Anda di halaman 1dari 37

REFERAT

KEGAWATAN PADA GRAVE DISEASE DENGAN


KRISIS TIROID
DISUSUN UNTUK MEMENUHI TUGAS DAN MELENGKAPI SYARAT DALAM
MENEMPUH PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER

Pembimbing :
Dr. Pudjo Hendriyanto, Sp.PD

Disusun oleh :
FINESUKMA ADEMUKHLIS
(03.009.089)

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH SEMARANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TARUMANAGARA
PERIODE 10 JUNI 2013 24 AGUSTUS 2013

KATA PENGANTAR
Puji syukur Penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan berkah dan
rahmat-Nya sehingga Penulis dapat menyelesaikan referat mengenai Kegawatan pada
Grave disease dengan Krisis Tiroid guna memenuhi salah satu persyaratan dalam
menempuh Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Trisakti di BLU RSUD Kota Semarang.
Pada kesempatan ini Penulis ingin menyampaikan banyak terima kasih kepada pihak
pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan referat ini, yaitu :
1. dr. Susi Herawati, M.Kes selaku direktur RSUD Kota Semarang.
2. dr. Sis Eka Tjahjana, selaku ketua diklat RSUD Kota Semarang.
3. dr. Pudjo Hendriyanto, Sp.PD selaku ketua SMF Ilmu Penyakit Dalam dan
pembimbing kepaniteraan Klnik Ilmu Penyakit Dalam RSUD kota Semarang.
4. dr. Syaifun Niam, Sp.PD selaku pembimbing Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit
Dalam RSUD kota Semarang.
5. dr. Diana Novitasari, Sp.PD selaku pembimbing Kepaniteraan Klinik Ilmu
Penyakit Dalam RSUD kota Semarang.
6. Residen dan Rekan rekan anggota Kepaniteraan Klinik di bagian Ilmu Penyakit
Dalam RSUD Kota Semarang.
Penulis menyadari penulisan referat ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu,
kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan penulis agar referat ini dapat menjadi
lebih baik. Penulis juga memohon maaf yang sebesar besarnya apabila banyak terdapat
kesalahan maupun kekurangan dalam referat ini. Akhir kata, penulis berharap semoga referat
ini dapat bermanfaat khususnya bagi Penulis sendiri dan kepada Pembaca pada umumnya.
Semarang, Agustus 2013

Penulis

HALAMAN PENGESAHAN

Nama

: Finesukma Ademukhlis

Fakultas

: Kedokteran

Universitas

: Universitas Trisakti

Tingkat

: Program Pendidikan Profesi Dokter

Bidang pendidikan

: Ilmu Penyakit Dalam

Periode Kepaniteraan Klinik

: 10 Juni 2013 24 Agustus 2013

Judul Referat

: Kegawatan pada Grave Disease dengan krisis tiroid

Diajukan

: Agustus 2013

Pembimbing

: dr. Pudjo Hendryanto, Sp.PD

Telah diperiksa dan disahkan tanggal :

Mengetahui,
Ketua SMF Ilmu Penyakit Dalam

Pembimbing,

BLU RSUD Kota Semarang

(dr. Pudjo Hendriyanto, Sp.PD)

(dr. Pudjo Hendriyanto, Sp.PD)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.........................................................................................................i
HALAMAN PENGESAHAN.............................................................................................ii
DAFTAR ISI.......................................................................................................................iii
BAB 1 PENDAHULUAN...................................................................................................4
BAB 2 ANATOMI DAN FISIOLOGI KELENJAR TIROID...........................................5
BAB 2.II GRAVE DISEASE .............................................................................................8
BAB 2. III KRISIS TIROID..............................................................................................25
BAB 3 KESIMPULAN.......................................................................................................35
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................................36

Kegawatan pada Grave disease dengan krisis tiroid 2013


BAB 1 PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Krisis tiroid adalah kondisi hipermetabolik yang mengancam nyawa dan ditandai oleh
demam tinggi dan disfungsi sistem kardiovaskular, sistem saraf, dan sistem saluran cerna.
Krisis tiroid sering terjadi pada pasien dengan hipertiroid yang tidak diberikan terapi atau
mendapat terapi yang tidak adekuat, dan dipicu oleh adanya infeksi, trauma, pembedahan
tiroid atau diabetes melitus yang tidak terkontrol. Sindrom ini paling sering terjadi pada
pasien dengan penyakit Graves, tiroiditis dan struma multinodosa toksik.
Angka mortalitasnya cukup tinggi, sehingga diagnosis dini yang tepat dan terapi agresif
yang adekuat dapat menurunkan mortalitas,
Pengelolaan krisis tiroid memerlukan pemantauan intensif sehingga pasien harus dirawat
di Intensive Care Unit (ICU). Tujuan pengelolaan dapat dikelompokan menjadi beberapa
pendekatan yaitu usaha untuk menurunkan sintesis dan sekresi hormon tiroid, strategi
menurunkan pengaruh perifer hormon tiroid, terapi mencegah dekompensasi sistemik dan
terapi penyakit pemicu. Selanjutnya terapi definitif penyebab disfungsi tiroid berupa terapi
obat anti tiroid, pemberian iodium radioaktif atau pembedahan tiroidektomi bila kegawatan
telah teratasi.
I.2 Tujuan Penulisan Referat
Penulisan referat berjudul Kegawatan pada Grave Disease dengan Krisis
Tiroid ini bertujuan untuk menjelaskan definisi, etiopatologi, gejala dan tanda
klinis, penegakan diagnosis, serta penatalaksanaan

yang

tepat, cepat dan akurat

mengenaiKegawatan pada Grave Disease dangan Krisis Tiroid sehingga mendapatkan


prognosis yang baik dan keselamatan pasien terjamin. Diharapkan dalam penulisan referat ini
dapat memberikan informasi yang bermanfaat bagi pembaca terutama yang
memiliki interaksi secara langsung dalam penanganan terhadap pasien dengan grave
disease dan krisis tiroid agar bisa mendapatkan penanganan yang baik dan tepat

2013
BAB 2 ISI
A. BAB 2.I Anatomi dan Fisiologi Kelenjar Tiroid
Kelenjar tiroid merupakan salah satu kelenjar terbesar, yang normalnya memiliki
berat 15 - 20 gram. Tiroid mengsekresikan tiga macam hormon, yaitu tiroksin (T4),
triiodotironin (T3), dan kalsitonin. Secara anatomi, tiroid merupakan kelenjar endokrin (tidak
mempunyai ductus) dan bilobular (kanan dan kiri), dihubungkan oleh isthmus (jembatan)
yang terletak di depan trachea tepat di bawah cartilago cricoidea. Kadang juga terdapat lobus
tambahan yang membentang ke atas (ventral tubuh), yaitu lobus piramida.

Kelenjar tiroid dialiri oleh beberapa arteri:


1.

A. thyroidea superior cabang dari A. Carotis communis

2.

A. thyroidea inferior cabang dari A. subclavia

3.

Terkadang masih pula terdapat A. thyroidea ima, cabang langsung dari aorta atau A.
anonyma.

Kelenjar tiroid mempunyai 3 pasang vena utama:


1.

V. thyroidea superior (bermuara di V. jugularis interna).

2.

V. thyroidea medialis (bermuara di V. jugularis interna).

3.

V. thyroidea inferior (bermuara di V. anonyma kiri).

2013
Persarafan kelenjar tiroid:
1.

Ganglion simpatis (dari truncus sympaticus) cervicalis media dan inferior

2.

Parasimpatis, yaitu N. laryngea superior dan N. laryngea recurrens (cabang N.vagus)

3.

N. laryngea superior dan inferior sering cedera waktu operasi, akibatnya pita suara
terganggu (serak/stridor)

Sintesis dan Sekresi Hormon Tiroid

1.

Iodide Trapping, yaitu penangkapan iodium oleh pompa Na+/K+ ATPase.

2.

Yodium masuk ke dalam koloid dan mengalami oksidasi. Kelenjar tiroid merupakan
satu-satunya jaringan yang dapat mengoksidasi I hingga mencapai status valensi yang
lebih tinggi. Tahap ini melibatkan enzim peroksidase.

3.

Iodinasi tirosin, dimana yodium yang teroksidasi akan bereaksi dengan residu tirosil
dalam tiroglobulin di dalam reaksi yang mungkin pula melibatkan enzim tiroperoksidase
(tipe enzim peroksidase).

4.

Pembentukan iodotironil, yaitu perangkaian dua molekul DIT (diiodotirosin) menjadi


T4 (tiroksin, tetraiodotirosin) atau perangkaian MIT (monoiodotirosin) dan DIT menjadi
T3 (triiodotirosin). reaksi ini diperkirakan juga dipengaruhi oleh enzim tiroperoksidase.

5.

Hidrolisis yang dibantu oleh TSH (Thyroid-Stimulating Hormone) tetapi dihambat oleh
I, sehingga senyawa inaktif (MIT dan DIT) akan tetap berada dalam sel folikel.

