Anda di halaman 1dari 6

65 MASALAH USAHATANI JAMBU METE DI KABUPATEN SUMBAWA BARAT DAN UPAYA PENANGGULANGANNYA PROBLEMS IN CASHEW FARM IN WEST SUMBAWA

REGENCY AND EFFORTS TO OVERCOME THEM Taslim Sjah1, Husein Jamani2, dan Rusdi3 1,2 Fakultas Pertanian, Universitas Mataram 3 Badan Pelaksana Penyuluhan dan Ketahanan Pangan Kabupaten Sumbawa Barat Email: t.sjah@yahoo.com ABSTRAK Jambu mete merupakan tanaman perkebunan utama di Kabupaten Sumbawa Barat, namun memberikan produktivitas dan pendapatan yang tergolong rendah. Kedua masalah ini dapat berkaitan dengan masalah-masalah lain, dan ini perlu diatasi. Tulisan ini berusaha mendeskripsikan permasalahan dalam pengembangan jambu mete di Kabupaten Sumbawa Barat, sekaligus menyampaikan upaya-upaya untuk pemecahan masalah yang ada.Penelitian ini menggunakan metode survei. Survei dilakukan dengan mewawancarai 60 responden petani mete dengan berbagai luas lahan di Kecamatan Poto Tano dan Jereweh. Pengumpulan data difokuskan pada pencapaian tujuan penelitian ini, dan selanjutnya data tersebut dianalisis secara deskriptif. Penelitian ini menunjukkan bahwa jambu mete merupakan tanaman perkebunan utama di Kabupaten Sumbawa Barat. Namun, produktivitas usahatani dan pendapatan petani jambu mete di daerah ini masih rendah. Kedua masalah ini berkaitan dengan masalah lain dalam pengembangan jambu mete, antara lain termasuk rendahnya harga jambu mete, keterbatasan modal petani, dan rendahnya penguasaan teknologi budidaya jambu mete. Oleh karena itu, pengembangan jambu perlu memecahkan atau mengatasi masalah-masalah ini dengan berbagai cara, terutama menyampaikan informasi lebih banyak (lengkap) terkait dengan beberapa aspek pengembangan jambu mete kepada petani mete di daerah tersebut. ABSTRACT Cashew is the main plantation crop is West Sumbawa Regency, yet it yields low production and income. These two problems relate to other problems, and they are required to be solved. This paper describes problems in developing cashew farm in the regency, as well as suggesting solutions to the identified problems. This research applied survey method. The survey was carried out by interviewing 60 cashew farmer respondents, with various land sizes in the districts of Poto Tano and Jereweh. Data were collected to meet the research objectives, and were then analyzed descriptively. This study identified that cashew is indeed the major crop in the regency, but with low farm productivity and farmer income. These two problems have connection with other problems, such as low product price, lack of capital, and lack of knowledge in technical aspect of cashew farms. Accordingly, cashew development needs to overcome those problems, in particular by disseminating more information related to aspects of cashew development to cashew farmers in that region. __________________________________________________________________ Kata Kunci: Usahatani Jambu Mete, Pemecahan Masalah, Kabupaten Sumbawa Barat Key Words: Cashew Farms, Problem Solving, West Sumbawa Regency

PENDAHULUAN Pertanian masih merupakan tulang punggung perekonomian Indonesia hingga saat ini. Salah satu sektor pertanian yang dikembangkan adalah sektor perkebunan. Pembangunan di sektor ini ditujukan untuk kesejahteraan masyarakat dengan cara antara lain menjadikan perkebunan mampu bersaing dan berkelanjutan melalui pengembangan sistem

agribisnis (Departemen Pertanian RI, 2001). Hasil pembangunan selama ini menunjukkan bahwa kinerja perkebunan semakin membaik (lihat misalnya, Departemen Pertanian RI, 2005). Di Nusa Tenggara Barat sektor perkebunan telah berkembang dan masih akan dikembangkan karena kesesuaian potensi sumberdaya daerah ini, termasuk sumberdaya lahan, iklim, dan manusia. Bahkan, sektor

