Anda di halaman 1dari 36

PENDAHULUAN

Dalam rangka menegakkan diagnosis penyakit saraf diperlukan pemeriksaan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan mental dan laboratorium (penunjang). Pemeriksaan neurologis meliputi: pemeriksaan kesadaran, rangsang selaput otak, saraf otak, sistem motorik, sistem sensorik refleks dan pemeriksaan mental (fungsi luhur). Selama beberapa dasawarsa ini ilmu serta teknologi kedokteran maju dan berkembang dengan pesat. Banyak alat dan fasilitas yang tersedia, dan memberikan bantuan yang sangat penting dalam mendiagnosis penyakit serta menilai perkembangan atau perjalanan penyakit. Saat ini kita dengan mudah dapat mendiagnosis perdarahan di otak, atau keganasan di otak melalui pemeriksaan pencitraan. Kita juga dengan mudah dapat menentukan polineuropati dan perkembangannya melalui pemeriksaan kelistrikan. Di samping kemajuan yang pesat ini, pemeriksaan fisik dan mental di sisi ranjang (bedside) masih tetap memainkan peranan yang penting. Kita bahkan dapat meningkatkan kemampuan pemeriksaan di sisi ranjang dengan bantuan alat teknologi yang canggih. Kita dapat mempertajam kemampuan pemeriksaan fisik dan mental dengan bantuan alat-alat canggih yang kita miliki. Sampai saat ini kita masih tetap dan harus memupuk kemampuan kita untuk melihat, mendengar, dan merasa, serta mengobservasi keadaan pasien. Dengan pemeriksaan anamnesis, fisik dan mental yang cermat, kita dapat menentukan diagnosis, dan pemeriksaan penunjang yang dibutuhkan.

DAFTAR ISI PENDAHULUAN..2 ISI Definisi...4 Anamnesis..4 Status Mental..6 Tingkat kesadaran...7 Pemeriksaan nervus kranialis.8 Sistem motorik.13 Sistem sensorik.16 Tanda rangsang meningeal...17 Reflex patologis...18 DAFTAR PUSTAKA..19

Definisi Pemeriksaan neurologik adalah suatu proses yang membutuhkan ketelitian dan pengalaman yang terdiri dari sejumlah pemeriksaan pada fungsi yang sangat spesifik. Pemeriksaan neurologik dibagi dalam lima komponen yaitu status mental, tingkat kesadaran,syaraf-syaraf kranial, sistem motorik,refleks, dan sistem sensorik.

Anamnesis

Dalam memeriksa penyakit saraf, data riwayat penyakit merupakan hal yang penting. Seorang dokter tidak mungkin berkesempatan mengikuti penyakit sejak dari mulanya. Biasanya penderita datang ke dokter pada saat penyakit sedang berlangsung, bahkan kadangkadang saat penyakitnya sudah sembuh dan keluhan yang dideritanya merupakan gejala sisa. Selain itu, ada juga penyakit yang gejalanya timbul pada waktu-waktu tertentu; jadi, dalam bentuk serangan. Di luar serangan, penderitanya berada dalam keadaan sehat. Jika penderita datang ke dokter di luar serangan, sulit bagi dokter untuk menegakkan diagnosis penyakitnya, kecuali dengan bantuan laporan yang dikemukakan oleh penderita (anamnesis) dan orang yang menyaksikannya (allo-anamnesis). Tidak jarang pula suatu penyakit mempunyai perjalanan tertentu. Oleh karena perjalanan penyakit sering mempunyai pola tertentu, maka dalam menegakkan diagnosis kita perlu menggali data perjalanan penyakit tersebut. Suatu kelainan fisik dapat disebabkan oleh bermacam penyakit. Dengan mengetahui perjalanan penyakit, kita dapat mendekati diagnosisnya, dan pemeriksaan laboratorium yang tidak perlu dapat dihindari. Tidaklah berlebihan bila dikatakan bahwa: Anamnesis yang baik membawa kita menempuh setengah jalan ke ara diagnosa yang tepat.

Untuk mendapatkan anamnesis yang baik dibutuhkan sikap pemeriksa yang sabar dan penuh perhatian, serta waktu yang cukup. Pengambilan anamnesis sebaiknya dilakukan di tempat tersendiri, supaya tidak didengar orang lain. Biasanya pengambilan anamnesis mengikuti 2 pola umum, yaitu: 1. Pasien dibiarkan secara bebas mengemukakan semua keluhan serta kelainan yang dideritanya. 2. Pemeriksa (dokter) membimbing pasien mengemukakan keluhannya atau kelainannya dengan jalan mengajukan pertanyaan tertuju.

Terdiri dari : 1. ANAMNESIS : - umum, khusus 2. Pemeriksaan neurologik

Anamnesis umum tdd : 1. Data Statistik 2. Keluhan utama & riwayat perjalanan peny. 3. Riwayat peny. terdahulu 4. Riwayat peny. dalam keluarga 5. Riwayat sosial 6. Kebiasaan dan gizi 7. dll Susunan riwayat perjalanan penyakit umumnya : a. Data Statistik : nama, sex, umur, alamat, status perkawinan, pekerjaan, agama b. Keluhan Utama : sudah tdk tertahankan, sangat jengkel, beri kesempatan berbicara, tanpa disela. Biasanya KU= keluhan pertama.

Pengambilan anamnesa yang baik menggabungkan kedua cara tersebut diatas.

Biasanya wawancara dengan pasien dimulai dengan menanyakan nama, umur, pekerjaan, alamat. Kemudian ditanyakan keluhan utamanya, yaitu keluhan yang mendorong pasien datang berobat ke dokter. Pada tiap keluhan atau kelainan perlu ditelusuri: 1. Sejak kapan mulai 2. Sifat serta beratnya 3. Lokasi serta penjalarannya 4. Hubungannya dengan waktu (pagi, siang, malam, sedang tidur, waktu haid, sehabis makan dan lain sebagainya) 5. Keluhan lain yang ada hubungannya dengan keluhan tersebut 6. Pengobatan sebelumnya dan bagaimana hasilnya 7. Faktor yang membuat keluhan lebih berat atau lebih ringan 8. Perjalanan keluhan, apakah menetap, bertambah berat, bertambah ringan, datang dalam bentuk serangan, dan lain sebagainya

Pd akhir wawancara perlu diingat faktor-faktor psikologis. c. Riwayat peny.terdahulu : keluarga, langsung ke arah sasaran, social. Hubungan yang lalu dengan penyakit sekarang kejadian

d. Riwayat peny.dlm keluarga: Bila penyakit diduga bersifat herediter diagram! e. Riwayat Sosial Perkembangan kepribadian, sikap terhadap orang tua dan saudara. Reaksinya terhadap lingkungan, pendidikan.