6.

Tiroksin dan triiodotirosin keluar dari sel folikel dan masuk ke dalam darah. Proses ini
dibantu oleh TSH.

7.

MIT dan DIT yang tertinggal dalam sel folikel akan mengalami deiodinasi, dimana
tirosin akan dipisahkan lagi dari I. Enzim deiodinase sangat berperan dalam proses ini.

2013
8.

Tirosin akan dibentuk menjadi tiroglobulin oleh retikulum endoplasma dan kompleks
golgi.

Pengangkutan Tiroksin dan Triiodotirosin ke Jaringan


Setelah dikeluarkan ke dalam darah, hormon tiroid yang sangat lipofilik secara cepat
berikatan dengan beberapa protein plasma. Kurang dari 1% T3 dan kurang dari 0,1% T4 tetap
berada dalam bentuk tidak terikat (bebas). Keadaan ini memang luar biasa mengingat bahwa
hanya hormon bebas dari keseluruhan hormon tiroid memiliki akses ke sel sasaran dan
mampu menimbulkan suatu efek.
Terdapat 3 protein plasma yang penting dalam pengikatan hormon tiroid:
1.

TBG (Thyroxine-Binding Globulin) yang secara selektif mengikat 55% T4 dan 65%
T3 yang ada di dalam darah.

2.

Albumin yang secara nonselektif mengikat banyak hormone lipofilik, termasuk 10%
dari T4 dan 35% dari T3.

3.

TBPA (Thyroxine-Binding Prealbumin) yang mengikat sisa 35% T4.

Di dalam darah, sekitar 90% hormon tiroid dalam bentuk T4, walaupun T3 memiliki
aktivitas b iologis sekitar empat kali lebih poten daripada T4. Namun, sebagian besar T4 yang
disekresikan kemudian dirubah menjadi T3, atau diaktifkan, melalui proses pengeluaran satu
yodium di hati dan ginjal. Sekitar 80% T3 dalam darah berasal dari sekresi T4 yang
mengalami proses pengeluaran yodium di jaringan perifer. Dengan demikian, T3 adalah
bentuk hormon tiroid yang secara biologis aktif di tingkat sel.
Fungsi Fisiologis Hormon Tiroid
1. Meningkatkan transkripsi gen ketika hormon tiroid (kebanyakan T3) berikatan dengan
reseptornya di inti sel.
2. Meningkatkan jumlah dan aktivitas mitokondria sehingga pembentukkan ATP (adenosin
trifosfat) meningkat.
3. Meningkatkan transfor aktif ion melalui membran sel.
4. Meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan otak, terutama pada masa janin

2013
B. BAB 2.II. Grave Disease
a.

Definisi Graves Disease


Penyakit

Graves

(goiter

difusa

toksika)

merupakan

penyebab

tersering

hipertiroidisme adalah suatu penyakit autonium yang biasanya ditandai oleh produksi
autoantibodi yang memiliki kerja mirip TSH pada kelenjar tiroid. Penderita penyakit
Graves memiliki gejala-gejala khas dari hipertiroidisme dan gejala tambahan khusus yaitu
pembesaran kelenjar tiroid/struma difus, oftamopati (eksoftalmus / mata menonjol) dan
kadang-kadang dengan dermopati.
b.

Etiologi Graves Disease


Penyakit Graves merupakan salah satu penyakit autoimun yang disebabkan
thyroid-stimulating antibodies (TSAb). Antibodi ini berikatan dan mengaktifkan
thyrotropin receptor (TSHR) pada sel tiroid yang mensintesis dan melepaskan hormon
tiroid. Penyakit Graves berbeda dari penyakit imun lainnya karena memiliki manifestasi
klinis yang spesifik, seperti hipertiroid, vascular goitre, oftalmopati, dan yang paling
jarang infiltrative dermopathy .
Penyakit ini mempunyai predisposisi genetik yang kuat, dimana 15% penderita
mempunyai hubungan keluarga yang erat dengan penderita penyakit yang sama. Sekitar
50% dari keluarga penderita penyakit Graves, ditemukan autoantibodi tiroid didalam
darahnya. Penyakit ini ditemukan 5 kali lebih banyak pada wanita dibandingkan pria, dan
dapat terjadi pada semua umur. Angka kejadian tertinggi terjadi pada usia antara 20 tahun
sampai 40 tahun .
Faktor- faktor resiko antara lain : faktor genetik, faktor imunologis, infeksi, faktor
trauma psikis, iod Basedow, penurunan berat badan secara drastis, chorionic
gonadotropin, periode post partum, kromosom X, dan radiasi eksternal .

c.

Patofisiologi Graves Disease


Pada penyakit Graves, limfosit T mengalami perangsangan terhadap antigen yang
berada didalam kelenjar tiroid yang selanjutnya akan merangsang limfosit B untuk
mensintesis antibodi terhadap antigen tersebut. Antibodi yang disintesis akan bereaksi
dengan reseptor TSH didalam membran sel tiroid sehingga akan merangsang
pertumbuhan dan fungsi sel tiroid, dikenal dengan TSH-R antibody. Adanya antibodi
didalam sirkulasi darah mempunyai korelasi yang erat dengan aktivitas dan kekambuhan
penyakit. Mekanisme autoimunitas merupakan faktor penting dalam patogenesis
terjadinya hipertiroidisme, oftalmopati, dan dermopati pada penyakit Graves .
8

2013
Sampai saat ini dikena l ada 3 autoantigen utama terhadap kelenjar tiroid yaitu
tiroglobulin (Tg), thyroidal peroxidase (TPO) dan reseptor TSH (TSH-R). Disamping itu
terdapat pula suatu protein dengan BM 64 kiloDalton pada permukaan membran sel tiroid
dan sel-sel orbita yang diduga berperan dalam proses terjadinya perubahan kandungan
orbita dan kelenjar tiroid penderita penyakit Graves .
Sel-sel tiroid mempunyai kemampuan bereaksi dengan antigen diatas dan bila
terangsang oleh pengaruh sitokin (seperti interferon gamma) akan mengekspresikan
molekul-molekul permukaan sel kelas II (MHC kelas II, seperti DR4) untuk
mempresentasikan antigen pada limfosit T .
Terjadinya oftalmopati Graves melibatkan limfosit sitotoksik (killer cells) dan
antibodi sitotoksik lain yang terangsang akibat adanya antigen yang berhubungan dengan
tiroglobulin atau TSH-R pada fibroblast, otot-otot bola mata dan jaringan tiroid. Sitokin
yang terbentuk dari limfosit akan menyebabkan inflamasi fibroblast dan miositis orbita,
sehingga menyebabkan pembengkakan otot-otot bola mata, proptosis dan diplopia.
Dermopati Graves (miksedema pretibial) juga terjadi akibat stimulasi sitokin
didalam jaringan fibroblast didaerah pretibial yang akan menyebabkan terjadinya
akumulasi glikosaminoglikans .
Berbagai gejala tirotoksikosis berhubungan dengan perangsangan katekolamin,
seperti takhikardi, tremor, dan keringat banyak. Adanya hiperreaktivitas katekolamin,
terutama epinefrin diduga disebabkan karena terjadinya peningkatan reseptor katekolamin
didalam otot jantung .

2013

d.

Gambaran Klinis Graves Disease


Gejala dan Tanda
Pada penyakit graves terdapat dua kelompok gambaran utama yaitu tiroidal dan
ekstratiroidal yang keduanya mungkin tidak tampak. Ciri-ciri tiroidal berupa goiter
akibat hiperplasia kelenjar tiroid dan hipertiroidisme akibat sekresi hormon tiroid
yang berlebihan. Gejala-gejala hipertiroidisme berupa manifestasi hipermetabolisme
dan aktifitas simpatis yang berlebihan. Pasien mengeluh lelah, gemetar, tidak tahan
panas, keringat semakin banyak bila panas, kulit lembab, berat badan menurun
walaupun nafsu makan meningkat, palpitasi, takikardi, diare dan kelemahan serta
atrofi otot. Manifestasi ekstratiroidal berupa oftalmopati dan infiltrasi kulit lokal yang
biasanya terbatas pada tungkai bawah. Oftalmopati yang ditemukan pada 50% sampai
80% pasien ditandai dengan mata melotot, fissura palpebra melebar, kedipan
berkurang, lid lag (keterlambatan kelopak mata dalam mengikuti gerakan mata) dan
kegagalan konvergensi . Gambaran klinik klasik dari penyakit graves antara lain
adalah tri tunggal hipertitoidisme, goiter difus dan eksoftalmus .
Perubahan pada mata (oftalmopati Graves), menurut the American Thyroid
Association diklasifikasikan sebagai berikut (dikenal dengan singkatan NOSPECS):
a. Tidak ada gejala dan tanda
b. Hanya ada tanda tanpa gejala (berupa upper lid retraction,stare,lid lag)
c. Perubahan jaringan lunak orbita
10

