Anda di halaman 1dari 14

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ampas Jahe


Ampas jahe adalah limbah padat hasil industri jamu (Amir & Lestari, 2013). Di dalam
ampas jahe terdapat senyawa oleoresin yang bisa diambil dan dimanfaatkan kembali (Budi,
2009). Senyawa- senyawa oleoresin yang terdapat di dalam jahe diperkirakan bersifat
nonpolar (Hart H, 2003). Di dalam senyawa oleoresin ampas jahe terdapat senyawa lain yaitu
gingerol,zingiberol,shaogaol, dan zingiberene (Wresdiyati, Astawan, & Adnyane, 2003).

Gambar 1. Ampas Jahe

2.2 Kandungan Ampas Jahe


2.2.1 Oleoresin
Oleoresin berasal dari kata “oleo” yang berarti minyak dan “resin” yang berarti damar.
Jadi oleoresin adalah minyak dan damar yang merupakan campuran minyak atsiri sebagai
pembawa aroma dan sejenis damar sebagai pembawa rasa. Oleoresin berbentuk padat atau
semi padat dan biasanya lengket. Dimana dalam dunia perdagangan, oleoresin dikenal
sebagai ginggerin (Ravindran & Babu, 2005).
Komposisi kuantitatif dari oleoresin tergantung oleh jenis pelarut yang digunakan dan
secara umum tersusun oleh komponen-komponen: (1) gingerol dan zingeron, senyawa
turunan fenol dan keto-fenol, (2) shogaol dengan rumus bangun (C 17H24O3), yaitu senyawa
homolog dari zingeron, (3) minyak volatil, dan (4) resin (Koswara, 1995).
Selain itu, oleoresin jahe juga mengandung beberapa komponen-komponen minor seperti
gingerdiol, paradol, heksahidrokurkumin, dan gingerdiasetat, lemak, lilin, karbohidrat,
vitamin, dan mineral (Shukla & Singh, 2006).

2.2.2 Zingerone
Mempunyai rumus kimia C11H14O3, berat molekul 194,22 g/mol . Merupakan anggota
Methoxyphenol dan turunannya. Memiliki cincin fenolik dasar dengan gugus metoksi yang
melekat pada cincin benzene. Zingerone diketahui memiliki aktivitas farmakologis yang kuat
(Zhang, Li, Chen, Peng, & Cai, 2012). Gingerol dapat berubah menjadi zingeron dan
heksanal melalui reaksi pemecahan retroaldol serta menjadi shogaol melalui dehidrasi pada
pemanasan di atas 200°C (Grosch & H–D, 1999).

2.3 Ekstraksi
Ektrasi adalah sebuah proses pemisahan suatu zat padat dari campurannya dengan
menggunakan pelarut. Pelarut yang digunakan harus dapat mengekstral substansi yang
diinginkan tanpa melarutkan material yang lain. Secara garis besarnya, proses pemisahan
ekstraksi terdiri dari tiga langkah dasar yaitu :
1. Penambahan sejumlah massa pelarut untuk dikontakkan dengan sampel, bisanya melalui
proses difusi.
2. Zat terlarut akan terpisah dari sampel dan larut oleh pelarut membentuk fase ekstrak.
3. Pemisahan fase ekstrak dengan sampel (Wilson I, Michael, Colin F, & Edward R, 2000).

