2. Fraksinasi Teripang Laut dengan Pelarut n-heksan : etil pada Beberapa Konsentrasi
3.
KLT dengan Eluen N-heksan :
Etil asetat (9:1)
4.
KLT dengan Eluen N-heksan :
Etil : Amoniak (2:1:0.8) 4.2 Pembahasan Teripang adalah salah satu jenis komoditas perikanan yang telah lama dikonsumsi oleh masyarakat pesisir Indonesia baik dalam bentuk basah maupun kering. Kadar protein yang cukup besar memberikan nilai gizi yang baik. Kandungan lemaknya mengandung asam lemak tidak jenuh yang juga sangat diperlukan bagi kesehatan jantung dan otak. Salah satu senyawa bioaktif yang terkandung dalam teripang adalah senyawa steroid alami yang sangat potensial. Kandungan steroid dalam jaringan tubuh dan pembuluh darah dapat berupa hormon steroid, asam lemak bebas, trigliserida maupun kolesterol (Fredalina et al. 1999; Kustiariyah, 2006; Nurjanah, 2008). Steroid merupakan salah satu jenis hormon yang memiliki nilai ekonomis cukup penting dalam industri farmasi sebagai aprodisiaka dan, penambah vitalitas. Selama ini yang banyak digunakan di industri adalah hormon steroid sintetik, seperti metiltestosteron dimana senyawa sintetik ini mempunyai beberapa kelemahan yaitu tidak mudah diuraikan dalam tubuh dan dapat menimbulkan efek samping yang tidak dikehendaki, sedangkan senyawa alami mempunyai kelebihan mudah diserap oleh tubuh dan efek samping yang ditimbulkan sedikit (Wiryowidagdo, 2005). Bagian tubuh teripang yang paling banyak mengandung steroid adalah daging teripang (Xue-Yan Fu, Chang-hu Xue, 2005). Berdasarkan hasil penelitian yang pernah dilakukan diantaranya hasil penelitian Stonik et al, (1998), menunjukkan bahwa teripang hitam (Holothuria nobilis) dan teripang pasir (Holothuria scabra) mengandung steroid. Hasil penelitian Kustiariyah (2006) juga membuktikan teripang pasir (Holothuria scabra) mengandung steroid, sedangkan hasil penelitian Riani et al. (2006) juga menunjukkan mengandung steroid. Untuk mendapatkan senyawa steroid alami dari teripang atau sumber daya alam lainnya diperlukan sebuah langkah ekstraksi atau pemisahan dari senyawa- senyawa lainnya. Ilmu pemisahan ini dipelajari dalam ilmu fitokimia. Analisis fitokimia merupakan bagian dari ilmu farmakognosi yang mempelajari metode atau cara analisis kandungan kimia yang terdapat dalam tumbuhan atau hewan secara keseluruhan atau bagian-bagiannya, termasuk cara isolasi atau pemisahannya (Moelyono, 1996). Menurut Robinson (1991) alasan melakukan uji fitokimia adalah untuk menetukan ciri senyawa aktif penyebab efek racun atau efek yang bermanfaat, yang ditunjukkan oleh ekstrak tumbuhan kasar bila diuji dengan sistem biologis. Untuk mendapatkan senyawa metabolit sekunder ada beberapa langkah yang harus dilakukan. Langkah pertama yaitu mengekstrak teripang dengan metode dan pelarut yang sesuai. Metode ektraksi yang tepat untuk mengekstrak teripang yaitu dengan metode maserasi. Maserasi merupakan cara penyarian yang sederhana, yang dilakukan dengan cara merendam serbuk simplisia dalam cairan penyari selama beberapa hari pada temperatur kamar terlindungi cahaya matahari langsung. Prinsip maserasi adalah ekstraksi zat aktif yang dilakukan dengan cara merendam serbuk dalam pelarut yang sesuai selama beberapa hari pada temperatur kamar terlindungi cahaya, pelarut akan masuk kedalam sel tanaman melewati dinding sel. Isi sel akan larut