Anda di halaman 1dari 15

Endourologi dan Batu Ginjal

Sistem Skoring Baru untuk Meramalkan Tingkat Bebas-Batu Ginjal Pasca Operasi Intrarenal Retrograde: Skor Batu Ginjal Resorlu-Unsal
Berkan Resorlu, Ali Unsal, Handan Gulec, dan Derya Oztuna
1 2 3

Bagian Urologi, Rumah Sakit Pendidikan dan Riset Kecioren, Ankara, Turki; Bagian Anestesiologi, Rumah Sakit Pendidikan dan Riset Kecioren, Ankara; dan Bagian Biostatistika, Sekolah Tinggi Ilmu Kedokteran, Universitas Ankara,

Ankara, Turki. TUJUAN Untuk meneliti faktor prognostik sehubungan dengan

efektifitas tindakan operasi intrarenal retrograde (retrograde intrarenal surgery, RIRS) dan mengembangkan sebuah sistem skoring untuk meramalkan tingkat bebas-batu ginjal pasca tindakan tersebut. METODE Kami melakukan analisis retrospektif terhadap 207 pasien batu ginjal yang telah menjalani operasi RIRS antara bulan Januari tahun 2009 dan bulan September tahun 2011. Usia pasien, jenis kelamin, indeks massa tubuh (IMT), ukuran batu, jumlah sisi (segi) batu, lokasi batu, komposisi batu, jumlah batu, sudut infundibulopelvikum pole (kutub) bawah, penggunaan obat antikoagulan, abnormalitas anatomi skeletal, dan abnormalitas anatomi ginjal dianggap berpotensi sebagai faktor prediktif preoperatif. HASIL Penelitian ini melibatkan 111 (53,6%) pasien laki-laki dan 96 (46,4%) pasien perempuan. Rerata usia pasien adalah 32.918.8 tahun (rentang 1-74) dan rerata ukuran batu adalah

16.24.1 mm (rentang 8-40). Secara umum, 178 (86%) dari 207 pasien telah bebas dari batu ginjal setelah menjalani tindakan awal. Analisis univariat menunjukkan bahwa ukuran batu (P<0.001), lokasi batu (P=0.025), komposisi batu (P=0.01), jumlah batu (P=0.049), malformasi ginjal (P=0.042), dan sudut infundibulopelvikum kutub bawah (P=0.003) memiliki pengaruh yang signifikan terhadap tingkat bebas-batu ginjal pasca operasi RIRS. Analisis multivariat mengekslusi lokasi batu dari model regresi logistik, sedangkan faktor-faktor lain tetap menunjukkan efek yang bermakna secara statistik terhadap tingkat kesuksesan bebas-batu ginjal, hal ini menunjukkan bahwa faktor tersebut merupakan prediktor independen. KESIMPULAN Penelitian kami menunjukkan bahwa ukuran batu, jumlah batu, komposisi batu, sudut infundibulopelvikum, dan malformasi ginjal merupakan prediktor hasil operasi RIRS secara signifikan. Sistem skoring baru berdasarkan faktor-faktor tersebut dapat membantu pengelompokan pasien berdasarkan perkiraan hasil operasinya dan membantu perencanaan penanganan. UROLOGY 80:512-518, 2012 Elsevier Inc. Operasi intrarenal retrograde (retrograde intrarenal surgery, RIRS) telah dilakukan secara luas dalam beberapa dekade terakhir seiring dengan peningkatan kualitas ureteroskop fleksibel, instrumen, dan pengalaman operator. Kini, alternatif tatalaksana batu ginjal secara ureteroskopik adalah litotripsi gelombang kejut (shock wave lithotripsy, SWL) atau nefrolitotomi perkutaneus (percutaneus nephrolithotomy, PCNL), dimana tingkat bebas-batu operasi RIRS lebih tinggi dibanding SWL tetapi morbiditasnya lebih rendah dibanding PCNL. Penelitian terbaru melaporkan tingkat bebas-batu pada tatalaksana batu ginjal secara ureteroskopik retrograde >90% sedangkan pada tatalaksana batu pole (kutub)

