Anda di halaman 1dari 6

Sejarah Indramayu Sejarah putra Tumenggung Gagak Singalodra dari Bengelen Jawa Tengah bernama Rade n Wiralodra yang

mempunyai garis keturunan Majapahit dan Pajajaran, dalam tapa b aratanya di kaki Gunung Sumbing mendapat wangsit. Hai Wiralodra apabila engkau ingin berbahagia berketurunan di kemudian hari, perg ilah kearah matahari terbenam dan carilah lembah Sungai Cimanuk. Manakala telah disana, berhentilah dan tebanglah belukar secukupnya untuk mendirikan pedukuhan dan menetaplah disana. Kelak tempat itu akan menjadi subur dan makmur serta tuju h turunanmu akan memerintah disana. Demikianlah bunyi wangsit itu. R. Wiralodra ditemani Ki Tinggil dan berbekal senjata Cakra Undaksana. Tokoh-tok oh lain dengan pendiri pedukuhan dimaksud adalah Nyi Endang Darma yang cantik da n sakti, Aria Kemuning putra Ki Gede Lurah Agung yang diangkat putra oleh Putri Ong Tien istri Sunan Gunung Jati. Ki Buyut Sidum / Kidang Pananjung seorang pahl awan Panakawan Sri Baduga dari Pajajaran, Pangeran Guru, seorang pangeran dari P alembang yang mengajarkan Kanuragan dengan 24 muridnya. Pedukuhan tersebut berkembang dan diberi nama Darma Ayu oleh R. Wiralodra yang dia mbil dari nama seorang wanita yang dikagumi karena kecantikan dan tkesaktiannya N yi Endang Darma, serta dapat diartikan Kewajiaban Yang Utama atau Tugas Suci. Pedukuhan Cimanuk yang diberi nama Darma Ayu yang kemudian berubah menjadi Indramay u, setelah terbebas dari kekuasaan Pajajaran pada tahun 1527, diproklamirkan berd irinya oleh R. Wiralodra pada hari Jumat Kliwon tanggal 1 Muharram 934H atau 1 Su ra 1449 dan jatuh pada tanggal 7 Oktober 1527. Titimangsa tersebut resmi sebagai Hari Jadi Indramayu. Setelah 1527, Daerah Indramayu terbagi dalam tiga propinsi meliputi : Propinsi Singapura, meliputi sebelah timur sampai Sungai Kamal. Propinsi Rajagaluh, meliputi daerah tengah sampai Jati tujuh. Propinsi Sumedang, meliputi bagian barat sampai Kandanghaur. Tahun 1681, mulai dikuasai kompeni. Zaman pemerintahan Daenles (1806 1811) daerah sebelah barat sungai Cimanuk dimas ukan dalam prefektur Cirebon Utara. Pada masa ini berada dalam kekuasaan kerajaa n Demak. Tahun 1546 menjadi bagian kesultanan Cirebon. Tahun 1615 sebelah timur Sungai Cimanuk menjadi bagian keultanan Cirebon dan bag ian baratnya ermasuk dalam wilayah kerajaan Mataram. Tahun 1681, mulai dikuasai kompeni. Zaman pemerintahan Daenles (1806 1811) daera h sebelah barat sungai Cimanuk dimasukan dalam prefektur Cirebon Utara. Pada zam an kompeni menjadi ajang masuk pertempuran segitiga antara kompeni, Mataran dan Banten. Tahun 1706, Indramayu jatuh kedalam kekuasaan kompeni Belanda seluruhnya seperti halnya dengan daerah-daerah lain, Indramayu mempunyai perjalanan yang s ama berada dalam kekuasaan penjajahan.(*)

Sejarah Indramayu Kabupaten Indramayu termasuk wilayah Propinsi Jawa Barat, dengan wilayah darat s eluas 20.006,4 km merupakan wilayah yang cukup luas. Sumberdaya alamnya dari laut , sawah, dan hutan. Secara historis, selama ini Indramayu menyatakan diri memili ki akar sejarah dari Jawa Tengah (Bagelen) melalui tokoh Arya Wiralodra. Dalam b eberapa sumber, ada yang menyebut tokoh ini utusan Demak (abad ke-16), ada pula yang menyebut berasal dari Mataram (abad ke-17). Akar sejarah itulah yang menjad

