Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
Buku yang tersaji dihadapan anda ini disusun dengan maksud agar dapat dipergunakan sebagai bahan untuk mempelajari, memahami dan mengimplementasikan prinsip-prinsip ketatanegaraan Indonesia dalam rangka menuju konsolidasi sistem demokrasi. Buku ini merupakan hasil revisi dari buku yang sudah pernah penulis susun, berjudul Hukum Tata Negara, Kewarganegaraan dan Hak Asasi Manusia. Judul buku ini memang sengaja penulis ubah, karena penulis menyadari bahwa dalam sepanjang sejarah ketatanegaraan Indonesia, proses menuju konsolidasi sistem demokrasi selalu diupayakan oleh setiap penyelenggara Negara. Namun demikian sangat disayangkan, proses tersebut belum mampu dilaksanakan dengan baik. Hal ini berarti konsolidasi sistem demokrasi masih terus berjalan. Bertitik tolak dari gambaran singkat tersebut, maka perubahan judul tersebut dimaksudkan agar buku ini menjadi semacam inspirasi bagi penulis-penulis buku sejenis ataupun para pihak yang tertarik dengan Hukum Tata Negara Indonesia, untuk dapat dilengkapi dengan ide-ide atau gagasan-gagasan lain yang lebih bagus dan lengkap. Tidak dapat dipungkiri bahwa sejak Undang-Undang Dasar 1945 diamandemen oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, maka mulai saat itu sistem ketatanegaraan Indonesia mengalami perubahan yang sangat cepat. Di tingkat kehidupan masyarakat dan bangsa Indonesia sendiri, perubahan tersebut menimbulkan kegagapan tersendiri. Hal ini merupakan gejala wajar bagi suatu masyarakat dan bangsa yang sudah lama hidup dalam struktur dan sistem ketatanegaraan yang otoritarian. Perlu diketahui bahwa langkah untuk melaksanakan konsolidasi sistem demokrasi sudah barang tentu akan melalui berbagai macam tahapan. Bahkan tidak jarang tahapantahapan tersebut memunculkan kesan adanya eksperimentasi atau uji coba sistem ketatanegaraan. Oleh sebab itu konsolidasi sistem demokrasi yang berarti suatu langkah untuk memperteguh atau memperkuat demokrasi dalam sistem ketatanegaraan tentu tidak dengan serta merta dapat dihitung dalam jangka waktu tertentu. Apalagi dengan memberikan patokan setelah tahun 2009, seperti yang diungkapkan oleh Akbar Tanjung atau Daniel Sparringga yang menganggap sebagai masa transisi dengan ukuran progresif berlangsung 2 tahun, dan ukuran konvensional sekitar 10 tahun. (Kompas, 16/2/2009). Sebagai sebuah langkah pemantapan atau penguatan sistem demokrasi, maka bagi negara yang belum akrab dengan sistem demokrasi seperti Indonesia, konsolidasi demokrasi tentu akan melewati beberapa langkah eksperimentasi atau uji coba. Seperti uji coba infra struktur demokrasi, perumusan perangkat hukum untuk mengawal jalannya sistem demokrasi,
serta uji coba penerapan sistem demokrasi. Eksperimentasi itu diarahkan untuk membangun budaya demokrasi dalam konsolidasi demokrasi. Dengan demikian, sebenarnya prasyarat penguatan atau peneguhan demokrasi melalui konsolidasi memang tidak hanya berpijak pada sistem demokrasi prosedural belaka, melainkan yang lebih utama adalah menyangkut substansi demokrasi yakni kultur demokrasi itu sendiri. Henry B. Mayo mengemukakan bahwa demokrasi di samping sebagai suatu sistem pemerintahan dapat juga dikatakan sebagai suatu life style yang mengandung unsur-unsur moril, seperti penyelesaian secara damai dan melembaga,
Kata Pengantar v terjadinya perubahan secara damai, menyelesaikan pergantian kepemimpinan secara teratur, membatasi pemakaian kekerasan, menganggap wajar adanya keanekaragaman, dan menjamin tegaknya keadilan. Unsur-unsur moril seperti ini jelas belum semuanya diterapkan dalam budaya demokrasi di Indonesia. Banyak contoh yang dapat dikemukakan di sini. Maraknya demonstrasi yang dibarengi dengan aksi kekerasan dan memakan korban, hilangnya kesantunan dalam berpendapat atau berargumentasi, black campaign para elit politik, menunjukkan bahwa budaya demokrasi di Indonesia masih jauh dari nilainilai yang dikemukakan oleh Henry B. Mayo tersebut. Dengan demikian sejak tahun 1998 ketika reformasi dikumandangkan sampai dengan amandemen UUD 1945, semuanya tidak termasuk kategori konsolidasi demokrasi, melainkan lebih bernuansakan eksperimentasi demokrasi. Penataan sistem demokrasi prosedural yang mulai dilakukan pasca reformasi 1998 termasuk melakukan amandemen UUD 1945 pada hakikatnya hanya merupakan langkah eksperimentasi demokrasi. Tidak ada satupun yang sifatnya definitif dan subtantif melalui pendekaan kultur demokrasi. Akibatnya sistem demokrasi yang dikembangkan hampir semuanya bersifat coba-coba. Belum ada yang menunjukkan kemantapan dan penguatan kultur demokrasi. Dari tingkatan infra sruktur politik sampai dengan tingkatan supra struktur politik masih tetap menyisakan berbagai persoalan. Di tingkatan infra struktur politik, terutama pembenahan kehidupan kepartaian jauh dari idealisme budaya demokrasi.
Pembatasan jumlah Parpol melalui electoral threshold dan parliamentary threshold sebagai prasyarat dari sistem presidensiil tetap belum final. Uji coba seperti ini malah memunculkan tuntutan Partai-partai kecil melalui yudicial review Mahkamah Konstitusi yang nuansa uji cobanya juga sangat kental. Artinya disetujui oleh Mahkamah Konstitusi atau tidak yang penting nuntut dulu di Mahkamah Konstitusi. Sementara itu keputusan Mahkamah Konstitusi itu sendiri juga bernuansakan coba-coba, karena keputusan tersebut mengakibatkan terjadinya inkonsistensi dalam menrerjemahkan makna pemilihan presiden/wakil presiden bila dihubungkan dengan norma kesamaan hukum dan pemerintahan sebagaimana tertuang di dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945. Artinya calon pasangan Presiden dan Wakil Presiden dari tokoh-tokoh independen dan nonpartisan sudah tertutup. Higemoni parpol dalam kancah kehidupan ketatanegaraan semakin menguat. Hal ini berarti tidak semua warga negara memiliki kesamaan di depan hukum dan pemerintahan khususnya dalam mencalonkan diri untuk menjadi Presiden atau Wakil Presiden, kecuali yang dicalonkan oleh partai politik atau gabungan partai politik. Demikian pula dengan sistem pemilu dengan mencontreng nama caleg menunjukkan bahwa budaya demokrasi di tubuh internal Parpol melalui penguatan sistem pencalegan juga belum berjalan. Mekanisme mencontreng nama caleng di masing-masing Parpol dalam pemilu, sebenarnya dapat dilakukan melalui mekanisme internal Parpol melalui konvensi. Di lingkungan internal Parpol, Caleg-caleg itu di fit and propertest terlebih dahulu dengan melibatkan konsituen dan simpatisan masing-masing parpol. Kemudian hasil dari fit and propertest tersebut dipergunakan sebagai dasar untuk penentuan caleg yang ditawarkan kepada pemilih. Cara seperti ini jelas akan membangun budaya demokrasi di masingmasing parpol. Ternyata mekanisme ideal yang seharusnya seperti ini, ditempuh melalui pemungutan suara dalam Pemilu 2009. Akibatnya kemungkinan terjadi konflik antar caleg di masingmasing parpol terbuka lebar. Hal ini berarti konflik antara caleg dengan Parpolnya seperti yang terjadi menjelang Pemilu 2004 karena perebutan nomor urut, diubah melalui eksperimentasi dengan cara menyerahkan pilihan mentah caleg kepada rakyat lewat mencontreng dalam pemilu legislatif tahun 2009. Eksperimentasi demokrasi memang selalu mengandung fenomena coba-coba. Hal ini mengakibatkan rakyat sebagai pemegang kedaulatan justru berperan sebagai kelinci percobaan. Sebagai kelinci percobaan dari elit-elit politik dalam menterjemahkan sistem demokrasi prosedural, maka rakyat hanya sekedar menerima produk-produk hukum yang mengikat mereka untuk dilaksanakan. Penerimaan rakyat ini tidak dapat dikatakan sebagai sebuah penguatan atau peneguhan demokrasi, karena penerimaan mereka tidak
didasarkan pada kehendak dan aspirasi mereka sendiri, melainkan atas dasar paksaan melalui instrument atau preparat eksperimen elit politik. Partisipasi sebagai salah satu nilai terpenting dari budaya demokrasi direduksi menjadi prosedur demokrasi. Besar kecilnya suara di parlemen justru mendominasi pengambilan keputusan politik. Dalam kesempatan yang sangat baik ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada istri tercinta Maria Bernadeth Maitimo, SH yang selalu memberikan semangat kepada penulis untuk terus berkarya di bidang akademik. Dia pernah mengatakan: "Jangan berhenti untuk menulis, karena dengan tulisan itu, kamu dapat menuangkan ide-ide dan ikut mencerahkan masyarakat, walau kamu belum meraih derajad kesarjanaan yang paling tinggi. Biarkan orang lain yang menilai karya-karyamu". Dorongan semangat seperti inilah yang menyebabkan buku ini bisa tersusun. Untuk anak-anak penulis, Giovanni Battista Maheswara dan Alexandra Kevin Maheswara, penulis juga ucapkan terima kasih atas pengertian dan pengorbanan kalian. Karena ambisi papamu yang seperti ini, kadang kala kalian menjadi kurang perhatian. Tidak lupa penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Mas Joki staff di bagian Penerbitan Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Tanpa bantuannya pasti buku ini tidak mungkin dapat diterbitkan. Penulis tidak mungkin mampu mengingat satu persatu para pihak yang ikut mendorong penulis untuk menyelesaikan naskah buku ini. Oleh sebab itu, sembari menanti sapaan, kritikan, saran, bahkan mungkin cemoohan dari semua pihak guna penyempurnaan buku ini, penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya. Akhir kata, dengan mengutip kata-kata bijak Pujangga Besar Indonesia, Pramoedya Ananta Toer dalam salah satu karya tetraloginya berjudul Rumah Kaca: "Pergunakan ilmumu itu kemudian untuk menuntun bangsamu ke luar dari kegelapan yang tiada habis-habisnya ini", Penulis menyampaikan semoga buku ini bermanfaat. Selamat membaca dan Berkah Dalem. Kotagede, Medio April 2009. Penulis; B. Hestu Cipto Handoyo.
Contents
Bab I PENDAHULUAN .................................................................. 8 A. Batasan Pengertian. ................................................................. 8 1. Pengertian Hukum. ........................................................... 8 B. Pengertian Negara Hukum. ................................................ 21 D. Definisi Hukum Tata Negara dan Peristilahan. ............... 26 E. Hubungan Hukum Tata Negara Dengan Ilmu-ilmu Lainnya. ....................................................................................... 29 F. Sumber-Sumber Hukum Tata Negara. ............................. 35 Bab II ................................................................................................. 61 SEJARAH KETATANEGARAAN INDONESIA ....................... 61 A. Pendahuluan. ......................................................................... 61 B. Periodesasi Sejarah Ketatanegaraan Indonesia. ............... 62 Bab III ............................................................................................. 101 SISTEM PEMERINTAHAN NEGARA, BENTUK NEGARA DAN BANGUNAN NEGARA ................................................... 101 A. Pengertian Sistem. ............................................................... 102 B. Pengertian Pemerintahan. ................................................. 102 C. Tiga Pengertian Sistem Pemerintahan Negara................ 104 D. Bentuk Negara. .................................................................... 105 E. Bangunan Negara. .............................................................. 106 F. Organisasi Sistem Pemerintahan Negara. ...................... 107 G. Bentuk Pemerintahan dan Sistem Pemerintahan. .......... 112 1. Sistem Pemerintahan Parlementer (Parliamentary Executive). .............................................................................. 113 2. Sistem Pemerintahan Presidensiil (Fixed Executive). . 114 H. Demokrasi dan Sistem Pemerintahan Negara. ............... 122 I. Sistem Pemerintahan Negara Republik Indonesia......... 128 Bab IV ............................................................................................. 143 LEMBAGA PERWAKILAN RAKYAT INDONESIA .............. 143 A. Pengertian Umum. .............................................................. 143 B. Majelis Permusyawaratan Rakyat. ................................... 145 C. Dewan Perwakilan Rakyat. ................................................ 152 D. Dewan Perwakilan Daerah. ............................................... 154 Bab V .............................................................................................. 162 SUPRA STRUKTUR POLITIK DAN INFRA STRUKTUR POLITIK ......................................................................................... 162 A. Pengertian. ........................................................................... 162 B. Supra Struktur Politik. ....................................................... 165 C. Infra Struktur Politik. .......................................................... 167 D. Hubungan Supra Struktur Politik dan Infra Struktur Politik Dalam Pengambilan Keputusan Politik. .................. 170 E. Mekanisme Sistem Politik Demokrasi Menurut UUD 1945. ............................................................................................ 172 Bab VI ............................................................................................. 187 PEMILIHAN UMUM DAN PARTAI POLITIK ....................... 187 A. Menuju Konsolidasi Sistem Demokrasi Melalui Reformasi Pemilu. ....................................................................................... 187 B. Pemilu dan Rekrutmen Kepemimpinan Nasional. ........ 196 B. Pemilu dan Rekrutmen Kepemimpinan Nasional. ........ 199 C. Asas-Asas Pemilu. ............................................................... 210 D. Partai Politik......................................................................... 214
Bab VII PEMERINTAHAN LOKAL .......................................... 233 A. Peristilahan........................................................................... 233 B. Bentuk Pemerintahan Lokal. ............................................. 234 C. Asas-Asas Penyelenggaraan Pemerintahan Lokal. ........ 237 D. Sistem Rumah Tangga Daerah. ......................................... 252 F. Hakikat Otonomi Daerah Menurut Sistem Rumah Tangga Daerah.......................................................................... 279 Bab VIII KEWARGANEGARAAN ............................................ 284 A. Pengertian dan Batasan. ..................................................... 284 B. Konsekuensi Yuridis Status Kewarganegaraan. ............ 289 C. Kewarganegaraan Menurut UUD 1945............................ 291 D. Tinjauan Kritis Terhadap UU No. 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia. ................................ 293 E. Asas-asas Kewarganegaraan Menurut Undang-Undang No. 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia. .................................................................................. 295 F. Kehilangan Kewarganegaraan Republik Indonesia. .... 298 G. Syarat dan Tata Cara Memperoleh Kewarganegaraan Republik Indonesia. ................................................................. 299 H. Hukum Kewarganegaraan Dalam Perspektif Konvensi Internasional. ........................................................... 300 I. Status Yuridis Bagi Orang yang Tidak Memiliki Kewarganegaraan Menurut Konvensi Internasional.226 ..... 303 Bab IX ............................................................................................. 308 HAK-HAK ASASI MANUSIA ................................................... 308 A. Pendahuluan. ....................................................................... 308 B. Sejarah Perkembangan. ...................................................... 310 C. Dimensi Universalitas dan Kontekstualitas Dalam Hak Asasi Manusia. .......................................................................... 313 D. Beberapa Pemikiran Founding Fathers Tentang Hak Asasi Manusia di Indonesia. ................................................... 316 E. Perumusan Hak Asasi Manusia Dalam Amandemen UUD 1945. ................................................................................. 322 F. Hak Asasi Manusia Menurut Undang-Undang No. 39 Tahun 1999. ............................................................................... 326 DAFTAR KEPUSTAKAAN......................................................... 332
Bab I PENDAHULUAN
Negara se6agai sebuah organisasi kekuasaan memiCiki otoritas untuk^ memaksakan kefiendak^kepada warganya. 'Pemaksaan kehendak^tersebut memiCiki tujuan agar ketertiban dan keamanan hidup bersama dalam organisasi kekuasaan dapat terwujud. Namun demikian otiritas untuk^ memaksakan kehendak^ tanpa dilandasi dengan perangkat aturan akan mengakibatkan Negara melakukan tindakan yang sewenang-wenang dan menindas. <Disinuah arti pentingnya keberadaan Hukum Tata Negara
A. Batasan Pengertian.
1. Pengertian Hukum.
Di dunia Ilmu Hukum terdapat dua kelompok besar yang memahami pengertian mengenai hakikat hukum, yaitu mereka yang memahami pengertian hukum dari sudut pandang sosiologis, dan yang memahami hakikat hukum dari sudut pandang normatif yuridis. Dari sudut pandang sosiologis, hukum dipahami sebagai salah satu dari sekian banyak nilai yang terdapat di dalam pergaulan hidup masyarakat. Ini berarti hukum dipandang sebagai salah satu gejala sosial kemasyarakatan. Oleh sebab itu konsep-konsep teori hukum (bahkan penemuan hukum) diperoleh dari realitas sosial di dalam masyarakat. Sedangkan yang memahami hukum dari sudut pandang normatif yuridis, menekankan pandangannya pada hukum sebagai seperangkat peraturan-peraturan tertulis yang logis dan konsisten.1 Dalam pemahaman pengertian sosiologis tersebut, hukum tidak mungkin dilepaskan dari lain-lain sektor kehidupan masyarakat. Dalam hubungan ini dikenal adanya 4 (empat) proses yang bekerja dalam masyarakat, yaitu: a. Proses adaptasi, meliputi ekonomi, penggunaan ilmu pengetahuan dan teknologi; b. Proses penetapan tujuan/pengambilan keputusan (goal pursuance) yang meliputi sistem politik; c. Proses mempertahankan pola masyarakat yang meliputi sosialisasi; dan d. Proses integrasi yang dilakukan oleh hukum.2 Terkait dengan 4 (empat) proses yang bekerja di dalam masyarakat itu, maka hukum bekerja sebagai mekanisme pengintegrasian dengan memperoleh input dari ketiga subsistem yang lain tersebut. Dalam rangka pengintegrasian itulah hukum memegang peranan untuk melakukan stabilisasi, sinkronisasi dan harmonisasi bekerjanya sistemsistem yang ada di dalam masyarakat tersebut.
Berdasarkan kerangka teoritis tersebut, maka jika ditinjau dari sudut pandang sosiologis, maka pengertian hukum adalah kumpulan nilai-nilai ataupun norma-norma kemasyarakat sebagai hasil dari proses integrasi dari sektorsektor (sub-sub sistem) yang terdapat di dalam pergaulan hidup manusia dalam masyarakat. Dalam kerangka teori hukum, pemahaman hukum jika ditinjau dari sudut pandang sosiologis sebenarnya mulai dikenal pada waktu Von Savignij mengemukakan teori hukum historis. Fokus pemahaman mengenai hakikat hukum menurut teori ini ada pada perkembangan dan pertumbuhan suatu masyarakat. Hukum dianggap merupakan produk dari 1 Satjipto Rahardjo, 1977, Pemanfaatan Ilmu-ilmu Sosial Bagi Pengembangan Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, him. 19, dst. 2 Talcott Parsons, dalam Ibid, him. 146. kebudayaan masyarakat dan berkembang sejalan dengan peradaban serta kebudayaan masyarakat itu sendiri. Inti dari teori hukum historis sebagaimana dikemukakan oleh Von Savigny, antara lain adalah : a. Titik tolak pandangannya teori hukum historis menganggap bahwa setiap bangsa mempunyai volkgeist (jiwa rakyat) yang berbeda, baik menurut waktu maupun tempat. Pencerminan dari volkgeist ini nampak pada kebudayaan masing-masing bangsa. Oleh sebab itu hukum haruslah bersumber dari volkgeist tersebut. b. Hukum itu tidak dibuat, tetapi tumbuh dan berkembang dari suatu masyarakat sederhana yang tercermin pada setiap tingkah laku individu-individu kepada masyarakat kompleks, dimana kesadaran hukum nampak pada ucapan-ucapan para ahli hukumnya.3 Pengaruh konsep teori yang dikemukakan oleh Von Savigny tersebut, diikuti oleh para ahli hukum jauh di luar Jerman. Bahkan sampai di Indonesia yang dibawa oleh para ahli hukum Belanda, seperti Van Vollenhoven, Ter Haar serta tokoh hukum adat lainnya, seperti Soepomo dan Imam Sudiyat. Kendatipun teori hukum seperti ini mempunyai pengaruh yang sangat luas, akan tetapi teori ini tetap mengandung kelemahan yang sangat mendasar. Kelemahan yang paling kelihatan di permukaan adalah tidak diberikannya tempat bagi ketentuan-ketentuan hukum yang bersifat tertulis (Peraturan Perundangundangan) dalam sistem hukum secara keseluruhan. Oleh sebab itu, sumbangan teori ini bagi teori perundangundangan tidak begitu besar, bahkan dapat dikatakan 3 Satjipto Rahardjo, dalam Lili Rasyidi, 1991, Filsafat Hukum Apakah Hukum Itu?, Remaja Rosdakarya, Bandung, him. 47-49. 4 B. Hestu Cipto Handoyo, 2008, Prinsip-prinsip Legal
tidak ada sama sekali. Hal ini mengingat hukum hanya dipandang sebagai gejala sosial yang tumbuh dan berkembang sejalan dengan kebudayaan masyarakat.4
Dari pemahaman normatif yuridis, hukum dipandang sebagai sarana pengendali sosial yang mengarahkan kepada tercapainya suatu tertib atau pola kehidupan yang telah ada. Dalam pengertian seperti ini fungsi hukum hanya dianggap hanya sekedar menjaga agar setiap orang menjalankan peranannya sebagaimana yang telah ditentukan, atau sebagaimana yang diharapkan dari padanya.5 Dari pengertian yang demikian inilah, maka hukum dianggap sebagai sarana untuk mempertahankan status quo dan tidak tanggap terhadap perubahan-perubahan yang terjadi di dalam masyarakat. Oleh karena menurut pemahaman hukum dari sudut pandang normatif yuridis yang demikian itulah, maka hukum dianggap hanya berfungsi mempertahankan pola kehidupan yang sudah ada. Oleh sebab itu tidaklah berlebihan jikalau hukum hanya dipandang sebagai sekumpulan peraturanperaturan yang tertulis dan bersifat logis, konsisten dan tertutup serta berfungsi untuk mengatur kehidupan manusia dalam ikatan pergaulan masyarakat. Hukum merupakan kristalisasi norma-norma yang terdapat di dalam masyarakat yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan diakui kebenarannya, sehingga menjadi pedoman yang mengikat dalam melaksanakan pergaulan hidup bersama. Munculnya dua pemahaman mengenai hakikat hukum tersebut disebabkan oleh adanya dua madzhab besar di bidang filsafat hukum yang masing-masing melahirkan teori hukum yang relatif berbeda. Dua madzhab besar di bidang hukum tersebut adalah madzhab hukum historis yang dalam perkembangannya melahirkan teori sosiologi hukum dan madzhab positivisme hukum yang melahirkan teori hukum murni. Hukum Ditinjau dari Perspektif Sosiologis-Empiris. Von Savignij sebagai pengagas madzhab hukum historis menegaskan inti ajarannya bahwa das Recht wird nicht gemacht, est ist und wird mit dem Volke (hukum itu tidak dibuat, tetapi tumbuh dan berkembang bersama masyarakat). Pandangan seperti ini bertitik tolak dari pandangan bahwa di dunia ini terdapat banyak bangsa, dan tiap-tiap bangsa tadi memiliki suatu volksgeist (jiwa rakyat/bangsa). Jiwa rakyat/bangsa [volksgeist) ini berbeda-beda, baik menurut waktu maupun tempat. Percerminannya nampak pada kebudayaannya masing-masing yang berbeda-beda. Hukum bersumber dari jiwa rakyat/bangsa ini, oleh karena itu hukum itu akan berbeda-beda pada setiap waktu dan tempat.6 Lebih lanjut Savignij berpendapat: "Apa yang menjadi isi hukum itu ditentukan oleh pergaulan hidup manusia dari masa ke masa. Hukum berkembang dari suatu masyarakat sederhana yang tercermin pada setiap tingkah laku individu-individu kepada masyarakat yang kompleks, dimana kesadaran hukum rakyat nampak dari ucapan-ucapan para ahli hukumnya".7
Berkaitan dengan pandangan seperti ini Soerjono Soekanto mengemukakan argumentasi sebagai berikut: "Saran dari Von Savignij seperti ini tidak dapat dikesampingkan begitu saja. Oleh sebab itu bagi ahli sosiologi, penelitian tentang hubungan antara hukum dengan struktur masyarakat beserta sistem nilainya sangatlah penting. Dengan demikian pendapat ini nampak menjadi pegangan banyak ahli sosiologi yang melihat bahwa sistem hukum sesungguhnya tidak terlepas dari sistem sosial yang lebih luas, dan antara sistem hukum tadi dengan aspek-aspek sistem sosial lainnya terdapat hubungan timbal balik dan saling mempengaruhi".8 Berdasarkan dua pendapat tersebut, maka menurut aliran sosiologis, pemahaman hukum akan selalu dikaitkan dengan struktur masyarakat dan sistem nilai yang ada di dalamnya. Hal ini berarti hukum tidak dapat dilepaskan dari konteks gejala sosial kemasyarakatan. Oleh sebab itulah konsep-konsep hukum maupun teori hukum akan selalu diketemukan di dalam Hukum Ditinjau Dari Perspekstif Normatif Yuridis. Madzhab positivisme hukum merupakan akar dari pemahaman hukum dari perspektif normatif yuridis. Madzhab ini melahirkan teori hukum murni yang pada hakikatnya menolak pandangan dari madzhab hukum historis Von Savignij. Dari perspektif ini hukum dipandang sebagai perintah penguasa yang dituangkan dalam Undang-Undang (perundang-undangan). Artinya hukum tidak lain adalah suatu perintah dari mereka yang memegang kekuasaan tertinggi atau yang memegang kedaulatan. Oleh sebab itu menurut pandangan ini tidak ada hukum di luar UndangUndang (perundang-undangan). Hukum harus bersifat logis (dapat ditangkap oleh akal budi manusia), konsisten (selalu tetap dan tegas), dan tertutup (tidak dipengaruhi oleh kepentingan-kepentingan yang tidak yuridis). Dalam pemahaman ini, hukum harus dilepaskan dari anasir-anasir yang tidak yuridis, seperti sejarah, ekonomi, politik, budaya dan anasir lain yang tidak yuridis.11 Pandangan yang demikian inilah yang sering memunculkan argumentasi bahwa hukum, undang-undang maupun perundang-undangan adalah sama. Bahkan tidak jarang, jika terjadi suatu peristiwa hukum yang tidak ada parangkat peraturan secara tertulis (UndangUndang/Perundang-undangan) orang langsung menganggap telah terjadi suatu rechtsvacuum (kekosongan hukum). Dari argumentasi yang seperti inilah, maka pengertian hukum dapat dirumuskan sebagai seperangkat paraturan yang sengaja dibentuk oleh penguasa dan tersusun secara tertulis yang dipergunakan untuk mengatur kehidupan masyarakat dan berlaku serta bersifat mengikat umum yang apabila dilanggar akan dikenai sanksi yang tegas. Dalam kaitan dengan pengertian tersebut di atas, John Austin menegaskan adanya 4 (empat) unsur penting untuk dapat dinamakan hukum, yaitu perintah, sanksi, kewajiban,
dan kedaulatan. Ketentuan-ketentuan yang tidak mengandung keempat unsur ini bukanlah merupakan hukum positif, melainkan hanya sebagai moral positif. Lebih lanjut dikemukakan bahwa keempat unsur tersebut memiliki keterkaitan yang dapat dijelaskan sebagai berikut: "Unsur perintah berarti bahwa satu pihak menghendaki agar orang lain melakukan kehendaknya, pihak yang diperintah akan mengalami penderitaan jika perintah itu tidak dijalankan atau ditaati. Perintah itu merupakan pembedaan kewajiban terhadap yang diperintah, dan yang terakhir ini hanya dapat terlaksana jika yang memerintah itu adalah pihak yang berdaulat. Dan yang memiliki kedaulatan itu dapat berupa seseorang atau sekelompok orang (a souvereign person, or a souvereign body of person)".12 Dari pandangan positivisme hukum ini, maka kita bisa membedakan hukum ditinjau dari perspektif sosiologis empiris dan dari perspektif normatif yuridis. Berdasarkan perspektif sosiologis empiris, hukum itu tidak dibuat, karena tumbuh dan berkembang bersamaan dengan pertumbuhan dan perkembangan masyarakat itu sendiri. Sanksi yang dimunculkan bukan berdasarkan pada pemegang kedaulatan, melainkan muncul dengan sendirinya, karena sanksi itu justru berasal dari masyarakat itu sendiri. Sanksi yang dimaksud disini - menurut kacamata positivisme hukum -hanyalah dalam dataran moral positif. Sedangkan dari sudut pandang normatif yuridis, hukum itu selalu dibuat, dan yang membuat hukum itu adalah penguasa yang memiliki kedaulatan. Pembuatan hukum itu harus melalui rumusan yang konkrit, yakni tertulis, dan jikalau ada yang tidak menjalankan atau mentaati, maka akan dikenai sanksi oleh pembuat hukum, yakni seseorang atau sekelompok orang yang dianggap berdaulat tersebut. Sanksi yang dimaksud disini tidak lain adalah berupa penderitaan. 2. Pengertian Negara. Untuk mengkaji berbagai hal yang berkaitan dengan Hukum Tata Negara, maka kita perlu memahami terlebih dahulu pengertian dan hakikat negara itu sendiri. Hal ini penting, karena Hukum Tata Negara pada intinya mengatur perihal kehidupan organisasi yang disebut negara. Menurut LJ. Van Apeldorn pengertian negara menunjuk pada berbagai gejala yang sebagian termasuk pada kenyataan, dan sebagian lagi menunjukkan gejala-gejala hukum.13 Lebih lanjut dikemukakan bahwa negara mempunyai berbagai arti, yaitu: a. Perkataaan negara dipakai dalam arti penguasa, jadi untuk menyatakan orang atau orang-orang yang memiliki kekuasaan tertinggi atas persekutuan rakyat yang bertempat tinggal dalam suatu daerah;
b. Perkataan negara juga dapat diartikan sebagai suatu persekutuan rakyat, yakni: untuk menyatakan suatu bangsa yang hidup dalam suatu daerah, di bawah kekuasaan tertinggi, menurut kaidah-kaidah hukum yang sama; c. Negara ialah suatu wilayah tertentu. Dalam hal ini, perkataan negara dipakai untuk menyatakan sesuatu daerah, dimana diam sesuatu bangsa di bawah kekuasaan yang tertinggi; d. Negara diartikan sebagai Kas Negara atau fiskus, yang maksudnya ialah harta yang dipegang oleh penguasa guna kepentingan umum.14 Beberapa arti negara sebagaimana dikemukakan oleh Apeldorn tersebut di atas menunjukkan bahwa unsur utama dan terpenting dari negara adalah kekuasaan dan penguasa. Hal ini berarti pemahaman mengenai negara dan kekuasaan menjadi satu kesatuan yang tak terpisahkan, artinya suatu persekutuan atau organisasi yang ada tanpa ada unsur kekuasaan dan penguasa tentu belum dapat dikategorikan sebagai negara. Lain daripada itu pengertian tersebut di atas mengandung pemahaman mengenai negara baik dalam lingkup sosiologis maupun lingkup hukum. Dengan demikian pemahaman mengenai negara mengandung dua dimensi, yaitu pertama; 13 LJ. Van Apeldorn, 1981, Pengantar Ilmu Hukum, Pradya Paramita, Jakarta, him. 204. negara 14 Ibid. sebagai suatu persekutuan rakyat yang berada di bawah satu kekuasaan menurut kaidah-kaidah hukum yang sama. Kedua; negara ditempatkan dalam persoon-persoon (badan-badan) tertentu yang melakukan kekuasaan tertinggi dalam suatu wilayah (daerah). Berpijak dari pengertian ini, maka pelajaran Hukum Tata Negara tentunya berkisar pada dimensi pengertian tersebut, negara ditnjau dari aspek Hukum sekaligus juga ditinjau dari aspek sosial (politik). Oleh Apeldorn dikemukakan bahwa salah satu pengertian negara adalah suatu wilayah atau daerah tertentu yang didiami oleh suatu bangsa. Pengertian negara yang demikian ini sudah tidak lagi sesuai dengan perkembangan abad modern seperti sekarang ini. Kenyataan menunjukkan bahwa di dalam suatu negara tidak hanya terdiri dari satu bangsa saja, melainkan juga dijumpai adanya negara yang di dalamnya terdiri dari berbagai bangsa (multi bangsa). Pendapat Apeldorn tersebut dapat diterima sepanjang pengertian bangsa yang dimaksud disini dalam lingkup nasionaliteit (kewarganegaraan). Sehubungan dengan hal ini Keniche Ohmae mengemukakan bahwa, kita sekarang hidup dalam dunia tanpa batas, di mana negara bangsa telah menjadi sebuah "rekaan" dan dimana para politikus telah kehilangan semua kekuatan efektif mereka.15
Ketidaksesuaian pendapat yang dikemukakan oleh Apeldorn dengan kenyataan yang berkembang dewasa ini, telah disempurnakan oleh Bierens de Hans yang mengemukakan bahwa negara adalah lembaga manusia; manusialah yang membentuk negara. Manusia yang membentuk negara itu, merupakan mahluk perorangan (endelwezen) dan merupakan juga mahluk sosial (gemeenschapswezen). Masyarakat dalam dirinya secara alami mengandung keinginan untuk berorganisasi yang timbul 15 Anthony Giddens, 1999, The Third Way Jalan Ketiga Pembaruan Demokrasi Sosial, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, him. 33. karena
dorongan dari dalam. Negara adalah bentuk berorganisasinya suatu masyarakat, yaitu masyarakat bangsa. Meskipun masyarakat bangsa terbagi dalam kelompok-kelompok, negara membentuk kesatuan yang bulat dan mewakili sebuah cita (een idee vertegemuoordigt). Dalam kaitan dengan pengertian negara, Miriam Budiarjo mengemukakan bahwa negara adalah organisasi kekuasaan atau integrasi dari kekuasaan politik, ia adalah organisasi pokok dari kekuasaan politik. Negara adalah agency (alat) dari masyarakat yang mempunyai kekuasaan untuk mengatur hubungan-hubungan manusia dalam masyarakat.17 Pengertian tersebut lebih menunjukkan adanya hubungan timbal balik antara manusia sebagai individu dan mahluk sosial di satu pihak dengan gejala-gejala kekuasaan yang ada di dalam masyarakat di pihak yang lain. Pendek kata, menurut Miriam Budiardjo, negara adalah organisasi kekuasaan politik. Dengan demikian, pandangan ini belum melihat negara dari perspektif hukum. Di dalam setiap pergaulan hidup masyarakat, akan selalu dijumpai adanya fenomena kekuasaan. Pendek kata, kekuasaan merupakan hal yang wajar di dalam setiap kehidupan masyarakat dan interaksi sosial yang ada. Oleh sebab itulah keberadaan negara dapat dipergunakan sebagai sarana (alat) bagi pengaturan kekuasaan-kekuasaan dalam masyarakat tersebut agar dapat dipergunakan sebagaimana mestinya. Artinya kekuasaan-kekuasaan tersebut dapat dipergunakan selaras dengan norma-norma atau kaidahkaidah hidup bersama, dan kekuasaan tersebut dapat dijalankan dengan tertib. Konsep pengertian negara sebagaimana dikemukakan oleh Miriam Budiardjo tersebut nampaknya lebih mendekati kenyataan,
16 Bierens de Hans, dalam Hamid S. Attamimi, 1990, (Disertasi), Peranan Keputusan Presiden RI Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara (Suatu Analisis Mengenai Keputusan Presiden Yang Berfungsi Pengaturan Dalam Kurun Waktu PELITA I - PELITA TV), Pascasarjana UI, Jakarta, him. 53-54. 17 Miriam Budiardjo, 1986, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia, Jakarta, him. 38.
khususnya jika diletakkan dalam konteks terbentuknya suau organisasi kemasyarakatan yang disebut negara. Hal ini mengingat terjadinya atau terbentuknya negara di dasarkan oleh adanya penggabungan (baca: integrasi) dari kekuasaankekuasaan politik yang terdapat di dalam masyarakat. Penggabungan ini mempunyai tujuan untuk menertibkan kekuasaan dalam masyarakat itu sendiri. Berdasarkan pemahaman yang demikian itu, pengertian negara sudah mulai dihubungkan dengan perangkat peraturan (rule of the game). Oleh sebab itu keberadaan hukum di dalam pembentukan suatu negara menjadi bagian yang tidak terpisahkan antara satu dengan yang lain. Dengan adanya gejala perangkat peraturan hukum inilah, tindakan penertiban terhadap gejala-gejala kekuasaan (politik) di dalam masyarakat dapat dilakukan. Lain daripada itu membicarakan suatu
organisasi yang disebut negara, maka akan dijumpai adanya unsur yang tidak dapat dipisahkan, yaitu kekuasaan. Pertanyaannya adalah apa hakikat dari sumber kekuasaan itu? Berkaitan dengan pertanyaan tersebut, Mochtar Kusumaatmaja mengemukakan bahwa kekuasaan sering bersumber pada kekuatan fisik (force), akan tetapi hal ini tidak menjadi satu-satunya ukuran untuk menentukan ada tidaknya kekuasaan. Di samping itu kekuasaan dapat juga bersumber pada wewenang formal (formal authority). Berdasarkan pada pemahaman ini, maka kekuasaan adalah fenomena yang beraneka ragam bentuknya (polyform) dan banyak macam sumbernya. Hanya hakikat kekuasaan dalam berbagai bentuk itu tetap sama, yaitu kemampuan seseorang untuk memaksakan kehendaknya atas pihak lain.18 Bila hakikat kekuasaan itu kita hubungkan dengan pengertian negara, maka yang dimaksud disini adalah kemampuan yang dimiliki oleh unsur-unsur masyarakat untuk memaksakan kehendak atas terbentuknya suatu organisasi 18 Mochtar Kusumaatmaja, Tanpa tahun, Fungsi dan Perkembangan Hukum dalam Pembangunan Nasional, Bina Cipta, Jakarta, him. 4-6. yang disebut negara. Hal
ini berarti masyarakatlah yang mempunyai kekuasaan (dalam arti kekuatan) untuk melaksanakan kehendak-kehendaknya, khususnya dalam membentuk suatu organisasi yang disebut negara. Pandangan semacam ini dalam perkembangan ilmu negara sering diletakkan dalam konsepsi teori kedaulatan rakyat. Johan Galtung memberikan argumentasi mengenai sifat kekuasaan dengan dua dimensi yang nampak dipermukaan, yaitu dimensi yang mempesona sekaligus dimensi yang menakutkan. Kekuasaan mempunyai sifat dalam konteks dimensi yang mempesona karena dengan kekuasaan itu orang atau kelompok orang akan memperoleh berbagai fasilitas baik materiil maupun moril, dan sekaligus dengan kekuasaan yang dimiliki tersebut akan dapat mengendalikan chaos (kesemrawutan) di dalam masyarakat. Sedangkan dimensi sifat yang menakutkan karena kekuasaan itu cenderung untuk disalahgunakan, menindas, manipulatif yang pada akhirnya sering menyengsarakan masyarakat baik secara individual maupun struktural.19 Di samping unsur kekuasaan menjadi sendi pokok dalam organsasi yang disebut negara, maka ada sendi lain yang tidak dapat dilupakan begitu saja. Sendi yang dimaksud disini adalah menyangkut ada tidaknya proses penyatuan masyarakat-masyarakat (integrasi) dalam rangka membentuk organisasi yang disebut negara. Sehubungan dengan hal ini CR Birch mengemukakan bahwa secara teoritik integrasi masyarakat tersebut dapat dibedakan dan sekaligus melalui dua tahapan sebagai berikut:
a. Integrasi Nasional; adalah proses menyatunya kelompokkelompok masyarakat dalam bidang politik-historis, sosiokultural, interaksi (transportasi-komunikasi) dan ekonomis, sehingga menjadi kelompok yang lebih besar dari kelompok daerah (regional), tetapi bukan kelompok internasional yang mempunyai identitas berbeda dari kelompok lain sesamanya. Integrasi nasional seperti ini disebut Bangsa.