Agroteksos Vol. 20 No.1, April 2010

66 perkebunan telah menjadi sektor andalan pembangunan di provinsi ini karena berperan besar dalam memberi kontribusi terhadap pendapatan domestik regional bruto (PDRB), memberi kesempatan kerja dan kesempatan usaha, mendorong pengembangan wilayah, mendukung konservasi lingkungan, dan lain-lain (Dinas Perkebunan NTB, 2007). Pada tahun 2008 sumbangan sektor perkebunan terhadap PDRB mencapai 23.738.420.000. Pada tahun itu sektor pertanian, yang di dalamnya termasuk sub sektor perkebunan, menyerap 884.215 tenaga kerja berumur 15 tahun keatas. Jumlah ini merupakan 45 % dari total tenaga kerja 15 tahun ke atas yang bekerja di Nusa Tenggara Barat (BPS NTB, 2010). Selanjutnya, juga dilaporkan bahwa areal perkebunan di Nusa Tenggara Barat pada tahun 2006 saja telah mencapai 184.347 ha. Namun, potensi perkebunan masih jauh lebih besar dari pada itu, yaitu mencapai 665.314 ha (Dinas Perkebunan NTB, 2007). Di antara tanaman perkebunan, jambu mete mempunyai keadaan aktual dan potensi yang besar baik di Nusa Tenggara Barat (Dinas Perkebunan NTB, 2007) maupun di Kabupaten Sumbawa Barat (Bappeda KSB, 2008). Lebih lanjut Bappeda KSB (2008) melaporkan bahwa potensi besar perkebunan yang ada belum dimanfaatkan secara maksimal. Tercatat bahwa potensi perkebunan di Kabupaten Sumbawa Barat mencapai 158.615 ha dan baru direalisasikan sebesar 4.152 ha. Belum optimalnya aktualisasi potensi ini terjadi karena beberapa alasan, termasuk: (1) keterbatasan pembiayaan untuk pengadaan faktor produksi pertanian; (2) keterbatasan tenaga kerja; dan (3) belum menerapkan prinsip atau praktik agribisnis. Luas tanaman jambu mete di Nusa Tenggara Barat adalah 59.926 ha dengan jumlah produksi 12.461 ton biji gelondongan pada tahun 2006 (Dinas Perkebunan NTB, 2007). Di Kabupaten Sumbawa Barat, jambu mete merupakan tanaman perkebunan yang menempati lahan terluas hingga mencapai 41 % dari keseluruhan luas lahan perkebunaan (yaitu 4.152 ha) (Bappeda KSB, 2008). Walaupun menempati posisi teratas di antara tanaman perkebunan di Kabupaten Sumbawa Barat, tetapi masih belum mendekati potensi yang ada. Sementara itu jambu mete mempunyai nilai ekonomi cukup tinggi karena mempunyai banyak kegunaan dalam berbagai bentuk produk. Kendala yang ada dalam perkembangan jambu mete di Kabupaten Sumbawa Barat antara lain berupa fakta bahwa tanaman ini merupakan tanaman baru, yang dapat berarti bahwa masih ada aspek budidaya dan ekonomis yang belum diketahui Taslim S. Dkk : Permasalahan Usahatani ... atau dikuasai sepenuhnya. Selain itu, seperti halnya dengan keadaan petani Indonesia pada umumnya, petani mete di daerah ini juga mengalami kendala dalam permodalan usahatani. Tulisan ini berusaha mendeskripsikan permasalahan dalam pengembangan jambu mete di Kabupaten Sumbawa Barat, sekaligus menyampaikan upaya-upaya untuk pemecahan masalah yang ada. METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan metode survei (Babbie, 2004; Fink and Kosecoff, 1998; Mosher and Kalton, 1985). Survei dilakukan di Desa Poto Tano (Kecamatan Poto Tano) dan Desa Beru (Kecamatan Jereweh). Penentuan lokasi ini dilakukan secara sengaja (purposive sampling) berdasarkan pertimbangan luas pertanaman terluas. Selanjutnya, pada setiap desa ditentukan masing-masing sebanyak 30 petani responden (sehingga menjadi 60 responden untuk kedua desa), dan masingmasing terdiri atas 10 orang petani untuk luas lahan: kurang dari 0,5 ha; 0,5 1,0 ha; dan lebih dari 1,0 ha. Survei dilakukan dengan mewawancarai 60 petani responden, dengan berpedoman pada daftar pertanyaan (kuesioner) yang telah disiapkan. Selain dengan mewawancarai petani responden, informasi juga diperoleh dengan penelusuran data sekunder. Data yang diperoleh selanjutnya dianalisis secara deskriptif. Prosedur lengkap penelitian ini dapat dilihat pada Tesis Rusdi (2008). HASIL DAN PEMBAHASAN Tulisan ini mendeskripsikan dua hal pokok, yaitu permasalahan dalam pengembangan jambu mete di Kabupaten Sumbawa Barat, dan alternatif pemecahannya. Namun, sebelum dua hal pokok tersebut, disampaikan juga informasi latar belakang jambu mete di kabupaten paling barat di Pulau Sumbawa ini. Keadaan Pertanian Kabupaten Sumbawa Barat Luas wilayah Kabupaten Sumbawa Barat adalah 184.902 ha, dan didominasi oleh lahan kering (79%). Kegiatan pertanian masih banyak bergantung kepada hujan, dan Selain itu, banyak bagian wilayah kabupaten ini merupakan daerah berbukit atau pegunungan. Ketinggian tempat Kabupaten Sumbawa Barat adalah antara 0 1.730 meter di atas permukaan laut, dengan beberapa tempat merupakan daerah yang cukup curam. Sebagian besar Kabupaten Sumbawa Barat berada pada ketinggian 10 650 meter

