Anda di halaman 1dari 68

BAB I PENDAHULUAN

A.

Latar belakang Kesehatan adalah modal utama bagi manusia, kesehatan merupakan bagian yang terpenting dalam menjaga kelangsungan hidup seseorang. Perkembangan ilmu pengetahuan tentang ilmu bedah saat ini sangat pesat. Hal ini juga harus didukung dengan peningkatan pemberian perawatan pada klien penderita penyakit bedah, tetapi masih banyak masyarakat yang belum mengetahui dengan adanya benjolan di lipat paha itu suatu keadaan yang patologis, mereka hanya tahu bahwa benjolan, keluarnya organ atau jaringa melalui dinding rongga dimana organ tersebut seharusnya berada yang di dalam keadaan normal tertutup yang mula-mula kecil dan makin lama makin besar itu sebuah tedun (Wim De Jong, 2004). Tanda dan gejala lebih dini atau awal biasanya tidak mereka sadari. Seperti juga dengan tanda dan gejala dari penyakit hernia inguinalis, yang pada umumnya adanya benjolan dilipat paha yang muncul pada waktu berdiri, batuk, bersin, atau mengejan, dan menghilang setelah berbaring. Karena keluhan nyeri jarang dijumpai, kalau ada biasanya dirasakan didaerah epigastrium atau paraumbilikal berupa nyeri visceral. Maka seseorang biasanya akan membiarkan saja karena tidak menimbulkan sakit, bila terasa sakit baru mereka berobat ke dokter atau tenaga kesehatan yang lain (Wim de Jong, 2004).

Insiden hernia inguinalis pada bayi dan anak antara 1 dan 2%. Kemungkinan terjadi hernia pada sisi kanan 60%, sisi kiri 20-25% dan bilateral 15%. Insiden hernia inguinalis pada orang dewasa kira-kira 2%. Kemungkinan kejadian bilateral dari insiden tersebut mendekati 10% (Sjamsuhidajat 2004). Insiden hernia menduduki peringkat ke lima besar yang terjadi di Amerika Serikat pada tahun 2012 sekitar 700.000 operasi hernia yang dilakukan tiap tahunnya. Hernia Inguinalis di sisi kanan adalah tipe hernia yang paling banyak dijumpai pria dan wanita, sekitar 25% pria dan 2% wanita mengalami hernia inguinalis. Berbagai faktor penyebab berperan pada pembentukan pintu masuk hernia pada annulus internus yang cukup lebar sehingga dapat dilalui oleh kantong isi hernia (Bahtiar. 2007). Di Indonesia hernia menempati urutan ke delapan dengan jumlah 291.145 kasus. Untuk data di Jawa Tengah, mayoritas penderita selama bulan Januari - Desember 2012 diperkirakan 425 penderita. Peningkatan angka kejadian Penyakit Hernia Inguinalis di Indoneisa khusunya Provinsi Jawa Tengah bisa disebabkan karena ilmu pengetahuan dan teknologi semakin berkembang dengan pesat, maka permasalahan manusiapun semakin kompleks, salah satunya yaitu kebutuhan ekonomi yang semakin mendesak (Sugeng & Weni, 2010). Pada studi pendahuluan penulis di RSUD Tugurejo Semarang didapatkan data selama kurun waktu delapan bulan terakhir dari bulan Januari sampai dengan Agustus 2013 angka insiden pasien Hernia inguinalis

di rumah sakit Tugurejo Semarang adalah sebanyak 128 orang. Yang dimana 85 % (108 pasien) dari pasien tersebut dilakukan operasi hernioraphy. Pada kasus anak-anak hanya terdapat 2 % (3 pasien) dan pada dewasa terdapat 98% (125 pasien). Penanganan yang tepat untuk menangani penyakit hernia, karena jika tidak ditakutkan hernia inkarserata yang dapat menyebabkan obstuksikematian jaringan karena suplai darah tertekan dan sumbatan pada saluranpencernaan. Oleh karena itu, peran perawat untuk melakukan asuhan keperawatanpada pasien dengan hernia secara tepat dan benar baik sebelum dan sesudahdilakukan operasi hernioraphy (Wim De Jong, 2004). Melihat dari insiden yang ditemukan, penulis tertarik menerapkan judul Asuhan Keperawatan Pada Tn. S dengan Wound Dehiscence Excause Post Hernioraphy. B. Tujuan Penulisan Tujuan penulisan Karya Tulis Ilmiah ini adalah sebagai berikut: 1. Tujuan Umum Untuk menggambarkan pengelolaan asuhan keperawatan pada klien dengan Wound Dehiscence Excause Post Hernioraphy. di ruang Anggrek Rumah Sakit Tugurejo Semarang. 2. Tujuan Khusus Memperoleh pengalaman nyata tentang tahap proses keperawatan dengan askep hernia yang meliputi:

a.

Dalam penulisan karya tulis ilmiah ini diharapkan penulis mampu memahami tentang konsep dasar hernia dengan wound dehiscence dengan tindakan fistel.

b.

Mengidentifikasi masalah keperawatan yang muncul pada Tn. S dengan Wound Dehiscence Excause Post Hernioraphy.

c.

Menentukan rencana tindakan yang sesuai dengan masalah keperawatan yang muncul pada Tn. S.

d.

Menentukan tindakan yang tepat dalam mengatasi masalah keperawatan yang muncul pada Tn. S.

e. f.

Menggambarkan hasil asuhan keperawatan pada Tn. S. Membahas kesenjangan antara tindakan keperawatan yang

dilakukan penulis dengan konsep dasar. g. Menggambarkan faktor pendukung dan penghambat pengelolaan kasus dengan Wound Dehiscence Excause Post Hernioraphy di Ruang Anggrek Rumah Sakit Tugurejo Semarang. C. Manfaat 1. Bagi lahan praktik Diharapkan dapat meningkatkan pelayanan pada pasien Wound Dehiscence Excause Post Hernioraphy. dan dapat memberi yang lebih maksimal bagi mahasiswa. 2. Bagi institusi Sebagai bahan evaluasi untuk mengetahui sejauh mana mahasiswa mampu memberikan asuhan keperawatan pada Wound Dehiscence

Excause Post Hernioraphy. dan untuk meningkatkan kualitas pendidikan baik di laboratorium atau lahan praktik. 3. Bagi Penulis Penulis dapat meningkatakan kemampuan dan mengetahui dalam memberikan asuhan keperawatan pada pasien Wound Dehiscence Excause Post Hernioraphy. D. Metode dan Teknik Penulisan Dalam penyusunan karya tulis ini menggunakan metode deskriptif yaitu memberikan gambaran kegiatan asuhan keperawatan yang diberikan pada pasien post hernioraphy. Guna menunjang kelengkapan karya tulis ini penulis menggunakan teknik pengumpulan data sebagai berikut: 1. Observasi Observasi adalah metode pengumpulan data dengan cara memberikan observasi secara langsung kepada responden yang dilakukan penelitian untuk mencari hal-hal yang akan diteliti, digunakan apabila obyek penelitian bersifat perilaku manusia, proses kerja atau responden kecil (Hidayat, 2003). 2. Wawancara Interview adalah metode pengumpulan data yang diperoleh dengan cara mengadakan tanya jawab dengan klien, keluarga klien untuk mendapatkan keterangan (Hidayat, 2003).

3.

Pemeriksaan fisik Data diambil dari pemeriksaan fisik pasien dari rambut kepala sampai ujung kaki, yang meliputi empat cara: a. Pemeriksaan dengan cara Inspeksi/pandang, yaitu melakukan pemeriksaan melihat, mengamati kondisi fisik yang tampak dari luar tubuh kita (Priharjo, 2006). b. Pemeriksaan dengan cara Palpasi/meraba, yaitu tindakan

merasakan dengan tangan (Priharjo, 2006). c. Pemeriksaan dengan cara Auskultasi/mendengarkan, yaitu

melakukan pemeriksaan dengan cara mendengarkan bunyi/suara, seperti suara peristaltic usus, bunyi nafas dengan bantuan alat stetoskop (Priharjo, 2006). d. Pemeriksaan dengan cara Perkusi/ketukan, yaitu melakukan pemeriksaan dengan cara mengetuk suatu bagian tubuh yang mau diperiksa dengan menggunakan jari-jari tangan, seperti

pemeriksaan daerah perut (Priharjo, 2006). 4. Studi Dokumentasi Studi dokumentasi adalah metode pengumpulan data dengan cara mengambil data yang berasal dari dokumen asli, yang dapat berupa catatan medis dan laporan keperawatan (Hidayat, 2007). 5. Studi Kepustakaan Yaitu mencari data-data dalam buku-buku literatur yang membahas tentang penyakit hernia, sehingga diperoleh gejala awal atau tanda-

tanda penyakit, cara memberikan pelayanan asuhan keperawatan, dan tindak lanjutnya. Hal ini dilakukan untuk mengurangi resiko tingkat kesalahan baik ketika menemukan tanda dan gejala penyakit hernia, cara melakukan penanganan, dan tindakan selanjutnya sehingga dapat dipertanggung jawabkan, dan bukan berdasarkan asumsi atau perkiraanperkiraan. E. Sistematika Penulisan Penulisan karya tulis ilmiah ini menggunakan sistematika penulisan sebagai berikut: BAB I PENDAHULUAN Berisi tentang: Latar Belakang, Tujuan Penulisan, Metode Penulisan dan Sistematika Penulisan. BAB II KONSEP DASAR Berisi tentang: Pengertian, Anatomi Fisiologi, Klasifikasi Hernia, Bagian dan Jenis Hernia, Etiologi, Patofisiologi, Pathways, Manifestasi klinis, Komplikasi, Penatalaksanaan, Pengkajian Fokus, Fokus Intervensi dan Rasional. BAB III TINJAUAN KASUS Berisi tentang : Pengkajian, Analisa Data, Diagnosa Keperawatan, Perencanaan, Implementasi, dan Evaluasi. BAB IV PEMBAHASAN

Berisi tentang: Kesenjangan antara teori dan kasus yang meliputi: Pengkajian, Diagnosa Keperawatan, Perencanaan, Implementasi, dan Evaluasi. BAB V KESIMPULAN dan SARAN Berisi tentang: Kesimpulan dan Saran.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Burst abdomen atau abdominal wound dehiscence adalah terbukanya tepi-tepi luka sehingga menyebabkan evirasi atau pengeluaran isi organorgan dalam seperti usus, hal ini merupakan salah satu komplikasi post operasi dari penutupan luka di dalam perut (Black & Hawks, 2005). Abdominal wound dehiscence dan hernia insisional adalah bagian yang sama dari proses kegagalan penyembuhan luka operasi. Abdominal wound dehiscence terjadi sebelum penyembuhan kulit, sedangkan hernia insisional terjadi saat penyembuhan insisi kulit yang membaik (Stillman, 2010). Wound dehiscence adalah salah satu komplikasi luka operasi yang terinfeksi. Komplikasi lain penyembuhan luka dipindah; yang lambat, morbiditas dan mortalitas yang meningkat, serta lama rawat yang berkepanjangan (Khan, 2009). B. Anatomi Fisiologi Secara anatomi fisiologi, anterior dinding perut terdiri atas otot-otot multilaminar, yang behubungan dengan aponeurosis, fasia, lemak, dan kulit. Pada bagia lateral, terdapat tiga lapisan otot dengan fasia oblik yang berhubungan satu sama lain. Pada setiap otot terdapat tendon yang disebut dengan aponeurosis (Mutaqin, 2011).