b Integrasi negara; adalah proses munculnya kelompok penguasa yang menguasai wilayah bangsa itu secara bertahap. Pertama, menundukkan saingan-saingannya; kedua, menentukan batas-batas kekuasaannya; ketiga, menciptakan polisi dan pengadilan untuk menciptakan ketertiban, dan keempat, tahap penetrasi administrasi, yaitu pembentukan birokrasi untuk melaksanakan UndangUndang dan pengumpulan pajak.20 Argumentasi CF. Birch tersebut di atas menunjukkan sekali lagi bahwa yang dimaksud negara tidak lain adalah organisasi kemasyarakatan yang dibentuk melalui dua tahapan proses, vakni integrasi nasional dan integrasi negara. Dalam tahapan proses integrasi negara itulah unsur kekuasaan mulai memainkan peranan penting, khususnya dalam hal melakukan pengaturan hidup bersama. Sementara itu dalam proses integrasi nasional yang membentuk bangsa, unsur kekuasaan bukan menjadi satu-satunya pilar untuk mengikat kelompokkelompok masyarakat melainkan lebih pada unsur politikhistoris, sosio-kultural dan interaksi antar kelompok yang menjadi pilar utamanya. Masih berkaitan dengan pengertian negara, Max Weber mengemukakan bahwa negara adalah satu-satunya lembaga yang memiliki keabsahan untuk melakukan tindakan kekerasan kepada warganya. Hal ini menunjukkan bahwa kalau kita berbicara mengenai negara salah satu aspek yang paling menonjol adalah kekuasaan yang besar.21 Argumentasi seperti ini menunjukkan bahwa unsur utama dan pertama dari suatu organisasi yang disebut negara tidak lain adalah kekuasaan (dalam arti keabsahan untuk melakukan kekerasan). Oleh sebab itulah tidak berlebihan jikalau negara bisa juga disebut sebagai organisasi kekuasaan. Sebagai suatu organisasi kekuasaan, maka di dalam negara tentunya tidak hanya terdiri dari satu kekuasaan tunggal saja, melainkan tentunya terdapat berbagai jenis kekuasaan. 20 PJ. Suwarno, 1994, Hamengku Buwono IX Dan Sistem Birokrasi Pemerintahan Yogyakarta 1942-1974 Sebuah Tinjauan Historis, Kanisius, Yogyakarta, him. 37. 21 Arief Budiman, 1996, Teori Negara (Negara, Kekuasaan Dan Ideologi), Gramedia, Jakarta, him. 6. Organisasi kekuasaan sama artinya dengan adanya berbagai kekuasaan yang melakukan penggabungan membentuk suatu persekutuan (organisasi). Argumentasi seperti ini dilandasi oleh anggapan bahwa yang disebut organisasi - entah apapun bentuk dan tujuannya -di dalamnya akan selalu menyangkut berbagai unsur yang saling berhubungan antara satu dengan lain guna mewujudkan suatu tujuan yang sama. Untuk mencapai tujuan tersebut maka unsur-unsur yang ada di dalamnya saling melakukan kerja sama dan pembagian tugas. Negara sebagai organisasi kekuasaan tentunya juga mempergunakan dasar pemahaman yang demikian. Oleh sebab itu sebagai suatu kumpulan kekuasaan yang terintegrasi di dalam suatu organisasi, maka diperlukan perangkat penataan agar ketika kekuasaan-kekuasaan tersebut dilaksanakan justru
tidak menimbulkan dimensi sifat yang menakutkan, sebagaimana dikemukakan oleh Johan galtung di atas. Lain daripada itu perangkat pengaturan tersebut juga sangat diperlukan, mengingat sifat kodrati dari kekuasaan itu cenderung disalahgunakan, seperti yang pernah dikemukakan oleh Lord Acton. Perangkat pengaturan yang dimaksud antar lain menyangkut pembentukannya, tugas, fungsi, wewenang dan tanggung jawab yang dimiliki oleh masing-masing kekuasaan serta hubungan antara komponen kekuasaan yang satu dengan lainnya maupun hubungan kekuasaan-kekuasaan itu dengan masyarakat yang dikuasai. Terkait dengan hal ini prinsip yang terpenting adalah bagaimanakah kekuasaan-kekuasaan tersebut dibatasi. Komponen pengaturan inilah yang akan menjadi pokok kajian Hukum Tata Negara.
kekuasaan - dimana sifat kodrati kekuasaan itu cenderung disalahgunakan - maka kewajiban untuk melindungi hakhak asasi warga negara menjadi mutlak dan diletakkan dalam tanggung jawab maupun tugas dari negara.
Pemisahan atau Pembagian Kekuasaan. Untuk memberikan jaminan terhadap perlindungan hak-hak asasi manusia, maka kekuasaan di dalam negara harus dipisah-pisah dan dilaksanakan oleh beberapa organ negara. Sejarah peradaban manusia membuktikan bahwa ketika kekuasaan itu dilaksanakan secara absolut oleh satu tangan dan dilaksanakan secara otoriter karena tidak dilandasi aturan main, maka terjadilah penindasan terhadap harkat dan martabat kemanusiaan. Oleh sebab itulah, antara kekuasaan menjalankan pemerintahan (eksekutif), kekuasaan membentuk perundang-undangan (legislatif), dan kekuasaan untuk melaksanakan peradilan (yudikatif) harus dipisahkan. Implementasi dari prinsip pemisahan kekuasaan ini dapat beraneka ragam. Ada yang berdimensi pembagian kekuasaan, yakni pemisahan dari aspek kelembagaan sedangkan mengenai fungsi dan tugasnya masih tetap bisa saling berhubungan. Ada juga yang berdimensi pemisahan secara tegas baik secara kelembagaan maupun fungsi dari masing-masing pemegang kekuasaan tersebut. Terlepas dari implementasi tersebut, pada hakikatnya unsur adanya pemisahan atau pembagian kekuasaan yang ada di dalam organisasi kekuasaan yang disebut negara tetap bertujuan agar kekuasan-kekuasaan itu tidak disalahgunakan yang pada akhirnya justru menindas harkat dan martabat kemanusiaan dari warga negara. Asas Legalitas Pemerintahan. Maksud dari asas ini adalah pemerintah dalam melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya harus berdasarkan pada hukum atau peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hukum harus menjadi landasan bagi negara dalam menjalankan pemerintahan. Prinsip peradilan yang bebas dan tidak memihak. Prinsip seperti ini bagi negara hukum sangatlah penting. Supremasi hukum yang diletakkan dalam kehidupan ketatanegaraan harus benar-benar terjamin pelaksanaannya. Peradilan yang bebas dan tidak memihak tidak semata-mata diletakkan dalam konteks kebebasan lembaga peradilan, yakni melalui prinsip
Pendahuluan 19 independensi hakim, melainkan harus diletakkan dalam konteks proses peradilan dalam rangka penegakan hukum (law enforcement). Dengan demikian dalam mekanisme proses peradilan yang harus bebas dan tidak memihak menyangkut organ-organ penegak hukum, seperti hakim, Jaksa, Kepolisian maupun para pengacara (advokat). Unsur-unsur yang terdapat di dalam konsep negara hukum yang demikian ini, menjadikan negara berperan sebagai pencipta hukum sekaligus penegak hukum dalam rangka menjaga keamanan dan ketertiban hidup bersama dalam ikatan organisasi kekuasaan yang disebut negara. Kendati negara adalah pencipta hukum, namun negara harus tetap tunduk pada hukum ciptaannya. Argumentasi inilah yang mengakibatkan negara hanya berfungsi layaknya sebagai penjaga malam. Artinya negara berfungsi menciptakan hukum, dan melalui hukum ciptaannya itulah diharapkan dapat tercipta keamanan dan ketertiban di dalam negara. Negara hanya dikonstruksikan sebagai alat untuk menjunjung tinggi keamanan dan ketertiban hidup bersama. Konsepsi seperti ini kemudian lazim disebut Negara Hukum Formal. Seturut dengan perkembangan pemikiran mengenai negara dan hukum, unsur-unsur yang terdapat di dalam konsep negara hukum formal tersebut di atas juga mengalami perkembangan. Pendek kata, dalam perkembangan pemikiran negara dan hukum, tugas dan fungsi negara tidak hanya terbatas pada konstruksi tugas dan fungsi ketiga kekuasaan yang ada (legislatif, eksekutif dan yudikatif) serta menjaga keamanan dan ketertiban. Hal ini mengingat semakin beragamnya kehidupan masyarakat (warga negara) dengan berbagai macam dimensi yang ada di dalamnya. Pola-pola kehidupan dan kegiatan dari warga negara makin lama sukar untuk dipisahkan dengan pola dan kegiatan yang dilakukan oleh negara (pemerintah). Di lingkungan warga negara muncul organisasi-organisasi yang manifestasinya juga mengarah kepada kekuasaan, seperti partai politik, golongan fungsional, dan lain sebagainya. diletakkan dalam tataran ide, konsep, dan gagasan yang masih bersifat teoritis dengan pendekatan filsafati. Sedangkan Hukum Tata Negara obyek kajiannya adalah negara dalam pengertian yang konkrit. Pengertian konkrit disini adalah mengkaji Hukum Tata Negara Positif, yakni Hukum Tata Negara yang berlaku saat ini dan di suatu tempat, dalam hal ini adalah Indonesia. Telah kita ketahui bersama bahwa hakikat negara tidak lain adalah organisasi kekuasaan. Sebagai suatu organisasi tentunya susunan negara terdiri dari bagian-bagian yang mempunyai ikatan dengan keseluruhan dan saling melakukan kerjasama untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Dalam rangka melakukan kerjasama tersebut maka suatu organisasi juga harus ada mekanisme pembagian tugas, fungsi dan wewenang
diantara bagian-bagian tersebut. Bagian-bagian yang dimaksud di dalam organisasi kekuasaan tersebut tidak lain dan tidak bukan adalah cerminan dari aspek-aspek kekuasaan itu sendiri. Dalam lingkup pengetahuan Hukum Tata Negara aspek-aspek dari pelaksana kekuasaan seperti ini sering disebut sebagai alatalat perlengkapan negara. Untuk mencapai tujuan tertentu alat-alat perlengkapan negara tersebut masing-masing mempunyai wewenang, tugas, kewajiban dan tanggungjawab. Akan tetapi dalam melaksanakan hal ini, alat-alat perlengkapan negara tersebut tidak dapat melepaskan diri dari ikatan antara satu dengan yang lain sebagai satu kesatuan organisasi. Berdasarkan pemahaman ini, maka pokok kajian Hukum Tata Negara akan berkisar pada: 1. Bentuk dan cara pembentukan atau penyusunan alat-alat perlengkapan negara. Dalam hal ini juga menyangkut bentuk organisasi negara yang dikehendaki; 2. Wewenang, fungsi, tugas, kewajiban dan tanggungjawab dari masing-masing alat perlengkapan negara; 3. Hubungan antara alat perlengkapan negara baik yang bersifat vertikal maupun horizontal; 4. Hubungan antara warga negara termasuk hak-hak asasi dari warga negara sebagai anggota organisasi. Keempat bidang kajian tersebut pada prinsipnya tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lain, sebab baik bentuk, hubungan antar alat perlengkapan negara secara vertikal maupun horizontal (termasuk wewenang, fungsi, tugas, kewajiban dan tanggung jawab masing-masing), serta hubungan antara warga negara dengan negara (termasuk hakhak asasi manusia/ warga-negara) pada akhirnya akan melahirkan suatu sistem tertentu yang akan dipergunakan dalam menggerakkan mekanisme kehidupan organisasi dari negara yang bersangkutan. Hubungan Antar Alat Perlengkapan Negara. 1. Hubungan Horizontal. Yang dimaksud hubungan horizontal adalah hubungan antar alat perlengkapan negara di tingkat pusat sebagai akibat adanya prinsip trias politika yang menghendaki adanya pemisahan/ pembagian kekuasaan terhadap cabang-cabang kekuasaan di dalam negara. Dengan demikian dimensi dari hubungan ini tidak lain adalah hubungan antara pemegang kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Namun demikian dalam tataran implementasi teori ketatanegaraan yang bersumber pada prinsip negara hukum, hubungan yang dimaksud disini tidak lain hanyalah hubungan antara kekuasaan legislatif dan eksekutif. Hanya menyangkut hubungan antara pemegang kekuasaan legislatif dan eksekutif, karena sebagaimana telah dikemukakan terdahulu dalam memahami negara hukum, kekuasaan yudikatif (peradilan) diletakkan sebagai kekuasaan yang bebas dan tidak memihak.
Berdasarkan pemahaman mengenai hubungan antara kedua alat perlengkapan negara ini, maka dapat diketahui sistem pemerintahan yang dipergunakan di tingkat pusat. Apakah itu sistem pemerintahan parlementer, presidensiil, campuran ataukah sistem pemerintahan dengan mempergunakan mekanisme Badan Pekerja (Swiss). 2. Hubungan Verikal. Sebagaimana telah kita ketahui bersama bahwa salah satu unsur terpenting dari negara menurut Konvensi Montevideo adalah memiliki suatu wilayah tertentu. Dengan adanya unsur ini, maka hubungan yang bersifat vertikal dalam kajian Hukum Tata Negara adalah mengenai kedudukan wilayah-wilayah di dalam negara tersebut. Apakah juga berkedudukan layaknya sebagai suatu negara, ataukah masih dalam satu ikatan negara. Titik tolak pembahasan yang menyangkut hubungan vertikal ini pada hakikatnya berkisar pada persoalan pemencaran kekuasaan dari Pemerintah Pusat (Negara) sampai ke tingkat pemerintahan yang paling rendah. Dengan demikian pembahasan yang dimaksud menyangkut: 1. Bentuk negara ditinjau dari susunannya, yakni negara serikat, konfederasi, dan kesatuan (dengan asas desentralisasi ataukah sentralisasi); dan 2. Sistem Pemerintahan Daerah. 3. Hubungan Negara dengan Warga Negara dan Hak-hak Asasi Manusia. Berdasarkan teori terbentuknya suatu negara, maka warga negara merupakan salah satu unsur terpenting yang harus dipenuhi. Hal ini disebabkan pada hakikatnya tidak ada satupun negara yang tersusun atau lahir secara tiba-tiba tanpa melalui proses yang melibatkan orang-orang yang ada di dalamnya untuk menggabungkan diri ke dalam ikatan organisasi yang disebut negara. Orang-orang yang menggabungkan diri dalam ikatan organisasi kekuasaan yang disebut negara inilah yang kemudian disebut sebagai Warga Negara. Oleh sebab itulah keberadaan warga negara perlu mendapat perhatian dalam melaksanakan pengkajian mengenai obyek Hukum Tata Negara. Pengkajian yang dimaksud meliputi asas-asas dan persyaratan bagi kewarganegaraan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia yang dilakukan oleh negara.
untuk membedakan antara Hukum Tata Negara dengan Hukum Administrasi Negara. Istilah ini pararel dengan yang dipergunakan di Jerman, yakni Verfassungrecht dan Vervaltungrecht.24 Bagi khasanah Hukum di Indonesia yang tradisinya tidak banyak berbeda dengan tradisi hukum Belanda, tidaklah mengherankan jikalau sebagian besar pendapat para ahli Hukum Tata Negara terdapat garis hubungan dengan pendapat para ahli Hukum Tata Negara Belanda. Penggunaan istilah Hukum Tata Negara pun pada intinya merupakan terjemahan dari istilah bahasa Belanda, yakni Staatsrecht. Dalam kamus hukum diketemukan bahwa pengertian Staatsrecht sama dengan Hukum Tata Negara atau Hukum Negara, yakni keseluruhan dari norma-norma hukum yang mengatur bagaimana negara itu harus diselenggarakan, perundang-undangan, peradilan dan penentuan kekuasaan masing-masing badan serta hubungannya satu dengan yang lain.25 Istilah Staatsrecht menurut kepustakaan Belanda mempunyai 2 (dua) arti, yaitu Staatsrecht in ruimere zin (Hukum Tata Negara dalam arti luas) dan Staatsrecht in engere zin (Hukum Tata Negara dalam arti sempit).26 Selanjutnya Hukum Tata Negara dalam arti luas dapat dibagi dalam dua golongan, yaitu: 1. Hukum Tata Negara dalam ari sempit, atau hanya disebut Hukum Tata Negara; dan 2. Hukum Tata Usaha Negara (Administrative Recht), yang dalam khasanah ilmu Hukum di Indonesia lebih populer dengan sebutan Hukum Administrasi Negara.27
18
19 20 21
Moh. Kusnardi & Harmaily Ibrahim, 1983, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Pusat Kajian HTN-UI, Jakarta, him. 23. Lihat Pula Kartasapoetra RG, 1987, Sistematika Hukum Tata Negara, Bina Aksara, Jakarta, him. 1. Simorangkir JTC, et.all, 1980, Kamus Hukum, Cet H, Aksara Baru, Jakarta, him. 161. Moh. Kusnardi & Harmaily Ibrahim, Op,cit, him. 20. Usep Ranawijaya, Op.cit, him. 11.
Pengertian tersebut di atas terasa membingungkan, akan tetapi kalau dicermati lebih mendalam, maka yang dimaksud dengan pengertian Hukum Tata Negara dalam arti luas adalah gabungan antara Hukum Tata Negara (arti sempit) dan Hukum Administrasi Negara. Sedangkan pengertian Hukum Tata Negara sebagaimana judul dalam buku ini tidak lain adalah Hukum Tata Negara dalam arti sempit. Perumusan seperti ini mendasarkan pada prinsip residu yang menyatakan bahwa Hukum Administrasi itu merupakan Hukum Tata Negara dalam arti luas dikurangi Hukum Tata Negara dalam arti sempit.28 Ph. Kleintjes dalam buku yang berjudul Staatinstelling van Ned. Indiee mengatakan bahwa Hukum Tata Negara Belanda terdiri dari kaidah-kaidah hukum mengenai tata (inrichting) Hindia Belanda, yaitu tentang alat-alat perlengkapan kekuasaan negara (de met overheidsgezag bekleede organen) yang harus menjalankan tugas Hindia Belanda, dan tentang susunan (samenstelling), tata (inrichting), wewenang (bevoegdhegen), dan perhubungan kekuasaan (onderlinge machtverhouding) diantara alat-alat perlengkapan itu.29 Van Vollenhoven mengemukakan bahwa, Hukum Tata Negara itu mengatur semua masyarakat hukum tingkat atas dan bawah, yang selanjutnya menentukan wilayah lingkungan, menentukan badan-badan yang berkuasa, berwenang dan berfungsi dalam masyarakat hukum tersebut.30 Sementara itu Van Der Pot mengemukakan bahwa Hukum Tata Negara itu merupakan peraturan-peraturan yang menentukan berbagai badan yang demikian diperlukan, termasuk wewenang, fungsi dalam hubungan antara badanbadan itu dan antara badan-badan itu dengan para individu serta kegiatan-kegiatannya.31 Sedangkan Wade dan Philips mengatakan bahwa, Hukum Tata Negara merupakan
28 Moh. Kusnardi & Harmaily Ibrahim, Op.cit, him. 32. 29 Ph. Klientjes dalam Usep Ranawijaya, Op,rit, him. 12. 30 Van Vollenhoven, dalam Kartasapoetra, RG, Op.cit, him. 2. yang dimaksud untuk kumpulan peraturan 31 Loc.cit.
pengaturan alat-alat perlengkapan negara termasuk tugastugas dan hubungan antar alat perlengkapan negara tersebut.32 Berdasarkan beberapa pendapat para ahli tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa Hukum Tata Negara adalah sekumpulan peraturan (baik tertulis maupun tidak tertulis) yang mengatur mekanisme pembentukan tugas, fungsi, dan wewenang dari alat-alat perlengkapan negara serta hubungan antar alat-alat perlengkapan negara tersebut. Kesimpulan ini memang terasa belum lengkap untuk mewakili pemahaman mengenai definisi Hukum Tata Negara. Oleh sebab itu menurut hemat penulis yang dapat dianggap mewakili adalah pengertian yang telah penulis kemukakan di awal pembahasan ini.
tugasnya secara nyata, oleh sebab itu kedua ilmu itu dapat dikatakan mempelajari negara dalam keadaan "diam". Berdasarkan masing-masing kajian dari kedua bidang ilmu tersebut, maka hubungan antara Hukum Tata Negara dengan Ilmu Negara dapat diterangkan sebagai berikut. Untuk mempelajari Hukum Tata Negara dan segala aspek yang terkandung di dalamnya, tentu harus mempelajari dan menguasai terlebih dahulu Ilmu Negara. Artinya Ilmu Negara yang mempelajari dan mengkaji konsep-konsep, ide-ide maupun teori kenegaraan, pada hakikatnya merupakan sumber utama bagi penyelenggaraan praktek kehidupan kenegaraan. Sedangkan penyelenggaraan praktek kehidupan kenegaraan bila ditinjau dari aspek hukum jelas diatur oleh Hukum Tata Negara. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa landasan teori untuk mempelajari dan mengkaji Hukum Tata Negara tidak lain dan tidak bukan adalah Ilmu Negara. 2. Hubungan Hukum Tata Negara Dengan Ilmu Politik. Antara Hukum Tata Negara dan Ilmu Politik mempunyai kedekatan hubungan timbal balik yang sangat erat, bahkan kadang kala terasa sulit untuk dipisahkan. Oleh sebab itu hubungan yang semacam ini sering diibaratkan layaknya dua sisi dalam satu keping mata uang (two sides of one coin). Kedekatan seperti ini disebabkan oleh karena antara kedua ilmu tersebut pada hakikatnya membahas aspek kekuasaan dalam negara dan segala seluk beluk yang ada di dalamnya. Hukum Tata Negara mempelajari paraturan-peraturan hukum baik tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur organisasi kekuasaan, sedangkan Ilmu Politik juga mengkaji persoalan kekuasaan ditinjau dari aspek perilaku kekuasaan tersebut. Berbagai ketentuan hukum yang digariskan oleh Hukum Tata Negara sering disebabkan oleh adanya konsep-konsep perilaku kekuasaan negara sebagaimana dipelajari oleh Ilmu Politik. Demikian pula sebaliknya implementasi dari perilaku kekuasaan di dalam negara sering dan harus di dasarkan oleh konsep hukum yang terkandung di dalam Hukum Tata Negara. Peraturan Perundang-undangan jika ditinjau dari sudut pandang Ilmu Politik sejatinya merupakan hasil dari proses politik yang diwarnai oleh perilaku kekuasaan. Bahkan Peraturan Perundang-undangan itu pada hakikatnya merupakan bentuk dari suatu keputusan politik. Mengapa demikian? Karena Peraturan Perundang-undangan pada hakikatnya disusun dan dibentuk oleh lembaga-lembaga politik. Lain daripada itu Peraturan perundang-undangan pada hakikatnya merupakan kebijakan politik yang sarat dengan kepentingan-kepentingan politik. Sementara itu bagi Hukum Tata Negara, Peraturan Perundang-Undangan adalah produk hukum yang dibentuk oleh alat-alat perlengkapan negara yang diberi wewenang untuk itu dengan melalui prosedur dan tata cara yang telah digariskan oleh Hukum Tata Negara. Dengan mempergunakan cara pandang yang lain dapat juga dikemukakan bahwa perancangan Peraturan Perundang-
undangan di samping merupakan sebuah proses politik karena melibatkan komponen infra maupun supra struktur politik, sekaligus juga merupakan proses hukum. Kondisi yang demikian ini mengakibatkan para perancang peraturan perundang-undangan harus memformulasikan berbagai kepentingan termasuk perilaku kekuasaan yang ada ke dalam norma hukum perundang-undangan sepanjang tidak melanggar kaidah-kaidah dan asas-asas hukum yang dikenal dalam lingkup ilmu hukum termasuk Hukum Tata Negara.33 Politik (sebagai ilmu) dapat dikatakan sebagai ibu dari Hukum Tata Negara, artinya politiklah yang melahirkan rumusan-rumusan Hukum Tata Negara. Sebaliknya rumusan33 B. Hestu Cipto Handoyo, rumusan Hukum Drafting... .,Op.cit,Tata him. 208. Prinsip-Prinsip Legal
Negara dapat pula bertindak sebagai Ibu dari politik, artinya perilaku politik (dalam arti kekuasaan) harus berlandaskan pada rumusan-rumusan Hukum Tata Negara. Pemahaman semacam ini dapat dianalogkan dengan pertanyaan "lebih duluan mana antara telur dengan ayam". Gambaran lain mengenai hubungan Hukum Tata Negara dengan Ilmu Politik diungkapkan oleh Barents yang memberikan perumpamaan bahwa Hukum Tata Negara itu diibaratkan sebagai kerangka manusia, sedangkan Ilmu Politik bisa diibaratkan daging yang membalut kerangka tersebut.34 Sementara itu dalam argumentasi yang lain Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim mengemukakan bahwa dalam beberapa hal untuk mengetahui latar belakang dari suatu peraturan perundang-undangan sebaiknya perlu dibantu dengan mempelajari Ilmu Politik, karena kadang-kadang sukar diketahui apa maksud serta bagaimana terbentuknya suatu perundang-undangan itu.35 3. Hubungan Hukum Tata Negara dengan Hukum Administrasi Negara. Sebagaimana telah penulis kemukakan terdahulu bahwa, Hukum Administrasi Negara merupakan bagian dari Hukum Tata Negara dalam arti luas setelah dikurangi Hukum Tata Negara dalam arti sempit. Dengan kata lain, Hukum Administrasi Negara merupakan bagian dari Hukum Tata Negara dalam arti luas. Konsepsi seperti ini sering menjadi bahan perdebatan dikalangan ahli hukum. Disatu pihak ada yang menganggap bahwa antara Hukum Tata Negara dengan Hukum Administrasi Negara terdapat perbedaan yang bersifat prinsipiil, sedangkan dipihak yang lain menganggap bahwa antara keduanya tidak dijumpai adanya perbedaan yang bersifat prinsipiil. Golongan yang menganggap bahwa Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara terdapat perbedaan yang bersifat prinsipiil adalah Van Vollenhoven, Logemann dan 34 Barent, dalam Moh. Kusnardi & Harmaily Ibrahim, Op.cit, hlm. 30-31. 35 Loc.cit.
Stelingga. Sedangkan golongan yang menganggap tidak ada perbedaan prinsip adalah Kranenburg, Van der Pot dan Vegting.36 Bagi golongan yang menganggap ada perbedaan yang berifat prinsipiil antara Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara melandaskan pada argumentasiargumentasi sebagai berikut: 1. Hukum Administrasi Negara merupakan peraturanperaturan hukum yang tidak masuk di dalam lingkup bidang hukum materiil, baik Hukum Tata Negara Materiil, Hukum Perdata Materiil maupun Hukum Pidana Materiil. Ini berarti Hukum Administrasi Negara dianggap masuk dalam kategori Hukum Formil. 2. Hukum Tata Negara mempelajari struktur organisasi dari suatu negara beserta aspek-aspek yang terkandung di dalamnya, seperti fungsi dan wewenang organ-organ yang terdapat di dalam organisasi yang disebut negara, hubungan antar organ-organ negara, hubungan antara organ negara dan penduduknya. Sedangkan Hukum Administrasi Negara mempelajari jenis hukum dan akibatakibat hukum yang dilakukan oleh organisasi yang disebut negara. 3. Hukum Tata Negara mempelajari negara dalam keadaan diam, artinya hanya mempelajari susunan organisasi dari suatu negara yang menyangkut tugas, wewenang dan kewajiban. Sedangkan Hukum Administrasi Negara mempelajari negara dalam keadaan bergerak, yaitu mempelajari bagaimana prinsip-prinsip hukum mengenai pelaksanaan dari tugas, wewenang dan kewajiban negara tersebut.37 Sementara itu bagi golongan yang berpendapat bahwa Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara tidak
RG,
pada
1. Antara Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara tidak ada perbedaan yang bersifat prinsipiil. Kalaupun ada pembedaan hal itu semata-mata sebatas berfungsi sebagai pembagian kerja dalam rangka memenuhi kepentingan Ilmu Pengetahuan. 2. Bidang kajian Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara adalah sama. Sedangkan langkahlangkah pembedaan yang dilakukan hanyalah bermaksud
untuk lebih memperjelas mengenai sistem-sistem hukum yang berlaku diantara keduanya. 3. Obyek kajian Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara, yaitu negara sedangkan yang membedakan adalah penyelidikannya, yaitu bahwa Hukum Tata Negara melakukan penyelidikan mengenai hal-hal yang asasi tentang negara. Sedangkan Hukum Administrasi Negara melakukan penyelidikan mengenai hal-hal yang bersifat teknis mengenai negara.38 Dari kedua golongan pandangan tersebut di atas, penulis lebih condong mengikuti pandangan yang mengemukakan bahwa antara Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara tidak ada perbedaan yang bersifat prinsipiil. Hal ini disebabkan kedua merupakan cabang Ilmu Hukum yang sama-sama mengatur mengenai organisasi kekuasaan yang disebut negara. Pembedaan disini hanya menyangkut substansi pengkajiannya. Hukum Tata Negara melakukan pengkajian tentang organisasi negara dan seluk beluk yang ada di dalamnya ditinjau dari aspek hukum materiilnya. Sedangkan Hukum Administrasi Negara melakukan pengkajian tentang organisasi negara, namun subtansinya menyangkut hukum formilnya (acara), artinya mengkaji aspekaspek hukum ketika organisasi kekuasaan yang disebut negara itu melaksanakan aktifitasnya.
Lain daripada itu, sebenarnya pandangan yang mengatakan bahwa antara Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara merupakan cabang ilmu hukum yang mengandung perbedaan-perbedaan yang bersifat prinsipiil, sebenarnya merupakan pandangan klasik yang dewasa ini sudah tidak mungkin lagi dapat dijadikan referensi. Argumentasi seperti ini berlandaskan pada pemahaman bahwa dewasa ini pola kehidupan kenegaraan sudah mengalami perubahan yang sedemikian pesat, khususnya sejak diterapkannya konsep Negara Hukum Materiil atau sering disebut Negara Kesejahteraan (welfare state). Dalam konsep negara hukum materiil fungsi negara tidak hanya sebatas kepada fungsi pemerintahan (eksekutif), pembentukan perundang-undangan (legislatif), dan fungsi peradilan (yudikatif). Fungsi negara hanya sebatas menciptakan ketertiban dan keamanan hidup bersama. Fungsi negara dalam konsep negara hukum materiil sudah bergeser kearah public services dalam rangka peningkatan kesejahteraan umum warga negara. Dengan adanya pergeseran fungsi yang demikian inilah, maka konsep-konsep yang terdapat di dalam bidang kajian Hukum Tata Negara dan yang terdapat di dalam bidang kajian Hukum Administrasi Negara sukar sekali untuk dipisahkan. Walaupun mungkin masih tetap dapat dibedakan. Bahkan dalam berbagai kesempatan, pengkajian terhadap kedua konsep ilmu pengetahuan ini menjadi satu kesatuan dan tidak
bisa untuk dipisahkan. Contohnya adalah fungsi pembentukan peraturan perundang-undangan. Peraturan Perundang-undangan sebagai produk hukum selalu akan dilandasi dan sekaligus dikaji oleh doktrin-doktrin (teori) Hukum Tata Negara. Kendatipun demikian, dalam proses penyusunan peraturan perundang-undangan, baik itu dari aspek perencanaannya, proses penyusunannya, proses pengesahannya serta pengundangannya, sumbangan dari doktrin (teori) Hukum Administrasi Negara tidak mungkin dinafikan begitu saja. Hal ini mengingat ditinjau dari aspek perencanaan, penyusunan draft yuridis sampai dengan pengesahan dan pengundangan dari suatu peraturan perundang-undangan, kerja-kerja yang bersifat administratif menjadi bagian yang tak terpisahkan. Contoh lain yang dapat dikemukakan disini adalah menyangkut obyek penyelidikan Hukum Tata Negara mengenai pengertian dan hakikat Pemerintah. Pengertian dan hakikat Pemerintah sebagaimana dikembangkan pada saat berlakunya prinsip negara hukum klasik (formal) tentunya sudah tidak sesuai lagi dengan pengertian dan hakikat pemerintah menurut paham negara hukum kesejahteraan (materiil). Dalam konsep negara hukum kesejahteraan, pengertian dan hakikat Pemerintah tidak hanya sebatas pada fungsifungsi eksekutif semata, bahkan kadang kala juga melaksanakan fungsi pengaturan dan fungsi yudisiil. Hal ini disebabkan tugas dan fungsi pemerintah dalam konsep negara kesejahteraan sudah sedemikian kompleks bahkan menjangkau sebagian besar kehidupan ketatanegaraan dan warga negara. Mengapa demikian? Ya karena untuk melaksanakan fungsi public services dalam rangka meningkatkan kesejahteraan umum, Pemerintah (negara) diberi wewenang untuk mengatur berbagai aspek kehidupan negara dan warga negara. Berdasarkan pemahaman arti pemerintah menurut konsep negara hukum kesejahteraan yang demikian inilah, maka Hukum Tata Negara yang salah satu kajiannya menyangkut tugas, fungsi dan wewenang Pemerintah tidak mungkin akan terlepas dari pelaksanaan dari fungsi dan tugas-tugas secara konkrit yang merupakan bidang kajian Hukum Administrasi Negara. Berkaitan dengan hal ini, Sudargo Gautama mengemukakan: "Negara hukum yang modern dianggap mempunyai kewajiban yang lebih luas. Negara yang modern harus mengutamakan kepentingan seluruh masyarakat. Kemakmuran dan keamanan sosial, bukan hanya keamanan senjata yang harus dikejar. Kemakmuran seluruh lapisan masyarakat yang harus dicapai. Berdasarkan tugas pemerintah ini, maka penguasa jaman sekarang turut serta aktif dalam mengatur pergaulan hidup dari khalayak ramai. Lapangan kerja penguasa pada waktu ini jauh lebih besar daripada pemerintah model kuno".39
Lebih lanjut dikemukakan bahwa untuk menjalankan tugas dengan sempurna, maka penguasa sekarang sangat memerlukan kemerdekaan bergerak. Untuk memelihara kesejahteraan umum, badan penyelenggara penguasa ini, yang lazim disebut administrasi, memerlukan kebebasan bertindak. Segala sesuatu dalam batas-batas patokan yang dalam garis besar ditentukan oleh Undang-Undang.40 Dari pendapat yang dikemukakan oleh Sudargo Gautama tersebut di atas, nampak jelas bahwa pengkajian mengenai pengertian dan hakikat Pemerintah dalam lingkup Hukum Tata Negara dewasa ini menjadi tidak terpisahkan dengan pengertian dan hakikat pemerintah sebagaimana juga dibahas dan dikaji di dalam Hukum Administrasi Negara. Bahkan menurut Sudargo Gautama kata pemerintah dan penguasa dikonotasikan sebagai administrasi. Hal ini merupakan salah satu bukti dari sekian banyak bukti yang menunjukkan bahwa konsepsi negara kesejahteraan (negara hukum modern) baik yang dikaji di dalam Hukum Tata Negara maupun Hukum Administrasi Negara tidak dapat dipisahkan.
menjadi hukum di dalam negara (welbron). Kedua; sumber hukum dalam arti bentuk perumusan dari kaidah-kaidah Hukum Tata Negara yang terdapat di dalam masyarakat darimana kita dapat mengetahui apa yang menjadi hukum itu (kenbron).^ Pengertian seperti ini menunjukkan bahwa sumber hukum terdiri dari segala sesuatu yang menentukan isi dari hukum (sumber hukum ditinjau dari aspek materiil) dan sumber hukum yang menunjukkan pada bentuk perumusan kaidah-kaidah hukum (sumber hukum dalam pengertian formil). Eugen Ehrlich, pemuka aliran sosiologi hukum antara lain mengemukakan bahwa hukum positif yang baik (dan karenanya efektif) adalah hukum yang sesuai dengan living law yang sebagai inner order dari masyarakat mencerminkan nilainilai yang hidup di dalamnya. Oleh sebab itu di dalam pembuatan Undang-Undang hendaklah diperhatikan apa yang hidup di dalam masyarakat.42 Pendapat ini bila dihubungkan dengan pandangan dari Usep Ranawijaya menunjukkan bahwa yang dimaksud sumber hukum dalam arti yang pertama (welbron) tidak lain wujudnya adalah living law yang mencerminkan nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakat. Dengan demikian sumber hukum dalam arti materiil tidak lain adalah nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakat yang diakui kebenarannya serta diberlakukan secara umum dan bersifat mengikat. Dormer mengemukakan bahwa sumber hukum adalah ajaran yang memberikan ukuran atau kriteria apakah suatu ketentuan itu berlaku umum atau tidak. Jika ketentuan itu berlaku umum maka disebut hukum, sedangkan jika tidak berlaku umum maka bukan merupakan hukum.43 Lebih lanjut dikemukakan bahwa untuk menentukan apakah suatu ketentuan itu berlaku umum atau tidak, ukuran atau
41 Usep Ranawijaya, Op.cit, hlm. 22. 42 Eugen Ehrlich, dalam Mochtar Kusumaatmaja, Op.cit, hlm. 3. 43 Dormer dalam Sugeng Istanto, 1983, Hand Out Hukum Tata Negara I, Universitas Atma Jaya Yogyakarta, hlm. 3. kriterianya adalah:
1. Ukuran materiil, yakni ukuran yang dipergunakan untuk menilai apakah isi dari ketentuan tersebut dapat menjadi ketentuan hukum atau tidak; dan 2. Ukuran formil, yakni ukuran yang dipergunakan untuk menilai apakah proses pembentukan suatu ketentuan itu menjadi ketentuan hukum dapat dipenuhi, atau proses tnempositifkan ketentuan yang berlaku umum menjadi ketentuan hukum. Proses pembentukan yang dimaksud disini menyangkut: a. Perumusan; b. Pembahasan; c. Pengesahan; dan d. Pemberlakuan.