karena adanya perbedaan konsentrasi antara larutan didalam sel dengan diluar sel. Larutan dengan konsentrsinya tinggi akan terdesak keluar dan digantikan oleh pelarut dengan konsentrasi rendah (proses difusi). Peristiwa tersebut akan berulang sampai terjadi keseimbangan antara larutan didalam sel dan diluar sel (Adrian, 2000; Ansel, 1989). Untuk mendapatkan ekstrak kental, teripang (Stichopus variegatus), diekstrak dengan menggunakan pelarut metanol. Sampel dimasukan kedalam wadah kemudian dimasukan metanol sampai semua sampel terendam. Menurut Maro et al (2015), Metanol digunakan sebagai pelarut dalam proses maserasi karena metanol merupakan pelarut yang mempunyai kepolaran yang tinggi sehingga dapat melarutkan senyawa baik polar, semipolar, maupun non polar pada sampel. Selain itu, jika dibandingkan dengan pelarut air, metanol lebih unggul karena lebih selektif, tidak mudah ditumbuhi kapang dan bakteri, tidak beracun serta absrobsinya baik dan panas yang diperlukan pemekatan lebih sedikit. Selain itu, menurut Tasmin (2014), metanol dipilih sebagai pelarut karena metanol merupakan pelarut yang dapat melisiskan membran sel pada tanaman dan memiliki struktur molekul yang kecil sehingga mampu menembus jaringan tumbuhan untuk menarik senyawa aktif keluar. Sampel kemudian didiamkan selama tiga hari dan kemudian dilakukan proses evaporasi. Evaporasi merupakan suatu proses penguapan sebagian dari pelarut sehingga mendapatkan ekstrak yang baik. Proses selanjutnya yaitu fraksinasi. Fraksinasi adalah teknik pemisahan dan pengelompokan kandungan kimia ekstrak berdasarkan kepolaran. Pada proses fraksinasi digunakan dua pelarut atau lebih yang tidak tercampur dan memiliki tingkat kepolaran yang berbeda. Senyawa senyawa yang terdapat dalam ekstrak akan terpisah menurut kepolarannya (Hawkins dan Rahn, 1997). Metode yang paling sering digunakan untuk memfraksinasi suatu senyawa adalah kromatografi cair vakum (KCV). Metode KCV adalah suatu metode yang digunakan untuk memisahkan senyawa-senyawa didalam ekstrak. Sampel tersebut bermigrasi terhadap fasa diam dan fasa gerak dengan cepat karena berada dalam suasana vakum (Oktaviani et al., 2015). Prinsip kerja KVC yaitu partisi dan adsorpsi komponen senyawa yang pemisahannya dibantu dengan tekanan dari alat vakum (Maro et al., 2015). Fasa diam yang digunakan dalam kromatografi kolom cair vakum adalah silika gel, sedangkan fasa geraknya digunakan fasa gerak dengan beberapa eluen n-heksan 100 %, n-heksan : etil 30 : 70, n-heksan : etil 50 : 50, etil 100 %, metanol 100%, heksan : etil 10 : 90, n-heksan : etil 20 : 80. Menurut Hostetman (1995), pada KCV kolom dikemas secara kering dalam keadaan vakum. Cuplikan dilarutkan dalam pelarut yang cocok, dimasukan langsung pada bagian atas kolom atau lapisan penyerap dan dihisap secara perlahan-lahan kedalam kemasan dengan mmevakumnya. Kolom dielusi dengan pelarut yang cocok , mulai dengan pelarut yang kepolarannya rendah kemudian ditingkatkan kepolarannya secara perlahan-lahan, kolom dihisap sampai kering pada setiap pengumpulan fraksi. Selanjutnya masing-masing fraksi di analisis menggunakan kromatografi lapis tipis. Hal yang pertama dilakukan yaitu evaporasi hasil farksinasi dari sampel teripang pasir yang telah difraksinasi sebelumnya. Evaporasi adalah proses pengentalan larutan dengan