Otot transversus abdominis adalah otot internal dari otot-otot dinding perut dan merupakan lapisan dinding perut yang mencegah hernia inguinalis. Bagian kauda otot membentuk lengkungan aponeurotik transversus abdominis sebagai tepi atas cincin inguinal internal dan di atas dasar medial kanalis inguinalis. Ligamentum inguinal menghubungkan antara tuberkulum pubikum dan SIAS (spina iliaka anterior superior). Kanalis inguinalis dibatasi dibatasi kraniolateral oleh anulus inguinalis internus yang merupakan bagian terbuka dari aponeurosis muskulus oblikus eksternus. Bagian atas terdapat aponeurosis muskulus oblikus eksternus, dan pada bagian bawah terdapat ligamen inguinalis (Ericson, 2009). Secara fisiologis, terdapat beberapa mekanisme yang dapat mencegah terjadinya hernia inguinalis, yaitu kanalis inguinalis yang berjalan miring, adanya struktur dari muskulus oblikus internus abdominis yang menutup anulus inguinalis internus ketika berkontraksi dan adanya fasia transversa yang kuat menutupi trigonum Hasselbach yang umumnya hampir tidak berotot. Pada kondisi patologis, gangguan pada mekanisme ini dapat menyebabkan terjadinya hernia inguinalis (Syamsuhidayat & Wim, 2011)

10

Gambar 2.1 Anatomi fisiologi hernia C. Etiologi Wound dehiscence dapat terjadi pada saat sebelum pasien mengalami pembedahan, adapun faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya wound dehiscence tersebut adalah batuk dikarenakan dengan batuk akan terjadi tekanan pada abdomen sehingga luka akan mengalami penekanan, selain itu pada pasien yang mengalami anemia, malnutrisi, dan hypoalbumin beresiko terjadinya wound dehiscence karena berkaitan dengan nutrisi yang tidak adekuat. Dimana nutrisi yang adekuat dibutuhkan oleh pasien dalam fase penyembuhan luka (Black & Hawks, 2005).

11

Tipe dari insisi dan jahitan luka sangat mempengaruhi terjadinya wound dehiscence. Perburukan luka (wound dehiscence) akibat pembedahan (post operasi) dapat terjadi disebebkan karena faktor distensi abdominal, kebocoran usus, terjadinya infeksi, hematoma, ketidak seimbangan elektrolit, pemenuhan nutrisi yang tidak adekuat danvomiting. Sehingga luka tidak dapat menutup dan melakukan penyembuhan luka dengan baik (Stillman, 2010). D. Patofisiologi Burst Abdomen bisa disebabkan oleh faktor pre operasi, operasi dan post operasi. Pada faktor pre operasi, hal-hal yang berpengaruh dalam factor pre operasi ini adalah usia, kebiasaan merokok, penyakit diabetes mellitus, dan malnutrisi. Pada umur tua otot dinding rongga perut melemah. Sejalan dengan bertambahnya umur, organ dan jaringan tubuh mengalami proses degenerasi. Kejadian tertinggi burst abdomen sering terjadi pada umur > 5065 tahun. Selain itu adanya anemia, hypoproteinaemia, dan beberapa kekurangan vitamin bisa menyebabkan terjadinya burst abdomen. Hemoglobin menyumbang oksigen untuk regenerasi jaringan granulasi dan penurunan tingkat hemoglobin mempengaruhi penyembuhan luka.

Kebiasaan merokok sejak muda menyebabkan batuk-batuk yang persisten, batuk yang kuat dapat menyebabkan peningkatan tekanan intra abdomen. Penyakit-penyakit tersebut tentu saja amat sangat berpengaruh terhadap daya tahan tubuh sehingga akan mengganggu proses penyembuhan luka operasi. Hypoproteinemia adalah salah satu faktor yang penting dalam

12

penundaan penyembuhan, seseorang yang memiliki tingkat protein serum di bawah 6 g / dl. Untuk perbaikan jaringan, sejumlah besar asam amino diperlukan. VitaminC sangat penting untuk memperoleh kekuatan dalam penyembuhan luka. Kekurangan vitamin C dapat mengganggu

penyembuhan dan merupakan predisposisi kegagalan luka. Kekurangan vitamin C terkait dengan delapan kali lipat peningkatan dalam insiden wound dehiscence. Seng adalah co-faktor untuk berbagai proses enzimatik dan mitosis. Factor operasi, tergantung pada tipe insisi, penutupan sayatan, penutupan peritoneum, dan jahitan bahan. Kontraksi dari dinding abdomen menyebabkan tekanan tinggi di daerah lateral pada saat penutupan. Pada insisi midline, ini memungkinkan menyebabkan bahan jahitan dipotong dengan pemisahan lemak transversal. Dan sebaliknya, pada insisi transversal, lemak dilawankan dengan kontraksi. Otot perut rektus segmental memiliki suplai darah dan saraf. Jika irisan sedikit lebih lateral, medial bagian dari otot perut rektus mendapat denervated dan akhirnya berhenti tumbuh. Ini menciptakan titik lemah di dinding dan pecah perut. Faktor post operasi terdiri dari peningkatan dari intra-abdominal pressure yang menyebabkan suatu kelemahan mungkin disebabkan dinding abdominal yang tipis atau tidak cukup kuatnya pada daerah tersebut, dimana kondisi itu ada sejak atau terjadi dari proses perkembangan yang cukup lama, pembedahan abdominal dan kegemukan. Dapat dipicu juga jika mengangkat beban berat, batuk dan bersin yang kuat, mengejan akibat

13

konstipasi. Terapi radiasi dapat mengganggu sintesis protein normal, mitosis, migrasi dari faktor peradangan, dan pematangan kolagen. Antineoplastic agents menghambat penyembuhan luka dan luka penundaan perolehan dalam kekuatan tarik (Stillman, 2010). Penyembuhan luka tidak sempurna bisa diakibatkan karena pada fase proliferasi terjadi pembentukan jaringan granulasi terganggu yang dimulai pada hari ketiga pasca operasi dan berakhir beberapa

minggu.Terpenting pada fase tersebut fibroblas bergerak ke arah luka dan merespon sintesis kolagen. Namun pada kasus wound dehiscence fibroglas tidak dapat bergerak ke arah luka yang mengakibatkan deposit kolagen berkurang sehingga luka membuka kembali (Khan, 2009). Wound dehiscene pada post hernioraphy dapat mengakibatkan peradangan pada usus yang akirnya menjadi obstruksi. Untuk menangani kejadian ini, maka dilakukan tindakan medis pembuatan kolostomi yang bertujuan untuk mengalihkan feses agar tidak melewati kolon yang mengalami obstruksi. Tindakan selanjutnya akan dilakukan relokasi stoma dan penutupan defek hernia setelah terjadi perbaikan pada kolon yang mengalami obstruksi (Gruendemann & Farnsebner, 2006).

14

E.

Pathways
Kelemahan dinding abdominal Tekanan intraabdominal tinggi Prostusi jaringan intraabdominal melalui kanalis inguinalis Hernia inguinalis skrotalis

Hernia inguinalis lipat paha

mual, muntah

Hernia iresponsibel

Hernia responsibel Prostusi hilang timbul Ketidak nyamanan area inguinal Pembesaran inguinal atau skrotum Intevensi bedah relatif

Resiko ketidak seimbangan elektrolit

Gangguan pasase hernia inkarserata Obstruksi intestinal ileus obstruksi

Gangguan vaskularisasi hernia strangulata Gangguan suplai darah ke intestinal yg masuk dalam kantung hernia Necrosis intestinal

Respon sensifitas saraf lokal Ketidak nyamanan abdominal nyeri

ansietas

Intervensi bedah

Pasca bedah

Pra bedah

Respon psikologis

15

Post operasi

inflamasi Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh Konsumsi protein tdk kuat (nutrisi yg tidak kuat) Deposit kolagen berkurang Luka gagal menutup Luka membuka (abdomen kuadran ke 3) Peradangan pada kolon desenden Obstruksi usus Dilakukan relokasi stoma Colostomi tempporer Aliran feses keluar secara infolunter Penutupan defek hernia Inkontinensia defekasi Gangguan kerusakan integritas kulit

Fibrinasi luka

Proferasi terganggu Fibroblas tdk bergerak ke arah luka

Miofibroblas tdk efektif

Penyempitan luka gagal

(Khan, 2009 ; Gruendemann & Farnsebner, 2006;Mutaqin, 2010)

16

F.

Manifestasi klinik Sedangkan dehiscence selalu ditunjukkan pada 7-14 hari setelah operasi, luka distrupsi mungkin terjadi tanpa tanda, ketegangan atau perpindahan struktur, pasien sering menunjukkan sensasi penyobekan atau merasakan sesuatu yang pernah diberikan, terlihat serosa tidak berfungsi dari luka (Black & Hawks, 2005). Tanda tanda yang harus diwaspadai pada terjadinya wound dehiscence adalah terjadinya peradangan yang disebabkan masuknya kuman-kuman dalam luka dan terjadi tanda-tanda infeksi jaringan di sekitarnya di sekitar luka. Lepasnya dehiscence (jahitan) pada luka dan mengakibatkan luka terbuka dan mengakibatkan terjadinya ulkus, dan pengeluaran pus (Gruendemann & Farnsebner, 2006).

G.

Komplikasi Terjadinya perburukan luka atau terbukanya luka abdomen kembali akan beresiko bagi pasien untuk mengalami peradangan pada usus yang akan mengakibatkan obstruksi usus dan dampak terburuknya maka akan terjadi nekrosis pada usus (Stillman, 2010). Komplikasi vistel yang dilakukan pada pasien dengan wound dehiscence adalah: 1. Penempatan letak vistel yang tidak tepat Dimana disini mengakibatkan pemakaian colostomy bag menjadi sulit akan cenderung menjadi bocor sehingga merusak kulit, ini akan menghalangi aktivitas sehari-hari.

17

2. Nekrosis Vaskularisasi mengakibatkan yang tidak memadai pada stoma akan segera operasi,

iskemia

atau

nekrosis

segera

setelah

perkembangan nekrosis harus segera dievaluasi dan ditentukan perluasannya. Bila nekrosis hanya terjadi pada bagian permukaan serosa tidak perlu dilakukan tindakan segera, mungkin jaringan yang nekrotik akan mengelupas atau perlu debridement. Bila nekrosis meluas hingga dibawah fasia maka perlu segera dilakukan laparatomy untuk mencegah terjadinya peritonitis. 3. Kerusakan kulit Pengotoran cairan produk vistel dikulit sekitar luka mengakibatkan kulit maserasi dan rusak. Hal ini lebih sering terjadi dimana cairan mengandung zat proteolitik dari enzim pancreas, hal ini bisa pula terjadi pada colostomy di proksimal dari pleksura lienalis. Biasanya terjadi oleh karena pemasangan stoma bag / appliance yang jelek sehingga bocor. Kerusakan kulit mungkin juga terjadi oleh karena folikulitis peristomal, dermatitis kontak / alergi. Produk ileostomi yang tinggi, penyakit crohns yang kambuh, obstruksi parsial usus halus, sepsis intra abdominal stenosis soma dan gastro enteritis juga berperan terhadap kejadian kerusakan kulit. (Gruendemann & Farnsebner, 2006)

18

H.

Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan untuk menunjang pemeriksaan pada kasus wound dehiscence adalah: 1. Laboratorium Darah lengkap: Dapat menunjukkan anemia hiperkromik (penyakit aktif umum terjadi sehubungan dengan kehilangan darah dan kekurangan besi), leukositosis dapat terjadi, kususnya pada kasus berat atau komplikasi dan pada pasien dengan terapi steroid. 2. Rontgen Foto polos abdomen untuk mendeteksi adanya udara pada pada usus dan untuk mendeteksi adanya ileus. 3. EKG Terjadi peningkatan nadi, takikardi, akibat adanya nyeri. 4. CT scan Untuk mendeteksi adanya obstruksi usus lebih detail dan

mengidentifikasi terjadinya nekrosis pada usus. 5. Tes BGA (Darah lengkap) Hemoglobin, serum protein, gula darah, serum kreatinin, dan urea. Hitung darah lengkap dan serum elektrolit dapat menunjukkan hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit), peningkatan sel darah putih, dan ketidakseimbangan elektrolit. 6. CT scan atau MRI

19

Untuk menggambarkan atau mengetahui keadaan obsruksi usus dengan lebih jelas. 7. Sinar X abdomen (Laft Lateral Decubitus) Sinar X abdomen menunjukkan abnormalnya tinggi kadar gas dalam usus atau obstruksi usus.

(Stillman, 2010)

Pemeriksaan penunjang post vistel adalah: a. Contoh feses (pemeriksaan digunakan dalam diagnosa awal dans elama kemajuan penyakit): terutama yang mengandung mukosa, darah, pus, dan organisme usus, khususnya Entamoeba histolytica (tahap aktif). b. Protosigmoidoscopy: memperlihatkan ulkus, edema, hiperemia, dan ingflamasi (akibat infeksi sekunder mukosa dan submukosa). Area yang menurun fungsinya dan perdarahan karena nekrosis dan ulkus terjadi pada 85% bagian pada pasien ini. c. Sitologi dan biopsi rektal: membedakan antara proses infeksi dan karsinoma (terjadi 10-20 kali lebih sering daripada populasi umum). Perubahan neoplastik dapat dideteksi, juga karakter infiltrat inflamasi yang disebut abses lapisa bawah. d. Kolonoskopi: mengidentifikasi adesi, perubahan lumen dinding

(menyempit atau tak teratur), menunjukkan obstruksi usus. e. Darah lengkap: Dapat menunjukkan anemia hiperkromik (penyakit aktif umum terjadi sehubungan dengan kehilangan darah dan kekurangan

20

besi), leukositosis dapat terjadi, kuususnya pada kasus berat atau komplikasi dan pada pasien dengan terapi steroid. f. Trombositosis: Dapat terjadi karena proses penyakit inflamasi. g. Elektrolit: Penurunan kalium dan magnesium pada penyakit berat. h. Kadar albumin: penurunan karena kehilangan protein plasma atau gangguan fungsi hati. (Doenges, 2000) I. Penatalaksanaan Pada kasus wound dehiscence post operasi dapat dilakukan tindakan operasi pembedahan, dilakukan untuk menutup lubang dan memperkuat bagian yang lemah, otot perut dirapatkan menutupi lubang yang ada. Namun kebanyakan untuk pasien akut atau baru saja terjadi luka disarankan untuk operasi kembali. Dampak terburuk dari kejadian di ini dapat memungkinkan untuk pembuatan colostomy temporer pada pasien dengan obstruksi usus (Stillman, 2010). Pasien dengan pemasangan vistel perlu mendapatkan perawatan yang intensif, adapaun penatalaksanaan pada pasien pemasangan vistel yaitu: 1. Pantau respon pasien terhadap pembedahan yang meliputi tada-tanda vital, asupan da haluaran (laporkan jika ada ketidak cocokan), balutan (jumlah drainase dan keutuhan). 2. Pantau adanya tanda dan gejala komplikasi yaitu komplikasi luka (prolaps, perdarahan, diare berlebih, feses mirip pita, sulit buang air

21

besar dan flatus), obstruksi intestinal atau konstipasi, prolaps segmen proksimal, perdarahan, peningkatan defekasidan infeksi. 3. Tingkatkan kembalinya peristaltik melalui pertahankan kepatenan NGT, periksa fungsi mesin pengisap, bilas dengan larutan salin normal setiap 4 jam dan sesuai kebutuhan, periksa letak NGT (auskultasi dan aspirasi isinya. 4. Tingkatkan dan pertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit dengan catat asupan per rute (IV, NGT, oral), catat haluaran per rute (urin, feses, drainase NGT, amesis, stoma), pantau adanya tanda dan gejala ketidak seimbangan elektrolit, konsultasikan dengan dokter tentang adanya ketidak sesuaian. 5. Atasi atau kurangi nyeri dan ketidak nyamanan dengan pertahankan posisi yang nyaman, pantau respon pasien terhadap pemberian obat, berikan perawatan mulut (mulut menjadi kering karena pemasangan NGT). 6. Berikan perawatan stoma dan kulit untuk mempercepat penyebuhan dan mencegah komplikasi seperti periksa stoma setiap 4 jam dari adanya retraksi, prolaps atau penonjolan yang lebih dari 2 cm, periksa adanya perdarahan pada daerah luka, periksa adanya obstruksi. 7. Berikan perawatan ostomi yaitu dengan melakukan perawata alat yang digunakan, lakukan perawatan kulit da pencegaha komplikasi dikarenakan kulit dapat teriritasi oleh enzim pencernaan, sesuaika

22

ukutran plaster dan ukuran stoma, oleskan krim pelindung pada daerah yang terpajan. 8. Lindungi pasien dari infeksi dengan berikan perawatan kateter foley, ganti balutan sesuai kebutuhan, lakukan pulmonary toilet setiap 2 sampai 4 jam, ubah posisi pasien setiap 2 jam untuk mencegah terjadinya atelektasis, pantau adaya tanda-tanda infeksi sistemik dan abses lokal. (Belz & Sowden, 2005) J. Fokus Pengkajian Data yang perlu dikaji setelah terjadinya brust abdomen atau wound dehiscence adalah: 1. Respirasi: meliputi kepatenan jalan nafas, kedalaman, frekuensi,

karakter pernafasan: sifat dan bunyi nafas. 2. 3. 4. Sirkulasi: tanda-tanda vital termasuk tekanan darah, kondisi kulit. Neurologi: tingkat respons pasien. Ganstrointestinal: pantau bising usus dan kaji adanya tanda dan gejala obstruksi intestin sebagai akibat tebukanya luka pembedahan abdomen. Tetap puasakan pasien sampai bising usus dapat diidentifikasi. Awali dengan pemberian cairan oral sewaktu fungsi usus pulih. Kaji adanya distensi lambung. Inspeksi luka terhadap drainase dan cegah infeksi terhadap luka dengan mempertahnakan teknik cuci tangan yang benar dan membatasi anak terpajan dengan orang yang mengalami infeksi.

23

5.

Drainase : adanya drainase ( keharusan untuk menghubungkan selang ke sistem drainase yang spesifik, adanya dan kondisi balutan). Pantau masukan dan haluaran cairan.

6.

Kenyamanan : tipe nyeri dan lokasi , mual atau muntah; perubahan posis yang dibutuhkan.

7.

Psikologi : kebutuhan akan istirahat dan tidur, gangguan kebisingan, pengunjung,

8.

Keselamatan: kebutuhan akan pagar tempat tidur, drainase selang tidak tersumbat, cairan IV terinfus dengan tepat dan letak IV terbebat dengan baik.

9. 10. 11. 12.

Peralatan : diperiksa untuk fungsi yang baik. Diagnosa medis dan jenis pembedahan yang dilakukan. Usia dan kondisi umum pasien. Anastetik dan medikasi lain yang digunakan. (Smeltzer, 2002) Data dasar pengkajian pada pasien dengan post vistel:

1. Aktivitas/istirahat Gejala : Kelemahan, kelelahan, malaise, cepat lelah. Insomnia, tidak tidur semalaman karena diare. Merasa gelisah dan ansietas. Pembatasan aktivitas atau kerja sehubungan dengan efek proses penyakit. 2. Sirkulasi Tanda:

24

Takikardia (Respon terhadap demam, dehidrasi, proses inflamasi, dan nyeri). Kelemahan, tekanan darah: Hipotensi, termasuk postural. Kulit atau membran mukosa: Turgor kulit buruk, kering, lidah pecahpecah (dehidrasi atau malnutrisi). 3. Integritas Ego Gejala: Ansietas, ketakutan, emosi kesal, misal perasaan tak berdaya atau tidak ada harapan. Faktor stress akut atau kronis, misalnya hubungan dengan keluarga atau pekerjaan, pengobatan yang mahal. Faktor budaya. Tanda: Menolak, perhatian menyempit, depresi. 4. Eliminasi Gejala: Tekstur feses berfariasi dari bentuk lunak sampai bau atau berair. Periode diare berdarah tak dapat diperkirakan, hilang timbul, sering tak dapat kontrol (sebanyak 20-30 kali defekasi per hari), perasaaan dorong atau kram (tenesmus), defekasi berdarah atau pus atau tanpa keluar feses. Tanda:

25

Menurunnya bising usus, tidak ada peristaltik yang dapt dilihat, Oliguria. 5. Makanan/cairan Gejala : Anoreksia, mual atau muntah, penurunan berat badan, tidak toleran terhadap diet misalnya buah segar atau sayur, produk susu, makana berlemak. Tanda: Penurunan lemak subkutan atau masa otot. Kelemahan, tonus otot dan turgor kulit buruk. Membran mukosa pucat, luka, inflamasi rongga mulut. 6. Higiene Tanda: Ketidak mampuan mempertahankan perawatan diri. Stomatitis menunjukkan kekurangan vitamin. Bau badan. 7. Nyeri/Kenyamanan Gejala : Nyeri atau nyeri tekan pada kuadran kanan bawah (mungkin hilang dengan defekasi), titik nyeri berpindah, nyeri tekan (atritis). Tanda: Nyeri tekan abdomen atau distensi. 8. Keamanan Gejala :

26

Riwayat lupus eritematesus, anemia hemolitik, vaskulitis. Artritis (memperburuk gejala dengan ekserbasi penyakit usus. Peningkatan suhu 39,6-400 C (ekserbasi akut). Penglihatan kabur. Alergi terhadap makanan atau produk susu (mengeluarkan histamin kedalam usus dan mempunyaii efek inflamasi). Tanda: Lesi kulit mungkin ada misalnya nyeri tekan, kemerahan, dan membengkak) pada abdomen, muka, tangan, pioderma ganggrenosa (lesi tekan purulen atau lepuh dengan batas keunguan) pada paha, kaki, dan mata kaki. Ankilosa spondilitis. Uveitis, konjungtivitis/iritis. 9. Seksualitas Gejala: Frekuensi menurun atau menghindari aktivitas seksual. 10. Interaksi sosial Gejala: Masalah hubungan atau peran sehubungan dengan kondisi. Ketidakmampuan aktif dalam sosial. 11. Penyuluhan/pembelajaran Gejala: Riwayat keluarga berpenyakit inflamasi usus.

