Anda di halaman 1dari 5

EVOLUSIONISME DALAM TEORI ILMU PENGETAHUAN SOSIAL Soetandyo Wignjosoebroto

Harmoni, progress, positivisme yang induktif. Tatkala dalam perkembangan filsafat dan teori ilmu pengetahuan sosial selewatnya abad pertengahan para pemikir di negeri-negeri Eropa Barat kian memantapkan keyakinannya akan kebenaran paradigma harmoni yang dinamik (namun yang tetap tertib dalam struktur kehidupan bermasyarakat manusia), konsekuensi logisnya ialah termantapkannya pula ide progresisme dalam kehidupan manusia itu. Paradigma ini, berseiring dengan kian populernya konsep Galilean-Newtonian yang berada dalam alur saintisme mengenai tertib semesta yang universal ini. Demikianlah, lahirnya empirisme dan rasionalisme pada abad renaisans secara berangsur telah untuk menggeser ke pinggir konsep Platonian-Aristotelian. Analisis-analisis yang empirik-induktif, yang memberikan makna penting pada arti pengalaman indrawi dalam sebuah konteks, guna membangun konstruksi-konstruksi teori yang rasional, lalu menjadi kian bertambahtambah populer dalam dunia pemikiran keilmuan di Barat. Keabadian, ataukah relativisme yang mengabadikan perubahan? Tatkala kenyataan dalam kehidupan memberikan contoh-contoh nyata mengenai pesatnya perubahan yang bisa disimak, keabadian menjadi sesuatu yang acap patut dipertanyakan, dan setiap kaidah pembenaran akan mulianya keabadian menjadi terlecehkan sebagai suatu konservatisme kaum kolot. Perubahan tersimak sebagai fakta adanya perbedaan antara yang dulu dan yang sekarang, dan sekaligus merekamkan pengetahuan bahwa yang ada sekarang ini, apapun perbedaannya dari yang dulu, sebenarnya hasil perkembangan saja (yang progresif, dalam taraf kualitasnya yang meningkat!) dari fakta yang semula ada. Tak pelak lagi, semua fenomen di alam semesta ini harus dianggap secara konseptual memiliki karakter historisitasnya, dengan keyakinan bahwa tak ada keabadian macam apapun dalam kehidupan di alam semesta ini. Perubahan itu mengarah ke terjadinya perbedaan. Apa yang terkandung dalam tesis mengenai tiadanya keabadian melainkan kefanaan saja yang ada di semesta ini sebenarnya merupakan suatu pernyataan lain dari suatu proposisi yang hendak mengatakan bahwa yang ada di semesta ini sesungguhnya tak lain hanyalah perubahan saja. All must change, kata Longfellow, to something new and to something strange; atau, menurut Heraklitos yang berasal dari masa yang lebih tua, semua akan berubah dan hanya adanya perubahan itu sendiri yang tidak akan pernah berubah. Semula, dalam kehidupan yang relatif tradisional dan statik, orang memang tidak terlalu menyadari bahwa perubahan itu memang ada dan (lebih dari itu!) signifikan. Mereka memang menyadari adanya perbedaan-perbedaan; namun itu semua adalah perbedaan bentuk antar-fenomena yang hadir pada suatu tempat dan pada suatu waktu, tetapi bukan perbedaan yang terjadi sebagai hasil atau akibat proses perkembangan antar-waktu.