f. Kebiasaan / Gizi : merokok, minum alkohol, nilai gizi makanan

Pada tiap penderita penyakit saraf harus pula dijajaki kemungkinan adanya keluhan atau kelainan dibawah ini dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan berikut: 1. Nyeri kepala : Apakah anda menderita sakit kepala? Bagaimana sifatnya, dalam bentuk serangan atau terus menerus? Dimana lokasinya? Apakah progresif, makin lama makin berat atau makin sering? Apakah sampai mengganggu aktivitas seharihari? 2. Muntah : Apakah disertai rasa mual atau tidak? Apakah muntah ini tiba-tiba, mendadak, seolah-olah isi perut dicampakkan keluar (proyektil)? 3. Vertigo : Pernahkah anda merasakan seolah sekeliling anda bergerak, berputar atau anda merasa diri anda yang bergerak atau berputar? Apakah rasa tersebut ada hubungannya dengan perubahan sikap? Apakah disertai rasa mual atau muntah? Apakah disertai tinitus (telinga berdenging, berdesis)? 4. Gangguan pemglihatan (visus) : Apakah ketajaman penglihatan anda menurun pada satu atau kedua mata? Apakah anda melihat dobel (diplopia)? 5. Pendengaran : Adakah perubahan pada pendengaran anda? Adakah tinitus (bunyi berdenging/berdesis pada telinga)? 6. Saraf otak lainnya : Adakah gangguan pada penciuman, pengecapan, salivasi (pengeluaran air ludah), lakrimasi (pengeluaran air mata), dan perasaan di wajah? Adakah kelemahan pada otot wajah? Apakah bicara jadi cadel dan pelo? Apakah suara anda berubah, jadi serak, atau bindeng (disfonia), atau jadi mengecil/hilang (afonia)? Apakah bicara jadi cadel dan pelo (disartria)? Apakah sulit menelan (disfagia)? 7. Fungsi luhur : Bagaimana dengan memori? Apakah anda jadi pelupa? Apakah anda menjadi sukar mengemukakan isi pikiran anda (disfasia, afasia motorik) atau memahami pembicaraan orang lain (disfasia, afasia sensorik)? Bagaimana dengan kemampuan membaca (aleksia)? Apakah menjadi sulit membaca, dan memahami apa yang anda baca? Bagaimana dengan kemampuan menulis, apakah kemampuan menulis berubah, bentuk tulisan berubah? 8. Kesadaran : Pernahkah anda mendadak kehilangan kesadaran, tidak mengetahui apa yang terjadi di sekitar anda? Pernahkah anda mendada merasa lemah dan seperti mau pingsan (sinkop)? 9. Motorik : Adakah bagian tubuh anda yang menjadi lemah, atau lumpuh (tangan, lengan, kaki, tungkai)? Bagaimana sifatnya, hilang-timbul, menetap atau berkurang?

Apakah gerakan anda menjadi tidak cekatan? Adakah gerakan pada bagian tubuh atau ekstremitas badan yang abnormal dan tidak dapat anda kendalikan (khorea, tremor, tik)? 10. Sensibilitas : Adakah perubahan atau gangguan perasaan pada bagian tubuh atau ekstremitas? Adakah rasa baal, semutan, seperti ditusuk, seperti dibakar? Dimana tempatnya? Adakah rasa tersebut menjalar? 11. Saraf otonom : Bagaimana buang air kecil (miksi), buang air besar (defekasi), dan nafsu seks (libido) anda? Adakah retensio atau inkontinesia urin atau alvi?

Status mental

Mengevaluasi kemampuan penderita untuk memberi alasan, membuat abstrak, rencana dan penilaian. Sosial ekonomi,etnis dan status pendidikan penderita perlu diketahui oleh pemeriksa untuk mengetahui status mental penderita, status mental berhub. Dengan mood & jalan pikiran pasien : 1. Apakah ada tanda-tanda tidak merawat diri? 2. Apakah pasien berprilaku wajar? 3. Bagaimana suasana hati pasien? 4. Apakah suasana hati pasien berubah dengan cepat?

Tingkat kesadaran Ada beberapa metode untuk menggolongkan tingkat kesadaran masing-masing menggunakan istilah yang sama tapi caranya berbeda (Glasgow Coma Skala), apapun metode yang digunakan yang terpenting adanya konsistensi serta pemahaman penuh terhadap semua terminologi yang digunakan.

a. secara kualitatif 1. ComposMentis (conscious), yaitu kesadaran normal, sadar sepenuhnya, dapat menjawab semua pertanyaan tentang keadaan sekelilingnya. 2. Apatis, yaitu keadaan kesadaran yang segan untuk berhubungan dengan sekitarnya, sikapnya acuh tak acuh. 3. Delirium, yaitu gelisah, disorientasi (orang, tempat, waktu), memberontak, berteriak-teriak, berhalusinasi, kadang berhayal. 4. Somnolen (Obtundasi, Letargi), yaitu kesadaran menurun, respon psikomotor yang lambat, mudah tertidur, namun kesadaran dapat pulih bila dirangsang (mudah dibangunkan) tetapi jatuh tertidur lagi, mampu memberi jawaban verbal. 5. Stupor (soporo koma), yaitu keadaan seperti tertidur lelap, tetapi ada respon terhadap nyeri. 6. Coma (comatose), yaitu tidak bisa dibangunkan, tidak ada respon terhadap rangsangan apapun (tidak ada respon kornea maupun reflek muntah, mungkin juga tidak ada respon pupil terhadap cahaya). b. Secara Kuantitatif dengan GCS ( Glasgow Coma Scale ) 1. Menilai respon membuka mata (E) (4) : spontan (3) : dengan rangsang suara (suruh pasien membuka mata). (2): dengan rangsang nyeri (berikan rangsangan nyeri, misalnya menekan kuku jari) (1) : tidak ada respon 2. Menilai respon Verbal/respon Bicara (V) (5) : orientasi baik (4) : bingung, berbicara mengacau (sering bertanya berulang-ulang) disorientasi tempat dan waktu. (3) : kata-kata saja (berbicara tidak jelas, tapi kata-kata masih jelas, namun tidak dalam satu kalimat.) (2) : suara tanpa arti (mengerang) (1) : tidak ada respon 3. Menilai respon motorik (M) (6) : mengikuti perintah

(5) : melokalisir nyeri (menjangkau & menjauhkan stimulus saat diberi rangsang nyeri) (4) : withdraws (menghindar / menarik extremitas atau tubuh menjauhi stimulus saat diberi rangsang nyeri) (3) : flexi abnormal (tangan satu atau keduanya posisi kaku diatas dada & kaki extensi saat diberi rangsang nyeri). (2) : extensi abnormal (tangan satu atau keduanya extensi di sisi tubuh, dengan jari mengepal & kaki extensi saat diberi rangsang nyeri). (1) : tidak ada respon Setelah dilakukan scoring maka dapat diambil kesimpulan : (Compos Mentis(GCS: 15-14) / Apatis (GCS: 13-12) / Somnolen(11-10) / Delirium (GCS: 97)/ Sporo coma (GCS: 6-4) / Coma (GCS: 3)) Tanda rangsang meningeal Kaku kuduk : Untuk memeriksa kaku kuduk dapat dilakukan sbb: Tangan

