Anda di halaman 1dari 261

PERISTIWA BERDARAH DI KEDIAMAN KHALIFAH

oleh Rimbun Natamarga (Catatan) pada 8 Juli 2013 pukul 22:47

*Artikel ini adalah salah satu bagian naskah yang tidak jadi dimuat dalam buku Syiah di

Indonesia: Sejarah, Jaringan, Pengaruh (Bandung: Toobagus Publishing. 2012)


Jauh-jauh hari, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam telah mengabarkan kepada sejumlah sahabatnya tentang perpecahan yang akan melanda umatnya. Abdullah bin Masud, Abu Hurairah, Abdullah bin Amr radhiyallahu anhum adalah beberapa orang di antara mereka yang sempat menyampaikan kembali kabar Rasulullah itu. Abdullah bin Masud radhiyallahu anhu, misalnya, bercerita, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam membuat sebuah garis. Kemudian ia berkata, 'Ini adalah jalan Allah.' Setelah itu, Rasulullah membuat garis-garis lain di sebelah kanan dan kiri garis itu. Ia pun kembali berkata, 'Ini semua adalah jalan-jalan lain. Di atas jalan-jalan yang banyak itu akan ada setan yang mengajak untuk menempuhnya.' Setelah itu, Rasulullah membaca (ayat ke-153 Surat AlAnam yang artinya), 'Dan bahwa inilah jalanKu yang lurus, maka ikutilah dia dan jangan kalian

mengikuti jalan-jalan (yang lain). Sebab jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan Allah'(Q.S.
Al-An'am: 153)." [HR. Ahmad dan Ibnu Majah, disahihkan oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani] Jalan-jalan yang banyak itu disinggung dalam riwayat sahih dari Abu Hurairah. Kata Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernahbersabda, Umat Yahudi telah terpecah menjadi 71 golongan. Umat Nasrani telah terpecah menjadi 72 golongan. Dan akan terpecah umatku nanti menjadi 73 golongan." [H.R. Abu Dawud nomor 4598 dan disahihkan oleh Syaikh Muhammad Al-Albani] Demikian pula dalam riwayat yang berasal dari Abdullah bin Amr bin Ash radhiyallahu 'anhuma. Di situ, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Akan terjadi pada umatku nanti apa yang pernah terjadi pada Bani Israil setapak demi setapak. Sampai-sampai, jika salah seorang dari Bani Israil ada yang mencampuri ibunya, maka di tengah umatku pasti ada yang akan menirunya. Sesungguhnya, Bani Israil akan terpecah menjadi 72 golongan. Adapun umatku, mereka akan terpecah menjadi 73 golongan, semuanya di Neraka kecuali satu golongan saja." Para sahabat Rasulullah bertanya, "Siapa golongan yang satu itu, Rasulullah?". Rasulullah menjawab, "(Golongan yang selamat itu adalah) apa yang aku dan para sahabatku ada di atasnya."[H.R. AtTirmidzi nomor 2641 dan Syaikh Muhammad Al-Albani berkata, "Hadits ini berderajat Hasan."]

Segala jalan dan golongan yang dimaksud itu, ternyata, belum akan muncul sebelum Umar bin Khaththab radhiyallahu anhu ditikam oleh Abu Luluah, seorang budak Majusi. Hudzaifah bin Al Yaman radhiyallahu anhumayang sering diberitahu Rasulullah secara khusus tentang berbagai rahasia termasuk tentang kejadian-kejadian di masa depanpernah menyampaikannya, sebagaimana yang diriwayatkan kembali dalamShahih Al-Bukhari dengan nomor hadits 7096 dan Shahih

Muslim dengan nomor hadits 144 dan 231. Berikut ini adalah redaksi percakapan antara Khalifah
Umar dan Hudzaifah yang kemudian disampaikan ke salah seorang sahabat Hudzaifah. Ketika kami sedang duduk-duduk bersama Umar, kata Hudzaifah, tiba-tiba iaradhiyallahu

anhu bertanya, 'Siapa di antara kalian yang menghapal sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tentang fitnah?'.
Fitnah, jawab Hudzaifah, yang itu menimpa seseorang di keluarga, harta, anak dantetangganya

bisa terhapuskan oleh shalat, sedekah, dan amar ma'ruf nahi mungkar. 'Bukan tentang itu yang aku maksudkan kepadamu, balas Umar. Akan tetapi tentangfitnah yang bergelombang-gelombang seperti gelombang lautan.
Fitnah yang seperti itu, wahai Amirul Mukminin, tidak akan menimpa dirimu, sebabada pintu yang

tertutup antara engkau dan fitnah itu. Apakah pintu itu, tanya Umar, akan didobrak atau dibuka nanti?
Didobrak, malah!

Kalau begitu, tidak akan ditutup lagi.


Betul, jawab Hudzaifah. Syaqiq bin Salamah yang tahu pembicaraan Umar dengan Hudzaifah itu bertanya langsung kepada Hudzaifah, Apakah Umar tahu pintu itu?.

Ya, jawab Hudzaifah. Seperti ia tahu bahwa sehabis siang pasti akan ada malam. Syaqiq dan beberapa orang temannya segan untuk bertanya lagi tentang pintu yang dimaksud. Akhirnya, mereka menyuruh Masruq bin Al-Ajda untuk bertanya tentang siapa yang
dimaksud pintu itu kepada Hudzaifah radhiyallahu anhu.

Mereka kemudian mendapatkan jawaban. Kata Hudzaifah waktu itu, Umar. Kematian Umar radhiyallahu anhu pada tahun 12 H menjadi penanda akan munculnya perpecahan di tengah umat Muhammad setelah itu. Akan tetapi, menjadi semacam gerbang untuk perpecahan yang akan melanda terus-menerus adalah pembunuhan Khalifah Utsman bin Affan radhiyallahu anhu. Utsman memegang kekhilafahan selama sebelas tahun sebelas bulan tujuh belas hari atau yang sering dibilang selama dua belas tahun. Ia radhiyallahu anhu dibaiat sebagai khalifah pada awal tahun 24 H, berdasarkan keputusan Majelis Syura yang telah ditunjuk oleh Khalifah Umar sebelum wafat. Mereka yang tergabung dalam majelis itu adalah Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Ab durrahman bin Auf, Zubair bin Awwam, Thalhah bin Ubaidillah, dan Saad bin Abi Waqqash radhiyallahu anhum. Selama beberapa hari, mereka dipimpin Abdurrahman untuk menentukan khalifah selanjutnya. Setelah terpilih Utsman,disaksikan Abdurrahman yang duduk di atas mimbar Rasulullah, Ali radhiyallahu anhuadalah orang yang pertama kali berbaiat. Selama pemerintahannya, usaha penaklukan-penaklukan terus dilakukan Khalifah Utsman. Sampai 33 H, dua tahun sebelum khalifah terbunuh, pasukan-pasukan khalifah terus bergerak lebih jauh ke dalam wilayah Romawi di Syam, wilayah sebelah timur Persia, dan wilayah Afrika Utara. Salah satu pasukan itu, bahkan, sempat pula masuk menyerbu ke ujung Semenanjung Iberia yang sekarang dihuni oleh Spanyol dan Portugal. Penaklukan sekaligus penyebaran Islam itu diiringi pula dengan kemajuan di bidang agama. Pada masa pemerintahan Utman, usaha kodifikasi Al-Quran yang telah dimulai Khalifah Abu Bakar menemui momentumnya ketika Utsman berinisiatif menyalin, menyebarkan dan menyeragamkan tulisan-tulisan Al-Quran. Dengan langkah itu, Khalifah Utsman telah membantu banyak kaum muslimin waktu itu untuk membaca dan mempelajari Al-Quran seperti sekarang ini. Meski demikian, seperti yang pernah dikabarkan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, ada orangorang yang akan memaksa mengambil kekuasaan dari Utsman. Dengan pembunuhan itulah, Utsmanseperti yang dikatakan Rasulullahakan mendapatkan syahid. Imam At-Tirmidzi pernah meriwayatkan sebuah hadits sahih dari Aisyahradhiyallahu anha. Dalam hadits itu, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berkata kepada Utsman bin Affan radhiyallahu

anhu, Wahai Utsman, sungguh, mudah-mudahan Allah akan memakaikan kepadamu gamis. Maka,

jika mereka hendak melepaskan gamis itu darimu, janganlah kau lepaskan untuk mereka. [HR. AtTirmidzi dan disahihkan oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani] Gamis itu adalah kiasan untuk kekuasaan. Rasulullah telah memerintahkan Utsman untuk tidak menyerahkan kekuasaan yang ada padanya kelak kepada orang-orang yang menginginkannya. Untuk usaha itu, jika mengakibatkan Utsman kehilangan nyawa, maka diganjar syahid dan, memang, Rasulullah telah jauh-jauh hari mengabarkan para sahabatnya bahwa Utsman adalah seorang syahid. Jaminan itu disebutkan dalam sebuah riwayat sahih dari Anas bin Malik radhiyallahu anhu. Ketika Abu Bakar, Umar dan Utsman sedang berada di atas Gunung Uhud bersama Rasulullah, tiba-tiba pijakan mereka bergetar. Rasulullah segera berkata, Diam, Uhud. Yang ada di atasmu sekaran g hanya nabi, seorang yang shiddiq, dan dua orang yang syahid. [HR. At-Tirmidzi nomor dan disahihkan oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani] Dapat dikatakan, di antara sebab yang paling kentara pembunuhan Khalifah Utsman bin Affan adalah kekurangpahaman atau bahkan ketidaktahuan sejumlah orang yang baru masuk Islam tentang keutamaan para sahabat Rasulullah radhiyallahu anhumsecara umum dan keutamaan Khalifah Utsman bin Affan radhiyallahu anhu secara khusus. Ini adalah sebab yang paling sering disebut oleh sejarawan-sejarawan muslim dari dulu, seperti Ibnul Arabi, Abu Yala Al-Fara, Ibnu Katsir, dan AdzDzahabirahimahumullah jamian. Orang-orang yang merongrong kekuasaan Utsman itu dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok. Masing-masing kelompok saling memengaruhi dalam usaha mereka untuk menjatuhkan kekuasaan Utsman. Pertama adalah orang-orang yang baru masuk Islam dari bekas wilayah Kerajaan Romawi dan Persia. Mereka banyak mendiami daerah-daerah di Irak dan Iran sekarang. Semula, mereka adalah para pemeluk Zoroastrianisme dan Yudaisme yang dipaksa masuk Islam. Kedua adalah para pembaca Al-Quran yang ada di sejumlah kota Islam. Sebagian besar mereka adalah orang-orang Arab yang menjumpai beberapa sahabat Rasulullah dan mengenal Islam dari mereka. Orang-orang kelompok kedua ini dikenal sebagai orang-orang yang gemar dan larut dalam beribadah. Mereka baru masuk Islam pada masa pemerintahan tiga khalifah setelah Rasulullah. Ketiga adalah anggota-anggota kabilah Arab yang baru masuk Islam pasca perang melawan orangorang murtad pada masa pemerintahan Abu Bakar Ash-Shiddiq. Anggota-anggota kabilah tersebut masuk Islam dan segera bergabung dalam pasukan-pasukan khalifah untuk menaklukkan daerahdaerah Romawi dan Persia.

Kelompok-kelompok itu mulai membuat ulah sekitar tahun 33 H, dua tahun sebelum pembunuhan Utsman. Pergerakan mereka pertama kali terlihat di kota Kufah, Irak. Waktu itu, mereka melakukan protes di depan khalayak umum terhadap kebijakan-kebijakan Utsman dan gubernur di tempat itu, Said bin Al-Ash. Tindakan itu mereka lakukan semata-mata untuk amar maruf nahi mungkar. Diusir ke wilayah Syam, mereka kemudian menyebarkan protes mereka ke sejumlah kota-kota Islam yang lain. Bashrah menjadi kota lain di luar Kufah yang terpengaruh. Dalam protes itu, selain menggugat, mereka juga mencela sahabat-sahabat Rasulullah dari Suku Quraisy dan melupakan hakhak pemimpin kaum muslimin. Di antara tokoh-tokoh mereka adalah Kumail bin Ziyad, Malik bin Harits atau dikenal dengan Asytar An-Nakhai, Shashaah bin Shauhan Al-Abdi, Amr bin Al-Hamq Al-Khuzai. Mereka adalah orang-orang Kufah, sebagaimana disebutkan Ibnu Katsir dan Abu Yala Al -Fara. Di Syam, mereka kembali diusir oleh gubernur setempat, Muawiyah bin Abi Sufyan radhiyallahu

anhuma. Mereka kemudian pergi ke daerah lain, sampai akhirnya kembali ke Kufah. Pada saat yang
sama, yakni tahun 33 H itu, Khalifah Utsman mengusir orang-orang Bashrah yang terpengaruh ke Mesir. Mesir pun bergolak. Semula, gubernur setempat, Amr bin Al-Ash radhiyallahu anhu dapat mengawasi mereka. Akan tetapi, selepas masa jabatannya, orang-orang usiran dari Bashrah itu mulai membuat ulah. Bahkan, mereka mencoba mengadu-domba antara gubernur baru mereka dan Amr bin Al-Ash. Pada Rajab 35 H, pengaruh dari orang-orang Bashrah telah besar dan menggerakkan sekitar 600 orang Mesir untuk datang ke Madinah. Menghadapi mereka, Utsman meminta Ali radhiyallahu

anhuma untuk berbicara baik-baik dengan mereka di luar Madinah dan menyuruh mereka kembali ke
tempat asal mereka.

Dalam pembicaraan itu, Ali yang tahu letak permasalahan sebenarnya membantah segala argumen mereka. Tidak sampai di situ, Ali balik mengecam mereka dan maksud yang mendorong mereka datang ke Madinah. Ada banyak tuntutan yang diajukan rombongan itu kepada Ali. Ibnu Katsir, dalam Al-Bidayah wa An-

Nihayah, menyebutkan beberapa tuntutan yang dimaksud.

Kepada Ali, mereka mengatakan, Utsman telah melarang untuk menyembelih unta. Utsman juga membakar mushaf, tidak meng-qashar shalat dalam safar. Utsman menempatkan orang-orang yang masih muda sebagai gubernur dan mengistimewakan Bani Umayyah di atas yang lain. Ali kemudian menjawab, Utsman melarang untuk menyembelih unta yakni unta dari hasil zakatkarena menunggu unta itu

gemuk. Utsman membakar mushaf-mushaf itu agar hilang segala perbedaan yang ada sekaligus menetapkan mushaf yang disepakati sesuai bacaan Rasulullah ketika dibacakan Jibril. Utsman juga tidak meng-qashar shalat (di Mina, Makkah) karena memiliki keluarga di sana. Karena itu, Utsman menyempurnakan bilangan shalatnya. Utsman pun tidak mengangkat seorang gubernur yang berusia muda kecuali orang yang lurus dan adil. Rasulullah sendiri pernah mengangkat Ittab bin Usaid yang masih berumur 20-an tahun sebagai gubernur Makkah. Beliau shallallahu alaihi wa sallam juga pernah mengangkat Usamah bin Zaid radhiyallahu anhuma yang masih muda, sampai -sampai beberapa orang sahabat ada yang mengkritiknya. Adapun kebijakan Utsman yang mengistimewakan Bani Umayyah, maka Rasulullah pun pernah mengistimewakan orang-orang Quraisy (di atas yang lain).
Dengan jawaban Ali itu, dan juga jawaban langsung dari Utsman kepada beberapa utusan rombongan, mereka akhirnya pulang ke negeri asal mereka. Mereka kembali tanpa membawa hasil apa-apa. Khalifah Utsman secara khusus memberikan penjelasan kepada beberapa orang dari mereka. Setelah diterangkan secara gamblang dan diruntuhkan segala keragu-raguan mereka, orang-orang dari Mesir itu dimaafkan dan disuruh pulang ke Mesir. Akan tetapi, itu tidak berlangsung lama. Pada bulan Syawal tahun yang sama, gelombang orangorang protes datang kembali ke Madinah. Kali ini, yang datang tidak hanya dari Mesir, tetapi juga dari Kufah dan Bashrah. Ternyata, sepulang rombongan pertama dari Madinah, telah terjadi korespondensi yang intens antara mereka. Dalam surat-surat yang mereka kirimkan, nama-nama sahabat Rasulullah mereka bawa-bawa. Ali, Thalhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam, bahkan Aisyah adalah nama-nama yang sering mereka catut untuk dibenturkan dengan Utsman. Keadaan makin memanas tanpa terkendali. Kedatangan yang kedua ini tidak lagi sekedar membawa protes. Mereka telah juga membawa tuntutan untuk menggantikan kepemimpinan kaum muslimin saat itu dengan pemimpin-pemimpin yang mereka inginkan. Rombongan dari Mesir, misalnya, mereka ingin Utsman digantikan Ali sebagai

khalifah. Rombongan Bashrah ingin agar Thalhah yang menggantikannya. Adapun rombongan Kufah, mereka menginginkan Zubair sebagai khalifah pengganti. Para penduduk Madinah tidak mengizinkan mereka masuk. Rombongan-rombongan hanya bisa bergerak lambat mendekati Madinah. Mencoba mengirim utusan-utusan untuk menemui Ali, Thalhah dan Zubair, mereka hanya mendapati kenyataan bahwa ketiga sahabat Rasulullah itu masing-masing menyemburkan kemarahan besar dan balik mengusir utusan-utusan tersebut. Setelah pura-pura pergi sehabis diusir oleh Ali-Thalhah-Zubair, rombongan-rombongan itu tiba-tiba muncul di Madinah. Pada awalnya, mereka hanya mengepung Madinah, namun setelah itu mereka mulai merangsek mengepung rumah Khalifah Utsman. Pengepungan itu berlangsung berhari-hari. Puncak pengepungan terjadi ketika para pengepung itu tidak membiarkan Utsman keluar dari rumahnya, bahkan untuk shalat berjamaah sekalipun. Utsman sendiri tidak membela dirinya. Ia tidak memerintahkan tentara-tentaranya menghalau para pengepung itu. Tidak pula ia meminta bantuan kepada 700-an orang sahabat Rasulullah dari kalangan Muhajirin dan Anshar yang ada di Madinah waktu itu. Sebaliknya, para sahabat Rasulullah itu menawarkan bantuan kepada Utsman membela dan melindunginya sekaligus mengusir para pengepung ke luar Madinah. Utsman berusaha bersabar, seperti yang dijanjikannya kepada Rasulullah dulu. [A]ku telah berjanji kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, kata Utsman, akan bersabar dengan fitnah ini. Aku tidak mau menjadi khalifah Rasulullah yang pertama kali menumpahkan dari di tengah umatnya. Utsman menolak tawaran-tawaran itu dengan jawabannya ini. Karena sikap Utsman seperti itu, sejumlah sahabat hanya dapat memerintahkan putra-putra mereka menjaga dan mengawal rumah Utsman. Ali menyuruh Hasan dan Husen, sedangkan Zubair menyuruh Abdullah bin Zubair radhiyallahu anhum. Thalhah pun tidak ketinggalan, ia menyuruh putra sulungnya, Muhammad As-Sajjad, untuk ikut mengawal. Adapun Abu Hurairah dan Abdullah bin Umar radhiyallahu anhuma, mereka berdua mengambil inisiatif sendiri untuk datang ke rumah Utsman dan menjaganya dari para pengepung. Akan tetapi, itu tidak berlangsung lama. Di hari terbunuhnya, Utsman memerintahkan mereka untuk pulang masing-masing ke rumah. Kepada para sahabat Rasulullah itu, Utsman berkata, Aku bersumpah, hendaklah mereka yang memiliki kewajiban menaatiku untuk menahan diri-diri mereka dan kembali ke rumah masing-masing.

Demikian pula kepada keluarganya. Kepada budak-budaknya, Utsman berkata di hari itu, Siapa saja yang menyarungkan pedangnya, maka ia merdeka. Malam sebelum terbunuhnya, Utsman bermimpi bertemu Rasulullah dan diberitahu jika esoknya ia akan menyusul Rasulullah, Abu Bakar dan Umar. Utsman akhirnya terbunuh pada hari itu, Jumat tanggal 18 Dzul Hijjah tahun 35 H, dalam keadaan berpuasa dan sedang membaca Al-Quran tanpa melawan sama sekali. Ia radhiyallahu

anhu terkepung di rumah sendiri sejak awal bulan Dzul Qadah, sekitar dua bulan kurang. Akan
tetapi, ada juga yang berpendapat bahwa pengepungan itu terjadi lebih dari 40 hari. Kematian Utsman itu menggoncang Madinah. Penduduk Madinah tidak menyangka, dan memang baru kali itu, di salah satu tanah suci Islam pemimpin mereka dibunuh oleh rakyatnya sendiri yang mereka itu adalah orang-orang Islam juga. Umar, kita tahu, dibunuh oleh seorang budak non muslim yang tinggal di Madinah. Wajar, jika para sahabat Rasulullah banyak yang tidak memercayai terbunuhnya Utsman itu. Ali, misalnya, ketika mendengar peristiwa itu, berkata, Betul-betul telah hilang akalku ketika kudengar Utsman terbunuh. Aku seolah-olah tidak memercayai diriku lagi. Aisyah radhiyallahu anha betulbetul merasakan pilu yang mendalam karena terbunuhnya Utsman itu. Jika mengingat peristiwa pembunuhan itu, Aisyah menangis sampai-sampai kerudungnya basah karena air tangisannya itu.[]

APA DAN SIAPA KELOMPOK SYIAH


oleh Rimbun Natamarga (Catatan) pada 8 Juli 2013 pukul 9:25

PENGERTIAN SECARA BAHASA Semula, kata syiah (dengan s kecil) memiliki arti pendukung atau pengikut. Prinsipnya, seperti disebutkan Ibnu Manzhur dalam Lisanul Arab, dikatakan syiah jika ada orang-orang yang sama-sama bersepakat di atas satu hal; mereka satu pendapat, satu pemikiran, dan tidak saling bertentangan. Masing-masing mereka saling membantu dan membela. Bentuk plural kata syiah adalah syiya. Jika diterjemahkan ke dalam bahasa kita, syiya lebih pas diartikanberkelompok-kelompok atau bergolong-golongan. Dalam bentuk seperti ini, menurut AlAzhari masih dalamLisanul Arab, masing-masing kelompok itu tidak akur satu sama lain. Mereka memiliki pandangan masing-masing yang karena itu, sering kali, menampik kelompok lain. Dalam Al-Quran, ada beberapa tempat yang menunjuk kepada makna terakhir itu. Ayat ke -65 dan ke-159 Surat Al-Anam, ayat ke-32 Surat Ar-Rum, dan ayat ke-4 Surat Al-Qashash, kita dapat lihat, adalah tempat-tempat yang Allah taala menggunakan kata syiya untuk melukiskan sebab dan ihwal perpecahan pada umat manusia. Dengan kata lain, syiya digunakan dalam maknanya yang negatif.

Syiya juga dapat diartikan sebagai umat-umat dalam ayat ke-10 Surat Al-Hijr ketimbang golongangolongan, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Katsir dalam Tafsir Al-Quran Al-Azhim. Demikian pula
dalam ayat ke-69 Surat Maryam. Ibnu Katsir kembali membahasakannya sebagai umat.

Syiah, bentuk singular dari syiya, muncul lagi dalam ayat ke-15 Surat Al-Qashash dan ayat ke-83
Surat Ash-Shaffat. Jika diindonesiakan, ayat ke-15 Surat Al-Qashash itu berbunyi,

Dan Musa masuk ke kota ketika penduduknya sedang lengah. Ia pun mendapati di kota itu dua orang laki-laki yang sedang berkelahi. Salah seorang mereka adalah golongannya (Bani Israil), sedangkan yang seorang lagi dari golongan musuhnya (golongan Fir'aun). Maka orang yang dari golongannya meminta pertolongan kepadanya untuk mengalahkan musuhnya. Musa lalu memukulnya dan matilah ia. Musa berkata, Ini adalah perbuatan setan. Sungguh, setan itu adalah musuh yang sesat lagi nyata. (QS. Al-Qashash: 15)
Sementara ayat ke-83 Surat Ash-Shaffat, berbunyi, Dan sejatinya, Ibrahim itu benar-benar termasuk golongannya (QS. Ash-Shaffat: 83). Maksud golongannya dalam ayat terakhir ini adalah golongan

Nabi Nuh alaihi as-salam, sebab ayat-ayat sebelum itu berbicara tentang kisah Nabi Nuh alaihi assalam dan umatnya.

Sebagai catatan, jika Ibnu Katsir mengartikan min syiatihi sebagai di atas jalan dan

agama Nuh alaihis salam, maka Ibnu Ash-Shamad Al-Andalusidalam Mukhtashar Tafsir AthThabarilebih memilih untuk mengartikan min syiatihi itu sebagai termasuk para pengikut Nuh alaihi as-salam. Dengan demikian, kita bisa bandingkan, kedua arti itu tidak bertolak-belakang.

SYIAH PERTAMA DAN SYIAH BELAKANGAN Dalam Asy-Syiah wa At-Tasyyayu, Dr. Ihsan Ilahi Zhahir menulis, istilah syiah dipakai pertama kali dalam sejarah Islam dengan arti sebenarnya, pendukung atau pengikut. Tepatnya, pemakaian istilah itu banyak terkait dengan peristiwa politik pasca terbunuhnya Khalifah Utsman bin Affan radhiyallahu

anhu.
Waktu itu, sebagian besar kaum muslimin yang ada terbagi menjadi dua kelompok. Pertama, mereka yang mendukung kepemimpinan Khalifah Ali bin Abi Thalib yang dibaiat oleh kaum muslimin untuk menggantikan kepemimpinan Utsman bin Affan. Kedua, mereka yang menuntut adanya qishash atas pembunuhan Utsman bin Affan dan karena itu belum mau berbaiat terhadap kepemimpinan Ali bin Abi Thalib. Pada akhirnya, kelompok pertama dikenal sebagai sebagai para pendukung dan pembela Khalifah Ali bin Abi Thalib atau Syiah Ali, Al-Alawiyah. Demikian pula dengan kelompok kedua, mereka disebut sebagai Syiah Auliya Utsman, Al-Utsmaniyah. Jadi, syiah adalah pendukung, pembela atau bahkan dikatakan juga sebagai simpatisan terhadap salah satu dari dua kekuatan politik yang ada. Dalam hal ini, contoh paling bagus adalah Abu Thufail Amir bin Watsilah Al-Kinani AlHijazi radhiyallahu anhu. Melihat Rasulullah ketika Haji Wada, Abu Thufail dikenal dalam sejarah sebagai sahabat Rasulullah yang paling terakhir hidup di dunia. Terkait profil Abu Thufail, dalam Siyar Alam An-Nubala, Adz-Dzahabi mengatakan, [Abu Thufail] termasuksyiah Imam Ali. Memang, ketika terjadi perselisihan antara Ali dan Muawiyah radhiyallahu

anhuma, Abu Thufail termasuk sahabat-sahabat Rasulullah yang memihak dan membela Ali.
Arti seperti itu mulai bergeser. Dari yang semula bermuatan politis, syiah dikenakan pada pandangan tertentu terhadap Ali bin Abi Thalib. Pada titik ini, syiah mulai menjadi sebuah nama kelompok dengan doktrin dan ideologi (baca: akidah) tertentu di tengah kaum muslimin waktu itu. Yang hendak diperikan di sini adalah dalam maknanya sebagai sebuah keyakinan. Orang-orang Syiah yang pertama, seperti dikatakan Ibnu Taimiyah dalam Minhaj As-Sunnah An-Nabawiyyah fi Naqdhi

Kalam Asy-Syiah Al-Qadariyyah, adalah orang-orang yang meyakini bahwa Ali bin Abi Thalib adalah

orang yang lebih baik dari Utsman bin Affan. Artinya, orang-orang Syiah pertama itu tidak menampik bahwa Abu Bakar Ash-Shiddiq dan Umar bin Al-Khaththab lebih baik dan utama dari Ali bin Abi Thalib. Yang patut kita catat, di luar keyakinan itu, orang-orang Syiah yang pertama tersebut memiliki keyakinan yang sama dengan kaum muslimin lainnya. Mereka meyakini Al-Quran dan hadits-hadits Rasulullah, sebagaimana yang diyakini oleh kaum muslimin lainnya. Mereka beribadah dengan praktek-praktek ibadah kaum muslimin lainnya. Mereka tidak menciptakan mazhab tersendiri yang berbeda dari kaum muslimin lainnya. Akan tetapi, keadaan tersebut berbeda dengan orang-orang yang muncul setelah itu. Seperti dikatakan Ibnu Taimiyah, orang-orang Syiah yang muncul belakangan meyakini bahwa Ali bin Abi Thalib lebih baik dan utama dari Abu Bakar Ash-Shiddiq dan Umar bin Al-Khaththab. Sekarang, orang-orang yang memiliki keyakinan seperti orang-orang Syiah pertama diistilahkan denganmutasyayyi. Istilah ini adalah bentuk subjek dari tasyayyu yang berarti memiliki

sedikit kesyiah-syiahanpada keyakinan mereka terkait Ali bin Abi Thalib.


Dalam buku-buku yang berisi profil para periwayat hadits (at-tarajim wa ath-thabaqat), mereka yang memiliki keyakinan tasyayyu biasa diberi keterangan kana yamilu ila at-tasyayyu (ia cenderung memiliki sedikit keyakinan Syiah). Kadang-kadang, disebut dengan lahu at-tasyayyu (memiliki sedikit keyakinan Syiah). Sebagai misal, Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Tahdzib At-Tahdzib, mengomentari Zubaid bin Al-Harits Al-Yami sebagai orang yang cenderung memiliki sedikit keyakinan Syiah. Zubaid ini termasuk salah satu periwayat hadits dalam enam induk antologi hadits Rasulullah (Shahih Al-Bukhari, Shahih

Muslim, Sunan An-Nasa-I, Jami At-Tirmidzi dan Sunan Ibn Majah).


Contoh bagus lainnya adalah Abu Shalih Abdurrahman bin Shalih Al-Ataki. Ibnu Hajar mengutip Ibnu Adi yang mengomentarinya, illa annahu muhtariqun fi ma kana fihi min at-tasyayyu. Abul Qasim Al-Baghawi pernah mendengar Abu Shalih Al-Ataqi itu berkata suatu hari, Orang terbaik dalam umat ini setelah nabi mereka adalah Abu Bakar kemudian Umar. Dengan kata lain, Abu Shalih yang dimaksud masih mengakui kalau Abu Bakar dan Umar lebih afdol daripada Ali bin Abi Thalib. Salah seorang syaikh Salafi di Yaman, Syaikh Muqbil Al-Wadii, pernah juga menyebutkan 23 nama periwayat hadits dalam Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim yang memiliki kecenderungan tasyayyu ketika sedang mengkaji kitab Ikhtishar Ulum Al-Hadits karya Ibnu Katsir. Di

antara nama-nama yang disebutkan waktu itu adalah Abdurrazaq bin Hammam, Al-Fadhl bin Dukain, Aban bin Taghlib Al-Kufi, Abul Bakhtari Said bin Fairuz, Adi bin Tsabit Al -Anshari. Adapun orang-orang yang memiliki keyakinan seperti orang-orang Syiah belakangan diistilahkan denganrafidhi. Istilah ini adalah bentuk subjek dari kata rafidhah atau rawafidh yang bermakna para

penolak. Disebut seperti itu, tentu, bukan tanpa sebab.


Dari situlah, Syiah belakangan diistilahkan juga sebagai Syiah Rafidhah. Nama seperti ini muncul pertama kali dalam sejarah Islam sebagai penanda untuk orang-orang Syiah yang menolak keyakinan Zaid bin Ali, cucu Husain bin Ali bin Abi Thalib radhiyallahu anhuma. Zaid bin Ali termasuk salah satu rawi dalam rantai periwayatan Sunan Abi Dawud, Jami At-Tirmidzi, danSunan Ibn Majah. Di tengah para pencari dan pengkaji hadits-hadits Rasulullah, Zaid bin Ali diyakini sebagai salah seorang rawi hadits yang dapat dipercaya. Semasa hidupnya, Zaid bin Ali pernah didatangi oleh beberapa orang Syiah. Sejumlah orang tersebut, waktu itu, mulai meyakini bahwa Ali bin Abi Thalib lebih baik dan bahkan lebih utama dari Abu Bakar dan Umar. Mereka mendatangi Zaid bin Ali untuk mempertegas keyakinan mereka yang baru itu. Zaid sendiri adalah keturunan langsung dari Husain bin Ali bin Abi Thalib radhiyallahu anhuma. Sejak kematiannya yang mengenaskan di Karbala, Husein menjadi simbol perlawanan bagi orang-orang Syiah. Dari situlah, orang-orang Syiah mulai mengangkat keturunan-keturunan Husein langsung sebagai marjamereka, rujukan mereka. Akan tetapi, terkait keyakinannya, Zaid bin Ali memandang bahwa Abu Bakar Ash-Shiddiq dan Umar bin Al-Khaththab lebih baik dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu anhum. Karena itu, ketika ditanya tentang kedudukan Abu Bakar dan Umar oleh orang-orang Syiah tersebut, Zaid bin Ali justru menunjukkan kecintaannya (al-wala) kepada dua orang sahabat utama Rasulullah itu. Sikap seperti itulah kemudian yang dikecam oleh orang-orang Syiah tersebut. Kalian telah

menolakku, kalian telah menolakku, kata Zaid. Dalam bahasa Arab jawaban Zaid itu berbunyi,
Rafadhtumuni,rafadhtumuni. Sejak itulah, di tengah kalangan muslimin, orang-orang Syiah yang memiliki keyakinan bahwa Ali bin Abi Thalib lebih baik dan lebih utama dari Abu Bakar Ash-Shiddiq dan Umar bin Al-Khaththab dikenal lewat sebutan Syiah Rafidhah, Syiah milik para penolak. Mereka mulai memiliki sistem nilai dan praktek beribadah sendiri, seperti keyakinan bada, rajah, taqiyah, imamah, washiyah, ishmah.

Selain itu, yang tak-kalah menarik, orang-orang Syiah menganggap bahwa Ali-lah orang yang telah diberi wasiat oleh Rasulullah untuk memegang kepemimpinan dalam Islam. Bukan ketiga khalifah pertama, Abu Bakar Ash-Shiddiq dan Umar bin Al-Khaththab serta Utsman bin Affan. Kepemimpinan yang dimaksud, dalam keyakinan Syiah, kemudian seharusnya diwariskan kepada anak-cucu Ali. Di tengah orang-orang Syiah, Ali dan anak-cucunya itu disebut sebagai ahlul

bait Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.


Di luar semua itu, orang-orang Syiah Rafidhah memiliki rujukan-rujukan berbeda dari kaum muslimin pada umumnya. Mereka, misalnya, meyakini bahwa mushaf Al-Quran yang ada di tengah kaum muslimin sekarang telah banyak diubah dan dimanipulasi oleh para sahabat Rasulullah. Selain mushaf, orang-orang Syiah Rafidhah meyakini bahwa hadits-hadits Rasulullah shallallahu

alaihi wa sallam yang ada di tengah kaum muslimin sekarang ini juga semata-mata hasil rekayasa
para sahabat Rasulullah, terutama Abu Hurairah radhiyallahu anhu yang dikenal paling banyak meriwayatkan hadits. Orang-orang Syiah Rafidhah pun kemudian memiliki antologi-antologi hadits tersendiri. Bagi mereka, yang disebut hadits itu juga mencakup perkataan-perkataan para imam Syiah. Membangun satu sistem tersendiri, Syiah belakangan sangat berbeda dari kaum muslimin yang ada. Disadari atau tidak, dan mungkin banyak yang tidak akan menerima kenyataan ini, Syiah Rafidhah telah mendirikan sebuah agama baru di luar Islam yang dibawa Muhammad Rasululllah shallallahu

alaihi wa sallam.
Untuk dicatat, sebagai sebuah entitas tersendiri, kelompok Syiah Rafidhah telah berkembang dalam sejarah. Mereka menyebarkan keyakinan mereka dan menanamkan pengaruh yang tidak sedikit di tengah kaum muslimin. Bahkan, jika kita perhatikan, ada masa-masa tertentu ketika Syiah Rafidhah menjadi sebuah kekuatan yang berkuasa di negeri-negeri kaum muslimin. Yang harus juga dicatat baik-baik, sebagai sebuah kelompok, Syiah Rafidhah mengalami perpecahan. Muncul di tengah mereka kelompok-kelompok yang masing-masing memiliki nama tetapi juga saling bertikai satu sama lain. Meski demikian, pada hari ini, tidaklah disebut Syiah kecuali mengacu kepada orang-orang Syiah Rafidhah, termasuk juga Syiah Zaidiyah. Terbukti, dalam banyak karya tulis di tengah kaum muslimin yang bisa kita temukan sekarang, Syiah Zaidiyah dan Syiah Rafidhah sering dipukul rata lewat sebutan Rafidhah.

PERANG JAMAL & SEBAB-SEBAB PERSELISIHAN


oleh Rimbun Natamarga (Catatan) pada 7 Juli 2013 pukul 17:58

Dalam Minhaj As-Sunnah, tentang kemunculan perselisihan itu, Ibnu Taimiyah menulis, Tersebar rumor di tengah rakyat Syam akan Ali z yang menerima pembunuhan Utsman itu. Rumor

seperti ini tersebar di sana karena empat sebab. (1) Tidak adanya qishash terhadap para pembunuh Utsman, (2) meletusnya Perang Jamal, (3) kepergian Ali dari Madinah sekaligus kepindahan Ali ke Kufah tempat komplotan pembunuh Utsman berada, (4) orang-orang yang membunuh Utsman bergabung ke dalam pasukan Ali z. Empat alasan itulah yang membuat rakyat Syam mencurigai Ali memiliki saham dalam pembunuhan Utsman. Padahal, tidak sama sekali. Sebaliknya, Ali justru melaknat para pembunuh Utsman itu.
Sebenarnya, ada lebih dari satu orang yang masuk dan melakukan kekerasan fisik terhadap Utsman sampai terbunuh. Ibnu Asakir dan Ibnu Katsir menyebutkan nama-nama mereka di dalam karya masing-masing berdasarkan riwayat-riwayat yang sahih. Orang pertama adalah laki-laki yang dijuluki Al-Mawt Al-Aswad, kematian yang hitam. Ia adalah orang yang mencekik Utsman sampai pingsan. Mengira Utsman sudah tak-bernyawa, Al-Mawt AlAswad keluar. Orang kedua adalah Kinanah bin Bisyr. Setelah Utsman siuman, Kinanah memukul rusuk dan kepala Utsman dengan tiang besi sampai jatuh tersungkur. Orang ketiga adalah Sudan bin Humran Al-Muradi. Ialah yang membuat jari-jari istri Utsman, Nailah, terputus ketika hendak melindungi suaminya. Ketika tidak terhalang lagi, Sudan segera menikam Utsman sampai terbunuh. Belum sempat beranjak pergi, Sudan dibunuh oleh salah seorang pelayan Utsman. Orang keempat adalah Amr bin Hamq. Melihat Utsman telah ditikam, Amr segera menduduki dada Utsman. Dengan penuh kebencian, Amr menikam Utsman yang sudah tidak bernyawa lagi itu. Tiga tikaman, kata Amr, kuberikan karena Allah. Enam tikaman lagi kuberikan karena dendam yang menyesakkan dadaku. Khalifah Khayyath, dalam kitab Tarikh miliknya, menambahkan orang kelima, Jabalah. Ia berasal dari rombongan yang datang dari Mesir. Orang inilah yang diyakini oleh banyak orang sebagai pembunuh Utsman sebenarnya.

Antara keluarnya Al-Mawt Al-Aswad dan masuknya Kinanah bin Bisyr, sempat masuk Muhammad bin Abi Bakar, putra Abu Bakar Ash-Shiddiq dari istrinya yang bernama Asma binti Umais. Muhammad segera memegang jenggot Utsman, tetapi melihat keadaan Utsman waktu itu ia urung melanjutkan apa yang akan dilakukannya. Muhammad kemudian menyesal lalu pergi keluar. Ia yang bergabung dengan rombongan orangorang dari Mesir sempat berusaha menahan dan menyadarkan teman-temannya. Meski demikian, amarah massa sudah tidak terbendung lagi. Usaha Muhammad berlalu sia-sia. Adapun Perang Jamal, ini adalah contoh paling baik tentang kesalahpahaman yang berdarah-darah. Ketika massa di tingkat bawah tidak terkendali lagi, para pemimpinmeski dikenal memiliki keilmuan menjulang tak tertandingi sekalipuntidak akan sanggup menenangkan mereka kecuali jika Allah mengizinkan. Bermula dari bertemunya sejumlah sahabat Rasulullah di Makkah awal tahun 36 H. Thalhah dan Zubair waktu itu bertemu dengan rombongan Aisyah yang baru selesai menunaikan ibadah haji. Hadir juga di sana Yala bin Muniyah dan Abdullah bin Amir. Mereka sepakat untuk pergi ke Bashrah untuk mencari para pembunuh Utsman. Mereka mengira dengan kuat, dari Madinah para pembunuh pergi ke Kufah atau Bashrah dan berdiam di sana. Tiba di Bashrah, mereka didatangi Utsman bin Hunaif, gubernur setempat yang diangkat oleh Ali. Utsman bin Hunaif menahan mereka sampai Ali tiba di sana. Belum lagi Ali datang, tiba-tiba Jabalah datang menyerbu dengan membawa pasukan yang berjumlah sekitar 700 orang bersenjata. Mereka yang datang ini dapat dikalahkan. Waktu itu, selain membawa para pendukung dari Makkah, Thalhah, Zubair dan Aisyah juga dibantu oleh penduduk-penduduk Bashrah. Kabar yang sampai kepada Ali, Utsman bin Hunaif telah berperang melawan rombongan sahabatsahabat Rasulullah itu. Ali segera menyiapkan 10.000 orang untuk datang ke Bashrah menemui mereka. Pasukan sejumlah itu dikenal dalam sejarah sebagai pasukan Kufah. Masing-masing pihak kemudian mengirimkan utusan untuk bertemu dan berusaha mendudukkan persoalan. Pihak Ali diwakili oleh Al-Miqdad bin Al-Aswad dan Al-Qaqa bin Amr yang berunding dengan Thalhah dan Zubair.

Mereka pun sepakat untuk mengadakan qishash terhadap para pembunuh Utsman. Selain itu, masing-masing pihak sepakat pula untuk menahan diri tidak saling menyerang. Satu-satunya yang tersisa dari pembicaraan adalah masalah waktu pelaksanaan. Akan tetapi, kesepakatan itu rusak ketika tiba-tiba sebuah pasukan yang diorganisasi oleh oknumoknum pembunuh Utsman menyerang tempat bermalam rombongan Thalhah, Zubair dan Aisyah. Serangan ini dilakukan sebelum masuk waktu fajar. Para penyerang melakukan penyerangan atas inisiatif sendiri, tanpa sepengetahuan Ali. Mereka segera melarikan diri setelah berhasil menewaskan sejumlah orang. Thalhah mengira, serangan itu atas perintah Ali. Karena itu, menganggap pihak Ali telah merusak kesepakatan mereka, Thalhah dan Zubair menyiapkan serangan balik. Paginya, mereka menyerang Ali dan pasukannya. Ali dan pasukannya tidak mengira akan serangan itu. Balik menganggap pasukan Thalhah dan Zubair telah merusak kesepakatan, pasukan Ali kemudian meladeni mereka. Saling serang pun terjadi. Lewat tengah hari, apa yang terjadi di antara mereka itu berubah menjadi sebuah perang besar. Sayangnya, baik Ali maupun Thalhah dan Zubair, masing-masing tidak dapat menahan lagi pasukan mereka. Dari kedua belah pihak, korban-korban telah berjatuhan. Di tengah kecamuk perang, Aisyah sempat mengutus Kaab bin Sur untuk menghe ntikan perang. Berbekal sebuah mushaf yang diangkatnya, Kaab mencoba menarik perhatian kedua belah pihak memintadengan nama Allahuntuk berhenti menumpahkan darah. Usaha itu gagal. Kaab tewas dihujani anak-anak panah. Thalhah termasuk orang-orang yang pertama terbunuh pada perang itu. Sebatang anak panah takbertuan melayang mengenainya dan menjadi sebab terbunuhnya. Ali sangat berduka ketika melihat jenazah Thalhah setelah perang usai. Berbeda dengan Thalhah, Zubair berpaling dari perang. Ada banyak riwayat yang menerangkan alasan di balik berpalingnya Zubair. Riwayat yang paling masyhur adalah yang bercerita bahwa Zubair pergi dari perang itu setelah mengingat kembali sebuah sabda Rasulullah yang didengarnya dan didengar Ali pula, Sungguh, engkau akan memerangi Ali, sedangkan engkau sebagai pihak yang zalim. Salah satu perawi hadits ini diperbincangkan oleh para pakar hadits dari dulu sampai sekarang.

Belum jauh berpaling dari medan perang, Zubair dibunuh oleh salah satu anggota pasukan Ali. Pembunuh itu bernama Amr bin Jurmuz. Ketika dikabari perihal kematian Zubair itu, Ali segera berkata kepada Amr, Kabari orang yang membunuh putra Shafiyyah itu dengan Neraka. Shafiyyah yang dimaksud adalah ibu Zubair. Adapun Aisyah, unta yang ditungganginya tumbang setelah ditebas oleh seseorang. Sekedup Aisyah terjatuh dan orang-orang yang ada di sekitarnya menjauh sekaligus menghentikan perang. Telah banyak orang yang terbunuh di sekitar unta itu karena membela keselamatan Aisyah. Dengan unta yang tumbang itu, Perang Jamal usai. Kedua pasukan menghentikan serangan. Ali secara langsung memerintahkan orang-orangnya untuk mengamankan sekedup yang berisi Aisyah itu. Hari sudah menjelang sore. Muhammad bin Abi Bakar yang bergabung dengan pasukan Ali diperintah untuk mendampingi Aisyah. Malam itu mereka masuk ke Bashrah dan bermalam di sana. Ali bermalam di Bashrah selama tiga hari. Ia radhiyallahu 'anhu memimpin shalat jenazah bagi mereka yang terbunuh dalam perang sehari itu. Harta-harta yang telah dirampas pasukan dikembalikan. Sebaliknya, orang-orang yang lari dari perang dibiarkannya dan tidak dikejar. Selama di Bashrah, Aisyah diperlakukan dengan baik oleh Ali dan pasukannya. Bahkan, ia akan menghukum siapa saja dari pasukannya yang kedapatan mencela Aisyah. Ali kemudian memulangkan Aisyah dan rombongannya ke Makkah untuk kemudian kembali ke Madinah. Rombongan itu dilepas oleh Ali sendiri, seperti ketika melepas seorang ibu pergi. Bahkan, Ali langsung mengiringi mereka sampai beberapa mil dan mengucapkan selamat jalan, radhiyallahu

'anhum.
Sebelum berangkat pulang, Aisyah mendoakan Ali dan pasukannya. Kepada orang-orang yang hadir di sana, Aisyah berwasiat, Wahai anak-anakku, jangan kalian saling mencaci-maki. Demi Allah, sungguh, apa yang terjadi antara aku dan Ali adalah masalah yang biasa terjadi antara seorang wanita dengan saudara-saudara iparnya. Walaupun aku pernah mencelanya, sungguh, Ali adalah hamba yang terpilih. Mendengar wasiat Aisyah itu, Ali menyambung, Beliau benar. Demi Allah, tidak ada masalah antara kami berdua kecuali seperti yang telah disebutkan itu. Sungguh, beliau adalah istri nabi kalian n di dunia dan di akhirat.[]

HIERARKI KEULAMAAN SYIAH IMAMIYAH SEKARANG


oleh Rimbun Natamarga (Catatan) pada 5 Desember 2012 pukul 16:44

Mayoritas penduduk Iran adalah penganut Syiah. Pada masa pemerintahan Syah Iran (Dinasti Pahlevi yang berkuasa sejak 1924 sampai 1979) saja, dalam seluruh buku petunjuk resmi Iran, diterangkan bahwa agama resmi Iran adalah Syiah. Pada waktu terjadi Revolusi Iran 1979, diduga ada sekitar 86 juta penganut Syiah di dunia. Mereka tersebar di beberapa negara muslim, seperti di Pakistan (15 juta orang), Afganistan (7,2 juta orang), Irak (4,8 juta orang), Lebanon (1,1 juta orang), India (17 juta orang) dan Uni soviet (2 juta orang). Pada waktu itu pula, di Iran, terdapat sekitar 600.000 orang yang bergelar sayyed. Mereka ini dianggap sebagai keturunan langsung Rasulullah. Biasanya, mereka ditandai dengan sorban hitam atau kopiah dari kain hitamyang selalu mereka pakai. Dari situlah, misalnya, kita bisa pahami alasan Khomeini yang selalu memakai sorban hitamnya atau terkadang mengenakan kopiah hitam. Dari garis ayahnya, Khomeini dianggap orang-orang Syiah sebagai keturunan Rasulullah dari jalur Musa Al-Kazhim, imam ketujuh Syiah Imamiyah (Itsna Asyariyah). Tempat-tempat suci Syiah di Iran adalah Qum dan Masyhad. Dua kota ini, menjadi tempat-tempat ziarah utama para penganut Syiah. Di Qum terdapat makam Fatimah Al-Mashumah, sedangkan di Masyhad terdapat makam Ali Ridhoimam kedelapan Syiah Imamiyah. Setiap tempat suci Syiah itu diawasi oleh seorang mutawali. Setiap mutawali dibantu oleh ratusan orang. Dari sejumlah itu, mereka dapat dibagi menjadi dua golongan, rowzekan dan waez.Rowzekan berarti orang-orang yang menyanyikan rowze. Nyanyian itu berisi kisah-kisah yang menceritakan meninggalnya Husein di Karbala atau perjalanan hidup imamimam Syiah. Terkadang, nyanyian itu hanya berisi untaian-untaian kata sebagai pengingat.

Waez adalah petugas yang mengepalai upacara-upacara agama. Di atasnya ada seorang pishnamaz.
Orang yang terakhir ini adalah petugas yang ditunjuk untuk memimpin shalat. Dari kalangan pishnamaz kemudian ada yang diangkat sebagai imam jome. Petugas inilah yang berhak memimpin shalat Jumat. Pada tahun 1979, yang menjadi imam jome di Iran adalah Talegani. Ia kemudian digantikan oleh Husein Montazeri. Setingkat imam jome adalah hujjatul Islam. Sebutan yang terakhir ini adalah gelar bagi mereka yang berhasil menyelesaikan pendidikan di sebuah hawzah ilmiyah. Dalam kapasitasnya itu,

seorang hujjatul Islam memiliki hak untuk mengajar ribuan pelajar hawzah-hawzah ilmiyah yang tersebar di Qum, Masyhad, Teheran atau di Najaf, Irak. Lembaga Pendidikan Ulama dan Da'i Syiah Dalam Lisan Al-Arab, hawzah berarti sudut tempat atau tempat yang menempel pada rumah induk

atau tempat yang menempel pada rumah induk yang dijadikan tempat berkumpul .
Terkadang, hawzah juga diartikan sebagai kepemilikan atau hak milik. Terkait dengan pembahasan tentang Syiah dan Qum, hawzah yang dimaksud adalah istilah untuk lembaga pendidikan tradisional di kalangan Syiah yang dalam bahasa Indonesia dapat diartikan sebagai pesantrenatau madrasah. Sebuah hawzah selalu berupa kampus yang terkonsentrasi pada satu wilayah. Dalam sejarah Syiah, hawzah pertama kali berdiri di Najaf, Irak, pada abad ke-11 M. Sampai hari ini, orang-orang Syiah mempertahankan ciri khas hawzah, sistem pendidikannya ataupun materi pelajarannya. Satu-satunya muatan umum adalah filsafat dan logika. Karena itu, di hawzah ilmiyah, biasanya, ulama-ulama Syiah dipersiapkan sebelum diperkenankan mengemban tugas di tengah umat Syiah. Pendidikan di hawzah tidak mengenal sistem klasikal. Pelajaran-pelajaran diberikan dalam halaqah-

halaqahkajian, seperti halaqah pengajian di masjid-masjid kita. Biasanya, ulama yang menjadi
rujukan mereka dikelilingi oleh pelajar-pelajarnya. Untuk menyelesaikan pendidikannya di hawzah, seorang pelajar harus melalui tiga tahap belajar. Tiga tahap itu meliputi tahap Muqaddimaat, As-Suthuh, dan Al-Kharij. Tahap Muqaddimaat berlangsung selama lima tahun. Pada tahap ini, seorang pelajar mendalami ilmu nahwu, sharaf, mantiq, akidah, tafsir dan ulumul quran. Tahap As-Suthuh juga berlangsung selama lima tahun. Pada tahap ini, seorang pelajar mulai diberikan ilmu fikih, usul fikih, ulumul hadits, ilmu tentang sanad dan matan hadits, filsafat dan tafsir. Berbeda dengan dua tahap pertama, tahap Al-Kharij berlangsung selama 10 sampai 20 tahun. Pada tahap ini, seorang pelajar difokuskan memperdalam semua pelajaran yang telah diberikan pada tahap As-Suthuh. Jika telah menyelesaikan pendidikannya pada tahap Al-Kharij, seseorang baru mendapat gelar hujjatul Islam.

Meski demikian, seorang pelajar pada tahap Al-Kharij dapat meraih gelar ayatullah. Untuk itulah, ia diharuskan menulis sebuah risalah ilmiyah ataubiasa juga disebuttawdhihul masa-il yang berisi kajian tentang segala sesuatu dalam persoalan-persoalan agama. Karya inilah yang mirip dengan tesis-tesis ilmiah program pasca sarjana di universitas-universitas umum. Dalam hitungan normal, untuk mendapatkan gelar hujjatul Islam atau ayatullah seorang pelajar butuh waktu sekitar 20 sampai 30 tahun. Bagi pelajar-pelajar yang cerdas, pendidikan itu dapat mereka tempuh dalam waktu 10 sampai 15 tahun. Setiap hawzah yang ada dipimpin oleh seorang ayatullah. Pada 1979 itu, ada sekitar 2000 ayatullah di dunia. Pada hakikatnya, seorang ayatullah adalah seorang mujtahid. Ia memiliki hak khusus untuk berijtihad. Karena itu, selain mengajar, seorang ayatullah juga berhak menafsirkan seluruh ajaran-ajaran Syiah.

Ayatullah Al-'Uzhma sebagai Marja' Taqlid


Meski demikian, di atas gelar ayatullah, masih terdapat gelar ayatullah al-uzhma. Dengan demikian, jika kita urutkan secara hierarkis, setelah hujjatul Islam adalah ayatullah dan setelah ayatullah adalah ayatullah al-uzhma. Hierarki internal seperti ini pertama kali dibentuk, diratifikasi, disesuaikan dengan tingkat dan prestise keilmuan seorang ulama pada abad ke-19 M. Dari semua ulama Syiah yang ada, hanya beberapa ulama Syiah yang berhak menjadi marja taqlid. Secara bahasa, marja berarti rujukan, sedangkan taqlid berarti yang diikuti. Ulama Syiah yang menjadi marja taqlid, seperti dikatakan Abdul Aziz A. Sachedina, adalah ulama yang memiliki otoritas yuridis yang sangat berpengaruh di lingkungan umat Syiah, yang fatwa -fatwa hukumnya diikuti oleh mereka yang mengikutinya, dan praktik-praktik keagamaan yang dilakukannya selalu didasarkan kepada fatwa-fatwanya. Kemunculan istilah marja taqlid dilatarbelakangi kuatnya keyakinan mereka bahwa posisi ulama adalah sebagai pelanjut, pelindung agama, dan pewaris nabi setelah menghilangnya imam keduabelas mereka (yakni Syiah Imamiyah), Muhammad bin Hasan Al-Muntazhar.Pada 1980-an, ada empat marja taqlid yang terkenal. Mereka adalah Khomeini, Mohammed Kazhim Syariat Madari atau yang dikenal lewat sebutan Syariat Madari, Abul Qasim Al-Khui, dan Husein Montazeri. Sepeninggal Khomeini, marja taqlid yang terkenal adalah Ali Khamenei, Muhammad Taqi Bahjat Fumani,ayatullah Ruhani, dan Fadhil Lankarani. Khusus Ali Khamenei, seperti yang telah lewat, ia sampai hari ini masih menjabat sebagai rahbar (pemimpin tertinggi/pengganti sementara Imam Mahdi yang ditunggu-tunggu) di Republik Iran.[]

Sumber: Abu Mujahid. Syiah di Indonesia: Sejarah, Jaringan dan Pengaruh. Bandung: Toobagus. 2012.

MUTAH DI IRAN: APA, SIAPA DAN BAGAIMANA

oleh Rimbun Natamarga (Catatan) pada 27 November 2012 pukul 21:20

Nikah mutah lebih sering diterjemahkan sebagai nikah kontrak atau, sering juga, kawin kontrak. Sebagian penulis memilih untuk mengartikan mutah secara sopan sebagai nikah

kondisional, nikah temporer dan juganikah dalam jangka waktu tertentu.


Meski demikian, tetap tak-bisa ditolak bahwa pada asalnya nikah mutah itu justru memiliki arti perkawinan untuk senang-senang. Mutah sendiri, secara bahasa, dapat berarti kenikmatan, kesenangan (bahasa Jawa:klangenan). Kadang-kadang, mutah dibahasakan sebagai ihwal untuk memiliki status dari hukum tertentu. Ada banyak sumber yang berbicara khusus tentang nikah mutah. Tahrim Nikah Al-Mutah karya Abul Fath Nasr bin Ibrahim bin Nasr Al-Maqdisi An-Nabilisi (377 490 H) adalah salah satu karya tertua yang berbicara tentang nikah mutah. Ada juga karya-karya tentang mutah yang ditulis oleh orang-orang belakangan. Asy-Syiah wa Al-

Mutahkarya Muhammad Malullah termasuk di antaranya. Kemudian, Al-Kafi Al-Mumti Al-Mufid wa ArRadd Al-Mufhim Al-Muljim As-Sadid karya Yaqub Badr Abdil Wahhab Al-Qithami termasuk juga. Yang
termasuk tidak boleh dilupakan di sini adalah Nikah Al-Mutah: Haram fil Islam karya Muhammad AlHamid. Dalam akidah ahlus sunnah wal jamaah, meski sempat dibolehkan, syariat nikah mutah telah diharamkan langsung oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pada masa hidup beliau. Dalil-dalil dari Al-Quran danAs-Sunnah yang menunjukkan keharaman mutah sangat jelas, baik itu dalil yang bersifat umum maupun dalil yang bersifat khusus. Berbeda dengan Syiah. Bagi para penganut Syiah, syariat nikah mutah masih tetap berlaku sampai hari kiamat nanti. Mereka justru percaya, larangan mutah dalam sejarah Islam itu berdasarkan kebijakan Khalifah Umar bin Al-Khaththab pada masa pemerintahannya saja dan karena itu tidak bersifat mengikat. Terlebih lagi, ketika Umar ditenggarai mereka sebagai salah seorang sahabat Rasulullah yang merebut hak kepemimpinan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu sepeninggal Rasulullah. Dalam terminologi Syiah, mutah dibedakan dari pernikahan permanen, dilihat dari tujuan ataupun caranya.Mutah, menurut ulama-ulama Syiah, bertujuan untuk meraih kesenangan seksual atau istimta, sedangkan pernikahan permanen dilakukan untuk mendapatkan keturunan yang dalam bahasa Iran diistilahkan sebagaitulid-i nasl. Dari sisi hukum, berdasarkan fikih Syiah, nikah mutah adalah sebuah kontrak atau akad antara seorang laki-laki dan seorang perempuan (yang tidak bersuami) yang akhir dari masa kontrak itu ( al-

ajl) dan jumlah uang mas kawin (al-ajr) harus ditentukan sebelumnya. Jika tidak, maka kontrak atau
akad itu menjadi tidak sah. Demikian pula dalam hal cara. Biasanya, dalam pernikahan yang bersifat permanen, para saksi akan didatangkan ketika akad terjadi. Sebaliknya, dalam sebuah penikahan mutah, para saksi tidak diperlukan. Akad pernikahan mutah pun tidak perlu dicatat. Dalam masalah kontrak, kontrak atau akad nikah mutah bersifat personal. Kontrak dapat dilakukan hanya berdasarkan persetujuan seorang laki-laki dengan seorang perempuan calon istrinya. Pihak keluarga perempuan, biasanya, tidak ikut-campur dalam proses itu. Masa kontrak mutah tergantung laki-laki dan calon istri. Kontrak itu bisa saja hanya untuk satu jam atau bahkan selama 99 tahun. Ketika habis kontrak pun, kedua pasangan dapat berpisah begitu saja tanpa sebuah acara atau upacara tanda perceraian (baca: habis kontrak). Yang tidak boleh dilupakan, seorang laki-laki penganut Syiah dapat saja melakukan kontrak atau akadmutah dengan sebanyak perempuan yang ia inginkan pada satu waktu sekaligus. Akan tetapi, dan inilah yang mesti dicatat, jumlah sebanyak itu dihitung di luar istri dari pernikahan permanennya. Artinya, jika jumlah istri dalam pernikahan permanen dibatasi hanya sebanyak empat orang, maka dalammutah tidak ada batasan. Seorang Syiah dapat saja terikat kontrak mutah dengan empat orang perempuan atau lebih dalam satu waktu. Bahkan, meskipun sudah memiliki empat orang istri lewat pernihakan permanen, ia pun dapat memiliki empat orang atau lebih istri mutah pada waktu itu. Hukum fikih seperti itu berdasarkan salah satu pendapat, yang menurut orang-orang Syiah diyakini berasal dari, salah seorang imam mereka. Dalam riwayat yang dimaksud, salah seorang Syiah pernah bertanya kepada sang imam, Apakah istri dari mutah termasuk dari keempat orang istri?. Sang imam pun menjawab tegas, Nikahilah di antara mereka seribu orang! Sebab, mereka it u akan menerima imbalan (ajir). Ketentuan seperti itu tidak berlaku sebaliknya. Seorang perempuan Syiah hanya boleh melakukan kontrakmutah pada seorang laki-laki. Ia baru boleh melakukan proses kontrak lagi ketika masa kontrak yang pertama sudah selesaibetapa pun singkatnya masa kontrak itu. Untuk mengetahui hasil hubungan dari sebuah kontrak mutah, selesai masa kontrak seorang perempuan akan menunggu selama beberapa waktu. Artinya, sebelum membuat kontrak baru, ia

harus memastikan dulu: hamilkah ia atau tidak. Dengan begitu, ia dapat mengetahui garis geneologis (baca: ayah sah) anak yang dihasilkan dari proses mutahnya. Dalam terminologi ahlus sunnah wal jamaah, proses seperti itu mirip dengan masa iddah. Meski demikian, sebagian orang lebih condong untuk mengiaskannya dengan proses istibra, sebuah masa penantian bagi seorang perempuan yang telah berzina untuk memastikan ada atau tidak kandungan dalam rahimnya sebelum melakukan sebuah pernikahan yang syari. Sesuatu yang banyak tidak diketahui orang tentang mutah di tengah kalangan Syiah adalah kaitaneratmutah dengan perjalanan-perjalanan jarak jauh dan proses perziarahan. Terkait yang terakhir ini, bagaimana pun, para penganut Syiah adalah orang-orang yang tidak bisa lepas dari pemakamanpemakaman. Mereka dikenal sebagai orang-orang yang gemar melakukan ibadah di depan dan/atau di atas kuburan. Mereka biasa berdoa, berzikir, mengerjakan shalat (khas Syiah), mencari berkah, meminta perlindungan untuk kehidupan akhirat nanti (baca: mencari syafaat) atau bahkan membangun masjid-masjid megah di atas kuburan orang-orang yang mereka yakini sebagai orang-orang suci dan tak-berdosa.

Gambar 1. Komplek Pemakaman Fatimah Ma'shumah, Qum, Iran

Gambar 2. Suasana Masjid di Pemakaman Fatimah Ma'shumah, Qum, Iran (Gambar yang dicoret hitam adalah beberapa peziarah yang sedang melakukan shalat khusus ketika berziarah. Sebelum dicoret hitam, terlihat bahwa arah shalat mereka menyerong ke kanan kiblat. Tepatnya, ke arah kuburan Fatimah Ma'shumah yang mereka yakini berada di situ. Coretan hitam sebelah kiri menutup foto salah seorang peziarah yang sedang bersujud mengarah ke tempat Fatimah Ma'shumah dikuburkan)

Gambar 3. Suasana Kuburan Fatimah Ma'shumah Dilihat dari Balik Celah Kecil

Tempat-tempat suci bagi orang Syiah Imamiyah, misalnya, tidak lain dari kota-kota tempat dimakamkan imam-imam mereka yang di dunia ini ada di Najaf dan Karbala, Irak, serta di Masyhad dan Qum, Iran. Di Najaf terdapat kuburan yang mereka yakini sebagai kuburan Ali bin Abi Thalib, sedangkan di Karbala terdapat kuburan yang mereka yakini sebagai kuburan Husein bin Ali bin Abi Thalib. Di Masyhad terdapat kuburan yang mereka yakini sebagai kuburan Ali Ridho, sedangkan di Qum terdapat kuburan yang mereka yakini sebagai kuburan Fatimah Mashuma. PASANGAN-PASANGAN MUTAH Membahas kaitan antara mutah dan ziarah serta perjalanan jauh di tengah orang-orang Syiah, ada baiknya kita pahami istilah shigheh. Istilah ini adalah sebuah istilah yang sering dipakai di tengah orang-orang Syiah di Iran. Dalam praktek sekarang, kata shigheh sering diartikan sebagai perempuan

pasangan mutah.

Akan tetapi, pada asalnya, kata shigheh itu memiliki arti metode, cara atau formula untuk melakukan sesuatu. Dalam praktek mutah, kata itu disandingkan dengan kata mutah, jadi shigheh-i mutah. Bertahun-tahun mempraktekkan mutah, akhirnya, kata shigheh itu lama-lama disematkan kepada seorang perempuan yang melakukan mutah.

Shigheh, jika kita cermati, terbagi menjadi dua kategori, shigheh seksual dan shigheh nonseksual. Shigheh seksual dimaksudkan kepada perempuan pasangan mutah yang dicampuri secara
seksual, sedangkanshigheh non-seksual dimaksudkan kepada perempuan pasangan mutah yang dikontrak bukan untuk tujuan dicampuri secara seksual tetapi untuk tujuan-tujuan tertentu. Sulit diterima, jika fakta pernah bicara bahwa di kota-kota suci tempat berziarahlah orang-orang dapat melakukan mutah dengan mudahmeskipun mudah dalam ukuran mereka. Akan tetapi, hal itu dapat dijelaskan jika kita merunut dasar logika religiusitas. Semakin mendekat dan mendalam seseorang dengan ajaran agamanya, maka semakin mudah baginya untuk melakukan sesuatu yang dituntut oleh agamanya. Karena itu, tidak mengherankan, jika seorang penganut Syiah yang religius, akan lebih cenderung untuk melakukan mutah. Saya, ujar salah seorang mullah, tidak senang jika seorang muslim itu meninggal dunia sebelum mempraktekkan salah satu tradisi Nabi. Salah satu tradisi Nabi yang dimaksud adalah me mutahi perempuan. Pernyataan ini ia berikan dalam salah satu wawancara dengan seorang peneliti dari Universitas Harvard, Amerika Serikat. Di kota-kota suci Syiah, seperti Qum dan Masyhad, mutah adalah sesuatu yang populer dilakukan di kalangan para mullah. Selain mereka menyetujui praktek mutah, mereka juga memandang mutah sebagai ibadah dan para pelakunya akan diberi pahala dan keutamaan di atas orang-orang yang belum melakukanmutah. Yang sering menjadi laku para peziarah ke kota-kota suci itu adalah usaha mereka mendekati para mullah. Dari kalangan laki-laki, biasanya, mereka mendekati mullah-mullah yang mereka kenal untuk dicarikanshigheh selama mereka berziarah di kota-kota itu. Sebaliknya, dari kalangan perempuan, banyak dari mereka yang mendekati para mullah itu untuk menawarkan diri sebagai shigheh mereka. Mengantisipasi hal seperti itu, pada 1981 dulu, seorang mullah di Masyhad pernah harus membuat di komputer jadul miliknya sebuah database nama-nama perempuan berikut alamat masing-masing

yang bersedia menjadi shigheh-shigheh. Tidak heran, jika Masyhad dulu sempat diolok-olok oleh orang-orang di luar kalangan Syiah sebagai kota shigheh. Dikutip dalam Siyaghi-i Uqud terbitan Ilmiyyah Islamiyyah Press, Teheran, Mullah Razvini pernah menyatakan,

Mungkin yang paling luar biasa dari wajah kehidupan Mashad adalah tersedianya hiburan material bagi para peziarah kemudian selama mereka tinggal di kota tersebut. Perjalanan jauh yang telah mereka lakukan, penderitaan yang telah mereka tahankan, dan jarak yang memisahkannya dari rumah dan keluargamereka diperbolehkan, dengan tidak mempedulikan hukum eklesiastik dan petugas-petugasnya, untuk melakukan akad perkawinan temporer selama mereka tinggal di kota tersebutdan saya menyesal mengatakan, betapa ba nyak para peziarah musiman yang menyeberangi lautan dan daratan untuk mencium batu nisan sang imam tidak terdorong dan tertarik terhadap perjalanan jauhnya dengan prospek liburan yang menyenangkan dan seperti yang diungkapkan dalam ungkapan Inggris sebagaigood spree (saat-saat perkawinan yang menyenangkan).
Meski demikian, tidak mudah pula bagi seorang mullah untuk mengakui dirinya pernah atau sedang melakukan mutah. Perlu diingat, praktek mutah di Qum dan Masyhad penuh dengan kerahasiaan dan keanoniman, terlebih lagi di tengah kalangan shigheh mereka. Perempuan-perempuan yang melakukan mutah dengan para mullah adalah pribadi-pribadi yang sangat kuat menjaga kerahasiaan status shigheh mereka. Mereka betul-betul menjaga rahasia itu karena khawatir dapat membahayakan reputasi keluarga mereka masing-masing. Bahaya yang dimaksud bukan isapan jempol. Pada awal 1980-an, seperti yang diceritakan kembali oleh Marina Nemat dalam buku Sandera Rezim Khumaini, perempuan-perempuan tahanan politik pemerintah Iran di Penjara Evin sering menunjukkan kesinisan kepada rekan-rekan sepenjara mereka yang diketahui atau dicurigai sebagai shigheh-shigheh para sipir penjara. Khusus jati diri para shigheh, umumnya, mereka berasal dari kalangan kelas menengah ke bawah. Anak-anak gadis para mullah sendiri, misalnya, jarang yang diketahui melakukan mutah dengan mullah-mullahrekan sejawat ayah mereka. Meskipun demikian, pernah diketahui bahwa salah seorang putri anggota keluarga kerajaan pada masa pemerintahan Dinasti Qajar melakukan mutah. Dari segi umur, para shigheh seringkali adalah wanita muda yang telah bercerai atau janda. Meski demikian, kadang-kadang terdapat shigheh-shigheh yang berumur kepala empat atau lima. Mereka

yang terakhir ini, biasanya, melakukan mutah karena alasan-alasan tertentu yang bersifat nonseksual. Masih tentang shigheh seksual, selain karena motif ziarah dan kota ziarah, seorang perempuan Syiah dapat menjadi shigheh untuk memenuhi nazarnya. Menjadi shigheh karena ziarah dan nazar sering tidak dapat dipisahkan.

Mullah yang diyakini sebagai keturunan Rasulullahdan karena itu sering bergelar sayyidbanyak
didatangi oleh perempuan-perempuan yang bernazar melakukan mutah dengan seorang sayyid. Bagi sang perempuan memenuhi nazar adalah kewajiban, sedangkan sayyid yang dituju membantu saudaranya memenuhi nazarnya itu adalah ibadah. Dalam shigheh bermotif nazar ini, atau diistilahkan shigheh nazri, perempuan yang dimaksud tidak mesti menerima mas kawin dari laki-laki. Sebaliknya, terkadang, pihak perempuanlah yang menyerahkan imbalan atas kontrak itu kepada pihak sayyid. Kemudian, yang berinisiatif menawarkan mutah itu dan, lebih jauh lagi, merundingkan jangka waktu kontrak mereka berdua adalah pihak perempuan juga. Akan tetapi, ada kasus-kasus tertentu ketika seorang mullah yang sayyid menolak permintaan dari pihak perempuan seperti itu, meskipun untuk memenuhi nazar. Faktor umur, misalnya perempuan yang bernazar itu sudah tua, menjadi salah satu faktor yang membuat mullah tersebut menolaknya. Sebaliknya, karena umur calon pasangan yang akan di mutahi masih terlihat di bawah umur, seorang laki-laki menolak proses itu. Selain dua motif itu, seseorang bisa menjadi shigheh karena sebab perjalanan yang sedang ditempuhnya. Jarak perjalanan dan jauh dari keluarga sering mendorong seorang laki-laki Syiah mengadakan nikahmutah dengan shigheh di salah satu kota tempat singgah. Ironisnya, sebelum ada batas-batas negara seperti sekarang ini, dulu, kebiasaan mencari shigheh seperti itu pernah dimanfaatkan oleh para musafir muslim dari negeri-negeri Islam atau bahkan musafir-musafir non-muslim yang singgah di salah satu kota di negeri Persia. Mereka sengaja singgah untuk mendapatkan seorang shigheh, meskipun tahu bahwa itu adalah bagian dari kepercayaan Syiah. Seorang perempuan Syiah terkadang juga bersedia menjadi shigheh untuk menemani perjalanan calon pasangannya mutahnya. Praktek seperti ini, bahkan, pernah dianjurkan oleh pihak penguasa Persia sebelum Dinasti Pahlevi menguasai Persia pada pertengahan 1920-an; Dinasti Pahlevi pernah mengeluarkan kebijakan agar rakyat Iran meninggalkan praktek mutah.

Terkait cadar, keluarga-keluarga kaya di Iran banyak yang pernah melakukan mutah dengan pembantu-pembantu rumah tangganya karena motif fleksibilitas. Daripada harus membuka dan menutup cadar yang harus dipakai oleh perempuan-perempuan non-mahram, banyak majikanatas persetujuan istri-istri merekayang melakukan nikah mutah dengan para pembantu perempuan mereka, sehingga mereka dapat leluasa bekerja di dalam rumah majikan-majikan tersebut. Praktek mutah dengan motif seperti itu, ternyata, juga dipraktekkan di kalangan mullah di Masyhad. Pembantu-pembantu yang dimaksud, cerita salah seorang putri ayatullah, sangat senang diangkat statusnya sebagai seorang shigheh. Mereka mendapat kehormatan di mata masyarakat tempat mereka kerja, begitu pun di mata masyarakat desa ketika mereka pulang. Pada masa akhir pemerintahan Syah Reza Pahlevi, di Iran, terdapat sebuah agensi yang khusus menyalurkan tenaga-tenaga pembantu tetapi sekaligus juga sebagai calon-calon shigheh untuk majikan masing-masing. Meski demikian, ada kalanya istri-istrilah yang berinisiatif mencarikan pembantu-pembantu yang bersedia menjadi shigheh bagi suami-suami mereka. Yang sudah pasti tidak dilupakan adalah praktek mutah dalam rangka mencari keturunan. Di tengah penganut Syiah di Iran, kemandulan istri menjadi salah satu dasar penting bagi seorang laki-laki menceraikan istri. Akan tetapi, laki-laki tersebut boleh tidak menceraikan istrinya. Suami tersebut dibolehkan untuk menikah secara permanen dengan perempuan lain (baca: poligami) atau melakukan mutah dengan perempuan yang tidak mandul. Motif seperti itu juga berlaku ketika seorang suami frustasi karena istrinya selalu melahirkan anak perempuan. Sang suami dapat melakukan mutah demi tujuan mendapatkan seorang putra dari shighehnya.

MUTAH BUKAN UNTUK SEKS


Sama halnya dengan shigheh seksual, shigheh non-seksual juga muncul karena beberapa motif. Yang paling utama adalah motif kemahraman. Sebagaimana ahlus sunnah wal jamaah, Syiah juga mengenal konsep kemahraman dalam hubungan laki-laki dan perempuan. Seorang perempuan tidak diperkenankan untuk bergaul dengan laki-laki yang bukan mahram. Meski tidak serigid ahlus sunnah wal jamaah, bagi orang-orang Syiah, seorang perempuan diharuskan untuk memakai hijab atau pakaian yang menutup sekujur tubuhnya di hadapan laki-laki yang bukan mahramnya.

Ketentuan yang seperti itulah kemudian yang cukup membatasi pergaulan di tengah kalangan orangorang Syiah. Untuk mengesahkan hubungan antara dua orang yang bukan mahram demi persahabatan atau keakraban antara mereka, muncul apa yang diistilahkan sebagai shgheh

mahramiyyat.
Gambaran sederhananya, seorang laki-laki melakukan mutah dengan seorang anak perempuan kecil berumur lima atau enam tahun agar dapat bertemu dan berbicara di hadapan ibu anak perempuan itu tanpa hijab. Dengan demikian, setelah kontrak dengan anak itu selesai, laki-laki tersebut menjadi mahram selama-lamanya bagi ibu si anak. Untuk tujuan seperti ini, sering masa kontrak yang disepakati hanya selama satu jam atau bahkan kurang. Laki-laki tersebut pun tidak melakukan satu apa pun yang bersifat seksual kepadashigheh ciliknya. Motif seperti itu juga bisa diterapkan kepada kakek atau nenek. Seorang laki-laki Syiah dapat melakukanmutah dengan cucu salah seorang majikannya agar ia dapat melakukan tugas-tugas kerumahtanggaan di dalam rumah majikan. Dengan mutah itu, ia menjadi mahram selama-lamanya bagi kakek atau nenek, meskipun cucu yang menjadi shigheh itu baru berumur dua tahun. Selain untuk tujuan seperti itu, shigheh mahramiyyat dapat dimunculkan karena tuntutan untuk melakukan sebuah perjalanan jauh. Misalnya, seorang janda yang ditinggal mati suaminya tidak memiliki mahram. Sementara itu, sebelum meninggal-dunia, sang suami telah berwasiat agar dimakamkan di kampung halamannya yang jauh. Untuk tujuan seperti ini, istri tersebut dapat melakukan mutah dengan seorang laki-laki yang bersedia menjadi suami tanpa hubungan seksual dan menemaninya untuk melakukan wasiat itu. Motif yang unik adalah mutah dalam rangka memudahkan seseorang untuk mengambil keputusan. Sederhananya, seorang laki-laki ingin melakukan pernikahan permanen dengan seorang perempuan yang tidak memiliki mahram lewat perantaraan biro jodoh. Agar calon suami dapat mengenal calon istrinya dengan lebih baik, seperti lewat tatap muka dan berbincang-bincang langsung, pihak biro jodoh bersedia menugaskan salah seorang pegawai laki-lakinya untuk men-shigheh-mahramiyyat-kan perempuan itu. Dengan demikian, calon suami dapat mengenal lebih akrab calon istrinya meski harus ditemani oleh salah satu pegawai biro jodoh. Mereka bisa meneruskan proses taaruf itu, jika cocok. Jika tidak, mereka bisa menghentikannya.

Bentuk seperti itu pernah dipraktekkan pada akhir masa pemerintahan Dinasti Pahlevi dulu. Setelah Revolusi Iran, praktek-praktek seperti itu mulai menimbulkan skandal-skandal tidak mengenakkan dan mendapatkan sorotan luas. Motif seperti itu juga memiliki bentuk yang lain dan inilah yang cukup umum dipraktekkan. Bentuk yang dimaksud disebut sebagai shigheh bala sar-i atau shigheh makam suci. Bedanya, jika sebelumnya melalui perantaraan biro jodoh, maka bentuk yang ini dilakukan di depan kuburan Ali Ridho di Masyhad. Dua calon suami-istri dapat mempersiapkan pernikahan permanennya lewat shigheh

mahramiyyat mereka masing-masing. Hanya saja, untuk tercipta shigheh mahramiyyat, mereka
melakukan akadnya di kuburan tersebut. Artinya, mereka masing-masing melakukan mutah agar dapat terbuka peluang untuk saling mengenal lewat perantaraan mahram-mahram mereka. Jika mereka merasa cocok dalam proses saling mengenal itu, mereka berdua dapat menikah secara permanen kemudian.

MUTAH KARYA REZIM KHOMEINI


Sejak digulingkannya Dinasti Pahlevi lewat Revolusi Iran, pemerintah Iran yang baru telah menciptakan motif-motif mutah yang lebih baru. Dalam bentuk-bentuk itu, muncul jenisjenis shigheh baru pula. Di antaranya adalah shigheh pertobatan. Perempuan-perempuan pelacur pada masa Dinasti Pahlevi banyak yang ditangkap oleh pemerintahan Iran yang baru. Mereka dipaksa bertobat dari segala dosa yang mereka lakukan sebelumnya. Untuk memenuhi tujuan itu, pemerintah menunjuk petugas-petugas tertentu untuk melakukan mutahdengan beberapa mantan pelacur. Dalam kontrak yang disepakati, para petugas itu menjadi semacam tameng bagi mantan-mantan pelacur itu dari pandangan-pandangan negatif atas mereka. Artinya, perempuan-perempuan itu, lewat mutah ini, akan memiliki kehidupan yang lebih baik. Tidak sebagaimana para pelacur pada umumnya. Sementara itu, mendukung program pemerintah, seperti tidak melacurkan diri lagi, termasuk dari bagian agama mereka. Ada juga yang disebut sebagai shigheh hukuman. Shigheh jenis ini terkait erat dengan kepercayaan yang hidup di tengah orang-orang Syiah. Menurut mereka, perempuan-perempuan yang masih perawan jika mati, maka mereka dipercaya akan masuk ke dalam Surga.

Karena itu, tahanan-tahanan politik perempuan yang divonis dengan hukuman mati, jika diketahui masih perawan, akan dipaksa melakukan mutah oleh pemerintah Iran lewat petugas-petugas di penjara. Membiarkan mereka tetap perawan akan membuat percuma eksekusi mati atas mereka. Ada lagi yang diistilahkan dengan pernikahan percobaan atau izdivaj-i azmayishi. Dalam proses ini, sepasang muda-mudi yang akan menikah secara permanen diminta oleh pemerintah untuk melakukanmutah tanpa hubungan seksual. Dalam ikatan mutah seperti itu, mereka akan dapat saling mengenal satu sama lain sebelum melangkah ke jenjang pernikahan permanen atau tidak sama sekali. Proses saling mengenal itu dibatasi oleh masa kontrak. Dalam terma mereka, mutah seperti itu diharapkan dapat menggantikan hasrat mereka untuk pacaran yang dalam keyakinan Syiah adalah haram. Bagaimana pun, kebiasaan pacaran antara muda-mudi yang lazim pada masa pemerintahan Dinasti Pahlevi dapat dihapuskan secara permanen. (Sumber: Abu Mujahid. Syiah di Indonesia: Sejarah, Jaringan dan Pengaruh [Bandung: Toobagus Publishing, 2012])

BIOGRAFI ALI BIN ABI THALIB


oleh Rimbun Natamarga (Catatan) pada 22 November 2012 pukul 23:35

Ali bin Abi Thalib radhiyallahu anhu adalah salah satu pahlawan terbesar Islam sepanjang masa. Lahir sekitar tujuh tahun sebelum kenabian Muhammad shallallahu alaihi wa sallam, Ali adalah salah satu anak laki-laki pasangan Abu Thalibyang bernama Abdi Manaf bin Abdul Muththalib dan Fatimah binti Asadradhiyallahu anha. Meski demikian, sejak kecil Ali sudah diambil dan diasuh Rasulullah yang ingin meringankan beban Abu Thalib. Tidak seperti pedagang-pedagang Quraisy yang lain, hasil kegiatan dagang Abu Thalib banyak terpakai-habis untuk menghidupi keluarganya dan orang-orang yang ditanggungnya. Rasulullah sendiri sempat menjadi tanggungan Abu Thalib ketika ditinggal mati kakeknya, Abdul Muththalib, pada waktu berumur delapan tahun. Ali memiliki beberapa orang saudara kandung laki-laki dan perempuan. Saudara laki-laki Ali adalah Thalib, Aqil dan Jafar. Mereka semua lebih tua daripada Ali. Adapun saudara -saudara perempuan, mereka adalah Ummu Hani dan Jumanah. Ketika Muhammad shallallahu alaihi wa sallam diangkat menjadi nabi dan rasul lewat lima ayat pertama surat Al-Alaq dan Al-Muddatstsir, Ali menjadi orang pertama yang masuk Islam dari kalangan kanak-kanak bangsa Quraisy. Ali kemudian mempelajari Islam langsung dari sang nabi. Menjadi anak asuhan Rasulullah, Ali menyaksikan langsung perjalanan dakwah Rasulullah di Makkah. Lebih dari itu, ia mengetahui dan sering pula menyaksikan penderitaan yang dialami oleh Rasulullah dan para sahabatnya akibat perlakuan orang-orang musyrikin Quraisy. Ketika Rasulullah diperintahkan Allah subhanahu wa taala untuk hijrah menyusul sahabat-sahabat beliau yang telah dahulu ke Madinah, Ali diminta Rasulullah untuk tidur di pembaringan beliau. Malam itu adalah malam ketika jagoan-jagoan musyrikin Quraisy mengepung rumah Rasulullah untuk membunuh beliau berdasarkan keputusan musyarawah di Darun Nadwah. Darun Nadwah adalah nama bangunan yang didirikan di samping utara Masjidil Haram pada masa jahiliyyah dulu. Di tengah kita sekarang, Darun Nadwah dapat dibahasakan sebagai balai pertemuan masyarakat. Para tokoh musyrikin Quraisy berkumpul di sana dan bermusyawarah untuk mencari cara memadamkan dakwah Islam yang diemban Rasulullah. Atas usul Abu Jahal, Amr bin Hisyam, mereka kemudian mengutus sekitar sebelas orang untuk bersama-sama mengepung dan menghabisi nyawa Rasulullah.

Sebelas orang itu adalah Abu Jahal, Al-Hakam bin Abu Al-Ash, Uqbah bin Abu Muith, An-Nadhar bin Al-Harits, Umayyah bin Khalaf, Zamah bin Al-Aswad, Thuaimah bin Adi, Abu Lahab, Ubay bin Khalaf, Nabh bin Al-Hajjaj dan Munabbih bin Al-Hajjaj. Mereka semua adalah pemuda-pemuda dari kabilahkabilah Quraisy yang gagah-berani. Pada waktu yang telah direncanakan, mereka berkumpul di depan pintu rumah Rasulullah. Mereka mengintai dalam kegelapan malam, menunggu keluarnya Rasulullah dari rumah. Biasanya, Rasulullah bangun malam untuk pergi shalat di depan Kabah pada sekitar dua pertiga malam. Lewat perantaraan Malaikat Jibril, Rasulullah mengetahui rencana orang-orang Quraisy itu. Kepada Ali yang sudah berusia 21 tahun, Rasulullah memintanya untuk tidur di atas pembaringan Rasulullah sambil mengenakan kain penutup bewarna hijau. Rasulullah sendiri keluar lewat pintu yang sedang diintai oleh pemuda-pemuda Quraisy. Dengan sebuah mukjizat yang Allah berikan, Rasulullah dapat melewati mereka dan pergi menjumpai Abu Bakar di rumahnya. Malam itu juga, mereka berdua pergi melakukan perjalanan jauh. Dalam Ar-Rahiq Al-Makhtum, Shafiyurrahman Al-Mubarakfuri memastikan riwayat tentang cara Rasulullah keluar dari rumah itu. Dalam riwayat itu, diceritakan bahwa Rasulullah mengambil setangkup debu dan menaburkannya ke arah jagoan-jagoan Quraisy itu berada seraya membaca ayat ke-9 surat Yasin. Dengan itulah, Allah halangi pandangan mereka, sehingga Rasulullah dapat melenggang tenang pergi ke rumah Abu Bakar Ash-Shiddiq. Wallahu alam, hanya Allah-lah yang paling mengetahui semua ini. Dengan Ali berselimut, jagoan-jagoan Quraisy itu akhirnya menunggu sampai pagi, mengira bahwa yang tidur berselimut kain adalah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Mereka baru menyadari kekeliruan mereka, ketika Rasulullah telah jauh pergi ke luar Makkah, menuju Gua Tsur yang terletak di jalur ke arah Yaman. Kepergian ke Gua Tsur itu, lagi-lagi, dalam rangka mengelabui para pengejar mereka yang mengendarai tunggangan masing-masing. Bagaimana pun, jika Rasulullah dan Abu Bakar segera pergi ke Madinah malam itu, para pengejar itu akan dapat menyusul mereka berdua. Ali baru pergi ke Madinah setelah Rasulullah keluar dari Makkah. Sebelum itu, Ali dipercaya untuk membereskan segala urusan Rasulullah di kota Makkah, seperti melunasi hutang atau menagih

piutang, mengembalikan barang-barang yang pernah dipinjam Rasulullah dari orang-orang lain atau barang-barang yang pernah dititip ke Rasulullah. Pindah ke Madinah, Ali radhiyallahu anhu segera dipersaudarakan oleh Rasulullah dengan Sahl bin Hunaifradhiyallahu anhu. Proses persaudaraan seperti ini termasuk salah satu tindakan yang Rasulullah lakukan untuk mengurangi beban hidup yang mendera sahabat-sahabat beliau dari kalangan Muhajirin. Ali tidak banyak membawa harta ke Madinah. Akan tetapi, dalam keadaan seperti itu, Ali segera menjadi salah seorang pemuda yang diandalkan Rasulullah dalam banyak peperangan dankarena itusering mendapat jatah dari harta rampasan perang atau hasil sebuah penyerbuan tanpa perang. Dalam Perang Badar yang terjadi pada tahun kedua Hijriah, misalnya, Ali ditugaskan Rasulullah untuk memegang bendera perang milik Kaum Muhajirin. Selain itu, sebelum perang dimulai, Ali menjadi salah seorang wakil kaum muslimin untuk menghadapi perang tanding satu-lawan-satu dengan wakilwakil musyrikin Quraisy. Demikian pula dalam Perang Uhud yang terjadi pada tahun ketiga Hijriah. Ali menjadi salah seorang wakil kaum muslimin yang maju untuk menghadapi wakil kaum musyrikin dalam perang tanding. Ketika perang telah berkecamuk, Ali diperintah Rasulullah untuk memegang bendera perang setelah pemegang bendera sebelumnyaMushab bin Umair radhiyallahu anhutewas menjumpai syahid. Pada Perang Ahzab atau yang juga disebut sebagai Perang Khandaq (parit) Rasulullah shallallahu

alaihi wa sallam menugaskan Ali sebagai penyergap pasukan berkuda orang-orang musyrikin. Pada
hari itu juga, Ali terpaksa berduel dengan salah satu jagoan orang-orang Quraisy di dalam parit. Selama perang, Ali berhasil menunaikan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya. Kepahlawanan Ali makin tampak ketika Rasulullah dan para sahabat menaklukkan Benteng Khaibar pada tahun keenam Hijriah. Pada penaklukan inilah, Rasulullah bersabda, Betul -betul akan kuberikan bendera perang ini kepada seorang laki-laki yang mencintai Allah dan RasulNya dan Allah serta RasulNya juga mencintainya. [HR. Muslim] Orang yang dimaksud Rasulullah adalah Ali yang pada hari itu berhasil membuka salah satu benteng dari benteng-benteng Yahudi di Khaibar. Sebelum penaklukan selesai, Ali sempat berduel dengan salah satu jagoan Yahudi yang tak-terkalahkan, Marhab. Jagoan Yahudi ini tewas mengenaskan di tangan Ali.

Hanya satu perang bersama Rasulullah yang Ali lewatkan. Perang itu adalah Perang Tabuk yang terjadi pada Rajab tahun 9 H. Ali dipercaya Rasulullah untuk menjaga anak-anak, kaum wanita dan sahabat-sahabat Rasulullah yang uzur tidak bisa ikut perang karena sakit atau berusia lanjut. Pada perang yang dikenal juga lewat sebutan Saatu Usrah itu, Ali bukan sekedar dipercayakan sebuah kota yang dihuni oleh orang-orang lemah. Lebih dari itu, Ali dipercaya oleh Rasulullah untuk mengawal Madinah dari segala makar yang mungkin dilakukan oleh orang-orang munafik Madinah. Seperti yang dilukiskan ulang oleh Allah taala dalam Surat At-Taubah, banyak orang-orang munafik sengaja meminta izin untuk tidak ikut serta pada perang itu dengan 1001 alasan yang dibuat-buat mereka. Pada titik itulah, keadaan Ali dimisalkan Rasulullah dengan keadaan Nabi Harun alaihi as-salam ketika dulu dititipkan Bani Israil yang ditinggal sementara waktu oleh Nabi Musa alaihi as-salam. Dalam kata-kata kenabian, permisalan Rasulullah itu berbunyi, Tidakkah kau rela, jika kedudukanmu terhadapku sekarang, seperti kedudukan Harun terhadap Musahanya saja tidak ada nabi lagi setelahku? [HR. Al-Bukhari] Tidak hanya di medan laga, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam juga memercayakan beberapa permasalahan penting di luar perang untuk ditangani Ali. Pada bulan Dzul Hijjah tahun 9 Hijriah juga, misalnya, Ali diutus Rasulullah untuk membacakan Surat At-Taubah ke hadapan khalayak yang berhaji di Makkah waktu itu. Pada tahun 10 H, Ali diutus Rasulullah bersama Khalid bin Walid ke Yaman untuk kembali membawa 100 ekor onta yang akan disembelih Rasulullah di Makkah ketika Haji Wada. Ali termasuk salah seorang keluarga Rasulullah yang diminta untuk membantu Rasulullah ketika sakit. Misalnya, ketika Rasulullah ingin datang ke masjid, Ali adalah orang yang memapah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersama Abbas bin Abdil Muththalib radhiyallahu anhu. Ali pun menjadi salah seorang yang dipercaya untuk memandikan, mengafankan, dan menguburkan jenazah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Karena bentuk kepercayaan seperti itu, tidak mengherankan jika ada sebagian dari kaum muslimin yang mencoba membuat riwayat-riwayat palsu tentang Ali. Di antara riwayat-riwayat tersebut adalah riwayat yang menyebutkan bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mempersaudarakan Ali dengan diri beliau pada hari-hari pertama tiba di Madinah. Termasuk pula ke dalam riwayat-riwayat yang dimaksud adalah riwayat yang mengetengahkan ucapan Rasulullah, Engkau adalah saudaraku, pewarisku, pemimpin penggantiku ( khalifah rasulullah)

dan pemimpin terbaik sepeninggalku. Riwayat ini bertentangan dengan sebuah riwayat sahih dalam Shahih Al-Bukhari. Imam Al-Bukhari pernah meriwayatkan, Ketika Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam sakit, Abbas berkata kepada Ali,

Mari kita pergi ke Rasulullah. Lalu, segera kita tanyakan ke Rasulullah tentang siapa yang berhak memegang kepemimpinan nanti. Jika itu ada pada orang-orang kita, niscaya kita akan tahu tentangnya. Adapun jika itu ada pada orang-orang selain kita, kita pun tahu siapa itu. Dengan begitu, Rasulullah berarti telah memberikan wasiat di depan kita (tentang kepemimpinan itu sebelum wafatnya).
Ketika itu, Ali menjawab,

Sesungguhnya kita, demi Allah, jika menanyakan itu kepada Rasulullah kemudian beliau tidak memberikannya kepada kita, niscaya kepemimpinan itu tidak akan diberikan manusia kepada kita sepeninggal beliau. Dan sesungguhnya aku, demi Allah, tidak akan menanyakan hal itu kepada Rasulullahshallallahu alaihi wa sallam. [HR. Al-Bukhari]
Bersama sembilan sahabat yang lain, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menjaminkan untuknya Surga dan ini adalah di antara keutamaan Ali yang tak bisa dilupakan oleh kaum muslimin dari dulu sampai sekarang. Dalam sebuah hadits sahih, Rasulullah pernah bersabda, Sepuluh orang di Surga. Abu Bakar di Surga. Umar di Surga. Utsman, Ali, Zubair, Thalhah, Abdurrahman (bin Auf), Abu Ubaidah, dan Saad bin Abi Waqqash di Surga. [HR. At-Tirmidzi nomor 3748 dan disahihkan oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani] Hadits itu diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dan juga Imam Abu Dawud. Dalam kelengkapan riwayat itu, orang ke-10 yang dijamin masuk Surga oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam adalah Said bin Zaidradhiyallahu anhu. Sebagai sahabat Rasulullah yang telah dijamin masuk Surga, Ali radhiyallahu anhu sejatinya adalah seorang laki-laki yang berkulit coklat muda. Kedua matanya besar dan pada putih bola matanya terlihat warna kemerah-merahansebuah tanda akan keberanian dan sikap pantang menyerah yang ada pada dirinya. Kepalanya botak dan jenggotnya lebat. Ali berperawakan pendek. Akan tetapi, ketika berjalan, langkah-langkahnya terlihat ringan. Langkahlangkahnya itu akan terlihat setengah berlari ketika berjalan di tengah perang.

Ali menikah dengan Fatimah, putri bungsu Rasulullah. Darinya, Ali mendapat anak yang bernama Hasan, Husain, Muhsin, dan Ummu Kultsum. Sepeninggal Fatimah, sebagaimana diriwayatkan dalam Ath-Thabaqat Ibnu Saad dan Tarikh Ar-Rusul

wa Al-Muluk Imam Ath-Thabari, Ali menikah dengan beberapa orang wanita. Dari beberapa orang
istri itu, Ali mendapat banyak putra dan putri. Salah seorang istri Ali adalah Ummul Banin binti Hizam Al-Kalbiyah. Darinya, Ali mendapat empat orang putra. Mereka adalah Abbas, Jafar, Abdullah, Utsman. Kecuali Abbas, mereka semua terbunuh di bumi Karbala, Irak. Ali juga menikahi Laila binti Masud At-Tamimiyah. Darinya, Ali mendapat dua orang putra, Ubaidullah dan Abu Bakar. Jika Abu Bakar terbunuh di Karbala, maka Ubaidullah dibunuh oleh Al-Mukhtar AtsTsaqafi, sang nabi palsu. Sebenarnya, Ali memiliki seorang istri dari Bani Tsaqifah, kabilah sang nabi palsu itu. Wanita tersebut bernama Ummu Said binti Urwah bin Masud Ats-Tsaqafiyah. Dari istri yang ini, Ali memiliki dua orang putri yang bernama Ummul Hasan dan Ramlah Al-Kubra. Istri Jafar bin Abi Thalib bernama Asma binti Umais Al -Khatsamiyah radhiyallahu anhuma. Setelah ditinggal mati pada Perang Mutah, Asma dinikahi Abu Bakar Ash-Shiddiq dan melahirkan untuknya seorang putra yang bernama Muhammad. Setelah Abu Bakar wafat pada tahun ke-13 Hijriah, Asma dinikahi Ali. Untuknya, Asma melahirkan Yahya dan Aun. Ada yang mengatakan, anak kedua Ali dari Asma itu bukan Aun, tetapi Muhammad Al-Ashghar. Pendapat inilah yang benar, sebagaimana dikatakan Ibnu Katsir dalam Al-Bidayah wa An-Nihayah. Muhammad Al-Ashghar berarti Muhammad yang kecil. Selain dirinya, Ali memiliki anak-anak lain yang juga bernama Muhammad. Mereka adalah Muhammad Al-Akbar dan Muhammad Al-Awsath. Muhammad Al-Awsath adalah satu-satunya putra Ali dari istri yang bernama Umamah binti Abil Ash bin Rabi. Wanita ini adalah cucu Rasulullah dari putri beliau yang bernama Zainab radhiyallahu anhu, kakak perempuan Fatimah yang sulung. Tentu saja, pernikahan Ali dan Umamah baru terjadi setelah Fatimah wafat dan itu atas wasiat Fatimah langsung ke Ali. Muhammad Al-Akbar dikenal pula sebagai Muhammad bin Al-Hanafiyyah atau sering disebut Ibnul Hanafiyyah. Ibunya adalah Khaulah binti Jafar dari Bani Hanifah. Semula, Khaulah adalah salah satu

wanita yang ditawan pasukan Khalid bin Walid ketika memerangi orang-orang murtad pada masa pemerintahan Abu Bakar Ash-Shiddiq. Sebagai tawanan, Khaulah kemudian diberikan kepada Ali dan dinikahinya. Selain Khaulah, Ali juga pernah mendapat wanita tawanan lain dari pasukan Khalid bin Walid ketika mereka menyerbu daerah yang bernama Ain At-Tamar. Wanita itu bernama Ummu Habib binti Rabiah. Wanita dari Bani Taghlib ini diberikan kepada Ali dan dinikahinya. Darinya kemudian Ali mendapat seorang putra yang dinamai Umar dan seorang putri yang dinamai Ruqayyah. Istri Ali yang terakhir bernama Bintu Amru-ul Qais bin Adi. Wanita ini berasal dari Bani Kalb. Darinya, Ali mendapat seorang putri yang lucu. Semua istri yang disebut tidak dinikahi Ali dalam sekali waktu, sebab Islam melarang seorang laki-laki beristri lebih dari empat orang sekaligus, seperti termaktub dalam firman Allah subhanahu wa

taala ayat ke-2 dan ke-4 surat An-Nisa. Ada empat orang istri, sembilan belas budak wanita, empat
belas putra dan tujuh belas orang putri yang menyertai Ali sampai penghujung hidupnya. Dari keturunan sebanyak itu, ternyata, hanya lima orang yang meneruskan garis keturunan Ali radhiyallahu anhu, karena bangsa Arabkemudian Islamhanya mengenal sistem keturunan yang bersifat patrilineal. Mereka adalah Hasan, Husen, Muhammad bin Al-Hanafiyah, Abbas bin AlKalbiyah, Umar bin At-Taghlibiyah. Pada tahun 40 H, Ali meninggal dunia di kota Kufah, Irak. Wajah Ali dihantam pedang oleh Abdurrahman bin Muljam. Waktu itu, Ali menjabat sebagai khalifah kaum muslimin, menggantikan Utsman bin Affan yang telah dibunuh orang-orang Khawarij pada tahun 35 H.