Perbedaan kini sebagai produk perubahan yang lalu. Mengamati dengan jeli alam kehidupan fauna, pada awal abad 19 seorang biolog bernama Lamarck berprakarsa untuk membuat taksonomi hewan-hewan itu dengan cara mengelompokkan mereka itu ke dalam golongan-golongan atas dasar kesamaan, kemiripan dan perbedaan-perbedaannya. Lamarck memang tidak terfikir dan hendak berpikir untuk menghipotesiskan adanya perbedaan itu sebagai hasil perubahan dan perkembangan bentuk dalam lintasan antar-waktu. Hipotesis yang cukup imajinatif untuk menjelaskan perbedaan bentuk fisikal antar-makhluk fauna sebagai bersebab dari adanya perubahan dan perkembangan bentuk yang progresif dalam suatu rentang waktu (yang panjang!) itu baru diajukan 50 tahun kemudian sejak lahirnya taksonomi Lamarck. Penggagas hipotesis itu ialah oleh Wallace dan oleh Darwin dalam waktu yang hampir bersamaan. Apabila Lamarck berhasil mengkategorikan berbagai jenis makhluk atas dasar perbedaan dan/atau kemiripan mereka, Wallace dan Darwin mempertanyakan dan mencoba menghipotesiskan apakah besar-kecilnya kemiripan itu ada hubungannya dengan riwayat asal-muasal moyang biologik mereka. Sebuah hipotesis tentang evolusi. Hipotesis bertolak dari suatu intellectual guessing bahwa bentuk yang berbagai-bagai ada yang mirip, ada yang agak mirip, ada yang tak terlalu mirip, ada yang amat kurang mirip itu berkemungkinan besar berasalketurunan dari satu bentuk moyang yang sama dari suatu masa lampau. Makin mirip bentuk dua spesi makhluk, makin berjarak pendek rentang waktu antara kedua makhluk itu dengan moyang tunggalnya. Sementara itu, makin kurang mirip bentuk dua spesi makhluk itu, secara implicit akan mengidikasikan makin berjarak panjangnya rentang waktu antara kedua makhluk itu dengan moyang tunggalnya. Perbedaan antar-makhluk terjadi karena terjadinya transformasi bentuk sepanjang lintasan waktu oleh bekerjanya suatu mekanisme dalam proses genesis (yang belum bisa dibuktikan adanya berdasarkan data empiric oleh Wallace atau Darwin, namun yang kemudian toh dapat ditunjukkan bukti kebenaran empiriknya oleh seorang padri (!) bernama Mendel). Monogenesis versus poligenesis. Teori kejadian oleh Wallace dan Darwin -- yang menspekulasikan variasi bentuk fisikal makhluk-makhluk itu merupakan hasil perkembangan yang berlangsung sepanjang lintasan waktu dan berawal dari satu titik asal moyang yang sama (disebut teori monogenesis yang berlawanan dengan teori sebelumnya yang disebut teori polygenesis) -- itu sebenarnya hanya berkenaan dengan kehidupan biologik-kodrati makhluk-makhluk hewani. Sebenarnya tidaklah ada maksud Darwin untuk mencoba menggunakan hipotesisnya tentang the origin of the species yang kemudian disebut teori evolusi itu untuk juga menspekulasikan the origin of human beings. Namun demikian, sudah sejak awal hipotesis Darwin ini dianggap melawan ajaran agama yang lebih meyakini kebenaran teori poligenesis yang Leibnizian itu. Perubahan lingkungan, mutasi gen, imperativa adaptasi. Kemampuan lingkungan yang secara potensial akan berfungsi sebagai determinan terjadinya perbedaan-perbedaan variatif antar-bentuk makhluk, sebagaimana terproses dalam suatu rentang waktu yang panjang, haruslah didalilkan secara hipotetik sebagai kausa terjadinya evolusi dalam proses genesis yang berawal dari satu bentuk asal yang primordial. Seiring dengan itu dihipotesiskan pula adanya kemungkinan terjadinya perubahan pada unsur gen (sel pada benih makhluk) yang akan terwujud kelak dalam perubahan anatomik dan fisiologik makhluk setelah dilahirkan/ditetaskan. Perubahan