pemeriksa ditempatkan dibawah kepala pasien yang sedang berbaring, kemudian kepala ditekukan (fleksi) dan diusahakan agar dagu mencapai dada. Selama penekukan diperhatikan adanya tahanan. Bila terdapat kaku kuduk kita dapatkan tahanan dan dagu tidak dapat mencapai dada. Kaku kuduk dapat bersifat ringan atau berat Kernig sign : Pada pemeriksaan ini , pasien yang sedang berbaring difleksikan pahanya pada persendian panggul sampai membuat sudut 90. Setelah itu tungkai bawah diekstensikan pada persendian lutut sampai membentuk sudut lebih dari 135 terhadap paha. Bila teradapat tahanan dan rasa nyeri sebelum atau kurang dari sudut 135, maka dikatakan Kernig sign positif. Brudzinski I (Brudzinskis neck sign) Pasien berbaring dalam sikap terlentang, dengan tangan yang ditempatkan dibawah kepala pasien yang sedang berbaring , tangan pemeriksa yang satu lagi sebaiknya ditempatkan didada pasien untuk mencegah diangkatnya badan kemudian kepala pasien difleksikan sehingga dagu menyentuh dada. Test ini adalah positif bila gerakan

fleksi kepala disusul dengan gerakan fleksi di sendi lutut dan panggul kedua tungkai secara reflektorik. Brudzinski II (Brudzinskis contralateral leg sign) Pasien berbaring terlentang. Tungkai yang akan dirangsang difleksikan pada sendi lutut, kemudian tungkai atas diekstensikan pada sendi panggul. Bila timbul gerakan secara reflektorik berupa fleksi tungkai kontralateral pada sendi lutut dan panggul ini menandakan test ini postif. Lasegue sign : Untuk pemeriksaan ini dilakukan pada pasien yang berbaring lalu kedua tungkai diluruskan (diekstensikan), kemudian satu tungkai diangkat lurus, dibengkokkan (fleksi) persendian panggulnya. Tungkai yang satu lagi harus selalu berada dalam keadaan ekstensi (lurus). Pada keadaan normal dapat dicapai sudut 70 sebelum timbul rasa sakit dan tahanan. Bila sudah timbul rasa sakit dan tahanan sebelum mencapai 70 maka disebut tanda Lasegue positif. Namun pada pasien yang sudah lanjut usianya diambil patokan 60.

Pemeriksaan Neurologis

Pemeriksaan Nervus Kranialis

Nervus I (Olfaktorius) Cara pemeriksaan: Periksa lubang hidung, apakah ada sumbatan atau kelainan setempat. Misalnya ingus atau polip (karena dapat mengurangi ketajaman penciuman). Gunakan zat pengetes yang dikenal sehari-hari, misalnya kopi, teh, dll (jangan menggunakan zat yang merangsang mukosa hidung seperti alkohol, cuka, dll).

Zat pengetes didekatkan ke hidung pasien dan menyuruh untuk mencium zat tersebut. Tiap lubang diperiksa satu per satu dengan cara menutup lubang hidung yang lainnya dengan tangan.

N.II : Optikus (Tajam penglihatan): Tajam penglihatan : membandingkan ketajaman penglihatan pemeriksa dengan jalan pasien disuruh melihat benda yang letaknya jauh misal jam didinding, membaca huruf di buku atau koran.

Lapangan pandang : Yang paling mudah adalah dengan munggunakan metode Konfrontasi dari Donder. Dalam hal ini pasien duduk atau berdiri kurang lebih jarak 1 meter dengan pemeriksa, Jika kita hendak memeriksa mata kanan maka mata kiri pasien harus ditutup, misalnya dengan tangannya pemeriksa harus menutup mata kanannya. Kemudian pasien disuruh melihat terus pada mata kiri pemeriksa dan pemeriksa harus selalu melihat ke mata kanan pasien. Setelah pemeriksa menggerakkan jari tangannya dibidang pertengahan antara pemeriksa dan pasien dan gerakan dilakukan dari arah luar ke dalam. Jika pasien mulai melihat gerakan jari jari pemeriksa, ia harus memberitahu, dan hal ini dibandingkan dengan pemeriksa, apakah iapun telah melihatnya. Bila sekiranya ada gangguan kampus penglihatan (visual field) maka pemeriksa akan lebih dahulu melihat gerakan tersebut. Gerakan jari tangan ini dilakukan dari semua jurusan dan masing masing mata harus diperiksa.

Refleks Pupil i. Respon cahaya langsung Pakailah senter kecil, arahkan sinar dari samping (sehingga pasien tidak memfokus pada cahaya dan tidak berakomodasi) ke arah salah satu pupil untuk melihat reaksinya

terhadap cahaya. Inspeksi kedua pupil dan ulangi prosedur ini pada sisi lainnya. Pada keadaan normal pupil yang disinari akan mengecil. ii. Respon cahaya konsensual Jika pada pupil yang satu disinari maka secara serentak pupil lainnya mengecil dengan ukuran yang sama. Pemeriksaan fundus occuli Digunakan alat oftalmoskop. Putar lensa ke arah O dioptri maka fokus dapat diarahkan kepada fundus, kekeruhan lensa (katarak) dapat mengganggu pemeriksaan fundus. Bila retina sudah terfokus carilah terlebih dahulu diskus optikus. Caranya adalah dengan mengikuti perjalanan vena retinalis yang besar ke arah diskus. Semua vena-vena ini keluar dari diskus optikus. Tes warna Untuk mengetahui adanya polineuropati pada n. optikus. Untuk mengetahui adanya polineuropati pada n. optikus.

N.III : Okulomorius (gerakam kelopak mata ke atas, kontriksi pupil, gerakan otot mata): Ptosis Pada keadaan normal bila seseorang melihat ke depan maka batas kelopak mata atas akan memotong iris pada titik yang sama secara bilateral. Ptosis dicurigai bila salah satu kelopak mata memotong iris lebih rendah dari pada mata yang lain, atau bila pasien mendongakkan kepala ke belakang / ke atas (untuk kompensasi) secara kronik atau mengangkat alis mata secara kronik pula. Gerakan bola mata Pasien diminta untuk melihat dan mengikuti gerakan jari atau ballpoint ke arah medial, atas dan bawah, sekaligus ditanyakan adanya penglihatan ganda (diplopia) dan dilihat ada tidaknya nistagmus. Sebelum pemeriksaan gerakan bola mata (pada keadaan diam) sudah dilihat adanya strabismus (juling) dan deviasi conjugate ke satu sisi. Nervus okulomotorius berperan dalam gerakan mata ke atas, atas dalam, atas luar, medial, bawah, bawah luar Pemeriksaan pupil meliputi : i. Bentuk dan ukuran pupil

ii. Perbandingan pupil kanan dan kiri iii. Refleks pupil, Meliputi pemeriksaan: 1. Refleks cahaya langsung (bersama N. II) 2. Refleks cahaya tidak langsung (bersama N. II) 3. Refleks pupil akomodatif atau konvergensi

N.IV : Trochlearis (gerakan mata ke bawah dan ke dalam): Pergerakan bola mata ke bawah dalam, gerak mata ke lateral bawah, strabismus konvergen, diplopia

(N. V) : Saraf Trigeminus

N. trigeminus terdiri dari 2 bagian yaitu bagian sensorik dan bagian motorik. Bagian motorik mengurus otot otot untuk mengunyah, yaitu : m. masseter, m. temporalis, m. pterigoideus lateralis yang berfungsi menggerakkan rahang bawah ke samping (lateral) dan membuka mulut. Rahang dapat ditarik ke belakang oleh m. temporalis. Menggerakkan rahang ke bawah ke depan terjadi oleh kontraksi m. pterigoideus laterallis dan m. pterigoideus medialis. Bila m. pterigoideus lateralis kanan lumpuh, penderitanya tidak dapat menggerakkan rahang bawahnya ke lateral kiri.

