Anda di halaman 1dari 26

EKSTRAKSI BAHAN ALAM DAN FRAKSINASI HASIL EKSTRAKSI

SERTA PEMANTAUAN SENYAWA DENGAN


KROMATOGRAFI LAPIS TIPIS (KLT)

A. TUJUAN
Tujuan dari praktikum ini adalah :
1. Mampu membuat ekstrak dari berbagai bahan alam dengan maserasi dan
soxhletasi.
2. Mampu memisahkan senyawa melalui fraksinasi dengan Vacum Liquid
Chromatografi (VLC).
3. Mampu menganalisis secara kualitatif kandungan senyawa dalam sampel
ekstrak dengan menggunakan kromatografi lapis tipis (KLT).

B. TINJAUAN PUSTAKA
1. Ekstraksi
Ekstraksi adalah suatu metode yang digunakan dalam proses pemisahan
suatu komponen dari campurannya dengan menggunakan sejumlah massa bahan
(solven) sebagai tenaga pemisah. Penyarian atau ekstraksi adalah suatu proses
perpindahan zat aktif dari sel kemudian ditarik oleh cairan penyari dan terlarut
didalamnya. Jadi Ekstraksi bertujuan untuk memisahkan campuran beberapa zat
menjadi komponen yang terpisah (Winarno dkk,1983). Apabila komponen yang
akan dipisahkan (solute) berada dalam fase padat, maka proses tersebut
dinamakan pelindihan atau leaching. Proses pemisahan dengan cara ekstraksi
terdiri dari tiga langkah dasar yaitu:
1) Proses penyampuran sejumlah massa bahan ke dalam larutan yang
akan dipisahkan komponen-komponennya.
2) Proses pembantukan fase seimbang.
3) Proses pemisahan kedua fase seimbang.

Sebagai tenaga pemisah, solven harus dipilih sedemikian hingga


kelarutannya terhadap salah satu komponen murninya adalah terbatas atau sama
sekali tidak saling melarutkan. Karenanya, dalam proses ekstraksi akan terbentuk

1
dua fase cairan yang saling bersinggungan dan selalu mengadakan kontak. Fase
yang banyak mengandung diluen disebut fase rafinat sedangkan fase yang banyak
mengandung solven dinamakan ekstrak.
Menurut Handoyo (1995) proses ekstraksi biasanya melibatkan tahap-
tahap:
1) Mencampur bahan dengan pelarut dan membiarkannya saling
berkontak. Dalam hal ini terjadi perpindahan massa dengan difusi pada
bidang antar muka bahan ekstraksi dan pelarut. Dengan demikian
terjadi ekstraksi yang sebenarnya yaitu pelarut ekstrak.
2) Memisahkan larutan ekstrak dari rafinat, kebanyakan dengan cara
penjernihan atau filtrasi.
3) Mengisolasi ekstrak dari larutan ekstrak dan mendapatkan kembali
pelarut, umumnya dilakukan dengan menguapkan pelarut. Dalam hal-
hal tertentu, larutan ekstrak dapat langsung diolah menjadi lebih lanjut
atau diolah setelah pemekatan.
Menurut Sabel dan Waren (1983) Pada proses ekstraksi pada dasarnya
dibedakan menjadi dua fase yaitu fase pencucian dan fase ekstraksi.
1) Fase Pencucian (Washing Out)
Pada saat penggabungan pelarut dengan simplisia, maka sel-sel yang
rusak karena proses pengecilan ukuran langsung kontak dengan bahan
pelarut. Komponen sel yang terdapat pada simplisia tersebut dapat
dengan mudah dilarutkan dan dicuci oleh pelarut. Dengan adanya
proses tersebut, maka dalam fase pertama ini sebagian bahan aktif
telah berpindah ke dalam pelarut. Semakin halus ukuran simplisia,
maka semakin optimal jalannya proses pencucian tersebut.
2) Fase Ekstraksi (Difusi)
Untuk melarutkan komponen sel yang tidak rusak, maka pelarut harus
masuk ke dalam sel dan mendesak komponen sel tersebut keluar dari
sel. membran sel simplisia yang mula-mula mengering dan menciut
harus diubah terlebih dahulu agar terdapat suatu perlintasan pelarut ke
dalam sel. Hal ini dapat terjadi melalui proses pembengkakkan,

2
dimana membran mengalami suatu pembesaran volume melalui
pengambilan molekul bahan pelarut. Kemampuan sel untuk mengikat
pelarut menyebabkan struktur dinding sel tersebut menjadi longgar,
sehingga terbentuk ruang antarmiselar, yang memungkinkan bahan
ekstraksi, mencapai ke dalam ruang dalam sel. Peristiwa
pembengkakkan ini sebagian besar disebabkan oleh air. Campuran
alkohol-air lebih disukai untuk mengekstraksi bahan farmasetik karena
terbukti lebih cepat (Voight, 1994).

Tahapan yang harus diperhatikan dalam mengekstraksi jaringan tumbuhan


adalah penyiapan bahan sebelum ekstraksi, pemilihan pelarut dan kondisi proses
ekstraksi, proses pengambilan pelarut, pengawasan mutu dan pengujian yang
dikenal pula sebagai tahapan penyelesaian. Penggunaan pelarut bertitik didih
tinggi menyebabkan adanya kemungkinan kerusakan komponen-komponen
senyawa penyusun pada saat pemanasan. Pelarut yang digunakan harus bersifat
inert terhadap bahan baku, mudah didapat dan harganya murah (Sabel dan Waren,
1983).
Polaritas pelarut sangat berpengaruh terhadap daya larut. Indikator
kelarutan pelarut dapat ditentukan dari nilai konstanta dielektrik dan nilai polaritas
pelarut. Zat pelarut dan terlarut dengan nilai total kelarutan yang hampir sama
akan mudah melarut. Nilai parameter kelarutan diwakili oleh tiga komponen,
yaitu dispersi atau non polar (δd), polar (δp) dan ikatan hidrogen (δh). Parameter
total kelarutan (secara matematik) dapat dinyatakan sebagai akar kuadrat dari
jumlah kuadrat pada komponen non polar, polar dan ikatan hidrogen (Archer,
1996). Air dipertimbangkan sebagai penyari karena murah, mudah didapat, stabil,
tidak mudah menguap, tidak mudah terbakar, tidak beracun, alamiah, dan mampu
mengekstraksi banyak bahan kandungan simplisia. Adapun kerugian air sebagai
penyari adalah tidak selektif, diperlukan waktu yang lama untuk memekatkan
ekstrak, sari dapat ditumbuhi kapang atau kuman serta cepat rusak (Voight, 1994).
Etanol dipertimbangkan sebagai penyari karena lebih selektif, kapang dan
kuman sulit tumbuh dalam etanol 20% ke atas, tidak beracun, netral, absorbsinya