2013
d. Proptosis (dapat dideteksi dengan Hertel exphthalmometer)
e. Keterlibatan otot-otot ekstra ocular
f. Perubahan pada kornea (keratitis)
g. Kebutaan (kerusakan nervus opticus)
Oftalmopati Graves terjadi akibat infiltrasi limfosit pada otot-otot ekstraokuler
disertai dengan reaksi inflamasi akut. Rongga mata dibatasi oleh tulang-tulang orbita
sehingga pembengkakan otot-otot ekstraokuler akan menyebabkan proptosis
(penonjolan) dari bola mata dan gangguan pergerakan otot-otot bola mata, sehingga
dapat terjadi diplopia. Pembesaran otot-otot bola mata dapat diketahui dengan
pemeriksaan CT scanning atau MRI. Bila pembengkakan otot terjadi dibagian
posterior, akan terjadi penekanan nervus opticus yang akan menimbulkan kebutaan .
pada penderita usia tua (> 60 tahun), manifestasi klinis yang lebih mencolok
terutama adalah manifestasi kardiovaskuler dan miopati, ditandai dengan adanya
palpitasi , dyspnea deffort, tremor, nervous dan penurunan berat badan .
Gejala dan tanda apakah seseorang menderita hipertiroid atau tidak juga dapat
dilihat atau ditentukan dengan indeks wayne atau indeks newcastle yaitu sebagai
berikut:
Tabel 1: Indeks Wayne
Indeks Wayne
No

11

Gejala Yang Baru Timbul Dan


Atau Bertambah Berat

Nilai

Sesak saat kerja

+1

Berdebar

+2

Kelelahan

+2

Suka udara panas

-5

Suka udara dingin

+5

Keringat berlebihan

+3

Gugup

+2

Nafsu makan naik

+3

Nafsu makan turun

-3

10

Berat badan naik

-3

2013
11

Berat badan turun

+3

No

Tanda

Ada

Tidak Ada

Tyroid teraba

+3

-3

Bising tyroid

+2

-2

Exoptalmus

+2

Kelopak mata tertinggal gerak bola mata

+1

Hiperkinetik

+4

-2

Tremor jari

+1

Tangan panas

+2

-2

Tangan basah

+1

-1

Fibrilasi atrial

+4

< 80x per menit

-3

80 90x per menit

> 90x per menit

+3

Nadi teratur

10

Hipertyroid jika indeks 20


1.

Pemeriksaan Laboratorium
Kelainan laboratorium pada keadaan hipertiroidisme dapat dilihat pada skema
dibawah ini:

12

2013

Gambar 2: Skema Interpretasi Pemeriksaan Laboratorium


Autoantibodi tiroid, TgAb dan TPO Ab dapat dijumpai baik pada penyakit
Graves maupun tiroiditis Hashimoto, namun TSH-R Ab (stim) lebih spesifik pada
penyakit Graves. Pemeriksaan ini berguna pada pasien dalam keadaan apathetic
hyperthyroid atau pada eksoftamos unilateral tanpa tanda-tanda klinis dan
laboratorium yang jelas (Shahab, 2002).
Untuk dapat memahami hasil-hasil laboratorium pada penyakit Graves dan
hipertiroidisme umumnya, perlu mengetahui mekanisme umpan balik pada hubungan
(axis) antara kelenjar hipofisis dan kelenjar tiroid. Dalam keadaan normal, kadar
hormon tiroid perifer, seperti L-tiroksin (T-4) dan tri-iodo-tironin (T-3) berada dalam
keseimbangan dengan thyrotropin stimulating hormone (TSH). Artinya, bila T-3 dan
T-4 rendah, maka produksi TSH akan meningkat dan sebaliknya ketika kadar hormon
tiroid tinggi, maka produksi TSH akan menurun (Shahab, 2002).
Pada penyakit Graves, adanya antibodi terhadap reseptor TSH di membran sel
folikel tiroid, menyebabkan perangsangan produksi hormon tiroid secara terus
menerus, sehingga kadar hormon tiroid menjadi tinggi. Kadar hormon tiroid yang
tinggi ini menekan produksi TSH di kelenjar hipofisis, sehingga kadar TSH menjadi
rendah dan bahkan kadang-kadang tidak terdeteksi. Pemeriksaan TSH generasi kedua
merupakan pemeriksaan penyaring paling sensitif terhadap hipertiroidisme, oleh
karena itu disebut TSH sensitive (TSHs), karena dapat mendeteksi kadar TSH sampai

13

2013
angka mendekati 0,05 mIU/L. Untuk konfirmasi diagnostik, dapat diperiksa kadar T-4
bebas (free T-4/FT-4) (Subekti, 2001; Shahab, 2002; Price dan Wilson, 1995).
2. Pemeriksaan Penunjang Lain
Diagnosis laboratorik :
a. Pemeriksaan metabolisme basal
pemeriksaan metabolisme basal bukan pemeriksaan diagnosis yang baik, harus
dilakukan oleh orang yang berpengalaman.
b. Pemeriksaan kadar serum hormon dalam darah,
untuk memastikan diagnosis dan menilai berat ringan penyakit (severity) serta
merencanakan pengobatan. Meskipun pemeriksaan tunggal FT4 atau TSH
dirasakan cukup, tetapi karena masing-masing mempunyai kelemahan maka
banyak ahli menganjurkan untuk menggunakan sedikitnya 2 macam pemeriksaan
fungsi tiroid yang tidak saling selalu tergantung satu sama lain. Untuk maksud
tersebut, penggunaan FT4 dan TSH-sensitif memadai.
c. Pemeriksaan radioaktif yodium uptake leher,
pemeriksaan 24 jam akan menunjukkan nilai lebih tinggi dari normal, lebih-lebih
di daerah dengan defisiensi yodium. Kini karena pemeriksaan T4, FT4 dan TSH-s
mudah dan dijalankan dimana-mana maka RAIU jarang digunakan. Pemeriksaan
ini dianjurkan pada : kasus dengan dugaan toksik namun tanpa gejala khas (timbul
dalam jangka pendek, gondok kecil, tanpa oftalmopati, tanpa riwayat keluarga,
dan test antibodi negatif). Dengan uji tangkap tiroid, dapat dibedakan etiologi
tirotoksikosis apakah morbus graves atau sebab lain
d. Sidik tiroid
jarang dikerjakan untuk graves, kecuali apabila gondok sulit teraba atau teraba
nodul yang memerlukan evaluasi. Gambaran sindrom marine-lenhardt ditemukan
waktu melakukan sidik tiroid, yang ditanndai dengan satu atau lebih nodul (cold
nodul) atas dasar kelenjar toksik difus. Hal ini terjadi karena graves terdapat pada
gondok non toksik. Meskipun demikian tidak boleh dilupakan untuk
menyingkirkan

kemungkinan

keganasan.

Graves

selalu

dengan

gondok

hyperthyroid diffuse, mengenai 2 lobus tiroid, TRAb dan TPOAb


e. Pemeriksaan terhadap antibodi.
Pada tiroiditis, prevalensi Ab anti Tg lebih tinggi. Titer akan menurun dengan
pengobatan OAT dan menetap selama remisi, namun meningkat sesudah
14

2013
pengobatan RAI. Anti TPOAb diperiksa untuk menggantikan anti-Tg-Ab, sebab
hampir semua anti Tg-Ab positif juga positif untuk anti TPO-Ab, tetapi tidak
sebaliknya.

Dengan demikian diagnosis penyakit graves dapat ditegakkan dengan cara sebagai
berikut:
1.

Menegakkan diagnosis klinis dengan indeks diagnosis klinis

2.

Memastikan tirotoksikosis dengan FT4 tinggi dan TSHs tersupresi.

3.

Menegakkan graves dengan menunjukkan adanya stimulator diluar TSH yaitu TSAb
(yang efeknya tidak berbeda dengan TSH, padahal TSHs dalam sirkulasi justru
rendah) atau dengan test tangkap radioaktif (RAIU) yang meningkat.

4.

Ada beberapa pemeriksaan rutin yang sering memberikan petunjuk kearah diagnosis
ini yaitu hiperkalsemi, kadar kolesterol rendah atau dibawah normal dan alkali
fosfatase meningkat.