Reflex maseter merupakan reflex-regang-otot melalui porsio minor dan reflex kornea ialah reflex eksteroseptif yang jaras aferennya melalui cabang I saraf trigeminus dan jaras eferennya melalui nervus fasialis. Bagian sensorik nervus V mengurus sensibilitas dari muka melalui ketiga cabangnya, yaitu : 1. Cabang Oftalmik, yang mengurus sensibilitas dahi, mata, hidung, kening, selaput otak, sinus paranasal dan sebagian mukosa hidung 2. Cabang Maksilaris, yang mengurus sensibilitas rahang atas, gigi atas, bibir atas, pipi, palatum durum, sinus maksilaris dan mukosa hidung. 3. Cabang Mandibularis, yang mengurus sensibilitas rahang bawah, gigi bawah, bibir bawah, mukosa pipi, 2/3 anterior lidah, sebagian telinga eksternal.

Pemeriksaan meliputi; sensibilitas, motorik dan refleks 1. Sensibilitas Ada tiga cabang sensorik, yaitu oftalmik, maksila, mandibula. Pemeriksaan dilakukan pada ketiga cabang saraf tersebut dengan membandingkan sisi yang satu dengan sisi yang lain. Mula-mula tes dengan ujung yang tajam dari sebuah jarum yang baru. Pasien menutup kedua matanya dan jarum ditusukkan dengan lembut pada kulit, pasien ditanya apakah terasa tajam atau tumpul. Hilangnya sensasi nyeri akan menyebabkan tusukan terasa tumpul. Daerah yang menunjukkan sensasi yang tumpul harus digambar dan pemeriksaan harus di lakukan dari daerah yang terasa tumpul menuju daerah yang terasa tajam. Juga dilakukan dari daerah yang terasa tumpul menuju daerah yang terasa tajam. Juga lakukan tes pada daerah di atas dahi

menuju belakang melewati puncak kepala. Jika cabang oftalmikus terkena sensasi akan timbul kembali bila mencapai dermatom C2. Temperatur tidak diperiksa secara rutin kecuali mencurigai siringobulbia, karena hilangnya sensasi temperatur terjadi pada keadaan hilangnya sensasi nyeri, pasien tetap menutup kedua matanya dan lakukan tes untuk raba halus dengan kapas yang baru dengan cara yang sama. Pasien disuruh mengatakan ya setiap kali dia merasakan sentuhan kapas pada kulitnya. 2. Motorik Pemeriksaan dimulai dengan menginspeksi adanya atrofi otot-otot temporalis dan masseter. Kemudian pasien disuruh mengatupkan giginya dan lakukan palpasi adanya kontraksi masseter diatas mandibula. Kemudian pasien disuruh membuka mulutnya (otot-otot pterigoideus) dan pertahankan tetap terbuka sedangkan pemeriksa berusaha menutupnya. Lesi unilateral dari cabang motorik menyebabkan rahang berdeviasi kearah sisi yang lemah (yang terkena). 3. Refleks Pemeriksaan refleks meliputi Refleks kornea a.Langsung Pasien diminta melirik ke arah laterosuperior, kemudian dari arah lain kapas disentuhkan pada kornea mata, misal pasien diminta melirik kearah kanan atas maka kapas disentuhkan pada kornea mata kiri dan lakukan sebaliknya pada mata yang lain. Kemudian bandingkan kekuatan dan kecepatan refleks tersebut kanan dan kiri saraf aferen berasal dari N. V tetapi eferannya (berkedip) berasal dari N.VII. b.Tak langsung (konsensual) Sentuhan kapas pada kornea atas akan menimbulkan refleks menutup mata pada mata kiri dan sebaliknya kegunaan pemeriksaan refleks kornea konsensual ini sama dengan refleks cahaya konsensual, yaitu untuk melihat lintasan mana yang rusak (aferen atau eferen). Refleks bersin (nasal refleks) Refleks masseter Untuk melihat adanya lesi UMN penderita membuka mulut secukupnya (jangan terlalu lebar) kemudian dagu diberi alas jari tangan pemeriksa diketuk mendadak dengan palu refleks. Respon normal akan negatif yaitu tidak ada penutupan mulut atau positif lemah yaitu penutupan mulut ringan. Sebaliknya pada lesi UMN akan terlihat penutupan mulut yang kuat dan cepat.

(N. VI) : Saraf Abdusens Kelumpuhan lesi N. VI melumpuhkan otot rektus lateralis, jadi melirik ke arah lateral temporal terganggu pada mata yang terlibat, yang mengakibatkan diplopia horizontal. Bila pasien melihat lurus ke depan, posisi mata yang terlibat sedikit mengalami aduksi, disebabkan oleh aksi yang berlebihan dari otot rektus medialis yang tidak terganggu. Penyebab gangguan N. VI adalah : Vaskuler Trauma Tekanan tinggi intracranial Mastoiditis Meningitis Sarkoiditis Glioma di pons

Saraf ini panjang jalannya intracranial, yang membuatnya rawan terhadap gangguan. Kelumpuhan abdusen dapat terjadi pada tekanan intracranial yang tinggi dan demikian tidak mempunyai nilai lokalisasi. Pemeriksaan meliputi gerakan mata ke lateral, strabismus konvergen dan diplopia tandatanda tersebut maksimal bila memandang ke sisi yang terkena dan bayangan yang timbul letaknya horizontal dan sejajar satu sama lain.

Saraf Fasialis (N. VII)

Pemeriksaan saraf fasialis dilakukan saat pasien diam dan atas perintah (tes kekuatan otot) saat pasien diam diperhatikan : Asimetri wajah Kelumpuhan nervus VII dapat menyebabkan penurunan sudut mulut unilateral dan kerutan dahi menghilang serta lipatan nasolabial, tetapi pada kelumpuhan nervus fasialis bilateral wajah masih tampak simetrik Gerakan-gerakan abnormal (tic facialis, grimacing, kejang tetanus/rhisus sardonicus tremor dan seterusnya ). Ekspresi muka (sedih, gembira, takut, seperti topeng) - Tes kekuatan otot 1. Mengangkat alis, bandingkan kanan dan kiri. 2. Menutup mata sekuatnya (perhatikan asimetri) kemudioan pemeriksa mencoba membuka kedua mata tersebut bandingkan kekuatan kanan dan kiri. 3. Memperlihatkan gigi (asimetri) 4. Bersiul dan menculu (asimetri / deviasi ujung bibir) 5. meniup sekuatnya, bandingkan kekuatan uadara dari pipi masing-masing.

