Anda di halaman 1dari 10

Kempunan - Cerpen - Horison Online

Ditulis oleh Benny Arnas Selasa, 03 Juli 2012 11:57 -

Makan ikan di dalam talam, bunga raya berbatang pepat. Sidang pembaca yang dimuliakan, mohon waktu membentang hikayat. Ini hikayat pelipur lara, bukan maksud untuk ceramah. Dibuat biar berkaca diri, agar melangkah berhati-hati. Bila elok bagilah riang, bila jadah janganlah berang. Makan ikan di dalam talam, bunga raya berdaun basah. Sungguh harapan sangatlah dalam, agar pembaca beroleh hikmah.

***

Terseliplah di dalam kisah, seorang gadis tak banyak tingkah. Khalayak memanggilnya Bunga Raya, bunga yang bila bermekar sejuk di mata. Wajahnya cantik nan bercahaya, ditambah tabiat yang bersahaja. Kata disusun semut berbaris, merangkai taklimat semanis manggis. Jemari lentik si batang pakis, leher jenjang si Putri Balqis. Liuk betis pokok palam, langkah kaki anggun menawan. Mata celik permata rubi, bila dilirik bagai jadi bujang kembali. Lesung pipit sarang kerengge , bila tersenyum hati meleleh. Kulit cerlang si gading gajah, bila dipandang pada istri jadilah lupa.

Sebaik-baik kawan lama, masihlah baik si orangtua. Ketika usia anak gadis lewat duapuluh, terlintaslah di hati sang Ayah untuk bermenantu. Niat baik diendus orang sekampung. Cemaslah para istri dan perempuan tanggung. Takut suami akan terpancing. Khawatir kekasih akan berpaling. Namun apa hendak dikata. Begitulah adat yang diterima. Bila perawan tampak sempurna, alamat bermenantu lelaki kaya.

Namun perkara ini di luar perkiraan; betapa Bunga Raya tak seperti gadis cantik kebanyakan. Ia tak silap oleh permata; hanya pesan almarhumah ibu yang dipegangnya. Bila hendak berumahtangga, pilihlah bujang yang elok budi bahasa . Dan demi menghormati ayah sebagai orang terpandang, Bunga Raya serahkan syarat tambahan kepada ia seorang. Namun, perangai ayahnya sangatlah lembut; dalam memutuskan ia ingin putrinya ikut. Mereka berdua pun bertukar pendapat; menyusun syarat yang paling

1 / 10

Kempunan - Cerpen - Horison Online


Ditulis oleh Benny Arnas Selasa, 03 Juli 2012 11:57 -

tepat. Menurut Bunga Raya, suaminya kelak, selain bertabiat santun, juga musti pandai berpantun. Sungguh, tak sia-sia semua ilmu yang ayah turunkan. Darah Melayu benar-benar lesap dalam diri anak perawan. Maka, demi menyempurnakan syarat yang dihimpun, ayahnya menambahkan: selain pandai berpantun, bernyanyi pula ia tak perlu dituntun. Demikian putusan yang dibuat; tak ada keraguan yang bersilipat.

Tak perlu menunggu lama, kabar menjalar ke mana-mana. Rumah panggung mulai ramai, laki-laki datang dengan maksud damai. Dari bujang di muara Tanjung, hingga duda dari Semenanjung. Dari ceruk di sudut kampung, hingga kerlap-kerlip kota di ujung. Dari hulu Sungai Musi, hingga hilir Sungai Kelingi. Dari punggung Bukit Botak, hingga lereng Gunung Salak. Dari daratan yang bertaut, hingga seberang bentangan laut.