BIOGRAFI FATIMAH PUTRI RASULULLAH


oleh Rimbun Natamarga (Catatan) pada 19 November 2012 pukul 17:55

Fatimah adalah putri Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam yang paling bungsu. Ibunya adalah Khadijah binti Khuwailid radhiyallahu anha, istri pertama sekaligus satu-satunya istri yang melahirkan banyak anak untuk Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Fatimah sendiri, dalam salah satu riwayat, memiliki tujuh orang saudara kandung. Mereka adalah Qasim, Abdullah, Thahir, Thayyib, Zainab, Ruqayyah, Ummu Kultsum. Semua saudara kandung Fatimah yang laki-laki meninggal dunia ketika mereka masih kecil, sedangkan saudara-saudara perempuannya meninggal dunia ketika Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam telah menetap di Madinahmendahului wafat ayah mereka. Menjadi Saksi Hidup Ayahnya Lahir beberapa waktu sebelum ayahnya menerima wahyu di Gua Hira, Fatimah menghabiskan masa kanak-kanaknya di Makkah bersama ayah dan ibunya. Masa-masa itu adalah masa ketika Rasulullah dan para sahabatnya mendapatkan permusuhan, pengucilan, dan pengusiran dari orang-orang kafir Quraisy. Dengan mata kepala sendiri, Fatimah kecil pernah melihat kotoran unta diletakkan di atas punggung ayahnya ketika sedang sujud di depan Kabah. Sementara orang -orang kafir Quraisy tertawa terbahak-bahak, Fatimah hanya diam seraya membersihkan kotoran tersebut. Waktu itu, ia telah melihat kesabaran ayahnya dalam menanggung beban dakwah. Belum lagi beranjak remaja secara penuh, Fatimah telah kehilangan ibunya. Khadijah meninggal dunia pada tahun kesepuluh dari kenabian dalam usia 65 tahun. Kepergian ibunya itu terjadi ketika orang-orang kafir Quraisy baru selesai mengucilkan Bani Hasyim yang masih saja membela sekaligus melindungi Muhammad dan dakwahnya. Pengucilan yang dimaksud berlangsung selama tiga tahun. Keadaan mulai berubah sejak kaum muslimin diperintahkan untuk hijrah ke Yatsrib atau Madinah sekarang. Kehidupan Rasulullah dan para sahabat mulai beranjak normal. Mereka kembali menata kehidupan, baik itu kehidupan pribadi maupun kehidupan bermasyarakat mereka. Menikahi Seorang Jagoan Perang Perubahan keadaan itu juga menghampiri Fatimah. Setelah berdomisili sekitar dua tahun kurang di Madinah, Rasulullah menikahkan putri bungsunya itu dengan Ali bin Abi Thalib. Seperti yang

dikatakan Adz-Dzahabi, pernikahan itu dilangsungkan setelah terjadi Perang Badar pada bulan Ramadhan tahun kedua Hijriah. Dua tahun kehidupan pertama rumah tangga mereka adalah masa-masa sulit. Tidak seperti sahabatsahabat Rasulullah yang pandai berdagang ke Syam dan Yaman, Ali adalah laki-laki miskin yang sering ditugaskan Rasulullah dalam banyak ekspedisi militer. Dalam sejumlah ekspedisi itulah, Ali mendapat bagian harta yang dirampas dari harta-harta musuh Islam untuk menafkahi keluarganya. Sebagai suami Fatimah, Ali radhiyallahu anhu tidak mengambil wanita lain sebagai istri, meskipun sudah biasa bagi seorang laki-laki Arab waktu itu untuk beristri lebih dari satu. Untuk suaminya itu, Fatimah kemudian melahirkan tiga anak laki-laki dan dua anak perempuan. Mereka dinamai Hasan, Husein, Muhsin, Ummu Kultsum, Zainab. Jika Rasulullah mengabarkan bahwa Ali adalah salah seorang dari sepuluh sahabat utama yang dijamin masuk Surga, sedangkan Hasan dan Husen adalah pemuka-pemuka kalangan pemuda di Surga nanti oleh Rasulullah, maka Fatimah radhiyallahu anha Rasulullah kabarkan sebagai salah seorang dari lima wanita anak Adam yang menjadi pemuka-pemuka para wanita penghuni Surga. Kabar Fatimah seperti ini dapat kita ketahui berdasarkan salah satu riwayat sahih yang berasal dari Aisyah radhiyallahu anha. Dalam salah satu hadits sahih yang diriwayatkan Imam Al-Bukhari dan Muslim, Rasulullah pernah memberi kabar kepada Fatimah, Wahai Fatimah, tidak maukah kau menjadi pemimpin para istri orang-orang mukmin atau menjadi sebaik-baik wanita umat ini?'. [H.R. Al-Bukhari nomor 5928 & Muslim nomor 2450]. Dengan keutamaan seperti itu, wajarlah jika sang ayah, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam betulbetul mencintai Fatimah dan membelanya selama diizinkan Allah azza wa jalla. Siapa saja yang menyakitinya sama saja menyakiti diri sang ayah. Fatimah, kata Rasulullah, adalah bagian dariku. Maka, siapa saja yang membuatnya marah, maka ia juga telah membuatku marah. Riwayat seperti ini bisa kita lihat dalam Shahih Al-Bukhari riwayat nomor 3174, 3729, 3767 dan Shahih Muslim riwayat nomor 2449. Ali yang sempat berencana melamar putri Abu Jahl Amr bi Hisyamsalah seorang pemuka musyrikin Quraisy yang tewas pada Perang Badarpernah mendapat teguran dari Rasulullah. Kata Rasulullah waktu itu, setelah mendengar laporan dari Fatimah,

Kunikahkan Abul Ash bin Ar-Rabi (dengan Zainab), maka ia mendatangiku dan membenarkan aku. Dan, sungguh, Fatimah adalah bagian dariku, sedangkan aku tidak suka jika ia disakiti. Demi Allah, tidak akan diperistri anak perempuan seorang utusan Allah dan anak perempuan musuh Allah pada seorang laki-laki.[HR. Al-Bukhari nomor 3110, 3729 & Muslim nomor 2449]
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam membela Fatimah. Karena itulah, selama hidupnya, Ali selalu merasa segan karena kedudukan Fatimah di sisi Rasulullah. Sampai untuk menanyakan permasalahan pribadi pun kepada Rasulullah, Ali meminta orang lain untuk mewakilinya. Karena Abu Bakar Ash-Shiddiq? Sepeninggal Rasulullah, Fatimah meminta ke Abu Bakar tanah milik Rasulullah yang ada di daerah Fadak. Pada tahun keenam Hijriah, tanah yang dimaksud menjadi milik Rasulullah setelah peristiwa penaklukan Benteng Khaibar, sebuah daerah tempat kaum Yahudi tinggal. Bagi Fatimah, tanah itu merupakan harta warisan Rasulullah yang sudah semestinya menjadi hak keluarga dan keturunan Rasulullah. Fatimah meminta harta itu, tetapi permintaan ini ditolak oleh Abu Bakar. Seperti yang didengarnya langsung dari Rasulullah, Abu Bakar tahu bahwa para nabi dan rasul tidak meninggalkan harta warisan ketika wafat. Abu Bakar berkata, Aku pernah mendengar Rasulullahshallallahu alaihi wa sallam bersabda, Kami tidak mewariskan sesuatu. Apa yang kami tinggalkan adalahshadaqah. Hanya saja, keluarga Muhammad tidak makan dari harta seperti ini (shadaqah). [HR. Al-Bukhari nomor 3093 & Muslim nomor 1759] Dalam riwayat lain, yang juga ada dalam Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim, sabda Rasulullah itu berbunyi, Harta warisanku tidak dibagi-bagikan meskipun itu hanya satu dinar. Apa-apa yang kutinggalkan setelah nafkah istri-istriku dan gaji para pelayanku adalah shadaqah. [HR. AlBukhari nomor 2776, 3096, 6729 & Muslim nomor 1760] Hal inilah yang menjadi dasar penolakan Abu Bakar. Ia pribadi lebih ingin, lebih memilih, berpegang pada apa yang dikatakan Rasulullah itu. Demi Allah, kata Abu Bakar, aku tidak akan meninggalkan suatu perkara yang aku lihat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melainkan akan pula kulaksanakan. Ternyata, penolakan Abu Bakar itu membuat Fatimah marah dan tidak mau mengajak bicara Abu Bakar. Keadaan ini berlangsung selama beberapa bulan. Karena menghormati istrinya, Ali terlihat seperti menjaga jarak dengan Abu Bakar.

Akan tetapi, sebagaimana yang diriwayatkan Imam Al-Baihaqi, keadaan seperti itu berubah ketika Fatimah mulai sakit pada bulan terakhir hidupnya. Mengetahui sakit itu, Abu Bakar datang menemui Ali dan meminta izin kepada Fatimah lewat perantaraan Ali untuk berbicara kepadanya. Didampingi Ali, Abu Bakar berbicara kepada Fatimah setelah diberi izin. Maksud pembicaraan itu adalah untuk meminta maaf kepada Fatimah tentang permasalahan yang terjadi antara mereka. Abu Bakar memulai pembicaraan dengan mengucapkan, Demi Allah, tidaklah kutinggalkan, rumah, harta, keluarga, dan kerabatku kecuali untuk mengharapkan ridho Allah, ridho rasulNya, dan ridho kalian, wahaiahlul bait. Ia mengulang-ulang kalimat ini sampai Fatimah memaafkannya. Tidak lama kemudian Fatimah wafat dalam usia yang sangat muda, 24 tahun. Ali mengurusi jenazahnya. Di malam harinya, jenazah Fatimah dikuburkan Ali tanpa memberitahu Abu Bakar selaku pemimpin kaum muslimin waktu itu. Sikap Ali dan Baiat Keduanya Menghindari kesan buruk yang bakal berkembang di tengah kaum muslimin setelah wafatnya Fatimah, Ali memberitahu Abu Bakar tentang rencananya untuk berbaiat kembali kepada Abu Bakar. Baiat yang dimaksud akan dilakukan di Masjid Nabi dan disaksikan oleh kaum muslimin yang ada. Rencana itu disampaikan Ali dalam sebuah pembicaraan berdua dengan Abu Bakar, tidak lama setelah wafatnya Fatimah. Dalam pembicaraan itu, Ali mengatakan,

Sungguh, kami telah mengetahui keutamaan yang ada pada Anda dan apa-apa yang telah Allah berikan kepada Anda. Dan kami pun tidak iri kepada kebaikan yang telah Allah bawakan kepada Anda. Akan tetapi, kalian telah memaksakan kehendak kalian kepada kami, sedangkan kami memandang bahwa dengan kekerabatan kami dengan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam kami memiliki bagian dari harta warisan beliau.
Ali terus berbicara tentang hal itu, sementara Abu Bakar menangis. Kepada Ali, Abu Bakar akhirnya mengatakan,

Demi yang jiwaku ada di tanganNya, sungguh, dengan kerabat Rasulullah shallallahu alaihi wa
sallam lebih kusenangi untuk kusambung ketimbang dengan kerabatku sendiri. Adapun apa-apa yang

kita perselisihkan dalam masalah harta warisan ini, maka sesungguhnya aku tidak pernah mengalihkannya sedikit pun dari kebaikan dan aku tidak meninggalkan apa-apa yang telah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam lakukan kecuali aku pun akan melakukannya.

Sesuai rencana, baik Abu Bakar maupun Ali, akan memberikan penjelasan kepada hadirin tentang permasalahan yang sempat mengemuka antara mereka. Dengan demikian, diharapkan, tidak akan ada yang menganggap bahwa permasalahan antara mereka terkait permasalahan kepemimpinan setelah Rasulullah. Dalam Al-Bidayah wa An-Nihayah, Ibnu Katsir membawakan sebuah riwayat sahih yang bercerita tentang jalan acara baiat kedua Ali itu.

Setelah pelaksanaan shalat Zhuhur, Abu Bakar naik ke atas mimbar lalu berkhutbah. Sehabis mengucapkan dua kalimat syahadat, Abu Bakar menyebutkan urusan yang ada pada Ali dan alasan di balik keterlambatan baiat Ali kepadanya. Ali pun kemudian ganti berbicara. Ia menyebutkan hak, keutamaan dan kesenioran Abu Bakar. Ali menyebutkan juga, bahwa keterlambatan baiatnya kepada Abu Bakar bukan karena iri terhadap kepemimpinan yang ada pada Abu Bakar. Setelah itu, Ali beranjak menuju Abu Bakar dan membaiatnya.
Orang-orang yang hadir pada waktu banyak yang datang ke Ali. Mereka betul-betul menghargai sikap Ali seperti itu. Mereka memuji Ali seraya mengucapkan, Ahsanta.[]

PEMERINTAHAN DINASTI SAUDI PERTAMA: SEBUAH RIWAYAT


oleh Rimbun Natamarga (Catatan) pada 18 November 2012 pukul 16:35

Umum diketahui bahwa pemerintahan Dinasti Saudi, setelah bergabung dengan Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab, terbagi ke dalam tiga periode pemerintahan. Masing-masing periode menjalani zaman yang agak berbeda satu sama lain. Periode pertama pemerintahan berlangsung sejak Dinasti Saudi bergabung dengan Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab pada tahun 1157 H sampai tahun 1233 H ketika Abdullah bin Su'ud ditangkap oleh Ibrahim Pasya di Dir'iyyah. Ibrahim Pasya mewakili Muhammad Ali Pasya di Mesir yang diperintah Sultan Turki Utsmani untuk menumpas gerakan dakwah Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab Periode kedua berlangsung sejak tahun 1240 H di bawah kepemimpinan Turki bin Abdillah bin Su'ud sampai tahun 1309 H ketika berada di bawah kepemimpinan Abdurrahman bin Faisal. Tokoh pemimpin yang terakhir ini adalah ayah Raja Abdul Aziz. Adapun periode ketiga, maka periode ini dianggap bermula sejak tahun 1319 H (1902 M) ketika Abdul Aziz bin Abdirrahman berhasil merebut kembali Riyadh dan terus berlangsung sampai sekarang. Pada periode ketiga inilah pemerintahan Dinasti Saudi mulai menggunakan sebutan Kerajaan Arab Saudi (Al-Mamlakah Al-Arabiyah As-Suudiyah/Kingdom of Saudi Arabia [KSA]). Tulisan singkat ini ingin memerikan secara padat periode pertama pemerintahan Dinasti Saudi. Berdiri lewat komitmen mendukung dakwah Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab, Dinasti Saudi mampu meraih kemuliaan dan kejayaan di Jazirah Arabsebuah kawasan yang tidak pernah resmi menjadi bagian kekuasaan Turki Utsmani kecuali hanya 30%. Dari Dakwah Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab Dakwah Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab (17031794 M) sudah berlangsung sejak sebelum beliau menetap di Dir'iyyah, Nejed, pada tahun 1744. Dakwah itu dimulai ketika beliau masih berada di Basrah, Irak, sembari belajar pada Syaikh Muhammad Al-Majmu'i. Dari Dir'iyyah, dakwah tersebut disebarkan ke luar wilayah Nejed. Pemerintah Dinasti Saudi pertama sempat membawa dan menyebarkan dakwah ini ke tanah Hijaz, ke Mekkah dan Madinah, sebelum Dir'iyyah diduduki oleh Muhammad Ali Pasya, penguasa dan wakil Sultan Turki Utsmani untuk Mesir dan sekitarnya, pada tahun 1233 H (1818 M).

Peristiwa pendudukan itu bermula pada tahun 1172 H. Melihat perkembangan dakwah Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab pada waktu itu, penguasa Mekkah, Syarif Mas'ud bin Sa'id bin Zaid, merasa terancam. Ia kemudian mengirim laporan kepada Sultan Turki Utsmani yang berisi peringatan tentang ancaman ini. Usahanya itu kemudian diiringi dengan mengeluarkan kebijakan untuk melarang orang-orang Nejed, terutama dari Dir'iyyah dan daerah-daerah yang telah menerima dakwah Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab, berhaji ke Mekkah. Menyikapi kebijakan seperti itu, Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab dan pemerintah Dinasti Saudi pertama mengutus beberapa orang untuk berdialog dengan penguasa dan pemuka agama di Mekkah sekaligus memohon agar diizinkan kembali untuk melaksanakan haji. Akan tetapi, permohonan itu ditolak. Lebih dari itu, para utusan tersebut kemudian dituduh oleh penguasa Mekkah sebagai orang-orang kafir. Ia pun memerintahkan agar mereka semua ditangkap dan dipenjara. Baru beberapa tahun kemudian izin haji itu keluar. Dalam kesempatan haji ini, sejumlah murid Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab datang dan mengajak berdialog para penguasa dan pemuka agama di Mekkah. Setelah dialog yang berhasil menghilangkan kesalahpahaman itu, hubungan antara penguasa Mekkah dan Dir'iyyah membaik. Terbukti, pada tahun 1183 H, penguasa Mekkah saat itu, Syarif Mansur, berkunjung ke Dir'iyyah dan disambut dengan baik oleh Abdul Aziz bin Muhammad, pemimpin Dinasti Saudi waktu itu. Keruntuhan Dinasti Saudi Pertama Setelah tahun 1184 H, hubungan baik yang terjalin itu kembali memburuk. Sampai tahun 1202 H, izin haji untuk jamaah haji dari Nejed seperti tarik-ulur. Adakalanya mereka diizinkan, adakala juga tidak. Pada masa pemerintahan Syarif Ghalib, penguasa Mekkah sejak 1202 H, hubungan yang terjadi menjadi tegang dan tidak menentu. Bahkan, ketegangan ini pun mulai berlanjut ke kontak senjata. Tahun 1205 H menandai permulaan kontak senjata antara penguasa Mekkah dan penguasa Nejed. Sampai tahun 1213 H, peperangan terus terjadi antara mereka. Menariknya, selama itu pula, serangan pasukan Mekkah dapat dibendung sampai akhirnya penguasa Mekkah mengajak dilakukan perjanjian damai dengan Nejed.

Perjanjian itu pun tidak berlangsung lama, peperangan kembali terjadi. Akhir dari peperangan itu ditandai dengan penaklukan Mekkah pada tahun 1218 H (1803 M) oleh Dinasti Saudi. Pada waktu itu, pemimpin mereka masih Abdul Aziz bin Muhammad, sedangkan pemimpin pasukan yang ke Mekkah adalah anaknya, Su'ud bin Abdil Aziz. Dua tahun setelah itu, Madinah juga berhasil diduduki. Dinasti Saudi memimpin pemerintahan yang meliputi hampir sebagian besar Jazirah Arab. Pemerintahan yang baru ini tidak berlangsung lama. Pada tahun 1223 H, turun perintah dari Sultan Turki Utsmani kepada Muhammad Ali Pasya untuk merebut kembali dua tanah suci itu. Baru pada tahun 1226 H perintah tersebut dijalankan. Sejak saat itu, sampai tahun 1233 H, serangan terhadap Dinasti Saudi dilancarkan. Melalui tangan anaknya, Ibrahim Pasya, Muhammad Ali Pasya akhirnya berhasil menundukkan Dinasti Saudi yang ditandai dengan penaklukan kota Dir'iyyah. Dengan brutal, kota ini kemudian diluluhlantakkan. Ketika menaklukkan Dir'iyyah, Ibrohim Pasya banyak membantai banyak penduduk setempat. Diceritakan oleh beberapa sumber sejarah bahwa Ibrahim Pasya memenggal kepala dan juga memotong telinga penduduk-penduduk setempat yang berhasil ditangkap untuk kemudian dikirim ke Muhammad Ali Pasya di Mesir sebagai tanda bukti tugas yang dilakukannya. Abdullah bin Su'ud yang menjadi penguasa waktu itu ditangkap, lalu dikirim ke Mesir. Setelah sampai di Istanbul, ia dipaksa bertobat dari akidah yang diyakininya selama ini. Karena menolak, kepalanya dipenggal dan dihancurkan. Sisa jasadnya dipamerkan ke khalayak ramai dengan secarik pengumuman tentang riwayat eksekusinya. Demikian pula cucu Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab yang waktu itu meneruskan dakwah di Dir'iyyah, Syaikh Sulaiman bin Abdillah. Beliau bernasib sama. Setelah ditangkap, beliau dipermainkan di hadapan Ibrahim Pasya. Syaikh Sulaiman bin Abdillah kemudian dipaksa menyaksikan rekannya disiksa. Syaikh Sulaiman bin Abdillah akhirnya ditembak mati dan dirusak jasadnya.[]

Seorang Guru Hadits di Kufah: Waki


oleh Rimbun Natamarga (Catatan) pada 17 November 2012 pukul 20:58

Ia adalah seorang imam, seorang penghafal hadits yang kuat, dan juga pemimpin ahli-ahli hadits di Irak pada masanya. Lewat kuniyah Abu Sufyan, ia lebih dikenal lewat namanya, Waki' bin Jarrah. Lahir pada 129 H, Waki' kemudian berguru pada Hisyam bin Urwah bin Zubair bin Al-Awwam, Sulaiman bin Mihran Al-A'masy, Ja'far bin Burqan, Ismail bin Abi Khalid, Ibnu 'Aun, Ibnu Juraij, Sufyan Ats-Tsauri, Al-Auza'i, dan beberapa guru yang lain. Setelah itu, ia pun menyampaikan hadits-hadits Rasulullah. Dari majelis-majelis hadits yang disampaikannya, ia memiliki sejumlah murid yang terkemuka pada masanya. Di antara mereka yang patut disebut di sini adalah Ahmad bin Hanbal, Ali bin Al-Madini, Yahya bin Ma'in, Ishaq bin Rahawaih, Zuhair Abu Khaitsamah, Abu Bakar dan Utsman bin Abi Syaibah, Muhammad bin Al-'Ala. Ayah Waki' adalah seorang petugas baitul mal. Pada zaman pemerintahan Harun Ar-Rasyid, Waki' pernah ditawari untuk memegang jabatan qadi di Kufah. Waki' pun menolaknya. Ia lebih memilih hidup sebagai ahli hadits ketimbang memegang kedudukan di pemerintahan. Waki' sendiri adalah seorang laki-laki yang berduit. Ketika ibunya meninggal dunia, ia mendapatkan warisan dari ibunya itu 100.000 dirham. Meski demikian, Waki adalah laki-laki yang sering berpuasa. Bahkan, Yahya bin Aktsam menegaskan bahwa Waki selalu berpuasa. Ia tidak pernah melihat Waki' tidak berpuasa, baik itu ketika sedang safar ataupun tidak sedang safar. Lebih menakjubkan lagi, Waki' selalu juga menamatkan bacaan Al-Qur'an setiap malam. Waki', kata Yahya bin Ma'in, adalah orang yang menggantikan posisi Sufyan Ats-Tsauri. Pada waktu itu, Sufyan Ats-Tsauri digelari para pencari hadits sebagai amirul mukminin dalam bidang hadits. Gelar ini adalah derajat tertinggi yang diberikan kepada seseorang berdasarkan hafalan haditsnya yang luar biasa kuat. Pendapat yang sama juga diberikan Hammad bin Zaid. Waktu itu, Hammad bin Zaid sedang dudukduduk bersama Al-Qa'nabi dan yang lain, sampai kemudian muncul Waki. "Ini periwayat (hadits-hadits) Sufyan," kata mereka. "Justru kalau kalian mau," Hammad bin Zaid pun menimpali, "kalian bisa katakan, orang itu lebih meyakinkan daripada Sufyan."

Pujian yang serupa juga datang dari beberapa muridnya. Bagi Ahmad bin Hanbal, Waki' adalah orang yang paling memahami ilmu, tidak ada yang mengalahkannya dalam hafalan. Waki', komentar Yahya bin Ma'in, seperti Al-Auza'i pada masanya. Al-Auza'i adalah pemimpin para penghafal di tanah Syam pada masanya. Yahya bin Ma'in juga menguatkan tentang kelebihan Waki' dalam beribadah. "Aku," pujinya, "belum pernah melihat seseorang yang lebih baik ibadah sholat malam dan puasanya daripada Waki. Dan dalam berfatwa, Waki' lebih mengambil pendapat-pendapat Imam Abu Hanifah." Sesungguhnya, jika diurutkan puji-pujian untuk Waki', tentulah tidak akan sedikit. Banyak orangorang di masanya yang memuji Waki' dalam hal kekuatan hafalan, kuantitas ibadah, keluasan ilmu dan kedalaman pemahamannya. Akan tetapi, Waki' tetaplah manusia. Ia punya kekurangan yang selalu akan tercatat dalam sejarah. Ia dikenal sebagai ahli hadits yang berijtihad tentang bolehnya meminum air perasan anggur yang mengandung alkohol atau nabidz. Ia juga bahkan biasa meminumnya. Dan kebiasaan itu dikenal banyak orang, apalagi untuk mereka yang juga tahu bahwa ulama Kufah pada waktu itu membolehkan minum minuman itu seperti Abu Hanifah dan Abu Yusuf yang menjadi qadi pada masa pemerintahan Harun Ar-Rasyid. Pada tanggal 10 Muharram tahun 197 H, Waki' meninggal dunia. Ia meninggal sejumlah tulisan. "Kuwanti-wanti kalian," kata Ahmad bin Hanbal, "untuk membaca karya-karya Waki'." Amat disayangkan, kaum muslimin tidak begitu perhatian terhadap "warisan Waki'" itu. Bahkan, barangkali bisa kita katakan, hampir tidak ada karya utuh Waki' yang bisa kita dapatkan hari ini. Sepertinya, kita hanya akrab dengan sepotong bait syair ini.

Aku mengadu kepada Waki' tentang hafalanku yang jelek Maka ia pun menyuruhku untuk segera meninggalkan maksiat Sebab sesungguhnya ilmu itu adalah cahaya Sedang maksiat tidak akan diterangi cahaya
Itu potongan syair terkenal yang pernah dibuat oleh Imam Syafi'i. Santri-santri pesantren tradisional mengenal akrab syair ini.[]

Rupa Kengerian di Indonesia Akhir Abad XX: Sepotong Bagian Naskah SEJARAH SALAFI DI INDONESIA II yang Dibuang
oleh Rimbun Natamarga (Catatan) pada 11 November 2012 pukul 7:51

Rasa ngeri setiap orang berbeda-beda. Orang-orang yang tinggal di sebuah negeri belum tentu merasakan kengerian yang sama dengan orang-orang yang tinggal di negeri yang lain. Seolah-olah, kita dipaksa untuk mengatakan bahwa ada ambang kengerian minimum di setiap tempat. Richard Lloyd Parry adalah seorang koresponden untuk The Times yang ada di London, Inggris. Ia tinggal di Tokyo, Jepang. Sebagai peliput warta, Parry pernah diturunkan untuk melaporkan berbagai konflik yang meletus di belahan bumi yang berbeda. Meliput konflik di Indonesia, ternyata, menjadi sebuah mimpi buruk buatnya. Parry mendapat sebuah pengalaman yang belum pernah ia saksikan selama ini. Pengalaman itulah, kiranya, yang hendak ia bagikan dalam buku In the Time of Madness: Indonesia on the Edge of Chaos. Dalam karya yang mendapatkan pujian dari dunia internasional itu, Parry bercerita bahwa ketika suatu hari diperlihatkan kepadanya sebuah video berisi parade foto-foto kengerian dalam konflik etnis yang meletus di Kalimantan pada 1997, ia pun menulis,

Kepala itu tergeletak di tanah, tampaknya adalah kepala seorang pria, dan agak tak utuh. Lebih terasa absurd daripada kejam, dengan kerling boneka Mr. Punch dan lubang hitam di matanya. Kelihatan seperti topeng dan badut karnaval, tapi dalam seketika menghilang dan film itu berganti dengan gambar rumah-rumah terbakar, serta tentara-tentara yang menghentikan mobil dan menyita kaset-kaset. Gambar itu berkelebatan begitu cepat di mata saya sehingga pada awalnya saya tidak menyadari apa yang telah saya lihat. Saat kedua kalinya, saya berpikir: jadi seperti itulah kelihatannya kepala yang terpenggalya, tentu ada yang lebih mengerikan.
Ternyata, semakin masuk ke pedalaman Kalimantan pada 1999, catatan Richard semakin berisi.

Saya melihat kepala keenam dan ketujuh pada Selasa sore di sebuah desa Dayak satu jam perjalanan dari kota. Kepala-kepala itu terlihat dari jarak beberapa meter, terletak di atas drum-drum minyak di kedua sisi jalan, dengan kerumunan sekitar dua ratus orang di sekelilingnya. Sebagian besar penonton itu adalah seorang pria, tetapi ada juga perempuan muda dan anak-anak di sana.
Catatan itu hendak memerikan sebuah perayaan kebiadaban di sebuah pedalaman yang jauh dari London. Parry ingin menunjukkan bahwa pertunjukan seperti itu biasa ditonton bahkan oleh perempuan muda dan anak-anak sekalipun, sebuah teater yang pastilah sangat absurd untuk khalayak pembaca yang ditujunya.

Di puncak pemerian kebiadaban itu, Parry mengetengahkan,

Pasangan itu berusia tengah baya, beberapa tahun lebih muda daripada orangtua saya sendiri. Telinga dan bibir mereka telah dikerat dengan golok, membuat mereka bertampang setengah manusia sedang menggertak. Hidung istrinya juga sudah dipotong, dan sebatang rokok diselipkan ke dalam lubangnya. Matanya terpicing erat, dan di atasnya sebuah luka keji menyayat dalam hingga keningnya.
Agar tidak disalahartikan oleh pembaca-pembacanya, Parry, kemudian, buru-buru menyimpulkan bahwa Pengalaman itu memunculkan dua reaksi bertentangan dalam dirinya pribadi. Pertama, simpulnya,

adalah kelegaan yang bercampur kebanggaan bernoda, mendapati diri saya mampu menghadapi horor tanpa tertaklukkan oleh rasa muak atau takut. Reaksi kedua mengambil bentuk pertanyaan yang mengusik, yang menggelitik saya pada saat-saat yang tidak biasa. Mengapa saya tidak marah menyaksikan ini? Apa yang salah dengan saya? Saya tidak tahu apa nama emosi seperti itu, tapi itu sesuatu yang menyerupai aib.
Sebagai wakil dari masyarakatnya, Parry melihat konflik etnis yang terjadi di Kalimantan itu sebagai sesuatu yang tidak lazim, tidak manusiawi, tetapi mau-tidak-mau tetap tidak bisa ditolak oleh logikanya karena telah betul-betul terjadi dan terekam oleh ingatannya. Ada absurditas yang menghentak-hentak, ada rasionalitas yang tercerabut dari dirinya, manakala batok-batok kepala itu hanya menjadi sesuatu yang anonim di atas drum-drum kosong, sementara kerumunan manusia di sekitarnya tidak peduli sama sekali. Konflik etnis yang dimaksud tidak lain dari peristiwa pembantaian etnis Madura di Kalimantan Barat yang terjadi pada 1997 dan 1999. Selain menyaksikan bekas-bekas ratusan jiwa orang-orang Madura melayang dan ribuan orang yang tersisa lari mengungsi ke Pontianak atau terpaksa bersembunyi di belantara hutan Kalimantan, menyelamatkan diri dari kejaran orang-orang etnis Dayak yang menjadi kesurupan dan mengamuk, Parry juga merasakan langsung suasana sebuah kanibalisme yang sulit dipercaya.

Tak ada lagi yang perlu dilakukan, maka kami kembali menyusuri jalan. Entah kenapa saya merasa agak kecewa, seakan-akan telah melewatkan sesuatu yang penting sore itu. kami masuk ke dalam jip dan kembali ke Sambas untuk mencari minum buat kami sendiri. [] Di pasar beberapa prajurit muda sedang berdiri, dan hanya ada satu toko yang buka. Ada sebuah warung menjual sate, di dekatnya ada arang yang sedang membara. Di tengah-tengahnya sebatang tulang paha manusia terpanggang. [] Saya berjalan cepat-cepat ke toko untuk membeli air dan rokok. Ketika sedang

merogoh kantong, seorang pria jangkung berikat kepala kuning berjalan dari gerobak sate. Pada pinggangnya tergantung sebuah pistol karatan, dan dua kantong plastik menggelembung seperti yang pernah saya lihat sehari sebelumnya. Dengan jari-jarinya yang berminyak dia memegang sepotong daging kelabu berserat setengah matang yang ditusuk pada sebuah batang kayu. Dia menarik sekerat dengan giginya dan mengunyahnya. Wajahnya sejarak tiga puluh senti dari wajah saya. [] Dia menyodorkan daging sate itu kepada saya, dan tersenyum, Silakan. Silakan makan.
Parry ingat, waktu itu, sambil tersenyum yang dipaksa-paksakan ia tergopoh-gopoh berusaha pergi dari pria yang masih berkata-kata dalam bahasa yang tak dipahami itu. Di dalam jip yang membawanya pergi, barulah ia diberi tahu oleh rekan penerjemahnya bahwa pria yang menawari sate itu mengomentari kalau cacahan daging manusia yang sedang disate itu enak. Seperti daging ayam, katanya. Semua itu bukan penanda tanpa makna. Menulis kolom Catatan Pinggir untuk Tempo edisi pertengahan April 1999, Goenawan Mohamad membandingkan apa yang terjadi di Kalimantan itu dengan apa yang pernah terjadi di Guangxi Zhuang sebuah wilayah otonom RRC yang sempat menyaksikan hal serupa pada 1960-an dulukemudian merefleksikannya.

Kanibalisme abad ke-20 menegaskan kebencian yang paling murni. Dinistanya tubuh yang kalah dari lawan yang dihabisi. Di Guangxi ataupun di Sambas, dalam pengganyangan yang harfiah ataupun yang kiasan, ekspresi itulah yang berteriak. Apa yang tak akan dilakukan oleh kebencian, selain menang tanpa batas? Pemenggalan kepala yang dicemooh itu dan juga jeroan yang dikremus itu adalah sisa-sisa lawan yang dibikin tak bermartabat atau lumat selumat-lumatnya.
Dapat dikatakan, Indonesia di akhir abad ke-20 itu memang sebuah Indonesia dengan segudang pertikaian dan kebencian. Selain di Kalimantan Barat, konflik yang banyak memakan korban juga muncul di Kepulauan Maluku. Bedanya, jika konflik di Kalimantan Barat tersebut didorong oleh sentimen kesukuan, maka konflik yang terjadi di Maluku dilatarbelakangi oleh keyakinan beragama.

Apa dan Siapa Kelompok Khawarij


30 September 2012 pukul 9:12

Dalam sejarah Islam, Khawarij tercatat sebagai kelompok pertama yang menyempal dari barisan kaum muslimin waktu itu. Pembelotan mereka memulai rangkaian perpecahan terus-menerus yang terjadi pada kaum muslimin. Meski mereka bukan penyebab utama, keburukan dan kejahatan mereka mendatangkan banyak petaka bagi umat Islam. Kata Khawarij adalah bentuk plural kata khariji. Dalam morfologi bahasa Arab, kharijitergolong sebagai isim subjek atau fail. Karena isim subjek, kata ini memiliki asal kata, yaitukharajayakhruju yang berarti keluar, sebuah kata verba tak-butuh objek. Dari situ, Khawarij dapat dipastikan bermakna orang-orang yang keluar. Dalam prakteknya, istilah Khawarij dipakai untuk menyebut siapa saja yang melepaskan ketaatan dari penguasa sah kaum muslimin, meskipun sekedar menyebarkan aib-aib pemimpin itu, baik lewat ucapan, tulisan atau demonstrasi di depan publik. Biasanya, puncak dari tindakantindakan seperti itu adalah menggunakan senjata untuk memberontak terhadap pemimpin kaum muslimin. Setiap pemberontak terhadap penguasa sah, jelas Asy-Syahrastani dalam Al-Milal wa AnNihal, yang kaum muslimin sepakat atasnya disebut sebagai Khawarij. Sama saja, dia memberontak kepada khulafa ar-rasyidin pada masa para sahabat (Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam) atau kepada penguasa setelah masa mereka (masa tabiin) atau juga kepada penguasapenguasa di setiap masa. Akan tetapi, pengertian Khawarij tidak hanya sampai di situ. Sebutan Khawarij, biasanya, identik dengan orang-orang yang gampang mengafirkan para pelaku dosa-dosa besar selain syirik. Bahkan, para pemimpin sah dan juga ulama kaum muslimin turut dikafirkan hanya karena melakukan sesuatu yang itu dinilai sebagai dosa besar oleh orang-orang Khawarij. Dengan pengertian itu, akan masuk pula sebagai Khawarij setiap orang yang mengikuti prinsipprinsip dan cara-cara mereka atau hanya sekedar membenarkan pemahaman mereka serta orang-orang yang menghalalkan jiwa-jiwa kaum muslimin sendiri, meski atas nama jihad fi sabilillah dan amar maruf nahi munkar. Sepanjang sejarah, orang-orang Khawarij dikenal lewat beberapa sebutan, seperti Muhakkimah, Haruriyah, Mukaffirah, Al-Waidiyah, Sabaiyyah, Syurrat, ahlu Nahrawan, Al-Mariqah, dan AnNashibah. Akan tetapi, sebutan-sebutan itu bukan nama-nama kelompok Khawarij. Karena alasan-alasan tersendiri, Khawarij terpecah menjadi kelompok-kelompok. Masing-masing kelompok itu dinamakan sesuai dengan nama masing-masing pemimpin kelompok. Di antara kelompok-kelompok pecahan Khawarij yang muncul di awal-awal peradaban Islam adalah Al-

Azariqah, An-Najadat Al-Adziriyah, Al-Baihasiyah, Al-Ajaridah, Ats-Tsaalibah, Al-Ibadhiyah, Ash-Shufriyah Az-Ziyadiyah. Tentang kelompok Khawarij itu, dapat dikatakan, semakin belalu masa, semakin berpecah mereka. Demikian pula, semakin berpecah, akan semakin beragam nama-nama yang mereka miliki. Kita bisa saksikan itu sekarang.***

PERCAYA KHAWARIJ, LANGKAH PERTAMA ITU


10 Juli 2013 pukul 11:31

*Artikel ini adalah salah satu bagian naskah yang tidak jadi dimuat dalam bukuTeror NIII (Bandung: Toobagus Publishing. 2011.), ditulis setelah sebuah bom meledak di sebuah masjid di Cirebon, beredarnya rumor tentang penculikan sejumlah mahasiswa oleh kelompok pecahan NII, terungkapnya pelaku bom buku dan bom untuk sebuah gereja di Tangerang. Mantan rektor Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir, Muhammad Abu Zahrah, pernah menyimpulkan bahwa menanggulangi keberadaan orang-orang Khawarij dapat ditempuh dengan cara yang lebih baik dari kekerasan. Mereka dapat dirangkul dan dilunakkan hati-hati mereka dengan mencukupi atau bahkan memberikan secara lebih materi-materi yang dibutuhkan mereka. Harta dapat menjadi senjata pemerintah untuk meredam nafsu memberontak orangorang Khawarij. Sepanjang sejarah NII dan pecahan-pecahannya di Indonesia, aksi-aksi teror yang dilakukan mereka dapat ditumpas oleh pemerintah. Mereka yang lolos terus diawasi dan mereka yang berhasil ditangkap dirangkul serta diperhatikan kesejahteraan mereka. Bahkan, mereka yang insaf dan berusaha membantu pemerintah dan aparat diberikan perlindungan ekstra, baik untuk diri-pribadi atau untuk keluarga. Upaya yang dilakukan pemerintah sedikit-banyaknya mendatangkan hasil yang menggembirakan. Ruang gerak terorisme berkedok Islam di Indonesia makin dipersempit. Akan tetapi, hal itu bukan berarti kita aman dari orang-orang Khawarij. Sebaliknya, bahkan, hidup kita selalu dibayang-bayangi mereka. Mereka ada di sekitar kita. Ketimbang memisahkan diri, mereka balik mempergauli kita agar jati diri mereka yang asli tetap terus tersembunyi. Terlebih lagi, ketika pemerintah dan aparat telah berhasil menembus jaringan-jaringan mereka. Orang-orang Khawarij akan terus ada di atas negeri kita selama pemikiran Khawarij terus diizinkan untuk ada. Pada saat ini, mereka lebih memilih untuk menebar benih-benih pemikiran daripada teror. Bagi sebagian pengamat, hal seperti itu dinilai positif. Menerjemahkan, menulis dan menerbitkan buku jauh lebih berguna di mata para pengamat ketimbang membuang bom di sembarang tempat.

Penerbit-penerbit buku Khawarij makin menjamur. Dengan tampilan yang jauh dari kesansangar, mereka ingin membidik khalayak luas pembaca di kota-kota besar. Jangan bayangkan gambar sampul dan ilustrasi halaman penuh dengan nuansa darah atau kematian. Potret AK-47, apalagi busur yang terenggang siap melepaskan anak panak, pun perlahan akan ditinggalkan. Karena Indonesia negara demokrasi dan sedang belajar menjadi demokratis, mencegah aktifitas Khawarij termasuk kerja membingungkan. Melarang penerbitan buku-buku yang memuat pemahaman Khawarij jauh lebih dilematis. Pada akhirnya, semua akan mendatangkan keserbasalahan yang menusuk-nusuk. Yang sering jadi kendala, masyarakat kita adalah masyarakat dengan segudang trauma; kita adalah bangsa yang kaya dengan pengalaman traumatis. Melarang atau menindak siapa saja yang dicurigai sebagai Khawarij dan berpotensi melakukan aksi terorisme sama artinya membangunkan kembali kenangan pada tindakan represif yang dilakukan pemerintah Orde Baru ketika melarang dan mencegah Komunisme sekaligus kemunculan PKI gaya baru di Indonesia. Demikian pula, membredel setiap tulisan yang berbau Khawarij dan menangkap siapa saja yang kedapatan menyimpan tulisan-tulisan ituapapun bentuknyaakan membangkitkan kenangan kolektif masyarakat kita pada masa pemerintahan Hindia Belanda dulu ketika pemerintah kolonial dengan gagah menandai setiap bacaan Komunisme dan anti-pemerintah. Lantas, apa laku kita? Hari-hari ini adalah sejumlah hari yang menggelikan. Belum lagi selesai perkara Abu Bakar Baasyir disidangkan, bom bunuh diri meledak atas nama jihad di rumah ibadah, di rumah Allah yang selalu diagungkan-agungkan oleh para pemeluknya, di Cirebon. Kunyahan kita akan faktafakta yang ada belum selesai, perut kita akhirnya mulas ketika ditohok oleh kasus-kasus penculikan yang dilakukan aktivis-aktivis NII. Mereka mengatasnamakan Islam. Atas nama Islam, akhirnya, bom untuk meledakkan gereja disiapkan di Serpong, Tangerang. Satu-satunya yang dapat kita lakukan adalah memperbaiki kualitas ibadah masing-masing seraya memperdalam pengetahuan kita tentang Islam. Pada akhirnya, toh, para pelaku aksi-aksi itu adalah para pecundang yang belum bisa memahami Islam dengan benar. Mereka, dapat dikata, tidak lebih dari sekumpulan pemuda tanggung yang belum dapat berpikir dewasa tetapi bangga teriak, Hidup mulia atau mati syahid!. Akan tetapi, adalah salah besar, jika kita bersikap acuh terhadap keberadaan Khawarij di Indonesia. Lebih parah dari itu, jika kita menganggap Khawarij sebagai kepingan cerita lalu. Khawarij beserta kerusakan-kerusakan yang dibawa mereka, apa pun bentuknya, adalah nyata dan bukan kedustaan belaka. Menyadari bahwa mereka ada dan meyakinkan orang lain tentang keberadaan Khawarij di sekitar kita adalah langkah pertama yang tepat untuk memberantas mereka sekaligus menyelamatkan anak-cucu kita dari bayang-bayang Khawarij. Jangan pula tertipu untuk menyebut orang-orang Khawarij dengan nama-nama lain yang baru. Hakikat Khawarij, dari dulu sampai sekarang dan juga nanti, tetap sama. Meski manusia, jiwa-

zaman dan zaman berubah, Khawarij akan selalu ada, beradaptasi dan berpacu mengatasi waktu dan gaya. Mereka memanfaatkan segala kemampuan yang ada. Mereka bukan mujahid. Bukan pula manusia yang memperjuangkan Islam. Yang terjadi justru sebaliknya, mereka merusak citra Islam di mata masyarakat Indonesia dan masyarakat dunia. Mereka merugikan Islam dan para pemeluk Islam. Aksi-aksi yang dilakukan oleh orang-orang Khawarij menjadi bumerang bagi siapa saja yang ingin menjalankan Islam dengan damai pada dirinya dan lingkungan sekitarnya. Buktinya, setelah peledakan-peledakan dan penculikan-penculikan itu, setiap laki-laki dan perempuan yang mengenakan identitas-identitas keislaman dipandang dengan hina. Mereka yang mengenakan gamis dan jubah dipandang dengan tatapan sinis. Terkadang, mereka juga dicurigai atau bahkan dianggap satu kelompok dengan Amrozi, Muchlas dan Imam Samudra. Demikian pula dengan mereka yang mengenakan busana muslimah yang rapat dan bercadar. Setelah istri-istri peledak bom dimintai keterangan oleh aparat, ramai-ramai orang memandang sinis kepada siapa pun yang mengenakan busana muslimah dan bercadar di tengah masyarakat. Kadang-kadang, semua itu diikuti dengan tatap mata dan bisik-bisik penuh kecurigaan, seolah ingin mengatakan, Ini istri teroris. Lebih dari itu, ajaran Islam ramai-ramai dipertanyakan kembali. Mereka yang memiliki kapasitas untuk menjelaskannya dapat membantu menghilangkan keraguan-keraguan. Mereka yang sepemahaman dengan orang-orang Khawarij, sebaliknya, seperti mendapatkan kesempatan untuk kembali menjelek-jelekkan pemerintah lewat penjelasan-penjelasan yang diberikannya. Mereka yang tidak mengetahui akar masalah, kebanyakan, memberi solusi dengan Islam insklusif, pluralis dan liberal. Meski demikian, pemerintah dan aparat yang dimiliki perlu didukung. Memberantas terorisme bukan kerja sepihak. Membekali diri dengan pengetahuan tentang ciri-ciri Khawarij di sekitar kita, kita dapat melaporkan atau mengamankan siapa pun yang dicurigai memiliki potensi untuk memberontak kepada pemerintah dan menghancurkan kesatuan negara kita. Jika kita sepakat bahwa orang-orang Khawarij adalah musuh bersama, kerja memberantas teroris jauh lebih mudah.[]

Beda antara Tarikh, Tarjamah, dan Sirah


17 Oktober 2012 pukul 16:44

Ada beda yang nyata antara istilah TARIKH, TARJAMAH, dan SIRAH. Masing-masing istilah memiliki kegunaan yang berbeda, meskipun banyak yang tidak mau menyadarinya. Tarikh, dalam bahasa Indonesia, dibahasakan sebagai kronik. Orang yang menulis kronik disebut chronicler atau pencatat kejadian.

Biasanya, suatu pemerintahan akan menugaskan secara khusus seorang pencatat kejadianyang akan selalu mencatat kejadian-kejadian penting terkait pemerintahan itu. Seorang khalifah, sultan atau raja, seperti yang kita temukan dalam buku-buku sejarah, selalu saja memiliki orangorang yang biasa disebut dengan sejarawan istana. Dalam kasus-kasus tertentu, dan juga karena sejarawan-sejarawan istana itu adalah pakar dalam satu atau beberapa bidang pengetahuan seperti bahasa dan sastra atau pengobatan dan pengetahuan eksak serta yang lainnya, mereka disebut juga sebagai pujangga-pujangga istana atau pujangga-pujangga keraton. Untuk contoh sederhana, sebagian masyarakat kita mengenal Mpu Prapanca sebagai pujangga istana zaman Majapahit dan Ronggowarsito sebagai pujangga (dalam arti sebenarnya) yang terakhir dari keraton Jawa. Dalam sejarah Islam salah seorang pujangga atau sejarawan istana yang terkenal adalah Ibnu Kholdun (1332-1406 M). Dalam prakteknya, pencatat waktu itu akan mencatat peristiwa-peristiwa yang ada secara berurutan. Hasil kerjanya adalah sebuah kronologi, semacam daftar kejadian. Sering kali pula, antara satu peristiwa dengan peristiwa berikutnya tidak terkait. Bahkan, akan tidak tampak sebuah kisah atau cerita dalam sebuah kronik. Dari sudut pandang peneliti sejarah, kronik masih teranggap sebagai bahan mentah yang perlu diolah lebih jauh. Bisa dikatakan, tarikh seperti itu pula. Biasanya, dalam sebuah karya tarikh, penyusun akan mengurutkan kejadian demi kejadian sesuai urutan waktu. Ia tidak tertalu peduli pada kisah atau cerita yang terbangun. Pada tahun sekian Hijriah, misalnya, terjadi hujan kodok dari langit. Pada tahun berikutnya, Khalifah Fulan yang agung meninggal-dunia setelah sakit berhari-hari. Untuk mengawali entri, sering hanya dijuduli dengan Peristiwa-Peristiwa pada Tahun Ke-Sekian Hijriah. Dalam karya-karya berbahasa Arab, orang-orang yang menyusun tarikh disebut sebagai muarrikh. Istilah muarrikh, sayangnya, sering kita bahasakan sebagai ahli sejarah atau sejarawan. Berbeda dengan tarikh adalah tarjamah. Dalam bahasa kita, kata yang pas untuk membahasakan tarjamah adalah profil atau riwayat keberadaan (baca: riwayat hidup). Kebanyakan tarjamah mengetengahkan keterangan singkat tentang seseorang, mulai dari lahirnya sampai meninggal-dunia. Melihat dunia kita sekarang, tarjamah-tarjamah itu mirip dengan curicullum vitae yang biasa dibuat untuk melamar kerja. Meski demikian, tarjamah juga diperuntukkan pada sesuatu yang bukan personal. Terkadang kita justru menemukan tarjamah-tarjamah yang tulen sebagai tarikh, lebih banyak mengedepankan uraian singkat sejumlah peristiwa penting. Berbeda dengan sirah. Istilah sirah tidak akan cukup untuk dimaknai dengan riwayat hidup. Sirah lebih tepat dibahasakan sebagai biografi, sebuah kata dalam bahasa Indonesia yang diserap

dari kata biography, tulisan tentang perjalanan hidup seseorang. Bagi sebagian orang, biografi dibedakan dari otobiografi (autobiography). Sebuah biografi, biasanya, disusun dan ditulis oleh orang lain, bukan tokoh yang perjalanan hidupnya diangkat dalam biografi itu. Adapun otobiografi, tokoh yang perjalanan hidupnya diangkat itulah yang menyusun dan menuliskannya. Otobiografi sendiri ternyata berbeda dengan apa yang disebut sebagai memoar, meskipun banyak orang yang mencampur-adukkan antara keduanya. Dalam sebuah otobiografi, yang menjadi sentral, titik-pusat, segala kejadian adalah pribadi si penulis sendiri dengan seluruh perjalanan hidupnya. Sementara itu, memoar lebih memberikan perhatian pada kejadiankejadian di sekitar dan di luar diri penulisnya. Di tengah masyarakat umum sekarang, biografi atau otobiografi sudah dibedakan dari tulisan sejarah. Menurut mereka, biografi menjadikan individu atau tokoh yang dikisahkan itu sebagai perhatian utama, sedangkan tulisan sejarah menjadikan masyarakat sebagai sasaran perhatiannya. Demikian dari sudut pelaku. Dalam biografi, sang tokoh yang diperlakukan sebagai seorang aktor sejarah adalah segala-galanya; sang tokohlah yang jadi pusat perhatian. Berbeda dengan itu, dalam tulisan sejarah, manusia yang berupa kumpulan-kumpulan individu yang menjadi unsur utama dalam sejarah diperlakukan sebagai bagian dari dinamika sosial. Artinya, tulisan sejarah menyorot dinamika, perubahan, yang terjadi di masyarakat. Karena itulah, untuk memahami dan mendalami kehidupan sang tokoh, seorang penyusun biografi dituntut untuk memiliki pengetahuan tentang latar belakang, lingkungan sosial-budaya tempat sang tokoh hidup dan berproses, watak orang-orang yang hidup di sekitar sang tokoh, bahkan, mungkin juga, pengetahuan tentang proses pendidikan yang diterima dan dilalui oleh sang tokoh selama hidupnya. Artinya, menulis biografi bukan sesuatu yang sepele, terlebih lagi jika sang tokoh yang diangkat adalah pribadi-pribadi seperti nabi-nabi Allah. Adapun sejarah atau history (Inggris), historia (Latin dan Yunani), geschite (Jerman), geschieden (Belanda), pada asalnya, memiliki arti cerita tentang peristiwa dan kejadian masa lampau. Kata sejarah sendiri berasal dari sebuah kata dalam bahasa Arab, syajarah yang berarti pohon. Dikatakan pohon, karena pada awalnya di tengah kita tulisan sejarah itu tidak lebih dari uraian tentang silsilah-silsilah nasab (baca: pohon silsilah) seseorang atau sekelompok orang. Akan tetapi, ada juga yang mengatakan sejarah itu berasal dari syajara, sebuah kata kerja dalam bahasa Arab yang berarti terjadi atau telah terjadi. Kembali ke sirah, riwayat penulisan sirah Rasulullah atau sirah nabawiyyah di tengah kaum muslimin tergolong cukup tua. Bisa dikatakan hampir setua riwayat penulisan dan pembukuan hadits-hadits Rasulullah. Bahkan, penulisan sirah itu sendiri muncul dari tengah-tengah para pencari hadits pada abad pertama dan kedua Hijriah. Di tengah kaum muslimin, orang-orang yang dianggap sebagai penyusun karya sirah pertama

kali adalah Urwah bin Az-Zubair bin Al-Awwam, Aban bin Utsman bin Affan, Wahb bin Munabbih, Syarahbil bin Saad, Muhammad bin Muslim bin Syihab Az-Zuhri, dan Abdullah bin Abi Bakr bin Hazm. Bagaimana pun, di tengah kita, mereka yang disebut lebih dikenal sebagai ulama-ulama ahlul hadits yang mencari, mengumpulkan dan menyampaikan riwayat-riwayat hadits Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Barulah, setelah generasi mereka, muncul orang-orang yang dikatakan menyusun secara khusus riwayat-riwayat tentang perjalanan hidup Rasulullah atau kejadian-kejadian penting semasa hidup Rasulullah. Di antara mereka, yang patut dicatat di sini adalah Musa bin Uqbah, Muhammad bin Ishaq dan Ibnu Hisyam. Musa bin Uqbah adalah salah seorang murid Muhammad bin Muslim bin Syihab Az-Zuhri. Karyanya yang terkenal adalah Al-Maghazi atau sering juga disebut Al-Maghazi Musa bin Uqbah. Karya tersebut mengumpulkan riwayat-riwayat tentang peperangan. Imam Malik dan Imam AsySyafii diketahui pernah memuji Al-Maghazi milik Musa bin Uqbah itu. Demikian pula Adz-Dzahabi. Al-Maghazi Musa bin Uqbah itu hanya satu jilid dan pernah dikaji oleh Adz-Dzahabi. Akan tetapi, menurut Adz-Dzahabi, kitab itu memerlukan keterangan tambahan dan pelengkap-pelengkap lainnya. Muhammad bin Ishaq bin Yasar mawla Qais lebih dikenal dengan Ibnu Ishaq. Kakeknya, Yasar, termasuk salah seorang tawanan pada masa pemerintahan Abu Bakar Ash-Shiddiq. Ditawan, ia kemudian dibawa ke Madinah dan menurunkan anak-keturunannya di sana. Semasa muda, Ibnu Ishaq menghabiskan waktunya untuk mencari hadits-hadits ke sejumlah tempat. Kota-kota di Mesir, Irak, dan Khurasan pernah ia singgahi untuk hadir dalam majelismajelis ahlul hadits setempat. Tempat persinggahan terakhir Ibnu Ishaq adalah Baghdad, Irak. Di kota itulah, ia meninggaldunia pada 152 H. Karyanya yang terkenal adalah Sirah Ibn Ishaq. Karya ini ditulis pada masa pemerintahan Khalifah Al-Mansur dari Bani Abbasiyah. Di tengah kita, karya itu sampai dalam rupa Sirah Ibn Hisyam yang tidak lebih dari ringkasan atas Sirah Ibn Ishaq. Ibnu Hisyam meriwayatkan kitab Sirah Ibn Ishaq dari Ziyad bin Abdil Malik Al-Bakka`i Al-Kufi. Berbeda dari orang-orang yang meriwayatkan karya itu, Ibnu Hisyam mengadakan kritik dan merapikan karya Ibnu Ishaq sebelum disampaikan kembali kepada khalayak. Karena itu, karya tersebut jadi lebih dikenal sebagai Sirah Ibn Hisyam. Di dalamnya, kita sering kali membaca, Ibnu Ishaq berkata, atau Muhammad bin Ishaq meriwayatkan. Ibnu Hisyam sendiri adalah Abdul Malik bin Hisyam bin Ayyub Al-Himyari. Ia dibesarkan di kota Bashrah, Irak. Setelah itu, ia pergi dan tinggal di Mesir. Di sana, ia sempat bertemu dengan

Imam Asy-Syafii. Pada 218, Ibnu Hisyam meninggal-dunia di kota Fushthath, Mesir. Di luar ringkasan Sirah Ibn Ishaq, Ibnu Hisyam juga mewariskan karya berupa ulasan terhadap kalimat-kalimat rumit pada syair-syair yang ada dalam karya-karya sirah. Sirah Ibn Hisyam sendiri banyak mencantumkan untaian-untaian bait syair yang gampang membuat bosan pembaca-pembaca zaman sekarang. Tidak mengherankan, jika Sirah Ibn Hisyam itu diringkas kembali oleh Abdus Salam Harun. Anak penulis karya Talkhis Ad-Durus Al-Awwaliyah fi As-Sirah Al-Muhammadiyah ini membuang banyak uraian-uraian yang tidak perlu dalam Sirah Ibn Hisyam, termasuk syair-syair panjang. Terkumpulkan dalam satu jilid, ringkasan itu kemudian diterbitkan dengan judul Tahdzib Sirah Ibn Hisyam. Setelah mereka, mulailah bermunculan karya-karya sirah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Ada yang tulen berisi sirah Rasulullah, ada juga yang menggabungkannya dengan peristiwa-peristiwa lainnya sebagai sebuah karya tarikh. Di antara yang patut disebutkan di sini adalah Ath-Thabaqah Al-Kubra karya Muhammad bin Saad (wafat tahun 230 H), Tarikh Ar-Rusul wa Al-Muluk karya Muhammad bin Jarir Ath-Thabari (wafat tahun 310 H), Ad-Durar fi Ikhtishar Al-Maghazi wa As-Siyar karya Ibnu Abdil Bar (wafat tahun 463 H), Jawami As-Sirah karya Ibnu Hazm (wafat tahun 456 H), Al-Kamil fi Ath-Tarikh karya Ibnul Atsir Al-Jaziri (wafat tahun 632 H), Zadul Maad fi Hadyi Khairil Ibad karya Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah (wafat tahun 751 H), As-Sirah An-Nabawiyyah karya Adz-Dzahabi (wafat tahun 748 H), dan Al-Bidayah wa An-Nihayah (wafat tahun 774 H).

Yang Dihujat Para Ulama: Khomeini (1902 - 1989)


2 November 2012 pukul 19:49

Lahir pada tanggal 24 September 1902, Khomeini adalah anak ketiga dari pasangan Mushtafa dan Hajar. Ayah Khomeini adalah seorang pemuka Syiah di kota Khumayn. Lima bulan setelah kelahiran Khomeini, sang ayah tewas dibunuh di suatu jalan antara kota Khumayn dan Arak. Khomeini akhirnya dibesarkan ibu dan juga bibinya, Sahiba. Di bawah pengasuhan dua wanita itu, Khomeini mendapatkan pendidikan yang layak seperti anak-anak yang lain. Ia belajar membaca dan menulis pertama kali dari Mirza Mahmud, seorang guru privat yang biasa dipanggil ke rumah. Setelah itu, Khomeini disekolahkan ke sebuah maktab, semacam lembaga pendidikan dasar waktu itu. Di sini, ia mendapatkan pengajaran dari Abul Qasim dan Jafar. Abul Qasim adalah seorang mullah. Semula, sebutan mullah memiliki arti muslim yang ditunjuk untuk menjaga masjid. Akan tetapi, istilah itu sekarang dipakai untuk arti ulama. Di Persia dan sekitarnya, kemudian di Iran sekarang, ulama yang dimaksud adalah ulama Syiah. Mereka biasa

mengenakan sorban bewarna hitam atau putih dan pakaian khas ulama-ulama Syiah. Pada waktu terjadi Revolusi Iran, ada sekitar 180.000 mullah di Iran saja. Setelah itu, ibu dan bibinya memasukkan Khomeini ke sebuah sekolah modern yang baru dibuka di kota Khumayn. Sekolah ini adalah sekolah yang dibangun pemerintah untuk memodernisasi sistem pendidikan mereka. Di sekolah itu, seorang anak mempelajari bahasa dan sastra Persia, aritmatika, sejarah, geografi, dan dasar-dasar pengetahuan alam. Selain pelajaran-pelajaran ini, Khomeini juga mendapat pelajaran seni kaligrafi. Guru kaligrafinya adalah Aqa Mirza Mahallati. Pada umur 15 tahun, Khomeini telah menyelesaikan pelajaran-pelajaran tingkat dasarnya. Kakak tertuanya, Murtadha, mulai memberi pelajaran bahasa Arab. Kakak Khomeini ini juga dikenal lewat sebutan Pasandideh. Ia memang termasuk mumpuni dalam bahasa Arab dan ilmu-ilmu keislaman. Pada usia remaja itu, Khomeini telah memiliki perhatian besar terhadap bahasa dan sastra Persia. Ia, bahkan, menghafal banyak untaian bait syair-syair Persia, syair-syair religius ataupun syair-syair klasik. Ia juga sering menggubah syair-syair sendiri. Pada 1918, bibi dan kemudian ibunya meninggal dunia akibat wabah kolera yang menyerang Kerajaan Persia waktu itu. Sepeninggal mereka, tanggung jawab kepengurusan Khomeini diambil alih oleh Murtadha. Pelajaran bersama kakaknya tidak berlangsung lama. Setahun setelah kematian ibu dan bibinya, Khomeini dikirim belajar ke kota Isfahan, di barat laut kota Khumayn. Dalam pelafalan bahasa Arab, kota Isfahan biasa disebut sebagai Asbahan. Semula, belajar ke Isfahan itu mengikuti proses belajar ayah mereka yang pernah juga belajar di sana. Keinginan itu tidak kesampaian. Tidak lama di Isfahan, Khomeini pindah belajar ke kota Arak, sekitar 40 km dari kota Khumayn. Di Arak waktu itu, mengajar seorang ulama Syiah bernama Abdul Karim Hairi Yazdi. Bersama ayah Khomeini, Abdul Karim Hairi Zahdi pernah belajar kepada Mirza Hasan Syirazi. Setahun Khomeini belajar di Arak, Abdul Karim Hairi mendapat undangan dari ulama-ulama Syiah di Qum untuk pindah ke sana. Undangan itu pun disambut. Kepindahan Hairi ke Qum menandai sebuah proses penting, sebab setelah itu Qum menjadi pusat gravitasi ulama dan umat Syiah dalam menyikapi penguasa. Qum, kelak, akan juga memegang peran besar dalam mengarahkan politik rakyat Iran modern. Setelah kepindahan Hairi, Khomeini hanya bertahan empat bulan di Arak. Ia kemudian mengikuti gurunya itu pindah ke Qum dan belajar di salah satu madrasah di sana, Madrasah Faidhiyyah. Di sini, Khomeini mempelajari dan memperdalam pelajaran-pelajaran fikih dan ushul fikih seperti layaknya pelajar-pelajar yang lain.

Meski demikian, sejak tahun-tahun pertama di Qum, Khomeini telah mulai mempelajari tasawwuf dan filsafat. Di bidang tasawwuf, Khomeini mendapat bimbingan dari Mirza Ali Akbar Yazdi. Guru tasawwuf satu ini meninggal dunia tidak lama setelah Khomeini datang ke Qum. Pelajaran yang terputus itu diteruskan kepada Muhammad Ali Syah Abadi. Ia menjadi guru utama Khomeini dalam bidang tasawwuf dansetelah itufilsafat. Selainnya, Khomeini juga belajar filsafat kepada guru-guru yang lain, seperti Al-Hakimi dan Abul Hasan Al-Qazwini atau juga Mirza Aqa Javad Maliki Tabrizi. Meski demikian, hanya kepada Syah Abadi-lah Khomeini duduk-lama untuk belajar filsafat. Tercatat, ada sekitar tujuh tahun Khomeini belajar kepada gurunya itu. Sebenarnya, kajian filsafat telah mendapatkan tempat di tengah ulama-ulama Syiah, sehingga tidak mengherankan jika seorang ulama Syiah piawai dalam menggunakan idiom-idiom filsafat, mulai dari filsafat Yunani sampai filsafat Barat modern. Khomeini sendiri, misalnya, di mata murid-muridnya kelak dikenal sebagai seorang pakar filsafat Yunani yang paling mumpuni di Qum. Pada umur 27 tahun, Khomeini memulai karir baru sebagai seorang pengajar. Berbeda dengan pengajar-pengajar pemula lainnya, Khomeini memulai karirnya itu dengan mengajar pada bidang tasawwuf dan filsafat. Di luar madrasah, Khomeini juga membuka kuliah-kuliah khusus yang hanya menerima sedikit pelajar. Biasanya, hanya ada dua pelajar yang mengambil kelas khusus itu. Tidak lama kemudian, pada 1928, Khomeini memulai karir kepenulisannya. Dari 1928 itu sampai 1942, Khomeini menulis sebanyak 13 judul buku dalam bahasa Arab. Sebagian besar, untuk tidak mengatakan semuanya, adalah buku-buku bertema tasawwuf. Buku pertama yang ditulis berjudul Mishbah Al-Hidayah ila Al-Khilafah wa Al-Wilayah, sebuah buku berbahasa Arab yang membahas beberapa dimensi mistikal dari khilafah danwilayah Rasulullah dan Ali bin Abi Thalib. Dalam buku itu, Khomeini memakai istilah-istilah yang biasa dipakai dalam tradisi mistik a la Ibnu Arabi, Sufi terkenal dari Andalus. Buku keduanya adalah Syarh Dua As-Sahar, sebuah buku berbahasa Arab yang berisi komentar terhadap doa-doa sebelum fajar ketika bulan Ramadhan. Doa-doa yang dikomentari dalam buku itu berasal dari Jafar Ash-Shadiq, imam keenam Syiah Imamiyah (Itsna Asyariyah). Pada 1943, terbit sebuah buku berjudul Asrar-e Hazar Salih atau dalam bahasa Arab berjudul Asrar Alf Sanah (Rahasia selama Ribuan Tahun). Buku ini ditulis oleh Ali Akbar Hakamizadeh. Ia adalah putra salah seorang ulama Syiah di Qum, Mahdi Al-Qummi. Asrar Alf Sanah hanya setebal 38 halaman. Diterbitkan pada 1322 H, buku itu segera menarik perhatian orang-orang Syiah di Iran, terutama di Qum, karena berisi serangan terhadap Syiah. Orang-orang Syiah menilai, buku tersebut adalah buku Wahhabi, karena membantah beberapa ritual Syiah yang sering mereka praktekkan.

Khomeini segera menulis bantahan untuknya yang berjudul Kasyful Asrar. Dalam bantahan tersebut, Khomeini menjelaskan banyak hal tentang imamah, legalitas para mujtahid, pemerintahan Islam, merosotnya nilai-nilai agama dan perhatian terhadap agama dalam enam bagian. Khusus kepada apa yang disebut ajaran Wahhabi, Khomeini membuat satu bagian berisi bantahan. Lain lagi dengan pendapat Dr. Ibrahim Ad-Dasuki. Buku Kasyful Asrar karya Khomeini itu ditulis sebagai bantahan terhadap tulisan-tulisan Ahmad Kashravi, seorang sejarawan Iran waktu itu. Sejarawan tersebut dinilai ambisius dalam mengangkat isu agar kembali ke nilai-nilai yang berlaku di negeri Iran sebelum Islam. Karena sebab buku ini pula, dalam salah satu pendapat, Ahmad Kashravi kemudian dibunuh oleh satu komplotan yang tidak menyukainya. Kepada pemerintah Iran waktu itu, Khomeini secara khusus meminta keringanan atas hukuman kepada anggota komplotan pembunuh itu. Yang menarik, lewat buku itu pula, Khomeini berbicara tentang politik dan sikap politik yang mesti dipegang. Ia menyerang kebijakan-kebijakan yang diambil oleh agen-agen penjajah asing seperti Mushtafa Kemal Ataturk yang membangun Turki modern dan Reza Shah yang membangun Iran modern. Oleh murid-muridnya, Kasyful Asrar kemudian dikenal sebagai karya politik pertama Khomeini. Setelah buku itu, Khomeini lama tidak menulis karya tentang politik. Ia hanya sibuk memberikan kuliah-kuliah di Qum seraya menahan diri untuk berbicara tentang politik. Kecenderungan ini, rupanya, terpengaruh oleh sikap yang diambil oleh ulama-ulama senior di Qum. Mereka sengaja untuk tidak memasuki politik dan pembicaraan tentang politik. Sikap menghindari politik seperti itu makin menjadi pada diri Khomeini setelah Hairi meninggal dunia pada 1947. Hairi yang menjadi rujukan ulama-ulama Syiah di Qum digantikan oleh ulama Syiah senior lainnya, Boroujerdi. Kali ini, Khomeini menyibukkan diri juga dengan menulis bukubuku yang sebagian besar bertema ushul fikih dan fikihpastinya di luar rutinitas mengajarnya. Boroujerdi sendiri, pada tahun-tahun itu, secara pribadi sering meminta Khomeini untuk menjadi semacam penasehat politiknya. Bahkan, ketika suatu hari, utusan pemerintah Iran datang ke Qum untuk berbicara dengan ulama-ulama Syiah di sana, Boroujerdi sengaja menunjuk Khomeini sebagai juru bicara mereka di depan utusan pemerintah. Aktivitas utama Khomeini, dan ulama-ulama Syiah yang lain, adalah mengajar. Kalau pun ada di antara mereka yang giat berpolitik di awal 1950-an, itu hanya Abol Qashem Kasyani. Tokoh ini pada awal 1950-an itu, bersama Mohammed Mosaddeq, menggerakkan massa untuk menentang kebijakan pemerintah Iran yang dinilai merugikan rakyat banyak. Sikap seperti itu baru berakhir ketika Boroujerdi meninggal dunia pada 31 Maret 1961. Pada waktu itu, kepemimpinan ulama Syiah di Qum untuk sementara diwakili oleh beberapa orang ulama senior, seperti Khomeini, Gulbaykani, Al-Mar`asyi An-Najafi, dan Syariat Madari. Sikap politis mereka mulai tampak, dua tahun setelah kematian Boroujerdi.

Bahwa ulama-ulama Syiah di Qum mulai terang-terangan menentang kebijakan-kebijakan penguasa, sebenarnya, bukan sesuatu yang aneh. Sebaliknya, mereka sering berperan sebagai kubu penggugat para penguasa khususnya ketika terjadi krisis kekuasaan. Dalam sejarah, ulama Syiah pertama kali masuk ke dalam arena politik adalah pada akhir abad ke19 M. Waktu itu, Dinasti Qajar yang menguasai Kerajaan Persia kian melemah dalam menghadapi tekanan Inggris dan Rusia. Tepat pada 1891, Shirazi mengeluarkan fatwa yang berisi larangan menggunakan tembakau selama hak untuk memonopoli tembakau dari pemerintah tetap diberikan kepada perusahaan Inggris. Peran politik seperti itu terus berlanjut. Pada 1906, sebagian besar ulama-ulama terkemuka Syiah di Kerajaan Persia mendukung gerakan konstitusionalis. Gerakan ini berusaha mengembalikan konstitusi sebagai dasar untuk segala tindakan penguasa sekaligus membatasi wewenang yang dimiliki penguasa Kerajaan Persia. Di parlemen, publik kerajaan pernah menyaksikan seorang ulama Syiah yang bernama Hasan Al-Mudarris mengkritik kebijakan-kebijakan yang diambil penguasa Kerajaan Persia setelah Perang Dunia I. Khomeini, bahkan, sering meluangkan waktunya dengan sengaja untuk mendengarkan argumen-argumen Al-Mudarris ketika berdebat di parlemen. Setelah Al-Mudarris terbunuh pada masa pemerintahan Syah Reza Khan, para ulama Syiah banyak yang bersikap menahan diri terhadap dunia politik. Sebagian besaruntuk tidak mengatakan semuamereka lebih memilih tenggelam dalam aktivitas belajar-mengajar dihawza-hawza ilmiyah mereka, terutama di Qum. Padahal, pada masa pemerintahan Reza Khan itu (1925 1941), banyak peraturan pemerintah yang merugikan dan merendahkan ulama-ulama tersebut. Terinspirasi oleh modernisasi Turki di bawah pemerintahan Kemal Ataturk, Reza Khan, misalnya, melarang kaum laki-laki memakai sorban di kepala mereka. Aparat pemerintah, sering, mempermalukan ulama-ulama Syiah yang kedapatan masih mengenakan sorban dan pakaian keulamaan mereka di depan umum. Kebijakan pada 1935 itu segera diikuti oleh larangan memakai hijab untuk kaum perempuan Iran pada 1936. Hijab yang dimaksud adalah pakaian perempuan yang menutup sekujur tubuhnya kecuali wajah dan telapak tangan. Puncaknya adalah bentuk penghinaan yang dilakukan istri Reza Khan yang tidak mau mengenakan pakaian tertutup ketika berziarah ke makam yang ada di Qum. Reza Khan akhirnya diasingkan ke Afrika Selatan oleh Inggris dan Uni Soviet pada 1941. Peristiwa ini terjadi akibat sikap politik sang syah yang memihak Jerman pada awal Perang Dunia II. Inggris dan Uni Soviet kemudian menunjuk Mohammed Reza Pahlevi sebagai syah baru. Sikap menghindar dari politik berakhir pada masa pemerintahan Reza Pahlevi. Pada 1961, pemerintah Iran mengeluarkan kebijakan yang kelak disebut sebagai Revolusi Putih Reza

Pahlevi. Dalam program pemerintah itu, terdapat enam pokok reformasi yang segera mengundang protes dari ulama-ulama Syiah di Qum. Enam Pokok Reformasi dalam Revolusi Putih yang dimaksud adalah:

1. 2. 3. 4. 5. 6.

Perbaikan dalam bidang pertanian Pemberantasan buta huruf Privatisasi badan usaha milik negara Emansipasi wanita dalam pemilu Pengembalian hutan dan ladang kepada rakyat Peningkatan kesejahteraan bagi kaum buruh dari hasil pabrik

Reaksi para ulama itu mulai muncul, ketika pemerintah mengeluarkan sebuah amandemen terhadap peraturan pemilihan umum, setahun setelah Boroujerdi meninggal dunia. Dalam amandemen itu, misalnya, pemerintah menghilangkan syarat harus beragama Islam bagi para pemilih dan kandidat yang akan dipilih dalam pemilihan umum (pemilu). Selain itu, dalam amandemen tersebut, pemerintah mulai membolehkan kaum perempuan menjadi pemilih. Peraturan pemerintah itu dinilai sebagai sebuah usaha untuk membaratkan rakyat Iran. Khomeini segera mengumpulkan ulama-ulama Syiah yang senior di Qum dan memengaruhi mereka untuk memboikot aturan pemerintah itu. Pada tanggal 22 Januari 1963, Khomeini mengeluarkan pernyataan yang menentang syah berikut program yang dijalankannya. Pemerintah kemudian menanggapinya. Dua hari berselang, Syah Iran datang ke Qum dan mengutuk keras para ulama di sana. Peristiwa itu tidak membuat Khomeini mundur. Ia, bahkan, mengeluarkan sebuah resolusi yang ditandatangai oleh ulama-ulama Syiah lainnya. Dalam resolusi itu, ia menuduh syah telah merusak konstitusi dan menuduh syah telah bekerjasama dengan AS-Israel. Resolusi itu juga mengutuk dekadensi moral di tengah rakyat Iran. Khomeini kembali mengeluarkan pernyataan terhadap Syah Iran di Qum pada tanggal 3 Juni 1963. Dalam pernyataan tersebut, Khomeini menyamakan Syah Iran itu dengan Yazid bin Muawiyah. Syah, kata Khomeini, adalah pribadi yang patut dikasihani. Lebih jauh, Khomeini juga memperingatkan syah, jika syah tidak mau mengubah kebijakan politiknya niscaya akan tiba waktunya ketika rakyat Iran justru mengharapkan kepergian syah dari Iran. Akibat pernyataan seperti itu, pada tanggal 5 Juni 1963, Khomeini ditangkap pemerintah. Penangkapan itu menjadi salah satu sebab pendorong munculnya demonstrasi-demonstrasi besar yang dilakukan oleh rakyat Iran pada hari itu. Berbagai demonstrasi yang berubah menjadi kerusuhan besar itu mengakibatkan sekitar 400 orang rakyat Iran terbunuh.

Penahanan Khomeini berlangsung hampir setahun. Selama penahanan itu, gelombang protes muncul lewat demonstrasi-demonstrasi di beberapa tempat di Iran. Pada tanggal 7 April 1964, Khomeini dibebaskan kembali oleh pemerintah. Sudah sejak 1962, Khomeini diangkat oleh para ulama Syiah di Qum sebagai pemimpin mereka dan marja (rujukan) tertinggi di Qum. Ulama Syiah yang mengusulkan pengangkatan Khomeini itu adalah Syariat Madari. Selain didasarkan kepada kriteria-kriteria yang wajib dimiliki oleh seorang ulama Syiah untuk mengisi jabatan tersebut, pengangkatan tersebut juga didorong oleh kekhawatiran mereka akan jiwa Khomeini yang waktu itu paling terancam mati di tangan SAVAK. SAVAK adalah singkatan untuk Sazman e Etelaat va Amniyar, dinas rahasia yang dibentuk oleh syah. Dinas rahasia ini didirikan pada 1957 oleh Jenderal Bakhtiar lewat bantuan CIA dan Mossadbadan intelijen Israel. Tujuan pendirian SAVAK adalah untuk mengamankan kekuasaan syah. Dalam prakteknya, SAVAK bertugas mencari komplotan anti-Syah di kalangan militer dan menginfiltrasi ke tengah pers, partai oposisi, serikat buruh dan segala hal yang ada di tengah kalangan sipil. SAVAK mencari siapa saja yang memusuhi Syah Iran untuk ditangkap, diinterogasi, disiksa dan dieksekusi mati oleh SAVAK, meskipun orang itu berasal dari kalangan ulama Syiah. Terpilihnya Khomeini sebagai seorang marja tertinggi bagi penganut Syiah di Iran menghindarkan dirinya dari ancaman pembunuhan. Sudah menjadi sesuatu yang baku di tengah rakyat Iran bahwa tidak satu pun penguasa mereka berhak menghilangkan nyawa seorang marja tertinggi. Jika sampai itu terjadi, maka akan muncul pemberontakan total dari tengah rakyat Iran. Karena itu, tidak mengherankan, jika selepas dari tahanan pemerintah Khomeini kembali mengeluarkan kecaman keras terhadap pemerintah. Bahkan, dalam ceramah yang disampaikan pada tanggal 10 dan 15 April 1964, Khomeini secara lantang mengatakan kepada pemerintah, Khomeini tidak akan berkompromi, meski ia digantung di tiang gantungan. Jangan kalian berkhayal. Jika kalian menawar Khomeini, maka umat Islam takkan menawar kalian. Kami senantiasa berada dalam perjuangan dan kami selalu berada di dalamnya. Kami akan selalu memerangi semua keputusan kalian yang menyalahi Islam dan segala bentuk penindasan. Beberapa bulan kemudian, Khomeini mengumumkan kepada rakyat Iran tentang rencananya untuk memberikan sebuah ceramah pada tanggal 27 Oktober 1964. Dalam ceramah itu, ia ingin membeberkan keburukan-keburukan pemerintahan Syah Iran. Salah satunya adalah program pemberian jaminan diplomatik terhadap anggota militer AS di Iran dari segala peraturan yang berlaku. Pemerintah, lewat SAVAK, berusaha meneror Khomeini lewat surat-surat kaleng yang dikirimkan kepadanya, tetapi itu tetap tidak digubris. Pada hari yang telah direncanakan, Khomeini tetap menyampaikan ceramahnya itu. Ia menyerang segala rencana pemerintah Iran dan mengingatkan barisan ulama, pelajar di hawza-hawza ilmiyah serta rakyat Iran pada umumnya

untuk berhati-hati terhadap rencana-rencana pemerintah yang sejatinya adalah siasat AS untuk menguasai Iran. Akibat ceramah yang diberikan itu, Khomeini kembali ditangkap oleh pemerintah. Kali ini, Khomeini diputuskan untuk dibuang ke luar negeri. Keputusan itu ditandatangani oleh Perdana Menteri Iran, Hasan Ali Mansur. Pada tanggal 4 November 1964, Khomeini diterbangkan ke Istanbul, Turki, tempat buangannya yang pertama. Malang bagi sang perdana menteri, beberapa hari setelah pembuangan itu sebuah perkumpulan yang tidak menerima keputusan itu membunuhnya. Di Turki, Khomeini tinggal sampai akhir Oktober 1965. Rumah tempatnya berdiam di sana adalah rumah seorang intelijen Turki, Kolonel Ali Centiner. Khomeini kemudian dipindahkan ke Najaf, Irak. Salah satu kota suci bagi orang-orang Syiah ini menjadi pilihan terakhir, karena pemerintah Iran tidak menemukan tempat lain lagi yang layak pada waktu itu. Berbeda dengan Turki yang asing sama sekali, dibuang di Najaf justru mempertemukan Khomeini dengan orang-orang Syiah Irak. Di tempat ini, ia dapat bebas membaca dan menulis atau bercengkrama dengan cucu kesayangan. Khomeini juga dapat bebas beribadah di sisi makamyang diyakini sebagaimakam Ali bin Abi Thalib dan melakukan nikah mutah dengan wanita setempat. Lebih dari itu semua, dan inilah yang tampaknya penting, selama di Najaf, Khomeini dapat memberikan kuliah-kuliah khusus kepada para penganut Syiah di sana. Kuliah-kuliah yang dimaksud dicatat dan dikumpulkan oleh Hamid Ruhani untuk dibukukan kelak dengan judulHokomat-e Islami: Velayat-e Faqih yang lebih dikenal lewat sebutan Wilayah Al-Faqih. Buku itu menjadi karya Khomeini yang paling populer di tengah para pengikutnya. Betapa tidak, dalam karya itulah Khomeini mengonsep wilayah faqih yang akan diterapkan pada Republik Iran pasca revolusi. Kaum intelektual yang ingin mengetahui lebih jauh konsep kepemimpinan dalam Revolusi Iran dan juga Republik Iran, biasanya, akan mendedah karya Khomeini itu. Secara sederhana, konsep wilayah faqih dibangun di atas keyakinan bahwa Ali bin Abi Thalib adalah pewaris resmi kekuasaan Rasulullah. Setelah Ali meninggal dunia, kekuasaan itu seharusnya diserahkan kepada sebelas imam berikutnya secara turun-temurun, termasuk kepada imam terakhir yang menghilang. Selama menghilangnya imam terakhir itu, pemimpin tertinggi Syiah harus diberikan wewenang dan otoritas di bidang yudikatif, eksekutif, keagamaan dan sosial. Orang-orang Syiah yang menanti kemunculan imam terakhir itu harus memilih dan mengangkat seorang imam yang memiliki kualifikasi keilmuan dalam ilmu-ilmu agama. Imam yang akan diangkat ini diistilahkan dengan rahbar (pemimpin agung). Ia adalah wakil kedaulatan Allah di muka bumi. Dengan konsep wilayah faqih itu, siapa saja yang menentang seorang rahbar, maka ia akan dianggap sebagai penentang dan penghujat Allah.

Sementara Khomeini menghabiskan waktunya di pembuangan, rakyat Iran menyaksikan langsung kebijakan-kebijakan syah yang dinilai merugikan mereka. Pada Oktober 1971, misalnya, Syah Iran mengadakan perayaan 2500 tahun Kerajaan Persia. Perayaan itu berlangsung di kota Persepolis, Iran dan menghabiskan biaya negara sebesar 100120 juta dolar AS. Diperkirakan, sebanyak 500 tamu asing diundang khusus untuk hadir pada acara itu. Untuk menjamu mereka, syah sengaja mendatangkan koki-koki khusus dari luar negeri untuk menghidang makanan dan minuman khusus. Belum hilang ingatan akan perayaan itu, rakyat Iran kembali dikejutkan dengan keputusan pemerintah membentuk sebuah partai tunggal, Partai Sosialis Restakhiz. Setiap rakyat Iran diwajibkan untuk bergabung dengan partai itu. Siapa saja yang ogah bergabung, pemerintah akan memaksanya untuk keluar dari Iran. Dua tahun kemudian, pemerintahan syah mengeluarkan kebijakan untuk menghapus sistem penanggalan Islam dan menggantikannya dengan sistem penanggalan kerajaan. Dalam sistem penanggalan terakhir ini, tahun dihitung sejak didirikannya Kerajaan Archaemeniyah pada 529 sM. Pada waktu itu, gerakan anti-syah berporos pada sosok Dr. Ali Syariati. Ia sangat piawai menggabungkan teori-teori Sosialisme dengan konsep-konsep Syiah. Dengan kata lain, Syariati membuat akidah Syiah menjadi lebih rasional dan dapat diterima oleh mahasiswa-mahasiswa dan kaum terpelajar Iran. Kematian Syariati yang mendadak, membuat harapan rakyat Iran tergantung pada sosok Khomeini seorang. Pada tanggal 7, 8, dan 9 Januari 1977, misalnya, mereka marah karena koran Ettelaat yang pro-pemerintah menurunkan penghinaan Menteri Penerangan Iran, Darius Hamayan, terhadap Khomeini. Waktu itu, Hamayan mengejek Khomeini sebagai seorang homoseks dan orang bayaran Inggris dalam menentang Syah Iran. Reaksi keras itu menandai awal penentangan yang dilakukan oleh rakyat Iran kepada pemerintah sebelum revolusi terjadi. Beberapa bulan kemudian, pada bulan Juni 1977, sebanyak 92 penyair dan seniman mengirim surat terbuka kepada Syah Iran untuk meminta kebebasan berpikir dan berbicara. Bulan Juli 1977, giliran 140 pengacara meminta agar seluruh pengadilan militer dibubarkan dan seluruh tahanan politik dibebaskan. Presiden AS waktu itu adalah Jimmy Carter. Di muka publik, ia dikenal sebagai seorang anak petani pejuang hak asasi manusia. Pada Desember 1977 sampai awal Januari 1978, ia berkunjung ke Iran. Rakyat Iran menunggu komitmen Carter terkait penegakan hak asasi di Iran. Ternyata, yang mereka harapkan itu nihil. Sebaliknya, Carter justru menunjukkan sikap simpatik dan mendukung pemerintahan syah. Rakyat Iran kecewa kepada Carter. Pada Februari 1978, rakyat di Tabriz mengadakan demonstrasi besar-besaran. Dalam demonstrasi itu, sebanyak 100 orang tewas, 650 orang ditangkap dan disiksa tentara. Yang

mengejutkan, dalam unjuk rasa itulah pertama kali bergema teriakan lantang Mampus kau, Syah! di tengah-tengah rakyat. Teriakan seperti itu akhirnya dipakai dalam setiap unjuk rasa yang dilakukan rakyat Iran. Sementara pemerintah, lewat tentara dan SAVAK, semakin brutal dalam menanggapi berbagai protes rakyat. Menyikapi hal itu, salah seorang ulama Syiah terkemuka, Syariat Madari, menganjurkan kepada rakyat Iran untuk melakukan penentangan terhadap hukum negara. Kemudian, ia balik menyatakan berlakunya hukum syariat di Iran. Menyadari keadaan, Syah Iran segera memberikan konsesi kepada para penentangnya. Menjelang bulan September 1978, pemerintah segera menutup tempat-tempat maksiat. Setelah itu, sistem penanggalan Hijriah kembali diberlakukan di Iran dan para koruptor segera ditindak. Meski demikian, rakyat Iran sudah tidak mau menerima lagi. Tuntutan mereka adalah perginya Syah Iran dari negeri mereka. Demonstrasi-demonstrasi anti-syah mulai menyebar di kota-kota Iran. Pada tanggal 7 September 1978, lewat Gubernur Militer Teheran, Syah Iran segera memutuskan untuk memberlakukan keadaan darurat perang. Mulai jam 6 sore sampai jam 6 pagi, rakyat dilarang keluar rumah. Siapa saja yang ditemukan keluar pada waktu itu segera ditembak di tempat oleh aparat. Keputusan itu akhirnya disusul dengan penunjukan gubernur-gubernur militer yang lain untuk mengepalai 12 kota di Iran pada tanggal 8 September. Pada saat yang bersamaan, ribuan rakyat Iran di Teheran dipimpin oleh para mullah sedang bersiap untuk turun ke jalan. Ketika di jalan, bentrokan antara rakyat dan tentara tidak terelakkan lagi. Setelah gas-gas air mata tidak mempan membubarkan kerumunan rakyat itu, tentara mulai menembaki mereka. Kejadian seperti ini juga berlangsung di tempat-tempat lain di Teheran. Diperkirakan, ada ribuan orang tertembak pada hari itu. Peristiwa itu dikenal dalam sejarah Iran sebagai Tragedi Jumat Hitam. Kematian massal rakyat Iran membangkitkan simpati dari banyak kalangan. Mereka yang tewas pada hari itu dianggap sebagai para syuhada dan pahlawan-pahlawan rakyat Iran. Sementara itu, di Irak, pemerintah sedang mengusahakan pengusiran Khomeini dari kota Najaf. Tindakan ini diyakini oleh para pengikut Khomeini sebagai hasil desakan pemerintah Syah Iran. Setelah berhari-hari berusaha, pemerintah Irak akhirnya memutuskan untuk membuang Khomeini ke Neauphle-le-Chateau di pinggiran kota Paris, Perancis. Di Perancis, Khomeini ditemani oleh istri dan putranya, Ahmad, yang waktu itu berusia 35 tahun. Oleh pemerintah setempat Khomeini semula dilarang untuk beraktivitas politik. Akan tetapi, Khomeini menolak aturan seperti itu.

Dari sebuah rumah sederhana, Khomeini mengeluarkan pernyataan-pernyataan politiknya. Jika di Najaf kuliah-kuliah dan pernyataan-pernyataan Khomeini direkam untuk diselundupkan ke Iran dan negara-negara sekitar, maka di Paris pernyataan-pernyataan Khomeini seperti itu juga disampaikan publik internasional. Pengaruhnya, perhatian dunia pun mulai tertuju ke konflik yang terjadi di Iran. Usaha Khomeini tersebut dibantu oleh tiga orang intelektual Iran yang mendampinginya di Perancis. Selain pernyataan-pernyataan, mereka bertiga menyiapkan pertemuan-pertemuan, surat-surat, dan jumpa pers yang akan dilakukan Khomeini. Mereka bertiga adalah Dr. Ibrahim Yazdi, Sodegh Gathzadeh dan Bani Sadr. Dr. Ibrahim Yazdi dikenal sebagai seorang lulusan Universitas Bailour, Texas, sedangkan Sodegh Gotbzadeh adalah seorang ahli bahasa dari Universitas Georgetown, Washington. Berbeda dengan mereka berdua, Bani Sadr adalah seorang penulis, peneliti dan ahli ekonomi Iran didikan Perancis. Ada pula yang mengatakan bahwa Bani Sadr adalah anak rohani Khomeini. Bukunya yang berjudul Petrole et Vilence menjadi semacam textbook di tengah intelektual Iran. Dalam bahasa kita, judul buku itu berarti Minyak dan Kekejaman. Selain lewat kaset-kaset rekaman, rakyat Iran mendengar pernyataan-pernyataan Khomeini lewat radio Moscow dan BBC London. Sejak pers dibebaskan kembali untuk memberitakan sesuatu oleh Perdana Menteri Syapur Bakhtiar pada awal 1979, rakyat Iran lebih banyak mendapat suntikan semangat dalam menentang pemerintah syah dari tokoh-tokoh yang ada di Iran. Sejak Oktober 1978 itu, keganasan pemerintah Iran telah berkurang. Rakyat Iran telah berani menyatakan pendapat mereka di muka umum tanpa takut ancaman SAVAK lagi. Antara 15 Oktober sampai 3 November 1978, misalnya, ribuan orang berkumpul dan berdiskusi membicarakan masa depan Iran. Baru pada tanggal 4 November 1978, terjadi kembali bentrok antara pendukung Syah Iran dan penentangnya. Peristiwa itu terjadi di Universitas Teheran dan menewaskan sekitar lima orang. Buntut peristiwa itu adalah pembakaran tempat-tempat umum yang ada di Teheran. Tercatat, sejumlah bioskop, tempat berjudi, panti-pijat, kantor-kantor dan bangunan-bangunan lain rusak, termasuk Kedubes Inggris. Tentara hanya mengamankan Kedubes AS. Pada tanggal 6 November 1978, Syah Iran mengangkat seorang militer sebagai Perdana Menteri Iran. Harapan syah, dengan pengangkatan ini, rakyat sipil menjadi takut dan negara pun terselamatkan dari kekacauan berlarut-larut. Pengangkatan itu justru dijawab Khomeini dengan mengeluarkan pernyataan, Kepergian syah dan pembersihan rezim adalah satu-satunya jalan keluar dari krisis. Tanpa itu, Khomeini menegaskan bahwa tidak satu pemeritahan pun, militer ataupun sipil, dapat menunjukkan jalan keluar untuk menghentikan krisis yang terjadi.

Pada tanggal 1 Desember 1978, ribuan rakyat Iran tumpah ruah ke jalanan Teheran. Mereka hendak memperingati hari kematian Husein di Karbala yang kebetulan jatuh pada hari itu. Setelah dilarang syah sejak 1958, peringatan kematian Husein muncul kembali di tengah mereka. Dalam ritual itu, banyak jatuh korban. Tentara berusaha membubarkan massa dengan menembak mereka. Dari sebuah ritual biasa, peringatan kematian Husein itu menjadi semacam perlawanan rakyat Iran terhadap tirani yang mengungkung mereka. Dalam semangat yang muncul dari acara peringatan itu, rakyat Iran banyak yang bersedia untuk mati melawan pemerintah dan tentara-tentara mereka. Selama seminggu sejak hari itu, ratusan rakyat Iran menjadi korban peluru-peluru tentara. Mayat-mayat mereka kemudian dikumpulkan bersama dan dikuburkan di pemakaman Behesht-e Zahra. Wartawan yang meliput acara peringatan menghitung sekitar ribuan rakyat tertembak, meskipun pemerintah mengeluarkan angka resmi hanya sebanyak ratusan orang. Beberapa hari setelah pemakaman, tepat pada tanggal 11-12 Desember, tiga juta rakyat Iran turun ke jalan-jalan Teheran untuk menentang pemerintah. Pada hari pertama mereka hanya mengecam undang-undang buatan pemerintah, namun pada hari kedua mereka bersikap kasar, mengeluarkan amarah mereka terhadap pemerintah Iran. Mereka terus berteriak, Mati kau, Syah!, Mati kau, Syah!. Tentara membalas perbuatan rakyat Iran itu keesokan harinya. Di Isfahan, mereka meneror dengan memaksa rakyat meneriakkan, Hidup, Syah! atau ditembak di tempat. Tindakan semena-mena tentara itu disaksikan oleh banyak orang. Tenaga-tenaga kesehatan di rumah sakit menyaksikan korban yang datang silih berganti. Mereka merasa frustasi dengan apa yang dibuat oleh tentara-tentara itu. Ternyata, kejadian di Isfahan itu berulang di kota-kota yang lain pada hari-hari berikutnya. Najafabad dan Abadan menyaksikan kebrutalan tentara-tentara syah. Menyusul kemudian di Masyhad, kota suci Syiah di Iran selain Qum, juga di Shiraz, Teheran, Tabriz, Syapur, Ilam, Khoramsyah, Rasht, Dadjerut, dan Ghazvin. Mendengar berita itu, Khomeini segera menetapkan hari berkabung nasional pada tanggal 18 dan 30 Desember 1978. Sekitar 3000 dokter Iran menyatakan dukungan kepada Khomeini setelah menyaksikan sendiri kebrutalan tentara-tentara syah. Keadaan Iran menjadi kacau di hari-hari penutup tahun itu. Banyak anggota tentara yang desersi setelah kejadian di kota-kota itu. Anggota-anggota parlemen meliburkan diri dari tanggal 21 Desember 1978 sampai 14 Januari 1979. Tokoh-tokoh sipil enggan untuk ditunjuk sebagai kandidat anggota pemerintahan. Perubahan mulai terlihat, ketika Syah Iran meminta Shapur Bakhtiar menjabat Perdana Menteri Iran. Pada tanggal 6 Januari 1979, Bakhtiar mulai menjalankan tugasnya. Di antara langkah-

langkah monumental Bakhtiar adalah mencabut sensor pers, membubarkan SAVAK, danyang paling pentingmeyakinkan syah untuk pergi ke luar negeri dengan alasan kesehatan jika ingin krisis kekuasaan Iran waktu itu selesai. Syah menerima usulan Bakhtiar itu. Pada tanggal 16 Januari 1979, Syah Iran terbang meninggalkan Iran. Dalam perjalanan ke AS itu, syah singgah di Kairo untuk bertemu dengan Presiden Mesir, Anwar Sadat. Di Paris, Khomeini mengumumkan rencananya untuk membentuk secepat mungkin pemerintahan sementara Iran pada tanggal 16 Januari itu. Baginya, keberangkatan syah ke luar negeri itu merupakan langkah pertama untuk mengakhiri pemerintahan Iran yang zalim. Pada waktu bersamaan, telah beredar rencana Khomeini untuk pulang kembali ke Iran. Rencana itu kemudian menjadi kenyataan. Tepat tengah malam menjelang tanggal 1 Februari 1979, Khomeini terbang dengan pesawat Boeing 747 milik Air France, kembali ke Iran setelah 14 tahun dibuang pemerintah Iran. Dalam pesawat rombongan yang membawanya itu, ikut serta pula 150 wartawan dari berbagai negara dan 50 orang Iran. Pesawat Khomeini mendarat di bandara setelah terbang selama lima jam. Rakyat Iran yang telah diberitahu tentang kepulangan tersebut menyambut kedatangan Khomeini di luar bandara dan di jalan-jalan. Ada sekitar lima jutaan rakyat Iran yang menyambutnya hari itu. Bagi mereka, Khomeini adalah pahlawan sekaligus pemimpin yang telah mereka tunggu-tunggu sejak lama. Dari bandara, Khomeini segera menuju pemakaman Behesht Zahra untuk menziarahi makammakam korban demonstrasi melawan Syah Iran. Behest-e Zahra yang dimaksud terletak di sebelah selatan Teheran, berbelok dari jalan raya menuju Qum. Di pemakaman itu, Khomeini berencana memberikan pidato pertamanya di depan rakyat Iran. Selama perjalanan menuju pemakaman, aparat pemerintah menyaksikan dengan sendiri penerimaan dan penghormatan rakyat Iran terhadap Khomeini. Pidato itu sendiri menjadi pidato bersejarah bagi rakyat Iran. Harus kukatakan, tegas Khomeini dalam pidato yang dimaksud, bahwa Mohamad Reza Pahlavi, pengkhianat ini, telah pergi, telah terbang, setelah merampok seluruh milik kita. Dia telah merampok negara dan membangun kuburan-kuburan. Seluruh struktur ekonomi kita rusak. Iran harus bekerja keras, dan lama, untuk membangunnya kembali. Mereka mengira telah memberikan tanah pada petani, padahal sesungguhnya mereka menghancurkan pertanian kita, sehingga sekarang kita tergantung sekali dengan negara asing. Mohamad Reza telah membuat kita ini tergantung pada Amerika Serikat dan Israel. Kedatangan Khomeini tidak membuat Bakhtiar menyerahkan pemerintahan kepadanya. Sebaliknya, polisi dan tentara pendukung Bakhtiar bentrok dengan rakyat Iran. Hari-hari setelah kedatangan Khomeini itu menjadi semakin panas. Teheran pun makin mencekam.