Diagnosis Banding
Penyakit Graves dapat terjadi tanpa gejala dan tanda yang khas sehingga
diagnosis kadang-kadang sulit didiagnosis. Atrofi otot yang jelas dapat ditemukan
pada miopati akibat penyakit Graves, namun harus dibedakan dengan kelainan
neurologik primer .
Pada

sindrom

yang

dikenal

dengan

familial

dysalbuminemic

hyperthyroxinemia dapat ditemukan protein yang menyerupai albumin (albumin-like


protein) didalam serum yang dapat berikatan dengan T4 tetapi tidak dengan T3.
Keadaan ini akan menyebabkan peningkatan kadar T4 serum dan FT4I, tetapi free T4,
T3 dan TSH normal. Disamping tidak ditemukan adanya gambaran klinis
hipertiroidisme, kadar T3 dan TSH serum yang normal pada sindrom ini dapat
membedakannya dengan penyakit Grave.
Thyrotoxic periodic paralysis yang biasa ditemukan pada penderita laki-laki
etnik Asia dapat terjadi secara tiba-tiba berupa paralysis flaksid disertai hipokalemi.
Paralisis biasanya membaik secara spontan dan dapat dicegah dengan pemberian
suplementasi kalium dan beta bloker. Keadaan ini dapat disembuhkan dengan
pengobatan tirotoksikosis yang adekuat .
15

2013
Penderita dengan penyakit jantung tiroid terutama ditandai dengan gejala-gejala
kelainan jantung, dapat berupa:
-

Atrial fibrilasi yang tidak sensitif dengan pemberian digoksin

High-output heart failure


Sekitar 50% pasien tidak mempunyai latar belakang penyakit jantung

sebelumnya, dan gangguan fungsi jantung ini dapat diperbaiki dengan pengobatan
terhadap tirotoksikosisnya. Pada penderita usia tua dapat ditemukan gejala-gejala
berupa penurunan berat badan, struma yang kecil, atrial fibrilaasi dan depresi yang
berat, tanpa adanya gambaran klinis dari manifestasi peningkatan aktivitas
katekolamin yang jelas. Keadaan ini dikenal dengan apathetic hyperthyroidism .
3.

Komplikasi
Krisis tiroid (Thyroid storm)
Merupakan eksaserbasi akut dari semua gejala tirotoksikosis yang berat
sehingga dapat mengancam kehidupan penderita. Faktor pencetus terjadinya krisis
tiroid pada penderita tirotoksikosis antara lain:
-

Tindakan operatif, baik tiroidektomi maupun operasi pada organ lain.

Terapi yodium radioaktif.

Persalinan pada penderita hamil dengan tirotoksikosis yang tidak diobati secara
adekuat.

Stress yang berat akibat penyakit-penyakit seperti diabetes, trauma, infeksi akut,
alergi obat yang berat atau infark miokard.
Manifestasi klinis dari krisis tiroid dapat berupa tanda-tanda hipermetabolisme

berat dan respons adrenergik yang hebat, yaitu meliputi:


-

Demam tinggi, dimana suhu meningkat dari 38C sampai mencapai 41C disertai
dengan flushing dan hiperhidrosis.

Takhikardi hebat, atrial fibrilasi sampai payah jantung.

Gejala-gejala neurologik seperti agitasi, gelisah, delirium sampai koma.

Gejala-gejala saluran cerna berupa mual, muntah,diare dan ikterus.


Terjadinya krisis tiroid diduga akibat pelepasan yang akut dari simpanan

hormon tiroid didalam kelenjar tiroid. Namun beberapa penelitian menunjukkan


bahwa kadar T4 dan T3 didalam serum penderita dengan krisis tiroid tidak lebih
tinggi dibandingkan dengan kadarnya pada penderita tirotoksikosis tanpa krisis tiroid .

16

2013
Juga tidak ada bukti yang kuat bahwa krisis tiroid terjadi akibat peningkatan
produksi triiodothyronine yang hebat. Dari beberapa studi terbukti bahwa pada krisis
tiroid terjadi peningkatan jumlah reseptor terhadap katekolamin, sehingga jantung dan
jaringan syaraf lebih sensitif terhadap katekolamin yang ada didalam sirkulasi.
Hipertiroidisme dapat mengakibatkan komplikasi mencapai 0,2% dari seluruh
kehamilan dan jika tidak terkontrol dengan baik dapat memicu terjadinya krisis
tirotoksikosis, kelahiran prematur atau kematian intrauterin. Selain itu hipertiroidisme
dapat juga menimbulkan preeklampsi pada kehamilan, gagal tumbuh janin, kegagalan
jantung kongestif, tirotoksikosis pada neonatus dan bayi dengan berat badan lahi r
rendah serta peningkatan angka kematian perinatal .
B. Penatalaksanaan Graves Disease
Faktor utama yang berperan dalam patogenesis terjadinya sindrom penyakit Graves
adalah proses autoimun, namun penatalaksanaannya terutama ditujukan untuk mengontrol
keadaan hipertiroidisme. Sampai saat ini dikenal ada tiga jenis pengobatan terhadap
hipertiroidisme akibat penyakit Graves, yaitu: Obat anti tiroid, Pembedahan dan Terapi
Yodium Radioaktif. Pilihan pengobatan tergantung pada beberapa hal antara lain berat
ringannya tirotoksikosis, usia pasien, besarnya struma, ketersediaan obat antitiroid dan
respon atau reaksi terhadapnya serta penyakit lain yang menyertainya.
1. Obat obatan
a. Obat Antitiroid : Golongan Tionamid
Terdapat 2 kelas obat golongan tionamid, yaitu tiourasil dan imidazol.
Tiourasil dipasarkan dengan nama propiltiourasil (PTU) dan imidazol dipasarkan
dengan nama metimazol dan karbimazol. Obat golongan tionamid lain yang baru
beredar ialah tiamazol yang isinya sama dengan metimazol.
Obat golongan tionamid mempunyai efek intra dan ekstratiroid. Mekanisme
aksi intratiroid yang utama ialah mencegah/mengurangi biosintesis hormon tiroid
T-3 dan T-4, dengan cara menghambat oksidasi dan organifikasi iodium,
menghambat coupling iodotirosin, mengubah struktur molekul tiroglobulin dan
menghambat sintesis tiroglobulin. Sedangkan mekanisme aksi ekstratiroid yang
utama ialah menghambat konversi T-4 menjadi T-3 di jaringan perifer (hanya
PTU, tidak pada metimazol). Atas dasar kemampuan menghambat konversi T-4
ke T-3 ini, PTU lebih dipilih dalam pengobatan krisis tiroid yang memerlukan
penurunan segera hormon tiroid di perifer. Sedangkan kelebihan metimazol adalah
17

2013
efek penghambatan biosintesis hormon lebih panjang dibanding PTU, sehingga
dapat diberikan sebagai dosis tunggal.
Belum ada kesesuaian pendapat diantara para ahli mengenai dosis dan
jangka waktu pengobatan yang optimal dengan OAT. Beberapa kepustakaan
menyebutkan bahwa obat-obat anti tiroid (PTU dan methimazole) diberikan
sampai terjadi remisi spontan, yang biasanya dapat berlangsung selama 6 bulan
sampai 15 tahun setelah pengobatan.
Untuk mencegah terjadinya kekambuhan maka pemberian obat-obat
antitiroid biasanya diawali dengan dosis tinggi. Bila telah terjadi keadaan eutiroid
secara klinis, diberikan dosis pemeliharaan (dosis kecil diberikan secara tunggal
pagi hari). Dosis PTU dimulai dengan 100 200 mg/hari dan metimazol /
tiamazol dimulai dengan 20 40 mg/hari dosis terbagi untuk 3 6 minggu
pertama. Setelah periode ini dosis dapat diturunkan atau dinaikkan sesuai respons
klinis dan biokimia. Apabila respons pengobatan baik, dosis dapat diturunkan
sampai dosis terkecil PTU 50 mg/hari dan metimazol / tiamazol 5 10 mg/hari
yang masih dapat mempertahankan keadaan klinis eutiroid dan kadar FT4 dalam
batas normal. Bila dengan dosis awal belum memberikan efek perbaikan klinis
dan biokimia, dosis dapat di naikkan bertahap sampai dosis maksimal, tentu
dengan memperhatikan faktor-faktor penyebab lainnya seperti ketaatan pasien
minum obat, aktivitas fisis dan psikis
Propylthiouracil mempunyai kelebihan dibandingkan methimazole karena
dapat menghambat konversi T4 menjadi T3, sehingga efektif dalam penurunan
kadar hormon secara cepat pada fase akut dari penyakit Graves.
Methimazole mempunyai masa kerja yang lama sehingga dapat diberikan
dosis tunggal sekali sehari. Terapi dimulai dengan dosis methimazole 40 mg
setiap pagi selama 1 2 bulan, dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan 5 20 mg
perhari.
Meskipun jarang terjadi, harus diwaspadai kemungkinan timbulnya efek
samping,

yaitu

agranulositosis

(metimazol

mempunyai

efek

samping

agranulositosis yang lebih kecil), gangguan fungsi hati, lupus like syndrome, yang
dapat terjadi dalam beberapa bulan pertama pengobatan. Agranulositosis
merupakan efek samping yang berat sehingga perlu penghentian terapi dengan
Obat Anti Tiroid dan dipertimbangkan untuk terapi alternatif yaitu yodium
18