3
baik, dapat mengendapkan albumin dan menghambat kerja enzim. Selain itu,
etanol dapat bercampur dengan air pada segala perbandingan, dan panas yang
diperlukan untuk pemekatan lebih sedikit. Guna meningkatkan penyarian,
biasanya digunakan campuran antara etanol dan air dalam berbagai perbandingan
tergantung pada bahan yang akan disari (Voight, 1994).
Metode ekstraksi dipilih berdasarkan beberapa faktor seperti sifat dari
bahan mentah, daya penyesuaian dengan tiap macam metode ekstraksi dan
kepentingan dalam memperoleh ekstrak yang sempurna. Metode pembuatan
ekstrak yang umum digunakan antara lain maserasi, perkolasi, soxhletasi. Selain
itu, metode ekstraksi juga dipilih berdasarkan beberapa faktor seperti sifat dari
bahan mentah, dan daya penyesuaian dengan tiap macam metode ekstraksi dan
kepentingan dalam memperoleh ekstrak yang sempurna (Ansel, 1989).
Menurut Kurnia (2010), ekstraksi dengan pelarut dapat dilakukan dengan
cara dingin dan cara panas. Cara dingin yaitu metode maserasi dan perkolasi,
sedangkan cara panas antara lain dengan reflux, soxhlet, digesti, destilasi uap dan
infuse. Reflux merupakan ekstraksi pelarut pada suhu didihnya selama waktu
tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan dengan adanya pendingin
balik.
a. Maserasi
Istilah maserasi berasal dari bahasa latin ”macerare” yang artinya
mengairi, melunakkan, merupakan cara ekstraksi yang paling sederhana. Bahan
(misalnya jamu) yang dihaluskan sesuai dengan syarat farmakope (umumnya
terpotong-potong atau diserbuk kasarkan) disatukan dengan bahan ekstraksi.
Rendaman tersebut disimpan terlindungi dari cahaya langsung (mencegah reaksi
yang dikatalisis cahaya atau perubahan warna) dan dikocok kembali. Waktu
maserasi adalah berbeda-beda, masing-masing farmakope mancantumkan 4-10
hari. Namun pada umumnya 5 hari, setelah waktu tersebut keseimbangan antara
bahan yang diekstraksi pada bagian dalam sel dengan luar sel telah tercapai.
Pengocokan dilakukan agar cepat mendapat kesetimbangan antara bahan yang
diekstraksi dalam bagian sebelah dalam sel dengan yang masuk ke dalam cairan.
Keadaan diam tanpa pengocokan selama maserasi menyebabkan turunnya

4
perpindahan bahan aktif. Semakin besar perbandingan jamu terhadap cairan
ekstraksi, akan semakin baik hasil yang diperoleh (Voight, 1994).

b. Soxhletasi
Ekstraksi menggunakan alat soxhlet merupakan metode pemisahan suatu
komponen yang terdapat dalam sampel padat dengan cara penyarian berulang-
ulang dengan jumlah pelarut yang sama dan relatif konstan dengan adanya
pendingin balik sehingga semua komponen yang diinginkan dalam sampel dapat
terisolasi dengan sempurna. Soxhlet digunakan untuk simplisia dengan zat aktif
yang relatif dan stabil terhadap pemanasan (Anonim, 2012).
Prinsip sokletasi adalah penyarian secara terus menerus sehingga
penyarian lebih sempurna dengan memakai pelarut yang relatif sedikit. Jika
penyarian telah selesai maka pelarutnya diuapkan dan sisanya adalah zat yang
tersari. Biasanya pelarut yang digunakan adalah pelarut yang mudah menguap
atau mempunyai titik didih yang rendah.
Metode soxhlet dilakukan dengan cara mengontakkan padatan yang
disusun dalam wujud unggun tetap. Kemudian pelarut dialirkan menerobos
padatan tersebut. Pada metode ini biasanya digunakan kolom ekstraksi yang
merupakan unggun tetap. Tujuan dari penggunaan metode soxhlet adalah
untuk mengetahui berapa banyak zat warna yang dapat diekstrak dari suatu
bahan. Metode soxhlet dapat menghasilkan yield yang lebih banyak
dibandingkan dengan metode lainnya (Chemo, 2003)
Pada alat Soxhlet terdapat nama-nama instrumen dan fungsinya yaitu:
a) Kondensor berfungsi sebagai pendingin dan juga untuk mempercepat
proses pengembunan.
b) Timbal/klonsong berfungsi sebagai wadah untuk sampel yang ingin
disari.
c) Pipa vapor berfungsi sebagai perhitungan siklus, bila pada sifon
larutannya penuh kemudian jatuh ke labu alas bulat maka hal ini
dinamakan siklus 1.
d) Labu alas bulat berfungsi sebagai wadah bagi ekstrak dan pelarutnya,

5
e) Water in sebagai tempat air masuk.
f) Water out sebagai tempat air keluar.

Soxhlet adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru


menggunakan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi kontinyu dengan jumlah
pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin balik.

2. Fraksinasi
Fraksinasi dilakukan untuk memisahkan kandungan senyawa dalam
ekstrak ke dalam beberapa fraksi yang lebih sederhana. Metode fraksinasi yang
digunakan dalam praktikum ini adalah kromatografi kolom vakum. Kromatografi
kolom vacum (VLC) merupakan suatu teknik kromatografi yang dilengkapi
dengan kolom yang dikemas kering (biasanya dengan penjerap mutu KLT 10-40
µm) dalam keadaan vakum agar diperoleh kerapatan kemasam maksimum.
Vakum dihentikan, pelarut yang kepolarannya rendah dituang kepermukaan
penjerap lalu divakum lagi. Kolom dihisap sampai kering dan siap dipakai.
Cuplikan, dilarutkan dalam pelarut yang cocok, dimasukkan langsung pada bagian
atas kolom atau pada lapisan prapenjerap dan dihisap perlahan-lahan ke dalam
kemasan dan memvakumkannya. Kolom dielusi dengan campuran pelarut yang
cocok, mulai yang kepolarannya rendah lalu kepolarannya ditingkatkan perlahan-
lahan, kolom dihisap sampai kering pada setiap pengumpulan fraksi (Hostettman,
1985). Oleh karena itu kromatografi cair vakum menggunakan tekanan rendah
untuk meningkatkan laju aliran fase gerak. Berbeda dengan metode yang
menggunakan tekanan pada bagian atas kolom untuk meningkatkan laju aliran,
mengotak-atik kolom (mengubah pelarut, dsb). Mudah karena kepala kolom
berada dalam tekanan atmosfer.

3. Kromatografi Lapis Tipis (KLT)


Kromatografi berarti metode analisis di mana fase gerak melewati sebuah
fase stasioner sedemikian rupa bahwa campuran zat dipisahkan menjadi
komponen-komponennya. Istilah "kromatografi lapis tipis", diperkenalkan oleh E.