Pada tanggal 3 Februari 1979, Khomeini mengumumkan pembentukan Dewan Revolusi yang akan bertugas membentuk sebuah pemerintah sementara. Pengumuman di depan wartawanwartawan internasional itu juga menyebutkan tuntutan agar Perdana Menteri Bakhtiar mundur dari jabatannya. Bagi Khomeini, pemerintahan Bakhtiar itu ilegal. Khomeini kemudian mengancam, jika Bakhtiar tidak mundur, maka ia akan melancarkan jihad kepada rakyat Iran. Kami, kata Khomeini, ingin sebuah jalan keluar yang damai, tanpa kekerasan, dalam menyelesaikan masalah ini. Kami minta agar pemerintah ilegal ini mengundurkan diri sendiri. Betapa pun, seandainya Bakhtiar yang didukung oleh Amerika terus membangkang kepada bangsa dan membawa masuk tentara Israel ke Iran,kami akan terpaksa menggunakan jalan lain. Saya minta pemerintah agar mundur dan jangan bergerak ke arah itu. Dua hari setelah itu, Khomeini mengangkat Bazargan sebagai Perdana Menteri sementara, menandingi Bakhtiar. Pengangkatan itu berlangsung di gedung bioskop Madrasah Alafi dan disaksikan oleh sekitar 400 wartawan dalam dan luar negeri. Bakhtiar yang merupakan rekan lama Bazargan, ternyata, dapat menerima pemerintah tandingan itu selama tidak mencampuri urusan pemerintahannya. Pihak tentara sampai saat itu masih banyak yang memihak Bakhtiar. Dualisme pemerintahan seperti itu bertahan berhari-hari. Perkembangan yang tejadi justru menunjukkan semakin tebalnya dukungan rakyat Iran kepada Khomeini. Pada demonstrasi tanggal 8 Februari 1979, ribuan rakyat Iran turun ke jalan-jalan Teheran dan meneriakkan, Khomeini, beri kami senjata, Khomeini, beri kami perintah perang. Keesokan harinya, Bazargan mengumumkan program pemerintahannya di Universitas Teheran. Di antara program-program itu adalah pemindahan kekuasaan dari Bakhtiar ke Bazargan, pelaksanaan referendum untuk mengesahkan undang-undang baru, pembentukan pemerintahan tetap untuk Republik Iran. Malamnya, terjadi sebuah insiden berdarah antara anggota militer. Sebagian mereka masih mendukung Syah Iran dan Bakhtiar, sebagian lainanggota Angkatan Udara Irantelah mendukung Khomeini. Dalam insiden itu, sekitar 60 orang tewas terbunuh. Insiden itu berlanjut menjadi sebuah pertempuran besar antara tentara pendukung syah-Bakhtiar dan rakyat Iran selama dua hari. Markas tentara dan polisi diserang. Rakyat Iran juga menyerbu gudang senjata milik tentara. Pada tanggal 11 Februari 1979, Bakhtiar mengumumkan pengunduran dirinya. Kantor radio dan televisi Iran kemudian berhasil direbut rakyat Iran. Tidak lama kemudian, siaran radio Revolusi Iran mengudara.

Perkembangan baru ini, ternyata, tidak menghentikan bentrok senjata. Tanggal 11 Februari malam bunyi-bunyi tembakan masih terdengar. Pada tanggal 12 Februari 1979, pertempuran baru dapat dihentikan, setelah tentara terakhir yang mendukung syah dan Bakhtiar menyerah kepada rakyat. Pemerintah Bazargan meminta rakyat agar menahan diri. Pada waktu itu, korban yang tewas telah mencapai angka ribuan. Pertempuran yang meletus dari tanggal 9 Februari malam itu menjadi puncak Revolusi Iran. Dalam waktu tiga hari, rakyat berhasil mengalahkan tentara pendukung syah. Yang tersisa kemudian adalah mengamankan revolusi. Proses mengamankan revolusi ternyata jauh lebih berat. Kali ini, kemungkinan terjadi perpecahan dalam barisan pendukung revolusi begitu terbuka. Selama memimpin pemerintahan sementara itu, Bazargan beberapa kali mengancam untuk mengundurkan diri dari jabatan Perdana Menteri Pemerintahan Revolusi. Pada tanggal 2 dan 3 Desember 1979, berlangsung referendum untuk menentukan undangundang baru Iran. Setelah itu, pada bulan Januari 1980, kampanye untuk presiden Republik Iran pertama dimulai. Dalam pemilihan presiden itu, Bani Sadr terpilih sebagai Presiden Iran pada tanggal 28 Januari 1980. Republik Iran kemudian menerapkan konsepsi yang dibuat Khomeini itu. Dalam struktur kekuasaan di Iran, lembaga super adalah Dewan Ahli yang serupa dengan dewan Ahlul Halli wa Al-Aqdi dalam pemerintahan Ahlus Sunnah wa Al-Jamaah. Dewan Ahli itu beranggotakan 86 orang ulama Syiah yang dipilih untuk bertugas selama delapan tahun. Dewan inilah yang akan menunjuk seorang rahbar, pemimpin tertinggi. Jabatan rahbar berlaku seumur hidup. Khomeini adalah rahbar pertama dalam Republik Iran itu. Dalam struktur, rahbar-lah yang menjadi poros kekuasaan. Ketika Dewan Ahli telah menunjuk seorang rahbar, maka ia akan berdiri sendiri dengan wewenang besar yang dimilikinya. Rahbar, bahkan, tidak mempertanggungjawabkan tugasnya kepada Parlemen Iran. Dengan kedudukan demikian, seorang rahbar adalah juga pemilik dan penguasa dalam negara Iran hampir di segala bidang. Kekuasaan dan wewenang yang dimiliki seorangrahbar sering mendapat kritikan dari aktivis-aktivis demokrasi di Iran atau di luar Iran, tidak terkecuali dengan Khomeini. Selain mengganti tatanan kekuasaan, Revolusi Iran juga turut mengganti lambang negara Iran. Pada masa pemerintahan Syah Iran, lambang negara Iran adalah singa. Di bendera Iran lama, lambang itu tergambar di bidang putih. Setelah revolusi, pemerintah Iran mengganti lambang negara mereka itu menjadi sebuah tulisan kaligrafi lafzh al-jalalah, Allah. Kaligrafi itu tersusun dari empat bulan sabit dan sebuah batang vertikal dengan coretan ortografik pendek di atasnya.

Setelah revolusi, pemerintah Iran mengganti lambang negara mereka itu menjadi sebuah tulisan kaligrafi lafzh al-jalalah, Allah. Kaligrafi itu tersusun dari empat bulan sabit dan sebuah batang vertikal dengan coretan ortografik pendek di atasnya. Meski demikian, lambang itu juga dapat mengesankan tulisan-tulisan yang lain. Pertama, lambang itu dapat terbaca Allah. Batang vertikalnya dapat dilihat sebagai sebuah obor,sebuah menara atau sebilah pedang yang dengan itu dapat menghubungkan Surga dengan bumi. Lambang itu dapat terbaca sebagai angka lima. Angka ini mewakili kelima tokoh penting di tengah mereka, Rasulullah kemudian Ali-Fatimah dan Hasan-Husen. Bagi penganut Syiah, kelima tokoh ini memiliki kedudukan sangat penting dalam sejarah, jauh melebihi Abu Bakar Ash-Shiddiq dan Umar bin Khaththab. Selain itu, coretan ortografik yang ada di atas batang vertikal melambangkan Malaikat Jibril yang bergabung dengan kelima tokoh tersebut. Lambang tersebut juga dapat dibaca sebagai la, tidak. Syariati telah banyak menarik perhatian orang terhadap Syiah sebagai agama tidak. Alih-alih sebagai sistem larangan, Syiah adalah sebuah sistem protes melawan tuhan-tuhan dan keadilan yang keliru di tengah manusia. Syariati sendiri menggunakan logo kata la pada setiap sampul buku dan bahan-bahan kuliahnya untuk diterbitkan. Bagi Syariati, la itu mengombinasikan elemen-elemen Islam dengan modernitas dan radikalisme dunia ketiga, seperti sikap politik yang dipegangnya sampai ia meninggal dunia. Boleh juga untuk menganggap pasangan sabit di masing-masing sisi batang vertikal sebagai sesuatu membelakangi sisi kanan dan kiri. Bagi para pengikut Khomeini, bentuk saling membelakangi itu merepresentasikan juga slogan yang sering diusung Khomeini, Tidak Timur tidak Barat, Islam-lah yang terbaik. Setelah Revolusi Iran berhasil digulirkan, Khomeini mengumumkan tekadnya untuk mengimpor revolusi seperti itu ke negara-negara muslim. Karena penyataan itulah, banyak negara-negara muslim yang bersikap waspada terhadap Iran dan pemikiran-pemikiran yang datang dari sana, termasuk Syiah yang mulai selalu diidentikkan dengan Iran. Khomeini masih melihat Republik Iran yang diperjuangkannya sampai tahun 1989. Pada tanggal 3 Juni 1989, Khomeini meninggal dunia karena menderita kanker yang telah lama menyerangnya. Sebelum meninggal dunia pada hari itu, Khomeini sempat melakukan operasi kanker. Dewan Ahli kemudian bersidang dan bersepakat untuk mengangkat Ali Khamenei sebagairahbar selanjutnya. Posisi itu masih dipegang Khamenei sampai hari ini.[]

SYIAH PERTAMA DAN SYIAH BELAKANGAN


3 Oktober 2012 pukul 10:21

Dalam Asy-Syiah wa At-Tasyyayu, Dr. Ihsan Ilahi Zhahir menulis, istilah syiah dipakai pertama kali dalam sejarah Islam dengan arti sebenarnya, pendukung atau pengikut. Tepatnya, pemakaian istilah itu banyak terkait dengan peristiwa politik pasca terbunuhnya Khalifah Utsman bin Affan radhiyallahu anhu. Waktu itu, sebagian besar kaum muslimin yang ada terbagi menjadi dua kelompok. Pertama, mereka yang mendukung kepemimpinan Khalifah Ali bin Abi Thalib yang dibaiat oleh kaum muslimin untuk menggantikan kepemimpinan Utsman bin Affan. Kedua, mereka yang menuntut adanya qishash atas pembunuhan Utsman bin Affan dan karena itu belum mau berbaiat terhadap kepemimpinan Ali bin Abi Thalib. Pada akhirnya, kelompok pertama dikenal sebagai sebagai para pendukung dan pembela Khalifah Ali bin Abi Thalib atau Syiah Ali, Al-Alawiyah. Demikian pula dengan kelompok kedua, mereka disebut sebagai Syiah Auliya Utsman, Al-Utsmaniyah. Jadi, syiah adalahpendukung, pembela atau bahkan dikatakan juga sebagai simpatisan terhadap salah satu dari dua kekuatan politik yang ada. Dalam hal ini, contoh paling bagus adalah Abu Thufail Amir bin Watsilah Al-Kinani AlHijaziradhiyallahu anhu. Melihat Rasulullah ketika Haji Wada, Abu Thufail dikenal dalam sejarah sebagai sahabat Rasulullah yang paling terakhir hidup di dunia. Terkait profil Abu Thufail, dalam Siyar Alam An-Nubala, Adz-Dzahabi mengatakan, [Abu Thufail] termasuk syiah Imam Ali. Memang, ketika terjadi perselisihan antara Ali dan Muawiyah radhiyallahu anhuma, Abu Thufail termasuk sahabat-sahabat Rasulullah yang memihak dan membela Ali. Arti seperti itu mulai bergeser. Dari yang semula bermuatan politis, syiah dikenakan pada pandangan tertentu terhadap Ali bin Abi Thalib. Pada titik ini, syiah mulai menjadi sebuah nama kelompok dengan doktrin dan ideologi (baca: akidah) tertentu di tengah kaum muslimin waktu itu. Yang hendak diperikan di sini adalah dalam maknanya sebagai sebuah keyakinan. Orang-orang Syiah yang pertama, seperti dikatakan Ibnu Taimiyah dalam Minhaj As-Sunnah An-Nabawiyyah fi Naqdhi Kalam Asy-Syiah Al-Qadariyyah, adalah orang-orang yang meyakini bahwa Ali bin Abi Thalib adalah orang yang lebih baik dari Utsman bin Affan. Artinya, orang-orang Syiah pertama itu tidak menampik bahwa Abu Bakar Ash-Shiddiq dan Umar bin Al-Khaththab lebih baik dan utama dari Ali bin Abi Thalib. Yang patut kita catat, di luar keyakinan itu, orang-orang Syiah yang pertama tersebut memiliki keyakinan yang sama dengan kaum muslimin lainnya. Mereka meyakini Al-Quran dan haditshadits Rasulullah, sebagaimana yang diyakini oleh kaum muslimin lainnya. Mereka beribadah

dengan praktek-praktek ibadah kaum muslimin lainnya. Mereka tidak menciptakan mazhab tersendiri yang berbeda dari kaum muslimin lainnya. Akan tetapi, keadaan tersebut berbeda dengan orang-orang yang muncul setelah itu. Seperti dikatakan Ibnu Taimiyah, orang-orang Syiah yang muncul belakangan meyakini bahwa Ali bin Abi Thalib lebih baik dan utama dari Abu Bakar Ash-Shiddiq dan Umar bin Al-Khaththab. Sekarang, orang-orang yang memiliki keyakinan seperti orang-orang Syiah pertama diistilahkan dengan mutasyayyi. Istilah ini adalah bentuk subjek dari tasyayyu yang berartimemiliki sedikit kesyiah-syiahan pada keyakinan mereka terkait Ali bin Abi Thalib. Dalam buku-buku yang berisi profil para periwayat hadits (at-tarajim wa ath-thabaqat), mereka yang memiliki keyakinan tasyayyu biasa diberi keterangan kana yamilu ila at-tasyayyu (ia cenderung memiliki sedikit keyakinan Syiah). Kadang-kadang, disebut denganlahu attasyayyu (memiliki sedikit keyakinan Syiah). Sebagai misal, Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Tahdzib At-Tahdzib, mengomentari Zubaid bin AlHarits Al-Yami sebagai orang yang cenderung memiliki sedikit keyakinan Syiah. Zubaid ini termasuk salah satu periwayat hadits dalam enam induk antologi hadits Rasulullah (Shahih AlBukhari, Shahih Muslim, Sunan An-Nasa-I, Jami At-Tirmidzi dan Sunan Ibn Majah). Contoh bagus lainnya adalah Abu Shalih Abdurrahman bin Shalih Al-Ataki. Ibnu Hajar mengutip Ibnu Adi yang mengomentarinya, illa annahu muhtariqun fi ma kana fihi min at-tasyayyu. Abul Qasim Al-Baghawi pernah mendengar Abu Shalih Al-Ataqi itu berkata suatu hari, Orang terbaik dalam umat ini setelah nabi mereka adalah Abu Bakar kemudian Umar. Dengan kata lain, Abu Shalih yang dimaksud masih mengakui kalau Abu Bakar dan Umar lebih afdol daripada Ali bin Abi Thalib. Salah seorang syaikh Salafi di Yaman, Syaikh Muqbil Al-Wadii, pernah juga menyebutkan 23 nama periwayat hadits dalam Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim yang memiliki kecenderungan tasyayyu ketika sedang mengkaji kitab Ikhtishar Ulum Al-Hadits karya Ibnu Katsir. Di antara nama-nama yang disebutkan waktu itu adalah Abdurrazaq bin Hammam, AlFadhl bin Dukain, Aban bin Taghlib Al-Kufi, Abul Bakhtari Said bin Fairuz, Adi bin Tsabit AlAnshari. Adapun orang-orang yang memiliki keyakinan seperti orang-orang Syiah belakangandiistilahkan dengan rafidhi. Istilah ini adalah bentuk subjek dari kata rafidhah atau rawafidhyang bermakna para penolak. Disebut seperti itu, tentu, bukan tanpa sebab. Dari situlah, Syiah belakangan diistilahkan juga sebagai Syiah Rafidhah. Nama seperti ini muncul pertama kali dalam sejarah Islam sebagai penanda untuk orang-orang Syiah yang menolak keyakinan Zaid bin Ali, cucu Husain bin Ali bin Abi Thalib radhiyallahu anhuma.

Zaid bin Ali termasuk salah satu rawi dalam rantai periwayatan Sunan Abi Dawud, Jami AtTirmidzi, dan Sunan Ibn Majah. Di tengah para pencari dan pengkaji hadits-hadits Rasulullah, Zaid bin Ali diyakini sebagai salah seorang rawi hadits yang dapat dipercaya. Semasa hidupnya, Zaid bin Ali pernah didatangi oleh beberapa orang Syiah. Sejumlah orang tersebut, waktu itu, mulai meyakini bahwa Ali bin Abi Thalib lebih baik dan bahkan lebih utama dari Abu Bakar dan Umar. Mereka mendatangi Zaid bin Ali untuk mempertegas keyakinan mereka yang baru itu. Zaid sendiri adalah keturunan langsung dari Husain bin Ali bin Abi Thalib radhiyallahu anhuma. Sejak kematiannya yang mengenaskan di Karbala, Husein menjadi simbol perlawanan bagi orang-orang Syiah. Dari situlah, orang-orang Syiah mulai mengangkat keturunan-keturunan Husein langsung sebagai marja mereka, rujukan mereka. Akan tetapi, terkait keyakinannya, Zaid bin Ali memandang bahwa Abu Bakar Ash-Shiddiq dan Umar bin Al-Khaththab lebih baik dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu anhum. Karena itu, ketika ditanya tentang kedudukan Abu Bakar dan Umar oleh orang-orang Syiah tersebut, Zaid bin Ali justru menunjukkan kecintaannya (al-wala) kepada dua orang sahabat utama Rasulullah itu. Sikap seperti itulah kemudian yang dikecam oleh orang-orang Syiah tersebut. Kalian telah menolakku, kalian telah menolakku, kata Zaid. Dalam bahasa Arab jawaban Zaid itu berbunyi, Rafadhtumuni, rafadhtumuni. Sejak itulah, di tengah kalangan muslimin, orang-orang Syiah yang memiliki keyakinan bahwa Ali bin Abi Thalib lebih baik dan lebih utama dari Abu Bakar Ash-Shiddiq dan Umar bin AlKhaththab dikenal lewat sebutan Syiah Rafidhah, Syiah milik para penolak. Mereka mulai memiliki sistem nilai dan praktek beribadah sendiri, seperti keyakinan bada, rajah,taqiyah, imamah, washiyah, ishmah. Selain itu, yang tak-kalah menarik, orang-orang Syiah menganggap bahwa Ali-lah orang yang telah diberi wasiat oleh Rasulullah untuk memegang kepemimpinan dalam Islam. Bukan ketiga khalifah pertama, Abu Bakar Ash-Shiddiq dan Umar bin Al-Khaththab serta Utsman bin Affan. Kepemimpinan yang dimaksud, dalam keyakinan Syiah, kemudian seharusnya diwariskan kepada anak-cucu Ali. Di tengah orang-orang Syiah, Ali dan anak-cucunya itu disebut sebagai ahlul bait Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Di luar semua itu, orang-orang Syiah Rafidhah memiliki rujukan-rujukan berbeda dari kaum muslimin pada umumnya. Mereka, misalnya, meyakini bahwa mushaf Al-Quran yang ada di tengah kaum muslimin sekarang telah banyak diubah dan dimanipulasi oleh para sahabat Rasulullah. Selain mushaf, orang-orang Syiah Rafidhah meyakini bahwa hadits-hadits Rasulullahshallallahu alaihi wa sallam yang ada di tengah kaum muslimin sekarang ini juga semata-mata hasil rekayasa para sahabat Rasulullah, terutama Abu Hurairah radhiyallahu anhuyang dikenal paling banyak meriwayatkan hadits. Orang-orang Syiah Rafidhah pun kemudian memiliki antologi-

antologi hadits tersendiri. Bagi mereka, yang disebut hadits itu juga mencakup perkataanperkataan para imam Syiah. Membangun satu sistem tersendiri, Syiah belakangan sangat berbeda dari kaum muslimin yang ada. Disadari atau tidak, dan mungkin banyak yang tidak akan menerima kenyataan ini, Syiah Rafidhah telah mendirikan sebuah agama baru di luar Islam yang dibawa Muhammad Rasululllah shallallahu alaihi wa sallam. Untuk dicatat, sebagai sebuah entitas tersendiri, kelompok Syiah Rafidhah telah berkembang dalam sejarah. Mereka menyebarkan keyakinan mereka dan menanamkan pengaruh yang tidak sedikit di tengah kaum muslimin. Bahkan, jika kita perhatikan, ada masa-masa tertentu ketika Syiah Rafidhah menjadi sebuah kekuatan yang berkuasa di negeri-negeri kaum muslimin. Yang harus juga dicatat baik-baik, sebagai sebuah kelompok, Syiah Rafidhah mengalami perpecahan. Muncul di tengah mereka kelompok-kelompok yang masing-masing memiliki nama tetapi juga saling bertikai satu sama lain. Meski demikian, pada hari ini, tidaklah disebut Syiah kecuali mengacu kepada orang-orang Syiah Rafidhah, termasuk juga Syiah Zaidiyah. Terbukti, dalam banyak karya tulis di tengah kaum muslimin yang bisa kita temukan sekarang, Syiah Zaidiyah dan Syiah Rafidhah sering dipukul rata lewat sebutan Rafidhah.

Dari Keajaiban Padang Pasir di Jazirah Arab Dulu: Unta & Manfaat Unta
3 Oktober 2012 pukul 10:19

Mengamati unta di kebun binatang, Allah azza wa jalla sudah menganjurkan kita untuk merenungi penciptaan unta. Dalam surat Al-Ghasyiyah di Al-Quran, anjuran itu dapat kita temukan jelas. Anda barangkali tidak akan sepakat. Tetapi, memang, binatang ini binatang unik. Siapa pun yang mengamatinya akan segera menyimpulkan, unta tidak ada yang menandinginya. Bagaimana pun, kelebihan unta tidak terletak pada kemampuan-kemampuan yang dimilikinya. Lebih dari itu, unta mewakili sebuah gambaran mengagumkan tentang orang-orang padang pasir dan kehidupan mereka. Demikian melekat gambaran itu, sehingga tidak aneh, jika mereka terkadang pula disebut dengan manusia unta. Sebuah Karunia Allah Kehidupan di padang pasir Jazirah Arab dulu berpokok pada unta. Sayangnya, tidak setiap unta bisa digunakan sebagai kendaraan. Ada unta-unta tertentu yang bisa dipakai sebagai hewan tunggangan. Ada pula yang hanya sebagai hewan pengangkut beban.

Biasanya, unta yang dipakai orang-orang Arab Badui sebagai hewan tunggangan dari jenis unta tersebut adalah unta betina. Unta seperti ini dipelihara orang Arab Badui untuk juga diambil susunya. Pada asalnya, unta-unta tunggangan ini berpindah-pindah tempat seenaknya. Akan tetapi, mereka tetap berkelompok-kelompok, seperti domba-domba yang mencari makan rerumputan. Unta pengangkut beban dari jenis tersebut adalah unta jantan. Dalam perjalanan para kafilah Arab, unta-unta pembawa beban ini akan berjalan berbaris-baris teratur satu per satu seperti sebuah parade militer. Siapa saja yang melihat akan menyaksikan sebuah pemandangan yang begitu kontras dari unta-unta betina. Yang patut diingat, sedemikian mendalam rasa syukur orang-orang Arab badui itu karena unta, membuat mereka menjuluki binatang satu ini dengan atha Allah. Betul, bagi orang-orang Arab Badui, unta adalah makhluk yang Allah karuniakan kepada mereka, manusia-manusia padang pasir itu, dan tidak kepada bangsa yang lain. Apa Yang Bisa Diambil Dari Unta? Akan tetapi, rasa syukur itu, pada akhirnya, akan menjelma menjadi sebuah penghargaanyang barangkali agakberlebih pada unta. Dibanding harta-harta yang lain, unta adalah harta orangorang badui yang paling beharga. Tidaklah mengherankan, jika seorang Arab badui yang hidup di tengah padang pasir jauh lebih memerhatikan keadaan unta miliknya ketimbang keadaan istrimudanya. Kelebihan unta bagi mereka ada pada kemampuan unta untuk tetap bertenaga meski berharihari tidak minum air. Unta mampu bertahan seperti itu sampai sekitar enam pekan, jika asupan makanan segar baginya tetap tersedia. Meski demikian, yang paling mengagumkan dari unta adalah kemampuannya untuk mengubah tumbuh-tumbuhan dan air darat yang tidak bisa diminum manusia normal menjadi susu. Minuman yang dihasilkan ini adalah sebuah minuman yang sangat bergizi bagi manusia. Bahkan, ada masanya, ketika sebagian orang-orang Arab badui hidup di tengah-tengah padang pasir hanya dengan susu unta. Kenyataan seperti itu hampir disaingi oleh kenyataan lain yang tak-kalah menarik. Sebagian orang Arab Badui lainnya, ternyata, hidup di tengah padang pasir hanya berbekal susu unta dan kurma. Mereka yang hidup berbekal susu unta, kurma dan roti Arabyang keras hampir seperti batuhanya menjadi minoritas di tengah kehidupan masyarakat padang pasir seperti itu. Dari seekor unta, orang Arab Badui biasa mendapatkan susu unta yang bisa langsung diminum dari ambing-ambing susunya. Sering pula susu unta yang diperas itu disimpan dan dikentalkan mereka. Susu unta asin berbusa tetapi hangat. Meski bisa dikatakan sangat jarang, daging unta mereka makan juga pada momen-momen tertentu. Daging binatang ini sangat alot dan hampir sama berasa dengan daging sapi yang agak bau. Bagi orang-orang Badui itu, bagian yang jadi rebutan mereka adalah hati unta. Hanya

digarami, mereka melahap hati unta itu, sebagaimana kita membrakoti iga kambing hari raya kurban setiap tahun. Tidak ada bagian unta yang terbuang percuma. Selain susu dan daging, orang-orang Arab Badui juga biasa mengolah kuku unta menjadi sejenis kue padang pasir. Setelah dipisahkan, biasanya, kuku unta ditumbuk sampai menjadi bubuk. Bubuk-bubuk inilah kemudian yang akan mereka panggang di atas bara. Khusus air kencing unta, sejak dulu, orang-orang Arab Badui dan Arab kota memanfaatkan air kencing itu sebagai obat bagi tubuh mereka. Adakalanya, perempuan-perempuan Arab Badui menggunakan air kencing itu untuk mengeramas rambut-rambut mereka. Karena itu, tidak berlebihan, jika dikatakan, tidak ada yang terbuang percuma dari seekor unta. Kandungan Serta Manfaat Susu Dan Kencing Unta Sebagaimana susu-susu binatang lainnya, susu unta mengandung protein. Akan tetapi, khusus susu unta, protein yang dikandung lebih tinggi. Kandungan protein yang tinggi seperti ini juga terdapat dalam kencing unta. Temuan ini didapat dari penelitian yang pernah dilakukan oleh para peneliti dari Fakultas Kedokteran, Universitas King Suud, Riyadh, Arab Saudi. Dengan kelebihan itu, susu dan kencing unta sangat berguna untuk menyembuhkan penyakit hepatitis, sebagaimana dikatakan oleh Ar-Razi. Orang ini dikenal sebagai salah seorang filosof sekaligus dokter yang pernah muncul dalam sejarah Islam. Selain itu, susu dan kencing binatang berpunuk tersebut dapat pula dipakai untuk mengobati diabetes dan penyakit kulit. Dalam Zad Al-Maad fi Hadyi Khairil Ibad, Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah mengatakan, susu dan kencing unta bekerja memperlancar sistem metabolisme tubuh kita. Karena itu, wajar, jika sejumlah penyakit yang menyerang organ-organ di dalam perut dapat diobati dengan susu dan kencing tersebut. Mengutip Ibnu Sina dari karyanya yang berjudul Al-Qanun fi Ath-Thibb, Ibnul Qayyim AlJauziyyah juga menyetujui, susu unta terbaik adalah susu unta yang berasal dari unta-unta orang Arab Badui. Hal ini disebabkan oleh kenyataan penting bahwa unta-unta yang paling berkelas adalah unta-unta mereka.[]

MEREKA YANG DIHUJAT IMAM-IMAM KELOMPOK SALAFI: AL-HALLAJ


1 Oktober 2012 pukul 20:57

Al-Hallaj bernama Husain bin Mansur Al-Baydhawi Al-Farisi. Kuniyahnya adalah Abu Abdillah, namun ada juga yang mengatakan Abu Mughits. Ia berasal dari daerah Baydha, salah satu kota yang ada di Persia. Kakeknya adalah seorang pemeluk agama Majusi.

Al-Hallaj dibesarkan di Tustar. Di sana ia sempat belajar kepada Sahl bin Abdillah At-Tustari selama dua tahun. Ketika pindah ke Bagdad, Al-Hallaj pun sempat belajar ke Al-Junaid, Abul Husain An-Nuri, dan Amr bin Utsman Al-Makki. Kepada gurunya yang terakhir ini, Al-Hallaj belajar selama delapan belas bulan. Tentang sebab ia dijuluki al-hallaj, ada beberapa pendapat. Pendapat yang kuat, ia dijuluki demikian karena suatu hari pernah ditemukan telah membersihkandengan cara menyisir kapas dalam hitungan waktu sebentar. Padahal, dengan jumlah kapas yang ada waktu itu, tidak mungkin ada orang yang sanggup untuk membersihkannya kecuali dalam tempo lama. Sejak itulah, orang-orang menjulukinya sebagai al-hallaj, si pembusur kapas. Dikatakan busur, karena alat penyisir kapas itu berbentuk busur, melengkung seperti busur panah. Pendapat yang lain mengatakan bahwa julukan itu diberikan kepadanya karena ayah Al-Hallaj adalah seorang tukang penyisir kapas. Jamak diterima waktu itu kebiasaan untuk menjuluki seorang anak dengan profesi orangtuanya. Ada juga yang mengatakan bahwa julukan itu dikenakan karena ia dapat mengetahui rahasiarahasia yang ada dalam benak orang lain. Pendapat ini berdasarkan cerita yang pernah disampaikan oleh salah seorang anaknya, sebagaimana yang dikutip Imam Adz-Dzahabi dalam Siyar Alam An-Nubala ketika membahas biografi Al-Hallaj. Dalam cerita itu dikatakan bahwa semasa hidupnya Al-Hallaj pernah meninggalkan keluarganya tanpa satu kabar apapun. Ia menghilang selama lima tahun. Ternyata, waktu itu Al-Hallaj pergi ke Wilayah Seberang Sungai (Transoxiana atau yang lebih dikenal dalam kitab-kitab para ulama sebagai ma wara an-nahar), sebuah istilah untuk wilayah Turki Lama (Turkistan) yang hari ini lebih dikenal sebagai wilayah bekas pecahan-pecahan negara Uni Soviet. Setelah kembali ke tengah keluarganya, Al-Hallaj memulai dakwah mengajak kepada Allah taala. Ia membuka majelis untuk mendakwahi manusia. Ia pun menulis berbagai karangan. Puncaknya, ia mulai berbicara tentang apa-apa yang ada di dalam benak-benak audiensnya. Sejak itulah, Al-Hallaj dikenal dan dijuluki masyarakatnya dengan sebutanhallaj al-asrar. Riwayat dakwah Al-Hallaj mulai berubah ketika suatu hari ia mengajarkan tasawwuf. Peristiwa ini juga, kiranya, yang memulai rangkaian permusuhan orang-orang terhadapnya. Ajaran tasawwuf itu, ternyata, diambil Al-Hallaj dari sejumlah kitab milik salah satu gurunya, Amr bin Utsman Al-Makki. Tanpa sepengetahuan gurunya itu, Al-Hallaj membawa kitab-kitab yang dimaksud. Al-Hallaj kemudian membacanya, mempelajarinya dan mengajarkannya kepada manusia. Ketika sampai pada beberapa syaikh Sufi, perihal ajaran tasawwuf Al-Hallaj ini mengganjal benak mereka. Mereka meyakini, tasawwuf yang diajarkan Al-Hallaj banyak menyelisihi syariat Islam.

Amr bin Utsman Al-Makki sendiri, ketika pertama kali mengetahui bahwa Al-Hallaj telah mengambil sejumlah kitabnya, mengutuknya dengan keras. Ia, bahkan, berdoa kepada Allah agar membuat tangan dan kaki Al-Hallaj terpotong. Di tengah hujatan orang banyak, Al-Hallaj tetap mempertahankan apa yang ia ajarkan itu. Sebaliknya, ia masih menganggap apa yang diajarkannya itu sebagai wujud kecintaannya kepada Allah. Salah satu yang diajarkannya itu adalah keyakinan tentang hululiyyah. Al-Hallaj meyakini, Allah taala sebagai pencipta dan pengatur alam semesta dapat menyatu dengan manusiamanusia pilihan di dunia ini. Termasuk bentuk keyakinannya ini adalah pengakuannya bahwa dirinya telah bersatu dengan Allah taala. Al-Hallaj juga mengajarkan hal-hal lain yang tak-kalah kontroversialnya. Dari murid-muridnya, orang-orang banyak mengetahui ucapan-ucapan Al-Hallaj. Di antaranya adalah ucapan Siapa saja yang membedakan antara keimanan dan kekafiran maka ia telah kafir. Perkataan Al-Hallaj yang lain adalah Sesungguhnya, keimanan dan kekafiran itu adalah dua hal yang berbeda dilihat dari sisi nama tetapi memiliki hakikat yang sama dari sisi makna. Dalam beberapa kejadian, Al-Hallaj mempertontonkan kebolehannya dalam menyihir di depan orang-orang. Karenanya, wajar, jika sejumlah tokoh Sufi waktu itu ada pula yang menganggapnya sebagai seorang penyihir ketimbang seorang Sufi. Al-Hallaj juga pernah menulis kepada salah seorang muridnya, Mudah-mudahan Allah menyembunyikan darimu zhahir syariat dan menampakkan kepadamu hakikat kekafiran, karena sebenarnya zhahir syariat itu adalah kekafiran dan hakikat kekafiran itu adalah mengetahui segala sesuatu yang tersembunyi. Al-Hallaj pernah pula menggubah syair-syair kontroversial. Salah satu syair tersebut berbunyi, akulah Dia yang kucinta dan Dia yang kucinta itulah Aku kamilah dua jiwa di satu tubuh waktu kau lihat aku yang kau lihat Dia dan waktu kau lihat Dia kami yang kau lihat itu Karena keyakinan-keyakinan tersebut, para ulama dan kaum muslimin banyak yang mengafirkan Al-Hallaj. Pemerintah Bani Abbasiyah pun menangkap Al-Hallaj. Pada 922 M, bertepatan dengan bulan Dzulqadah tahun 309 H, Al-Hallaj dieksekusi mati.[]

MEREKA YANG DIHUJAT IMAM-IMAM KELOMPOK SALAFI: IBNU RUSYD


30 September 2012 pukul 19:28

Tahafut Al-Falasifah, kata Goenawan Mohamad, telah menyerang filsafat sampai tuntas. Perkembangan filsafat menjadi tidak bergairah di tengah kaum muslimin saat itu, meskipun masih muncul beberapa filosof di tengah-tengah mereka. Bahkan, bisa dikatakan, filsafat hampir mati setelah tersebar karya itu. Akan tetapi, di Kordoba, Spanyol, seorang filosof mencoba menghidupkan kembali perkembangan filsafat yang hampir mati itu. Ia juga berusaha mempertahankan filsafat sebagai bentuk tertinggi agama. Filosof Spanyol yang dimaksud bernama Ibnu Rusyd (1126 1198 M). Bani Ummayyah Andalusia Persentuhan pertama kaum muslimin dengan Spanyol terjadi pada pengintaian pertama yang dilakukan oleh Musa bin Nusair pada tahun 711 M. Sejak saat itu, dimulailah pengislaman Spanyol. Seiring dengan itu berkembang di sana kehidupan muslim Spanyol. Semula status Spanyol adalah propinsi kekhilafahan Bani Umayyah. Nama yang disandang Spanyol setelah itu adalah Andalusia. Propinsi ini dikepalai seorang amir. Pusat pemerintahannya pertama kali berada di Sevilla. Beberapa tahun kemudian pusat pemerintahan dipindahkan ke Kordoba. Pada tahun 750 M, Bani Abbas merebut kekuasaan atas negeri kaum muslimin. Banyak anggota Bani Umayyah yang ditangkap, dibunuh, bahkan dikejar-kejar. Peristiwa pembantaian massal berlangsung juga pada hari-hari itu. Salah satu anggota Bani Umayyah yang lolos dari peristiwa itu adalah Abdurrahman bin Mu'awiyah, cucu khalifah Bani Umayyah kesepuluh. Ia buron dan dikejar-kejar sampai ke Afrika Utara. Dari sana ia menyebrang ke Spanyol. Memakan waktu yang cukup lama, ia akhirnya bisa merebut kekuasaan di Spanyol. Pemerintahannya akhirnya menjadi kekuatan pertama yang menggoyang kekuasan Bani Abbas. Meski demikian, ia tidak memakai gelar khalifah. Ia beserta anak keturunannya hanya memakai gelar amir. Mereka cukup puas dengan gelar ini. Lagi pula, keamiran atau propinsi mereka itu diakui oleh sebagian besar dunia Islam. Baru pada tahun 929 M, amir Abdurrahman III memakai gelar khalifahsebuah bentuk penolakan atas kekuasaan Bani Abbas di Bagdad. Kordoba pada masa pemerintahan Bani Umayyah menjadi pusat kemajuan baru, sebagaimana Bagdad pada masa-masa keemasannya. Perkembangan di Kordoba itu justru terbalik dengan yang terjadi di wilayah kekuasaan Bani Abbas. Perkembangan baru ini pada akhirnya mengundang kemunculan filsafat di Spanyol.

Sebelum Ibnu Rusyd, di Kordoba Bani Umayyah, muncul filosof-filosof Spanyol. Di antara mereka yang patut disebut di sini sebagai filosof pertama adalah Solomon ben Gabirol (1021 1058 M). Ia adalah seorang Yahudi yang menjadi guru pertama filsafat Neo-Platonisme di sana. Selainnya, ada Ibnu Bajjah (1082 1138 M). Ia adalah Abu Bakar Muhammad bin Yahya bin Bajjah. Ia dikenal sebagai filosof pembuka abad ke-12 Masehi. Ia adalah seorang komentator pertama karya-karya Aristoteles. Setelah itu, muncul Abu Bakar Muhammad bin Abdil Malik bin Thufail (1110 1185 M). Ia adalah pakar Neo-Platonisme yang sezaman dengan Ibnu Rusyd. Salah satu karya Ibnu Thufail, Hayy ibn Yaqzhan, adalah sebuah novel filsafat abad ke-12 Masehi yang dianggap menginspirasi Daniel Defoe menulis novel Robinson Crusoe. Pembelaan Ibnu Rusyd Meneruskan tradisi yang pernah digeluti Ibnu Bajjah, Ibnu Rusyd meneruskan tradisi filsafat Aristotelian di Spanyol. Ia banyak mengomentari (mensyarah) karya-karya Aristoteles. Karena itulah, bagi orang-orang Eropa, ia dijuluki sebagai komentator. Juga sebagaimana Ibnu Sina, Ibnu Rusyd dikenal sebagai seorang dokter dan filosof. Akan tetapi, sosoknya sebagai seorang dokter tenggelam di balik popularitasnya sebagai seorang filosof. Ia memang meninggalkan banyak karya tulis, baik di bidang kedokteran, fikih, ataupun di bidang filsafat. Khusus filsafat, ia menjadi lebih dikenal sebagai filosof besar justru lewat karya Tahafut At-Tahafut atau Kerancuan Tahafut (Al-Falasifah). Karya itu adalah bantahannya terhadap karya Al-Ghazali. Di dalamnya, Ibnu Rusyd membela para filosof dari tuduhan-tuduhan kafir Al-Ghazali. Bahkan, ia menegaskan bahwa justru AlGhazali yang kacau pikirannya. Tentang masalah ketuhanan, Ibnu Rusyd sependapat dengan Al-Farabi dan Ibnu Sina. Menurutnya, Allah itu memang ada dan satu, tetapi Allah hanya sebagai penggerak utama. Bahwa Allah mampu menciptakan sesuatu dari ketidakadaan (creatio ex nihilio), tegas Ibnu Rusyd, adalah hal yang tidak mungkin. Yang mungkin adalah Allah menciptakan sesuatu dari sesuatu yang sudah ada, bukan dari tidak ada. Ibnu Rusyd juga bicara tentang kausalitas atau hubungan sebab-akibat. Menurutnya, orang yang mengingkari hubungan sebab-akibat seperti Al-Ghazali dan para pengikutnya telah mengingkari hatinya. Al-Ghazali berpendapat bahwa hubungan sebab-akibat adalah suatu kebiasaan saja, bukan kemestian. Meski demikian, Ibnu Rusyd tidak menetapkan itu bagi Allah. Menurutnya, hanya Allah yang abadi (baqa') tanpa sebab. Artinya, Allah ada tanpa sebab. Adapun alam, maka alam bisa menjadi abadi dengan sebab.

Tentang ilmu atau pengetahuan Allah, Ibnu Rusyd berpendapat bahwa Al-Ghazali telah keliru dalam memahami pendapat para filosof; Al-Ghazali tanpa sadar telah menyamakan antara pengetahuan Allah dan pengetahuan manusia. Pengetahuan Allah, jelas Ibnu Rusyd, berbeda dengan manusia. Menurutnya, maksud para filosof itu adalah pengetahuan Allah tentang perincian yang terjadi di alam ini (juz' iyyah)tidak sama dengan pengetahuan manusia tentang perincian itu. Allah mengetahui apa-apa yang sudah dan akan terjadi. Pengetahuan Allah sendiri bersifatqadim. Artinya, Allah telah mengetahui segala sesuatu sebelum semua itu terjadi, meskipun itu kecil. Karena itu, menurut Ibnu Rusyd, pembagian pengetahuan menjadi kulliyah dan juz' iyyahsedangkan Allah hanya memiliki pengetahuan yang kulliyah adalah pembagian yang sesat dan tidak berlaku bagi Allah. Tentang kebangkitan, Ibnu Rusyd percaya bahwa kebangkitan itu ada. Bahkan, menurutnya, AlGhazali telah keliru ketika mengafirkan para filosof yang menetapkan kebangkitan jiwa-jiwa manusia tanpa tubuh-tubuh mereka. Ibnu Rusyd menetapkan kebangkitan jiwa saja pada manusia nanti, tetapi ia tidak menafikkan kemungkinan adanya kebangkitan tubuh. Akan tetapi, jika kebangkitan tubuh itu ada, maka tubuh yang dibangkitkan nanti adalah tubuh baru. Bukan tubuh yang ada di dunia, sebab tubuh yang ada di dunia ini telah hancur, lenyap, setelah manusia mati. Sesuatu yang telah hancur atau lenyap itu, menurut Ibnu Rusyd, tidak mungkin kembali seperti semula. Para filosof pun berkeyakinan seperti itu. Karena itu, dapat dipahami alasan di balik penetapan para filosof itu akan kebangkitan jiwa saja di akhirat nanti. Bahkan, sebagaimana yang dibuktikan oleh Ibnu Rusyd, Al-Ghazali sendiri di dalam karya yang lain mengatakan bahwa para sufi dibangkitkan hanya dengan jiwa-jiwa mereka, tidak dengan tubuh-tubuh mereka. Ini tentu bertolak-belakang dengan yang diyakininya dalamTahafut AlFalasifah. Vonis: Pelaku Bid'ah Sebagai tambahan di sini, Ibnu Rusyd tidak sepakat dengan pendapat kaum Muktazilah yang mengatakan bahwa Al-Qur'an itu makhluk atau sebuah ciptaan Allah. Meski demikian, ia juga tidak sepakat dengan pendapat Imam Ahmad bahwa Al-Qur'an itu kalam atau salah satu sifat Allah dan karena itu bersifat kekal. Menurut Ibnu Rusyd, Al-Qur'an memang ciptaan Allah, jika huruf dan katanya dilihat terpisah dari maknanya. Sebaliknya, jika dilihat arti yang diungkapkan kata-katanya, maka Al-Qur'an itu bukan ciptaan Allah. Dari sini, terlihat bahwa Ibnu Rusyd memilih kompromi antara dua pendapat yang selalu dipertentangkan sampai saat itu. Karena kajian-kajian filsafatnya, pada tahun 1194 1195 M, Ibnu Rusyd dinyatakan bersalah dan disebut sebagai pelaku bid'ah oleh penguasa pada waktu itu dan juga pada abad-abad selanjutnya. Ia kemudian dibuang ke Lucena dan karya-karya filsafatnya dibakar.

Di tempat pembuangan itu, ia justru didatangi murid-muridnya. Dengan demikian, ia masih terus mengajar dan menulis. Di antara murid-muridnya terdapat orang-orang Yahudi yang menghargai ajaran filsafatnya. Melalui tangan mereka karya-karya Ibnu Rusyd kemudian dibawa ke Eropa dan diterjemahkan serta ditelaah di sana. Dari situlah, kita pun tahu hulu alur perkembangan filsafat-filsafat di Barat.[] Lihat juga:

MEREKA YANG DIHUJAT IMAM-IMAM KELOMPOK SALAFI: AL-GHAZALI


30 September 2012 pukul 19:27

Tidak sebagaimana tokoh-tokoh filosof muslim lainnya, Al-Ghazali mengalami beberapa fase kehidupan rohani. Ia, bahkan, sempat mengalami keragu-raguan yang hebat. Dalam keraguraguan ini, ia selalu saja gelisah dan mempertanyakan keyakinan yang sedang dipegangnya. Mungkin pada awalnya, Al-Ghazali adalah seorang yang haus pengetahuan atau seorang pencari kebenaran hakiki. Sejak umur 20 tahun, tulisnya dalam Al-Munkidz min Adh-Dhalal, "aku tak pernah berhenti menelusuri setiap ajaran atau keyakinan. Kupelajari ajaran Batiniah untuk mengungkapkan segala aspek kebatinan mereka. Kupelajari mazhab Zahiriyah dengan hasrat mendapatkan gairah tekstual mereka. Kutelaah pemikiran setiap filosof untuk mengetahui saripati filsafat mereka. Kupelajari jalan para ahli kalam untuk mencerap sasaran teologi dan dialektikanya. Kudekati setiap sufi untuk menyerap rahasia tasawuf mereka. Kuperhatikan pula para zindiq, orang-orang ateis, untuk mengetahui alasan-alasan di balik keberanian mereka menjadi zindiq dan ateis. Semua itu merupakan gambaran rasa dahaga jiwaku untuk mencari sejak usia diniinsting dan karakter yang telah ditanamkan Tuhan dalam diriku yang tak sanggup kutolak." Waktu menulis itu, ia sudah berusia 50 tahun dan telah melewati beberapa fase kehidupannya, baik sebagai seorang pelajar pemula, seorang filosof ataupun sebagai seorang sufi pengelana. Beberapa tahun setelah itu ia meninggal dunia. Perjalanan Rohani Al-Ghazali Ia sendiri bernama Muhammad bin Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali yang lebih dikenal lewat kuniyahnya, Abu Hamid. Ia lahir di Thus, Khurasan di tengah keluarga pemintal benang atau al-ghazali. Karena itulah, ia djuluki. Ayahnya mendidiknya untuk hidup sederhana. Selain itu, ia juga berharap agar Al-Ghazali menjadi seorang ulama, sehingga masih dalam usia belia, Al-Ghazali sudah dititipkan kepada seorang sufi.

Sejak usia 15 tahun, Al-Ghazali sudah mempelajari fikih dan ilmu-ilmu dasar lainnya. Ia mempelajari semua itu dari gurunya yang bernama Ahmad Ar-Radzkani di Thus dan Abu Nashr Al-Ismaili di Jurjan. Pada usia 20 tahun, ia mulai memasuki perjalanan rohaninya yang panjang. Ia memulainya dari mempelajari tasawwuf kepada Yusuf An-Nasaj. Setelah tiga tahun belajar, Al-Ghazali pergi ke Madrasah Nizhamiyah yang di Nisapur. Pendiri sekolah itu adalah Nizhamul Mulk, seorang menteri pemerintahan Bani Saljuk. Mereka adalah keluarga Saljuq bin Tuqaq yang berasal dari wilayah Turki Lama. Mereka pada waktu itu baru saja menyingkirkan Bani Buwaihi yang mulai mengancam khalifah di Bagdad. Nizhamul Mulk mulai mendirikan sekolah itu di Bagdad pada tahun 1065 M yang baru selesai pada tahun 1067 M. Ia ingin menjadikan sekolah itu sebagai pusat studi Islam yang secara khusus mempelajari ajaran-ajaran mazhab Syafi'i dan akidah Asy'ari. Ia merasa khawatir dengan makin meluasnya pengaruh kaum Syi'ah dan Batiniah di tengah-tengah kaum muslimin. Selama lima tahun, Al-Ghazali belajar di Madrasah Nizhamiyah Nisapur. Di sini, ia bertemu dengan Imam Haramain, salah seorang gurunya yang paling terkenal. Kepadanya, Al-Ghazali mendalami ilmu fikih, ushul fikih, ilmu mantiq (dialektika) dan filsafat. Melalui gurunya itu, Al-Ghazali berkenalan dengan Nizhamul Mulk. Setelah kematian Imam Haramain, Al-Ghazali pergi ke Mu'askar sampai kemudian diminta untuk menjadi pengajar di Madrasah Nizhamiyah yang berada di Bagdad pada tahun 1091 M. Ia mengajar di Madrasah Nizhamiyah, Bagdad, hanya selama empat tahun. Selama rentang waktu ini, ia meraih puncak kariernya sebagai pengajar. Sebagaimana yang disebut oleh Ibnu Katsir, banyak ulama terkemuka yang menghadiri pelajaran-pelajarannya. Di antara mereka adalah Ibnu Aqil dan Abul Khaththab, dua ulama mazhab Hanbali pada waktu itu. Akan tetapi, di Bagdad itu juga, Al-Ghazali mengalami guncangan jiwa berupa keragu-raguan yang hebat. Pada tahun keempat, ia mempertanyakan kembali keyakinan yang ia pegang pada waktu itu dan ia tidak dapat menjawabnya. Ia putus asa. Karena menyadari bahwa keyakinannya selama ini sebenarnya guyah, ia akhirnya pergi ke Syam dan meninggalkan segala reputasinya di Bagdad. Ia kembali berpaling mempelajari tasawwuf dan mendapatkan jawab di dalamnya Tidak sebatas itu, ia pun kemudian mulai berkelana sebagai seorang sufi ke berbagai daerah di Syam, Mesir, Palestina dan Jazirah Arab. Pada masa-masa seperti inilah, ia menghasilkan Ihya' Ulum Ad-Din. Karya ini meneguhkan kapasitas dirinya di benak orang-orang yang mengaguminya.

Setelah menjalani semua itu, ia pulang ke Thus dan menghabiskan sisa hidupnya di sana. Sebagaimana sebuah riwayat yang dibawakan Ibnu Katsir, pada masa seperti inilah Al-Ghazali kembali memperhatikan hadits-hadits Rasulullah. Ia menghadiri majelis-majelis para muhaddits (para pencari dan penyampai hadits). Lebih dari itu, ia mencoba untuk menelaah hadits-hadits dari kitab Shahih Al-Bukhori dan Shahih Muslim. Pada masa inilah ia kembali memasuki fase baru kehidupannya. Ia memilih jalan ulama-ulama Salafi yang mengedepankan wahyu Allah dan hadits Rasulullah daripada filsafat dan tasawwuf dalam memahami Islam sampai kemudian wafat pada usia 53 tahun. Kritik-Filsafat Al-Ghazali Banyak karya tulis yang ditinggalkannya. Berkaitan dengan filsafat, ia pernah menulisTahafut AlFalasifah yang berarti kerancuan filsafat. Ia ingin menunjukkan kepada khalayak luas kekeliruan para filosof. Kekeliruan itu mencakup dua puluh macam persoalan. Tiga di antaranya dapat menjerumuskan ke dalam kekafiran. Para filosof sebelumnya, percaya bahwa alam semesta ini bersifat qadim, tidak bermula dan tidak berakhir. Mereka juga percaya bahwa Allah hanya mengetahui sesuatu yang bersifatkulliyat (secara umum saja). Al-Ghazali mengkritik dan menolak semua pendapat ini. Menurutnya, alam ini tidak qadim, tetapi hadits atau baru ada. Keyakinan bahwa alam qadimmengharuskan alam ini tidaklah diciptakan. Artinya, Allah bukanlah Sang Pencipta. Padahal, tulis Al-Ghazali, Al-Qur'an menerangkan bahwa Allah dialah yang Maha Pencipta; Allah bukan sekedar penggerak utama, tetapi pencipta segala sesuatu. Karena itu, Allah juga mengetahui segala perkara, kulliyat ataupun juz' iyyat (yang detilnya). Al-Ghazali juga percaya bahwa Allah itu ada. Akan tetapi, keberadaan Allah tidak dapat dibuktikan dengan akal. Terlebih lagi dengan hasil pengamatan panca indera. Karena itu, logika wajibul wujud dan mumkinul wujud ikut dikritiknya pula. Para filosof meyakini bahwa kebangkitan pada hari Kiamat nanti bersifat rohani; hanya jiwa yang dibangkitkan dan tidak dengan tubuhnya. Nikmat dan siksa di akhirat hanya dirasakan oleh jiwa. Karena itu, tidak ada kebangkitan bagi tubuh atau segala yang bersifat jasmani di akhirat nanti. Menurut Al-Ghazali, pandangan filosof seperti itu tidak dapat dibenarkan, sebab bertentangan dengan wahyu. Allah maha kuasa, sebagaimana yang dikatakan dalam Al-Qur'an. Segala sesuatu, termasuk yang tidak mungkin dapat kita bayangkan dengan akal-akal manusia, dapat dilakukan di dunia atau di akhirat. Karena itu, kebangkitan ada pada jasmani dan rohani. Manusia, menurutnya, diciptakan Allah sebagai makhluk yang terdiri dari jiwa dan tubuh. Inti hakikat manusia adalah jiwa, sedangkan tubuh hanyalah alat untuk meraih bekal dan kesempurnaan.

Karena itu, tubuh sangat bergantung kepada jiwa. Jiwa itu berada di alam spritual, sedangkan jasad berada di alam materi. Jiwa memiliki asal yang sama dengan malaikat. Apabila sebagian filosof mengatakan bahwa jiwa itu kekal, maka Al-Ghazali mengatakan bahwa jiwa dapat dihancurkan oleh Allah jika dikehendakiNya. Artinya, jiwa memungkinkan untuk tidak kekal. Dari situ, dapat dilihat bahwa yang ingin dibantah Al-Ghazali adalah cara pengambilan kesimpulan para filosof. Mereka menjadikan akal sebagai alat untuk mengungkapkan sesuatu, sedangkan Al-Ghazali tidak percaya bahwa akal dan panca indera dapat memberikan pengetahuan yang pasti. Menurut Al-Ghazali, intuisi lebih dapat dipercaya ketimbang akal untuk menangkap pengetahuan yang pasti dan betul-betul dapat diyakini kebenarannya. Sumber pengetahuan itu disebut dengan nubuwwah, yang pada para nabi berbentuk wahyu dan pada manusia biasa berbentuk ilham. Kriteria Filosof Al-Ghazali Tidak sampai di situ, dalam beberapa kuliahnya, Al-Ghazali bukan sekedar membantah pandangan-pandangan filsafat para filosof sebelumnya. Ia juga ikut memberikan fatwa-fatwa kafir terhadap sejumlah tokoh filosof yang berhak dikafirkan karena pendapat-pendapat sesat mereka. Hal itu bermula dari pembagian yang dibuat Al-Ghazali terhadap para filosof. Ia memandang bahwa para filosof itu ada tiga macam. Dengan mengetahui macam-macam mereka, dapat diketahui kedudukan mereka di dalam agama. Pertama, filosof materialis atau duhriyyun adalah filosof yang menyangkal keberadaan pencipta dan pengatur alam, sedangkan alam ini sudah ada sendirinya sejak dulu (qadim). Bagi AlGhazali, filosof seperti ini tidak beragama. Kedua, filosof naturalis atau thabi'iyyun adalah filosof yang terpesona oleh keajaiban penciptaan dan sadar akan maksud yang berkelanjutan juga hikmah di dalamnya. Filosof macam ini mengakui keberadaan Sang Pencipta, tetapi menafikkan sifat kerohanian bagi jiwa dan segala sesuatu yang bukan materi (immateri). Karena itu, surga, neraka, dan akhirat dinafikkannya. Bagi Al-Ghazali, filosof seperti ini zindiq. Ketiga, filosof teis atau ilahiyyun adalah filosof yang menolak dan menyerang pendapatpendapat para filosof materialis dan naturalis. Akan tetapi, filosof teis itu masih menyimpan sisasisa kekafiran dan bid'ah. Bagi Al-Ghazali, siapa pun filosof teis yang ada dan orang-orang yang mengikutinya meskipun dari kalangan orang Islam sendiri mereka semua tergolong kafir. Empedokles dan Demokritus digolongkan Al-Ghazali sebagai filosof-filosof materialis. Adapun Socrates, Plato dan Aristoteles, mereka digolongkannya sebagai filosof teis. Khusus filsafat Aristoteles, menurut Al-Ghazali, para penerusnya di dunia Islam adalah Al-Farabi dan Ibnu Sina. Al-Ghazali sendiri menjatuhkan vonis kafir kepada Ibnu Sina.

Pamungkas Kata Bahwa Al-Ghazali di akhir kehidupannya melepaskan segala keyakinan yang pernah dipegangnya, banyak orang yang mengabaikannya. Sebagian besar, untuk tidak mengatakan semua, pengagumnya tetap percaya akan kesufian Al-Ghazali sampai wafatnya. Dan itulah yang membuat mereka tetap menggolongkan Al-Ghazali ke barisan para sufi agung semisal AlJunaid, Jalaluddin Ar-Rumi, Ibnu Arabi. Menggolongkan Al-Ghazali hanya sebagai filosof yang pernah muncul di tengah kaum muslimin juga sulit. Sebab, bagaimana pun, Al-Ghazali dikenal sebagai pemilik kritik-kritik filsafat. Ia seorang kritikus. Ia tidak pernah membangun satu sistem filsafat apa pun seperti Plato, Aristoteles, Ibnu Sina, atau bahkan Tan Malaka.[]

MEREKA YANG DIHUJAT IMAM-IMAM KELOMPOK SALAFI: IBNU SINA


30 September 2012 pukul 19:26

Di tengah orang-orang Barat Ibnu Sina (980 1037 M) dikenal lewat nama latinnya,Avicenna. Nama ini masuk ke bahasa Latin melalui bahasa Ibrani. Dalam bahasa Ibrani Ibnu Sina dilafalkan Aven Sina. Pada waktu itu, Ibnu Sina juga dikenal di tengah-tengah mereka lewat julukan Aristoteles Baru. Namun, di tengah kaum muslimin, terutama di kalangan filosof dan pelajar filsafat, ia justru terkenal lewat julukan Ar-Rais (sang pemimpin). Bersama Abu Bakar Muhammad bin Zakaria atau yang lebih dikenal sebagai Ar-Razi (865 925 M), Ibnu Sina dihormati di benua Eropa sebagai bapak kedokteran dari dunia Islam. Pernah pada suatu masa gambar mereka berdua menghiasi satu ruangan besar di Fakultas Kedokteran, Universitas Paris, Perancis. Karya-karya mereka tentang kedokteran menjadi rujukan-rujukan penting di Eropa. Sejatinya, kedua orang ini masing-masing mendalami (sampai meraih) kedudukan pakar dalam bidang filsafat dan kedokteran pada masa hidup mereka. Perbedaan kedua orang ini ada pada penguasaan masing-masing terhadap kedua bidang tersebut. Menyangkut kedokteran, Ar-Razi lebih menguasai bidang itu daripada Ibnu Sina. Sebaliknya, Ibnu Sina lebih menguasai filsafat daripada Ar-Razi. Dari sini, kiranya, dapat dipahami jika Ibnu Sina lebih dianggap sebagai salah satu tokoh filsafat besar dibandingkan Ar-Razi. Pelajar Pintar Kepercayaan Sultan Ibnu Sina bernama Husein bin Abdillah bin Hasan. Kuniyahnya adalah Abu Ali. Ia berasal dari Bukhara, salah satu tempat di seberang sungai Oxus. Dulu sungai ini menjadi pemisah antara

kebudayaan Khurasan dan Turkistan. Ayahnya sendiri berasal dari Balkhi, Khurasan, yang kemudian menyebrang ke Bukhara, sedangkan ibunya berasal dari Bukhara. Sejak belia, Ibnu Sina telah mulai menghafal Al-Qur'an. Pada usia 10 tahun, ia berhasil menghafalkan semuanya. Proses belajarnya ini kemudian diteruskan dengan mempelajari bidang-bidang lain seperti fikih, sastra Arab, matematika, dan filsafat. Khusus bidang kedokteran, ia mempelajarinya sendiri (otodidak). Ia pertama kali mempelajari filsafat dari gurunya yang bernama Abu Abdillah An-Nufaili. Kecerdasan Ibnu Sina turut membantunya dalam memahami semua pelajaran yang diambilnya. Puncaknya, pada usia 18 tahun, ia sudah menjadi guru, penyair, penulis, dan dokter. Terkait dengan keyakinan beragamanya, Ibnu Sina dilahirkan di tengah keluarga Syi'ah pada umumnya. Karena di rumahnya ayah dan kakaknya sering berdiskusi dengan orang-orang Syi'ah Ismailiyah dan Batiniah, Ibnu Sina sempat pula terpengaruh dengan keyakinan mereka. Dalam masalah fikih, Ibnu Sina bermazhab Hanafi. Mazhab ini termasuk satu dari empat mazhab fikih terkenal. Mazhab fiqih ini banyak diperkenalkan sekaligus disebarluaskan oleh para pengikut imam mazhab ini, Abu Hanifah Nu'man bin Tsabit. Di antara para pengikutnya, yang melalui karyanya banyak kalangan mengenal Abu Hanifah beserta mazhab fiqihnya, adalah Abu Ja'far Ahmad bin Muhammad Ath-Thahawi. Ia adalah laki-laki yang lahir dan besar di tengah lingkungan yang bermazhab Syafii. Pada usia 22 tahun, setelah ayahnya meninggal dunia, Ibnu Sina meninggalkan Bukhara. Ia kemudian sempat berdiam di Jurjan dan Hamadzan. Di sana, ia menjadi orang kepercayaan Sultan Buwaihi. Setelah itu, ia pergi ke Isfahan dan menjadi guru filsafat sekaligus membuka praktek dokter di sana. Lewat filsafat yang diajarkannya, ia dikenal orang sebagai pendiri Neo-Platonisme Arab. Pandangan Filosofis Ibnu Sina Tidak sebagaimana Al-Farabi, Ibnu Sina mengajarkan bahwa ada tiga hal yang mesti ada di alam semesta ini terkait dengan masalah pembuktian keberadaan Allah. Tiga hal itu adalahWajibul Wujud, Mumkinul Wujud, dan Mustahilul Wujud. Mustahilul Wujud adalah sesuatu yang mustahil ada atau terjadi di alam ini. Mustahilul Wujud seperti ini disebut juga dengan Mamnu'ul Wujud. Sebagai misal, tidak mungkin terjadi adanya alam lain yang serupa dengan alam semesta ini, sebab ini akan menuntut adanya dua Wajibul Wujud (Allah); dua penggerak alam pertama adalah sesuatu yang tidak mungkin. Dengan logika yang terhubung antara ketiga hal itu, Ibnu Sina ingin membuktikan bahwa Allah dapat diketahui oleh manusia tanpa bantuan wahyu dan cukup dengan akal. Untuk itulah, orangorang dengan tingkat kecerdasan tertentu mengemban tugas penting untuk menemukan Allah lewat akal agar manusia yang lain tidak terjatuh ke dalam sikap percaya kepada takhayul dan menyerupakan Allah dengan makhluk-makhlukNya.

Menyangkut jiwa, menurut Ibnu Sina, sifat seseorang itu bergantung pada jiwanya. Jiwa manusia memiliki sifat tersendiri, terlepas dari badan. Jiwa ini akan muncul dan tercipta tiap kali lahir badan yang sesuai dan dapat menerimanya. Karena itu, ia juga yakin bahwa pada hari kebangkitan nanti (hari Kiamat), yang akan dibangkitkan itu adalah jiwa saja. Badan tempat jiwa itu berdiam di dunia ini tidak ikut dibangkitkan kembali. Keadaan politik yang kurang stabil pada waktu Ibnu Sina hidup turut mempengaruhi pandangannya tentang kehidupan politik. Kekhilafahan Bani Abbasiyah sedang mengalami kemunduran. Kekuasaan sebenarnya bukan lagi dipegang khalifah, tetapi terbagi-bagi ke beberapa kesultanan yang ada. Kesultanan-kesultanan yang dimaksud dapat disebut sebagai provinsi-provinsi waktu itu. Masing-masing kesultanan saling berebut pengaruh atas khalifah. Bahkan tidak jarang di antara kesultanan itu terjadi peperangan yang sengit dan menelan korban ribuan jiwa. Meski demikian, mereka menyadari bahwa khalifah Bani Abbasiyah harus tetap ada karena keyakinan bahwa kekhilafahan hanya berhak dipegang oleh orang-orang Quraisy. Karena itu, mereka tidak menyingkirkan (apalagi melenyapkan) Bani Abbasiyah dari pucuk kekhilafahan. Selain kesultanan-kesultanan yang ada pada waktu itu, kaum muslimin juga telah menyaksikan beberapa wilayah melepaskan diri dan mendirikan kekhilafahan sendiri. Di Maroko, Bani Fathimiyah mendirikan kekhilafahan Syi'ah dan memisahkan diri dari khalifah Bani Abbasiyah di Bagdad. Demikian pula di Spanyol, sisa anggota Bani Umayyah yang pernah dikejar-kejar khalifah As-Saffah telah mendirikan kekhilafahan Bani Umayyah II. Melihat keadaan seperti ini, Ibnu Sina berpendapat bahwa filsafat harus disesuaikan dengan perubahan-perubahan yang terjadi di tengah-tengah kaum muslimin. Masyarakat seperti yang dicita-citakan Plato ternyata tidak mudah untuk diwujudkan saat itu. Seperti halnya Al-Farabi, Ibnu Sina sepakat bahwa seorang nabi seperti Nabi Muhammad lebih tinggi derajatnya dibandingkan para filosof mana pun. Alasannya, para nabi memperoleh pengetahuan mereka langsung dari Allah. Mereka tidak bergantung pada akal-akal mereka. Vonis Kafir untuk Ibnu Sina Betapa pun masalah yang dibahasnya, persoalan kedudukan agama dan filsafat, wahyu dan akal, masih menjadi perhatian utama para filosof waktu itu, seperti Ibnu Sina. Bahkan persoalan ini akan terus menjadi bahan perdebatan di kalangan filosof setelahnya. Karena keyakinannya tentang Allah, kekuasaan Allah dan sifat-sifat Allah, Ibnu Sina dikafirkan oleh banyak ulama ahlus Sunnah wal jamaah. Al-Ghazali sendiri, bahkan, sempat membuat sejumlah majelis untuk mengafirkan Ibnu Sina akibat keyakinan yang dipegangnya itu.

Akan tetapi, seorang sejarawan muslim yang bernama Ibnu Khallikan pernah meriwayatkan dalam salah satu karyanya bahwa di akhir hidupnya Ibnu Sina sempat bertobat dari semua keyakinannya tersebut. Setelah itu, Ibnu Sina lebih banyak melakukan ibadah. Bahkan setiap tiga hari, ia mengkhatamkan Al-Qur'an. Dan ia pun sering menyedekahkan hartanya. Di usianya yang baru sekitar 58 tahun, Ibnu Sina meninggal dunia di Hamadzan. Ia meninggal dunia karena sakit yang dideritanya. Diceritakan, bahwa sakit tersebut dikarenakan kesibukannya yang tidak kenal waktu untuk bekerja, menulis dan mendedah pemikiran filsafat. Ia sering lupa untuk segera makan.[] Lihat juga: http://sejarah.kompasiana.com/2010/12/06/pembela-dari-andalus-ibnu-rusyd/ http://sejarah.kompasiana.com/2010/12/06/guru-filsafat-kedua-al-farabi/ http://sejarah.kompasiana.com/2010/12/01/riwayat-seorang-pencari-al-ghazali-1058%E2%80%93-1111-m/ http://sejarah.kompasiana.com/2010/09/22/filosof-arab-pertama/

MEREKA YANG DIHUJAT IMAM-IMAM KELOMPOK SALAFI: AL-FARABI


30 September 2012 pukul 19:25

"Kalau saja aku bertemu dengan Aristoteles, pasti aku akan jadi muridnya yang paling besar..." Jakarta pada tahun 2000 sudah pasti berbeda dengan Jakarta pada hari ini. Al-Farabi pada waktu itu, bagi sekelompok orang, adalah sepatah nama untuk satu sekolah musik yang terkenal di sana. Tidak bisa disangkal, Al-Farabi (870 950 M) lebih banyak dikenal sebagai "bapak" musik terbesar yang pernah muncul dalam sejarah Islam. Namanya dikenal luas sebagaimana orang mengenal Al-Khawarizmi sebagai "bapak" matematika, Ibnu Sina sebagai "bapak" dunia-medis, dan Ibnu Khaldun sebagai "bapak" sosiologi di tengah-tengah kaum muslimin. Oleh para pelajar filsafat di tengah kaum muslimin, julukan Al-Mu'allim Ats-Tsani atau "guru kedua" diberikan kepada Al-Farabi karena pengetahuannya yang mendalam tentang filsafat Yunani. Sejak saat itu, dalam sejarah Islam julukan tersebut hanya melekat kepada Al-Farabi, tidak yang lain. Menariknya, banyak kalangan yang justru tidak mengetahui bahwa filsafat-lah bidang yang banyak menarik perhatian Al-Farabi selama hidupnya. Akan tetapi, yang mesti dicatat, julukan guru kedua bukan berarti dalam kedudukannya terhadap Al-Kindi, sebagai filosof Arab pertama; Al-Kindi bukan guru pertama yang dimaksud. Julukan AlMu'allim Al-Awwal atau guru pertama justru diberikan kepada Aristoteles, sebagai suatu

penghormatan sekaligus bentuk kekaguman para pelajar filsafat waktu itu, baik kepada Aristoteles sendiri maupun kepada Al-Farabi. Seorang sejarawan Islam, yang bernama Ibnu Khallikan, berpendapat bahwa tidak satu pun orang Islam yang pernah mencapai pengetahuan tentang filsafat melebihi Al-Farabi. Karyakaryanya banyak menjadi rujukan dalam memahami filsafat Yunani, terutama filsafat Plato dan Aristoteles. Sudah menjadi masyhur kisah Ibnu Sina ketika sering gagal memahami karya Aristoteles yang berjudul Metafisika. Padahal Ibnu Sina telah membacanya sebanyak 40 kali sampai hafal. Ia akhirnya baru memahami karya itu setelah membaca penjelasan Al-Farabi dalam karyanya yang berjudul Tahqiq Ghardh Aristhu fi Kitab ma Ba'da Ath-Thabi'ah (Penjelasan Maksud Aristoteles dalam Metafisikanya). Filosof Kepercayaan Sultan Al-Farabi bernama Muhammad bin Muhammad bin Tharkhan. Ia juga lebih dikenal lewatkuniyahnya, Abu Nashr. Ia berasal dari Farab, salah satu daerah di seberang sungai Oxussatu sungai yang memisahkan negeri Persia dengan negeri Turki Lama (Transoxiana atau negeri di seberang sungai Oxus). Sekarang, orang menamakan wilayah itu sebagai Turkistan. Khusus filsafat, ia dididik oleh seorang dokter Kristen di Bagdad yang bernama Abu Bisyr Mattitus bin Yunus. Gurunya ini seorang penerjemah naskah-naskah filsafat Yunani dan sekaligus mengajarkannya filsafat itu. Selain kepada guru Kristen itu, Al-Farabi juga mempelajari filsafat dari Yuhanna bin Hailam. Di Bagdad, Al-Farabi tinggal selama 20 tahun. Selain mempelajari filsafat, ia juga mempelajari bahasa dan sasra Arab kepada Abu Bakar As-Siraj. Pada masa itu, Al-Farabi banyak menulis, juga membuat ulasan (mensyarah) buku-buku filsafat Yunani, dan mengajarkannya. Tahun-tahun terakhir hidupnya ia habiskan di Damaskus, Syam. Di sana, ia menjadi orang kepercayaan Sultan Bani Hamdaniyah dan diangkat sebagai ulama istana sultan. Pada waktu itu, wilayah kekuasaan Bani Abbas yang luas itu dipegang oleh kesultanan-kesultanan. Sebenarnya, sebelum kekhalifahan Bani Abbasiyah mundur, sudah muncul bibit-bibit perpecahan di dalam tubuh pemerintahan. Dapat dikatakan, perpecahan itu mengendap banyak disebabkan oleh kekecewaan terhadap kebijakan pemerintahan. Di antara kelompok-kelompok yang kecewa dan membangun pemerintahan setengah merdeka di barat wilayah Bani Abbasiyah adalah Bani Umayyah di Spanyol, Bani Idrisiyah dan Bani Aglabiyah di timur Afrika, Bani Thulun dan Bani Hamdaniyah di Mesir dan sebagian Syam. Di timur wilayah Bani Abbasiyah, bergantian berdiri kelompok-kelompok yang ingin mendikte khalifah di Bagdad. Di antara mereka adalah Bani Thahiriyah, Bani Saffariyah, Bani Samaniyah, Bani Ghaznawi, dan Bani Seljuk yang menjadi cikal-bakal Turki Usmani. Semua kelompok itu memakai gelar amir dan masih mengakui khalifah Bani Abbasiyah.

Bani Hamdaniyah adalah salah satu kesultanan yang memegang akidah Syiah sebagai ideologi untuk memberontak terhadap pemerintahan Bani Abbasiyah. Bani Idrisiyah, Bani Samaniyah, Bani Fatimiyah dan Bani Buwaihi adalah kelompok-kelompok yang juga berakidah Syiah dan berhasil mendirikan kekuatan politik yang setengah merdeka dari Bani Abbasiyah. Selain filsafat, Al-Farabi juga dikenal menguasai matematika, kedokteran, dan musik. Ia banyak meninggalkan karya-karya tentang filsafat, kedokteran, matematika, psikologi, politik dan musik. Khusus bidang musik, sebagai tambahan di sini, karena kejeniusannya ia dianggap sebagai "bapak musik" dunia Islam. Bahkan kedudukannya sebagai filosof besar jauh tenggelam oleh popularitasnya sebagai pemusik sekaligus pakar musik yang terbesar dalam sejarah kaum muslimin. Berkaitan dengan kejeniusannya itu, ada cerita terkenal yang juga dinukil oleh Imam AdzDzahabi dalam Siyar A'lamin Nubala'. Waktu itu, Sultan Hamdan yang bernama Saif Ad-Daulah mengundangnya untuk memainkan musik di istana. Sultan dan sahabat-sahabatnya meminta AlFarabi menghibur mereka. Di depan mereka semua, Al-Farabi kemudian memainkan gambus dengan memukau. Tidak hanya itu, ia dapat mempermainkan emosi para pendengarnya, termasuk penjaga gerbang istana yang tidak sengaja mendengarnya. Mereka dibuatnya tertawa kemudian menangis, bahkan terbuai tidur pada saat itu juga. Pandangan Filosofis Al-Farabi Dalam bidang filsafat, filsafat yang diajarkan Al-Farabi adalah gabungan filsafat Plato, Aristoteles dan Plotinus. Mengenai tingkah laku atau akhlak manusia dan cara berpolitik, Al-Farabi terpengaruh Plato. Mengenai logika, ia terpengaruh Aristoteles. Adapun segala sesuatu yang berkaitan dengan masalah keilahian, ia terpengaruh Plotinus. Sebagaimana Al-Kindi, Al-Farabi juga mencari jawab tentang hubungan antara agama dan filsafat atau antara wahyu dan akal. Menurutnya, agama dan filsafat tidak seharusnya dipertentangkan, karena keduanya mengacu kepada kebenaran; filsafat Yunani tidak bertentangan dengan Islam. Al-Farabi percaya bahwa kebenaran itu hanya ada satu, sedangkan yang berbeda adalah cara untuk memperolehnya saja. Seorang nabi memperoleh kebenaran itu lewat wahyu, sedangkan filosof lewat akalnya. Akan tetapi, bagi Al-Farabi, kebenaran yang dibawa wahyu bersifat mutlak. Dalam masalah pembuktian keberadaan Allah, Al-Farabi adalah orang yang pertama kali memperkenalkan istilah Wajibul Wujud dan Mumkinul Wujud. Keduanya harus ada dan tidak mungkin dinafikkan. Kedua istilah ini juga akan banyak dipakai oleh filosof-filosof setelahnya. Wajibul Wujud berarti sesuatu yang mesti ada. Sesuatu ini mustahil tidak ada. Sesuatu ini hanya satu, sempurna dan tidak ada yang mendahuluinya. Karena itu, semua yang ada setelahnya pasti bergantung kepadanya. Sesuatu yang mesti ada ini adalah Allah.

Mumkinul Wujud berarti sesuatu yang mungkin saja ada. Artinya, sesuatu ini bisa ada dan bisa juga tidak ada. Sesuatu ini, kalau jadi ada, baru muncul setelah Wajibul Wujudmengadakannya. Apabila Wajibul Wujud tidak mengadakannya, maka sesuatu ini tidak pernah akan ada. Sesuatu yang mungkin ada ini adalah makhluk. Adapun sifat-sifat Allah, Al-Farabi ternyata sependapat dengan orang-orang Muktazilah. Menurut mereka, Allah tidak memiliki sifat-sifat. Allah hanya memiliki nama-nama. Demikian pula dengan pengetahuan Allah, Al-Farabi juga sependapat dengan orang Muktazilah. Menurut mereka, manusialah yang menciptakan perbuatan-perbuatan mereka dan bukan Allah. Al-Farabi mengatakan dalam ajaran filsafatnya bahwa Allah hanya menciptakan dan mengetahui segala sesuatu yang bersifat kulliyyah (secara garis besar, yang umum saja) secara langsung. Penciptaan dan pengetahuan Allah atas segala sesuatu yang bersifat juz' iyyah (secara rinci atau detil) tidak secara langsung. Dengan kata lain, Allah hanya penggerak pertama (Prima Causa), bukan pencipta alam dalam artian mutlak. Tentang hidup bernegara, menurut Al-Farabi, Nabi Muhammad adalah seorang pemimpin yang dicita-citakan Plato. Alasannya adalah karena Nabi Muhammad dapat menjelaskan kebenaran dalam bahasa yang dapat dimengerti oleh orang-orang awam sekalipun, sehingga mereka dapat menerimanya. Demikian pula filsafat, imbuh Al-Farabi. Kaum filosof seperti para nabi. Mereka menghadapi lingkungan awam yang tidak dapat memahami kecuali dengan bahasa kaum tersebut. Para nabi dan juga kaum filosof, kata Plato, adalah pemimpin masyarakat dan karena itu juga pemimpin negara yang seharusnya. Agar masyarakat baik, maka pemimpin itu harus memerintah mereka sesuai prinsip-prinsip akal sekaligus harus bisa menjelaskan dan memahamkan semua prinsip itu kepada mereka. Karena pandangan-pandangan filosofisnya itu, bertahun-tahun kemudian Al-Farabi divonis kafir oleh Al-Ghazali. Vonis itu diberikan kepadanya dan juga kepada Ibnu Sina. Al-Farabi dan Ibnu Sina akhirnya mendapatkan pembelaan dari Ibnu Rusyd dalam Tahafut At-Tahafut. Bagaimana pun pembelaan itu, Ulama-ulama ahlus Sunnah wal Jamaah yang hidup setelah mereka tetap sepakat tentang kekafiran pandangan-pandangan seperti yang dipegang oleh Al-Farabi dan Ibnu Sina itu.[] Lihat juga:

MEREKA YANG DIHUJAT IMAM-IMAM KELOMPOK SALAFI: AL-KINDI


30 September 2012 pukul 19:24

Suatu hari di tahun 1962, kota Baghdad merayakan ulang-tahun seorang tokoh filsafat. Pada hari itu genap 1000 tahun filosof tersebut dilahirkan. Dan di tengah-tengah para pemujanya pada waktu itu, ia adalah seorang tokoh besar. Bagi mereka, peringatan ini sekaligus juga menandai bahwa Baghdad adalah tempat penting yang tak boleh dilupakan oleh catatan-catatan sejarah. Buktinya, reputasi besar filosof yang dimaksud adalah bukti nyata untuk itu. Ia adalah Al-Kindi. Dikenal lewat nama Ya'qub bin Ishaq, ia adalah filosof Arab pertama yang dikenal dalam sejarah Islam. Kuniyahnya adalah Abu Yusuf. tapi, orang-orang justru mengenalnya dengan sebutan AlKindi. Dalam silsilah nenek-moyangnya, ia adalah salah seorang anak laki-laki generasi ketiga keturunan sahabat Rasulullah yang bernama Al-Asy'ats bin Qais. Dan mereka semua berasal dari suku Kindah. Suku Kindah ini dikenal sebagai salah satu suku terkemuka yang pernah menempati kawasan tengah Jazirah Arab. Meski demikian, asal-usul mereka adalah dari Arab Selatan; mereka pernah mendiami kawasan yang ada di bagian barat Hadramaut, Yaman.

Arab Utara, Arab Selatan Sebenarnya, ada sebuah pembagian geneologis dan juga geografis di tengah kalangan bangsa Arab sendiri pada masa itu yang hari ini mungkin banyak dilupakan orang. Menyebut Jazirah Arab sebelum Islam datang, biasanya, kebanyakan kita akan menyebut orang-orang Arab saja untuk mereka yang mendiami tempat itu. Padahal, tidaklah demikian. Di jazirah tersebut, pernah dikenal istilah orang-orang Arab Utara dan orang-orang Arab Selatan. Mereka yang disebut dengan orang-orang Arab Utara kebanyakan dikenal sebagai bangsa nomaden, yang berpindah-pindah tempat, di kawasan Hijaz dan Nejed. Mereka biasa mendirikan kemah-kemah bulu di tempat yang mereka singgahi sebagai rumah-rumah sementara mereka. Bahasa mereka adalah bahasa Arab yang dipakai di dalam Al-Qur'an. Karena itu, bahasa mereka ini diakui sebagai jenis bahasa Arab yang paling unggulyang Allah pilih sebagai media ketika berfirman. Akan tetapi, dalam bidang politik, orang-orang Arab Utara justru tidak begitu dikenal dalam percaturan politik internasional pada saat itu, ketika pengaruh politik Romawi dan Persia begitu mencengkeram, sampai kemudian Islam datang di Jazirah Arab.

Berbeda dengan mereka, orang-orang Arab Selatan dikenal sebagai orang-orang perkotaan. Mereka banyak tinggal di sepanjang pesisir dan kota-kota di Yaman, terutama sekali di Hadramaut. Mereka menggunakan bahasa yang berbeda dari bahasa Arab Al-Qur'an. Kalau hendak dikata, bahasa mereka adalah bahasa Semit kuno, Saba' atau Himyar, yang dekat dengan bahasa Etiopia (Abessinia atau Habasyah) di Afrika. Dibanding orang-orang Arab Utara, orang-orang Arab Selatan terbilang sebagai orang-orang yang banyak mencapai kemajuan. Mereka adalah orang-orang pesisir yang banyak berinteraksi dengan kebudayaan-kebudayaan luar. Sebagai akibatnya, mereka pun kemudian berhasil mengembangkan rupa peradaban sendiri. Karena itu, dapat dimaklumi bahwa mereka sering kali menjadi rebutan antara kekuasaan Romawi dan Persia. Romawi lewat Etiopia di utara yang memeluk agama Kristen adalah musuhkuat bagi Persia yang memeluk kepercayaan Zoroaster (agama Majusi) di sebelah timur.

Suku Kindah Pada waktu itu, untuk kepentingan politik masing-masing, dua kekuatan besar yang saling bermusuhan tersebut merangkul sekutu-sekutu dari kalangan Arab sendiri. Di Arab Utara, kekaisaran Romawi bersekutu dengan suku Ghassan. Sebaliknya, kerajaan Persia bersekutu dengan suku Lakham. Ini berbeda dengan suku Kindah. Mereka, di tengah suasana persekutuan politik yang ada, justru memilih bersekutu dengan kerajaan Himyar di Yaman. Rajanya dikenal dengan sebutan Tubba' Al-Himyari. Yaman yang berada di Arab Selatan didiami oleh sejumlah kabilah. Akan tetapi, di antara mereka hanya kabilah Himyar dan kabilah Kuhlan yang dikenal banyak orang. Masing-masing kabilah ini memiliki sejumlah suku. Suku-suku dalam kabilah Himyar banyak yang menetap di Yaman. Bahkan dapat dikatakan bahwa merekalah yang banyak mewarisi peradaban orang-orang Arab Selatan. Berbeda dengan kabilah Himyar, suku-suku dari kabilah Kuhlan banyak yang pindah ke luar Yaman. Kebanyakan mereka pindah ke kawasan tengah Jazirah Arab, bahkan ada pula yang ke kawasan utara jazirah. Di antara mereka yang banyak dikenal orang adalah suku Aus, Khazraj, Hamdan, Lakham, Judzam, dan Kindah. Suku Kindah adalah salah satu suku yang kuat. Suku ini didirikan oleh seseorang yang bernama Hujr. Ia adalah saudara tiri Hassan, anak Tubba' Al-Himyari. Pada tahun 480 M, Hassan, yang menggantikan kedudukan ayahnya sebagai raja, mengangkat Hujr yangmenurut sebagian sumberjuga dikenal dengan sebutan Akil Al-Mirar sebagai

penguasa atas suku-suku taklukan Tubba' di kawasan tengah Jazirah Arab. Sejak itulah, cikal bakal suku Kindah berdiam di Arab Tengah. Suku ini kemudian menjadi semacam kerajaan kecil di Arab Tengah. Mereka memiliki kekuasaan di sana, meskipun hanya sebentar. Perselisihan yang terjadi di antara anak-anak keturunan Hujr menjadi salah satu sebab yang meruntuhkan kekuasaan mereka di sana. Setelah keruntuhan tersebut, sisa-sisa suku Kindah yang ada kebanyakan terpaksa mundur kembali ke asal mereka di Hadramaut, Yaman. Peristiwa ini terjadi beberapa tahun sebelum Rasulullah dilahirkan pada tahun 570 atau 571 M.

Al-Asy'ats bin Qais Kurang lebih satu tahun sebelum wafat Rasulullah, sekitar tahun 632 M, datang delegasi suku Kindah ke Madinah. Jumlah mereka sebanyak enam puluh orang. Pemimpin mereka bernama Al-Asy'ats bin Qais. Kuniyahnya adalah Abu Muhammad. Ia, kata Ibnu Abdil Bar, dikenal sebagai seorang pemimpin suku Kindah yang ditaati oleh orang-orang sesukunya. Pada waktu itu, bersama orang-orang suku Kindah, ia datang ke masjid Nabi dan disambut langsung oleh Rasulullah. Mereka datang ke Madinah dengan berkendaraan dan berpenampilan rapi. Mereka ingin masuk Islam, sebagaimana kebanyakan suku-suku Arab yang lain. Waktu itu, Islam telah diberi pertolongan oleh Allah untuk berjaya di Jazirah Arab. Dan banyak suku-suku Arab yang datang menyatakan keislaman mereka. Jamak di kalangan ahli sejarah Islam, Al-Asy'ats bin Qais dikenal sebagai salah seorang sahabat Rasulullah yang pernah murtad pada awal masa pemerintahan Abu Bakar Ash-Shiddiq. Akan tetapi, di hadapan Abu Bakar langsung, ia menyatakan keislaman kembali dan bertobat kepada Allah. Pada rentang kedua keislamannya, Al-Asy'ats bin Qais turut serta membela Islam dalam perang Yarmuk dan Jalula' melawan Romawi di tanah Syam. Seperti itu pula, dalam perang Qadisiyah, Madain, dan Nahawan melawan Persia di tanah Irak. Dan ketika terjadi perang saudara antara Ali bin Abi Thalib dan Mu'awiyah bin Abi Sufyan, yang dikenal sebagai perang Shiffin, ia ikut pula dalam barisan Ali bin Abi Thalib. Mengikuti Ali bin Abi Thalib yang memindahkan pusat pemerintahan kaum muslimin ke Kufah, di Irak, Al-Asy'ats bin Qais menetap di sana. Di sana pula kemudian, dalam usia 63 tahun, ia meninggal dunia. Peristiwa ini, sebagaimana yang dinukil Ibnu Hajar Al-Asqalani, terjadi beberapa waktu setelah kematian Ali bin Abi Thalib yang dibunuh oleh Abdurrahman bin Muljam.

Baghdad, Irak Setelah Al-Asy'ats bin Qais meninggal dunia, anak keturunannya menetap di Kufah. Di antara mereka, bahkan, ada yang sempat dipercaya khalifah untuk menjadi gubernur Kufah, seperti Ishaq bin Shabbah Al-Kindi. Ishaq yang dimaksud ini adalah anak laki-laki Ash-Shabbah bin Imran bin Muhammad bin AlAsy'ats bin Qais. Ia menjabat sebagai gubernur Kufah pada masa pemerintahan khalifah AlMahdi dan Harun Ar-Rasyid. Sebagaimana yang telah diketahui, masa pemerintahan dua khalifah tersebut adalah masamasa emas pemerintahan Bani Abbasiyah. Terlebih lagi pada masa pemerintahan Ar-Rasyid yang menjadi puncak keemasan mereka. Dan pusat dari segala keemasan yang terjadi pada waktu itu adalah di Baghdad. Kota ini adalah ibukota-kekhilafahan yang baru, menggantikan kota Hasyimiyah sebagai ibukota yang lama. Baghdad yang dikenal juga dengan sebutan Madinah As-Salam didirikan oleh khalifah AlMansur, kakek Ar-Rasyid. Kota ini dibangun dengan biaya sekitar 4.883.000 dirham dan memakai tenaga ribuan pekerja. Setelah bertahun-tahun dikerjakan, pembangunan tersebut bisa dirampungkan. Dan hasilnya adalah sebuah kota besar yang berbentuk bundar, dikelilingi parit, dan istana khalifah menjadi pusat kota tersebut. Sulit untuk menemukan kota yang dapat menandingi Baghdad pada saat itu. Barangkali, satusatunya tempat yang dapat menandingi Baghdad adalah kota Kordova di Spanyol pada masa keamiran Bani Umayyah bertahun-tahun kemudian. Bisa dibayangkan bahwa Kufah berada di bawah bayang-bayang Baghdad waktu itu. Tradisi keilmuan yang pernah muncul dan berkembang di Kufah perlahan mulai berpindah ke Baghdad. Pada masa seperti inilah Ishaq bin Ash-Shabbah dikaruniai seorang anak laki-laki yang dikenal lewat sebutan Al-Kindi.

Al-Makmun dan Mu'tazilah Al-Kindi dilahirkan di Kufah sekitar tahun 801 M, pada masa pemerintahan Ar-Rasyid. Sebagai seorang anak gubernur, Al-Kindi ikut merasakan kehidupan sebuah keluarga yang kaya sekaligus terpandang di Kufah. Ayahnya meninggal dunia ketika Al-Kindi masih belia. Akan tetapi, oleh keluarganya, ia tetap diberi pendidikan yang baik. Setelah siap, ia pun dikirim ke kota Basrah dan Baghdad untuk mempelajari ilmu-ilmu agama. Basrah, sebagaimana Kufah, adalah sebuah kota di Irak yang masih menjadi tujuan para penuntut ilmu-ilmu agama pada waktu itu.

Pada tahun 809 M, Ar-Rasyid meninggal dunia. Kekhilafahan kemudian dipegang oleh Al-Amin. Setelah melewati perang saudara yang berdarah-darah, pada tahun 813 M Al-Makmun mengambil alih kekhilafahan dari Al-Amin. Pemerintahan Al-Makmun, walaupun tidak seperti pemerintahan Ar-Rasyid, tetap tidak akan bisa dilupakan sejarah. Betapa tidak, pada masa pemerintahannya pemikiran Mu'tazilah mulai memegang kekuasaan. Mu'tazilah adalah kelompok yang dinisbatkan kepada Washil bin 'Atha. Ia adalah laki-laki yang pernah ikut belajar di majelis Hasan Al-Bashri, seorang guru terkemuka di kota Bashrah saat itu. Sampai suatu hari, ia dengan tiba-tiba memisahkan diri dari majelis tersebut setelah menerangkan bahwa seorang pelaku dosa besar tidaklah dianggap sebagai seorang mukmin lagi tetapi tidak pula kafir. Sejak saat itulah ia dianggap beriktizal, pergi dan memisahkan diri, menjauh dari keyakinan yang dipegang oleh kebanyakan orang pada waktu itu. Ia dan mereka yang sependapat dengannya pun kemudian dinamakan dengan orang-orang Mu'tazilah. Di antara keyakinan mereka yang lain adalah menafikkan sifat-sifat Allah dan hanya menetapkan nama-nama Allah. Mereka juga meyakini bahwa Al-Qur'an bukan kalam Allah. Bagi mereka, seorang pelaku dosa besar yang mati dan belum bertaubat, maka ia akan kekal di dalam neraka. Keyakinan Mu'tazilah tersebut sebenarnya sudah mengambil posisi terpinggirkan sejak pertama kali dikemukakan oleh Washil bin 'Atha. Akan tetapi, pada diri khalifah Al-Makmun mereka berhasil menanam pengaruh yang besar. Karena itulah, pada waktu Al-Makmun memegang pemerintahan, mereka akhirnya berhasil menjadikan keyakinan Mu'tazilah sebagai mazhab negara. Al-Makmun sendiri adalah seorang yang cerdas. Ia adalah salah satu anak laki-laki Ar-Rasyid yang sudah menghadiri majelis-majelis ilmu agama sejak usia belia. Bahkan ia pun sempat mendapat ijazah untuk ikut menyampaikan hadits-hadits kepada orang-orang di sekelilingnya. Di luar itu, ia sempat mempelajari beberapa cabang ilmu agama, seperti ilmu bahasa, ilmu waris, dan ilmu fiqih. Ia pun pernah ikut mempelajari syair-syair Arab, ilmu filsafat, ilmu perbintangan, dan matematika. Dari semua yang tersebut itu, ia ternyata banyak terpengaruh dengan ilmu filsafat yang membuatnya dekat dengan orang-orang Mu'tazilah, seperti Bisyr bin Ghiyats Al-Marisi, seorang tokoh Mu'tazilah terkenal saat itu. Dari sinilah, pengaruh Mu'tazilah mulai menaiki kekuasaan.

Baitul Hikmah Pada masa pemerintahan Al-Makmun inilah, Al-Kindi diundang untuk mengajar di Baitul Hikmah. Di lembaga ini, ia meraih kemasyhuran yang belum pernah didapatinya sebelum itu. Ia juga banyak melakukan penerjemahan terhadap naskah-naskah kuno.

Sebelumnya, Baitul Hikmah adalah suatu lembaga yang didirikan oleh Al-Makmun di Baghdad pada tahun 830 M. Lembaga ini didirikan olehnya untuk berfungsi sebagai lembaga pendidikan, semacam akademi, sekaligus mengambil peran sebagai biro penerjemahan dan perpustakaan besar. Di sana pemerintah membayar beberapa orang pengajar, penerjemah dan penyalin naskah untuk menggiatkan aktifitas intelektual setempat. Al-Makmun sendiri sebagai seorang khalifah terjun langsung untuk menghidupi api gairah mereka. Sebenarnya, Baitul Hikmah adalah sebuah wujud tindak-lanjut dari gerakan penerjemahan yang telah dimulai pada tahun 750 M, pada masa pemerintahan khalifah As-Saffah, khalifah Abbasiyah yang pertama. Meski agak sulit diterima, pendapat ini bisa diperkuat bila mengingat kenyataan bahwa persentuhan pertama kali dengan budaya Yunani telah terjadi ketika kaum muslimin menaklukkan daerah-daerah Romawi di tanah Syam. Persentuhan seperti itu tidak hanya terjadi lewat penaklukan-penaklukan. Ada kalanya seorang khalifah justru meminta beberapa naskah kuno dari sejumlah penguasa Romawi yang sedang terikat perjanjian damai dengan mereka. Seperti khalifah Al-Manshur yang pernah memperoleh sejumlah buku karya penulis Yunani. Jauh sebelum muncul gerakan penerjemahan ke dalam bahasa Arab pada masa pemerintahan Al-Makmun, orang-orang Kristen di Syam pernah diminta, juga oleh khalifah Al-Manshur, untuk menerjemahkan naskah-naskah kuno Yunani ke dalam bahasa asli Syam kemudian ke dalam bahasa Arab. Selain lewat permintaan khusus seperti itu, kemunculan naskah-naskah kuno Yunani ke Baghdad terkadang disebabkan juga oleh sejumlah faktor ketidaksengajaan. Sebagai misal, pada masa pemerintahan Ar-Rasyid berbagai serangan lanjutan ke daerah-daerah Romawi membuat beberapa naskah kuno Yunani ikut terbawa dalam harta rampasan perang.