27

Pertimbangan rencana pemulangan: Bantuan dengan program diet, program obat, dukungan psikologis. (Doenges, 2000) K. Diagnosa Keperawatan Diagnosa keperawatan yang mungki muncul pada wound dehiscence adalah: 1. Nyeri berhubungan dengan faktor eksternal efek sekunder (wound dehiscence). 2. Resiko ketidak seimbangan elektrolit berhubungan dengan muntah. 3. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan faktor mekanik sekunder efek pembedahan (vistel). 4. Ketidak seimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan ketidak mampuan untuk mengasorbsi nutrien. 5. Inkontinensia defekasi berhubungan dengan penurunan sfingter rektal. (NANDA, 2012), (Belz & Sowden, 2005) L. Intervensi dan Rasional Intervensi dan rasional pada pasien pra operasi: 1. Nyeri berhubungan dengan faktor eksternal efek sekunder (wound dehiscence). Tujuan setelah dilakukan tindakan keperawatan 3x24 jam nyeri klien berkurang atau klien mampu beradaptasi dengan nyeri. Kiteria Hasil: a. Secara subyektif melaporkan nyeri berkurang atau dapat diadaptasi.

28

b. Skala nyeri 0-4. c. Dapat mengidentifikasi aktivitas yang meningkatkan atau

menurunkan nyeri. d. Pasien tamapak tidak gelisah. Interfensi dan rasional: a. Kaji adanya keluha nyeri, catat lokasi, lamanya serangan, faktor pencetus. Minta pasien untuk mnetapkan skala nyeri 0-10. Rasional: Membantu menentuka pilihan intervensi dan memberikan dasar untuk perbandingan dan evaluasi terhadap nyeri. b. Lakukan menejemen nyeri keperawatan : 1) Istirahatkan pasien pada saat nyeri muncul. Rasional: istirahat secara fisiologis akan menurunkan kebutuhan oksigen yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan metabolisme basal. 2) Dorong ambulasi dini Rasional: ambulasi pasca bedah sangat penting dilakukan. Dengan ambulasi dini, akan meningkatkan normalisasi fungsi organ (merangsang peristaltik dan flatus) sehingga

menurunkan ketidka nyamana abdomen. Ambulasi dini dilakukan secara bertahap, mulai pasien dibantu setengah duduk setelah 3 jam pasien sudah dirawat di ruang rawat bedah. Apabila toleransi baik, aka dianjurkan duduk sendiri dan mulai turun dari tempat tidur pada beberapa jam

29

berikutnya. Ambulasi dini yang efektif akan menghasilkan keberhasilan bedah terutama pada program ODS ( one day surgery). 3) Atur posisi semi fowler Rasional: posisi ini mengurangi tegangan pada insisi dan organ abdomen, yang membantu mengurangi nyeri. 4) Ajarkan teknik relaksasi distraksi pada saat nyeri Rasional: distraksi (pengalihan perhatian) dapat menurunkan stimulus internal. 5) Manajemen lingkungan tenang, batasi pengunjung dan istirahatkan pasien. Rasional: Lingkungan tenang akan menurunkan stimulus nyeri eksternal dan pembatasna pengunjung akan membantu meningkatkan kondisi oksigen ruangan yang akan berkurang jika banyak pengunjung yang berada di ruangan. Istirahat akan menuurnkan kebutuhan oksigen jaringan perifer. c. Batasi aktivitas selama fase akut sesuai dengan kebutuhan. Rasional: menurunkan gaya gravitasi dan gerak yang dapat menghilangkan spasme otot. d. Tingkatkan pengetahuan tentang: sebab-sebab nyeri dan

menghubungka berapa lama nyeri akan berlangsung.

30

Rasional:

pengetahuan

yang

akan

dirasakan

membantu

mengurangi nyerinya dan dapat membantu mengembangkan kepatuhan pasien terhadap rencana terapeutik. e. Kolaborasi deng tim medis pemberian analgetik. Rasional: Analgetik memblok lintasan nyeri sehingga nyeri akan berkurang. 2. Resiko ketidak seimbangan elektrolit berhubungan dengan muntah. Tujuan setelah dilakukan tindakan 3x24 jam, diharapkan resiko ketidak seimbangan cairan tubuh dapat diatasi. Kriteria hasil: a. Mempertahankan hidrasi adekuat dengan bukti membran mukosa lembab, turgor kulit baik, dan pengisian kapiler baik (capileri revil < 2 detik), tanda vital stabil (TD = 120/80 mmHg, RR = 18 24 kali/menit, Nadi = 80-100 kali/menit, Suhu = 36-370 C) dan secara individual mengeluarkan urine dengan tepat. Intervensi keperawatan dan Rasional: a. Awasi tanda vital, pengisian, kapiler, status membran mukosa, turgor kulit. Rasional: indikator keadekuatan volume sirkulasi. Hipotensi ortostatik dapat terjadi dengan risiko jatuh atau cedera segera setelah perubahan posisi. b. Awasi jumlah dan tipe masukan cairan. Ukuran haluaran urine dengan akurat.

31

Rasional: Pasien tidak mengkonsumsi cairan sama sekali mengakibatkan dehidrassi atau mengganti cairan untuk masukan kalori yang berdampak pada keseimbangan elektrolit. c. Diskuskan strategi untuk menghentikan muntah dan penggunaan laktasif atau diuretik. Rasonal: membantu pasien meneriama perasaan bahwa akibat muntah dan atau penggunaan laktasif atau diuretik mencegah kehilangan cairan lanjut. d. Identifikasi rencaa untuk meningkatkan atau mempertahankan keseimbangan cairan optimal misalnya jadwal masukkan cairan. Rasional: melibatkan pasien dalam rencana untuk memperbaiki ketidak seimbangan memperbaiki kesempatan untuk berhasil. Kolaborasi: e. Awasi hasil laboratorium, misal elektrolit dan Ht. Rasional: Mendeteksi hemostasis atau ketidak seimbangan dan membantu menentukan kebutuhan penggantian. f. Berika cairan IV dan elektrolit sesuai indikasi. Rasional: Dapat diperlukan untuk mempertahankan perfusi jaringan adekuat/fungsi organ. 3. Ketidak seimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan ketidak mampuan untuk mengasorbsi nutrien. Tujuan: Setealahdilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan kebutuhan nutrisi tercukupi.

32

Kriteria Hasil dan Rasional: a. Mempertahnkan berat badan atau menunjukkan peningkatan berat badan b. Menunujkkan nilai laboratotium normal (albumin = 3.2 - 5.2, Hb = 13,2- 17,3, Ht = 40 52) c. Bebas tanda mal nutrisi Intervensi Keperawatan Rasional: a. Lakukan pengkajian nutrisi denga seksama. Rasioanal: Mengidentifikasi kekurangan atau kebutuhan untuk membantu memilih intervensi. b. Auskultasi bising usus. Rasional: Kembalinya fungsi usus menunjukkan kesiapan untuk memulai makan lagi. c. Mulai dengan makanan cair perlahan. Rasional: menurunkan insiden kram abdomen, mual. d. Berikan makanan sedikit dan makanan kecil tambahan, yang tepat. Rasioanal: Dilatasi gaster dapat terjadi bila pemberian makanan terlalu cepat setelah periode puasa. Kolaborasi: e. Berikan terapi nutrisi dalam programm pengobatan rumah sakit sesuai indikasi.

33

Rasional: pengobatan pada masalah dasar tidak terjadi tanpa perbaikan status nutrisi. Perawatan di rumah sakit memberikan kontrol lingkungan dimana masukan makanan, muntah atau elimnasi, obat, dan aktivitas dapat dipantau. Ini juga memisahkan pasien dari orang terdekat (yang dapat sebagai faktor pemberat) dan memberikan pemajanan pada orang lain dengan masalah yang sama, suasana lingkungan untuk saling berbagi. f. Berikan diet cair dan atau makanan selang atau hiperalimentasi bila diperlukan. Rasional: Bila masukka kalori gagal untuk memenuhi kebutuhan metabolik, dukungan nutrisi dapat digunakan untuk mencegah malnutrisi atau kematian sementara terapi dilanjutkan. Makanan cair tinggi kalori dapat diberikan sebagai obat, pada susunan waktu terpisah dari makan, sebagai alternatif peningkatan masukkan kalori. 4. Gangguan kerusakan integritas kulit berhubungan dengan adanya agen. Tujuan setelah dilakukan tindaka keperawatan selama 3x24 jam diharapkan kerusakan integritas kulit dapat teratasi. Kriteria Hasil: a. b. Menunjukkan penyembuhan luka sesuai waktu tanpa komplikasi. Menunjukkan perilaku untuk menurunkan tegangan jahitan.

Intervensi dan Rasional:

34

a.

Sokong insisi bila mengubah possi, batuk, nafas dalam, dan ambulasi. Rasional : Menurunkan kemungkinan dehisense dan hernia insisi lanjut.

b.

Observasi insisi secara periodik, catat penyambungan tepi luka, pembentukan hematoma dan penyembuhan, perdarahan atau drainase. Rasional: Mempengaruhi pilihan intervensi.

c.

Berikan perawatan inssi rutin, hati-hati untuk mempertahankan balutan kering dan steril. Kaji potensi drein. Rasional: Meningkatkan penyembuhan. Akumulasi drainase sero-anguinosa pada lapisan subkutan meningkatkan tegangan jahitan, dapat memperlambat penyembuhan luka, dan memberikan medium pertumbuhan bakteri.

d.

Dorong perubahan posisi sering, lihat titik tekanan, dan pijat sesuai indikasi. Berikan penahan kulit transparan pada siku atau tumit. Rasional: Menurunkan tekanan pada kulit, meningkatkan sirkulasi perifer dan menurunkan risiko kerusakan kulit. Penahan kulit

menurunkan risiko cidera robekan.

35

e.

Berikan perawatan kulit, berikan perhatian khusus pada lipatan kulit. Rasional: Kelembaban atau ekskoriasi meningkatkan pertumbuhan bakteri yang menimbulkan infeksi pascaoperasi.

f.

Berikan kasur busa atau terapi kinetik sesuai indikasi. Rasional: Menurunkan tekanan kulit dan meningkatkan sirkulasi.

5.

Inkontinensia devekasi berhubungan dengan penurunan sfingter rektal. Tujuan setelah dilakukan tindakan keperawatan 3x24 jam diharapkan inkontinensia alvi dapat diatasi. Kriteria Hasil: a. Mempertahankan integritas kulit (kemerahan pada daerah sekitar luka). b. Mengidentifikasi faktor risiko individu. c. Menunjukkan perilaku atau teknik peningkatan penyembuhan atau mencegah kerusakan kulit. Intervens keperawatan dan Rasional: a. Lihat luka atau area kulit pada tiap penggantian kantong. Bersihkan dengan air dan keringkan. Catat iritasi, kemerahan (warna gelap, kebiru-biruan), kemerahan. Rasional: memantau proses penyembuhan atau keefektifan alat dan mengidentifikasi masalah pada area, kebutuhan untuk

36

evaluasi atau intervensi lanjut. Mempertahankan kebersihan atau mengeringkan area untuk membantu pencegahan kerusakan kulit. Indikasi dini nekrosis atau iskemia atau jamur (dari perubahan flora normal usus) memberikan intervensi tepat waktu untuk mencegah komplikasi serius. Pada pasien ileustomi, feses kaya akan enzim, meningkatkan bahan iritasi pada kulit. Pada pasien kolostomi perawatan kulit bukanlah masalah yang besar, karena enzim tidak ada lagi pada feses. b. Ukur stoma secara periodik. Rasional: sesuai dengan penyembuhan edema pascaoperasi (selama 6 minggu pertama) ukuran kantong yang dipakai harus tepat sehingga feses terkumpul sesuai aliran dari ostomi dan kontak dengan kulit dicegah. c. Yakinkan bahwa lubang pada bagian belakang kantung berperekat sedikitnya lebih besar 1/8 ukuran stoma dengan perekat adekuat menempel pada kantong. Rasional: mencegah trauma pada jaringan stoma dan melindungi kulit periostomal. Perekatan area yang adekuat penting untuk mempertahnkan cicncin kantong. Catatan : Perekata terlalu kencang menyebabkan iritasi kulit pada pengangkatan kantung. d. Kosongkan, irigasi, dan bershkan kantong ostomi dengan rutin, gunakan alat yang tepat.