6
Stahl pada tahun 1956, berarti proses pemisahan kromatografi di mana fase diam
terdiri dari lapisan tipis diterapkan pada substrat padat atau "dukungan". Selama
beberapa tahun, TLC juga telah disebut kromatografi sebagai planar. Namun,
terlepas dari fakta bahwa kromatografi kertas, yang juga merupakan metode
planar, sekarang hampir tidak digunakan, istilah ini pernah diterima secara luas
(Deinstrop, 2007).
Kromatografi lapis tipis (KLT) merupakan bentuk kromatografi planar.
Kromatografi ini terdiri dari fase diam dan fase gerak. Fase diamnya berupa
lapisan yang seragam (uniform) pada permukaan bidang datar yang didukung oleh
lempeng kaca, pelat aluminium, atau pelat plastik. Meskipun demikian
kromatografi planar ini dikatakan sebagai bentuk terbuka dari kolom kromatografi
(Rohman dan Gandjar, 2007).
Sejumlah bahan organik dan anorganik telah dicoba untuk digunakan
sebagai penjerap pada KLT ini; meskipun demikian hanya silika ataupun ligan-
ligan yang dikaitkan secara kovalen dengan silika yang paling sering digunakan.
Untuk polaritas silika dan silika fase terikat adalah sebagai berikut: silika > amino
silika > siano silika > oktadesilsilan (C18). Pejerap-penjerap yang lain seperti
alumina, tanah diatomae (Kieselgurh), selulosa, dan poliamid hanya digunakan
secara terbatas.
Kinerja lapisan KLT tergantung pada karakteristik fisika-kimia penjerap,
seperti luas permukaan spesifik, diameter rata-rata pori dan distribusinya, serta
ukuran dan distribusi partikel. Rata-rata ukuran partikel penjerap KLT adalah 10-
50 mikron. Semakin kecil ukuran partikel dan semakin sempit distribusi ukuran
partike, maka akan semakin akan semakin tinggi resolusinya, menurunkan waktu
analisis, dan meningkatkan sensitifitas deteksi.
Dasar KLT
Retensi solut pada kromatografi lapis tipis (KLT) dan kromatografi lapis
tipis kinerja tinggi (KLT-KT) dan dicirikan dengan faktor retardasi solut (Rf),
yang didefinisikan sebagai jarak migrasi solut terhadap jarak ujung fase geraknya.

Rf =

7
Faktor kapasitas (K’) dapat didefinisikan dengan rasio waktu-waktu
retensi solut dalam fase diam (ts) dan dalam fase gerak (tm). Hubungan antara
faktor kapasitas (k’) da Rf adalah :

Rf = atau Rf =

Namun nilai maksimum R1 adalah 1; dan ini dicapai ketika solut


mempunyai perbandingan distribusi (KD) dan faktor kapasitas (k’) sama dengan
0; yang berarti solut bermigrasi dengan kecepatan yang sama dengan fase gerak.
Nilai minimum Rf adalah 0, dan ini teramati jika solut tertahan pada posisi titik
awal dipermukaan fase diam (Rohman dan Gandjar, 2007).
Prasyarat penting menggunakan Thin Layer Chromatography (TLC)
adalah bahwa zat atau campuran zat yang akan dianalisis harus larut dalam pelarut
atau campuran pelarut.
TLC digunakan jika:
1) berupa zat nonvolatile atau volatilitas yang rendah,
2) zat yang sangat polar, media polaritas, nonpolar atau ionik,
3) sejumlah besar sampel harus dianalisa secara bersamaan, efektif dalam
biaya dan dalam jangka waktu yang terbatas.
4) sampel yang akan dianalisis akan merusak atau menghancurkan kolom LC
(kromatografi cair) atau GC (kromatografi gas).
5) pelarut yang digunakan akan menyerang sorbents di LC kolom kemasan
zat dalam bahan yang dianalisis tidak dapat dideteksi dengan metode-
metode LC atau GC atau hanya dengan kesulitan besar setelah
kromatografi, semua komponen sampel harus dideteksi (tetap pada awal
atau bermigrasi ke depan )
6) komponen campuran zat setelah pemisahan harus terdeteksi secara
individual atau harus mengalami berbagai metode pendeteksian satu demi
satu (misalnya dalam skrining obat)
7) ada sumber listrik yang tersedia.

8
C. METODE
1. Alat dan Bahan
a. Ekstraksi
Alat yang digunakan dalam ekstraksi yaitu pisau, blender, mortal,
botol, erlenmeyer, pengaduk, gelas beker, penyaring, corong gelas, soxhlet,
waterbath, cawan porselen. Sedangkan bahan-bahannya berupa daun salam
dan daun sirih, dan bahan khemikalia berupa klorofom (teknis) dan metanol
(teknis).
b. Fraksinasi (VLC)
Alat yang digunakan yaitu cawan porselen, Scientered glass, dan
Vacuum pump. Bahan yang digunakan yaitu ekstrak hasil ekstraksi praktikum
sebelumnya, silika gel 60 PF254, Heksana, etil asetat, kloroform, dan metanol.
c. Kromatografi Lapis Tipis
Alat yang digunakan yaitu bejana pengembang dan tutup, pipa kapiler,
oven, hair dryer, neraca, gelas ukur, botol penyemprot, kamera digital, pensil,
penggarias, dan gunting. Bahan yang digunakan yaitu senyawa hasil ekstrak,
kloroform, etil asetat, n-hexane dan aseton, silica gel GF 254, pereaksi semprot
Cerium (IV) sulfat dan sitoborat.

2. Langkah Kerja
a. Ekstraksi
Langkah-langkah pembuatan ekstrak dari bahan alam :
1) Pengumpulan bahan
2) Pengeringan
3) Pembuatan serbuk
4) Pembasahan
5) Ekstraksi

9
- Pembuatan ekstrak dari daun salam dan daun sirih dengan maserasi
a) diambil daun yang akan diekstraksi dan dibersihkan dengan air
mengalir (dipilih daun yang tidak terlalu tua dan tidak terlalu
muda).
b) dikeringkan dengan sinar matahari (dibungkus kain hitam) atau
dioven 40-50°C.
c) dihaluskan dengan cara digerus atau diblender sehingga terbentuk
serbuk.
d) ditimbang dua kali serbuk daun seberat 10 gram dan dimasukkan
masing-masing ke dalam botol atau erlenmeyer yang berbeda.
e) ditambahkan 100 ml metanol pada botol ke 2 sedikit demi sedikit
sambil diaduk.
f) ditutup dan didiamkan selama selama minimal 24 jam (sekali-kali
diaduk).
g) Setelah itu disaring dan dikeringkan dalam cawan porselen (bila
perlu dibantu water bath hingga larutan pengektraksi menguap
sempurna).
- Pembuatan ekstrak daun salam dan daun sirih dengan soxhlet
a) 10 gram sampel dibungkus dengan kertas saring lalu dibungkus
dengan cara gulung.
b) dimasukkan sampel yang sudah dibungkus ke dalam tabung pada
perangkat soxhlet, dan dituang 150 ml kloroform (2 siklus).
c) dilakukan ektraksi hingga penyari yang turun kelabu destilat jernih
(± 2 jam).
d) ekstrak ditampung ke dalam cawan porselen dan dikeringanginkan,
ampas dikeluarkan dari tabung dan dikeringanginkan bila perlu
dibantu dengan water bath.