Kegiatan Telaah Dan tidak bisa dipungkiri, memang, bahwa era penerjemahan mencapai puncaknya pada masa khalifah Al-Makmun. Pada masa inilah, penerjemahan sengaja dilakukan secara luas dan besarbesaran. Mereka menerjemahkan segala macam yang dianggap sebagai khazanah intelektual dari Yunani. Bukanlah isapan jempol belaka, bila Al-Makmun membayar para penerjemah tersebut dengan emas seberat lembaran-lembaran terjemahan yang telah dihasilkan. Dengan semangat seperti ini, bukanlah pula hal aneh bila huruf-huruf dalam terjemahan, kadang-kadang, ada yang sengaja ditulis besar-besar mengingat besarnya imbalan dari khalifah itu. Bermula dari gerakan penerjemahan ini, semangat massal yang muncul secara luas adalah penelaahan terjemahan-terjemahan tersebut. Inilah, kiranya, yang membuat sebagian penuntut ilmu waktu itu berkenalan dengan filsafat Yunani. Mereka, untuk sekedar mengambil contoh, mulai membaca karya-karya milik Hipokrates, Plato dan Aristoteles.

Di antara mereka ada orang-orang cerdas yang mampu memahami dan menelaah karya-karya tersebut, seperti Al-Kindi. Karena itu, oleh khalifah, ia tidak diberi tanggung jawab penerjemahan saja, tetapi juga mengajarkan sekaligus memperkenalkan alam pikiran Yunani kepada para pelajar di Baitul Hikmah. Bahkan, khalifah Al-Mu'tashim yang menjadi pengganti Al-Makmun memberikan kepercayaan secara khusus kepada Al-Kindi untuk juga mengasuh anak lakilakinya. Al-Makmun meninggal dunia pada tahun 833 M, di desa Raqqah, suatu tempat di wilayah Romawi. Tongkat khilafah dilanjutkan oleh saudaranya, Al-Mu'tashim. Sebagaimana ihwal saudaranya, Al-Mu'tashim meneruskan kebijakan yang ada pada saat itu. Mu'tazilah masih menjadi mazhab negara. Ia sendiri sempat memindahkan pusat pemerintahannya ke kota Samarra dan membiarkan Baghdad sebagai pusat pengetahuan. Akan tetapi, pemerintahannya tidak berlangsung lama. Pada tahun 842 M, ia meninggal dunia dan digantikan oleh anaknya, Al-Watsiq Billah. Khalifah pengganti ini pun tidak hidup lama. Ia memerintah hanya sampai tahun 847 M. Waktu itu ia berumur 42 tahun.

Sumbangan Al-Kindi Masa pemerintahan Al-Makmun, Al-Mu'tashim dan Al-Watsiq Billah adalah masa-masa ketika pemikiran Mu'tazilah menjadi sangat berkuasa di Baghdad. Masa ini berlangsung selama 34 tahun, satu rentang waktu yang cukup lama bagi sebuah kebijakan untuk hidup dalam suatu negara. Dan selama itu pula Al-Kindi mengembangkan karir gemilangnya. Bermula dari seorang pengajar, penerjemah dan penelaah, ia kemudian mendalami banyak bidang pada waktu itu. Filsafat, kedokteran, matematika, kimia, astronomi, dan musik adalah beberapa subjek yang menjadi bidang-bidang telaahnya. Di dalam bidang-bidang telaah ini, ia tidak hanya tertarik, tetapi juga ikut serta mengembangkan bidang-bidang tersebut sampai meraih derajat sebagai seorang pakar. Al-Kindi akhirnya dikenal di dalam sejarah sebagai seorang filosof, matematikawan dan pemusik terkemuka di zamannya. Sampai kemudian karirnya dapat dikatakan berakhir ketika AlMutawakkil menggantikan khalifah Al-Watsiq Billah. Al-Mutawakkil dikenal sebagai salah seorang khalifah Abbasiyah yang menolak Mu'tazilah. Ia mengikuti keyakinan kakeknya, Ar-Rasyid, dan menjalankan pemerintahannya sesuai mazhab Ahlus Sunnah wal Jamaah. Karena itu, ia mengubah berbagai kebijakan yang sempat dijalankan pada masa-masa pemerintahan sebelumnya. Ia pun menolak pengembangan kajian-kajian filsafat.

Segala sesuatu yang berbau filsafat disita pada masa itu, seperti koleksikoleksi milik Al-Kindi yang merupakan perpustakaan pribadi. Peristiwa ini terjadi setelah ia banyak menerjemahkan karya-karya dari Yunani, juga karya-karya kuno India, dan menulis sekitar 361 tulisan dalam berbagai bidang yang tidak semuanya selamat dan utuh sampai hari ini. Meski demikian, beberapa hasil terjemahannya, terutama dalam masalah optik dan musik, pernah menjadi objek telaah sarjana-sarjana Kristen dan mempengaruhi mereka. Beberapa teori musik Al-Kindi masih dipakai sampai sekarang. Adapun di bidang filsafat, beberapa tulisannya menjadi inspirasi sejumlah pemikiran yang muncul kemudian, baik di tengah-tengah kaum muslimin atau pun di dunia Kristen Eropa. Roger Bacon, yang dikenal dunia sebagai salah seorang tokoh besar Universitas Oxford, Inggris, dan membawa pencerahan bagi dunia Kristen di akhir-akhir Abad Kegelapan mereka, termasuk sarjana Kristen yang terpengaruh Al-Kindi. Al-Kindi dijuluki sebagai filosof Arab pertama bukan karena kebetulan belaka. Ia adalah muslim pertama yang menerapkan metode rasional terhadap Al-Qur'an; ia berusaha memadukan antara agama dan filsafat. Baginya, filsafat adalah alat bantu untuk memahami wahyu Allah, sehingga dapat dikatakannyawahyu Allah kepada para nabi masih lebih unggul dibandingkan dengan pemikiran-pemikiran para filosof. Allah menurunkan kebenaran (Al-Haqq) itu tunggal. Meski demikian, menurutnya, kebenaran tersebut terserak dalam berbagai budaya dan bahasa yang ada pada bangsa-bangsa di dunia ini. Tugas para filosof adalah mencari dan mengumpulkan kebenaran tersebut tanpa harus merasa malu atau hina. Oleh karena itu, orang-orang yang menolak filsafat dan membenci filosof telah mengingkari kebenaran itu sendiri dan, bagi Al-Kindi, mereka dapat dikatakan telah kafir. Seharusnya, umat manusia harus menyambut kebenaran dari mana pun datangnya. Tidak semestinya mereka menolak kebenaran dan orang-orang yang mencari lalu mengajarkan kebenaran itu. Tentang jiwa, Al-Kindi meyakini bahwa jiwa bersifat qadim, telah ada sebelum dunia dan jasad diciptakan. Akan tetapi, sifat qadim jiwa tidak seperti sifat qadim Allah. Jiwa berasal dari Allah langsung. Dalam pengibaratan sederhana, hubungan antara jiwa dan Allah seperti hubungan antara cahaya dan matahari. Adalah wajar jika jiwa selalu cenderung ke arah kebaikan. Tentu saja, jiwa berbeda dengan tubuh. Jiwa memiliki sifat mulia, murni, dan ilahiah, sedangkan tubuh memiliki sifat hawa nafsu dan amarah. Tidak sepantasnya jiwa menuruti hawa nafsu dan amarah. Bagi Al-Kindi, baik jiwa maupun tubuh, masing-masing membutuhkan tuntunan. Wahyu dan iman adalah penuntun bagi jiwa dan tubuh tersebut. Jiwa yang masih terkungkung dalam tubuh tidak ubah seperti dipenjara, sehingga ia tidak memiliki kebebasan sejati. Setelah meninggal dunia, barulah jiwa mendapatkan kebebasan itu.

Jiwa pada waktu ini akan lepas dari tubuh, pergi menuju dan menjumpai Allahinilah kesenangan hakiki bagi jiwa tersebut. Apakah dengan demikian ia lebih cenderung kepada filsafat Plato? Mungkin saja. Akan tetapi, Al-Kindi tidak setuju dengan pendapat Plato bahwa jiwa berasal dari dunia ide. Sebagai diri pribadi, Al-Kindi lebih banyak merasa seperti Socrates. Ia merasa senasib dengan Socrates ketika negara berbuat zalim kepada mereka: penguasa Athena yang memaksa Socrates meminum racun cemara seperti halnya khalifah Al-Mutawakkil yang menekan Al-Kindi karena kegiatan filsafatnya. Kapan meninggal dunia, para ahli sejarah berbeda pendapat tentang tahun kematian Al-Kindi. Philip K. Hitti, seorang profesor Sastra Semit dan peneliti sejarah Arab, menyimpulkan bahwa AlKindi meninggal dunia pada tahun 873 M. Pada tahun ini, menurutnya, Al-Kindi meninggal dunia di Baghdad.[]

Pertikaian Dua Cara Pandang Muslim di Indonesia


30 September 2012 pukul 19:22

Islam di tengah bangsa Indonesia mengalami percepatan tumbuh pada masa pendudukan tentara Jepang. Dalam suasana Perang Dunia II, pemerintah Hindia Belanda yang ingin mengubah penduduk pribumi menjadi lebih rasional dipaksa untuk menghentikan segala usaha itu. Untuk kepentingan perangnya, Jepang menggunakan Islam sebagai dalih untuk mendapatkan dukungan dari seluruh rakyat pribumi. Orang-orang terpelajar yang lama mengecap kehidupan gaya Eropa dipaksa untuk ikut kebijakan Jepang itu. Kebanyakan di antara mereka, karena latar belakang Islam yang sudah dibawa sejak lahir, dapat menyesuaikan diri dengan suasana baru itu. Berbeda dengan Belanda yang membatasi kegiatan keislaman, Jepang menyokong penuh semua kegiatan keislaman selama sesuai dengan kepentingan perang mereka. Kebijakan itu menanam pengaruh yang sangat besar di kalangan orang-orang Islam. Setelah kemerdekaan Indonesia telah diproklamasikan, pengaruh-pengaruh dari Jepang banyak mewarnai berbagai segi kehidupan di Indonesia. Dalam kaitannya dengan Islam di Indonesia, sampai tahun 1970an, Islam warna Jepang itu mewarnai cara berpikir banyak kaum muslimin di Indonesia. Islam Murni, Islam Sinkretik Tidak dapat ditolak kemajemukan yang ada di Indonesia. Faktor inilah mendorong para pengambil kebijakan di tingkat atas untuk mengambil langkah-langkah non-sektarian dalam kehidupan kenegaraan. Indonesia berdiri sebagai sebuah republik sekuler agamis. Undangundang Republik Indonesia dibuat di atas kerangka rasionalitas yang tidak membabi buta. Tuhan yang maha esa tetap dipertahankan sebagai sesuatu yang tidak boleh dilupakan oleh siapa pun rakyat Indonesia.

Dari gambaran seperti itu, dapat dipahami jika Islam di masa Indonesia merdeka adalah Islam yang sama dari masa-masa sebelumnya. Di satu sisi terdapat keinginan untuk menciptakan hidup yang Islami, di sisi lain terdapat kenyataan bahwa pengaruh yang datang dari luar terusmenerus ada dan tidak dapat ditolak. Tahun-tahun dari 1945 sampai 1970 adalah tahun-tahun yang panjang ketika perdebatan untuk menjadikan Islam sebagai dasar aturan hidup di Indonesia mengemuka. Pemuka-pemuka Islam berusaha menempuh jalur politik agar Islam dapat diterima oleh seluruh rakyat negara. Mereka hanya terbentur pada kenyataan bahwa para pemeluk Islam di Indonesia adalah pemelukpemeluk Islam yang payah. Kebanyakan kaum muslimin memilih Islam sebagai identitas diri, bukan sebagai pandangan hidup. Dari pemilihan umum yang dilakukan pada pertengahan 1950-an, dapat ditarik kesimpulan ini. Partai-partai agama mendapat dukungan yang sedikit. Pada masa ini juga terjadi kembali pertentangan antara pandangan Islam murni dan Islam sinkretik. Pandangan pertama tetap menginginkan agar Islam dibangun di atas pondasi dasar, Al-Qur'an dan As-Sunnah dengan pemahaman yang sesuai dengan zaman. Pandangan kedua ingin mempertahankan Islam yang telah berkembang dan bercampur dengan tradisi-tradisi lokal di Nusantara berabad-abad. Pertentangan antara dua cara pandang itu sudah mengemuka di tengah kaum muslimin di Nusantara sejak awal abad ke-20. Mesir adalah tempat banyak orang di dunia Islam mengambil cara pandang pertama. Lewat tokoh Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh, dan kemudian Muhammad Rasyid Ridha cara pandang itu mengemuka ke negara-negara Islam yang ada pada saat itu. Perdebatan antara dua cara pandang itu belum kunjung usai di Indonesia, hingga muncul ancaman bersama yang datang dari Komunisme. Indonesia, bagaimana pun, berada di tengah konstelasi politik dunia. Perang dingin antara Kapitalisme dan Komunisme ikut merembet ke dalam negeri. Menghadapi ancaman baru ini, dua cara pandang kaum muslimin tersebut untuk sementara waktu dikesampingkan. Tahun 1965 1966 adalah tahun-tahun berdarah. Sejarah mencatat ratusan ribu penganut Komunisme dieksekusi. Sebagian besar mereka dibunuh oleh kelompok-kelompok Islam. Tindakan ini didukung oleh pemerintah dan tentara. Islam kembali menjadi ideologi perlawanan terhadap Komunisme di Indonesia. Setelah ancaman bersama hilang, kaum muslimin di Indonesia mulai berdebat kembali. Sikap traumatik yang didapati pada masa 1950-an sampai 1965 menguatkan sebagian kelompok Islam untuk menjadikan Islam sebagai dasar negara. Bagi mereka, cita-cita Islam dapat ditempuh lewat jalur politik. Nilai-nilai Islami dapat dipaksakan dari atas ke bawah. Pertemuan Dua Kubu Pada masa itu, Islam bukan menjadi pendorong untuk membangun sebuah peradaban. Mencari pencapaian-pencapaian yang dilakukan oleh umat Islam di Indonesia sama artinya mencari

pencapaian-pencapaian yang telah dilakukan oleh rakyat Indonesia pada umumnya. Hal itu berbeda dalam bidang pemikiran. Tahun 1970 menjadi tonggak baru bagi pemikiran Islam di Indonesia. Para peneliti sejarah Islam di Indonesia sepakat bahwa 1970 memulai fase baru dalam sejarah. Fase ini terus berlanjut sampai bangkitnya Islam radikal di akhir millenium kedua. Nurcholish Madjid dan Abdurrahman Wahid adalah dua orang dari dua kubu berbeda yang memelopori perubahan itu. Meski dibesarkan dalam dua cara pandang keislaman yang saling bertentangan, mereka berdua sepakat bahwa pemikiran Islam mesti didefinisi ulang. Islam, menurut mereka, harus dibarukan kembali agar dapat mengikuti perkembangan zaman. Sepintas, pemikiran mereka berdua tidak jauh berbeda dari pemikiran yang pernah tumbuh di awal abad ke-20. Akan tetapi, dalam satu penyederhanaan, pemikiran mereka berporos pada usaha menjadikan Islam hanya sebagai nilai yang bersifat pribadi. Negara, menurut mereka, tidak berhak mengatur keyakinan beragama seseorang. Islam tidak boleh menjadi dasar negara, sehingga negara dan agama harus terpisah. Sepanjang tahun 1970-an, pemikiran mereka mendapat dukungan dan sekaligus juga tentangan. Akan tetapi, banyak dari kalangan pemuda Islam yang tertarik dengan pemikiran mereka berdua. Bermula dari gagasan, pemikiran mereka berkembang menjadi sebuah gerakan baru dalam sejarah Islam di Indonesia. Nahdhatul Ulama yang dikenal sebagai organisasi masyarakat tradisional dan berusaha mempertahankan Islam yang telah berkembang di Indonesia menjadi basis gerakan pemikiran baru Islam itu. Tahun 1990-an menjadi masa ketika hasil gerakan itu dituai. Jalan Baru Islam Murni Kalangan yang ingin tetap mempertahankan Al-Qur'an dan As-Sunnah mengubah cara berkembang mereka. Tahun 1970-an juga menjadi tahun-tahun ketika mereka memanfaatkan kampus-kampus perguruan tinggi sebagai basis gerakan. Mereka membuat jaringan intelektual yang luas dan menanamkan pemikiran bahwa Islam harus tetap berdiri di atas Al-Qur'an dan AsSunnah. Sebagai sebuah kelompok, mereka terkesan menarik diri percaturan gagasan di tingkat nasional. Mereka terus fokus pada usaha pengkaderan. Usaha mereka menuai hasil juga di tahun 1990-an. Awal millenium ketiga, Islam Indonesia kembali terkutub pada dua cara pandang keislaman. Berbeda dengan yang terjadi pada tahun 1950-an, keadaan dunia pada saat ini menuntut banyak pihak untuk mempertanyakan kembali rasionalitas yang pernah agung pada abad ke-20. Seruan-seruan untuk memurnikan ajaran Islam menguat seiring dengan munculnya globalisasi dunia. Pada saat seperti inilah, Islam menjadi ideologi perlawanan bagi sebagian pihak. Mereka menyadari keadaan dunia dan, terlebih lagi, keadaan dunia Islam saat ini.[]

Di Balik Sejarah Masuknya Islam ke Indonesia


30 September 2012 pukul 19:21

Setidaknya, ada enam pendapat tentang masuknya Islam ke Indonesia. Pemerhati sejarah Islam di Indonesia belum dapat menentukan pasti pendapat yang paling benar dari keenam pendapat tersebut. Generasi-generasi sejarawan baru muncul satu per satu, namun belum tercapai perkembangan baru khusus tentang asal-muasal Islam di Indonesia. Belum ditemukan sumbersumber sejarah baru untuk memecahkan masalah yang dimaksud. *** Pertama, Islam yang masuk dan berkembang di Indonesia berasal dari Jazirah Arab atau bahkan dari Makkah pada abad ke-7 M, pada abad pertama Hijriah. Pendapat ini adalah pendapat Hamka, salah seorang tokoh yang pernah dimiliki Muhammadiyah dan mantan ketua MUI periode 1977 1981. Hamka yang sebenarnya bernama Haji Abdul Malik bin Abdil Karim mendasarkan pendapatnya ini pada fakta bahwa mazhab yang berkembang di Indonesia adalah mazhab Syafii. Menurutnya, mazhab Syafii berkembang sekaligus dianut oleh penduduk di sekitar Makkah. Selain itu, yang tidak boleh diabaikan adalah fakta menarik lainnya bahwa orang-orang Arab sudah berlayar mencapai Cina pada abad ke-7 M dalam rangka berdagang. Hamka percaya, dalam perjalanan inilah, mereka singgah di kepulauan Nusantara pada waktu itu. Kedua, Islam dibawa dan disebarkan di Indonesia oleh orang-orang Cina. Mereka yang menyebarkan ini bermazhab Hanafi. Pendapat ini disimpulkan oleh salah seorang pegawai Belanda pada masa pemerintahan kolonial Belanda dulu, Residen Poortman. Sebelum Indonesia merdeka, orang-orang Belanda pernah menguasai hampir seluas Indonesia sekarang sebelum ditaklukkan oleh tentara Jepang pada 1942. Tepatnya pada 1928, Poortman memulai penelitiannya terhadap naskah Babad Tanah Jawidan Serat Kanda. Tidak berhenti di situ, ia melanjutkan penelitiannya terhadap naskahnaskah kuno Cina yang tersimpan di klenteng-klenteng Cina di Cirebon dan Semarang. Ia pun sempat mencari naskah-naskah kuno di sebuah klenteng di Batavia, Jakarta dulu. Hasil penelitiannya itu disimpan dengan keterangan Uitsluiten voor Dienstgebruik ten Kantore, yang berarti "Sangat Rahasia Hanya Boleh Digunakan di Kantor." Sekarang disimpan di Gedung Arsip Negara Belanda di Den Haag, Belanda. Pada 1962, terbit bukuPongkinangolngolan Sinambela Gelar Tuanku Rao yang ditulis Mangaradja Onggang Parlindungan. Dalam buku ini dilampirkan juga naskah-naskah kuno Cina yang pernah diteliti oleh Poortman. Ketiga, Islam yang masuk ke Indonesia berasal dari Gujarat pada abad ke-12 M. Islam dibawa dan disebarkan oleh pedagang-pedagang Gujarat yang singgah di kepulauan Nusantara. Mereka menempuh jalur perdagangan yang sudah terbentuk antara India dan Nusantara. Pendapat ketiga ini adalah pendapat Snouck Hurgronje, seorang penasehat di bidang bahasabahasa Timur dan hukum Islam untuk pemerintah kolonial Belanda. Ia mengambil pendapat ini dari Pijnapel, seorang pakar dari Universitas Leiden, Belanda, yang sering meneliti artefakartefak peninggalan Islam di Indonesia.

Pendapat Pijnapel ini juga dibenarkan oleh J.P. Moquette yang pernah meneliti bentuk nisan kuburan raja-raja Pasai, Aceh. Moquette secara khusus meneliti bentuk nisan kuburan Sultan Malik Ash-Shalih. Nisan kuburan Maulana Malik Ibrahim di Gresik, Jawa Timur, juga ditelitinya. Dan ternyata sangat mirip dengan nisan-nisan kuburan yang ada di Cambay, Gujarat. Ternyata pendapat Moquette yang memperkuat pendapat Pijnapel dan Hurgronje disanggah oleh S.Q. Fatimi. Pendapat Fatimi adalah nisan-nisan kuburan yang ada di Aceh dan Gresik justru lebih mirip dengan bentuk nisan-nisan kuburan yang ada di Benggala, sekitar Bangladesh sekarang. Lebih jauh lagi, Fatimi percaya, pengaruh-pengaruh Islam di Benggala itu banyak ditemui dalam Islam yang berkembang di Nusantara dulu. Oleh karena itu, Islam yang ada di Indonesia ini sebenarnya berasal dari Bangladesh. Pendapat ini adalah pendapat keempat. Pendapat Moquette juga disanggah oleh G.E. Marrison. Marrison malah yakin, bahwa Islam yang datang ke Indonesia berasal dari Pantai Coromandel, India Selatan. Alasannya, pada abad ke-13 M, Gujarat masih menjadi sebuah kerajaan Hindu, sedang di Pantai Coromandel Islam telah berkembang. Marrison juga berpendapat, para pembawa dan penyebar Islam yang pertama ke Indonesia adalah para Sufi India. Mereka menyebarkan Islam di Indonesia dengan pendekatan tasawwuf pada akhir abad ke-13 M. Waktu itu, masih terhitung belum lama dari peristiwa penyerbuan Bagdad oleh orang-orang Mongol. Penyerbuan yang dimaksud memaksa banyak Sufi keluar dari zawiyah-zawiyah mereka dan melakukan pengembaraan ke luar wilayah Bani Abbasiyah, seperti ke ujung Persia atau bahkan ke India. Sebelum Marrison mengemukakan pendapatnya, T.W. Arnold telah menyakini bahwa Islam di Indonesia juga dibawa atau berasal dari Pantai Coromandel dan Malabar, India. Karena itu, banyak yang beranggapan bahwa Marrison memperkuat pendapat Arnold itu. Setelah kelima pendapat itu, Hoesein Djajadiningrat mengemukakan pendapat keenam tentang masuknya Islam di Indonesia. Djajadiningrat dikenal sebagai orang Indonesia pertama yang mempertahankan disertasi di Universitas Leiden, Belanda, pada 1913. Disertasinya itu berjudul Critische Beschouwing van de Sadjarah Banten (Pandangan Kritis Mengenai Sejarah Banten). Menurutnya, Islam yang masuk ke Indonesia berasal dari Persia. Djajadiningrat beralasan, peringatan 10 Muharram atau hari Asyura sebagai hari kematian Husein bin Ali bin Abi Thalib yang ada di Indonesia berasal dari perayaan kaum Syiah di Persia. Peringatan 10 Muharram itu lebih dikenal sebagai perayaan Hari Karbala. Djajadiningrat juga yakin dengan pendapat ini, karena keberadaan pengaruh bahasa Persia di beberapa tempat di Indonesia. Selain itu, keberadaan Syeikh Siti Jenar dan Hamzah Fansuri dalam sejarah Indonesia menandakan adanya pengaruh ajaran wihdatul wujud Al-Hallaj, seorang Sufi ekstrem yang berasal dari tanah Persia.

*** Dapat terlihat bahwa perbedaan pendapat itu terjadi karena dasar-dasar berpikir yang dipakai dalam membangun pendapat. Pijnapel, Hurgronje, Marrison, Moquette, Fatimi lebih mempercayai bukti-bukti kongkret yang masih bisa diyakini secara pasti, bukan spekulatif. Karena itu, pendapat-pendapat mereka lebih logis, meskipun bisa menuntut mereka untuk percaya bahwa Islam pertama kali berkembang di Indonesia pada sekitar abad ke-13 M, lebih belakangan ketimbang agama Hindu dan Buddha. Berbeda dari pendapat Residen Poortman. Meski berdasarkan catatan-catatan Cina yang tersimpan bertahun-tahun, masih ada kemungkinan salah tafsir atas penyataan-pernyataan tertulis yang ada di dalamnya. Dan juga: masih besar kemungkinan adanya manipulasi data tanpa sepengetahuan para pembaca. Pendapat Hamka bahkan lebih mudah lagi untuk terjerumus ke dalam bentuk spekulatif yang belum tentu bisa dibuktikan kebenarannya. Pendapatnya berdasarkan perkiraan-perkiraan pribadi. Pendapatnya tidak ditunjang oleh data sejarah yang kongkret. Sangat kecil kemungkinan pendapatnya untuk benar. Demikian pula, kiranya, dengan pendapat Djajadiningrat. Bisa jadi persamaan-persamaan yang dikemukakan dalam pendapatnya itu hanya kebetulan-kebetulan yang mirip pada objek. Akan tetapi, hampir setiap pendapat itu memiliki konsekwensi. Jika seseorang memercayainya suatu pendapat dari pendapat-pendapat itu, maka, bagaimana pun, ia mesti menerima konsekwensi-konsekwensi yang ada. Seperti jika percaya pendapat bahwa Islam dibawa masuk dari Persia, sedikit-banyaknya, akan membuat kita berpikir, para penyebar Islam pertama kali di Nusantara adalah orang-orang Syiah. Dan karena itu, Syiah adalah bentuk akidah pertama yang diterima di Indonesia. Baru setelah itu Islam ahlu Sunnah wal Jamaah yang berkembang. Apabila kita memercayai Islam yang masuk di Indonesia berasal dari Jazirah Arab pada abad ke7 M, berarti orang-orang di Nusantara telah mengenal dakwah Islam sejak masa para sahabat masih hidup. Artinya, ketika para tabi'in ramai-ramai menuntut ilmu agama pada para sahabat Nabi, segelintir orang di Nusantara juga telah mengenal Islam yang sama pada waktu itu. Hanya jarak yang memisahkan mereka. Demikian pula, jika kita menerima pendapat bahwa Islam berasal dari Pantai Coromandel, India Selatan. Jika pendapat ini yang kita terima, maka bisa dipastikan para pemeluk pemula Islam di Indonesia adalah orang-orang yang berakidah dengan akidah Sufi atau setidaknya mengenal Islam lewat kacamata tasawwuf. *** Seorang sejarawan muda, dengan rasionalitas yang dimilikinya, pernah menyarankan untuk tidak memperbincangkan topik-topik sejarah yang tidak bisa dilacak sumber-sumber sejarahnya.

Ketimbang membicarakan sesuatu yang bersifat spekulatif, juga tidak pasti, lebih baik mengangkat topik-topik sejarah yang jelas dan sedikit kemungkinan terjadi unsur "mengada-ada" di dalamnya. Artinya, sumber-sumber sejarah yang ada bisa diverifikasi atau bahkan dipercayai kebenarannya lewat kerangka berpikir rasional. Dalam sejarah manusia, ternyata, masih banyak topik-topik sejarah yang bisa dirunut kebenarannya. Bukti-bukti sejarahnya masih tersisa, sehingga bisa direkonstruki oleh siapa pun. Seperti topik-topik sejarah kontemporer, sejarah Nusantara di zaman Belanda, atau sejarah di zaman pendudukan tentara Jepang dulu. Ini, bagi kita yang memiliki perhatian terhadap sejarah Indonesia. Mengacu pada hal itu pula, maka sejarah zaman Nabi Muhammad pun bisa dirunut kebenarannya. Terbukti, sampai sekarang, keterangan-keterangan tertulis tentang peristiwaperistiwa pada zaman itu bisa didapatkan secara berlimpah dari antologi-antologi hadis Nabawi yang belakangan ini banyak diterjemahkan dan diterbitkan di Indonesia. Keadaan itu, ternyata, makin terdukung ketika muncul banyak pakar-pakar hadis yang membukukan hasil penelitian-penelitian mereka terhadap hadis-hadis Nabawi. Salah seorang di antaranya, untuk misal disebut di sini, adalah Muhammad bin Nuh Nasiruddin Al-Albani, seorang peneliti dan pakar hadis Nabawi dari Yordania. Atau juga bisa disebut Muqbil bin Hadi Al-Wadi'i, seorang peneliti dan pakar hadis Nabawi dari Yaman. Di Arab Saudi pun, ada Rabi' bin Umair AlMadkhali, salah seorang peneliti dan guru besar ilmu hadis di Universitas Islam, Madinah. Sebagaimana diketahui, tidak semua hadis dapat diterima. Sebab, di antara hadis-hadis itu, ada hadis-hadis yang lemah dan palsu. Hadis-hadis seperti ini, tentu saja, tidak dapat diterima atau dijadikan bahan rujukan, karena ada kemungkinan hadis-hadis itu dibuat-buat oleh seorang penipu dan pemalsu untuk tujuan tertentu atau disampaikan secara keliru oleh seseorang yang lupa dan terganggu ingatannya.[] Rimbun Natamarga

Abad-Abad Pertama Masuknya Islam di Nusantara


30 September 2012 pukul 19:20

Nama Indonesia baru muncul di awal abad ke-20. Sebagian pakar sejarah malah berpendapat, nama itu sudah dari abad ke-19 ditemukan. Ditinjau dari sisi etimologi, nama Indonesia pada mulanya mengacu ke satu wilayah luas yang mencakup juga Malaysia dan Fillipina sekarang. Untuk sebutan yang pantas, mengacu pada wilayah yang dimiliki oleh Indonesia sekarang, adalah Nusantara. Pramoedya Ananta Toer adalah salah seorang tokoh yang pernah menggagas untuk menggantikan nama Indonesia dengan Nusantara. Pendapat-Pendapat tentang Masuknya Islam

Sampai hari ini, para pakar sejarah Indonesia belum menemui kata sepakat tentang masuknya Islam ke Nusantara. Beberapa pakar justru memilih untuk meninggalkan perdebatan itu dan memulai tulisan tentang sejarah Islam sejak kemunculan kerajaan Islam pertama di Jawa. Membicarakan kapan masuknya Islam di Nusantara tidak dapat pula dipisahkan dari membicarakan asal Islam yang masuk itu. Dengan menentukan asal Islam tersebut, sebagian orang percaya bahwa seseorang dapat menentukan masa Islam masuk ke Nusantara. Pendapat pertama mengatakan bahwa Islam datang ke Nusantara dibawa oleh para pedagang dari Gujarat pada abad ke-12 Masehi. Para pedagang ini juga dikenal sebagai orang-orang penganut tasawwuf. Pendapat ini dibangun di atas penelitian tentang artefak-artefak peninggalan muslim di Nusantara seperti bentuk kuburan-kuburan dan nisan-nisan di sejumlah tempat. Terdapat kesamaan antara artefak-artefak yang dimaksud dan artefak-artefak yang ditemukan di Gujarat. Pendapat kedua mengatakan bahwa Islam di Nusantara berasal dari Benggala. Artefak-artefak yang ditemukan di Nusantara tersebut justru memiliki kemiripan dengan artefak-artefak sejenis yang ada di Benggala, sehingga dapat disimpulkan bahwa Islam disebarkan oleh pedagangpedagang dari sana. Sekarang, wilayah Benggala masuk ke dalam negara Bangladesh. Pendapat ketiga mengatakan bahwa Islam bukan disebarkan oleh pedagang-pedagang dari Gujarat tetapi dari pantai Koromandel, India Selatan sekarang. Hal itu disebabkan oleh fakta bahwa Gujarat pada abad ke-12 Masehi masih menjadi kerajaan Hindu. Hanya di sekitar pantai Koromandel kaum muslimin setempat telah memeluk Islam. Pendapat ini menguatkan tetapi sekaligus menyanggah pendapat pertama. Pendapat keempat mengatakan bahwa Islam di Nusantara berasal dari Persia. Pendapat ini berdasarkan fakta bahwa terdapat tradisi peringatan Karbala di sejumlah pesisir pantai tempat bandar dagang lama di Nusantara. Selain itu, ditemukan banyak kosakata yang menunjukkan adanya pengaruh bahasa Persia dan bukan Arab di pesisir-pesisir tersebut. Pendapat ini, meskipun tidak kuat, tetapi turut mewarnai perdebatan yang berlangsung di kalangan peneliti sejarah Islam di Indonesia. Pendapat kelima mengatakan bahwa Islam berasal dari Makkah, Arab. Hamka yang menguatkan pendapat ini mendasarkan diri pada fakta bahwa mazhab fikih yang dianut di Nusantara adalah mazhab yang sama dianut di Makkah. Pengaruh dari Makkah ini masuk ke Nusantara seiring dengan keberadaan para pedagang Arab yang telah mencapai Cina pada abad ke-7 Masehi. Atas dasar itulah, sejumlah pakar sejarah berpendapat bahwa Islam masuk ke Nusantara lewat keberadaan pedagang-pedagang muslim dari Cina. Pendapat ini, pendapat keenam, didukung pula fakta bahwa sejumlah masjid tua di Indonesia sekarang adalah masjid muslim Cina. Di beberapa kelenteng Cina di sejumlah kota-kota tua di Jawa mengisyaratkan adanya pedagangpedagang muslim Cina yang datang menyebarkan Islam ke penduduk setempat. Akan tetapi, akibat politik pemerintah Orde Baru, pendapat ini dibungkam bertahun-tahun. Banyak peneliti

sejarah yang lebih tahu dan percaya bahwa Islam dibawa ke Nusantara oleh para pedagang India. Masyarakat Muslim Pertama Merenungi sejarah Islam di Nusantara, perdebatan yang terjadi itu terus mengemuka disebabkan ketidakjelasan jejak-jejak yang bisa didapat dalam sejarah yang ada. Bangsa yang mendiami Nusantara adalah bangsa antara. Mereka berdiam dan berada di tengah-tengah lalu lintas budaya dan perubahan yang dibawa oleh masing-masing budaya tersebut. Hampir bisa dikatakan tidak ada budaya dominan yang bertahan. Selalu saja terjadi perbenturan dan percampuran budaya, baik dengan budaya yang juga datang dari luar atau dengan budaya lokal yang telah ada atau dengan budaya baru hasil campuran budaya-budaya sebelumnya. Betapa pun ramai perdebatan yang ada, komunitas-komunitas muslim yang pertama kali menetap di daerah-daerah pesisir itu menjalankan rutinitas harian mereka sebagai orang-orang pendatang yang memiliki kepentingan berdagang dengan penduduk setempat. Kebijakan politis belum mereka punyai. Karena itu, di tangan penguasa-penguasa setempat yang belum memeluk Islam, keadaan politik, sosial, budaya masih bernuansa Hindu-Buddha. Sebagaimana kita ketahui, Nusantara pra-Islam adalah wilayah-wilayah yang dihuni oleh masyarakat Hindu, Buddha, dan kepercayaankepercayaan setempat. Dapat dikatakan, kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara tumbuh seiring dengan kemunculan bangsa-bangsa Eropa untuk kepentingan perdagangan. Dari perdagangan, perseteruan melebar ke masalah agama. Selama itu, meletus berbagai bentrokan bersenjata antara Islam dan Kristen di Nusantara. Secara umum, ada tiga wilayah besar di Nusantara yang menjadi arena konflik tersebut. Di tiga wilayah ini pula tumbuh dan berkembang kerajaan-kerajaan Islam. Tiga wilayah yang dimaksud adalah Sumatera, Jawa, dan Sulawesi. Di Sumatera dan sekitarnya, kerajaan Islam yang pertama kali muncul adalah kerajaan Malaka. Kerajaan ini sudah muncul sejak paruh kedua abad ke-15 Masehi. Bangsa Portugis berhasil merebut pengaruh di sana baru pada paruh pertama abad ke-16 Masehi. Tahun 1511 menjadi tahun penaklukan Malaka oleh bangsa Portugis. Meski demikian, di wilayah yang berdekatan muncul kemudian kerajaan Aceh. Kekuasaan mereka berada di sekitar Aceh dan Sumatera Utara sekarang. Jauh ke selatan, muncul pula setelah itu kerajaan Minangkabau, Jambi, Palembang. Masing-masing kerajaan itu berdiri sendiri, menghadapi dominasi kekuatan Portugis dan perusahaan dagang Belanda dalam perdagangan di wilayah Sumatera dan sekitarnya. Menariknya, keadaan sejenis juga muncul di Jawa. Keruntuhan kerajaan Hindu-Buddha mendorong kemunculan kerajaan-kerajaan Islam di Jawa. Di belah timur Jawa, muncul berurutan kerajaan Demak, Pajang, dan Mataram Islam. Di belah barat Jawa, muncul kerajaan

Cirebon, Banten. Masing-masing kerajaan itu berdiri sendiri, menghadapi perusahaan dagang Belanda yang memiliki kedudukan di Sunda Kelapa (Jakarta sekarang). Ada kalanya, kerajaan-kerajaan Islam yang ada itu berselisih dan berperang antara mereka. Untuk kepentingan politik dan ekonomi, mereka bertikai dan bekerjasama dengan perusahaan dagang Belanda. Keadaan seperti ini juga melanda bagian timur Nusantara. Di sana berdiri kerajaan Ternate, Tidore, dan beberapa kerajaan Islam yang kecil. Pertemuan, Pertemanan, Pertikaian Semua kerajaan Islam yang ada di Nusantara pada akhirnya menghadapi pengaruh-pengaruh yang datang dari Eropa, baik dengan bangsa Portugis, Belanda, atau Inggris yang sempat menduduki beberapa tempat penting di Nusantara. Dalam keadaan seperti itu, kerajaan-kerajaan Islam itu mengalami semacam kekalahan budaya, termasuk juga kekalahan politik. Mereka terpaksa menerima atau mengadaptasi pengaruh-pengaruh yang dibawa bangsa Eropa. Bangsa-bangsa Eropa hadir pertama kali di Nusantara untuk kepentingan perdagangan. Mereka mencapai Nusantara untuk mencari daerah-daerah produsen untuk pasaran masyarakat Eropa. Pada waktu itu, kepentingan agama, penyebaran agama Kristen menempati tempat ketiga dalam kepentingan mereka setelah kepentingan dagang dan politik. Bagaimana pun, Nusantara terkenal sebagai wilayah yang memiliki kekayaan alam yang melimpah. Bangsa Portugis mencapai Nusantara mendahului bangsa Belanda. Mereka berniat menguasai Malaka. Ketika niat itu sudah terlaksana, mereka juga menguasai Maluku. Malaka dan Maluku pada waktu itu berperan sebagai bandar dagang terkemuka. Portugis berusaha memonopoli sumber daya alam setempat. Akan tetapi di antara dua tempat itu, muncul bandar-bandar lain yang tidak kalah penting, seperti Banten, Sunda Kelapa, Cirebon, dan beberapa kota pesisir di Jawa bagian tengah dan timur. Di kota-kota pesisir Jawa itulah bangsa Belanda menanam pengaruh. Mereka, dengan kongsi dagang VOC atau dikenal dengan sebutan Kompeni, ingin merebut monopoli perdagangan dari tangan Portugis. Merebut monopoli perdagangan seperti memaksa mereka untuk turut campur dalam politik kerajaan-kerajaan Islam setempat. Bahkan, ada kalanya, kepentingan Portugis dan Belanda mewujud dalam persekutuan masing-masing dengan dua kerajaan Islam yang kebetulan sedang bertikai. Pada titik tersebut, sepintas dapat dinilai bahwa kepentingan dagang mendominasi politik mereka. Akan tetapi patut untuk dicermati bahwa Belanda dengan kongsi dagang mereka memiliki sentimen keagamaan terhadap Portugis. Sentimen tersebut hampir seumur dengan sejarah agama Kristen Protestan. Sebagaimana dapat dilihat, orang-orang Belanda adalah para pemeluk Kristen Protestan, sedangkan orang-orang Portugis adalah para pemeluk Kristen Katolik. Masing-masing membawa pandangan negatif terhadap satu sama lain. Sejarah mencatat bahwa bangsa Belanda lebih lama dan luas berdiam di Nusantara. Tidak sepenuhnya benar mendiami selama 350 tahun, Belanda menguasai sebagian wilayah di Nusantara. Bermula dari kepentingan dagang, mereka kemudian membangun sebuah

pemerintahan kolonial yang berada di bawah tanggung jawab Menteri Daerah Jajahan di Belanda. Selama rentang waktu yang panjang itu, keberadaan Belanda di Nusantara terbedakan menjadi dua periode, periode Kompeni (VOC) dan periode Hindia Belanda. Kompeni bubar akibat kebangkrutan yang dideritanya. Wilayah-wilayah di Nusantara diwariskan ke Kerajaan Belanda.[]

Riwayat Semangat Kristen Baru


30 September 2012 pukul 19:19

Istilah sekuler tidak dapat dipisahkan dengan humanisme, sebab antara satu dengan yang lain saling berhubungan. Kemunculan humanisme sebagai pemikiran dan keyakinan, dalam sejarah, berhubungan erat dengan dengan sekulerisme dan sekulerisasi. Dalam sejarah agama Kristen, sekulerisme dan sekulerisasi bermula dari keinginan sebagian umat Kristen untuk kembali saleh dengan cara baru. Dikatakan "kembali saleh", bukan "tetap saleh", karena berangkat dari sikap traumatik atas berbagai macam peristiwa yang menimpa orang-orang Kristen di daratan Eropa. Mereka ingin menutup lembaran sejarah lama yang penuh dengan peperangan, penjarahan, penindasan, perpecahan, dan kesewenang-wenangan gereja sebagai lembaga agama. Mereka justru ingin membuka lembaran baru dengan mendudukkan agama dan gereja serta surganeraka pada tempat tersendiri, terpisah dari negara dan kehidupan sehari-hari, sehingga setiap manusia dapat menentukan pilihan dan kedudukan masing-masing untuk menjalani kehidupan yang lebih baik di dunia ini. Bila semangat Kristen lama mengajarkan manusia untuk tetap berada dalam batas-batas yang telah ditentukan oleh agama dan gereja, maka semangat Kristen yang baru mengajarkan manusia bahwa sangat mungkin untuk menjelajahi batas dan isi dunia ini yang telah ada dan disiapkan untuk manusia. Bila Kristen lama menuntut manusia untuk hanya bertahan di alam ini, maka Kristen yang baru mengajak manusia untuk mencoba dan meraih kemakmuran. Manusia dan kemanusiaan adalah inti dari semangat baru ini. Demikian pula dengan Liberalisme, istilah ini tidak dapat dipisahkan dari humanisme. Untuk mencapai cita-cita kemanusiaan yang sejati, berdasarkan semangat Kristen baru, seorang manusia mesti ditunjang oleh kebebasan, kemerdekaan, untuk berpikir-berucap-berbuat sebagaimana layaknya seorang manusia. Seseorang itu, masih dengan semangat tersebut, harus memandang hidupnya dan segala yang diusahakan dalam kehidupannya dari sudut pandang manusiawi, karena ia adalah manusia yang memiliki akal-pikiran dan panca-indera. Memandang kehidupan dari sudut pandang yang tidak manusiawi sama saja dengan mengingkari segala sesuatu yang telah diberikan oleh Tuhan itu sendiri.

Kebebasan manusia untuk berpikir, berucap, dan berbuat, bagi manusia-manusia Kristen baru waktu itu, adalah kebebasan manusia untuk menentukan pilihan-pilihannya dalam hidup ini. Termasuk di antara pilihan-pilihan tersebut, menurut mereka, adalah pilihan untuk beragama dan untuk tidak beragama, pilihan untuk memiliki Tuhan dan untuk tidak memiliki Tuhan.[]

GERAK FILSAFAT DALAM SEJARAH ISLAM


30 September 2012 pukul 19:18

Bagi kebanyakan para filosof, perhatian utama filsafat dari dulu sampai sekarang masih tetap untuk memahami dunia atau pengalaman-pengalaman manusia atas dunia ini, termasuk keberadaan Tuhan dan wahyu. Dengan filsafat, mereka ingin menafsirkan dunia dan segala yang ada di dunia ini. Anehnya, banyak orang tidak percaya, bahwa ilmu-ilmu pasti semisal matematika, fisika, kimia, dan biologi memiliki hubungan erat dengan filsafat, seperti kakak-adik yang lahir dari lubang rahim yang sama. Pernah ada masanya, bahwa untuk menjadi seorang filosof yang serius, rasanya, tak mungkin tanpa memiliki ketertarikan yang serius pula terhadap ilmu-ilmu pasti tersebut. Dua Alur Perkembangan Jauh sebelum tahun 200 Hijriah dulu, sifat ingin tahu sebagian kaum muslimin terhadap gejalagejala yang terjadi di alam semesta ini mendorong mereka untuk mengungkapkan semua yang ada. Mereka ingin menafsirkan dunia, bahkan alam seluruhnya, dan segala macam yang ada di dunia ini dengan sesuatu bisa dicerna oleh akal-pikiran mereka, bukan sekedar dengan Qur'an dan Hadits. Pada mulanya, mereka memusatkan perhatian kepada ilmu-ilmu pengetahuan alam. Pelan tapi pasti mereka mulai mengalihkan perhatian kepada filsafat Yunani dan mencoba untuk menerapkan prinsip-prinsip filsafat yang ada ke dalam Islam. Mereka percaya bahwa pandangan rasional dan logis dapat membuat mereka lebih memahami dan mengimani ajaran Islam. Bagi mereka, sikap seperti ini jauh lebih baik ketimbang menerima mentah-mentah semua dalil-dalil dari Qur'an dan Hadits. Mereka, pada intinya, tak ingin membutakan diri dan mengabaikan begitu saja akal-pikiran yang justru telah Tuhan karuniakan kepada manusia. Keadaan ini justru terbalik dengan yang terjadi pada orang-orang Yunani. Setelah menerima agama Kristen, menggantikan berbagai cara berpikir filsafat warisan Plato dan Aritoteles serta kaum Neo-Platonis, orang-orang Yunani Kristen memalingkan akal-pikiran mereka dari tradisi tersebut yang telah berkembang baik di Yunani. Bagi mereka itu, akal-pikiran hanya menyumbang sesuatu yang sedikit dalam memahami wahyu-wahyu Tuhan. Dalam kalimat sederhana, Tuhan menurut para filosof Yunani ingin mereka gantikan dengan Tuhan menurut wahyu.

Dalam prakteknya, mereka tidak sepenuhnya meninggalkan warisan para filosof. Akan tetapi, dalam artian meneruskan dan mengembangkan warisan tersebut, mereka kurang melakukannya. Mereka terkungkung dalam satu pertanyaan penting: akal atau wahyu pedoman mereka? Keadaan seperti ini pada akhirnya akan mengantarkan mereka ke satu masa yang oleh para sejarawan Barat kemudiandisebut dengan Abad Kegelapan (atau juga Abad Pertengahan, The Middle Ages). Sebagaimana yang kita ketahui, gerak itu akan berujung pada pemisahan yang jelas antara agama (wahyu ilahi) dan ilmu pengetahuan di tengah mereka. Dengan menerima akal-pikiran sebagai "agama" baru, mereka percaya bahwa Tuhan telah mati. Adapun gerak filsafat Yunani di tengah-tengah kaum muslimin, itu semua dimulai dari persentuhan mereka dengan wilayah-wilayah Kristen di tanah Syam, juga Alexandria (Iskandariah) di Mesir. Persentuhan tersebut pada akhirnya mengenalkan mereka pada manuskrip-manuskrip kuno berbahasa Yunani. Filsafat Yunani di Tengah Kaum Muslimin Keadaan seperti itu menandai satu awal fase baru dalam sejarah Islam. Betapa tidak, perkenalan itu membuahkan dorongan untuk mengeluarkan kebijakan penerjemahan manuskripmanuskrip tersebut. Jika pada masa para sahabat Nabi Muhammad, dorongan itu dicegah, bahkan dipadamkan, oleh Umar bin Khaththab, maka pada masa setelah mereka tidak. Tercatat, bahwa khalifah Al-Mansur, seorang khalifah Bani Abbasiyah yang masanya jauh dari masa khalifah Al-Makmun, pernah meminta beberapa manuskrip Yunani dari sejumlah penguasa Romawi yang sedang terikat perjanjian damai dengan mereka. Orang-orang Kristen di Syam pun pernah diminta olehnya untuk menerjemahkan sejumlah manuskrip Yunani ke dalam bahasa asli Syam kemudian ke dalam bahasa Arab. Bukan hanya Yunani, ternyata, yang menyumbang filsafat untuk orang-orang Islam saat itu. Di antara bangsa-bangsa yang turut memberikan sumbangan filsafat adalah bangsa Persia, Turki Lama dan India di ujung timur kekuasaan khilafah Islam. Turki Lama yang dimaksud di sini adalah negeri-negeri di seberang sungai Oxus (Transoxiana) yang sekarang menjadi negaranegara pecahan bekas Uni Soviet. Dalam Sejarah Tuhan: Kisah Pencarian Tuhan yang Dilakukan oleh Orang-Orang Yahudi, Kristen, dan Islam selama 4000 Tahun, Karen Amstrong membedakan antara istilah untuk filsafat Barat dan filsafat Islam. Hal ini dilakukannya untuk sesuatu yang paling prinsip. Menurutnya, filsafat yang berkembang di tengah kaum muslimin sangat berbeda dengan filsafat yang berasal dari Yunani dan kemudian berkembang di Barat. Karena itu, Karen Armstrong mempertahankan sebutan falsafah dan faylasuf untuk ganti filsafat Islam dan para filosof Islam di dalam bukunya itu. Falsafah, sejatinya, adalah kata serapan Arab untuk filsafat. Namun, dalam prakteknya hingga hari ini, kata itu digunakan untuk segala usaha penafsiran Islam dengan memakai cara berpikir a la Plato atau Aristoteles. Jadi, jelas, ini untuk memahami agama. Sebagaimana yang akan kita

ketahui, filsafat Yunani berkembang untuk memahami segala sesuatu di alam semesta ini, bukan hanya tentang sang pencipta alam semesta. Demikian pula dengan para faylasuf atau para filosof muslim. Mereka bukan orang-orang yang mengingkari keberadaan Allah sebagai pencipta, pengatur, pemberi rejeki mereka. Mereka pun bukan sejenis manusia hedonis yang tidak percaya terhadap Allah, Rasulullah, dan Islam. Bahkan, di antara para faylasuf terdapat orang-orang yang zuhud, tahu dalil-dalil Al-Qur'an, dan juga menjalankan syariat-syariat Islam, seperti sholat, puasa, zakat, atau yang semisal. Karena itu, hendaklah dikata bahwa filsafat yang berkembang di tengah-tengah kaum muslimin adalah sejenis percampuran antara filsafat Yunani, Persia, dan Hindu. Dengan itu, mereka ingin memahami dan mengimani ajaran Islam yang telah mereka wariskan dari zaman nabi. Beda Filsafat dan Ilmu Kalam Sejarah Islam mencatat juga kemunculan ilmu kalam, sebuah disiplin pengetahuan yang sering keliru diartikan sebagai filsafat. Dalam "Tamhid" untuk Syarh Al-Aqidah Al-Wasithiyahli Syaikh Al-Islam Ibnu Taimiyah dapat ditemukan keterangan yang paling sederhana tentang itu. Penulis "Tamhid" tersebut, Yasin Al-'Adani, membedakan antara filsafat dan ilmu kalam. Filsafat, tulisnya, terbagi menjadi dua. Pertama, filsafat keilahian (falasifah ilahiyyun) adalah jenis filsafat yang membahas tentang perkara-perkara keilahian, yang berhubungan langsung dengan Tuhan. Sebagian orang menyebut filsafat ini dengan teologi. Kedua, jenis filsafat yang membahas tentang alam disebut dengan filsafat alam semesta atau kosmologi (falasifah thabi'iyyun). Dalam bahasa Arab, setiap orang yang mencoba menggabungkan antara agama dan filsafat disebut dengan mutafalsif. Ini berbeda dengan ahli kalam. Yasin Al-'Adani menulis, istilah ahli kalam dimaksudkan untuk setiap orang yang berbicara tentang Allah ta'aladengan segala sesuatu yang menyelisihi Qur'an dan Hadits. Pembedaan ini, jelas, membuat pemisahan antara filsafat dan ahli kalam. Pertama, ditinjau dari bahasan yang dilakukan, ilmu filsafat dan para filosof membahas segala perkara yang berkaitan dengan Allah dan juga selainNya. Adapun ahli kalam, mereka dengan ilmu kalam mereka hanya membahas perkara-perkara tentang Allah ta'ala. Kedua, ditinjau dari keterkaitan dengan Islam, ilmu kalam dan ahli kalam lebih dekat kepada Islam daripada ilmu filsafat dan para filosof. Sampai di sini, bisa dipahami kemudian, jika ternyata tokoh-tokoh yang dikenal oleh sarjanasarjana Barat sebagai para filosof muslim (faylasuf) juga disebut dengan ahli kalam. Yang tidak bisa dilupakan adalah kenyataan bahwa orang-orang sekte Jahmiyah, Mu'tazilah, Asy'ariyah, dan Karramiyah termasuk ke dalam ahli kalam, meskipun mereka tidak pernah mempelajari filsafat Yunani sama sekali.[]

Karena Cinta Menjadi Teroris


30 September 2012 pukul 12:41

Cinta sering membutakan mata-hati seseorang. Sesuatu yang menjadi prinsip hidup, karena cinta, bisa menjadi seonggok sampah yang dibuang begitu saja di selokan depan rumah. Sebaliknya, karena cinta, sesuatu yang bertentangan dengan hati nurani dapat diterima, didekap erat-erat lalu dibawa sampai mati. Cinta pun dapat membuat seseorang menjadi teroris atau hanya sekedar mendukung terorisme. Ketika berita kematian Noordin M. Top diekspos beramai-ramai di media, seorang ibu rumah tangga di Jakarta tidak habis pikir, ada wanita-wanita yang mau diperistri seorang teroris. Noordin memang dikenal sebagai pria dari negeri jiran yang berpoligami. Meski terkesan sepele, kenyataan ini tetap mengundang kita untuk berpikir juga. Salah seorang istri Noordin bernama Munfiatun. Berdasarkan laporan Internasional Crisis Group nomor 114 yang berjudul Terorisme di Indonesia: Jaringan Noordin Top, Munfiatun pernah kuliah di Universitas Brawijaya, Malang. Dalam laporan yang bertanggal 5 Mei 2006 itu, wanita muda yang dimaksud memiliki keinginan untuk diperistri seorang mujahid. Lewat perantaraan seorang teman kuliahnya, keinginan itu terkabulkan juga. Ia dinikahi Noordin sebagai istri kedua. Pernkahan mereka itu berlangsung dalam suasana pelarian. Sebab, waktu itu, Polri telah menetapkan Noordin sebagai otak di balik sejumlah peledakan bom di Indonesia. Noordin menjadi orang kedua yang paling dicari-cari polisi setelah Dr. Azahari. Berbeda dengan Ali Ghufran alias Mukhlas. Ia menikah dengan adik Nasir Abas, penulis buku Membongkar Jamaah Islamiyah. Wanita yang diperistri Mukhlas ini tidak lebih dari gadis muda yang masih sekolah menengah. Dalam otobiografi yang pernah ditulisnya di tahanan Polda Bali, Mukhlas melukiskan calon istrinya itu sebagai seorang gadis manis berkerudung putih dan berseragam putih-biru yang sedang bermain tali bersama teman-temannya. Ayah si gadis-lah yang pertama kali menawari Mukhlas. Semula, gadis manis itu tidak setuju dan menolak mentah-mentah penjodohan itu. Akhirnya, lewat bujukan kakaknya, berhari-hari kemudian, Mukhlas pun diterima sebagai calon suami. Pernikahan itu berlangsung di rumah orangtuanya di Malaysia. Mukhlas sendiri butuh waktu untuk mengajari istrinya agama Islam. Sebagai mantan pengajar di Pondok Pesantren Al Mukmin Ngruki, Sukoharjo, usaha itu rupanya tidak sulit dijalani. Beberapa bulan setelah pernikahan, istri Mukhlas mengakui bahwa dirinya menyesal sempat menolak penjodohan itu di awal kali. Ia malah bersyukur memiliki suami yang beragama baik seperti Mukhlas. Jangan pula kita bayangkan istri Osama bin Laden sebagai wanita gagah yang berapi-api teriak, Bakar, bakar Amerika!, meski suaminya lantang berfatwa, Membunuh orang-orang Amerika dan sekutu-sekutunyasipil ataupun militeradalah tugas tersendiri bagi setiap muslim yang dapat melakukannya di negara mana pun yang dimungkinkan untuk melaksanakannya. Dalan Inside the Kingdom: Kisah Hidupku di Arab Saudi, Carmen bin Laden justru melukiskan istri Osama itu, Najwa, sebagai seorang wanita mungil dan perasa tapi sangat penurut kepada

suaminya. Ia menyusui anak-anak Osama dengan khidmat persis seorang ibu tua di salah satu desa Jawa Tengah. Sekarang, setelah kematian Osama, kita bisa bayangkan Najwa sebagai seorang janda yang menerima takdir apa adanya. Bahwa cinta dapat mempertahankan seseorang menjadi istri seorang teroris, bukan cerita baru. Orang-orang yang anti feminisme kemungkinan besar akan menganggap itu semua sebagai kelemahan yang jamak dimiliki seorang wanita: sering tidak bisa berpikir sehat dan melulu pakai perasaan. Akan tetapi, mereka, agaknya, belum tahu, bahwa sejarah Islam justru mencatat yang lebih dari itu: karena cinta, seorang pria cerdas menjadi teroris. Ia terpikat paras cantik seorang wanita, tertipu, dan mengorbankan hidupnya yang beharga untuk menjadi muslim-teroris. Kelompok Islam-teroris sudah muncul di awal sejarah peradaban Islam. Dan mereka itu disebut dengan kaum Khawarij. *** Di kalangan peneliti hadis nabawi, Shahih Al Bukhari adalah sebuah antologi hadis yang diterima sekaligus dikagumi sepanjang masa. Namun, tanpa mengurangi rasa hormat mereka kepada Imam Al Bukhari, ada beberapa kritik yang mereka ajukan terkait dengan beberapa hadis dalam karya tersebut. Salah satunya adalah hadis yang diriwayatkan oleh Imran bin Hittan As Sadusi. Ternyata, hadis-hadis yang diriwayatkan Imran bin Hittan didapati pula di dalamSunan Abi Dawud dan Jami At Tirmidzi. Kritik para pakar ilmu hadis itu mengacu kepada diri periwayat hadis, bukan isi hadisnya. Hal inilah yang mengundang tanya pada kita. Siapa Imran bin Hittan yang dimaksud? Imran bin Hittan As Sadusi Al Basari adalah salah seorang yang cerdas. Ia pernah mendatangi Aisyah Al Humaira, Abu Musa Al Asyari, dan Abdullah bin Abbas. Kepada ketiga sahabat Nabi Muhammad ini, Imran bin Hittan belajar dan mendapatkan hadis-hadis Nabi Muhammad. Karena hadis-hadis itu pula kemudian, ia didatangi oleh pemuka-pemuka generasi Tabiin seperti Muhammad bin Sirin, Qatadah bin Diamah As Sadusi dan Yahya bin Abi Katsir. Selain pernah belajar langsung kepada sahabat-sahabat Nabi Muhammad, Imran dikenal sebagai penyair yang genial; ia bisa menggubah syair-syair Arab yang bagus. Imran bin Hittan, puji Al Farazdaq suatu hari, bisa berkata-kata dengan tutur-kata kita. Tapi kita tak pernah bisa bertuturkata dengan kata-katanya. Al Farazdaq dikenal sebagai salah seorang penyair besar Arab. Akan tetapi, reputasi Imran akhirnya hancur berantakan setelah ia menjadi pengikut Khawarij. Khawarij adalah salah satu kelompok yang menyempal dari barisan kaum muslimin. Mereka senang dan gampang mengafir-ngafirkan pemeluk Islam yang melakukan suatu dosa besar selain syirik dan memvonisnya kekal di dalam neraka jika tidak bertobat sebelum meninggal dunia. Karena itulah, mereka membolehkan membunuh siapa saja yang dianggap kafir, meskipun itu orang Islam atau para utusan diplomatik negara-negara non-muslim atau hanya sekedar para pelancong non-muslim.

Bermula dari seorang wanita yang dilihatnya suatu hari, Imran terpesona dengan kecantikannya. Muncul hasrat untuk menikahi wanita itu. Meski telah diberitahu bahwa wanita itu pengikut kelompok Khawarij, Imran tidak peduli. Akan kupengaruhi dia, kata Imran. Dengan kapasitas kecerdasan yang dimilikinya, Imran bertekad menyadarkan wanita itu setelah dinikahi nanti. Sebagai seorang istri, tentu saja akan mudah bagi Imran untuk menasehati dan mengajaknya bertobat dari keyakinan yang dipeluk selama ini. Ternyata tidak mudah. Yang terjadi kemudian justru Imran-lah yang dipengaruhi oleh istri tersebut. Lambat laun, Imran pun berubah. Dan sejak saat itu, ia bergabung ke dalam barisan Khawarij dan menjadi salah seorang pembesar yang pernah dimiliki kelompok itu sepanjang sejarah. Banyak orang yang tidak percaya. Tapi, bagaimana pun, perubahan sikap Imran menjadi perbincangan orang ramai waktu itu sampai khalifah Abdul Malik bin Marwan pun tahu. Menghindari panggilan khalifah, Imran pergi ke utara Jazirah Arab. Pada tahun 84 Hijriah, Imran meninggal dunia. *** Dari semula yang menghormati Ali bin Abi Thalib, Imran menjadi pencelanya. Dalam salah satu syair yang digubahnya, Imran menjelek-jelekkan menantu Nabi Muhammad itu. Imran bahkan memuji orang yang membunuh Ali bin Abi Thalib sebagai pembunuh yang diberi cahaya terang oleh Allah. Sikap Imran demikian termasuk salah satu ciri khas orang-orang Khawarij waktu itu. Mereka tidak menyukai Ali bin Abi Thalib dan menganggapnya boleh dibunuh. Di mata mereka, Ali telah kafir karena kebijakannya dalam perang Shiffinsatu perang saudara yang terjadi antara Ali dan Muawiyah bin Abi Sufyan. Bagi para pencari hadis dan pakar ilmu hadis, orang-orang seperti Imran adalah mereka yang diragukan keabsahan hadis-hadisnya. Biasanya, para pengikut kelompok sesat memalsukan atau memelintirkan hadis-hadis yang mereka sampaikan untuk membenarkan ideologi dan aksiaksi mereka. Imam Safei termasuk imam kaum muslimin yang meragukan hadis-hadis mereka. Bahkan, disebutkan di dalam Al-Baits Al-Hatsits Syarhu Ikhtishar Ulum Al-Hadits, Imam Safei menolak mentah-mentah hadis yang diriwayatkan oleh orang-orang Syiah. *** Kisah yang serupa juga terjadi pada orang yang telah dipuji Imran itu. Karena cinta pula, Abdurrahman bin Muljam bersedia membunuh Ali bin Abi Thalib. Padahal, waktu itu, Ali adalah pemimpin kaum muslimin (baca: amirul mukminin). Ali menjabat sebagai khalifah setelah khalifah Usman bin Affan dibunuh oleh orang-orang Khawarij.

Semula, sebagaimana dikatakan Ibnul Jauzi dalam Talbis Iblis, Abdurrahman bin Muljam adalah seorang yang pandai membaca Al Quran. Ia diminta oleh Umar bin Khattab untuk mengajarkan Al Quran kepada orang-orang yang baru masuk Islam di daerah yang baru ditaklukkan. Masa pemerintahan Umar dikenal sebagai masa yang penuh dengan pembukaan daerah-daerah baru. Dan seorang pengajar Al Quran waktu itu adalah orang yang hafal Al Quran sekaligus pandai membaca dan memahami kandungannya. Sayangnya, di masa pemerintahan Ali, Abdurrahman tergabung ke dalam barisan Khawarij. Ketika perang antara pasukan Ali dan orang-orang Khawarij terjadi di Nahrawan, Abdurrahman termasuk orang-orang yang berhasil menyelamatkan diri dari kematian. Ia berencana membalaskan dendam rekan-rekannya yang terbunuh kepada Ali. Rencana itu makin menguat, ketika suatu hari Abdurrahman bertemu dengan seorang wanita cantik di masjid kota Kufah. Ayah dan kakak wanita ini terbunuh pada perang di Nahrawan. Terpikat oleh kecantikannya, Abdurrahman berusaha meminang wanita itu. Ternyata, mahar yang diajukan sebagai syarat pernikahan mereka adalah uang 3000 dirham, sepasang budak, dan kematian Ali bin Abi Thalib. Abdurrahman akhirnya menyanggupi mahar untuk wanita itu. Berbekal pedang tajam yang telah diasah selama 40 hari, ia mengintai rumah Ali. Ketika Ali keluar untuk mengimamin salat Subuh di masjid Kufah, Abdurrahman menghantam kepala Ali dengan pedang itu. Peristiwa ini terjadi pada malam 17 Ramadan tahun 40 Hijriah. Abdurrahman sendiri dihukum mati tidak lama kemudian. Satu hal yang menarik, dalam melaksanakan rencananya, Abdurrahman menggunakan kamuflase sedemikian rupa. Ia ingin teman-temannya sesama kelompok Khawarij tidak mengetahui dirinya ketika hendak menjalankan rencana itu. Dari sini, kita pun tahu, kamuflase adalah salah satu ciri orang-orang Khawarij dulu yang kemudian diwariskan ke para penerus mereka. Bahwa kelompok-kelompok Islam-teroris sekarang ini juga sering menggunakan kamuflase, itu tidaklah mengherankan kita.[]

Akar dan Wajah Pemikiran Islam Liberal


30 September 2012 pukul 12:35

Banyak orang menyangka, Jaringan Islam liberal muncul belakangan ini akibat kemunculan kelompok-kelompok Islam fundamentalis di Indonesia. Buktinya, ketika pemerintah Orde Baru masih berkuasa, belum ada Jaringan Islam Liberal. Demikian pula dengan kelompok-kelompok Islam fundamentalis, pada waktu itu belum menjamur atau, katakanlah, belum muncul dan tersebar seperti sekarang ini. Jika dicermati, anggapan itu, ternyata, tidak sepenuhnya benar dan tidak sepenuhnya pula salah. Dalam sejarah, pemikiran Islam liberal, kalau istilah ini bisa dan boleh dipakai, selalu muncul sebagai reaksi atas kemunculan pemikiran Islam fundamentalis. Semakin menjamur kelompok-kelompok Islam fundamentalis, semakin kuat pula dorongan untuk mengorganisasikan jejaring Islam liberal.

Menariknya, seolah-olah kemunculan Islam liberal di Indonesia terjadi setelah adanya persentuhan secara intens dengan Barat dan demokrasi yang ada di sana, sedangkan Islam fundamentalis muncul di Indonesia setelah terjadi persentuhan dengan Arab dan puritanisme di sana. Artinya, kemunculan masing-masing disebabkan oleh pengaruh yang datang dari luar, bukan dua hal yang murni dari Indonesia. Dalam satu resensi terhadap buku Wajah Liberal Islam Di Indonesia (Teater Utan Kayu dan Jaringan Islam Liberal, Jakarta, 2002), Daniel Lev, salah seorang pengamat Indonesia mengatakan, ada beberapa sebab di balik kemunculan pandangan Islam liberal di Indonesia di awal milenium kedua ini dan sulit untuk menjawab kenapa sekarang. Yang jelas, kemunculan yang dimaksud adalah hasil rangkaian panjang pergulatan pemikiran Islam di Indonesia. Sebabsebab pendorong kemunculan itu pun tergolong ke dalam kebetulan-kebetulan sejarah yang sulit untuk diprediksi. Kordinator Jaringan Islam Liberal, Ulil Abshar Abdalla, ketika diwawancarai Tempo terkait tulisan-tulisannya tentang wacana Islam liberal di media-media massa, mengakui, pemikiran dan kritiknya selama ini ditujukannya kepada kelompok-kelompok Islam radikal di Indonesia. Sebagaimana kita ketahui, radikalisme Islam di Indonesia mulai bangkit ketika reformasi digulirkan pada 1998 yang lalu. Sejak saat itu, kelompok-kelompok Islam radikal bermunculan. Masing-masing menyeru agar umat Islam di Indonesia menegakkan syariat Islam. Oleh sebagian orang, mereka disebut dengan Islam fundamentalis. *** Albert Hourani adalah salah seorang pengajar di Oxfords Middle East Centre. Ia banyak mengkaji dan menulis tentang Timur Tengah. Ketika menulis Arabic Thought in the Liberal Age 1798 1939, ia menegaskan, dalam masyarakat Arab era liberal pernah muncul dan hidup selama beberapa waktu, sebelum kemudian tenggelam dan mengalami pertempuran sengit yang tak selesai-selesai sampai sekarang. Pemikiran-pemikiran Islam yang liberal, menurutnya, didorong pertama kali pada tahun 1798. Tahun ini adalah tahun ketika pasukan Napoleon Bonaparte menginjakkan kaki di Mesir. Dunia Arab kemudian menyaksikan era liberal yang ditandai dengan berkembangnya respon yang positif terhadap kemajuan Barat. Indutrialisasi, rasionalisasi, dan modernisasi adalah pilar-pilar kehidupan Barat yang menjadi perhatian bersama sebagian besar orang-orang Arab. Bagi mereka, ketiga pilar itu penting untuk kehidupan manusia. Dalam semangat seperti itu, para pemikir muslim dan non-muslim bersama-sama mengadakan dialog secara bebas. Mereka tidak merasa khawatir untuk berlomba-lomba mengekspresikan secara bebas pemahaman mereka terhadap agama dan budaya di tengah-tengah masyarakat Arab. Berbagai wacana liberal silih berganti memenuhi tahun-tahun itu. Meski beberapa tokoh pemikir di antara mereka dikafirkan oleh tokoh-tokoh agama waktu itu, semangat kebebasan berpikir liberal tidak surut di antara mereka.

Era liberal seperti itu baru berakhir pada 1939. Selama rentang 1798 1939, era itu dihuni oleh tiga generasi pemikir. Generasi pertama muncul dan mewarnai pemikiran-pemikiran pada 1830 1870. Mereka berpikir untuk menjawab pertanyaan Mengapa dunia Barat maju? dan Mengapa pula dunia Arab dan Islam mundur?. Dari pertanyaan-pertanyaan itu, muncul beberapa pemikir yang mencoba memberi jawab. Di antara mereka yang terkenal adalah Rifaah Badawi Rafi AthThahthawi (1801 1873), Khairuddin Pasya At-Tunisi (1825 (?) 1889), Faris Asy-Syidyaq (1804 1887) dan Butrus Al-Bustani (1819 1883). Generasi kedua muncul pada rentang 1870 1900. Mereka mulai muncul dengan beberapa wacana yang lebih berani. Soal ketertinggalan Arab dan Islam dari Barat masih dibicarakan oleh generasi ini. Mereka juga memikirkan rasionalisme Barat yang perlu diterapkan dalam menjalankan Islam. Artinya, akal perlu dipakai untuk menafsirkan Al-Quran dan Hadits. Selain itu, wacana yang mulai muncul adalah masalah persamaan gender. Pada rentang waktu inilah, dibahas isu-isu emansipasi wanita di tengah-tengah masyarakat Arab pada umumnya dan masyarakat muslim secara khusus. Di antara pemikir-pemikir generasi kedua ini adalah Jamaluddin Al-Afghani (1839 1897), Muhammad Abduh (1848 1905), dan Qasim Amini (1865 1908). Generasi ketiga merentang pada 1900 1939. Rentang ini adalah puncak era liberal di dunia Arab sekaligus menandai akhir era itu. Berbagai wacana liberal muncul dan dipikirkan. Namun, tema tentang kekhalifahan Islam (Apakah kekhalifahan Islam perlu bagi masyarakat Arab dan Islam?) adalah yang sering mendatangkan perdebatan sengit di antara mereka. Memasuki dasawarsa 1920-an, wacana mulai mengerucut menjadi wacana-wacana politis. Muncul isu-isu tentang nasionalisme, baik itu nasionalisme Arab, nasionalisme Turki atau bahkan nasionalisme Mesir. Keadaan ini kemudian diikuti wacana-wacana yang bersifat fundamental; mereka mulai meninggalkan upaya-upaya rasionalisasi dan modernisasi dalam beragama. Di antara tokohtokoh pemikir pada generasi ketiga adalah Muhammad Rasyid Ridha (1865 1935), Ali Abdurraziq (1888-1966), dan Thaha Husain (1889 1973). *** Akhir generasi ketiga era liberal itu bukan berarti matinya pemikiran liberal dalam Islam selamalamanya. Kemunculan gerakan Ikhwanul Muslimin, Hizbut Tahrir, Jamaah Takfir wal Hijrah, dan juga negara Israel adalah beberapa sebab signifikan yang mendorong kebangkitan kembali pemikiran liberal di dunia Arab dan terkhusus lagi di tengah-tengah kaum muslimin di dunia. Tampil dengan corak yang lebih baru, era liberal yang kedua dimulai ketika negara-negara Arab kalah dalam Perang Tujuh Hari melawan Israel pada 1967. Yang jelas, setelah kekalahan itu, muncul tulisan-tulisan dengan semangat yang sama ketika era liberal pertama berlangsung. Di antara nama terkenal yang membawa semangat ini adalah Zaki Najib Mahmud, Najib Mahfouz, Nawal el Sadawi, Hassan Hanafi, Muhammad Arkoun, Adonis, Nashr Hamid Abu Zaid, dan Khalid Abul Fadhl. Pemikiran-pemikiran mereka menyebar ke negara-negara Islam seperti Indonesia. Tulisan-tulisan mereka dikaji dalam diskusi-diskusi, bahkan kadang kala beberapa pemikir itu pun diundang untuk berbicara langsung.

Di Indonesia sendiri, menurut Ulil Abshar Abdalla, tradisi liberal sebenarnya sudah ada di lingkungan Nahdlatul Ulama (NU). Sejak 1980-an, banyak isu-isu sensitif dalam Islam yang dipecahkan oleh NU dengan tidak biasa. Mulai dari Pancasila sebagai asas tunggal, bunga bank, bank konvensional, sampai ke isu insklusivisme Islam Indonesia. Wajar, jika citra NU sebagai organisasi Islam tradisionalis sudah lama, kiranya, harus ditinggalkan. Sejak 1970-an, mereka sudah dapat dikata mengisi posisi yang pernah ditempati Muhammadiyah dan Persatuan Islam (Persis) pada 1920-an dulu. Greg Burton, penulis biografi Gus Dur, malah yakin, posisi sebagai kelompok Islam konservatif sekarang ini justru dipegang oleh Muhammadiyah dan Persis. *** Jauh sebelum wacana Islam liberalyang akan melahirkan Jaringan Islam Liberalmuncul pertama kali dalam bentuk mailing list di islamliberal@yahoogroups.com pada tahun 2001, istilah Islam liberal sendiri muncul pertama kali waktu Greg Barton menyebut istilah itu dalam bukunya, Gagasan Islam Liberal di Indonesia (Paramadina: 1999). Mailing list Islam liberal yang muncul dua tahun setelah itu, ternyata, mampu bertahan lama dan menjadi wadah diskusi yang aman antara mereka. Dari diskusi-diskusi yang terjadi, tergagaslah keinginan untuk membentuk suatu wadah yang bernama Jaringan Islam Liberal. Seiring tahun-tahun yang berlalu, wadah yang dimaksud berkembang dan mendapat simpati dari banyak pihak di dalam dan luar negeri, baik dari kalangan muslim sendiri maupun kalangan nonmuslim. Mereka memiliki kegiatan yang beragam. Diskusi-diskusi, penerjemahan dan penerbitan buku-buku, pengadaanwebsite islamlib.com (?) adalah beberapa kegiatan pokok yang kerap dilakukan. Mereka yang tergabung ke dalam Jaringan Islam Liberal pun banyak menuangkan pemikiran-pemikiran mereka ke berbagai media massa. Di Indonesia, buku-buku yang mengangkat wacana Islam liberal telah terbit sejak 1999. Seperti yang telah lewat, buku Gagasan Islam Liberal Greg Barton, agaknya, yang menempati urutan pertama kemunculan. Menyusul setelah itu karya Charles Kurzman yang berjudul Wacana Islam Liberal dan diterbitkan Paramadina pada 2001. Beberapa bulan setelah berdirinya Jaringan Islam Liberal, terbitWajah Liberal Islam di Indonesia yang disunting oleh Lutfi Asysyaukanie, seorang kontributor tulisan diwebsite Jaringan Islam Liberal, dan diterbitkan Teater Utan Kayu dan Jaringan Islam Liberal pada 2002. Menjelang akhir 2002, terbit rangkaian tulisan Ulil Abshar Abdalla di Kompas yang banyak menuai reaksi dari berbagai pihak. Sebagian reaksi-reaksi yang dimaksud berupa artikel-artikel di media massa. Ada yang mendukung, ada pula yang menentang. Pada Februari 2003, antologi tulisan-tulisan itu, termasuk tulisan Ulil Abshar Abdalla, dibukukan dengan judul Islam Liberal dan Fundamental (Sebuah Pertarungan Wacana) oleh penerbit ElsaQ di Yogyakarta. Doktor Abd. Ala mencoba merekonstruksi akar Islam liberal sejak kemunculan wacana neomodernisme dalam pentas pemikiran Islam di Indonesia pada 1970-an lewat bukunya, Dari Neomodernisme ke Islam Liberal; Jejak Fazlur Rahman dalam Wacana Islam di Indonesiayang diterbitkan Paramadina pada 2003. Ia melihat jejak-jejak pemikiran Fazlur Rahman, seorang tokoh pemikir dari Pakistan, dalam semua wacana itu.

Setelah menerbitkan Wajah Liberal Islam di Indonesia pada 2001, Jaringan Islam Liberal bekerjasama dengan The Asia Foundation kembali membukukan kumpulan tulisan yang berjudul Syariat Islam, Pandangan Muslim Liberal pada 2003. Buku ini berisi pandanganpandangan Al Asymawi, Saiful Mujani, Azyumardi Azra, Taufik Adnan Amal, Ulil Abshar-Abdalla dan sejumlah penulis lain tentang syariat Islam. Tulisan-tulisan tersebut muncul sebagai tanggapan terhadap menguatnya keinginan untuk memformalkan syariat Islam di Indonesia. Dari ruang sejarah pemikiran, akhirnya, pentas pemikiran Islam liberal diramaikan kembali oleh bukuPemikiran Liberal di Dunia Arab yang ditulis oleh Albert Hourani. Buku ini adalah terjemahan Arabic Thought in the Liberal Age 1798 1939 yang diterbitkan atas kerjasama antara Freedom Institute, Royal Danish Embassy, dan penerbit Mizan pada Juli 2004. Luthfi Assyaukani yang memberikan kata pengantar penerbitan buku ini mengatakan, buku Arabic Thought in the Liberal Age 1798 1939 yang diterbitkan sejak 1962 adalah karya klasik tentang akar-akar pemikiran para pemikir liberal di dunia Arab dan Islam. *** Melihat wajah Islam liberal di Indonesia akan mengantarkan kita pada wajah Islam radikal atau Islam fundamentalis di sisi lain. Meski Islam fundamentalis, yang pada masa Orde Baru sering disebut dengan kelompok ekstrem kanan, sudah ada sejak dulu, kemunculannya dua belas tahun belakangan ini memberi warna tersendiri dalam sejarah Islam di Indonesia. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) melihat kemunculan mereka itu sebagai sebuah fenomena yang mesti diperhitungkan dan, karena itu, didokumentasikan. Lewat penelitian yang dilakukan tim ilmuwan sosial LIPI, dokumentasi itu ada untuk kemudian dibukukan menjadi Islam dan Radikalisme di Indonesia pada April 2005. Buku ini terbit atas kerjasama antara LIPI Press dan Yayasan Obor Indonesia.[]

TERORISME SEBAGAI REAKSI


30 September 2012 pukul 9:29

Di antara sebab-sebab eksternal yang mendorong kemunculan terorisme global oleh kelompokkelompok Islam 20 tahun belakangan ini adalah tindakan-tindakan sepihak yang dilakukan oleh negara-negara atau orang-orang Barat terhadap negara atau komunitas kaum muslimin. Dalam prakteknya, tindakan-tindakan itu dapat berupa penyerangan, penindasan, atau bahkan pembantaian kaum muslimin. Tindakan-Tindakan Sepihak Barat Sebagai misal adalah penyerangan, pendudukan, dan juga pendirian negara Yahudi, Israel, di tanah Palestina pada 14 Mei 1948. Tindakan yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi, yang juga disokong oleh beberapa negara Barat itu, termasuk ke dalam sebab jenis ini. Tindakan itu, jelas, memancing kemarahan massal dan sikap militan dari kaum muslimin yang ada di dunia ini. Sampai hari ini, masalah Palestina-Israel menjadi topik pembicaraan kaum

muslimin. Banyak dai kaum muslimin yang berusaha mengobarkan semangat keislaman pada diri audien dengan menyinggung masalah Palestina-Israel. Dalam keadaan tertekan akibat masalah Palestina yang belum selesai, sejumlah masalah terkait nasib kaum muslimin lainnya menyusul. Sengketa Kashmir, misalnya, cukup menyulut rasa sakit kaum muslimin yang mengetahuinya. Demikian pula nasib kaum muslimin di Bosnia dan Chechnya. Keadaan mereka yang mengenaskan dan sikap masa bodoh dunia internasional terhadap penyelesaian masalah mereka menjadi faktor pendorong kebencian para pemuda muslim di negeri-negeri kaum muslimin. Demikian pula, upaya Uni Soviet untuk menguasai Afghanistan sejak tahun 1979. Ketika perang dingin antara Amerika Serikat dan Uni Soviet belum lagi usai, tindakan sepihak Uni Soviet itu berpotensi mengundang kesamaan tekad dari berbagai kelompok Islam di dunia untuk membela saudara-saudara seiman mereka di Afganistan, meski dalam prakteknya kelompok-kelompok tersebut memiliki pemahaman beragama sendiri-sendiri dan dipimpin oleh pemimpin masingmasing. Terkait akibat, Perang Afganistan, pada akhirnya, menjadi semacam kawah candradimuka bagi sebagian kelompok Khawarij. Sebagaimana yang telah umum diketahui, kamp-kamp di Afganistan waktu itu juga berfungsi sebagai pusat pendidikan dan pelatihan. Relawan-relawan Perang Afganistan mendapatkan latihan mengoperasikan berbagai jenis senjata api, meracik bom-bom buatan, mempelajari taktik perang gerilya, mengenal peralatan-peralatan yang dipakai militer negara-negara Barat, membunuh dan meneror siapa saja yang dianggap sebagai musuh dengan tangan kosong. Selain contoh tindakan Uni Soviet, perang melawan terorisme global yang dicanangkan Amerika Serikat setelah penyerangan World Trade Centre pada 11 September 2001 juga membuat banyak kaum muslimin di dunia membela nasib Afghanistan, meski mereka menyadari bahwa tidak setiap mereka setuju apalagi mendukung pemerintahan Taliban di Afghanistan. Dapat dipastikan, tindakan Amerika Serikat itu makin menambah derajat kebencian kaum muslimin sedunia kepada Amerika Serikat dan negara-negara yang mendukungnya. Kaum muslimin sedunia sama-sama mengutuk keras Amerika Serikat. Pengaruh dari Nilai-Nilai Barat Dapat dimasukkan pula ke dalam sebab-sebab eksternal seperti yang dimaksud adalah usahausaha yang dilakukan sejumlah negara Eropa dan Amerika untuk mengampanyekan nilai-nilai yang bertentangan dengan Islam ke tengah kaum muslimin. Meski nyatanya usaha-usaha tersebut justru diterima oleh mayoritas kaum muslimin di negeri-negeri mereka, tidak urung muncul reaksi sebaliknya dari minoritas yang tersisa tetapi jauh lebih berani untuk bertindak anarkis. Mereka yang menolak itu meyakini, bahwa orang-orang Barat dan kafir telah melancarkan perang pemikiran yang tak butuh senjata-senjata modern dan mengerikan untuk merusak pikiran-pikiran kaum muslimin. Lewat perang pemikiran yang begitu rupa, ajaran-ajaran Islam akan dilupakan dan bahkan ditinggalkan oleh para pemeluknya sendiri.

Demokrasi adalah contoh bagus dari nilai-nilai yang berusaha ditawarkan negara-negara Barat ke negeri-negeri kaum muslimin. Dengan menerima demokrasi, bagi orang-orang yang menerimanya, diharapkan masalah-masalah di tengah-tengah negeri kaum muslimin dapat diselesaikan. Sebagai akibatnya muncul reaksi-reaksi anti demokrasi dari sejumlah kelompok kaum muslimin. Bagi mereka, menegakkan sistem politik Islam di negara-negara mereka adalah jalan keluar untuk membendung sistem demokrasi itu. Dari situlah, kemudian lahir dan meluas gerakangerakan Islam politik (the Islamist, Al-Harakiyah Al-Islamiyah). Orang-orang gerakan Islam-politik sering disebut dengan aktivis-aktivis haraki. Pada dasarnya, mereka mencita-citakan Islam secara kaffah lewat jalur kekuasaan. Mereka menempuh jalur politik untuk merebut kekuasaan dan mendirikan syariat Islam. Sebagian mereka berusaha meraihnya dari dalam sistem pemerintahan yang dijalankan, sebagian yang lain berusaha menempuh semua itu dari luar sistem. Cara Memahami: Itu Masalahnya Meski demikian, sebab-sebab yang telah disebutkan itu bukanlah sebuah harga mati. Dalam keadaan kaum muslimin yang lemah seperti beberapa abad belakangan ini, pemahaman dalam beragama menjadi pendorong paling penting bagi siapa pun yang memeluk Islam untuk memaknai semua tindakan negara-negara Barat dan para pendukung mereka. Dengan kata lain, pemahaman seseorang dalam beragama dapat menjadi sebab internal bagi kemunculan terorisme global. Pemahaman menjadi kacamata bagi seseorang untuk memandang dan menilai segala hal, termasuk segala bentuk tindakan sepihak yang sering dilakukan oleh Amerika Serikat dan negara-negara sekutunya. Orang-orang Khawarij,[1] sebagaimana telah lewat, telah keliru dalam memahami Islam. Keadaan itu terus berlanjut sampai sekarang. Meski mereka mengaku berpemahaman seperti pemahaman Nabi Muhammad dan para sahabatnya dalam beragama, bagi siapa pun yang jeli, akan melihat dan menyadari bahwa pengakuan orang-orang Khawarij itu tidak sepenuhnya benar. Terorisme global yang marak belakangan ini termasuk buah dari kekeliruan mereka dalam memahami agama.[]

[1] Tentang Khawarij dan pengertiannya, lihat kembali http://sosbud.kompasiana.com/2011/04/21/ciri-ciri-teroris-di-sekitar-kita/

Teror, Teroris, Terorisme


30 September 2012 pukul 9:28

Aksi-aksi membahayakan yang dilakukan kelompok-kelompok Khawarij[1] di Indonesia tidak selamanya berupa teror. Sebagian dari aksi-aksi itu tidak lebih dari tindak kriminal biasa. Sebagian yang lain berupa penyusupan dan penguasaan kelompok-kelompok Islam di luar

mereka. Sebagian lagi berupa pernyataan sikap seperti dalam bentuk demonstrasi-demonstrasi brutal. Hanya kelompok-kelompok Khawarij tertentu menggunakan aksi-aksi teror sebagai pilihan untuk sesuatu yang mereka sebut dengan jihad. Riwayat Kata Teror Kata terror dalam bahasa Inggris berasal dari kata Latin terrer, yang bisa diartikan sebagaimembuat gemetar atau menggetarkan. Dalam prakteknya, kata terror dipakai juga untuk makna menimbulkan kengerian (Wahid, 2004: 22). Dari kata inilah, dikenal istilah terorisme untuk menunjukkan suatu aksi menebar teror. Sebenarnya, para pengguna bahasa Latin itu mengenal model kelompok teroris pertama kali pada tahun ke-48 Masehi. Waktu itu, salah satu kelompok dalam agama Yahudi, Zealots, melancarkan aksi teror untuk membangkitkan pemberontakan terhadap bangsa Romawi yang sedang menjajah negeri mereka, Judea. Memakai pisau belati, orang-orang Zealots membunuhi orang-orang Romawi dan orang-orang Yahudi yang diketahui bekerjasama dengan orang-orang Romawi itu. Mereka juga menculik para penjaga kuil-kuil peribadatan untuk mendapatkan uang tebusan dan meracuni orang-orang yang dianggap sebagai musuh. Orang-orang Zealots ingin meneror siapa pun yang mendukung penjajahan Romawi itu. Dengan itu semua, muncul anggapan bahwa Romawi sebagai kekuatan politik besar waktu itu tidak mampu melindungi orang-orang sendiri dan siapa pun yang mendukung mereka justru di tanah jajahannya sendiri (Djelantik, 2010: 20). Adapun masyarakat umum, sebagian mereka percaya, era terorisme modern seperti sekarang ini dimulai sejak 17 September 1948 di Yerusalem. Waktu itu, seorang bangsawan sekaligus diplomat Swedia yang bernama Count Folke Bernadotte tewas dibunuh kelompok Stern (Hagadah), suatu kelompok Yahudi-Zionis ekstrim. Bernadotte ditunjuk PBB untuk menjadi mediator dalam konflik yang terjadi antara bangsa Arab dan Yahudi di Palestina pada 20 Mei 1948. Pembunuhan itu terjadi, menyusul kemajuankemajuan yang didapatkan Bernadotte untuk melakukan gencatan senjata di antara kedua belah pihak (Muttaqin & Sukidi (Eds.), 2001: 29-30). Kemenduaan Makna Terorisme Tentang makna terorisme sendiri, Dai Bachtiar yang menjabat Kapolri sejak aksi-aksi terorisme mulai marak di Indonesia, termasuk salah seorang yang pernah mengakui bahwa terorisme belum bisa dimaknai bersama oleh banyak pihak. Alih-alih, terorisme lebih sering dimaknai secara sepihak, tergantung pada pihak yang memakainya (Kompas, 2 April 2002). Dapat dikatakan, masing-masing pihak yang dimaksud akan memaknainya sesuai kepentingannya waktu itu. Dengan itu pula, seseorang yang dianggap oleh satu pihak sebagai teroris dapat dipandang sebagai pahlawan oleh pihak lain. Terlebih lagi, jika dua pihak itu saling bermusuhan. Sebelum itu, beberapa sarjana sosial telah mengakui hal yang sama. Mencermati definisi-definisi terorisme yang ada, Walter Laqueur mengatakan, Tidak ada definisi terorisme yang mungkin

dapat mencakup segala macam terorisme yang pernah terjadi sepanjang sejarah. Bahkan, tambahnya, Definisi semacam itu tidak ada atau diramalkan tidak akan didapatkan di masa depan." Demikian pula dengan Juergen Habermas dan Jacques Derrida, mereka berdua mengakui, terorisme merupakan satu konsep yang sulit ditangkap (Hendropriyono, 2009: 31-32). Karena sulit dicari pengertian baku sekaligus dapat berlaku universal, tidak mengherankan, jika sebagian pihak menganggap terorisme sebagai objek yang tidak bisa dipelajari. Ketimbang mencari solusi padu dalam mengatasi aksi-aksi terorisme di dunia belakangan ini, banyak negara pada akhirnya hanya melihat terorisme sebagai satu hal yang bersifat politis, meski itu menggunakan ideologi agama. Pengertian terorisme pertama kali dibicarakan pada European Convention on the Suppresion of Terrorism pada 1977. Bermula dari crimes against state, terorisme kemudian dipandang sebagai crime against humanity. Seorang pelaku aksi teror tidak lagi dianggap sebagai pelaku kejahatan terhadap negara, tetapi sudah dipandang sebagai pelaku kejahatan terhadap umat manusia. Bagaimana pun, ada banyak pihak yang mencoba mendefinisikan terorisme. Negara dan lembaga yang terkait dengan masalah terorisme, masing-masing, berusaha mendefinisikan terorisme, mengingat ancaman terorisme yang semakin marak pasca keruntuhan Komunisme dua dasawarsa lalu. Sejumlah Definisi Terorisme Amerika Serikat yang sering berhadapan dengan aksi-aksi teror dari berbagai pihak mendefinisikan terorisme sebagai kegiatan-kegiatan yang melibatkan kekerasan atau aksi-aksi yang mengancam kehidupan dan merupakan pelanggaran terhadap undang-undang kriminal Amerika Serikat atau negara mana pun serta terjadi karena keinginan untuk (1) menakut-nakuti atau memaksa penduduk sipil; (2) memengaruhi kebijakan pemerintah dengan intimidasi atau paksaan atau (3) memberikan dampak terhadap langkah suatu pemerintah dengan cara perusakan massal, pembunuhan, penculikan; dan terjadi pada mulanya di dalam jurisdiksi teritorial Amerika Serikat atau terjadi pada mulanya di luar jurisdiksi teritorial Amerika Serikat (Hendropriyono, 2009: 28-29). Sebagai sebuah lembaga, Federal Bureau of Investigation (FBI) Amerika Serikat memiliki pengertian sendiri tentang terorisme. FBI mendefinisikan terorisme sebagai penggunaan kekerasan secara tidak sah atau kekerasan atas seseorang juga harta untuk mengintimidasi sebuah pemerintahan, penduduk sipil, segala yang terkait dengan penduduk sipil itu, untuk mencapai tujuan sosial atau politik (Wahid, 2004: 24). Departments of State and Defense Amerika Serikat menganggap terorisme sebagai kekerasan bermotif politik dan dilakukan oleh agen negara atau kelompok subnasional terhadap sasaran kelompok non kombatan. Tindakan teror itu dilakukan untuk memengaruhi audien. Adapun Inggris, mereka mendefinisikan terorisme sebagai penggunaan ancaman yang dirancang untuk memengaruhi pemerintah atau menakut-nakuti masyarakat umum atau kelompok masyarakat. Penggunaan ancaman tersebut dilakukan untuk kepentingan

pengembangan suatu kepentingan yang bersifat politik, agama atau ideologi dan melibatkan kekerasan secara nyata (serius) terhadap manusia, melibatkan perbuatan yangnyatanyata merusak harta benda, membahayakan kehidupan manusia selain dirinya sendiri dan menimbulkan suatu akibat serius terhadap kesehatan, keamanan masyarakat umum, kelompok masyarakat atau dirancang secara serius untuk mengganggu hingga merusak suatu sistem elektronik (Hendropriyono, 2009: 30-31). Menyusul peledakan-peledakan yang terjadi kemudian di beberapa tempat di Eropa, Uni Eropa merasa perlu juga untuk mendefinisikan terorisme. Bagi mereka, terorisme dipandang sebagai tindak kriminal tertentu seperti terdapat dalam sebuah daftar yang memuat sebagian besar kejahatan-kejahatan terhadap manusia dan harta benda yang memberikan keadaan rusak yang serius terhadap suatu negara atau suatu organisasi internasional untuk mencapai ketakutan yang sangat di kalangan penduduk; atau menarik secara paksa perhatian dari sebuah pemerintahan atau organisasi internasional agar melakukan sesuatu langkah atau agar tidak melakukan langkah apa-apa; atau menimbulkan destabilisasi yang serius atau merusak basis politik, konstitusi, ekonomi atau struktur-struktur sosial dari suatu negara atau suatu organisasi (Hendropriyono, 2009: 29-30). Di Indonesia sendiri, lewat forum diskusi yang dilaksanakan di kantor Menteri Kordinator Politik dan Keamanan (Menkopolkam) pada 15 September 2001, pemerintah kita segera mendefinisikan terorisme sebagai tindak kekerasan yang dilakukan sekelompok orang (ekstremis, suku bangsa) sebagai jalan terakhir untuk memperoleh keadilan, yang tidak dapat dicapai mereka melalui saluran resmi atau jalur hukum (Hendropriyono, 2009: 28). Definisi ini tidak lebih sederhana dari definisi TNI-AD yang mengartikan terorisme sebagai cara berpikir dan bertindak dengan menggunakan teror sebagai teknik untuk mencapai tujuan (Wahid, 2004: 30). Lebih sederhana dari itu semua, Kamus Bahasa Indonesia (Depdiknas, 2008: 1511) memuat entri terorisme yang diartikan sebagai penggunaan kekerasan untuk menimbulkan ketakutan dalam usaha mencapai tujuan (terutama tujuan politik). Selain makna itu, pada entri yang sama, terorisme juga diartikan sebagai praktek tindakan teror. Lantas, bagaimana dengan orang atau pihak yang dituduh sebagai teroris? Apakah mereka juga memiliki definisi khusus tentang terorisme? Ditahan terkait tuduhan sebagai teroris, dalam pledoi untuk dibacakan di depan majelis hakim, Fauzan Al-Anshari mengingatkan semua orang tentang kemajemukan makna teroris. Ia, yang lebih dikenal publik sebagai bagian Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), mendefinisikan terorisme sebagai tindakan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang berlatar belakang politik atau kekuasaan dalam suatu pemerintahan negara. Menurutnya, terorisme bisa dilakukan oleh pihak-pihak yang melawan suatu pemerintahan yang sedang berkuasa untuk menjatuhkannya, tetapi bisa juga dilakukan oleh suatu pemerintahan terhadap rakyatnya atau kelompok oposisi untuk mempertahankan kekuasaannya. Sebaliknya, tindakan mengancam dan bahkan sampai pada tingkatan kekerasantermasuk pembunuhan atau perusakan harta bendatidak bisa disebut terorisme, jika pihak-pihak yang bersangkutan telah menyatakan dalam keadaan perang terbuka (Al-Anshari, 2002: 24-25).