ikan Indramayu bukanlah wilayah Sunda, meskipun berada di Jawa Barat yang mayori tas dihuni suku Sunda dan berbahasa Sunda. Meski demikian, perkembangan selanjut nya menunjukkan Indramayu juga tidak serupa dengan realitas sosio-kultur Jawa Te ngah. Ada semacam sosio-kultur tersendiri yang bukan Jawa dan bukan pula Sunda. Bagi orang Indramayu, menyebut orang Jawa Tengah dan Jawa Timur adalah wong wetan, sed angkan orang Pasundan adalah wong gunung. Sosio-kultur Indramayu itu menunjukkan k arakter yang sebangun dengan Cirebon. Secara akar sejarah pula, beberapa daerah di Indramayu berkaitan dan banyak dipe ngaruhi kerajaan lain di sekitarnya, seperti Cirebon dan Sumedanglarang. Jika ya ng disebut wilayah kekuasaan Wiralodra sebagai Kabupaten Indramayu seperti sekar ang, tampaknya harus ditelisik lebih dalam. Ketika dinasti Wiralodra berkuasa hi ngga pertengahan abad ke-19, peristiwa politik dan keagamaan di Pulau Jawa sanga t dinamis. Dimulai dari runtuhnya Majapahit sebagai simbol kebesaran agama Hindu pada tahun 1527, dinamika itu tampak dengan kemunculan kerajaan Islam Demak, ya ng mampu berpengaruh pada Cirebon dan Banten, serta dikuasainya Sundakelapa dari Pajajaran. Simbol kebesaran Hindu lainnya dalam diri Pajajaran pun runtuh juga. Gegap gempita politik dan kekuasaan seperti itu sedikit banyak, tentu saja, mem iliki pengaruh yang kuat pada Cimanuk (Indramayu) sebagai wilayah kecil yang ber ada pada pusaran dinamika itu. Berakhirnya era Hindu dan bangkitnya Islam juga m enyentuh kehidupan sosio-religi di wilayah tersebut. Ketika Mataram menguasai Ja wa Barat selama 57 tahun (1620-1677), pengaruh kekuasaan itu sangat jelas pada d aerah-daerah yang sekarang bernama Ciamis, Tasikmalaya, Sumedang, Bandung, Cireb on, dan beberapa lainnya sebagai wilayah imperium Mataram. Ketika Wiralodra dianggap sebagai pendiri Indramayu dan 7 Oktober 1527 sebagai h ari kelahiran Indramayu, legitimasi itu dilakukan pada era kekinian, yakni berda sarkan Perda No. 02/1977 tanggal 24 Juni 1977. Nama Indramayu sebagai wilayah ka bupaten, sebenarnya berasal dari nama wilayah kecamatan yang berada di kota (Sin dang Kota Indramayu), titik sentral kekuasaan dinasti Wiralodra. Menurut Babad D ermayu yang ditulis tahun 1900, beberapa keturunan Wiralodra menjabat beberapa j abatan penting di beberapa wilayah sebagai demang maupun rangga, misalnya Raden Marngali Wirakusuma (Demang Bebersindang, mungkin maksudnya Sindang), Nyayu Wira dibrata (rangga), Nyayu Malayakusuma (Demang Plumbon), Nyayu Hekakusuma (Demang Anjatan), Nyayu Suradisastra (ulu-ulu), Nyayu Hanjani (mantri tanah), Raden Kali d Wiradaksana (Demang Lohbener), Raden Prawiradirja (Demang Losari), Raden Wiras entika (Demang Lohbener), Nyayu Sastrakusuma (Jututulis Demang Brengenyeber), Ny ayu Patimah (Demang Lelea), Raden Wirasaputra (demang). Klaim bahwa nama wilayah sekabupaten dengan nama Indramayu, sebenarnya dilakukan pemerintah Hindia Belanda pada abad ke-19, seperti dalam Regerings Almanak voor Nederlands Indie 1869 untuk menetapkan seorang bupati dengan wilayah kabupaten. Pendapat