Berdasarkan kedua ukuran atau kriteria itulah, maka dikenal adanya sumber hukum materiil yang menyangkut isi sebuah ketentuan itu berlaku umum atau tidak, dan sumber hukum formil menyangkut proses pembentukan atau proses tnempositifkan suatu ketentuan umum itu menjadi ketentuan hukum. Jika pandangan seperti ini diterapkan dalam konteks Hukum Tata Negara Indonesia, maka dapat ditarik garis pemahaman sebagai berikut: 1. Sumber Hukum materiil dari Hukum Tata Negara Indonesia adalah isi dari suatu ketentuan yang berlaku umum, dan bagi bangsa Indonesia tidak lain adalah Pancasila yang berkedudukan sebagai Staatsfundamentalnorm. Dalam kedudukan yang demikian ini Pancasila dapat dikategorikan sebagai isi dari ketentuan yang berlaku umum, karena Pancasila merupakan kristalisasi dari nilainilai yang hidup dan melekat di dalam masyarakat dan bangsa Indonesia. Nilai-nilai tersebut telah diakui kebenarannya serta menjadi pedoman hidup (way of life) masyarakat dan bangsa Indonesia. Dengan demikian Pancasila yang terdiri dari lima prinsip (the Five Principles) merupakan manifestasi isi dari berbagai ketentuan yang berlaku umum sehingga nilai-nilai tersebut merupakan isi dari hukum. Dari pandangan seperti ini, maka dapat disimpulkan bahwa Pancasila adalah Sumber Hukum Tata Negara dalam arti materiil. 2. Sumber Hukum Tata Negara Formil tidak lain adalah seluruh tahapan proses untuk membentuk suatu ketentuan umum itu menjadi ketentuan hukum. Atau semua tahapan mempositifkan suatu ketentuan umum menjadi ketentuan hukum. Dalam kaitan dengan hal inilah, maka bentuk dari sumber Hukum Tata Negara Formil adalah: a. Perundang-undangan, yakni proses yang dilakukan oleh alat-alat perlengkapan negara untuk membentuk ketentuan umum menjadi ketentuan-ketentuan hukum yang mengikat dan dituangkan dalam satu kitab (kodifikasi). Hasil dari proses ini bisa dalam bentuk Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden maupun Peraturan Daerah, yang kesemuanya itu bersifat pengaturan. b. Yurisprudensi, yakni proses penemuan hukum yang dilakukan oleh hakim berdasarkan kasus-kasus konkrit yang terjadi dalam masyarakat yang kemudian menjadi preseden bagi keputusan-keputusan hakim berikutnya yang memeriksa kasus-kasus konkrit yang sifatnya sejenis. c. Kebiasaan atau Konvensi, yakni proses memformulasikan
suatu praktek kehidupan ketatanegaraan yang tidak tertulis namun dilakukan secara berulang-ulang dan bersifat mengikat. d. Traktat, yakni proses merumusan kesepakatankesepakatan dalam perjanjian internasional yang kemudian mengikat negara peserta dan dijadikan sebagai ketentuan yang termuat di dalam hukum nasional. e. Doktrin atau pendapat para sarjana, yakni proses memformulasikan teori-teori ketatanegaraan melalui serangkaian penelitian dan pengujian, kemudian dipergunakan sebagai referensi bagi pembentukan Hukum Tata Negara. Kelima hal tersebut di atas dikatakan sebagai Sumber Hukum Tata Negara dalam arti formil karena kesemuanya menunjuk kepada serangkaian proses dan sekaligus organ yang membentuk. Dengan demikian yang disebut Sumber Hukum Tata Negara formil bukan menunjuk pada jenisnya, seperti UUD, Undang-Undang, Peraturan Pemerintah dan lain sebagainya. Jenis-jenis peraturan perundang-undangan ini pada hakikatnya adalah hasil atau produk dari suatu proses. Sebagaimana telah penulis kemukakan bahwa titik tolak pengkajian terhadap Hukum Tata Negara Indonesia adalah hukum positif yakni hukum-hukum yang menyangkut kehidupan ketatanegaraan Indonesia yang berlaku dewasa ini. Berkaitan dengan hal inilah, maka Sumber Hukum Tata Negara Positif perlu mendapat porsi penjelasan yang cukup memadai, agar tidak dijumpai adanya pemahaman yang keliru, sehingga mengakibatkan kerancuan yang mengarah kepada penyamaan arti sumber hukum dan dasar Hukum Tata Negara Indonesia. Pengertian Dasar Hukum Tata Negara Indonesia jelas berbeda dengan pengertian Sumber Hukum Tata Negara Indonesia. Perbedaan tersebut terletak pada sifat dari keduanya. Dasar Hukum sifatnya konkrit, artinya sudah menunjuk pada landasan berpijak dari setiap tingkah laku manusia dalam melakukan hubungan hukum dengan manusia yang lain. Sehingga dasar hukum lebih mengarah kepada bentuk atau jenis peraturan perundang-undangan yang dipergunakan sebagai pedoman manusia dalam melakukan hubungan hukum. Sedangkan sumber hukum sifatnya masih abstrak, karena menyangkut isi suatu ketentuan itu berlaku umum atau tidak dan bagaimana proses atau mempositifkan ketentuan yang berlaku umum itu menjadi ketentuan hukum. Hamid S. Attamimi mengemukakan bahwa arti sumber hukum (rechtsquelle) dapat beraneka ragam, bergantung jenis hukum yang kita maksud, hukum tertulis atau tidak tertulis. Bagi hukum tidak tertulis sumber hukum itu antara lain adat, petunjuk lisan, petuah, dan kebiasaan. Sedangan bagi hukum
tertulis sumber hukum ialah dasar-dasar bagi berlakunya hukum tertulis tersebut, baik berupa norma-norma maupun berupa aturan yang lebih tinggi
hirarkhisnya daripada jenis hukum tertulis yang dimaksud, sebagaimana dasar-dasar bagi suatu jenis perundangundangan.44 Dari pandangan yang demikian ini, maka kalau diterapkan dalam pemahaman sumber Hukum Tata Negara Indonesia, maka makna sumber Hukum Tata Negara - khususnya dalam arti yang formil - tidak diletakkan dalam pengertian proses mempositifkan ketentuan umum menjadi ketentuan hukum, melainkan justru diletakkan dalam pengertian jenis atau bentuk. Menurut hemat penulis, pemahaman seperti ini menimbulkan kerancuan pengertian sumber hukum dengan dasar hukum. Pandangan tersebut seolah-olah menyamakan sumber hukum dengan dasar hukum. Dasar hukum - di samping telah penulis kemukakan terdahulu - memang sudah menunjuk pada jenis atau bentuk dari peraturan perundang-undangan berdasarkan hirarkhinya. Sedangkan sumber hukum sebenarnya masih terkait dengan kriteria atau ukuran apakah suatu ketentuan itu berlaku umum atau tidak, jadi nuansanya masih bersifat abstrak. Dengan demikian sumber Hukum Tata Negara Indonesia seharusnya diletakkan dalam pengertian dan argumentasi sebagaimana dikemukakan oleh Dormer. Kalaupun Hukum Tata Negara Indonesia berpijak pada Hukum Positif (Hukum Tata Negara yang berlaku pada saat ini), maka bagi sumber Hukum Tata Negara dalam pengertian formil bukan berarti menunjuk pada jenis atau bentuk peraturan perundangundangan yang berlaku dewasa ini, melainkan tetap mengacu pada proses mempositifkan suatu ketentuan menjadi ketentuan hukum. Terkait dengan hal ini, Undang-Undang No 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan menegaskan antara lain: 1. Pancasila merupakan sumber dari segala hukum negara.45
44 Hamid S. Attamimi, 1992, Pancasila Cita Hukum Dalam Kehidupan Hukum Bangsa Indonesia, dalam Oetojo Oesman dan Alfian, Pancasila Sebagai Ideologi Dalam Berbagai Bidang Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara, BP7 Pusat, Jakarta, hlm. 71. 45 Pasal 2 Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 Tentang Peraturan Perundang-undangan. 2. Pembentukan Jenis dan hirarkhi Peraturan Perundang-undangan adalah sebagai berikut: a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia; b. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Penggantu Undang-Undang; c. Peraturan Pemerintah; d. Peraturan Presiden; e. Peraturan Daerah.46 Menurut Penjelasan Pasal 2 Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dinyatakan bahwa penempatan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum negara adalah sesuai dengan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menempatkan Pancasila sebagai
dasar negara dan ideologi negara serta sekaligus dasar filosofis bangsa dan negara sehingga setiap materi muatan Peraturan Perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan nilainlai yang terkandung dalam Pancasila. Dari pernyataan tersebut, nyata dan jelas bahwa Pancasila merupakan ukuran materiil dan sekaligus sebagai sumber hukum materiil dari setiap materi muatan peraturan perundang-undangan. Pasal 3 Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menegaskan bahwa Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan hukum dasar dalam Peraturan Perundangundangan. Ketentuan seperti ini, dalam penjelasannya dinyatakan bahwa Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang memuat hukum dasar merupakan sumber hukum bagi pembentukan Peraturan PerundangUndangan di bawah Undang-Undang Dasar. Penjelasan tersebut sekali lagi menunjukkan bahwa Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 disamping sebagai hukum dasar sekaligus merupakan 46 Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. sumber hukum bagi
pembentukan Peraturan Perundang-undangan di bawahnya. Hal ini berarti posisi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bersifat ganda, yakni bertindak sebagai hukum dasar sekaligus sebagai sumber hukum pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia. Ketentuan seperti itu menunjukkan sekali lagi adanya kerancuan tentang penggunaan istilah sehingga menimbulkan pemahaman yang ambigu antara hukum dasar dan sumber hukum. Seharusnya Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 itu diletakkan dalam pengertian Aturan Dasar atau Aturan Pokok (Staatsgrundgesetz) yakni kelompok norma hukum di bawah Norma Fundamental Negara dan merupakan aturan-aturan yang masih bersifat pokok dan merupakan aturan-aturan umum yang masih bersifat garis besar, sehingga masih merupakan norma hukum tunggal.47 Jika seperti ini pemahamannya maka Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bukan merupakan sumber Hukum, melainkan dasar hukum. Mengapa demikian? Karena Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sudah merupakan norma hukum tunggal, artinya sudah jadi norma hukum. Padahal untuk mencari sumber hukum baik materiil maupun formil bagi Hukum Tata Negara Indonesia tidak lain adalah dengan merumuskan tentang apa yang menjadi isi dan bagaimanakah proses yang mengakibatkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 muncul. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sejatinya bersumber pada staatsfundamentalnorm, yakni Pembukaan yang di dalamnya terdapat Pancasila. Inilah yang menjadi Sumber Hukum materiil dari Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. sedangkan sumber hukum formilnya tidak lain adalah proses mempositifkan isi dari sumber hukum materiil, yakni Pancasila ke dalam ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalam Undang-Undang i7 Maria Farida Indrati S, 2007, Ilmu Perundang-Undangan (Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan), Kanisius, Yogyakarta, hlm. 48. Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pendek kata, Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 pada hakikatnya adalah produk dari proses. Jadi bukan merupakan sumber hukum. Sebagai sumber hukum yang dijadikan bahan untuk penyusunan peraturan perundang-undangan, pada hakikatnya sifat dan bentuknya masih belum dapat diletakkan dalam pemahaman tertulis maupun tidak tertulis, melainkan harus diletakkan dalam pemahaman ukuran atau kriteria baik materiil maupun formil bagi penyusunan peraturan perundang-undangan. G. Hakikat Konstitusi.
Sebagaimana telah penulis kemukakan bahwa Hukum Tata Negara berasal dari kata Constitutional Law. Kata ini jika diterjemahkan secara harafiah artinya Hukum Konstitusi. Dengan demikian dapat diambil pemahaman bahwa pada hakikatnya mempelajari Hukum Tata Negara juga menyangkut pengkajian mengenai Konstitusi dari suatu negara. Berkaitan dengan hal inilah, maka dalam membahas Hukum Tata Negara perlu disampaikan pula mengenai pengertian dan seluk-beluk konstitusi tersebut. Dalam hal memahami konstitusi, terdapat dua kelompok yang mempunyai pandangan berbeda antara satu dengan yang lain. Satu pihak berpandangan bahwa Konstitusi adalah sama dengan Undang-Undang Dasar, sedangkan di pihak yang lain memandang bahwa Konstitusi berbeda dengan Undang-Undang Dasar. Perbedaan pendapat semacam ini disebabkan oleh adanya dua sudut pandang yang berbeda, seperti halnya orang memandang pengertian dan hakikat dari hukum. Satu sisi memandang Konstitusi dari kacamata normatif yuridis dan di sisi lain memandang Konstitusi dari kacamata sosiologis empiris. Bagi pihak yang memandang Konstitusi dari kacamata normatif yuridis akan selalu beranggapan bahwa konstitusi itu sama dengan Undang-Undang Dasar, yakni kumpulan dari norma-norma hukum dasar yang tertulis dan terangkum dalam satu kitab (terkodifikasi). Sedangkan bagi pihak yang memandang konstitusi dari kacamata
sosiologis empiris, konstitusi tidak sebatas pada norma hukum dasar yang tertulis dalam satu kitab, melainkan juga tersebar di dalam praktek atau konvensi ketatanegaraan. Berkaitan dengan pandangan berdimensi sosiologis empiris tersebut, Herman Heller mengemukakan: 1. Konstitusi mencerminkan kehidupan politik di dalam masyarakat sebagai suatu kenyataan (Die politische Verfassung als gesellschafliche Wirklichkeit) dan ia belum merupakan konstitusi dalam arti hukum (ein Rechtsverfassung) atau dengan perkataan lain konstitusi itu masih merupakan pengertian sosiologis atau politis belum merupakan pengertian hukum. 2. Baru setelah orang mencari unsur-unsur hukumnya dari konstitusi yang hidup di dalam masyarakat itu untuk dijadikan sebagai suatu kesatuan kaidah hukum, maka konstitusi itu disebut Rechtsverfassung (Die verselbstandigte Rechtsverfassung). Tugas mencari unsur-unsur hukum dalam ilmu pengetahuan hukum disebut abstraksi. 3. Kemudian orang mulai menulisnya dalam suatu naskah Undang-Undang yang tertinggi yang berlaku dalam suatu negara.48 Berdasarkan pendapat di atas, dapat ditarik pemahaman bahwa antara Konstitusi dengan Undang-Undang Dasar mempunyai makna yang berbeda. Konstitusi memiliki pengertian yang lebih luas daripada Undang-Undang Dasar. Dengan kata lain, Undang-Undang Dasar merupakan bagian dari Konstitusi yang sifatnya tertulis. Lain daripada itu Konstitusi sebenarnya tidak hanya bermakna yuridis semata melainkan juga bermakna sosiologis dan politis.49 Menurut Wirjono Prodjodikoro, istilah konstitusi berasal dari bahasa Perancis constituer yang berarti membentuk. Dalam hubungannya dengan kehidupan ketatanegaraan istilah konstitusi mengandung maksud pembentukan suatu 48 Herman Heller, dalam Moh. Kusnardi & Harmaily Ibrahim, Op.cit, hlm 65. negara atau menyusun dan menyatakan negara.50 Pendapat 49 Loc.cit. seperti ini masih menunjukkan adanya kelemahan. Jikalau konstitusi itu dianggap mengandung maksud pembentukan suatu negara atau menyusun suatu negara, maka secara empiris negara itu terbentuk tidak karena adanya konstitusi. Dengan kata lain negara tidak terbentuk karena konstitusi. Banyak negara yang dibentuk sebelum konstitusi itu ada. Contohnya konstitusi tertulis Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 terbentuk dan dinyatakan berlaku pada tanggal 18 Agustus 1945, sementara kemerdekaan atau terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah tanggal 17 Agustus 1945. ECS Wade dalam buku Constitutional Law mengatakan bahwa Undang-Undang Dasar adalah naskah yang memaparkan rangka dan tugas pokok dari badan-badan
pemerintahan suatu negara dan menentukan pokok cara kerja badan tersebut.51 Pendapat ini tidak melihat hakikat dari sifat Konstitusi, melainkan hanya memandang dari substansinya. Wade nampaknya tidak mempersoalkan sifat dari konstitusi, apakah tertulis dalam satu naskah ataukah tersebar dalam berbagai naskah, yang terpenting disini adalah substansi dari konstitusi itu harus mencerminkan kerangka dari ketatanegaraan suatu negara. Rekonstruksi Konstitusi Menuju Konsolidasi Sistem Demokrasi. Samuel P. Huntington pernah mengemukakan bahwa dalam negara demokrasi, perubahan dramatis jarang terjadi dalam satu malam, perubahan itu hampir selalu bersifat moderat dan sedikit demi sedikit. Sistem demokrasi jauh lebih kebal terhadap pergolakan besar revolusioner ketimbang 50 Wirjono Prodjodikoro, Tanpa tahun, Asas-asas Hukum Tata Negara Indonesia, Dian Rakyat, Jakarta, hlm. 10. 51 RCS Wade, dalam Sobirin Melian, 2001, Gagasan Perlunya Konstitusi Baru Pengganti UUD 1945, UH Press, Yogyakarta, hlm. 14. 52 Samuel P. Huntington, 1997,Gelombang Demokratisasi Ketiga, Grafiti,52 Jakarta, hlm. 31. sistem otoriter.
Pendapat seperti tersebut sengaja penulis kemukakan dalam buku ini dengan maksud untuk mengingatkan bahwa reformasi dengan tujuan utama membangun sistem kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara menuju tatanan yang lebih demokratis tidak mungkin terwujud jikalau jalan untuk mengarahkan tujuan tersebut dilakukan secara gegabah, sembrono, dan tergesa-gesa. Menuju tatanan kehidupan yang demokratis tidak seperti membalikkan telapak tangan. Reformasi yang bergulir di negeri ini sejak tahun 1998 dan bertujuan membangun tatanan kehidupan yang lebh demokratis haruslah dilakukan secara bertahap, terencana, sistematis dan terstruktur serta mengindahkan aturan-aturan main yang lazim dikenal dalam konteks negara modern. Tanpa mengindahkan itu semua niscaya reformasi hanya merupakan suatu tindakan yang sia-sia bahkan kalau boleh mengatakan sebagai suatu tindakan yang utopis. Arah reformasi justru akan menuju hal-hal yang kontra produktif, misalnya terjadinya anarkisme politik atau berbaliknya sistem politik ke arah yang semakin otoriter. Pendek kata, jika reformasi tidak diletakkan dalam sifat yang moderat dan berlangsung sedikit demi sedikit, maka justru paradigma non-demokratis yang akan dihadapi oleh suatu negara atau bangsa. Proses yang relatif lambat ini harus dilalui mengingat di dalam perjalanan demokratisasi pada hakikatnya ditempuh melalui pentahapan yang jalannya relatif panjang, yaitu pertama; pengakhiran rezim non demokratis. Kedua; pengukuhan rezim demokratis, dan kemudian ketiga; pengkonsolidasian sistem demokratis.53 Dalam konteks reformasi di Indonesia sejak tahun 1998, relevansi proses pentahapan tersebut nampak jelas dari tahapan-tahapan sebagai berikut: 1. Tahap pengakhiran rezim non demokratis. Tahapan ini telah berlangsung ketika gerakan reformasi di Indonesia tahun 1998 telah berhasil menggulingkan rezim Orde Baru di bawah kekuasaan Presiden Soeharto yang memegang 53 Ibid, hlm. 8. tampuk kekuasaan negara selama lebih kurang 32 tahun. Gerakan reformasi tersebut dipicu oleh keterpurukan Indonesia karena krisis moneter dan mengarah kepada krisis multi dimensional. Ketidakmampuan Indonesia untuk segera bangkit dari keterpurukan tersebut disebabkan oleh runtuhnya moralitas para penyelenggara negara karena praktek-praktek korupsi, kolusi dan nepotisme serta keterlibatan militer dalam setiap aktifitas politik sipil di Indonesia. Dalam skala global reformasi tersebut sebenarnya juga dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal seperti terjadinya gelombang demokrasi di belahan dunia lain yang mengakibatkan runtuhnya rezim otoriter seperti Marcos di Filipina, runtuhnya komunisme di Uni Sovyet, dan tragedi Tiananmen di RRC. Faktor perkembangan informasi dan telekomunikasi turut memberikan andil,
karena dengan adanya kecanggihan komunikasi dan telekomunikasi semua informasi yang terjadi di belahan dunia dapat di akses dengan cepat oleh seluruh masyarakat dunia, termasuk masyarakat Indonesia. 2. Tahap pengukuhan rezim demokrasi. Tahapan ini telah terjadi pada waktu diselenggarakannya Pemilihan Umum Tahun 1999 yang dianggap merupakan Pemilihan Umum paling demokratis sepanjang sejarah Indonesia setelah Pemilu tahun 1955. Hasil dari Pemilihan Umum 1999 tersebut telah tersusun pemerintahan di bawah KH. Abdurrahman "Gus Dur" Wahid sebagai Presiden RI yang kemudian dilanjutkan oleh Megawati Sukarno Putri sebagai akibat "mosi tidak percaya" dari parlemen yang menjatuhkan Presiden melalui Sidang Istimewa Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) tahun 2000. Terlepas dari pro dan kontra penjatuhan Presiden KH. Abdurrahman Wahid melalui Sidang Istimewa MPR tahun 2000 tersebut, peristiwa ini tetap merupakan manifestasi dari demokrasi yang berlangsung di Indonesia. Mengapa demikian? Karena sejak Orde Baru sakralisasi jabatan Presiden sungguh luar biasa besarnya. Tidak ada satupun organ negara di Indonesia yang berani menyentuh posisi Presiden yang begitu kuat. Sidang Istimewa MPR Tahun
2000 tersebut merupakan manifestasi desakralisasi kedudukan presiden dalam sistem ketatanegaraan yang demokratis. 3. Tahap Pengkonsolidasian Sistem Demokrasi. Tahapan ini mulai berlangsung ditandai dengan Amandemen UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebanyak 4 (empat) kali. Dalam amandemen tersebut struktur ketatanegaraan yang demokratis mulai dibangun dan diberi landasan konstitusional. Memang dalam rangka melakukan amandemen terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 masih diwarnai dengan kepentingan dari kelompok atau partai-partai Politik yang menduduki mayoritas di Majelis Permusyawaratan Rakyat, namun amandemen tersebut telah mampu mengubah paradigma supremasi eksekutif menjadi supremasi parlemen. Kendatipun demikian, sampai saat ini upaya-upaya untuk terus menyempurnakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 terus dilakukan. Upaya-upaya penyempurnaan itu antara lain: a. Penegasan mengenai sistem Presidensiil; b. Penguatan DPD-RI dalam sistem Keparlemenan Indonesia; c. Penegasan kembali kekuasaan kehakiman yang meliputi MA, MK dan KY; d. Mekanisme Check and Balances sebagai konsekuensi sistem presidensiil; e. Keberadaan calon Presiden/wk Presiden dari tokoh independen dalam rangka mengimplementasikan Pasal 27 UUD 1945 Dari tahapan-tahapan tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa amandemen terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada hakikatnya merupakan pengejawantahan konsolidasi sistem demokrasi sebagaimana dikemukakan oleh Samuel P. Huntington tersebut. Perlu diketahui fa ahwa demokrasi bukanlah merupakan tujuan, melainkan merupakan sarana untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Oleh sebab itu pengkosolidasian sistem demokrasi akan terus berlanjut sampai tujuan yang hendak dicapai oleh Negara Kesatuan Republik Indonesia, sebagaimana tertuang di dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 tercapai. Reformasi di Indonesia tidak hanya sekedar sebuah tuntutan melainkan memang sudah merupakan suatu keharusan. Dalam kondisi yang demikian inilah, paradigmaparadigma baru dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara tidak bisa dilepaskan dari paradigma global dalam rangka menuju tatanan dunia baru. Isu-isu demokratisasi dan hak asasi manusia, kesetaraan gender, lingkungan hidup, transparansi dan akuntabilitas pemerintahan, good governance, desentralisasi pemerintahan
merupakan isu-isu sentral yang secara langsung maupun tidak langsung menjadi substansi yang harus diperhatikan dalam menata kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Terkait dengan isu-isu global tersebut, maka tak pelak lagi jikalau reformasi di Indonesia menuntut berbagai pembenahan tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Pembenahan tatanan itu tidak hanya diletakkan dalam tataran moral etis belaka, melainkan harus masuk sampai kepada tatanan sistem hukum yang responsif terhadap tuntutan akan terpenuhinya isu-isu di atas secara yuridis. Hal ini disebabkan jikalau hanya mengandalkan pembenahan tatanan dalam ranah moralitas etik, maka dimungkinkan hanya akan terjebak dalam wacana kepatutan dalam konteks tafsir belaka, tanpa adanya kepastian hukum yang mampu mengarahkan perubahan masyarakat. Argumentasi ini mengacu pada pandangan Roscoe Pound yang mengatakan Law as a tool of social engineering. Hukum adalah sarana perubahan masyarakat. Berkaitan dengan hal tersebut, maka reformasi di Indonesia jelas menuntut adanya rekonstruksi dari dasar pijakan secara struktual dan sistemik melalui pengkajian ulang dan penyusunan sistem ketatanegaraan Indonesia dalam konstitusi (tertulis). Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai konstitusi tertulis memang sejak semula dinyatakan
sebagai konstitusi yang singkat dan darurat. Dikatakan singkat, karena hanya berisi pokok-pokok aturan main (rule of the game) dari ketatanegaraan Indonesia. Sedangkan dikatakan darurat, karena dibentuk "hanya" untuk memenuhi kebutuhan landasan hukum bagi keberadaan Negara Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 sebagai suatu organisasi kekuasaan yang berdaulat. Sifat yang demikian inilah mengakibatkan efisiensi dan efek-tifitas Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam mengmplementasikan prinsip-prinsp Negara demokrasi belum dapat berjalan dengan baik. Sehubungan dengan hal ini, Kari Leowenstein mengemukakan tiga jenis penilaian konstitusi sebagai berikut: 1. Nilai Normatif, yaitu suatu konstitusi telah resmi diterima oleh suatu bangsa dan bagi mereka konstitusi itu bukan saja berlaku dalam arti hukum (legal), tetapi juga merupakan suatu kenyataan (reality) dalam arti sepenuhnya diperlukan dan efektif. Dengan kata lain konstitusi itu dilaksanakan secara murni dan konsekuen. 2. Nilai nominal. Dalam hal ini konstitusi itu menurut hukum memang berlaku, tetapi kenyataannya tidak sempurna. Ketidak sempurnaan berlakunya suatu konstitusi ini maksudnya adalah konstitusi tersebut secara hukum berlaku, namun berlakunya itu tidak sempurna karena ada pasal-pasal dari konstitusi itu dalam kenyataannya tidak berlaku. : Nilai semantik, artinya konstitusi secara hukum tetap berlaku, tetapi dalam kenyataannya hanya sekedar untuk memberi bentuk dari tempat yang telah ada dan untuk melaksanakan kekuasaan politik. Mobilitas kekuasaan yang dinamis untuk mengatur, yang menjadi maksud esensiil dari suatu konstitusi diberikan demi kepentingan pemegang kekuasaan. Dengan kata lain konstitusi itu ada hanya sekedar istilah, sedangkan dalam pelaksanaannya selalu dikaitkan dengan kepentingan rihak penguasa.54 - 3S. ~_eowenstein, dalam Moh. Kusnardi & Harmaily Berdasarkan nilai-nilai konstitusi tersebut di atas dan Ibrahim, Op.cit, hlm. 72-74. berpijak dari sifat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang singkat dan darurat tersebut, maka walaupun rezim Orde Baru dan Majelis Permusyawaratan Rakyat masa itu menegaskan akan melaksanakan secara murni dan konsekuen (Nilai Normatif), namun dalam pelaksanaannya Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah dikonstruksikan menjadi konstitusi tertulis yang nilainya nominal dan semantik. Dikatakan bernilai semantik, karena dalam pelaksanaanya sangat tergantung dari aspek penafsiran yang dilakukan oleh para penyelenggara negara. Implementasi semacam ini jelas menimbulkan deviasi dan distorsi pelaksanaan sistem ketatanegaraan secara umum. Contohnya adalah kerancuan Peraturan Perundang-Undangan, kerancuan sistem pemerintahan, lemahnya penegakan hukum dan
penyimpangan-penyimpangan lain dari asas-asas sistem ketatanegaraan yang modem dan demokratis. Sedangkan hanya bernilai nominal, karena kenyataan menunjukkan banyak pasal-pasal dari Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang hanya berfungsi sebagai dokumen historis yang tidak memiliki kekuatan yuridis apapun. Contohnya Pasal 18, Pasal 33 dan Pasal 37 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Oleh sebab itulah sinkronisasi dan kepastian hukum dalam rangka mengarahkan perubahan tatanan kehidupan organisasi (negara) di era reformasi, maka konstitusi Indonesia harus mulai diberi muatan yang tegas seturut dengan prinsipprinsip negara hukum yang demokratis. Persoalannya adalah, dengan mempergunakan mekanisme yang bagaimanakah penguatan nilai normatif dari Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tersebut dapat tercipta, dan substansi minimal apa saja yang harus dimasukkan dalam materi muatan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945?
Antara Amandemen (Perubahan) dan Penggantian Konstitusi. Mekanisme penguatan yuridis atau memberikan nilai normatif kepada suatu konstitusi (Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945) menjadi wacana publik, ketika beberapa ahli Hukum Tata Negara dan Politik menyampaikan gagasan perlu dibentuknya sebuah Komisi Konstitusi. Gagasan ini muncul karena dalam kenyataannya Panitia Ad Hoc (PAH) I Badan Pekerja Majelis Permusyawaratan Rakyat yang diberi wewenang untuk melakukan perumusan Rancangan Amandemen UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) dianggap belum mampu melaksanakan tugasnya dengan baik. Walaupun PAH I BP MPR telah dilengkapi dengan Tim Asistensi (Tim Ahli) dari berbagai disiplin ilmu termasuk di dalamnya para ahli Hukum Tata Negara yang kredibilitasnya tidak diragukan lagi. Sistematika amandemen UUD 1945 yang sudah dilakukan sejak Tahun 1999 masih bisa dibilang tumpang tindih dan tidak runtut. Kepentingan-kepentingan politik sesaat masih sangat mendominasi perumusan amandemen UUD 1945. Keberadaan Tim Asistensi ini sebenarnya sudah memenuhi standar pelaksanaan amandemen suatu konstitusi di berbagai negara. Misalnya di Amerika Serikat. Menurut Article I Konstitusi AS yang melakukan amandemen konstitusi adalah Senate dan Congress. Namun dalam prakteknya Senate dan Congress ini memanggil masyarakat sipil (para ahli dalam bidangnya) dan membentuk Komisi Konstitusi. Dengan demikian berdasarkan kelaziman inilah, keberadaan Komisi Konstitusi, sudah dapat diakomodasi oleh Tim Ahli dari PAH I BP MPR tersebut, namun sayangnya keberadaan Komisi ini ternyata hanya diberi tugas untuk melakukan penyelarasan dan rekomendasi substansi UUD 1945 yang sifatnya tidak mengikat. Lain daripada itu, keberadaan Komisi Konstitusi ini baru diletakkan dalam konteks mengamandemen (mengubah) UUD 1945, bukan untuk melakukan penggantian terhadap UUD 1945.
Terlepas dari keberadaan Komisi Konstitusi tersebut, sebenarnya dalam konstruksi UUD 1945 persoalan kelembagaan dan mekanisme dalam rangka penggantian konstitusi belum secara eksplisit dan implisit di atur dalam UUD 1945. Dalam Pasal 3 UUD 1945 sebelum amandemen ditegaskan bahwa Majelis Permusyawaratan Rakyat menetapkan UUD dan Garis-garis Besar daripada Haluan Negara. Kata menetapkan disini tentu menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda. Apakah menetapkan itu berkaitan dengan setelah MPR mengganti UUD 1945 dengan UUD yang baru. sama sekali, ataukan menetapkan setelah MPR melakukan amandemen terhadap UUD 1945? Penjelasan terhadap Pasal ini hanya menegaskan Cukup Jelas. Namun demikian, jika Pasal 3 tersebut dihubungkan dengan Pasal 37 ayat (1) yang menyatakan bahwa untuk mengubah Undang-Undang Dasar sekurang-kurangnya 2/3 dari pada jumlah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat harus hadir, maka kata menetapkan tersebut hanya dipergunakan oleh MPR setelah melakukan amandemen (mengubah) UUD. Hal ini berarti secara yuridis konstitusional persoalan kelembagaan dan prosedur untuk melakukan penggantian terhadap UUD 1945 tidak diatur secara tegas. Oleh sebab itu, kalau ada kehendak untuk mengganti UUD 1945 dengan UUD yang baru sama sekali, maka satu-satunya jalan yang harus ditempuh adalah dengan melakukan amandemen terlebih dahulu terhadap Pasal 3 dan Pasal 37 ayat (1) UUD 1945. Menurut hemat penulis untuk melakukan penggantian terhadap UUD 1945 dapat ditempuh dengan mencontoh konstitusi yang pernah berlaku di Indonesia, yakni Konstitusi RIS dan UUDS 1950. Menurut kedua konstitusi tertulis yang pernah berlaku di Indonesia tersebut, mekanisme dan kelembagaan dari organ yang berwenang untuk mengganti konstitusi secara tegas telah diatur. Dalam Pasal 134 UUDS 1950 ditegaskan bahwa Konstituante (Sidang Pembuat Undang-Undang Dasar) bersama-sama dengan Pemerintah selekas-lekasnya menetapkan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia yang akan menggantikan Undang-Undang Dasar Sementara ini. Sedangkan dalam Pasal 186 Konstitusi RIS dinyatakan bahwa Konstituante (Sidang Pembuat Konstitusi), bersama-sama dengan Pemerintah selekaslekasnya menetapkan Konstitusi Republik Indonesia Serikat yang akan menggantikan Konstitusi sementara ini. Dari kedua ketentuan dalam kedua konstitusi tersebut, jelas kiranya bahwa organ yang berwenang untuk mengganti konstitusi adalah Konstituante.
Lebih lanjut dalam kedua konstitusi tersebut juga ditegaskan bahwa dalam penyusunan keanggotaan dari Konstituante tersebut dilakukan melalui Pemilihan Umum. Persoalannya adalah bisakah mekanisme seperti ini dipergunakan sebagai referensi untuk menyusun dan membentuk sebuah Komisi Konstitusi yang bertugas baik untuk mengamandemen ataupun mengganti UUD 1945? Jawaban atas pertanyaan tersebut adalah bisa dan sangat lazim, khususnya jikalau dilihat dari konteks teori ketatanegaraan pada umumnya, sebagaimana dikemukakan oleh JJ. Rousseau, John Locke, dan Hobbes, negara dibentuk karena adanya kontrak sosial. Keberadaan Konstitusi dalam suatu negara pada hakikatnya adalah perwujudan dari kontrak sosial tersebut. Oleh sebab itulah dalam rangka untuk mengakomodasi kontrak sosial ini tidaklah mungkin dilakukan oleh rakyat secara langsung, melainkan perlu direpresentasikan dalam suatu kelembagaan melalui Pemilihan Umum. Berarti keberadaan Komisi Konstitusi, mau tidak mau, suka tidak suka harus dibentuk berdasarkan Pemilihan Umum. Jika Komisi Konstitusi dikehendaki bersifat independen dan non partisan dengan cara merekrut para ahli di bidangnya masing-masing, maka para ahli ini dapat ditunjuk dan ditawarkan kepada masyarakat secara langsung untuk dinilai sifat independensinya. Sementara itu komposisi yang diambil dari unsur masyarakat lain seperti Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan tokoh-tokoh masyarakat lainnya yang dipilih melalui Pemilihan Umum, maka hendaknya ditentukan berdasarkan sistem distrik dan tanpa melibatkan tokoh-tokoh politik yang sementara ini dianggap belum mampu mencerminkan aspirasi masyarakat dan hanya mementingkan golongannya sendiri.
