dipandang sebagai peluang bagi negara lain mengirimkan limbah ke kabupaten/
kota yang bersedia menjadi daerah pasokan dengan iming-iming kompensasi
yang bisa memperbesar kantung PAD. Bahkan berbagai tawaran limbah datang
dari Singapura, Jepang, dan Jerman
Tarik-menarik kepentingan membuat masalah lingkungan tidak akan mudah
dipecahkan. Tanpa ada pemecahan yang kongrit dan kesadaran banyak pihak
terhadap pentingnya pengelolaan dan memperhatikan masalah-masalah
lingkungan.
b. Konflik Masyarakat Daerah TPA dan PEMDA.
LEBIH dari 1,5 tahun lalu, tepatnya antara tanggal 11-15 Desember 2001,
Pemerintah Kota Bekasi pernah menolak segala macam sampah buangan asal
Jakarta. Ribuan ton sampah yang setiap hari menumpuk itu, tidak dibolehkan
nyampah di tempat buangan akhir (TPA) Bantar Gebang. Anggota DPRD Kota
Bekasi sudah menolak, rencana perpanjangan kontrak baru per Desember 2003.
Protes yang dilayangkan oleh DPRD Bekasi tersebut tidak lain adalah juga wujud
keberatan rakyak Bantar Gebang Bekasi karena lebih 15 tahun sudah daerah
meraka sebagai tempat buangan limbah orang Jakarta tersebut. Konflik itu terus
berlangsung lama bahkan terjadi pembakaran terhadap mobil truk truk sampah
milik Dinas Kebersihan DKI oleh massa di Sumur Batu, Bantargebang, Bekasi.
Kejadian pertama tanggal 15 November, dan yang kedua kalinya tanggal 1
Desember 2001 malam.
Karena kasus-kasus tersebut maka kemudian Pemprov DKI menpersiapkan tiga
tempat pengelolaan sampah di tiga lokasi yakni di Duri Kosambi (Jakarta Barat),
Bojong Jonggol (Jawa Barat), dan Cakung (Jakarta Utara). Kendati begitu,
170
kapasitas tiga tempat itu tak dapat menampung seluruh sampah DKI. Setiap hari
DKI menghasilkan 6000 ton sampah. Sementara tiga tempat pengelolaan itu
hanya bisa menampung maksimal 4000 ton.
Rencana Pemprov DKI tersebut juga mendapat penolakan dari masyarakat Bojong,
sekitar 400 warga Bogor mendatangi Gedung DPRD dan Balaikota DKI Jakarta,
Rabu (30/7) siang. Mereka berunjuk rasa hingga nekat membuang sampah ke
pelataran kedua gedung itu.
Masalah sampah di DKI tidak akan pernah kelar, apa bila tidak ada upaya
pengolahan sampah yang lebih baik lagi. Pengunaan TPS Jonggol sekarang ini
mungkin saja akan mengalami masalah yang sama setelah beberapa tahun ke
depan.
IV. FENOMENA YANG MUNCUL DARI KONFLIK.
Munculnya berbagai konflik di Indonesia lebih cenderung karena masalah
kepentingan setiap pihak merasa dirinya memeiliki kepentingan terhadap suatu
hal. Baik konflik horizontal maupun vertical semuanya muncul kebanyakan setelah
ada perubahan dan juga pengerusakan terhadap lingkungan yang dirasakan oleh
pihak-pihak yang dirugikan. Artinya bahwa selama ini masalah hukum dan undang-
undang kepemilikan di Indonesia sangat lemah sekali, baik itu lemah dari sisi
persyaratan lingkungannya maupun keadilan akan pembagian hak berbagai
pihak terkait. hukum rimba sepertinya masih tetap berlaku, siap yang kuat dia
lah yang menang.
a. Apa yang harus dilakukan.
Selama ini, kita jarang melihat bahwa konflik yang terjadi disebabkan karena
hal-hal yang telah dilakukan pada masa lalu, artinya segala bentuk peraturan
dan perundnagan kita selama ini yang ada mungkin belum efektif berjalan dengan
baik atau malah memang peraturan tersebut telah salah digunakan.
Seperti yang telah disebutkan diatas maka konflik yang paling banyak terjadi
adalah konflik masyarakat suatu daerah dengan masyarakat pendatang (perusahaan
besar yang beroperasi di daerah tersebut) dan pada umumnya baru dirasakan
telah terjadi masalah atau telah menjadi konflik setelah ada masalah lingkungan
dan juga hak-hak adat yang direngut. Artinya, bahwa pemerintah harus:
171
1. Mengembangkan peraturan-peraturan yang bertujuan untuk mencegah konflik
(bertindak di hulu masalah), artinya peraturan-peraturan yang sudah ada
terutama tentang tata ruang, masalah penegakan hukum pelaksanaan aturan
lingkungan bagi perusahaan-perusahaan besar harus dikaji ulang dan
dilakukan perbaikan.
