Anda di halaman 1dari 17

devaluasi IPK sarjana

21 Juni 2012 09:22 Jump to Comments

2 Votes Istilah devaluasi umumnya merujuk pada kondisi terjadinya penurunan nilai mata uang suatu negara terhadap nilai mata uang negara yang lain. Jadi devaluasi juga berarti degradasi. Dengan arti seperti itu maka judul di atas akan merujuk pada kondisi dimana IPK sarjana tidak bisa lagi dijadikan sebagai rujukan yang akurat untuk menilaimutu sarjana tersebut. Lucu juga ya, ternyata yang mengalami devaluasi tidak hanya rupiah kita, tetapi produk sarjana kita khususnya sarjana teknik sipil. Tentang pernyataaan di atas tentunya masih berupa pendapat pribadi, yang dihasilkan dari adanya pertanyaan teman-teman sejawat yang disampaikan kepadaku langsung maupun tidak langsung (seperti pada FB). Bahkan kalau dipikir-pikir, itu kelihatannya bukan pertanyaan, tetapi suatu complaint kepadaku. Maklum aku khan menyatakan diri sebagai guru dari mereka tersebut. Jadi kalau produk lulusannya tidak bermutu, maka itu tentu dihasilkan dari mutu gurunya juga. Oleh karena itu, jika ada pertanyaan seperti itu yang disampaikan kepadaku, maka buru-buru aku juga akan bertanya : Anak UPH ya ?. Tentu saja itu basa-basi, karena kalau yang menyatakan itu langsung kepadaku, tentunya bukan anak-anak didikku. Selanjut perbincangan akan diakhir dengan permintaan seperti ini: Kalau begitu ya pak Wir, nanti mohon disampaikan ya lowongan pekerjaan di tempat kami kepada murid-murid Bapak.. Kita kembali ke IPK lulusan. Jaman saya dulu, yang namanya IPK > 3.00 adalah sesuatu yang istimewa. Maklum, nggak banyak yang punyai nilai seperti itu, akupun dulu nggak sampai seperti itu. Jadi kalau sekarang bisa lulus S3, itu adalah suatu anugrah. Tapi jaman berubah, sekarang kelihatannya berbeda. Sangat banyak dijumpai lulusan sarjana dengan IPK > 3.0, bahkan kalau kurang dari itu dikatakan tidak afdol. Memang sih, itu akan baik jika nilainya memang merujuk pada kondisi seperti yang aku alami dulu. Maklum,

banyak teman-teman yang kecewa ketika dihadapannya adalah anak-anak dengan IPK tinggitinggi, tetapi ternyata oon. Nggak percaya, coba deh kita amati perbincangan saya dengan teman, manajer di suatu perusahaan besar ketika akan merekrut calon pegawai barunya: Manajer: wah ikut konsensus sni ya p.. p kemarin sy wawancara orang lebih parah lagi sy tanya peraturan beton, baja, beban yang dipakai di Indonesia apa saja, dia gak tahu simbol sendi, rol, jepit saja gak tahu. Guru: lulusan sipilkah ? Manajer: tapi lulusan dari univ di ja*ar*a IPK 3,04 .. iya bahkan ketika ditanya : sendi rol, beban terpusat, momen max berapa ? eh dia nyebut angka . . . , padahal sy kan gak ngasih angka . . . . E beton gak tau, E baja juga nggak tahu, katanya besaran E beton 3 x Inersia, maksudnya apa, saya juga gak tahu wah parah p, kayak bukan berhadapan sama orang sipil. p sni yg di bp, yg lama2 kalo mo download, kok website eror p. yg ACI terbaru, bgs juga Guru: itu yang Univ. ***** itu ya. Manajer: iya pak . . . Guru: itu dosennya aja mungkin juga nggak tahu apa itu sendi dan rol. dia bayangkan harus persis rol dan semacamnya itu. Manajer : sekarang mungkin lulusan dipermudah p., karena lihat di ecc u*m, lulusan2 yg daftar di ecc u*m juga IPK-nya tinggi-tinggi, tapi kalau ditest belum tentu Guru : itu *n*g*r* semua ya. Manajer: ntar sy cek lagi pak. . oo, yg saya cek yang nglamar di tempat saya pak, lewat ecc u*m IPK-nya tinggi-tinggi dari berbagai universitas, mungkin sekarang dipermudah agar persaingan lebih mudah ya pak ? ok p mau berangkat dulu. gbu 06:51 Artikel lain yang terkait :