bawah mencapai 85%. Selain itu, beberapa kelompok peneliti telah membuktikan keberhasilan operasi RIRS dalam menangani batu ginjal berukuran besar. Walaupun operasi RIRS telah diakui sebagai sebuah prosedur yang mantap, efektif, dan minimal invasif, tetapi AUA maupun EAU tidak merekomendasikan flexibel ureteroskopi sebagai pilihan lini pertama dalam tatalaksana batu intrarenal. Sebab, prosedur tersebut memiliki sejumlah keterbatasan penggunaan dan tidak selalu menjamin pasien bebas-batu ginjal pasca operasi, padahal sangat penting artinya informasi seputar tingkat bebas-batu diberitahukan kepada pasien sebelum operasi. Berbekal informasi tersebut pulalah ahli bedah urologi memutuskan apakah akan melakukan operasi RIRS atau modalitas terapi lainnya. Kanao dkk. telah mengidentifikasi sejumlah variabel yang bermakna dalam memprediksikan hasil SWL dan berhasil mengembangkan nomogram preoperatif untuk memperkirakan free stone rate. Dalam sebuah penelitian lain, Thomas dkk. mengembangkan sistem skoring dalam penentuan derajat kompleksitas PCNL yang secara akurat dapat meramalkan tingkat keberhasilan tindakan. Namun, sampai sekarang belum tersedia sebuah metode yang dapat diterima untuk meramalkan tingkat bebas-batu ginjal pasca operasi RIRS. Melalui penelitian ini kami mengidentifikasi beberapa parameter yang mempengaruhi hasil operasi RIRS secara bermakna sekaligus mengembangkan sebuah sistem skoring untuk meramalkan tingkat bebas-batu pasca tindakan tersebut. MATERI DAN METODE Pasien Kami melakukan analisis retrospektif terhadap 207 pasien batu ginjal yang telah menjalani operasi RIRS antara bulan Januari tahun 2009 hingga bulan September tahun 2011 di Bagian Urologi Rumah Sakit Pendidikan dan Riset Kecioren. Penilaian pasien dilakukan melalui anamnesis, pemeriksaan fisis, urinalisis, kultur urin, hitung darah lengkap, pemeriksaan biokimia serum, tes koagulasi, pemeriksaan urografi intravena (intravenous urography, IVU) dan atau

tomografi komputasi (computed tomografi, CT). Ukuran batu ditentukan dengan mengukur aksis terpanjangnya pada foto radiologi preoperatif. Sudut

infundibulopelvikum (infundibulopelvic angle, IPA) diukur dari sudut sebelah dalam yang dibentuk oleh interseksi (perpotongan) aksis ureteropelvikum menurut Elbahnasy dan rekan dengan aksis tengah dari kutub bawah infundibulum. Semua pengukuran dilakukan pada foto IVU, CT helikal 3D, atau CT urografi oleh dua orang ahli secara terpisah, kedua hasil pengukuran dirata-ratakan lalu dianalisis. Klirens batu dinilai pada intraoperatif menggunakan ureteroskopi langsung (direct ureteroscopy, URS) dan postoperatif melalui pencitraan radiologis. Semua pasien dinilai secara rutin melalui pemeriksaan ultrasonografi renal sehari setelah operasi RIRS untuk memastikan tidak terjadi hidronefrosis, pemeriksaan radiologis ulang pada saat ekstraksi (pencabutan) stent, dan pemeriksaan CT spiral tanpa kontras setelah satu bulan. Penanganan dianggap berhasil apabila tidak ditemukan batu lagi atau ditemukan fragmen residu yang tidak bermakna secara klinis (ukuran 1 mm). Teknik Operasi Intrarenal Retrograde Keseluruhan prosedur dilakukan oleh dua orang ahli bedah dengan menggunakan ureteroskop fleksibel 7.5-Fr (Karl Storz, Tuttlingen, Jerman) atau 8.4-Fr (Olympus, Center Valley, PA). Dibawah pengaruh anestesia umum, pasien ditempatkan dalam posisi litotomi pada meja endoskopi yang mendukung fasilitas pemeriksaan flouroskopi. Ureteroskopi rigid (kaku) dilakukan pada semua pasien sebelum ureteroskopi fleksibel untuk mendilatasi ureter dan menempatkan guidewire (kawat penuntun) hidrofilik ke dalam pelvis ginjal. Setelah kawat penuntun berhasil dilewatkan sejauh 0.038 inchi ke dalam pelvis ginjal, maka sheath (sarung pelindung) akses ureter berukuran 9.5/11.5 atau 12/14 Fr dipasang untuk memberikan visualisasi optimal, menjaga tekanan intrarenal tetap rendah, dan memudahkan ekstraksi batu ginjal. Batu ginjal difragmentasi dengan menggunakan laser Holmium:YAG sampai ukurannya dianggap memadai untuk lolos secara spontan. Basket extraction (ekstraksi keranjang) terhadap fragmen residu tidak rutin dilakukan (semua fragmen diharapkan lolos secara spontan);