ini sejalan dengan Dasuki (1977). Kalau yang dimaksud dengan daerah Dermayu dalam babad itu adalah suatu tempat ya ng sekarang merupakan lokasi desa Dermayu, mungkin ada benarnya. Akan tetapi kal au yang dimaksud dengan daerah Indramayu ialah daerah yang sekarang merupakan da erah jurisdiksi Indramayu, sudah pasti tidak benar, sebab bertentangan dengan pe mberitaan dari beberapa sumber lain yang menyatakan bahwa sebelum Wiralodra data ng ke daerah Indramayu, di beberapa bagian daerah ini sudah ada masyarakat yang berbudaya. Yang terjadi pada era dinasti Wiralodra, Indramayu cenderung identik pada wilaya h yang sekarang disebut sekitar Sindang, Kota Indramayu, hingga Lohbener. Pada k urun waktu sebelumnya atau bersamaan, wilayah lain memiliki nama yang berbeda, d engan tokoh pendiri (Ki Gede) yang berbeda pula. Beberapa hal bisa menjadi argum entasi bahwa Kabupaten Indramayu bukanlah Dermayu-nya Wiralodra, dulu. Naskah Wang sakerta menguraikan tentang mazhab-mazhab dalam Islam yang berkembang di Pulau J awa, termasuk wilayah Cirebon dan Indramayu seperti dituliskan dalam Pustaka Raj ya-rajya i Bhumi Nusantara, parwa 2 sargah 4. Beberapa Ki Gedeng (Ki Gede) dari Indramayu ada yang dikategorikan menganut mazhab Syafii, tetapi ada pula yang Syia h yang diajarkan Syeh Lemahabang. Penganut mazhab Syafii adalah Ki Gedeng Krangke ng, Ki Gedeng Dermayu, Ki Buyut Karangamapel, Pangeran Losarang, Ki Gedeng Sreng seng, dan Ki Gedeng Pekandangan, sedangkan mazhab Syiah dianut oleh Ki Gedeng Jun ti. Data seperti itu bukan hanya menyiratkan tentang perkembangan mazhab dalam I

slam yang dianut para tokoh masyarakat (Ki Gedeng, Ki Buyut) di Indramayu, akan tetapi lebih dari itu menyiratkan adanya deskripsi kesejajaran tokoh-tokoh terse but. Penyebutan nama-nama Ki Gedeng atau Ki Buyut di enam daerah tersebut tampak memiliki derajat yang sama. Antara Krangkeng, Dermayu, Karang Ampel, Srengseng, Pekandangan, dan Junti tidak ada hirarkis. Hal itu bisa diinterprestasikan di w ilayah-wilayah tersebut dipimpin oleh Ki Gedeng atau Ki Buyut secara otonom dan tidak menginduk pada Ki Gedeng atau Ki Buyut di sekitarnya. Ki Gedeng Dermayu ti dak membawahi Ki Gedeng Krangkeng, Karang Ampel, Srengseng, Pekandangan, dan Jun ti, tetapi berdiri sejajar. Acuan kurun waktunya adalah masa hidup Sunan Gunungj ati dan Syeh Lemahabang (abad ke-16). Sebelumnya kesejajaran itu tampak pada cerita Ciungwanara pada zaman Pajajaran y ang menyebut-nyebut nama Indramayu, Junti, Anjatan, dan Kandanghaur, seperti dal am Waosan Babad Galuh (Serengrana, 1280 H). Naskah lain pada zaman Pajajaran men yiratkan adanya tokoh lain dan wilayah lain di Indramayu yang sudah disebut kebe radaannya sejak abad ke-15, seperti dalam buku Sunan Rahmat Suci Godog (Deddy Ef fendy-Warjita, 2006). Disebut-sebut nama Raden Khalipah Kandangaur yang bersahab at dengan Kean Santang (putra Prabu Sri Baduga Maharaja dengan Subang Larang). K ean Santang adalah adik Pangeran Walangsungsang (Cakrabuana) dan Nyi Mas Rarasan tang (ibunda Sunan Gunungjati). Pengaruh Sunan Gunungjati, baik secara religi da n sosio-politik, amat kuat pada hampir seluruh tokoh (Ki Gede) dari desa-desa ku no di Indramayu. Sekitar 