Tujuan ekstraksi bahan alam adalah untuk menarik komponen kimia yang terdapat pada
bahan alam. Bahan-bahan aktif seperti senyawa antimikroba dan antioksidan yang terdapat pada
tumbuhanpada umumnya diekstrak dengan pelarut. Pada proses ekstraksi dengan pelarut, jumlah
dan jenis senyawa yang masuk kedalam cairan pelarut sangat ditentukan oleh jenis pelarut yang
digunakan dan meliputi dua fase yaitu fase pembilasan dan fase ekstraksi. Pada fase pembilasan,
pelarut membilas komponen-komponen isi sel yang telah pecah pada proses penghancuran
sebelumnya. Pada fase ekstraksi, mula-mula terjadi pembengkakan dinding sel dan pelonggaran
kerangka selulosa dinding sel sehingga pori-pori dinding sel menjadi melebar yang
menyebabkan pelarut dapat dengan mudah masuk kedalam sel. Bahan isi sel kemudian terlarut
ke dalam pelarut sesuai dengan tingkat kelarutannya lalu berdifusi keluar akibat adanya gaya
yang ditimbulkan karena perbedaan konsentrasi bahan terlarut yang terdapat di dalam dan di luar
sel (R.Voight, 1995).

2.3.1 Macam – Macam Ekstraksi.

2.3.1.1 Ekstraksi Padat-Cair

Pemisahan dapat terjadi karena adanya driving force yaitu perbedaan kemampuan
melarutkan komponen dalam campuran. Secara garis besar proses esktraksi padat cair seacara
umum terdiri dari lima tahap yaitu :

1. Pelarut berpindah dari bulk ke seluruh permukaan padatan (terjadi pengontakan antara
pelarut dengan padatan). Proses perpindahan pelarut dari bulk solution ke permukaan
padatan berlangsung seketika saat pelarut dikontakkan dengan padatan. Proses
pengontakan ini dapat berlangsung seketika saat pelarut dikontakkan dengan padatan.
2. Pelarut berdifusi ke dalam padatan. Proses difusi ke padatan dapat terjadi karena adanya
perbedaan konsentrasi (Driving force) anatara solute di pelarut dengan solute di padatan.
3. Solute yang ada dalam padatan larut ke dalam pelarut. Solute dapat larut ke dalam pelarut
karena adanya gaya elektrostatik antar molekul, yaitu disebut gata dipol-dipol, sehingga
senyawa yang bersifat polar-polar atau nonpolar-nonpolar dapat saling berikatan. Selain
itu juga terdapat gaya dipol-dipol induksi atau gaya London menyebabkan senyawa polar
dapat larut atau sedikit larut dengan senyawa nonpolar.
4. Solute berdifusi dari padatan menuju permukaan padatan. Proses difusi ini disebabkan
oleh konsentrasi solute dalam pelarut yang berada di dalam pori-pori padatan lebih besar
daripada permukaan padatan.
5. Solute berpindah dari permukaan padatan menuju bulk solution. Pada tahap ini, tahanan
perpindahan massa solute ke bulk solution lebih kecil daripada di dalam padatan. Proses
esktraksi ini berlangsung hingga kesetimbangan tercapai yang ditujukkan oleh
konsentrasi solute dalam bulk solution menjadi konstan atau tidak ada perbedaan
konsentrasi solute dalam bulk solution dengan padatan ( driving force bernilai nol atau
mendekati nol ) (Geankoplis, C. J., 1993)

Pada bahan alami, solute biasanya terkurung di dalam sel sehingga pada proses
pengontakan langsung antara pelarut dengan solute mengakibatkan terjadinya pemecahan
dinding sel karena adanya perbedaaan tekanan antara di dalam dengan di luar dinding sel. Proses
difusi solute dari padatan menuju permukaan padatan dan solute berpindah dari permukaan
padatan menuju cairan berlangsung secara seri. Apabila salah satu berlangsung relatif lebih
cepat, maka kecepatan ekstraksi ditentukan oleh proses yang lambat, tetapi bila kedua proses
berlangsung dengan kecepatan yang tidak jauh berbeda, maka kecepatan ekstraksi ditentukan
oleh kedua proses tersebut (Sediawan & Prasetya, 1997).