10
b. Fraksinasi dengan vacuum liquid chromatography (VLC)
1) Preparasi sampel
0, 324 gram tanaman hasil ekstrak dicampur dengan serbuk silika gel
sebanyak 3 gram sedikit demi sedikit sambil diaduk dalam cawan porselen
hingga diperoleh campuran yang homogen dan kering (dalam bentuk
serbuk ekstrak).
2) Pengepakan fase diam
Pengepakan fase diam (silika gel) dilakukan dengan memasukkan 12 gram
silika gel sedikit demi sedikit ke dalam scientered glass yang telah dilapisi
kertas saring sambil divakum untuk memperoleh massa fase diam yang
kompak dan padat setinggi ± 2 cm.
3) Aplikasi
Sampel yang sudah dicampur silika gel hingga menjadi serbuk free
flowing dimasukkan sedikit demi sedikit ke dalam scientered glass yang
sudah berisi fase diam dengan permukaan atas diusahakan rata. Setelah
semua masuk dalam scientered glass, bagian atas ditutup dengan kertas
saring untuk menjaga permukaan tetap rata akibat pemberian eluen dari
atas.
Macam eluen yang digunakan dalam fraksinasi ekstrak ini ada 2 yaitu: n –
heksana : etil asetat = 4 : 1 sebanyak 100 ml dan klorofrm : metanol = 4 : 1
sebanyak 100 ml. Eluen dituang (yang pertama adalah n-heksana : etil
asetat), kemudian divakum dan ditampung didalam erlenmeyer (fraksi I).
Selanjutnya eluen yang kedua (kloroform : metanol) dituangkan dan
divakum lagi. Cairan yang keluar merupakan fraksi kedua.
4) Monitoring senyawa
Senyawa dalam tiap fraksi dilakukan KLT dengan menggunakan fase
diam silika gel GF254 dan fase gerak berupa n-heksana : aseton : asam
asetat glasial (AAG) = 7 ml : 1 ml : 6 tetes.

11
c. Pemisahan Kandungan senyawa dalam ekstrak dengan Kromatografi
Lapis Tipis
- Pembuatan cuplikan sampel
1) dilarutkan sampel hasil ekstrak dengan kloroform.
- Pembuatan larutan pengembang (fase gerak)
1) disiapkan bejana pengembang dengan tutupnya dan dilapisi bagian
dalam bejana pengembang dengan kertas saring.
2) dimasukkan fase gerak, FG1 kloroform : etil asetat =10 ml : 1 ml dan
FG2 n-hexane : aseton = 8 ml : 4 ml.
3) ditutup bejana pengembang agar proses penjenuhan bias homogen
cepat.
- Pembuatan kromatogram
1) Disiapkan 2 potongan plat silica gel dengan ukuran yang sama (3 x 10
cm) cukup untuk dua totolan. Diberi tanda dengan pensil batas atas
(0,5 cm dari atas) dan batas bawah (1 cm dari bawah).
2) Ditotolkan masing-masing ekstrak pada tiap silica gel dengan pipa
kapiler (diameter totolan ± 3mm) dan ditunggu hingga fase gerak
mencapai batas atas.
3) Dikeluarkan silica gel dan dikeringkan denga hair dryer.
4) Hasil kromatogram difoto (disamping penggaris).
5) Diamati dibawah sinar UV λ 254 nm dan UV λ 366 nm dan difoto.
6) Silica gel disemprot dengan Cerium sulfat dan sitoborat. Dikeringkan
dalam oven dan difoto.
7) Ditentukan harga Rf dari noda-noda yang tampak pada kromatogram.

D. HASIL DAN PEMBAHASAN


1. Ekstraksi
Pada praktikum ini dilakukan pemisahan senyawa bahan alam dengan cara
ekstraksi. Ekstraksi bertujuan untuk memidahkan zat aktif dari sel kemudian
ditarik oleh cairan penyari dan terlarut didalamnya. Pemilihan larutan
pengekstraksi dan metode ekstraksi didasarkan pada sifat kelarutan dan stabilitas

12
zat aktif, senyawa polar dipisahkan dengan pelarut polar dan senyawa non polar
dipisahkan dengan pelarut polar.
Ada dua metode ekstraksi yang digunakan pada praktikum ini yaitu
maserasi dan soxhletasi. Prinsip kerja dari maserasi yaitu perendaman serbuk
simplisia dalam pelarut. Pelarut akan menembus dinding sel dan masuk ke dalam
rongga sel yang mengandung zat aktif. Zat aktif akan larut dan karena adanya
perbedaan konsentrasi antara larutan zat aktif di dalam sel dengan di luar sel,
maka larutan yang terpekat didesak keluar. Peristiwa tersebut berulang sehingga
terjadi keseimbangan konsentrasi antara larutan di luar sel dan di dalam sel
(Agoes, 2007). Prosedur pengerjaan lihat Lampiran 1.
Pada soxhletasi pelarut dan simplisia ditempatkan secara terpisah. Prinsip
soxhletasi adalah bahan yang akan diekstraksi diletakkan dalam sebuah kantung
ekstraksi dari gelas yang bekerja kontinyu. Kantung bahan diletakkan didalam
wadah gelas antara labu penyulingan dengan labu pendingin aliran balik dan
dihubungkan dengan labu melalui pipa. Labu tersebut kemudian terisikan pelarut,
lalu menguap dan mencapai dalam pendingin aliran balik melalui pipet
berkondensasi didalamnya, menetes keatas bahan yang diekstraksi dan menarik
keluar bahan yang diekstraksi. Larutan berkumpul didalam wadah gelas dan
setelah mencapai tinggi maksimalnya, pipa sifon penuh secara otomatis lalu
dipindahkan ke dalam labu demikian berulang-ulang (Khan, 2012).