sekolah itu untuk apa sih ? 20 DESEMBER 2010 07:00

Share this:

Surat elektronik Facebook68 Digg Reddit StumbleUpon Twitter6 Cetak

Like this:
Suka 2 bloggers like this.

32 Komentar Filed under informasi, opini

32 Respon untuk devaluasi IPK sarjana

1.

edison manurung 21 Juni 2012 pada 10:07 betul namun yang jadi pertanyaan pak Wir siapakah penyebab devaluasi nilai IPK tersebut ? apakah dosen-dosen yang ketakutan ? ataukah institusi ketakutan kehabisan mahasiswa ? karena sejak saya mengajar sepertinya saya belum pernah ketemu mahasiswa yang memiliki semangat juang untuk belajar, mohon tanggapannya pak wir Balas

wir

21 Juni 2012 pada 10:54 Nggak mudah menjawabnya pak. Ini mungkin imbas dari budaya materiil dan tidak tahu malu yang saat ini sedang melanda negeri ini. Pada budaya tersebut yang menjadi tolok ukurnya khan hal-hal yang bersifat materiil. Bagi mahasiswa, maka mereka lebih menghargai dapat nilai IPK tinggi meskipun untuk itu dengan cara nyontek, atau bahkan pakai joki (dikerjain orang lain). Asalkan tidak ketahuan dong. Proses bagi mereka bukan sesuatu yang penting, bahkan memandangkan dengan prinsip ekonomi, jika bisa dihilangkan saja, mengapa tidak. Toh nanti yang tercantum di transkrip nilai khan hanya nilai IPKnya doang. Bagi dosen, bisa juga demikian. Lebih baik ngasih soal-soal yang mudah, termasuk penilaiannya. Kalau nilainya baik-baik, jelas nggak ada masalah, mahasiswa senang, juga jurusannya. Sekarang ngasih nilai jelek banyak repotnya, bisa-bisa diprotes mahasiswa. Kalau nggak bisa memberi jawaban yang memuaskan berkaitan dengan nilai yang jelek tersebut maka banyak yang nggak sukanya, baik dari mahasiswa juga dari jurusan. Kajurnya pasti pusing juga kalau banyak mahasiswanya yang nggak lulus. Disebutlan dosen KILLER. Jadi intinya dosen yang ngasih nilai jelek, resikonya lebih tinggi untuk tidak disenangi. Apalagi jika terbukti nggak subyektif. Jadi kalau nggak punya idealisme, nggak punya kompetensi maka memberi nilai jelek harus dihindari. Jadi kalau jadi dosen dan jika kriteria keberhasilannya hanya didasarkan pada disenangi atau tidaknya oleh mahasiswa-mahasiswanya sendiri maka tentu cenderung untuk memberi hadiah. Seperti misalnya, materi soalnya gampanggampang (pernah diselesaikan di kelas, jadi cukup dihapal saja oleh mahasiswanya), juga penilaiannya sendiri relatif mudah. Ada penyebab lain juga, banyak dosen yang tidak mau mengembangkan materi yang diajarkan. Itu bisa terjadi karena malas, juga karena tidak kompeten, bisa juga bermaksud tidak membebani mahasiswa. Banyak motivasi deh yang menyebabkan itu semua. Bagi mahasiswa di UPH apakah juga termasuk yang seperti itu atau tidak, saya sendiri tidak bisa memberi jaminan. Maklum, dosennya tidak hanya saya sendiri. Itu diketahui karena dari jumlah mahasiswa yang sedikit itu ternyata banyak juga yang ketika tugas akhirnya, ternyata menghindari saya sebagai pembimbingnya. Dibilangnya pusing, kalau saya yang bimbing, mereka menghindari. Mahasiswamahasiswa yang seperti inilah yang tentu saja, saya tidak bisa menjamin. Adapun bagi mahasiswa yang saya bimbing, rasanya tidak saja menjamin, bahkan ada yang saya coba promosikan hasil penelitiannya. Karena bagi saya, yang disebut keberhasilan menjadi dosen adalah ketika sarjana-sarjana alumninya dapat diakui oleh masyarakat.