Bentuk penanggulangan terorisme oleh suatu pemerintahan negara tidak secara otomatis harus didukung oleh pemerintahan negara lain, kecuali jika mereka berada dalam perjanjian bilateral untuk keamanan bersama. Selain itu, tambah Fauzan, sikap pembalasan yang bersifat kekerasan dan membawa korban jiwa dan harta benda oleh suatu pemerintahan negara kepada suatu kelompok tertentu tanpa ada bukti objektif, pada hakikatnya adalah tindakan sewenangwenang dan dapat juga disebut sebagai terorisme bentuk lain (Al-Anshari, 2002: 25). Sampai di sini, menenggarai keberagaman makna yang ada, salah seorang syaikh Salafi di Arab Saudi, Syaikh Zaid bin Hadi Al-Madkhali, jauh-jauh hari telah menggariskan bahwa di atas istilah terorisme dapat dibangun berbagai macam pengertian (Tth: 1). Demikian pula Dr. Abdullah bin Abdil Muhsin At-Turki, ia telah menegaskan akan adanya macam-macam pengertian dalam istilah itu (Al-Madkhaly, Tth: 1; At-Turki, 1427H: 15). Satu-satunya yang pasti tidak akan ditolak adalah fakta bahwa inti terorisme adalah intimidasi, teror, upaya menebarkan rasa takut kepada individu atau masyarakat yang berada dalam keadaan aman dan tentram. Dalam bahasa Arab, karena itu, terorisme disebut sebagai AlIrhab (penakut-nakutan). Dalam prakteknya, tambah Syaikh Zaid, bentuk teror yang dimaksud juga mencakup upaya melenyapkan jiwa seseorang tak-bersalah, merampas harta benda orang lain, merusak kehormatan orang-orang yang dilindungi atau sekedar memecah belah ikatan kemasyarakatan. Juga masuk di dalamnya adalah segala upaya untuk mengubah kenikmatan menjadi kerugian, fitnah, kerusakan-kerusakan di muka bumi dan ketakutan-ketakutan di tengah masyarakat (AlMadkhaly, Tth: 2). Kemunculan Terorisme Global Bagaimana pun, semua pengertian terorisme itu mengarah ke segala bentuk teror yang pernah terjadi di muka bumi. Yang mesti disadari bersama oleh kita adalah kemunculan terorisme gaya baru di dunia sekarang ini. Terorisme yang dimaksud memiliki empat ciri penting. Pertama, pelaku teror menginginkan korban secara maksimal agar tercipta kengerian yang sangat di tengah-tengah masyarakat. Kedua, pelaku teror ingin aksi teror yang dilakukan itu diliput media-media massa sedunia dalam waktu secepat mungkin agar masyarakat dunia tahu (Wahid, 2004: 34). Ketiga, pelaku teror berusaha agar serangan teror yang akan dilakukan tidak diduga oleh pihak lain, sehingga lokasi sasaran dapat berada di mana saja di dunia ini atau berskala global. Dengan semua ciri itu, keempat, pelaku teror ingin masyarakat dunia mengingat aksi teror itu bertahun-tahun lamanya dan tidak segera melupakannya. Peledakan menara kembar World Trade Centre di Manhattan, New York, pada 11 September 2001 adalah contoh paling baik untuk melukiskan aksi terorisme gaya baru yang dimaksud itu. Di Indonesia, tragedi Bom Bali I pada 12 Oktober 2002 dapat juga dikategorikan seperti itu. Masingmasing peristiwa telah dicatat oleh masyarakat dunia sebagai tragedi kemanusiaan yang mengawali milenium baru mereka.

Karena aksi terorisme seperti itu sudah melibatkan unsur-unsur dari negara lain atau menujukan aksi teror itu untuk negara lain, muncul kemudian istilah terorisme global. Istilah ini berarti suatu penggunaan atau ancaman penggunaan kekerasan untuk kepentingan-kepentingan politik, apabila (1) aksi seperti itu ditujukan untuk memengaruhi sikap dan perilaku dari suatu kelompok sasaran yang lebih besar daripada sekedar korban-korban yang berjatuhan seketika itu dan (2) jaringannya telah melampaui batas-batas nasional (Hendropriyono, 2009: 26-27). Sebagai negara besar, Amerika Serikat adalah pionir dalam menggagas perang global melawan terorisme. Lewat Departemen Pertahanan, Amerika Serikat mendefinisikan terorisme global sebagai tindakan terorisme yang melibatkan warga negara atau wilayah lebih dari satu negara. Demikian pula badan intelijen mereka, Central Inteligence Agency (CIA), yang mendefinisikan terorisme global sebagai terorisme dengan dukungan pemerintah atau organisasi asing dalam pelaksanaannya dan/atau diarahkan untuk melawan negara, lembaga atau pemerintah asing lainnya (Wahid, 2004: 24). Terorisme Global sebagai Reaksi Tidak berlebihan, kiranya, jika dikatakan bahwa terorisme global mulai marak setelah Usamah bin Ladin mengeluarkan fatwa tentang jihad global pada Februari 1998. "Membunuh orangorang Amerika dan sekutu-sekutunyasipil ataupun militer, seru Usamah, adalah tugas tersendiri bagi setiap muslim yang dapat melakukannya di negara mana pun selama memungkinkan untuk melaksanakannya" (Nasiri, 2007 : 32). Sebelum ada fatwa Usamah bin Ladin pada Februari 1998 itu, apa yang mereka sebut dengan jihad itu dilancarkan ke tempat-tempat konflik seperti Chechnya, Kashmir, Aljazair, Bosnia, Afganistan, Palestina. Dari kamp-kamp di Afganistan peninggalan Perang Afganistan, tenagatenaga militan terus dipasok ke tempat-tempat tersebut. Meski banyak orang Islam yang mengutuk ajakan untuk mengadakan aksi terorisme global itu, seruan Usamah berikut aksi-aksi teror kelompok pengikutnya muncul bukan tanpa sebab. Bahkan, dapat dikatakan, terorisme global merupakan reaksi atas aksi-aksi yang jauh lebih dulu dan bahaya dari itu. Yang menjadi pertanyaan sekarang, aksi-aksi seperti apa yang dimaksud?[]

Rujukan-Rujukan yang Diacu Al-Anshari, Fauzan. 2002. Saya Teroris? (Sebuah Pledoi). Jakarta: Penerbit Republika. Al-Madkhaly, Zaid bin Muhammad. 2002. Terorisme dalam Tinjauan Islam (Penerj. Hannan Hoesin Bahannan). Tegal: Maktabah Salafy Press. At-Turki, Abdullah bin Abdil Muhsin. 1427H. Mawqif Al-Islam min Al-Irhab (Cet. Ke-2). Riyadh: Wakalah Al-Wizarah li Syuun Al-Mathbuat wa Al-Bahts Al-Ilmi. Djelantik, Sukawarsini. 2010. Terorisme: Tinjauan Psiko-Politis, Peran Media, Kemiskinan, dan Keamanan Nasional. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Hendropriyono, A.M. 2009. Terorisme: Fundamentalis Kristen, Yahudi, Islam. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. Kompas, 2 April 2002 Muttaqin, Farid & Sukidi (Eds). 2001. Teroris Serang Islam: Babak Baru Benturan Barat-Islam. Bandung: Pustaka Hidayah. 2001. Nasiri, Omar. 2007. Inside the Jihad (Penerj. Dina Mardiana). Jakarta: Zahra. Wahid, Abdul, Sunardi & Muhammad Imam Sidik. 2004. Kejahatan Terorisme: Perspektif Agama, HAM, dan Hukum. Jakarta: Refika Aditama.

[1] Tentang Khawarij dan pengertiannya, lihat kembali

Sebagai Mantan Mata-Mata terhadap Kelompok Teroris


30 September 2012 pukul 9:27

Kalau kita mau percaya dengan apa yang ditulis oleh Omar Nasiri dalam Inside the Jihad: My Life with Al Qaeda, setidaknya, kita akan menyimpulkan: Al-Qaeda dan orang-orang yang satu pemahaman dengan mereka adalah kelompok muslim yang paling dungu sedunia. Betapa tidak, dengan konsep jihad yang keliru, mereka malah yakin bahwa merekalah muslim yang paling benar sedunia. Sekali lagi, itu, kalau kita mau percaya dengan apa yang ditulisnya. Buku itu sendiri telah diterjemahkan oleh Dina Mardiana lalu diterbitkan dengan terbitan luks oleh penerbit Zahra, Jakarta, pada 2007 lalu. Dalam edisi bahasa Indonesia ini, buku Omar Nasiri itu dijuduliInside the Jihad. *** Omar Nasiri, tentu saja ini bukan nama sebenarnya, adalah laki-laki Maroko. Ia lahir sekitar tahun 1960-an. Dengan pendidikan dasar yang didapatinya di Belgia, Nasiri malah tumbuh tidak seperti orang-orang Maroko pada umumnya. Ia merasakan semacam kebebasan intelektual selayaknya orang-orang Barat dan mencoba hidup dalam bentuk kebebasan seperti itu. Satu-satunya yang masih mengikat dirinya adalah fakta bahwa ia dilahirkan sebagai orang Maroko yang beragama Islam. Betapa pun cara berpikir yang dipegangnya, Nasiri masih memiliki kesadaran bersama sebagai sebuah ummah dengan komunitas muslim lainnya. Kepalaku ada di Eropa, tulisnya. Tapi, ia juga tidak menyangkal, dengan sikap bangga bahwa aku ini seorang muslim.

Masalah bermula dari perubahan yang dialami kakak laki-lakinya, Hakim. Tidak seperti dirinya, Hakim tiba-tiba berubah suatu hari. Hakim mulai memelihara jenggot; maksudnya, membiarkan dan tidak memotongnya. Ke mana-mana mengenakan jubah khas Timur Tengah dan mengantongi siwak. Tidak berhenti di situ, Hakim pun mulai taat mengerjakan shalat lima waktu tepat pada waktunya. Di sepertiga malam, ia sengaja bangun dan mengerjakan shalat tahajjud. Ketika berjalan, mata Hakim selalu tertunduk, tidak jelalatan. Celana yang dipakainya bukan lagi celana Jeans biru. Ujung pipa celananya di atas mata-kaki. Dalam setiap bertindak, Hakim memiliki sandaran dalil dalam Quran dan hadis. Tema pembicaraannya melulu tentang jihad dan wajibnya kita sekarang ini untuk berjihad melawan Israel, Amerika Serikat, negara-negara Barat dan antek-antek mereka di negeri-negeri muslim. Hakim sudah pasti mulai membenci gaya hidup kebarat-baratan, baik pemikiran ataupun tingkah laku sehari-hari. Padahal, dulu, ia adalah seorang laki-laki tampan yang merokok. Ia senang menghabiskan waktu dengan minum-minum dan pesta-pesta. Sebagai laki-laki yang dikaruniai wajah yang rupawan, Hakim sering pula dikelilingi teman-teman wanitanya. Kita, agaknya, bisa membayangkan kehidupan Eropa seperti apa yang pernah dirasakan Hakim. Nasiri menyadari, Hakim ingin agar orangtua dan adik-adiknya berubah juga seperti dirinya. Ia ingin mereka merasakan kemanisan "iman-baru" yang dikecapnya. Hakim menjadi seperti itu setelah bergaul dengan beberapa temannya di Belgia. Mereka Amin dan Yasin. Keduanya, Nasiri tahu, adalah veteran-veteran Perang Afganistan. Dan di Belgia, bersama Hakim, mereka sedang menggerakkan jaringan klandestin untuk melawan upaya Barat menguasai negara-negara Islam. Ironisnya, itu semua diorganisasikan dari tengah-tengah masyarakat Barat. Nasiri bukan anggota mereka, meskipun ia secara pribadi mengenal Amin dan Yasin. Untuk meraih kepercayaan mereka, Nasiri membuktikan bahwa dirinya dapat diandalkan. Ia mula-mula berusaha membantu mereka menjadi perantara dalam pengadaan amunisi, senjata-senjata otomatis dan bahan-bahan peledaksemua dengan harga yang miring. Semua itu dibeli di Eropa daratan untuk didistribusikan ke daerah-daerah konflik di luar Eropa. Selain pengadaan barang-barang ilegal itu, Nasiri juga membantu mereka menyebarkan berkalaberkala perjuangan ke banyak tempat di dunia ini. Dalam sekali pengiriman, Nasiri bersama yang lain mesti mengeposkan ke ribuan alamat. Kiriman-kiriman berkala itu berfungsi sebagai media penanding informasi yang selama ini dipegang oleh media-media Barat. Dengan berkalaberkala itu, diharapkan juga munculnya calon-calon rekrut baru yang dapat diandalkan. Dalam beberapa bulan bergaul dengan mereka, Nasiri menyadari ketimpangan yang ada pada mereka. Selain cara berpikir yang salah, Amin dan Yasin berikut anggota-anggota lain yang sedikit sekali dikenal Nasiri adalah orang-orang berbahaya. Mereka dapat menumpahkan darah kawan-kawan sendiri karena dituduh berkhianat. Mereka malah membela aksi-aksi sepihak dari Groupe Islamique Armee (GIA) di Aljazair yang banyak membantai kaum muslimin di tanah Aljazair.

*** Pokok kisah Nasiri dalam bukunya adalah upayanya untuk menyusup ke dalam kamp-kamp latihan mujahidin di Afganistan. Ia membawa misi yang ditugaskan DGSE, dinas eksternal intelijen Perancis. Nasiri menerima tugas itu dalam rangka memerangi Islam-teroris. Ia menjadi muak setelah mengikuti sepak terjang Amin, Yasin dan kawan-kawannya. Menjadi seorang mata-mata untuk DGSE bukan perkara sulit. Nasiri hanya bermodalkan keberanian dan kesabaran secukupnya untuk menjadi mata-mata DGSE. Waktu itu, sekitar awal tahun 1990-an, negara-negara Eropa mulai dibayangi ancaman terorisme dari jejaring kelompok Islam-teroris. Karena itu, mereka berusaha mencari informasi-informasi dari dalam. Bisa dikatakan, lowongan untuk menjadi mata-mata dibuka lebar untuk pemuda-pemuda muslim yang tinggal di Eropa. Dan negara-negara Eropa sanggup membiayai semua itu. bagi mereka, menyusupkan matamata dari kalangan muslim non-Eropa jauh lebih efektif ketimbang menggunakan mata-mata berpengalaman tapi asli orang Barat. (Siapa pula percaya seorang bule yang mengaku-ngaku seorang muslim di tengah jaringan Islam-teroris?) Tapi memang ada banyak hal yang berbeda. Negara-negara Eropa adalah negara-negara kaya. Mereka memiliki uang untuk membiayai aksi-aksi intelijen itu. Menjadi mata-mata, berdasarkan cerita Nasiri, seperti menjadi seorang selebritis di Indonesia: bergelimang uang, pesta, dan seks. Seorang mata-mata dapat mengajukan nilai imbalan yang mereka inginkan. Padahal, kerja yang diinginkan badan intelijen hanya mengamati kemudian melaporkan. Sering pula hanya berdiskusi dengan orang-orang intelijen sambil memberitahukan nama-nama anggota Islam-teroris yang difoto diam-diam oleh mata-mata yang lain. Tentu saja, resiko kehilangan nyawa hanya sedikit, kalau seperti ini. Menjadi mata-mata juga tidak membutuhkan pendidikan khusus di sana. Seorang mata-mata tidak harus seorang militer. Ia pun tidak dituntut seperti James Bond. Bahkan, dalam banyak bagian, Nasiri banyak menceritakan kehidupan enaknya di luar masa tugasnya. Ia tidak berpikir tentang masa depannya dan jangan pula tanya apakah ia menabung. Ia justru sering bingung bagaimana cara menghabiskan uang yang didapatnya dari DGSE. Taruhan nyawa baru dirasakan oleh Nasiri ketika ia melakukan penyusupan ke dalam kamp pelatihan mujahidin di Afganistan. Ia harus mencari jalur untuk diterima oleh mujahidin-mujahidin setempat. Sebab untuk masuk ke dalam salah satu kamp seseorang mesti mendapatkan rekomendasi dari orang-orang yang dikenal oleh penanggung jawab kamp. Di sinilah, kalau sial, seorang mata-mata hanya berumur beberapa jam sebelum dieksekusi oleh orang-orang kamp. Nasiri dapat diterima di salah satu kamp yang ada. Ia menghabiskan lebih dari tujuh bulan untuk latihan di kamp. Lebih dari itu, ia berhasrat untuk mendapatkan kepercayaan orang-orang yang bertanggung jawab di dalam kamp. Dan ia berhasil, ternyata. Nasiri menjadi orang kepercayaan salah satu orang-dalam Al-Qaeda untuk melaksanakan tugas sebagai "sel-tidur" di Eropa. ***

Total waktu yang dihabiskan Nasiri di Afganistan adalah satu tahun. Selain kepercayaan dari orang dalam, ia juga mendapatkan keahlian-keahlian teknis dari latihan di kamp-kamp tersebut. Sebagaimana yang kita tahu, Perang Afganistan banyak melahirkan tenaga-tenaga terlatih untuk melaksanakan jihad di seluruh penjuru dunia. Gelombang relawan Indonesia yang datang ke Afganistan pada 1980-an dan awal 1990-an dikenal sebagai orang-orang sipil terlatih. Mereka selain bisa menggunakan Kalanishkov, AK-47, Dragunov, mortir, granat, juga memiliki kemampuan untuk merakit bom dari TNT, C1, C2, C3, Semtex atau bahkan merakit dari bahan-bahan sederhana semisal buah jeruk, sabun, deterjen, kopibisa dibayangkan: betapa secangkir kopi panas yang kita seruput mengandung bahan alami untuk sebuah bom. Akan tetapi, benar kata Nasiri, semangat dan ideologi jihad yang didapatkan dari medan Perang Afganistan adalah api yang terus berkobar membakar perlawanan terhadap Amerika Serikat dan negara-negara Barat. Inilah yang paling penting. Bagi veteran-veteran Afganistan itu, teroris dunia tidak lebih dari Israel, Amerika dan negara-negara Barat. Selama negara-negara yang dimaksud tidak menghentikan kesewenang-wenangan yang dilakukan di negeri-negeri muslim, ideologi jihad akan terus ada di tengah-tengah kaum muslimin. Yang juga mesti disadari oleh negara-negara Barat itu, kata Nasiri, fakta bahwa yang dicari oleh kelompok-kelompok Islam-teroris adalah mati. Kematian adalah yang mereka cari. Sebab mereka yakin, jika mereka mati dalam tugas, mereka adalah syahid, sebuah cita-cita yang diimpikan banyak orang-orang Islam. Hal itu jauh berbeda dari motivasi yang mendorong seorang mata-mata atau prajurit militer ketika bertugas memerangi aksi terorisme. Mereka bertugas justru dalam rangka mencegah kematian itu sendiri tidak datang. Artinya, mereka pergi untuk kembali hidup-hidup. Tidak sedikit pula yang beranggapan, mati di tangan teroris adalah mati konyol. Lebih baik jadi polisi lalu lintas ketimbang tergabung dalam detasemen khusus anti-teror (baca: Densus 88). *** Sebenarnya, Inside the Jihad ditulis Nasiri sebagai bentuk jihad pribadi. Ia tidak menyetujui bentuk apa pun dari terorisme. Sebaliknya, ia ingin memerangi terorisme itu dengan cara yang bisa dilakukannya. Semula, ia berpikir dengan memata-matai kelompok-kelompok Islam-teroris ia bisa mencegah tindak teror mereka. Tapi Nasiri keliru. Bukan mendatangkan hasil, ia malah kecewa. Pada intinya, ada dua kekecewaan Nasiri. Pertama, ia kecewa terhadap kelompok-kelompok teroris itu karena cara mereka memahami ayat-ayat Al-Qur'an dan hadis-hadis Nabawi tentang jihad. Dari yang seharusnya menjamin darah, kehormatan, dan harta orang-orang yang dilindungi syariat Islam, kelompok-kelompok itu justru menghalalkan darah, kehormatan dan harta mereka.

Padahal, Nasiri mengakui sendiri, Islam adalah agama yang mengatur perang dengan sempurna. Jauh melebihi segala konvensi Jenewa tentang peperangan, jauh melebihi organisasi mana pun di dunia ini dalam menjamin hak-hak asasi manusia ketika terjadi peperangan. Dan ini, Nasiri saksikan sendiri dengan mata-kepalanya. Kedua, Nasiri juga kecewa terhadap negara-negara Barat. Ia tidak habis pikir, bagaimana negara-negara Barat masih belum mampu memahami apa yang diinginkan oleh orang-orang Islam di dunia selama ini. Tindak teror yang dilakukan kelompok-kelompok Islam-teroris itu adalah akibat dari ketidakpahaman tersebut. Selama menjadi mata-mata untuk DGSE, Nasiri berusaha meyakinkan hal itu. Tetapi yang selalu ia dapat hanya kecenderungan egoistik negara-negara Barat: dinas intelijen mereka hanya berpikir, bagaimana teroris-teroris itu tidak mengadakan kerusakan di negara-negara mereka. Sebaliknya, dinas intelijen itu tidak berpikir tentang aksi-aksi teror yang dilakukan sejumlah negara Barat di negeri-negeri kaum muslimin. Ideologi jihad Islam-teroris akan terus hidup. Dan Nasiri yakin ini. Sampai Inside the Jihadselesai ditulis, peledakan-peledakan bom yang didalangi kelompok Islam-teroris masih terus terjadi. Israel dan Amerika Serikat pun masih melakukan tindakan-tindakan sepihak terhadap kaum muslimin di dunia ini. Celakanya, negara-negara Barat di Eropa seperti setuju dengan semua ini.[]

Sebagai Mantan Anggota Islam-Teroris


30 September 2012 pukul 9:26

Kita sering tidak menyadari, ada banyak orang di antara kita yang mengetahui dan bahkan mengalami sendiri jejaring klandestin kelompok-kelompok Islam-teroris. Mungkin orang-orang itu adalah teman-teman kita sendiri: teman sekantor, teman sekampus, teman se-RT atau se-RW, teman FB. Kita kenal baik mereka, tapi kita belum tentu tahu tentang masa lalu mereka. Sebaliknya, mereka ingin kita tidak tahu tentang masa lalu mereka. Mereka menutupnya rapatrapat, selama-lamanya, karena tahu: betapa keliru jalan yang telah mereka tempuh dulu. Mereka sekarang sudah insaf dan ingin membangun kehidupan normal kembali. Tidak sedikit ongkos yang mereka butuhkan adalah keserbarahasiaan antara mereka dan pasangan hidup masingmasing. Dengan dalih privasi, mereka ingin pasangan-hidup mereka percaya dan tidak mengungkit-ungkit masalah itu. Akan tetapi, perubahan jalan hidup itu tidak membuat mereka merasa aman dari bahaya. Tidak seperti yang kita bayangkan, hidup baru mereka itu pun dalam bayang-bayang ancaman. Anggota-anggota kelompok Islam-teroris yang mereka tinggalkan sering terus berkeliaran dan memantau. Pada satu titik, mereka akan dilenyapkan ketika publik tahu rahasia itu. Hal itu banyak disebabkan sifat rahasia yang mereka jalani: kelompok-kelompok Islam-teroris itu tidak mau jika anggota-anggota mereka yang membelot membocorkan segala rahasia kelompok. Rupanya, inilah yang menjadi resiko dibawa hidup anggota-anggota yang insaf itu.

*** Ketika terbit pertama kali buku Membongkar Jamaah Islamiyah di Indonesia, dapat kita bayangkan, betapa terancamnya hidup Nasir Abas yang menulis buku itu. Ia, yang pernah menjadi anggota kepercayaan Jamaah Islamiyah (JI), membeberkan semua yang pernah dialaminya ke khalayak luas. Ia ingin masyarakat tahu yang sebenarnya tentang organisasi itu, tentang pimpinannya, anggota-anggotanya, struktur-strukturnya. Namun, banyak orang yang sinis dan tidak yakin akan buku itu. Banyak pula yang percaya: ini semua adalah salah satu cara yang dilakukan pemerintah dan Polri untuk meraih simpati yang luas di tengah-tengah masyarakat, sebab citra pemerintah dan Polri sudah terlalu sering dijatuhkan di depan publik. Rata-rata pembaca tidak percaya dan menganggap penulisan dan pengungkapan dalam buku itu sesuatu yang mustahil dinalar akal sehat. Sebab, bagaimana pun, untuk usaha seperti itu, Nasir Abas seperti ingin mengobral keselamatan nyawanya sendiri dan nyawa anggota-anggota keluarganya. Tapi, memang, itulah adanya. Dari mantan-mantan anggota JI yang lain, keterangan yang memperkuat keterangan Nasir Abas bermunculan. Kita tahu, selain Nasir Abas, keteranganketerangan lain itu tidak lebih dari anggota-anggota JI biasa. Hanya senandung kecil dari kumpulan ikan teri, bukan konser tunggal dari seekor kakap. Itu pun belum dihitung dengan kesaksian-kesaksian anggota-anggota JI yang diberikan untuk tidak dipublikasikan. Mereka bersedia cerita ke teman-teman dekat yang dipercaya mereka semata-mata agar orang-orang itu tahu betapa rusaknya kelompok Islam-teroris itu. Mereka cerita, selalu dengan pesan, "Ini buat anda saja, jangan diceritakan ke orang-orang lain." Terlalu bahaya jika orang lain tahu siapa yang menjadi sumber cerita. *** Anggota-anggota kelompok Islam-teroris adalah orang-orang yang telah diindoktrinasi bahwa siapa pun yang menyetujui jalan pikiran musuh-musuh mereka adalah kafir. Pada titik tertentu, orang-orang yang dianggap oleh mereka kafir itu boleh dienyahkan. Maksudnya, dibunuh. Bagi mereka, harta, kehormatan dan nyawa orang-orang kafir halal. Bagi mereka, bahwa orang-orang non-muslim itu terbagi menjadi kafir harbi, kafir musta'minatau musta'man, kafir dzimmidan karena itu memiliki ketentuan-ketentuan tersendiri ketika hidup di antara kaum muslimin, hanya berlaku jika ditetapkan oleh seorang pemerintah muslim yang menjalankan syariat Islam sebagai hukum negara. Dan Indonesia, bagi kelompok-kelompok Islam-teroris, bukan negara Islam. Tetapi negara sekuler dan kafir yang dijalankan oleh boneka-boneka Israel dan Amerika Serikat. Mereka mewariskan pemikiran seperti ini kepada kader-kader mereka, baik lewat edaran-edaran terbatas, buku-buku terjemahan, film-film dokumenter, ceramah-ceramah terbuka atau lewat

indoktrinasi-indoktrinasi yang serba terbatas dan rahasia. Untuk masuk ke dalam lingkaran itu, pemerintah menggunakan cara ekstra keras dan beresiko. Atau, bahkan tidak sama sekali sambil berharap muncul NasirAbas-NasirAbbas yang lain. Di Indonesia, aturan seperti International Security Act (ISA) di Malaysia belum mungkin dijalankan. Akan ada protes yang tak henti-henti mengalir ke pemerintah. Sebab di negara kita sejarah penuh dengan ISA-ISA; kita sudah mengenal ISA jauh sebelum Malaysia atau mungkin Singapura mengenalnya. Dan banyak pihak yang merasa trauma dengan aturan-aturan semodel ISA itu. Apakah dengan begitu Islam-Islam-teroris bakal terus beraksi? Ya dan tidak. Ya, jika kita mengandalkan pemerintah dan pihak berwajib saja. Tidak, jika kita mau sadar bahwa kelompok-kelompok Islam-teroris itu ada. Tidak, jika kita mau percaya bahwa kelompok-kelompok tersebut memang membolehkan meledakkan dan membunuh orang-orang seperti peristiwa Bom Bali dulu. Dan tidak, jika kita bersama-sama menerima fakta bahwa Islamteroris akan terus ada selama pemikiran-pemikiran mereka terus dilestarikan secara luas. *** Salah satu pokok pemikiran mereka itu adalah keyakinan bahwa dunia sekarang ini berada dalam masa jahiliyah kembali seperti masa sebelum Nabi Muhammad mengemban risalah dakwahnya. Tidak ada wilayah Islam sama sekali kecuali sedikit dan tidak ada orang-orang beriman lagi kecuali sedikit. Atau, menurut istilah mereka, hanya Afghanistan yang menjadiwilayah iman itu. Mungkin bisa disebut beberapa nama lain. Tetapi, yang jelas Makkah dan Madinah saja, buat mereka, tidak termasuk ke dalam wilayah iman yang dimaksud. Anda, saya, kita semua, berdasarkan pemikiran itu, adalah orang-orang yang tidak beriman. Dan karena itu kafir, sebab kita hidup di negara kafir dan tidak bergabung dengan mereka untuk mengobarkan jihad global melawan Israel dan Amerika Serikat. Meski kita shalat dan puasa? Ya, meski kita shalat dan puasa, meski kita mengasihi anak yatim lalu juga janda-janda miskin dan orang-orang jompo, meski kita baik ke tetangga kita, meski kita terus beribadah di kala sepi. Satu pokok pemikiran seperti itu termasuk bekal awal bagi seseorang untuk menjadi anggota Islam-teroris. Setidaknya, mengantarkan kita untuk sepemikiran dengan mereka. Dan siapa pun kita, kalau mau jeli dan jeli serta terus jeli, pasti akan banyak menemukan buku-buku yang berisi pokok pemikiran tersebut di toko-toko buku Islam di sekitar kita.[]

Merekrut Islam-Teroris Sekarang


30 September 2012 pukul 9:25

Untuk mencari anggota-anggota baru, kelompok Islam-teroris menempuh dua cara. Sebagaimana yang telah lewat, Islam-Teroris adalah sebutan untuk kelompok Islam yang memahami ayat-ayat Al-Qur'an dan hadis-hadis nabawi dengan pemahaman tertentu. Dari

situlah kemudian, mereka menghalalkan cara-cara berdarah untuk menjalankan aksi mereka. Peledakan bom adalah salah satu cara dari sekian cara yang mereka tempuh. Dalam perjalanan waktu kelompok Islam-Teroris terpecah-pecah menjadi banyak kelompok. Tidak setiap kelompok dapat menempuh kedua cara perekrutan itu sekaligus. Adakalanya satu kelompok hanya menempuh satu cara karena keterbatasan keadaan. Adakalanya satu kelompok menempuh dua cara sekaligus tetapi pada waktu yang berlainan tanpa harus membahayakan satu sama lain. Rekrutmen Berbasis Lembaga Pertama, cara yang paling aman, mereka merekrut anggota-anggota baru itu dari bibit-bibit bermutu yang ada di lembaga-lembaga pendidikan milik mereka. Itu, kalau mereka memiliki semacam lembaga pendidikan seperti pesantren-pesantren atau bahkan sekedar pengajianpengajian rutin di suatu masjid yang mereka pakai. Lembaga-lembaga pendidikan milik mereka menjadi semacam lahan persemaian yang bagus. Menunjuk tim khusus, pengawasan dan penilaian mereka lakukan terhadap calon-calon yang memiliki semangat tinggi. Kepada calon-calon yang dimaksud, tim khusus yang ditunjuk akan mengadakan proses pengarahan secara sistematis. Dalam proses ini, perhatian tertuju lebih kepada indoktrinasi. Dan jangan bayangkan, proses indoktrinasi yang dimaksud seperti apa yang kita bayangkan selama ini (di suatu ruangan khusus, pada waktu-waktu khusus, dalam keadaan-keadaan khusus, dan lain sebagainya). Mengindoktrinasi, buat mereka, bisa dilakukan sambil makan bersama atau jajan di kantin, basa-basi, atau mungkin bincang-bincang ala kadarnya di sela-sela aktifitas harian. Rentang-waktu-indoktrinasi-yang-tersedia menanamkan pemahaman tertentu kepada caloncalon anggota. Hasil yang didapat, biasanya, adalah anggota-anggota baru yang meyakini bahwa memberontak kepada pemerintah kaum muslimin seperti di Indonesia ini termasuk bagian amar ma'ruf nahi mungkar. Mereka memiliki kebencian kepada negara, pemerintah dan orang-orang yang mendukung pemerintahan itu. Kata sandi yang hanya dipakai mereka untuk pemerintah dan pendukungnya adalah thaghut. Sementara diindoktrinasi, kalau lembaga-lembaga pendidikan tersebut berupa pesantrenpesantren berasrama, calon-calon anggota dilatih secara fisik di lingkungan pesantren. Pada mereka ditanamkan keyakinan bahwa mereka harus berjihad melawan thaghut-thaghut di dunia ini dan itu semua membutuhkan persiapan-persiapan fisik yang memadai. Sebagai tambahan, indoktrinasi kadang kala mengambil waktu-waktu dini hari, ketika santri-santri yang lain sedang tidur. Mereka diajarkan teknik-teknik beladiri mematikan. Paling utama: teknik beladiri tangan kosong, sebab dari yang sudah-sudah, keadaan lebih sering menuntut mereka untuk menggunakan tangan kosong ketimbang senjata. Namun, mereka juga tak lupa untuk dikenalkan pada teknik

menggunakan senjata api, dari mulai melempar granat sampai dengan memakai senapan semiotomatis dan otomatis yang biasa dipakai kalangan militer. Seorang anggota Islam-Teroris yang pernah menjadi penghubung antara relawan-relawan dari Indonesia dan kelompok Abdur Robbir Rasul Sayyaf di Afghanistan, selain memiliki keahlian beladiri tangan kosong dan terampil menggunakan Kalasnikov, juga dikenal sebagai ahli melempar pisau. Dengan dua tangannya, ia dapat melemparkan sepuluh pisau komando ke satu sasaran pada waktu bersamaan. Sampai saat ini, ia masih menjadi buah bibir di tengah-tengah juniornya karena keahlian lempar-pisau itu. Dalam rentang waktu yang direncanakan, akan tiba waktunya calon-calon yang disiapkan itu dibaiat atau diambil sumpah-setia. Mereka berikrar untuk mendengar dan menaati pimpinan mereka. Mereka juga bersumpah untuk tidak berkhianat kepada organisasi mereka, apa pun keadaan yang menuntut. Orang-orang yang berhasil melewati semua proses itu adalah orang-orang yang siap ditugaskan. Pimpinan mereka, sering kali secara tidak langsung, akan menentukan tugas yang mesti diemban. Akan tetapi, dalam prakteknya, mereka akan ditugaskan dalam satuan sel-sel kecil yang efektif. Karena itu, kerahasiaan mereka terjamin. Ketika satu sel dihancurkan oleh aparat pemerintah yang berwenang, keadaan itu tidak akan membahayakan sel-sel yang lain. Masing-masing anggota sel hanya bertanggung-jawab kepada pimpinan sel. Bukan kepada pemimpin tertinggi atau imam mereka, sehingga gerak perjuangan mereka masih bisa terus berjalan dan melakukan regenerasi. Dengan keadaan seperti itu, imam mereka tetap aman. Bahkan, seperti yang sering terjadi, imam tersebut tidak tahu-menahu soal aksi-aksi yang dilakukan oleh sel-sel di bawah, terlebih lagi dengan masalah-masalah yang bersifat teknis. Kalau pun imam itu tahu, ia hanya sekedar menyetujui tanpa perlu memberikan pengarahan-pengarahan rinci. Bahkan, yang sering terjadi, hanya lewat pesan-pesan umum yang siapa pun mendengar itu tidak akan curiga. Rekrutmen Berbasis Non-Lembaga Kedua, cara yang praktis dan hemat biaya serta tenaga, mereka menjaring anggota-anggota baru dari masyarakat di sekitar mereka. Dalam cara ini, tidak dibutuhkan pelatihan-pelatihan atau pembentukan-pembentukan fisik. Seorang calon anggota dapat direkrut untuk segera ditugaskan, apa pun resiko yang terjadi. Titik perekrutan terletak pada upaya persuasi orang yang merekrut. Proses tersebut dimulai dari penjaringan calon-calon anggota. Jumlah calon anggota, biasanya, tidak banyak. Lima orang sudah dikatakan terlalu banyak. Calon-calon yang dibidik adalah orang-orang yang memiliki semangat terhadap Islam tetapi belum atau tidak terlalu terpengaruh oleh pemahaman satu kelompok tertentu dalam Islam. Yang

selalu terjadi adalah orang-orang awam yang baru mendapat cahaya ketertarikan terhadap Islamsebuah ketertarikan untuk taat menjalani praktek-praktek ibadahatau dalam bahasa yang mereka pakai: hidayah. Di masjid-masjid kota atau desa, kadang terlihat calon-calon potensial seperti itu. Mereka sering terlihat belum memiliki sikap jelas dalam beragama. Mereka hanya bermodalkan rajin beribadah dan tertarik dengan segala hal yang bernafaskan Islam. Dalam membaca, selain kitab suci Al-Qur'an, calon-calon yang dimaksud biasa melahap berbagai bacaan Islam yang tersedia, dari mulai buletin-buletin Jum'at yang mudah diperoleh di masjid-masjid, majalah-majalah dan tabloid-tabloid Islam sampai dengan buku-buku keislaman seperti terjemahan kitab-kitab hadits dan pengantar-pengantar tentang pergerakan Islam politik. Perekrut yang mengetahui keadaan itu biasanya memantau calon-calon tersebut. Lewat hubungan pertemanan yang dijalin di antara mereka, itu semua mungkin. Bahkan, dalam kasuskasus tertentu, perekrut tidak lain adalah guru-guru Rohani Islam (Rohis) di SMU-SMU mereka. Setiap pertemuan atau acara yang diadakan Rohis sekolah, perekrut mengamati kemajuan yang dicapai oleh calon-calon yang akan dibidik. Pada awalnya, perekrut mendekati mereka melalui obrolan-obrolan ringan. Sampai pada satu titik, ia akan memberikan sejumlah pertanyaan-pertanyaan retoris kepada calon-calon yang sedang dibidik. Pertanyaan-pertanyaan ini adalah batu loncatan pertama perekrut untuk meraih kepercayaan dari calon-calon yang sedang dibidiknya. Dalam percakapan-percakapan selanjutnya, perekrut mulai membawakan dalil-dalil Al-Qur'an dan hadis-hadis Rasulullah tentang keutamaan dan keharusan berjihad, berhukum dengan hukum Allah, menegakkan negara Islam, dan kepemimpinan yang satu dalam perjuangan mencapai itu semua. Bukan dalil-dalil tentang pentingnya bertauhid dan menjauhi kesyirikankesyirikan. Bukan pula dalil-dalil tentang pentingnya ilmu sebelum berucap dan beramal. Atau, bukan pula dalil-dalil tentang keutamaan berbuat baik terhadap orangtua, saudara, tetangga, guru, sesama muslim, orang-orang non-muslim. Bahkan, mereka nyaris tidak pernah menyinggung dalil-dalil tentang taat kepada pemerintah kaum muslimin seperti pemerintah kita di Indonesia ini. Karena ayat-ayat itu dipahami dengan pemahaman tertentu, maka tidak sulit bagi perekrut untuk menanamkan anggapan bahwa di dunia ini hanya terdapat sedikit wilayah iman. Menurut perekrut, banyak bagian dunia menjadi wilayah kafir dan hanya sedikit yang benar-benar masih beriman. Arab Saudi pun dimasukkan ke dalam wilayah kafir karena alasan-alasan tertentu. Dengan demikian, tandas perekrut kepada calon-calon tersebut, jiwa-jiwa orang yang kafir atau dianggap kafir boleh untuk dilenyapkan. Percakapan-percakapan yang terjadi selanjutnya akan berubah menjadi dialog-dialog untuk saling mengerti. Perekrut pada titik ini berusaha memahamkan calon yang dibidik dengan terarah agar ia tidak berbalik menjauh.

Jika keadaan seperti itu berhasil dilalui sesuai rencana, perekrut mulai menjalankan langkahlangkah indoktrinasi ke calon yang dibidik. Rentang waktu indoktrinasi tergantung kepada keadaan calon anggota itu. Semakin percaya kata-kata perekrut, akan semakin cepat pula proses indoktrinasi. Pengukuhan keanggotaan ditandai dengan pembaiatan. Biasanya, proses pembaiatan dilakukan antara perekrut dan calon anggota. Ikatan yang tertanam pada anggota baru ini hanya antara dirinya dan perekrut. Ia tidak mengetahui sel-sel lain selain sel yang ia tempati. Baiat menandai kebersiapan anggota baru untuk menerima langkah selanjutnya: pendalaman materi atau aksi. Anggota baru yang melanjuti pendalaman materi kelak akan meneruskan usaha perekrutan. Namun, dapat saja terjadi, penugasan kepadanya sewaktu-waktu, di mana pun tempat yang ditentukan. Kamuflase, Sebuah Jalan Memperhatikan dua cara yang ditempuh dalam merekrut anggota-anggota baru itu, akan terbayang, betapa rahasianya proses itu. Resiko kegagalan sangat besar membayang selama proses itu berlangsung. Untuk mengurangi resiko gagal, mereka menggunakan berbagai cara untuk mengelabui masyarakat luas; mereka sering melakukan kamuflase diri. Jangan bayangkan mereka memiliki penampilan berbeda dari masyarakat umumnya atau eksklusif. Yang sering terjadi, mereka meninggalkan sebagian identitas-identitas keislaman mereka; mereka ingin terlihat inklusif seperti orang-orang lain. Mereka yakin tentang aturan-aturan yang ditetapkan syariat Islam pada diri-diri mereka seperti wajibnya memelihara jenggot bagi laki-laki atau berpakaian yang islami atau shalat berjamah setiap lima waktu dalam sehari-semalam dan lain sebagainya. Akan tetapi, sebagai kamuflase, mereka meninggalkan semua itu. Jenggot, sebagai satu contoh di sini, mereka potong untuk mengamankan misi-misi mereka. Pakaian mereka pun, terlebih ketika melakukan aksi, adalah pakaian yang chic, umum, dan tidak menimbulkan kecurigaan. Yang lebih mengagetkan, anggota-anggota Islam-Teroris yang termasuk senioratau yang sudah dianggap sebagai mujahid oleh anggota-anggota baru justru berpenampilan yang tak diduga oleh aparat sekalipun: mengenakan kalung-salib di dada, memakai jeans Levi's, bertato, sering nongkrong dan ngedugem di diskotik-diskotik, memakai anting-anting di telinga, rambut skin-head. Repotnya, ketika mereka berhasil diciduk oleh aparat, baru mereka kenakan lagi identitasidentitas mereka. Mereka pun tampil berjenggot, memakai gamis-gamis Pakistan dan Yaman, berpeci atau besorban ala masyarakat Timur Tengah, bercelana di atas mata-kaki, dan lain sebagainya. Akibatnya, bisa ditebak. Ketika media-media meliput keberadaan mereka di dalam tahanan, terbentuklah citra, imej, di masyarakat bahwa orang-orang yang berpenampilan seperti itu adalah sama saja dengan anggota-anggota Islam-teroris itu.

Adalah wajar, jika ramai-ramai masyarakat di suatu tempat di Bandung meneriaki "Teroris, Teroris, Teroris" berulang-ulang kepada seorang laki-laki yang mengenakan jubah atau gamis dan berpeci ala orang-orang Arab ketika kebetulan lewat di sekitar mereka. Wajar juga, jika Densus 88 pernah menangkap seorang anggota Jamaah Tabligh yang tak tahu apa-apa, apalagi terlibat aksi peledakan bom, hanya karena ia mengenakan gamis atau jubah dan identitasidentitas persis anggota-anggota Islam teroris yang sudah dipenjara. Dan jika ini yang terjadi, ramai-ramai para pakar politik berkomentar di acara-acara televisi, "Demokrasi belum bisa dijalankan secara konsisten di Indonesia."[]

Menjadi Teroris dalam Islam


30 September 2012 pukul 9:24

Untuk meledakkan bom, seseorang harus memiliki beberapa alasan. Namun, dari sekian banyak alasan yang dimilikinya itu, ia pasri memiliki satu alasan utama. Dan alasan itu menjadi bara dalam dadanya untuk melakukan suatu aksi. Meledakkan bom, kita tahu, bukan suatu aksi mainmain. Butuh lebih dari sekedar keberanian untuk meledakkan bom. John Updike tidak lupa untuk menyinggung hal itu. Dalam salah satu bukunya, Terrorist, ia memaksa kita untuk percaya akan ke-hanya-satu-an alasan utama itu. Baginya, seorang yang beragama Islam bisa mudah untuk menjadi seorang peledak bom asal punya satu alasan utama itu. Alasan-alasan lain yang menyertainya ibarat "peran pembantu" dalam sebuah film terkenal. Demikian pula Yasmina Khadra. Dalam The Attack, sebuah buku yang ditulisnya tentang aksi teroris di Israel, ia menunjuk ke-hanya-satu-an alasan utama itu pada seorang pelaku bom bunuh diri. Sesuatu yang menjadi latar belakang sungguh tidak jauh berbeda dengan yang melatarbelakangi Amrozi dan kawan-kawan melakukan aksi Bom Bali I dulu. Baik Terrorist ataupun The Attack, masing-masing adalah karya fiksi. Tidak percaya juga tidak mengapa. Namun, ada banyak buku sekarang ini yang mengungkapkan semua itu. Persis sama dengan yang ada dalam kedua buku tersebut. Orang-orang "dalam" yang pernah tergabung dalam kelompok aksi peledakan, malah, ada yang mengaku dan membongkar semuanya kepada publik. Di toko-toko buku gampang mendapatkan semua itu sekarang ini. Dua Jenis Aksi Peledakan Islam diturunkan ke muka bumi sebagai rahmat bagi alam semesta. Artinya, Islam itu sendiri menghendaki para pemeluknya memberi aneka kebaikan pada alam dan seisinya ini. Bukti untuk itu adalah kitab suci umat Islam. Dan, tentu saja, contoh kehidupan yang diteladankan Muhammad bin Abdillah sebagai pengemban risalah kenabian di tengah-tengah komunitas Islam pada waktu itu: kita bisa lihat itu. Ayat-ayat Al-Qur'an dan hadis-hadis nabawi adalah perangkat untuk dipakai oleh setiap pemeluk Islam dalam menjalani hidup mereka masing-masing. Sebagai perangkat, masing-masing pemakai memiliki cara untuk menggunakannya. Yang menjadi masalah justru di situ: bagaimana

cara seseorang memakainya. Apakah akan mendatangkan kebaikan? Ataukah malah mendatangkan kerugian, ketakutan, kehancuran? Banyak orang yang tak menyadari akan hal itu. Siapa pun bisa menjadi seorang pelaku peledakan bom seperti Amrozi dan kawan-kawan. Dan siapa pun memiliki peluang untuk menjadi seorang "pengantin" bom. Semua itu adalah mungkin ketika ayat-ayat dari kitab suci dan hadis-hadis nabawi dibaca, dipahami dan dipraktekkan secara serampangan, keliru atau bahkan ngawur. Tentang pelaku bom bunuh diri, ternyata ada beda cukup mencolok tergantung tempat aksi dan keadaan masyarakatnya waktu itu. Sejauh ini, ada pelaku bom bunuh diri yang melakukan aksi hanya karena spontanitas tanpa persiapan mental yang cukup lama. Dan sebaliknya, ada pelaku yang mesti menjalani persiapan mental yang cukup lama sebelum ia melakukan aksi. Mereka yang melakukan secara spontan, biasanya, didorong oleh keadaan masyarakatnya waktu itu. Kezaliman yang terjadi di depan matanya, yang menimpa anggota keluarganya, atau dirinya langsung, sementara itu ia adalah orang dengan kemampuan terbatas untuk mencegah atau menghindari itu semua, sering kali cepat mendorong seseorang untuk melakukan aksi bom bunuh diri, saat itu juga atau tidak lama setelah itu. Dalam kata lain, keradikalan, kemilitanan, bangkit pada seseorang hanya akibat ulah-ulah pihak lain yang menimpa dirinya dan orang-orang di sekitarnya. Para pelaku pun, jika diperhatikan, tidak terdiri dari orang-orang yang memiliki pemahaman Islam yang mendalam. Mereka tidak jauh beda dengan orang-orang Islam abangan di tempat kita. Mereka juga biasa menerima dan menjalankan nilai-nilai dari Barat. Jadi, bukan Islamic-minded. Keadaan yang dimaksud itu sering terjadi pada daerah-daerah perang atau daerah-daerah yang dirundung konflik berkepanjangan. Juga tidak ketinggalan: daerah-daerah pendudukan (ingat kasus Palestina!). Dan korban yang ingin dituju, sebagai catatan penting di sini, tidak melulu anggota militer, tapi juga warga sipil biasa. Menariknya, korban yang jatuh sering kali tidak banyak. Adapun yang membutuhkan hari-hari panjang untuk melakukan persiapan mental, mereka melakukan aksi didorong oleh pemahaman mereka yang kuat. Mereka memahami ayat-ayat suci dengan suatu pemahaman yang berbeda dari pemahaman orang-orang lain. Dari adanya pemahaman itulah, maka mereka beraksi. Untuk menanamkan pemahaman yang dimaksud pada seseorang, butuh waktu yang tidak sebentar. Dan inilah, yang dimaksud dengan persiapan mental itu. Seorang pelaku harus melewati hari-hari indoktrinasi dulu sebelum beraksi. Memang, kadang kala ia juga didorong oleh faktor-faktor lain seperti pengalaman traumatis masa lalu atau kemarahan pada satu pihak yang terus-menerus dipendam. Peledakan-peledakan bom yang terjadi di Indonesia, termasuk juga bom-bunuh-diri di Jakarta beberapa tahun yang lalu, tergolong ke dalam jenis aksi ini. Para pelaku memiliki pemahaman tertentu terhadap ayat-ayat suci dan hadis-hadis nabawi yang mereka baca. Dari pemahaman

yang terus ditanam itu dan semakin hari semakin diperkuat lewat indoktrinasi, muncul keberanian untuk melakukan aksi. Hasilnya, kita sudah lihat beberapa tahun belakangan ini. Islam-Teroris: Orang-Orang Khawarij Islam, memang, menjadi rahmat untuk semesta alam. Akan tetapi, kita jangan lupa, ada orangorang dan kelompok-kelompok dalam Islam yang malah menjadikan Islam sebagai sumber kehancuran dan kerusakan di tengah-tengah manusia. Mereka, sayangnya, masih ada sampai hari ini: mempelajari keadaan, mengevaluasi kegagalan-kegagalan sebelumnya, dan mempersiapkan aksi-aksi berikutnya. Dalam kacamata Islam, mereka itu disebut dengan istilah Khawarij. Istilah ini tidak hanya untuk kelompok yang memberontak kepada pemerintahan Ali bin Abi Thalib dulu. IstilahKhawarij sudah menjadi baku dan terus digunakan sampai kapan pun untuk mendefinisikan siapa saja yang memberontak kepada pemerintah. Orang-orang Khawarij, jelas, bukan para mujahid. Mereka menentang pemerintah dan berusaha menggulingkannya. Dalam prakteknya, mereka senang menggunakan aksi-aksi teror. Berbeda dengan kelompok teroris lainnya, orang-orang Khawarij adalah orang-orang yang mengatasnamakan Islam. Mereka melakukan aksi dan percaya aksi mereka itu dinilai sebagai jihad fi sabilillah. Penggulingan pemerintah, pembunuhan orang-orang non-muslim atau peledakan sarana-sarana umum dianggap mereka sebagai suatu bentuk amar ma'ruf nahi mungkar. Dan itu semua karena mereka menggunakan pemahaman tertentu untuk menafsirkan ayat-ayat suci dan hadis-hadis nabawi. Yang paling merisaukan kita, orang-orang yang tidak sepaham dengan mereka dapat mudah mereka kafirkan. Karena kafir, menurut mereka, sah-sah saja untuk dilenyapkan. Mengerikan? Jelas. Ironisnya, ada pihak-pihak tertentu yang menyangkal tentang keberadaan mereka. Menurut para penyangkal, Khawarij telah lenyap dimakan zaman. Membicarakan keberadaanKhawarij di zaman ini sama saja dengan melakukan suatu anakronisme fatal. Meski bagaimana pun, bom-bom telah meledak. Dan korban pun berjatuhan. Para pelaku telah ditangkap. Ternyata, betul, mereka meyakini itu semua, yang mereka lakukan itu, adalah jihad. "Ini," kata Fadlullah Hasan alias Mubarak alias Amin alias Utomo Pamungkas, "adalah jihadkami. [] Untuk memberi pelajaran kepada Amerika." Ia adalah salah satu alumni Pondok Pesantren Al-Mukmin Ngruki di Sukoharjo, Jawa Tengah. Dalam kasus Bom Bali I, ia dinyatakan terlibat dan dihukum penjara. Karena itu, menyangkal adanya orang-orang seperti itu, pemahaman seperti mereka itu, sama saja mengabaikan petaka yang siap mengancam kehidupan kita, kapan pun. Kita perlu berbenah dan juga mendukung pihak-pihak yang bertanggung jawab menangani hal itu sekarang ini. Dan yang terpenting: mengubah kesadaran kita selama ini bahwa ternyata ada orang-orang yang mengatasnamakan Islam untuk aksi-aksi seperti itu.[]

Tag: islam-teroris, terorisme, khawarij, teroris, bom bali, utomo pamungkas, fadlullah hasan, mubarok, mubarak, pondok ngruki, pondok pesantren al-mukmin ngruki sukoharjo Rujukan-Rujukan Lebih Jauh Abas, Nasir. Membongkar Jamaah Islamiyah: Pengakuan Mantan Anggota JI. Jakarta: Grafindo Khazanah Ilmu. 2005. Asy-Syahrastani, Muhammad bin Abdil Karim. Al-Milal wan Nihal (Cet. Ke-8). Beirut: Dar ElMarefah. 2001. Hassan, Muhammad Haniif. Pray to Kill. Jakarta: Grafindo Khazanah Ilmu. 2009. Hendropriyono, A.M. Terorisme: Fundamentalis Kristen, Yahudi, Islam. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. 2009. Idris, Muhammad. Mereka Bilang Aku Kafir. Jakarta: Hikmah. 2006. Ismail, Noor Huda. Temanku, Teroris?. Jakarta: Hikmah. 2010. Samudra, Imam. Aku Melawan Teroris. Solo: Jazeera. 2004. Tempo, Edisi 16-22 Agustus 2010.

Mazhab Asyari dalam Rentangan Zaman


30 September 2012 pukul 9:23

Mazhab Asyari atau Asyariyah adalah sebutan yang disandarkan kepada Abu Al-Hasan Ali bin Ismail Al-Asyari (260 324 H). Hidup di Irak, Abu Al-Hasan adalah salah seorang keturunan sahabat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam yang bernama Abu Musa Al-Asyari radhiyallahu anhu. Dari Mutazilah ke Kullabiyah Abu Al-Hasan dididik oleh seorang tokoh Mutazilah sekaligus ayah tirinya, Abu Ali Muhammad bin Abdil Wahhab Al-Jubbai. Darinya, Abu Al-Hasan mempelajari Islam bertahun-tahun sampai memperoleh derajat yang tehormat di kalangan pengikut Mutazilah. Keadaan itu berubah ketika suatu hari mereka berdebat. Tidak puas dengan jawaban-jawaban yang diberikan Abu Ali Al-Jubbai, Abu Al-Hasan meragukan keyakinan Mutazilah yang selama ini dipegangnya. Setelah berdebat dengan Abu Muhammad Abdullah bin Said bin Kullab dan berpikir dalam waktu yang lama, Abu Al-Hasan menyadari secuil kebenaran yang tak bisa ditolaknya dari keyakinan Mutazilah. Ia pun akhirnya tidak menolak pemahaman baru yang ditanamkan oleh teman berdebatnya.

Sejak itulah, Abu Al-Hasan memahami Islam dengan pemahaman Abu Muhammad Abdullah bin Said bin Kullab atau yang lebih dikenal lewat sebutan Kullabiyah. Ternyata, tidak sebatas menerima, Abu Al-Hasan juga menyerukan pemahaman Kullabiyah itu ke orang lain sebagai cara beragama yang benar. Kullabiyah = Asyariyah Lewat dakwah yang disebarkannya, banyak orang yang kemudian tertarik dengan Kullabiyah. Menariknya, sejak saat itu, orang-orang malah menyebut pemahaman Kullabiyah sebagai Asyariyah. Dapat dikatakan, Abu Al-Hasan jauh lebih dikenal oleh para pengikutnya ketimbang Abu Muhammad Abdullah bin Said bin Kullab. Tidak hanya orang-orang biasa, para ahli fikih pada zaman itu dan zaman setelah itu banyak yang tertarik dengan Asyariyah. Dapat disebut di sini semisal Abu Bakar Al-Baqilani, AsySyahrastani, Ar-Razi sang dokter, Al-Ghazali, imam Al-Juwaini, imam Al-Haramain. Sampai hari ini, kebanyakan ahli-ahli fikih yang mengikuti pemahaman Asyariyah adalah tokohtokoh bermazhab Syafii. Lewat tulisan dan pengaruh mereka, pemahaman Asyariyah berkembang luas ke negeri-negeri kaum muslimin, termasuk Indonesia. Keadaan seperti ini membuat fikih mazhab Syafii tidak dapat dilepaskan dari akidah Asyariyah, sehingga setiap orang yang mempelajari fikih Syafii atau mengaku bermazhab Syafii hampir bisa dipastikan berakidah Asyariyah. Asyariyah = ASWAJA? Ketika negeri-negeri kaum muslimin dipengaruhi orang-orang Syiah dan akidah mereka di akhir masa kekuasaan Bani Abbasiyah, Asyariyah dan mazhab fikih Syafii menjadi benteng terdepan dalam membendung pengaruh-pengaruh itu. Melalui pola in-group, kami-mereka, sebagai lawan Syiah orang-orang banyak yang mengalamatkan sebutan ahlu sunnah wal jamaah kepada mereka. Menyebut ahlu sunnah wal jamaah, asosiasi hampir semua orang Islam di dunia akan tertuju kepada orang-orang yang bermazhab Syafii dan berakidah Asyariyah, bahkan sampai sekarang. Di antara ciri utama Asyariyah adalah keyakinan mereka bahwa Allah hanya memiliki tujuh sifat. Di Indonesia sendiri, kelompok Islam yang dikenal sebagai penjaga mazhab Syafii dengan akidah Asyariyah adalah Nahdhatul Ulama (NU). Di tengah masyarakat, mereka disebut sebagai muslim ahlu sunnah wal jamaah atau ASWAJA. Satu hal yang sering diabaikan orang adalah fakta bahwa Abu Al-Hasan Al-Asyari meninggalkan pemahaman Kullabiyah di akhir hidupnya. Ia menyatakan bertobat dari segala keyakinannya dan mengajak para pengikutnya untuk memahami Islam sebagaimana Ahmad bin Hanbal dan para pencari hadits memahami Islam. Ahlu sunnah wal jamaah, tambah Abu Al-Hasan, adalah pemahaman yang justru dipegang oleh Ahmad bin Hanbal dan para pencari hadits itu.[]

Biografi Haji Rifai Kalisasak

30 September 2012 pukul 9:22

Ada sebuah buku. Bukan baru dan lumayan tua. Dalam sejarah penulisan sejarah Indonesia, buku ini sempat laku dan menjadi sumber rujukan orang-orang. Suatu hari, orang-orang pun malas dan ogah untuk membukanya kembali: mereka lebih senang mengambil Sejarah Indonesia Modern M.C. Ricklef yang lebih faktual dan (mungkin) berbobot. Mungkin sekarang buku tua itu jadi ensiklopedi. Semacam prasasti bahwa ia dulu pernah ada. Dan memang: seperti itulah yang ada sekarang ini. Kita tak usah repot-repot bicara tentang buku Sejarah Nasional Indonesia yang enam jilid itu. Sejumlah perpustakan, agaknya, masih terus menyimpannya. Tua dan dilupakanjustru oleh orang-orang yang belajar dan juga menikmati sejarah. Dalam jilid ke-4 buku tua itu, tersimpan satu biografi tokoh pendiri gerakan Budiah di Jawa Tengah. Dia dikenal sebagai Haji Rifai. Tulisan ini mengangkat secara ringkas biografi Haji Ahmad Rifai dari Kalisasak dan gerakan yang digagasnya pada pertengahan abad ke-19. Banyak orang yang tidak tahu bahwa gerakan itu adalah gerakan Islam murni yang pernah muncul di Jawa, bahkan mungkin yang pertama kali di Jawa. Kemunculan gerakan itu sekaligus menandai awal pertentangan kaum Islam tradisionalis dengan gerakan Islam Reformis dalam sejarah perkembangan Islam di Jawa. Anak Penghulu Kendal Lahir di desa Tempuran, Kendal, pada tahun 1786, Ahmad Rifai adalah putra seorang penghulu Kendal yang bernama Muhammad Marhum. Kakek Rifai adalah KH. Asy'ari, salah seorang pemuka agama di Kaliwungu. Tempat ini sudah sejak lama dikenal sebagai tempat penyebaran Islam di Kendal. Kepada kakeknya itulah kemudian Rifai mulai mempelajari agama. Ia mempelajari cabangcabang ilmu agama seperti ilmu Nahwu (yang mempelajari grammar bahasa Arab), Sharaf (yang mempelajari morfologi Bahasa Arab), Fikih, juga hadits dan Al-Qur'an. Semua yang dipelajarinya ini adalah dasar-dasar yang mesti dilalui oleh seorang penuntut ilmu agama. Pada tahun 1833, Rifai berangkat ke Makkah. Lebih dari sekadar menunaikan haji, pergi ke Makkah pada waktu itu adalah puncak dari usaha seseorang untuk menuntut ilmu agama. Sebab di sana siapa pun penuntut ilmu yang dapat berangkat juga dapat meneruskan pelajaranpelajaran agamanya kepada ulama-ulama yang berdiam di sana. Dibutuhkan biaya dan tenaga yang luar biasa besar pada waktu itu, sehingga dari banyak laki-laki yang mempelajari agama di Jawa hanya sedikit yang mampu pergi ke Makkah. Rifai belajar di Makkah selama delapan tahun. Rentang waktu seperti ini merupakan rentang waktu yang cukup lama bagi seseorang untuk belajar agama di Makkah. Makkah sendiri, dalam rentang 18031813, diperintah oleh Dinasti Saudi yang pertama. Mereka adalah para pengikut Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab (17031792) yang berusaha mendakwahkan tauhid dan sunnah Nabi Muhammad.

Dalam usaha mereka untuk menyebarkan dakwah itu di Nejed dan Hijaz, mereka mendapat banyak tentangan dari berbagai pihak. Puncaknya terjadi ketika penguasa Hijaz menyerang mereka secara fisik. Setelah melewati rangkaian pertempuran, Dinasti Saudi pertama di bawah pimpinan Abdul Aziz bin Muhammad bin Suud menegakkan aturan-aturan Islam sesuai pemahaman para salafus shalih di Makkah dan Madinah. Ketika Rifai sampai ke Makkah, Dinasti Saudi pertama itu telah ditaklukkan oleh pasukan Muhammad Ali. Pasukan dari Mesir ini mewakili kesultanan Turki Usmani. Mereka berusaha merebut kembali kekuasaan mereka atas dua tanah suci di Hijaz itu, Makkah dan Madinah. Di bawah pemerintahan baru, kehidupan beragama yang pernah ada di sana diusahakan kembali. Segala unsur yang berasal dari dakwah Muhammad bin Abdil Wahhab disingkirkan. Di antara bentuk kehidupan beragama yang dimaksud adalah berbagai perayaan yang diperingati di Masjidil Haram dan Masjid Nabawi, mulai dari peringatan Isra' Mikraj, sampai maulid nabi dan sahabat-sahabat nabi. Selain itu, ritual-ritual ibadah yang sempat dilarang oleh Dinasti Saudi pertama dilakukan kembali, seperti tahlilan, perayaan-perayaan di kuburan, zikirzikir berjamaah, tawassulan, dan sebagainya. Ornamen-ornamen tambahan yang kerap ditemukan sebelum masa pemerintahan Dinasti Saudi pertama, seperti kubah dan cungkup di atas kuburan-kuburan, diadakan kembali. Dakwah Islam Murni Dapat disimpulkan bahwa Rifai meneruskan pelajaran-pelajaran di Makkah kepada ulama-ulama yang masih tersisa di sana. Di antara guru-guru Rifai adalah Syaikh Abdurrahman, Syaikh Abu Ubaidah, Syaikh Abdul Aziz, Syaikh Usman, Syaikh Abdul Malik, dan Syaikh Isa Al-Barawi. Di antara mereka terdapat guru-guru tasawwuf dan memiliki hubungan dengan sejumlah tarekat sufi yang ada pada waktu itu. Mereka yang menjadi guru-guru Rifai tidak tergolong orang-orang yang mengajak kepada dakwah Muhammad bin Abdil Wahhab. Namun, Christine Dobbin dalam Gejolak Ekonomi, Kebangkitan Islam, dan Gerakan Padri: Minangkabau 17841847 (Komunitas Bambu, 2008: 210), menyimpulkan bahwa gerakan yang digagas oleh Rifai sekembalinya dari Makkah menunjukkan kecenderungan yang sama dengan gerakan Muhammad bin Abdil Wahhab. Sepulangnya dari Makkah, Rifai memakai gelar haji. Ia menikah dan berdiam di Kendal. Setelah kematian istrinya, Haji Rifai menikah dengan seorang janda demang di Kalisasak. Pernikahannya yang kedua ini sekaligus menandai kepindahan Haji Rifai ke Kalisasak. Di tempat yang baru, Haji Rifai mendirikan sekolah. Di sekolah ini, ia mengajarkan Al-Qur'an kepada anak-anak dan orang-orang dewasa. Dalam pengajaran yang disampaikannya, Haji Rifai mendakwahkan Islam murni kepada murid-muridnya. Tindakan ini memancing kecurigaan dari pejabat-pejabat pemerintah kolonial Belanda setempat. Para pemuka agama setempat menuduh Haji Rifai mengadakan ajaran baru dan memalsukan ajaran Islam yang ada. Dalam Sejarah Nasional Indonesia IV, Haji Rifai dikatakan telah mengajarkan keyakinan bahwa kehidupan beragama pada waktu itu telah menyimpang dari petunjuk-petunjuk Allah dan nabiNya. Ia muak dengan semua yang ada di tengah kaum muslimin Jawa pada waktu itu.

Terlebih lagi terhadap berbagai adat-istiadat yang masih terus hidup di tengah-tengah masyarakat Jawa, seperti wayang dan gamelan. Ajaran Islam, menurut Haji Rifai, harus dimurnikan kembali. Haji Rifai mengutuk siapa pun yang setia dan taat terhadap hukum-hukum kolonial. Mereka adalah kafir dan munafik. Bahkan, semua jajaran pemerintah kolonial, termasuk kepala-kepala desa, adalah orang-orang berdosa. Para penghulu Islam yang ditunjuk oleh pemerintah kolonial pun adalah para pendosa, karena mereka telah mengesampingkan ajaran-ajaran Islam dan menerima aturan-aturan orang kafir. Dakwah yang diserukan Haji Rifai ternyata menarik sejumlah pengikut. Mereka biasanya berasal dari golongan rakyat biasa. Di antara mereka terdapat para petani. Para pengikut Haji Rifai ini dikenal masyarakat lewat sebutan santri-santri Budiah. Mereka juga umum dikenal sebagai penganut-penganut Islam eksklusif. Menjalankan Islam yang ketat dan keras, mereka jarang bergaul dengan orang-orang di luar lingkaran mereka. Namun, tercatat juga, muncul simpatisan-simpatisan yang luas di luar Kalisasak, meskipun tidak secara erat berhubungan dengan Haji Rifai. Islam Murni dan Islam Tradisional Para pemuka Islam yang tidak menyukai gerakan Haji Rifai adalah orang-orang yang ingin mempertahankan Islam yang telah berkembang di Jawa apa adanya. Demikian pula, penghulupenghulu yang diangkat pemerintah kolonial. Ketidaksukaan mereka terhadap Haji Rifai menyangkut perbedaan yang muncul dalam cara memahami Islam di antara mereka. Sejumlah pejabat kolonial pun tidak menyukai Haji Rifai. Terbukti, Residen Pekalongan dan Bupati Batang berkali-kali mengusulkan kepada pemerintah kolonial Belanda untuk menangkap dan membuang Haji Rifai. Mereka merasa gerakan Haji Rifai dapat mengancam kekuasaan mereka. Puncak dari semua bentuk ketidaksukaan itu terjadi menjelang pertengahan abad ke-19. Seorang penghulu Batang, Haji Penang, kemudian mengadakan semacam debat terbuka dengan Haji Rifai. Dalam perdebatan itu, Haji Rifai akhirnya kalah. Tidak lama dari kekalahannya itu, pada tahun 1859, pemerintah menangkap Haji Rifai. Mereka kemudian memutuskan untuk membuang Haji Rifai ke Ambon. Setelah pembuangan itu, gerakan Haji Rifai menyurut. Para pengikut yang tersisa berusaha mewariskan dakwah Haji Rifai secara terbatas. Dalam literatur-literatur sejarah, gerakan Haji Rifai hanya menempati sebuah ruang kecil pembahasan. Biasanya, pembahasan tentang itu diletakkan di bawah tema gerakan-gerakan sosial abad ke-19 di Jawa. Baru pada tahun 1998, Abdul Djamil mengangkat Haji Rifai dan gerakannya secara komprehensif dalam disertasinya di IAIN Sunan Kalijaga. Pada tahun 2001, disertasi itu diterbitkan sebagai buku oleh penerbit LKiS Yogyakarta dengan judul Perlawanan Kiai Desa: Pemikiran dan Gerakan Islam KH. Ahmad Rifai Kalisasak.[]

Geneologi Mazhab Salaf


30 September 2012 pukul 9:21

Jumlah sahabat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mencapai ribuan. Ada yang berpendapat bahwa jumlah mereka sekitar belasan ribu, karena ketika terjadi peristiwa penaklukan kota Makkah pada tahun 8 H saja Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam telah membawa serta 10.000 pasukan. Ada pula yang memperkirakan jumlah mereka sekitar 114.000 orang, berdasarkan jumlah jamaah haji yang hadir pada waktu terjadi haji wada, haji perpisahan yang dilakukan Rasulullah pada tahun 10 H. Dari jumlah yang ribuan itu, tidak setiap sahabat Rasulullah didatangi oleh para tabiindalam rangka mempelajari Islam. Hanya sebagian yang mereka temui, karena faktor waktu dan tempat serta keterbatasan masing-masing mereka. Banyak pula di antara sahabat-sahabat Rasulullah yang menolak untuk memberikan fatwa tentang permasalahan agama dan cenderung merekomendasikan urusan itu kepada sahabatsahabat Rasulullah yang lain. Di antara mereka pun, banyak yang lebih memilih untuk bertanya kepada sahabat-sahabat Rasulullah lainnya tentang suatu masalah pribadi ketimbang memutuskan sendiri. Kecenderungan seperti ini, bahkan, dapat dikatakan menjadi gejala yang umum di tengah mereka. Karena itu, para tabiin mendapatkan jawaban-jawaban yang banyak tentang permasalahan agama dari sahabat-sahabat Rasulullah tertentu saja. Kata Masruq bin Al-Ajda, salah seorang mukhadhram (orang-orang yang hidup semasa dengan Rasulullah, beriman, tetapi belum sempat bertemu dengan beliau), mereka yang dimaksud itu seperti Umar bin Al-Khaththab, Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Masud, Ubay bin Kaab, Abu Darda, dan Zaid bin Tsabit. Amir bin Syarahil Asy-Syabi, salah seorang tabiin dari thabaqah al-wustha, menambahkan Abu Musa AlAsyari ke dalam daftar itu. Penugasan-penugasan dari khalifah membuat sejumlah sahabat Rasulullah yang lain harus berdiam dan menghabiskan umur-umur mereka di beberapa daerah taklukan yang jauh dari Madinah. Di tempat-tempat tugas itulah, mereka menjadi rujukan dalam permasalahan agama. Masing-masing mereka dimintai fatwa tentang satu-dua hal atau diminta menerangkan fikih-fikih ibadah tertentu. Mereka pun didatangi oleh para tabiin di tempat itu. Keadaan tersebut pada akhirnya memaksa sejumlah orang dari sahabat Rasulullah itu menjadi semacam guru-guru yang ajarannya dipegang oleh para murid di tempat masing-masing. Adalah Abdullah bin Masud di Kufah, Zaid bin Tsabit di Madinah, dan Abdullah bin Abbas di Makkah yang menjadi segelintir sahabat Rasulullah yang paling banyak dimintai fatwa dan diambil ilmu mereka oleh para tabiin di masing-masing tempat. Abdullah bin Masud sudah dikenal kapasitas ilmunya sejak Rasulullah masih hidup. Khusus Zaid bin Tsabit dan Abdullah bin Abbas, mereka menjadi rujukan para tabiin di masing-masing tempat ketika banyak sahabat Rasulullah telah meninggal-dunia.

Abdullah bin Masud memiliki beberapa orang murid. Mereka adalah Alqamah bin Qais, Abidah As-Salmani, Al-Aswad bin Yazid, Al-Harits bin Qais, Masruq bin Al-Ajda, dan Amr bin Syarahbil. Kepada beberapa orang dari mereka kemudian, Ibrahim An-Nakhai mempelajari agama sampai dikenal sebagai tabiin yang paling mirip dengan Abdullah bin Masud. Ibrahim An-Nakhai mengajarkan ilmu agamanya kepada Al-Amasy dan Abu Ishaq As-Sabii. Mereka semua dikenal sebagai tabiin-tabiin pewaris ilmu Abdullah bin Masud, para ulama kota Kufah. Kepada Al-Amasy dan Abu Ishaq As-Sabii, generasi tabiut tabiin mengambil ilmu itu kembali. Di antara mereka yang patut disebut di sini adalah Sufyan bin Said Ats-Tsauri dan Yahya bin Said Al-Qaththan. Pola yang sama juga berlaku pada Zaid bin Tsabit. Pada masanya, Zaid bin Tsabit memiliki banyak murid tabiin yang mempelajari Islam darinya. Di antara mereka adalah Said bin Musayyib, Urwah bin Az-Zubair bin Al-Awwam, Qasim bin Muhammad bin Abi Bakar AshShiddiq, Abu Salamah bin Abdurrahman bin Auf, Sulaiman bin Yasar Maula Maimunah, Kharijah anak Zaid bin Tsabit, Ubaidullah bin Abdillah bin Utbah bin Masud, Abu Bakar bin Abdirrahman, Thalhah bin Abdillah bin Amr, Aban bin Utsman bin Affan, Nafi bin Jubair bin Muthim, Qabishah bin Dzuaib, Salim bin Abdillah bin Umar. Kepada murid-murid Zaid bin Tsabit, belajar tabiin-tabiin lain, seperti Muhammad bin Muslim bin Syihab Az-Zuhri, Abu Zinad, Yahya bin Said, Bukair bin Abdillah bin Al-Asyaj. Mereka inilah yang akan menjadi rujukan juga bagi generasi-generasi tabiut tabiin seperti Malik bin Anas kemudian Abdurrahman bin Mahdi. Abdullah bin Abbas, seorang sahabat yang pernah didoakan Rasulullah agar menjadi penafsir Al-Quran, menjadi tempat bertanya bagi para tabiin. Pernah berdiam di Makkah, Abdullah bin Abbas memiliki banyak murid yang kelak dikenal sebagai para penafsir Al-Quran. Di antara murid-murid terkemukanya adalah Atha bin Abi Rabbah, Thawus, Mujahid bin Jabr, Ikrimah, Said bin Jubair, Jabir bin Zaid. Dari generasi tabiut tabiin, Amr bin Dinar mewarisi pengetahuan mereka sampai kemudian dikenal sebagai orang yang paling berilmu tentang fikih Ibnu Abbas dan murid-muridnya. Kepada Amr bin Dinar itulah, Sufyan bin Uyainah kemudian bermajelis selama dua puluh tahun. Demikian pula dengan Ibnu Juraij, meski diragukan pernah bertemu dengan Abdullah bin Abbas, tetapi sebagai seorang pewaris fikih Abdullah bin Abbas ia diakui banyak orang. Bahkan, beberapa orang murid Ibnu Abbas seperti Thawus dan Mujahid rela bermajelis dengan Ibnu Juraij. Mereka berdua mengambil beberapa riwayat hadits darinya, sebagai bentuk kerendahan hati mereka. Semua nama tabiin dan tabiut tabiin itu adalah sejumlah tokoh terkemuka dari masing-masing generasi. Dengan menyebutkan nama-nama mereka saja akan tergambar rantai geneologis yang terus bersambung dari pribadi Rasulullah shallallahu alaihi wa sallamkepada mereka. ***

EKSISTENSI PARA PENGAFIR DI SEKITAR KITA


30 September 2012 pukul 9:21

Dengan ingatan yang payah, saya tulis juga sepotong bait dari satu puisi terkenal Taufik Ismail. Dan hanya ini yang bisa saya ingat dari kumpulan puisinya itu, Tirani dan Benteng. Di antara kita aku tarik sebuah garis lurus dari sana jarak pun terbentang memisahkan kau dan aku. Saya yakin, bukan seperti ini puisi itu adanya. Tapi, sekali lagi saya betul-betul lupa. Yang jelas, bagi saya, puisi Taufik Ismail itu adalah salah satu, untuk tidak menyebut satu-satunya, puisi yang melukiskan kecenderungan kita-mereka, kami-kalian, in group dan out group. Puisi itu, agaknya, bisa mewakili sikap kita selama ini untuk melihat segala konflik sebagai kita dan mereka. Saya bicara seperti ini, setelah saya kembali menemukan hal itu dalam sebuah buku.Mereka Bilang Aku Kafir adalah sebuah kisah nyata yang dituangkan dalam bentuk novel. Lucunya, meski memakai nama-nama samaran sekali pun, saya tahu aliran sesat yang diceritakan di situ, juga pesantren mereka yang disamarkan di dalamnya. Dan saya yakin, cerita yang disuguhkan penulis buku itu memang benar, terjadi apa adanya di tengah kita. Selama ini, kita sering merasa ragu-ragu, seolah-olah tidak percaya bahwa ada orang-orang yang menghalalkan darah-darah kaum muslimin hanya karena tidak satu keyakinan dengan mereka. Mereka itu ada di sekitar kita. Mereka shalat, puasa, berzakat dan mengenakan identitas-identitas Islam yang umum kita kenal. Kaum perempuan mereka juga mengenakan jilbab dan mereka fasih melantunkan ayat-ayat Al-Qur'an. Jauh lebih fasih dari kita semua. Lebih dari itu, lewat keyakinan mereka yang keji, kita di mata mereka tak jauh beda bahkan sama persis dengan babi-babi, anjing-anjing buduk dan segala lambang kerendahan yang kita bisa kenal. Pokoknya, kita semua hina dan tak berharga di mata mereka. Tokoh Idris dalam Mereka Bilang Aku Kafir berbicara tentang satu kelompok sempalan dalam Islam yang sekarang masih hidup di Indonesia. Ia menjadi saksi bagaimana bekas kelompoknya itu mengancam keutuhan hidup bernegara dan beragama kita. Dan semua itu hanya karena pemahaman mereka yang keliru terhadap ayat-ayat Al-Qur'an dan hadits-hadits Rasulullah. Idris juga mempersaksikan bahwa mereka adalah gerombolan dungu yang berusaha menarik orang banyak agar satu keyakinan dengan mereka. Biasanya, mereka mulai dari orang-orang di sekitar mereka. Teman sekolah, teman sekitar rumah, orangtua adalah target pertama dan mungkin utama yang harus mereka islamkan kembali. Sekali lagi: yang ingin mereka ISLAMKAN KEMBALI.

Dalam kacamata Islam, sebagaimana yang dikatakan Asy-Syahrastani dalam Al-Milal wan Nihal, kelompok seperti mereka disebut sebagai kaum khawarij. Ciri khas mereka adalah gampang mengafir-ngafirkan orang hanya karena orang tersebut melakukan dosa-dosa besar dan terutama tidak satu keyakinan dengan mereka. Dan ciri paling mencolok dari mereka adalah gampangnya mereka untuk memberontak terhadap penguasa resmi yang memerintah negerinegeri mereka. Kalau manusia yang seperti kita dianggap kafir oleh mereka, jelas kita tak akan ambil pusing, meskipun hti ini pasti dongkol dan mencak-mencak. Akan tetapi, orang-orang seperti mereka juga tidak tanggung. Bayangkan, menantu Rasulullah saja, Ali bin Abi Thalib, mereka kafirkan hanya karena satu perkara yang menurut mereka keliru. Padahal orang-orang yang jeli akan tahu bahwa Ali bin Abi Thalib tidak pernah sekali pun jatuh murtad selama hidupnya, apalagi ketika memegang tampuk kekuasaan atas kaum muslimin pada waktu itu. Tidak berhenti di sana, mereka, kaum khawarij itu, juga mengafirkan orang-orang yang jauh berilmu dan menjadi rujukan umat Islam pada waktu kapan pun dan tempat mana pun. Imamimam mazhab fikih yang empat, misalnya, mereka kafirkan hanya karena keempat imam itu taat dan tunduk pada penguasa resmi negeri-negeri Islam waktu itu. Janganlah tanya ulama-ulama yang menjadi rujukan kita pada hari ini. Kaum khawarij mengafirkan mereka semua. Ulama di mata mereka haruslah orang-orang yang ikut mengafirkan dan memberontak kepada penguasa resmi kaum muslimin. Anda mungkin bingung, karena keterangan saya ini, lalu berkata, "Kaum khawarij, saudaraku Rimbun, itu hidup dan sudah ditumpas habis pada masa pemerintahan khalfiah Ali bin Abi Thalib." Dan kalimat itu akan diteruskan kembali, "Anda jangan mengada-ada bahwa mereka masih ada sekarang, karena itu disebut dengan ahistoris." Mungkin benar pernyataan itu, tapi bisa saya pastikan tidak. Khawarij akan terus ada, apa pun nama mereka, apa pun bentuk mereka, apa pun tampang mereka. Mungkin dulu mereka orangorang yang hafal Al-Qur'an dan membuat kita minder akan ibadah-ibadah kita di depan mereka yang rajin dan kuat beribadah. Mereka akan terus ada sampai hari Kiamat tiba. Perhatikan saja ciri utama mereka yang sudah saya sebutkan tadi. Dan saya pastikan, andaanda semua dapat melihat keberadaan mereka di sekitar mereka. Ritz yang meledak itu atau CIMB yang dirampok itu belum apa-apa. Mereka masih banyak dan larut di sekitar kita. Mereka terobsesi untuk menggulingkan SBY dan Boediono atau siapa pun yang jadi pemerintah kita. Jangankan presiden dan wakilnya, ketua RT di lingkungan mereka pun dikafirkan pula. Yang mesti kita sadari, mereka banyak dan terpecah-pecah. Derajat militansi mereka pun beragam. Lucunya, antara mereka pun ternyata saling bermusuhan (baca: mengafirkan). Mereka hari ini bisa berjenggot dan mengenakan identitas-identitas keislaman. Tapi, ingat, mereka akan begitu mudah meninggalkan semua itu untuk mengenakan jeans, t-shirt gaul, tank top dan mencukur jenggot-jenggot mereka. Untuk sebuah penyamaran, mereka harus melakukan itu. Apalagi, jika keadaan menuntut mereka seperti itu, misalnya, ketika dikejar-kejar Densus 88 akibat membobol CIMB.

Anda masih tidak percaya? Kalau begitu, masih ingat rekaman persiapan peledakan Ritz dan Marriot tahun lalu? Masih ingat ujaran mereka, cita-cita mereka dan, lebih penting lagi, tampang mereka yang direkam oleh Saifuddin Zuhri itu? Masih ingat topi pet pelaku, kemejachic yang dikenakannya, sepatunya atau pantalon yang dipakai saat beraksi? Atau setelan ketika mereka direkam setelah lari-lari pagi di sekitar dua hotel itu? Ingatkah kita? Jangankan saya atau anda, orangtua mereka pun jauh lebih tidak percaya, kalau anak-anak mereka seperti itu.Dan itu bukti: kita lalai selama ini.[]

CIRI-CIRI TERORIS DI SEKITAR KITA


30 September 2012 pukul 9:19

Jika sebatas menebar rasa takut, setiap orang yang melakukan itu bisa dikata sebagai teroris. Namun, masalah bakal jadi rumit ketika menebar ketakutan itu atas nama agama. Mengatasnamakan Islam dan jihad fi sabilillah untuk mengharap mati syahid, orang-orang atau pihak-pihak yang melakukan aksi-aksi terorisme di Indonesia 12 tahun belakangan ini tidak bisa sekedar disebut teroris. Mereka lebih patut diistilahkan dengan Khawarij. Khawarij, kata Asy-Syahrastani dalam Al-Milal wa An-Nihal, adalah setiap orang yang menentang dan memberontakapa pun caranya kepada penguasa atau pemerintah yang kaum muslimin sepakat atas kepemimpinan dan kekuasaannyabaik itu pada masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib ataupun pada masa pemerintahan-pemerintahan setelahnya sampai hari Kiamat nanti. Akan tetapi, pengertian Khawarij tidak hanya sampai di situ. Sebutan Khawarij, biasanya, identik dengan orang-orang yang gampang mengafirkan-ngafirkan para pelaku dosa-dosa besar selain syirik. Bahkan, para pemimpin sah dan juga ulama kaum muslimin turut dikafirkan hanya karena melakukan sesuatu yang itu dinilai sebagai dosa besar oleh orang-orang Khawarij. Di Indonesia kita, orang-orang Khawarij dapat hidup dan bebas menyebarkan pemikiran mereka. Dakwah mereka disebarkan ke masyarakat lewat rupa buku agama, novel Islami, buletin Jumat, tabloid dan majalah bulanan, artikel-artikel di suratkabar, rekaman ceramah, film dokumenter, pamflet dan poster solidaritas perjuangan. Sayangnya, kita sering tidak jeli. Menyikapi aksi bom bunuh diri dan penculikan sekaligus pencucian otak sejumlah orang belakangan ini, tulisan ini berusaha mengidentifikasi kelompok-kelompok Khawarijapapun namanyayang ada di sekitar kita. Ada beberapa ciri yang dapat kita ketahui, setidaknya, untuk dapat mengenali mereka. Dengan melihat ciri-ciri tersebut, kita dapat berhati-hati sekaligus juga ikut membantu pemerintah dan aparat dalam menanggulangi terorisme di Indonesia. Mereka Gampang Mengafir-Ngafirkan Pertama, orang-orang Khawarij di tengah masyarakat kita adalah orang-orang yang gampang mengafir-ngafirkan siapa saja dari pelaku dosa selain syirik. Meski ciri ini adalah ciri umum orang-orang Khawarij di mana pun, tetapi di kalangan kelompok-kelompok Islam yang ada di

tengah masyarakat kita tindakan mengafir-ngafirkan seperti ini hanya dimiliki oleh segelintir kelompok. Dari segelintir kelompok itu, orang-orang Khawarij paling ekstrim tidak akan shalat berjamaah di belakang imam-imam masjid kaum muslimin yang telah mereka kafirkan karena berbuat maksiat. Karena itu, shalat berjamaah di belakangnya menjadi tidak sah, sehingga harus diulang. Ketimbang mengamati satu demi satu imam-imam masjid untuk shalat berjamaah, orang-orang Khawarij lebih memilih shalat berjamaah di rumah dengan sesama mereka atau shalat sendiri di masjid kaum muslimin. Kalau pun mereka harus shalat berjamaah bersama kaum muslimin yang lain, itu dilakukan agar masyarakat tidak curiga danbiasanyashalat itu akan diulang lagi tanpa sepengetahuan orang lain. Dalam mengafirkan, orang-orang Khawarij tidak peduli siapa yang dituju. Selama orang itu melakukan maksiat atau dosa-dosa besar selain syirik akan mereka kafirkan juga. Kita akan dapati mereka mengafirkan orangtua sendiri, saudara-saudara kandung, kerabat-kerabat dekat, tetangga, para pegawai kantor pemerintahan, tokoh-tokoh pemerintah setempat, anggotaanggota kepolisian dan tentara, juga presiden serta menteri-menteri di kabinetnya hanya karena alasan itu. Masuk juga ke dalam ciri pertama ini adalah orang-orang yang menganggap bahwa masyarakat Islam dan dunia sekarang ini kembali ke masa jahiliyah seperti sebelum Muhammad diutus menjadi rasul dulu. Siapa saja yang menganggap masyarakat sekarang adalah masyarakat jahiliyah, maka ia termasuk ke dalam kelompok Khawarij. Di tengah masyarakat kita, siapa pun yang jeli pasti akan dapat mudah menemukan buku-buku, artikel-artikel, tulisan-tulisan, rekaman-rekaman ceramah dan film-film dokumenter yang mewacanakan kejahiliyahan masyarakat sekarang. Tidak patut untuk dilupakan, karena masuk ke dalam ciri ini, adalah anggapan bahwa di dunia sekarang ini tidak terdapat sama sekali negara-negara muslim atau negara-negara Islam. Mereka yang memiliki anggapan seperti ini akan memvonis dunia sekarang sebagaidarul kuffar (wilayah orang-orang kafir, zona kafir) atau darul harbi (kawasan perang). Terkhusus Indonesia, mereka akan mengatakan, Indonesia adalah negara kafir karena tidak berhukum dengan hukum Allah atau karena menggunakan sistem hukum sekuler dan menjalankan prinsip-prinsip demokrasi. Itu menjadi anggapan mereka, meski mayoritas penduduk Indonesia adalah muslim dengan presiden dan wakil presiden negara yang juga muslim dan mengerjakan shalat. Meski demikian, tidak usah heran pula, jika ternyata ada kelompok-kelompok Khawarij yang menganggap dunia tidak semuanya darul harbi. Alasan mereka, daerah-daerah yang ditempati kelompok-kelompok merekameski hanya sekecil Kramat Tunggak di Jakarta Utara, Saritem di Bandung, Sunan Kuning di Semarang atau kawasan Dolly di Surabayatetap bisa disebut sebagai darul iman (zona keimanan). Kepada anggota-anggota baru, biasanya, mereka diminta hijrah ke sana.

Siapa saja dari rakyat Indonesia yang beranggapan seperti itu atau ditemukan memiliki anggapan seperti itu, dapat dikatakan sebagai Khawarij sekarang ini atau telah terpengaruh pemahaman Khawarij. Bagaimana pun, anggapan seperti yang dimaksud dapat hinggap pada banyak orang, baik mereka itu aktivis-aktivis partai Islam atau mereka hanya sekedar rakyat biasa yang taat bayar pajak. Mereka Menentang Pemerintah Kita Kedua, selain gampang mengafir-ngafirkan, Khawarij di tengah masyarakat kita adalah orangorang yang amat gampang menuduh pemerintah kita dan aparatnya sebagai orang-orang lalim, kafir, dan antek-antek Salibis-Yahudi. Mereka menjelek-jelekkan pemerintah kita dalam majelismajelis pengajian mereka, pembicaraan-pembicaraan internal antar mereka, atau sekedar obrolan-obrolan ringan di waktu-waktu senggang mereka. Mereka juga menyerukan sikap penentangan terhadap pemerintah beserta kebijakankebijakannya di tengah masyarakat kita. Orang-orang Khawarij mendakwahkan bahwa kesempurnaan Islam dapat tercapai dengan menggantikan sistem pemerintahan kita dengan sistem pemerintahan Islam (baca: penegakan syariat Islam lewat jalur kekuasaan). Khusus masalah ini, mereka termasuk orang yang gelap-mata dalam berpendapat. Mereka menutup faktor-faktor lain di luar faktor ini sebagai solusi umat. Di tengah maraknya usaha untuk menjatuhkan citra pemerintah oleh pihak oposan sekarang ini, orang-orang Khawarij ikut menyebarkan semangat menjelek-jelekkan pemerintah itu dengan dalih amar maruf nahi mungkar atas nama umat Islam. Bahkan dapat dikatakan, kebencian mereka terhadap pemerintah kita jauh melebihi kebencian seorang politikus yang berdiri dalam barisan oposisi pemerintah. Dalam istilah mereka, pemerintah beserta jajaran aparatnya adalah thaghut-thagut yang mesti diperangi bersama. Karena mereka menghafal Al-Quran dan hadits-hadits Rasulullah, tindakan mereka itu selalu dilandasi ayat-ayat atau hadits-hadits tentang jihad, amar maruf nahi mungkar, janji-janji surga bagi yang mati syahid (dalam pandangan mereka). Dengan sorot mata yang tajam dan uraian yang berapi-api serta kiasan-kiasan sederhana, mereka sangat fasih membawakan dalil-dalil ancaman bagi siapa pun yang taat terhadap para thaghut (baca: pemerintah kita). Bukan rahasia umum lagi, kiranya, jika orang-orang Khawarij dikenal sebagai orang-orang yang memiliki retorika bicara bagus dan mudah meyakinkan orang lain. Dalam retorika Khawarij di Indonesia, kata Iman lalu Hijrah dan Jihad (iman, hijrah, jihad) menjadi semacam keyword untuk mengenali orang-orang Khawarij di tengah masyarakat kita. Hidup mulia atau mati syahid termasuk slogan yang membakar anggota-anggota muda mereka. 70 bidadari di surga atau Para Peminang Bidadari adalah dorongan yang terus diulang-ulang agar mereka melakukan sebuah aksi berani dalam apa yang mereka sebut sebagai jihad. Dakwah mereka melulu mengedepankan kata jihad dan mati syahid ketimbang kata tauhid dan sunnah atau akhlak-akhlak karimah. Kelompok mana pun atau siapa saja yang menjadikan keyword-keyword tersebut sebagai slogan-slogan dalam dakwah masing-masing

sekarang ini dapat diidentifikasi sebagai Khawarij atau, setidaknya, orang-orang yang terpengaruh pemahaman Khawarij. Tentang ajakan untuk bertauhid, orang-orang Khawarij juga, ternyata, mengajarkan tauhid dalam dakwah-dakwah mereka. Bedanya, tauhid orang-orang Khawarij diistilahkan denganTAUHID MULKIYAH. Dengan itu, mereka memaksudkan bahwa tidak ada hukum selain hukum Allah (inil hukmu illa lillah). Artinya, dalam masalah hukum, menegakkan hukum Islam sebagai hukum negara adalah bagian tauhid yang mesti dilakukan pertama kali. Karena itulah, bagi mereka, setiap penguasa atau negara yang tidak berhukum dengan hukum Allah wajib untuk digantikan dengan penguasa atau negara yang berhukum dengan hukum Allah. Kita mafhum sekarang, tauhid mulkiyah adalah dalih utama bagi orang-orang Khawarij untuk memberontak dan mengafirkan penguasa serta para pendukungnya yang tidak berhukum dengan hukum Allah. Menegakkan tauhid, buat orang-orang Khawarij, adalah menegakkan negara dan hukum Islam meski sambil menebar teror. Mereka Mengadakan Baiat Kelompok Ketiga, di antara ciri-ciri mereka di tengah masyarakat kita, orang-orang Khawarij termasuk orang-orang yang mengadakan proses baiat dalam keanggotaan mereka. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, istilah baiat diartikan sebagai proses pengambilan sumpah setia kepada pemimpin atau amir jamaah. Siapa pun yang direkrut mereka, ia akan menjalani proses pembaiatan dulu. Baiat terhadap pemimpin kelompok atau amir jamaah lebih wajib dilakukan ketimbang baiat kepada SBY dan Boediono, pemimpin legal dalam bernegara dan bermasyarakat di wilayah NKRI kita. Dalam bentuk yang lebih ekstrim, seperti pada kelompok-kelompok Khawarij, ketaatan mereka hanya pada pemimpin atau amir mereka, bukan pada pemerintah Indonesia dan segenap jajarannya. Terlebih lagi, jika mereka telah menganggap pemerintah kita telah kafir; mereka akan bertekad mempertahankan baiat terhadap pemimpin kelompok mereka yang dalam anggapan mereka adalah satu-satunya pemimpin muslim. Karena itu, sudah tidak mengherankan lagi, jika orang-orang Khawarij dikenal sebagai warga negara Indonesia yang paling payah. Mereka tidak lapor ke RT atau RW setempat, ketika berkunjung lebih dari 1 x 24 jam atau pindah ke sebuah alamat baru. Mereka enggan mengurusi identitas kewarganegaraan, seperti KTP, Kartu Keluarga, Surat Keterangan Pindah atau sekedar Akte Kelahiran. Mereka cenderung untuk mangkir dari kewajiban membayar iuran-iuran bersama di lingkungan masing-masing, seperti iuran RT, iuran sampah, iuran ronda, iuran air ledeng, bahkan terkadang iuran listrik. Lebih dari itu, mereka tidak memiliki rasa hormat terhadap aparat-aparat pemerintah di tingkat bawah, mulai dari tingkat RT, RW, kecamatan, sampai tingkat propinsi. Mereka mengistilahkan pemerintah beserta jajarannya itu sebagai thaghut-thaghut yang tidak layak untuk dihormati apalagi ditaati.

Meski demikian, orang-orang Khawarij di tengah masyarakat kita bukan orang-orang tanpa identitas. Mereka bukan pribadi-pribadi anonim yang ketika kita minta identitas diri mereka akan mengatakan tidak punya. Justru sebaliknya, sering kalikalau mau jelikita dapatkan beberapa di antara mereka memiliki identitas ganda. Pimpinan kelompok Khawarij meminta kepada para anggotanya, terutama yang memiliki peran dan kedudukan penting, untuk memiliki identitas ganda dalam rangka mengelabui masyarakat dan terkhusus aparat. Seorang Khawarij yang telah dianggap sebagai mujahiddan senior bagi anggota-anggota lain, kebanyakan, memiliki KTP lebih dari satu dengan identitas berbeda. Terkadang, beberapa di antara mereka memiliki paspor lebih dari satu dengan identitas yang berbeda pula. Dalam keadaan seperti itu, terkait dengan ciri mereka yang keempat, jangan bayangkan mereka sebagai laki-laki berjenggot dan berjubah gaya Timur Tengah. Sebaliknya, mereka akan berpenampilan seperti orang-orang kebanyakan; mereka berpenampilan klimis, mengenakan jeans dan kemeja chic. Tidak jarang, rupa mereka tidak jauh berbeda dari mahasiswa-mahasiswa pasca sarjana Universitas Indonesia. (Ingat foto-foto ketika salah satu kelompok mereka merampok Bank CIMB dulu!) Bagi mereka yang berada di kota-kota kecil dan desa-desa di pulau Jawa, penampilan mereka jauh dari penampilan seorang Jamaah Tabligh, apalagi penampilan seorang Salafi. Mereka dapat merupa penampilan tukang las, penjaja bakso, pedagang beras dan segala keumuman yang tampil di masyarakat. Adapun mujahid-mujahid mereka yang sedang mengemban misi di Filipina dan Thailand, mereka malah mengenakan anting-anting dan kalung bersalib, rambut dengan potonganskinhead, busana punkies, dan ngedugem di diskotik-diskotik setempat. Merekanongkrong di bar-bar dalam rangka jihad di negeri kafir. Mereka baru akan menampakkan identitas keislaman mereka hanya ketika berada dalam tahanan. Dan mereka baru akan seperti itu, ketika kemungkinan untuk menyelamatkan diri dari kejaran aparat dirasa tidak mungkin lagi. Wajar, jika anggota-anggota mereka yang telah tertangkap pasti terlihat berpenampilan a la syaikh-syaikh Timur Tengah dalam liputan-liputan tentang mereka di penjara. Mengenakan jubah besar warna putih atau abu-abu dan kadang hitam, mereka akan membebat kepala-kepala mereka dengan sorban putih atau hanya mengenakan peci-peci putih seperti seorang ustadz pesantren. Jenggot-jenggot mereka dibiarkan tumbuh di penjara. Celana-celana panjang mereka akan tergantung di atas matakaki-matakaki mereka. Dalam sorotan kamera stasiun televisi, mereka akan mengacungkan kepal tangan sambil teriak, Allahu Akbar!. Itu semua menunjukkan kegandaan identitas mereka di tengah-tengah masyarakat. Siapa saja yang tidak mau jeli, selalu akan bersikap tidak-habis-pikir ketika salah seorang tetangga di dekatnya ditangkap aparat karena terlibat perencanaan aksi bom bunuh diri di ibukota. Tidak sedikit pula orangtua-orangtua anggota kelompok Khawarij yang tidak menyangka ketika anakanak berwajah-lugu-dan-alim mereka diciduk aparat suatu hari.

