Anda di halaman 1dari 3

TEKNIK PEMISAHAN KOMPONEN EKSTRAK PURWOCENG SECARA KROMATOGRAFI LAPIS TIPIS Eni Hayani1 dan May Sukmasari2

urwoceng (Pimpinella alpina Kds) merupakan tanaman obat. Seluruh bagian tanaman purwoceng dapat digunakan sebagai obat tradisional, terutama akar. Akarnya mempunyai sifat diuretika dan digunakan sebagai aprosidiak (Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan 1987), yaitu khasiat suatu obat yang dapat meningkatkan atau menambah stamina. Pada umumnya tumbuhan atau tanaman yang berkhasiat sebagai aprosidiak mengandung senyawa-senyawa turunan saponin, alkaloid, tanin, dan senyawa-senyawa lain yang berkhasiat sebagai penguat tubuh serta memperlancar peredaran darah. Di Indonesia tumbuhan atau tanaman obat yang digunakan sebagai aprosidiak lebih banyak hanya berdasarkan kepercayaan dan pengalaman (Hernani dan Yuliani 1991). Purwoceng banyak tumbuh secara liar di kawasan Dieng pada ketinggian 2.000-3.000 m dpl. Menurut Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan (1987), sebaran tanaman purwoceng di Indonesia meliputi Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Jawa Barat. Wahyuni et al . (1997) menyatakan bahwa purwoceng dapat tumbuh di luar habitatnya seperti di Gunung Putri Jawa Barat dan mampu menghasilkan benih untuk bahan konservasi. Potensi tanaman purwoceng cukup besar, tetapi masih terkendala oleh langkanya penyediaan benih dan keterbatasan lahan yang sesuai untuk tanaman tersebut (Yuhono 2004). Pemisahan ekstrak purwoceng dapat menggunakan teknik kromatografi lapis tipis (KLT). Teknik ini merupakan suatu cara pemisahan komponen senyawa kimia di antara dua fase, yaitu fase gerak dan fase diam (Kartasubrata 1987). Teknik tersebut hingga saat ini masih digunakan untuk mengidentifikasi senyawa-senyawa kimia, karena murah, sederhana, serta dapat menganalisis beberapa komponen secara serempak (Hernani 1999). Teknik standar dalam melaksanakan pemisahan dengan KLT diawali dengan pembuatan lapisan tipis adsorben pada permukaan plat kaca (Institut Teknologi Bandung 1995). Tebal lapisan bervariasi, bergantung pada analisis yang akan dilakukan (kualitatif atau kuantitatif).
1

Pemisahan komponen kimia dari ekstrak purwoceng secara KLT bertujuan untuk mengetahui komponen-komponen yang terdapat dalam ekstrak tersebut. Percobaan dibuat dengan berbagai pereaksi (eluen) untuk mengetahui eluen atau pereaksi yang dapat memperoleh komponen terbanyak dari ekstrak purwoceng.

BAHAN DAN METODE Percobaan dilaksanakan di laboratorium Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat pada bulan Juli- September 2003. Peralatan yang digunakan antara lain adalah gelas piala, pengaduk, plat kaca, spreader , oven, neraca, pipet, pipet kapiler, dan bejana pengembang. Purwoceng yang diamati berasal dari ekstrak metanol akar dan daun. Tanaman purwoceng yang telah digiling, ditimbang 100 g lalu dimasukkan ke dalam gelas piala, ditambahkan 300 ml metanol, dan dikocok selama 2 jam. Campuran lalu didiamkan semalam dan disaring. Ampasnya ditambah metanol 100 ml lalu dikocok selama 2 jam, didiamkan semalam, filtratnya disatukan, ampasnya ditambahkan lagi 100 ml metanol, dikocok selama 2 jam, didiamkan semalam, filtratnya disatukan kemudian seluruh filtrat dipekatkan dengan menggunakan evaporator. Beberapa pereaksi atau eluen digunakan untuk memperoleh eluen yang tepat untuk pemisahan komponen dari ekstrak purwoceng. Eluen yang digunakan adalah: (1) heksana : diklorometan (DCM) : metanol (MeOH) = 20:10 :1; (2) sikloheksana : etil asetat = 4:1; (3) toluen : eter = 1:1; (4) sikloheksana : aseton = 2:1; (5) eter : sikloheksana = 1:1; (6) etil asetat : toluen = 4:6; (7) sikloheksana : aseton : toluen = 2:1:0,5; serta (8) toluen : etil asetat : sikloheksana = 3:1:1. Eluen yang diperlukan adalah 30 ml larutan pereaksi dalam bejana pengembang untuk memisahkan komponen dalam ekstrak yang telah diteteskan pada plat kaca silica gel. Sebagai contoh penggunaan pereaksi sikloheksan : etil asetat = 4 : 1 adalah campuran 24 ml sikloheksan dan 6 ml etil asetat yang terdapat dalam bejana pengembang. Begitu pula campuran beberapa pereaksi untuk keperluan proses pengembangan dalam bejana.