He, he, cukup panjang uraiannya. Nggak tahu apakah ini jawabannya cukup memuaskan atau tidak. Balas

2.

Teddy 21 Juni 2012 pada 10:36 Pak Wir, memang itulah kondisi sekarang mahasiswa ingin instan. Juga adanya kondisi Institusi yang mungkin takut kehilangan mahasiswa, yang mana mereka kuatir akan Dicap Intitusi Susah Lulus, dan juga mungkin dosen jaman sekarang mau cari Aman karena kalau tidak memberi nilai Wah atau meluluskan yang harusnya tidak lulus akan tidak populer di kalangan mahasiswa Hal itulah yang mungkin sebagai faktor degradasi lulusan Teknik Sipil, dan pasti ada faktor2 yang lain, demikian pak Wir, Salam Dari Batam Balas

wir 21 Juni 2012 pada 10:59 @pak Teddy, Ternyata mirip ya pak, apalagi kalau institusi atau dosennya tidak mempunyai nilai-nilai idealisme. Jadi meskipun institusi pendidikan itu juga bisnis, tetapi harus ada nilai-nilai mulia yang melatarbelakangi. Jadi kesimpulannya, jangan jadi dosen kalau hanya sekedar cari sesuap nasi ya pak. Salam dari Karawaci. Balas

3.

rotyyu 21 Juni 2012 pada 11:59

Sistem pendidikan dan kebudayaan kita emang salah kayaknya Pak. Balas

4.

caktopan 21 Juni 2012 pada 14:15 Dari pengalaman pribadi, kayaknya IPK itu buat saringan awal saja deh, pak. Sehabis itu ya kompetensi, experience dan capability, yang ini ga bisa diukur pake angka. saran saya sih kalo untuk job application, jangan lihat IPK-nya saja. langsung tes saja, bisa ato engga. Balas

wir 21 Juni 2012 pada 15:18 Strateginya sudah diterapkan pak. Si pewawancara pusing juga, sudah dipilih IPK yang tinggi-tinggi tapi koq hasilnya begitu. Karena itulah pak, dianya curhat ke saya, yang notabene kerja di kampus (penghasil IPK tsb). Balas

5.

Frengki Pardede 21 Juni 2012 pada 19:18 Sebelumnya salam kenal buat pak Wir. Saya Frengki (sedang studi S2 di Jepang). Menarik sekali saya membaca beberapa artikel bapak (sejak saya jd follower beberapa waktu yang lalu) karena ada banyak hal yang bisa memberi pengetahuan bagi saya. Berbicara mengenai IPK, memang saya sependapat bahwa terjadi devaluasi. Tapi, apakah ini dari dampak diberlakukannya sistem seleksi kerja yang selalu menuntut IPK minimal, atau juga menjadikan IPK menjadi standar mutlak kepintaran seseorang, sehingga terbentuk paradigma bahwa IPK kecil identik dengan kemampuan rendah. Padahal di dunia kerja ada banyak faktor penentu, tidak hanya akademis.