6. Menarik sudut mulut ke bawah. - Tes sensorik khusus (pengecapan) 2/3 anterior lidah Pemeriksaan dengan rasa manis, pahit, asam, asin yang disentuhkan pada salah satu sisi lidah. - Hiperakusis Jika ada kelumpuhan N. Stapedius yang melayani otot stapedius maka suara-suara yang diterima oleh telinga pasien menjadi lebih keras intensitasnya. (N. VIII) : Saraf Vestibulokokhlearis Ada dua macam pemeriksaan yaitu pemeriksaan pendengaran dan pemeriksaan fungsi vestibuler 1) Pemeriksaan pendengaran Inspeksi meatus akustikus akternus dari pasien untuk mencari adanya serumen atau obstruksi lainnya dan membrana timpani untuk menentukan adanya inflamasi atau perforasi kemudian lakukan tes pendengaran dengan menggunakan gesekan jari, detik arloji, dan audiogram. Audiogram digunakan untuk membedakan tuli saraf dengan tuli konduksi dipakai tes Rinne dan tes Weber. Tes Schwabach Pada tes ini pendengaran pasien dibandingkan dengan pendengaran pemeriksa yang dianggap normal. Garpu tala dibunyikan dan kemudian ditempatkan didekat telinga pasien. Setelah pasien tidak mendengar lagi, garpu tala ditempatkan didekat telinga pemeriksa. Bila masih terengar bunyi oleh pemeriksa, maka dikatakan bahwa schwabach lebih pendek (konduksi udara). Kemudian garpu tala dibunyikan lagi dan pangkalnya diletakkan pada tulang mastoid pasien untuk didengarkan bunyinya. Bila sudah tidak mendengar lagi maka garpu tala diletakkan di tulang mastoid pemeriksa. Bila pemeriksa masih mendengarkan bunyi maka schwabach lebih pendek (konduksi tulang). Tes Rinne Garpu tala dengan frekuensi 256 Hz mula-mula dilakukan pada prosesus mastoideus, dibelakang telinga, dan bila bunyi tidak lagi terdengar letakkan garpu tala tersebut sejajar

dengan meatus akustikus oksterna. Dalam keadaan normal masih terdengar pada meatus akustikus eksternus. Pada tuli saraf masih terdengar pada meatus akustikus eksternus. Keadaan ini disebut Rinne negatif. Tes Weber Garpu tala 256 Hz diletakkan pada bagian tengah dahi dalam keadaan normal bunyi akan terdengar pada bagian tengah dahi pada tuli saraf bunyi dihantarkan ke telinga yang normal pada tuli konduktif bunyi tedengar lebih keras pada telinga yang abnormal. 2) Pemeriksaan Fungsi Vestibuler Pemeriksaan fungsi vestibuler meliputi : nistagmus, tes romberg dan berjalan lurus dengan mata tertutup, head tilt test (dixxon Hallpike) yaitu tes untuk postural nistagmus. Tes Romberg Pada pemeriksaan ini pasien berdiri dengan kaki yang satu didepan kaki yang lainnya. Tumit kaki yang satu berada didepan jari kaki yang lainnya, lengan dilipat pada dada dan mata kemudian ditutup. Orang yang normal akan mampu berdiri dalam sikap Romberg selama 30 detik atau lebih. Tes ini berguna menilai adanya disfungsi system vestibular.

Tes Kalori Bila telinga kiri diberi air dingin timbul nistagmus ke kanan. Bila telinga kiri diberi air hangat timbul nistagmus ke kiri. Nistagmus sesuai dengan fasenya : fase cepat dan fase pelan. Bila nistagmus kekiri maka fase cepat kekiri. (N. IX) : Nervus Glosofaringeus dan (N. X) Nervus Vagus

Pemeriksaan N. IX dan N X. karena secara klinis sulit dipisahkan maka biasanya dibicarakan bersama-sama, anamnesis meliputi kesedak / keselek, kesulitan menelan (disfagia) dan disfonia (sengau). 1. Pasien disuruh membuka mulut dan inspeksi palatum, arcus faring, dengan senter perhatikan apakah terdapat pergeseran uvula, kemudian pasien disuruh menyebut aaaaaaahh. Lihat pergerakan arcus faring simetris atau asimetris. Bila terdapat parese maka palatum molle, uvula dan arkus faring sisi yang lumpuh letaknya lebih rendah dari pada yang sehat. Dan jika bergerak, uvula dan arkus seolah-olah tertarik ke bagian yang sehat. Bila terdapat parese di kedua belah pihak, maka tidak didapatkan gerakan dan posisi uvula dan arkus faring lebih rendah. 2. Refleks faring, waktu pasien membuka mulut lakukan rangsang dengan menekan ringan dinding faring / pangkal lidah dengan tong-spatel. Dalam hal ini akan terlihat faring terangkat dan lidah ditarik (reflex positif). Bila ada gangguan nervus IX dan X, reflex dapat negative. Bila rangsang tersebut dilakukan cukup keras maka akan timbul reflex muntah. Jika tidak timbul reflex muntah terdapat kerusakan nervus IX dan X. 3. Pasien disuruh berbicara agar dapat menilai adanya suara sengau (disfonia) / tidak ada suara sama sekali (afonia), terdapat lesi pada cabang N. X, yaitu nervus laringeus rekuren.

(N. XI) : Nervus Asesorius Nervus XI menginervasi m. sternokleidomastoideus dan m. trapezius. Pemeriksaan nervus asesorius pada Pada m. sternokleidomastoideus Pasien diminta untuk menoleh kekanan dan kekiri dan ditahan oleh pemeriksa di daera dagu, kemudian dilihat dan diraba tonus dari m. Sternocleidomastoideus. Kita bisa menilai kekuatan dari m. sternokleidomastoideus, bandingkan antara kanan dan kiri. Misal: pasien di minta menoleh ka kanan, kita tahan di daerah dagu, dengan demikian dapat dinilai kekuatan m. sternokleidomastoideus kiri. Kemudian pemeriksaan pada m. trapezius dengan cara meminta pasien mengangkat bahunya dan kemudian rabalah massa otot trapezius, menekan pundak pasien dan pasien diminta untuk mengangkat pundaknya. Dengan demikian dapat dinilai kekuatan otot, yang

kanan maupun kiri. Pada kelumpuhan m. trapezius bahu sisi sakit akan lebih rendah dari dari pada sisi yang sehat. Jika terdapat kelumpuhan m. trapzius satu sisi, maka kepala tidak dapat ditarik ke sisi tersebut. (N. XII): Nervus Hipoglosus Dengan adanya gangguan pergerakan lidah, maka perkataan-perkataan tidak dapat diucapkan dengan baik hal demikian disebut: dysarthri. Dalam keadaan diam lidah tidak simetris, biasanya tergeser kedaerah lumpuh karena tonus disini menurun. Pasien diminta untuk menjulurkan lidahnya, pada parese satu sisi lidah dijulurkan mencong ke sisi yang lumpuh. Jika terdapat kelumpuhan pada dua sisi, lidah tidak dapat digerakan atau dijulurkan. Kekuatan otot lidah dapat diperiksa dengan menekan lidah kesamping pada pipi dan dibandingkan kekuatannya pada kedua sisi pipi. Jika terdapat parese lidah bagian kiri, lidah tidak dapat digerakan kepipi sebelah kanan, tetapi kesebelah kiri dapat. Pada kerusakan atau parese N. XII central, jika pasien diminta menjulurkan ldahnya pada parese satu sisi hanya didapatkan lidah mencong kearah / sisi yang lumpuh. Pada kerusakan / parese N.XII perifer, selain didapatkan lidah mencong kearah / sisi yang lumpuh, ditemukan juga atrofi lidah pada sisi yang lumpuh.