70 Ki Gede, dari Sukra hingga Kertasemaya, dari Bantarw aru hingga Sindangkerta, dimakamkan di sekitar makam Sunan Gunungjati di Nur Gir i Ciptarengga, Gunung Sembung, Cirebon (Bambang Irianto, makalah 2007). Adanya m akam Habib Keling di Desa Tanjakan Kecamatan Krangkeng Kabupaten Indramayu menja di catatan tersendiri, apakah Habib Keling identik dengan Dipati Keling. Jika ya , menegaskan lagi adanya relasi itu, sebab Dipati Keling merupakan sahabat Sunan Gunungjati yang ikut serta dalam penyerangan ke Batavia tahun 1526. Ia salah se orang komandan, di samping beberapa komandan lainnya seperti Dipati Cerbon, Dipa ti Cangkuang, dan Faletehan. Sebelumnya Dipati Keling bersama 98 pengikutnya men yatakan masuk Islam dan bergabung bersama Sunan Gunungjati. Diperkirakan, Dipati Keling berasal dari India, karena kulitnya hitam seperti orang Keling (Sunardjo 1983: 53,81). Sangat mungkin, yang dimaksud makam tersebut adalah petilasan, se bab makam Dipati Keling terdapat di Astana Gunungjati Cirebon berdekatan dengan Sunan Gunung Jati. Jejak lain di Indramayu yakni adanya makam Pangeran Suryanega ra yang terdapat di Desa Bulak Kecamatan Jatibarang dan memiliki keturunan di In dramayu (Raffan S. Hasyim, makalah 2007). Suryanegara adalah adik bungsu Dipati Cerbon I atau Pangeran Swarga (putra Pangeran Pasarean dengan Ratu Mas Nyawa). Latar tersebut merupakan dinamika penyebaran Islam yang dilakukan Sunan Gunungja ti dan para pengikutnya, baik ke pegunungan maupun ke pesisir. Naskah Purwaka Ca ruban Nagari menyebutkan wilayah pesisir tersebut hingga ke pedalaman Karawang d an Dermayu. Saat Sunan Gunungjati bertahta, jangkauan Cirebon dalam penyebaran I slam mencapai 2/3 daerah di Jawa Barat. Jejak-jejak Cirebon secara sosio-kultural di beberapa desa yang ada di tiga keca matan (Krangkeng, Karangampel, Juntinyuat) hingga kini masih terasa. Yang paling kentara adalah dalam penggunaan kosakata "isun" (saya) masih tetap dipergunakan (terutama di beberapa desa di Kecamatan Krangkeng, perbatasan Kabupaten Cirebon -Indramayu) dibandingkan penggunaan "reang" atau "kita" sebagaimana digunakan se cara umum di wilayah kecamatan lainnya. Begitu pula penggunaan kata tunjuk untuk menunjukkan yang jauh, agak dekat, dan dekat, masih tetap menggunakan lah, lih, dan luh. Bukan kah, kih, dan kuh. Pamakaian kosakata seperti itu serupa yang di pakai di Cirebon. Dalam buku Mengenal Kasultanan Kasepuhan Cirebon (2004) malah ditegaskan, pada aba d ke-14 batas pemukiman baru di Lemahwungkuk (cikal bakal Caruban/Cirebon) yang dipimpin Ki Gede Alang-alang yang diangkat Raja Pajajaran, Prabu Siliwangi adala h Kali Cipamali (sebelah timur), Cigugur Kuningan (sebelah selatan), pegunungan Kromong (sebelah barat), dan Junti (sebelah utara). Jejak Indramayu secara geografis memang hanya diketemukan pada naskah-naskah den gan derajat sebagai sumber sekunder, seperti sumber-sumber di atas, kecuali Rege rings Almanak voor Nederlands Indie 1869. Hal ini bisa jadi merupakan sebuah fen omena kelangkaan sumber primer, karena terjepit-nya masa-masa dinamis itu. Penulis