Saya ingin sedikit share mengenai kondisi di Jepang. Saya tertarik melihat budaya mahasiswa di Jepang dan juga sistem seleksi kerja di sana. Saya kadang-kadang suka melakukan riset sendiri tentang alasan mereka masuk T. Sipil, seperti misalnya karena suka dengan hal-hal yg nature (soil, rock) atau environment (Seismic, etc). Jadi, mereka sudah dibekali dengan naluri dulu pada umumnya sehingga mereka benar-benar menyenangi studi itu sendiri. Mengenai pola recruitment, di Jepang biasanya recruitmentnya 1 tahun sebelum tahun kelulusan dilakukan seleksi. dan tahap2nya sungguh luar biasa perjuangannya, dari wawancara di kampus, membuat essay, ujian tertulis yang bisa menghabiskan waktu sampai 5-6 bulan.(dan IPK tidak begitu diperhatikan). Memang kita harus akui bahwa Jepang sudah memiliki sistem yang baik. Dulu saya sempat berpikir, apakah devaluasi ini dilatarbelakangi oleh sulitnya mencari kerja dari lulusan T.Sipil semenjak krisis 98 (?) yang akhirnya membuat semua jadi berpikir pragmatis, seperti IPK harus dimaksimalkan supaya memperbesar kesempatan di dunia kerja apapun. Kalau begini, filosofi pendidikan sudah meluntur sepertinya. Mohon maaf buat comment saya kalau kepanjangan pak. (Arigatou..) Balas

wir 21 Juni 2012 pada 23:56 Hallo pak, salam kenal juga. Itulah pak, di Indonesia kelihatannya orang-orang masih suka latah, yang mereka lihat tentang pilihan karir adalah yang dapat menjanjikan kesuksesan materi, seperti misalnya lulusan apa yang kalau kerja langsung dapat gaji besar. Kesuksesan materi tentu saja tidak salah, karena bagaimanapun juga itu semacam jaminan bahwa apa-apa yang akan digelutinya itu memang berharga. Tetapi masalahnya antara minat maupun kemampuan dasar yang dimiliki orang tersebut khan kadang tidak mesti sama. Jadi hasil akhir bisa berbeda, sekedar lolos atau benar-benar penuh passion. Tipe orang-orang yang mencari status sekedar lolos itulah yang kadang tidak peduli lagi akan proses, jadi kalau bisa dicari jalan pintas, maka hal itulah yang akan dilakukan. Berbeda tentunya yang with passion, mereka akan menikmati setiap proses yang berlangsung. Nah untuk yang with passion ini khan yang

namanya minat adalah sesuatu yang signifikan sifatnya. Karena apapun juga jika dikerjakan dengan sungguh-sungguh kadang hasilnya luar biasa. Balas

6.

Panji 21 Juni 2012 pada 20:39 Barangkali karena ipk tinggi itu sendiri dipaksakan ya, pak. Maksudnya, sekolahnya juga yang mengharuskan mhsnya lulus dengan ipk tinggi, kalau msh kurang bisa diperbaiki dengan semester pendek. Balas

wir 22 Juni 2012 pada 00:01 maklum pak, nilai IPK tinggi mahasiswa memang unsur yang membanggakan bagi mahasiswanya sendiri maupun institusinya, seperti misalnya untuk penilaian akreditasi. Yah, suatu pembanding sederhana yang membedakan antara mahasiswa satu dengan yang lain. Oleh karena saat ini nilai IPK kadang meragukan, maka banyak para owner atau pemimpin perusahaan yang meminta rekomendasi secara langsung orang-orang yang dianggap tahu siapa-siapa anak-anak muda yang mempunyai potensi dan sedang mencari kerja. Permintaan seperti itu sering aku terima. Balas

7.

intang 22 Juni 2012 pada 06:03 Setuju pak Wir. fenomena ini muncul sejak era Reformasi ke sini. Pengalaman saya pribadi, bimbingan saya tak sedikit yg berlama-lama lulus demi mengejar IPK 3 keatas, karena tuntutan pasar (ktnya di syarat awal beberapa perusahaan top sdh menetapkan IPK min 3)

Sama pak Wir, jaman saya IPK 3 keatas dalam 1 angkatan paling cuma 4 5 org, dan itupun super sulit mencapainya.. Satu lagi, benar dampak tuntutan pasar (tuntutan standar semakin tinggi) tp tak diimbangi dg kualitas lulusan, lulusan dipermudah dan dipercepat (sebagian/beberapa).. Juga tuntutan akreditasi, dsb Simalakama. Balas

8.