2013
radioaktif.. Agranulositosis biasanya ditandai dengan demam dan sariawan,
dimana untuk mencegah infeksi perlu diberikan antibiotika.
Efek samping lain yang jarang terjadi namun perlu penghentian terapi
dengan Obat Anti Tiroid antara lain Ikterus Kholestatik, Angioneurotic edema,
Hepatocellular toxicity dan Arthralgia Akut. Untuk mengantisipasi timbulnya efek
samping tersebut, sebelum memulai terapi perlu pemeriksaan laboratorium dasar
termasuk leukosit darah dan tes fungsi hati, dan diulang kembali pada bulan-bulan
pertama setelah terapi. Bila ditemukan efek samping, penghentian penggunaan
obat tersebut akan memperbaiki kembali fungsi yang terganggu, dan selanjutnya
dipilih modalitas pengobatan yang lain seperti radioiodine 131I atau operasi. Bila
timbul efek samping yang lebih ringan seperti pruritus, dapat dicoba ganti dengan
obat jenis yang lain, misalnya dari PTU ke metimazol atau sebaliknya.
Evaluasi pengobatan perlu dilakukan secara teratur mengingat penyakit
Graves adalah penyakit autoimun yang tidak bisa dipastikan kapan akan terjadi
remisi. Evaluasi pengobatan paling tidak dilakukan sekali/bulan untuk menilai
perkembangan klinis dan biokimia guna menentukan dosis obat selanjutnya. Dosis
dinaikkan dan diturunkan sesuai respons hingga dosis tertentu yang dapat
mencapai keadaan eutiroid. Kemudian dosis diturunkan perlahan hingga dosis
terkecil yang masih mampu mempertahankan keadaan eutiroid, dan kemudian
evaluasi dilakukan tiap 3 bulan hingga tercapai remisi. Remisi yang menetap
dapat diprediksi pada hampir 80% penderita yang diobati dengan Obat Anti Tiroid
bila ditemukan keadaan-keadaan sebagai berikut:
1) Terjadi pengecilan kelenjar tiroid seperti keadaan normal.
2) Bila keadaan hipertiroidisme dapat dikontrol dengan pemberian Obat Anti
Tiroid dosis rendah.
3) Bila TSH-R Ab tidak lagi ditemukan didalam serum.
Parameter biokimia yang digunakan adalah FT4 (atau FT3 bila terdapat T3
toksikosis), karena hormon-hormon itulah yang memberikan efek klinis,
sementara kadar TSH akan tetap rendah, kadang tetap tak terdeteksi, sampai
beberapa bulan setelah keadaan eutiroid tercapai. Sedangkan parameter klinis
yang dievaluasi ialah berat badan, nadi, tekanan darah, kelenjar tiroid, dan mata

19

2013
b. Obat Golongan Penyekat Beta
Obat golongan penyekat beta, seperti propranolol hidroklorida, sangat
bermanfaat

untuk

mengendalikan

manifestasi

klinis

tirotoksikosis

(hyperadrenergic state) seperti palpitasi, tremor, cemas, dan intoleransi panas


melalui blokadenya pada reseptor adrenergik. Di samping efek antiadrenergik,
obat penyekat beta ini juga dapat, meskipun sedikit, menurunkan kadar T3 melalui
penghambatannya terhadap konversi T4 ke T3. Dosis awal propranolol umumnya
berkisar 80 mg/hari .
Di samping propranolol, terdapat obat baru golongan penyekat beta dengan
durasi kerja lebih panjang, yaitu atenolol, metoprolol dan nadolol. Dosis awal
atenolol dan metoprolol 50 mg/hari dan nadolol 40 mg/hari mempunyai efek
serupa dengan propranolol .
Pada umumnya obat penyekat beta ditoleransi dengan baik. Beberapa efek
samping yang dapat terjadi antara lain nausea, sakit kepala, insomnia, fatigue, dan
depresi, dan yang lebih jarang terjadi ialah kemerahan, demam, agranulositosis,
dan trombositopenia. Obat golongan penyekat beta ini dikontraindikasikan pada
pasien asma dan gagal jantung, kecuali gagal jantung yang jelas disebabkan oleh
fibrilasi atrium. Obat ini juga dikontraindikasikan pada keadaan bradiaritmia,
fenomena Raynaud dan pada pasien yang sedang dalam terapi penghambat
monoamin oksidase .
c. Obat-obatan Lain
Obat-obat seperti iodida inorganik, preparat iodinated radiographic contrast,
potassium perklorat dan litium karbonat, meskipun mempunyai efek menurunkan
kadar hormon tiroid, tetapi jarang digunakan sebagai regimen standar pengelolaan
penyakit Graves. Obat-obat tersebut sebagian digunakan pada keadaan krisis
tiroid, untuk persiapan operasi tiroidektomi atau setelah terapi iodium radioaktif .
Umumnya obat anti tiroid lebih bermanfaat pada penderita usia muda
dengan ukuran kelenjar yang kecil dan tirotoksikosis yang ringan. Pengobatan
dengan Obat Anti Tiroid (OAT) mudah dilakukan, aman dan relatif murah, namun
jangka waktu pengobatan lama yaitu 6 bulan sampai 2 tahun bahkan bisa lebih
lama lagi. Kelemahan utama pengobatan dengan OAT adalah angka kekambuhan
yang tinggi setelah pengobatan dihentikan, yaitu berkisar antara 25% sampai 90%.
20

2013
Kekambuhan dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain dosis, lama pengobatan,
kepatuhan pasien dan asupan yodium dalam makanan. Kadar yodium yang tinggi
didalam makanan menyebabkan kelenjar tiroid kurang sensitif terhadap OAT.
2. Pengobatan dengan cara kombinasi OAT-tiroksin
Yang banyak diperdebatkan adalah pengobatan penyakit Graves dengan cara
kombinasi OAT dan tiroksin eksogen. Hashizume dkk pada tahun 1991 melaporkan
bahwa angka kekambuhan rendah yaitu hanya 1,7% pada kelompok penderita yang
mendapat terapi kombinasi methimazole dan tiroksin., dibandingkan dengan 34,7%
pada kelompok kontrol yang hanya mendapatkan terapi methimazole .
3. Pembedahan
Tiroidektomi subtotal merupakan terapi pilihan pada penderita dengan struma
yang besar. Sebelum operasi, penderita dipersiapkan dalam keadaan eutiroid dengan
pemberian OAT (biasanya selama 6 minggu). Disamping itu, selama 2 minggu pre
operatif, diberikan larutan Lugol atau potassium iodida, 5 tetes 2 kali sehari, yang
dimaksudkan untuk mengurangi vaskularisasi kelenjar dan mempermudah operasi.
Sampai saat ini masih terdapat silang pendapat mengenai seberapa banyak jaringan
tiroid yangn harus diangkat .
Tiroidektomi total biasanya tidak dianjurkan, kecuali pada pasein dengan
oftalmopati Graves yang progresif dan berat. Namun bila terlalu banyak jaringan
tiroid yang ditinggalkan, dikhawatirkan akan terjadi relaps. Kebanyakan ahli bedah
menyisakan 2 3 gram jaringan tiroid. Walaupun demikan kebanyakan penderita
masih memerlukan suplemen tiroid setelah mengalami tiroidektomi pada penyakit
Graves. Hipoparatiroidisme dan kerusakan nervus laryngeus recurrens merupakan
komplikasi pembedahan yang dapat terjadi pada sekitar 1% kasus.
4. Terapi Yodium Radioaktif
Pengobatan dengan yodium radioaktif (131I) telah dikenal sejak lebih dari 50
tahun yang lalu. Radionuklida 131I akan mengablasi kelenjar tiroid melalui efek
ionisasi partikel beta dengan penetrasi kurang dari 2 mm, menimbulkan iradiasi local
pada sel-sel folikel tiroid tanpa efek yang berarti pada jaringan lain disekitarnya.
Respons inflamasi akan diikuti dengan nekrosis seluler, dan dalam perjalanan waktu
terjadi atrofi dan fibrosis disertai respons inflamasi kronik. Respons yang terjadi
21

