Anda di halaman 1dari 9

Karya-Karya Budaya Masa Kerajaan Majapahit

Sumber : http://ilhamblogindonesia.blogspot.com/2013/04/10candi-peninggalan-kerajaan-majapahit.html#ixzz2f8mfQOfj www.wikipedia.com www.google.com

Candi Brahu
Nama candi ini yaitu brahu, yang diduga berasal dari kata wanaru atau warahu. Nama ini didapat dari sebutan sebuah bangunan suci yang disebut dalam Prasasti Alasantan. Prasasti tersebut ditemukan tak jauh dari Candi Brahu.

Candi Bentar (Waringin Lawang)


Dalam bahasa Jawa, Waringin Lawang berarti Pintu Beringin. Gapura agung ini terbuat dari bahan bata merah dengan luas dasar 13 x 11 meter dan tinggi 15,5 meter. Diperkirakan dibangun pada abad ke-14. Gerbang ini lazim disebut bergaya candi bentar atau tipe gerbang terbelah. Gaya arsitektur seperti ini diduga muncul pada era Majapahit dan kini banyak ditemukan dalam arsitektur Bali.

Candi Bajang Ratu


Candi Bajang Ratu dibangun pada abad ke-14 yang merupakan salah satu gapura besar pada zaman keemasan Majapahit. Menurut catatan Badan Pelestarian Peninggalan Purbakala Mojokerto, candi / gapura ini berfungsi sebagai pintu masuk bagi bangunan suci untuk memperingati wafatnya Raja Jayanegara yang dalam Negara Kertagama disebut "kembali ke dunia Wisnu" tahun 1250 Saka (sekitar tahun 1328 M). Namun sebenarnya sebelum wafatnya Jayanegara candi ini dipergunakan sebagai pintu belakang kerajaan. Dugaan ini didukung adanya relief "Sri Tanjung" dan sayap gapura yang melambangkan penglepasan dan sampai sekarang di daerah Trowulan sudah menjadi suatu kebudayaan jika melayat orang meninggal diharuskan lewat pintu belakang.

Candi Tikus
Terletak di kompleks Trowulan, sekitar 13 km di sebelah tenggara kota Mojokerto. Candi Tikus yang semula telah terkubur dalam tanah ditemukan kembali pada tahun 1914. Penggalian situs dilakukan berdasarkan laporan bupati Mojokerto, R.A.A. Kromojoyo Adinegoro, tentang ditemukannya miniatur candi di sebuah pekuburan rakyat. Pemugaran secara menyeluruh dilakukan pada tahun 1984 sampai dengan 1985. Nama Tikus hanya merupakan sebutan yang digunakan masyarakat setempat. Konon, pada saat ditemukan, tempat candi tersebut berada merupakan sarang tikus.

Prasasti Peninggalan Masa Majapahit


Prasasti Kudadu (1294 M) Berisi tentang pengalaman Raden Wijaya sebelum menjadi Raja Majapahit yang telah ditolong oleh Rama Kudadu dari kejaran balatentara Yayakatwang setelah Raden Wijaya menjadi raja dan bergelar Krtajaya Jayawardhana Anantawikramottunggadewa, penduduk desa Kudadu dan Kepala desanya (Rama) diberi hadiah tanah sima. Prasasti Sukamerta (1296 M) dan Prasasti Balawi (1305 M) Berisi tentang Raden Wijaya yang telah memperisteri keempat putri Kertanegara yaitu Sri Paduka Parameswari Dyah Sri Tribhuwaneswari, Sri Paduka Mahadewi Dyah Dewi Narendraduhita, Sri Paduka Jayendradewi Dyah Dewi Prajnaparamita, dan Sri Paduka Rajapadni Dyah Dewi Gayatri, serta menyebutkan anaknya dari permaisuri bernama Sri Jayanegara yang dijadikan raja muda di Daha.

Prasasti Waringin Pitu (1447 M)


Mengungkapkan bentuk pemerintahan dan sistem birokrasi Kerajaan Majapahit yang terdiri dari 14 kerajaan bawahan yang dipimpin oleh seseorang yang bergelar Bhre, yaitu Bhre Daha, Bhre Kahuripan, Bhre Pajang, Bhre Wengker, Bhre Wirabumi, Bhre Matahun, Bhre Tumapel, Bhre Jagaraga, Bhre Tanjungpura, Bhre Kembang Jenar, Bhre Kabalan, Bhre Singhapura, Bhre Keling, dan Bhre Kelinggapura.

Prasasti Canggu (1358 M) Berisi tentang pengaturan tempat-tempat penyeberangan di Bengawan Solo. Prasasti Biluluk (1366 M0, Biluluk II (1393 M), Biluluk III (1395 M). Menyebutkan tentang pengaturan sumber air asin untuk keperluan pembuatan garam dan ketentuan pajaknya. Prasasti Karang Bogem (1387 M) Menyebutkan tentang pembukaan daerah perikanan di Karang Bogem. Prasasti Marahi Manuk dan Prasasti Parung Mengenai sengketa tanah, persengketaan ini diputuskan oleh pejabat kehakiman yang menguasai kitab-kitab hukum adat setempat. Prasasti Katiden I (1392 M) Menyebutkan tentang pembebasan daerah bagi penduduk desa Katiden yang meliputi 11 wilayah desa. Pembebasan pajak ini karena mereka mempunyai tugas berat, yaitu menjaga dan memelihara hutan alang-alang di daerah Gunung Lejar.

Prasasti Alasantan (939 M) Menyebutkan bahwa pada tanggal 6 September 939 M, Sri Maharaja Rakai Halu Dyah Sindok Sri Isanawikrama memerintahkan agar tanah di Alasantan dijadikan sima milik Rakryan Kabayan. Prasasti Kamban (941 M) Meyebutkan bahwa apada tanggal 19 Maret 941 M, Sri Maharaja Rake Hino Sri Isanawikrama Dyah Matanggadewa meresmikan desa Kamban menjadi daerah perdikan. Prasasti Hara-hara (Trowulan VI) (966 M). Menyebutkan bahwa pada tanggal 12 Agustus 966 M, mpu Mano menyerahkan tanah yang menjadi haknya secara turun temurun kepada Mpungku Susuk Pager dan Mpungku Nairanjana untuk dipergunakan membiayai sebuah rumah doa (Kuti). Prasasti Wurare (1289 M) Menyebutkan bahwa pada tanggal 21 September 1289 Sri Jnamasiwabajra, raja yang berhasil mempersatukan Janggala dan Panjalu, menahbiskan arca Mahaksobhya di Wurare. Gelar raja itu ialah Krtanagara setelah ditahbiskan sebagai Jina (dhyani Buddha).

Prasasti Maribong (Trowulan II) (1264 M) Menyebutkan bahwa pada tanggal 28 Agustus 1264 M Wisnuwardhana memberi tanda pemberian hak perdikan bagi desa Maribong.
Prasasti Canggu (Trowulan I) Berisi tentang aturan dan ketentuan kedudukan hukum desadesa di tepi sungai Brantas dan Solo yang menjadi tempat penyeberangan. Desa-desa itu diberi kedudukan perdikan dan bebas dari kewajiban membayar pajak, tetapi diwajibkan memberi semacam sumbangan untuk kepentingan upacara keagamaan dan diatur oleh Panji Margabhaya Ki Ajaran Rata, penguasa tempat penyeberangan di Canggu, dan Panji Angrak saji Ki Ajaran Ragi, penguasa tempat penyeberangan di Terung.

Anda mungkin juga menyukai