StandAlone 22 Juni 2012 pada 10:07 sesuatu yg bisa bisa dicari di google tidak perlu dihapal. yang penting ketika butuh, tahu keyword yang dibutuhkan. yang penting problem solving attitude dan domain knowledge. kalkulasi sudah ada tool nya. pertanyaan pewawancaranya juga konyol. emang knowledge worker = ensiklopedia berjalan? Balas

wir 22 Juni 2012 pada 11:17 Betul juga, suatu nasehat yang revolusioner. Jadi meskipun manajernya berlatar belakang teknik sipil tetapi mengapa perlu mencari pegawai dari lulusan teknik sipil. Lebih baik yang berlatar belakang IT saja yang diperlengkapi komputer yang terhubung internet. Jadi kalau ada masalah-masalah teknik sipil atau tepatnya berkaitan dengan istilah teknik, suruh googling saja, jika mentok suruh saja bertanya di blog ini. Ikut-ikutan oon. Balas

9.

salatiga2012

22 Juni 2012 pada 11:24 mari Kuliah S1 http://inginpunyarumah.wordpress.com/ Balas

10.

Hadi Alhabsyi 23 Juni 2012 pada 22:59 Saya adalah mahasiswa semester akhir di universitas swasta di jakarta, untuk mendapatkan IPK 3,0 saya sangat bersusah payah. Mungkin jika saya berkomentar atas coment2 bapak-bapak bahwa beginilah mahasiswa zaman sekarang, tidak bisa dikenal kecerdasannya kalau ditanya sekedar saja, sediakan waktu untuk berfikir buat mereka, Jika sudah seperti itu lihat lah perbedaan yang sangat terlihat antara mereka yang senang dengan tekhnik sipil atau tidak senang dengan tekhnik sipil, begitulah cara dosen-dosen saya mengajar, hingga cuma 2 orang saja yang mengambil bagian struktur dalam satu angkatan. Balas

11.

Nando Poerba 25 Juni 2012 pada 02:04 Pengetahuan mahasiswa sekarang berbanding lurus dengan jumlah pulsa yang ada di HP mahasiswa itu sendiri pak. Saat ujian, isi pulsa maka terjawablah soal-soal ujian itu sendiri. Terlalu instan. Balas

12.

Nuri 27 Juni 2012 pada 15:21 hmmm agak susah untuk mengomentarinya ya, karena IPK adalah nilai dai selama dia menimba ilmu, meskipun IPK tidak bisa menentukan keberhasilan/kesuksesan seseorang

di dunia kerja nice info thx sharingnya, kunjungi web kita ya : PT.Magenta Indra Kreasi (spesialis barang promosi) Pulpen promosi, Kaos, kemeja, Topi, Tas, Mug, Thumbler http://www.importirpromosi.com marketing@importirpromosi.com Balas

13.

Lexie Gerung 28 Juni 2012 pada 06:36 Pak Wir, Saya ingat, karena yang lalu saya kerja di Kontraktor Asing, maka selalu saya ditunjuk untuk mewawancarai pegawai baru (engineer). Karena ini perusahaan gede, maka peminatnya banyak. Jadi dari HRD milih hanya candidate dari 5 universitas terkenal di Indonesia, tentunya dengan IPK > 3.. Ternyata hasilnya mengecewakan juga (ini bukan acuan, lho). Pertanyaan hanya berkisar di pengetahuan dasar saja, seperti momen di suatu bentang yang statis tertentu or tak tentu. Salah. Dan ini bukan karena grogi, sebab biasanya di bawa dulu komunikasi yang sangat biasa dulu, santai ., baru mengajukan pertanyaan inti. Hehehe, apa ini gejala bahwa orang yang menekuni bidang teknik sipil, adalah alternatif terakhir? karena trend pekerjaan sudah bukan ini ? Sehingga tidak heran, banyak sales guys yang punya latar lulusan teknik sipil, tapi yang dijajakannya seperti perangkat dapur., apa ini suatu gejala yang baik? Karena namanya sipil, jadi semua bidang bisa di masuki? hehehe, gimana nih . God bless you. Lexie Balas