2013
sangat tergantung pada jumlah 131I yang ditangkap dan tingkat radiosensitivitas
kelenjar tiroid. Oleh karena itu mungkin dapat terjadi hipofungsi tiroid dini (dalam
waktu 2 6 bulan) atau lebih lama yaitu setelah 1 tahun. 131I dengan cepat dan
sempurna diabsorpsi melalui saluran cerna untuk kemudian dengan cepat pula
terakumulasi di dalam kelenjar tiroid. Berdasarkan pengalaman para ahli ternyata cara
pengobatan ini aman, tidak mengganggu fertilitas, serta tidak bersifat karsinogenik
ataupun teratogenik. Tidak ditemukan kelainan pada bayi-bayi yang dilahirkan dari
ibu yang pernah mendapat pengobatan yodium radioaktif .
Yodium radioaktif tidak boleh diberikan pada pasien wanita hamil atau
menyusui. Pada pasien wanita usia produktif, sebelum diberikan yodium radioaktif
perlu dipastikan dulu bahwa yang bersangkutan tidak hamil. Selain kedua keadaan
diatas, tidak ada kontraindikasi absolut pengobatan dengan yodium radioaktif.
Pembatasan umur tidak lagi diberlalukan secara ketat, bahkan ada yang berpendapat
bahwa pengobatan yodium radioaktif merupakan cara terpilih untuk pasien
hipertiroidisme anak dan dewasa muda, karena pada kelompok ini seringkali kambuh
dengan OAT .
Cara pengobatan ini aman, mudah dan relatif murah serta sangat jarang kambuh.
Reaksi alergi terhadap yodium radioaktif tidak pernah terjadi karena massa yodium
dalam dosis 131I yang diberikan sangat kecil, hanya 1 mikrogram. Efek pengobatan
baru terlihat setelah 8 12 minggu, dan bila perlu terapi dapat diulang. Selama
menunggu efek yodium radioaktif dapat diberikan obat-obat penyekat beta dan atau
OAT. Respons terhadap pengobatan yodium radioaktif terutama dipengaruhi oleh
besarnya dosis 131I dan beberapa faktor lain seperti faktor imun, jenis kelamin, ras
dan asupan yodium dalam makanan sehari-hari.
Efek samping yang menonjol dari pengobatan yodium radioaktif adalah
hipotiroidisme. Kejadian hipotiroidisme sangat dipengaruhi oleh besarnya dosis;
makin besar dosis yang diberikan makin cepat dan makin tinggi angka kejadian
hipotiroidisme .
Dengan dosis I131 yang moderat yaitu sekitar 100 Ci/g berat jaringan tiroid,
didapatkan angka kejadian hipotiroidisme sekitar 10% dalam 2 tahun pertama dan
sekitar 3% untuk tiap tahun berikutnya. Efek samping lain yang perlu diwaspadai
adalah:

22

2013
1. Memburuknya oftalmopati yang masih aktif (mungkin karena lepasnya antigen
tiroid dan peningkatan kadar antibody terhadap reseptor TSH), dapat dicegah
dengan pemberian kortikosteroid sebelum pemberian I131
2. Hipo atau hiperparatiroidisme dan kelumpuhan pita suara (ketiganya sangat jarang
terjadi)
3. Gastritis radiasi (jarang terjadi)
4. Eksaserbasi tirotoksikosis akibat pelepasan hormon tiroid secara mendadak
(leakage) pasca pengobatan yodium radioaktif; untuk mencegahnya maka sebelum
minum yodium radioaktif diberikan OAT terutama pada pasien tua dengan
kemungkinan gangguan fungsi jantung.
Setelah pemberian yodium radioaktif, fungsi tiroid perlu dipantau selama 3
sampai 6 bulan pertama. Setelah keadaan eutiroid tercapai fungsi tiroid cukup
dipantau setiap 6 sampai 12 bulan sekali, yaitu untuk mendeteksi adanya
hipotiroidisme .
5. Pengobatan Oftalmopati Graves
Diperlukan kerjasama yang erat antara endokrinologis dan oftalmologis dalam
menangani Oftalmopati Graves. Keluhan fotofobia, iritasi dan rasa kesat pada mata
dapat diatasi dengan larutan tetes mata atau lubricating ointments, untuk mencegah
dan mengobati keratitis. Hal lain yang dapat dilakukan adalah dengan menghentikan
merokok, menghindari cahaya yang sangat terang dan debu, penggunaan kacamata
gelap dan tidur dengan posisi kepala ditinggikan untuk mengurangi edema periorbital.
Hipertiroidisme sendiri harus diobati dengan adekuat. Obat-obat yang mempunyai
khasiat imunosupresi dapat digunakan seperti kortikosteroid dan siklosporin,
disamping OAT sendiri dan hormon tiroid. Tindakan lainnya adalah radioterapi dan
pembedahan rehabilitatif seperti dekompresi orbita, operasi otot ekstraokuler dan
operasi kelopak mata .
Yang menjadi masalah di klinik adalah bila oftalmopati ditemukan pada pasien
yang eutiroid; pada keadaan ini pemeriksaan antibody anti-TPO atau antibody
antireseptor TSH dalam serum dapat membantu memastikan diagnosis. Pemeriksaan
CT scan atau MRI digunakan untuk menyingkirkan kemungkinan penyebab kelainan
orbita lainnya .

23

2013
6. Pengobatan Krisis Tiroid
Pengobatan krisis tiroid meliputi pengobatan terhadap hipertiroidisme
(menghambat produksi hormon, menghambat pelepasan hormon dan menghambat
konversi T4 menjadi T3, pemberian kortikosteroid, penyekat beta dan plasmafaresis),
normalisasi dekompensasi homeostatic (koreksi cairan, elektrolit dan kalori) dan
mengatasi faktor pemicu .
7. Penyakit Graves Dengan Kehamilan
Wanita pasien penyakit Graves sebaiknya tidak hamil dahulu sampai keadaan
hipertiroidismenya diobati dengan adekuat, karena angka kematian janin pada
hipertiroidisme yang tidak diobati tinggi. Bila ternyata hamil juga dengan status
eutiroidisme yang belum tercapai, perlu diberikan obat antitiroid dengan dosis
terendah yang dapat mencapai kadar FT-4 pada kisaran angka normal tinggi atau tepat
di atas normal tinggi. PTU lebih dipilih dibanding metimazol pada wanita hamil
dengan hipertiroidisme, karena alirannya ke janin melalui plasenta lebih sedikit, dan
tidak ada efek teratogenik. Kombinasi terapi dengan tiroksin tidak dianjurkan, karena
akan memerlukan dosis obat antitiroid lebih tinggi, di samping karena sebagian
tiroksin akan masuk ke janin, yang dapat menyebabkan hipotiroidisme .
Evaluasi klinis dan biokimia perlu dilakukan lebih ketat, terutama pada
trimester ketiga. Pada periode tersebut, kadang-kadang dengan mekanisme yang
belum diketahui terdapat penurunan kadar TSHR-Ab dan peningkatan kadar
thyrotropin receptor antibody, sehingga menghasilkan keadaan remisi spontan, dan
dengan demikian obat antirioid dapat dihentikan. Wanita melahirkan yang masih
memerlukan obat antiroid, tetap dapat menyusui bayinya dengan aman .

24

2013

BAB 2. III Krisis Tiroid


Krisis tiroid adalah penyakit yang jarang terjadi, yaitu hanya terjadi sekitar 12% pasien hipertiroidisme. Sedangkan insidensi keseluruhan hipertiroidisme sendiri
hanya berkisar antara 0,05-1,3% dimana kebanyakannya bersifat subklinis. Namun,
krisis tiroid yang tidak dikenali dan tidak ditangani dapat berakibat sangat fatal.
Angka kematian orang dewasa pada krisis tiroid mencapai 10-20%. Bahkan beberapa
laporan penelitian menyebutkan hingga setinggi 75% dari populasi pasien yang
dirawat inap. Dengan tirotoksikosis yang terkendali dan penanganan dini krisis tiroid,
angka kematian dapat diturunkan hingga kurang dari 20%. Diagnosis krisis tiroid
didasarkan pada gambaran klinis bukan pada gambaran laboratoris. Hal lain yang
penting diketahui adalah bahwa krisis tiroid merupakan krisis fulminan yang
memerlukan perawatan intensif dan pengawasan terus-menerus. Dengan diagnosis
yang dini dan penanganan yang adekuat, prognosis biasanya akan baik. Oleh karena
itu, diperlukan pemahaman yang tepat tentang krisis tiroid, terutama mengenai
diagnosis dan penatalaksaannya.
a)

Defenisi
Krisis tiroid merupakan komplikasi hipertiroidisme yang jarang terjadi tetapi
berpotensi fatal. Krisis tiroid harus dikenali dan ditangani berdasarkan manifestasi
klinis karena konfirmasi laboratoris seringkali tidak dapat dilakukan dalam rentang
waktu yang cukup cepat. Pasien biasanya memperlihatkan keadaan hipermetabolik
yang ditandai oleh demam tinggi, takikardi, mual, muntah, agitasi, dan psikosis. Pada
fase lanjut, pasien dapat jatuh dalam keadaan stupor atau komatose yang disertai
dengan hipotensi.Awalnya, timbul hipertiroidisme yang merupakan kumpulan gejala
akibat peningkatan kadar hormon tiroid yang beredar dengan atau tanpa kelainan
fungsi kelenjar tiroid. Ketika jumlahnya menjadi sangat berlebihan, terjadi kumpulan
gejala yang lebih berat, yaitu tirotoksikosis. Krisis tiroid merupakan keadaan dimana
terjadi dekompensasi tubuh terhadap tirotoksikosis tersebut. Tipikalnya terjadi pada
25

2013
pasien dengan

tirotoksikosis yang tidak terobati atau tidak tuntas terobati yang

dicetuskan oleh tindakan operatif, infeksi, atau trauma.

b)

Etiologi
Krisis tiroid merupakan keadaan hipertiroidisme yang ekstrim, dan biasanya
terjadi pada individu dengan hipertiroidisme yang tidak diobati. Faktor pencetus lain
termasuk:

c)

Trauma dan tekanan

Infeksi, terutama infeksi paru-paru

Pembedahan tiroid pada pasien dengan overaktivitas kelenjar tiroid

Mengentikan obat-obatan yang diberikan pada pasien hipertiroidisme

Dosis penggantian hormone tiroid yang terlalu tinggi

Pengobatan dengan radioaktif yodium

Kehamilan

Serangan jantung atau kegawatdaruratan jantung


Epidemiologi

Frekuensi
Frekuensi tirotoksikosis dan krisis tiroid pada anak-anak tidak diketahui. Insiden
tirotoksikosis meningkat sejalan dengan pertambahan usia. Tirotoksikosis
mempengaruhi sebanyak 2% pada wanita yang lebih tua. Pada anak-anak
frekuensinya kurang dari 5% dari semua kasus tirotoksikosis. Penyakit graves
merupakan penyebab umum terjadinya tirotoksikosis pada anak-anak. Dan
dilaporkan mempengaruhi 0,2-0,4% populasi anak dan remaja. Sekitar 1-2%
neonatus yang lahir dari ibu dengan penyakit graves menderita tirotoksikosis.