Sistem motorik Kinerja motorik tergantung pada otot yang utuh, hubungan neuromuskular yg fungsional dan traktus saraf kranial & spinal yang utuh.Neuron dibagi atas Upper motorik neuron (UMN) dan Lower motorik neuron (LMN).

1. UMN ( Upper Motor Neuron )

Berasal dari korteks serebri & menjulur kebawah, satu bagian (traktus kortikobulbaris) berakhir pada batang otak dan bagian yg lainnya (traktus kortikospinalis) menyilang bagian bawah MO & terus turun ke Medula Spinalis.

2. LMN ( Low Motor Neuron )

Mencakup sel-sel motorik nuklei saraf kranial dan aksonnya serta sel-sel kornu anteriormedula spinalis dan aksonnya.serabut-serabutnya keluar melalui kurnuanterior medula spinalis atau motorik medula spinalis.

Lesi neuron Lesi UMN 1. kehilangan kontrol volunter 2. Peningkatan tonus otot 3. Tidak ada atropi otot 4. Rerfleks hiperaktif dan abnormal Lesi LMN 1. Kehilangan kontrol volunter 2. Penurunan tonus otot 3. Paralisis flaksid otot 4. Atropi otot 5. Tidak ada atau penurunan refleks Tonus dan kekuatan otot Tonus otot adalah resistensi dengan menggerakkan sendi secara pasif dan sering terganggu bila ada gangguan. Sistem saraf. Gangguan. UMN meningkatkan tonus otot dan sebaliknya.kekuatan otot diperiksa dgn membandingkan otot yang satu dgn yang lainmis; melakukan fleksi & ekstensi ekstremitas kemudian dilakukan penahanan.

KEKUATAN OTOT Dilakukan satu arah gerakan saja / sendi otot / kelompok otot tsb langsung dpt dinilai Kekuatan otot dinilai dlm derajat : 5 = normal 4 = mampu lawan gravitasi & tahanan ringan 3 = mampu lawan gravitasi & tdk tahanan ringan 2 = gerakan di sendi, tak mampu melawan gravitasi 1 = gerakan (-), kontraksi otot terasa atau teraba 0 = tak ada kontraksi sama sekali

Koordinasi dan gaya berjalan

Pengaruh

serebelum

terlihat

pada

kontrol

keseimbangan

dan

koordinasi.koordinasi tangan & ekstremitas atas di kaji dgn cara melakukan gerakan cepat, selang seling, dan uji menunjuk satu titik ke titik yang lainnya.untuk ekstremitas bawah pasien diminta meletakkan tumit pada kaki yg satu & turun perlahan kebawah daerah tibia anterior. Gaya berjalan (gait) jg dapat dinilai dengan meminta penderita berjalan dgn ayunan lengan.

Keseimbangan

Dapat diketahui dengan melakukan tes Romberg; Pasien berdiri dengan menggunakan satu kaki dgn tangan diturunkan pada sisi yang sama, sementara kaki yang satu diangkat dan tangan yang satunya dinaikan keatas, mula-mula mata terbuka kemudian tertutup 20-30 detik.

Gait Hemiplegik gait (gaya jalan dengan kaki yang lumpuh digerakkan secara sirkumduksi) Spastik/ Scissors gait (gaya jalan dengan sirkumduksi kedua tungkai) Tabetic gait (gaya jalan pada pasien tabes dorsalis) Steppage gait (gaya jalan seperti ayam jago, pada paraparese flaccid/paralisis n. peroneus) Waddling gait (gaya berjalan dengan pantat & pinggang bergoyang berlebihan khas untuk kelemahan otot tungkai proximal misal otot gluteus) Parkinsonian gait (gaya berjalan dengan sikap tubuh agak membungkuk, kedua tungkai berfleksi sedikit pada sendi lutut & panggul. Langkah dilakukan setengah diseret dengan jangkauan yang pendek-pendek)

Refleks

Refleks tendon dalam dapat ditimbulkan dengan mengetukkan palu refleks secara cepat & kuat pada tendon yg teregang sebagian kemudian berjalan disepanjang serabut aferen menuju medula spinalis kemudian bersinaps dengan neuron motorik atau neuron kornu anterior kemudian sinaps dihantarkan kebawah melalui neuron motorik radiks anterior kemudian diteruskan melalui saraf spinal & saraf perifer, setelah melampaui batas neuromuskular, otot dirangsang untuk berkontraksi. -Refleks tendon dalam/ refleks regang otot yang sering diperiksa adalah refleks biseps, refleks triseps, refleks brahioradialis, refleks patella, dan refleks archilles. -Refleks superfisial diperiksa dengan menggoreskan kulit dengan benda keras spt ujung sebuah palu refleks yang menyebabkan otot berkontraksi, refleks tersebut antara lain refleks abdominal, refleks kremaster, refleks gluteal, & refleks plantar. Refleks tendon dalam

Refleks biseps Peregangan tendon biseps pada saat siku dalam keadaan fleksi. Orang yang menguji menyokong lengan bawah dengan satu tangan sambil menempatkan jari telunjuk dengan menggunakan palu refleks. Respon normal; fleksi pada siku & kontraksi biseps. Refleks triseps Lengan pasien difleksikan pada siku & diposisikan di depan dada, pemeriksa menyokong lengan pasien & mengidentifikasi tendon triseps dengan mempalpasi 2,55 cm diatas siku.pemukulan langsung pada tendon normalnya menyebabkan kontraksi otot triseps & ekstensi siku. Refleks brahioradialis

Penguji meletakkan lengan pasien diatas meja atau disilangkan diatas perut, ketukan palu dengan lembut 2,5-5 cm diatas siku, pengkajian ini dilakukan dengan lengan dalam keadaan fleksi dan supinasi.

Refleks patella Mengetok tendon patella tepat dibawah patella dimana pasien dalam keadaan duduk atau tidur terlentang. Jika pasien terlentang pengkaji menyokong kaki untuk memudahkan relaksasi otot. Kontraksi quadriseps dan ekstensi lutut adalah respon normal.

Refleks Achilles Buat pergelangan kaki dalam keadaan rileks, kaki dalam keadaan dorsal fleksi pada pergelangan kaki dan palu diketokkan pada tendon Achilles.

Refleks superfusial

Refleks abdominalis Refleks supersuperfisial yang ada ditimbulkan oleh goresan pada kulit dinding abdomen.

Refleks plantar Ditimbulkan dengan menggores permukaan lateral telapak kaki dari tumit sampai kebantalan kaki dan melengkung kearah medial melintasi bantalan kaki, normalnya terjadi fleksi jari-jari kaki.