wir 29 Juni 2012 pada 06:34

Moga-moga anak yang IP-nya 3.0 ke atas dan yang mengecewakan itu hanya oknum-oknumnya saja ya pak Lexie. Tapi nggak tahu, mungkin saja juga kebetulan. Sebagian besar mahasiswa yang mengambil skripsi dengan saya, umumnya tetap bekerja di bidangnya, bahkan banyak yang telah lulus S2 (bidang teknik sipil lagi). Balas

14.

ipanase 28 Juni 2012 pada 21:30 di jurusan ane, elektro, dapat C dah seneng, dapat B dah BERSYUKUR true strory hingga saat ini , Balas

wir 29 Juni 2012 pada 06:40 Yang penting sukses (diakui dan diterima) di masyarakat ya dik. Balas

ipanase 29 Juni 2012 pada 07:18 belum lulus nih om

15.

Joko Sumiyanto 28 Juni 2012 pada 22:06 Malah ada dosen nguji ke mahasiswa saja pertanyaannya salah. Gimana coba??? HahahahahaMas Wir. Saya ingat penjenengan tapi penjenengan pasti lupa saya.

Balas

wir 29 Juni 2012 pada 06:28 ya, agak lupa-lupa ingat, Sama-sama di Pogung khan. Sekarang lagi di manca negara ya. Topik yang diambil apa mas. Balas

16.

Hermanto 28 Juni 2012 pada 23:02 saya salah satu mahasiswa semester 4 di jogja yg baru aja selesai UAS pak. eh he he. saya setuju bgt pak kalau IPK yg tinggi itu belum tentu mencerminkan kompetensi yg tinggi juga. Banyak temen-temen saya yg IPK nya tinggi tapi ya gitu laaah (nggak enak nyebutnya, secara masih sama-sama mahasiswa.hehehe). saya mau tanya pak bisakah mahasiswa disalahkan dalam hal ini mengingat sistem recruitment yg ada sekarang ini memaksa secara tak langsung para mahasiswa secara untuk dapetin IPK min 3. saya mau sedikit sok tau ni pak, kenapa orientasi para mahasiswa sekarang adalah IPK misalnya, IPK si A 2.2, tapi si A bener-bener ngerti ttg materi yang sudah didapet, nah sedangkan banyak perusahaan yang minta IPK > 3. Karena mau ngejar target tersebut, si A ulang lah beberapa mata kuliah biar IPK bisa 3. nah, ngulangkan butuh waktu, apalagi ngulangnya sembari bener2 ngertiin. kesamber duluan deh kesempatan si A. Jadi, si A berpikir mending waktu itu si A ngejar IPK 3 dengan cara apapun biar kesempatan nya ga ilang-ilang, apalagi nyari kerjaan susah. maaf pak panjang, susah bener diubah jadi lebih ringkas lagi.hehehe Balas

wir 29 Juni 2012 pada 06:37

@Hermanto, saya kira artikel di atas hanya membahas oknum-oknum saja dik, jadi jangan terlalu terpengaruh. Tunjukkan saja bahwa anda tidak seperti itu. Sebagaimana ada yang mengatakan bahwa dosen itu menulis hanya sekedar untuk dapat kum, bahkan ada yang mengatakan bahwa saya adalah dosen yang suka curhat. Biar sajalah dan saya mencoba tidak terpengaruh dengan hal seperti itu. Maklum menulis bagi saya adalah sarana untuk menunjukkan bagi saya ada, baik yang ada kum maupun tidak, dinikmati gitu lho. Balas