a. Metode Ekstraksi Padat Cair


- Ekstraksi cara dingin
Pada ekstraksi jenis ini idak dilakukan pemanasan selama proses ekstraksi berlangsung
dengan tujuan agar senyawa yang diinginkan tidak menjadi rusak. Beberapa jenis metode
ekstraksi cara dingin yaitu :
1. Maserasi
Maserasi merupakan metode ekstraksi dengan menggunakan pelarut diam atau dengan adanya
pengadukan beberapa kali pada suhu ruangan. Metoda ini dapat dilakukan dengan cara
merendam bahan dengan sekali-sekali dilakukan pengadukan. Pada umumnya perendaman
dilakukan selama 24 jam, kemudian pelarut diganti dengan pelarut baru. Maserasi jugadapat
dilakukan dengan pengadukan secara sinambung (maserasi kinetik). Kelebihan dari metode ini
yaitu efektif untuk senyawa yang tidak tahan panas (terdegradasi karena panas), peralatan yang
digunakan relatif sederhana, murah, dan mudah didapat. Namun metode ini juga memiliki
beberapa kelemahan yaitu waktu ekstraksi yang lama, membutuhkan pelarut dalam jumlah yang
banyak, dan adanya kemungkinan bahwa senyawa tertentu tidak dapat diekstrak karena
kelarutannya yang rendah pada suhu ruang.
2. Perkolasi
Perkolasi merupakan metode ekstraksi dengan bahan yang disusun secara unggun dengan
menggunakan pelarut yang selalu baru sampai prosesnya sempurna dan umumnya dilakukan
pada suhu ruangan. Prosedur metode ini yaitu bahan direndam dengan pelarut, kemudian pelarut
baru dialirkan secara terus menerus sampai warna pelarut tidak lagi berwarna atau tetap bening
yang artinya sudah tidak ada lagi senyawa yang terlarut. Kelebihan dari metode ini yaitu tidak
diperlukan proses tambahan untuk memisahkan padatan dengan ekstrak, sedangkan kelemahan
metode ini adalah jumlah pelarut yang dibutuhkan cukup banyak dan proses juga memerlukan
waktu yang cukup lama, serta tidak meratanya kontak antara padatan dengan pelarut (Sarker,
Zahid, & Alexander, 2006)

- Ekstraksi cara panas


Pada ekstraksi jenis ini melbatkan pemanasan selama proses esktraksi berlangsung. Adanya
panas seacar otomatis akan mempercepat proses esktraksi dibandingan dengan cara dingin.
Beberapa jenis ekstraksi cara panas yaitu :
1. Reflux
Ekstraksi refluks merupakan metode ekstraksi yang dilakukan pada titik didih pelarut
tersebut, selama waktu dan sejumlah pelarut tertentu dengan adanya pendingin balik
(kondensor). Pada umumnya dilakukan tiga sampai lima kali pengulangan proses pada rafinat
pertama. Kelebihan metode refluks adalah padatan yang memiliki tekstur kasar dan tahan
terhadap pemanasan langsung dapat diekstrak dengan metode ini. Kelemahan metode ini adalah
membutuhkan jumlah pelarut yang banyak (B Jos, 2010).
2. Soxhlet
Ekstraksi dengan alat soxhlet merupakan ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru,
umumnya dilakukan menggunakan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi konstan dengan adanya
pendingin balik (kondensor). Pada metode ini, padatan disimpan dalam alat soxhlet dan
dipanaskan, sedangkan yang dipanaskan hanyalah pelarutnya. Pelarut terdinginkan dalam
kondensor, kemudian mengekstraksi padatan. Kelebihan metode soxhlet adalah proses ekstraksi
berlangsung secara kontinu, memerlukan waktu ekstraksi yang lebih sebentar dan jumlah pelarut
yang lebih sedikit bila dibandingkan dengan metode maserasi atau perkolasi. Kelemahan dari
metode ini adalah dapat menyebabkan rusaknya solute atau komponen lainnya yang tidak tahan
panas karena pemanasan ekstrak yang dilakukan secara terus menerus (Sarker et al., 2006).
3. Hidrotermal
Hidrotermal berasal dari kata hidro yang artinya air dan termal yang berarti panas. Jadi,
metode hidrotermal adalah proses pemanasan pelarutair. Teknik hidrotermal melibatkan
pemanasan reaktan dalam wadah tertutup (autoclave) menggunakan air. Dalam wadah tertutup,
tekanan meningkat dan air tetap sebagai cairan. Jika pemanasan air diatas titik didih normalnya
yaitu 373ºK disebut dengan superheated water. Kondisi dimana tekanan meningkat di atas
tekanan atmosfer dikenal sebagai kondisi hidrotermal (Ningsih, 2016).Pada metode ini
parameter suhu dan waktu sangat penting (Nejad & Golzary, 2011). Pada proses hidrotermal
dapat meningkatkan luas permukaan senyawa hasil ekstraksi (Kim & Kwak, 2007). Keutungan
jenis ekstraksi ini adalah pemanasan cepat, reaksi yang terjadi cepat, kemurnian tinggi dan
efisiensi transformasi energi tinggi (M.Atai & Nodehi, 2013) .