walaupun demikian, sejumlah fragmen residu tetap dikeluarkan dengan menggunakan tipless nitinol basket (keranjang nitinol tanpa ujung) untuk keperluan analisis batu. Kemudian, pada periode postoperatif dipasang stent Double-J sesuai pertimbangan ahli bedahnya. Analisis Data Analisis statistik dirancang untuk mengidentifikasi karakteristik pasien dan batu yang bernilai prediktif terhadap tingkat klirens batu pasca operasi RIRS pertama. Usia pasien (usia prasekolah 7 tahun, usia remaja 8-17 tahun, usia dewasa 18-60 tahun, dan usia lanjut >60 tahun); jenis kelamin; indeks massa tubuh (IMT) (normal <26 kg/m2, overweight 26-<30 kg/m2, obesitas 30-<35 kg/m2, dan obesitas berat 35 kg/m2); ukuran batu (kecil <10 mm, sedang 10-20 mm, besar >20 mm); lokasi batu (pelvis, kutub tengah-atas, kutub bawah); komposisi batu (kalsium oksalat/fosfat, struvit, asam urat, sistin, campuran), jumlah batu (tunggal atau multipel), sudut infundibulopelvikum kutub bawah (IPA <45 atau 45), penggunaan obat antikoagulan, abnormalitas anatomi skeletal (skoliosis, cedera medulla spinalis), dan abnormalitas anatomi ginjal (ginjal bentuk horseshoe, ginjal berada di rongga pelvis) dianggap sebagai faktor prediktif preoperatif potensial. Variabel tersebut dibandingkan menggunakan analisis univariat antara mereka yang bebas-batu ginjal dan tidak. Analisis dilakukan menggunakan uji chi-kuadrat untuk variabel kategorikal, dan uji Kruskal-Wallis dan Wilcoxon dan Mann-Whitney U untuk variabel kontinyu. Selanjutnya, dilakukan analisis multivariat menggunakan model regresi logistik metode bertahap untuk meramalkan tingkat bebas-batu ginjal. Keseluruhan analisis dikerjakan pada perangkat lunak Statistical Package for Social Sciences, versi 11.5 (SPSS, IBM, Armonk, NY). Statistik dianggap bermakna jika nilai P <0.05.

HASIL Karakteristik Pasien dan Batu Ginjal Penelitian ini melibatkan 111 (53,6%) pasien laki-laki dan 96 (46,4%) pasien perempuan. Rerata usia pasien adalah 32.918.8 tahun (rentang 1-74) dan rerata ukuran batu adalah 16.24.1 mm (rentang 8-40). Secara umum, 207 pasien dikelompokkan kedalam empat kategori umur saat menjalani operasi RIRS: usia 7 tahun (20 orang, 9.7%), usia 8-17 tahun (38 orang, 18.4%), usia 18-60 tahun (134 orang, 64.7%), dan usia >60 tahun (15 orang, 7.2%). Dari semua pasien, 16.4% memiliki batu berdiameter >20 mm, 79.2% berdiameter 10-20 mm, dan 4.3% berdiameter <10 mm. Pada umumnya pasien datang dengan batu kaliks tunggal (144 orang, 69.6%), dan 63 pasien sisanya (30.4%) memiliki batu kaliks multipel. Kutub bawah (42.5%) dan pelvis ginjal (30.9%) tercatat sebagai lokasi batu tersering, sedangkan 26.6% sisanya berlokasi di kutub tengah atau kutub atas ginjal. Hasil analisis mengungkapkan batu kalsium oksalat/fosfat ditemukan pada 103 pasien (49.8%), struvit pada 16 pasien (7.7%), sistin pada 7 pasien (3.4%), asam urat pada 14 pasien (6.8%), dan komposisi campuran ditemukan pada 67 pasien (32.4%). Rerata indeks massa tubuh (IMT) pasien adalah 27.5 kg/m2 (rentang 19.1-41.6). Dari keseluruhan pasien, 32.3% diantaranya memiliki indeks massa tubuh normal, 28.5% obesitas, dan 30% obesitas berat. Kami mengidentifikasi ada 17 pasien (8.2%) yang mengkonsumsi antikoagulan warfarin, klopidogrel, atau asam asetil salisilat, dimana pengobatan dihentikan sebelum menjalani operasi. Lima belas pasien dengan anomali ginjal juga ditemukan. Sembilan pasien (2 lakilaki, 7 perempuan) memiliki ginjal horseshoe dan 6 pasien (semuanya laki-laki) mengalami pelvic kidney (ginjal berada di rongga pelvis). Deformitas muskuloskeletal kongenital atau dapatan ditemukan pada 14 pasien meliputi 6 pasien mengalami skoliosis, 6 cedera medulla spinalis, 1 spondilitis ankilosa, dan 1 spina bifida. Karakteristik batu dan demografik pasien terangkum dalam tabel 1 dan 2.