Tingkat mortalitas dan morbiditas


Krisis tiroid bersifat akut, merupakan kegawatdaruratan dan mengancam jiwa.
Angka mortalitas pada dewasa sangat tinggi (90%) jika diagnosa dini tidak

26

2013
ditegakkan atau pada pasien yang telambat terdiagnosa. Dengan kontrol
tirotoksikosis yang baik, dan pengelolaan krisis tiroid yang tepat, tingkat
mortalitas pada dewasa berkurang hingga 20%.

Jenis kelamin
Tirotoksikosis 3-5 kali lebih banyak terjadi pada wanita daripada laki-laki,
khususnya pada dewasa muda. Krisis tiroid berpengaruh terhadap sebagian kecil
persentase pasien tirotoksikosis. Insiden ini lebih tinggi pada wanita. Namun tidak
ada data spesifik mengenai insiden jenis kelamin tersebut.

Usia
Tirotoksikosis pada neonatal terjadi 1-2% dari neonatus yang lahir dari ibu yang
menderita graves disease. Bayi usia kurang dari 1 tahun hanya 1% yang menderita
tirotoksikosis. Lebih dari dua per tiga dari semua kasus tirotoksikosis terjadi pada
anak-anak berusia 10-15 tahun. Secara keseluruhan tirotoksikosis umumnya
terjadi pada decade ke tiga dan ke empat kehidupan. Karena pada kanak-kanak,
tirotoksikosis lebih mungkin terjadi pada remaja. Krisis tiroid lebih umum terjadi
pada kelompok usia ini. Meskipun krisis tiroid dapat terjadi di segala usia.

d)

Patofisiologi
Pada

orang

hormone (TRH)

yang

sehat,

hipotalamus

merangsang

menghasilkan thyrotropin-releasing

kelenjar

pituitari

anterior

untuk

menyekresikan thyroid-stimulating hormone (TSH) dan hormon inilah yang memicu


kelenjar

tiroid

melepaskan

hormon

tiroid.

Tepatnya,

kelenjar

ini

menghasilkan prohormone thyroxine (T4) yang mengalami deiodinasi terutama oleh


hati dan ginjal menjadi bentuk aktifnya, yaitu triiodothyronine (T3). T4 dan T3
terdapat dalam 2 bentuk: 1) bentuk yang bebas tidak terikat dan aktif secara biologik;
dan 2) bentuk yang terikat pada thyroid-binding globulin (TBG). Kadar T4 dan T3
yang bebas tidak terikat sangat berkorelasi dengan gambaran klinis pasien. Bentuk
bebas ini mengatur kadar hormon tiroid ketika keduanya beredar di sirkulasi darah
yang menyuplai kelenjar pituitari anterior.

27

2013
Krisis tiroid timbul saat terjadi dekompensasi sel-sel tubuh dalam merespon
hormon tiroid yang menyebabkan hipermetabolisme berat yang melibatkan banyak
sistem organ dan merupakan bentuk paling berat dari tirotoksikosis. Gambaran klinis
berkaitan dengan pengaruh hormon tiroid yang semakin menguat seiring
meningkatnya pelepasan hormon tiroid (dengan/tanpa peningkatan sintesisnya) atau
meningkatnya intake hormon tiroid oleh sel-sel tubuh. Pada derajat tertentu, respon
sel terhadap hormon ini sudah terlalu tinggi untuk bertahannya nyawa pasien dan
menyebabkan kematian.
e)

Gambaran Klinis dan Kriteria Diagnosis


Tidak ada kriteria diagnosis yang absolute. Diagnosis didasarkan atas riwayat
penyakit (tanda-tanda tiroksikosis yang berat : berdebar-debar, keringat berlebihan,
berat badan turun drastis, diare, sesak nafas, gangguan kesadaran).
Pada anamnesis biasanyapenderita akan mengeluh adanya kehilangan berat
badan sebesar 15% dari berat badan sebelumnya, nyeri dada, menstruasi yang tidak
teratur pada wanita, sesak nafas, mudah lelah,banyak berkeringat, gelisah dan emosi
yang tidak stabil. dapat juga menimbulkan keluhan gastrointestinal seperti mual,
muntah, nyeri perut.
Pada pemeriksaan fisik, ditemukan demam dengan temperatur konsisten
melebihi 38,5oC. Pasien bahkan dapat mengalami hiperpireksia hingga melebihi 41 oC
dan keringat berlebih. Tanda-tanda kardiovaskular yang ditemukan antara lain
hipertensi dengan tekanan nadi yang melebar atau hipotensi pada fase berikutnya dan
disertai syok. Takikardi terjadi tidak bersesuaian dengan demam. Tanda-tanda gagal
jantung antara lain aritmia (paling banyak supraventrikular, seperti fibrilasi atrium,
tetapi takikardi ventrikular juga dapat terjadi). Sedangkan tanda-tanda neurologik
mencakup agitasi dan kebingungan, hiperrefleksia dan tanda piramidal transien,
tremor, kejang, dan koma. Tanda-tanda tirotoksikosis mencakup tanda orbital dan
goiter..
Karena tingkat mortalitas krisis tiroid amat tinggi, maka kecurigaan krisis saja
cukup menjadi dasar mengadakan tindakan agresif. Kecurigaan akan terjadi krisis
apabila terdapat triad :
28

2013

Menghebatnya tanda tirotoksikosis

Kesadaran menurun

Hipertermia
Apabila terdapat triad, maka kita dapat meneruskan dengan menggunakan skor

indeks klinis krisis tiroid dari Burch-Wartosky. Skor menekankan 3 gejala pokok,
yaitu: hipertermia, takikardi, dan disfungsi susunan saraf

29

KRITERIA DIAGNOSIS UNTUK KRISIS TIROID

2013

Disfungsi pengaturan panas (suhu)

99-99.0

100-100.9

10

101-101.9

15

102-102.9

20

103-103.9

25

> 104.0

30

Efek pada susunan saraf pusat

Tidak ada

Ringan (agitasi)

10

Sedang (delirium, psikosis, letargi berat)

20

Berat (koma, kejang)

30

Disfungsi gastrointestinal-hepar

Tidak ada

Ringan (diare, nausea/muntah/nyeri perut)

Berat (ikterus tanpa sebab yang jelas)

0
10
20

Disfungsi kardiovaskular (takikardi)

30

99-109

110-119

10

120-129

15

130-139

20

> 140

25

2013

Diagnosis krisis tiroid didasarkan pada gambaran klinis bukan pada gambaran
laboratoris. Jika gambaran klinis konsisten dengan krisis tiroid, terapi tidak boleh
ditunda karena menunggu konfirmasi hasil pemeriksaan laboratorium atas
tirotoksikosis. Pada pemeriksaan status tiroid, biasanya akan ditemukan konsisten
dengan keadaan hipertiroidisme dan bermanfaat hanya jika pasien belum terdiagnosis
sebelumnya. Hasil pemeriksaan mungkin tidak akan didapat dengan cepat dan
biasanya tidak membantu untuk penanganan segera.
Temuan biasanya mencakup :

f)

T3 dan FT4 meningkat

TSH rendah

Bisa ditemukan anemia normositik normokrom dengan limfositosis relative

Hiperglikemia sering ditemukan

Enzim transaminase hati meningkat

Azotemia prarenal akibat gagal jantung dan dehidrasi

Penatalaksanaan
Pengobatan harus segera diberikan,jangan tunda pengobatan jika dicurigai
terjadinya krisis tiroid. Kalau mungkin dirawat di Intensiv Care Unit untuk
mempermudah pemantauan tanda vital, untuk pemasangan monitoring invasive,
pemberian obat-obat inotropik jika diperlukan.
Prinsip pengobatan :
1. Mengkoreksi hipertiroidisme
2. Menormalkan mekanisme homeostasisyang terganggu (cairan, elektrolit, gagal
jantung, dsb.