67 dari permukaan laut (Bappeda KSB, 2008). Keadaan ketinggian ini sesuai untuk pertumbuhan tanaman jambu mete, karena tanaman ini menghendaki ketinggian antara 0 700 meter di atas permukaan laut (Dinas Perkebunan NTB, 1992). Curah hujan di Kabupaten Sumbawa Barat cukup bervariasi, berkisar antara 1.500 2.500 mm per tahunnya (Bappeda KSB, 2008), bergantung siklus El Nino (tahun kering), La Nina (tahun basah), atau normal. Suhu minimum-maksimum di Kabupaten ini adalah 21 340C. Jumlah curah hujan dan keadaan temperatur ini sesuai untuk pertumbuhan jambu mete, yang menurut Cahyono (2001) mensaratkan curah hujan antara 1.000 2.000 mm per tahun dan temperatur dengan kisaran 17 370C. Jambu mete merupakan tanaman perkebunan yang mempunyai luas pertanaman terbesar di Kabupaten Sumbawa Barat. Luas tanaman jambu mete pada tahun 2006 adalah 1.721 ha, dan ini jauh lebih besar dibandingkan dengan tanaman terluas kedua yaitu kelapa yang mempunyai luas 1.080 ha. Produksi jambu mete pada tahun itu adalah 115 ton, dengan produksi per hektar mencapai 356 kg (Bappeda KSB, 2008). Produksi per hektar atau produktivitas jambu mete di Kabupaten Sumbawa Barat ini lebih rendah dari dari rata-rata produktivitas Nusa Tenggara Barat, yang mencapai 376 kg/ha pada tahun yang sama (Dinas Perkebunan NTB, 2007). Oleh karena itu, kabupaten ini perlu meningkatkan penampilannya untuk dapat menyamai atau melebihi rata-rata produktivitas provinsi, atau lebih tepatnya untuk dapat mendekati potensi produksi dari tanaman ini. Pendapatan Usahatani Jambu Mete Tanaman jambu mete di Kabupaten Sumbawa Barat ditanam pada tahun 2000, dan mulai berproduksi pada tahun 2004. Pada tahun survei (2006 yaitu tahun produksi ketiga) pendapatan usahatani jambu di Kabupaten Sumbawa Barat mencapai Rp 1.630.844 per luas garapan (0,96 ha) atau Rp 1.698.796 per ha. Nilai ini diperoleh dari produksi sebesar 480 kg dan harga sebesar Rp 5.000/kg. Biaya produksi yang dikeluarkan petani pada tahun itu adalah Rp 769.156 per luas garapan yang dimiliki petani. Produksi jambu mete ini secara teoritis masih akan meningkat pada tahun-tahun mendatang (lihat misalnya, Cahyono, 2001). Dengan jumlah anggota keluarga rata-rata sebanyak 4 orang maka pendapatan dari usahatani jambu mete ini adalah Rp 408.000 per orang per tahun atau Rp 34.000 per orang per bulan. Jumlah pendapatan ini jelas sangat kurang dan sangat tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan minimum keluarga petani. Tentu saja keadaan tidak berkecukupan ini akan benar-benar terjadi bila bahwa usahatani jambu mete merupakan satu-satunya sumber pendapatan keluarga petani tersebut. Dengan demikian, keluarga petani perlu meningkatkan pendapatannya, baik dari usahatani jambu mete maupun dari kegiatan-kegiatan produktif lainnya, agar dapat memenuhi kebutuhan keluarganya. Permasalahan Dalam Pengembangan Jambu Mete Paparan pada dua bagian sebelumnya menunjukkan bahwa terdapat dua permasalahan dalam pengembangan jambu mete di Kabupaten Sumbawa Barat, yaitu rendahnya produktivitas jambu mete dan rendahnya pendapatan petani jambu mete. Kedua masalah ini berkaitan. Pendapatan petani mete sangat dipengaruhi oleh produktivitas usahatani mete, sehingga bila produktvitas rendah maka pendapatan juga cenderung rendah. Produktivitas jambu mete yang ada sekarang termasuk rendah. Menurut Dinas Perkebunan NTB (2007) produktivitas rendah ini terjadi karena sistem budidaya yang belum mengikuti rekomendasi yang ada. Misalnya, petani belum menerapkan ukuran lubang tanaman yang sesuai, tidak melakukan penjarangan tanaman, dan tidak memelihara tanaman secara intensif. Masalah rendahnya produktivitas tersebut tidak disebutkan oleh petani renspoden. Jadi masalah tersebut tidak dirasakan secara langsung oleh petani. Selanjutnya, bagian ini melaporkan permasalahan dalam pengembangan jambu mete menurut persepsi atau pendapat petani responden. Hasil identifikasi masalah yang dirasakan petani jambu mete di Kabupaten Sumbawa Barat diuraikan satu per satu berikut ini. Harga pasar jambu mete rendah Harga jual buah jambu mete pada saat survei adalah Rp 5.000/kg. Keseluruhan 60 petani responden (100 %) menyatakan bahwa harga yang mereka terima saat ini masih rendah. Akibat dari rendahnya harga produk jambu mete ini menyebabkan rendahnya pula pendapatan mereka. Dengan kata lain, petani responden menghendaki agar harga ini dapat meningkat. Pada tahun 2005, harga jambu mete mencapai Rp 7.000/kg, dan harga setinggi ini masih teringat jelas dalam benak petani, sehingga begitu harga turun pada saat survei maka itu langsung dirasakan sebagai masalah. Masalah harga rendah ini menurut petani responden Agroteksos Vol. 20 No.1, April 2010