Tabel 1. Sebaran Demografi Pasien Bebas-Batu Jumlah Pasien Jumlah pasien (%) Laki-laki Perempuan Usia 7 tahun 8-17 tahun 18-60 tahun >60 tahun IMT <26 kg/m
2 2

Ya 178 (86%) 96 (86.5%) 82 (85.4%)

Tidak 29 (14%) 15 (13.5%) 14 (14.6%)

Nilai P

207 111 (53.6%) 96 (46.4%)

0.852

0.852 20 (9.7%) 38 (18.4%) 134 (64.7%) 15 (7.2%) 17 (85%) 32 (84.2%) 115 (85.8%) 14 (93.3%) 3 (15%) 6 (15.8%) 19 (14.2%) 1 (6.7%) 0.164 67 (32.3%) 62 (30%) 59 (28.5%) 19 (9.2%) 58 (86.5%) 55 (88.7%) 51 (86.4%) 13 (68.4%) 9 (13.5%) 7 (11.3%) 8 (13.6%) 6 (31.6) 0.713 17 (8.2%) 190 (91.8%) 14 (82.4%) 164 (86.3%) 3 (17.6%) 26 (13.7%) 0.975

26-30 kg/m 35 kg/m2 Antikoagulan Ya Tidak Deformitas

30-35 kg/m2

Muskuluskeletal Ya Tidak Malformasi Ginjal Ya Tidak 15 (7.2%) 192 (92.8%) 10 (66.7%) 168 (87.5%) 5 (33.3%) 24 (12.5%) 14 (6.8%) 193 (93.2%) 12 (85.7%) 166 (86%) 2 (14.3%) 27 (14%) 0.042*

*Signifikan secara statistik jika nilai P <0.05

Tabel 2. Karakteristik Batu Bebas-Batu Jumlah Pasien Ukuran batu (%) >20 mm 11-20 mm 10 mm Lokasi batu Kutub bawah Pelvis Kutub atas/tengah Jumlah batu Tunggal Multipel Sudut infundibulopelvikum <45 45 Komposisi batu Ca oksalat/fosfat Struvit Asam urat Sistin Campuran 103 (49.8%) 16 (7.7%) 14 (6.8%) 7 (3.4%) 67 (32.4%) 89 (86.4%) 10 (62.5%) 10 (71.4%) 7 (100%) 62 (92.5%) 14 (13.6%) 6 (37.5%) 4 (28.6%) 5 (7.5%) 40 (46.5%) 46 (53.5%) 26 (65%) 42 (91.3%) 14 (35%) 4 (8.7%) 0.01* 144 (69.6%) 63 (30.4%) 128 (88.9%) 16 (11.1%) 50 (79.4%) 13 (20.6%) 0.003* 88 (42.5%) 64 (30.9%) 55 (26.6%) 69 (78.4%) 58 (90.6%) 51 (92.7%) 19 (21.6%) 6 (9.4%) 4 (7.3%) 0.049* 34 (16.4%) 164 (79.2%) 9 (4.3%) 17 (50%) 17 (50%) Ya Tidak Nilai P <0.001*