17.

technospiritual 1 Juli 2012 pada 21:05 Ini tanda tanda kiamat, semua sudah berbolak balik (wolak waleke jaman).. Budak sdh mnjadi Tuan artinya Siswa sdh menjadi Guru, atau Nafsu sdh mnjadi Tuhan atas dirinya sendiri Terkadang saya pernh berfikir: Ibarat seorang koki diberi bahan baku yg busuk lalu diminta utk mengolahnya, agr tidak malu hasilnya diberi nama yg keren dan point yg tinggi shg laku utk di jual atau kebalikannya bahan baku yg bgus nmn koki yg tdk profesional, shg arah dan tujuan yg tdk kesampaian dan hasilnya rsak. Yang lebih parah lg bahan baku busuk dan koki yg tdk profesional Disisi lain jg penah merenung: Misal warung (kampus, red) merencanakan akan mebuat soto, namun bahan baku yg dipilih untuk diolah tidak sesuai dgn harapan, sharusnya tdk perlu pakai bayam, kacang pnjang, atau tepung terigu (dsb.) malah ini dibeli dan ikut dicampur, maka sotonya akan rusak smuanya Balas

18.

Kang Wahyu 4 Juli 2012 pada 23:13 Saya Mahasiswa S1 semester 2 di jurusan Sistem Informasi ,,,, Saya sangat setuju dengan tulisan pak wir ,,, Seharusnya Kampus2 mengajarkan untuk belajar ilmu kehidupan alias pengalaman ,,, Jangan hanya di beri IPK >3 saja tetapi ada tes SKILL sebelum lulus jika skillnya tidak memenuhi syarat maka tidak lulus ,,,, Nah, apa saran pak wir untuk saya agar kedepannya lebih baik dan lulusan mendapatkan pencerahan??? Mohon sarannya ya pak , Balas

wir 5 Juli 2012 pada 01:29 sdr Wahyu, Suatu pencarian yang baik, langkah pertama untuk maju adalah mendapatkan pencerahan. Mulai dulu dari mindset yang dapat berubah karena membaca, mendengar dan melihat. Selanjutnya tetapkan dulu visi ke depan, anda ini mau sekolah mau apa. Sekedar hidup menjadi kaya atau apa. Atau sesuatu yang lain. Setiap orang tentu mempunyai kriteria sendiri-sendiri. Dalam konteks teknik, seperti yang saya sampaikan di kuliah umum di UAJY(Jogja), UPI-YAI(Jakarta) dan UNRIKA(Batam) , ibaratnya mau jadi tukang atau insinyur. Jika hanya sekedar tukang, nggak masalah, mereka juga mampu membuat bangunan-bangunan sebagaimana yang sudah berdiri, sudah bisa kaya atau hidup cukup. Itu tukang, tetapi jika jadi insinyur maka tentunya punya kemampuan seperti tukang, tetapi mampu juga menjawab tantangan baru, yaitu masalah-masalah yang belum pernah ada sebelumnya. Dimana itu semua bisa diselesaikan tidak dengan ilmu trial-and-error atau bisa karena biasa (tukang pakai ini) , tetapi mampu memanfaatkan teknologi dan ilmu pengetahuan. Bahkan jika perlu, jika itupun belum ada maka mampu menciptakannya. Mereka itulah yang sebenarnya patut disebut insinyur, bukan sekedar telah lulus kuliah dan mendapat IP 3.0 Berkaitan dengan hal itu, sebagaimana yang juga sampaikan di kuliah umum tersebut maka strategi yang perlu dilakukan, yang mengacu strategi yang digunakan juga oleh ASCE (American Society of Civil Engineering) adalah menyangkut tiga aspek penting, yaitu: * Knowledge * Skill * Attitude. Dalam hal ini, IP yang ditampilkan oleh para alumni lebih banyak mengetengahkan parameter Knowledge dan sedikit Skill atau bahkan sulit untuk mengukur Attitude tersebut. Jadi pantas saja jika IP-nya tinggi tetapi ketika bekerja kurang baik. Saya juga punya alumni seperti itu, dia ngotot sekali terhadap tugas atau ujian yang berkaitan dengan score yang menghasilkan IPK. Tapi di luar itu, malesnya nggak ketulungan, mau-maunya sendiri. IPK tinggi, tetapi jelas tidak bisa direkomendasikan untuk diajak bekerja untuk suatu target tertentu. Karena adanya tiga parameter tersebut, dan silabus perguruan tinggi tidak bisa mencapainya itu semua, maka jelas-jelas untuk sukses perlu kerja sama yang antara kedua belah pihak. murid dan dosennya. Kampus dalam hal ini sekedar