Mereka Punya Tanzhim As-Sirriyah Keempat, orang-orang Khawarij dengan segala ciri yang telah disebutkan itu menerapkan sistem kerahasiaan dalam kelompok mereka atau tanzhim as-sirriyah. Dalam prakteknya, sistem itu bersifat sangat rahasia dan hanya diketahui oleh lingkaran mereka. Terkadang, anggota-anggota baru tidak mengetahui rahasia-rahasia kelompok yang bersifat pelik. Bahkan, dalam beberapa kasus, jati diri pimpinan kelompok atau amir jamaah dirahasiakan dari anggota-anggota baru. Karena mereka menerapkan model rekrutmen seperti itu, beberapa pimpinan kelompok Khawarij memberlakukan bentuk sel-sel kecil yang efektif dan aman dijalankan ketika pihak aparat dan masyarakat luas mulai menyadari keberadaan mereka. Untuk sebuah aksi atau hanya sekedar indoktrinasi berkala kepada anggota-anggota baru, sel-sel kecil ini sangat berhasil menjaga kerahasiaan kelompok-kelompok mereka. Sistem kerahasiaan mereka itu juga berarti ada struktur tersendiri dalam kelompok. Dimaksud struktur di sini, artinya, mereka memiliki jalur-jalur komando instruksi dari atas ke bawah. Pemuncak mereka adalah imam atau amir jamaah. Di bawahnya, ada beberapa jabatan yang akan membantunya menjalankan kelompok. Setiap orang yang duduk dalam jabatan itu memiliki wewenang kepada anggota-anggota di bawah masing-masing. Dalam bentuk paling ekstrim, struktur mereka itu ada yang menyerupai struktur jabatan kenegaraan. Dengan kata lain, seperti negara dalam negara. Mereka menunjuk seorang imam, sejumlah gubernur, beberapa belas bupati, dan puluhan camat. Masing-masing membawahkan jabatan-jabatan lain, termasuk jabatan-jabatan komandan wilayah yang memegang kesatuanterlatih mereka. Mereka menyebarkan struktur ini ke wilayah yang lebih luas dari sekedar propinsi Jawa Tengah. Indonesia, dengan struktur yang mereka susun, akan terbagi-bagi menjadi satuan-satuan wilayah kecil. Mereka membangun satu negara bawah tanah. Dalam kelompok-kelompok Khawarij tertentu, struktur rahasia yang mereka bentuk itu terhubung langsung dengan struktur besar kelompok Khawarij di Asia Tenggara atau bahkan di Timur Tengah. Dalam rantai struktur ini, garis kebijakan tidak mesti terdapat antara struktur besar di luar dan di Indonesia. Kebijakan-kebijakan penting, apalagi darurat, dapat diambil oleh imam atau amir setempat tanpa sepengetahuan orang-orang di dalam struktur besar. Dengan tanzhim as-sirriyah juga, mereka meneruskan hidup. Terkait dengan urusan perkawinan, misalnya, seorang anggota kelompok Khawarij akan mencari pasangan hidup dari kelompok mereka juga. Rahasia-rahasia yang banyak mereka pegang menuntut mereka untuk mencari pasangan hidup seperti itu agar siap memahami, menerima, dan menanggung semuanya. Sebagai istri, seorang wanita dari kelompok Khawarij menyiapkan diri jauh-jauh hari untuk ditinggal pergi suaminya karena ditangkap aparat atau ditinggal mati ketika sedang menjalankan aksi. Mencari pasangan hidup dari luar kelompok teramat beresiko. Butuh waktu lama dan usaha tidak sedikit untuk meyakinkan siapa pun yang menjadi pasangan hidup itu. Alih-alih, mencari

pasangan hidup dari luar kelompok justru dapat menjadi bumerang kelompok berikut jaringanjaringan yang tersebar. Artinya, bukan sekedar jaringan kelompok terbongkar, tetapi juga menghancurkan masa depan kelompok dan perjuangan yang mereka emban. Terkait dengan nafkah keluarga, sebagai misal yang lain, sebagian anggota-anggota aktif kelompok Khawarij di Indonesia memiliki rekening-rekening pribadi tempat tunjangan keluarga diterima. Dengan tunjangan itu, mereka tidak mesti pusing ketika tuntutan untuk menafkahi keluarga mengemuka. Rekening-rekening itu akan beralih fungsi sebagai tempat santunan sosialterlepas dari besar atau kecil jumlah yang adabuat janda-janda dan anak-anak mereka, ketika mereka tewas dalam aksi. Dana yang mereka miliki diperoleh lewat donasi. Kelompok-kelompok Khawarij menerima donasi dari pihak-pihak yang bersimpati dengan kegiatan-kegiatan mereka. Di luar donasi, sejumlah uang untuk mendanai aktifitas mereka diperoleh lewat beberapa tindak kriminal, seperti perampokan, pencurian, atau pembobolan rekening bank orang lain. Khusus yang terakhir ini, beberapa anggota kelompok Khawarij memiliki kemampuan hacking di atas rata-rata. Mereka menganggap korban-korban mereka itu sebagai orang-orang kafir dan karena itu mengambil harta termasuk bagian dari jihad mereka. *** Semua ciri Khawarij yang telah disebutkan tidak akan berarti apa-apa tanpa ciri terakhir, sistem kerahasiaan yang dipegang. Tanzhim as-sirriyah menjadi sebuah tuntutan demi kelangsungan kelompok, tujuan kelompok, dan juga pemahaman kelompok. Jika dibandingkan, sistem kerahasiaan mereka itu lebih ketat dijaga ketimbang sistem kerahasiaan (baca: code red) yang ada di kalangan polisi dan tentara negara kita. Siapa pun di sekitar kita yang bergabung atau sekedar memiliki hubungan dengan pengajianpengajian dan kelompok-kelompok Islam dengan ciri-ciri tersebut dapat dimintai keterangan. Kalau betul sedang merencanakan aksi-aksi teror, biasanya, membohongi kita menjadi pilihanterbaiknya. Well, setidaknya, mengelak dengan dalih macam-macam. Sebab, bagaimana pun, terorisme di Indonesia sekarang ini lebih bernuansa Khawarij ketimbang aksi teror biasa.[]

Dari Hasan Al-Banna: Metode Rekrutmen dalam NII


30 September 2012 pukul 9:18

Rekrutmen anggota di tengah kelompok Darul Islam (DI), dalam perjalanan mereka, mengalami perubahan bentuk yang signifikan pada tahun-tahun 1970-an dan 1980-an. DI, yang semula dinamakan Negara Islam Indonesia (NII) oleh S.M. Kartosoewirjo (1907 1962), berkembang luas secara drastis sejak mengadaptasi metode usrah dalam rekrutmen anggota dari kelompok Ikhwanul Muslimin di Mesir. Ikhwanul Muslimin dan Hasan Al-Banna Ikhwanul Muslimin didirikan pada 1928 di Ismailiyah, Mesir, oleh Hasan Al-Banna (1906 1949). Pendirinya itu memaksudkan Ikhwanul Muslimin sebagai jamaah islami yang menyebarkan

akhlak dan amal baik. Ia mendakwahkan sebuah bentuk Islam yang total dan aktif. Menurutnya, negara Islam adalah satu hal penting yang mesti diusahakan agar tercipta lingkungan yang islami. Perubahan, ternyata, tak dapat dielakkan lagi. Sejak 1938, Ikhwanul Muslimin mulai menampakkan aktivitas politik dengan menyebarkan edaran yang bernama An-Nadzir. Pada saat bersamaan, pembukaan cabang-cabang baru kian gencar dilakukan. Puncaknya, pada 1947, Ikhwanul Muslimin telah memiliki anggota sebanyak 75 ribu orang. Pertambahan jumlah anggota diiringi dengan pengembangan diri, seperti membentuk pasukan rahasia, tenaga-tenaga pengurus, mendirikan perusahaan-perusahaan, pabrik-pabrik, sekolahsekolah, rumahsakit-rumahsakit. Yang terpenting dari itu semua, Ikhwanul Muslimin memasukkan anggota-anggotanya ke dalam berbagai lapisan masyarakat, seperti dalam serikatserikat buruh atau bahkan korps militer. Sebagai pemimpin kharismatik, Hasan Al-Banna dikenal sebagai sosok yang mampu merekrut anggota-anggota baru ke dalam Ikhwanul Muslimin. Pada 11 Februari 1949, Hasan Al-Banna ditembak oknum bersenjata dan meninggal dunia di rumah sakit beberapa jam kemudian. Penembakan itu terjadi akibat aktivitas-aktivitas radikal Ikhwanul Muslimin yang sering menyerang kepentingan politik pemerintah Mesir. Metode Usrah sebagai Pola Rekrutmen Pada saat bersamaan, di Indonesia muncul gerakan Darul Islam (DI) yang berusaha menegakkan negara Islam di bumi Nusantara kita. Pada 1962, pemimpin gerakan, Kartosoewirjo ditangkap dan dieksekusi-mati. Anggota-anggota gerakan pun menyerah dan mengakui kedaulatan negara Indonesia. Akan tetapi, DI belum habis. Terlepas dari campur tangan pemerintah, sebagian pimpinan DI berusaha meneruskan kembali perjuangan Kartosoewirjo. Hanya saja, permasalahan yang menghinggapi mereka adalah regenerasi. Permasalahan itu kemudian mereka atasi dengan mengadaptasi metode usrah. Metode yang dimaksud pertama kali diperkenalkan oleh Hasan Al-Banna di tengah-tengah Ikhwanul Muslimin. Dalam metode itu, sepuluh sampai lima belas orang dikumpulkan dalam satu kelompok untuk bersedia hidup sesuai syariat Islam. Dalam satu kelompok, anggota-anggota kelompok tidak ubah seperti satu keluarga (usrahadalah bahasa Arab untuk keluarga). Masing-masing kelompok, setelah menjadi banyak dan bertahan, akan menjadi cikal-bakal untuk mendirikan negara Islam. Konon, orang yang pertama kali membawa metode ini ke Indonesia adalah Toto Tasmara. Ia memperkenalkan metode ini, setelah terkesan dengan cara teman-temannya di Malaysia ketika menerapkannya di tengah mereka. Dari Bandung ke Yogyakarta

Di Indonesia, metode usrah pertama kali dikembangkan di tengah aktivis Badan Kordinasi Pemuda Masjid Indonesia (BKPMI) yang bemarkas di Masjid Istiqamah, Bandung. Dari masjid inilah kemudian metode usrah menyebar ke masjid-masjid lain di Bandung sampai berakar kuat di Masjid Salman, Institut Teknologi Bandung (ITB). Meski demikian, sebagai catatan, tidak setiap orang yang mengikuti kelompok-kelompokusrah di Bandung adalah anggota DI. Sebagian mereka malah menjadi aktivis-aktivis mesjid kampus dan mengembangkan gerakan sadar-Islam ke tengah-tengah mahasiswa tahun 1970-an. Mereka dengan tegas menolak Islam sempit a la DI, meski tetap mengambil inspirasi gerakan dari gerakan-gerakan Islam di Mesir dan Iran. Masjid Salman ITB sendiri, sejak pertama kali dimasuki metode usrah, tidak memiliki keterkaitan dengan DI. Adalah Mursalin Dahlan, seorang anggota DI di Bandung, yang kemudian memperkenalkan metode usrah ke anggota-anggota muda DI di Yogyakarta. Di antara anggota-anggota muda itu, terdapat Irfan S. Awwas, Fihiruddin atau Abu Jibril dan Muchliansyah. Mereka bertiga yang dimaksdud adalah anak didik Abdullah Sungkar yang waktu itu dikenal sebagai seseorang dengan peran menonjol dalam struktur formal DI Jawa Tengah. Sebaliknya, anggota-anggota DI di Yogyakarta telah memiliki metode perekrutan lain yang disebut pesantren kilat, dengan rentang waktu pembelajaran singkat. Kebangkitan DI Menggabungkan dua metode itu, anggota-anggota DI banyak merekrut anggota baru sejak tahun-tahun akhir 1970-an sampai 1980-an. Biasanya, pesantren-pesantren kilat akan menjaring peserta-peserta yang tertarik pada Islam. Mereka yang terjaring pesantren kilat akan diikutkan pada kelompok-kelompok usrah. Dari kelompok itulah, kemudian muncul anggota-anggota baru. Pengakuan sebagai anggota baru ditandai dengan pembaiatan. Dengan banyaknya anggotaanggota senior DI yang dipenjara penguasa waktu itu, metode usrah dan pesantren kilat menjadi semacam suntikan beharga bagi kelangsungan DI. Dari Bandung dan Yogyakarta, metode tersebut kemudian dikembangkan ke Jakarta dan Jawa Timur.[]

Biografi Ringkas Shalahuddin Al-Ayyubi


30 September 2012 pukul 9:17

Shalahuddin Al-Ayyubi dikenal juga sebagai Shalahuddin Yusuf bin Ayyub Al-Malik An-Nashir. Lahir pada tahun 1138 di Tikrit, Tigris, Irak, ia dibesarkan di bawah asuhan suku Kurdi. Ia memiliki dua ambisi besar: menggantikan keyakinan Syi'ah di Mesir dengan keyakinan Islam Sunni dan memerangi orang-orang Kristen dalam perang Salib.

Pada tahun 1164, ia menemani pamannya ke Mesir. Pada waktu itu, kekuasaan Dinasti Fatimiyah di Mesir yang Syi'ah sedang melemah. Pada tahun 1169, pamannya, Syirkuh, diangkat oleh Sultan Fatimiyah sebagai seorang menteri. Tidak lama kemudian, pamannya wafat, sehingga jabatan kementerian tersebut diberikan kepada Shalahuddin. Baru pada tahun 1171, ia dapat menghapus tradisi penyebutan nama sultan Fatimiyah pada khutbah-khutbah Jum'at untuk kemudian menggantikan dengan penyebutan nama khalifah Abbasiyah. Akhirnya, pada tahun 1175 khalifah Abbasiyah mengangkatnya sebagai penguasa atas wilayah Mesir, Maroko, Nubia, Jazirah Arab bagian Barat, Palestina, dan Suriah bagian tengah. Pengangkatan ini menandai suatu era baru, era Dinasti Al-Ayyubiyah di wilayah-wilayah tersebut. Ia pun menjadi satu-satunya sultan di sana. Perang Salib sendiri, pada waktu itu, sedang berada pada periode kedua peperangan. Rangkaian peperangan di bawah kepemimpinannya melawan Tentara Salib mencapai puncaknya, ketika pada tahun 1187 berhasil merebut kembali Jerussalem. Di bawah kepemimpinannya, banyak wilayah-wilayah Islam yang dikuasai oleh Tentara Salib pada periode pertama direbut kembali. Pada tahun 1193, setelah menderita sakit demam, ia wafat di Damaskus. Pada waktu itu, Perang Salib telah memasuki periode ketiga. Sampai saat ini, namanya digolongkan ke dalam daftar pemimpin-pemimpin kaum muslimin yang disegani. Bahkan di Eropa, ia dikenal sebagai seorang sultan yang dihormati oleh bangsa Inggris, sebagaimana yang diakui oleh banyak penulis barat.

AR-RIHLAH: Ekstase Para Pencari Hadis Nabi


30 September 2012 pukul 9:16

Rihlah sendiri adalah perjalanan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang. Ibnu Batutah menamakan karya terkenalnya dengan Ar-Rihlah. Begitu juga dengan Ibnu Jubair. Dalam terjemahan bahasa Inggris, kedua karya mereka dijuduli dengan The Travel. Pada mulanya, rihlah dilakukan oleh segelintir orang untuk mencari hadits-hadits Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam ke berbagai penjuru negeri Islam pada abad-abad pertama peradaban Islam. Mereka mesti melakukan itu untuk mempelajari Islam langsung dari sisi Rasulullah. Dan dalam sudut pandang agama, biasanya rihlah seperti ini dipandang sebagai ibadah. Asal niatnya ikhlas untuk Allah dan dengan cara yang dibenarkan oleh agama, mereka akan diganjar dengan pahala yang besar. Bahkan, siapa pun yang mati di tengah perjalananrihlahnya kedudukannya sejajar dengan syahid fi sabilillah.

Yang mesti dicatat, hanya untuk mendengar dan mencatat kemudian menghafal hadits-hadits tersebut, misalnya, atau bahkan untuk hanya mendengar dan menghafalkannya mereka mengadakan rihlah yang jauh serta lama. Tidak terbayang banyak usaha yang dikeluarkan, dari bekal makan sampai biaya. Mereka melakukan itu dalam tempo yang relatif berbeda, tergantung siapa ahli hadits yang dituju masing-masing. Dan semua itu tidak mereka hitung sebagai beban sial yang mesti ditempuh. Mereka telah melakukannya. Kisah mereka telah sampai dan abadi bersama kita hari ini. "Sebanyak lima kali," kata Abdurrahman bin Kharasy Al-Marwazi, "aku pernah meminum air kencingku waktu melakukan perjalanan untuk mencari hadits-hadits." Ia terpaksa meminumnya, agar tetap bertahan hidup. Berbeda dengannya. Ibnu Abi Hatim Ar-Razi ketika berada di Mesir, pernah makan mentahmentah ikan yang hampir busukkarena dibiarkan tersimpan tiga hari tanpa diolah. Ini terjadi ketika suatu hari ia terpaksa meninggalkan ikan yang sedianya akan dimakan tersebut disebabkan jadwal pembacaan-pembacaan hadits yang begitu padat pada waktu itu dan tidak menyisakan waktu sedikit pun baginya meski hanya sekedar untuk membakar ikan. Di antara mereka ada yang hampir mati kehausan karena kehabisan bekal, seperti yang dialami oleh Muhammad bin Abdil Wahhab An-Najdi. Ketika diusir dari Bashrah, Irak, suatu hari, atas sebab dakwah yang diserukannya di sana, ia terpaksa melanjutkan rangkaianrihlahnya ke wilayah Syam hanya dengan berjalan kaki dan bekal seadanya. Dan ia hampir saja menemui ajalnya, sebelum akhirnya bertemu dengan seseorang yang memberinya minum dan membawanya ke pemukiman penduduk yang terdekat. Ada yang buta karena terus-menerus menulis di bawah penerang yang lemah. Seperti Ibnu Katsir yang buta di akhir hidupnya. Ia begitu, karena sering menulis di bawah sinar penerangan yang lemah. Padahal ia termasuk salah satu ulama Islam dan banyak dikenal pada hari ini lewat karya-karya tulisnya yang sampai ke tengah-tengah kita. Ada pula yang selalu berjaga malam untuk menulis catatan-catatan pelajaran yang didapat hari itu. Seperti Muhammad bin Ismail Al-Bukhari, penulis kitab Shahih Al-Bukhari, ia sering menghabiskan waktu malamnya untuk memeriksa dan menulis hadits-hadits yang didengarnya di majelis pembacaan hadits pada waktu siang hari. Bahkan, sekali pun pernah tidur pada malam harinya, ia sering kali terjaga karena munculnya lintasan-lintasan dalam pikirannya tentang hadits-hadits yang telah didengarnya, kemudian bangun untuk segera menuliskan semua itu. Mungkin sepertinya sangat konyol. Tapi, sungguh, semua itu mereka lakukan karena mereka menganggap sesuatu yang ingin mereka dapatkan itu lebih penting dari benda-benda beharga di sekeliling mereka. Bahkan, jauh lebih penting dari nafas dan jiwa mereka sendiri. Tidak heran bila beberapa dari mereka sendiri ada yang menganggap diri-diri mereka dan orangorang yang mencoba meniru jalan mereka sebagai orang-orang yang bakal bangkrut.

Pernah suatu hari, Sufyan bin Uyainah bertanya kepada seseorang. "Apa pekerjaanmu?" "Aku pencari hadits," jawab orang itu. Sufyan bin Uyainah pun berkata, "Segera kabarkan keluargamu dengan kerugian." "Barang siapa yang mencari hadits," kata Syu'bah bin Hajjaj, "ia akan bangkrut. Sungguh, aku betul-betul telah bangkrut karena itu." Dan ia jujur, meskipun namanya pada hari ini tetap tertulis di kitab-kitab hadits dan diakui sebagai amirul mukminin dalam bidang hadits oleh seluruh peneliti hadits di dunia ini. Siapa pun yang ingin mencari dan mencatat hadits adalah orang-orang yang sengsara hidupnya. "Mencari hadits adalah pekerjaan orang-orang yang bangkrut. Tidaklah pernah kulihat orangorang yang paling mengenaskan kehidupan mereka kecuali para pencari hadits," komentar Fadhl bin Musa Asy-Syaibani. Adalah masyhur cerita tentang Ahmad bin Hanbal yang pernah menggadaikan sandalnya ke tukang roti untuk mendapatkan makanan. Belum lagi cerita tentang musibah yang menimpanya ketika sedang berada di Yaman ketika pakaian-pakaiannya diambil orang. Akibatnya, ia hanya bisa duduk dan mengurung diri di dalam rumah. Muhammad bin Ismail Al-Bukhari pun pernah seharian ditunggu-tunggu oleh murid-muridnya ketika berada di Bashrah. Mereka ingin mendengarkan pembacaan hadits-hadits olehnya seperti biasa. Padahal, pada waktu itu, ia sedang berada di rumahnya, dalam keadaan telanjang dan tak dapat keluar. Telah habis bekalnya dan tak tersisa sedikit pun harta padanya. Sebenarnya, semua komentar dan cerita yang ada tentang para pencari hadits tersebut bukanlah penghinaan atas keadaan yang menimpa mereka. Sebab, baik Sufyan bin Uyainah, Syu'bah bin Hajjaj atau pun Fadhl bin Musa, mereka semua adalah para pencari hadits itu sendiri seperti halnya Ahmad bin Hanbal dan Muhammad bin Ismail Al-Bukhari. Bukan pula usaha mereka untuk menertawakan diri-diri mereka sendiri dalam hidup yang mereka jalani. Bahkan, dapat dikatakan, mereka justru bangga dan menikmati semua itu. Semacam ekstase dalam hidup masing-masing. Semacam fana' yang tak seorang pun dapat merasakannya total, menyepertikannya, kecuali bila mencoba untuk langsung masuk dan meniru jalan-jalan mereka. Karena itu, rihlah adalah sebuah jalan, sebuah usaha terus-menerus yang dilakukan dalam hidup dan takkan selesai sampai ajal menjemput. Rihlah adalah sebuah bagian dari proses untuk mendapatkan agama sekaligus menjaganya, meski tidak semua orang-orang yang beragama tahu tentang ini.[]

Bermazhab Fikih dalam Islam


30 September 2012 pukul 9:13

Di tengah kaum muslimin sekarang ini, dikenal mazhab Hanafi, Maliki, Syafii, dan Hanbali sebagai mazhab-mazhab utama dalam bidang fikih. Fikih adalah bidang tempat segala dalil-dalil Quran dan Hadits tentang tata cara ibadah dikonklusikan untuk menarik hukum-hukum tertentu. Sebab tidak setiap pemeluk Islam mampu mengerti cara menarik kesimpulan-kesimpulan tertentu dari dalil-dalil yang berkaitan dengan tata cara ibadah. Keempat mazhab tersebut disandarkan kepada Abu Hanifah Nu'man bin Tsabit, Malik bin Anas, Muhammad bin Idris Asy-Syafii, dan Ahmad bin Hanbal. Mereka disebut sebagai imam-imam mazhab. Masing-masing mereka besar kemungkinan tidak mengetahui bahwa cara pandang mereka dalam menarik kesimpulan dari dalil-dalil yang ada dan pendapat-pendapat mereka terkait dengan hukum-hukum permasalahan ibadah menjadi pegangan banyak orang di penjuru negeri-negeri kaum muslimin. Namun, satu yang mesti disadari bersama, mazhab fikih dalam Islam tidak hanya empat itu. Sepanjang sejarah Islam telah muncul berbagai mazhab fikih. Di luar empat mazhab itu, terdapat mazhab Auzai yang disandarkan kepada Abu Amr Al-Auzai, mazhab Laitsi yang disandarkan kepada Laits bin Saad di Mesir, mazhab Tsauri yang disandarkan kepada Sufyan bin Said AtsTsauri, mazhab Ibnu Rahawaih yang disandarkan kepada Ishaq bin Rahawaih, dan mazhab Zhahiri yang disandarkan kepada Dawud bin Ali. Dan daftar ini pun bisa ditambah lebih panjang lagi. Mazhab Hanafi, Maliki, Syafii, dan Hanbali sendiri dapat berkembang, meluas ke berbagai penjuru negeri kaum muslimin, karena muncul orang-orang yang memperkenalkannya setelah para imam mazhab itu meninggal dunia. Berbeda dengan mazhab-mazhab di luar mereka yang memang kurang dikenal karena sedikit orang-orang yang menyebarkannya. Proses penyebaran yang dimaksud terjadi baik lewat majelis-majelis pelajaran mereka ataupun hanya lewat tulisan mereka masing-masing. Mazhab Hanafi dikenal luas lewat Ath-Thahawi yang memiliki karya Syarh Ma'ani Al-Atsar dan Musykilul Atsar. Mazhab Maliki dikenal luas lewat Ibnu Abdil Bar yang memiliki karya At-Tamhid dan Al-Kafi. Mazhab Syafii dikenal luas lewat Baihaqi yang memiliki karya Sunan Al-Kubra. Dan mazhab Hanbali dikenal luas lewat Ibnu Qudamah yang memiliki karya Al-Mughni. Tidak setiap karya itu merupakan tulisan mereka langsung. Sering kali, karya-karya mereka itu tidak lebih dari hasil kodifikasi yang dilakukan murid masing-masing terhadap pendapatpendapat guru mereka dalam berbagai majelis pelajaran. Bagaimana pun semua itu pada akhirnya dikaji dan disebarkan kembali oleh murid-murid mereka. Adalah tidak aneh, jika untuk mengenal atau mempelajari salah satu mazhab fikih seseorang sering kali cukup hanya mengkaji karya-karya tersebut. *** Yang juga mesti disadari bersama, sering terjadi salah kaprah dalam membedakan mazhabmazhab fikih dengan mazhab-mazhab akidah dalam Islam. Meski sama-sama meyakini La ilaha illa Allah, tidak setiap pemeluk Islam sama dalam mengaplikasikan kalimat itu. Perbedaan itu terjadi karena adanya perbedaan dalam masalah akidah. Dalam masalah akidah inilah,

seseorang atau sekelompok orang mengafirkan orang lain atau sekelompok orang lain karena perbedaan mazhab. Mazhab-mazhab akidah yang pernah muncul dalam sejarah Islam banyak. Dari itu semua kemudian muncul pecahan-pecahan yang lebih kecil lagi. Beberapa mazhab akidah yang dapat disebutkan di sini adalah mazhab Ahlu Sunnah wal Jamaah, Khawarij, Syiah, Qadari, Jabbari Murjiah, Jahmi, Muktazilah, Asy'ari, Maturidi, dan lain sebagainya. Umum dikenal bahwa selain Ahlu Sunnah wal Jamaah mazhab-mazhab akidah yang ada tidak digolongkan sebagai Islam Sunni. Misalnya saja, Syiah yang kadang-kadang disebut juga dengan Islam Syiah. Atau misalnya juga, Khawarij yang melulu mengafir-ngafirkan pemerintah kaum muslimin atau juga kaum muslimin lainnya yang tidak satu akidah dengan mereka. Karena mazhab-mazhab fikih berkembang untuk menyikapi dalil-dalil Quran dan Hadits untuk mengambil hukum-hukum dalam ibadah, maka dalam prakteknya dapat terjadi seorang yang bermazhab fikih Syafii ternyata memiliki akidah Asy'ari. Atau, seorang yang memiliki akidah Syiah bermazhab Hanafi. Bisa juga, seseorang yang bermazhab Maliki memiliki akidah Muktazilah. Sebaliknya, seseorang atau sekelompok orang yang bermazhab akidah tertentu sering kali memilih salah satu mazhab fikih yang ada disebabkan pola pemahaman yang berkembang dalam mazhab akidah tersebut. Misalnya saja, sebagian kelompok rasionalis Mesir, mereka memilih mazhab Hanafi daripada mazhab Syafii karena rasionalitas yang mazhab Hanafi terapkan dalam masalah fikih. Padahal Mesir dikenal sebagai satu negara Islam yang bermazhab Syafii. Tentu saja, yang sering menjadikan seseorang bermazhab fikih tertentu adalah lingkungan dekatnya ketimbang proses pencarian secara kritis yang ia lakukan. Seperti di negara kita, misalnya. Banyak pemeluk Islamuntuk tidak mengatakan semuabermazhab Syafii tanpa mereka sadari, karena mazhab itulah yang mereka kenal dan terapkan sejak kecil mereka tanpa mereka periksa otentisitas praktek-praktek yang mereka lakukan dengan pendapat-pendapat Imam Syafii sendiri dalam karya-karyanya. *** Dan seperti itulah yang umum terjadi di negeri-negeri kaum muslimin. Jarang terjadi, seseorang berpindah mazhab dalam keadaan seperti itu. Apalagi, seseorang pindah mazhab dan menjadi tokoh besar di mazhab barunya seperti Abu Ja'far Ath-Thahawi. Ath-Thahawi, sebagaimana telah lewat, dikenal sebagai orang yang turut menyebarkan mazhab Hanafi. Ketenarannya dalam masalah ini jauh melampaui murid-murid besar Abu Hanifah yang pernah ada, seperti Abu Yusuf Ya'qub bin Ibrahim dan Muhammad bin Hasan Asy-Syaibani. "Kepemimpinan di tengah para pengikut Abu Hanifah," kata Abu Ishaq dalamThabaqat AlFuqaha', "berhenti pada Abu Ja'far Ath-Thahawi."

Dilahirkan di Thaha pada tahun 239 Hijriah, Ath-Thahawi asli bernama Ahmad bin Muhammad bin Salamah Al-Mishri. Ia mempelajari ilmu-ilmu agama. Bahkan sempat pula Ath-Thahawi mengadakan perjalanan ke Syam untuk menambah ilmu agamanya. Dalam bidang hadis dan fikih, ia akhirnya dikenal sebagai salah seorang pakar kedua ilmu itu. Kepakarannya ini membuat dirinya dijuluki sebagai ahli hadis negeri Mesir pada zamannya. Sebelum meninggal dunia pada tahun 321 Hijriah, Ath-Thahawi telah banyak meninggalkan karya-karya tulis penting. Sebagai contoh, beberapa abad belakangan ini, para peneliti hadis tidak dapat mengabaikan dua karya Ath-Thahawi dalam bidang hadis, Syarh Ma'ani AlAtsar dan Musykilul Atsar. Demikian pula, orang-orang yang ingin mengetahui akidah sebenarnya yang dipegang Abu Hanifah, Abu Yusuf, dan Muhammad bin Hasan Asy-Syaibani dapat melihat karya Ath-Thahawi yang berjudul Aqidah Ath-Thahawiyah. Menarik untuk diangkat di sini, Ath-Thahawi adalah anak laki-laki yang hidup di tengah lingkungan orang-orang bermazhab Syafii. Salah seorang gurunya bernama Abu Ibrahim AlMuzani. Gurunya ini bermazhab Syafii dan ia termasuk salah satu paman Ath-Thahawi. Karena merasa tidak mendapatkan apa-apa ketika belajar kepada gurunya itu, Ath-Thahawi pergi menemui Ahmad bin Abi Imran dan belajar kepadanya. Gurunya yang baru adalah seorang hakim bermazhab Hanafi. Dari gurunya inilah kemudian Ath-Thahawi bermazhab Hanafi. *** Sesuatu yang patut dibandingkan adalah cerita tentang Ibnu Abdil Bar, pemuka mazhab Maliki. Abu Umar Ibnu Abdil Bar memiliki karya-karya penting juga yang sering dirujuk oleh para peneliti hadis, fikih, dan sejarah. Dalam sejarah Andalusia, namanya disandingkan dengan Ibnu Hazm yang menjadi pakar dalam bidang Ushul Fikih dan Al-Qurthubi yang menjadi pakar dalam bidang tafsir. Lahir pada tahun 368 Hijriah, Abu Umar Ibnu Abdil Bar bernama Yusuf bin Abdillah bin Muhammad An-Namari. Sejak kecil, ia telah belajar ilmu-ilmu agama. Di antara guru-gurunya adalah Khalaf bin Al-Qasim, Abdul Warits bin Sufyan, Abdullah bin Muhammad bin Abdil Mukmin, Muhammad bin Abdil Malik bin Shayfun, Abdullah bin Muhammad bin Asad Al-Juhani, dan Yahya bin Wajhul Jannah. Dari hasil belajarnya itu, Ibnu Abdil Bar menelurkan banyak karya. Di antara karya-karyanya adalah At-Tamhid yang kemudian diringkas menjadi Al-Istidzkar, Al-Kafi yang berjumlah 15 jilid, Al-Isti'ab tentang biografi para sahabat nabi dan Jami' Bayan Al-Ilmi wa Fadhlihi dalam bidang akhlak. Selama hidupnya, yang hampir seratus tahun itu, Ibnu Abdil Bar pernah berdiam di bagian barat Andalusia. Ia pun pernah memegang jabatan hakim di Lisabon, yang sekarang masuk ke dalam wilayah negara Portugal. Ia akhirnya pindah ke bagian timur Andalusia, tepatnya di Denia, Valencia, dan Jativa. Di tempat terakhir inilah ia meninggal dunia pada tahun 463 Hijriah. Semula, Ibnu Abdil Bar adalah seorang bermazhab Zhahiri. Salah seorang pemuka mazhab ini adalah Ibnu Hazm yang tinggal di Andalusia juga. Mazhab Zhahiri adalah mazhab fikih yang

berusaha mengambil kesimpulan-kesimpulan hukum dalam permasalahan ibadah secara tekstual dari dalil-dalil Qur'an dan Hadis yang sampai kepada mereka. Akan tetapi, pada akhirnya Ibnu Abdil Bar berpindah mazhab ke mazhab Maliki. Dalam mazhab yang baru inilah, ia menulis dan menjadi sorang pemuka Maliki yang paling besar sepanjang sejarah Islam. Meski demikian, dalam membahas hukum-hukum ibadah, ia ternyata memiliki kecenderungan pada mazhab fikih Syafii. *** Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, salah seorang penulis bermazhab Hanbali, pernah ditanya tentang keharusan bermazhab pada seseorang. Menyambut pertanyaan itu, ia menjawab, imam-imam mazhab fikih itu tidak ubah seperti satu formasi bintang-bintang di langit yang memberi petunjuk tentang arah ke Ka'bah. Ketika seseorang itu telah berada di depan Ka'bah dan melihatnya langsung, tanya Ibnu Qayyim secara retoris, lantas mestikah ia harus melihat lagi formasi bintang-bintang itu? Karena itu, jika Ka'bah yang dimaksud Ibnu Qayyim itu adalah dalil-dalil Qur'an dan Hadis ditambah keterangan dari sahabat-sahabat nabi tentang tafsir dalil-dalil itu, maka kita pun tahu cara menyikapi mazhab-mazhab fikih yang ada berikut perbedaan-perbedaan pendapat yang muncul di antara mereka. Dan, tentu saja, keluar dari sikap membabi buta yang tidak sehat.

Akar Islam-Teroris di Indonesia


30 September 2012 pukul 9:11

Negara Islam Indonesia dan Darul Islam Darul Islam (DI) adalah akar terorisme bernuansa Islam di Indonesia. Sejak awal kali muncul, mereka ingin mendirikan negara Islam. Bahkan, mereka juga berusaha menggantikan negara Indonesia dengan negara Islam yang mereka cita-citakan. Untuk mewujudkan tujuan itu, mereka tidak segan-segan untuk memberontak kepada pemerintah Indonesia. Bagi mereka, Indonesia bukan negara Islam. Pada tanggal 7 Agustus 1949, mereka memproklamasikan Negara Islam Indonesia (NII) di Desa Cisampah, Kecamatan Ciawiligar, Tasikmalaya, Jawa Barat. Keberadaan mereka mengundang perhatian yang serius dari pemerintah Indonesia, meskipun di wilayah-wilayah kekuasaan Indonesia pada waktu itu sedang terjadi agresi militer yang kedua oleh Belanda. Menyikapi keadaan itu, pemerintah menunjuk Mohammad Natsir sebagai mediator antara negara dan NII. Pemerintah ingin agar mereka yang mendirikan negara Islam itu kembali ke pangkuan Indonesia.

Namun, pemimpin NII waktu itu Sekar Maridjan (S.M.) Kartosoewiryo tetap kukuh mempertahankan keberadaan NII. Justru, sebaliknya, ia menuntut pemerintah Indonesia agar mengakui NII. Dari usaha-usaha persuasif, pemerintah beralih menggunakan kekerasan. Terlebih lagi, muncul pula bagian-bagian NII lain di Aceh yang dipimpin Daud Beureuh, di Sulawesi Selatan yang dipimpin Kahar Muzakkar, di Jawa Tengah yang dipimpin Amir Fattah, dan di Kalimantan Selatan yang dipimpin Ibnu Hajar. Oleh S.M. Kartosoewirjo, nama NII diubah menjadi DI. Satu per satu kelompok DI di Indonesia berhasil ditangani pemerintah. Khusus DI di Jawa Barat, pemerintah menugaskan Divisi Siliwangi menumpas NII. Dari waktu enam bulan yang dijanjikan oleh Panglima Divisi Siliwangi waktu itu, Kolonel Alex E. Kawilarang, pemberontakan DI di Jawa Barat baru dapat dipadamkan pada tahun 1962. Lewat Operasi Pagar Betis yang digelar sejak April 1962 di bawah pimpinan Panglima Divisi Siliwangi, TNI berhasil memaksa orang-orang DI beserta Tentara Islam Indonesia (TII) menyerah dan menangkap hidup-hidup S.M. Kartosoewirjo. Persidangan pada tanggal 14 Agustus 1962 memutuskan bahwa S.M. Kartosoewirjo dihukum mati. Tepat pada peringatan hari kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1962, S.M. Kartosoewirjo ditembak mati. Dan sampai hari ini, keberadaan kuburan pemimpin NII itu tidak bisa dipastikan. DI Fillah dan Fi Sabilillah Setelah S.M. Kartosoewirjo ditangkap, banyak anggota DI di Jawa Barat ikut menyerahkan diri. Mereka berikrar setia kepada pemerintah Indonesia. Mereka berjanji akan menjadi warga negara yang taat dan baik serta menjiwai Pancasila. Negara pun mengampuni mereka. Akan tetapi, terdapat sejumlah kecil pengikut setia S.M Kartosoewirjo tidak ikut serta bersumpah setia. Bagi mereka, dengan melakukan sumpah setia seperti itu, ketaatan terhadap pemimpin DI dan cita-cita perjuangan bersama telah berubah. Mereka yang berjumlah kecil itu berusaha membangun kembali kekuatan. Berbeda dengan keadaan sebelum ditumpas, usaha mereka tidak mengalami kemajuan berarti. Di sisi yang lain, pemerintah menggunakan upaya-upaya tertentu untuk mendekati orang-orang mantan anggota DI. Presiden Soeharto sendiri menawarkan pengampunan penuh asal mereka tidak lagi melakukan aksi-aksi teror. Antara tahun 1967 dan 1969, beberapa mantan petinggi DI mengadakan pembicaraanpembicaraan di antara mereka terkait gagasan menghidupkan kembali cita-cita perjuangan DI. Di Jawa Barat, salah seorang di antara mereka, Aceng Kurnia, mencoba untuk menghimpun kembali bekas-bekas panglima TII. Masalah pengaderan yang sulit menjadi isu utama pada waktu itu.

Bertempat di rumah Danu Muhammad Hassan di Bandung, pada tanggal 24 April 1971, berlangsung acara reuni antara bekas pemimpin-pemimpin dan anggota-anggota DI yang masih ada. Acara tersebut berlangsung tiga hari tiga malam dan dihadiri sekitar 3000 orang. Dalam keadaan seperti itu, acara tersebut juga menjadi semacam pertemuan lintas generasi DI waktu itu. Meski demikian, dalam pertemuan itu, para anggota DI menyusun kordinasi kembali. Mereka mulai membangun kontak sekaligus pembagian tugas di antara mereka secara luas. Keputusan itu mendapat sanggahan dari salah seorang peserta. Djaja Sudjadi, bekas petinggi DI, menolak ide menghidupkan kembali perjuangan bersenjata. Ia menolak jihad seperti yang diinginkan oleh peserta lain. Karena itu, ia menyatakan keluar dan mendirikan DI sendiri yang dikenal sebagai DI fillah. Nama ini sekaligus membedakannya dari DI yang menyetujui perjuangan bersenjata lagi atau yang dikenal sebagai DI fi sabilillah. Pada acara itu ikut pula hadir salah seorang anggota staf Badan Kordinasi Intelijen Negara (BAKIN), Pitut Soeharto. Karena itu, di kalangan DI sendiri, beredar anggapan bahwa acara itu disokong oleh BAKIN dan pemerintah. Hal ini diperkuat dengan kenyataan adanya deklarasi bersama dalam pertemuan itu untuk mendukung Golkar. Tuan rumah, Danu Muhammad Hassan, banyak diyakini sebagai anggota DI yang berhasil dirangkul dan direkrut Ali Moertopo dari Operasi Khusus (Opsus) pemerintah. Dari pertemuan-pertemuan yang diadakan DI fi sablillah setelah itu, pada tahun 1973, dibentuk susunan komando DI. Orang yang diangkat sebagai pemimpin mereka, menggantikan S.M. Kartosoerwirjo, adalah Tengku Muhammad Daud Beureuh, seorang pemimpin DI dari Aceh. Ia membawahkan tiga wilayah komando: Sumatera, Jawa, Sulawesi. Penangkapan dan Perpecahan Langkah pertama yang mereka lakukan adalah perekrutan anggota-anggota muda. Setelah kekuatan tersusun baik, baru diadakan aksi di sejumlah tempat di Indonesia. Pada tahun 1976, salah seorang anggota DI fi sabilillah di Sumatera, Gaos Taufik, meledakkan granat pada acara Musabaqah Tilawatil Qur'an di Medan, Sumatera Utara. Setelah itu, ia juga meledakkan bom di salah satu rumah sakit Kristen di Bukit Tinggi, Sumatera Barat. Aksi-aksi yang dilakukan Gaos Taufik itu tidak disambut oleh DI di Jawa dan Sulawesi. Aksi itu menjadi sebuah aksi prematur. Yang terjadi kemudian justru sebaliknya. Pada tahun 1977, pemerintah melakukan penangkapan anggota DI di Sumatera dan Jawa. Dalam operasi yang dilakukan secara besar-besaran itu, pemerintah menangkap sekitar 800 orang. Masuk di dalam penangkapan tersebut Tengku Muhammad Daud Beureuh, Gaos Taufik, Aceng Kurnia, Danu Muhammad Hassan sebagai panglima wilayah Jawa-Madura, dan Haji Ismail Pranoto (Hispran) sebagai wakil panglima JawaMadura. Tidak lama setelah itu, pada tahun 1978, Djaja Sudjadi tewas dibunuh Warman, salah seorang anggota DI fi sabilillah. Djaja Sudjadi dibunuh karena dituding sebagai orang yang membocorkan

aksi-aksi DI fi sabilillah ke pemerintah. Dan sudah tentu, ia dianggap sebagai orang yang menggembosi barisan DI setelah kematian S.M. Kartosoewirjo. Selepas penangkapan Tengku Muhammad Daud Beureuh, kepemimpinan DI fi sabilillahdipegang oleh Adah Djaelani. Akan tetapi, karena kasus perampokan yang dilakukan Warman di berbagai tempat di Jawa Barat, pada tahun 1980, Adah Djaelani ikut pula ditangkap pemerintah. Kepemimpinan DI yang kosong itu kemudian diambil alih oleh Ajengan Masduki. Kepemimpinan yang baru ini ditolak Adah Djaelani dan para pengikutnya. Alasan mereka, pengambilalihan itu tidak sesuai dengan prosedur yang berlaku. Oleh karena itulah, Abu Karim, salah seorang pengikut Adah Djaelani yang memegang wilayah Jakarta, Bogor, Tangerang, Bekasi dan Banten, tidak mengakui DI Ajengan Masduki itu. DI yang dipimpin Abu Karim itu dikenal sebagai DI KW-9. Selain DI Ajengan Masduki dan DI KW-9, muncul kemudian DI Abdul Fatah Wiranagapati. DI yang terakhir itu dibangun di atas keyakinan bahwa hanya Abdul Fatah Wiranagapati yang paling berhak meneruskan kepemimpinan DI. Alasannya, karena tidak ikut menandatangani ikrar setia kepada pemerintah Indonesia pada tahun 1962, maka ialah pengikut S.M. Kartosoewirjo yang paling murni. Mereka yang ikut menandatangani ikrar setia itu telah membatalkan keanggotaan DI mereka. Jamaah Islamiyah Sebelum Adah Djaelani dibebaskan pada tahun 1996, DI Ajengan Masduki pecah. Pada tahun 1992, Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Baasyir memisahkan diri dari DI Ajengan Masduki. Menurut mereka berdua, sejumlah ajaran Ajengan Masduki menyimpang dari ajaran Islam. Pada waktu itu, Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Baasyir sudah berada di Malaysia. Mereka menyelamatkan diri dari pengawasan pemerintah Indonesia sejak tahun 1985. Di tempat yang baru, mereka membangun pesantren dan meneruskan dakwah mereka. Mereka pun membangun hubungan dengan gerakan Islam di Timur Tengah. Pada masa inilah, mereka berkenalan dengan jaringan Khawarij di Timur Tengah. Pada akhirnya, Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Baasyir dikenal memiliki kelompok sendiri. Di masyarakat luas, kelompok mereka ini dikenal lewat sebutan Jama'ah Islamiyah. Pesantren mereka di Malaysia itu, Pesantren Lukmanul Hakim di Johor Bahru, menjadi semacam tempat transit bagi anggota-anggota DI di Indonesia untuk berperang ke Afghanistan. Mereka berdua juga mengirim angota-anggota mereka untuk belajar di Pakistan. Di luar itu, Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Baasyir mengirim sejumlah veteran perang Afghanistan untuk menjadi instruktur bagi kelompok muslim Moro di Filipina. Kelompok itulah yang menjadi cikal-bakal Moro Islamic Liberation Front (MILF).

Celakanya, mereka menamakan diri mereka dengan Salafiyang di tengah masyarakat justru dikenal dengan istilah Salafi Jihadi agar terbedakan dengan Salafi Konservatif dan Salafi Moderat. DI-DI Sekarang Ini Pembebasan Adah Djaelani pada tahun 1996 diikuti dengan pembebasan anggota DI yang lain. Mereka kemudian bergabung dengan DI KW-9. Kepemimpinan kembali dipegang Adah Djaelani. Bermula dari keputusan Adah Djaelani untuk mencopot Tahmid Rahmat Basuki dan menggantikannya dengan Abu Toto Panji Gumilang, perpecahan kembali menimpa DI KW-9. Tahmid Rahmat Basuki adalah putra S.M. Kartosoewirjo. Ia tidak menerima keputusan Adah Djaelani itu. Bersama anggota lain yang tidak puas, Tahmid Rahmat Basuki kemudian keluar dari DI KW-9. Di Cisarua, Jawa Barat, mereka menggelar pertemuan untuk mendirikan DI yang baru. Hasil pertemuan itu memutuskan Tahmid Rahmat Basuki sebagai pimpinan mereka. Akan tetapi, keputusan itu tidak diterima bulat oleh mereka semua. Gaos Taufik yang ada dalam pertemuan itu menolak kepemimpinan Tahmid Rahmat Basuki. Gaos Taufik merasa lebih berhak atas kepemimpinan DI yang baru itu karena ia lebih senior ketimbang Tahmid Rahmat Basuki. Gaos Taufik pun memisahkan diri dari DI Tahmid Rahmat Basuki. Ia kemudian mendirikan DI sendiri. Dalam masa kepemimpinannya, Tahmid Rahmat Basuki memutuskan untuk tidak mengirim kader-kader mereka ke Filipina. Daerah Mindanao, Filipina Selatan, itu adalah basis gerakan MILF di Filipina. Keputusan itu mengundang ketidakpuasan di antara anggota. Di antara mereka terdapat Akdam alias Jaja. Tidak puas dengan keputusan Tahmid, Akdam memisahkan diri dan mendirikan DI sendiri. Mereka mengirim orang-orang untuk ikut membantu perjuangan muslim Moro dalam upaya memberontak terhadap pemerintah Filipina. DI Ajengan Masduki yang ditinggalkan Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Baasyir serta yang ditolak DI KW-9, kembali pecah. Bermula dari konflik Ambon yang pecah pada tahun 1999, DI Ajengan Masduki menolak pengiriman anggota-anggota untuk membantu kaum muslimin di Ambon. Keputusan ini mengundang reaksi dari sebagian anggota DI Ajengan Masduki. Mereka tidak setuju dengan keputusan itu. Mereka kemudian memisahkan diri dari DI Ajengan Masduki dan berangkat ke Ambon. Mereka yang memisahkan diri ini disebut dengan DI Akram. NII KW-9 Akan halnya DI KW-9, mereka kemudian lebih dikenal sebagai NII KW-9. Mereka terus merekrut kader-kader baru, sampai berhasil meluaskan jaringan mereka ke seluruh Nusantara.

Melalui usaha penggalangan dana yang terus-menerus, di Indramayu, Jawa Barat, mereka membangun sebuah pesanren terbesar di Asia Tenggara. Pada hari ini, pesantren mereka itu dikenal luas sebagai Pesantren Az-Zaytun. Akan tetapi, seiring waktu yang berjalan, makin banyak anggota NII KW-9 yang keluar dari keanggotaan. Mereka dengan sejumlah alumni santri dan pengurus Pesantren Az-Zaytun, Indramayu, memberikan kesaksian mereka kepada publik tentang kesesatan yang terjadi di dalam NII KW-9 dan Pesantren Az-Zaytun. Mereka ingin masyarakat tahu bahwa NII-9 dan Pesantren Az-Zaytun sesat dan pantas ditutup oleh pemerintah. Salah satu di antara "orang dalam" yang dengan baik menuangkan kesaksiannya dalam sebuah buku adalah Muhammad Idris. Dalam Mereka Bilang Aku Kafir (Hikmah, Bandung, 2009), ia mengatakan semua itu, meski tetap menyamarkan nama organisasi dan pesantren yang dimaksud.[] Darul Islam, Negara Islam Indonesia, DI, NII, TII, DI fillah, DI fi sabilillah, Jamaah Islamiyah, NII KW-9, Az-Zaytun

Biografi Ahmad bin Hanbal


30 September 2012 pukul 9:10

Ahmad bin Hanbal lahir pada tahun 164 H atau 778 M. Ia memiliki nama Ahmad bin Muhammad bin Hanbal Adz-Dzuhli Asy-Syaibani Al-Marwazi Al-Baghdadi. Kuniyahnya adalah Abu Abdillah; kuniyah adalah nama yang dimulai dengan abu atau ummu. Ujung nasabnya kembali kepada Adnan, salah seorang moyang bangsa Arab yang juga menurunkan orang-orang Quraisy. Meskipun dilahirkan di Baghdad, Irak, kedua orangtuanya berasal dari Marw, satu wilayah di Khurasan. Mereka kemudian pindah ke Baghdad. Kepindahan tersebut terjadi ketika ibunya sedang mengandung Ahmad bin Hanbal. Tiga tahun setelah kelahirannya, ayahnya, Muhammad bin Hanbal, wafat. Sejak saat itu, Ahmad bin Hanbal dibesarkan oleh ibunya. Baghdad pada saat itu adalah ibukota kekhalifahan Abbasiyah. Beberapa ahli sejarah dan bahasa berbeda pendapat tentang makna Baghdad. Tentang orang yang pertama kali menamakan kota ini dengan Baghdad belum diketahui pasti. Akan tetapi, sesuatu yang diterima luas di kalangan ahli sejarah adalah nama lain Baghdad, Madinah As-Salam. Khalifah Al-Mansur, pendiri kota Baghdad, menamakan kota ini dengan Madinah As-Salam. Didirikan dengan biaya sekitar 4.883.000 dirham dengan mengerahkan ribuan pekerja, Baghdad dimaksudkan oleh Al-Mansur sebagai ibukota khilafah Abbasiyah yang baru. Kota Hasyimi sebagai ibukota pemerintahan Abbasiyah sebelum masa pemerintahan Al-Mansur dirasa kurang memadai, baik secara politis ataupun militer. Keadaan di lokasi Baghdad dibangun jauh lebih nyaman ketimbang kota Hasyimi.

Setelah bertahun-tahun dikerjakan, pada tahun 146 H, pembangunan Baghdad rampung. Hasilnya adalah sebuah kota besar yang bundar, dikelilingi parit, dan dengan pusat kota adalah istana khalifah. Sulit untuk menemukan kota yang dapat menandingi Baghdad pada saat itu. Kemegahan Konstatinopel, ibukota kekaisaran Bizantium (Romawi Timur), kalah dibandingkan Baghdad. Satu-satunya tempat yang dapat menandingi Baghdad adalah kota Kordova di Spanyol pada masa keamiran Bani Umayyah. Konon, keindahan dua kota Islam ini pada saat itu hanya dapat ditandingi oleh ibukota kekaisaran Cina. Pada waktu Ahmad bin Hanbal lahir, khalifah Abbasiyah yang memerintah adalah khalifah Harun Ar-Rasyid. Nama lengkapnya adalah Harun bin Musa bin Abdullah. Kuniyahnya adalah Abu Ja'far, sedangkan Ar-Rasyid adalah julukan yang dipakainya. Kakeknya adalah Al-Mansur, pendiri kota Baghdad. Masa pemerintahan Ar-Rasyid adalah masa-masa keemasan khilafah Abbasiyah, yang terakui dalam sejarah Islam dan sejarah Barat sekaligus. Baghdad pada waktu itu menjadi saksi tentang kemajuan-kemajuan yang dicapai oleh Harun ArRasyid. Di bidang agama, urusan sehari-hari dipegang langsung oleh qadhi al-akbar Abu Yusuf, seorang murid Abu Hanifah yang terkenal. Di bidang politik dan militer, pemerintahan Ar-Rasyid dikenal sebagai pemerintahan yang kuat dan disegani oleh kerajaan-kerajaan besar di Eropa. Kisah-kisah seputar hubungan diplomatik yang terjalin antara khalifah Ar-Rasyid dengan Raja Charle Magne dan Ratu Irene di Eropa pada waktu itu merupakan satu bukti kuat dalam sejarah. Pemerintahan Ar-Rasyid berlangsung stabil, sehingga pada masa itu pencapaian-pencapaian baru dalam pelbagai bidang muncul untuk kemudian diwariskan kepada khalifah-khalifah penerusnya. Apabila khalifah Al-Mansur dikenal sebagai peletak dan pendiri pemerintahan Abbasiyah yang sebenarnya, maka khalifah Ar-Rasyid dikenal sebagai simbol kemajuan Abbasiyah yang terus diingat di dalam sejarah Islam dan Barat. Pada masa dan ruang seperti itulah, Ahmad bin Hanbal dibesarkan oleh ibunya. Meski demikian, ibunya tetap mendorongnya untuk mempelajari Islam pada tokoh-tokoh yang terkenal keilmuannya pada saat itu. Tradisi Hubungan Guru-Murid Islam datang ke muka bumi dengan Nabi Muhammad sebagai rujukan utamanya. Ia seorang penyampai berita-berita yang datang dari langit melalui perantaraan malaikat Jibril. Melalui Nabi Muhammad semua masalah yang diadukan kepadanya dijawab dan melaluinya pula segala kabar yang tidak sanggup dicari oleh manusia sekitarnya disampaikan. Kedudukannya di tengah masyarakat Islam pada saat itu tidak ubah seperti kedudukan seorang guru di tengah murid-muridnya. Mereka, murid-murid yang dimaksud, dikenal sebagai sahabatsahabat Nabi Muhammad dari kaum Muhajirin dan Anshar serta sahabat-sahabat yang lainnya.

Proses belajar mereka berlangsung dengan teori dan praktek, baik di dalam ruangan tertentu seperti di dalam masjid atau pun di luar ruangan seperti di tengah perjalanan dan di tanah lapang, baik dalam yang sudah rutin atau pun dadakan. Dalam semua keadaan, transfer ajaran Islam dapat berlangsung. Karena itu, adalah mungkin untuk mengatakan bahwa ajaran-ajaran Islam berkembang pada awalnya melalui tradisi hubungan guru-murid. Keadaan seperti ini ternyata terus berlanjut sejak Nabi Muhammad wafat. Murid-muridnya, baik sahabat-sahabat dari kaum Muhajirin maupun Anshar dan juga sahabat-sahabat lain di luar mereka, inilah yang menjadi agen-agen penyebar ajaran Islam. Mereka semua mewariskan Islam kepada murid-murid mereka untuk kemudian disebarkan ke masyarakat secara luas melalui cara yang serupa. Biasanya, dalam hubungan guru-murid yang lebih intens tercipta ikatan batin yang akrab, sehingga adakalanya seorang murid tidak dikenal dan/atau disebut dengan istilah muridsatu istilah yang muncul pertama kali dalam tradisi orang-orang Sufi, tetapi dikenal dengan sebutan "sahabat" untuk menunjukkan jarak yang dekat antara guru dan murid. Misalkan seorang guru yang bernama Abu Hanifah, maka murid-muridnya dikenal dengan sebutan para sahabat Abu Hanifah atau ashhab Abi Hanifah; bagi sesama murid penyebutan yang kerap dipakai ketika membicarakan rekan seguru adalah ashabuna. Penamaan seperti yang terakhir itu lebih mengesankan pertemanan yang akrab ketimbang hubungan yang bersifat akademis. Biasanya, sekumpulan murid lebih memilih pendapat gurunya daripada pendapat orang lain dan hal ini dapat diwajari. Bentuk hubungan guru-murid seperti ini dikenal dengan istilah talaqqi. Dari hubungan-hubungan talaqqi inilah orisinalitas pendapat sang guru dalam pelbagai masalah diketahui banyak orang. Para murid adalah agen-agen orisinalitas yang dimaksud. Khalayak luas mengenal ucapan-ucapan guru yang ada tersebut dari para murid ini. Pertama kali Ahmad bin Hanbal mendengarkan uraian ilmu secara talaqqi di majelis Abu Yusuf. Ia yang bernama Ya'qub bin Ibrahim adalah wakil khalifah Ar-Rasyid dalam urusan agama pada saat itu di kota Baghdad. Jabatannya sebagai qadhi al-akbar, hakim agung, khilafah Abbasiyah. Akan tetapi, dalam sejarah Islam, ialah yang pertama kali dijuluki dengan qadhil qudhat, penghulu para hakim. Majelis-majelisnya dikenal sebagai majelis ra'yu. Sebagaimana yang telah dikenal luas, Abu Hanifah sebagai guru Abu Yusuf dikenal sebagai imam dalam mazhab ra'yu, mazhab yang lebih banyak mengedepankan logika dalam menafsirkan dalil-dalil Al-Qur'an dan Hadits. Semua itu kemudian diwariskan kepada murid-muridnya Di majelis Abu Yusuf, Ahmad bin Hanbal sempat mendengarkan uraian-uraian logikanya. Akan tetapi itu, tidak berlangsung lama. Ia kemudian berpaling ke majelis-majelis tahdits, majelismajelis talaqqi yang di dalamnya disampaikan hadits-hadits nabi tanpa uraian logika untuk menafsirkannya.

Pada masa itu, di wilayah kekuasaan khilafah Abbasiyah banyak terdapat majelis-majelistahdits, seperti di Kufah, Basrah, daerah-daerah di Yaman, Mesir, daerah-daerah di Khurasan seperti di Marw, dan juga di Baghdad sendiri. Orang-orang yang mendalami hadits lewat majelis-majelis seperti ini dikenal dengan sebutan ahlul hadits ataumuhadditsun. Rihlah Ahmad bin Hanbal Proses kepindahan Ahmad bin Hanbal dari majelis ra'yu ke majelis tahdits terjadi ketika ia berumur 15 tahun. Majelis tahdits yang pertama kali ia hadiri adalah majelis Husyaim bin Basyir Al-Washiti. Guru hadits pertamanya ini adalah seorang muhaddits terkenal. Kepadanya, Malik bin Anasimam mazhab Maliki, sempat mencari hadits. Demikian pula dengan Asy-Syafi'i imam mazhab Syafi'isempat mencari dan mendengarkan darinya. Dalam beberapa karyanya, seperti Al-'Ilal wa Ma'rifah ar-Rijal, Ahmad bin Hanbal beberapa kali mencantumkan hadits-hadits yang ia dapatkan dari Husyaim bin Basyir. Setelah gurunya wafat, Ahmad bin Hanbal pergi untuk memulai rihlahnya ke kota Kufah. Untuk mendapatkan satu hadits, bukan perkara yang gampang pada masa Ahmad bin Hanbal hidupdan ini bukan rahasia umum di kalangan ahlul hadits. Untuk mendapatkan hadits, seseorang harus bertalaqqi kepada muhaddits yang memiliki perbendaharaan hadits, baik dalam bentuk hafalan atau pun dalam bentuk tulisan. Proses talaqqi yang seperti itu tidak mungkin dilakukan tanpa mendatanginya. Karena tingkat kebehargaan hadits di sisi umat Islam yang demikian tinggi, sering kali seorang muhaddits didatangi oleh para pencari haditsseperti Ahmad bin Hanbaldan karena nilai hadits yang demikian tinggi itu pula sering kali seseorang harus menyampingkan segala ego dan perasaan gengsinya demi mendapatkan satu hadits pada seseorang yangmisalnya berdiam di tempat terpencil dan juga berumur lebih muda darinya. Hal seperti itu termasuk yang pernah dicontohkan para sahabat Nabi Muhammad, ketika mereka berusaha mencari tahu keabsahan hadits-hadits Nabi yang mereka dapatkan. Agar tercapai semuanya, seseorang butuh untuk melakukan rihlah, sehingga adakalanya prestise seorang muhaddits dinilai berdasarkan perbendaharaan hadits yang didapatkannya dan muhaddits yang didatanginya ketika rihlah. Rihlah diartikan sebagai perjalanan. Rihlah apabila dikaitkan dengan upaya mencari hadits, maka dapat berarti suatu perjalanan untuk mendapatkan, dan terkadang juga mengumpulkan, hadits dari muhaddits di tempat lain. Ar-rihlah fi tholabil ilmi adalah ungkapan umum yang semakna untuk upaya mencari ilmu agama. Karena kedudukan ilmu agama yang sangat penting, rihlah dipandang sebagai suatu bentuk ibadah tersendiri yang tidak kalah penting dari ibadah-ibadah yang lain. Seseorang yang telah menghabiskan waktunya untuk rihlah biasanya akan dimuliakan oleh masyarakat tempat ia berdiam. Mereka dihomati, bahkan disegani oleh banyak pihak, termasuk oleh para penguasa negeri-negeri Islam. Hasil dari rihlah inilah kemudian yang disampaikan dalam majelismajelis talaqqi.

Dari Kufah, Ahmad bin Hanbal kemudian melanjutkan rihlahnya ke pelbagai negeri Islam saat itu. Di negeri-negeri tersebut, ia pernah mengunjungi dan mendengarkan hadits dari Abdullah bin Mubarak, Abu Mu'awiyah Muhammad bin Khazim, Sufyan bin Sa'id Ats-Tsauri, Sufyan bin 'Uyainah, Mu'tamir bin Sulaiman, Abu Bakar bin 'Iyasy, 'Abidah bin Humaid Al-Hadzdza', Muhammad bin Ja'far Ghundar, Ismail bin 'Ulayyah, Hafsh bin Ghiyats, Waki' bin Jarrah, Abdurrahman bin Mahdi, Muhammad bin Basysyar Bundar, Abdurrazzaq bin Hammam, dan Muhammad bin Idris Asy-Syafi'iimam mazhab Syafi'i. Mereka semua adalah sekedar contoh muhadditsun terkenal yang pernah dikunjungi oleh Ahmad bin Hanbal dalam rihlahrihlahnya. Ada banyak muhaddits dalam daftar muhaddits yang pernah dikunjunginya. Dari masingmasing muhaddits, ia bisa mendapatkan beberapa hadits. Paling sedikit hadits yang didapatkannya, yakni satu hadits, adalah dari Yahya bin Sulaim. Meski demikian, di kalangan para muhadditsun, semua muhaddits yang pernah dikunjungi Ahmad bin Hanbal tersebut tetap dianggap dan disebut sebagai gurunyawalaupun hanya dapat memberikan satu hadits atau hanya dalam waktu yang begitu singkat. Karya Besar Ahmad bin Hanbal Talaqqi, muhaddits, rihlahsemua ini adalah poros kehidupan Ahmad bin Hanbal. Sebagian besar umurnya, bahkan lebih, dihabiskannya dalam poros-poros tersebut. Bukti itu semua adalah fakta bahwa ia baru melangsungkan pernikahannya pada waktu berumur 40 tahun dengan seorang wanita Arab. Menikah pada umur setua itu bukan satu hal yang lazim di kalangan masyarakat Baghdad pada waktu itu. Dari pernikahan tersebut, ia mendapatkan anak laki-laki yang dinamainya dengan Shalih. Setelah kematian istrinya ini, ia kembali melangsungkan pernikahan dengan seorang wanita yang kemudian melahirkan anak laki-laki yang dinamai dengan Abdullah. Meski demikian, selama rihlahnya tersebut, Ahmad bin Hanbal sempat pula menunaikan haji sebanyak lima kali: tiga kali dengan berjalan kaki, dua kali dengan menaiki kendaraan. Hasil dari semua usahanya ini dapat disaksikan dari kedudukannya di kalangan ahlul hadits. Banyak orang yang datang menemuinya hanya untuk menghadiri majelis-majelis tahditsnya. Sebagian dari mereka terdiri dari orang-orang yang ingin mendapatkan hadits, sebagian lain adalah orang-orang yang ingin mempelajari etika seorang pencari hadits. Orang-orang yang mengunjunginya juga datang untuk menanyakan pelbagai persoalan dalam Islam, seperti masalah aqidah, fiqih, hadits, dan juga etika seorang muslim, sehingga kedudukannya pada waktu itu dipandang bukan lagi semata-mata sebagai seorang pencari hadits, tetapi sebagai salah satu rujukan penting di Baghdad yang patut untuk dikunjungi. Karena itu, Ahmad bin Hanbal telah dianggap sebagai seorang muhaddits yang memiliki perbendaharaan hadits. Di antara sekian banyak orang yang menghadiri majelismajelistahditsnya adalah Muhammad bin Ismail Al-Bukhari, penulis kitab Shahih Al-Bukhari salah satu antologi hadits-hadits Nabi Muhammad yang paling otoritatif di kalangan umat Islam.

Selain itu, hasil rihlah Ahmad bin Hanbal tersebut dapat dilihat dari karyanya yang lebih dikenal dengan nama Al-Musnad. Karya ini adalah sebuah antologi hadits-hadits Nabi Muhammad yang disusun berdasarkan urutan nama para sahabat yang meriwayatkan hadits-hadits tersebut. Di dalam karya itu, terdapat sekitar 30.000 hadits yang disusun berdasarkan klasifikasi sahabatsahabat nabi. Klasifikasi tersebut dimulai dari hadits-hadits sepuluh sahabat yang telah direkomendasi oleh Nabi Muhammad untuk masuk surga, sahabat-sahabat senior di luar sepuluh sahabat tersebut, sahabat-sahabat yang tergolong ahlu bait nabi, sisa sahabat-sahabat senior, juga sahabat-sahabat yang berdiam di Makkah-Madinah-Syam-Kufah, sisa sahabatsahabat Anshar, sampai kemudian ditutup dengan hadits-hadits dari para sahabat nabi yang berasal dari kabilah-kabilah di luar Makkah dan Madinah. Karyanya ini tergolong karya besar. Dari ketiga anaknya, Hanbal, Shalih, dan Abdullah, karya ini disampaikan (dibacakan atau didiktekan) ke para muhaddits yang ada pada saat itu. Setelah masa mereka, ternyata banyak muhaddits yang memberikan perhatian yang lebih kepada karya ini. Di antara mereka ada yang sengaja khusus mencari hadits-hadits palsu saja, sebagai bentuk pemisahan antara hadits-hadits yang dapat diterima dan yang tidak dapat diterima, seperti yang dilakukan oleh Ibnul Jauzi dalam Al-Maudhu'at. Ada yang melengkapi hadits-hadits di dalamnya, seperti yang dilakukan oleh anaknya, Abdullah bin Ahmad bin Hanbal dalam Zawaid Musnad Ahmad bin Hanbal. Tercatat juga yang khusus menulis satu makalah ilmiah sebagai pembelaan terhadap Al-Musnad ini, seperti Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Al-Qaulul Musaddad fi Adz-Dzabbi 'an Al-Musnad. Bahkan ada yang meneliti derajat masing-masing hadits di dalamnyabaik itu berderajat shahih (sahih), dhaif(lemah), maudhu' (palsu)seperti yang dikerjakan oleh Ahmad Syakir dalam sembilan jilid besar. Inkuisisi Khalifah Abbasiyah Salah satu yang tidak patut untuk dilupakan ketika membicarakan kehidupan Ahmad bin Hanbal adalah peristiwa al-mihnah, sebab peristiwa ini merupakan satu tonggak penting dalam kehidupannya yang membuat namanya terukir dalam sejarah. Dalam beberapa tulisan sejarah, peristiwa ini lebih dikenal sebagai ayyamul mihnah yang bila diartikan kata per kata adalah harihari ujian. Dikatakan ujian, karena pada hari-hari itu setiap orang diuji sikap keberagamaannya dengan pertanyaan "Al-Qur'an makhluk (ciptaan Allah) atau bukan?" yang diajukan oleh khalifah Abbasiyah dan orang-orang khusus yang ditunjuknya. Seseorang waktu itu akan dikatakan memiliki Islam yang baik jika menjawab bahwa Al-Qur'an itu ciptaan Allah dan dianggap tidak benar Islamnya jika mengatakan bahwa Al-Qur'an itu bukan ciptaan Allah. Keyakinan bahwa Al-Qur'an itu ciptaan Allah dijadikan sebagai ideologi pemerintahan, sehingga siapa pun yang berseberangan dengan ideologi tersebut berhak untuk dihukum oleh pemerintah. Karena bentuk ujian seperti ini tidak jauh berbeda dengan proses inkuisisi yang diadakan Raja Ferdinand dan Ratu Isabella di Spanyol pada abad ke-15 M kepada rakyat mereka pada waktu itu, maka tidak juga disalahkan bila al-mihnah diartikan juga sebagai inkuisisi. Khalifah Abbasiyah yang pertama kali mengadakan bentuk inkuisisi seperti ini adalah khalifah AlMakmun. Ia adalah Abdullah bin Harun Ar-Rasyid. Kuniyahnya adalah Abu Ja'far,

seperti kuniyah ayahnya. Oleh ayahnya, Harun Ar-Rasyid, ia diberi julukan Al-Makmun. Mulai memegang jabatan khalifah Abbasiyah pada tahun 198 H. Jabatan ini dipegangnya selama dua puluh tahun lima bulan. Al-Makmun sudah menghadiri majelis-majelis tahdits sejak usia belia. Ia pernah mendengar hadits dari Husyaim bin Basyir, Abu Mu'awiyah Muhammad bin Khazim Adh-Dharir, Ismail bin 'Ulayyah, dan beberapa muhaddits yang lainnya. Ia pun menyampaikan hadits-hadits kepada orang-orang di sekelilingnya dan juga kepada rakyatnya ketika sedang menyampaikan orasi penting. Tercatat beberapa tokoh penting yang sempat mendapatkan hadits darinya, seperti qadhi Abu Yusuf, Yahya bin Aktsam seorang qadhi di wilayah Washiti, Al-Fadhl bin AlMakmunanaknya, dan beberapa tokoh lainnya. Selain hadits, sejak belia, Al-Makmun juga mempelajari beberapa cabang ilmu agama, seperti ilmu bahasa, ilmu waris, dan ilmu fiqih. Di luar ilmu-ilmu agama, ia ikut mempelajari syair-syair Arab, ilmu filsafat, ilmu perbintangan, dan matematika. Akan tetapi, dari semua ilmu tersebut, ia banyak terpengaruh dengan ilmu filsafat yang membuatnya dekat dengan orang-orang yang memiliki akidah Muktazilah, seperti Bisyr bin Ghiyats Al-Marisi, seorang tokoh Muktazilah terkenal saat itu. Di luar akidah Muktazilah, ia juga memiliki kecenderungan terhadap akidah Syi'ah, sehingga corak pemerintahan pada masanya banyak diwarnai oleh pengaruh-pengaruh dari kedua akidah tersebut. Termasuk juga kebijakan tentang inkuisisi itu. Inkuisisi yang dimaksud bermula pada tahun 218 H. lewat selembar surat edaran kepada wakilnya di Baghdad, Ishaq bin Ibrahim. Isi surat tersebut adalah perintah untuk mengumpulkan sejumlah qadhi, muhaddits, dan imam masjid-masjid di Baghdad agar kemudian menguji mereka tentang kemakhlukan (keterciptaan) Al-Qur'an: apakah Al-Qur'an ini ciptaan Allah atau bukan? Pada prakteknya, surat tersebut dibacakan ke hadapan publik di Baghdad. Setelah itu, barulah Ishaq bin Ibrahim mengumpulkan tokoh-tokoh tertentu yang ditunjuk oleh Al-Makmun. Mereka yang dimaksud adalah Muhammad bin Sa'adsekretaris Al-Waqidi, ahli sejarah Islam terkenal, Abu Muslim Al-Mustamli, Yazid bin Harun, Yahya bin Ma'in, Zuhair bin Harb, Ismail bin Mas'ud, dan Ahmad bin Ad-Dauraqi. Ke hadapan mereka semua, oleh Ishaq bin Ibrahim, diajukan pertanyaan dari Al-Makmun tentang keterciptaan Al-Qur'an. Dengan segala keterpaksaan mereka semua menjawab bahwa Al-Qur'an itu ciptaan Allah. Atas perintah Al-Makmun juga, jawaban mereka itu diumumkan ke khalayak luas. Tercatat lebih dari empat kali Ishaq bin Ibrohim memanggil para qadhi, muhaddits, dan imam masjid untuk menguji mereka pada waktu itu. Kebanyakan mereka menjawab bahwa Al-Qur'an adalah ciptaan Allah dengan terpaksa seperti tokoh-tokoh yang dipanggil pertama kali. Motif keterpaksaan mereka beragam. Ada di antara mereka yang terpaksa menjawab seperti itu agar jabatannya di pemerintahan tetap bertahan. Ada pula atas dasar imbalan dari pemerintah atau atas dasar ancaman sanksi fisik yang bakal ditimpakan kepada mereka. Akan tetapi, di antara mereka terdapat beberapa tokoh yang menjawab bahwa Al-Qur'an bukan ciptaan Allah. Mereka adalah Al-Hasan bin Hammad Sajadah, Ubaidullah bin Umar Al-Qawariri,

Ahmad bin Hanbal, dan Muhammad bin Nuh Al-Jundaisapuri. Mereka semua dipanggil bersama tokoh-tokoh yang lain, seperti Qutaibah bin Said, Abu Hayyan Az-Ziyadi, Ali bin Abi Muqatil, Sa'dawaih Al-Washiti, Ali bin Al-Ja'ad, Ishaq bin Abi Israil, Abu Nasr At-Tammar, Abu Syuja', dan beberapa tokoh yang lain. Dari sejumlah itu, hanya empat orang yang bertahan dengan jawaban bahwa Al-Qur'an bukan ciptaan Allah, sebagaimana yang telah disebutkan. Dalam keadaan terantai kaki-kaki mereka dan diawasi penuh, hanya tersisa dua orang yang tetap bertahan dengan jawaban masingmasing. Mereka adalah Ahmad bin Hanbal dan Muhammad bin Nuh. Mereka berdua bertahan dengan keyakinan bahwa Al-Qur'an adalah kalam Allah, salah satu sifat dari sifat-sifat Allah, dan bukan ciptaan Allah. Mereka berdua belum mendapat sanksi nyata dari Al-Makmun secara langsung. Sampai kemudian terdengar kabar tentang kematian Al-Makmun ketika berada di Tarsus, suatu tempat di wilayah Romawi, pada tahun itu juga. Akhir Proses Inkuisisi Inkuisisi kemudian dilanjutkan pada pemerintahan dua khalifah setelah itu, Al-Mu'tashim dan AlWatsiq. Pada masa-masa mereka berdualah, hukuman fisik bagi yang menolak keyakinan bahwa Al-Qur'an itu ciptaan Allah dikenakan secara luas, mulai dari hukuman penjara, cambuk, sampai dengan hukuman mati. Semua itu dimulai dengan menyebarkan surat-surat edaran agar semua rakyat mengakui keyakinan tersebut sekaligus memerintahkan para guru dan pengajar agar mengajari murid-murid mereka seperti itu. Ahmad bin Hanbal termasuk yang dihukum penjara dan dicambuk. Biasanya, ia dipanggil menghadap kholifah dalam keadaan terbelenggu. Setelah diuji untuk kesekian kali, dan masih juga dalam jawaban yang sama seperti pertama kali, ia dihina dan dicambuk di hadapan kholifah dan para mentrinya. Setelah itu, ia dipulangkan ke penjaranya. Hukuman tersebut dilaksanakan berkali-kali, selama pemerintahan kholifah Al-Mu'tashim dan AlWatsiq. Bukti hukuman tersebut dapat dilihat dari bekas-bekas cambukan yang ada pada punggungnya, sebagaimana yang diceritakan oleh salah seorang anaknya di kemudian hari. Keadaan baru berubah pada masa pemerintahan kholifah Al-Mutawakkil. Pergantian khalifah dari Al-Watsiq kepada Al-Mutawakkil sekaligus menandai berakhirnya masa inkuisisi, setelah menelan korban yang demikian banyak. "Sungguh," puji Ali bin Al-Madini, "Allah telah memuliakan Islam ini lewat Abu Bakar padaayyamur riddah dan lewat Ahmad bin Hanbal pada ayyamul mihnah." Pujian ini datang dari seorang muhaddits, rekan Ahmad bin Hanbal, sebagai tanda bahwa sikap bertahan Ahmad bin Hanbal dengan keyakinan Al-Qur'an adalah kalam Allah, sifat Allah, dan bukan makhluk, adalah penting pada waktu itu. Hal itu pun diakui sendiri oleh sejarawan Barat yang menulis tentang masalah Al-Mihnah ini. Seperti Phillip K. Hitti, dalam History of the Arabs, menulis bahwa

"Konservatisme Ibnu Hanbal merupakan benteng ortodoksi di Baghdad terhadap berbagai bentuk inovasi kalangan Mu'tazilah. Meskipun telah menjadi korban inkuisisi (mihnah), dan pernah diikat dengan rantai pada masa Al-Makmun, serta dihina, dan dipenjara oleh AlMu'tashim, Ibnu Hanbal tetap teguh pada pendiriannya, dan tidak mengakui berbagai bentuk modifikasi terhadap keyakinan tradisional." Lebih jauh lagi, dalam nada pujian, ia menganggap bahwa Ahmad bin Hanbal adalah sosok yang paling penting "yang keberanian dan kegigihannya memperjuangkan pemikiran ortodokskonservatif menghiasi lembar-lembar sejarah dengan indah." Sikap bertahan yang diperlihatkan oleh Ahmad bin Hanbal juga menjadi benteng pertahanan terakhir di mata para muhaddits saat itu. "Banyak orang," kata Yahya bin Ma'in setelah masa inkuisisi berlalu, "menginginkan agar kami bersikap seperti Ahmad bin Hanbal. Demi Allah, tidak akan sanggup kami sepertinya dan tidak akan sanggup kami menanggung seperti apa yang ditanggungnya." Yahya bin Ma'in, sebagaimana yang telah lewat, termasuk salah seorang tokoh muhadditsyang ikut diuji pada hari-hari inkuisisi itu dan ia tidak bisa bertahan seperti Ahmad bin Hanbal. Karena itulah, ia melanjutkan, "Saya menjadikan Ahmad (bin Hanbal) sebagai dalih antara saya dan Allah. Dan siapa pula yang sanggup menanggung beban seperti Ahmad bin Hanbal?!". Ishaq bin Rahawaih juga berkata serupa, "Ahmad adalah hujjah antara Allah dan hambahambaNya di bumi ini." Bahkan, "Kedudukan Ahmad bin Hanbal di tengah umat (Islam) seperti kedudukan nabi", puji Qutaibah bin Said yang turut merasakan inkuisisi pada waktu itu. Akhir Hidup Ahmad bin Hanbal Pemerintahan Al-Mutawakkil adalah pemerintahan yang menerapkan ajaran akidah ahlus Sunnah wal Jama'ah. Pada masa ini, banyak diberangus tulisan-tulisan tentang filsafat karena bertentangan dengan akidah itu. Tidak sedikit pula penerjemah-penerjemah naskah-naskah kuno Yunani yang ditangkap. Selain mereka, para pengajar filsafat diawasi dan ditangkap. Khalifah tidak ingin negara seperti ketika dipimpin tiga khalifah sebelumnya. Khusus kepada Ahmad bin Hanbal, khalifah meminta maaf atas perlakuan khalifah-khalifah sebelumnya. Tidak berhenti sampai di situ, khalifah banyak memberikan penghormatan dan hadiah kepada Ahmad bin Hanbal. Semua itu, pada akhirnya, menjadi semacam "ujian" yang menimpa Ahmad bin Hanbal di ujung hidupnya. Setelah diuji lewat siksaan yang mendera-dera, ia diuji oleh kemasyhuran, penghormatan, dan pemberian dari sang khalifah. Dalam keadaan tua, Ahmad bin Hanbal menyadari akan kelemahan dirinya. Ia tidak ingin rusak oleh itu semua. Karena itu, adalah wajar jika ia pernah memboikot salah seorang anaknya hanya karena mau menerima hadiah-hadiah dari khalifah. Ahmad bin Hanbal tidak mau salah seorang keluarganya menerima hadiah-hadiah itu. Pada tahun 241 H. Ahmad bin Hanbal akhirnya wafat. Ia wafat setelah ditimpa sakit berhari-hari. Memadati proses pemakaman Ahmad bin Hanbal, ribuan orang hadir dan ikut mengantarkan jenazahnya ke pemakaman. Baghdad waktu itu belum pernah menyaksikan tumpahan massa

yang luar biasa banyak ketika seonggok jenazah diantar ke kuburannya. Bagi sebagian orang, ini adalah bukti bahwa Ahmad bin Hanbal adalah sosok yang dikenal, dicintai, dihormati, dan dikenang oleh banyak orang.[]

AHLI-AHLI FIKIH SAMPAI ABAD KE-4 HIJRIAH


30 September 2012 pukul 9:09

Berdasarkan Tasmiyah Fuqaha' Al Amshar karya Abu Abdirrahman Ahmad bin Syuaib An-Nasai (215 303 H)

DARI PENDUDUK MADINAH Dari Kalangan Sahabat Rasulullah Umar bin Al-Khaththab Zaid bin Tsabit Abdullah bin Umar Aisyah Dari Kalangan Tabiin Said bin Al-Musayyib Urwah bin Zubair Abu Salamah bin Abdurrahman Ubaidullah bin Abdullah bin Utbah Sulaiman bin Yasar Kharijah bin Zaid bin Tsabit Abu Bakar bin Abdirrahman bin Al-Harits bin Hisyam Ali bin Al-Husein Al-Qasim bin Muhammad bin Abi Bakar Ash-Shiddiq Salim bin Abdillah bin Umar Abu Jafar Muhammad bin Ali bin Al-Husein Al-Baqir Umar bin Abdil Aziz Dari Kalangan setelah Tabiin Abdullah bi Yazid bin Hurmuz Muhammad bin Muslim bin Syihab Az-Zuhri Rabiah bin Abi Abdirrahman Abu Zinad Abdullah bin Dzakwan Yahya bin Said Al-Anshari Dari Kalangan setelah Mereka Malik bin Anas Abdul Aziz bin Abi Salamah Al-Majisyun Murid Imam Malik dari Penduduk Madinah

Abdul Malik bin Abdil Aziz Al-Majisyun Murid Imam Malik dari Penduduk Mesir Abdurrahman bin Al-Qasim Asyhab bin Abdil Aziz MURID-MURID ABDULLAH BIN ABBAS DARI PENDUDUK MEKKAH Atha bin Abi Rabah Thawus bin Kaisan Mujahid bin Jabr Said bin Jubair Jabir bin Zaid Ubaidullah bin Abdillah bin Utbah Setelah Mereka Amr bin Dinar Setelah Amr bin Dinar Ibnu Juraij Sufyan bin Uyainah Setelah Ibnu Juraij dan Sufyan bin Uyainah Muslim bin Khalid Az-Zanji (yang ia ini bukan pribadi yang mumpuni dalam bidang hadits) Said bin Salim Al-Qaddah Setelah Muslim bin Khalid Az-Zanji dan Said bin Salim Al-Qaddah Muhammad bin Idris Asy-Syafii Murid-Murid Imam Asy-Syafii Abu Ibrahim bin Yahya Al-Muzani Abu Tsaur Ibrahim bin Khalid Yusuf bin Yahya Al-Buwaithi Abul Walid Musa bin Abil Jarud Abdullah bin Az-Zubair Al-Humaidi AHLI-AHLI FIKIH DARI PENDUDUK KUFAH Dari Kalangan Sahabat Rasulullah Ali bin Abi Thalib Abdullah bin Masud Dari Kalangan Tabiin Alqamah bin Qais Al-Aswad bin Yazid Amr bin Syarahbil Abu Maysarah Abidah bin Amr As-Salmani

Syuraih bin Al-Harits Al-Kindi Masruq bin Al-Ajda Abdullah bin Utbah Setelah Mereka Amir bin Syarahil Ibrahim An-Nakhai Setelah Mereka Berdua Al-Hakam bin Utaibah Al-Kindi Hammad bin Abi Sulaiman dan Al-Hakam adalah yang paling mumpuni di antara mereka berdua dalam bidang hadits Mansur bin Al-Mutamir Al-Mughirah bin Al-Miqsam Setelah Mereka Abdullah bin Syubrumah Abdurrahman bin Abi Laila yang ia ini adalah orang yang kurang mumpuni dalam bidang hadits Abu Hanifah dan ia bukan termasuk orang yang mumpuni dalam bidang hadits Setelah Mereka Sufyan bin Said Ats-Tsauri Al-Hasan bin Shalih bin Hayy Murid-Murid Abu Hanifah Zufr bin Al-Hudzail Abu Yusuf Yaqub bin Ibrahim Afiyah bin Yazid Asad bin Amr Murid-Murid Sufyan bin Said Ats-Tsauri Abdullah bin Al-Mubarak Waki bin Al-Jarrah Abu Ishaq Ibrahim bin Muhammad Al-Fazari Abdurrahman bin Mahdi Adh-Dhahhaq bin Muzahim Murid-Murid Al-Hasan bin Hayy Humaid bin Abdirrahman Ar-Ruasi Yahya bin Adam AHLI-AHLI FIKIH DARI PENDUDUK BASHRAH Dari Kalangan Sahabat Rasulullah Abu Musa Al-Asyari Imran bin Hushain

Dari Kalangan Tabiin Humaid bin Abdirrahman Al-Himyari Mutharrif bin Abdillah bin Asy-Syikhkhir Setelah Mereka Al-Hasan bin Abil Hasan Al-Bashari Muhammad bin Sirin Jabir bin Zaid yang telah kami sebutkan pada murid-murid Ibnu Abbas Abu Qilabah Abdullah bin Zaid Al-Jarami Setelah Mereka Ayyub bin Kaisan As-Sahtiyani Yunus bin Ubaid Utsman bin Muslim Al-Buti Setelah Mereka Ubaidullah bin Al-Hasan Al-Qadhi Hammad bin Zaid dan berkata Abdurrahman bin Mahdi, Tidak pernah kulihat seseorang yang lebih mengetahui sunnah Rasulullah dari Hammad bin Zaid. (Setelah Hammad bin Zaid) Bisyr bin Al-Mufadhdhal Setelah Mereka Muadz bin Muadz Al-Anbari Muhammad bin Abdillah Al-Anshari Setelah Mereka Berdua Hilal bin Yahya Ar-Rayi AHLI-AHLI FIKIH DARI PENDUDUK SYAM Dari Kalangan Sahabat Rasulullah Muadz bin Jabal Abu Darda Uwaimir bin Zaid Dari Kalangan setelah Mereka Makhul Setelah Makhul Sulaiman bin Musa Abdurrahman bin Amr Al-Auzai Said bin Abdil Aziz AHLI-AHLI FIKIH DARI PENDUDUK MESIR Amr bin Al-Harits

Laits bin Saad Setelah Mereka Abdurrahman bin Al-Qasim Asyhab bin Abdil Aziz yang dua orang ini telah disebutkan dalam daftar murid-murid Imam Malik bin Anas Setelah Mereka Al-Harits bin Miskin Muhammad bin Abdillah bin Abdil Hakam AHLI-AHLI FIKIH DARI PENDUDUK KHURASAN Adh-Dhahhak bin Muzahim yang telah kami sebutkan dalam daftar murid-murid Sufyan AtsTsauri An-Nadhr bin Muhammad Al-Marwazi Ibrahim bin Maymun Ash-Shaigh yang dibunuh oleh Abu Muslim Al-Khurasani Abdullah bin Al-Mubarak dan telah kami sebutkan dalam daftar murid-murid Ats-Tsauri Setelah Mereka Ahmad bin Hanbal Ishaq bin Rahawaih Yahya bin Aktsam Murid-Murid Al-Auzai yang Paling Kuat Hafalannya Abdullah bin Al-Mubarak Al-Walid bin Mazid Murid-Murid Ayyub As-Sahtiyani yang Paling Kuat Hafalannya Hammad bin Salamah, kemudian Abdul Warits bin Said Al-Anbari Ismail bin Ulayyah Abdurrahman bin Mahdi Abdullah bin Al-Mubarak Abdul Wahhab Ats-Tsaqafi Murid-Murid Said bin Abi Arubah yang Paling Kuat Hafalannya Yazid bin Zurai Sarrar bin Mujasysyir Mushab bin Mahan

4 Faktor Pendorong Kemunculan Kelompok Salafi di Indonesia


30 September 2012 pukul 9:07

Tidak seperti organisasi kemasyarakatan yang memiliki AD dan ART, kemunculan dakwah Salafi di Indonesia tidak bisa dipastikan waktu kemunculannya. Hanya saja, dari berbagai sumber yang ada, secara umum, dakwah Salafi di Indonesia, terutama di pulau Jawa, sampai hari ini baru berjalan sekitar dua dasawarsa. Jika mantan panglima Laskar Jihad, Jafar Umar Thalib, dianggap sebagai dai Salafi yang pertama kali berdakwah oleh sebagian besar masyarakat di Indonesia, maka selain dirinya ada sejumlah Salafi anonim yang sudah berdakwah jauh sebelumnya.[1] Bedanya, selain amat sulit untuk melacak keberadaan mereka yang anonim itu, masing-masing mereka ternyata tidak mau pula dikenal publik luas. Bagaimana pun, setelah Pencipta alam semesta sebagai prima causa, ada empat faktor umum yang mendorong kemunculan dakwah Salafi di Indonesia 20 tahun belakangan ini. Keempat faktor tersebut terdiri dari tiga faktor yang terkait langsung dan satu faktor berdiri sendiri. Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) DDII lahir menyusul berbagai kebijakan pemerintah Indonesia pasca peristiwa G 30 S pada 1965. Soeharto, yang telah mengambil alih kepemimpinan nasional saat itu, sangat mengekang aktifitas politik sejumlah tokoh muslim, terutama tokoh-tokoh dari partai Masyumi. Jamak diterima, Masyumi waktu itu dianggap sebagai salah satu pihak yang terlibat peristiwa pemberontakan PRRI di akhir 1950-an. Lewat pertemuan di Tanah Abang, Jakarta Pusat, pada Februari 1967, rencana mendirikan satu lembaga dakwah baru digulirkanyang kemudian resmi berdiri pada 9 Mei 1967. Sejak itu pula, seperti ditulis Muhammad Natsir (1908 1993) dalam Politik Melalui Jalur Dakwah, DDII menjadi saluran politik resmi yang sama sekali baru buat tokoh-tokoh Masyumi. Berbeda dengan NU dan Muhammadiyah, selain upaya-upaya taktis membendung kristenisasi dan memperkuat kesadaran Islam di tengah masyarakat Indonesia, DDII berusaha aktif untuk mencari hubungan strategis dengan kerajaan Arab Saudi waktu itu. Hasilnya, DDII menjadi wakil lembaga Rabithah Al-Alam Al-Islami di Indonesia. Dalam kedudukan yang baru itulah, DDII berhasil meraih posisi sentral di tengah-tengah organisasi-organisasi keislaman di Indonesia. DDII menjadi semacam jembatan yang memerantarai bantuan keuangan dari Arab Saudi terhadap berbagai kegiatan dakwah organisasi-organisasi tersebut di Indonesia. Demikian pula dengan beasiswa-beasiswa dari Arab Saudi. DDII berhasil menjadi wadah pendistribusian berbagai beasiswa yang mengalir dari Arab Saudi untuk pelajar-pelajar Indonesia yang ingin melanjutkan studi mereka ke universitas-universitas di Timur Tengah. Bina Masjid Kampus Pada saat yang bersamaan, kebijakan Soeharto semakin refresif, termasuk kepada mahasiswa. Pemerintah mulai tidak membiarkan mereka aktif dalam politik praktis menyusul peristiwa Malari pada 1974. Puncaknya terjadi pada 1978, ketika pemerintah mengeluarkan kebijakan

Normalisasi Kehidupan Kampus dan Badan Koordinator Kampus atau lebih dikenal dengan NKK-BKK. Jauh sebelum keluar NKK-BKK, DDII telah membidik kampus-kampus sebagai lahan potensial untuk program dakwahnya. Pada 1974, DDII memulai program Bina Masjid Kampus di sejumlah kampus universitas di Jawa. Karena fokus membina kesalehan sosial lewat serangkaian kajian-kajian keislaman, Bina Masjid Kampus pada waktu itu jauh dari kesan kegiatan politik. Dengan demikian, ketika NKK-BKK diberlakukan di kampus-kampus, Bina Masjid Kampus terus berjalan dengan segala kegiatannya. Dalam program tersebut, DDII memberikan kesempatan luas kepada kader-kader DDII yang tamat dari universitas-universitas di Timur Tengah untuk memberikan sejumlah latihan dakwah secara sitematis. Mereka juga tidak lupa mengenalkan pemikiran tokoh-tokoh pergerakan di Timur Tengah kepada mahasiswa-mahasiswa Indonesia. Program Bina Masjid Kampus berkembang dari satu universitas ke universitas lainnya. Sebanyak 12 universitas, bahkan, merasakan sejumlah proyek pendirian masjid danIslamic centre di sekitar kampus tersebut sebagai bagian Bina Masjid Kampus. Dari situ pula kemudian muncul gerakan tarbiyah yang menjadi cikal-bakal Partai Keadilan Sejahtera. Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Bahasa Arab (LIPIA) Hubungan intensif dengan DDII mendorong Arab Saudi untuk mendirikan LIPIA di Jakarta pada 1980. Lembaga pendidikan ini semula bernama Lembaga Pengajaran Bahasa Arab (LPBA) yang didirikan berdasarkan keputusan dari Arab Saudi yang bernomor 5/N/26710. Meski demikian, kegiatannya sendiri baru dimulai pada 12 Mei 1981. Sebagai sebuah lembaga pendidikan, LPBA menjadi lembaga pendidikan asing pertama yang berdiri di Indonesia. Tiga tahun pertama, LPBA fokus mengajarkan bahasa Arab kepada caloncalon mahasiswa yang direkrut DDII untuk belajar ke Arab Saudi. Setelah itu, LPBA juga menyediakan tawaran bagi siswa-siswa berbakat dari beberapa pondok pesantren (ponpes) di Indonesia untuk melanjutkan pendidikan di Timur Tengah. Ponpes Gontor Ponorogo dan ponpes Manbaul Ulum Jombang di Jawa Timur serta ponpes Darud Dakwah wal Irsyad di Sulawesi Selatan adalah beberapa contoh ponpes yang mendapatkan tawaran tersebut. Selain menjadi batu loncatan untuk meneruskan studi di Timur Tengah, LPBA pun membuka program pendidikan bahasa Arab sendiri, seperti kursus bahasa Arab intensif dan non-intensif. Tahun 1986, LPBA membuka program pendidikan tingkat sarjana muda. Pada tahun ini pula nama LIPIA mulai digunakan secara resmi. Dengan nama yang baru, secara administratif, LIPIA berada langsung di bawah Universitas Muhammad bin Suud di Riyadh, Arab Saudi. Seorang direktur ditunjuk untuk mengepalai LIPIA.

Ia bertanggung-jawab dalam bidang akademik dan administratif di bawah pengawasan Kedutaan Besar Arab Saudi di Indonesia. Biasanya, direktur LIPIA adalah orang Arab Saudi langsung. Selainnya, sejumlah pengajar LIPIA juga didatangkan dari Timur Tengah. Karena itu, tidak mengherankan, jika sejumlah pemikiran yang berkembang di Timur Tengah berkembang di tengah-tengah LIPIA. Perang Afganistan Sejumlah pelajar Indonesia yang mendapat beasiswa melalui DDII dan LIPIA diberangkatkan sepanjang tahun-tahun 1980-an. Mereka mengenyam pendidikan tinggi di beberapa universitas di Arab Saudi, seperti Universitas Muhammad bin Suud dan Universitas Islam di Madinah. Di sanalah, mereka berkenalan dengan beberapa tokoh-tokoh dakwah di Arab Saudi, termasuk dengan ulama Salafi setempat. Ini berbeda dengan beberapa mahasiswa Indonesia lainnya di Afganistan, ketika terjadi perang melawan Uni Soviet. Perang Afganistan sendiri meletus pada 1980-an. Melawan Uni Soviet yang mencoba menganeksasi Afganistan ke dalam kekuasaannya, kaum muslimin di Afganistan mendapat bantuan dana dan tenaga dari berbagai negeri muslimin lainnya, termasuk dari Indonesia. Gelombang kedatangan sukarelawan dari Indonesia berlangsung selama beberapa tahun. Banyak anggota Darul Islam (DI) yang dikirim ke Afganistan sejak 1980-an, terutama DI kelompok Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Baasyir. Di Afganistan, mereka menjalin kontak dengan salah satu kelompok mujahidin setempat pimpinan Abdul Rasul Sayyaf. Namun, yang menarik, sukarelawan yang berangkat ke Afganistan tidak melulu anggota-anggota DI. Sejumlah mahasiswa yang pernah belajar di LIPIA ada yang sempat datang ke Afganistan. Berbeda dengan anggota DI, mahasiswa-mahasiswa yang dimaksud pergi ke Afganistan dan bergabung dengan kelompok mujahidin pimpinan Syaikh Jamilurrahman. Syaikh tersebut adalah seorang ulama Salafi yang turut berperang di Afganistan. Dengan kelompoknya yang bernama Jamaah Ad-Dawah ila Al-Quran wa Ahlil Hadits, Syaikh Jamilurrahman menjalin kontak dengan Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadii, salah seorang ulama Salafi di Yaman. Lewat hubungan itulah pula, kemudian dikenal ulama-ulama Salafi lainnya di Timur Tengah.[] --Rimbun Natamarga

[1] Seperti Buya Jufri, salah seorang murid Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz, yang telah berdakwah di daerah Riau jauh sebelum tahun 1990. Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz adalah salah seorang ulama Salafi di Arab Saudi yang pernah mengepalai lembaga Haiah Kibar Al-Ulama, semacam lembaga ulama-ulama kerajaan Arab Saudi.