sejarah Jawa Hindu yang telah silam umumnya sudah berhenti menulis, jauh sebelu m sampai pada tokoh Senopati; sedangkan ahli sejarah Kompeni hampir tidak menyad ari bahwa para pahlawan negerinya telah mengganggu perkembangan suatu kerajaan J awa yang perkasa. Meski dalam historiografi tradisional menyebutkan nama Dermayu mulai digunakan s ejak abad ke-16 atau ke-17, siapa sangka jika sebagian wilayahnya (sebelah timur sungai Cimanuk) pada jaman pemerintahan Belanda abad ke-19, nama yang muncul ad alah Bengawan Wettan, salah satu dari lima keregenan (regentschappen) di bawah K eresidenan Cheribon, selain Kereganan Cheribon, Madja, Galo, dan Koeningan (besl uit van commissarissen-general over Nederlandsch-Indie, tanggal 5 Januari 1819). Keregenan Bengawan Wettan meliputi sungai Singapura, dari muara sungai di laut ke arah atas sampai jalan pos di Desa Jamblang, jalan ini ke barat sampai sungai Cimanuk di penyebrangan di Karangsambung, selanjutnya sungai Cimanuk ini sampai muaranya ke laut. Peristiwa Pemberontakan Bagus Rangin di sekitar Bantarjati-Jati tujuh pada awal abad ke-19 agaknya menyiratkan wilayah tersebut sebagai bagian K abupaten Indramayu (Bengawan Wettan). Jika dilihat pada era kekinian, sebenarnya wilayah Indramayu sekarang selain ber tambah, sebenarnya juga berkurang. Di bagian tenggara Kabupaten Indramayu, sekit ar perbatasan Kecamatan Bangodua, beberapa desa bukan lagi milik Indramayu. Dulu , konon Kecamatan Jatitujuh dan sekitarnya pernah masuk dalam wilayah Kabupaten Indramayu. Kini di wilayah perbatasan kultural Sunda-Jawa itu sudah masuk Kabupa ten Majalengka. Tidak heran jika hubungan emosional desa-desa di sekitar itu tet ap ada. Ragam budaya, seperti jenis kesenian dan adat-istiadat pun menampakkan k ecenderungan yang seragam. Tarling, topeng, wayang kulit yang merupakan jenis kes enian Jawa-pesisir Cirebon-Indramayu, biasa dinikmati masyarakat Jatitujuh, yang juga menikmati kesenian Sunda. Dasuki (1977) menjelaskan setelah tahun 1910 daerah Indramayu sebelah barat sung ai Cimanuk dibagi dalam enam kedemangan, yaitu Kedemangan Kandanghaur, Losarang, Pamayahan, Pasekan, Bangodua, Jatitujuh, dan Lelea. Adapun daerah Indramayu seb elah timur Cimanuk dibagi dalam tiga kawedanan yaitu Kawedanan Indramayu, Karang ampel, dan Sleman (Jatibarang). Di wilayah selatan, barat daya hingga barat Kabupaten Indramayu, yang berbatasan langsung dengan wilayah kultural Sunda, pengaruh kebudayaan Sunda sangat kuat. Di sebagian desa di Kecamatan Terisi hingga Haurgeulis dan Gantar, pengaruh itu malah memiliki asal-usul penduduk yang memang berasal dari wilayah Sunda. Komuni kasi sosial dan kultural itu terjalin hingga kini menjadi sebuah akulturasi yang "nDermayu". Sebenarnya ada pengaruh kultur lain yang juga amat kuat, yang ada di wilayah bar at (seperti di Kecamatan Bongas, Patrol, Sukra, Anjatan, dan Haurgeulis). Pengar uh itu berasal dari pesisir utara-barat Jawa Tengah (Tegal-Brebes). Mungkin lebi h tepatnya bukan pengaruh, tetapi lebih sebagai urbanisasi awal abad ke-20 melalui jalur kereta api dari Tegal-Brebes ke wilayah barat Indramayu. Penduduk dari wi layah timur Indramayu juga pada kurun waktu yang sama melakukan urbanisasi ke bara t, seperti dari Krangkeng, Juntinyuat, Sliyeg, Kertasemaya, dan kecamatan lainny