Refleks cremaster Cara : goresan pada kulit paha sebelah medial dari atas ke bawah Respon : elevasi testes ipsilateral

Refleks gluteal

Cara : goresan atau tusukan pada daerah gluteal Respon : gerakan reflektorik otot gluteal ipsilateral

Sistem sensorik

Sistem sensorik memegang peranan penting dalam penghantaran informasi kepada sistem saraf sentral mengenai lingkungan sekitarnya. Pada waktu memeriksa sistem sensorik, ada empat daerah yang diperiksa yaitu :Sensasi taktil, Sensasi nyeri dan suhu, Vibrasi dan propriosepsi, Merasakan posisi, Integrasi sensasi, persepsi nyeri & suhu dihantarkan oleh serabut saraf menuju ganglia radiks dorsal setelah bersinaps dalam kornu dorsalis serabut menyilang garis tengah & masuk ketraktus spinotalamikus lateralis kemudian berjalan keatas medula spinalis dan batang otak dan berakhir di talamus. 1. Sensasi taktil Dikaji dengan menyentuh lembut gumpalan kapas pada masing-masing sisi tubuh, sensivitas daerah ekstremitas bagian proksimal dibandingkan dengan bagian distal.

2. Sensasi nyeri dan suhu Nyeri superfisial dapat dikaji dengan menentukan sensivitas pasienterhadap obyek yang tajam, pasien diinstruksikan membedakan antara ujung yang tajam dgn yang tumpul. untuk suhu dengan tabung yang berisi air panas dan air dingin.

3. Vibrasi dan propriosepsi Getaran & propriosepsi ditransmisi bersama-sama pada bagian posterior medula. Getaran dapat dievaluasi melalui garpu tala frekuensi rendah(128-256 Hz)

4. Merasakan posisi Dapat ditentukan pada saat klien menutup mata klien harus mampu berdiri dengan kedua kaki rapat tanpa bergoyang-goyang atau kehilangan keseimbangan.

5. Integrasi sensasi Hal ini dapat dilakukan dengan membedakan dua titik, jika klien disentuh oleh dua obyek tajam bersamaan apakah klien mampu merasakan dua sentuhan tadi.

Refleks Patologis

Babinski Stimulus : penggoresan telapak kaki bagian lateral dari posterior ke anterior. Respons : ekstensi ibu jari kaki dan pengembangan (fanning) jari jari kaki.

Chaddock

Stimulus : penggoresan kulit dorsum pedis bagian lateral, sekitar malleolus lateralis dari posterior ke anterior. Respons : seperti babinski

Oppenheim Stimulus : pengurutan crista anterior tibiae dari proksimal ke distal Respons : seperti babinski

Gordon Stimulus : penekanan betis secara keras Respons : seperti babinski

Schaeffer Stimulus : memencet tendon achilles secara keras Respons : seperti babinski

Gonda Stimulus : penekukan ( planta fleksi) maksimal jari kaki keempat Respons : seperti babinski

Hoffman Stimulus : goresan pada kuku jari tengah pasien Respons : ibu jari, telunjuk dan jari jari lainnya berefleksi

Tromner Stimulus : colekan pada ujung jari tengah pasien Respons : seperti Hoffman

PEMERIKSAAN FUNGSI LUHUR Dengan fungsi luhur memungkinkan seseorang untuk memberikan respon atau tanggapan atas segala rangsang/stimulus baik dari luar maupun clan dalam tubuhnya sendiri sehingga dia mampu mengadakan hubungan intra maupun interpersonal. Termasuk di dalam fungsi luhur adalah: 1. Fungsi bahasa 2. 3. Fungsi memori (ingatan) Fungsi orientasi (pengenalan)

Pemeriksaan fungsi bahasa Gangguan fungsi bahasa disebut afasia atau disfasia yaitu kelainan berbahasa akibat kerusakan di otak, tetapi bukan kerusakan/gangguan persarafan perifer otot-otot bicara, artikulasi maupun gangguan penurunan inteligensia. Ada 2 jenis afasia: 1. Afasia motorik Adalah gangguan bahasa dimana penderita tidak mampu mengeluarkan isi pikirannya. - Afasia motorik kortikalis : Penderita tidak dapat mengeluarkan isi pikirannya baik secara verbal, tulisan, maupun isyarat. Letak lesi di cortex cerebri dominan. - Afasia motorik subkortikalis (afasia motorik murni) : Penderita tidak dapat mengeluarkan isi pikirannya secara verbal namun masih dapat dengan tulisan maupun isyarat. Letak lesi di subcortex hemispher dominan. - Afasia motorik transkortikalis : Penderita tidak dapat mengeluarkan isi pikirannya tetapi masih dapat membeo. Letak lesi ditranskortikalis kartek Broca dan Wernicke.

Cara pemeriksaan: Mengajak penderita berbicara mulai dari hal yang sederhana sampai hal-hal yang sukar yang pernah diketahui penderita sebelumnya. Bila tidak bisa disuruh menuliskan jawaban atau dengan isyarat. Syarat pemeriksaan: Penderita dalam keadaan sadar penuh dan bahasa yang dipakai saling dimengerti. 2. Afasia sensorik Adalah gangguan bahasa dimana penderita tidak dapat mengerti isi pikiran orang lain walaupun alat bicara dan pendengarannya baik. - Afasia sensorik kortikalis Penderita tidak dapat mengerti isi pikiran orang lain yang disampaikan balk secara verbal, tulisan, maupun isyarat. Letak lesi di area cortex Wernicke (sensorik). - Afasia sensorik subkortikalis Penderita tidak dapat mengerti isi pikiran orang lain yang disampaikan secara verbal, sedangkan tulisan dan isyarat dapat dimengerti. Letak lesi di subcortex Wernicke. - "Buta kata-kata" (word Blindness) Penderita masih mengerti bahasa verbal namun tidak lagi bahasa visual. Hal ini jarang terjadi. Cara pemeriksaan: Penderita diberi perintah untuk melakukan sesuatu tanpa contoh. Bila tidak bisa baru diberikan secara tulisan atau isyarat. Syarat pemeriksaan sama dengan afasia motorik. Gangguan bahasa lainnya 1. Apraksia Penderita tidak bisa melaksanakan fungsi psikomotor. Cara: beri perintah untuk melakukan gerakan yang bertujuan misalnya membuka kancing baju,dll. 2. Agrafia Penderita tidak bisa menulis lagi (tadinya bisa). Cara: beri perintah untuk menuliskan kata-kata yang didiktekan. 3. Alexia Penderita tidak bisa lagi mengenali tulisan yang pernah dikenalnya. Cara: beri perintah untuk membaca tulisan atau kata-kata yang pernah dikenalnya. 4. Astereognosia Penderita tidak bisa mengenali bentuk benda dengan cara meraba. Cara: dengan mata tertutup penderita disuruh menyebutkan benda dengan cara merabanya. 5. Abarognosia Penderita tidak mampu menaksir berat benda yang berada di tangannya (perabaan). Cara: penderita disuruh menaksir berat benda yang berada di tangannya. 6. Agramesthesia Penderita tidak bisa rnengenal tulisan yang dituliskan di badannya. Cara: penderita disuruh menyebutkan kata-kata yang dituliskan di badannya dengan mata tertutup. 3. Asomatognosia Penderita tidak mampu menunjukkan bagian-bagian tubuhnya kiri atau kanan.