153 (93.3%) 11 (6.7%) 8 (88.9%) 1 (11.1%) 0.025*

*Signifikan secara statistik jika nilai P <0.05 Temuan Operatif Dilatasi orifisum uretra diperlukan pada 13 kasus (6.2%) dan sheath akses ureter dipasang pada 173 pasien (83.5%). Rerata durasi operasi adalah 52 menit (rentang 15-95). Pada 21 pasien (10.1%), batu direlokasi di pelvis atau

kutub atas melalui basketing sehingga memberikan visualisasi yang lebih baik selama litotripsi. Secara keseluruhan, 178 (86%) dari 207 pasien telah bebas-batu pasca operasi awal. Dua puluh sembilan pasien masih memiliki sisa batu setelah operasi RIRS pertama, 6 pasien ditindaklanjuti dengan SWL, 5 pasien menjalani operasi RIRS kedua, 4 pasien berhasil tertangani dengan PCNL, 14 pasien sisanya dengan fragmen residual asimptomatis pada kaliks ginjal dipantau secara konservatif. Stent Double-J dipasang pada 147 pasien (71%) diakhir prosedur. Komplikasi terjadi pada 16 pasien (7.7%) meliputi 1 kasus perforasi uretra, 5 kasus infeksi saluran kemih, 4 kasus kolik ginjal dan nyeri pada lokasi pemasangan stent, dan 4 kasus hematuri. Semua pasien memperoleh terapi konservatif berupa antibiotik dan atau pemasangan stent Double-J di ureter selama 4 minggu. Data dan klirens batu pada periode operatif dan postoperatif dirinci dalam tabel 3. Tabel 3. Temuan perioperatif dan postoperatif Dilatasi orifisium ureter Penggunaan sheath akses ureter Rerata durasi operasi (menit) Lama perawatan (hari) Komplikasi (%) Perforasi ureter Nyeri abdomen Gangguan buang air kecil Hematuria Demam atau infeksi postoperatif Urosepsis Stent Double-J 1 (0.5%) 4 (1.9%) 4 (1.9%) 4 (1.9%) 5 (2.4%) 2 (1%) 147 (71%) 13 (6.2%) 173 (83.5%) 52 (15-95) 2.1 (1-4)

Analisis Data Karakteristik pasien dan batu ginjal dibandingkan antara pasien bebasbatu dengan mereka yang masih memiliki sisa batu. Analisis univariat menunjukkan bahwa ukuran batu (P<0.001), lokasi batu (P=0.025), komposisi batu (P=0.01), jumlah batu (P=0.049), malformasi ginjal (P=0.042), dan sudut infundibulopelvikum kutub bawah (P=0.003) memiliki pengaruh yang signifikan terhadap tingkat bebas-batu pasca operasi RIRS. Analisis regresi logistik multivariat menggunakan semua faktor juga menunjukkan bahwa ukuran batu, komposisi batu, jumlah batu, malformasi ginjal, dan sudut infundibulopelvikum memiliki pengaruh yang signifikan dalam keberhasilan terapi. Usia pasien, jenis kelamin, indeks massa tubuh, terapi antikoagulan, dan abnormalitas anatomi skeletal bukan prediktor signifikan. Kami menetapkan kondisi-kondisi yang dapat meramalkan tingkat bebas-batu yang signifikan dan memberinya bobot tertentu. Jumlah bobot semua kondisi tersebut merupakan skor Resorlu-Unsal (ResorluUnsal Score, RUS). Namun, komposisi batu biasanya belum diketahui pada periode preoperatif sehingga faktor ini dianggap kurang bermanfaat dalam pemberian konseling preoperatif. Oleh karena itu, komposisi batu tidak dimasukkan dalam sistem skoring. Skor ini terdiri dari 4 kondisi klinis dengan nilai total 0-4 (lihat tabel 4). Sebagai contoh, seorang wanita 35 tahun dengan ginjal ektopik memiliki batu ginjal berukuran 25 mm akan diberi nilai 1 untuk ukuran batunya dan nilai 1 untuk abnormalitas ginjalnya, sehingga total skor pada pasien ini adalah 2. Pasien dikelompokkan berdasarkan skor RUS (0, 1, 2, 3) dan tingkat bebas-batu dibandingkan pada keempat kelompok tersebut. Skor RUS 0 ditemukan pada 104 pasien (50.2%), skor 1 pada 62 pasien (29.9%), skor 2 pada 30 pasien (14.5%), dan skor 3 ditemukan pada 11 pasien (5.3%). Bersihan batu secara lengkap terjadi 97.1%, 85.4%, 70%, dan 27.2% berturut-turut pada pasien dengan skor RUS 0, 1, 2, dan 3. Tidak ada hubungan bermakna antara skor RUS dengan tingkat bebas-batu (P <0.05).