2.3.1.2 Metode Ekstraksi Cair-Cair.


Pada ekstraksi cair-cair, satu komponen bahan atau lebih dari suatu campuran
dipisahkan dengan bantuan pelarut. Ekstraksi cair-cair terutama digunakan apabila pemisahan
campuran dengan cara destilasi tidak mungkin dilakukan (misalnya karena pembentukan
azeotrop atau karena kepekaannya (terhadap panas) atau tidak ekonomis. Ekstraksi cair-cair
selalu terdiri dari sedikitnya dua tahap, yaitu pencampuran secara intensif bahan ekstraksi dengan
pelarut dan pemisahan kedua fase cair itu sesempurna mungkin. Pada ekstraksi cair-cair, zat
terlarut dipisahkan dari cairan pembawa (diluen) menggunakan pelarut cair. Campuran cairan
pembawa dan pelarut ini adalah heterogen, jika dipisahkan terdapat 2 fase yaitu fase diluen
(rafinat) dan fase pelarut (ekstrak). Perbedaan konsentrasi zat terlarut di dalam suatu fasa dengan
konsentrasi pada keadaan setimbang merupakan pendorong terjadinya pelarutan (pelepasan) zat
terlarut dari larutan yang ada. Gaya dorong (driving force) yang menyebabkan terjadinya proses
ekstraksi dapat ditentukan dengan mengukur jarak sistem dari kondisi setimbang (Sukma, 2012).