Sidang Tahunan MPR tahun 2002, membuka wacana baru dalam persoaan amandemen UUD 1945. Muncul perkembangan positif terhadap berbagai tuntutan masyarakat yang menghendaki penuntasan amandemen UUD 1945. Dalam kaitannya dengan hal ini, menurut catatan media massa, terdapat 11 Fraksi yang menghendaki UUD 1945 hasil amandemen I, II, III, dan IV akan diletakkan dalam UUD Transisi.35 Dengan kedudukan semacam ini, maka keberadaan Komisi Konstitusi menjadi sangat urgen (penting), dan lembaga ini diharapkan akan menuntaskan amandemen yang sudah dilakukan oleh MPR dengan cara melakukan sinkronisasi serta pembenahan terhadap hasil-hasil amandemen tersebut. Kemudian hasil dari sinkronisasi dan pembenahan substansi amandemen UUD 1945 diserahkan kepada MPR hasil Pemilu 2004 untuk ditetapkan sebagai UUD yang definitif. Substansi Konstitusi. Prinsip negara hukum demokrasi sudah menjadi paradigma teori ketatanegaraan yang tidak terbantahkan. Dalam dataran paham konstitusionalisme Indonesia, prinsip semacam ini telah ditegaskan secara eksplisit di dalam UUD 1945 (sebelum dan sesudah amandemen). Prinsip-prinsip yang dimaksud adalah menghendaki adanya perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia, Pemisahan Kekuasaan, Legalitas Pemerintahan, dan peradilan yang bebas. Oleh sebab itulah dalam rangka untuk memberikan isi atau muatan konstitusi Indonesia, maka minimal unsur-unsur inilah yang harus dipergunakan sebagai referensi utama. Dengan demikian substansi konstitusi antara lain menyangkut: 1. Terjaminnya Perlindungan Hak asasi manusia yang meliputi Hak Asasi manusia dalam aspek individu (klasik) maupun aspek sosial politik (HAM Modern). Hal ini memberikan indikasi bahwa persoalan perlindungan Hak Asasi Manusia di samping dituangkan di dalam sebuah UndangUndang, juga harus di tuangkan di dalam Konstitusi. Perbedaannya adalah, kalau Hak asasi manusia yang dituangkan di dalam konstitusi sifatnya adalah pokokpokok yang harus menjadi dasar pelaksanaan perlindungan Hak Asasi Manusia. Sedangkan yang dituangkan di dalam Undang-Undang adalah perlindungan Hak asasi manusia yang sifatnya lebih terperinci, termasuk di dalamnya adalah mekanisme pelaksanaan untuk melakukan penegakan hukumnya. 2. Pemisahan kekuasaan. Sebelum UUD 1945 diamendemen persoalan pemisahan kekuasaan dalam struktur ketatanegaraan Indonesia belum secara tegas dimasukkan di dalam UUD. Balikan dalam kaitannya dengan mekanisme hubungan antar lembaga tinggi negara pernah hanya dituangkan di dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat. Padahal keberadaan Ketetapan Majelis ini dulunya pernah menimbulkan perdebatan, karena keberadaannya selalu dikaitkan dengan konvensi
ketatanegaraan. Oleh sebab itulah untuk mempertegas unsur pemisahan kekuasaan ini, maka mekanisme hubungan antar lembaga tinggi negara harus dimasukkan dalam UUD. Tidak cukup hanya diatur dalam Ketetapan MPR atau Undang-Undang. 3. Legalitas pemerintahan. Tidak dapat dipungkiri bahwa pemerintahan (dalam arti luas) yang berdasarkan ramburambu hukum sangat dibutuhkan untuk membatasi pelaksanaan kekuasaan pemerintahan yang ada. Secara teoritis kekuasaan pemerintahan (negara) ini menyangkut tiga cabang kekuasaan, yaitu kekiiasaan pengaturan (legislatif), kekuasaan untuk melaksanakan pemerintahan (eksekutif), dan kekuasaan untuk melaksanakan peradilan (yudikatif). Ketiga cabang kekuasaan ini harus mulai ditegaskan mengenai kelembagaan dan mekanisme hubungan antara satu dengan yang lain. Kerancuankerancuan yang terjadi sebelum UUD 1945 diamendemen, seperti sistem pemerintahan yang dikehendaki, apakah presidensiil ataukan parlementer harus secara tegas dinyatakan di dalam UUD. Kekuasaan eksekutif dalam mengimplementasikan freiss ermessen yang menimbulkan kebijakan-kebijakan diskresi harus mulai dibatasi, karena secara empiris kebijakan-kebijakan yang sifatnya diskresi ini menjadi sumber utama korupsi. 4. Peradilan yang bebas. Unsur ini sampai sekarang masih belum menunjukkan tanda-tanda adanya jaminan pelaksanaannya. Lembaga Peradilan masih banyak dipengaruhi oleh cabang kekuasaan lainnya. Pengawasan terhadap peradilan yang bebas ini juga masih perlu diformulasikan seturut dengan prinsip akuntabilitas. Lain daripada itu prinsip peradilan yang bebas seharusnya tidak hanya ditujukan kepada lembaga peradilan (hakim) semata, melainkan harus dikembangkan dalam tataran proses peradilan. Oleh sebab itu institusi-institusi yang terkait dengan proses peradilan harus dimandirikan (independen). UUD harus mengakomodasi persoalan ini, khususnya dalam rangka menegakkan supremasi hukum yang merupakan mata rantai dari sistem demokrasi. Berdasarkan prinsip-prinsip negara hukum tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa rekonstruksi UUD dalam rangka menangkap tuntutan dan keharusan reformasi Indonesia merupakan sebuah keniscayaan. Reformasi tanpa pembenahan UUD jelas akan mati suri. Hal ini disebabkan dalam praktek ketatanegaraan yang otoritarian, UUD hanya dipergunakan sebagai alat untuk mempertahankan hegemoni kekuasaan. Celakanya UUD 1945 sebelum di amandemen memang berlanggam executive heavy. Amandemen I, II, III dan IV UUD 1945 sudah terjadi. Namun demikian, kesan tergesagesa memang sangat terasa dalam proses amandemen UUD 1945 tersebut. Padahal dalam dataran praktis maupun teori, amandemen terhadap suatu konstitusi selalu sejalan dengan perkembangan masyarakat dan berproses terus menerus tanpa henti.
Pendek kata, untuk melakukan amandemen terhadap konstitusi tidak hanya dibatasi oleh periodesasi masa jabatan dari badan yang berwenang untuk melakukan amandemen UUD. Kondisi-kondisi tersebut semakin diperparah dengan adanya anggapan bahwa selama UUD 1945 masih dalam proses amandemen, sistem ketatanegaraan seperti berjalan tanpa arah, tanpa aturan main, tanpa landasan konstitusional. Para pelaku politik sudah tidak mengindahkan pakem aturan main secara yuridis. Keadaan semacam ini harus segera dihentikan. Cara yang laing efektif adalah dengan melakukan rekonstruksi konstitusi sambil tetap menjalankan konstitusi yang sudah ada secara normatif tanpa penafsiran yang ambigu. Serahkanlah penafsiran yang ada kepada lembaga yang diberi wewenang untuk itu, yaitu Mahkamah Konstitusi. Prinsip Dasar Melakukan Amandemen Konstitusi. Tidak pernah ada yang namanya konstitusi itu sifatnya tetap. Konstitusi sifatnya selalu akan terus berkembang (working constitution). Nah oleh sebab itu pengkajian kembali terhadap amandemen UUD 1945 tentunya mencakup tiga persoalan utama, yaitu menyangkut substansi, sistematika dan bahasa. Pertama aspek substansi. Bila ditinjau dari aspek substansi, pada umumnya suatu konstitusi dapat dibedakan ke dalam dua jenis, yakni konstitusi politik dan konstitusi sosial. Konstitusi politik tidak lain adalah konstitusi yang materi muatannya hanya mengatur mengenai kekuasaan negara yang dilakukan oleh lembaga-lembaga negara, termasuk di dalam menyangkut hubungan antar lembaga-lembaga negara tersebut. Sedangkan konstitusi sosial tidak lain adalah konstitusi yang disamping mengatur mengenai kekuasaan negara juga mengatur mengenai prinsip-prinsip yang dipergunakan oleh negara dalam mencapai tujuan dan cita-cita nasionalnya. UUD 1945 dapat diindikasikan sebagai konstitusi sosial. Berdasarkan konsep dasar mengenai jenis konstitusi bila ditinjau dari aspek substansi tersebut di atas, maka jikalau kita akan - encoba melakukan kajian-kajian terhadap amandemen UUD 1945 tentunya harus ditegaskan terlebih dahulu tentang jenis konstitusi pang dikehendaki, apakah Konstitusi Politik ataukah Konstitusi Sosial. Penentuan jenis semacam ini perlu dilakukan, mengingat dalam tataran wacana konstitusi di Indonesia berkembang pemahaman-pemahaman yang saling bertolak belakang. Di satu sisi ada yang berkehendak untuk merumuskan muatan materi konstitusi secara singkat (hanya pokok-pokoknya saja), khususnya yang menyangkut pembagian kekuasaan. Sedangkan di sisi lain ada yang berkehendak untuk merumuskan materi muatan UUD yang begitu rinci, laksana UU biasa. Kedua; ditinjau dari sistematika muatan materi. Secara paradigmatik konstitusi tidak lain adalah perwujudan dari kontrak sosial yang dilakukan oleh seluruh komponen rakyat untuk membentuk ikatan hidup bersama dalam suatu organisasi kekuasaan yang disebut negara. Lain daripada itu, keberadaan
konstitusi dalam sistem ketatanegaraan modern pada hakikatnya merupakan tuntutan dari prinsip negara hukum yang demokratis. Berdasarkan konsep pemikiran semacam inilah, maka sistematika dari suatu UUD (konstitusi tertulis) seharusnya tersusun dalam kerangka pasal-pasal yang disesuaikan dengan unsur-unsur dari negara hukum yang demokratis. Oleh sebab itulah, secara singkat kerangka pasal-pasal yang terdapat dalam suatu konstitusi dapat disusun secara sistemik, yaitu (a) pasal-pasal yang mengatur tentang Hak Asasi manusia, (b) Pasal-pasal yang mengatur pemisahan/ pembagian kekuasaan, (c) Pasal-pasal tentang legalitas pemerintahan, (d) pasal-pasal tentang independensi lembaga-lembaga yang melaksanakan proses peradilan, dan (e) pasal-pasal yang mengatur tentang prinsip-prinsip pelayanan publik yang dilakukan negara dalam rangka menunjang tercapainya kesejahteraan umum masyarakat. Prinsip-prinsip pelayanan publik tersebut perlu diatur, karena dalam paradigma welfare state negara harus bertindak sebagai pelayan masyarakat dalam rangka meningkatkan kesejahteraan umum warganegara. Menurut Anthony Giddens paradigma semacam ini akan berdampak pada munculnya sifat negara yang intervensionis. Negara akan selalu terlibat dalam persoalan-persoalan kemasyarakatan bahkan kalau perlu "memasuki" perse >.>l<in-persoalan dalam area privat. Nah kalau tidak diatur secara tegas di dalam Pasal-pasal UUD, maka kemungkinan terjadinya pelanggaran terhadap prinsip-prinsip negara hukum justru semakin besar. Kalau kita memperhatikan keseluruhan hasil amandemen UUD 1945, maka materi muatan yang terkandung di dalamnya justru tidak tersusun secara sistemik. Pasal-pasal yang menyangkut Warganegara dan perlindungan Hak Asasi Manusia justru diletakkan dibagian paling belakang. Setelah Pasal-paal yang mengatur tentang pilar-pilar kekuasaan negara, seperti MPR, DPR dan DPD, Presiden, Kehakiman serta Pemerintahan Daerah. Sistematika semacam ini tentunya tidak selaras dengan paradigma negara hukum yang demokratis dan paradigma konstitusi sebagai aktualisasi dari kontrak sosial. Di dalam paradigma negara hukum yang demokratis, unsur perlindungan terhadap HAM justru ditempatkan sebagai prinsip yang pertama kali yang harus dipenuhi. Sedangkan dalam paradigma konstitusi sebagai aktualisasi dari kontrak sosial, maka persoalan yang menyangkut hakhak maupun kewajiban-kewajiban dari rakyat sebagai peserta kontrak sosial harus diatur terlebih dahulu. Penyusunan substansi UUD dengan mempergunakan sistematika seperti ini merupakan bentuk pengintegrasian paradigma konstitusi sebagai perwujudan kontrak sosial dan paradigma negara hukum yang demokratis. Khusus menyangkut pasal-pasal yang mengatur tentang legalitas pemerintahan (Pemerintahan berdasarkan hukum)
tentunya harus dikembangkan dalam konteks pengertian yang luas, yaitu menyangkut penyelenggaraan negara yang dilakukan oleh lembaga-lembaga negara. Lain dari pada itu, di dalam substansi pengaturannya juga harus memuat tentang bentuk ataupun jenis pemndang-undangan yang dipergunakan untuk melaksanakan lebih lanjut ketentuanketentuan yang ada di dalam konstitusi. Ketiga, ditinjau dari aspek bahasa. Amandemen UUD 1945 masih tetap menyisakan persoalan yang berkaitan dengan penafsiran, Persoalan Ini jika tidak segera ditanggulangi akan seni, il in menimbulkan kfftidak pastian penafsiran terhadap UUD dikemudian hari. Hal ini mengingat setelah dilakukan empat kali amandemen, maka UUD 1945 hanya terdiri dari Pembukaan dan pasal-pasal (Pasal II Aturan Tambahan). Padahal menurut teori perundang-undangan, konsepsi yuridis yang tertuang di dalam naskah perundang-undangan termasuk UUD - harus mengandung ketegasan makna dan kepastian hukum. Ketegasan makna diperlukan karena, menurut teori perundang-undangan ketentuan yang ada di dalamnya merupakan bentuk penemuan hukum yang mengarah kepada terbangunnya teori Hukum. Dalam konteks Konstitusi (UUD), maka keberadaan konsep yuridis yang terdapat di dalam pasal-pasalnya jelas akan membangun teori Hukum Tata Negara. Oleh sebab itu, jikalau ketegasan makna yang diapresiasikan melalui bahasa UUD dapat secara tuntas dirumuskan, niscaya tidak akan terjadi perdebatan yang menyangkut penafsiran makna dari pasal-pasal yang ada. Salah satu contoh ketidak tegasan makna yang masih terkandung di dalam Amandemen UUD 1945 adalah menyangkut Pasal 26 ayar (1) yang menegaskan bahwa "Yang menjadi warganegara ialah orang-orang bangsa Indonesia Asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undangundang sebagai warganegara". Termasuk Pasal 18 D yang menegaskan bahwa negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang. Ketentuan Pasal 26 ayat (1) tersebut menimbulkan dua persoalan pokok, yaitu menyangkut kriteria atau ukuran yang dapat dipergunakan untuk menentukan "orang-orang bangsa Indonesia asli" serta prosedur untuk memperoleh status kewarganegaraan Indonesia. Pasal tersebut menyiratkan suatu ketentuan bahwa untuk memperoleh status kewarganegaraan bagi orang-orang bangsa lain harus disahkan dengan undangundang. Sebuah langkah yang terlampau berlebihan. Sedangkan Pasal 18 D ayat (1) tidak ada ketegasan, apakah UU yang dimaksud itu adalah UU Kriteria Kekhususan atau Keistimewaan Suatu Daerah, ataukah UU tentang Pembentukan Suatu Pemerintahan Daerah yang bersifat khusus atau istimewa. Rumusan bahasa UUD harus mengandung kepastian hukum, karena menyangkut standarisasi dalam rangka penegakan hukum. A rtinya dengan kepastian hukum
tersebut, maka kepastian ukuran-ukuran yang menyangkut nilai norma yuridis konstitusional dapat ditentukan. Pentingnya standarisasi norma yuridis konstitusional tersebut adalah berguna bagi kristalisasi dari sistem ketatanegaraan Indonesia yang dirancang dalam rangka menuju konsolidasi sistem demokrasi. Kedepan, diharapkan sistem ketatanegaraan tidak lagi menimbulkan perdebatan yang melelahkan diantara para pakar ntau mungkin malah terus menerus menjadi proyek.
A. Pendahuluan.
Pada umumnya untuk melakukan penelitian dan pengkajian mengenai sejarah akan bersumber pada 3 (tiga) jenis data utama, yakni peninggalan sejarah yang berupa dokumen/arsip, benda atau prasasti, dan sumber hidup dari pelaku sejarah. Kenyataan selama ini menunjukkan bahwa sumber-sumber sejarah tersebut ternyata lidak mampu menelusuri suatu peristiwa sejarah secara obyektif. I Ini ini disebabkan sumber-sumber data tersebut memiliki sifat kelemahan yang cukup substansiil. Sumber sejarah yang berwujud dokumen atau arsip mudah rusak dan hilang sebagai akibat dari kecerobohan pengelola sumber-sumber data yang berwujud seperti ini. Tradisi untuk mendokumentasikan pengelolaan data-data atau sumbersumber secara rapi dari berbagai peristiwa sejarah masih belum dikatakan baik. Bahkan tidak jarang sumber-sumber sejarah yang berupa dokumen atau arsip sering dipalsukan atau sengaja dihilangkan guna menghapus memori sejarah yang dianggap merugikan. Contoh paling aktual adalah menyangkut naskah SUPERSEMAR (Surat Perintah Sebelas Maret) yang misterius itu. Benda atau prasasti juga relatif sulit untuk dipertahankan keasliannya. Hal ini mengingat data atau sumber sejarah yang berwujud seperti ini relatif tidak kuat menahan serangan alam (hujan dan panas). Sedangkan data atau sumber sejarah yang berasal dari pelaku sejarah juga kadang kala masih diragukan orisinalitasnya, karena memori dan daya ingat manusia jelas sangat terbatas. Berdasarkan keadaan yang melingkupi sumber-sumber atau data penelusuran sejarah tersebut, maka tidak mengherankan jikalau wacana publik dewasa ini menghendaki adanya penelusuran ulang sejarah perjalanan bangsa Indonesia secara obyektif. Hal ini mengingat banyak penulisan sejarah ditengerai telah banyak terjadi upaya penipuan sejarah yang dilakukan penguasa. Permasalahan seperti ini juga ditambah dengan adanya suatu pandangan yang menganggap bahwa penulisan sejarah bangsa dan negara dengan berbagai aspek
yang terkandung di dalamnya sangat dipengaruhi oleh kepentingan-kepentingan politik dari penguasa, khususnya dalam membangun legitimasi "sang Penguasa" dalam mempertahankan kekuasaannya. Kasus yang menyangkut peristiwa penggagas Serangan Umum 1 Maret 1949, apakah Sri Sultan Hamengku Buwono IX ataukah Kol. Soeharto, dan kasus Pemberontakan G-30-S PKI dapat dipergunakan sebagai salah satu contoh. Lain daripada itu, penulisan kembali sejarah suatu bangsa masih juga memunculkan wacana yang pada hakikatnya mempersoalkan, apakah penelitian sejarah dan pengkajiannya itu sampai pada taraf memberikan penilaian benar ataukah salah terhadap suatu peristiwa sejarah tertentu yang ditulis menurut versi tertentu? Menurut hemat penulis, penulisan dan pengkajian sejarah sebenarnya hanyalah langkah untuk menyampaikan suatu realitas perjalanan suatu kehidupan. Jadi tidak sampai pada taraf memberikan argumentasi benar atau salah terhadap realitas sejarah yang ada. Artinya penulisan dalam versi apapun seharusnya tidak sampai pada pembenaran atau penyalahan suatu peristiwa sejarah. Penulisan sejarah dengan berbagai metode dan versinya masing-masing pada hakikatnya hanyalah merupakan bentuk pencatatan kejadian masa lampau tanpa ditambah ataupun dikurangi dengan rgumentasi-argumentasi yang justru akan mengaburkan sejarah itu sendiri. Oleh karena penulis bukan merupakan ahli di bidang sejarah maupun salah satu pelaku dari sejarah ketatanegaran Indonesia, maka dalam menyusun sejarah ketatanegaraan Indonesia - dengan berbagai konsekuensinya - penulis akan tetap melandaskan pada dokumen-dokumen tertulis yang pernah disampaikan oleh para penulis terdahulu, serta tidak berusaha untuk memberikan penilaian terhadap benar atau salah mengenai peristiwa sejarah ketatanegaraan Indonesia yang terjadi. Kendatipun demikian, penulisan sejarah ketatanegaraan Indonesia ini juga tidak akan melihat dan mengkaji hal-hal yang bersifat sosiologis, budaya maupun perjuangan revolusi bangsa Indonesia, melainkan hanya melihat dari aspek hukum dan perubahan yang terjadi. Hal ini mengingat sejarah yang dimaksud disini menyangkut persoalan perjalanan suatu organisasi kekuasaan yang disebut negara yang tentunya landasan yang dipergunakan adalah sistem hukum yang berlangsung pada saat masing-masing sejarah itu berjalan.
(SMA), sejarah Indonesia telah dikaji dan dipelajari sebagai suatu mata pelajaran yang substansinya bermula dari adanya peradaban bangsa Indonesia, yakni ketika orang-orang yang berada di wilayah Nusantara ini membentuk kesatuan masyarakat hukum yang masih bersifat sederhana, seperti kesatuan masyarakat hukum yang berbentuk Desa (dengan berbagai sebutannya), karajaan maupun persekutuanpersekutuan hukum otonom yang dibentuk berdasarkan hukum asli Indonesia atau Hukum adat. Berkaitan dengan hal tersebut di atas, maka penulisan kembali Sejarah Ketatanegaran Indonesia di dalam Bab ini, hanya bertitik tolak dari munculnya suatu organisasi kekuasaan yang menguasai wilayah nusantara ini, yakni ketika bangsa asing masuk dan menduduki wilayah nusantara. Dengan demikian pada intinya sejarah ketatanegaran Indonesia akan dibagi ke dalam periodessi sebagai berikut: 1. Periode Sebelum Kemerdekaan 17 Agustus 1945 yang meliputi: a. Masa Penjajahan Belanda. b. Masa Pendudukan Bala Tentara Jepang. 2. Periode Setelah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 yang meliputi: a. Pasca Pemberlakuan UUD 1945 Sejak 18 Agustus 1945; b. Ketatanegaraan Indonesia di bawah Konstitusi Republik Indonesia Serikat; c. Ketatanegaraan Indonesia di bawah UUDS 1950; d. Ketatanegaraan Indonesia di bawah UUD 1945 (Dekrit Presiden 5 Juli 1959); 3. Ketatanegaraan Indonesia pada masa Orde Baru. 4. Ketatanegaraan Setelah Reformasi 1998: Menuju Konsolidasi Sistem Demokrasi. Periodesasi tersebut di atas menjadi acuan karena diantara masa-masa yang terdapat di dalamnya, masing-masing menunjukkan adanya karakteristik pengaturan organisasi kekuasaan (negara) yang berbeda antara satu dengan yang lain, khususnya bila ditinjau dari sistem ketatanegaraan yang diberlakukan. 1. Periode Sebelum Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. a. Masa Penjajahan Belanda. Pada masa ini Indonesia (yang selanjutnya disebut Hindia Belanda) dikonstruksikan merupakan bagian dari Kerajaan Belanda. Hal ini nampak jelas tertuang di dalam Pasal 1 UUD Kerajaan Belanda (IS 1926). Dengan demikian kekuasaan tertinggi di Hindia Belanda ada di tangan Raja. Akan tetapi dalam pelaksanaannya Raja (Ratu) tidak melaksanakan kekuasaannya sendiri di Hindia Belanda, melainkan dibantu oleh Gubernur Jenderal sebagai reiaksana. Ratu Belanda
sebagai pelaksana Pemerintahan Keraja-i~ Belanda harus bertanggung jawab kepada parlemen. Ini menunjukkan sistem pemerintahn yang dipergunakan di negeri Belanda adalam sistem Parlementer Kabinet. Adapun peraturan perundang-undangan dan lembaga negara mg ada pada masa Hindia Belanda adalah: a Undang-Undang Dasar Kerajaan Belanda 1938. 1. Pasal 1: Indonesia merupakan bagian dari Kerajaan Belanda; 2. Pasal 62: Ratu Belanda memegang pemerintahan tertinggi atas Pemerintahan Indonesia, dan Gubernur Jenderal atas nama Ratu Belanda menjalankan Pemerintahan Umum; B. Pasal 63: Ketatanegaraan Indonesia ditetapkan dengan Undang-Undang, soal-soal intern Indonesia diserahkan pengaturannya kepada badan-badan di Indonesia, kecuali ditentukan lain dengan Undang-Undang.
: 'ndische Staatsregeling (IS) pada hakikatnya adalah UndangUndang. Tetapi karena subtansinya mengatur tentang pokok-pokok dari Hukum Tata Negara yang berlaku di Hindia Belanda (Indonesia), maka secara materiil IS dapat dianggap sebagai Undang-Undang Dasar Hindia Belanda.
Berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-Undangan tersebut di atas, dapat ditarik pemahaman bahwa sistem ketatanegaraan dan pemerintahan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Kerajaan Belanda adalah dengan mempergunakan asas dekonsentrasi. Dengan demikian secara umum, kedudukan dari Gubernur Jenderal dapat disetarakan sebagai Kepala Wilayah atau alat perlengkapan pusat (Pemerintah Kerajaan Belanda). Adapun bentuk-bentuk peraturan perundang-undangan yang dikenal dimasa berlakunya IS, adalah : a. Wet: dibentuk oleh badan pembentuk Undang-Undang Negeri Belanda, yaitu mahkota (Ratu bersama-sama dengan menterinya) dan Parlemen; b. Algemene Maatsregelen van Bestuur (AmvB), dibentuk oleh mahkota sendiri (dalam sistem perundang-undangan Indonesia dewasa ini dapat disejajarkan dengan Peraturan Pemerintah); c. Ordonnantie, dibentuk oleh Gubernur Jenderal bersamasama dengan Volksraad (dalam sistem perundangundangan Indonesia dewasa ini dapat disejajarkan dengan Peraturan Daerah); d. Reggering Verordeningen (RV), peraturan yang dibentuk oleh Gubernur Jenderal sendiri.56 Keempat peraturan perundang-undangan ini disebut Algemene Verordeningen (Paraturan Umum). Di samping itu juga dikenal adanya Local Verordeningen (Paraturan lokal) yang dibentuk oleh pejabat yang berwenang di tingkat lokal seperti Gubernur, Bupati, Wedana, dan Camat. Pada masa Hindia Belanda ini sistem pemerintahan yang dipergunakan adalah sentralistik. Akan tetapi agar corak sentralistik tersebut tidak terlalu mencolok, maka asas yang dipergunakan adalah dekonsentrasi yang dilaksanakan dengan seluas-luasnya. Hal ini menjadikan Hindia Belanda (Indonesia) tidak memiliki
56 Soehino, 1984, Hukum Tata Negara Sejarah Ketatanegaraan Indonesia, Liberty, Yogyakarta, hlm. 3.
kewenangan otonom sama sekali, khususnya dalam mengatur dan mengurus urusan rumah tangga sendiri. Sistem ketatanegaraan seperti ini nampak dari hal-hal sebagai berikut: a. Kekuasaan eksekutif di Hindia Belanda ada pada Gubernur Jenderal dengan kewenangan yang sangat luas dan dibantu oleh Raad van Indie (Badan Penasehat); b. Kekuasaan Kehakiman ada pada Hoge Rechshof (Mahkamah Agung); c. Pengawas keuangan dilakukan oleh Algemene Reken Kamer.
Struktur ketatanegaraan seperti ini berlangsung sampai dengan masa pendudukan Bala Tentara Jepang dan berakhir pada saat Proklamasi kemerdekaan. Memperhatikan susunan ketatanegaraan tersebut di atas, maka dari segi Hukum Tata Negara, Hindia Belanda belum dapat disebut sebagai suatu negara. Hal ini mengingat tidak dipenuhinya unsurunsur untuk disebut negara, seperti mempunyai wilayah, mempunyai rakyat, dan mempunyai pemerintahan yang berdaulat. Memang realitasnya ketiga unsur tersebut dapat dikatakan sudah terpenuhi. Wilayahnya ada, rakyatnya ada, bahkan pemerintahan yang berdaulat terpenuhi. Akan tetapi hakikat keberadaan ketiga unsur tersebut tidak muncul karena dibangun oleh bangsa Indonesia sendiri, melainkan di dasarkan pada kondisi kolonialisme yang berlangsung pada saat itu. Maksudnya wilayah dan rakyat yang ada di Hindia Belanda sebenarnya sudah ada sejak Belanda belum masuk dan menduduki Indonesia. Dengan kata lain, wilayah nusantara dan masyarakat yang mendiami nusantara itu sudah ada sejak jaman dulu. Ditinjau dari adanya unsur pemerintahan yang berdaulat, sebenarnya Hindia Belanda tidak dapat dikatakan sebagai sebuah pemerintahan yang berdaulat, karena kedaulatan Hindia Belanda ada pada Kerajaan Belanda. Sedangkan Gubernur Jenderal hanya berfungsi sebagai penyelenggara pemerintahan umum di wilayah Hindia Belanda sebagai daerah jajahan kerajaan Belanda. b. Masa Pendudukan Bala Tentara Jepang. Sejarah menunjukkan bahwa dengan adanya Perang Asia Timur Raya atau terkenal dengan sebutan Perang Dunia II muncullah kekuatan angkatan perang yang cukup dominan yaitu Bala Tentara Jepang. Dengan kekuatan inilah hampir seluruh kawasan Asia mampu diduduki oleh Bala Tentara Jepang, tidak terkecual Indonesia yang pada saat itu masih berada di bawah kolonialisme Belanda. Dalam sejarah Perang Asia Timur Raya dapat digambarkan bahwa kedudukan Jepang di Indonesia adalah: 1. Sebagai Penguasa Pendudukan. Sebagai penguasa Pendudukan, maka Jepang tidak dibenarkan untuk mengubah susunan ketatanegaraan/Hukum di Hindia Belanda. Hal ini disebabkan wilayah Pendudukan Jepang merupakan wilayah konflik yang menjadi medan perebutan antara Bala Tentara Jepang dengan pihak Belanda. Oleh karena itu Jepang hanya meneruskan kekuasaan Pemerintah Belanda atas Hindia Belanda. Namun dalam hal ini kekuasaan tertinggi tidak lagi ada di tangan Pemerintah Belanda, melainkan diganti oleh kekuatan Bala Tentara Jepang. 2. Jepang berusaha mengambil simpati dari bangsa-bangsa yang ada di kawasasan Asia Timur Raya termasuk Indonesia dengan menyebut dirinya sebagai saudara tua. Dalam sejarah Indonesia, sebutan seperti ini dilanjutkan dengan pemberian
janji kemerdekaan kepada Indonesia dikelak kemudian hari. Janji tersebut direalisir dengan membentuk BPUPK (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan) yang kemudian melaksanakan persidangan sebanyak dua kali: a. 28 Mei sampai dengan 1 Juni 1945 menghasilan Rancangan Dasar Negara; b. 10 Juli sampai dengan 17 Juli 1945 menghasilkan Rancangan Undang-Undang Dasar.
Setelah menghasilkan dua karya ini BPUPKI bubar dan dibentuk PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) pada tanggal 11 Agustus 1945. Sebelum PPKI berhasil melaksanakan sidang-sidang untuk melanjutkan upaya-upaya yang telah dilaksanakan BPUPKI, Jepang menyerah kepada sekutu pada tanggal 14 Agustus 1945. Pada saat itu pula Sekutu belum masuk ke wilayah Indonesia. Menurut Hukum Internasional, penguasa pendudukan yang menyerah harus tetap menjaga agar kedudukan wilayah pendudukan tetap dipertahankan seperti sedia kala atau dalam kondisi status quo. Perlu diketahui pula pada masa Pendudukan Bala Tentara Jepang, wilayah Indonesia dibagi menjadi tiga wilayah besar, yaitu: 1. Daerah yang meliputi Pulau Sumatera di bawah kekuasaan Pembesar Angkatan Darat Jepang dengan pusat kedudukan di BukitTinggi; Z. Daerah yang meliputi Pulau Jawa berada di bawah kekuasaan Angkatan Darat yang berkedudukan di Jakarta; dan ?. Daerah-daerah selebihnya berada di bawah kekuasaan Angkatan Laut yang berkedudukan di Makasar.57 Dari pembagian wilayah ini membuktikan bahwa pada masa Pendudukan Bala Tentara Jepang paham militeristik menjadi model bagi pengaturan sistem ketatanegaraan di Indonesia. I: del militeristik seperti ini dipandang lebih efektif karena lebih engedepankan jalur komando dan mampu menghimpun kekuatan yang cukup signifikan guna menghadapi serangan musuh. Dengan menggunakan model seperti ini tidak pelak lagi ukalau sistem ketatanegaraan yang diberlakukan adalah bersifat ~er.tTalistik.