2. Membentuk suatu kajian untuk pengelolaan konflik (bertindak di muara
masalah).
Sebenarnya usaha kedua tidak akan berat lagi untuk dipecahkan apa bila usaha
satu telah terlaksana dengan baik. Tetapi untuk menegakkan aturan ini, kembali
lagi bahwa konsep Good Governace harus segera ditegakan. Walaupun peratuan
yang dibuat telah kuat, namun apa bila tidak ada good will dari pemerintah
sendiri untuk mewujudkannya tidak ada maka akan sulit untuk dilaksanakan.
Artinya selama ini, kebijakan yang sudah ada bukan hanya lemah karena tingginya
KKN di Indonesia, tapi juga adanya kesenjangan antara kebijakan dengan
implementasi. Gap itu terjadi karena tidak adanya monitoring dari pelaksanaan
kebijakan dan rendahnya kemampuan untuk mengevaluasi apakah kebijakan
tersebut sudah efektif atau belum ketika dilaksanakan.
Gambar 1. Gap antara kebijakan dan Implementasi
Sedangkan untuk memecahkan masalah untuk ketika konflik tersebut terjadi,
dapat dengan mempertimbangkan hal yang kembangkan oleh Environment
Protection Agency (USA) mengembangkan konsep alternative dispute resolution
(ADR), khususnya untuk masalah konflik lingkung di masyarakat. Hal-hal yang
dikembangkan dalam ADR ini adalah: Convening (or Conflict Assessment),
Facilitation, Mediation, Consensus Building, dan An Ombudsman.
Kebijakan
Implementasi
Monitoring Evaluasi
Kebijakan
Implementasi
Monitoring Evaluasi
172
173
DAFTAR PUSTAKA/BAHAN BACAAN
Literatur:
Aditjondro, George J., 2003, Pola-pola Gerakan Lingkungan di Indonesia, Pustaka
Pelajar,
Booth, A. 1998. Agricultural Development in Indonesia. Allen & Unwin Ltd.
Coleman, Daniel A. 1994, Ecopolitics; Building a Green Society, Rutgers University
Press,
Dahuri, R., J. Rais, S.P Ginting dan M.J Sitepu, 2001., Pengelolaan Sumber Daya
Pesisir dan Lautan Secara Terpadu, Prandya Paramita, Jakarta
De Rivero, Oswaldo, 2001, The Myth of Development, Zed Books
Dixon, John A., Margulis, Sergio, Integrating the Environment into Development
Policymaking, 1994
Djajadiningrat, Surna T., 2001, Untuk generasi Masa Depan : Pemikiran, tantangan
dan permasalahan lingkungan, Penerbit Aksara Budaya,.
Dryzek, John S., 1997, The Politics of the Earth; enviromental Disscourse, Oxford
University Press
Eckersley, Robyn, 1992, Environmentalism and Political Theory, State Univesity of
New York Press
Khor, Martin, 2001, Rethinking Globalization : Critical Issues and Policy Choices,
Zed Books
Lechner, Frank J. and Boli, John, 2000, The Globalization Reader, Blackwell
Publisher
Redcliff, Michale, 1984, Development and the Environmental Crisis: Red or Green
Alternative, Methmen & Co. Ltd
Senghaas, Hans D., 1977, Orde Ekonomi Dunia dan Politik Pembangunan, Suatu
Pledoi untuk Politik Disosiasi, Frankfurt Press.
174
Shiva, Vandana, _____, Water Wars, Insist Press
Sutrisno, B. Alamsyah, Amri, N. Ali, Optimalisasi Pengelolaan Sumber daya Mineral
Dalam Paradigma Otonomi Daerah, 2001, Universitas Pembangunan Nasional
Veteran Yogyakarta.
Todaro, Michael P., 1983, Economic Development in The Third World: Part III-IV,
Penerbit Ghalia Indonesia.
Wackernagel, M., Rees, W., ______, Our Ecological Footprint, The New Catalyst
Laporan-laporan:
Adisasmito, W., Handoko, Chrisandini, A. Sugandhy & Gunardi (editors). 1998.
Mitigation Assessment of Climate Change in Indonesia. Indonesia Country Study
on Climate Change: Country Study Program. State Ministry of Environment Republic
Indonesia, Jakarta.