Teknisi Litkayasa Penyelia dan 2 Teknisi Litkayasa Pelaksana pada Balai Penelitian Tanaman Obat dan Rempah, Jalan Tentara Pelajar No. 3, Bogor 16111, Telp. (0251) 321879, Faks. (0251) 327010

Buletin Teknik Pertanian Vol. 10. Nomor 2, 2005

83

Adsorben sebagai fase diam yang digunakan yaitu silica gel 60 GF254 yang ketebalan pada plat 250m. Pendeteksi komponen adalah H2SO4 50% dan KOH 10% dalam alkohol. Pada media fase diam (plat kaca) yang telah dilapisi silica gel 60 GF 254 setebal 250 m diteteskan contoh ekstrak purwoceng dengan menggunakan pipet kapiler pada jarak 1,5 cm dari bagian bawah plat. Selanjutnya plat dimasukkan ke dalam bejana pengembang yang telah berisi pereaksi atau eluen jenuh, didiamkan sehingga batas eluen sekitar 15 cm dari awal penetesan pada plat kaca atau media fase diam yang berukuran 20 cm x 20 cm. Plat kaca lalu diangkat hingga pereaksi atau eluen menguap semua pada suhu kamar. Komponen atau spot yang terdapat pada plat diamati di bawah lampu ultra violet atau disemprot pereaksi penampak noda, dipanaskan dalam oven pada suhu 105 oC selama 10 menit. Setelah dingin diukur harga Rf dari masing-masing komponen. Harga Rf adalah perbandingan tinggi eluen pada plat silica gel dengan tinggi spot. Rf = tinggi spot (komponen) tinggi larutan pengembang

Hasil pemisahan ekstrak purwoceng dengan beberapa jenis eluen dan penampak noda H 2SO 4 50% menunjukkan hasil yang bervariasi. Untuk ekstrak daun, komponen terbanyak (12 komponen) diperoleh dengan menggunakan eluen sikloheksana dan etil asetat dengan perbandingan 4:1, dan yang paling sedikit (satu komponen) dengan eluen eter dan sikloheksan 1:1. Untuk ekstrak akar, komponen terbanyak (delapan komponen) diperoleh dengan menggunakan eluen heksan, diklorometana dan metanol 20:10:1, dan terendah (dua komponen) dengan eluen eter dan sikloheksan 1:1 (Tabel 1). Dengan demikian, penggunaan eluen eter dan sikloheksana 1:1 menghasilkan jumlah komponen paling rendah baik pada ekstrak daun maupun akar. Pemisahan komponen dari ekstrak daun dan akar purwoceng dengan menggunakan dua jenis eluen dan penampak KOH 10% dalam alkohol memberikan hasil yang relatif sama. Namun penggunaan eluen toluen, etil asetat, dan sikloheksana dengan perbandingan 3:1:1 memberikan hasil yang lebih tinggi, baik pada ekstrak daun maupun ekstrak akar (Tabel 2).

KESIMPULAN DAN SARAN HASIL DAN PEMBAHASAN Pemisahan komponen dengan KLTdipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain suhu ruang, kejenuhan uap pereaksi, ketebalan fase diam, dan cara penetesan contoh ekstrak. Kromatografi adsorbsi umumnya lebih mudah dilaksanakan karena polaritas adsorbennya tetap, sehingga pemisahan dapat dilaksanakan dengan memanipulasi polaritas pelarutnya (Adnan 1997). Harga Rf dari setiap komponen dapat dibaca setelah plat silica gel tersebut disemprot dengan pereaksi pembangkit warna (penampak noda). Komponen ekstrak daun purwoceng yang terbanyak (12 komponen) diperoleh dengan eluen sikloheksana dan etil asetat 4:1 dengan pembangkit noda H 2SO 4 50%. Untuk ekstrak akar, komponen terbanyak (13 komponen) diperoleh dengan eluen toluene, etil asetat dan sikloheksana 3:1:1 dengan pembangkit noda KOH 10% dalam alkohol. Dengan pembangkit noda KOH 10% dalam alkohol, komponen ekstrak daun dan akar pada eluen toluene, etil asetat dan sikloheksana 3:1:1 terpisah secara jelas. Pada setiap pemisahan ekstrak daun dan ekstrak akar, komponen