68 terjadi karena rendahnya posisi tawar petani terhadap pedagang. Petani menjual jambu mete saat ini dalam bentuk gelondongan di rumah atau di usahatani mereka. Pembeli (pedagang pengumpul desa) datang ke tempat petani, kemudian menawar dan menyepakati harga Rp 5.000/kg. Petani berada dalam posisi menerima harga tersebut atau menunda penjualan produknya. Dalam praktiknya, hampir semua petani menerima pilihan pertama atau tidak dapat menunda penjualan karena adanya kebutuhan keluarga petani yang mendesak untuk dipenuhi dalam keadaan terbatasnya sumber keuangan untuk menutupi kebutuhan tersebut. Keterbatasan modal petani Terkait dengan permasalahan harga jambu mete yang rendah tersebut, petani menghadapi masalah kekurangan pembiayaan untuk usahatani maupun untuk memenuhi kebutuhan lainnya. Masalah ini dirasakan oleh 45 petani responden (75 %). Masalah ini sangat dirasakan pada tahun-tahun awal kegiatan produksi usahatani, karena pada saat itu tanaman petani belum menghasilkan produksi dan pendapatan. Permasalahan ini diatasi oleh petani umumnya dengan cara meminjam kepada keluarga, teman, atau akhirnya pelepas uang (rentenir). Pinjaman kepada pihak yang disebutkan terakhir ini mempunyai biaya yang lebih tinggi dari pada sumber lainnya. Masalah kekurangan modal untuk menjalankan usahatani dan cara petani mengatasinya merupakan masalah klasik pertanian Indonesia pada umumnya dan terjadi di banyak tempat dan macam usahatani. Ini termasuk antara lain usahatani tanaman pangan di Kabupaten Lombok Timur (Sjah, 1998; Sjah et al., 2006c), di Kabupaten Lombok Tengah (Sjah et al., 2006a; Sjah et al., 2006b), dan usahatani jambu mete di Kabupaten Bima (Widiastuti, 2004). Penguasaan teknis budidaya jambu mete rendah Hasil wawancara menunjukkan bahwa terdapat 20 orang petani responden (33 %) yang merasakan bahwa mereka kurang menguasai teknis budidaya jambu mete. Aspek teknis yang dirasakan kurang dikuasai termasuk dalam pembuatan lubang tanam dan pemanenan hasil. Selain kedua aspek teknis tersebut, peneliti juga melihat belum adanya kegiatan pengolahan hasil usahatani. Mungkin petani belum memikirkan hal ini sebagai suatu kebutuhan pengetahuan dalam meningkatkan nilai tambah produk mereka. Upaya yang Perlu Dilakukan Pengembangan Jambu Mete Dalam