Macam-macam buah tangan menyertai kedatangan. Dari gula merah Lubuklinggau hingga songket Palembang. Namun mukadimah begitu membosankan; merangkai basa-basi dengan serangkaian bualan. Ketika percakapan menginjak telapak pinangan, patahlah kalimat yang disambung-sambungkan. Walau putusan dikembalikan kepada Bunga Raya, tak urung sang ayah geleng-geleng kepala. Ia kecewa mendapati, tak seorang pun mahir berpetatah-petitih. Tak ada yang mengandalkan kemahiran Melayu untuk merayu. Seraya-rayanya kekayaan si lelaki, percuma bila tak pandai pantun dan bernyanyi. Sehebat-hebat berpantun, bila meniru akan dihina tanpa ampun. Semahir-mahir melenggokan lagu, bila syair orang yang dipadu, tiada harga cengkok nan merdu. Maka, di hari pertama, dikembalikanlah buah tangan yang dibawa. Sang ayah berpetuah, mas kawin adalah langkah kedua setelah mengetahui kemampuan berbahasa. Asalkan memahami adat mendekati anak gadis, semua perkara insya Allah jadi kalis.

Menginjak tangkai hari kedua, lanjutan pinangan kembali dibuka. Tak berbeda dengan kemarin, ramai lelaki memakai kain. Kain melingkar di batang pinggang, tanda niat besar dalam bertandang. Banyak dari mereka memegang kertas, menghafal pantun yang dianggap pantas. Ada yang memeras kata hingga begadang; ada yang culas membayar pemantun seberang. Ada yang berbekal sebiji pantun; ada yang hafal 10 secara beruntun. Ada yang berkeringat-dingin mengingat larik; ada yang diam-diam menyusun taktik. Ada yang tergeragap mengeja sampiran; ada yang berdendang dengan mata terpejam. Ya, bukan hanya pantun yang disiapkan, tapi juga lagu melayu akan diujikan. Bila hendak dipikir-pikir, sungguhlah membuat nyali ketar-ketir. Mereka paham benar ayah si Bunga Raya, seniman terkemuka yang serbabisa. Dari pantun yang dikarang seketika, hingga membuat lagu dalam beberapa kejap saja. Dari membunyikan pantun dengan irama senjang , sampai menyindir raja dengan petikan gitar Batanghari Sembilan.

2 / 10

Kempunan - Cerpen - Horison Online


Ditulis oleh Benny Arnas Selasa, 03 Juli 2012 11:57 -

Duha pun bertandang, arena dibuka untuk peminang. Semua lelaki bagai tak belajar, dari mereka yang kemarin dihajar. Pantun yang disiapkan, patah dalam dua ketukan. Hafalan dalam kepala, tak selaras dengan pantun tuan rumah. Ketika diminta berdendang Melayu, yang keluar hanyalah suara gagu. Dari tak hafal lirik, hingga nada yang membuat leher tercekik. Dari yang tak lunas meliuk cengkok, hingga suara yang mirip ayam berkokok. Ketika disebut nomor senandung, para peminang menjadi patung. Mereka tak tahu Kurik Kundi karena yang dihafal Cinta Mati. Mereka gagap melagukan Bulan Tudung karena hanya ingat Tanjung Katung. Mereka melagukan Kota Koja ketika diminta mendendangkan Bunga Seroja. Matilah!

Hingga hari merangkak petang, tak satu peminang pun berhati riang. Langit tiba-tiba mendung, lalu gerimis datang merundung. Bagai mendapati bumi bergulung; muka peminang dibekap murung. Pujaan hati lepas dari tangan, semua mimpi tinggal khayalan. Maka, tepat ketika matahari terjerengkang, azan pertanda waktunya pulang. Mereka meninggalkan kediaman Bunga Raya, membawa sebak yang tiba-tiba menghuni dada. Yang bujang pergi dengan dagu ditekuk, yang duda pulang dengan wajah tertunduk.