fasilitator mempertemukan keduanya untuk saling bersinerji mengusahakan agar ke-3 faktor diatas meretas. Jika inovasi dan kreativitas menjadi salah satu kriteria yang perlu diusahakan maka itu juga harus dimulai dari dosennya juga. Jadi dalam hal ini dosen juga perlu menjadi teladan untuk mengupayakan itu. Jadi jangan harap, jika muridnya sudah punya niat, tetapi dosennya juga ogah-ogahan. Nah sekarang siapa yang bisa memulai. Itu permasalahannya, karena umumnya itu dimulai dari individu dan faktor attitude yang didrive oleh visi dan misi yang hebat maka itu baru dapat terjadi. Balas

19.

DENNY 27 Juli 2012 pada 14:49 Salam Hangat Pak Wir, mengenai masalah IPK lulusan teknik sipil ini, saya sangat setuju dengan pak wir, sebab sekarang ini IPK ini tdk bsa dijadikan lagi sebagai barometer atau tolak ukur untuk menilai kemampuan seseorang sebagai civil engineer yang kompeten dibidangya (dalam artian tingkatan fresh graduate). nah disini saya mungkin sedikit bercerita tentang pengalaman saya mengikuti test disalah satu perusahaan patungan Indonesia-Jepang sebagai Structure Engineer (walaupun saya saat ini sudah bekerja, tetapi menurut saya apa salahnya untuk dicoba) nah pada saat tersebut memang test mereka tertulis, ya berkisar mengenai dasar2 teknik sipil (structure engineer) seperti Truss, Beton, Baja, Pondasi (Practice Design) dan Konsep2 Structure Portal (Diagram Momen, Geser dan Normal). nah alhamdulillah hampir semua pertanyaan tersebut dapat saya jawab (Walaupun ada beberapa pertanyaan yg tdk saya jawab yang dikarenakan tdk disertainya data2 yg cukup untuk menjawab pertanyaaan tersebut). singkat cerita saya alhamdulillah lulus dan dipanggil untuk mengikuti test berikutnya dan langsung untuk interview, nah disini yang mungkin membuat saya miris, sebab ternyata penawaran mereka saat itu untuk sallary sangat2 membuat saya kecewa, sebab saya berfikir, jadi structure engineer mereka samakan dengan drafter dengan gaji yang sama, nah pada saat itu saya disuruh nego dan saya tetep bertahan dengan nilai yang saya tawarkan sebelumnya dan akhirnya saya tdk dipanggil lagi. Hikmah apa yang dapat kita ambil disini : bahwa perusahaan perusahaan2 yang ada di negeri ini juga tidak mendukung terhadap profesionalisme sebagai structure engineer apakah itu perusahaan Kelas KAKAP atau Kelas TERI dan Kita yang Berprofesi sebagai structure engineer sudah dianggap sama dengan drafter,,,, sangat. sangat. sangat tidak menghargai sekali!!!!

Balas

20.

rusdian 4 Agustus 2012 pada 09:59 masa muda cerminan masa tua Balas

Anda mungkin juga menyukai