Yang Baru dalam Islam: Mazhab Sururi

30 September 2012 pukul 9:06

Dilihat dari akar kata, istilah Sururiyah atau Sururi diambil dari nama Muhammad bin Surur bin Nayef Zainal Abidin. Akan tetapi, faktanya, istilah itu ternyata digunakan untuk siapa saja yang berafiliasi dengan yayasan Al-Muntada dan Ihya At-Turats serta orang-orang yang bersama daidai mereka. Yayasan Al-Muntada di London didirikan beberapa belas tahun yang lewat oleh Muhammad bin Surur bin Nayef Zainal Abidin. Semula, ia adalah anggota Ikhwanul Muslimin. Menyatakan diri keluar dari kelompok itu, ia kemudian mengaku sebagai seorang Salafi. Salafi sendiri adalah istilah bagi siapa saja yang berusaha memahami agama dengan pemahaman para salaf ash-shalih. Mereka yang disebut terakhir ini adalah generasi pertama umat Islam dari kalangan sahabat Nabi Muhammad (murid-murid Nabi langsung),tabiin (muridmurid sahabat nabi itu), dan tabiut tabiin (murid-murid para tabiin itu). Sebagai Mazhab Sururi Meski demikian, dengan statusnya yang baru ini, Muhammad bin Surur justru mengenalkan sebuah pemahaman baru yang akhirnya banyak diikuti oleh orang-orang di Timur Tengah. Dari sana, gerak perkembangan mereka kemudian meluas ke arah negara-negara Asia yang lain dan juga ke negara-negara Eropa. Pemahaman yang dimaksud adalah sebuah pemahaman hibrid yang berusaha menggabungkan sebagian pemahaman beragama para salaf ash-shalih itu dengan sebagian pemahaman beragama kelompok Ikhwanul Musliminyang didirikan oleh Hasan Al-Banna (1906 1949). Karena itu, dalam kalimat sederhana yang sering terlontar, Sururiyah adalah Ikhwanul Muslimin berbaju Salafi. Kecenderungan seperti itu juga dibawa oleh Abdurrahman Abdil Khaliq, pendiri Yayasan Ihya At-Turats di Kuwait. Seperti Muhammad bin Surur, Abdurrahman Abdil Khaliq adalah mantan anggota Ikhwanul Muslimin. Didukung kekuatan finansial luar biasa, yayasannya ikut menyebarkan pemahaman sejenis ke berbagai penjuru dunia, termasuk ke Indonesia. Dengan yayasan Al-Muntada, yayasan Ihya At-Turats juga mengucurkan dana-dana untuk menerjemahkan, menerbitkan dan menyebarkan buku-buku karya syaikh-syaikh Salafi yang berdiam di Arab Saudi, Yordania, dan Kuwait. Selain itu, mereka juga membuka cabang-cabang yayasan di berbagai negara. Mazhab Sururi di Indonesia Di Indonesia, yayasan Al-Muntada memiliki cabang berupa yayasan Ash-Shafwah dan yayasan Al-Haramain, sedangkan yayasan Ihya At-Turats mendirikanbahkan sering juga membantu pesantren-pesantren seperti Mahad Jamilurrahman dan Islamic Centre Bin Baaz di Yogyakarta atau Mahad Al-Furqan di Gresik serta Mahad Imam Al-Bukhari di Solo. Dari pesantren-pesantren seperti itu, mereka mencetak dai-dai dan menyebarkannya ke berbagai tempat di Indonesia. Dai-dai yang bisa dikatakan sebagai dai-dai Sururiyah tulen di Indonesia, untuk mengambil beberapa contoh mudah di sini, adalah Yazid Abdil Qadir Jawwas,

Abdul Hakim Abdat, Abu Nida, Abu Haidar, Ainur Rafiq Ghufran, dan Abu Qatadah Suherlan. Bisa ditambahkan pula di sini, seseorang yang banyak dikenal publik lewat tulisan-tulisannya, Hartono Ahmad Jaiz. Yang mesti dicatat, tidak setiap dai mereka atau orang-orang yang mengikuti pengajianpengajian mereka mengetahui tentang hakikat Sururiyah. Di mata masyarakat, penampilan mereka tidak jauh berbeda dengan orang-orang yang mengikuti pengajian-pengajian Salafi. Mazhab Sururi bukan Mazhab Salafi Sururi bukan Salafi. Hal ini amat terlihat dalam pemahaman beragama mereka masing-masing. Meski dalam permasalahan fikih masing-masing mereka memiliki rujukan yang sama, namun dalam permasalahan akidah ada perbedaan yang nyata. Jika dicermati, dalam praktek beragama, orang-orang yang disebut Salafi akan berusaha konsisten untuk tidak mencampur-adukkan pemahaman mereka dengan berbagai macam pehamaman beragama yang datang dari luar generasi para salaf ash-shalih. Mereka, sederhananya, tidak akan memahami agama seperti kaum Sufi, kaum filosof, atau bahkan seperti pemahaman kelompok Ikhwanul Muslimin.[]

Salaf pada Istilah Sekte Salafi Wahabi


30 September 2012 pukul 9:02

Istilah Salafi berasal dari kata salaf. Kata yang terakhir ini adalah bentuk mashdar dari kata kerja salafa-yaslufu, berlalu. Kata kerja ini dapat bersinonim dengan taqaddamayataqaddamu yang berarti mendahului dan madha-yamdhi yang berarti pergi berlalu. Bagaimana pengertian dalam kamus-kamus rujukan bahasa Arab? Dalam Al-Qamus AlMuhith, Al-Fairuz Abadi mengartikan as-salaf sebagai setiap yang telah mendahuluimu dari kalangan bapak-bapakmu dan kerabatmu. Dalam Lisan Al-Arab, Ibnul Manzhur mengartikanassalaf sebagai siapa saja yang telah mendahuluimu dari kalangan bapak-bapakmu dan kerabatmu yang mereka itu berada di atasmu dalam masalah usia dan keutamaan. Dalam literatur-literatur keislaman klasik, seperti sejumlah antologi hadits-hadits Rasulullah dan komentar-komentar para ulama terhadap hadits-hadits tersebut, ternyata, kita bisa melihat makna salaf yang jauh lebih spesifik. Misalnya, di dalam Shahih Al-Bukhari, Imam Bukhari (810 870) kata salaf atau para pendahulu itu sebagai Rasulullah dan para sahabatnya. Demikian pula dengan Ibnu Hajar Al-Asqalani. Dikenal sebagai salah satu komentatorShahih AlBukhari yang paling diterima sampai saat ini, Ibnu Hajar mengartikan kata salafsebagai orangorang dari kalangan para sahabat Rasulullah ridhwanullahu alaihim dan setelahnya (tabiin).

Salaf juga diartikan sebagai tiga generasi terbaik di tengah umat Islam, (1) generasi sahabat Rasulullah, (2) generasi tabiin, dan (3) generasi tabiut tabiin. Pengertian seperti ini mengacu kepada salah satu hadits yang ada dalam Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim, Sebaik-baik

manusia adalah generasiku, kemudian generasi yang mengikuti mereka setelah itu, kemudian generasi yang mengikuti mereka setelah itu. Yang jadi pertanyaan sekarang, siapa saja yang dimaksud dengan sahabat-sahabat Rasulullah itu? Siapa pula yang terkategori sebagai tabiin dan tabiut tabiin? *** Yang dimaksud dengan sahabat Rasulullah ridwanullah alaihim adalah setiap orang yang bertemu Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam semasa beliau hidup kemudian mengimani apaapa yang dibawa beliau dan meninggal-dunia dalam keadaan beriman seperti itu. Karenanya, bukan sekedar melihat, sebab dengan kata bertemu akan masuk pula setiap orang buta yang ada waktu itu. Dengan pengertian tersebut, akan teranggap sebagai seorang sahabat Rasulullah setiap orang yang masih berusia kanak-kanak waktu itu. Mereka biasanya diistilahkan dengansahabatsahabat kecil Rasulullah, seperti Abdullah bin Zubair yang berumur 11 tahun atau Abdullah bin Abbas yang berumur 13 tahun atau bahkan Mahmud bin Labid yang berumur 5 tahun ketika Rasulullah wafat. Juga dengan pengertian tersebut akan tidak dikatakan sebagai sahabat Rasulullah siapa saja yang waktu itu bertemu dengan Rasulullah dan kemudian beriman tetapi akhirnya meninggal dalam keadaan kafir atau murtad. Bahkan, tetap tidak bisa dikatakan sebagaisahabat Rasulullah yang murtad atau kafir kembali. Contoh yang seperti itu adalah Ubaidullah bin Jahsyin yang semula beriman kemudian ikut berhijrah ke negeri Abessynia (Habasyah) tetapi akhirnya kembali memeluk Kristen di sana. Sampai meninggal-dunianya, Ubaidullah bin Jahsyin tetap dalam keadaan seperti itu. Jandanya, Ummu Habibah, dilamar, dinikahi dan menjadi salah seorang pendamping Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam sampai meninggalnya Rasulullah pada tahun 11 H. Sebaliknya, siapa saja yang bertemu dengan Rasulullah dan beriman kemudian murtad tetapi akhirnya masuk Islam kembali dan memegangnya sampai meninggal-dunia, maka ia tetap dikatakan sebagai sahabat Rasulullah. Inilah yang harus menjadi catatan khusus buat kita. Seperti Al-Asyats bin Qais Al-Kindi radhiyallahu anhu, yang masuk Islam ketika Rasulullah hidup dan sempat murtad pada masa khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq. Al-Asyats bin Qais akhirnya masuk Islam kembali di hadapan Abu Bakar Ash-Shiddiq dan hidup sebagai muslim yang baik setelah itu. Ia tetap terkatakan sebagai seorang sahabat Rasulullah. *** Hampir serupa dengan definisi sahabat Rasulullah, sebutan tabiin disematkan kepada siapa saja yang pernah bertemu dengan salah seorang sahabat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam kemudian mempelajari Islam dari sahabat tersebut dan meninggal-dunia dalam keadaan berislam sebagaimana Islam yang didakwahkan para sahabat Rasulullah.

Karena itulah, misalnya, tidak dikatakan sebagai seorang tabiin jika seseorang itu menjalani Islam seperti yang diajarkan oleh Mabad Al-Juhani. Orang terakhir ini adalah seorang penduduk Bashrah yang menolak keberadaan takdir Allah. Abdullah bin Umar radhiyallahu anhuma yang masih hidup waktu itu mencela Mabad Al-Juhani, menjelaskan kesesatan keyakinan itu dan berlepas-diri darinya. Akan tetapi, berbeda dengan generasi sahabat Rasulullah, para tabiin dikelompokkan menjadi beberapa jenjang generasi. Dalam Taqrib At-Tahdzib, sebagai contoh, Ibnu Hajar Al-Asqalani membagi generasi tabiin yang meriwayatkan hadits-hadits menjadi (1) thabaqah kibar at-tabiin, (2) thabaqah al-wustha, (3) thabaqah tali al-wustha, dan ditambah (4)thabaqah ash-shugra. Masing-masing thabaqah tabiin memiliki sejumlah tokoh yang diakui oleh kaum muslimin sampai sekarang. Dari kalangan thabaqah kibar at-tabiin, Said bin Musayyib adalah salah seorang tokoh terkemuka yang paling dikenal. Dari thabaqah al-wustha, ada Hasan Al-Bashri dan Muhammad bin Sirin sebagai pemuka thabaqah. Dari thabaqah tali al-wustha, muncul sebagai pemuka mereka Muhammad bin Muslim bin Syihab Az-Zuhri dan Qatadah bin Diamah AsSadusi. Dari thabaqah shugra, dikenal Al-Amasy, seorang tabiin periwayat-hadits yang nyentrik. *** Karena Islam itu diwariskan secara berantai dari zaman Rasulullah lewat proses bertemu dan belajar langsung, maka dari generasi tabiin itu kemudian muncul kembali orang-orang yang mendakwahkan dan mengajarkan Islam ke tengah-tengah masyarakat mereka waktu itu. Orangorang yang mempelajari Islam dari para tabiin itu kemudian memegangnya sampai meninggaldunia dikenal sebagai atba at-tabiin atau jamak diistilahkan di tengah kita sebagai tabiut tabiin. Seperti para tabiin, generasi tabiut tabiin pun terdiri dari beberapa jenjang generasi. Ibnu Hajar membaginya menjadi (1) thabaqah kibar atba tabiin, (2) thabaqah al-wustha, dan (3)thabaqah ash-shugra. Masing-masing thabaqah ini memiliki tokoh-tokoh pemuka mereka.[]

tabiut tabiin, thabaqah kibar atba tabiin, thabaqah al-wustha, thabaqah ash-shugra, tabiin, thabaqah kibar at-tabiin, thabaqah al-wustha, tali al-wustha, thabaqah ash-shugra, said bin musayyib, hasan al-bashri, muhammad bin sirin, muhammad bin muslim bin syihab az-zuhri, qatadah bin diamah as-sadusi, al-amasy, rasulullah, sahabat rasulullah, abdullah bin umar, mabad al-juhani, ibnu hajar al-asqalani, taqrib at-tahdzib, abu bakar ash-shiddiq, al-asyats bin qais al-kindi, ummu habibah, ubaidullah bin jahsyin, abessynia, habasyah, sahabat-sahabat kecil rasulullah, abdullah bin zubair, abdullah bin abbas, mahmud bin labid, shahih al-bukhari, shahih muslim, imam bukhari (810 870), al-qamus al-muhith, al-fairuz abadi, lisan al-arab, ibnul manzhur, salafi, salaf.

Riwayat Pergeseran Makna Ahlus Sunnah wal Jamaah


30 September 2012 pukul 9:00

Generasi Sahabat Rasulullah, tabiin, dan tabiut tabiin biasa disebut salaf ash-shalih, para pendahulu yang baik. Semula, mereka dan para pengikut mereka disebut dengan ahlus sunnah atau juga ahlus sunnah wal jamaah, sebagaimana yang dimaksud Abdullah bin Abbas ketika menafsirkan ayat ke-106 surat Ali Imran. Akan tetapi, sejak abad ke-4 Hijriah, istilah ahlus sunnah wal jamaah mulai diperuntukkan kepada orang-orang yang mengikuti keyakinan Asyariyah danterkadang jugaMaturidiyah seperti sekarang ini. Pada abad ke-8 Hijriah, Ibnu Taimiyah menjadi salah seorang yang berusaha mengungkap salah kaprah tersebut. Mengenalkan metode untuk memahami Al-Quran dan hadits dengan pemahaman para salaf ash-shalih, Ibnu Taimiyah justru mendapatkan berbagai cemooh dan fitnah sekaligus mengantarkannya ke penjara dan meninggal-dunia di sana. Kita dapat mulai mencari jawab atas pertanyaan itu dengan memerhatikan peristiwa yang terjadi pada masa Ahmad bin Hanbal. Pada masa itu terjadi apa yang sering disebut dalam buku-buku sejarah sebagai peristiwa al-mihnah. Peristiwa itu dimulai pada 218 H. Peristiwa al-mihnah atau sering juga disebut dengan ayyam al-mihnah adalah bentuk serangan kaum rasionalis, dalam hal ini kelompok Mutazilah, terhadap keyakinan yang ada di tengah kaum muslimin waktu itu, ahlus sunnah wal jamaah. Namun, serangan itu gagal. Kegagalan serangan itu dan refresi dari pihak penguasa hanya menambah derajat keengganan banyak orang untuk beragama dengan prinsip-prinsip Mutazilah. (Lihat http://kompasiana.com/rimbunnatamarga/...) Meski demikian, kegagalan mereka itu tidak membuat mereka surut dengan keyakinan Mutazilah mereka. Sebaliknya, mereka masih diperkenankan penguasa untuk tinggal di Baghdad serta sejumlah kota yang ada dan mengajarkan prinsip-prinsip mereka. Dalam sebuah ibarat, Abu Bakar Ash-Shairufi berkomentar, Mereka masih dapat menegakkan kepala-kepala mereka. Sebagai minoritas, harus diakui, orang-orang Mutazilah tetap menjadi semacam ganjalan di tengah kaum muslimin waktu itu. Dengan bantuan filsafat, orang-orang Mutazilah terus menyiapkan seperangkat metode untuk meruntuhkan argumen-argumen ahlus sunnah wal jamaah dalam akidah mereka. Di antara metode yang dimaksud adalah prinsip bahwa keraguan adalah kebutuhan mutlak ketika menghadapi dalil-dalil dari Al-Quran dan hadits. Orang-orang Mutazilah mengadaptasi prinsip seperti ini dari filsafat yang dikenalkan oleh Anaxagoras, filosof Yunani yang hidup pada 500 428 sM. Gerak sejarah berubah ketika Abul Hasan Ali bin Ismail Al-Asyari (260 324 H) muncul ke tengah kaum muslimin. Berusaha mewakili mayoritas kaum muslimin dalam meruntuhkan argumen-argumen Mutazilah, Al-Asyari justru menawarkan semacam bentuk kompromi antara keyakinan Mutazilah dan ahlus sunnah wal jamaah. (Lihat...)

Dan ia berhasil meruntuhkan argumen-argumen Mutazilah dan kelompok-kelompok Islam sempalan lainnya di muka sejarah, pada abad ke-4 Hijriah. Bagaimana pun, keberhasilan Al-Asyari telah lebih dulu menarik perhatian banyak orang di zaman itu. Orang-orang lebih mengenalnya ketimbang Ibnu Kullab yang pernah memengaruhinya. Karena itu, mereka menyebut apa yang dikembangkan Al-Asyari sebagai Asyariyyah. Sepeninggal Al-Asyari, Asyariyyah sebagai sebuah keyakinan menarik perhatian banyak kalangan. Di antara mereka yang patut disebut di sini adalah Abu Bakar Al-Baqillani Al-Maliki, Asy-Syahrastani, Ar-Razi sang dokter, Al-Juwaini, Imam Al-Haramain, Al-Ghazali, Nizhamul Mulk, dan bahkan Sultan Shalahuddin Al-Ayyubi. Banyak di antara mereka yang justru berperan aktif mengembangkan dan menyempurnakan Asyariyyah. Al-Baqillani, misalnya, dikenal dalam sejarah Islam sebagai ahli fikih mazhab Maliki yang pertama kali mengembangkan Asyariyah sepeninggal Al-Asyari. Demikian pula Al-Ghazali. Setelah belajar kepada Imam Al-Haramain, Al-Ghazali menyempurnakan sekaligus membakukan Asyariyah sebagai bagian penting dari ajaran Islam. Lewat kebijakan-kebijakan Nizhamul Mulk, Al-Ghazali berhasil menempatkan Asyariyah sebagai benteng pijakan mayoritas kaum muslimin menghadapi pengaruh Syiah di wilayah kekuasaan Bani Abbasiyah yang sudah carut-marut waktu itu. Lain lagi peran yang dijalankan Sultan Shalahuddin Al-Ayyubi. Dikenal sebagai pahlawan Perang Salib sepanjang masa, Al-Ayyubi menetapkan Asyariyyah sebagai mainstreamIslam di wilayah kekuasaannya, Mesir. Ia meyakini, apa yang ditetapkannya itu sebagai akidah ahlus sunnah wal jamaah. Dengan keadaan seperti itu, Asyariyah akhirnya menjadi keyakinan mayoritas kaum muslimin. Mereka memandang ahlus sunnah wal jamaah adalah Asyariyyah. Menyebut keyakinan ahlus sunnah wal jamaah, tidak pelak, orang-orang akan mengasosiasikannya kepada keyakinan Asyariyyah. Pada hari ini, kata Taqiyuddin Al-Maqrizi, tidak ada satu mazhab pun yang menyelisihi keyakinan Asyariyyah itu kecuali Mazhab Hanbali, para pengikut Imam Abu Abdillah Ahmad bin Hanbal.Al-Maqrizi mengatakan hal ini pada suatu hari di tahun 845 H, sekitar empat abad setelah kematian Al-Asyari.[] Taqiyuddin Al-Maqrizi, Asyariyyah, Mazhab Hanbali, Imam Abu Abdillah Ahmad bin Hanbal, AlAsyari, 845 H, muslimin, ahlus sunnah wal jamaah, Sultan Shalahuddin Al-Ayyubi, Perang Salib, Al-Ayyubi, Mesir, Al-Ghazali, Imam Al-Haramain, Islam, Nizhamul Mulk, Syiah, Bani Abbasiyah, Al-Baqillani, mazhab Maliki, Abu Bakar Al-Baqillani Al-Maliki, Asy-Syahrastani, ArRazi sang dokter, Al-Juwaini, Ibnu Kullab, Mutazilah, Abul Hasan Ali bin Ismail Al-Asyari, 260 324 H, Al-Quran dan hadits, 500 428 sM, Anaxagoras, Baghdad, Abu Bakar Ash-Shairufi, almihnah, ayyam al-mihnah, Sahabat Rasulullah, tabiin, tabiut tabiin, salaf ash-shalih, para

pendahulu yang baik, ahlus sunnah, Abdullah bin Abbas, ayat ke-106 surat Ali Imran, abad ke-4 Hijriah, Maturidiyah, abad ke-8 Hijriah, Ibnu Taimiyah, Ahmad bin Hanbal, 218 H.

.[]

NEJED DAN TRADISI


30 September 2012 pukul 8:58

Jazirah Arab Muhammad bin Abdil Wahhab (17031791) lahir di 'Uyainah. 'Uyainah sendiri adalah salah satu tempat yang berada di wilayah Najd atau Nejed. Wilayah ini termasuk dari lima wilayah yang masuk ke dalam Jazirah Arab atau terkadang disebut juga dengan istilah Semenanjung Arab. Jazirah yang dibicarakan ini terletak di sebelah barat daya Benua Asia dan memiliki luas sebesar 1.745.900 km2, sedangkan Kerajaan Arab Saudi sekarang memiliki luas sekitar 1.014.900 km2. Empat wilayah Jazirah Arab yang lain adalah Hijaz, Arudh, Tihamah dan Yaman. Selama ini, khalayak umum hanya mengenal wilayah Hijaz dan Yaman. Setiap kali melewati kata Hijaz, akan terbentuk gambaran tentang kota Makkah dan Madinah yang menjadi pusat kerinduan spiritual kaum Muslimin sedunia. Begitu pula Yaman, banyak orang mengenal akrab bagian wilayah ini, sebagaimana mereka mengenal Republik Yaman sekarang. Dikotomi Kota-Desa Dari segi kehidupan sosial, menurut Philip K. Hitti, masyarakat di Jazirah Arab terdiri dari dua kelompok utama: kelompok masyarakat kota dan kelompok masyarakat desa. Sebagaimana pola kehidupan masyarakat yang ada pada waktu itu, masyarakat Nejed pun tidak terkecualikan. Kelompok masyarakat kota, sebagaimana biasa, adalah masyarakat yang menetap dan mengembangkan kehidupan di kota-kota besar di Jazirah Arab, seperti kota-kota di Hijaz. Mereka biasanya dinamis, cepat menerima perubahan dan cenderung untuk menjauh dari tradisi. Sebelum Philip K. Hitti membagi masyarakat Arab menjadi dua kelompok seperti itu, Ibnu Kholdun, dalam buku Muqoddimahnya yang terkenal itu, telah lebih dulu membuat pembagian seperti itu. Memang, tidak mutlak terbagi menjadi dua seperti ini, sebab, seperti yang dikatakan Ibnu Kholdun sendiri, ada satu kelompok masyarakat lagi: masyarakat peralihanyang dalam istilah Philip K. Hitti disebut dengan masyarakat semi-nomaden dan semi-urban. Kelompok masyarakat desa yang dimaksud lebih sering dikenal dengan sebutan orang-orang badui. Mereka adalah masyarakat nomaden, satu jenis masyarakat yang sering berpindah-

pindah tempat dan tidak memiliki tempat tetap untuk berdiam. Orang-orang badui ini bukan seperti orang-orang gipsidan tidak tepat bila dibayangkan kehidupan mereka seperti kehidupan kaum gipsi yang dikenal jamak di benak kita. Terlepas dari itu semua, ternyata ratusan tahun sebelumnya, Nabi Muhammad telah mengisyaratkanjuga mendefinisikan kepada para sahabatnyatentang pembagian dua kelompok tersebut. Kisah tentang seorang Arab badui yang buang air kecil sembarangan di masjid Nabi dan cara Nabi Muhammad memperlakukan Arab badui tersebut adalah satu contoh bentuk upaya definitif-sosiologis yang dikenal luas sampai hari ini. Dalam Al-Qur'an saja, Allah sendiri secara langsung menyinggung tentang kelompok-kelompok masyarakat Arab ini dalam beberapa tempat. Salah satu contoh yang dapat disebutkan di sini adalah ayat ke-97 dan 98 surat At-Taubah, ketika Allah berbicara tentang orang-orang kafir dan munafik dari kalangan Arab badui. Orang-orang badui adalah orang-orang yang hidup beradaptasi dengan gurun pasir. Mereka bersikeras untuk mendapatkan tempat-tempat yang bisa digunakan oleh ternak-ternak mereka, seperti dataran yang hijau, meski hanya sebentar dan meski pun itu harus dengan cara kekerasan. Penting sekali untuk menandai frasa "dengan cara kekerasan" dalam kaitan dengan usaha mencari kehidupan yang lebih baik bagi orang-orang badui tersebut. Kebanyakan pembicara dalam masalah politik Nejed melupakan hal ini. Tradisi Ghozwu Semula, tradisi ghozwu berasal dari tengah kabilah-kabilah suku nomaden (berpindah-pindah). Akan tetapi, tradisi ini ternyata dibawa pula oleh kabilah-kabilah yang sudah menetap. Adalah ghozwu yang menjadi semacam sport di tengah masyarakat padang pasir pada waktu itu. Ghozwu diartikan sebagai serbuan kilat atau razia. Pada dasarnya, kegiatan ini dibentuk oleh keadaan sosial-ekonomi pada kehidupan masyarakat gurun pasir. Pada titik tertentu, ghozwu dianggap semacam suatu lembaga sosial di sana, sebagaimana kita yang sudah menerima urun-rembuk dan gotong-royong sebagai suatu lembaga sosial di sini. Bedanya, pada keadaan-keadaan tertentu, ghozwu dipandang tak-ubah organisasi bandit liar. Akan tetapi, tetap saja, ghozwu tidak bisa digolongkan sebagai kejahatan. Ghozwu diatur ketat oleh suatu aturan tidak tertulis, konvensi, yang dipatuhi bersama oleh kabilah-kabilah setempat. Materi yang ada di dalam ghozwu berupa merampas atau dirampas. Di antara aturan tersebut, bila sekelompok perampas tertangkap, maka mereka tidak akan dibunuh atau dilukai oleh kelompok yang dirampas. Kelompok perampas pun tidak akan membunuh atau melukai kelompok yang dirampas. Yang dirampas adalah unta. Tanah, perabotan, hewan-hewan ternak dan nyawa tidak boleh diambil. Bahkan, jauh sebelum Islam datang ke Jazirah Arab, darah yang tertumpah harus

dibayar dengan darah juga atau, kalau tidak, dengan pengganti yang setimpal berupa denda (diyat). Aturan lain, kaum perempuan yang ada di dalam kelompok tidak boleh diganggu. Bahkan, tidak boleh disentuh. Ghozwu adalah kerja kaum laki-laki yang sudah disosialisasikan sejak dini pada anak laki-laki mereka. Termasuk dari aturan adalah bahwa ghozwu tidak boleh dilakukan pada waktu antara tengah malam dan fajar. Biasanya, ghozwu terjadi pada musim panas, ketika suhu mencapai 40-500C. Pada waktu itu, siang hari terasa hangat dan malam hari terasa sejuk. Dengan beberapa contoh aturan-aturan seperti ini, dapat dikatakan bahwa ghozwu bukan perang. Mereka sendiri mengistilahkan perang dengan harb. Ketika terjadi perang, segala sesuatu yang dilarang dalam ghozwu dibolehkan. Apabila ghozwu dilakukan atas dasar penguasaan unta, maka perang dilakukan atas dasar keyakinan, kehormatan, harga diri kabilah dan segala sesuatu yang dipandang prinsipil bagi mereka. Jadi, dapat dipahami, bila sampai terjadi peperangan di tengah mereka, itu semata disebabkan oleh sesuatu yang bukan sepele. Dari sini, kita tahu: Nejed cuma kaya gurun pasir dan kabilah-kabilah kesukuan. Di sana, ada budaya politik tersendiri. (Bagi yang ingin mendalami lebih lanjut tentang tema artikel ini dapat merujuk ke Badri Yatim, Sejarah Sosial Keagamaan Tanah Suci: Hijaz (Mekah dan Madinah) 18001925, Logos, Jakarta, 1999; Ibnu Kholdun, Muqoddimah, Pustaka Firdaus, Jakarta, 2001; Philip K. Hitti, History of The Arabs: Rujukan Induk dan Paling Otoritatif tentang Sejarah Peradaban Islam, Serambi, Jakarta, 2008; Robert Lacey, Kerajaan Petrodolar, Dunia Pustaka Jaya, Jakarta, 1986)

BIOGRAFI MUHAMMAD BIN ABDILWAHHAB


30 September 2012 pukul 8:57

Muhammad bin Abdil Wahhab lahir di ''Uyainah, Nejed, pada tahun 1115 H (1703 M). Ia adalah salah satu anak laki-laki Abdul Wahhab bin Sulaiman. Nasab mereka adalah Muhammad bin Abdil Wahhab bin Sulaiman bin Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Rasyid bin Buraid bin Muhammad bin Buraid bin Musyarraf bin Umar At-Tamimi. Karena itu, mereka semua dikenal sebagai alu Musyarraf (dinasti atau keluarga keturunan Musyarraf). Adalah sesuatu yang galib terjadi pada saat itu, bila Sulaiman bin Ali, kakek Muhammad bin Abdil Wahhab, mendorong anak-anaknya untuk mempelajari dan mendalami Islam secara serius. Selain Abdul Wahhab, ada adiknya, Ibrohim, yang mengikuti jejak ayah mereka berdua. Oleh karena itu, dalam lingkaran keluarga terdekatnya, Muhammad bin Abdil Wahhab telah mengenal secara akrab gaya hidup kaum terpelajar (scholarship) pada saat itu. Kakek, ayah dan pamannya adalah agen-agen langsung kehidupan seperti itu.

Talaqqi Dapat dipahami bila kemudian Muhammad menghabiskan masa kanak-kanak tidak sebagaimana kelaziman anak-anak sebayanya pada saat itu. Sejak usia dini, ayahnya telah menyibukkannya dengan hafalan-hafalan Al-Qur'an ketimbang menghabiskan waktu bermainmain seperti anak-anak yang lain. Dalam mempelajari agama, menghafal Al-Qur'an adalah salah satu tahapan yang mesti dilalui oleh seorang pelajar sebelum ia membaca dan mempelajari masalah-masalah agama yang lain. Hal ini sudah jamak.Belum genap memasuki usia yang kesepuluh tahun, Muhammad telah menghafal Al-Qur'an. Pencapaian itu kemudian diteruskan oleh ayahnya dengan pelajaran-pelajaran yang lain. Kepada ayahnya, untuk pertama kali, Muhammad mulai mengambil pelajaran-pelajaran dalam bidang tafsir, hadits, fiqih dan mengenal perkataan-perkataan para ulama. Mengambil pelajaran, ilmu agama, langsung kepada seorang guru sudah menjadi kebiasaan yang berumur ribuan tahun pada saat itu. Dengan cara membacakan langsung kepada guru, atau yang diistilahkan dengan Al-'Ardh, atau dengan dibacakan kepadanya, seorang murid berhadapan dan berkenalan langsung dengan kepribadian dan kapasitas ilmu gurunya. Tradisi tersebut ada dan terus ada atas dasar bahwa ilmu agama yang diwarisi tersebut harus memiliki sandaran jelas dan bersambung, berantai, menuju masa silam, ke pribadi Sang Nabi, Muhammad bin Abdillah bin Abdil Muththallib Al-Hasyimi Al-Qurasyi, beberapa abad yang lampau. "Kalau saja tidak ada rantai (seperti) ini," kata Abdullah bin Mubarok suatu hari, "niscaya siapa pun akan bicara semaunya tentang agama ini." Tradisi yang dimaksud dikenal dengan sebutan talaqqi. Inilah yang dilakukan oleh Muhammad. Selain kepada ayahnya, pada saat itu, Muhammad juga mengambil beberapa pelajaran dari pamannya, Ibrahim bin Sulaiman. Didukung oleh keadaan lingkungan sekitarnya dan kecerdasan berikut ketekunan yang dimilikinya, Muhammad menyita perhatian yang lebih dari orangtuanya. Pernah suatu hari ayahnya mengirim surat kepada saudara-saudara yang lain, bercerita tentang Muhammad. "Sungguh," tulisnya, "aku banyak mendapatkan faidah dari anakku ini." Kebanggaan seorang ayah dan keadaan yang sebenarnya pada diri anaknya, adalah masuk akal bila Abdul Wahhab kemudian menunjuk Muhammad sebagai imam shalat orang-orang setempat pada waktu itu. Juga dalam usia yang terlalu dini bagi kita sekarang, ayahnya menikahkannya. Rihlah Beberapa waktu setelah penikahannya, Muhammad menghadap ayahnya, meminta izin untuk mengadakan perjalanan haji yang pertama ke Mekkah. Meski masih berusia remaja, ayahnya tidak menghalangi niat baik ini. Muhammad berangkat ke Mekkah.

Ritual haji, bagi sebagian orang, bukan sekedar rukun Islam yang kelima. Lebih dari itu, haji adalah sebuah perjalanan rindu dari seorang pencinta menuju yang dicinta. Seperti keberpulangan segala sesuatu menuju asal segala sesuatu, dengan kesadaran bahwa dunia ini adalah fana. Bagi Muhammad pada waktu itu, haji ini adalah persentuhannya yang pertama dengan jagad makro dunia Islam. Ia melihat dengan mata-kepalanya sendiri ragam keberislaman banyak orang. Ia melihat majelis-majelis tempat berkumpul banyak orang mengkaji Islam di Mekkah, demikian pula ketika berdiam di Madinah selama hampir dua bulan. Ada kemungkinan, bahkan, ketika di Madinah inilah, ia mulai mengenal Syaikh Abdullah bin Saif, salah seorang gurunya kelak di tanah Hijaz ini. Kebanyakan orang-orang yang disaksikan Muhammad di Mekkah dan Madinah pada waktu itu, mereka semua, berada dalam salah satu rangkaian rihlah mereka untuk mempelajari ilmu agama. Rihlah diartikan sebagai perjalanan ke luar daerah. Rihlah, apabila dikaitkan dengan ilmu agama, maka dapat berarti suatu perjalanan keluar daerah untuk mencari guru dan melakukan talaqqi kepadanya. Ar-rihlah fi tholabil ilmi adalah ungkapan umum yang semakna untuk upaya mencari ilmu agama. Karena kedudukan ilmu agama yang sangat penting, rihlah dipandang sebagai suatu bentuk ibadah tersendiri yang tidak kalah penting dengan ibadah-ibadah yang lain. Seseorang yang telah menghabiskan waktunya untuk rihlah biasanya akan dimuliakan oleh masyarakat tempat ia berdiam. Ia akan dihomati, bahkan disegani oleh banyak pihak, termasuk oleh para penguasa negeri-negeri Islam. Hasil dari rihlah inilah kemudian yang disampaikan dalam majelis-majelis talaqqi. Mazhab Hanbali Setelah ritual hajinya berakhir, dan hampir dua bulan berada di Madinah, Muhammad memulai kembali pelajaran-pelajarannya di 'Uyainah. Masa ini dapat dikatakan sebagai fase kedua belajarnya. Tidak seperti fase pertama, sebelum perjalanan haji, pada fase kedua ini, pelajaran yang diambil Muhammad jauh lebih intensif. Kepada ayahnya, ia memperdalam pelajaran-pelajaran di bidang tafsir, hadits, ushul dan tauhid. Ia juga memperdalam fiqih mazhab Hanbali. Khusus dalam bidang fiqih, sepanjang sejarah Islam, telah muncul banyak mazhab-mazhab fiqih. Laitsi, Awza'i, Hanafi, Maliki, Sufyani, Dzahiri, Syafi'i, dan Hanbali adalah beberapa contoh mazhab fiqih yang pernah muncul dalam sejarah. Akan tetapi, dari semua mazhab fiqih tersebut, hanya empat mazhab yang dikenal luas sampai hari ini. Bahkan, pada umumnya orang-orang cenderung untuk menafikkan mazhab-mazhab lain

di luar keempat mazhab tersebut. Keempat mazhab yang dimaksud adalah mazhab Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hanbali. Keempat mazhab ini muncul sebagai hasil dari hubungan guru-murid yang ada. Mereka, para guru yang dimaksud, menyampaikan pengetahuan-pengetahuan kepada murid-murid mereka masing-masing. Termasuk yang disampaikan di dalam majelis-majelis guru mereka adalah prinsip-prinsip pokok dalam mengambil suatu keputusan hukum dari permasalahan-permasalahan fiqih yang ada. Di kemudian hari, murid-murid tersebut menyebarluaskan bentuk-bentuk pengetahuan dari guruguru mereka melalui majelis-majelis talaqqi, yang kemudian menarik banyak pengikut di berbagai belahan negara-negara Islam. Prinsip-prinsip dalam mengambil keputusan hukum inilah kemudian dikenal dengan sebutan mazhab, yang pada titik waktu tertentubahkansuatu mazhab dapat menarik banyak pengikut, lalu mereka jadikan sebagai mazhab fiqih negara tempat mereka hidup. Mazhab Hanbali pun seperti itu. Mazhab fiqih ini banyak diperkenalkan sekaligus disebarluaskan oleh para pengikut imam mazhab ini, Ahmad bin Hanbal Asy-Syaibani (164 - 241 H). Di antara mereka, yang melalui karyanya banyak kalangan mengenal Ahmad bin Hanbal beserta mazhab fiqihnya, adalah Abu Muhammad Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Qudamah AlMaqdisi. Karya terkenalnya adalah Al-Mughni fi Fiqhil Imam Ahmad bin Hanbal Asy-Syaibani. Buku tersebut memuat banyak kutipan pendapat-pendapat Ahmad bin Hanbal dalam berbagai masalah fiqih. Banyak pihak yang merujuk karya ini untuk melihat pendapat-pendapat Ahmad bin Hanbal. Dari karya ini kemudian meluas pendapat-pendapat Ahmad bin Hanbal dalam masalah fiqih ke berbagai tempat. Mereka yang kemudian bermazhab Hanbali dikenal dengan sebutan AlHanabilah. Dalam memutuskan hukum suatu masalah, Ahmad bin Hanbal membangun keputusankeputusannya di atas lima pokok utama. Dari kelima pokok inilah, murid-murid dan para pengikut mereka terbedakan dari pengikut-pengikut mazhab-mazhab fiqih yang lain. Kelima pokok yang dimaksud adalah (1) Al-Qur'an dan hadits-hadits shohih Nabi Muhammad; (2) segala sesuatu yang diputuskan (difatwakan) sahabat Nabi Muhammad; (3) pendapat sahabat Nabi Muhammad yang paling dekat dengan Al-Qur'an dan hadits-haditsshohih ketika terjadi perbedaan pendapat di kalangan para sahabat tersebut; (4) hadits-hadits yang berderajat dhoif dan mursal (selama berderajat tidak tertolak dan mungkar) ketika tidak ada dalildalil Al-Qur'an dan hadits serta pendapat-pendapat dari para sahabat Nabi Muhammad yang dapat dipakai untuk memutuskan tentang suatu masalah; dan terpaksa dengan (5) kias (qiyas) ketika tidak ditemukan satu pun ayat Al-Qur'an, haditsshohih, perkataan para sahabat atau pendapat dari mereka dan riwayat-riwayat yang berderajat dhoif dan mursal.

Sebagai ilustrasi, apabila muncul suatu persoalan lalu ditemukan ayat atau hadits yang menjelaskan masalah yang dimaksud, maka masalah itu diputuskan sesuai ayat atau haditstersebut dan tidak berpindah kepada segala sesuatu yang menyelisihi ayat atau haditstersebut. Demikian pula, apabila ditemukan satu keputusan dari seorang sahabat atau lebih dalam suatu masalah yang tidak ada satu pun sahabat-sahabat lain yang menyelisihinya, maka masalah tersebut diputuskan seperti itu pula. Dalam hal ini, biasanya Ahmad bin Hanbal tidak mengatakan bahwa ini adalah hasil ijma', tetapi dengan ungkapan "Tidak kuketahui sesuatu yang lain semisal ini." Sebaliknya, apabila terdapat perbedaan pendapat di antara sahabat Nabi Muhammad dalam suatu masalah, maka Ahmad bin Hanbal memilih pendapat yang paling dekat dengan Al-Qur'an dan hadits-hadits Nabi Muhammad. Ia tidak keluar dari penafsiran (pemahaman) para sahabat. Apabila ternyata tidak ada satu pun pendapat mereka yang sesuai atau mendekati Al-Qur'an dan hadits-hadits, maka Ahmad bin Hanbal menyampaikan pendapat-pendapat tersebut tanpa menetapkan yang benar di antara semua itu. Apabila muncul suatu persoalan dan ternyata tidak ditemukan satu pun dari dalil-dalil Al-Qur'an dan hadits serta pendapat-pendapat dari para sahabat Nabi Muhammad yang dapat dipakai untuk memutuskan tentang suatu masalah, maka akan diambil hadits-hadits yang berderajat dhoif dan mursal untuk memutuskannya selama hadits-hadits tersebut bukanhaditshadits yang tertolak atau mungkar. Terakhir, apabila untuk suatu persoalan tidak ditemukan satu pun ayat Al-Qur'an, haditsshohih, perkataan para sahabat atau satu pun pendapat dari mereka, riwayatriwayat haditsyang dhoif dan mursal, maka terpaksa akan digunakan kias untuk memutuskan persoalan tersebut. Tauhid dan Syirik Selain mengambil pelajaran-pelajaran tersebut, Muhammad juga sering menyalin dan menelaah karya-karya Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayyim. Karya-karya kedua orang ini turut mempengaruhi tulisan-tulisannya nanti. Baik Ibnu Taimiyah (661728 H) atau pun Ibnul Qayyim (691751 H), masing-masing banyak menulis tentang masalah-masalah tauhid. Bagi mereka berdua, tauhid yang murni dan jauh dari segala pembatal-pembatal tauhid lebih penting dari segala permasalahan yang ada. Tauhid yang benar justru akan memperbaiki segala macam ibadah seorang hamba. Hal inilah yang bertolakbelakang dengan segala sesuatu yang disaksikan Muhammad di sekitarnya. Kenyataan tersebut ternyata baru disadarinya pada fase kedua ini. Nejed pada waktu itu banyak dipenuhi dengan praktek-praktek kesyirikan.

Banyak kubah dibangun di atas kuburan-kuburan, menjadi tempat peribadatan. Di Jubailah (Wadi Hanifah), satu kuburan yang diyakini sebagai kuburan Zaid bin Khaththab dijadikan tempat ibadah; banyak orang mencari berkah dengan cara mengusap-usap kubah kuburan tersebut. Sebagian lagi bernazar di sisi kuburan. Demikian pula di Dir'iyyah, banyak kuburan yang diyakini sebagai kuburan-kuburan sahabat Nabi Muhammad diberi kubah dan dijadikan tempat-tempat ibadah. Selain itu, pohon-pohon tua yang dianggap keramat diibadahi dan diambil berkah. Banyak wanita-wanita mandul mendatangi pohon-pohon tersebut. Mereka mengusap-usap pohon-pohon itu seraya meminta anak. Praktek-praktek sihir pun ikut merebak di mana-mana. Semua ini terjadi justru ketika di Nejed masih terdapat orang-orang yang tahu tentang bahaya praktek-praktek tersebut. Akan tetapi, sedikit dari mereka yang mampu menghadapi semua ini. Keadaan tersebut, sebenarnya, bukan menjadi kekhususan Nejed saja pada waktu itu. Badri Yatim, ketika menggambarkan keadaan Islam pada abad ke-18 M, sempat menyinggung tentang praktek-praktek yang terjadi di tengah-tengah masyarakat Hijaz. Tentang praktek sihir, misalnya, para penguasa Mekkah ternyata menggunakan tukang sihir dalam menjalankan atau merebut kekuasaan. Demikian pula dengan kewalian, banyak orang yang mempercayai bahwa darwis-darwis Sufi adalah para wali. Bahkan, sebagian di antara mereka ada yang mempercayai bahwa imam Mahdi bisa muncul ke tengah mereka dalam wujud orang gila untuk menyelamatkan dan memperbaiki kehidupan sosial mereka. Dalam masalah perayaan-perayaan, pada waktu itu, dikenal berbagai macam hari raya selain hari raya Idul Fitri dan Idul Adha. Di Mekkah saja, dikenal hari raya maulid Nabi,maulid Fatimah, maulid Khadijah, maulid Aminah, maulid Ali, Isro' Mi'raj, nishfu Sya'ban, hari raya Asyura', juga peringatan hari keenam dan hari Rabu terakhir bulan Shofar. Adapun di Madinah, banyak orang yang berkumpul dan berziarah secara khusus ke kuburan Hamzah bin Abdil Muththalib, paman Nabi Muhammad, juga kuburan-kuburan para syuhada' Perang Uhud. Semua perayaan ini dilakukan di kuburan-kuburan orang yang dimaksud. Hijaz I Keadaan masyarakat seperti itulah yang turut menggugah kesadaran Muhammad; semua yang ada jelas bertentangan dengan segala sesuatu yang dibaca dan dipelajarinya. Ia mesti melakukan sesuatu untuk mereka. Pada tahun 1135 H, Muhammad memulai rangkaian rihlahnya. Waktu itu, ia berumur 20 tahun. Tempat pertama yang ditujunya adalah dua tanah suci, Mekkah dan Madinah. Sejak perjalanan haji yang pertama, telah terpatri di benak Muhammad bahwa kedua tempat suci inilah yang menjadi tujuan pertama dalam rangkaian rihlahnya nanti.

Tempat yang ditujunya pertama kali adalah Mekkah. Dari sana, Muhammad pergi ke Madinah. Hampir sebagian besar sumber-sumber yang ada tidak memberi keterangan tentang guru-guru yang didatanginya di Mekkah. Akan tetapi, di Mekkah ini Muhammad bertemu dan berguru kepada Syaikh Abdullah bin Salim Al-Bashari. Orang inilah yang tercatat sebagai guru Muhammad yang ketiga setelah ayah dan pamannya. Dibanding dengan murid-murid yang lain, Muhammad adalah murid Syaikh Abdullah bin Salim Al-Bashari yang paling akhir meninggal dunia. Berbeda dengan Mekkah, banyak keterangan yang bisa didapatkan tentang guru Muhammad ketika rihlah ke Madinah. Di kota inilah, ia banyak menghabiskan wakturihlahnya di tanah Hijaz. Di antara guru-gurunya di Madinah yang sempat didatanginya pada kesempatan rihlahpertama ini adalah Syaikh Abdullah bin Saif dan Syaikh Muhammad Hayat As-Sindi. Kedua syaikh ini dikenal sebagai ulama terpandang pada waktu itu. Kepada Syaikh Abdullah bin Saif, Muhammad banyak mengambil pelajaran penting dan mendapatkan rekomendasi darinya untuk mengajarkan beberapa pelajaran. Antara keduanya terjadi hubungan guru-murid yang akrab. Masing-masing memiliki perhatian yang sama dalam masalah tauhid. Ketika melihat keadaan masyarakat Hijaz dan Nejed yang banyak terjatuh ke dalam praktek-praktek kesyirikan, gurunya memberikan perhatian dan dorongan yang lebih kepada Muhammad. "Pernah suatu hari aku berada di dekat guruku itu," cerita Muhammad. "Ia pun bertanya kepadaku, 'Maukah kuperlihatkan kepadamu senjata ampuh untuk mengubah masyarakat?'. Kujawab, tentu. Aku pun dibawa masuk ke suatu ruangan oleh guruku itu. 'Inilah senjata kita untuk mengubah masyarakat,' ujarnya sembari menunjuk ke buku-buku yang ada dalam ruangan itu." Adalah Syaikh Abdullah bin Saif inilah yang menghubungkannya dengan guru selanjutnya, Syaikh Muhammad Hayat As-Sindi. Masih berada di Madinah, Muhammad kemudian meneruskan pelajarannya ke Syaikh Muhammad Hayat As-Sindi. Gurunya yang baru ini adalah juga seorang yang membenci dan mengingkari berbagai praktek kesyirikan dan kebid'ahan. Madinah, sebagaimana tempat-tempat yang lain saat itu, tidak lepas dari praktek-praktek tersebut. Ia juga membenci sikap fanatik terhadap mazhab-mazhab fiqih tertentu dan sikap abai terhadap hadits-hadits shohih yang ada. Sebagaimana kepada guru sebelumnya, Muhammad banyak mengambil manfaat dari Syaikh Muhammad Hayat As-Sindi. Gurunya ini pula yang banyak memberi pengaruh terhadapnya. Irak Setelah menyelesaikan pelajaran-pelajarannya di Madinah, Muhammad kembali pulang ke 'Uyainah. Di negerinya ini, ia menetap selama satu tahun, sebelum meneruskan kembali rangkaian rihlahnya. Ia kemudian pergi ke Basrah, Irak.

Basrah, kota lama di Irak, sudah terkenal sebagai tempat para pelajar bertalaqqi; Basroh menjadi salah satu tujuan rihlah para pelajar tersebut. Termasuk Muhammad, sebelum meneruskan rihlah menuju negeri Syam. Di Basrah, Muhammad belajar kepada Syaikh Muhammad Al-Majmu'i, seorang ulama yang berdiam di kampung Majmu'ah. Selama di Basroh ini, ia mengambil pelajaran nahwu (tata bahasa Arab) dan fiqih. Ia pun banyak menulis hadits. Khusus pelajaran bahasa, terutama ilmu nahwu, ia betul-betul mematangkan pelajaran tersebut. Berbeda dengan rihlahnya ke tanah Hijaz, selama rihlahnya ke Basrah, ia tidak sekedar mengambil pelajaran pada ulama setempat. Lebih dari itu, ia juga mulai berdakwah ke penduduk di sana. Ia mengajak untuk memurnikan tauhid, melarang praktek-praktek kesyirikan dan kebid'ahan serta mengajak untuk meniti jejak orang-orang saleh yang telah dulu (salafus shalih). Upaya dakwah seperti dilakukannya itu ternyata mendatangkan reaksi yang negatif dari penduduk setempat. Mereka mendebat, menghina dan menolak semua argumentasi yang dikemukakannya. Penolakan mereka terus berlanjut. Adakalanya penolakan tersebut sekedar berupa argumentasiargumentasi bersifat bantahan, namun adakalanya berupa gangguan-gangguan fisik. Pernah terjadi dalam suatu pertemuan, seorang laki-laki membantah Muhammad sembari memberikan alasan di balik praktek berdoa kepada orang-orang saleh dan para wali yang telah meninggal dunia. Orang tersebut mengatakan bahwa praktek tersebut boleh dan justru diperintahkan oleh Allah dan rasulNya. Muhammad pun membantahnya dan menerangkan akan kesalahannya."Kalau yang dia katakan itu benar," balas laki-laki itu kemudian dengan marah, "sungguh orang-orang yang ada sekarang ini celaka semua." Puncak dari penolakan mereka adalah pengusiran. Muhammad mereka usir dari Basrah. Pengusiran ini menandai akhir rihlahnya di kota itu. Ahsa' Semula, setelah Basrah, rangkaian rihlahnya akan diteruskan menuju negeri Syam. Dengan pengusiran ini, rencana tersebut terganggu. Di tengah perjalanan dari Basroh, setelah pengusiran itu, hanya dengan berjalan kaki sendiri dan rasa haus yang menyertainya, Muhammad hampir menemui ajalnya. Ia beruntung pada waktu itu. Ia sempat ditolong oleh seseorang yang bernama Abu Humaidan. Olehnya, Muhammad diberi minum dan kemudian dibawanya menuju kota Zubair. Ada banyak perbedaan pendapat tentang rihlah Muhammad ke kota Basrah. Akan tetapi,rihlah ke kota ini berlangsung lebih dari satu kali. Muhammad menempuh jalan NejedBasrah berkali-kali sampai kemudian diusir dan berdiam beberapa waktu di Zubair.

Dari Zubair, Muhammad pergi ke Ahsa'. Meski tidak selama di Basrah, di Ahsa' ini, Muhammad sempat belajar ke Syaikh Abdullah bin Fairus Al-Kafif. Dari syaikhnya ini, Muhammad dapat menyalin karya-karya Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayyim yang selama ini belum didapatkannya. Selain kepadanya, Muhammad sempat juga berdiskusi dengan Syaikh Abdullah bin Muhammad bin Abdul Latif Asy-Syafi'i Al-Ahsai dan Syaikh Muhammad bin Afaliq tentang masalah-masalah tauhid dan aqidah. Sebagaimana Basrah, rihlah ke Ahsa' ini terjadi berulang kali. Ia menempuh jarak Nejed-Ahsa', sebagaimana Nejed-Basrah. Hijaz II Setelah selesai pelajarannya di Ahsa', ia pun kembali ke negerinya. Ia menyusun rencana untuk melanjutkan rangkaian rihlahnya menuju tanah Hijaz kembali. Dari sana, ia berkeinginan menuju Syam. Untuk kali ketiga, ia melakukan perjalanan ke tanah Hijaz. Dimulai dengan menunaikan ibadah haji, Muhammad kemudian menetap di Mekkah. Dari sana, ia pergi ke Madinah. Selama di dua tanah suci tersebut, Muhammad mengambil pelajaran pada beberapa syaikh. Mereka adalah Syaikh Ismail bin Muhammad Al-Ajluni, Syaikh Ali Effendi bin Shodiq AdDaghistani, Syaikh Abdul Karim Ad-Daghistani, Syaikh Muhammad Al-Burhani dan Syaikh Utsman Ad-Dayyar Bakri. Khusus Syaikh Ali Effendi bin Shodiq Ad-Daghistani, ia dikenal sebagai guru Muhammad yang berasal dari Syam. Usianya sepuluh tahun lebih muda dari Muhammad. Meski demikian, guru Muhammad ini dikenal sebagai "syaikh para syaikh" di Syam. Saudara sepupunya, Syaikh Abdul Karim Ad-Daghistani, adalah juga guru Muhammad ketika berada di Madinah. Dari Madinah, Muhammad bermaksud melanjutkan rihlahnya menuju Syam. Akan tetapi, niat itu tidak dapat dilaksanakan. Ia tidak memiliki bekal yang cukup untuk sampai ke Syam. Berdasarkan keterangan beberapa sumber, ketidakcukupan bekal itu disebabkan oleh musibah yang menimpa Muhammad. Beberapa orang menyerangnya di tengah perjalanan dan mengambil bekal yang ada padanya. Huraimala' Kegagalannya melanjutkan rihlah ke negeri Syam, memaksa Muhammad pulang kembali ke Nejed dan memulai dakwahnya di sana. Karena itu, rangkaian rihlahnya di luar Nejed hanya meliputi tiga tempat, Hijaz-Basrah-Ahsa'. Muhammad belum pernah melakukan rihlah ke tempat-tempat lain di Irak selain Basrah. Ia pun belum pernah sekali pun mengadakan perjalanan rihlah ke negeri Persia. Demikian pula dengan negeri Syam, ia belum pernah ke sana, meski pernah memiliki guru yang berasal dari Syam.

Kepulangannya kali ini menuju Huroimala'. Bukan kembali ke 'Uyainah seperti biasa, sebab ayahnya telah dicopot dari jabatannya sebagai hakim di 'Uyainah oleh penguasa 'Uyainah yang baru. Tidak ada kepastian tentang tahun kepulangannya ke Huroimala'. Dengan kehati-hatian, Abdullah bin Sholih Al-Utsaimin sendiri lebih memilih untuk mengatakan bahwa kepulangan Muhammad ke Huraimala' terjadi antara tahun 1144 H dan 1149 H. Kepulangannya ke Huraimala' membuatnya berkumpul kembali dengan orangtuanya, terkhusus dengan ayahnya, Abdul Wahhab. Di Huroimala' ini, Muhammad tetap menghadiri majelismajelis talaqqi ayahnya, mengambil pelajaran seperti dulu. Selain mengambil pelajaran, waktu yang dihabiskan Muhammad di Huraimala' digunakan juga untuk berdakwah, sebagaimana yang dilakukannya ketika berada di Basrah. Ia mengajak masyarakat setempat untuk bertauhid dengan benar dan menjelaskan kepada mereka tentang bahaya perbuatan syirik. Hal ini, baginya, sangat penting. Sampai saat itu, keadaan di Nejed, termasuk di Huraimala', masih tidak berubah, sebagaimana yang disaksikannya beberapa tahun yang lewat, sebelum ia memulai rangkaian rihlahnya. Dalam menyikapi keadaan yang terjadi di sekitar mereka, terjadi perbedaan pandangan tentang cara-cara berdakwah (uslub ad-da'wah) antara Muhammad dan ayahnya. Akan tetapi, perbedaan yang terjadi di antara mereka tidak berlarut-larut. Sebelum meninggal dunia pada tahun 1153 H, ayahnya menarik kembali semua pandangannya yang bertentangan dengan cara berdakwah Muhammad. 'Uyainah Sampai menjelang dua tahun setelah ayahnya meninggal dunia, Muhammad tetap melakukan dakwah di Huraimala'. Meski keadaan di sana kurang mendukung, kabar tentangnya yang mengajak manusia agar bertauhid dengan benar menyebar ke daerah-daerah sekitar. Termasuk pula di antaranya 'Uyainah. Sebenarnya, di Huraimala' sendiri, dakwah tersebut diterima oleh beberapa pihak. Mereka menghadiri pelajaran-pelajaran yang diberikan oleh Muhammad dan mengambil nasehatnasehat yang diberikannya. Di tahun 1154 H, Muhammad pindah ke 'Uyainah. Selain sebagai tempat kelahirannya, 'Uyainah dipimpin oleh orang yang menerima dakwahnya. Orang itu bernama Utsman bin Mu'ammar. Sebagai penguasa 'Uyainah, Ustman bin Mu'ammar menyambutnya dengan penuh kehormatan. Tidak berhenti sampai di situ, Utsman bin Mu'ammar memerintahkan para pengikutnya untuk juga menerima Muhammad dan dakwah yang diserukannya. Hubungan antara mereka pun dipererat dengan pernikahan antara Muhammad dan Jauharah binti Abdillah bin Mu'ammar, salah satu keluarga dekat Utsman bin Mu'ammar.

Di 'Uyainah ini pula, Muhammad kemudian diminta menjadi hakim setempat. Dengan bantuan dari Utsman bin Mu'ammar, ia menghilangkan berbagai sarana-sarana kesyirikan seperti pohonpohon yang dikeramatkan, kuburan-kuburan yang dijadikan tempat ibadah dan kubah-kubah di atas kuburan. Dengan kekuasaan yang dimiliki oleh Utsman bin Mu'ammar pula, ditegakkan aturan tentang kewajiban sholat lima waktu secara berjamaah di 'Uyainah. Para da'i dikirim ke berbagai tempat di 'Uyainah untuk mengajak manusia agar bertauhid dan menjauhi syirik. Sebagai satu hal yang tidak boleh dilupakan di sini adalah kisah tentang perajaman wanita. Dari berbagai rujukan-rujukan yang ada, sudah terkenal kisah tentang wanita yang datang kepada Muhammad mengajukan diri bersalah, karena telah berzina, dan karena itu meminta untuk ditegakkan hukuman atasnya. Muhammad pun, setelah memeriksa kebenaran pengakuan wanita itu, menegakkan hukuman tersebut. Akan tetapi, keadaan seperti itu tidak berlangsung lama. Setelah mendapat tekanan dari penguasa yang ada di Ahsa', Utsman bin Mu'ammar terpaksa meminta Muhammad pergi dari 'Uyainah. Dir'iyyah Sesuatu yang amat disayangkan adalah tekanan penguasa di Ahsa' kepada Utsman bin Mu'ammar. Uyainah pada waktu itu masuk ke dalam kekuasaan Ahsa'. Sebagai pusat pemerintahan, Ahsa' memiliki wewenang politik, sosial dan ekonomi terhadap daerah-daerah kekuasaan. Utsman bin Mu'ammar mendapat bantuan keuangan dari Ahsa' setiap tahun. Dengan ancaman untuk memutuskan bantuan tersebut, penguasa di Ahsa' memerintahkan Utsman bin Mu'ammar agar membunuh Muhammad. Motif di balik perintah tersebut, sebagaimana dikatakan berbagai rujukan yang ada, adalah keterancaman politis yang dirasakan oleh penguasa Ahsa'. Dakwah Muhammad dianggap mengancam kekuasaannya. Utsman bin Mu'ammar, bagaimana pun, tetap menghormati Muhammad. Ia memberitahukan perintah tersebut kepada Muhammad. Dengan berat hati, ia meminta Muhammad pergi dari 'Uyainah ketimbang membunuhnya. Muhammad pun pergi dari Uyainah. Ia berjalan menuju Dir'iyyah. Di sana, tinggal seorang muridnya yang bernama Ahmad bin Suwailim. Muhammad tiba di Dir'iyyah pada waktu Ashar. Ia pertama kali singgah di rumah Abdurrohman bin Suwailim Al-Uraini. Dari sana, Muhammad pindah ke rumah Ahmad bin Suwailim. Dir'iyyah waktu itu dipimpin oleh Muhammad bin Su'ud. Ia berasal dari Dinasti Su'ud. Dinasti ini berasal dari kabilah 'Anazah. Dinasti ini adalah dinasti penguasa Dir'iyyah. Peletak pondasi kekuasaan mereka adalah kakek Muhammad bin Su'ud.

Kabar tentang kedatangan Muhammad ke rumah Ahmad bin Suwailim didengar oleh Muhammad bin Su'ud. Setelah bertemu langsung dan berbicara dengannya, Muhammad bin Su'ud membuat kesepakatan dengan Muhammad untuk saling membantu dan tidak saling mengkhianati yang lain. Kesepakatan itu terjadi pada tahun 1157 H. Sejak saat itu, Muhammad melanjutkan dakwahnya dari Dir'iyyah. Penduduk Dir'iyyah sendiri telah mengetahui dakwah ini sebelum kepindahan Muhammad. Sebagian mereka, bahkan, telah menerima dakwah. Mereka menghilangkan sarana-sarana kesyirikan di sekitar mereka, seperti pohon-pohon keramat. Mereka juga meninggalkan praktek berdoa kepada orang-orang sholih yang telah meninggal dunia. Di tingkat atas, selain dukungan dan bantuan dari Muhammad bin Su'ud sebagai penguasa, Muhammad juga mendapat dukungan dan bantuan dari saudara-saudara Muhammad bin Su'ud. Yang terkenal di antara mereka adalah Musyari bin Su'ud, Tsunayan bin Su'ud dan Farahan bin Su'ud. Dakwah yang dilakukan Muhammad di Dir'iyyah ini berlangsung dalam beberapa bentuk. Antara satu bentuk dengan bentuk yang lain saling terkait. Lisan Dakwah yang dijalankannya, pertama, berbentuk penyampaian pelajaran-pelajaran agama secara langsung. Dalam majelis-majelis talaqqi seperti ini, biasanya hadir murid-muridnya, baik yang berasal dari Dir'iyyah maupun yang berasal dari luar Dir'iyyah. Mereka mendengarkan dan mencatat pelajaran-pelajaran tersebut. Mereka yang datang dari luar Dir'iyyah terdiri dari berbagai kelompok. Di antara mereka, sebagai contoh menarik di sini, ada yang datang ke majelis-majelis Muhammad secara sembunyi-sembunyi tanpa sepengetahuan penguasa di tempat mereka masing-masing. Mereka itu semisal orang-orang dari kelompok Utsman bin Mu'ammar yang datang secara sembunyi-sembunyi, menghindari pengawasan penguasa Ahsa'. Utsman bin Mua'mmar, setelah beberapa waktu, sengaja datang ke Dir'iyyah menemui Muhammad. Setelah meminta uzur dan menyesal atas keputusannya yang telah lewat, ia memohon agar Muhammad kembali ke 'Uyainah. Akan tetapi, kesepakatan yang telah dibuat dengan penguasa Dir'iyyah membuat Muhammad tidak bisa mengabulkan permohonan itu kecuali atas izin Muhammad bin Su'ud langsung. Muhammad tidak ingin mengkhianati kesepakatan. Demikian pula dengan Muhammad bin Su'ud, ketika mendengar permohonan itu dari Utsman bin Mu'ammar langsung, ia tidak mengabulkannya. Ia tidak ingin Muhammad pergi dari Dir'iyyah.

Di antara mereka yang mendatangi majelis-majelis Muhammad, ada yang secara khusus pindah ke Dir'iyyah untuk tujuan itu. Sebagian dari mereka tetap tinggal di Dir'iyyah, sebagian lain pulang kembali. Sebagian mereka ada yang khusus datang untuk menghadiri majelis-majelis tersebut pada waktu siang dan baru bekerja mencari nafkah pada waktu malam. Sebagian yang lain ada yang pindah ke Dir'iyyah, meninggalkan pekerjaan di tempat lama sambil berusaha mendapatkan pekerjaan baru di Dir'iyyah, namun tidak mendapatkan pekerjaan sama sekali di tempat yang baru ini.

Tulisan Kedua, dakwah dilakukan juga dalam bentuk penyebaran tulisan, baik berbentuk surat-surat pribadi yang berisi ajakan untuk beraqidah dengan aqidah benar, kitab-kitab pelajaran, atau pun makalah-makalah ringkas tentang suatu masalah tertentu. Perlu diketahui, sudah sejak berdakwah di Huroimala', Muhammad sudah mulai membuat tulisan sebagai salah satu sarana dalam berdakwah. Aktifitas ini ia jalankan, termasuk pula ketika sudah berdiam di Dir'iyyah. Ada banyak tulisannya yang masih utuh sampai sekarang. Baik berbentuk tulisan langsung ataupun hasil ringkasan atas karya-karya ulama sebelumnya, semua karya tersebut sudah diterbitkan. Bahkan, sebagian besar sudah diterjemahkan pula dan diterbitkan ke dalam bahasa Indonesia oleh berbagai macam penerbit yang ada saat ini. Di antara tulisan-tulisannya yang dimaksud adalah Kitab At-Tauhid alladzi Huwa Haqqullah 'alal 'Abid, Ushul Ats-Tsalatsah wa Adillatuha, Kasyfu Asy-Syubuhat, Ushul Iman, Al-Qawa'idu AlArba', Dalailut Tauhid: 50 Sualan wa Jawaban fil Aqidah, Tafsir Al-Fatihah,Masailul Jahiliyyah, Sittah Al-Ushul 'Azhimah, Al-Wajibat, Al-Kabair, Aqidah Muhammad bin Abdil Wahhab, Risalatun fir Raddi 'ala Ar-Rafidhah, dan Muhkhtashar Zadul Ma'ad. Selain judul-judul tersebut, masih terdapat tulisan-tulisan lain yang sebagian di antara judul-judul ini belum diterbitkan dan diterjemahkan ke dalam bahasa-bahasa di luar bahasa Arab. Di antara yang dapat disebutkan di sini adalah Fadhlul Islam, Nawaqidhul Islam, Adabul Masyyi ila AshShalah, Syuruth Ash-Shalah wa Arkanuha wa Wajibatuha, Ahkam Ath-Thaharah, Tafsir AsySyahadah, Arba' Qawa'id Taduru 'alaiha Al-Ahkam, Sittatu Mawadhi' minas Sirah, Mukhtashar Sirah Ar-Rasul, Ahaditsul Fitan, Mufid Al-Mustafid fi Kufri Tarik At-Tauhid, Majmu' Al-Hadits 'ala Abwabul Fiqh, Mukhtashar Fathul Bari, Mukhtashar Asy-Syarhul Kabir, Mukhtashar AshShawa'iq, Mukhtashar Al-Iman, Fadhailul Qur'an,Mukhtashar Shahih Al-Bukhari, Mukhtashar AlInshaf, Mukhtashar Al-'Aql wan Naql, danMukhtashar Al-Minhaj. Dengan karya yang demikian banyak itu, adalah wajar bila ternyata didapati pula karya-karya yang sejatinya bukan termasuk tulisan-tulisannya tetapi dianggap oleh sebagian orang sebagai tulisan-tulisannya. Sebagai contoh di sini adalah Ahkamu Tamanni Al-Maut, Nashihatul Muslimin bi Ahaditsi Khatamil Mursalin, Awtsaqu 'Ural Iman, beberapa tulisan pendek dalam Ad-Durar As-Saniyyah fil

Ajwibah An-Najdiyah tentang tauhid dan syirik, juga surat-surat pribadi kepada beberapa orang pada waktu itu. Semua tulisan ini dianggap karya Muhammad ketika berdakwah di Dir'iyyah. Jihad Dakwah yang dijalankan di Dir'iyyah sejak tahun 1157 H, sebagaimana yang telah lewat, berlangsung dengan lisan dan tulisan. Lewat lisan, disampaikan berbagai pelajaran dan nasehat. Lewat tulisan, dikirim makalah-makalah dan surat-surat pribadi ke orang-orang tertentu berisi ajakan untuk bertauhid dan ajakan untuk menjauhi syirik sekaligus menjelaskan alasan utama di balik ajakan-ajakan tersebut. Sampai kemudian masuk tahun 1159 H. Bermula dari gangguan-gangguan yang didapati oleh orang-orang yang menerima dakwah tauhid di Riyadh dari penguasa setempat saat itu, Diham bin Dawwas. Kenyataan ini diiringi dengan upaya-upayanya menghina Islam dan sunnah Rosulullah. Motif di balik tindakan-tindakannya itu adalah ketidaksenangannya terhadap dakwah yang diserukan oleh Muhammad. Karena itu, sasaran ketidaksenangannya adalah mereka yang menerima dan mengikuti dakwah tersebut. Ketidaksenangannya itu kemudian diimbangi oleh kesewenang-wenangannya kepada orangorang di bawahnya. Sebagai contoh mudah di sini, ia pernah memotong paha seseorang tanpa alasan logis di balik tindakannya itu. Ia pun, bahkan, pernah memotong lidah seseorang, ketika sedang minum kopi di pagi hari, hanya karena memanjatkan doa kepada Allah. Sejauh ini, Muhammad beserta penguasa Dir'iyyah tetap hanya memberikan nasehat kepadanya untuk menghentikan semua tindakan tersebut. Proses nasehat ini berlangsung terus-menerus. Kepada orang-orang yang menerima dakwahnya dan mendapatkan gangguan karena itu, Muhammad mengajak mereka untuk selalu bersabar. Ketika ingin menjalankan agama, baginya, seseorang mesti mempelajari agama tersebut dengan benar agar dapat dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari. Akan tetapi, adalah satu hal penting bahwa ketika seseorang menjalankan ibadah sehari-hari tersebut berdasarkan apa yang telah dipelajarinya, kemudian mendakwahkan hal itu kepada orang lain, ia akan mendapat gangguan-gangguan dari orang lain. Gangguan-gangguan ini adalah satu hal yang mesti. Karena itu, terhadap gangguan-gangguan yang ada, seseorang harus bersabar. Surat Al-'Ashr dalam Al-Qur'an adalah landasan dalil bagi setiap orang yang belajar, beramal dan berdakwah untuk senantiasa bersabar menjalankan dan menanggung segala resiko yang muncul. Setelah menyadari bahwa proses nasehat kepada Diham bin Dawwas tidak banyak bermanfaat, sedangkan permusuhannya terhadap orang-orang yang menerima tauhid dan menjalankan agama di Riyadh makin bertambah, maka Muhammad terpaksa memberikan izin kepada Muhammad bin Su'ud dan para pengikutnya untuk membela dan menolong orang-orang yang berada di Riyadh itu dengan kekuatan dan senjata.

Izin itu menandai suatu masa baru. Dengan senjata, setelah proses persuasi tidak mendatangkan hasil yang diharapkan, mereka mulai membela diri sekaligus memerangi segala macam permusuhan dari luar yang diberikan kepada dakwah dan para pengikut dakwah Muhammad. Menurut Abdullah bin Sholih Al-Utsaimin, bentuk dakwah dengan jihad ini berlangsung selama tiga periode. Semua periode ini merentang sejak tahun 1159 H sampai masuk abad ke-13 H. Periode pertama berlangsung sejak Muhammad mengizinkan mereka membela diri dengan senjata sampai menjelang tahun 1172 H. Dalam periode ini, kekuatan yang ada dipimpin oleh Muhammad bin Su'ud langsung. Periode kedua berlangsung sejak tahun 1172 H sampai tahun 1187 H. Pada periode ini, tepat pada akhir bulan Robi'ul Awwal tahun 1179 H, Muhammad bin Su'ud meninggal dunia. Kepemimpinan saat itu kemudian digantikan oleh anaknya, Abdul Aziz bin Muhammad. Periode ini diakhiri dengan penaklukan Riyadh pada tahun 1187 H, setelah dikepung oleh Abdul Aziz bin Muhammad. Periode ketiga berlangsung sejak Riyadh ditaklukkan pada tahun 1187 H sampai masuk abad ke-13 H, ketika Nejed berhasil disatukan di bawah kepemimpinan Dinasti Su'ud. Pada waktu itu, kekuasaan telah mencapai wilayah di luar Nejed. Meski demikian, pada setiap periode jihad, dakwah dengan lisan dan tulisan tetap dijalankan oleh Muhammad, baik di Dir'iyyah atau pun di daerah-daerah Nejed yang lain. Hal ini, mengingat bahwa reaksi negatif terhadap dakwahnya terus bermunculan, baik dari dalam Nejed atau pun dari luar Nejed.

Pesan Dakwah Sembari mengirimkan surat-surat ke ulama di beberapa tempat, Muhammad senantiasa mengingatkan ke segala pihak bahwa dakwah yang diserukannya kepada khalayak dan praktek ibadah yang diajarkannya kepada murid-muridnya bukan sesuatu yang berada di luar Islam. "Kami," tulisnya suatu hari, "tidak menyelisihi praktek-praktek ibadah dalam syari'at Islam, baik itu shalat, zakat, shaum, haji atau praktek-praktek ibadah lainnya." Karena itu, "Kami cuma para pengikut, bukan gerombolan pengada-ada ajaran baru dalam syari'at." Inti dakwah Muhammad adalah tauhid. Ia mendakwahkan bahwa tauhid sangat penting. Ini tertulis dalam berbagai tulisan-tulisan yang ditinggalkannya. Meski mendahulukan tauhid dalam berdakwah serta menolak syirikdan ini sesuatu yang berlainan dengan keumuman dakwah-dakwah pada hari itu, aqidahkeyakinanyang dimilikinya tidak berbeda dengan keyakinan-keyakinan para imam mazhab yang empat, para sahabat dan pengikut-pengikut mereka, para khalifah yang empat dan juga Rasulullah sendiri, sebagaimana yang sering ditulis Muhammad di dalam karya-karya dan surat-suratnya ke sejumlah orang di berbagai tempat.

Ketika suatu hari penduduk daerah Qasim, Nejed, bertanya tentang keyakinannya, Muhammad pun menulis, "Kupersaksikan kepada Allah, kepada siapa pun yang hadir dari kalangan malaikat dan kepada kalian semua bahwa aku meyakini segala sesuatu yang diyakini oleh firqah an-najiyah, ahlus sunnah wal jama'ah, baik itu menyangkut iman kepada Allah, iman kepada malaikat, iman kepada segenap kitab-kitab Allah, iman kepada para rasul, iman akan hari Kiamat dan iman akan keberadaan takdir, ketentuan Allah, yang baik maupun yang buruk." Firqah an-najiyah, orang-orang ahlus sunnah wal jama'ah, yang dimaksudnya adalah mereka yang meneruskan jalan yang ditempuh oleh Rasulullah dan para sahabatnya. Jalan mereka adalah jalan pertengahan yang berfokus pada diri Rasulullah itu sendiri, sebagai sang utusan Allah di muka bumi. "Jalan, keyakinan, mereka berada di pertengahan antara Qodariyah dan Jabbariyah dalam masalah takdir. Mereka juga berada di antara orang-orang Murjiah dan Khawarij dalam masalah ancaman dan sanksi yang diberikan Allah." Termasuk keimanan kepada Allah adalah beriman terhadap segala sesuatu yang telah disifatkan oleh Allah dan Rasulullah diri Allah, tanpa melakukan tahrif (pengubahan lafaz atau makna ayat) atau bahkan ta'til (penolakan sebagian atau keseluruhan ayat). Menurut keyakinannya, Allah tidak serupa dengan apa pun, meskipun Dia maha mendengar lagi maha melihat. "Karena itu, aku tidak menafikkan segala yang telah Allah sifatkan tentang diriNya. Aku juga tidak menyelewengkan makna sifat-sifat tersebut dari arti sebenarnya. Aku tidak mengadakan penyimpangan dalam nama-nama Allah. Tidak pula kuserupakan Allah dengan makhlukNya dengan sifat-sifat makhlukNya, karena tidak ada yang menyamai dan menandingiNya. Allah tidak bisa dikiaskan dengan makhluk-makhlukNya." Demikian pula dalam masalah keimanan dan keberagamaan, "Mereka, firqah an-najiyah," seperti tulis Muhammad, "berada di antara keyakinan kaum Khawarij dan Mu'tazilah." Dalam masalah keimanan, sebagaimana yang diketahui, Khawarij dan Mu'tazilah betul-betul menafikkan keimanan orang-orang yang melakukan dosa besar dan mengafirkan orang-orang yang tidak sepaham dengan mereka. Karena itu, "Aku," kata Muhammad, "tidak mengafirkan seorang pun dari kaum muslimin karena ia telah melakukan dosa dan tidak pula menganggap orang itu keluar dari Islam." Yang paling penting untuk disebutkan di sini adalah sikapnya terhadap Nabi Muhammad, sebagai sang utusan Allah. "Aku beriman bahwa Nabi Muhammad adalah penutup para nabi dan rasul. Aku pun meyakini bahwa keimanan seseorang tidak akan sah tanpa mengimani risalah yang dibawa olehnya dan bersaksi akan kenabiannya."

Selain itu, tidak sebagaimana orang-orang Khawarij dan Syi'ah Rafidhah, Muhammad meyakini bahwa para sahabat Rasulullah adalah manusia-manusia terbaik setelah Rasulullah di umat ini. Akan tetapi, "Yang paling utama di antara mereka adalah Abu Bakar Ash-Shiddiq, lalu Umar Al-Faruq, Utsman sang pemilik dua cahaya dan Ali Al-Murtadha. Setelah itu [yang paling utama] adalah mereka yang termasuk sepuluh sahabat utama, para veteran Perang Badar, sahabat-sahabat yang mengikuti Baiat Ar-Ridwan, baru kemudian sahabat-sahabat yang lain selain mereka." Salah satu masalah penting yang diperhatikan oleh Muhammad adalah wali-wali Allah dan kelebihan-kelebihan (karamah) yang Allah berikan kepada mereka. Ia menetapkan keberadaan itu semua. Akan tetapi, mereka, para wali yang dimaksud, kata Muhammad, tidak memiliki segala sesuatu yang menjadi hak-hak Allah; mereka tidak berhak untuk mengaku hak-hak Allah. Termasuk pula ke dalam hal ini adalah syafaat. Rasulullah adalah orang pertama yang akan memberikan syafaat kepada umat Islam pada hari Kiamat nanti. Akan tetapi, meski itu Rasulullah sendiri, syafaat tersebut tidak akan dapat diberikan kecuali memenuhi syarat-syarat yang telah Allah tetapkan. Allah telah menetapkan bahwa orang yang memberikan syafaat dan orang yang akan diberisyafaat, masing-masing, harus mendapatkan izin dan ridha dari Allah. "Dan Allah tidak akan meridhoi kecuali dengan tauhid," tulis Muhammad, "juga tidak akan memberikan izin kecuali kepada mereka yang bertauhid." Ini, tulisnya, sebagaimana yang telah Allah gariskan dalam Al-Qur'an. Mereka tiada memberi syafaat melainkan kepada orang yang diridhai Allah (Q.S. AlAnbiya': 28). Tiada yang dapat memberi syafa'at di sisi Allah tanpa izin-Nya (Q.S Al-Baqoroh: 255). Dan berapa banyaknya malaikat di langit, syafaat mereka sedikitpun tidak berguna, kecuali sesudah Allah mengijinkan bagi orang yang dikehendaki dan diridhai (Nya) (Q.S. An-Najm: 26). Akan tetapi, syafaat yang dimaksud di sini adalah syafaat ketika hari Kiamat nanti. Adapun di dunia ini, orang yang masih hidup dan hadir serta memiliki kemampuan untuk melakukan permintaan kita, dapat dimintai pertolongan, dimintakan doa dan diminta untuk menjadi perantara antara kita dengan Allah dalam rangka mendapatkan manfaat dan mencegah bala. Bukan orang-orang yang telah mati; mereka semua tidak dapat memberikan apa pun kepada orang yang masih hidup. Dalam masalah pemerintahan, sempat pula disinggungnya.

"Bagiku, ketaatan dan ketundukan kepada penguasa kaum muslimin, baik itu penguasa yang baik atau pun penguasa yang buruk, adalah wajib selama mereka tidak memerintahkan kita agar bermaksiat kepada Allah. Haram untuk memberontak kepada mereka, kepada para penguasa kita." Karena itu, memberontak kepada penguasa kaum muslimin, menurut Muhammad, adalah haram. Ia tidak memerintahakan murid-muridnya untuk memberontak terhadap penguasa mereka, sekali pun penguasa tersebut berkelakuan jahat. Untuk perlakuan semena-mena dari penguasa yang seperti ini, Muhammad hanya memerintahkan mereka agar bersabar. Sulaiman bin Abdil Wahhab Inti dakwahnya adalah tauhid, sebagaimana yang diserukan para nabi dari yang pertama sampai yang terakhir. Akan tetapi, ia pun menyadari bahwa dakwah yang diserukannya akan menuai banyak permusuhan dari segala pihak yang tidak menyukainya, termasuk dari saudaranya sendiri, Sulaiman bin Abdil Wahhab. Saudara Muhammad, sebagaimana dirinya, dididik ayahnya sejak kecil. Bersama Muhammad, ia mengambil pelajaran-pelajaran agama dari ayahnya, bertalaqqisebagaimana ayahnya yang pernah bertalaqqi bersama pamannya kepada Sulaiman bin Ali, kakeknya. Akan tetapi, sejak kepulangan Muhammad ke Huraimala', Sulaiman tidak menyukai apa yang didakwahkan oleh saudaranya itu. Keadaan ini terus berlangsung, sampai Muhammad pindah ke 'Uyainah dan Dir'iyyah. Ketidaksukaan itu dituangkannya ke dalam berbagai tulisan. Ash-Shawa'iqu Al-Ilahiyah fir Raddi 'alal Wahhabiyah, demikian salah satu judul tulisannya, dijadikan semacam buku pegangan oleh orang-orang yang tidak menyukai dakwah Muhammad pada saat itu. Tulisan ini termasuk tulisan Sulaiman yang berisi tuduhan-tuduhan dusta dalam rangka menolak dakwah Muhammad. Atas sikap Sulaiman seperti itu, Muhammad hanya menulis bantahan-bantahan terhadap tulisantulisan tersebut. Sampai kemudian masuk tahun 1190 H, saudaranya itu datang ke Dir'iyyah menemui Muhammad, menyatakan tobat kepada Allah dan menerima dakwahnya.

Abdul Aziz bin Muhammad Muhammad masih melanjutkan dakwahnya dari Dir'iyyah, meskipun Muhammad bin Su'ud telah meninggal dunia. Di bawah kepemimpinan Abdul Aziz bin Muhammad, Muhammad menyaksikan bagaimana dakwahnya berkembang dan menyebar ke daerah-daerah di Nejed. Abdul Aziz bin Muhammad sendiri adalah salah seorang murid langsung Muhammad. Mereka sudah saling mengenal sejak Muhammad masih berdiam di 'Uyainah. Pernah satu kali Abdul Aziz bin Muhammad meminta Muhammad agar menuliskan untuknya satu tulisan penting tentang tafsir surat Al-Fatihah. Muhammad pun menuliskannya, meskipun Abdul Aziz bin Muhammad pada waktu itu baru saja baligh.

Ia pun, ketika Muhammad sudah berada di Dir'iyyah, pernah memintanya secara khusus agar membuat sebuah tulisan tentang urgensi dari mengetahui Allah, Rosulullah dan Islam beserta dalil-dalil tentang itu semua. Muhammad pun menulis Tsalatsah Al-Ushul wa Adillatuha. Seperti ihwal Muhammad yang mengirim surat-surat pribadi ke orang-orang tertentu dalam rangka berdakwah, Abdul Aziz bin Muhammad sempat mengirim tulisan-tulisan Muhammad ke berbagai tokoh yang dikenalnya. Pernah suatu hari, ia mengirim tulisan Muhammad yang berjudul Kitab At-Tauhid alladzi Haqqullah 'alal 'Abid kepada seorang menteri di Bagdad. Syawwal 1206 H Yang patut dicatat adalah bahwa kepemimpinan Dir'iyyah pada saat itu tetap berwibawa, meski berada di bawah kekuasaan Abdul Aziz bin Muhammad. Baginya pribadi, hakikat kepemimpinan Dir'iyyah tetap berada di pundak Muhammad. Keadaan seperti ini terus berlangsung ketika memasuki abad ke-13 H. Tepat pada tahun 1206 H, Muhammad meninggal dunia. Bermula dari sakit yang diderita olehnya, sekitar bulan Syawwal tahun 1206 H. Sakit itu dirasakannya sampai akhir bulan. Pada hari Senin, masih di akhir bulan itu, Muhammad meninggal dunia dalam usia 92 tahun, di Dir'iyyah. Ia meninggal dunia tanpa meninggalkan harta sedikit pun.[]

Tuanku Imam Bonjol Seorang Salafi?


30 September 2012 pukul 8:54

Di tengah kalangan Salafi, banyak yang meyakini bahwa Tuanku Imam Bonjol adalah salah satu dai Salafi yang pertama kali muncul di Nusantara. Bersama kaum Padri lainnya, Imam Bonjol berdakwah dan berjuang sampai akhirnya ditumpas oleh pemerintah Hindia Belanda saat itu. Keyakinan yang dimaksud, ternyata, masih berkembang sampai saat ini. Pada dasarnya, sumber-sumber sejarah yang menjadi rujukan penulisan sejarah perang Padri berasal dari catatan-catatan para pegawai pemerintah kolonial Belanda, baik dari kalangan sipil ataupun dari kalangan militer. Dari sumber-sumber itulah sejarah tentang gerakan kaum Padri, Tuanku Imam Bonjol, dan Perang Padri direkonstruksi dari dulu sampai sekarang. Keterangan dari satu sumber dipakai pada sebuah tulisan sejarah untuk kemudian dikutip dan dirujuk oleh tulisan-tulisan sejarah yang lain. Masing-masing tulisan itu memberikan kesan tertentu tentang kaum Padri dan dakwah mereka. Dalam Sejarah Indonesia Modern 1200 2008, misalnya, karya Merle C. Rifklefs (Jakarta: Serambi, 2008), tertulis pada halaman 311, Suatu kelompok yang terdiri atas tiga orang haji, yang kembali ke Minangkabau pada tahun 1803 atau 1804, terilhami oleh penaklukkan Mekkah (pada awal tahun 1803) oleh kaum pembaharu-pemurnian Wahhabi dan, seperti Wahhabi, ingin menggunakan kekerasan untuk memperbarui masyarakat Minangkabau. Gerakan Padri menentang perjudian, sabung ayam, aspek-aspek hukum adat setempat yang didasarkan pada garis ibu (khususnya mengenai

warisan), penggunaan candu, minuman keras, tembakau, dan buah pinang, dan juga ketaatan yang umumnya lemah terhadap kewajiban-kewajiban keagamaan Islam yang formal. Akan tetapi, mereka tidak mengikuti semua pemurnian gerakan Wahhabi di Tanah Arab, karena mereka tidak menentang pemujaan terhadap orang-orang suci atau tempat-tempat keramat.

Sumber Penulisan Sejarah Salah satu sumber sejarah yang dimaksud dan sering dipakai oleh sejarawan Belanda dan Indonesia dalam menuliskan riwayat hidup Imam Bonjol adalah Naskah Tuanku Imam Bonjol. Naskah ini semacam memoar pribadi Imam Bonjol. Naskah itu diterbitkan kembali dalam Inlandsche getugenissen aangaande de Padri-oorlog yang ditulis Ph.S. van Ronkel di majalah berbahasa Belanda, De Indische Gids, edisi ke-37, tahun 1915. Van Ronkel termasuk orang Belanda yang memiliki perhatian terhadap peristiwaperistiwa lokal di Nusantara waktu itu. Dalam salah satu bagian, Naskah Tuanku Imam Bonjol mengungkapkan bahwa Imam Bonjol pada akhirnya merasa bimbang dengan apa yang dibuat gerakan Padri. Ia merasa apa yang dilakukan oleh mereka selama ini tidak senapas dengan Al-Quran. Kesangsian itu juga muncul, ketika utusan yang dikirimnya ke Makkah kembali pada 1832 dengan membawa kabar bahwa dinasti pertama Saudi telah ditaklukkan oleh pasukan Muhammad Ali dari Mesir sebagai wakil kesultanan Turki Usmani. Pada bagian lain naskah tersebut, terdapat sebuah nasehat Imam Bonjol kepada salah seorang putra yang ditunjuk untuk menggantikannya. Mengingat hari-hari itu adalah hari-hari terakhirnya dalam menghadapi Belanda di Sumatera Barat, ia mesti memberikan nasehat. Kepada putra yang dimaksud, ia menasehatkan agar, Akui hak para penghulu adat. Taati mereka. Kalau ini tidak bisa ditaati, maka ia bukan penghulu yang benar dan hanya memiliki gelar saja. Sedapat mungkin, setialah pada adat. Dan kalau pengetahuannya belum cukup, pelajarilah dua puluh sifat-sifat Allah. Dalam bentuk tercetak yang lain, Naskah Tuanku Imam Bonjol diterbitkan pula dalam De Vestiging en Uitbreiding der Nederlanders ter Westkust van Sumatra yang ditulis kolonel H.J.J.L. de Stuers. Buku ini diterbitkan di Amsterdam, Belanda, pada 1849-1850.

Untaian Biji-Biji Tasbih De Vestiging en Uitbreiding der Nederlanders ter Westkust van Sumatra tulisan de Stuers termasuk salah satu sumber sejarah tertua tentang gerakan kaum Padri di Sumatera Barat. Sebagai pejabat militer pemerintahan kolonial Belanda waktu itu, de Stuers termasuk salah seorang yang menyaksikan sekaligus menghadapi perlawanan kaum Padri tetapi kemudian mencatat banyak peristiwa waktu itu. Wajar, jika para sejarawan yang ada tidak bisa mengabaikan karya de Stuers ketika hendak meneliti sejarah gerakan Padri.

Dalam karya de Stuers itu, termuat sebuah lukisan potret Imam Bonjol. Di sana, kita akan melihat Imam Bonjol dilukiskan sebagai seorang laki-laki berdahi lebar, berjanggut hitam, berpakaian putih, dan besorban putih. Untuk edisi pembaca Indonesia, lukisan yang dimaksud dimuat kembali pada halaman 211 dalam buku Gejolak Ekonomi Kebangkitan Islam, dan Gerakan Padri karya Christine Dobbin (Jakarta: Komunitas Bambu, 2008). Dalam buku Dobbin ini, di bawah lukisan potret Imam Bonjol tertulis Seorang Padri yang diperkirakan Imam Bonjol. Pada dasarnya, lukisan tersebut tidak jauh berbeda dari lukisan-lukisan potret Imam Bonjol yang dapat kita temui di sekitar kita. Mulai dari poster untuk dinding ruang kelas, gambar-gambar dalam buku sejarah Indonesia sampai pada uang pecahan Rp. 5.000,00, semua gambar potretdiri Imam Bonjol menampilkan resam muka seorang laki-laki paruh baya dengan dahi lebar, memelihara janggut hitam di dagunya dan membebat kepalanya dengan kain putih sebagai sorban. Yang membedakan lukisan potret dalam buku de Stuers itu dengan lukisan-lukisan potret Imam Bonjol di sekitar kita hanya satu hal. De Stuers memuat lukisan potret Imam Bonjol yang sedang memegang untaian biji tasbih di tangan kiri. Pada lukisan-lukisan potret yang lain, tangan Imam Bonjol sama sekali tidak dilukis lengkap.[] -- Rimbun Natamarga

Riwayat Muda Mantan Panglima Laskar Jihad


30 September 2012 pukul 8:53

Tidak sebagaimana jalan setapak depan rumah kita, jalan hidup seseorang adalah salah satu jalan yang tak bisa dipastikan oleh mata-mata kita. Kita hanya bisa melihat apa yang telah dilalui dan sedang dijalani sekarang. Ujung jalan hidup yang kita titi masing-masing adalah mutlak pengetahuan Ilahi. Demikian pula riwayat hidup seorang dai. Perjalanan yang ia tempuh dalam aktifitas dakwahnya tidak seperti hasil hitungan matematis. Ada pangkal, ada akhir. Ada titik terpuncak, ada pula titik terendahnya. Terkadang, ia akan memutar atau menikung ke arah lain dan meninggalkan jalan yang telah ditempuhnya dalam dakwah tanpa pernah terpikirkan sekali pun. Seperti itulah riwayat seorang Jafar Umar Thalib. Setelah memulai dan merintis dakwah Salafi di Indonesia, ia mesti pergi dan meninggalkan segala yang telah ia jalani selama bertahun-tahun. Publik sekarang hanya mengenalnya sebagai seorang mantan panglima Laskar Jihad. Tulisan ini adalah bagian pertama dari sejumlah tulisan tentang riwayat Jafar Umar Thalib. Melihat perjalanan dakwahnya di Indonesia, kita akan banyak menyimpulkan banyak hal, termasuk tentang perkembangan dakwah Salafi di Indonesia. Dari Al-Irsyad Sampai LIPIA Lahir pada 1961, Jafar Umar Thalib adalah anak ketujuh dari pasangan Umar dan Badriyah Shaleh. Mereka dikenal sebagai orang-orang keturunan Arab dari Hadramaut, Yaman.

Dibanding dengan saudara-saudaranya yang lain, Jafar adalah satu-satunya anak laki-laki Umar yang disekolahkan ke sekolah agama. Di bawah pengawasan ayahnya yang keras, Jafar digembleng untuk mempelajari bahasa Arab sejak kecil. Dalam keadaan seperti itu, Jafar berhasil menguasai bahasa Arab. Pada masa remajanya, Jafar mengenyam pendidikan di sekolah Pendidikan Guru Agama Negeri di kota Malang, Jawa Timur. Dari sekolah ini, ayahnya banyak berharap agar Jafar dapat menjadi guru agama di sekolah-sekolah umum nanti. Pada waktu itu, Jafar sendiri sudah mulai belajar berorganisasi. Salah satu organisasi yang diikutinya adalah Ikatan Pelajar Al-Irsyad. Organisasi siswa ini adalah organisasi yang berada di luar sekolahnya. Keterlibatannya di dalam organisasi ini dapat dimaklumi, mengingat latar belakang keluarganya yang masih memiliki hubungan intelektual dengan lingkungan Al-Irsyad. Selepas pendidikan menengahnya, Jafar meneruskan pendidikannya ke Fakultas Tarbiyah di Universitas Muhammadiyah Malang. Ia, ternyata, kecewa dengan kualitas pendidikan di sana. Ia pun memutuskan keluar setelah satu tahun belajar. Atas saran ayahnya, Jafar kemudian mendaftarkan diri di salah satu pesantren Persis di Bangil, dekat kota Surabaya, Jawa Timur. Sebagai pelajar Persis, Jafar dikenal sebagai seseorang yang memiliki perhatian besar terhadap Islam. Sebagian besar waktunya banyak dihabiskan di perpustakaan pesantren. Ia membaca dan menelaah koleksi-koleksi perpustakaan yang ada. Dengan kebiasaan seperti itu, adalah wajar jika Jafar diminta menjadi asisten Abdul Qadir Hassan, pimpinan pesantren tersebut, untuk membantunya menjawab berbagai pertanyaan agama yang masuk ke redaksi majalah Al-Muslimun. Majalah ini adalah organ penting Persis waktu itu. Setelah Abdul Qadir meninggal dunia, Jafar keluar dari pesantren tersebut. Ia keluar sekitar tahun 1985. Jafar kemudian mendaftarkan diri ke LIPIA di Jakarta. Di lembaga ini, ia ingin memperdalam bahasa Arab. Pada waktu itu pun, Jafar aktif dalam Persatuan Pelajar Al-Irsyad. Bahkan, sempat dipilih untuk menjadi ketuanya. Dalam jabatan ini, Jafar beberapa kali terlibat dalam kegiatan penentangan terhadap Pancasila dan sempat pula ditangkap aparat pemerintah. Dari LIPIA Menuju Timur Tengah Pendidikannya di LIPIA tidak berjalan mulus. Setelah berkonflik dengan salah seorang pengajar setempat, Muhammad Yasin Al-Khattib, Jafar memutuskan untuk keluar dari LIPIA. Konflik tersebut dipicu oleh kebijakan Al-Khattib yang menugaskan para siswa untuk membaca kitab Matan Al-Ghayah wa At-Taqrib karangan Abu Syuja Al-Asbahani (1053 1106) yang menjadi salah satu kitab fikih pegangan pesantren-pesantren tradisional NU.

Namun suratan takdir tertulis lain. Meski keluar dari LIPIA, Jafar justru ditawari beasiswa untuk belajar di Pakistan oleh direktur LIPIA waktu itu, Abdul Aziz Abdillah Al-Amr. Pada 1986, Jafar akhirnya menerima beasiswa itu dan belajar di Institut Islam Al-Maududi di Lahore, Pakistan. Akan tetapi, setelah setahun belajar di Pakistan, Jafar akhirnya memutuskan untuk bergabung dengan barisan mujahidin di Afganistan. Semula, ia bergabung dengan faksi mujahidin pimpinan Gulbudin Hekmatyar. Faksi ini bernama Hizb-i Islami. Dari faksi itu, Jafar kemudian pergi dan bergabung dengan faksi mujahidin pimpinan Abdul Rasul Sayyaf yang bernama Jamiat Islami. Di faksi ini, ternyata, banyak pula tergabung orangorang yang dikirim Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Baasyir. Di antara mereka, bahkan, terdapat lulusan-lulusan Pondok Pesantren Al-Mukmin, Ngruki, Sukoharjo, Jawa Tengah. Jafar merasa tidak betah di faksi tersebut. Ia pun kemudian pindah ke faksi mujahidin pimpinan Jamilurrahman, seorang syaikh lulusan Ahl-i Hadith di Panjpir, Pakistan. Di faksi inilah, Jafar tertarik pada sosok Muqbil bin Hadi Al-Wadii, seorang syaikh Salafi di Yaman. Lewat tulisantulisan dan kaset-kaset rekaman ceramahnya, Jafar mulai mengenal dakwah Salafi waktu itu. Ketertarikan itu mengantarkan Jafar ke Timur Tengah. Di Arab Saudi, ia sempat bertemu dengan Abu Anas dan mempelajari kitab Syarh Aqidah Ath-Thahawiyah karya Ibnu Abdil Izz. Dari sana, Jafar kemudian pergi ke Dammaj, Shadah, Yaman dan bertemu langsung dengan Syaikh Muqbil. Pertemuan dengan Muqbil bin Hadi Al-Wadii Pertemuan dengan syaikh yang dimaksud menjadi sebuah pertemuan yang mengesankan. Jafar tinggal di tempat Syaikh Muqbil selama tiga bulan. Dalam waktu yang relatif singkat itu, Jafar bisa memanfaatkan dirinya untuk mencari tahu tentang hakikat dakwah Salafi dari Syaikh Muqbil sekaligus mengenal lebih jauh tentang ulama-ulama Salafi yang masih ada pada waktu itu. Yang patut diingat, dari Syaikh Muqbil itu juga, Jafar mulai mengetahui isu Sururiyah yang telah berkembang di Timur Tengah. Di sana, Sururiyah menjadi salah satu faktor pemecah-belah komunitas Salafi setempat, termasuk mereka yang ada di Arab Saudi. Dengan bekal seperti itu, Jafar memiliki misi tersendiri untuk berdakwah di Indonesia. Bahkan, keinginan itu makin menguat, mengingat dakwah yang selama ini diakuinya sebagai dakwah Salafi di tengah lingkarannya di Indonesia, ternyata, masih tercampur dengan metode dakwah Hassan Al-Banna dan Sayyid Quthb.[] --Rimbun Natamarga

Riwayat Muda Bapak NII: Kartosoewirjo (1907 1945)


30 September 2012 pukul 8:52

Lahir pada 7 Januari 1907 di Cepu, Kartosoewijo adalah anak seorang pegawai pemerintahan Hindia Belanda. Waktu itu, sebagian besar wilayah Indonesia sekarang masih dikenal sebagai negara kolonial kerajaan Belanda. Kartosoewirjo mendapatkan pendidikan dasar dan menengah yang lebih, sebagaimana anakanak pegawai pemerintahan. Pendidikan lanjutan mulai ia peroleh kemudian di Nederlandsch Indische Artsen School (NIAS), semacam sekolah tinggi kedokteran, di Surabaya, pada 1923. Berkenalan dengan Politik Di kota tempat belajarnya itu, ia berkenalan dengan gerakan politik. Mula-mula, ia bergabung dengan Jong Java, sebuah wadah kepemudaan yang memiliki perhatian lebih pada budaya Jawa. Di organisasi ini, ia sempat jadi ketua cabang Jong Java di Surabaya. Pada 1925, berdiri Jong Islamieten Bond (JIB). Organisasi ini digagas oleh anggota-anggota Jong Java yang memilih Islam sebagai cara pandang politis. Mereka memisahkan diri dari Jong Java. Menanggapi keadaan ini, Kartosoewirjo memilih bergabung dengan JIB. Di wadah yang baru itu, ia sempat pula menjadi ketua cabang JIB di Surabaya. Pada masamasa itulah, Kartosoewirjo berkenalan dengan Hadji Oemar Said Tjokroaminoto. Dikenal sebagai pemimpin Partai Sarekat Islam (PSI) yang karismatik, Tjokroaminoto menarik perhatian Kartosoewirjo lewat pidato-pidatonya. Membantu Tjokroaminoto Pada 1927, akibat kedapatan membaca bacaan-bacaan komunis dan anti-pemerintah, Kartosoewirjo dikeluarkan dari NIAS. Keadaan ini justru membuatnya memiliki banyak waktu luang untuk mengikuti pidato-pidato Tjokroaminoto dan mengenal Islam. Kartosoewirjo akhirnya mengenal cita-cita negara Islam dari Tjokroaminoto. Sebenarnya, ajaran Islam sendiri tidak hanya didapatinya dari Tjokroaminoto. Kartosoewirjo juga diketahui belajar secara serabutan kepada sejumlah kiai. Akan tetapi, kemampuan menarik perhatian para pendengar yang dimiliki Tjokroaminoto ikut memengaruhi dan mendorong Kartosoewirjo untuk mengajukan diri sebagai muridnya. Sejak itulah, ia mondok di rumah Tjokroaminoto dan dekat dengannya. Tercatat, beberapa kedudukan penting sempat dipegang Kartosoewirjo. Ia pernah menjadi sekretaris pribadi Tjokroaminoto. Pernah pula menjadi wartawan kemudian redaktur dan pimpinan redaksi surat kabar Fadjar Asia, sebuah corong Partai Sarekat Islam Hindia Timoer (PSIHT). Sebagai Orang PSII Sejak 1927, PSI berubah nama menjadi PSIHT dan pada 1930 berubah kembali menjadi Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII). Dalam struktur PSIHT kemudian PSII, Kartosoewirjo diangkat sebagai sekretaris umum. Pada 1936, ia diangkat menjadi wakil ketua PSII. Jabatan itu dipegang sampai ia keluar dari partai pada 1939.