Berbilang masa, terus ditunggu siapa yang sepadan dengan Bunga Raya. Memang, hingga hari kesembilan, masih ada yang berdatangan. Namun tak guna sesal dibentang, tak seorang pun jadi pemenang. Bunga Raya dirundung kesedihan, muram hatinya bukan buatan. Sempat terbersit dalam hati, hendak dihapus syarat pantun dan bernyanyi. Namun, dulu ayahnya adalah pesirah , pantang bagi bekas kepala puak menjilat ludah. Bunga Raya tak habis akal, ia keluarkan semua bekal; menganyam kata demi meminggirkan aral. Ia katakan, yang terpenting adalah akhlak, bukan kepandaian yang dapat dipelajari kelak.

Jangan bermain api, Anakku. Bila sudah menjadi tungku, kau akan menangis tersedu-sedu.

Tapi, Ayah sudah lihat sendiri. Tak ada yang terampil berpantun dan bernyanyi.

Mereka akan kembali lagi. Mereka akan melakukan apa saja demi si Jantung Hati.

Rasa malu mereka sudah sampai puncaknya. Nak diputar ke mana muka setelah Ayah tolak mentah-mentah!

3 / 10

Kempunan - Cerpen - Horison Online


Ditulis oleh Benny Arnas Selasa, 03 Juli 2012 11:57 -

Bukan Ayah, tapi kita!

....

Kita sama-sama membuat kandang dari bambu, lalu hendak dirobohkan karena kaupikir miangnya berbuku-buku. Jangan menjadi gadis bulus, Bunga Raya. Malu Ayah bila sesiapa tahu bagaimana kau menjilat ludah!

Bunga Raya menekuk wajah, sadar akan kekhilafan yang baru dibuatnya.

Mereka sedang belajar menulis sampiran dan isi pantun. Mereka sedang belajar bagaimana rentetan lirik nyaman terlantun. Kau hanya perlu bersabar. Bukankah Tuhan sayang kepada hamba-Nya yang berjiwa besar?

Bagaimana bila mereka tak kunjung datang? Apakah kita yang akan bertandang? Ai ai, tak pernah kubayangkan bila itu terjadi. Kita akan dicerca orang-orang yang sakit hati....

Tidak, Putriku. Percayalah kepada Ayahmu!

Bunga Raya menggamit bibir. Tak sangup ia bayangkan orang-orang mencibir. Ia diserang rasa khawatir. Dalam hati terus berzikir. Berharap semua segera berakhir.

Sang ayah menghampiri Bunga Raya. Menenangkannya dengan beragam petuah. Ia katakan, Bunga Raya masih 25. Sangat muda bila disandingkan dengan Salma, Fatimah, dan Rubiyah, yang masih jadi gadis tua. Dibandingkan pula ia dengan Mira dan Mutiah, perempuan yang menjanda karena (katanya) tak sabar hendak berkeluarga.

Tapi, Ayah, 25 tu usia pantas kawin paling akhir untuk seorang gadis Melayu.

4 / 10

Kempunan - Cerpen - Horison Online


Ditulis oleh Benny Arnas Selasa, 03 Juli 2012 11:57 -

Ayahnya diam, memandang putrinya dengan tatapan yang dalam.

Lewat dari itu, aku akan berjuluk Gadis Tak Laku!

Ayahnya meneguk liur. Memikirkan kata-kata yang akan dicampur, agar putrinya tak larut oleh perasaan-perasaan yang berkesiur. Namun, ia lupa, Bunga Raya adalah darah dagingnya. Tentu pahamlah ia, tentang ayah si pengrajin kata. Secantik apa pun kalimat yang mencuat, takkan membuat Bunga Raya jadi terpikat. Ia bukan kebal nasihat, tapi hafal siasat sang ayah meramu taklimat. Bunga Raya terus menangis, hingga kata-kata ayahnya tersedot habis.

Baiklah kalau begitu. Bersekutulah denganku dalam empat minggu. Bila tak ada yang datang meminang, alamatnya engkau yang jadi pemenang! Maka, apa pun yang kau mau, haram ditolak oleh ayahmu. Bagaimana, Putriku?