31

2013
3. Mengobati faktor pencetus
Penatalaksanaan krisis tiroid :

Perawatan suportif
Atasi factor pencetus segera
Koreksi gangguan cairan dan elektrolit
Kompres atau pemberian antipiretik, asetaminofen lebih dipilih
Atasi gagal jantung dengan oksigen, diuretik, dan digitalis.

Secara rinci dikerjakan hal-hal sebagai berikut :


1. umum: diberikan cairan untuk rehidrasi dan koreksi elektrolit (NaCl dan cairan lain) dan
kalori (glukosa), vitamin, oksigen
2. Mengoreksi hipertiroidisme dengan cepat, dengan cara:
a. Memblok sintesis hormone baru : PTU dosis besar (loading dose 600-1000mg)
diikuti dosis 200 mg PTU tiap 4 jam dengan dosis sehari total 1000-1500 mg.
atau dengan metimazol dosis 20 mg tiap 4 jam bisa tanpa atau dengan dosis
inisial 60-100mg.
b. Memblok keluarnya cikal bakal hormone dengan solusio lugol ( 10 tetes tiap 68 jam) atau SSKI ( Larutan Iodida jenuh, 5 tetes setiap 6 jam), diberikan 2 jam
setelah pemberian PTU. Apabila ada, berikan endoyodin (NaI) IV, kalau tidak
solusio lugol/SSKI tidak memadai
c. Menghambat konversi perifer dari T4 menjadi T3 dengan propanolol, ipodat,
penghambat beta dan/atau kortikosteroid. propanolol dapat digunakan, sebab
disamping mengurangi takikardi juga menghambat konversi T4 menjadi T3 di
perifer. Pemberian propanolol 60-80mg tiap 6 jam per oral atau 1-3 mg IV.
Pemberian hidrokortison dosis stress (100mg tiap 8 jam atau deksametason
2mg tiap 6 jam). Rasional pemberiannnya adalah karena defisiensi steroid
relative akibat hipermetabolisme dan menghambat konversi perifer T4
32

2013
3. Pemberian hidrokortison dosis stres (100 mg tiap 8 jam atau deksametason 2 mg tiap 6 jam
4.Untuk antipiretik digunakan asetaminofen jangan aspirin,( aspirin akan melepas ikatan
protein-hormon tiroid, hingga free hormone meningkat)
5. Apabila disertai fibrilasi atrium , dapat diberikan digoksin
6. Mengobati factor pencetus (misalnya infeksi) dengan pemberian antibiotic bila diperlukan..

Respon pasien (klinis dan membaiknya kesadaran) umumnya terlihat dalam 24


jam, meskipun ada yang berlanjut hingga seminggu.
Tujuan dari terapi medis yang diberikan adalah untuk memblokade efek

perifer, inhibisis sintesis hormone, blokade pelepasan hormone, dan pencegahan


konversi T4 menjadi T3. Pemulihan keadaan klinis menjadi eutiroid dapat
berlangsung hingga 8 minggu. Beta bloker mengurangi hiperaktivitas simpatetik dan
mengurangi konversi perifer T4 menjadi T3.Guanetidin dan Reserpin juga dapat
digunakan untuk memblokade simpatetik jika adanya kontraindikasi atau toleransi
terhadap beta bloker. Iodide dan lithium bekerja memblokade pelepasan hormone
tiroid. Thionamid mencegah sintesis baru hormone tiroid.
g)

Komplikasi
Komplikasi dapat ditimbulkan dari tindakan bedah, yaitu antara lain
hipoparatiroidisme, kerusakan nervus laringeus rekurens, hipotiroidisme pada
tiroidektomi subtotal atau terapi RAI, gangguan visual atai diplopia akibat oftalmopati
berat, miksedema pretibial yang terlokalisir, gagal jantung dengan curah jantung yang
tinggi, pengurangan massa otot dan kelemahan otot proksimal.

h)

Prognosis
Krisis tiroid dapat berakibat fatal jika tidak ditangani. Angka kematian
keseluruhan akibat krisis tiroid diperkirakan berkisar antara 10-20% tetapi terdapat
laporan penelitian yang menyebutkan hingga 75%, tergantung faktor pencetus atau
penyakit yang mendasari terjadinya krisis tiroid. Dengan diagnosis yang dini dan
penanganan yang adekuat, prognosis biasanya akan baik.

33

2013
i)

Pencegahan
Pencegahan dilakukan dengan melakukan terapi tirotoksikosis yang ketat
setelah diagnosis ditegakkan. Operasi dilakukan pada pasien tirotoksik hanya setelah
dilakukan blokade hormon tiroid dan/atau beta-adrenergik. Krisis tiroid setelah terapi
RAI untuk hipertiroidisme terjadi akibat: 1) penghentian obat anti-tiroid (biasanya
dihentikan 5-7 hari sebelum pemberian RAI dan ditahan hingga 5-7 hari setelahnya);
2) pelepasan sejumlah besar hormon tiroid dari folikel yang rusak; dan 3) efek dari
RAI itu sendiri. Karena kadar hormon tiroid seringkali lebih tinggi sebelum terapi
RAI daripada setelahnya, banyak para ahli endokrinologi meyakini bahwa
penghentian obat anti-tiroid merupakan penyebab utama krisis tiroid. Satu pilihannya
adalah menghentikan obat anti-tiroid (termasuk metimazol) hanya 3 hari sebelum
dilakukan terapi RAI dan memulai kembali obat dalam 3 hari setelahnya. Pemberian
kembali obat anti-tiroid yang lebih dini setelah terapi RAI dapat menurunkan efikasi
terapi sehingga memerlukan dosis kedua. Perlu pula dipertimbangkan pemeriksaan
fungsi tiroid sebelum prosedur operatif dilakukan pada pasien yang berisiko
mengalami hipertiroidisme (contohnya, pasien dengan sindroma McCune-Albright).

BAB III
KESIMPULAN
Krisis tiroid merupakan suatu keadaan tirotoksikosis yang secara mendadak menjadi
hebat dan disertai antara lain adanya panas badan, delirium, takikardi, dehidrasi berat dan
dapat dicetuskan oleh antara lain: infeksi dan tindakan pembedahan. Diagnosis krisis tiroid
ditegakkan berdasarkan adanya triad yaitu menghebatnya tanda tirotoksikosis, kesadaran
34

2013
menurun, hipertermia. Apabila terdapat triad, maka kita dapat meneruskan dengan
menggunakan skor indeks klinis krisis tiroid dari Burch-Wartosky. Skor menekankan 3 gejala
pokok, yaitu: hipertermia, takikardi, dan disfungsi susunan saraf
Prinsip pengelolaan krisis tiroid yakni mengendalikan tirotoksikosis dan mengatasi
komplikasi yang terjadi. Untuk demam dapat diberikan asetaminofen, untuk tirotoksikosis
dapat digunakan terapi kombinasi dengan dosis tinggi misalnya propanolol 2-4mg/4jam
secara IV atau 60-80mg/4jam secara oral/NGT, diteruskan dengan pemberian PTU atau
methimazole secara IV atau rectal, pemberian laruton loguls 10 tetes/8jam secara langsung
IV, oral atau rectal, pemberian glucocorticoid 100mg/8jam. Sedangkan untuk mengatasi
komplikasinya tergantung kondisi penderita dan gejala yang ada. Tindakan harus secepatnya
karena angka kematian pada penderita ini cukup besar.

35

2013

DAFTAR PUSTAKA
1. Djokomoeljanto. R. Kelenjar Tiroid, Hipotiroidisme, dan Hipertiroidisme dalam
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III, Edisi IV. Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta: 2006.
2. Sjamsuhidayat R, De jong W. Sistem endokrin dalam Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi II.
Jakarta EGC 2005:2:683-695.
3. Guyton.A.C, Hall.J.E. Hormon Metabolik Tiroid dalam Buku Ajar Fisiologi
Kedokteran Edisi 9. Jakarta EGC 1997: 1187-1189
4. Schraga ED. Hyperthyroidism , thyroid storm , and Graves disease. Available at:
http://emedicine.medscape.com/article/324556-print. (tanggal akses 10 Agustus 2013)
5. Ferry. R. Thyroid Storm. Available at:
http://www.emedicinehealth.com/thyroid_storm/article_em.htm (tanggal akses 10
Agustus 2013)
6. Misra M, Singhal A, Campbell D. Thyroid storm. Available at:

http://emedicine.medscape.com/article/394932-print. (tanggal akses 10 Agustus 2013)


7. Subekti I, Suyono S. Krisis Tiroid. Panduan Tata Laksana Kegawatdaruratan Di
Bidang Ilmu Penyakit Dalam. Edisi I. Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI/RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo bekerjasama dengan PAPDI. Jakarta:
November 2009.

36

Anda mungkin juga menyukai