37

Rasional: Penggantian kantong yang sering mengiritasi kulit dan harus dihindari. Pengosongan dan pencucian kantong dengan cairan yang tepat tidak hanya menghilangkan bakteri dan menyebabkan bau feses dan flatus tetapi juga membuat kantung menjadi bau. e. Selidiki keluhan rasa terbakar atau melepuh disekitar stoma. Rasional : Indikasi kebocoran feses dengan iritasi periostomal atau kemungkinan infeksi kandida yang memerlukan intervensi. (Doenges, 2000;Belz & Sowden, 2005)

38

BAB III ASUHAN KEPERAWATAN

Pengkajian dilakukan pada tanggal 27 Agustus 2013 di Ruang Anggrek RS Tugurejo Semarang dengan pasien Tn. S dengan diagnosa medis Post Hernioraphy Excause Wound Dehiscene. I. Pengkajian A. Identitas Pasien Pasien bernama Tn. S, berumur 67 tahun dan berjenis kelamin lakilaki. Pasien bersuku Jawa dan berbangsa Indonesa. Pasien beragama Islam, dan sudah menikah. Pasien berpendidikan sekolah menengah pertama dan berkerja sebagai kuli bangunan. Pasien tinggal di Jatisari, Gisik Drono, Semarang. Pasien mulai dirawat di Rumah Sakit Tugurejo Semarang pada tanggal 24 Agustus 2013 dan mendapatkan nomor register 079724 dengan diagnosa medis Post Hernioraphy Excause Wound Dehiscene. B. Riwayat Keperawatan Pasien mengeluh nyeri pada abdomen kuadran ke tiga.

Pasien datang ke Rumah Sakit Tugurejo Semarang pada tanggal 24 Agustus 2013 pada pukul 16.00 WIB. Pasien mengatakan sakit pada perut bagian bawah. Sesampainya di Rumah Sakit, pasien dibawa ke IGD untuk mendapatkan pertolongan. Setelah diperiksa di IGD pasien dipindahkan ke Ruang Anggrek Rumah Sakit Tugurejo Semarang.

39

Pada pukul 19.00 WIB pasien dioperasi, kemudian selanjutnya dirawat di Ruang Anggrek. Pasien mengataka sebelumnya sudah pernah melakukan operasi hernia (tedun) yaitu kurang lebih empat tahun yang lalu pada bagian dekat alat kelamin. Pasen juga mengatakan dalam keluarganya tidak ada yang mengalami sakit sepertinya. Pasien juga mengatakan bahwa pasien mempunyai riwayat hipertensi. Pasien tidak memiliki penyakit keturunan seperti asma, diabetus militus,d dll. C. Pengkajian Pola Fungsional Paisien mengatakan apabila sakit, pasien biasa langsung periksa ke Rumah Sakit. Karena mengingat pernah melakukan operasi sebelumnya, takut jika keadaannya semakin parah. Sebelum pasien dirawat, pasien teah merasakan sakitnya itu kurang lebih empat minggu sebelum pasien dirawat di Rumah Sakit. Sebelum dirawat di Rumah Sakit pasien mengatakan biasa makan tiga kali sehari, dengan menu nasi, lauk, sayur dan kadangkadang makan buah. Pasien minum +/- 1200 cc per hari. Ketika di rawat di rumah sakit pasien mengatakan hanya mendapat makanan diet cair berupa susu, minum -/+ 800 cc per hari. Untuk pengkajian nutrisinya A: IMT = 22,37 (kelebihan BB tingkat ringan); B: Hb=9,80, Ht=27,40, Albumin=2,2; C=mukosa bibir pasien tampak

40

kering, konjungtiva pasien tampak anemis, capilary revil > 2 detik; D= diit cair. Sebelum sakit pasien biasa BAK -/+ 200 cc per hari dan BAB satu kali sehari dengan konsistensi lembek, berwarna kuning dan berbau khas. Selama perawatan di rumah sakit pasien mengatakan BAK +/- 200 cc per hari, dengan menggunakan uriner tetapi kadangkadang juga berjalan ke kamar mandi sendiri. Urin berwarna kuning jernih. Sebelum sakit pasien BAB 1 kali sehari dengan konsistensi feses berwarna kuning, lembek dan berbau khas. Selama dirawat di rumah sakit pasien mengatakan kalau BAB tidak kerasa, feses nampak rembes pada luka feses berwarna kuning, cair dan berbau khas. Sebelum dirawat di rumah sakit pasien megatakan biasa bekerja di proyek bangunan sebagai kuli bangunan. Pasien mengatakan biasa melakukan aktivitas secara mandiri. Selama menjalani perawatan di rumah sakit, indeks kartz pasien skor C yaitu dengan dua bantuan yaitu saat bathing dan dressing. Pasien tidak mengalami gangguan mengingat. Pengkajian (P, Q, R, S, T) klien mengatakan nyeri, nyeri seperti disayat-sayat pada luka bekasoperasi yaitu pada abdomen kuadran ke 3, dengan skala 4, pasien mengatakan nyeri terasa jika BAB nya merembes ke bagian luka selain itu pasien mengatakan nyeri juga terasa saat duduk atau berjalan.

41

Pasien mengatakan sebelum pasien dirawat dirumah sakit, pasien biasa tidur pada pukul 22.00 pukul 05.00 WIB. Dengan kualitas tidur nyenyak. Namun pada saat pasien menjalani perawatan, pasien mengeluh tidur nyenyak, tidur malam terbangun sampai 4 kali dikarenakan BAB rembes dan terasa perih sekali dan ruangan ramai. Pasien mengatakan mengenal semua tetangga sekitar

rumahnya dan sering bercengkerama denga tetangga-tetangganya. Selama menjalani perawatan di ruang Anggrek, pasien mengataka tidak mengenal ataupun berkenalan dan berbicara dengan pasien yang dirawat seruangan dengannya. Pasien merupakan seorang bapak dengan memiliki 4 orang anak. Pasien mengatakan bahwa dirinya adalah seorang kepala rumah tangga dan masih mempunyai satu anak yang bujaang sehingga pasien menyadari bahwa pasien sebagai pencari nafkah untuk keluarganya. Pasien tidak mengalami kecacatan ataupun kelumpuhan. Pasien berharap segera sehat dan dapat beraktivitas seperti biasanya. Dengan kondisinya yang seperti sekarang ini, pasien mengatakan tidak malu dengan keadaannya.Pasien selalu menyeleaikan masalah dengan cara kekeluargaan, dimusyawarahkan dengan dahulu. Pasien adalah seorang muslim. Sebelum dirawat, pasien biasa sholat 5 waktu. Selama menjalani perawatan, pasien hanya dapat berdoa untuk kesehatannya. anak-anaknya terlebih

42

D.

Pemeriksaan Fisik Dari hasil pemeriksaan fisik, penulis mendapatkan hasil, kesadaran pasien compos mentis, dengan keadaan umum pasien lemah, TD : 140 / mmHg, N = 90 kali per menit , RR = 24 kali per menit dan Suhu = 37,20C. Ukuran antopometri BB pasien = 58,6 kg, TB = 162 cm, LILA= 21 cm. Pada pengkajian head to toe penulis mendapatkan hasil kepala mecocepal, mata : konjungtiva anemis, hidung tampak simetris dan tidak terdapat polip, telinga: bersih, simetris, dan tidak mengeluarkan serumen, mulut dan gigi : bibir tampak kering, tidak ditemukan stomatitis, pasien tidak menggunakan gigi palsu dan gigi banyak yang tanggal, leher: tidak ditemukan pembesaran kelenjar tiroid. Dada tampak simetris dan pada pemeriksaan inspeksi paruparu tampak simetris, tidak terlihat retraksi otot bantu napas; auskultasi terdengar suara dasar vasikuler; palpasi teraba strem fremitus kanan dan kiri; perkusi terdengar bunyi sonor seluruh lapang paru. Inspeksi jantung tidak tampak ictus cordis; palpasi teraba ictus cordis lateral mid. klavikula sinistra linea spasium intercosta ke lima; perkusi terdengar pekak; dan auskultasi terdengar bunyi jantung I dan II normal. Inspeksi pada perut tampak simetris, terlihat luka bekas operasi hernioraphy, terpasang colostomi bag, terlihat kemerahan pada

43

sekitar kantong kolostomi; pada auskultasi terdengar bising usus 10 kali per menit; perkusi terdengar timpani dan pada saat palpasi terdapat nyeri tekan. Daerah genetalia pasien tampak bersih dan tidak terpasang kateter. Pada ekstermitas kiri atas terpasang infus dengan kekuatan otot masing-masing ekstermitas adalah empat. Kulit pasien tampak lembab, capilary revil > 2 detik. E. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan laboratorium pasien dilakukan pada tanggal 25 Agustus 2013, pada pemeriksaan penunjang didapatkan hasil lekuosit pasien meningkat yaitu 12.23 10^3/dl; eritrosit pasien menurun menjadi 3.41 10^3/L; begitu juga dengan hematokrit pasien mengalami penurunan menjadi 27.40%; trombosit pasien

menunjukkan penurunan menjadi 6.84 10^3/dL; Hemoglobin 9.80 g/dL dan albumin pasien menurun menjadi 2,2. Pasien dilakukan pemeriksaan USG pada tanggal 25 Agustus 2013 dengan mendapatkan hasil pembesaran kelenjar prostat dan klasifikasi, hydroneohrosis sinistra dan debris vesika telea. F. Therapi Selama menjalani perawatan di rumah sakit pasien

mendapatkan infus tutofusin 500 cc per hari dengan tetesan 20 tetes per menit, Kaen 3B 1000 cc per hari dengan tetesan 20 tetes per menit, dan D5 500 cc per hari dengan tetesan 20 tetes per menit.