2.3.2.1 Faktor – Faktor Ekstraksi


Faktor- faktor yang mempengaruhi ekstraksi adalah sebagai berikut :
1. Temperatur Operasi
Semakin tinggi temperature, laju pelarutan zat terlarut oleh pelarut semakin tinggi dan
laju difusi pelarut ke dalam serta keluar padatan, semakin tinggi pula. Temperatur operasi untuk
proses ekstraksi kebanyakan dilakukan dibawah temperature 100°C karena pertimbangan
ekonomis (Nasir, Fitriyanti, & Kami, 2009)
2. Waktu Ekstraksi
Lamanya waktu ekstraksi mempengaruhi volume ekstrak yang akan diperoleh. Semakin
lama proses esktraksi semakin lama juga waktu kontak pelarut dengan bahan baku. Sehingga
semakin banyak zat terlarut yang terkandung di dalam padatan yang terlarut di dalam pelarut
(Nasir et al., 2009).
3. Ukuran, bentuk, kondisi partikel padatan
Minyak pada partikel organik biasanya terdapat di dalam sel-sel. Laju ekstraksi akan
rendah jika dinding sel memiliki tahanan difusi yang tinggi. Pengecilan ukuran partikel ini dapat
mempengaruhi waktu ekstraksi (Cabe, 1985). Semakin kecil ukuran partikel berarti permukaan
luas kontak antara partikel dan pelarut semakin besar, sehingga waktu ekstraksi akan semakin
cepat (Nasir et al., 2009).
4. Jenis Pelarut
Pada proses ekstraksi, banyak pilihan pelarut yang digunakan. Beberapa hal yang harus
dipertimbangkan dalam memilih pelarut adalah sebagai berikut :
a) Selektivitas
Pelarut hanya boleh melarutkan ekstrak yang diinginkan, bukan komponen lainnya dari
bahan yang diekstrak. Dalam hal ini, larutan ekstrak yang diperoleh harus dibersihkan yaitu
dengan mengekstraksi larutan tersebut dengan pelarut kedua (Ketaren, 1986).
b) Kelarutan
Pelarut harus mempunyai kemampuan untuk melarutkan solut sesempurna mungkin.
Kelarutan solut terhadap pelarut yang tinggi akan mengurangi jumlah penggunaan pelarut,
sehingga menghindarkan terlalu besarnya perbandingan antara pelarut dan padatan (Nasir et al.,
2009)
c) Kerapatan
Perbedaan kerapatan yang besar antara pelarut dan solut akan memudahkan pemisahan
keduanya (Nasir et al., 2009).
d) Aktivitas Kimia Pelarut
Pelarut harus bahan kimia yang stabil dan inert terhadap komponen lainnya didalam sistem
(Treybal, 1980).
e) Titik Didih
Pada proses ekstraksi biasanya pelarut dan solut dipisahkan dengan cara penguapan, distilasi
atau rektifikasi. Oleh karena itu titik didih kedua bahan tidak boleh terlalu dekat. Dari segi
ekonomi akan menguntungkan bila titik didih pelarut tidak terlalu tinggi (Nasir et al., 2009)
f) Viskositas Pelarut
Pelarut harus mampu berdifusi ke dalam maupun ke luar dari padatan agar bisa mengalami
kontak dengan seluruh solut. Oleh karena itu, viskositas pelarut harus rendah agar dapat masuk
dan keluar secara mudah dari padatan (Ketaren, 1986)
g) Rasio
Rasio pelarut yang dipakai terhadap padatan harus sesuai dengan kelarutan zat terlarut atau
solut pada pelarut. Semakin kecil kelarutan solut terhadap pelarut, semakin besar pula
perbandingan pelarut terhadap padatan, begitu juga sebaliknya. Dengan demikian perbandingan
solut dan pelarut yang tepat akan mampu memberikan hasil ekstraksi yang diharapkan (Nasir et
al., 2009)
2.4 Pelarut
Pemilihan pelarut yang digunakan dalam ekstraksi harus berdasarkan kemampuannya dalam
melarutkan jumlah yang maksimal dari zat aktif danseminimal mungkin bagi unsur yang tidak
diinginkan (Ansel, 1989).
Menurut (Stahl, 1969), polaritas pelrarut sangat berpengaruh terhadap daya larut. Indikator
kelarutan pelarut dapat ditentukan dari nilai konstanta dielektrik dan nilai polaritas pelarut.
Pelarut organik berdasarkan konstanta dielektrikum dapat dibedakan menjadi dua, yaitu pelarut
polar dan pelarut non-polar. Semakin tinggi konstanta dielektrikumnya maka pelarut semakin
bersifat polar (Pambayun, Gardjito, Sudarmadji, & Kuswanto, 2007). Pelarut organik yang
umum digunakan untuk memproduksi konsentrat,ekstrak, absolut atau minyak atsiri dari bunga,
daun, biji, akar, dan bagian lain dari tanaman adalah etil asetat, n-heksana,petroleum eter,
benzen, toluen, etanol,isopropanol, aseton, dan air (Mukhopadhyay, Wei, Zullo, Wood, &
Weiner, 2002).