Wajah Bunga Raya tiba-tiba merah muda. Terbayang olehnya, perkara berumahtangga, beberapa langkah lagi akan dijabaninya. Ia tak sabar seperti Marfuah, kawan pengajian yang sedang hamil muda. Atau seperti Sekar dan Maryam, yang melahirkan anak kembar dua bulan silam.

Memang benar, masih ada yang datang melamar. Namun semua pulang dengan bibir gemetar. Saking tak sanggup mendengar lamaran ditampik, Bunga Raya sengaja bersembunyi di balik bilik. Hingga... di permulaan petang kuning ketupat, datanglah pemuda di ujung tenggat. Usianya sama dengan Bunga Raya. Ia sangat piawai melipat lidah. Berpantun lihai, suara pun indah. Ayah Bunga Raya pun bermandi keringat, mendapati ujiannya ditebas penuh semangat.

Bunga Raya sedang di dapur ketika ayahnya datang menegur. Sambil bernyanyi riang, Bunga Raya mengaduk bubur dalam dandang. Ayahnya menghampiri. Ia menyapa dengan sangat hati-hati.

Ehmm... tampaknya senang nian hari ini, Tuan Putri.

5 / 10

Kempunan - Cerpen - Horison Online


Ditulis oleh Benny Arnas Selasa, 03 Juli 2012 11:57 -

Bunga Raya menoleh, tersenyum sembari memasukkan pucuk sereh. Dari bibirnya selorohan terloncat, tentang rasa buburnya yang mahalezat. Memang, Bunga Raya sangat lincah memasak bubur apa pun. Dari bubur kacang hijau hingga bubur kampiun. Ayahnya tersenyum saja, sebelum akhirnya Bunga Raya curiga.

Pohon kelapa di tengah padang, pohon kenari di dalam kebun. Ada apa, Ayahku Sayang, sedari tadi hanya tertegun?

Tertegun itu banyak melamun, banyak melamun disambit setan. Wahai putri berwajah anggun, ada yang ingin Ayah tanyakan?

Layangan terbang berangka lidi, terbangnya jauh hingga ke awan. Gerangan apa yang baru terjadi, hingga minta pendapat anak perawan?

Anak perawan berlaku santun, memakai kain ketika mandi. Selain bernyanyi dan berpantun, adakah syarat lain yang dihendaki?

Bunga Raya menggerakkan kedua alisnya hingga menyatu. Pahamlah ia ke mana pembicaraan ayahnya kini bertemu.

Ada bujang yang mahir berpantun dan bernyanyi? Itukah yang membuat Ayah datang menghampiri?

Ayahnya diam sebelum mengangguk. Entah, resahnya tiba-tiba bersitumpuk.

Mengapa wajah Ayah tiba-tiba pias bengkoang? Bukankah Ayah seharusnya berkicau riang? Maksudku, mengapa tak langsung menerimanya? Bukankah begitu mufakat kita?

6 / 10

Kempunan - Cerpen - Horison Online


Ditulis oleh Benny Arnas Selasa, 03 Juli 2012 11:57 -

Anak perawan berlaku santun, memakai kain ketika mandi. Selain bernyanyi dan berpantun, adakah syarat lain yang dikehendaki?

Sebagai anak kandung satu-satunya, Bunga Raya paham benar tabiat sang ayah. Bila diulang sebuah tanya, alamat ia tak ingin bermain canda. Bunga Raya mengingat-ingat, menerawang penuh hikmat. Ia berpikir keras. Tak ingin kata-katanya asal menetas.

Bagaimana dengan ketampanan dan kegagahan?

O o, tiba-tiba wajah Bunga Raya merah daging semangka. Ayah hendak memberikanku kejutankah? Ai ai, apakah sekejap lagi aku akan dipinang si tampan nan gagah?

Mendapati Bunga Raya yang semringah, buru-buru sang ayah meluruskan perkara.