44

Selain itu pasien mendapatkan injeksi cefotaxim 2 x 250 mg dan obat oral B complek 3x1 mg dan vit C 3x90 mg. Pada taggal 29 Agustus 2013 pasien mendapatkan injeksi ranitidin 2x250 mg. II. Diagnosa keperawatan dan Intervensi Penulis menetapkan diagnosa nyeri berhubungan dengan agen fisik efek sekunder terhadap hernioraphy sebagai diagnosa keperawatan yang pertama karena setelah dialakukan pengkajian, penulis mendapatkan data pada pengkajia (P, Q, R, S, T) bahwa pasien mengatakan nyeri, nyeri seperti disayat-sayat, di bagian luka operasi (abdomen), dengan skala nyeri 4, dan sakit saat BAB pasien rembes ke kasa penutup luka dan jika dipakai untuk duduk ataupun berjalan. Data obyektif didapatka TD: 140/80 mmHg, RR: 24 kali per menit, Nadi: 130 kali per menit, Suhu: 370C. Sehingga penulis membuat intervensi keperawatan kaji adanya keluhan nyeri, catat lokasi, lamanya serangan, faktor pencetus, minta pasien untuk menetapkan skala nyeri 0-10; instruksikan kepada pasien untuk melakukan teknik relaksasi; lakukan pemeriksaan TTV; pertahankan tirah baring selama fase akut; batasi aktivitas selama vase akut sesuai dengan kebutuhan. Diagnosa kedua penulis mengangkat diagnosa kerusakan integritas kulit berhubungan dengan faktor eksternal efek sekunder (pemasangan kolostomi bag) dikarenakan penulis mendapatkan data dari pengkajian pasien mengatakan gatal pada daerah sekitar luka dan ditemukan daerah sekitar kasa penutup tampak merah, kasa tampak lembab. Sehingga penulis membuat intervensi keperawatan lihat luka atau kulit sekitar luka pada tiap

45

penggantian kantong bersihkan dan keringkan, catat iritasi kemerahan; yakinkan pada lubang belakang kantong perekat sedikit lebih besar 1/8 dari luka dengan perekat adekuat menempel pada kantong; kosongkan irigasi dan bersihkan kantong kolostomi dengan rutin, gunakan alat yang tepat; selidiki keluhan rasa terbakar atau gatal atau melepuh disekitar luka; sokong kulit sekitar bila mengangkat kantong dengan perlahan, lakukan pengangkatan kantong sesuai indikasi. Diagnosa selanjutnya penulis mengangkat diagnosa nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan menurunnya kemampuan menyerap nutrien yang ditandai dengan data hasil pengkajian pasien mengatakan tidak makan hanya minum susu saja +/- 800 cc, pasien mengatakan mual setelah minum susu. Pada data obyektifnya didapatkan data A=22,37 (kelebihan BB ringan), B= Hb: 9,80 10^3/dL, Ht: 27, 40 %, albumin = 2,2, C= mukosa bibir kering, konjungtiva anemis. D= diit cair; klien tampak tidak menghabiskan susu yang disediakan oleh rumah sakit. Sehingga penulis membuat intervensi keperawatan buat jadwal masukan tiap jam, anjurkan mengukur cairan atau makanan dan minuman sedikit demi sedikit atau maka dengan perlahan; berikan pendidikan kesehatan pasien atau keluarga pasien mengenai gizi yang dibutuhkan pasien; kolaborasikan dengan tim gizi terkait diet yang dianjurkan; lakukan pemeriksaan laboratorium (albumin).

46

III. Implementasi keperawatan Pada tanggal 27 Agustus 2013 penulis melakukan implementasi yaitu mengkaji adanya keluhan nyeri, mencatat lokasi, lamanya serangan, faktor pencetus, meminta pasien untuk menetapkan skala nyeri 0-10; menginstruksikan kepada pasien untuk melakukan teknik relaksasi; melakukan pemeriksaan TTV; melihat luka atau kulit sekitar luka pada tiap penggantian kantong, membersihkan dan mengeringkan, mencatat iritasi kemerahan; meyakinkan pada lubang belakang kantong perekat sedikit lebih besar 1/8 dari luka dengan perekat adekuat menempel pada kantong; mengososngkan irigasi dan membersihkan kantong kolostomi dengan rutin menggunakan alat yang tepat; menyelidiki keluhan rasa terbakar atau gatal atau melepuh disekitar luka; membuat jadwal masukan tiap jam, menganjurkan mengukur cairan atau makan dan minum sedikit demi sedikit atau makan dengan perlahan; mengolaborasikan dengan tim gizi terkait diet yang dianjurkan. Dengan dilakukannya implementasi di atas maka pada jam 13.00 WIB penulis mengevaluasi hasil dari implementasinya yaitu pasien mengatakan (P, Q, R, S, T) nyeri , pasien mengatakan nyeri seperti disayatsayat, pasien mengatakan nyeri pada luka (abdomen), pasien mengatakan skala nyeri yang dirasakan adalah 4, pasien mengatakan nyeri saat BAB rembes ke kasa penutup dan jika pasien duduk atau berjalan. Selain itu pasien mengeluh gatal di sekitar luka dan merasa mual setelah minum susu. Dari data obyektif nya ditemukan Nadi pasien 130 kali per menit dan RR

47

pasien 24 kali per menit, IMT = 22,37, Hb = 9,80 g/dL, Ht = 27,40 % dan albumin pasien 2,2, mukosa bibir pasien tampak kering dan konjungtiva anemis. Data diatas menyimpulkan bahwa masalah nyeri, kerusakan integritas kulit dan nutrisi pasien belum teratasi. Maka penulis mempertahakan intervensi yang sesuai dengan implementasi yang telah dilakuka pada hari pertama yaitu mengkaji adanya keluhan nyeri, catat lokasi, lamanya serangan, faktor pencetus, meminta pasien untuk menetapkan skala 0-10; menginstruksikan kepada pasien untuk melakukan teknik relaksasi;lihat luka atau kulit sekitar luka pada tiap penggantian kantong, bersihkan da keringkan, catat iritasi kemerahan; selidiki keluhan rasa terbakar atau gatal atau melepuh disekitar luka; buat jadwal masukan tiap jam, anjurkan mengukur cairan atau makanan dan minum sedikit demi sedikit atau makan dengan perlahan; kolaborasi dengan tim gizi sesuai diit yang dianjurkan. Pada hari ke dua tanggal 28 Agustus 2013 penulis melakukan implementasi sesuai dengan intervensi yang dibuat pada hari pertama, dari hasil implementasi tersebut didapatkan hasil keluhan yang sama dengan hari pertama namun terjadi perubahan hasil pengukuran tanda-tanda vital tekanan darah yaitu 150/80 mmHg, Nadi: 120 kali per menit, RR: 28 kali per menit dan suhu 36,80C dan panjang luka terukur 4 cm. Untuk mengatasi masalah tersebut maka penulis merencanakan intervensi keperawatan yang sama dengan intervensi pada hari pertama dan ditambah intervensi berikan

48

pendidikan kesehatan kepada pasien atau keluarga pasien mengenai gizi yang dibutuhkan pasien. Hari ke tiga tanggal 29 Agustus 2013 penulis melakukan implementasi sesuai intervensi hari ke dua, setelah dievaluasi didapatkan perubahan hasil yaitu keluhan skala nyeri berkurang menjadi 3. Dengan perubahan tersebut penulis mempertahankan intervensi keperawatan kaji keluha nyeri, catat lokasi dan lamanya serangan, faktor pencetus, minta pasien untuk menetapka skala nyeri 0-10; selidiki keluhan rasa terbakar atau gatal atau melepuh disekitar luka; kolaborasi dengan tim gizi terkait pemberian diit yang dianjurkan. Pada hari ke empat pada tanggal 30 Agustus 2013, penulis melakukan implementasi sesuai intervensi yang direncanakan pada ghari ke tiga, di hari keempat ini didapatkan hasil pasien mengeluh nyeri bertambah dan skala nyeri menjadi 4 lagi sedangkan daerah sekitar luka terlihat lemerah-merahan dan gatal dan pasien masih merasa mual dan tampak tidak menghabiskan susu yang diberikan oleh rumah sakit. IV. Evaluasi Evaluasi ini dilakukan penulis pada tanggal 31 Agustus 2013 sebagai evaluasi akhir dari pengelolaan pasien. penulis mendapatkan hasil: Pada diagnosa pertama pasien mengatakan masih merasa nyeri, nyeri seperti tersayat-sayat, nyeri pada luka (abdomen), dengan skala nyeri 3, nyeri terasa saat kantong kolostomi diganti dan dibersihkan. Masalah nyeri teratasi sebagian dan dilanjutkan dengan intervensi kaji adanya keluhan

49

nyeri, catat lokasi, lamanya serangan, faktor pencetus, minta pasien untuk menetapkan skala nyeri 0-10; instruksikan kepada pasien untuk melakukan teknik relaksasi; lakukan pemeriksaan TTV. Pada diagnosa ke dua yaitu mengenai kerusakan integritas kulit, penulis mendapatkan hasil bahwa pasien masih mengeluh gatal di daerah sekitar luka dan bekas perekat kantong kolostomi, daerah sekitar luka masih tampak kemerahan. Maka untuk mengatasi masalah tersebut penulis membuat discard planning untuk perawat ruangan lihat luka atau kulit sekitar luka pada tiap penggantian kantong, bersihkan dan keringkan, catat iritasi kemerahan; kosongkan, irigasi dan membersihkan kantong kolostomi dengan rutin, menggunakan alat yang tepat; selidiki rasa terbakar atau gatal atau melepuh disekitar luka. Pada diagnosa ke tiga yaitu mengenai nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh, penulis mendapatkan hasil pasien masih merasa mual, pasien masih tampak tidak menghabiskan susu yang disediakan rumah sakit, didapatkan hasil laboratorium albumin pada tanggal 29 Agustus 2013 3,0. Maka masalah nutrisi teratasi sebagian. Dengan adanya hasil tersebut maka penulis menuliskan discardplanning untuk perawat ruangan kolaborasi dengan tim gizi terkait diet yang dianjurkan; buat jadwal masukkan tiap jam, anjurkan mengukur cairan atau makanan atau minuman sedikit demi sedikit atau makan dengan perlahan.

50

BAB IV PEMBAHASAN

Pada tahap ini penulis akan membahas mengenai asuhan keperawatan pada Tn. S dengan diagnosa medis Post Hernioraphy Excausa Wound Dehiscnce selama empat hari dirawat di Ruang Anggrek Rumah Sakit Tugurejo Semarang. Pembahasan tersebut meliputi pengertian, diagnosa, intervensi dan implemantasi, evaluasi, kesenjangan antara teori dengan kasus yang dihadapi. Adapun diagnosa yang diangkat oleh penulis antara lain Nyeri berhungan dengan agen fisik sekunder terhadap hernioraphy; Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan adanya agen (pemasangan colostomy bag); Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan menurunnya kemampuan menyerap nutrien. A. Diagnosa Keperawatan 1. Nyeri berhubungan dengan agen fisik efek sekunder terhadap hernioraphy. Pengertian dari nyeri adalah pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan yang muncul akibat kerusakan jaringan yang aktual atau potensial atau digambarkan dalam hal kerusakan sedemikian rupa (Internasional Association for The Study of Pain); awitan yang tiba-tiba atau lambat dari intensitas ringan hingga berat dengan akhir yang dapat diantisipasi atau diprediksi dan berlangsung < 6 bulan (NANDA, 2012).