Menyikapi perpecahan yang terjadi dalam tubuh PSII, Kartosoewirjo menyatakan diri keluar dari partai dan mendirikan partai baru dengan anggota-anggota PSII yang sependapat dengannya. Mereka dikenal sebagai orang-orang PSII yang menekankan politik hijrah sebagai haluan partai. Pangkal masalah adalah bentuk perjuangan yang dipilih untuk meraih kemerdekaan. Sebelum para pemimpin pergerakan nasional ditangkap dan dibuang oleh pemerintah kolonial Belanda, perjuangan yang ditempuh bersifat non-koperatif. Partai-partai waktu itu tidak bekerjasama dengan pemerintah kolonial. Setelah banyak aktivis yang ditangkap dan dibuang, aktivis-aktivis partai yang tersisa mulai berpikir untuk menempuh jalur koperatif. Mereka bermaksud bekerjasama dengan pemerintah kolonial agar kemerdekaan dapat terwujud. Cikal Bakal NII Pertama Dalam menyikapi perubahan ini, PSII terpecah menjadi dua kubu, kubu yang menolak rencana itu dan kubu yang menyetujuinya. Menyikapi hal itu, Kartosoewirjo menawarkan sebuah jalan baru bagi partai yang disebut politik hijrah. Usulan itu mendatangkan pro dan kontra. Pada akhirnya, karena kecewa dengan sikap partai, Kartosoewirjo memisahkan diri dari partai. Tanpa persetujuan dan pertolongan dari PSII, ia mendirikan sebuah lembaga pendidikan kader di dekat Malangbong, Garut, pada 1940. Lembaga itu dikenal lewat sebutan lembaga Shuffah. Mengambil bentuk pesantren tradisional, Kartosoewirjo mendidik pelajar-pelajar di sana. Cara mengajar yang diterapkannya seperti cara mengajar Tjokroaminoto; mereka mempelajari Islam, politik dan pengetahuan umum. Cara seperti ini mengundang banyak orang untuk pindah dan belajar di sana. Terhitung, banyak pelajar yang berasal dari Sumatera, Sulawesi, Kalimantan, dan juga dari pulau Jawa sendiri. Akan tetapi, kondisi tempat, makanan, dan hidup yang berat di sana membuat mereka sulit untuk menyesuaikan diri. Hanya sedikit yang mampu bertahan dan mereka yang sedikit ini menjadi cikal-bakal pengikut setia Kartosoewirjo ketika Darul Islam (DI)yang bakal berubah nama jadi Negara Islam Indonesia (NII)telah berdiri kelak.[]

Peta Wahabi di Indonesia


30 September 2012 pukul 8:51

Memberikan kata pengantar untuk buku Terorisme: Fundamentalis Kristen, Yahudi, Islam(Kompas, 2009) tulisan A.M. Hendropriyono, Zuhairi Misrawi, seorang anggota Nahdlatul Ulama yang menjadi ketua Moderate Muslim Society, mengetengahkan sebuah peta tentang Wahabi di Indonesia. Peta yang dimaksud itu adalah hasil pemetaan sikap atas dakwah Muhammad bin Abdil Wahhab di Indonesia. Dan, memang, dalam merespon dakwah tersebut, orang-orang di Indonesia terbagi-bagi menjadi beberapa kelompok. Masing-masing mereka memiliki ciri khas yang membedakan dengan yang lain.

Kelompok pertama adalah orang-orang yang menerima dakwah Muhammad bin Abdil Wahhab,[1] namun melakukan usaha modifikasi, baik sedikit, separuhnya, atau sebagian besarnya. Di antara mereka, bahkan, ada pula yang hanya mengambil ruh semangatnya tanpa perlu konsisten dalam menerapkan pesan dakwah tersebut. Kelompok kedua adalah orang-orang yang merespon positif dakwah tersebut dan menerima secara bulat tanpa usaha memodifikasinya. Mereka menerima dakwah dan berusaha menyebarkannya di lingkungan-lingkungan mereka. Kelompok ketiga adalah orang-orang yang menolak mentah-mentah dakwah tersebut. Bagi mereka, dakwah yang diserukan oleh Muhammad bin Abdil Wahhab itu tidak sesuai dengan karakter masyarakat Indonesia yang sudah memiliki tradisi keislaman tersendiri dari dulu. Dakwah tersebut tidak cocok, karena itu mereka tolak secara mutlak. Dua kelompok pertama, di tengah masyarakat kita, kerap disebut sebagai orang-orang Wahabi. Terlepas dari mereka suka atau tidak penamaan tersebut, media-media dan sejumlah pengamat dari luar atau dalam negeri tetap menamai mereka dengan sebutan itu. Karena itu, tiap kali media mengangkat atau menyinggung kelompok Wahabi dalam pemberitaan, selalu yang dimaksud adalah salah satu kelompok dalam dua kelompok tersebut. Kelompok Pertama: Neo-Wahabi Ciri utama mereka adalah modifikasi pesan dakwah Muhammad bin Abdil Wahhab. Nur Khalik Ridwan mengidentifikasi kelompok ini dalam trilogi karyanya tentang gerakan Wahabi. Dalam buku pertama, Doktrin Wahhabi dan Benih-Benih Radikalisme Islam (Tanah Air, 2009), ia menyinggung keberadaan kelompok ini sebagai kelompok yang terpengaruhbaik sebagian atau lebih, namun tidak semuaoleh ajaran-ajaran Muhammad bin Abdil Wahhab. Olehnya, kelompok yang seperti ini disebut sebagai neo-Wahabi. Menurut Ridwan, organisasi masyarakat pertama di Indonesia yang masuk dalam kategori kelompok neo-Wahabi adalah Muhammadiyah dan Persatuan Islam (Persis). Kedua organisasi ini bertahan sebagai kelompok neo-Wahabi sampai muncul gelombang baru neo-Wahabi pada tahun 1980-an. Kelompok-kelompok neo-Wahabi yang baru mulai bermunculan sepanjang dekade 1980-an dan 1990-an sebagai buah program-program yang dilakukan Dewan Dakwah Islam Indonesia (DDII) yang dimulai pada dekade 1970-an. Kemunculan mereka bermula dari ketidakpuasan mereka terhadap keberadaan Muhammadiyah dan Persis yang kurang konsisten terhadap Quran dan Sunnah. Di antara kelompok baru neo-Wahabi yang dimaksud Ridwan adalah kelompok tarbiyahyang kemudian berubah menjadi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). PKS memiliki hubungan ideologis dengan Ikhwanul Muslimin di Mesir, sedangkan HTI memiliki hubungan historis dengan Ikhwanul Muslimin. Baik PKS atau pun HTI, masing-masing menempuh jalur politik untuk mencapai tujuan mereka. Cita-cita mereka adalah memformalisasikan syariat Islam di dalam negara.

Termasuk yang disinggung oleh Nur Khalik Ridwan sebagai kelompok neo-Wahabi adalah kelompok yang sering disebut sebagai Salafi jihadi. Mereka adalah orang-orang yang berada dalam lingkaran Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Baasyir serta murid-murid mereka berdua. Dikenal sebagai orang-orang yang menyempal dari kelompok Negara Islam Indonesia (NII), dua orang itu menghindari tekanan pemerintah Indonesia dengan cara kabur ke Malaysia pada pertengahan 1980-an. Di Johor Bahru, mereka kemudian membangun basis dakwah baru. Usaha mereka ini ternyata berkembang seiring dengan pecahnya Perang Afganistan. Pesantren mereka di Johor Bahru menjadi tempat transit bagi calon-calon relawan dari Pesantren Al-Mukmin, Ngruki, Sukoharjo dan sejumlah kader NII. Tidak hanya itu, sejumlah relawan untuk perang di Afganistan yang berasal dari Indonesia dan Malaysia ikut dalam usaha pengiriman itu. Dari arena perang di Afganistan itulah, muncul orang-orang yang kelak akan dikenal lewat sebutan alumni Afganistan. Ternyata, tidak semua alumni Afganistan bergabung dalam lingkaran Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Baasyir. Sebagian kecil mereka, kembali membaur dalam masyarakat. Di antara mereka yang sedikit ini, terdapat sejumlah orang yang menolak dengan tegas cara-cara berdakwah gaya Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Baasyir. Menurut mereka, Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Baasyir adalah orang-orang Khawarij tulen yang mengafirkan orang-orang di luar merekatermasuk pemerintah Indonesiadan menyebarkan kebencian terhadap pihak penguasa di Indonesia. Bahkan, dapat dikatakan, aksiaksi terorisme di Indonesia 13 tahun belakangan ini berasal dari lingkaran Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Baasyir serta alumni-alumni Afganistan yang bergabung dengan mereka. Kurang dari 20 tahun, lingkaran itu telah merekrut anggota-anggota baru dan menebar teror di tengah masyarakat kita. Kelompok Kedua: Wahabi Tulen Meski secara sepintas tidak termasuk ke dalam kelompok neo-Wahabi, Nur Khalik Ridwan dengan jeli memasukkan kelompok-kelompok yang merujuk kepada Yayasan Al-Muntada di London dan Jam'iyyah Ihya At-Turots Al-Islamiyah di Kuwait ke dalam kelompok baru neoWahabi. Yayasan Al-Muntada di London didirikan oleh Muhammad bin Surur bin Nayef Zainal Abidin. Ia pernah tinggal di Arab Saudi. Semula, ia adalah seorang anggota Ikhwanul Muslimin, lalu keluar dan mengaku sebagai Salafi. Ia, oleh Nur Khalik Ridwan, disebut sebagai sempalan Ikhwanul Muslimin. Yayasan ini memiliki cabang di Indonesia. Cabang di Jakarta bernama Yayasan As-Sofwah yang dipimpin oleh Abu Bakar M. Altway. Cabang yang lain adalah Yayasan Al-Haramain. Yayasan Al-Haramain sendiri memiliki dai-dai yang tersebar di sebagian besar wilayah Indonesia. Di antara mereka yang terkenal adalah Abdul Hakim Abdat di Jakarta, Yazid bin Abdil Qadir Jawwas di Bogor, Ainul Harits di Jawa Timur dan Abu Haidar di Bandung.

Seperti Yayasan Al-Muntada, Jam'iyyah Ihya At-Turats Al-Islamiyah di Kuwait didirikan oleh Abdurrahman Abdul Khaliq. Ia, sebagaimana dikatakan Nur Khalik Ridwan, adalah seorang sempalan Ikhwanul Muslimin juga. Di Indonesia, Jam'iyyah Ihya At-Turats Al-Islamiyah juga memiliki cabang. Mereka mendirikan pesantren-pesantren yang tersebar di Jawa, seperti Ma'had Jamilurrahman dan Islamic Centre Bin Baaz di Yogyakarta, Ma'had Al-Furqan di Gresik dan Ma'had Imam Bukhari di Solo. Mereka yang dimaksud mengaku diri sebagai Salafi dan mendakwahkan mazhab salafiyah. Dilihat dengan mata telanjang, penampilan mereka tidak jauh berbeda dengan komunitas Salafi di Indonesia. Meski demikian, di tengah komunitas Salafi,[2] orang-orang yang berafiliasi dengan dua yayasan di London dan Kuwait itu serta orang-orang yang berada dalam lingkaran dai dan lembaga pendidikan mereka di Indonesia di seluruh Indonesia disebut dengan istilah Sururi.[3] Lantas, siapa yang dimaksud dengan Wahabi Tulen di Indonesia? Dengan mengutip Abu Abdirrahman Ath-Thalibi yang menulis Dakwah Salaf Dakwah Bijak, kelompok yang diidentifikasi Nur Khalik Ridwan sebagai kelompok Wahabi di Indonesia adalah mereka yang disebut dengan Salafi Yamani. Dikatakan Salafi Yamani, karena mereka merujuk kepada syaikh-syaikh Salafi yang ada di Yaman dan di Timur-Tengah. Salah seorang syaikh mereka yang terkenal di Yaman adalah Muqbil bin Hadi Al-Wadi'i. Syaikh yang dimaksud memimpin Ma'had Darul Hadits di daerah Dammaj, Sha'dah, Yaman. Banyak dai-dai Salafi Yamani yang belajar di Ma'had Darul Hadits sampai hari ini, meskipun syaikh yang bersangkutan telah meninggal dunia beberapa tahun yang lalu. Pada terjadi konflik beragama di Ambon, Maluku, kelompok Salafi Yamani ini pernah mendirikan Forum Komunikasi Ahlus Sunnah wal Jamaah (FKAWJ). FKAWJ menaungi Laskar Jihad di Indonesia yang akan dikirim ke wilayah konflik di Ambon dan juga di Poso, Sulawesi. Laskar Jihad yang dipanglimai oleh Ja'far Umar Thalib dipulangkan setelah pembubaran FKAWJ. Pembubaran yang dimaksud didorong oleh munculnya fatwa-fatwa syaikh Salafi di Arab Saudi, menyusul berbagai penyimpangan yang terjadi dalam Laskar Jihad dan pada diri Ja'far Umar Thalib. Sejak saat itu, Jafar Umar Thalib memusuhi kelompok Salafi Yamani dan membelot dari mereka. Kelompok Salafi Yamani sendiri, setelah pembubaran FKAWJ, mengembalikan seluruh fokus aktifitas mereka di sejumlah pesantren dan masjid di berbagai daerah di Indonesia. Berbeda dari sebelum pembubaran itu, mereka sekarang berkembang ke hampir tiap propinsi di Indonesia. Di kota-kota besar Indonesia, dakwah mereka dapat kita temui dengan mudah.[]

[1] Untuk bahasan terkait, lihat [2] Untuk bahasan terkait, lihat

[3] Untuk bahasan terkait, lihat

Sumbangsih Sayyid Quthb dalam Radikalisme Islam Sekarang


30 September 2012 pukul 8:50

Di antara banyak orang yang mengaku bermazhab sesuai mazhab Nabi Muhammad dan para sahabatnya, ada orang-orang yang membaca dan terpengaruh Sayyid Quthb. Bagi mereka, Quthb adalah inspirasi yang tak mati-mati. Maalim fi Ath-Thariq adalah satu karya tulis Quthb yang paling banyak berpengaruh bagi kaum muslimin abad ke-20 kemarin. Buku itu telah membangkitkan sebuah cara pandang radikal yang membagi dunia menjadi Islam dan bukan Islam. Dalam cara pandang yang dimaksud, keberislaman seseorang diukur dengan ukuran yang paling sempit: anda muslim ketika anda setuju dan menjalankan sistem yang berasal dari Islam. *** Quthb adalah seorang barat yang lahir di negeri Firaun. Lahir pada 1906 di salah satu daerah di Mesir Utara, Quthb menerima pendidikan di Kairo. Publik pertama kali mengenalnya sebagai seorang penyair sekaligus kritikus sastra. Ia menyorot masalah-masalah sosial-kemasyarakatan dalam tulisan-tulisannya. Dalam tulisan-tulisan itu juga, ia menganalisis semua masalah itu dari sudut pandang sekuler. Baru pada 1948, ia memulai sebuah pendekatan baru dalam tulisan-tulisannya. Islam menjadi sebuah harga mati yang baru buatnya. Merenungi dan meyakini Islam sebagai sebuah jalan keluar bagi peradaban dunia yang guyah, Quthb justru melihat Barat sebagai musuh. Orang kulit putih di Eropa atau Amerika, tulis Quthb, adalah musuh nomor satu kita. Orang kulit putih menindas kita sementara kita mengajarkan kepada anak-anak kita tentang kebudayaan, prinsip universal, dan tujuan mulia mereka. [...] Kita menanamkan kepada anak-anak kita rasa takjub dan hormat kepada tuan yang menginjak-injak kehormatan kita dan memperbudak kita. Mari kita tanam bibit kebencian, kemuakan dan balas dendam ke dalam jiwa anak-anak kita. Mari kita ajari anak-anak kita sejak mereka kecil bahwa orang kulit putih adalah musuh umat manusia dan harus dihancurkan begitu ada kesempatan. Quthb menuliskan itu di tengah orang-orang Barat di Amerika Serikat. Ia berada di sana dalam rangka studi lanjutannya, terkhusus dalam bidang pendidikan; Quthb adalah seorang tenaga pendidik yang sempat bekerja di Kementrian Pendidikan Kerajaan Mesir. Ia mendapatkan peluang untuk meneruskan pendidikannya di Amerika pada 1948. Di Amerika itu, Quthb sempat bertemu dengan James Heyworth-Duane, seorang mualaf Inggris. Sebagai seorang mualaf yang sedang mendalami budaya Timur, Duane meyakini bahwa Al

Ikhwan Al Muslimun adalah sebuah kelompok penghalang bagi laju modernisasi di tengah kaum muslimin Mesir. Sampai saat itu, Quthb sendiri menjaga jarak dengan Al Ikhwan Al Muslimun. Meski demikian, ia mengikuti, bahkan mengenal, reputasi pendiri organisasi itu, Hassan Al Banna. Ketika suatu hari Al Banna tewas di rumahsakit Mesir setelah ditembak aparat penguasa, Quthb mengalami sebuah arus balik dalam kehidupannya. Ia bertekad akan bergabung dengan Al Ikhwan Al Muslimun setelah kembali ke Mesir. Sebagai organisasi, Al Ikhwan Al Muslimun sanggup melakukan perlawanan efektif dan terorganisasi terhadap penguasa Mesir saat itu. Mereka membangun basis gerakan dan jaringan luas di tengah-tengah rakyat Mesir. Tujuan Al Ikhwan Al Muslimun adalah membangun masyarakat islami yang ideal di Mesir. Lewat kelompok-kelompok kecil yang dibentuk, mereka ingin menggantikan sistem kemasyarakatan Mesir yang dinilai bobrok. Al Banna menulis, Sudah menjadi hakikat Islam untuk mendominasi bukan didominasi. Sudah menjadi hakikat Islam untuk memaksakan hukumnya kepada seluruh bangsa. Dan sudah menjadi hakikat Islam pula untuk meluaskan kekuasaannya ke seluruh penjuru dunia. Perjuangan mereka ternyata banyak mendapat simpati dari kalangan menengah ke bawah dari rakyat Mesir. Terhitung satu juta lebih anggota berhasil direkrut pada masa Al Banna masih hidup. Pemerintah Mesir membubarkan Al Ikhwan Al Muslimun pertama kali pada 1948. Keputusan itu menyusul peristiwa pembunuhan Salim Zaki, seorang kepala polisi, dalam salah satu kerusuhan yang terjadi waktu itu. Pemerintah melihat Al Ikhwan Al Muslimun sebagai dalang di balik pembunuhan itu. Sebelumnya, terjadi juga dua peledakan bioskop di Kairo, pembunuhan seorang hakim dan berbagai usaha pembunuhan terhadap beberapa pejabat pemerintah. Di mata pemerintah, Al Ikhwan Al Muslimun telah menjadi sebuah kelompok yang berbahaya. Meski demikian, Quthb tetap bergabung dengan Al Ikhwan Al Muslimun setelah kepulangannya dari Amerika pada 1950. *** Di bawah kepemimpinan presiden Gamal Abdul Nasser yang berhasil mengusir Raja Farouk pada Juli 1952, Quthb dipenjarakan pertama kali pada 1954. Antara dirinya dan penguasa Mesir waktu itu terdapat perbedaan cara pandang yang mencolok tentang pemerintahan. Jika pemerintah menginginkan masyarakat dan pemerintahan yang egaliter, sekuler dan modern,

maka Quthb jelas-jelas menginginkan masyarakat dan pemerintahan yang islami dengan hukumhukum Islam yang diterapkan secara sempurna. Perbedaan cara pandang itu memaksa Quthb dipenjara bertahun-tahun. Bukan menyerah, ia melawan dan menyerang pemerintah lewat tulisan-tulisannya. Quthb, bahkan, mengafirkan pemerintah dan aparat-aparat terkait yang telah menzalimi dirinya dan kaum muslimin lainnya. Bagi Quthb, pemerintahan yang berada di bawah Gamal Abdul Nasser lebih lalim daripada pemerintahan Raja Farouk. Dalam beberapa karyanya, Quthb menegaskan tentang perlunya perlawanan aktif untuk membangkitkan pemerintahan dan masyarakat Islam kembali, meskipun itu berarti mengafirkan pihak-pihak yang tidak menyetujuinya. Ia menulis, Masyarakat Islam sudah lama punah. Mereka punah karena terkontaminasi segala sesuatu yang berasal dari luar Islam. [...] Kita perlu memulai gerakan kebangkitan Islam di negara-negara Islam agar jadi contoh yang akan membawa Islam mendominasi dunia. Harus ada perintis yang memulai dengan tekad itu dan kemudian menjalaninya dengan setia. Quthb dibawa ke pengadilan dan mulai diadili sejak tanggal 19 April 1966. Selama tiga bulan, proses itu berlangsung. Bukunya, Maalim fi Ath-Thariq, menjadi materi yang memberatkannya di muka pengadilan. Buku itu, sejak pertama kali terbit, telah menjadi bahan bacaan bagi banyak aktivis untuk mengobarkan perlawanan terhadap pemerintah Mesir. Pada akhir sidang, hakim memutuskan eksekusi mati untuk Quthb. Dengan keyakinan yang besar, Quthb memandang, kematian yang bakal menjemputnya akan memberi pengaruh yang besar bagi para pengagumnya nanti. Kata-kataku, sebagaimana disimpulkan Quthb, akan menjadi lebih kuat jika pemerintah membunuhku.[]

WAHHABI, POTRET WAHABI


30 September 2012 pukul 8:49

Wahhabisme adalah paham Wahhabi atau dalam teks-teks yang umum sering dilafalkan dengan Wahabi. Masing-masing kata itu berasal dari wahhabiyah atau wahhabiyun atau juga wahhabiyyun (dengan dua huruf y) yang masing-masing bermakna sama. Asal istilah wahhabiyah atau wahhabiyun adalah kata wahhab. Kata ini adalah salah satu bentuk perubahan kata kerja bahasa Arab, yakni wahaba-yahabu yang berarti memberikan. Dari kata itu pula, dikenal kata "hibah" atau "menghibahkan" dalam bahasa Indonesia. Adapun bentuk perubahan kata yang menunjukkan arti subjek, dari kata kerja itu terbentuk kata wahib yang berarti pemberi atau yang memberi. Wahib dalam Ahmad Wahib, si penulisPergolakan Pemikiran Islam: Catatan Harian Ahmad Wahib itu, diambil dari kata itu juga. Wahhabiyah sendiri adalah bentuk penyandaran yang lazim dikenal dalam bahasa Arab. Penyandaran yang dimaksud menunjukkan arti keberasalan sesuatu secara geneologis atau

geografis dandalam keadaan-keadaan tertentudapat juga menunjukkan arti kepengikutan secara personal dan juga komunal. Dalam bahasa Arab, bentuk subjek wahib ini dapat diubah lagi ke dalam bentukmubalaghoh. Bentuk yang terakhir ini adalah bentuk perubahan subjek yang mengandung sekaligus menyatakan sifat hiperbolik atau juga kontinyu pada diri subjek tersebut.Wahhab, kalau diterjemahkan, berarti pemberi yang sering memberi atau pemberi yang memberi banyak. Wahhab juga dikenal sebagai salah satu dari sekian banyak nama-nama Allah, sebagaimana termaktub dalam Al-Qur'an. Nama itu adalah Al-Wahhab yang berarti Allah sebagai yang maha memberi atau sumber yang sering atau banyak memberi kepada makhluk-makhluk ciptaanNya di alam semesta ini. Bisa dilihat dalam Al-Qur'an surat Ali Imron ayat ke-8 atau surat Shad ayat ke-8 dan ayat ke-35. Wahhabi dalam Ensiklopedi Dalam Ensiklopedi Nasional Indonesia, kata Wahhabi yang dikenal sekarang ini diartikan sebagai satu sebutan bagi paham dan gerakan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab (1703 1787) yang sangat keras menentang keyakinan atau praktek yang bersifat khurafatdan syirik, seperti ziarah ke tempat-tempat keramat, meminta perantaraan orang-orang yang dianggap wali untuk berhubungan dengan Allah, meminta syafaat kepada ulama, dan seterusnya. Para pengikutnya disebut dengan muwahhidun yang berarti para penganut tauhid. Adapun dalam Ensiklopedi Islam, kata Wahhabi diartikan sebagai istilah atau julukan yang sebenarnya diberikan oleh para musuh gerakan pemurnian agama yang dilakukan oleh Muhammad bin Abdil Wahhab. Para pengikut Muhammad bin Abdil Wahhab sendiri lebih menyebut diri mereka dengan sebutan al-muslimun atau al-muwahhidun atau ahlu as-salaf. Tidak hanya dimaknai sebagai ajaran yang didakwahkan oleh Muhammad bin Abdul Wahhab, ternyata orang-orang yang mengikuti ajaran-ajarannya dinamai sebagai kaum Wahhabi. Tidak lupa pula bahwa pada titik tertentu praktek-praktek beragama yang menyerupai ajaran-ajaran Muhammad bin Abdul Wahhab dinamai juga dengan ajaran Wahhabi. Meski demikirian, mereka tidak menyenangi penamaan wahhabi atau wahabi untuk mereka. Sebab penamaan seperti itu berkonsekwensi penting: dakwah dan praktek yang mereka jalani selama ini adalah semata-mata berasal dari pemikiran Muhammad bin Abdil Wahhab. Tidak berbeda dari ajaran para pemikir yang menjadi paham-paham berpengaruh dalam sejarah umat manusia, seperti Maoisme (dari nama Mao Tse Tung), Marxisme (dari nama Karl Marx), Darwinisme (dari nama Charles Darwin), dan seterusnya.

Pola Pembentukan Kata Yang patut dicermati di sini, dalam bahasa Arab pun semua bentuk penyandaran kepada seseorang selalu saja dibentuk dari kata dasar yang disandarkan. Kata dasar yang dimaksud bisa diambil dari nama orang atau sesuatu.

Contoh yang dapat diambil dari nama orang adalah Jahmiyah atau Jahmi. Istilah ini diambil dari kata dasar Jahm, karena Jahm bin Shofwan adalah orang yang mengemukakan satu pemahaman yang kelak dikenal sebagai paham Jahmiyah. Para pengikutnya dikenal sebagai orang-orang Jahmi. Mereka divonis sesat oleh penguasa dan ulama di zaman pemerintahan Bani Umayyah. Contoh yang dapat diambil dari nama sesuatu, bukan orang, adalah Qodariyah atau Qodari. Istilah ini diambil dari kata dasar qadar yang berarti takdir. Atau juga Jabbariyah atau Jabbari. Istilah ini diambil dari kata dasar jabr yang berarti paksaan. Baik Qadariyah ataupun Jabbariyah, sebagaimana Jahmiyah, dijatuhi vonis sebagai aliran-aliran. Wahhabisme atau Wahhabi sebagai bentuk peng-Indonesia-an dari Wahhabiyah memiliki kata dasar wahhab, menunjuk kepada subjek atau pelaku. Dalam rangkaian nama Muhammad bin Abdil Wahhab, sebagai objek penyandaran kata, kata wahhab ditemukan pada rangkaian nama orangtuanya. Bukan pada nama sosok penyandaran itu sendiri, yakni Muhammad. Dalam bahasa Arab, bentuk penyandaran, sebagaimana biasa, mengambil kata dasar dari sosok personal yang disandarkan. Oleh karena itu, istilah Wahhabiyah atau Wahhabi semestinya adalah Muhammadiyah atau Muhammadi. Mungkin juga bila disandarkan kepada orangtuanya yang bernama Abdul Wahhab, sebagaimana pada bentukan istilah Karromiyah, maka kata yang ada bukan Wahhabisme tetapi AbdulWahhabisme atau AbdulWahhabi. Ternyata, setelah dibandingkan dan diterapkan pada istilah Wahhabi, pola bentukan kata yang lazim tidak berlaku. Pemakaian Istilah Wahabi Bagaimana pun, sejarah berbicara lain. Wahhabi atau Wahabi justru digunakan orang untuk merujuk pada Muhammad bin Abdil Wahhab, dakwah yang diserukannya, setiap orang yang mengikuti dakwah itubaik itu konsisten ataupun setengah-setengah, tulisan-tulisan atau bukubuku yang berisi dakwah itu atau seperti itu. Arab Saudi sebagai negara tempat asal dakwah Muhammad bin Abdil Wahhab berkembang pertama kali terkadang disebut juga sebagai kerajaan Wahabi. Ulama dan penguasa Arab Saudi disebut dengan rezim Wahabi. Bahkan warga negara Arab Saudi disebut seperti itu, seperti dikutip dalam Dinasti Bush Dinasti Saud: Hubungan Rahasia antara Dua Dinasti Terkuat Dunia karya Craig Unger. "Kelompok wahabi selalu enggan untuk berbisnis dengan orang kafir. Tetapi sekarang mereka datang dengan pakaian la Barat dan tampil sangat bagus. Mereka adalah pengusaha yang baik. Mereka melakukan semua tugas dengan rajin dan mempekerjakan tenaga kerja yang handal." Yaroslav Trofimov, dalam Kudeta Mekkah: Sejarah yang Tak Terkuak, menganggap bahwa dari indoktrinasi gerakan Wahhabi di Arab Saudi dan negara-negara Islam lainnya muncul kemudian kelompok Al-Qaeda. Pendapat ini hampir sama dengan pendapat Ed Husein dalam Matinya Semangat Jihad. "Al-Qaeda, "tulisnya, "adalah anak haram hasil perkawinan antara Islamisme

dan Wahhabi yang melahirkan keturunan bernama terorisme." Bagi banyak orang, tentu saja, pendapat mereka itu masih bisa diperdebatkan. Di dalam Aliran Politik dan 'Aqidah dalam Islam, Muhammad Abu Zahrah, seorang mantan rektor Universitas Al-Azhar, Mesir, mengklasifikasikan Wahhabi sebagai salah satu aliran modern dalam Islam yang muncul sejak abad ke-8 sampai dengan abad ke-13 Hijriah. "Wahhabi," tulisnya, "adalah gerakan yang muncul di gurun Arab sebagai reaksi terhadap sikap pengkultusan dalam bentuk mencari keberkatan dari orang-orang tertentu serta mendekat-kan diri kepada Allah melalui ziarah ke kubur mereka, di samping terhadap bid'ahyang telah mendominasi pelbagai tempat keagamaan dan aktifitas duniawi." Wahabi Bukan Mazhab Baru Badri Yatim, salah seorang pengajar Universitas Islam Negeri, berpendapat bahwa kebangkitan dunia Arab, momentumnya terjadi justru ketika Muhammad bin Abdil Wahhab menyebarkan dakwahnya di Jazirah Arab. Proses itu berlangsung jauh sebelum muncul para pemikir liberal di dunia Arab. Selain itu, sebagaimana ditulisnya dalam Sejarah Sosial Keagamaan Tanah Suci: Hijaz (Mekah dan Madinah) 18001925, Muhammad bin Abdil Wahhab dan murid-muridnya tidak menegakkan satu aliran atau mazhab tersendiri dalam Islam. Hal itu disebabkan bahwa suatu mazhab dapat ditunjukkan oleh adanya beberapa doktrin terpisah yang membedakan penganutpenganutnya dengan golongan terbesar pemeluk-pemeluk agama Islam lainnya, sedangkan gerakan Muhammad bin Abdil Wahhab tidak. Mereka, dapat dikatakan, menganut aliran ahlus sunnah wal jama'ah. Sayangnya, pendapat Badri Yatim itu bukan pendapat yang umum hidup di tengah masyarakat. Karena banyak pelaku bom bunuh diri dan jaringan mereka yang membaca sekaligus juga mengkaji karya-karya Muhammad bin Abdil Wahhab minus sikap konsistensi dalam mempraktekkan isi karya-karya tersebut, tak ayal justru mereka-lah yang dicap sebagai pengikut-pengikut Muhammad bin Abdil Wahhab sekarang ini. Mereka Wahabi. Dan Wahabi, karena itu, teroris.[] Wahhabi, Wahabi, Al-Wahhab, Muhammad bin Abdil Wahhab, Dakwah Islam, Sejarah Islam, Islam, Salaf

WAHHABI DALAM SUMBER SEJARAH


30 September 2012 pukul 8:47

Tanpa disadari banyak pihak, istilah Wahhabi atau Wahabi ternyata digunakan secara luas. Wahhabi bukan Arab Saudi. Atau, Wahhabi bukan sekedar ditujukan pada kelompok Salafi. Bukan pula terbatas hanya kepada Al-Qaeda dan Osama bin Laden. Di Indonesia saja, kelompok-kelompok peledak bom, dari mulai kelompok Imam Samudra, Nurdin M. Top dan Dr. Azahari sampai kelompok Saifuddin Zuhri dikatakan sebagai orang-orang

Wahhabi. Bahkan, Hizbut Tahrir Indonesia dan Partai Keadilan Sejahtera terkadang dikatakan publik sebagai kelompok Wahabi. Ini bagi yang jeli mengamati sejarah Islam kontemporer di Indonesia. Sejatinya, istilah Wahhabi berasal dari pihak yang tidak menyukai Muhammad bin Abdil Wahhab, dakwah dan para pengikutnya. Pemilihan kata Wahhabi berdiri di atas dalih penghormatan merekaorang-orang dari pihak yang tidak suka ituterhadap Nabi Muhammad; mereka tidak mau menyandarkan julukan negatif untuk orang dan dakwah yang tidak mereka sukai kepada nama sosok yang justru mereka hormati (Nabi Muhammad). Sebab, seharusnya, kalau disandarkan gerakan Wahhabi kepada Muhammad bin Abdilwahhab, maka sebutannya adalah Muhammadi. Bukan Wahhabi. Karena itu, adalah lumrah dalam tulisan-tulisan mereka, Muhammad bin Abdil Wahhab ditulis dengan kata ganti "Ibnu Abdil Wahhab," "al-Wahhab," "Abdul Wahhab" atau bahkan "Nejed." Sepintas, bisa saja dikatakan bahwa penggunaan kata ganti yang seperti ini menuruti tradisi penulisan orang-orang Barat. Akan tetapi, kenyataan yang ada tidak seperti itu. Dua Rujukan Umum Secara umum, penelusuran tentang sejarah gerakan Muhammad bin Abdilwahab akan dimulai dari dua rujukan utama: Raudhatul Afkar wal Afham li Murtadi Hal Al-Imam wa Ghazawat Dzawil Islam yang juga dikenal dengan sebutan Tarikh Najd karya Husain bin Ghannam Al-Ahsai dan 'Unwan Al-Majd fi Tarikh Najd karya Utsman bin Bisyr An-Najdi. Husain bin Ghannam Al-Ahsai adalah murid Muhammad bin Abdil Wahhab dan ia menyaksikan berbagai peristiwa yang terjadi pada masa Muhammad bin Abdil Wahhab hidup. Karya Husain bin Ghannam berisi biografi dan surat-surat yang pernah ditulis oleh Muhammad bin Abdil Wahhab. Karya tersebut juga berisi keterangan tentang perang-perang yang terjadi pada waktu itu. Dapat dikatakan, bagi kebanyakan peneliti dan penulis, karya tersebut dinilai sebagai karya penting, semacam memoar yang menceritakan kejadian-kejadian yang terjadi di sekitarnya. Terlepas dari unsur-unsur subjektifitas yang dimiliki penulis yang bersangkutan, karya tersebut tergolong sebagai sumber primer dalam penulisan sejarah. Berbeda dengannya, Utsman bin Bisyr An-Najdi hanya menjumpai masa pemerintahan raja Su'ud bin Abdil Aziz, seorang pemimpin Dinasti Saudi periode pertama. Ia hanya sezaman dengan anak-anak Muhammad bin Abdil Wahhab yang meneruskan dakwah ayah mereka. Karya Utsman bin Bisyr tersebut, sebagaimana karya Husain bin Ghannam, berisi biografi Muhammad bin Abdil Wahhab dan peristiwa-peristiwa yang terjadi pada waktu itu. Akhir peristiwa yang diangkatnya adalah peristiwa yang terjadi pada tahun 1270 H. Karena itu, menyangkut biografi Muhammad bin Abdil Wahhab dan dakwah yang dijalankannya, karya Utsman bin Bisyr tersebut tergolong sebagai sumber sekunder. Akan tetapi, menyangkut berbagai peristiwa yang terjadi pada masa penaklukan Hijaz oleh Dinasti Saudi sampai

penaklukan Dir'iyyah oleh Turki Usmani dan periode kedua pemerintahan Dinasti Saudi, karya tersebut tergolong sumber primer. Untuk kepentingan penulisan sejarah masa itu, karya Husain bin Ghannam dapat dijadikan rujukan utama penulisan biografi Muhammad bin Abdil Wahhab. Adapun untuk kepentingan penulisan peristiwa-peristiwa akhir periode pertama dan awal periode kedua pemerintahan Dinasti Saudi, karya Utsman bin Bisyr adalah rujukan penting yang tidak bisa diabaikan. Memoar Mata-Mata Inggris Belakangan ini, telah diterbitkan sebuah memoar yang diaku sebagai memoar seorang matamata Kerajaan Inggris di Irak pada masa Muhammad bin Abdil Wahhab hidup. Hempher, nama mata-mata itu, sebagaimana yang dituliskan dalam memoar, ditugaskan oleh pihak kerajaan pada tahun 1122 H (1710 M) ke wilayah Mesir, Irak, Hijaz dan Istanbul. Catatan-catatan yang dibuatnya pada waktu penugasan itu dijuduli dengan "Memoirs of Hempher: The British Spy to The Middle East." Setelah dipublikasikan, catatan-catatan itu diterjemahkan ke dalam bahasa Arab dan bahasa-bahasa yang lain. Ikhlas Waqfi mempublikasikan catatan-catatan itu ke dalam bahasa Inggris dengan judul Confessions of a British Spy and British Enmity. Dalam bahasa Indonesia, memoar Hempher itu telah diterjemahkan dan diterbitkan dengan judul Catatan Harian Seorang Mata-Mata: Kisah Penyusupan Mata-Mata Inggris untuk Menghancurkan Islam oleh penerbit Galan pada tahun 2009. Dalam memoar tersebut, Hempher si penulis memoar, memakai kata ganti "Nejed" untuk seseorang yang diceritakan sebagai Muhammad bin Abdil Wahhab. Selama penugasan, Hempher pernah berdiam di Basrah, Irak, menyamar dengan nama Muhammad. Di Basrah inilah, sebagaimana yang diceritakan, ia bertemu dan bersahabat dengan Muhammad bin Abdil Wahhab. Konon, pertemuan itu terjadi pada tahun 1125 H. Sejak saat itu, mereka berdua diceritakan pula menjalin pertemanan yang dekat. Kritik atas Sumber Sejarah Terkait dengan kepentingan penulisan sejarah, memoar tersebut dapat digolongkan sebagai sumber primer. Akan tetapi, suatu sumber, temasuk juga Tarikh Najd dan Unwan Al-Majd fi Tarikh Najd, baru dapat diterima sebagai sumber penulisan sejarah bila memenuhi dua syarat. Pertama, keaslian (otentisitas) sumber tersebut harus dibuktikan terlebih dahulu. Masuk ke dalam pembuktian jenis ini adalah pembuktian materi fisik sumber bila itu dokumen masa lampau (jenis kertas, tinta gaya tulisanbila dengan tulisan tanganatau bahkan jenis tinta yang dipakai). Selain itu, juga gaya bahasa, ungkapan-ungkapan yang dipakai, jenis huruf yang ditulis dan diksi yang ada harus dibuktikan. Pembuktian seperti ini, dalam metode penulisan sejarah, biasa dikenal dengan istilah kritik ekstern. Kedua, setelah terbukti otentisitas sumber tersebut, maka kedapatdipercayaan (kredibilitas) sumber tersebut harus dibuktikan juga. Pembuktian seperti ini dikenal juga dengan sebutan kritik intern.

Masuk ke dalam jenis pembuktian ini adalah penilaian intrinsik sumber yang bersangkutan, dengan cara menilai sifat sumber dan penulis sumber. Sifat sumber menentukan penerimaan sumber tersebut. Misal saja, laporan seorang mata-mata akan berbeda sifat dengan keterangan juru bicara sang ratu kepada publik. Demikian pula dengan penulis sumber, bagaimana pun, ia harus dinilai, baik kualitasnya ataupun kapabilitasnya terhadap sumber yang bersangkutan. Juga masuk ke dalam jenis pembuktian ini adalah kebenaran keterangan yang ada di dalam sumber tersebut. Pembuktian ini dilakukan dengan cara pembandingan keterangan yang ada dengan keterangan yang ada pada sumber-sumber sejarah terpercaya lainnya. Bila banyak dukungan terhadap keterangan yang dikandung itu, maka sudah didapat satu fakta sejarah yang kuat. Bila tidak, maka cukup bisa untuk diragukan keterangan tersebut. Beberapa Pertentangan Hempher Barangkali akan menjumpai kesulitan untuk mendapatkan dokumen asli mata-mata Inggris itu sebelum dipublikasikan. Akan tetapi, bila melihat keterangan yang dikandung memoar tersebut setelah diterjemahkan dan diterbitkan, maka salah satu bentuk pembuktian dapat dilakukan, meskipun masih tetap dianggap kurang lengkap tanpa bentuk pembuktian yang lain. Sebagai misal di sini adalah keterangan bahwa Hempher bertemu pertama kali dengan Muhammad bin Abdil Wahhab pada tahun 1125 H. Keterangan ini, bila dibandingkan dengan keterangan yang lain jelas bertentangan. Muhammad bin Abdil Wahhab ternyata baru memulai rangkaian perjalanan menuntut ilmunya pada tahun 1135 H, ketika ia berumur 20 tahun, ke tanah Hijaz. Baru beberapa tahun setelah itu, ia melakukan perjalanan untuk pertama kalinya ke Basrah, Irak, menemui gurunya yang bernama Syaikh Muhammad Al-Majmu'i. Meskipun banyak yang menganggap bahwa Syaikh Muhammad Al-Majmu'i adalah Hempher, tetap saja perbedaan keterangan pada memoar Hempher itu tentang tahun pertemuan mereka dengan keterangan pada sumber-sumber yang lain dapat memberatkan untuk bisa dipercaya. Contoh yang lain, diceritakan dalam memoar Hempher bahwa Muhammad bin Abdil Wahhab sempat datang ke Persia pada waktu itu dan mempelajari bahasa Persia. Keterangan ini, setelah dibandingkan dengan keterangan-keterangan dari sumber-sumber yang lain, bertentangan. Ternyata, Muhammad bin Abdil Wahhab, di luar kampung halamannya di Nejed hanya pernah mengunjungi Hijaz, Basrah, Zubair dan Ahsa' selama melakukan rihlahnya. Bahkan, Syam yang menjadi salah satu tujuan pertamanya belum sempat dikunjungi karena kehabisan bekal di tengah perjalanannya. Kesimpulan Beberapa contoh yang telah disebutkan sudah cukup menjadi alasan untuk menolak keterangan yang diberikan Hempher. Yang menjadi masalah adalah banyak penulis menjadikan memoar Hempher itu sebagai dasar argumen bahwa Muhammad bin Abdil Wahhab adalah seorang lakilaki yang disusupkan Inggris guna merusak Islam dari dalam. Demikian pula dengan dakwahnya,

Wahhabi terkadang diklaim oleh sebagian pihak sebagai salah satu sekte dalam Islam yang dibentuk Inggris. Nur Khalik Ridwan, dalam tulisan-tulisannya tentang Wahabi, memakai memoar Hempher itu untuk membangun argumen di dalam karyanya. Selain itu, amat disayangkan pula bahwa harian Republika yang menjadi salah satu surat kabar dengan sirkulasi dan publikasi luas di Indonesia pernah mengangkat artikel tentang Muhammad bin Abdil Wahhab dalam lembar "Islam Digest." Salah satu referensi tulisan tentang Muhammad bin Abdil Wahhab di sana ternyata memoar Hempher itu. Perkara pembuktian sumber ini memang terkesan bertele-tele. Akan tetapi, permasalahan keterangan sumber bukan sekedar permasalahan percaya atau tidak percaya. Sumber-sumber sejarah yang tidak dapat dibuktikan secara ilmiah dengan menggunakan kritik ekstern dan intern tidak dapat dijadikan sandaran pendapat. Keterangan yang dikandung pun belum dapat dikatakan sebagai fakta sejarah.[] (Referensi-referensi yang digunakan dalam tulisan adalah A.M. Hendropriyono.Terorisme:Fundamentalis Kristen, Yahudi, Islam. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. 2009; Huseyn Hilmi Isik. Catatan Harian Seorang Mata-Mata: Kisah Penyusupan MataMata Inggris untuk Menghancurkan Islam. Ttp: Galan. 2009; Kuntowijoyo. Pengantar Ilmu Sejarah (Cetakan II). Yogyakarta: Bentang Budaya. 1997; Louis Gottschalk. Mengerti Sejarah (Cetakan V). Jakarta: Penerbit UI. 1986; Nur Khalik Ridwan. Doktrin Wahhabi dan Benih-Benih Radikalisme Islam: Buku Satu. Jogjakarta: Tanah Air. 2009; danPerselingkuhan Wahhabi dalam Agama, Bisnis, dan Kekuasaan: Buku Dua. Jogjakarta: Tanah Air. 2009; dan Membedah Ideologi Kekerasan Wahhabi: Buku Tiga. Yogyakarta: Tanah Air. 2009; Mas'ud An-Nadwi. Muhammad bin Abdil Wahhab: Mushlih Mazhlum wa Muftaro 'alaih. Riyadh: Maktabah Malik Fahd Al-Wathoniyah. 1420 H; Republika, 27 Desember 2009. Untuk artikel khusus tentang biografi Muhammad bin Abdilwahhab, dapat melihat: http://sejarah.kompasiana.com/2010/11/08/biografi-muhammad-bin-abdilwahhab/).

TURKI USMANI DI MATA SALAFI


30 September 2012 pukul 8:46

Kakek-moyang bangsa Turki berasal dari Turkistan, di sebelah timur sungai Oxus. Mereka kemudian mengembara ke barat kekuasaan kaum muslimin, berpindah dan menetap di wilayah Turki sekarang. Mereka pernah menjadi pengawal kekuasaan pemerintahan Dinasti Abbasiyah dari ancaman-ancaman yang diberikan oleh kelompok-kelompok Syiah dan Khawarij. Karena bukan dari Quraisy, di mata kaum muslimin waktu itu, Turki Usmani tidak memenuhi syarat untuk dikatakan sebagai kekhalifahan. Meski demikian, sebagaimana ditulis Philip K. Hitti dalam History of the Arabs, agar dapat diakui sebagai suatu kekhalifahan dalam lembaran sejarah Islam pihak Turki Usmani mengadakan semacam upaya timbang-terima legitimasi dengan seseorang keturunan Dinasti Abbasiyah yang lemah. Diharapkan, publik sejarah kelak dapat melihat bahwa itulah peristiwa yang membuat Turki Usmani menjadi pewaris kekhalifahan Islam.

Karena alasan itulah, komunitas Salafi percaya bahwa Turki Usmani bukan suatu kekhalifahan tetapi hanya keamiran biasa. Pandangan ini jelas berbeda dari pandangan kalangan pergerakan Islam, seperti kelompok Hizbut Tahrir, yang tetap yakin bahwa Turki Usmani adalah sebuah kekhalifahan Islam seperti halnya Dinasti Umayyah dan Dinasti Abbasiyah, sehingga hari pembubaran Turki Usmani diperingati sebagai hari hilangnya kekhalifahan Islam. Perpecahan Masa Dinasti Abbasiyah Sebelum mundur lalu tenggelam, sudah muncul bibit-bibit perpecahan di dalam tubuh kekhalifahan Dinasti Abbasiyah. Dapat dikatakan, perpecahan itu mengendap banyak disebabkan oleh kekecewaan terhadap kebijakan pemerintahan. Di antara kelompok-kelompok yang kecewa dan membangun pemerintahan setengah merdeka di barat wilayah Dinasti Abbasiyah adalah Dinasti Umayyah di Spanyol, Dinasti Idrisiyah dan Dinasti Aglabiyah di timur Afrika, Dinasti Thulun dan Dinasti Hamdaniyah di Mesir dan sebagian Syam. Di timur wilayah Dinasti Abbasiyah, bergantian berdiri kelompok-kelompok yang ingin mendikte khalifah di Bagdad. Di antara mereka adalah Dinasti Thahiriyah, Dinasti Saffariyah, Dinasti Samaniyah, Dinasti Ghaznawi, dan Dinasti Seljuk yang menjadi cikal-bakal Turki Usmani. Semua kelompok itu memakai gelar amir dan masih mengakui khalifah Dinasti Abbasiyah. Syiah adalah kelompok yang sangat ingin berpisah dari Dinasti Abbasiyah. Selain didorong oleh akidah yang dianut, Syiah juga didorong oleh kekecewaan masa lalu terhadap Dinasti Abbasiyah. Terlebih lagi khalifah Dinasti Abbasiyah yang pertama, khalifah As-Saffah menyingkirkan kelompok Syiah setelah bersama-sama berhasil menggulingkan pemerintahan Dinasti Umayyah. Akidah Syiah menjadi suatu kekuatan memberontak bagi beberapa kelompok yang ada. Sebagai misal, Dinasti Idrisiyah, Dinasti Hamdaniyah, dan Dinasti Samaniyah adalah kelompok-kelompok yang berakidah Syiah dan berhasil mendirikan kekuatan politik yang setengah merdeka dari Dinasti Abbasiyah. Akan tetapi, dalam sejarah Dinasti Abbasiyah, Dinasti Fatimiyah dan Dinasti Buwaihi tercatat sebagai kekuatan-kekuatan politik Syiah yang paling brutal dalam merongrong kekuasaan Dinasti Abbasiyah. Jika Dinasti Fatimiyah terang-terangan mengaku sebagai kekhalifahan dan memisahkan diri dari Dinasti Abbasiyah, maka Dinasti Buwaihi menggunakan kekuatan mereka untuk mengatur-atur khalifah-khalifah Dinasti Abbasiyah. Dinasti Abbasiyah memang memasuki kehancuran setelah Dinasti Buwaihi memegang kekuasaan atas khalifah. Mereka mengatur para khalifah sekehendak hati, termasuk menyingkirkan khalifah yang tidak disukai. Khalifah Dinasti Abbasiyah baru terlepas dari Dinasti Buwaihi setelah Dinasti Seljuk yang Sunni merebut Bagdad pada tahun 1056. Dinasti Seljuk berkuasa hanya sampai tahun 1194. Khalifah-khalifah Dinasti Abbasiyah setelah itu kembali menjadi permainan orang-orang Syiah sampai muncul serbuan orang-orang Mongol. Bagdad jatuh ke tangan orang-orang Mongol pada tahun 1258. Sejak saat itu, Dinasti Abbasiyah hanya menjadi nama tanpa kekuasaan sama

sekali yang melegitimasi suatu kekuatan politik, baik di timur ataupun di barat wilayah kaum muslimin kecuali pemerintahan Islam di Andalusia. Politik Turki Usmani Sebenarnya, kejayaan Islam mulai muncul kembali ketika Turki Usmani berdiri dan berkembang menjadi suatu kekuatan politik di tengah-tengah kaum muslimin. Dengan komitmen membela Islam dari ancaman Kristen Eropa, Turki Usmani perlahan-lahan meluaskan pengaruhnya ke luar dan dalam negeri. Kekuasaan Turki Usmani berlangsung sejak tahun 1280 sampai Tahun 1923. Selama periode yang panjang ini, Turki Usmani mesti bersaing dengan dua kekuatan dominan di bagian timur yang juga mengatasnamakan Islam. Mereka adalah Kesultanan Mogul di India dan Kesultanan Safawiyah di Iran. Dengan identitas keturkian yang mereka miliki, Turki Usmani berusaha meneruskan upaya jihad melawan kekaisaran Romawi yang sedang mengalami kemunduran. Puncak dari usaha itu adalah ketika Konstantinopel berhasil direbut pada tahun 1453 di bawah kepemimpinan Sultan Muhammad II. Ibukota Turki Usmani pun pindah ke Konstantinopel. Penaklukan itu dicatat sebagai puncak pencapaian kaum muslimin dalam bidang militer. Kejayaan Turki Usmani diteruskan oleh beberapa sultan berikutnya. Salah satu di antara mereka adalah Sulaiman Al-Qanuni. Di bawah kepemimpinannya, Turki Usmani mewakili nama Islam di dunia. Sampai saat itu juga, Turki Usmani mewakili komunitas Islam Sunni berhadapan dengan kekuasaan Syiah di wilayah Safawilyah. Wilayah taklukan Turki Usmani pun membentang hingga mencapai wilayah-wilayah Eropa Timur dan Rusia. Konstantinopel meneruskan tradisi sebagai pusat peradaban maju dunia. Kemunduran Turki Usmani Turki Usmani mulai mundur ketika muncul konflik-konflik dalam negeri. Intrik-intrik untuk merebut kekuasaan atau merebut pengaruh atas kekuasaan sultan yang memerintah adalah dua faktor besar yang dapat memunculkan konflik dalam negeri. Selain itu, wibawa penguasa Turki Usmani yang mulai merosot akibat dekadensi moral turut memengaruhi kebijakan-kebijakan yang dikeluarkannya. Akibat lebih jauh, muncul pula kekecewaan-kekecewaan di antara rakyat Turki Usmani. Daerah-daerah yang baru ditaklukkan, seperti daerah-daerah di Balkan, Eropa, menyimpan ketidakpuasan terhadap Turki Usmani. Bagi mereka, Turki Usmani tidak lebih dari penjajah yang hanya mengeruk kekayaan lewat pajak-pajak atas mereka. Di sisi lain, mereka pun menolak untuk masuk Islam. Usaha Vlad Drakula atau Vlad Tepez atau Vlad si Penyula adalah contoh baik tentang betapa gigih orang-orang Balkan menentang kekuasaan Turki Usmani. Dan usaha mereka lambat laun menunjukkan hasil. Satu per satu daerah-daerah di Eropa itu melepaskan diri. Kekuatan militer Turki Usmani yang melemah juga turut menjadi sebab keberhasilan mereka dalam melepaskan diri. Puncak dari itu semua adalah ketika muncul ketidakpercayaan pada kaum muslimin terhadap pemerintah Turki Usmani. Suara-suara ketidakpercayaan menghendaki agar kekuasaan atas kaum muslimin diberikan kepada orang-orang Quraisy Arab, sebab kekhalifahan hanya sah di

tangan mereka. Di lain pihak, muncul pula kelompok-kelompok kaum muslimin yang justru tidak percaya pada sistem pemerintahan Islam itu sendiri. Mereka menghendaki perubahan segera. Ketertinggalan negeri-negeri Islam dari Barat ikut memengaruhi suara-suara ketidakpercayaan itu. Turki Usmani waktu itu, di mata kaum muslimin yang kagum terhadap negara-negara Eropa yang maju, sudah tertinggal jauh. Bagi mereka, Turki Usmani mesti belajar kepada negaranegara Eropa tersebut agar dapat kembali meraih posisi terdepan dalam peradaban dunia. Semua itu berakhir ketika pandangan bahwa agama mesti dipisahkan dari negara diterima banyak orang, sebagaimana negara-negara di Eropa banyak yang telah melakukan hal itu. Didorong oleh gagasan tersebut lewat perdebatan-perdebatan sengit banyak kalangan, Turki Usmani berhasil dibubarkan pada tahun 1923 dan digantikan dengan satu Republik Turki yang sekuler. Pamungkas Bagi kelompok Salafi, Turki Usmani adalah kekuatan yang pernah membawa harum nama Islam di pentas dunia. Penaklukan Konstantinopel tahun 1453 adalah puncak dari semua itu. Meski demikian, Turki Usmani tetaplah satu keamiran, satu kesultanan dan bukan kekhalifahan. Kelompok Salafi masih tetap memegang teguh prinsip yang telah Nabi Muhammad gariskan beberapa abad silam: khalifah di tangan Quraisy. Bahkan, orang-orang Arab yang bukan Quraisy pun, seperti orang-orang Anshar di Madinah, tetap tidak bisa menjadi kekuatan kekhalifahan atas negeri-negeri kaum muslimin. Agaknya, pada titik prinsip inilah, kelompok Salafi kembali banyak dikatakan orang sebagai kelompok muslim literalis.[]

Tokoh-Tokoh Referensi Kelompok Salafi Sekarang


30 September 2012 pukul 8:43

Berikut ini adalah daftar nama para imam dan ulama kaum muslimin yang hidup setelah masa tabiut tabiin sampai tutup abad ke-20 Masehi kemarin. Mereka yang ada di dalam daftar sering dijadikan referensi dalam tulisan-tulisan, khutbah-khutbah, dan ceramah-ceramah kelompok Salafi sekarang. Untuk memudahkan, nama-nama mereka sengaja diurutkan berdasarkan masa hidup mereka. Dalam daftar, penanggalan yang dipakai adalah penanggalan Islam. Karena itu, rentang hidup masing-masing dibilang dengan tahun-tahun Hijriah. Selain itu, mendampingi setiap nama, disertakan juga karya masing-masing yang paling banyak dikenal orang. Hampir setiap mereka memiliki banyak karya. Sebagian tidak tersebut dalam catatan-catatan sejarah, sebagian yang lainkarena perang dan lain sebabhanya dikenal sebatas nama. Meski demikian, patut dicatat, sejumlah karya ada yang bahkan jarang dijadikan referensi belakangan ini tetapi merupakan master piece dan banyak dibicarakan di masa hidup sang empu karya. Misalnya, Umdatul Adillah milik Abul Wafa Ibnu Aqil pernah direkomendasikan Ibnu

Taimiyah sebagai sebuah karya yang menampung segala pengetahuan tentang perbedaanperbedaan pendapat dalam Mazhab Hanbali. Misal yang lain adalah Al-Ilal milik Ad-Daruquthni. Tentang karya ini, Adz-Dzahabi berkomentar, Kalau betul isi Al-Ilal itu berdasarkan hafalan atau ingatan tok, sungguh Ad-Daruquthni itu adalah manusia paling kuat ingatannya. Waktu itu, memang, sebuah karya terkadang disusun hanya berdasarkan hafalan yang dimiliki tanpa memeriksa catatan-catatan tertulis. Yang mesti dicatat pula di sini, empat nama terakhir dalam daftar dapat dikatakan sebagai imamimam kelompok Salafi pada satu abad terakhir ini. Menariknya, antara mereka, masing-masing mendelegasikan posisi keimaman itu kepada yang lain. Pada prinsipnya, dikatakan imam, karena mereka berempat selalu menjadi tempat menanya dan meminta jawaban atas persoalan-persoalan yang terjadi di berbagai negeri waktu itu dan bahkan sekarang. Kata imam sendiri, sebagaimana disebutkan dalam Lisanul Arab karya Ibnul Manzhur, dimengerti sebagai yang dikedepankan atau yang memimpindan yang dikedepankan untuk diikuti. Selain itu, kata imam juga dapat dimengerti sebagaiyang diambil darinya. PARA IMAM DAN ULAMA KAUM MUSLIMIN YANG HIDUP SETELAH MASA TABIUT TABIIN DAN SERING DIJADIKAN REFERENSI KELOMPOK SALAFI SEKARANG BERIKUT KARYA TERKENAL MEREKA Ahmad bin Hanbal 164 241 H Al-Musnad Ushul As-Sunnah Muhammad bin Ismail Al-Bukhari 194 256 H Shahih Al-Bukhari Al-Adab Al-Mufrad Muslim bin Al-Hajjaj Al-Naisaburi 204 261 H Shahih Muslim Abdullah bin Abdirrahman Ad-Darimi 181 255 H Sunan Ad-Darimi Abu Zurah Ar-Razi 200 264 H Al-Jarh wat Tadil Ibn Abi Hatim Abu Hatim Ar-Razi 195 277 H

Al-Jarh wat Tadil Ibn Abi Hatim Baqi bin Makhlad 200 276 H Al-Musnad Abu Dawud Sulaiman bin Al-Asyats 202 275 H Sunan Abi Dawud Muhammad bin Isa At-Tirmidzi 209 279 H Jami At-Tirmidzi Syamail Muhammadiyah Muhammad bin Yazid Ibnu Majah 209 273 H Sunan Ibn Majah Ahmad bin Muhammad Ath-Thahawi 239 - 321 H Al-Aqidah Ath-Thahawiyah Syarh Maani Al-Atsar Abu Muhammad Hasan bin Ali Al-Barbahari Wafat 328 H Syarh As-Sunnah Muhammad bin Amr Al-Uqaili Wafat 322 H Adh-Dhuafa Ahmad bin Amr Ibnu Abi Ashim 266 286 H As-Sunnah Abu Bakar Ahmad bin Amr Al-Bazzar 210 292 H Musnad Al-Bazzar Ahmad bin Syuaib An-Nasai 215 303 H Sunan An-Nasai Isyrah An-Nisa Abu Yala Ahmad bin Ali Al-Mushili

210 307 H Musnad Abi Yala Muhammad bin Yahya Ibnu Mandah 220 301 H Kitab At-Tauhid Kitab Al-Iman Abdullah bin Ali Ibnul Jarud An-Naisaburi 230 307 H Al-Muntaqa li Ibn Al-Jarud

Muhammad bin Jarir Ath-Thabari 224 310 H Tafsir Ath-Thabari Tarikh Ar-Rusul wal Muluk Abu Bakar Ahmad bin Muhammad Al-Khallal 234 321 H As-Sunnah li Al-Khallal Muhammad bin Ishaq Ibnu Khuzaimah 223 311 H Kitab At-Tauhid Shahih Ibn Khuzaimah Abu Awanah Yaqub bin Ishaq Al-Isfiraniy 230 316 H Shahih Abi Awanah

Al-Hasan bin Abdirrahman Ar-Ramahurmudzi Wafat 360 H Al-Muhaddits Al-Fashil

Abu Hatim Muhammad Ibnu Hibban Al-Busti 270an 354 H Shahih Ibn Hibban Ats-Tsiqat Al-Majruhin Abul Qasim Sulaiman bin Ahmad Ath-Thabarani 260 360 H Mujam Al-Kabir

Mujam Al-Awsath Mujam Ash-Shaghir Abu Bakar Muhammad bin Husain Al-Ajurri Wafat 360 H Asy-Syariah

Abu Ahmad Abdullah Ibnu Adi 277 365 H Al-Kamil Ahmad bin Muhammad Ibnu Sunni 280 364 H Amal Al-Yaum wa Al-Lailah Abdullah bin Muhammad Abu Syaikh 274 369 H Akhlaq An-Nabi wa Adabuhu Abu Bakar Ahmad bin Ibrahim Al-Ismaili 277 371 H Itiqad Aimmah Al-Hadits

Abul Hasan Ali bin Umar Ad-Daruquthni 300 385 H Sunan Ad-Daruquthni Al-Ilal Ubaidullah bin Muhammad Ibnu Baththah Al-Ukbari 304 387 H Al-Ibanah Al-Kubra

Muhammad bin Abdillah Al-Hakim 321 403 H Al-Mustadrak Abul Qasim Hibatullah bin Hasan Al-Lalikai Wafat 418 H Syarh Ushul Itiqad Ahl As-Sunnah wal Jamaah Abu Utsman Ismail bin Abd. Ar-Rahman Ash-Shabuni 373 449 H Aqidah Salaf Ashhabul Hadits

Ali bin Muhammad Al-Mawardi 364 450 H Ahkam Ash-Sulthaniyah Adabud Dunya wad Din Abu Yala Muhammad bin Husain Al-Farra 380 458 H Al-Uddah fi Ushul Al-Fiqh Ahkamul Quran Abu Umar Yusuf bin Abdillah Ibnu Abdil Bar 368 463 H At-Tamhid Al-Istiab Al-Kafi Abu Bakar Ahmad bin Husain Al-Baihaqi 384 458 H Sunan Al-Kubra Al-Asma wa Ash-Shifat Abu Muhammad Ali bin Ahmad Ibnu Hazm 384 456 H Al-Muhalla Al-Ihkam fi Ushul Al-Ahkam Abu Bakar Ahmad bin Ali Al-Khatib Al-Baghdadi 392 463 H Tarikh Baghdad Jami li Akhlaq Ar-Rawi Al-Kifayah fi Ilmi Ar-Riwayah Al-Husain bin Masud Al-Baghawi 442 516 H Syarhus Sunnah Tafsir Al-Baghawi Abul Wafa Ali Ibnu Aqil Al-Hanbali 431 513 H Umdatul Adillah Abu Bakar Muhammad bin Abdillah Ibnul Arabi (bukan Ibnu Arabi, Sufi Andalusia) 468 543 H Ahkamul Quran

Qadhi Iyadh bin Musa Al-Busti 476 504 H Al-Ikmal fi Syarh Shahih Muslim Abdul Qadir bin Abdillah Al-Jailani Al-Hanbali 471 561 H Al-Ghunyah Ali bin Hasan Ibnu Asakir 499 571 H Tarikh Ad-Dimasyqi Abdurrahman bin Ali Ibnul Jauzi 510 597 H Talbis Iblis Abdul Ghani bin Abdil Wahid Al-Maqdisi 541 600 H Umdatul Ahkam Al-Kamal Al-Mubarak bin Muhammad Ibnul Atsir 544 606 H An-Nihayah fi Gharibil Hadits Abdullah bin Muhammad Ibnu Qudamah Al-Maqdisi 541 620 H Al-Mughni Kitab At-Tawwabin Muhammad bin Abdul Wahid Al-Maqdisi Adh-Dhiya 569 643 H Al-Ahadits Al-Mukhtarah (Al-Mukhtar) Abu Amr Utsman bin Abdirrahman Ibnu Shalah 577 643 H Ulumul Hadits Yahya bin Syaraf An-Nawawi 631 672 H Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim Syarh Al-Muhadzdzab Ahmad bin Abdil Halim Ibnu Taimiyah Syaikhul Islam

661 726 H Minhajus Sunnah Darut Taarudh Iqtidha Shirathil Mustaqim Muhammad bin Abi Bakar Ibnul Qayyim Al-Jauziyah 691 751 H Zadul Maad Ash-Shawaiqul Mursalah Ismail bin Umar Ibnu Katsir 700 774 H Tafsir Al-Quran Al-Azhim Al-Bidayah wan Nihayah Abdurrahman bin Ahmad Ibnu Rajab 736 795 H Dzail Thabaqat Al-Hanabilah Jami Ulum wal Hikam Umar bin Ali Ibnul Mulaqqin 723 804 H Al-Ilam bi Fawaid Umdatul Ahkam Ahmad bin Ali Ibnu Hajar Al-Asqalani 773 852 H Fathul Bari bi Syarh Shahih Al-Bukhari Bulughul Maram Muhammad bin Abdirrahman As-Sakhawi 831 902 H Syarh Alfiyah Al-Iraqi Adh-Dhaw ul Lami Abdurrahman bin Abu Bakar As-Suyuthi 849 911 H Al-Jami Ash-Shagir Tadrib Ar-Rawi Abul Barakat Muhammad bin Muhammad Al-Ghazi 904 984 H Adabul Isyrah Al-Mirah fil Mizah Ahmad bin Muhammad Ibnu Hajar Al-Haitsami Al-Makki 909 974 H

Shawaiqul Muhriqah Tuhfatul Muhtaj fi Syarh Al-Minhaj Muhammad Abdur Rauf Al-Munawi 952 1031 H Faidhul Qadir Syarh Al-Jami Ash-Shaghir Muhammad bin Abdil Baqi Az-Zarqani 1055-1122 H Syarh Al-Mawahib Ad-Diniyah Muhammad bin Ismail Ash-Shanani 1099 1182 H Subulus Salam Syarh Bulughul Maram Muhammad bin Abdil Wahhab At-Tamimi 1115 1206 H Kitabut Tauhid Tsalatsatul Ushul Muhammad bin Ali Asy-Syaukani 1173 1250 H Fathul Qadir Nailul Awthar Abdurrahman bin Hasan Alu Syaikh 1193 1285 H Fathul Majid Shiddiq Hasan Khan 1248 1307 H Ar-Rawdhah An-Nadhiyyah fi Syarh Ad-Durar Asy-Syaukani Abdul Hayyi Al-Luknawi 1264 1304 H An-Nafiul Kabir li man Yuthaliu Al-Jami Ash-Shaghir Abdurrahman bin Nashir As-Sadi 1307 1376 H Taysirul Karimir Rahman fi Tafsir Kalam Al-Mannan Muhammad Amin Al-Mukhtar Asy-Syinqithi 1325 1393 H Adhwaul Bayan fi Idahil Quran bil Quran Abdul Aziz bin Abdillah Ibnu Baz

1330 1420 H Ad-Durus Al-Muhimmah li Ammatil Ummah Muhammad Nashiruddin Al-Albani 1333 1420 H Silsilatul Ahadits Ash-Shahihah Shifat Shalah An-Nabi Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin 1347 1421 H Syarhul Mumti ala Zadul Mustaqni Muqbil bin Hadi Al-Wadii 1352 1422 H Al-Jami Ash-Shahih mimma Laisa fi Ash-Shahihain

KOMUNITAS SALAFI DAN SEJARAH ISLAM


30 September 2012 pukul 8:39

Seorang Salafi memiliki cara pandang sejarah Islam yang berbeda dari orang-orang kebanyakan, bahkan dari orang-orang muslim sekali pun. Ini, sayangnya, sering kali tidak disadari oleh orang yang tahu tentang Salafi dan keberadaan mereka. Tulisan ini akan mengetengahkan sejarah awal perkembangan Islam dalam kacamata komunitas Salafi. Uraian dalam tulisan ini, jelas, adalah versi ringkas yang dapat dibawakan di sini. Seharusnya, tulisan ini dimaksud sebagai sebuah pengantar ringkas saja. Islam Menurut Salafi Bagi komunitas Salafi, meski berkembang dari tengah-tengah masyarakat Arab, hal itu tidak menunjukkan bahwa Islam adalah Arab. Arab pun tidak berarti Islam. Allah subhana wa ta'ala menjadikan Jazirah Arab secara umum dan Makkah-Madinah secara khusus sebagai panggung tempat Islam mengukuhkan diri sebagai agama yang sempurna dan telah Allah restui. Selain itu, hanya nilai-nilai yang telah Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam ajarkan kepada sahabat-sahabatnya menjadi sesuatu yang baku sebagai acuan bagi para pemeluk yang datang setelah mereka. Halal dan haram, dalam kacamata seorang Salafi, telah ditetapkan dan terus berlaku sampai hari Kiamat nanti. Meski hidup dalam ruang dan waktu yang berbeda, bagi mereka yang Salafi, seorang pemeluk Islam mesti menyesuaikan diri untuk mengikuti agama yang telah dipraktekkan oleh Rasulullah dan para sahabatnya. Penemuan-penemuan, terobosan-terobosan ilmu pengetahuan dan teknologi dapat dicapai dan digunakan oleh siapa pun. Tetapi Islam yang harus dipeluk tetap Islam sebagaimana yang datang pada Rasulullah dan para sahabatnya. Menurut seorang Salafi, hal itu disebabkan oleh kenyataan bahwa Rasulullah dan para sahabatnya adalah orang-orang yang telah Allah ridhai dan puji dengan pujian yang abadi. Allah

telah menjanjikan mereka dengan balasan yang baik. Baca dan renungkan ayat ke-100 surat AtTaubahayat ini adalah salah satu landasan pasti bagi seorang Salafi untuk berpegang teguh pada Islam yang dipraktekkan kaum Salaf. Islam Sebagai Agama Para Nabi Sebelum Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam diangkat menjadi Nabi, Makkah adalah satu kota kecil yang terpencil di Jazirah Arab. Pada waktu itu, keadaan politik, sosial, ekonomi, bahkan budaya setempat banyak dipengaruhi oleh dua kekuatan besar, Romawi dan Persia. Masyarakat Arab juga biasa memandang orang-orang Kristen dan Yahudi sebagai pewaris para Nabi. Hal ini disebabkan oleh kenyataan bahwa mereka adalah orang-orang yang memiliki kitabkitab suci atau ahlul kitab. Meski demikian, sebagian dari mereka pun menyadari bahwa tradisi yang dibawa oleh Nabi Ibrahim bukan seperti yang dipraktekkan orang-orang Kristen dan Yahudi itu. Agama Ibrahim adalah istilah yang dipakai untuk menyebut ajaran yang dibawa oleh Nabi Ibrahim. Orang-orang Arab percaya bahwa tradisi ini berbeda jauh dengan agama Kristen yang mengenal lembaga gereja dan trinitas. Mereka juga percaya bahwa agama Yahudi yang juga menganggap bahwa Uzair adalah anak Allah bukan agama Ibrahim itu. Agama Ibrahim adalah agama tauhid yang lurus atau al-millah al-hanifiyyah. Dalam agama itu, hanya Allah ta'ala yang berhak untuk disembah. Karena itulah agama Ibrahim adalah agama monoteis yang masih murni. Akan tetapi, banyak orang menilai bahwa ajaran monoteisme seperti itu dimulai sejak Nabi Ibrahim menyampaikan risalahnya. Padahal, penilaian seperti ini tentu saja keliru. Ibrahim bukan rasul pertama yang menyerukan tauhid. Dalam perkembangan yang terjadi, keyakinan seperti itu banyak mendapat tentangan dari pelbagai pihak. Seiring dengan proses penyebaran agama monoteis yang meluas di muka bumi ini, bentuk-bentuk penentangan yang muncul tersebut lambat laun berubah menjadi upayaupaya penyelarasan dan pencampuran atau sinkretisme antara ajaran Islam yang datang dari Allah-utusanAllah dan tradisi-tradisi setempat serta agama-agama yang telah mapan sebelum Islam datang. Sejarah Dakwah Muhammad Meski sepintas sama, sejarah Nabi Muhammad bagi seorang Salafi berbeda dari sejarah Nabi Muhammad menurut Muhammad Haikal atau Karen Armstrong. Seorang Salafi memandang Nabi Muhammad sebagai seorang nabi dan rasul yang patut diteladani, bahkan difanatiki. Siapa pun dari kalangan manusia, tegas seorang Salafi, bisa ditinggalkan ucapan dan perbuatannya kecuali ucapan dan perbuatan Muhammad sang nabi. Muhammad sendiri dilahirkan pada 570 M. Ia berasal dari salah satu keluarga terpandang di Makkah. Ayahnya adalah Abdullah, salah satu putra Abdul Muththalib. Mereka semua masih termasuk cucu-cucu keturunan Nabi Ismail 'alaihis salam. Karena itu, mereka dihormati dan disegani oleh penduduk kota Makkah. Di Makkah, Muhammad menghabiskan masa kanak-kanak dan remajanya. Ayahnya meninggal dunia sebelum Muhammad lahir. Ibunya menyusul pula ketika Muhammad baru berusia enam

tahun. Ia pun kemudian dibesarkan oleh kakeknya. Setelah kakeknya meninggal dunia, pengasuhannya diambil alih oleh pamannya, Abu Thalib. Pada umur 25 tahun, ia menikah dengan Khadijah, seorang wanita saudagar yang kaya di Makkah. Pada umur 40 tahun, Muhammad mendapatkan wahyu dalam rupa lima ayat pertama surat Al'Alaq. Lima ayat yang dibawa Jibril itu menandai pengangkatannya menjadi seorang Nabi. Tidak lama kemudian, Jibril turun membawa lima ayat lain, lima ayat pertama surat Al-Muddatstsir, yang menandai pengangkatan Muhammad menjadi seorang Rasul. Sejak saat itu, Muhammad menerima dan menyampaikan wahyu sampai kemudian meninggal dunia pada umur 63 tahun. Proses dakwah yang dijalaninya berlangsung dalam dua fase. Fase Makkah berlangsung selama tiga belas tahun, sedangkan fase Madinah berlangsung selama sepuluh tahun. Wahyu yang turun pun terbagi menjadi ayat-ayat Makkiyah dan ayat-ayat Madaniyahberdasarkan dua fase dakwah ini. Fase Makkah menekankan pengokohan dasar-dasar keimanan berupa akidah yang benar, sedangkan fase Madinah menjabarkan dasar-dasar keislaman berupa praktekpraktek ibadah dalam Islam secara lengkap. Dalam fase Makkah, Muhammad bersama beberapa gelintir pengikutnya menghadapi masamasa sulit. Dalam waktu tiga belas tahun itu, mereka mengalami penyiksaan, pengucilan, dan pengejaran. Mereka tidak leluasa untuk menjalankan shalat dan mempelajari wahyu-wahyu yang turun. Dalam dua waktu yang berbeda, Rasulullah sempat mengutus dua delegasi untuk melakukan hijrah ke negeri Abessinia atau Habasyah, di Afrika. Para pengikut pertama Muhammad disebut dengan Assabiqun Al-Awwalun. Kebanyakan mereka terdiri dari orang-orang lemah, miskin, dan terpinggirkan dari kaum mereka. Hanya sedikit dari mereka yang berasal dari kaum terpandang, para pembesar masyarakat Makkah. Dalam keadaan seperti itu, mereka mendapatkan tawaran dari penduduk Yatsrib untuk hijrah ke sana. Yatsrib kemudian menjadi tempat tujuan Muhammad sang rasul dan para sahabatnya. Sejak saat itu, Yatsrib dikenal sebagai Madinah An-Nabi. Dalam fase Madinah, mereka dapat menjalankan praktek-praktek ibadah dengan leluasa. Perintah untuk shaum Ramadhan, zakat, dan berhaji turun di Madinah. Demikian pula dengan perintah-perintah lain yang mengatur pelbagai hal yang ada dalam hidup sehari-hari, mulai dari urusan-urusan pidana, aspek-aspek pemerintahan negara sampai etika buang air besar, diturunkan di sana. Wahyu turun sampai lengkap pada fase ini. Inti Dakwah Muhammad Pada dasarnya, bagi komunitas Salafi, dakwah yang disebarkan Muhammad adalah dakwah untuk bertauhid. Bertauhid adalah menjadikan Allah ta'ala sebagai satu-satunya sembahan yang berhak disembah dan meninggalkan segalam macam sembahan selain Allah. Karena itu, kalimat La ilaha illallah diartikan sebagai tiada sembahan yang berhak disembah kecuali Allah, bukan tiada Tuhan selain Allah. Tauhid itulah pula yang menjadi dasar dari semua praktek beragama yang diturunkan ke muka bumi ini. Bahkan, untuk mempertahankan tauhid ini, Allah memerintahkan Muhammad dan para sahabatnya untuk berperang dengan jiwa dan raga mereka.

Mencermati itu, terbayang bahwa usaha yang dilakukan oleh Muhammad Rasulullah adalah usaha menghidupkan kembali ajaran yang hampir punah. Usaha itu dapat dikatakan sebagai usaha untuk memperbarui akidah yang Allah tetapkan untuk dipegang oleh umat manusia, dari awal penciptaan sampai akhir zaman kelak. Akan tetapi, dalam kurun waktu 23 tahun, Islam menyebar hampir ke seluruh Jazirah Arab. Misi yang Allah embankan kepadanya telah tercapai dengan sempurna. Dan setiap Salafi mempercayai ini. Dengan ajakan untuk bertauhid dan meninggalkan kesyirikan, Muhammad sang nabi juga mengirimkan surat-surat ke beberapa penguasa di sekitar Jazirah Arab. Penguasa Romawi, Persia, Mesir adalah orang-orang yang pernah mendapatkan ajakan itu. Di antara mereka, ada yang menerima dan ada yang menolaknya. Sebelum meninggal dunia dalam umur 63 tahun, Muhammad telah meletakkan dasar-dasar penting dalam kehidupan beragama dan bermasyarakat. Semua dasar-dasar yang dimaksud adalah penting untuk dipegang oleh siapa pun yang memeluk Islam sampai hari Kiamat nanti. Kalau kita bertanya kepada seorang Salafi, niscaya mereka akan mengamini semua itu. Pamungkas Kata Sampai di sini, kalau kita perhatikan dan bandingkan, pandangan sejarah komunitas Salafi hampir tidak ada beda dengan pandangan sejarah kelompok-kelompok teroris. Anehnya, banyak orang secara gegabah menyimpulkan bahwa kelompok-kelompok pengebom Bali I-II, RitzMarriot, dan Al-Qaeda adalah Salafi itu sendiri. Padahal, tidak. Ada batas-batas tertentu yang memisahkan mereka dengan komunitas Salafi. Dan itu bisa dibuktikan lewat bukti pemikiran masing-masing mereka dan sejarah keberadaan mereka. Tulisan ini, sayangnya, tidak membicarakan pemikiran mereka yang berbeda itu. International Crisis Group (ICG), agaknya, adalah lembaga penelitian yang berhasil menemukan perbedaan itu dan telah menuangkannya ke dalam tulisan ke khalayak publik. Ironisnya, ketepatan dan kejelian penemuan ICG itu sempat membuat Sidney Jones, seorang tokoh ICG, mendapat ancaman dari kelompok-kelompok teroris tersebut.[]

Istilah Salafi yang Berubah Makna


30 September 2012 pukul 8:38

Semula, masyarakat dunia mengenal istilah Salafi (Salafism) sebagai nama untuk satu gerakan reformasi pemikiran keislaman yang digerakkan oleh Jamaluddin Al-Afghani dan kemudian dikembangkan sekaligus diteruskan oleh Muhammad Abduh dan Muhammad Rasyid Ridha pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 M. Masing-masing mereka menyerukan gagasan untuk kembali kepada Islam sebenarnya yang lepas dari segala macam tradisi, penafsiran dan ketertutupan dalam ber-ijtihad.

Meski mengampanyekan kembali-ke-Islam-yang-murni dan bebas dari segala bentuk bidahdan sikap taklid, mereka bertiga mengajak kaum muslimin waktu itu untuk menerima kemajuankemajuan yang datang dari Barat. Untuk mengangkat kembali Islam ke pusat peradaban dunia, menurut Al-Afghani dan Abduh, rasionalitas gaya Barat adalah sesuatu yang menjadi syarat dan mereka pun yakin bahwa rasionalitas seperti itu ada dalam Islam yang murni. Gerakan reformasi mereka ini dikenal luas sebagai gerakan Salafisme Abduh. Salafisme Abduh, Salafiyah, dan Wahhabisme Berbeda dengan asosiasi yang hidup di tengah masyarakat kita beberapa puluh tahun lalu. Menyinggung kata salaf, akan segera terbentuk di benak mereka sebuah lukisan tentang pesantren tradisional yang betul-betul sederhana. Dalam lukisan itu, pesantren yang dimaksud hanya terdiri dari sebuah masjid sebagai pusat kegiatan, rumah seorang kiai-yang menjadi figur utama pesantren, dan bangunan-bangunan ala kadarnya sebagai asrama atau tempat inap santri-santri pesantren. Dalam kata-kata Gus Dur dulu ketika menulis Pesantren sebagai Subkultur, pesantrensalaf yang dimaksud adalah [S]ebuah kompleks dengan lokasi yang umumnya terpisah dari kehidupan sekitarnya. Dalam kompleks itu berdiri beberapa buah bangunan: rumah kediaman pengasuh; sebuah surau atau masjid; tempat pengajaran diberikan; dan asrama tempat tinggal para siswa pesantren.Tidak ada suatu pola tertentu yang diikuti dalam pembinaan fisik sebuah pesantren, sehingga dapatlah dikatakan penambahan bangunan demi bangunan dalam lingkungannya seringkali mengambil bentuk improvisasi sekenanya belaka. Faktor-faktor kesehatan dan kesegaran jasmani, kalaupun ada juga difikirkan, seringkali hanya pada pengertiannya yang esensiil belaka. Pada tahun-tahun belakangan ini memang sering dilakukan usaha untuk menciptakan lingkungan fisik yang lebih baik, tetapi acapkali usaha itu sukar dapat disesuaikan dengan situasi keletakan tempat yang memang semula digarap secara serampangan. Sejak istilah Salafisme Abduh dikenal luas pertama kali di negeri-negeri kaum muslimin, tidak terpikirkan sama sekali untuk menyamakan istilah itu dengan Wahhabisme. Meski sebagian masyarakat kita telah mengenal istilah Wahhabisme atau Wahhabi sejak awal abad ke-20 M, Wahhabi tetap diartikan sebagai paham dan gerakan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab (17031792 M) yang sangat keras menentang keyakinan atau praktek yang bersifat khurafat dan syirik, seperti ziarah ke tempat-tempat keramat, meminta perantaraan orang-orang yang dianggap wali untuk berhubungan dengan Allah, memintasyafaat kepada ulama, dan seterusnya. Sejumlah penulis acapkali mengartikan Wahhabi sebagai gerakan penghidupan kembali mazhab Ibnu Taimiyah (1263 1328 M) tetapi mengamalkan apa yang telah dikemukakan Ibnu Taimiyah itu dalam bentuk yang lebih keras bila dibandingkan dengan apa yang telah diamalkan oleh Ibnu Taimiyah, bahkan tidak segan-segan menggunakan senjata terhadap orang-orang yang telah dianggap kafir karena menyimpang dari ajaran Islam. Karena itulah, bagi sebagian kalangan masyarakat, Wahhabi akhirnya menjadi istilah lain untuk kelompok Khawarij pada masa kini. Pergeseran Makna Salafi

Menariknya, istilah Salafi mengalami pergeseran makna di tengah masyarakat luasterutama di tengah masyarakat kitasejak dua puluh lima tahun belakangan ini. Sebagian peneliti sosial, bahkan, berani menegaskan bahwa pergeseran makna itu telah dimulai sejak 1960-an, ketika muncul Jamaah Salafiyyah Al-Muhtasibah, sebuah jamaah yang didirikan oleh murid-murid Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz di Madinah, Arab Saudi. Pendirian tersebut, menurut beberapa peneliti sosial, didorong oleh keprihatinan murid-murid Syaikh Abdul Aziz yang dimaksud terhadap praktek keislaman yang berkembang waktu itu di Arab Saudi. Selain banyak tercampur dengan kesyirikan dan kebidahan, Islam yang mereka lihat telah banyak terpengaruh oleh berbagai pemikiran yang datang dari Barat. Karena itu, mendakwahkan ulang pemahaman dan praktek keislaman yang murni menjadi titik tekan jamaah tersebut. Dalam NII sampai JI: Salafy Jihadisme di Indonesia, Solahudin, salah seorang researcher di Lembaga Studi Pers dan Pembangunan, menulis, Selain berdakwah dan mencegah kemungkaran (hisbah), gerakan baru ini melakukan semacam revisi terhadap praktek-praktek ibadah versi Wahhabi, dengan menyeleksi ulang secara ketat hadis-hadis Nabi yang dijadikan rujukan dalam tata peribadatan. Selain Bin Baz, kelompok baru ini sangat terpengaruh oleh pemikiran Syaikh Nasruddin Al Albani (1914 1999), ahli hadis dari Syiria. Albani menganggap bahwa ajaran Wahhabi kurang selektif dalam memilih hadis-hadis yang dijadikan dalil untuk ibadah. Dia melihat masih banyak hadis-hadis tidak sahih dijadikan dalil, di antaranya dalam soal shalat. Ia menulis buku Sifat Salat Al Nabi (Sifat-sifat Shalat Nabi) yang berisi tata cara shalat versi hadis-hadis sahih. Dari situlah kemudian Noorhaidi Hasan, dalam Laskar Jihad: Islam, Militansi, dan Pencarian Identitas di Indonesia Pasca-Orde Baru (LP3ES, Jakarta, 2008), tegas-tegas menyimpulkan bahwa istilah Salafi yang berkembang belakangan ini tidak lebih dari bentuk Wahhabisme yang dikemas ulang. Tiga Kelompok Pengaku Salafi Dalam kenyataan, mereka yang mengaku Salafi sekarang ini, sebagaimana yang dimaksud Noorhaidi itu, dapat kita golongkan menjadi tiga kelompok. Masing-masing kelompok memiliki kecenderungan utama yang sangat mencolok dan dapat kita amati bersama. Pertama, kelompok yang sering disebut sebagai Salafi Jihadi, mereka terkenal karena komitmen mereka untuk menentang pemerintah-pemerintah kaum muslimin yang telah mereka anggap menyimpang dari syariat Islam. Kedua, kelompok yang sering disebut sebagai Salafi Haraki, mereka terkenal karena sikap toleransi mereka terhadap (a) partai-partai politik dan (b) kelompok-kelompok pergerakan Islam serta organisasi-organisasi filantropis semisal Ihya At-Turats dan Ash-Shafwah atau juga AlHaramain. Ketiga, kelompok yang sering disebut sebagai Salafi Yamani, mereka terkenal karena sikap keras kepala mereka untuk (a) tidak memberontak terhadap pemerintah kaum muslimin seburuk apa pun perlakuan pemerintah itu terhadap mereka dan (b) tidak bergaul dengan partai-partai

politik atau kelompok-kelompok pergerakan Islam atau bahkan organisasi-organisasi filantropis semisal Ihya At-Turats, Ash-Shafwah, Al-Haramain dan yang sejenis.[] Salafi, salafisme abduh, salafiyah abduh, salaf, al-afghani, abduh, ridha, muhammad abduh, jamaludin al-afghani, muhammad rasyid ridha, gus dur, pesantren sebagai subkultur, ihya turats, ash-shafwah, salafi jihadi, salafi haraki, salafi yamani, al-haramain, laskar jihad, bin baz, alalbani, ibnu taimiyah, muhammad bin abdil wahhab, wahhabi

MENGENAL KOMUNITAS SALAFI


30 September 2012 pukul 8:37

Menjadi salafi berarti memilih sesuatu yang lain. Seorang peneliti antropologi, sayangnya, belum jeli melihat kenyataan ini. Sampai sekarang, belum ada kajian antropologi yang concern mengkaji kehidupan komunitas Salafi. Belum ada karya antropolog yang berwibawa, sewibawa karyakarya Clifford Geertz tentang masyarakat Jawa, mengangkat komunitas Salafi sebagai bahan penelitian. Yang patut dicatat, Salafi bukan teroris. Selama ini, publik selalu saja menggambarkan bahwa teroris adalah Salafi dan Salafi adalah teroris. Padahal, yang sebenarnya, orang-orang yang melakukan aksi terorisme berkedok Islam dan jihad melawan pemerintah serta mengafirkan orang-orang banyak, termasuk juga meledakkan bom di sana-sini, adalah gerombolan pencatut label Salafi dalam landasan aksi-aksi mereka. Kalau kita mau jeli, dan meneliti secara jujur dan berani, kita akan menemukan bahwa teroris adalah teroris dan Salafi adalah Salafi. Sepertinya, tahun-tahun sekarang bakal membutuhkan banyak tenaga antropolog untuk meneliti tentang subjek ini. Jika tidak, bias istilah akan semakin merajalela. Mengapa antropolog? Justru karena mereka yang mau dan mampu melihat dari dalam. Salafi itu komunitas aneh, jauh berbeda dari orang-orang kebanyakan. Bahkan, dapat dikatakan, mereka ada sebagai sebuah subkultur yang eksis dan ada di tengah-tengah masyarakat kita. Hanya tinggal kita: apakah kita mau dan jeli melihatnya? Salaf, Salafi, Komunitas Salafi Di Indonesia, menyebut istilah salaf, asosiasi banyak orang akan terarah pada sebuah pesantren tradisional yang tak berijazah, tak berkurikulum sebagaimana sekolah umum dan madrasahmadrasah modern, santri-santri yang bersarung dan berkopiah menenteng Al-Qur'an untuk mengaji di masjid pesantren. Mereka diasuh oleh seorang kiai bersarung yang jelas bukan PNS bukan pula pegawai perusahaan swasta tapi punya penghasilan lewat tanah-tanah sawah yang digarap atau kebun yang dipanen. Asosiasi itu akan semakin lengkap dengan bentuk pesantren yang sungguh-sungguh apaadanya. Ada masjid, bangunan sederhana untuk asrama ala kadarnya, bangunan mck untuk santri yang menginap, dan sudah tentu bangunan rumah kiai yang memimpin pesantren itu.

Lokasi pesantren itu pun akan berada di suatu desa, bukan di kota. Masyarakat desa menghormati keberadaan pesantren itu, sebagaimana mereka menghormati kiai yang memimpinnya. Dan akan semakin lengkap dengan gambaran tentang kegiatan mereka yang mengkaji kitabkitab Arab gundul. Mereka duduk melingkari kiai itu mendengarkan penjelasannya. Belajar bagi mereka adalah menghafal isi kitab-kitab gundul itu. Satu-satunya kitab yang tidak gundul untuk mereka hanya kitab suci Al-Qur'an. Tapi, bukan itu yang dimaksud dengan istilah salaf yang ada di sini. Bahkan santri-santri dalam asosiasi kita itu hanya akan disebut dengan istilah santri salaf. Pesantrennya, pesantren salaf. Bukan Salafi. Terkait dengan tulisan ini, Salaf dimaksud sebagai istilah untuk generasi pertama dari kalangan sahabat Nabi Muhammad (murid-murid Nabi langsung), tabiin (murid-murid sahabat nabi itu), dan tabiut tabiin (murid-murid para tabiin itu). Dilihat dari segi waktu, tiga generasi itu terentang dalam kurang lebih dua ratus tahun pertama sejak ayat-ayat Al-Qur'an pertama kali turun. Dalam praktek agama, mereka diyakini sebagai orang-orang yang masih berada di atas fitrah dan ajaran Islam yang masih murni dan selamat. Mereka menyaksikan wahyu turun dan melihat langsung praktek-praktek Nabi atas wahyu itu. Mereka kemudian ikut mempraktekkan dan meneruskan kepada murid-murid mereka (para tabiin). Murid-murid mereka pun mengajarkan kepada murid-murid mereka lagi (tabiut tabiin). Praktek agama mereka, baik itu dalam cara memahami Qur'an dan Hadis ataupun dalam cara melaksanakannya, disebut dengan istilah mazhab kaum Salaf. Dan setiap orang setelah mereka, siapa pun dan di mana pun itu, yang mempraktekkan pemahaman dan cara-cara ibadah mereka disebut dengan Salafi atau pengikut Salaf. Dengan pengertian seperti itu, dari sejak zaman Imam Safei sampai hari Kiamat nanti, orangorang yang disebut Salafi akan terus ada selama ada yang mempraktekkan pemahaman dan praktek ibadah generasi Salaf. Dan itu tidak terbatas pada wilayah Timur Tengah saja, tetapi merentang jauh menembus sampai ke New York, Toronto, London, Paris, Lyon, Amsterdam. Tentu saja, juga di daratan Cina, belahan Afrika Utara, Somalia, Pakistan, India, Semenanjung Malaya, dan Indonesia. Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Surabaya adalah kota-kota besar di Jawa yang banyak dihuni oleh komunitas Salafi. Aceh, Medan, Pekan Baru, Padang, Jambi, Palembang, Bengkulu, Bandar Lampung, Balikpapan, Bontang, Makassar, Ambon, Jayapura, dan kota-kota kabupaten yang lain sudah pasti ada. Orang-orang yang sejatinya disebut Salafi ada di sekitar kita. Eksistensi Salafi di Sekitar Kita Komunitas mereka tetap eksis sampai sekarang, baik di kehidupan nyata kita sehari-hari ataupun di dunia maya. Situs-situs mereka terus diakses. Blog-blog Salafi terus memberikan informasi seputar dakwah mereka. Mereka pun mengeluarkan majalah-majalah dakwah mereka. Tiap Jum'at, di kota-kota di Indonesia, buletin-buletin Jum'at mereka ditebar. Di sejumlah kota,

bahkan, stasiun-stasiun radio mereka mengudarakan acara-acara kajian dakwah mereka. Dan sudah pasti: dai-dai Salafi terkadang mengisi khutbah-khutbah Jum'at di masjid-masjid sekitar kita. Satu-satunya yang belum mereka rambah adalah televisi. Akan tetapi, ini terkait dengan prinsip yang masih mereka pegang teguh dalam berdakwah. Kita pasti tidak akan habis pikir mendengar alasan mereka tentang itu. Menghormati pendapat mereka, kita pasti bisa memahami dan menerima alasan mereka yang dipakai mereka. Istilah yang tepat untuk melukiskan hakikat sebenarnya tentang komunitas Salafi adalah komunitas belajar kitab gundul. Sebab aktivitas mereka tampaknya berporos pada pengajian kitab-kitab gundul yang menjadi bagian khazanah Islam. Mereka secara rutinbaik itu harian, mingguan, bulanan atau pun tahunanmengkaji kitabkitab tersebut dan menerapkannya dalam aktivitas harian mereka, mulai dari aktivitas sosial kemasyarakatan, aktivitas beribadah kepada Allah, sampai kepada aktivitas pribadi dengan pasangan hidup masing-masing mereka di atas ranjang. Bagi sebagian pengamat Islam, komunitas Salafi itu akan digolongkan ke dalam kelompok muslim literalis. Menariknya, komunitas mereka adalah komunitas yang terbuka (open community). Kebanyakan orang di luar mereka justru menilai mereka sebagai komunitas yang eksklusif, serba tertutup dan tersendiri, hanya dari melihat penampilan luar mereka. Padahal, nyatanya tidak. Mereka terbuka terhadap siapa pun di luar mereka yang ingin tahu tentang mereka. Mulai dari seorang pejalan kaki yang kebetulan mampir sampai intel-intel yang bekerja untuk Densus 88 Polri boleh menghadiri pengajian-pengajian kitab mereka. Asal saja tidak mengganggu dan menyakiti mereka. Selain itu, tidak ada baiat atau sumpah keanggotaan untuk bergaul atau bergabung dengan komunitas mereka. Demikian pula, siapa pun yang ikut mengaji kitab-kitab gundul dengan mereka dapat keluar dan pergi kapan pun dan di mana pun dari lingkaran komunitas mereka. Tidak ada istilah akan dikejar atau diintimidasi oleh mereka akibat tindakan seperti itu bagi siapa pun yang melakukannya. Sekali lagi, komunitas Salafi bukan sekumpulan jaring klandestin yang susah untuk dilacak.[]

Anda mungkin juga menyukai