Gambar 1. Perangkat alat soxhletasi (Dokumentasi Praktikum Biokimia Analitik)

13
Pada soxhletasi terjadi penyarian secara terus menerus sehingga penyarian
lebih sempurna dengan memakai pelarut yang relatif sedikit. Jika penyarian telah
selesai maka pelarutnya diuapkan dan sisanya adalah zat yang tersari. Biasanya
pelarut yang digunakan adalah pelarut yang mudah menguap atau mempunyai
titik didih yang rendah.
Keuntungan dari metode maserasi yaitu prosedur dan peralatannya
sederhana dan dapat digunakan untuk mengekstrak senyawa baik yang tahan
panas (termolabil) maupun senyawa yang tidak tahan panas. Akan tetapi metode
ini membutuhkan pelarut yang banyak dan waktu yang cukup lama. Sedangkan
soxhletasi kekurangannya yaitu hanya dapat digunakan untuk simplisia dengan
senyawa yang relatif stabil dan tahan terhadap pemanasan, serta pelaksanaannya
memerlukan energi listrik. Namun metode ini memiliki kelebihan yaitu proses
ekstraksi simplisia sempurna, pelarut yang digunakan sedikit, dan proses isolasi
lebih cepat.
Hasil ekstraksi dengan dua metode (maserasi dan soxhletasi) disajikan
pada tabel 1. berikut ini.
Tabel. 1 Hasil ekstraksi dengan metode maserasi dan soxhletasi

Jenis Rata-rata Massa Ekstrak (gram)


Bahan Massa Pelarut Pelarut
Alam Metode Sampel Kloroform Metanol
Sokhletasi 5 gr 0,34 -
Daun Sirih
Maserasi 5 gr 0,46 0,44
Daun Sokhletasi 5 gr 0,17 -
Salam Maserasi 5 gr 0,12 0,44

Berdasarkan hasil ekstraksi yang diperoleh dari kedua metode terdapat


perbedaan yaitu hasil ekstrak tertinggi diperoleh pada maserasi daun sirih dengan
pelarut kloroform sebanyak 0,46 gram, ekstrak lebih tinggi dibandingkan dengan
menggunakan pelarut methanol sebanyak 0,44 gram. Meskipun selisih berat
ekstrak yang dihasilkan kecil, dapat dikatakan bahwa pelarut kloroform (semi

14
polar) lebih cocok digunakan untuk mengekstraksi daun sirih sehingga senyawa
yang ada didalam sel dapat terekstraksi dengan lebih baik. Jadi diasumsikan
bahwa daun sirih lebih banyak mengandung senyawa yang sifatnya semi polar.
Hal ini sesuai dengan pendapat Harborne (1996) bahwa pelarut non polar akan
mengektraksi dengan lebih baik senyawa yang sifatnya non polar dan pelarut
polar akan mengekstraksi senyawa yang sifatnya polar sehingga ketika ekstraksi
dilakukan dengan menggunakan pelarut semi polar (kloroform) senyawa yang
sifatnya semi polar akan terekstraksi dengan lebih baik. Berbeda halnya pada daun
salam, berat ekstraksi lebih tinggi didapat dengan pelarut methanol (polar)
sebanyak 0,44 gram, sedangkan maserasi dengan pelarut kloroform (semi polar)
diperoleh ekstrak yang lebih rendah yaitu sebanyak 0,12 gram. Hal ini berarti
pada daun salam lebih banyak mengandung senyawa yang sifatnya polar,
meskipun didalamnya juga terdapat golongan senyawa semi polar, sehingga
dengan pelarut methanol diperoleh hasil ekstrak yang lebih tinggi.
Pada ekstraksi daun sirih dengan pelarut kloroform menggunakan metode
soxhletasi diperoleh jumlah ekstraksi yang tidak begitu jauh dengan hasil maserasi
yaitu sebanyak 0,34 gram. Namun nilai tersebut lebih rendah dibandingkan
dengan hasil maserasi dengan pelarut yang sama (kloroform) sebanyak 0,46 gram.
Hal ini dikarenakan metode soxhlet menggunakan pemanasan dalam proses
pemisahan senyawanya, sehingga hanya cocok digunakan untuk simplisia dengan
senyawa yang relatif stabil dan tahan terhadap pemanasan (Sudarsono, 2002)
sehingga diasumsikan hal tersebut dapat mempengaruhi hasil ekstraksi. Selain itu,
ekstraksi dengan soxhletasi yang dilakukan hanya 2 siklus, (hasil ekstraksi masih
keruh) sehingga memungkinkan proses ekstraksi belum maksimal, sebaiknya
proses tersebut terus diulang sampai mendapatkan hasil ekstrak yang jernih.
Demikian halnya pada ekstraksi daun salam dengan metode soxhletasi diperoleh
berat ekstrak yang rendah yaitu 0,17 gram dibanding dengan metode maserasi
dengan pelarut methanol lebih tinggi sebanyak 0,44 gram, sedangkan maserasi
dengan kloroform juga diperoleh hasil ekstrak yang rendah yaitu 0,12 gram. Hal
ini berarti untuk mengekstrak daun salam metode yang lebih baik adalah dengan
maserasi menggunakan pelarut methanol.

15
Hal yang perlu diperhatikan saat melakukan ekstraksi adalah pemilihan
metode ekstraksi karena suatu bahan alam mungkin cocok untuk suatu metode
tapi kurang cocok dengan metode yang lain. Misalnya soxhletasi hanya cocok
digunakan untuk simplisia dengan senyawa yang relatif stabil dan tahan terhadap
pemanasan. Oleh karena itu pemilihan larutan pengekstraksi dan metode
pengekstraksi didasarkan pada kelarutan dan stabilitas zat aktif. Senyawa polar
dipisahkan dengan pelarut polar dan senyawa non polar dipisahkan dengan pelarut
yang sifatnya non polar sehingga diharapkan semua senyawa yang ada dalam
bahan alam akan terekstraksi dengan sempurna.

2. Fraksinasi
Fraksinasi merupakan suatu cara untuk memisahkan hasil ekstrak menjadi
beberapa fraksi yang lebih sederhana. Pembagian atau pemisahan ini didasarkan
pada bobot dari tiap fraksi, fraksi yang lebih berat akan berada paling dasar
sedang fraksi yang lebih ringan akan berada diatas. Fraksinasi bertingkat biasanya
menggunakan pelarut organik seperti eter, aseton, benzena, etanol, diklorometana,
atau campuran pelarut tersebut (Sudarsono, 2002).
Sebelum difraksinasi ekstrak yang berupa pasta dicampur dengan silica gel
(kurang lebih 2x dari berat ekstrak) sampai menjadi campuran yang homogen dan
kering untuk memperluas permukaan sehingga setiap bagian ekstrak dapat
terfraksinasi dengan baik. Pada saat pembentukan kolom, silica gel dimasukkan
sedikit demi sedikit ke dalam scintered glass filter sambil divakum agar diperoleh
fase diam yang rapat dan permukaan atasnya rata. Fase diam harus rapat dan
permukaan atasnya rata untuk mencegah kerusakan fase diam saat elusi serta
memastikan panjang kolom sama disetiap bagian. Elusi dilakukan dengan
menuang secara perlahan dan kontinyu agar kolom tidak kering dan terbentuk
gelembung udara yang mengganggu kontinuitas fraksinasi (lihat Lampiran 2).
Fraksinasi perlu dilakukan setelah diperoleh hasil ekstrak karena hasil
ektraksi masih berupa campuran kumpulan senyawa yang belum teridentifikasi.
Oleh karena itu melalui fraksinasi maka senyawa hasil ekstrak dapat dipisahkan
menjadi kelompok senyawa yang lebih sederhana. Dalam metode fraksinasi