ini akan tersimak sebagai penyimpangan bentuk (yang disebut mutasi) dalam proses turun-temurunnya keturunan. Mutasi bisa berefek merugikan kemungkinan dan/atau kesempatan berlestari hidup (chance of survival) pada makhluk yang bersangkutan, akan tetapi juga tidak muhal kalau akan menguntungkan. Semua itu akan ditentukan apakah terjadinya mutasi itu akan bersifat adaptif ataukah maladaptif pada lingkungan yang juga berubah. Teori evolusi memang bertumpu pada tesis besar mengenai terjadinya perubahan kondisi lingkungan yang berseiring secara interaktif dengan terjadinya perubahan mutatif pada makhluk, dengan resultante yang positif. Ialah tertingkatkannya chance of survival makhluk yang bersangkutan itu, tidak hanya sebagai individu akan tetapi juga sebagai spesies. Survival of the fittest. Seluruh uraian di muka mengenai perubahan lingkungan, mutasi dan chance of survival (sebagaimana ditentukan oleh kemampuan adaptif makhluk) itu secara ringkas memproposisikan suatu simpulan bahwa hanya yang paling pas dalam proses adaptasinya kepada lingkungan itu sajalah yang akan berlestari hidup turun-temurun sebagai suatu spesies. Ikan beradaptasi dalam lingkungan air, beruang es beradaptasi di tengah lingkungan kutub yang dingin, unta beradaptasi di lingkungan gurun yang kering, dan kemampuan beradaptasi makhlukmakhluk ini telah membuktikan survival mereka itu sebagai suatu spesies. Ikan pastilah tak bisa beradaptasi di gurun, unta tak bisa beradaptasi di kutub, sedangkan beruang es tak bisalah beradaptasi dalam kehidupan air sungai di daerah tropik. Semua itu menurut teori evolusi yang mendalilkan hukum the survival of the fittest jelas kalau tak hendak berparadigma poligenesis sebagaimana ditafsir dalam kitab melainkan hendak bertumpu saja kepada paradigma monogenesis dengan keragaman wujud yang tidak berasal dari yang semulajadi melainkan yang bersebab dari proses evolusi sepanjang sejarah, hasil permainan interaktif lingkungan eksternal dan potensi gen yang internal Inilah permainan interaktif antara the internal factors dan the external factors. Paradigma teori evolusi adalah para digma perubahan yang progresif, dari model yang satu ke model berikutnya yang menjurus ke tataran baru yang dinilai lebih sempurna. Evolusionisme dalam filsafat dan teori-teori sosial. Sudah pada dasawarsa yang bersamaan dengan lahirnya teori evolusi di bidang ilmu hayat, teori evolusi ini diaplikasikan pula dalam alam pemikiran ilmu-ilmu sosial. Hanya saja, terjadilah distorsi di sini. Pertama-tama, dalil survival of the fittest termaknakan dalam suatu alam pemikiran yang amat nasionalistik-cauvenistik yang terkadang malah bernuansa rasis sebagai dalil yang kuat sajalah yang akan menang. Dalil hasil distorsi pemaknaan seperti ini lalu gampang melahirkan ideologi imperialistik yang seolah hendak membenarkan penguasaan oleh mereka yang kuat dan jaya atas mereka yang lemah. Kelemahan dan keduafaan adalah hasil seleksi alam, yang berlangsung lewat keniscayaan alam sebagai-mana terwujud dalam permainan interaktif antara lingkungan yang berubah mutasi gen pada suatu spesies yang di dalam ilmu sosial harus diartikan perubahan kemampuan teknologik suatu bangsa. Ideologi seperti ini, yang sesungguhnya bukan lagi terbilang teori keilmuan yang tujuannya hanya hendak sekedar menjelaskan (dan tidak mengajarkan), telah mengabaikan teori asali Darwin, bahwa segala varian bentuk itu tidak hendak dinilai taraf superioritas etisnya, melainkan hanya hendak dilihat keefektifan fungsi sosio-kultural berikut terapan teknologiknya yang relatif untuk beradaptasi dan bertahan hidup dalam suatu lingkungan yang selalu berubah di tengah alam kefanaan.