Pemeriksaan fungsi memori Secara klinis gangguan memori (daya mengingat) ada 3 yaitu: 1. Immediate memory (segera) 2. 3. Short term memory/recent memory (jangka pendek) Long term memory/remote memory (jangka panjang)

Cara pemeriksaan : 1. Immediate memory Yaitu daya mengingat kembali suatu stimulus yang diterima beberapa detik lalu seperti mengingat nomor telepon yang baru saja diberikan. Cara: penderita disuruh mengulang deret nomor yang kita ucapkan. Seperti di bawah ini: (disebut digit span) 3-7 2-4-9 8-5-2-7 2-8-6-9-3 5-7-1-9-4-6 8-1-5-9-3-6-7 dikatakan masih normal jika seseorang dapat mengulang sebanyak 7 digit. Recent memory

2.

Yaitu daya mengingat kembali stimulus yang diterima beberapa menit, jam, hari yang lalu. Cara: penderita disuruh menceritakan pekerjaan/peristiwa yang dikerjakan/dialami beberapa menit/jam/hari yang lalu. 3. Remote memory Yaitu daya mengingat kembali stimulus atau peristiwa yang telah lama berlalu (bertahuntahun). Cara: penderita disuruh menceritakan pengalaman atau teman-teman masa kecilnya. (Tentunya pemeriksa telah mendapat informasi sebelumnya). Ketiga pemeriksaan di atas adalah untuk audio memory (yang didengar) sedangkan memori yang dilihat (visual memory) dapat diperiksa sebagai berikut. Cara: penderita disuruh mengingat nama-nama benda yang diperlihatkan kepadanya kemudian benda - benda tersebut disimpan. Beberapa waktu kemudian penderita disuruh mengulang nama-nama benda tersebut. Pemeriksaan fungsi orientasi Secara klinis pemeriksaan orientasi ada 3 yaitu: Personal, tempat, waktu Cara: penderita disuruh mengenali orang-orang yang berada di sekitarnya yang memang dikenalnya (seperti istrinya, anak, teman, dll), Penderita juga disuruh mengenali tempat dimana ia berada atau tempat-tempat lainnya. Penderita juga disuruh menyebutkan waktu/saat penderita diperiksa seperti siang/malam/sore. Catatan:

Kesemua pemeriksaan fungsi luhur ini baru dapat diperiksa pada penderita yang mempunyai kesadaran penuh atau baik dan tidak mengalami gangguan mental, kemunduran inteligen maupun kerusakan organ-organ atau persarafan perifer yang terkait. Harus diingat bahwa pemeriksaan fungsi luhur adalah pemeriksan fungsi-fungsi cortex cerebri yang terkait. o Pemeriksaan status mental mini (MMSE) MMSE merupakan bagian penting dari setiap pemeriksaan neurologis. Pemeriksaan ini meliputi evaluasi kualitas dan kuantitas kesadaran, perilaku, emosi, isi pikir, kemampuan intelektual dan sensorik. Bagian paling sensitif dan penting adalah orientasi waktu, daya ingat, dan urutan angka. MMSE diperkenalkan sebagai pemeriksaan standar fungsi kognitif dalam segi klinis maupun penelitian. Penilaian MMSE sangat mudah, nilai maksimum adalah 30. Nilai kurang dari 24 ditafsirkan sebagai demensia. Tabel Pemeriksaan status mini mental (MMSE) No. Tes ORIENTASI 1 2 3 Sekarang (tahun), (musim),(bulan), (tanggal), hari apa? Kita berada dimana? (Negara, propinsi, kota, rumah sakit, lantai/kamar) REGISTRASI Sebutkan 3 buah nama benda (apel, meja, atau koin), setiap benda 1 detik, pasien disuruh mengulangi ketiga nama benda tadi. Nilai 1 untuk setiap nama benda yang benar. Ulangi sampai pasien dapat menyebutkan dengan benar dan catat jumlah pengulangan 3 5 5 Nilai maks

ATENSI DAN KALKULASI 4 Kurangi 100 dengan 7. Nilai 1 untuk tiap jawaban yang benar. Hentikan setelah 5 jawaban. Atau disuruh mengeja terbalik kata WAHYU (nilai diberi pada huruf yang benar sebelum kesalahan; misalnya uyahw = 2 nilai) MENGINGAT KEMBALI (RECALL) Pasien disuruh menyebut kembali 3 nama benda di atas BAHASA 6 7 8 Pasien disuruh menyebutkan nama benda yang ditunjukkan (pensil, buku) Pasien disuruh mengulang kata-kata namun, tanpa, bila Pasien disuruh melakukan perintah: ambil kertas ini dengan tangan anda,lipatlah menjadi dua dan letakkan di lantai 2 1 3 5

9 10 11

Pasien disuruh membaca dan melakukan perintah pejamkanlah mata anda Pasien disuruh menulis dengan spontan Pasien disuruh menggambar bentuk dibawah ini

1 1 1

TOTAL Skor Nilai 24-30 = normal Nilai 17-23 = gangguan kognitif probable Nilai 0-16 = gangguan kognitif definit

30

Tabel skor median pada MMSE berdasarkan usia dan tingkat pendidikan

PEMERIKSAAN FUNGSI VEGETATIF Yang terpenting adalah pemeriksaan miksi, yaitu dengan cara: anamnesis dan pemeriksaan. Anamnesis : Apakah miksi spontan, disadari, bisa ditahan atau tidak, keluar terus-menerus atau sekali keluar sekali berhenti atau tidak dapat keluar sama sekali. Pemeriksaan: Tekan vesica urinaria untuk menentukan apakah penuh atau tidak

Observasi ujung urethra eksterna, basah terus atau tidak Tekan vesica urinaria apakah terjadi pengosongan urine, lalu lakukan catheterisasi untuk

menentukan rest urine Macam-macam kelainan miksi: 1. 2.

Inkontinensia urine

Suatu keadaan dimana urine keluar terus-menerus secara menetes, Retensio urin Suatu keadaan dimana urine tidak dapat keluar baik secara disadari atau tidak, sedangkan vesica urinaria penuh. Automatic bladder Suatu keadaan diman urine dapat dikeluarkan dengan adanya gaya berat atau rangsangan pada os pubis dan lipatan inguinal. Atonic bladder Suatu keadaan dimana urine dapat dikeluarkan dengan menekan supra pubis. Residual urine pada keadaan ini lebih banyak dari automatic bladder.

3.

4.

DAFTAR PUSTAKA 1. Baehr, M. dan M. Frotscher. Diagnosis Topik dan Neurologi DUUS, Anatomi Fisiologi Tanda Gejala. Jakarta: EGC. 2010. 2. Bickley, Lynn; Szilagui, Peter (2007). Bates' Guide to Physical Examination and History Taking (9th ed.). Lippincott Williams & Wilkins. ISBN 0-7818-6718-0.

3. Campbell, William W. 2005. DeJong's The Neurologic Examination, 6th Edition. Lippincott Williams & Wilkins. 4. Lumbantobing, S.M. Neurologi Klinik, Pemeriksaan Fisik dan Mental. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2011.

Anda mungkin juga menyukai