16
pengetahuan mengenai sifat senyawa yang terdapat dalam ekstrak akan sangat
mempengaruhi proses fraksinasi. Jika digunakan air sebagai pengekstraksi maka
senyawa yang terekstraksi akan bersifat polar, termasuk senyawa yang bermuatan
listrik. Jika digunakan pelarut non polar misalnya heksan, maka senyawa yang
terekstraksi bersifat non polar dalam ekstrak. Jadi pelarut menentukan senyawa
yang akan terekstraksi. Namun kelemahannya, perbedaan kandungan senyawa
tidak tegas, melainkan terdapat beberapa fraksi yang kandungan senyawanya
overlapping dengan fraksi yang lain. Oleh sebab itu, perlu pemantauan kandungan
senyawa dengan KLT untuk menyederhanakan jumlah fraksi. Pada prakteknya
dalam melakukan fraksinasi digunakan dua metode yaitu dengan menggunakan
corong pisah dan kromatografi kolom.
Pada praktikum ini dilakukan fraksinasi dengan menggunakan Vacuum
Liquid Chromatografi (VLC). VLC merupakan suatu teknik kromatografi yang
dilengkapi dengan kolom yang dikemas kering (biasanya dengan penjerap mutu
KLT 10-40 µm) dalam keadaan vakum agar diperoleh kerapatan kemasam
maksimum. Hasil fraksinasi dengan VLC disajikan pada tabel berikut.
Tabel 2. Massa fraksi ekstrak daun sirih dan daun salam hasil fraksinasi
Jenis Massa Ekstrak (gram)
Metode
Bahan Fraksi 1 (n-heksana:etil Fraksi 2 (kloroform:
Ekstraksi
Alam asetat = 4:1) metanol = 4:1)
Daun Sirih Sokhletasi 0,71 0,42
Daun Sokhletasi 0,08 0,07
Salam Maserasi 0,16 0,25

Berdasarkan hasil fraksinasi dengan VLC (Tabel 2.) diperoleh hasil


tertinggi pada ekstrak daun sirih (hasil soxhletasi) dengan eluen (FG1) n-hexan:
etil asetat = 4:1 dengan berat 0,71 gram. Hal ini dikarenakan kombinasi dari
pelarut n-hexan bersifat non polar dan etil asetat bersifat polar sehingga baik
senyawa polar maupun non polar yang ada pada daun sirih dapat terfraksi dengan
baik. Fraksi dengan eluen (FG2) l kloroform :methanol diperoleh berat ekstrak
0,42 gram, karena pelarut kloroform bersifat semi polar dan methanol bersifat

17
polar sehingga memungkinkan senyawa yang terfraksi hanya senyawa polar dan
semi polar sehingga hasil ektraksinya lebih rendah. Variabilitas ini terkait
perbedaan jenis eluen menentukan hasil ekstrak. Hal ini sesuai dengan pendapat
Voight (1994) bahwa polaritas pelarut sangat berpengaruh terhadap daya larut.
Berat ekstrak yang rendah diperoleh pada ekstrak daun salam (hasil
soxhletasi) dengan (FG1) n-hexan: etil asetat diperoleh 0,08 gram, dan dengan
(FG2) methanol: kloroform diperoleh berat ekstrak sebanyak 0,07 gram, hasil
tidak jauh berbeda meskipun eluennya berbeda. Hal ini terkait dengan ekstraksi
awal sampel diperoleh dari soxhletasi yang digunakan dalam fraksinasi memang
diperoleh berat ekstrak yang rendah (0, 17 gram) sehingga hasil fraksinasinya juga
rendah.
Pada fraksinasi daun salam hasil maserasi dengan (FG1) kloroform:
methanol diperoleh hasil fraksi yang lebih tinggi yaitu 0,25 gram dan dengan
(FG2) n-heksana:etil asetat lebih rendah yaitu sebanyak 0,16 gram. Berarti daun
salam lebih banyak mengandung senyawa semi polar sehingga cocok difraksi
dengan menggunakan eluen semi polar (FG2) kloroform: methanol. Namun hal
ini juga tergantung pada senyawa apa yang akan difraksi apakah senyawa yang
diinginkan sifatnya polar, semi polar ataupun non polar sehingga dapat
disesuaikan dengan kombinasi eluen (pelarut) yang akan digunakan.

3. Kromatografi Lapis Tipis (KLT)


KLT perlu dilakukan dengan tujuan untuk melakukan monitoring
keberadaan senyawa hasil ekstrak atau fraksinasi. Prosedur pemisahan ini
dikatakan paling baik karena tidak melibatkan pH dan suhu ekstrim maupun
asam-basa sehingga dapat mempertahankan struktur maupun sifat biologis
sampel. Keuntungan metode ini yaitu dapat menguji secara kualitatif banyak
senyawa secara bersamaan, dapat dilakukan dengan mudah tanpa sumber listrik,
cepat dan datanya reliabel, sistem peralatan sederhana, murah dan mudah
dimodifikasi.
Prinsip KLT tradisional sangat sederhana, yakni campuran solut yang
akan dipisahkan ditotolkan pada permukaan lempeng tipis lalu dikembangkan di

18
dalam chamber menggunakan fase gerak yang sesuai. Kekuatan interaksi yang
berbeda antara molekul solut dengan fase diam atau fase gerak akan menghasilkan
mobilitas dan pemisahan yang berbeda (Rohman dan Gandjar, 2007).
Ada beberapa hal yang perlu menjadi perhatian saat melakukan KLT
yaitu:
a. Plat silica gel
Plat silica gel yang digunakan (ukuran 10 cm x 3 cm) diberi batas atas
(0,5 cm) dan batas bawah (1 cm). Batas atas untuk memudahkan saat akan
melakukan monitoring sehingga diketahui batas berhentinya eluen. Batas
bawah dengan jarak 1 cm disesuaikan dengan volume eluen 10 ml tepat
mencapai tinggi 1 cm didasar chamber (Lampiran 3.a).
b. Penotolan sampel
Penotolan sampel sulit untuk diukur. Namun pada umumnya digunakan
sebanyak 0,5 µl. Pada praktikum ini penotolan menggunakan pipa kapiler.
Totolan sampel diusahakan tidak terlalu pekat (agak encer) karena sampel
yang terlalu pekat, ketika elusi naik secara berurutan akan terdapat noda-noda
yang tertinggal berupa garis yang akan menggangu hasil pengamatan dan
pergerakan senyawa yang diperoleh. Solusinya adalah dengan melakukan
pengenceran kembali. Pada saat akan melakukan penotolan hal lain yang
penting adalah, sampel diencerkan dengan pelarut yang sesuai atau yang sama
dengan pelarut yang digunakan saat ekstrak agar senyawa yang dimaksud
dapat terekstrak dengan sempurna dan senyawa lain tidak ikut larut
(Lampiran 3.a).
c. Metode penampak bercak
1) Dilihat secara visual untuk senyawa-senyawa berwarna
2) Dilihat dibawah sinar UV 254 nm untuk senyawa-senyawa yang
dikembangkan diatas plat yang diimpregnasi dengan fosfor yang
didapat berpendar dibawah lampu UV 254 nm. Bercak akan
Nampak sebagai spot hitam akibat terjadi pemadaman fluorosensi
sorbent.