51

Penulis mengangkat diagnosa Nyeri tersebut sebagai diagnosa utama karena dilihat dari segi kegawatannya yang harus segera ditangani dan sesuai hierarki Moslow. Adapun batasan karakteristik untuk menegakkan diagnosa tersebut adalah perubahan tekanan darah; perubaha frekuensi jantung; perubahan frekuensi pernapasan; laporan isyarat; perilaku distraks seperti berjalan mondar mandir, mencari orang lain dan atau aktivitas yang lain; mengekspresikan perilaku misalnya gelisah, merengek, menangis, mendesah; perilaku berjaga-jaga atau melindungi area nyeri; indikasi nyeri yang dapat diamati; melaporkan nyeri secara verbal; gangguan tidur dan perubahan posisi untuk menghindari nyeri (NANDA, 2012). Nyeri yang dirasakan pada Tn S. adalah sebagai akibat putusnya jaringan yang mengakibatkan terjadinya nyeri. Transmisi stimulus nyeri berlanjut di sepanjang serabut saraf aferent sampai transmisi tersebut berakhir di bagian cornu dorsalis medula spinalis. Dari medula spinalis impuls nyeri ditransmisikan lebih jauh ke sistem saraf pusat pada korteks sensori dan korteks asosiasi sehingga pasien dapat mempersepsikan nyerinya (Potter, 2005). Penulis menegakkan diagnosa tersebut dikarenakan pada tahap pengkajian subyektif , penulis mendapatkan hasil pasien mengatakan nyeri, pasien mengatakan nyerinya seperti disayat-sayat, pasien mengatakan nyeri pada luka bekas operasi (abdomen), pasien

52

mengatakn skala nyeri 4 dan nyeri terasa jika BAB merembes ke kasa penutup luka dan digunakan untuk duduk atau berjalan. Pada pengkajian obyektif penulis mendapatkan data N: 130 kali per menit; TD: 140/80 mmHg; S: 370C; RR: 24 kali per menit. Yang dimana dari data di atas sesuai dengan batasan kateristik diagnosa Nyeri yaitu perubahan tekanan darah, perubahan frekuensi jantung, perubahan frekuensi pernapasan dan melaporkan nyeri secara verbal. Pada diagnosa ini penulis melakukan implementasi

keperawatan sebagai berikut: Mengkaji adanya nyeri, catat lokasi, lamanya serangan, faktor pencetus, minta pasien untuk menetapkan skala nyeri 0-10 dengan rasional untuk menentukan pilihan intervensi dan memberikan dasar untuk perbandingan dan evaluasi terhadap nyeri; Menginstruksikan kepada pasien untuk melakukan teknik relaksasi dengan rasional teknik relaksasi dapat

menghilangkan atau mengurangi stress pada otot dan mencegah trauma lebih lanjut; Melakukan pemeriksaan TTV karena rasa nyeri dapat mempengaruhi peningkatan TD, N, RR; Pertahankan tirah baring selama fase akut karena tirah baring dalam posisi yang nyaman memungkinkan pasien untuk menurunkan spasme otot, menurunkan pertekanan pada bagian tubuh tertentu; Membatasi aktivitas selama fase akut sesuai dengan kebutuhan (Doenges, 2000). Dari intervensi yang direncanakan oleh penulis, penulis tidak melakuka intervensi batasi aktivitas selama fase akut. Hal ini

53

dikarenakan pasien yang dikelola oleh penulis selama dikelola oleh pasien terhitung setelah pengkajian dilakukan, pasien tidak melakukan aktivitas apapun, dengan kata lain pasien telah bed rest total dan untuk melakukan aktivitas pasien dibantu oleh keluarga atau perawat. Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama kelolaan empat hari penulis mendapatkan hasil pasien masih merasakan yeri, nyeri yang dirasakan oleh pasien seperti diiris-iris, nyeri pada luka operasi (abdomen), dan nyeri dirasakan pada saat penggantian kantong colostomy danpada saat luka dibersihkan, pasien tampak kesakitan saat kantong kolostomi dibersihkan dengan hasil TD: 150/80 mmHg, N: 120 kali per menit, RR: 28 kali per menit, S: 36,80C. Sehingga penulis memutuskan untuk

mendelegasikan kepada perawat ruangan untuk tetap melanjutkan intervensi yang telah di rencanakan sebelumnya. 2. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan faktor eksternal efek sekunder (pemasangan colostomy bag). Kerusakan integritas kulit adalah perubahan atau gangguan epidermis dan atau dermis. Batasan karakteristik untuk kerusakan integritas kulit adalah kerusakan lapisan kulit, gangguan permukaan kulit, invasi struktur tubuh. Selain itu masalah integritas kulit ini dapat berhubungan dengan beberapa faktor yaitu zat kimia; kelembaban; faktor mekanik seperti gaya gunting , tekanan dan penekanan; medikasi, lembab, imobilisasi fisik, perubahan status

54

cairan; perubahan pigmentasi; perubahan turgor; ketidak seimbangan nutrisi,dll (NANDA, 2012). Penulis mengangkat diagnosa ini menjadi diagnosa ke dua dikarenakan pada hasil pengkajian ditemukan data yag sesuai dengan batasan karakteristik yaitu klien mengeluh gatal disekitar luka dan tampak kemerah-merahan pada daerah sekitar luka serta kasa penutup luka tampak basah dan lembab oleh feses, yang mana dari hasil pengelompokan masalah-masalah yang terjadi pada pasien masalah kerusakan integritas kulit inilah yang harus segera mendapatkan perhatian dan dibutuhkan penanganan yang harus segera diatasi. Penulis mengangkat diagnosa ini dengan alasan pemasangan kolostomi bag dapat mengakibatkan iritasi pada kulit dan merusak lapisan kulit, selain itu produk stomanya cair dan mengandung zat proteolitik dari enzim pancreas. Hal ini bisa juga karena pemasangan stoma bag / appliance yang jelek sehingga bocor. Kerusakan kulit mungkin juga terjadi oleh karena folikulitis peristomal, dermatitis kontak / alergi (Gruendemann & Farnsebner, 2006). Pasien yag dikelola penulis merupakan pasien dengan tindakan kolostomi, maka penulis melakukan tindakan keperawatan untuk mengatasi kerusakan integritas kulit yang langsung

berhubungan dengan ostomy pasien diantaranya adalah melihat luka atau kulit sekitar luka pada tiap penggantian kantong, bersihkan dan

55

keringkan, catat iritasi kemerahan dengan rasional untuk memantau penyembuhan luka dan untuk mencegah terjadinya iritasi pada kulit; Yakinkan pada lubang belakang kantong perekat sedikit lebih besar 1/8 dari luka dengan perekat adekuat menempel pada kantong dengan alasan mencegah trauma pada luka dan perekatan yang terlalu kuat dapat mengakibatkan iritasi; Mengkosongkan irigasidan bersihkan kantong kolostomi dengan rutin, gunakan alat yang tepat dengan rasional penggantian katong yang terlalu sering akan mengiritasi kulit dan harus dihindari; Menyelidiki keluhan rasa terbakar atau gatal atau melepuh disekitar luka untuk

mengidentifikasi kemungkinan infeksi kandida ; Menyokong kulit sekitar bila mengangkat kantong dengan perlahan, lakukan pengangkatan kantong sesuai indikasi. Dari intervensi yang

direncanakan, penulis telah melakukan semua intervensi. Setelah pengelolaan pasien selama empat hari penulis melakukan evaluasi yang mana didapatkan hasil pasien masih merasakan gatal pada daerah sekitar luka dan daerah sekitar luka klien masih tampak kemerah-merahan. Sehingga dapat dikatakan masalah kerusakan intergritas kulit pasen belum teratasi, dan perlu dilanjutkan intervensi yang sama dengan intervensi yang telah direncanakan sebelumnya.

56

3.

Nutrisi

kurang

dari

kebutuhan

tubuh

berhubungan

dengan

menurunnya kemampuan menyerap nutrien. Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh adalah asupan nutrisi tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan metabolik dengan batasan karakteristik berat badan 20% atau lebih dibawah berat badan ideal; kerapuhan kapiler; diare; bising usus hiperaktif; membran mukosa lembab; ketidak ammpuan mencerna makanan; tonus otot menurun; kelemahan otot yang diperlukan untuk menelan atau mengunyah, dll. (NANDA, 2012). Penulis mengangkat diagnosa ini dikarenakan makanan yang dimakan oleh pasien tidak dapat diasorbsi oleh tubuh sebagai akibat terjadinya peradangan dan obstruksi pada usus (Gruendemann & Farnsebner, 2006). Hal ini dikuatkan dengan didapatkan data hasil pengkajian klien mengatakan tidak makan dan hanya minum susu saja +/- 800 cc; Klien mengatakan mual setelah meminum susu. Pada data obyektifnya didapatkan hasil IMT pasien 22,37 (kelebihan berat badan ringan); BB: 58,6 kg: TB: 162 cm. Hasil laboratorium yang didapatkan adalah hemoglobin: 9,80 g/dL; hematokrit: 27,40 %; Albumin: 2,2. Serta didapatkan hasil mukosa bibir pasien tampak kering, konjungtiva pasien tampak anemis dan mendapatkan diit cair berupa susu dan telur dari rumah sakit; pasien tampak tidak menghabiskan susu yang disediakan.

57

Implementasi yang dilakukan oleh penulis adalah membuat jadwal masukan tiap jam, anjurkan mengukur cairan atau makanan dan minuman sedikit demi sedikit atau makan dengan perlahan dengan rasional setelah tindakan pembagia, kapasitas gaster menurun kurang lebih 50 mL, sehingga perlu makanan sedikit tapi sering; Memerikan pendidikan kesehatan kepada pasien atau keluarga pasien mengenai gizi yang dibutuhkan pasien karena gizi sangat dibutuhkan oleh pasien post operasi untuk membantu pertumbuhan jaringan baru; Mengkolaborasikan dengan tim gizi terkait diet yang dianjurkan dengan maksud pengobatan masalah dasar tidak terjadi tanpa perbaikan status gizi; Melakukan pemeriksaan laboratorium (albumin) karena hasil laboratorium (albumin) merupakan indikasi adanya masalah dengan nutrisi pasien. Intervensi telah dilakukan semua oleh penulis, dengan mendapatkan hasil selama empat hari pengelolaan pasien masih mengeluh mual, tidak menghabisan porsi susu yang telah disipkan Rumah Sakit, pada tanggal 29 Agustus 2013 dilakukan pemeriksaan albumin dan didapatkan hasil 3,0 menunjukkan kenaikan albumin yang

sebelumnya hanya 2,2. Karena pasien masih mengeluh terjadinya mual maka pada tanggal 29 Agustus 2013, pasien mendapatkan terapi tambahan yaitu ranitidin 2x250 mg IV. Sehingga penulis mendelegasikan kepada perawat buat jadwal masukkan tiap jam, anjurkan mengukr cairan atau makanan

58

dan minuman sedikit demi sedikit atau makan dengan perlahan; Kolaborasi dengan tim gizi terkait diet yang dianjurkan; Lakukan pemeriksaan laboratorium (albumin). Perlu diketahui bahwa pasien yang dikelola oleh penulis mempunyai riwayat pembedahan hernioraphy sekitar empat tahun yang lalu. Semenjak operasi hernioraphy nya tersebut, pasien mulai melakukan tarak yaitu mengurangi asupan makanan seperti ikan laut dan telur. Yang dimana ikan laut dan telur merupakan makanan yang mengandung protein yang diperlukan utuk fase penyembuhan luka. Malnutrisi energi protein menurunkan aktivitas seluler vibroplastik dan memperlambat angiogenesis sehingga terjadi perubahan kapiler pada tahap proliferasi dan menurunkan sintesis produksi kolagen dan malnutrisi pada tahap remodeling sehingga menyebabkan luka menjadi rusak atau terbengkas (Suriadi, 2005). Pada pemeriksaan pun ditemukan albumin pada pasien mengalami penurunan, padahal albumin merupakan protein humoral yang utama dalam sirkulasi, yang menyediakan sumber asam amino (molekul terkecil dari protein), bila selama penyembuhan luka dan tubuh tidak dapat meningkatkan kebutuhan energi, kekurangan albumin mengganggu tahap inflamasi dan proliferasi luka (Suriadi, 2005; Perry, 2006). Sehingga luka post hernioraphy pasien mengalami gagal menutup yang sering disebut dengan istilah wound dehiscence. Luka abdomen yag terbuka kembali yang dialami oleh pasien dapat menyebabkan peradangan pada usus yang akhirnya menjadi obstruksi.