Tabel 4. Skor Resorlu-Unsal (RUS) BOBOT 1 1 1 1 KONDISI KLINIS Ukuran batu >20 mm (satu wt per 10 mm) Lokasi batu di kutub bawah dan sudut IPA <45 Jumlah batu dalam kaliks berbeda >1 Abnormalitas anatomi ginjal (ginjal horseshoe atau ginjal pelvik

KOMENTAR Berkat penemuan ureteroskop fleksibel generasi baru dengan

kemampuan defleksi dan kontrol yang lebih baik, maka ureteroskopi endoskopik dan litotripsi laser sebagai tatalaksana kalkuli renal juga semakin berkembang. Beberapa laporan penelitian terbaru memaparkan bahwa litotripsi laser ureteroskopik retrograde memiliki tingkat keberhasilan yang dapat diandalkan dalam penanganan batu ginjal. Meskipun demikian, prosedur tersebut memiliki sejumlah keterbatasan penggunaan dan tidak selalu menjamin pasien bebas-batu ginjal pasca operasi, padahal sangat penting artinya informasi seputar tingkat bebas-batu diberitahukan kepada pasien sebelum operasi. Dalam penelitian ini, kami mengevaluasi beragam parameter terkait hasil operasi RIRS. Berdasarkan hasil analisis, usia pasien bukan prediktor status bebas-batu yang signifikan. Anak usia pra sekolah memiliki kemiripan tingkat bebas-batu dengan anak yang lebih tua bahkan dengan orang dewasa pada kasus kalkuli intrarenal yang memperoleh terapi endoskopi retrograde. Pada tahun 2007, Cannon et al melaporkan tingkat bebas-batu sebesar 76% pada 21 orang anak dengan kalkuli renal kutub bawah dan diameter batu rata-rata 12.2 mm. Mereka menjumpai adanya kemiripan tingkat bebas-batu antara pasien kalkuli intrarenal pra dan pasca pubertas. Smaldone et al. menerbitkan sebuah publikasi pediatrik berskala besar seputar URS pada 100 pasien dengan urolithiasis. Penelitian yang melibatkan 33 pasien dengan batu ginjal tersebut menunjukkan tingkat bebas-batu sebesar 91%, tetapi hasil batu ginjal tidak disebutkan secara terpisah. Hasil URS

pada populasi usia lanjut pada umumnya sama dengan hasil pasien dewasa. Oleh karena itu, usia tampaknya merupakan faktor yang kurang berpengaruh terhadap hasil RIRS baik pada pasien usia lanjut maupun pediatrik. Kami menemukan bahwa IMT bukan prediktor hasil terapi yang signifikan, sebagaimana dilaporkan dalam berbagai penelitian. Andreoni et al. melaporkan pengalaman penelitiannya terhadap 8 pasien dengan IMT antara 45 dan 65 kg/m2. Tingkat bebas-batu pada pasien tersebut mencapai 70% tanpa komplikasi serius. Dash et al. tidak menemukan perbedaan signifikan dalam hal klirens batu dan tingkat keberhasilan antara pasien obese dan non obese. Dalam penelitian ini, tidak perbedaan signifikan dalam hal tingkat bebas-batu dan komplikasi antara pasien dengan IMT normal, overweight, obesitas, dan obesitas berat. Efektifitas operasi RIRS tidak dipengaruhi oleh ukuran tubuh pasien, dan tingkat bebas-batu yang tinggi menjadikan teknik tersebut ideal sebagai terapi bagi populasi obese yang semakin bertambah jumlahnya. Diatesis (kelainan pembekuan darah) yang tidak dapat tertangani merupakan kontraindikasi mutlak tatalaksana batu ginjal dengan SWL, PCNL, operasi terbuka, atau laparoskopi. Hanya RIRS satu-satunya teknik operasi yang berpotensi sebagai alternatif terapi bagi pasien tidak boleh menghentikan konsumsi antikoagulan pada periode perioperatif sekalipun. Pada tahun 2003, Klinger et al. mengevaluasi keamanan dan efektifitas penatalaksanaan batu ginjal pada pasien dengan gangguan pembekuan daran. Mereka membuktikan bahwa pasien yang mengalami koagulopati beresiko lebih tinggi mengalami komplikasi walaupun parameter lainnya dalam batas normal, oleh karena itu manipulasi secara endoskopis lebih disukai dibanding SWL. Pada tahun 2008, Turna et al. melaporkan pengalamannya melakukan URS dengan litotripsi laser pada 37 pasien batu ginjal yang telah mengkonsumsi antikoagulan dalam jangka panjang. Mereka menunjukkan bahwa URS dan litotripsi Holmium:YAG dapat dikerjakan dengan aman dan efektif pada pasien kalkuli renal yang telah mengkonsumsi antikoagulan tanpa memerlukan manipulasi perioperatif. Dalam penelitian ini, tidak terjadi komplikasi berat pasca operasi RIRS.