19
3) Dilihat dibawah sinar UV 254 366 nm untuk senyawa-senyawa
yang berflouresensi alami (Lampiran 3.b).
4) Ditambahkan pereaksi membentuk warna dengan penyemprotan.
Penyemprotan sampel dilakukan dengan harapan diperoleh
golongan senyawa yang dimaksud pereaksi tersebut. Perbedaan
warna yang terjadi menunjukkan kelompok senyawanya. Pada
praktikum ini digunakan dua senyawa pereaksi yaitu serium sulfat
untuk mendeteksi senyawa terpenoid akan membentuk warna ungu
kehitaman (Lampiran 1.) dan sitoborat untuk mendeteksi senyawa
flavanoid akan membentuk warna orens (Lampiran 3.c).
d. Penentuan nilai Racing Factor (Rf)
Penentuan nilai Rf bertujuan untuk mengidentifikasi golongan senyawa
yang ada pada sampel. Adapun faktor yang mempengaruhi nilai Rf adalah:
1) Silica gel polar mudah mengikat uap air (OH) sehingga silica gel
harus diaktifkan terlebih dahulu dengan dipanaskan atau dengan
hair dryer agar gugus OH dapat menguap karena adanya OH dapat
mengganggu reaksi karena mudah berikatan dengan pelarut polar.
2) Ketebalan lapisan juga mempengaruhi nilai Rf.
3) Kejenuhan Chamber. Kejenuhan wadah yang digunakan (eluen).
Jika tidak jenuh, pengembangan tidak maksimal karena hanya akan
membawa pelarut dari bawah ke atas. Terkadang naik bersama
pelarut hanya membentuk garis lurus diatas sehingga seolah-olah
tidak ada kandungan senyawanya.
4) Memasukkan plat juga harus dilakukan dengan hati-hati. Pastikan
plat tidak saling bersentuhan dengan kertas saring atau plat silica
gel yang lain. Kemudian diletakkan tegak lurus agar tidak
mendorong ekstrak pada satu sisi. Kemudian chamber segera
ditutup setelah plat dimasukkan agar eluen tidak menguap.

20
Berdasarkan hasil KLT dari sampel hasil fraksinasi diperoleh data sebagai
berikut:
Tabel 3. Nilai Rf hasil KLT senyawa dalam ekstrak daun sirih dan daun salam.
Jenis Nilai Rf
Fase Gerak
Ekstrak Sitoborat Serium Sulfat
FG1
0,39; 0,60 0,4; 0,58; 0,62; 0,71
kloroform:etil asetat (10 : 1)
FG2 0,42; 0,49 0,55;
0,44; 0,47; 0,55; 0,66.
Sokhletasi n-heksana:aseton ( 2:1 ) 0,64
Daun sirih FG1
0,09; 0,34 0,37
kloroform:etil asetat (10 : 1)
FG2
- -
n-heksana:aseton ( 2:1 )
FG1
0,63 0,5; 0,75
kloroform:etil asetat (10 : 1)
Sokhletasi FG2
0,86; 0,74 0,66;
Daun n-heksana:aseton 0,87; 0,74; 0,67
0,61 0,55
Salam ( 2:1 )
FG1
- 0,35
kloroform:etil asetat (10 : 1)
FG2 0,51; 0,74; 0,87; 0,92;
0,48; 0,95
n-heksana:aseton (2:1) 0,98
FG1
0,61
Maserasi kloroform:etil asetat (10 : 1)
Daun FG2
Salam n-heksana:aseton - 0,61
( 2:1 )
FG2
n-heksana:aseton - 0,58
( 2:1 )

Retensi solut pada kromatografi lapis tipis (KLT) dan kromatografi lapis
tipis kinerja tinggi (KLT-KT) dicirikan dengan racing factor solut (Rf), yang
didefinisikan sebagai jarak migrasi solut terhadap jarak ujung fase geraknya.
Berdasarkan hasil KLT pada tabel 3. Diketahui bahwa hasil KLT daun
sirih dengan eluen kloroform:etil asetat (10 : 1) diperoleh nilai Rf 0,09; 0,34;0,39;
dan 0,60 (penyemprotan sitoborat) dan nilai Rf 0,4; 0,58; 0,62; 0,71
(penyemprotan serium sulfat). Hal ini menunjukkan bahwa daun sirih

21
mengandung senyawa yang sifatnya polar dan semi polar dengan range Rf 0,09-
0,71. Semakin tinggi nilai Rf maka semakin non polar senyawa yang ada pada
sampel. Hal ini dipengaruhi oleh plat silica gel yang bersifat polar sehingga
senyawa yang bersifat polar akan terikat labih kuat menyebabkan pergerakan
senyawa menjadi lebih lambat, sebaliknya senyawa yang bersifat semi polar
maupun non polar akan bergerak lebih cepat. Jenis eluen dan kejenuhan chamber
juga berpengaruh terhadap laju pergerakan senyawa. Dapat dilihat pada eluen
kloroform dan etil asetat masih merupakan jenis pelarut yang bersifat polar dan
semi polar sehingga senyawa ekstrak polar pergerakannya lebih lambat dengan
rata-rata nilai Rf rendah < 0,5. Pada sampel daun sirih dengan eluen n-
heksana:aseton ( 2:1 ) diperoleh nilai Rf sampel (penyemprotan dengan sitoborat)
yaitu 0,42; 0,49 0,55; dan 0,64, dan dengan penyemprotan serium sulfat diperoleh
spot dengan nilai RF 0,44; 0,47; 0,55; 0,66. Hasil ini menunjukkan bahwa dengan
adanya eluen aseton (semi polar) diperoleh spot dengan range nilai R f 0,42-0,66
menunjukkan senyawanya rata-rata bersifat semi polar. Berdasarkan nilai Rf pada
kedua eluen yang digunakan dalam KLT ekstrak daun sirih dapat dikatakan bahwa
daun sirih lebih banyak mengandung senyawa yang sifatnya semi polar meskipun
ada beberapa yang bersifat polar.
Hasil KLT daun salam (ekstrak soxhletasi) dengan eluen kloroform:etil
asetat (10 : 1) diperoleh beberapa spot dengan nilai RF 0,63 (penyemprot sitoborat)
dan 0,35; 0,5; 0,75 (penyemprotan serium sulfat). Hal ini menunjukkan bahwa
pada daun salam mengandung lebih banyak senyawa yang bersifat semi polar.
Sedangkan pada eluen n-heksana:aseton ( 2:1 ) diperoleh spot yang cukup banyak
dengan nilai Rf 0,48; 0,55;0,61;0,66; 0,74; 0,86; 0,95 (penyemprotan sitoborat)
dan serium sulfat dengan nilai Rf 0,67; 0,74; 0,87. Hal ini menunjukkan bahwa
daun sirih banyak mengandung senyawa yang bersifat non polar dan semi polar.
Sedangkan hasil KLT ekstrak maserai daun salam diperoleh spot dengan nilai R f
0,58 dan 0,61. Sehingga diasumsikan bahwa daun salam mengandung senyawa
yang sifatnya semi polar.
Untuk memastikan bahwa sampel mengandung suatu golongan senyawa
dilakukan penyemprotan dengan pereaksi pembentuk warna yaitu sitoborat untuk