Gambaran permasalahan dalam pengembangan jambu mete seperti disampaikan sebelum bagian ini menunjukkan hasil akhir berupa rendahnya pendapatan petani. Ini perlu diatasi agar tujuan pembangunan pertanian yaitu meningkatkan kesejahteraan masyarakat pada umumnya dan petani pelaku pada khususnya dapat tercapai. Beberapa hal yang perlu dilakukan sebagai respon terhadap kondisi tidak memuaskan baik yang dirasakan petani maupun yang tidak dirasakan petani disampaikan berikut ini. Peningkatan produksi jambu mete Upaya peningkatan produksi jambu mete yang saat ini masih berada di bawah produktivitas Provinsi Nusa Tenggara Barat dapat dilakukan melalui beberapa cara. Pada intinya adalah mengupayakan praktik budidaya yang lebih baik dari yang telah atau sedang dilaksanakan saat ini. Hasil observasi lapangan menunjukkan bahwa terdapat beberapa hal yang masih belum optimal dilaksanakan. Ini antara lain termasuk: Membuat lubang tanam berukuran 50 x 50 x 50 cm (bukan 25 x 25 x 25 cm) dan lubang ini disiapkan satu bulan sebelum tanam Mengintensifkan pembersihan atau penyiangan tanaman menjadi minimal lebih dari satu kali dalam setahun Meletakkan pupuk tanaman di posisi yang sesuai, dengan memperhatikan lingkaran mahkota tanaman dan dibenamkan 20 cm Melakukan pengendalian hama dan penyakit jambu mete. Informasi-informasi atau petunjuk-petunjuk ini tampaknya bukan hanya sulit atau enggan dilaksanakan oleh petani, tetapi boleh jadi juga petani tidak mengetahui informasi tersebut. Dengan demikian, upaya penyampaian informasi ini (penyuluhan pertanian) perlu lebih digiatkan bagi kelompok masyarakat ini. Peningkatan modal petani Masalah klasik permodalan perlu diatasi agar petani dapat melaksanakan praktik budidaya yang lebih baik sehingga produktivitas dan pendapatan usahatani dapat meningkat. Saat ini memang telah banyak program perkreditan yang dijalankan pemerintah dengan biaya murah dan persyaratan mudah (lihat misalnya, Rois, 2003; Sudjatmiko, 2003; Suyatno et al., 1999), tetapi banyak pula kelompok masyarakat (termasuk petani) yang belum memperoleh

Taslim S. Dkk : Permasalahan Usahatani ...