Forest Watch Indonesia, 2001, Potret Keadaan Hutan Indonesia, Bogor, Indonesia:
Forest Watch Indonesia dan Washington DC : Global Forest Watch
International Institute for Sustainable Development (IISD), 1999, Indicators for
Sustainable Development: Theory, Method, Applications,
Kementerian Lingkungan Hidup, 2002, Laporan Status Lingkungan Hidup Indonesia.
Jakarta
LPEM-FEUI, 2003, Rencana Pertumbungan Ekonomi Periode 2004 2006, laporan
penelitian, Universitas Indonesia Jakarta.
Suntana, A.S, at.al. 2000. Agenda 21 Sektoral: Agenda Kehutanan untuk
Pengembangan Kualitas Hidup secara Berkelanjutan. Proyek Agenda 21 Sektoral,
kerjasama Kantor Kementrian Lingkungan Hidup dengan UNDP, Jakarta.
UNDP, Capacity Assessment and Development, January 1998
World Bank, 1994, Making Development Sustainable, Washington DC
_________, 2001. INDONESIA: Environment and Natural Resource Management
in a Time of Transition, Washington DC
175
Artikel/jurnal/kertas kerja/makalah ilmiah:
Ekawan, Rudianto, Beberapa isu Pengelolaan Sumber daya Mineral dipandang
dari Ekonomi Sumber daya Alam, 2001, ITB
Fahri, Sabilal, Menjual Hutan Tanpa Menebang Pohon, makalah Falsafah
Sains(PPs 702) Program Pasca Sarjana / S3. Institut Pertanian Bogor. 2002,
Bogor
Fuad, FH. Kehutanan Indonesia Pasca Pemberlakuan UU No. 41 Tahun 1999 :
Antara Keberlanjutan Dan Maraknya Konflik. 1999 http://www.arupa.or.id/
papers/28.htm
Handayani, Ines and Basyaib, Hamid, History : Still Our Greatest Teacher, 29
Oktober 2001, Majalah Tempo Aksara.
KLH, Tanggapan dan Usulan Perbaikan atas Penyempurnaan RUU Tentang
Pemerintahan Daerah, draft, 2004, Jakarta
Laksmi, Up For Grabs, 29 Oktober 2001, Majalah Tempo Aksara.
Makarim, Nono A, Rewriting The Autonomy Manual, 29 Oktober 2001, Majalah
Tempo Aksara.
Muhadi, Ruslah, Pengaruh Otonomi Daerah Terhadap Pengelolaan Pengusahaan
Pertambangan, 2001, PT. INCO Tbk.
Sarjono, Setjo dan Susilo, Bambang, Tantangan Industri Pertambangan Dalam
Kerangka Otonomi Daerah, 2002, PERHAPI.
Senghaas, Hans D., Alternatif Politik Pembangunan Dunia Ketiga?, Mei 1979,
LP3ES - Prisma
Setjipto, R.B., Pengelolan Sumberdaya Air Tanah Di Indonesia Perspektif Pada
Abad 21, makalah
Sibarani, Ronald, Mining-Minerals-Sustainable Development Versus Lingkungan
Hidup di Indonesia, 2002, PERHAPI.
Sinjal, Daud, On a Leash Roping in The 368 Regencies, 29 Oktober 2001,
Majalah Tempo Aksara.
176
Soelityo, Ukar W. dan Mujib, Konvergenisasi Ekonomi antar Daerah dalam Era
Otonomi Daerah di Indonesia, 2001, Puslitbang Teknologi Mineral dan Batubara.
Raka, Gede, Transformasi Birokrasi Menuju Good Governance, Makalah, Februari
2000
Winanto, M. Ajie PH, Permasalahan dan Potensi Sumber daya Mineral dalam Era
Otonomi Daerah, 2002, PERHAPI.
