Anda di halaman 1dari 3

SERSAN SLAMET RIYADI F. MONTHANA Matahari pagi bersinar terang. Cahayanya menembus pucuk-pucuk daun cemara.

Dari tepian telaga biru terlihat jelas bayang-bayang pohon cemara di bawah permukaan air telaga. Sementara langit berwarna kebiruan. Angin bertiup sepoi-sepoi menerpa daun cemara. Nyanyian burung kepundang menjadi alunan musik alam yang sngat syahdu. Persis di sebelah timur telaga, tepatnya di bawah bukit Arjuna, berdiri sebuah rumah sederhana yang dihuni lelaki tua. Dia adalah Sersan Slamet Riyadi. Terlihat jelas di raut wajahnya bahwa dia sudah kenyang makan asam garam kehidupan. Sinar matanya taham. Otot lengannya menyembul keluar dari permukaan kulit. Sisa-sisa keperkasaan masa lalunya masih kelihatan jelas. Dalam buku hariannya tertulis bahwa sejak Ia berumur 17 tahun, Ia sudah masuk Barisan Tentara Rakyat, yang saat ini lebih dikenal sebagai TNI. Kepiawaiannya menembak membuat Ia dipercaya menjadi Komandan Pleton di bataliyonnya. Susah senang sudah Ia jalani, menjadi pejuang kemerdekaan dengan bergerilya di hutan-hutan sepanjang perbatasan Jawa Barat dan Jawa Tengah. Suatu malam yang mencekam dan tragis. Tepatnya malam Jumat Kliwon di bulan puasa, Ia mengalami peristiwa yang sangat menyedihkan. Ketika Ia sedang duduk bercengkrama dengan anak dan istrinya sehabis berbuka puasa. Tiba-tiba Belanada menyerang rumahnya dan menghujani rumahnya dengan senjata otomatis. Anak dan istrinya tewas seketika, Ia sendiri tertembak lengan kirinya dengan kondisi yang tidak begitu parah Ia berhasil meloloskan diri. Namun karena merasa tidak berhasil membunuhnya Belanda kalap dan membakar rumah Sersan Slamet. Asap tebal membubung di angkasa mewarnai langit yang jernih memerihkan mata dan hati Sersan Slamet Riyadi. Semenjak peristiwa itu Ia mengalami shok berat. Keseimbangan mentalnya terganggu. Bicaranya semakin tidak terkontrol. Tidak jarang Ia bertindak di luar perintah pimpinan. Akibatnya dengan berat hati akhirnya komandan BKR memecat Sersan Slamet Riyadi. Sersan Slamet Riyadi yang terganggu mentalnya itu, meski sudah tidak menjadi anggota BKR lagi, namun Ia tetap memakai pakaian seragam militer. Dendamnya makin membara. Yang terngiang di telinganya Bunuh Belanda keparat!. Kebenciannya semakin berkarat. Seorang diri Sersan Slamet Riyadi bergerilya dari hutan ke hutan. Sampai pada suatu hari Ia berhasil menangkap seorang Serdadu Belanda. Dengan segenap dendam dan kebencian yang ada didirinya kepala serdadu Belanda itu dipenggalnya dan diaraknya berkeliling kampung. Hutang nyawa di bayar nyawa, sekarang satu besok seribu Sersan Slamet Riyadi terus berteriak-teriak dengan emosinya.

Tingkah lakunya menimbulkan perhatian dan ketakutan warga kampung. Ditengah kerumunan warga kampung Slamet Riyadi memeperlihatkan prilaku kanibalnya. Ia mengiris kedua telinga Serdadu belanda itu, lalu dibakar dan dimakannya. Seluruh penduduk yang menyaksikan peristiwa itu menjadi miris dan ketakutan. Beberapa hari kemudian Tentara Belanda yang mengetahui peristiwa itu menjadi kian beringas. Mereka menggeledah rumah demi rumah mencari Slamet Riyadi. Tuamuda, laki-laki dan perempuan, besar dan kecil dikumpulkan tentara Belanda, mereka diinterogasi dengan kasar dan penuh amarah. Kalau Yau tidak mau katakan dimana itu Slamet Keparat. Yau semua akan kami bunuh!. Begitu teriak Komandan Serdadu Belanda itu. Semua Penduduk makin dicekam rasa ketakutan. Mereka betul-betul tidak tahu keberadaan Slamet Riyadi. Slamet Riyadi memang cepat menghilang bagai asap tak tentu rimba. Seminggu kemudian penduduk kampung di gemparkan lagi oleh peristiwa yang lebih sadis. Slamet Riyadi mencincang dua orang serdadu Belanda. Kepala keduanya di penggal, telinganya diiris. Dengan kesadisannya Slamet Riyadi menenteng kedua kepala itu menuju barak Belanda. Dan dengan dendam membara Ia lemparkan kedua kepala itu kedalam barak. Kepala itu menggelinding bak bola dan berhenti tepat di depan komandan Belanda. Kontan barak itu jadi ramai dan gaduh. Suasana jadi memanas. Para serdadu Belanda makin gerah akibat perbuatan Slamet Riyadi. Akibat tindakan Slamet Riyadi penduduk yang jadi korban. Rumah-rumah penduduk di geledah paksa siang dan malam. Tanpa kenal kasihan mereka akan membakar rumah-rumah yang mereka curigai sebagai tempat persembunyian Slamet Riyadi. Bahkan terkadang tak jarang akibat emosi dan amarah yang meluap, Belanda melampiaskannya dengan menyiksa para pendujduk. Akibatnya penduduk yang merasa tidak bersalah dan tidak berdosa membenci dan mengutuk Slamet riyadi, karena perbuatann dan dendamnya penduduk yang tidak bersalah menjadi mangsa Bealanda. Slamet Riyadi yang menyadari kesalahannya dan merasa telah cukup puas dengan dendamnya, kemudian menghilang entah kemana. Lenyap, hilang tanpa bekas. Sampai pada suatu hari di tahun keduapuluh setelah peristiwa itu penduduk mendapat informasi bahwa sersan Slamet riyadi yang dulu terkenal dan kemudian dikutuk dan dihujat itu telah mengasingkan diri di rumah sederhana di tepi telaga, seorang diri tanpa sanak saudara. Di dinding rumah foto dirinya terpampang gagah dengan pakaian militer lengkap dan pangkatnya tergantung di atas pintu bambu. Di sebelaj kananya tergantung bintang gerilya anugrah Presiden Soekarno. Penulis staf pengajar di MAN dan MTs. Muara Bungo

Anda mungkin juga menyukai