69 informasi tentang keberadaannya ataupun prosedur untuk mengaksesnya. Jadi, diperlukan upaya-upaya untuk menyampaikan informasi ini kepada petani agar petani dapat terbantu. Perbaikan harga jambu mete Salah satu sebab rendahnya harga jambu mete adalah karena posisi tawar petani yang lebih rendah dibandingkan dengan posisi tawar pedagang (pembeli). Oleh karena itu, petani perlu menaikkan posisi tawar (bargaining power) mereka. Hal ini dapat dilakukan misalnya dengan cara membentuk kelompok atau asosiasi. Ketika kelompok atau asosiasi sudah terbentuk maka perlu membuat kelembagaan tersebut efektif dalam berperan menjalankana fungsi yang diharapkan. Hal ini perlu dilakukan mengingat banyak kelompok atau kelembagaan petani yang kurang berfungsi efektif, walaupun sudah terbentuk cukup lama. Penjualan produk dapat dilakukan secara berkelompok. Koperasi dapat dibentuk, untuk bertindak sebagai pemasar produk petani dan juga sebagai pensuplei modal atau keuangan bagi petani. Alternatif lainnya adalah petani menjadi anggota dari atau bekerjasama dengan Asosiasi Petani Jambu Mete Indonesia (APJMI). Asosiasi ini dapat pula berperan dalam penyediaan akses informasi harga sehingga petani dapat memasarkan ke tempat-tempat harga yang lebih baik. Aktivasi kegiatan agroindustri jambu mete Agroindustri dipercaya dapat mengatasi beberapa permasalahan terkait dengan produk pertanian (Cramer et al., 2001; Dillon, 1999; Downey and Erickson, 1987; Gumbira-Said and Intan, 2001; Saragih and Sipayung, 2007). Dengan kegiatan agroindustri (pengolahan) banyak nilai tambah yang dapat diciptakan, termasuk nilai tambah bentuk, waktu, tempat, dan kepemilikan. Melalui agroindustri produk menjadi lebih bernilai karena bentuk, waktu, dan tempatnya sesuai dengan keinginan atau harapan konsumen, dan menjadi lebih mudah untuk dimiliki oleh konsumen. Penjualan jambu mete selama ini masih dilakukan dalam bentuk biji gelondongan. Bila biji ini diolah lebih lanjut misalnya menjadi kacang mete maka bernilai lebih tinggi, dan nilai lebih itu dapat diterima oleh petani sebagai pelaku kegiatan. Demikian juga dengan buah semu jambu mete. Saat ini buah semu ini tidak dimanfaatkan alias dibuang begitu saja. Padahal, sebenarnya buah semu ini sangat potensial untuk diolah menjadi beberapa produk olahan seperti jus, selai, dendeng, manisan, dan lain-lain (lihat misalnya, Muljohardjo, 1990; Zainuri et al., 1999). KESIMPULAN Penelitian ini menunjukkan bahwa jambu mete merupakan tanaman perkebunan utama di Kabupaten Sumbawa Barat. Namun, produktivitas usahatani dan pendapatan petani jambu mete di daerah ini masih rendah. Kedua masalah ini berkaitan dengan masalah lain dalam pengembangan jambu mete, antara lain termasuk rendahnya harga jambu mete, keterbatasan modal petani, dan rendahnya penguasaan teknologi budidaya jambu mete. Oleh karena itu, pengembangan jambu perlu memecahkan atau mengatasi masalah-masalah ini dengan berbagai cara, termasuk meningkatkan produksi dan harga jambu mete, memupuk modal petani, dan mengaktifkan kegiatan agroindustri jambu mete. DAFTAR PUSTAKA Babbie, E., 2004. The practice of social research (10). Wadsworth, Belmont. Bappeda KSB, 2008. Kabupaten Sumbawa Barat Dalam Angka. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Sumbawa Barat, Taliwang. BPS NTB, 2010. Nusa Tenggara Barat Dalam Angka 2010 (Nusa Tenggara Barat in Figures 2010). Badan Pusat Statistik Nusa Tenggara Barat, Mataram. Cahyono, B.T., 2001. Teknik Budidaya dan Analisis Usahatani Jambu Mete. Kanisius, Jogjakarta. Cramer, G.L., C.W. Jensen, and D.D.J. Southgate, 2001. Agricultural Economics and Agribusiness (8th). John Wiley & Sons, New York. Departemen Pertanian RI, 2001. Rencana Strategis Pengembangan Perkebunan (Strategi Adaptasi dengan Ruang Lingkup Global dan Otonomi Daerah). Direktorat Jenderal Bina Produksi Pertanian, Departemen Pertanian RI, Jakarta. Departemen Pertanian RI, 2005. Rencana Pembangunan Pertanian Tahun 2005-2009. Departemen Pertanian RI, Jakarta. Dillon, H.S., 1999. Agroindustry on the road to economic recovery in Indonesia: National strategies with dynamic internal markets and a changing regional trade context. The Agroteksos Vol. 20 No.1, April 2010