22
mendeteksi senyawa flavanoid sehingga spot yang tampak berwarna orange dan
serium sulfat untuk mendeteksi senyawa terpenoid ditunjukkan dengan warna
coklat kehitaman (Lihat Lampiran 3.b). Berdasarkan hasil yang diperoleh setelah
penyemprotan dengan pereaksi dapat dikatakan bahwa daun salam maupun daun
sirih mengandung senyawa golongan flavanoid maupun terpenoid. Namun
berdasarkan nilai Rf menunjukkan bahwa daun sirih lebih banyak mengandung
flavanoid (semi polar) dengan range Rf 0,58-0,71, meskipun didalmnya juga
diasumsikan terdapat senyawa polar ( Rf 0,09-0,42) sedangkan daun salam lebih
banyak mengandung golongan senyawa terpenoid (non polar) dengan range R f
0,74-0,95, meskipun senyawa flavanoid juga ditemukan pada daun salam (Rf
0,51-0,74).

E. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil praktikum mengenai Ekstraksi, Fraksinasi, dan
Kromatografi Lapis Tipis dapat ditarik beberapa kesimpulan:
1. Metode ekstraksi yang baik digunakan untuk mengekstrak daun salam
adalah dengan maserasi baik menggunakan methanol ataupun
kloroform dengan berat ekstrak yang diperoleh masing-masing 46
gram dan 44 gram. Demikian halnya pada daun salam metode yang
lebih baik digunakan untuk mengekstraksi senyawa yang terkandung
didalamnya adalah metode maserasi dengan pelarut methanol
diperoleh 0,44 gram.
Untuk metode soxhletasi memiliki kekurangan yaitu hanya cocok
digunakan untuk mengekstraksi golongan senyawa yang tahan
terhadap panas. Selain itu pada praktikum ini ekstraksi dengan
soxhletasi dilakukan tidak maksimal karena hanya dengan 2 siklus
sehingga senyawa belum terekstrak dengan sempurna terbukti berat
ekstrak sampel yang dihasilkan lebih rendah dari maserasi.
2. Fraksinasi bertujuan untuk memisahkan senyawa menjadi fraksi yang
lebih sederhana. Hasil fraksinasi sangat dipengaruhi jenis eluennya.
Karena eluen akan menetukan daya larut senyawa yang ada pada

23
sampel. Fraksi daun sirih terbaik dengan menggunakan eluen n-
heksan:etil asetat (4:1) dengan hasil fraksi sebesar 0,71 gram.
Sedangkan pada daun salam eluen kloroform: methanol (4:1)
menghasilkan berat fraksi yang lebih tinggi dibandingkan dengan n-
heksana:etil asetat hanya menghasilkan ekstrak sebanyak 0,16 gram.
Perbedaan ini sangat dipengaruhi oleh kecocokan eluen (pelarut)
dengan senyawa yang ada didalam sampel bahan alam. Kelarutan dan
stabilitas senyawa sangat dipengaruhi oleh jenis pelarut.
3. Hasil KLT menunjukkan bahwa baik daun salam maupun daun sirih
mengandung golongan senyawa baik itu polar, semi polar, maupun
non polar berdasarkan nilai RF-nya hanya saja komposisi dan
proporsinya berbeda. Semakin polar suatu senyawa maka nilai R f -nya
akan semakin rendah. Berdasarkan reaksi penyemprotan yang
dilakukan diketahui bahwa daun salam dan daun sirih mengandung
senyawa terpenoid ditunjukkan dengan spot yang terbentuk setelah
senyawa bereaksi dengan serium sulfat membentuk warna cokelat
kehitaman dan senyawa flavanoid ditunjukkan dengan spot yang
terbentuk setelah senyawa bereaksi dengan sitoborat membentuk
warna orange.

24
DAFTAR PUSTAKA

Agoes G. 2007. Teknologi Bahan Alam. 21,38 – 39. Bandung : ITB Press.
Ansel HC. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. EdisiIV. Jakarta : UI Press.
Chemo. 2003. Beginners Guide to Soxhlet Extractions.
Deinstrop, Elke-Hahn, 2007. Aplied Thin Layer Chromatography. Best practice
and avoidance of mistakes. Second revised and enlarged edition. Germany.
http://as.wiley.com/WileyCDA/WileyTitle/productCd-3527315535.html.
Handoyo, L. 1995. Teknologi Kimia. Penerbit PT. Pradnya Paramita. Jakarta
Harborne, J.B. 1996. Metode Fitokimia, terbitan kedua, Penerbit ITB, Bandung
Heinrich, M., Barnes, J., S., &Williamson, E.M., 2003. Farmakognosi dan
Fitoterapi, diterjemahkan oleh Winny R., Syarie, cucu Aisyah, tahun 2009.
Penerbit EGC, Jakarta, Hal. 123-124.
Gandjar, Ibnu Golib dan Rohman, Abdul. 2007. Metode Kromatografi untuk
Analisis Makanan.Yogyakarta. Pustaka Pelajar.
Khan, A., 2012. Prinsip Kerja Ekstraktor Soxhlet.
Sabel W dan Warren JDF. 1983. Theory and Practise of Oleoresin Extraction. Di
dalam Proceeding of The Conference of Spice, 10th-14th April 1972. Trop.
Prod. Inst, London.
Sudarmadji, S., Handoyo B., dan Suhardi. 1998. Analisa Bahan Makanan dan
Pertanian Ed2. Cetakan 1. Yogyakarta : Penerbit Liberty.
Sudarsono, Gunawan D., Wahyuono, S., Donatus, I.A., Purnomo, 2002.
Tumbuhan Obat II, Pusat Studi Obat Tradisional, UGM. Yogyakarta.
Voight R. 1994. Buku Pelajaran Teknologi Farmasi. Edisi ke-5. Diterjemahkan
oleh: Dr. Soendani Noerono. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.
Wart, N.M., 2009. Polyphenols and Cardiovascular Disease: Effects on
Endothelial and Platelet Function, The American Journal of Clinical
Nutrition, 81 (suppl):292S-7.

25
Winarno FG, Fardiaz D dan Fardiaz S. 1983. Ekstraksi, Kromatografi Dan
Elektrophoresis. Departemen Teknologi Hasil Pertanian Fatemeta- Institut
Pertnian Bogor, Bogor.

26

Anda mungkin juga menyukai