cara mendidihkan atau menguapkan pelarut. Proses evaporasi bertujuan untuk, meningkatkan larutan sebelum proses lebih lanjut, memperkecil volume larutan, menurunkan aktivitas air. Prinsip evaporasi yaitu penguapan dimaksudkan untuk mendapatkan konsistensi ekstrak yang lebih pekat dan tujuan dilakukan penguapan adalah untuk menghilangkan cairan penyari yang digunakan agar tidak mengganggu pada proses selanjutnya. Hasil ekstrak yang kental ini diperlukan sebagai larutan sampel yang akan diuji pada lempeng KLT untuk melihat kandungan didalam ekstrak tersebut apakah terdapat analgesik atau semacamnya (Praptiningsih, 1999; Sudjadi, 1986; Stahl, 1985). Setelah dilakukan evaporasi, ekstrak kental selanjutnya dianalisis dengan metode kromatografi lapis tipis. KLT merupakan bagian dari kromatografi yaitu salah satu metode pemisahan komponen-komponen campuran dimana cuplikan berkesetimbangan di antara dua fasa, fasa gerak yang membawa cuplikan dan fasa diam yang menahan cuplikan secara selektif. KLT adalah salah satu bentuk/model dari kromatgrafi cair dimana sampel diaplikasikan sebagai noda atau goresan pada lapisan penjerap tipis yang dilaburkan diatas lempeng plastik, gelas atau logam (Hendayana, 1994). Metode kromatografi lapis tipis didasarkan pada prinsip adsorbsi dimana pemisahan terjadi karena adanya penyebaran daya serap terhadap adsorben dan kelarutan komponen kimia terhadap cairan pengelusi. Menurut Soebagio (2002), prinsip kerja KLT ialah memisahkan sampel berdasarkan perbedaan kepolaran antara sampel dengan pelarut yang digunakan. Semakin dekat kepolaran antara sampel dengan eluen maka sampel akan semakin terbawa oleh fase gerak tersebut. Pada proses KLT, langkah pertama yang dilakukan yaitu disiapkan alat dan bahan yang akan digunakan, dibersihkan alat menggunakan alkohol 70%. Menurut Tjay dan Rahardja (2007) alkohol 70% berfungsi sebagai desinfektan yaitu dengan konsentrasi 1% sebagai desinfektan peralatan ditambah dengan natriumnitrit 0,5% guna mencegah timbulnya karat. Selanjutnya dilakukan pembuatan eluen N-heksan : Etil asetat (9:1), dan n-heksan : Etil : Amoniak (2:1:0.8). Menurut Keneddi (1990), adapun tujuan dari pembuatan eluen dengan perbandingan antara pelarut polar dan non polar yang berbeda karena didalam sampel terdapat senyawa yang berbeda kepolarannya. Untuk meningkatkan kepolaran pelarut dilakukan perbandingan campuran pelarut Selanjutnya dijenuhkan eluen menggunakan tisu. Alasan penjenuhan eluen sebelum digunakan yaitu untuk menghilangkan uap air didalam gelas kaca agar nantinya tidak mempengaruhi perambatan noda pada lempeng, selain itu agar tekanan yang ada didalam gelas kaca tidak mempengaruhi proses perambatan noda dengan adanya penjenuhan gelas kaca (Gandjar, 2007). Setelah eluen siap untuk digunakan, disiapkan lempeng KLT dengan ukuran 5 x 1 cm lalu diberi batas atas dan batas bawah 0,5 cm untuk lempeng yang sudah dipotong menggunakan pensil. Tujuan pembuatan batas dilakukan dengan menggunakan pensil dikarenakan bahan pensil tidak dapat bereaksi dengan pelarut (eluen) yang digunakan (Rizkayanti, 2012). Selanjutnya digunakan penotol untuk mengambil ekstrak, ditotol pada garis bawah yang ada pada lempeng. Masukkan lempeng yang sudah ditotol ke dalam eluen yang sudah dijenuhkan. Proses penjenuhan bejana dilakukan dengan melapisi dinding bagian