70 AAEA International and Industry Preconference, AAEA, Nashville. Dinas Perkebunan NTB, 1992. Jambu Mete. Dinas Perkebunan NTB, Mataram. Dinas Perkebunan NTB, 2007. Pengembangan Sarana dan Prasarana Pembangunan Perkebunan di Nusa Tenggara Barat. Dinas Perkebunan Nusa Tenggara Barat, Mataram. Downey, W.D., and S.P. Erickson, 1987. Agribusiness Management. McGraw-Hill, New York. Fink, A., and J. Kosecoff, 1998. How to conduct survey: A step-by-step guide (2nd). Sage Publications, London. Gumbira-Said, E., and A.H. Intan, 2001. Manajemen Agribisnis. Ghalia Indonesia, Jakarta. Mosher, C.A., and G. Kalton, 1985. Survey method in social investigation (2). Gower, Aldershot, England. Muljohardjo, M., 1990. Jambu Mete dan Teknologi Pengolahannya. Liberty, Jogjakarta. Rois, Z., 2003. "Implementasi program skim kredit pola proyek P2RWTI/EISCDP-IFAD Nusa Tenggara Barat (Implementation of P2RWTI/EISCDP-IFAD credit program in West Nusa Tenggara)." Komunitas, Journal of Rural Studies 5, 92-111. Rusdi, 2008. Prospek Pengembangan Komoditi Jambu Mete di Kabupaten Sumbawa Barat. Magister Pengelolaan Sumberdaya Lahan Kering, University of Mataram, Mataram. Saragih, B., and T. Sipayung, 2007. "Prospek agribisnis Indonesia dan peluang perbankan." Economic Review 207, 1-6. Sjah, T., 1998. Farming systems and farmer decisions on new cropping land in East Lombok Indonesia. Natural and Rural Systems Management, University of Queensland, Gatton. Sjah, T., D. Cameron, and I. Russell, 2006a. "Analysis of factors influencing decisions in credit use by agricultural producers in Lombok, Indonesia." Agroteksos 16, 211222. Sjah, T., D. Cameron, and I. Russell, 2006b. "Searching for a better credit system to help improve farmers' income: A reflection from study on agricultural credit users in Lombok, Indonesia," in Roy, K.C. and S. Chatterjee (Eds), Readings in World Development: Growth and Development in the Asia Pacific, Nova Science, New York. Sjah, T., D. Cameron, and K. Woodford, 2006c. "Extension service and farmer decision making on new cropping lands in East Lombok Indonesia." Journal of International Agricultural and Extension Education 13, 39-55. Sudjatmiko, D.P., 2003. "Pemanfaatan kredit dan faktor-faktor yang mempengaruhi besarnya kredit yang diambil petani di Pulau Lombok (Credit use and factors associated with farmer's credit size in Lombok)." Komunitas, Journal of Rural Studies 5, 2436. Suyatno, T., H.A. Chalik, M. Sukada, C.T.Y. Ananda, and D.T. Marala, 1999. Dasardasar perkreditan (Fundamentals of credit) (4th). Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Widiastuti, R.A.R., 2004. Analisis Ekonomi dan Pemasaran Jambu Mete di Kecamatan Sanggar Kabupaten Bima. Agribusiness, University of Mataram, Mataram. Zainuri, A. Prarudiyanto, S. Widyastuti, T. Sjah, S. Kamti, and Sukmawaty, 1999. Alternatif Pengolahan Buah Semu Jambu Mete Dalam Rangka Meningkatkan Pendapatan Petani. Fakultas Pertanian Universitas Mataram, Mataram.

Taslim S. Dkk : Permasalahan Usahatani ...

Anda mungkin juga menyukai