Evolusionisme dalam teori-teori sosial tentang hukum. Pengaruh teori evolusi Darwin pada pemikiran para teoretisi ilmu pengetahuan sosial tak pelak lagi pengaruh itu telah juga bersiterus secara langsung ataupun tidak -- ke alam pemikiran teoretisi ilmu pengetahuan sosial yang memfokuskan perhatiannya kepada persoalan-persoalan perkembangan hukum sebagai institusi sosial. Manakala pada asasnya teori evolusi Darwin itu mengedepankan tesis bahwa fenomen hayati itu mengalami perkembangan dari yang wujud-wujud organisme yang simpleks ke yang kompleks, maka perkembangan masyarakat -- sebagai suatu supra organisme dengan segenap komponen organiknya (yang disebut institusi, yang salah satunya adalah pranata hukum) akan berkenyataan demikian pula. Pranata hukum yang simpleks untuk menata tertibnya hubungan-hubungan dalam satuan-satuan kerabat yang berskala terbatas, berdasarkan askripsi-askripsi tradisional, akan berevolusi menuju ke wujudnya yang lebih kompleks untuk menata hubungan-hubungan dalam skala nasional yang lebih luas dan yang kini tak dapat tidak harus dibangun berdasarkan kesepakatan-kesepakatan kontraktual yang mesti diupayakan secararasional dari interaksi ke interaksi antar-individu. Demikian itu penjelasan Henri Sumner Maine. Evolusi seperti itu juga dijelaskan oleh Emil Durkheim sebagai suatu perkembangan progresif dari model tertib masyarakat yang bertatanan hukum dengan solidaritas atau komitmen moral yang terbilang mekanik (ialah antara satuan-satuan yang homogen dan independen) ke model tertib masyarakat yang bertatanan hukum dengan solidaritas yang terbilang organisk (ialah antara satuan-satuan yang heterogen dan interdependen. Cabaran pemuka agama. Teori Darwin ini juga menyimpulkan suatu proposisi tentang pentingnya pengaruh lingkungan yang empirik -- namun yang juga sulit diduga arah dan resultante pengaruhnya itu sehubungan dengan bekerjanya berbagai contingencies atau chances -- kepada arah perkembangan variatif bentuk-bentuk organisme yang telah ada kini ini nantinya. Mengingat konsep kaum positivis yang menyebut chance itu sebagai kausa yang belum diketahui, sedangkan Darwin sebagai seorang scientist tentulah telah jelas kalau ia itu selalu berpikir sebag ai seorang positivis, maka sekali lagi di sini ia tak akan sealiran dengan cara berpikir yang dianut di kalangan pemuka agama mengenai asal kejadian yang berparadigma teologik dan teleologik yang final. Sekali lagi di sini teori Darwin dimaknakan oleh para ulama sebagai suatu ajaran yang sesat, karena teori ini lebih mempercayai kekuatan pengaruh bekerjanya chances daripada adanya kepercayaan akan adanya keniscayaan yang telah digariskan di dalam rencana besar yang bersifat Illahi, dan yang karena itu telah sempurna dan final.. Kontroversi Yang Tercipta Dari Teori Evolusi: Tuhan Yang Personal Atau Tuhan Yang Impersonal? Dalam ajaran agama-agama samawi, Tuhan diyakini sebagai Sang Pencipta yang berprakarsa dengan berbagai karakter sebagaimana yang tertampakkan juga secara reflektif dalam diri manusia-manusia yang makhluknya. Tuhan Personal ini tergambarkan sebagai pribadi yang bisa murka, menghukum dan menyiksa (dengan api neraka) namun juga bisa rahman dan rahim, dan mengaruniai makhluknya dengan pahala surgawi. Paradigma Gallilean telah mengabaikan kalaupun tak bermaksud menihilkan secara sadar konsep Tuhan yang personal ini, dan akan gantinya telah menjadikan Tuhan sebagai suatu fenomen alam kodrat yang impersonal. Tatkala saintisme Gallilean ini didayagunakan dalam kajian-kajian yang berobjek makhluk-makhluk hidup, Tuhan Personal ini kian tiada, untuk muncul kembali dalam wujud daya hidup yang tampil sebagai penentu segala penciptaan ini,

eksis sebagai proses tanpa kehendak dan tanpa kesadaran yang mengilhami. Inilah Tuhan Impersonal yang oleh John Avise dinamakan The Genetic Gods dalam bukunya yang telah diterjemahkan dengan judul The Genetics Gods: Kuasa Gen Atas Takdir Manusia, yang diresensi oleh Zacky Khairul Umam (dalam harian Media Indonesia, 23 Juni 2007) dalam suatu tulisan yang diberi judul Kala Gen Menjadi Tuhan . Inilah gen yang abadi, eksis turun menurun dari generasi ke generasi, eksis pula sebagai determinan utama segala penjadian dan penciptaan makhluk, yang berlangsung dari masa ke masa tanpa diketahui kapan nanti masa akhirnya.

OoooO

Anda mungkin juga menyukai