a. Saat itu wilayah barat memiliki daya tarik tersendiri, terutama tanah yang ma sih perawan dan ketersediaan air yang melimpah dengan adanya bendungan yang diba ngun pemerintah kolonial Belanda dekade 1920-an. Pengaruh bahasa Jawa dialek Teg al-Brebes dan logat wilayah timur Indramayu masih terasa hingga kini. Yang menjadi catatan tersendiri adalah wilayah Kecamatan Lelea dan Kandanghaur, yang secara geografis terlalu jauh untuk dipengaruhi kultur Sunda. Hingga kini pen garuh Sunda di beberapa desa di dua kecamatan tersebut cukup kuat. Meski dalam b eberapa kosa kata tidak sama dengan bahasa Sunda di wilayah Pasundan dan cenderu ng dianggap kasar, bahasa Sunda tetap digunakan dalam keseharian di wilayah ters ebut. "Sunda-Lea" dan "Sunda-Parean" (maksudnya bahasa Sunda yang digunakan di L elea dan Parean/Kandanghaur), menjadi keunikan tersendiri dalam khazanah bahasa Sunda dan bisa jadi merupakan bahasa Sunda sempalan yang hidup di lingkungan Jaw a pesisir. Fenomena ini, tentu saja, bukan terjadi dengan sendirinya. Sesuatu ya ng ada sekarang, hampir pasti memiliki keterkaitan dengan masa lalu. Masa lalu i tu adalah akar sejarah. Selanjutnya daerah kekuasaan Sumedang di sebelah utara seperti Kandanghaur, Lele

a, dan Haurgeulis (Indramayu), dan Sindangkasih (Majalengka) satu demi satu diku asai kerajaan Islam Cirebon. Dalam menakulukkan daerah Sindangkasih dan Kandangh aur ini banyak berperan dua orang cucu Sunan Gunung Jati: Pangeran Sentana Panju nan dan Pangeran Wira Panjunan. Daerah Galuh dan Sumedang sendiri tetap merdeka sehingga ditundukkan oleh Sultan Agung Mataram yang berhasil menguasai antara Ci tanduy dan Cisadane pada tahun 1620 (Rokhmin Dahuri, Bambang Irianto, dan Eva Nu r Arofah, 2004). Penjelasan Sumedang pernah menguasai tiga daerah di Indramayu, yakni Kandanghaur , Lelea, dan Haurgeulis setidak-tidaknya tampak pada kultur yang masih lekat hin gga kini, yakni masih dipakainya bahasa Sunda. Ketika beralih pada kekuasaan Cir ebon, ada peninggalan di Kandanghaur yang bisa jadi berasal dari nama seorang pa ngeran asal Cirebon, yakni nama desa, Wirapanjunan. Kurun waktu kekuasaan Cirebo n atas tiga daerah di Indramayu saat Cirebon mencapai puncak kejayaan, sebagaima na dikemukakan R.A. Kern (1973: 21), yang diperkuat F. de Haan (1912: 33-41) bah wa Cirebon telah berhasil melebarkan wilayah kekuasaan dan sekaligus dapat mengi slamkan daerah-daerah pedalaman Sunda, seperti Rajagaluh (1528) dan Talaga (1530 ) (Rokhmin Dahuri, dkk, 2004: 62). Jangan lupa wilayah sentral Indramayu, tempat dikendalikannya pemerintahan, yakn i Kecamatan Indramayu dan Sindang, merupakan lingkungan keraton dan ibukota yang dib angun Wiralodra. Wilayah yang secara arkeologis cenderung sebagai kota pemerinta han bercorak Islam-Jawa. Sungai Cimanuk yang membelah kedua kecamatan itu juga, sebenarnya dulu menjadi urat nadi perekonomian dan militer, yang hilirnya adalah pelabuhan. Kompleks pecinan dan perkampungan arab yang ada di sekitarnya menjad i penanda tersendiri akan keberadaan masa lalu itu. Satu hal yang belum dikemukakan adalah wilayah pesisir Indramayu yang kini terbe ntang di 12 kecamatan, dengan panjang pantai mencapai 114 km. Dengan