f" Ibid, hlm. 13. 2. Periode Setelah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. a. Pasca Pemberlakuan UUD 1945 Sejak 18 Agustus 1945. Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 merupakan titik tolak keberadaan Hukum Tata Negara Indonesia, sebab sebelum Proklamasi tidak dijumpai produk Hukum Tata Negara Indonesia, kecuali IS (Produk Belanda) dan Hukum Tata Negara Adat yang berlaku di satuan-satuan pemerintahan asli Indonesia. Proklamasi kemerdekaan bagi suatu Bangsa untuk mendirikan suatu organisasi negara yang merdeka dan berdaulat, merupakan suatu perbuatan hukum dalam lapangan hukum internasional. Sedangkan hakikat perbuatan hukum itu sendiri adalah suatu tindakan atau
perbuatan yang menimbulkan akibat hukum serta mengandung dimensi hak dan kewajiban. Proklamasi Kemerdekaan adalah pernyataan sepihak tentang Kemerdekaan dari suatu bangsa yang berhak menentukan nasibnya sendiri (self determination). Oleh sebab itu Proklamasi (deklarasi) Kemerdekaan mempuyai dua aspek atau dimensi, yaitu: 1. Kebebasan dari belenggu kekuasaan negara lain. Dalam konteks kemerdekaan Indonesia maka yang dimaksud disini adalah dari kekuasaan Pendudukan Bala Tentara Jepang secara de facto. Artinya, secara sosio-historis bangsa Indonesia telah melepaskan diri dari kekuasaan Bala Tentara Jepang melalui kemerdekaan, serta kekuasaan Belanda secara de jure, artinya ditinjau dari aspek yuridis, Indonesia telah melepaskan diri dari ikatan sistem Hukum Belanda. 2. Kemerdekaan juga berarti mengambil kekuasaan tertinggi -baik secara paksa maupun perjanjian - di tangan sendiri untuk menentukan nasibnya sendiri. Berdasarkan rumusan (teks) Proklamasi yang dikumandangkan oleh Ir. Soekarno dan Drs. Mohammad Hatta, maka di dalamnya termuat tiga substansi pokok yang selanjutnya disebut Norma Hukum Pertama dari normanorma hukum yang akan dibentuk oleh Negara Indonesia yang berdaulat. Tiga substansi pokok tersebut adalah: 1. Pernyataan Kemerdekaan tersebut mengandung arti sebagai pernyataan akan kedaulatan penuh dalam mengatur atau menata sistem ketatanegaraan sendiri; 2. Pemindahan kekuasaan dan lain-lain diselenggarakan dalam waktu sesingkat-singkatnya. Maksud dari pernyataan ini adalah pemindahan kekuasaan - baik itu dilakukan secara paksa maupun dengan jalan perundingan - akan diikuti dengan pembenahan struktur kekuasaan bagi Bangsa Indonesia yang dilakukan secepatnya. Konsekuensi dari pernyataan ini adalah akan dibentuk Dasar Hukum Ketatanegaraan Indonesia dan berbagai peraturan perundang-undangan lain untuk melengkapi sistem ketatanegaraan Indonesia; dan 3. Proklamasi kemerdekaan tersebut merupakan pemberitahuan kepada seluruh rakyat Indonesia dan masyarakat internasional, bahwa telah berdiri satu negara baru dan berdaulat, yakni Negara Republik Indonesia dengan bentuk dan susunan pemerintahannya akan diatur oleh Undang-Undang Dasar. Dasar Hukum Proklamasi kemerdekaan adalah Proklamasi itu sendiri. Hal ini disebabkan proklamasi itu sendiri diterima atas dasar kenyataan dan dikehendaki oleh seluruh bangsa Indonesia (Solus Populi Suprema Lex: Kehendak rakyat adalah hukum yang tertinggi). Dengan demikian Proklamasi adalah NORMA PERTAMA dari Tata Hukum Indonesia, maksudnya adalah norma yang adanya pertama
kali, karena menjadi dasar bagi berlakunya norma-norma yang lainnya.58 Norma seperti ini sering disebut sebagai Norma Fundamental Negara (staatsfundamentalnorm) yakni norma tertinggi di dalam suatu negara yang tidak dibentuk oleh suatu norma yang lebih tinggi lagi, tetapi bersifat presupposed atau ditetapkan terlebih dahulu oleh masyarakat dalam suatu negara dan merupakan norma yang menjadi tempat bergantungnya norma-norma hukum di bawahnya.59
Menurut Hans Nawiasky, isi Staatsfundamentalnorm ialah norma yang merupakan dasar bagi pembentukan konstitusi atau Undang-Undang Dasar suatu negara (Staatsverfassung), termasuk norma pengubahannya. Hakikat hukum suatu Staatsfundamentalnorm ialah syarat berlakunya suatu konstitusi atau Undang-Undang Dasar. Ia ada lebih dahulu sebelum adanya konstitusi atau Undang-Undang Dasar. Konsttusi menurut Cari Schmitt merupakan keputusan atau konsensus bersama tentang sifat dan bentuk suatu kesatuan politik (eine Gesammtentscheidung Uber Art und Form einer politischen Einheit), yang disepakati oleh suatu bangsa.60 Berdasarkan konsep teoritis seperti ini menunjukkan bahwa antara Proklamasi dan Staatsfundamentalnorm terhadap hubungan yang sangat erat bahkan merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan. Hal ini mengingat antara keduanya merupakan suatu yang tidak dibentuk oleh norma yang lebih tinggi lagi. Konsep seperti ini nampak jelas terungkap di dalam Alinea IV Pembukaan UUD 1945 yang menyatakan: "Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintahan negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia ini dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia". Lain daripada itu, akibat dari proklamasi adalah bahwa Indonesia membebaskan diri dari kolonialisme dan berdiri sebagai negara merdeka. Oleh karena itu masuknya kembali kekuatan asing di Indonesia setelah proklamasi merupakan suatu tindakan yang tidak sah. Oleh sebab itulah untuk melengkapi Negara Proklamasi dilakukan usaha-usaha 59 Maria Farida Indrati S, 2007, Ilmu Perundang-Undangcm Jenis, Fungsi dan Materi Muatan, Kanisius, Yogyakarta, hlm. 46. 60 Hamid S. Attamimi, dalam Ibid. sebagai berikut:
Sejarah Ketatanegaraan Indonesia 77 Menetapkan UUD Negara Republik Indonesia pada tanggal 18 Agustus 1945; I Penetapan Soekarno dan Moh. Hatta sebagai Presiden dan Wakil Presiden oleh PPKI; 1 Pembentukan Departemendepartemen oleh Presiden; Pengangkatan anggota KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat) oleh Presiden yang akan bekerja sama dengan Presiden; dan r. Pembentukan delapan Provinsi oleh PPKI. Usaha-usaha tersebut kemudian dilanjutkan pada tanggal 16 Oktober 1945 melalui penerbitan Maklumat Wakil Presiden No. X Tahun 194561 untuk memberikan penguatan secara hukum :e:hadap langkah-langkah demokratisasi pemerintahan setelah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Isi dari Maklumat tersebut antara lain: 1. KNIP diserahi kekuasaan legislatif dan ikut membuat atau menetapkan Garis-garis Besar daripada Haluan Negara, sebelum terbentuknya MPR dan DPR; Z. Pekerjaan sehari-hari KNIP dilakukan oleh Badan Pekerja (BP) KNIP. Ditinjau dari aspek konstitusional (berdasarkan UUD 1945 yang berlaku saat itu) Maklumat ini jelas menimbulkan persoalan, karena di dalam UUD 1945 fungsi dan wewenang KNIP semata-mata hanyalah pembantu Presiden sebelum MPR, DPR, dan DPA terbentuk. Hal ini nampak jelas di dalam ketentuan Pasal IV Aturan Peralihan UUD 1945 yang menyatakan bahwa sebelum Majelis Permusyawaratan Rakyat, 61 Maklumat ini dikeluarkan oleh Wakil Presiden dan tidak diberi nomor. Oleh sebab itu nomor dari maklumat tersebut adalah X (bukan sepuluh romawi). Wakil Presiden mengeluarkan Maklumat karena pada waktu itu Presiden Soekarno berada di luar negeri, dan ini merupakan satu-satunya keputusan Wakil Presiden yang dikeluarkan dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia. Dalam khasanah sistem perundang-undangan Indonesia Dewan tidakPerwakilan dikenal Rakyat adanya danMaklumat. Jadi sebenarnya eksistensi dari Maklumat tersebut tidak lain adalah sebuah Pengumuman. Dewan Pertimbangan Agung dibentuk menurut UndangUndang Dasar ini, segala kekuasaannya dijalankan oleh Presiden dengan bantuan sebuah Komite. Konstruksi Pasal yang demikian ini dapat ditafsirkan bahwa kedudukan KNIP pada hakikatnya adalah pembantu Presiden dalam menjalankan kekuasaan MPR, DPR, dan DPA. Hal ini menunjukkan bahwa kedudukan KNIP tersebut dapat disetarakan dengan kedudukan Menteri yang membantu Presiden dalam melaksanakan fungsi Pemerintahan. Dengan munculnya Maklumat No. X Tahun 1945 tersebut, maka telah terjadi perubahan kedudukan dari KNIP yang
dulunya sebagai pembantu Presiden dalam melaksanakan kekuasaan MPR, DPR, dan DPA, menjadi sejajar dengan Presiden, khususnya dalam menjalankan fungsi legislatif dan dalam menetapkan Garis-garis Besar daripada Haluan Negara. Berkaitan dengan hal inilah muncul permasalahan, yakni apakah Maklumat No. X Tahun 1945 tersebut telah mengubah UUD 1945, dan bagaimanakah eksistensi maklumat tersebut bila ditinjau dari kedudukan UUD 1945 sebagai Hukum Dasar yang tertinggi? Menurut Joeniarto maklumat tersebut pada hakikatnya telah mengubah UUD 1945. Hal ini mengingat rumusan yang menyatakan bahwa KNIP diserahi kekuasaan legislatif dan ikut serta membuat Garis-garis Besar daripada Haluan Negara mengandung makna bahwa KNIP bersama-sama dengan Presiden menetapkan Undang-Undang dan Garis-garis Besar daripada Haluan Negara. Makna ini jelas berbeda dengan makna yang terkandung di dalam Pasal IV Aturan Peralihan UUD 1945 yang tegas-tegas menyatakan bahwa KNIP membantu Presiden dalam menjalankan kekuasaan MPR, DPR, dan DPA. Dengan kata lain kata ikut serta mengandung makna adanya kedudukan yang sejajar antara KNIP dan Presiden. Sedangkan kata membantu mengandung makna bahwa kedudukan KNIP tersubordinasi oleh Presiden. Lain daripada itu dengan adanya Maklumat ini kekuasaan Presiden dalam menjalankan fungsi legislatif dan membuat Garis-garis Besar daripada Haluan Negara menjadi berkurang, sebagai akibat sebagian dari fungsi ini dilimpahkan secara bersama-sama dengan KNIP. Menurut Sugeng Istanto keberadaan Maklumat No. X Tahun 1945 pada hakikatnya tidak mengubah UUD 1945, melainkan hanya berfungsi untuk menjelaskan Pasal IV Aturan Peralihan UUD 1945. Kata-kata dibantu oleh KNIP selaras dengan kata ikut serta atau bersama-sama sebagaimana tertuang di dalam Maklumat tersebut. Menurut Sugeng Istanto adanya makna yang selaras harus dihubungkan dengan Pasal 5 ayat (1) UUD 1945 (pen: sebelum amandemen T) yang menegaskan bahwa Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan membentuk Undang-Undang dengan Persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Dengan demikian menurut argumentasi Sugeng Istanto kata bantuan yang dimaksud Pasal IV Aturan Peralihan UUD 1945 itu hanya sebatas pada bidang tertentu, yakni bidang membuat Undang-Undang dan Garis-garis Besar daripada haluan Negara, tidak mengenai bidang eksekutif. Menurut hemat penulis, argumentasi seperti ini jelas tidak dapat diterima menurut logika yuridis konstitusional. Hal ini disebabkan Pasal IV Aturan Peralihan UUD 1945 pada hakikatnya telah memberikan kekuasaan yang besar kepada Presiden untuk menjalankan kekuasaan MPR, DPR, dan DPA. Dengan adanya ketentuan Pasal IV Aturan Peralihan UUD 1945 tersebut jelas bahwa Presiden menduduki posisi yang super supreme. Dia adalah pengejawantahan kekuasaan MPR, DPR, dan DPD sebelum lembaga-lembaga tersebut dibentuk berdasarkan UUD 1945 ini. Oleh sebab itulah kata dibantu oleh
sebuah Komite tetap meletakkan kedudukan Komite ini di bawah kekuasaan Presiden. Hal ini jelas berbeda dengan rumusan yang terkandung di dalam Maklumat No. X Tahun 1945 yang tegas-tegas menyatakan diserahi kekuasaan legislatif dan ikut serta membuat atau menetapkan Garis-garis Besar daripada Haluan Negara. Oleh sebab itulah penulis tetap berpegang pada argumentasi yang dikemukakan oleh Juniarto. Lain daripada itu jikalau Sugeng Istanto (aim) menyatakan bahwa Maklumat tersebut hanya berfungsi menjelaskan Pasal IV Aturan Peralihan UUD 1945, maka argmentasi tersebut jelas tidak dapat diterima, karena pada waktu itu perangkat kelembagaan yang berwenang untuk memberikan penjelasan terhadap makna dari ketentuan UUD 1945 tidak dikenal. Bahkan jikalau diletakkan dalam konteks hubungan dengan Pasal 5 ayat (1) UUD 1945, maka pendapat tersebut juga tidak dapat diterima secara yuridis konstitusional, karena kekuasaan Presiden untuk membuat Undang-Undang adalah kewenangan untuk membentuk sebuah peraturan perudang-undangan di bawah UUD 1945. Apalagi sesuai dengan hirarkhi perundangundangan tidak dibenarkan jikalau sebuah Undang-Undang mengandung materi muatan yang menyimpang dari UUD 1945. Berkaitan dengan persoalan yang melingkupi Maklumat No. X Tahun 1945 tersebut, maka bila dikaji dari sudut pandang konstitusionalisme menurut UUD 1945, dapat diterangkan sebagai berikut. Sumber hukum dari keberadaan Maklumat No. X Tahun 1945 tidak lain adalah konvensi ketatanegaraan (Convention of Constitution). Argumentasi ini berdasarkan pada pandangan Decey dalam buku yang berjudul Convention of Constitution yang mengemukakan bahwa suatu peristiwa Hukum Tata Negara dapat dikategorikan sebagai konvensi jika peristiwa tersebut mengandung salah satu dari kriteria, yakni: 1. Understandings, yakni adanya saling pengertian diantara organ atau lembaga negara yang akan mengeluarkan satu produk hukum tata negara; 2. Habits, yaitu kebiasaan atau kelumrahan yang dikenal di dalam kehidupan ketatanegaraan; dan 3. Practices, yaitu praktek-praktek ketatanegaraan, walaupun itu tidak tertulis di dalam sebuah konstitusi.62 Dari ketiga kriteria atau parameter tersebut di atas, jika diletakkan pada konteks keluarnya Maklumat No. X Tahun 1945 maka hal tersebut belum dapat dikategorikan sebagai 62 Decey, dalam Islamil Suny, 1986, Pergeseran Kekuasaan Eksekutif, Aksara Baru, Jakarta, hlm. 36-37. konvensi
Sejarah Ketatanegaraan Indonesia 81 berdasarkan Habits dan Practices. Dengan demikian, satusatunya kriteria yang dapat dimasukkan disini adalah Understandings, yakni adanya saling pengertian dan kesepahaman antara Presiden (dalam hal ini dilakukan oleh Wakil Presiden) dengan KNIP. Bahkan peralihan tersebut memang dikehendaki oleh KNIP itu sendiri. Walaupun Maklumat No. X Tahun 1945 dikatakan menyimpang dari ketentuan Pasal IV Aturan Peralihan UUD 1945, namun keluarnya Maklumat tersebut tetap memiliki dasar hukum yang jelas, yakni Pasal IV Aturan Peralihan UUD 1945 itu sendiri. Berkaitan dengan hal ini Assat mengemukakan bahwa hal-hal yang diatur dalam Maklumat No. X seharusnya diatur oleh Undang-Undang Dasar. Dalam hal ini, Presiden telah menggunakan kekuasaan MPR untuk mengubah Undang-Undang Dasar berdasarkan ketentuan Peralihan Pasal IV, karena itu, Maklumat No. X mempunyai kedudukan yang sama dengan Pasal-pasal UUD 1945.63 Lebih lanjut Assat mengatakan bahwa Maklumat No. X ini merupakan langkah demokratis yang progresif, mengingat kenyataan bahwa pemilihan umum tidak selayaknya diadakan pada saat Indonesia masih berperang melawan Belanda yang ingin mengembalikan dominasi kolonial di Indonesia.64 Pendapat tersebut di atas didukung oleh Pringgodigdo yang mengatakan bahwa Maklumat No. X mempunyai kedudukan hukum yang setingkat dengan ketetapan konstitusional yang dibuat oleh MPR berdasarkan Pasal 37 yang sesuai dengan Pasal IV Aturan Peralihan. Dikemukakan pula bahwa Presiden berwenang antuk menjalankan kekuasaan MPR untuk mengubah Undang-"Jndang Dasar. Syarat bahwa sekurang-kurangnya 2/3 (dua per riga) dari anggota MPR harus hadir dan bahwa keputusan harus i:dukung oleh sekurang-kurangnya 2/3 (dua per tiga) dari i3 Assat, dalam Aduan Buyung Nasution, 1995, Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia Studi Sosio-Legal atas Konstituante 1950-1959, Grafiti, Jakarta, hlm. 17. H Ibid. anggota yang hadir, sudah dipenuhi, karena MPR telah diganti oleh satu
orang, sehingga persyaratan itu sudah dipenuhi 100% (seratus persen). KNIP juga membantu karena usul untuk mengeluarkan Maklumat tersebut berasal dari KNIP.65 Berdasarkan argumentasi yuridis konstitusional inilah, maka sumber hukum keberadaan maklumat No. X Tahun 1945 tersebut adalah konvensi ketatanegaraan dengan berlandaskan pada kriteria understandings, sedangkan dasar hukum dari Maklumat tersebut adalah Pasal IV Aturan Peralihan Jo Pasal 37 UUD 1945. Untuk menindaklanjuti pelaksanaan Maklumat No. X Tahun 1945, dikeluarkanlah Maklumat Pemerintah Tanggal 14 Nopember Tahun 1945. Dalam Maklumat Pemerintah ini dinyatakan antara lain: 1. Pengumuman tentang terbentuknya Kabinet Baru; dan 2. Pengumuman bahwa Kabinet yang baru terbentuk tersebut bertanggungjawab kepada KNIP. Substansi Maklumat Pemerintah ini juga menimbulkan persoalan di bidang sistem pemerintahan. Di dalam Pasal 4 UUD 1945 (pen: sebelum amandemen) ditegaskan bahwa Presiden memegang kekuasaan pemerintahan. Sedangkan Pasal 17 menegaskan bahwa Menteri Negara membantu Presiden serta diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Kedua pasal tersebut memberikan penegasan bahwa sistem pemerintahan yang dikehendaki oleh UUD 1945 adalah sistem presidensiil. Akan tetapi di dalam Maklumat Pemerintah tersebut justru meletakkan mekanisme pertanggungjawaban kabinet kepada KNIP yang jelas-jelas merupakan ciri dari sistem parlementer (Jikalau KNIP dianggap sebagai sebuah parlemen). Berkaitan dengan hal ini Joeniarto mengatakan bahwa keberadaan Maklumat Pemerintah 14 Nopember 1945 tetap dapat dibenarkan. Hal ini mengingat Maklumat No. X Tahun 1945 juga dapat dibenarkan, karena sumber hukumnya adalah konvensi ketatanegaraan. Bahkan dasar hukumnya adalah Pasal 37 Jo Pasal IV Aturan Peralihan UUD 1945. Sementara itu menurut S u geng Istanto, keberadaan Maklumat Pemerintah ini jelas-jelas :: dak dapat dibenarkan, karena melanggar Pasal 4 dan Pasal 17 UUD 1945. Dengan demikian Maklumat Pemerintah ini tidak ada dasar hukumnya atau tidak ada ketentuan hukum yang dapat dipergunakan untuk mengeluarkan Maklumat Pemerintah tersebut. Sehubungan dengan perbedaan pendapat tersebut YB. Mangunwijaya mengemukakan bahwa historis nyatanya UUD 1945 yang begitu otoriter segera terasa tidak pas dengan suasana Revolusi, dimana setiap orang dan kelompok gandrung besar akan kemerdekaan berpikir, berpendapat, berkumpul dan berserikat. Maka perlulah Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta, tanggal 14 Nopember 1945, menetapkan keputusan, yang disebut Revolusi ke-2 tetapi penuh damai untuk menyimpan dulu sistem UUD 1945 yang memang otokris dan serba tergesa-gesa dibuat sekadar, sementara, kilat, kurang lengkap dan kurang sempurna itu; diganti dengan sistem demokrasi revolusioner. Bukan demo-
krasi parlementer seperti yang biasanya di P4-kan, karena waktu itu belum ada parlemen.65 Berdasarkan berbagai argumentasi tersebut di atas, menurut hemat penulis keberadaan Maklumat pemerintah ini merupakan bentuk penyimpangan67 terhadap UUD 1945 yang pertama kali setelah Indonesia membentuk organisasi ketatanegaraan dan memiliki Hukum Dasar tertulis. Hal ini disebabkan karena sejak keluarnya Maklumat No. X Tahun 1945 seharusnya setiap ke-putusan yang menyangkut perubahan sistem ketatanegaraan harus dikeluarkan dengan produk hukum sebagai hasil kerja sama antara KNIP dan Pemerintah (Presiden). Produk hukum tersebut tidak hanya sebatas Maklumat Pemerintah, melainkan minimal harus berwujud Undang-Undang yang dikeluarkan sebagai hasil 66 YB. Mangunwijaya, 1998, Menuju Republik Indonesia Serikat, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hlm. 20. 67Menurut terminologi Mangunwijaya disebut "menyimpan dulu sistem UUD 1945". kerja sama antara Presiden dan KNIP. Oleh sebab itu dapat dikatakan bahwa adanya Maklumat Pemerintah ini telah terjadi perubahan sistem pemerintahan Indonesia tanpa melakukan amandemen terhadap UUD 1945. Keadaan tersebut di atas tentunya tidak bisa dilihat dari kacamata normatif yuridis. Ada faktor penting yang mengakibatkan sistem ketatanegaraan begitu cepat berubah tanpa melakukan perubahan terhadap UUD 1945. Secara politis perubahan yang begitu cepat memang sangat dibutuhkan bagi Negara Indonesia yang baru merdeka. Sistem Pemerintahan masih dicari bentuk yang paling ideal. Dalam rangka inilah konstelasi politik di tingkat global tidak mungkin untuk dinafikan begitu saja. Pendek kata pencarian bentuk sistem ketatanegaraan yang akan dibangun dan dikembangkan oleh Negara Indonesia sangat dipengaruhi oleh peta politik di tingkat internasional pada saat itu. Kemerdekaan Indonesia - yang bertepatan setelah Perang Dunia II usai - juga relatif bersamaan dengan kemerdekaan dari bangsa-bangsa di kawasan Asia Pasifik, bahkan di kawasan Eropa. Pada saat itu konstelasi politik di tingkat global menganggap bahwa terjadinya Perang Dunia II yang memporak porandakan harkat dan martabat kemanusiaan disebabkan oleh ulah pemimpin-pemimpin negara yang tidak demokratis, seperti Jerman di bawah Adolf Hitler, Italia di bawah Benito Mussolini, dan Jepang di bawah rezim militer. Oleh sebab itulah ketika Sekutu di bawah AS dan Rusia memenangkan konflik bersenjata dalam Perang Dunia II ada fenomena politik yang menghendaki adanya jaminan kehidupan demokrasi dan perlindungan Hak-hak asasi manusia yang harus dipenuhi dalam rangka memberikan pengakuan kepada negara-negara yang baru merdeka tersebut. Kita juga mencatat bahwa Deklarasi Sedunia Hak-hak Asasi Manusia juga dikumandangkan oleh Perserikatan Bangsabangsa (PBB) pada tanggal 10 Desember 1948. Tahun dimana
Perang Dunia II masing membekas dalam ingatan masyarakat internasional pada saat itu. Fenomena politik inilah yang kemudian memunculkan kecenderungan bagi negara-negara yang baru merdeka itu untuk menamakan dirinya sebagai negara demokrasi dan pelindung Hak hak asasi manusia. Terlepas dari substansi yang terkandung di dalamnya benar-benar demokratis atau tidak. Contohnya Republik Rakyat Cina (RRC), Republik Demokrasi Jerman (Jerman Timur), Republik Demokrasi Korea (Korea Utara). Jika kita lihat walaupun -egara-negara tersebut mempergunakan nama demokrasi namun kenyataannya negara-negara itu belum dapat dikategorikan seba-cai negara demokrasi. Pencantuman nama demokrasi oleh negara-negara tersebut semata-mata hanya dipergunakan untuk memperoleh pengakuan di dunia internasional, khususnya Sekutu. Kondisi semacam ini secara politis juga berpengaruh bagi Negara Republik Indonesia yang baru merdeka. Oleh sebab :tu untuk memperoleh pangakuan dunia internasional, maka dilakukanlah modifikasi atau perubahan-perubahan sistem ketatanegaraan kearah yang lebih demokratis. Hal ini mengingat menurut konstruksi UUD 1945 sistem ketatanegaraan yang dipergunakan adalah executive heavy atau supremasi eksekutif. Dengan demikian, untuk mengindari anggapan masyarakat internasional bahwa Indonesia yang baru merdeka itu adalah negara yang otoriter (non demokratis), maka jalan satu-satunya adalah dengan melakukan perubahan sistem ketatanegaraan tanpa mengubah UUD 1945, walaupun secara konstitusional adalah tidak dibenarkan alias tidak sah. Cara semacam ini tetap dilakukan karena untuk mengamandemen UUD 1945 membutuhkan proses yang cukup panjang. Dari perubahan-perubahan sistem ketatanegaraan tersebut di atas, dapat ditarik pemahaman bahwa para pendiri negara pada waktu itu menganggap bahwa sistem parlementer dianggap lebih demokratis bila dibandingkan dengan sistem presidensiil sebagaimana digariskan oleh UUD 1945. Anggapan semacam ini tetap saja dapat dibenarkan jika menyangkut persoalan tentang ada tidaknya mekanisme pertanggungjawaban penyelenggara pemerintahan secara konkrit. Memang dalam sistem parlementer dikenal adanya lembaga mosi tidak percaya yang mengakibatkan kabinet sebagai penyelenggara pemerintahan menjadi tumbang, ketika pertanggungjawabannya tidak diterima oleh parlemen sebagai representasi rakyat. Mekanisme semacam ini tidak dikenal di dalam sistem presidensiil. Akan tetapi sebaliknya bila ditinjau dari mekanisme penentuan kepala pemerintahan, sistem presidensiil bisa dikatakan relatif demokratis, karena rakyat dapat menentukan sendiri secara langsung figur-figur kepala pemerintahan sesuai dengan kehendaknya melalui pemilihan umum. Sedangkan di dalam sistem Parlementer penentuan figur kepala pemerintahan jelas dilakukan secara bertingkat. Artinya rakyat melakukan pemilihan umum secara langsung untuk memilih
wakil-wakil yang akan duduk di parlemen, kemudian parlemen inilah yang akan menentukan kepala pemerintahan. Inilah yang mungkin menjadi alasan mengapa sistem pemerintahan Indonesia pada saat itu mengalami perubahan yang cukup signifikan. b. Katatanegaraan di Bawah Konstitusi Indonesia Serikat. Dengan Proklamasi 17 Agustus 1945 maka kemerdekaan bangsa Indonesia telah tercapai. Menurut Soekarno Proklamasi merupakan jembatan Emas untuk menuju perikehidupan dan peri kebangsaan yang merdeka dan berdaulat. Akan tetapi kenyataan menunjukkan bahwa Belanda masih tetap ingin menguasai Negara Indonesia yang merdeka dan berdaulat. Belanda masih tetap mempunyai anggapan bahwa kedaulatan atas Hindia Belanda masih berada di tangan Pemerintah Kerajaan Belanda. Alasan seperti ini didasarkan pada: a. Ketentuan Hukum Internasional, yang menyatakan bahwa suatu wilayah yang diduduki sebelum Perang statusnya tidak berubah. Konsekuensi dari ketentuan seperti ini adalah Hindia Belanda yang diduduki oleh Bala Tentara Jepang masih tetap merupakan bagian dari Kerajaan Belanda. Oleh karena itu setelah Jepang menyerah, maka yang berkuasa atas Hindia Belanda adalah Pemerintah Kerajaan Belanda sebagai pemilik atau penguasa semula.
b. Perjanjian yang diadakan menjelang berakhirnya Perang Dunia II (Perjanjian Postdamn). Perjanian Postdamn merupakan perjanjian yang dilakukan oleh Negara-negara yang bergabung dalam Sekutu dengan pihak Jepang. Dalam perjanjian tersebut antara lain menetapkan bahwa setelah Perang Dunia II selesai, yakni dengan dihancurkannya kekuatan Jepang, Jerman, dan Italia, maka wilayah yang diduduki oleh ketiga negara tersebut akan dikembalikan kepada penguasa semula. Oleh karena adanya perjanjian seperti ini, maka Belanda masih merasa memiliki kedaulatan atas Hindia Belanda secara de jure. Terkat dengan adanya perjanjian ini. Wolhoff memberikan gambaran yang terjadi di Indonesia bila ditinjau dari persoalan kedaulatannya. Wolhof mengemukakan bahwa sejak tanggal 17 Agustus 1945 dalam bagian wilayah Koninkrijk der Nederlanden (wilayah Hindia Belanda) berkembanglah dua macam pemerintahan sentral dan lokal, yaitu: 1. Pemerintah Republik Indonesia yang mempertahankan hak kedaulatannya atas seluruh bekas wilayah Hindia Belanda, baik terhadap Koninkrijk der Nederlanden maupun terhadap dunia internasional berdasarkan hak mutlak setiap bangsa untuk menentukan nasibnya sendiri. 2. Pemerintah Nederlands Indie, suatu persekutuan hukum otonoom dalam ikatan negara Koninkrijk der Nederlanden yang kedaulatannya atas wilayah Hindia Belanda diakui secara de jure oleh dunia internasional berdasarkan traktat dan perjanjian-perjanjian internasional. Baik pemerintah Indonesia maupun pemerintah Nederlands Indie, berusaha menguasai wilayah tersebut secara de facto maupun de jure.66 Dari gambaran seperti ini, maka kedaulatan Indonesia yang dinyatakan bersamaan dengan Proklamasi 68 Wolhoff, dalam Tolchah Mansoer, 1983, Pembahasan Tentang Kekuasaan Eksekutif dan Legislatif Negara Indonesia, Pradnya Paramita, Jakarta, hlm. 16-17. Kemerdekaan 17
Agustus 1945 jelas menimbulkan permasalahan tersendiri. Bagi Pemerintah Republik Indonesia butir pertamalah yang harus dipergunakan sebagai dasar pijakan untk mengakui kedaulatan negara. Pijakan ini bersumber dari moral internasional yang menggariskan bahwa setiap bangsa mempunyai hak mutlak untuk menentukan nasibnya sendiri. Sebaliknya bagi pemerintah Nederland Indie butir kedualah yang harus menjadi landasan berpijak dalam menentukan kedaulatan bagi suatu wilayah, sebab secara de jure wilayah Hndia Belanda telah diakui oleh traktat maupun perjanjian internasional. Pijakan yang dipergunakan oleh pemerintah Nederlands Indie adalah hukum internasional. Pemerintah Republik Indonesia menganggap telah memiliki kedaulatan penuh atas seluruh bekas wilayah Hindia Belanda sejak Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 dengan melandaskan pada moral internasional yang sifatnya universal. Kedaulatan adalah hak setiap bangsa untuk menentukan nasibnya sendiri. Sedangkan pemerintah Nederlands Indie merasa masih tetap berdaulat atas seluruh wilayah Hindia belanda karena secara de jure diakui oleh Hukum Internasional melalui traktat-traktat atau perjanjianperjanjian internasional. Berpijak dari pandangan pemerintah Nederlands Indie itulah, maka Indonesia yang secara de facto telah merdeka dianggap bukan merupakan subyek hukum internasional. Indonesia hanya dianggap sebagai obyek hukum internasional dan dibicarakan dalam traktat-traktat atau perjanjianperjanjian internasional. Pandangan seperti inilah yang mengakibatkan pemerintah Nederlands Indie menganggap tetap memiliki hak untuk kembali dan menguasai Indonesia setelah Jepang menyerah tanpa syarat kepada sekutu. Untuk melaksanakan hak inilah Belanda mengadakan perjanjian dengan Inggris yang pada intinya meminta Inggris untuk membantu Belanda kembali ke Indonesia. Oleh sebab itulah ketika Inggris datang sebagai salah satu negara anggota Sekutu, Belanda ikut serta di dalamnya. Kejadian seperti inilah kemudian memunculkan konflik bersenjata antara Tentara Rakyat Indonesia (TRI) dengan NICA pada tanggal 10 Nopember 1946 di Surabaya. Konflik senjata ini didamaikan Inggris, tetapi berdasarkan kesepakatan antara Inggris dan Belanda tersebut, pihak Inggris tetap lebih condong untuk membantu Belanda. Pada tanggal 17 Nopember 1946 terjadi perundingan antara Indonesia dengan Belanda yang pada akhirnya mengalami kegagalan. Kemudian pada tanggal 25 maret 1947
diadakan perundingan di Linggarjati, yang antara lain menghasilkan: 1. Belanda mengakui RI berkuasa secara de facto atas Jawa, Madura dan Sumatera. Di wilayah lainnya yang berkuasa adalah Belanda; 2. Belanda dan Indonesia akan bekerja sama membentuk Republik Indonesia Serikat; serta 3. Belanda dan Indonesia akan membentuk Uni Indonesia Belanda. Dalam kenyataannya persetujuan ini justru tidak mendamaikan, karena ada perbedaan penafsiran terhadap substansi perjanjian Linggarjati, yakni mengenai kedaulatan Indonesia - Belanda, yaitu: a. Belanda mengatakan: sebelum RIS terbentuk yang berdaulat adalah Belanda, maka hubungan luar negeri atau internasional hanya boleh dilakukan oleh Belanda; b. Indonesia berpendapat: sebelum RIS terbentuk, Indonesia sudah berdaulat setidaknya di Jawa, Madura, dan Sumatera, maka hubungan internasional juga boleh dilakukan oleh Indonesia. c. Belanda meminta dibuat Polisi bersama. Dalam hal ini Indonesia menolak. Akibat adanya perbedaan penafsiran inilah terjadi Clash I antara Indonesia dan Belanda pada tanggal 21 Juli 1947 dan Clash II pada tanggal 19 Desember 1948. Menurut Indonesia kedua Clash tersebut pada hakikatnya adalah bentuk agresi atau aksi militer yang dilakukan Belanda di sebuah negara yang berdaulat. Sedangkan menurut Belanda Clash tersebut adalah aksi kepolisian dalam rangka melakukan penertiban di salah satu wilayah kedaulatan Belanda. Bentrok bersenjata ini kemudian dilerai oleh Perserikatan Bangsa Bangsa dan melakukan gencatan senjata serta persetujuan baru di atas kapal Renville pada tahun 1948. Isi dari perjanjian tersebut antara lain: 1. Wewenang Indonesia dalam persetujuan ini diperkecil, dan Belanda dianggap berdaulat penuh diseluruh Indonesia (Hindia Belanda) sampai terbentuknya Republik Indonesia Serikat. 2. RIS mempunyai kedudukan sejajar dengan Belanda. 3. Republik Indonesia hanya merupakan bagian dari RIS. Untuk mengupayakan berakhirnya konflik antara Indonesia dan Belanda, maka diadakanlah Konferensi Meja Bundar (KMB), akan tetapi sebelum berlangsung konferensi tersebut, Indonesia sudah dipecah-pecah menjadi banyak negara bagian. Kemudian sebagai pelaksanaan dari KMB tersebut, pada tanggal 27 Desember 1949 dibentuklah Negara
Republik Indonesia Serikat dengan Konstitusi RIS. Kondisi seperti ini merupakan bentuk kemunduran dari konsepsi Negara Kesatuan yang disepakati oleh para pendiri negara di dalam UUD 1945. Berubahnya negara kesatuan menjadi negara serikat pada hakikatnya tidak hanya disebabkan oleh adanya campur tangan pihak luar, dalam hal ini Belanda dan PBB. Akan tetapi kondisi internal Indonesia juga memberikan sumbangan. Beberapa ahli sejarah dan pakar Indonesia (Indonesianist) pada intinya menyampaikan bahwa daerah-daerah di Indonesia memang sejak semula mempunyai keinginan untuk melepaskan diri dari ikatan Negara Kesatuan dan membentuk negara sendiri-sendiri. Daerah-daerah ini pada hakikatnya tidak puas terhadap kebijaksanaan Pemerintah Pusat (Jakarta). Mereka menganggap bahwa kebijaksanaan yang diambil oleh Pemerintah Pusat tidak mencerminkan rasa keadilan antara pusat dan daerah. Banyak daerah yang melakukan pemberontakan, misalnya PRRI (Permesta), dan pemberontakan yang dilakukan oleh personil-personil Angkatan Darat yang ditempatkan di daerah, seperti Kol. Simbolon. Perlawanan daerah-daerah inilah yang ikut memicu berubahnya Indonesia ke bentuk Negara Serikat. Republik Indonesia Serikat berlangsung sampai dengan tanggal 17 Agustus 1950, dan menurut Konstitusi Republik Indonesia Serikat sistem pemerintahan negara yang dipergunakan adalah sistem semi parlementer. Hal ini nampak jelas tertuang di dalam Pasal 122 yang menyatakan bahwa Dewan Perwakilan Rakyat yang ditunjuk menurut Pasal 109 dan pasal 110 tidak dapat memaksa kabinet atau masingmasing menteri meletakkan jabatannya. Konstruksi seperti ini dikatakan sebagai sistem semi parlementer, karena prinsip yang dipergunakan tidak sesuai dengan prinsip sistem parlementer murni, dimana Dewan Perwakilan Rakyat dapat memberikan mosi tidak percaya kepada kabinet atau masingmasing menteri, dan jika mosi tidak percaya ini disampaikan, maka kabinet atau masing-masing menteri dapat meletakkan jabatannya. Dalam proses perjalanan antara 27 Desember 1949 sampai dengan 17 Agustus 1950, golongan unitaris menghendaki agar Indonesia menjadi negara kesatuan kembali, dan menyarankan agar negara-negara bagian yang dibentuk oleh Belanda mau menggabungkan diri kepada Republik Indonesia yang berkedudukan di Yogyakarta. Kehendak seperti ini menunjukkan tanda-tanda keberhasilan, terbukti mulai bulan Mei 1950 anggota RIS tinggal 3 (tiga) negara bagian, yakni Republik Indonesia, Negara Sumatra Timur, dan Negara Indonesia Timur. Usaha untuk mengesahkan penggabungan negara-negara bagian atau kesatuan kenegaraan ini dinyatakan sah jikalau dilakukan dengan UU Federal. Hal ini nampak jelas tercantum dalam ketentuan Pasal 44 KRIS yang menyatakan: "Perubahan daerah sesuatu daerah bagian, begitu pula masuk ke dalam atau menggabungkan diri kepada suatu
daerah bagian yang telah ada, hanya boleh dilakukan oleh suatu daerah - sungguhpun sendiri bukan daerah bagian - menurut aturan yang ditetapkan dengan undangUndang Federal dengan menjunjung asas seperti tersebut dalam pasal 43, dan sekedar hal ini mengenai masuk atau menggabungkan diri, dengan persetujuan daerah bagian yang bersangkutan". Kenyataan menunjukkan bahwa penggabungan negaranegara bagian hingga tinggal 3 (tiga) negara bagian tersebut di atas tidak dilakukan dengan UU federal. Berkaitan dengan hal inilah, maka penggabungan tersebut perlu disahkan dengan menggunakan landasan pasal 139 KRIS yang menyatakan: (1) Pemerintah berhak atas kuasa dan tanggung jawab sendiri menetapkan Undang-Undang Darurat untuk mengatur hal-hal penyelenggaraan Pemerintah Federal yang karena keadaan-keadaan yang mendesak perlu diatur dengan segera. (2) Undang-Undang Darurat mempunyai kekuasaan dan kuasa Undang-Undang Federasi; ketentuan ini tidak mengurangi yang ditetapkan dalam pasal berikut. Berdasarkan ketentuan Pasal 139 itulah, maka dikeluarkan Undang-Undang Darurat No. 11 Tahun 1950 Tentang Tata Cara Perubahan Susunan Kenegaraan dari Wilayah Negara Republik Indonesia Serikat. Usaha-usaha tersebut di atas kemudian dilanjutkan dengan usaha untuk menyatukan tiga Negara bagian yang masih ada, yakni RI, Negara Indonesia Timur, dan Negara Sumatera Timur. Berkaitan dengan hal inilah diadakan perundingan antara RIS (mewakili Negara Sumatera Timur dan Negara Indonesia Timur) dan RI. Dalam perundingan tersebut diajukan tiga alternatif untuk menuju Negara Kesatuan Republik Indonesia, yaitu: 1. Pasal-pasal di dalam Konstitusi RIS yang bersifat federalis dihilangkan dan diganti dengan Pasal-pasal yang bersifat kesatuan; 2. Negara Kesatuan dibentuk melalui cara meleburkan Negara Republik Indonesia (Yogyakarta) ke dalam RIS; 3. Negara Kesatuan dibentuk dengan cara menggabungkan RIS ke dalam ikatan Negara Republik Indonesia (Yogyakarta).69 Dari ketiga alternatif tersebut, alternatif pertamalah yang akan dipergunakan sebagai ide dasar untuk menuju Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kemudian pada tanggal 19 Mei 1950 berhasil ditandatangani Piagam Persetujuan yang pada intinya memuat pernyataan bahwa dalam waktu sesingkatsingkatnya bersama-sama melaksanakan Negara Kesatuan, sebagai jelmaan dari Republik Indonesia berdasarkan Proklamasi 17 Agustus 1945.70 Sehubungan dengan adanya persetujuan ini, maka perlu ditempuh dengan melakukan perubahan atau penggantian Konstitusi. Menurut Konstitusi RIS untuk melakukan penggantian Konstitusi dipergunakan Pasal 186 KRIS yang
menyatakan bahwa Konstituante (Sidang Pembuat Konstitusi) bersama-sama dengan Pemerintah selekas-lekasnya menetapkan Konstitusi Indonesia Serikat yang akan menggantikan Konstitusi sementara ini. Sedangkan untuk melakukan perubahan atas Konstitusi dipergunakan ketentuan Pasal 190 KRIS yang menyatakan: (1) Dengan tidak mengurangi yang ditetapkan dalam Pasal 51, ayat kedua, maka Konstitusi ini hanya dapat diubah dengan Undang-Undang Federal dan menyimpang dari ketentuan-ketentuan hanya diperkenankan atas kuasa Undang-Undang Federal; baik Dewan Perwakilan Rakyat maupun Senat tidak boleh bermufakat ataupun mengambil keputusan tentang usul untuk itu, jika tidak sekurang-kurangnya dua pertiga dari jumlah anggota sidang menghadiri rapat. (2) Undang-Undang sebagaimana dimaksud dalam ayat pertama dirundingkan pula oleh Senat menurut ketentuan Bagian II Bab IV. (3) Usul Undang-Undang untuk mengubah Konstitusi ini atau menyimpang dari ketentuan-ketentuannya hanya 69 Moh. Kusnardi & Harmaily Ibrahim, 1988, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Pusat Studi HTN-UI, Jakarta, hlm. 94. 70 Soehino, Op.cit, hlm. 61. diterima oleh Dewan Perwakilan Rakyat ataupun oleh Senat dengan sekurang kurangnya dua pertiga jumlah suara anggota yang hadir. Jika usul itu dirundingkan lagi menurut yang ditetapkan dalam Pasal 132, maka Dewan Perwakilan Rakyat hanya dapat menerima dengan sekurangkurangnya tiga perempat dari jumlah suara anggota yang hadir. Berdasarkan kedua ketentuan Pasal tersebut di atas, maka untuk mengubah bentuk Negara Serikat menuju Negara Kesatuan jelas tidak mungkin dilakukan dengan upaya penggantian Konstitusi, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 186 KRIS. Hal ini mengingat untuk membentuk Konstituante harus dilakukan dengan Pemilihan Umum yang tentunya akan memakan waktu relatif lama. Sebaliknya bila dilakukan dengan cara perubahan Konstitusi, maka langkah ini bisa dikatakan relatif cepat, karena bisa dilakukan dengan mempergunakan Undang-Undang Federal, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 190 KRIS. Berdasarkan hal tersebut, diterbitkanlah Undang-Undang Federal No. 7 tahun 1950 Tentang Perubahan Konstitusi Sementara Republik Indonesia Serikat menjadi Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia. Dengan demikian payung hukum Undang-Undang Dasar Sementara 1950 pada hakikatnya adalah UndangUndang Federal tersebut. Perbedaan antara penggantian Konstitusi dengan perubahan Konstitusi sebenarnya tidak pada hakikat atau esensinya, melainkan hanya berbeda pada tingkatan atau gradasinya. Perubahan Konstitusi pada intinya terjadi penggantian sebagian Pasal-pasal yang terdapat di dalamnya,