Tabel 1. Konstanta Dielektrium Pelatut Organik


Pelarut Konstanta Dielekrium (D)
n- heksana 1,89
Petroleum eter 1,90
n-oktan 1,95
n-dekan 1,99
n-dodekan 2,01
n-toulen 2,38
Etil-asetat 6,08
Etanol 24,30
Methanol 33,60
Asam formiat 58,50
Air 80,40
Tabel 2. Titik Didih Pelarut
No Pelarut Titik Didih (ºC)
1 Dietil eter 34,6
2 Diklorometan 40,8
3 n-heksana 68,7
4 Aseton 56,2
5 Etil-asetat 77,1
6 Etanol 78,3
7 Air 100

2.4.1 Green Solvent


Green solvent, yakni pelarut yang ramah lingkungan dalam bentuk air subkritis (Firman,
2019). Air sub kritis didefinisikan sebagai air panas pada temperature antara 100 – 374 ° C
dibawah tekanan tinggi untuk menjaga air dalam keadaan liquid (Hata, Wiboonsirikil, Maeda,
Kimura, & Adachi, 2007). Air sub kritis dapat diaplikasikan secara luas untuk proses ekstraksi,
hidrolisis, dan wet oxidation komponen organik.
Teknologi air sub kritis merupakan teknologi ramah lingkungan yang secara luas dapat
diaplikasikan dalam proses ekstraksi, dan hidrolisis dari senyawa organik. Kemampuan air sub
kritis sebagai solvent berkaitan dengan polaritas air yang dapat di atur. Polaritas air sub kritis
dapat di ukur dari nilai konstanta dielektrik (Adam, Raffaella, & N.R, 2011). Saat temperature
air meningkat di atas 100 °C, konstanta dielektrik air menjadi hampir sama dengan organik
solven pada kondisi ambien. Produk air ionic ( H+ dan OH-) dalam kondisi sub kritis meningkat
dengan meningkatnya temperature dimana dalam kondisi ini air sub kritis dapat menjadi katalis
untuk banyak reaksi kimia seperti reaksi hidrolisis dan degradasi tanpa penambahan katalis (Hata
et al., 2007).
Gambar 2. Perbandingan temperature kosntanta dielektrik air pada tekanan saturated dengan
konstanta dielektrik pelarut berbeda pada suhu ruangan (Adam et al., 2011).

Proses ekstraksi dalam air sub kritis memiliki tiga tahapan yang sangat mempengaruhi
efektifitas dari proses ekstraksi, yaitu :
1. Desorpsi komponen terlarut dari matrik dimana ekstrak tersebut terikat. Semakin tinggi
suhu rekasi maka semakin banyak komponen terlarut lepas dari matriknya.
2. Difusi air sub kritis ke dalam matrik organik. Semakin tinggi suhu reaksi, maka akan
menyebabkan air memiliki viskositas dan tegangan permukaan interface yang lebih
rendah. Hal ini menyebabkan air sub kritis bisa lebih banyak berdifusi.
3. Disolusi komponen analit ke dalam air sub kritis karena terjadi perbedaan konsenstrasi
anatara matrik dan air sub kritis (Adam et al., 2011).
Penggunaan teknologi air sub kritis mulai di kembangkan dalam proses produksi biodiesel,
ekstraksi, ataupun medium yang berkatalis (Yulia, 2014).

2.5 Spektrofotometri
2.5.1 Pengertian Spektofotometri
Spektrofotometri adalah alat yang terdiri dari spektrometer dan fotometer.
Spektrofotometer menghasilkan sinar dari spectrum dengan panjang gelombang tertentu dan
fotometer adalah alat pengukur intensitas cahaya yang ditransmisikan atau diabsorbsi. Jadi
spektrofotometer digunakan untuk mengukur energy relatif jika energi tersebut ditransmisikan,
direfleksikan atau diemisikan sebagai fungsi panjang gelombang (Gandjar & Ibnu, 2007)