Artikel dan berita di majalah/koran/internet:
Ginting, L. Bahorok. Kompas Edisi Sabtu 24 Agustus 2003
Ruliantu, A. Levianer. D.Arjanto, Biarkan Penyu Jangan Diganggu, Tempo Majalah
Mingguan Edisi No 52/XXVIII/28Februari-5 Maret 2000
Ruliantu, A. D Aryanto, Selimut Kentut yang Panas, Tempo Majalah Mingguan
Edisi 13-20 Desember 1999
Zulkifli, A. I.G.G. Maha. Kekayaan Hayati Kita Menakjubkan. Tempo Majalah
Mingguan Edisi No 16/XXVII/19-25 januari 1999
Zulkifli, A. I.G.G. Maha. Mimpi Buruk Lahan Sejuta Hektar. Tempo Majalah
Mingguan Edisi 15-21 Desember 1998
Zulkifli,A. V.Madjowa. Hantu Laut yang Mengikis Pantai, Tempo Majalah Mingguan
Edisi 17-23 November 1998
Patnistik, A. DKI Tetap Ingin Buang Sampah di Bantar Gebang. Kompas Edisi
Jumat, 29 Agustus 2003
Bencana Lingkungan Buatan Manusia, Kompas Edisi Sabtu 24 Agustus 2003
Bencana Itu Tak Pernah Menjadi Pelajaran, Kompas Edisi Sabtu 8 November 2003
Ingat Tanan Ingat Cuaca, Kompas Edisi Sabtu 24 Agustus 2003
Lahan Gambut dan Kearifan Adat, Kompas Edisi Sabtu 29 Juni 2003
Pelangi in the Media, 16 Oktober 2002
177
Banyak Kebijakan Daerah yang Mengabaikan Aspek Lingkungan, Kompas Edisi,
Kompas Edisi Sabtu, 21 April 2001
Otonomi Daerah dan Kegamangan soal Lingkungan Hidup, Kompas Edisi Kamis,
18 Januari 2001
Jalan Berliku Perjuangan Hak Atas Tanah, Sinar Harapan edisi senin 29 September
2003.
Sekilas Kata Dunia tentang Freeport, kompas edisi Minggu, 23 Februari 2003
Pembakaran Truk Sampah, Pukulan Berat bagi Pemda DKI, Selasa, 4 Desember
2001
Tolak TPST, Warga Bogor Demo ke DPRD DKI,kompas Kamis, 31 Juli 2003
Pencemaran Sampah Bantar Gebang, 18 September 1999, Majalah Mingguan Gatra.
Raport Merah Kehutanan Indonesia, 12-18 Februari 2001, Majalah Mingguan
Tempo.
Konflik Pencemaran laut oleh kapal tanker, 23-29 April 2001, Majalah Mingguan
Tempo
Konflik Ambang Batas Emisi SO2 PLTU di Indonesia, 26 Februari-4 Maret 2001,
Majalah Mingguan Tempo.
Pencemaran Limbah Beracun dari PT Indah Kiat, 18-24 Juni 2001, Majalah
Mingguan Tempo
Pencemaran laut di Indonesia, 28 Juli 2001, Majalah Mingguan Gatra.
Masalah Banjir di Jakarta, 12 Januari 2002, Majalah Mingguan Gatra.
Kegagalan operasi polisi di Tanjung Putting menangkap Cukong Penebangan Kayu
Liar, 24 Februari 2 Maret 2003, Majalah Mingguan Tempo
Sulitnya desa konservasi untuk Bali, 17-23 Maret 2003, Majalah Mingguan Tempo.
Kasus Pencemaran Teluk Jakarta, 27-24 Mei 2003, Majalah Mingguan Gatra
Konflik Reklamasi di Daerah Jakarta, 11-17 Agustus 2003, Majalah Mingguan
Tempo.
178
Nila Ardianie, 2003, Sosialisasi dan Arah Kebijakan Rancangan Undang-Undang
Sumber Daya Air, (www.unisosdem.org)
Penderitaan Panjang Suku Dayak. Asasi Newsletter, Edisi Maret- April 2001 http:/
/www.elsam.or.id/txt/asasi/2001_0304/04.html
Mendukung masyarakat INDONESIA melawan dehumanisasi dan kerusakan
lingkungan yang disebabkan oleh industri tambang, minyak dan gas. http://
www.jatam.org/indonesia/case/nn/nntdoc2.html
Konflik Suku (Etnis)?, Asasi Newsletter Edisi Maret- April 20001. http://
www.elsam.or.id/txt/asasi/2001_0304/04.html
Unisosdem, Catatan Akhir tahun Nusantara : Konflik Politik, Korupsi, dan Kerusakan
Lingkungan, 2003, (www.unisosdem.org)
Jaringan advokasi tambang (JATAM). 2003. Fokus Galian: Kontroversi Re-Negosiasi
Kontrak Karya PT. Freeport Indonesia Edisi http://www.jatam.org/indonesia/
case/kpc/
Jaringan advokasi tambang (JATAM). 2003. Propaganda KPC: Mengubur Kebenaran
Dibalik Gundukan Kebohongan. http://www.jatam.org/indonesia/case/kpc/
Jaringan advocasi tambang. 2003. Lembaran Fakta Kehadiran PT. Barisan Tropical
Mining Di Sumsel, http://www.jatam.org/indonesia/case/kpc/
Situs-situs internet yang sering diakses:
Green Information: www.greeninformation.com
International Institute for Sustainable Development: www.issd.org
Kompas Online: www.kompas.com
The Third World Network: www.twn.og.sg,
Walhi: www.walhi.or.id,
www.gp.org
www.newint.org

Anda mungkin juga menyukai