sedangkan pada penggantian Konstitusi langkah yang dilakukan adalah dengan mengganti secara total pasal-pasal yang terdapat di dalam Konstitusi. a. Ketatanegaraan di Bawah Undang-Undang Dasar Sementara 1950. Pasal I Undang-Undang Federal No. 7 Tahun 1950 menegaskan bahwa Konstitusi Sementara Republik Indonesia Serikat diubah menjadi Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia sehingga naskahnya berbunyi:
MUKADIMAH Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan peri-keadilan. Dan perjuangan pergerakan Kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan Rakyat Indonesia kedepan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Dengan berkat rahmat Tuhan tercapailah tingkatan sejarah yang berbahagia dan luhur. Maka demi ini kami menyusun kemerdekaan kami itu dalam suatu piagam negara yang berbentuk republikkesatuan, berdasarkan pengakuan ke-Tuhanan yang Maha Esa, peri-kemanusiaan, kebangsa-an, kerakyatan dan keadilan sosial, untuk mewujudkan kebahagiaan, kesejahteraan, perdamaian dan kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara-hukum Indonesia Merdeka yang berdaulat sempurna. Kemudian Pasal 134 menyatakan bahwa Konstituante i Sidang pembuat Undang-Undang Dasar) bersama-sama dengan Pemerintah selekas-lekasnya menetapkan UndangUndang Dasar Republik Indonesia yang akan menggantikan Undang-Undang Dasar Sementara ini. Kedua ketentuan tersebut menggariskan letak kesementaraan dari konstitusi, oleh sebab itu perlu dilakukan langkah-langkah untuk menetapkan Konstitusi secara definitif. Sistem pemerintahan yang digariskan oleh UndangUndang Dasar Sementara (UUDS) 1950 tidak menunjukkan ketegasan sebagaimana sistem Pemerintahan yang terdapat di dalam Konstitusi RIS. Pasal 83 UUDS menyatakan: 1) Presiden dan Wakil Presiden tidak dapat diganggu gugat. (2) Menteri-menteri bertanggungjawab atas seluruh kebijaksanaan Pemerintah, baik bersama-sama untuk seluruhnya, maupun masing-masing untuk bagiannya sendirisendiri. Kemudian Pasal 84 UUDS 1950 menegaskan bahwa Presiden berhak membubarkan Dewan perwakilan Rakyat. Keputusan Presiden yang menyatakan pembubaran itu, memerintahkan pula untuk mengadakan pemilihan Dewan Perwakilan Rakyat baru dalam 30 hari. Kendatipun kedua ketentuan Pasal tersebut di atas menunjukkan adanya ciri-ciri sistem parlementer, seperti kedudukan Presiden dan Wakil Presiden yang tidak dapat diganggu gugat, dan adanya pertanggungjawaban menteri baik sendiri-sendiri maupun secara kolektif, namun secara yuridis konstitusional masih tetap belum dapat dikategorikan mempergunakan sistem parlementer. Hal ini disebabkan mekanisme pertanggungjawaban yang dilakukan menteri tidak menunjukkan kejelasan kepada organ mana dan apa konsekuensinya jikalau pertanggungjawaban tersebut tidak diterima. Bahkan tidak lazim jikalau Presiden dapat
membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 84 UUDS 1950. Berkaitan dengan hal ini, Soehino memberikan catatan bahwa dalam jawaban Pemerintah Republik Indonesia Serikat atas laporan Panitia pelapor Dewan Perwakilan Rakyat tertanggal 3 Agustus 1950 diterangkan bahwa pasal 83 ayat (2) tidak menentukan bahwa Kabinet itu harus bersifat parlementer, melainkan pasal tersebut menetapkan bahwa Kabinet harus bertanggungjawab kepada perlemen. Lebih lanjut dikatakan bahwa Kabinet yang bertanggung jawab itu dapat bersifat parlementer, dapat pula bersifat extra parlementer atau zaken Kabinet, akan tetapi tidak bersifat kabinet presidensiil yang tidak bertanggungjawab.71 Argumentasi atau catatan tersebut di atas jelas menunjukkan keragu-raguan untuk menentukan sistem pemerintahan apakah yang dianut oleh UUDS 1950. menurut hemat penulis sistem pemerintahan yang dianut oleh UUDS 1950 tidak mengikuti pakem teori yang lazim dikenal dalam Hukum Tata Negara khususnya menyangkut sistem pemerintahan, karena tidak secara tegas menunjukkan mekanisme pertanggungjawaban Kabinet yang dimaksud. Oleh sebab itu penulis berpendapat bahwa sistem yang dipergunakan oleh UUDS 1950 mengarah kepada sistem otoritarianisme, dimana kedudukan Presiden tidak dapat diganggu gugat bahkan dapat membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat. Sistem seperti ini dipergunakan karena komposisi keanggotaan Dewan Perwakilan Rakyat tidak didasarkan pada prinsip-prinsip representasi rakyat, melainkan didasarkan pada penunjukkan, dan yang menunjuk tidak lain adalah Presiden. Padangan seperti ini bersumber pada argumentasi Soehino yang menyampaikan bahwa berulangulang Presiden Soekarno menyatakan pada rapat-rapat raksasa, bahwa beliau bukan saja Presiden Konstitusional, melainkan beliau adalah pemimpin Rakyat. Sebagai Bapak negara dan Pemimpin Rakyat beliau merasa wajib tiap-tiap kali memberi amanat kepada khalayak ramai.72 Catatan sejarah seperti ini menunjukkan sekali lagi bahwa Presiden (Soekarno) memang menduduki posisi sentral dalam setiap bentuk penyelenggaraan pemerintahan negara. Oleh sebab itu tidaklah berlebihan jikalau sistem yang dipergunakan oleh UUDS 1950 mengandung unsur-unsur sistem otoritarianisme. Sistem ini mencapai puncaknya ketika Presiden membubarkan Konstituante melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1950. Pasal 134 UUDS 1950 menegaskan bahwa Konstituante (Sidang pembuat Undang-Undang Dasar) bersama-sama Pemerintah selekas-lekasnya menetapkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia yang akan menggantikan Undang-Undang Dasar Sementara ini. Ketentuan seperti ini menegaskan bahwa jalan satu-satunya untuk memperlakukan UUDS 1950 adalah dengan cara penggantian. Bukan dengan
perubahan. Untuk melaksanakan ketentuan tersebut, maka yang diberi wewenang adalah Konstituante dan pemerintah. Berkaitan dengan kewenangan Pemerintah dalam melakukan penggantian UUDS 1950 tersebut, Pasal 137 ayat (3) UUDS 1950 menegaskan bahwa apabila Konstituante sudah menerima Rancangan Undang-Undang Dasar, maka dikirimkannya rancangan itu kepada Presiden untuk disahkan oleh Pemerintah. Pemerintah harus mengesahkan rancangan itu dengan segera. Pemerintah mengumumkan UndangUndang Dasar itu dengan keluhuran. Ketentuan semacam ini secara tegas memberikan garis kewenangan bagi Pemerintah dalam hal penggantian UUDS 1950, yakni dalam hal pengesahan dan pengumumannya. Pemerintah dan/atau Presiden hanya memiliki kewenangan yang bersifat administratif, yakni mengesahkan dan mengumumkan Undang-Undang Dasar yang menggantikan UUDS 1950. Oleh sebab itu dapat ditarik pemahaman bahwa yang diberi wewenang penuh untuk mempersiapkan dari perancangan draft sampai dengan persetujuan rancangan Undang-Undang Dasar tidak lain adalah Konstituante. Sedangkan Pemerintah hanya melaksanakan fungsi administratif dalam rangka mengesahkan dan mengumumkan. Untuk membentuk Konstituante, maka menurut pasal 135 UUDS 1950 ditegaskan, antara lain: (1) Konstituante terdiri dari sejumlah anggota yang besarnya ditetapkan berdasarkan perhitungan setiap 150.000 jiwa penduduk warganegara Indonesia mempunyai seorang wakil. (2) Anggota-anggota Konstituante dipilih oleh warga negara Indonesia dengan dasar umum dan dengan cara bebas dan rahasia menurut aturan-aturan yang ditetapkan dengan undang-undang. Bertitik tolak dari ketentuan tersebut, maka diterbitkanlah Undang-Undang No. 7 Tahun 1953 tentang Pemilihan Umum Untuk Anggota-anggota Konstituante dan Dewan Perwakilan Rakyat. Inilah Undang-Undang pertama yang mengatur tentang Pemilihan Umum sejak Proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945. berdasarkan undang-Undang ini maka pada bulan September 1955 dilaksanakan pemilu untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan pada bulan Desember 1955 dilaksanakan Pemilu untuk memilih anggota-anggota Konstituante. Menurut Disertasi Adnan Buyung Nasution, pada hakikatnya Konstituante tidak dapat dikatakan gagal dalam merumuskan Undang-Undang Dasar. Pada waktu itu Presiden dengan bantuan dari Angkatan Darat ingin menerapkan gagasan demokrasi Terpimpin. Gagasan seperti ini kemudian direalisasikan melalu ndang yang diselenggarakan oleh Kabinet Karya pada tanggal 19 Itebruari 1959 dengan
keputusan untuk melaksanakan demokrasi :erpimpin dengan cara kembali kepada Undang-Undang dasar 1945.73 Prosedur untuk kembali kepada Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana diputuskan oleh Kabinet Karya, adalah: 1 . Setelah terdapat kata sepakat antara Presiden dan Dewan Menteri, maka pemerintah meminta supaya diadakan sidang Pleno Konstituante; 2. Atas nama Pemerintah disampaikan Presiden amanat berdasarkan pasal 134 Undang-Undang Dasar sementara 1950 kepada Konstituante yang berisi anjuran supaya UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 ditetapkan; 3. Jika anjuran itu diterima oleh Konstituante, maka Pemerintah atas dasar ketentuan Pasal 134 UUDS 1950 mengumumkan UUD 1945 itu dengan keluhuran. Pengumuman dengan keluhuran itu dilakukan dengan suatu Piagam yang ditandatangani dalam suatu sidang pleno Konstituante di Bandung oleh Presiden, para Menteri dan para anggota Konstituante, yang antara lain memuat Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945.74 Setelah melalui berbagai macam usaha, Konstituante tidak dapat mengambil keputusan untuk menerima anjuran Pemerintah tersebut. Hal ini memang dapat dibenarkan mengingat kewenangan untuk mempersiapkan dan membentuk Undang-Undang Dasar tetap berada di tangan Konstituante, sedangkan Pemerintah yang berpijak pada ketentuan Pasal 137 ayat (3) UUDS 1950 hanya memiliki fungsi administratif yakni mengesahkan dan mengumumkan. Oleh sebab itu langkah yang dilakukan Pemerintah dengan
73 Adnan Buyung Nasution, mengemukakan anjuran tersebut dapat Op.cit, hlm. 417-518. 74 Soehino, Op.cit, hlm. 78-79 dianggap merupakan bentuk intervensi kewenangan Pemerintah dalam membentuk UUD. Berdasarkan kondisi itulah Presiden kemudian mengeluarkan Dekrit pada tanggal 5 Juli 1959 yang pada intinya menegaskan untuk kembali kepada UUD 1945 dan membubarkan Konstituante. Menurut Djokosoetono tindakan Presiden mengeluarkan Dekrit dalam rangka memberlakukan UUD 1945 dan membubarkan Konstituante adalah sah berdasarkan doktrin staatsnoodrechts dan noodstaatsrecht.75 Adapun yang dimaksud dengan staatsnoodrecht adalah hak darurat yang dimiliki oleh penguasa untuk mengeluarkan produk-produk hukum yang menyimpang dari asas-asas perundang-undangan yang baik, karena adanya kegentingan yang memaksa dan membahayakan keselamatan negara. Penentuan apakah suatu keadaaan dikategorikan sebagai "kegentingan yang memaksa" tersebut dilandasi oleh dua kriteria, yaitu subyekif dan obyektif. Kegentingan memaksa
diukur dari aspek subyektif, jikalau unsur-unsur keadaan yang dikategorikan sebagai kegentingan yang memaksa itu sematamata hanya merupakan penafsiran atau persepsi dari penguasa. Sedangkan kegentingan memaksa diukur dari aspek obyektif apabila keadaan yang dikategorikan sebagai suatu kegentingan yang memaksa itu sudah ditentukan atau sudah diatur di dalam suatu peraturan perundang-undangan. Berkaitan dengan dua ukuran ini, maka Dekrit Presiden 5 Juli 1959 sebenarnya dikategorikan sebagai staatsnoodrecht subyektif. Menurut Djokosoetono, kegentingan yang memaksa hingga mengakibatkan Presiden mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 tersebut mengandung kelemahan yaitu: 1. Keadaan staatsnoodrecht pada waktu itu nampaknya tidak ada, karena semua alat perlengkapan negara masih utuh dan bekerja secara normal. Ancaman terhadap 75 Yusril Ihza Mahendra, 1996, Dinamika Tata Negara Indonesia Kompilasi Aktual Masalah Konstitusi, Dewan Perwakilan Rakyat dan Sistem Kepartaian, Gema Insani Prss, Jakarta, hlm. 82. keselamatan negara juga tidak ada, karena kekuatan PRRI dan Permesta pada pertengahan tahun 1959 telah berada pada titik lemah; 1 Hukum kenegaraan RI pada masa itu tidak berada dalam keadaan darurat. Sementara yang terjadi hanyalah penolakan dari Majelis Konstituante terhadap anjuran Pemerintah untuk kembali ke pada UUD 1945. Secara hukum, andaipun majelis Konstituante gagal membuat UUD yang definitif, maka UUDS 1950 masih berlaku sebagai UUD RI yang sah.76 Menurut Logemann dan Mohammad Hatta, secara akademis riridakan dekrit bukannya harus dinilai atas dasar staatsnoodrecht taupun noodstaatsrecht, melainkan suatu revolusi hukum. Jadi ebagai tindakan revolusioner, dan keabsahannya harus dicari secara post pactum, yaitu sejauh manakah Presiden Soekarno mampu empertahankan langkah yang diambilnya. Kalau berhasil mem-rertahankan keputusannya, maka keputusan itu akan menjadi sah. Sebaliknya, jika gagal, Ia mungkin dapat didakwa melakukan Tindakan coup d'etat atau sekurang-kurangnya melakukan tindakan inkonstitusional .77 Argumentasi ini menurut pandangan penulis adalah argumentasi yang paling masuk akal daripada mempergunakan alasan staatsnoodrecht. Hal ini mengingat untuk menentukan suatu keadaan itu sifatnya darurat dan membahayakan keselamatan negara tentunya harus dilandasi oleh ketentuan-ketentuan hukum yang tegas supaya keputusan yang diambil mencerminkan adanya kepastian hukum. Apalagi sesuai dengan Mukadimah UUDS 1950 dinyatakan bahwa Indonesia merupakan negara hukum. Dengan demikian Dekrit Presiden 5 Juli 1959 jelas bersifat
extra Konstitusional. Kendatipun demikian, dalam perkembangan lebih lanjut keberadaan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 telah disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat hasil Pemilihan Umum 1959 secara aklamasi pada tanggal 22 Juli 1959, dan kemudian dikukuhkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dengan Ketetapan No. XX/MPRS/1966.
3. Ketatanegaraan di Bawah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (Dekrit Presiden 5 Juli 1959). Dengan pemberlakuan kembali UUD 1945, serta mengingat bahwa Lembaga-lembaga Negara sebagaimana digariskan oleh UUD 1945 belum lengkap, maka dilakukanlah beberapa langkah sebaga berikut: a. Pembaharuan susunan Dewan Perwakilan Rakyat melali Penetapan Presiden No. 3 Tahun 1960; b. Penyusunan Dewan Pewakilan Rakyat Gotong Royong (DPRGR) dengan Penetapan Presiden No. 5 Tahun 1960 yang antara lain menentukan bahwa anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat diberhentikan dengan hormat dari jabatannya terhitung mulai tanggal pelantikan Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong oleh Presiden; c. Untuk melaksanakan Dekrit Presiden, oleh Presiden dikeluarkan Penetapan Presiden No. 2 Tahun 1959 Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara; dan dilanjutkan dengan d. Penyusunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dengan Penetapan Presiden No. 12 Tahun 1960; e. Dikeluarkan Penetapan Presiden No. 3 tahun 1959 tentang Dewan Pertimbangan Agung Sementara. Ditinjau dari aspek Konstitusional, langkah-langkah Presiden dalam menyusun DPRGR dan MPRS melalui penetapan Presiden jelas menyimpang dari UUD 1945 yang berlaku berdasarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Apalagi langkah tersebut terlebih dahulu diawali dengan pembubaran DPR hasil Pemilihan Umum berdasarkan Undang-Undang No. 7 Tahun 1953. Lain daripada itu, dalam sistematika UUD 1945 produk hukum (perundang-undangan) yang berjenis Penetapan Presiden sama sekali tidak dikenal. Oleh sebab itu langkah-langkah yang diambil oleh Presiden dalam rangka melaksanakan demokrasi terpimpin dan kembali kepada UUD 1945 justru merupakan langkah yang jauh menyimpang dari Konstitusi. Bahkan kalaupun dalam melakukan langkahlangkah tersebut dianggap berlandaskan pada Pasal IV Aturan Peralihan UUD 1945, hal tersebut tetap melanggar Konstitusi,
sebab Dewan Perwakilan Rakyat sudah terbentuk melalui Pemilu tahun 1955. Dengan demikian sejak berlakunya kembali UUD 1945 berdasarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalam UUD 1945 belum dapat dilaksanakan secara murni dan konsekuen. Banyak penyimpanganpenyimpangan yang terjadi, seperti: a. Lembaga-lembaga Negara seperti MPR, DPR, dan DPA belum dibentuk berdasarkan Undang-Undang, serta lembagalembaga yang ada masih bersifat sementara; b. Pengangkatan Presiden Soekarno sebagai Presiden seumur hidup melalu ketetapan MPRS No. III/MPRS/1963. Ketetapan ini jelas-jelas melanggar ketentuan Pasal 7 UUD 1945 yang secara tegas menyatakan bahwa Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali. Sejarahketatanegaraanlndonesiamencatatbahwa penyimpangan-penyimpangan Konstitusi ini mencapai Puncaknya di bidang politik dengan terjadinya pemberontakan G 30 S PKL Catatan kelam dan misterius menyangkut pemberontakan ini sampai sekarang masih menjadi perdebatan. Sejarah mengenai peristiwa berdarah G 30 S PKI masih menyimpan kontroversi. Banyak ahli sejarah dan bahkan pelaku sejarah mencoba melakukan penelusuran kembali sejarah peristiwa tersebut, namun sayangnya banyak dokumen yang hilang. Menurut Kol Sugondho ada 9 (sembilan) versi yang mencatat siapa dalang dibalik pemberontakan PKI tersebut, yaitu: 1. i. ?. 4. 5. 6. 7. 8. Versi PKI; Versi Cornell; Versi Prof Wertheim; Vers Arnold Brackman; Versi Mainstream; Versi Marxist; Versi Dake; Versi K.O.K (Kritik-Oto-Kritik) dan tripanji PKI Pasca 1 Oktober; dan 9. Versi presiden Soekarno sendiri.78 Berdasarkan sembilan versi ini, menurut Atmadji Sumarkidjo dapat dikategorikan menjadi enam versi utama, yaitu: a. Pelaku G 30 S adalah Partai Komunis Indonesia. Versi ini adalah versi resmi yang dipegang oleh Pemerintah RI dan berpatokan pada dua buku resmi, yaitu tulisan Nugroho Notosusanto
dan Ismail Saleh, The Coup Attempt of the September 30 Movement in Indonesia, 1968 dan buku keluaran Sekretariat Negara tahun 1994 yaitu Buku Putih Pengkhianatan G 30 SIPKI (sepengetahuan penulis buku ini justru bersampul warna hitam); b. G 30 S adalah persoalan internal TNI Angkatan Darat. Hasil riset pertama yang mendukung versi ini adalah kertas kerja yang dikeluarkan oleh Universitas Cornell, Ithaca, New York tahun 1965 yang berjudul A Preliminary Analysis of the October 1, 1965 Coup in Indonesia dan kemudian diikuti oleh berbagai buku dan penelitian seperti buku yang berjudul Whose Plot? New Light on the 1965 Events tulisan Prof. Wertheim. c. Versi Presiden Soekarno sebagai dalang Pemberontakan tersebut. Versi ini muncul dari gerakan mahasiswa yang tidak puas dengan langkah pemegang mandat Surat Perintah 11 Maret 1966, yaitu Jenderal Soeharto, karena tidak melakukan penangkapan terhadap Presiden Soekarno. Versi ini juga nampak dari judul buku Siapa Menabur Angin Akan Menuai 78 Atmadji Sumarkidjo, 2000, Mendung Di Atas Istana Merdeka, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, him. 15. Badai, tulisan Sugiarto Suroso.
d. Versi yang menyatakan Jenderal Soeharto sebagai dalang pemberontakan. Versi ini muncul sejak adanya Cornell Paper. Ada dua asumsi yang dapat dipergunakan untuk menyatakan pendapat ini, yaitu adanya pertemuan antara Kolonel (Inf) A. Latief dengan Mayjen Soeharto di RSPAD dan mengapa Mayjen Soeharto tidak ikut diculik bersama dengan jenderal yang lain. e. Versi yang menyatakan bahwa G 30 S digerakkan oleh kekuatan dinas inteljen luar negeri antara lain CIA, Inggris dan China. Versi ini muncul sejak adanya dokumen palsu yang kemudian dikenal sebagai Dokumen Gilchrist, serta analisis Peter Dale
f.
Scott yang mengasumsikan bahwa CIA tidak ingin Indonesia jatuh ke tangan komunis. Versi G 30 S terjadi karena adanya kombinasi dari berbagai kepentingan dan pihak, baik itu PKI, negara-negara Barat maupun TNI Angkatan Darat.79
Terlepas dari kebenaran dari masing-masing versi tersebut, peristiwa G 30 S PKI telah menimbulkan kekacauan sosial budaya dan instabilitas pemerintahan serta meninggalkan sejarah hitam dalam peta politik dan hukum ketatanegaraan Indonesia. Puncak dari peristiwa ini adalah jatuhnya legitimasi Presiden Soekarno dalam memegang tampuk kepemimpinan nasional. Legitimasi tersebut semakin terpuruk dengan dikeluarkannya Surat Perintah 11 maret 1966 (SUPERSEMAR) yang pada hakikatnya merupakan perintah Presiden Soekarno kepada Letnan Jenderal Soeharto untuk mengembalikan segala tindakan dalam menjamin keamanan dan ketenteraman serta stabilitas jalannya pemerintahan. Keberadaan SUPERSEMAR itu sendiri sampai sekarang masih tetap misterius, bahkan penerbitan SUPERSEMAR itu sendiri memunculkan kontraversi sejarah yang berbeda-beda. Kemudian dengan Ketetapan MPRS No. IX/MPRS/1966, SUPERSEMAR dikukuhkan dengan masa berlaku sampai terbentuknya MPR RI hasil pemilihan umum yang akan datang.' Oleh karena pemilihan umum yang sedianya akan diselenggarakan pada tanggal 5 Juli 1968 ditunda hingga 5 Juli 1971 dan mengingat dikeluarkannya Ketetapan MPR No. XXXIII/MPRS/1967 Tentang Pencabutan Kekuasaan Pemerintahan Negara dari Tangan Presiden Soekarno, maka demi tercapainya kepemimpinan nasional yang kuat dan terselenggaranya stabilitas politik, ekonomi dan Hankam, maka dikeluarkanlah Ketetapan MPRS No. XLIV/MPRS/1968 Tentang Pengangkatan Pengemban Ketetapan MPRS No IX/MPRS/1966 Sebagai Presiden Republik Indonesia, yang antara lain menyatakan bahwa mengangkat presiden Soeharto sebagai Presiden Republik Indonesia hingga terpilihnya Presiden oleh MPR hasil pemilihan umum.81 Terlepas dari kontroversi peralihan kekuasaan dari Presiden Soekarno kepada Letnan Jenderal Soeharto melalui SUPERSEMAR yang kemudian dikukuhkan melalui Ketetapan MPR tersebut, sejarah ketatatanegaraan Indonesia memasuki babakan baru yang sering disebut sebagai Era Orde Baru. 4. Ketatanegaraan Indonesia Pada Masa Orde Baru. Dengan jatuhnya Presiden Soekarno dari tampuk kepemimpinan nasional, maka Jenderal Soeharto mulai memegang kendali pemerintahan dan di masa ini disebut sebagai Era Orde Baru. Di era ini konsentrasi penyelenggaraan pemerintahan negara menitik beratkan pada aspek stabilitas politik dalam rangka menunjang pembangunan nasional. Untuk mendukung terwujudnya stabilitas politik dalam rangka pembangunan nasional, maka dilakukanlah upaya-
upaya pembenahan sistem ketatanegaraan dan format politik dengan menonjolkan pada hal-hal sebagai berikut: a. Konsep Dwi Fungsi ABRI dipergunakan sebagai platform politik Orde Baru. ABR (militer) tidak hanya berfungsi sebagai alat pertahanan negara atau mesin perang dalam rangka menjaga kedaulatan negara, melainkan juga memainkan peranan sosial politik dan terlibat dalam 80 Soehino, Op.cit, him. 138. pengambilan 81 Ibid, him. 150. keputusan-keputusan politik. I). Pengutamaan Golongan Karya; C. Magnifikasi kekuasaan di tangan eksekutif; d. Diteruskannya sistem pengangkatan dalam Lembagalembaga perwakilan rakyat; i\ Kebijakan depolitisasi khususnya masyarakat pedesaan melalui konsep masa mengambang (floating mass); dan f. Kontrol Arbriter atas kehidupan pers.82 Konsep Dwi Fungsi ABRI secara implisit sebenarnya sudah dikemukakan oleh Kepala Staf Angkatan Darat, Mayjen Abdul Haris Nasution pada tahun 1958. Menurut Nasution Dwi Fungsi ABRI merupakan konsep jalan tengah. Prinsipnya menegaskan bahwa peran militer atau tentara tidak terbatas pada tugas profesional militer belaka, melainkan juga mempunyai tugas-tugas lain di bidang sosial politik.83 Dengan konsep seperti inilah dimungkinkan bahkan menjadi kewajiban jikalau militer berpartisipasi di bidang politik. Sebuah konsep yang tidak lazim di negara demokrasi yang lebih mengedepankan konsep penguatan masyarakat sipil (empowering civil society) Penerapan konsep jalan tengah melalui Dwi Fungsi ABRI ini menurut pandangan penguasa Orde Baru dan Militer bersumber dari ketentuan Pasal 2 ayat (1) UUD 1945 (sebelum amandemen) yang menegaskan bahwa Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri dari anggota Dewan Perwakilan Rakyat ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan, menurut aturan yang ditetapkan dengan undang-undang. Dengan demikian menurut Orde Baru dan Militer, golongan-golongan yang dimaksud oleh Pasal tersebut adalah termasuk golongan Militer. Sebuah penafsiran UUD 1945 yang menyimpang dari penafsiran konstitusional yang termuat di dalam Penjelasan 82 Mochtar Pabottinggi, dalam Syamsudin Haris & Riza Sihbudi, 1995, Menelaah Kembali Format Politik Orde Baru, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, him. xii-xiii. 83 Harold Crouch, dalam Ibid, him. 97. UUD 1945. Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa yang dimaksud dengan golongan-golongan, ialah badanbadan seperti koperasi, serikat sekerja dan lain-lain badan kolektif. Aturan demikian memang sesuai dengan aliran
zaman. Berhubung dengan anjuran sistem koperasi dalam ekonomi, maka ayat ini mengingat akan adanya golongangolongan dalam badan-badan ekonomi. Penjelasan seperti ini sama sekali tidak menyebut golongan militer. Yang dititik beratkan oleh Penjelasan pasal tersebut adalah badan-badan yang terkait dengan kehidupan ekonomi termasuk badan kolektif yang dibentuk oleh masyarakat sipil (Civil Society). Dari penafsiran sepihak yang dilakukan oleh penguasa Orde Baru dan Militer tersebut, ABRI termasuk di dalamnya POLRI memperoleh jatah di lembaga-lembaga politik baik di tingkat pusat maupun daerah. Mereka memperoleh jatah tersebut tanpa berjuang melalui pemilihan umum, melainkan memperoleh jatah karena pengangkatan atau penunjukan. Di tingkat Pemerintahan Daerah, hampir sebagian besar Kepala Daerah baik tingkat Provinsi Daerah Tingkat I, maupun Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II berasal dari kalangan Militer (termasuk POLRI). Kondisi seperti ini menunjukkan adanya paradigma ketatanegaraan yang tidak lazim dikenal dalam negara demokrasi. Paradigma tersebut lazim dikenal di negara yang mempergunakan paham militeristik. Di bidang kehidupan kepartaian, pada tanggal 27 Pebruari 1970, Presiden Soeharto mengadakan konsultasi dengan Parpol-parpol guna membahas gagasan untuk mengelompokkan partai-partai yang ada. Gagasan ini dengan tujuan jangka pendek yaitu mempertahankan stabilitas nasional dan kelancaran pembangunan dalam menghadapi pemilihan umum, sedangkan tujuan jangka panjangnya adalah menyederhanakan kehidupan kepartaian sesuai dengan amanat ketetapan MPRS No. XII/MPRS/1966. Sekali lagi stabilitas keamanan menjadi titik sentral dalam mengambangkan sistem ketatanegaraan di era Orde Baru. Dengan pendekatan stabilitas keamanan inilah, maka mesin politik yang paling efektif adalah mempergunakan kekuatan Militer. Menurut Orde Baru penyederhanaan kehidupan kepartaian tersebut tidak hanya mengandung arti pengurangan jumlah partai politik, tetapi juga perombakan sikap dan pola kerja partai politik menuju pada orientasi program. Di samping itu juga disarankan oleh Presiden Soeharto agar partai-partai tersebut mempergunakan asas Pancasila dan UUD 1945. Berdasarkan gagasan inilah, maka disarankan pembentukan dua kelompok, yaitu: a. Kelompok materiil-spirituil yang terdiri atas partai-partai yang menekankan pembangunan materiil tanpa mengabaikan aspek spirituil. Kelompok ini terdiri dari PNI, Murba, 1PKI, Partai katolik, dan Partai Kristen Indonesia (Parkindo); b. Kelompok spirituil-materiil yang terdiri dari partai-partai yang menekankan pembangunan spirituil tanpa mengabaikan
aspek materiil dan terdiri dari NU, Parmusi, PSII dan Perti.84 Bila ditinjau dari aspek logika politik berdasarkan ideologi, maka dua pengelompokan ini nampak tidak lazim. Mengapa Partai Katolik dan Partai Kristen Indonesia (Parkindo) tidak dimasukkan kedalam kelompok spirituilmateriil. Ketidak laziman ini memang ada benarnya karena fenomena ideologis dari partai-partai yang dimasukkan dalam kelompok spirituil materiil adalah berbasis Islam, tidaklah mungkin mengelompokkan beberapa partai menjadi satu sementara basis ideologinya sangat berbeda. Menindak lanjuti pengelompokan tersebut, pada tanggal 9 Maret 1970 terjadi pengelompokan Partai Politik (fusi) yang ditandai dengan terbentuknya kelompok Demokrasi Pembagunan yang terdiri dari PNI, Partai Katolik, Parkindo, IPKI, dan Murba. Kemudian pada tanggal 13 Maret 1970 Kelompok Persatuan Pembangunan terbentuk dan terdiri dari gabungan NU, Parmusi, PSII, dan Perti. Langkah terakhir pada tanggal 5 dan 10 Januari 1977 terbentuklah Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Menurut penguasa Orde Baru, disamping kedua kelompok Partai Politik tersebut, ternyata dalam perkembangannya terdapat golongan-golongan fungsional yang tidak dapat dimasukkan ke dalam salah satu dari kelompok partai tersebut. Golongan-golongan fungsional ini kemudian membentuk kelompok tersendiri yang kemudian disebut Golongan Karya (GOLKAR). Golongan ini dalam kehidupan masyarakat masing-masing menyumbangkan peranan khusus bagi berfungsinya masyarakat seperti organisasi ekonomi, kultural, sosial dan pertahanan.85 Dari konsep seperti inilah, maka di dalam kehidupan politik Indonesia ada keterkaitan antara GOLKAR dan ABRI (Militer). Dalam Pemilu tahun 1977 hanya terdapat tiga kekuatan sosial politik, yaitu dua Partai Politik (PDI dan PPP) dan satu GOLKAR yang dianggap tidak merupakan Partai Politik tetapi golongan fungsional, padahal sepak terjangnya dibidang politik. Keberadaan ketiga kekuatan sosial politik tersebut diperkuat dengan Undang-Undang No. 3 Tahun 1975 tentang partai Politik dan Golongan Karya. Dengan adanya Undang-Undang inilah dalam kurun waktu lebih kurang 32 tahun konstelasi politik di Indonesia hanya membatasi adanya dua partai politik dan satu golongan karya yang dianggap sah dan berhak hidup di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sejarah menunjukkan bahwa dalam setiap penyelenggaraan Pemilu di era Orde Baru, GOLKAR selalu menjadi single majority, dan setiap Pemilihan Presiden yang dilakukan oleh MPR, Soeharto selalu dapat terpilih kembali secara aklamasi untuk menjadi Presiden Republik Indonesia. Kondisi semacam ini mengakibatkan adanya tiga fenomena ketatanegaraan di Indonesia, yaitu:
1. Sistem Ketatanegaraan yang dijalankan pada waktu itu lebih menekankan pada stabilitas politik dan memang berhasil; 2. Terjadinya pemasungan hak-hak politik bagi warganegara, khususnya dalam hal berserikat atau berkumpul karena adanya pembatasan Partai Politik dan pengawasan terhadap r u h Kctatnnc^itniiui linUnir-.iu
Seluruh organisasi kemasyarakatan, termasuk pengawas,in terhadap Media masa; 3, Terpilihnya Suharto sebagai Presiden yang berulang kali mengakibatkan karakter kepemimpinan makin lama semakin otoriter dan tidak terkontrol, akibatnya gejala Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme semakin merajalela. Tidak dapat dipungkiri bahwa rezim Orde Baru memang berhasil dalam mewujudkan stabilitas politik melalui pendekatan keamanan. Pembangunan dapat berjalan secara bertahap dan berkelanjutan. Tingkat pertumbuhan ekonomi rata-rata 7%. Bahkan Indonesia telah mampu berswasembada pangan. Indikator-indikator inilah yang dapat dipergunakan untuk menilai keberhasilan rezim Orde Baru. Akan tetapi sebaliknya di lingkungan infrastruktur politik, telah terjadi pembelengguan hak politik warganegara sebagai pemegang kedaulatan. Puncak dari keadaan semacam ini adalah terjadinya gerakan reformasi sebagai akibat adanya krisis multidimensional pada akhir tahun 1997 dan awal tahun 1998. Kemudian karena krisis tersebut tidak kunjung teratasi, maka diawali dengan terjadinya kerusuhan tanggal 13 s.d 14 Mei 1998, Presiden Soeharto meletakkan jabatannya pada tanggal 20 Mei 1998 dan diganti oleh wakil Presiden BJ. Habibie. Pergantian jabatan tersebut menurut sementara pihak merupakan langkah konstitusional, sebab Pasal 8 UUD 45 telah menegaskan bahwa jika Presiden mangkat, berhenti atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya, ia digantikan oleh Wakil Presiden sampai habis waktunya. Dipihak lain, proses penggantian jabatan tersebut dianggap inkonstitusional, karena proses penggantian tersebut tidak ditandai dengan penyerahan kembali Mandat yang diterima oleh Soeharto kepada MPR. Dalam sistem perundang-undangan di masa Orde Baru dikenal adanya Ketetapan MPR yang memiliki dua sifat, yaitu: 1. Ketetapan MPR yang sifatnya einmalig yaitu berisi norma hukum yang berlaku sekali saja dan sifatnya hanya menetapkan, sehingga dengan adanya penetapan itu norma hukum tersebut
selesai. Ketetapan MPR yang sifatnya seperti ini mirip dengan Keputusan atau Ketetapan Administrasi Negara yang konkrit,
individual dan final; dan 2. Ketetapan MPR yang sifatnya Dauerhaftig yang berisi norma hukum yang berlaku terus menerus dalam jangka waktu yang tidak terbatas, sampai dicabut atau diganti yang baru. Ketetapan MPR inilah yang masuk dalam kategori Peraturan Perundang-undangan.86 Berdasarkan dua sifat tersebut, maka Ketetapan MPR yang memberikan Mandat kepada Soeharto sebagai Presiden Republik Indonesia pada hakikatnya bersifat einmalig, seperti Keputusan atau Ketetapan Administrasi Negara yang konkrit, individual dan final. Artinya konkrit adalah hanya ditujukan pada satu obyek hukum tertentu. Individual, artinya hanya ditujukan kepada satu subyek hukum tertentu, dan final artinya hanya menimbulkan satu akibat hukum tertentu. Berdasarkan sifat seperti inilah, maka peralihan jabatan Presiden dari Soeharto kepada Wakil Presiden BJ. Habibie harus diawali dengan pengembalian mandat (Ketetapan MPR) terlebih dahulu, kemudian MPR menerbitkan lagi Ketetapan MPR yang mengangkat BJ Habibie menjadi Presiden. Pendek kata, Mandat sebagaimana digariskan oleh Ketetapan MPR tidak dapat dialihkan begitu saja. 5. Ketatanegaraan Indonesia Setelah Reformasi 1998: Menuju Konsolidasi Sistem Demokrasi. Dengan tumbangnya rezim Orde Baru, maka dimulailah penataan sistem ketatanegaraan menuju konsolidasi sistem demokrasi di Indonesia. Konsolidasi yang paling penting disini tidak lain adalah dengan melakukan perubahan dan penggantian berbagai Peraturan Perundang-undangan yang dirasa tidak memberikan ruang gerak bagi kehidupan demokrasi dan prinsipprinsip kedaulatan rakyat. Peraturan 86 Maria Farida Indrati S, dalam B. Hestu Cipto Handoyo, 2008, Prinsip-Prinsip Legal Drafting & Desain Naskah Akademik, Univ. Atma Jaya Yogyakarta, Yogyakarta, him. Perundang-undangan yang dimaksud antara lain: 137.
a. Ketetapan MPR No. IV/MPR/1983 Tentang Referendum; b. Undang-Undang No. 5 tahun 1985 Tentang Referendum; c. Undang-Undang No. 5 tahun 1974 Tentang Pemerintahan Di daerah; d. Paket Undang-Undang Bidang Politik (UU Susduk MPR DPR, DPRD, UU Pemilihan Umum, dan UU Partai Politik dan Golongan Karya). Di samping melakukan perubahan terhadap Peraturan Perundang-undangan tersebut di atas, maka sesuai dengan amanat reformasi, dilakukanlah langkah-langkah untuk mengamandemen UUD 1945. Amandemen UUD 1945 merupakan prasyarat utama bagi terselenggaranya sistem ketatanegaraan yang demokratis. Hal ini mengingat sistematika yang tertuang di dalam UUD 1945 tidak
memberikan ruang yang cukup untuk mengembangkan konsep demokrasi pemerintahan dan prinsip negara yang berkedaulatan rakyat. Dalam rangka melaksanakan amandemen UUD 1945, MPR mempergunakan dasar hukum Pasal 37 UUD 1945. Berkaitan dengan hal inilah, maka dalam kurun waktu tahun 1999 sampai dengan tahun 2002, dalam setiap tahunnya MPR melakukan pengesahan terhadap hasil-hasil amandemen UUD 1945 yang dilakukan oleh Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR. Pengesahan tersebut dilakukan sebanyak empat kali, yakni setiap MPR melaksanakan Sidang Tahunan pada bulan Agustus tahun 1999, 2000, 2001, dan 2002. Setelah amandemen IV UUD 1945 dikukuhkan pada Sidang Tahunan MPR tahun 2002, maka sistem ketatanegaraan Indonesia secara singkat dapat dikemukakan sebagai berikut: a. Bentuk (Bangunan) Negara Kesatuan tetap dipertahankan dan sudah merupakan keputusan yang final; b. Sistem Pemerintahan Negara Republik Indonesia, adalah sistem Presidensiil Murni, di mana Presiden dan Wakil Presiden di-
114 pilih langsung oleh rakyat yang calonnya diajukan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik yang memperoleh 20% kursi di DPR-RI atau 25% memperoleh suara sah dalam Pemilu Legislatif. c. Sistem Keparlemenan mempergunakan soft bicameral system, bahkan bisa dianggap sistem keparlemenan dengan tiga kamar, karena MPR, DPR dan DPD masing-masing memiliki wewenang sendiri-sendiri serta masing-masing mempunyai Ketua; d. Seluruh anggota Parlemen (DPR dan DPD) dipilih melalui Pemilihan umum. Tidak dikenal lagi adanya cara penunjukan atau pengangkatan; e. Majelis Permusyawaratan Rakyat tidak lagi menjadi Lembaga Tertinggi Negara, melainkan hanya merupakan sarana bergabungnya DPR dan DPD. Wewenang dari lembaga ini hanya mengubah UUD, Mengangkat atau melantik Presiden dan Wakil Presiden hasil Pemilihan Umum, Memberhentikan Presiden dan/atau wakil Presiden jika menurut Keputusan
Mahkamah Konstitusi dianggap telah melakukan pelanggaran hukum berat; f. Sistematika UUD 1945 hanya terdiri dari Pembukaan dan pasal-pasal; g. Hubungan Alat Perlengkapan Negara dalam garis vertikal mempergunakan asas desentralisasi dan tugas pembantuan dengan otonomi luas; h. Dijumpai adanya Mahkamah Konstitusi yang mempunyai wewenang untuk melakukan judicial review UndangUndang terhadap UUD 1945, Penyelesaian Sengketa Pemilihan Umum, Memeriksa Presiden dan/atau Wakil Presiden atas permintaan DPR, jika mereka dianggap telah melakukan pelanggaran hukum berat, dan menyelesaikan sengketa kewenangan antar lembaga negara. Dari gambaran sejarah ketatanegaraan Indonesia sebagaimana penulis kemukakan dalam Bab ini, dapat ditarik garis pemahaman bahwa sejak Proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, konsolidasi sistem demokrasi terus dilakukan dengan berbagai pasang-surut yang terkandung di dalamnya. Hal ini membuktikan bahwa konsolidasi sistem demokrasi di Indonesia masih terus mencari bentuk yang paling ideal dan sesuai dengan jiwa bangsa Indonesia. Proses konsolidasi sistem demokrasi yang terus berlanjut ini memang memberikan kesan kuat bahwa langkah-langkah eksperimentasi sistem ketatanegaraan Indonesia terus dilakukan. Hal ini wajar, karena membangun sistem demokrasi memang tidak akan pernah selesai. Mengingat demokrasi itu sendiri bukanlah merupakan suatu tujuan melainkan hanya merupakan sarana untuk mencapai tujuan yang dicita-citakan bangsa Indonesia sebagaimana terangkum dalam Pembukaan UUD 1945.