2.5.2 Spektofotometer Visible


Spektofotometri visible sering disebut juga spektofotometri sinar tampak. Sinar tampak
yang dimaksud adalah sinar yang dapat dilihat oleh mata manusia. Mata manusia dapat melihat
cahaya dengan panjang gelombang 400-800 nm dan memiliki energi sebesar 299-149 kJ/mol
(Underwood & R.A, 1986).
Cahaya atau sinar tampak terdiri dari suatu suatu bagaian yang sempit antara panjang
gelombang dari sradiasi elektromagnetik dimana mata manusia sensitive. Radiasi dari panjang
gelombang yang berbeda ini dirasakan oleh mata kita sebagai warna yang berbeda, sedangkan
campuran dari semua panjang gelombang tampak seperti sinar putih. Panjang gelombang
berbagai warna adalah sebagai berikut :
Tabel 3. Panjang Gelombang Berbagai Warna
Jenis Sinar Panjang Gelombang (nm)
Ultraviolet <400
Violet 400-450
Biru 450-500
Hijau 500-570
Kuning 570-590
Oranye 590-620
Merah 620-760
Infra merah >760
Sumber : (Day, R A, dan Underwood, A L., 2002)

2.6 Response Surface Methodology (RSM)


Response Surface Methodeology (RSM) ialah kumpulan Teknik statistik dan matematika
yang digunakan untuk mengembangkan,meningkatkan, dan mengoptimalkan proses, yang
dimana responnya dipengaruhi oleh beberapa factor (variable independent). RSM tidak hanya
mendefiniskan pengaruh variable independent, namun juga menghasilkan model matematis,
yang menjelaskan proses kimia atau proses biokimia. Gagasan utama dari RSM ini untuk
mengetahui pengaruh variable bebas terhadap suatu respon, mendapatkan suatu model hubungan
antara variable bebas terhadap respon, mendapatkan model hubungan antara variable bebas dan
respon serta mendapatkan kondisi proses yang menghasilkan respon terbaik. Untuk keunggulan
metode RSM ini adalah tidak memerlukan data-data percobaan dalam jumlah yang besar dan
tidak membutuhkan waktu yang lama (Rizal, Sukarno, Rosmawaty, & Budi, 2013)
RSM menggunakan metode penggabungan antara teknik matematika dan statistic, digunakan
untuk membuat sebuah model dan menganalisa suatu respon y yang dipengaruhi oleh beberapa
variable bebas/factor x yang digunakan untuk mengoptimalkan respon tersebut.
Hubungan antara respon y dan variabel bebas x adalah:
Y = f(X1, X2,...., Xk) + ε…………………………………………….(1)
dimana:
Y = variabel respon
Xi = variabel bebas/ faktor ( i = 1, 2, 3,...., k )
ε = error
Langkah pertama dari penggunaan RSM ini adalah menemukan hubungan antara respon y
dan faktor x melalui persamaan polinomial orde pertama dan digunakan model regresi linear,
atau yang lebih dikenal dengan first-order model (model orde I):
k
Y =β 0 + ∑ β i X i
i=1 …………………..…………….(2)
Rancangan eksperimen orde I yang sesuai untuk tahap penyaring faktor adalah rancangan
faktorial 2k (Two Level Factorial Design).
Selanjutnya untuk model orde II, biasanya terdapat kelengkungan dan digunakan model
polinomial orde kedua yang fungsinya kuadratik:

𝜀 ………….……………(3)

Rancangan eksperimen orde II yang digunakan adalah rancangan faktorial 3k (Three Level
Factorial Design), yang sesuai untuk masalah optimasi. Dimana Xi, Xj adalah variabel input
yang mempengaruhi respon Y; Ro, Ri, Rii dan Rij (i = 1-k, j = 1-k) adalah parameter yang
dikenal, dan ε adalah kesalahan acak. Model orde kedua dirancang sehingga variansi Y konstan
untuk semua titik yang berjarak sama dari pusat desain. Kemudian dari model orde II ditentukan
titik stasioner, karakteristik permukaan respon dan model optimasinya.

Anda mungkin juga menyukai