Berdasarkan analisis univariat maka ukuran batu, tipe, lokasi dan jumlahnya ditemukan sebagai faktor yang mempengaruhi tingkat bebas-batu pasca operasi RIRS. Namun, dalam analisis multivariat, lokasi batu tidak dianggap signifikan dalam menentukan tingkat keberhasilan. Batu yang berlokasi di kutub bawah diakui sangat sulit dikeluarkan karena defleksi ureteroskop fleksibel terbatas sehingga kaliks bagian bawah sulit terjangkau. Lebih dari 40% kasus kalkuli intrarenal dalam penelitian ini berlokasi di kaliks kutub bawah. Kami berupaya mencari dampak anatomis pelvikokaliseal kutub bawah ini terhadap klirens batu ginjal dan menemukan bahwa sudut infundibulopelvikum pada pasien bebas-batu dan non bebas-batu berturut-turut sebesar 48 dan 35. Sudut infundibulopelvikum jauh lebih besar pada kelompok pasien bebas-batu. Sudut infundibulopelvikum >45 berkaitan erat dengan tingginya tingkat keberhasilan operasi RIRS (91% vs 65%). Kami menemukan bahwa ukuran batu memiliki pengaruh signifikan terhadap tingkat keberhasilan operasi. Untuk batu ginjal berukuran 10 mm dan 11-20 mm, keduanya memberikan tingkat bebas-batu yang hampir sama. Berbeda dengan batu yang berdiameter lebih besar (>20 mm), biasanya dikaitkan dengan tingkat bebas-batu yang lebih rendah. Kelemahan utama operasi RIRS adalah diperlukannya beberapa tindakan operasi lain untuk mengevakuasi batu berukuran besar, padahal dengan teknik PCNL tingkat bebas-batu sebesar 95% dapat tercapai bahkan hanya dengan sekali operasi. Beberapa kelompok peneliti pernah melaporkan pengalaman menangani batu ginjal berukuran >2 cm secara ureteroskopik. Miller et al. menyimpulkan bahwa RIRS bukan metode efektif untuk menangani batu ginjal kompleks yang berukuran >2 cm karena tingkat klirensnya jauh lebih rendah dibanding PCNL. Breda et al. melaporkan tingkat bebas-batu pada 51 pasien yang telah menjalani 1 dan 2 prosedur berturut-turut sebesar 64.7% dan 92.2%, pada kasus batu ginjal unilateral multipel berukuran >20 mm dan <20 mm berturut-turut sebesar 85.1% dan 100%. Faktor prognostik lain misalnya komposisi dan jumlah batu juga mempengaruhi hasil operasi secara signifikan. Pasien dengan batu struvit

cenderung lebih sering mengalami perdarahan mukosa selama operasi, sehingga memperburuk tingkat bebas-batu. Namun, pada umumnya komposisi batu belum dapat ditentukan pada periode preoperatif. Dengan membandingkan tingkat bebas batu pasca operasi awal pada batu tunggal dan multipel, kami menemukan bahwa pasien dengan kalkuli soliter cenderung memberikan hasil lebih baik dibanding pasien dengan kalkuli multikaliks. Pasien yang mengalami deformitas tulang belakang cenderung