Bab III SISTEM PEMERINTAHAN NEGARA, BENTUK NEGARA DAN BANGUNAN NEGARA
JLktijitas negara sebagai organisasi kekuasaan menampakkan diri dalam sistem pemerintahan negara yang dikembangkan. Apapun b'entuk^sistem pemerintahan negara yang akan dipergunakan oleh suatu negara f alitor terpenting yang patut dikedepankan adalah tingkat kepercayaan atau legitimasi dari sistem tersebut di
A. Pengertian Sistem.
Menurut bahasa kaum awam, pengertian sistem sering disamakan dengan cara yang akan ditempuh dalam mencapai suatu tujuan, misalnya pertandingan Sepakbola dengan mempergunakan sistem setengah kompetisi atau sistem gugur. Pengertian seperti ini dalam lingkup Ilmu Hukum Ketatanegaraan jelas tidak dapat diikuti, sebab dengan menunjuk pada pengertian awam tersebut, maka makna yang terkandung di dalamnya bisa ambigu dengan pengertian metode ataupun strategi. Menurut Cari J. Friedrich sistem adalah suatu keseluruhan, terdiri dari beberapa bagian yang mempunyai hubungan fungsional baik antara bagian maupun hubungan fungsional terhadap keseluruhan, sehingga hubungan itu menimbulkan ketergantungan antara bagian-bagian yang akibatnya jika salah satu bagian tidak bekerja dengan baik akan mempengaruhi keseluruhannya itu.87 Dengan demikian menurut bahasa Ilmu Pengetahuan sistem adalah suatu tatanan/susunan yang berupa suatu struktur yang terdiri dari bagian-bagian atau komponen-komponen yang berkaitan antara satu dengan lainnya secara teratur dan terencana untuk mencapai suatu tujuan. Apabila salah satu dari komponen/bagian tersebut berfungsi melebihi atau kurang dari kapasitasnya, maka akan mempengaruhi keseluruhan. Hamid S Attamimi mengemukakan bahwa dalam kata sistem pemerintahan, terdapat bagian-bagian dari pemerintahan yang masing-masing mempunyai tugas dan fungsi sendiri-sendiri namun secara keseluruhan bagianbagian itu merupakan satu kesatuan yang padu dan bekerja sama secara rasional.88 Dengan mencermati argumentasi semacam ini, maka pengertian sistem akan selalu berkaitan dengan mekanisme dan cara kerja suatu lembaga, institusi ataupun organ dalam mencapai tujuan yang diinginkan.
B. Pengertian Pemerintahan.
Di lingkungan Ahli Hukum Tata Negara, pemahaman mengenai kata "Pemerintahan" masih belum ada kesepahaman yang sama. Hal ini disebabkan oleh adanya cara pandang yang berbeda dalam memberikan arti dari Pemerintahan itu. Ketidak sepahaman ini merupakan sesuatu yang lumrah di dalam dunia akademik dan Ilmu Pengetahuan, dan tentunya tidak perlu diperdebatkan sampai berlaurt-larut. Jikalau kata "Pemerintahan" itu diambil dari kata Pemerintah (yang kemudian diberi akhiran "an"), maka hal ini jelas akan menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda. 87 Cari J Friedrich, dalam Moh. Kusnardi & Harmaily Ibrahim, 1980, Hukum Tata Negara Indonesia, Pusat Studi HTN-UI, Jakarta, him. 160. 88 Hamid S. Attamimi, (disertasi), 1990, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia Dalam Penyelenggaraan Negara Suatu Studi Analisis Mengenai Keputusan Presiden
menyamakan dengan eksekutif, dan sebagian yang lain menyamakan dengan "negara". Berkaitan dengan dua pandangan mengenai akar kata "Pemerintahan" tersebut, maka dapat diambil pemahaman bahwa kata "Pemerintahan" memang mengandung pengertian ganda, yaitu bisa hanya mengacu pada konotasi eksekutif dan bisa juga mengacu pada konotasi negara. Perbedaan pendapat semacam ini disebabkan oleh adanya ajaran trias politika yang membagi kekuasaan negara kedalam tiga pilar kekuasaan utama, yaitu Eksekutif (kekuasaan untuk melaksanakan Peraturan Perundang-undangan), Legislatif (kekuasaan untuk membuat Peraturan Perundang-undangan), dan Yudikatif (Kekuasaan untuk melaksanakan penegakan Peraturan Perundang-undangan atau sering disebut kekuasaan peradilan). Oleh sebab itu untuk menambah pemahaman mengenai pengertian "Pemerintahan", maka disini penulis mencoba untuk memberikan jalan tengah, yaitu dengan meletakkan pengertian "Pemerintahan" dalam dua arti, yakni arti luas dan sempit. Pemerintahan dalam arti luas adalah segala bentuk kegiatan atau aktifitas penyelenggaraan negara yang dilakukan oleh organ-organ atau alat-alat perlengkapan negara yang memliki tugas dan fungsi sebagaimana digariskan oleh konstitusi. Pengertian seperti ini mencakup kegiatan atau aktifitas penyelenggaraan negara yang dilakukan oleh Eksekutif, Legislatif, dan Yudikatif dalam suatu organisasi kekuasaan yang disebut negara. Sedangkan pengertian Pemerintahan dalam arti sempit tidak lain adalah aktifitas atau kegiatan yang diselenggarakan oleh organ pemegang kekuasaan Eksekutif sesuai dengari tugas dan fungsinya yang dalam hal ini dilaksanakan oleh Presiden ataupun Perdana Menteri sampai dengan level birokrasi yang paling rendah tingkatannya. Dengan kata lain, penyelenggaraan tugas dan fungsi Administratuur atau Bestuur inilah yang disebut sebagai Pemerintahan dalam arti sempit. Bertitik tolak dari dua pengertian tersebut, maka dalam melakukan pembahasan mengenai Pemerintahan Negara, penekanannya menyangkut Pemerintahan dalam arti luas, yaitu meliputi pembagian kekuasaan dalam negara, hubungan antar alat perlengkapan negara yang menjalankan kekuasaan tersebut baik secara horizontal (pemisahan atau pembagian kekuasaan) maupun vertikal (pemencaran kekuasaan) antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah (Local Government). Dengan demikian, jika pengertian Pemerintahan tersebut dikaitkan dengan pengertian sistem, maka yang dimaksud dengan Sistem Pemerintahan Negara adalah suatu tatanan atau susunan pemerintahan yang berupa suatu struktur yang terdiri dari organ-organ pemegang kekuasaan di dalam negara dan saling melakukan hubungan fungsional diantara organ-
organ tersebut baik secara horizontal maupun vertikal untuk mencapai suatu tujuan yang dikehendaki. Berdasarkan pengertian Sistem Pemerintahan inilah, maka pengkajian akan difokuskan pada segala aktifitas ataupun urusan yang dilakukan oleh negara dalam menyelenggarakan kesejahteraan rakyat dan kepentingan negara itu sendiri, sehingga tidak diartikan sebagai Pemerintahan yang hanya difokuskan pada tugas dan fungsi Eksekutif belaka.
tatanan seperti ini akan menimbulkan corak Sistem Pemerintahan Negara, yaitu: a. Sistem Parlementer, yakni Parlemen (legislatif) mempunyai kedudukan yang lebih tinggi daripada eksekutif. Parlemen dapat membubarkan Eksekutif melalui mosi tidak percaya. Contohnya di Inggris dan Jepang. b. Sistem Pemisahan Kekuasaan (Sistem Presidensiil), yakni antara Parlemen (legislatif) dengan Eksekutif mempunyai kedudukan yang sama dan tidak dapat saling menjatuhkan melainkan saling melakukan kontrol dan keseimbangan (checks and balances) dalam melaksanakan kewenangannya. Contohnya di AS. c. Sistem Pemerintahan Badan Pekerja (Sistem Pemerintahan dengan Pengawasan Langsung oleh Rakyat), yakni Pemerintah (eksekutif) pada hakikatnya adalah Badan Pekerja dari Parlemen (legislatif), dengan kata lain eksekutif merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari legislatif (parlemen). Oleh karena itu parlemen tidak diberi wewenang untuk melakukan pengawasan kepada eksekutif, sehingga yang berhak mengawasi parlemen dan eksekutif adalah rakyat secara langsung. Contohnya di Swiss. Perlu diketahui pula bahwa di samping pengertian Sistem Pemerintahan atau sering disebut bentuk pemerintahan, dikenal juga adanya istilah bentuk negara dan bangunan negara. Kedua istilah yang terakhir ini sering disamakan dengan Sistem Pemerintahan dan bentuk pemerintahan. Berkaitan dengan inilah, maka dalam Bab ini penulis mencoba memberikan beberapa pandangan mengenai kedua peristilahan tersebut.
D. Bentuk Negara.
Pemahaman mengenai bentuk negara seharusnya dikaitkan dengan persoalan yang menyangkut kriteria sebagaimana di-kemukakan oleh Leon Duguit maupun George Jellinek, yakni menyangkut bentuk negara republik dan monarkhi. Intinya bentuk negara itu berkisar pada pola penentuan kepala pemerintahan dan pola pengambilan keputusan yang dilakukan di dalam negara tersebut. Negara dikatakan berbentuk republik, apabila mekanisme penentuan kepala pemerintahan negara dilakukan melalui pemilihan (langsung atau melalui suatu majelis yang merepresentasikan rakyat) dengan periodesasi masa jabatan yang telah ditentukan. Sedangkan pengambilan keputusan di dalam negara yang bentuknya Republik dilakukan dalam sebuah forum majelis atau dewan yang mencerminkan representasi rakyat. Sedangkan negara dikatakan berbentuk monarkhi apabila penentuan kepala pemerintahan dilakukan berdasarkan prinsip pewarisan alias turun temurun, dan pengambilan keputusannya dilakukan tidak memalui suatu forum majelis
atau dewan yang merepresentasikan kepentingan rakyat. Berdasarkan dua pemahaman bentuk negara inilah kita dapat lebih tegas membedakan antara sistem pemerintahan negara dengan pemahaman mengenai bangunan negara.
E. Bangunan Negara.
Membahas mengenai bangunan negara, maka kriteria yang harus dipergunakan adalah menyangkut struktur atau susunan negara. Dalam hal ini titik tolaknya tertuju pada pembagian dan hubungan kekuasaan antara Central Government (Pemerintah Pusat) dengan Local Government (Pemerintah Lokal). Sehubungan dengan hal ini, maka pada garis besarnya dikenal adanya tiga macam bangunan negara, yaitu Negara Kesatuan (unitaris), negara Serikat (Federalis), dan Serikat negara-negara (Konfederalis). Bangunan negara kesatuan (unitaris), apabila hanya ada satu kekuasaan yang berwenang untuk membuat UndangUndang yang berlaktx untuk seluruh wilayah negara, yakni Pemerintah Pusat. Sedangkan Local Government hanya melaksanakan atau menyesuaikan dengan Undang-Undang yang dibuat oleh Pemerintah Pusat. Kalaupun ada kewenangan untuk membentuk Peraturan Perundangundangan di tingkat lokal, maka kewenangan itu bersumber pada delegasi kewenangan maupun atribusi ke-wenangan. Delegasi kewenangan adalah pelimpahan kewenangan membentuk Paraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi kepada Peraturan perundang-undangan yang lebih rendah, baik dinyatakan dengan tegas maupun tidak. Hasil dari delegasi kewenangan ini berupa Peraturan pelaksana. Kewenangan delegasi ini tidak diberikan, melainkan "diwakilkan", serta kewenangan delegasi ini bersifat sementara dalam arti dapat diselenggarakan sepanjang pelimpahan tersebut masih ada. Sedangkan atribusi kewenangan adalah pemberian kewenangan membentuk Peraturan perundang-undangan kepada suatu lembaga negara atau pemerintah. Hasil dari adanya kewenangan atribusi ini tidak lain adalah Peraturan Otonom. Kewenangan ini melekat terus menerus dan dapat dilaksanakan atas prakarsa sendiri setiap waktu diperlukan, sesuai dengan batas-batas yang diberikan.89 Terkait dengan ada atau tidaknya kedua kewenangan dalam membentuk Peraturan Perundang-undangan di tingkat lokal tersebut, maka sangat tergantung corak dari bangunan negara kesatuan itu sendiri berdasarkan pada asas penyelenggaraan pemerintahannya, yakni: 1. Negara Kesatuan dengan mempergunakan asas desentralisasi, dimana Pemerintah Lokal dapat membentuk Paraturan Perundang-undangan di tingkat lokal untuk mengatur dan mengurus urusan-urusan
pemerintahan sendiri (Otonomi) atas dasar delegasi kewenangan ataupun atribusi kewenangan; dan 2. Negara Kesatuan dengan mempergunakan asas sentralisasi, dimana Pemerintah Lokal tidak dapat membentuk Peraturan perundang-undangan di tingkat lokal, karena seluruh kebijakan negara sifatnya terpusat, dan Pemerintah Lokal hanya sekedar sebagai alat dari Pemerintah Pusat. Bangunan negara serikat (federalis), apabila antara Pemerintah Pusat (Pemerintah Federal) dengan Pemerintah Negara bagian (State) mempunyai wewenang yang sama dalam membentuk UU. Bedanya hanya subtansi UU yang dibentuk oleh Pemerintah federal (Pusat) berlaku dan bersifat 89 Maria Indrati S, 2007, Ilmu Perundang-undangan (Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan), Kanisius, Yogyakarta, him. 55 nasional, serta mengatur kewenanganSittem Pemerintahan Negara 12.5 kewenangan yang terkait dengan kedaulatan keluar seperti politik luar negeri, pertahanan, moneter dan fiskal, peradilan. Sedangkan UU yang dibentuk oleh masing-masing Pemerintah Negara Bagian hanya berlaku secara internal di negara bagian tersebut, dan substansinya menyangkut hal-hal yang menjadi kewenangan masing-masing negara bagian. Sumber dari pembentukan UU masing-masing negara bagian bukan karena adanya delegasi ke-wenangan ataupun atribusi kewenangan, melainkan karena adanya teori residu, yakni teori pembagian kekuasaan sisa, dimana masing-masing negara bagian telah mengambil kewenangan-kewenangan terlebih dahulu sedangkan kewenangan sisa diserahkan kepada Pemerintah Federal. Bangunan negara yang berwujud Serikat Negara-negara (konfederasi) justru sebaliknya. Asumsi dasar dari bangunan negara seperti ini terdiri dari gabungan beberapa negara yang sejak semula memang sudah memiliki kedaulatan penuh. Penggabungan negara-negara tersebut tidak serta merta menghapuskan kedaulatan dari masing-masing negara. Oleh sebab itu kewenangan masing-masing negara masih tetap di atas kewenangan Pemerintah Konfederasi.
1. Organisasi Sistem Pemerintahan Negara dalam garis horizontal; dan 2. Organisasi Sistem Pemerintahan Negara dalam garis vertikal. Untuk lebih memahami mengenai kedua organisasi sistem pemerintahan negara tersebut, di bawah ini disampaikan sedikit gambaran pemahaman dari keduanya. 1. Organisasi Sistem Pemerintahan Dalam Garis Horizontal. Sebagaimana telah disinggung di dalam Ilmu Negara bahwa konsep Trias Politika menghendaki agar kekuasaan di dalam negara dibagi menjadi 3 (tiga cabang kekuasaan utama, yaitu: a. Kekuasaan Legislatif, yakni kekuasaan untuk membentuk Undang-Undang. Biasanya diserahkan kepada Lembaga Perwakilan Rakyat (Parlemen); b. Kekuasaan Eksekutif, yakni kekuasaan untuk menjalankan Undang-Undang atau disebut juga kekuasaan untuk menjalankan pemerintahan. Kekuasaan ini biasanya dilakukan oleh pemerintah dalam arti sempit (Presiden atau Perdana Menteri); c. Kekuasaan Yudikatif, yakni kekuasaan untuk melaksanakan peradilan. Kekuasaan ini dilakukan oleh badan-badan peradilan dengan susunan yang bertingkat-tingkat sesuai dengan kewenangan masing-masing tingkat dan berpuncak pada Supreme Court atau Mahkamah Agung.90 Ketiga cabang kekuasaan dalam negara ini dipegang oleh lembaga atau badan kenegaraan yang sifatnya dapat terpisah antara satu dengan yang lain secara tegas, dan dapat pula terpisah secara kelembagaan, tetapi masing-masing masing dapat saling melakukan hubungan antara satu dengan lainnya. Kesemuanya itu tergantung dari sistem pemerintahan yang dianut oleh masing-masing negara. Jika sistem pemerintahannya mempergunakan sistem presi-densiil, maka badan kenegaraan yang memegang kekuasaan eksekutif dan legislatif pada hakikatnya terpisah secara tegas dan tidak dapat saling mempengaruhi. Sedangkan jika sistem pemerintahannya adalah sistem parlementer, maka badan kenegaraan yang memegang kekuasaan eksekutif dan 90 Di samping dikenal adanya badan-badan peradilan yang memegang kekuasaan Yudikatif, di dalam khasanah Hukum Administrasi Negara juga dijumpai badan-badan administratif yang melaksanakan fungsi mirip badan peradilan, seperti Majelis Pertimbangan Pajak, Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan. Badan-badan administrasi ini berhubungan sering disebut Badan Peradilan legislatif dapat saling dan saling mempengaruhi Administrasi Semu {Quasi Rechtspraak) antara satu dengan lainnya.
Maksud pembentukan organisasi sistem pemerintahan negara seperti ini tidak lain agar kekuasaan yang terdapat di dalam suatu negara tidak lagi dipegang atau menumpuk serta dikendalikan oleh seseorang atau sekelompok orang yang biasanya cenderung disalah gunakan. Dengan demikian konsep pengorganisasian sistem pemerintahan dalam garis horizontal pada hakikatnya merupakan implementasi dari konsep trias politika yang dilandasi oleh reaksi terhadap organisasi sistem pemerintahan yang absolut-diktatorik yang pada umumnya terjadi dalam negara yang berbentuk monarkhi absolut. Memperlajari pengorganisasian Sistem Pemerintahan Negara tersebut di atas tentu saja titik tolaknya berkisar pada hubungan antara pemegang kekuasaaan Legislatif dan Eksekutif. Titik tolak semacam ini hanya tertuju pada hubungan Legislatif dan Eksekutif, karena dalam konsep pemisahan atau pembagian kekuasaan sebagai salah satu dari prinsip negara hukum secara doktriner badan pemegang kekuasaan Yudikatif harus dipisahkan dan bebas dari pengaruh kekuasaan-kekuasaan lain di dalam negara. 2. Organisasi Sistem Pemerintahan Negara Dalam Garis Vertikal. Membahas organisasi sistem pemerintahan negara dalam garis vertikal pada intinya bertitik tolak dari bangunan negara, khususnya bangunan negara serikat dan bangunan negara kesatuan. Masing-masing bangunan ini memiliki satuan pemerintahan yang lebih rendah di bawah pemerintah pusat. Di negara serikat, satuan pemerintahan yang lebih rendah diwujudkan dalam bentuk Negara-negara Bagian. Sedangkan di negara kesatuan, khususnya yang mempergunakan asas desentralisasi dikenal ada Pemerintahan Daerah yang berwenang menyelenggarakan pemerintahan sendiri sesuai dengan aspirasi masyarakat di masing-masing Daerah (otonom).
Menurut Pasal 1 angka 7 Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, dinyatakan bahwa desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Definisi ini berbeda bila di bandingkan dengan Undang-Undang yang pernah berlaku, yakni Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 Tentang Pokokpokok Pemerintahan Di Daerah, dan Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah. Di dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 Tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah yang diberlakukan semasa Pemerintahan Orde baru, dinyatakan bahwa desentralisasi adalah penyerahan urusan pemerintahan dari pemerintah/Daerah Tingkat yang lebih atas kepada Daerah
untuk menjadi urusan rumah tangga sendiri. Sedangkan menurut Undang-Undang No. 22 tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah dinyatakan bahwa desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan kepada Daerah otonom dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Perbedaan definisi dari ketiga Undang-Undang tersebut di atas, dapat ditinjau dari makna yang terkandung di dalamnya, yakni: 1. Menurut Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 pengertian desentralisasi dititik beratkan kepada penyerahan wewenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, dan penyerahan tersebut ditujukan kepada Daerah Otonom. Perumusan seperti ini mengandung makna: a. Penyerahan wewenang yang dilakukan itu sematamata dipergunakan untuk melaksanakan fungsi pengaturan dan pengurusan urusan-urusan pemerintahan; dan b. Penyerahan tersebut ditujukan kepada daerah otonom. Ini berarti daerah otonom memang sudah terbentuk. 2. Menurut Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 Tentang Pokokpokok Pemerintahan Daerah pengertian desentralisasi dititik beratkan pada penyerahan urusan pemerintahan. Hal ini berarti sifal dari yang diserahkan itu adalah sempit, karena menyangkut urusan pemerintahan. Oleh sebab itu ketika urusan pemerintahan tersebut diserahkan, maka wewenang dari daerah hanya sebatas pada bidang urusan pemerintahan yang telah diserahkan tersebut. Pendek kata wewenang untuk mengatur dan mengurus tersebut hanya terbatas pada urusan pemerintahan yang telah diserahkan. Lain dari pada itu, makna dari desentralisasi menurut UU ini, menggambarkan bahwa ada atau tidaknya daerah otonom sangat tergantung dari ada atau tidaknya penyerahan urusan pemerintahan tersebut. 3. Menurut Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah, pengertian desentralisasi justru diperluas, karena yang diserahkan adalah wewenang pemerintahan. Artinya dengan adanya penyerahan wewenang ini, maka daerah otonom dapat mengatur dan mengurus urusan pemerintahan apa saja, sehingga terjadilah perluasan wewenang yang pada akhirnya karakteristik desentralisasi menurut UU ini menjadi bercorak federalistis. Terjadinya perbedaan makna dalam mendefinisikan pengertian desentralisasi tersebut disebabkan memang dalam sejarah perjalanan pengorganisasian Sistem Pemerintahan Negara dalam garis vertikal di Indonesia telah mengalami
perdebatan yang cukup panjang. Ketika tuntutan reformasi adalah memberikan otonomi luas kepada daerah, maka rumusan desentralisasi harus dimaknai penyerahan wewenang pemerintahan yang memungkinkan daerah-daerah dapat mengatur dan mengurus urusan pemerintahan apa saja. Alih-alih dari rumusan seperti inilah, maka terjadi otonomi daerah yang kebablasan dan mengarah kepada konsep negara federal. Rumusan menurut Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tersebut merupakan koreksi total dari pengertian desentralisasi pada zaman Orde Baru sebagaimana ditegaskan dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 yang bernuansakan sentralistik. Nuansa sentralistik ini nampak dari titik tekan desentralisasi yang hanya menggariskan pada pemahaman yang sempit yakni penyerahan urusan pemerintahan bila dibandingkan dengan penyerahan wewenang pemerintahan. Pendek kata, jika dikaji lebih mendalam maka pengertian urusan pemerintahan itu sifatnya lebih sempit daripada pengertian wewenang pemerintahan. Menurut Kranenburg kedua satuan pemerintahan yang lebih rendah, yakni negara bagian di negara serikat dan Pemerintahan Daerah di Negara Kesatuan, masing-masing mempunyai ciri-ciri yang berbeda antara satu dengan lainnya bila ditinjau dari hukum positif, yaitu: a. Negara Bagian yang terdapat di dalam Negara Serikat memiliki pouvoir constituent, yakni wewenang untuk membentuk Undang-Undang Dasar sendiri serta mempunyai wewenang untuk membentuk organisasi sendiri dalam rangka dan batasbatas konstitusi federal. Sedangkan dalam Negara Kesatuan, organisasi bagian-bagian negara (Pemerintah Daerah) secara garis besar telah ditetapkan oleh pembentuk UndangUndang Pusat. b. Dalam Negara Federal (serikat), wewenang membentuk Undang-Undang Pusat untuk hal-hal tertentu telah diperinci satu persatu dalam konstitusi federal. Sedangkan dalam Negara Kesatuan, wewenang pembentukan UndangUndang Pusat ditetapkan dalam satu rumusan umum dan wewenang pembentukan Undang-Undang rendahan (sering disebut Peraturan Daerah/Perda) tergantung pada badan Pembentuk Undang-Undang Pusat itu.91
91 Kranenburg, dalam Miriam Budiardjo, 1986, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia, Jakarta, him. 143.
Menurut Hukum Tata Negara Indonesia, sebagaimana ditegaskan dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, wewenang pembentukan Peraturan Per-undang-Undangan tingkat Daerah (Peraturan Daerah) dalam rangka mengatur dan mengurus Urusan-urusan pemerintahan ditentukan oleh Pemerintah Pusat. Hal ini nampak jelas di dalam ketentuan Pasal 10 ayat (1) yang menegaskan bahwa Pemerintahan Daerah dapat menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi Kewenangannya kecuali urusan pemerintahan yang oleh Undang-Undang ini ditentukan menjadi urusan pemerintah. Selanjutnya di dalam ayat (3)-nya dinyatakan bahwa urusan pemerintahan yang menjadi urusan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, dan agama. Menurut F. Isjwara, dalam negara federal wewenang legislatif terbagi dalam dua bagian, yakni antara badan legislatif pusat (federal) dan badan legislatif dari negaranegara bagian. Sedangkan dalam negara kesatuan wewenang legislatif berada dalam tangan badan legislatif pusat, untuk kekuasaan legislatif rendahan (lokal) di dasarkan atas penentuan dari badan legislatif pusat itu dalam bentuk undang-undang organik.92 Hans Kelsen mengemukakan bahwa, dalam negara federal tidak hanya wewenang legislatif saja yang dibagi antara negara federal dengan negara-negara bagian, akan tetapi juga wewenang eksekutif dan administratif.93 Sedangkan menurut Sugeng Istanto prinsip yang terkandung pada negara kesatuan ialah yang memegang tampuk kekuasaan tertinggi atas segenap urusan negara ialah Pemerintah Pusat (Central Government) tanpa adanya gangguan oleh delegasi atau pelimpahan kekuasaan kepada pemerintah daerah (Local government).w
ditujukan untuk menerangkan format atau model tertentu dari suatu organisasi. Sedangkan ditinjau dari susut pandang hukum (yuridis) lebih tepat mempergunakan peristilahan sistem pemerintahan. Hal ini disebabkan kata sistem lebih mengarah pada suatu pola pengaturan yang baku atau suatu pola kerja sama antara bagian-bagian berdasarkan aturan main tertentu, khususnya hubungan antar alat perlengkapan negara sebagaimana diatur dalam konstitusi. Sehubungan dengan hal ini, ada tiga sistem pemerintahan, yaitu: 1. Sistem pemerintahan Parlementer (Parliamentary Executive); 2. Sistem Pemerintahan Presidensiil (Fixed Executive); dan 3. Sistem pemerintahan dengan Pengawasan langsung oleh rakyat terhadap badan legislatif melalui referendum atau usul inisiatif rakyat.
ini rakyat tidak secara langsung memilih Perdana Menteri dan kabinetnya. Jika ternyata di dalam parlemen tidak ada satupun partai politik yang menduduki kursi mayoritas, maka penyusunan Kabinet dan Perdana Menteri pada umumnya dilakukan dengan cara koalisi, yakni penggabungan dua partai atau lebih di dalam parlemen untuk memperkuat posisi perolehan suara di parlemen; c. Kepala Negara (apapun sebutannya) hanya berfungsi ataupun berkedudukan sebagai kepala negara. Tidak sebagai kepala eksekutif atau pemerintah. Kedudukan seperti ini mengakibatkan Kapala Negara tidak dituntut pertanggunjawaban konstitusional apapun, sebab Kepala Negara hanya berfungsi sebagai simbol negara atau personifikasi negara. Kendatipun demikian Kepala Negara juga diberi wewenang untuk menunjuk formatur kabinet dan membubarkan kabinet bila keadaan negara menghendaki; d. Dikenal adanya mekanisme pertanggungjawaban Manteri kepada Perlemen yang mengakibatkan parlemen dapat membubarkan atau menjatuhkan mosi tidak percaya kepada Kabinet, jika pertanggunjawaban atas pelaksanaan 95 Arend Lijphart (disadur oleh Ibrahim, et.all), 1995, Sistem Pemerintahan Parlementer dan Presidensial, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, him. 36. pemerintahan yang dilakukan oleh Menteri baik di bidangnya masingmasing
Trias Politika. Sistem ini menghendaki adanya pemisahan kekuasaan secara tegas, khususnya antara badan pemegang kekuasaan eksekutif dan badan pemegang kekuasaan legislatif. Adapun ciri-ciri utama dari sistem pemerintahan presidensiil adalah: a. Kedudukan Presiden di samping sebagai Kepala Negara juga sebagai Kepala Eksekutif (Pemerintahan); b. Presiden dan Parlemen masing-masing dipilih langsung oleh Rakyat melalui Pemilihan Umum. Sehingga tidaklah mengherankan jikalau ada kemungkinan terjadi komposisi Presiden berasal dari suatu Partai Politik yang berbeda dengan komposisi mayoritas anggota partai politik yang menduduki kursi di parlemen. Khusus mengenai pemilihan Presiden memang ada berbagai varian yang ada di berbagai negara. Contohnya di AS, pemilihan presiden dilakukan melalui suatu institusi yang disebut electoral college (Panitia Pengumpul suara). Sedangkan menurut Pasal 6 A UUD 1945 hasil Amandemen antara lain dinyatakan: (1) Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat. (2) Pasangan calon Persiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh Partai Politik atau gabungan Partai Politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum. (3) Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden yang mendapat suara lebih dari lima puluh persen dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan sedikitnya dua puluh persen suara di setiap provinsi yang tersebar dari setengah jumlah provinsi di Indonesia, dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden. (4) Dalam hal tidak ada pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden terpilih, dua pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum dipilih oleh rakyat secara langsung dan pasangan yang memperoleh suara terbanyak dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden. (5) Tata cara pelaksanaan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden lebih lanjut di atur dengan Undang-Undang.
Karena Presiden dan Parlemen dipilih langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum, maka kedudukan antara kedua lembaga ini tidak bisa saling mempengaruhi (menjatuhkan seperti halnya di sistem parlementer). Hal ini mengingat kedua lembaga ini sama-sama bertanggungjawab kepada rakyat pemilih. Pola semacam ini merupakan bentuk perluasan pola representasi rakyat, yaitu representasi rakyat dalam pengambilan keputusankeputusan politik nasional (Pembentukan UndangUndang) melalui parlemen, dan representasi rakyat dalam melaksanakan pemerintahan melalui Presiden. Kendati Presiden tidak dapat diberhentikan oleh Parlemen di tengah-tengah masa jabatannya berlangsung, namun jkalau presiden melakukan perbuatan yang melanggar hukum, maka presiden dapat dijatuhi Impeachment (Pengadilan DPR). Pelaksanaan Impeachment ini dilakukan oleh Hakim Agung pada Supreme Court (MA), tidak dilakukan oleh anggota-anggota parlemen sendiri. Contoh yang dapat dikemukakan disini adalah Impeachment yang dikembangkan di AS. Di indonesia Impeachment juga dikenal sebagaimana di atur dalam Pasal 7A UUD 1945 yang menyatakan: "Presiden dan/ata Wakl Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atau atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden". Sehubungan dengan ketentuan Pasal 7 A UUD 1945 tersebut di atas, maka mekanisme pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden tersebut diatur dalam Pasal 7 B UUD 1945 yang menegaskan: (1) Usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diajukan oleh Dewan Perwaklan Rakyat kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dengan terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili, dan memutuskan pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau pendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/ atau Wakil Presiden. (2) Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/ atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum tersebut ataupun telah tidak memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden adalah
dalam rangka pelaksanaan fungsi pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat. (3) Pengajuan permintaan Dewan Perwakilan Rakyat kepada Mahkamah Konstitusi hanya dapat dilakukan dengan dukungan sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota Dewan Perwaklan Rakyat yang hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri oleh sekurangkurangnya 2/3 dari jumlah angota Dewan Perwakilan Rakyat. (4) Mahkamah Konstitusi wajib memeriksa, mengadili, dan memutuskan dengan seadil-adilnya terhadap pendapat Dewan Perwakilan Rakyat tersebut paling lama sembilan puluh hari setelah permintaan Dewan Perwakilan Rakyat itu diterima oleh Mahkamah Konstitusi. (5) Apabila Mahkamah Konstitusi memutuskanbahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau terbukti bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat menyelenggarakan Sidang paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat. (6) Majelis Permusyawaratan Rakyat wajib menyelenggarakan sidang untuk memutuskan usul Dewan Perwakilan Rakyat tersebut paling lambat tiga puluh hari sejak Majelis Permusyawaratan Rakyat menerima usul tersebut. (7) Keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden harus diambil dalam rapat paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat yang dihadiri oleh sekurangkurangnya % dari jumlah anggota dan disetujui oleh 2/3 dari jumlah anggota yang hadir, setelah Presiden dan/atau Wakil Presiden diberi kesempatan untuk menyampaikan penjelasan dalam rapat paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat. Dalam rangka menyusun Kabinet (Menteri), Presiden wajib minta persetujuan Parlemen. Dalam kaitan dengan hal ini, Presiden hanya menyampaikan nominasi anggota kabinet, sedangkan parlemen memberikan persetujuan personil yang telah diajukan oleh Presiden. Kemudian Presiden mengangkat menteri-menteri tersebut setelah mendapat persetujuan parlemen. Menteri-menteri yang diangkat oleh Presiden tersebut tunduk dan bertanggungjawab kepada Presiden. Di samping dikenal adanya sistem presidensiil dan parlementer, dalam khasanah Ilmu Hukum
Ketatanegaraan dijumpai juga varian dari kedua sistem tersebut, yakni sistem presidensiil semu (Quasi Presidensiil) dan sistem parlementer semu (Quasi Parlementer). Sistem presidensiil semu dikembangkan dalam pola ketatanegaraan di Indonesia sebelum Amandemen UUD 1945. Di dalam Pasal 4 UUD 1945 sebelum amandemen ditegaskan bahwa Presiden memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar. Kemudian di dalam Pasal 7 ayat (2) UUD 1945 sebelum amandemen ditegaskan bahwa Menteri-menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Konstruksi semacam ini jelas mengindikasikan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia menganut sistem presidensiil. Akan tetapi jika kita mengkaji lebih jauh di dalam Penjelasan Umum UUD 1945, maka unsur-unsur sistem parlementer juga nampak di dalamnya. Di dalam Penjelasan Umum UUD 1945 antara lain dinyatakan bahwa Presiden yang diangkat oleh Majelis, tunduk dan bertanggung jawab kepada Majelis. Ia adalah mandataris dari Majelis. Ia wajib menjalankan putusanputusan Majelis. Presiden tidak neben, akan tetapi untergeordnet kepada Majelis. Penjelasan seperti ini mengandung unsur parlementer, karena bila ditinjau dari komposisi keanggotaan MPR yang terdiri dari anggota DPR ditambah utusan daerah dan utusan golongan, maka menunjukkan bahwa MPR pada hakikatnya merupakan lembaga negara yang memiliki karakter parlemen. Dengan demikian bila ditinjau dari mekanisme sistem pertanggungjawaban pelaksana pemerintahan, maka dalam sistem ketatanegaraan menurut UUD 1945 sebelum amandemen, dikenal adanya dua mekanisme pertanggungjawaban, yakni pertama; pertanggung jawaban Menteri kepada Presiden sebagaimana ditegaskan dalam pasal 7 ayat (2) UUD 1945 yang mencerminkan sistem Presidensiil dan kedua; pertanggungjawaban Presiden kepada Majelis yang memiliki sifat lembaga perwakilan rakyat (Parlemen), sebagaimana dinyatakan dalam Penjelasan Umum UUD 1945 yang mencerminkan sistem parlementer. Sistem Pemerintahan Parlementer yang tidak murni dapat dijumpai dalam pola ketatanegaraan Perancis. Di negara Perancis, Presiden dipilih oleh rakyat dalam suatu pemilu. Demikian pula dengan parlemennya. Pola seperti ini nampak mirip dengan sistem presidensiil di AS. Di Perancis, Presiden memiliki kekuasaan yang besar dalam seluruh kehidupan negara dan pemerintah. Presiden juga dapat membubarkan Parlemen, tetapi ia juga mempunyai wewenang untuk mengangkat Perdana Menteri dari partai politik yang menduduki kursi mayoritas di parlemen. Perdana Menteri dan Kabinet bertanggungjawab kepada parlemen. Akan tetapi jikalau pertanggungjawaban tersebut ditolak oleh parlemen, tidak otomatis mengakibatkan kabinet
diberi mosi tidak percaya. Dalam kasus seperti ini Presiden akan memberikan pertimbangan apakah mosi tidak percaya tersebut memang disebabkan oleh kabinet yang tidak mampu lagi menjalankan garis-garis kebijaksanaan politik yang ditetapkan oleh parlemen, ataukah justru parlemen-lah yang sudah bertindak melampaui batas-batas kewenangannya. Jikalau dalam pertimbangan tersebut, Presiden menganggap parlemen-lah yang ternyata melampaui batas kewenangannya, maka justru parlemen-lah yang dapat dibubarkan oleh Presiden. Demikian pula sebaliknya. Kekuasaan Presiden Perancis yang demikian besar itu disebabkan ia dipilih langsung oleh rakyat. Ini berarti Presiden juga berkedudukan dan bertindak sebagai representasi rakyat dan legitimate dalam mengemban amanat kedaulatan rakyat di bidang pemerintahan. Oleh sebab itu, sangat logis jikakalu dalam konflik kelembagaan antara Kabinet dan parlemen, Presiden dapat bertindak sebagai mediator, bahkan dapat juga disebut sebagai juri dalam menyelesaikan konflik antara kabinet dan parlemen tersebut. Inilah letak ketidakmurnian sistem parlementer di Perancis tersebut.