Seorang pemuda sudah menunggu di bilik depan, Anakku. Ia mahir berpantun dan berdendang Melayu. Menurutku ia juga sopan. Tindak-tanduknya tak meragukan. Namun begitu, kau harus melihatnya terlebih dahulu sebelum memutuskan sesuatu....

***

Kembali, Bunga Raya menolak pinangan! Oh, benarkah gadis rupawan bukan jodoh bujang tak tampan?

7 / 10

Kempunan - Cerpen - Horison Online


Ditulis oleh Benny Arnas Selasa, 03 Juli 2012 11:57 -

Memang si pemuda mampu memperturutkan sesyarat yang digadang-gadang: hebat berpantun dan cakap berdendang! Dan sebagai orang yang kuat memegang sumpah, sudah bersusah-payah sang ayah melunakkan hati Bunga Raya.

Bunga Raya tak acuh. Ia bahkan mengancam lebih jauh. Lebih baik mati, daripada bujang itu dipanggil suami! Ya, Bunga Raya yang rupawan, menginginkan bujang bermuka sepadan!

Sang ayah mati taji. Ia dirundung malu tak bertepi. Ingatannya melayang ke pekan-pekan sebelumnya, ketika mereka berdua bermusyarawah. Ia bagai menyesali, mengapa syarat kerupawanan tak sempat dikaji.

Oh, sungguh tak habis tanah diukur, benarkah Bunga Raya tak pandai bersyukur? Atau, ayahnya saja yang alpa, tak mengajarkan ia memilah pemuda? Kini, beras yang ditanak sudah hangus berkerak, takkan kembali menjadi nasi yang lunak!

Memang, sebagaimana perjanjian, bakda empat pekan tanpa diterimanya pinangan, Bunga Raya dapat saja menghapus semua syarat yang terasa menjadi rintangan. Namun, gairah hidupnya sudah jatuh. Bersama sang ayah, ia tercebur malu. Hasrat hati memilih pasangan sejati, justru takdir membuat badan merugi. Awalnya banyak yang bersimpati, kini ramai yang mencaci-maki. Ayahnya hanya mengurung diri, Bunga Raya menangis sepanjang hari.

Hingga kisah ini khatam dirawikan, ayahnya mati dalam malu yang tak terperikan, Bunga Raya dikubur dalam keadaan purnaperawan.

***

8 / 10

Kempunan - Cerpen - Horison Online


Ditulis oleh Benny Arnas Selasa, 03 Juli 2012 11:57 -

Bila bunga raya tengah bermekar, petiklah ia dengan sabar. Tataplah ia lamat-lamat; ia pernah digelari gadis paling cantik sejagat. Tiliklah kelopak yang banyak nian; ia lugu dan miskin pengalaman. Sentuhlah daging kelopak yang tipis; ia perawan yang rajin menangis. Remaslah, maka terasa basah bagai layu seketika; oh, betapa jiwanya selalu resah. Banyak pilih tanpa putusan. Nasib perih hingga ke batu nisan.

Ai, kempunan nian! []

Catatan

Kempunan (Bahasa Melayu di beberapa daerah di kawasan Sumatera), sial yang disebabkan tak tercapainya hasrat yang sudah menjadi tujuan. Di beberapa daerah, kadang disebut kepunan (tanpa m) .

9 / 10

Kempunan - Cerpen - Horison Online


Ditulis oleh Benny Arnas Selasa, 03 Juli 2012 11:57 -

BENNY ARNAS

Lahir di Lubuklinggau, 8 Mei 1983. Meraih Anugerah Batanghari Sembilan kategori sastra dari Gubernur Sumatera Selatan (2009), dan Krakatau Award lewat prosa Taman Pohon Ibu (2010). Buku-buku cerita pendeknya adalah Meminang Fatimah (2009) , Bulan Celurit Api (2010 ) , da n Jatuh dari Cinta (2011). Tinggal di Lubuklinggau, Sumatera Selatan. Joomla SEO by AceSEF

10 / 10

Anda mungkin juga menyukai