mangalami batu ginjal dengan prevalensi sekitar 7-11%, rekurensi pasca operasi mencapai 77%. Faktor resiko nefrolithiasis pada populasi pasien tersebut adalah infeksi saluran kemih rekuren dan hiperkalsiuria terkait imobilitas lama. Tidak tersedia laporan ilmiah yang memuat keamanan dan efektifitas operasi RIRS pada pasien yang mengalami deformitas tulang belakang. Symons et al. telah meneliti 29 pasien dengan neuropati medulla spinalis yang menjalami 39 prosedur PCNL. Tingkat bebas-batu yang tercapai hanya sebesar 62% setelah operasi pertama, dan morbiditas prosedur sangat tinggi, tercatat dua kematian terjadi pada periode postoperatif. Kami tidak menemukan perbedaan yang signifikan dalam hal komplikasi dan tingkat bebas batu pada kelompok pasien tersebut dibanding sisa populasi lainnya. Posisi ginjal ektopik dan insersi ureter yang terlampau tinggi merupakan tantangan tersendiri dalam penanganan pasien dengan kalkuli renal. Sampai sekarang, modalitas terapi yang paling sering digunakan adalah PCNL dan SWL. Rendahnya tingkat klirens pasca SWL dan tingginya tingkat komplikasi PCNL, maka RIRS kemungkinan besar merupakan strategi terapi yang lebih baik pada kasus anomali ginjal. Tingkat bebas-batu sebesar 66.7% dalam penelitian ini sebetulnya jauh lebih rendah dibanding PCNL, tetapi tanpa komplikasi berbahaya dan masa rawat inap yang satu setengah kali lebih singkat. Pada tahun 2005, Weizer et al. mempublikasikan laporan tatalaksana retrograde pertama dan melibatkan 4 pasien yang mengalami ginjal horseshoe. Mereka melaporkan klirens batu berlangsung lengkap pada 3 pasien (75%). Molimard et al. juga melaporkan hasil penelitiannya dalam menangani kasus batu ginjal pada 17 pasien

ginjal horseshoe menggunakan ureteroskop fleksibel. Rerata diameter batu adalah 16 mm, dan tingkat bebas batu sebesar 53% setelah operasi pertama; 88% pasien bebas-batu setelah menjalani rata-rata 1.5 kali tindakan. Dalam konteks ini, skor RUS yang lebih tinggi berkaitan erat dengan tingkat bebas-batu pasca RIRS yang lebih rendah. Dalam penelitian lain, kami membandingkan keamanan dan efektifitas antara PCNL dan RIRS untuk kasus batu ginjal yang berlokasi di kutub bawah pada pasien dewasa. Kami menemukan bahwa tingkat keberhasilan sekaligus komplikasi lebih tinggi pada pendekatan perkutaneus, tetapi secara statistik tidak ada perbedaan signifikan. Oleh karena itu, PCNL kemungkinan merupakan terapi yang lebih efektif dibanding RIRS, khususnya pada pasien yang memiliki skor RUS 2. Biar bagaimana pun, penelitian ini memiliki banyak keterbatasan. Penelitian ini hanya dilakukan secara retrospektif dari institusi tunggal, dan hasilnya didasarkan pada ukuran sampel yang terbatas. Oleh karena sedikitnya jumlah pasien, kami memberikan bobot yang sama untuk setiap prediktor. Penelitian ini merupakan langkah awal dalam mengevaluasi faktor prognostik yang berkaitan dengan efektifitas tindakan RIRS, dan verifikasi lebih lanjut pada sistem skor ini menggunakan data eksternal sangat penting sebelum diterapkan lebih luas. KESIMPULAN Hasil penelitian ini telah memaparkan bahwa pasien dengan batu multipel, batu berukuran besar, sudut infundibulopelvikum yang kecil, batu jenis struvit, atau malformasi ginjal merupakan kandidat yang tidak memenuhi syarat operasi RIRS. Kami telah mengembangkan sebuah sistem skoring sederhana dan praktis untuk meramalkan tingkat bebas-batu ginjal pasca operasi RIRS sehingga akan memberikan manfaat dalam konseling pasien dan pengambilan keputusan oleh ahli bedah mengenai rencana penanganan batu ginjal.

Anda mungkin juga menyukai