59

Untuk menangani kejadian ini, maka dilakukan tindakan medis pembuatan kolostomi yang bertujuan untuk mengalihkan feses agar tidak melewati kolon yang mengalami obstruksi. Tindakan selanjutnya akan dilakukan relokasi stoma dan penutupan defek hernia setelah terjadi perbaikan pada kolon yang mengalami obstruksi (Gruendemann & Farnsebner, 2006). B. Diagnosa Keperawatan Yang Tidak Muncul Dari beberapa masalah yang dialami oleh pasien, ada beberapa diagnosa yang tidak diangkat oleh penulis yaitu : 1. Resiko ketidak seimbangan elektrolit berhubungan dengan muntah, Ketidak seimbangan elektrolit adalah berisiko mengalami perubahan kadar elektrolit serum yang dapat mengganggu kesehatan. (NANDA, 2012). Diagnosa ini tidak diangkat oleh penulis dikarenakan tidak ditemukan data-data yang mengarah kediagnosa resiko ketidak seimbangan elektrolit, untuk mengangkat diagnosa ini diperlukan data kelemahan, terjadinya devisiensi cairan, diare, disfungsi endokrin, kelebihan volume cairan, disfungsi ginjal dan muntah. (NANDA, 2012). Pada pengkajian cairan, tanda-tanda vital, pola aktivitas yang dilakukan pasen penulis tidak menemukan data yang mengarah ke diagnosa resiko ketidak seimbangan elektrolit berhubungan dengan muntah. Penulis seharusnya menegakkan diagnosa ini terkait dengan ditemukannya data saat pengkajian yaitu turgor kulit pasien kering,

60

mukosa

bibir

pasien

tampak

kering,

pasien

tampak

tidak

menghabiskan susu yang disediakan oleh rumah sakit, konjungtiva pasien tampak anemis, capilari revil pasien lebih dari 2 detik dan pasien selama sakit hany minum +/- 800 cc. Dari data-data tersebut diatas telah sesuai dengan batasan karakteristik untuk menegakkan diagnosa ini. 2. Ansietas berhubungan dengan perubahan terhadap status kesehatan. Ansietas merupakan keadaan ketika individu atau kelompok mengalami gelisah (penilaian opini) dan aktivitas sistem saraf autonom dalam berespon terhadap ancaman yang tidak jelas, non spesifik (Carpenito & L. J. 2000). Ansietas adalah perasaan tidak nyaman atau khekhawatiran yang samar disertai respon autonom (sumber sering kali tidak spesifik atau tidak diketahui oleh individu; perasaan takut yang disebabkan oleh antisipasi terhadap bahaya. Hal ini merupakan isyarat kewaspadaan yang memperingatkan individu akan adanya bahaya dan memampukan individu untuk bertindak mencapai ancaman (NANDA, 2012). Penulis tidak mengangkat diagnosa ini dikarenakan pada pengkajian yang dilakukan tidak mendapatkan data yang mengarah pada diagnosa ansietas seperti gugup, perasaan geliasah ataupun marah yang berlebihan. 3. Inkontinensia devekasi berhubungan dengan penutunan sfingter rektal

61

Inkontinensia defekasi adalah perubahan pada pola defekasi normal yang dikarakteristikkan pada pasase feses involunter (NANDA, 2012). Alasan mengapa diagnosa ini tidak diangkat karena pada saat penulis melakukan pegelolaan pasien telah dilakukan pembuatan kolostomi dan sudah menggunakan kolostomi bag sehingga feses yang keluar dapat langsung keluar melalui kolostomi tersebut. Mengingat diagnosa keperawatn harus disusun berdasarkan prioritas kegawatan dan berdasarkan ketetapan hierarki Moslow. Selain itu data yang didapat tidak sesuai dengan batasan mayor dan minor yang telah ditetapkan. C. Faktor Pendukung dan Penghambat Dalam melakukan asuhan keperawatan, penulis mempunyai kendala dimana pasien yang lebih sering acuh terhadap pertanyaan penulis dan kurang kooperatif. Sehingga dalam melakukan asuhan keperawatan penulis lebih banyak melibatkan keluarga dalam mengidentifikasi masalah dan melakukan tindakan keperawatan, hal ini menjadi faktor pendukung penulis dalam memberikan asuhan keperawatan kepada pasien. Selain tersebut di atas, penulis kurang memperhatikan segi pendokumentasian yaitu kurang komprehensifnya penulis dalam mengkaji pasien sehingga data yang didapatkan kurang lengkap. Penulis juga kurang teliti dalam mendokumentasikan asuhan keperawatan, khususnya dalam mengkaji nutrisi pasien. Penulis tidak menuliskan IWL dan balance cairan

62

pasien. Sehingga dalam memprioritaskan diagnosa, penulis kurang tepat, dimana seharusnya diagnosa resiko ketidak seimbangan elektrolit menjadi diagnosa prioritas sebelum mengangkat diagnosa nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh. Hal ini ditunjang oleh hasil dari pemeriksaan penunjang yang dilakukan pasien yaitu USG dimana terjadi pembesara pada prostat sehingga pengkajian yang dilakukan harus menghitung balance cairan dan IWL pasien. Alasan dimana penulis tidak melakukan penghitungan balance cairan tersebut adalah karena output yang dikeluarkan oleh pasien yaitu berupa feses tidak dapat diukur oleh penulis, dikarenakan feses yang keluar secara infolunter terkadang merembes keluar dari kolostomi bag dan terkadang feses merembes pada tampon kasa yang menutup area fistel pasien. Pada evaluasi juga penulis kurang cermat dalam menuliskan asismen. Dimana ketika penulis mengangkat diagnosa nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh, penulis kurang memperhatikan kriteria hasil yang diharapkan. Ketika kriteria hasil yang diharapkan belum tercapai semua maka hendaknya penulis menuliskan asismen masalah belum teratasi. Penulisan evaluasi mengenai diagnosa nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh penulis kurang cermat dalam mengkaji Antopometri, Biokimia, Clinis, Dietery pasien. Sehingga evaluasi yang dilakukan oleh penulis kurang tepat.

63

BAB V PENTUP Pemberian asuhan keperawatan yang telah penulis lakukan pada Tn. S pada tanggal 27 sampai dengan 30 Agustus 2013 dapat dibuat kesimpulan dan saran yang diharapkan dapat memberikan manfaat dalam meningkatkan mutu pelayanan sebagai berikut : A. Kesimpulan 1. Setelah melakukan pengelolaan pasien selama empat hari di Ruang Anggrek RSUD Tugurejo Semarang, penulis mengambil kesimpulan: pasien yang dikelola merupakan pasien wound dehiscence excause post hernioraphy dimana ditemukan luka yang terbuka kembali dan dilakukan tindakan fistel untuk menghindarkan terjadinya komplikasi penyakit. Dalam pengkajian penulis menemukan beberapa data dan mengelompokkannya sesuai dengan prioritas masalah, yang pada akhirnya penulis mengangkat diagnosa Nyeri berhubungan dengan agen fisik efek sekunder terhadap hernioraphy; Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan adanya agen (pemasangan colostomy bag) dan yang terakhir adalah Nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan menurunnya kemampuan menyerap nutrien. 2. Tindakan keperawatan yang dilakukan pasien dengan kasus wound dehiscence excause post hernioraphy. 1. Lihat luka atau kulit sekitar luka pada tiap penggantian kantong kolostomi, bersihkan dan keringkan serta catat iritasi kemerahan.

64

2. Yakinkan pada lubang belakang kantong perekat seidikit lebih besar 1/8 dari luka dengan perekat adekuat menempel pada kantong. 3. Selidiki keluhan rasa terbakar atau gatal atau melepuh di sekitar luka. 3. Selama mengelola pasien penulis menemukan kendala, dimana kendalanya adalah pasien kurang kooperatif saat diajak berkomunikasi oleh penulis. Pasien kurang terbuka dalam memberikan informasi berkaitan dengan masalah kesehatannya. Sehingga penulis kesulitan dalam pengelolaan pasien. B. Saran 1. Untuk lahan praktik Diharapakan dalam pemberian asuhan keperawatan di Rumah Sakit perlu adanya motivasi kepada perawat untuk memperhatikan prinsip aseptik dan anseptik dalam perawatan pasien serta perawat perlu mengkaji keadaan sensorik dan motorik pada pasien dengan wound dehiscence excause post hernioraphy, peran dan serta sikap kolaborasi yang aktif dari pasien dan keluarga pasien sangat mempengaruhi dalam proses penyembuhan pasien dan sebagai perawat sebaiknya melakukan pendekatan terlebih dahulu kepada pasien agar kooperatif ketika dilakukan tindakan keperawatan yang berhubungan dengan privasi pasien.

65

2.

Untuk institusi Diharapkan karya tulis ilmiah ini dijadikan referensi dan juga dapat dijadikan tolak ukur bagi mahasiswa dalam mengaplikasikan ilmu pengetahuan yang didapat di bangku kuliah terutama untuk konsep dasar dan penatalaksanaan wound dehiscence excause post

hernioraphy.

66

DAFTAR PUSTAKA Belz, l. C., & Sowden, L. A. (2005). Buku Saku Keperawatan Pediatri. Jakarta: EGC. Black, & Hawks. (2005). Surgikal Nursing, Clinical Management Positive Outcomes. Philadelphia: Lippincot. Doenges, M. E. (2000). Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman Untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan PAsien. Jakarta: EGC. Gruendemann, B. J., & Farnsebner, B. (2006). Buku Ajar Keperawatan Perioperatif. Jakarta: EGC. Khan, M. (2009). Dehiscance of Laparatomy Wound In Children. Jakarta: JPMI. Kristiyanasari, W., & Jitowiyono, S. (2012). Asuhan Keperawatan Post Operasi. Jakarta: Nuha Medika. Melong, L. (2000). Buku Saku Diagnosis Keperawatan : Pedoman Untuk Perencanaan da Pendokumentasian Perawatan Pasien Alih Bahasa : I Made Kariasa dan Ni Made Sumarwati. Jakarta: EGC. Mutaqin, A. (2010). Asuha Keperawatan Klien dengan Gangguan

Gastrointestinal: Aplikasi Asuhan Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: Salemba Medika.

67

NANDA. (2012). Diagnosis Keperawatan: Definisi dan Klasifikasi 2009-2011. Jakarta: EGC. Perry, P. (2006). Buku Ajar Fundamental Keperawatan. Jakarta: EGC. Priharjo, R. (2007). Pengkajian Fisik Keperawatan. Jakarta: EGC. Smeltzer, S. C. (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8. Jakarta: EGC. Stillman, R. M. (2010). Woun Care . Jakarta: Salemba Medika. Suriadi. (2005). Manajemen Luka. Pontianak: STIKES MUHAMADIAH. Syamsuhidayat, R., & Wim, D. J. (2011). Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC. Sylvia, P. A. (2003). Patofisologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta: EGC.

68

Anda mungkin juga menyukai