keluasan La ut Jawa yang menjadi gerbangnya, sangat mungkin menjadi pintu masuk akan berbaga i pengaruh sosial, ekonomi, budaya, dan agama dari berbagai daerah dan bangsa. A gak serius untuk mendiskusikan hal ini lebih jauh. Yang jelas adanya kerajinan b atik di Paoman yang motifnya serupa dengan Lasem (Rembang), kerajinan gerabah di blok Anjun (Paoman) dan Wirapanjunan (Kandanghaur) juga memiliki nama sama deng an lokasi kerajinan gerabah di Panjunan (Cirebon). Hal di atas bisa dihubungkan dengan kedatangan Syarif Abdurrakhman beserta ketig a adiknya di Cirebon pada tahun 1464. Mereka adalah putra-putra Sultan Sulaeman dari Baghdad, Irak, yang berguru kepada Syeh Nurul Jati dan Mbah Kuwu Cakrabuana . Mereka kemudian menetap di Panjunan. Nama panjunan itu berasal dari anjun, bar ang-barang keramik yang terbuat dari tanah liat. Beliau besarta pengikutnya menyebarkan agama Islam, membangun mesjid, dan juga m engerjakan sebuah karya anjun yaitu membuat barang-barang keramik dari tanah lia t. Dari sinilah tempat itu disebut panjunan. Beliau juga membuat taman lelangu / taman untuk istirahat dan penenang hati memandang ke alam bebas / panorama gunu ng Ciremai. Dari sinilah tempat itu disebut Plangon (kawasan Kecamatan Sumber Ka bupaten Cirebon). Di sini pulalah makam beliau (P.S. Sulendraningrat, 1975). Rumah-rumah penduduk di Junti yang bergaya Majapahit menandaskan keterpengaruhan itu. Nama-nama desa di pesisir Indramayu juga menyiratkan keterpengaruhan nama dari luar. Antara Karangampel-Balongan, misalnya, ada lima nama yang juga memili ki kesamaan dengan nama di Jawa Timur, yaitu seperti Kamal, Tuban, Sampang, Lomb ang, dan Majakerta. Keterkaitan dengan Majapahit ini bisa jadi karena ekspansi kerajaan besar terseb ut ke seluruh nusantara saat Prabu Hayam Wuruk berkuasa dengan Mahapatih Gajah M ada pada abad ke-14. Data yang paling dekat adalah pada abad ke-15 atau antara t aun 1491 dan 1492, yaitu adanya perkawinan Sunan Gunung Jati dengan Nyai Ageng T epasari, putri Ki Ageng Tepasan, mantan penguasa di daerah Majapahit yang kemudi an ikut Raden Patah, Sultan Demak. Dari perkawinan Sunan Gunung Jati dengan Nyi Ageng Tepasari dikaruniai dua anak, yaitu Nhay Ratu Ayu dan Pangeran Mohamad Ari fin (Pangeran Pasarean) (Dasuki 1977; Sunardjo, 1983). Melihat wilayah sosio-kultural yang terpotret sekarang ini, sekali lagi, mustahi l adalah sebuah kejadian yang berdiri sendiri. Ada pengaruh dari benang merah ma sa lalu yang bernama sejarah. Masalah yang muncul, apakah benar Indramayu, yang terbentang dari Sukra-Gantar hingga Kertasemaya-Krangkeng, yang pernah berhubung

an dengan Pajajaran, Demak, Cirebon, Sumedanglarang, Galuh, Banten, Mataram, bah kan bangsa asing, yang memiliki latar sosio-kultur yang tidak tunggal, hanyalah pe ngaruh Wiralodra semata? Selama ini pengungkapan sejarah di Indramayu lebih banyak berdasarkan terjemahan dan tafsir naskah-naskah tradisional, yang merupakan sumber sekunder. Sebuah pe ngungkapan yang cenderung hanya sampai pada ranah dan perspektif sebagai sejarah peteng, yang bisa ditafsirkan sebagai kegelapan sejarah karena belum ada relasi yang tegas dengan sumber-sumber primer

Anda mungkin juga menyukai