dalam bejana kromatografi dengan kertas saring, sekurang-kurangnya setengah keliling bejana dan hampir mencapai bagian atas bejana, yang berperan sebagai parameter tingkat kejenuhan bejana terhadap uap eluen. Setelah itu sejumlah eluen dimasukkan ke dalam bejana kromatografi hingga tinggi permukaan eluen dalam bejana lebih kurang 2 cm. Tutup rapat bejana dan biarkan hingga seluruh isi bejana jenuh dengan uap eluen, yang ditunjukkan oleh terbasahinya seluruh permukaan kertas saring pada dinding bagian dalam bejana oleh eluen. Bejana harus berada dalam kondisi jenuh oleh uap eluen sebelum digunakan untuk elusi agar elusi bejalan stabil. Sedapat mungkin menggunakan bejana sekecil mungkin, sehingga kejenuhan dan homogenitas atmosfer dalam bejana lebih mudah dicapai (Gritter, 1991). Setelah selesai dielusi, diangkat lempeng dan diamati noda pada lampu uv 366. Menurut Soebagio (2000), pada UV 366 nm noda akan berflouresensi dan lempeng akan berwarna gelap. Penampakan noda pada UV 366 nm adalah karena adanya daya interaksi antara sinar UV dengan gugus kromofor yang terikat energi dasar ke tingkat energi yang lebih tinggi kemudian kembali lagi ke keadaan semula sambil melepaskan energi. Noda yang terdapat pada lempeng selanjutnya ditandai dan kemudian dihitung nilai Rf-nya. Nilai Rf merupakan jarak yang digerakkan oleh senyawa dari titik asal dibagi dengan jarak yang digerakan oleh pelarut dari titik asal. Berdasarkan nilai Rf maka akan diketahui jenis senyawa yang ada didalam suatu sampel baik dalam bentuk eksrak, fraksi maupun isolat. Hal ini dikarenakan senyawa standar biasanya memiliki sifat-sifat kimia yang mirip dengan senyawa yang dipisahkan pada kromatogram (Zaki, M. M., 2013). Berdasarkan percobaan yang dilakukan, pada fase gerak N-heksan : Etil (9:1) untuk fraksi n-heksan : etil 50 : 50 diperoleh nilai Rf 0,3. Hasil ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Yuliana dkk (2017) dimana nilai Rf ini menunjukkan dalam ekstrak teripang pasir terdapat senyawa steroid. Sedangkan pada fase gerak N-heksasn : Etil : Amoniak (2:1:0,8) dengan fraksi yang sama yaitu n-heksan : etil 50 : 50 diperoleh nilai Rf sebesar 0,56. Hasil ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Nurul Inayah dkk (2012) dimana nilai Rf ini menunjukkan dalam ekstrak teripang pasir mengandung senyawa steroid. Pelarut yang digunakan dalam fraksi tersebut adalah heksan dan etil asetat. Heksana, adalah suatu hidrokarbon alkana dengan rumus kimia C6H14. Heksana merupakan hasil refining minyak mentah. Komposisi dan fraksinya dipengaruhi oleh sumber minyak. Umumnya berkisar 50% dari berat rantai isomer dan mendidih pada 60 – 70˚C. Seluruh isomer heksana dan sering digunakan sebagai pelarut organik yang bersifat inert karena non-polarnya. Sedangkan Etil asetat dengan rumus molekul (CH3COOC2H5) merupakan cairan tidak berwarna yang mudah larut dalam air dan pelarut organik, salah satu bahan kimia yang digunakan sebagai bahan pelarut organik. Etil asetat merupakan pelarut dengan toksisitas rendah yang bersifat semi polar sehingga diharapkan dapat menarik senyawa yang bersifat polar maupun non-polar Hal tersebut sesuai dengan sifat dari senyawa yang akan dianalisis yaitu steroid dimana steroid bersifat nonpolar (Rachmawan, V. J, 2014); Atkins, 1987; Putri, W. S., et al, 2017; Jannati, 2013)