Tabel 1. Pemisahan komponen dari ekstrak daun dan akar purwoceng dengan menggunakan pereaksi penampak H 2SO 4 50% Eluen Ekstrak daun Heksan : diklorometana : metanol = 20:10:1 Sikloheksana : etil asetat = 4:1 5 komponen: 0,13; 0,24; 0,41; 0,87; 0,97 12 komponen: 0,10; 0,26; 0,32; 0,39; 0,42; 0,45; 0,48; 0,52; 0,58; 0,58; 0,77; 0,93 5 komponen: 0,03; 0,07; 0,17; 0,70; 0,77 4 komponen: 0,35; 0,50; 0,59; 0,81 1 komponen: 0,13 Jumlah komponen dan harga Rf Ekstrak akar 8 komponen: 0,03; 0,09; 0,20; 0,23; 0,60; 0,83; 0,84; 0,97 6 komponen: 0,29; 0,45; 0,61; 0,81; 0,90; 0,92 7 komponen: 0,03; 0,07; 0,10; 0,27; 0,33; 0,60; 0,70 6 komponen: 0,26; 0,32; 0,55; 0,59; 0,85; 0,91 2 komponen: 0,07; 0,10

Toluen : eter = 1:1 Sikloheksana : aseton = 2:1 Eter : sikloheksana = 1:1

84

Buletin Teknik Pertanian Vol. 10. Nomor 2, 2005

Tabel 2. Pemisahan komponen ekstrak daun dan akar purwoceng dengan eluen yang berbeda dan penampak KOH 10% dalam alkohol Eluen Ekstrak daun Sikloheksana : aseton : toluen = 2:1:0,5 Toluen : etil asetat : sikloheksana = 3:1:1 10 komponen: 0,03; 0,23; 0,32; 0,38; 0,44; 0,65; 0,73; 0,76; 0,82; 1,00 11 komponen: 0,06; 0,12; 0,21; 0,26; 0,35; 0,47; 0,56; 0,62; 0,71; 0,82; 1,00 Jumlah komponen dan harga Rf Ekstrak akar 11 komponen: 0,03; 0,09; 0,41; 0,50; 0,59; 0,65; 0,70; 0,76; 0,79; 0,88; 1,00 13 komponen: 0,03; 0,12; 0,15; 0,35; 0,47; 0,73; 0,76; 0,85; 0,88; 0,91; 0,94; 0,97; 1,00

terbanyak diperoleh dari ekstrak akar kecuali pada eluen sikloheksana dan etil asetat 1:4. Jenis komponen pada ekstrak belum dapat diidentifikasi. Percobaan ini perlu dilanjutkan dengan pemisahan komponen secara kolom menggunakan pelarut toluen, etil asetat dan sikloheksana 3:1:1 yang diketahui mampu menghasilkan komponen lebih banyak dan terpisah dengan jelas. Pemisahan secara kolom dapat mengetahui jenis komponen dengan menggunakan GCMS.

Hernani. 1999. Teknik identifikasi bahan aktif pada tumbuhan obat. Makalah pada Seminar Pendalaman Materi di Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat, Bogor. 13 hlm. Hernani dan Yuliani S. 1991. Obat-obat aprosidiak yang bersumber dari bahan alam. Prosiding Seminar Pelestarian Pemanfaatan Tumbuhan Obat dan Hutan Tropis Indonesia. Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor, Bogor. hlm. 130-134. Institut Teknologi Bandung. 1995. Analisis Obat secara Kromatografi dan Mikroskopi (Terjemahan). Institut Teknologi Bandung. hlm. 256. Kartasubrata, Y. 1987. Dasar-dasar kromatografi. Makalah pada Kursus Metode Analisis Instrumental. Pusat Penelitian dan Pengembangan Kimia Terapan, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Bandung. 17 hlm. Wahyuni, S, S. Koerniati, dan Nasrun. 1997. Konservasi tanaman obat langka purwoceng. Warta Perhipba 5: 8-11. Yuhono, J.T. 2004. Usaha tani purwoceng, Potensi, peluang dan masalah pengembangannya. Buletin Penelitian Tanaman Rempah dan Obat 15: 25-32.

DAFTAR PUSTAKA
Adnan, M. 1997. Teknik Kromatografi untuk Analisis Bahan Makanan. ANDI, Yogyakarta. hlm. 6. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia. Jilid III (Terjemahan dari K. Heyne 1950). Jakarta. hlm. 1550.

Buletin Teknik Pertanian Vol. 10. Nomor 2, 2005

85

Anda mungkin juga menyukai