3. Sistem Pemerintahan Negara Dengan Pengawasan Langsung Oleh Rakyat. Sistem pemerintahan seperti ini sering disebut juga Sistem Badan Pekerja. Negara Konfederasi Swiss mempergunakan sistem seperti ini. Menurut Konstitusi Federal Konfederasi Swiss dinyatakan antara lain: a. Pemegang kedaulatan tertinggi di Negara Konfederasi Swiss adalah Sidang Federal yang terdiri dari dua kamar, yaitu Dewan Nasional dan Dewan Negara.96 b. Pemegang kekuasaan eksekutif dan Badan Pelaksana Kekuasaan Tertinggi Konfederasi Swiss dipegang oleh Dewan Federal, yang terdiri dari tujuh anggota dan dipilih oleh Sidang Federal.97 c. Presiden dan Wakil Presiden Konfederasi Swiss dipilih oleh Sidang Federal, diantara para anggota Dewan untuk masa jabatan satu tahun.98 Konstruksi ketatanegaraan seperti ini memang mirip dengan sistem Parlementer, namun kalau dicermati lebih jauh maka tidaklah mungkin apabila Sidang Federal (pemegang kedaulatan tertinggi) dan Dewan Federal (Pemegang kekuasaan eksekutif) saling melakukan kontrol seperti halnya dalam sistem parlementer. Hal ini mengingat Dewan Federal pada hakikatnya merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Sidang Federal. Bahkan dapat dikatakan bahwa Dewan
Federal sebenarnya hanya merupakan Badan Pekerja dari Sidang Federal dan masa jabatannya hanya satu tahun. Pola seperti inilah yang mengakibatkan munculnya sistem pemerintahan dengan pengawasan langsung oleh rakyat. Dewan Federal (pemegang kekuasaan eksekutif) dan Sidang Federal (pemegang kedaulatan tertinggi) sama-sama memperoleh kekuasaan dari rakyat melalui pemilihan umum, 96 Pasal 71 Konstitusi Federal Konfederasi Swiss. 97 Pasal 96 ayat (1) Konstitusi Federal Konfederasi Swiss. oleh 98 Pasal sebab 98 itu ayat yang (1) Konstitusi berhak untuk Federal melakukan kontrol atas Konfederasi Swiss. jalarnya sistem ketanegaraan tidak lain adalah rakyat secara langsung. Adapun cara yang ditempuh oleh rakyat di Negara Konfederasi Swiss untuk melakukan kontrol atas jalannya pemerinahan adalah melalui: 1. Referendum, yaitu suatu kegiatan politik yang dilakukan oleh rakyat untuk memberikan keputusan setuju atau menolak terhadap kebijaksanaan atau keputusan yang diambil oleh parlemen atau setuju/menolak terhadap kebijaksanaan yang dimintakan persetujuan kepada akyat secara langsung. Referendum ini terdiri dari 3 (tiga) macam, yaitu: a. Referendum Obligator (Wajib), yaitu meminta pendapat secara langsung terhadap suatu Rancangan UndangUndang yang akan diundangkan; b. Referendum Fakultatif, yaitu meminta pendapat secara langsung kepada rakyat tentang setuju atau tidaknya terhadap Undang-Undang yang sudah berlaku, tetapi ada sementara rakyat yang menggugatnya. Dalam hal ini apabila mayoritas rakyat berpendapat bahwa UndangUndang tersebut tetap berlaku seperti semula, maka Undang-Undang tersebut tetap berlaku. Demikian pula sebaliknya. c. Referendum Optatif, yaitu meminta pendapat secara langsung kepada rakyat tentang setuju atau tidaknya terhadap Rancangan Undang-Undang Pemerintah Federal atau Pemerintah Pusat di wilayah-wilayah negara bagian atau daerah otonom. 2. Usul Inisiatif Rakyat, yaitu hak rakyat untuk mengajukan suatu Rancangan Undang-Undang kepada Parlemen atau pemerintah. Bila kita cermati bentuk-bentuk atau sistem pemerintahan sebagaimana telah disebutkan di atas, maka dapat ditarik pema-
haman bahwa bentuk atau sistem pemerintahan tersebut pada hakikatnya dipergunakan untuk menampung tuntutan demokrasi dan kedaulatan rakyat. Akan tetapi dari masingmasing bentuk atau sistem pemerintahan, apakah itu sistem parlementer ataukah presidensiil, kita tidak dapat dengan serta merta mengemukakan bahwa salah satu dari sistem tersebut lebih demokratis daripadayang lain. Berkaitan dengan hal ini Arend Lijphart mengemukakan: "Dalam pemerintahan parlementer, kepala pemerintahan yang bisa dijabat oleh Perdana Menteri, Presiden dan lainnya tergantung pada mosi atau kepercayaan badan legislatif dan dapat turun dari jabatannya melalui mosi tidak percaya dari legislatif. Dalam pemerintahan presidensiil, kepala pemerintahan hampir selalu disebut Presiden - dipilih untuk masa jabatan yang ditentukan oleh UUD dan dalam keadaan normal tidak dapat dipaksa untuk mengundurkan diri oleh badan legislatif (meskipun terdapat kemungkinan untuk memecat Presiden dengan proses pendakwaan luar biasa)".89 Memperhatikan argumentasi tersebut di atas, makanampak jelas bahwa ditinjau dari aspek akuntabilitas atau pertanggungjawaban atas jalannya pemerintahan, maka memang sistem parlementer bisa dianggap lebih demokratis bila dibandingkan dengan sistem presidensiil. Hal ini disebabkan dalam sistem parlementer dijumpai adanya lembaga mosi yang mengakibatkan nasib Pemerintah (eksekutif) sangat tergantung pada badan legislatif yang merupakan pencerminan representasi rakyat. Akan tetap kalau titik pandang kita tujukan pada mekanisme rekrutmen kepala pemerintahan, maka dapat dikatakan bahwa sistem presidensiil lebih demokratis daripada sistem parlementer. Hal ini disebabkan dalam sistem presidensiil penentuan kepala pemerintahan dilaksanakan melalui pemilihan secara langsung oleh rakyat. Hal ini jelas tidak dikenal di dalam
Berkaitan dengan argumentasi tersebut di atas, maka di bawah ini akan penulis sampaikan keterkaitan antara demokrasi dan sistem pemerintahan negara.
State (Polis atau negara Kota). Namun demikian, implementasi demokrasi ini masih terbatas bagi segolongan warga negara saja. Kaum laki-laki dan para bangsawanlah yang mengimplementasikan demokrasi, yakni hak untuk ikut serta mengambil keputusan-keputusan politik negara. Sementara itu bagi golongan pendatang, budak dan wanita tidak diperkenankan untuk ikut berdemokrasi. Di negara modern, implementasi demokrasi sebagaimana pernah dilakukan pada zaman Yunani Kuno jelas tidak mungkin lagi dapat dilakukan dengan baik. Hal ini disebabkan, antara lain: 1. Jumlah penduduk negara dewasa ini sudah sedemikian besar. Hal ini mengakibatkan implementasi demokrasi secara langsung justru menyulitkan, khususnya dalam pengambilan keputusan-keputusan politik. Perlu diketahui bahwa pada umumnya pengambilan keputusan dengan jumlah peserta yang demikian besar sulit untuk dilaksanakan bila dibandingkan dengan pengambilan keputusan dengan jumlah peserta yang relatif sedikit. 102 Samuel P. Huntington, 1997, Gelombang Demokratisasi Ke Tiga, Cet II, Grafiti, Jakarta, him. 5. 2. Masalah-masalah ketatanegaraan di negara-negara modern dewasa ini sudah sedemikian kompleks. Sehingga tidaklah mungkin dalam setiap penyelesaian masalah tersebut selalu melibatkan rakyat secara langsung melalui forumforum pertemuan yang sifatnya kolosal. 3. Pelaksanaan demokrasi langsung jelas membutuhkan dana yang relatif besar, karena ini menyangkut akomodasi dalam memobilisasi rakyat atau warga negara. Contoh yang dapat dipergunakan sebagai ilustrasi disini adalah pelaksanaan Pemilihan Umum. Pesta demokrasi yang sering dipergunakan untuk menggambarkan Pemilihan Umum sebenarnya dapat dikategorikan sebagai demokrasi langsung, karena rakyat secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil berbondong-bondong menuju tempat-tempat yang telah disediakan untuk menentukan pilihannya. Proses Pemilihan Umum tersebut dilaksanakan melalui berbagai tahapan termasuk di dalamnya adalah menyelenggarakan pendaftaran pemilih untuk mengetahui secara pasti warga negara yang memiliki hak pilih. Pendaftaran pemilih dan penyediaan logistik (Surat Suara, Kotak Suara, Bilik Suara, Gaji Komisi Pemilihan Umum/KPU dan petugas-petugas di lapangan) untuk pemilihan umum jelas membutuhkan biaya yang tidak sedikit. 4. Ditinjau dari aspek teknis mobilisasi warga negara, bagi negara yang struktur geografinya terdiri dari pulau-pulau dan daerah terpencil seperti di Indonesia, penyelenggaraan demokrasi langsung jelas menghadapi kendala tersendiri. Hal ini mengingat untuk memobilisasi warga negara jelas membutuhkan sarana dan prasarana yang memadai.
Berdasarkan kesulitan-kesulitan prinsipiil tersebut di atas, maka dewasa ini model demokrasi langsung seperti yang pernah dilakukan pada masa Yunani Kuno sudah tidak mungkin lagi untuk dilaksanakan. Kecuali dalam penyelenggaraan referendum seperti di Swiss. Oleh sebab itulah cara yang cukup efektif dan efisien untuk dilakukan adalah dengan mempergunakan model demokrasi tidak langsung atau demokrasi perwakilan (indirect democracy atau representative democracy). Berdasarkan model demokrasi tidak langsung inilah, maka hubungan demokrasi dengan sistem pemerintahan negara akan berkisar pada hubungan antara badan-badan perwakilan rakyat dengan badan pemegang kekuasaan eksekutif. Dalam hubungan ini, pada hakikatnya rakyat tetap dilibatkan dan merupakan bagian (subyek) dalam aktifitas kehidupan ketatanegaraan. Keterlibatan tersebut tidak lagi dilaksanakan secara langsung, melainkan melalui wakil-wakilnya yang dipilih untuk menjadi anggota badan-badan perwakilan rakyat. Oleh sebab itulah, sebagai anggota badan perwakilan rakyat, maka tokoh-tokoh politik yang telah dipilih oleh rakyat senantiasa wajib untuk selalu mendengar aspirasi rakyat, tidak malahan hanya mementingkan kelompok politiknya sendiri atau justru malahan mementingkan diri sendiri. Dengan pola yang demikian inilah, maka dikenal adanya tiga sistem pemerintahan negara sebagaimana yang telah diterangkan terdahulu. Sebagai suatu landasan dan prinsip dalam penyelenggaraan sistem pemerintahan, paham demokrasi tidak muncul begitu saja. Paham demokrasi mengalami pasang surut sejalan dengan sejarah peradaban manusia dalam ikatan hidup bernegara. Pada intinya sejarah perkembangan demokrasi dapat digambarkan secara singkat sebagai berikut:103 1. Zaman Yunani Kuno. Pada zaman ini, demokrasi dilaksanakan secara langsung. Hak untuk berdemokrasi terbatas untuk segolongan warga negara, terutama kaum bangsawan. Sedangkan bagi golongan pendatang, budak dan kaum wanita tidak mempunyai hak untuk berdemokrasi.
Abad Pertengahan. a. Disebut juga abad kegelapan, karena setiap argumentasi dan pendapat manusia harus bisa dikembalikan pada halhal yang bersifat supranatural dan irrasional. Keadaan semacam ini disebabkan munculnya agama baru di barat
b.
c.
d. e.
yaitu agama Katolik. Dimana ideologi yang dikembangkan pada saat itu antara lain menegaskan bahwa kekuasaan yang ada di dunia ini ada di tangan Tuhan dan dilaksanakan oleh seorang Raja atau Paus (pemimpin umat Katolik sedunia) yang memperoleh wahyu dari Tuhan untuk melaksanakan perintah-perintahNya, serta memimpin dunia. Peran Gereja sebagai Institusi Agama di bawah kepemimpinan Paus sangat besar. Bahkan Gereja membawahkan Negara. Hal ini merupakan konsekuensi dari munculnya paham Kedaulatan Tuhan yang dalam implementasinya dilakukan oleh seorang Paus (pemimpin tertinggi Agama Katolik) beserta jajaran Hirarkhi Gereja sebagai wakil Tuhan yang ada di dunia ini. Dengan model seperti ini, paham demokrasi mengalami kemunduran dalam sejarah kehidupan negara setelah zaman Yunani Kuno. Hal ini disebabkan rakyat biasa (kaum awam) tidak lagi mempunyai posisi yang menentukan dalam aktifitas kehidupan kenegaraan. Banyak terjadi perebutan kekuasaan dikalangan kaum bangsawan untuk mempengaruhi Raja maupun Paus. Munculnya konsep demokrasi melalui Magna Charta, yakni kontrak atau perjanjian antara beberapa bangsawan dengan Raja John dari Inggris yang antara lain menghendaki agar raja mengikat diri dan mengakui serta menjamin hak-hak dan privileges dari kaum bangsawan. Piagam ini jelas tidak berlaku bagi rakyat biasa.
Renaisance. a. Renaisance pada hakikatnya adalah suatu ajaran atau pandangan yang berusaha untuk menghidupkan kembali kesusasteraan dan kebudayaan pada zaman Romawi atau Yunani yang telah tersingkir pada abad pertengahan. b. Dengan adanya ajaran atau pandangan tersebut, maka merangsang munculnya paham rasionalitas, yakni suatu paham yang lebih mementingkan kebebasan manusia untuk menyampaikan pemikiran-pemikiran yang rasional. Hal inilah yang kemudian menimbulkan gagasan: 1. Urusan agama (gereja) dengan urusan negara harus mulai dipisahkan. 2. Meluasnya gagasan di bidang politik ketatanegaraan. 3. Kekuasaan sedapat mungkin dibatas agar tidak terjadi absolutisme kekuasaan seperti pada zaman abad pertengahan. 4. Paham rasionalitas harus diterapkan dengan mempergunakan teori social contract. Teori ini dilandasi oleh asumsi bahwa dunia itu dikuasai oleh hukum yang timbul dari alam (nature) yang mengandung prinsipprinsip keadilan universal, artinya berlakunya untuk semua waktu dan semua orang. Oleh sebab itulah untuk mengatur kehidupan bersama dan memperhatikan rasa
keadilan, perlu dilakukan perjanjian sosial yang diselenggarakan oleh setiap orang dalam suatu komunitas. Dari konsepsi semacam inilah kemudian muncul pandangan bahwa negara itu dibentuk karena adanya kontrak sosial atau perjanjian masyarakat. Demokrasi Konstitusional Abad IIX dan Negara Hukum. a. Untuk menyelenggarakan hak-hak politik rakyat, maka perlu diadakan pembatasan kekuasaan pemerintah dengan suatu konstitusi. Konstitusi tersebut baik yang bersifat naskah (written constitution) maupun yang tidak bersifat naskah (unzoritten constitution). b. Di dalam konstitusi tersebut terdapat perlindungan hakhak politik rakyat serta menyelenggarakan pembagian kekuasaan negara sedemikian rupa, sehingga kekuasaan eksekutif diimbangi oleh kekuasaan parlemen dan lembagalembaga hukum. Pola yang demikian inilah yang disebut paham konstitusionalisme. c. Menurut Cari J. Friedrich, Konstitusionalisme adalah gagasan yang menganggap bahwa pemerintah merupakan suatu kumpulan aktifitas yang diselenggarakan atas nama rakyat, tetapi tunduk kepada beberapa pembatasan yang dimaksud untuk memberikan jaminan bahwa kekuasaan yang diperlukan untuk pemerintahan itu tidak disalah gunakan oleh mereka yang memerintah.104 d. Menurut ajaran Konstitusionalisme fungsi UUD atau konstitusi adalah untuk menentukan dan membatasi kekuasaan pemerintah serta menjamin hak-hak dari warga negara. e. Ajaran konstitusionalisme ini menimbulkan rechtsstaat di Eropa Barat dan Rule of Law di negara-negara Anglo Saxon. Adapun unsur-unsur rechtsstaat (klasik) adalah: 1. Jaminan Hak-hak asasi manusia; 2. Pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjamin hak-hak asasi manusia; 3. Pemerintahan berdasarkan peraturan (wetmatigheid van bestuur); dan 4. Peradilan Administrasi untuk menyelesaikan perselisihan. Sedangkan unsur-unsur Rule ofLaiu (klasik) adalah: 1. Supremasi aturan-aturan hukum (Supremacy of law), artinya tidak ada kekuasaan yang sewenang-wenang dan seorang hanya akan dihukum jikalau ia melanggar hukum; 104 Cari J. Friedrich, dalam Miriam Budiardjo, Ibid, him. 57. 2. Kedudukan yang sama di bidang hukum (equality before the law); dan 3. Terjaminnya hak-hak asasi manusia. 5. Demokrasi Konstitusional Abad XX dan Rule of Law Yang Dinamis.
a. Munculnya konsep negara kesejahteraan (welfare state). Fungsi negara adalah memberikan pelayanan kepada masyarakat (social services) dalam rangka meningkatkan kesejahteraan umum warga negara. b. Syarat-syarat untuk terselenggaranya pemerintahan yang demokratis di bawah rule of law, adalah: 1. Perlindungan konstitusional, artinya konstitusi selain menjamin hak-hak individu juga harus menentukan pula cara prosedural untuk memperoleh perlindungan atas hak-hak yang dijamin; 2. Badan kehakiman yang bebas dan tidak memihak; 3. Kebebasan untuk menyatakan pendapat; dan 4. Pendidikan kewarganegaraan (civic education). c. Munculnya rumusan yang dikemukakan oleh International Comission of jurist (ICJ) yang menyatakan bahwa demokrasi adalah suatu bentuk pemerintahan dimana hak untuk membuat keputusan-keputusan politik diselenggarakan oleh warga negara melalui wakil-wakil yang dipilih oleh mereka dan yang bertanggungjawab kepada mereka melalui suatu proses pemilihan yang bebas.105 d. Henry B. Mayo mengatakan bahwa sistem politik dikatakan demokrasi apabila kebijaksanaan umum ditentukan atas dasar mayoritas oleh wakil-wakil rakyat yang diawasi secara efektif oleh rakyat dalam pemilihan-pemilihan berkala yang di dasarkan atas kesamaan politik dan diselenggarakan dalam suasana terjaminnya kebebasan politik.106 Lebih lanjut dikemukakan bahwa demokrasi di samping sebagai suatu sistem pemerintahan, juga dapat dikatakan sebagai suatu gaya hidup (life style) serta tata masyarakat tertentu. Oleh sebab itu di dalam demokrasi juga mengandung unsur-unsur moril yang di dalamnya memuat nilai-nilai: 1. Menyelesaikan perselisihan dengan damai dan secara melembaga; 2. Menjamin terselenggaranya perubahan secara damai dalam suatu masyarakat yang sedang berubah; 3. Menyelesaikan pergantian kepemimpinan secara teratur; 4. Membatasi pemakaian kekerasan sampai seminim mungkin; 5. Mengakui serta menganggap wajar adanya keaneka ragaman; dan 6. Menjamin tegaknya keadilan.107
Dari gambaran singkat mengenai perjalanan sejarah demokrasi tersebut di atas, maka dapat ditarik pemahaman bahwa demokrasi merupakan bentuk dari sistem pemerintahan yang paling luas, karena titik tolak pengkajiannya diletakkan pada hubungan antara rakyat atau warga negara dengan negara sebagai suatu institusi kekuasaan. Pengkajian demokrasi menjadi penting karena sifat maupun kodrat dari kekuasaan itu sendiri selalu cenderung disalahgunakan. Oleh sebab itu di dalam sistem pemerintahan demokrasi, organ yang paling dianggap memperoleh porsi pengawasan yang lebih menonjol adalah pemerintah (eksekutif). Mekanisme untuk melakukan kontrol terhadap pemerintah ini dengan mempergunakan prosedur dan tata cara memberikan keseimbangan kekuasaan antara eksekutif dan legislatif yang pada hakikatnya merupakan manifestasi dari representasi rakyat. Inilah wujud formil dari demokrasi, sedangkan demokrasi dalam arti yang lain dapat merujuk pada pendapat dari Henry B. Mayo.
yang dimaksud dalam Pasal 118 tidak ada artinya atau dapat dikatakan sebagai pertanggungjawaban tanpa disertai dengan sanksi. Dalam teori Hukum Tata Negara pertanggungjawaban seperti ini sering disebut pertanggungjawaban dalam arti sempit. 2. Sistem Pemerintahan Indonesia Menurut UUDS 1950. UUDS 1950 masih tetap mempergunakan sistem pemerintahan parlementer seperti halnya diatur dalam Konstitusi RIS. Pendek kata, dalam hal sistem pemerintahan negara, UUDS 1950 masih melanjutkan seperti yang diatur di dalam Konstitusi RIS. Hal ini disebabkan UUDS 1950 pada hakikatnya merupakan hasil amandemen dari Konstitusi RIS dengan menghilangkan Pasal-pasal yang bersifat federalis. Di dalam Pasal 83 UUDS 1950 dinyatakan: a. Presiden dan Wakil Presiden tidak dapat diganggu gugat; b. Menteri-menteri bertanggungjawab atas seluruh kebijaksanaan pemerintah, baik bersama-sama untuk seluruhnya maupun masing-masing untuk bagiannya sendiri-sendiri. Berkaitan dengan Pasal 83 tersebut di atas, Pasal 84 UUDS 1950 menyatakan bahwa Presiden berhak membubarkan DPR. Keputusan Presiden yang menyatakan pembubaran itu memerintahkan pula untuk mengadakan pemilihan Presiden baru dalam 30 hari. Konstruksi Pasal semacam ini mengingatkan kita pada sistem parlementer yang tidak murni sebagaimana dikembangkan oleh Republik Ke V Perancis. 3. Sistem Pemerintahan Indonesia Menurut UUD 1945 Sebelum Amandemen. Di dalam sistematika UUD 1945, sistem pemerintahan negara tidak secara tegas tertuang di dalamnya. Hal ini agak berbeda dengan kedua konstitusi yang pernah berlaku di Indonesia. Bahkan dalam beberapa ketentuan secara tersirat mengindikasikan adanya bentuk campuran antara sistem presidensiil dan parlementer. Di dalam Pasal 4 UUD 1945 ditegaskan bahwa Presiden memegang kekuasaan pemerintahan. Sedangkan Pasal 17 menegaskan bahwa Menteri negara membantu Presiden serta diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Lebih lanjut di dalam Penjelasan UUD 1945 dinyatakan bahwa Dewan tidak bisa dibubarkan oleh Presiden. Presiden Republik Indonesia adalah Kepala Eksekutif dan tidak boleh merangkap menjadi anggota DPR dan Mahkamah Agung, apalagi menjadi pimpinan MPR. Kedua pasal dan Penjelasan UUD 1945 tersebut memberikan penegasan bahwa sistem pemerintahan yang dikehendaki oleh UUD 1945 adalah sistem presidensiil. Akan tetapi karena Presiden Republik Indonesia tidak dipilih oleh rakyat secara langsung melainkan oleh MPR dan dapat diberhentikan oleh MPR sebelum masa jabatannya habis
jika melanggar UUD 1945 dan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN), maka hal ini menunjukkan bahwa sistem presidensiil yang dianut oleh UUD 1945 bukan sistem presidensiil murni. Persoalannya adalah, apakah konstruksi sistem pemerintahan negara yang ambigu seperti ini menunjukkan bahwa sistem pemerintahan yang dianut oleh UUD 1945 dapat dikatakan mempergunakan sistem presidensiil yang tidak murni (quasi presidensiil)? Untuk mengetahui sistem pemerintahan yang dianut oleh UUD 1945, kita perlu memperbandingkan dengan sistem pemerintahan negara lain, khususnya yang menganut sistem pemerintahan presidensiil yang murni seperti di Amerika Serikat. Memperbandingkan dengan sistem pemerintahan di AS terasa relevan, karena bagaimanapun juga unsur-unsur presidensiil yang ada di sana relatif mirip dengan yang ada di Indonesia. Adapun karakteristik sistem presidensiil di Amerika Serikat adalah sebagai berikut: a. Lembaga Legislatif, Eksekutif, dan Yudikatif merupakan organ pemegang kekuasaan yang terpisah. Namun demikian mekanisme checks and balances (saling mengadakan kontrol dan keseimbangan) berlangsung diantara ketiga lembaga tersebut. Contohnya adalah dalam penentuan kabinet dan Hakim Agung, peran parlemen (Senat) menduduki posisi yang sangat penting. Mengingat untuk pengisian jabatan-jabatan tersebut harus memperoleh persetujuan Conggres. Hak prerogatif Presiden AS dalam mengajukan calon-calon pejabat publik tersebut lemata-mata hanya menyampaikan nominasi calon dan melakukan pengangkatan setelah diantara nominasi tersebut salah satunya disetujui oleh Congress. b. Dalam bidang Legislatif, misalnya pembuatan suatu UndangUndang wewenang penuh ada pada Congress yang terdiri dari dua kamar yaitu House of Representative dan Senate. Akan tetapi dalam hal-hal tertentu Presiden AS mempunyai hak Veto, yakni hak yang dimiliki oleh Presiden AS untuk tidak menyetujui atau menolak suatu RUU yang diajukan oleh Congress. c. Kekuasaan eksekutif berada di tangan Presiden, dan dalam pelaksanaannya dibantu oleh para menteri yang bertanggung jawab kepada Presiden. Sedangkan Presiden bertanggun jawab kepada rakyat yang memilihnya melalui mekanisme pemilihan umum. d. Apabila ada perbedaan pendapat antara Congress dengan Presiden, maka Presiden tidak serta merta dapat dijatuhkan oleh Conggres. Presiden tidak dapat diganggu-gugat sebelum
masa jabatannya habis. Namun demikian, dalam hal adanya suatu kejadian yang luar biasa, misalnya Presiden melakukan perbuatan yang melanggar hukum, maka Badan Perwakilan dapat menutut Presiden melalui Impeachment (pengadilan Senat/DPR). Pelaksanaan peradilan ini tidak dilakukan sendiri oleh anggota-anggota DPR, melainkan oleh Hakim Agung yang dipanggil ke DPR untuk melakukan pemeriksaan terhadap Presiden. Contoh aktual yang dapat dikemukakan disini adalah tatkala Presiden AS Nixon terkena skandal Watergate. Dia seharusnya akan di impeachment, namun sebelum proses tersebut berlangsung Nixon telah mengundurkan diri dan diganti oleh Wakil Presiden Gerald Ford. Begitu pula ketika Bill Clinton terkena skandal dengan staf Gedung Putih Monica Lewensky, namun karena senat berpendapat bahwa Bill Clinton sudah menyampaikan permohonan maaf secara terbuka dan menurut senat tidak melanggar konstitusi, maka proses Impeachment tidak dilaksanakan. e. Badan-badan Peradilan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun. Hakim Peradilan ada yang dipilih oleh rakyat dan ada pula yang diangkat untuk seumur hidup sepanjang tenaganya masih mampu menjalankan tugas dan wewenangnya. Bertitik tolak dari karakteristik sistem presidensiil di AS tersebut di atas, maka jika diperbandingkan dengan yang ada di Indonesia, sebagaimana dikonstruksikan di dalam UUD 1945, dijumpai adanya beberapa kesamaan. Hal ini nampak dari ketentuan-ketentuan di dalam UUD 1945 sebagai berikut: a. Pasal 4 ayat (1): Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut UUD. b. Pasal 17 ayat (1) dan ayat (2): Presiden dibantu oleh Menterimenteri Negara. Menteri-menteri negara itu diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Ketentuan seperti ini memberikan penegasan adanya pertanggungjawaban Menteri-menteri kepada Presiden. c. Pasal 5 ayat (1): Presiden memegang kekuasaan membentuk Undang-Undang dengan Persetujuan DPR.
d. Pasal 21 ayat (1): Anggota-anggota DPR berhak mengajukan Rancangan Undang-Undang. e. Pasal 21 ayat (2): Jika Rancangan meskipun disetujui oleh DPR, tidak disahkan oleh Presiden, maka rancangan itu tidak boleh dimajukan dalam persidangan masa itu. Ketentuan seperti ini mengingatkan kita pada hak Veto Presiden terhadap suatu Rancangan Undang-Undang yang diajukan oleh Parlemen di Amerika Serikat. Dari ketentuan pasal-pasal tersebut di atas, nampak jelas bahwa sistem pemerintahan yang dianut oleh Indonesia hampir sama dengan yang dianut di AS. Akan tetapi jika mencermati Pasal 6 Ayat (2) yang menegaskan bahwa Presiden dan Wakil Presiden dipilih dan diangkat oleh MPR dengan suara terbanyak, maka dalam proses penentuan Kepala Pemerintahan (sekaligus Kepala Negara) tidak mempergunakan pola pemilihan langsung oleh rakyat sebagaimana dilakukan di AS. Lain daripada itu, di dalam Penjelasan Umum UUD 1945 juga dinyatakan bahwa Presiden dalam melaksanakan pemerintahan negara tunduk dan bertanggungjawab kepada Majelis. Penjelasan yang demikian ini memberikan konsekuensi bahwa sistem pemerintahan Indonesia juga mengandung karakteristik sistem parlementer. Berbeda dengan yang ada di Amerika Serikat. Memperhatikan sistem pemerintahan yang demikian ini, maka yang menjadi persoalan adalah lebih condong kemanakah sistem pemerintahan Indonesia tersebut? Apakah presidensiil ataukah parlementer? Untuk menjawab pertanyaan tersebut tentunya harus mencermati terlebih dahulu eksistensi MPR itu sendiri dalam khasanah ketatanegaraan Indonesia. Lembaga apakah MPR itu? Sehubungan dengan hal ini, di dalam Pasal 1 ayat (2) dinyatakan bahwa kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat. Kemudian di dalam Pasal 2 ayat (1) ditegaskan bahwa MPR terdiri dari anggota-anggota DPR, ditambah dengan utusanutusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan menurut aturan yang ditetapkan dengan Undang-Undang. Penjelasan dari ketentuan ini menyatakan bahwa maksudnya ialah, supaya seluruh rakyat, seluruh golongan, seluruh daerah akan mempunyai wakil dalam Majelis, sehingga Majelis akan betulbetul dapat dianggap sebagai penjelmaan rakyat. Berkaitan dengan eksistensi MPR sebagaimana ditentukan oleh UUD 1945 berikut Penjelasannya tersebut, maka dapat dikemukakan bahwa menurut konstruksi UUD 1945, MPR itu merupakan penjelmaan rakyat. Persoalannya adalah apa arti dari penjelmaan rakyat itu? Apakah MPR itu dianggap identik
dengan rakyat dalam arti sebagai reinkarnasi rakyat, atakah MPR hanya sekedar sebagai lembaga perwakilan? Menurut Bintan R. Saragih dan Kusnardi, kata penjelmaan rakyat yang ditujukan kepada eksistensi MPR tersebut dapat ditafsirkan dalam dua arti, yaitu MPR identik dengan rakyat, dan di lain pihak MPK itu hanya sebatas sebagai lembaga perwakilan. Kedua penafsiran ini jelas menimbulkan konsekuensi yang berbeda, yakni: a. Jika penjelmaan rakyat itu ditafsirkan sebagai identik dengan rakyat atau reinkarnasi rakyat, maka seluruh kebijaksanaan MPR termasuk dalam rangka melaksanakan tugas, fungsi, wewenang, dan tanggungjawab MPR sama halnya atau identik dengan kebijaksanaan, tugas, wewenang, dan tanggungjawab yang dilakukan oleh rakyat sendiri. Konsekuensi dari hal ini berarti dalam melaksanakan seluruh aktifitasnya MPR tidak perlu mempertanggungjawabkan seluruh perbuatannya kepada rakyat. Jika tafsiran ini diletakkan dalam konteks pertanggungjawaban Presiden kepada MPR, maka tentunya dapat diidentikkan dengan pertanggungjawaban Presiden kepada rakyat. Demikian pula halnya, jika diletakkan dalam konteks Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh MPR, maka hal ini dapat diidentikkan dengan Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh rakyat. Oleh sebab itu sistem pemerintahan Indonesia berdasarkan tafsiran semacam itu dapat dianggap mempergunakan sistem presidensiil. b. Jika kata penjelmaan rakyat tersebut ditafsirkan bahwa MPR itu hanya sebatas sebagai lembaga perwakilan, maka dalam melaksanakan seluruh aktifitasnya MPR harus tetap melaksanakan pertanggungjawaban kepada pihak yang diwakili yaitu rakyat. Bahkan jikalau MPR itu hanya sebatas sebagai lembaga perwakilan, maka ada kemungkinan apa yang menjadi kehendak MPR berbeda dengan apa yang menjadi kehendak rakyat.108 Dalam praktek penyelenggaraan negara di bawah Rezim Orde Baru berdasarkan UUD 1945, nampak jelas bahwa dari kedua penafsiran tersebut, pelaksanaannya lebih condong
108 Bandingkan dengan Bintan R. Saragih & Kusnardi, 1987, Mekanisme Hubungan Lembaga-Lembaga Negara Menurut
kepada penafsiran bahwa MPR sebagai penjelmaan rakyat yang hanya sebatas merupakan lembaga perwakilan. Hal ini terbukti dengan keluarnya Ketetapan MPR No. IV/MPR/1983 Tentang Referendum dan kemudian diterbitkan Undang-Undang No. 5 Tahun 1985 Tentang Referendum. Menurut kedua Paraturan Perundang-undangan ini jika MPR berkehendak untuk mengubah UUD 1945, maka MPR akan memerintahkan Presiden sebagai mandataris MPR untuk mengadakan referendum, yakni meminta pendapat rakyat secara langsung tentang setuju atau tidaknya terhadap kehendak MPR untuk mengubah UUD 1945 tersebut. Peraturan Perundang-undangan semacam ini jelas telah mengabaikan ketentuan Pasal 37 UUD 1945 yang memberikan landasan konstitusional mengenai kewenangan MPR dalam rangka mengubah UUD. Dengan demikian berdasarkan kedua Peraturan perundang-undangan tersebut, MPR sebagai penjelmaan rakyat tidak bisa bertindak sendiri dalam hal mengubah UUD 1945. MPR harus tetap meminta persetujuan kepada rakyat secara langsung. Oleh sebab itu, jelas kiranya jika dengan adanya kedua Peraturan Perundang-undangan itu, MPR tetap dibebani pertanggungjawaban kepada rakyat dalam melaksanakan salah satu kewenangannya tersebut. Ini berarti MPR tidak memiliki kepercayaan diri sebagai lembaga yang identik dengan rakyat (reinkarnasi rakyat), melainkan lebih punya kepercayaan diri sebagai lembaga perwakilan. Dengan paradigma ketatanegaraan semacam ini, maka jikalau MPR sebagai penjelmaan rakyat itu hanya sebatas bertindak laksana lembaga perwakilan, konsekuensi pertanggungjawaban Presiden sebagai Kepala Pemerintahan kepada MPR lebih condong pada implementasi sistem parlementer. Apalagi jika dipertegas dengan adanya hak DPR sebagai salah satu unsur dari MPR untuk mengajukan memorandum dan mengusulkan diadakannya Sidang Istimewa untuk meminta pertanggunjawaban Presiden. Jikalau fenomena konstitusional semacam ini dibandingkan dengan yang terjadi di Amerika Serikat, maka antara Sidang Istimewa MPR dan Impeachment yang dilakukan oleh Parlemen untuk memeriksa Presiden jika diduga melakukan perbuatan yang melanggar hukum, jelas merupakan dua hal yang serupa tapi tak sama. Dikatakan serupa, karena pada hakikatnya keduanya adalah sama-sama proses untuk meminta pertanggungjawaban Presiden dan sama-sama memungkinkan Presiden jatuh dari tampuk kekuasaan pemerintahan negara. Sedangkan dikatakan tak sama, karena Sidang Istimewa MPR sejatinya merupakan proses meminta pertanggungjawaban politik kepada Presiden, dan Impeachment pada hakikatnya merupakan proses pertanggungjawaban hukum. Prosedur dan tatacara untuk memeriksa Presiden melalui Sidang Istmewa MPR pada hakikatnya merupakan prosedur dan tatacara dalam lapangan politik yang dilakukan oleh lembaga politik. Sedangkan Impeachment yang dilakukan di Amerika Serikat yang memeriksa sebenarnya adalah Hakim Agung, hanya tempatnya dilakukan di Parlemen. Dengan demkian, antara Sidang
Istimewa MPR dan Impeachment jelas memiliki nuansa yang sangat berbeda, walaupun konsekuensi yang ditimbulkan adalah sama, yakni jatuhnya kekuasaan seorang Presiden dari tampuk kekuasaan pemerintahan negara. Dengan melandaskan pada eksistensi MPR sebagai pen